bab 1 kelompok
TRANSCRIPT
Di ajukan Guna Memenuhi Tugas Matakuliah Sejarah Kebudayaan
Oleh
NAIMATUL AINIYAH 110210302037
NIKE YUNI RACHIM 110210302039
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya maka penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “”
Penulisan makalah adalah salah satu tugas matakuliah “Sejarah
Kebudayan”. Dalam Penulisan makalah ini, penulis merasa masih banyak
kekurangan baik pada teknik penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki penulis belum maksimal. Untuk itu kritik dan saran
dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah
ini, khususnya kepada Dosen Pembimbing matakuliah Sejarah Kebudayan yang
telah membimbing kami.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca. Amiin
Jember, 28 Februari 2014
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………...i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………iii
BAB 1. PENDAHULUAN……………………………………………..………...3
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………….3
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………….……...4
1.3 Tujuan ………………………………………………………………………..4
BAB 2. PEMBAHASAN ………………………………………………..….…....5
2.1 Pengertian Local Genius……………………...…………………….……..…5
2.2 Konsepsi Alam Pikiran Masa Prasejarah……………………….……....….6
2.3 Local Genius Dalam Kehidupan Beragama……………………………......8
2.4 SejarahMasuknya Hindu-Buddha Serta Kearifan Budaya Local
DalamPenyesuaiannya……………………………………………………..10
2.5 WujudKearifanBudaya Local TerhadapKehidupanBeragama………13
BAB 3. PENUTUP……………………………………………………………...18
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………….…18
3.2 Saran………………………………………………………………………....19
Daftar Pustaka…………………………………………………………………..20
iii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Perubahan adalah keniscayaandalamkehidupanmanusia. Perubahan-
perubahan yang Terjadi bukan saja berhubungan denganlingkunganfisik,
tetapijugadenganbudayamanusia.Hubunganera
tantaramanusiadanlingkungankehidupanfisiknyaitulah yang
melahirkanbudayamanusia.Budayalahirkarenakemampuanmanusiamensiasatilingk
unganhidupnya agar tetaplayakuntukditinggali waktu demi
waktu.Kebudayaandipandangsebagaimanifestasikehidupansetiap orang
ataukelompok orang yang
selalumengubahalam.Kebudayaanmerupakanusahamanusia, perjuangansetiap
orang
ataukelompokdalammenentukanharidepannya.Kebudayaanmerupakanaktivitas
yang dapatdiarahkandandirencanakan.Olehsebabitudituntutadanyakemampuan,
kreativitas, danpenemuan-
penemuanbaru.Manusiatidakhanyamembiarkandiridalamkehidupa
nlamamelainkandituntutmencarijalanbarudalammencapaikehidupan yang
lebihmanusiawi. Dasar dan arah yang
ditujudalamperencanaankebudayaanadalahmanusiasendirisehinggahumanisasime
jadikerangkadasardalamstrategikebudayaan. Kebudayaan Indonesia tidaklah
semata-mata hanya pengaruh dari luar belaka, namun kearifan serta kebijakan
masyarakat sendiri yang dapat menyesuaikan dengan karakternya sehingga dapat
diterima. Kemampuan inilah yang menjadi latar belakang pembahasan. “Local
Genius DalamKehidupanBeragama”.
Sejarahbangsa Indonesia memilikiperjalananpanjang, Bangsa Indonesia
banyakmendapatpengaruhdaribudayaluarsepertidari India
padamasaitukegiatanperdagangansangatramaibanyak orang-orangluar yang
melakukankegiatanperdangangan,
3
haltersebuttidakmenutupkemungkinanbagimerekauntuksalingberinteraksidanmeng
enalbudaya lain. Dalamsejarah Indonesia,
budayakitabukankarenaatauhanyapengaruhdariluarataunegara lain, tetapibangsa
Indonesia mempunyaiketrampilandanintelektual local asli (Local genius) yang
sebenarnyatidakkalah disbanding dengankebudayaanbangsa lain.Agama hindu-
buddhamerupakansalahsatupengaruhdari India yang diadopsiolehbangsa
Indonesia. Namundalamhalinibangsa Indonesia tidaksecaramentah-
mentahmenerimasemua unsurebudayaluaruntukditerapkannya.Dalamhalinibangsa
Indonesia
menyesuaikandengankarakterbangsanyasendiri.Lebihlengkapnyadalammakalahini
akandibahasmengenai local genius bangsa Indonesia terhadappengaruh Hindu-
Buddha baikdalamsegi agama (kepercayaannya)
danjugawujudnyasebagaicontohialahCandi Borobudur.
1.2 RumusanMasalah
Berdasarkanpadalatarbelakangdiatasmakadapat di
rumuskanrumusanmasalahsebagaiberikut:
1. Apakahpengertian local genius itu?
2. Bagaimanakahkonsepsi alam pikiran masa prasejarah?
3. Bagaimanakahlocal genius dalam kehidupan beragama?
4. Bagaimanakahsejarahmasuknyahindu-buddhasertakearifan .budaya local
dalampenyesuaiannya?
