bab 2 landasan teori -...
TRANSCRIPT
7
BAB 2
Landasan Teori
2.1. Pengertian Sistem Informasi
2.1.1. Pengertian Sistem Informasi
Menurut O’Brien dan Marakas (2008,p.4), sebuah sistem informasi bisa
merupakan kombinasi dari orang-orang, hardware, software, jaringan komunikasi,
dan sumber-sumber data yang disimpan, diperoleh, dirubah dan dihilangkan di dalam
suatu organisasi. Orang-orang yang sudah bergantung pada sistem informasi untuk
berkomunikasi dengan orang lain, dengan menggunakan berbagai macam hardware,
software, jaringan, dan sumber-sumber data.
Menurut Laudon (2010 p.46) sistem informasi adalah suatu komponen yang
saling berhubungan yang bekerja sama untuk mengumpulkan, memproses,
menyimpan, dan menghilangkan informasi untuk mendukung pengambilan
keputusan, koordinasi, pengontrolan, analisis dan visualisasi dalam suatu perusahaan.
Sedangkan Martin (2004, p.355 ), mendefinisikan Sistem informasi sebagai
koleksi yang besar dari teknologi informasi, prosedur, dan tanggung jawab dari
perorangan untuk mendapat, menggerakkan, mengelola dan mendistribusikan data
dan informasi.
Menurut Connolly dan Begg (2005, p.282) sistem informasi adalah sumber
daya yang memungkinkan pengumpulan, pengaturan, pengendalian dan peyebaran
informasi ke seluruh organisasi.
Dari beberapa definisi Sistem Informasi diatas, dapat disimpulkan bahwa
sistem informasi adalah rangkaian dari beberapa komponen penting seperti
hardware, software, jaringan komunikasi, sumber-sumber data, teknologi informasi,
prosedur dan tanggung jawab perorangan yang bekerja sama untuk mengumpulkan,
memproses, menyimpan dan menghilangkan informasi guna mendukung
pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah serta mengelola dan
mendistribusikan data dan informasi yang penting.
Aktifitas dasar dari Sistem Informasi menurut Laudon (2010, p46-47) adalah
sebagai berikut:
1. Input
8
Melibatkan penangkapan atau pengumpulan data mentah dari dalam organisasi
atau dari lingkungan eksternal untuk pengolahan dalam suatu sistem informasi.
2. Process
Melibatkan proses mengkonversi input mentah ke bentuk yang lebih bermakna.
3. Output
Mentransfer informasi kepada orang yang akan menggunakannya atau kepada
aktivitas yang akan digunakan.
4. Feedback
Output yang dikembalinkan ke anggota organisasi yang sesuai untuk kemudian
membantu mengevaluasi atau mengoreksi tahap input.
2.2. Pengertian analisis dan Perancangan Sistem
2.2.1. Pengertian Analisis Sistem
Menurut Laudon ( 2010, p.515 ), Analisis sistem terdiri dari mendefinisikan
maslaah, mengidentifikasi penyebabnya, menentukan solusi dan mengidentifikasi
kebutuhan informasi yang harus memenuhi dengan solusi sistem.
Analisis sistem adalah suatu teknik pemecahan masalah yang mengurai
sistem menjadi potongan-potongan komponen untuk tujuan mempelajari seberapa
baik bagian-bagian komponen bekerja dan berinteraksi untuk mencapai tujuan
mereka (Whitten et al., 2007, p160).
Dari beberapa pengertian diatas, dapat dismpulkan bahwa Analisis sistem
adalah teknik pemecahan masalah yang terdiri dari mendefinisikan masalah,
mengidentifikasi penyebabnya, menentukan solusi dan mengidentifikasi kebutuhan
informasi yang memenuhi kebutuhan sistem.
2.2.2. Pengertian Perancangan Sistem
Perancangan sistem adalah teknik pemecahan masalah komplementer (untuk
analisis sistem) yang mengumpulkan kembali potongan komponen sistem ke dalam
sistem yang lengkap yang sudah ditingkatkan. Ini mungkin melibatkan
menambahkan, menghapus, dan mengubah potongan relatif terhadap sistem yang asli
(Whitten et al., 2007, p160).
Menurut Laudon (2010, p.517), Perancangan sistem merupakan keseluruhan
rencana atau model untuk sistem yang terdiri dari semua spesifikasi sistem yang
memberikan bentuk dan struktur.
9
Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian
perancangan sistem adalah teknik pemecahan masalah komplementer yang
merupakan keseluruhan rencana atau model untuk sistem dengan menumpulkan
kembali potongan komponen sistem ke dalam sistem yang lengkap yang sudah
ditingkatkan yang memberikan bentuk dan struktur.
2.3. OOAD
Karena pendekatan object-oriented memandang sebuah sistem informasi
sebagai kumpulan interaksi objek yang bekerja sama untuk menyelesaikan tugas,
object-oriented analysis (OOA) mendefinisikan semua jenis objek yang diperlukan
user untuk bekerja dan memperlihatkan interaksi apa yanguserdiperlukan untuk
menyelesaikan tugas.Object-oriented design (OOD) mendefinisikan semua jenis
objek tambahan yang diperlukan untuk berkomunikasi dengan orang dan perangkat-
perangkat sistem, menunjukkan bagaimana objek berinteraksi untuk menyelesaikan
tugas (Satzinger, 2005, p60).
2.3.1. Unified Modelling Language
Unified Modelling Language (Satzinger, 2005, p48) adalah kumpulan
patokan suatu gagasan-gagasan dan notasi-notasi yang dikembangkan secara spesifik
untuk pengembangan berbasis objek.
Pendekatan object-oriented membutuhkan model yang saling terkait untuk
menciptakan satu set spesifikasi lengkap. Beberapa model tersebut diperlukan untuk
menentukan kebutuhan (requirement) dan mendesain (design). Unified Modelling
Language menyediakan diagram standar untuk model-model yang dapat digunakan
dalam pendekatan object-oriented.
Beberapa UML diagram yang dapat digunakan dalam pengembangan sistem
antara lain: use case diagram, class diagram, sequence diagram, communication
diagram, state chart diagram, dan package diagram. Beberapa tambahan model juga
digunakan namun bukan merupakan UML diagram, seperti event tables dan use case
description.
2.3.2. Rich Picture
Rich Picture menurut Mathiassen et al.(2000, p26), merupakan gambaran
informal mengenai situasi yang digambarkan secara ilustrasi. Rich picture memiliki
fokus pada aspek-aspek penting dari situasi yang digambarkan. Dalam
10
menggambarkan rich picture, awalnya kita perlu menggambarkan seluruh entitas
yang penting, seperti: objek-objek, organisasi, peran maupun tugas.
2.3.3. Requirements Definitions
(Satzinger, 2005, p212) Untuk menentukan kebutuhan sistem, analis
menggunakan sekumpulan model berdasarkan use cases dengan pendekatan object-
oriented. Empat model tersebut – use case diagrams, use case description, activity
diagrams, dan system sequence diagram, yang digunakan untuk menggambarkan
sistem use case dari berbagai sudut pandang. Model lain yang diidentifikasi adalah
statechart diagram. Statechart diagram bukanlah pengendali use case tetapi
pengendali objek.
Gambar 2.1Requirement diagrams dengan model-model UML
Sumber : satzinger (2005, p 213)
2.3.3.1. Use Case Diagram
Use case diagram menurut Satzinger (2005, p213), adalah diagram yang
menunjukkan macam-macam peranan user dan cara user berinteraksi dengan sistem.
Use case diagram(Satzinger, 2005, p213) berfungsi sebagai semacam tabel
isi untuk kegiatan kegiatan bisnis yang perlu didukung oleh sistem. Usecase diagram
ini digunakan untuk mengidentifikasi bagaimana sistem digunakan dan actor yang
akan terlibat dalam use case. Use case diagram merupakan cara termudah untuk
mendokumentasikan peristiwa sistem.
11
Gambar 2.2Use case diagram
Sumber : satzinger (2005, p 215-216)
Use case diagram juga dapat diturunkan secara langsung dari event table,
dari kolom berjudul "usecase". Event tabel terdiri dari baris dan kolom yang
mewakili event-event dan detailnya masing-masing. Setiap baris dalam event table
mencatat informasi mengenai satu event dan usecase nya. Sedangkan setiap kolom
dalam event table mewakili bagian penting dari informasi mengenai event dan
usecase.
Trigger adalah sinyal yang memberitahu sistem di mana suatu event telah
terjadi, yang perlu diproses bila datanya datang. Source adalah seorang agent
eksternal yang menyediakan data ke sistem. Response adalah sebuah output yang
dihasilkan oleh sistem yang ditujukan ke tujuan akhir (destination). Destination
adalah seorang agent yang menerima data dari sistem.
Tabel 2.1Event Table
Sumber : satzinger (2005, p 176-177)
Event Trigger Source Use
case
Response Destination
12
2.3.3.2. Use Case Description
(Satzinger, 2005, p220) Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, membuat use
case diagram hanya satu bagian dari analisis use case. Use case diagram membantu
mengidentifikasi berbagai proses yang dilakukan user dan yang didukung sistem.
Untuk menciptakan sistem yang menyeluruh, yang kuat, yang benar-benar dapat
memenuhi kebutuhan pengguna, kita harus dapat memahami semua detail langkah-
langkahnya. Maka dalam pengembangan sistem diharuskan untuk membuat deskripsi
lebih rinci.
Dalam use case description, ini memberikan informasi penting mengenai
keadaan sistem sebelum dan sesudah mengeksekusi use case, disebut precondition
dan postconditions. Precondition menyatakan kondisi apa yang harus benar sebelum
memulai suatu use case. Dengan kata lain, precondition mengidentifikasi keadaan
sistem sebelum memulai use case, termasuk objek apa yang harus sudah ada,
informasi apa yang harus tersedia dan bahkan kondisi actor harus seperti apa
sebelum memulai use case. Sedangkan postcondition mengidentifikasi apa yang
harus benar setelah selesainya use case. Item yang sama yang digunakan untuk
menggambarkan kondisi awal yang harus dimasukkan dalam keterangan
postconditions.
Tabel 2.2Use case Description example
Sumber : satzinger (2005, p 223)
Use Case Name Create new order
Triggering Events Create new telephone order
Brief Description Customer telephones MO to purchases items from the catalog
Actors Telephone sales clerk
Related Use Case Includes: Check item availability
Stakeholders
Sales departement: to provide primary definition Shipping departement: to verify that information contents is adequate for fulfillment Marketing departement: to collect customer statitstics for studies of buying patterns
Preconditions
Customer must exist Catalog, Products, and Inventory items must exist for studies of buying patterns
Postconditions Order and order line items must be created
13
Order transaction must be created for the order payment Inventory items must have the quantity on hand updated The order must be related (associated) to a customer
Flow of events
Actor System 1. Sales clerk answers
telephone and connct to a customer
2. Clerk verifies customer information.
3. Clerk initiates the creation of a new order
4. Customer requests an item be added to the order
5. Clerk verifies the item (Check item availability use case)
6. Clerk adds item to the order
7. Repeat steps 4, 5, 6 until all items are added to the order
8. Customer indicates end of order; clerk enters end of order
9. Customer submits payment; clerk enters amount
3.1 Create a new order 5.1 Display item
information. 6.1 Add an order item 8.1 Complete order 8.2 Compute totals 9.1 Verify Payment 9.2 Create order
Transaction 9.3 Finalize order
Exception Conditions
2.1 If customer does not exist, then the clerk pauses this use case and invokes Maintain customer information use case
2.2 if customer has a credit hold, then clerk transfers the customer to a customer service representative
4.1 If an item is not in stock, then customer can a. Choose not to purchase item, or b. Request item be added as back-ordered item
9.1 If customer payment is rejected due to bad-credit verification, then a. order is canceled, or b. order is put on hold until check is received
14
2.3.3.3. Activity Diagram
Activity diagram menurut Satzinger (2005, p144), adalah jenis diagram alur
kerja yang menggambarkan aktivitas user dan urutan alurnya.
(Satzinger, 2005, p226) Cara lain untuk mendokumentasikan skenario use
case adalah dengan activity diagram. Activity diagram merupakan diagram yang
mudah dipahami yang digunakan untuk mendokumentasikan alur kerja proses bisnis.
Analis juga menggunakan activity diagram untuk mendokumentasikan aliran
kegiatan untuk setiap skenario use case. Manfaat dalam membuat activity diagram
adalah activity diagram lebih visual sehingga dapat membantu baik pengguna dan
pengembang karena mereka bekerja sama untuk sepenuhnya membuat dokumen
usecase.
Untuk mendokumentasikan alur kerja (workflow) proses bisnis diperlukan
penggunaan diagram. Workflow diagram atau sering disebut sebagai activity
diagram merupakan sebuah diagram alur kerja yang menjelaskan berbagai user (atau
sistem) dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan secara berurutan. Pada gambar 2.3
merupakan simbol-simbol dasar yang digunakan pada activity diagram.
Swimlane merupakan individu yang melakukan kegiatan. Activity mewakili
kegiatan individu dalam sebuah alur kerja. Transaction arrow mewakili urutan di
antara kegiatan. Lingkaran hitam digunakan untuk menunjukkan awal dan akhir dari
alur kerja. Decision activity adalah titik keputusan di mana aliran proses tersebut
akan mengikuti satu jalan atau jalan lain.
15
Gambar 2.3 Simbol-simbol pada activity diagram
Sumber : satzinger (2005, p 145)
2.3.3.4. System Sequence Diagram
System Sequence Diagram menurut Satzinger (2005, p213), diagram yang
menunjukkan urutan pesan antara pelaku eksternal dengan sistem dalam skenario
usecase.
(Satzinger, 2005, p213) System Sequence Diagramdigunakan untuk
menentukan input dan output, dan urutan dari input dan output. SSD digunakan
bersama dengan deskripsi detail atau dengan activity diagram untuk menunjukkan
langkah-langkah proses dan interaksi antar actor dan sistem. Dalam sequence
diagram, informasi yang masuk dan keluar dari sistem disebut messages.
16
Gambar 2.4System Sequence Diagram (SSD)
Sumber : satzinger (2005, p 229)
2.3.3.5. Statechart Diagram
Statechart diagram menurut Satzinger (2005, p214), diagram yang
menunjukkan daur hidup suatu objek dalam state dan transition.
(Satzinger, 2005, p237) Terkadang penting untuk sistem komputer untuk
menyimpan informasi mengenai status objek problem domain saat ini. Kondisi dalam
statechart untuk objek problem domain ini mirip dengan kondisi status objek
tersebut. Statechart dapat dikembangkan untuk setiap kelas problem domain yang
memiliki perilaku kompleks atau kondisi status yang perlu dilacak. Tidak semua
kelas akan membutuhkan statechart. Jika objek di kelas problem domain tidak
memiliki kondisi status yang perlu dikontrol prosesnya yang diperbolehkan untuk
objek, statechart mungkin tidak diperlukan.
State dari sebuah objek adalah suatu kondisi yang terjadi selama hidupnya
ketika memenuhi beberapa kriteria, melakukan beberapa tindakan, atau menunggu
untuk sebuah event. Transition adalah pergerakan dari sebuah objek dari satu status
ke status yang lain. Ini adalah mekanisme yang mengakibatkan sebuah objek untuk
meninggalkan status dan mengubah ke status yang baru.
17
Gambar 2.5Statechart Diagram
Sumber : satzinger (2005, p 237)
2.3.3.6. Problem Domain Classes
Problem domain classes menurut Satzinger (2005, p29) adalah segala sesuatu
yang merupakan bagian lingkungan kerja user.
Problem domain(Satzinger, 2005, p183), terdiri dari“sesuatu” yang
berhubungan dengan pekerjaan user seperti produk,pesanan, invoices, dan
pelanggan, dan sesuatu yang menjadi bagian dari sistem seperti orang yang
memberikan informasi atau menerima informasi dari sistem.
Dalam pendekatan object-oriented untuk pengembangan sistem, “sesuatu”di
sini disebut sebagai problem domain classes. Kelas-kelas, hubungan antar kelas, dan
attributedari kelas dimodelkan menggunakan domain model class diagram. Domain
model class diagrammerupakan diagram UML yang menunjukkan hal-hal yang
penting dalam pekerjaan user: kelas-kelas problem domain, hubungan antar kelas
dan attributedari kelas. Pada class diagram, tabel menggambarkan kelas dan garis
yang menghubungkan tabel menggambarkan hubungan antar class.
18
Gambar 2.6 Notasi UML class diagram
Sumber : satzinger (2005, p 185-186)
Multiplicity
Berbagai notasi dibawah ini menggambarkan association yang terjadi antar
class.
Gambar 2.7 Multiplicity hubungan
Sumber : satzinger (2005, p 186)
Hierarchy
Beberapa struktur atau hirarki yang terdapat dalam class diagram.
1. Generalization: memungkinkan subclasses untuk berbagi karakteristik
dengan superclass mereka.
2. Aggregation: menjelaskan adanya hubungan bagian-dari antar objek namun
setiap bagiannya dapat berdiri sendiri.
19
Composition: menjelaskan adanya hubungan bagian-dari antar objek yang
lebih kuat, dimana setiap bagian saling terkait dan tidak dapat berdiri sendiri.
2.3.4. Object Oriented Design
Object oriented design(Satzinger, 2005, p294)adalah proses dimana
serangkaian model object oriented design dibangun, kemudian programmer akan
menggunakannya untuk menulis kode dan menguji sistem baru. Desain sistem adalah
penghubung utama antara kebutuhan pengguna dan pemrograman untuk sistem baru.
2.3.4.1. Deployment Environment
Deployment environment (Satzinger, 2005, p270) terdiri dari perangkat keras,
sistem software, dan lingkungan jaringan di mana sistem akan beroperasi.
1. Single-computer architecture: arsitektur yang menggunakan satu sistem
komputer untuk menjalankan semua aplikasi software.
2. Multitier architecture: arsitektur yang mendistribusikan aplikasi softwarenya
atau melakukan pemrosesannya di beberapa sistem komputer. Multitier
architecture menggunakan beberapa sistem komputer dengan upaya kerja
sama untuk memenuhi kebutuhan pemrosesan informasi. Multitier
architecture dapat dibagi lagi menjadi dua jenis:
a. Clustered architecture:sekelompok komputer yang memiliki spesifikasi
yang sama dan bertindak sebagai sistem komputer tunggal yang besar.
b. Multicomputer architecture:sekelompok komputer yang memiliki
spesifikasi yang berbeda.
3. Centralized architecture: arsitektur yang menempatkan semua sumber daya
komputasi dalam satu lokasi pusat.
4. Distributed architecture: arsitektur yang menyebarkan sumber daya
komputernya di beberapa lokasi yang dihubungkan dengan sebuah jaringan
komputer.
2.3.4.2. Software Architecture
(Satzinger, 2005, p276) Banyaknya hardware dan arsitektur jaringan yang
kompleks membutuhkan software architecture yang kompleks pula.
Client/server architecture adalah model umum software dan tingkah laku
organisasi yang dapat diimplementasikan dalam berbagai cara. Client adalah sebuah
proses, modul, objek, atau komputer yang meminta layanan dari satu server atau
20
lebih. Server adalah sebuah proses, modul, objek, atau komputer yang menyediakan
layanan dalam jaringan.
Three layer architecture adalah client/server architecture yang memisahkan
aplikasi ke dalam viewlayer, business logic layer, dan data layer. Aplikasi dan
database berada dalam server yang berbeda.
