bab 1 pendahuluan a. latar belakang...

35
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia dinilai Dedi Lutan 1 kurang mendapat kepedulian dari pemerintah Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan ketahanan budaya Indonesia saat ini harus berhadapan dengan tantangan yang berat. Budaya-budaya daerah atau lokal seperti ritual, seni pertunjukan, produk arsitektur, cerita rakyat, alat musik, lagu, senjata dan alat perang, serta naskah kuno dan prasasti yang kesemuanya memiliki keunikan yang layak dilindungi serta dirawat agar tidak mudah diklaim oleh bangsa lain. Imbas ketidakpedulian pemerintah terhadap kebudayaan tersebut salah satunya menimpa Lokananta, sebuah perusahaan rekaman pertama sekaligus cagar budaya musik di Indonesia yang menyimpan puluhan ribu piringan hitam, master rekaman lagu daerah, hingga pidato kenegaraan Presiden Soekarno (termasuk rekaman Proklamasi Kemerdekaan R.I). Kurangnya sosialisasi dan dukungan pemerintah dalam mengembangkan Lokananta yang telah melahirkan nama-nama besar seperti Titiek Puspa, Gesang, Bing Slamet, dan Sam Saimun tersebut membuat kondisi Lokananta memprihatinkan. Hasil wawancara dengan Kepala Lokananta, Pendi Heryadi, mengungkap bahwa saat ini Lokananta dihadapkan pada permasalahan finansial karena tidak adanya subsidi pemerintah dan pendanaan dari Perum PNRI (Percetakan Negara Republik Indonesia) pusat sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang membawahi Lokananta. Padahal, Di Perum PNRI sendiri, posisi Lokananta di tempatkan pada ruang lingkup usaha bagian multimedia seperti rekaman (kaset dan CD ROM), remastering, pengembangan percetakan dan jasa grafika serta kegiatan di dunia penyiaran. 1 Seorang pengamat seni dan budaya dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ)

Upload: phungnguyet

Post on 06-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebudayaan Indonesia dinilai Dedi Lutan1 kurang mendapat

kepedulian dari pemerintah Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan ketahanan

budaya Indonesia saat ini harus berhadapan dengan tantangan yang berat.

Budaya-budaya daerah atau lokal seperti ritual, seni pertunjukan, produk

arsitektur, cerita rakyat, alat musik, lagu, senjata dan alat perang, serta naskah

kuno dan prasasti yang kesemuanya memiliki keunikan yang layak dilindungi

serta dirawat agar tidak mudah diklaim oleh bangsa lain. Imbas

ketidakpedulian pemerintah terhadap kebudayaan tersebut salah satunya

menimpa Lokananta, sebuah perusahaan rekaman pertama sekaligus cagar

budaya musik di Indonesia yang menyimpan puluhan ribu piringan hitam,

master rekaman lagu daerah, hingga pidato kenegaraan Presiden Soekarno

(termasuk rekaman Proklamasi Kemerdekaan R.I). Kurangnya sosialisasi dan

dukungan pemerintah dalam mengembangkan Lokananta yang telah

melahirkan nama-nama besar seperti Titiek Puspa, Gesang, Bing Slamet, dan

Sam Saimun tersebut membuat kondisi Lokananta memprihatinkan.

Hasil wawancara dengan Kepala Lokananta, Pendi Heryadi,

mengungkap bahwa saat ini Lokananta dihadapkan pada permasalahan

finansial karena tidak adanya subsidi pemerintah dan pendanaan dari Perum

PNRI (Percetakan Negara Republik Indonesia) pusat sebagai Badan Usaha

Milik Negara (BUMN) yang membawahi Lokananta. Padahal, Di Perum

PNRI sendiri, posisi Lokananta di tempatkan pada ruang lingkup usaha bagian

multimedia seperti rekaman (kaset dan CD ROM), remastering,

pengembangan percetakan dan jasa grafika serta kegiatan di dunia penyiaran.

1 Seorang pengamat seni dan budaya dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ)

2

D, berbagai cara dilakukan secara mandiri oleh pihak Lokananta untuk terus

bertahan seperti mengandalkan penghasilan dari studio rekaman, menjual

kaset dan koleksi, serta memanfaatkan bangunan untuk disewakan sebagai

lahan bisnis diluar bidang musik.

Permasalahan kurang maksimalnya perawatan juga menimpa studio

rekaman terbaik dengan akustik dan luas ruang yang sangat memadai untuk

live recording tersebut dan berimbas pada terjadinya banyak kerusakan pada

peralatan dan bangunan. Hal yang sama juga terjadi pada proses perawatan

koleksi yang dimiliki Lokananta. Piringan hitam dan master rekaman lagu

tidak ditempatkan pada ruangan yang ber-AC selama 24 jam. Selain itu,

perawatan juga dilakukan secara tradisional dengan hanya menaruh biji kopi

disekitarnya. Hal tersebut mengakibatkan kerusakan dini pada koleksi.

Dalam badan kepegawaian, Lokananta hanya terdiri dari 18 karyawan

dengan formasi status satu pegawai tetap Perum PNRI dan tujuh 17 karyawan

lokal. Itu artinya, pegawai yang menerima gaji dari Perum PNRI hanya satu

orang dan 17 orang lainnya digaji secara honorer. Tak jarang, Pendi

mengeluarkan dana independen untuk menggaji bawahannya. Regenerasi dan

recruitment pegawai baru terkendala oleh permasalahan status dan terbatasnya

kemampuan finansial perusahaan. Status perusahaan Lokananta yang

merupakan sebuah perum cabang juga menjadi kendala apabila ada investor

yang menawarkan kerja sama. Alur birokrasi yang rumit harus ditempuh

investor untuk mendapatkan keputusan strategis dari pimpinan perum pusat

yang bertempat di Jakarta. Tak jarang, banyak pula investor yang ingin

membeli Lokananta untuk dijadikan lahan bisnis seperti hotel dan pertokoan.

Permasalahn lainnya adalah para musisi yang merupakan target konsumen

studio rekaman Lokananta lebih memilih melakukan rekaman di studio-studio

dengan peralatan yang lebih canggih. Hal tersebut mengakibatkan Lokananta

lepas dari daftar studio yang akan mereka tuju untuk melakukan rekaman.

3

Masyarakat umum juga tidak banyak mengetahui keberadaan dan apa itu

Lokananta. Di Solo sendiri, Lokananta lebih dikenal sebagai lapangan futsal

dan gudang penyimpanan sembako.

Berangkat dari kondisi Lokananta tersebut, tercetuslah sebuah

kampanye Sahabat Lokananta oleh generasi muda yang peduli terhadap musik

tanah air. Mereka berkeinginan untuk membantu mengaktifkan kembali

Lokananta sebagai cagar budaya musik Indonesia. Larson (dalam Venus,

2004: 11) membagi jenis kampanye ke dalam tiga kategori yakni: commercial

campaign/corporate campaign, political campaign, dan social change

campaign. Dari ketiga jenis kampanye tersebut, kampanye Sahabat Lokananta

dapat digolongkan sebagai social change campaign. Hal tersebut dikarenakan

Sahabat Lokananta berorientasi pada tujuan yang bersifat khusus yaitu

mengaktifkan kembali Lokananta sebagai cagar budaya musik Indonesia dan

berdimensi pada perubahan perilaku serta peningkatan kesadaran masyarakat

tentang eksistensi Lokananta.

Kampanye Sahabat Lokananta diresmikan pada Hari Sumpah Pemuda,

28 Oktober 2012. Dalam sejarah kemunculannya, kampanye Sahabat

Lokananta bergerak melalui tagar Sahabat Lokananta (#SahabatLokananta)

oleh Intan Anggita, lewat jejaring sosial Twitter. Intan Anggita sendiri adalah

seorang praktisi musik yang aktif menulis tentang permusikan Indonesia dan

saat ini menempuh pendidikan S2 di Intitut Musik Daya Indonesia. Dari

fakta-fakta tentang keberadaan dan kondisi Lokananta yang Intan ungkap

melalui account Twitter pribadinya, banyak dukungan yang datang dari

masyarakat Indonesia secara luas melalui Twitter dan kemudian muncul ide

penyelenggaraan penggalangan dana dan program kepedulian pada Lokananta

secara nyata.

4

Selain menumbuhkan pemahaman pada masyarakat umum, kampanye

Sahabat Lokananta juga memberi pemahaman pada musisi nasional tentang

keberadaan dan fungsi Lokananta. Hal tersebut menarik minat para musisi

untuk melakukan rekaman di Lokananta seperti Glenn Fredly, White Shoes

and The Couples Company, Shaggy Dog, Captain Jack dan Pandai Besi.

