bab 1-4(1)
DESCRIPTION
bababTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut World Health Organisation (WHO) kesehatan didefinisikan sebagai suatu kondisi sempurna baik fisik, mental, maupun sosial dan bukan sekedar tidak sakit atau tidak cacat. Dalam usaha pencapaian kesehatan tersebut salah satu komoditi yang dibutuhkan adalah obat-obatan. Pemerataan ketersediaan obat telah menjadi salah satu tujuan dari pembangunan nasional. Selain itu pembangunan nasional di bidang kesehatan juga mencakup tentang tercukupinya ketersediaan obat, meratanya pendistribusian obat dan terjangkaunya harga obat oleh masyarakat. Ini merupakan peluang bagi industri farmasi untuk mendukung program pemerintah tersebut. Selain itu pola hidup dan kesadaran masyarakat Indonesia yang semakin membaik merupakan angin segar bagi industri farmasi. Hal ini dibuktikan dengan data meningkatnya pasar farmasi pada tahun 2012 sebesar 15%. Namun dilain sisi obat-obatan bukanlah komoditi biasa sehingga industri farmasi yang merupakan produsen obat-obatan, diatur secara ketat dengan pertimbangan perannya yang tidak dapat dipisahkan dari fungsi kesehatan tersebut.
Industri farmasi sebagai industri pembuat obat, bertanggung jawab dalam
memenuhi kebutuhan obat dengan memproduksi obat yang bermutu tinggi
(quality), berkhasiat (efficacy) dan aman (safety). Untuk memenuhi persyaratan
tersebut industri farmasi di Indonesia harus dapat menerapkan Cara Pembuatan
Obat yang Baik (CPOB) dalam memproduksi obat. CPOB diatur dalam
keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.43/Menkes/SK/II/1988
tanggal 2 Februari 1988. CPOB merupakan bagian dari sistem pemastian mutu
yang mengatur dan memastikan obat diproduksi dan mutunya dikendalikan secara
konsisten sehingga produk yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu yang
ditetapkan sesuai tujuan penggunaan produk disamping persyaratan lainnya.
Penerapan CPOB merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu produk
farmasi secara terus-menerus serta memberikan perlindungan yang lebih baik
terhadap masyarakat
Salah satu sumber daya manusia yang paling bertanggungjawab dalam
usaha penerapan CPOB adalah seorang apoteker. Apoteker sebagai salah satu
sumber daya manusia dalam industri farmasi hendaknya mempunyai kesadaran
dan kemauan tinggi untuk melaksanakan CPOB sesuai dengan pengetahuan dan
keterampilan yang dimilikinya. Selain itu di dalam Peraturan Pemerintah No 51
tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian disebutkan bahwa dalam menjalankan
CPOB, diperlukan tenaga yang mempunyai keahlian, ketrampilan, dan
kemampuan managerial yang menunjang. Salah satu tenaga kerja yang
dibutuhkan untuk pengelolaan industri farmasi yang memiliki semua keahlian
tersebut adalah apoteker. Didalam pasal 9 ayat 1 dinyatakan bahwa “Industri
farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang apoteker sebagai penanggung jawab
masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu
setiap produksi sediaan farmasi”. Untuk itu diperlukan pengetahuan dan
pengalaman di lapangan selain bekal teori yang diperoleh dari institusi
pendidikan.
Dalam usaha menyiapkan tenaga profesional apoteker, Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran bekerjasama dengan PT. Boehringer Ingelheim Indonesia, untuk mendidik dan melatih calon-calon apoteker melalui program Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA). Praktek Kerja Profesi Apoteker ini dilaksanakan pada tanggal 2 Juli hingga 31 Agustus 2013.
1.2 Tujuan
Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan PT. Boehringer Ingelheim Indonesia. menyelenggarakan Pendidikan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) bagi para calon apoteker dengan tujuan sebagai berikut :1. Meningkatkan pemahaman calon apoteker tentang peran. fungsi, posisi
dan tanggung jawab apoteker dalam industri farmasi.
2. Membekali calon apoteker agar memiliki wawasan,
pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman praktis untuk melakukan
pekerjaan kefarmasian di industri farmasi.
3. Memberi kesempatan kepada calon apoteker untuk mempelajari
prinsip, CPOB, CPOTB, atau CPKB dan penerapannya dalam industri
farmasi.
4. Mempersiapkan calon apoteker dalam memasuki dunia kerja sebagai
tenaga farrnasi yang professional.
5. Memberi gambaran nyata tentang permasalahan pekerjaan kefarmasian di
Industri farmasi.
1.3 Tinjauan PT Boehringer Ingelheim Indonesia
1.3.1 Profil Boehringer Ingelheim
Boehringer Ingelheim adalah sebuah perusahaan keluarga yang didirikan oleh Albert Boehringer pada awal tahun 1885 di Ingelheim am Rhein. Pada tahun tersebut, Albert Boehringer membeli sebuah pabrik tartar kecil yang kemudian terdaftar secara komersial sebagai “Albert Boehringer, chem.. Fabrik vom 1. Aug. 1885 ab” yang menjadi dasar berdirinya perusahaan Boehringer Ingelheim saat ini. Pada saat itu Albert Boehringer hanya mempekerjakan 28 karyawan untuk memproduksi garam asam tarta yang berfungsi untuk pewarnaan.
Pada tahun 1893, Boehringer berhasil membuat terobosan baru bahwa asam laktat dapat diproduksi dalam jumlah besar dari bakteri sehingga perusahaan tersebut menjadi yang pertama dalam produksi skala besar produk bioteknologi. Dalam waktu singkat, perusahaan ini menjadi yang terdepan dalam produksi asam laktat karena adanya penemuan tersebut dan tingginya permintaan asam laktat dalam industri kulit, tekstil, pewarnaan, dan makanan minuman.
Di tahun 1939, perusahaan yang dibangun oleh Albert Boehringer telah berkembang dan memiliki pegawai sejumlah 1500 orang. Riset dan pengembangan terus dilakukan pada saat terjadi perang dunia kedua, sehingga produksi asam organic pada saat itu dihentikan untuk sementara. Produksi asam sitrat dilanjutkan pada tahun 1946 sedangkan produksi asama laktat dimulai lagi pada tahun 1952.
Pada tahun 1955, kinerja perusahaan telah meningkat menjadi empat kali lipat dibandingkan pada tahun 1939. Beberapa oabat baru pun dikenalkan dan merupakan awal dari program riset Boehringer Ingelheim yaitu obat-obatan untuk terapi penyakit pernapasan, kardiovaskular, dan gastrointestinal.
Boehringer Ingelheim (BI) telah memasuki pasar farmasi di Indonesia sejak tahun 1969, saat itu Boehringer belum berdiri sebagai perusahaan melainkan hanya sebuah divisi penjualan. Pada tahun 1974 aktivitas produksi dan marketing dimulai. Untuk proses produksinya Boehringer menjalin kerjasama dengan PT. Schering Indonesia. Oleh karena perkembangan usahanya yang cukup baik, pada tahun 1997 kantor pusat BI dan Schering AG di Berlin setuju untuk saling mengakhiri kerja sama di Indonesia.
Tahun 2001 Boehringer akhirnya berdiri sebagai sebuah Perusahaan Terbatas (PT) yang memiliki sebuah pabrik yang berlokasi di Bogor. Pabrik ini dibeli dari sebuah perusahaan farmasi Prancis yang bernama Rhone Poulenc Rorer dan persetujuan melakukan toll manufacturing dengan PT Aventis Pharma.
Boehringer Ingelheim (BI) memiliki 144 perusahaan afiliasi dan 36.000 karyawan yang tersebar di 44 negara di seluruh dunia, merupakan salah satu dari 20 industri farmasi terkemuka di dunia. Kini aktivitas perusahaan di bidang penelitian, pengembangan, produksi, dan distribusi telah tersebar di seluruh penjuru dunia. Gamar dari logo perusahaan dapat dilihat pada gambar 1.1
Gambar 1.1 Logo Perusahaan
1.3.2 Visi dan Culture PT Boehringer Ingelheim
Visi PT. Boehringer Ingelheim Indonesia adalah memberi nilai melalui inovasi (Value Through Innovation). Nilai-nilai ini dapat membantu membangun kekuatan dan membentuk sebagian besar dari karakter spesifik perusahaan. Visi ini diraih dan dicapai melalui Lead and Learn. Budaya Lead and Learn merupakan gambaran bagaimana kerja sama diantara seluruh pegawai Boehringer Ingelheim dan juga budaya ini harus menjiwai seluruh aktivitas kerja pegawai Boehringer Ingelheim. Semua pegawai perlu terus melakukan segala sesuatu yang terbaik dan membawa orang lain untuk melakukan yang sama. Semua orang harus dapat menemukan cara yang baru dan lebih baik dalam melakukan semua pekerjaan dengan melihat pada orang lain untuk mendapatkan pengetahuan dan inspirasi.
Untuk menjalankan budaya tersebut dalam kegiatan kerja sehari-hari maka dapat dilakukan dengan cara menanyakan 4 pertanyaan berikut dalam setiap kegiatan kerja :
1. Are we taking initiative ?
2. Are we connected ?
3. Are we growing together ?
4. Are we getting results ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bertujuan supaya setiap orang yang bekerja di PT. Boehringer Ingelheim Indonesia senantiasa mengambil inisiatif dan berkomunikasi aktif dengan rekan kerjanya sehingga dapat berkembang bersama-sama dan memperoleh hasil yang optimal.
1.3.3 Lokasi dan BangunanPT. Boehringer Ingelheim Indonesia berkantor pusat di Sampoerna
Strategic square North Tower Level 6 Jakarta. Sedangkan pabrik PT.
Boehringer Ingelheim Indonesia berlokasi di Jalan Lawang Gintung no. 89
Bogor, berdiri di atas area seluas 25.279 meter persegi. Renovasi pertama
dimulai pada tahun 2001 dan diselesaikan pada bulan Juni tahun 2003 yang
melingkupi pembangunan fasilitas produksi untuk sediaan liquid, solid, dan
semi solid. Perbaikan juga dilakukan pada sistem pergudangan,
laboratorium quality control dan kantor administrasi. Gedung dan fasilitas
dibangun sedemikian rupa agar dapat memenuhi standar Cara Pembuatan
Obat yang Baik (CPOB) terkini dan dapat memproduksi obat bermutu tinggi
yang diperlukan untuk sebuah industri farmasi modern.
Renovasi kedua dilakukan pada tahun 2007, meliputi pengembangan area
produksi, pengemasan, laboratorium, dan beberapa fasilitas pendukung
untuk karyawan dan diselesaikan pada bulan Maret 2009.
1.3.4 Struktur OrganisasiPharmaceutical production PT Boehringer Ingelheim Indonesia
(Bogor Plant) dipimpin oleh seorang Plant Director membawahi beberapa
Head of Department yaitu Head of Department Supply Chain Management,
Associate Director ICB & Technical Management, Associate Director
Production dan Associate Director Quality Operations. Struktur organisasi
Pabrik PT. Boehringer Ingelheim Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 1.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Industri Farmasi dan Pekerjaan Kefarmasian di Industri Farmasi
Salah satu tempat praktek dari seorang apoteker adalah industri farmasi.
Didalam industri farmasi wajib ada seorang apoteker. Kegiatan industri farmasi
diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1799/MENKES/PER/XII/2010 Tentang Industri Farmasi. Dengan berlakunya
peraturan ini maka Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 245/Menkes/SK/X
tahun 1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Industri
Farmasi tidak berlaku. Industri Farmasi juga harus menerapkan Cara Pembuatan
Obat yang Baik (CPOB), sesuai dengan ketetapan yang telah ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan dalam SK Menkes RI No.43/Menkes/SK/II/1998. Dan SK
tersebut didukung oleh Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) Nomor HK.03.01.33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang Penerapan
Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
2.1.1 Pengertian Industri Farmasi
Industri farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1799/Menkes/PER/XII/2010, adalah badan usaha yang memiliki izin dari
Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat.
Industri obat jadi merupakan industri yang menghasilkan suatu produk yang telah
melalui seluruh tahap proses pembuatan meliputi produksi dan pengawasan mutu
mulai dari pengadaaan bahan awal, proses pengolahan, pengemasan sampai obat
jadi didistribusikan. Industri bahan baku merupakan industri yang memproduksi
bahan baku, baik yang berkhasiat ataupun bahan pembantu yang digunakan dalam
proses pengolahan obat.
Beberapa kewajiban harus dilakukan oleh perusahaan yang telah
memperoleh izin usaha industri farmasi, yaitu :
1. Membuat laporan jumlah dan nilai produksinya setiap enam bulan. Sedangkan
untuk laporan lengkap wajib disampaikan setiap tahun
2. Menyalurkan produknya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku
3. Melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian serta mencegah
pencemaran lingkungan.
4. Melaksanakan keamanan dan keselamatan alat, bahan baku, proses, hasil
produksi, pengangkutan dan keselamatan kerja
5. Melakukan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) berupa Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).
Industri farmasi memiliki ciri yang spesifik dibandingkan dengan industri
lainnya. Ciri industri farmasi yang perlu diperhatikan antara lain :
1. Industri farmasi merupakan industri yang diatur secara ketat (seperti registrasi,
CPOB, distribusi, dan perdagangan produk yang dihasilkan) karena
menyangkut jiwa manusia
2. Industri farmasi disamping menghasilkan obat untuk penderita juga
merupakan suatu industri yang berorientasi untuk memperoleh keuntungan
(profit).
3. Industri farmasi adalah salah satu industri beresiko tinggi, karena bukan tidak
mungkin kelak dikemudian hari apabila terbukti bahwa terjadi akibat yang
tidak diinginkan karena penggunaan obat, industri farmasi dituntut dan
membayar ganti rugi yang besar.
4. Industri farmasi adalah industri yang berbasis riset yang selalu memerlukan
inovasi, karena usia produk atau obat relatif singkat (lebih kurang 10-25
tahun) dan sesudah itu akan ditemukan generasi baru yang lebih baik, lebih
aman, dan efektif.
2.1.2 Persyaratan Izin Industri Farmasi
Persyaratan izin industri farmasi di Indonesia diatur melalui surat
keputusan Menteri Kesehatan No. 1799/MENKES/PER/XII/2010 Tentang
Industri Farmasi. Berdasarkan peraturan tersebut industri farmasi wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas,
2. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat,
3. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
4. Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tugas) apoteker Warga Negara
Indonesia masing–masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu,
produksi dan pengawasan mutu,
5. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak
langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang
kefarmasian.
6. Dikecualikan dari persyaratan sebagaimana dimaksud pada poin 1 dan 2,
bagi pemohon izin industri farmasi milik Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memperoleh izin industri farmasi
dari Direktur Jenderal. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada
Kementerian Kesehatan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pembinaan
kefarmasian dan alat kesehatan. Setiap pendirian Industri Farmasi wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di
bidang tata ruang dan lingkungan hidup, yaitu:
1. Industri Farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB.
2. Pemenuhan persyaratan CPOB sebagaimana dimaksud pada poin 1
dibuktikan dengan sertifikat CPOB.
3. Sertifikat CPOB berlaku selama 5 (lima) tahun sepanjang memenuhi
persyaratan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara sertifikasi COPB
diatur oleh Kepada Badan POM.
Izin industri farmasi berlaku untuk seterusnya selama Industri Farmasi
yang bersangkutan berproduksi dan memenuhi ketentuan perundang-undangan.
Industri Farmasi yang akan melakukan perubahan bermakna terhadap pemenuhan
persyaratan CPOB, baik untuk perubahan kapasitas dan/atau fasilitas produksi
wajib melapor dan mendapat persetujuan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan. Industri Farmasi mempunyai fungsi:
1. Pembuatan obat dan/atau bahan obat,
2. Pendidikan dan pelatihan, dan
3. Penelitian dan pengembangan
2.1.3 Peraturan perundang-undangan tentang pekerjaan kefarmasian
Pekerjaan kefarmasian menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 51 Tahun 2009 (PP 51) tentang pekerjaan kefarmasian pasal 1 ayat
1 adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Menurut PP 51 pasal 9 ayat 1 pekerjaan kefarmasian di industri farmasi
harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker sebagai penanggung jawab, masing-
masing pada bidang pemastian mutu, produksi dan pengawasan mutu setiap
produksi sediaan farmasi, sedangkan berdasarkan Cara Pembuatan Obat yang
Baik (CPOB) tahun 2006, industri farmasi hendaknya memperkerjakan secara
tetap sekurang-kurangnya 2 (dua) orang Apoteker sebagai penanggung jawab,
yaitu Kepala Bagian Produksi dan Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian
Mutu), untuk Kepala Bagian Pengawasan Mutu hendaklah seorang terkualifikasi
dan lebih diutamakan seorang Apoteker.
2.2 Peran, Fungsi, dan Tugas Apoteker di industri
Menurut PP 51 tahun 2009, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah
lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Dalam
PP 51 tahun 2009 disebutkan pula industri farmasi harus memiliki tiga orang
Apoteker sebagai penanggungjawab masing-masing pada bidang pemastian mutu,
pengawasan mutu dan produksi. Selain dalam ketiga bidang tersebut, seorang
apoteker juga berperan dalam bidang lainnya, yaitu registrasi produk/obat,
pemasaran produk, serta pengembangan produk.
Dalam CPOB 2012 disebutkan bahwa personil kunci dalam suatu industri
farmasi mencakup kepala bagian Produksi, kepala bagian Pengawasan Mutu dan
kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu). Posisi utama tersebut dijabat
oleh personil purnawaktu. Kepala bagian Produksi dan kepala bagian Manajemen
Mutu (Pemastian Mutu) / kepala bagian Pengawasan Mutu harus independen satu
terhadap yang lain. Demikian juga dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah No. 51
tahun 2009 pasal 9 (1) bahwa “Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang
Apoteker sebagai penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian
mutu, produksi, dan pengawasan mutu setiap produksi Sediaan Farmasi”. Oleh
karena itu, sekurang-kurangnya terdapat tiga orang apoteker yang bertanggung
jawab dalam suatu industri farmasi.
Berdasarkan aturan CPOB, seorang penanggungjawab produksi,
pengawasan mutu dan pemastian mutu/manajemen mutu memiliki tanggung
jawab bersama dalam menerapkan semua aspek yang berkaitan dengan mutu,
yang berdasarkan peraturan Otoritas Pengawasan Obat (OPO), yang terdiri dari :
1. Otorisasi prosedur tertulis dan dokumen lain, termasuk amandemen
2. Pemantauan dan pengendalian lingkungan pembuatan obat
3. Higiene pabrik
4. Validasi proses
5. Pelatihan
6. Persetujuan dan pemantauan terhadap pemasok bahan
7. Persetujuan dan pemantauan terhadap pembuat obat atas dasar kontrak
8. Penetapan dan pemantauan kondisi penyimpanan bahan dan produk
9. Penyimpanan catatan
10. Pemantauan pemenuhan terhadap persyaratan CPOB
11. Inspeksi, penyelidikan dan pengambilan sampel
12. Pemantauan faktor yang mungkin berdampak terhadap mutu produk
2.2.1 Apoteker sebagai Penanggung Jawab Produksi
Kepala bagian produksi adalah seorang apoteker yang terdaftar dan
terkualifikasi, memperoleh pelatihan yang sesuai, memiliki pengalaman praktis
yang memadai dalam bidang pembuatan obat dan keterampilan manajerial
sehingga memungkinkan untuk melaksanakan tugas secara profesional. Kepala
bagian Produksi hendaklah diberi kewenangan dan tanggung jawab penuh dalam
produksi obat, termasuk :
a) Memastikan bahwa obat diproduksi dan disimpan sesuai prosedur agar
memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan.
b) Memberikan persetujuan petunjuk kerja yang terkait dengan produksi dan
memastikan bahwa petunjuk kerja diterapkan secara tepat.
c) Memastikan bahwa catatan produksi telah dievaluasi dan ditandatangani
oleh kepala bagian Produksi sebelum diserahkan kepada kepala bagian
Manajemen Mutu (Pemastian Mutu).
d) Memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di bagian
produksi.
e) Memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan.
f) Memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil di
departemennya dilaksanakan dan diterapkan sesuai kebutuhan.
(BPOM, 2012)
2.2.2 Apoteker sebagai Penanggung Jawab Pengawasan Mutu
Kepala bagian Pengawasan Mutu hendaklah seorang apoteker terkualifi-
kasi dan memperoleh pelatihan yang sesuai, memiliki pengalaman praktis yang
memadai dan keterampilan manajerial sehingga memungkinkan untuk
melaksanakan tugasnya secara profesional. Kepala bagian diberi wewenang dan
tanggung jawab penuh dalam pengawasan mutu, termasuk:
a) Menyetujui atau menolak bahan awal, bahan pengemas, produk antara,
produk ruahan dan produk jadi;
b) Memastikan bahwa seluruh pengujian yang diperlukan telah dilaksanakan;
c) Memberi persetujuan terhadap spesifikasi, petunjuk kerja pengambilan
sampel, metode pengujian dan prosedur pengawasan mutu lain;
d) Memberi persetujuan dan memantau semua analisis berdasarkan kontrak;
e) Memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di bagian
pengawasan mutu;
f) Memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan; dan
g) Memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil di
departemennya dilaksanakan dan diterapkan sesuai kebutuhan.
(BPOM, 2012)
2.2.3 Apoteker sebagai Penanggung Jawab Pemastian Mutu
Kepala bagian Pemastian Mutu adalah seorang apoteker yang terdaftar dan
terkualifikasi, memperoleh pelatihan yang sesuai, memiliki pengalaman praktis
yang memadai dalam bidang pembuatan obat dan keterampilan manajerial
sehingga memungkinkan untuk melaksanakan tugas secara professional. Kepala
bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) hendaklah diberi kewenangan dan
tanggung jawab penuh untuk melaksanakan tugas yang berhubungan dengan
sistem mutu/ pemastian mutu, termasuk :
a) Memastikan penerapan (dan, bila diperlukan, membentuk) sistem mutu.
b) Ikut serta dalam atau memprakarsai pembentukan manual mutu
perusahaan.
c) Memprakarsai dan mengawasi audit internal atau inspeksi diri berkala.
d) Melakukan pengawasan terhadap fungsi bagian Pengawasan Mutu.
e) Memprakarsai dan berpartisipasi dalam pelaksanaan audit eksternal (audit
terhadap pemasok).
f) Memprakarsai dan berpartisipasi dalam program validasi.
g) Memastikan pemenuhan persyaratan teknik atau peraturan Badan
Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) yang berkaitan dengan mutu
produk jadi.
h) Mengevaluasi/mengkaji catatan bets.
i) Meluluskan atau menolak produk jadi untuk penjualan dengan
mempertimbangkan semua faktor terkait.