5. Bagaimanakahwujudkearifanbudaya local terhadapkehidupanberagama?
1.3 Tujuan
Berdasarkanrumusanmasalahdiatasmakaditetapkantujuannyasebagaiberiku
t:
1. Untukmengetahuipengertian local genius.
2. Untuk mengetahui konsepsi alam pikiran masa prasejarah.
3. Untuk mengetahui local genius dalam kehidupan beragama.
4
4. Untuk mengetahui sejarah masuknya hindu-buddha serta kearifan .budaya
local dalam penyesuaiannya.
5. Untuk mengetahui wujud kearifan budaya local terhadap kehidupan
beragama.
5
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Local Genius
Local genius inimerupakanistilahyang pertama kali
dikenalkanolehQuaritch Wales. Para
antropologmembahassecarapanjanglebarpengertian local genius ini (Ayatrohaedi,
1986).AntaralainHaryatiSoebadiamengatakanbahwa local genius adalahjuga
cultural identity, identitas/kepribadianbudayabangsa yang
menyebabkanbangsatersebutmampumenyerapdanmengolahkebudayaanasingsesua
iwatakdankemampuansendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). SementaraMoendardjito
(dalamAyatrohaedi, 1986:40-41)
mengatakanbahwaunsurbudayadaerahpotensialsebagai local genius
karenatelahterujikemampuannyauntukbertahansampaisekarang.
Istilah local genius
ialahkemampuankebudayaansetempatdalammenghadapipengaruhkebudayaanasin
gpadawaktukeduakebudayaanituberhubungan.Sebagai akibat dari hubungan itu
terjadi suatu proses
akulturasidimanakebudayaansetempatmenerimapengaruhkebudayaanasing.
Pengertian yang demikianinidiperolehdarihubungan yang
terjadipadawaktukebudayaan Indonesia menerimapengaruhkebudayaan India.Di
Indonesia bagianbaratmenerimasecarapenuhkebudayaan India sehingggaseolah-
olahmenirusecarapenuhkebudayaan India.Sebaliknyakebudayaan Indonesia
bagiantimur, kebudayaanIndia ituhanyasebagai perangsang kebudayaan setempat.
Dalamhalinikebudayaansetempat yakni kebudayaan prasejarah
tetapmampumempertahankansalahsatuunsurkebudayaanyaituragamhiasgeometrisk
emampuanbangsa Indonesia inilah yang dapatdisebutsebagai local genius.
Pendapatlain yakni Bosch
lebihmenitikberatkanperhatiannyapadapelakupenerimakebudayaanitu.
Menurutnya, proses penerimaankebudayaanitudilakukan oleh parapendeta
6
Indonesia.Para pendetaini mula-mula pergiuntukmenuntutIlmuke India
kemuiankembalikeIndonesia.Setibanya di Indonesiamerekalalumengamalkanilmu
yang merekaperoleh.Hasilpengalamanmereka yang sampaikepada kita sekarang
antara lain candi dankaryasastra.
Jikaditinjaudariteorikebudayaan, keduapendapatdiatasmelihat “local
genius” dariperwujudannya,
yaitudarikebudayaanmateriataukebudayaanfisiknya.Sebaliknya,
melaluimakalahiniakandicobauntukmengkajipengertiannyaditinjaudarisudutatause
bagi system budayanya. Setelahitubarulahkemudianditinjaubagaimana system
itudiwujudkansebagaikebudayaanmateri.
Adapunpengertian “local genius” adalahkemampuanuntukmempelajari,
menghayati,
sertakemudianmengelolanyakembalidanmerumuskannyasebagaisuatukonsep yang
baru.Mengingatbahwakebudayaan yang
akandibahasialahkebudayaandarimasabangsa Indonesia memeluk Agama Buddha
dan Hindu kebudayaanitusangatditentukanoleh agama.
Makaperumusnnyaberuparekonstruksiajaranagama itu,
sebagaihasilinterpretasimenurutkebudayaan Indonesia,
diwujudkansebagaikaryasastraataubangunankeagamaandalambentukcandi.
2.2 Konsepsi Alam Pikiran Masa Prasejarah
Masa perundagian adalah puncak segala kemajuan yang berhasil dicapai
yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari masa bercocok tanam. Penduduk
yang hidup bergabung dalam suatu desa, sudah berhasil mencapai suatu taraf yang
baik sekali dengan penguasaan teknologi yang tinggi seperti teknik pembuatan
gerabah dan kepandaian menuang perunggu, masa perundagian telah
menghasilkan kebudayaan Indonesia asli yang berniali tinggi, karena dijiwai oleh
konsepsi alam pikiran atau keagamaan yang hidup di dalam masyarakat pada
waktu itu.
Sikap terhadap alam kehidupan sesudah mati adalah percaya bahwa roh
seseorang tidak lenyap pada saat orang meninggal tetapi hidup serta roh memiliki
7
kelanjutan dalam ujud-ujud rohaniannya. Karena itu roh memiliki kelanjutan itu
di anggap sangat mempengaruhi jalan kehidupan keturunannya di dunia ini
(sartono Kartodirjo dkk. 1975:190).
