bab 1 pendahuluanetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69293/potongan/s1-2014... · seperti...
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Fenomena perempuan sebagai makhluk yang kedua, sudah terjadi sejak
dahulu bahkan sampai sekarang. Banyak pertentangan terkait dengan fenomena
tersebut yang kemudian membentuk gerakan perempuan yang disebut dengan
feminisme. Sejarah feminisme yang lahir sejak abad ke 17 di Eropa, dalam
perkembangannya mengalami banyak lika-liku perjuangan yang dilakukan oleh
para perempuan mulai dari feminisme gelombang pertama, gelombang kedua,
sampai ke gelombang ketiga. Gerakan feminisme yang terjadi di berbagai belahan
dunia semata-mata dilatarbelakangi oleh ketidakadilan posisi perempuan dalam
kehidupan sosial maupun politik sehingga tujuan dari feminisme itu sendiri adalah
untuk memperjuangkan agar mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki dan
meningkatkan status perempuan melalui isu emansipasi atau kesetaraan gender.
Feminisme merupakan langkah untuk membangkitkan semangat perempuan guna
menggeser status sebagai makhluk kedua setelah laki-laki.
Seperti yang banyak kita ketahui bahwa isu kesetaraan gender sudah
mulai banyak dikenal oleh masyarakat kita di Indonesia bahkan masyarakat-
masyarakat di desa sebagai sebuah isu yang akan mengangkat posisi bahkan
derajat seorang perempuan untuk mendapatkan peran yang setara dengan laki-
laki. Akan tetapi, banyak dari masyarakat awam kita yang belum sepenuhnya
memahami arti dari kata gender itu sendiri. Banyak dari mereka yang
2
beranggapan bahwa gender merupakan sesuatu yang hanya dihubungkan kepada
perempuan saja atau terkait dengan jenis kelamin tertentu. Padahal gender yang
dimaksud bukan membicarakan tentang jenis kelamin saja namun lebih mengarah
kepada konstruksi sosial yang sedang atau sudah terbentuk.
Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller pada tahun
1968 yang digunakan untuk memberikan pemisahan kepada manusia atas ciri
yang mereka miliki berdasarkan konstruksi sosial dengan ciri biologis. Oleh
karena itu, gender digunakan sebagai pembedaan peran antara laki-laki dan
perempuan yang terbentuk karena adanya konstruksi sosial dan kebudayaan yang
ada. Berdasarkan pemahaman di atas, maka jenis kelamin dan gender tidak bisa
dikaitkan secara langsung terhadap keberlangsungan hidup seorang laki-laki dan
perempuan. Artinya disini bahwa jenis kelamin merupakan suatu yang terbentuk
berdasarkan ketentuan Sang Pencipta sedangkan gender merupakan suatu yang
dibentuk oleh manusia. Dengan begitu maka apapun yang dibuat oleh manusia
pasti akan bisa untuk diubah.
Dewasa ini, feminisme dan kesetaraan gender sudah banyak diakui dan
berkembang dengan berbagai bentuk realita yang sudah ada. Di Indonesia, upaya
untuk mendapatkan kesetaraan sepertinya sudah terwujud di berbagai bidang
seperti pendidikan, pekerjaan, sosial politik, dan budaya meskipun sedikit banyak
masih mengalami kendala secara struktural. Salah satu bentuk nyata bahwa
feminisme dan kesetaraan gender menjadi isu yang penting untuk diangkat adalah
banyak munculnya lembaga-lembaga yang menaungi perempuan-perempuan agar
lebih bisa bergerak untuk maju. Lembaga-lembaga tersebut kemudian mengusung
3
program pemberdayaan perempuan guna menuju kesetaraan gender. Untuk
membangun kesetaraan gender, terlebih dahulu harus dibangun kesetaraan relasi
antara laki-laki dan perempuan. Kemudian yang diperlukan adalah adanya
pemberdayaan yang dilakukan bagi kaum perempuan.
Seperti yang sedang dilakukan salah satu lembaga swadaya masyarakat
bernama Lembaga Bakti Indonesia yang bergerak di bidang pemberdayaan
masyarakat. Salah satu program yang mereka usung adalah program
pemberdayaan perempuan atau kesetaraan gender yang ditujukan kepada
perempuan-perempuan desa di desa-desa yang mereka bina. Lembaga yang
notabene merupakan lembaga pembaharuan dengan pemikiran yang sudah
modern ini berusaha menuntun perempuan-perempuan desa untuk lebih maju dan
untuk menumbuhkan sebuah ide pemikiran baru bagi para perempuan desa agar
tidak selalu terkungkung sebagai “makhluk kedua”.
Akan tetapi kemudian yang muncul menjadi permasalahan adalah karena
latar belakang budaya Indonesia yang menganut budaya timur dengan sistem
patriarki yang sangat kuat dimana laki-laki sangat mendominasi dan memiliki
pengaruh besar serta kedudukan yang lebih tinggi daripada perempuan, banyak
terjadi terutama di daerah pedesaan yang menjadikan ruang gerak feminisme
menjadi terhambat dan sulit untuk dikembangkan. Sistem patriarki yang ada
sepertinya sudah menjadi sebuah tradisi atau adat kebiasaan dimana sebagian
besar masyarakatnya masih bersifat konvensional. Ini akan menjadi menarik
untuk diteliti dengan melihat budaya yang sudah terorganisir akan dipengaruhi
oleh masuknya budaya baru yang lebih modern.
4
Sistem patriarki yang sudah terstruktur dan banyak disebabkan oleh
adanya perkawinan melahirkan sebuah konsep kepemilikan pribadi oleh manusia
yang dapat dijadikan sebagai basis kekuasaan. Konsep kepemilikan tersebut
kemudian menimbulkan sistem ekonomi yang kapitalis. Menurut Marxis dalam
teori feminisnya menyebutkan bahwa untuk membebaskan perempuan dari sistem
ekonomi yang kapitalis ini maka diperlukan perubahan ke arah masyarakat yang
sosialis dimana tidak ada kelas-kelas dalam masyarakat (borjuis dan proletar).
Dalam konteks feminisme, istilah borjuis digunakan untuk laki-laki sebagai
penindas perempuan yang diibaratkan sebagai kaum proletar. Pekerjaan
perempuan yang dominan berada di sektor domestik dinilai tidak memiliki arti
dibandingkan dengan pekerjaan laki-laki yang berada di luar rumah yang jauh
memiliki arti dan nilai karena laki-laki dapat menghasilkan materi yang nantinya
akan digunakan sebagai kebutuhan hidup. Hal inilah yang kemudian membuat
munculnya struktur patriarkal karena perempuan terjebak dalam dimensi
pekerjaan domestik yang tidak bernilai.
