asgsr

7
1 POTENSI RAINWATER HARVESTING DALAM UPAYA MENGURANGI LIMPASAN PERMUKAAN MENGGUNAKAN MODEL HEC-HMS (Studi Kasus: Bandung Timur) POTENTIAL OF RAINWATER HARVESTING IN ORDER TO REDUCE SURFACE RUNOFF USING HEC-HMS MODEL (Case Study: East Bandung) Irsan Vanawandy 1 , Atika Lubis 2 , dan Edi Riawan 3 Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132 [email protected] ABSTRAK Bandung Timur merupakan wilayah padat pemukiman dan perindustrian. Kondisi air tanah di wilayah ini tidak layak untuk dikonsumsi karena kandungan Besi (Fe) yang terlalu tinggi. Selain permasalahan kualitas air, Bandung Timur memiliki permasalahan banjir di area Gedebage dan sekitarnya. Permasalahan ini disebabkan karena berkurangnya daerah resapan. Berkembangnya daerah Bandung Timur sebagai daerah perindustrian maupun pemukiman berdampak pada berkurangnya daerah resapan sehingga limpasan permukaan meningkat. Tujuan studi ini adalah melakukan simulasi rainwater harvesting untuk mengetahui efektivitasnya dalam upaya mereduksi limpasan pemukaan di daerah ini. Dengan menggunakan model HEC-HMS, dilakukan perhitungan untuk mengetahui total limpasan yang dapat direduksi dengan menerapkan reservoar sebagai metode rainwater harvesting. Metode Cumulative Distribution Function digunakan untuk membuat skenario kondisi ekstrem basah dalam simulasi HEC- HMS. Dalam simulasi dilakukan 3 skenario kondisi ekstrem basah dan kapasitas reservoar yang berbeda- beda. Berdasarkan perhitungan pada studi ini, reservoar dapat mereduksi limpasan hingga 26% pada tahun 2010. Kesimpulan dari studi ini adalah metode rainwater harvesting memiliki potensi yang cukup tinggi dalam upaya mereduksi limpasan permukaan di wilayah Bandung Timur. Kata kunci: curah hujan, rainwater harvesting, reservoar, runoff 1. Pendahuluan Laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang sangat cepat di kota-kota besar menyebabkan perubahan fungsi tata guna lahan. Sebagian besar lahan terbuka maupun hutan telah menjadi sejumlah area pemukiman dan perindustrian. Dampak dari perubahan tata guna lahan tersebut adalah meningkatnya direct runoff (limpasan permukaan langsung) dan menurunnya daerah resapan air. Hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya distribusi air secara hidrologis. Salah satu contohnya adalah banjir Gedebage di kawasan Bandung Timur. Bandung Timur merupakan kawasan perindustrian dengan area pemukiman yang cukup padat. Kualitas air tanah beberapa wilayah di kawasan Bandung Timur tidak layak untuk dikonsumsi sebagai air minum karena kandungan garam, besi (Fe), dan mangan (Mn) yang terlalu tinggi. Menurut Kepala Pusat Lingkungan Geologi Hubertus Danaryanto, tingginya kadar zat besi itu disebabkan oleh kondisi geologi cekungan Bandung yang awalnya berupa danau purba. Berdasarkan Permenkes No. 492 Tahun 2010, kadar maksimum zat besi dalam air minum adalah 0,3 mg/liter, sedangkan kandungan air tanah di wilayah cekungan Bandung mencapai 3 mg/liter atau diatas batas normal. Selain permasalahan tersebut, Bandung Timur juga memiliki permasalahan banjir di wilayah Gedebage. Faktor yang mempengaruhi permasalahan tersebut adalah tingginya direct runoff di wilayah Gedebage sehingga perlu dilakukan studi mengenai tingginya direct runoff di wilayah ini dan cara mengatasinya. Oleh karena itu, pemanfaatan air hujan dapat menjadi suatu solusi yang dapat dilakukan dalam upaya mengurangi limpasan permukaan serta memenuhi kebutuhan air bersih di wilayah Bandung Timur. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah

Upload: adii-munnahar

Post on 11-Dec-2015

215 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

adfsrfd

TRANSCRIPT

Page 1: asgsr

1

POTENSI RAINWATER HARVESTING DALAM UPAYA

MENGURANGI LIMPASAN PERMUKAAN

MENGGUNAKAN MODEL HEC-HMS

(Studi Kasus: Bandung Timur)

POTENTIAL OF RAINWATER HARVESTING IN ORDER TO REDUCE

SURFACE RUNOFF USING HEC-HMS MODEL

(Case Study: East Bandung)

Irsan Vanawandy1, Atika Lubis

2, dan Edi Riawan

3

Program Studi Meteorologi,

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung,

Jl. Ganesha 10 Bandung 40132

[email protected]

ABSTRAK

Bandung Timur merupakan wilayah padat pemukiman dan perindustrian. Kondisi air tanah di

wilayah ini tidak layak untuk dikonsumsi karena kandungan Besi (Fe) yang terlalu tinggi. Selain

permasalahan kualitas air, Bandung Timur memiliki permasalahan banjir di area Gedebage dan

sekitarnya. Permasalahan ini disebabkan karena berkurangnya daerah resapan. Berkembangnya daerah

Bandung Timur sebagai daerah perindustrian maupun pemukiman berdampak pada berkurangnya daerah

resapan sehingga limpasan permukaan meningkat. Tujuan studi ini adalah melakukan simulasi rainwater

harvesting untuk mengetahui efektivitasnya dalam upaya mereduksi limpasan pemukaan di daerah ini.

Dengan menggunakan model HEC-HMS, dilakukan perhitungan untuk mengetahui total limpasan yang

dapat direduksi dengan menerapkan reservoar sebagai metode rainwater harvesting. Metode Cumulative

Distribution Function digunakan untuk membuat skenario kondisi ekstrem basah dalam simulasi HEC-

HMS. Dalam simulasi dilakukan 3 skenario kondisi ekstrem basah dan kapasitas reservoar yang berbeda-

beda. Berdasarkan perhitungan pada studi ini, reservoar dapat mereduksi limpasan hingga 26% pada

tahun 2010. Kesimpulan dari studi ini adalah metode rainwater harvesting memiliki potensi yang cukup

tinggi dalam upaya mereduksi limpasan permukaan di wilayah Bandung Timur.

Kata kunci: curah hujan, rainwater harvesting, reservoar, runoff

1. Pendahuluan

Laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan

yang sangat cepat di kota-kota besar menyebabkan

perubahan fungsi tata guna lahan. Sebagian besar

lahan terbuka maupun hutan telah menjadi sejumlah

area pemukiman dan perindustrian. Dampak dari

perubahan tata guna lahan tersebut adalah

meningkatnya direct runoff (limpasan permukaan

langsung) dan menurunnya daerah resapan air. Hal

tersebut akan mengakibatkan terganggunya distribusi

air secara hidrologis. Salah satu contohnya adalah

banjir Gedebage di kawasan Bandung Timur.

Bandung Timur merupakan kawasan perindustrian

dengan area pemukiman yang cukup padat. Kualitas

air tanah beberapa wilayah di kawasan Bandung

Timur tidak layak untuk dikonsumsi sebagai air

minum karena kandungan garam, besi (Fe), dan

mangan (Mn) yang terlalu tinggi. Menurut Kepala

Pusat Lingkungan Geologi Hubertus Danaryanto,

tingginya kadar zat besi itu disebabkan oleh kondisi

geologi cekungan Bandung yang awalnya berupa

danau purba. Berdasarkan Permenkes No. 492 Tahun

2010, kadar maksimum zat besi dalam air minum

adalah 0,3 mg/liter, sedangkan kandungan air tanah di

wilayah cekungan Bandung mencapai 3 mg/liter atau

diatas batas normal.