Sebagai medium penghormatan yang menjadi tahta kedatangan roh
dibuatkan menhir yang biasa ditempatkan pada bangunan undak, bangunan undak
itu berbentuk tersusun satu diatas yang lain dan kian ke atas bentuknya makin
kecil. Bangunan itu pada hakikatnya sebagai replica dari bentuk gunung, ketika
itu gunung dianggap sebagai alam arwah yang abadi sehingga di pandang sebagai
gunung suci (Soejono 1977: 287). Dari bentuk, isi, serta orientasi sarkofagus
dapat ditarik kesimpulan tentang alam piiran orang berkenaan dengan kepercyaan
akan adanya kehidupan sesudah mati. Kehidupan itu berlangsung di suatu tempat
yang harus di capai oleh roh si mati dengan selamat.Tempat alam itu ada kalanya
digunung atau di sebrang laut yangjauh. Hal itu terbukti dengan arah hadap bagian
letak kepala sarkofagus membujur kearah bukit atau gunung yang terdekat.Oleh
karena itu seluruh kompleks alam pikiran yang berhubungan dengan kematian
atau dalam bentuk luasnya berupa pemujaan kepada arwah leluhur.
Adanya pengaruh-pengaruh dari india pada abad-abad pertama tarikh
masehi samapi tahun 1500 dengan runtuhnya kerajaan majapahit telah membawa
perubahan-perubahan terhadap kebudayaan Indonesia memasuki zaman sejarah,
tetapi juga membawa perubahan dalam susunan masyarakatnya yaitu timbulnya
kedudukan raja dan bentuk pemerintahan kerajaan. Demikian juga dalam alam
pikiran mengalami penyempurnaan dengan adanya bentuk keagamaan yang baru.
Keagamaan dan pandangan hidup tersebut tersimpul dalam dua macam
agama, ialah agama hindu dan budha. Kedua agama itu bersumber pada kitab suci
weda, yang merupakan kitab suci bagi agama hindu yang terdiri dari 4 himpunan
(samhita) yaitu Rigweda, Samaweda, Yajurweda dan Atharwaweda. Keagamaan
zaman weda itu mengenal adanya brahmana atau tuhan yang mahaEsa dengan
disebut kan dalam Rigweda “Ekam ewa adwityam Brahman” artinya hanya ada
satu kebenaran itu (tuhan) tida ada yang kedua”.Di samping oitu juga percaya
aakan adanya tenaga alam. Manifestasi yang tama adalah tiga dewa (Trimurti)
8
yaitu Dewa Pencipta (Dewa Brahman) dewa pemelihara (dewa Wisnu) dan dewa
perusak (dwa siwa).
2.3 Local Genius Dalam Kehidupan Beragama
Setelah mengetahui secara singkat konsep alam pikiran kebudayaan
Indonesia asli, demikian pula bentuk keagamaan baru yang datang dari india,
nampaklah beberapa kemampuan local dalam agama seperi dalam bentuk
kepercayaan dan upacara keagamaan.
Dalam kepercayaan Nampak pemujaan arwah nenek moyang (asli
Indonesia) berdampingan dengan pemujaan tuhan Mahaesa beserta manifestasinya
yaitu para dewa (dari agama hindu). Hal ini terlihat dalam candi tempat terjadi
penggabungan anatar penyembahan dewa dan pemujaan roh nenek moyang yang
menyediakan zat jasmaniah dari dalam perigi candi, sehingga pada waktu upacara
arca perwujudan itu menjadi hidup. Unsur jasmaniah di wakili oleh pripih bukan
abu jenazah (tuhan mahaesa) beserta para dewa (pengaruh dari agam hindu).
Demikianlah pura di bali bersifat dwi fungsi yatu tempat pemujaan roh suci
leluhur (Bhatara) asli Indonesia dan Hyang Widhi Wasa (tuhan mahaesa) besreta
para dea 9 pengaruh agama hindu).
Orang yang meninggal dan dikubur dalam sarkofagus itu dianggap akan
mengalami kelahiran kembali dalam kehidupan baru. Anggapan itu di tampakkan
oleh sarkofagus yang bidang-bidang atas dan bawahnya dipahat dalam bentuk
genetalis yang stilistik serta simetris seperti gaya Ambyaysari salah satu sradha
(kepercayaan) dari pancasradha agama hindu adalah punarbhawa yang berarti
kelahiran kembali.
Pada masa perundagian terdapat kepercayaan gunung sebagai alam arwah
sehingga gunung di anggap sebagai alam suci, dan sebagai tiruan alam suci itu
dibuatlah bangunan untuk yang disusun bertingkat-tingkat makin ketas maikn
mengecil. Setelah pengaruh kebudayaan hindu masuk ke Indonesia anggapan
tentang gunung sebagai tempat tinggal roh nenek moyang masih tetap dilanjutkan,
disamping gunung dianggapa sthana para dewa. Untuk kepentingan pemujaan,
untuk dewa-dewa itu dibuatkan arca-arca yang kemudian ditempatkan dalam
9
suatu bangunan didirkan dengan benuk tiruan dari tempat dewa-dewa yang
sebenarnya yaitu Gunung Mahameru (van Romondt 1951:51).
