bab 2 landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2012-2-00378-ak bab2001.pdf ·...
TRANSCRIPT
8
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Kerangka Teori dan Literatur
Pajak merupakan penerimaan utama negara yang dipungut dari warga negara
yang bukan hanya merupakan suatu kewajiban tetapi juga merupakan hak bagi setiap
warga negara untuk ikut berpartisipasi dan berperan dalam pembiayaan negara dan
pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak tersebut
berada pada masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal ini sesuai
dengan sistem pemungutan pajak yang dianut di Indonesia yaitu sistem pemungutan
self assessment dimana dalam sistem ini masyarakat melakukan penghitungan,
penyetoran dan pelaporan sendiri pajak yang terutang. Dalam landasan teori ini
dijelaskan teori-teori mengenai jenis pajak yang dikenakan berkaitan dengan
kegiatan impor barang kena pajak di Indonesia.
2.1.1. Definisi Pajak
Pada dasarnya pajak merupakan iuran partisipasi masyarakat kepada negara
berdasarkan kemampuannya masing-masing. Peran pajak sangat besar untuk
membiayai proses pembangunan yang berguna bagi kelangsungan pembangunan
bangsa ini melalui partisipasi dari masyarakat dalam memenuhi kewajibannya.
Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 1 mendefinisikan pajak sebagai
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
9
kemakmuran rakyat. Sedangkan menurut beberapa ahli, definisi pajak adalah sebagai
berikut :
1. Definisi pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam buku
Perpajakan : Teori dan Kasus (Siti Resmi, 2011) :
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang
yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal balik
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.”
2. Definsi pajak menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani dalam buku Perpajakan
Indonesia (Waluyo, 2012) :
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak
mendapat prestasi – kembali yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung
dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.”
3. Definisi pajak menurut Mr. Dr. NJ. Feldmann dalam buku De Over
Heidsmiddelen Van Indonesia (terjemahan) :
“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada
pengusaha (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa
adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup
pengeluaran-pengeluaran umum.”
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan
bahwa Pajak adalah iuran wajib yang dipungut oleh negara baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah kepada masyarakat (Wajib Pajak) yang bersifat memaksa
dan tanpa balas jasa yang diterima secara langsung karena telah diatur dalam
10
Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk
membiayai pengeluaran rutin negara dan pembangunan nasional.
2.1.2. Fungsi Pajak
Pajak memiliki peranan yang penting bagi pembangunan negara karena pajak
merupakan sumber pendapatan terbesar negara untuk membiayai semua pengeluaran
termasuk pengeluaran pembangunan. Menurut Sumarsan (2012), pajak memiliki 3
(tiga) fungsi utama, yaitu :
1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)
Pajak memiliki fungsi budgetair yang disebut juga sebagai sumber keuangan
negara, artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah
untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai
sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-
banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara
ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui
penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan,
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta
Pajak Bumi dan Bangunan.
2. Fungsi Regulerend (Pengatur)
Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur
atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi,
serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.
3. Fungsi Distribution (Pemerataan)
Selain 2 (dua) fungsi pajak diatas, pajak juga mempunyai fungsi distribution
(pemerataan) dimana fungsi ini digunakan untuk menyeimbangkan dan
11
menyesuaikan antara pembagian pendapatan dengan kesejahteraan
masyarakat.
2.1.3. Sistem Pemungutan Pajak
Setiap negara memiliki cara masing-masing untuk memungut pajak dari
masyarakat. Menurut Mardiasmo (2011), Indonesia memiliki 3 (tiga) sistem
pemungutan pajak antara lain :
1. Official Assessment System
Sistem pemungutan pajak ini memberi kewenangan kepada aparatur
perpajakan untuk menentukan jumlah pajak yang terutang oleh Wajib Pajak
setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku. Dalam sistem ini, seluruh kegiatan penghitungan dan
pemungutan pajak sepenuhnya berada di tangan aparatur pajak.
2. Self Assessment System
Dalam sistem pemungutan pajak ini, penghitungan, penyetoran dan pelaporan
pajak terutang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri. Wajib Pajak dianggap
mampu menghitung pajak, mampu memahami undang-undang perpajakan
yang berlaku, dan mempunyai kejujuran yang tinggi, serta menyadari akan
arti pentingnya membayar pajak.