2.3.4.3. Design Class Diagram
Design class diagram (Satzinger, 2005, p302) adalah perluasan dari domain
model class diagram yang dikembangkan pada OO requirements. Domain model
class diagram memperlihatkan kumpulan kelas-kelas problem domain dan hubungan
antar kelas masing-masing. Dalam proses menentukan kebutuhan (requirements),
analis biasanya tidak terlalu kuatir mengenai detail dari attributeclass atau
methodnya. Karena dalam object oriented programming, attributeclass harus
dideklarasikan sebagai public atau private dan setiap attribute juga harus
didefinisikan tipenya, seperti numeric atau character. Namun selama proses
mendesain (design), penting untuk menguraikan detailnya, seperti halnya
mendefinisikan parameter yang diberikan ke method dan mengembalikan nilai dari
method. Jadi design class diagram adalah versi detail dari domain model class
diagram.
Gambar 2.8DesignClassDiagram dengan Attribute dan Method
Sumber : satzinger (2005, p 305)
2.3.4.4. Sequence Diagram
Sequence diagram (Satzinger, \2005, p316) digunakan untuk menerangkan
interaksi objek dan dokumen. Detail sequence diagram menggunakan semua elemen
yang sama seperti SSD. Perbedaannya, objek :System diganti dengan semua internal
objek dan message di dalam sistem.
21
Gambar 2.9 Notasi dalam Sequence Diagram
Sumber : satzinger (2005, p 315)
2.3.4.5. Communication Diagram
(Satzinger, 2005, p334) Communication diagram dan sequence diagram
keduanya menangkap informasi yang sama. Dalam proses mendesain sama saja
menggunakan communication diagram atau sequence diagram. Communication
diagram berguna untuk menunjukkan pandangan berbeda dari use case- yang
menekankan pada penghubung.
Untuk actor, objek dan message dalam communication diagram
menggunakan simbol yang sama yang terdapat dalam sequence diagram. Lifeline dan
simbol activation lifeline tidak digunakan. Akan tetapi simbol yang berbeda adalah
simbol link yang digunakan. Links merupakan notasi pada communication diagram
yang membawa pesan antara objek atau antara actor dan objek.
22
Gambar 2.10 Notasi pada Communication Diagram
Sumber : satzinger (2005, p 335)
2.3.4.6. Package Diagram
(Satzinger, 2005, p339-341) Package diagram dalam UML adalah diagram
terakhir yang paling mudah, yang memperbolehkan designer menghubungkan class-
class yang saling berhubungan. Bagian package diagram diilustrasikan tiga layar
desain, yang mana meliputi view layer, domain layer dan data access layer.
Notasi package adalah tab persegi panjang. Nama package biasanya
ditampilkan di tab. Package diagram digunakan untuk menunjukkan komponen-
komponen yang saling terkait dan saling tergantung. Packagediagram digunakan
untuk menghubungkan kelas atau komponen dengan sistem lainnya seperti node
jaringan.
23
Gambar 2.11 Notasi pada Package Diagram
Sumber : satzinger (2005, p 341)
2.3.4.7. User Interface
User interface (Satzinger, 2005, p442)Bagian sistem informasi yang
membutuhkan interaksi user untuk menghasilkan input dan output.
User interface melibatkan input dan output yang secara langsung melibatkan
pengguna sistem. User Interface memungkinkan pengguna untuk berinteraksi dengan
komputer untuk mencatat transaksi. Kadang-kadang output dihasilkan setelah
interaksi dari pengguna, seperti informasi akan ditampilkan setelah permintaan
pengguna mengenai status pesanan. Dalam sistem berbasis web, pelanggan dapat
berinteraksi langsung dengan sistem untuk meminta informasi, memesan, atau
melihat status pesanan.
2.4. E-Business
2.4.1. Pengertian E-Business
Pengertian e-business secara umum menurut Chaffey ( 2009, p.13 ) adalah
proses pertukaran informasi secara elektronik, baik antara internal perusahaan dan
dengan para stakeholder yang menunjang jangkauan bisnis proses-bisnis prosesnya.
Menurut Turban ( 2006, p.4 ), e-business merupakan konsep yang lebih luas
dari e-commerce yang mencakup tidak hanya kegiatan pembelian dan penjualan dari
24
barang dan jasa tetapi juga termasuk bagaimana pelayanan terhadap pelanggan,
bekerja sama dengan partner bisnis dan melakukan kegiatan transaksi elektronik
dalam organisasi.
Sedangkan menurut Kotler and Amstrong ( 2004, p.74 ), e-business
merupakan penggunaan peralatan elektronik, intranet, dan internet untuk
mengadakan kegiatan bisnis perusahaan.
Menurut O`Brien ( 2005, p.314 ), e-business adalah penggunaan internet
,jaringan dan teknologi informasi lainnya untuk mendukung kegiatan e-commerce,
komunikasi dan kerja sama bagi perusahaan, dan mendukung berbagai proses yang
dijalankan melalui website, baik dalam jaringan perusahaan maupun dengan para
pelanggan serta mitra bisnis lainnya.
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa e-business adalah proses melakukan
aktivitas bisnis yang mencakup kegiatan pembelian dan penjualan dari barang dan
jasa tetapi juga termasuk bagaimana pelayanan terhadap pelanggan, bekerja sama
dengan partner bisnis dan melakukan kegiatan transaksi elektronik dengan bantuan
internet dan jaringan teknologi informasi lainnya.
2.4.2. Model Business to Business ( B2B )
B2B (Turban, 2004, p217) adalah transaksi yang dijalankan secara elektronik
antara bisnis melalui internet, ekstranet, intranet, atau jaringan pribadi. Transaksi ini
dapat terjadi antara bisnis dengan bisnis yang lainnya. Bisnis tersebut merujuk pada
organisasi, umum, atau swasta, profit atau non-profit.
Karakteristik umum dari B2B (Turban, 2004, p218)dapat digambarkan
dengan berbagai cara, tergantung pada jenis karakteristik yang difokuskan. Berikut
beberapa kualitas yang dapat dikarakteristikkan sebagai transaksi B2B
1. Pihak-pihak yang terlibat terhadap transaksi
B2B dapat berlangsung hanya antara pembeli dan penjual atau bisa juga
melalui perantara online. Perantara adalah pihak ketiga maya yang berdagang
diantara pembeli dan penjual; dapat berupa perantara virtual atau perantara
click-and-mortar.
2. Jenis Transaksi
Transaksi B2B ada dua jenis dasar: spot buying dan strategic sourcing.
Spotbuying mengacu pada pembelian produk dan jasa pada saat dibutuhkan,
biasanya berlaku harga pasar, yang ditentukan secara dinamis oleh
25
permintaan dan persediaan. Pembeli dan penjual bisa saja tidak saling
mengenal. Pertukaran saham dan komoditas adalah contoh spot buying.
Sedangkan strategic sourcing melibatkan pembelian kontrak jangka panjang
yang biasanya didasarkan pada negosiasi tertutup antara pembeli dan penjual.
3. Jenis Barang
Dua jenis barang dan persediaan yang didagangkan di B2B: direct dan
indirect. Direct materials adalah barang yang digunakan untuk membuat
produk, seperti baja pada mobil, atau kertas pada buku. Karakteristik direct
material yaitu digunakan secara berkala dan terencana. Biasanya dibeli dalam
jumlah besar setelah negosiasi dan kontrak
Indirect material adalah barang seperti kebutuhan kantor atau lampu pijar,
yang mendukung produksi. Biasanya digunakan untuk aktivitas
pemeliharaan, perbaikan dan operasi.
4. Arah Perdagangan
Pasar B2B dapat diklasifikasikan juga menjadi pasar vertikal, dan pasar
horizontal. Pasar vertikal berkait pada satu industri atau segmen industri.
Contohnya pasar elektronik, otomotif, logam atau kimia. Pasar horizontal
berkait pada layanan atau produk yang digunakan diseluruh jenis industri.
Contohnya kebutuhan kantor, komputer atau layanan perjalanan
Model dasar transaksi B2B (Turban, 2004, p219-220), didasarkan pada
jumlah pembeli dan penjualnya, adalah:
1. One-to-many dan many-to-one
Pada jenis ini, satu perusahaan melakukan baik membeli maupun menjual.
Karena e-commerce terfokus pada kebutuhan satu perusahaan pembeli atau
penjual pada transaksi-traksaksi ini, yang disebut company-centric EC.
Pada company-centric EC individu penjual maupun pembeli punya hak
mengontrol pihak yang dapat berpartisipasi untuk membeli atau menjual serta
sistem informasi pendukungnya. Maka transaksi-transaksi ini sangat pribadi.
Oleh karena itu, pasar pembeli dan penjual dikategorikan sebagai private e-
marketplaces
Perantara. Banyak company-centric market berlangsung tanpa bantuan
perantara. Walau begitu, ketika mengarah kepada lelang atau untuk
mengumpulkan pembeli-pembeli kecil, pihak perantara sering kali dipakai.
2. Many-to-many: exchanges
26
Pada pasar many-to-many, banyak pembeli dan banak penjual bertemu secara
maya untuk saling berjualan. Ada jenis-jenis yang berbeda untuk jenis pasar
elektronik ini yang juga dikenal sebagai exchange, trading community, atau
trading exchange. Exchange biasanya dimiliki dan dijalankan oleh pihak
ketiga atau oleh kongsi. Exchange terbuka untuk seluruh pihak yang tertarik
(pembeli maupun penjual).
3. Collaborative commerce
Suatu bisnis berhubungan dengan bisnis lainnya untuk tujuan yang lebih
mendalam daripada membeli atau menjual. Satu contoh adalah collaborative
commerce, antara lain komunikasi, perancangan, perencanaan dan pembagian
informasi antara rekan bisnis. Untuk memasuki kategori collaborative
commerce, kegiatan transaksi yang terjadi harus menggambarkan hal yang
lebih daripada hanya transaksi finansial.
2.5. Procurement
2.5.1. Pengertian Procurement
Procurement merupakan pembelian barang dan jasa oleh perusahaan.
Procurement management (manajemen pembelian)adalah suatu koordinasi seluruh
aktivitas yang berhubungan dengan pembelian barang dan jasa yang dibutuhkan
untuk melaksanakan misi organisasi (Turban, 2004, p231)
Sedangkan Kalakota dan Robinson (2004, p56) menjelaskan bahwa
procurement mengacu pada semua aktivitas yang melibatkan proses mendapatkan
barang-barang dari supplier meliputi pembelian dan juga kegiatan logistik ke dalam
seperti transportasi, barang masuk dan penyimpanan di gudang sebelum barang
tersebut digunakan.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa procurement
tidak hanya merupakan aktivitas yang meliputi proses pembelian, kegiatan logistik
ke dalam seperti transportasi, barang masuk dan penyimpanan di gudang, tetapi juga
termasuk aktivitas pemilihan supplier, negosiasi harga, membangun strategi dengan
supplier dan evaluasi supplier.
Dalam penggunaan istilah purchasing dan procurement, sampai saat ini
masih seringtertukar. Dan untuk dapat memahami perbedaannya, terdapat pada
pelaksanaannya berbeda. Purchasing merupakan aktivitas pembelian barang atau
aktual material dan aktivitas lain yang berhubungan dengan proses pembelian.
27
Sedangkan procurement lebih mengarah pada proses dan strategik, jadi selain proses
mendapatkan barang, aktivitas lainnya antara lain pemilihan supplier, negosiasi
harga, membangun strategi dengan supplier dan evaluasi supplier.
2.5.2. Manajemen Pengadaan
Menurut Pujawan (2005, p9) fungsi pengadaan mencakup kegiatan-kegiatan
antara lain memilih pemasok, mengevaluasi kinerja pemasok, melakukan pembelian
bahan baku dan komponen, memonitor supply risk, membina dan memelihara
hubungan dengan supplier.
Berdasarkan pendapat Pujawan (2005, p139-141), secara umum tugas-tugas
yang dilakukan bagian pengadaan mencakup :
1. Merancang relationship yang tepat dengan supplier. Bagian pengadaan
bertugas untuk merencanakan kerjasama dengan supplier dan menetapkan
jumlah supplier yang harus diatur untuk setiap produk.
2. Memilih supplier. Dalam proses pemilihan supplier, ini melibatkan evaluasi
awal, undangan presentasi, kunjungan lapangan, dan sebagainya.
3. Memilih dan mengimplementasikan teknologi yang cocok. Bagian pengadaan
harus mampu memilih dan mengimplementasikan teknologi yang cocok
karena banyak aplikasi-aplikasi yang mendukung kegiatan pengadaan namun
memiliki spesifikasi dan kegunaan berbeda-beda.
4. Mengatur data barang dan data supplier yang dibutuhkan. Bagian pengadaan
harus memiliki data yang lengkap mengenai barang-barang maupun data
tentang supplier-suppliernya.
5. Melakukan proses pembelian. Kegiatan ini merupakan pekerjaan rutin bagi
bagian pengadaan.
6. Mengevaluasi kinerja supplier. Kegiatan ini penting untuk menciptakan daya
saing yang berkelanjutan. Hasil penilaian dari evaluasi ini untuk menentukan
peringkat supplier.
Manajemen Pengadaan merupakan koordinasi dari semua kegiatan yang
berhubungan dengan pembelian barang dan jasa yang dibutuhkan untuk mencapai
misi dari suatu organisasi ( Turban, 2006, p.209 ).
Jadi dapat disimpulkan bahwa manajemen pengadaan adalah kegiatan untuk
mendapatkan input, baik barang dan jasa yang dibutuhkan oleh perusahaan dari
28
pemasoknya untuk menjalankan proses bisnis perusahaan dan mencapai misi dari
perusahaan.
2.6. E-Procurement
2.6.1. Pengertian E-Procurement
E-procurement merupakan pengadaan barang dan jasa secara elektronik oleh
perusahaan (Turban, 2004, p.232). Menurut Chafey, e-procurement (electronic
procurement) yaitu “The electronic integration and management of all procurement
activities including purchase request, authorization, ordering, delivery and payment
between a purchaser and supplier.” Dengan kata lain e-procurement merupakan
integrasi dan manajemen elektronik terhadap semua aktivitas pengadaan termasuk
permintaan pembelian, pemberian hak, pemesanan, dan pengantaran serta
pembayaran antara pembeli dengan pemasok.
E-procurement adalah bentuk e-commerce untuk perantaraan produk dan jasa
atau digunakan untuk tendering produk dan jasa antara perusahaan dengan pemasok.
E-procurement merupakan aplikasi e-commerce untuk proses negosiasi dan
perjanjian (contracting).
2.6.2. Proses E-Procurement
Berikut ini adalah alur proses procurement yang digambarkan sebagai
berikut:
29
Gambar 2.12E-Procurement Process
Sumber: Turban (2004, p.233)
Dari gambar diatas, dapat dilihat bahwa proses e-procurement dalam
perusahaan dimulai dari pemilihan vendor dan produk yang akan dibeli hingga
proses pembayaran kepada pemasok.
2.6.3. Tujuan E-Procurement
Tujuan menggunakan sistem procurement ini pastinya akan menghasilkan
penghematan biaya paling besar dalam struktur biaya organisasi dan implementasi
dari e-procurement ini akan dapat mengurangi waktu proses pembelian secara
signifikan (Chaffey, 2007). E-procurement juga dapat mengurangi waktu staff yang
secara teratur dihabiskan untuk aktivitas pengadaan dan memberikan kesempatan
30
bagi staff untuk mempunyai lebih waktu mengerjakan aktivitas lain yang menambah
nilai.
Beberapa tujuan atau goal yang hendak dicapai melalui e-procurement
menurut Turban et al (2006, 209) adalah :
1. Meningkatkan produktivitas staf-staf pembelian, memberikan lebih banyak
waktu dan mengurangi tekanan pekerjaan kepada mereka.
2. Mengurangi harga pembelian melalui standarisasi produk, reserve auction,
diskon, dan gabungan pembelian.
3. Meningkatkan aliran informasi dan manajemen. Dalam informasi mengenai
supplier dan harga.
4. Meningkatkan proses pembayaran dan penghematan karena kelancaran
pembayaran.
5. Membangun hubungan kerja sama yang efisien.
6. Memastikan pengiriman tepat waktu.
7. Mengurangi waktu proses dan pemenuhan order melalui otomatisasi.
8. Membuat proses pembelian cepat dan sederhana
9. Mempersingkat rekonsiliasi invoice.
10. Mengurangi biaya pemrosesan administratif.
11. Menemukan supplier baru yang dapat menyediakan barang lebih cepat dan
murah.
12. Meminimalkan kesalahan manusia (human error) dalam proses pembelian
maupun pengiriman.
13. Memonitor perilaku pembelian.
2.6.4. Keuntungan E-Procurement
Menurut Tavi (2008), keuntungan dalam penerapan e-procurement salah
satunya adalah perlindungan bagi perusahaan terhadap tindakan penipuan. Dengan
adanya e-procurement yang memiliki tingkat keterbukaan dan kontrol yang baik,
dapat membantu perusahaan untuk mengurangi penipuan yang terjadi selama proses
pengadaan barang.
2.6.5. Jenis Aplikasi E-Procurement
Menurut Pujawan (2005, p163) terdapat beberapa jenis aplikasi e-
procurement yang masing-masing memiliki fitur yang berbeda. Jenis aktivitas yang
31
didukung oleh internet juga berbeda-beda. Secara umum ada beberapa jenis aplikasi
e-procurement yaitu:
1. E-Catalogue: dengan adanya internet, perusahaan dapat memiliki katalog
elektronik. Perusahaan mengumpulkan informasi supplier atau calon supplier
dengan segala produk maupun jasa yang dapat mereka sediakan. Biasanya, e-
catalogue dilengkapi dengan fitur pencarian (search) sehingga perusahaan
akan dengan mudah mendapatkan informasi tentang produk atau jasa yang
dibutuhkan.
2. E- Auction: merupakan aplikasi pendukung proses lelang. Lelang dilakukan
oleh pembeli dengan mengumpulkan calon-calon supplier. Namun
sebelumnya pembeli telah memberi pengumuman akan adanya tender
terhadap pengadaan suatu barang beserta dengan spesifikasi dan jumlah yang
dibutuhkan. Secara elektronik, calon supplier akan megajukan penawaran
harga dan selama proses lelang berlangsung mereka dapat melakukan revisi
atau perubahan harga penawarannya tersebut. Pada akhir periode, supplier
dengan penawaran harga terendah akan keluar sebagai pemenang.
3. B2B market exchange: aplikasi ini memungkinkan banyak pembeli dan
banyak penjual bertemu secara virtual. Biasanya aplikasi ini dimiliki oleh
pihak ketiga.
4. B2B private exchange: aplikasi ini bisa digunakan untuk membantu proses
transaksi rutin dengan supplier. Perusahaan dapat mengirim pemesanan via
elektronik, mengecek status pengiriman, melakukan transaksi pembayaran,
dan sebagainya. Selain itu, perusahaan bisa menggunakan aplikasi ini untuk
berbagi informasi tentang rencana produksi dan informasi lainnya dengan
supplier. Supplier juga dapat berbagi informasi mengenai ketersediaan stok
dan kapasitas produksi mereka.
2.7. Internet
2.7.1. Pengertian Internet
Dalam buku Kotler dan amstrong (2010, p528), dikatakan bahwa Internet
adalah web publik yang amat pesat dan dihubungkan oleh jaringan komputer, yang
menghubungkan berbagai tipe pengguna diseluruh dunia sehingga membentuk suatu
gudang informasi (information repository) yang amat besar.
