bab 2 landasan teori dan pengembangan hipotesisthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2013-2-01113-ak...

22
9 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Psikologi Pendidikan Psikologi menurut American Psychology Assocation (APA) adalah ilmu yang mempelajari pikiran dan perilaku, yang mencakup seluruh aspek pengalaman manusia, dari fungsi otak hingga tindakan, dari perkembangan anak hingga dewasa. Psikologi pendidikan adalah cabang ilmu psikologi yang khusus mempelajari pengajaran dan pembelajaran dalam pendidikan. Psikologi pendidikan bertujuan untuk menyediakan pengetahuan yang dapat diterapkan dalam situasi pengajaran dan kemampuan meningkatkan pemahaman tentang apa yang berdampak terhadap pembelajaran siswa. (Alexander & Mayer, 2011; Harris, Graham, & Urdan, 2011 dalam Santrock 2011:5). 2.1.1. Belajar Belajar adalah fokus utama dalam psikologi pendidikan. Belajar merupakan pengaruh yang relatif permanen terhadap perilaku, pengetahuan, dan kemampuan berpikir melalui pengalaman. Pendekatan belajar dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: 2.1.1.1. Pendekatan Perilaku Behaviorisme adalah pandangan bahwa perilaku dijelaskan melalui pengalaman yang dapat diobservasi, bukan melalui proses mental. Perilaku merupakan seluruh hal yang dilakukan, baik secara verbal maupun nonverbal, yang dapat secara langsung dilihat atau didengar, contohnya anak-anak sedang membuat poster, guru menjelaskan kepada murid. Sedangkan, proses mental merupakan pikiran, perasaan, dan motif yang dialami tetapi tidak dapat diobservasi oleh orang lain, contohnya pikiran anak-anak tentang cara membuat poster terbaik, motivasi diri untuk mengendalikan perilaku mereka. 2.1.1.2. Pendekatan Kognitif Ada empat jenis pendekatan kognitif. Kognitif sosial menekankan bagaimana faktor perilaku, lingkungan, dan orang mempengaruhi belajar (Bandura, 2009, 2010 dalam Santrock 2011:218). Pemrosesan informasi

Upload: hahanh

Post on 30-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

BAB 2

LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1. Psikologi Pendidikan

Psikologi menurut American Psychology Assocation (APA) adalah ilmu yang

mempelajari pikiran dan perilaku, yang mencakup seluruh aspek pengalaman

manusia, dari fungsi otak hingga tindakan, dari perkembangan anak hingga dewasa.

Psikologi pendidikan adalah cabang ilmu psikologi yang khusus mempelajari

pengajaran dan pembelajaran dalam pendidikan.

Psikologi pendidikan bertujuan untuk menyediakan pengetahuan yang dapat

diterapkan dalam situasi pengajaran dan kemampuan meningkatkan pemahaman

tentang apa yang berdampak terhadap pembelajaran siswa. (Alexander & Mayer,

2011; Harris, Graham, & Urdan, 2011 dalam Santrock 2011:5).

2.1.1. Belajar

Belajar adalah fokus utama dalam psikologi pendidikan. Belajar

merupakan pengaruh yang relatif permanen terhadap perilaku, pengetahuan, dan

kemampuan berpikir melalui pengalaman.

Pendekatan belajar dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:

2.1.1.1. Pendekatan Perilaku

Behaviorisme adalah pandangan bahwa perilaku dijelaskan melalui

pengalaman yang dapat diobservasi, bukan melalui proses mental. Perilaku

merupakan seluruh hal yang dilakukan, baik secara verbal maupun

nonverbal, yang dapat secara langsung dilihat atau didengar, contohnya

anak-anak sedang membuat poster, guru menjelaskan kepada murid.

Sedangkan, proses mental merupakan pikiran, perasaan, dan motif yang

dialami tetapi tidak dapat diobservasi oleh orang lain, contohnya pikiran

anak-anak tentang cara membuat poster terbaik, motivasi diri untuk

mengendalikan perilaku mereka.

2.1.1.2. Pendekatan Kognitif

Ada empat jenis pendekatan kognitif. Kognitif sosial menekankan

bagaimana faktor perilaku, lingkungan, dan orang mempengaruhi belajar

(Bandura, 2009, 2010 dalam Santrock 2011:218). Pemrosesan informasi

10

berfokus pada bagaimana anak-anak memproses informasi melalui perhatian,

ingatan, berpikir, dan proses kognitif lainnya (Martinez, 2010 dalam

Santrock 2011:218). Kontruktivis kognitif menenkankan pembangunan

kognitif pengetahuan dan pemahaman (Halford, 2008 dalam Santrock

2011:218) Kontruktivis sosial berfokus pada kolaborasi dengan orang lain

untuk menghasilkan pengetahuan dan pemahaman (Holzman, 2009 dalam

Santrock 2011:218).

2.2. Gender

Gender merujuk pada konsep laki-laki atau perempuan berdasarkan dimensi

sosial budaya dan psikologi. Gender dibedakan dari jenis kelamin, yang melibatkan

dimensi biologis dari perempuan atau laki-laki. Peran gender (gender roles) adalah

harapan sosial yang menentukan bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya

berpikir, bertindak, dan merasakan. Terdapat tiga pandangan tentang perkembangan

gender.

2.2.1. Pandangan tentang Perkembangan Gender

2.2.1.1. Pandangan Biologis

Dalam pasangan kromosom yang ke-23 pada manusia (kromosom

jenis kelamin) menentukan apakah janin tersebut perempuan (XX) atau laki-

laki (XY). Para ahli gender yang memiliki orientasi lingkungan yang kuat

mengakui bahwa perempuan dan laki-laki diperlakukan secara berbeda

karena perbedaan fisik mereka dan peran mereka yang berbeda dalam

reproduksi.

