©ukdwsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · semakin tinggi...

20
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masih teringat dengan jelas di benak penulis, peristiwa erupsi Gunung Merapi yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Penulis memang bertempat tinggal di Kabupaten Sleman, namun tidak termasuk kawasan rawan bencana yang ditetapkan oleh Pemerintah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Meskipun demikian, penulis dapat melihat dengan jelas betapa besar dan tingginya kepulan asap erupsi Gunung Merapi yang mencapai tinggi ratusan meter. Kondisi demikian menimbulkan ketakutan dan kengerian betapa dahsyatnya potensi bahaya yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi. Ketakutan dan kengerian ini tentu tidak hanya dirasakan oleh penulis saja, namun juga oleh masyarakat yang tinggal di beberapa wilayah yang berada di provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang letaknya berdekatan dengan Gunung Merapi. Situasi tersebut semakin diperparah dengan adanya isu-isu yang bukan menenangkan, namun justru menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat. Perasaan seperti itu tentu jauh lebih dalam dirasakan bagi mereka yang tinggal di sekitar Gunung Merapi, secara khusus bagi para pengungsi yang harus meninggalkan tempat tinggalnya. Kengerian, ketakutan, dan kesedihan dirasakan oleh para pengungsi yang berasal dari desa-desa di sekitar Gunung Merapi. Menurut para pengungsi, ketakutan itu bukan hanya disebabkan oleh ancaman letusan Gunung Merapi yang begitu besar, namun juga ketidaksiapan berbagai elemen menghadapi ancaman itu. 1 Ketidaksiapan tersebut misalnya mobil dan jalur evakuasi yang belum tersedia, kebutuhan logistik para pengungsi yang tidak diperhatikan pemerintah, alat komunikasi darurat yang terbatas, serta tempat pengungsian yang berpindah- pindah. 2 Ketidaksiapan tersebut pada akhirnya dapat memperparah kondisi para pengungsi. 1 J. Kristanto dkk (ed). Dahsyatnya Merapi Tak Sedahsyat CintaMu (Yogyakarta : Seminari Tinggi St. Paulus, 2011), h. 75 2 Ibid., h. 76-80 ©UKDW

Upload: buikhuong

Post on 03-Feb-2018

228 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masih teringat dengan jelas di benak penulis, peristiwa erupsi Gunung

Merapi yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Penulis memang bertempat tinggal

di Kabupaten Sleman, namun tidak termasuk kawasan rawan bencana yang

ditetapkan oleh Pemerintah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana

(BNPB). Meskipun demikian, penulis dapat melihat dengan jelas betapa besar dan

tingginya kepulan asap erupsi Gunung Merapi yang mencapai tinggi ratusan

meter. Kondisi demikian menimbulkan ketakutan dan kengerian betapa

dahsyatnya potensi bahaya yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi.

Ketakutan dan kengerian ini tentu tidak hanya dirasakan oleh penulis saja, namun

juga oleh masyarakat yang tinggal di beberapa wilayah yang berada di provinsi

Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang letaknya berdekatan dengan

Gunung Merapi. Situasi tersebut semakin diperparah dengan adanya isu-isu yang

bukan menenangkan, namun justru menimbulkan kepanikan di tengah

masyarakat. Perasaan seperti itu tentu jauh lebih dalam dirasakan bagi mereka

yang tinggal di sekitar Gunung Merapi, secara khusus bagi para pengungsi yang

harus meninggalkan tempat tinggalnya.

Kengerian, ketakutan, dan kesedihan dirasakan oleh para pengungsi yang

berasal dari desa-desa di sekitar Gunung Merapi. Menurut para pengungsi,

ketakutan itu bukan hanya disebabkan oleh ancaman letusan Gunung Merapi yang

begitu besar, namun juga ketidaksiapan berbagai elemen menghadapi ancaman

itu.1 Ketidaksiapan tersebut misalnya mobil dan jalur evakuasi yang belum

tersedia, kebutuhan logistik para pengungsi yang tidak diperhatikan pemerintah,

alat komunikasi darurat yang terbatas, serta tempat pengungsian yang berpindah-

pindah.2 Ketidaksiapan tersebut pada akhirnya dapat memperparah kondisi para

pengungsi.

1 J. Kristanto dkk (ed). Dahsyatnya Merapi Tak Sedahsyat CintaMu (Yogyakarta :

Seminari Tinggi St. Paulus, 2011), h. 75 2 Ibid., h. 76-80

©UKDW

Page 2: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

2

Pengalaman dan situasi di atas menunjukkan dampak luar biasa yang

ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 yang lalu. Erupsi

Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober 2010 hingga mencapai puncak letusan

terbesar 5 November 2010 memang menyebabkan kerusakan dan kerugian yang

sangat besar di empat kabupaten, yaitu Magelang, Boyolali, dan Klaten di Jawa

Tengah, dan Sleman di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada bulan Maret 2011,

BNPB merilis data jumlah kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh

bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 adalah sebesar Rp. 3,56 trilyun,

dengan jumlah nilai kerusakan sebagai dampak langsung sebesar Rp. 1,69 trilyun

dan jumlah nilai kerugian sebagai dampak tidak langsung sebesar Rp. 1,87 trilyun,

dan jumlah tersebut di luar kerugian dan kerusakan akibat banjir lahar dingin.3

Peningkatan status Gunung Merapi dari normal aktif menjadi waspada

pada tanggal 20 September 2010 direkomendasikan oleh Balai Pemantauan dan

Penyelidikan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta. Pada tanggal 21

Oktober 2010 status berubah menjadi siaga. Karena aktivitas Gunung Merapi

yang semakin meningkat yang ditunjukkan dengan tingginya frekuensi gempa

multifase dan gempa vulkanik, maka sejak 25 Oktober 2010 pihak BPPTK

Yogyakarta merekomendasikan peningkatan status Gunung Merapi menjadi awas

dan seluruh masyarakat penghuni wilayah dalam radius 10 km dari puncak

Gunung Merapi dilakukan evakuasi. Dalam rangka mengantisipasi bencana yang

timbul pada saat erupsi Gunung Merapi maka pemerintah membuat peta kawasan

rawan bencana (KRB) yang dikeluarkan dalam bentuk surat keputusan bupati.

Pada lampiran 9, terlihat KRB dibedakan menjadi empat kawasan, yaitu kawasan

tidak rawan bencana (TRB), kawasan rawan bencana 1 (KRB 1), KRB 2, dan

KRB 3. Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya

yang terjadi pada kawasan tersebut jika terjadi erupsi Gunung Merapi. Erupsi

tanggal 4-5 November 2010 merupakan letusan terbesar sejak tahun 1872 dan

menyebabkan korban jiwa berjumlah 386 orang meninggal dunia dan

menyebabkan 11.000 penduduk kehilangan rumah dengan 350.000 orang

dievakuasi pada saat letusan.4 BPPTK menyatakan bahwa erupsi Gunung Merapi

3Gema BNPB Volume 2 Nomor 1. Dari Wasior, Mentawai hingga Merapi (BNPB, Maret

2011) h. 19. 4Ibid.