Di Jawa, masyarakat dengan budaya yang kental, masih menempatkan
perempuan sebagai “makhluk kedua”. Perempuan sangat dianjurkan untuk patuh
terhadap apa yang diperintahkan oleh suami. Bahkan suami memegang “nasib”
seorang istri untuk berbahagia atau menderita. Kedudukan perempuan di Jawa
terletak di urusan rumah tangga. Artinya, mereka hanya berada dalam lingkungan
kerja domestik saja. Pemahaman atas kebudayaan Jawa ini mengakibatkan
semakin kuatnya patriarki dan sulit untuk dilepaskan. Perempuan cenderung
masih diposisikan sebagai subordinat atau dipinggirkan dan dibatasi haknya untuk
5
masuk ke dunia publik. Masuknya pemikiran-pemikiran modern tidak selalu
menjamin berubahnya struktur kebudayaan tersebut. Berubah atau tidaknya
struktur tersebut hanya bisa dilakukan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Melihat permasalahan yang ada tentang kuatnya sistem patriarki yang
mengakar pada masyarakat desa dan masuknya lembaga baru yang bersifat
modern, tentu saja akan menimbulkan masalah yang kontras dengan kondisi awal
di dalam masyarakat tersebut karena terdapat perbedaan persepsi dasar di antara
kedua pihak. Karena pada hakikatnya, bagaimana nantinya program
pemberdayaan perempuan ini bisa berjalan dan sesuai dengan tujuan awal sangat
tergantung kepada masyarakat itu sendiri. Budaya patriarki yang mungkin sudah
melekat bisa jadi menjadi penghambat bagi kemajuan perempuan-perempuan desa
tersebut. Selain itu, masih banyaknya perempuan yang tidak begitu peduli pada
isu kesetaraan gender juga perlu menjadi kajian yang harus diperhatikan.
Meskipun banyak perjuangan feminisme yang sudah gencar dilakukan tetapi jika
tidak ada kesadaran dari diri perempuan itu sendiri tetap akan memperlanggeng
patriarki yang ada.
Kondisi inilah yang membuat peneliti ingin meneliti tentang hal tersebut
karena peneliti berasumsi bahwa akan tidak mudah untuk menyatukan dua
persepsi yang berkebalikan dan meleburkan budaya modern ke dalam masyarakat
yang belum begitu jauh mengenal “ke-modern-an” atau baru akan menuju ke
dalam ke-modern-an. Maka ini menjadi penting untuk diteliti karena akan dapat
diketahui seberapa jauh pemberdayaan perempuan oleh lembaga modern ini
mempengaruhi pola pikir masyarakat yang konvensional dan tradisional menjadi
6
pola pikir yang lebih maju. Peneliti tertarik untuk menilik dan melihat secara lebih
jelas lagi bagaimana pengaruh dari adanya pemberdayaan perempuan tersebut
bagi pola pikir masyarakat desa itu sendiri. Peneliti menggunakan perspektif
feminisme sosialis sebagai standing position untuk melihat permasalahan tersebut.
Pemikiran feminisme sosialis mengatakan bahwa kapitalisme dan patriarki
merupakan penyebab posisi perempuan berada di bawah. Oleh karena itu, agar
posisi perempuan dapat terangkat maka sistem kapitalisme dan patriarki harus
dihapuskan meskipun pada kenyataannya sistem tersebut tidak akan sepenuhnya
bisa untuk dihilangkan. Cara untuk menghilangkan pengaruh patriarki yang
dilakukan oleh feminisme sosialis adalah dengan mengubah struktur patriarkal
yang ada melalui pengupayaan kesadaran kesetaraan gender. Para perempuan
didorong untuk menyadari bahwa mereka merupakan “korban” dari struktur kelas
yang sering ditindas. Pemikiran feminisme sosialis percaya bahwa tindakan
perempuan bukanlah hasil dari tindakan individu, melainkan produk dari struktur
politis, sosial, dan ekonomis tempat seorang individu hidup (Tong, 1998: 2).
Dalam sejumlah literatur yang ada, banyak pembahasan tentang
feminisme yang mengarah pada pembangunan. Studi-studi tentang Women in
Development telah berkembang sesuai dengan kemajuan yang sudah ada. Akan
tetapi, seiring dengan kemajuan yang sudah tercapai tersebut, harus diakui bahwa
budaya patriarki belum sepenuhnya hilang dari masyarakat yang menuju modern
saat ini. Di Indonesia sendiri, telah banyak muncul organisasi perempuan untuk
menggapai cita-cita kaum perempuan. Organisasi-organisasi tersebut dapat
7
berbentuk organisasi pemerintah seperti Dharma Wanita maupun organisasi non
pemerintah seperti yang dilakukan oleh LSM-LSM perempuan.
Di dalam buku Sangkan Paran Gender karya Dr. Irwan Abdullah,
dikatakan bahwa pemberdayaan perempuan yang sudah ada selama ini khususnya
yang dilakukan oleh LSM perempuan berhasil dilakukan dengan berangkat dari
keprihatinan akan masalah-masalah perempuan. Sedangkan program-program
yang mereka gerakkan adalah penyadaran gender bagi para perempuan. Salah satu
contoh, LSM Yasanti di Yogyakarta memberikan penyadaran gender kepada
perempuan miskin baik di desa maupun di kota. Program-program yang dilakukan
selalu dilengkapi dengan pengenalan kesadaran gender untuk tujuan
pemberdayaan perempuan yang dititikberatkan dalam model Gender and
Development (Abdullah, 2006: 288). Diharapkan dengan adanya penyadaran
gender dalam pemberdayaan perempuan akan menciptakan kesadaran diri bagi
perempuan-perempuan tersebut agar mampu membebaskan diri dari kungkungan
yang selama ini telah menindas mereka. Jika dikaitkan dengan budaya Jawa,
berdasarkan hasil dari penelitian yang ditulis oleh Siti Kusujiarti, menyatakan
bahwa posisi perempuan Jawa dibagi atas dua kelompok yaitu kelompok pertama
yang menyatakan bahwa perempuan Jawa memiliki kekuasaan yang tinggi
sedangkan kelompok kedua memiliki pendapat yang berkebalikan.
Untuk melihat permasalahan tersebut, seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, peneliti akan melakukan penelitiannya pada salah satu lembaga
swadaya masyarakat dengan nama Lembaga Bakti Indonesia yang bergerak di
bidang pemberdayaan masyarakat dengan visi terwujudnya masyarakat Indonesia
8
yang berdaya. LBI yang berdiri pada tanggal 2 Februari 2011 di Grobogan ini
menempuh gerakan-gerakan untuk mengubah pola pikir masyarakat dari
pemikiran konvensional atau hidup seadanya menjadi pemikiran yang modern.
Salah satu program yang menjadi program keswadayaan masyarakat lembaga ini
adalah pemberdayaan perempuan atau kesetaraan gender. Program pemberdayaan
perempuan yang bernama Kelompok Pemberdayaan Perempuan Bakti Indonesia
ini bertempat di Desa Putatsari, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan,
Jawa Tengah. Alasan mengapa peneliti melakukan penelitiannya disini adalah
dikarenakan kondisi masyarakat yang berada di desa dan sebagian masyarakatnya
masih merupakan penganut tradisionalisme Jawa dimana tingkat kepatuhan
kepada suami dijunjung sangat tinggi dan pendidikan mereka yang masih rendah.
Karena masih banyaknya pendidikan yang rendah tersebut maka sudah dipastikan
bahwa pemahaman mereka akan isu gender juga masih sangat rendah.