Dukungan untuk Sahabat Lokananta terus berdatangan melalui Twitter

(Tweets dapat ditelusuri dengan mengetikan #SahabatLokananta pada kolom

pencarian di aplikasi Twitter). Tak hanya itu, lahirnya kampanye Sahabat

Lokananta juga mendorong para penggiat Blog untuk mendukung Sahabat

Lokananta dengan menulis tentang Lokananta atau Sahabat Lokananta di blog

pribadinya. Selain itu, banyak pula media online seperti www.kompas.com,

www.rollingstones.co.id, atau Blog informatif seperti

http://deanstreetbillys.wordpress.com/, http://gigsplay.com/

http://kanaltigapuluh.com/, http://irockumentary.com/, yang kemudian

memuat artikel Lokananta atau Sahabat Lokananta didalamnya.

Pada pelaksanaanya, kampanye sosial di Amerika banyak

berkonsentrasi di bidang kesehatan, khususnya HIV/AIDS. Hal tersebut

seperti apa yang terdapat pada http://www.cdcnpin.org/. Salah satu dari

kampanye tersebut adalah “The One Test, Two Lives”, sebuah kampanye oleh

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang berfokus pada usaha

pencegahan penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak, serta meningkatkan

kesehatan ibu mengandung secara optimal. Kampanye ini menggunakan

media print ad, sosial media yaitu Facebook dan Twitter, serta website yang

sifatnya sangat informatif dan selalu diperbarui.

Berbeda dengan isu kampanye sosial yang terjadi di Amerika,

kampanye sosial yang terdapat di Eropa banyak mengangkat tema tentang hak

asasi manusia, seperti kesetaraan gender, rasisme dan intoleransi, perdagangan

manusia, dan kekerasan pada perempuan dan anak. Hal tersebut dapat dilihat

5

pada salah satu situs resmi pemerintah Eropa, http://hub.coe.int/ yang banyak

memberi pemaparan tentang berbagai macam kampanye yang telah atau

sedang dilakukan. “One of Five” merupakan salah satu kampanye oleh

Pemerintah Eropa yang berusaha menghentikan praktik kekerasan seksual

pada anak-anak di Eropa. Kampanye ini mengunakan media website, buku

anak-anak, televisi, poster, dan kartu pos yang tersedia dalam delapan bahasa

yaitu Bahasa Inggris, Perancis, Belanda, Italia, Spanyol, Ceko, dan Serbia.

Isu yang lebih beragam terjadi pada praktik kampanye sosial di Asia,

dimana isu yang diangkat tak hanya tentang kesehatan dan hak asasi manusia.

Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kampanye yang mengangkat isu sosial

seperti sikap berlalu lintas, sikap bersosialisasi terhadap orang yang lebih tua,

dan peningkatan kemampuan berbahasa Inggris. Dilansir dari situs resminya

(http://www.goodenglish.org.sg/), “Speak Good English Movement”

merupakan sebuah kampanye yang berlangsung di Singapura dan dijalankan

oleh para praktisi akademis profesional untuk mengajak masyarakat Singapura

lebih menguasai Bahasa Inggris dengan lebih baik dan benar. Dalam

penyebarannya, kampanye ini menggunakan sosial media seperti Facebook

dan Twitter, serta website yang berisi pembelajaran Bahasa Inggris. Ada

berbagai tema yang disampaikan dengan metode yang menarik, referensi

buku, informasi jadwal workshop, serta tips untuk orang tua dan anak. Selain

itu, kampanye ini juga didukung dengan adanya aplikasi IPhone sebagai

penunjang untuk mengasah kemampuan berbahasa Inggris, hubungan kerja

sama dengan Pemerintah Inggris, dan pengadaan penghargaan guru Bahasa

Inggris.

Menilik trend di tiga benua di atas, dapat diketahui bahwa media sosial

seperti Facebook dan Twitter telah banyak digunakan untuk menunjang

pelaksanaan kampanye sosial. Namun penggunaan media baru dalam

pelaksanaan kampanye sosial yang bergerak dalam konteks pelestarian

6

budaya, khususnya di Indonesia masih sangat terbatas. Hal tersebut

mendorong penelitian ini untuk lebih mengeksplorasi penggunaan media baru

yaitu Twitter dan Blog dalam kampanye Sahabat Lokananta yang pada

awalnya dilakukan melalui media baru yaitu Twitter dan dijalankan secara

independen (tanpa campur tangan pemerintah) oleh masyarakat umum,

khususnya anak muda, dalam rangka pelestarian cagar budaya musik

Indonesia yang notabene adalah milik negara.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana penggunaan media

baru, yakni Twitter dan Blog dalam kampanye Sahabat Lokananta?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

penggunaan media baru yakni Twitter dan Blog dalam kampanye Sahabat

Lokananta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademis

a. Dapat dijadikan bahan referensi bagi pihak-pihak yang terkait dengan

topik penelitian.

b. Memperkaya kajian di bidang Ilmu Komunikasi khususnya

komunikasi strategis, serta dapat digunakan sebagai referensi bagi

penelitian yang berkenaan dengan topik kampanye sosial dan media

baru.

7

2. Manfaat Non Akademis

Dapat dijadikan bahan referensi bagi pihak-pihak yang sedang atau

akan melakukan kampanye sosial dan pelestarian cagar budaya lainnya.

E. KERANGKA PEMIKIRAN

1. Kampanye Sosial, Aktivis dan Agenda

Rogers dan Storey dalam Venus (2004:7) mendefinisikan kampanye

sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan

menciptakan efek tertentu pada sejumlah khalayak yang dilakukan secara

berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Pada umumnya, dalam perumusan

sebuah kampanye terdapat sumber yang jelas sebagai penggagas, perancang,

penyampai, sekaligus penanggung jawab suatu kampanye sehingga setiap

individu yang menerima pesan kampanye dapat mengidentifikasi bahkan

mengevaluasi kredibilitas sumber pesan tersebut setiap saat.

Motivasi yang melatarbelakangi diselenggarakannya sebuah program

kampanye merupakan prinsip yang dapat membedakan jenis-jenis kampanye.

Motivasi tersebut pada gilirannya akan menentukan ke arah mana kampanye

akan digerakkan dan apa tujuan yang akan dicapai. Secara inheren, ada

keterkaitan diantara motivasi dan tujuan kampanye. Bertolak dari keterkaitan

tersebut, Larson dalam Venus (2004:11) membagi jenis kampanye dalam tiga

kategori. Pertama, commercial campaign yaitu kampanye yang berorientasi

pada produk dan dilakukan atas motivasi memperoleh keuntungan finansial,

seperti kampanye Telkom Flexy, kampanye rokok Mustang, atau kampanye

Public Relation yang ditujukan untuk membangun citra positif perusahaan di

mata publik. Pada umumnya, kampanye ini terjadi di lingkungan bisnis.

Kedua, political campaigns yaitu kampanye yang berorientasi pada kandidat

dan dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik seperti kampanye

pemilu, kampanye penggalangan dana bagi partai politik, atau kampanye

8

kuota perempuan di DPR. Terakhir adalah social campaign, yang

didefinisikan Kotler dalam Venus (2004: 12), sebagai ideological or cause

oriented campaign yaitu kampanye yang berorientasi pada tujuan-tujuan

bersifat khusus dan seringkali berdimensi pada suatu perubahan sosial.

Kampanye ini ditujukan untuk menangani masalah-masalah sosial melalui

perubahan sikap dan perilaku publik yang terkait.

Pada dasarnya, berbagai jenis kampanye yang tidak termasuk dalam

katagori kampanye politik atau kampanye produk dapat dimasukkan ke dalam

kampanye sosial. Dengan demikian, cakupan jenis kampanye ini sangat luas

mulai dari kampanye di bidang kesehatan, (AIDS atau KB), kampanye

lingkungan (air bersih), kampanye pendidikan (meningkatkan minat baca),

kampanye lalu lintas (pemakaian helm dan sabuk pengaman), kampanye

ekonomi (menarik minat investor asing), atau kampanye kemanusiaan

(pengumpulan dana untuk korban bencana alam). Sejalan dengan pemikiran

tersebut, Sulistyaningtyas (2006:4) mengungkapkan, bahwa kampanye sosial

merupakan aktivitas penyadaran dan pengembangan publik untuk terus

bersentuhan dan terlibat dalam isu-isu sosial. Praktek penyelenggaraan

program kampanye sosial merupakan rangkaian dari program strategic sebuah

organisasi yang diarahkan sebagai ajakan dan pembentukan perilaku sosial

masyarakat.

