bab 2 landasan teori ii.1. pengantar pajakthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2011-2-00549-ak...
TRANSCRIPT
6
BAB 2
LANDASAN TEORI
II.1. Pengantar Pajak
II.1.1 Definisi Pajak
Ada berbagai definisi pajak yang dikemukakan oleh para ahli antara lain:
Menurut Soemitro seperti yang dikutip Mardiasmo (2008:1) mendefinisikan
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang – undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat
ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Menurut Feldmann seperti yang dikutip oleh Waluyo (2008:2), Pajak adalah
prestaasi yang di paksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-
norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata
digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang dan aturan pelaksanaan yang
sifatnya dipaksakan.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah.
3. Pajak dipunggut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran pemerintah yaitu bila dari pemasukannya
yang masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayaipublik investment.
7
II.1.2 Pengelompokan Pajak
Mengacu pada Waluyo (2008), pajak dapat dikelompokan menjadi beberapa
kelompok menurut golongan, sifat dan lembaga pemungutnya, klasifikasinya adalah
sebagai berikut:
1. Menurut golongannya
a. Pajak langsung, adalah 2008 pajak yang pembebanannya tidak dapat
dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak
yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan
kepada pihak lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai.
2. Menurut sifatnya
a. Pajak Subyektif, adalah pajak yang pengenaannya berpangkal pada diri orang
atau badan yang dikenai pajak (wajib pajak). Pajak subyektif dimulai dengan
menetapkan orangnya baru kemudian dicari syarat-syarat obyektifnya.
Contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh).
b. Pajak Obyektif, adalah pajak yang pengenaannya berpangkal pada obyek
yang dikenai pajak, dan untuk mengenakan pajaknya harus dicari subyeknya.
Contohnya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
3. Menurut pemungut dan pengelolanya
a. Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas barang Mewah, Pajak Bumi bangunan, dan Bea Materai.
8
b. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Contoh: Pajak reklame, pajak hiburan.
II.1.3 Tata Cara Pemungutan Pajak
Mengacu pada Mardiasmo (2008), tata cara pemungutan pajak dapat dilakukan
berdasarkan setsel, asas dan sistem pemungutan pajak.
1. Setsel Pajak
a. Stelsel nyata (riel stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (pengahasilan yang nyata),
sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak,
yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui.
b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh
undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahhun dianggap sama
dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat
ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan,
tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya
adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang
sesungguhnya.
9
c. Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel
anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu
anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan
keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih
besar dari pada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus
menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta
kembali.
2. Asas Pemungutan Pajak
a. Asas domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak
yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari
dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak
dalam negeri.
b. Asas sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
c. Asas kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu Negara.
Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang
yang bukan berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di
Indonesia. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak Luar Negeri.
10
3. Sistem Pemungutan Pajak
a. Official Assesment System
Suatu sistem pemungutan yang member wewenang kepada pemerintah
(fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib
Pajak. Ciri-cirinya :
1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
fiskus.
2. Wajib Pajak bersifat pasif.
3. pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
b. Self Assesment System
Suatu sistem pemungutan pajak yang member wewenang kepada Wajib
Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-
cirinya :
1. Wewenang untuk menentukan besarya pajak tterutang ada pada
Wajib Pajak sendiri.
2. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang.
3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. With Holding System
Suatu sistem pemungutan pajak yang member wewenang kepada pihak
ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya
: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak
ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
11
II.1.4 Mekanisme Pemungutan Pajak
Gambar II.1 Mekanisme Pemungutan Pajak
PEMOTONG(Witholder)
Pemberi HasilMEMBAYAR
YANG DIPOTONG(Subjek Pajak)
Penerima Penghasilan
OBJEK PEMOTONGAN
Psl 4 (1) & (2) UU PPh
BUKAN OBJEK
Psl 4 (3) UU PPh
KEWAJIBAN PERPAJAKAN
� POTONG/PUNGUT� SETOR� LAPOR
Bukti Potong
SSP
SPT MASA
Sumber: radenagussuparman.files.wordpress.com/2009/11/benny-potput-21.ppt
II.2 Pajak Penghasilan
II.2.1 Pengertian pajak Penghasilan
Dasar Hukum pengenaan Pajak Penghasilan adalah Undang – Undang No.7
Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – Undang No. 36 Tahun
2008, menyatakan Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperolehnya dalam tahun Pajak.
