azab kubur dalam perspektif...
TRANSCRIPT
AZAB KUBUR DALAM PERSPEKTIF HADIS
(Kajian Tematik Hadis Tentang Azab Kubur)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama ( S. Ag. )
Oleh :
Gisda Aryah Putri
1113034000024
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
F A K U L T A S U S H U L U D D I N
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H /2017 M
i
ABSTRAK
Gisda Aryah Putri – 1113034000024
Azab Kubur Dalam Perspektif Hadis (Kajian Tematik Hadis Tentang Azab
Kubur)
Di bawah Bimbingan : Drs. Harun Rasyid M.Ag.
Sesungguhnya azab dan nikmat kubur adalah azab barzakh dan nikmatnya.
Dalam bahasa Arab, kata ʼAdzāb, bentuk jamaknya a’dzibah artinya siksaan.
Sedangkan makna „barzakh‟ adalah alam kubur yang merupakan alam pemisah
antara kehidupan dunia dan akhirat sejak manusia meninggal dunia hingga hari
kiamat. Maka „azab kubur‟ berarti siksaan di alam kubur (barzakh) yang akan
diterima oleh orang-orang yang tidak menjalankan perintah Allah swt. dan tidak
menjauhi segala larangan-Nya. Azab kubur ini pun masih simpang siur
keberadaannya karena ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa azab atau
siksaan sebagai pembalasan, hanya ada setelah hari kiamat yakni azab neraka.
Namun, bagaimana dalil syari‟at memandangnya? Maka penulis akan melakukan
penelusuran lebih jauh terkait hal ini khususnya dalam perspektif hadis Rasulullah
saw.
Metodologi penelitian ini termasuk ke dalam kategori kualitatif, dengan
melakukan pencarian sumber (referensi) atau studi kepustakaan (library research)
sebagai metode pengumpulan data, Data diambil dari dua sumber yaitu sumber
primer dan sumber sekunder. Adapun sumber primer yang diambil penulis ialah
menggunakan Al-Kutub Al-Sittah, sedangkan sumber sekunder menggunakan
buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini.
Sedangkan jenis metode pembahasannya yaitu deskriptif-analitis terhadap hadis-
hadis tentang azab kubur secara tematik (mauḏuʼī).
Hadis-hadis Rasulullah saw. tentang azab kubur adalah hadis yang shahih
secara umum. Oleh karena itu, tidak boleh ditentang. Ada beberapa hadis
mengenai azab kubur yang merupakan tergolong hadis ahad, akan tetapi hadis
tersebut termasuk dalam periwayatan hadis yang mutawatir dari sudut makna.
Berdasarkan penelitian penulis terhadap hadis-hadis yang telah ditelusuri tentang
azab kubur, hadis tersebut dapat dijadikan hujjah dan tidak menyimpang dari dalil
al-Qur‟an. Jumhur ulama bersepakat bahwa azab kubur itu benar adanya, dan
wajib mengimaninya karena termasuk ke dalam perkara yang gaib. Berbeda
halnya dengan pendapat kaum atheis, sebagian mu’tazilah, dan khawarij.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah swt. Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan nikmat kepada
hamba-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini dengan
lancar. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Rasulullah saw., pemimpin
sekaligus uswatun hasanah bagi umat muslim, tak lupa juga untuk seluruh
anggota keluarga, para sahabat dan pengikut beliau terdahulu yang telah
menyampaikan ajaran-ajarannya, hingga sampailah kepada umat Islam sekarang
ini.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, tentu penulis mendapatkan doa dan
motivasi dari orang-orang sekitar. Maka dari itu, perlu kiranya penulis
menyampaikan rasa hormat yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak tertentu
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir yang sederhana ini
hingga selesai dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung
penulis, khususnya kepada:
1. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.Ag., selaku dosen pembimbing penulis yang
telah memberikan arahan, saran dan dukungan kepada penulis, sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika
selama proses bimbingan penulis banyak merepotkan. Semoga Bapak
selalu sehat dan diberikan kelancaran dalam segala urusannya. Amin.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag. Selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur‟an &
Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd.
selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur‟an & Tafsir. Serta seluruh dosen dan
staf akademik Fakultas Ushuluddin, khususnya jurusan Ilmu al-Qur‟an dan
iii
Tafsir yang telah membagikan waktu, tenaga, dan ilmu pengetahuan juga
pengalaman berharganya kepada penulis. Semoga amal kebaikan
Bapak/Ibu Dosen dibalas dengan pahala dan rahmat dari Allah swt. Amin.
4. Keluarga yang senantiasa mendukung penulis. Kepada Ayahanda tercinta,
Drs. Abdul Harris R. dan Ibunda tercinta, Hasiyah yang selalu mendoakan
dan memberikan kasih sayangnya yang tak terhingga semata-mata untuk
kesuksesan anaknya. Terima kasih banyak semoga doa dan ridhomu selalu
tercurahkan untukku. Kepada adik-adikku tersayang, Moammar Rizki
Mubarak, Benazir Rishda Arfiani, dan Mohammad Ahil Kalaj, teruslah
berjuang untuk menggapai cita-cita kalian, Semoga kelak kalian menjadi
orang-orang yang mampu membahagiakan dan membanggakan orang tua
dunia akhirat. Amin.
5. Teman-teman seperjuangan. Kepada seluruh kawanku jurusan Tafsir-
Hadis angkatan 2013, khususnya TH A: Salman (KM sampai wisuda),
Nasrul, Nelfi, Ira, Ica, Hafidzoh, Bekti, Faris, dan lain-lain maafkan tak
dapat tertuliskan seluruh nama-nama kalian seangkatan, tapi percayalah
pertemanan kita akan selalu terkenang, Terima kasih atas bantuan dan
kebersamaannya selama ini. Kepada seluruh kawanku senasib
sepenanggungan yang berprestasi di bidangnya, Mahasiswa Bidikmisi
2013: Aisyah, Yeni, Nia, Husni, Yuli, Faiz, Agus, Siti, Gita, dan lain-lain
yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, Terima kasih banyak, Tetap
semangat meraih impian yang belum kalian raih dan tetaplah rendah hati
dengan kesuksesan kalian kelak. Kepada keluarga kosan: Hidah, Selvy,
Nihay, Nabila, Meida, Masayu, Zizah, Eli, dan Putri, kalian akan aku
rindukan, Terima kasih buat semuanya, jangan lupa ngundang ya!
6. Teman-teman sejati. Kepada sahabat-sahabat terbaikku dari masa-masa di
pondok sampai saat ini: Evi, Jannah, Ira, Waffa dan Nur yang sudah punya
kesibukkan masing-masing dan jarang bertemu tapi tetap memberikan
semangatnya kepadaku. Tak lupa dan tidak ketinggalan buat “Bosan”:
Isna, Onit, Nova, Fitri, Putri, dan Ayu, kalian telah memberikan warna
terindah dalam kekosonganku. Terima Kasih. Semoga Allah swt.
membalas kebaikan kalian semua.
iv
7. Teman-teman organisasi. Terima kasih Kepada seluruh sahabat-sahabati
PMII Komfuspertum, seluruh Ikhwan-Akhwat LDK Syahid, khususnya
Komda Ushuluddin dan Syiar LDK Syahid 20, seluruh teman-teman
IKDAR, teman-teman Relawan BSMI, DD dan Baznas yang sempat
mengisi hari-hariku, bersama kalian adalah pengalaman berharga.
8. Teman-teman KKN Nebula: Didi, Ulfi, Marisa, Tika, Kia, Ijong, Ibnu,
Danang, Syifa, dan Anto, kebersamaan dengan kalian selama kurang-lebih
sebulan semoga dapat bermanfaat bagi masyarakat Desa Kemiri dan
pelajaran buat kita. Good Luck buat kalian!
Jakarta, 31 Mei 2017
Gisda Aryah Putri
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah......................................... 9
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 10
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 10
E. Kajian Pustaka .......................................................................... 11
F. Metodologi Penelitian .............................................................. 12
G. Sistematika Penulisan .............................................................. 13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AZAB KUBUR
A. Pengertian Azab Kubur. ........................................................... 15
B. Penyebab Mendapatkan Azab Kubur ....................................... 18
1. Tidak Memakai Penutup Saat Buang Air Kecil dan Suka
Mengadu Domba ................................................................ 19
2. Dusta, Zina, Riba, dan Meninggalkan Shalat dan Al-Qur‟an
............................................................................................ 20
3. Ghibah ................................................................................ 26
4. Meratapi Mayit ................................................................... 27
C. Tempat Ruh di Alam Barzakh ................................................. 29
1. Ruh Para Nabi dan Rasul ................................................... 31
2. Ruh Orang-Orang yang Mati Syahid ................................. 32
3. Ruh Orang Mukmin yang Saleh ......................................... 34
4. Ruh Orang-Orang yang Bermaksiat ................................... 35
5. Ruh Orang-Orang Kafir ..................................................... 35
BAB III HADIS-HADIS TENTANG AZAB KUBUR
A. Teks Hadis Tentang Penyebab Mendapatkan Azab Kubur dan
Terjemahannya ......................................................................... 38
vi
1. Hadis tentang Tidak Memakai Penutup / Tidak Bersuci saat
Buang Air Kecil dan Suka Mengadu Domba ..................... 38
2. Dusta, Zina, Riba, dan Meninggalkan Shalat & Al-Qur‟an
............................................................................................ 48
3. Meratapi Mayit ................................................................... 61
B. Asbābu al-Wurūd Hadis ........................................................... 74
BAB IV INTERPRETASI DAN KONTROVERSI HADIS TENTANG
AZAB KUBUR
A. Analisa Substansi Hadis ........................................................... 77
B. Pendapat Para Ulama Tentang Azab Kubur............................. 91
1. Menurut Mufassīr ............................................................... 92
2. Menurut Muhaddīts ............................................................ 95
3. Menurut Fuqahāʽ .............................................................. 101
BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan ............................................................................ 104
2. Kritik dan Saran ..................................................................... 106
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 108
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan Es ث
J Je ج
H Ha dengan garis di bawah ح
Kh Ka dan Ha خ
D De د
Dz De dan Zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan Ye ش
S Es dengan garis di bawah ص
D De dengan garis di bawah ض
ṯ Te dengan garis di bawah ط
ẕ Zet dengan garis di bawah ظ
ʼ Koma terbalik ke atas ع
Gh Ge dan Ha غ
F Ef ف
viii
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
ʽ Apostrof ء
Y Ye ي
Keterangan :
1. Vokal Panjang untuk فتحة = Āā / كسرة = Īī / ضمة = Ūū.
2. Huruf yang ber-tasydid ( ) ditulis dengan dua huruf yang serupa secara
berturut-turut, seperti السنة = al-Sunnah.
3. Huruf ta marbuṯah ( ة ), baik hidup maupun mati atau di-waqaf-kan ditulis
dengan huruf ( h ), seperti أبو هريرة = Abū Hurairah.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kematian dalam kamus besar bahasa Indonesia, mati berarti hilang nyawa,
tidak hidup lagi,1 “Maut atau mati berarti terpisahnya ruh dari zat, jiwa dari badan
atau jasmani”.2 Pengertian al-maut atau mawātan atau muwāt menurut bahasa
Arab, berasal dari kata مات يموت موتا (māta-yamūtu-mawtan) yang berarti lawan
kata dari hayat (hidup).3 Kematian menurut M. Quraish Shihab, adalah peristiwa
terputusnya hubungan ruh dengan jasad, terpisahnya jiwa dengan raga, pergantian
keadaan, dan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain.4 Dengan demikian
kematian harus dipahami dan juga dipersiapkan. Sebagaimana dijelaskan oleh
Allah swt. dalam firman-Nya:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan
hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS. al-Anbiyāʽ: 35)
1 Tim Penyusun Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pustaka, 1998), h. 637. 2 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam III, (Jakarta : Ixhtiar Baru Van
Hove, 1994), h. 21.
3 Muhammad bin Mukram bin Manẕur al-Afrīqī al-Misrī, Lisān al-ʼArab, (Beirut: Dikr
Sadir, tt), Jil. 6, h. 4294. 4 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 1996), h. 69.
2
Selain ayat di atas, terdapat juga sebuah hadis yang menganjurkan kita
untuk mengingatkan kematian diriwayatkan oleh Ibnu Mājah5, yaitu:
ة ير ر ى ب أ ن ة ع م ل س ب أ ن ع رو م د بن ع م ن م ى ع وس ضل بن م ف ا ال ن ث د ن ح ود بن غيل م ا م ن ث د ح ت و م ال عن ات ي الل ذ م اذ ى ر ك وا ذ ر ث ك أ م ل س و و ي ل ع ى الل ل ص الل ول س ر ال قال ق
“Telah menceritakan kepada kami Mahmūd bin Ghailan telah
menceritakan kepada kami Al-Faḏl bin Mūsā dari Muhammad bin ʼAmru dari
Abū Salamah dari Abū Hurairah, dia berkata; Rasulullāh saw. bersabda:
Perbanyaklah mengingat sesuatu yang dapat menghancurkan kenikmatan, yaitu
kematian.”
Dari ayat dan hadis di atas telah jelas bahwa kematian itu nyata adanya
dan akan dirasakan secara pasti oleh tiap-tiap yang bernyawa terlebih lagi manusia
yang diberikan tanggungan dan kewajiban dari Allah swt. Oleh karena itu, tugas
manusia adalah menjadikan kehidupan di dunia sebagai bekal ketika maut telah
menjemput, yaitu ketika malaikat Izrail mencabut ruh kita, dan jasad pun tak lagi
menghembuskan nafas. Bekal yang dimaksudkan di sini adalah amal perbuatan
selama di dunia yang sesuai dengan perintah Allah swt. dan ajaran yang dibawa
Rasulullah saw.
Pembicaraan tentang kematian memang bukan merupakan perkara yang
menyenangkan, pada umumnya. Bahkan mungkin hampir seluruh manusia ingin
memiliki masa hidup yang lama, umur yang panjang untuk bisa berada di dunia
ini. Sebagaimana Firman Allah swt:
الل
5 Muhammad bin Yazīd Abū ʼAbdullāh al-Qazwinī, Sunan Ibnu Mājah (Beirut: Dār al-
Fikr, tt), Jil. 6, h. 495.
3
“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling tamak
kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih tamak lagi) dari orang-orang musyrik.
masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, Padahal umur
panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha
mengetahui apa yang mereka kerjakan.”. (QS. al-Baqarah: 96).
Kesenangan hidup di dunia menjadikan kita buta akan kehidupan manusia
yang hakiki yaitu kehidupan setelah mati. Kehidupan yang sebenarnya inilah yang
menjadikan manusia takut terhadap kematian, seperti contohnya tidak tahu apa
yang akan dihadapi setelah mati, mungkin juga menduga bahwa yang dimiliki
sekarang lebih baik atau mungkin juga membayangkan betapa sulit dan pedihnya
pengalaman mati dan sesudah mati.6 Hal tersebut juga dijelaskan dalam al-Qur‟an
Surat Qāf: 19
“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang
kamu selalu lari daripadanya.”
Ketika manusia telah mati, jasadnya dimasukkan ke dalam sebuah liang
yang panjangnya tak lebih dari dua meter, dan lebarnya tak lebih dari satu meter.
Liang tersebut disebut liang kubur. Setelah melalui perjalanan waktu yang lama,
jasad yang ditanam di liang kubur akan membusuk, hancur lebur, dan berkalang
tanah. Setalah masa tiga puluhan tahun, jasad tersebut boleh jadi telah menjadi
debu, tanpa ada sepotong tulang dan secuil daging pun. Hal ini berlainan dengan
keadaan ruh yang telah berpisah dengan jasad tersebut. Ruh akan memasuki
sebuah alam kehidupan baru, yang lain dengan kehidupan sebelumnya. Ruh
berada di sebuah alam yang tidak termasuk alam dunia, pun tidak termasuk alam
6 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan
Umat, h. 69.
4
akhirat. Alam baru tersebut dinamakan alam „barzakh‟. Alam barzakh7 adalah
sebuah alam gaib, yang hanya diketahui ilmunya oleh Allah semata. Manusia
sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Melalui Al-Qur‟an dan
Hadis-lah diketahui bahwa kehidupan di alam barzakh berlangsung sejak ruh
berpisah dengan jasad, dan baru akan berakhir dengan dibangkitkannya ruh dan
jasad pada hari kiamat. Setiap ruh yang shalih semasa hidup di dunia, akan
menerima kenikmatan di alam barzakh sampai hari terjadinya kiamat. Demikian
pula, setiap ruh yang kufur dan banyak berbuat dosa semasa hidup di dunia, akan
menerima siksa di alam barzakh sampai hari terjadinya kiamat.8
Ketika manusia telah menghadapi ujian sakaratul maut9, maka ia akan
menghadapi ujian lainnya yang sangat berat dan menentukan. Yaitu malaikat
7 Secara bahasa, „barzakh‟ bermakna pembatas antara dua hal. Sebagaimana firman
Allah swt. dalam Q.S al-Furqān : 53
“Dan Dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir (berdampingan); yang ini tawar
lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang
menghalangi.”
Adapun secara terminologi, barzakh adalah alam setelah kematian sebelum datangnya
hari kebangkitan. Allah swt. berfirman dalam Q.S al-Muʽminūn : 100
“Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.”
Ibnul Qayyim berkata : “Adzab dan nikmat kubur adalah suatu nama (yang sama) untuk
adzab barzakh dan nikmat barzakh, yaitu alam yang berada di antara alam dunia dan alam akhirat”.
Lihat Al-Qiyāmah Al-Sughra, ʼUmar Sulaiman Al Asyqar, Cet. I, (Kuwait: Maktabah al-Falāh,
1406 H), h. 13.
8 Muhib al Majdi dan Abu Fatiah al Adnani, Dari Alam Barzakh Menuju Padang
Mahsyar (Surakarta: Granada Mediatama, 2003), h. 47.
9 Sakarat secara bahasa berarti keadaan seseorang antara berakal dan tidak berakal,
sedangkan maut adalah lawan kata dari hidup. Adapaun sakaratul maut adalah puncak kesakitan
5
Munkar dan Nakir yang mengajukan beberapa pertanyaan „Siapa Rabbmu?‟, „Apa
Agamamu?‟, „Apa Ilmumu?‟, dan „Apa Pendapatmu tentang diri Muhammad
saw.?‟ atau „Siapa Nabimu?‟.10
Pertanyaan kedua malaikat di alam kubur ini
dijelaskan dalam hadis yang shahih dari Anas bin Malik dari Nabi saw., Beliau
bersabda,
ا ن ث د ا ابن زريع ح ن ث د ح ة يف ل ل خ ال ق و ال يد ق ع ا س ن ث د ى ح ل ع ال د ب ا ع ن ث د ا عياش ح ن ث د ح ه ب ا وضع يف ق ذ إ د ب ع ال ال ق م ل س و يو ل ع ى الل ل ص ب ن الن ع نو ع الل ي ض س ر ن ن أ ة ع اد ت ن ق ع يد ع س ل و ق ت ت ا كن : م و ل ن ول ق ي اه ف ق عد أ ف ان لك م اه ت أ م ال رع نع ق ع م س لي و ن إ ت ابو ح ح ص أ ب ى ذ ت ولي و و ل ر إ ظ و فيقال ان ول س ر الل و د ب ع و ن أ د ه ش أ ول ق ي ؟ ف لم س و يو ل ع ى الل ل د ص م ل م ج ا الر ذ ى يف ا م أ ا و ع ي ج ا اه ر ي ف م ل س و يو ل ع ى الل ل ص ب الن ال . ق ة ن ال ن دا م قع بو م ك الل ل بد أ ار الن ن م ك د ع ق م يضرب ت ث ي ل ت ل يت و ر د اس. فيقال ل ول الن ق ا ي ول م ق ي كنت أ ر د أ : ل ول ق ي ق ف اف ن م و ال أ ر اف ك ال
الث قلي ل ليو إ ي ا من عه م ة يس ح ي يح ص ص ي ف و ي أذن ي بة ب ر د ض ي د ح ن رقة م بط “Jika seorang hamba telah dimasukkan ke liang kuburnya dan orang-orang
yang menguburkan telah kembali pulang sehingga dia bisa mendengar suara
langkah sandal mereka, dia didatangi oleh dua malikat yang lantas
mendudukkannya. Kedua malaikat itu bertanya, “Apa yang dahulu kamu katakan
tentang orang ini (yaitu Muhammad saw.)? Dia menjawab “Aku bersaksi bahwa
dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” Maka dikatakan kepadanya, “Lihatlah
kepada tempatmu di neraka! Allah telah menggantinya dengan sebuah tempat di
surga”. Maka dia bisa melihat kedua tempat tersebut. Adapun Orang-orang kafir
atau munafik, dia akan menjawab, “Aku tidak tahu. Saya hanya mengucapkan apa
yang diucapkan orang-orang.” Maka dikatakan kepadanya, “Engkau tidak tahu
dan tidak mau membaca (ayat-ayat Allah).” Lalu dia dipukul dengan sebuah palu
besar yang terbuat dari besi dengan sekali pukulan di antara kedua telinganya
(mukanya). Akibatnya dia memekik kesakitan. Suara pekikannya didengar oleh
seluruh makhluk, selain manusia dan jin”.11
Dalam Riwayat Ahmad ada tambahan pada redaksi hadis: Orang Mukmin
– (“Maka orang mukmin itu bisa melihat kedua tempat tersebut. Tempatnya di
yang dialami seseorang ketika hendak meninggal. Lihat Al-Mu‟jam al-Wasīṯ. Ḏāʽif, Syauqī.
(Mesir: Maktabah Surauq al-Dauliyyah, 2011). Jil.1, h. 438. 10
Muhib Al Majdi & Abu Fatiah Al Adnani, Dari Alam Barzakh Menuju Padang
Mahsyar (Surakarta: Granada Mediatama, 2003), h. 73. 11
HR. Bukhori no. 994 dan Muslim no. 1509.
6
alam kubur diluaskan sejauh tujuh puluh hasta dan dipenuhi dengan warna hijau
yang segar hingga hari kebangkitan”. Orang kafir, munafik - “Maka orang kafir
itu memekik kesakitan. Suara pekikannya bisa didengar oleh seluruh makhluk
yang berada di dekat kuburnya, kecuali manusia dan jin. Kuburnya akan
menjepitnya sehingga tulang-tulangnya akan remuk redam”).12
Seorang mukmin yang semasa hidupnya di dunia menegakkan tauhid dan
menaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya akan mampu menjawab pertanyaan
tersebut dengan benar. Hal itu menjadi awal kebahagiaan dan keselamatan di alam
kubur, sebelum dia merasakan keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna di
surga kelak. Sebaliknya, orang kafir13
, musyrik14
, murtad, munafik15
dan pelaku
dosa-dosa besar akan gugup dan tidak mampu menjawab dengan benar. Akibatnya
mereka akan disiksa di alam kubur, sebelum mereka menikmati siksaan yang
sempurna di neraka kelak.16
Dalil keberadaan nikmat dan azab kubur memang lebih banyak dan lebih
dijelaskan secara terperinci dalam hadis Rasulullah saw. Salah satu hadis yang
menerangkan tentang adanya azab kubur yakni hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad no. 12026 dari sahabat Anas bin Malik ra.
12
Muhib al Majdi & Abu Fatiah al Adnani, Dari Alam Barzakh Menuju Padang
Mahsyar, h. 76.
13
Ism fāʼil dari kata “kafara-yakfuru”, Artinya, Lawan dari kata “beriman”. Louwis bin
Naqula Ẕahīr al-Maʽlūf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-A‟lam, Cet. XXXIX, (Beirut: Dār al-
Masyriq, 2002), h. 691. 14
Ism fāʼil dari kata “asyraka-yusyriku”. Artinya, orang yang melakukan Kemusyrikan.
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 715.
15
Ism fāʼil dari kata “nāfaqa”, yakni orang yang berbuat kemunafikan. Louwis bin
Naqula Ẕahīr al-Maʽlūf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-A‟lam, Cet. XXXIX, h. 828. 16
Muhib al Majdi dan Abu Fatiah al Adnani, Dari Alam Barzakh Menuju Padang
Mahsyar, h. 73.
7
يو ل ع ى الل ل ص الل ول س ر ن أ س ن أ ن ة ع اد ت ن ق ع ر ف ع ج بن د م ا م ن ث د ح ب أ ن ث د ح الل بد ا ع ن ث د ح ن ع س ا أ اب القب م ذ م من ع ك مع أن يس ل ج و ز ع وت الل ع وا لد ن أن تداف قال لو ل م ل س و
“Seandainya kalian tidak saling menguburkan, tentulah aku akan berdoa
kepada Allah agar memperdengarkan kepada kalian siksa kubur yang aku
dengar”.
Orang yang zalim, fir‟aun dan para pengikutnya, Abu Jahal, Orang kafir
dan munafik, dan orang yang tidak istinja‟ di waktu buang air kecil adalah
beberapa contoh orang yang akan menerima azab kubur yang dijelaskan dalam
beberapa riwayat hadis. Hal ini juga dilandasi dengan adanya dalil al-Qur‟an
dalam surat Ghāfir ayat 45-46:
الل
“Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir'aun
beserta kaumnya dikepung oleh azab yang Amat buruk. Kepada mereka
dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat.
(Dikatakan kepada malaikat): "Masukkanlah Fir'aun dan kaumnya ke dalam azab
yang sangat keras"
Berdasarkan dari hadis di atas, riwayat imam Ahmad bin Hanbal tidak
dapat dipungkiri bahwa sebenarnya azab kubur itu memang benar adanya dan
mesti terjadi kepada seseorang yang telah meninggal dunia dan telah memasuki
alam barzakh. Nikmat dan azab kubur adalah perkara gaib yang tidak terindera
oleh manusia. Bahkan ketika manusia yang telah meninggal pun yang secara pasti
merasakannya, tentu tidak akan dapat mengabarkan kepada yang masih hidup
akan kebenarannya. Maka sumber terpercaya yang dapat kita yakini hanyalah Al-
Qur‟an dan Hadis. Selain Al-Qur‟an dan Hadis juga terdapat banyak dalil dari
8
ijma‟17
para sahabat dan ijtihad18
ulama yang menetapkan adanya nikmat dan azab
kubur.
Namun sebagian orang ada yang mengingkarinya karena penyimpangan
mereka dalam memahami dalil-dalil syar‟i. Mereka berpendapat bahwa riwayat-
riwayat yang menjelaskan tentang adanya siksa kubur hanya berasal dari hadis
ahad19
, dan maka menurut mereka hadis ahad hanyalah bersifat ẕannī (sangkaan
semata). Sedangkan akidah atau keyakinan harus dibangun di atas dalil qaṯ‟ī20
dan harus berasal dari riwayat mutawatir.21
Selain itu, terdapat juga sebuah buku
karangan Agus Mustofa berjudul “Tak Ada Azab Kubur?” yang isinya kurang
lebih menjelaskan bahwa tidak ada dalil yang kuat terkait keberadaan azab kubur
khususnya dalil Al-Qur‟an. Oleh karena itu, penulis tertarik ingin mengkaji lebih
dalam lagi mengenai dalil Al-Qur‟an dan Hadis tentang azab kubur secara
tematik, khususnya yang terdapat dalam kitab-kitab hadis yang enam karena
17 Ijma‟ menurut ulama ushul fiqh adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada
suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw.atas hukum syara‟ mengenai suatu kejadian. Lihat.
Ilmu Ushul Fiqih, ʼAbdu al-Wahhāb Khallāf, (Jakarta: Pustaka Aman, 2003), h. 54.
18
Ijtihad berasal dari bahasa arab yaitu “Jahada” yang mempunyai arti mencurahkan
segala kemampuan untuk mendapatkan sesuatu yang sulit atau yang ingin di capainya “badzlu al-
juhdi li istinbaṯ al-ahkām min al-nas” (mencurahkan segala pikiran untuk merumuskan sebuah
hukum dari teks wahyu). Lihat. Pengantar Studi Islam, MKD IAIN Sunan Ampel, (Surabaya:
IAIN Sunan Ampel Press), h. 48
19
Hadis yang diriwayatkan oleh satu orang dan tidak memenuhi syarat-syarat hadis
mutawatir, yakni: diriwayatkan paling sedikit 10 orang, jumlah bilangan rawi tersebut terdapat
pada seluruh tingkatan sanad, mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. Lihat Taysīr Musṯalah
al-Hadīts (Ilmu Hadis Praktis), Mahmūd Ṯahān, penerjemah Abu Fuad, Cet. VI, (Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah, 2013), h. 20.
20
Menurut Syaikh ʼAbdu al-Wahhāb nash atau dalil qaṯʼī yaitu dalil yang menunjukkan
arti yang dapat dipahami dengan jelas, tidak mengandung ta‟wil dan tidak ada celah untuk
memahamkan arti dan maksudnya selain dari pada itu. Sedangkan nash atau dalil ẕannī yaitu apa
yang menunjukkan makna tapi mengandung hal-hal untuk mentakwilkan dan menyimpang dari
arti ini yang dimaksud olehnya adalah arti lain. Lihat. Ilmu Ushul Fikih, cet. V, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2005), h. 34. 21
Yulian Purnama, “Alam Kubur Itu Benar Adanya”, artikel diakses pada 18 Oktober
2016 dari http://muslim.or.id/5910-alam-kubur-itu-benar-adanya-1.html
9
unggul menurut derajat kualitasnya atau yang lebih dikenal dengan al-Kutub al-
Sittah. Selain itu karena kitab-kitab hadis tersebut merupakan yang paling sering
dijadikan rujukan utama umat Islam, terutama golongan Ahlu al-Sunnah wa al-
Jamā‟ah22
. Sehingga dalam penelitian ini, penulis memberi judul: “Azab Kubur
Dalam Perspektif Hadis (Kajian Tematik Hadis Tentang Azab Kubur)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, untuk
menghindari pembahasan yang tidak mengarah kepada maksud dan tujuan
dari penulisan skripsi ini, maka penulis perlu membatasi pembahasan yang
akan dibahas. Oleh karena itu, penulis lebih memfokuskan dan menitik-
beratkan hadis-hadis tentang sebab-sebab menerima azab kubur yakni: 1)
Hadis tentang Tidak Memakai Penutup / Tidak Bersuci saat Buang Air
Kecil dan Suka Mengadu Domba; 2) Dusta, Zina, Riba, dan Meninggalkan
Shalat & Al-Qur‟an; dan 3) Meratapi Mayit, yang dibatasi dengan hanya
mencantumkan hadis-hadis tersebut yang periwayatannya terdapat dalam
al-Kutub al-Sittah.
2. Rumusan Masalah
22 Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā‟ah adalah mereka yang menempuh seperti apa yang pernah
ditempuh oleh Rasulullah saw. dan para Sahabatnya ra. Disebut Ahlu al-Sunnah, karena kuatnya
(mereka) berpegang dan ber-ittibāʼ (mengikuti) Sunnah Nabi saw. dan para Sahabatnya ra. Disebut
al-Jamā‟ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran dan tidak mau berpecah-belah dalam urusan
agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-Haqq
(kebenaran), tidak mau keluar dari jama‟ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi
kesepakatan Salaf al-Ummah. Lihat. Syarah ʼAqidah Ahlus Sunnah wal Jama‟ah, Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, cet. XIV, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟i, 2014), h. 36.
10
Dari batasan masalah tersebut, maka dengan demikian penulis
merumuskan permasalahan utama dalam skripsi ini, yaitu “Bagaimana Azab
Kubur dalam Perspektif Hadis dan Apa Pendapat Para Ulama mengenai
Azab Kubur?”
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan memahami hadis tentang azab kubur.
2. Untuk mengkonfirmasikan dan membuktikan keberadaan azab
kubur melalui hadis Nabi saw. secara tematik yang dikuatkan
dengan dalil Al-Qur‟an dan pendapat para ulama.
3. Tujuan formalitas, yakni untuk memenuhi tugas akademik dan
kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam rangka menyelesaikan
program studi Tafsir – Hadis / Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir tingkat
sarjana strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat akan didapatkan dari penelitian dalam skripsi ini,
adalah sebagai berikut:
1. Pembaca dapat mengetahui kehujjahan hadis Rasulullah saw.
mengenai azab kubur.
2. Menambah pengetahuan dan keyakinan akan adanya azab kubur
baik melalui Hadis Nabi saw. maupun Al-Qur‟an.
11
3. Menambah khazanah keilmuan dalam bidang Ilmu Hadis.
E. Kajian Pustaka
Dalam penelusuran pustaka, penulis menemukan beberapa literatur yang
berhubungan dengan judul skripsi, di antaranya:
Mulyanih, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004, Fakultas Syariah dan
Hukum. Kedudukan Adat (URF) Sebagai Dasar Hukum : Studi Kasus Tentang
Pelaksanaan Pengajian di atas kubur di Kelurahan Kembangan Utara Jakarta
Barat. Chaerul Anwar, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007, Fakultas Dakwah
dan Komunikasi. Tradisi Ziarah Kubur Masyarakat Betawi Pada Makam Mualim
KH. Syafi‟i Hadzami, Kampung Dukuh Jakarta Selatan. Hana Nurrahmah, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 2014, Fakultas Adab dan Humaniora. Tradisi Ziarah
Kubur Studi Kasus Perilaku Masyarakat Muslim Karawang yang
Mempertahankan Tradisi Ziarah Kubur Pada Makam Syeh Quro di Kampung
Pulobata Karawang, Tahun 1970-2013.
Selain itu penulis juga menemukan beberapa buku yang dapat dijadikan
sumber rujukan dalam skripsi ini, antara lain yaitu Mahmūd Al-Mishri Abū
Ammar, Rihlah ilā Dār al-Ākhirah (Tamasya ke Negeri Akhirat). Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2014. Muhib al Majdi dan Abu Fatiah al Adnani. Dari Alam Barzakh
Menuju Padang Mahsyar. Surakarta: Granada Mediatama, 2003. Agus Mustofa,
Tak Ada Azab Kubur? Surabaya: PADMA Press, 2008. Dan lain-lain.
Sementara itu penelitian yang penulis lakukan adalah mengenai kajian
tematik dan analisis substansi hadis tentang azab kubur yang terdapat dalam Al-
12
Kutub Al-Sittah. Setiap manusia akan mengalami mati, namun ketika manusia
telah dikuburkan akankah manusia mengalami nikmat dan azab kubur? Dalam hal
ini ada pertentangan mengenai dalil syar‟i khususnya dalil hadis tentang azab
kubur. Maka dalam skripsi ini akan dibahas lebih lanjut.
F. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan (library research), yaitu semua data-data yang diambil
dari bahan tertulis yang berkaitan dengan azab kubur. Data diambil
dari dua sumber yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Adapun
sumber primer yang diambil penulis ialah menggunakan Al-Kutub Al-
Sittah, sedangkan sumber sekunder menggunakan buku-buku yang
berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini.
2. Metode Pembahasan
Metode pembahasan pada penelitian ini adalah deskriptif23
-
analitis24
yaitu metode yang diarahkan untuk mengkaji dan
mendeskripsikan gagasan primer tentang hadis azab kubur.
Sedangkan dalam memahami hadis-hadis tentang azab kubur ini,
penulis menggunakan metode mauḏū‟ī yaitu dengan cara menghimpun
hadis-hadis tersebut kemudian memahami makna dari masing-masing
23
Metode deskriptif adalah menuraikan secara teratur seluruh konsep yang akan dikaji.
Anton Bakker dan Achmad Chairis Zubair, Metode Penulisan Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,
1994), h. 65. 24
Metode Analitik adalah metode yang digunakan untuk pemeriksaan secara konseptual
atas data-data yang ada, kemudian mengklarifikasi sesuai permasalahan, dengan maksud untuk
memeperoleh atas data yang sebenarnya. Lois O Katsoff, Pengantar Filsafat. Penerjemah Suyono
Sumargono (Yogyakarta: T.pn., 1992), h. 70.
13
hadis dan memahami hadis secara komprehensif dengan menggunakan
pedekatan tematik.
3. Metode Penulisan
Metode penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013/2014.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penyusunan skripsi ini, penulis melakukan pembagian
bahasan. Maka penulis akan menguraikannya ke dalam beberapa bab yang di
dalamnya memuat beberapa sub-bab. Adapun uraiannya ialah sebagai berikut:
Bab pertama; berisi tentang pendahuluan yang meliputi a) Latar Belakang
masalah, yang menjelaskan tentang pendahuluan dan kronologi permasalahan
sampai ke titik inti permasalahan, b) Batasan dan Rumusan Masalah, agar
pembahasan yang dikaji lebih fokus dan terarah, c) Tujuan Penelitian, tentang
tujuan penulis untuk mencapai target yang diinginkan, d) Manfaat Penelitian,
yaitu hasil yang dapat dirasakan bagi penulis dan pembaca dari skripsi ini, e)
Kajian Pustaka, f) Metodologi Penelitian, yang menjelaskan metode-metode yang
digunakan oleh penulis dalam penelitian, dan g) Sistematika Penulisan, untuk
menjelaskan struktural dan target pembahasan agar lebih efektif dan efisien.
Bab kedua; Tinjauan umum tentang azab kubur, yang terdiri dari beberapa
sub-bab, yaitu a) Pengertian azab kubur, b) Penyebab mendapatkan azab kubur, c)
Macam-macam azab kubur, d) Tempat arwah di alam barzakh.
14
Bab ketiga; Hadis-hadis tentang azab kubur, a) Teks dan terjemahannya,
yang kemudian dibagi kembali menjadi tiga point: 1) Hadis tentang Tidak
Memakai Penutup / Tidak Bersuci saat Buang Air Kecil dan Suka Mengadu
Domba; 2) Dusta, Zina, Riba, dan Meninggalkan Shalat & Al-Qur‟an; dan 3)
Meratapi Mayit, b) Asababul Wurud Hadis.
Bab keempat; Interpretasi dan Kontroversi hadis tentang azab kubur yang
berisikan tentang: a) Analisa Substansi Hadis, b) Pendapat para ulama tentang
azab kubur.
Bab kelima, berisi Penutup, yang meliputi; a) Kesimpulan, yang berisi
jawaban atas pertanyaan yang telah disebutkan dalam perumusan masalah, dan b)
Saran, berisi tentang saran-saran dari penulis.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG AZAB KUBUR
A. Pengertian Azab Kubur
Kata “Azab” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti siksa
Tuhan yang diganjarkan kepada manusia yang meninggalkan perintah dan
melanggar larangan agama.1 Dalam bahasa Arab, kata ʼAdzāb, bentuk
jamaknya a‟dzibah artinya siksaan.2 Ibnu al-Qayyim berkata : “Azab dan
nikmat kubur adalah suatu nama (yang sama) untuk azab barzakh dan nikmat
barzakh, yaitu alam yang berada di antara alam dunia dan alam akhirat.”3
Sedangkan kata “barzakh” berasal dari bahasa Arab, barzakh berarti
batas, atau sekat penghalang antara dua benda.4 Alam barzakh merupakan
tempat tinggal antara dunia dan akhirat. Ia lebih banyak menyerupai alam
akhirat atau bahkan bisa dikatakan sebagian dari akhirat. Tetapi yang lebih
menonjol dan lebih tampak berperan di sana ialah ruh serta hal-hal yang
bersifat ruhani. Jasad di alam itu hanya sebagai pengikut yang menyertai ruh
dalam merasakan kenikmatan dan kegembiraan, atau azab dan kesengsaraan.
1 Tim Penyusun Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Cet. IV, (Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, 2004), h. 106. 2 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 909. 3 ʼUmar Sulaiman al-ʼAsyqar, Al-Qiyamah al-Sughra, Cet. I, (Kuwait: Maktabah al-
Falāh, 1406 H), h. 13.
4 Louwis bin Naqula Ẕahīr Al-Maʽlūf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-A‟lam, Cet.
XXXIX, (Beirut: Dār al-Masyriq, 2002), h. 34.
16
Adapun ruh itu akan tetap ada, dan sedangkan jasad itu akan hancur-lebur
seiringnya waktu.5
Adapun menurut syariat, barzakh berarti tempat yang ada di antara
maut dan kebangkitan. Allah berfirman,
“Dan di hadapan mereka terdapat barzakh sampai hari mereka
dibangkitkan.” (Q.S. al-Mu‟minun: 100).
Menurut Al-Imam Mujāhid yang dikutip dari kitab al-Tadzkirat, beliau
berkata, “Barzakh adalah sesuatu antara maut dan kebangkitan. Al-Sya‟bī
diberitahu, „Fulan wafat.‟ Ia menjawab, „Ia sekarang tidak di dunia dan tidak
pula di akhirat.”6
Ibnu al-Qayyim berkata, “Azab dan nikmat kubur berarti azab dan
nikmat barzakh, yakni alam antara dunia dan akhirat. Allah berfirman, „Dan di
hadapan mereka terdapat barzakh sampal hari mereka dibangkitkan.‟
Penghuni barzakh berada di tepi dunia (di belakangnya) dan akhirat (di
depannya).”7
Di dalam al-Qur‟an kata „barzakh‟ disebutkan sebanyak tiga kali, yaitu
dalam Surat al-Mu‟minūn [23]: 100, Surat al-Furqān [25]: 53, dan Surat al-
Rahmān [55]: 20. Pada ketiga ayat tersebut, kata „barzakh‟ bermakna dinding
dan batas yang memisahkan antara dua hal. Pada ayat pertama, Barzakh
5 ʼAbdullāh Haddād, Sabīl al-ʼIddikār wa al-I‟tibār bimā Yamurru bi al-Insān wa
Yanqaḏī lahu min al-A‟mār / Renungan tentang Umur Manusia, Penerjemah Muhammad Bagir,
Cet. V, (Bandung: Mizan, 1992), h. 103. 6 Al-Qurṯubī, Al-Tadzkirah fi Ahwāl al-Mawta wa Umūr al-Akhirah, (Madinah: Maktabah
al-Salafiyyah), h.177. 7 „Umar Sulaymān al-„Asyqār, Ensiklopedia Kiamat dari Sakratul Maut hingga Surga-
Neraka, Penerjemah Irfan Salim dkk. Cet. III (Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi, 2005), h. 26.
17
berarti sebuah keadaan dan alam yang membatasi dan memisahkan antara
kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat. Orang-orang yang memasuki
„barzakh‟ mengalami sebuah kehidupan yang baru, yakni telah keluar dari
kehidupan alam dunia namun belum memasuki kehidupan alam akhirat.
Sedangkan pada ayat kedua dan ketiga, Allah menyebutkan adanya dua lautan
yang berbeda jenis airnya. Allah mempertemukan kedua lautan tersebut,
namun air keduanya tidak saling bercampur baur, karena Allah mengadakan
„barzakh‟. Yaitu sebuah pembatas antara keduanya, yang menghalangi
bercampur baurnya air di antara kedua lautan tersebut.8
Dari sini, para ulama menyimpulkan makna barzakh, yakni:9
1. Syaikh Muhammad Sayyid al-Ṯanṯawi mengatakan, “Barzakh adalah
pemisah dan penghalang antara dua hal, sehingga satu sama lain tidak
saling bertemu. Jadi yang dimaksud dengan barzakh dalam ayat ini
adalah masa yang harus dijalani oleh orang-orang kafir tersebut sejak
mereka mati hingga hari dibangkitkan.”
2. Imam al-Jauharī berkata, “Barzakh adalah pemisah antara dua hal.
Dengan demikian, barzakh adalah kehidupan antara dunia dan akhirat,
sejak datangnya kematian hingga waktu dibangkitkan. Barangsiapa
yang mati, berarti telah memasuki barzakh.”
3. Mujāhid bin Jabr berkata, “Barzakh adalah pemisah antara dunia dan
akhirat.”
8 Muhib al Majdi & Abu Fatiah al Adnani, Dari Alam Barzakh Menuju Padang Mahsyar,
h. 45. 9 Muhib al Majdi & Abu Fatiah al Adnani, Dari Alam Barzakh Menuju Padang Mahsyar,
h. 45.
18
4. Muhammad bin Kaʼab al-Quraẕi berkata, “Barzakh adalah kehidupan
antara dunia dan akhirat. Orang-orang yang memasuki barzakh
tidaklah bersama penduduk dunia yang makan dan minum, namun juga
tidak bersama penduduk akhirat yang diberi balasan amalnya.”
5. Abū Sakhr berkata, “Barzakh adalah kubur. Mereka tidak berada di
dunia, tidak pula telah berada di akhirat. Mereka menempatinya hingga
saat mereka dibangkitkan.”
Dari definisi di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa „barzakh‟ adalah
alam kubur yang merupakan alam pemisah antara kehidupan dunia dan akhirat
sejak manusia meninggal dunia hingga hari kiamat. Sedangkan „azab kubur‟
berarti siksaan di alam kubur (barzakh) yang akan diterima oleh orang-orang yang
tidak menjalankan perintah Allah swt. dan tidak menjauhi segala larangan-Nya.
B. Penyebab Mendapatkan Azab Kubur
Ketika seorang yang saleh meninggal, dia akan didudukkan malaikat dan
tak akan merasa cemas. Sedangkan ketika seorang yang senantiasa berbuat dosa
meninggal, dia didudukkan di kubur, tetapi diliputi rasa cemas dan takut.
Pertanyaan yang sama yakni tentang iman dan Islam akan diajukan kepada
mereka. Maka kemudian seorang yang saleh dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan malaikat di alam kubur, Dan seorang yang berdosa menjawab bahwa
dia tidak mengetahui apa-apa. Dari sinilah, mereka akan diperlihatkan surga dan
neraka. Akan tetapi, mereka juga akan diberitahukan mengenai surga atau neraka
yang akan menjadi tempat tinggalnya nanti sesuai dengan amal perbuatannya.10
10
Khawaja Muhammad Islam, Mati itu Spektakuler, Siapkah Anda Menyambutnya?,
Penerjemah Abdullah Ali dan Satrio W. Cet. IV (PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 93.
19
Diriwayatkan dalam beberapa hadis, bahwa kebanyakan siksa kubur itu
disebabkan adanya tiga hal, di antaranya yaitu: ghibah (pergunjingan), namīmah
(mengadu domba), dan tidak cukup membersihkan diri dari air kencing.11
Al-Qurṯubi berkata seraya mengutip perkataan Abū Muhammad „Abdu al-
Haq, “Ketahuilah bahwa azab kubur tidak hanya terkhusus bagi orang-orang kafir
dan munafik saja, akan tetapi juga menimpa segolongan kaum mukmin. Semua
tergantung amalnya serta akibat dosa dan kesalahannya.”12
Sebab-sebab yang membuat penghuni kubur menadapat azab ada dua:
umum dan terperinci. Secara umum, mereka disiksa karena tidak mengetahui
Allah, menyia-nyiakan perintah-Nya, dan berbuat maksiat.
Sedangkan sebab yang terperinci banyak disebutkan di dalam hadis.
Berikut beberapa penyebab seseorang mendapatkan azab kubur dan
penjelasannya:
1. Tidak Memakai Penutup Saat Buang Air Kecil dan Suka
Mengadu Domba
ن ث د ح اؿ اف ق م ا عث ن دثػ ح النيب ر م اؿ ن ابن عباس ق ع د اى رل ن ور ع ص ن م ن رير ع دينة بائط لم س و يو ل ع ى الل ل ص
فسمع صوت إنسانػي أو مكة من حيطاف ادل
باف يف قػبورها فػ باف وما يػع لم س و يو ل ع ى الل ل النيب ص اؿ ق يػعذ باف يف كبري يػعذ ث ذث دعا بريدة و كاف اآلخر يشي بالنميمة و بول كاف أحدها ال يستت من قاؿ بػلى
يا رسوؿ الل لما فػعلت لى كل قػب منهما كسرة فقيل لوفكسرىا كسرتػي فػوضع ع أو إىل أف ييبسا ا ما مل تػيبسام نه ف ع ف يف و أ ل ع ا قاؿ ل ذ ى
11 ʼAbdullāh Haddād, Sabīl al-ʼIddikār wa al-I‟tibār bimā Yamurru bi al-Insān wa
Yanqaḏī lahu min al-A‟mār / Renungan tentang Umur Manusia, Penerjemah Muhammad Bagir,
Cet. V, h. 108. 12
Al-Qurṯubī, Al-Tadzkirah fi Ahwāl al-Mawta wa Umūr al-Akhirah, , h.146.
20
“Telah menceritakan kepada kami Utsmān berkata telah menceritakan
kepadaku Jarīr dari Mansūr dari Mujāhid dari „Abdullāh bin „Abbās, dia berkata,
“Suatu kali Nabi saw. berjalan melewati tembok kota Madinah (atau Mekkah),
kemudian beliau mendengar suara dua orang yang disiksa di dalam kubur. Beliau
lantas bersabda, „Kedua orang mayat ini tengah diazab. Keduanya diazab bukan
karena melakukan dosa yang besar (menurut pandangan mereka). Namun
memang keduanya adalah dosa besar (menurut Allah). Salah satu dari keduanya
tidak menutupi dirinya (dalam riwayat lain: tidak bersuci) saat buang air kecil,
sedang orang yang satu lagi sering mengadu domba. Kemudian beliau meminta
dibawakah satu pelepah kurma lalu dipatahkan menjadi dua, beliau meletakkan di
setiap kuburan satu potong. Seorang bertanya kepadanya, „Wahai Rasulullah,
mengapa anda melakukan hal ini?‟ Beliau menjawab, „Mudah-mudahan keduanya
mendapat keringanan selama kedua pelepah ini belum kering, atau hingga kedua
pelepah ini kering." (H.R. Bukhāri)13
Rasulullah saw. memberitakan bahwa umunya azab kubur itu berawal dari
air seni. Anas ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Bersihkan
dirimu dari air seni, karena umumnya azab kubur berawal dari air seni.” Ibnu
„Abbās ra. meriwayatkan dengan redaksi: “Umumnya azab kubur berasal dari air
seni maka bersihkanlah dirimu darinya.” Adapun versi Abū Hurairah:
“Kebanyakan azab kubur berasal dari air seni.”14
Maka dari itu, agar selamat
dari azab kubur, Salah satunya yakni bertindak hati-hati saat membuang air kecil
dan tidak mengadu domba orang lain.
2. Dusta, Zina, Riba, dan Meninggalkan Shalat dan Al-Qur’an
Dalam sebuah hadis yang panjang tentang berbagai azab di alam barzakh,
Rasulullah saw. menjelaskan bahwa beliau bermimpi dibawa oleh dua orang
malaikat untuk menyaksikan suasana di alam kubur. Hadis tersebut terdapat di
13 Abū ʼAbdullāh Muhammad bin Ismā‟il bin Ibrāhim al-Bukhāri, Al-Jāmi‟ Al-Bukhāri
(Sahīh Al-Bukhāri), dalam Kitāb al-Wuḏūʽ, subbab „Termasuk Dosa Besar Tidak Menutupi Diri
Saat Buang Air Kecil‟, Cet. II, (Riyāḏ: Maktabah al-Rusyd, 1437 H/2006 M), h. 38. 14
Dikutip oleh Syaikh Nasīruddin al-Albānī dalam Irwa al-Ghalīl. Ia berkata, “Hadis ini
sahih”. Beliau menyandarkan riwayat Anas ra. ke al-Imām Dāruquṯnī, riwayat Ibnu „Abbās ra. ke
al- Dāruquṯnī, Hākim, Badzār, dan Ṯabranī, dan riwayat Abū Hurairah ke Ibnu Abī Syaibah, Ibnu
Mājah, al-Ajūri, Hākim, dan Ahmad. Irwaʽ al-Ghalīl, (Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1979 M/1399
H), Cet. I, h. 311. hadis no. 280.
21
dalam kitab Sahīh al-Bukhāri, Kitāb al-Ta‟bīr, Bāb Ta‟bīri al-Ruʻyā ba‟da al-
Salāh al-Subhi. Adapun matan hadisnya sebagai berikut:
مل بن ىشاـ أ ن دث ح :ح ب م ب ا أ ن دثػ ح وؼ ا ع ن دثػ اىيم ح ر بػ ن إ يل ب اع س ا إ ن دثػ و ىشاـ ا ن دثػ اء ح و رندب يقوؿ ف سلم ما يكثر أ ليو و ع الل ى ل ص الل وؿ س ر اف قاؿ ك نو ع الل ي ض ر سرة بن
الل أف يػقص وإنو قاؿ ذات اء م من رؤيا؟ قاؿ فيقص عليو من ش ك ن د م ح ى أ أ ل ر و : ى اب ح ص ل أتياف و إنػهما ابتعثاين و إنػهما قاؿ يل :انطلق و إين انطلقت معهما وإنا اين الليلة ت . إنو أ اة غد
ل مضطجع وإذا آخر قائم عليو بصخرة وإذا ثػلغ رأسو ىو يهوي بالصخرة لرأسو فيأتينا على رع إليو حت يصح رأسو كما كاف ث يعود عليو فيتػهدىد احلجر ىا ىنا فيتبع احلجر فيأخذه فال يػر
فيفعل بو مثل ما فػعل ادلرة الوىل قاؿ قلت ذلما سبحاف الل ما ىذاف؟ قاؿ: قاؿ يل :انطلق قاؿ ل مستػلق لقفاه وإذا آخر قائم عليو بكل فانطلقنا نا على ر وب من حديد وإذا ىو يأت أحد فأتػيػ
اء نو إىل قفاه قاؿ وربا قاؿ أبو ر هو فيشرشر شدقو إىل قفاه و منخره إىل قفاه و عيػ شقي ووؿ فما يػفرغ من ذلك فيشق قاؿ ث يتحو ؿ إىل اجلانب اآلخر فيػفعل بو مثل ما فعل باجلانب ال
ر ة الوىل قاؿ قلت اجلانب حت يصح ذلك اجلانب كما كاف ث يعود عليو فيػفعل مثل ما فعل ادل
نا على مثل التػنػور قاؿ أحسب أن قاؿ: قاؿ يل :انطلق قاؿ فانطلقنا سبحاف الل ما ىذاف؟ و فأتػيػكاف يقوؿ فإذا فيو لغط وأصوات فاط لعنا فيو فإذا فيو راؿ ونساء عراة وإذاىم يأتيو ذلب من
هم فإذا أتاىم ذلك اللهب ضوضوا قاؿ قلت ذلما ما ىالء؟ قاؿ: قاال يل :انطلق انطلق أسفل منػل سابح يسبح قاؿ فانطلقنا فأتينا على هنر حسبت أنو كاف يقوؿ أمحر مثل الدـ و إذا يف النػهر ر
ل قد مجع عنده حجارة كثرية وإذا ذلك السابح يسبح ث يأت ذلك الذي و إذا على شط النػهر رع إليو فغفر لو قد مجع عنده احلجارة فيػغفر لو فاه فيػلقمو ع إليو كلما ر حجرا فينطلق يسبح ث ير
15 ىذاف؟ قاؿ: قاال يل :انطلق انطلق فاه فألقمو حجرا قاؿ قلت ذلما ما “Telah menceritakan kepada kami Muʻammal bin Hisyām telah
menceritakan kepada kami Ismāʼil bin Ibrāhīm telah menceritakan kepada kami
ʼAuf telah menceritakan kepada kami Abū Rajāʻ telah menceritakan kepada kami
Samurah bin Jundab ra. dia mengatakan Rasulullah saw. seringkali menanyakan
kepada para sahabatnya, „adakah seseorang di antara kalian yang bermimpi (tadi
malam)?‟ lalu berceritalah kepada beliau orang yang dikehendaki Allah untuk
bercerita. Pada suatu pagi, beliau berkata kepada kami, „Tadi malam aku didatangi
oleh dua orang, kemudian mereka membawaku, dan keduanya berkata kepadaku,
15 Abu ʼAbdullāh Muhammad bin Isma‟il bin Ibrāhim al-Bukhāri, Al-Jāmi‟ Al-Bukhāri
(Sahīh Al-Bukhāri), Cet. II, h. 979.
22
„berangkatlah‟. Lalu aku pun berangkat bersama mereka berdua. Kami
mendatangi seorang laki-laki yang tengah berbaring, ternyata ada seorang lagi
(malaikat) yang berdiri sembari memegang batu besar, orang itu melemparkan
batu besar itu ke arah kepalanya hingga pecah, lalu batu itu menggelinding di
sana, lalu dia (malaikat) mengikuti batu yang dilemparkan itu lalu mengambilnya,
dan dia tidak kembali kepada orang itu (yang dipecahkan kepalanya) hingga
kepalanya itu utuh lagi seperti semula. Kemudian orang itu (malaikat) kembali
lagi kepadanya dan melakukan seperti yang dilakukannya pertama kali‟. Beliau
melanjutkan, „lalu aku tanyakan kepada dua orang itu (malaikat yang
mendampingi beliau),‟Maha suci Allah! Ada apa pula dengan dua orang yang
ini?‟ Keduanya berkata, „berangkat, berangkat!‟. Lalu kami pun pergi dan
mendatangi seorang laki-laki yang berbaring terlentang dengan bertumpu pada
tengkuk kepalanya, sementara ada seorang lagi berdiri di dekatnya sembari
memgang besi yang bengkok gagangnya. Orang ini lalu menusukkan besi itu ke
salah satu bagian wajahnya hingga membelah pinggir mulutnya sampai ke
tengkuk kepalanya, lubang hidungnya hingga sampai ke tengkuk kepalanya,
matanya hingga sampai ke tengkuk kepalanya.‟ – Dia mengatakan: Rasanya Abū
Rajāʻ mengatakan: merobek - Beliau melanjutkan, „Kemudian ia (malaikat)
beralih kepada bagian hingga dia kembali utuh seperti semula, kemudian kembali
melakukan seperti yang dilakukannya pertama kali.‟ Lalu beliau bersabda, „Maha
suci Allah! Ada apa lagi dengan dua orang yang ini?‟ Keduanya berkata,
„berangkat, berangkat!‟ lalu kami pun pergi dan tiba pada sesuatu alat (tungku)
untuk memasak roti (oven), [bagian atasnya sempit, sedang bagian bawahnya
lebar, sementara api dinyalakan di bawahnya]. Dia (perawi) berkata, „Aku kira
beliau menyebutkan, „ternyata di dalamnya terdengar teriakan-teriakan yang tidak
dipahami dan suara-suara‟. Beliau melanjutkan, „Kemudian kami dapati di
dalamnya ada kaum laki-laki dan wanita yang telanjang, mereka dikejar oleh
korban api dari bawah mereka, [ketika api hampir menyentuh mereka, mereka
naik hingga hampir keluar, dan bila apinya meredup, mereka kembali ke
dalamya], bila kobaran menghampiri mereka semakin keraslah teriakan dan suara
mereka.‟ Beliau melanjutkan, „Lalu aku tanyakan kepada kedua malaikat itu,
„Mengapa mereka?‟ Keduanya mengatakan, „Berangkat, berangkat!‟. Beliau
melanjutkan: „Lalu kami pun pergi dan mendatangi sebuah sungai. – Aku kira
beliau mengatakan: - berwarna merah seperti darah, di dalam sungai itu terdapat
seorang laki-laki yang tengah berenang, sementara di pinggir sungai ada seorang
laki-laki [berdiri] dengan banyak bebatuan yang telah dikumpulkan di sisinya.
Ketika orang yang berenang itu berenang-renang menepi ke arah orang yang di
pinggir sungai yang mempunyai banyak bebatuan itu, dia membukakan mulutnya,
kemudian orang yang di pinggir sungai itu melemparkan batu kepadanya yang
kemudian dicaploknya, kemudian orang itu berenang lagi lalu kembali lagi, setiap
kali kembali mukanya dilemparkan batu ke mulutnya yang kemudian disambutnya
dengan mulutnya.‟ Beliau berkata, „Aku tanyakan kepada kedua malaikat itu,
„Mengapa kedua orang ini?‟ Keduanya mengatakan, „Berangkat, berangkat!‟.”16
16
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Mukhtasar Sahih al-Bukhāri, Penerjemah Amir
Hamzah Fachrudin dan Hanif Yahya, h. 463.
23
Dalam Hadis tersebut Rasulullah saw. menjelaskan17
:
نا ع فأتػ ل مستػلق لقفل يػ د أت أح ي و ا ى ذ إ ائم عليو بكلوب من حديد و ر ق ا آخ ذ إ و اه ى رهو فيشرشر شدقو إىل قفاه نو إىل قفاه و منخره شقي و اء إىل قفاه و عيػ قاؿ وربا قاؿ أبو ر
فما يػفرغ من ذلك باجلانب الوؿ فعل فيشق قاؿ ث يتحو ؿ إىل اجلانب اآلخر فيػفعل بو مثل مار ة الو ذلك اجلانب حت يصح اجلانب
ىل كما كاف ث يعود عليو فيػفعل مثل ما فعل ادل “Kami pun berangkat, dan menemui seorang lelaki yang sedang berbaring.
Tiba-tiba ada lelaki lain yang membawa jangkar besi. Ternyata dia mendekati
salah satu pipinya dan membelah sudut mulut hingga ke belakang kepalanya, juga
kedua matanya hingga ke belakang kepalanya. Lalu dia membelahnya menjadi
dua. Kemudian dia menghadap ke bagian pipi sebelahnya dan memperlakukannya
seperti pipi sebelumnya. Belum selesai dia melakukan perbuatannya itu, pipi yang
pertama sudah pulih seperti sediakala. Kemudian dia mengulangi perbuatannya.”
(H.R. Bukhāri).
Setelah perjalanan bersama kedua malaikat itu selesai, keduanya
menerangkan maksud pemandangan yang dilihat oleh Rasulullah saw. Kedua
malaikat itu menjelaskan kepada beliau,
ل الذي أتػيت عليوم أ و ل قفاه و منخره إىل قفاه ىل يشرشر شدقو إ ا الر نو إىل قفاه فإنو الر و عيػلغ اآلفاؽ يػغدو من بيتو فيكذ ب الكذبة تػبػ
“Adapun orang yang ujung mulutnya dibelah hingga kepala bagian
belakang, dan dari matanya dibelah hingga kepala bagian belakang, adalah
seorang lelaki yang keluar dari rumah dengan menyampaikan kedustaan lalu
disebarkan hinnga keberbagai penjuru tempat.” (H.R. Bukhāri).
Masih dalam hadis riwayat al-Bukhāri tentang mimpi Rasulullah saw.
yang melakukan perjalanan bersama dua orang malaikat, menjelaskan azab kubur
yang melakukan perbuatan zina. Rasulullah saw. bersabda,18
17
Muhib al Majdi & Abu Fatiah al Adnani, Dari Alam Barzakh Menuju Padang
Mahsyar, h. 99. 18
Muhib al Majdi & Abu Fatiah al Adnani, Dari Alam Barzakh Menuju Padang
Mahsyar, h. 102.
24
نا على مثل التػنػ ف ا فيو راؿ ونساء عراة وإذاىم ذ إ فيو ف اط لعناات ف صو أ ا فيو لغط و ذ إ ف ور انطلقنا فأتػيػهم فإذا أتاىم ذلك اللهب ضوضوايأتيو ذلب من أسفل منػ
“Maka kami pun kembali berangkat, hingga kami menjumpai tungku api.
Di dalamnya terdapat ribut-ribut dan suara keras. Kami mengolok ke dalam.
Ternyata terdapat kaum lelaki dan wanita telanjang. Tiba-tiba datanglah luapan
api dari arah bawah mereka. Ketika api mendekati mereka, mereka berteriak ke
atas.” (H.R. Bukhāri).
Di akhir perjalanan, kedua malaikat itu menerangkan kepada Rasulullah
saw. tentang berbagai hal aneh yang beliau lihat.
ل والنساء العراة يف مثل ال ذين يف مثل بناء أ و التػنػور فإنػهم الزناة و الز واين ما الر “Adapun laki-laki dan perempuan yang berada di atas tungku api adalah
kaum laki-laki dan perempuan yang berzina.” (H.R. Bukhāri).
Adapun penjelasan tentang riba, masih dalam hadis al-Bukhāri tentang
mimpi Rasulullah saw. yang melakukan perjalanan bersama dua orang malaikat.
Rasulullah bersabda,19
ل سابح يسبح و إذا الدـ ف يقوؿ أمحر مثل سبت أنو كاى هنر ح ل فأتينا ع انطلقنا ف و إذا يف النػهر رل قد مجع عنده حجارة ل ع كثرية وإذا ذلك السابح يسبح ث يأت ذلك الذي قد ى شط النػهر ر
ع إليو فغفر لو فاه ه ند مجع ع ع إليو كلما ر احلجارة فيػغفر لو فاه فيػلقمو حجرا فينطلق يسبح ث ير فألقمو حجرا
“Kami pun kembali berangkat hingga kami menjumpai sebuah sungai.
Warna airnya merah seperti darah. Ternyata di dalam sungai itu terdapat seorang
lelaki yang sedang berenang. Tiba-tiba ada seorang lelaki lain di tepi sungai,
dengan membawa batu dalam jumlah banyak. Ketika lelaki pertama sedang
berenang, segera didatangi oleh lelaki yang membawa bebatuan tadi, dia
membuka mulutnya dan menjejalinya dengan satu batu, lalu lelaki itu kembali
berenang, kemudian kembali lagi. Setiap kali dia kembali, dia pun dijejali lagi
dengan batu.” (H.R. Bukhāri).
Di akhir perjalanan, kedua malaikat itu menerangkan kepada Rasulullah
saw. tentang berbagai hal aneh yang beliau lihat.
19
Muhib al Majdi & Abu Fatiah al Adnani, Dari Alam Barzakh Menuju Padang
Mahsyar, h. 101.
25
ل الذي أتيت عليو يسبح يف النػهر و يػلقم احلجر فإنو آكل الربام أ و ا الر “Adapun orang yang berenang di sungai darah dan setiap kali menepi
mulutnya dijejali dengan batu, adalah orang yang memakan harta riba.” (H.R.
Bukhāri).
Kemudian dalam riwayat hadis yang sama tentang mimpi Rasulullah saw.
yang melakukan perjalanan bersama dua orang malaikat di atas, dijelaskan juga
azab kubur bagi orang-orang yang meninggalkan shalat dan al-Qur‟an. Rasulullah
bersabda,
ن تػ ا أ ن إ ا و عهم انطلقت م ين إ و يهوي و ى ا ذ إ ا آخر قائم عليو بصخرة و ذ إ ل مضطجع و ى ر ل ا ع يػع إليو حت يصح احلجر ىا ىنا فيتبع فيتػهدىد ثػلغ رأسو بالصخرة لرأسو في احلجر فيأخذه فال يػر
ما ىذاف رأسو كما كاف ث يعود عليو فيفعل بو مثل ما فػعل ادلرة الوىل قاؿ قلت ذلما سبحاف الل “Aku pun berangkat bersama mereka berdua (malaikat). Tiba-tiba kami
menemui orang yang sedang berbaring. Tiba-tiba pula ada orang lain yang berdiri
di mukanya dengan membawa batu besar. Batu itu dihantamkan ke kepala orang
tersebut, lalu menggelindanglah batu itu hingga terjatuh. Lalu dia mengambil batu
ini, namun tidaklah dia mendatanginya, sehingga kepalanya utuh seperti semula.
Barulah dia mengulangi lagi perbuatannya seperti yang pertama. Rasulullah
melanjutkan, “Aku bertanya kepada mereka berdua, „Subhanallah, Apa arti semua
ini?” (H.R. Bukhāri).
Di akhir perjalanan, kedua malaikat itu menerangkan kepada Rasulullah
tentang berbagai hal aneh yang beliau lihat.
ل م ا سنخبؾ أ ن ا إ م أ يل اؿ ق ل يأخذ ليو ذي أتيت ع الو ؿ ال ا الر يػثػلغ رأسو باحلجر فإنو الرـ عن الصالة ادلكتوبة ن يػ القرآف فيػفرضو و ا
“Kedua malaikat menjawab kepada ku (Rasulullah saw.), „Kami akan
memberitahukanmu. Adapun lelaki pertama yang kita temui sedang dipecahkan
kepalanya dengan batu, adalah orang mempelajari al-Qur‟an kemudian menolak
al-Qur‟an dan dia juga orang yang tidur (meninggalkan) sholat wajib.”20
(H.R.
Bukhāri).
3. Ghibah
20
Muhib al Majdi & Abu Fatiah al Adnani, Dari Alam Barzakh Menuju Padang
Mahsyar, h. 101.
26
Ghibah berasal dari bahasa Arab yang berarti fitnah, umpatan, gunjingan.21
Ghibah adalah menggunjing dan membicarakan keburukan orang lain di saat
orang tersebut tidak berada di hadapan kita. Tegasnya, membicarakan keburukan
orang lain di „belakang‟. Hal ini juga terdapat di dalam hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim,
ن أيب ىريرة أف ع يو ب ن أ ن العالء ع يل ع اع س ا إ ن دثػ وا ح ال ابن حجر ق ة و يب قػت وب و ي بن أ ي ا ي ن ثػ د ح با علم. قاؿ ذكرؾ أخاؾ ولو ا س ر ا الل و و ال ة؟ ق ا الغيب م دروف أت اؿ لم ق س و يو ل ع ى الل ل ص وؿ الل س ر
فقد ابػتػغتو وإف مل يكن فيو ا أقوؿ؟ قاؿ إف كاف فيو ما تقوؿ ي م خ أ يف اف يكره قيل أفرأيت إف ك 22فقد بػهتو.