Kampanye yang merupakan sebuah kegiatan komunikasi ini pada

umumnya dilakukan bukan oleh individu, melainkan lembaga atau organisasi

yang dapat berasal dari lingkungan pemerintah, kalangan swasta, atau lembaga

swadaya masyarakat (LSM). Hal ini berarti kegiatan kampanye tidak

dikerjakan oleh pelaku tunggal, melainkan sebuah tim kerja (teamwork).

Zalmant dkk dalam Venus (2004:54) mengungkapkan dalam sebuah tim kerja

kampanye sosial, terdapat dua kelompok yakni leader (pemimpin atau tokoh-

tokoh) yang terdiri dari koordintor pelaksana, penyandang dana, petugas

administrasi kampanye, dan pelaksana teknis. Kelompok lainnya adalah

9

supporters (pendukung) yang terdiri dari petugas lapangan, penyumbang, dan

simpatisan. Di lain sisi, Thayer dalam Venus (2004:55) membedakan jenis

pelaku kampanye menurut pratik kampanye. Jenis pertama adalah instrumental

mediator yang berfungsi sebagai komunikator anonim, dan consumatory

mediator yang merepresentasikan lingkungan nyata dari situasi atau gagasan

yang dikampanyekan. Consumatory mediator terdiri dari target kampanye yang

memiliki pengetahuan mendalam tentang hal tersebut, atau yang memiliki

simpati dan keterlibatan mendalam tenang hal-hal yang dikampanyekan.

Sedangkan instrumental mediator meliputi semua orang yang mendukung

gagasan atau tujuan yang dikampanyekan atau sepenuhnya orang yang netral

dan sekedar melakukan kewajiban karena terikat kontrak kerja dengan

penyelenggara kampanye.

Selain pelaku, dalam keberlangsungan sebuah kampanye tentu harus

didukung dengan adanya khalayak yang menjadi target sasaran kampanye

sosial. Grunig dalam Venus (2004:125) mengungkap terdapat empat segmen

khalayak. Pertama adalah non publik, dimana orang-orang tidak memandang

atau menyadari adanya suatu masalah. Kedua adalah publik laten, yakni yang

menyadari adanya masalah namun tidak melibatkan diri di dalamnya. Ketiga

adalah publik sadar, yaitu mereka yang menyadari adanya masalah, terlibat

dalam memikirkan masalah tersebut, namun belum mengambil tindakan apa-

apa. Terakhir adalah publik aktif yang terdiri dari orang-orang yang secara

aktif mencari pemecahan terhadap masalah dimana mereka terlibat di

dalamnya. Kemudian, diungkapkan oleh Grunig pula bahwa keempatnya

bertindak secara berbeda-beda dalam berhubungan dengan isu-isu publik,

sehingga diperlukan media yang bervariasi untuk menyampaikan pesan

kampanye.

10

Dalam penyelenggaraan sebuah kampanye, terdapat hal-hal yang harus

dilakukan oleh para pelaku sebelum maupun sesudah kampanye berlangsung.

Tahapan awal yang harus dilakukan adalah membuat sebuah perencanaan

kampanye. Seperti apa yang diungkapkan oleh Sweeny2 dalam Venus

(2004:143), “a campaign without a plan is like a journey without a map”,

sebuah perencanaan harus dibuat dengan matang dan dituangkan secara

tertulis atau terdokumentasikan dengan jelas agar kampanye dapat mencapai

tujuan yang diinginkan.

2. Media Baru dalam Kampanye Sosial

Dewasa ini kita hidup pada era digitalisasi, dimana teknologi telah

mengubah dunia secara drastis. Sejalan dengan pernyataan tersebut, McQuail

(2005:136) mengatakan bahwa

“Mass media have changed, certainly from the early-twentieth-century

days of one-way, one directional, and undifferentiated flow to an

undifferentiated mass. There are social and economic as well as

technological reason for this shift, but it is real enough.”

Munculnya teknologi dinilai berdampak pada perubahan media yang

dikenal dengan istilah media baru. Rogers, (dalam John V, 1996:2)

mengungkapkan bahwa secara jelas, media baru yang merujuk pada sebuah

perubahan dalam proses produksi media, distribusi, dan penggunaannya

merupakan sebab dari terjadinya perubahan dalam berkomunikasi.

Dalam jurnal berjudul “Defining New Media Isn’t Easy” yang terdapat

pada situs resmi The New Media Institute (NMI)3, media baru diungkapkan

2 Konsultan utama Partai Demokrat Amerika Serikat

3 The New Media Institute (NMI) merupakan sebuah organisasi penilitian yang berkonsentrasi dalam

bidang internet dan komunikasi media baru

11

sebagai sebuah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan semua yang

berhubungan dengan interaksi yang terjadi melalui sebuah teknologi, gambar,

dan suara.4 Sedangkan McLuhan (1990:7) mengungkap, terdapat beberapa key

term yang dapat membantu kita untuk lebih mudah memahami media baru.

Pertama, digitality, dimana seluruh proses media diubah dalam bentuk digital.

Kedua, interactivity yang mengandung dua pengertian yaitu adanya teknologi

yang mampu memberi respon terhadap penggunanya (interaktivitas antara

manusia dengan mesin) dan interaktivitas antar pengguna. Ketiga, dispersal

yang merujuk pada adanya desentralisasi proses produksi dan distribusi pesan

serta menumbuhkan keaktifan individu (highly individuated).

Pendekatan Convergence Theory (Teori Konfergensi) dapat digunakan

untuk menjelaskan pola komunikasi dalam media baru. Dalam teori tersebut,

Rogers dan Kincaid (1981) menggambarkan komunikasi sebagai proses

horizontal antara dua orang atau lebih dalam sebuah social networks. Model

ini menggambarkan komunikasi sebagai sebuah proses yang

berkesinambungan, dimana diantara partisipan terdapat saling tukar informasi

dalam upaya mencapai sebuah mutual understanding. Oleh karena itu,

jaringan komunikasi dapat dilihat dari interkoneksi antar individu yang

dihubungkan oleh pola pertukaran informasi. Lebih lanjut, Teori Konfergensi

dinilai dapat menggambarkan beberapa hal, antara lain adalah:

a. Informasi dipertukarkan dari satu orang ke orang lain, bukan hanya

bersifat satu arah. Sumber informasi bisa berasal dari salah satu

partisipan, namun bisa juga berasal dari luar lingkaran partisipan.

b. Model ini menekankan pentingnya persepsi dan partisipasi

partisipan, yang digambarkan lewat dialog dan percakapan cultural

lainnya.

4 Socha, Bailey dan Barbara Eber-Schmid. 2012. Defining Media baru Isn’t Easy. Terarsip di:

http://www.newmedia.org/what-is-new-media.html. Diakses pada 13 Maret 2013

12

c. Model ini menggambarkan proses yang horizontal antar partisipan

komunikasi yang ditunjukkan dengan information sharing

d. Model ini bisa berulang secara berkelanjutan, cyclical, dimana

partisipan bisa bergantian dalam berbagi informasi hingga tercipta

mutual understanding untuk melakukan sebuah aksi yang kolektif.

Pesatnya kemajuan teknologi kemudian melahirkan internet sebagai

sebuah media baru yang memiliki kesamaan karakter dengan media lama,

yaitu mampu menyebar pesan secara cepat dan luas. Namun karena mampu

menghadirkan sistem komunikasi secara interaksional, internet dapat

digolongkan sebagai sebuah media baru. Perkembangan dunia internet

melahirkan ruang baru dalam berkomunikasi yang memungkinkan manusia

untuk dapat saling berinteraksi tanpa harus bertatap muka. Ruang yang kini

cukup popular digunakan manusia untuk saling berinteraksi melalui internet

adalah situs jejaring sosial (social network sites) dan Blog.

Adanya ruang publik baru di dunia maya yang dibuka oleh Blog dan

situs jejaring sosial sangat memungkinkan munculnya saluran-saluran atau

cara-cara komunikasi baru, yang merangsang manusia untuk membuat sebuah

terobosan dengan memanfaatkan media baru. Hal tersebut dikuatkan dengan

pendapat Basset dalam Creeber dan Martin (2009:5) yang mengungkapkan

bahwa:

“..the rapid development of the new media and computer technologies

have the potential to transform the very nature of the public sphere and

open up new channels of communication to a proliferation of new

voices. The public intellectual of today must now be much more alive

to the possibilities for participating in what could become a new

“cyberspace democracy” --- an expanded public sphere which is less

academic and less elitist, and demands the use of more accessible

forms of language and discourse than those which intellectuals have

become used to”.