3. With Holding System
Sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pihak ketiga
(bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) yang ditunjuk
sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan, keputusan
presiden, dan peraturan lainnya untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh Wajib Pajak dalam tahun yang bersangkutan. Pihak ketiga yang
12
ditunjuk tersebut melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran dan
pertanggungjawaban pajak melalui sarana yang perpajakan yang tersedia.
2.1.4. Saat dan Berakhirnya Utang Pajak
Utang pajak yang timbul karena adanya objek pajak dapat juga berakhir
karena disebabkan dua hal, antara lain :
1. Ajaran Materiil
Ajaran materiil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena
diberlakukannya undang-undang perpajakan. Dalam ajaran ini, Wajib Pajak
secara aktif menentukan apakah dirinya dikenakan pajak atau tidak sesuai
dengan peraturan perpajakan. Ajaran ini konsisten dengan penerapan self
assessment system.
2. Ajaran Formil
Ajaran formil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena dikeluarkannya
surat ketetapan pajak oleh fiskus (pemerintah). Surat ketetapan pajak tersebut
menentukan seseorang dikenakan pajak atau tidak, berapa jumlah pajak yang
harus dibayar, dan kapan jangka waktu pembayarannya. Ajaran ini konsisten
dengan penerapan official assessment system.
Sedangkan untuk berakhirnya utang pajak disebabkan beberapa hal, antara lain :
1. Pembayaran/pelunasan
Pembayaran/pelunasan pajak yang terutang dapat dilakukan dengan
pemotongan/pemungutan oleh pihak lain, pengkreditan pajak luar negeri,
maupun pembayaran sendiri oleh Wajib Pajak ke kantor penerima pajak.
13
2. Kompensasi
Kompensasi pajak dapat diartikan sebagai kompensasi kerugian dan
kompensasi karena kelebihan pembayaran pajak. Kompensasi kerugian dapat
menyebabkan terhapusnya atau berakhirnya utang pajak apabila Wajib Pajak
pada tahun tertentu mengalami kerugian dan pada tahun berikutnya
mengalami keuntungan, kerugian tahun sebelumnya dapat di kompensasikan
atau dikurangkan dari laba pada tahun Wajib Pajak mengalami keuntungan
paling lama dalam jangka waktu 5 (lima) tahun.
3. Daluwarsa
Utang pajak yang tidak ditagih oleh pemungut pajak dalam jangka waktu 10
(sepuluh) tahun dianggap telah lunas/dihapus/berakhir dan tidak dapat ditagih
lagi pada tahun bersangkutan.
4. Pembebasan atau Penghapusan
Pembebasan dan penghapusan pajak yang terutang dilakukan apabila
berdasarkan penyidikan ternyata Wajib Pajak dinyatakan tidak mampu lagi
memenuhi kewajibannya. Hal ini terjadi karena Wajib Pajak mengalami
kebangkrutan maupun mengalami kesulitan likuiditas.
2.1.5. Surat Pemberitahuan (SPT)
Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 11 menjelaskan tentang
definisi Surat Pemberitahuan (SPT) yaitu surat yang oleh Wajib Pajak digunakan
untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau
bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
14
Menurut Waluyo (2011), Surat Pemberitahuan memiliki fungsi bagi Wajib
Pajak diantaranya :
1. Bagi pengusaha
Surat Pemberitahuan berfungsi sebagai sarana melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya
terutang dan untuk melaporkan tentang :
a. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah yang dilaksanakan sendiri
dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu
tahun pajak atau bagian tahun pajak
b. penghasilan yang merupakan objek dan/atau bukan objek pajak
c. harta dan kewajiban
d. pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau
pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam satu masa pajak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Bagi Pengusaha Kena Pajak
Fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk
melaporkan tentang :
a. pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran
b. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh
Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu masa
pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
15
3. Bagi Pemotong atau Pemungut Pajak
Fungi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan
disetorkannya dengan mengisi formulir SPT dalam bentuk kertas dan/atau
dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, jelas sesuai dengan petunjuk
pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Secara garis besar, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang sebenarnya terutang oleh
Wajib Pajak baik yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak maupun yang dipungut oleh
pihak lain.
