apa kabar budaya baca? -...

32
Renungan Harbuknas Apa kabar Budaya Baca? Selain ada peringatan Hardiknas dan Harkitnas, boleh jadi masih sangat sedikit masyarakat yang mengetahui, termasuk dari kalangan para pendidik, bahwasanya di bulan Mei juga ada peringatan Harbuknas (Hari Buku Nasional), yang jatuh pada setiap tanggal 17 Mei. Peresmian Harbuknas ini memang baru dilakukan pada tahun 2002 yang lalu oleh Mendiknas, Ahmad Malik Fajar. Namun sebelumnya pencanangan bulan Mei sebagai Bulan Buku Nasional, sesungguhnya telah lama dilakukan, yakni sejak tahun 1995 oleh mantan Presiden Soeharto. Tapi begitulah karena mungkin tidak dianggap sebagai masalah penting, tidak heran jika ekspos mengenainya nyaris tidak terdengar, termasuk dari kalangan media massa. Seolah telah menjadi permasalahan klasik setiap kali kita membicarakan masalah perbukuan di negeri ini maka wacananya akan senantiasa berputar pada persoalan tuduhan rendahnya minat dan budaya baca bangsa ini, kemudian harga buku yang dinilai mahal, serta belum adanya kesungguhan perhatian kita -pemerintah, masyarakat, lembaga-lembaga, dan lain-lain- pada perkembangan perbukuan. Padahal kalau ditanya, semua orang pastilah akan sepakat bahwasanya buku merupakan salah satu sarana utama dalam proses pencerdasan kehidupan bangsa serta gudang ilmu yang tidak pernah lekang dimakan jaman. Ihwal Minat Baca Harus diakui sebagai sebuah bangsa hingga saat ini minat baca kita membaca masih rendah. Aktivitas membaca buku masih belum menjadi bagian dari budaya masyarakat negeri ini. Tolok ukur yang biasanya dijadikan indikatornya rendahnya jumlah penerbitan buku yang dihasilkan oleh para penerbit serta sepinya masyarakat kita mengunjungi perpustakaan meminjam buku. Konon di negeri yang berpenduduk hampir 200 juta jiwa ini setiap tahunnya hanya ada 12 judul baru untuk setiap sejuta penduduknya. Padahal di negara-negara berkembang lainnya sebanyak 55 judul. Sedangkan di negara-negara maju sebanyak 513 judul buku baru setahun untuk setiap sejuta penduduknya. Begitu pula dengan jumlah tiras surat kabar/majalah yang berhasil diterbitkannya di negeri ini jumlahnya hanya untuk 2,8 persen dari penduduknya. Padahal menurut standard Unesco, di negara berkembang sebanyak 10 persen dan di negara-negara maju di atas 30 persen.. Kemudian di negeri ini sebuah buku terbitan domestik dengan tingkat penjualan di atas 75 ribu eksemplar dalam setahun, sudah dianggap larismanis alias buku dengan predikat bestseller. Padahal di negara-negara lain ukurannya harus di atas jutaan eksemplar. Sebagai contoh misalnya buku-bukunya

Upload: phamkien

Post on 13-Mar-2019

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

Renungan Harbuknas

Apa kabar Budaya Baca?

Selain ada peringatan Hardiknas dan Harkitnas, boleh jadi masih sangat sedikit masyarakat yang mengetahui, termasuk dari kalangan para pendidik, bahwasanya di bulan Mei juga ada peringatan Harbuknas (Hari Buku Nasional), yang jatuh pada setiap tanggal 17 Mei. Peresmian Harbuknas ini memang baru dilakukan pada tahun 2002 yang lalu oleh Mendiknas, Ahmad Malik Fajar. Namun sebelumnya pencanangan bulan Mei sebagai Bulan Buku Nasional, sesungguhnya telah lama dilakukan, yakni sejak tahun 1995 oleh mantan Presiden Soeharto. Tapi begitulah karena mungkin tidak dianggap sebagai masalah penting, tidak heran jika ekspos mengenainya nyaris tidak terdengar, termasuk dari kalangan media massa.

Seolah telah menjadi permasalahan klasik setiap kali kita membicarakan masalah perbukuan di negeri ini maka wacananya akan senantiasa berputar pada persoalan tuduhan rendahnya minat dan budaya baca bangsa ini, kemudian harga buku yang dinilai mahal, serta belum adanya kesungguhan perhatian kita -pemerintah, masyarakat, lembaga-lembaga, dan lain-lain- pada perkembangan perbukuan. Padahal kalau ditanya, semua orang pastilah akan sepakat bahwasanya buku merupakan salah satu sarana utama dalam proses pencerdasan kehidupan bangsa serta gudang ilmu yang tidak pernah lekang dimakan jaman.

Ihwal Minat Baca Harus diakui sebagai sebuah bangsa hingga saat ini minat baca kita membaca masih rendah. Aktivitas membaca buku masih belum menjadi bagian dari budaya masyarakat negeri ini. Tolok ukur yang biasanya dijadikan indikatornya rendahnya jumlah penerbitan buku yang dihasilkan oleh para penerbit serta sepinya masyarakat kita mengunjungi perpustakaan meminjam buku.

Konon di negeri yang berpenduduk hampir 200 juta jiwa ini setiap tahunnya hanya ada 12 judul baru untuk setiap sejuta penduduknya. Padahal di negara-negara berkembang lainnya sebanyak 55 judul. Sedangkan di negara-negara maju sebanyak 513 judul buku baru setahun untuk setiap sejuta penduduknya. Begitu pula dengan jumlah tiras surat kabar/majalah yang berhasil diterbitkannya di negeri ini jumlahnya hanya untuk 2,8 persen dari penduduknya. Padahal menurut standard Unesco, di negara berkembang sebanyak 10 persen dan di negara-negara maju di atas 30 persen.. Kemudian di negeri ini sebuah buku terbitan domestik dengan tingkat penjualan di atas 75 ribu eksemplar dalam setahun, sudah dianggap larismanis alias buku dengan predikat bestseller. Padahal di negara-negara lain ukurannya harus di atas jutaan eksemplar. Sebagai contoh misalnya buku-bukunya

Page 2: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

J.K.Rawling. Konon bukunya yang akan terbit pada 21 Juni mendatang,Harry Potter and the Order of the Phoenix cetakan perdana berjumlah 6,8 juta eksemplar!

Begitu pula dengan aktivitas bangsa ini dalam mengunjungi tempat-tempat galeri ilmu. Menurut Pimpinan Perpustakaan Nasional, Hernandono, konon jumlah penduduk Indonesia yang mau mengunjungi perpustakaan hanya satu persen saja. Memang harus diakui secara umum kondisi perpustakaan di negeri ini, baik perpustakaan umum maupun perpustakaan sekolah masih sangat jauh dari memadai. Seorang teman dengan nada kelakar menggambarkannya “lebih luas gedung serta lebih banyak rak bukunya dibandingkan dengan jumlah buku yang dimilikinya”.

Seperti pernah ditulis di harian ini (Republika, 21 Mei 2000), syahdan dari sekitar 70.000 desa dan 9.000 kecamatan yang ada di Indonesia, tak lebih dari setengah persen yang sudah memiliki perpustakaan standar. Sedangkan dari sekitar 316 Daerah Tingkat II yang memiliki baru 70 persen yang memiliki perpustakaan standar. Bagaiamana dengan perpustakaan sekolah? Ternyata masih belum beranjak dari kata memprihatinkan. Dari sekitar 200.000 jumlah SD kita, diperkirakan cuma satu persen yang memiliki perpustakaan standar. Sedangkan dari sekitar 70.000 unit SLTP, hanya 36 persen yang memenuhi standar. Dan dari sekitar 14.000 unit SLTA, hanya 54 persen saja yang mempunyai perpustakaan standar. Sementara di perguruan tinggi yang nota bene merupakan centre of excelence, dari sekitar 4.000 PT yang kita miliki hanya 60 persen saja yang memiliki perpustakaan standar.

Memang sebuah kondisi yang memprihatinkan. Karena membaca masih belum menjadi tradisi, bagi sebagian besar bangsa ini membeli buku Memang memprihatinkan membeli buku masih kalah dengan membeli kaset.kaset atau vcd. Begitu pula mengunjungi mall atau pusat-pusat perbelanjaan lebih menarik mereka tinimbang mengunjungi perpustaaan.

Di Mana Huruf-Huruf Itu Harus Diletakan

Pilihan Dilematis

Dunia perbukuan di Indonesia saat ini ternyata sedang masuk dalam proses pilihan yang dilematis. Di satu sisi ia berfungsi sebagai alat pencerdas kehidupan bangsa, sebagai sumber ilmu pengetahuan dan pembangunan peradaban, namun disisi lain harga buku terasa mahal, daya beli masyarakat rendah, pembajak buku pun merajalela, demikian Arselan Harahap mengungkapkan beberapa keluhan itu dihadapan

Dunia penerbitan di Indonesia seolah bagai berada dalam lingkaran setan yang tak ada habisnya. Belum lagi krisis ekonomi yang melanda negeri ini, membuat 32 % penerbit anggota IKAPI gulung tikar. Dalam seperti ini, timbul keinginan sebagaian masyarakat perbukuan untuk menumbuhkan kembali peranan buku yang

Page 3: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

dapat membentuk watak bangsa. Solusi apa yang harus diambil agar dunia penerbitan bisa bangkit, terutama untuk membentuk karakter bangsa itu? Tergantung Pilihan

Ibu Presiden pun berusaha menjawab satu persatu pertanyaan itu. Masalah harga buku mahal, minat baca rendah, menurutnya itu tergantung pilihan. Buku bisa dibuat mahal, bisa pula dibikin murah, adalah tergantung dimana huruf-huruf itu harus diletakkan. Bila buku ingin murah, tentu harus dicetak di kertas murah pula, sehingga buku dapat dibeli oleh semua lapisan masyarakat. Tapi maukah para penerbit kita mencetak buku di atas kertas murah, atau kembali ke zaman dulu, di mana baca tulis cukup menggunakan kertas sabak? Bangsa kita sebenarnya bangsa yang punya budaya pinutur, sedangkan untuk menulis malas! ujar Mega. Karena itu dalam kesempatan tersebut Presiden menantang, agar para ahli, pemikir dan ilmuwan mau menuangkan ide-idenya dalam bentuk tulisan atau buku. Sedangkan mengenai pembajakan buku, Megawati menghimbau perlu ada kerjasama yang jelas dan kerja keras dari berbagai instansi terkait untuk memberantasnya. Bahkan ini perlu dijadikan semacam gerakan nasional. Di hadapan perwakilan para anggota IKAPI dari 27 Propinsi, dalam kesempatan ini presiden juga menyinggung tentang buku-buku pelajaran sekolah, tentang isyu pelarangan buku, pembentukan Dewan Buku Nasional dan lain-lain. Akhirnya dengan mengucapkan bismilah, Presiden Megawati membuka dengan pukulan gong lima kali. Setelah itu, seluruh yang hadir dalam ruangan mendapat kesempatan satu persatu menjabat tangan Ibu Presiden. Acara pun diteruskan dengan ramah tamah. Berbagai pertanyaan, pikiran pro-kontra tentang pemikiran Ibu Presiden pun bermunculan. Dan semua itu akan dibahas dalam kongres. Redaksi, Warta Kongress

Buku Sastra Masih Dipandang Sebelah Mata

SEBAGIAN besar dari sekitar 250 penerbit di Tanah Air umumnya mengaku kapok menerbitkan buku-buku sastra. Isyarat itu selalu tampak pada setiap acara pameran buku, termasuk pada Pameran Buku Indonesia 2002 di Balai Sidang Senayan, Jakarta, 18-22 September lalu. Pameran memang dibanjiri ribuan pengunjung, namun mereka cenderung melihat-lihat dan membeli buku-buku nonsastra. Perhatian mereka lebih tersedot ke buku-buku filsafat, politik, hukum, hingga pengetahuan-pengetahuan aplikatif, seperti manajemen, bisnis, informatika, teknik, dan kedokteran

Karena kecenderungan itu sudah rutin, dari 140 penerbit yang ikut pameran kali ini kebanyakan tidak memajang buku-buku sastra. Dari 200 stan yang mereka tempati, tak sampai 20 stan yang memajang buku-buku sastra.