Beberapa pendekatan biologis menjelaskan perbedaan-perbedaan

dalam otak perempuan dan laki-laki (Lippa, 2005 dalam Santrock

2009:218). Satu pendekatan berfokus pada perbedaan antara perempuan dan

laki-laki di dalam corpus collosum, sekumpulan serat saraf yang

menggabungkan dua belahan otak (LeDoux, 1996, 2002 dalam Santrock

2009:218). Corpus collosum pada perempuan lebih besar daripada laki-laki

dan ini mungkin menjelaskan mengapa perempuan lebih sadar dibandingkan

dengan laki-laki tentang emosi mereka sendiri dan emosi orang lain.

11

2.2.1.2. Pandangan Sosialisasi

a. Teori Psikoanalitik Gender

Teori psikoanalitik gender (psychoanalytic theory of gender)

berasal dari pandangan Freud bahwa anak prasekolah mengembangkan

daya tarik seksual kepada orang tua yang jenis kelaminnya berlawanan

dengan dirinya. Pada usia 5 atau 6 tahun, anak menghilangkan daya

tarik tersebut karena perasaan gelisah. Sesudah itu, anak menganggap

dirinya mempunyai karakteristik yang sama dengan orang tua dengan

jenis kelamin yang sama.

b. Teori Kognitif Sosial Gender

Teori kognitif sosial gender (social cognitive theory of gender)

menekankan bahwa perkembangan gender anak-anak terjadi melalui

observasi dan imitasi perilaku gender, serta melalui penghargaan dan

hukuman yang didapat anak-anak untuk perilaku yang sesuai dan yang

tidak sesuai menurut gender.

Tidak seperti teori identifikasi, teori kognitif sosial berpendapat

bahwa daya tarik seksual kepada orang tua tidaklah terlibat dalam

perkembangan gender. Orang tua sering menggunakan penghargaan

dan hukuman untuk mengajari anak perempuan mereka bersikap

feminin dan anak laki-laki mereka bersikap maskulin.

2.2.1.3. Pandangan Kognitif

Menurut teori kognitif sosial, gender berkembang melalui

mekanisme yang terdiri atas observasi, imitasi, penghargaan, dan

hukuman. Menurut pandangan kognitif, interaksi antara anak dan

lingkungan sosial merupakan kunci utama untuk perkembangan gender.

Teori skema gender (gender schema theory), yang saat ini

merupakan teori kognitif gender yang diterima di mana-mana,

menyatakan bahwa pengelompokan gender muncul ketika anak-anak

secara bertahap mengembangkan skema gender tentang apa yang pantas

dan apa yang tidak pantas menurut gender dalam budaya mereka.

Skema adalah struktur kognitif, jaringan asosiasi yang membimbing

persepsi satu individu. Skema gender mengatur dunia menurut

perempuan dan laki-laki. Anak-anak termotivasi secara internal untuk

12

menerima dunia dan untuk bertindak sesuai dengan skema mereka yang

mengalami perkembangan.

2.2.2. Pemberian Stereotip Gender, Kesamaan, dan Perbedaan

2.2.2.1. Stereotip Gender

Stereotip gender (gender stereotype) adalah kategori luas yang

mencerminkan kesan dan keyakinan tentang perilaku yang pantas untuk

perempuan dan laki-laki. Semua stereotip––apakah stereotip itu

berhubungan dengan gender, etnisitas, atau kategori lain––merujuk pada

kesan seperti apakah anggota dari satu kategori. Banyak stereotip begitu

umum sehingga stereotip itu menjadi ambigu.

Contohnya, pemberian stereotip “maskulin” atau “feminin” pada

siswa bisa menghasilkan konsekuensi yang signifikan (Halpern, 2006; Kite,

2001; Smith, 2007 dalam Santrock 2009:221). Menjuluki seorang laki-laki

“feminin” atau seorang perempuan “maskulin” bisa mengurangi status

sosialnya dan penerimaan dalam kelompok.

2.2.2.2. Persamaan dan Perbedaan Gender dalam Bidang yang Relevan

dengan Akademis

Ada banyak aspek dari kehidupan siswa-siswa yang bisa diteliti

untuk menentukan seberapa mirip atau berbedanya anak perempuan dan

anak laki-laki (Crawford & Unger, 2004 dalam Santrock 2009:221-222).

a. Penampilan Fisik

Pada umumnya, anak laki-laki lebih unggul daripada anak

perempuan dalam keterampilan atletik, seperti berlari, melempar, dan

melompat. Selama bertahun-tahun sekolah dasar, perbedaan tersebut

seringnya tidak terlalu besar; perbedaan itu menjadi semakin dramatis

dalam tahun-tahun sekolah menengah pertama (Smoll & Schutz, 1990

dalam Santrock 2009:222). Perubahan hormon semasa pubertas

menghasilkan penambahan massa otot pada laki-laki dan peningkatan

lemak pada perempuan. Ini memberikan keuntungan bagi laki-laki

dalam aktivitas yang berkaitan dengan kekuatan, ukuran, dan tenaga.

Meskipun demikian, faktor-faktor lingkungan tetap terlibat dalam

penampilan fisik, bahkan setelah pubertas. Anak perempuan

kemungkinan kecil terlibat dalam aktivitas yang meningkatkan

13

keterampilan motorik yang dibutuhkan untuk berprestasi dalam

olahraga. (Thomas & Thomas, 1988 dalam Santrock 2009:222).

b. Keterampilan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Perbedaan gender dalam keterampilan matematika cenderung

kecil. Ketika perbedaan gender dalam matematika benar-benar muncul,

perbedaan itu tidak seragam dengan semua konteks. Anak laki-laki

mendapat prestasi yang lebih baik dalam pelajaran matematika yang

berkaitan dengan ukuran, ilmu pengetahuan, dan olahraga; anak

perempuan mendapat prestasi yang lebih baik yang melibatkan tugas

wanita pada umumnya seperti memasak dan menjahit (Linn & Hyde,

1989 dalam Santrock 2009:222).

Sedangkan, dalam sebuah studi nasional terbaru tentang prestasi

ilmu pengetahuan alam, anak laki-laki memang mendapatkan prestasi

yang sedikit lebih baik dalam ilmu pengetahuan alam bila dibandingkan

dengan anak perempuan di kelas empat, delapan, dan dua belas.