Dalam seni bangunan keagamaan terlihat unsur-unsur kemampuan local
yang melanjut terus pada masa belakangan.Hal ini dapat disaksikan pada stupa
Borobudur yang dibangun pada tahun 824 ketika pemerintahan raja samaratungga.
Apabila diperhatikan arsitekturnya Borobudur tdak dibangun sesuai bentuk india,
tetapi menunjukan aspek-aspek bangunan undak yang terdiri dari 10 undak.
Bentuk bangunan undak itu kebiasaan dari zaman megalitik yang berfungsi
sebagai tempat pemujaan leluhur 9sutjipto Wirjosuparto 1964:2). Bentuk seni
bangunan candi yang tergolong periode akhir majapahit menunjukan bangunan
undak yang tinggi misalnya candi sukuh dan candi ceto.
Demikian pula bila kita memperhatikan struktur halaman pura bali yang
terbagi menjadi tiga bagian yaotu halaman luar (jabaan), halaman tengah (jaba
tengah) dan halaman paling dalam 9jeroan) tempat terdapat bangunan-bangunan
suci. Masing-masing halaman dibangun dalam posis makin meninggi sehingga
yang tertinggi adalah halaman jeroan. Dengan demikian pembagian atas tiga
bagian itu ditempatkan dalam posisi yang sejajar sedangkanpada candi-candi di
jawa pembagian atas tiga bagian ditempatkan dalam posisi vertical.Pembagian
denah atas tiga bagian yang horizontal ini terlihat pada candi panataran di jawa
timur.
Pada zaman megalitik, kerbau mempunyai kedudukn yang penting dalam
kehidupan social ekonomi dan religious kultural bangsa Indonesia. Pada waktu itu
kepulauan Indonesia menjadi pusat kultus kerbau: kerbau dijadikan binatang
kurban didalam upacara-upacara tertentu, sperti upacara kematian.kecuali
dianggap binatang suci yang dikurbankan dalam upacra-upacara keagamaan,
kerbau juga dianggap sebagai sumber kekuatan magis yang sering sekali
dihubungkan dengan kultur nenek moyang dan upacara kemakmuran atau
kesuburan. (subata 1970:12)
Kerbau dianggap pula sebagai kendaraan bagi arwah nenek moyang.
Dalam hubunganitu kerbau dimaksudkan juga sebagi suatu unsur dalam semesta
atas dua hal atau golongan yang saling bertentangan, misalny dunia atas dan dunia
10
bawah serta unsur-unsur laki-laki dan wanita. Di dalam system ini, kerbau
termasuk ke dalam golongan bumi, air, dan sebagainya. (van der Hoop 1949:137).
Penggunaan kerbau sebagai binatang kurban yang mempunyai makna
yang penting bagi upcara-upacara tertentu pada zaman megalitik melanjut sampai
sekarang pada beberapa suku Indonesia, diantaranya di bali. Sebagai contoh di
bali dikenal upacara pakelem dan titimamah.
Upacara pakelem adalah kurban kerbau yang dilakukan di laut, danau atau
gunung, bertujuan sebagai sarana simbolis untuk mengharmoniskan hubungan
makrokosmos dengan mikrokosmos sehingga dapat mendatangkan kesejahteraan
bagi masyarakat.Upacraa titimamah juga memepergunakan kerbau, tetapi telah
dikuliti sebagi symbol turunnya tuhan ke bumi dengan perantaraan menginjak
kepala kerbau karena kerbau adalah lambang bumi.Bahkan dewasa ini masih
dikerjakan penanaman kepal kerbau sebagai upacra selamatan pada waktu
pembangunan gedung-gedung, jembatan dan lainnya.
2.4 SejarahMasuknya Hindu-Buddha Serta Kearifan Budaya Local
DalamPenyesuaiannya
Abad sembilan merupakan abad yang subur bagi perkembangan agama,
khususnya agama Budha. Kesuburan ini dapat dilihat dari peninggalan arkeologi
maupun filologi, baik yang ditemukan di India maupun di Indonesia. Di Indonesia
hal ini dapat diketahui dari banyaknya candi yang didirikan, sedangkan di India
dapat dikenali dari pendirian beberapa pusat studi agama Budha, yang sekarang
biasa dibandingkan dengan universitas. Salah satu diantaranya adalah Nalanda.
2.4.1 Keadaan di India
Nalanda, sebagai suatu pusat studi agama Budha, dipilih untuk dibicarakan
karena pusat ini tidak saja dihuni oleh orang India, tetapi juga dikunjungi orang-
orang China, Tibet, dan juga Indonesia. Keberadaan orang Indonesia di Nalanda
dapat diketahui dari sumber prasasti dan arkeologi. Sumber prasasti menyebutkan,
bahwa Nalanda tinggal kurang lebih seribu orang pendeta, sehingga perlu
didirikan sebuah vihara khusus bagi mereka. Rupa-rupanya mereka ini juga
11
membawa sendiri patung-patung dari perunggu, atau seandainya mereka buat di
Nalanda, mereka masih mempertahankan gaya seni Jawa Tengahnya.