Page 4: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

Pengelola stan PT Gunung Agung, yang memajang sekitar 20 judul novel pun, mengakui minimnya jumlah peminat buku sastra. "Dari sekitar 100 judul buku yang terjual per hari, tidak sampai 10 karya sastra," kata Patahillah, Kepala Seksi Buku Gunung Agung.

Adalah Penerbit Kanisius dan Bhratara yang terus terang mengungkapkan rasa kapok menerbitkan buku sastra. Manajer Urusan Pameran Kanisius, E Poerwadi, mengatakan, tahun 2000 pihaknya memproduksi empat judul novel. Tapi, sebagian besar tidak laku. Hal senada diungkapkan Robinson Rusdi, pemilik Penerbit Bhratara. "Kalaupun kami menerbitkan buku sastra, itu tidak lebih dari selingan, agar produk kami variatif," kata Robinson. Ia cenderung memproduksi buku pelajaran dan umum.

***

POERWADI tidak menyebutkan berapa jumlah eksemplar yang tidak laku. Namun, dengan asumsi bahwa rata-rata penerbit di Indonesia mencetak 3.000 eksemplar per judul, bisa dibayangkan berapa eksemplar buku sastra yang menumpuk di gudang Kanisius. Itulah sebabnya, sejak berdiri tahun 1922, Kanisius lebih fokus pada buku-buku kerohanian, filsafat, dan pengetahuan praktis. Daripada mencari risiko pada buku-buku sastra, Kanisius lebih memilih melakukan diversifikasi pada produk multimedia.

Poerwadi mensinyalir, rendahnya minat membaca buku sastra di kalangan pelajar-mahasiswa, berangkat dari kelemahan muatan kurikulum di sekolah dasar (SD) era tahun 1970-an sampai sekarang. Anak-anak sekarang cuma diajari bahasa Indonesia dengan penekanan utama pada aspek gramatikal. Guru cenderung mengajarkan kata imbuhan, kata depan, tanpa berupaya mengajarkan anak-anak merangkai kata menjadi untaian kalimat sastra.

Balai Pustaka (BP), Grasindo, dan Mizan adalah contoh dari sedikit penerbit yang tidak patah arang melihat seretnya pemasaran buku-buku sastra. BP tak hanya menerbitkan naskah baru, tetapi juga mencetak ulang novel-novel monumental. Sebutlah seperti Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Salah Asuhan (Abdoel Muis), Atheis ( Achdiat K Mihardja). Sementara Grasindo berusaha menerbitkan buku-buku karya sastra dari pengarang muda. Fira Basuki, contoh penulis belia yang langsung diberi kesempatan meluncurkan novel trilogi (Jendela-jendela).

Mizan yang selama ini getol menerbitkan buku-buku kajian bernuansa Islami, memberi peluang berkembangnya sastra Islami sesuai selera remaja. Selain mencari naskah dalam negeri, Mizan juga menerjemahkan karya sastra bernuansa Arab dan Persia.

Kalau mau jujur, minat penerbit untuk memproduksi buku-buku sastra sebetulnya tidak lepas dari rasa penasaran. Pasalnya, ada saja sekelompok anak muda yang mencari-cari buku sastra. Jadi, meski pasarnya seret, tetapi sekali-sekali juga laris,

Page 5: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara umum "peristiwa" semacam itu tak ubahnya ibarat setitik air di laut lepas. (NAR)

NAR, www.kompas.com

Munculnya Pesaing Buku Justru Menjadi Pendukung Buku

MUNGKIN karena keadaan peserta masih segar-bugar, maka ketika Danial Dhakidae membawakan makalah "Perkembangan Buku Ditinjau dari Aspek Kebudayaan" pada hari pertama Kongres, 23 September kemarin, banyak peserta yang mendengarnya secara antusias. Tak kurang dari 10 peserta mencoba menanggapi isi ceramah Danial dan mempertanyakan berbagai hal. Diskusi yang dipandu Zulkifli Lubis pun berjalan hangat.

"Buku adalah sebuah karya kebudayaan," demikian Danial Dhakidae mengawali topik pembahasannya. "Saya mencoba melihat buku dari segi budaya karena saya pernah mencoba menulis mengenai hal itu," ujarnya.

Tahun 1954, masa depan buku pernah dibahas di Amerika Serikat oleh suatu badan milik universitas, yaitu University of Chicago, Graduate Librarian School. Boleh dibilang masa depan buku saat itu diramalkan hampir tidak ada. Kalau pun ada, masa depannya suram. Hal ini disebabkan, komunikasi dan penyimpanan informasi lewat buku terlalu menyita daya khayal, sehingga masa depan komunikasi beralih ke broadcasting. TV atau media audio visual akan menggantikan buku teks, sementara buku perpustakaan akan diganti oleh kaset atau disimpan dalam disket yang dapat dipancarkan.

Membaca buku dapat diibaratkan seperti mengendarai kuda (reading a book = riding a horse), dan dianggap hanya untuk mengisi waktu luang yang elegan dan kuno milik para elit yang sangat kecil jumlahnya. Bahkan kegusaran mereka pada tahun 50-an mengenai kebiasaan membaca buku dianggap cuma sebagai pengisi waktu kaum borjuisAmerika atau kaum tuan tanah Eropa yang bosan naik kereta api dan pesawat terbang lalu ingin kembali ke budaya sesungguhnya. Dan setelah melewati masa 50 tahun kemudian, pertanyaan dan kekhawatiran yang persis sama ternyata tidak hilang dan terulang kembali, sementara keberadaan buku itu sendiri tetap saja dibutuhkan.

"Lalu bagaimana kira-kira nasib buku itu yang sebenarnya di masa depan?"demikian Daniel bertanya sambil meninjau tentang sejarah buku tahun ˜50-an di Amerika dan Eropa. Dan pengulangan pertanyaan serta kekhawatiran itu sekarang intensitasnya lebih tinggi dengan munculnya interchange dan perdebatan komputer serta perkembangan teknologi informasi yang secara kualitatif tak terbayangkan. Dan anehnya, dengan munculnya sistim komunikasi ber jalur teknologi itu yang dianggap sebagai "pesaing" buku itu, ternyata perkembangan buku tetap berjalan. Pesimismme tahun ˜54, tidak terbukti. Justru munculnya "pesaing" buku itu menjadi

Page 6: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

pendukung buku. Contoh, ketika industri film booming tahun ˜50-an, hal ini malah meningkatkan keinginan membaca buku, sebab orang yang menonton film juga ingin membaca buku. Sedangkan sesuatu yang berkembang di TV akan selalu berujung pada buku, sehingga reading book bukan riding a horse, bukan lagi sesuatu yang mewah.

Apabila sekiranya pesimisme tahun 54 terulang, mungkin akan menghadapi konteks yang berbeda. Pengiriman info lewat komputer yang bisa dinikmati dengan mudah mungkin akan menjadi persoalan baru bagi kita. Sementara di level tinggi, kita pun sudah bersatu dengan negara-negara maju. Di sini timbul persoalan, menyatunya kita dengan dunia atas memperlihatkan semakin jauh terpisahnya masyarakat lapisan bawah di Indonesia. Apalagi bila semua itu dilihat dari dunia perindustrian. Di satu sisi kita melihat buku dalam dunia imajiner, di sisi lain kita tidak bisa mendapatkan buku-buku tersebut. Ini tentu merupakan tantangan baru bagi para insan perbukuan di Indonesia. Bagaimana kita mesti memecahkan masalah ini? (bjs)

bjs, Warta Kongress

Rabu, 23 April 2003

Proyek Pengadaan Buku Harus Transparan

Solo, Kompas - Proyek pengadaan buku paket untuk anak sekolah selama ini dimonopoli Balai Pustaka dinilai tidak transparan. Padahal, banyak penerbit buku yang juga mampu mengerjakan proyek pengadaan buku paket tersebut. Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Pusat Makfudin Wirya Atmaja, Selasa (22/4), mengatakan, seharusnya pemerintah transparan memberitahukan sistem proyek pengadaan buku paket dan jumlah dana.

"Selama ini pemerintah tidak pernah transparan berapa dana yang tersedia untuk proyek pengadaan buku paket dan bagaimana prosesnya sehingga semua penerbit bisa mengikuti. Kebanyakan langsung menunjuk Balai Pustaka untuk mengerjakannya," kata Makfudin, seusai menghadiri pembukaan Solo Book Fair di Grha Wisata Niaga, Solo.

Karena itu IKAPI akan mengadakan forum dialog dengan seluruh penerbit buku dan stakeholder lainnya untuk membicarakan semua masalah perbukuan, seperti kualitas serta proyek pengadaan buku paket.

"Kami juga akan mengundang Balai Pustaka. Selain itu juga akan dibicarakan masalah kolusi yang sering terjadi di bidang penerbitan buku," ujar Makfudin. Forum diskusi ini akan diselenggarakan di Jakarta, Mei 2003, bertepatan dengan Hari Buku Nasional.

Page 7: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

Mengenai pembajakan buku yang disinyalir banyak dilakukan penerbit buku, Makfudin hanya mengatakan masalah itu akan dibicarakan dalam forum dialog tersebut.

Makfudin juga menjelaskan, peringatan Hari Buku Nasional ke-53 pada 17 Mei 2003 akan dipusatkan di Magelang, Jawa Tengah. Dalam acara itu juga akan dicanangkan Desa Buku di Taman Kyai Langgeng, Magelang, oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

"Desa Buku ini nantinya diharapkan dapat melestarikan buku-buku yang telah terbit dan juga memacu para penerbit untuk menerbitkan buku-buku yang lebih baik," katanya.

Desa Buku ini akan melibatkan asosiasi yang terkait dengan bidang perbukuan, pemerintah daerah, dan komunitas yang peduli dengan buku. "Kami juga berharap, pemerintah daerah mau mendukung sepenuhnya desa buku ini sebagai inisiator maupun sebagai perantara," ujar Makfudin.

Sekarang ini di Grha Wisata Niaga sedang berlangsung Solo Book Fair 2003 hingga Minggu mendatang. (sie)

Tips

10 Cara Mengatasi Bacaan yang Menggunung

Anda orang sibuk, sementara bahan bacaan begitu menggunung? Sekaranglah saat untuk mengatasinya. Maria Gracia, dalam www.getorganizednow. com, membagikan kiatkiatnya: 1. Gunakan penanda. Bila Anda hendak membaca koran atau ma jalah,bacalah sepintas seluruh halaman,lalu tandai judul yang Anda anggap penting.Bila cukup waktu,barulah Anda baca artikel tadi.