Adapun metode penelitian yang akan peneliti gunakan adalah metode
kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Metode penelitian studi kasus peneliti
gunakan karena metode ini merupakan salah satu pendekatan kualitatif dimana
peneliti dapat mengeksplorasi sebuah kasus atau beberapa kasus yang terjadi
antara individu dengan kelompok, individu dengan individu, maupun kelompok
dengan kelompok secara detail. Dengan kata lain, penelitian studi kasus
melibatkan studi tentang masalah yang dieksplorasi melalui satu atau lebih kasus
dalam sistem yang dibatasi dan terikat oleh waktu dan tempat. Dengan
menggunakan metode penelitian studi kasus, pengumpulan data yang mendalam
dapat diperoleh dari berbagai sumber informasi seperti observasi, wawancara,
9
materi audiovisual dan dokumen, maupun laporan deskripsi kasus berbasis tema
(Creswell, 2007).
1.2. Rumusan Masalah
Untuk menjawab penelitian tersebut, maka rumusan masalah yang akan
peneliti gunakan adalah : Bagaimanakah strategi pemberdayaan perempuan yang
dilakukan oleh Lembaga Bakti Indonesia untuk mempengaruhi pola pikir
masyarakat Desa Putatsari?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh masuknya isu-isu gender bagi
masyarakat desa melalui pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh
Lembaga Bakti Indonesia.
2. Untuk mengetahui implikasi yang ditimbulkan dari pemberdayaan perempuan
yang dilakukan oleh Lembaga Bakti Indonesia.
1.4. Kerangka Teori
1.4.1. Konsep Gender
Istilah gender berasal dari bahasa Inggris yang memiliki arti jenis
kelamin. Meskipun gender sering dikaitkan dengan jenis kelamin, namun pada
dasarnya antara gender dan jenis kelamin itu masing-masing memiliki konsep
yang berbeda. Jenis kelamin atau seks merupakan sifat manusia yang bersifat
alamiah dan digunakan untuk pemisahan antara laki-laki dan perempuan secara
biologis. Jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-
laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks berkaitan dengan tubuh laki-laki
10
dan perempuan, dimana laki-laki memproduksikan sperma, sementara perempuan
menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan
menyusui. Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak
dapat dipertukarkan diantara keduanya, dan fungsinya tetap dengan laki-laki dan
perempuan pada segala ras yang ada di muka bumi (Hungu, 2007). Dalam tulisan
Mansour Fakih pengertian seks atau jenis kelamin merupakan pembagian dua
jenis kelamin yang ditentukan secara biologis. Seks merupakan pelabelan yang
tidak bisa dipertukarkan antara perempuan dan laki-laki. Seks tidak bisa diubah
dalam kondisi dan budaya apa pun.
Sedangkan gender digunakan sebagai pembedaan peran antara laki-laki
dan perempuan yang terbentuk karena adanya konstruksi sosial dan kebudayaan
yang ada. Dengan kata lain, gender tidak terbentuk secara biologis meskipun
dikaitkan dengan keadaan biologis seorang laki-laki dan perempuan, namun
gender terbentuk secara non alamiah atau terdapat sebuah “permainan” dalam
suatu sistem masyarakat. Gender diartikan sebagai pola relasi laki-laki dan
perempuan yang didasarkan pada ciri sosial masing-masing.
Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah
suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran,
perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan
yang berkembang dalam masyarakat.
Gender dalam definisi Ann Oakley adalah perbedaan simbolis atau sosial
yang berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu identik dengannya.
Perbedaan gender merupakan hasil dari proses simbolisasi yang kemudian
11
disosialisasikan ke dalam sistem budaya ataupun dalam struktur sosial setiap
masyarakat.
Mansour Fakih mengartikan gender sebagai suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun
kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik,
emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, dan perkasa
(1996: 8-9). Dari perbedaan gender tersebut, terdapat beberapa karakter yaitu
sifat-sifat dari kedua jenis kelamin tersebut merupakan sifat yang dapat
dipertukarkan. Selanjutnya, gender merupakan sifat yang dapat berubah
menyesuaikan dengan waktu dan tempat. Terakhir, gender terjadi dalam kelas-
kelas masyarakat dimana antara kelas satu dengan lainnya berbeda-beda.
Proses pembentukan sifat-sifat kedua jenis kelamin tersebut telah
dipelajari dan dipraktekkan dengan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh
masyarakat untuk menjadi laki-laki atau perempuan. Gender kemudian digunakan
sebagai perangkat perilaku seperti halnya kostum dan topeng dalam teater yang
menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminim atau maskulin.
Perangkat perilaku khusus ini yang mencakup penampilan, pakaian, sikap,
kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung
jawab keluarga dan sebagainya secara bersama-sama memoles peran gender kita.
Dalam masyarakat, kaum laki-laki dan perempuan memiliki peran gender yang
berbeda. Terdapat perbedaan pekerjaan yang dilakukan mereka dalam
komunitasnya dan status maupun kekuasaan mereka di dalam komunitas
masyarakatnya boleh jadi berbeda pula. Peran gender yang dijalani dalam
12
kehidupan sehari-hari merupakan bagian dari landasan kultural masyarakat
sehingga sulit untuk diubah. Oleh karena itulah, mengapa seringkali peran gender
dijalani sebagai sesuatu yang benar, alami, dan wajar (Mosse, 1996: 3-9).
Dari beberapa konsep gender diatas, dapat dikatakan bahwa gender
merupakan jenis kelamin sosial yang berbeda dengan jenis kelamin biologis.
Dikatakan sebagai jenis kelamin sosial karena merupakan tuntutan masyarakat
yang sudah menjadi budaya dan norma sosial masyarakat yang melekat pada
kaum laki-laki dan perempuan yang kemudian membedakan peran antara laki-laki
dan perempuan.
Dengan demikian, konsep gender tidak mengacu kepada ciri-ciri biologis
tetapi lebih mengacu kepada persepsi masyarakat. Perbedaan konsep gender
terjadi karena perbedaan pandangan masyarakat yang disesuaikan dengan norma
sosial yang sudah ada dan melekat yang berlaku pada masyarakat tertentu. Akan
tetapi, norma sosial masyarakat tersebut akan terus berkembang dan dapat
berubah sejalan dengan perkembangan pengetahuan dan pengalaman
masyarakatnya yang nantinya akan menyebabkan terjadinya perubahan pola pikir
masyarakat dalam memaknai konsepsi gender.
1.4.2. Gender dan Budaya Patriarki
Budaya patriarki dianggap sebagai suatu sistem nilai yang menempatkan
kaum laki-laki pada tempat yang lebih tinggi daripada kaum perempuan dan
keadaan tersebut berimplikasi pada dimensi-dimensi lain yang ada dalam
masyarakat. Patriarki merupakan sistem struktur dan praktik sosial yang
13
menempatkan kaum laki-laki sebagai kelompok yang mendominasi dan
mengeksploitasi kaum perempuan (Sylvia Walby, 1998: 20).
Dalam perspektif gender, sistem patriarki adalah konsep bahwa laki-laki
memegang kekeuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat yaitu dalam
pemerintahan, militer, pendidikan, industri bisnis, perawatan kesehatan, iklan,
agama dan bahwa pada dasarnya, perempuan tercabut dari akses terhadap
kekuasaan itu. Ini tidak lantas berarti bahwa perempuan sama sekali tidak
mempunyai kekuasaan atau sama sekali tidak mempunyai hak, pengaruh, dan
sumber daya. Agaknya keseimbangan kekuasaan justru menguntungkan laki-laki
(Mosse, 1996: 65).