(National Assessment of Educational Progress, 2005 dalam Santrock

2009:223). Dalam kelas ilmu pengetahuan yang menekankan aktivitas

laboratorium yang membutuhkan partisipasi aktif, nilai tes ilmu

pengetahuan anak perempuan meningkat drastis. Ini menunjukkan

pentingnya keterlibatan aktif siswa-siswa di dalam kelas ilmu

pengetahuan, yang bisa memajukan keadilan gender.

c. Keterampilan Verbal

Tinjauan utama tentang persamaan dan perbedaan gender yang

diadakan pada 1970-an menyimpulkan bahwa perempuan memiliki

keterampilan verbal yang lebih baik daripada laki-laki (Maccoby &

Jacklin, 1974 dalam Santrock 2009:223). Namun, beberapa analisis

terkini mengemukakan bahwa dalam beberapa hal, tidak ada perbedaan

atau hanya ada sedikit perbedaan dalam keterampilan verbal perempuan

dan laki-laki. Sebagai contoh, pada tahun 2002, pria mendapatkan nilai

yang sama tinggi dengan wanita dalam bagian verbal tes SAT.

d. Pencapaian Pendidikan

Persentase laki-laki di perguruan tinggi selama 1950-an hampir

60% dan di tahun 2001 menurun sampai kurang lebih 45% (DeZolt &

Hull, 2001 dalam Santrock 2009:224). Perempuan kemungkinan besar

14

lebih terlibat dalam materi akademis, penuh perhatian di kelas,

mengerahkan lebih banyak upaya akademis, dan lebih banyak

berpartisipasi di dalam kelas daripada laki-laki (DeZolt & Hull, 2001

dalam Santrock 2009:224). Namun, meskipun ketika anak perempuan

lebih unggul daripada anak laki-laki dalam prestasi akademis, anak

perempuan cenderung meremehkan prestasi mereka (Ruble, Martin, &

Berenbaum, 2006; Wiafield, Byrnes, & Eccless, 2006 dalam Santrock

2009:224).

e. Keterampilan Hubungan

Perbedaan gender dalam konteks komunikasi sering bergantung

pada konteks:

1) Ukuran kelompok. Perbedaan gender dalam kegemarannya

berbicara (anak perempuan lebih kompeten dalam

berkomunikasi) sering muncul dalam kelompok besar daripada

pada pasangan.

2) Berbicara dengan kawan sebaya atau orang dewasa. Tidak ada

perbedaan rata-rata dalam pembicaraan dengan kawan sebaya,

tetapi anak perempuan lebih banyak berbicara dengan orang

dewasa daripada anak laki-laki.

3) Keakraban. Perbedaan gender dalam kemampuan berbicara

yang asertif (anak laki-laki lebih sering menggunakannya)

kemungkinan besar lebih sering muncul ketika berbicara dengan

orang asing daripada dengan individu-individu yang sudah

akrab.

4) Usia. Perbedaan gender dalam kemampuan bicara yang afiliatif

sangatlah besar dalam masa remaja. Ini mungkin disebabkan

oleh minat remaja putri yang meningkat dalam perilaku

sosioemosional yang biasanya ditentukan untuk wanita.

f. Perilaku Prososial (Perilaku Moral yang Positif)

Wanita memandang dirinya sebagai makhluk yang lebih

prososial dan empatik, serta wanita terlibat dalam perilaku yang lebih

prososial daripada pria (Eisenberg, Fabes, & Spinrad, 2006; Eisenberg

& Morris, 2004 dalam Santrock 2009:225).

15

g. Agresi

Salah satu perbedaan gender yang paling konsisten adalah

bahwa laki-laki lebih agresif secara fisik daripada perempuan (Dodge,

Coie, & Lynam, 2006; Ruble, Martin, & Berenbaum, 2006 dalam

Santrock 2009:225). Faktor yang mempengaruhi agresif secara fisik

adalah faktor biologis (keturunan dan hormon) dan faktor lingkungan

(harapan budaya, teladan orang dewasa dan kawan sebaya, serta

penghargaan akan agresif fisik pada laki-laki.

Selain agresif fisik, penelitian agresi verbal menunjukkan

perbedaan gender menjadi hilang atau terkadang bahkan lebih nyata

pada anak perempuan (Eagly & Steffen, 1986 dalam Santrock

2009:226). Sedangkan penelitian belakangan ini dilakukan terhadap

agresi hubungan, yaitu yang melibatkan tindakan menyakiti seseorang

dengan cara memanipulasi suatu hubungan (Crick, Ostrov, & Werner,

2006; Young, Boye, & Nelson, 2006 dalam Santrock 2009:226). Hasil

penelitian yang beragam sehubungan dengan gender dan agresi

hubungan dengan beberapa studi yang menunjukkan bahwa anak

perempuan terlibat dalam lebih banyak agresi hubungan dan studi lain

yang menunjukkan tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan

perempuan (Young, Boye, & Nelson, 2006 dalam Santrock 2009:226).

h. Emosi dan Pengaturannya

Ketika berada di sekolah dasar, anak laki-laki kemungkinan

besar menyembunyikan emosi negatif mereka, seperti kesedihan, dan

anak perempuan kemungkinan besar jarang mengungkapkan emosi,

seperti kekecewaan yang mungkin melukai perasaan orang lain

(Eisenberg, 1986 dalam Santrock 2009:226). Ketika masa remaja awal,

anak perempuan mengatakan mereka mengalami lebih banyak rasa

sedih, rasa malu, dan rasa bersalah, serta menunjukkan emosi yang

lebih intens; anak laki-laki kemungkinan besar menyangkal mereka

mengalami emosi-emosi ini (Ruble, Martin, & Berenbaum, 2006 dalam

Santrock 2009:226).