2.2. Bea Masuk
Sama seperti sistem perpajakan di Indonesia, dalam menetapkan bea masuk,
Indonesia juga menerapkan sistem self assessment dimana pengguna jasa diharuskan
untuk menghitung, menetapkan dan membayar sendiri besarnya pungutan yang harus
dibayar. Oleh karena itu, pengguna jasa kepabeanan harus mengetahui cara
penghitungan pungutan Bea Masuk. Dalam hal ini, yang dimaksud pengguna jasa
adalah importir yang bertanggung jawab atas barang yang diimpor. Bea Masuk atas
barang yang diimpor tersebut, dilunasi selambat-lambatnya pada saat barang akan
dikeluarkan dari kawasan pabean (kecuali impor yang biayanya ditangguhkan atau
dibebaskan).
16
2.2.1. Dasar Hukum Bea Masuk
Bea Masuk diatur dibawah keberadaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
yaitu Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 No. 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3612)
Tentang Kepabeanan. Selain itu juga terdapat dalam Salinan Menteri Keuangan No.
114/PMK.04/2007 tentang nilai tukar mata uang yang digunakan untuk
penghitungan dan pembayaran Bea Masuk.
2.2.2. Definisi Bea Masuk
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1995 yang
sebagaimana telah diperbarui dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 Tentang
Kepabeanan, Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini
yang dikenakan terhadap barang yang diimpor. Pungutan tersebut didasarkan pada
barang yang diimpor dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean. Bea Masuk
ditetapkan dengan menggunakan Dasar Penghitungan Bea Masuk (DPBM) yang
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang tujuannya adalah untuk kepastian
penghitungan dan memperlancar pengajuan pemberitahuan pabean oleh importir.
2.2.3. Tarif Bea Masuk
Ada dua jenis tarif Bea Masuk antara lain :
a. Tarif Advalorum
Tarif advalorum adalah tarif untuk menghitung Bea Masuk berdasarkan
persentase tertentu. Besarnya Bea Masuk yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan persentase dengan harga barang (nilai pabean).
17
Bea Masuk = Nilai Pabean x NDPBM x Tarif Bea Masuk
b. Tarif Spesifik
Tarif spesifik adalah tarif untuk menghitung Bea Masuk berdasarkan nilai
rupiah tertentu untuk setiap satuan barang. Besarnya Bea Masuk yang
terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Bea Masuk dengan jumlah
barang yang diimpor.
Bea Masuk = Jumlah Satuan Barang x Tarif Pembebanan Bea Masuk per
Satuan Barang
Tarif Bea Masuk ini terdapat pada Buku Tarif Bea Masuk Indonesia
(BTBMI) yang sejak tahun 2012 diganti menjadi Buku Tarif Kepabeanan Indonesia
(BTKI). Buku ini berisi tentang penggolongan barang-barang yang diimpor dan
digunakan sebagai referensi praktis klasifikasi barang dan tarif Bea Masuk.
Untuk tarif dalam penghitungan Bea Masuk diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan No. 491/KMK.05/1996 tanggal 31 Juli 1996, Bea Masuk dihitung
berdasarkan tarif Bea Masuk dikalikan dengan Nilai Pabean barang impor yang
bersangkutan. Nilai pabean adalah nilai transaksi dari barang yang bersangkutan.
Nilai pabean untuk menghitung Bea Masuk dan pajak dalam rangka impor adalah
Nilai Pabean dengan kondisi Cost, Insurance, and Freight (CIF). Sedangkan untuk
penghitungan Bea Masuk didasarkan pada ketentuan tentang klasifikasi barang dan
besarnya tarif Bea Masuk atas barang impor.
Penghitungan Bea Masuk didasarkan pada Nilai Dasar Penghitungan Bea
Masuk (NDPBM) yang harus disetorkan dalam mata uang rupiah berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan yang ditetapkan secara berkala. Pelaksanaan
pembayaran Bea Masuk dan pungutan negara lainnya dalam rangka impor dibayar
18
melalui Bank Devisa Persepsi atau kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)
yang diatur beradasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dalam hal nilai tukar mata uang asing tidak tercantum dalam Keputusan
Menteri, maka nilai tukar yang digunakan sebagai NDPBM adalah nilai tukar spot
harian valuta asing yang bersangkutan di pasar internasional terhadap dolar Amerika
Serikat yang berlaku pada penutupan hari kerja sebelumnya. Nilai tukar mata uang
asing tersebut dikalikan dengan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika
Serikat yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan.
2.3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
2.3.1. Definisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Apabila diihat dari sejarahnya, Pajak Pertambahan Nilai merupakan
pengganti dari Pajak Penjualan. Penggantian ini dilakukan melalui tax reform pada
tahun 1983 karena Pajak Penjualan dianggap sudah tidak lagi memadai untuk
menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai tujuan (sasaran) kebutuhan
pembangunan, antara lain tujuan untuk meningkatkan penerimaan negara,
mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak.