32
Menurut Laudon (2010, p51), Internet adalah satu jaringan global yang
menggunakan standar umum untuk menghubugkan jutaan jaringan yang berbeda.
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Internet adalah
sebuah jaringan komputer global yang dapat menghubungkan berbagai tipe jaringan
pengguna yang berbeda diseluruh dunia.
2.7.2. World Wide Web ( WWW )
World Wide Webmenurut Philips (2003, p.1)merupakan suatu jaringan
hypermedia global yang menyediakan jaringan komputer pada user dengan biaya
efektif dan metode akses yang konsisten dengan beragam sumber daya informasi.
Keuntungan signifikan dari World Wide Web yaitu informasi yang tersedia dapat
diakses untuk banyak komputer dan autorisasi yang mengharuskan hanya satu orang
mengakses sebuah program.
2.7.3. Web Server
Web Server menurut Turban dan Lee (2000, p.393) merupakan suatu piranti
lunak yang berfungsi untuk:
1. Mengawasi dan menyediakan akses, menentukan siapa yang dapat mengakses
informasi tertentu di server.
2. Menjalankan script dan program eksternal untuk memberikan fungsi
tambahan bagi dokumen web atau akses ke basis data.
3. Mengelola dan menjalankan fungsi server maupun isi situs pada suatu
website.
Mencatat transaksi yang digunakan pengguna, yang dapat berisikan karakter
umum dari pengguna dan isi yang mereka minati untuk bereaksi terhadap permintaan
dari klien atau pengguna melalui browser.
2.8. Flowchart
Menurut Romney (2006, p70), Flowchart adalah teknik analitikal yang
digunakan untuk menggambarkan beberapa aspek sistem informasi dengan jelas,
ringkas dan logis. Flowchart menggunakan kumpulan simbol-simbol standar untuk
menggambarkan prosedur pemrosesan transaksi yang digunakan perusahaan dan
aliran data melalui sistem.
33
2.9. IT Infrastructure Flexibility
2.9.1. Infrastruktur IT (IT Infrastructure)
Menurut Laudon (2004, p14) Infrastruktur TI adalah komponen yang terdiri
dari perangkat keras, perangkat lunak komputer, teknologi penyimpanan, dan
jaringan yang menjadi sumberdaya teknologi informasi bagi perusahaan.
Menurut Turban (2012, p32) Infrastruktur TI adalah kumpulan dari perangkat
keras, perangkat lunak, proses-proses, jaringan dan user.
Menurut Weill (2004, p34) Infrastruktur TI adalah dasar kinerja TI (baik
teknis maupun manusia) yang telah direncanakan yang ada pada bisnis sebagai
layanan yang dapat digunakan bersama, diandalkan, dan digunakan untuk berbagai
aplikasi.
Menurut Rockart (1995, p49) yang dikutip oleh Byrd dan Turner (2000),
infrastruktur TI teknis dari telekomunikasi, komputer, perangkat lunak dan data
yang terintegrasi dan terhubung sehingga semua jenis informasi dapat ditelusuri
dengan baik—dan mudah dari sudut pandang pengguna—dialurkan melalui jaringan
dan proses yang dirancang ulang. Karena infrastruktur TI terdiri dari beberapa
komputer yang manual atau kompleks, infrastruktur yang konsisten lebih murah
dioperasikan daripada yang independen atau bebas, dan infrastruktur yang terpisah-
pisah. Sebagai tambahan, infrastruktur yang efektif adalah prasyarat untuk
melakukan bisnis global dimana berbagi informasi dan pengetahuan melalui
organisasi meningkat pesat.
Menurut Broadbent, M.; Weill, P.; O’Brien, T.: dan Neo, B,S.: dalam Firm
Context and Patterns of IT infrastructure capability. Proceeding of the Seventeenth
International Conference on Information Systems (1996, p174-179) yang dikutip
oleh Byrd dan Turner (2000) IT infrastruktur adalah berbagi sumberdaya TI yang
terdiri dari dasar fisik teknis dari perangkat keras, perangkat lunak, teknologi
komunikasi, data dan program inti dan kompetensi manusia pada skill, keahlian,
kompetensi, komitmen, nilai, norma, dan pengetahuan yang digabungkan untuk
membuat layanan TI yang unik pada perusahaan. Layanan TI ini menyediakan dasar
berkomunikasi melalui seluruh perusahaan dan untuk pengembangan dan
implementasi penggunaan bisnis saat ini dan masa depan.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa infrastruktur TI
terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak komputer, teknologi penyimpanan,
34
jaringan, dan user yang menjadi sumber daya teknologi bagi perusahaan yang
terintegrasi dan terhubung sehingga semua jenis informasi dapat ditelusuri dengan
baik—dan mudah dari sudut pandang pengguna sebagai layanan yang dapat
digunakan bersama, diandalkan, dan digunakan untuk berbagai aplikasi, melakukan
bisnis global dimana berbagi informasi dan pengetahuan melalui organisasi
meningkat pesat.
2.9.2. Komponen Infrastruktur TI
Menurut Menurut Laudon (2004, p14) Komponen Infrastruktur TI antara
lain:
1. Computer Hardware
Alat fisik yang digunakan untuk menerima masukan, memproses, dan
memberikan keluaran dari aktivitas suatu sistem informasi. Terdiri dari; CPU,
alat input, alat output, dan alat penyimpanan, serta peralatan fisik untuk
menghubungkan seluruh peralatan tersebut bersama.
2. Computer Software
Terdiri dari perintah-perintah yang terprogram secara rinci yang
mengendalikan dan mengkoordinasi perangkat keras komputer dalam suatu
sistem informasi.
3. Storage Technology
Terdiri dari media fisik untuk menyimpan data, seperti cakram optik, dan
perangkat lunak yang mengaturnya.
4. Communication Technology
Terdiri dari alat fisik dan perangkat lunak, menghubungkan berbagai
perangkat keras dan mengirimkan data dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Komputer dan peralatan komunikasi dapat dihubungkan pada suatu jaringan
untuk berbagi percakapan, data, gambar, suara atau bahkan video.
(Terry Anthony Byrd, Douglas E Turner, Measuring the Flexibility of
Information Technology Infrastructure: Exploratory Analysis of a Construct, Journal
of Management Information System (2000) 17, 1, 167-208). Menambahkan:
5. Human IT Infrastructure
Terdiri dari karyawan dan skill organisasional, keahlian, kompetensi,
pengetahuan, komitmen, nilai, norma dan struktur organisasi.
35
2.9.3. IT Infrastructure Flexibility
Fleksibilitas muncul sebagai kunci kunci kompetitif prioritas di banyak
aktivitas organisasi seperti manufaktur, siasat teknologi canggih, otomatisasi,
keuangan, dan teknologi informasi. Fleksibilitas dalam pengertian manajemen
didefinisikan sebagai tingkat dimana perusahaan memiliki berbagai prosedur aktual
dan potensial yang banyak dan dengannya dapat menggunakan prosedur ini untuk
mengendalikan kemampuan manajemen dan meningkatkan pengendalian organisasi
terhadap lingkungannya.
IT Infrastructure Flexibility adalah kemampuan untuk menyatukan atau
mendukung variasi luas perangkat keras, perangkat lunak, teknologi komunikasi,
data, program inti, kemampuan dan kompetensi, komitmen dan nilai pada bentuk
fisik dan komponen karyawan pada infrastruktur TI yang ada dengan mudah dan
tanggap.
(Terry Anthony Byrd, Douglas E Turner, Measuring the Flexibility of
Information Technology Infrastructure: Exploratory Analysis of a Construct, Journal
of Management Information System (2000) 17, 1, 167-208)
2.10. Indikator Fleksibilitas Infrastruktur TI
Duncan, N.B dalam Capturing flexibility of information technology
infrastructure: a study of resource characteristics and their measure. Journal of
Management Information Systems (1995, 12, 2 p37-57) yang dikutip oleh Byrd dan
Turner (2000) telah melakukan penelitian aspek teknis pada fleksibilitas infrastruktur
TI lebih presisi melalui kualitas Connectivity, Compatibility dan Modularity.
Connectivity
Adalah kemampuan komponen teknologi untuk terhubung dengan
komponen-komponen lain didalam dan diluar lingkungan perusahaan
Compatibility
Adalah kemampuan untuk berbagi informasi dalam bentuk apapun melalui
komponen teknologi. Pada titik terbawah, hanya dapat berbagi pesan teks dan pada
titik tertinggi dapat berbagi dokumen, proses, layanan, video, gambar, teks, audio
atau kombinasi-kombinasinya dan dapat digunakan pada berbagai sistem.
Modularity
Adalah kemampuan untuk menambahkan, merubah dan menghilangkan
perangkat lunak, perangkat keras atau komponen data apapun pada infrastruktur
36
dengan mudah dan tanpa berefek signifikan. Modularitas juga berhubungan dengan
tingkat dimana perangkat lunak, perangkat keras dan data dapat dengan mudah
dihubungkan dengan infrastruktur atau dapat dengan mudah didukung oleh
infrastruktur.
2.11. Dukungan Manajemen Puncak
Attitudinal interpretations cast Top Management Support (TMS)as a set of
favorable attitudes that are manifested in such ways as 'active and enthusiastic
approval' (Sultan and Chan, 2000: 111), involvement ('psychological state of the
CEO, reflecting the degree of importance placed on information technology by the
chief executive') (Jarvenpaa and Ives, 1991: 206; Liang et al. , 2007), commitment
(Keil, 1995b: 422), and'opinions or desires' (Fishbein and Ajzen, 1975; Zmud, 1984;
Leonard-Barton and Deschamps, 1988: 1254; Teo and King, 1997).
The behavioral interpretation, on the other hand, defines TMS as a set of
direct managerial behaviors such as offering technical assistance to help solve
hardware and software difficulties (Compeau and Higgins, 1995: 197), engaging in
'activities or substantive personal interventions' (Jarvenpaa and Ives, 1991: 206),
taking on 'sponsorship for a project' (Wixom and Watson, 2001: 29), and
'facilitating ERP assimilation' (Liang et al. , 2007: 5). (Linying Dong, Derrick
Neufeld, Chris Higgins, Top management support of enterprise systems
implementations,Journal of Information Technology(2009) 24, 61). Definisi diatas
mengacu bahwa, dukungan manajemen puncak merupakan sikap dan perilaku
manajemen untuk menciptakan iklim yang mendukung dan langsung memberikan
pengaruh terhadap suatu adaptasi di antara teknologi dan perusahaan.
2.12. Indikator Dukungan Manajemen Puncak
Top management’s support to IT/IS is identified as understanding the
importance of IT/IS, supporting initiatives of IT/IS personnel and participating in
projects of IS activities (Ragu-Nathan, Apigian, Ragu-Nathan, & Tu, 2004).
The most important finding in our research that the IT/IS personnel can
acquire top management’s support if they have an adequate role, knowledge and
skills. As shown by the above model, adequate knowledge mainly includes business
and managerial knowledge and skills, while an adequate role is thhe business role of
IT/IS in the company.
37
Some aspects have already been detected in earlier research. It has namely
been that successful communication is crucial for the partnership (Coughlan, et al.
2005; Huang & Hu, 2007) and that CIO should be attentive to communication with
users and top management (Earl & Feeney, 1994). We therefore suggest that CIOs
should have active communication with users and constantly present IT to the top
management as an effective tool for achieving business goals.
To achieve top management’s support CIOs should be attentive to the fact
that a company employs IT/IS personnel who already have business and managerial
knowledge. In addition, constant knowledge and skill improvement is crucial.(Mojca
Indihar Stemberger, Anton Manfreda, Andrej Kovacic, Achieving Top Management
Support with Business Knowledge and Role of IT/IS Personnel, International Journal
of Information Management,(2011) 31(5), 428-436).
Berdasarkan kutipan jurnal diatas, dinyatakan bahwa indikator-indikator
dukungan manajemen puncak, antara lain:
Manajemen puncak memahami pentingnya TI/SI perusahaan.
Manajemen puncak berpartisipasi dalam suatu proyek TI/SI perusahaan.
Karyawan TI/SI perusahaan memiliki cukup peranan dalam TI/SI perusahaan,
pengetahuan bisnis, dan skill manajerial.
Karyawan TI/SI harus memiliki komunikasi aktif dengan user
Karyawan TI/SI secara berkala menyajikan TI sebagai perangkat efektif
untuk mencapai tujuan bisnis.
2.13. Supplier Relationship
2.13.1. The Nature of Business Relationship
Menurut Jurnal (Marek Szwejczewski, Fred Lemke, Keith Goffin,
Manufacturer-Supplier relationships: An empirical study of German manufacturing
companies, International Journal of Operations & Production Management, (2005),
25,9/10, 875) memaparkan:
“Hubungan bisnis telah banyak didefinisikan dalam berbagai literature,
mmulai dari “hubungan bisnis yang baik adalah hubungan yang disesuaikan pada
keadaan yang tepat dari berbagai rangkaian kesatuan yang mungkin dari jenis suatu
hubungan” (Cooper dan Gardner, 1993, p. 14) sampai “hubungan inter-organisasi
adalah melakukan transaksi-transaksi, alur-alur dan hubungan-hubungan yang terjadi
diantara organisasi dengan satu atau lebih organisasi di lingkungannya” (Oliver,
38
1990, p. 241). Peneliti telah mengembangkan gambaran-gambaran dari banyak jenis
hubungan. Gummeson (1997) mendefinisikan 30 bentuk hubungan sendiri dan hal ini
mengilustrasikan bervariasinya sudut pandang pada konsep hubungan. Umumnya,
gambaran dari hubungan-hubungan relatif abstrak dan bervariasi sesuai dengan
disiplin ilmu yang sedang diteliti (seperti, strategi, ekonomi atau psikologi).
Meskipun begitu, kumpulan opini telah mencapai apa yang mengindikasikan telah
dibentuknya suatu hubungan bisnis, “segera setelah dua atau lebih pihak (organisasi)
mengasosiakikan dirinya dengan tujuan untuk memenuhi tujuan bisnis bersama”.
Asosiasi ini mengarah pada berbagai aktivitas bersama, yang bergantung pada tujuan
bisnis tertentu. Kunci hubungan bisnis, dimana dua pihak berasosiasi, adalah antara
produsen dengan pemasok (Ellram, 1991).
Di masa lalu, tujuan dari hubungan produsen dengan pemasok telah
difokusskan pada peningkatan kualitas, pengiriman tepat waktu, dan khususnya,
pengurangan biaya (Lamming. 1993; Lemke et al., 2003). Sejak lama fokus pada
biaya di manajemen pemasok tampak pada tujuan yang berupa maksimisasi
keuntungan. Drucker (1995, p.122) setuju bahwa pemikiran tradisional ini
“bagaimanapun selalu telah dirasa oleh bisnis sebagai hal yang dibeli dengan murah
dan dijual dengan mahal. Pendekatan baru mendefinisikan bisnis sebagai organisasi
yang menambah nilai dan menciptakan kekayaan”.
Dalam lingkungan bisnis yang dihadapi produsen saat ini, hubungan
seharusnya tidak berfokus hanya pada peningkatan perbedaan diantara biaya
pembelian dan harga jual – dibutuhkan pengembangan suatu hubungan yang kekal
(Anderson and katz, 1998; Kim, 1999). Perubahan penekanan dari pengurangan
biaya untuk meningkatkan kualitas dan memanfaatkan potensi inovatif pemasok
untuk menghasilkan nilai telah mempengaruhi hubungan dengan pemasok. Leenders
dan Fearon (1997, p.282) menekankan dalam penuturannya bahwa “keseluruhan seni
dari manajemen hubungan pemasok dari sudut pandang pemasok adalah untuk
memberikan kedua belah pihak hubungan kerja yang efektif”. Hal pasti dari suatu
hubungan telah berubah setelah beberapa dekade.”
Dari pemaparan diatas disimpulkan bahwa, supplier relationship adalah
hubungan yang disesuaikan pada keadaan yang tepat dari berbagai rangkaian
kesatuan yang mungkin dari jenis suatu hubungan untuk memberikan kedua belah
pihak hubungan kerja yang efektif dengan pemasoknya.
39
2.13.2. The Development of Supplier-Manufacturer Relationship
McGinnis dan McCarty (1998, p.13) menganjurkan “pada usaha untuk
mengoptimalkan pembelian eksternal, perusahaan memulai dengan proses pembelian
baru yang canggih dan merubah hubungan yang mereka miliki dengan para pemasok
mereka”. Gambar 2.13 menunjukkan pengembangan hubungan produsen dan
supplier selama 40 tahun.
Gambar 2.13Pengembangan Hubungan Produsen dan SupplierSelama
40 Tahun
Sumber : Marek (2005, p878)
Hubungan tradisional pada 1960 sampai 1970-an ditandai dengan pendekatan
adversarial arm’s-length. Lamming (1993, p.149) mensurvei hubungan produsen-
pemasok pada industri automotif Inggris dan mengidentifikasi pada saat itu ada
“periode yang cukup tenang pada permintaan dan pasokan domestik yang cukup
seimbang untuk banyak produsen”. Pernyataan tersebut cocok untuk pembelian
tradisional, yang berorientasi pada harga. Tekanan untuk perubahan signifikan
rendah, tetapi meningkat pada dekade berikutnya sehingga hubungan logistik
digunakan. Hal tersebut memberikan tekanan untuk membuat perpindahan bahan
baku dari pemasok ke produsen lebih efisien (Da Vila dan Panizzolo, 1996). Pada
awal 1990an, hubungan-hubungan lebih dibutuhkan pada tingkat interaksi yang lebih
tinggi karena penambahan kebutuhan akan inovasi produk dan kerjasama
40
pengembangan teknologi – dan interaksi tingkat tinggi ini disebut
partnership(Lamming, 1993). Sayangnya, belum jelas bagaimana tepatnya
partnership berbeda dengan bentuk lain hubungan. Lemke et al’s (2003) penelitian
atribut partnership jarang dilakukan. Karena terbatasnya sampel, namun
penemuannya tidak bisa digeneralisasikan. Hal yang sama pun terjadi bagaimana
hubungan pemasok-produsen akan berkembang pada tahun 2000.
2.14. Indikator Supplier Relationship
Menurut Jurnal (Marek Szwejczewski, Fred Lemke, Keith Goffin,
Manufacturer-Supplier relationships: International Journal of Operations &
Production Management, (2005), 25,9/10, 875) memaparkan, “a long-term
perspective is a prerequisite for a higher degree of integration among partners and
greater level of information exchange. Purchasing managers became information
broker as they form the interface between the manufacturers’ site and their supplier
base”
Jurnal tersebut menunjukkan bahwa tingkat pertukaran informasi menjadi
indikator yang mempengaruhi hubungan dengan pemasok.
Menurut Jurnal (Roger Bennett, Helen Gabriel, Reputation, Trust and
Supplier Commitment: The Case of Shipping Company/Seaport Relations, The
Journal of Business & Industrial Marketing (2001), 16,6/7, 424)
Pentingnya rasa percaya
Rasa percaya adalah fungsi penting pada setiap hubungan. Dalam situasi
bisnis, rasa percaya pada pemasok diperlukan untuk mendorong komitmen dan
kesediaan pembeli untuk berinvestasi pada suatu hubungan. Rasa percaya membuat
kondisi untuk pengembangan komitmen, mengurangi rasa takut pembeli akan suatu
resiko, mendorong kedekatan pada suatu hubungan dan menghilangkan customer
defection terhadap pemasok-pemasok lain secara efektif. Namun, untuk mencapai
tingkat rasa percaya tertentu jelas butuh waktu. Rasa percaya dibangun berdasarkan
dua sisi yang dipelajari dengan bekerja satu dengan yang lainnya, berangsur-angsur
memecahkan ketidakpastian dan saling mendekatkan keduanya. Proses ini adalah
prasyarat untuk membangun hubungan jangka panjang dimana kedua pihak mencoba
untuk saling memperlihatkan sumberdaya-sumber daya-nya dan keunggulan-
keunggulannya serta beradaptasi untuk kebutuhan.