Pada anak laki-laki, biasanya pengaturan dirinya lebih sedikit

daripada anak perempuan (Eisenberg, Spinrad, & Smith, 2004 dalam

Santrock 2009:226). Pengendalian diri yang rendah ini bisa

16

menyebabkan masalah perilaku, seperti: agresi yang lebih tinggi,

mengejek orang lain, beraksi secara berlebihan terhadap frustasi, kerja

sama yang buruk, dan ketidakmampuan untuk menunda kegembiraan

(Blok & Bock, 1980 dalam Santrock 2009:226).

2.2.3. Kontroversi Gender

Psikolog evolusioner David Buss (2004, dalam Santrock 2009:226)

berpendapat bahwa perbedaan gender itu luas dan disebabkan oleh masalah-

masalah adaptif yang dihadapi sepanjang sejarah evolusioner. Alice Eagly (2001,

dalam Santrock 2009:226) juga menyimpulkan bahwa perbedaan gender juga

substansial, tetapi sampai pada satu kesimpulan yang sangat berbeda mengenai

penyebabnya. Ia menekankan bahwa perbedaan gender disebabkan oleh kondisi

sosial yang mengakibatkan wanita hanya mempunyai sedikit kekuatan dan

mengendalikan lebih sedikit sumber daripada pria.

Sebaliknya menurut Janet Shibley Hyde (1986, 2005, 2007 dalam

Santrock 2009:227) menyimpulkan bahwa perbedaan gender sangat dilebih-

lebihkan. Ia berpendapat bahwa wanita dan pria itu sama dalam sebagian besar

faktor psikologis. Di sebagian besar bidang, termasuk kemampuan matematika,

komunikasi, dan agresi, tidak ditermukan perbedaan gender atau hanya ada

sedikit perbedaan. Perbedaan terbesar muncul pada keterampilan motoric

(menguntungkan pria), yang diikuti oleh seksualitas, dan agresi fisik.

2.2.4. Bias Gender

2.2.4.1. Interaksi Guru-Siswa

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan yang berkaitan dengan

anak laki-laki mendapatkan bias gender dalam hal berinteraksi antara guru

dan siswa (DeZolt & Hull, 2011 dalam Santrock 2009: 230) adalah sebagai

berikut.

a. Mematuhi, mengikuti peraturan, serta tampil rapi dan teratur dihargai dan

dikuatkan di banyak kelas biasanya berhubungan dengan anak perempuan

daripada laki-laki.

b. Mayoritas guru adalah perempuan, terutama di sekolah dasar. Hal ini dapat

lebih menyulitkan anak laki-laki daripada anak perempuan untuk

17

menganggap dirinya memiliki karakteristik atau pemikiran yang sama dengan

gurunya dan meniru perilaku guru mereka.

c. Anak laki-laki lebih diidentifikasikan memiliki masalah belajar dibandingkan

anak perempuan.

d. Anak laki-laki lebih sering dikritik dibandingkan dengan anak perempuan.

e. Staf sekolah cenderung mengabaikan bahwa banyak anak laki-laki jelas-jelas

memiliki masalah akademis, terutama dalam seni bahasa.

f. Staf sekolah cenderung memberikan stereotip perilaku anak laki-laki sebagai

problematik.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan yang berkaitan dengan

anak laki-laki mendapatkan bias gender di dalam kelas (Sadker & Sadker,

1994, 2005 dalam Santrock 2009:231) adalah sebagai berikut.

a. Anak laki-laki meminta lebih banyak perhatian; anak perempuan cenderung

lebih diam ketika menunggu giliran mereka. Para pendidik khawatir bahwa

kecenderungan anak perempuan untuk patuh dan diam bisa membahayakan,

yaitu hilangnya asertivitas.

b. Dalam banyak kelas, guru menghabiskan lebih banyak waktu untuk

mengamati dan berinteraksi dengan anak laki-laki, sementara anak

perempuan belajar dan bermain sendiri dengan diam.

c. Anak laki-laki mendapatkan lebih banyak perintah dan lebih bantuan ketika

mereka kesulitan dengan satu pertanyaan dibandingkan anak perempuan.

d. Pada tahun-tahun sekolah menengah pertama, harga diri anak perempuan

menurun secara signifikan daripada harga diri anak laki-laki (Robins, dkk.,

2002 dalam Santrock 2009:231).

e. Pada sekolah menengah atas, ada lebih banyak anak laki-laki daripada anak

perempuan dalam program berbakat (U.S. Office of Education, 1999 dalam

Santrock 2009: 231).

2.2.4.2. Isi Kurikulum dan Isi Atletik

Menurut Santrock (2009:232), buku pelajaran dan materi kelas pada

saat ini lebih netral secara gender. Sekolah memberi lebih banyak

kesempatan kepada siswa perempuan untuk mengambil mata pelajaran

pendidikan kejuruan dan berpartisipasi dalam atletik bila dibandingkan

dengan zaman ketika orang tua dan kakek nenek mereka bersekolah (Gill,

18

2001 dalam Santrock 2009: 232). Meskipun demikian, bias masih ada pada

tingkat kurikulum. Sebagai contoh, jarang ada penggunaan buku pelajaran

sekolah yang baru, sehingga banyak siswa masih mempelajari buku-buku

yang ketinggalan zaman dan berbias gender.

2.2.4.3. Pelecehan Seksual

Menurut Santrock (2009: 232-233), anak perempuan melaporkan

mendapat lebih banyak pelecehan seksual daripada anak laki-laki. 16% siswa

mengatakan mereka mendapatkan pelecehan seksual dari guru. Pelecehan

seksual quid pro quo (quiz pro quo sexual harassment) terjadi ketika

seorang karyawan sekolah mengancam untuk mendasarkan keputusan

pendidikan (seperti nilai) pada ketundukan seorang siswa terhadap perlakuan

seksual yang tidak dikehendaki. Pelecehan seksual di lingkungan yang tidak

ramah (hostile environment sexual harassment) terjadi ketika siswa menjadi

korban perlakuan seksual yang tidak dikehendaki, sehingga membatasi

kemampuan siswa untuk mendapatkan manfaat dari pendidikan mereka.