©UKDW

Page 3: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

3

pada November 2010 merupakan siklus tahunan yang bersifat besar dan memiliki

luncuran awan panas mencapai 18 kilometer yang melalui alur Kali Gendol. Pada

setiap kali letusan, Gunung Merapi mengeluarkan jutaan meter kubik material

panas berupa lava yang terdiri dari batu, kerikil, pasir, dan abu dengan suhu yang

tinggi mencapai 900oC dengan luncuran awan panas berkecepatan mencapai 60

km/jam.5 Keterlambatan informasi tentang erupsi yang terjadi ke seluruh

masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Merapi juga berdampak pada

tingginya korban yang meninggal dan kerugian material pada peristiwa tersebut.6

Secara umum, bencana yang diakibatkan oleh erupsi Gunung Merapi tahun 2010

lalu menimbulkan perubahan pola-pola kehidupan masyarakat, kerugian harta,

benda, dan jiwa manusia, merusak struktur sosial masyarakat dan memunculkan

lonjakan kebutuhan pribadi atau suatu komunitas.7 Berbagai dampak tersebut pada

akhirnnya dapat menyebabkan perubahan struktur kehidupan masyarakat sekitar

Gunung Merapi, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan bidang-bidang

lainnya. Karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena alam seperti erupsi

Gunung Merapi dapat menjadi salah satu sumber penderitaan bagi umat manusia,

terutama bagi mereka yang tinggal di daerah kawasan rawan bencana gunung

berapi.

Berbagai dampak erupsi Gunung Merapi yang telah menimbulkan

penderitaan bagi warga masyarakat sekitar Gunung Merapi menggerakkan Gereja

Kristen Indonesia (GKI) Ngupasan untuk melakukan berbagai upaya yang

bertujuan menolong dan membantu para korban dan pengungsi erupsi Gunung

Merapi. Salah satu upaya yang dilakukan oleh GKI Ngupasan bagi masyarakat

terdampak erupsi Gunung Merapi tersebut adalah dengan mengadakan

pendampingan masyarakat bagi warga masyarakat Dusun Tegalrejo, Desa

Kamongan, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang dalam sebuah program

desa binaan. Program pendampingan masyarakat yang dilakukan GKI Ngupasan

tersebut diawali dengan aksi tanggap bencana dengan pemberian bantuan ke

beberapa daerah yang mengalami dampak langsung, baik di Kabupaten Sleman,

5Ibid., h. 20

6 Ibid.

7United Nations Developing Programme. Panduan Pengurangan Risiko Bencana

Berbasis Komunitas (UNDP : 2012). h. 8

©UKDW

Page 4: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

4

Kabupaten Klaten, maupun Kabupaten Magelang. Aksi respon bencana tersebut

berlangsung sejak erupsi pertama atau 26 Oktober 2010 dan dimotori langsung

oleh Bidang 2 Majelis Jemaat GKI Ngupasan atau Bidang Kesaksian Pelayanan

(Kespel). Dalam aksi tersebut, Bidang Kespel bersama beberapa anggota jemaat

membagikan berbagai macam barang bantuan darurat yang dianggap mendesak

bagi para pengungsi, yaitu masker, makanan bayi, mie instan, nasi bungkus, dan

barang konsumtif lain yang segera dapat dimanfaatkan oleh pengungsi. Tidak

hanya satu pos pengungsi yang menjadi sasaran kegiatan ini, namun beberapa pos

pengungsian di tiga kabupaten tersebut. Memang, pos pengungsi yang menjadi

sasaran pemberian bantuan ini bergantung pada informasi yang diterima oleh

Bidang Kespel, seperti pos pengungsi di daerah Cebongan, Kemalang, Muntilan,

Srumbung, hingga Wukirsari. Pada prinsipnya, GKI Ngupasan tidak membatasi

sasaran penerima bantuan mengingat kebutuhan mendesak para pengungsi yang

harus segera dipenuhi demi keselamatan pengungsi. Oleh karena itu, jumlah

bantuan pun tidak dapat dikatakan besar, namun yang terpenting adalah

mencukupi kebutuhan mendesak para pengungsi. Dalam upaya ini, GKI Ngupasan

telah memiliki dana yang berasal dari donatur yang diperuntukkan secara khusus

untuk mengantisipasi peristiwa seperti bencana alam.

Aksi respon bencana atau tanggap darurat di atas dikerjakan oleh Tim

Gerakan Kemanusiaan Indonesia Ngupasan dan berlangsung hingga pertengahan

November 2015. Bantuan itu berakhir mengingat bantuan yang datang kepada

pengungsi erupsi Gunung Merapi juga semakin banyak. Namun, upaya GKI

Ngupasan untuk menolong dan membantu warga masyarakat yang menderita

karena erupsi Gunung Merapi tidak berhenti. Sudah lama Bidang Kespel memiliki

keinginan untuk mengerjakan kesaksian pelayanan melalui upaya pemberdayaan

masyarakat desa dalam suatu program yang disebut program desa binaan. Melalui

program desa binaan ini, GKI Ngupasan berharap dapat memberdayakan warga

desa menjadi warga yang mandiri. Tim Gerakan Kemanusiaan Indonesia pun

lebih intensif membangun hubungan dengan para pengungsi, termasuk kepada

para pengungsi yang berasal dari Dusun Tegalrejo. Keinginan untuk mengadakan

desa binaan pun mulai terwujud dengan respon yang baik dari warga Dusun

Tegalrejo dengan menerima dan menjalin relasi dengan GKI Ngupasan dan

©UKDW

Page 5: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

5

melakukan berbagai kegiatan pendampingan masyarakat. Warga Dusun Tegalrejo

yang berjumlah kurang lebih 100 KK tersebut pada saat itu mengungsi karena

masuk dalam kawasan rawan bencana dan mulai kembali ke tempat tinggal pada

akhir November.

Setelah warga kembali ke rumah, berbagai upaya pun mulai dilakukan.

Upaya yang dilakukan bertujuan memulihkan ekonomi warga sehingga warga

dapat memiliki penghasilan dalam jangka pendek. Upaya yang dilakukan juga

tidak berfokus pada perbaikan infrastruktur karena sarana prasarana dusun tidak

mengalami kerusakan yang terlalu parah. Meskipun demikian warga desa tidak

dapat melakukan pekerjaan sehari-hari sebagai petani salak akibat masifnya

kerusakan ladang salak mereka. Karena itu, kegiatan dalam program desa binaan

dijabarkan untuk mengembangkan mata pencaharian warga tersebut. Awal tahun

2011, Tim Gerakan Kemanusiaan Indonesia memulai dengan alternatif pertanian

tanaman selain salak. Tanaman sayuran dan buah dipilih karena dianggap

memiliki produktivitas yang tinggi sehingga diharapkan warga dapat segera

menikmati hasilnya. Berbagai pelatihan sekitar pertanian juga diadakan baik

untuk kelompok bapak-bapak maupun kelompok ibu-ibu. Bahkan pelatihan tidak

hanya pada proses produksi pangan, namun juga pengolahan pangan agar warga

mendapat keterampilan yang dapat menaikkan nilai jual suatu produk, khususnya

salak jika warga sudah dapat memproduksi salak kembali. Upaya pemasaran pun

juga diberikan melalui program desa binaan. Panen bersama warga bersama

jemaat pun juga menjadi media yang semakin mengeratkan relasi yang terbangun.

