bab 2 landasan teori dan kerangka pemikiranthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2007-3-00335-mn bab 2.pdfyang...
TRANSCRIPT
7
BAB 2
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pengukuran Kinerja
Menurut Kaplan dan Norton (2000, p19), sebagai pencipta metode balanced
scorecard, dikatakan bahwa sistem pengukuran yang diterapkan perusahaan mempunyai
dampak yang sangat besar terhadap perilaku manusia di dalam maupun di luar organisasi.
Untuk berhasil dan tumbuh dalam persaingan abad informasi, perusahaan harus
menggunakan sistem pengukuran dan manjemen yang diturunkan dari strategi dan
kapabilitas yang dimiliki perusahaan. Jika Anda tidak dapat mengukurnya, anda akan
menemui kesulitan untuk mengelolanya. Oleh karena itulah pengukuran kinerja dianggap
penting.
2.1.1.1 Definisi Pengukuran Kinerja
Menurut (http://www.damandiri.or.id/file/yurniwatiunpadbab2b.pdf), kinerja adalah
kemampuan kerja ditentukan yang ditunjukkan dengan hasil kerja. Hawkins (The Oxford
Paperback Dictonary, 1979) mengemukakan pengertian kinerja sebagai berikut: Performance
is: (1) the process or manner of performing, (2) a notable action or achievement, (3) the
performing of a play or other entertainment. Kinerja perusahaan merupakan sesuatu yang
dihasilkan oleh suatu perusahaan dalam periode tertentu dengan mengacu pada standar
yang ditetapkan. Kinerja perusahaan hendaknya merupakan hasil yang dapat diukur dan
mengetahui kondisi empirik suatu perusahaan dari berbagai ukuran yang disepakati. Untuk
mengetahui kinerja yang dicapai maka dilakukan pengukuran kinerja.
8
Menurut Anderson dan Clancy (1991) (Yuwono, 2003, p21) mendefinisikan
pengukuran kinerja sebagai umpan balik dari akuntan kepada manajemen yang memberikan
informasi tentang seberapa baik aksi yang dilaksanakan merupakan gambaran dari rencana
yang ditetapkan juga informasi ini mengidentifikasi dimana para manajer mungkin perlu
untuk melakukan perbaikan dan penyesuaian dalam kegiatan perencanaan dan pengendalian
di masa yang akan datang.
Sedangkan menurut Yuwono (2003, p23) pengukuran kinerja adalah tindakan
pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktifitas dalam rantai nilai yang ada pada
perusahaan. Secara umum pengertian pengukuran kinerja dapat di simpulkan sebagai suatu
metode manajemen strategik yang bisa dipergunakan untuk mengukur dan menilai
keberhasilan suatu perusahaan melalui suatu usaha yang dilakukan secara menyeluruh, dan
hasil pengukuran kinerja tersebut dapat dipergunakan oleh manajemen yang disusun sebagai
umpan balik untuk perbaikan dan penyesuaian-penyesuaian atau peninjauan ulang strategi
yang ditetapkan dan program-program yang akan dilaksanakan. Hal yang menjadi ukuran
disini adalah bagaimana kemampuan suatu organisasi, bagian organisasi, dan karyawan
dalam mencapai efektifitas operasional berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya.
2.1.1.2 Tujuan Pengukuran Kinerja
Menurut (http://www.damandiri.or.id/file/yurniwatiunpadbab2b.pdf) tujuan
pengukuran kinerja adalah untuk memotivasi personel mencapai sasaran organisasi dan
mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, agar menghasilkan tindakan
yang diinginkan oleh organisasi. Penilaian kinerja juga digunakan untuk menekan perilaku
yang tidak semestinya dan menegakkan perilaku yang semestinya diinginkan, melalui umpan
9
balik hasil kinerja pada waktunya serta penghargaan, baik yang sifatnya intristik maupun
ekstristik.
Menurut Gaspersz, Vincent (2005, p92), pengukuran kinerja dapat menjadi pedoman
yang mengaitkan berbagai program peningkatan kinerja yang ada sehingga menjadi lebih
terfokus pada pencapaian tujuan-tujuan organisasi, ukuran-ukuran, dan target-target yang
terkait langsung dengan tujuan-tujuan strategis.
2.1.1.3 Manfaat Pengukuran Kinerja
Dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang disusun oleh Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) (2002, p5) dijelaskan tentang pentingnya informasi serta manfaat kinerja
perusahaan yaitu informasi kinerja perusahaan, terutama profitabilitas, diperlukan untuk
menilai perubahan potensial sumber daya ekonomi yang mungkin dikendalikan di masa
depan. Informasi fluktuasi kinerja adalah penting dalam hubungan ini. Informasi kinerja
bermanfaat untuk memprediksi kapasitas perusahaan dalam menghasilkan arus kas dari
sumber daya yang ada. Disamping itu, informasi tersebut juga berguna dalam perumusan
pertimbangan tentang efektifitas perusahaan dalam memanfaatkan tambahan sumber daya.
Menurut Lynch dan Cross (Yuwono, 2004, pp29-30), manfaat sistem pengukuran
kinerja yang baik adalah sebagai berikut :
1. Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggan, sehingga akan membawa
perusahaan lebih dekat dengan pelanggannya dan membuat seluruh orang dalam
organisasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan kepada pelanggan.
2. Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata rantai
pelanggan dan pemasok internal.
3. Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya terhadap
pemborosan tersebut (reduction of waste).
10
4. Membuat suatu tujuan strategis yang biasanya masih kabur menjadi lebih
kongkret, sehingga mempercepat proses pembelajaran organisasi.
5. Membangun konsensus untuk melakukan perubahan dengan memberi “reward” atas
perilaku yang diharapkan tersebut.
Tabel 2.1
Atribut Pengukuran Kinerja yang Baik
Berbagai Atribut Tolok Ukur Kinerja yang Baik Secara umum, suatu sistem pengukuran yang baik harus terdiri dari sekumpulan tolok ukur
yang mengkombinasikan antara matriks keuangan dan non keuangan dengan 24 atribut berikut :
1. Mendukung dan konsisten dengan tujuan, tindakan, budaya, dan faktor-faktor kunci keberhasilan perusahaan
2. Relevan dan mendukung strategi 3. Sederhana untuk diimplementasikan 4. Tidak kompleks 5. Digerakkan oleh pelanggan 6. Integral dengan seluruh fungsi
dalam organisasi 7. Sesuai dengan keseluruhan tingkatan
organisasi 8. Sesuai dengan lingkungan eksternal 9. Mendorong kerjasama dalam
organisasi, baik secara horisontal maupun vertikal
10. Hasil pengukurannya dapat dipertanggungjawabkan
11. Jika memungkinkan, dikembangkan dengan menggabungkan pendekatan top-down dan bottom-up
12. Dikomunikasikan keseluruh bagian yang relevan dalam organisasi
13. Dapat dipahami 14. Disepakati bersama 15. Realistik
16. Berhubungan dengan faktor-faktor yang berhubungan dan membuat ”sebuah perbedaan”
17. Terhubung dengan aktifitas sehingga hubungan yang jelas terlihat antara sebab dan akibat
18. Difokuskan lebih pada pengelolaan sumber daya, ketimbang biaya yang sederhana
19. Dimanfaatkan untuk memberi ”real time feedback ”
20. Digunakan untuk memberi ”action oriented feedback ”
21. Jika diperlukan, suatu tolok ukur bisa ditambahkan lintas fungsional dan lintas level manajemen
22. Mendukung bagi pembelajaran individu dan organisasi
23. Mendorong perbaikan secara kontinyu dan tiada henti
24. Secara kontinyu dinilai relevansinya terhadap 23 atribut di atas dan dibuang jika kegunaannya hilang atau ada tolok ukur yang baru atau lebih relevan ditemukan
Sumber: Yuwono (2003, p30)
11
2.1.2 Konsep Manajemen Strategi
Menurut Tunggal (2001, p2) strategis adalah deskripsi yang ingin dicapai oleh
organisasi pada tiga sampai lima tahun ke depan, seperti yang telah direpresentasikan oleh
tema pada organisasi dan pada tujuan organisasi. Dengan menjabarkan strategi dalam
bentuk tema dan tujuan, strategi akan merepresentasikan rencana dengan singkat secara
keseluruhan daripada secara finansial saja. Strategi merupakan suatu teori tentang
bagaimana mencapai sasaran perusahaan.
Adapun beberapa pengertian manajemen strategi menurut para ahli, adalah sebagai
berikut :
Menurut Mulyadi (2001, p49), manajemen strategi adalah suatu proses yang
digunakan oleh manajemen dan karyawan untuk merumuskan dan mengimplementasikan
strategi dalam penyediaan customer value terbaik untuk mewujudkan visi organisasi.
Definisi lain dari manajemen strategi diuraikan oleh Blocher dalam Yuwono (2002,
p11), sebagai : “the development of a substainable competitive position in which the firm’s
competitive provides continued success”.
2.1.3 Pengertian Visi dan Misi
2.1.3.1 Pengertian Visi
Menurut Yuwono (2003, p103), visi dapat diartikan segambaran menantang dan
imajinatif tentang peran, tujuan dasar, karakteristik, dan filosofi organisasi dimasa datang
yang akan menajamkan tugas-tugas strategik perusahaan.