2. Potong artikel itu! Bila saat ini Anda tak cukup waktu membaca, potong saja halaman yang sudah ditandai lalu simpan!Anda bisa membacanya lain waktu.

3. Manfaatkan kartu indeks. Kartu indeks bermanfaat untuk mengingat ba gian penting buku.Cantumkan nomor halaman, letak paragrafnya (A =atas,T =tengah,dan B = bawah),serta satudua kata kunci.

4. Membaca cepat. Anda harus melatih kemampuan ini jika ba nyak informasi yang harus Anda baca.

Page 8: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

5. Atur waktu untuk membaca. Tentukan dan catat kapan Anda hendak mem baca dan berapa lama.Penuhi janji untuk memba ca,sebagaimana Anda berjanji untuk hal yang lain. 6. Hindari kekacauan Berita koran lazimnya berusia 1 hari,maja lah lebih lama.Singkirkan koran dan majalah lama,atau simpan di tempat yang terpisah dari koran dan majalah baru. 7. Siapkan arsip "untuk dibaca". Siapkan map,keranjang,atau tempat khusus bertanda "untuk dibaca".

8. Bersikaplah realistis. Jangan biarkan bacaan melebihi tempat pe nyimpanan.Pisahkan yang kurang prioritas.

9. Bawalah selalu bacaan. Bawalah bacaan ke manapun Anda pergi.An da dapat memanfaatkan waktu tertentu untuk membaca.Misalnya,ketika sedang dalam antrian. 10. Sumbangkan. Cara lain yang amat bermanfaat ialah me nyumbangkan bacaan yang sudah tidak Anda perlukan,misalnya ke perpustakaan.Anda bi sa pula menjualnya ke kios buku bekas.

Berapa Rupiah Masuk Kantong Penulis

Bila beruntung,seorang penulis buku bisa menangguk uang lumayan dari karyanya. Jika buntung,tinggal gigit jari.

Seorang editor dan pe nerbit buku di Jakarta membuat hitunghi tungan seperti ini:se telah melakukan riset dan menyusunnya selama dua tahun,seorang penulis berha sil menyelesaikan naskah yang setara dengan buku sete bal 250 halaman.Setelah kar ya itu disampaikan ke pener bit,mungkin ia harus me nunggu barang satu tahun un tuk menyaksikan kelahiran bukunya.

Atas jerih payahnya itu,ia mendapat 10 persen royalti dari harga jual eceran buku nya.Berdasarkan kelaziman, penulis mendapat 25 persen dari royalti yang mungkin ia dapat.Asumsinya,seperempat dari oplag buku diserap oleh pasar —biasanya penerbit me matok oplag tiga ribu eksem plar untuk setiap kali naik ce tak.Royalti di depan itu bo lehlah disebut "uang muka" dari penerbit.Sisanya dicicil, yang besarannya tergantung tingkat penjualan bukunya.

Andai buku itu dijual Rp 25 ribu dengan oplag ribu ribu ek semplar,si penulis bisa mem peroleh "uang muka"sebesar Rp 1.875.000.Ia baru bisa me nikmati keseluruhan royalti se nilai Rp 7,5 juta bila bukunya habis diserap pasar.Bila dalam setahun penjualannya jeblok, katakanlah hanya 750 eksem plar saja yang laku,si

Page 9: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

penulis cuma bisa gigit jari lantaran ia belum bisa menikmati tamba han royalti.Angka penjualan sebanyak 750 eksemplar itu se tara dengan "uang muka"yang sudah masuk ke katungnya.

Menurut editor tadi,dengan imbalan yang ala kadarnya itu siapa sudi menulis buku?Lan taran sebab inilah,banyak orang lebih senang menulis esai di media cetak.Ia hanya perlu waktu 23 jam untuk membaca rujukan lalu menu lis,menunggu eberapa hari menanti giliran pemuatan,la lu ia pun mendapat honor Rp 300 ribu sampai Rp 1 juta.Jika ia penulis kesayangan media, dari dua tulisan yang dimuat dalam sebulan,ia sudah bisa mengantungi Rp 2 juta —lebih besar dari "uang muka"tadi.

Memang,tak semua penulis bernasib seburuk itu,juga tak semua penerbit mematok ang ka royalti 10 persen.Mizan, misalnya,memberikan royalti dalam kisaran 812 persen,ter gantung kualitas karyanya dan siapa penulisnya.Jika buku di terbitkan,setiap tiga bulan ke mudian Mizan menyampaikan laporan hasil penjualan kepa da penulis."Bersamaan de ngan itu,royalti diberikan," kata Sari Meutia,General Ma nager Mizan Pustaka.

Penerbit besar semacam Gra media Pustaka Utama mema tok angka yang sama untuk se mua penulis,yakni 10 persen.

Ketika cetakan pertama terbit, penulis menerima 25 persen dari total royalti cetakan perta ma sebagai uang muka."Ini berlaku untuk semua penulis, termasuk pendatang baru,"ka ta Nung Atasana,Manajer Pe masaran Gramedia.

Untuk membedakan dari pe nulis baru,Gramedia membe rikan pelayanan khusus untuk penulis buku laris.Acara pe luncuran,pentasbicara (talk show ),promosi di medai mas sa,sampai penayangan infor masinya di situs Gramedia di lakukan demi menopang pen jualan buku penulis laris ini.

Pembedaan besaran royalti dilakukan untuk kategori ter tentu,misalnya buku resep masakan atau desain interior dan arsitektur.Jika penulis me nyertakan fotofotonya,ia memperoleh royalti 10 persen.

Tapi,jika pihak Gramedia yang mesti memotret dan me nyediakan fotofoto untuk bu ku tersebut,besaran royalti itu dikorting menjadi 78 persen.

Kepustakaan Populer Gra media (KPG),penerbit yang berada dalam Kelompok Gra media,juga memakai sistem royalti.Bedanya,sifatnya progresif.Cetakan pertama di patok 10 persen,dan mening kat jadi 12,5 persen untuk ce takan kedua dan seterusnya.

"Kecuali untuk Pramoedya yang kami mulai dari 12,5 per sen,"kata Pax Benendato,Ma najer KPG.Alasannya,"Buku apa pun karya Pram,pasti ja lan."Sebab

Page 10: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

itu,untuk cetakan kedua,penerbit ini berani membayar rolyati kepada Pram 15 persen —angka yang sama diberikan oleh Hasta Mitra,penerbit yang paling ba nyak mempublikasikan karya karya Pram.

Tak semua penerbit melulu memakai sistem royalti.Pusta ka Pelajar,Yogyakarta,umpa manya.Meski lebih suka me nerapkan sistem royalti,pener bit ini tak menolak ila ada pe nulis yang menghendaki dibeli putus (flat ).Besar royalti berki sar 7,5-10 persen."Kalau eli naskah secara flat ,harga yang kami pasang adalah Rp 7.500 sampai Rp 10.000 per hala man,"tutur Mas'ud,pimpinan Pustaka Pelajar.

Sistem beliputus memang kian jarang digunakan oleh penerbitpenerbit.Gramedia Pustaka Utama pernah meng gunakan cara ini,tapi dihenti kan lantaran dianggap kurang adil.Sebab,jika penjualan bu ku meledak,penulis tak bisa ikut menikmati kesuksesan nya."Kecuali ada klausul harga flat itu erlaku hanya sampai jumlah penjualan tertentu," kata Nung Atasana.

Namun,di tengah kecende rungan itu,penerbit Bentang Budaya Yogyakarta justru lebih suka memilih beli naskah seca ra flat .Bentang meninggalkan sistem royati yang dianggap malah memunculkan banyak persoalan.Buldanul Khuri,Di rektur Utama Bentang,mem beri contoh:penerbit mence tak dua ribu eksemplar,dan se ribu di antaranya dikirim ke to ko.Penulis akan menghitung royaltinya dari 1.000 buku,ka rena nyatanya memang telah keluar dari gudang penerbit.

Namun,kata Buldan,bebe rapa bulan kemudian ternyata ada retur.Ini menimbulkan masalah,sebab ia mengaku punya kelemahan dalam ad ministrasi distribusi."Daripada dituduh menipu penulis da lam menentukan royalti,lebih baik saya memilih sistem ba yar di muka,"kata Buldan sem bari menyebut tak ada patok an yang jelas berapa angkanya. Ini tergantung kesepakatan di antara penerbit dan penulis.

Kemungkinan dituduh me nipu penulis memang mung kin terjadi,meski ratarata pe nebit menyampaikan laporan hasil penjualan buku kepada penulisnya.Mizan,misalnya memberi laporan tiga bulan sekali bersamaan dengan pem bayaran royalti.Gramedia dan KPG memilih waktu setiap enam ulan —Januari dan Juli. Di dalam laporan tertera bera pa jumlah buku terjual dan be rapa besar royalti.

Soalnya ialah agaimana pe nulis dapat memantau kebe naran laporan itu?"Ini me mang perkara pelik,"jawab Mas'ud."Memang dibutuhkan saling percaya antara penerbit dan penulis.Tanpa saling per caya,ya memang akan repot," tukasnya.Agar lebih afdol, Mas'ud mengandalkan pula catatan pembukuan.

Pax Benendato dari KPG ju ga mengakui soal ini memang paling krusial di isnis pener bitan."Ini betulbetul bisnis kepercayaan,"ujarnya."Saya nggak tahu apakah pengarang mengecek langsung ke toko buku."

Page 11: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

Memang,tidak setiap penu lis peduli dan mau bersibuksi buk memerika kebenaran la poran penjualan dari penerbit. Remy Sylado,contohnya.Ia

mengaku tak tahu berapa be sar royalti yang seharusnya ia terima dari sejumlah novel nya."Pokoknya tahutahu ada duit di rekening,"ujar Remy. Kendati begitu,angka perki raannya sebenarnya dapat di hitung.Sebagai contoh novel CaBauKan .Karya Remy yang diterbitkan pada 1999 oleh KPG ini dijual dengan harga Rp 30 ribu per eksemplar.Ro yalti untuk cetakan I,dengan tiras tiga ribu eksemplar,sebe sar 10 persen.Untuk lima ceta kan berikutnya,sebanyak kira kira 17 ribu eksemplar,royalti nya naik jadi 12,5 persen.Di kalikan dengan harga jual tadi, royalti yang diperoleh Remy dari satu novel ini saja boleh jadi sekitar Rp 72,75 juta. Angka tersebut niscaya ber tambah,lantaran film CaBau Kan —yang diangkat dari no velnya —masuk dalam nggul an kategori film asing dalam Festival Oscar tahun ini.Da lam sebuah milis buku,per bincangan mengenai perban dingan antara buku dan film CaBauKan berlangsung cu kup ramai.

Ayu Utami,dari novel perta manya Saman ,menangguk ro yalti lebih besar,antara lain karena buku ini diterbitkan pada 1998.Menurut Manajer KPG Pax Benendato,novel ini sudah naik cetak 23 kali de ngan oplag hampir 60 ribu — angka yang mendobrak mitos bahwa karya sastra tidak laku. Melalui perhitungan serupa dengan Remy,dari novel yang dijual seharga Rp 20 ribu ini Ayu boleh jadi telah memper oleh kirakira Rp 148,5 juta atau malah lebih.

