apakah karoshi bisa melanda indonesia.pdf
TRANSCRIPT
-
Apakah Karoshi bisa melanda Indonesia?
Istilah Karoshi yang berarti death from over work atau mati karena kebanyakan kerja mungkin
sangat merasuk dalam benak kebanyakan pekerja Jepang. Fenomena ini sangat mengkhawatirkan
entah itu untuk alasan produktivitas ataupun loyalitas pekerja, sehingga Parlemen Jepang sedang
mempertimbangkan untuk memaksa karyawan untuk mengambil cuti.
Seperti dilansir Jiji Press dalam situs ABC News, fakta di lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 6
pekerja Jepang tidak pernah mengambil jatah cutinya di tahun 2013 dan di tahun tersebut rata-rata
para karyawan hanya mengambil 9 hari dari total 18 hari jatah cutinya setiap tahun. Bandingkan
dengan pekerja di Perancis yang mengambil jatah cuti 37 hari setahun atau 93% dari jatahnya. Atau
negara Spanyol dan Denmark dimana rata-rata pekerjanya masing-masing mengambil jatah cuti 29
hari dan 19 hari setiap tahun atau setara 90% dari total jatah cutinya.
Fenomena Karoshi ini seperti langit dan bumi jika dibandingkan dengan kondisi Indonesia. Dengan
rata-rata cuti pekerja 12-13 hari dalam setahun, hampir dipastikan cuti tersebut habis sebelum
waktunya dan kadang-kadang di perusahaan saya banyak yang sudah minus. Dengan cuti minus pun
masih banyak alasan-alasan untuk bolos kerja entah itu urusan istri, anak, keluarga, urusan surat-
suratan dan bahkan liburan sakit di awal atau penghujung minggu. Semua harus dimaklumi karena
begitulah budaya pekerja kita.
Sementara itu jika ditilik dari motivasi untuk mengerjakan lembur, sangatlah kontras dengan istilah
Karoshi yang melanda Jepang. Orang Jepang rela bekerja lembur sekalipun tidak dibayar karena
motivasinya adalah produktivitas dan loyalitas sebagai sebuah prestasi yang akan dinilai oleh
atasannya.
Sementara motivasi bagi pekerja kita, lembur adalah sumber untuk menambah pundi-pundi uang di
akhir bulan walaupun sebenarnya pekerjaanya tidak efektif. Kenapa tidak efektif? Saya pernah
menganalisa pekerja saya di kantor dari mulai tiba di kantor hingga pulang kerja. Rata-rata efektifivas
pekerja hanya 6 jam dari 8 jam seharusnya. Sisa dua jam nya adalah waktu yang digunakan untuk
telat datang, waktu sarapan pagi, ngobrol, telat balik istirahat, dan aktivitas-aktivitas lain yang tidak
produktif. Belum lagi untuk karyawan-karyawan yang masih muda sering asyik bekerja dengan
earphone menempel terus ditelinganya sepanjang hari. Baru menjelang deadline pekerjaan sibuk dan
meminta jatah lembur. Jadi jangan harap ada lembur tanpa dibayar,no pay no overtime, dan
celakanya ini bisa diexplore dan di exploitasi oleh Depnaker dan Serikat Buruh. Mungkin mereka bilan
hanya kerbau yang bekerja tanpa dibayar.
Memang rasanya tidak adil untuk membandingkan kita dengan Jepang karena income perkapitanya
pun bagai langit dan bumi. Tapi setidaknya kita bisa membandingkan beberapa hal misalnya
mengapa sebagai sesama bangsa Asia Jepang bisa maju sementara bangsa kita diam di tempat ?
Padahal Jepang sudah hancur babak belur pasca Perang Dunia II, terus ditimpa bencana dan anehnya
mereka tetap bisa berdiri tegak.
Faktor budaya mungkin menjadi salah satu pembeda. Sebagai contoh, ada pekerja yang terkadang
tanpa rasa malu selalu datang terlambat, bangga untuk bolos, pulang cepat walau datang terlambat
-
dan banyak hal lain yang intinya bermuara pada tidak adanya rasa malu dan tanggung jawab. Jadi
ketika pemerintah Jepang khawatir terhadap bencana Karoshi, rasa-rasanya dengan melihat kondisi
budaya masih seperti ini hampir dipastikan mustahil Karoshi terjadi di Indonesia.