Menurut Niven (2002, p71), visi merupakan pernyataan “word picture of the future”,
yaitu semua keinginan terhadap keadaan di masa datang yang dicita-citakan oleh seluruh
personel perusahaan, mulai dari jenjang yang paling atas sampai yang paling bawah.
12
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001, p1262), “visi adalah apa yang kita
percaya dapat terjadi. Visi adalah kemampuan untuk melihat pada inti persoalan dan
pandangan atau wawasan kedepan. Visi adalah suatu refleksi dari masa depan. Ia adalah
sebuah image yang menjabarkan apa yang diinginkan oleh perusahaan pada jangka waktu
yang lama. Visi merupakan suatu rangkuman tentang apa yang ingin dicapai atau yang
diinginkan oleh perusahaan.
2.1.3.2 Pengertian Misi
Menurut Yuwono (2003, p103), misi mendefinisikan bisnis bahwa organisasi berada
pada atau harus berada pada nilai-nilai keinginan stakeholder yang meliputi: produk, jasa,
pelanggan, pasar, dan seluruh kekuatan perusahaan.
Menurut Niven (2004, p71), misi merupakan pernyataan “why we exist ?”, yaitu
menjelaskan bahwa dalam bisnis apa perusahaan menempatkan diri dalam menuju ke masa
depan serta menentukan batas dan maksud aktivitas bisnis perusahaan.
2.1.4 Analisis Porter
Menurut Porter (Husein Umar, 2001, p34) jika perusahaan ingin meningkatkan
usahanya dalam persaingan yang semakin ketat, perusahaan harus memilih prinsip berbisnis,
yaitu produk dengan biaya rendah, bukan kedua-duanya. Dan juga Michael Porter percaya
aspek terpenting dari sebuah lingkungan eksternal adalah bagaimana lingkungan eksternal
itu sendiri berpengaruh kepada persaingan dalam suatu industri. Michael Porter seperti yang
dikutip Kotler, P. (2003, p242) mengidentifikasikan lima kekuatan yang menentukan
kompetisi dari sebuah industri.
13
Sumber : Rangkuti (2004, p11)
Gambar 2.1
Lima Model Kekuatan Kompetisi Porter
Wheelen, T. dan Hunger, J. dalam buku yang berjudul Strategic Management and
Business Policy (2006, p82) secara lebih mendalam membahas teori Porter tentang kekuatan
yang mempengaruhi dan menentukan kompetisi dalam sebuah industri, dalam buku tersebut
dikemukakan:
Ancaman Produk
Substitusi
Pembeli
Ancaman Pendatang Baru
Pemasok
Para Pesaing Industri (competitors)
Persaingan Diantara Perusahaan yang Ada
Kekuatan Tawar-menawar Pembeli
Kekuatan Tawar-menawar Pemasok
14
1. Ancaman Pendatang Baru
Menarik atau tidaknya suatu industri bervariasi, tergantung dari seberapa besar
hambatan masuk dan keluarnya. Yang paling menarik bagi perusahaan adalah ketika
hambatan masuknya tinggi, sedangkan hambatan keluar rendah.
Pendatang baru dalam industri akan membuka kapasitas yang baru untuk
mendapatkan pangsa pasar dan sumber daya yang berkualitas. Karena alasan itulah, mereka
dianggap sebagai ancaman oleh pemain lama. Ancaman dari pendatang baru akan
tergantung juga pada hambatan masuk dan reaksi dari pesaing. Beberapa kemungkinan
hambatan masuk yang akan ditemui adalah:
a. Skala Ekonomi
b. Diferensiasi Produk
c. Kebutuhan Modal
d. Biaya untuk Mengganti (Switching Cost)
e. Akses ke Saluran Distribusi
f. Peraturan Pemerintah
2. Persaingan Diantara Pemain yang Ada
Sebuah industri menjadi tidak lagi menarik ketika didalamnya sudah terdapat
beberapa kompetitor yang banyak, kuat, ataupun agresif. Kondisi yang semacam ini akan
mengantarkan kepada perang harga yang terus menerus, persaingan iklan, dan perkenalan
produk baru, dan keseluruhannya akan membuat persaingan menjadi mahal.
Dalam industri, perusahaan sebenarnya saling memiliki ketergantungan. Gerakan
kompetitif dari suatu perusahaan dapat menimbulkan efek kepada pesaingnya dan dapat
menyebabkan serangan balik dari pesaing tersebut. Menurut Porter, persaingan ketat dapat
dihubungkan dengan adanya faktor-faktor berikut:
15
a. Jumlah pesaing.
Bila jumlah pesaing sedikit dan memiliki kekuatan yang berimbang, maka mereka
akan saling mengawasi dan memastikan bahwa mereka dapat melakukan serangan
balik yang sepadan bila lawannya melakukan suatu gerakan.
b. Rata-rata pertumbuhan industri.
c. Karakteristik servis atau produk.
Suatu produk bisa dikatakan unik dengan banyak kualitas yang membedakannya
dengan produk lainnya. Suatu produk dapat juga disebut sebagai komoditas, apabila
produk tersebut akan memiliki kualitas yang sama dan tidak tergantung dari siapa
yang menghasilkannya.
d. Jumlah biaya tetap.
e. Kapasitas.
f. Penghalang keluar.
Penghalang yang menghalangi perusahaan untuk keluar dari suatu industri.
g. Keberagaman pesaing.
Pesaing yang memiliki ide yang berbeda dapat saling berselisih jalan yang tanpa
disadari dapat menyebabkan persaingan.
3. Ancaman dari Produk dan Jasa Pengganti
Suatu industri juga akan menjadi tidak menarik jikalau terdapat beberapa produk
pengganti yang aktual ataupun potensial. Dengan adanya barang substitusi ini kekuatan
pembeli menjadi meningkat, dan untuk mengatasinya perusahaan dapat memilih pembeli
yang mempunyai kekuatan bernegosiasi dan jumlah pemasok pengganti yang rendah.
Produk pengganti adalah produk yang tampak berbeda tapi dapat memenuhi
kebutuhan yang sama akan produk lain. Misalnya, e-mail merupakan pengganti dari faks.
16
Tambahan lagi, apabila biaya pengganti murah, substitusi akan memilki dampak yang kuat
pada suatu industri. Misalnya, apabila harga kopi menjadi tinggi, maka para peminum kopi
akan secara perlahan beralih kepada teh.
4. Kekuatan Tawar-Menawar dari Pembeli
Ketika posisi tawar menawar pembeli meningkat, suatu industri juga akan dikatakan
tidak menarik untuk perusahaan. Posisi pembeli akan semakin meningkat bila pembeli
menjadi lebih terorganisasi, produk merupakan bagian signifikan dari biaya, tidak ada
diferensiasi produk, switching cost rendah , atau jika pembeli bisa berintegrasi ke hulu.
Pembeli dapat mempengaruhi industri melalui kemampuannya untuk menekan
harga, meminta kualitas yang tinggi dan tambahan jasa. Pembeli atau kumpulan pembeli
dapat dikatakan memiliki kekuatan apabila memenuhi faktor-faktor berikut:
a. Pembeli membeli produk atau jasa dalam jumlah besar.
b. Pembeli memiliki potensi untuk menghasilkan produk tersendiri.
c. Alternatif pemasok yang sangat banyak. Hal ini dikarenakan produk tersebut memiliki
suatu standar yang sama.
d. Biaya untuk beralih (switching cost) pada pemasok lain rendah.
e. Produk yang dibeli merupakan penyumbang tertinggi dalam pengeluaran pembeli,
sehingga mendorong niat untuk membeli produk dengan harga yang lebih rendah.
f. Pembeli medapatkan keuntungan yang rendah, sehingga lebih sensitif terhadap
biaya dan diferensiasi jasa.
5. Kekuatan Tawar-Menawar dari Pemasok
Industri tidak menarik jika perusahaan pemasok dapat meningkatkan harga atau
mengurangi produk yang dipasoknya. Pemasok menjadi semakin kuat dalam posisi tawar
ketika mereka menjadi lebih terkonsentrasi atau terorganisasi, hanya terdapat beberapa
17
pengganti, ketika produk merupakan input penting, switching cost pemasok tinggi, dan
ketika pemasok dapat berintegrasi ke hilir.
Selain itu penjual atau pemasok dapat mempengaruhi industri melalui
kemampuannya menaikkan harga atau mengurangi kualitas dari barang dan jasa. Penjual
atau kumpulan penjual dapat dikatakan memiliki kekuatan apabila memiliki faktor-faktor
berikut:
a. Industri tempat penjual berkecimpung hanya didominasi oleh beberapa perusahaan.
b. Produk atau servis yang dihasilkan memiliki keunikan tersendiri atau memiliki biaya
pembuatan yang tinggi.
c. Tidak ada barang pengganti yang tersedia.
Penjual tidak dapat berkompetisi secara langsung dengan konsumen.