13

Salah satu hal baru yang telah banyak terjadi adalah munculnya

berbagai kampanye sosial yang bergerak melalui dunia maya. Hal tersebut

dipicu antara lain karena Blog dan jejaring sosial dapat memfasilitasi

kebutuhan berkomunikasi jarak jauh secara bebas tanpa keterbatasan ruang

dan waktu. Willis (2011) mengungkapkan bahwa ada delapan karakteristik

yang terdapat dalam sebuah kampanye melalui media baru. Pertama, bersifat

tertarget dalam menentukan tujuan dan audiens kampanye. Kedua, bersifat

terfokus dalam spesifikasi pesan yang ingin disampaikan. Ketiga, bersifat

terukur dengan sebelumnya menentukan kriteria keberhasilan. Keempat,

berlandaskan pada konten bagus yang disajikan dalam cara yang menarik.

Kelima, bersifat sederhana dan langsung. Keenam, memiliki media yang tepat

dalam menyampaikan pesan. Ketujuh, memberikan publik pengalaman

langsung dan kenangan yang tidak mudah dilupakan dan terakhir bersifat

menguntungkan.

Salah satunya yakni kampanye “Ini Aksiku! Mana Aksimu?” yang

merupakan sebuah versi lokal kampanye global “Earth Hour” oleh WWF,

yang berlangsung di Indonesia. Dalam pelaksanaannya, kampanye ini

berkembang sangat pesat melalui jejaring sosial dan berhasil meningkatkan

jangkauan kota pelaksana, dari hanya lima pada tahun 2011 hingga menjadi 21

pada tahun 2012. Dengan menggunakan tagar #IniAksiku di Twitter, tim Earth

Hour Indonesia juga dapat mengumpulkan daftar “komitmen” masyarakat

sebagai aksi penyelamatan buminya masing-masing. Nugie, seorang musisi

sekaligus duta Earth Hour Indonesia, berkomitmen apabila followers di akun

Twitter pribadinya, yaitu @nugietrilogi, bertambah 100.000 orang dan

14

semuanya memiliki status “green lifestyle”, dirinya akan menyanyikan lagu

sebanyak satu album dan akan mengunggah seluruhnya di media sosial.5

Berbeda dengan kampanye “Ini Aksiku! Mana Aksimu?”, Indonesia

Berkebun, merupakan sebuah komunitas yang lahir melalui media jejaring

sosial oleh anak-anak muda pengguna aktif jejaring sosial Twitter

(@IDBerkebun), yang mengkampanyekan program urban farming sebagai

penyebar semangat positif untuk lebih peduli kepada lingkungan dan

perkotaan. Program tersebut dilakukan dengan memanfaatkan lahan tidur di

kawasan perkotaan yang dikonversi menjadi lahan pertanian/perkebunan

produktif hijau yang dilakukan oleh peran masyarakat dan komunitas sekitar

serta memberikan manfaat bagi masyarakat sendiri. Dampak nyata dari

program yang dilakukan Indonesia Berkebun melalui jejaring sosial ini antara

lain terlihat di Bumi Pesanggrahan, Bandung. Warga setempat telah aktif

berkebun dan telah mendapatkan manfaatnya. Bandung berkebun sebagai

salah satu komunitas Indonesia Berkebun telah berhasil muruntuhkan batasan

antar warga, hingga saat ini warganya saling mengenal dan bekerja sama

dalam hal merawat kebun. Selain itu, Program Indonesia Berkebun terpililh

sebagai Google Web Heroes dan berkesempatan mendapat hadiah sebuah

TVC yang akan diproduksi dan disebarkan di seluruh dunia oleh Google.6

Selain kampanye yang bertemakan tentang penyelamatan bumi dan

lingkungan, dalam bidang lainnya seperti sejarah dan kebudayaan juga muncul

kampanye untuk mengaktifkan kembali Lokananta sebagai cagar budaya

musik Indonesia, yakni kampanye Sahabat Lokananta. Sahabat Lokananta

muncul sebagai sebuah kampanye yang berupaya untuk mengaktifkan kembali

Lokananta sebagai cagar budaya musik Indonesia. Seperti yang diungkapkan

5 http://www.earthhour.org/page/massive-earth-hour-growth-indonesia-driven-social-medi diakses

pada 14 Maret 2013 6 http://jaxjakarta.com/node/3511 diakses pada 14 Maret 2013

15

oleh Anggita, (2012: 27), Lokananta menjadi saksi sejarah dan titik lahirnya

banyak maestro musik di Indonesia seperti Titiek Puspa, Bing Slamet dan

Gesang. Selain itu, Lokananta juga merupakan tempat penyimpanan ribuan

master rekaman lagu daerah asli Indonesia sehingga harus dirawat dan

dilestarikan keberadaannya. Kampanye yang pada awalnya muncul melalui

Twitter ini kemudian banyak mencuri perhatian publik, khususnya anak muda

yang peduli terhadap kebudayaan dan sejarah permusikan Indonesia karena

adanya kampanye yang mengusung tema kebudayaan masih terbatas dan

belum banyak dilakukan.

3. Pelestarian Cagar Budaya dan Posisi Kaum Muda

Krober dalam Berry (1999: 324) mengungkapkan bahwa budaya

adalah keseluruhan kompleks yang terdiri dari pengetahuan, keyakinan, seni,

moral, hukum, adat kebiasaan, dan kebiasaan apa saja yang diperoleh seorang

manusia sebagai anggota masyarakat. Wujudnya diungkapkan

Koentjaraningrat, (1993:5) terdiri dari tiga jenis yang meliputi:

a. Kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-

nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya, yaitu tata kelakuan

atau adat istiadat. Fungsinya adalah mengatur, mengendalikan,

mengarahkan kelakuan.

b. Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola

dari manusia dalam masyarakat, seperti upacara-upacara, ritual,

kegiatan kemasyarakatan yang berpola.

c. Kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, seperti

bangunan, pakaian, cipta seni, alat-alat, hiasan, dll.

Lebih fokus dijelaskan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang

dihasilkan manusia di masa lampau berupa warisan budaya yang bersifat

kebendaan, mengandung nilai sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,

16

dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan, dikatakan sebagai cagar

budaya7. Helmi (2012:19) mengemukakan bahwa cagar budaya sendiri, antara

lain terdiri atas benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar

budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan atau di air.

Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki banyak sekali kekayaan

cagar budaya. Contohnya adalah Candi Borobudur, Candi Prambanan,

landscape budaya Subak di Bali dan Noken Papua yang merupakan contoh

cagar budaya milik Indonesia yang telah diakui oleh UNESCO. Kesadaran

akan kekayaan tersebut, hendaklah ditumbuhkembangkan pada masyarakat

sebagai modal menghadapi berbagai tantangan pada masa kini dan masa

datang yang bernuansa global, nasional, dan lokal dalam sebuah tindakan

pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya.

Lokananta, sebagai sebuah bangunan yang sudah berdiri selama 57

tahun sejak 1952 merupakan tempat rekaman sekaligus penyimpanan ribuan

master asli lagu daerah Indonesia layak disebut sebagai sebuah cagar budaya.

Hal ini dikarenakan Lokananta memenuhi kriteria yang tertulis pada Pasal 5,

Bab III, UU No 11 tahun 2010 tentang cagar budaya, yakni harus berusia lima

puluh tahun atau lebih. Selain itu, cagar budaya juga harus memiliki arti

khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau

kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Tuloli (2003: 14) mengungkapkan bahwa pelestarian cagar budaya

dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan “keberadaan” suatu unsur atau

sistem budaya tertentu dalam masyarakat. Kata keberadaan sendiri dapat

bermakna aktif maupun pasif, dimana secara pasif, keberadaan suatu unsur

budaya berarti masih dapat ditemui dalam suatu masyarakat, namun

kebudayaan tersebut tidak lagi hidup dalam masyarakat tersebut. Unsur

7 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

17

budaya tersebut masih disimpan (dalam arti kata yang sebenarnya) dan

dipelihara agar dapat tetap dilihat, dinikmati, dan dipelajari kembali.

Pelestarian dalam arti semacam ini terwujud misalnya dalam bentuk

penyimpanan berbagai macam benda budaya masa lampau di dalam museum

dan beberapa peninggalan sejarah seperti benteng, mesjid, dan makan.

Sedangkan secara aktif, keberadaan budaya berarti masih dapat kita temui

dalam masyarakat dan masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Suatu kebudayaan seharusnya menjadi hal yang membanggakan

warganya, sehingga ia bersedia melestarikan dan memanfaatkannya. Seperti

apa yang diungkapkan Zamora (2003: 151) bahwa warisan budaya tidak akan

berarti apa-apa, apabila pemiliknya tidak berupaya mempertahankannya.