Undang-undang yang mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai telah
mengalami reformasi dari tahun 1983. Pajak Pertambahan Nilai pertama kali diatur
dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1983 dan terus dilakukan pembaruan dan
penyempuraan secara konsisten sampai diterbitkannya Undang-Undang No. 11
Tahun 2009, yang kemudian disempurnakan lagi menjadi Undang-Undang No. 42
Tahun 2009 sampai saat ini. Perubahan ini dilakukan melalui tax reform (reformasi
pajak) dengan memiliki tujuan yaitu untuk :
19
1. meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai baik barang maupun jasa yang pengenaannya diatur lebih
lanjut dalam undang-undang tersebut.
2. menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai dengan mengubah dan
menyempurnakan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
agar memudahkan Wajib Pajak.
3. mengurangi biaya kepatuhan bagi Wajib Pajak dan biaya pengawasan bagi
Pemerintah.
4. meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak sehingga meningkatkan pula
penerimaan pajak.
2.3.2. Sifat, Tipe, dan Prinsip Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Menurut Waluyo (2011) Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia memiliki
beberapa sifat dan karakteristik diantaranya :
a. Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak objektif
Pajak Pertambahan Nilai tidak mendasarkan pada objeknya (kondisi subjektif
subjek pajak) melainkan didasarkan pada ada atau tidaknya objek pajak, yaitu
keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenai pajak.
b. Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak tidak langsung
Pajak Pertambahan Nilai tergolong sebagai pajak tidak langsung karena
secara ekonomis kewajiban Pajak Pertambahan Nilai dapat dialihkan kepada
pihak lain. Tanggung jawab pembayaran Pajak Pertambahan Nilai kepada
pemerintah berada pada pihak yang menyerahkan barang atau jasa,
sedangkan yang menanggung beban pajak berada pada pihak penanggung
pajak.
20
c. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai bersifat multistage tax (pajak
bertingkat)
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dilakukan berkali-kali pada setiap mata
rantai jalur produksi maupun jalur distribusi dan pabrikan, pedagang besar
sampai dengan pengecer semua dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
d. Pajak Pertambahan Nilai dipungut dengan alat bukti faktur pajak
Pengusaha Kena Pajak diwajibkan untuk membuat faktur pajak sebagai bukti
pungutan Pajak Pertambahan Nilai dan faktur pajak tersebut digunakan untuk
kredit pajak yaitu selisih antara pajak yang dikenakan pada saat penyerahan
barang dan/atau jasa (Pajak Keluaran) dengan pajak yang dibayar pada saat
pembelian barang dan/atau penerimaan jasa (Pajak Masukan).
e. Pajak Pertambahan Nilai bersifat netral
Netralitas Pajak Pertambahan Nilai ini dibentuk oleh dua faktor, antara lain :
1. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi barang atau jasa.
2. Pajak Pertambahan Nilai dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan.
f. Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri
Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip destination principle yaitu pajak
yang dikenakan di tempat barang atau jasa akan dikonsumsi. Dalam prinsip
ini, Pajak Pertambahan Nilai memberikan perlakuan yang sama terhadap
komoditi impor dengan produk domestik yang juga dikonsumsi dalam negeri,
sebaliknya Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas arus barang atau
jasa yang melintasi batas wilayah negara dan yang dikonsumsi di luar negeri.
21
2.3.3. Subjek Pajak Pertambahan Nilai
Menurut Gustian Djuanda dan Irwansyah Lubis (2008), Pengusaha Kena
Pajak adalah pengusaha yang melakukan kegiatan berupa penyerahan Barang Kena
Pajak dan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Undang-
Undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984 dan perubahannya. Subjek Pajak
Pertambahan Nilai dirinci sebagai berikut:
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagai subjek Pajak Pertambahan Nilai yang
meliputi pabrikan dan/atau produsen yang :
a. Melakukan penyerahan Barang Kena Pajak.
b. Melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak.
c. Melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.
d. Melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.
e. Melakukan ekspor Jasa Kena Pajak.
f. Melakukan penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan.