2.1.5 Critical Success Factor
Critical success factor menurut Tunggal, A.W. (2001, p29) merupakan indikator
dalam pengukuran dan penilaian kinerja perusahaan. Faktor-faktor ini merupakan tolok ukur
dari aspek-aspek kinerja perusahaan yang penting terhadap keunggulan kompetitifnya, yang
akhirnya akan membawa dampak terhadap pencapaian keberhasilan.
Juga menurut Tunggal, A.W. (2001, p29) sistem manajemen strategik
mengembangkan informasi strategik yang memasukkan informasi yang bersifat keuangan
maupun non keuangan. Di masa lalu, perusahaan cenderung berfokus terutama pada kinerja
keuangan, seperti pertumbuhan penjualan dan laba, aliran kas dan nilai persediaan.
Sebaliknya perusahaan dalam lingkungan bisnis yang kontemporer menggunakan
manajemen strategik untuk memfokuskan terutama pada ukuran strategik tentang
keberhasilan, yang banyak berupa ukuran operasional yang bersifat non keuangan, seperti
18
pangsa pasar, mutu produk, kepuasan pelanggan, dan peluang pertumbuhan. Ukuran
keuangan menunjukkan dampak kebijakan dan prosedur perusahaan pada posisi keuangan
perusahaan jangka pendek. Oleh karena itu, hal ini juga memberikan pengembalian (return)
jangka pendek bagi pemegang saham. Sebaliknya faktor-faktor yang bersifat non keuangan
menunjukkan posisi kompetitif perusahaan untuk saat ini dan masa yang akan datang, yang
merupakan ukuran yang dipandang dari tiga sudut pandang (a) pelanggan, (b) proses bisnis
internal, (c) inovasi dan pembelajaran misalnya; sumber daya manusia. Ukuran strategik
yang bersifat keuangan dan non keuangan biasanya sebagai kunci keberhasilan kritikal
(Critical Success Factor).
Contoh Bagaimana mengukur faktor keberhasilan kritikal (Critical Success Factor)
menurut Tunggal, A. W. (2002,p11-13) sebagai berikut:
Tabel 2.2
Critical Success Factor
Critical Success Factors Mengukur Critical Success Factors Profitabilitas
Likuiditas
Penjualan
Market Value
Faktor Keuangan Laba operasi, trend laba. Cash flow adequacy, trend in cash flow, kemampuan membayar bunga, tingkat perputaran aset, tingkat perputaran persediaan, tingkat perputaran piutang. Tingkat penjualan pada kelompok produk utama, trend penjualan, presentasi penjualan yang berasal dari produk baru, akurasi peramalan penjualan. Harga saham.
Keputusan Pelanggan
Faktor Pelanggan Pengembalian produk dan keluhan pelanggan, penelitian tentang pelanggan.
19
Dealer dan Distributor
Pemasaran dan Penjualan
Ketepatan Pengiriman Mutu
Kekuatan hubungan dengan dealer dan distributor. Trend kinerja penjualan, aktivitas pelatihan dan riset pasar. Kinerja ketepatan waktu pengiriman, waktu mulai pemesanan sampai pengiriman kepada pelangggan. Keluhan pelanggan, biaya jaminan, kecepatan dan keefektifan pelayanan.
Mutu
Produktivitas Fleksibilitas
Kesiapan Peralatan
Keamanan
Proses Bisnis Internal Jumlah produk cacat, jumlah pengembalian, penelitian terhadap pelanggan, jumlah sisa produksi, jumlah perbaikan, laporan penelitian lapangan, klaim jaminan, tingkat ke-cacatan barang dari pemasok. Waktu siklus (cycle time) (mulai dari bahan mentah sampai dengan produk selesai); efisiensi tenaga kerja, jumlah pemborosan, perbaikan dan sisa produksi. Waktu setup, pengalaman operator, kapasitas mesin, aktivitas pemeliharan. Down time, pengalaman operator, kapasitas mesin, aktivitas pemeliharan. Kapasitas mesin, aktivitas pemeliharan, jumlah kecelakaan, dampak kecelakaan.
Inovasi Produk
Ketetapan Waktu Untuk Produk Baru Pengalaman Keahlian
Moral Pekerja
Pembelajaran dan Inovasi Jumlah perubahan desain, jumlah hak paten atau hak cipta yang baru, keahlian staf riset dan pengembangan. Jumlah kelebihan atau kekurangan hari dari tanggal pengiriman. Jumlah pelatihan, peningkatan kinerja keahlian. Tingkat perputaran pekerja, jumlah keluhan,
20
Kompetensi
penelitian terhadap pekerja/karyawan. Tingkat perputaran, pelatihan, pengalaman, kemampuan beradaptasi, ukuran-ukuran keuangan dan operasional.
Sumber : Tunggal, A.W. (2002, pp11-13)
Menurut Tunggal, A.W. (2001, p30) dalam mengembangkan ukuran critical success
factor harus melibatkan studi secara hati-hati terhadap proses bisnis perusahaan.
Pengembangan produk, manufacturing, manajemen, dan fungsi keuangan harus dilihat
untuk menentukan spesifikasi fungsi-fungsi ini dalam memberikan kontribusi untuk
keberhasilan perusahaan.
2.1.6 Pengukuran Kinerja Berdasarkan Perspektif Tradisional
Robert S. Kaplan dan David P. Norton (2000, p6) menyatakan semua program,
inisiatif, dan proses perubahan manajemen yang baru pada perubahan abad informasi,
sampai saat ini masih dilaksanakan dalam suatu lingkungan yang diatur oleh berbagai
laporan keuangan kuartalan dan tahunan. Proses laporan keuangan tetap terikat pada
sebuah model akuntansi yang dikembangkan ratusan tahun yang lalu, yang diciptakan untuk
sebuah lingkungan transaksi yang wajar antara pihak-pihak yang independen. Model
akuntansi ini masih digunakan oleh perusahaan abad informasi pada saat mereka berusaha
membangun aktiva dan kemampuan internal, dan untuk mendorong keterkaitan dan aliansi
strategis dengan berbagai pihak eksternal.
Dalam kondisi perusahaan masih berskala kecil, transaksi umumnya dilakukan
dengan pihak eksternal dengan hanya memperhatikan perspektif keuangan yang tertuang
dalam laporan keuangan jangka pendek dan hampir seluruh aktifitas dapat dikontrol
(Yuwono, 2004, p23). Disini pengukuran kinerja secara obyektif dapat dilakukan dengan
membandingkan harga output (exit value) dengan harga input (entry value). Namun, ketika
21
kondisi perusahaan mulai membesar dalam skalanya dan pihak-pihak yang berkepentingan
dengan perusahaan (stakeholders) bertambah banyak, pengukuran kinerja dengan sistem
yang tradisional tidak bisa lagi dapat dipertahankan.
Menurut Yuwono (2003, p23-24) permasalahan-permasalahan yang timbul dengan
pengukuran kinerja dalam kondisi perusahaan berskala besar dan jumlah stakeholder yang
banyak adalah :
1. Peningkatan skala perusahaan berupa integrasi fungsi-fungsi dan semakin
kompleksnya struktur organisasi memperbesar jumlah transaksi internal yang
membuat mekanisme harga terbengkalai;
2. Pembesaran perusahaan berakibat pula pada semakin panjangnya siklus operasi
perusahaan;
3. Pengukuran kinerja bahkan semakin sulit dilakukan pada perusahaan padat modal
berskala besar yang menghasilkan lebih dari satu jenis produk, terutama kesulitan
dalam pengalokasian biaya overhead;
4. Bertambahnya stakeholders semakin mempersulit proses deliberasi untuk
menyepakati besarnya nilai akun dalam neraca dan laporan laba rugi yang bukan
berasal dari arms’ length transactions, seperti exit value, replacement cost dan
sebagainya.
2.1.6.1 Definisi Laporan Keuangan
Menurut Munawir (2002, p2), “Laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari
proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data
keuangan dan aktivitas suatu perusahaan dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan
data atau aktivitas perusahaan tersebut”.
22
Menurut Myer dalam bukunya Financial Statement Analysis (Munawir, 2004, p5)
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan laporan keuangan adalah dua daftar yang
disusun oleh akuntan pada akhir periode untuk suatu perusahaan. Kedua daftar itu adalah
daftar neraca atau daftar posisi keuangan dan daftar pendapatan atau daftar rugi laba. Pada
waktu akhir-akhir ini sudah menjadi kebiasaan bagi perseroan-perseroan untuk menambah
daftar ketiga yaitu daftar surplus atau daftar laba yang tak dibagikan (laba ditahan).
Berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) (2002, p2), laporan keuangan
didefinisikan sebagai berikut: “Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan
keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi,
laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya,
sebagai laporan arus kas, atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi
penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan. Disamping itu juga
termasuk skedul dan informasi tambahan yang berkaitan dengan laporan tersebut, misalnya,
informasi keuangan segmen industri dan geografis serta pengungkapan pengaruh perubahan
harga.
Sedangkan Munawir (2002, p35) menulis, “Analisa-analisa laporan keuangan terdiri
dari penelaahan atau mempelajari daripada hubungan-hubungan dan tendensi atau
kecenderungan (tren) untuk menentukan posisi keuangan dan hasil operasi serta
perkembangan perusahaan yang bersangkutan”.