(BPOM, 2012)
Masing-masing kepala bagian Produksi, Pengawasan Mutu dan
Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) memiliki tanggung jawab bersama dalam
menerapkan semua aspek yang berkaitan dengan mutu, yang berdasarkan
peraturan Otoritas Pengawasan Obat (OPO), mencakup :
a) Otorisasi prosedur tertulis dan dokumen lain, termasuk amandemen.
b) Pemantauan dan pengendalian lingkungan pembuatan obat.
c) Higiene pabrik.
d) Validasi proses.
e) Pelatihan.
f) Persetujuan dan pemantauan terhadap pemasok bahan.
g) Persetujuan dan pemantauan terhadap pembuat obat atas dasar kontrak.
h) Penetapan dan pemantauan kondisi penyimpanan bahan dan produk.
i) Penyimpanan catatan.
j) Pemantauan pemenuhan terhadap persyaratan CPOB.
k) Inspeksi, penyelidikan dan pengambilan sampel.
l) Pemantauan faktor yang mungkin berdampak terhadap mutu produk.
2.3 Kompetensi Apoteker di Industri
2.3.1 Kompetensi Apoteker dalam Bidang Manajemen Mutu
Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan
tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam izin edar
(registrasi) dan tidak menimbulkan resiko yang membahayakan penggunanya
karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Manajemen mutu bertanggung
jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu “Kebijakan Mutu” yang
memerlukan partisipasi dan komitmen dari semua jajaran di semua departemen di
dalam perusahaan, para pemasok dan para distributor. Untuk mencapai tujuan
mutu secara konsisten dan dapat diandalkan,diperlukan manajemen mutu yang
didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar. Rincian aspek
pengetahuan yang harus dimiliki :
1. Metode analisis
2. Studi stabilitas
3. Penyelidikan kegagalan (failure investigation), penyimpangan bets
(batch deviation)
4. Prosedur pengolahan dan pengemasan ulang (rework procedures).
5. Rancang bangun fasilitas (facility design) dan sertifikasi CPOB
6. CPOB di laboratorium
7. Inspeksi diri CPOB
8. Penanganan keluhan, obat kembalian dan penarikan obat jadi
9. Penilaian pemasok (vendor rating)
10. Kalibrasi, kualifikasi dan validasi
11. Pengendalian perubahan (change control)
12. Pengelolaan dan pengendalian dokumen
13. Pelatihan CPOB
14. UKK dan K3/environment, health dan safety (EHS)
15. Penyusunan data pendukung untuk registrasi
(IAI, 2004)
2.3.2 Kompetensi Apoteker dalam Bidang Manajemen Produksi
Aspek produksi yang perlu diperhatikan dalam memproduksi suatu produk
obat yang memenuhi persyaratan kualitas adalah produksi hendaklah dilaksanakan
dengan mengikuti proedur yang telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB
yang menjamin senantiasa menghasilkan produk yang memenuhi kriteria dan
ketentuan izin pembuatan dan izin edar atau registrasi. Rincian aspek pengetahuan
yang harus dimiliki :
1. Pemahaman desain formula
2. Penanganan bahan/material handling
3. Proses pembuatan produk farmasi
4. UKK dan K3/Environment, Health Dan Safety (EHS)
5. Rancang bangun fasilitas (facility design) dan sertifikasi CPOB
6. Inspeksi diri CPOB
7. Kalibrasi, kualifikasi dan validasi
8. Pengendalian perubahan/change control
(IAI, 2004)
2.3.3 Kompetensi Apoteker dalam Bidang Pengembangan Produk
Berbagai tuntutan yang ada di masyarakat menjadi tantangan untuk
pengembangan dunia kefarmasian seperti Pharmaceutical care yaitu obat sampai
ke tangan pasien dalam keadaan baik, efektif dan aman disertai informasi yang
jelas sehingga penggunaannya tepat dan mencapai kesembuhan; timbulnya
penyakit baru dan perubahan pola penyakit yang memerlukan pencarian obat baru
atau obat yang lebih unggul ditinjau dari efektivitas dan keamanannya. Rincian
aspek pengetahuan yang harus dimiliki :
1. Formulasi
2. Teknologi farmasi
3. Pengembangan bahan pengemas
4. Penyiapan data penunjang registrasi
(IAI, 2004)
2.3.4 Kompetensi Apoteker dalam Bidang Manajemen Persediaan
Persediaan memiliki arti sangat penting bagi dalam operasi bisnis suatu
perusahaan, guna untuk memenuhi kebutuhan produksi dan memberikan kepuasan
pada kebutuhan organisasi (perusahaan). Rincian aspek pengetahuan yang harus
dimiliki :
1. Pengadaan barang (procurement)
2. Pergudangan
3. Production planning and inventory control (PPIC)
(IAI, 2004)
2.3.5 Kompetensi Apoteker Dalam Bidang Regulasi Dan Informasi Produk
Regulasi bertujuan untuk melindungi masyarakat dari peredaran obat yang
tidak memenuhi persyaratan efikasi, keamanan, mutu dan kemanfaatannya.
Informasi produk adalah keterangan lengkap mengenai obat yang disetujui oleh
Badan POM, meliputi khasiat, keamanan, cara penggunaannya, serta informasi
lain yang diangap perlu yang dicantumkan pada ringkasan karakteristik dan
informasi produk untuk pasien/brosur. Rincian aspek pengetahuan yang harus
dimiliki :
1. Registrasi.
2. Regulasi.
3. Sertifikasi.
4. Informasi produk.
5. Permohonan izin dan pelaporan hasil uji klinik.
6. Pelaporan MESO.
7. Pelaporan penanganan keluhan dan penarikan kembali produk jadi.
(IAI, 2004)
BAB III
KEGIATAN DAN HASIL PKPA
3.1 Hasil Kegiatan Harian di Tempat PKPA
Mahasiswa PKPA industri yang di tempatkan di PT Boehringer Ingelheim Indonesia setiap harinya melakukan pengamatan dan mengikuti kegiatan yang ada di PT Boehringer Ingelheim Indonesia. Untuk PKPA periode tanggal 2 Juli 2013 - 30 Agustus 2013 mahasiswa di tempatkan di bagian manufacturing dan mendapatkan tugas khusus. Walaupun di tempatkan di bagian manufacturing, tetapi mahasiswa tetap harus memahami seluruh kompetensi Apoteker di industri. Untuk itu selain melakukan pengamatan di area manufacturing, mahasiswa juga melakukan pengamatan di area lainnya. Hasil Kegiatan PKPA dijelaskan sebagai berikut.
3.1.1 Quality Operation (QO)Departemen QO merupakan bagian yang memegang kendali mutu
produk secara keseluruhan. Kegiatan QO bertujuan untuk menjamin obat yang sampai ke tangan konsumen memiliki mutu yang baik. Mutu produk harus dibentuk mulai dari bahan baku, proses produksi, produk jadi hingga saat distribusi sampai masa kadaluarsa. Secara garis besar tugas QO adalah melakukan pemeriksaan terhadap setiap tahapan kritis untuk mengetahui secara dini kesalahan yang terjadi dalam proses produksi obat. Departemen Quality Operation dipimpin oleh seorang apoteker sebagai kepala departemen yang membawahi 2 bagian, yaitu Quality Assurance dan Quality Control. Struktur organisasi QO dapat dilihat pada Lampiran II.
3.1.1.1 Quality Assurance (QA)Quality Assurance (QA) merupakan bagian Quality Operation yang
dipimpin oleh seorang manager yang merupakan seorang apoteker. Manager QA
membawahi 6 orang officer, beberapa diantaranya adalah apoteker yang memiliki
tugas masing-masing terkait ruang lingkup tanggung jawab QA. Quality
Assurance (QA) adalah suatu sistem dari berbagai aktivitas untuk memastikan
bahwa kualitas, keamanan, kemurnian dan khasiat suatu produk sesuai dengan
tujuan penggunaannya dan dapat diawasi secara efektif. Tugas dari QA adalah
untuk menjamin penerapan seluruh aktivitas penjaminan mutu, menjamin
kesesuaian prosedur yang digunakan dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh
kantor pusat di Ingelheim, dan menjamin bahwa produk-produk yang
didistribusikan ke pasar memiliki kualitas yang telah memenuhi standar regulasi
dari pemerintah dan corporate.
Tugas dari departemen QA di PT. Boehringer Ingelheim Indonesia, yaitu :
1. Training GMP
Tugas dari Quality Assurance dalam hal ini adalah menetapkan dan
melaksanakan program pelatihan CPOB bagi seluruh karyawan. Tujuannya
adalah untuk menjamin bahwa setiap personel yang terlibat langsung maupun
tidak langsung dengan proses produksi atau proses pengawasan mutu, telah
mendapatkan pelatihan yang memadai mengenai CPOB. Sebelum dilakukan
training, dilakukan mapping atau pemetaan terlebih dahulu untuk mengetahui
kebutuhan pelatihan setiap karyawan di masing-masing bagian. Setelah
dilakukan mapping, dibuat training matrix untuk setiap karyawan sesuai
dengan fungsi kerjanya masing-masing. Materi pelatihan yang diberikan
adalah semua aspek CPOB seperti sanitasi dan hygiene, dokumentasi,
keselamatan kerja dan lain-lain. Hasil training yang sudah didapat dari setiap
karyawan didokumentasikan dalam training record.
Untuk GMP Training atau pelatihan CPOB ada 2 jenis yaitu basic dan
advance. Untuk pelatihan CPOB dasar (basic) diberikan untuk karyawan
setingkat operator, analis, admin, dan sebagainya. Sedangkan CPOB lanjutan
(advance) untuk tingkatan karyawan yang lebih tinggi seperti supervisor,
officer, dan manajer.
2. Kualifikasi dan Validasi
Tujuan dari pelaksanaan kualifikasi dan validasi adalah untuk
menjamin bahwa mutu obat yang dibuat konsisten. Validasi dan kualifikasi
dilaksanakan terhadap semua aspek produksi dan pengujian dari suatu
produk. Kualifikasi maupun validasi yang dilakukan PT. BII meliputi validasi
metode analisa, mesin produksi, instrument laboratorium, prosedur
pembersihan, sistem penunjang, sistem computer, proses produksi.
3. Audit
Tujuan dari audit adalah memastikan bahwa seluruh kegiatan
pengendalian mutu sesuai dengan kebijakan mutu yang telah ditetapkan
dalam GMP dan standar PT. BII. Dalam hal ini peranan QA adalah
melaksanakan :
a. Audit Internal (Self Inspection)
Audit ini dilakukan bertujuan untuk secara proaktif
mengidentifikasi sejauh mana pelaksanaan CPOB di internal yaitu di semua
area yang terkait dengan CPOB. QA berkunjung ke area tersebut untuk
mereview dokumennya apakah semua yang dilaksanakan sudah sesuai
dengan standar dan ketentuan CPOB. Bila ditemukan adanya hal yang tidak
sesuai (finding), QA membuat catatan lalu area yang diinspeksi tersebut
harus melakukan tindakan perbaikan untuk menutup Gaps artinya harus
mencapai standar yang sudah ditetapkan sehingga sesuatu yang tidak dapat
dilakukan bisa dikerjakan. Hal ini disebut dengan CAPA (Corrective Action
Preventive Action).
b. Audit Eksternal (Audit Supplier)
Selain melakukan audit internal, PT. BII juga melakukan audit ke
pihak lain, yaitu ke supplier atau pihak yang menyediakan bahan baku dan
jasa baik raw material maupun packaging material yang dikirimkan ke PT.
BII. PT. BII harus mengetahui bagaimana proses pembuatan material
tersebut dan juga dari segi sumber daya manusia yang berperan apakah
sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan PT. BII dari supplier tersebut.
Audit rutin dilakukan terhadap supplier sesuai dengan jadwal
yang disusun berdasarkan prosedur yang telah disetujui dan waktu yang
dibutuhkan sesuai dengan kategori dari raw material. Deviasi antara
program dan implementasi aktual harus diinvestigasi dan dilaporkan.
Vendor audit juga bisa dilakukan ketika terjadi kesalahan kritis pada
material yang diterima (seperti mix up, container defect, material rejected).
Jadwal audit supplier juga tergantung dari kategori raw material. Material
dibagi menjadi 3 kategori yaitu kategori 1, kategori 2, kategori 3. Semakin
besar kategori material tersebut, semakin dinilai tidak penting atau
criticality terhadap produk semakin rendah.
Selain melakukan audit, QA juga melakukan monitor pelaksanaan
CAPA yang ditetapkan dari hasil audit. Dan juga mengkoordinasi persiapan
dan penerimaan ketika Boehringer menerima audit dari luar, misal dari
BPOM, TGA, Corporate, atau perusahaan customer lain.
4. Penanganan Deviasi (Deviasi Handling)
Deviasi adalah penyimpangan atau suatu hal yang tidak sesuai dan
hal tersebut tidak diharapkan. Deviasi atau penyimpangan dari standar yang
telah ditentukan harus didokumentasikan dan direview sebagai bagian dari
pemastian mutu yang sedang berjalan. QA bertanggung jawab dalam
menangani semua penyimpangan atau deviasi yang terkait dengan aspek
CPOB. Ketika ada suatu penyimpangan, departemen atau bagian yang
melakukan penyimpangan harus membuat suatu dokumen atau laporan
penyimpangan dan bersama-sama QA melakukan investigasi penyebab
penyimpangan tersebut dan kemudian melakukan tindakan perbaikan dan
pencegahan (CAPA) supaya tidak terjadi kesalahan yang sama.
5. Sistem Pengendalian Perubahan (Change Control System)
Pengendalian perubahan adalah suatu penanganan dan pengendalian
perubahan yang sudah direncanakan dan disengaja, serta memastikan dan
memonitor pelaksanaan perubahan. Perubahan tersebut meliputi perubahan
material, proses, sistem, peralatan, dokumen SOP, BMR, BPR, instrument,
fasilitas, dan keperluan lain yang terkait dengan manufacturing, packaging,
analisa, penyimpanan, dan distribusi produk-produk PT BII. Tujuan sistem ini
adalah ketika ada perubahan ada proses evaluasi apa yang perlu disiapkan
supaya perubahan tersebut tidak berdampak terhadap suatu mutu produk.
Pelaksanaannya ditangani dengan prosedur change control yang
terdokumentasi. QA akan mereview, dan menetapkan dokumen apa saja yang
harus dipersiapkan terkait dengan perubahan yang terjadi. Setelah itu
melakukan tindak lanjut bila masih ada ketidaksesuaian terkait perubahan
tersebut.
6. Final Batch Release
Dilakukan proses evaluasi serta pemeriksaan kelengkapan Batch
Record (catatan batch) sebelum satu batch tersebut dijual ke pasaran. Hal
yang dievaluasi adalah kesesuaian suatu produk terhadap aspek kualitas untuk
memenuhi persyaratan mutu, dan juga spesifikasi dalam hal ketaatan terhadap
guideline baik badan regulasi lokal maupun corporate. Bila memenuhi
persyaratan, batch tersebut akan diluluskan atau siap dijual ke pasaran, bila
tidak produk akan di reject. Selain pelulusan berdasarkan dokumen, PT. BII
juga melakukan pelulusan batch berdasarkan sistem yaitu sistem BPCS.
7. Program Uji Stabilitas (Stability Testing Program)
Tujuan dari uji stabilitas adalah untuk memastikan bahwa suatu
produk yang dihasilkan stabil dan memenuhi persyaratan dalam memenuhi
self life. Bila suatu produk memiliki masa kadaluarsa, harus dibuktikan
kebenarannya apakah produk tersebut benar-benar kadaluarsa bila melebihi
jangka waktu tersebut. Tugas QA dalam hal ini adalah membuat jadwal uji
stabilitas produk untuk dilaksanakan oleh QC, mengumpulkan dan
mengevaluasi data-data yang didapat dan membuat laporan uji stabilitasnya.
Setiap produk yang baru dibuat, memiliki persyaratan waktu tertentu kapan
produk tersebut harus dilakukan uji stabilitas.
Uji stabilitas yang dilakukan oleh PT. BII meliputi :
a. Accelerated Stability, adalah pemeriksaan stabilitas produk yang dilakukan
pada suhu dan kelembaban yang efektif dan dalam waktu yang lebih
singkat atau dipercepat guna mendapatkan hasil pengujian yang cepat
pula. Suhu yang digunakan adalah 40oC±2oC, kelembaban 75% ± 5% dan
diperiksa pada bulan ke 3 dan ke 6. Uji ini umumnya dilakukan terhadap
produk baru atau produk yang mengalami perubahan formula sehingga
dapat diketahui kestabilan produk tersebut dalam waktu singkat.
b. Real Time Stability, adalah pemeriksaan kestabilan yang secara rutin
dilakukan dengan kondisi penyimpanan di stability chamber dengan suhu
yang berbeda-beda, tergantung dimana produk tersebut akan dijual. Di PT.
BII tersedia 2 zona, yaitu :
i. Zona 2 (iklim sub-tropis), dengan suhu 25oC±2oC dan kelembaban
60% ± 5%. Uji stabilitas pada zona ini dilakukan terhadap produk-
produk yang akan diekspor ke negara-negara dengan iklim sub-tropis
seperti Korea, Australia, dsb.
ii. Zona 4 (iklim tropis), dengan suhu 30oC±2oC dan kelembaban 70% ±
5%. Stabilitas pada zona ini dilakukan terhadap produk-produk yang
akan dijual ke negara dengan iklim tropis seperti di Indonesia.
Testing point periode uji stabilitas ini tergantung pada waktu
kadaluarsa dari produk yang bersangkutan. Testing point dilakukan pada 3
batch pertama. Untuk accelerated time hanya 6 bulan pertama sedangkan
pada Real Time Stability testing, setiap 3 bulan pada taun pertama dari self
life produk tersebut kemudian 6 bulan di taun kedua dan satu kali setahun
sampai dengan akhir self life produk tersebut. Misal suatu produk memiliki
self life 3 tahun, akan diambil sampel untuk dianalisa pada bulan ke 0, 3, 6,
12, 18, 24, dan 36.
Bila suatu produk sudah dinyatakan stabil, tetap dilakukan
pengawasan pada kestabilannya yaitu uji follow up stability. Untk memonitor
stabilitas, setiap produk diambil minimal 1 batch pertahun untuk diuji follow
up stability pada awal, tengah, dan akhir dari waktu kadaluarsa, selama
produk tersebut masih diproduksi. Follow up stability dilakukan hanya untuk
verifikasi apakah uji stabilitas yang telah dilakukan diawal sudah valid atau
terjamin kebenaran hasilnya. Jumlah sampel yang diambil untuk uji stabilitas
sesuai dengan testing specification, yaitu jumlah sampel yang akan dianalisa
keseluruhan direplikasi 3 kali.
8. Complaint and Recall
Ketika ada complaint atau keluhan dari distributor, dokter, maupun
konsumen, complaint tersebut akan diinformasikan kepada pihak QA. QA
akan melakukan investigasi dengan pihak yang terkait sehubungan dengan
kebenaran dari complaint tersebut. Setelah itu dicari penyebab dari complaint
tersebut, dikelompokkan berdasarkan kategori, dan kemudian QA harus
menetapkan CAPA dari complaint tersebut untuk mencegah keluhan terjadi
kembali.
Penyimpangan mutu terhadap produk yang telah dipasarkan dapat
memicu dilakukannya product recall, yaitu proses penarikan produk dari
pasaran oleh perusahaan. Salah satu contoh penyimpangan adalah hasil follow
up stability yang tidak memenuhi syarat. Hal ini dilakukan untuk menjamin
keamanan pasien. PT. BII juga harus berdiskusi dengan pihak pemerintahan
di negara yang bersangkutan sebelum mengambil keputusan recall. Bila
terjadi penarikan produk dari pasaran, maka pelaksanaannya dilakukan
dibawah koordinasi bagian QA bekerja sama dengan bagian marketing.
Pengembalian produk yang rusak atau kadaluarsa dari customer tetap diawasi
oleh bagian QA.
QA juga bertanggung jawab dalam mengawasi pengembalian produk
oleh distributor. Produk yang akan dikembalikan adalah produk yang reject
dan produk yang telah mendekati masa kadaluarsa. PT. BII memiliki
kebijakan kepada distributor bahwa distributor tersebut dapat menukarkan
produk yang akan mendekati expired date dengan produk baru.
9. Kualifikasi Pemasok (Supplier Qualification)
Semua supplier yang memberikan jasa maupun produk ke PT. BII
harus dikualifikasi. Kualifikasi supplier dilakukan untuk membantu menilai
supplier secara keseluruhan dari aspek quality, cost, dan delivery. Boehringer
mengkategorikan supplier menjadi 3 jenis, yaitu release supplier, approved
supplier, dan certified supplier. Kategori atau kelas yang paling rendah dari
suatu supplier diberi nama release supplier. Suatu release supplier dapat
ditingkatkan kelasnya menjadi approved supplier dengan cara dilakukan audit
terlebih dahulu kepada release supplier tersebut, dan hasil audit harus
memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Approved supplier juga dapat meningkatkan kelasnya menjadi
certified supplier. Syaratnya adalah harus ada Quality Assurance Agreement
(QAA) antara BII dengan supplier tersebut. QAA berisi informasi apa saja
yang terjadi pada supplier tersebut, seperti adanya penyimpangan-
penyimpangan maupun perubahan yang terkait dengan proses pembuatan
bahan baku dan jasa yang dipesan oleh pihak PT. BII. Pihak supplier harus
memberitahukan kepada pihak PT. BII bila ada perubahan atau
penyimpangan tersebut. Syarat yang lain adalah certified supplier harus
memiliki history yang baik yaitu tidak adanya defect atau penyimpangan
terhadap barang yang dikirimkan. Tujuannya adalah bila supplier tersebut
telah menjadi certified supplier, kewajiban dalam melakukan analisa bahan
baku tidak perlu dilakukan untuk semua parameter pengujian namun hanya
identifikasi saja. Walaupun begitu material dari certified supplier dianalisa
penuh setahun sekali. Bila dalam suatu waktu terjadi masalah terkait material
tersebut, PT. BII dapat melakukan desertifikasi supplier dan supplier tersebut
turun kelas menjadi approved supplier atau release supplier.
