bab 2 tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/41652/3/jiptummpp-gdl-kridaastay-49537-3-bab2.pdf ·...

12
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inter Professional Education (IPE) 2.1.1 Definisi Inter Professional Education (IPE) Inter profesi adalah dua profesi atau lebih yang terkait yang belajar dan mempraktekkan kompetensi inter profesional yaitu: kerja sama, komunikasi, etika dan/atau peran profesional termasuk usaha penyatuan aktifitas interprofesi. Inter profesi berbeda dengan multi profesi dimana multi profesi adalah dua profesi atau lebih yang bekerja secara berdampingan sesuai dengan area kerja masing-masing untuk suatu tujuan (Barbara et al, 2014). Trans profesi adalah ketika para profesi kesehatan melakukan pembelajaran dengan profesi lain non kesehatan (lintas disiplin), terutama para pendukung petugas kesehatan seperti pengelola dan manajer, pembuat kebijakan dan pemimpin masyarakat setempat. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kolaborasi (Chiocchio,2014). Inter Professional Education (IPE) adalah dua atau lebih profesi belajar dengan, dari, dan tentang satu sama lain untuk meningkatkan kolaborasi dan kualitas pelayanan kesehatan (WHO, 2010). Robert dalam ACCP (2012) menyatakan Inter Professional Education merupakan pendekatan proses pendidikan dua atau lebih disiplin ilmu yang berbeda berkolaborasi dalam proses belajar mengajar untuk membina interdisipliner dengan tujuan untuk meningkatkan praktek disiplin masing-masing. Menurut Reeves et al (2009) pembelajaran Inter Professional Education dalam bidang kesehatan adalah model pendidikan, pelatihan, pengajaran dan

Upload: others

Post on 04-Nov-2019

29 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/41652/3/jiptummpp-gdl-kridaastay-49537-3-bab2.pdf · Framework for action on interprofessional education & collaboration practice WHO menggambarkan

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Inter Professional Education (IPE)

2.1.1 Definisi Inter Professional Education (IPE)

Inter profesi adalah dua profesi atau lebih yang terkait yang belajar dan

mempraktekkan kompetensi inter profesional yaitu: kerja sama, komunikasi, etika

dan/atau peran profesional termasuk usaha penyatuan aktifitas interprofesi. Inter

profesi berbeda dengan multi profesi dimana multi profesi adalah dua profesi atau

lebih yang bekerja secara berdampingan sesuai dengan area kerja masing-masing

untuk suatu tujuan (Barbara et al, 2014). Trans profesi adalah ketika para profesi

kesehatan melakukan pembelajaran dengan profesi lain non kesehatan (lintas

disiplin), terutama para pendukung petugas kesehatan seperti pengelola dan

manajer, pembuat kebijakan dan pemimpin masyarakat setempat. Hal tersebut

bertujuan untuk meningkatkan kolaborasi (Chiocchio,2014).

Inter Professional Education (IPE) adalah dua atau lebih profesi belajar

dengan, dari, dan tentang satu sama lain untuk meningkatkan kolaborasi dan

kualitas pelayanan kesehatan (WHO, 2010). Robert dalam ACCP (2012)

menyatakan Inter Professional Education merupakan pendekatan proses

pendidikan dua atau lebih disiplin ilmu yang berbeda berkolaborasi dalam proses

belajar mengajar untuk membina interdisipliner dengan tujuan untuk

meningkatkan praktek disiplin masing-masing.

Menurut Reeves et al (2009) pembelajaran Inter Professional Education

dalam bidang kesehatan adalah model pendidikan, pelatihan, pengajaran dan

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/41652/3/jiptummpp-gdl-kridaastay-49537-3-bab2.pdf · Framework for action on interprofessional education & collaboration practice WHO menggambarkan

6

pembelajaran dimana terdapat dua atau lebih mahasiswa profesi kesehatan yang

berbeda melaksanakan pembelajaran interaktif bersama dengan saling belajar

mengajar dan bekerja sama secara efektif dengan tujuan untuk meningkatkan

kolaborasi interprofessional dan meningkatkan kesehatan dan atau kesejahteraan

pasien.