2. Non Pengusaha Kena Pajak sebagai subjek Pajak Pertambahan Nilai antara
lain :
a. Pihak yang melakukan impor Barang Kena Pajak.
b. Pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
daerah pabean di dalam daerah pabean.
c. Pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di
dalam daerah pabean.
d. Orang pribadi atau badan yang membangun sendiri tidak dalam kegiatan
e. usaha atau pekerjaannya.
22
2.3.4. Objek Pajak Pertambahan Nilai dan Non-Objek Pajak Pertambahan
Nilai
2.3.4.1.Objek Pajak Pertambahan Nilai
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 diatur bahwa objek
Pajak Pertambahan Nilai adalah :
a. Penyerahan Barang Kena Pajak dari luar daerah pabean ke dalam daerah
pabean oleh Pengusaha Kena Pajak kepada pihak luar, dimana dasar
pengenaan pajaknya adalah nilai harga jual. Yang dimaksud Barang Kena
Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat
berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-Undang.
b. Impor Barang Kena Pajak dengan dasar pengenaannya adalah nilai impor
yang didasarkan pada peraturan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak. Kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut adalah
kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak, termasuk Jasa Kena Pajak yang
digunakan untuk kepentingan pribadi dan Jasa Kena Pajak yang diberikan
secara cuma-cuma.
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar daerah pabean di
dalam daerah pabean.
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar daerah pabean di
dalam daerah pabean.
f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.
g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.
h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
23
2.3.4.2. Non-Objek Pajak Pertambahan Nilai
Non-objek Pajak Pertambahan Nilai, terbagi atas dua kategori untuk jenis
barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan jenis jasa yang tidak
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Berikut adalah rinciannya:
Tabel 2.1 Non-Objek Pajak Pertambahan Nilai
Jenis Barang Non- Pajak
Pertambahan Nilai
Jenis Jasa Non-Pajak Pertambahan Nilai
Barang hasil pertambangan atau
hasil pengeboran yang diambil
langsung dari sumbernya
Jasa di bidang pelayanan kesehatan medis,
jasa di bidang pelayanan sosial
Barang-barang kebutuhan pokok
yang sangat dibutuhkan oleh rakyat
banyak
Jasa keagamaan, jasa pendidikan, jasa
kesenian, dan hiburan, jasa penyiaran yang
tidak bersifat iklan
Makanan dan minuman yang
disajikan di hotel, restoran, rumah
makan, warung dan sejenisnya
Jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa
angkutan umum di darat dan di air, jasa
angkutan udara
Uang, emas batangan dan surat
berharga
Jasa keuangan, jasa asuransi, jasa tenaga
kerja, jasa perhotelan, jasa penyediaan
tempat parkir, jasa boga, jasa pengiriman
uang dengan wesel pos, jasa telepon umum
dengan menggunakan uang logam
2.3.5. Dasar Pengenaan Pajak dan Tarif Pajak Pertambahan Nilai
Berdasarkan pada Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 Pasal 1 angka 17
menjelaskan bahwa dasar pengenaan pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian,
24
Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk
menghitung pajak yang terutang.
Komponen-komponen dasar pengenaan pajak untuk menghitung besarnya
Pajak Pertambahan Nilai didefinisikan berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun
2009 yaitu :
a. Harga jual sesuai dengan pasal 1 angka 18 adalah nilai berupa uang termasuk
semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena
penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan
potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.
b. Penggantian sesuai dengan pasal 1 angka 19 adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha
karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak atau ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur
pajak.
c. Nilai impor sesuai pasal 1 angka 20 adalah nilai berupa uang yang menjadi
dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan
dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai yang membagi tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi 2 (dua)
jenis. Pasal 7 angka 1 menjelaskan tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah sebesar 10%
dan merupakan tarif tunggal. Di angka 2 menjelaskan tarif Pajak Pertambahan Nilai
25
sebesar 0% yang dikenakan pada kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud,
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan ekspor Jasa Kena Pajak.
2.3.6. Saat Terutangnya dan Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat penyerahan Barang Kena Pajak,
impor Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean, ekspor Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak.
Dalam pasal 15A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, penyetoran atas
penyerahan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menimbulkan utang
Pajak Pertambahan Nilai dilakukan dalam satu masa pajak paling lama tanggal 15
(lima belas) setiap bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Untuk impor,
penyetoran harus dilakukan pada hari kerja berikutnya, kecuali yang dipungut pada
tanggal 31 Maret harus disetorkan pada hari itu juga. Pajak Pertambahan Nilai yang
pemungutannya dilakukan oleh Bendahara atau instansi pemerintah yang ditunjuk
harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah masa pajak
berakhir.