Selain permasalahan tersebut, Bandung Timur

juga memiliki permasalahan banjir di wilayah

Gedebage. Faktor yang mempengaruhi permasalahan

tersebut adalah tingginya direct runoff di wilayah

Gedebage sehingga perlu dilakukan studi mengenai

tingginya direct runoff di wilayah ini dan cara

mengatasinya. Oleh karena itu, pemanfaatan air hujan

dapat menjadi suatu solusi yang dapat dilakukan

dalam upaya mengurangi limpasan permukaan serta

memenuhi kebutuhan air bersih di wilayah Bandung

Timur. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah

Page 2: asgsr

2

usaha pemanfaatan air hujan dengan metode rainwater

harvesting. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

potensi rainwater harvesting dalam upaya mengurangi

limpasan permukaan langsung di Bandung Timur.

Gambar 1. Sub DAS wilayah kajian di Bandung

Timur

Rainwater harvesting adalah teknologi yang

digunakan untuk mengumpulkan, mengalirkan, dan

menyimpan air hujan untuk kemudian digunakan dari

permukaan yang relatif bersih seperti atap, permukaan

tanah atau tangkapan batu (Norma, 2000). Nilai

rainwater harvesting sebagai sarana pelengkap atau

pengganti suplai air perkotaan telah dibuktikan oleh

banyak peneliti (Monzur dkk., 2012). Rainwater

harvesting merupakan komponen penting dari

pengelolaan air perkotaan dan memiliki manfaat

sekunder sebagai perluasan penggunaan air hujan dan

teknologi inovatif sederhana lainnya memiliki potensi

untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari waduk

penyimpanan air dan proses pengolahan air yang

berkontribusi terhadap perubahan iklim (Flower dkk.,

2007).

Sistem rainwater harvesting memanfaatkan

sumber daya air onsite, mengurangi limpasan

perkotaan (urban runoff), dan menghemat pengeluaran

uang untuk penggunaan air (Chiu, 2012). Sistem

rainwater harvesting memiliki keterbatasan utama

dalam efisiensi sistem tersebut yang sangat

dipengaruhi oleh variasi spasial dan temporal hujan,

yang kemudian mempengaruhi kinerja ekonomi

mereka (Relma, 2006).

Keuntungan rainwater harvesting adalah tersedia

air tambahan, meningkatkan kelembaban tanah,

meningkatkan air tanah melalui resapan buatan,

mengurangi banjir perkotaan, dan meningkatkan

kualitas air tanah. Rainwater harvesting dapat

digunakan untuk irigasi, toilet flushing, dan untuk

mencuci. Manfaat utama rainwater harvesting adalah

melestarikan sumber daya air, mengurangi limpasan

stormwater, menghemat biayapenggunaan air, biaya

operasional rendah, dan pemeliharaannya mudah.

Kelemahan teknologi rainwater harvesting

adalah pasokan air hujan terbatas dan ketidakpastian

curah hujan. Air hujan bukan sumber air yang dapat

diandalkan pada saat periode kering atau kemarau

berkepanjangan. Selain itu, kelemahan lainnya adalah

kapasitas penyimpanan yang rendah akan membatasi

pemanenan air hujan, sedangkan meningkatkan

kapasitas penyimpanan akan menambah biaya

konstruksi dan operasional sehingga membuat

teknologi menjadi kurang layak secara ekonomis,

kemungkinan kontaminasi pada air hujan yang berasal

dari kotoran hewan dan bahan organik yang dapat

mengakibatkan resiko kesehatan jika air hujan tidak

didesinfeksi sebelum digunakan.

Efisiensi rainwater harvesting bergantung pada

bahan yang digunakan, desain dan konstruksi,

pemeliharaan, dan total jumlah curah hujan. Parameter

yang biasa digunakan untuk menggambarkan efisiensi,

koefisiensi limpasan, merupakan presentase curah

hujan yang muncul sebagai limpasan, adalah 0,8.