Sesudah pertanian jangka pendek di atas berlangsung selama 1 tahun,

upaya desa binaan dilanjutkan oleh Tim Peduli Merapi dengan berbagai pelatihan-

pelatihan yang berkaitan dengan pertanian yang juga melibatkan kelompok tani

Rejo Mulyo. Pembibitan hingga pembuatan pupuk dilatihkan agar penduduk

memiliki keterampilan dan wawasan dalam mengembangkan pertanian yang

mereka miliki. Tim Peduli Merapi kemudian bekerja sama dengan penduduk

untuk lebih dalam memberi pemahaman dan wawasan penduduk berkaitan dengan

masalah yang mereka hadapi. Warga dikumpulkan dan dilakukan berbagai usaha

pengorganisasian yang diharapkan dapat mengubah kehidupan masyarakat dengan

melibatkan masyarakat sendiri. Ada berbagai kegiatan yang dilakukan bersama

©UKDW

Page 6: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

6

dengan Yayasan Kesindo yang berakhir pada peternakan kambing dengan harapan

dapat menjadi sumber mata pencaharian selain bertani. Selain itu, masih ada

kegiatan pengobatan gratis, acara bersama anak-anak warga, penjualan hasil tani

yang masih berlangsung hingga tahun ini. Melalui kegiatan ini pula, persaudaraan

yang baru dapat dijalin dan dipertahankan hingga saat ini.

Upaya yang dilakukan oleh GKI Ngupasan dalam mengerjakan

pelayanan tersebut didasarkan pada visi GKI Ngupasan 2006-2012, yaitu menjadi

murid Kristus yang saling memperhatikan, bersama-sama bertumbuh, dan

melayani keluar. Rumusan visi ini terdiri atas tiga bagian besar tugas GKI

Ngupasan sebagai gereja di kota Yogyakarta, yaitu saling memperhatikan

(persekutuan) yang ditekankan pada 2006-2008, bersama-sama bertumbuh

(pembinaan) yang ditekankan pada 2008-2010, dan melayani keluar (diakonia)

yang ditekankan 2010-2012.8 Visi bagian ketiga melayani keluar dipahami

sebagai perwujudan firman Tuhan, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala

sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina

ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40).9 Untuk mencapai visi

tersebut, GKI Ngupasan menetapkan beberapa misi, berkaitan dengan visi

melayani keluar misi yang ditetapkan adalah meningkatkan pelayanan ke dalam

dan ke luar dengan memikirkan dan mewujudkannya ke dalam bentuk-bentuk

pelayanan yang lebih cocok untuk situasi masa kini, yang tidak hanya bersifat

pemberian tetapi yang meningkatkan kemandirian orang yang dilayani.10

Salah

satu perwujudan visi tersebut adalah dengan melaksanakan pendampingan bagi

warga masyarakat dalam program desa binaan bagi warga Dusun Tegalrejo, Desa

Kamongan, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, sebagai salah satu

daerah terdampak erupsi Gunung Merapi. Dengan kata lain, upaya pendampingan

ini adalah upaya pelayanan yang dilakukan GKI Ngupasan bagi mereka yang

tengah mengalami penderitaan.

8Visi dipahami sebagai gambaran tentang GKI Ngupasan yang diharapkan dan diyakini

akan terjadi pada masa depan sesuai dengan iman kepada Tuhan Yesus Kristus. Mengingat jangka

waktu visi yang ditetapkan hanya 6 tahun, maka visi GKI Ngupasan saat ini telah berganti.Adapun

visi GKI Ngupasan yang ditetapkan mulai tahun 2014 adalah”Menjadi pekerja Kristus yang

mengerjakan misi Allah”. 9Tabita Kartika Christiani. Sejarah 75 Tahun GKI Ngupasan (Yogyakarta : GKI

Ngupasan, 2009). h. 110. 10

Ibid. h. 111

©UKDW

Page 7: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

7

Dalam konteks pelayanan dan pendampingan yang dilakukan oleh GKI

Ngupasan terhadap warga Dusun Tegalrejo tersebut, sangatlah penting untuk

melihat konteks komunitas sasaran, yaitu sebagai komunitas yang berada di

daerah rawan bencana erupsi Gunung Merapi. Dengan kata lain, komunitas

sasaran pelayanan yang dilakukan oleh GKI Ngupasan adalah masyarakat rawan

bencana mengingat erupsi Gunung Merapi jelas akan terjadi kembali. PVMBG

(Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Gunung api) menyatakan Gunung

Merapi yang terletak di perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dengan Daerah

Istimewa Yogyakarta tersebut merupakan gunung api yang sangat aktif dengan

periode letusan antara 3-6 tahun atau 9-12 tahun untuk letusan besar.11

Itu berarti

pelayanan yang dilakukan GKI Ngupasan melalui kegiatan pendampingan

masyarakat bagi warga Dusun Tegalrejo harus memperhatikan konteks komunitas

sasaran sebagai masyarakat rawan bencana. Suatu upaya pendampingan

masyarakat yang tepat bagi masyarakat lereng Gunung Merapi pada akhirnya

dapat mengantisipasi dan mencegah dampak besar yang ditimbulkan dari bahaya

erupsi yang dapat menjadi bencana dan sumber penderitaan manusia. Memang,

usaha GKI Ngupasan dalam melakukan pendampingan masyarakat Dusun

Tegalrejo menjadi upaya untuk melaksanakan panggilan dan pelayanan gereja di

tengah dunia yang didasari perkataan Yesus dalam Matius 25:40. Di sisi lain,

dalam mengerjakan pelayanan tersebut, menurut penulis, harus memperhatikan

konteks komunitas yang dilayani sehingga pelayanan yang dilakukan sungguh-

sungguh menjawab pergumulan penderitaan yang dialami warga Dusun Tegalrejo

yang berada di lereng Gunung Merapi. Dengan pemahaman inilah, penulis

menilai perlunya sebuah tinjauan yang besifat evaluatif atas berbagai upaya

pendampingan masyarakat yang telah dan sedang dilakukan oleh GKI Ngupasan

untuk melihat sejauh mana upaya tersebut telah memperlengkapi masyarakat

Dusun Tegalrejo dalam menghadapi erupsi Gunung Merapi yang akan terjadi

kembali.