2.1.2 Tujuan Inter Professional Education (IPE)

Secara umum Inter Professional Education bertujuan untuk mendorong

mahasiswa profesi kesehatan bertemu dan mengenal peran serta berinteraksi

dengan profesi kesehatan yang lain, sehingga diharapkan mahasiswa akan mampu

untuk berkolaborasi dengan baik saat proses perawatan pasien dalam dunia profesi

sesungguhnya (Reeves et al 2009). Pembelajaran Inter Professional Education

juga bertujuan menyiapkan seluruh mahasiswa tenaga kesehatan untuk dapat

bekerja sama demi tujuan umum pembangunan sistem palayanan kesehatan pasien

yang lebih baik dan lebih aman dan berorientasi populasi atau komunitas (Josiah,

2011).

Proses perawatan pasien secara inter professional akan meningkatkan

kualitas pelayanan kesehatan dan meningkatkan kepuasan pasien. Menurut Elise

& Chintya (2015) tujuan pelaksanaan Inter Professional Education adalah: 1)

meningkatkan pemahaman interdisipliner dan meningkatkan kerjasama; 2)

membina kerjasama yang kompeten; 3) membuat penggunaan sumberdaya yang

efektif dan efisien; 4) meningkatkan kualitas perawatan pasien yang

komprehensif.

2.1.3 Kerangka kerja Inter Professional Education (IPE)

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/41652/3/jiptummpp-gdl-kridaastay-49537-3-bab2.pdf · Framework for action on interprofessional education & collaboration practice WHO menggambarkan

7

World Health Organization atau WHO (2010) menyatakan pentingnya

penerapan kurikulum Inter Professional Education dalam meningkatkan hasil

perawatan pasien. WHO (2010) juga menjelaskan praktek interprofesi dapat

menurunkan komplikasi yang dialami pasien, jangka waktu rawat inap,

ketegangan dan konflik di antara pemberi layanan (caregivers), biaya rumah sakit,

rata-rata clinical error, dan rata-rata jumlah kematian pasien.

Gambar 2.1 menunjukkan bahwa Inter Professional Education merupakan

langkah yang sangat penting untuk dapat menciptakan kolaborasi yang efektif

antar tenaga kesehatan profesional sehingga dapat meningkatkan hasil layanan

perawatan pasien. Framework for action on interprofessional education &

collaboration practice WHO menggambarkan mekanisme yang membantu

berhasilnya interprofessional education dalam lingkup sistem pendidikan dan

kesehatan adalah dukungan institusi, budaya bekerja, dan faktor lingkungan yang

mengarahkan pada praktek kolaborasi.

.

(WHO, 2010)

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/41652/3/jiptummpp-gdl-kridaastay-49537-3-bab2.pdf · Framework for action on interprofessional education & collaboration practice WHO menggambarkan

8

Gambar 2.1 Kerangka kerja Inter Professional Education

Framework for action on interprofessional education & collaboration practice

Kerangka kerja tersebut menggabungkan peran pemimpin (leader) dan

pembuat kebijakan agar mendukung interprofessional education dan praktek

interprofessional collaboration untuk perbaikan layanan kesehatan. Pendidikan

profesi kesehatan dan peran sistem kesehatan pada tingkat lebih tinggi

dimaksudkan untuk lebih menyatukan antara tenaga kesehatan dengan pembuat

kebijakan secara sinergis.

2.1.4 Aplikasi konsep kurikulum Inter Professional Education (IPE)

Kurikulum Inter Professional Education (IPE) tidak dapat dipisahkan dari

bagian kolaborasi interprofesional. Pembelajaran Inter Professional Education

dapat meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan terhadap praktik kolaborasi.

Kompetensi tersebut meliputi pengetahuan, sklill, attitute dan perilaku terhadap

kolaborasi interprofesi. Hal tersebut diharapkan akan membuat tenaga kesehatan

dapat mengutamakan bekerjasama dalam melakukan perawatan pada pasien.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Chua et al (2015) penerapan kurikulum

Inter Professional Education (IPE) efektif memperbaiki attitude mahasiswa

kedokteran dan keperawatan terhadap Inter Professional Education (IPE).