2.1.6.2 Sifat Laporan Keuangan
Laporan keuangan menurut Munawir (2004, p6) dipersiapkan atau dibuat dengan
maksud untuk memberikan gambaran atau laporan kemajuan secara periodik yang dilakukan
pihak manajemen yang bersangkutan. Jadi laporan keuangan bersifat historis serta
menyeluruh dan sebagai suatu progress report laporan keuangan terdiri dari data-data yang
23
merupakan hasil dari suatu kombinasi antara fakta yang yang telah dicatat, prinsip-prinsip
dan kebiasaan-kebiasaan di dalam akuntansi, dan pendapat pribadi. Dengan sifat yang
demikian itu maka laporan keuangan tidak dapat mencerminkan posisi keuangan dari suatu
perusahaan dalam kondisi perekonomian yang paling akhir, karena segala sesuatunya
sifatnya historis. Sehingga mungkin terdapat beberapa hal yang dapat membawa akibat
terhadap posisi keuangan perusahaan tidak dicatat dalam pencatatan akuntansi atau tidak
nampak dalam laporan keuangan.
Menurut Munawir (2004, p6) suatu hal yang penting yaitu bahwa baik prosedur,
anggapan-anggapan, kebiasaan-kebiaasaan maupun pendapat pribadi yang telah digunakan
haruslah dipertahankan secara terus menerus atau secara konsisten dari tahun ke tahun.
Namun dalam hal ini tidak berarti bahwa prosedur, kebiasaaan maupun pendapat pribadi
yang digunakan tidak boleh dirubah, tetapi kalau suatu ketika manajemen ingin merubah
prosedur, kebiasaan atau pendapat pribadi yang telah dipakai, harus dijelaskan di dalam
laporan keuangannya sehingga mereka yang membaca laporan itu dapat mengetahui dengan
jelas dasar mana yang sesungguhnya digunakan dalam laporan keuangan yang
bersangkutan, dan laporan keuangan yang dibuat secara periodik itu dapat diperbandingkan.
Karena kalau dasar yang digunakan sudah berlainan tanpa sepengetahuan yang menganalisa
dan menginterpretasikan maka kesimpulan yang diperoleh akan keliru.
2.1.6.3 Jenis-Jenis Laporan Keuangan
Untuk dapat menganalisa dan menafsirkan suatu laporan keuangan, maka
pengertian tentang jenis-jenis laporan keuangan itu sendiri perlu kita ketahui terlebih dahulu.
Beberapa laporan keuangan tersebut menurut Munawir (2004, p13) adalah sebagai berikut:
1. Laporan laba rugi adalah suatu ikhtisar pendapatan dan beban selama periode waktu
tertentu, misalnya sebulan atau setahun.
24
2. Laporan ekuitas pemilik adalah suatu ikhtisar perubahan ekuitas pemilik yang terjadi
selama peiode waktu tertentu, misalnya sebulan atau setahun.
3. Neraca adalah suatu daftar aktiva, kewajiban, dan ekuitas pemilik pada tanggal
tertentu, biasanya pada akhir bulan atau akhir tahun.
4. Laporan arus kas adalah suatu ikhtisar penerimaan kas dan pembayaran kas selama
periode waktu tertentu, misalnya sebulan atau setahun.
Menurut Munawir (2004, p13) walaupun dalam prakteknya sering diikutsertakan
beberapa daftar yang sifatnya untuk memperoleh kejelasan lebih lanjut sehingga biasanya
dalam laporan keuangan yang lengkap tedapat catatan penjelasan atas laporan keuangan
atau yang disebut dengan notes to financial statement yang memberikan penjelasan
tambahan mengenai laporan keuangan utama yang belum dapat dijelaskan dalam tubuh
laporan. Penjelasan ini penting karena dapat membantu pengambilan keputusan dalam
membacanya.
2.1.6.4 Metode dan Teknik Analisis Laporan Keuangan Secara Tradisional
Menurut Munawir (2004, p36) metode dan teknik analisa (alat-alat analisa)
digunakan untuk menentukan dan mengukur hubungan antara pos-pos yang ada dalam
laporan sehingga dapat diketahui perubahan-perubahan dari masing-masing pos tersebut
bila diperbandingkan dengan laporan dari beberapa periode untuk satu perusahaan tertentu,
atau diperbandingkan dengan alat-alat pembanding lainnya, misalnya diperbandingkan
dengan laporan keuangan yang dianggarkan atau dengan laporan keuangan perusahaan
lainnya.
Tujuan dari setiap metode dan teknik analisa menurut Munawir (2002, p36) adalah
“Untuk menyederhanakan data sehingga dapat lebih dimengerti”.
25
Munawir (2002, p36) juga menyebutkan dua metode analisa yang digunakan oleh
setiap penganalisa laporan keuangan, yaitu:
1. Analisa horisontal, adalah analisa dengan mengadakan pembandingan laporan keuangan
untuk beberapa periode atau beberapa saat, sehingga akan diketahui perkembangannya.
Metode horisontal ini disebut pula sebagai metode analisa dinamis.
2. Analisa vertikal, yaitu apabila laporan keuangan yang dianalisa meliputi satu periode atau
satu saat saja, yaitu dengan memperbandingkan antara pos yang satu dengan pos yang
lainnya dalam laporan keuangan tersebut, sehingga hanya akan diketahui keadaan
keuangan atau hasil operasi pada saat itu saja. Analisa vertikal ini disebut juga sebagai
metode analisa yang statis karena kesimpulan yang dapat diperoleh hanya untuk periode
itu saja tanpa mengetahui perkembangannya.
Salah satu teknik analisa yang banyak digunakan dalam analisa laporan keuangan
adalah analisa rasio, dimana Munawir (2002, p37) mendefinisikan sebagai “Suatu metode
analisa untuk mengetahui hubungan dari pos-pos tertentu dalam neraca atau laporan rugi
laba secara individual atau kombinasi dari kedua laporan tersebut”.
Menurut Husein Umar (2005, p88) untuk menganalisis keuangan dalam rangka
evaluasi kinerja perusahaan diperlukan rasio-rasio keuangan, misalnya rasio likuiditas,
solvabilitas, dan rentabilitas. Rincian rasio-rasio beserta formulanya disajikan dibawah ini :
1. Rasio Likuiditas
Rasio likuiditas menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menyelesaikan
kewajiban jangka pendeknya. Beberapa rasio likuiditas ini adalah sebagai berikut :
a. Rasio Lancar (Current Ratio)
Rasio ini menunjukkan sejauh mana aktiva lancar menutupi kewajiban-kewajiban
lancarnya.
26
Rumus : Rasio Lancar = Aktiva Lancar Utang Lancar
b. Rasio Cepat (Quick Ratio)
Rasio ini menunjukkan kemampuan aktiva lancar yang paling liquid mampu
menutupi utang lancar.
Rumus : Rasio Cepat = Aktiva Lancar – Persediaan Utang Lancar
2. Rasio Solvabilitas
Rasio solvabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan dalam membayar
kewajiban jangka panjangnya atau kewajiban-kewajibannya apabila perusahaan
dilikuidasi. Rasio solvabilitas antara lain :
a. Rasio Utang atas Modal (Debt to Equity Ratio)
Rasio ini menggambarkan sampai sejauh mana modal pemilik dapat menutupi
utang-utang pihak luar.
Rumus : Rasio Utang atas Modal = Total Utang_ Modal (Equity)
b. Rasio Utang atas Aktiva (Debt to Assets Ratio)
Rasio ini menunjukkan sampai sejauh mana utang dapat ditutupi oleh aktiva.
Rumus : Rasio Utang atas Aktiva = Total Utang Total Aktiva
3. Rasio Rentabilitas
Rasio rentabilitas atau disebut juga profitabilitas menggambarkan kemampuan
perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan, dan sumber daya uang
yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang,
dan sebagainya. Rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan menghasilkan
laba disebut juga operating ratio. Beberapa jenis rasio profitabilitas ini dapat
dikemukakan sebagai berikut :
27
a. Margin Laba (Profit Margin) = Pendapatan Bersih Penjualan
Angka ini menunjukkan berapa besar persentase pendapatan bersih yang
diperoleh dari setiap penjualan.
b. Aset Turn Over (Return on Assets) = Penjualan Bersih Total Aktiva
Rasio ini menggambarkan perputaran aktiva diukur dari volume penjualan.
c. Return on Investment (Return on Equity) = Laba Bersih Total Aktiva
Rasio ini menunjukkan berapa persen diperoleh laba bersih bila diukur dari
modal pemilik. Semakin besar maka akan semakin bagus.
d. Rasio Margin Laba Kotor (Contribution Margin Ratio)
Rasio ini menunjukkan berapa besar persentase pendapatan kotor yang
diperoleh dari setiap penjualan.