Persoalan konteks masyarakat sasaran menjadi semakin penting

mengingat menurut Syamsul Maarif, ketua BNPB, dalam menghadapi bencana

yang disebabkan oleh erupsi Gunung Merapi, masyarakat sekitar Gunung Merapi

11

Gema BNPB Volume 2 Nomor 1. Dari Wasior, Mentawai hingga Merapi (BNPB,

Maret 2011) h. 19.

©UKDW

Page 8: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

8

justru cenderung tidak memberontak.12

Ia menjelaskan bahwa meskipun bencana

yang disebabkan oleh erupsi Gunung Merapi tersebut sangat masif, destruktif dan

mengancam penduduk, pandangan dan sikap masyarakat sekitar Gunung Merapi

justru menerimanya dalam kepasrahan diri dan bersikap “nrimo”, mereka

berpandangan bahwa pergumulan hidup masa kini dan mendatang berada dalam

tangan sang “Gusti”.13

Maarif menjelaskan bahwa bagi penduduk desa yang

tinggal di lereng Gunung Merapi maupun penduduk Kota Yogyakarta, letusan

tidaklah dipandang sebagai bencana, namun dipahami sebagai peringatan dari

dunia supranatural.14

Akibat kepercayaan ini, banyak orang yang tinggal di daerah

sekitar Gunung Merapi, tidak merasa takut. Alih-alih dianggap sebagai sumber

bahaya, Gunung Merapi dianggap sebagai milik umum yang harus dihormati oleh

penduduk. Bagi penduduk, letusan Gunung Merapi ini benar-benar telah

terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari sekaligus menjadi bagian informal bagi

masyarakat sekitar Merapi yang tidak dapat terpisahkan.15

Contoh sikap dan pandangan tersebut misalnya dapat dijumpai dalam

kehidupan keluarga Yu Narni, seorang penjual jadah tempe yang tinggal di daerah

Kaliurang, yang penulis kenal dengan baik. Bagi dia dan keluarganya, Gunung

Merapi sangatlah dekat dengan masyarakat lereng, memberi berkah lewat

kesuburan tanah namun juga sewaktu-waktu dapat meminta korban. Pada saat

erupsi, tidak sedikit warga yang memilih tetap tinggal di rumah masing-masing,

terutama karena Mbah Maridjan sendiri belum mengungsi. Setelah terjadi letusan

besar, warga memilih untuk mengungsi. Apa yang disampaikan oleh Yu Narni

kepada penulis setidaknya memang menggambarkan sikap masyarakat lereng

Gunung Merapi dalam menghadapi penderitaan yang ditimbulkan oleh erupsi

Gunung Merapi. Sebagian besar memilih untuk menerimanya dengan sikap

pasrah, cuek, pasif dan tidak melawan, sebagaimana yang diungkapkan oleh ketua

BNPB di atas, karena dipandang sebagai sesuatu yang normal, wajar dan harus

diterima.

12

Syamsul Maarif et al., (2012) Konstestasi Pengetahuan dan Pemaknaan tenntang

Ancaman Bencana Alam, Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1 (BNPB, 2012),

h. 8 13

Ibid. 14

Ibid., h. 4 15

Ibid.

©UKDW

Page 9: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

9

Dalam kehidupan masyarakat Jawa, sikap yang dimiliki Yu Narni dan

masyarakat lereng Gunung Merapi dalam menghadapi penderitaan tersebut dapat

tumbuh oleh karena adanya pandangan bahwa bungah-susah (kebahagiaan dan

penderitaan) merupakan dua hal yang selalu datang silih berganti di dalam

kehidupan.16

Hal ini terjadi karena dalam kehidupan masyarakat Jawa berlaku

hukum mulur-mungkret (mengembang-mengempis).17

Dalam hukum mulur-

mungkret, manusia hidup dengan dipenuhi berbagai keinginan dan semua orang

akan mengusahakan keinginannya agar bisa mencapai kebahagiaan. Padahal sifat

keinginan itu sendiri mulur dan mungkret. Jika keinginan seseorang terus tercapai

(mulur) maka ada satu titik di mana keinginannya tidak tercapai. Mulur pun

berhenti dan berganti dengan mungkret karena ia merasa gagal sampai akhirnya ia

mengalami keberhasilan lagi, kegagalan lagi, seterusnya dan seterusnya. Akibat

yang dihasilkannya adalah bungah susah. Susah dan senang adalah pasangan

abadi, tidak ada kebahagiaan tanpa penderitaan, dan sebaliknya tidak ada

penderitaan yang tidak berganti segera dengan kebahagiaan. Keduanya adalah

pasangan yang langgeng. Sebagai bagian yang datang silih berganti, bungah-

susah harus diterima dalam kehidupan dan manusia tunduk pada hukum itu. Hal

inilah yang melahirkan sikap “nrimo ing pandum”, yaitu menerima realitas

konkret yang dihadapi sebagai bagian dari kehidupan yang mau ataupun tidak

harus dijalaninya.18

Dalam sikap ini, terkandung pemahaman bahwa semua hal

sudah diatur dan ditentukan dari ‘atas’ dan manusia harus menerimanya agar

mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.19

Demikian pula bagi masyarakat lereng Gunung Merapi dalam memahami

keberadaan Gunung Merapi. Keberadaan Gunung Merapi memang memiliki

peranan istimewa bagi masyarakat yang tinggal di kabupaten sekitar lereng

Gunung Merapi. Di satu sisi, Gunung Merapi memang menimbulkan malapetaka

dengan mengeluarkan letusan yang dahsyat sekaligus berbahaya (susah), namun

di sisi yang lain Gunung Merapi memberi kehidupan bagi masyarakat yang

16

Ryan Sugiarto. Psikologi Raos : Saintifikasi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram

(Sleman : Pustaka Ifada, 2015), h. 59-61. 17

Ibid. 18

Moch. Fatkhan. Kearifan Lingkungan Masyarakat Lereng Gunung Merapi dalam

Aplikasia, Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol VII, No. 2 Desember 2006., h. 107-108. 19

Ibid. h. 110

©UKDW

Page 10: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

10

tinggal di lereng Gunung Merapi (bungah).20

Gunung Merapi diyakini dapat

memberikan keselamatan dan perlindungan ketika masyarakat bersedia

menyesuaikan diri dengan Gunung Merapi yang bersifat adi kodrati.21

Bersifat adi

kodrati sebab Gunung Merapi dengan segala proses alamnya dipandang sebagai

manifestasi dari kekuatan Sang Pencipta dan makhluk halus. Oleh karena itu,

semua fenomena yang terjadi pada Gunung Merapi, termasuk erupsi, dipandang

sebagai peristiwa yang harus diterima sebagai bagian untuk menjaga keselarasan

kehidupan yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan sekaligus sebagai

bagian dari bungah-susah yang harus dijalani masyarakat Jawa. Pandangan atau

nilai-nilai inilah, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi penerimaan

masyarakat sekitar Gunung Merapi terhadap potensi bencana yang dapat

ditimbulkan, yang cenderung bersikap pasrah dan tidak memberontak.