10. Annual Product Review (APR)/ Product Quality Review (PQR)
Kinerja produk tahunan merupakan salah satu proses pengawasan
terhadap produk-produk yang dihasilkan perusahaan. Tujuan PQR adalah
mengevaluasi dan identifikasi perubahan spesifikasi produk, control prosedur
manufacturing, dan prosedur analisis. Peran QA adalah mengevaluasi dan
membuat laporan PQR dari obat-obat yang dihasilkan perusahaan. PQR
dilakukan setiap tahun namun bila produk tersebut dibuat dalam jumlah yang
sedikit, PQR dilakukan 3 tahun sekali. PQR dibuat dari data yang berasal dari
banyak batch produk, supaya didapatkan populasi yang dapat mewakili untuk
melihat bagaimana trend dari produk tersebut. CAPA dapat timbul dari hasil
melakukan review PQR, yaitu bila terdapat deviasi berulang, dapat dilakukan
tindakan perbaikan dan pencegahan terjadinya deviasi berulang tersebut.
11. Sistem Dokumentasi
QA juga bertugas untuk menangani, menyimpan, dan mengontrol
semua dokumen yang berkaitan dengan GMP atau CPOB. Dokumen yang
sudah terkendali, diawasi oleh document center yang ada didalam
pengawasan QA. Dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan proses
pembuatan dan manajemen mutu, harus dalam keadaan terkendali, artinya
dokumen tersebut sudah direview dan sudah disetujui oleh pihak-pihak
tertentu, QA, maupun pihak regulatory. Bila ada perubahan, dokumen yang
sudah tidak berlaku atau dokumen obsolete harus diberi stampel uncontrolled
dan segera diganti dengan yang baru. Dokumen-dokumen yang termasuk
dalam controlled document adalah SOP, spesifikasi, validasi, kualifikasi,
batch record, manufacturing specification, dokumen registrasi, dan
sebagainya.
12. SOP
Semua sistem harus memiliki SOP supaya semua personel dalam
suatu perusahaan memiliki pemahaman yang sama. Setiap proses harus
mengacu pada satu SOP saja. SOP original disimpan di document center
dibawah pengawasan QA. Tugas QA adalah memastikan bahwa hanya SOP
yang terbaru atau yang update saja yang ada di area yang memerlukan. Bila
ada versi SOP yang baru, SOP versi lama (obsolete) sudah tidak berlaku dan
harus ditarik terlebih dahulu, sebelum SOP yang baru diedarkan. SOP harus
direview secara periodic 3 tahun sekali untuk menjamin bahwa isi dari SOP
tersebut masih sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Tugas QA
mengirimkan ke pihak-pihak terkait pembuat SOP untuk mereview SOP
tersebut.
13. Site Master File
Site Master File berisi tentang bagaimana suatu perusahaan tersebut
menjalani CPOB. Site Master File merupakan informasi spesifik tentang
pemastian mutu, produksi dan/atau pengawasan mutu dari proses pembuatan
obat yang dilaksanakan PT. BII dan kegiatan terkait pada bangunan di
sekitarnya. SMF disusun setahun sekali (annually) dan mencakup informasi
umum, personil, bangunan dan peralatan, dokumentasi, pengawasan mutu,
pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak, distribusi, keluhan dan
penarikan produk serta inspeksi diri.
3.1.1.1.1 Quality Inteligence and Regulatory Compliance (QIRC)
QIRC adalah bagian Quality Assurance yang dipegang oleh seorang apoteker. Tugas dari QIRC meliputi quality intelligence, regulatory compliance, dan juga regulatory affair. Dalam quality intelligence, bagian QIRC bertanggung jawab dalam pencarian informasi tentang regulatory yang berkaitan dengan CPOB atau GMP yang dikeluarkan oleh badan regulasi di Indonesia maupun di Negara lain, kemudian menyalurkan informasi tersebut ke bagian-bagian lain di perusahaan dan menerapkan informasi tersebut di perusahaan.
Untuk tugasnya sebagai penanggung jawab dalam hal regulatory compliance, QIRC mengatur agar setiap aturan yang diterapkan di perusahaan comply atau sesuai dengan peraturan regulatory yang ada. Tujuan dari pelaksanaan regulatory compliance adalah memastikan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan dokumen (dossier) yang di registrasikan ke badan regulatory di Indonesia maupun negara lain, benar-benar dilakukan di PT BII Pabrik Bogor. Sehingga QIRC harus bekerja sama dengan QA, QC, Produksi dan product transfer. QIRC juga merupakan perantara dalam bidang regulatory compliance antara Pabrik Bogor dengan kantor pusat yang ada di Jakarta. Sedangkan untuk regulatory affair, QIRC bertanggung jawab dalam hal registrasi obat khusus untuk produk ICB yang diproduksi di PT BII Pabrik Bogor.
3.1.1.2 Quality Control (QC)
Departemen Pengawasan Mutu atau Quality control (QC) dipimpin oleh seorang apoteker sebagai manajer, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh 2 area leader dan 1 QC Analytical Development & Compliance Officer. Area leader 1 bertanggung jawab pada pengujian stabilitas dan produk jadi sedangkan area leader 2 bertanggung jawab dalam pengujian raw material, packaging material, dan mikrobiologi. QC Analytical Development & Compliance Officer memiliki tugas dalam hal mempersiapkan dokumentasi dalam pengujian seperti dokumen pengujian (testing document), metode analisis, dan dokumen yang berkaitan di bagian QC. Dalam kerjanya area leader membawahi beberapa QC Analyst yang bertugas untuk melakukan pengujian.
Tugas utama dari QC terbagi menjadi 3 yaitu dokumentasi (spesifikasi), sampling, dan pengujian (testing). Ruang lingkup dari kegiatan QC adalah seluruh kegiatan perencanaan dan analisis yang dilakukan di laboratorium, termasuk sampling dan analisa sampel bahan awal, produk ruahan, produk jadi, intermediate, IPC, hasil validasi, uji stabilitas, monitoring lingkungan, uji purified water serta HVAC.
Bagian pengawasan mutu di PT. Boehringer Ingelheim Indonesia memiliki tugas antara lain melaksanakan analisa yang sudah terjadwal, melakukan perubahan dan pembuatan PROTAP, testing specification, dan membuat dokumen registrasi. Dokumentasi (spesifikasi) dalam tugasnya QC melakukan terlebih dahulu dalam hal spesifikasi bahan yang akan di uji apakah sesuai bahan dengan COA. Segala pengujian yang dilakukan oleh tim penguji harus sesuai dengan dokumen pengujian.
Sampling dilakukan bila kelengkapan dari dokumen sudah lengkap lalu QC mengambil sampling bahan untuk di uji. Pengujian dilakukan di lab yang terdapat di ruangan QC, dilakukan oleh koordinasi area leader dan dilaksanakan oleh tim penguji. Pengujian yang dilakukan oleh QC yaitu terdiri dari 4 pengujian yaitu pengujian fisik, pengujian kimia, pengujian mikrobiologi dan pengujian dengan menggunakan instrumen seperti HPLC, GC, Spektrofotometer UV-VIS, AAS dan FTIR.
Pada tahap pengujian bila terjadi ketidaksesuaian dari spesifikasi (out of specification), maka area leader melakukan investigasi terhadap hasil pengujian tersebut. Area leader melakukan investigasi untuk memastikan tidak ada laboratory error dengan cara melakukan wawancara terhadap yang menguji, lalu melakukan pengujian kembali terhadap sampel yang baru dengan orang yang lain. Bila hasilnya sama maka bahan yang di uji terbukti out of specification.
Quality control PT. BII sudah melengkapi terhadap syarat yang ditetapkan oleh CPOB yaitu melakukan validasi metode analisis, pengujian stabilitas obat dan menyimpan sampel pertinggal untuk pengujian bila ada komplain. Pengujian
stabilitas dilakukan atas instruksi langsung dari QA. QC mengontrol status sampel termasuk retained sample, yaitu memperbaharui status sampel maupun retained sample kedalam sistem BPCS, penyimpanan retained sample dan pemusnahan retained sample. Sampel pertinggal yang disimpan yaitu produk jadi dan bahan baku. Sampel pertinggal disimpan hingga waktu 1 tahun setelah expired date.
Tugas dan tanggung jawab lain dari tugas utama QC yaitu melakukan monitoring lingkungan kawasan produksi terhadap kandungan mikroba dan partikel. Monitoring lingkungan biasanya dilakukan 1 bulan sekali dengan koordinator yaitu QA. Monitoring air yang digunakan dalam lingkungan pabrik bogor dan monitoring limbah. Selain fungsi monitoring, QC juga melakukan mengatur inventaris sendiri bagian QC seperti reagen dan reference standart. Selain fungsi monitoring dan mengatur inventaris, QC juga memiliki tugas untuk mensuport dokumentasi yang berhubungan dengan dokumen regristasi yang akan dilakukan.
Fasilitas yang dimiliki oleh bagian QC terdapat beberapa ruangan pengujian. Small instrument room, ruangan yang berisi instrumen-instrumen kecil seperti alat-alat pengujian friability test, melting point, dan instrumen kecil lainnya. Weighing room, ruangan yang digunakan untuk menimbang selain alat timbangan disini juga terdapat alat Karl Fischer dengan tujuan lebih memudahkan kerja. Wet chemistry room, ruangan ini terdapat alat untuk menguji disolusi, disintegrasi dan instrumen lainnya. Instrument room, ruangan tempat pengujian dengan menggunakan instrumen seperti HPLC, GC, Spektrofotometer UV-VIS, AAS dan FTIR. Dan yang terakhir adalah ruangan pengujian mikrobiologi pada microbiology room.
QC memiliki hubungan kerja dengan beberapa departemen didalam perusahaan, antara lain Purchasing terkait jangka waktu pembayaran material, pembelian reagent, reference standard, dan alat-alat yang dibutuhkan di laboratorium QC. Hubungan kerja QC dengan warehouse terkait dengan jangka waktu penyimpanan material dan produk jadi serta sampling. Hubungan dengan produksi terkait dengan pelulusan raw material, packaging material, bulk, dan produk jadi. Hubungan QC dengan Technical Management terkait dengan maintenance kondisi di laboratorium seperti suhu ruangan, kelembaban, purified water, dan kalibrasi peralatan. Untuk hubungan kerja QC dengan Supply Chain Management hampir serupa dengan purchasing dan warehouse terkait jangka waktu pelulusan material sehingga berdampak pada jadwal pembuatan produk. Hubungan kerja QC dengan QA tidak bisa dipisahkan terkait dengan mutu suatu produk.
Sampel yang diterima oleh bagian QC adalah sampel berupa bahan baku (raw material), produk ruahan (bulk product), produk setengah jadi (intermediate product), produk jadi (finished product), dan packaging material yang kemudian
oleh analis QC dilakukan analisa-analisa sehingga keamanan, kualitas, dan efikasi dapat tercapai.
Pengujian-pengujian yang dilakukan di bagian QC, diantaranya :
A. Alur Proses Sampling dan Pengujian Analisa Bahan Baku (Raw
Material)
Raw material yang diterima oleh bagian gudang harus dilengkapi
dengan Certificate of Analysis (CoA) dari pihak supplier yang diterima oleh
bagian gudang. Setelah sesuai dengan persyaratan, maka pihak gudang akn
memasukkan nama raw material tersebut ke dalam sistem BPCS dengan
status “Q” yang berarti quarantine, lalu mencetak RR (Receiving Report)
untuk diserahkan ke QC. RR yang diterima tersebut kemudian diregistrasikan
ke dalam logbook penerimaan Raw Material dan akan mendapatkan Testing
Number. Area leader QC akan membuat jadwal sampling dan analisa.
Planning analisa dibuat berdasarkan keperluan produksi, bila ada bahan yang
akan segera digunakan untuk produksi, maka bahan tersebutlah yang
dianalisa terlebih dahulu. Setelah itu barulah analisa berdasarkan FIFO.
Petugas QC kemudian mengambil sampel bahan baku yang datang di ruang
sampling, kemudian dilakukan pengujian. Petugas QC akan melakukan
pengambilan contoh untuk dianalisa yang dilakukan di sampling booth
dibawah Laminar Air Flow. Sebelum pengambilan sampel, dilakukan line
clearance pada sampling booth untuk memastikan bahwa ruang pengambilan
sampel bebas dari produk sebelumnya, dan diberi label bersih. Untuk
pengambilan sampel raw material, dilakukan 100% yang artinya diambil
sampel dari semua container yang datang.
Untuk proses pengujian yang dilakukan oleh analis, setiap analis harus
mengambil RR, Logbook, Testing Spesification, dan sampel. Pemeriksaan
yang dilakukan adalah pemeriksaan fisik (bentuk, warna, bau, dan jumlah),
kimia (kadar, logam berat, pH, kadar air, dsb), serta mikrobiologi bila
diperlukan. Jumlah sampel yang dianalisa untuk pemeriksaan kualitatif atau
identifikasi bahan baku dilakukan untuk 100% sampel yang telah diambil.
Sedangkan untuk pemeriksaan selain identifikasi seperti assay, dilakukan
pada masing-masing container dari 10 container pertama dan setiap 5
container berikutnya, diambil sedikit lalu dijadikan satu
Hasil pemeriksaan dicatat dalam form Result of Analysis (RoA),
direview oleh QC specialist atau area leader kemudian disetujui oleh
manager QC. Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa spesifikasi
bahan baku yang datang telah sesuai dengan persyaratan, maka area leader
QC akan member tanda “conform” pada RR. RR dan RoA beserta lampiran-
lampiran hasil pemeriksaan disimpan sebagai arsip laboratorium. Area leader
QC akan segera merubah status raw material tersebut kedalam sistem BPCS
menjadi “A” atau approved. Pemberian tanda tersebut dilakukan, sehingga
bagian-bagian terkait seperti gudang, produksi, purchasing, QA, PPIC dapat
mengetahui secara langsung tanpa harus mengunjungi laboratorium. Akan
tetapi, bila hasil analisis keluar dari persyaratan, maka RR diberi tanda
“rejected”, QC akan merubah status raw material tersebut di BPCS menjadi
“R”. pihak purchasing akan mengetahui status raw material tersebut dan
akan melakukan tindak lanjut. Barang tersebut akan dikembalikan ke supplier
atau dimusnahkan sesuai kebijakan perusahaan dengan supplier.
Analisa bahan baku produk-produk toll in dilakukan sesuai dengan
perjanjian kontrak. Beberapa perusahaan customer tidak menggunakan jasa
QC PT. BII sehingga pengujian bahan baku yang datang hanyalah memeriksa
kesesuaian antara manufacturing date, expired date, dan lot number bahan
baku di gudang dengan Certificate of Analysis (CoA) yang dikirimkan.
Jika bahan baku diserahkan kepada bagian QC PT.BII, bahan baku
dianalisa sesuai dengan Testing Specification. Testing Specification
merupakan pedoman bagi analis QC untuk dapat melaksanakan analisis.
Dalam Testing Specification terdapat beberapa parameter-parameter apa saja
yang harus dilakukan berikut dengan nilai standar yang berlaku di PT. BII
serta prosedur analisanya. Analis QC menulis hasil analisa di dalam Result of
Analysis (RoA), dimana RoA ini yang nantinya akan menentukan lulus atau
ditolaknya suatu bahan baku.
RoA yang sudah terisi harus dilampiri juga dengan hasil analisis dan
RR, setelah itu diberikan kepada Supervisor QC untuk disetujui. Setelah
disetujui dan ditandatangan, RoA tersebut harus juga mendapatkan
persetujuan HoS QO. Setelah HoS QO menyatakan CONFORM, barulah
dinyatakan release dan siap dipakai untuk kegiatan produksi.
B. Alur Proses Sampling dan Analisa Produk Ruahan (Bulk Product )
Bulk product merupakan produk akhir yang harus dianalisis terlebih
dahulu sebelum dilakukan pengemasan akhir. Pemeriksaan terhadap produk
obat yang dilakukan QC untuk mengetahui apakah produk akhir yang
dihasilkan oleh bagian produksi telah memenuhi persyaratan. Jumlah sampel
yang diambil dari produk ruahan atau bulk adalah 1x jumlah sampel untuk
full analisa. Bukan petugas QC yang melakukan sampling untuk bulk
melainkan petugas manufacturing.
Pengujian bulk product lebih mengarah pada kualitas obat (fisika,
kimia, dan mikrobiologi bila perlu). Untuk sediaan solid yang diuji
merupakan tablet yang belum diberi kemasan primer, sedangkan untuk
pemeriksaan sediaan cair dan semisolid, merupakan produk jadi yang telah
diberi kemasan primer (dalam kemasan botol/tube/strip suppositoria). Bulk
Product yang dihasilkan produksi dikirimkan ke QC disertai dengan slip
“Pengiriman Sampel dan Permintaan Analisa”. Slip tersebut berisi nama
produk, no. batch, tanggal pembuatan, tanggal diterima, tanggal sampling,
dan hasil analisa. QC akan meregistrasikan sampel yang datang tersebut di
dalam log book Bulk Product dan kemudian akan mendapatkan Testing
Number. Setelah itu, sampel disimpan dalam lemari sampel yang dikunci dan
akan dianalisa secara kimia sesuai dengan jadwal yang telah dibuat
Supervisor. Setelah bulk product diperiksa, slip ditandatangani oleh analis
yang memeriksa, disertai dengan RoA yang kemudian direview oleh area
leader QC dan disetujui oleh manajer QC. Setelah mendapatkan status
release barulah Bulk Product dikemas.
C. Alur Proses Sampling dan Analisa Produk Setengah Jadi (Intermediate
Product)
Intermediate Product merupakan produk yang diproduksi di luar
pabrik PT. Boehringer Ingelheim Indonesia, misalnya produk impor yang
masih memerlukan redressing sesuai dengan persyaratan produk atau produk
dari perusahaan ICB yang mempercayakan produknya untuk di repackaging
di PT. BII. Biasanya pada intermediate product belum ada HET.
Saat Intermediate Product datang ke gudang, gudang langsung
memberi status karantina, kemudian gudang mengirimkan RR kepada QC.
Setelah RR diberi nomor pengujian, QC akan melakukan sampling di gudang
dan melakukan pemeriksaan produk yang datang sesuai dengan CoA. Analis
akan mengambil foto dan dianalisa kelengkapan kemasan sesuai dengan form
result of analysis. Pengambilan gambar dilakukan untuk dokumentasi karena
intermediate product tidak disimpan sebagai retained sample. Hasil
pemeriksaan ditulis kedalam form Result of Analysis, yang selanjutnya
direview oleh area leader dan disetujui oleh manajer QC dan kepala
departemen. Intermediate product yang telah lulus pengujian siap dibawa ke
area packaging untuk dilakukan redressing atau repackaging sehingga
dihasilkan finished product. Redressing yang dilakukan diantaranya adalah
dengan mengganti kemasan sekunder, member label tambahan untuk
kemasan primer, dan atau member leaflet.
Finished product yang berasal dari proses repackaging produk
intermediate dianalisa kembali kelengkapan kemasan dan diambil foto
sebagai dokumentasi. Hasil pemeriksaan direview oleh area leader, dan
manajer QC. Hail pemeriksaan diberikan kepada QA untuk selanjutnya status
produk tersebut dirubah menjadi released.
D. Alur Proses Sampling dan Analisa Produk Jadi (Finished Product)
Finished Product yang dihasilkan oleh produksi dikirimkan ke QC
beserta slip “Pengiriman Sampel dan Permintaan Analisa”. Jumlah sampel
yang diambil adalah 2-3x jumlah sampel untuk full analisa. Sampel yang
datang akan diregistrasikan ke dalam Log book Finished Product. Sampel
dianalisa kualitas (fisika, kimia, mikrobiologi) dan kelengkapan kemasannya
baik primer maupun sekunder. Setelah didapat nomor pengujian barulah
analisa dapat berjalan. Sampel finished product yang telah diambil foto nya
kemudian disimpan dalam lemari penyimpanan sementara yang nantinya
produk ini akan diambil untuk dipindahkan ke ruangan retained sample. Hasil
pemeriksaan finished product ditulis dalam green sheet. Green sheet akan di
review oleh area leader dan manajer QC kemudian hasil analisa harus
disetujui oleh HoS QO. Green sheet yang telah disetujui beserta green sheet
hasil analisa bulk product atau result of analysis intermediate product akan
diberikan kepada QA untuk digabungkan dengan batch record untuk
keperluan release product.
Dokumentasi yang dibuat di bagian QC seperti testing specification,
dan result of analysis merupakan sebagian dokumen yang dibutuhkan dalam
pembuatan Dossier. Dossier adalah kumpulan dokumentasi yang
komprehensif, professional tentang bahan baku farmasi yang terus bertambah.
Secara sederhana, dossier itu adalah kumpulan dokumen-dokumen tentang
produk obat yang isinya seperti spesifikasi produk jadi dan bahan baku,
sertifikat analisa bahan baku, data stabilitas produk obat, surat-surat dan
sebagainya. Singkatnya, dossier berisi semua dokumen tentang produk obat
yang telah melewati tahap registrasi. suatu produk obat. Dossier yang dibuat
oleh PT. Boehringer Ingelheim Indonesia telah disesuaikan dengan Asean
Common Technical Dossier (ACTD). Asean Common Technical Dossier
(ACTD) adalah pedoman yang telah disepakati dalam penyusunan format
umum dalam persiapan aplikasi untuk diserahkan kepada badan regulasi
ASEAN untuk pendaftaran obat-obatan yang digunakan manusia. Panduan ini
menjelaskan format CTD yang secara signifikan akan mengurangi waktu dan
sumber daya yang dibutuhkan untuk mengkompilasi aplikasi dalam
pendaftaran dan di masa depan akan memfasilitasi persiapan pengajuan
dokumentasi secara elektronik. Peninjauan peraturan dan komunikasi dengan
pendaftar akan difasilitasi oleh unsur-unsur umum dari dokumen standar.