Sebagai perbandingan, jika bahan atap yang

digunakan adalah genteng semen maka koefisien

limpasannya sekitar 75%, sedangkan atap dari tanah

liat biasanya 50% bergantung pada teknologi panen.

Plastik dan logam memiliki efisiensi terbaik yaitu

sekitar 80-90%.

Secara umum, pemanenan air adalah kegiatan

pengumpulan langsung air hujan. Air hujan yang

dikumpulkan dapat disimpan untuk penggunaan

langsung atau dapat diisi ulang ke tanah air. Sungai,

danau dan air tanah adalah sumber sekunder air. Di

masa sekarang, kita bergantung sepenuhnya pada

sumber sekunder air. Dalam proses tersebut,

umumnya, telah dilupakan bahwa hujan adalah

sumber utama semua sumber-sumber sekunder.

Pemanenan air berarti memanfaatkan secara optimal

air hujan di tempat di mana hujan jatuh, sehingga

untuk memenuhi kebutuhan air tdak perlu tergantung

pada sumber air yang jauh.

2. Data dan Metodologi

2.1 Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi

atas data input model HEC-HMS yang digunakan

untuk inisialisasi awal yaitu data Digital Elevation

Model (DEM) berupa data SRTM dalam format

ASCII, Landcover dan Soiltype dalam format

shapefile. Data input lainnya yang digunakan adalah

curah hujan berupa data CH harian dalam mm selama

tujuh tahun. Data pembanding yang digunakan untuk

verifikasi adalah data debit sungai harian tahun 2010

yang didapatkan dari PUSAIR.

Page 3: asgsr

3

2.2 Metodologi

2.2.1 Metode Soil Conservation Service (SCS)

Metode Curve Number digunakan untuk

menentukan daerah genangan dan limpasan

permukaan dengan melihat nilai direct runoff (Lubis

dan Herlianti). Perhitungan direct runoff

menggunakan Metode Soil Conservation Service

cukup baik digunakan untuk menghitung direct runoff,

karena metode ini memperhitungkan tutupan lahan,

dan jenis tanah (Herlianti, 2007).

Metode Soil Conservation Service (SCS)

merupakan suatu metode yang dikembangkan oleh

Departemen Pertanian Amerika Serikat sejak tahun

1947. Metode SCS digunakan untuk menghitung

jumlah direct runoff dari suatu kejadian hujan (USDA,

1986). Persamaan dalam perhitungan direct runoff ini

yaitu:

dimana :

P = Curah hujan harian dalam inci

S = berkaitan dengan kondisi tanah dan tutupan

lahan yang ditunjukkan melalui Curve

Number (CN), nilai CN bervariasi antara 0

hingga 100.

Q = Direct runoff

Untuk menghitung nilai S, digunakan persamaan

sebagai berikut :

dimana :

CN = Nilai Curve Number

Untuk menentukan besar CN, ada beberapa faktor

yang perlu diperhatikan yaitu, jenis tanah, tutupan

lahan, kondisi hidrologi dan kelembapan (USDA,

1986).

Alur perhitungan metode Soil Conservation Service

ini adalah :

Gambar 1. Diagram alir perhitungan metode SCS

Curve Number

2.2.2 Verifikasi Debit

Untuk membuktikan bahwa hasil dari

perhitungan model tersebut benar dan layak dipakai

untuk analisis selanjutnya, dilakukan evaluasi debit

hasil HEC-HMS dengan debit hasil observasi.

Verifikasi ini dilakukan dengan metode korelasi dan

perbandingan kualitatif grafik keduanya.

Persamaan untuk menghitung koefisien korelasi

adalah:

r =

2

i

22

i

2

iiii

)Y(Yn)X(Xn

)Y)(X(YXn

ii

Dimana,

r = koefisien korelasi,

X= data Observasi,

Y= data hasil model,

Jika korelasi lebih besar dari 0.75, maka

hasil model dianggap valid dan dapat digunakan

untuk analisis selanjutnya. Jika tidak, maka

dilakukan simulasi ulang.Error yang terjadi

kemungkinan disebabkan oleh perbedaan

pendefinisian jenis tanah dan landcover.