Angka yang lumayan besar dicapai pula oleh buku Aa Gym dan Fenomena Daruut Tauhid . Buku yang diterbitkan pertama kali oleh Mizan pada Novem ber 2001 ini,menurut Sari Meutia,manajer penerbit Ban dung ini,sudah laku sekitar 75 ribu eksemplar.Apabila royalti nya tetap 10 persen sekalipun beberapa kali naik cetak,buku ini telah mendatangkan uang kirakira Rp 168,75 juta bagi penulisnya dalam waktu 14 bulan lebih sedikit.

Dengan jumlah bukunya yang mencapai puluhan,dice tak lang beberapa kali,dan sebagian sudah diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa, Pramoedya Ananta Toer —de ngan judul buku yang puluh an,dicetak lang berkalikali, dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa —sudah pasti bertengger di tempat tertinggi.

Meskipun mungkin belum se besar yang didapat J.K.Raw ling dari bukunya yang tak ba nyak itu.Untuk tahun lalu sa ja,Rawling menambang uang sebesar 48 juta poundsterling atau,dengan kurs 1 pound se tara Rp 14 ribu,kirakira Rp 672 miliar.

Penulis Inggris ini diduga akan menambang lebih ba nyak lagi pada tahun ini,kare na bukunya Harry Potter and the Order of the Phonix akan ter bit Juni nanti.Buku setebal le bih dari 700 halaman ini bakal dijual US$29,99 per eksemplar dengan cetak pertama yang memecahkan rekor:6,8 juta eksemplar.Andaikan Rawling mendapat royalti 10 persen,ia mampu menambang Rp 183,6 miliar dari satu buku baru ini saja,jika cetakan pertama ini habis.

Page 12: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

Di hadapan penulispenulis ini,Rawling bak raksasa.

Di Antara Mata Rantai

Dalam soal margin keuntungan, penerbit bernasib sama dengan penulis.

Buku boleh berbeda harga,tapi tetap saja melewati mata rantai yang sama:penu lis —penerbit (termasuk percetakan)—dis tributor —toko buku.Sudah barang tentu,ma singmasing titik ingin mengail untung.Sebe rapa besar laba bisa dikail dari,misalnya,se buah buku yang dijual dengan harga Rp 20 ri bu? Tak banyak,terutama bila tirasnya dalam ki saran ribuan saja."Penerbit paling mengambil 10 persen dari harga jual,"tutur Mas'ud,pim pinan Penerbit Pustaka Pelajar yang berbasis di Yogyakarta.Angka yang sama umumnya dipa tok oleh banyak penerbit.Meski,ada pula yang "berani"mengambil margin yang lebih tinggi. Kepustakaan Populer Gramedia,umpamanya, menurut manajernya Pax Benedanto,mema sang standar ratarata 15 persen.

Dengan kerja yang begitu keras,mencari nas kah,menyunting,menyusunnya dalam tata le tak buku,mencetak,dan pekerjaan lain untuk mendukung penjualan buku di pasar,penerbit mengambil untung sedikit.Jika kita ambil pa tokan 10 persen,maka untuk sebuah buku de ngan harga jual Rp 20 ribu,penerbit akan mem peroleh margin keuntungan sebesar Rp 2.000 per eksemplar.

Penulis mengalami "nasib"yang sama dengan penerbit.Jatahnya cuma sekitar 10 persen,mes ki ada yang lebih tinggi,yakni bila penulisnya ternama atau bukunya dicetak ulang.

Dengan margin sebesar itu,tak heran bila ba nyak penerbit gulung tikar ketika krisis mende ra negeri ini.Ratusan penerbit tak mampu lagi mengeluarkan produk barunya,lantaran biaya produksi yang meningkat.Menurut Nung Ata sana,Manajer Pemasaran Gramedia Pustaka Utama,komponen biaya produksi ratarata mencapai 25 persen.Ini mencakup biaya edito rial,pracetak,ongkos cetak,maupun kertas empat komponen terakhir inilah yang mening kat,sebab melibatkan bahan baku.Sedangkan biaya editorial bergeming di tempatnya.

Di luar itu,penerbit masih harus menang gung biaya promosi.Gramedia umpamanya, menurut Nung,menganggarkan kirakira lima persen dari harga jual untuk kebutuhan pema sangan iklan,pembuatan brosur poster,span duk,rak pajang,contoh gratis,maupun bentuk promosi lainnya.Penerbit mesti memperhi tungkan pula biaya gaji karyawan,biaya opera sional pemasaran,sewa gedung,biaya pemeli haraan gedung dan alat kerja,telepon,listrik, biaya gudang,maupun ongkos kirim.

Di antara mata rantai itu,komponen terbesar diserap untuk distribusi —distributor dan toko buku.Angkanya bervariasi.Nung menyebut ra bat untuk distributor sebesar 30 persen,sedang kan Sari Meutia —manajer Divisi Buku Utama Mizan —

Page 13: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

mengatakan distributor mendapat po tongan harga 40 persen,tapi 30 persen di anta ranya diberikan ke toko buku.Bahkan,Mas'ud menyebut angka 50 persen.

Jatah toko buku yang terbesar,lantaran pe ngelola toko buku umumnya merasa telah me ngeluarkan banyak biaya untuk menyewa atau membeli tempat serta membangun jaringan.

Berhadapan dengan jaringan toko semacam ini, pada umumnya posisi tawar penerbit memang lebih lemah.Mereka amat bergantung pada to ko atau gerai lainnya untuk memajang produk nya.Alhasil,mereka relarela saja "melepas"30 40 persen ke distributor dan toko buku.

Ada,memang,kiat untuk mengurangi persen tase agar tidak jatuh ke pihak lain.Penerbit be sar semacam Mizan dan Gramedia,misalnya, membentuk perusahaan distribusi sendiri.Pe nerbit Gramedia beruntung karena didukung ja ringan toko yang paling luas saat inisekitar 50 gerai.Sementara,Mizan baru bisa menahan se bagian dari prosentase yang semula dinikmati perusahaan distributor lain yang memasarkan bukubukunya.Yakni,lewat perusahaan distri businya Mizan Media Utama.

Dengan mata rantai seperti itulah,sebuah bu ku datang ke pembaca dengan harga tertentu. Patokan kasarnya,menurut Nung Atasana, "Harga jual eceran sebesar 4 kali biaya produk si."Jadi,jika harga jual sebuah buku Rp 20 ribu, biaya produksinya kirakira Rp 5 ribu.Harga ju al ini sebenarnya bisa diturunkan andaikan komponen yang satu lagi,dan yang paling mengherankan,dihapus,yakni pajak pertam bahan nilai penjualan yang mencapai 10 persen plus pajak atas kertas yang masuk ke dalam komponen produksi. Soalnya,kapan pemerintah peduli?

Ragam Jurus Mendongkrak Tiras

Aspek pemasaran kian di perhatikan oleh sejumlah penerbit dan penulis.Mes ki,yang lain tetap adem adem saja.

Banyak cara memikat perhatian publik ter hadap sebuah buku. Saat meluncurkan kumpulan 11 cerita pendeknya,Mereka Bilang Saya Monyet!,September tahun lalu, Djenar Maesa Ayu menggelar acara yang meriah,beraroma wangi,dan dihadiri oleh na manama beken.Sejumlah aca ra diskusi dan temu penulis,la yaknya jumpa penggemar di kalangan artis film dan sine tron,digelar di beberapa tem pat di Jakarta dan Surabaya.

Djenar,dalam peluncuran itu,menghadirkan Ayu Utami, penulis novel Saman dan La rung ,serta penyair Sutardji Cal zoum Bachri.Ayu,yang jadi pembicara,memuji beberapa cerpen Djenar sebagai punya kelebihan dalam menampilkan citra visual.Sedangkan Tardji, yang disebut Djenar sebagai sa lah satu guru menulisnya,me nyatakan rasa sadarimajinasi Djenar tak menggodanya un tuk

Page 14: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

menulis sekedar beraneh aneh seperti yang kerap dite mui dalam cerpen Indonesia mutakhir.

Model promosi serupa di tempuh oleh Fira Basuki,yang meski pendatang baru lang sung diakrabi pembaca lewat tiga novelnya —Jendelajendela, Pintu ,dan Atap .Fira,yang lama tinggal di Singapura,mengada kan acara jumpa penulis di Mal Pondok Indah beberapa waktu lalu.Hasilnya lumayan.Novel kedua penulis banyak dibahas di media massa.Mereka Bilang Saya Monyet!bahkan sudah di cetak dua kali —cukup bagus untuk pendatang baru.

Caracara promosi dalam for mat diskusi memang sudah la zim diadakan oleh sejumlah kecil penerbit.Penulis dan pe nerbit bersekutu mempromosi kan karyanya di forum seperti ini.Harapannya:publik bermi nat untuk,paling tidak,mene ngok bahwa ada buku baru yang layak dibicarakan sekali gus mendekatkan penulis,bu ku,dan khalayaknya.

Penerbit Mizan tergolong ra jin mengadakan acara seperti ini dengan menggandeng pi hak lain untuk bekerja sama. Terkadang penerbit yang berba sis di Bandung ini memanfaat kan pula momen tertentu seba gai pintu masuk.Contohnya, ketika awal Januari lalu ber langsung konierensi internasio nal mengenai hubungan sains dan agama di Yogyarkarta.

Panitia konperensi mengun dang Mehdi Golzani,guru be sar fisika di Universitas Tekno logi Syarif,Iran.Usai berbicara dalam konperensi,Mehdi di daulat berbicara di adapan publik Jakarta dalam forum yang digelar Mizan.Ketika itu lah,Mizan sekaligus meluncur kan buku lama Mehdi yang di cetak ulang,Filsafat Sains Me nurut AlQuran .Sekali menda yung,dua pulau terlampaui — masyarakat mendengarkan ce ramah Mehdi mengenai sains dan agama,sembari dipikat oleh bukunya.

Efektifkah?"Meski hasilnya tidak sangat signifikan,tapi ini merupakan salah satu alterna tif yang bisa kita tempuh,"kata Sari Meutia,General Manager Mizan Pustaka.

Namun,di antara banyak pe nerbit,Gramedialah,sebagai penerbit terbesar saat ini,yang memiliki keunggulan dalam soal pemasaran lantaran mem punyai jaringan toko di kota kota penting yang jumlahnya hampir 50 gerai.

Lewat geraigerai milik grup sendiri,penerbit Gramedia Pustaka Utama leluasa menye lenggarakan acara peluncuran buku,talk show ,mau pun jum pa penulis.Dua pekan lalu, umpamanya,di salah satu to konya di Jakarta kelompok per usahaan ini menggelar acara yang menghadirkan penulis penulis perempuan:Ayu Uta mi,Dewi Lestari,Djenar Maesa Ayu,Fira Basuki,dan Violetta Simatupang —penulis kumpul an puisi Anakanak Vampir .Dis kusi berlangsung meriah,di lanjutkan dengan penanda tangan buku (book signing ).

Page 15: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

Ikhtiar untuk mencari cara baru memasarkan buku me mang terus dicari.Helvy Tiana Rosa,penulis yang sudah mela hirkan lebih dari selusin buku ini,menggunakan jalur pema saran yang berbeda.Forum Lingkar Pena,yang ia motori dan menghimpun peminat du nia kepenulisan hingga lebih dari tiga ribu orang,menjadi tempat berlatih menulis sekali gus pasar tersendiri.Dengan ca ra bergerilya,karyakarya mere ka beredar di dalam komunitas ini maupun di luarnya.