2.2.5. Penelitian Lainnya yang Berkaitan dengan Gender

Beberapa penelitian lain juga menunjukkan adanya hubungan antara

gender dan prestasi akademik.

Byrne dan Flood (2008:208) memperoleh hasil penelitian bahwa gender

tidak secara signifikan berhubungan dengan pengukuran prestasi. Hal ini

kemungkinan dikarenakan bahwa perbedaan gender bukanlah menjadi isu dunia

yang lebih seimbang untuk gender dari pendidikan akuntansi saat ini.

Jelas & Dahan (2010:726) melakukan penelitian dengan menggunakan

data sekunder dan data primer. Hasil data sekunder menunjukkan adanya

kecenderungan bahwa mahasiswa perempuan lebih sukses secara akademik dan

mengonfirmasi penelitian yang dilakukan oleh negara berkembang. Data primer

menunjukkan bahwa karakteristik belajar perempuan memberikan kontribusi

yang substansial terhadap prestasi akademik mereka.

Menurut Garkaz et.al. (2011:125) bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan antara prestasi akademik laki-laki dan perempuan, yaitu perempuan

memiliki prestasi akademik yang lebih baik dibandingkan laki-laki.

Arthur and Everaert (2012, dalam B. Apostolou et al., 2013:120)

melakukan investigasi untuk mengetahui apakah gender mempengaruhi prestasi

19

akademik mahasiswa dengan menggunakan tes pilihan berganda dan

constructed-response questions. Hasil menunjukkan perempuan lebih unggul

dibandingkan laki-laki dan laki-laki lebih unggul dalam mengerjakan tes pilihan

berganda daripada constructed-response questions.

Menurut Muda et.al. (2013:718), hasil penelitiannya di University

Technology MARA, Malaysia menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan antara proporsi laki-laki dan perempuan untuk lulus dalam ujian. Hasil

menunjukkan hubungan yang signifikan antara gender dan prestasi mata kuliah

ACC106 (Introduction to Financial Accounting).

2.3. Asal Sekolah

Chudgar (2012 dalam Amjad & MacLeod, 2014:3) menunjukkan bahwa

perbedaan antara prestasi sekolah swasta dan negeri berbeda di seluruh konteks dan

pengaruh positif pada prestasi swasta berkurang di desa dengan kehadiran

pemerintah dan infrastruktur.

Lingkungan pendidikan sekolah mengatur parameter hasil belajar mahasiswa

(Ali et.al. (2013:284). Kwesiga (2002 dalam Ali et.al., 2013:284) menyetujui bahwa

prestasi dari mahasiswa juga dipengaruhi oleh sekolah yang mana yang mereka

belajar, tetapi Kwesiga juga menyatakan bahwa jumlah fasilitas yang ditawarkan

sekolah biasanya menentukan kualitas sekolah, yang kemudian mempengaruhi

prestasi dan pencapaian siswanya.

Mahasiswa yang berasal dari sekolah elit diharapkan untuk berprestasi

dengan baik karena mereka menghadiri sekolah elit ini dan alasan utama dibalik hal

tersebut adalah sekolah-sekolah ini sangat kaya akan sumber daya dan fasilitas.

Beberapa pandangan bahwa kepemilikan sekolah dan dana yang tersedia memang

mempengaruhi prestasi mahasiswa (Ali et.al, 2013:284).

Menurut Crosne dan Elder (2004 dalam Ali et.al., 2013:284-285) bahwa

kepemilikan sekolah, ketentuan fasilitas dan ketersediaan sumber daya dalam

sekolah merupakan komponen struktural dari sekolah. Sekolah swasta karena

pendanaan yang lebih baik, ukuran kecil, kepemilikan yang serius, memotivasi

fakultas dan akses pada sumber daya, seperti komputer yang bekerja lebih baik

dibandingkan sekolah negeri. Dengan pendanaan tambahan terhadap sumber daya

dan fasilitas di sekolah swasta meningkatkan prestasi akademik dan pencapaian

pendidikan siswa.

20

Penelitian yang dilakukan oleh Amjad dan MacLeod (2014) di Pakistan

menunjukkan bahwa siswa di sekolah swasta lebih baik dibandingkan sekolah negeri.

Konfirmasi lebih lanjut, menunjukkan bahwa dampak substansi sekolah swasta

adalah bahkan siswa yang membayar biaya paling rendah di swasta lebih baik

dibandingkan dengan sekolah negeri.

2.4. Kemampuan Manajemen Waktu

Berdasarkan literatur tentang manajemen waktu dari berbagai ahli, Claessens

et al. (2005:262-263) menyarankan definisi manajemen waktu sebagai “perilaku

yang bertujuan untuk mencapai penggunaan waktu secara efektif ketika melakukan

aktivitas yang diarahkan pada tujuan tertentu. Perilaku tersebut meliputi:

1. Perilaku penilaian waktu, yang bertujuan pada kesadaran di sini dan sekarang

atau masa lalu, kini, dan masa depan (Kaufman et al., 1991) dan kesadaran

diri dalam menggunakan waktu (Wratcher dan Jones, 1988) yang membantu

menerima tugas dan tanggung jawab yang sesuai dengan kemampuan

seseorang.

2. Perilaku perencanaan, seperti mengatur tujuan, merencanakan tugas,

memprioritaskan, membuat to-do lists, mengelompokkan tugas (contohnya

Britton dan Tesster, 1991; Macan, 1994, 1996) yang bertujuan pada

penggunaan waktu secara efektif.

3. Perilaku monitoring, yang bertujuan untuk mengobservasi penggunaan waktu

seseorang ketika melakukan aktivitas, menghasilkan umpan balik yang

mengizinkan batasan terhadap pengaruh interupsi orang lain. (contohnya Fox

dan Dyer, 1996; Zijlstra et al, 1999).

Menurut Indreica (2011:1102), manajemen waktu memiliki dampak positif

terhadap prestasi akademik. Keberhasilan akademik, pada perspektif lain, berdampak

positif terhadap motivasi (menghasilkan motif) dan waktu pekerjaan (waktu yang

lebih pendek bila tujuannya untuk kecepatan, dan lebih lama jika tugas yang

kompleks dan memerlukan usaha berkelanjutan).