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub, Qutaibah, dan Ibnu
Hujr berkata Isma‟il dari ʼAlāʻ dari ayahnya dari Abū Hurairah Sesungguhnya
Rasulullah saw. berkata „Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?‟ mereka
berkata Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui‟ Kemudian beliau bersabda,
„Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia
sukai‟. Seseorang bertanya „bagaimanakah menenrut engkau wahai Rasulullah
apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya
ucapkan?‟ Rasulullah bersabda „Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada
padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya, dan apabila apa yang kamu
bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah mendustakannya.”23
(H.R. Muslim).
Ghibah termasuk dalam dosa besar yang menyebabkan datangnya siksa
kubur bagi pelakunya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang shahih,24
أيب بكرة ده عنو بكر بن أيب شيبة ثنا وكيع ثنا السود بن شيباف حدثن بر بن مرار ب ا أ ن ثػ د ح رين فقاؿ إنػهما ليعذباف وما م ل س و يو ل ع ى الل ل ر النيب ص م اؿ ق أما أحدها يعذباف يف كبري بقبػ
25فيعذ ب يف البوؿ وأما االخر فيعذب يف الغيبة
21
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1025. 22
Abū al-Husain Muslim bin al-Hajjāj bin Muslim al-Qusyairi al-Nasaiburi, Sahih
Muslim, Bab Tahrīm al-Ghibah, (Beirut: Dār al-Fikr, 1993), no. 2589, h. 2001. 23
Muhammad Nashiruddin Al Albāni, Mukhtasar Sahih Muslim, Penerjamah Subhan dan
Imran Rosadi, h. 520. 24
Dinyatakan sahīh oleh al-Albāni dalam Sahīh al-Jāmi‟ as-Saghīr no. 2441
27
“Telah menceritakan kepada kami Abū Bakr bin Abī Syaibah telah
menceritakan kepada Wakī‟ telah menceritakan kepada kami Al-Aswad bin
Syaibān telah menceritakan kepadaku Bahr bin Marrār dari kakeknya, Abu
Bakrah, dia berkata, “Nabi melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda, „Kedua
orang mayat ini tengah diazab. Keduanya diazab bukan karena melakukan sebuah
dosa yang besar (menurut pandangan mereka). Salah satu dari keduanya karena
(tidak bersuci) saat kencing, sedangkan orang yang satu lagi karena sering
menggunjing.” (H.R. Ibnu Mājah).
4. Meratapi Mayit
Apabila seseorang telah mengetahui bahwa keluarganya akan meratapi
kematiannya, sementara dia tidak mengajari dan memperingatkan mereka untuk
tidak meratapinya, maka apabila telah mati niscaya dia akan disiksa akibat ratapan
keluarganya. Dia disiksa karena tidak mengajari dan memperingatkan keluarga
yang menjadi tanggung jawabnya.
Ratapan bisa menyebabkan datangnya siksa kubur karena ia menunjukkan
ketidak-sabaran dalam menerima musibah dari Allah swt. Ratapan menunjukkan
adanya ketidak-terimaan terhadap takdir dari Allah. Berbeda dengan tangisan
yang tidak disertai ratapan, karena menunjukkan adanya kasih sayang kepada
orang yang meninggal.26
Dari ʼUmar bin Khaṯṯab dan „Abdullah bin ʼUmar bahwasannya
Rasulullah saw. bersabda,
ن أبيو عن ابن عمر قاؿ يب معاوية ادلعىن عن ىشاـ بن عروة ع أ ة و د ب ن ع بن الس ري ع اد ن ا ى ثن د ح إف ادليت ليػعذب ببكاء أىلو عليو فذكر ذلك لعائشة فقالت لم س ى الل عليو و ل الل ص وؿ س ر اؿ ق
25
Abū ʼAbdullah Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibnu Mājah, Kitāb al-
Tahārah, Bab. 26, (Dār Ahyāʻu al-Kutub al-ʼArabiyyah, tt), no. 249, h. 125. 26
Muhib al Majdi & Abu Fatiah al Adnani, Dari Alam Barzakh Menuju Padang
Mahsyar, h. 108.
28
إنا مر النيب صلى الل عليو و سلم على قب فقاؿ إف صاحب ىذا ليعذب –مر تعن ابن ع - وىل 27و أىلو يػبكوف عليو ث قرأت وال تزر وازرة وزر أخرى .
“Telah menceritakan kepada kami Hannād bin As-Sarī dari ʼAbdah dan
Abī Muʼāwiyah diriwayatkan secara maknawi, dari Hisyām bin ʼUrwah dari
Ayahnya dari Ibnu ʼUmar berkata telah bersabda Rasulullah saw. Sesunguhnya
orang yang telah mati (mayat) akan disiksa karena tangisan keluarganya yang
meratapi terhadapnya‟. Ketika Ibnu ʼUmar menyebutkan hadis ini kepada
ʼĀisyah, ʼĀisyah berkata ia (Ibnu ʼUmar) telah lemah (salah menegerti).
(Kejadiannya) Nabi saw. melewati suatu perkuburan, kemudian beliau bersabda
„Sesungguhnya penghuni kubur ini sedang disiksa karena keluarganya selalu
menangisinya‟ kemudian ia (ʼĀisyah) membaca ayat, “Dan seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang lain” (Q.S Al-An‟ām [6]: 164) Perawi berkata:
Dari Abū Mu‟āwiyah, Dia berkata, “Yaitu perkuburan orang Yahudi.” (Sahih:
Muttafaq ʼAlaih), Al Ahkām 28. (H.R. Abū Dāwud).28
Siksa kubur hanyalah balasan sementara atas berbagai ucapan dan
perbuatan jahat yang dilakukan oleh seorang hamba. Balasan berupa siksa yang
sangat pedih tersebut merupakan sebuah bentuk keadilan dari Allah terhadap
perilaku seorang hamba semasa masih hidup di dunia.29
Sebab-sebab mendapatkan azab kubur yang telah disebutkan di atas adalah
hanya beberapa dari sekian banyak penyebab mendapatkan azab kubur, selain itu
syirik,30
kufur,31
nifaq,32
tidak berpuasa di bulan suci Ramadhan, liwath33
,
27
Abu Dāwud Sulaimān bin al-Asy‟āts al-Sijistāni, Sunan Abu Dāwud, Kitāb Janāʻiz,
Bāb fi an-Nauh, (Riyaḏ: Maktabah al-Ma‟ārif, t.t), h. 564. 28
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Sahīh Sunan Abu Dāwud, Penerjemah Abd. Mufid
dan M. Soban Rohman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 454.
29
Muhib al Majdi & Abu Fatiah al Adnani, Dari Alam Barzakh Menuju Padang, h. 97. 30
Ta‟addudu al-Ālihah : Kemusyrikan. Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus
Arab-Indonesia, Cet. XIV, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 715.
31
Lawan dari kata “beriman”. Louwis bin Naqula Ẕahīr Al-Maʽlūf, Al-Munjid Fi al-
Lughah wa al-A‟lam, Cet. XXXIX, (Beirut: Dār al-Masyriq, 2002), h. 691.
32
Bentuk masdar dari kata “nāfaqa”, yakni nama untuk perbuatan orang munafik.
Louwis bin Naqula Ẕahīr Al-Maʽlūf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-A‟lam, Cet. XXXIX, (Beirut:
Dār al-Masyriq, 2002), h. 828.
29
mencuri, dan lain-lain yang termasuk dalam perbuatan yang dilarang Allah swt.
juga merupakan penyebab mendapatkan azab kubur.
C. Tempat Ruh di Alam Barzakh
Setelah jenazah diantarkan atau dimasukkan ke kuburnya, Allah
memerintahkan agar ruh jenazah itu kembali ke jasadnya, sebagaimana halnya
ketika ia hidup di dunia. Terkait hal itu, ada perbedaan pendapat di kalangan
ulama. Sebagian berpendapat bahwa ruh itu dikembalikan ke dalam jasadnya
seperti sediakala, sebagaimana ia masih hidup di dunia. Kemudian jasad yang
telah dikembalikan ruhnya itu duduk dan ditanya oleh malaikat Munkar dan
Nakir. Sebagian yang lain berpendapat bahwa yang ditanya itu ruhnya saja, bukan
ruh yang telah dikembalikan ke dalam jasadnya. Namun, ada pula yang
berpendapat bahwa ketika ditanya oleh malaikat, ruh tersebut berada di antara
jasad dan kain kafannya. Meskipun ada perbedaan pendapat, yang perlu diingat di
sini adalah ada banyak hadis shahih yang meriwayatkan adanya pertanyaan dan
siksa kubur. Abū Laits menerangkan, “Jika ingin selamat dari siksa kubur,
seseorang harus senantiasa menjalankan empat perkara dan menjauhi empat
perkara. Empat perkara yang harus dijalankan adalah memelihara shalat, sedekah,
membaca al-Qur‟an, dan membaca tasbih. Keempat perkara ini akan menerangi
dan melapangkan kuburnya. Sedangkan empat perkara yang harus selalu dijauhi
33 Bentuk masdar dari kata “lāṯa”- “lāwaṯa: ḏāja‟a al-dzukūra”, yaitu melakukan liwath
(perbuatan homosexual). Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Cet.
XIV, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1297.
30
adalah berdusta, berkhianat, mengadu domba, dan kencing yang mengenai
badan.”34
Ruh berasal dari bahasa Arab, yang merupakan bentuk tunggal dari kata
“arwāh” yaitu sesuatu yang dengannya seseorang dapat hidup baik laki-laki
maupun perempuan.35
Ruh juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang terjadi
dengan perintah Allah dan penciptaan-Nya serta pengaruh-Nya dalam membuat
kehidupan pada jasad ini.36
Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat mengenai ruh
yang terdapat dalam surat Al-Isrāʻ ayat 85 :
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit".
Ruh menurut Ibnu Katsīr adalah dasar atau asal jiwa dan materinya, dan
jiwa seseorang terdiri darinya dan bersambung ke badan.37
Al-Junaid berkata :
“Ruh adalah sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah dan tidak diperlihatkan
kepada hamba-Nya, maka tidak boleh bagi seseorang untuk memabahasnya secara
mendetail”.38
Seluruh ruh manusia yang telah meninggal dunia akan berada di
tempat, kedudukan dan keadaan yang berbeda-beda. Ruh orang-orang yang
34 ʼAbdu al-Rahman bin Ahmad al-Qāḏī, Daqāʽiqu al-Akhbār / Kehidupan Sebelum dan
Sesudah Kematian, Penerjemah. Yodi Indrayadi & Wiyanto Suud, Cet. V, (Jakarta: Turos Pustaka,
2015), h. 84.
35
Louwis bin Naqula Ẕahīr Al-Maʽlūf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-A‟lam, Cet.
XXXIX, (Beirut: Dār al-Masyriq, 2002), h. 286.
36
Fakhru al-Dīn al-Rāzī, Yasʽalūnaka „an al-Rūh / Roh itu Misterius, Penerjemah
Muhammad Abdul Qadir al-Kaf. Cet. I, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001), h. 28. 37
ʼImād al-Dīn Abū al-Fidāʽi Ismāʼīl bin Katsīr, Tafsīr al-Qurʽānu al-ʼAẕīm, (Riyaḏ:
Maktabah Dār al-Islāmī, 1414 H/1994 M), Jil. 3, h. 60. 38
Hamīd bin Muhammad al-ʼĪbādi, al-Safīnah al-Makhīrah ilā al-Barzakh wa Dār al-
Akhīrah, h. 14-15.
31
beriman dan beramal shalih akan berada di tempat yang bertingkat-tingkat sesuai
dengan kadar keimanan dan amal shalih mereka ketika mereka masih hidup di
dunia. Begitu juga dengan keadaan orang-orang kafir dan fasik. Dari keterangan
dalil al-Qur‟an dan al-Sunnah, ada beberapa kedudukan dan keadaan yang akan
diterima oleh arwah manusia, penulis akan mengklasifikasikannya sebagai
berikut:
1. Ruh Para Nabi dan Rasul
Ruh para Nabi dan Rasul berada di ʼIlliyyīn39
, di al-Malaʻ al-A‟lā atau
alam yang tinggi, yaitu di sisi Allah swt. Sebagaimana disebutkan dalam hadis
shahih, bahwa ruh Nabi akan diangkat ke sisi Allah (ar-Rafīq al-A‟lā).40
ابن شهاب أخبين سعيد بن ن عقيل ع ن دث ح اؿ ث ق ي الل ن ث د ح اؿ عيد بن عفري ق ا س ن دثػ ح عروة بن الزبري يف راؿ من أىل العلم: أف عائشة رضي الل عنها قالت كاف رسوؿ الل و سيبالم
ث ييػ ر من اجلن ة صلى الل عليو وسلم يقوؿ و ىو صحيح: لن يػقبض نيب قط حت يػرى مقعده ساعة ث أفاؽ فأشخص بصره على السقف ث غشي عليو –و رأسو علي فخذي –فلما نزؿ بو
حيح و ص ى علمت أنو احلديث الذي كاف يدثنا و نا و ى قلت إذا ال يتػر ل ع يق ال ف م الر ه قاؿ الل 41قالت فكانت تلك آخر كلمة تكلم هبا الرفيق العلى
“Telah menceritakan kepada kami Sa‟īd bin ʼUfair berkata telah
menceritakan kepadaku Al-Laits berkata telah menceritakan kepadaku ʼUqail dari
Ibn Syihāb telah mengabarkanku Sa‟id bin Al-Musayyab dan ʼUrwah bin Zubair
Dari ʼAisyah ra, dia berkata, “Saat Rasulullah saw. masih sehat, beliau pernah
bersabda „Tidaklah ada seorang Nabi pun yang diwafatkan, melainkan kepadanya
telah diperlihatkan tempatnya kelak di surga, kemudian dia diberi kesempatan
39 Dalam bahasa Arab, bentuk jamaknya “‟illiyyin” yaitu Nama surga yang tertinggi.
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 968. 40
Sahīh al-Bukhāri, bab “Riqāq”, subbab “orang-orang yang senang bertemu Allah”.
Lihat Muhib al Majdi & Abu Fatiah al Adnani, Dari Alam Barzakh Menuju Padang Mahsyar
(Surakarta: Granada Mediatama, 2003), h. 62. 41
Abu ʼAbdullāh Muhammad bin Isma‟il bin Ibrāhim al-Bukhāri, Al-Jāmi‟ Al-Bukhāri
(Sahīh Al-Bukhāri), Kitāb ad-Daʼawāt, Bāb Du‟āʻ an-Nabī sallallāhu ʼalaihi wa sallam
“Allahumma ar-Rafīq al-A‟lā”, Cet. II, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1437 H/2006 M), h. 889.
32
memilih (untuk hidup lebih lama di dunia lagi atau diwafatkan untuk
mendapatkan tempatnya di surga)‟. Ketika beliau mengalami detik-detik terakhir
hidup beliau dan kepala beliau berada di atas paha saya, beliau pingsan beberapa
saat, kemudian tersadar kembali dan memandang ke arah atap rumah seraya
bersabda, „Ya Allah, (aku memilih) ar-Rafīq al-A‟lā (Kawan yang paling tinggi).”
2. Ruh Orang-orang yang Mati Syahid
Orang-orang yang mati syahid akan berada di sisi Allah, mereka akan
hidup dengan mendapatkan rezeki yang sangat besar. Allah swt. berfirman,42
الل
“Dan janganlah engkau sekali-kali mengira bahwasanya orang-orang yang
terbunuh di jalan Allah itu adalah orang-orang yang mati. Akan tetapi mereka itu
tetap hidup di sisi Rabbnya dengan mendapatkan limpahan rezeki.” (Q.S. Ali
ʼImrān [3]: 169).
Hidup yang dimaksud pada ayat di atas adalah yaitu hidup dalam alam
yang lain dan bukan alam dunia ini. Dimana mereka mendapat kenikmatan-
kenikmatan di sisi Allah, dan hanya Allah swt. sajalah yang lebih mengetahui
dengan jelas bagaimana keadaan hidup itu.43
Rasulullah saw. juga menerangkan hal ini, sebagaimana yang terdapat
dalam sebuah hadis:
ثنا إسحاؽ بن إبراىيم بو بكر بن أيب شيبة كالها عن أيب معاوية و حد أ و ي بن ي ي ا ي ن ثػ د ح ن ر بػ خ أ يعا ع يس ع ير و ر ا ا ن دثػ ح ا زلمد بن عبد الل بن نري ن ثػ د ن العمش و ح ى بن يونس مج
)ىو ابن سروؽ قاؿ سألنا عبد الل ن م ع بد الل بن مرة ن ع أسباط و أبو معاوية قاال العمش ع قاؿ )وال حتسنب الذين قتلوا يف سبيل الل أمواتا بل أحياء عند رهبم يرزقوف( عن ىذه اآلية سعود(م
42
Umar Sulaymān al-„Asyqār, Ensiklopedia Kiamat dari Sakratul Maut hingga Surga-
Neraka, Penerjemah Irfan Salim dkk. Cet. III, h. 104. 43
Febi Prasetya Adi, Menyibak Misteri Kekal Akhirat Tinjauan Ilmu Fisika, (Yogyakarta:
Kreasi Total Media, 2007), h. 83.
33
وؼ طري خضر ذلا قنادؿ معلقة بالعرش تسرح من اىهم و ر أ اؿ ق فػ لك ن ذ ا ع لن أ س د نا ق ا إ م أ يف فاطلع إليو ربػهم اطالعة فقاؿ ىل تشتػهوف شيئا ؟ .تلك القناديل شاءت ث تأوي إىل حيث اجلن ة
ثالث مرات فلما رأوا قالوا أي شيء تشتهي ؟ و حنن نسرح من اجلنة حيث شئنا ففعل ذلك هبم ركوا من أف يسالوا قالوا : يا رب نريد أف تػر سادنا حت تقتل يف سبيلك أنػهم ال يػتػ د أرواحنا يف أ
رأى أف ليس ذلم حاة تركوا مرة أخرى فلما “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Abū Bakr bin Abī
Syaibah keduanya dari Abū Mu‟āwiyah dan telah menceritakan kepada kami
Ishāq bin Ibrāhim telah mengabarkan kepada kami Jarīr dan ʼĪsa bin Yūnus dari
A‟masy dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Murrah dari Masrūq
berkata, „Kami pernah bertanya kepada ʼAbdullāh bin Mas‟ud tentang ayat „Dan
janganlah engkau sekali-kali mengira bahwasanya orang-orang yang terbunuh di
jalan Allah itu adalah orang-orang yang mati. Akan tetapi mereka itu tetap hidup
di sisi Rabbnya dengan mendapatkan limpahan rezeki‟ (Ali ʼImrān [3]: 169),
Maka dia menjawab, “Kami juga pernah menanyakan hal itu kepada Rasulullah,
maka beliau menjawab, „Ruh-ruh mereka berada di tengah-tengah burung yang
hijau dan memiliki lampu pelita yang tergantung di langit ʼArsy. Mereka dapat
keluar dari surga sekehendak dirinya, kemudian mereka kembali ke pelita-pelita
tersebut.” (H.R. Muslim)
Namun sebagian ruh orang yang mati syahid terpaksa tertahan di depan
pintu surga, karena mempunyai tanggungan yang belum ia tunaikan. Di antaranya
ada yang tertahan karena mengambil harta rampasan perang yang belum dibagi
oleh pemimpin pasukan. Ada pula yang tertahan di pintu surga karena mempunyai
hutang yang belum ia bayarkan.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari
Muhammad bin Jahsy bahwa Rasulullah saw. bersabda,44
م ن زل ع حش ق د بن عند رسوؿ الل صلى الل عليو و سلم فرفع رأسو إىل السماء ث لوسا اؿ كنا نا و فزعنا فلما هتو ث قاؿ: سبحاف الل! ماذا نػزؿ من التشديد؟ فسكتػ بػ اف ك وضع راحتو على
ال والذ ؟ فقاؿ:نػزؿ من الغد سألتو : يا رسوؿ الل ! ما ىذا التشديد الذي ي نػفسي بيده لو أف رحت يػقضى عنو ديػنو قتل يف سبيل الل ث أحيي ث قتل ث أحيي ث قتل و عليو دين ما دخل اجلنة
44
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Sahīh Sunan An-Nasāʻī, Penerjemah Kamaluddin
Sa‟diyatul Haramain, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 424.
34
“Dari Muhammad bin Jahsy, ia berkata, „Ketika kami duduk bersama
Rasulullah saw. beliau menengadahkan kepalanya ke langit, lalu beliau
meletakkan telapak tangannya di atas dahinya, Kemudian beliau bersabda, „Maha
suci Allah, apa yang dilahirkan dari suatu kekerasan?‟ Kami diam dan merasa
khawatir. Keesokkan harinya, aku bertanya kepada beliau, „Wahai Rasulullah,
kekerasan apa ini yang telah diturunkan?‟ lalu beliau bersabda, „Demi Dzat yang
jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya ada seorang laki-laki yang terbunuh di
jalan Allah, kemudian dia dihidupkan lagi, kemudian terbunuh lagi, kemudian dia
dihidupkan kembali, kemudian dia terbunuh lagi, sementara dia mempunyai
hutang yang harus dia bayar, niscaya dia tidak akan masuk surga sehingga
utangnya dibayar darinya.” (H.R. al-Nasāʻī).
3. Ruh Orang Mukmin yang Saleh
Ruh orang mukmin yang saleh akan berada seperti burung yang
bergelayutan di pohon surga. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ka‟ab bin
Malik, Nabi saw. bersabda,45
يػعل ل س و يو ل وؿ الل ع س ر ف الك أ عب بن م ك ن ع من طائر ق يف شجر اجلنة حت م قاؿ إنا نسمة ادل
عو الل تبارؾ و تعاىل إىل عثو يػر سده يوـ يػبػ “Dari Ka‟ab bin Mālik bahwasanya Rasulullah telah bersabda,
„Sesungguhnya Jiwa seorang mukmin itu laksana burung yang bergelayutan di
pohon surga sampai Allah mengembalikannya ke jasadnya pada hari
kebangkitan‟.” (H.R. Ibnu Mājah dan Ahmad).
Perbedaan antara ruh orang yang mati syahid dengan orang mukmin yang
saleh adalah bahwa ruh orang yang mati syahid seperti berada di sangkar burung
hijau sambil terlepas dan berjalan kesana-kemari di taman surga lalu kembali ke
lampu pelita yang tergantung di ʼArsy.46
Sedangkan ruh orang mukmin yang saleh
45
Muhib al Majdi & Abu Fatiah al Adnani, Dari Alam Barzakh Menuju Padang
Mahsyar, h. 66.
46
Secara bahasa Arab merupakan bentuk „masdar‟ dari kata “‟arasya”, Bentuk jamaknya
“A‟rasy”, diartikan sebagai Tahta, Singgasana, Istana. Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir
Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 915.
35
seperti berada di sangkar burung yang tergantung di surga tetapi tidak berjalan
kasana-kemari di surga.47
4. Ruh Orang-Orang yang Bermaksiat
Dalil al-Qur‟an dan al-Sunnah yang menjelaskan tentang azab yang
diterima oleh orang yang suka berbuat maksiat telah dikemukakan sebelumnya.
Orang yang suka berdusta akan diazab dengan jangkar besi yang dimasukkan ke
dalam mulutnya sampai ke tengkuk. Kepala orang yang meninggalkan shalat
wajib akan dihancurkan dengan batu. Para pezina, laki-laki atau perempuan, akan
diletakkan di atas tungku api yang membara. Begitu juga orang yang tidak bersuci
dari air seninya dan orang yang suka menggunjing dan mengadu domba di antara
manusia.48
Ruh para pemakan riba akan dimasukkan ke dalam sungai darah, setiap
kali mereka akan berenang menuju ke tepian, maka di tiap tepi sungai darah busuk
itu telah berdiri para penjaga yang siap dengan batu-batu besar di tangannya,
dilemparnya laki-laki dan wanita pemakan riba itu, hingga tubuh mereka
terdorong lagi ke tengah-tengah sungai.49
5. Ruh Orang-Orang Kafir
Ruh orang-orang kafir ditolak oleh langit. Ketika para malaikat membawa
ruhnya ke langit, para malaikat penjaga langit enggan membukakan pintu
untuknya. Maka Allah memerintahkan kepada para malaikat tersebut untuk
47
Umar Sulaymān al-„Asyqār, Ensiklopedia Kiamat dari Sakratul Maut hingga Surga-
Neraka, Penerjemah Irfan Salim dkk. Cet. III, h. 105. 48
Umar Sulaymān al-„Asyqār, Ensiklopedia Kiamat dari Sakratul Maut hingga Surga-
Neraka, Penerjemah Irfan Salim dkk. Cet. III, h. 106. 49
Muhib al Majdi & Abu Fatiah al Adnani, Dari Alam Barzakh Menuju Padang
Mahsyar, h. 69.
36
mencampakkan ruh yang keji dan berbau busuk tersebut untuk mencampakkan
ruh yang keji dan berbau busuk tersebut ke bagian bumi yang paling dalam dan
rendah. Sebagaimana dijelaskan dalam dalam hadis dari sahabat Barrāʽ bin
ʼĀzib50
:
ن زأذاف مرو ع اؿ بن ع نه ن م ش ع عم ا ال ن ثػ اؿ ة ق ي او ع و م ب ا أ ن ثػ يب أ ن ث د الل ح بد ع ا ن ثػ د ح اف ا ك إذ افر الك بد الع ف إ و ؿ قا – صلىى الل عليو و سلم يب الن ع ا م ن ر خ اؿ ب ق از اء بن ع ن الب ع
وه معهم ادلسوح س ة ئك ال اء م م الس من يو إل ؿ ز نػ ة ر اآلخ من اؿ اقب ا و ني الد من اع ط يف انق ود الو ر ث ص منو مد الب وف س جل ي فػ وت ح م ك ال ل يء م ة بيث فس اخل ا الن ته ي قوؿ أ ي و فػ أس ر س عند ل ت تفرؽ ؿ ف ا ضب ق غ الل و من خط س ىل ي إ خر ا وؼ الص السفود من ع ز نت ا ي م ها ك ع ز نت ي ه فػ د س يف ي ح ده طرفة ع ا يف ي وى دع ي ىا مل ذ خ ا أ إذ ف ىا ذ أخ ي وؿ فػ بل م ال رج ي مسوح و ال ا يف تلك وى ل ع ت
ة ئك ادلال أل من ى م ل ا ع هب روف ي ال هبا ف وف د ع ص ي فػ رض و ال ى و ل ت ع د يفة و يح نت ر ان ا ك منه ت ا ح ا يف الدني ى هب يسم اف يت ك ائو ال س بح أ ق بأ فالف بن فالف قولوف ي فػ بيث اخل وح ا الر ذ ا ى الوا م اال ق
ال مسل ليو و ىى الل ع ل سوؿ الل ص ر رأ ح لو ث ق فت ي ال و ف ح ل فت ست ي ا فػ الدني اء م هي بو إىل الس نت ي ل ز و ؿ الل ع و م اخلياط فيقمل يف س لج اجل ت ي ة ح ن اجل دخلوف ال ي اء و م الس بواب م أ ح ذل فت ت
من ر خا ن أ ك ف ؾ بالل شر ن ي م و ا ث قرأ رح و ط ح روح ر ط ت ى فػ فل الس رض يف ال ي ج و يف س اب بوا كت اكت 51-اف سحيق ك م يح يف وي بو الر و ت ري أ تخطفو الط اء ف م الس
“Sesungguhnya manakala seorang hamba yang kafir sedang berada pada
detik-detik terakhir kehidupannya di dunia dan akan memasuki gerbang
kehidupan akhirat, para malaikat yang hitam legam wajahnya turun kepadanya
dari langit dengan membawa kain tenunan yang kasar. Mereka kemudian duduk di
sekeliling orang kafir itu sejauh mata memandang. Setelah itu malaikat maut
datang hingga duduk di sisi kepalanya, dan berkata, „wahai jiwa yang keji,
keluarlah menuju kebencian Allah dan murka-Nya. Nyawanya lalu dipisah-
pisahkan dari badannya dan dicabut dengan keras, bagaikan besi tusukan sate
dicabut dari kain bulu yang masih basah. Malaikat maut segera menyambut
nyawanya, namun belum sekejap mata nyawa itu berada di tangannya, malaikat
yang hitam legam wajahnya itu segera mengambilnya dan meletakkannya di atas
kain tenunan yang kasar, sehingga darinya keluar bau busuk yang melebihi
seluruh bau busuk bangkai yang pernah ada di muka bumi. Para malaikat itu
50
Muhib al Majdi & Abu Fatiah al Adnani, Dari Alam Barzakh Menuju Padang
Mahsyar, h. 69.
51
Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imām Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t), Jil.
5, h. 288.
37
membawa nyawanya ke langit, dan tidaklah mereka melewati sekelompok
malaikat pun melainkan mereka bertanya, „Nyawa siapakah yang keji ini?‟ Para
malaikat yang membawanya menjawab, „Nyawa fulan bin fulan‟, sembari
menyebutkan nama panggilannya yang terburuk kala masih hidup di dunia.
Mereka terus membawanya hingga sampai ke langit dunia, maka mereka minta
dibukakan pintu langit dunia, namun pintu langit dunia tidak dibukakan untuknya.
Rasulullah saw. kemudian membacakan ayat: „Tidak dibukakan untuk mereka
pintu-pintu langit, dan mereka tidak akan memasuki surga sehingga unta bisa
masuk ke dalam lubang jarum‟. (Al-A‟rāf [7]: 40). Allah berfirman, „Tulislah
buku amalnya di Sijjin yaitu pada lapisan bumi yang terendah!‟ Kemudian
nyawanya dilemparkan dengan keras. Lalu Rasulullah saw. membaca ayat: „Dan
barang siapa yang menyekutukan sesuatu dengan Allah, maka dia menjadi seakan-
akan jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan oleh angin ke
tempat yang jauh‟. (Al-Hajj [22]: 31).
Beberapa hal di atas merupakan keterangan tentang keberadaan arwah di
alam barzakh (kubur). Terlihat jelas perbedaan antara tempat ruh orang yang
beriman, ruh orang yang bermaksiat dan ruh orang-orang kafir. Oleh karena itu,
sebagai manusia yang pasti akan mengalami kematian, sudah semestinya untuk
menyiapkan bekal amal shalih sebelum kematian itu terjadi. Karena hanya amal
shalih lah yang dapat menyelamatkan dan menentukan kedudukan seseorang di
alam barzakh.
38
BAB III
HADIS-HADIS TENTANG AZAB KUBUR
A. Teks Hadis dan Terjemahnya
Pada pembahasan ini, penulis akan melakukan penelusuran hadis-hadis
yang terkait dengan penyebab mendapatkan azab kubur. Dalam penelusuran
tersebut, penulis menggunakan metode takhrij1 melalui kamus Muʼjam al-
Fahras li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī. Penulis hanya akan memuat hadis-hadis
sahīh, yang terdapat dalam al-Kutub al-Sittah seperti Sahīh al-Bukhāri, Sahīh
Muslim, Sunan al-Tirmidzī, Sunan Abū Dāwud, Sunan Ibnu Mājah, dan Sunan
al-Nasāʻī. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Hadis tentang Tidak Memakai Penutup Saat Buang Air Kecil dan
Suka Mengadu Domba
- Sahīh al-Bukhāri
نثدحالانقاعثمندث ح النيبر مالاسقب نابنععداىنمورعنصنمريرعدينةبائطلمسوليوعصلىالل
فسمعصوتإنسان يأومكةمنحيطانامل
بانيفق بورهاف بانوسالنيبصلىاللعليووقالي عذ بانيفكبرياي عملمي عذ مثذكاناآلخريشيبالنميمةوبولمنستتيكانأحدهالقالب لى دعابريدةو مث
كسرةفقيللوي كسرت يف وضععلىكلق بمنهما سولالللماف علتارفكسرىات يبساأعل اللاقذى ايبسني ألوإوأنيففعنهمامامل
1 Takhrij hadis adalah yaitu mengungkapkan atau mengeluarkan hadis kepada orang lain
dengan menyebutkan nama periwayat hadis yang berada dalam rangkaian sanadnya sebagai
mengeluarkan hadis. Sedangkan metode takhrij adalah proses penelusuran atau pencarian hadis
dalam berbagai kitab hadis sebagai sumber hadis yang bersangkutan. M Syuhudi Ismail,
Metodologi Penelitian Sanad Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 43.
39
“Telah menceritakan kepada kami ʼUtsman berkata telah menceritakan
kepadaku Jarīr dari Mansūr dari Mujāhid dari „Abdullāh bin „Abbās, dia berkata,
“Suatu kali Nabi saw. berjalan melewati tembok kota Madinah (atau Mekkah),
kemudian beliau mendengar suara dua orang yang disiksa di dalam kubur. Beliau
lantas bersabda, „Kedua orang mayat ini tengah diazab. Keduanya diazab bukan
karena melakukan dosa yang besar (menurut pandangan mereka). Namun
memang keduanya adalah dosa besar (menurut Allah). Salah satu dari keduanya
tidak menutupi dirinya (dalam riwayat lain: tidak bersuci) saat buang air kecil,
sedang orang yang satu lagi sering mengadu domba. Kemudian beliau meminta
dibawakah satu pelepah kurma lalu dipatahkan menjadi dua, beliau meletakkan di
setiap kuburan satu potong. Seorang bertanya kepadanya, „Wahai Rasulullah,
mengapa anda melakukan hal ini?‟ Beliau menjawab, „Mudah-mudahan keduanya
mendapat keringanan selama kedua pelepah ini belum kering, atau hingga kedua
pelepah ini kering." (H.R. al-Bukhāri)2
Dari matan hadis di atas, penulis menggunakan kata يستت dalam
melakukan penelusuran hadis pada kitab al-Muʼjam al-Fahras li Alfāẕ al-Hadīts
al-Nabawī.3
- Sahīh al-Bukhāri
Di dalam kitab hadis Sahīh al-Bukhāri, hadis tersebut terdapat pada kitāb
al-Wuḏūʻ, al-Janāʻiz, dan al-Adab.