Nama Dewi Lestari,lagilagi, juga patut disebut karena ia pe nulis yang memperhatikan as pek pemasaran,bukan cuma memikirkan bagaimana menu lis buku.Ketika melahirkan karya pertamanya,Supernova: Ksatria,Puteri,dan Bintang Ja tuh ,Dewi menerbitkan sendiri bukunya dengan mengusung bendera Truedee Books.Ia ber alasan,tak ingin karyanya di sunting oleh editor penerbit.

Lantaran tak yakin pula buku nya bakal laku bila menempuh jalur pemasaran "tradisional" lewat toko,Dewi memilih cara bergerilya antara lain mengun jungi kampuskampus.

Hasilnya?Kerja melelahkan itu berbuah cukup bagus.Su pernova episode pertama itu hingga kini sudah laku 75 ribu eksemplar.Dewi puas sekaligus belajar bahwa bekerja sendiri bukan al yang tepat.Sebab itulah,untuk menerbitkan Su pernova 2.1:Akar ia bekerja ba reng dengan BArK Communi cation.Diluncurkan pertama kali November lalu,dan dijual melalui situs www.truedee.net buku kedua ini sudah menem bus angka penjualan 25 ribu eksemplar.

Melihat hasil ini,mereka memasang target 150 ribu eksem plar terjual per Juli mendatang. Demi mencapai target ini sejak Januari lalu mereka menjalin kerjasama dengan situs situs www.detik.com dan www.ini buku.com."Untuk meluaskan pasar pembaca,"kata Aris Raya guna,Direktur Pemasaran BArK Communication.Bah kan,toko buku yang semula di hindari kini digaet pula.Mere ka juga melayani pemesanan buku melalui telepon,meski baru sebatas Jakarta.

Bahkan,cara pemasaran di perluas antara lain dengan menjual reading kit seperti teh cap Bodhi (salah satu tokoh da lam novel De wi),gimmick be rupa tempat uang seperti mi lik Bodhi,aroma pewangi,dan se bagainya.BArK Com juga meng gelar lomba lagu Supernova.

Seperangkat reading kit itu di gunakan untuk menggiring pembaca ke nuansa dunia Su pernova."Agar pembaca men dapat pengalaman berbedabe da,"kata Dewi suatu ketika. Aktivitas menggunakan rea ding kit ini tak ubahnya sebuah ritual.Sebelum membaca no vel ini,pembaca diminta membasuh tangan,kaki,dan muka,lalu menghirup teh cap Bodhi dan menyalakan hio beraroma.Agar konsentrasi terjaga,sebuah soundtrack Su pernova diputar.Setelah itu bersandarlah di kursi sambil membuka lembar per lembar episode 2.1 Akar ini.Sekitar 2.500 orang sudah memesan reading kit ini sebelum dilun curkan.

Apakah semua penerbit me mikirkan betul jurusjurus pe masarannya?

Page 16: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

Buldanul Khuri dari Bentang Budaya dan Mas'ud dari Pusta ka Pelajar mengaku tak menyi apkan kiatkiat khusus untuk memasarkan produk bukunya.

Bahkan,Buldan mempercayai betul halhal misterius di balik penerbitan sebuah buku.Ia mencontohkan,sebuah buku karya pengarang besar yang di perkirakan laris ternyata ma lah jeblok.Sebaliknya,buku yang semula diduga bakal tak laku terbukti laris di pasaran.

"Buku puisi Afrizal Malna yang berjudul Dalam Rahim Ibu ku Tak Ada Anjing ,misalnya,ter nyata sangat laris di pasaran. Dalam waktu dua bulan sudah terjual sekitar 1.500 eksemplar.

Namun,ada ju ga buku arsitek tur yang sejak awal saya me ngira akan laris di pasaran,ter nyata malah jeb lok.Tahun 1995 buku itu saya ce tak 1.000 eksem plar.Sekarang stok di gudang masih ada,"ung kapnya.

Pasar me mang aneh.Bu ku bagus tak se lalu terjamin bakal laku.Namun,lebih ba nyak yang sepakat,pemasaran yang tepatlah yang dapat me nopangnya.Penerbitpenerbit asing antara lain memanfaat kan betul strategi tiein —sesua tu yang sangat jarang diguna kan oleh penerbit di sini.De ngan strategi ini,pemasaran sebuah produk dikaitkan de ngan pemasaran produk lain yang temanya sejenis.

Gramedia jeli melihat keku atan strategi ini,antara lain de ngan menggeber penerbitan serial The Lord of the Rings kar ya J.R.R.Tolkien maupun Har ry Potter karya J.K.Rawling saat filmnya diputar di sini.Pada hal Gramedia tak menjalin kerjasama apapun dengan dis tributor film tersebut.

Hasilnya?"Memang terjadi peningkatan penjualan setelah penayangan filmnya,"ujar Nung Atasana,Manajer Pema saran Gramedia Pustaka Uta ma.

Tekun Membidik Ceruk Lain

Dalam 20 tahun lebih perjalanannya di Indo nesia,PT Ichtiar Baru Van Hoeve makin me nemukan segmen pasarnya di Indonesia. Setelah sukses lewat produk pertama Ensiklope di Indonesia yang dijual eceran pada 1980,kini catatan pretasi itu terus berlanjut.Apalagi setelah perusahaan modal asing asal Belanda ini membi dik ensiklopedi berbasis tema Islam.

Pada 1993 terbit Ensiklopedi Islam sepanjang tujuh jilid.Sambutan pembaca di luar perkiraan. Angka penjualan mencapai 700 set per bulan. Bahkan pernah mencapai 800 set sampai bulan keenam sejak terbit.Kini setelah hampir 10 ta hun terbit,penjualan masih menyentuh angka 40 sampai 50 set per bulan."Sampai hari

Page 17: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

ini permin taan masih ada,"kata Viktor Pariaman Pane, asisten direktur pemasaran Van Hoeve.

Biasanya penjualan ensiklopedi tak semudah menjual buku biasa.Untuk mencapai penjualan 1.000 set dibutuhkan waktu setidaknya satu sam pai dua tahun.Pasalnya harga sebuah ensiklo pedi,apalagi berjilidjilid,cukup mahal.Harga Ensiklopedi Islam ,misalnya,mencapai Rp. 1.610.000,per set.

Meski begitu angka penjualan yang digapai produk Van Hoeve cukup lumayan.Ensiklopedi Islam Untuk Pelajar sepanjang enam jilid,misal nya.Karya yang terbit 2001 ini terjual 300 set pa da bulan pertama dan kedua setelah diterbitkan.

Sepanjang 2002 total penjualan mencapai 3.500 set dengan harga Rp 1.200.000,per set.Kini permintaan setiap bulan mencapai 200 set lebih.

Sedangkan Ensiklopedi Tematis Dunia Islam , yang disunting oleh Prof.Taufik Abdullah dan di terbitkan September 2002,mencatat penjualan 400 set per bulan.Bulan Desember sempat mengalami penurunan karena bertepatan dengan libur bersama Idul Fitri,Natal,dan Tahun Baru.

Kini ensiklopedi yang dijual dengan harga Rp 1.925.000 per set itu terjual hingga 250 set per bulan."Kecenderungannya naik kembali sejak Februari ini,"kata Viktor.

Harga yang relatif mahal untuk ukuran buku di Indonesia tak menghalangi pembeli untuk men dapatkannya.Van Hoeve menawarkan pembeli an secara kredit sampai dua tahun cicilan.Jum lah pembeli lewat jalur ini mencapai 60 persen dari seluruh pembeli.Sisanya lewat pembayaran tunai."Kami menjual lewat produk kami dengan sistem direct selling ,"katanya.Produk Van Hoe ve memang tidak dijual bebas di toko buku.Pen jualan langsung produk ini mengandalkan arma da yang mencapai 133 orang dengan status fre elance .arif firmansyah

Raja Midas Jagad Buku Indonesia

Pramoedya Ananta Toer seperti jimat peng laris bagi para penerbit.Ia seperti Raja Mi das,apa pun yang disentuh oleh jarinya akan menjadi emas.Apa pun yang ditulis oleh jari Pram pasti akan laku. "Buku apapun karya Pram pasti jalan,"kata manajer penerbit KPG,Pax Benendato,kepa da Tempo News Room .Bahkan Mangir yang merupakan karya drama —dan biasanya seret di pasaran —pun dapat laku keras karena ditu lis Pram."Menurut kami Mangir agak istimewa karena itu drama."

Di tengah kesulitan menjual buku di Indone sia,Pram memang pengecualian.Karena itu perlakuannya juga istimewa.Jika penulis lain hanya mendapatkan bayaran royalti 10 persen pada cetakan pertama dan 12 persen dalam cetakan kedua,Pram bisa

Page 18: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

langsung mendapat lebih."Penulis mendapat royalti sekitar 15 per sen,"kata pendiri penerbitan Hasta Mitra,Joe soef Ishak."Jadi Pram memang mendapat ro yalti cukup tinggi dibanding lainnya."

Maklum saja jika Pram bisa mendapatkan ba yaran lebih tinggi.Bukunya yang laris manis ten tu membawa berkah finansial kepada penerbit. Bukunya dapat dicetak berkalikali.Arok Dedes , buku terakhir Pram yang dicetak Hasta Mitra pa da 1998 sudah naik cetak tiga kali."Ratarata sekali cetak 3.000 sampai 5.000 eksemplar,"ka ta Ishak.Belum lagi karya tetralogi Bumi Manu sia yang telah dicetak berulangulang dan diter jemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Hasta Mitra adalah peberbit yang identik de ngan Pram.Maklum,penerbitan yang didirkan pada 1981 ini memang dibuat untuk menam pung karyakarya para tahanan politik saat pe nerbit lain ketakutan."Banyak bekasbekas ta pol (tahanan politik)yang menulis sajak,novel, cerpen,tapi karyakaryanya tidak diterima oleh penerbit di zaman Soeharto.Hasta Mitra mem berikan tempat bagi semua penulis yang karya karyanya tidak berani diterbitkan oleh penerbit penerbit yang lain,"kata Ishak.

Meski ada sejumlah karya penulis lain yang diterbitkan oleh Hasta Mitra,namun Pram ada lah tulang punggungnya."Pada saat itu me mang yang pertamatama dan utama adalah karya Pram,"ujar Ishak lagi.Bahkan Ishak lupa namanama tapol penulis lain selain Pram yang karyanya pernah ia cetak. Tak heran jika penerbit luar negeri pun tergiur untuk me nerbitkan karyakarya Pram. Karyakaryanya telah diterje mahkan ke berbagai bahasa dunia,bahkan bahasa Viet nam dan Tagalog.Menurut Is hak,ada seorang Amerika yang pernah mencatat ada 20 judul buku karya Pram yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing,seperti Inggris, Prancis,Jerman,Italia,dan Spanyol.

Max Lane yang mendapat hak terjemahan karya Pram dari Hasta Mitra bergerak ce pat.Ia memilih Penguin Book Australia untuk menerbitkan karya Pram.Terjemahan Lane menarik minat Penguin Book Amerika mener bitkan karya Pulau Buru.Akhirnya tetralogi Pu lau Buru diterbitkan dengan sambutan luar bia sa.Bumi Manusia versi terjemahan Penguin Book Amerika,This Earth of Mankind ,naik ce tak lima kali.