Waktu adalah sumber daya penting yang dimiliki setiap orang secara sama

tetapi gagal untuk memanfaatkan pada level yang sama karena berbagai alasan.

(Örücü et al., 2007 dalam Pehlivan, 2013:196). Menurut Pehlivan (2013:196),

manajemen adalah mengarahkan. Sehingga, manajemen waktu adalah kemampuan

untuk mengarahkan dirinya sendiri, tindakan dan aktivitas lainnya, dan menggunakan

21

waktu secara lebih efektif. Dengan kata lain, manajemen waktu berhubungan dengan

proses menyusun sejumlah pekerjaan dan aktivitas yang banyak selama jangka waktu

tertentu.

Menurut Pehlivan (2013:197), karena waktu adalah sumber daya yang

terbatas yang perlu diatur secara efektif seperti sumber daya terbatas lainnya,

dianggap perlu untuk mengevaluasi pengaruhnya pada prestasi siswa. Asumsi umum

menggarisbawahi bahwa siswa dengan kemampuan manajemen waktu yang baik

dapat mengatur waktu secara efektif bahkan setelah mereka tamat dan masuk ke

kehidupan profesional.

Menurut Kaushar (2013:59), manajemen waktu memiliki peran penting

dalam mengembangkan prestasi akademik mahasiswa. Setiap mahasiswa seharusnya

memiliki kemampuan manajemen waktu yang mencakup pengaturan tujuan dan

prioritas, menggunakan mekanisme manajemen waktu (seperti membuat “to do list”)

dan teratur dalam menggunakan waktu.

2.5. Prestasi Akademik

Penilaian (grading) yaitu menerjemahkan informasi asesmen deskriptif

menjadi huruf, angka, atau tanda lain yang mengindikasikan kualitas pembelajaran

atau prestasi siswa.

2.5.1. Tujuan Penilaian

Penilaian dilakukan untuk mengomunikasikan informasi yang berarti

tentang pembelajaran atau prestasi seorang siswa (Butler & McMunn, 2006;

Taylor & Nolen, 2005 dalam Santrock 2009:384). Dalam proses ini, nilai

mempunyai empat tujuan dasar (Airasian, 2005 dalam Santrock 2009:384).

1. Administratif. Nilai membantu menentukan peringkat kelas siswa, kredit

untuk kelulusan, dan apakah seorang siswa harus dinaikkan ke tingkat yang

berikutnya.

2. Informasional. Nilai dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan siswa,

orang tua, dan yang lainnya (seperti petugas penerimaan untuk pendidikan

sekolah yang berikutnya) tentang pekerjaan seorang siswa. Nilai mewakili

kesimpulan keseluruhan guru tentang seberapa baik seorang siswa

memenuhi tujuan dan target pembelajaran.

22

3. Motivasional. Banyak siswa bekerja lebih keras karena mereka termotivasi

secara ekstrinsik oleh keinginan untuk nilai yang tinggi dan rasa takut akan

nilai yang rendah.

4. Bimbingan. Nilai membantu siswa, orang tua, dan konselor untuk memilih

mata pelajaran serta tingkat pekerjaan yang sesuai untuk siswa. Nilai

memberikan informasi tentang siswa mana yang membutuhkan jasa khusus

dan tingkat pendidikan masa depan apa yang kemungkinan besar bisa

ditangani oleh siswa.

2.5.2. Hasil Penilaian

Dalam menilai prestasi mahasiswa, terdapat tiga metode penilaian

menggunakan skor menurut Ormrod (2011:243), yaitu sebagai berikut:

2.5.2.1. Raw scores

Raw score merupakan nilai yang hanya berdasarkan pada angka atau

persentase dari poin yang diperoleh atau pertanyaan yang dijawab dengan

benar. Raw score mudah dihitung dan kelihatannya mudah dimengerti,

tetapi kadang-kadang kita salah mengartikannya. Tanpa mengetahui jenis

tugas yang sedang dinilai, kita tidak mudah menginterpretasikan raw score

tersebut.

2.5.2.2. Criterion-Referenced Scores

Criterion-referenced scores menunjukkan pencapaian siswa terkait

dengan tujuan pembelajaran tertentu atau ruang lingkup standar. Beberapa

criterion-referenced scores adalah salah satu skor yang menunjukkan bahwa

siswa telah ahli atau tidak ahli suatu kemampuan, memenuhi atau tidak

memenuhi suatu tujuan, atau lulus atau gagal suatu unit. Terkadang,

Criterion-referenced scores disebut penilaian yang absolut.

2.5.2.3. Norm-Referenced Scores

Norm-referenced scores berasal dari perbandingan penilaian prestasi

mahasiswa dengan prestasi mahasiswa yang lain–mungkin teman sekelas atau

mahasiswa yang berada di norma kelompok secara nasional. Norm-referenced

scores memberitahukan kita sedikit tentang hal yang secara spesifik dapat

dilakukan oleh mahasiswa, tetapi memberitahukan kita apakah prestasi

seorang mahasiswa khas atau tidak biasa pada umurnya atau tingkat kelasnya.

23

a. Grade-Equivalent and Age-Equivalent Scores

Grade- and age-equivalent scores ditentukan dengan

mencocokkan raw scores terhadap tingkat kelas atau umur tertentu

dalam kelompok norma. Grade- and age-equivalent scores sering

digunakan karena kelihatannya sederhana dan mudah, namun, juga

memiliki kekurangan yang serius, yaitu kita tidak mengetahui rentang

khas dari prestasi mahasiswa pada tingkat atau umur tertentu.