Bagian QC yang mempunyai tanggung jawab dalam dossier adalah
bagian QC analytical development & compliance. Bagian dokumen dossier
yang dibuat oleh QC diantaranya adalah Specification for Excipient (P410),
Analytical Procedure for Excipient (P420), Validation of Analytical
Procedure for Excipient (P430), Specification of Drug Product (P510),
Analytical Procedure of Drug Product (P520).
Dossier farmasi harus diperbaharui dan ditingkatkan, karena dossier
farmasi ini bisa menjadi jaminan bahwa validasi proses telah menjadi bagain
yang terintegrasi dari sistem dokumentasi. Unsur-unsur yang ada di dalam
dossier, yaitu :
- Formulasi yang jelas dan rinci
- Spesifikasi bahan baku
- Detail mengenai kemasan, dan
- Informasi produk jadi
Kesemua unsur ini harus dimasukkan ke dalam penyusunan dokumen baru. Keberadaan dossier farmasi yang komprehensif seperti ini akan memudahkan dan mengefektifkan pemenuhan kepatuhan terhadap regulasi, dan sebagai hasilnya akan mempercepat validasi proses produk baru.
Dossier dibuat untuk mendapatkan ijin edar, baik di Indonesia maupun negara-negara lainnya di Asia Tenggara. Selain untuk mendapatkan ijin edar, juga untuk memperpanjang ijin edar yang sudah pernah didapat.
E. Alur Proses Sampling dan Analisa Packaging Material
Pada prinsipnya pengawasan mutu terhadap bahan pengemas sama
dengan pemeriksaan bahan baku yang datang. QC menerima RR dari
warehouse kemudian QC menulis di logbook penerimaan RR, setelah itu
dibuat jadwal pengambilan sampel dan analisa. Selanjutnya dilakukan
pengambilan sampel. Pengambilan sampel untuk kemasan primer dilakukan
di sampling booth dan pengambilan sampel kemasan sekunder dilakukan di
warehouse. Sebelum dilakukan pengambilan sampel, dilakukan line
clearance terlebih dahulu untuk memastikan ruang pengambilan sampel
bebas dari produk sebelumnya dan diberi label bersih.
QC kemudian melakukan perubahan pada BPCS berkenaan dengan
jumlah PPM untuk sampling. Pada sistem BPCS, status PPM yang belum
dilakukan sampling masih berupa “Q” menandakan PPM belum disetujui
untuk dipakai pada proses packaging. Pengambilan sampel dilakukan
terhadap sebagian kecil dari batch yang ada. Sampel yang diambil hendaklah
mewakili batch yang ada, dan berdasarkan prosedur tetap yang telah dibuat.
Jumlah sampel yang diambil mengikuti rumus √N+1. Dimana n adalah
jumlah container yang datang. Jumlah sampel yang diambil dari setiap
container yang disampling ditentukan dari military standard. Setiap kegiatan
sampling selalu dicatat dalam logbook. Logbook sampling berisi keterangan
berupa tanggal sampling, item number, deskripsi mengenai item PPM, lot
sample tersebut diambil, jumlah sampel, lokasi pengambilan sampel di
warehouse, nomor paket, dan transaksi pemotongan jumlah sampel.
Sebelumnya QC membuat spesifikasi untuk setiap PPM. Spesifikasi ini
kemudian akan direview oleh pihak packaging development dan Head of
Section QC untuk selanjutnya mendapatkan persetujuan dari Head of Quality
Management. Pengujian sampel dibandingkan dengan spesifikasi yang telah
tertera dalam ROA (Result of Analysis), juga dengan proof print yang telah
disetujui. ROA juga memuat hasil analisis sampel yang menunjukkan apakah
sampel tersebut lulus uji atau reject. Analisis dilakukan oleh pihak QC dan
diawasi oleh QC specialist dan direview oleh QC area leader, kemudian
harus mendapat persetujuan dari Head of Section QC. Apabila sampel yang
diuji telah memenuhi spesifikasi, maka pihak QC akan member stampel
“conform” di RR dan mengubah keterangan PPM tersebut dalam BPCS
menjadi “A” atau approved yang menandakan PPM tersebut bisa digunakan
oleh bagian pengemasan.
3.1.2 Departemen Produksi
Departemen produksi dipimpin oleh seorang apoteker sebagai Associate Director Departement Production yang membawahi 3 seksi, yaitu Manufacturing, Packaging dan Production Technology yang masing-masing dipimpin oleh seorang manajer.
3.1.2.1. Manufacturing
Seksi manufacturing bertugas untuk membuat produk dari mulai penimbangan hingga menjadi bulk product. Seksi ini dipimpin oleh seorang
manajer. Seluruh proses produksi dilakukan di area produksi dengan kelas ruangan adalah kelas E. Seluruh proses produksi dikerjakan dalam 3 shift.
Secara umum proses produksi dilakukan dari hasil yang telah direncanakan pada weekly planning yang dibuat oleh PPIC dan department lain. Setelah weekly planning maka planner akan menyiapkan dan memesan bahan kepada gudang melalui sistem BPCS (Business Planning and Inventory Control System) menggunakan form pemesanan Shop Order (SO) level 1. Pada SO level 1 semua bahan yang akan diproduksi dalam satu minggu akan disiapkan oleh gudang. Gudang akan mengirimkan material sesuai SO produk yang akan dibuat. Pada saat transfer material gudang menyertakan dokumen Material Transfer List (MTL), kemudian dilakukan kegiatan serah terima material antara gudang dengan bagian dispensing yaitu penimbangan pada seksi manufacturing.
Proses produksi sudah dimulai saat material telah masuk bagian dispensing. Dokumen yang digunakan yaitu Batch Record pada bagian manufacturing yang dikenal dengan nama Batch Manufacturing Record (BMR). BMR berisi tentang formulasi, proses produksi, rekonsiliasi hasil, deviation report dan process review. BMR merupakan dokumen pegangan yang berlaku di area produksi. Semua yang terkait dalam produksi obat harus mengikuti instruksi yang ada di BMR dan mencatat segala hasil produksi pada BMR.
Untuk produk baru yang akan diproduksi di PT. BII, akan dilakukan proses produk trasfer yang didalamnya akan dilakukan trial dan validasi. Setelah proses selesai, akan dilakukan pembuatan Bill of Material (BOM) dan Routing. BOM adalah suatu dokumen yang berisi tentang standar formula atau komposisi bahan untuk membuat suatu produk sesuai besar batch lengkap dengan jumlah dan unit satuannya. Sedangkan routing adalah standar jam kerja yang dipergunakan sebagai acuan dalam menghitung harga suatu produk jadi dan lebih lanjut dapat digunakan sebagai acuan lamanya proses tiap produk dan untuk evaluasi proses dengan membandingkan antara kenyataan jam kerja dengan standar tersebut agar dapat dilakukan perbaikan yang berkesinambungan.
a. Proses Pembersihan dan Pelabelan Di Area Manufacturing
Pembersihan di area manufacturing dibagi menjadi pembersihan besar
(Major Cleaning) dan pembersihan kecil (Minor Cleaning). Pembersihan besar
adalah pembersihan yang dilakukan terhadap keseluruhan bagian mesin setelah
selesainya suatu produk dibuat. Pada umumnya dilakukan pada setiap
pergantian produk, terhadap mesin setelah perbaikan atau preventive
maintenance yang dikhawatirkan dapat terjadi pencemaran terhadap produk,
dan pembersihan yang dilakukan setelah sampling validasi pembersihan.
Pembersihan kecil (Minor Cleaning) dibagi menjadi 2 kategori yaitu
kategori 1 merupakan pembersihan kecil dilakukan pada mesin yang tidak
digunakan dalam proses di suatu ruangan selama bagian mesin yang kontak
produk tertutup rapat dan/atau tidak tercemari oleh produk lain. Sedangkan
kategori 2 merupakan pembersihan kecil dilakukan pada akhir proses atau
kegiatan dalam suatu hari dan proses tersebut akan dilanjutkan keesokan
harinya, atau untuk produk yang dibuat secara berkesinambungan (campaign
process), kecuali untuk campaign yang mengharuskan pembersihan besar
karena alasan tertentu.
Pada pembersihan besar ditempelkan label bersih berwarna hijau yang
telah diperiksa area leader atau orang kedua yang terlatih dan berlaku selama 4
minggu (28 hari), kecuali dinyatakan lain pada SOP masing-masing mesin.
Pada pembersihan kecil, ditempelkan label bersih berwarna kuning yang telah
diperiksa area leader atau orang kedua yang terlatih. Untuk ruangan, alat, dan
mesin produksi yang akan atau sedang dibersihkan diidentifikasi dengan label
“SEDANG DIBERSIHKAN” (warna merah). Untuk ruangan, alat, instrumen,
dan mesin yang tidak dapat digunakan karena sedang diperbaiki/dikalibrasi
/dikualifikasi diidentifikasi dengan label “TIDAK DAPAT DIGUNAKAN”.
b. Proses Pengisian Line Clearance Di Area Manufacturing
Line Clearance merupakan suatu pedoman untuk menilai apakah proses
pada tahap produksi siap untuk dilaksanakan. Pengisian line clearance
dilakukan oleh operator masing-masing proses sebelum memulai proses. Line
clearance yang telah diisi kemudian harus diparaf oleh area leader atau orang
kedua yang terlatih.
c. Proses Produksi Solid, Semisolid, dan Liquid Di Area Manufacturing
PT. Boehringer Ingelheim Indonesia membagi proses produksi menjadi 3
bagian, yaitu pembuatan sediaan solid, pembuatan sediaan semi solid dan
pembuatan liquid.
1. Proses Pembuatan Sediaan Solid
Jenis sediaan yang paling banyak di produksi PT Boehringer
Ingelheim Indonesia adalah sediaan solid. Sediaan solid yang dihasilkan
diantaranya tablet, tablet salut film, dan tablet salut gula, serta ada yang
berupa enteric couting ataupun free enteric couting. Proses sediaan solid
diawali dari proses dispensing, wet granulation, dry granulation,
compressing dan couting. Alur produksi Sediaan Solid dapat dilihat pada
lampiran VI.
i. Proses Dispensing.Dispensing merupakan proses penimbangan bahan-bahan yang
akan digunakan pada proses pembuatan sediaan solid, semisolid dan
liquid. Ketika pergantian penimbangan produk, dilakukan pembersihan
besar (alat dan ruangan) kemudian diberi label bersih serta mengisi line
clearance. Setelah itu proses penimbangan dapat dilakukan.
Tekanana udara di ruang timbang rata-rata 10 Psi dan aliran udara
yang masuk ke ruang timbangan di lengkapi dengan Laminar Air Flow
(LAF). Operator menimbang material sesuai permintaan di Shop Order
(SO) dan BMR yang diberikan oleh manufacturing office. Petugas
warehouse memberikan bahan-bahan yang akan ditimbang beserta
Material Transfer List (MTL).
Proses penimbangan suatu batch dimulai dari seluruh bahan
pembantu terlebih dahulu dan diakhiri oleh penimbangan bahan aktif,
kecuali ada pertimbangan lain. Untuk penimbangan material seperti gula
(dalam jumlah besar) tidak perlu dikeluarkan dari Original Container,
cukup diberisihkan wadahnya dengan alkohol 70 % dan ditransfer
dengan Flux Transfer Pump. Alat ini digunakan untuk transfer material
liquid dari original container material ke wadah/container penimbangan.
ii. Wet Granulation
Wet Granulation merupakan proses pencampuran partikel zat aktif
dan eksipien menjadi partikel yang lebih besar dengan menambahkan
cairan pengikat dalam jumlah yang tepat sehingga terjadi massa lembab
yang dapat digranulasi. Sebagian produk yang diproduksi PT BII dibuat
dengan metode granulasi basah.
Proses granulasi basah diawali dengan dengan pembuatan larutan
pengikat menggunakan PW yang dididihkan pada wadah s/s double
jacket dan diaduk menggunakan mesin Bonnet Callad. Proses selanjutnya
memasukan bahan aktif, bahan pengisi, bahan penghancur dan zat
lainnya ke dalam mesin Diosna Pharma Mixer P 600 atau P 100 dengan
kecepatan mixer dan chopper low selama 5 menit. Kemudian dimasukan
larutan pengikat yang telah dibuat, mixer selama 2-5 menit. Setelah
campuran homogen, kemudian di granulasi menggunakan mesin
Alexanderwerk Granulator dengan kecepatan 8 rpm dan ukuran ayakan
2,00 mm.
PT Beohringer Ingelheim mempunyai 2 alat Waldner Drying, yaitu
Waldner Drying Oven 1 Explosion Proof untuk granul yang mengandung
organic solvent (alkohol, isopropanol dan lain-lain) dan Waldner Drying
Oven 2 Non Explosion Proof untuk granul yang tidak mengandung
organic solvent.
Ada beberapa produk yang proses pengeringannya tidak
menggunakan waldner oven, tetapi menggunakan Fluid Bed Dryer
(FBD). Pengeringan menggunakan FBD hanya sebentar saja, sekitar 20
menit. Pengeringan menggunakan waldner oven atau FBD tergantung
petunjuk dari BMR. Setelah proses pengeringan, granul disampling untuk
dilakukan pengujian LOD dengan alat Moisture Analyzer. Sampling
dilakukan di tray bawah, tengah dan atas. Tiap tray diambil di 5 titik
yang berbeda. Ketika hasil LOD memenuhi persyaratan maka akan
masuk tahap selanjutnya yaitu dry granulation, apabila LOD belum
sesuai maka akan dilakukan penambahan waktu pengeringan.
iii. Dry Granulation
Proses dry granulation diawali dengan menyaring granul yang
telah dikeringkan dengan mesin Bohle Turbo Sieve (BTS) 200 dengan
kecepatan 250-300 rpm menggunakan ayakan 1 mm. Mesin ini
menggunakan desain ayakan berbentuk kerucut yang dapat diganti-ganti
sesuai dengan ukuran ayakan yang dikehendaki. Granul yang telah
diayak kemudian ditampung dalam plastik. Setelah diayak, kemudian
dicampur dengan Mg Stearat yang telah diayak 0,5 mm.
Proses pembuatan granulasi kering ini tidak menggunakan metode
Slug yaitu massa serbuk ditekan pada tekanan tinggi sehingga menjadi
tablet besar yang tidak berbentuk, kemudian digiling dan diayak hingga
diperoleh granul dengan ukuran partikel yang diinginkan ataupun tidak
menggunakan metode Rol yaitu massa serbuk diletakkan diantara mesin
rol yang dijalankan secara hidrolik untuk menghasilkan massa rata yang
tipis, lalu diayak atau digiling hingga diperoleh granul dengan ukuran
yang diinginkan. Produk yang langsung di dry granulation tanpa melalui
proses wet granulation hanya di mixing dengan mesin BPB, kemudian
diayak dengan BTS. Campuran tersebut kemudian ditambahkan Mg
Stearat yang telah diayak 0,5 mm dan di final mixing dengan BPB atau
drum mixer.
iv. Compressing
Setelah granul melalui proses wet granulatian dan/atau dry
granulation, kemudian akan dilanjutkan dengan proses compressing/
pencetakan. PT BII mempunyai 2 alat cetak tablet Fette P 1000 yang
memiliki 28 dan 33 punches dan dies dan satu Fette P 2 yang memiliki
24 punches dan dies. Sebelum melakukan pencetakan, dilakukan
pemeriksaan line clearance ruang cetak tablet, diantaranya:
v. Sugar Coating
Proses penyalutan gula menggunakan bahan dasar gula (sucrose).
Hal ini karena gula merupakan salah satu dari sedikit bahan yang dapat
dihaluskan, dan mampu membentuk tablet salut yang halus, kuat,
mengkilap dan tidak saling lengket (menempel) pada saat telah menjadi
tablet salut. Proses dasar penyalutan gula mencakup tahap-tahap
penyegelan tablet inti (seal coating), pelapisan dasar (sub coating),
pewarnaan (coloring), penghalusan atau penyelesaian (smoothing),
pengkilapan (polishing) (Priyambodo, 2007).
Tablet inti yang telah dibuat dan lulus uji QC akan dilakukan
penyalutan. Proses salut gula dilakukan pada alat coating pan yang
berputar dengan kecepatan tinggi, kemudian dituangkan larutan penyalut
4-7 kali tiap tahap hingga didapatkan bobot sesuai BMR. Selain
dilengkapi dengan aliran udara panas, coating pan juga dilengkapi
dengan sistem penghisap udara untuk mengurangi debu hasil coating.
Selama proses penyalutan, taburkan talc secara manual secukupnya
untuk membantu tablet mudah meluncur dalam pan serta diperiksa fisik
tablet, jika ada yang cacat secara fisik dipisahkan, kemudian tablet
dimasukan ke dalam coated tablet drying pada suhu 37 °C selama
semalam. Setelah proses pengeringan selesai, dilanjutkan dengan tahap
selanjutnya dari proses penyalutan.
vi. Film Coating
Proses penyalutan film di PT BII menggunakan mesin
Diamcoater yang dilengkapi Spray System. Spray System ini memiliki
prinsip kerja pengkabutan atau atomisasi yang disebabkan pertemuan
antara larutan coating dengan udara bertekanan pada spray gun
sehingga larutan coating berbaur dengan udara bertekanan dan terpecah
menjadi sekumpulan partikel yang sangat halus dan lembut.
vii. Imprinting
Beberapa produk PT BII melalui proses imprinting, khususnya
untuk produk yang akan diekspor ke negara korea contohnya adalah
Dulcolax S DBP Free ECT. Proses impinting ini adalah mencetak logo
PT BII ditengah tablet yang telah dihasilkan. PT BII mempunyai 2 alat
untuk imprinting tablet, yaitu:
Markem Imprinting Tablet Mechine No 1
Mesin Imprinting Ackley
Setelah dicetak, tablet akan melewati pipa imprinting yang dialiri dengan oil free compresor air (udara bertekanan) dengan tujuan pengeringan tinta pada tablet yang telah dicetak.
viii. Sortir
Setelah proses penyalutan, akan dilakukan proses sortir. Proses
sortir ini dilakukan menggunakan mesin Sorting Conveyor. Mesin
Sorting Conveyor merupakan alat yang dapat digunakan untuk
melakukan pemeriksaan visual terhadap tablet. Alat ini dilengkapi
dengan bagian pembalik tablet sehingga pemeriksaan visual dapat
dilakukan terhadap kedua sisi tablet. Pada proses ini dilakukan oleh
beberapa petugas yang akan memeriksa defect berupa cosmetic defect.
ix. Pharmaceutical Defect Evaluation List (PDEL) di Ruang Work In Proses (WIP)
Ruang Work In Proses (WIP) merupakan ruang untuk
menyimpan produk antara yang akan dilanjutkan proses selanjutnya,
dan produk ruahan yang sedang menunggu proses packaging. Produk
ruahan sebelum dilakukan proses packaging akan dilakukan proses
Pharmaceutical Defect Evaluation List (PDEL) oleh QC. Pada tahap
ini, QC akan menguji kejadian cacat (defect) yang ada pada produk
yang dihasilkan, terutama adalah produk hasil penyalutan. PDEL
membagi defect dalam 5 kategori, yaitu:
Class Defect 1: Critical Defect merupakan cacat yang dapat
membahayakan kesehatan atau jiwa atau cacat yang melanggar
kondisi penting yang sudah ditetapkan.
Class Defect 2: Major Defect-product useless merupakan cacat yang
menyebabkan produk tidak berguna atau tidak berkhasiat.
Class Defect 3: Major Defect-usability greatly reduced Defect
merupakan cacat yang menyebabkan berkurangnya kegunaan atau
khasiat dari produk.
Class Defect 4: Minor Defect merupakan cacat yang menyebabkan
sedikit berkurangnya kegunaan atau khasiat dari produk.
Class Defect 5: Cosmetic Defect merupakan cacat kosmetik yang
tidak merusak kegunaan atau khasiat dari produk.
2. Proses Pembuatan Sediaan Semisolid
PT Boehringer Ingelheim Indonesia memproduksi sediaan semisolid
berupa suppositoria dan krim. Alur produksi Sediaan Semisolid dapat dilihat
pada lampiran VII. Pembuatan suppositoria dilakukan menggunakan mesin
yang bernama Becomix. Mesin ini memiliki 2 motor agitator dan
homogenizer dan masing-masing mempunyai 2 tingkatan kecepatan, yaitu
low dan high speed. Mesin ini berfungsi untuk mencairkan basis lemak
melalui proses pemanasan dengan menggunakan steam dan proses mixing
untuk mencampurkan basis dengan zat aktif. Proses dimulai dengan
memasukan PW kedalam bejana Becomix hingga setengah bagian bejana,
kemudian dipanaskan pada suhu 90-100 °C dan sirkulasi selama 5 menit.
Setelah proses sirkulasi, PW dibuang melalui saluran pembuangan.
Kemudian bejana dibersihkan dari sisa PW menggunakan compressing air
(udara bertekanan).
Proses dilanjutkan dengan memasukan bahan basis lemak dalam Becomix, kemudian Becomix akan memanaskan dan mengaduk basis lemak tersebut hingga leleh sempurna. Pemanasan dilakukan pada suhu 40-43 °C. Setelah leleh sempurna, tampung basis lemak tersebut sebanyak 7 Kg di dalam wadah s/s. Kemudian masukan zat aktif pada wadah tersebut dan dilakukan proses pencampuran menggunakan mesin Ultra Turax Homogenizer. Ultra Turax Homogenizer merupakan mixer berkecepatan tinggi dan dapat mencacah material menjadi partikel dengan ukuran yang lebih kecil. Setelah zat aktif tercampur, kemudian dimasukan kedalam mesin Becomix dan dilanjutkan proses pengadukan hingga homogen. Proses pengadukan dilakukan pada suhu 38-43 °C, kecepatan 40 rpm, homogenizer stage I, waktu proses 13 menit dan tekanan -0,5 Bar. Untuk memastikan campuran telah homogen, dilakukan pengujian homogenitas menggunakan mikroskop di ruang IPC. Setelah proses pencampuran selesai, kemudian basis lemak cair dipindahkan pada Waldner Transfer Tank 500 L dan dilanjutkan proses filling suppositoria. Waldner Transfer Tank 500 L merupakan alat yang berfungsi untuk mengaduk dan memanaskan bulk suppo agar tetap homogen dan dalam keadaan cair/tidak membeku, kemudian mentransfer bulk suppo kebagian filling mesin Sarong. Panas
yang dihasilkan mesin ini berasal dari steam water. Proses filling dilakukan di ruang filling suppositoria dengan menggunakan mesin Sarong. Mesin ini terdiri dari 5 bagian, yaitu:
Bagian Forming yaitu untuk membentuk pocket. Suhu pada forming
adalah 150 °C.