Dasar hukum pengenaan pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang
12
a. UU No. 16 Tahun 2009 (KUP)
b. UU No. 36 tahun 2008 (PPh)
2. Peraturan Pemerintah
a. PP No.45 Tahun 1994 (PPh atas Penghasilan PNS)
b. PP No. 8 Tahun 2007 (Peraturan Pelaks.UU KUP)
3. Peraturan Menteri Keuangan
� PMK No. 181 Th 2007 (Bentuk dan Isi SPT)
� PMK No. 184 Th 2007 (Tanggal jatuh tempo pembayaran,pelaporan)
� PMK No.186 Th 2007 (Dikecualikan dari pengenaan sanksi)
� PMK No.190 Th 2007 (Pengembalian pajak yg seharusnya tdk terutang)
� PMK No.252 Th 2008 (Petunjuk pemotongan PPh Pasal 21)
� PMK No.246 Th 2008 (Bea siwa dikecualikan dari Objek PPh)
� PMK No.250 Th 2008 (Biaya jabatan dan Biaya Pensiun)
II.2.2 Subyek Pajak dan Bukan Subjek Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh dalam tahun pajak. Yang termasuk Subyek Pajak adalah:
1. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi.
2. Badan yaitu termasuk PT, CV, Perseroan lainnya, BUMN, BUMD, Persekutuan,
Perkumpulan pribadi, Firma, Kongsi, Yayasan atau Organisasi sejenis, Lembaga,
Dana pensiun dan bentuk badan usaha lain.
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
13
Dalam pasal 3 Undang-Undang PPh disebutkan yang tidak termasuk subjek pajak
adalah:
1. Badan Perwakilan Asing
2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara
Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan atau
pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan
timbal balik.
3. Organisasi - organisasi internasional yang ditetapkan oleh menteri keuangan
dengan syarat: Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut, tidak menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal
dari iuran anggota.
4. Pejabat - pejabat perwakilan organisasi international yang ditetapkan oleh
menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak
menjalankan usaha dan melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
II.2.3 Obyek Pajak dan Bukan Objek Pajak Penghasilan
Yang termasuk Objek PPh (Pasal 4 ayat (1) UU PPh):
1. Imbalan pekerjaan, berupa gaji, upah dan sejenisnya.
2. Hadiah dan penghargaan.
14
3. Laba usaha.
4. Keuntungan penjualan atau pengalihan harta.
5. Penerimaan kembali pajak yang telah dibebankan.
6. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang.
7. Dividen, termasuk diterima pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi.
8. Royalti/imbalan atas penggunaan hak.
9. Sewa dan penghasilan lain terkait harta.
10. Penerimaan pembayaran berkala.
11. Keuntungan pembebasan utang.
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
13. Selisih lebih penilaian aktiva.
14. Premi asuransi.
15. Iuran diterima perkumpulan dari anggota.
16. Tambahan kekayaan belum kena PPh.
17. Penghasilan berbasis syariah.
18. Imbalan bunga pelaksanaan KUP.
15
19. Surplus Bank Indonesia.
Bukan Objek PPh (Pasal 4 ayat (3) UU PPh):
1. Bantuan, sumbangan, zakat/sumbangan wajib keagamaan, harta hibahan, dengan
syarat tertentu.
2. Warisan.
3. Harta dan setoran tunai pengganti saham/modal.
4. Imbalan dalam bentuk natura, kecuali diberikan bukan Wajib Pajak terutang
final, Norma penghitungan khusus Pasal 15.
5. Asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, dan beasiswa.
6. Dividen yang diterima PT, Koperasi, BUMN/BUMD dari badan usaha dalam
negeri dengan syarat:
a. berasal cadangan laba yang ditahan.
b. memiliki minimal 25% modal disetor.
7. Iuran yang diterima dana pensiun.
8. Penghasilan modal dana pensiun bidang tertentu.
9. Bagian laba yang diterima anggota CV, persekutuan, firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
10. Penghasilan yang diterima perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha dengan syarat tertentu.
16
11. Beasiswa dengan syarat tertentu.
12. Sisa lebih badan nirlaba pendidikan, litbang yang ditanamkan dalam sarana atau
prasarana pendidikan. Litbang, dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut.