Sebagai pusat studi, suasana yang dikembengkan di Nalanda adalah
kebiasaan ilmiah dalam bentuk tradisi berdebat. Adapun masalah yang
diperdebatkan adalah ajaran agama berdasarkan berbagai aliran yang dianut pada
masa itu. Sebagaimana diketahui, Nalanda memberi kesempatan kepada siapa pun
untuk mengajarkan ajaran agamanya kepada siapa pun juga. Sebaliknya mereka
juga harus siap untuk mempertahankan ajarannya itu dalam suatu perdebatan yang
telah ditentukan aturannya , terhadap sanggahan dari aliran-aliran lain. Dengan
sendirinya, seorang guru yang kalah dalam suatu perdebatan semacam ini tidak
akan mampu menarik banyak murid. Mudah pula dimengerti, bahwa pemimpin
pusat studi ini adalah seorang yang belum terkalahkan dalam perdebatan.
Bahwa tradisi berdebat ini menduduki bagian penting dalam kehidupan
beragama pada masa ini, dapat diketahui dari beberapa naskah berbahasa
Sansekerta. Rupa-rupanya, tradisi ini pun dibawa pulang oleh para pendeta
Indonesia yang belajar di sana, setidak-tidaknya sebagaimana naskah Sang Hyang
Kamahayanikan (SHK) menunjukkannya kepada kita.
Suatu ciri lain dari Nalanda di bawah pemerintahan Dinasti Pala adalah
apa yang disebut “pala synthesis”. Pada masa ini terdapat suasana sintese antara
aliran Paramita dengan Mantrayana. Sebagaimana diketahui, aliran yang kedua itu
walaupun mula-mula merupakan suatu ajaran yang sangat dirahasiakan, namun di
Nalanda mulai dituliskan secara urut dan utuh .
2.4.2 Sang Hyang Kamahayanikan
Pada bagian awal telah dijelaskan, kemampuan untuk menyusun suatu
perumusan baru dari ajaran-ajaran agama yang telah dikuasai oleh para pendeta
Indonesia, merupakan salah satu “Local Genius” yang dapat kita ketahui
sekarang. Kemampuan ini dapat kita lihat melalui perwujudannya dalam bentuk
karya sastra seperti Sastra Jawa Kuna, Sastra Jawa Tengahan. Karya sastra
sedemikian ini adalah Sang Hyang Kamahayanikan, sebuah naskah keagamaan
berbahasa Sansekerta dan Jawa Kuno. Kitab ini menjadi penting kedudukannya,
12
karena merupakan satu-satunya naskah keagamaan terlengkap yang sampai
kepada kita (12).
Di atas telah disinggung bahwa apabila kita anggap ajaran yang
berkembang di Nalanda sebagai ajaran baku masa itu, maka ajaran itu berbentuk
suatu sintese antara Paramitayana dengan Mantrayana. Sintese ini kemudian
dirumuskan dalam suatu karya sastra yang utuh, yaitu SHK.
Penyusun SHK menafsirkan “pala synthesis” sebagai suatu proses
pencapaian kebudhaan. Dalam hal ini, Paramitayana diuraikannya sebagai
langkah awal yang harus dilalui oleh seorang yang sedang menuju ke arah
pencapaian kebudhaan. Pda tahap ini orang harus mengumpulkan kebajikan, yaitu
dengan melaksanakan ajaran menurut Paramitayana. Tahap berikutnya, adalah
pencapaian kebijaksanaan dengan cara yoga sebagaimana yang diajarkan dalam
Mantrayana. Sebagai jembatan yang dapat menghubungkan kedua cara
pencapaian itu dipergunakan filsafat Yogacara. Rupa-rupanya filsafat ini
dipergunakan sebagai penghubung, karena mengajarkan bahwa kebudhaan itu
dapat dicapai melalui pencapaian kebijakan yang diperoleh melalui yoga. Dengan
demikian maka penghubungan antara kedua ajaran itu dapat menjadi sangat halus
(13).
Walaupun di atas “pala synthesis” dianggap sebagai ajaran baku, namun
sejauh penelitian agama Budha menunjukkan, sampai sekarang belum pernah
ditemukan, di luar SHK, naskah yang berisi sintese itu secara lengkap. Perlu
kiranya dikemukakan di sini, bahwa dengan diajarkannya Mantrayana, maka
orang mendapat kemungkinan untuk memperoleh kebudhaan pada waktu
hidupnya itu juga.