Bagian Filling yaitu untuk mengisi massa suppo kedalam pocket.
Bagian Cooling yaitu untuk membentuk massa, terdiri dari 4 ruang
dengan suhu berbeda yaitu 24, 22, 20 dan 18 °C.
Bagian Sealing dan Coding yaitu untuk melekatkan bagian atas pocket
dan memberi penandaan. Suhu pada sealing adalah 130 °C.
Bagian Cutting yaitu untuk memotong suppo menjadi strip sesuai yang
diharapkan.
Suppositoria yang dihasilkan kemudian dilakukan uji IPC, yaitu:
Bobot perstrip, biasanya perstrip terdiri dari 5 suppo. Bobot rata-rata
persuppo adalah 1,746-1,854 gram.
Kebocoran dengan menggunakan water bath, kemudian ditekan
apakah bocor apa tidak.
Uji fisik dengan melihat apakah ada no batch, kadar luarsa, dan
kualitas cetakan.
3. Proses Pembuatan Sediaan Liquid
Sediaan selanjutnya adalah sediaan Liquid. Alur produksi Sediaan
Semisolid dapat dilihat pada lampiran VIII. Pembuatan sediaan liquid
diawali dengan melakukan pengujian pH purified water di QC pada
rentang spesifikasi 5-7. Proses dilanjutkan dengan pencampuran bahan-
bahan seperti zat aktif, pewarna, pengawet dan lainnya pada tank ukuran
kecil, seperti tank 150 L dan 250 L. Kemudian dari tank ukuran kecil ini
akan di-transfer kepada tank ukuran besar, yaitu tank pembuatan ukuran
800 L dan 2400 L. Proses final mixing dilakukan di-tank pembuatan
ukuran besar ini.
Tank yang berada di PT Boehringer Ingelheim Indonesia (PT BII)
merupakan double jacket tank yang bisa untuk proses pemanasan (dengan
dialiri steam) maupun proses pendinginan (dengan dialiri chiller atau cold
city water). Setelah dilakukan proses final mixing semua bahan sediaan,
akan dilakukan penambahan purified water hingga batas yang ditentukan
dengan melihat pada Load Cell. Load Cell merupakan suatu alat yang
digunakan untuk melihat bobot (kg) cairan yang berada dalam tanki
pembuatan. Pada penambahan purified water di-final mixing, harus dilihat
faktor konversi cairan dalam satuan liter menjadi satuan cairan dalam
kilogram. Setelah proses final mixing dan sebelum filtrasi, larutan diambil
sebanyak 100 ml untuk dilakukan uji IPC di QC. Uji tersebut diantaranya
penampilan, bau, pH dan density.
Setelah proses pencampuran bahan-bahan sediaan selesai,
kemudian akan dilakukan proses transfer dari tank pembuatan ke tank
penyimpanan sebelum dilakukan proses filling. Proses transfer sediaan
liquid dari tank pembuatan ke tank penyimpanan melalui pipa transfer
yang dilengkapi Swing Bend Panel dan bantuin Pompa Hilge. Swing Bend
Panel merupakan alat yang digunakan untuk mengatur proses transfer
menuju tanki penyimpanan yang dituju. Sedangkan Pompa Hilge
merupakan pompa yang berfungsi untuk mendorong larutan dari tank
pembuatan menuju tank penyimpanan. Tidak semua sediaan dilakukan
transfer dengan menggunakan pompa hilge, ada pula yang menggunakan
bantuan nitrogen untuk transfer.
Bersamaan dengan proses transfer, dilakukan pula proses filtrasi
menggunakan housing filter. Housing filter ada yang berupa single filter
(terdiri dari satu ukuran filter) dan ada pula yang multi filter (terdiri dari
beberapa ukuran filter). Semua proses ini merupakan proses inline, tank
pembuatan-pompa hilge-housing filter-pipa transfer-tank penyimpanan.
Didalam ruang Liquid Preparation 1 ini juga terdapat alat Liquid
Flow Meter yaitu alat untuk mengatur jumlah keluar sorbitol 70% dari
tank sorbitol 70% pusat untuk dimasukan ke tank mixing. Fuji Electric
Temperature Recorder yaitu alat untuk mencatat suhu di tank mixing 800
dan 2500 L. Dan juga terdapat fasilitas seperti Purified Water, Hot City
Water, Cold City Water, Clean Steam dan Nitrogen.
Pada ruang liquid preparation 2 biasanya ditujukan untuk
pembuatan sediaan drops atau cairan inhalasi. Untuk proses awal dari
pembuatan diruangan ini sama dengan ruangan lain yaitu pembersihan
ruangan dan alat (jika dalam keadaan kotor) serta mengisi line clearance
dan pengujian pH purified water di QC. Yang berbeda pada proses
diruangan ini adalah alat-alat yang akan digunakan seperti erlenmeyer,
pipet volume, beaker glass dan lainnya harus di autoclave terlebih dahulu
di ruang QC serta proses pembuatannya dibawah Laminar Air Flow (LAF)
yang bertekanan positif. Proses pembuatan dilakukan di tank pembuatan,
ada yang berukuran 150 L dan 600 L.
PT. BII juga membuat antibiotik dalam bentuk suspensi. Proses
pembuatan suspensi ini dilakukan menggunakan mesin Shang Yuh. Mesin
Shang Yuh merupakan mesin yang digunakan untuk proses pencampuran
sediaan liquid dan semisolid. Alat ini dapat melakukan proses pemanasan
karena berupa double jacket.
3.1.2.2 Packaging
Area packaging di PT. Boehringer Ingelheim Indonesia dibagi menjadi area primer dan area sekunder. Untuk area primer dilakukan dikelas E yang menjadi satu dengan area manufacturing. Sedangkan untuk area sekunder, dilakukan di kelas F, dimana pada area tersebut tidak ada persyaratan jumlah partikel tertentu dikarenakan produk yang masuk ke area tersebut telah dalam kemasan primernya.
Pengemasan merupakan tahap akhir dalam proses produksi, dimana terdapat dua tahap dalam proses pengemasan yakni:
a. Pengemasan primer merupakan pengemasan tahap awal yang berhubungan
langsung dengan produk sehingga proses ini dilakukan di area produksi.
Kemasan primer dibagi menjadi beberapa jenis seperti strip dan blister
(sediaan padat), botol (sediaan cair), tube (krim) dan alufoil (suppositoria).
b. Pengemasan sekunder merupakan proses pengemasan yang tidak mengalami
kontak langsung dengan produk, proses ini adalah pengemasan produk ke
dalam folding carton dan selanjutnya ke dalam punch carton. Hal ini
menyebabkan proses ini dapat dikerjakan di area packaging yang merupakan
area kelas F.
Kemasan sekunder serta label di PT. Boehringer Ingelheim Indonesia menggunakan 3 jenis kode, yakni edge code, EAN code dan barcode. Edge code berfungsi untuk mencegah terjadinya mix-up pada folding carton dan label. EAN code dan barcode berfungsi untuk identifikasi produk dan juga mencegah untuk terjadi mix-up.
Proses pengemasan di area packaging dimulai setelah dikirimnya material dari area manufacturing. Material tersebut sebelumnya telah diambil sampel untuk dilakukan pengujian oleh QC. Proses pengemasan dan pengujian terjadi secara pararel, sehingga produk dapat langsung diantaranya ke warehouse setelah proses pengemasan selesai meskipin belum ada keputusan release dari QA dengan diberi status karantina.
Hampir semua proses pengemasan di PT. Boehringer Ingelheim Indonesia dilakukan secara semi otomatis. Pada proses packaging sediaan liquid, proses pencucian botol dan filling liquid bekerja secara otomatis dan terintegrasi. Botol-botol yang telah melalui tahap dilling akan langsung masuk ke area packaging untuk pengemasan sekunder yang prosesnya pun dibantu oleh mesin. Mesin tersebut akan langsung mengemas botol ke dalam folding carton, kemudian diberi batch number, tanggal kadaluarsa dan leaflet. Mesin pelabelan dan pengemasan sekunder sediaan cair tersebut memiliki tiga macam sensor, yakni sensor batch number dan expire date, sensore barcode dan sensor label.
Pengemasan primer untuk sediaan padat terbagi dua sesuai pemasarannya yakni secara striping dan blister. Kedua mesin pengemasan primer tersebut terdapat di area manufacturing. Pada pengemasan sekunder sediaan padat, selain langsung dalam folding carton terdapat pula pengemasan dalam bentuk catch cover yang selanjutnya akan masuk ke folding carton.
Jika pengemasan telah dilakukan, proses tersebut akan di dokumentasikan ke dalam satu bacth packaging record yang kemudian akan digabungkan ke dalam batch record bersama dengan batch manufacturing record.
3.1.2.3. Production Technology
Seksi production technology merupakan suatu bagian yang menjalankan fungsinya mirip dengan development dikerjakan oleh apoteker. Fungsi dari seksi production technology yaitu melakukan analisis formula baru dari corporate dan pelaksanaan trial dari suatu produk sebelum dilakukan produksi dalam skala besar. Melakukan fungsi development untuk menghasilkan produk yang baru. Menerima usulan dan mengajukan tindakan perbaikan (opportunity for improvement) untuk meingkatkan kinerja ataupun mengefisiensikan proses demi keuntungan perusahaan.
3.1.3 Supply Chain ManagementBagian Supply Chain Management dipimpin oleh seorang head of
department yang membawahi 3 bagian, yaitu PPIC, Demand Planning & Packaging Development, dan warehouse, yang masing-masing dipimpin oleh seorang manager. Struktur organisasi supply chain management dapat dilihat pada Lampiran III.
Tugas departemen SCM adalah melakukan perencanaan produksi berdasarkan data perkiraan (Forecast) dari bagian marketing. Dan selanjutnya akan diproses pada tiap sub bab departemen. Dalam melakukan fungsinya, departemen SCM menggunakan dua sistem komputer yang terkoneksi dengan Boehringer Ingelheim di Jerman dan departemen lainnya. Sistem komputer yang digunakan adalah Business Planning and Control System (BPCS) dan Boehringer Ingelheim Export (BIX@ system).
Departemen SCM menggunakan BPCS dalam forecast system, Master Production Schedulling (MPS), Material requirements Planning (MRP), Shop Order (SO), Advance Process Industries (API), Bill of Material (BOM), dan inventory system. Dengan BPCS, jadwal yang telah direncanakan oleh SCM juga dapat diakses oleh bagian produksi, QC, packaging, dan bagian lainnya yang terkait. BPCS juga dapat diakses oleh Boehringer Ingelheim di Jerman, sehingga kontrol terhadap perencanaan yang dilakukan SCM di PT.BII dapat dilakukan on line.
BIX@ system adalah sistem yang membantu dalam proses ekspor yang dilakukan oleh PT BII. BIX@ system berperan dalam :
1. Mengatur aktivitas pemesanan raw material, produk antara, packaging
material, dan produk jadi untuk inter company
2. Proses ekspor
3. Proses permintaan untuk memulai persiapan produksi
4. Mengontrol dan memantau pengiriman barang
3.1.3.1 Demand Planning dan Packaging Development
A. Demand Planning
Demand Planning Manager membawahi bagian packaging development.Tanggung jawab dari bagian Demand Planning adalah :
1. Menyusun pertemuan perencanaan pembelian bersama bagian marketing.
2. Mengontrol packaging development untuk mematuhi regulasi lokal dan
melakukan perubahan atau pengaturan yang baru.
Demand berperan sebagai perencana untuk menangkap permintaan dari marketing. Demand Planning akan menerima forecast dari bagian marketing. Forecast merupakan perkiraan jumlah produk PT. BII yang akan dipasarkan atau dijual berdasarkan perkiraan permintaan pasar. Permintaan tersebut akan dikonversikan dalam bentuk angka produksi dengan sebelumnya terdapat agreement antara demand dengan marketing dengan safety stock yang ditentukan oleh demand. Safety stock merupakan stok pengaman penyediaan produk untuk mengantisipasi kekurangan stock ketika ada permintaan diluar trend. Safety stock ada untuk menghadapi ketidakpastian dalam penawaran dan permintaan. Dengan memiliki jumlah safety stock yang memadai, sebuah perusahaan dapat memenuhi permintaan penjualan yang melebihi perkiraan permintaan mereka tanpa mengubah rencana produksi mereka.
Angka produksi tersebut dipengaruhi oleh variabel-variabel seperti permintaan pasar, program marketing, sales target, dan production capacity. Demand akan menjaga agar safety stock tetap terpenuhi, dan menjaga level dari DOI (Days of Inventory) untuk 45 hari tetap terpenuhi. Demand akan menjaga agar suatu produk tetap ada di pasaran dengan menyeimbangkan safety stock dan DOI. Produk harus selalu tersedia di pasaran untuk mencegah hilangnya pangsa pasar yang dapat berakibat pada penurunan sales marketing dan margin yang diperoleh dari penjualan produk. Angka produksi yang diperoleh dari bagian pemasaran dalam satuan unit untuk 1 bulan, akan diubah menjadi satuan lot oleh demand. Data dalam bentuk angka produksi dalam satuan lot akan diberikan ke bagian PPIC untuk diolah menjadi produksi mingguan dan produksi harian.
B. Packaging Development
Packaging Development dipimpin oleh demand planning manager yang membawahi beberapa officer. Tugas dari bagian Packaging Development adalah :
a. Membuat disain baru atau perubahan disain produk.
b. Mengawasi dan menindaklanjuti sirkulasi disain.
c. Berkoordinasi dengan produksi dan TM untuk mencoba kesesuaian disain
baru dan mengubah disain pada mesin pendukung.
d. Membuat Packaging Display dan Packaging Composition sebagai
panduan untuk pembuatan Batch Packaging Record (BPR).
Packaging development menangani perubahan disain dan pembuatan disain baru baik itu untuk produk BII maupun produk ICB. Untuk perubahan pada produk ICB, packaging development akan berkoordinasi dengan pihak ICB dalam pembuatan disain. Pada pembuatan disain untuk produk ekspor, packaging development akan menyiapkan technical data dan DOA (development of artwork) untuk selanjutnya artwork akan disiapkan oleh International Logistic. Selanjutnya pihak packaging development akan menangani sirkulasi dari artwork maupun proofprint bahan kemas. Trial pada bahan kemas dilakukan pada bahan kemas baru dan pada perubahan bahan kemas yang berkaitan dengan dimensi, barcode, material bahan kemas, dan pemasok baru. Uji coba akan dilakukan dengan koordinasi packaging development bersama-sama dengan bagian Packaging/TM. Setelah penanganan pembuatan dan perubahan bahan kemas selesai, dibuatlah suatu dokumentasi bahan kemas untuk setiap produk, yaitu Packaging Composition (PC) dan Packaging Display (PD). PC dibuat setiap kali ada produk baru atau ada perubahan komposisi bahan kemas suatu produk. PD dibuat setiap kali ada produk baru atau setiap ada perubahan disain kemasan disertai dengan perubahan nomer versi.
3.1.3.2 PPIC (Production Planning and Inventory Control)Bagian PPIC dipimpin oleh seorang manager yang membawahi supply
specialist dan import operation. PPIC merupakan bagian yang merupakan penghubung antara bagian manajemen dengan bagian produksi untuk menyelaraskan kebutuhan pasar yang dilihat dari forecast dengan jumlah produk yang bisa dihasilkan sesuai kemampuan dari bagian produksi.
PPIC dalam menjalankan tugasnya membutuhkan data hasil konversi forecast (supply plan) dari bagian demand planning pada monthly meeting. Hasil dari monthly meeting dilakukan analisis oleh PPIC untuk menentukan weekly order.
Pada setiap minggu dilakukan weekly meeting yang intinya menentukan produk apa saja yang diproduksi maupun release dalam rentang 1 minggu. Setelah itu dirancang daily order production untuk menentukan produk apa yang diproduksi perhari. Pada weekly meeting juga dilakukan review produksi di
minggu sebelumnya. Setelah rapat para planner dari PPIC akan membuat purchase requisition untuk melakukan pemesanan material ke gudang untuk produksi selama 1 minggu.Tugas dari PPIC adalah :
1. Mengontrol jadwal dan inventory dengan tujuan untuk memastikan bahwa
distribusi semua pesanan kepada semua pelanggan terpenuhi sesuai
dengan jangka waktu yang ditentukan baik produk yang dipasarkan di
pasaran domestik maupun ekspor.
2. Menghitung perencanaan Finished Goods untuk menjaga efektivitas dan
efisiensi inventory FG pada level optimal untuk memastikan supply yang
tepat waktu berdasarkan jadwal produksi.
3. Mengadakan negosiasi dengan pelanggan untuk menyalurkan kebutuhan
sesuai dengan keinginan pelanggan, dan mempersiapkan semua material
(dengan membuat form permintaan pembelian).
4. Bekerja sama dengan producton planning untuk memastikan ketepatan
pelaksanaan jadwal yang telah dibuat bagi seluruh customer.
5. Mengontrol proses produksi untuk memenuhi kebutuhan penjualan.
6. Melakukan tindak lanjut terhadap bahan material, produk antara, bahan
pengemasan, dan produk jadi yang telah memperoleh status release.
7. Melakukan pemesanan material kepada Interco (Inter company) melalui
BIX@ dan memonitor perencanaan ekspor.
8. Mengontrol jadwal dan pengiriman produk ICB.
Produk dibagi 2 kategori, ekspor dan domestik. Untuk produk ekspor prinsipnya adalah make to order yaitu dibuat berdasarkan pesanan, sehingga produk tersebut dibuat hanya bila ada pesanan. Pada pemasaran produk ekspor ada tingkat kepuasan service yang dinamakan PSL (Production Service Level). PSL yang harus dipenuhi untuk produk ekspor adalah 95% artinya produk harus sudah siap dipasarkan sebelum waktu yang diminta oleh pasar.
Pada produk domestik atau produk yang dipasarkan secara lokal, prinsip pembuatannya adalah make to stock, artinya dibuat untuk selalu tersedia. Tingkat kepuasan service untuk produk lokal dinamakan Customer Service Level (CSL). CSL adalah suatu pencapaian bagaimana pemenuhan kebutuhan customer yang diukur dalam %. Standar CSL di SCM adalah 98%. Stock yang disimpan harus sesuai aturan, tidak boleh berlebih dan juga tidak boleh kurang.
Berdasarkan forecast dari demand, PPIC akan menyusun futurcast kemudian membuat Master Production Schedule (MPS) dan Material Requirement Planning (MRP). Selanjutnya PPIC akan memeriksa kesiapan dari tiap bagian terkait apakah bisa memenuhi permintaan produksi dari bagian pemasaran tersebut.
Dalam perencanaan produksi, PPIC membuat Manufacturing Order (MO) dan Packaging Order (PO) berdasarkan Bill of Material (BOM) serta membuat jadwal produksi.
PPIC akan melihat jumlah stok bahan baku dan bahan pengemas, stok awal produk yang akan diproduksi, kapasitas mesin produksi, kapasitas tenaga kerja dan yang terkait lainnya. Apabila terdapat kekurangan dalam hal jumlah bahan baku dan kemasan, PPIC akan meminta bagian purchasing untuk mengadakan pembelian sejumlah barang yang diperlukan. Setelah semua persyaratan terpenuhi untuk melakukan produksi, maka akan dikeluarkan SO (Shop Order) oleh bagian produksi sesuai dengan produk yang akan dibuat.
3.1.3.3 WarehouseWarehouse dipimpin oleh manajer yang dalam melakukan tugasnya,
dibantu oleh beberapa supervisor. Seluruh kegiatan yang berlangsung di warehouse, tak terkecuali harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan dalam peraturan CPOB. Kegiatan utama warehouse antara lain penerimaan barang (Inbound), penyimpanan, pengeluaran barang dan pengiriman barang.
A. Penerimaan Barang
Kegiatan penerimaan di warehouse adalah kegiatan penerimaan
produk dari supplier termasuk bahan baku obat, bahan kemas, reagent-
reagent untuk keperluan analisis laboratorium, barang-barang kebutuhan
untuk engineering, kembalian obat, kembalian produk, bahkan jalur
pembuangan limbah kering yang akan didestroy.
Selama penerimaan dari supplier dan sebelum pengesahan,
dokumen pengiriman harus diperiksa terlebih dahulu apakah sesuai dengan
Purchase Order yang tertera dalam sistem BPCS. Setiap container harus
diperiksa secara visual dalam hal bentuk, kebersihan dan keaslian serta
untuk kesesuaian label barang dan kesesuaian data dengan pesanan
pembelian (nama barang, jumlah, penyalur, nomor pesanan, waktu
penerimaan). Setiap pengiriman harus disertai dengan dokumen COA
(Certificate of Analysis). Setelahnya, data penerimaan harus diinput
kedalam sistem BPCS dan dilakukan penyimpanan sementara didalam
loading dock. Kemudian barang dipindahkan pada lokasi berdasarkan
penggunaannya. Setelah barang dipindahkan, pemindahan harus
dimasukkan kedalam BPCS untuk memastikan seluruh departemen
mendapatkan informasinya. Apabila kedatangan barang diluar waktu batas
toleransi yang telah ditetapkan, maka petugas penerimaan barang harus
menghubungi bagian purchasing atau PPIC untuk mengkonfirmasi apakah
barang tersebut dapat diterima oleh warehouse.
Pada umumnya penolakan atas barang yang dikirim dilakukan
setelah pemeriksaan kualitas oleh QC, namun demikian gudang
mempunyai wewenang untuk menolak secara langsung apabila terdapat
cacat, robek atau kotor, ataupun terdapat ketidaksesuaian dengan kriteria
yang disebutkan di atas. Jika diberi label rejected, maka barang tersebut
harus dipindahkan ke lokasi rejected untuk dilakukan proses selanjutnya.