13. Bantuan/santunan yang dibayarkan oleh badan penyelenggara jaminan sosial
kepada WP tertentu.
II.3 Pajak Penghasilan Pasal 21
II.3.1 Pengertian PPh Pasal 21
PPh pasal 21 adalah Pajak atas penghasilan yang berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dalam bentuk apapun sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 dan terakhir diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008.
II.3.2 Wajib Pajak dan Bukan Wajib Pajak PPh Pasal 21
Wajib pajak merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan,
termasuk pemunggut pajak atau pemotong pajak tertentu, adapun wajib pajak PPh pasal
21 adalah:
17
1. Pegawai.
2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.
3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi :
a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari
pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan
aktuaris.
b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan
seniman lainnya.
c. Olahragawan.
d. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
e. Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
f. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial
serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
g. agen iklan;
h. pengawas atau pengelola proyek;
i. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi
perantara;
j. petugas penjaja barang dagangan.
k. petugas dinas luar asuransi;
18
l. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan
kegiatan sejenis lainnya;
4. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi :
a. peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan
olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan
lainnya.
b. peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja.
c. peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara
kegiatan tertentu.
d. peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.
Bukan wajib pajak PPh pasal 21 adalah:
1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat:
a. Bukan warga negara Indonesia.
b. Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar
jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan
memberikan perlakuan timbal balik.
2. Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan sepanjang bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan
usaha, kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di
Indonesia
19
II.3.3 Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak PPh Pasal 21
Yang termasuk Objek Pajak PPh Pasal 21 adalah:
1. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan
yang bersifat teratur maupun tidak teratur;
2. penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa
uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
3. penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan
sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang
pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan
pembayaran lain sejenis
4. penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian,
upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara
bulanan;
5. imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;
6. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan
dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
7. penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:
a. bukan Wajib pajak;
b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
20
c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit).
8. Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota
Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
serta para pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
diatur berdasarkan ketentuan yang ditetapkan khusus mengenai hal dimaksud.
Bukan Objek Pajak PPh Pasal 21:
1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
2. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun
diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali kecuali penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-31/PJ./2009;
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan
hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan
penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja;
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan
gkeagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia
yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan
21
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihakpihak yang
bersangkutan;
5. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
II.3.4 Hak dan Kewajiban Wajib Pajak PPh Pasal 21
Hak-hak Wajib Pajak PPh pasal 21 adalah :
1. Wajib pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh pasal 21 kepada pemotong
Pajak.
2. Wajib pajak berhak mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal pajak,
jika PPh pasal 21 yang dipotong oleh pemotong pajak tidak sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Pengajuan surat keberatan ini dilakukan dalam bahasa
Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang dipotong menurut
penghitungan wajib pajak disertai alasan-alasan yang jelas.
3. Wajib pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam
bahasa Indonesia dengan alas an yang jelas kepada Badan Peradilan Pajak
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur
Jendral Pajak.
Kewajiban Wajib Pajak PPh pasal 21 adalah:
1. Wajib Pajak berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong
pajak yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulan tahun
takwim atau pada permulaan menjadi subjek pajak dalam negeri.
22
2. Wajib Pajak juga berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada
pemotong pajak dalam hal ada perubahan jumlah tanggungan keluarga pada
permulaan takwim.
3. Wajib Pajak berkewajiban menyerahkan bukti pemotongan PPh pasal 21
kepada :
a. Pemotong pajak kantor cabang baru dalam hal yang bersangkutan
dipindahtugaskan.
b. Pemotong pajak tempat kerja yang baru dalam hal yang bersangkutan
pindah kerja.
c. Pemotong pajak dana pensiun dalam hal yang bersangkutan mulai
menerima pensiun dalam tahun berjalan.