41
Kontribusi reputasi perusahaan
Reputasi pemasok mebuat kontribusi penting untuk mengembangkan rasa
percaya; tentu reputasi dapat dijadikan ukuran kepercayaan dan juga indikator
reliabilitas. Bagi pihak luar, reputasi dibangun dari seluruh kesan proses kinerja
berdasarkan imej, identitas perusahaan, dan pesan pemasaran. Pengalaman, laporan
dari mulut ke mulut, profil media, dan komunikasi PR seluruhnya mempunyai bagian
untuk menghasilkan kesan ini. Reputasi perusahaan pun dihasilkan membutuhkan
waktu.
Reputasi yang baik secara bersamaan menghasilkan harapan untuk
perusahaan dan memberikan keunggulan bersaing yang dapat membantu perusahaan
untuk bertahan terhadap publisitas yang tidak baik
Mensurvei hubungan antara pelabuhan UK dan pemasoknya
Penelitian terhadap interaksi antara pelabuhan UK dan beberapa perwakilan
dari pelanggannya ingin mengkonfirmasikan pentingnya reputasi pemasok pada
pengembangan loyalitas pembeli. Untuk itu survei mengeksplorasi lima faktor pada
hubungan pembeli dan pemasok:
pengaruh kedekatan pemasok didorong oleh persepsi pembeli terhadap
reputasi pemasok
efek reputasi pada hubungan antara rasa percaya dan kedekatan
efek reputasi pada hubungan antara rasa percaya dan komitmen
efek reputasi pada hubungan antara rasa percaya dan keinginan utuk
beradaptasi dan membuat investasi hubungan spesifik pada lingkup seperti sistem
bisnis dan peralatan
pentingnya reputasi perusahaan sebagai gerbang untuk rasa percaya pada
hubungan baru
Survei ini mengeksplorasi hubungan yang ada antara tiga pelabuhan UK,
tilbury, felixstowe dan liverpool, dan beberapa perwakilan dari pelanggannya seperti
perusahaan perkapalan, agen pengatur pengiriman utamanya dan perjanjian kerja
sama bisnis temporernya. Peneliti survei sadar bahwa beberapa agen perkapalan
menghindari untuk terlalu terlibat pada prosedur penanganan barang pelabuhan
individual dengan merubah allegiance-nya secara berkala. Sementar itu, yang
lainnya membangun hubungan-hubungan dengan beberapa pelabuhan dan bekerja
dekat dengan mereka untuk mengurangi waktu perubahan haluan dan seterusnya.
Efek reputasi terhadap pengembangan rasa percaya
42
Pelanggan yang mensurvei ditanyai beberapa aspek dari pelabuhan yang
memberikan pelayanan seperti manajemen,tingkat layanan, kelangsungan keuangan,
tanggung jawab lingkungan dan inovasi. Sasarannya adalah untuk mendapatkan
tinjauan reputasi pelabuhan. Pelanggan-pelanggan juga ditanyakan tentang hal-hal
seperti berbagi informasi dan adaptasi hubungan spesifik, tingkat komitmen dan
biaya pindah potensial, dan tingkat kepercayaan dan kepuasan.
Survei tersebut menghasilkan lima hipotesis yang telah dieksplorasi dan
implikasi jelas untuk manajemen. Hubungan harus di pelihara dan perusahaan harus
membangun reputasi yang kuat jika mereka ingin dipercaya. Reputasi perusahaan
yang positif harus disiarkan dengan gencar, menekankan hal-hal penting seperti
efisiensi, fleksibilitas, keamanan, akses mudah untuk menyokong layanan dan
efektifitas biaya – dan usaha memperkenalkan berbasis-reputasi harus mentargetkan
pelanggan potensial secara spesifik, atau mereka yang memiliki sedikit pengalaman
bekerja dengan perusahaan. Pelatihan ini meningkatkan pengembangan rasa percaya.
Menurut Jurnal (Yolanda Polo Redondo, Jesus J Cambra Fierro, Moderating
Effect of Type of Product Exchanged in Long-Term Orientation of Firm-Supplier
Relationships: an Empirical Study, The Journal of Product and Brand Management
(2005), 14, 7, 424)
Data kami menunjukkan bahwa kerjasama, komunikasi, rasa percaya,
kepuasan dan komitmen mempengaruhi orientasi sementara hubungan dengan
pemasok. Tapi pemasok-pemasok yang ingin mengelola situasi harus
mengidentifikasi terlebih dahulu seberapa penting produk mereka bagi
pelanggannya. Setelah itu, mereka harus menawarkan produk-produk dengan standar
kualitas, harga, ketentuan pengiriman, dan garansi yang diinginkan ... tapi didukung
dengan beberapa elemen tambahan. Dengan cara ini, mereka harus mengingat bahwa
pada konteks pasar industri secara umum, dan sektor pangan pada khususnya, untuk
menawarkan produk yang baik tidaklah cukup. Perusahaan harus terus mengingat
aspek-aspek tambahan. Pertama, perusahaan menilai positif orientasi hubungan
dengan fungsi suplai mereka, karena hal tersebut juga mengurangi tingkat
ketidakpastian terkait dengan pemilihat pemasok. Sebagai tambahan, hal tersebut
mengarah pada penghematan penting sumberdaya yang dapat diarahkan untuk
penggunaan lain. Namun, hasil investigasi mengindikasikan tingkat komitmen
perusahaan-perusahaan terhadap pelanggan-pelanggannya semakin baik semakin
penting faktor produksi terlibat bagi perusahaan. Maka pemasok harus memahami
43
pentingnya produk yang disediakan untuk pelanggan perusahaan tersebut dan dari
sudut pandang ini menuntukkan bahwa memungkinkan untuk memenuhi kepuasan
pelanggan perusahaan tersebut. setidaknya hal tersebut harus jelas bagi pelanggan
perusahaan bahwa bahan pasokan tersebut penting sebagai ciri produk akhir, yang
memberikan switching cost secara psikologis bagi fungsi supply, yang akan
menghasilkan komitmen dengan sendirinya pada hubungan, dan mengarahkannya
untuk jangka panjang.
Untuk itu, penting untuk bertukar informasi dengan lancar antara pemasok
dan pelanggannya. Kami menemukan bahwa ada proses dua arah dimana pemasok
mungkin adalah agen yang harus memberikan usaha lebih, untuk meningkatkan
kepercayaan pelanggan. Maka, tujuan perusahaan harus merancang sistem yang
menjamin kontak tingkat personal yang sering dan efektif dengan pelanggan-
pelanggannya, yang dapat mengadaptasi kemungkinan perubahan lingkungan yang
menetapkan hubungan. Jika ada pertukaran informasi berharga dua arah yang lancar,
kami dapat mengharapkan pelanggan mempercayai pemasoknya, dan kepuasan akan
bertumbuh.
Kepercayaan, secara umum bergantung pada perilaku dan tidak pada janji
yang disepakati. Kesan bahwa pelanggan memiliki pemasoknya itu penting pada
awal hubungan, ketika perilaku diperhatikan selama berlangsungnya hubungan akan
mengganti kesan secara berkala. Rasa percaya menjadi penting untuk mencapai
kepuasan dan komitmen pelanggan. Aspek seperti brand, pertukaran informasi,
perhatian tulus pada masalah pelanggan, dan memenuhi janji, adalah hal yang harus
diperhatikan dengan ketat oleh pemasok. Membuat janji yang tidak mampu dipenuhi
bukanlah hal yang direkomendasikan.
Kerja sama terjadi dalam berbagai bentuk. Mengembangkan proyek
penelitian umum atau kampanye promosi adalah pilihan yang baik. Walaupun
kolaborasi dapat juga terbatas pada konteks internal hubungan: ketika pelanggan
memiliki masalah proses produksinya dan pemasok tertarik atau memberikan saran
untuk membantu menyelesaikannya, perusahaan akan sangat menghargai bantuan
ini, dan hasilnya tingkat kepuasan yang dirasakan akan banyak meningkat.
Akhirnya, komitmen menunjukkan keinginan untuk menjaga hubungan tetap
ada. Kami memahami bahwa dari sudut pandang pelanggan, ketika pemasok
memenuhi harapan pelanggan maka komitmen pelanggan terhadap hubungan akan
tumbuh. Pemasok dapat menunjukkan komitmen dengan kerjasama, mendedikasikan
44
waktu dan karyawan untuk mengunjungi pelanggan, atau menginvestasikan aset-aset
tertentu dari faktor-faktor tersebut. setidaknya sinyal ini harus dirasakan oleh pihak
lain untuk menentukan hubungan menjajaki jangka panjang.
2.15. Kinerja
Perusahaan yang sangat berorientasi pada profit, banyak yang memandang
bahwa karyawan adalah mesin pencetak uang sehingga perusahaan lupa untuk
memberikan maintenance dengan baik. Padahal karyawan itu sendiri adalah sebuah
investasi yang perlu untuk selalu dipelihara agar berproduksi dengan semaksimal
mungkin. Konsep tentang kinerja diungkapkan oleh Gibson, et al (2009 p371) job
performance adalah hasil dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi,
efisiensi dan kinerja keefektifan dari kinerja lainnya. Dengan demikian, kinerja
memfokuskan pada hasil kerjanya.
Mathis dan Jackson (2006, p378), mendefinisikan bahwa kinerja pada
dasarnya adalah apa yang dilakukan dan tidak dilakukan karyawan.
2.16. Indikator Kinerja Procurement
Menurut Jurnal (Rupert A. Brandmeier, Florian Rupp, Benchmarking
Procurement Functions: Causes For Superior Performance,Benchmarking: an
International Journal Vol. 17 no. 1, (2011), 5-26). Ditemukan lima faktor yang
mempengaruhi kinerja procurement:
Finding 1, (Procurement success depends on integration). The better the
integration of the procurement unit within the company, the better is the overall
application of the procurement levers and vice versa.
Kesuksesan procurement bergantung pada integrasi. Semakin baik integrasi
departemen procurement dengan perusahaan, semakin baik keseluruhan
aplikasiprocurement lever dan sebaliknya.
Hasil temuan ini mudah untuk dipahami jika kita memikirkan tentang
skenario realistis aktivitas yang tidak terkoordinasi dari departemen procurement
yang terisolasi yang fungsinya untuk memenuhi kebutuhan untuk produksi.
Finding 2, (Procurement success depends on cross-functional interaction).
The better the cross-functional interaction of the procurement with other units, the
better is the overall application of the procurement levers and vice versa.
45
Kesuksesan procurement bergantung pada interaksi antar departemen
fungsionalnya. Semakin baik interaksi antar unit fungsional departemen procurement
dengan departemen lainnya, semakin baik keseluruhan aplikasi procurement lever
dan sebaliknya.
Penurunan pemenuhan pesanan, tidak terintegrasinya proses penentuan
keputusan dan tidak dihormati oleh antar departemen, banyak usaha procurement
menguap begitu saja, jika levers tidak diaplikasikan.
Finding 3, the better the training, the better is the overall application of the
procurement levers and vice versa.
Semakin baik pelatihan, semakin baik keseluruhan aplikasi procurement lever
dan sebaliknya.
Hasil temuan ini mengejutkan. Diketahui banyak departemen procurement
dari pemain global dan perusahaan teknologi mutakhir menderita kekurangan ahli,
tidak adanya hubungan antara pendidikan dan (kesuksesan) penggunaan beberapa
procurement levers sangat diragukan. Negosiator ulung tidak perlu memiliki titel
MBA atau PhD tapi lebih diutamakan memiliki procurement levers yang tangguh
seperti “reverse engineering” atau “design to cost” dengan baik membutuhkan
banyak pemahaman dasar “engineering” dan perhitungan biaya.
Finding 4, (Procurement success depends on supplier integration). The better
the supplier integration, the better is the overall application of the procurement
levers and vice versa.
Kesuksesan procurement bergantung pada integrasi dengan pemasok.
Semakin baik integrasi dengan pemasok, semakin baik keseluruhan aplikasi
procurement lever dan sebaliknya.
Hasil temuan diatas menjelaskan: tingkat integrasi yang tinggi memfasilitasi
penggunaan hampir setiap procurement lever. Lebih mudah untuk negosiasi harga
atau proyek reverse engineering dengan pemasok yang dekat dari pada yang jauh.
Juga lebih cepat mendapatkan hasil, banyaknya produk yang terjun ke pasar, dan
mengurangi tingkat kegagalan.
Finding 5, (Procurement success depends on supplier evaluation). The better
the supplier evaluation process (controlling), the better is the overall application of
the procurement levers and vice versa.
46
Kesuksesan procurement bergantung pada evaluasi pemasok. Semakin baik
proses evaluasi (pengendalian) pemasok, semakin baik keseluruhan aplikasi
procurement lever dan sebaliknya.
Juga hubungan kesuksesan procurement dan evaluasi pemasok bukanlah
suatu kejutan. Semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk memeriksa dan
menyaring pemasok, akan semakin terlatih karyawan untuk menyesuaikan kriteria
pemilihan dan semakin baik karyawan mengintegrasikan tim ahli dari departemen
terkait, semakin baik kualitas pemilihan pemasok.
Finding 6, (a holistic staff development program is key for cross-functional
teams). The better the training, the better is the efficient cooperation of cross-
functional teams and vice versa.
Program pengembangan staff secara keseluruhan adalah kunci tim fungsional
antar departemen, semakin baik pelatihan, semakin baik efisiensi tim fungsional
antar departemen perusahaan.
Finding 7:
• The better the integration (organization), the better is the efficient
cooperation of cross-functional teams and vice versa.
Semakin baik integrasi di dalam perusahaan, semakin baik efisiensi kerja
sama tim fungsional antar departemen dan sebaliknya.
• The better the interactions (organization), the better is the efficient
cooperation of cross-functional teams and vice versa.
Semakin baik interaksi di dalam perusahaan, semakin baik efisiensi tim
fungsional antar departemen perusahaan dan sebaliknya.
• The better the overall application of the procurement levers, the better is
the efficient cooperation of cross-functional temas and vice versa.
Semakin baik keseluruhan pengaplikasian procurement levers, semakin
baik efisiensi tim fungsional antar departemen perusahaan dan sebaliknya.
Disimpulkan pada tabel 2.3 dibawah ini
47
Tabel 2.3 Indikator Kesuksesan Kinerja Procurement
Bidang unggulan Indikator
Strategi dan koordinasi antar perusahaan Posisi hirarki didalam perusahaan
Kerja sama dengan unit / fungsional lain
Tim fungsional antar departemen
Sumber daya manusia Pelatihan dan pengembangan sumber
daya manusia
Manajemen pemasok Evaluasi pemasok berkelanjutan
Integrasi dengan pemasok
Sumber: Brandmeier (2010)
2.17. Hubungan antar Variabel
2.17.1. Fleksibilitas Infrastruktur TI dan Dukungan Manajemen
Infrastruktur TI adalah pondasi dasar dari kemampuan TI yang dianggarkan
untuk dan disediakan oleh fungsi sistem informasi dan saling berbagi melalui banyak
bisnis unit atau area fungsional. Kemampuan TI terdiri dari kemampuan teknis dan
managerial untuk memberikan layanan yang reliabel.Kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan sumber daya unik, dalam konteks ini adalah infrastruktur TI, semakin
baik keunggulan kompetitif yang akan dicapai perusahaan. (Paul H. Schwager, Terry
Anthony Byrd, Douglas E. Turner, Information Technology Infrastructure
Capability’s Impact on Firm Financial Performance: an Exploratory Study,
TheJournal of Computer Information Systems (2000) 40, 4).
Agar dapat mencapai keunggulan kompetitif, peran TI/SI harus didefinisikan
dengan jelas, yaitu menyelaraskan tujuan TI/SI dengan tujuan organisasi,
mendefinisikan kontribusi personil TI/SI dan berbagi pengetahuan dalam bisnis,
sehingga akan performa infrastruktur TI akan jelas. Dimana dukungan manajemen
puncak adalah faktor yang paling penting dalam menentukan kesuksesan dan
efisiensi investasi TI (Mojca Indihar Stemberger, Anton Manfreda, Andrej Kovacic,
Achieving Top Management Support with Business Knowledge and Role of IT/IS
Personnel,Journal of Information Management (2011) 31(5), 428-436).
2.17.2. Dukungan Manajemen dan hubungan dengan pemasok
Peran penting manajemen puncak sangat ditekankan pada literatur rantai
pasok (Hahn et al., Monczka et al., 1993; Ward et al., 1994; Krause, 1999).
48
Manajemen puncak lebih memahami kebutuhan manajemen rantai pasok karena
mereka yang paling menyadari strategi utama perusahaan untuk tetap kompetitif
didalam pasar (Hahn et al., 1990). Monczka et al. (1993) menyatakan bahwa
manajemen puncak harus mengkomitmenkan sumber daya waktu, tenaga kerja dan
keuangan untuk mendukung pemasok yang berkeinginan untuk menjadi partner
jangka panjang perusahaan melalui pengembangan pemasok. Satu dari fungsi utama
manajemen puncak adalah untuk mempengaruhi pengaturan nilai organisasi dan
mengembangkan cara manajemen yang cocok untuk meningkatkan kinerja
perusahaan. Penelitian sebelumnya mengemukakan bahwa manajemen puncak harus
mewaspadai keunggulan kompetitif yang dapat diperoleh dari dampak pembelian
strategis dan TI pada hubungan dengan pemasok yang efektif. Pada penelitian ini,
bagian dukungan manajemen puncak diindikasikan dengan waktu dan sumberdaya
yang dikontribusikan oleh manajemen puncak pada pembelian stratgis,
pengembangan hubungan dengan pemasok dan adaptasi TI mutakhir (Hahn et al.,
1990; Monczka et al., 1993; Krause dan Ellram, 1997; Krause 1999).(Injazz J. Chen,
Antony Paulraj, Towards a Theory of Supply Chain Management: the Constructs and
Measurements,Journal of Operation management, (2004) 22, p119-150)
Gambar 2.14 Research Framework of Supply Chain Management
Sumber: Chen (2004, p121)
49
2.17.3. Fleksibilitas Infrastruktur TI dan Hubungan dengan Pemasok
Semakin meratanya infrastruktur TI dan komunikasi merubah cara
perusahaan bersaing di era e-commerce. Hubungan langsung pembeli dan pemasok
memiliki keuntungan pengurangan biaya, pengiriman lebih cepat, respon cepat dan
pelayanan yang lebih baik, adalah konsekuensi era baru bisnis dengan mediasi ISP.