Selain dipengaruhi oleh keyakinan yang tumbuh dalam masyarakat Jawa,

sikap dan pandangan yang dimiliki penduduk sekitar Gunung Merapi juga dapat

dipengaruhi oleh cara pandang agama dalam memaknai bencana dan

penderitaaan. Dalam konteks yang lebih luas, yaitu konteks Indonesia, ada banyak

ajaran dalam agama-agama yang dilahirkan dalam upaya memahami bencana

yang menyebabkan penderitaan. Bencana dan penderitaan memang melahirkan

banyak pertanyaan dan menuntut penjelasan : “Mengapa Tuhan yang maha baik

tega memberikan bencana alam seperti ini?” “Apakah maksud Tuhan dengan

bencana ini?” “Mengapa harus kami yang mengalaminya?” Pertanyaan-

pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang sulit, yang merupakan cerminan

pergumulan orang beriman tentang iman dan keyakinannya kepada Tuhan.

Pertanyaan ini tentu lahir dari suatu perenungan panjang tentang konsep yang

umat percayai tentang Tuhan diperhadapkan dengan kenyataan hidup yang umat

jalani. Dalam perenungan itulah, umat cenderung mengartikan bencana sebagai

hukuman Tuhan karena mereka tidak menuruti kehendak Tuhan.22

Teologi

bencana sebagai hukuman inilah yang masih sangat kuat mempengaruhi cara

20

Bernard T. Adeney Risakotta dalam Zakaria J. Ngelow. Teologi Bencana : Pergumulan

Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial (Makassar : Oase Intim, 2006) h. 30. 21

Moch. Fatkhan. Kearifan Lingkungan Masyarakat Lereng Gunung Merapi dalam

Aplikasia, Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol VII, No. 2 Desember 2006, h. 110. 22

Budhy Munawar. Tuhan dan Masalah Penderitaan dalam Sudarminto dan Lili Tjahjadi

(ed). Dunia, Manusia, dan Tuhan (Yogyakarta : Kanisius, 2008), h. 194-195.

©UKDW

Page 11: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

11

pandang masyarakat dalam memaknai sebuah bencana dan penderitaan. Dalam

teologi hukuman, Allah menghukum mereka yang berbuat fasik dan jahat. Selain

teologi hukuman, memang ada teologi ujian ilahi dan teologi pendidikan ilahi

yang juga cukup berpengaruh dalam kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia.

Jika terjadi bencana, maka itu adalah ujian ilahi bagi kita, supaya iman kita tetap

kuat. Kalau ada bencana, itulah pendidikan ilahi bagi kita, supaya kita tidak

sombong dan bisa terus menerus menjadi rendah hati.23

Dalam pandangan Islam misalnya, sebagai agama mayoritas yang dianut

oleh warga lereng Gunung Merapi, bencana dan penderitaan yang terjadi

digolongkan ke dalam tiga tujuan, yakni : pertama, sebagai ujian (ibtila’) atas

keimanan dan kesabaran manusia sebagai makhluk Allah; kedua, sebagai

peringatan (tadzkirah) agar manusia selalu tunduk dan patuh kepada Allah; dan

ketiga, sebagai hukuman (uqubah) atas apa yang telah diperbuat manusia agar ia

manyadari dan menyesali kesalahan kemudian bertobat dan memohon ampunan

kepada Allah.24

Pandangan di atas menunjukkan bahwa di dalam Islam

penderitaan dipahami sebagai kehendak Allah, penderitaan termasuk ciptaan

Allah karena Allah diyakini sebagai Mahakuasa yang mampu membuat

keputusan.25

Menurut Yewangoe, pandangan masyarakat Jawa terhadap

penderitaan telah secara kuat mendapat penetrasi dari pandangan Islam tersebut. 26

Akibatnya, Allah dipercayai sebagai yang menentukan segala sesuatu dan tidak

boleh seorang pun meragukan kemahakuasaan Allah sebab segala sesuatu berada

di bawah kendaliNya. Bahkan, dengan sabar di dalam penderitaan dan

menerimanya, seseorang akan menerima pahala dan penderitaan yang dialami

tidak akan sebanding dengan pahala yang jauh lebih besar yang bakal diterima

seseorang. Teologi hukuman sebenarnya tidak hanya muncul dalam ajaran agama

Islam. Dalam kekristenan pun, teologi hukuman masih sangat kuat seperti yang

23

Emanuel Gerrit Singgih. Allah dan Penderitaan di dalam Refleksi Teologi Rakyat

Indonesia dalam Zakaria J. Ngelow. Teologi Bencana : Pergumulan Iman dalam Konteks

Bencana Alam dan Bencana Sosial (Makassar : Oase Intim, 2006) h. 262. 24

Imam Zamroni (2011). Islam dan Kearifan Lokal dalam Penanggulangan Bencana di

Jawa, Jurnal Penggulangan Bencana Volume 2 Nomor 1 (BNPB, 2011), h. 4-5. 25

Andreas A. Yewangoe. Membangun Teologi Bencana : Pergumulan Teodice dan

Teologi Penderitaan Allah dalam Zakaria J. Ngelow. Teologi Bencana : Pergumulan Iman dalam

Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial (Makassar : Oase Intim, 2006) h. 243. 26

Ibid., h. 244.

©UKDW

Page 12: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

12

terjadi dengan masyarakat Kristen di Halmahera, Alor, dan Nias.27

Memang, ada

banyak pendekatan yang dilakukan untuk mendekonstruksi konsep bencana

sebagai hukuman dari Allah, namun teologi hukuman masihlah kuat dihidupi oleh

umat Kristen dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Menurut Jerda Djawa,

keyakinan tersebut menimbulkan sisi baik dan sisi buruk. Sisi baiknya adalah

penyataan iman bahwa Tuhan terlibat dalam setiap pengalaman pahit mengajak

umat untuk menguji diri dan bertobat. Namun sisi buruknya adalah

kecenderungan untuk bersikap pasrah pada apa saja yang terjadi dan cenderung

mencari kambing hitam (siapa berdosa) dan bahkan menyalahkan Allah sebagai

penyebabnya. Lebih buruk lagi, perasaan bersalah para korban bencana yang

semakin meningkatkan penderitaannya.28

Nilai-nilai yang dimiliki masyarakat lereng Gunung Merapi, yang

dipengaruhi oleh pandangan agama dan budaya Jawa di atas, pada akhirnya dapat

melahirkan pemahaman bahwa bencana sebagai sesuatu yang tidak dapat

dihindari dan tidak dapat dicegah. Bencana adalah bagian dari hidup manusia

yang datang dari Tuhan yang harus diterima dengan sikap “nrimo”, pasrah, dan

ikhlas. Sikap-sikap demikian seringkali justru dapat menghambat upaya

penyelamatan jiwa ketika terjadi suatu bencana Dengan kata lain, sikap-sikap

yang tumbuh dalam masyarakat sekitar Gunung Merapi akibat kepercayaan

masyarakat terhadap Gunung Merapi dan terhadap bencana justru dapat

memperbesar bencana yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi.29

Padahal,

erupsi Gunung Merapi jelas akan terjadi kembali. Bahaya itu mengintai mereka

yang hidup di sekitar lereng Gunung Merapi dan semakin berbahaya ketika

mereka hidup dengan pandangan teologis dan nilai budaya seperti di atas. Oleh

karena itu, sangatlah penting memberi kesadaran dan pemahaman baru bagi

mereka dalam memaknai bencana. Dengan kata lain, diperlukan suatu

27

Lihat tulisan Eirene Gulo, Djawa dan Campbell Nelson dalam Zakaria J. Ngelow.