II.3.5 Tarif Pajak Penghasilan PPh Pasal 21
Tabel II.1 Tarif PPh Pasal 21
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah)
5%
Di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah)
15%
Di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah)
25%
Di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 30%
23
Sumber : ORTax. (2010). Susunan Dalam Satu Naskah 9 (Sembilan) Undang-undang
Perpajakan.Jakarta : Penerbit PT Integral Data Prima
II.4 PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)
II.4.1 Pengertian PTKP
Sebelum penghasilan dihitung sesuai Pasal 17 UU PPh, pengasilan selama
setahun tersebut harus dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP). Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan pengurangan penghasilan
neto yang diperkenankan oleh undang-undang Nomor 7 tahun 1983 stdtd Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan. PTKP hanya diberikan
kepada Wajib Pajak orang pribadi/perseorangan sesuai pasal 6 ayat (3) UU PPh.
Tidak ada pengertian mengenai definisi penghasilan tidak kena pajak atau dalam
bahasa inggris disebut Personal Exempation. Namun karena PTKP hanya diberikan
kepada orang pribadi yang membutuhkan biaya hidup sehari-hari dan tidak diberikan
kepada Wajib Pajak Badan, maka PTKP dapat diartikan sebagai biaya hidup minimal
yang dibutuhkan orang pribadi atau perseorangan yang ditentukan UU PPh.
II.4.2 Penjelasan PPh Pasal 7
Penghasilan Tidak Kena Pajak atau PTKP telah diatur dalam Pasal 7 UU PPh
yang menjelaskan keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang
menjadi tanggungan sepenuhnya antara lain orang tua, mertua, anak kandung dan anak
24
angkat. Sedangkan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah
anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya
ditanggung oleh Wajib Pajak.
Menurut Surat Direktur Jendral Pajak No. S-112/PJ.41/1995 tanggal 29 Agustus
1995 dijelaskan sebagai berikut :
1. Pengertian anak angkat bukan pengertian masyarakat sehari-hari, yaitu
seorang anak yang diakui dan diangkat sebagai anak, dan juga bukan
anak angkat menurut hukum perdata yang harus yang harus terlebih
dahulu ada pengesahan hakim pengadilan Negeri.
2. Pengertian anak angkat menurut UU PPh adalah :
a. Seseorang yang belum dewasa.
b. Yang tidak tergolong keluarga sedarah atau saudara semenda
dalam garis lurus dari Wajib Pajak.
c. Menjadi tanggungan sepenuhnya dari Wajib Pajak.
3. Pengertian dewasa adalah sudah berumur 18 tahun atau belum 18 tahun
namun sudah menikah.
4. Pengertian tanggungan sepenuhnya menurut UU PPh berdasarkan
keadaan sebenarnya, yaitu :
a. Tinggal bersama-sama dengan wajib Pajak.
b. Secara nyata tidak mempunyai penghasilan sendiri.
c. Tidak pula dibantu oleh anggota keluarga lainnya atau orang
tuanya sendiri.
25
5. Sedangkan kalau Wajib Pajak sekedar menyumbang, membantu,
bertanggung jawab dan sebagainya, tidak termasuk dalam menjadi
tanggungan sepenuhnya.
II.4.3 Besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak
Ketentuan mengenai PTKP diatur dalam Pasal 7 UU PPh, yang salah satunya
memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan besarnya PTKP
tersebut dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi, moneter, dan pokok setiap
tahunnya.
Menteri Keuangan telah beberapa kali mengubah besarnya PTKP tersebut dan
terakhir dengan peraturan Menteri Keuangan No. 137/PMK.03/2005 tanggal 30
desember 2005 yang mulai berlaku 1 Januari 2006. Selanjutnya dengan adanya
amandemen UU PPh baru (UU No. 36 Tahun 2008), besarnya PTKP adalah sebagai
berikut :
1. Sebesar Rp. 15.840.000 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan
2. Tambahan untuk Wajib Pajak Kawin, sebesar Rp. 1.320.000
3. Tambahan untuk istri yang bekerja dan penghasilannya digabungkan dengan
pengasilan suami sebesar Rp 15.840.000
4. Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda
dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan
sepenuhnya paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga sebesar Rp.
1.320.000.