Baik pembeli atau pemasok yang berpartisipasi dalam transaksi, tujuan mereka
mungkin akan berbeda dengan atau bahkan berlawanan dengan tujuan transaksi
partner mereka. Cara partner berinteraksi tergantung pada faktor-faktor berikut:
tujuan individu, praktek manajerial, jenis hubungan dan jangkauan dominasi
perusahaan terhadap pasar. Transaksi dilakukan melalui pertukaran informasi dan
pengiriman produk atau layanan. Pemahaman status dan sifat dasar hubungan antara
partner transaksi yang lebih baik bertujuan untuk meningkatkan kinerja manajemen
rantaai pasok. Negosiasi dan kesepakatan terjadi berkala, dengan proses transaksi
tertentu yang lebih dipandang sebagai seni dari pada teknik. (Jeung-tai Eddie tang,
Daniel Y. Shee, Tzung-I Tang, A Conceptual Model for Interactive Buyer-Supplier
rrelationship in Electronic Commerce,Journal of Information Management, (2001)
21, p49-68)
2.17.4. Fleksibilitas Infrastruktur TI dan Kinerja Procurement
Menurut Weill (2004, p34) Tinjauan ke masa depan dalam membangun
infrastruktur TI pada waktu yang tepat, memungkinkan implementasi ide bisnis,
maupun penggabungan dan pengurangan biaya dari proses bisnis saat ini secara
elektronik di masa depan dengan cepat. Investasi infrastruktur yang berlebihan—atau
lebih buruk lagi, mengimplementasi infrastruktur yang salah—berdampak pada sia-
sianya penggunaan sumber daya, penundaan, dan tidak selarasnya sistem dengan
rekan bisnis. Akan tetapi investasi infrastruktur yang terlalu minim menghasilkan
implementasi yang terburu-buru untuk memenuhi deadline bisnis, kebutuhan
automatisasi perusahaan tanpa integrasi lintas perusahaan, dan berbagi sumberdaya,
informasi dan ahli yang terbatas. Dengan demikian, focus dan penentuan waktu
keinginan penggunaan infrastruktur TI dapat memiliki dampak signifikan pada
performa perusahaan.
50
2.17.5. Dukungan Manajemen dan Kinerja Procurement
Dalam Jurnal (Ofer Zqikael, Ginger Levin, Parviz F Rad, Top Management
Support—The Project Friendly Organization,Cost Engineering, Vol. 50/No. 9, (Sept
2008) 50,9), menyebutkan bahwa banyak penelitian telah menemukan hubungan
signifikan antara dukungan manajemen puncak dengan performa perusahaan, seperti.
D.S. Elenkov dan I.M. Manev menemukan bahwa faktor kepemimpinan pada
manajemen puncak memiliki efek kuat mempengaruhi inovasi.
R.G. Cooper dan Jeffrey Kleinschmidtet menemukan bahwa dukungan
manajemen puncak mempengaruhi motivasi pra-pelatihan dan penerimaan pelatihan.
C.L. Stamper dan M.C. Johlke menemukan bahwa dukungan manajemen
puncak memiliki efek kuat mengurangi ambiguitas dan konflik penugasan, serta
meningkatkan kepuasan bekerja dan keinginan bertahan di perusahaan.
P. Cook menekankan peran eksekutif senior ketika berhadapan dengan
manajemen resiko proyek.
Dukungan manajemen puncak dinyatakan meningkatkan tingkat kesuksesan
proyek secara signifikan dalam banyak penelitian. I.G. Castri menyarankan bahwa
direktur proyek menjadi bagian dari manajemen senior perusahaan.
2.18. Hubungan dengan Pemasok dan Kinerja Procurement
Hubungan pemasaran muncul dari pengukuran faktor kunci suatu hubungan
di industri dan pemasaran B2B – dari situ penulis membawa kita kepada sifat dasar
hubungan pemasok dan perusahaan. Pengukuran ulang ini dilakukan terhadap latar
belakang perubahan pasar industri. Tingkat perkembangan teknologi, efek globalisasi
dan perdagangan bebas internasional mengarah pada pengaturan strategi industri
manufaktur secara signifikan. Inti dari strategi baru ini adalah memberikan hubungan
berbeda kepada pemasok - pengiriman JIT, strategi zero inventory, dan spesialisasi-
khusus membuat tekanan yang baru dan berbeda.
Pada tingkat ini, pendekatan manajemen industri baru butuh lebih dekat dan
kerjasama aktif dengan pemasok. Untuk memenuhi pengiriman JIT membutuhkan
integrasi antara sistem perusahaan dengan pemasok. Bagaimanapun, tekanan yang
kedua memberikan tantangan baru untuk mengurangi biaya yang bertentangan
dengan hubungan yang dekat – pembeli dibebani dengan penghematan pengiriman
yang dapat merusak hubungan yang sedang dibangun antara pemasok dan
51
perusahaan. Namun diyakini bahwa kedekatan dengan pemasok adalah penting bila
nilai yang ingin didapatkan dalam jumlah maksimal.
Pemilihan dan kontrak dengan pemasok secara berkala butuh proses
procurement yang panjang. Selama proses ini kita membangun hubungan dengan
lebih dari satu perusahaan dan biasanya diketahui bahwa keputusan akhir adalah
lebih ke arah menimbang nilai dari pada penimbangan biaya atau spesifikasi. Sudah
tentu, untuk beberapa kontrak, dasar keputusan adalah kita lebih kepada “membeli”
hubungan dari pada menghasilkan produk atau layanan.(Yolanda Polo Redondo,
Jesus J Cambra Fierro, Moderating Effect of Type of Product Exchanged in Long-
Term Orientation of Firm-Supplier Relationships: an Empirical Study,Journal of
Product and Brand Management, (2005) 14, 7, 424).
Masuk ke hubungan jangka panjang dengan sedikit pemasok adalah strategi
terbaik dalam mengatur sisi pasokan dari pada bermain dengan banyak pemasok
dimana lebih banyak manfaat yang bisa didapat dengan hubungan jangka panjang
dengan sedikit pemasok. Karyawan public procurement harus mendapatkan daftar
pemasok yang telah disetujui dari pemasok terbaik. Hal tersebut dapat meningkatkan
desentralisasi fungsi procurement pada departemen-departemen lain. Karyawan
pembelian dapat berkonsentrasi pada aktivitas procurement penting lainnya seperti
pengembangan pemasok dan pengawasan pemasok secara berkala. Daftar pemasok
yang disetujui akan mengurangi kecurangan.(Redges Mandyambira, Managing
Supplier Relationship to Improve Public Procurement Performance,African journal
of Business Management Vol. 6(1), (2012), p306-312).
2.19. Partial Least Square (PLS)
2.19.1. Sejarah PLS
(Ghozali,2008 p.17-18)Partial Least Squares (PLS) dikembangkan pertama
kali oleh Wold sebagai metode umum untuk mengestimasi path model yang
menggunakan kostruk laten dengan indikator ganda. Pada tahun 1966 Herman Wold
mempresentasikan dua prosedur iteratif menggunakam metode estimasi least squares
(LS) untuk single dan multi komponen model dan untuk canonical correlation.
Kemudian melihat pendekatan LISREL untuk path modeling dengan variabel laten
Wold menyatakan:
It Struck me that it might be possibe to estimate models with the same arrow scheme
by an appropriate generalization of my Least Squares algorithms for principal
52
components and canonical correlation. The extension involved two crucial steps,
namely from two to three latent variable’s and corresponding blocks of indicators,
and from one to two inner relations. Once these steps were taken, the road to an
iterative least squares algorithm of general scope for estimation of path models with
ltent variable observed by multiple indicators was straightforward. (wold, 1982)
Pendekatan PLS adalah distribution free (tidak mengasumsikan data
berdistribusi tertentu, dapat berukpa nominal, kategori, ordinal, interval dan rasio).
PLS awalnya diberi nama NIPALS (nonlinear iterative partial least squares).
Menurut Wold dibandingkan dengan pendekatan lain khususnya metode maximum
likelihood, NIPALS lebih umum oleh karena bekerja dengan sejumlah kecil asumsi
zero intercorrelation antara residual dan variabel. Oleh karena itu pendekatan
NIPALS memberikan models yang memiliki closer fit terhadap hasil observasi.
Model dasar PLS diselesaikan tahun 1977 (Wold, 1982) dan kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh Lohmoller (1984, 1989) dan Chin (1996) dalam
bentuk software dengan nama PLS Graph
2.19.2. Model Pengukuran dan Model Struktural
(Ghozali,2012 p.8-12)Analisis PLS-SEM biasanya terdiri dari dua sub model
yaitu model pengukuran (measurement model) atau sering disebut outer model dan
model struktural (structural model) atau sering disebut inner model. Model
pengukuran menunjukkan bagaimana variabel manifest atau observed
variablemerepresentasi variabel laten untuk diukur. Sedangkan model struktural
menunjukkan kekuatan estimasi antar variabel laten atau konstruk.
Variabel laten yang dibentuk dalam PLS-SEM, indikatornya dapat berbentuk
refleksif maupun formatif. Indikator refleksif atau sering disebut dengan Mode A
merupakan indikator yang bersifat manifestasi terhadap konstruk dan sesuai dengan
classical test theory yang mengasumsikan bahwa variance di dalam pengukuran
score variabel laten merupakan fungsi dari true score ditambah dengan error.
Sedangkan indikator formatif atau sering disebut dengan Mode B merupakan
indikator yang bersifatmendefinisikan karakteristik atau menjelaskan konstruk.
Untuk mempermudah pemahaman, berikut diberikan contoh model struktural dan
model pengukuran yang dapat dilihat pada gambar 2.15, 2.16 dan 2.17dibawah ini
53
Gambar 2.15 Model Struktural atau Inner Model
Sumber Ghozali (2012, p9)
Gambar 2.16 Model Pengukuran atau Outer Model
Sumber Ghozali (2012, p9)
Gambar 2.17 Model Persamaan Struktural
Sumber Ghozali (2012, p10)
Inner or Structural Model
Outer or Structural Model
X11
X21
X31
1
3
X13
X23
X33 X12
X22
X32
2
X1
X2
X3
X1
X2
X3
Mode A Mode B
Model Pengukuran
ξ3
ξ1
ξ2
ξ4
ξ5
Model Struktural ξ
Ƞ1
Ƞ2 Ƞ3
Ƞ5
Ƞ4
54
2.19.2.1. Outer Model
Outer model sering juga disebut (outer relation atau measurement model)
mendefinisikan bagaimana setiap blok indikator berhubungan dengan variabel
latennya. Blok dengan indikator refleksif dapat ditulis persamaannya sebagai berikut
Dimana dan adalah indikator atau manifest variabel untuk variabel laten
exogen dan endogen dan , sedangkan dan merupakan matrik loading yang
menggambarkan koefisien regresi sederhana yang menghubungkan variabel laten
dengan indikatornya. Residual yang diukur dengan dan dapat diinterpretasikan
sebagai kesalahan pengukuran atau noise.
Blok dengan indikator formatif dapat ditulis persamaannya sebagai berikut
dimana ξ, Ƞ, dan sama dengan yang digunakan pada persamaan (3).
dan adalah koefisien regresi berganda dari variabel laten dan blok indikator dan
dan adalah residual dari regresi
2.19.2.2. Inner Model
Inner modelkadang disebut juga dengan (inner relation, structural model dan
subtantive theory) menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasarkan pada
substantive theory. Model persamaannya dapat ditulis seperti di bawah ini.
dimana menggambarkan vektor endogen (dependen) variabel laten,
adalah vektor variabel laten exogen, dan adalah vektor variabel residual
(unexplained variance). Oleh karena PLS didesain untuk model recursive, maka
hubungan antar variabel laten, setiap variabel laten dependen , atau sering disebut
causal chain system dari variabel laten dapat dispesifikasikan sebagai berikut
55
Dimana dan adalah koefisien jalur yang menghubungkan predikor
endogen dan variabel laten exogen dan sepanjang range indeks i dan b, dan
adalah inner residual variable.
2.19.2.3. Weight Relations
Inner dan outer model memberikan spesifikasi yang diikuti dalam estimasi
algoritma PLS, kita memerlukan definisi weight relation. Nilai kasus untuk setiap
variabel laten diestimasi dalam PLS sebagai berikut
Dimana dan adalah k weight yang digunakan untuk membentuk
estimasi variabel laten dan . Estimasi variabel laten adalah linear agregat dari
indikator yang nilai weightnya didapat dengan prosedur estimasi PLS seperti
dispesifikasi oleh inner dan outer model dimana adalah vaktor variabel laten
endogen (dependen) dan adalah vektor variabel laten exogen (independen),
merupakan vektor residuan dan serta adalah matrik koefisien jalur (path
coefficient).
2.19.3. Metode PLS
(Ghozali, 2008, p.18-19) Partial Least Squares merupakan metode analisis
yang powerful oleh karena tidak mengasumsikan data harus dengan pengukuran
skala tertentu, jumlah sampel kecil. PLS dapat juga digunakan untuk konfirmasi
teori. Dibandingkan dengan covariance based SEM (yang diwakili oleh software
LISREL, EQS atau AMOS) component based PLS mampu menghindarkan dua
masalah besar yang dihadapi oleh covariance based SEM (CBSEM) yaitu
inadmissible solution dan factor indeterminacy (Fornell dan Bookstein, 1982).
Secara filosofis perbedaan antara covariance based SEM dengan component
based PLS adalah apakah kita akan menggunakan model persamaan struktural untuk
56
menguji teori atau pengembangan teori untuk tujuan prediksi (Anderson dan
Gerbing, 1988). Pada situasi dimana kita mempunyai dasar teori yang kuat dan
pengujian teori atau pengembangan teori sebagai tujuan utama riset, maka metode
dengan covariance based (Maximul Likelihood atau Generalized Least Squares)
lebih sesuai. Namun demikian adanya indeterminacy dari estimasi factor score maka
akan kehilangan ketepatan prediksi.
Untuk tujuan prediksi, pendekatan PLS lebih cocok. Dengan pendekatan PLS
diasumsikan bahwa semua ukuran variace adalah variance yang berguna untuk
dijelaskan. Oleh karena pendekatan untuk mengestimasi variabel laten dianggap
sebagai kombinasi linear dari indkator maka menghindarkan masalah indeterminacy
dan memberikan definisi yang pasti dari komponen skor. (Wold, 1982). PLS
memberikan model uum yang meliputi teknik korelasi kanonikal, redudancy
analysis, regresi berganda, multivariate analysis of variance (MANOVA) dan
Principle Component Analysis.
Oleh karena PLS menggunakan iterasi algoritma yang terdiri dari seri analisis
ordinary least squares maka persoalan identifikasi model tidak menjadi masalah
untuk model recursive, juga tidak mengasumsikan bentuk distribusi tertentu untuk
skala ukuran variabel. Lebih jauh lagi jumlah sampel dapat kecil dengan perkiraan
kasar yaitu
a. Sepuluh kali skala dengan jumlah terbesar dari indikator (kausal) formatif
(catatan skala untuk konstruk yang didesain dengna refleksif indikator dapat
diabaikan), atau
b. Sepuluh kali dari jumlah terbesar structural pathyang diarahkan pada konstruk
tertentu dalam model struktural.
PLS dapat dianggap sebagai model alternatif dari covariance based SEM.
Menuruk Joreskog dan Wold (1982) Maximum Likelihood berorientasi pada teori
dan menekankan transisi dari analisis exploratory ke confirmatory. PLS
dimaksudkan untuk causal-redictive analysis dalam situasi kompleksitas yang
tinggi dan dukungan teori rendah
2.19.4. Cara Kerja PLS
(Ghozali, 2008, p.19-22) Seperti dijelaskan di atas tujuan PLS adalah
membantu peneliti untuk mendapatkan nilai variabel laten untuk tujuan prediksi.
Model formalnya mendefinisikan variabel laten adalah linear agregat dari indikator-
57
indikatornya. Weight estimate untuk menciptakan komponen skor variabel laten
didapat berdasarkan bagaimana inner model (model pengukuran yaitu hubungan
antara indikator dengan konstruknya) dispesifikasi. Hasilnya adalah residual
variance dari variabel dependen (keduanya variabel laten dan indikator)
diminimumkan.
Estimasi parameter yang didapat dengan PLS dapat dikategorikan menjadi
tiga:
a. Kategori pertama adalah weight estimate yang digunakan untuk menciptakan
skor variabel laten.
b. Kedua mencerminkan estimasi jalur (path estimate) yang menghubungkan
variabel laten dan antar variabel laten dan blok indikatornya (loading).
c. Kategori ketiga adalah berkaitan dengan means dan lokasi parameter (nilai
konstanta regresi untuk indikator dan variabel laten.
Untuk memperoleh ketiga estimasi ini, PLS menggunakan proses iterasi tiga
tahap dan setiap tahap iterasi menghasilkan estimasi. Tahap pertama menghasilkan
weight estimate, tahap kedua menghasilkan estimasi untuk inner model dan outer
model, dan tahap ketiga menghasilkan estimasi means dan lokasi (konstanta).
Pada dua tahap pertama proses iterasi indikator dan variabel laten
diperlakukan sebagai deviasi (penyimpangan) dari nilai means (rata-rata). Pada tahap
ketiga untuk hasil estimasi dapat diperoleh berdasarkan pada data metric original,
hasil weight estimate dan path estimate pada tahap kedua digunakan untuk
menghitung means dan lokasi parameter. Tahap pertama merupakan jantung dari
algoritma PLS yang berisi prosedur iterasi yang selalu akan menghasilkan weight
estimate yang stabil. Komponen skor estimate untuk setiap variabel laten didapat
dengan dua cara. Melalui outside approximation yang menggambarkan weighted
aggregate dari indikator konstruk dan melalui inside approximation yang merupakan
weighted aggregate component score lainnya yang berhubungan dengan konstruk
dalam odel teoritis. Selama iterasi berlangsung inner model estimate digunakan
untuk mendapatkan outside approximation weight, sementara itu outer model
estimate digunakan untuk mendapatkan inide approximation weight. Prosedur iterasi
ini akan berhanti ketika prosentase perubahan setiap outside approximation weight
relatif terhadap proses iterasi sebelumnya kurang dari 0.001.
Chin (19..) memberikan ilustrasi proses iterasi seperti terlihat pada
gambar2.20dibawah ini
58
Gambar 2.18 Contoh Multiblock Model
Sumber: Ghozali (2008 p20)
Gambar 2.18 terdiri dari empat block (dua variabel exogen –ksi dimana satu
variabel menggunakan refleksif indikator dan satu variabel dengan formatif indikator
sedangkan dua variabel endogen –eta) keduanya menggunakan refleksif indikator).
Sebagai langkah awal iterasi algoritma adalah menghitung outside approximation
estimatedari variabel laten dengan cara menjumlah kan indikator dalam setiap block
dengan bobot yang sama (equal weight). Weight untuk setiap iterasi diskalakan untuk
mendapatkan unit variance dari skor variabel laten untuk N kasus dalam sampel.
Dengan menggunakan skor untuk setiap variabel laten yang diestimasi dilakukan
inside approximation estimate variabel laten.
Ada tiga skema inside approximation weight yang telah dikembangkan untuk
mengkombinasikan variabel laten tetangga (neightboring LV) guna mendapatkan
estimasi variabel laten tertentu yaitu : centroid, factor dan path weighting, walaupun
setiap skema weighting mengikuti logika tertentu tetapi hasil kajian empiris
menunjukkan bahwa apapun pilihannya hanya mempunyai pengaruh yang kecil
terhadap hasil yaitu 0.005 atau kurang untuk structural path dan 0.05 atau kurang
untuk measurement path (Nooman dan Wold, 1982). Skema weighting dengan
centroid merupakan prosedur asli yang digunakan oleh Wold. Metode ini hanya
mempertimbangkan tanda korelasi antara variabel laten dan variabel laten
tetangganya (neighboring LV). Nilai kekuatan korelasi dan arah model struktural
tidak diperhitungkan. Hasil perhitungannya menjadi sederhana karena hasil estimasi
X1 X2 X3
Ksi 1
X7 X8 X9
Eta 1
X10 X11 X12
Eta 2
X4 X5 X6
Ksi 2
59
dapat ditambahkan pada semua hubungan variabel laten dengan weight +1 atau -1
pada variabel endogen dan ini menjadi sama dengan centroid factor.