Contohnya, raw score 34 pada RAT memberikan nilai grade-equivalent

score 8, tetapi tidak semua tingkat 8 akan memiliki nilai 34, ada

kemungkinan lebih tinggi ataupun lebih rendah.

b. Percentile ranks

Percentile rank (atau disingkat menjadi percentile) merupakan

persentase dari orang yang berada pada tingkat umur atau kelas yang

sama, memiliki raw score lebih rendah atau sama dengan raw score

mahasiswa lain. Percentile rank relatif mudah dimengerti dan oleh

karena itu, sering digunakan untuk melaporkan hasil tes. Akan tetapi,

metode ini memiliki kelemahan utama, yaitu mendistorsi perbedaan

actual di antara mahasiswa. Percentiles cenderung menaksir terlalu

tinggi (overestimate) perbedaan di rentang tengah dari karakteristik

yang diukur. Skor yang memiliki beberapa poin terpisah menunjukkan

pencapaian atau kemampuan yang mirip. Sedangkan, percentiles

meremehkan perbedaan di ekstrim atas dan bawah. Untuk menghindari

masalah seperti ini dalam percentile, cara yang dapat digunakan adalah

dengan menggunakan metode standard scores.

c. Standard scores

Standard scores menggunakan istilah distribusi normal (kurva

normal), yaitu dalam pendidikan dan psikologi memiliki pola yang

sama, di mana kebanyakan skor individual berada di rentang tengah dan

hanya sedikit yang berada di salah satu ekstrim. Dua angka yang

digunakan untuk menghasilkan skor ini adalah mean dan simpangan

baku (standard deviation). Mean adalah rata-rata dari satu set skor,

sedangkan simpangan baku adalah statistik yang menunjukkan jumlah

karakteristik yang beragam dari satu set skor. Standard scores

mencerminkan posisi mahasiswa dalam distribusi normal; seberapa jauh

24

prestasi mahasiswa dari mean dipandang dari sisi simpangan baku.

Akan tetapi, tidak semua standard scores menggunakan skala yang

sama, terdapat empat yang paling umum digunakan, yaitu:

1) IQ scores umumnya digunakan untuk melaporkan prestasi

mahasiswa dalam tes kecerdasan, memiliki mean 100 dan

simpangan baku 15 dalam kebanyakan tes.

2) ETS scores digunakan pada tes yang dipublikasikan oleh

Educational Testing Services, seperti SAT Reasoning Test dan

Graduation Record Examination (GRE), memiliki mean 500 dan

simpangan baku 100.

3) Stanines (singkatan dari Standard nines) sering digunakan untuk

melaporkan standarisasi pencapaian hasil tes, memiliki mean 5 dan

simpangan baku 2.

4) z-scores adalah standard scores yang paling sering digunakan oleh

ahli statistik, memiliki mean 0 dan simpangan baku 1.

Criterion-referenced scores memusatkan perhatian pada tujuan

penguasaan dan menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu, meningkatkan

keberhasilan siswa untuk belajar mata kuliah akademik. Norm-referenced scores

kadang-kadang lebih sesuai jika kita ingin mengetahui mahasiswa telah

berprestasi dibandingkan dengan yang lain. Contohnya dalam kelas musik

instrumental, mencari pemain biola terbaik.

Kita sebaiknya tidak menggunakan norm-referenced scores untuk

penilaian yang dilakukan oleh guru (teacher-developed assessment). Skor

tertentu akan menciptakan situasi kompetitif, karena mahasiswa melakukan

dengan baik jika prestasinya melampaui teman sekelasnya. Oleh karena itu,

norm-referenced score memusatkan perhatian pada tujuan prestasi daripada

penguasaan suatu tujuan dan kemungkinan mendorong mahasiswa untuk berbuat

curang dalam tugas (E.M. Anderman et al., 1998; Brophy, 2004; Mac Iver et al.,

1995 dalam Ormrod 2011:560).

2.5.3. Sistem Penilaian Prestasi

Berdasarkan katalog UBN 2013-2014, prestasi akademik mahasiswa

dinilai berdasarkan tugas mandiri, nilai UTS, dan nilai UAS untuk memperoleh

Nilai Akhir Semester (NAS). NAS kemudian disajikan dalam bentuk alphabet.

25

Nilai alphabet tersebut akan digunakan untuk menghitung Indeks Prestasi (IP).

Apabila hanya mengukur nilai semester terakhir sebelumnya yang telah dilalui,

maka akan diperoleh hasil Indeks Prestasi Semester (IPS). Sebaliknya, apabila

ingin mengukur seluruh semester yang telah dilalui selama kuliah, maka akan

diperoleh Indeks Prestasi Kumulatif (IPK).

Sistem penilaian yang memenuhi tujuan program pendidikan di UBN

merupakan Sistem Penilaian Absolut. Penghitungan NAS suatu mata kuliah

yang terdapat praktikum dilakukan sebagai berikut:

Nilai NAT diperoleh sebagai berikut:

Keterangan:

NAT : Nilai akhir teori

TMK : Tugas Mandiri

NMS : Nilai UTS

NUS : Nilai UAS

Jika mata kuliah tidak terdapat praktikum, maka nilai NAS = NAT.

Tabel 2.1 Pembobotan Nilai

Nilai Alphabet Bobot NAS

A : Very Good 4 85 – 100

B : Good 3 75 – 84

C : Adequate 2 65 – 74

D : Less than adequate 1 50 – 64

E : Failed 0 0 – 49

F : Incomplete* 0 0 – 49

G : Failed** - -

L : Pass** - -

Catatan:

* Tidak hadir ketika UAS atau frekuensi kehadiran kelas tidak mencukupi

** Mata kuliah tertentu

26

Cara menghitung IPS dan IPK mahasiswa adalah sebagai berikut.

Keterangan:

K = Jumlah SKS yang ditempuh di semester terkait

N = Bobot setiap mata kuliah yang diambil

M = Nilai Konversi (K x N)

L = Jumlah SKS yang lulus

2.5.4. Penelitian Lainnya yang Berkaitan dengan Prestasi Akademik

Prestasi akademik dipengaruhi oleh banyak faktor, baik secara langsung,

maupun tidak langsung. Menurut Graetz (1995 dalam Ali et.al. 2013:283),

keberhasilan pendidikan siswa sangat bergantung pada status sosial orang tua

atau wali dalam masyarakat. Hal yang sama disetujui oleh Considine dan

Zappala (2002).