Secara umum, pelaksana pemelihara warisan budaya mengacu pada warga

negara atau masyarakat, dengan pemerintah sebagai komponen yang paling

bertanggung jawab. Idealnya pemerintah dapat menentukan kebijakan

pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya, mempersiapkan berbagai proyek

yang memungkinkan terjadinya pelestarian dan pemanfaatan, menerapkan

nilai-nilai warisan budaya, mengembangkan kepribadian yang menghargai,

menghormati, dan mencintai warisan budaya baik yang berbentuk fisik, nilai-

nilai, norma-norma, moral-moral, adat-istiadat, kepercayaan, dan lain-lain,

serta mengalokasikan dana untuk kegiatan pelestarian dan pemanfaatan

warisan budaya. Selain komponen pemerintah, maka yang bertanggung jawab

juga dalam usaha pelestarian budaya adalah para pendidik, swasta, tokoh

masyarakat, politisi, wartawan, dan lain-lain dalam perannya masing-masing.

Dalam aktivitas pelestarian budaya yang terjadi di Indonesia saat ini,

pada umumnya lebih berfokus pada situs cagar budaya dan museum yang

menyimpan benda-benda peninggalan. Hal ini dapat dilihat seperti apa yang

diungkapkan Helmi (2012:21) bahwa pemerintah (melalui Direktorat

Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman) tengah gencar melakukan upaya

18

pelestarian kebudayaan dengan melaksanakan perumusan, koordinasi, dan

pelaksanaan kebijakan, serta memfasilitasi penerapan standar teknis di bidang

pelestarian cagar budaya dan permuseuman, termasuk mengelola register

nasional dan eksplorasi cagar budaya di air. Direktorat ini juga terus

memasyarakatkan dan memperkenalkan museum terhadap masyarakat usia

dini, diantaranya ke sekolah-sekolah dasar di daerah. Pemerintah juga

menyediakan beasiswa S-2 bagi mereka yang berminat melanjutkan

pendidikan di jurusan museum, melakukan kegiatan dalam memasyarakatkan

museum melalui pengadaan pameran Museum Nusantara di JCC Jakarta,

penganugerahan duta museum, talkshow di televisi, dan pameran museum di

pusat perbelanjaan. Dengan upaya tersebut, diharapkan dapat menimbulkan

ketertarikan masyarakat untuk berkunjung ke museum.

Selain peran pemerintah dalam upaya melestarikan kebudayaan,

partisipasi masyarakat juga menjadi satu aspek yang penting dalam kegiatan

pelestarian bangunan bersejarah di Indonesia. Minimnya peran serta

masyarakat dapat memicu timbulnya permasalahan seperti:

1. Banyak bangunan yang ditinggalkan/dibiarkan oleh pemiliknya

sehingga bangunan yang mempunyai signifikansi cukup tinggi

cenderung menjadi rusak.

2. Munculnya permasalahan sosial akibat bangunan kosong dan

terlantar, seperti pengokupasian bangunan oleh pendatang secara

liar, serta permasalahan lingkungan yang disebabkan kurang

berjalan dan kurang tersedianya utilitas di kawasan cagar budaya.

Masyarakat sendiri, terdiri dari beberapa kelompok termasuk

didalamnya kaum muda. Jurnal berjudul World Heritage Today and

Tomorrow With Young People yang diterbitkan oleh UNESCO memuat

sebuah tulisan yang mengatakan bahwa:

19

“Youth is a precious groups of people and future leaders. We should

be exposed to different cultures and environments so we can be aware

of what is going on in other parts of the worlds. This will open our

minds and make other cultures more familiar”

Pada prakteknya, Suanda8 (2008) menilai bahwa kaum muda memiliki

kontribusi, ketertarikan, dan penghargaan yang kurang terhadap pelestarian

kebudayaan. Sebagian besar dari mereka cenderung merendahkan tradisi-

tradisi yang hidup di setiap suku bangsa di Nusantara dan tidak

menganggapnya sebagai kebudayaan. Padahal, menurut Prof Dr. Damardjati

Supadjar9, kaum muda merupakan aset bangsa yang mempunyai andil besar

terhadap keberlanjutan dan maju mundurnya sebuah bangsa karena kaum

muda merupakan tonggak dari keberlanjutan kehidupan berbangsa yang

harusnya berperan dalam mempertahan elemen penting dalam sistem

kehidupan tersebut, yaitu kebudayaan.10

4. Dukungan Publik: Sebuah Indikator Keberhasilan Kampanye Sosial

Kampanye adalah kegiatan yang melibatkan investasi besar, bukan

hanya materi tapi juga sumber daya lainnya seperti waktu, tenaga, pikiran dan

teknologi. Hal tersebut membuat setiap pelaku kampanye pasti mengharapkan

keberhasilan dalam usaha kampanyenya.

Pada dasarnya, keberhasilan sebuah kampanye dapat ditunjang maupun

dihambat oleh beberapa faktor. Rice dan Atkin (1989:14) mengungkap, peran

media massa, peran komunikasi antarpribadi, karakteristik sumber media,

evaluasi formatif, himbauan pesan, perilaku preventif, kesesuaian waktu,

8 Seorang budayawan dalam Kompas, Jumat, 31 Oktober 2008

9 Guru besar Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta dalam Dialog Seni Budaya. Sabtu, 16 Maret 2013 di

Pusat Kebudayaan Koesnadihardja Soemantri UGM 10

Berdasarkan Dialog Seni Budaya Prof Dr. Damardjati Supadjar. 16 Maret 2012. Pusat Kebudayaan Koesnadihardja Soemantri UGM

20

aksesbilitas, dan kecocokan, merupakan faktor-faktor yang menunjang

keberhasilan sebuah kampanye. Disisi lain, analisis Hyman dan Sheatsley

dalam Kotler (1989) menuturkan, keberhasilan sebuah kampanye juga dapat

terhambat oleh beberapa faktor. Pertama, ketidaktahuan khalayak tentang pesan

kampanye yang disebabkan oleh ketidakseriusan memperhatikan pesan, hingga

ketidakmampuan memahami isi pesan. Kedua, ketidaktepatan pelaku

kampanye dalam menentukan target sasaran. Ketiga, ketidakinginan khalayak

untuk menerima informasi yang tidak sesuai dengan apa yang telah diyakini.

Keempat, minimnya ketertarikan dan keterlibatan publik terhadap isu

kampanye yang mengakibatkan kurangnya dukungan publik. Padahal, Easton

menegaskan bahwa tidak akan ada satupun kelompok yang dapat

melangsungkan kerjanya apabila tidak terdapat kesediaan dari publik untuk

mendukung keberadaan kelompok tersebut. Bertolak dari hal itu, sebuah

dukungan yang oleh Easton disebutkan sebagai subjek kerelaan, kepatuhan

terhadap regulasi dan perhatian yang diberikan terhadap suatu bentuk

komunikasi, berperan penting dalam keberhasilan suatu kampanye.

Dukungan sendiri, oleh House dalam Sarafino (1990) diklasifikasikan

menjadi empat jenis. Pertama, dukungan emosional berupa kepedulian dan

perhatian terhadap pihak bersangkutan. Kedua, dukungan penghargaan yang

terjadi lewat ungkapan hormat atau penghargaan positif untuk suatu pihak.

Ketiga, dukungan instrumental yang mencakup bantuan langsung, misalnya

memberi bantuan finansial, dan terakhir dukungan informatif yang mencakup

pemberian nasihat, saran pengetahuan, informasi serta petunjuk.

Setelah melakukan usaha untuk memperoleh keberhasilan dalam sebuah

kampanye dengan memaksimalkan faktor-faktor penunjang dan meminimalisir

faktor-faktor penghambat, ada baiknya untuk melakukan proses evaluasi. Hal

tersebut sesuai dengan Ostergaard11

dalam Venus (2004:209), yang

11

Seorang pakar kampanye Jerman

21

mengungkapkan bahwa sebuah kampanye tanpa proses evaluasi hanyalah

sebuah kegiatan yang menghabiskan waktu dan uang, hal tersebut

membuktikan bahwa walaupun merupakan tahap terakhir, evaluasi terhadap

program kampanye mutlak dilakukan untuk mengetahui apakah kampanye

tersebut berhasil atau tidak.

Evaluasi kampanye diartikan sebagai upaya sistematis untuk menilai

beberapa aspek yang berkaitan dengan proses pelaksanaan dan pencapaian

tujuan kampanye, dimana evaluasi tersebut tidak hanya dilakukan pada saat

kampanye berakhir, namun juga ketika kampanye tersebut masih berlangsung.