2.4. Pajak Penghasilan Pasal 22
2.4.1. Definisi Pajak Penghasilan Pasal 22
Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah pajak yang dipungut pada tahun berjalan
melalui pemotongan atau pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga seperti
Bendaharawan Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah,
instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain, berkenaan
dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu baik badan
26
pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan dibidang impor atau kegiatan
usaha dibidang lain.
2.4.2. Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22
Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 Pasal 22 ayat 1
menyatakan bahwa Menteri Keuangan menetapkan :
1. Bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga
negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang,
termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat
lain yang menjalankan fungsi yang sama.
2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan
dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti
kegiatan usaha produksi barang tertentu antara lain otomotif dan semen.
3. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas
penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh
Wajib Pajak badan tertentu ini akan dikenakan terhadap pembelian barang
yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat
mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal
pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah,
serta kendaraan sangat mewah.
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 memiliki tujuan untuk
meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem
pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan
pajak yang tepat waktu.
27
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 254/KMK.03/2001
sebagaimana disempurnakan dengan Peraturan Menteri Keuangan RI No.
210/PMK.03/2008 dan diperbarui lagi dengan Peraturan Menteri Keuangan RI No.
154/PMK.03/2010, pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah :
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas impor
barang
2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB), Bendaharawan Pemerintah baik
di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, yang melakukan pembayaran atas
pembelian barang.
3. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD), yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber
dari belanja Negara (APBN) dan/atau belanja Daerah (APBD), kecuali
badan-badan tertentu.
4. Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan
Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT
Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT
Krakatau Steel, PT Pertamina dan bank-bank BUMN yang melakukan
pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun dari non
APBN.
5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, industri rokok,
industri kertas, industri baja dan industri otomotif yang ditunjuk oleh Kepala
Kantor Pelayanan Pajak atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri
6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan
bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.
28
7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan,
pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, atas
pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul.
8. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat
mewah.
2.4.3. Objek dan Non-Objek Pajak Penghasilan Pasal 22
2.4.3.1.Objek Pajak Penghasilan Pasal 22
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dibedakan berdasarkan kegiatan
yang dilakukan atau berdasarkan objek. Objek pemungutan Pajak Penghasilan Pasal
22 terdiri dari :
a. Impor barang.
b. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Direktorat
Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Daerah.
c. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
d. Penjualan hasil produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha
yang bergerak di bidang industri tertentu.
e. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri yang bergerak dalam sektor
kehutanan, perkebunan, pertanian, perikanan dari pedagang pengumpul.
f. Penjualan hasil produksi yang dilakukan oleh Pertamina dan badan usaha
selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak dan gas.
29
2.4.3.2.Non-Objek Pajak Penghasilan Pasal 22
Kegiatan yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 22 atau dikecualikan
dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 (bukan objek Pajak Penghasilan Pasal
22) adalah :
a. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan, dinyatakan
dengan Surat Keterangan Bebas (SKB).
b. Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan
Nilai yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
c. Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk di
ekspor kembali, dan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
d. Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainnya yang
jumlahnya paling banyak Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah) dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
e. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum
atau PDAM, dan benda-benda pos.
f. Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan
dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas.
g. Pembayaran dan/atau pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara.
h. Impor kembali (re-impor) dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang
telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang
memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
i. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Badan Urusan
Logistik (BULOG).
30
2.4.4. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 22
1. Atas impor :
a. untuk pengusaha yang memiliki Angka Pengenal Importir (API), tarifnya
sebesar 2,5% dari nilai impor.
b. untuk pengusaha yang tidak memiliki API, tarifnya sebesar 7,5% dari
nilai impor.
c. untuk yang tidak dikuasai, tarifnya sebesar 7,5% dari harga jual lelang.
2. Untuk pengusaha yang tidak memiliki NPWP, tarif yang dipotong 100%
lebih tinggi dari tarif Pajak Penghasilan Pasal 22 yang seharusnya.
2.4.5. Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang adalah
bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk
ditunda atau dibebaskan, maka Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dan dilunasi
pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
2.4.6. Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 22
Berikut adalah uraian mengenai Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 :
1. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang disetor oleh importir dengan
menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP).