B. Penyimpanan Barang
Penyimpanan produk jadi, produk setengah jadi atau bahan baku
serta bahan pengemas secara keseluruhan, pada dasarnya harus memenuhi
kebutuhan akan kondisi keamanan serta kualitas dari bahan yang
diproduksi dan diuji.
Berdasarkan penyimpanannya, terdiri dari beberapa macam yaitu
warehouse 10 untuk penyimpanan bahan baku, bahan pengemas, dan
produk jadi yang siap digunakan. Warehouse 30 yaitu warehouse yang
terdapat di area produksi digunakan sebagai perantara pengiriman antara
gudang dengan produksi. Warehouse 90 yaitu warehouse yang digunakan
untuk menyimpan barang-barang reject.
Penyimpanan bahan baku, bahan pengemas, dan produk jadi di
Boehringer Ingelheim sesuai dengan ketentuan ASEAN Guidelines for
Drug Product Stability Study di ruang yang sesuai dengan sifat dari barang
yang akan disimpan. Suhu ruangan yang tersedia di warehouse terdiri dari
suhu penyimpanan normal 25-30oC, kondisi pendinginan terkontrol 15-
25oC, lemari pendingin (cold room) 2-8oC. barang-barang disimpan di
suhu ruangan yang sesuai dengan sifat dari barang itu sendiri. Apabila
produk tidak stabil pada suhu di bawah 25oC dan bila tidak ada kondisi
lain yang ditentukan, barang disimpan pada suhu penyimpanan normal
(25-30oC). Untuk produk obat yang sensitif terhadap panas, harus
disimpan di kondisi pendinginan terkontrol (15-25oC). Barang-barang
yang memerlukan pendinginan disimpan dilemari pendingin diukur suhu
antara 2-8oC.
Bahan baku yang membutuhkan penyimpanan khusus seperti bahan
aktif atau obat jadi yang mengandung narkotik atau bahan/sediaan lain
yang memerlukan pemisahan khusus, harus disimpan terpisah sesuai
undang-undang. Bahan aktif yang berbau keras harus disimpan terpisah
dari produk obat dan bahan baku lainnya dalam satu lemari yang
dilengkapi dengan alat penghisap. Bahan baku yang mudah menyerap air
dari udara harus disimpan didalam wadah yang tertutup rapat dengan
kantong silica gel didalamnya. Bahan baku yang sangat peka terhadap
pancaran cahaya, harus disimpan dalam bejana tertutup diruang gelap,
lemari, atau wadah yang kedap terhadap cahaya. Bahan baku yang mudah
terbakar seperti alkohol harus diletakkan dalam lemari flammable atau
lemari kabinet khusus yang dilengkapi dengan sistem pembuangan uap.
Penyimpanan reagen-reagen yang mempunyai daya ledak tinggi disimpan
di bangunan terpisah di luar gudang.
Barang-barang di gudang harus disimpan di atas palet, tidak boleh
kontak langsung dengan lantai (kecuali untuk barang yang berada dalam
tangki). Keadaan gudang harus bebas dari bau sehingga terdapat alat
penghisap, serta gudang harus bebas dari serangga, hewan pengerat, dan
hama-hama lainnya. Sebelum disimpan dalam rak, barang-barang didata
terlebih dahulu ke dalam BPCS, kemudian pihak QC akan mengambil
sampel untuk diperiksa kesesuaian spesifikasinya. Di dalam gudang
terdapat ruangan sampling yang terpisah dengan dilengkapi LAF dan
timbangan elektronik.
Setelah mendapatkan status/label rejected, release, ataupun
quarantine, barang-barang disimpan berdasarkan kelompok lot, dipisahkan
secara fisik maupun secara kelompok. Tidak diperbolehkan menyimpan
dua macam barang dalam satu palet yang sama, atau berbeda pengiriman
disimpan pada palet yang sama. Ruang penyimpanan harus selalu
dibersihkan sesuai dengan SOP yang ada. Frekuensi pembersihan harian,
mingguan, dan bulanan sesuai dengan jenis barang dan area yang
dibersihkan.
C. Pengeluaran Barang
Kegiatan pengeluaran barang yang dilakukan oleh warehouse
antara lain kegiatan pengiriman barang ke produksi untuk diproses,
kegiatan pengiriman barang ke distributor dan ekspor, kegiatan
pengiriman barang untuk ICB, kegiatan pengiriman barang reject dan
expired untuk didestroy.
Pengeluaran barang baik raw material maupun finished goods
menggunakan prisip FEFO (First Expired First Out) baru kemudian FIFO
(First In First Out). Hal ini berarti barang-barang yang masa
kadaluarsanya paling dekat akan dikeluarkan terlebih dahulu dan jika masa
kadaluarsanya sama maka barang yang pertama kali masuk akan
dikeluarkan terlebih dahulu.
Warehouse mengirimkan barang ke produksi berdasarkan shop
order yang dibuat oleh produksi. Shop order merupakan daftar yang berisi
barang-barang kebutuhan per lot atau per batch, sesuai dengan BOM.
Setelah shop order dari pihak produksi sampai ke warehouse maka pihak
warehouse akan membuat picking list yang digunakan untuk mengambil
barang yang diperlukan dari raknya untuk kemudian dikirimkan ke bagian
produksi. Pihak warehouse akan memberikan Material List Transfer
(MLT) pada bagian produksi yang meminta pengiriman bahan.
Pengiriman bahan dilakukan di staging area yang dikhususkan untuk Raw
Material. Staging area ini dibagi menjadi dua dengan batas merah, batas
ini tidak boleh dilewati dari masing-masing bagian. Ruang ini juga
dilengkapi dengan sensor yang akan menyala ketika salah satu pintu
bagian tersebut terbuka. Hal ini untuk menghindari proses kontaminasi
silang dari udara pengotor gudang yang akan masuk ke bagian produksi.
Setelah petugas gudang meletakkan bahan tersebut, lalu pihak produksi
mengambilnya. Kemudian semua material tersebut dikirim ke ruang
produksi yang diangkut dalam satu pallet. Material-material yang telah
selesai ditimbang, akan dikembalikan lagi ke warehouse melalui staging
area.
Pada proses pengiriman packaging material untuk bagian
Packaging sama dengan proses pengiriman ke area manufaktur, dengan
ruangan yang berbeda dan sistem pengambilan barang yang sama. FG
(Finished Goods) yang telah dikemas dalam kemasan sekunder disimpan
dalam rak-rak sesuai dengan kondisi penyimpanannya. FG tersebut masih
dalam status Quarantine apabila masih menunggu hasil dari QC dan QA.
Apabila hasilnya sudah ada berupa approved dalam BPCS, maka pihak
gudang bisa me-release-kannya. Tetapi apabila hasilnya rejected maka
produk tersebut disimpan dalam ruangan khusus yang sangat dijaga
keamanannya atau segregated area. Produk tersebut akan menunggu
keputusan dari QA sebelum di destroy.
Pengiriman barang ke pihak distributor juga dilakukan dengan
menggunakan bantuan sistem BPCS. SCM akan memasukkan pesanan
yang diterima dari customer ke dalam sistem BPCS yang dapat diakses
pula oleh warehouse. Setelah order dikonfirmasi maka selanjutnya pihak
warehouse akan membuat picking list yang digunakan operator untuk
mengambil barang dari rak. Setelah itu pihak warehouse akan membuat
delivery order yang berisi barang-barang yang akan dikirimkan. Delivery
order merupakan perintah untuk mengeluarkan finished goods berdasarkan
pada no batch atau no lot yang ada pada shop order. Pihak gudang akan
bertanggung jawab, akan ketepatan jadwal pengiriman produk sampai
ketangan customer.
D. Penerimaan dan Penanganan Produk Kembalian (returned goods) serta pemusnahan produk reject
Barang jadi yang dikembalikan oleh distributor atau pelanggan
hanya dapat diterima di gudang apabila telah disetujui oleh pihak
departemen marketing dengan dokumen yang telah disetujui. Returned
goods yang diterima oleh pihak gudang harus disertai dengan surat
pengantar yang mencantumkan jumlah, jenis produk, no.batch, tempat asal
pengembalian, dan alasan pengembalian produk serta diperiksa kesesuaian
produk tersebut dengan surat pengantarnya.
Hal-hal yang perlu dicatat dalam catatan pengembalian barang
antara lain adalah tanggal penerimaan, nama barang, jumlah, banyaknya
kemasan, masa kadaluarsa, nomor batch, dan alasan dari pengembalian
produk tersebut. Catatan tersebut selanjutnya akan disampaikan pada
bagian QA untuk dilakukan penyelidikan dan tindakan selanjutnya. Barang
kembalian tersebut selanjutnya akan disimpan di lokasi non-aktif yang
diperuntukkan bagi penyimpanan barang berstatus “reject” sebelum
diadakan pemeriksaan.
Pengembalian barang jadi yang reject dari distributor atau customer
serta barang yang expired yang datang dari distributor, disimpan terlebih
dahulu di warehouse 90. Kemudian petugas warehouse melakukan input
kedalam sistem BPCS melalui proses RMA (Returned Material
Authorization). Proses RMA ini bertujuan untuk mencatat penerimaan
barang jadi yang dikembalikan oleh distributor. Kemudian dibuat credit
note ke distributor yaitu untuk memotong tagihan. Pihak warehouse akan
menginformasikan kepada QA sehingga QA dapat mengeluarkan form
disposisi untuk barang reject tersebut. Selanjutnya warehouse membuat
destruction form untuk melihat berapa jumlah barang yang dihancurkan
dan meminta persetujuan Plant Director hingga Finance Director. Setelah
itu dilakukan proses pemusnahan, kemudian pihak warehouse akan
melakukan transaksi pemotongan jumlah barang di BPCS sehingga tidak
akan terjadi kesalahan pemesanan ataupun rancangan pembelian oleh
pihak planner akibat kesalahan data di BPCS.
Bila terdapat bahan baku maupun bahan pengemas yang datang
dari supplier yang tidak memenuhi spesifikasi, maka pihak gudang akan
menerima pemberitahuan berbentuk RR dari Quality Control yang
berstempel “rejected”. Pihak gudang akan berkomunikasi ke bagian
purchasing, kemudian pihak purchasing akan menindak lanjuti informasi
tersebut ke pemasok untuk pengembalian atau pemusnahan. Jika
ditemukan bahan baku dan pengemas yang tidak dapat dipakai untuk
proses produksi, pihak produksi akan memberitahukan ke pihak terkait dan
barang tersebut diberi label, kemudian dikembalikan ke warehouse. Di
warehouse barang tersebut disimpan diruang reject, yang selanjutnya
harus dimusnahkan setelah mendapatkan persetujuan dari pemasok.
Petugas gudang harus menginformasikan ke QA dan Purchasing untuk
keputusan lebih lanjut apakah barang tersebut harus diganti atau tidak.
Proses pemusnahan ada 2 macam yaitu untuk bahan-bahan yang
bisa dihancurkan sendiri seperti bahan pengemas dari bahan kertas, plastik,
alufoil akan dimusnahkan di lokasi PT. BII dengan mesin pencacah dan
proses rekonsiliasi perlu dilakukan, berat barang yang dimusnahkan
sebelum dan sesudahnya harus seimbang. Sedangkan untuk bahan dan
produk yang tidak bisa dihancurkan sendiri, atau yang mengandung zat-zat
berbahaya berupa padat, cair, larutan organik, akan dikumpulkan dan
dipilah-pilah sesuai dengan prosedur penanganan limbah dan dikirim ke
PT. Holcim dan PPLI untuk dimusnahkan.
3.1.4 Technical Management
TM (Technical Management) merupakan suatu departemen yang berfungsi
sebagai penyedia fasilitas penunjang guna kegiatan operasional perusahaan serta
menjamin pengoperasian peralatan agar dapat berjalan dengan baik untuk kegiatan
produksi maupun non produksi. Tugas lain departemen ini adalah membuat dan
melaksanakan program pemeliharaan peralatan produksi dan fasilitas lainnya,
menjamin kebersihan dan sanitasi ruangan untuk produksi dan non produksi serta
penanganan terhadap masalah yang berkaitan dengan hal-hal di atas. Departemen
ini dikepalai oleh seorang Asociate Director Technical Management And ICB.
Departemen TM membawahi 4 seksi yaitu Site & QC Maintenance, EHS,
Preventive Maintenance (PM) dan ICB.
3.1.4.1 Industrial Customer Business (ICB)ICB atau Industrial Customer Business adalah suatu departemen yang
menangani toll / contract manufacturing. Sebelumnya, bidang ICB ini merupakan bisnis sampingan dari PT. Boehringer Ingelheim Indonesia, namun karena kontribusi ICB terhadap keuangan perusahaan meningkat pesat, ICB kini menjadi salah satu bisnis inti (core business) perusahaan. Seksi ICB merupakan suatu penghubung antara PT. BII dan perusahaan yang melakukan toll in manufacturing di PT. BII maupun PT. BII yang melakukan toll out manufacturing di pabrik lain. Hal yang menjadi dasar dari toll in adalah masih tersedianya kapasitas produksi dari PT. BII yang tersisa, sehingga untuk memaksimalkan kapasitas, PT. BII menawarkan kapasitas tersebut kepada perusahaan lain. Pada umumnya perusahaan yang menjalin kerjasama kontrak dengan PT. BII tidak memiliki kapasitas alat dan teknologi yang memadai untuk pembuatan produk tersebut. Ada juga perusahaan asing yang memiliki cabang di Indonesia namun tidak memiliki pabrik dan fasilitas yang dibutuhkan untuk pembuatan suatu produk. Sehingga perusahaan tersebut menyewa kapasitas yang masih kosong yang dimiliki oleh PT. BII.
Toll manufacturing yang dilaksanakan oleh PT Boehringer Ingelheim Indonesia terdiri dari beberapa tipe, yaitu :
a. Full toll manufacturing atau yang biasa disebut pure buy, adalah seluruh kegiatan pembelian bahan baku dan bahan pengemas, pelulusan bahan baku, administrasi, pembuatan produk, pengemasan, pelulusan produk dilaksanakan oleh PT. BII. PT. BII juga melakukan toll in atau kegiatan kerjasama kontrak dengan perusahaan lain untuk membuat produk di perusahaan tersebut. Prinsipnya juga sama, yaitu PT. BII tidak memiliki kapasitas dan teknologi untuk pembuatan produk tersebut.
a. Primary and secondary packaging yaitu PT. Boehringer Ingelheim Indonesia
hanya melakukan kegiatan pengemasan primer dan sekunder produk dari
perusahaan lain.
c. Secondary packaging : jenis ini hampir sama dengan jenis toll manufacturing yang kedua namun perusahaan lain hanya melakukan kegiatan pengemasan sekunder di PT. Boehringer Ingelheim Indonesia.
d. Conversion toll manufacturing yaitu PT. BII melakukan seluruh kegiatan pembuatan dan pengemasan produk perusahaan lain hanya saja pembelian, pengujian, dan pelulusan bahan baku dan bahan pengemas yang dibutuhkan dilaksanakan oleh perusahaan tersebut.
e. Registration and Packaging development. Biasanya yang melakukan toll jenis ini adalah perusahaan yang mengimpor produk dari negara lain dan akan dipasarkan di Indonesia, sehingga perlu dilakukan pengembangan terhadap
bahan pengemas untuk disesuaikan dengan aturan di Indonesia dan juga perlu dilakukan proses registrasi di BPOM.
Proses kerjasama toll manufacturing di PT. Boehringer Ingelheim Indonesia idealnya mengikuti SOP yang ada, namun PT. BII juga menyesuaikan dengan permintaan perusahaan yang mengadakan kerjasama dengan PT. BII. Proses kerjasama toll in pertama-tama dilakukan survey atau pencarian perusahaan yang tidak memiliki kapasitas dalam pembuatan suatu produk. Setelah itu dilakukan pemasaran dan promosi kepada perusahaan tersebut. Selanjutnya dilakukan negosiasi harga, apabila telah tercapai kesepakatan dilakukan perjanjian kerahasiaan atau confidentiality agreement untuk menjaga kerahasiaan kedua pihak dan dilakukan tanda tangan perjanjian kontrak (manufacturing contract agreement) yang berisi jangka waktu kontrak, serta kewajiban dan hak yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Setelah itu dilakukan transfer pengetahuan atau tinjauan tentang produk yang akan dibuat, dilakukan uji stabilitas dan proses percobaan produksi produk untuk mengetahui apakah proses produksi produk tersebut benar-benar bisa dilakukan di PT. BII. Untuk proses toll out, secara umum sama dengan toll in, PT. BII harus melakukan pencarian perusahaan yang mampu melakukan produksi produk yang tidak dapat dilakukan di pabrik Bogor.
3.1.4.2 Preventive MaintenanceSeksi PM bertugas dalam set up untuk quality system maintenance,
maintenance database dan mempersiapkan dokumen-dokumen yang perlu dipersiapkan seperti dokumen kualifikasi. Sebelum dibeli dan digunakan, setiap peralatan harus dikualifikasi terlebih dahulu, yaitu meliputi kualifikasi rancangan (design qualification), kualifikasi instalasi (instalation qualification), kualifikasi operasional (operational qualification), dan kualifikasi kinerja (performance qualification). IQ dan OQ untuk mesin baru adalah tugas dari bagian Preventive Maintenance, mulai dari penyiapan protokol, eksekusi/pelaksanaan, sampai ke dokumentasi pelaporannya. PQ berada di bawah tanggung jawab system owner(bagian yang akan menggunakan alat tersebut), sedangkan untuk closing kualifikasi dilakukan QA.
Bagian Preventive Maintenance juga bertugas membuat jadwal perawatan alat agar alat tetap berfungsi dengan baik dan mencegah terjadinya pencemaran yang dapat mengubah identitas, mutu, atau kemurnian produk. Alat yang berupa timbangan dan alat ukur lainnya harus digunakan dalam rentang yang sesuai dan selalu harus sudah terkalibrasi. Kalibrasi dilakukan berdasarkan jadwal preventive maintenance BPCS, selain itu juga dilakukan verifikasi harian untuk memastikan bahwa alat ukur yang digunakan dapat mengukur dengan baik. Secara umum, bagian TM membuat sebuah sistem untuk dilaksanakan bagian Site & QC Maintenance.
3.1.4.3 Site and QC Maintenance
Seksi Site & QC Maintenance bertugas dalam pemeliharaan dan perbaikan segala fasilitas dari PT. BII termasuk sarana pendukung di PT. BII. Secara umum seksi ini bertugas sebagai eksekutor di lapangan. Ruang lingkup Site Maintenance secara umum adalah bangunan, fasilitas, dan utilitas. Bangunan, fasilitas, dan utilitas harus selalu dipelihara dengan baik dan memenuhi persyaratan GMP. Bangunan sangat penting untuk suatu perusahaan farmasi, oleh karena itu konstruksi bangunan harus dibuat sedemikian rupa sehingga tahan terhadap cuaca dan banjir, dan juga tidak mudah dimasuki serangga dan hewan kecil lainnya. Dinding dan lantai juga harus diperhatikan sehingga mudah untuk dibersihkan. Tata letak ruangan pun harus diperhatikan dan direncanakan dengan baik untuk menghindari terjadinya resiko kontaminasi silang.
Fasilitas dan utilitas juga sangat penting bagi suatu perusahaan farmasi karena tanpa fasilitas dan utilitas yang baik, kegiatan produksi, analisa, dan penyimpanan barang tidak bisa berjalan dengan baik dan dapat mempengaruhi mutu produk. Fasilitas dan utilitas di PT. BII meliputi :
a. Water Treatment Plant
PT. Boehringer Ingelheim Indonesia memproduksi sendiri purified
water untuk memenuhi kebutuhan produksi pembuatan obat dan
laboratorium. Pada proses pembuatannya, air bersih didapat dari PDAM
Bogor. Pada tahap pertama air bersih diklorinasi menggunakan kaporit dan
kemudian dialirkan menuju water tank 60 L, 120 L dan 240 L. Air dari
water tank dialirkan menuju carbon filter untuk menghilangkan klorin,
kloramin, benzena, pestisida, bahan-bahan organik, warna, bau dan rasa
dalam air.
Air yang telah melewati carbon filter dialirkan sebagai city water
ke bagian manufacturing. Pada manufacturing, city water digunakan
sebagai pembilasan awal pada saat pencucian alat dan tidak digunakan
pada proses produksi. Selain pada manufacturing, city water juga dialirkan
ke QC, kantin, laundry & toilet dan purified water plant.
Air yang masuk ke purified water plant, selanjutnya akan melewati
water softener untuk menurunkan kesadahan air. Air yang telah melewati
water softener akan difiltrasi dengan filter ukuran 10 µm. Setelah melewati
filter air akan masuk dalam chiller sistem. Pada chiller air akan diturunkan
temperatur sirkulasi air agar berada dibawah 25oC. Chiller terkoneksi
dengan heat exchanger yang berfungsi untuk memanasakan atau
mendinginkan loops air. Pada proses pendinginan digunakan chiller
dengan temperatur dibawah 24 oC bertekanan lebih dari 5 psi. Pada
pemanasan digunakan steam boiler dengan bertekanan sekitar 3-5 bar.
Air kemudian difiltrasi menggunakan filter ukuran 5 µm. Setelah
difiltrasi air difiltrasi lagi dengan menggunakan carbon filter dan difiltrasi
kembali dengan filter ukuran 1 µm. Proses dilanjutkan dengan reverse
osmosis. Reverse osmosis difungsikan untuk menurunkan 95% komponen
yang terlarut dalam air untuk pembuatan purified water.