2.2.3 Perhitungan Kapasitas Reservoir:

Sebelum menghitung potensi reservoar

dalam upaya reduksi limpasan, dilakukan

perhitungan luas area tangkapan untuk

menentukan kapasitas resevoar seperti berikut:

Menghitung luas area pemukiman pada setiap

reservoir dengan selection tool pada ArcGIS.

Dengan menggunakan asumsi luas atap 80%

pada area pemukiman, maka dihitung jumlah

rumah pada area pemukiman denggan asumsi

semua rumah bertipe 36 atau memiliki luas

80m2.

Setelah didapatkan jumlah pemukiman,

dilakukan skenario ukuran tangki 1m3

, 2m3

dan 5m3 untuk setiap rumah untuk menghitung

kapasitas reservoar pada area pemukiman.

Dimasukkan input kapasitas reservoar pada

outlet di ujung area pemukiman yang berada

di sekitar sub-DAS.

Page 4: asgsr

4

2.2.4 Perhitungan Potensi

Dari timeseries data debit limpasan yang

dihasilkan oleh HEC-HMS. Debit limpasan

dihitung pada peluang 85%, 90% dan 95%.

Perhitungan ini dilakukan menggunakan metode

Cumulative Distribution Function (CDF).

P =

x

t

dtexF2

2

2

)(

2

1),|)(

(3-11)

P = peluang kejadian

µ dan σ = parameter, untuk CDF adalah 0 dan 1

Nilai debit limpasan digunakan untuk

menghitung kemampuan reservoar dalam mereduksi

limpasan pada saat kondisi ekstrem basah dengan

variabel-variabel yang telah dihitung sebelumnya.

2.2.5 Metode Penelitian

Pengerjaan penelitian ini dimulai dengan

pengumpulan seluruh data. Selanjutnya, data landuse

digunakan untuk menghitung luas daerah tangkapan

atap rumah. Dari hasil pengolahan data curah hujan,

dihitung potensi limpasan yang diterima atap rumah

untuk daerah tangkapan. Dengan menggunakan model

HEC-HMS, dihitung pula jumlah limpasan

permukaan. Tahap berikutnya adalah menganalisa

jumlah limpasan pada daerah tangkapan dengan total

limpasan permukaan di wilayah Bandung Timur untuk

mengetahui efisiensi penerapan sistem rainwater

harvesting. Dilakukan pula simulasi dengan

memperhitungkan kapasitas tangki untuk setiap rumah

untuk mengetahui besar potensi penerapan rainwater

harvesting terhadap upaya reduksi limpasan

permukaan di daerah kajian.

Dilakukan juga analisis kondisi ekstrim basah

dan peningkatan curah hujan di Kota Bandung. Dari

data historis digunakan metode CDF (Cumulative

Distribution Functions) untuk mengetahui peluang

terjadinya curah hujan ekstrem dan pengaruhnya

terhadap jumlah limpasan yang mampu ditangkap dan

disimpan dalam tangki rainwater harvesting. Berikut

ini adalah alur kerja penelitian tugas akhir yang akan

dilaksanakan:

Gambar 2. Diagram Alir Metode Penelitian

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Curah Hujan Wilayah

Curah hujan wilayah yang mewakili jumlah

curah hujan yang turun pada sub-DAS tersebut

dianggap merata di setiap titik. Perhitungan curah

hujan wilayah dalam model ini menggunakan data

stasiun pengamatan di Cibiru milik PUSAIR.

(a)

(b)

Gambar 3. Curah hujan harian stasiun Cibiru tahun

2010 (a) dan rata-rata curah hujan harian

tahun 2005-2011 (b).