Teologi Bencana : Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial

(Makassar : Oase Intim, 2006) 28

Jerda Djawa. h. 68. Mencari makna Penderitaan dalam Ngelow, Zakaria dkk. Teologi

Bencana : Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial. (Makassar : Oase

Intim, 2006) 29

Sebagai contoh sikap warga masyarakat yang menolak untuk dievakuasi karena

mengikuti sikap Mbah Maridjan yang masih bertahan dengan alasan melakukan tanggung jawab

sebagai juru kunci yang sudah diserahkan kepadanya untuk menjaga Gunung Merapi. Pada erupsi

26 Oktober 2010, warga yang menjadi korban sebagian besar adalah warga yang menolak tersebut.

©UKDW

Page 13: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

13

pendampingan bagi mereka yang dapat menumbuhkan sikap kesiapsiagaan

menghadapi bencana, yang menggantikan sikap menerima dan pasrah dalam

menghadapi erupsi.

Dalam konteks inilah, penulis melihat pentingnya pendekatan

Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dalam melakukan pendampingan masyarakat

yang berada di kawasan rawan bencana, termasuk bagi masyarakat sekitar

Gunung Merapi. Jika masyarakat sekitar Gunung Merapi cenderung menganggap

bencana yang disebabkan erupsi adalah hal yang tak dapat dihindari sehingga

diterima dengan sikap pasrah dan pasif, pemahaman yang berbeda muncul di

dalam perspektif Pengurangan Risiko Bencana (PRB). PRB memahami bahwa

bencana dapat dihindari apabila masyarakat memiliki kapasitas untuk menghadapi

ancaman yang dihadapinya. Pemahaman dalam PRB tersebut didasarkan pada

definisi bencana itu sendiri, bahwa bencana merupakan fenomena yang terjadi

karena komponen-komponen ancaman dan kerentanan bekerja secara sistematis

dengan didorong oleh pemicu sehingga menyebabkan terjadinya risiko bencana

pada suatu komunitas dan komunitas tidak memiliki kapasitas yang lebih tinggi

daripada ancaman.30

Itu artinya peristiwa alam seperti erupsi, gempa bumi tidak

dipahami sebagai bencana, fenomena-fenomena tersebut hanyalah ancaman yang

berasal dari alam yang memang tidak dapat ditiadakan oleh kekuatan manusia.

Dengan kata lain, dalam PRB, bencana dipahami dapat terjadi ketika ancaman

alam (seperti letusan gunung api) bertemu dengan masyarakat yang rentan yang

mempunyai kemampuan rendah atau tidak memiliki kemampuan untuk

menanggapi ancaman itu (karena tidak ada pelatihan, pemahaman, atau

kesiapsiagaan). Gabungan ancaman dan ketiadaan kapasitas (kerentanan yang

tinggi) menyebabkan bencana yang menimbulkan terganggunya kehidupan

masyarakat seperti kehancuran rumah, kerusakan harta benda serta korban jiwa.

Menurut Teguh Eko Paripurno, PRB adalah sebuah pendekatan sistematis untuk

mengidentifikasi, mengkaji dan mengurangi risiko-risiko bencana dengan tujuan

mengurangi kerentanan masyarakat terhadap bencana dan menangani bahaya-

bahaya lingkungan maupun bahaya lain yang menimbulkan kerentanan.31

Karena

30

Eko Teguh Paripurno dkk. Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas. (Jakarta :

Grasindo, 2009). h. 7. 31

Ibid.

©UKDW

Page 14: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

14

itulah, PRB merupakan upaya yang dilakukan yang bertujuan memberi

pemahaman kepada masyarakat bahwa bencana dapat dihindari dengan cara

mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuan menangani ancaman yang

dimiliki suatu kelompok masyarakat.

Pendekatan dalam PRB lebih kuat memberikan pesan pada aspek

antisipatif, preventif, dan mitigatif. Pada umumnya bencana dapat terjadi di mana

saja dengan sedikit atau tanpa peringatan. Oleh karena itu sangat penting

bersiapsiaga terhadap bahaya bencana untuk mengurangi risiko dampaknya.

Dalam PRB, seluruh kegiatan difokuskan untuk meminimalkan kerentanan dan

risiko bencana di seluruh masyarakat, untuk menghindari atau membatasi dampak

merugikan yang ditimbulkan bahaya dalam konteks luas pembangunan

berkelanjutan.32

Dengan kata lain, upaya PRB tidak hanya dilakukan pada saat

bencana terjadi, namun lebih jauh bagaimana menyiapkan suatu komunitas dalam

menghadapi suatu ancaman bahaya. PRB menjadi jauh lebih penting untuk

dilakukan di Indonesia mengingat Indonesia masuk dalam kawasan cincin api

yang sangat rawan terjadinya bencana yang tidak terhindarkan akibat dari

ancaman gempa bumi, gunung api, tsunami, dan sebagainya.

Dalam PRB, upaya-upaya yang dilakukan dikelompokkan ke dalam dua

kategori,33

yaitu 1) upaya yang meningkatkan kapasitas masyarakat, yang

berhubungan langsung dengan ancaman, meliputi a) Mitigasi, yaitu usaha

mengurangi akibat ancaman sehingga mengurangi dampak bencana, meliputi

kegiatan fisik, seperti pembangunan kawasan, dan kegiatan non fisik, seperti

pelatihan-pelatihan yang meningkatkan kapasitas masyarakat; b) Pencegahan,

yaitu tindakan untuk mencegah munculnya suatu ancaman yaitu upaya yang

meningkatkan kapasitas masyarakat, yang berhubungan dengan kerentanan

komunitas tersebut, yaitu mempersiapkan secara individu dan secara komunitas

dalam suatu organisasi. Secara umum, pendekatan dalam PRB tersebut

melibatkan komunitas sehingga berbasis komunitas.34

Dengan demikian PRB

menjadi berbasis komunitas, yang kemudian diartikan sebagai proses pengelolan

32

Panduan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas. UNDP 2012. h. 18. 33

Ibid. 34

Eko Teguh Paripurno dkk. Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas. (Jakarta :

Grasindo, 2009). h. 9.