Barbara Brandt et al (2014) memaparkan topik dan konten yang dapat

dipelajari dalam Inter Professional Education (IPE) meliputi epidemiologi,

promosi kesehatan, keterampilan klinis, pengambilan keputusan klinik, rencana

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/41652/3/jiptummpp-gdl-kridaastay-49537-3-bab2.pdf · Framework for action on interprofessional education & collaboration practice WHO menggambarkan

9

perawatan, analisis kritis, etik, komunikasi, patient safety dan lain-lain.

Pembelajaran Inter Professional Education (IPE) membuat mahasiswa dapat

saling bertukar pengalaman tentang pengetahuan, keterampilan terkait peran dan

tugas masing-masing profesi dalam menangani pasien sehingga akan muncul

sikap saling menghargai antar profesi yang nantinya akan meningkatkan mutu

pelayanan kepada pasien (WHO, 2010).

2.1.5 Metode Pembelajaran Inter Professional Education (IPE)

Claramita Mora (2014) dalam acuan umum CHFC IPE memaparkan lima

metode pembelajaran Inter Professional Education (IPE), yaitu:

1. Kuliah klasikal

IPE dapat diterapkan pada mahasiswa menggunakan metode pembelajaran

berupa kuliah klasikal. Setting perkuliahan melibatkan beberapa pengajar dari

berbagai disiplin ilmu (team teaching) dan melibatkan mahasiswa dari berbagai

profesi kesehatan. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum terintegrasi dari

berbagai profesi kesehatan. Kuliah dapat berupa sharing keilmuan terhadap suatu

masalah atau materi yang sedang dibahas.

2. Tutorial Problem Based Learning (PBL)

Setting kuliah tutorial dapat dilakukan dengan diskusi kelompok kecil yang

melibatkan mahasiswa yang berasal dari berbagai profesi kesehatan. Mahasiswa

membahas suatu masalah dan mencoba mengindentifikasi dan mencari

penyelesaian dari masalah yang dihadapi. Modul yang digunakan adalah modul

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/41652/3/jiptummpp-gdl-kridaastay-49537-3-bab2.pdf · Framework for action on interprofessional education & collaboration practice WHO menggambarkan

10

terintegrasi. Dosen berupa team teaching dari beberapa profesi yang terkait dan

bertugas sebagai fasilitator dalam diskusi tersebut.

3. Praktek laboratorium

Praktek laboratorium dilaksanakan pada tatanan tempat laboratorium. Modul

yang digunakan adalah modul terintegrasi yang melibatkan mahasiswa yang

berasal dari berbagai profesi kesehatan.

4. Skill

Skill laboratorium merupakan metode yang baik bagi IPE karena dapat

mensimulasikan bagaimana penerapan IPE secara lebih nyata. Dalam

pembelajaran skill, mahasiswa dapat mempraktekkan cara berkolaborasi dengan

mahasiswa dari berbagai profesi kesehatan yang lain dalam memberikan

pelayanan kesehatan pada pasien.

5. Kuliah Profesi/Klinis-Lapangan

Pendidikan profesi merupakan pendidikan yang dilakukan di rumah sakit dan

di komunitas. Pada pendidikan profesi mahasiswa dihadapkan pada situasi nyata

di lapangan untuk memberikan pelayanan kepada pasien nyata. Melalui

pendidikan profesi, mahasiswa dapat dilatih untuk berkolaborasi dengan

mahasiswa profesi lain dalam kurikulum IPE.