Dengan demikian, maka melihat isi dan kenyataan bahwa pemaduan
Paramitayana dengan Mantrayana belum pernah dirumuskan dalam satu karya
sastra secara urut dan utuh, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa kemampuan
atau ke-genius-an itu dapat dikenali melalui keahlian pengarang di dalam
merumuskan kembali konsep ajaran baku ke dalam suatu perumusan yang sama
sekali baru. Ke-genius-an ini justru lebih terlihat menonjol, karena di India sendiri
sampai sekarang perumusan yang demikian itu belum ditemukan. Perbedaan
13
dalam cara merumuskan kembali konsep ajaran Mantrayana yang berkembang
dalam jaman itu. Disinilah letak kegeniusan dan kemempuan pengarang SHK.
2.5 WujudKearifanBudaya Local TerhadapKehidupanBeragama
2.5.1 Candi Borobudur
Kemampuan local genius yang dihasilkan oleh, bangsa Indonesia
merupakan sesuatu ajaran yang dirumuskan secara baru, sambil tetap
mempertahankan hakikat ajaran yang baku, dan dapat pula dikenali dari suatu
bangunan candi yaitu candi Borobudur. Dalam seni bangunan candi Borobudur
menunjukkan bagaimana teptnya relief-relief cerita pada didinding-dinding candi
Borobudur sehingga menjadi suatu paduan yang harmonis. Relief-relief yang
dimaksud adalah Mahakarmawibhanga, Jataka-mala, Awadana-Jataka, Lalita-
wistra, dan Gandawayuha, yang semuanya mencerminkan palaksanaan melalui
Paramitayana. Dalam ajaran itu Mantrayana-nya diwujudkan dengan lima patung
Tathagata dan tingkat kebuadaannya dilambangkan sebagai patung dengan
Dharamacakra-mudra. Bentuk stupa Borobudur sebagai bentuk punden berundak
dari kebudayaan megalitikum zaman prasearah, sehingga disinilah kita lihat
peranan dari apa yang disebut local genius.
Relief Candi Borobuduradalah relief dari candi Borobudur yang
menggambarkan Budha sedang digoda oleh Mara yang menari-nari diiringi
gendang. Relief ini mengisahkan riwayat hidup Sang Budha seperti yang terdapat
dalam kitab Lalitawistara. Demikian pula halnya dengan candi-candi Hindu.
Relief-reliefnya yang juga mengambil kisah yang terdapat dalam kepercayaan
Hindu seperti kisah Ramayana yang digambarkan melalui relief candi Dari relief-
relief tersebut apabila diamati lebih lanjut, ternyata Indonesia juga mengambil
kisah asli cerita tersebut, tetapi suasana kehidupan yang digambarkan oleh relief
tersebut adalah suasana kehidupan asli keadaan alam ataupun masyarakat
Indonesia. Dengan demikian terbukti bahwa Indonesia tidak menerima begitu saja
budaya India, tetapi selalu berusaha menyesuaikan dengan keadaan dan suasana di
Indonesia.
14
Untuk wujud akulturasi dalam seni sastra dapat dibuktikan dengan adanya
suatu ceritera/ kisah yang berkembang di Indonesia yang bersumber dari kitab
Ramayana yang ditulis oleh Walmiki dan kitab Mahabarata yang ditulis oleh
Wiyasa. Kedua kitab tersebut merupakan kitab kepercayaan umat Hindu. Tetapi
setelah berkembang di Indonesia tidak sama proses seperti aslinya dari India
karena sudah disadur kembali oleh pujangga-pujangga Indonesia, ke dalam bahasa
Jawa kuno. Dan, tokoh-tokoh cerita dalam kisah tersebut ditambah dengan
hadirnya tokoh punokawan seperti Semar, Bagong, Petruk dan Gareng. Bahkan
dalam kisah Bharatayuda yang disadur dari kitab Mahabarata tidak menceritakan
perang antar Pendawa dan Kurawa, melainkan menceritakan kemenangan
Jayabaya dari Kediri melawan Jenggala.
Di samping itu juga, kisah Ramayana maupun Mahabarata diambil sebagai
suatu ceritera dalam seni pertunjukan di Indonesia yaitu salah satunya pertunjukan
Wayang. Seni pertunjukan wayang merupakan salah satu kebudayaan asli
Indonesia sejak zaman prasejarah dan pertunjukan wayang tersebut sangat
digemari terutama oleh masyarakat Jawa. Wujud akulturasi dalam pertunjukan
wayang tersebut terlihat dari pengambilan lakon ceritera dari kisah Ramayana
maupun Mahabarata yang berasal dari budaya India, tetapi tidak sama persis
dengan aslinya karena sudah mengalami perubahan. Perubahan tersebut antara
lain terletak dari karakter atau perilaku tokoh-tokoh ceritera misalnya dalam kisah
Mahabarata keberadaan tokoh Durna, dalam cerita aslinya Dorna adalah seorang
maha guru bagi Pendawa dan Kurawa dan berperilaku baik, tetapi dalam lakon di
Indonesia Dorna adalah tokoh yang berperangai buruk suka menghasut.
Demikian penjelasan tentang wujud akulturasi dalam bidang kesenian.