Rumus : Rasio Margin Laba Kotor = Laba Kotor Penjualan
2.1.7 Pengukuran Kinerja Berdasarkan Balanced Scorecard
Mengukur kinerja organisasi yang hanya mengandalkan kriteria keuangan saja sudah
tidak mencukupi lagi karena dalam masyarakat pengetahuan faktor-faktor tidak nyata
ternyata juga memainkan peranan yang penting dalam mencapai prestasi. Menurut Tunggal
(2001, p5) ini sering dinyatakan dalam bentuk aktiva intelektual, seperti kemampuan proses
dan kemampuan inovasi. Nilai maya tersebut juga dapat dalam bentuk hubungan, seperti
hubungan pelanggan yang dibuktikan dengan loyalitas merek atau kepuasan karyawan,
diukur dengan retensi karyawan. Meskipun sistem akuntansi saat ini mengalami kesulitan
mengukur nilai-nilai tersebut adalah kritikal dalam memahami nilai yang diciptakan suatu
perusahaan.
28
Menurut Yuwono (2003, p3) ide tentang Balanced Scorecard pertama kali
dipublikasikan dalam artikel Robert S Kaplan dan David P. Norton di Harvard Business Review
tahun 1992 dalam artikel berjudul ”Balanced Scorecard-Measures that Drive Performance”.
Balanced Scorecard dikembangkan sebagai sistem pengukuran kineja yang memungkinkan
para eksekutif memandang perusahaan dari berbagai perspektif secara simultan. Disini
scorecard terdiri atas tolak ukur keuangan yang menunjukan hasil dari tindakan yang
diambil sebagaimana ditunjukkan pada tiga perspektif tolok ukur operasional lainnya;
kepuasan pelanggan, proses internal, dan kemampuan ber-organisasi untuk belajar dan
melakukan perbaikan. Membuat suatu balanced scorecard harus dimulai penerjemahan dari
visi, misi terus turun ke strategi, sasaran dan tolok ukur yang spesifik, turun secara
berjenjang (cascading).
2.1.7.1 Definisi Balanced Scorecard
Mengacu pada Umar, Husein (2005, p168) balanced scorecard terdiri atas dua kata,
yaitu balanced yang secara harfiah berarti seimbang dan scorecard yang berarti kartu skor.
Scorecard adalah kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja seseorang
dan/atau suatu kelompok, juga untuk mencatat rencana skor yang hendak diwujudkannya.
Pada tahap berikutnya, seseorang dan/atau kelompok ini akan dievaluasi kinerjanya dengan
membandingkan antara apa yang telah dikerjakan dan apa yang telah direncanakan.
Sementara itu, pengertian balanced adalah bahwa kinerja seseorang atau kelompok tertentu
akan diukur secara berimbang. Berimbang antara sisi internal dan eksternal perusahaan, dan
berimbang pula antara perspektif proses dan orang.
Menurut Mulyadi (2001, p1), balanced scorecard merupakan contemporary
management tool yang digunakan untuk mendongkrak kemampuan organisasi dalam
melipatgandakan kinerja keuangan.
29
Mengacu pada pendapat Yuwono dan Ichsan (2002, p5) balanced scorecard
merupakan suatu sistem manajemen, pengukuran, dan pengendalian secara cepat, tepat,
dan komprehensif yang dapat memberikan pemahaman kepada manajer tentang
performance bisnis perusahaan.
Menurut Kaplan dan Norton yang diterjemahkan oleh Pasla, P.R.Y (2000, p2)
balanced scorecard adalah suatu instrumen yang menerjemahkan misi dan strategi
perusahaan ke dalam seperangkat ukuran yang menyeluruh yang memberi kerangka kerja
bagi pengukuran dan sistem manajemen strategis. Balanced scorecard mengukur kinerja
perusahaan pada empat perspektif yang seimbang (balanced) : finansial, pelanggan, proses
bisnis internal, dan proses pembelajaran serta pertumbuhan. Sistem manajemen strategis
yang disediakan balanced scorecard meliputi:
1. Memperjelas dan menerjemahkan visi dan strategi
2. Mengkomunikasikan dan mengkaitkan berbagai tujuan dan ukuran strategis
3. Merencanakan, menetapkan sasaran, dan menyelaraskan berbagai inisiatif strategis
4. Meningkatkan umpan balik dan pembelajaran strategis
Robert S. Kaplan dan David P.Norton (2000, p7) menyatakan, ”Balanced scorecard
melengkapi seperangkat ukuran finansial kinerja masa lalu dengan ukuran pendorong
(drivers) kinerja masa depan. Tujuan dan ukuran balanced scorecard diturunkan dari visi dan
strategi. Tujuan dan ukuran memandang kinerja perusahaan dari empat perspektif: finansial,
pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Empat perspektif ini
memberi kerangka kerja bagi balanced scorecard”.
Sedangkan Garrison dan Norren yang diterjemahkan oleh Budisantoso, A.T (2000,
p494) menulis,”Balanced scorecard terdiri dari kumpulan kinerja yang terintregasi yang
30
diturunkan dari strategi perusahaan yang mendukung strategi perusahaan secara
keseluruhan”.
Menurut Robert S. Kaplan dan David P. Norton (2000, p9) balanced scorecard
menyatakan adanya keseimbangan antara berbagai ukuran eksternal para pemegang saham
dan pelanggan, dengan berbagai ukuran internal proses bisnis penting, inovasi, serta
pembelajaran dan pertumbuhan. Keseimbangan juga dinyatakan antara semua ukuran hasil
apa yang dicapai oleh perusahaan pada waktu yang lalu dengan semua ukuran faktor
pendorong kinerja masa depan perusahaan. Dan scorecard juga menyatakan keseimbangan
antara semua ukuran hasil yang obyektif dan mudah dikuantifikasi dengan faktor penggerak
kinerja berbagai ukuran hasil yang subyektif dan agak berdasarkan pertimbangan sendiri.
Pada dasarnya balanced scorecard menurut Gaspersz, Vincent (2005, p2)
merupakan sistem manajemen bagi perusahaan untuk berinvestasi dalam jangka panjang
untuk pelanggan (customer), pembelajaran dan pertumbuhan karyawan, termasuk
manajemen (learning and growth), proses bisnis internal (system) demi memperoleh hasil-
hasil finansial yang memungkinkan perkembangan organisasi bisnis daripada sekedar
mengelola bottom line untuk memacu hasil-hasil jangka pendek. Terdapat empat perspektif
balanced scorecard yang dikaitkan dengan visi dan strategi organisasi, yaitu perspektif
finansial (shareholders), perspektif pelanggan (customers), perspektif proses bisnis internal
(internal business process), perspektif pembelajaran dan pertumbuhan karyawan,
manajemen, dan organisasi (learning and growth).
Sedangkan menurut Tunggal, A.W. (2001, p2) balanced scorecard merupakan
sekelompok tolok ukur kinerja yang terintegrasi yang berasal dari strategi perusahaan dan
mendukung strategi perusahaan di seluruh organisasi. Suatu strategi pada dasarnya
merupakan suatu teori tentang bagaimana mencapai tujuan organisasi. Dalam pendekatan
balanced scorecard, manajemen puncak menjabarkan strateginya kedalam tolok ukur kinerja
31
sehingga karyawan memahaminya dan dapat melaksanakan sesuatu untuk mencapai strategi
tersebut.
Paul R. Niven (2000, p15), mengemukakan pendapatnya mengenai balanced
scorecard, bahwa : ”we can describe the balanced scorecard as a carefully selected of
measures derived from an organizations strategy. I see this tool as : measurement system,
strategic management system, and communication tools.”
Menurut Nurkolis (2001, p6), balanced scorecard adalah alat management yang
menerjemahkan visi, misi, dan strategi organisasi ke dalam satu set pengukuran kinerja
komprehensif untuk menghasilkan kerangka pengukuran kinerja organisasi melalui beberapa
perspektif : finansial, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan
pertumbuhan.
2.1.7.2 Keunggulan Balanced Scorecard
Menurut Mulyadi (2001, p18) keunggulan pendekatan balanced scorecard dalam
sistem perencanaan strategik adalah mampu menghasilkan rencana strategik yang memiliki
karakteristik sebagai berikut: komprehensif, koheren, seimbang, dan terukur.
Mengacu pada pendapat Mulyadi (2001, 65) yang dimaksud dengan:
1. Komprehensif
Tidak hanya berfokus ke perspektif keuangan tetapi juga mencakup perspektif
pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Perluasan
sasaran strategik ke perspektif non keuangan tersebut mengarahkan perhatian personel
dan mengarahkan seluruh usaha ke pemacu sesungguhnya (the real driver) kinerja
keuangan.
32
Sumber : Mulyadi (2001, p65)
Gambar 2.2
Empat Sasaran Strategik yang Perlu Diwujudkan untuk Melipatgandakan
Kinerja Keuangan Perusahaan
Perluasan perspektif rencana strategik ke perspektif non keuangan tersebut
menghasilkan manfaat berikut ini :
- Menjanjikan kinerja keuangan yang berlipat ganda dan berjangka panjang.
- Memampukan perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks.