Skema weighting dengan factor menggunakan koefisien korelasi antara
variabel laten dan variabel laten tetangga sebagai pembobot (weight). Variabel laten
menjadi principal component dari variabel laten tetangganya. Menurut Lohmoller
(1989) skema weighting dengan factor memaksimumkan variance dari principle
component variabel laten ketika jumlah variabel laten menjadi tak terhingga
jumlahnya.
Skema dengan path weighting membobot variabel laten tetangga dengan cara
berbeda tergantung apakah variabel laten tetangga merupakan anteseden atau
konsekuen dari variabel laten yang ingin kita estimasi.Dengan hasil estimasi variabel
laten dari inside approximation, maka kita dapatkan satu set weight baru dari outside
approximtion. Jika skor inside approximation dibuat tetap (fixed), maka dapat
dilakukan regresi sederhana atau regresi berganda tergantung apakah block indikator
berbentuk refleksif (model A) atau block indikator berbentuk formatif (model B).
Oleh karena ksi 1, eta 1 dan eta 2 berbentuk model A dengan arah hubungan
kausalitas dar variabel laten ke indikator maka setiap indikator dalam setiap block
secara individu diregress terhadap estimasi variabel latennya (skor inside
approximation). Dalam kasus ksi 2 yang berbentu laten maka dilakukan regresi
berganda untuk mengestimasi ksi 2 terhadap indikatornya. Keofisien regresi
sederhana dan regresi berganda kemudian digunakan sebagai weight baru (new
weight) untuk outside approximation setiap variabel laten. Gambar 2.19
menggambarkan alur logika proses iterasi ini
Setelah skor variabel laten diestimasi pada tahap satu, maka hubungan jalur
(path relation) kemudian diestimasi dengan ordinary least square regression pada
tahap dua. Setiap variabel dependen dalam odel (apakah variabel laten endogen atau
indikator dalam model refleksif) diregress terhadap variabel independen (variabel
laten lainnya atau indikator dalam bentuk formatif). Jika hasil estimasi pada tahap
dua menghasilkan nilai yang berarti (perbedaan nilai means, skala, dan variance
memberikan hasil yang berarti), maka parameter mean dan lokasi untuk indikator
dan variabel laten diestimasi pada tahap ketiga. Hal ini dilakukan dengan cara mean
setiap indikator dihitung lebih dahulu dengan menggunakan data asli (original data),
kemudian menggunakan weight yang didapat dari tahap satu, means untuk setiap
variabel laten dihitung dengan nilai mean untuk setiap variabel laten dan path
60
estimate dari tahap dua, maka lokasi parameter untuk setiap variabel laten dependen
dihitung sebagai perbedaan antara mean yang baru saja dihitung dengan systematic
part accounted oleh variabel laten independen yang mempengaruhinya. Gambar 2.20
menggambarkan algoritma PLS
Gambar 2.19 Tahap 1 Algorithm untuk Estimasi LV Scores
Sumber Ghozali (2012, p17)
Yes
No
Step 0: Initial Outside Approximation LV score estimate obtained by summing up its indicators using equal weight. Multiply each estimate with appropriate scalar to
assure variance is 1
Step 1: Calculate Inside Approximation Wights Use LV score estimates from previous outside approximation to
calculate weight For example under factor weighting, weight equal the correlation
of 1. V1 and LVj if structurally connected, otherwise zero
Step 2: Perform Inside Approximation Use weight from previous step and LV score estimate from
previous outside approximation to obtain inside approximation estimates
Step 3: Calculate Outside Approximation Weight Use new inside approximation LV score estimates to calculate
weight If LVs modeled with mode A, perform simple regression treating each indicator as the dependent variable and the LV estimates as
the independent variable If LV is modeled with mode B perform multiple regression with
the LV estimates as the dependent variable
Step 4: Perform Outside Approximation Use weight from previous step and LV score estimates from
previous inside approximation to obtain new outside approximation estimates. Multiply each estimates with appropriate
scalar to assuma variance is 1
Are all outside approximation weight within 0.001 of the previous estimate?
Go to stage 2
61
Gambar 2.20Algoritma Partial Least Square
Sumber: Ghozali (2008, p22)
2.19.5. Perbandingan PLS Sem dan CB-SEM
(Ghozali, 2012, p20-24) Umumnya terdapat dua jenis tipe SEM yang sudah
dikenal secara luas (Fronell dan Bookstein 1982) yaitu covariance-based structural
equation modeling (CB-SEM) yang dikembangkan oleh Joreskog (1969) dan partial
least squares path modeling (PLS-SEM) sering disebut variance atau component-
based structural equation modeling yang dikembangkan oleh Wold (1974).
Covariance based SEM diwakili oleh software seperti AMOS, EQS, LISREL, Mplus
dan sebagainya sedangkan variance atau component based SEM diwakili oleh
software seperti PLS-Graph, SmartPLS, VisualPLS, SXSTAT-PLS dan sebagainya.
Covariance-based SEM merupakan tipe SEM yang mengharuskan konstruk
maupun indikator-indikatornya untuk saling berkorelasi satu dengan lainnya dalam
suatu model struktural. Lebih lanjut, variance atau component-based SEM
merupakan tipe SEM yang menggunakan variance dalam proses iterasi sehingga
tidak memerlukan korelasi antara indikator maupun konstruk latennya dalam suatu
The general PLS Path Modeling algorithm
Outer Estimation
Inner Estimation
Initial Step
Reiterate till convergence
Choice of weights • Centroid: correlation signs • Factorial: correlation • Path Weighting Scheme: multiple
regression coefficients or correlations
Mode A:
Mode B:
Update weights W
After convergence : OLS LV multiple regression or PLS-R for path coefficients
62
model struktural. Secara umum, penggunaan CB-SEM bertujuan untuk mengestimasi
model struktural berdasarkan telaah teoritis yang kuat untuk mengujihubungan
kausalitas antar konstruk serta mengukur kelayakan model dan mengkonfirmasinya
sesuai dengan data empirisnya. Konsekuensi penggunaan CB-SEM adalah menuntuk
basis teori yang kuat, memenuhi berbagai asumsi parametrik dan memenuhi uji
kelayakan model (goodnes of fit). Karena itu, CB-SEM sangat tepat digunakan untuk
menguji teori danmendapatkan justifikasi atas pengujian tersebut dengan serangkaian
analisis yang kompleks. Sementara PLS-SEM bertujuan untuk menguji hubungan
prediktif antar konstruk dengan melihat apakah ada hubungan atau pengaruh antar
konstruk tersebut. Konsekuensi penggunaan PLS-SEM adalah pengujian dapat
dilakukan tanpa dasar teori yang kuat, mengabaikan beberapa asumsi (non-
parametrik) dan parameter ketepatan model prediksi dilihat dari nilai koefisien
dterminasi (R-square). Karena itu, PLS, SEM sangat tepat digunakan pada penelitian
yang bertujuan mengembangkan teori.
Berikut diberikan contoh model dengan menggunakan covariance-based
SEM dan variance atau component-based SEM seperti dapat dilihat pada gambar
2.21berikut ini:
Gambar 2.21Contoh Model CB-SEM dan PLS-SEM
Sumber: Ghozali (2012, p22)
Jadi dapat disimpulkan bahwa, jika model struktural dan model pengukuran
yang dihipotesiskan benar dalam hal ini menjelaskan covariance semua indikator dan
kondisi data atau jumlah sampel dapat dipenuhi, maka covariance-based SEM
memberikan estimasi optimal dari parameter model. Namun demikian, jika tujuan
dan pandangan peneliti dari data ke teori, jumlah sampel yang terbatas dan tidak
X1 X2 X3
X4 X5 X6
X1 X2 X3
X4 X5 X6
CB-SEM
PLS-SEM
63
dapat memenuhi berbagai asumsi parametrik, maka PLS merupakan teknik analisis
yang cocok. Tabel 2.4di bawah ini memberikan perbandingan antara PLS-SEM dan
CB-SEM sebagai berikut
Tabel 2.4 Perbandingan antara PLS-SEM dan CB-SEM
Kriteria PLS-SEM CB-SEM
Tujuan Penelitian
Untuk mengembangkan
teori atau membangun
teori (orientasi prediksi)
Untuk menguji teori atau
mengkonfirmasi teori
(orientasi parameter)
Pendekatan Berdasarkan variance Berdasarkan covariance
Metode Estimasi Least Squares Maximum
Likelihood(umumnya)
Spesifikasi Model dan
Parameter Model
Components two loadings,
path coefficients dan
component weight
Factors one loadings, path
coefficients, error variances
dan factor means
Model Struktural
Model dengan
kompleksitas besar dengan
banyak konstruk dan
banyak indikator (hanya
berbentuk recursive)
Model dapat berbentuk
recursive dan non-recursive
dengan tingkat
kompleksitas kecil sampai
menengah
Evaluasi Model dan
Asumsi Normalitas
Data
Tidak mensyaratkan data
terdistribusi normal dan
estimasi parameter dapat
langsung dilakukan tanpa
persyaratan kriteria
goodness of fit
Menyaratkan data
terdistribusi normal dan
memenuhi kriteria goodness
of fit sebelum estimasi
parameter
Pengujian Signifikansi
Tidak dapat diuji dan
difalsifikasi (harus melalui
prosedur bootstrap atau
jackknife)
Model dapat diuji dan
difalsifikasi
Software Produk
PLS Graph, SmartPLS,
SPAD-PLS, XLSTAT-
PLS dan sebagainya
AMOS, EQS, LISREL,
Mplus dan sebagainya
Sumber: Ghozali (2012, p23)
64
Pada beberapa contoh kasus, peneliti ingin menganalisis model menggunakan
CB-SEM tetapi data yang dimilikinya tidak memenuhi asumsi parametrik, maka
solusi yang bisa digunakan adalah dengan menurunkan tujuan penelitian dari
mencari hubungan kausalitas menjadi mencari hubungan prediktif dengan
menggunakan PLS-SEM. Jika dipaksakan akan menggunakan CB-SEM akan
menimbulkan beberapa persoalan seperti:
• Adanya Heywood Case atau varian yang bernilai negatif(seharusnya positif)
• Terjadi indeterminasi faktor (error) yang mengakibatkan program tidak dapat
memberikan hasil estimasi karena model tidak dapat diidentifikasi (unidentified
model)
• Non-convergence algorithm
Namun demikian PLS-SEM dan CB-SEM haruslah dianggap sebagai suatu
set alat analisis yang saling melengkapi dibanding dengan suatu kompetisi alat
statistika (Chin 2010b). hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oeh Joreskog dan
Wold (1982) di bawah ini:
“ML is theory-oriented, and emphasizes the transitiion from exloratory to
confirmatory analysis. PLS is primarily intenden for causal-predictive analysis in
situations of high complexity but low theoretical information”
2.19.6. Tahapan analisis PLS-SEM
(Ghozali, 2012, p47-88) Tahapan analisis menggunakan PLS-SEM
setidaknya harus elalui lima proses tahapan dimana setiap tahapan akan berpengaruh
terhadap tahapan selanjutnya yaitu (1) konseptualisasi model (2) menentukan metode
analisis algorithm (3) menentukan metode resampling (4) menggambar diagram jalur
dan (5) evaluasi model.
65
Konseptualisasi Model Step 1
Menentukan Metode Analisis Algorithm Step 2
Menentukan Metode Resampling Step 3
Menggambar Diagram Jalur Step 4
Evaluasi Model Step 5
Gambar 2.22Tahapan Analisis Menggunakan PLS-SEM
Sumber: Ghozali (2012, p47)
2.19.6.1. Konseptualisasi Model
Konseptualisasi model merupakan langkah awal dalam analisis PLS-SEM.
Pada tahap ini peneliti harus melakukan pengembangan dan pengukuran konstruk.
Prosedur pengembangan dan pengukuran konstruk secara konvensional pertama kali
diperkenalkan oleh Gilbert Chruchill pada tahun 1979 dalam bidang marketing.
Menurut Chirchill (1979) terdapat delapan tahapan prosedur yang harus dilewati
dalam pengembangan dan pengukuran konstruk yaitu:
1. Spesifikasi domain konstruk
2. Tentukan item yang merepresentasi konstruk
3. Pengumpulan data untuk dilakukan uji pretest
4. Purifikasi konstruk
5. Pengumpulan data baru
6. Uji reliabilitas
7. Uji validitas dan
8. Tentukan skor pengukuran konstruk
Lebih lanjut MacKenzie et al. (2011) mengajukan prosedur pengembangan
dan pengukuran konstruk dalam bidang sistem informasi dan keprilakuan menjadi
sepuluh langkah sebagai berikut:
1. Mengembangkan dan mendefinisikan konstruk secara konseptual yaitu
dengan mereview literatur serta penelitian terdahulu kemudian tentukan
66
domain konstruk. Selanjutnya, spesifikasi tema konstruk secara konseptual,
yaitu dengan menentukan karakteristik dan dimensionalitas konstruk.
2. Tentukan item-item yang merepresentasi konstruk.
3. Menuji validitas isi tiap item untuk menunjukkan apakah item-item tersebut
merepresentasi konstruk ataukah tidak.
4. Lakukan spesifikasi model pengukuran.
5. Kumpulkan data untuk melakukan uji pretest.
6. Purification dan refinement dengan melakukan evaluasi terhadap validitas
dan reliabilitas konstruk berdasarkan level abstraksi dengan menilai
convergent validity serta evaluasi goodness of fit model.
7. Pengumpulan data baru diakibatkan karena adanya item yang tidak valid atau
reliabel.
8. Pengujian kembali validitas konstruk setelah tahap purifikasi untuk
memastikan apakah item-item tersebut memang merupakan item pembentuk
konstruk dengan melakukan manipulasi eksperimen terhadap konstruk, serta
menguji validitas nomological, convergent dan discriminant.
9. Validasi silang yaitu menuji fit tidaknya model terhadap pengumpulan data
baru
10. Menentukan skor pengukuran item konstruk.
Menurut MacKenzie (2003) terdapat beberapa problem dalam konseptualisasi
konstruk yaitu:
1. Focal construct tidak didefinisikan karena sulit untuk dilakukan pengukuran
domain konstruknya sehingga menyebabkan lemahnya validitas konstruk.
2. Terjadi kesalahan pendefinisianfocal construct sehingga sulit dilakukan
pengukuran model yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya validitas
kesimpulan statistik.
3. Pendefinisian konstruk yang kurang mencukupi sehingga melemahkan
hipotesis yang dibangun yang mengakibatkan lemahnya validitas iternal.
Berikut diberikan gambaran problem konseptualisasi konstruk seperti tampak
pada gambar 2.23di bawah ini.
67
Deficient/
Contaminated
Measures
Low Construct
Validity
Construct
Conceptualization
Measurement
Model
Misspecification
Low Statistical
Conclusion
Validity
Weak Theoretical
Rationale for
Hypothesies
Low Internal
Validity
Gambar 2.23Problem Konseptual Konstruk
Sumber: Ghozali (2012, p52) diadopsi dari MacKenzie (2003)
Selanjutnya arah kausalitas antar konstruk yang menunjukkan hubungan yang
dihipotesiskan harus ditentukan dengan jelas dan dimensionalitas serta indikator
pembentuk konstruk laten harus ditentukan apakah berbentuk refleksif ataukah
formatif.
2.19.6.1.1. Konstruk Refleksif dan Formatif
Umumnya prosedur pengembangan konstruk dalam berbagai literatur
disarankan menggunakan konstruk dengan indikator refleksif karena diasumsikan
mempunyai kesamaan domain konten, walaupun sebenarnya dapat juga
menggunakan konstruk dengan indikator formatif. Fornell dan Bookstein (1982)
menjelaskan bahwa konstruk seperti personalitas atau sikap umumnya dipandang
sebagai faktor yang menimbulkan sesuatu yang kita amati sehingga merupakan
kombinasi penjelas dari indikator (seperti perubahan penduduk atau bauran
pemasaran) yang ditentukan oleh kombinasi variabel maka indikatornya harus
berbentuk formatif. Seperti yang diketahui bahwa PLS-SEM dapat menangani
konstruk dengan indikator refleksif maupun formatif. Dalam penelitian-penelitian di
bidang organisasi (Podsakoff et al. 2003), marketing (Jarvis et al. 2003) maupun
sistem informasi (Peter et al. 2007) indikator formatif cenderung lebih digunakan
karena tidak semua konstruk dapat dibentuk dengan indikator refleksif maupun
formatif.
68
2.19.6.1.2. Konstruk dengan Indikator Refleksif
Konstruk dengan indikator refleksif mengasumsikan bahwa kovarian di
antara pengukuran model dijelaskan oleh varian yang merupakan manifestasi domain
konstruknya. Arah indikatornya yaitu dari konstruk ke indikator. Pada setiap
indikatornya harus ditambah dengan error terms atau kesalahan pengukuran. Berikut
diberikan contoh konstruk dengan indikator refleksif dapat dilihat pada gambar 2.25
dibawah ini
Gambar 2.25Contoh Konstruk dengan Indikator Refleksif
Sumber: Ghozali (2012, p60)
2.19.6.1.3. Konstruk dengan Indikator Formatif
Konstruk dengan indikator formatif mengasumsikan bahwa setiap
indikatornya mendefinisikan atau menjelaskan karakteristik domain konstruknya.
Arah indikatornya yaitu dari indikator ke konstruk. Kesalahan pengukuran ditujukan
pada konstruk bukan pada indikatornya sehingga pengujian validitas dan reliabilitas
konstruk tidak diperlukan. Berikut contoh konstruk dengan indikator formatif dapat
dilihat pada gambar 2.25dibawah ini
X1
X2
X3
Ksi 1
X4
X5
X6
X7
X8
X9
69
Gambar 2.25Contoh Konstruk dengan Indikator Formatif
Sumber: Ghozali (2012, p61)
2.19.6.1.4. Pedoman Menentukan Arah Indikator Konsruk
Untuk melakukan pengukuran model (outer model), penting bagi seorang
peneliti untuk mengetahui arah indikator suatu konstruk, apakah berbentuk refleksif
ataukah formaif agar dapat mengevaluasi hubungan antara variabel laten dengan
indikatornya. Pada kasus tertentu sering ditemukan bahwa peneliti menggunakan
indikator formatif untuk melakukan operasionalisasi konstruk refleksif. Kesalahan
penggunaan ini disebut dengan Type I Error. Dan sebaliknya jika peneliti
menggunakan indikator refleksif untuk melakukan operasionalisasi konstruk
formatif, maka kesalahan ini disebut dengan Type II Error. Berikut ringkasnya dapat
dilihat pada tabel 2.5dibawah ini.
Tabel 2.5 Kesalahan Pemilihan Indikator
Kesalahan Pemilihan
Indikator
Reflective Formative
Reflective Correct Decision Type I Error
Formative Type II Error Correct Decision
Sumber: Ghozali (2012, p62)
Untuk mencegah terjadinya kesalahan Type I Error dan Type II Error, maka
penting bagi peneliti untuk mengetahui arah indikator konstru yang dibentuk. Jarvis
et al. (2003) dan MacKenzie (2003) memberikan suatu pedoman dalam menentukan
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
70
apakah arah indikator suatu konstruk berbentuk refleksif ataukah formatif dengan
melihat beberapa kriteria berikut.