ننوعاللعضياسرب نابنعاوسعنطدعاىنمشععمنالةعاويعومباأندث حيايندث حرينين مأل سيوولىاللعل صيبالن بقب بانفقومر ام ري،أببانيفكذي عامبان،وذالي عالإنمعذرأخذةمث ميمالن يبشيااآلخرفكانم أوولستتمنالبيانلكفادهأح اةرطبةفشقهميد
لعلوأنيففعنهمافقالصنعتىذا؟قبواحدة،فقالوايارسولاللملبنصفيمثغرزيفكلييبسا 4.مامل
“Telah menceritakan kepada kami Yahya telah menceritakan kepada kami
Abu Mu‟āwiyah dari al-A‟masy dari Mujāhid dari Ṯāwus dari Ibnu ʼAbbās ra.
2 Abū ʼAbdullāh Muhammad bin Isma‟il bin Ibrāhim al-Bukhāri, Al-Jāmi‟ Al-Bukhāri
(Sahīh Al-Bukhāri), dalam Kitāb al-Wuḏūʽ, subbab „Termasuk Dosa Besar Tidak Menutupi Diri
saat Buang Air Kecil‟, Cet. II, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1437 H/2006 M), h. 38. 3 A. J. Wensinck, al-Muʼjam al-Fahras li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī, (Leiden: E. J. Brill,
1943), Jil. 2, h. 412.
4 Abū ʼAbdullāh Muhammad bin Isma‟il bin Ibrāhim al-Bukhāri, Al-Jāmi‟ Al-Bukhāri
(Sahīh Al-Bukhāri), dalam Kitāb al-Janāʻiz, Bāb 81, Cet. II, h. 182.
40
Dari Nabi saw. “Sesungguhnya suatu kali Nabi saw. berjalan melewati dua
kuburan orang yang disiksa di dalam kubur. Beliau lantas bersabda, „Kedua orang
mayat ini tengah diazab. Keduanya diazab bukan karena melakukan dosa yang
besar (menurut pandangan mereka). Namun memang keduanya adalah dosa besar.
Salah satu dari keduanya tidak menutupi dirinya saat buang air kecil, sedang
orang yang satu lagi sering mengadu domba. Kemudian beliau mengambil satu
pelepah kurma lalu dipatahkan menjadi dua, lalu beliau meletakkan di setiap
kuburan satu potong. Maka seorang bertanya kepadanya, „Wahai Rasulullah,
mengapa anda melakukan hal ini?‟ Beliau menjawab, „Mudah-mudahan keduanya
mendapat keringanan selama kedua pelepah ini belum kering."
ضياسرب ابنعناوسعنطعايدثداىمعتسالقشعمناليععكاونث دحيايندث حرينعلمسوليوعلىاللولاللصسررمالاللق ري،بكانيفبايعذمان،وبذالي عمهن إقالفلىق ب
فشق وباث نيابعسيبرطبعدمث ةميمالن يبشيانكافذاىم أولوونبستتميلانكافذاىم أ5املييبسا.اممنهويففعل عاللقاحدامثاوذىىلعاحداواوذفغرسعلىى
“Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Wakīʼ dari al-A‟masy
berkata aku telah mendengar Mujāhid mendapatkan hadis dari Ṯāwus dari Ibnu
ʼAbbās ra. Berkata Rasulullah saw. berjalan melewati dua kuburan. Kemudian
Beliau bersabda, „Kedua orang mayat ini tengah diazab. Keduanya diazab bukan
karena melakukan dosa yang besar (menurut pandangan mereka). Adapun yang
satu ini tidak menutupi dirinya saat buang air kecil, sedang orang yang satu lagi
ini sering mengadu domba. Kemudian beliau berdoa dengan satu pelepah kurma
lalu dipatahkan menjadi dua, lalu beliau menanamkannya (di atas kuburan) satu
potong dan satu ptong di kuburan yang lain. Kemudian Beliau berkata, „Mudah-
mudahan keduanya mendapat keringanan selama kedua pelepah ini belum
kering."
نابنعداىنمورعنصنمعنبدالرحبوعيدأبيدةبنحاعنرخب أملاابنسنث د حدينةفسمعصوتبعضمنسلميووىاللعليبصل الن رجخالاسقب ع
حيطانامل
بانيفق بورهافقال بانوماي عإنسان يي عذ بانيفكبريي عذ كانلكبريةوإنوذكاناآلخريشيبالنميمةالأحدهاليستتمن دعابريدةفكسرىابولو مث
كسرةيفقبىذاكسرةجعلفأوثنتيكسرت ي قاللعلويففعنهمافيفقبىذاو6ييبسامامل
“Telah menceritakan kepada kami Ibnu Salām telah mengabarkan kepada
kami ʼAbīdah bin Humaid Abū ʼAbdu Al-Rahmān dari Mansūr dari Mujāhid dari
Ibnu„Abbās, dia berkata, “Suatu kali Nabi saw. berjalan keluar melewati tembok
5Abū ʼAbdullāh Muhammad bin Isma‟il bin Ibrāhim al-Bukhāri, Al-Jāmi‟ Al-Bukhāri
(Sahīh Al-Bukhāri), dalam Kitāb al-Adab, Bāb 46, Cet. II, h. 844. 6 Abū ʼAbdullāh Muhammad bin Isma‟il bin Ibrāhim al-Bukhāri, Al-Jāmi‟ al-Bukhāri
(Sahīh al-Bukhāri), dalam Kitāb al-Adab, Bab 49, Cet. II, h. 845.
41
kota Madinah), kemudian beliau mendengar suara dua orang yang disiksa di
dalam kubur. Beliau lantas bersabda, „Kedua orang mayat ini tengah diazab.
Keduanya diazab bukan karena melakukan dosa yang besar (menurut pandangan
mereka). Namun memang keduanya adalah dosa besar (menurut Allah). Salah
satu dari keduanya tidak menutupi dirinya (dalam riwayat lain: tidak bersuci) saat
buang air kecil, sedang orang yang satu lagi sering mengadu domba. Kemudian
beliau meminta dibawakan satu pelepah kurma lalu dipatahkan menjadi dua,
beliau meletakkan di setiap kuburan satu potong. Beliau berkata, „Mudah-
mudahan keduanya mendapat keringanan selama kedua pelepah ini belum kering,
atau hingga kedua pelepah ini kering."
- Sunan al-Tirmidzī
Di dalam kitab hadis Sunan at-Tirmidzī, hadis tersebut terdapat pada kitāb
Ṯahārah.
كربأةويبق تنادواىندث ح ايدثعنماىدعتسالشقعمنالعيعكاوندث واحاليبقوعسيوولىاللعلصيبالنن باسأبنعناطاوسع رينفقالإنماليعذبان،ومالممر لىق ب
7ة.ميميبالن شكانيافاىذم أولوونبستتميلانكافذاىم أيعذبانيفكبري، “Telah menceritakan kepada kami Hannād, Qutaibah, dan Abu Kuraib
mereka berkata telah menceritakan kepada kami Wakīʼ dari al-A‟masy berkata
aku telah mendengar Mujāhid mendapatkan hadis dari Ṯāwus dari Ibnu ʼAbbās
ra. Berkata Rasulullah saw. berjalan melewati dua kuburan. Kemudian Beliau
bersabda, „Kedua orang mayat ini tengah diazab. Keduanya diazab bukan karena
melakukan dosa yang besar (menurut pandangan mereka). Adapun yang satu ini
tidak menutupi dirinya saat buang air kecil, sedang orang yang satu lagi ini sering
mengadu domba.
- Sunan Abū Dāwud
Di dalam kitab hadis Sunan at-Tirmidzī, hadis tersebut terdapat pada kitāb
Ṯahārah.
7 Abū ʼIsā Muhammad bin ʼIsā At-Tirmidzī, Al-Jāmi‟ al-Kabīr (Sunan al-Tirmidzī),
dalam Kitāb al-Ṯahārah, Bab 53, Cet. I, (Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmi, 1996 M), Juz. I, h. 112.
42
اماىدعتلسشقاعماالثنحديعكاونث حدالنادبنالس ريقزىريبنحربوىاندث حثع رينفقالعلمسليوولىاللعصيبرالنالماسقب نابنعاوسعنطيد امإن لىق ب
ةمث ميمالن يبشيكانذافاىأم ولوالبيستنزهمنلكانذافماىأري،بكانيفبذاي عمان،وبذلي عويففل عقاللاحداوذاولىىعاحداوذاوىىابعسيبرطبفشق وباث نيمثغرسعلعد8املييبسااممنهع
“Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb Dan Hannād bin Al-
Sarī mereka berkata telah menceritakan kepada kami Wakīʼ telah menceritakan
kepada kami al-A‟masy berkata aku telah mendengar Mujāhid mendapatkan hadis
dari Ṯāwus dari Ibnu ʼAbbās ra. Berkata Rasulullah saw. berjalan melewati dua
kuburan. Kemudian Beliau bersabda, „Kedua orang mayat ini tengah diazab.
Keduanya diazab bukan karena melakukan dosa yang besar (menurut pandangan
mereka). Adapun yang satu ini tidak bersuci saat buang air kecil, sedang orang
yang satu lagi ini sering mengadu domba. Kemudian beliau berdoa dengan satu
pelepah kurma lalu dipatahkan menjadi dua, lalu beliau menanamkannya (di atas
kuburan) satu potong dan satu ptong di kuburan yang lain. Kemudian Beliau
berkata, „Mudah-mudahan keduanya mendapat keringanan selama kedua pelepah
ini belum kering."
- Sunan al-Nasāʻī
ندث حالةقامقددبنمامنرخب أ ر مالاسقب نابنععدنماىورعنصنمريرعادينةبائطلمسليوولىاللعالنيبص
أومكةمنحيطانامل فسمعصوتإنسان ي
بانيفق بورهافقال بانوماي عي عذ بانيفكبريالنيبصلىاللعليووسلمي عذ مثذكاناآلخريشيبالنميموبولكانأحدهاليستتمنقالب لى دعابريدةةو مث
كسرةفقيللويارسولالللماف علت كسرت يف وضععلىكلق بمنهما فكسرىات يبساأوإلأنييبسا 9ىذاقاللعلوأنيففعنهمامامل
“Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Qudāmah berkata telah
menceritakan kepada kami Jarīr dari Mansūr dari Mujāhid dari Ibnu „Abbās, dia
berkata, “Suatu kali Nabi saw. berjalan melewati tembok kota Madinah (atau
Mekkah), kemudian beliau mendengar suara dua orang yang disiksa di dalam
kubur. Beliau lantas bersabda, „Kedua orang mayat ini tengah diazab. Keduanya
diazab bukan karena melakukan dosa yang besar (menurut pandangan mereka).
8 Abū Dāwud Sulaimān bin Al-Asy‟ab As-Sijjistānī, Sunan Abu Dāwud, Kitāb al-
Tahārah, Bab. 11, (Riyaḏ: Maktabah al-Ma‟ārif, tt), no. 20, h. 10.
9 Abū ʼAbdu al-Rahmān Ahmad bin Syu‟aib bin ʼAlī, Sunan Al-Nasāʽī, Kitāb al-Janāʽiz,
Bab. 116, (Riyāḏ: Maktabah al-Ma‟ārif, t.t), Cet. I, h. 239.
43
Namun memang keduanya adalah dosa besar (menurut Allah). Salah satu dari
keduanya tidak menutupi dirinya (dalam riwayat lain: tidak bersuci) saat buang air
kecil, sedang orang yang satu lagi sering mengadu domba. Kemudian beliau
meminta dibawakah satu pelepah kurma lalu dipatahkan menjadi dua, beliau
meletakkan di setiap kuburan satu potong. Seorang bertanya kepadanya, „Wahai
Rasulullah, mengapa anda melakukan hal ini?‟ Beliau menjawab, „Mudah-
mudahan keduanya mendapat keringanan selama kedua pelepah ini belum kering,
atau hingga kedua pelepah ini kering."
اسب نابنعاوسعنطدعاىنمعشعمنالةعياوعمبنأوعيثدحييفالس رادبنن اىنخبأرقال رينفقسليوولىاللعصولسمر ادهحاأم ري،أبانيفكايعذبان،ومبذالي عمالإن لمبقب ريدةرطبةفشقهمابنصفيمثةميمالن يبشيكانااآلخرفم أووولنبمستتيلانفك أخذ مث
املاممنهولاللملصنعتىذا؟فقاللعلهماأنيففعسارغرزيفكلقبواحدة،فقالواي10ييبسا.
“Telah mengabarkan kepada kami Hannād bin As-Sarī dalam hadisnya,
dari Abu Mu‟āwiyah dari al-A‟masy dari Mujāhid dari Ṯāwus dari Ibnu ʼAbbās
ra. berkata “Suatu kali Rasulullah saw. berjalan melewati dua kuburan orang yang
disiksa di dalam kubur. Beliau lantas bersabda, „Kedua orang mayat ini tengah
diazab. Keduanya diazab bukan karena melakukan dosa yang besar (menurut
pandangan mereka). Namun memang keduanya adalah dosa besar. Salah satu dari
keduanya tidak menutupi dirinya saat buang air kecil, sedang orang yang satu lagi
sering mengadu domba. Kemudian beliau mengambil satu pelepah kurma lalu
dipatahkan menjadi dua, lalu beliau meletakkan di setiap kuburan satu potong.
Maka seorang bertanya kepadanya, „Wahai Rasulullah, mengapa anda melakukan
hal ini?‟ Beliau menjawab, „Mudah-mudahan keduanya mendapat keringanan
selama kedua pelepah ini belum kering."
Fiqh Hadis
Dalam kitab Fathu al-Bārī, hadis riwayat Imam al-Bukhārī di atas terdapat
pada “Bab Azab Kubur karena Ghībah dan Namīmah”. Menurut Al-Manayyar,
disebutkannya ghībah (menggunjing) dan namīmah (mengadu domba) adalah
karena besar dan pentingnya kedua hal itu, dan bukan menafikan hukum selain
keduanya. Akan tetapi yang nampak dari penyebutan keduanya adalah bahwa
10
Abū ʼAbdu al-Rahmān Ahmad bin Syu‟aib bin ʼAlī, Sunan Al-Nasāʽī, Kitāb al-Janāʽiz,
Bab. 116, Cet. I, h. 239-240.
44
keduanya lebih dominan mendatangkan azab kubur dibandingkan perkara-perkara
yang lain. Para penulis kitab sunan meriwayatkan dari hadis Abū Hurairah,
“Istanzihū min al-Bauli, fa Inna ʼĀmmata ʼadzābi al-Qabri minhu”
(“Bersihkanlah diri kalian dari air seni, karena sesungguhnya kebanyakan azab
kubur berasal dariya”).11
Kemudian Imam Bukhārī menyebutkan hadis Ibnu ʼAbbās tentang kisah
dua penghuni kubur, tetapi tidak ada keterangan tentang ghībah, bahkan yang
disebutkan adalah namīmah, sebagaimana yang dijelaskan dalam pembahasan
tentang “Ṯahārah” (bersuci). Menurut suatu pendapat, maksud Imam Bukhārī
adalah menerangkan bahwa ghībah berkonsekuensi adanya namīmah, sebab
namīmah memiliki dua sisi; memindahkan perkataan orang yang menceritakan aib
orang lain kepada orang yang bersangkutan, dan menceritakan perkataan
seseorang yang tidak ingin perkataannya disampaikan kepada orang lain.12
Ibnu Rasyīd berkata, “Akan tetapi adanya ancaman bagi namīmah tidak
berarti ancaman itu berlaku pula bagi ghībah (menceritakan kejelekan orang lain),
sebab kerusakan namīmah itu lebih besar. Seandainya keduanya berada pada
tingkat yang sama, tetap hukumannya tidak dapat disamakan, karena adanya
hukuman bagi perbuatan yang lebih besar kerusakannya tidaklah berarti hukuman
itu berlaku pula bagi perbuatan yang kadar kerusakannya relatif lebih ringan.
Akan tetapi mungkin hal itu disebutkan atas dasar makna tawaqqu‟ (prediksi)
serta peringatan, yakni memberi peringatan kepada orang-orang yang melakukan
11 Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Jil. 7, h. 416.
12
Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Jil. 7, h. 416.
45
ghībah agar jangan sampai mengalami ancaman serupa. Sementara dalam
sebagian jalur periwayatan hadis ini disebutkan dengan lafazh „ghībah‟, Maka
secara lahiriah, Imam Bukhārī mensinyalir lafazh yang terdapat pada sebagian
jalur periwayatan hadis, seperti yang biasa dilakukannya.13
Hannād berkata, “kata „yastatiru‟ sebagai ganti dari kata „yastanzihu‟
(menjauhi). يعذبمو كا يف ريبان “Keduanya diazab bukan karena melakukan dosa
yang besar”, sedangkan di dalam riwayat al-Bukhāri: Kemudian ia berkata,
“Ya.” Dengan kata lain, itu adalah dosa besar. Demikian disebutkan dalam kitab
Al-Adab al-Mufrad dari jalur ʼAbd bin Hākim dari Mansūr. Maka ia berkata,
“Keduanya diazab bukan karena melakukan dosa yang besar, yang demikian itu
adalah sesuatu yang besar”. Ini adalah tambahan-tambahan dalam riwayat
Mansūr atas al-A‟masy. Imam Muslim tidak meriwayatkan keduanya. Al-Khaṯṯābi
berkata, “Artinya adalah bahwa keduanya tidak disiksa karena perkara besar yang
dilakukan oleh keduanya atau sulit dilakukannya jika keduanya hendak
melakukannya. Yaitu upaya menjauhi air seni dan meninggalkan adu domba.”
Juga tidak menghendaki bahwa kemaksiatan di dalam dua keadaan itu bukan dosa
besar dan bahwa dosa di dalam keduanya adalah sederhana dan kecil.14
ىم أ فا ميلكانذا ولبالنستنزه (“Adapun yang satu ini tidak menutupi
dirinya saat buang air kecil”). Al-Khaṯṯābi berkata, “Di dalam hadis ini ada
petunjuk bahwa segala macam air seni najis, baik berupa binatang yang halal
13 Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Jil. 7, h. 417.
14
Abū Ṯayyib Muhammad Syamsu al-Haqq al-„Aẕīm Abadī, ʼAun al-Ma‟būd Syarh
Sunan Abī Dāwud, Penerjemah Asmuni. Cet. I, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 59.
46
untuk dimakan dagingnya atau yang tidak halal dimakan dagingnya. Hal itu
karena munculnya lafal hadis yang mutlak umum dan komprehensif.”15
Abū al-Ṯayyib berkata dalam kitabnya, “Dibawanya kepada sifat umum
yang mencakup segala macam kencing bintang, perlu ditinjau karena Ibnu Baṯal
dalam Syarah al-Bukhāri berkata, „al-Bukhāri menghendaki bahwa yang
dimaksud dengan ungkapan tadi dalam riwayat bab ini adalah bahwa ia tidak
menjauhkan diri dari air seni, yaitu air seni manusia dan bukan air seni segala
macam binatang.‟ Maka tidak ada alasan bagi orang yang membawa hadis itu
kepada sifat „umum‟ yang meliputi air seni segala jenis binatang. Al-Hāfiẕ Ibnu
Hajar berkata, „Seakan-akan Ibnu Baṯal hendak menolak pendapat al-Khaṯṯābi.”
Hasil penolakan itu bahwa sifat „umum‟ di dalam riwayat semua macam air seni‟
dimaksudkan dengannya „khusus‟ hal itu karena ungkapan: ولالبنم “dari air
seninya”. Huruf alif dan lam sebagai pengganti dari damīr (kata ganti). Akan
tetapi air seninya sama dengan air seni orang lain, karena tidak ada pembeda
dengan air seni orang lain. Ia berkata,”Demikianlah jika binatang yang haram
dagingnya. Adapun bintang yang haram dagingnya maka tidak ada alasan di
dalam hadis ini bagi orang yang berpendapat bahwa air seninya najis. Sedangkan
bagi orang yang mengatakan kesucian air seninya memiliki alasan-alasan yang
lain.” Al-Qurṯubi berkata, “Ungkapan: Dari air seni, adalah isim tunggal yang
tidak ditetapkan berbentuk „umum‟ sekalipun diterima.” Ia adalah khusus dengan
15 Abū Ṯayyib Muhammad Syamsu al-Haqq al-„Aẕīm Abadī, ʼAun al-Ma‟būd Syarh
Sunan Abī Dāwud, Penerjemah Asmuni. Cet. I, h. 60.
47
dasar dalil-dalil yang mengharuskan ditetapkannya hukum suci bagi air seni
binatang yang halal dagingnya.16
بشي ةميمالن ي (“sering mengadu domba”), yaitu menyebarkan perkataan
yang merusak dan sangat buruk.
بطعسيبرب (“dengan satu pelepah kurma”), dengan huruf ʼain berharakat
fathah dan huruf sin berharakat kasrah keduanya tanpa titik. Yaitu pelepah atau
dahan pohon kurma, juga disebut cabang.
شقوف (“Kemudian beliau belah”), yakni: pelepah itu. باث ني “Menjadi dua”,
huruf baʽ di sini adalah tambahan.
Kata اث ني mansūb karena kedudukannya ialah hal. لعلو (“semoga”), kata
ganti yang menunjukkan keadaan. يفف (“diringankan”) yakni siksaannya. عنهما
Yakni dua batang pelepah (”.selama kedua pelepah ini belum kering“) ماملييبسا
tersebut. Al-Khaṯṯābi berkeata, “Ungkapan ini bermakna bahwa beliau berdoa
untuk dua orang itu kiranya diringankan siksaannya selama masih ada basah pada
pelepah tersebut dan bukan adanya makna yang khusus pada pelepah itu”. Juga
bukan berarti kondisi basah memiliki makna yang penting yang tidak ada pada
kondisi kering.
16 Abū Ṯayyib Muhammad Syamsu al-Haqq al-„Aẕīm Abadī, ʼAun al-Ma‟būd Syarh
Sunan Abī Dāwud, Penerjemah Asmuni. Cet. I, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 61.
48
Aku berpendapat bahwa hadis ini dikuatkan oleh hadis yang disebutkan
oleh Muslim di bagian akhir kitabnya dalam sebuah hadis panjang, yaitu hadis
Jābir berkenaan dengan dua orang ahli kubur, yang berbunyi “Maka syafa‟atku
dikabulkan untuk membatalkan azab itu atas keduanya selama dua pelepah itu
masih lembab”.17
Dari hadis di atas penulis mengambil pelajaran, bahwa tidak berhati-
hatinya seseorang dalam bersuci ketika selesai buang air kecil akan menjadi salah
satu penyebab dari mendapatkan azab kubur. Selain itu, dari hadis tersebut juga
terdapat peringatan tentang pentingnya menjaga lisan dari menggunjing dan
mengadu domba orang lain. Meskipun perbuatan tersebut dianggap sebagai hal
yang kecil, akan tetapi dapat membawa seseorang kepada siksaan yang akan
dialami kelak di alam barzakh.
2. Dusta, Zina, Riba, dan Meninggalkan Shalat dan Al-Qur’an
- Sahīh al-Bukhāri
ملبنىشندثح بناأثدحوفاعنث ديمحاىإبريلبناعساإنث دام:حوىشبام،أم نادثاءحورندبرس ولقني مايكثرأمل سويوللىاللعصاللولسركانالنوقعالليضرةبنل عالفممنرؤيا؟قنكدمىأحألرو:ىابص وإنوقالاللأاءليومنشيقص اتذني قص
،وإينانطلقتمعهماوإنااللاقإن هماابتعثاينوإن همتيانوةآيلاينالل تغداة.إنوأ :انطللم ث لغرأسوىويهويبالصخرةلرأسوفيضطجعوإذاآخرقائمعليوبصخرةوإذاأتيناعلىر
عإللأخذهفيفيت هدىداحلجرىاىنافيتبعاحلجرف كانمثيتيحيوي ر كما عودعليوصح رأسولالل:قاسباناللماىذان؟قامثلماف علاملرةالولقالقلتهلملبويفعف :انطل ،انطل
لقفاهوإذاآخرقائمعليوبكلوبمنحديدوإذاىويأتقالفانطلقنا لمست ل ناعلىر فأت ي هوفيش نورشرشدقوإلقفاهومنخرهإلقفاهأحدشقيو اءوعي إلقفاهقالورباقالأبور
17 Abū Ṯayyib Muhammad Syamsu al-Haqq al-„Aẕīm Abadī, ʼAun al-Ma‟būd Syarh
Sunan Abī Dāwud, Penerjemah Asmuni. Cet. I, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 62.
49
و لإلاجلانباآلخرفي فعلبومثلمافعلباجلانبالولفماي فرغمنذلك يت قالمث فيشيعودعبذلكاجلانحتيصحاجلانب كانمث ر ةالوليولكما
قالقلتفي فعلمثلمافعلامللالال:قذان؟قاىسباناللم :انطل ناعلىمثلالت ن ورقالانطل ،قالفانطلقنافأت ي
كاني أف يولغطافإذفولقحسبأنو ىماذإاءعراةونسالووأصواتفاط لعنافيوفإذافيورهمفإذاأتاىمذلكاللهبضوضواقالقلتهلمام الل:قالء؟قلاىيأتيوهلبمنأسفلمن
،قالفانطلقنافأتيناعلىنر انطل كانيقولأحرمثلالد :انطل الن هرايفذإومحسبتأنوالن هرلاعإذابحيسبحولسر كثريةوإذاذلكالس عجلقدرىشط سبحابحيعندهحجارةيغفيفهاحلجارةنددجععيقذال كلأتذيمثسبحيام سبحمثرلوفاهفي لقموحجرافينطلعإليوفغير كلمار عإليو الال:ققذان؟ىارلوفاهفألقموحجراقالقلتهلمام ل:انطل
لقالفانطلقنا،فأتيناعلىانطل مرأة،وإذاعندهر ل كأكرهماأنتراءر رأةشهايناركريوامل
فانطلقنا،فأتيناعلىروضةعىسيو انطل حوهلاقالقلتهلما:ماىذا؟قال:قالل:انطلكللونالربيع،وإذابيظهري ةفيهامن لطويللأكاالر وضةمعتم يفأرىرأسدر وطول
لمنأكثرولدانرأيت همقطاحذإالسماءو لء؟قال:قالىذاقالقلتهلماماولالر ؟ماى انطل أرروضةقطأعظممنهاولأحسنل:انطل قال:فانطلقنا،فأتيناإلروضةعظيمةملفض ةولبذىبنيةبلببمةيندلماإينهانت افافيهينقارت ال:فا.قيهارت قيتفقالل:ارق.ف
دينةفنفأتينابابامل يهفتلق ناف الناىخدناففتحلاف است فت كأحسنماالشطرمنخلقهمار
كأق بحم متضوإذانررقال:هكالن لواف قعوايفذبذىم:االهلقالاءقنتراأأنتراءوشطركأنماء ضيفالب جيري
عواإوق عوافوافباضفذىيهامل منهالسوءعكلدذىبذاقينليو،مثر
نةعهذال:قاللىنصورةقحساروايفأصف بصريصعدا،فإذاقالفسمامنزلكاكذىدنوذراينفأدخلو.ايكمفكاللارذاكمنزلكقالق لتهلما:بىال:قاللاءقيضةالباببقصرمثلالر
ذياال ذاىمبافجةعيليتمنذالل أردإينقافملتهلقالأمااآلنفل،وأنتداخلو،قال:قلاإم يت؟قال:قالل:أأر باحلجرفإنوليوي ث لغرأسويتعتيأالذالولناسنخبك:أماالر
لياخذالقرآن كتوبةالرلالذيأتيتعليويشرشرشدقوف ريفضووينامعنالصلةامل وأماالر
ل لغي غدومنبيتوف يكذبالكذبةإلقفاهومنخرهإلقفاهوعينوإلقفاهفإن والر ت ب العراةالذينيفمثلبناءالت نورفإن همالفاق. الوالنساء لوأماالر الزناةوالزواين.وأماالر
رأةلالكريوامل الذيعندالذيأتيتعليويسبحيفالنهروي لقماحلجرفإنوآكلالربا.وأماالر
لالطويلالالنار إنوةفوضالرييفذيشهاويسعىحوهلافإن ومالكخازنهنم.وأماالرالقال:ف .قاتعلىالفطرةولوفكلمولودمانالذيحدولماالألم.وسيووللىاللعيمصاىبرإ
50
دولأ.ولمساللصلىاللعليووولسرشركي؟فقالدالمولأسولالل،واري:يسلممعضالبافبطرقشناوسمحطرمنهواشانكينومالذاالقم أشركي.والم احلاصلمومخلطواعمقن هإي18آخرسيئاجتاوزاللعنهم.و
“Telah menceritakan kepada kami Muʼammal bin Hisyām telah
menceritakan kepada kami Ismāʼil bin Ibrāhīm telah menceritakan kepada kami
ʼAuf telah menceritakan kepada kami Abū Rajāʻ telah menceritakan kepada kami
Samurah bin Jundab ra. dia mengatakan Rasulullah saw. seringkali menanyakan
kepada para sahabatnya, „adakah seseorang di antara kalian yang bermimpi (tadi
malam)?‟ maka berceritalah kepada beliau orang yang dikehendaki Allah untuk
bercerita. Pada suatu pagi, beliau berkata kepada kami, „Tadi malam aku didatangi
oleh dua orang, kemudian mereka membawaku, dan keduanya berkata kepadaku,
„berangkatlah‟. Lalu aku pun berangkat bersama mereka berdua. Kami
mendatangi seorang laki-laki yang tengah berbaring, ternyata ada seorang lagi
(malaikat) yang berdiri sembari memegang batu besar, orang itu melemparkan
batu besar itu ke arah kepalanya hingga pecah, lalu batu itu menggelinding di
sana, lalu dia (malaikat) mengikuti batu yang dilemparkan itu lalu mengambilnya,
dan dia tidak kembali kepada orang itu (yang dipecahkan kepalanya) hingga
kepalanya itu utuh lagi seperti semula. Kemudian orang itu (malaikat) kembali
lagi kepadanya dan melakukan seperti yang dilakukannya pertama kali‟. Beliau
melanjutkan, „lalu aku tanyakan kepada dua orang itu (malaikat yang
mendampingi beliau),‟Maha suci Allah! Ada apa pula dengan dua orang yang
ini?‟ Keduanya berkata, „berangkat, berangkat!‟. Lalu kami pun pergi dan
mendatangi seorang laki-laki yang berbaring terlentang dengan bertumpu pada
tengkuk kepalanya, sementara ada seorang lagi berdiri di dekatnya sembari
memgang besi yang bengkok gagangnya. Orang ini lalu menusukkan besi itu ke
salah satu bagian wajahnya hingga membelah pinggir mulutnya sampai ke
tengkuk kepalanya, lubang hidungnya hingga sampai ke tengkuk kepalanya,
matanya hingga sampai ke tengkuk kepalanya.‟ – Dia mengatakan: Rasanya Abū
Rajāʻ mengatakan: merobek - Beliau melanjutkan, „Kemudian ia (malaikat)
beralih kepada bagian hingga dia kembali utuh seperti semula, kemudian kembali
melakukan seperti yang dilakukannya pertam kali.‟ Lalu beliau bersabda, „Maha
suci Allah! Ada apa lagi dengan dua orang yang ini?‟ Keduanya berkata,
„berangkat, berangkat!‟ lalu kami pun pergi dan tiba pada sesuatu alat (tungku)
untuk memasak roti (oven), [bagian atasnya sempit, sedang bagian bawahnya
lebar, sementara api dinyalakan di bawahnya]. Dia (perawi) berkata, „Aku kira
be;liau menyebutkan, „ternyata di dalamnya terdengar teriakan-teriakan yang tidak
difahami dan suara-suara‟. Beliau melanjutkan, „Kemudian kami dapati di
dalamnya ada kaum laki-laki dan wanita yang telanjang, mereka dikejar oleh
korban api dari bawah mereka, [ketika api hampir menyentuh mereka, mereka
naik hingga hampir keluar, dan bila apinya meredup, mereka kembali ke
dalamya], bila kobaran menghampiri mereka semakin keraslah teriakan dan suara
18 Abū ʼAbdullāh Muhammad bin Isma‟il bin Ibrāhim al-Bukhāri, Al-Jāmi‟ Al-Bukhāri
(Sahīh Al-Bukhāri), Kitāb al-Ta‟bīr, Bab. 48, Cet. II, (Riyāḏ: Maktabah al-Rusyd, 1437 H/2006
M), h. 179.
51
mereka.‟ Beliau melanjutkan, „Lalu aku tanyakan kepada kedua malaikat itu,
„Mengapa mereka?‟ Keduanya mengatakan, „Berangkat, berangkat!‟. Beliau
melanjutkan: „Lalu kami pun pergi dan mendatangi sebuah sungai. – Aku kira
beliau mengatakan: - berwarna merah seperti darah, di dalam sungai itu terdapat
seorang laki-laki yang tengah berenang, sementara di pinggir sungai ada seorang
laki-laki [berdiri] dengan banyak bebatuan yang telah dikumpulkan di sisinya.
Ketika orang yang berenang itu berenang-renang menepi ke arah orang yang di
pinggir sungai yang mempunyai banyak bebatuan itu, dia membukakan mulutnya,
kemudian orang yang di pinggir sungai itu melemparkan batu kepadanya yang
kemudian dicaploknya, kemudian orang itu berenang lagi lalu kembali lagi, setiap
kali kembali muka dilemparkan batu ke mulutnya yang kemudian disambutnya
dengan mulutnya.‟ Beliau berkata, „Aku tanyakan kepada kedua malaikat itu,
„Mengapa kedua orang ini?‟ Keduanya mengatakan, „Berangkat, berangkat!‟.
Beliau bersabda, “Lalu kami pun pergi dan mendatangi seorang laki-laki yang
berwajah seram, seperti wajah laki-laki yang paling seram yang pernah engkau
lihat, sementara di dekatnya ada api yang dikendalikannya dan terus berkobar di
sekitarnya”. Beliau bersabda, “Aku lalu bertanya kepada kedua orang itu, „Ada
apa dengan orang orang ini?‟ beliau bersabda „keduanya berkata: berangkat,
berangkat!‟ Lalu kami pun pergi dan mendatangi sebuah taman yang dipenuhi
dengan berbagai jenis tanaman tinggi dari semua jenis tanaman musim semi,
sementara di tengah taman itu ada seorang lak-laki tinggi, hampir-hampir aku
tidak dapat melihat kepalanya yang menjulang tinggi ke langit, di sekitarnya
terdapat banyak anak-anak yang belum pernah ku lihat‟. Beliau bersabda, “lalu
aku bertanya kepada kedua orang itu, „siapa orang ini dan siapa anak-anak itu?‟
beliau lanjut bersabda, „Keduanya berkata, berangkat, berangkat!‟. Beliau
bersabda, “Lalu kami pun pergi dan mendatangi sebuah taman besar yang aku
belum pernah melihat taman yang lebih besar dan lebih indah dari taman itu.”