2. Koheren
Adalah antara satu sasaran strategik dengan sasaran strategik yang lain memiliki
hubungan sebab akibat. Setiap sasaran strategik yang diterapkan dalam perspektif non
keuangan harus mempunyai hubungan klausal dengan sasaran keuangan, baik secara
langsung maupun tidak langsung, karena pada hakikatnya organisasi perusahaan adalah
institusi pencipta kekayaan, oleh karena itu, semua kegiatannya harus dapat
menghasilkan tambahan kekayaan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
PERSPEKTIF SASARAN STRATEGIS (SASARAN OBJECTIVES)
Keuangan Shareholder Value
Pelanggan Firm Equity
Proses Bisnis Internal
Organizational Capital
Pembelajaran & Pertumbuhan
Human Capital
Pemacu Sesungguhnya Kinerja Keuangan
33
3. Seimbang
Adalah diusahakan adanya keseimbangan di dalam menetapkan sasaran-sasaran
strategik di keempat perspektif untuk menghasilkan kinerja keuangan berjangka
panjang.
Sumber : Mulyadi (2001, p22)
Gambar 2.3
Keseimbangan Sasaran-Sasaran Strategik yang Ditetapkan Dalam
Perencanaan Strategik
Keterangan :
Sasaran strategik yang fokus pada perspektif proses bisnis internal dan perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan disebut internal focus.
Sasaran strategik yang fokus pada perspektif keuangan dan perspektif pelanggan
disebut external focus.
Process - Centric
People - Centric
Internal Focus
ExternalFocus
Pembelajaran dan Pertumbuhan Pelanggan
Proses Bisnis Internal Keuangan
Proses yang produktif dan cost
effective
Financial Return yang berlipat ganda & berjangka panjang
Sumber daya manusia yang produktif dan berkomitmen
Produk dan jasa yang mampu
menghasilkan value terbaik bagi konsumen
34
Sasaran strategik yang fokus pada perspektif proses bisnis internal dan perspektif
keuangan disebut process centric.
Sasaran strategik yang fokus pada perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dan
perspektif pelanggan disebut people centric.
Keseimbangan antara internal focus dengan external focus serta process centric dengan
people centric perlu dijaga supaya tidak menggangu kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan kinerja keuangan dalam jangka panjang.
4. Terukur
Adalah mengukur sasaran-sasaran strategik yang sulit untuk diukur. Setiap sasaran strategik
ditentukan ukurannya karena adanya keyakinan jika kita dapat mengukurnya maka kita
dapat mengusahakannya, jika kita dapat mengusahakannya maka kita dapat mencapainya.
2.1.7.3 Transformasi Strategi Menjadi Tindakan Melalui Balanced Scorecard
Menurut Widjaja, Amin (2003, p4) balanced scorecard merupakan suatu sistem
manajemen strategik atau lebih tepat dinamakan suatu: ”Strategic based responsibility
accounting system” yang menjabarkan misi dan strategi suatu organisasi ke dalam tujuan
operasional dan tolok ukur kinerja empat perspektif yang berbeda yaitu perspektif keuangan,
perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, dan perspektif proses pembelajaran
dan pertumbuhan. Balanced scorecard mempertahankan perspektif keuangan karena tolok
ukur keuangan berguna dalam mengikhtisari konsekuensi tindakan ekonomi terukur yang
telah diambil. Tolok ukur kinerja keuangan menunjukan apakah strategi, implementasi, dan
eksekusi perusahaan memberi kontribusi pada perbaikan laba.
Menurut Gaspersz, Vincent (2005, p9) balanced scorecard merupakan suatu konsep
manajemen yang membantu menerjemahkan strategi ke dalam tindakan. Balanced scorecard
adalah lebih dari sekedar suatu sistem pengukuran operasional atau taktis. Perusahaan-
35
perusahaan yang inovatif menggunakannya sebagai suatu sistem manajemen strategis yang
mengelola strategi perusahaan sepanjang waktu. Perusahaan-perusahaan yang inovatif itu
menggunakan fokus pengukuran balanced scorecard untuk melaksanakan proses-proses
manajemen kritis, sebagai berikut :
1. Mengklarifikasi dan menerjemahkan visi dan strategi perusahaan.
2. Mengkomunikasikan dan mengaitkan tujuan-tujuan strategis dengan ukuran-ukuran
kinerja.
3. Merencanakan, menetapkan target, dan menyelaraskan inisiatif-inisiatif (program-
program) strategis.
4. Mengembangkan umpan balik dan pembelajaran strategis untuk peningkatan terus-
menerus di masa yang akan datang.
Juga menurut Gaspersz, Vincent (2005, p9) dari uraian singkat di atas tampak
bahwa balanced scorecard dimulai dari visi dan strategi perusahaan, dimana dari sini
berbagai faktor kesuksesan yang penting didefinisikan. Ukuran-ukuran kinerja dibangun
sebagai alat bantu untuk menetapkan target dan mengukur kinerja dalam area kritis tujuan-
tujuan strategis. Dengan demikian balanced scorecard merupakan suatu sistem pengukuran
kinerja manajemen atau sistem manajemen strategis, yang diturunkan dari visi dan strategi
dan merefleksikan aspek-aspek terpenting dalam suatu bisnis.
Pada umumnya, menurut Gaspersz, Vincent (2005, p9) sistem manajemen
tradisional berfokus pada anggaran, sehingga pelaksanaan strategi perusahaan sangat
tergantung pada anggaran yang tersedia. Hal ini berbeda dari sistem manajemen strategis
balanced scorecard yang berfokus pada proses-proses manajemen strategis, sehingga
strategi perusahaan melalui balanced scorecard diterjemahkan menjadi tindakan-tindakan
yang terarah. Sebagai konsekuensi dari perbedaan praktek sistem manajemen tradisional
36
dan sistem manajemen strategis balanced scorecard , pelaporan pada sistem manajemen
tradisional semata-mata digunakan sebagai alat pengendalian, sedangkan pelaporan pada
sistem manajemen strategis balanced scorecard digunakan sebagai alat strategis.
2.1.7.4 Empat Perspektif Dalam Balanced Scorecard
Pemahaman empat perspektif dalam balanced scorecard menjadi sangat penting
agar mampu menerapkan konsep balanced scorecard secara tepat dan berhasil. Empat
perspektif tersebut menurut Gaspersz, Vincent (2005) adalah sebagai berikut:
1. Perspektif finansial—bagaimana kita memuaskan pemegang saham?
2. Perspektif pelanggan—bagaimana kita memuaskan pelanggan?
3. Perspektif proses bisnis internal—apa proses-proses yang seyogianya diunggulkan untuk
mencapai kesuksesan perusahaan?
4. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan—bagaimana kita akan mempertahankan
keberlangsungan kemampuan terhadap perubahan dan peningkatan?
Menurut Yuwono (2004, p5) balanced scorecard memandang perusahaan dari
kurang lebih empat perspektif yaitu : keuangan, pelanggan, pembelajaran dan
pertumbuhan, serta bisnis internal, yang menghubungkan pengendalian operasional jangka
pendek kedalam visi dan strategi bisnis jangka panjang. Keempat perspektif yang memberi
kerangka kerja bagi balanced scorecard ini dapat divisualisasikan dengan hubungan yang
saling mempengaruhi dalam gambar 2.1 dibawah ini:
37
Sumber: www.balancedscorecard.org/basics/bsc.html
Gambar 2.4
Empat Perspektif Balanced Scorecard
2.1.7.4.1 Perspektif Finansial
Menurut Widjaja, Amin (2003, p18), balanced scorecard menggunakan tolok ukur
kinerja keuangan, seperti laba bersih dan ROI (Return On Investment), karena tolok ukur
tersebut secara umum digunakan dalam organisasi mencari laba. Tolok ukur keuangan
memberikan bahasa umum untuk menganalisis dan membandingkan perusahaan. Tolok ukur
keuangan adalah penting, akan tetapi tidak cukup mengarahkan kinerja dalam menciptakan
nilai (value). Tolok ukur non keuangan juga tidak memadai untuk menyatakan angka paling
bawah (bottom line). Balanced scorecard mencari suatu keseimbangan dari tolok ukur
kinerja yang multiple, baik dari keuangan maupun non keuangan untuk mengarahkan kinerja
organisasional terhadap keberhasilan.
38
Menurut Gaspersz, Vincent (2005, p38) untuk membangun suatu balanced
scorecard, unit-unit bisnis harus dikaitkan dengan tujuan finansial yang berkaitan dengan
strategi perusahaan. Tujuan finansial berperan sebagai fokus bagi tujuan-tujuan strategis
dan ukuran-ukuran semua perspektif dalam balanced scorecard. Setiap ukuran yang dipilih
seyogianya menjadi bagian dari suatu keterkaitan hubungan sebab-akibat yang memuncak
pada peningkatan kinerja finansial. Pemahaman mengenai perspektif finansial dalam
manajemen balanced scorecard adalah sangat penting karena keberlangsungan suatu unit
bisnis strategis sangat tergantung pada posisi dan kekuatan finansial. Berkaitan dengan hal
ini, berbagai rasio finansial dapat diterapkan dalam pengukuran strategis untuk perspektif
finansial. Manajemen bisnis harus memperhatikan agar semua analisis rasio finansial
menunjukkan hasil yang baik, karena manajemen harus mampu membayar hutang kepada
kreditor jangka pendek maupun kreditor jangka panjang, termasuk kemampuan
menghasilkan keuntungan untuk pemegang saham.