Tabel 2.6 Perbandingan Antara Indikator Refleksif dan Formatif
Kriteria Reflective Model Formative Model
1. Arah hubungan
kausalitas antara
konstruk dan
indikator dari
definisi konseptual
Arah kausalitas dari
konstruk ke indikator
(items)
Arah kausalitas dari
indikator (items) ke
konstruk
Apakah indikator (items)
(a) Mendefinisikan
karakteristik konstruk
(b) Manifestasi terhadap
konstruk
Indikator manifestasi
terhadap konstruk
Indikator mendefinisikan
karakteristik konstruk
Apakah perubahan pada
indikator mengakibatkan
perubahan pada konstruk
ataukah tidak?
Perubahan pada indikator
tidak menyebabkan
perubahan pada konstruk
Perubahan pada indikator
mengakibatkan perubahan
pada konstruk
Apakah perubahan pada
konstruk mengakibatkan
perubahan pada indikator?
Perubahan pada konstruk
mengakibatkan perubahan
pada indikator
Perubahan pada konstruk
tidak menyebabkan
perubahan pada indikator
2. Apakah indikator
atau items dapat
dipertukarkan?
Indikator dapat
dipertukarkan
Indikator tidak dapat
dipertukarkan
Haruskah indikator
memiliki konten yang
sama? Atau indikator
memiliki tema yang sama?
Indikator harus memiliki
konten yang sama dan
indikator perlu memiliki
tema yang sama
Indikator tidak harus
memiliki konten yang
sama dan indikator tidak
perlu memiliki tema yang
sama
Apakah dengan
menghilangkan satu
indikator akan mengubah
makna konstruk?
Menghilangkan satu
indikator tidak akan
mengubah makna
konstruk
Menghilangkan satu
indikator akan mengubah
makna konstruk
71
3. Apakah terdapat
kovarian antar
indikator?
Indikator diharapkan
memiliki kovarian satu
sama lainnya
Tidak perlu ada kovarian
antar indikator
Apakah perubahan satu
indikator berhubungan
dengan perubahan
indikator lainnya?
Tidak harus Ya
4. Nomological dari
indikator konstruk
Nomological indikator
tidak harus berbeda
Nomological indikator
berbeda
Apakah indikator (items)
diharapkan memiliki
anteseden dan konsekuen
yang sama?
Indikator disyaratkan
memiliki anteseden dan
konsekuen yang sama
Indikator tidak disyaratkan
memiliki anteseden dan
konsekuen yang sama
Sumber: Ghozali (2012, p62) diadopsi dari Jarvis et al. (2003); MacKenzie
(2003) dan Peter et al.(2007)
Hal yang sama juga dinyatakan oleh MacKenzie et al. (2005) bahwa untuk
dapat membedakan arah indikator suatu konstruk apakah berbentuk refleksif ataukah
formatif dapat dilihat dari beberapa pertanyaan berikut ini.
Tabel 2.7 Perbandingan Indikator Refleksif dan Formatif
No. Pertanyaan Penjelasan
1 Apakah indikator
bersifat manifestasi
terhadap konstruk
atau dapat
mendefinisikan
karakteristik suatu
konstruk?
Jika indikator bersifat manifestasi terhadap konstruk,
maka dapat diberikan judgement bahwa indikator
mempunyai arah refleksif terhadap konstruk.
Sebaliknya jika indikator bersifat mendefinisikan
karakteristik atau menjelaskan konstruk, maka dapat
diberikan judgement bahwa indikator mempunyai arah
formatif terhadap konstruk tersebut
2 Apakah indikator-
indikator tersebut
secara konseptual
dapat dipertukarkan?
Jika arah indikatr terhadap konstruk adalah refleksif,
maka tiap indikatornya harus memiliki tema yang
sama dan setiap indikator harus mampu menangkan
esensi domain konstruknya.
Sebaliknya jika arah indikator terhadap konstruk
adalah formatif, maka tiap indikator tidak perlu
72
memiliki tema yang sama tetapi setiap indikatornya
harus mampu menangkap aspek unik dari domain
konstruknya
3 Apakah terdapat
kovarian antar
indikator konstruk?
Indikator refleksif secara eksplisit memprediksi bahwa
pengukuran model harus saling berkorelasi kuat
karena memiliki kesamaan penyebab.
Sebaliknya, indikator formatif, tidak memprediksi
korelasi diantara indikator pengukurnya sehingga
korelasi dapat bersifat tinggi, rendah atau diantara
keduanya
4 Apakah indikator
memiliki anteseden
dan konsekuensi
yang sama?
Indikator refleksif suatu konstruk harus memiliki
anteseden dan konsekuensi yang sama , karena seluruh
indikator mempunyai refleksi yang sama untuk satu
konstruk dan secara konseptual dapat dipertukarkan.
Sebaliknya, untuk indikator formatif suatu konstruk
tidak perlu memiliki anteseden atau konsekuensi yang
sama, karena masing-masing indikator adalah unik
dan secara konseptual tidak dapat dipertukarkan
Sumber: Ghozali (2012, p64)
2.19.6.1.5. Konstruk Unideimensional dan Multidimensional
Dalam model persamaan struktural, penting bagi seorang peneliti untuk
memahami dimensionalitas suatu konstruk. Secara teoritis, dimensi suatu konstruk
dapat berbentuk unidimensional dan multidimensional. Perbedaan tersebut terjadi
karena tiap konstruk memiliki level abstraksi yang berbeda sehingga menuntuk
perlakuan yang berbeda pula dalam pengujian statistikanya.
2.19.6.1.6. Konstruk Unidimensional
Konstruk unidimensional adalah konstruk yang dibentuk langsung dari
manifest variabelnya dengan arah indikatornya dapat berbentuk refleksif maupun
formatif. Pada model struktural yang menggunakan konstruk unideimensional,
analisis faktor konfirmatori untuk menguji validitas konstruk dapat dilakukan
langsung melalui forst order construct yaitu konstruk laten yang direfleksikan oleh
indikator-indikatornya. Berikut ini diberikan contoh konstruk unidimensional dan
73
model struktural dengan konstruk unidimensional seperti tampak pada Gambar 2.26,
2.27 dan 2.28dibawah ini:
Gambar 2.26Konstruk Unidimensional
Sumber: Ghozali (2012, p65)
Gambar 2.27 Model Struktural dengan Konstruk Unidimensional
Refleksif
Sumber: Ghozali (2012, p66)
ξ
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X1
X2
X3
X1
X2
X3
Konstruk Unidimensional dengan Indikator Refleksif
Konstruk Unidimensional dengan Indikator Formatif
74
Gambar 2.28 Model Struktural dengan Konstruk Unidimensional
Formatif
Sumber: Ghozali (2012, p66)
2.19.6.1.7. Konstruk Multidimensional
Konstruk multidimensional adalah konstruk yang dibentuk dari konstruk
laten dimensi yang didalamnya termasuk konstruk unidimensional dengan arah
indikatornya dapat berbentuk refleksif maupun formatif. Pada model struktural yang
menggunakan konstruk multidimensional, analisis faktor konfirmatori untuk menguji
validitas konstruk dilakukan melalui dua tahap, yaitu analisis pada first order
construct yaitu konstruk laten dimensi yang direfleksikan atau dibentuk oleh
indikator-indikatornya dan analisis pada second order construct yaitu konstruk yang
direfleksikan atau dibentuk oleh konstruk latendimensinya. Konstruk
multidimensional dapat dibentuk menjadi empat tipe yaitu reflective first order dan
reflective second order, reflective first order dan formative second order, formative
first order dan reflective second order, formative first order dan formative second
order berikut ini diberikan contoh konstruk multidimensional dan model struktural
menggunakan konstruk multidimensional seperti tampak pada gambar 2.29, 2.30,
2.31, 2.32 dan 2.33dibawah ini.
X4
X5
X6
X7
X8
X9
ξ
X1
X2
X3
75
Type I
Reflective First-Order, Reflective Second Order
Type II
Reflective First-Order, Formative Second Order
Type III
Formative First-Order, Reflective Second Order
Type IV
Formative First-Order, Formative Second Order
Gambar 2.31Konstruk Multidimensional
Sumber: Ghozali (2012, p68)
X7
X8
X9
X4
X5
X6
X1
X2
X3
ξ
X7
X8
X9
X4
X5
X6
X1
X2
X3
ξ
ξ
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
ξ
76
Gambar 2.32Model Struktural dengan Lower Order Konstruk Refleksif dan
Higher Order Konstruk Formatif
Sumber: Ghozali (2012, p69)
Gambar 2.33Model Struktural dengan Lower dan Higher Order Konstruk
Formatif
Sumber: Ghozali (2012, p69)
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X1
X2
X3
ξ
X1 X2 X3
X4 X5 X6
ξ
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
Y1 Y2 Y3
Y4 Y5 Y6
77
Gambar 2.34Model Struktural Lower dan Higher Order Konstruk Refleksif
Sumber: Ghozali (2012, p70)
Gambar 2.35Model Struktural dengan Lower Order Konstruk Formatif dan
Higher Order Konstruk Refleksif
Sumber: Ghozali (2012, p70)
Selanjutnya MacKenzie et al. (2005) membedakan konstruk berasarkan level
abstraksi suatu konstruk. Konstruk yang direfleksikan dan dijelaskan oleh indikator-
indikatornya disebut dengan common latent construct (konstruk dengan indikator
refleksif) sedangkan konstruk yang dibentuk oleh indikator-indikatornya disebut
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X1
X2
X3
ξ
X1 X2 X3
X4 X5 X6
ξ
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
Y1 Y2 Y3
Y4 Y5 Y6
78
sebagai composite latent construct (konstruk dengan indikator formatif). Berikut
dijelaskan level abstraksi konstruk dengan indikator refleksif dapat dilihat pada
gambar 2.34berikut
Gambar 2.34Model Pengukuran Indikator Refleksif
Sumber: Ghozali (2012, p71) diadopsi dari MacKenzie et al.(2005)
Pada gambar 2.34 di atas dapat dilihat bahwa common latent construct dapat
dijelaskan melalui tiga panel. Pada panel pertama common latent construct berbentuk
unidimensional atau first order yang langsung dapat dilakukan pengukuran model
melalui tiga indikatornya. Pada panel kedua, common latent construct berbentuk
multidimensional atau second order dengan tiga facet atau dimensi konstruk
berbentuk refleksif, yang masing-masing facet direfleksikan hanya dengan satu
indikator (indikator tunggal). Common latent construct pada panel kedua ini jika
dilakukan pengukuran model tidak akan dapat diidentifikasi (unidentified), karena
nilai unik dari indikator dan error terms tidak dapat diestimasi. Pada panel ketiga,
common latent construct juga berbentuk multidimensional atau second order dengan
tiga facet atau dimensi konstruk berbentuk refleksif, akan tetapi masing-masing
facet-nya direfleksikan dengan tiga indikator refleksif. Pengukuran model pada panel
ketiga ini dapat dilakukan melalui dua tahap. Pertama, pengukuran model dilakukan
Conceptual Differentiation
Co
nce
ptu
al A
bstraction
E
mp
irical A
bstra
ction
Panel 2
Facet1
Composite Latent
Construct
Hypothetical Construct
Facet2 Facet3
Hypothetical Construct
Common Latent Construct
Panel 1 Panel 3
Coneptual Plane
Observational Plane
Composite Latent
Construct
Hypothetical
Construct
Facet1
Facet2
Facet3
79
pada facet atau dimensi konstruk melalui tiga indikatornya, kemudian dilanjutkan
pada common latent construct melalui tiga dimensi konstruknya.
Adapun level abstraksi konstruk dengan indikator formatif dapat dilihat pada
gambar 2.35berikut
Gambar 2.35Model Pengukuran Indikator Formatif
Sumber: Ghozali (2012, p72) diadopsi dari MacKenzie et al.(2005)
Pada gambar 2.35di atas dapat dilihat bahwa composite latent construct dapat
dijelaskan melalui tiga panel. Pada panel pertama composite latent construct
berbentuk unidimensional atau first order yang langsung dapat dilakukan
pengukuran model melalui tiga formatif indikatornya. Pada panel kedua, composite
latent construct berbentuk multidimensional atau second order dengan tiga first
order laten konstruk berbentuk formatif yang masing-masing facet direfleksikan oleh
satu indikator refleksif. Composite latent construct pada panel kedua ini tidak dapat
dilakukan pengurkuran model karena terjadi perbedaan antara indikator, facet dan
composite latent construct-nya sehingga jika ingin melakukan pengukuran model
harus dirubah terlebih dahulu menjadi sama seperti panel pertama. Pada panel ketiga,
composite latent construct juga berbentuk multidimensional atau second order
dengan tiga facet atau dimensi konstruk berbentuk formatif, akan tetapi masing-
Conceptual Differentiation
Co
ncep
tua
l A
bstra
ction
Em
pirica
l A
bstra
ction
Panel 1
Hypothetical
Construct
Common Latent Construct
Panel 2
Facet1
Common Latent
Construct
Hypothetical
Construct
Facet2 Facet3
Panel 3
Coneptual Plane
Observational Plane
Common Latent
Construct
Hypothetical
Construct
Facet3
Facet2
Facet1
80
masing facet-nya direfleksikan oleh tiga indikator refleksif. Pengukuran model pada
panel ketiga ini juga tidak dapat dilakukan karena terjadi perbedaan atara indikator,
facet dan composite latent construct-nya. Perlu diingat bahwa untuk melakukan
pengukuran model, dimensi konstruk harus dispesifikasi berdasar satu basis teoritis
saja (refleksif saja atau formatif saja). Pengukuran model untuk konstruk formatif
pada jenjang multidimensional dilakukan melalui dua tahap juga sama seperti
konstruk refleksif yaitu dari facet dengan indikatornya kemudia dilanjutkan dari facet
dengan common latent construct.
2.19.6.2. Menentukan Metode Analisis Algorithm
Model penelitian yang sudah melewati tahapan konseptualisasi model
selanjutnya harus ditentukan metode analisis algorithm apa yang akan digunakan
untuk estimasi model. Dalam PLS-SEM menggunakan program SmartPLS 2.0,
metode analisis algorithm yang disediakan hanyalah algirithmPLS dengan tiga
pilihan skema yaitu factorial, centroid dan path atau structural weighting. Skema
algoritma PLS yang disarankan oleh Wold adalah path atau structural weighting.
Setelah peneliti menentukan metode analisis algoritma serta skema yang
digunakan, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah menentukan berapa
jumlah sampel yang harus dipenuhi seperti yang diketahui, PLS-SEM tidak menuntut
sampel dalam jumlah besar. Minimal direkomendasikan antara 30 sampai 100 kasus.
Menurut Chin (1998) jumlah sampel PLS dapat dihitung dengan cara sepuluh kali
jumlah variabel endogen dalam model.
2.19.6.3. Menentukan metoderesampling
Umumnya terdapat dua metode yang digunakan oleh peneliti di bidang SEM
untuk melakukan proses resampling yaitu, bootstrapping dan jackknifing
“ the name ‘jackknife’ is intended to suggest the broad usefulness of a
technique as a substitute for specialiezed tools that may not be
available, just as the Boy Scout’s trusty tool serves so variedly. . . . the
basic idea is to assess the effect of each of the groups into which the
data have been divided, not by the result for that group alone, . . . but
rather through the effect upon the body of data that results from
omitting that group”
Jadi metodejackknifinghanya menggunakan subsampel dari sampel asli yang
dikelompokkan dalam grup untuk melakukan resampling kembali.
81
Sementara Diaconis dan Efron (1983) menjelaskan
metodebootsrappingsebagai
“ the bootstrap procedure is a means of estimating the statistical
accuracy. . . from the data in a single sample. The idea is to mimic the
process of selecting many samples . . . in order to find the probability
that the values of their (test statistics) fall within various intervals.
The samples are generated from the data in the original sample. . . .
the data . . . are copied an enormous number of times, say a billion
(for each group). . . . samples . . . are then selected at random and the
(test statistic) is calculated for each sample. . . . the distribution of the
(test statistic) for the bootstrap samples can be treated as if it were a
distribution constructed from real samples.”
Jadi metodebootstrapping menggunakan seluruh sampel asli untuk
melakukan resampling kembali. Metode ini lebih sering digunakan dalam model
persamaan struktural. Program SmartPLS 2.0 hanya menyediakan sat metode
resampling yaitu bootstrapping dengan tiga pilihan yaitu No Sign Changes,
Individual Sign Changes dan Construct Level Changes.
Menurut Tenenhaus et al. (2005) metode standar resampling adalah No Sign
Changes yaitu statistika resampling yang dihitung tanpa mengkompensasi tanda
apapun. Pilihan ini sangat konservatif karena menghasilkan standar error yang sangat
tinggi namun konsekuensinya rasio T-statistics menjadi rendah. Selanjutnya
Individual Sign Changes yaitu tanda pada setiap resampling dibuat konsisten dengan
tanda pada sampel aslinya tanpa memastikan koherensi secara global. Sedangkan
pada setiap individual outer weight dalam resampling juga dibuat konsisten. Dan
yang terakhir Construct Level Changes dikhususkan untuk mode B, yaitu
menggunakan outer weight untuk mengkompensasi estimasi variabel laten dalam
sampel original dan dalam resample-nya. Pilihan ini berpotensi menimbulkan
masalah multikolinieritas yang kuat antar variabel laten.
2.19.6.4. Menggambar Diagram Jalur
Seltelah melakukan konseptualisasi model, menentukan metode analisis
algoritma dan metode resampling, langkah selanjutnya adalah menggambar diagram
jalur dari model yang akan diestimasi tersebut. Dalam menggambar diagram jalur
(path diagram), Falk dan Miller (1992) merekomendasikan untuk menggunakan
82
prosedur nomogram retucular action modeling (RAM) dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Konstruk teoritikan (theoretical constructs) yang menunjukkan variabel laten
harus digambar dengan bentuk lingkaran atau bulatan elips (circle)
b. Variabel observed atau indikator harus digambar dengan bentuk kotak
(squares)
c. Hubungan-hubungan asimetri (asymetrical relationships) digambarkan
dengan arah panah tunggal (single headed arrow)
d. Hubungan-hubungan simetris (symetrical relationships) digambarkan dengan
arah panah ganda (double headed arrow)
Sama seperti pada CB-SEM, PLS-SEM memberikan keuntungan tambahan
dalam menggambar hubngan antar variabel secara graik dengan nomogram reticular
action modeling (RAM) melalui empat fitur berikut
� Ordering of theoretical constructs
� Specifying of arrows
� Specifying of inner model
� Blocking the manifest, theoretical variables and establishing their directions
2.19.6.5. Evaluasi Model
Karena PLS tidak mensyaratkan adanya asumsi distribusi tertentu untuk
estimasi parameter, maka teknik parametrikuntuk menguji atau mengevaluasi
signifikansi tidak diperlukan (Chin, 1998; Chin dan Newsted, 1999). Hal ini
konsisten dengan Wold (1980, 1982b) bahwa PLS bersifat distribution-free. Dengan
kata lain, dibandingkan dengan pendekatan CB-SEM, evaluasi model PLS
berdasarkan pada orientasi prediksi yang mempunyai sifat non-parametrik. Model
evaluasi PLS dilakukan dengan menilai outer model dan inner model.