©UKDW

Page 15: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

15

risiko bencana yang melibatkan secara aktif masyarakat yang berisiko dalam

mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, dan mengevaluasi risiko bencana

untuk mengurangi kerentanannya dan meningkatkan kemampuan. PRB dengan

basis komunitas pertama-tama muncul atas kesadaran mengenai pentingnya

perspektif pelibatan komunitas untuk penanggulangan bencana. Pendekatan

berbasis komunitas menjadi filosofi yang mendasari program penanggulangan

bencana berarti semua upaya dimulai dan diakhiri dengan komunitas selaku

pelaku utama. Keterlibatan langsung komunitas dalam melaksanakan tindakan-

tindakan pengurangan risiko bencana di tingkat lokal adalah keharusan agar

tujuan PRB tercapai, yaitu mengurangi kerentanan dan memperkuat kapasitas

komunitas untuk menghadapi risko bencana yang dihadapi. Pada akhirnya, PRB

menjadi sebuah upaya agar masyarakat rawan bencana menjadi mandiri dan

berkapasitas menghadapi suatu ancaman.35

Pemahaman dan karakteristik di atas menunjukkan bahwa sangatlah

penting PRB menjadi pendekatan utama dalam membangun dan mendampingi

masyarakat yang berada di daerah rawan bencana. PRB bukan hanya menjadi

sebuah pendekatan dalam melakukan pemberdayaan suatu kelompok masyarakat,

namun hal yang lebih penting adalah perspektif PRB yang menegaskan bahwa

bencana dapat dihindari atau dicegah. Pemahaman ini jelas bertolak belakang

dengan pemahaman di sekitar budaya dan agama bahwa bencana adalah sesuatu

yang harus dialami dan diterima manusia. Dengan demikian, PRB menjadi sebuah

pendekatan baru dalam memahami dan menerima bencana. Dengan PRB,

masyarakat diajak untuk melakukan sikap preventif, bukan sikap pasif

sebagaimana yang tumbuh dan dihasilkan dalam berbagai pandangan dalam

budaya dan agama. Dengan kata lain, pendekatan PRB sangat penting digunakan

dalam melakukan pemberdayaan masyarakat rawan bencana.

Dengan berbagai pemaparan di atas, penulis bermaksud meninjau

pelaksanaan pendampingan masyarakat dalam program desa binaan yang

dilakukan oleh GKI Ngupasan tersebut dalam perspektif PRB. Di satu sisi, dalam

konteks masyarakat rawan bencana, penggunaan perspektif PRB dalam tinjauan

ini sangatlah penting dilakukan, yaitu untuk mengevaluasi sejauh mana upaya

35

Ibid.

©UKDW

Page 16: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

16

pendampingan yang dilakukan GKI Ngupasan dalam program desa binaan dapat

memperlengkapi warga Dusun Tegalrejo dalam menghadapi dan mengantisipasi

ancaman erupsi Gunung Merapi, di tengah tantangan nilai-nilai yang dihidupi

masyarakat sekitar Merapi yang cenderung bersikap pasif dalam menghadapi

bencana. Di sisi lain, penulis ingin melihat sejauh mana gereja mengerjakan

panggilan dalam pelayanannya secara sungguh-sungguh menjawab konteks

penderitaan yang dialami manusia Dengan menggunakan perspektif PRB dalam

tinjauan ini, penulis ingin menumbuhkan kesadaran bagi gereja dan masyarakat

untuk melihat paradigma atau pemahaman yang baru dalam memaknai bencana,

yaitu bahwa bencana dapat dihindari, dicegah, dan diminimalisir dampaknya,

sebagaimana pemahaman yang dimiliki dalam PRB. Melalui pemberdayaan yang

tepat, maka berbagai upaya yang dilakukan oleh gereja bersama masyarakat pada

akhirnya mampu menekan sumber penderitaan yang dialami manusia yang

disebabkan oleh suatu bencana.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, pertanyaan penelitian tesis

ini adalah “Apakah pendampingan masyarakat yang telah dan sedang

dilakukan GKI Ngupasan sudah menjadi upaya Pengurangan Risiko Bencana

(PRB) bagi masyarakat Dusun Tegalrejo dalam menghadapi erupsi Gunung

Merapi ?”

1.3 Hipotesa

Hipotesa yang penulis ajukan berdasarkan pertanyaan penelitian di atas

adalah pendampingan masyarakat yang telah dan sedang dilakukan GKI

Ngupasan belum menjadi upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) bagi

masyarakat Dusun Tegalrejo dalam menghadapi erupsi Gunung Merapi.

Seringkali, pelayanan yang dilakukan gereja bagi masyarakat korban bencana

masih berupa pemberian bantuan-bantuan yang terkesan karikatif. Padahal, di

dalam PRB, pemberdayaan komunitas menjadi kata kunci penting untuk

mempersiapkan masyarakat menghadapi suatu bencana. Jika hanya memberikan

pelayanan dan bantuan yang bersifat charity saja, pertolongan bagi para korban

©UKDW

Page 17: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

17

hanya sesaat saja, bukan sebuah upaya yang sungguh-sungguh dapat

mempersiapkan masyarakat rawan bencana dalam menghadapi bencana yang akan

terjadi di waktu-waktu mendatang.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Bertolak dari pertanyaan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah

mengetahui sekaligus meninjau berbagai kegiatan pendampingan masyarakat yang

dilakukan GKI Ngupasan dalam program desa binaan di Dusun Tegalrejo, Desa

Kamongan, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang dalam perspektif

Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Berdasarkan tujuan di atas, penelitian ini

diharapkan bermanfaat untuk :

1.4.1 Menumbuhkan kesadaran bagi gereja-gereja untuk mengerjakan

pelayanan yang tepat dan dapat menjawab pergumulan, dalam hal ini

konteks masyarakat yang berada di daerah rawan bencana.

1.4.2 Memberikan perspektif Pengurangan Risiko Bencana bagi gereja-

gereja dalam memaknai bencana sehingga dapat mengerjakan

pelayanan yang tepat bagi masyarakat rawan bencana.

1.4.3 Memberikan pemahaman yang tepat bagi gereja dan masyarakat

dalam membangun kemitraan yang dapat mewujudkan suatu

kehidupan bersama yang lebih baik.