Patriarki memiliki dua bentuk yaitu patriarki domestik dan patriarki
publik. Patriarki domestik mencerminkan terjadinya stereotype yang melekat pada
kaum perempuan dalam hal kerja dalam rumah tangga. Artinya adalah bahwa
kerja dalam wilayah domestik merupakan kodrat perempuan yang harus
dijalankan dan bersifat tetap. Inilah yang dimaksud dengan penindasan atas kaum
perempuan. Penindasan terhadap perempuan pada bentuk patriarki ini biasa
dilakukan oleh masyarakat yang memegang teguh patriarki. Sementara patriarki
publik terjadi dalam hal pembagian kerja dimana porsi antara laki-laki dan
perempuan tidak sebanding.
Sistem patriarki sudah berlangsung dalam kurun waktu yang lama dan
selama sistem patriarki tetap ada, selama itu pula posisi perempuan akan terus
mengalami ketimpangan. Menurut Mansour Fakih, adanya perbedaan gender telah
14
menimbulkan banyak ketidakadilan apalagi ditambah dengan budaya patriarki.
Hal tersebut disebabkan karena kuatnya budaya patriarki yang berkembang di
masyarakat, terutama masyarakat Jawa.
Posisi perempuan Jawa yang dinomorduakan selama ini telah membuat
patriarki semakin mengencangkan talinya. Seorang perempuan Jawa selalu identik
dengan urusan rumah tangga dimana dapur menjadi salah satu urusan pokok di
dalamnya. Dari situlah muncul pembagian kerja yang selalu menempatkan
perempuan sebagai pekerja di sektor privat atau domestik.
Di dalam keluarga, perempuan kehilangan otoritas terhadap laki-laki atau
laki-laki dianggap memegang otoritas karena keluarga memerlukan seorang
pemimpin. Otoritas ini meliputi kontrol atas sumber-sumber ekonomi dan suatu
pembagian kerja secara seksual di dalam keluarga yang menurunkan derajat
perempuan menjadi inferior, anak buah serta peran-peran sosial yang
berlandaskan pada perbedaan inheren dalam kemampuan dan moralitas sosial
(Ollenburger, 1995: 6-7).
Dalam budaya Jawa, perempuan sejati adalah perempuan yang bisa
mematuhi suami, menjadi pengurus rumah tangga, dan mampu melahirkan dan
mendidik anak. Ungkapan tersebut semakin mengukuhkan wanita dalam posisi
yang lemah. Perempuan Jawa dituntut untuk berperilaku manis. Hidup dan
kehidupan mereka ditentukan laki-laki. Ungkapan swargo nunut neraka katut
yang berarti bahwa kebahagiaan atau penderitaan istri hanya tergantung pada
15
suami adalah contoh dimana perempuan dianggap tidak berperan dalam
kehidupan.
Konsep adat, dalam hal ini disebut dengan patriarki, yang berakar kuat
dalam budaya Jawa menyebabkan ketertindasan dan membelenggu perempuan.
Perempuan Jawa diharapkan selalu dapat menjadi seorang pribadi yang tunduk
dan patuh pada kekuasaan laki-laki. Sistem adat yang sarat dengan ideologi
patriarki membuat perempuan Jawa menjadi kaum yang tertindas.
Akan tetapi, seiring dengan datangnya kebudayaan baru yang lebih
bersifat modern membuat perempuan Jawa sedikit banyak telah mampu
menunjukkan siapa diri mereka. Di Indonesia, dimulai dengan munculnya
pemberontakan yang dilakukan oleh Kartini pada masanya telah merubah
paradigma pemikiran perempuan di era sekarang. Perempuan memiliki kekuasaan
meskipun pada kenyataannya laki-laki masih mendominasi atas kepemilikan
kekuasaan tersebut.
Kekuasaan perempuan Jawa adalah kemampuan perempuan Jawa untuk
mempengaruhi, menentukan bahkan mendominasi suatu keputusan. Kemampuan
perempuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut bukan semata-
mata pada saat keputusan itu diambil, melainkan merupakan sebuah proses
panjang dari proses adaptasi, pemaknaan kembali, hingga strategi diplomasi
(Handayani dan Novianto, 2004: 25). Pernyataan tersebut mencerminkan bahwa
meskipun perempuan Jawa masih terkungkung dalam budaya patriarki yang
16
masih kuat tetapi dalam pelaksanaannya perempuan Jawa dapat melakukan peran
untuk “sedikit” berkuasa.
Kemudian muncul konsep baru yang sekiranya cocok digunakan dalam
budaya modern ini, yaitu konsep perempuan Jawa sebagai konco wingking.
Konsep perempuan Jawa sebagai konco wingking berlaku sebagai kondisi
sakprayoganipun (seyogyanya) atau ideal bagi budaya Jawa sehingga berkembang
menjadi mitos. Meski demikian, terdapat konsep baru yang menyebutkan bahwa
konco wingking atau menjadi orang yang berada di belakang itu tidak selalu lebih
buruk atau lebih rendah. Konco wingking dapat juga seperti seorang sutradara
yang tidak pernah kelihatan dalam filmnya sendiri tetapi ia yang menentukan
siapa yang boleh bermain dan akan seperti apa jadinya film itu nanti (Handayani
dan Novianto, 2004: 117).
Dalam kaitannya dengan masalah gender, lahirnya ketidakadilan gender
seperti yang dikatakan oleh Mansour Fakih mengenai teori struktural fungsional,
memunculkan tuntutan untuk kesetaraan gender dalam peran-peran sosial di
masyarakat. Teori ini memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri
dari bagian-bagian yang saling berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik,
sampai rumah tangga). Adapun interelasi terjadi karena adanya konsensus.
Tuntutan ini muncul sebagai akibat adanya perubahan struktur dalam masyarakat
terutama pada nilai sosial ekonomi.
Selanjutnya kesetaraan gender ini dapat diwujudkan dengan persaingan
peran secara sehat yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan. Dalam era
17
globalisasi yang penuh dengan berbagai persaingan, peran seseorang tidak lagi
mengacu kepada norma-norma kehidupan sosial yang lebih banyak
mempertimbangkan faktor jenis kelamin, akan tetapi ditentukan oleh daya saing
dan keterampilan (Nasrudin Umar, 1999).
Dari teori struktural fungsional tersebut dapat dikatakan bahwa
perbedaan dan perubahan peran tidak menjadi masalah asal telah terjadi
kesepakatan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Dari teori tersebut, perempuan Jawa akan dapat melakukan perkembangan
terhadap dirinya dan keluarganya agar menjadi perempuan yang lebih
berkembang dengan tetap melaksanakan fungsinya sebagai perempuan secara
kodrati (melahirkan dan menyusui). Akan tetapi, dalam pelaksanaannya untuk
memperoleh kekuasaan, perempuan tidak bisa lepas dari proses sosial budaya
masyarakat setempat sehingga terjadinya pembagian peran tergantung kepada
pengaruh kondisi sosial budaya yang ada.
1.4.3. Konsep Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi dalam pembangunan.
Pemberdayaan menjadi penting karena merupakan cara untuk meningkatkan
kapasitas manusia terutama dalam upaya meningkatkan kemandirian dan potensi
sumber daya yang dimiliki. Sebagai suatu strategi pembangunan, pemberdayaan
dapat diartikan sebagai kegiatan membantu masyarakat untuk memperoleh daya
guna, mengambil keputusan, dan menentukan tindakan yang akan dilakukan,
terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial
dalam melakukan tindakan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri
18
untuk menggunakan daya yang dimiliki dengan mentransfer daya dari
lingkungannya (Payne, 1997: 266).