Evaluasi model pengukuran atau outer model dilakukan untuk menilai
validitas dan reliabilitas model. Outer modeldengan indikator refleksif dievaluasi
melalui validitas konvergen dan diskriminan dari indikator pembentuk konstruk laten
dan composite reliability serta cronbach alpha untuk blok indikatornya. Sedangkan
outer model denganindikator formatif dievaluasi melalui substantive content-
nyayaitu denganmembandingkan besarnya relative weight dan melihat signifikansi
dari indikator konstruk tersebut (Chin 1998).
83
Evaluasi model struktural atau inner model bertujuan untuk memprediksi
hubungan antar variabel laten. Inner model dievaluasi dengan melihat besarnya
presentase variance yang dijelaskan yaitu dengan melihat nilai R-Square untuk
konstruk laten endogen, Stone-Geisser (Geisser 1975; Stone 1974) test untuk
menguji predictive relevance dan average variance extracted (Fornell dan Larcker
1981) untuk predictiveness dengan menggunakan prosedur resampling seperti
jackknifing dan bootstrapping untuk mempreoleh stabilitas dari estimasi.
2.19.6.5.1. Evaluasi Model Pengukuran atau Outer Model
Cara yang sering digunakan oleh peneliti di bidang SEM untuk melakukan
pengukuran model malalui analisis faktor konfirmatori adalah dengan
menggunakanpendekatan MTMM (MultiTrait-MultiMethod) dengan menguji
validitas convergent dan diskriminan (Campbell dan Fiske 1959). Validitas
konvergen berhubungan dengan prinsip bahwa pengukur-pengukur (manifest
variabel) dari suatu konstruk seharusnya berkorelasi tinggi. Uji validitas konvergen
indikator refleksif dengan program SmartPLS 2.0 daat dilihat dari nilai loading
factor untuk tiap indikator konstruk. Rule of thumb yang biasanya digunakan untuk
menilai validitas konvergen yaitu nilai loading factor harus lebih dari 0.7 untuk
penelitian yang bersifat confirmatory dan nilai loading factor antara 0.6 – 0.7 untuk
penelitian yang bersifat exploratory masih dapat diterima serta nilai average
variance extractedi (AVE) harus lebih besar dari 0.5. namun demikian untuk
penelitian tahap awal dari pengembangan skala pengukuran, nilai loading factor 0.5
– 0.6 masih dianggap cukup (Chin 1998).
Lebih lanjut validitas diskriminan berhubungan dengan prinsip bahwa
pengukur-pengukur (variabel manifest) konstruk yang berbeda seharusnya tidak
berkorelasi dengan tinggi. Cara untuk menguji validitas diskriminan dengan
indikator refleksif yaitu dengan melihat nilai cross loading untuk setiap variabel
harus > 0.70. juga dinilai dengan Cross Loading jika korelasi konstruk dengan iem
pengukuran lebih besar daripada ukuran konstruk lainnya, maka hal menunjukkan
bahwa konstruk laten memprediksi ukuran pada blok mereka lebih baik daripada
ukuran pada blok lainnya. cara lain yang dapat digunakan untuk menguji validitas
diskriminan adalah dengan membandingkan akar kuadrat dari AVE untuk setiap
konstruk dengan nilai korelasi antar konstruk dalam model. Validitas diskriminan
84
yang baik ditunjukkan dari akar kuadrat AVE untuk tiap konstruk lebih besar dari
korelasi antar konstruk dalam model (Fornell dan Larcker 1981).
Berikut ini rumus untuk menghitung AVE
Dimana:
adalah factor loading
adalah factor variance
adalah error variance
Jika semua indikator di standarisasi, maka ukuran ini sama dengan average
communalities dalam blok (Chin 2010b). Fornell dan Larcker (1981) menyatakan
bahwa pengukuran ini dapat digunakan untuk mengukur reliabilitas component score
variabel laten dan hasilnya lebih konservatif dibandingkan dengan composite
reliabilitiy . Nilai AVE direkomendasikan harus lebih besar dari 0.50 mempunyai arti
bahwa 50% atau lebih varians dari indikator dapat dijelaskan. Ringkasan rule of
thumb uji validitas konvergen dan diskriminan dapat dilihat pada tabel 2.8.
Selain uji validitas pengukuran model juga dilakukan untuk menguji
reliabilitas suatu konstruk. Uji reliabilitas dilakukan untuk membuktikan akurasi,
konsistensi dan ketepatan instrumen dalam mengukur konstruk. Dalam PLS-SEM
dengan menggunakan program SmartPLS 2.0, untuk mengukur reliabilitas suatu
konstruk dengan indikator refleksif dapat dilakukan dengan dua cara aitu dengan
Cronbachs Alpha dan Composite Reliability sering disebut Dillon-Goldstein’s.
Namun demikian penggunaan Cronbachs Alpha untuk menguji reliabilitas konstruk
akan memberikan nilai yang lebih rendah (under estimate) sehingga lebih disarankan
untuk menggunakan Composite Reliability dalam menguji reliabilitas suatu konstruk.
Rule of Thumb yang biasanya digunakan untuk menilai reliabilitas konstruk yaitu
nilai Composite Reliability harus lebih besari dari 0.7 untuk penelitian yang bersifat
confirmatory dan nilai 0.6 – 0.7 masih dapat diterima untuk peelitian yang bersifat
exploratory. Composite reliability disebut juga dengan Dillon-Goldstein’s dapat
dihitung dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Werts, Linn dan
Joreskog (1974) untuk mengukur internal consistency sebagai berikut
85
Dimana:
adalah factor loading
adalah factor variance
adalah error variance
Sedangkan untuk menghitung Cronbachs Alpha dapat dilakukan dengan
rumus sebagai berikut
Dimana:
adalah jumlah indikator atau variabel manifest
adalah blok indikator
Dibandingkan dengan cronbachs alpha, ukuran ini tidak mengasumsikan
ekuivalen antar pengukuran dengan asumsi semua indikator diberi bobot yang sama.
Sehingga, cronbachs alpha lebih cenderung under estimate dalam mengukur
reliabilitas, sedangkan composite reliability merupakan closer approximation dengan
asumsi estimasi parameter adalah akurat (Chin 1998, 2010b). Jadi AVE dan
composite reliability sebagai ukuran internal konsistensi hanya dapat digunakan
untuk konstruk dengan indikator refleksif (Mode A). Ringkasan rule of thumb uji
reliabilitas konstruk dengan indikator refleksif dapat dilihat pada tabel 2.8dibawah
ini
Tabel 2.8 Ringkasan Rule of Thumb Evaluasi Model Pengukuran (Mode A)
Validitas dan
Reliabilitas Parameter Rule of Thumb
Validitas
Convergent Loading Factor
� > 0.70 untuk Confirmatory
Research
� > 0.60 untuk Exploratory
Research
Average Variance Extracted
(AVE)
� > 0.50 untuk Confirmatory
maupun Exploratory
86
Research
Communality
� > 0.50 untuk Confirmatory
maupun Exploratory
Research
Validitas
Diskriminan Cross Loading
� > 0.70 untuk setiap variabel
� Setiap blok indikator
memiliki loading lebih tinggi
untuk setiap variabel laten
yang diukur dibandingkan
dengan indikator untuk laten
variabel lainnya
Akar kuadrat AVE dan
Korelasi antar Konstruk Laten
Akar kuadrat AVE > Korelasi
antar Konstruk Laten
Reliabilitas Cronbachs Alpha
� > 0.70 untuk Confirmatory
Research
� > 0.60 masih dapat diterima
untuk Exploratory Research
Composite Reliability
� > 0.70 untuk Confirmatory
Research
� 0.60 – 0.70 masih dapat
diterima untuk Exploratory
Research
Sumber: Ghozali (2012, p81) diadopsi dari Chin (1998), Chin (2010b), Hair
et al.(2011)
Seperti yang sudah dijelaskan diawal jika konstruk berbentuk formatif (mode
B), maka evaluasi model pengukuran dilakukan dengan melihat signifikansi weight-
nya. Sehingga uji validitas dan reliabilitas konstruk tidak diperlukan. Untuk
memperoeh signifikansi weight harus melalui prosedur resampling (jackknifing atau
bootstrapping). Selain itu uji multikolonieritas untuk konstruk formatif mutlak
diperlukan dengan menghitung nilai Variance Inflation Factor (VIF) dan lawannya
Tolerance. Jika didapat nilai signifikansi weight T-statistics> 1.96 maka dapat
disimpulkan bahwa indikator konstruk (mode B) adalah valid. Untuk nilai VIF
direkomendasikan < 10 atau < 5 dan nilai tolerance> 0.10 atau > 0.20. Ringkasan
87
rule of thumb evaluasi model pengukuran (mode B) dapat dilihat pada tabel
2.9dibawah ini
Tabel 2.9 Ringkasan Rule of Thumb Evaluasi Model Pengukuran (Mode B)
Kriteria Rule of Thumb
Signifikansi Weight
• > 1.65 (significance level = 10%), >
1.96 (significance level = 5%), dan >
2.58 (significance level = 1%)
Multicollinearity • Vif < 10 atau < 5
• Tolerance> 0.10 atau > 0.20
Sumber: Ghozali (2012, p82) diadopsi dari Chin (1998), Hair et al.(2011),
Henseler et al.(2009)
2.19.6.5.2. Evaluasi Model Struktural (Inner Model)
Dalam menilai model struktural dengan PLS, kita mulai dengan melihat nilai
R-Squares untuk setiap variabel laten endogen sebagai kekuatan prediksi dari model
struktural. Interpretasinya sama dengan interpretasi pada regresi OLS (Ordinary
Least Square). Perubahan nilai R-Squares dapat digunakan untuk menjelaskan
pengaruh variabel laten eksogen tertentu terhadap variabel laten endogen apakah
mempunyai pengaruh yang substantive. Nilai R-Squares 0.75, 0.50 dan 0.25 dapat
disimpulkan bahwa model kuat, moderate dan lemah. Hasil dari PLS R-Squares
merepresentasi jumlah varians dari konstruk yang dijelaskan oleh model. Pengaruh
besarnya dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut
Dimana dan adalah R-Squares dari variabel laten
endogen ketika prediktor variabel laten digunakan atau dikeluarkan di dalam
persamaan struktural. Nilai 0.02, 0.15 dan 0.35 sama dengan yang
direkomendasikan Cohen (1988) untuk definisi operasional regresi berganda. Nilai
tersebut dapat diinterpretasikan bahwa prediktor variabel laten memiliki pengaruh
kecil, menengah dan besar pada level struktural (Chin 1998; 2010b). Jika kita ingin
88
mengetahui prediktor dari konstruk endogen dapat digunakan baseline modeldalam
membandingkan antara dua atau lebih tambahan variabel laten. Kita dapat
menggunakan uji F dengan rumus sebagai berikut:
Dimana
, adalah degrees of freedom
adalah baseline model
adalah superset model sebagai tambahan dari variabel laten
adalah jumlah prediktor untuk baseline model
adalah jumlah prediktor untuk superset model
adalah jumlah sampel
Disamping melihat besarnya R-Squares, evaluasi model PLS dapat juga
dilakukan dengan Q2 predictive relevance atau sering disebut predictive sample
reuse yang dikembangkan oleh Stone (1974) dan Geisser (1975). Teknik ini dapat
merepresentasi synthesis dari cross-validation dan fungsi fitting dengan prediksi dari
observed variable dan esetimasi parameter konstruk. Pendekatan ini diadaptasi
parameter dengan menggunakan prosedur blindfolding dengan rumus
Dimana
adalah omission distance
adalah the sum of squares of prediction error
adalah the sum of squares errors using the mean for prediction
Nilai > 0 menunjukkan bahwa model mamiliki predictive relevance,
sedangkan nilai < 0 menunjukkan bahwa model kurang memiliki predictive
89
relevance. Dalam kaitannya dengan , perubahan memberikan dampak relatif
terhadap model struktural yang dapat diukur dengan
Nilai predictive relevance 0.02, 0.15 dan 0.35 menunjukkan bahwa model
lemah, rata-rata dan kuat. Selanjutnya evaluasi model dilakukan dengan mslihat nilai
signifikansi untuk mengetahui pengaruh antar variabel malalui prosedur
jackknifingatau bootstrapping. Pendekatan bootstrap merepresentasi nonparametrik
untuk ketepatan dari estimasi PLS. Metode bootstrap dikembangkan oleh Elfron
sekitar tahun 1970-an. Prosedur bootstrap menggunakan seluruh sampel asli untuk
melakukan resampling kembali. Hair et al. (2011) dan Henseler et al. (2009)
memberikan rekomendasi untuk jumlah sampel bootstrap yaitu sebesar 5000 dengan
catatan jumlah tersebut harus lebih besar dari sampel original. Namun demikian
beberapa literatur (lihat Chin 2003; 2010a) menyarankan jumlah sampel bootstrap
sebesar 200-1000 sudah cukup untuk mengoreksi standar eror estimasi PLS.
Selain bootstrap metode alternatif resampling lain yang dikenal yaitu
jackknifing yang dikembangkan oleh Jackknife sekitar tahun 1940-an. Metode ini
menggunakan sub sampel dari sampel asli untuk melakukan resampling kembali.
Metode jackknifing kurang begitu efisien dibanding metode boostrap karena
mengabaikan confidence intervals (Efron et al. 2004). Sehingga metode jackknifing
kurang begitu digunakan dalam SEM dibandingkan dengan metode bootstrap.
Program SmartPLS 2.0 hanya menyediakan metode resampling bootstrap. Nilai
signifikansi yang digunakan (two-tailed)t-value 1.65 (significance level = 10%), 1.96
(significance level = 5%), dan 2.58 (significance level = 1%). Ringkasan rule of
thumb evaluasi model struktural dapat dilihat pada tabel 2.10dibawah ini
Tabel 2.10 Ringkasan Rule of Thumb Evaluasi Model Struktural
Kriteria Rule of Thumb
R-Square
• 0.67, 0.33 dan 0.19 menunjukkan model kuat, rata-
rata dan lemah (Chin 1998)
• 0.75, 0.50 dan 0.25 menunjukkan model kuat, rata-
rata dan lemah (Hair et al. 2011)
Effect Size • 0.02, 0.15 dan 0.35 (kecil, menengah dan besar)
90
Predictive Relevance
• > 0 menunjukkan model mempunyai predictive
relevance
• < 0 menunjukkan model tidak mempunyai
predictive relevance
Predictive Relevance • 0.02, 0.15 dan 0.35 (lemah, rata-rata dan kuat)
Significance (Two-Tailed)
• t-value 1.65 (significance level = 10%), 1.96
(significance level = 5%), dan 2.58 (significance
level = 1%)
Sumber: Ghozali (2012, p85) diadopsi dari Chin (1998), Chin (2010b), Hair
et al.(2011), Hair et al.(2012)
2.19.6.5.3. Quality Indexes
PLS path modeling dapat juga mengidentifikasi kriteria global optimizaiont
untuk mengetahui goodness of fit model sama seperti CB-SEM. Seperti yang diketahi
PLS sangat kuat untuk orientasi prediksi. Jadi, validasi model lebih difokuskan untuk
model prediksi. Menurut struktur PLS-PM setiap bagian dari model membutuhkan
validasi model pengukuran, model struktural dan keseluruhan model. Untuk PLS
path modeling menyediakan tiga ukuran fit indexes yang berbeda yaitu communality
index, redundancy index dan goodness of fit (GoF) index.
Untuk setiap -th blok dalam model dengan lebih dari satu manifest variabel,
kualitas dari model pengukuran dapat diuji dengan communality index dengan rumus
Index ini mengukur berapa banyak variabel manifest sebagai variasi dalam -
th blok untuk menjelaskan skor variabel laten. Untuk average commonality index
dapat dihitung menggunakan rumus
Ini merupakan rata-rata dari seluruh Q blok communality index dengan
jumlah weiht sama untuk jumlah variabel manifest dalam tiap blok.
91
Lebih lanjut untuk melihat kekuatan prediksi dari model pengukuran untuk
satu model struktural, redundancy index dapat dihitung untuk -th blok variabel
endogen menggunakan rumus
Untuk menghitung average redundancy index menggunakan rumus
Dimana merupakan total jumlah variabel laten endogen dalam model.
Dan yang terakhir untuk overall fit index dapat menggunakan kriteria
goodness of fit yang dikembangkan oleh Tenenhaus et al.(2004) dengan sebutan GoF
index. Index ini dikembangkan untuk mengevaluasi model pengukuran dan model
struktural dan disamping itu menyediakan pengukuran sederhana untuk keseluruhan
dari prediksi model. Untuk alasan ini GoF index dihitung dari akar kuadrat nilai
average communality index dan average R-squares sebagai berikut
Atau
Dimana nilai average R-squares didapat dari:
Namun demikian, average communality dan GoF index secara konseptual
tepat digunakan untuk model pengukuran indikator refleksif. Walaupun sebenarnya,
communality dapat juga dihitung untuk kasus dengan model indikator formatif,
namun akan menghasilkan communality yang rendah dengan nilai R-squares yang
tinggi jika dibandingkan dengan model indikator refleksif. Untuk menghitung GoF
index model dengan indikator formatif dapat menggunakan rumus
92
Berdasarkan persamaan diatas dapat kita hitung relative GoF dengan rumus
Karena nilai communality yang direkomendasikan = 0.50 (Fornell dan
Larcker 1981) dan nilai R-square kecil = 0.02, sedang = 0.13, dan besar 0.26 (Cohen
1988) maka
GoF small =
GoF medium =
GoF large =
2.20. Kerangka Analisis Path
Fleksibilitas Infrastruktur TI (X1)
Indikator:
a. Connectivity
b. Compatibility
c. Modularity
Dukungan Manajemen Puncak (X2)
Indikator:
a. Kepahaman
b. Partisipasi
c. Komunikasi
d. Pengetahuan manajerial
e. Kontribusi signifikan
Hubungan dengan pemasok (Y)
Indikator:
a. Pertukaran informasi
b. Reputasi pemasok
c. Rasa percaya
d. Komitmen
e. Kerja sama
f. Kepuasan
Kinerja Procurement (Z)
93
Indikator:
a. Strategi dan koordinasi antar perusahaan
b. Sumber daya manusia
c. Manajemen pemasok
Gambar 2.36 Bagan kerangka pemikiran
Sumber: pemikiran peneliti dari kesimpulan literatur
2.21. Kerangka Berfikir
Fleksibilitas Infrastruktur TI
(X1)
Dukungan Manajemen
(X2)
Hubungan dengan
pemasok
Kinerja Procurement
(Z)
94
Gambar 2.37 Kerangka Berpikir
Sumber: pemikiran peneliti
Proses Pelaksanaan Skripsi ini dimulai dengan pengumpulan data perusahaan,
dari data-data tersebut dilakukan Analisis Component Based SEMdengan metode
Partial Least Square fleksibilitas infrastruktur TI dan dukungan manajemen terhadap
hubungan dengan pemasok dan dampaknya terhadap kinerja procurement PT
Alkindo Mitraraya. Berikutnya dijabarkan proses procurement actual PT. Alkindo
Mitraraya. Kemudian dilakukan perancangan menggunakan metode OOAD-
Satzinger dimana dibagi menjadi dua pokok bahasan, yaitu Requirement Models dan
Design Models, setelah itu akan dihasilkan peancangan aplikasi e-procurement yang
sesuai bagi PT. Alkindo Mitraraya.