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu

st

Sep

Okt

No

p

Des

Page 5: asgsr

5

Pada tahun 2010 terjadi anomali pola curah

hujan. Nilai curah hujan yang tinggi hampir terjadi

pada setiap bulan dengan rata-rata bulanan yang cukup

tinggi pada tahun 2010 yang disebabkan oleh

fenomena LaNina. Dapat dilihat pada gambar, curah

hujan rata-rata 2005-2011 menunjukkan pola

monsunal sedangkan pada 2010 terlihat curah hujan

yang tinggi secara merata sepanjang tahun 2010

dengan kejadian hujan ekstrem. Peningkatan curah

hujan saat kejadian LaNina 2010 bisa mencapai 300 %

dari curah hujan normal. Rata-rata curah hujan

tahunan tahun 2006-2011 sebesar 5,27 mm, sedangkan

pada tahun 2010 rata-rata curah hujan tahunan sebesar

10,27 mm. Dapat dilihat bahwa curah hujan pada

tahun 2010 meningkat hingga 200% jika dibandingkan

dengan rata-rata curah hujan tahun 20005-2011 yang

disebabkan fenomena LaNina.

3.2. Output HEC-HMS

HEC-HMS mensimulasikan neraca

kesetimbangan air menggunakan data historis dengan

menggunakan metode SCS Curve Number. Input data

tata guna lahan dan jenis tanah disesuaikan dengan

nilai Curve Number pada data base. Nilai ini yang

menentukan perbandingan jumlah air hujan yang turun

dengan jumlah aliran, baik aliran permukaan (DRO),

aliran dasar (base flow), maupun stream flow.

Wilayah kajian merupakan daerah tropis yang

memiliki jumlah curah hujan sangat tinggi. Lebih dari

70% curah hujan yang turun akan menjadi run-off,

baik itu DRO, base flow, maupun stream flow.

Output debit limpasan ditunjukkan dalam satuan

kaki kubik dengan menggunakan input data Curah

Hujan harian dari stasiun Cibiru. Semakin tinggi CH

akan berdampak pada meningkatnya jumlah debit

aliran. Sebaliknya saat CH rendah berpengaruh pula

pada menurunnya jumlah debit aliran.

(a)

(b) (c)

Gambar 4. Debit limpasan pada ujung sub-DAS

wilayah kajian sebelum menggunakan

reservoar (a), setelah menggunakan 6

reservoar (b) dan 9 reservoar (c).

Setelah dilakukan percobaan dua simulasi reservoar

pada 6 outlet dan 9 outlet, hasil simulasi menunjukkan

penurunan debit aliran, potensi simulasi menunjukkan

efektifitas reservoar dalam upaya reduksi limpasan

hingga 22,14% selama 1 tahun.

4.3 Skenario Cumulative Distribution Function Skenario Cumulative Distribution Function

(CDF) dilakukan untuk mengetahui banyaknya

kejadian hujan ekstrem basah. Dalam model HEC-

HMS di lakukan plot CDF untuk 3 kondisi ekstrem

basah, yaitu: Peluang kejadian 50%, 85%, 90%, dan

95%.

Pada kurva CDF, kondisi mean untuk peluang

sebesar 50% terjadi pada Curah Hujan mulai 7mm.

Sedangkan untuk kondisi ekstrem basah yang terjadi

pada peluang kejadian 85%, 90%, 95%, curah Hujan

yang terjadi masing-masing sebesar 29mm, 37mm,

dan 50mm.

Gambar 5. Kurva debit limpasan dengan skenario

CDF.

Dapat dilihat pada gambar didiatas, kenaikan

debit aliran pada kondisi ektrem basah 50mm atau

lebih dibanding dengan kondisi mean dapat mencapai

10 kali lipat, sedangkan pada kejadian 29mm dan

37mm atau lebih kenaikan debit aliran masing-masing

mencapai 4 kali lipat dan 6 kali lipat. Debit aliran

yang tinggi disebabkan oleh curah hujan yang tinggi

sehingga potensi jumlah air yang dapat ditangkap juga

seharusnya dapat semakin tinggi.