Dan yang perlu Anda pahami dari seluruh uraian tentang wujud akulturasi
tersebut bahwa unsur budaya India tidak pernah menjadi unsur budaya yang
dominan dalam kerangka budaya Indonesia, karena dalam proses akulturasi
tersebut, Indonesia selalu bertindak selektif.
Pada sub bahsan awal telah menjelaskan mengenai kemampuan sastrawan
dalam menyesuaikan ajaran agama, maka candi Borobudur yang hendak dikenali
pada bagian ini adalah keahlian perancangnya dalam mewujudkan manifestai
15
peikirannya dalam kehidupan beragama sebagai perujudan dalam bentuk candi
sebagai sarana pelaksanaan upacara serta seni pahat . Dalam merumuskan
sinteseitu menjadi suatu bentuk bangunan, ia juga menafsirkan sintese itu sebagai
tahap-tahap yang harus dilalui oleh orang yang hendak mencapai kebudaan. Untuk
melahiirkan gagasannya perancang Borobudur memilih beberapa cerita yang
diambilnya dari khasanah kesustraan agama Buddha. Selanjutnya pilihan itu
dirangkaikannya menjadi suatu jalinan cerita yang urut dan utuh. Adapun cerita
yang dipilihnya itu ialah Mahakarmavibhanga, Jataka-mala Avadana-jataka,
lalithavistara, Gandaviuha, dan bhadracari. Semua ceritra ini mencerminkan usaha
manusia mengumpulkan kebajikan melalui pelaksanaan taramitayana.Selanjutnya,
Ia digambarkan pelaksanaan mantrayana melalui perwujudannya dalam bentuk
patung lima tathagata. Ditinjau dari sudut ini, maka ajaran yang dipilih, apabila
bisa disejajarkan dengan SHK, adalah dari Guhyasamajatantra.
Akhinya, pencapaian Kebudayaan dilukiskannya sebagai tatragatra dalam
dharma cakra parvatana mudra. Namun demikian, karena pencapaian Kebuadaan
itu ditujuakan untuk dapat menolong orang lain juga mampu menolong Kebudaan,
maka patung tattragatra ini diletakkan dalam stupa berongga dan bertualang-
tulang. Gagasan semacam ini mungin dirujuk dari Saddharma pundarika.
Akhirnya sebagai puncak perjalanan seorang manusia yaitu Mahaparinirvana,
dilambangkannya sebagai stupa besar dipuncak candi.
2.5.2 Local genius: abad Empat Belas
Dari abad ini, para ahli agam a Indonesia tidak lagi terlalu melihat agama-
agama sebagai hasil atau tujuan akhir belaka karena mereka menganggap bahwa
agama berakhir pada tujuan yang sama. Konsep yang demikian ini dirumuskan
sebagai apa yang dikenal dengan istilah Siwa-Buddha. Dari istilah ini, dapat
diketahui bahwa konsep ajaran yang demikian tidaklah membedakan Siwa sebagai
dewa tertinggi dari agama Saiva dengan Buddha sebagai tujuan terakhir dari
penganut agama Buddha. Dengan demikian, penganut ajaran ini tidak lagi
membedakan agama, yaitu apabila orang telah mencapai tingkat yang tertinggi.
Sampai saat ini di India konsep semacam ini tidaklah ditemukan.
Sebagaimana diketahui, agama Buddha telah punah pada waktu agama Islam
16
masuk ke India. Di samping itu, diantara agama-agama yang tergolong agama
hindu pun tidak mengenal perpaduan yang demikian.Sebagaimna halnya dengan
perpaduan yang terjadi di abad Sembilan, yaitu sintese Pramitayana dengan
Mantrayana, maka perpaduan Siwa-Buddha pun ;diwujudkan kedalam karya
sastra dan arkeologi.
Jika periode Jawa Tengah dianggap sebagai periode klasik karena
kebudayaan asing masih kuat dan menonjol maka pada periode Jawa Timur
dianggap sebagai periode timbulnya kembali unsur-unsur kebudayaan asli atau
kepribadian bangsa makin menampakkan dirinya. Dapat kita lihat
Pengejawantahan dari perubahan gejala tadi dapat kita lihat pada hasil senipatung
dan seni bangunan. Kalau dalam periode Jawa Tengah agaknya para seniman
(silpin) masih memegang teguh ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang
termuat dalam kitab-kitab pedoman silpasastra, dengan penggambaran arca-
arcanya secara plastis dan naturalistis, dalam periode Jawa Timur para silpin
agaknya telah menemukan kembali identitas atau kepribadiannya dengan
penggambaran arca-arcanya antara simbolis, kaku dan bentuknya kewayang-
wayangan. Dilihat sepintas lalu, orang akanmenduga telah terjadi suatu
kemerosotan (dekadensi, degradasi) dalam seni, akan tetapi sebenarnya tidak
demikian. Gejala itu justru menempakkan adanya “regenerasi” dalam kesenian.