Pemberdayaan sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang atas
sumber, kesempatan, pengetahuan, dan ketrampilan untuk meningkatkan
kemampuan mereka mementukan masa depannya dan untuk berpartisipasi di
dalam dan mempengaruhi kehidupan komunitas mereka (Ife, 1995: 182). Secara
konseptual, pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata power yang berarti
kekuasaan. Akan tetapi, pengertian kekuasaan tidak berhenti pada kekuasaan
politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan seseorang atas beberapa hal
berikut seperti pilihan-pilihan personal dan kesempatan hidup, pendefinisian
kebutuhan, ide atau gagasan, lembaga-lembaga, sumber-sumber, aktivitas
ekonomi, dan reproduksi (Ife, 1995: 61-64).
Menurut Moebyarto (1985), pemberdayaan masyarakat mengacu kepada
kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses serta
kontrol atas sumber hidup yang penting. Proses pemberdayaan merupakan wujud
perubahan sosial yang menyangkut relasi antara lapisan sosial sehingga
kemampuan individu “senasib” untuk saling berkumpul dalam suatu kelompok
cenderung dinilai sebagai bentuk pemberdayaan yang paling efektif.
Pemberdayaan masyarakat mengandung arti mengembangkan kondisi dan situasi
sedemikian rupa sehingga masyarakat memiliki daya dan kesempatan untuk
mengembangkan kehidupannya.
Berdasarkan konsep-konsep di atas, secara umum konsep pemberdayaan
digunakan sebagai upaya berencana yang dirancang untuk merubah atau
19
melakukan pembaharuan pada suatu komunitas atau masyarakat dari kondisi
ketidakberdayaan menjadi berdaya melalui upaya pembinaan potensi dan
kemandirian masyarakat dimana masyarakat sebagai pelaku sedangkan pihak lain
seperti pemerintah, LSM, maupun organisasi lain sebagai fasilitator.
Terkait dengan pemberdayaan perempuan, definisi pemberdayaan
perempuan adalah kemampuan seorang perempuan untuk membuat pilihan hidup
yang strategis dalam konteks dimana kemampuan tersebut tidak diakui
sebelumnya (Kabeer, 2001: 19). Disini sikap perempuan adalah berusaha untuk
mewujudkan apa yang menjadi keinginan mereka sesuai dengan kemampuan yang
mereka miliki. Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan akan menjadi sangat
berarti bagi para perempuan untuk mengembangkan dirinya. Pemberdayaan
perempuan berangkat dari kepedulian perempuan untuk meningkatkan
kesejahteraan perempuan meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa tidak
hanya pihak perempuan saja yang peduli tetapi juga bisa dari kepedulian laki-laki.
Istilah pemberdayaan memiliki arti yang berbeda dalam konteks politik
dan sosiokultural yang berbeda pula. Istilah ini meliputi kekuatan dari dalam diri,
kontrol, kekuasaan, kepercayaan diri, pilihan, martabat hidup terkait dengan nilai-
nilai, kemampuan untuk memperjuangkan hak, kemandirian, pengambilan
keputusan secara mandiri, bebas, terbangun, dan kapabilitas (Narayan, 2002: 10).
Pengertian ini menegaskan bahwa pemberdayaan tersebut melekat pada nilai-nilai
lokal dan kepercayaan.
20
1.4.4. Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi dalam pembangunan.
Kapasitas manusia dalam upaya meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal
atas sumber daya materi dan non materi sangat diperlukan untuk menunjang
pembangunan tersebut. Sebagai suatu strategi pembangunan, pemberdayaan dapat
diartikan sebagai kegiatan membantu klien untuk memperoleh daya guna
mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan, terkait
dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial dalam
melakukan tindakan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk
menggunakan daya yang dimiliki dengan mentransfer daya dari lingkungannya
(Payne, 1997 :266).
Dalam upaya pemberdayaan masyarakat perlu adanya suatu strategi yang
nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Melalui strategi-
strategi tersebut, diharapkan pemberdayaan masyarakat akan menjadi jelas
bagaimana sebenarnya arah dan tujuan dari pemberdayaan itu sendiri. Di dalam
konteks penelitian ini, strategi dalam pemberdayaan tidak lepas dari strategi
pembangunan masyarakat desa dimana strategi ini muncul disebabkan oleh latar
belakang kehidupan masyarakat desa tersebut.
Menurut Blakely (1980) dalam buku Sosiologi Pedesaan, strategi
pembangunan masyarakat desa disebabkan oleh karena kurang adanya suatu
disciplinary core yang bersifat tunggal. Akan tetapi, munculnya berbagai strategi
pemberdayaan masyarakat desa yang berbeda-beda dan beraneka ragam
21
merupakan ragam dari orientasi filosofikal, ideologikal, atau paradigmatik. Dari
berbagai macam pendekatan mengenai strategi pemberdayaan masyarakat desa,
menurut DR. J. Nasikun, ada empat macam reklasifikasi baru strategi
pembangunan masyarakat desa, yaitu strategi gotong royong, strategi teknikal-
profesional, strategi konflik, dan strategi pembelotan kultural.
Strategi gotong royong menganjurkan penggunaan strategi perubahan
kemasyarakatan berlandaskan partisipasi luas seluruh lapisan masyarakat di dalam
proses pengambilan keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan masyarakat.
Dalam strategi ini, perubahan-perubahan kemasyarakatan dapat dicapai secara
optimal melalui partisipasi luas dari segenap lapisan masyarakat pada tingkat
komunitas di dalam penentuan tujuan-tujuan dan tindakan-tindakan dimana
prosedur-prosedur yang bersifat demokratik kerjasama yang bersifat sukarela dan
tujuan-tujuan pendidikan memperoleh peranannya yang besar (Rothman, 1974:24
dalam buku Sosiologi Pedesaan). Oleh karena itu, dalam pendekatan strategi
gotong royong ini, peranan seseorang dianggap sebagai agen perubahan yang
tidak lebih dari sekedar membantu masyarakat guna menghasilkan keputusan
bersama.
Strategi teknikal-profesional lebih mengedepankan adanya agen perubahan
terpilih yang memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan informasi-informasi
dan menciptakan inovasi-inovasi baru serta lebih kreatif untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang ada. Sedangkan strategi konflik lebih mengarah kepada
strategi untuk menyingkirkan kaum yang dianggap sebagai penindas atas kaum
yang lemah. Dalam strategi ini, kemudian muncul seorang aktivis atau pembela.
22
Strategi ini dimaksudkan agar terjadi perubahan struktural masyarakat dengan
menghilangkan kemandulan kekuasaan kelompok-kelompok orang tertentu.
Sementara itu, strategi yang keempat adalah strategi pembelotan kultural dimana
dalam strategi ini sangat ditekankan pada pentingnya perubahan-perubahan pada
tingkat subyektif individual dengan mengubah diri dan nilai-nilai pribadi dalam
diri mereka.