4.4 Verifikasi Debit Debit sungai yang dicatat merupakan debit

harian dan dengan satuan m3/detik. Karena

ketersediaan data debit sungai sangat minim, maka

verifikasi debit ini hanya dilakukan di satu titik

pengamatan, yaitu di pos debit Cipanjalu-Kepuh. Data

yang tersedia juga tidak lengkap, oleh karena itu

hanya digunakan data 2010 sesuai dengan data CH

yang digunakan sebagai input model.

0

5

10

15 2

2:4

8

0:4

8

2:4

8

4:4

8

6:4

8

8:4

8

10

:48

12

:48

14

:48

1

6:4

8

18

:48

20

:48

22

:48

P90

P85

P50

P95

Page 6: asgsr

6

Gambar 6. Verifikasi data debit observasi dengan hasil

output model HEC-HMS.

Verifikasi data observasi dan data model

menunjukkan korelasi sebesar 0,45. Hasil verifikasi

menunjukkan ketepatan data model dan observasi

yang kurang baik, hal ini disebabkan tidak dilakukan

perhitungan baseflow pada model sehingga nilai pada

output menunjukkan angka yang lebih rendah

dibanding data observasi. Namun, jika dilihat dari pola

kedua debit tampak menunjukkan pola yang sangat

mirip.

4.5 Analisis Potensi

Proses CDF dilakukan untuk setiap sub-

DAS maupun reservoar sehingga didapatkan nilai

debit limpasan pada daerah kajian. Selain

skenario CDF, dilakukan pula simulasi berbagai

ukuran kapasitas tangki untuk setiap rumah atau

area pemukiman.

Gambar 7. Output debit limpasan masing

skenario peluang kejadian ekstrem

basah dan kapasitas tangki.

Simulasi pada CDF 50 atau peluang kejadian

hujan 50 % yaitu pada kejadian hujan sebesar 7 mm,

menunjukkan efektivitas reservoar hingga 100%

dalam mereduksi limpasan permukaan. Kemampuan

reservoar pada kondisi ini disebabkan karena dampak

curah hujan 7 mm yang masih sangat minim dan tidak

berdampak pada limpasan permukaan yang tinggi.

Pada peluang kejadian 85%, nilai peluang curah

hujan yang terjadi sebesar 29mm atau lebih.

Sedangkan pada peluang kejadian 90%, nilai peluang

kejadian hujan sebesar 37 mm. Simulasi reservoar

pada kondisi ini memiliki kemampuan beragam dalam

mereduksi limpasan. Besarnya kapasitas tangki sangat

berpengaruh pada efektivitas reservoar dalam

mereduksi limpasan.

Peluang kejadian hujan sebesar 95% terjadi pada

kejadian hujan sebesar 50mm atau lebih. Kemampuan

reservoar dalam mereduksi limpasan semakin

berkurang saat curah hujan meningkat, hal ini

dipengaruhi batas daya tampung reservoar. Pada

peluang kejadian 95%, masing-masing efektivitas

simulasi reservoar sebesar 1m3, 2m

3 dan 5m

3 adalah

10%, 20% dan 50% dalam mereduksi limpasan

permukaan.

Penggunaan air rata-rata untuk satu orang

mencapai 64 liter/hari. Penggunaan air di wilayah

Bandung Timur mencapai 52.246.740 L/hari, namu

dengan adanya reservoar sebagai rainwater

harvesting, kebutuhan air total di daerah Bandung

Timur dapat dipenuhi sebagian dengan memanfaatkan

jumlah tangkapan air 13.634.000 L/hari atau sekitar

26%. 4. Kesimpulan

Reservoar dapat diterapkan sebagai salah satu

metode rainwater harvesting dalam upaya mereduksi

limpasan permukaan hingga 24% pada tahun 2010.

Kapasitas reservoar sangat berpengaruh terhadap

efektivitasnya dalam mereduksi limpasan.