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang yang dipungut oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai harus disetor ke bank devisa, atau bank persepsi, atau
bendahara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu)
31
hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan
paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
2. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan,
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor harus dilunasi saat penyelesaian
dokumen pemberitahuan pabean impor. Dilaporkan ke KPP paling lambat
tanggal 20 (dua puluh) setelah masa pajak berakhir. Dalam hal jatuh tempo
penyetoran atau batas akhir pelaporan Pajak Penghasilan pasal 22 bertepatan
dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran
atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
2.5. Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22
atas Impor Film
Nilai lain yang digunakan sebagai dasar pengenaan atas Bea Masuk, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor film sebelumnya
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 75/PMK.03/2010 yang telah diubah
menjadi Peraturan Menteri Keuangan No. 102/PMK.011/2011.
Dalam peraturan baru ini, jenis tarif yang digunakan untuk menghitung Bea
Masuk berubah menjadi tarif Bea Masuk spesifik dimana sebelumnya menggunakan
tarif Bea Masuk advalorum. Untuk Pajak Pertambahan Nilai atas impor film yang
sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 75/PMK.03/2010
menentukan Nilai Lain DPP Pajak Pertambahan Nilai sebagai berikut :
32
Tabel 2.2 Nilai Lain Sebagai DPP PPN atas Impor Film
Tujuan Pemakaian DPP
Untuk pemakaian sendiri Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
Harga jual atau penggantian setelah
dikurangi laba kotor
Untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
Harga jual atau penggantian setelah
dikurangi laba kotor
Untuk penyerahan media rekaman suara
atau gambar
Harga jual rata-rata
Untuk penyerahan film cerita Perkiraan hasil rata-rata per
judul film
Untuk penyerahan produk hasil tembakau Harga jual eceran
Untuk Barang Kena Pajak berupa
persediaan dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
Harga pasar wajar
Untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari
pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan Barang Kena Pajak antar
cabang
Harga pokok penjualan atau harga
perolehan
Untuk penyerahan Barang Kena Pajak
melalui pedagang perantara
Harga yang disepakati antara
pedagang perantara dengan pembeli
Untuk penyerahan Barang Kena Pajak
melalui juru lelang
Harga lelang
Untuk penyerahan jasa pengiriman paket 10% dari jumlah yang ditagih atau
jumlah yang seharusnya ditagih
Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau
jasa biro pariwisata
10% dari jumlah tagihan atau jumlah
yang seharusnya ditagih
Berbeda dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 75/PMK.03/2010 yang
mengatur “semua penyerahan film cerita” baik impor maupun film lokal dan juga
menetapkan Nilai Lain Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dari perkiraan rata-rata per
judul film, dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 102/PMK.011/2011,Pajak
Pertambahan Nilai atas impor film diatur berdasarkan Deemed Taxable Price (SE
33
No. : SE-30/PJ.3/1987) yaitu dasar pengenaan pajak berdasarkan pada satu perkiraan
harga dan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) menjadi Rp
12.000.000,00 per copy Film Cerita Impor baik atas media Film Cerita Impor
maupun penyerahan copy Film Cerita Impor ke Pengusaha Bioskop. Pajak masukan
atas impor film tersebut dapat dikreditkan sebesar Deemed Taxable Price yang
ditetapkan dan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak tidak dapat dikompensasikan dan direstitusikan pada bulan
berikutnya.
Terdapat beberapa aturan baru berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.
102/PMK.011/2011 yang disampaikan dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak
No. SE-79/PJ/2011 diantaranya :
a. penentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean berupa Film Cerita Impor
b. penentuan dasar pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 untuk kegiatan
impor Film Cerita Impor
c. penentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan Barang
Kena Pajak tidak berwujud berupa Film Cerita Impor.
Dasar pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 untuk kegiatan impor Film
Cerita Impor sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b, adalah Nilai Impor atas
media Film Cerita Impor. Yang dimaksud dengan media Film Cerita Impor dapat
berupa pita seluloid, pita video, cakram optik, atau bahan lainnya. Berubahnya
penghitungan Bea Masuk juga mempengaruhi penghitungan Nilai Impor sebagai
dasar untuk menghitung Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor film tersebut.
34
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 232/KMK.05/1996 yang
mengatur tentang tata cara pembayaran atau penyetoran Bea Masuk dalam rangka
impor dapat melalui Bank Devisa Persepsi disertai dengan Surat Setoran Bea Cukai
(SSBC) yang bentuk dan isinya ditentukan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangka
impor dapat menggunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP) yang bentuk dan
isinya ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.