26
Besaran PTKP untuk masing-masing status Wajib Pajak dilihat dalam tabel berikut :
Tabel II.2 Besarnya PTKP Berdasarkan Status Wajib Pajak
NO. STATUS KODE JUMLAH
1. WP Tidak Kawin + 0 Tanggungan TK/- 15.840.000
2. WP Tidak Kawin + 1 Tanggungan TK/1 17.160.000
3. WP Tidak Kawin + 2 Tanggungan TK/2 18.480.000
4. WP Tidak Kawin + 3 Tanggungan TK/3 19.800.000
5. WP Kawin + 0 Tanggungan K/- 17.160.000
6. WP Kawin + 1 Tanggungan K/1 18.480.000
7. WP Kawin + 2 Tanggungan K/2 19.800.000
8. WP Kawin + 3 Tanggungan K/3 21.120.000
9. WP Kawin + Penghasilan Istri digabung + 0 Tanggungan
K/I/- 33.000.000
10. WP Kawin + Penghasilan Istri digabung + 1 Tanggungan
K/I/1 34.320.000
11. WP Kawin + Penghasilan Istri digabung + 2 Tanggungan
K/I/2 35.640.000
12. WP Kawin + Penghasilan Istri digabung + 3 Tanggungan
K/I/3 36.960.000
Sumber : ORTax. (2010). Susunan Dalam Satu Naskah 9 (Sembilan) Undang-undang
Perpajakan.Jakarta : Penerbit PT Integral Data Prima
27
II.4.4 Ketentuan Penerapan PTKP
1. Penerapan PTKP tersebut ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun
pajak atau bagian tahun pajak sesuai Pasal 7 ayat (2) UU PPh. Misal: pada
tanggal 1 Januari 2009 Wajib Pajak A berstatus kawin dengan tangungan 1
anak. Apabila pada tanggal 1 Januari 2009 tambah 1 anak, maka statusnya
menjadi kawin dengan tanggungan 2 anak sehingga besarnya PTKP Rp.
15.840.000 + Rp. 1.320.000 + Rp. 1.320.000 + Rp. 1.320.000 = Rp.
19.800.000 Namun apabila anak lahir tanggal 2 Januari s.d. 31 Desember
2009, maka tambahan anak tidak dapat diakui sebagai tanggungan pada tahun
2009, namun baru diakui pada tahun 2010.
2. PTKP bagi karyawati dihitung hanya untuk diri sendiri karena tambahan
PTKP untuk kawin dan tanggungan menjadi tanggung jawab suami sebagai
kepala keluarga. Penambahan PTKP kawin dan tanggungannya bagi
karyawati dapat diterapkan apabila ada keterangan tertulis dari kelurahan
yang menyebutkan suami tidak mempunyai pekerjaan.
3. Status Wajib Pajak dapat terdiri atas :
a. TK/…= Tidak Kawin, ditambah dengan jumlah tanggungan anggota
keluarga (TK/0= tidak kawin tanpa tanggungan, TK/1 = tidak kawin
dengan tanggungan 1 anggota keluarga dan seterusnya maksimal
TK/3)
b. K/…. = kawin, ditambah dengan banyaknya tanggungan anggota
keluarga (K/1) s.d (K/3)
28
c. K/I/… = kawin, tambahan untuk istri (hanya seorang) yang
penghasilanya digabung dengan penghasilan suami, ditambah dengan
banyaknya tanggungan anggota keluarga (K/I/1 s.d K/I/3)
d. PH = Wajib Pajak Kawin yang melakukan perjanjian Tertulis
Pemisahan Harta dan Penghasilan.
e. HB/….. = Wajib Pajak Kawin yang telah hidup berpisah ditambah
banyaknya tanggungan anggota (HB/1 s.d HB/3)
II.4.5 Contoh Penghitungan PTKP
1. Joko sudah menikah dengan mempunyai seorang anak. PTKP Joko adalah
PTKP setahun : Untuk Wajib Pajak Sendiri : Rp. 15.840.000
Tambahan WP Kawin : Rp. 1.320.000
Tambah 1 Anak : Rp. 1.320.000 +
Jumlah : Rp. 18.480.000
II.5 SPT
II.5.1 Pengertian SPT
Pasal 1 angka 11 Undang – Undang nomor 28 tahun 2007 tentang ketentuan
umum dan tata cara perpajakan menyebutkan bahwa pengertian surat pemberi tahuan
(SPT) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan
29
dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan
kewajiban, sesuai ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan.