Beliau lanjut bersabda, “Kedua orang itu berkata, „naiklah!‟ maka aku pun naik ke
dalamnya,” beliau bersabda, „Lalu kami pun naik hingga mencapai sebuah kota
yang dibangun dengan batu bata emas dan batu bata perak lalu kami menghampiri
pintu kota dan minta dibukakan pintu, maka pintu pun dibukakan untuk kami,
kemudian kami memasukinya. Di sana kami mendapati kaum laki-laki setengah
tubuhnya tampak sangat bagus yang belum pernah engkau lihat, sedangkan
setengahnya lagi sangat buruk yang belum pernah engkau lihat‟.”beliau bersabda,
“Kedua orang itu berkata kepada orang-orang tersebut, „Pergilah kalian dan
menceburlah ke dalam sungai itu‟ Beliau bersabda, ternyata ada sebuah sungai
yang airnya mengalir seolah-olah airnya itu susu murni karena sangat putihnya.
Orang-orang itu kemudian pergi dan mencebur ke dalam sungai itu, lalu mereka
kembali kepada kami, dan ternyata keburukan yang tadinya ada pada mereka telah
hilang, dan mereka menjadi rupa yang paling bagus‟. Beliau bersabda, “Keduanya
berkata, ini adalah surga Adn, dan inilah tempatmu‟. Beliau bersabda, “Maka
pandanganku naik menuju ke atas, ternyata di sana terdapat sebuah istana seperti
awan putih‟, beliau bersabda, “Keduanya berkata kepadaku, itulah tempatmu”.
Beliau lanjut bersabda, “Aku berkata kepada keduanya, Semoga Allah
memberkahi kalian berdua, biarkan aku memasukinya‟ Keduanya menjawab,
“Untuk saat ini engkau tidak boleh memasukinya‟. Beliau bersabda, “Aku berkata
kepada keduanya, „sejak malam ini, sungguh aku telah menyaksikan berbagai hal
yang menakjubkan, Apa sebenarnya yang aku lihat itu?‟ Beliau bersabda,
52
“Keduanya berkata, „sungguh kami akan mem beritahumu: laki-laki pertama yang
engkau jumpai yang kepalanya dipecahkan dengan batu adalah orang yang
membaca al-ahihQuran tapi kemudian menolaknya dan tidur meninggalkan shalat
wajib. Sedangkan orang kedua orang yang engkau jumpai yang dibelah pinggir
mulutnya sampai ke tengkuk kepalanya, lubang hidungnya hingga sampai ke
tengkuk kepalanya, adalah orang yang berangkat pagi buta dari rumahnya lalu
berbohong sehingga kebohongannya itu mencapai ufuk. Sementara kaum laki-
laki dan wanita telanjang yang berada pada sebuah bangunan seperti tungku
(oven), mereka adalah para pezina. Dan orang yang engkau dapati berenang-
renang di sungai dan mencaplok batu adalah pemakan riba. Adapun orang yang
tampak sangat buruk yang di sekitarnya terdapat kobaran api yang terus melahap-
lahap, itu adalah Malik, penjaga neraka Jahanam. Sedangkan laki-laki tinggi yang
terdapat di taman, itu adalah Ibrahim as. Sementara anak-anak yang di seitarnya,
itu adalah anak yang meninggal saat masih fitrah (suci).” Dia (periwayat) berkata,
“Lalu salah seorang dari kaum muslimin berkata, “wahai Rasulullah, bagaimana
anak-anak kaum musyrikin” Rasulullah saw. menjawab, „Termasuk juga anak-
anak kaum musyrikin. Sedangkan kaum yang separuh tubuhnya tampak bagus dan
separuhnya lagi buruk, mereka adalah orang-orang yang suka mencampur-
adukkan amal shalih dengan amal buruk, lalu Allah mengmpuni mereka”. 19
Penulis menggunakan kata “yasbahu” dalam melakukan penelusuran hadis
pada kitab al-Muʼjam al-Fahras li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī.20
Namun jika
penulis mengacu pada pembatasan masalah, hanya terdapat pada kitab Sahīh al-
Bukhāri saja. Adapun matan hadisnya sama dengan matan yang tertera di atas.
Selain di dalam kitab Sahīh al-Bukhāri, matan hadis tersebut juga terdapat dalam
kitab Musnad Ahmad bin Hanbal dengan sedikit perbedaan pada sanad jalur
periwayatan hadis yang akan dijelaskan pada bagian Fiqh Hadis. Hadis ini
tergolong hadis ahad yang ʼazīz karena hanya diriwayatkan oleh dua orang
sahabat yaitu Jarīr ra. dan Samurah bin Jundab ra.
Fiqh Hadis
19
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Mukhtasar Sahih Bukhāri, Penerjemah Amir
Hamzah Fachrudin dan Hanif Yahya, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 463. 20
A. J. Wensinck, al-Muʼjam al-Fahras li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī, (Leiden: E. J. Brill,
1943), Jil. 2, h. 390.
53
أعنلميساللصلىاللعليووولسرانك يكثر لولقني ما وابص (“Rasulullah
saw. seringkali bertanya kepada para sahabatnya”). Demikian riwayat Abū Dzar
dari al-Kasymihani, sedangkan riwayatnya yang berasal dari selain al-Kasymihani
tanpa mencantumkan kata يعن demikian juga redaksi dalam riwayat lainnya
(selain Abū Dzar). Dalam riwayat al-Nasafī dan riwayat Muhammad bin Ja‟far
disebutkan, يقوللصابوما (“Di antara hal [yang sering] beliau tanyakan kepada
para sahabatnya”). Telah dikemukakan diambil dari Ibnu Malik, bahwa hal itu
bermakna مايكثر (“Di antara hal yang banyak atau sering”).21
Al-Ṯāʽibī berkata, “Maksudnya Rasulullah saw. termasuk orang-orang
yang banyak atau sering mengatakan ini. Lalu ungkapan ini disandangkan kepada
beliau sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan. Intinya, Rasulullah saw.
sangat ahli dalam menakwilkan mimpi, dan selain beliau ada juga yang memiliki
kemampuan seperti itu. Sebab orang yang sering mengatakan perkataan ini adalah
orang yang berpengalaman dalam hal ini dan terpercaya ketepatannya.
Dalam riwayat Yazīd disebutkan, علي ف اللاءمنشيوقص (“lalu orang yang
dikehendaki Allah bercerita kepada beliau”). Demikian riwayat al-Nasafi. Kata من
(siapa) pada redaksi tersebut adalah untuk “yang bercerita”.
Dalam riwayat Abū Khaldah, namanya Khālid bin Dīnar, dari Abū Rajāʽ,
dari Samurah disebutkan, “Bahwa pada suatu hari Nabi saw. masuk masjid, lalu
bersabda „adakah seseorang di antara kalian yang bermimpi (tadi malam)?
Silakan menceritakannya.‟ Namun tidak seorang pun yang bercerita, maka
21 Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Bab. 48, Jil. 34, h. 626.
54
kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya aku bermimpi, maka dengarkanlah
dariku”. Hadis ini diriwayatkan oleh Abū ʼAwānah.22
داةغاتذالقنوإو (“Pada suatu pagi, beliau berkata kepada kami”).
Dalam riwayat Jarīr bin Hāzim darinya disebutkan, “Kāna idzā Sallā Salātan
Aqbala ʼAlayna bi Wajhihi” (Apabila beliau telah menyelesaikan shalat, beliau
menghadapkan wajahnya kepada kami.) Sementara dalam riwayat Yazīd bin
Harūn darinya disebutkan, “Idzā Sallā Salāta al-Ghadāti” (Apabila telah selesai
shalat subuh), dengan demikian tampak kesesuaian judulnya.
Abū Dāwud dan al-Nasāʽī meriwayatkan dari hadis al-A‟raj, dari Abū
Hurairah, دحىأألر:ىقولياةدالغةلنصمرفاانصذإكانلمسليوولىاللعصيبنالنأ
رؤييلالل ة ا (“Bahwa apabila Nabi saw. telah menyelesaikan shalat subuh, beliau
bertanya „Adakah seseorang yang bermimpi tadi malam?”) Al-Ṯabrāni
meriwayatkan dengan sanad yang jayyid dari Abu Umāmah, dia berkata:
حياىؤيةريلالليتأينر:إالفقبحةالصلصعدبسلمليوولىاللعصاللسولارلينعرجخ
اوىلاعقف (Rasulullah saw. keluar kepada kami setelah shalat subuh lalu bersabda,
22 Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Bab. 48, Jil. 34, h. 627.
55
“Sesungguhnya tadi malam aku bermimpi suatu mimpi dan itu benar, maka
pikirkanlah.”)23
Setelah itu dia menyebutkan hadis yang di dalamnya disebutkan banyak
hal, yang sebagiannya menyerupai hadis Samurah, namun dari redaksinya tampak
bahwa itu adalah hadis lain, karena bagian awalnya berbunyi,
اتأ فديبذأخفلرين أحنعتب تاسي بتت طى وول فيل ف قالعرا ارقو لقل: يعطأستلت:
لولسين:إالقف كلمعجفكأسه لىدعتهاعضعتقدميوضاولت اءوسىيتعلوت تاسةحر
ونقوليينذ:الالء؟قلنىلت:مقاق همف دشاءمشققةأسنالوربنانإذافقنلانطاجلبلمث
معليالم ون (“Seseorang lelaki mendatangiku lalu memegang tanganku dan
menuntunku hingga aku sampai pada sebuah gunung tinggi dan menanjak, lalu
dia berkata kepada, “Dakilah”. Aku menjawab, “Aku tidak bisa”. Dia berkata
lagi, “Sesungguhnya aku akan memudahkanmu.” Lalu setiap kali aku
menempatkan telapak kakiku ternyata aku menempatkannya pada sebuah tangga
hingga akhirnya aku sejajar dengan puncak gunung itu. Kemudian kami bertolak,
dan tiba-tiba kami sampai kepada sejumlah lelaki dan perempuan yang mulutnya
robek, maka aku bertanya, “Siapa mereka?” Dia menjawab, “Orang-orang yang
mengatakan apa yang tidak mereka ketahui”.)24
23 Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Bab. 48, Jil. 34, h. 628.
24
Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Bab. 48, Jil. 34, h. 629.
56
Dalam riwayat Haudzah dari ʼAuf yang diriwayatkan .(”dua orang“) أتيان
oleh Ibnu Abī Syaibah disebutkan dengan keraguan, “Itsnāni aw Ātiyāni” (“Dua
orang atau dua pendatang”). Sedangkan dalam riwayat Jarīr disebutkan, “Raʽaytu
Rajulaini Ātiyāni” (“Aku melihat dua orang mendatangiku”). Dalam Hadis ʼAlī
disebutkan, “Raʽaytu Malakaini” (“Aku melihat dua orang malaikat”). Di akhir
hadisnya ini disebutkan bahwa keduanya adalah Jibrīl dan Mikāʽil.
ابتعثإن همو اينا (“kemudian mereka berdua membawaku”). Demikian
redaksi dalam riwayat mayoritas. Dalam riwayat Al Kasymihānī dicantumkan
dengan huruf nun, lalu ba` ( عثايننب ا ). Makna ابتعثاين adalah mengiringkanku.
Demikian yang disebutkan dalam kitab Al-Sihah. Ibnu Hubairah mengatakan,
bahwa makna ابتعثاين adalah membangunkanku. Mungkin beliau bermimpi bahwa
kedua malaikat itu membangunkannya, lalu dia melihat apa yang dilihatnya di
dalam tidurnya, kemudian beliau menceritakannya setelah beliau terjaga, bahwa
mimpinya itu seperti dalam keadaan terjaga. Namun ketika melihat permisalan,
terungkap bahwa takwilannya itu menunjukkan bahwa itu adalah mimpi.25
مإو انطلقت اهمعين (“Aku pun berangkat bersama mereka berdua”). Jarīr
menambahkan dalam riwayatnya, “Ilā al-Arḏi al-Muqaddasah” (“Ke negeri yang
25 Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Bab. 48, Jil. 34, h. 629.
57
disucikan”). Dalam riwayat Ahmad disebutkan, “Ilā Arḏin Faḏāʽin aw Arḏin
Mustawiyatin” (“Ke negeri yang lapang atau ke negeri yang datar”).
نت ناأإو لمضطجعلىراعي (“Dan sesungguhnya kami mendatangi seorang
laki-laki yang tengah berbaring”). Dalam riwayat Jarīr disebutkan, “Mustalqin
ʼalā Qafāhu” (“Berbaring di atas tengkuknya”).26
قذإو آخر عا خرةبصليوائم (“Ternyata ada seorang lagi [malaikat] berdiri
sambil memegang batu besar”). Dalam riwayat Jarīr disebutkan, “bi fihrin aw
sakhratin” (“Dengan batu atau batu besar”).
هويي (“Melemparkan”). Maksudnya jatuh atau gugur. Kalimat, hawā-
yahwī-hawiyyan artinya jatuh ke bawah. Ibnu al-Tīn mengejanya dengan ḏammah
di awalnya sebagai fi‟il rubā‟ī, seperti ahwā artinya jatuh dari jarak jauh, dan
hawā artinya jatuh dari jarak yang dekat.27
لر ث لغيفأسوبالصخرة (“Batu besar itu ke kepalanya hingga pecah”).
Maksudnya, batu itu memecahkan kepalanya. Dalam riwayat Jarīr disebutkan
dengan redaksi, “fayatsdakhu” (“Hingga pecah”). Kata „al-Syadkhu‟ artinya
memecahkan sesuatu hingga ke dalam-dalamnya.
26 Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Bab. 48, Jil. 34, h. 630.
27
Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Bab. 48, Jil. 34, h. 630.
58
احلجر Di dalam riwayat Al .(”lalu batu itu menggelinding“) فيت هدىد
Kasymihānī disebutkan dengan redaksi, “fayatadaʽdaʽu”. Sementara dalam
riwayat al-Nasafi dan riwayat Jarīr bin Hāzim dicantumkan, “fayatadahdaʽu”.
Semuanya bermakna sama. Maksudnya, mendorong batu itu dari atas ke bawah
lalu menggelinding. رأسو يصح Dalam .(”Hingga kepalanya itu utuh lagi“) حت
riwayat Jarīr disebutkan dengan redaksi, “yaltaʽimu” (“menyatu kembali”).
Sedangkan dalam riwayat Ahmad disebutkan, “ʼĀda raʽsuhu kamā kāna”
(“Kepalanya kembali lagi seperti semula”). عليو يعود kemudian orang itu“) مث
kembali lagi kepadanya”). Dalam riwayat Jarīr disebutkan dengan redaksi,
“faya‟ūdu ʼalaihi” (“lalu orang itu kembali lagi kepadanya”).28
الول املرة بو ف عل ما .(”Seperti yang dilakukannya pertama kali“) مثل
Demikian riwayat Abū Dzar dan al-Nasafi, sedangkan yang lain dan juga dalam
riwayat al-Naḏr bin Syumail dan ʼAuf yang diriwayatkan oleh Abū ʼAwānah
disebutkan, (“pertama kali”). Itulah yang dimaksud oleh riwayat lainnya. Dalam
riwayat Jarīr disebutkan, “fayaḏa‟u mitsla dzalika” (“lalu dia melakukan seperti
itu lagi”). Ibnu al-ʼArabi berkata, “Siksaan ini dilakukan pada kepala orang yang
tertidur meninggalkan shalat, karena tidur merupakan tempatnya kepala”.
28 Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Bab. 48, Jil. 34, h. 631.
59
انطل Demikian yang dicantumkan dalam .(”berangkat, berangkat“) انطل
semua bagiannya, yaitu dengan pengulangan, namun dalam riwayat sebagian
mereka ada bagian yang tidak diulangi. Dalam riwayat Jarīr tidak disebutkan
redaksi, “Subhānallāh”, sedangkan lafal hanya disebutkan sekali (tidak انطل
diulang).29
قفاه إل شدقو hingga membelah pinggir mulutnya sampai ke“)فيشرشر
tengkuk kepalanya”). Maksudnya, membelahnya hingga robek. Kata „Al-Syidqu‟
artinya pinggir mulut. ومنخره (“lubang hidungnya”). Demikian yang dicantumkan
di sini, dengan lafal tunggal, dan itulah yang tepat. Dalam riwayat Jarīr disebutkan
dengan lafal mutsanna, يومنخر .30
قربوالق الا فيش اء ر أبو (“dia berkata, sepertinya Abū Rajāʽ
mengatakan, „merobek‟”). Maksudnya, sebagai ganti lafal فيشرشر (merobek).
Tambahan ini tidak terdapat dalam riwayat Muhammad bin Ja‟far. Ibnu al-ʼArabi
berkata, “Pinggir mulut pendusta ditusuk sebagai siksaan pada bagian tubuh yang
29 Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Bab. 48, Jil. 34, h. 632.
30
Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Bab. 48, Jil. 34, h. 633.
60
melakukan kemaksiatan. Inilah siksaan yang berlaku di akhirat dan siksaan ini
berbeda dengan di dunia”.31
همذإو بضوضواهالل كلفإذاأتاىمذاىميأتيوهلبمنأسفلمن (“mereka dikejar
oleh kobaran api dari bawah mereka, bila kobaran api menghampiri mereka,
semakin keraslah teriakan dan suara mereka”). Demikian redaksi dalam riwayat
mayoritas. Diriwayatkan juga dengan huruf hamzah yang artinya mngencangkan
suara mereka secara tidak karuan. Ada juga yang men-tasil huruf hamzah.
Disebutkan dalam kitab al-Nihāyah, “Kata „al-Ḏauḏāh‟ artinya suara manusia dan
teriakan mereka. Demikian juga kata „al-Ḏauḏā‟ tanpa huruf ha` maqsūr”.32
نأف عتي حلا نر أن ى كسبت أيانو الد قول مثل محر (“lalu kami pun pergi dan
mendatangi sebuah sungai – aku kira beliau bersabda – berwarna merah seperti
darah”). Dalam riwayat Jarīr disebutkan, مدمن tanpa (”sungai darah“) علىنر
disertai kalimat, حسبت (“aku kira”).
يأتذلكالذي Maksudnya, orang yang .(”kemudian orang itu berenang“) مث
berenang. Kalimat ini dibaca dengan harakat fathah karena berfungsi sebagai
objek.
31 Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Bab. 48, Jil. 34, h. 633.
32
Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Bab. 48, Jil. 34, h. 634.
61
غرفيف (“lalu membuka”). Maksudnya, membuka. إليو ع ر setiap kali dia“) كلما
kembali kepadanya”). Dalam riwayat al-Mustamli disebutkan, عإليوففغرلو كمار
Sementara .(”setiap kali kembali kepadanya dia membuka mulut untuknya“) فاه
dalam riwayat Jarīr bin Hāzim disebutkan, ل يفالنهرفإذاأرادأنيرجالذيفأقبلالر
كان لبجريففيووردهحيث lalu datanglah orang yang beradadi sungai“) رمىالر
itu, kemudian ketika ia hendak keluar, orang itu melemparnya dengan batu pada
mulutnya dan mengembalikannya ke tempat semula”). Kedua redaksi ini
dipadukan, bahwa bila dia hendak keluar lalu membuka mulutnya maka dia
mencaplok batu yang dilemparkan kepadanya.33
Hadis di atas merupakan sedikit gambaran mengenai azab kubur yang
akan diterima oleh orang yang berdusta, berzina, meninggalkan shalat dan al-
Qurʽan. Masing-masing akan menerima balasan berupa azab di alam barzakh
sesuai dengan kemaksiatan yang telah dilakukannya ketika masih hidup di dunia.
3. Hadis tentang Meratapi Mayit
- Sunan Abū Dāwud
نيوعبنأةعروعنىشامبنععنمالاويةبمعأةوبدنعيعالس ربنادن اىثند حيتلي عذبببكاءأىلوعليومن الإلمسيوولعىاللل اللصولسرالالققرمعبنا
يوولعلىاللصيبالنر امنإ–عمرابنعنت-توىلالقةف شائعلكلفذكرذ
33 Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Bab. 48, Jil. 34, h. 635.
62
تزروازرةلتورأقاليعذبوأىلوي بكونعليومثذبىاحإنصالقبف لىقعلمس34وزرأخرى.
“Telah menceritakan kepada kami Hannād bin As-Sarī dari ʼAbdah dan
Abi Muʼāwiyah diriwayatkan secara maknawi, dari Hisyām bin ʼUrwah dari
Ayahnya dari Ibnu ʼUmar berkata telah bersabda Rasulullah saw. Sesunguhnya
orang yang telah mati (mayat) akan disiksa karena tangisan keluarganya yang
meratapi terhadapnya‟. Ketika Ibnu ʼUmar menyebutkan hadis ini kepada
ʼĀisyah, ʼĀisyah berkata ia (Ibnu ʼUmar) telah lemah (salah menegerti).
(Kejadiannya) Nabi saw. melewati suatu perkuburan, kemudian beliau bersabda
„Sesungguhnya penghuni kubur ini sedang disiksa karena keluarganya selalu
menangisinya‟ kemudian ia (ʼĀisyah) membaca ayat, “Dan seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang lain” (Q.S Al-An‟ām [6]: 164) Perawi berkata:
Dari Abu Mu‟āwiyah, Dia berkata, “Yaitu perkuburan orang Yahudi.” (Shahih:
Muttafaq ʼAlaih), Al Ahkam 28. (H.R. Abū Dāwud).35
Dari matan hadis di atas, penulis menggunakan kata امليت dalam
melakukan penelusuran hadis pada kitab al-Muʼjam al-Fahras li Alfāẕ al-Hadīts
al-Nabawī.36
- Sahīh al-Bukhāri
عتالنيبسنوقالاللعيضغريةرالمنيعةعبيبنرلنعيدعيدبنعبعاسندث ون عيمحباأثند حلذباعكن إسلميقولليوولىاللعص دافتعمي لذبعكندمحىألذبعككيسلي أوب تليم37يولنيحعاذببليوي عننيحعولمقلمي سيووللىاللعصيبعتالن ارسالن ندهمقعم
“Telah meceritakan kepada kami Abū Nu‟aim, telah menceritakan kepada
kami Sa‟īd bin ʼUbaid dari ʼAlī bin Rabīʼah dari Al-Mughīrah ra. Ia berkata „Aku
telah mendengar Nabi saw. bersabda, „Sesungguhnya dusta atas namaku tidaklah
seperti dusta atas nama seseorang (selain aku). Barangsiapa berdusta atas namaku
dengan sengaja, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka‟.
„Aku telah mendengar Nabi saw. bersabda, „Barangsiapa yang diratapi, niscaya
dia diazab dengan sebab ratapan itu‟.”
34
Abū Dāwud Sulaimān bin al-Asy‟āts al-Sijistāni, Sunan Abū Dāwud, Kitāb Janāʻiz,
Bāb fi al-Nauh, (Riyāḏ: Maktabah al-Ma‟ārif, t.t), h. 564. 35
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Sahīh Sunan Abu Dāud, Penerjemah Abd. Mufid
dan M. Soban Rohman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 454. 36
A. J. Wensinck, al-Muʼjam al-Fahras li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī, (Leiden: E. J. Brill,
1943), Jil. 6, h. 299. 37
Abu ʼAbdullāh Muhammad bin Isma‟il bin Ibrāhim al-Bukhāri, Al-Jāmi‟ Al-Bukhāri
(Sahīh Al-Bukhāri), Kitāb Janāʻiz, Bab. 33, Cet. II, (Riyāḏ: Maktabah al-Rusyd, 1437 H/2006 M),
h. 973.
63
يوبنأعمرعنابنيبعسيدبنالمعنسةعادتنق نشعبةععبينأرخب أالانقبداعندث حياللضر بدوعبعايوتليحعناهبببيفقيتيعذملالالمقسيووللىاللعالنيبصنعنوع
نشعبة:امليتيعذبببكاءمعآدالقةوادتاق ندث يدحعاسثند عيدبنزريعحاسنث د ىحلعالع 38يو.لاحلي
“Telah menceritakan kepada kami ʼAbdān, ia berkata telah mengabarkan
kepadaku Ayahku, dari Syu‟bah dari Qatādah, dari Sa‟īd bin al-Musayyab dari
Ibnu ʼUmar dari Ayahnya ra. Dari Nabi saw. bersabda „Seorang mayit diazab di
kuburnya karena apa yang diratapi padanya‟. Hadis ini diriwayatkan juga oleh
ʼAbdul A‟lā. Yazīd bin Zurai‟ telah menceritakan kepada kami, Sa‟īd telah
menceritakan kepada kami, Qatādah telah menceritakan kepada kami, Adam
meriwayatkan dari Syu‟bah, „Mayit diazab dengan tangisan orang yang hidup
terhadapnya‟.”
- Sahīh Muslim
وبأالبشرقنابنيعاعاللبننري.جبدمدبنعمشيبةوبأبنكروبباأنث د حبداللنعععافانندث حنعبيداللبنعمرقالبديععمدبنبشرالامندث كرحبياب ن ي ةمقالعمرفلىةبكتعفصحن أ نرسولاللصلىاللت علميأ!أملهل
يتيعذبببكاءأىلوعليوإعليووسلمقال39نامل
“Telah menceritakan kepada kami Abū Bakr bin Abī Syaibah dan
Muhammad bin ʼAbdullāh bin Numair, kesemuanya dari Ibnu Bisyr, telah berkata
Abū Bakr telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr al-ʼAbdī dari
ʼUbaidillah bin ʼUmar berkata telah menceritakan kepada kami Nāfi‟ dari
ʼAbdullah bahwa sesungguhnya Hafsah telah menangis kepada ʼUmar, kemudian
beliau berkata „Pelankan wahai anak ku! Tidakkah kau tahu bahwa Rasulullah
saw. bersabda „Sesungguhnya seorang mayit itu akan diazab sebab tangisan
keluarganya terhadapnya‟.”
38
Abu ʼAbdullāh Muhammad bin Isma‟il bin Ibrāhim al-Bukhāri, Al-Jāmi‟ Al-Bukhāri
(Sahīh Al-Bukhāri), Kitāb Janāʻiz, Bab. 33, Cet. II, (Riyāḏ: Maktabah al-Rusyd, 1437 H/2006 M),
h. 973. 39
Abū Husain Muslim bin Al-Hajjāj Al-Qusyairī Al-Naisābūrī, Sahīh Muslim, Kitāb
Janāʻiz, Bab. 9, Cet. I, (Beirut: Dār al-Kutub al-ʼIlmī, 1412 H/ 1991 M), Jil. 2, h. 638.
64
بنحجلعندثح نابنعمراحلعبصنأشععمناليبنمسهرعلاعندث يحرالس عدييتسولاللصلىاللعليووسلمقالإننرألمتماعمأالفاققاألم ليوفصيحعليوفأغميع
امل
40ببكاءاحليذبلي ع “Telah menceritakan kepada kami ʼAlī bin Hujr Al-Sa‟dī, telah
menceritakan kepada kami ʼAlī bin Mushir, dari al-A‟masy, dari Abī Sālih, dari
Ibnu ʼUmar, ia berkata, “Tat kala ʼUmar ditikam beliau pingsan, lalu banyak
orang yang berteriak, tat kala siuman beliau berkata, „Tidakkah kamu ketahui
Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda Sesungguhnya mayit niscaya akan
diazab karena tangisan orang yg masih hidup”.
بنحجرحلعنثد ح يباأصاللمقيوبنأةعبردبنأعايننالش يبيبنمسهرعلاعنث د يلىاللسولاللصرن ألمتاعيب!أماصه:يروعملالقاه!ف خيأواقوليبيصهعلعمر
41ببكاءاحلييتلي عذبمالن إاللمقسليووع “Telah menceritakan kepada kami ʼAlī bin Hujr,telah menceritakan kepada
kami ʼAlī bin Mushir, dari Al-Syaibānī, dari Abī Burdah, dari Ayahnya berkata,
“Ketika ʼUmar ditikam, Suhaib berkata, „Wahai saudaraku!‟ Maka ʼUmar berkata,
„Wahai Suhaib, Tidakkah kamu tahu bahwa Sesungguhnya Rasulullah saw.
bersabda Sesungguhnya mayit niscaya akan diazab karena tangisan orang yg
masih hidup”.
كنتالقمليكةباللبنأبدنعاأيوبعندث يلبنعلي ةحاعساإثند اودبنرشيدحادندث حنبابنعمرولالساإ نازةأمأبانبنتننن انفجاءعندهعمروبنعثمانونتعثمظر
نيبفكنتبينهمافإذاحتلسإلجاءبكانبنعمرفهخباهأرأدفائقابنعباسيقوده كأالقوتمنالدارف ص ولاللسرعتومفينهاىم(:سقني وأرمىعلويعرضعن ابنعمر)
يتلي عذبببكاءأىلون إولقي اللعليووسلمصلى42امل
“Telah menceritakan kepada kami Dāwud bin Rusyaid, telah menceritakan
kepada kami Ismā‟il bin ʼUlayyah, telah menceritakan kepada kami Ayyūb, dari
ʼAbdullah bin Abī Mulaikah berkata Aku pernah duduk di samping Ibnu ʼUmar
dan kami sedang menunggu jenazah Ummu Abān binti ʼUtsmān dan di sisnya ada
ʼAmr bin ʼUtsmān kemudian datang Ibnu ʼAbbās dituntun oleh seorang penuntun,
40
Abū Husain Muslim bin Al-Hajjāj Al-Qusyairī Al-Naisābūrī, Sahīh Muslim, Kitāb
Janāʻiz, Bab. 9, Cet. I, Jil. 2, h. 631. 41
Abū Husain Muslim bin Al-Hajjāj Al-Qusyairī Al-Naisābūrī, Sahīh Muslim, Kitāb
Janāʻiz, Bab. 9, Cet. I, Jil. 2, h. 631. 42
Abū Husain Muslim bin Al-Hajjāj Al-Qusyairī Al-Naisābūrī, Sahīh Muslim, Kitāb
Janāʻiz, Bab. 9, Cet. I, Jil. 2, h. 640.
65
kemudian ia diberi tahu tempat duduk Ibnu ʼUmar, lau datang dan duduk di
sampingku, sehingga aku berada di antar mereka berdua. Tiba-tiba terdengar suara
dari dalam rumah, maka Ibnu ʼUmar berkata, - seakan-akan ia menawarkan
kepada „Amr agar berdiri lalu melarang mereka - Aku telah mendengar Rasulullah
saw. bersabda Sesungguhnya seorang mayit itu niscaya akan diazab sebab
tangisan keluarganya”.
ريجأاابننخبأاقزبدالر عاثند عحافنرابالبدبنحيدقععوافبنردم امدثنح بدعينخبضرىاابن.قالفجئنالتشهدىاقالقالت وف يتاب نةلعثمانبنغفانبك ةبمليكةاللبنأ ف
دهامثحألستإلالماقهين السبجلينإالواسقب عمروابنع نيبلإسلجفراآلخاء همووانوىبداللبنعمرلعمروبنعثمعالقف ولاللصلىسرن إاء؟فالبكننهىعتلأوا
43ليولوعبببكاءأىيتلي عذ المن قالإمل ساللعليوو
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rāfi‟ dan ʼAbdu bin
Humaid, berkata Ibnu Rāfi‟, telah menceritakan kepada kami ʼAbdu al-Rāzaq,
telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij, telah mengabarkan kepadaku
ʼAbdullāh bin Abī Mulaikah, ia berkata telah wafat anak perempuannya ʼUtsmān
bin ʼAffān di Mekkah. Ia berkata maka Kami datang untuk menyaksikannya, ikut
hadir juga Ibnu ʼUmar dan Ibnu ʼAbbās saat itu aku duduk di antara mereka
berdua. Atau ia berkata aku duduk di dekat salah seorang dari mereka, kemudian
yang lain datang dan ia duduk di sampingku, „ʼAbdullāh bin ʼUmar berkata
kepada „Amr bin ʼUtsmān sambil menatapnya, “Tidakkah engkau melarang
menangis? Karena sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda Sesungguhnya
seorang mayit akan diazab karena tangisan keluarganya terhadapnya”.
بداللنعثوعد حالماسن عمربنممدأنثد بداللبنوىبحاعندث حييحرملةبننثد ح44يتلي عذبببكاءاحليالمن إاللمقسويولىاللعل ولاللصسرن أربنعم
“Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya, telah
menceritakan kepada kami ʼAbdullāh bin Wahab, telah menceritakan kepadaku
ʼUmar bin Muhammad sesungguhnya Sālim telah menceritakannya dari
ʼAbdullāh bin ʼUmar, Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda Sesungguhnya
seorang mayit akan diazab karena tangisannya orang yang masih hidup.”
- Sunan al-Tirmidzī
43
Abū Husain Muslim bin Al-Hajjāj Al-Qusyairī Al-Naisābūrī, Sahīh Muslim, Kitāb
Janāʻiz, Bab. 9, Cet. I, Jil. 2, h. 641. 44
Abū Husain Muslim bin Al-Hajjāj Al-Qusyairī Al-Naisābūrī, Sahīh Muslim, Kitāb
Janāʻiz, Bab. 9, Cet. I, Jil. 2, h. 642.
66
هليبندث الحةقيبتاق ندث حنابننعحالربدبنعينيمروعدبنعم نمعاعبادبنعبادامل
يتلي عذبببكاءأىلوعليوف قلمسليووىاللعل يبصنالن رعمعملواللرحةيشائعتالقالامل
لمسلىاللعليووولاللصسرالقاننووىمإكيكذبول تميالن ياإودهي اتلملر45يولبكونعيولىلألي عذبوإن
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, ia berkata telah menceritakan
kepada kami ʼAbbād bin ʼAbbād al-Muhallī, dari Muhammad bin ʼAmr, dari
Yahya bin ʼAbdu al-Rahmān dari Ibnu ʼUmar dari Nabi saw. bersabda seorang
mayit akan diazab karena tangisan keluarganya terhadapnya maka kemudian
ʼĀʽisyah ra. berkata „Semoga Allah memberi rahmat kepada Ibnu ʼUmar. Dia
tidak bohong, tetapi ia salah terima; sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda (itu)
kepada seorang lelaki Yahudi yang mati, „sesungguhnya mayit itu akan disiksa
dan sesungguhnya keluarganya akan menangisinya‟.”
- Sunan al-Nasāʻī
يولىاللعلولاللصسرال:قالرقنابنعمعيوبنأامعشنىبدةعنععمدبنآدم امنرخب أالنيبصلىاللت:وىلالقة؟ف شائلعكلذذكرفيولوعلىاءأبكميتلي عذببالن لمإسو إنامر
ت:)ولتزررأقيومثلبكونعيلولىأن إوببلي عذ صاحبالقن قالإىقبفلمعلسعليوو46وازرةوزرأخرى(.
“Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ādam, dari ʼAbdah
dari Hisyām dari Ayahnya dari Ibnu ʼUmar berkata: Telah bersabda Rasulullah
saw bersabda, „sesungguhnya si mayit benar-benar akan disiksa karena tangisan
keluarganya atas dirinya.‟ Lalu hal itu dikatakan kepada ʼĀʽisyah, ia berkata „Ia
salah atau lupa‟ Sesungguhnya Nabi saw. pernah melewati kuburan, lalu beliau
bersabda, „Sesungguhnya penghuni kuburan ini benar-benar sedang disiksa, dan
sesungguhnya keluarganya sedang menangisinya‟, kemudian ia membaca, „Dan
seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain‟. (Q.S. al-An‟ām [6]:
164).
45 Abu ʼIsā Muhammad bin ʼIsā Al-Tirmidzī, Al-Jāmi‟ Al-Kabīr (Sunan al-Tirmidzī),
dalam Kitāb al-Janāʽiz, Bab 25, Cet. I, (Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmi, 1996 M), Juz. II, h. 317. 46
Abū ʼAbdu al-Rahmān Ahmad bin Syu‟aib bin ʼAlī, Sunan An-Nasāʽī, Kitāb al-
Janāʽiz, Bab. 91, (Riyāḏ: Maktabah al-Ma‟ārif, t.t), Cet. I, h. 219.
67
نعتابالسارقاعمروبنديننص ولقالانقفينسعارب بداجلعءبناربناللب بداجلاعنخبأولاللصلىاللعليووسلم))إناللسرالاقشةإن ائت:عالاسقب ابنعالقولقةي بمليكأ
- 47يولببعضبكاءأىلوعذاباعافرالكيدزي–ل عزو “Telah mengabarkan kepada kami ʼAbdu al- Jabbār bin al-Lāʼi bin ʼAbdu
al- Jabbār dari Sufyān berkata ʼAmr bin Dīnār telah mengisahkan kepada kami, ia
berkata „aku telah mendengar Ibnu Abī Mulaikah berkata, Ibnu ʼAbbās telah
berkata, ʼĀʽisyah berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda
(Sesungguhnya Allah ʼazza wa jalla menambahkan siksa kepada orang kafir
dengan sebab sebagian tangisan keluarganya terhadapnya‟.”
املولقةي عتابنأبمليكبداجلباربنالوردساعندث حالقيانبنمنصورالبلخاسليمنبخأالقف اءاسفبكيالنسب ابنعروبداللبنعميعستبلجاسفالن عرتمضبانحتأمأكلى
يتعترسينإاء؟فنالبكءعلىىتنهلر:أابنعمسولاللصلىاللعليووسلميقولإنامل
تمرخلكعضذعمريقولبانكداس:قب ابنعالقف يولوعىللي عذبببعضفبكاءأ عمرعكن تإذح فإذاصهيبوأىلو؟فذىبتانظرمنالركبقالجرةفشتىركباتأابالبيداءرا
عتإليوفقلتي بصهاذ!ىينمالمريماأفر دينةمااللنخادم ليبف صهيبوأىلوفقال:علي يبلاصهر:يعمالق:واأخياه!واأخياه!ف ولقأصيبعمرفجلسصهيبيبكيعندهي
يتلي عذبببعضفبكاءأىلوعليوإنولقسلمي ليوولىاللعسولاللصعترستبكفإينامل
ثون بكنعيثدااحلذىقالفذكرتذلكلعائشة،فقالتأماواللماتد ن كلوياذبيمكذليولاللصسرن كلى(وأخرتزروازرةوزرليكم:)والقرآنملايشفميفكلن إعيطيومالس
ليزيدالكافرعذاباببكاءأىلوعليون إاللمقسويولاللع 48الل
“Telah mengabarkan kepada kami Sulaimān bin Mansūr al-Balkhī, berkata telah
menceritakan kepada kami ʼAbdu al- Jabbār bin al-Waradi,aku telah mendengar
Ibnu Abī Mulaikah berkata, „Setelah Ummu Abbān meninggal dunia, aku datang
bersama banyak orang, lalu aku duduk di antara ʼAbdullāh bin ʼUmar dan Ibnu
ʼAbbās, lalu para wanita menangis. Maka Ibnu ʼUmar berkata, „Tidakkah engkau
larang mereka dari menangis? Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah
saw. bersabda, „Sesungguhnya si mayit benar-benar akan disiksa karena sebagian
tangisan keluarganya atas dirinya‟. Ibnu ʼAbbās berkata, „Sungguh ʼUmar pernah
mengatakan sebagian hal itu, - saat itu – aku keluar bersama ʼUmar, hingga tatkala
47
Abū ʼAbdu al-Rahmān Ahmad bin Syu‟aib bin ʼAlī, Sunan Al-Nasāʽī, Kitāb al-Janāʽiz,
Bab. 91, (Riyāḏ: Maktabah al-Ma‟ārif, t.t), Cet. I, h. 219. 48
Abū ʼAbdu al-Rahmān Ahmad bin Syu‟aib bin ʼAlī, Sunan Al-Nasāʽī, Kitāb al-Janāʽiz,
Bab. 91, Cet. I, h. 219.
68
kami berada di Baida, ia melihat serombongan penunggang unta yang berada di
bawah pohon, ia berkata, „lihatlah siapakah penunggang unta tersebut?‟ lalu aku
pergi. – untuk melihatnya – ternyata Suhaib dan keluarganya, lalu aku kembali.
Kemudian kukatakan, „Wahai Amīr al-Muʽminīn! Mereka ini adalah Suhaib dan
keluarganya. Ia berkata, „Datanglah Suhaib kepadaku.” Setelah kami masuk ke
Madinah, ʼUmar tertimpa musibah, lalu Suhaib duduk di sisinya seraya berkata,
„Wahai Adikku, wahai Adikku!‟ ʼUmar berkata, „Wahai Suhaib, janganlah kamu
menangis sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw. bersabda,
„Sesungguhnya si mayit sungguh akan disiksa karena sebagian tangisan
keluarganya atas dirinya.” Ia berkata, „lalu aku menuturkan hal itu kepada
ʼĀʽisyah, ia mengatakan, „demi Allah! Tidakkah kalian menceritakan hadis ini
dari dua orang pendusta yang didustakan, tetapi pendengaran yang salah,
sesungguhnya di dalam al-Qurʽan benar-benar terdapat sesuatu yang bisa
menentramkan bagin kalian, „Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa
orang lain‟. Tetapi Rasulullah saw. bersabda, „Sesungghunya Allah benar-benar
menambahkan siksa terhadap orang kafir karena sebagian tangis keluarganya atas
dirinya”.
Fiqh Hadis
Dalam kitab Fathu al-Bārī, hadis riwayat Imam Bukhārī di atas terdapat
pada “Bab Ratapan yang makruh terhadap mayit”. Ibnu al-Munayyar berkata,
“maksud kalimat ini adalah; tangisan yang yang dilarang adalah meratap, karena
maksud makruh di sini adalah makruh yang berindikasi haram berdasarkan
ancaman atas perbuatan ini.” Namun ada pula kemungkinan yang dimaksud
adalah makruhya sebaguan ratapan. Kemungkinan terakhir ini telah disinyalir oleh
Ibnu Murābiṯ dan ulama lainnya.49
Sabda Rasulullah saw. “Sesungguhnya mayat disiksa karena ditangisi
keluarganya” di dalam riwayat lain, “Sesungguhnya mayat diazab karena
ditangisi oleh sebagian keluarganya” Di dalam riwayat lain “Sesungguhnya
mayat diazab karena tangisan orang yang hidup”. Di dalam riwayat lain,
49 Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Bab. 33, Jil. 7, h. 159.
69
“Barang siapa yang ditangisi, maka dia akan diazab” Seluruh riwayat ini adalah
dari riwayat ʼUmar bin Khaṯṯāb dan anaknya, ʼAbdullāh ra. ʼĀʽisyah mengingkari
riwayat tersebut dan mengatakan bahwa mereka mengatakannya karena lupa dan
samar meriwayatkan hadis ini, dan ia mengingkari bahwa Nabi saw. mengatakan
demikian. Beliau berhujjah dengan firman Allah swt.50
ىرازرةوزرأخزروتلو
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (Q.S.
al-An‟ām [6]: 164).
ʼĀʽisyah mengatakan bahwa Nabi saw. mengatakan hal tersebut berkenaan
dengan wanita Yahudi yang diazab dan keluarganya menangisinya. Maksudnya
wanita tersebut diazab karena kekafirannya pada saat keluarganya menangisinya,
bukan karena tangisan mereka.51
Ibnu Qudāmah menukil riwayat dari Imam Ahmad bahwa sebagian
ratapan tidaklah makruh. Namun pernyataan ini perlu dicermati lebih lanjut, dan
seakan-akan beliau mendasari hal itu dengan sikap Nabi saw. yang tidak melarang
bibi Jābir ketika meratapinya, dimana hal ini menunjukkan bahwa ratapan yang
terlarang adalah ratapan yang disertai menampar-nampar pipi atau menyobek-
nyobek baju. Akan tetapi hal ini kurang tepat, karena sesungguhnya Rasulullah
saw. melarang meratapi mayit setelah kejadian tersebut, dimana hal itu terjadi
pada waktu perang Uhud. Sedangkan beliau saw. telah bersabda pada saat itu,
50 Imam Al-Nawawi, Al- Manhāj Syarh Sahīh Muslim bin al-Hajjāj (Syarah Shahih
Muslim), Penerjemah Agus Ma‟mun dkk., Cet. III, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014), Jil. 4, h.
875.
51
Imam Al-Nawawi, Al- Manhāj Syarh Sahīh Muslim bin al-Hajjāj (Syarah Shahih
Muslim), Penerjemah Agus Ma‟mun dkk., Cet. III, Jil. 4, h. 875.
70
“akan tetapi Hamzah tidak ada yang menangisinya” setelah itu, beliau saw.
melarang meratapi mayit serta mengancam orang yang melakukannya. Hal ini
sangat jelas dalam riwayat yang dikutip oleh Imam Ahmad dan Ibnu Mājah, serta
di-sahih-kan oleh Al-Hākim melalui jalur Usāmah bin Zaid dari Nāfi‟, dari Ibnu
ʼUmar, “Bahwasanya Rasulullah saw. melewati kaum wanita Banī ʼAbdu al-
Asyhal, mereka menangisi orang-orang yang terbunuh dari kaum mereka pada
perang Uhud. Maka beliau saw. bersabda, „akan tetapi Hamzah tidak ada yang
menangisinya‟, maka datanglah wanita-wanita Ansār menangisi Hamzah. Lalu
Rasulullah saw. bangun dan bersabda, „Celakalah kalian, kalian belum berubah.
Perintahkanlah kepada mereka agar berubah dan janganlah kalian menangisi
orang yang meninggal setelah hari ini.”). Hadis ini didukung pula oleh riwayat
yang dikutip oleh ʼAbdu al-Razzāq melalui jalur Ikrimah dengan sanad mursal,
namun para perawinya tergolong tsiqah (terpercaya). 52
عكن إ لذبا عككيسلي ألذب دحى (“Sesungguhnya berdusta atas namaku
tidaklah sama dengan berdusta atas nama seseorang”) yakni selainku. Maknanya,
sesungguhnya berdusta atas nama orang laintelah menjadi kebiasaan dan dianggap
sebagai perkara lumrah. Sementara berdusta dengan mengatasnamkan aku
(Rasulullah saw.) tidaklah semudah itu. Sehingga dosa yang diakibatkannya
sangatlah besar.
Penetapan adanya ancaman tersebut bagi seseorang yang berdusta atas
nama beliau saw. tidak berarti bahwa berdusta atas nama selain beliau saw.
52 Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Bab. 33, Jil. 7, h. 160.
71
diperbolehkan. Bahkan berdusta atas nama selain beliau saw. juga dilarang
berdasarkan dalil yang lain. Hanya saja perbedaan keduanya adalah bahwa
berdusta atas nama Nabi saw. pelakunya diancam dengan neraka, berbeda dengan
berdusta atas nama selain beliau saw.53
عآدالقو شعبةنم (“Adam berkata dari Syu‟bah”), yakni melalui sanad
yang telah disebutkan di permulaan hadis, akan tetapi tanpa lafal yang tercantum
pada matan (materi hadis), yakni perkataannya, “diazab dengan sebab tangisan
orang hidup”. Adam telah menyendiri dalam menukil lafal ini. Imam Ahmad
meriwayatkan dari Muhammad bin Ja‟far, Ghundar, Yahya bin Sa‟īd bin al-
Qaṯṯān dan Hajjāj bin Muhammad, semuanya menukil dari Syu‟bah, sama seperti
riwayat pertama. Demikian pula yang dinukil oleh Imam Muslim dari Muhammad
bin Basysyar, dari Muhammad bin Ja‟far. Abū ʼAwānah meriwayatkan melalui
jalur Abū al-Naḏr, ʼAbdu al-Samad bin ʼAbdu al-Wārits, Abū Zaid al-Harawi dan
Aswad bin Amir. Semuanya menukil dari Sa‟īd, sama seperti itu.
Para Ulama berselisih pendapat tentang hadis-hadis tersebut. Mayoritas
ulama menafsirkan bahwa barangsiapa yang berwasiat agar dia ditangisi dan
diratapi setelah kematiannya, lalu wasiatnya itu dijalankan, maka orang seperti ini
diazab karena tangisan dan ratapan keluarganya, karena ia mewasiatkan hal
tersebut. Adapun jika keluarganya mayat menangisi dan yang meratapinya bukan
karena adanya wasiat dari dirinya, maka ia tidak diazab. Berdasarkan firman Allah
swt, “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (Q.S. . al-
53 Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Bab. 33, Jil. 7, h. 164.
72
An‟ām [6]: 164). Berwasiat untuk hal itu termasuk kebiasaan bangsa Arab, seperti
yang dikatakan Ṯarafah bin al-ʼAbd, “Jika aku mati, maka ratapilah aku dengan
apa yang aku berhak mendapatkannya, robeklah kantong bajumu demi aku,
wahai anak keturunan Ma‟bad”. Oleh karena itu, hadis muncul menerangkan
kebiasaan mereka dalam hal itu. Beberapa ulama mengatakan, “Hadis-hadis ini
berlaku bagi orang yang berwasiat agar ia ditangisi dan diratapi, dan bagi yang
tidak berwasiat agar hal tersebut tidak dilakukan. Adapun orang yang berwasiat
agar perbuatan tersebut tidak dilakukan sepeninggalnya, maka dia tidak diazab.
Kesimpulan dari pendapat ini, yaitu wajib berwasiat untuk tidak melakukan dua
hal tersebut, barangsiapa yang melalaikannya, maka dia akan diazab.”54
Kontroversi antara dua sahabat mengenai hadis di atas, menurut Imam al-
Ghazalī maka sikap ummul mukmininlah yang dijadikan dasar unuk menguji
validitas sebuah hadis yang telah berpredikat sahih, dengan berdasarkan pada
nash-nash al-Qur‟an.55
Jadi menurut Imam al-Ghazalī adalah orang mukmin yang
meninggal tidak akan disiksa karena ratapan keluarganya, orang kafirlah yang
akan disiksa karena ratapan keluarganya, orang kafirlah yang akan ditambah
siksanya oleh Allah karena ratapan keluarganya terhadap dirinya.
Ulama lain berpendapat, “Maksudnya adalah bahwa mayat diazab karna ia
mendengar tangisan dan belas kasihan keluarganya”. Muhammad bin Jarīr Al-
Ṯabarī dan lainnya berpendapat demikian. Al-Qāḏī ʼIyāḏ berkata, “Ini adalah
pendapat yang paling kuat, mereka berhujjah dengan beberapa hadis yang di
54 Imam Al-Nawawi, Al- Manhāj Syarh Sahih Muslim bin al-Hajjāj (Syarah Shahih
Muslim), Penerjemah Agus Ma‟mun dkk., Cet. III, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014), Jil. 4, h.
876. 55
Muhammad al-Ghazalī, Studi Kritis Atas Hadis Nabi SAW, Penerjemah Muhammad al-
Baqir, (Bandung: Mizan, 1996), h. 31.
73
antaranya menerangkang bahwasanya Nabi saw. melarang seorang perempuan
menangisi ayahnya, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya jika salah seorang dari
kamu menangis, maka ia mengganggu sahabatnya. Wahai hamba-hamba Allah,
janganlah kamu menyiksa saudara-saudaramu”. ʼĀʽisyah ra. mengatakan,
“Maksud hadis adalah orang kafir atau para pelaku dosa lainnya akan diazab pada
saat keluarganya menangisinya karena dosanya tersebut, bukan karena tangisan
mereka.” Yang benar adalah pendapat yang telah dikemukakan, yaitu pendapat
jumhur ulama. Mereka semua bersepakat sekalipun berbeda madzhab bahwa yang
dimaksud dengan menagis di sini adalah menagis dengan mengeluarkan suara
yang disertai ratapan, bukan sekedar linangan air mata.56
Dalam hadis ini terdapat keterangan tentang mendahulukan suatu
pernyataan yang melegitimasi kebenaran pembicara atas apa yang diucapkannya.
Karena sebelum Mughīrah menceritakan hadis tentang haramnya meratapi mayit,
beliau terlebih dahulu mengemukakan hadis bahwa berdusta atas nama Rasulullah
saw. lebih keras ancamannya daripada berdusta atas nama selain beliau saw. Di
sini beliau mengisyaratkan bahwa ancaman tersebut menyebabkan dirinya tidak
berani mengatakan sesuatu atas nama Rasulullah saw. padahal beliau saw. tidak
pernah mengucapkannya.57
56 Imam Al-Nawawi, Al- Manhāj Syarh Sahih Muslim bin al-Hajjāj, (Syarah Shahih
Muslim), Penerjemah Agus Ma‟mun dkk., Cet. III, Jil. 4, h. 877.
57
Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Bab. 33, Jil. 7, h. 164.
74
Al-Fāqih Abū Laits mengatakan, “Meratapi jenazah itu haram hukumnya.
Menangisinya boleh, tapi bersabar itu lebih utama.” Allah swt. Berfirman di
dalam al-Qur‟an58
:
“Sesungguhnya hanya orang-orang bersabarlah yang dicukupkan pahala
mereka tanpa batas”. (Q.S. al-Zumār: 10).
Maka dari itu, maratapi orang yang meninggal dunia merupakan perbuatan
yang dilarang Rasulullah saw. karena hal tersebut merupakan perbuatan yang
mencerminkan tidak berimannya seseorang dan tidak menerima takdir Allah swt.
Sedangkan kelahiran, rezeki, jodoh, dan kematian adalah perkara yang hanya
dapat diketahui dan dikehendaki Allah swt.
B. Asbābu al-Wurūd Hadis
Dalam ʼUlūm al-Hadīts terdapat sebuah pembahasan mengenai sejarah
munculnya hadis-hadis Rasulullah saw. baik yang berupa hadis qaulī maupun
hadis fi‟lī yang biasa disebut dengan Asbābu al-Wurūd hadis, namun perlu
diketahui bahwa tidak semua hadis memiliki Asbābu al-Wurūd. Ada beberapa
hadis yang memiliki Asbābu al-Wurūd yang dijelaskan secara terperinci dan tegas,
dan ada pula yang tidak demikian. Adapun salah satu manfaat mengetahui Asbābu
al-Wurūd hadis yaitu supaya tidak salah mengartikan dan memahami maksud inti
58 ʼAbdu al-Rahman bin Ahmad al-Qāḏī, Daqāʽiqu al-Akhbār / Kehidupan Sebelum dan
Sesudah Kematian, Penerjemah. Yodi Indrayadi & Wiyanto Suud, Cet. V, (Jakarta: Turos Pustaka,
2015), h. 77.
75
dari sebuah hadis, sehingga pemahaman terhadap hadis tersebut sesuai
berdasarkan historisnya.
Penulis telah melakukan penelusuran terkait Asbābu al-Wurūd pada hadis-
hadis yang dibahas ini, namun tidak ditemukannya Asbābu al-Wurūd pada hadis-
hadis tersebut kecuali hadis tentang mayit akan disiksa karena ratapan
keluarganya. Dalam hal ini, penulis menelusuri dua kitab, yaitu: Al-Lumaʼ fī
Asbāb al-Wurūd al-Hadīts karya Imam Jalāluddīn al-Suyūṯī dan Asbabul Wurud;
Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-hadis Rasul karya Ibnu Hamzah al-
Husaini al-Hanafi al-Dimasyqi.
Asbābu al-Wurūd Hadis yang diriwayatkan oleh ʼUmar bin Khaṯṯab ra. ini
yakni ʼĀʽisyah ra. pernah menceritakan ucapan beliau yang mengatakan bahwa
mayit disiksa karena ratapan keluarganya, yang menurutnya ucapan itu berasal
dari Rasulullah saw. lalu ʼĀʽisyah ra. berkata: “Semoga Allah mengampuni ayah
ʼAbdu al-Rahmān (panggilan ʼUmar), karena dia tidak berdusta melainkan akulah
yang lupa dan khilaf”. Menurut riwayat lain, bahwa Rasulullah saw. melewati
kuburan seorang wanita Yahudi yang sedang diratapi oleh keluarganya. Kemudian
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnyamereka meratapi mayatnya. Dan
sesungguhnya mayatnya disiksa di kuburnya”. (Riwayat Muttafaqun ʼAlaih).
Selain itu juga terdapat riwayat lain dari ʼĀʽisyah ra. : “Semoga Allah merahmati
ʼUmar, tidak, demi Allah tiadalah Rasulullah mengabarkan tentang Allah
menyiksa orang mukmin karena ratap tangis keluarganya”. Dan riwayat dengan
redaksi seperti ituterdapat dalam Sahīh Muslim, tetapi dengan kata ujumg kalimat
“li bukāʽi hayyin” (karena ratap tangisnyaorang yang hidup) atas kematian mayit
itu). Imam Bukhāri dan Imam Muslim juga meriwayatkan dari Ibnu Mulaikah,
76
dari Ibnu ʼUmar, yang di dalam bagian akhir dari teksnya mengungkapkan ucapan
ʼĀʽisyah: “Demi Allah tiadalah Rasulullah mengabarkan tentang Allah menyiksa
orang mukmin karena ratap tangis keluarganya, akan tetapi Rasulullah saw.
bersabda: “Akan bertambah siksaan orang kafir karena ratap tangis keluarganya
atas kematiannya”.59
Boleh jadi maksud dari larangan tersebut karena mayit merasa terusik
mendengar tangis orang-orang yang masih hidup di saat-saat ia menghadapi
sakaratul maut. Keluarga dan orang-orang yang hadir berteriak-teriak di
sekitarnya dan meratapinya, contohnya seperti seorang ayah merasa terganggu
karena tangis anaknya. Maka mendengar tangis bagi orang yang meninggal adalah
siksaan itu sendiri sebagaimana dimaksud oleh hadis tersebut di atas. Dengan
begitu hadis ini tidak bertentangan dengan ayat وتلو أخرازرزر وزر ىة (“ tidaklah
seseorang yang memikul beban yang dapat memikul beban orang lain”).60
59 Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi al-Dimasyqi, Asbabul Wurud; Latar Belakang
Historis Timbulnya Hadis-hadis Rasul, Cet. VIII, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), Jil. 2, h. 26.
60
Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi al-Dimasyqi, Asbabul Wurud; Latar Belakang
Historis Timbulnya Hadis-hadis Rasul, Cet. VIII, Jil. 2, h. 26.
77
BAB IV
INTERPRETASI DAN KONTROVERSI
HADIS TENTANG AZAB KUBUR
A. Analisa Substansi Hadis
Alam barzakh merupakan alam yang akan ditempati dan dirasakan
oleh setiap manusia setelah mati. Manusia tidak mengetahui apa yang akan
dirasakannya ketika ia mulai memasuki alam barzakh. Pertanyaan malaikat
Munkar dan Nakir lah yang akan menentukan apakah ia mendapatkan
kenikmatan atau bahkan siksaan di alam kubur, hal tersebut sesuai dengan
hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan al-Barrāʽ bin ʼĀzib. Hadis
tersebut menjelaskan tentang kondisi seseorang ketika dicabut ruhnya serta
keadaannya di alam kubur. Hadis tersebut sahih dan banyak jalur
periwayatnnya.
Adapun redaksi hadis yang telah disebutkan perihal beberapa
penyebab seseorang mendapatkan azab kubur, yang artinya hadis-hadis
tersebut memberikan peringatan bahwa azab kubur itu nyata adanya.
Rasulullah saw. seringkali memohon perlindungan Allah dari siksa kubur.
Beliau juga berpesan agar selalu membaca doa itu di akhir tasyahhud pada
tiap-tiap shalat, dan pada dzikir-dzikir pagi dan petang. Ini menunjukkan
bahwa siksa kubur itu haq (benar) dan kenikmatan di dalamnya juga haq
(benar). Kenikmatan dalam kubur disediakan bagi orang-orang yang
beriman dan taat, sedangkan siksa di alam kubur disediakan bagi orang-
orang kafir, munafik, durhaka dan pelaku maksiat. Kenikmatan dan ini
78
masing-masing berbeda sesuai dengan amalan mereka di dunia dan sesuai
dengan hal dan keadaan yang menentukan nikmat dan pahala atau azab
dan siksa.1
Beberapa penyebab seseorang mendapatkan azab kubur sesuai
dengan redaksi hadis yang disebutkan penulis pada bab sebelumnya adalah
hadis tentang tidak cukupnya seseorang dalam membersihkan diri air
kencing dan orang yang suka mengadu domba dan ghibah. Penekanan
maksud hadis tersebut adalah perintah untuk menjauhkan diri dari air seni,
dan bahwa siksaan yang disebabkan karena tidak membersihkan diri
darinya akan disegerakan dalam alam kubur. Telah ditegaskan juga dalam
hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam al-Dāruquṯnī2:
امن ست نزى و:الم س و يول ع لىالل ص اللول س ر ال ق ال ق نو ع يالل ضر ة ير ر ى بأ نع و ق طنار الد اه و .ر نو ابالق ربمذ ة ع ام ع ن إالب ولف
“Dari Abū Hurairah ra. ia berkata, „Rasulullah saw. bersabda,
Bersucilah kamu dari kencing, karena sesungguhnya kebanyakan siksa
kubur disebabkan air kencing‟”.
Wajibnya menghilangkan najis, berdasarkan hadis yang
menjelaskan siksa kubur bagi yang tidak membersihkan diri dari air seni.
Suatu ancaman tentu saja bagi yang meninggalkan sesuatu yang wajib.
Imam Mālik mengemukakan alasan mengenai hadis tersebut, boleh jadi
karena dia membiarkan air seninya mengenai badan atau pakaian lalu dia
1 ʼAbdullāh Haddād, Sabīl al-ʼIddikār wa al-I‟tibār bimā Yamurru bi al-Insān
wa Yanqaḏī lahu min al-A‟mār / Renungan tentang Umur Manusia, Penerjemah
Muhammad Bagir, Cet. V, (Bandung: Mizan, 1992), h. 108.
2 Muhammad bin Ismāʼīl al-Amīr al-Sanʼānī, Subulu al-Salām; Syarah Bulūghu
al-Marām, Penerjemah Muhammad Isnani dkk., Cet. XII, (Jakarta: Darus Sunnah Press,
2015), Jil. I, h. 201.
79
shalat tanpa mensucikannya, karena wudhu tidak sah dengan adanya najis
tadi.3
Intisari dari hadis tentang tidak cukupnya seseorang dalam
membersihkan diri air kencing dan orang yang suka mengadu domba dan
ghibah memberikan pelajaran antara lain yang pertama, penegasan adanya
azab kubur seperti yang disebutkan dalam sejumlah hadis, Inilah pendapat
mayoritas ulama. Kedua, tidak menghindari benda-benda najis dapat
menimbulkan siksaan tersebut, maka najis wajib dihindari. Hadis ini
menunjukkan, kencing dalam kaitannya dengan siksa kubur bersifat
khusus, seperti dikuatkan oleh riwayat Al-Hākim dalam Al-Mustadrak:
1/83. Hadis tersebut sahih berdasarkan syarat syaikhāni dan riwayat Ibnu
Khuzaimah, “Sebagian besar siksa kubur disebabkan karena kencing”.
Ibnu Hajar menyatakan “sanadnya sahih”. Ketiga, haram mengadu domba
di antara sesama. Perbuatan ini termasuk dalam salah satu penyebab siksa
kubur. Keempat, Anjuran untuk menutupi dosa dan aib, karena Nabi saw.
tidak menyebutkan nama kedua penghuni makam tersebut. Hal itu
mungkin disengaja oleh Nabi saw. dan Kelima, Sabda Nabi saw. “Dan
keduanya disiksa bukan karena dosa yang besar.” Maksudnya bukan
karena dosa yang berat ditinggalkan oleh keduanya. Sebab, meninggalkan
perbuatan mengadu domba dan menjaga diri dari air kencing sebenarnya
tidak sulit untuk dilakukan.4
3 Muhammad bin Ismāʼīl al-Amīr al-Sanʼānī, Subulu al-Salām; Syarah Bulūghu
al-Marām, Penerjemah Muhammad Isnani dkk., Cet. XII, Jil. I, h. 201.
4 Ibnu Katsīr, Taysīr al-ʼAllām Syarhu ʼUmdatu al-Ahkām (Fikih Hadits Bukhari
Muslim), Penerjemah Umar Mujtahid, Cet. I, (Jakarta: Ummul Qura, 2013), h. 74.
80
Dengan demikian penulis berkesimpulan bahwa tidak mensucikan
diri dengan benar setelah buang air dan tidak menjaga lisan dari perbuatan
mengadu domba ataupun menggunjing orang lain merupakan termasuk ke
dalam dosa besar yang menyebabkan seseorang yang melakukan hal
tersebut mendapatkan azab kubur.
Adapun hadis lain yang berkaitan dengan penyebab mendapatkan
azab kubur yakni berdusta, zina, riba, dan meninggalkan shalat dan al-
Qur‟an. Hadis tersebut memberikan pelajaran bagi umat Islam bahwa
dusta, zina, riba, dan meninggalkan shalat dan al-Qur‟an adalah perbuatan
yang dilarang oleh Allah swt. Hadis ini merupakan pembahasan tentang
ta‟bir (takwil mimpi) memuat 99 hadis marfu‟, yang maushul di antaranya
82 hadis, sedangkan sisanya mu‟allaq5 dan mutaba‟ah.
6
Pelajaran yang dapat diambil dari hadis tersebut antara lain yakni
yang pertama, hadis ini menunjukkan bahwa sebagian ahli maksiat disiksa
di alam barzakh. Kedua, Ancaman bagi orang yang tidur hingga
meninggalkan shalat wajib, peringatan terhadap orang yang menolak al-
Qur‟an bagi yang menghafalnya, peringatan terhadap perbuatan zina,
memakan riba, dan berdusta. Ketiga, orang yang amal kebaikannya
seimbang dengan perbuatan buruknya, maka akan diampuni oleh Allah.
Keempat, menanyakan dan meminta kejelasan tentang takwil mimpi
dianjurkan untuk dilakukan setelah shalat Subuh, karena itu merupakan 5
Mu‟allaq yakni Hadis yang bagian awal sanadnya dibuang, baik seorang rawi
ataupun lebih secara berturut-turut. Lihat Ilmu Hadis Praktis (Taysīr Musṯalah al-
Hadīts), Mahmūd Ṯahān, Cet. VI, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2013), h. 81.
Mutaba‟ah yakni Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi hadis yang bersekutu
dengan rawi yang lain dalam meriwayatkan hadis dari seorang sahabat.
6 Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Jil. 34 , h. 647.
81
waktu saat akal sedang fokus dan terbuka. Kelima, keutamaan para
syuhada, dan bahwa tempat mereka di surga merupakan tempat yang
paling tinggi. Namun demikian tidak berarti derajat mereka lebih tinggi
daripada Nabi Ibrahim as. karena kemungkinan keberadaan Nabi Ibrahim
as. di sana hanya untuk menangani anak-anak. Kedudukan Nabi Ibrahim
as. adalah kedudukan yang lebih tinggi daripada kedudukan para syuhada,
sebagaimana yang telah dikemukakan dalam pembahasan tentang Isra`,
bahwa dia melihat Adam as. di langit dunia. Hal itu karena dia sedang
melihat anak keturunannya yang termasuk ahli kebaikan dan yang
termasuk ahli keburukan, lalu dia tertawa dan menangis, padahal
kedudukannya adalah di illiyin. Pada hari kiamat nanti, masing-masing
mereka akan menempati tempatnya.7
Hadis lainnya yaitu hadis tentang larangan meratapi mayat. Karena
apapun yang Allah berikan dan ambil, semuanya adalah milik-Nya. Dan di
balik itu ada hikmah sempurna dan tindakan yang tepat. Oleh karena itu,
Nabi saw. menyebutkan bahwa orang yang marah dan berkeluh kesah
terhadap putusan Allah itu berada di luar jalan dan sunnah beliau, karena
Rasulullah saw. tidak bertanggung jawab atas orang lemah iman dan tidak
kuat menghadapi musibah hingga bersikap marah dalam bentuk ucapan,
misalkan dengan meratapi mayat, maupun dalam bentuk tindakan, seperti
mencabuti rambut, merobek kerah baju, dan memakai tradisi jahiliyah
lainnya.8
7 Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Penerjemah
Amiruddin, Jil. 34 , h. 645.
8 Ibnu Katsīr, Taysīr al-ʼAllām Syarhu ʼUmdatu al-Ahkām (Fikih Hadits Bukhari
Muslim), Penerjemah Umar Mujtahid, Cet. I, h. 73.
82
Adapun substansi dari hadis tersebut adalah larangan murka pada
takdir Allah yang memilukan dengan meratap, mencukur rambut, merobek
kerah baju, atau menabur-naburkan tanah ke kepala sebagai ekspresinya,
dan mengucapkan seruan-seruan batil kala tertimpa musibah. Selain itu,
tindakan dan perkataan seperti yang telah disebutkan termasuk dosa besar,
karena Nabi saw. sangat melarangnya dan tidak bertanggung jawab
terhadap siapa pun yang beruat seperti itu. Ini menunjukkan perbuatan
tersebut termasuk dosa besar. Sekedar bersedih dan menangis tentu wajar
selama tidak berlebihan dan melanggar perintah Allah swt. dan sunnah
Rasulullah saw.9 Boleh jadi maksud larangan tersebut karena mayat
merasa terusik mendengar tangis orang ketika dia sedang menghadapi
sakaratul maut. Keluarga dan orang-orang yang hadir berteriak-teriak di
sekitarnya dan meratapinya, seperti ayah merasa terganggu karena tangis
anaknya. Maka mendengar tangis bagi orang yang meninggal adalah
siksaan itu sendiri sebagaimana dimaksud oleh hadis tersebut.10
Jumhur ulama berpendapat, hadis ini dibawa kepada pemahaman
bahwa orang yang meninggal yang ditimpa azab adalah orang yang
berwasiat supaya diratapi, atau dia tidak berwasiat untuk tidak diratapi
padahal dia tahu bahwa kebiasaan mereka adalah meratapi orang yang
meninggal. Oleh karena itu, ʼAbdullāh bin al-Mubārak berkata: “Apabila
dia telah melarang mereka (keluarganya) meratapi ketika dia hidup, lalu
9 Ibnu Katsīr, Taysīr al-ʼAllām Syarhu ʼUmdatu al-Ahkām (Fikih Hadits Bukhari
Muslim), Penerjemah Umar Mujtahid, Cet. I, h. 431.