Dari keempat strategi pembangunan masyarakat desa tersebut, satu strategi
yang dirasa paling cocok dalam konteks penelitian ini adalah strategi gotong
royong dimana di dalamnya melibatkan masyarakat yang partisipatif. Dengan
masyarakat yang memiliki pasrtisipasi tinggi tentu akan memperlancar proses
pemberdayaan yang dilakukan. Selain itu, strategi yang dapat dikombinasikan
dengan strategi gotong royong dalam proses pemberdayaan adalah strategi
pendampingan. Pendampingan merupakan kegiatan yang diyakini mampu
mendorong terjadinya pemberdayaan secara optimal. Perlunya pendampingan
dilatarbelakangi oleh adanya kesenjangan pemahaman diantara pihak yang
memberikan bantuan dengan sasaran penerima bantuan. Kesenjangan dapat
disebabkan oleh berbagai perbedaan dan keterbatasan kondisi sosial, budaya, dan
ekonomi. Dalam melaksanakan tugasnya, para pendamping memposisikan dirinya
sebagai perencana, pembimbing, pemberi informasi, motivator, penghubung,
fasilitator, dan sekaligus evaluator (Sumodiningrat, 2009:106).
Dalam strategi pemberdayaan masyarakat, upaya yang dilakukan adalah
dengan meningkatkan kemampuan atau kapasitas masyarakat. Meningkatkan
kemampuan dan kapasitas masyarakat ini disebut juga dengan penguatan
23
kapasitas (capacity building). Penguatan kapasitas ini merupakan suatu proses
dalam pemberdayaan masyarakat dengan meningkatkan atau merubah pola
perilaku individu, organisasi, dan sistem yang ada di masyarakat untuk mencapai
tujuan yang diharapkan secara efektif dan efisien. Melalui penguatan kapasitas ini,
maka masyarakat dapat memahami dan mengoptimalkan potensi yang mereka
miliki untuk mencapai tujuan pemberdayaan, yaitu kesejahteraan hidup
masyarakat. Strategi yang digunakan dalam penguatan kapasitas ini adalah
melalui pendampingan.
Terdapat lima kegiatan penting yang dapat dilakukan dalam melakukan
pendampingan, yaitu motivasi, peningkatan kesadaran dan pelatihan kemampuan,
manajemen diri, mobilisasi sumber, dan pembangunan dan pengembangan
jaringan. Peningkatan kesadaran masyarakat dapat dicapai melalui pendidikan
dasar yang memerlukan adanya partisipasi masyarakat.
Strategi pendampingan sangat efektif dan efisien dalam proses
pemberdayaan masyarakat, karena dengan adanya pendampingan maka kapasitas
masyarakat dapat dikembangkan atau diberdayakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup masyarakat sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan
hidup masyarakat.
1.4.5. Pemberdayaan dan Transformasi Sosial
Diskriminasi terhadap perempuan menjadi dasar bagi upaya
pemberdayaan perempuan. Ideologi patriarki telah menempatkan perempuan
sebagai anggota masyarakat yang tidak beruntung dan menjadi kelas nomor dua
24
setelah laki-laki sehingga menimbulkan ketidakadilan. Ide utama pemberdayaan
perempuan berawal dari konsep pengarusutamaan gender.
Pengarusutamaan gender merupakan upaya yang dilakukan agar
perempuan memahami dan turut serta dalam proses kebijakan dalam berbagai
bidang baik politik, ekonomi, dan sosial budaya. Tujuan dari pengarusutamaan
gender adalah kesetaraan gender melalui kegiatan pemberdayaan. Akan tetapi,
dalam prosesnya, berhasil atau tidaknya kegiatan pemberdayaan perempuan
tersebut berpengaruh dan dipengaruhi pada proses transformasi sosial yang ada
dalam masyarakat. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa
pemberdayaan melekat pada nilai-nilai lokal dan kepercayaan yang ada.
Transformasi sosial atau yang biasa disebut dengan perubahan sosial
merupakan suatu gejala perubahan yang terjadi di masyarakat baik secara norma,
nilai, interaksi, serta pola-pola perilaku dalam masyarakat. Menurut Selo
Soemardjan (1982) perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-
lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem
sosialnya termasuk di dalam nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku diantara
kelompok-kelompok dalam masyarakat. Sedangkan menurut Macionis (1987)
perubahan sosial adalah transformasi organisasi masyarakat dalam pola berpikir
dan perilaku pada waktu tertentu. Dalam proses tranformasi sosial akan
melibatkan penduduk, teknologi, nilai-nilai kebudayaan, dan gerakan sosial.
Dalam proses pemberdayaan, peran organisasi gerakan sosial yang
selanjutnya disebut dengan istilah Lembaga Swadaya Masyarakat turut
mengambil andil bahkan skalanya lebih besar dibandingkan dengan
25
pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah. Gerakan sosial yang dilakukan
oleh LSM dapat menciptakan bentuk alternatif transformasi sosial.
Mansour Fakih (1996) dalam bukunya mengatakan bahwa peran LSM
dalam transformasi sosial di Indonesia terlihat dari bagaimana sebuah LSM
mengonstruksikan visi dan teori organisasi gerakan sosial dengan merumuskan
masalahnya dan mengusulkan solusi alternatif. Akan tetapi, lebih lanjut Mansour
Fakih berpendapat bahwa seringkali banyak LSM yang kemudian terjebak dalam
paradigma ideologi modernisasi dan developmentalisme yang merupakan produk
baru dari kapitalisme. Keberadaan LSM dan banyak organisasi gerakan sosial di
Indonesia senantiasa berkaitan dengan masalah-masalah pembangunan yang
kemudian istilah LSM berkonotasi sebagai organisasi “pembangunan” non
pemerintah. Oleh karena itu, pemberian dan penentuan visi dan misi oleh sebuah
lembaga sangatlah penting.
Mengenai indikator keberhasilan dari sebuah pemberdayaan yang
dilakukan oleh LSM, dapat dilihat dan dibedakan dari berbagai pendekatan.
Pendekatan fungsionalisme atau fungsionalisme struktural oleh Parsons,
berasumsi bahwa kesatuan masyarakat sebagai sistem yang saling bergantung satu
sama lain dan bekerja bersama guna menciptakan keseimbangan. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa keberhasilan pemberdayaan dilihat dari adanya
keseimbangan dan keharmonisan yang terjadi pada masyarakat. Dalam hal gender,
pemberdayaan menjadi berhasil jika keharmonisan tetap terjaga meskipun telah
terjadi perbedaan dan perubahan peran akan tidak menjadi masalah asal telah
26
terjadi kesepakatan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat.
Pendekatan modernisasi mengandung asumsi bahwa modernisasi
merupakan proses sistematik, transformasi, dan terus-menerus. Pertama, sebagai
proses sistematik. Proses modernisasi merupakan proses melibatkan seluruh aspek
kehidupan bernegara, termasuk industrialisasi, urbanisasi, diferensiasi,
sekularisasi, sentralisasi. Kedua, sebagai proses transformasi. Proses ini memberi
arti atau makna bahwa modernisasi merupakan proses yang membentuk dari
sebuah kondisi tradisional menjadi modern dalam segala aspek sosial budaya.
Ketiga, sebagai proses yang terus-menerus. Proses modernisasi melibatkan
perubahan sosial yang terus-menerus. Sekali perubahan sosial terjadi, aspek sosial
yang lain juga akan ikut terpengaruh. Hal ini kemudian saling menguatkan proses
perubahan sosial dan modernisasi (Suwarsono & So 2006: 23-24). Dari
pendekatan ini dapat disimpulkan bahwa indikator pemberdayaan dikatakan
berhasil jika mampu membuat transformasi sosial dan mampu membuat
masyarakat dengan kondisi tradisional menjadi masyarakat yang modern tidak
hanya dalam pengaruh pola pikir namun juga dalam hal nyata yang terlihat di
masyarakat.