2.2 Evidence Based Practice (EBP)

2.2.1 Definisi Evidence Based Practice (EBP)

Menurut Institute of Medicine dalam Glasner (2010) Evidence Based adalah

integrasi hasil penelitian berdasarkan bukti ilmiah dengan keahlian klinis dan nilai

pasien. Menurut Straus S.E. et al dalam Chen Kee-Hsin et al (2014) menyatakan

pengertian Evidence Based Practice adalah penggunaan secara teliti dan bijaksana

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/41652/3/jiptummpp-gdl-kridaastay-49537-3-bab2.pdf · Framework for action on interprofessional education & collaboration practice WHO menggambarkan

11

terhadap bukti terbaru yang terbaik serta keahlian klinis dan nilai pasien untuk

membantu pengambilan keputusan oleh petugas kesehatan.

2.2.2 Domain Evidence Based Practice (EBP)

1. Knowledge

Knowledge dalam hal ini adalah pengetahuan individu dalam mengingat

atau memahami konsep tentang Evidence Based Practice (EBP). Penilaian

pengetahuan tentang Evidence Based Practice (EBP) berdasarkan kemampuan

individu dalam menjelaskan konsep Evidence Based Practice (EBP), prinsip-

prinsip dasar Evidence Based Practice (EBP). Penilaian pemahaman individu

terhadap pengetahuan Evidence Based Practice (EBP) dilakukan melalui

identifikasi pertanyaan yang sesuai dengan desain studi yang dicari untuk

menjawab pertanyaan klinis atau dengan menentukan Number Needed to Treat

(NNT) (Tilson et al, 2011).

2. Skill

Skill dalam Evidence Based Practice (EBP) merupakan peran atau

partisipasi atau peran partisipan/individu untuk menerapkan pengetahuan yang

dimiliki dalam rangka melaksanakan langkah – langkah Evidence Based Practice

(EBP) dalam skenario klinis (Terrence et al, 2012).

3. Attitude

Attitude dalam Evidence Based Practice (EBP) mengarah pada nilai – nilai

yang dianggap partisipan sebagai sesuatu yang penting dan bermanfaat dalam

pembuatan keputusan klinis (Tilson et al, 2011).

4. Behaviour

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/41652/3/jiptummpp-gdl-kridaastay-49537-3-bab2.pdf · Framework for action on interprofessional education & collaboration practice WHO menggambarkan

12

Behaviour dalam Evidence Based Practice (EBP) adalah mempraktekkan

Evidence Based dalam konteks yang sesungguhnya. Mempraktekkan Evidence

Based yang sesungguhnya oleh seorang partisipan diawali dari menilai keadaan

sekitar atau lingkungan pasien, penampilan pasien, dan tujuan klinisi kepada

pasien sesuai dengan fokus pertanyaan-pertanyaan klinis yang akan dijawab

sehubungan dengan keadaan pasien (Tilson et al, 2011).

2.2.3 Evidence Based Medicine (EBM)

2.2.3.1 Definisi Evidence Based Medicine (EBM)

Evidence Based Medicine adalah integrasi keahlian klinis, nilai-nilai pasien

dan bukti – bukti terbaik dalam hal pembuatan keputusan yang berhubungan

dengan pelayanan kesehatan pasien (Izet, Milan & Belma, 2010). Wargahadibrata

dalam Setiabudi (2007) menyatakan suatu pendekatan atau cara untuk menyaring

semua data dalam praktek pelayanan dan perawatan pasien dengan menyadari

kepentingan dan kekuatan suatu bukti ilmiah, serta pemanfaatan bukti eksternal

terbaik dan mutakhir dari berbagai hasil penelitian yang sahih dalam tatalaksana

pengobatan pasien.

(Izet, 2010)

Gambar 2.2 Triad Evidence Based Medicine

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/41652/3/jiptummpp-gdl-kridaastay-49537-3-bab2.pdf · Framework for action on interprofessional education & collaboration practice WHO menggambarkan

13

Wargahadibrata dalam Setiabudi (2007) Bukti eksternal yang dimaksud

adalah penelitian klinis yang relevan, sering berupa hasil penelitian dari ilmu

kedokteran dasar, khususnya yang dilakukan dengan mengambil fokus pada

masalah klinis pasien sampai dengan penelitian tentang ketepatan penggunaan alat

bantu diagnosis (termasuk berbagai pemeriksaan klinis), nilai suatu petanda

prognostik, dan efisiensi serta keamanan tindakan pengobatan, rehabilitasi dan

prevensi. Bukti klinis eksternal dapat bersifat menolak atau tidak memberlakukan

alat bantu diagnostik atau pengobatan sebelumnya yang telah diterima dan

digunakan, serta dapat pula menjadi dasar menggantikannya dengan yang baru

yang lebih bernilai, lebih akurat, lebih efisien, dan lebih aman.