1.5 Metodologi Penelitian

Dalam penelitian lapangan ini, penulis menggunakan metodologi

penelitian kualitatif melalui wawancara mendalam kepada sejumlah responden

guna mendapatkan informasi yang diperlukan. Metode penelitian kualitatif dipilih

karena tujuan dari penelitian kualitatif adalah mendapatkan gambaran dari sebuah

fenomena atau situasi sekaligus mendapatkan deskripsi yang mendalam dari

berbagai sumber atau opini terkait dengan situasi yang diteliti.36

Pada bagian

selanjutnya, penulis juga melakukan evaluasi dengan menganalisa data yang

diperoleh dengan suatu teori, dalam hal ini dilakukan analisa antara kegiatan

pendampingan yang dilakukan dalam program desa binaan GKI Ngupasan dengan

36

R. Kumar, Research Methodology : A step by step guide for beginners (London : Sage

Publication, 2005), h. 12.

©UKDW

Page 18: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

18

berbagai karakteristik dalam teori Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Adapun

penelitian bertempat di GKI Ngupasan dan Dusun Tegalrejo dengan waktu antara

Bulan Oktober 2015-Januari 2016. Berikut tahapan-tahapan yang dilalui penulis :

1.5.1 Teknik pengumpulan data

Penulis melakukan pengumpulan berbagai data dan dokumen yang

berkaitan dengan pelaksanaan program diakonia desa binaan GKI

Ngupasan di Dusun Tegalrejo, Desa Kamongan, Kecamatan Srumbung,

Kabupaten Magelang, yang didapatkan langsung dari pihak-pihak yang

terlibat. Terkait dengan pengumpulan data melalui wawancara, penulis

melakukan wawancara terhadap pihak-pihak berikut :

a. Majelis Jemaat GKI Ngupasan, dalam hal ini Bidang

Kesaksian Pelayanan yang menangani program desa binaan

GKI Ngupasan di Dusun Tegalrejo, Desa Kamongan,

berjumlah 5 orang.

b. Tokoh masyarakat dan warga Dusun Tegalrejo, berjumlah 4

orang.

c. Para ahli, penyuluh, fasilitator dan pengurus LSM Kesindo

yang dilibatkan dalam program diakonia ini. Berjumlah 5

orang.

1.5.2 Analisa dan interpretasi data

Setelah data dikumpulkan, penulis akan melakukan analisa, pengolahan

dan interpretasi data. Proses ini mengidentifikasi berbagai kegiatan yang

dilakukan dalam program desa binaan tersebut. Selanjutnya, penulis akan

melakukan evaluasi antara hasil identifikasi yang ada di dalam program

desa binaan tersebut dengan berbagai kriteria yang ada dalam teori

Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Dengan kata lain, penulis juga

melakukan penelitian evaluasi. Penelitian evaluasi merupakan kegiatan

penelitian untuk mengumpulkan data, menyajikan informasi yang akurat

dan objektif mengenai implementasi suatu aksi berdasarkan kriteria yang

ditetapkan dalam suatu teori, selanjutnya dengan akurasi dan objektivitas

informasi yang diperoleh dapat ditentukan nilai atau tingkat keberhasilan

©UKDW

Page 19: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

19

program, sehingga bermanfaat untuk pemecahan masalah yang dihadapi

serta mempertimbangkan apakah program tersebut perlu dilanjutkan atau

dimodifikasi.37

Dalam proses ini, penulis menganalisa setiap kegiatan yang

ada di dalam program desa binaan tersebut dengan berbagai karakteristik

atau unsur-unsur dalam teori PRB. Hasil analisa tersebut akan

menunjukkan apakah kegiatan-kegiatan dalam desa binaan sudah dapat

menjadi upaya PRB bagi masyarakat Dusun Tegalrejo terhadap ancaman

erupsi Gunung Merapi atau belum sekaligus penulis mencari hal-hal yang

mendukung ataupun menghambat program ini menjadi sebuah upaya

Pengurangan Risiko Bencana.

Selanjutnya, penulis akan melakukan refleksi teologis atas berbagai

pelayanan yang dilakukan oleh GKI Ngupasan bagi warga Dusun

Tegalrejo. Penulis akan mendialogkan pemahaman perspektif Pengurangan

Risiko Bencana (PRB) dengan pemahaman diakonia gereja dalam

menjawab konteks masyarakat sekitar Gunung Merapi, yang berada di

daerah rawan bencana sekaligus cenderung bersikap pasrah dalam

menghadapi bencana sehingga diperoleh upaya pelayanan yang tepat, yang

dapat dilakukan gereja dalam konteks masyarakat di daerah rawan

bencana.

1.6 Metode Penulisan

Data-data, baik berupa gambar, tabel, dokumen maupun berbagai catatan

hasil wawancara dan analisis penelitian, selain dilampirkan dalam laporan juga

akan disajikan secara naratif. Sedangkan tesis akan disajikan secara deskriptif

analitis. Secara garis besar, sistematika penyusunan laporan penelitian atau tesis

adalah sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah

penelitian, hipotesa, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan

metodologi penelitian, kerangka teoretis serta sistematika penulisan laporan.

37

Zaenal Arifin. Dasar-Dasar Penulisan Karya Ilmiah. (Jakarta : Grasindo, 2009). h. 60

©UKDW

Page 20: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52130002/ff656e... · Semakin tinggi KRB-nya, semakin rentan dan besar intensitas bahaya yang ... bagi para pengungsi, yaitu

20

Bab II Tinjauan Literatur : Pengurangan Risiko Bencana (PRB)

Bab ini berisi tentang tinjauan literatur teori mengenai Pengurangan Risiko

Bencana (PRB) sehingga melalui tinjauan literatur ini penulis mendapatkan

variabel dalam penelitian yang dilakukan.

Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan : Tinjauan Pendampingan

Masyarakat Dusun Tegalrejo dalam Perspektif PRB

Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang memaparkan gambaran Dusun

Tegalrejo sebagai komunitas sasaran dan uraian pelaksanaan program desa binaan

yang dilakukan oleh GKI Ngupasan di Dusun Tegalrejo, Desa Kamongan,

Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang dan hasil analisis Penulis terhadap

pelaksanaan program desa binaan dalam sudut pandang teori PRB.

Bab IV Refleksi Teologis terhadap Pendampingan Masyarakat Dusun

Tegalrejo yang Dilakukan GKI Ngupasan

Bab ini berisi refleksi teologis atas upaya yang telah dilakukan oleh GKI

Ngupasan bagi masyarakat Dusun Tegalrejo. Selain itu, penulis akan memaparkan

berbagai upaya dan pelayanan gereja dalam konteks melayani masyarakat yang

berada di daerah rawan bencana dalam perspektif PRB dengan mendialogkan

berbagai pemahaman dalam PRB dengan pemahaman diakonia gereja sehingga

diperoleh upaya yang tepat dalam melayani masyarakat rawan bencana.

Bab V Penutup

Bab ini merupakan bagian kesimpulan dan saran penulis sebagai peneliti bagi

penelitian lanjutan tentang pelayanan yang dilakukan gereja melalui berbagai

upaya pelayanan sehingga menjadi sebuah upaya PRB, khususnya di GKI dan

gereja di Indonesia pada umumnya.

Daftar Pustaka

Lampiran-lampiran

©UKDW