Keunggulan Pram adalah ia memiliki posisi tawar yang bagus,bahkan ketika berhubungan dengan penerbit asing.Seluruh hak penerbitan ada di tangannya.Karenanya, ketika ada pihak penerbit luar negeri yang tertarik untuk me nerjemahkannya,Pram tidak lagi melibatkan penerbitnya di Indonesia.Ia mempercayakan penerjemahan bukunya di lu ar negeri kepada literary agent ."Semua penerbit luar negeri harus berhubungan dengan agen itu,"kata Ishak. Karena hak cipta masih di tangan Pram,maka ia bebas untuk menentukan penerbit mana yang akan ia beri hak untuk menerbitkannya.Meski sudah sangat identik dengan Hasta Mitra,namun Pram ti dak berkewajiban menyerah kan semua karyanya atau mencetak ulangnya lewat Hasta Mitra."Kalau soal royalti mendapat lebih tinggi,itu sepenuh nya menjadi hak penulis.Ia berhak saja,kalau ada yang mau memberikan 50 persen,kenapa tidak pergi yang ke 50 persen itu.Tidak ada masalah itu,"kata Ishak.

Page 19: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

Keberhasilan Pram menjadi fenomena sering membuat penulis muda silau.Tapi itu semua bukan kerja satu malam.Berpuluh tahun kepa hitan dilalui Pram sebelum ia mampu menjadi seperti sekarang ini.

Buku Laris, Penulis Laris

Bagaikan musim semi,bukubuku baru terbit silihberganti. Ada yang laku sekedarnya,ada pula yang larismanis. Sejahterakah penulisnya?

Ini kisah paradoks mengenai ne geri kita:mobil baru laku keras, meski harganya ratusan juta rupi ah;buku baru tersendatsendat jalannya dan dibilang mahal,walau hanya puluhan ribu rupiah.Orang akan menyanggah kisah itu dengan tak kalah piawai:soalnya sederhana sa ja,yang membeli mobil tidak hobi membaca buku,dan yang cinta buku tak cukup punya anggaran untuk memilikinya.

Dibanding jumlah penduduk yang nyaris 200 juta orang,memang sung guh mengherankan bahwa sebuah ju dul buku yang laku beberapa ribu sudah terasa menyenangkan.Tapi begitu lah adanya.Dan itu yang menyema ngati para pecinta buku untuk tidak pantang kendur.Penerbit baru ber munculan.Penulis buku,fiksi dan non fiksi,bermekaran.Taman bacaan bersemai.Tidak mudah menghitung jumlahnya,sebab tak tersedia data yang dapat dipertanggungjawabkan.Tidak juga di Ikatan Penerbit Indonesia,sebab ti dak semua penerbit bergabung dengan lembaga ini.

Di antara gairah itu,sebuah buku domestik dengan tingkat penjualan 75 ribu eksemplar dalam setahun lebih dua bulan sudah dianggap larismanis alias bestseller —bandingkan dengan karya J.K.Rawling yang bakal terbit 21 Juni mendatang,Harry Potter and the Order of the Phoenix yang akan dicetak perdana 6,8 juta eksemplar!

Adalah buku berjudul Aa Gym dan Fenomena Daruut Tauhid ,yang terbit pertama kali November 2001,yang telah mencapai angka tadi.Bagi Mizan,penerbitnya,buku yang gagasannya dika rangoleh KH Abdullah Gymnastiar — pimpinan Pesantren Daruut Tauhid, Bandung,yang akrab dipanggil Aa Gym —dan ditulis serta disunting oleh Hernowo dan M.Deden Ridwan ini begitu mencengangkan.

Cetakan pertama sebanyak 10 ribu eksemplar habis terjual hanya dalam hitungan minggu.Kini buku tersebut sudah naik cetak enam kali,dan tetap diserap pasar."Kecuali buku Aa Gym,tidak ada buku lain yang fenomenal, yang dalam satu tahun mampu mencapai angka penjualan spektakuler,"kata Sari Meutia,General Manager Mizan Pustaka.

Pamor Aa Gym memang sedang bersinar terang.Boleh dikata,masyarakat sedang demam dengan segala yang ber aroma Aa Gym.Sebab itu,Sari memperkirakan buku kedua tentang pendakwah ini,Menjaga Hati Meraih Cinta Ilahi,Sebuah Reportase Dakwah ,bakal meledak pula.Buku yang ditulis oleh Herry Mohammad ini dicetak

Page 20: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

Januari lalu.Cetakan pertama sebanyak 20 ribu eksemplar,menurut Sari,sudah habis diserap pasar.

Di masa lalu Mizan sempat punya dua penulis yang bukubukunya selalu diminati pasar,yakni Emha Ainun Najib dan Quraish Shihab.Tapi,buku-buku Emha,menurut Sari,tak lagi dimi nati.Begitu pula dengan karya Quraish Shihab yang mencatat tiras 70 ribu eksemplar dalam tujuh kali naik cetak,tapi untuk rentang dari 1992 hingga 2003.Mizan tak bisa lagi bersandar pada karya Quraish,selain karena ia tak sepopuler dulu lagi,penulis buku Mem bumikan AlQuran ini sekarang memi liki penerbitan sendiri.Mizan,karena nya,tinggal menyelesaikan sisasisa kontrak dengan pendakwah ini.

Penulis nonfiksi lain yang karyakar yanya cukup laris ialah Andrias Harefa. Lelaki kelahiran 1964 ini telah menerbitkan 21 judul buku bertema pembelajaran,kepemimpinan,dan kewirausahaan.Inilah tema andalan Andrias yang dibawakan pula di forumforum seminar.Ia memang mencoba menawarkan alternatif cara belajar di luar sekolah."Tapi saya tidak antisekolah,"tukasnya.

Sebagian besar karya Andrias diterbit kan Gramedia Pustaka Utama.Ia merasa cocok dengan model kerjasama yang ditawarkan penerbit ini,di samping faktor pertemanan dengan beberapa orang di Gramedia.Meski begitu,ia memilih penerbit besar ini bukan se mata faktor tadi."Ada beberapa tema yang saya rasa lebih cocok kalau diterbitkan Gramedia,"kata Andrias yang karena bukubukunya ia jadi kerap di undang untuk berbicara dalam pelbagai seminar dan acara pelatihan.

Cetakan pertama buku Berwirausaha dari Nol terbitan Gramedia Pustaka Uta ma tahun 2000 langsung habis pada bulan pertama.Hingga kini buku terse but naik cetak sebanyak enam kali,ma singmasing tiga ribu eksemplar.Ceta kan ketujuh sedang disiapkan.Sedang kan Sukses Tanpa Gelar terbitan Grame dia akhir 1998 sampai hari ini terjual 16 ribu eksemplar.Bukunya yang lain, Menjadi Manusia Pembelajar (Penerbit Kompas,2000),dicetak ulang sampai tiga kali dalam waktu tiga bulan perta ma.Buku tersebut kini memasuki ceta kan ketujuh.

Di Gramedia Pustaka Utama,menu rut Manajer Pemasarannya Nung Atasana,Andrias Harefa bersama Anand Krishna,Rhenald Kasali,dan Hermawan Kertajaya memang menempati pe ringkat teratas penulis laris domestik untuk tematema nonfiksi.Masing masing penulis memiliki lahan garapan sendiri."Kalau Andrias,pokoknya tentang kiat praktis menaikkan taraf hi dup,"kata Nung.Pembacanya,dalam istilah Nung,adalah "masyarakat yang ingin mengubah hidup jadi lebih baik". Rhenald Kasali,staf pengajar Univer sitas Indonesia,menurut Nung,mem punyai pasar pembaca setia di ling kungan akedemisi.Beberapa buku Rhe nald yang diterbitkan Gramedia lebih banyak diserap kalangan kampus.Le wat kegiatannya sebagai konsultan di beberapa perusahaan dan menjadi tuan rumah (host )acara talk show Solusi Bis nis ,pasar karya Rhenald semakin luas.

Page 21: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

Hermawan pun demikian."Dia su dah menjadi ikon di dunia bisnis,"kata Nung.Karena itu buku Hermawan yang diterbitkan Gramedia lebih ba nyak diserap kalangan pebisnis seperti Marketing Plus 2000 yang terbit pertama 1996.Dalam satu tahun buku ini naik cetak sebanyak empat kali.Bukubuku nya yang terbit kemudian tetap dimi nati,mengingat tak banyak bukubuku bisnis dan manajemen yang mengupas persoalan perusahaanperusahaan In donesia.

Di antara empat nama yang disebut Nung,Anand Krishna merupakan pe nulis paling produktif.Sudah 38 judul buku yang diterbitkan Gramedia,dari 53 buku yang ditulis Anand sejak 1997, umumnya bertema spiritualitas,penga yaan ruhani,meditasi,dan kesehatan. Begitu pun ia sudah menyiapkan dua buku lagi yang siap terbit,dan lima ju dul lainnya sedang disunting."Saya se dang melihat dunia dengan mata saya. Apa yang saya tulis pasti berkaitan de ngan isuisu yang berkembang dalam masyarakat,"ujar Anand mengenai produktivitasnya yang tinggi.

Anand mengaku sebagian besar bu kunya sudah dicetak ulang.Ia menye butkan Seni Memberdaya Diri jilid I me rupakan buku yang paling sering dice tak,yakni 9 kali,Jalan Kesempurnaan Melalui Kamasutra juga dicetak 9 kali, sementara Sehat dalam Sekejap telah na ik cetak 6 kali."Untuk setiap cetakan 3 ribu eksemplar,tapi ada pula yang 5 ri bu bila banyak permintaan.Jadi,kali kan saja,"kata Anand yang mendapat royalti 10 persen untuk setiap eksem plar buku yang laku.

Meski menurutnya hasil yang dida pat dari menulis cukup memadai kare na ia menulis dalam jumlah banyak. Pekan lalu ia baru saja meluncurkan buku terbarunya,Soul Quest —sebuah otobiografi yang ditulis dalam gaya no vel."Saya harus punya waktu untuk menulis dan tidak untuk seminar.Per timbangan saya,kalau saya datang ke seminar yang hadir paling 50100 orang.Tapi,kalau saya menulis buku, meski butuh waktu berbulan bulan,yang membaca sampai 5 ribuan orang,"ucap pemilik Anand Ashram,yang menjadi tempat berkumpul masyarakat yang ingin belajar meditasi dan yoga.

Kendati bukunya diminati, toh Anand pernah tersandung batu.Beberapa judul bukunya, antara lain 99 Nama Allah:Ba gi Orang Modern dan Marana tha:Mabuk Anggur Kehadiran Tuhan Bersama Anthony de Mel lo ,dianggap melecehkan aga ma oleh sebagian masyarakat yang melancarkan protes.Al hasil,pada tahun 2000 itu,bu kubuku Anand pun "dibredel" oleh penerbitnya sendiri."Pas ti ada kelompok yang tidak se tuju,tapi secara umum saya ingin melihat dunia dengan mata saya.Jadi saya menulis demikian,"ujar lelaki kelahir an 1956 ini.Setelah ketegang an mereda,bukubuku karya nya kembali memasuki pasar. Di luar namanama tadi pa tut disebut pula Dr.Abdul Mu nir Mulkhan dengan seri Syekh Siti Jenarnya.Buku per tama seri ini yang terbit pada 2000,Syeh Siti Jenar,Pergumul an IslamJawa ,cukup digemari pasar."Ini sebetulnya buku la ma,namun sekarang sudah 11 kali naik cetak.Sampai seka rang kirakira sudah terjual 15 ribu eksemplar,"ungkap Bul danul Khuri,Direktur Utama Bentang Budaya yang mener bitkan buku ini.Bentang,me nurut Buldanul,lebih suka me nerbitkan karya terjemahan karena sulitnya mendapatkan karya domestik yang kuat.