Muir Gray dalam Setiabudi (2007) menyatakan bukti klinis dalam

Evidence Based Medicine (EBM) tersebut didapatkan dari hasil penelitian yang

terdapat di dalam kepustakaan dalam bentuk jurnal, tinjauan kepustakaan

sistematis, meta analisis, protap, text-book, seminar, pendidikan berkelanjutan,

dan sebagainya. Bukti tersebut harus merupakan suatu bukti yang sahih dan

mutakhir dari penelitian yang valid untuk tata laksana penyakit pasien. Penelitian

yang sahih adalah penelitian yang terbukti valid, akurat dan bermakna dengan

persisi sempit (powerfull) dan aman.

2.2.3.2 Hierarki Evidence Based Medicine

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/41652/3/jiptummpp-gdl-kridaastay-49537-3-bab2.pdf · Framework for action on interprofessional education & collaboration practice WHO menggambarkan

14

(Izet, 2008)

Gambar 2.3 hierarki Evidence Based Medicine

2.2.3.3 Praktik Evidence Based Medicine (EBM)

Dalam mempraktikkan pengobatan berdasarkan bukti, melalui tahapan

sebagai berikut:

1. Persiapan

Memilih skenario yang akan dibahas atau yang akan dilakukan langkah

tindakan

2. Bertanya (PICO)

Tentukan fokus pertanyaan sesuai klinis yang dapat memfasilitasi pencarian

jawaban yang ingin dicari dari literatur klinis yang dimaksud. Pencarian

pertanyaan menggunakan PICO: Population, Intervention, Comparator,

Outcome.

3. Perolehan

Deskripsikan pertanyaan yang ingin dicari secara signifikan.

4. Penilaian

Penilaian tentang hasil jurnal yang diperoleh dilakukan dengan pertanyaan

seperti berikut: apa desain penelitian yang paling sesuai dengan pertanyaan ini,

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/41652/3/jiptummpp-gdl-kridaastay-49537-3-bab2.pdf · Framework for action on interprofessional education & collaboration practice WHO menggambarkan

15

apakah temuan yang dihasilkan valid, apakah temuan yang dihasilkan relevan

dengan kasus atau skenario yang ingin ditangani.

5. Penerapan

6. Penyelesaian

Langkah – langkah untuk mempraktekkan Evidence Based Medicine

(EBM) adalah sebagai berikut (Diana Krisanti & Slamet Santosa, 2008):

1. Merubah kebutuhan – kebutuhan informasi tersebut menjadi pertanyaan

untuk dijawab (identifikasi masalah).

2. Menelusuri bukti – bukti terbaik, yang dengannya seorang dokter akan

menjawab pertanyaan – pertanyaan tersebut (apakah dari pemeriksaan klinis,

diagnosis laboratorium, dari bukti – bukti penelitian, atau dari sumber

informasi lainnya seperti internet).

3. Menilai secara kritis (kajian kritis = critical appraisal) validitas bukti – bukti

tersebut (keterkaitannya atau kedekatannya akan kebenarannya) serta

kegunaan atau manfaatnya (nilai penerapan klinisnya).

4. Menerapkan hasil penelaahan tersebut sesuai dengan keahlian klinis dan

keunikan keadaan biologis dan nilai- nilai pasien.

5. Mengevaluasi efisiensi dan keefektifan kinerja yang telah dilakukan dalam

pencarian Evidence Based Medicine (EBM).

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/41652/3/jiptummpp-gdl-kridaastay-49537-3-bab2.pdf · Framework for action on interprofessional education & collaboration practice WHO menggambarkan

16