Gregory dalam Venus (2004:211) mengungkapkan bahwa terdapat lima alasan

penting mengapa evaluasi perlu dilaksanakan. Pertama, eveluasi dapat

memfokuskan usaha yang dilakukan. Kedua, evaluasi menunjukkan keefektifan

pelaksanaaan kampanye dalam merancang dan mengimplementasikan

programnya. Ketiga, memastikan efesiensi biaya. Keempat, membantu

pelaksana untuk menetapkan tujuan secara realistis, jelas, dan terarah, dan

kelima, membantu pertanggungjawaban pelaksana kampanye.

Menurut Pfau dan Parrot dalam Venus (2004:211), banyak pelaku

kampanye yang lupa atau tidak peduli dengan pelaksanaan evaluasi atas

anggapan bahwa begitu kegiatan kampanye selesai dilaksanakan, maka

program kampanye juga telah selasai. Orang seperti itu diistilahkan oleh para

ahli komunikasi sebagai amateur campaigner atau orang yang tidak memiliki

komitmen total dalam menyukseskan pencapaian tujuan kampanyenya.

Sebaliknya, pelaku kampanye yang secara berkelanjutan melakukan evaluasi

terhadap program yang dilaksanakan disebut sebagai professional campaigner,

dimana orang-orang tersebut senantiasa terbuka dan bersikap proaktif dalam

mencari berbagai masukan yang diperlukan untuk memperbaiki keefektifan

pelaksanaan kampanye.

22

Salah satu pelaksana kampanye yang sadar untuk melakukan evaluasi

adalah WWF dengan aksi penyelamatan lingkungan dan emisi gas rumah kaca

melalui kampanye Earth Hour yang mendapat dukungan dari banyak kalangan

publik di berbagai dunia. Kampanye ini dinilai sebagai sebuah kampanye

penyelamatan meraih kesuksesan atas tercapainya rumusan indikator

keberhasilan kampanye yang dirancang oleh pihak WWF selama tahap

perencanaan. Hal tersebut ditinjau dari hasil yang diperoleh di situs resmi

Earth Hour sebagai sumber resmi yang mencatat semua data partisipan. Salah

satu contoh keberhasilan tersebut adalah secara resmi masyarakat yang

berpartisipasi dalam kampanye tersebut mencapai satu juta orang, dimana

WWF membidik 100.000 orang sebagai target awal. Dengan adanya

kampanye ini pula, Parlemen Rusia akhirnya mengeluarkan sebuah peraturan

perundangan terkait perlindungan laut terhadap polusi tumpahan minyak,

setelah 120.000 suara dukungan warga Rusia berhasil dikumpulkan dan

diajukan kepada pemerintah selama masa kampanye Earth Hour 2012. Di

Amerika Serikat, hampir 35.000 anggota pramuka mengambil bagian dalam

Earth Hour tahun 2012 melalui program hemat energi dengan memasang

1.321.411 lampu hemat energi di seluruh negeri. Gerakan tersebut memberi

dampak mengejutkan yaitu penghematan 34 ribu ton emisi CO2 yang setara

dengan penebangan lebih dari 7.000 pohon per tahun. Aksi publik dalam

gerakan Earth Hour juga berhasil membantu dua relawan dari Libya, yaitu

Muhammed Nattah dan Muhammad Bugashata yang berhasil mempelopori

gerakan lingkungan perdana di negara mereka dengan bantuan anggota

pramuka. Berbagai keberhasilan yang dinilai Ridley12

sebagai bukti dari

kekuatan kolektif berbagai lapisan masyarakat di berbagai belahan dunia yang

memberikan dukungannya untuk menyelamatkan bumi, baik dengan

melakukan aksi nyata seperti berpartisipasi dalam aksi mematikan listrik

12

CEO dan Co-Founder Earth Hour Campaign.

23

serentak, mendaftarkan diri sebagai pendukung melalui situs resmi Earth Hour

atau membantu persebaran berita melalui media sosial seperti Twitter13

.

Venus (2004: 39), mengungkapkan bahwa untuk sampai pada tahap

mendukung sebuah kampanye hingga akhirnya melakukan perubahan

perilaku, terdapat tahapan yang akan dilalui oleh seorang individu. Tahapan

tersebut terangkum dalam Teori Tahapan Perubahan (Stages of Change

Theory) yang juga sering disebut sebagai transtheoretical model yang

diperkenalkan oleh James Prochaska, John Norcross dan Carlo DiClemente.

Tahapan-tahapan tersebut antara lain adalah:

1. Precontemplation (praperenungan). Pada tahap ini, individu belum

mempunyai kepedulian terhadap masalah potensial yang akan

dihadapa dan tidak menyadari risiko yang akan menimpa. Semua

pesan yang menyarankan perubahan perilaku tidak akan

ditanggapai dengan sungguh-sungguh selama kesadaran dan

kepedulian tersebut belum muncul. Maka tujuan utama kampanye

hendaknya adalah menumbuhkan kesadaran publik akan sebuah

masalah.

2. Contemplation (perenungan). Individu menyadari bahwa terdapat

sebuah risiko dari masalah yang ada. Hal ini kemudian

memunculkan kesadaran akan perlunya melakukan suatu tindakan

yang berhubungan dengan masalah tersebut. Pada tahap ini pesan-

pesan kampanye hendaknya ditekankan pada keuntungan-

keuntungan perilaku agar dapat membawa individu pada tahap

selanjutnya. Perlu ditekankan mengenai adanya tuntutan sosial

untuk mengubah perilaku.

3. Prepartion (persiapan). Individu telah memutuskan bahwa dirinya

harus melakukan suatu tindakan dan belajar mengenai hal-hal apa

13

Berdasarkan Press Release yang dikeluarkan WWF untuk Heart of Borneo.

24

saja yang perlu dilakukan. Jika individu menemui banyak kesulitan

untuk mengubah perilaku, maka perilaku akan berhenti pada tahap

ini. Maka, untuk dapat menggerakkan publik agar melaksanakan

perilaku tersebut maka pesan kampanye harus dikemas untuk

meminimalisasi persepsi khalayak mengenai rintangan-rintangan

yang akan dihadapi. Pada tahap ini hendaknya dijelaskan juga hal-

hal apa yang diperlukan untuk perilaku tersebut.

4. Action (tindakan). Individu akan melaksanakan perilaku tersebut.

Ini dapat dikatakan sebagai tahap percobaan untuk mengetahui

sejauh mana kegunaan yang diperoleh. Penguatan positif harus

dilakukan agar individu tersebut mau melakukannya lagi.

5. Maintenance (pemeliharaan). Individu melanjutkan perilaku pada

situasi-situasu yang sesuai. Pesan harus dapat menguatkan dan

member pengetahuan mengenai cara-cara mempertahankan

komitmen dengan memberikan rancangan tujuan dan bagaimana

menghadapi rintangan-rintangan yang mungkin terjadi.

Dengan berbagai alasan, seseorang bisa saja berhenti pada tahapan

tertentu dan berhenti total di titik tersebut atau mengulangi lagi dari tahap

sebelumnya. Tahap yang paling rawan adalah pada tahap preparation dan

action, terutama untuk perilaku yang memerlukan proses cukup panjang dan

lama.

F. KERANGKA KONSEP DAN OPERASIONAL

Kampanye sosial dan media baru merupakan dua keterkaitan yang

menjadi pokok utama dan melahirkan sejumlah konsep penting dalam

penelitian ini. Berikut merupakan pembahasan yang akan menjabarkan

keterkaitan kedua pokok tersebut:

25

1. Kampanye sosial sebagai media perubahan perilaku publik

Dalam penelitian ini, kampanye sosial diposisikan sebagai sebuah

kampanye dengan orientasi khusus, yang berdimensi pada suatu perubahan

sosial dan dilakukan untuk menangani masalah-masalah sosial. Perubahan

yang dimaksudkan tersebut, dilakukan melalui perubahan sikap dan perilaku

publik yang terkait. Kampanye Sahabat Lokananta, merupakan salah satu

kampanye sosial yang dalam proses perwujudan dan pelaksanaannya

berorientasi pada keinginan Intan Anggita sebagai penggagas kampanye,

untuk mengaktifkan kembali Lokananta sebagai cagar budaya musik

Indonesia. Hal tersebut dilakukan mengingat Lokananta merupakan sejarah

permusikan Indonesia yang menjadi titik lahir maestro musik ternama dalam

negeri seperti Titiek Puspa, Gesang, Bing Slamet, dan lain-lain. Selain itu,

terdapat ribuan master rekaman lagu daerah dan pidato kenegaraan Indonesia

yang tersimpan di dalamnya. Hal tersebut menjadikan Lokananta layak disebut

sebagai sebuah aset negara yang wajib dipelihara dan dilestarikan

keberadaannya.