II.5.2 Fungsi SPT
Adapun fungsi SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) dapat dilihat dari subjek
pajaknya yaitu wajib pajak pribadi, pengusaha kena pajak atau pemotong / pemungut
pajak, antara lain:
1. Fungsi SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) bagi wajib pajak penghasilan :
a. Sarana melapor dan mempertanggung jawabkan perhitungan pajak yang
sebenarnya terutang.
b. Melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri
atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu tahun pajak
atau bagian tahun pajak.
c. Melaporkan pembayaran dari pemotongan atau pemungut tentang pemotongan
atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain satu masa pajak, sesuai
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
2. Fungsi SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) bagi pengusaha kena pajak :
a. Sarana melapor dan mempertanggung jawabkan perhitungan jumlah Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya
terutang.
b. Melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran.
30
c. Melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan dan atau
melalui pihak lain dalam satu masa pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan
dengan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
3. Fungsi SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) bagi pemotong atau pemungut pajak :
Fungsi SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) ini adalah sebagai sarana melapor dan
mempertanggung jawabkan pajak yang dipotong atau disetor.
II.5.3 Prosedur Penyelesaian SPT
1. Wajib pajak harus mengambil sendiri blanko SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) pada
kantor Pelayanan Pajak setempat dengan menunjukan NPWP.
2. SPT harus diisi dengan benar, jelas, dan lengkap sesuai dengan petunjuk yang
diberikan. Pengisian formulir SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) yang tidak benar
mengakibatkan pajak yang terutang kurang bayar dan akan dikenakan sanksi
perpajakan.
3. SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) diserahkan kembali ke Kantor Pelayanan Pajak
yang bersangkuan dalam batas waktu yang ditentukan, dan akan diberikan tanda
terima dalam batas waktu yang ditentukan, dan akan diberikan tanda terima
tertanggal. Apabila SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) dikirim melalui Kantor Pos
harus dilakukan secara tercatat, dan tanda bukti serta tanggal pengiriman dianggap
sebagai tanda bukti dan tanggal pengiriman.
4. Bukti-bukti yang harus dilampirkan pada SPT (Surat Pemberitahuan Pajak), anatar
lain:
31
a. Untuk wajib pajak yang mengadakan pembukuan yaitu laporan keuangan berupa
neraca dan laporan rugi laba serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan
untuk menghitunng besarnya penghasilan kena pajak.
b. Untuk SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) masa PPN sekurang-kurangnya memuat
jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan, jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
c. Wajib pajak yang menggunakan norma perhitungan yaitu perhitungan jumlah
peredaran yang terjadi dalam tahun pajak yang bersangkutan.
II.5.4 Pembetulan SPT
Apabila diketahui terdapat kesalahan pada SPT (Surat Pemberitahuan Pajak), wajib
pajak dapat melakukan pembetulan SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) atas keamauan
sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 tahun sesudah
saat tertuang pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak
dengan syarat sebagai berikut:
1. Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksan. Pembentulan SPT
(Surat Pemberitahuan Pajak) tersebut berakibat utang pajak menjadi lebih besar,
maka dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % sebulan atas jumlah
pajak yang kurang bayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT (Surat
Pemberitahuan Pajak) berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena
pembetulan SPT (Surat Pemberitahuan Pajak).
2. Telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sebelum dilakukan tindakan
penyidikan. Selanjutnya, wajib pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan
ketidak benaran perbuatan dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran
32
jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda
sebesar dua kali jumlah pajak yang kurang bayar.
II.5.5 Jenis-Jenis SPT
1. SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) masa, adalah surat yang oleh wajib pajak
digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak terutang
dalam sauatu masa pajak atau pada suatu saat.
2. SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) Tahunan, adalah surat yang oleh wajib pajak
digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang
dalam suatu tahun pajak.