Kaplan dan Norton dalam Yuwono (2003, p31) berpendapat bahwa pengukuran
kinerja keuangan mempertimbangkan adanya tahapan dan siklus kehidupan bisnis, yaitu :
1. Growth (Bertumbuh)
Adalah : Tahapan awal siklus kehidupan perusahaan dimana perusahaan memiliki produk
atau jasa yang secara signifikan memiliki potensi pertumbuhan terbaik dalam tahap
pertumbuhan, perusahaan biasanya beroperasi dengan arus kas yang negatif dengan
tingkat pengembangan modal yang rendah.
2. Substain (Bertahan)
Adalah : Tahapan kedua dimana perusahaan masih melakukan investasi dan reinvestasi
dengan mengisyaratkan tingkat pengembalian terbaik. Dalam tahap ini, perusahaan
mencoba mempertahankan pangsa pasar yang ada, bahkan mengembangkannya, jika
39
mungkin tolok ukur yang kerap digunakan pada tahap ini, misalnya : ROI, NPM, dan
ATO.
3. Harvest (Menuai)
Adalah : Tahapan ketiga dimana perusahaan benar-benar memanen/menuai hasil
investasi besar, baik ekspansi maupun pembangunan kemampuan baru, kecuali
pengeluaran untuk pemeliharaan dan perbaikan fasilitas.
2.1.7.4.2 Perspektif Pelanggan
Menurut Gaspersz, Vincent (2005, p52) dalam perspektif pelanggan, perusahaan
harus mengidentifikasikan pelanggan dan segmen pasar di mana mereka akan berkompetisi.
Sudah menjadi tugas para manajer mengidentifikasi segmen pelanggan dan segmen pasar
dimana perusahaan akan beroperasi. Karena elemen yang paling penting dalam suatu bisnis
adalah kebutuhan pelanggan, dan kemudian mengukur kinerja perusahaan berdasarkan
target segmen tersebut. Kebutuhan spesifik pelanggan dapat didaftarkan melalui
pemahaman yang tepat mengenai karakteristik pelanggan berdasarkan beberapa
pertimbangan. Diantaranya pertimbangan geografis, aktifitas umum pembeli, posisi atau
tanggung jawab pembeli, dan karakteristik pribadi pembeli.
Dalam perspektif pelanggan, menurut Tunggal (2002, p60) perusahaan
mengidentifikasikan segmen pasar dan pelanggan yang ingin dimasuki untuk mencapai
tujuan keuangan yang diinginkan. Perusahaan biasanya memiliki dua kelompok pengukuran
untuk perspektif pelanggan, yaitu :
a. Kelompok pengukuran inti atau kelompok pengukuran pelanggan utama (Core
Measurement Group), yang terdiri dari ukuran :
1. Pangsa pasar (Market Share), yaitu pengukuran mengenai berapa besar proporsi
segmen pasar tertentu yang telah dikuasai oleh perusahaan.
40
2. Pelanggan yang dipertahankan (Customer Retention), yaitu pengukuran mengenai
seberapa banyak perusahaan berhasil mempertahankan pelanggan lama.
3. Perolehan pelanggan (Customer Acquisition), yaitu pengukuran mengenai
seberapa banyak perusahaan berhasil dalam menarik pelanggan baru.
4. Kepuasan pelanggan (Customer Satisfaction), yaitu pengukuran seberapa jauh
para pelanggan puas terhadap layanan perusahaan.
5. Profitabilitas pelanggan (Customer Profitability), yaitu pengukuran mengenai
seberapa besar keuntungan yang diperoleh perusahaan dari penjualan produk
kepada para pelanggan.
b. Kelompok pengukuran nilai pelanggan
1. Atribut produk atau jasa (Product Service and Attributes), dimana meliputi fungsi
dari produk atau jasa, harga dan kualitasnya. Dalam hal ini preferensi konsumen
berbeda-beda, ada konsumen yang mengutamakan fungsi dari produk,
penyampaian yang tepat waktu, dan harga yang murah. Di lain pihak ada
konsumen yang mau membayar lebih mahal untuk ciri dan atribut produk atau
jasa yang dibelinya.
2. Hubungan pelanggan (Customer Relationship), berkaitan dengan pengiriman
produk atau jasa ke konsumen setelah membelinya dari perusahaan. Dimana
perusahaan mempunyai tanggung jawab dan komitmen terhadap pelanggan.
3. Citra dan reputasi (Image and Reputation), mencerminkan citra dan reputasi
perusahaan dimata pelanggannya. Citra dan reputasi menggambarkan faktor-
faktor intangible yang menarik seorang konsumen untuk berhubungan dengan
perusahaan.
41
Sumber : Robert Simons dalam A.W. Tunggal, Pengukuran Kinerja dengan Balanced Scorecard, 2003, p87
Gambar 2.5
Customer Core Measurement dan Customer Value Proposition
2.1.7.4.3 Perspektif Proses Bisnis Internal
Dalam perspektif proses bisnis internal, menurut Gaspersz, Vincent (2005, p59)
perusahaan harus mengidentifikasi proses-proses yang paling kritis untuk mencapai tujuan
peningkatan nilai bagi pelanggan dan tujuan peningkatan nilai bagi pemegang saham.
Mengacu pada pendapat Yuwono (2002, p41), proses bisnis internal terdiri dari
inovasi, operasi, dan layanan purna jual.
unique Brand Equity
responsive
Customer Value Proposition
Pangsa Pasar
Retensi Pelanggan
Akuisisi Pelanggan
Kepuasan Pelanggan
Profitabilitas Pelanggan
Customer Core Measurement
Image RelationshipProduk/Service
Attributes Value
functionally quality trustedconvinient price time
= + +
42
CiptakanProsukDanJasa
BangunProduk /
Jasa
LuncurkanProduk/
Jasa
KebutuhanPelangganTerpuaskan
LayaniPelanggan
KebutuhanPelanggan
Teridentifikasi
IdentifikasiPasar
ProsesInovasi
ProsesOperasi Proses Layanan
Purna Jual
Sumber: (Yuwono 2002, p41)
Gambar 2.6
Perspektif Proses Bisnis Internal: Model Rantai Nilai Generik
a. Proses Inovasi
Dalam proses ini, unit bisnis menggali pemahaman tentang kebutuhan laten dari
pelanggan dan menciptakan produk dan jasa yang mereka butuhkan. Proses inovasi
dalam perusahaan biasanya dilakukan oleh bagian R & D sehingga setiap keputusan
pengeluaran suatu produk ke pasar telah memenuhi syarat-syarat pemasaran dan dapat
dikomersilkan (berdasarkan kebutuhan pasar).
Aktivitas R & D ini merupakan aktivitas penting dalam menentukan kesuksesan
perusahaan, terutama untuk jangka panjang.
b. Proses Operasi
Proses operasi adalah proses untuk membuat dan menyampaikan produk atau jasa.
Aktivitas di dalam proses operasi terbagi ke dalam dua bagian :
Proses pembuatan produk.
Proses penyampaian produk kepada pelanggan.
43
Pengukuran kinerja yang terkait dalam proses operasi dikelompokkan pada waktu,
kualitas, dan biaya.
c. Proses Layanan Purna Jual
Proses ini merupakan jasa layanan pada pelanggan setelah penjualan produk/jasa
tersebut dilakukan. Aktivitas yang terjadi dalam tahapan ini misalnya penanganan
garansi dan perbaikan penanganan atas barang rusak dan yang dikembalikan serta
pemrosesan pembayaran pelanggan. Perusahaan dapat mengukur apakah upayanya
dalam pelayanan purna jual ini telah memenuhi harapan pelanggan, dengan
menggunakan tolak ukur yang bersifat kualitas, biaya, dan waktu seperti yang dilakukan
dalam proses operasi. Untuk siklus waktu, perusahaan dapat menggunakan pengukuran
waktu dari saat keluhan pelanggan diterima hingga keluhan tersebut diselesaikan.
Menurut Kaplan dan Norton (2000, p100-102), proses bisnis internal pada suatu
perusahaan terdiri dari proses operasi yang mencangkup; waktu, mutu, dan biaya. Proporsi
nilai yang diberikan kepada pelanggan sasaran seringkali menyertakan waktu tanggap yang
singkat sebagai atribut kerja yang penting. Pilihan terhadap titik awal dan titik akhir produksi
ditentukan oleh lingkup proses operasi tempat dimana upaya pengurangan waktu siklus
produksi dilaksanakan. Definisi siklus yang berkaitan dengan siklus yang paling luas,
penyelesaian pesanan menyatakan bahwa siklus proses produksi dimulai ketika pesanan
pelanggan diterima dan akan berakhir saat pelanggan menerima apa yang dipesannya.
Definisi apapun yang dipakai, sebuah perusahaan harus senantiasa mengukur lama siklus
dan menetapkan sasaran bagi pekerja untuk mengurangi lama siklus proses produksi
keseluruhan. Sebuah alat ukur yang digunakan banyak perusahaan yang mencoba berpindah
ke proses arus produksi Just In Time disebut Manufacturing Cycle Effectiveness (MCE) yang
didefinisikan sebagai:
44
MCE = Waktu pengolahan Waktu penyelesaiaan
Rasio yang dihasilkan kurang dari 1 karena:
Waktu penyelesaiaan produk = waktu pengolahan + waktu pemeriksaaan + waktu
pemindahaan + waktu menunggu / penyimpanan.