Peneliti akan berusaha mengidentifikasi bagaimana upaya pengaktifan

kembali Lokananta sebagai cagar budaya musik Indonesia melalui kampanye

Sahabat Lokananta yang telah dilakukan sesuai dengan fungsi yang

didefinisikan, yakni melalui upaya mengubah sikap dan perilaku publik yang

terkait. Dalam hal ini perubahan perilaku tersebut dilakukan dengan upaya

meningkatan kesadaran publik atas eksistensi Lokananta.

2. Implementasi media baru dalam penyebaran informasi dan

berinteraksi

Media baru memiliki fungsi yang sama dengan media lama yakni

penyebar informasi yang luas dan cepat. Didukung dengan perkembangan

teknologi saat ini, media baru memiliki kemampuan lebih dalam mencakup

26

massa, karena media baru mampu menjadi sarana bagi perseorangan untuk

dapat menyampaikan pesan secara massal dan berpeluang besar untuk

menimbulkan interaksi publik. Pesatnya perkembangan teknologi tersebut

kemudian memiliki andil dalam perkembangan dinamika berkomunikasi.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin membedah tentang bagaimana

media baru mampu menghadirkan ruang yang tak terbatas oleh jarak bagi

manusia untuk berinteraksi satu sama lain. Mengingat, media baru juga

berkapasitas memberikan kesempatan pada publik untuk bertukar informasi

tanpa harus bertatap muka dan bertemu dalam satu tempat di dunia nyata yang

kemudian dilihat sebagai sebuah alternatif baru bagi publik untuk

berkomunikasi. Sebagai contoh adalah komunikasi antar manusia yang terjadi

di situs jejaring sosial seperti Twitter dan Blog, yang juga digunakan dalam

persebaran informasi kampanye Sahabat Lokananta.

3. Fungsi media baru dalam mendukung pelaksanaan kampanye sosial

Kemudahan dalam berkomunikasi yang dihadirkan media baru tentu

tak dilewatkan oleh seorang pelaku kampanye sebagai sarana pendukung

pelaksanaan kampanyenya. Konsep yang akan dibedah pada pembahasan ini

ditujukan untuk melihat bagaimana media baru, dalam hal ini Twitter dan

Blog, difungsikan dalam mendukung proses pelaksanaan kampanye Sahabat

Lokananta. Dari proses terwujudnya, berjalannya, hingga transformasinya

sebagai sebuah gerakan nyata.

Kemudahan penyebaran informasi melalui media baru tak lepas dari

adanya fitur-fitur menarik yang cukup efektif untuk digunakan sebagai sarana

penunjang penyebaran informasi kampanye. Walaupun jumlah karakternya

hanya dibatasi sebanyak 140 sehingga seseorang tidak dapat berbagi informasi

secara panjang lebar dalam satu tweet sekaligus, Twitter, dalam fungsi

penyebaran informasinya sebagai sebuah jejaring sosial memiliki fitur Retweet

27

yang juga dapat memungkinkan timbulnya suatu interaksi antar penggunanya.

Dengan fitur ini, seseorang dimungkinkan untuk dapat men-tweet ulang tweet

orang lain. Hal tersebut membuat informasi yang disebarkan melalui Twitter

dapat dengan mudah dan cepat tersebar ke pengguna lainnya. Jumlah

followers seseorang juga dapat mempengaruhi cakupan persebaran berita.

Semakin banyak jumlah followers, semakin luas pula jumlah cakupan orang

yang menerima informasi yang disebarkan melalui tweet tersebut.

Intan Anggita sebagai penggagas kampanye Sahabat Lokananta sendiri

memiliki 16.400 followers dari berbagai kalangan dan komunitas seperti

musisi, jurnalis, maupun masyarakat biasa yang kesemuaanya dimungkinkan

untuk dapat membaca informasi mengenai Lokananta melalui akun Twitter

pribadinya (@badutromantis). Tweets tersebut kemudian mendapat banyak

respond dan tak jarang menciptakan interaksi antar pengguna. Hal tersebut

memantik keinginan Intan untuk merealisasikan upaya pengaktifan kembali

Lokananta sebagai cagar budaya musik Indonesia melalui sebuah kampanye.

Dari situ, semakin banyak dukungan untuk kampanye Sahabat Lokananta dari

masyarakat (terutama anak muda) di berbagai kota di Indonesia. Dengan

menilik hal tersebut, dapat dilihat bahwa media baru merupakan basis lahir

dan bergeraknya kampanye Sahabat Lokananta. Dalam perkembangannya,

Twitter kemudian menjadi media utama Sahabat Lokananta untuk saling

berbagi, menyampaikan dukungan, dan bertukar informasi melalui tagar

#SahabatLokananta.

Tak hanya berhasil menarik dukungan dari Twitter, persebaran

informasi mengenai Lokananta juga dilakukan oleh beberapa Blogger dengan

menulis mengenai Lokananta atau Sahabat Lokananta di Blog pribadinya.

Berbeda dengan Twitter, dalam Blog, seorang Blogger dimungkinkan untuk

berbagi informasi dengan lebih rinci karena informasi yang disampaikan tak

terbatas oleh jumlah karakter. Salah satu Blogger yang menulis mengenai

28

Lokananta adalah Daud Sihombing, dalam blognya

http://daudsihombing.wordpress.com. Dalam tulisan tersebut, Daud

memberikan informasi rinci mengenai lokasi dan detail isi setiap ruangan yang

ada di Lokananta beserta fungsinya. Tak lupa, Daud juga menyampaikan

informasi tentang Sahabat Lokananta di paragraf terakhir tulisannya. Tulisan

tersebut diunggah delapan hari hari setelah Kampanye Sahabat Lokananta

dideklarasikan, tepatnya tanggal 5 November 2012.

H. METODOLOGI

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif yang menurut

Guba dan Lincoln (1985:108) merupakan sebuah pendekatan yang dilakukan

dengan latar alamiah dari suatu keutuhan (entity). Itulah mengapa, penelitian

kualitatif sering disebut dengan istilah naturalistic inquiry atau inkuiri

alamiah. Dalam penelitian kualitatif, manusia merupakan alat (instrumen)

utama pengumpul data yang asumsi hubungan peneliti dan subyek

penelitiannya bersifat subyektif dan majemuk. Artinya peneliti dapat

berinteraksi dengan subyek penelitian. Ciri tersebut membedakannya dengan

pendekatan kuantitatif yang asumsi hubungan peneliti dan subyek

penelitiannya cenderung bersifat obyektif, tunggal, berada di luar diri peneliti,

dan dapat diukur melalui seperangkat instrument atau kuesioner.

Seperti halnya yang diungkapkan Poerwandari (1998) bahwa

pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang akan mengolah dan

menghasilkan data bersifat deskriptif seperti transkrip wawancara, catatan

lapangan, gambar, foto, rekaman video dan lain-lain. Hal tersebut sejalan

dengan Moleong (2004:131) yang mengungkapkan bahwa pendekatan

kualitatif tidak mengumpulkan data berupa angka, sehingga yang menjadi

29

tujuan dari penelitian ini adalah penggambaran secara mendalam, rinci, dan

tuntas mengenai realita empirik dibalik sebuah fenomena.

2. Desain Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis ingin mengungkapkan bagaimana

penggunaan media baru dalam upaya mengaktifkan kembali Lokananta

sebagai cagar budaya musik Indonesia melalui kampanye Sahabat Lokananta.

Apa yang akan dijabarkan dalam penelitian ini, akan dibatasi pada fungsi

Twitter dan Blog sebagai media yang digunakan dalam kampanye Sahabat

Lokananta. Untuk itu, diperlukan metode penelitian yang dapat

mendeskripsikan secara komprehensif mengenai proses tersebut.

Secara Umum, Yin (2005:1) mengungkapkan bahwa studi kasus

merupakan sebuah strategi yang cocok apabila pokok pertanyaan suatu

penelitian berkenaan dengan pertanyaan “how” atau “why”. Strategi ini juga

cocok digunakaan apabila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk

mengontrol peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya

terletak pada fenomena kontemporer yang memiliki konteks dengan

kehidupan nyata dari individu, kelompok, komunitas, maupun

organisasional. Fenomena penggunaan media baru, yaitu Twitter dan Blog

dalam kampanye Sahabat Lokananta dalam penelitian ini merupakan sebuah

fenomena kontemporer yang berkarakter, yakni sebagai sebuah kampanye

sosial yang bermula dari jejaring sosial dan bertemakan kebudayaan yang

masih belum banyak dilakukan. Hal tersebut merupakan hal yang sangat

menarik apabila dikaitkan dengan dampak signifikan yang ditimbulkan.