II.5.6 Batas Waktu Penyampaian SPT
1. SPT Masa
Tabel II.3 Batas Waktu Penyampaian SPT Masa
NO JENIS PAJAK PENYAMPAIAN PAJAK BATAS WAKTU 1 PPh Pasal 21 Pemotongan PPh pasal 21 Paling lambat 20 hari
setelah Masa Pajak Berakhir
2 PPh Pasal 22 Impor
Bea Cukai Paling lambat 14 hari setelah Masa Pajak Berakhir
3 PPh Pasal 22 Bendaharawan
Bendaharawan Pemerintah Paling lambat 14 hari setelah Masa Pajak Berakhir
4 PPh Pasal 22 oleh Ditjen Bea Cukai (DJBC)
Pemungut Pajak (DJBC) Secara Mingguan Paling lambat 7 hari setelah batas waktu pajak berakhir
5 PPh Pasal 22 Pihak yang melakukan penyerahan
Paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak Berakhir
6 PPh Pasal 22 Badan Tertentu
Pihak yang melakukan penyerahan
Paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak Berakhir
7 PPh Pasal 23 Pemotongan PPh Pasal 23 Paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak Berakhir
33
8 PPh Pasal 25 Wajib pajak yang mempunyai NPWP
Paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak Berakhir
9 PPh Pasal 26 Pemotongan PPh Pasal 26 Paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak Berakhir
10 PPN dan PPnBM
Pengusaha kena Pajak Paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak Berakhir
11 PPN dan PPnBM DJBC
Bea Cukai Paling lambat 7 hari setelah Masa Pajak Berakhir
12 PPN dan PPnBM
Pemungut Pajak Selain Bendaharawan
Paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak Berakhir
Sumber : ORTax. (2010). Susunan Dalam Satu Naskah 9 (Sembilan) Undang-undang
Perpajakan.Jakarta : Penerbit PT Integral Data Prima
Wajib pajak yang melakukan pembukuan, SPT tahunan PPh harus dilengkapi dengan
laporan keuangan berupa Neraca dan Perhitungan Laba Rugi serta keterangan lain yang
digunakan sebagai dasar menghitung Pengahsilan Kena Pajak.
2. SPT Tahunan
Tabel II.4 SPT Tahunan
NO JENIS PAJAK PENYAMPAIAN PAJAK BATAS WAKTU 1 SPT tahunan PPh
orang pribadi (1770) Wajib pajak yang mempunyai NPWP
Selambatnya 3 bulan setelah tahun pajak berakhir
2 SPT tahunan PPh orang Pribadi (1770 s) yang tidak melakukan kegiatan usaha pekerjaan bebas
Wajib pajak yang mempunyai NPWP
Selambatnya 3 bulan setelah tahun pajak berakhir
3 SPT Tahunan PPh Badan (1771)
Wajib pajak yang mempunyai NPWP
Selambatnya 3 bulan setelah tahun pajak berakhir
4 SPT tahunan PPh Pasal 21 (1721)
Pemotong PPh Pasal 21 Selambatnya 3 bulan setelah tahun pajak berakhir
34
Sumber : ORTax. (2010). Susunan Dalam Satu Naskah 9 (Sembilan) Undang-undang
Perpajakan.Jakarta : Penerbit PT Integral Data Prima
II.5.7 Perpanjangan Batas Waktu Penyampaian SPT
Sekalipun batas waktu penyampaian SPT telah ditetapkan, tetapi Wajib Pajak
dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT tahunan dengan mengajukan
surat permohonan perpanjangan batas waktu penyampaian SPT tahunan kepada Direktur
Jenderal Pajak dengan disertai:
1. Alasan-alasan penundaan penyampaian SPT Tahunan
2. Surat pernyataan perhitungan sementara pajak yang terutang dalam satu tahun
pajak
3. Bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang menurut
perhitungan sementara tersebut
Apabila permohonan wajib pajak tersebut disetujui untuk paling lama 6 bulan dan
ternyata perhitungan sementara pajak selama 1 tahun yang terutang kurang dari jumlah
pajak yang sebenarnya terutang, atas kekurangan pembayaran tersebut dikenakan bunga
sebesar 2% sebulan yang dihitung dari batas waktu selambat-lambatnya kewajiban
menyampaikan SPT Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran.
II.6 JAMSOSTEK
II.6.1 Pengertian JAMSOSTEK
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja merupakan program perlindungan yang
bersifat dasar bagi tenaga kerja yang bertujuan untuk menjamin adanya keamanan dan
kepastian terhadap risiko-risiko sosial ekonomi, dan merupakan sarana penjamin arus
35
penerimaan penghasilan bagi tenaga kerja dan keluarganya akibat dari terjadinya risiko-
risiko sosial dengan pembiayaan yang terjangkau oleh pengusaha dan tenaga kerja.