Setelah masuk ke reverse osmosis lalu masuk dalam continous
deionizazion system (CDI) dan electrodeionization system (EDI) untuk
menghilangkan ion-ion dalam air sehingga konduktivitas maupun
restintensivitas yang dibutuhkan yaitu ≤ 1 µS/cm. Air kemudian masuk
dalam disinfections chamber yang disinari sinar UV untuk menghilangkan
99,9% mikroorganisme yang ada di air tanpa menggunakan bahan kimia
dan disimpan dalam purified water storage tank dengan kapasitas 3200 L
dan disirkulasikan di dalam suatu loop dengan kecepatan 1-3 m/s dan
tekanan air 1,5 bar. Purified water digunakan untuk proses di area
manufacturing dan QC. Alur proses water treatment dapat dilihat pada
Lampiran IV.
b. Heating, Ventilation and Air Conditioning (HVAC)
HVAC merupakan sistem yang bertujuan untuk mengatur suhu,
kelembaban udara, perbedaan tekanan, jumlah partikel serta pergantian
udara di dalam ruang produksi dan penyimpanan dengan menggunakan
AHU (air handling unit) dan Dehumidifier. Komponen-komponen utama
AHU, diantaranya:
i. Cooling coil
Cooling coil (sering pula disebut dengan istilah evaporator) berfungsi untuk mengontrol suhu (temperature) dan kelembaban relatif (Relative Humidity/RH) udara yang akan didistribusikan ke ruangan produksi. Hal ini dimaksudkan agar dapat dihasilkan output udara, sesuai dengan spesifikasi ruangan yang telah ditetapkan. Proses pendinginan udara sendiri dilakukan dengan mengalirkan udara yang berasal dari campuran udara balik (return air) dan udara luar (fresh air) melalui kisi-kisi (coil evaporator) yang bersuhu rendah. Proses tersebut menyebabkan terjadinya kontak antara udara dan permukaan kisi evaporator yang akan menghasilkan udara dengan suhu yang lebih rendah. Proses ini juga akan menyebabkan kalor yang berada dalam uap air yang terdapat di dalam udara ikut berpindah ke kisi evaporator, sehingga uap air akan mengalami kondensasi. Hal ini menyebabkan kelembaban udara yang keluar dari evaporator juga akan berkurang. Evaporator harus dirancang sedemikian rupa sehingga kisi-kisinya memiliki luas permukaan kontak yang luas, sehingga proses penyerapan panas dari udara di dalam evaporator dapat berlangsung dengan efektif.
ii. Blower
Blower adalah bagian dari AHU yang berfungsi untuk menggerakkan udara di sepanjang sistem distribusi udara yang terhubung dengannya. Blower yang digunakan dalam AHU berupa blower radial yang memiliki kisi-kisi penggerak udara yang terhubung dengan motor penggerak blower. Motor ini berfungsi untuk mengubah energi listrik menjadi energi gerak. Energi gerak inilah yang kemudian disalurkan ke kisi-kisi penggerak udara hingga kemudian dapat menggerakkan udara. Blower ini dapat diatur agar selalu menghasilkan frekuensi putaran yang tetap, hingga akan selalu menghasilkan output udara dengan debit yang tetap. Dengan adanya debit udara yang tetap tersebut maka tekanan dan pola aliran udara yang masuk ke dalam ruang produksi dapat dikontrol (Priyambodo, 2007).
Fan atau blower menghisap udara panas kembali dari ruangan dan menghembuskannya ke dalam cooling coil, mendinginkan udara tersebut, dan mengirimkannya kembali ke ruangan untuk dijadikan air conditioned. Terdapat dua pengaturan yang mungkin dari fan dalam air handling unit, yaitu melalui penarikan atau tiupan. Dalam pengaturan melalui penarikan, fan akan menghisap udara kembali melalui filter dan cooling coil. Bersamaan dengan udara yang melalui cooling coil (udara menjadi dingin), yang kemudian diteruskan ke ruangan untuk menjadi air conditioned. Sedangkan pada pengaturan melalui tiupan, fan menyerap udara kembali dan menghembuskannya ke dalam filter udara dan cooling coil. Kemudian udara tersebut akan mengalir ke ruangan menjadi air conditioned. Pengaturan melalui penarikan digunakan umumnya berdasarkan compactness-nya. Fan ini merupakan tipe sentrifugal.
iii. Filter
Filter merupakan bagian dari AHU yang berfungsi untuk mengendalikan dan mengontrol jumlah partikel dan mikroorganisme (partikel asing) yang mengkontaminasi udara yang masuk ke dalam ruang produksi. Filter, biasanya ditempatkan di dalam rumah filter (filter house) yang didesain sedemikian rupa agar mudah untuk dibersihkan dan/atau diganti. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pemasangan filter ini adalah penempatan posisi filter harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat ‘memaksa’ seluruh udara yang akan didistribusikan tersebut melewati filter terlebih dahulu. Filter yang digunakan untuk AHU dibagi menjadi beberapa jenis/tipe, tergantung efisiensinya, yaitu (a) pre-filter (efisiensi penyaringan 35%); (b) medium filter (efisiensi penyaringan 95%); dan (c) High Efficiency
Particulate Air (HEPA) filter (efisiensi penyaringan 99,997%). Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pemasangan filter ini adalah posisi penempatan filter harus diatur berdasarkan jenis dan efisiensi penyaringan filter yang akan menentukan kualitas udara yang dihasilkan (Priyambodo, 2007). Ruang produksi PT. BII dilengkapi denga HEPA filter yang sering dilakukan pemeriksaan pemeriksaan tiap bulan, untuk mengetahui efisiensi dari kinerja filter. Bagian yang bertanggung jawab untuk memeriksa efisiensi dari sistem AHU adalah bagian QC.
iv. Ducting
Ducting adalah bagian dari AHU yang berfungsi sebagai saluran tertutup tempat mengalirnya udara. Secara umum, ducting merupakan sebuah sistem saluran udara tertutup yang menghubungkan blower dengan ruangan produksi, yang terdiri dari saluran udara yang masuk (ducting supply) dan saluran udara yang keluar dari ruangan produksi dan masuk kembali ke AHU (ducting return). Ducting harus didesain sedemikian rupa sehingga dapat mendistribusikan udara ke seluruh ruangan produksi yang membutuhkan, dengan hambatan udara yang sekecil mungkin. Desain ducting yang tidak tepat akan mengakibatkan hambatan udara yang besar sehingga akan menyebabkan inefisiensi energi yang cukup besar. Ducting juga harus didesain agar memiliki insulator di sekeliling permukaannya, yang berfungsi untuk menahan penetrasi panas dari udara luar yang memiliki suhu yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu di dalam ducting (Priyambodo, 2007).
v. Dumper
Dumper adalah bagian dari ducting AHU yang berfungsi untuk mengatur jumlah (debit) udara yang dipindahkan ke dalam ruangan produksi. Besar kecilnya debit udara yang dipindahkan dapat diatur sesuai dengan pengaturan tertentu pada dumper. Hal ini sangat berguna terutama untuk mengatur besarnya debit udara yang sesuai dengan ukuran ruangan yang akan menerima distribusi udara tersebut (Priyambodo, 2007).
vi. Hot Water SystemMenggunakan air yang sudah diklorinasi dan melewati carbon filter,
pemanasan menggunakan electric heater. Sistem air panas digunakan secara
khusus di area laundry dan untuk pemakaian di ruang ganti packaging,
manufacturing, dan warehouse.
vii. Vacuum System
Vacuum system biasanya digunakan untuk tes kebocoran blister dengan cara blister yang berisi tablet dimasukkan kedalam cairan yang berisi metilen blue, lalu divakum dan jika blister dibuka dan tablet berwarna biru berarti ada kebocoran pada blister. Selain itu pada area QC, vakum digunakan untuk pengeringan pipet.
viii. Steam Boiler
Steam boiler atau bejana uap adalah mesin yang berfungsi menghasilkan uap bertekanan. Uap bertekanan ini digunakan antara lain untuk kepentingan sterilisasi dengan autoklaf, untuk pencucian botol, oven, FBD.
c. Waste Water Treatment Plant (WWTP)Seperti yang telah disebutkan dalam program diatas, EHS memiliki
tanggung jawab dalam penanganan limbah industri yang meliputi limbah cair, padat, dan gas. Secara umum limbah dibagi menjadi dua, yaitu limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3) dan limbah bukan bahan berbahaya dan beracun (limbah non B3). Karakteristik limbah B3 adalah mudah terbakar, mudah meledak, beracun, reaktif, korosif, dan menyebabkan infeksi.
Pembuangan limbah di PT. BII terbagi menjadi tiga yaitu pembuangan ke PPLI (Prasada Pamunah Limbah Industri) yaitu berupa limbah B3, limbah kering dibuang melalui pemulung, sedangkan limbah cair yang bukan termasuk B3 dibuang melalui Waste Water Treatment Plant (WWTP). Penanganan limbah debu yang berasal dari kegiatan produksi diolah dengan alat dust collector. Dengan alat ini, debu dan partikel yang terdapat dalam udara hasil produksi dikumpulkan dan disemprot dengan air, kemudian partikel-partikel padatnya diendapkan sehingga udara yang dikeluarkan ke lingkungan sudah berkurang jumlah partikelnya. PT. Boehringer Ingelheim Indonesia juga berada di lingkungan yang asri karena melakukan proses penghijauan lingkungan seperti penanaman pohon di sekitar area pabrik untuk melihat apakah ada dampak lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan pabrik.
Limbah yang bukan merupakan limbah B3 harus benar-benar dipisahkan dari limbah B3 karena bila tercemar sedikit saja oleh limbah B3 maka limbah tersebut sudah dianggap sebagai limbah B3 dan hal itu akan memperbanyak jumlah limbah yang harus dikirim ke PPLI. Dalam prakteknya limbah B3 disimpan dalam drum-drum besar dan ditempatkan dalam ruangan tersendiri dan selalu dikunci. Setelah dikumpulkan dalam jumlah tertentu, limbah B3 tersebut dikirim ke PPLI.
Limbah kering merupakan limbah kertas yang tidak basah dan tidak tercemar zat aktif. Limbah kering ini berasal dari proses packaging meliputi stripping, blister, leaflet, dll. Setelah dikumpulkan di masing-masing tempat, limbah ini dibawa melalui warehouse ke bagian pembuangan limbah kering. Limbah yang berasal dari proses produksi, kantin, endapan cairan pelarut bekas dari Laboratorium QC akan masuk ke instalasi pengolahan air limbah. Proses pengolahan limbah ini terdiri dari beberapa tahap.
Limbah cair yang dihasilkan dari proses produksi, analisa QC, maupun yang berasal dari kantin Boehringer Ingelheim Bogor ditampung ditempat penampungan sementara yang disebut tabung pump it. Limbah yang ada di penampungan ini kemudian dijalankan oleh sensor menuju ke cooling basin yang berfungsi untuk pendinginan dan penyaringan. Suhu limbah akan diturunkan menjadi 27oC. Pendinginan dilakukan pada 2 cooling basin agar dapat menurunkan suhu dengan optimal. Setelah itu limbah dilewatkan ke filter mesh basin, yang memiliki 5 penyaring untuk menyaring lemak-lemak atau minyak yang terkandung didalam limbah tersebut. Selanjutnya limbah dialirkan kedalam bak ekualisasi yang merupakan tempat penampungan sementara limbah produksi yang kemudian dialirkan ke bak berikutnya. Bak ekualisasi berfungsi menampung air limbah produksi, kemudian terjadi proses penghomogenan kualitas dan kuantitas air limbah yang akan dialirkan ke bak selanjutnya. Selanjutnya limbah dialirkan ke bak netralisasi (neutralization tank). Pada bak ini terjadi proses netralisasi, adanya pengaturan pH. Jika limbah bersifat basa atau memiliki pH lebih besar dari 9 maka dinetralisasi menggunakan HCl sedangkan bila limbah bersifat asam atau pHnya lebih kecil dari 6.5 dinetralisasi menggunakan NaOH sampai didapat pH ± 7. Proses penambahan bahan kimia tersebut dilakukan secara otomatis dengan pengecekan pH otomatis.
Limbah yang telah bersifat netral selanjutnya dialirkan ke bak aerasi. Bak aerasi diisi oleh lumpur aktif yang fungsinya mereduksi polutan dalam air limbah secara biologis. Unit lumpur aktif merupakan unit pengolahan yang berfungsi menurunkan kandungan organic terurai dalam air limbah dengan bantuan mikroba aerobic. Organik terurai umumnya diwakili oleh parameter BOD5. Lumpur aktif ini mengandung mikroorganisme yang akan mengubah secara aktif polutan dengan suplai oksigen dari blower melalui diffuser. Bila oksigen yang dibutuhkan tidak cukup maka limbah tersebut akan mengeluarkan bau yang tidak sedap.
Tahap selanjutnya adalah tahap sedimentasi. Di dalam bak sedimentasi diberi suatu senyawa yaitu PAC (Polyaluminium Chloride). PAC akan bereaksi dengan komponen air limbah untuk membentuk gumpalan-gumpalan kecil lumpur yang merupakan konsentrat polutan, proses pengadukan dibantu oleh mixer. Lumpur aktif yang terbawa dari bak aerasi mengendap pada bak sedimentasi.
Lumpur dikembalikan ke bak aerasi untuk menjaga stabilitas pengolahan biologis dan bila jumlahnya dalam bak aerasi berlebih maka lumpur perlu dibuang.
Endapan lumpur yang dihasilkan dari tahap sedimentasi ditampung di bak sludge holding. Selain itu terdapat sludge drying bed yang berfungsi untuk menampung dan mengeringkan lumpur yang dibuang dari bak sludge holding. Setelah itu lumpur dibuang ke lembaga pengelolaan limbah seperti PPLI.
Filtrat dari limbah tersebut dialirkan ke bak intermediet. Bak ini berfungsi untuk tempat penampungan sementara air hasil olahan yang selanjutnya akan ditransfer ke Filter Multimedia. Di dalam bak intermediet ada pompa yang berhubungan dengan multimedia filter untuk penyaringan sisa-sisa lumpur halus yang tidak terendapkan di bak sedimentasi. Selain itu juga filter ini akan menyaring bau serta warna yang masih terkandung dalam air hasil olahan. Cairan yang dikeluarkan dari filter ini diukur untuk mengetahui seberapa banyak air yang dihasilkan kemudian ditampung di tangki kontrol sebagai kolam indikator dan juga tempat untuk pengambilan sampel sebelum dialirkan melalui drainase. Biasanya pada bak ini diukur nilai BOD (Biological Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand). Air yang sudah tidak mengandung limbah bisa dialirkan ke sungai dan sebagian kecil dialirkan kedalam kolam yang berisi ikan sebagai bioindikator bahwa air hasil oahan sudah layak untuk dialirkan ke saluran umum (drainase) dengan bukti ikan masih hidup. Bila ikan di dalam kolam tersebut mati maka air tersebut tidak ramah lingkungan dan masih belum terproses dengan sempurna. Bagan alir dari proses pengolahan limbah dapat dilihat pada Lampiran V.
3.1.4.4 EHS (Environment Health and Safety)
PT. Boehringer Ingelheim Indonesia memiliki satu departemen yang
menangani EHS yang terdapat dibawah departemen Technical Management dan
dikepalai oleh seorang manager. Program dan aktivitas yang berkaitan dengan
EHS di PT. Boehringer Ingelheim Indonesia antara lain sebagai berikut :
a. Kebijakan EHS
Kebijakan mengenai EHS dibuat oleh manajemen di PT. Boehringer
Ingelheim, baik manajemen dari Indonesia maupun Jerman.
b. Perlindungan lingkungan
Rasa kepedulian dengan lingkungan sekitar, oleh karena itu ada penganan
khusus untuk limbah industri supaya tidak mencemari lingkungan.
c. Kesehatan
Pemeriksaan kesehatan secara berkala untuk para pegawai PT. Boehringer
Ingelheim Indonesia, yang bertujuan untuk memastikan bahwa prosedur
kerja yang diterapkan mampu mengamankan karyawan dari bahan-bahan
berbahaya. Serta pengadaan kotak P3K di setiap bagian-bagian.
d. Keselamatan
Pengadaan fasilitas keselamatan kerja meliputi fasilitas fire protection, alat
pelindung diri, safety talk, pemberlakuan sistem LOTO (sistem pemberian
pesan jika adanya penguncian) .
e. Manajemen krisis dan persiapan terhadap keadaan darurat
Jika terjadi keadaan darurat, perusahaan sudah menetapkan area meeting
point sebagai tempat evakuasi. Serta pengadaan fasilitas pencegahan dan
penangan kebakaran, misalnya fire extinguisher, sprinkle, exit door, fire
door, alarm system, dan water tank. Serta pemberlakuan bahwa area
pabrik merupakan area bebas rokok.
f. Kampanye dan training EHS
Melakukan jadwal training EHS rutin ke seluruh bagian di PT. Boehringer
Ingelheim Indonesia sehingga diharapkan seluruh pegawai dapat
melaksanakan kebijakan-kebijakan yang berkenaan tentang lingkungan,
keselamatan dan kesehatan.
3.1.5 Purchasing
Departemen ini sebenarnya tidak termasuk dalam bagianPhP
(Pharmaceutical Production) atau Bogor Plant (Pabrik Bogor), namun berada
di dalam Head Office. Head office adalah kantor yang berhubungan dengan
manajerial perusahaan atau mengelola keuangan perusahaan. Purchasing
sendiri masuk kedalam divisi finance, tetapi di pabrik Bogor juga
membutuhkan bagian purchasing sebagai perantara antara pabrik dengan head
office. Bagian purchasing di pabrik bogor dipimpin oleh seorang head of
department yang dibantu oleh beberapa officer. Tugas utama dari bagian
purchasing adalah menangani pembelian inventory item dan non-inventory
item. Inventory item adalah barang-barang atau material yang dibutuhkan untuk
kegiatan produksi suatu produk, seperti raw material dan packaging material.
Sedangkan non-inventory item adalah barang-barang selain raw material dan
packaging material, seperti kursi, meja, reagen, stationary, dan sebagainya.
Purchasing dengan pihak-pihak yang terkait juga bertanggung jawab
dalam KPI (Key Performance Index) supplier, yaitu untuk mengukur kinerja
supplier dalam hal penyaluran barang. KPI untuk supplier terdiri dari 3
macam, yaitu supplier delivery performance, quality performance supplier, dan
price. Suplier delivery performance adalah kinerja supplier dalam hal
pengiriman. PT. BII akan melihat jangka waktu pengiriman barang oleh
supplier apakah sesuai dengan toleransi yang diberikan. Quality performance
supplier digunakan untuk mengukur kinerja dalam hal kualitas barang yang
dikirimkan. Setiap tahun pihak purchasing dibantu oleh QA untuk menghitung
jumlah defect pada material yang terjadi setelah dilakukan analisa atau
pemeriksaan.
Purchasing memiliki wewenang untuk memilih supplier. Bila PT.
Boehringer Ingelheim Indonesia bekerja sama dengan 2 supplier yang berbeda,
namun kedua supplier tersebut membuat atau menyalurkan barang yang sama
dengan kualitas yang sama, pihak purchasing memiliki wewenang untuk
memilih diantara keduanya berdasarkan harga yang ditawarkan oleh kedua
supplier tersebut. Purchasing akan memilih supplier yang menawarkan
material dengan harga terendah.
3.1.5.1 Alur Proses Pemesanan dan PembelianBerdasarkan forecast dari demand, PPIC akan menyusun futurcast
kemudian membuat Master Production Schedule (MPS) atau jadwal produksi obat sesuai dengan stok yang masih ada. Berdasarkan MPS yang sudah dibuat, dibuatlah Material Requirement Planning (MRP), yaitu kebutuhan material yang akan diproduksi. Setelah itu pihak PPIC akan membuat dan memasukkan kembali kebutuhan material tersebut kedalam sistem BPCS. Sistem BPCS akan mencetak PR (Purchase Requisition). PR tersebut akan direview dan disetujui oleh manajer PPIC dan kepala departemen SCM. Setelah disetujui, PR akan dikirim ke pihak purchasing yang selanjutnya akan direview dan diperiksa kebutuhan yang dibutuhkan. Setelah direview pihak purchasing akan menentukan supplier dan harga dari material yang akan dipesan dan
memasukkan informasi tersebut ke sistem BPCS kemudian sistem akan mencetak PO (Purchase Order). Purchase order berisi nama supplier, nomer PO, print date, alamat kirim, alamat invoice, nama material, jumlah material, harga material, juga nomer PR. Selanjutnya PO tersebut ditanda tangani oleh kepala bagian purchasing, kemudian dikirim ke supplier. Bila sudah menerima PO, supplier dapat mempersiapkan material yang sudah dipesan. Proses pengiriman dilakukan dengan disertai surat jalan. Surat jalan digunakan sebagai acuan untuk penerimaan material di gudang. Setelah barang diterima di gudang PT. BII, warehouse akan memeriksa kondisi barang sesuai surat jalan. Bila barang sudah sesuai dengan yang dipesan, warehouse akan membuat receiving report untuk selanjutnya akan dilakukan pengujian oleh QC. Apabila material tersebut lulus pengujian, RR distempel conformed. Invoice document (faktur yang terdiri dari surat jalan, PO, dan faktur pajak) beserta RR yang sudah ada hasil “conformed” dan juga pembayaran akan dikirimkan ke supplier.
3.2 TUGAS KHUSUS
TUGAS KHUSUS
A. JUDUL
Review SOP Di line Imprinting dan line Sortir
B. LATAR BELAKANG
SOP (Standar Operating Procedure) merupakan hal yang sangat
penting pada setiap proses atau kegiatan. SOP adalah prosedur standar yang
telah di review dan di setujui oleh personal yang berwenang di perusahaan.
Pada setiap line di manufacturing, memiliki jenis SOP yang berbeda, sesuai
dengan alat atau mesin yang ada pada setiap line tersebut. SOP tersebut harus
dilaksanakan oleh personal yang bertugas pada masing-masing line di
manufacturing. Tujuan dibuatnya SOP adalah untuk menyamakan persepsi
serta menyamakan cara melakukan suatu pekerjaan bagi semua operator agar
seragam. SOP dapat dijadikan sebagai pedoman dalam bekerja agar tidak
terjadi perbedaan persepsi dan prosedur dalam melakukan suatu pekerjaan.
Selain itu dengan adanya SOP maka akan lebih mempermudah dalam
menghadapi audit. Personal yang bekerja pada setiap line akan mendapatkan
pelatihan yang sesuai dengan SOP yang ada pada masing-masing line. selain
itu para personel juga akan mendapatkan pelatihan SOP general.
Area Manufacturing memiliki beberapa jenis SOP, diantaranya SOP
pembersihan ruangan, SOP pengoperasian mesin, SOP pembersihan mesin,
cara melakukan IPC, dan lain-lain. Setiap SOP yang telah dibuat, akan
dilakukan review atau pengkajian secara berkala. Hal ini di tujukkan untuk
meningkatkan efisiensi serta kualitas produk yang dihasilkan. Untuk
mengevaluasi perbedaan atau gap antara yang tertulis dengan kenyataan atau
actual maka dilakukan review terhadap SOP di line imprinting. Review SOP
ini dilakukan untuk mengetahui apakah SOP masih bisa dilaksananakan
dengan baik oleh personal yang bekerja di line tersebut.