Page 22: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

Buku kedua seri ini,oleh pe nulis yang sama,diterbitkan oleh Kreasi Wacana satu tahun kemudian.Berjudul Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar , buku ini telah naik cetak 9 kali masingmasing sebanyak dua ribu eksemplar.Sedangkan kar ya ketiga sudah dicetak tiga ka li,masingmasing juga dua ribu eksemplar.Buku ketiga,Makri fat Burung Surga dan Ilmu Ka sampurnan ,diterbitkan Kreasi Wacana Desember tahun lalu. Serial karya Abdul Munir Mulkhan ini mengupas ajaran ajaran Syekh Siti Jenar."Pasar nya terutama Jakarta,Yogya karta,dan Surabaya,"kata As had K.,pimpinan editor pener bit yang berbasis di Yogyakarta ini.Penerbitnya,menurut As had,mencoba menawarkan pendekatan makrifat dalam memahami persoalan dunia saat ini.Untuk mendukung gagasan ini,ia bersama sejum lah teman membentuk Pade pokan Syekh Siti Jenar empat bulan yang lalu.Kegiatan yang melibatkan 40 orang ini,disa ring dari 70 peminat,antara lain mendiskusikan pemikiran Syekh Siti Jenar dan menerbit kan buletin Gnostik .

Meski masih kecil,pencapai an itu lumayan juga.Namun, angka yang lebih menggiurkan justru diraih bukubuku fiksi. Di luar nama Pramoedya Ananta Toer,yang seakan su dah menjadi brand atau merek bergaransi (Lihat Boks:Raja Midas Jagad Buku Indonesia ), tersebutlah namanama yang sudah kerap dibincangkan,se perti Dewi Lestari,Ayu Utami, serta Remy Sylado.

Prestasi yang diraih novel Saman karya Ayu Utami tergo long sangat bagus.Telah naik cetak 23 kali,menurut Pax Be nendato,Manajer Kepustaka an Populer Gramedia (KPG)— penerbitnya,angka penjualan novel ini hampir 60 ribu ek semplar sejak terbit pertama kali,1998.Tarikan pasar yang cukup kuat juga dirasakan no vel kedua Ayu,Larung —dua kali naik cetak sejak November 2001 dengan oplag 35 ribu ek semplar.

Tiras pertama Larung me mang jauh di atas edisi perta ma Saman ,yang hanya tiga ri bu eksemplar.Waktu awal ter bit,KPG belum berani mence tak dalam jumlah besar.Sukses Saman ,yang kini juga diterje mahkan ke dalam bahasa Be landa,membuat penerbit ini ingin mengulanginya."Karena itu,untuk Larung kami lang sung berani 20 ribu eksem plar,"ujar Benendato."Ayu itu kan mendobrak ya.Kemudian orang sudah mulai melihat.

Karya sastra Indonesia sudah mulai diminati selain karya karya Pramoedya." Karya Ayu bersama Remy Sylado,menurut Benendato,me nempati peringkat teratas bu ku laris di KPG.CaBauKan , novel Remy,sudah cetakan ke 6,hampir 20 ribu eksemplar. Sedangkan Kerudung Merah Kir mizi ,yang memperoleh peng hargaan Hadiah Khatulistiwa, sudah dua kali dan terjual le bih dari lima ribu eksemplar dalam waktu 8 bulan.

Yang juga melejit ialah Dewi Lestari dengan Supernovanya. Episode pertama novel ini,Ksa tria,Putri,dan Bintang Jatuh di serap pasar melebihi perkiraan penulisnya.Saat ini karya per tama anggota trio penyanyi Ri ta,Sita,Dewi itu sudah melam paui angka 76 ribu eksemplar. Betapapun banyak kritik mun cul terhadap karya tersebut,ta pi novel Supernova berhasil menyedot perhatian publik. Episode

Page 23: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

kedua novel ini,Su pernova 2.1:Akar tengah gen car dipromosikan.Untuk me nopang pemasaran,Dewi menjalin kerjasama dengan BArK Communication.Apa kah ia berhasil mengulangi sukses karya pertamanya,ma sih harus ditunggu.Sejauh ini sudah 25 ribu eksemplar sudah menembus angka 25 ribu.De wi dan BArK memasang target 150 ribu eksemplar pada Juli nanti —sebuah target yang ter kesan ambisius,tapi bukan tak mungkin dicapai.Siapa tahu? Dengan terbatasnya karya yang bagus di tengah jagad perbukuan yang sejak dulu ser ba terhimpit ini,pencapaian yang diraih sejumlah karya ta di bisa sedikit mengusir kere sahan yang selama ini berkeca muk di kalangan pecinta buku. Paling tidak,ini semacam penghiburan bahwa menulis buku pun sesungguhnya bisa mendatangkan keriangan,me mompa gairah untuk bertukar gagasan,dan menambah isi sa ku secara cukup memadai.Le bih pokok lagi,dunia buku ja di kian semarak.

Laporan Utama ditulis oleh Dian Basuki dan Qaris Tajudin berbekal laporan: Arif Firmansyah, Bernarda Rurit dan Suseno (Tempo News Room), Rinny Srihartini (Bandung), dan Heru C. Nugroho (Yogyakarta). Senin, 24 Maret 2003 Buku Gratis Buat Murid SD Murid kelas I, II, dan III sekolah dasar (SD) tak perlu lagi merengek pada orang tuanya, meminta dibelikan buku sesuai saran guru. Mulai tahun ajaran mendatang, pemerintah akan menyediaan buku ajar gratis bagi murid yang masih duduk di kelas awal jenjang pendidikan dasar tersebut. ''Kita tengah mengupayakannya,'' tutur Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), A Malik Fadjar. Bagaimana pola penyediaannya? Menteri mengatakan, diusahakan dengan memanfaatkan sistem manajemen berbasis sekolah. ''Sekolah-sekolah bisa memanfaatkan alokasi anggaran yang tersedia melalui dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), atau pun block grant,'' katanya. Block grant, jelas Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen), Indra Djati Sidi, diberikan kepada sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Jumlahnya memang masih terbatas, hanya sekitar Rp 4 juta per sekolah, tapi menurut dia, itu cukup untuk menyediakan buku pelajaran bagi peserta didik. Bantuan ini diserahkan langsung ke sekolah. Bersama Komite Sekolah, pihak sekolah membelanjakan bantuan tersebut untuk memenuhi kebutuhan buku pelajaran. Buku pelajaran yang sudah dibeli, menjadi inventaris sekolah sehingga tetap masih bisa dimanfaatkan oleh murid di kelas yang sama tahun berikutnya. Indra menegaskan, dalam tahap ini block grant yang diberikan kepada sekolah hanya untuk memenuhi kebutuhan buku pelajaran.

Page 24: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

Kalau pun ada sekolah yang telah memiliki inventaris buku pelajaran dalam jumlah yang cukup, bantuan tersebut tetap harus digunakan untuk membeli buku. Misalnya, dengan menambah koleksi perpustakaan sekolah. Berkaitan dengan pengadaan buku pelajaran ini, Malik Fadjar mengingatkan kepada para kepala sekolah agar tidak ikut dalam permainan penjualan buku. ''Banyak kepala sekolah tergiur iming-iming rabat besar dari penerbit. Itu yang membuat harga buku menjadi mahal,'' ujarnya. Buku pelajaran nantinya juga tidak harus dari satu penerbit. Pun tak ada instruksi dari pusat untuk membeli buku terbitan tertentu. Masyarakat melalui Komite Sekolah ikut serta menentukan buku mana yang mau dibeli. ''Semua diserahkan kepada sekolah bersama Komite Sekolah untuk menentukan buku pelajaran yang dibutuhkan,'' tutur Indra Djati. Pengadaan buku pelajaran pun dilakukan di daerah, bukan dari pusat. ''Pusat hanya mengeluarkan petunjuk dan standar,'' katanya. Jadi, daerah yang membuat buku, pusat haya menilai berdasarkan standar yang ada. Terhadap buku pelajaran yang dicetak di daerah, Indra bilang, ''Ada tim teknis yang menilai buku.'' Pencetakan buku pelajaran yang dilakukan di daerah, agaknya, bukan hal baru. Itu, menurut Agam Suchad, sudah lama diterapkan. Saat berbicara dalam seminar Buku Murah dan Bermutu di Jakarta, pekan lalu, mantan Kepala Pusat Perbukuan yang baru saja menyerahkan jabatannya kepada Dr H Wukir Ragil itu mengemukakan, sejak tahun 1993/1994 Pusat Perbukuan telah menyerahkan pelaksanaan pencetakan buku pelajaran ke berbagai daerah. ''Tahun 1999/2000, pengadaan buku SD sepenuhnya diserahkan ke daerah,'' tuturnya.Kegiatan ini, menurut Agam, tidak terlepas dari upaya-upaya menumbuhkembangkan industri perbukuan di daerah dan mendekatkan pengadaan buku pada sekolah. Inilah salah satu maksud penyerahan pilihan kepada sekolah untuk menentukan buku pelajaran yang akan digunakan. Menurut Indra, langkah itu akan mendorong penerbit di daerah untuk tidak mencetak buku seadanya. Sebab, dalam kondisi semacam itu, mau tidak mau, penerbit akan mencetak buku pelajaran yang bermutu baik dengan harga bersaing. Agam mengemukakan, dalam rangka pembangunan perbukuan nasional dengan didasari semangat desentralisasi, program jangka panjang pengadaan buku pelajaran akan dikembangkan dalam tiga paradigma. Pertama, regional base management, di mana kewenangan manajemen pengadaan

Page 25: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

buku pelajaran diberikan kepada daerah. Kedua, regional base partisipation, komunitas dan potensi daerah akan terlibat langsung dalam pelaksanaan pengadaan buku di wilayahnya masing-masing, sehingga terjadi interaksi antar swasta, pemerintah daerah, dan masyarakat termasuk sekolah sebagai konsumen. Ketiga, learning base oriented, di mana siswa dalam interaksi pembelajaran adalah sasaran utama setiap langkah kebijakan perbukuan nasional. Bagaimanapun, buku, menurut Mendiknas, merupakan salah satu sumber pembelajaran utama yang juga menentukan mutu pendidikan. ''Ke depan, buku menjadi guru kedua setelah guru yang sebenarnya,'' tuturnya. Persoalannya, dapatkah buku pelajaran diperoleh dengan harga murah tapi tetap bermutu sehingga sekolah bisa memiliki koleksi buku pelajaran dalam jumlah yang cukup? Bur

Sewaktu membuka pencanangan Harbuknas ini tahun lalu, Mendiknas Mendiknas mengharapkan, Harbuknas menjadi momentum kalangan mampu dan dunia usaha untuk membantu memberikan sumbangan buku bagi anak-anak kurang mampu, perpustakaan di daerah terpencil . Selain itu juga diharapkan mampu meningkatkan minat membaca di kalangan masyarakat khususnya bagi anak usia sekolah sehingga mampu mencerdaskan bangsa dan mengembangkan SDM.