Risiko sosial ekonomi yang ditanggulangi oleh program tersebut terbatas saat terjadi
peristiwa kecelakaan, sakit, hamil, bersalin, cacat, hari tua dan meninggal dunia, yang
mengakibatkan berkurangnya atau terputusnya penghasilan tenaga kerja dan/ atau
membutuhkan perawatan medis Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial ini
menggunakan mekanisme asuransi sosial.
II.6.2 Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)
1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
2. Jaminan Kematian (JK)
3. Jaminan Hari Tua (JHT)
4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)
Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja paling sedikit 10 (sepuluh) orang
tenaga kerja atau membayar upah kepada seluruh tenaga kerjanya paling sedikit
Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) sebulan, wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya
dalam program jaminan social tenaga kerja.
Jenis Jaminan Program Jamsostek
1. Jaminan berupa uang yang meliputi :
a. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
b. Jaminan Kematian (JK)
c. Jaminan Hari Tua (JHT)
36
2. Jaminan berupa pelayanan, yaitu Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK).
Bagi perusahaan yang telah menyelenggarakan sendiri program pemeliharaan
kesehatan bagi tenaga kerjanya dengan manfaat lebih baik disbanding paket
pemeliharaan kesehatan jaminan sosial tenaga kerja, tidak diwajibkan lagi mengikuti
program jaminan pemeliharaan kesehatan ini.
II.6.3 Premi Jamsostek
1. JKK, dibedakan berdasarkan pengelompokan jenis usaha, Jasa Konstruksi
masuk Kelompok V, iuran/premi = 1,74 % dari Upah/Gaji sebulan.
2. JK, iuran/premi sebesar = 0,30 % dari Upah/Gaji sebulan.
3. JHT, iuran premi sebesar = 5,70 % dari Upah/Gaji sebulan, dengan perincian, 2
% ditanggung oleh Tenaga Kerja, dan 3,70 % di tanggung oleh
Perusahaan (Pemberi Kerja)
4. JPK, 6 % dari Upah/Gaji sebulan (pegawai yg sdh berkeluarga), 3 % dari
Upah/Gaji sebulan (pegawai yg belum berkeluarga)
II.6.4 Hak dan Kewajiban Peserta Jamsostek (Perusahaan & Tenaga Kerja).
1. Hak Pengusaha / Perusahaan.
a. Menerima Sertifikat/tanda bukti telah menjadi peserta Jamsostek.
b. Menerima bukti penerimaan iuran sebagai bukti pembeyaran iuran.
c. Menerima pelayanan yang terbaik dari PT Jamsostek.
d. Menerima kembali biaya yang telah dikeluarkan terlebih dahulu dalam kasus
kecelakaam kerja (reimbursement).
37
2. Kewajiban Pengusaha/ Perusahaan
a. Mendaftarkan seluruh tenaga kerjanya dalap program Jamsostek sesuai
ketentuan perundangan.
b. Melaporkan dengan benar data tentang tenaga kerja maupun upah serta
perubahab jenis usaha.
c. Melaksanakan pembayaran iuran bulanan tepat waktu (paling lambat tanggal 15
bulan berikutnya) dan besarnya iuran sesuai dengan jumlahyang dibayarkan
setiap bulan.
d. Mencatat setiap penambahan dan pengurangan tenaga kerja serta perubagan
upah dan melaporkan ke PT Jamsosek setiap bulan.
e. Perusahaan wajib melaporkan pula perubahan mengenai;
1. Alamat perusahaan,
2. Kepemilikan perusahaan,
3. Jenis/ bidang bidang usaha
4. Jumlah tenaga kerja dan keluarga
5. Besarnya upah setiap tenaga kerja
3. Hak Tenaga Kerja.
a. Menerima Kartu Jamsostek
b. Menerima jaminan dan santunan (berupa Uang dan Pelayanan)
4. Kewajiban Tenaga Kerja.
a. Memberikan data pribadi dengan jelas dan benar pada saat didaftarkan.
b. Bagi yang sdh menjadi Peserta, bila pindah pekerjaan harus melaporkan
nomor peserta Jamsosteknya kepada Perusahaan yang baru.