10
Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi al-Dimasyqi, Asbabul Wurud; Latar
Belakang Historis Timbulnya Hadis-hadis Rasul, Cet. VIII, (Jakarta: Kalam Mulia,
2011), Jil. 2, h. 26.
83
mereka melakukannya setelah kematiannya, maka dia tidak akan ditimpa
azab sedikit pun.”11
Penjelasan yang penulis paparkan di atas adalah hanya beberapa
redaksi hadis yang menjelaskan tentang adanya azab kubur melalui
pernyataan tentang sebab-sebab seseorang mendapatkannya. Namun, ada
juga yang berpendapat bahwa azab kubur itu tidak ada, dengan alasan
ketidak-jelasan dalil syari‟at yang menerangkan adanya azab kubur.
Berikut adalah golongan atau orang yang meyakini ketiadaan azab kubur:
1. Kaum Mu‟tazilah
Secara etimologi, kata mu‟tazilah berasal dari bahasa Arab yakni,
i‟tazala-ya‟tazilu-i‟tizālan yang berarti berpisah atau memisahkan diri,
menjauh atau menjauhkan diri.12
Ada sebuah pendapat, sebab dari
penamaan kaum ini dinamakan dengan nama kaum mu‟tazilah karena
suatu hari ada seorang guru besar di Baghdad namanya Syekh Imam
Hasan al-Basri (w. 110 H) sedang menerangkan bahwa orang Islam yang
telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tetapi ia melakukan dosa besar,
maka orang itu tetap muslim, akan tetapi dikategorikan sebagai seorang
muslim yang durhaka. Di akhirat nanti jika ia telah wafat sebelum
bertaubat dari dosanya, ia akan dimasukkan ke dalam neraka terlebih
dahulu untuk menerima hukuman atas perbuatan dosanya, dan jika ia telah
selesai menerima hukumannya ia akan dikeluarkan dari dalam neraka dan
11 Badru al-Dīn Mahmūd bin Ahmad al-ʼAinī, ʼUmdatu al-Qāri Syarh Sahīh al-
Bukhārī, Cet. I, (Beirut: Dār al-Kutub al-ʼIlmiyyah, 2001), Jil. 4, h. 78.
12
Louwis bin Naqula Ẕahīr Al-Maʽlūf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-A‟lam,
Cet. XXXIX, (Beirut: Dār al-Masyriq, 2002), h. 207.
84
kemudian dimasukkan ke dalam surga sebagai seorang mukmin dan
muslim. Di saat beliau menerangkan hal tersebut ada di antara muridnya
yang bernama Wāsil bin ʼAṯāʽ (w. 131 H) yang menurutnya, pendapat
gurunya tersebut tidak sesuai dengan pendapatnya lalu ia keluar dari
majlis itu dan kemudian mengadakan majlis lain di suatu tempat di dalam
masjid Basrah itu. Oleh karenanya, Wāsil bin ʼAṯāʽ dan pengikutnya
dinamai dengan kaum aliran mu‟tazilah, sebab ia mengasingkan diri dari
gurunya. Dalam pengasingan dari gurunya ini ia diikuti oleh seorang
temannya yang bernama ʼUmar bin ʼUbaid (w. 145 H). Awal kemunculan
paham aliran ini terjadi pada abad kedua hijriyah yang ketika itu Hisyām
bin ʼAbdu al-Mulk sedang menjabat sebagai khalifah dari Bani Umayyah,
yaitu dari tahun 100 H sampai dengan tahun 125 H.13
Pemikiran mu‟tazilah ini dalam memahami dalil-dalil syar‟i,
mereka banyak menggunakan akal. Dan bahkan, meraka menempatkan
akal di atas wahyu, maka apabila sesuatu dapat diterima oleh akal berarti
hal tersebut dapat sesuai dengan sunnah, namun apabila tidak sesuai dan
tidak dapat diterima dengan akal maka mereka menolak meskipun hal itu
terdapat dalam al-Qur‟an maupun hadis. Sebagai contoh, kaum aliran
mu‟tazilah tidak menerima isrāʽ mi‟raj walaupun ada ayat al-Qur‟an dan
hadis Nabi saw. yang menjelaskan hal tersebut, karena menurut mereka itu
bertentangan dengan akal manusia. Selain itu, kaum aliran mu‟tazilah ini
juga menolak adanya kebangkitan dari alam kubur dan begitupun juga
13 Sirajuddin Abbas, I‟tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama‟ah, (Jakarta: Pustaka
Tarbiyah Baru, 2005), h. 174.
85
dengan azab kubur, menurut mereka mustahil akan adanya azab dalam
kubur yang sempit itu dan tidak sesuai dengan akal.14
Azab kubur merupakan masalah yang telah ditetapkan oleh sunnah.
Akan tetapi kaum aliran mu‟tazilah mengingkarinya. Al-Qāḏī ʼAbdu al-
Jabbār berpendapat bahwa mu‟tazilah terbagi menjadi dua bagian.
Pertama, mereka yang mengingkari adanya siksa kubur dan Kedua,
mereka yang membenarkan adanya siksa kubur. Di antara mereka yang
mengingkari adanya siksa kubur adalah Ḏarrār bin ʼAmr yang merupakan
salah satu pengikut Wāsil bin ʼAṯāʽ. Dia menuturkan bahwasanya orang
yang telah dikubur, maka ia sudah tidak dapat mendengar, tidak melihat,
dan tidak merasakan apapun, maka bagaimana ia dapat disiksa setelah
mati? Kemudian ia berkata “kami telah mengingkari keberadaan siksa
kubur dalam setiap keadaan”.15
Kaum aliran mu‟tazilah dalam menyikapi sunnah yaitu, mereka
berpedoman pada kaidah pokok mereka yaitu al-Usūl al-Khamsah16
(lima
kaidah yang pokok). Mereka menjadikannya dasar dalam beradu argumen
tentang al-Qur‟an dan hadis Nabi saw. dimana mereka menjadikan akalnya
untuk menguatkan pendapatnya terhadap al-Qur‟an dan Hadis.17
2. Kaum Khawarij
14 Sirajuddin Abbas, I‟tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama‟ah, h. 177-178.
15
ʼAbdu al-Jabbār, Faḏl al-I‟tizāl wa Ṯabaqāt al-mu‟tazilah, (Tunis: Dār al-
Tunisiya, 1986), h. 202.
16
Abū al-Hasan al-Khayyāṯ dalam bukunya “Al-Intisār” mengatakan, “Tidak
seorang pun berhak sebagai penganut Mu‟tzailah sebelum ia mengakui al-Usūl al-
Khamsah (lima dasar), yaitu al-Tauhid, al-„Adl, al-Wa‟d wa al-Wā‟īd, al-Manzilah baina
al-Manzilatain, dan al-ʽAmr bi al-Ma‟rūf wa al-Nahyu bi al-Munkar. Jika telah mengakui
semuanya baru dapat disebut penganut paham Mu‟tazilah.” Lihat al-Milal wa al-Nihal,
Abū al-Fath Muhammad Syahrastānī, (Beirut: Dār Sa‟ab, 1986), Jil. 2, h. 4-5.
17
Abū Lubābah Husain, Pemikiran Hadis Mu‟tazilah, Penerjemah Usman
Sya‟roni, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 82.
86
Secara etimologis, kata khawarij berasal dari kata bahasa Arab
yaitu “kharaja” yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak.
Menurut Abū Bakar Ahmad al-Syahrastani, bahwa yang disebut khawarij
adalah setiap orang yang keluar dari imam yang haq dan telah disepakati
jama‟ah, baik ia keluar pada masa sahabat Khulafāʽu al-Rāsyidīn atau pada
masa tabi‟in secara baik-baik.18
Adapun secara terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte atau
kelompok atau aliran pengikut ʼAlī bin Abī Ṯālib yang keluar
meninggalkan barisan karena ketidak-sepakatan terhadap keputusan ʼAlī
bin Abī Ṯālib yang menerima arbitrase (tahkim) dalam perang Siffīn pada
tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughāt (pemberontak) Mu‟āwiyah
bin Abī Sufyān perihal persengkatan khilafah.19
Perkembangan khawarij telah menjadikan imamah-khilafah
(politik) sebagai doktrin sentral yang memicu adanya doktrin-doktrin
teologis. Radikalitas yang melekat pada watak dan perbuatan kaum
khawarij menyebabkan kelompok mereka sangat rentan akan terjadinya
perpecahan, baik secara internal maupun eksternak dengan sesama
kelompok Islam lainnya. Sehingga di dalam Khawarij itu sendiri terdapat
sekte-sekte yang dalam sebagian sekte tertentu juga terbagi lagi ke
beberapa golongan.20
Mengenai jumlah sekte khawarij, ulama berbeda
pendapat, Abū Mūsā al-Asy‟arī menagtakan lebih dari 20 sekte, al-
18 Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2001), h. 4.
19
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1985), Cet. I, h. 11.
20
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1985), Cet. I, h. 18.
87
Baghdādī berpendapat ada 20 sekte, al-Syahristānī menyebutkan 18 sekte,
Musṯafā al-Syak‟ah berpendapat ada delapan sekte, Muhammad Abū
Zahrah menerangkan ada empat sekte, sedangkan Harun Nasution sendiri
ada enam sekte penting, sekte-sekte di antaranya yaitu al-Muhakkimah, al-
Zariqah, Najdah, ʼAjjaridah, Surfiyah,ʼIbadiyah dan lain-lain. 21
Menurut Sidi Syekh ʼAbdu al-Qādir Jailānī al-Hasani dalam
Ghaniyyah, Kaum khawarij suka melontarkan dalil-dalil syar‟i walaupun
tidak mengenai pada intinya, tidak mempertimbangkan dasar agama yang
sebenarnya, suka memecah agama menjadi beberapa golongan, mereka
berpendapat bahwa tidak patuh, memberontak, bahkan mengangkat senjata
kepada khalifah atau pemerintah yang sudah dibai‟at adalah hal yang
diperbolehkan, mereka suka mengkafirkan orang yang tak segolongan
dengan mereka, bahkan mengkafirkan Khulafāʽu al-Rāsyidīn serta para
pendukungnya dan mereka juga tidak mempercayai karamah wali, syafa‟at
Nabi, dan tidak mempercayai adanya siksa kubur.22
Beberapa ahli ilmu kalam (teolog) menyatakan bahwa rasa sakit
karena azab akan berkumpul di jasad orang-orang yang mati tanpa terasa.
Jika telah dikumpulkan di padang Mahsyar, mereka baru akan
merasakannya sekaligus. Pendapat ini berarti menetang adanya azab Allah
sebelum manusia dikumpulkan di padang Mahsyar. Pendapat ini jelas
bertentangan dengan nash. Semua pendapat ini tidak berbeda dengan
21 Ghofir Romas, Ilmu Tauhid, (Semarang: Penerbit Fak. Dakwah IAIN
Walisongo, 1997), h. 73-76.
22
Muhammad ʼAbdu al-Hādī al-Misrī, Manhaj dan Aqidah Ahlu Sunnah wal
Jama‟ah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), h. 173.
88
pendapat yang menafikkan azab kubur, seperti pendapat Ḏarrār bin ʼAmr,
seorang syaikh dan pembesar Mu‟tazilah.23
Keterangan di atas menjelaskan bahwa ada sebagian golongan atau
kelompok dalam Islam yang tidak percaya dengan azab kubur, di
antaranya yaitu kaum khawarij dan sebagian dari kaum mu‟tazilah, seperti
Ḏirrār bin ʼAmr, Bisyr al-Murisī, dan Yahya bin Kāmil, sementara
mayoritas Mu‟tazilah seperti al-Jubba‟ī dan anaknya al-Balkhī mengimani
adanya azab kubur.24
Mereka yang tidak mengimaninya berpegang kepada
akal dan indera mereka. Padahal tidak semua perkara akidah dapat
diterima dan dijangkau dengan akal dan indera manusia, seperti percaya
kepada hal-hal yang ghaib.
Selain mereka ada juga yang tidak percaya dengan azab kubur,
beralasan bahwa al-Qur‟an tidak menjelaskan keberadaan azab kubur
secara eksplisit.25
Hal tersebut dikemukakan oleh Agus Mustofa dalam
bukunya berjudul “Tak Ada Azab Kubur”, 2008. Ia juga mengatakan
bahwa dalil hadis-hadis Rasulullah saw. yang menjelaskan tentang azab
kubur tidak dapat dipertanggung-jawabkan validitasnya dan lebih bercerita
tentang azab kubur secara normatif.26
Sehingga ia berkesimpulan, Jika ada
23 Muhammad Sayyid Ahmad al-Musayyar, Alām al-Ghaib fi al-ʼAqīdah al-
Islāmiyyah / Buku Pintar Alam Gaib, Penerjemah. Iman Firdaus & Taufik Damas, Cet. I,
(Jakarta: Zaman, 2009), h. 228.
24
Ibnu Hajar al-ʼAsqalānī, Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī, Jil. 3, h.
233.
25
Agus Mustofa, Tak Ada Azab Kubur?, (Surabaya: PADMA Press, 2008), h.
208.
26
Agus Mustofa, Tak Ada Azab Kubur?, h. 155.
89
hadis yang tidak sesuai dengan al-Qur‟an, maka bukan al-Qur‟annya yang
dikalahkan. Melainkan hadisnya yang harus disisihkan.27
Pendapat-pendapat tersebut beserta argumennya menimbulkan
kontroversi di kalangan umat muslim, terlebih lagi bagi muslim yang
masih awam dengan ajaran-ajaran Islam secara mendalam. Karena azab
kubur merupakan salah satu perkara yang ghaib. Maka akan muncul
pertanyaan “Benarkah keberadaan azab kubur itu? Dan Apa dasarnya?”.
Penulis akan memaparkan pendapat para ulama mengenai hal tersebut, di
subbab berikutnya. Sedangkan pendapat non muslim tentang kehidupan
setelah kematian terdapat perbedaan.28
27 Agus Mustofa, Tak Ada Azab Kubur?, h. 213.
28
1. Hinduisme : Pemahaman orang Hindu tentang kehidupan terpusat pada
hubungan antara badan dengan jiwa atau atman. Badan adalah milik dunia, yang selalu
berubah-ubah dan tidak sempurna, sedangkan atman adalah bagian dari realitas roh
Brahman – sempurna, tidak berubah, dan kebenaran mutlak. Orang Hindu percaya bahwa
karma yang menumpuk dalam kehidupan sebelumnya pindah ke masa kini dan sangat
menentukan wujud kelahiran jiwa kembali. Setiap orang Hindu berusaha menghindarkan
diri dari efek karma pada kelahiran kembali berikutnya dengan melakukan perbuatan
amal dan hidup dengan tidak mementingkan diri sendiri. Karma yang buruk memastikan
bahwa jiwa manusia akan kembali pada kehidupan yang akan datan dengan tidak yang
lebih rendah. Maka dari itu, penulis menyimpulkan bahwa dalam kepercayaan umat
Hindu, tidak ada istilah alam kubur atau kehidupan lain setelah kehidupan di alam dunia.
Azab atau bentuk siksaan yang mereka percayai adalah terlahirnya kembali jiwa manusia
dengan tingkat yang lebih rendah pada kehidupan masa kini, yang sebelumnya ia telah
memiliki karma yang buruk di kehidupan masa lalu. Dan ketika jiwanya telah bersih dan
suci dari karma ia akan kembali pada bagian dari Brahman – yang dari-Nya jiwa itu
berasal, atau disebut juga dengan Moksha. (Michael Keene, Agama-Agama Dunia,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), h. 18-19.)
2. Yudaisme (Yahudi) : Menurut kepercayaan Orang Yahudi, ketika peti
jenazah diturunkan ke liang kubur, anggota keluarga dekat, dan diikuti oleh para pelayat,
menutup kuburnya dengan tanah. Perbuatan ini dimaksudkan untuk mendorong mereka
yang masih hidup agar menatap masa depan – kepercayaan Yahudi yang sangat
ditekankan. Talmud sendiri mengajarkan bahwa orang yang meninggal memulai
perjalanannya menuju alam baka. Peraturan tegas yang mempengaruhi suasana dukacita
dirancang untuk membantu mereka yang masih hidup supaya kembali pada kehidupan
normal sebaik mungkin. Sehingga dari pernyataan tersebut, bahwa dalam kepercayaan
orang Yahudi, orang yang telah meninggal dunia telah memulai kehidupan baru di alam
lain dan menerima balasan dari apa yang telah diperbuatnya selama di dunia. Maka
kemudian tiap upacara kematian Yahudi terdapat peraturan yang mengingatkan kepada
orang-orang yang masih hidup untuk berbuat kebaikan selama di dunia. Hal ini memiliki
90
pengertian yang mirip dengan umat Islam yang mempercayai adanya alam baru atau
disebut juga alam barzakh, setelah kehidupan di dunia hingga saatnya menuju alam
terakhir yaitu akhirat. (Michael Keene, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2006), h. 56-57.)
3. Buddhisme : Lingkaran kelahiran, kehidupan, dan kematian mengandung arti
bahwa tidak ada sesuatu yang ada adalah tetap dan segala sesuatu berada dalam keadaan
berubah-ubah secara terus-menerus. Sifat ini lebih dikenal dengan anicca, yang artinya
“tidak tetap”. Jika manusia bekerja keras untuk keabadian, hasilnya adalah penderitaan
atau dukkha. Buddha mengajarkan bahwa – sebagaimana segala sesuatu, manusia selalu
berubah-ubah – semua pengalaman mengakibatkan penderitaan dan tidak ada yang tidak
berubah. Dalam hal ini, Hinduisme berbeda dengan Buddhisme. Hinduisme mengajarkan
bahwa ada jiwa abadi, yang disebut atman, yang tetap hidup dalam kematian dan
dilahirkan kembali. Akan tetapi, Buddhisme mengajarkan „jiwa‟ bukan lagi apa-apa
kecuali hanya seberkas pengalaman yang lenyap saat kematian. Ajaran Buddha
menjelaskan sifat penderitaan dan bagaimana menghindar darinya, dan lingkaran
kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali yang tanpa ada akhirnya, sampai mencapai
nirvana. Apapun yang menyangkut kehidupan dikendalikan oleh karma – hukum sebab
akibat. Maka itu, kehidupan dengan moral baik akan menghasilkan karma yang baik
untuk kehidupan akan datang. Akan tetapi, tujuan paking utama adalah mencapai nirvana
dan benar-benar bebas dari hukum karma.28
Penguburan penganut Buddha dimaksudkan
untuk membantu orang yang meninggal kembali kepada kelahiran yang lebih baik.
Selama periode empat puluh hari – dikatakan lamanya waktu yang diperlukan untuk
seseorang dilahirkan kembali dalam kehidupan lainnya – Tradisi agama India kuno
menempatkan penekanan khusus pada penyusunan pemikiran tentang kematian, yaitu
peristiwa mempersiapkan diri untuk kelahiran di kehidupan selanjutnya. (Michael Keene,
Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), h. 74. Dan M. Ikhsan
Tanggok, Agama Buddha, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 104.)
4. Kristen : Dari kitab-kitab Injil Sinoptik, kita hanya memperoleh sedikit
keterangan mengenai kehidupan setelah mati, tetapi keterangan itu memastikannya secara
positif. Namun, Yesus tidak memberikan keterangan mengenai ciri dari tubuh
kebangkitan atau pun mengenai ciri dari kematian. “Keadaan Sementara” adalah istilah
yang digunakan untuk orang yang percaya antara kematian dan kebangkitannya pada hari
terakhir. Walaupun tidak ada perincian langsung mengenai hal ini dari kitab-kitab Injil
Sinoptik, namun perlu diperhatikan beberapa perihal tertentu yang berhubungan dengan
hal ini. Perjanjian Lama telah berbicara mengenai Syeol, yaitu tempat keberadaan yang
merupakan bayang-bayang. Pada masa antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru,
pengertian Syeol diubah menjadi suatu tingkat antara kematian dan penghukuman. Dalam
pengajaran Yesus, Syeol atau dunia orang mati disebutkan tiga kali dalam kitab-kitab Injil
Sinoptik, (Mat: 11:23, 16:18, Luk: 16:23).
Dari ketiga ucapan tersebut, sebutan dunia orang mati yang ketiga terdapat
dalam perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus yang miskin (Luk: 16:19-31), yang
menggambarkan suatu tempat bagi orang mati yang dipisahkan oleh jurang yang tak
terseberangi. Yang menjadi pusat perhatian dari perumpamaan mengenai orang kaya ini
adalah tentang sikapnya terhadap kekayaannya. Ia hanya mementingkan dirinya sendiri
dan tidak memperhatikan tanggung jawab sosialnya. Secara nyata tidak pernah
terpikirkan olehnya bahwa tingkah lakunya semasa hidup akan mempengaruhi nasibnya
sesudah mati. Kemungkinan besar ia tidak mempercayai adanya kehidupan sesudah mati.
Dalam Lukas 23:42-43 menyatakan bahwa Yesus memberikan jaminan kepada penjahat
yang digantung bersama Dia bahwa “Hari ini juga engkau akan ada bersama dengan Aku
di dalam Firdaus”. Terdapat dua penafsiran dari ucapan Yesus tersebut, yang pertama
menganggap Firdaus sebagai alam sementara tempat penjahat itu serta Yesus menantikan
Kerajaan Allah. Menurut penafsiran yang kedua Firdaus berarti surga, dan Yesus akan
masuk ke dalam kerajaan-Nya pada hari itu. Pada masa antara Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru, Firdaus telah dianggap sebagai tempat kediaman sementara bagi jiwa-
91
B. Pendapat Para Ulama Tentang Azab Kubur
Untuk melengkapi kajian ini, penulis akan mengungkapkan beberapa
pendapat para ulama mengenai azab kubur dalam bentuk paparan berikut ini:
1. Ulama Muhaddīts
jiwa orang benar, suatu hal yang mendukung penafsiran pertama. Tetapi dalam II
Korintus 12:3-4 dan Wahyu 2:7 Firdaus digunakan sebagai lambang untuk surga, suatu
hal yang mendukung penafsiran kedua. Dalam ucapan Yesus ini ditunjukkan bahwa
kesaksian Kitab Suci (Kesaksian Musa dan para nabi) sudah cukup menyatakan adanya
kehidupan sesudah mati, bukan karena hal itu dijelaskan dalam Perjanjian Lama tetapi
karena sifat Allah, seperti yang dinyatakan dalam Perjanjian Lama, menjamin hal itu.
Kadang-kadang Yesus menggambarkan kematian sebagai tidur, tetapi ini hanyalah kiasan
saja. Kehidupan sesudah mati dibicarakan lebih banyak dalam surat-surat Paulus, tetapi
banyak juga penjelasan yang masih samar. Paulus menyatakan secara tidak langsung
bahwa orang percaya yang mati ada bersama-sama dengan Tuhan, tetapi ia tidak
menerangkan kapan tubuh kebangkitan itu diterima. (Donald Guthrie, Teologi Perjanjian
Baru 3: Eklesiologi, Eskatologi, Etika (New Testament Theology), Penerjemah Lisda
Tirtapraja Gamadhi, dkk. (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), h. 167 dan 196.)
5. Khonghucu : Dalam agama Khonghucu istilah Tuhan disebut dengan Thian
dan bukan Allah seperti yang terdapat di dalam agama Kristen dan Islam. Dalam kitab-
kitab agama Khonghucu terdapat banyak berbicara tentang Thian atau Tuhan yang Maha
Esa, diantaranya terdapat dalam kitab She-Cing (kitab syair puisi).28
Selain memiliki
ajaran tentang Thian (Tuhan yang Maha Esa), Khonghucu juga memiliki ajaran tentang
keimanan. Ajaran tentang keimanan itu terdapat dalam kitab Su Si. Oleh umat Khonghucu
di Indonesia ajaran Khonghucu yang terdapat dalam kitab Su Si, yang berhubungan
dengan keimanan dijadikan landasan utama dalam menetapkan konsep keimanan umat
Khonghucu di Indonesia.28
Sebagaimana yang dikatakan Lasiyo (guru besar filsafat Cina
Universitas Gajah Mada), bahwa konfusianisme baik sebagai filsafat maupun agama
berisi konsep tentang Dzat yang Maha Tinggi, manusia, alam semesta, dan kehidupan
sesudah mati. Menurut Lie Kim Hok, Khonghucu tidak bicara banyak tentang hidup
setelah mati, tapi ia percaya akan keberadaan roh-roh dan roh-roh yang berhubungan
dengan keluarga, maka anggota keluarga yang hidup harus mempersembahkan korban
kepadanya. Dalam Upacara korban disajikan sebuah pesta atau sesajian, karena diyakini
bahwa roh-roh leluhur, karena ini adalah perbuatan anak laki-laki yang berbakti (Hau)
pada orang tua. Akan tetapi penyembahan roh-roh itu harus dibatasi pada linkungan
keluarga. Sedangkan roh-roh yang tidak ada hubungan keluarga tidak boleh disembah.
Dalam kitab Su Si tidak banyak kita jumpai ungkapan-ungkapan Khonghucu tentang roh-
roh. Meskipun demikian, bukan berarti Khonghucu tidak percaya tentang dunia setelah
kematian, namun bagi dia dunia setelah kematian itu dapat diketahui kalau manusia sudah
mengenal kehidupan. Bagi Khonghucu, mengenal arti kehidupan itu lebih penting untuk
diketahui sebelum kita mengenal arti kematian. Dalam alam pikiran Cina, termasuk
konfisius, langit dan kehiidupan setelah mati tidak didefisinikan secara jelas dan
dogmatis, namun secara samar-samar diakui sebagai yang konkret. Kenyataan ini dapat
dilihat dalam kehidupan orang-orang Cina sehari-hari terutama dalam upacara kematian,
mereka mempersembahkan berbagai korban (hewan), dan beberapa perlengkapan lainnya
untuk kepentingan roh yang meninggal dunia, supaya roh tersebut mendapat ketenangan
di alam surga. (M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di
Indonesia, (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005), h. 43, 51, dan 54).
92
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa orang yang sudah mati akan
hidup kembali di alam kubur. Kebenaran pertanyaan di alam kubur tidak
diragukan lagi. Kubur merupakan tempat jasad bersemayam. Selain dalam tanah,
kubur dapat juga berupa perut binatang buas. Kepada jasad itulah, Allah akan
mengembalikan kehidupan dalam bentuk yang tidak dapat kita sadari. Dengan
kehidupan itu, jasad dapat mendengar pertanyaan dan menjawabnya.29
Ada beberapa hadis mengenai azab kubur yang merupakan tergolong hadis
ahad, akan tetapi hadis tersebut termasuk dalam periwayatan hadis yang
mutawatir dari sudut makna, antara lain Sabda Rasulullah saw. dalam hadis Imam
Muslim,
إذافرغأحدكممنالتشهداآلخرفليتعوذباللمنأربعمنعذابجهنمومنعذابالقربومن فتنةاحملياواملماتومنشراملسيحالدجال
“Apabila seseorang kamu telah selesai dari tasyahud akhir, maka
hendaklah berlindung dengan Allah dari empat hal, yakni dari azab jahannam,
azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian dan juga dari keburukan al-masīh
al-dajjāl”
Adapun ijma‟, maka semua umat muslim hendaknya berdoa dengan doa
tersebut setiap dalam shalat mereka. Kalau siksa kubur tidak ada, maka tidak perlu
berlindung kepada Allah darinya, karena untuk apa berlindung dari sesuatu yang
tidak ada. Ini menunjukkan bahwa mereka beriman kepadanya.30
Imam Ibnu al-Qayyim berkomentar tentang hadis Rasulullah saw. yang
menceritakan mimpi beliau bertemu dengan malaikat dan diajak melihat keadaan
29 Muhammad Sayyid Ahmad al-Musayyar, Alām al-Ghaib fi al-ʼAqīdah al-
Islāmiyyah / Buku Pintar Alam Gaib, Penerjemah. Iman Firdaus & Taufik Damas, Cet. I,
(Jakarta: Zaman, 2009), h. 217.
30
Syaikh Muhammad bin Sālih al-Utsaimin, Syarh al-„Aqīdah al-Wāsiṯiyyah Li
Syaikh al-Islām Ibni Taimiyyah / Buku Induk Akidah Islam, Penerjemah. Izzudin Karimi,
Cet. VII, (Jakarta: Darul Haq, 2014), h. 670.
93
alam barzakh, ia berkata “Inilah dalil dari sunnah yang menetapkan adanya siksa
kubur, karenan sesungguhnya mimpi para nabi itu adalah wahyu yang sesuai
dengan perkara yang sebenarnya.”31
Imam Al-Bukhāri menyendirikan Kitāb Al-Janāiz untuk membahas
tentang azab kubur dengan memberi judul Bāb Mā Jāʽa fi ʼAzāb al-Qabri (Hadis-
hadis yang menjelaskan tentang siksa kubur).32
Al-Bukhāri meriwayatkan dari ʼĀʽisyah bahwa seorang wanita Yahudi
datang kepadanya dan menceritakan azab kubur. Wanita itu berkata, “Semoga
Allah melindungimu dari azab kubur.” Lalu ʼĀʽisyah bertanya kepada Rasulullah
saw. tentang azab kubur. Beliau menjawab, “Ya, azab kubur itu pasti ada.”
ʼĀʽisyah berkata, “Setelah itu aku tidak pernah melihat Rasulullah saw.
mendirikan shalat, kecuali meminta (berdoa) perlindungan dari azab kubur”.33
Imam Bukhāri dan Imam Muslim meriwayatkan dari al-Barrāʽ bin ʼĀzib
tentang firman Allah, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman
dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat” (Q.S
Ibrāhīm: 27). Rasulullah saw. menjelaskan bahwa ayat ini turun untuk
menjelaskan azab kubur. Kepada orang mukmin itu ditanyakan, “Siapa Tuhan-
mu?” ia menjawab, “Tuhan ku adalah Allah, dan Nabi ku adalah Muhammad”.
31
Mahmūd Al-Mishri Abū Ammar, Rihlah ilā Dār al-Ākhirah / Tamasya ke
Negeri Akhirat, Cet. VI, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), h. 272.
32 Mahmūd Al-Mishri Abū Ammar, Rihlah ilā Dār al-Ākhirah / Tamasya ke
Negeri Akhirat, Cet. VI, h. 266.
33
Aʼidh al-Qarni dkk, Awwalu Laylah fī al-Qabr – Ahwālu al-Qabr - Hadāʽiq
al-Qabr/ Malam Pertama Di Alam Kubur, Penerjemah. Abu Ibahim al-Qudsi, Cet. XLIX,
(Solo: Aqwam, 2015), h. 111.
94
Itulah yang dimaksud dengan firman Allah, Allah meneguhkan (iman) orang-
orang yang beriman dengan ucapan yang teguh.34
Ibnu Hazm berpendapat alam barzakh merupakan alam seluruh arwah
sebelum arwah-arwah itu masuk ke jasadnya masing-masing. Tempat setiap ruh
disebut dengan kubur. Di dalamnya ruh akan disiksa dan ditanya.35
Imam al-Nawāwī mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya madzhab Ahlu
Sunnah menetapkan adanya azab kubur . banyak dalil-dalil al-Qur‟an dan Sunnah
yang menunjukkan hal demikian. Allah swt. Telah berfirman dalam surat Ghāfir:
45-46, juga banyak hadis-hadis shahih dari Nabi saw. melalui sejumlah sahabat
yang menunjukkan hal tersebut di berbagai riwayat. Menurut akal pun, tidak
mustahil Allah mengembalikan kehidupan (hanya) pada sebagian jasad, kemudia
Dia menyiksanya. Apabila akal tidak menolak kemungkinan itu, padahal telah ada
syari‟at yang menjelaskannya, maka adanya azab kubur wajib diterima dan
diyakini. Sebagaimana Imam Muslim telah menyebutkan banyak riwayat hadis
tentang penetapan adanya azab kubur. Intinya lu adalah Madzhab Ahlu Sunnah
menetapkan adanya azab kubur. Berbeda dengan prinsip Khawarij, sebagian
Mu‟tazilah, mereka menolak adanya azab kubur.36
Pensyarah kitab al-Ṯahawiyah berkata, “Banyak ditemukan hadis
mutawatir dari Rasulullah saw. yang menetapkan adanya siksa dan kenikmatan
kubur bagi orang yang memang berhak untuk itu, dan pertanyaan dua malaikat.
34 Muhammad Sayyid Ahmad al-Musayyar, Alām al-Ghaib fi al-ʼAqīdah al-
Islāmiyyah / Buku Pintar Alam Gaib, Penerjemah. Iman Firdaus & Taufik Damas, Cet. I, (Jakarta:
Zaman, 2009), h. 223.
35
Muhammad Sayyid Ahmad al-Musayyar, Alām al-Ghaib fi al-ʼAqīdah al-
Islāmiyyah / Buku Pintar Alam Gaib, Penerjemah. Iman Firdaus & Taufik Damas, Cet. I, h. 227.
36
Shahih Muslim Syarah Nawawi, Cet. XVII, h. 197-198.