Menurut Minnesota (2007 dalam Ali et.al., 2013:283), prestasi akademik

yang tinggi bergantung pada prestasi akademik dari siswa yang sudah tamat.

Penelitian yang dilakukan oleh Byrne dan Flood (2008:209) menunjukkan

bahwa prestasi akademik sebelumnya merupakan variabel paling penting dalam

menjelaskan prestasi akademik mahasiswa akuntansi di Irish University.

Temuan ini berdampak serius pada kebijakan penerimaan mahasiswa, dan

setidaknya berhubungan dengan program studi akuntansi.

Menurut Ali et.al. (2013:288), faktor yang paling berpengaruh terhadap

prestasi akademik adalah umur, pendapatan orang tua/wali, dan jumlah jam

belajar. Asumsi umum bahwa mahasiswa yang menunjukkan atau prestasi

akademik yang lebih tinggi pada awal kelas atau perkuliahan juga berprestasi

lebih baik di tahun akademik mendatang pada tingkat sarjana.

Menurut Amalita dan Kurniawati (2013:387), performansi merupakan hasil

kerja yang dapat dicapai oleh seseorang yang dapat menggambarkan kualitas

output. IPK juga menggambarkan performansi dari suatu Perguruan Tinggi,

karena IPK merupakan hasil komponen pendidikan yang diperoleh mahasiswa

selama menempuh jenjang perkuliahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

27

nilai UN Matematika mahasiswa laki-laki yang berasal dari SMA negeri, dan

jalur masuk melalui jalur SNMPTN memberikan pengaruh signifikan terhadap

peningkatan IPK.

Menurut Erdem (2013:694), terdapat hubungan antara CGPA (IPK)

dengan kemampuan manajemen waktu untuk tujuan akademik dan sosial seperti

kemampuan belajar dan kebiasaan, seperti menggarisbawahi bagian penting dan

menulis komentar mereka ketika mendengarkan pengajar di kelas.

2.6. Akuntansi

Menurut Bastian (2006:53), definisi akuntansi dapat dirumuskan dari dua sudut

pandang, yaitu definisi dari sudut pandang pemakai jasa akuntansi dan dari proses

kegiatannya.

Definisi dari sudut pandang pemakai, yaitu suatu disiplin ilmu yang

menyediakan informasi yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efisien

dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan suatu organisasi. Sedangkan definisi dari sudut

pandang proses kegiatan, yaitu proses pencatatan, penggolongan, peringkasan,

pelaporan, dan penganalisaan data keuangan suatu organisasi.

Menurut Aryati dan Imran (2014:15), Akuntansi merupakan proses pencatatan,

penggolongan dan peringkasan pada peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang

bersifat keuangan dengan cara yang setepat-tepatnya dan dengan petunjuk atau

dinyatakan dalam uang, serta penafsiran terhadap hal-hal yang timbul daripadanya.

Anggun (2010, dalam Aryati dan Imran 2014:15) menyatakan bahwa tingkat

pemahaman akuntansi mahasiswa dinyatakan dengan seberapa mengerti seorang

mahasiswa terhadap hal yang sudah dipelajari (mengacu pada mata kuliah–mata

kuliah akuntansi). Tanda seorang mahasiswa memahami akuntansi tidak hanya

ditunjukkan dari nilai-nilai yang didapatkannya dalam mata kuliah, tetapi juga

apabila mahasiswa tersebut mengerti dan dapat menguasai konsep-konsep yang

terkait.

2.7. Metode Pembelajaran di UBN

Metode pembelajaran yang digunakan dalam Universitas UBN adalah student-

centered learning (SCL).

Menurut Cubukcu (2012:49), SCL atau student centeredness, adalah model

yang menempatkan siswa sebagai pusat dari proses pembelajaran. SCL merupakan

28

model di mana siswa memainkan peranan aktif dalam gaya dan strategi

pembelajaran. Ketika belajar, motivasi internal sangat penting. SCL meningkatkan

pembelajaran untuk belajar dan mempelajari cara untuk mengembangkan

kemampuan seperti berpikir kritis, memecahkan masalah dan berpikir reflektif.

Menurut Gür (2006 dalam Gelisli, 2009:470), pendekatan student centered

pada pelatihan anak-anak berdasarkan sifatnya, tidak bergantung pada yang

diinginkan orang dewasa; dalam cara ini menyatakan bahwa anak-anak akan lebih

kreatif dan lebih bebas.

Menurut Saban (2004 dalam Gelisli, 2009:470), pengertian SCL adalah

pengaturan pembelajaran hidup dengan menekankan pada minat, pengetahuan, dan

kebutuhan siswa, tujuannya adalah membuat siswa memperoleh keahlian untuk

mengeksplorasi ciri belajarnya dan mempelajari bagaimana untuk belajar dalam

proses tersebut.

Menurut Sparrow and Sparrow, Swan (2000 dalam Gelisli, 2009:470), SCL

adalah pendekatan yang membawa minat, keahlian, dan kebutuhan ke dalam

pertimbangan, membiarkan siswa bebas dalam proses pembelajaran, menyajikan

berbagai kesempatan kepada mereka, membuat mereka belajar dalam langkah

mereka sendiri.

29

2.8. Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

2.9. Hipotesis

Hipotesis yang telah dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hipotesis 1

Ho : Gender tidak berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi akademik

mahasiswa akuntansi.

Ha : Gender berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi akademik

mahasiswa akuntansi.

2. Hipotesis 2

Ho : Asal sekolah sekolah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap

prestasi akademik mahasiswa akuntansi.

Ha : Asal sekolah berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi akademik

mahasiswa akuntansi.

30

3. Hipotesis 3

Ho : Kemampuan manajemen waktu tidak berpengaruh secara signifikan

terhadap prestasi akademik mahasiswa akuntansi.

Ha : Kemampuan manajemen waktu berpengaruh secara signifikan terhadap

prestasi akademik mahasiswa akuntansi.