Model HEC-HMS efektif dalam melakukan

simulasi limpasan permukaan di sekitar DAS, namun

lemah dalam melakukan simulasi jangka panjang.

Dengan adanya reservoar sebagai rainwater

harvesting, kebutuhan air total di daerah Bandung

Timur sebesar 52.246.740 L/hari dapat dipenuhi

sebagian dengan memanfaatkan jumlah tangkapan air

13.634.000 L/hari atau sekitar 26%. Dalam studi ini

diperlukan perhitungan baseflow mendapatkan hasil

model yang lebih maksimal.

REFERENSI

Arya, Doni Khaira. 2012. Analisis Potensi

Mikrohidro Berdasarkan Curah Hujan.

Bandung: TA-Meteorologi ITB

Asdak, Chay. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan

Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gajah

Mada University Press

Basinger, Matt dkk. 2010. A rainwater harvesting

system reliability model based on

nonparametric stochastic rainfall generator.

Elsevier

Chiu, Yie-Ru. 2011. Simulation-based Spatial

System for Rainwater Harvesting Systems In

the Sustainable Campus Project. Taiwan:

Tzu-Chi University

Page 7: asgsr

7

Favor, Richita Eti Andari. 2012. Studi

Pengurangan Pemakaian Air Bersih Dengan

Sistem Penampungan Air Hujan dan Daur

Ulang Air Buangan di Klaster Hunian dan

Perkuliahan ITB Jatinangor. Bandung: ITB

Feldman, Arlen D. 2000. Hydrologic Modelling

System HEC-HMS Technical Reference

Manual. Davis: US Army Corps of Engineers

Ford, David dkk. 2008. Hydrologic Modeling

System HEC-HMS – Application Guide.

Davis: US Army Corps of Engineers

Glendenning, C. J., Ogtrop, F.F., Mishra, A. K.,

Vervoort, R. W. (2011). Agricultural Water

Management: Balancing watershed and local

scale impacts of rain water harvesting in

India. New Delhi, India

Harian Tempo. 2010, 11 Juni. Air Tanah di

Cekungan Bandung Mengandung Besi.

Davis: US Army Corps of Engineers

Lloyd, Thomas dkk. 2007. HEC-HMS Long Term

Simulation for El Cajon Watershed. Brigham

Young University

Lubis, A. 1999. Metode Analisa dalam

Hidrometeorologi. Bandung: ITB

Merwade, Venkatesh. 2012. Creating SCS Curve

Number Grid using HEC-GeoHMS. Purdue

University

McEnroe, Bruce M. 2010. Guidelines for

Continous Simulation of Streamflow in

Johnson County, Kansas, with HEC-HMS.

Kansas: University of Kansas

Merwade, Verkatesh. 2012. Creating SCS Curve

Number Grid using HEC-GeoHMS. Purdue

University

Najim, D. Halwatura. 2012. Application of the

HEC-HMS model for runoff simulation in a

tropical catchment. Elsevier Ltd

Nasri, Masoud dkk. 2011. Simulation of the

Rainfall-Runoff Process Using of HEC-HMS

Hydrological Model. World Academy of

Science

Neitsh, S. dkk. 2005. SWAT Theoritical

Documentation.

Ngigi, Stephen N. 2003. What is the limit of up-

scaling rainwater harvesting in a river basin.

Pergamon

Rackhecha, Pukh Raj dan Singh, Vijay P. 2009.

Applied Hydrometeorology. New Delhi:

Springer

Ray, Kalyan. Rainwater Harvesting and

Utilisation, Book 2: Beneficiaries & Capacity

Builders. Nairobi: UN-HABITAT

Shimota, Rick and Hadley, Hans. 2011.

Continuous Hydrologic Simulation of

Johnson Creek Basin and Assuming

Watershed Stationarity. Corvallis: West

Consultant

Walingford, H. 2003. Handbook for the

Assessment of Catchment Water Demand and

Use. Zimbabwe

Ward S, dkk. 2008. Rainwater harvesting: model

based design evaluation. Scotland