95
Dengan demikian, diwajibkan untuk meyakini hal tersebut dan mengimaninya,
tanpa perlu membicarakan tentang bagaimana tata caranya”.37
Imam Ibnu al-Qayyim berkata, “Yang seharusnya diketahui adalah bahwa
siksa kubur itu adalah siksa Barzakh. Maka, siapapun yang mati ia berhak
mendapatkan bagian dari azab, meskipun ia dikubur ataupun tidak, diterkam
biatang buas ataupun dibakar hingga menjadi abu dan tertiup udara. Juga baik ia
disalib, atau tenggelam di laut. Bagian azab itu tetap akan sampai kepada ruh dan
badannya, sebagaimana juga akan sampai ke dalam kuburnya.”38
2. Ulama Mufassīr
Dalil-dalil al-Qur‟an yang menjelaskan tentang azab kubur terdapat lebih
dari satu ayat dari berbagai surat. Di antaranya yaitu Surat al-An‟ām: 93, al-
Sajdah: 21, Ṯāhā: 124, dan Ghāfir: 45-46. Ibnu al-Qayyim berkata, “Nikmat dan
azab alam barzakh tersebut dalam al-Qur‟an lebih dari satu tempat.” yakni,
الل
“...Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang
yang zhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat
memukul dengan tangannya, (sambil berkata) “keluarkanlah nyawamu”. Hari ini
kalian dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu
mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu
menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (Q.S. al-An‟ām: 93).
37
Mahmūd Al-Mishri Abū Ammar, Rihlah ilā Dār al-Ākhirah / Tamasya ke
Negeri Akhirat, Cet. VI, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), h. 266.
38 Mahmūd Al-Mishri Abū Ammar, Rihlah ilā Dār al-Ākhirah / Tamasya ke
Negeri Akhirat, Cet. VI, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), h. 273.
96
Obyek pembicaraan dari ayat ini adalah jika seseorang dihadapkan pada
hal ini, baik yang kecil ataupun yang besar, laki-laki ataupun perempuan.
Sedangkan, mereka tidak melihat sesuatu pun dari hal itu, dan tidak mendengar
celaan dan ejekan itu dan tidak mengetahui sesuatu pun dari pukulan itu. Namun,
mereka hanya sebatas melihat kehadirannya dan konteks dirinya, tetapi tidak
mengetahui sesuatu pun dari kedahsyatan sakaratul maut, dan apa yang dilakukan
dalam kuburnya itu jauh lebih besar darinya dan tidak diketahui siapa yang
menyingkapnya secara lebih jelas dan nyata, karena mereka tidak mengamati apa
yang dialami mereka.39
Itulah ucapan yang dikatakan kepada mereka. Ucapan malaikat, bahwa
pada hari itu mereka disiksa dengan azab yang menghinakan. Kalau waktu
pemberian azab tersebut menunggu samai hancurnya dunia, tentu tidak dikatakan
“hari ini kalian dibalas..”.
الل
“Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir‟aun
beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka
dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat.
(Dikatakan kepada malaikat): “Masuklah Fir‟aun dan kaumnya ke dalam azab
yang sangat keras.” (Q.S. Ghāfir: 45-46).
Para ulama salaf dan golongan Ahlu al-Sunnah berpendapat Ayat ini
menunjukkan bahwa penampakkan neraka itu terjadi sebelum hari kiamat karena
kata sambung wa (wa ʼaṯaf) antara kalimat “al-nāru yu‟raḏūna ʼalaihā
ghuduwwan wa ʼasyiyyan” dengan kalimat “yauma taqūmu al-sāʼatu” tidak
39 Mahmūd Al-Mishri Abū Ammar, Rihlah ilā Dār al-Ākhirah / Tamasya ke
Negeri Akhirat, Cet. VI, h. 258.
97
memiliki kaitan. Tentu penampakkan ini bukan di dunia. Jika demikian, berarti di
alam barzakh.40
Al-Qurṯubī berkata, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa mengahadapkan
mereka ke neraka itu terjadi ketika mereka masih berada di alam barzakh. Inilah
hujjah yang menetapkan adanya siksa kubur.”41
“Nanti mereka akan kami siksa dua kali kemudian mereka akan
dikembalikan kepada siksa yang besar.” (Al-Taubah: 101).
Ayat ini menunjukkan bahwa terdapat dua jenis siksa yang ditimpakan
kepada kaum munafik sebelum disiksa pada hari kiamat. Siksa pertama yaitu;
Siksa yang ditimpakan Allah di dunia, bisa jadi dengan hukuman dari-Nya, dan
bisa jadi pula siksa melalui tangan-tangan kaum mukminin. Sedangkan siksa
kedua adalah; Siksa kubur. Al-Hasan al-Basri berkata, “Kami (Allah) akan
menyiksa mereka dua kali; Siksa dunia dan siksa kubur.”42
Disebutkan azab dunia – akhirat dengan jelas dan gamblang.
“Maka biarkanlah mereka hingga mereka menemui hari (yang dijanjikan
kepada) mereka yang pada hari itu mereka dibinasakan, yaitu hari ketika tidak
40 Muhammad Sayyid Ahmad al-Musayyar, Alām al-Ghaib fi al-ʼAqīdah al-
Islāmiyyah / Buku Pintar Alam Gaib, Penerjemah. Iman Firdaus & Taufik Damas, Cet. I, (Jakarta:
Zaman, 2009), h. 217.
41
Mahmūd Al-Mishri Abū Ammar, Rihlah ilā Dār al-Ākhirah / Tamasya ke
Negeri Akhirat, Cet. VI, h. 260.
42
Mahmūd Al-Mishri Abū Ammar, Rihlah ilā Dār al-Ākhirah Tamasya ke
Negeri Akhirat, Cet. VI, h. 259.
98
berguna bagi mereka sedikit pun tipu daya mereka dan mereka tidak ditolong. Dan
sesungguhnya untuk orang-orang yang zhalim ada adzab selain itu, tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui” (Q.S. al-Ṯūr: 45-47).
Ayat ini mengandung dua pengertian: azab yang akan ditimpakan kepada
mereka di dunia berupa pembunuhan dan sebagainya, dan azab yang akan
diberikan di alam barzakh. Karena banyak orang yang meninggal tanpa diazab
dulu sebelumnya di dunia. Ada pula yang berpendapat – dan ini pendapat yang
kuat – bahwa mereka yang mati akan diazab di dunia. Sementara yang masih
hidup akan mendapat azab di dunia berupa pembunuhan dan sebagainya. Inilah
azab yang mengancam mereka di dunia dan akhirat.43
Ibnu Jarīr berkata dalam tafsirnya, Jāmi‟ al-Bayān, Dari al-Barrāʽ bin
ʼĀzib berkata, “Maksud dari firman Allah “ada azab selain itu” adalah azab
kubur. Dari Qatādah bahwasanya ʼAbbās pernah berkata, “Dan sesungguhnya
untuk orang-orang yang zhalim ada azab selain itu.” Ibnu Jarīr berkata,
“Pendapat yang paling benar mengenai hal itu – menurut saya – yaitu;
Sesungguhnya Allah telah memberitakan bahwa bagi orang-orang yang
menzhalimi diri mereka dengan kekafiran mereka yaitu siksa selain hari dimana
pada hari itu ditiupkan sangkakala, yakni Hari Kiamat. Dengan demikian, siksa
kubur itu adalah selain dari siksa Hari kiamat, karena siksa kubur itu terjadi di
alam Barzakh, demikian pula dengan kelaparan yang menimpa kaum kafir
Quraisy.”44
Menurut Syaikh al-Islām Ibnu Taimiyah, kata “al-Yauma tujzaun” (Pada
hari ini kamu dibalas) pada ayat 93 dalam surat al-An‟ām, Alif Lam adalah untuk
43 Aʼidh al-Qarni dkk, Awwalu Laylah fī al-Qabr – Ahwālu al-Qabr - Hadāʽiq
al-Qabr/ Malam Pertama Di Alam Kubur, Penerjemah. Abu Ibahim al-Qudsi, Cet. XLIX, h. 110.
44
Mahmūd Al-Mishri Abū Ammar, Rihlah ilā Dār al-Ākhirah / Tamasya ke
Negeri Akhirat, Cet. VI, h. 263.
99
perjanjian yang hadir. Maksudnya adalah, hari kehadiran malaikat untuk
mencabut nyawa mereka. Ini menunjukkan bahwa mereka diazab sejak nyawa
mereka dicabut; inilah azab barzakh.45
Pada surat al-Sajdah ayat 21, yang berbunyi:
“Dan sesungguhnya kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang
lebih besar (di akhirat), Mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Dengan ayat ini sebagian kalangan – di antaranya ʼAbdullah bin ʼAbbās –
meyakini adanya siksa kubur. Namun, dalam hujjah ini masih terdapat yang
mengganjal, karena maksud ayat ini adalah siksa di dunia yang diharapkan
mereka dapat kembali taubat dari kekafiran.46
Mujāhid, al-Barrāʽ bin ʼĀzib, dan
Abū ʼUbaidah mengatakan: “Yang dimaksud dengan azab yang dekat adalah azab
kubur”.47
Firman Allah dalam Q.S. Ṯahā: 124,
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari
kiamat dalam keadaan buta”.
45 Syaikh Muhammad bin Sālih al-Utsaimin, Syarh al-„Aqīdah al-Wāsiṯiyyah Li
Syaikh al-Islām Ibni Taimiyyah / Buku Induk Akidah Islam, Penerjemah. Izzudin Karimi, Cet. VII,
(Jakarta: Darul Haq, 2014), h. 669.
46
Mahmūd Al-Mishri Abū Ammar, Rihlah ilā Dār al-Ākhirah / Tamasya ke
Negeri Akhirat, Cet. VI, h. 258.
47
Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qurʽān al-ʼAẕīm, (Riyāḏ: Maktabar Dār al-Salām,
1994), Jil. 6, h. 330.
100
Imam Jalālain berkata, “kata „ma‟īysyatan ḏankan‟ dalam hadis dengan
azab orang kafir dalam kuburnya”48
Terdapat juga ayat yang mengisahkan Fir‟aun dan kaumnya dalam Q.S.
Ghāfir: 46:
“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang dan pada hari
terjadinya Kiamat. (dikatakan kepada malaikat): „Masukkanlah Fir‟aun dan
kaumnya kedalam azab yang sangat keras.”
Al-Qurṯubī mengatakan: “Jumhur ulama mengatakan penampakkan neraka
itu terjadi di alam barzakh”.49
Pemahaman Jumhur ulama yakni bahwa
penampakkan neraka itu terjadi di alam kubur (alam barzakh), bukan di negeri
akhirat. Qaḏī Abū Bakar bin al-Ṯāʽib dan lainnya mengatakan: “Al-Qur‟an telah
datang membenarkan hadits-hadits yang menjelaskan adanya azab kubur dengan
firman-Nya: „Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang‟ dimana
telah terjadi kesepakatan para ulama bahwa tidak ada waktu pagi dan petang di
negeri akhirat, keduanya hanya ada di dunia”.50
Dan Allah berfirman,
الل
“Karena kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggalamkan lalu
dimasukkan ke neraka. Maka, mereka tidak mendapat penolong-penolongan bagi
mereka selain Allah.” (Q.S Nūh: 25).
48 Jalāl al-Dīn al-Mahallī dan Jalāl al-Dīn al-Suyūṯī, Tafsir al-Jalālain, (Kairo:
Dār al-Fikr, tt), Jil. 3, h. 68.
49
Syarf Mahmūd al-Quḏāh, Muqaddimah Itsbāt ʼAdzab al-Qabri, (Mesir: Dār
al-Furqān, tt), h. 11.
50
Ibnu al-Mulaqqan, Al-Tauzīh li Syarh al-Jāmiʼ al-Sahīh, (Qatar: Wazarah al-
Auqaf Wa al-Syuʽūn al-Islamiyah), Jil. X, h. 154.
101
Huruf fa dalam kalimat “Fa udkhilū nāran” menunjukkan adanya ta‟qīb
(urutan) yang berarti masuk neraka terjadi langsung setelah tenggelam sehingga
hal itu terjadi di alam barzakh, bukan pada hari kiamat.51
Al-Alusi menafsirkan dalam bukunya, Rūh al-Ma‟ānī:
Kata “lalu dimasukkan ke neraka” maksudnya adalah neraka Barzakh,
yakni siksa kubur. Dan barangsiapa yang meninggal dunia dalam air, api, dimakan
binatang buas atau burung merupakan contoh dari siksa yang menimpa orang
yang berada dalam kubur.” Fakhruddin al-Rāzī berkomentar dalam Mafātih al-
Ghāʽib, “Dalam menetapkan adanya siksa kubur, sebagian teman-teman kita
berpegang pada ayat “Mereka ditenggelamkan dan dimasukkan ke neraka.” Hal
ini dikarenakan dua sebab: Pertama, Faʽ dalam firman Allah “Faʽudkhilū al-nār”
(lalu dimasukkan ke neraka) menunjukkan bahwa kondisi ini muncul setelah
tenggelam, sehingga tidak mungkin membawanya kepada siksa akhirat. Jika tidak,
maka penunjukkan faʽ ini tidaklah tepat. Kedua, Allah berfirman “Faʽudkhilū”
yang menunjukkan berita yang terjadi pada masa lampau. Ini dapat dibenarkan
seandainya telah terjadi hal itu.52
3. Ulama Fuqahāʽ
Al-Marwāzī berkata, “Abū ʼAbdullāh – Imam Ahmad berkata, “Azab
kubur adalah kepastian yang tidak akan diingkari kecuali oleh orang yang sesat
dan menyesatkan”. Hanbal berkata, “Aku berbicara dengan Abū ʼAbdullāh
tentang azab kubur. Ia berkata, “Ini semua adalah hadis shahih. Kita beriman
51 Muhammad Sayyid Ahmad al-Musayyar, Alām al-Ghaib fi al-ʼAqīdah al-
Islāmiyyah (Buku Pintar Alam Gaib), Penerjemah. Iman Firdaus & Taufik Damas, Cet. I, h. 218.
52
Mahmūd Al-Mishri Abū Ammar, Rihlah ilā Dār al-Ākhirah / Tamasya ke
Negeri Akhirat, Cet. VI, h. 258.
102
kepadanya. Setiap yang datang dari Nabi saw. dengan isnad yang baik akan kita
terima. Kalau kita tidak mengambil apa yang datang dari Rasulullah saw. dan
menolaknya, berarti kita menolak perintah Allah, “Apa yang datang dari Rasul,
ambillah (QS. Al-Hasyr: 7). Aku bertanya, “Apakah azab kubur itu pasti?”. Dia
menjawab, “Pasti. Mereka akan diazab di kubur. Abū ʼAbdullāh melanjutkan,
“Kita mempercayai azab kubur, Munkar dan Nakir, dan bahwa seorang hamba
akan ditanyai di kuburnya. Maka, “Allah meneguhkan iman orang-orang yang
beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat
(Q.S. Ibrāhīm: 27)”. Maksudnya di alam kubur.53
Menurut Imam Abū Hanīfah, “Pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir di
dalam kubur adalah haq. Pengembalian ruh pada jasad di dalam kubur adalah
haq, himpitan kubur dan azabnya adalah haq bagi seluruh orang kafir, dan bagi
sebagian orang mukmin yang ahli maksiat adalah haq yang jāiz.” 54
Anas bin Malik meriwayatkan dalam al-Muwaṯṯaʽ hlm. 277 tentang Do‟a
Abū Hurairah yang memohonkan perlindungan dari azab kubur untuk anak-anak
kecil yang telah dishalatinya. Dan meriwayatkan wanita Yahudi yang disiksa di
dalam kuburnya pada hlm. 234.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Di antara ajaran sunnah yang wajib
dan barang siapa yang meninggalkan salah satunya maka tidak diterima dari
padanya dan tidak termasuk ahli sunnah adalah iman dengan azab kubur dan
53 Aʼidh al-Qarni dkk, Awwalu Laylah fī al-Qabr – Ahwālu al-Qabr - Hadāʽiq
al-Qabr (Malam Pertama Di Alam Kubur), Penerjemah. Abu Ibahim al-Qudsi, Cet. XLIX, h. 112-
113.
54 Mullā ʼAlī al-Qārī, Syarh al-Fiqh al-Akbar, (Beirut: Dār al-Kutub al-
ʼIlmiyyah, tt), h. 79.
103
bahwasanya umat ini ditanya di dalam kuburnya tentang Iman dan Islam.”55
Beliau juga mengatakan, “Azab kubur itu haq, tidak ada yang mengingkari
melainkan orang yang sesat lagi menyesatkan.”56
Imam ʼAlī bin Abī al-ʼIzz al-Hanafī berkata, “Telah mutawatir berita dari
Rasulullah saw. tentang adanya azab kubur dan nikmat kubur bagi penghuninya.
Begitu pula tentang pertanyaan dua malaikat, maka wajib mengimani dan
meyakini kebenarannya”.57
Imam al-Asyʼārī berkata, “Mu‟tazilah telah mengingkari azab kubur,
semoga kita dihindarkan daripadanya, padahal telah diriwayatkan dari Nabi
Muhammad saw. dengan berbagai riwayat dan oleh sekian banyak sahabat Nabi
saw. tidak seorang pun dari mereka yang mengingkari atau menolaknya.
Ringkasnya, ini merupakan ijma‟ dari para sahabat ra.”58
Imam Syāfiʼī berkata, “Azab kubur itu benar adanya dan pertanyaan yang
diajukan kepada penghuni kubur juga benar adanya.”59
55 Abū al-Qāsim al-Lālikāʽi, Syarh Usūl al-I‟tiqād Ahli al-Sunnah wa al-
Jamā‟ah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2017), Jil. I, h. 156.
56
Ibnu al-Qayyim, Roh (Al-Rūh), (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2015), h. 71.
57
Ibnu Abī al-ʼIzz al-Hanafī, Tahdzīb Syarh ʼAqīdah Ṯahāwiyah (Al-Minhah al-
Ilahiyah fi Tahdzīb Syarh al-Ṯahāwiyah), (Jakarta: Darul Haq, 2015), h. 238.
58
Abū al-Hasan al-Asy‟arī, Al-Ibānah ʼan Usūl al-Diyānah, (Kerajaan Arab
Saudi: Dār al-Bayān, 1990), h. 166.
59
Imam al-Baihaqī, Manāqib al-Syāfi‟ī, (Kairo: Maktabah Dār al-Turāts, tt), Jil.
I, h. 415-416.
104
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada bab ini, penulis akan memberikan kesimpulan sebagai rumusan
.terakhir dari pemaparan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.
Adapun kesimpulannya sebagai berikut:
1. Azab kubur dalam perspektif hadis menjelaskan tentang siksaan di alam
kubur (barzakh) yang akan diterima oleh orang-orang yang tidak beriman
dan tidak menjalankan perintah Allah swt. dan Rasul-Nya, serta tidak
menjauhi segala larangan-Nya. Perihal azab kubur telah disampaikan dan
dijelaskan lebih banyak dalam periwayatan hadis, di antaranya yaitu
dimulai dengan hadis-hadis yang menjelaskan tentang pertanyaan dua
malaikat dalam kubur, sebab-sebab orang yang mendapatkan azab kubur
dan sebab-sebab orang yang selamat dari azab kubur. Azab kubur yang
diterima oleh seseorang yang telah meninggal sesuai dengan dosa yang
telah ia perbuat selama hidup di dunia, seperti halnya orang yang suka
berdusta akan diazab dengan jangkar besi yang dimasukkan ke dalam
mulutnya sampai ke tengkuk. Kepala orang yang meninggalkan shalat
wajib akan dihancurkan dengan batu. Para pezina, laki-laki atau
perempuan, akan diletakkan di atas tungku api yang membara, pemakan
riba akan dimasukkan ke dalam sungai darah, setiap kali mereka akan
berenang menuju ke tepian, maka di tiap tepi sungai darah busuk itu telah
berdiri para penjaga yang siap dengan batu-batu besar di tangannya,
105
dilemparnya laki-laki dan wanita pemakan riba itu, hingga tubuh mereka
terdorong lagi ke tengah-tengah sungai dan lain sebagainya seperti yang
dijelaskan dalam hadis Rasulullah saw. Dan hadis-hadis Rasulullah saw.
tentang azab kubur adalah hadis yang shahih secara umum. Oleh karena
itu, tidak boleh ditentang. Ada beberapa hadis mengenai azab kubur yang
merupakan tergolong hadis ahad yang ‟Azīz, seperti hadis tentang
penyebab azab kubur karena berdusta, zina, riba, meninggalkan shalat dan
al-Qur‟an, akan tetapi hadis tersebut termasuk dalam periwayatan hadis
yang mutawatir dari sudut makna. Berdasarkan penelitian penulis
terhadap hadis-hadis yang telah ditelusuri tentang azab kubur, hadis
tersebut dapat dijadikan hujjah dan tidak menyimpang dari dalil al-
Qur‟an.
2. Jumhur ulama bersepakat bahwa azab kubur itu benar adanya, dan wajib
mengimaninya karena termasuk ke dalam perkara yang gaib. Berikut
beberapa pendapat ulama tentang azab kubur:
a. Imam Ibnu al-Qayyim berkata, “Yang seharusnya diketahui adalah
bahwa siksa kubur itu adalah siksa Barzakh. Maka, siapapun yang
mati ia berhak mendapatkan bagian dari azab, meskipun ia dikubur
ataupun tidak, diterkam biatang buas ataupun dibakar hingga menjadi
abu dan tertiup udara. Juga baik ia disalib, atau tenggelam di laut.
Bagian azab itu tetap akan sampai kepada ruh dan badannya,
sebagaimana juga akan sampai ke dalam kuburnya.”
106
b. Imam al-Qurūbī mengutip perkataan Abū Muhammad ʼAbdu al-Haq
yang ditulis di dalam Kitabnya al-Tadzkirah, bahwa “Azab kubur itu
bukan hanya dikhususkan bagi orang-orang kafir dan tidak terbatas
pada orang-orang munafik, tetapi juga akan dirasakan oleh
segolongan kaum mukmin. Masing-masing tergantung amalnya serta
dosa dan kesalahan yang dilakukannya.”
c. Imam ʼAlī bin Abī al-ʼIzz al-Hanafī berkata, “Telah mutawatir berita
dari Rasulullah saw. tentang adanya azab kubur dan nikmat kubur
bagi penghuninya. Begitu pula tentang pertanyaan dua malaikat,
maka wajib mengimani dan meyakini kebenarannya”.
B. Saran-saran
Berdasarkan dari perihal yang penulis bahas dalam skripsi ini, maka
penulis menyampaikan saran-saran sebagai berikut:
1. Sebagai seorang muslim, kita wajib mengimani perkara-perkara yang
gaib sesuai dengan dalil-dalil syar‟i baik dalam al-Qurʽān maupun al-
Hadīts.
2. Hadis-hadis tentang azab kubur akan lebih baik jika dijadikan sebagai
bahan untuk muhasabah diri dan nasihat hidup, supaya terhindar dari
perbuatan yang dilarang Allah swt. dan Rasul-Nya.
3. Penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga penulis
berharap agar pembaca lebih mengembangkan kembali khazanah
keilmuan mengenai pembahasan dalam skripsi ini.
107
108
DAFTAR PUSTAKA
Abadī, Abū Ṯayyib Muhammad Syamsu al-Haqq al-„Aẕīm. ʼAun al-Ma‟būd Syarh
Sunan Abī Dāwud. Translated by Asmuni. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Abbas, Sirajuddin. I‟tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama‟ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah
Baru, 2005.
Adi, Febi Prasetya. Menyibak Misteri Kekal Akhirat Tinjauan Ilmu Fisika.
Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007.
ʼAinī, Badru al-Dīn Mahmūd bin Ahmad al-. ʼUmdatu al-Qāri Syarh Sahīh al-
Bukhārī. Beirut: Dār al-Kutub al-ʼIlmiyyah, 2001.
Albani, Muhammad Nashiruddin al-. Mukhtasar Sahih al-Bukhāri. Translated by
Amir Hamzah Fachrudin and Hanif Yahya. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Albāni, Muhammad Nashiruddin Al. Mukhtasar Sahih Muslim. Translated by Subhan
and Imran Rosadi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Albani, Muhammad Nashiruddin Al. Sahīh Sunan Abu Dāwud. Translated by Abd.
Mufid and M Soban Rohman. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
——. Sahīh Sunan An-Nasāʻī. Translated by Kamaluddin Sa‟diyatul Haramain.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Albanī, Muhammad Nasīr al-Dīn al-. Irwaʽ al-Ghalīl. Beirut: al-Maktab al-Islāmī: al-
Maktab al-Islāmī, 1979 M/1399 H.
al-Hanafī, Ibnu Abī al-ʼIzz. Tahdzīb Syarh ʼAqīdah Ṯahāwiyah (Al-Minhah al-
Ilahiyah fi Tahdzīb Syarh al-Ṯahāwiyah). Jakarta: Darul Haq, 2015.
ʼAlī, Abū ʼAbdu al-Rahmān Ahmad bin Syu‟aib bin. Sunan Al-Nasāʽī. Riyāḏ:
Maktabah al-Ma‟ārif: Maktabah al-Ma‟ārif, n.d.
109
Ammar, Mahmūd Al-Mishri Abū. Rihlah ilā Dār al-Ākhirah (Tamasya ke Negeri
Akhirat). Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014.
ʼAsqalānī, Ibnu Hajar al-. Fathu al-Bārī: Syarah Sahīh al-Bukhārī. Translated by
Amiruddin. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Asy‟arī, Abū al-Hasan al-. Al-Ibānah ʼan Usūl al-Diyānah. Kerajaan Arab Saudi: Dār
al-Bayān, 1990.
ʼAsyqar, ʼUmar Sulaiman al-. Al-Qiyāmah Al-Sughra. Kuwait: Maktabah al-Falāh,
1406 H.
Baihaqī, Imam al-. Manāqib al-Syāfi‟ī . Kairo: Maktabah Dār al-Turāts, n.d.
Bakker, Anton, and Achmad Chairis Zubair. Metode Penulisan Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius, 1994.
Bukhāri, Abū ʼAbdullāh Muhammad bin Isma‟il bin Ibrāhim al-. Al-Jāmi‟ Al-Bukhāri
(Sahīh Al-Bukhāri). Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 1437 H/2006 M.
Ḏāʽif, Syauqī. Al-Mu‟jam al-Wasīṯ. Mesir: Maktabah Surauq al-Dauliyyah, 2011.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam III. Jakarta: Ixhtiar Baru Van
Hove, 1994.
Dimasyqi, Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi al-. Asbabul Wurud; Latar Belakang
Historis Timbulnya Hadis-hadis Rasul. Jakarta: Kalam Mulia, 2011.
Ghazalī, Muhammad al-. Studi Kritis Atas Hadis Nabi SAW. Translated by
Muhammad al Baqir. Bandung: Mizan, 1996.
Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru 3: Eklesiologi, Eskatologi, Etika (New
Testament Theology). Translated by Lisda Tirtapraja Gamadhi. Jakarta:
Gunung Mulia, 2012.
110
Haddād, ʼAbdullāh. Sabīl al-ʼIddikār wa al-I‟tibār bimā Yamurru bi al-Insān wa
Yanqaḏī lahu min al-A‟mār (Renungan tentang Umur Manusia). Translated
by Muhammad Bagir. Bandung: Mizan, 1992.
Hanbal, Ahmad bin. Musnad al-Imām Ahmad bin Hanbal. Beirut: Dār al-Fikr, n.d.
Husain, Abū Lubābah. Pemikiran Hadis Mu‟tazilah. Translated by Usman Sya‟roni.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
Islam, Khawaja Muhammad. Mati itu Spektakuler, Siapkah Anda Menyambutnya?
Translated by Abdullah Ali dan Satrio W. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
2004.
Ismail, M Syuhudi. Metodologi Penelitian Sanad Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang,
1993.
Jabbār, ʼAbdu al-. Faḏl al-I‟tizāl wa Ṯabaqāt al-mu‟tazilah. Tunis: Dār al-Tunisiya,
1986.
Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. Syarah ʼAqidah Ahlus Sunnah wal Jama‟ah. Jakarta:
Pustaka Imam Syafi‟i, 2014.
Katsīr, Ibnu. Taysīr al-ʼAllām Syarhu ʼUmdatu al-Ahkām (Fikih Hadits Bukhari
Muslim). Translated by Umar Mujtahid. Jakarta: Ummul Qura, 2013.
Katsīr, ʼImād al-Dīn Abū al-Fidāʽi Ismāʼīl bin. Tafsīr al-Qurʽānu al-ʼAẕīm. Riyaḏ:
Maktabah Dār al-Islāmī, 1414 H/1994 M.
Katsoff, Lois O. Pengantar Filsafat. Translated by Suyono Sumargono. Yogyakarta,
1992.
Keene, Michael. Agama-Agama Dunia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006.
Khallāf, ʼAbdu al-Wahhāb. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
——. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Aman, 2003.
111
Lālikāʽi, Abū al-Qāsim al-. Syarh Usūl al-I‟tiqād Ahli al-Sunnah wa al-Jamā‟ah.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2017.
Mahallī, Jalāl al-Dīn al-, and Jalāl al-Dīn al- Suyūṯī. Tafsir al-Jalālain. Kairo: Dār al-
Fikr, n.d.
Majdi, Muhib al, and Abu Fatiah al Adnani. Dari Alam Barzakh Menuju Padang
Mahsyar. Surakarta: Granada Mediatama, 2003.
Maʽlūf, Louwis bin Naqula Ẕahīr al-. Al-Munjīd Fi al-Lughah wa al-A‟lam. Beirut:
Dār al-Masyriq, 2002.
Misrī, Muhammad ʼAbdu al-Hādī al-. Manhaj dan Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama‟ah.
Jakarta: Gema Insani Press, 1992.
Misrī, Muhammad bin Mukram bin Manẕur al-Afrīqī al-. Lisān al-ʼArab. Beirut: Dikr
Sadir, n.d.
MKD IAIN Sunan Ampel. Pengantar Studi Islam. Surabaya: IAIN Sunan Ampel
Press, n.d.
Mulaqqan, Ibnu al-. Al-Tauzīh li Syarh al-Jāmiʼ al-Sahīh. Qatar: Wazarah al-Auqaf
Wa al-Syuʽūn al-Islamiyah, n.d.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Musayyar, Muhammad Sayyid Ahmad al-. Alām al-Ghaib fi al-ʼAqīdah al-
Islāmiyyah (Buku Pintar Alam Gaib). Translated by Iman Firdaus and Taufik
Damas. Jakarta: Zaman, 2009.
Mustofa, Agus. Tak Ada Azab Kubur? Surabaya: PADMA Press, 2008.
Naisābūrī, Abū Husain Muslim bin Al-Hajjāj Al-Qusyairī Al-. Sahīh Muslim. Beirut:
Dār al-Kutub al-ʼIlmī, 1412 H/ 1991 M.
112
Nasaiburi, Abū al-Husain Muslim bin al-Hajjāj bin Muslim al-Qusyairi al-. Sahih
Muslim. Beirut: Dār al-Fikr, 1993.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI
Press, 1985.
Nata, Abudin. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2001.
Nawawi, Imam Al-. Al- Manhāj Syarh Sahīh Muslim bin al-Hajjāj (Syarah Shahih
Muslim). Translated by Agus Ma‟mun. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014.
Nawawī, Imam al-. Al-Minhāj fi Syarhi Sahih Muslim. Beirut: Muʽassisah al-
Qurṯubah, 1994.
Purnama, Yulian. Alam Kubur Itu Benar Adanya. n.d. http://muslim.or.id/5910-alam-
kubur-itu-benar-adanya-1.html (accessed Oktober 18, 2016).
Qāḏī, ʼAbdu al-Rahman bin Ahmad al-. Daqāʽiqu al-Akhbār (Kehidupan Sebelum
dan Sesudah Kematian). Jakarta: Turos Pustaka, 2015.
Qārī, Mullā ʼAlī al-. Syarh al-Fiqh al-Akbar. Beirut: Dār al-Kutub al-ʼIlmiyyah, n.d.
Qarni, Aʼidh al-. Awwalu Laylah fī al-Qabr – Ahwālu al-Qabr - Hadāʽiq al-Qabr
(Malam Pertama Di Alam Kubur). Translated by Abu Ibahim al-Qudsi. Solo:
Aqwam, 2015.
Qayyim, Ibnu al-. Roh (Al-Rūh). Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2015.
Qazwinī, Muhammad bin Yazīd Abū ʼAbdullāh al-. Sunan Ibnu Mājah. Beirut: Dār
al-Fikr, n.d.
Qazwīnī, Muhammad bin Yazīd Abū ʼAbdullah al-. Sunan Ibnu Mājah. Dār Ahyāʻu
al-Kutub al-ʼArabiyyah, n.d.
Quḏāh, Syarf Mahmūd al-. Muqaddimah Itsbāt ʼAdzb al-Qabri. Mesir: Dār al-Furqān,
n.d.
113
Qurṯubī, Imam Al-. Al-Tadzkirah fi Ahwāl al-Mawta wa Umūr al-Akhirah. Madinah:
Maktabah al-Salafiyyah, n.d.
Rāzī, Fakhru al-Dīn al-. Yasʽalūnaka „an al-Rūh (Roh itu Misterius). Translated by
Muhammad Abdul Qadir al- Kaf. Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001.
Romas, Ghofir. Ilmu Tauhid. Semarang: Penerbit Fak. Dakwah IAIN Walisongo,
1997.
Sanʼānī, Muhammad bin Ismāʼīl al-Amīr al-. Subulu al-Salām; Syarah Bulūghu al-
Marām. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2015.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan
Umat. Bandung: Mizan, 1996.
Sijistāni, Abu Dāwud Sulaimān bin al-Asy‟āts al-. Sunan Abu Dāwud. Riyaḏ:
Maktabah al-Ma‟ārif, n.d.
Sijjistānī, Abū Dāwud Sulaimān bin Al-Asy‟ab Al-. Sunan Abu Dāwud. Riyaḏ:
Maktabah al-Ma‟ārif, n.d.
Suyūṯī, Jalāl al-Dīn al-. Sahīh al-Jāmi‟ al-Saghīr. Beirut: Dār al-Kutub al-ʼIlmiyyah,
n.d.
Syahrastānī, Abū al-Fath Muhammad. Al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dār Sa‟ab, 1986.
Ṯahān, Mahmūd. Taysīr Musṯalah al-Hadīts (Ilmu Hadis Praktis). Translated by Abu
Fuad. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2013.
Tanggok, M. Ikhsan. Agama Buddha. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta,
2009.
——. Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia. Jakarta: Pelita
Kebajikan, 2005.
Tim Penyusun Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pustaka, 1998.
114
——. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional, 2004.
Tirmidzī, Abū ʼIsā Muhammad bin ʼIsā Al-. Al-Jāmi‟ al-Kabīr (Sunan al-Tirmidzī).
Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmi, 1996 M, 1996 M.
Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Sālih al-. Syarh al-„Aqīdah al-Wāsiṯiyyah Li Syaikh
al-Islām Ibni Taimiyyah (Buku Induk Akidah Islam). Translated by Izzudin
Karimi. Jakarta: Darul Haq, 2014.
Wensinck, A. J. al-Muʼjam al-Fahras li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī. Leiden: E. J.
Brill, 1943.