Ruangan imprinting merupakan salah satu bagian dari area
manufacturing di dalam PT Boehringer Ingelheim. Di dalam ruangan ini
dilakukan proses imprinting tablet untuk produk ekspor ke luar negri, yaitu
Dulcolax s DBP free ect printed dan Buscopan sct. Di dalam ruangan
imprinting ada dua buah jenis mesin imprinting yaitu mesin imprinting tablet
Markem PSO.104 dan PSO.105, serta mesin imprinting Tablet Ackley
PSO.130.
Ruangan sortir merupakan salah satu ruangan yang berada di area
manufacturing. Di dalam ruangan sortir dilakukan proses sortir untuk
beberapa produk PT BII. Ada 3 cara dalam melakukan sortir, yaitu secara
manual dengan mengandalkan ketelitian tenaga kerja, sortir menggunakan
mika (semi manual) dan sortir dengan menggunakan mesin sortir.
Proses imprinting dan Sortir merupakan tahap dalam pembuatan
sediaan yang berkenaan dengan sifat fisik tablet. Untuk itulah proses ini harus
dilakukan dengan benar sesuai dengan SOP. Untuk menyamakan kinerja
personil dengan SOP maka perlu dilakukan review SOP di Line imprinting
dan sortir.
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui SOP apa sajakah yang berada di ruang imprinting dan
Sortir
2. Untuk mengetahui apakah SOP yang ada di dalam ruangan sesuai dengan
GMP atau CPOB.
3. Untuk mengevaluasi pelaksanaan SOP oleh operator di Line imprinting
dan sortir.
D. METODE
Metode yang dilakukan adalah metode wawancara dan melakukan
pengamatan terhadap implementasi SOP oleh operator dan mendiskusikannya
dengan area leader. Kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Melakukan pengecekan kelengkapan SOP dan melaporkannya pada area
leader
2. Membaca dan mengkaji isi SOP
3. Melakukan pengamatan dan wawancara dengan operator yang bertugas
4. Melakukan revisi SOP.
5. Membuat tabel komparatif perubahan yang direkomendasikan untuk
ditindaklanjuti oleh bagian QA dan mendapatkan CR (Change Request)
E. HASIL
a. SOP di Line Imprinting
Dari hasil pengamatan didapatkan GAP pada Pelaksanaan SOP di
Line imprinting. Hasil dari pengamatan pelaksanaan SOP dan actual di
sajikan dalam tabel berikut:
GAP SOP DI IMRINTING
NO NO.SOP JUDUL SOP PERNYATAAN DI SOP ACTUAL PELAKSANAAN
1 C:PRO-
077/01
PROSEDUR
PEMBERSIHAN
MESIN IMPRINTING
(MARKEM)
MINOR CLEANING :
Bersihkan bagian luar mesin seperti
format disk, unit roll drive, drive dan
meja dengan lap bersih yang di
basahi dengan alkohol 70% beberapa
kali hingga bebas debu.
MINOR CLEANING:
- Lepaskan rubber bawah kemudian di
bersihkan dengan lap yang dibasahi
alkohol 70%
- Nyalakan mesin dan bersihkan gravur
menggunakan lap yang dibasahi alkohol
70%.
- Lepaskan ink container, rendam dengan
alkohol 96%, bersihkan dengan cara
digosok menggunakan lap bersih sisa tinta
yang masih menempel. Gunakan texapone
10% bila perlu. Kemudian lakukan
sanitasi.
- Semprot bagian celah-celah mesin
menggunakan air compressor untuk
menghilangkan debu dan sisa Tablet.
- Bersihkan bagian luar mesin dan
permukaan meja dengan lap yang
dibasahi dengan alkohol 70%.
MAJOR CLEANING
Bersihkan seluruh bagian mesin
dengan lap bersih dan bila perlu
gunakan larutan texapon 10%.
Perhatikan celah-celah di sekitar gear
dan as roll drive.
Bersihkan seluruh bagian mesin dengan lap
bersih dan bila perlu gunakan larutan
texapon 10%. Semprot bagian celah-celah
di sekitar gear dan as roll drive dengan
menggunakan compressed air untuk
menghilangkan debu dan sisa Tablet.
2. C:PRO-
090/00
PROSEDUR
PEMBERSIHAN
MESIN IMPRINTING
(ACKLEY)
MINOR CLEANING:
- Dilakukan setiap pergantian batch
produk yang sama
- Bersihan bagian luar mesin seperti
gravure, doctor blade, dan ink pand
dengan lap bersih yang dibasahi
dengan alkohol 96% beberapa kali
hingga bersih
MINOR CLEANING:
- Lepaskan gravure, doctor blade, dan ink
pand. Kemudian rendam dengan alkohol
96%, bersihkan dengan caral
menggunakan lap bersih sisa tinta yang
masih menempel. Gunakan texapone 10%
bila perlu. Kemudian lakukan sanitasi.
- Lepaskan bagian cover mesin, lap
- Bersihkan hopper dan meja di
bawah mesin dengan lap bersih
yang sudah di basahi dengan
alkohol 70%.
meggunakan alkohol 70%.
- Semprot bagian celah-celah mesin
menggunakan air compressor untuk
menghilangkan debu dan sisa Tablet.
- Bersihkan bagian luar mesin dan
permukaan meja dengan lap yang dibasahi
dengan alkohol 70%.
Temuan Gap tersebut selanjutnya didiskusikan dengan area leader. Dari hasil diskusi tersebut kemudian disimpulkan
bahwa apa yang dilakukan oleh operator secara actualnya termasuk dalam improvement SOP. Karena berkaitan dengan kualitas
produk yang dihasilkan. Kemudian selanjutnya gap tersebut dibuat dalam Comparative Table. Comparative table untuk SOP di area
Imprinting, disajikan dalam tabel dibawah ini.
Tabel Komparatif SOP Prosedur Pembersihan Mesin Imprinting Tablet (Ackley)
NO
JENIS PERUBAHAN
SOP LAMA SOP BARU ALASAN
1 NO SOP C: PRO-090/00 C XXXXXX Format Baru
2 Perubahan Redaksi
MAJOR CLEANING:
Menggunakan tissue
MAJOR CLEANING:
Menggunakan lap bersih
Pengunaan tissue untuk membersihkan alat sudah tidak diperbolehkan karena bisa
SANITASI
Menggunakan tissue yang dibasahi alkohol
SANITASI
Menggunakan lap bersih yang dibasahi alkohol 70%
meninggalkan partikel. Sehingga penggunaan tisue diganti dengan lap bersih (majun).
3 Perubahan langkah pada Minor Cleaning atau pembersihan Kecil
Bersihkan bagian luar mesin seperti format disk, unit roll drive, drive dan meja dengan lap bersih yang di basahi dengan alkohol 70% beberapa kali hingga bebas debu
- Lepaskan rubber bawah kemudian di bersihkan dengan lap yang dibasahi alkohol 70%
- Nyalakan mesin dan bersihkan gravur menggunakan lap yang dibasahi alkohol 70%.
- Lepaskan ink container, rendam dengan alkohol 96%, bersihkan dengan cara digosok menggunakan lap bersih sisa tinta yang masih menempel. Gunakan texapone 10% bila perlu. Kemudian lakukan sanitasi.
- Semprot bagian celah-celah mesin menggunakan air compressor untuk menghilangkan debu dan sisa Tablet.
- Bersihkan bagian luar mesin dan permukaan meja dengan
- Pada saat proses minor cleaning, ink container dan rubber harus di lepaskan terlebih dahulu. Hal ini ditujukkan untuk menghindari black dot pada Tablet hasil imprinting.
- Penggunaan compressor untuk menyemprot sela-sela sangat dianjurkan, walaupun merupakan pembersihan minor, penyemprotan sela-sela ini untuk menghindari adanya debu yang mungkin mengganggu pada proses imprinting.
lap yang dibasahi dengan alkohol 70%.
4 Lampiran Tidak Ada Ada Lampiran berisi tentang frekuensi pembersihan.
Tabel Komparatif SOP Prosedur Pembersihan Mesin Imprinting Tablet (Markem)
NO JENIS PERUBAHAN
SOP LAMA SOP BARU ALASAN
1 NO SOP C: PRO-077/01 CXXXXXX Format Baru
2 Perubahan Redaksi MAJOR CLEANING:
Menggunakan Tisue
SANITASI
Menggunakan Tisue
MAJOR CLEANING:
Menggunakan Lap Bersih
SANITASI
Menggunakan Lap Bersih
Pengunaan tissue untuk membersihkan alat sudah tidak diperbolehkan karena bisa meninggalkan partikel. Sehingga penggunaan tisue diganti dengan lap bersih (majun).
3 Perubahan Langkah Pada Minor Cleaning atau pembersihan kecil.
Bersihkan bagian luar mesin seperti format disk, unit roll drive, drive dan meja dengan lap bersih yang di basahi dengan alkohol 70% beberapa kali hingga bebas debu
- Lepaskan rubber bawah kemudian di bersihkan dengan lap yang dibasahi alkohol 70%
- Nyalakan mesin dan bersihkan gravur menggunakan lap yang dibasahi alkohol 70%.
- Lepaskan ink container, rendam dengan alkohol 96%, bersihkan dengan cara digosok menggunakan lap bersih sisa tinta yang masih menempel. Gunakan texapone 10% bila
- Pada saat proses minor cleaning, ink container dan rubber harus di lepaskan terlebih dahulu. Hal ini ditujukkan untuk menghindari black dot pada Tablet hasil imprinting.
- Penggunaan compressor untuk menyemprot sela-sela sangat dianjurkan, walaupun merupakan pembersihan minor, penyemprotan sela-sela ini
perlu. Kemudian lakukan sanitasi.
- Semprot bagian celah-celah mesin menggunakan air compressor untuk menghilangkan debu dan sisa Tablet.
- Bersihkan bagian luar mesin dan permukaan meja dengan lap yang dibasahi dengan alkohol 70%.
untuk menghindari adanya debu yang mungkin mengganggu pada proses imprinting.
4 Lampiran Tidak Ada Ada Lampiran berisi tentang frekuensi pembersihan
Tabel Komparatif SOP Prosedur Pembersihan Ruangan Imprinting Tablet
NO
JENIS PERUBAHAN SOP LAMA SOP BARU ALASAN
1 NO SOP C:PRO-076/00 XXXXX Format baru
2 Penambahan tahap pembersihan besar dan pembersihan kecil
Tidak ada Ada Mengacu Pada SOP pembersihan dan sanitasi ruangan di area produksi, pembersihan dibagi menjadi dua yaitu pembersihan besar atau major cleaning yang dilakukan setiap pergantian produk, Setelah
beberapa batch produk yang sama, dan setelah sampling validasi pembersihan. Kemudian pembersihan kecil atau minor cleaning setiap pergantian batch dalam produk yang sama.
b. SOP di Line Sortir
Dari hasil wawancara dalam SOP di area sortir, tidak terdapat Gap atau
penyimpangan. Selanjutnya dibuat comparative table SOP yang ada di
Line Sortir, berikut adalah komparatif tabel :
Tabel komparatif SOP Prosedur Pembersihan Ruangan Sortir Tablet
NO
JENIS PERUBAHAN SOP LAMA SOP BARU ALASAN
1 NO SOP C:PRO-026/00 XXXXX Format baru
2 Penambahan tahap pembersihan besar dan pembersihan kecil
Tidak ada Ada Mengacu Pada SOP pembersihan dan sanitasi ruangan di area produksi, pembersihan dibagi menjadi dua yaitu pembersihan besar atau major cleaning yang dilakukan setiap pergantian produk, Setelah beberapa batch produk yang sama, dan setelah sampling validasi pembersihan. Kemudian pembersihan kecil atau minor cleaning setiap pergantian batch dalam produk yang sama.
3 Penambahan Lampiran Tidak ada Ada Perlu ditambahkan lampiran mengenai frekuensi pembersihan.
Tabel komparatif SOP Prosedur Pembersihan Mesin Sortir Tablet
NO JENIS PERUBAHAN SOP LAMA SOP BARU ALASAN
1 NO SOP C:PRO-017/00 XXXXX Format baru
2 Perubahan Redaksi MAJOR CLEANING:
Menggunakan Tisue
SANITASI
Menggunakan Tisue
MAJOR CLEANING:
Menggunakan Lap Bersih
SANITASI
Menggunakan Lap Bersih
Pengunaan tissue untuk membersihkan alat sudah tidak diperbolehkan karena bisa meninggalkan partikel. Sehingga penggunaan tisue diganti dengan lap kain bersih (majun).
3 Penambahan Lampiran Tidak ada Ada Perlu ditambahkan lampiran mengenai frekuensi pembersihan.
F. PEMBAHASAN
a. SOP di Line Imprinting
Ada beberapa langkah dalam melakukan revisi SOP. Yang pertama
harus memahami tentang SOP general, kemudian kajian terhadap SOP yang
akan di review terlebih dahulu, kemudian setelah itu melakukan pengamatan
dan wawancara terhadap operator. Setelah itu dilihat apakah ada gap atau
deviasi, jika ada gap diskusikan dengan area Leader yang bertanggung jawab
atau dengan pihak yang memahami tentang SOP tersebut. Kemudian lakukan
revisi terhadap SOP. Jika ada revisi maka SOP akan dibuatkan komparatif
table dan diajukan ke QA untuk mendapatkan CR, CR merupakan nomor
perubahan SOP yang sudah bisa di review oleh pihak lain yeng lebih tinggi
dari area leader. Setelah mendapat CR, SOP akan di review oleh area leader,
section manager, head of departemen serta personel tertentu yang terlibat
seperti EHS yang berhubungan dengan safety dan TM berhubungan dengan
pengoperasian alat. Dalam melakukan tugas khusus ini, tidak semua prosedur
dilakukan. Dalam mereview SOP di area imprinting tidak semua tahapan
dilakukan, hanya sampai diskusikan GAP dengan area leader.
Review SOP dilakukan untuk mengevaluasi aktivitas yang telah
dilakukan selama ini apakah masih sesuai dengan prosedur atau tidak.
Jika terjadi Gap antara SOP dengan actual di lapangan yang dilakukan
operator, ada dua kemungkinan. Yang pertama memang operator tidak
mengerti prosedur yang ada di SOP sehingga operator tidak melaksanakan
dengan benar. Atau bisa saja, operator yang benar, karena ada improvement
yang belum dimasukkan ke dalam SOP. Improvement dilakukan karena
tuntutan kualitas, evisiensi dan produktifitas dari aktifitas yang dilakukan di
area manufacturing.
Pada SOP di dalam area imprinting masih ada istilah penggunaan
tissue. Penggunaan tisue pada saat proses sanitasi maupun pembersihan pada
mesin sudah tidak diperbolehkan. Karena penggunaan tisue ini bisa
meninggalkan partikel sehingga penggunaanya sudah tidak diperbolehkan.
Untuk itu dilakukan penggantian dengan menggunakan lap.
Pada pembersihan minor mesin imprinting, hanya ada keterangan
Bersihkan bagian luar mesin seperti format disk, unit roll drive, drive dan
meja dengan lap bersih yang di basahi dengan alkohol 70% beberapa kali
hingga bebas debu. Padahal actualnya para operetaor dalam melakukan minor
cleaning pasti melepas ink container dan merendamnya dengan alkohol 96%.
Perendaman dengan alkohol ini dimaksudkan untuk menghilangkan bekas
tinta. Tidak menggunakan air dan texapon, karena jika ink container sering-
sering berinteraksi dengan air akan menyebabkan karatan. Maka itu lebih
dipilih pembersihan dengan menggunkan alcohol. Pembersihan ini
dimaksudkan untuk menghindari black dot, karena sebelum-sebelumnya jika
ink container tidak dibersihkan pada pembersihan minor, black dot yang
dihasilkan lebih banyak. Untuk itulah dalam SOP pembersihan mesin
imprinting perlu di tambahkan langkah pembersihan ink container dengan
menggunakan alkohol 96%.
b. SOP di Line Sortir
Revisi dan pembuatan SOP ini harusnya melalui kajian tentang
prosedur umum dalam area manufacturing, kajian terhadap SOP yang lama,
mengamati secara intensif aktivitas operator ketika menjalankan prosedur di
dalam SOP tersebut/ keadaan actual di lapangan, mencari gap atau deviasi
yang terjadi dan mendiskusikannya dengan area leader yang
bertanggungjawab atau dengan pihak yang memahami tentang SOP tersebut,
barulah dilakukan revisi atau pembuatan SOP baru. Namun tidak semua
prosedur di dalam SOP tersebut dilakukan karena memang tidak ada jadwal
untuk melakukannya. Sehingga pada SOP sortir hanya dilakukan proses
wawancara terhadap operator yang bertugas dan melakukan rasionalisasi
kesesuaian prosedur tersebut dengan prosedur umum serta melakukan diskusi
dengan area leader yang bertanggung jawab.
Hasil pengamatan menunjukkan masih adanya redaksi penggunaan
tisue pada SOP. Sehingga penggunaan tisue harus diganti dengan lap bersih,
karena memang penggunaan tisue sudah dilarang sebab dapat meninggalkan
partikel pada alat. Penggantian ini hanya dilakukan secara redaksional, karena
memang kenyataannya sudah tidak ada penggunaan tissue hanya saja masih
ada di SOP.
Selain itu pengamatan juga dilakukan pada prosedur sortir yang
manual dan menggunakan mika. Dalam proses sortir manual dan
mengggunakan mika memang tidak ada SOP yang mengaturnya. Tetapi
pengamatan ini perlu untuk mengevaluasi proses sortir yang tidak
menggunakan mesin. Proses sortir diawali dengan pengambilan BMR,
kemudian penyiapan ruangan serta peralatan yang biasa digunakan. Para
petugas sortir manual biasa menggunakkan plastik sebagai alas untuk sortir.
Sedangkan untuk sortir mika, mereka biasa menggunakan mika untuk
membantu proses sortir. Selanjutnya setelah semua siap, petugas akan
mengambil tablet yang akan disortir, kemudian mereka melakukan proses
sortir.
Proses sortir manual benar-benar menuntut ketelitian mata. Selain
itu kondisi dari petugas sortir juga berpengaruh, jika mereka dalam kondisi
tidak fit maka konsentrasi mereka bisa turun dan hasil sortir bisa tidak bagus.
Dalam melakukan sortir para petugas sudah melakukan prosedur sesuai
standar. Hanya saja perlu dilakukan improvement dalam proses sortir agar
ketellitian para petugas lebih baik lagi.
G. KESIMPULAN
a. SOP di Line Imprinting
1. Review SOP sangat penting dilakukan secara berkala, untuk melihat
masa berlaku dari SOP tersebut dan untuk melihat apakah SOP masih
bisa dilaksanakan.
2. Di dalam ruang Imprinting terdapat 5 jenis SOP, yaitu :
a. Prosedur Pembersihan Mesin Imprinting Tablet (Markem)
b. Prosedur Pembersihan Mesin Imprinting Tablet (Ackley)
c. Prosedur Pengoperasian Mesin Imprinting Tablet (Markem)
d. Prosedur Pengoperasian Mesin Imprinting Tablet (Markem)
e. Prosedur Pembersihan Ruangan Imprinting Tablet.
3. Dari hasil review terdapat gap pada SOP pembersihan mesin
imprinting.
b. SOP di Line Sortir
1. Di dalam ruangan sortir ada 3 buah SOP, yaitu:a. Prosedur Pembersihan Mesin Sortir Tabelt
b. Prosedur Pembersihan Ruangan Sortir Tabelt
c. Prosedur Pengoperasian Mesin Sorting Conveyor
2. SOP yang ada di area sortir ada yang perlu dilakukan perbaikan secara
redaksi.
3. Pelaksanaan Sortir secara manual sudah sesuai dengan prosedur, hanya
saja perlu dilakukan improvement dalam melakukan proses sortir manual
agar proses bisa berjalan lebih baik.
H. SARAN
a. SOP di Line Imprinting
1. Perlu dilakukan review SOP secara berkala di tiap line di area
manufacturing dengan cara melakukan pengamatan langsung pada
operator.
2. Perlu mendiskusikan lagi gap atau deviasi yang ada dengan operator dan
area leader, untuk memastikan apakah memang perlu improvement atau
tidak.
b. SOP di Line Sortir
1. Perlu dilakukan pengamatan terhadap pengoperasian mesin sortir dan
membandingkan dengan SOP.
2. Perlu dilakukan pengamatan lebih dalam lagi tentang sortir secara manual
untuk melihat improvement yang perlu dilakukan agar meningkatkan
ketelitian petugas sortir.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
PT. Boehringer Ingelheim Indonesia, sebagai salah satu industri farmasi
terbesar di Asia Tenggara telah mampu menerapkan aspek-aspek yang terdapat
pada Cara Pembuatan Obat yang Baik dengan terus menerus melakukan perbaikan
di setiap aspek. Apoteker memiliki peran yang sangat penting dalam perusahaan,
yakni menjamin setiap proses yang berjalan sesuai dengan prosedur yang telah
ditetapkan sehingga memenuhi standar mutu yang ingin dicapai.
Peran apoteker di PT. Boehringer Ingelheim Indonesia telah menempati 3
posisi kunci dalam industri farmasi yaitu Quality Assurance (QA), Quality
Control (QC) dan Produksi. Selain dari ketiga posisi kunci, apoteker di PT. BII
juga berperan dalam bagian lain seperti pengemasan, production technology,
supply chain management, regulasi dan informasi produk..
4.2 SARAN
Setelah menjalankan kegiatan PKPA di PT.BII saran yang dapat kami
berikan antara lain :
1. Melaksanakan validasi proses secara berkala untuk dapat menjamin setiap
proses yang berlangsung sehingga prosedur produksi tetap terjamin baik
secara efektif dan efisien.
2. Tetap melakukan kerjasama dengan bidang pendidikan hingga dapat
meningkatkan mutu sumber daya manusia untuk kemajuan dan
perkembangan industri kefarmasian Indonesia.