Disiilah kita lihat peranan apa yang disesbut local genius atau kapribadian/
identitas bangsa dalam proses pembentukan kebudayaan Indonesia yang “ber-
Bhineka Tunggal Ika”
17
BAB 3. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Local genius merupakan istilah yang pertama kali dienalkan oleh
Quaritch Wales. Adapun pengertian “local genius” adalah kemampuan untuk
mempelajari, menghayati, serta kemudian mengolahnya kembali dan
merumuskannya sebagai suatu konsep yang baru.
Local Genius Dalam Kehidupan Beragama, dapat dilihat dalam bentuk
kepercayaan dan upacara keagamaan. Kemampuan local genius yang dihasilkan
oleh bangsa Indonesia merupakan sesuatu ajaran yang dirumuskan secara baru,
sambil tetap mempertahankan hakikat ajaran yang baku, dan dapat pula dikenali
dari suatu bangunan candi yaitu candi Borobudur.
Jika periode Jawa Tengah dianggap sebagai periode klasik karena kebudayaan
asing masih kuat dan menonjol maka pada periode Jawa Timur dianggap sebagai
periode timbulnya kembali unsur-unsur kebudayaan asli atau kepribadian bangsa
makin menampakkan dirinya. Dilihat sepintas , orang akan menduga telah terjadi
suatu kemerosotan (dekadensi, degradasi) dalam seni, akan tetapi sebenarnya
tidak demikian. Gejala itu justru menempakkan adanya “regenerasi” dalam
kesenian. Disiilah kita lihat peranan apa yang disesbut local genius atau
kapribadian/ identitas bangsa dalam proses pembentukan kebudayaan Indonesia
Melihat berbagai contoh diatas yang menunjukkan kemampuan untuk
merumuskan beberapa ajaran baku menjadi suatu ajaran yang urut dan utuh
terpadu , serta kemudian mewujudkannya kedalam bentuk karya sastra maupun
karya seni, maka dapatlah diambil kesimpulan, bahwa bangsa Indonesia dalam
menganut agama mengolahnya kembali sehingga menjadi sesuatu yang lebih
sesuai dengan kebudayaannya.
18
5.2 Saran
Dalam hal ini penulis mengharapkan adanya kritikan dan saran yang
membangun demi sempurnanya makalah kami, agar nantinya bisa bermanfaat
bagi pembaca.
19
DAFTAR PUSTAKA
Catatan Kaki
1. Quaritch Wales, “The making o Greater India: A Study of South East Asian Culture Change” , dalam Journal of Royal Asiatic Society (1948 – 1949).
2. Untuk uraian tentang perubahan kebudayaan, khususnya tentang “perangsang” perubahan kebudayaan, lihat Ivan A. Brady, dan Barry L. Isaac (eds.) AReader in Culture Change, Volume I: Theories (1975).
3. F.D.K. Bosch, “ ‘Local Genius’ en Oud Javaansche Kunst”, dalam Mededeelingen der Koninklijke Nederlandse Akademik van Wetenschappen (1952).
4. Kedua jenis hasil pengamatan ini merupakan hasil yang samapai kepada kita saja, yaitu peninggalan yang tidak termusnahkan oleh manusia atau alam. Dengan demikian kedua peninggalan ini bukan merupakan satu – satunya hasil pengamantan itu.
5. Mengenai pengertian sistem budaya serta kebudayaan materi. Lihat Koentjaraningrat dalam makalahnya yang disampaikan dalam Seminar tentang persepsi masyarakat tentang kebudayaan, yang berjudul “Persepsi tentang Kebudayaan Nasional” , LIPI (13 – 15 September 1982).
6. Tentang metode hermeneutik, lihat misalnya Paul Ricoer. Hemeneitucs and the Human Sciences, edited and translated by John B. Thompson (1981).
7. Prasasti ini telah diterjemahkan oleh F.D.K. Bosh dalam “Een Oorkonde van het Groote Klooster te Nalanda” yang di muat dalam TBG LXV, tahun 1925.
8. Mengenai area – area ini, A J. Bernest Kempers telah mengkajinya sebagai desertasi, yaitu The Bronzes of Nelanda and Hindu Javanese Art, dan yang di muat sebagai artikel dalam BKI 90, tahun 1933.
9. Alex, Wayman. “Tehe Rules of Debate According to Asanga”, dalam JAOS (78), tahun 1958).
10. Saya meminjam istilah ini dari E. Conze, dalam bukunya yang berjudul A Short History of Buddhism (1980).
20
11. Salah sebuah naskah yang merupakan hasil dari masa ini adalah Guhyasamajatantra. Naskah ini telah ditebitkan oleh B. Bhattaracharya sebagai Gaekward Oriental Series.
12. Kitan ini ditebitkan dan diterjemahkan kedalam bahasa Belanda oleh J. Kats tahun 1910.
13. Mengenai hal ini, lhat desertasi saya yang berjudul Pemujaan Tathagata di Jawa Pada Abad Sembilan.
14. Di dalam SHK., kelima Tathagata ini di ungkapkan sebagai bentuk sublimasi dari badan serta sifat manusia.
15. Mengenai naskah ini, N.J. Kron telah menerjemahkannya sebagai The Saddharmapundarika or The Lotus of the True Law (1909).
21