3. Sifat Penelitian

Merujuk pada apa yang diungkapkan Yin (2005: 46), penelitian studi

kasus terbagi menjadi dua jenis yakni penelitian dengan menggunakan kasus

30

tunggal dan jamak. Disamping itu, Yin juga mengelompokkannya berdasarkan

jumlah unit analisisnya yakni penelitian studi kasus holistik yang

menggunakan satu unit analisis dan penelitian studi kasus terpancang yang

menggunakan beberapa atau banyak unit analisis. Unit analisis sendiri

dibutuhkan untuk lebih memfokuskan penelitian pada maksud dan tujuan dan

dapat ditentukan melalui kajian teori.

Apabila dikaitkan antara kedua cara pengelompokan tersebut, maka

jenis-jenis penelitian studi kasus disusun ke dalam suatu matrik 2x2. Dengan

demikian, penelitian studi kasus dapat terdiri dari empat jenis yakni holistik,

terpancang (embedded), multikasus holistik, dan multikasus terjalin. Penelitian

ini termasuk jenis penelitian terpancang (embedded) karena didasari oleh

kajian teori yang menuntut adanya dua unit analisis yaitu kampanye sosial dan

media baru. Hal tersebut disebabkan oleh tujuan penelitian yang ingin

menjelaskan hubungan komprehensif antara bagaimana media baru

difungsikan dalam kampanye sosial secata detail disetiap bagian secara lebih

mendalam.

4. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah penggunaan media baru dalam

Kampanye Sahabat Lokananta.

5. Sumber Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua sumber data yaitu data

primer dan sekunder untuk menentukan ketepatan dan kekayaan data atau

informasi yang diperoleh.

a. Data Primer

Untuk memperoleh data primer, peneliti akan melakukan wawancara

dengan beberapa orang yang memiliki posisi sesuai dengan kebutuhan

31

peneliti. Dengan begitu, peneliti dapat mengetahui secara langsung bagaimana

proses yang terjadi pada penggunaan Twitter dan Blog dalam upaya

mengaktifkan kembali Lokananta sebagai cagar budaya musik Indonesia

melalui kampanye Sahabat Lokananta.

b. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dengan mengutip sumber lain seperti berbagai

jenis data yang diperoleh melalui studi pustaka seperti buku, terbitan pers

sebagai output dari obyek penelitian, jurnal, situs internet, foto, serta sumber

informasi lainnya seperti rekaman arsip tweets dan blogger yang akan

menunjang tema penelitian ini.

6. Teknik Pengumpulan Data

Dalam sebuah penelitian dengan metode studi kasus, ada beberapa cara

yang dapat digunakan untuk melakukan pengumpulan data. Pada dasarnya

data dalam sebuah penelitian studi kasus bisa didapat dari enam sumber bukti

yaitu dokumen, rekaman arsip, wawancara, observasi langsung, observasi

partisipan, dan perangkat fisik. Dalam penelitian ini, teknik yang akan

digunakan hanya tiga yaitu pengumpulan dokumen, wawancara, dan rekaman

arsip.

a. Studi Pustaka dan Penelusuran Dokumen Terkait

Pengumpulan data ini akan dilakukan dengan mengumpulkan bukti

atau data-data tertulis yang relevan dengan tema penelitian. Menurut Yin

(2005:104), data tertulis yang mungkin dikumpulkan adalah surat-surat,

memorandum, pengumuman resmi, agenda kegiatan, kesimpulan rapat,

berbagai laporan peristiwa, dokumen administratif organisasi, hasil

penelitian dan evaluasi komunitas, serta kliping artikel yang muncul di

media massa. Dalam penelitian ini, dokumen yang akan dikumpulakan

32

adalah seperti hasil pemantauan dari tagar #SahabatLokananta di media

sosial Twitter, artikel tentang Sahabat Lokananta yang termuat di berbagai

Blog, dan foto dari pihak Komunitas Sahabat Lokananta. Berbagai data

tersebut kemudian diidentifikasi dan dipelajari secara kritis untuk

mendapatkan informasi yang sesuai kebutuhan.

b. Wawancara

Wawancara merupakan sebuah metode pengambilan data dengan

cara menanyakan sesuatu kepada seorang responden dengan bercakap

secara tatap muka. Patton dalam Poerwandari (1998) mengemukakan

bahwa dalam sebuah proses wawancara diberlakukan sebuah pedoman

wawancara yang digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-

aspek yang harus dibahas sekaligus check list mengenai apakah aspek-

aspek yang relevan tersebut telah dibahas atau dipertanyakan.

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data berupa wawancara

akan dilakukan kepada informan yang relevan dan mumpuni dalam

terlaksananya kampanye Sahabat Lokananta ( lihat lampiran 1). Daftar

informan tersebut didapat dengan mengadopsi teknik snowball sampling,

yakni teknik penentuan sampel yang dilakukan dengan cara memilih satu

atau dua orang untuk diwawancarai terlebih dahulu, sekaligus informan

nama-nama selanjutnya yang dapat diwawancarai.

c. Analisis Isi

Pengumpulan data dalam penelitian ini juga mengadopsi teknik

analisis isi yang akan dilakukan secara sederhana. Holsti (1969:13)

mengungkapkan bahwa analisis isi dapat diartikan sebagai prosedur untuk

menarik kesimpulan tentang pertukaran pesan yang dilakukan oleh sumber

komunikasi dengan penerima pesan komunikasi. Dengan menggunakan

teknik ini, peneliti akan mendeskripsikan gambaran umum tentang isi pesan

yang terdapat pada tweets bertagar Sahabat Lokananta di jejaring sosial

33

Twitter dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan Lokananta atau Sahabat

Lokananta yang di-posting oleh beberapa Blogger setelah adanya kampanye

Sahabat Lokananta.

Tabel 1.1

Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data

No. Teknik

Pengumpulan Data

Jenis Data

1. Studi Pustaka dan

Penelusuran

Dokumen terkait

- Artikel (publikasi) di media

massa (cetak dan

elektronik) yang

berhubungan dengan

kampanye Sahabat

Lokananta

- Arsip-arsip (dokumen)

yang memiliki kaitan

dengan topik penelitian.

- Data sekunder yang telah

tertulis berupa buku, jurnal,

laporan penelitian, dan

sebagainya yang memiliki

relevansi dengan topik

penelitian seperti

kampanye, media baru dan

kebudayaan.

- Rekaman arsip tweet

bertagar

34

#SahabatLokananta

- Rekaman arsip nama

blogger dan judul Blog

yang menulis mengenai

Sahabat Lokananta.

2. Wawancara - Informasi dari narasumber

untuk mengetahui beberapa

isu, seperti pengetahuan

mendalam mengenai

Sahabat Lokananta,

bagaimana kampanye ini

muncul melalui media baru

berupa jejaring sosial,

bagaimana media baru

difungsikan dalam

kampanye Sahabat

Lokananta dan sebagainya.

3. Analisis Isi - Pesan-pesan (gambaran

umum tentang isi pesan)

dalam Twitter dan Blog

yang dibuat/disusun oleh

Sahabat Lokananta dalam

konteks kampanye sosial.

7. Analisis Data

Terdapat beberapa teknik analisis data yang dapat digunakan dalam

metodelogi studi kasus, diantaranya adalah perjodohan pola, pembuatan

penjelasan, dan analisa deret waktu. Dari bermacam teknik analisis tersebut,

35

perjodohan pola merupakan teknik yang paling sesuai untuk digunakan

dalam membandingkan pola berdasar empiris dengan prediksi pada

penggunaan media baru dalam kampanye Sahabat Lokananta.

Data dalam penelitian ini yang berupa dokumentasi, wawancara,

dan analisis isi kualitatif nantinya akan dikumpulkan, diedit, dikategorikan

dan dicari kesesuaian polanya untuk dianalisis. Hasil analisis yang berupa

interpretasi data akan dianalaisis dengan mengaitkan teori yang ada.

Diungkapkan Yin (2005:140), apabila terdapat kesamaan pada kedua pola

tersebut, hasilnya dapat menguatkan validitas internal studi kasus yang

bersangkutan. Hasil pengaitan data dan proposisi teori ini kemudian akan

dipaparkan dalam Bab IV untuk menjelaskan dan menganalisis kasus. Hasil

penelitian ini nantinya adalah pembahasan menyeluruh tentang penggunaan

media baru, Yakni Twitter dan Blog dalam upaya mengaktifkan kembali

Lokananta sebagai cagar budaya musik Indonesia melalui kampanye

Sahabat Lokananta.