Pendekatan developmentalisme merupakan pendekatan yang bercirikan
pada pembangunan. Pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam
standar hidup. Developmentalisme merupakan bagian dari pendekatan modernis.
W. W. Rostow (1960) mengembangkan bahwa transformasi masyarakat akan
berjalan bertahap menuju modernitas melalui proses pembangunan. Wujud dari
27
pendekatan developmentalisme ini adalah terbentuknya Women in Development
(WID) sebagai bagian utama developmentalisme yang dirancang untuk
mendorong keterlibatan kaum perempuan dalam pembangunan. Secara kasat
mata, pendekatan ini sama dengan pendekatan modernis.
Dari berbagai macam pendekatan tersebut, pendekatan yang dirasa cocok
jika dikaitkan dengan pemberdayaan dan kesetaraan gender adalah pendekatan
fungsionalisme struktural dimana keseimbangan menjadi penting dalam proses
pemberdayaan. Keseimbangan dalam masyarakat yang dihasilkan ini akan
menjadi tolok ukur keberhasilan sebuah lembaga masyarakat (LSM) dalam
menjalankan tugasnya sesuai dengan visi dan misi masing-masing. Keseimbangan
antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek akan menciptakan
kesetaraan gender yang harmonis.
Konflik dalam suatu masyarakat dilihat sebagai tidak berfungsinya
integrasi sosial dan keseimbangan. Oleh karena itu, harmoni dan integrasi
dipandang secara fungsional, bernilai tinggi, dan harus ditegakkan, sedangkan
konflik mesti dihindarkan. Maka, status quo harus dipertahankan termasuk yang
berkenaan dengan hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Mereka
melihat bahwa kondisi yang ada adalah normal dan sehat, oleh sebab itu tidak
diperlukan perubahan. Jika perubahan memang terpaksa mesti terjadi, yang
diperlukan adalah “reformasi” yang terkontrol tetapi jangan sampai mengganggu
stabilitas sosial. Mereka tidak menyoroti hubungan antara kekuasaan dan ketaatan
sosial dan kurang peka terhadap aspek paksaan dan konflik dari segala bentuk
kekuasaan (Mansour Fakih, 1996: 80-81).
28
1.5. Definisi Konseptual
1. Gender dikonsepsikan sebagai pembedaan peran antara laki-laki dan
perempuan yang terbentuk karena adanya konstruksi sosial dan kebudayaan
yang ada.
2. Pemberdayaan perempuan dikonsepsikan sebagai suatu usaha peningkatan
kemampuan perempuan untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh
perempuan dimana kepedulian tersebut berangkat dari diri perempuan itu
sendiri. Konsepsi pemberdayaan perempuan ini tidak bisa dilepaskan dari
konsepsi strategi pemberdayaan masyarakat dimana pemberdayaan ini
merupakan suatu strategi dalam pembangunan. Pemberdayaan digunakan
sebagai kegiatan untuk memperoleh daya guna dalam mengambil keputusan
dan menentukan tindakan yang akan dilakukan.
3. Transformasi sosial dikonsepsikan sebagai proses untuk menciptakan
hubungan ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang lebih baik dengan tujuan
untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan. Masyarakat berperilaku
sebagai agent of change sebagai sarana menuju perubahan yang lebih baik.
1.6. Definisi Operasional
1. Proses pemberdayaan perempuan yang ideal :
- Masyarakat khususnya perempuan mendapatkan dan memanfaatkan akses
serta kontrol atas sumber hidup yang penting. Terbukanya akses dan kontrol
atas sumber hidup yang penting dapat dilihat dengan kemudahan yang
didapatkan oleh para perempuan termasuk dalam perolehan ijin melakukan
kegiatan.
29
- Masyarakat khususnya perempuan dapat mengembangkan kondisi dan
situasi sedemikian rupa sehingga memiliki daya dan kesempatan untuk
mengembangkan kehidupannya.
- Adanya keberlanjutan dalam usaha pemberdayaan perempuan tersebut.
- Pemberdayaan yang bersifat partisipatif oleh masyarakat itu sendiri.
Pemberdayaan yang partisipatif adalah pemberdayaan yang melibatkan
masyarakat dimana dalam masyarakat tersebut dibentuk tim-tim pelaksana
kegiatan sehingga partisipasi masyarakat dapat terarah sesuai dengan tujuan.
- Pemberdayaan perempuan mencakup pelatihan, pendidikan, dan sosialisasi
bagi perempuan.
2. Keberhasilan pemberdayaan perempuan dapat dilihat dari :
- Adanya kegiatan yang berjalan dari pihak fasilitator untuk memberdayakan
perempuan.
- Adanya partisipasi dan sambutan baik dari masyarakat khususnya
perempuan itu sendiri dengan ikut membantu program pemberdayaan
tersebut.
- Adanya peningkatan taraf hidup perempuan yang dapat diwujudkan dalam
bentuk kemampuan meningkatkan kemandirian ekonomi keluarga setelah
adanya pemberdayaan perempuan.
- Memudarnya bias gender yang ditandai dengan mulai adanya pembagian
peran yang sesuai dengan norma masyarakat dan hilangnya pengeksklusifan
jenis kelamin tertentu dalam kehidupan bermasyarakat seiring dengan
adanya program pemberdayaan perempuan tersebut.
30
- Adanya keberlanjutan pemberdayaan bagi perempuan yang mampu
meningkatkan taraf hidup.
3. Strategi pemberdayaan masyarakat dikatakan berhasil jika :
- Terlaksananya pemberdayaan sesuai dengan konsep atau strategi yang
digunakan dimana strategi tersebut didasarkan berdasarkan latar belakang
kondisi masyarakat desa.
- Keikutsertaan yang bersifat partisipatif dari seluruh lapisan masyarakat desa
dalam proses pemberdayaan khususnya dari para perempuan.
- Fasilitator mampu menempatkan diri sebagai pendamping yang mampu
memposisikan diri sebagai perencana, pembimbing, pemberi informasi,
motivator, penghubung, fasilitator, dan sekaligus evaluator.
4. Transformasi sosial dikatakan berhasil jika :
- Adanya kemauan dari masyarakat untuk melakukan transformasi untuk
menuju kehidupan yang lebih baik. Kemauan ini dapat berwujud usaha
berkelanjutan dari kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat.
- Adanya gerakan yang terorganisir dari fasilitator (LSM).
- Adanya perubahan cara pandang dan pola pikir masyarakat dalam hal peran
laki-laki dan perempuan untuk memenuhi kesejahteraan mereka dengan cara
pandang dan pola pikir yang baru sehingga mewujudkan masyarakat yang
berkeadilan, bertindak sesuai dengan keadaan yang diharapkan, dan terlepas
dari bias gender.