Teori dibelakang MCE adalah bahwa waktu selain waktu pengolahan seperti waktu
untuk pemeriksaan, pengerjaan ulang barang yang rusak, pemindahaan bahan baku dari
satu proses ke proses lainnya dan waktu bahan baku menunggu untuk diolah pada tahap
berikutnya adalah pemborosan atau waktu yang tidak memiliki nilai tambah. Waktu tersebut
tebuang sia-sia karena bentuk fisik dari produk kepada pelanggan tertunda tanpa adanya
nilai tambah. Ketika rasio MCE mendekati 1, perusahaan mengetahui bahwa waktu yang
terbuang untuk memindahkan, memeriksa, mereparasi, dan menyimpan produk berkurang
dan kemampuan perusahaan menanggapi pesanan pelanggan dengan segera telah
meningkat.
2.1.7.4.4 Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Perspektif terakhir menurut Gaspersz, Vincent (2005, p61) adalah mengembangkan
tujuan dan ukuran-ukuran yang mengendalikan pembelajaran dan pertumbuhan organisasi
dengan cara melihat tiga faktor utama, yaitu manusia, sistem, dan prosedur organisasi.
Tujuan-tujuan yang ditetapkan dalam tiga perspektif sebelumnya dapat mengidentifikasikan
di mana organisasi harus unggul untuk mencapai terobosan kinerja. Dalam perspektif ini ada
tiga kategori yang sangat penting, yaitu:
a. Kemampuan Pegawai
Dalam pengukuran strategi perusahaan, salah satunya harus berkaitan secara spesifik
dengan kemampuan pegawai, yaitu apakah perusahaan telah mencanangkan
45
peningkatan kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki. Pengukuran atas pegawai
memiliki pengukuran inti, yaitu kepuasan pegawai, kesetiaan pegawai, dan produktifitas
pegawai. Kepuasan pegawai dianggap sebagai penentu dari kedua pengukuran
berikutnya. Pengukuran kepuasan pegawai dapat menggunakan angka indeks dengan
skala tertentu. Sedangkan untuk kesetiaan pegawai dapat menggunakan rasio
perputaran pegawai, dan untuk produktifitas pegawai dapat menggunakan rasio
pendapatan perusahaan per pegawai.
Pendapatan per pegawai = Total Pendapatan Jumlah pegawai
Produktifitas per pegawai = ________ _Jumlah produksi per tahun_________ Jumlah pegawai x Jumlah hari kerja dalam setahun
b. Kemampuan Sistem Informasi
Pegawai di bidang operasional memerlukan informasi yang cepat, tepat waktu, dan
akurat sebagi umpan balik. Pengukuran yang digunakan misalnya rasio liputan informasi
strategik, yang mengukur seberapa besar informasi yang tersedia dibandingkan dengan
kebutuhan yang diantisipasikan.
c. Motivasi, Kekuasaan, dan Keselarasan
Pegawai yang sempurna dengan informasi yang berlimpah tidak akan memberikan
kontribusi pada keberhasilan usaha apabila mereka tidak dimotivasi untuk bertindak
selaras dengan tujuan perusahaan atau apabila mereka tidak diberikan kebebasan untuk
mengambil keputusan atau bertindak. Sehingga diperlukan faktor ketiga yang
memfokuskan pada iklim organisasi untuk mendukung motivasi pegawai dan inisiatif
pegawai. Pengukuran yang dapat dilakukan adalah berkaitan dengan jumlah usulan yang
diberikan dan diimplementasikan, jumlah perbaikan, keselarasan antar individu dengan
organisasi, kinerja kelompok atau tim.
46
Dan mengacu pada pendapat Yuwono (2002, p40), selain tiga kategori utama tolok
ukur untuk perspektif pertumbuhan dan pembelajaran tersebut, masih terdapat faktor
pendorong yang dapat disesuaikan dengan situasi tertentu. Tiga pengukuran tersebut
adalah:
1. Kepuasan Pekerja
Perusahaan mengakui bahwa moral dan kepuasan karyawan merupakan faktor utama
dalam memperbaiki produktivitas, mutu, kepuasan pelanggan, dan ketanggapan
terhadap situasi. Pengukuran dapat dilakukan dengan survey, wawancara karyawan,
evaluasi kegiatan dan kinerja karyawan.
2. Retensi Pekerja
Tujuan retensi karyawan adalah untuk mempertahankan selama mungkin para pekerja
yang diminati perusahaan. Karyawan yang mengembangkan model intelektual khusus
organisasi merupakan aktiva non keuangan yang bernilai bagi perusahaan. Perputaran
karyawan, diukur dengan presentase orang yang keluar setiap tahun.
3. Produktivitas Pekerja
Produktivitas karyawan adalah suatu ukuran hasil, dampak keseluruhan usaha
peningkatan moral, dan keahlian karyawan, inovasi, proses internal dan kepuasan
pelanggan. Tujuannya adalah membandingkan keluaran yang dihasilkan oleh para
karyawan dengan jumlah karyawan yang dikerahkan untuk menghasilkan keluaran
tersebut.
47
Sumber : Yuwono (2002, p40)
Gambar 2.7
Kerangka Kerja Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
2.1.8 Hubungan Sebab Akibat
Mengacu pada pendapat Kaplan (2000, p27) setiap ukuran yang dipilih untuk
disertakan dalam balanced scorecard harus merupakan unsur dalam sebuah rantai
hubungan sebab akibat yang mengkomunikasikan arti strategi unit bisnis kepada seluruh
perusahaan. Balanced scorecard harus bisa mengidentifikasi hubungan sebab akibat
diantara berbagai ukuran hasil dan faktor pendorongnya. Rantai sebab akibat harus meliputi
perspektif balanced scorecard. Gambar dibawah menjelaskan peningkatan ROI pada
perspektif keuangan merupakan dampak dari loyalitas pelanggan dari perspektif pelanggan.
Loyalitas pelanggan ada karena penyerahan produk yang tepat waktu. Untuk dapat
mencapai penyerahan tepat waktu diperlukan waktu siklus yang pendek dan proses operasi
yang bermutu tinggi (perspektif proses bisnis internal). Sedangkan cara untuk meningkatkan
Hasil
Retensi Pekerja
Kepuasan Pekerja
Produktivitas Pekerja
Core Measurement & Enables
Implementasi Staff
Infrastruktur Teknologi
Iklim untuk Bertidak
48
mutu dan mengurangi waktu siklus proses internal perusahaan diperlukan keahlian dari para
pekerja operasional (perspektif pembelajaran dan pertumbuhan). Untuk lebih jelasnya
gambar dibawah ini akan menjelaskan hubungan vertikal melalui empat perspektif balanced
scorecard.
Sumber : Kaplan & Norton (2000, p28)
Gambar 2.8
Hubungan Sebab Akibat Dari Keempat Perspektif BSC
2.2 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran adalah rangkaian indikator-indikator dari variabel yang
berhubungan yang akan diteliti yang mendukung dalam penyusunan serta penyelidikan
penanganan perusahaan mengenai pengukuran kinerja di PT. PAMINDO tiga T. Dalam skripsi
ini menyelidiki pengukuran kinerja dengan pendekatan metode balanced scorecard.
Finansial
Pelanggan
Proses Bisnis Internal
Pembelajaran dan Pertumbuhan
ROI
Loyalitas Pelanggan
Penyerahan Tepat Waktu
Proses Mutu Waktu Siklus
Keahlian Pekerja
49
Hubungan pengukuran kinerja dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard dapat
dilihat dari skema kerangka pemikiran seperti terlihat dalam gambar 2.3.
Sumber : Penulis
Gambar 2.9
Kerangka Pemikiran
NERACA
VISI DAN MISI PERUSAHAAN
STRATEGI
CSF PERUSAHAAN
PEMBUATAN BALANCED SCORECARD
EMPAT PERSPEKTIF BALANCED SCORECARD
KEUANGAN PELANGGAN PROSES BISNIS INTERNAL
PEMBELAJARAN DAN PERTUMBUHAN
LAPORAN KEUANGAN
KEPUASAN PELANGGAN
EFEKTIFITAS PROYEK
KEPUASAN KARYAWAN
LAPORAN KINERJA PERUSAHAAN DENGAN METODE BALANCED SCORECARD
Analisis Porter
LAP. LABA / RUGI
KETEPATAN WAKTU
KUESIONER
KUESIONER
TURN OVER
50
2.3 Hipotesis
Berdasarkan jawaban sementara maka dapat dirumuskan hipotesa teoritis sebagai
berikut:
1. Pengukuran kinerja pada PT. PAMINDO Tiga T hanya menggunakan perspektif
tradisional sehingga belum mencakup seluruh aspek.
2. Pengukuran kinerja dengan metode balanced scorecard pada PT. PAMINDO Tiga
T akan dapat memberikan informasi sejauh mana kinerja perusahaan dalam empat
perspektif karena metode balanced scorecard merupakan metode yang terfokus
dalam pengukuran kinerja.