31
1.7. Metode Penelitian
1.7.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana strategi sebuah
pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh sebuah lembaga swadaya
masyarakat akan mempengaruhi pola pikir masyarakat yang menjadi sasaran
pemberdayaan khususnya bagi masyarakat perempuan itu sendiri. Penelitian ini
akan menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi
kasus (case study). Alasan memilih metode penelitian kualitatif ini adalah karena
metode ini akan memandu untuk mencari data-data yang relevan dan membatasi
ruang lingkup pencarian data. Sedangkan jenis metode studi kasus digunakan
karena penelitian studi kasus melibatkan studi tentang masalah yang dieksplorasi
melalui satu atau lebih kasus yang dimana di dalamnya dibatasi oleh batasan
sistem seperti batasan waktu dan tempat.
Adapun jenis metode dalam studi kasus yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah jenis metode deskriptif analitis. Jenis metode deskriptif
analitis digunakan karena metode ini merupakan sebuah metode yang
mengeksplorasi berbagai gejala yang ditampakkan oleh obyek penelitian.
Deskriptif analitis berusaha menggambarkan apa yang telah terjadi dan di pihak
lain berusaha menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Jenis penelitian ini sebagai
prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan
subyek atau obyek penelitian baik perseorangan, masyarakat, institusi, dan lain-
lain (Nawawi, 1987). Dengan demikian, penelitian ini dimaksudkan untuk
32
menggali, menjelaskan, dan menganalisa data-data yang berkaitan dengan
pemberdayaan perempuan oleh lembaga swadaya masyarakat.
Kelebihan dari metode studi kasus adalah metode ini akan membuat
peneliti lebih fokus dan memiliki pemahaman yang lebih mendalam serta lebih
spesifik dalam menganalisis peristiwa. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan
menggunakan banyak sumber informasi seperti wawancara, observasi, dan
dokumen. Dalam menggunakan metode kasus ini peneliti harus menentukan
batasan-batasan sistem yang akan digunakan dan harus memiliki cukup informasi
untuk menganalisa masalah guna mendukung argumennya. Adanya batasan-
batasan yang mengelilingi kasus maka akan membuat analisa kasus tidak bisa
bergerak lebih luas lagi. Inilah yang menjadi kelemahan dalam metode studi
kasus.
1.7.2. Unit Analisis Data
Penelitian dilakukan pada berbagai pihak yang berkaitan dengan obyek
penelitian. Obyek penelitian dalam penelitian ini meliputi masyarakat desa
terutama masyarakat perempuan, pihak LSM yang melakukan pemberdayaan, dan
pemerintah lokal setempat.
1.7.3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.
Data primer akan diperoleh dengan cara wawancara langsung dengan informan
yang akan diteliti. Data primer dalam penelitian ini akan diperoleh dari beberapa
informan yaitu pertama, masyarakat desa khususnya masyarakat perempuan
33
sebagai informan utama karena mereka merupakan target dalam pemberdayaan
perempuan tersebut dan merasakan dampak yang terjadi secara langsung dan
masyarakat desa secara umum termasuk di dalamnya adalah laki-laki yang
menjadi pendamping para perempuan tersebut. Kedua, pihak LSM yang
melakukan pemberdayaan perempuan karena mereka yang memiliki ide dasar
untuk melakukan pemberdayaan guna perubahan sosial. Ketiga adalah pemerintah
lokal setempat meliputi kepala desa dan kelurahan mengenai pendapat mereka
tentang adanya pemberdayaan perempuan tersebut.
Data sekunder akan diperoleh dari hasil analisis berbagai dokumen yang
berkaitan dengan program pemberdayaan perempuan oleh LSM seperti catatan
hasil observasi, daftar kegiatan, program kerja, internet, buku literatur, dan data
sekunder lainnya.
1.7.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
dengan tiga teknik pengumpulan data, yaitu :
- Observasi langsung
Metode pengamatan atau observasi memungkinkan peneliti untuk
melihat dunia sebagaimana yang dilihat oleh obyek penelitian, menangkap
kehidupan budaya dari segi pandangan dan anutan para obyek pada keadaan
waktu itu. Observasi memungkinkan peneliti untuk merasakan apa yang dirasakan
oleh obyek penelitian (Moelong, 1989). Observasi langsung dilakukan ke
kelompok pemberdayaan perempuan dengan tujuan untuk mendapatkan data dan
34
informasi yang valid. Dalam melakukan observasi, peneliti akan melihat dan turut
serta dalam proses kegiatan yang dilakukan oleh kelompok pemberdayaan
perempuan secara langsung sehingga akan didapatkan data yang dibutuhkan
dalam penelitian secara valid.
‐ Wawancara
Wawancara merupakan cara untuk memperoleh keterangan yang sesuai
dengan penelitian dan dilakukan untuk memahami tingkah laku manusia. Dalam
penelitian ini, wawancara dilakukan secara langsung dengan panduan wawancara
(interview guide) yang disusun sebelum wawancara dimulai. Maksud mengadakan
wawancara antara lain untuk mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian,
kegiatan organisasi, perasaan, motivasi, merekonstruksi kebulatan-kebulatan,
memproyeksikan kebulatan-kebulatan yang telah diharapkan pada masa
mendatang, memverifikasi konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti (Lincoln
dan Buba dalam Moelong, 1989). Peneliti akan melakukan wawancara dengan
beberapa masyarakat desa yang termasuk dalam kelompok pemberdayaan untuk
mengetahui respon mereka. Peneliti juga akan melakukan wawancara dengan
ketua LSM Lembaga Bakti Indonesia yang menjadi fasilitator dalam program
pemberdayaan tersebut serta pemerintah lokal setempat seperti kepala desa, ketua
RW, ketua RT, dan tokoh desa di desa yang bersangkutan.
‐ Dokumentasi
Teknik dokumentasi dilakukan sebagai data sekunder dan data pendukung
dari teknik observasi dan wawancara. Teknik dokumentasi ini dilakukan dengan
tujuan untuk memperkuat informasi yang telah diperoleh dari hasil observasi dan
35
wawancara. Data-data yang didokumentasikan dalam penelitian ini adalah
dokumen-dokumen LSM yang melakukan pemberdayaan perempuan dan
dokumen dari instansi pemerintah yang terkait.
1.7.5. Teknik Analisis Data
Data dalam penelitian disusun dari catatan lapangan hasil dari observasi
langsung dan wawancara yang dibuat selama proses penelitian sedangkan analisis
data dilakukan selama proses pengumpulan data. Tujuan dari teknik analisis ini
adalah untuk memberi kesempatan pada peneliti untuk kembali memikirkan
tentang data yang ada dan menyusun strategi guna mengumpulkan data yang
kualitasnya lebih baik. hal ini dapat menjadi suatu koreksi yang sehat bagi hal-hal
yang terselubung yang tidak terlihat sebelumnya dan membuat analisa sebagai
suatu usaha yang terus berjalan dan hidup yang dikaitkan dengan pengaruh kuat
dari penelitian lapangan (Milles, 1992 : 73).
Dalam penelitian ini, data-data yang telah dikumpulkan kemudian
direduksi berdasarkan tingkat kepentingannya serta relevansinya dengan
permasalahan sesuai dengan tujuan penelitian. Analisis data dilakukan dengan
menjabarkan proses pemberdayaan perempuan yang ada telah mempengaruhi pola
pikir masyarakat sehingga memunculkan transformasi sosial. Hasil penjabaran
kemudian dianalisis secara kualitatif dan dipaparkan dalam bentuk deskripsi hasil
penelitian sehingga dapat dilakukan penarikan kesimpulan.