Menurut ketua IKAPI Makfudin, peringatan Hari Buku Nasional ke-53 tahun ini akan dipusatkan di Magelang, Jawa Tengah. Dalam acara itu juga akan dicanangkan Desa Buku di Taman Kyai Langgeng, Magelang, oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Desa Buku ini nantinya diharapkan dapat melestarikan buku-buku yang telah terbit dan juga memacu para penerbit untuk menerbitkan buku-buku yang lebih baik. Dalam pencanangan “Desa Buku” ini akan melibatkan asosiasi yang terkait dengan bidang perbukuan, pemerintah daerah, dan komunitas yang peduli dengan buku. Kelisanan sekunder Marilah kita mulai bagian ini dengan sebuah cerita. Suatu hari 23 abad lalu, di samping tembok Athena, dan di bawah kerindangan pohon tinggi-besar di samping sungai, Socrates menceritakan sebuah kisah pada Phaedrus, seorang anak muda yang penuh semangat. Alkisah, begitu kisah Socrates pada Phaedrus, Dewa Thoth dari Mesir mengunjungi Raja Mesir. Thoth menawarkan Raja Mesir beberapa penemuannya untuk diberikan kepada rakyat Mesir. Temuan itu adalah angka, dadu, geometri, astronomi, dan tulisan. Sang Raja dan Thoth, begitu cerita Alberto Manguel dalam A History of Reading (1996), menimbang manfaat dan mudharat masing-masing temuan itu. Ketika sampai pada tulisan, Thoth berkata, "Ini adalah cabang pengetahuan yang akan

Page 26: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

meningkatkan daya ingat rakyatmu. Selain itu akan pula meningkatkan kebijaksanaan."Tetapi Sang Raja tidak tertarik. "Jika rakyatku belajar tulisan, itu akan menumbuhkan daya lupa pada jiwa mereka. Mereka akan berhenti belajar mengingat-ingat karena akan bergantung pada apa yang tertulis," kata Raja itu. Tambahnya lagi, "Dan bukanlah kebijaksanaan sejati yang kau tawarkan pada murid-murid, tetapi hanyalah kebijaksanaan semu. Mereka akan merasa tahu banyak, padahal tak tahu sama sekali. Dan sekali seseorang tenggelam dalam kecongkakan kebijaksanaan, dia akan menjadi beban orang lain." Karena itu, kata Socrates pada Phaedrus, seorang pembaca berpikir sederhana karena mempercayai bahwa kata-kata tertulis dapat berfungsi lebih dari sekadar mengingatkan sesuatu yang ia sudah ketahui. "Kau tahu, Phaedrus," tambah Socrates, "itulah yang paling aneh dari tulisan, yang bisa dibandingkan dengan lukisan. Sebuah lukisan di depan kita akan seolah-olah hidup, tetapi jika kau 'tanyai' ia akan diam saja. Begitu juga kata-kata tertulis; mereka sepertinya bicara seolah cerdas. Tetapi jika kau tanyai tentang yang mereka katakan, karena kau ingin tahu lebih banyak, mereka hanya akan mengulang-ulang hal yang sama." Socrates, lebih jauh lagi, tak menyukai pikiran-pikirannya dipercayakan kepada kulit sapi yang mati (sarana untuk menulis saat itu), bukan kepada hati manusia yang hidup. Plato juga tak kalah sengit. "Menulis akan membuat orang percaya pada tanda-tanda tertulis eksternal, dan tidak akan mengingatnya," katanya. "Mereka akan menjadi pendengar, tetapi tak akan bisa memperoleh pengetahuan," tambah Plato lagi. Socrates dan Plato, tentu saja, hidup pada zaman ketika tulisan masih belum berkembang. Dan karenanya pengetahuan yang disimpan dalam ingatan sangat dihargai, penyampaian ingatan ini turun-temurun pun dilakukan dengan lisan. Peradaban Islam pun, misalnya, sangat menghargai hafalan. Para imam mahzab dan ulama besar bahkan penghafal Al Quran ketika masih belia. Akan tetapi, di samping semua penghormatan terhadap hafalan itu, seperti kata Franz Rosenthal, seorang orientalis terkemuka, dalam buku Etika Kesarjanaan Muslim, Dari Al-Farabi hingga Ibn Khaldun (1996), peradaban Islam adalah peradaban tulis. Penerjemahan besar-besaran dari karya-karya, terutama, berbahasa Yunani serta perpustakaan-perpustakaan menyangga peradaban Islam. Seperti yang juga telah dengan amat baik diuraikan oleh Taufik Abdullah dalam sebuah makalahnya-berjudul Dari Tradisi Lisan ke Leserevolution dan Kembali?-saluran utama dari tradisi budaya lokal kita adalah lisan atau orality, bukannya "kata yang tertulis". Ingatan kolektif, pengetahuan, informasi atau perbendaharaan kultural apa pun ditransmisikan, baik antargenerasi maupun antarsektor-sektor dilakukan secara lisan. Jika transmisi antargenerasi mejamin kesinambungan kultural, maka penyampaian antarsektor akan memperkuat ikatan kultural. Bentuknya bisa bermacam-macam, apakah itu pantun, syair, seloka, cerita-cerita dan lain-lain. Itulah ketika tradisi, dalam istilah Taufik Abdullah, "membaca yang dibacakan"-karena bentuk-bentuk itu disampaikan oleh sesorang yang memiliki posisi yang kadang-kadang khusus dalam masyarakat. Ignas Kleden, dalam buku berjudul Buku dalam Indonesia Baru yang diedit Alfons Taryadi (1999), mengutip Daniel Lerner, menyebut budaya ini kelisanan primer (primary orality), yaitu tradisi kelisanan tatkala masyarakat memang belum memiliki kemampuan baca tulis.

Page 27: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

Proses tersebut sudah berlangsung berabad-abad, ketika kemudian budaya cetak mulai diperkenalkan di Indonesia pada awal abad ke-20. Karena keterlambatan budaya-cetak ini, demikian Taufik Abdullah, tentu tidak sulit membayangkan betapa kuatnya peranan "ingatan" dan "kelas pembaca". Oleh karena itu, dibandingkan dengan, terutama, Eropa, budaya cetak kita masihlah sangat muda. Dengan tumbuhnya budaya cetak ini, maka mulailah budaya "membaca yang membaca". Meskipun budaya baru ini, waktu itu, terbatas pada kaum pelajar yang kecil jumlahnya, namun merekalah yang kemudian merintis pergerakan sosial menuju ke pembentukan bangsa yang baru. Berbagai pergerakan modern, baik dalam keagamaan maupun kemasyarakatan, tulis Taufik Abdullah, tak akan bisa dipahami tanpa menyadari peranan yang dimainkan oleh "revolusi baca" ini. Selain itu, budaya cetak dengan komoditinya yang berupa teks serta pasar-pembaca mulai membentuk gaya hidup yang berbeda dengan tradisi sebelumnya, antara lain tumbuhnya corak kosmopolitan kultural yang baru dan timbulnya kesadaran perbandingan dengan dunia luar. Belum lagi berkembang penuh dan merasuk budaya baca ini, sudah datang pula teknologi informasi baru yang lebih menggoda. Mulanya adalah radio, televisi, dan kini yang paling mutakhir adalah Internet. Inilah yang mendorong lahirnya, dalam istilah Taufik Abdullah, corak baru tradisi lisan (new kind of orality), atau, dalam istilah Ignas Kleden, kelisanan sekunder (secondary orality). Dalam tradisi baru lisan atau kelisanan sekunder ini kemampuan baca dan tulis tidak begitu dibutuhkan lagi, karena sumber informasi lebih bersifat audio-visual. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia mengalami lompatan dari kelisanan primer ke kelisanan sekunder, dengan melangkahi budaya baca-tulis. Karena corak lama tradisi lisan belum terkikis benar oleh budaya baca-tulis, maka tawaran corak baru tradisi lisan yang disuguhkan media informasi elektronik, utamanya televisi, jauh lebih "merangsang" dan memiliki daya tarik yang lebih kuat. Di lain pihak, negara-negara Barat memiliki rentang sejarah dan waktu yang cukup untuk menghunjamnya budaya baca-tulis ini. Dengan demikian, tentu saja sama sekali tidak mudah mengampanyekan pentingnya budaya baca-tulis ini di tengah gemuruh arus deras kelisanan sekunder ini. Meskipun begitu sulit, upaya tentu senantiasa harus dilakukan. Karena bukankah sungguh musykil membayangkan apa jadinya jika dunia ini budaya aksara? Akumulasi pengetahuan akan mustahil tanpa rekaman-rekaman tertulis pengetahuan sebelumnya. Tetapi karena begitu lazimnya penggunaan alfabet, misalnya, sampai-sampai kita lupa betapa hebatnya penemuan manusia yang satu ini. Kita lupa bahwa diperlukan ribuan tahun-sejak diciptakan oleh orang Phoenecia sekitar 1050 SM-agar alfabet Latin yang hanya 26 huruf itu begitu luas digunakan di seluruh dunia. Dari 10.000 bahasa di dunia, menurut Joel Swerelow dalam artikel The Power of Writing (majalah National Geographic, Agustus 1999), sebagian besar tak memiliki aksara sendiri dan kini menggunakan alfabet Latin. Sejak penemuan tulisan, tulis Swerelow, selain untuk merekam dan mentransimisikan pengetahuan, manusia telah memanfaatkannya juga sebagai sarana luapan emosi. Aristoteles, berbeda dengan Socrates dan Plato, pernah berkata bahwa tulisan adalah satu cara untuk mengekspresikan "kasih sayang jiwa".

Page 28: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

Senjakalanya Budaya Baca? Jika penemuan huruf dilalui dengan keberatan-keberatan begitu juga budaya cetak. Begitu merasuknya budaya cetak berabad-abad membuat kita lupa bahwa sebelumnya perkembangan ini pun, pada mulanya, ditentang oleh sebagian orang. James J. O'Donnell dalam bukunya, Avatars of the World, From Papyrus to Cyberspace (1998), mengisahkan dengan baik tentang hal ini. Dengan makin membanjirnya buku lantaran berkembangnya mesin cetak, begitu cerita O'Donnel tentang para pengkritik budaya cetak itu, tak pelak lagi akan membanjir pula kesalahan-kesalahan (cetak). Karena itu Nicccolo Perotti, misalnya, menulis surat kepada Sri Pausagar diadakan sensor buku cetak pra-terbit. Ini dilakukannya setelah sebuah buku penting karya de Bussi, yang belakangan menjadi pustakawan Perpustakaan Vatikan, dicetak serampangan di Roma. Jean Gerson, Rektor University of Paris, pada 1439 pun mengeluhkan bibit-bibit kesalahan. Begitu terjadi sebuah kesalahan, maka kesalahan itu akan "konsisten" dan seragam di setiap buku yang dicetak. Dengan demikian, orang tidak bisa membandingkan dan mengkoreksi satu kopi buku dengan merujuk kepada kopi yang lain. Itu tidak terjadi, setidaknya menurut Jean Gerson, pada manuskrip tulisan tangan yang dibikin satu demi satu. Akan tetapi kritikus yang paling terkenal adalah Johannes Trithemius, seorang kepala biara dari Orde Benediktan, yang menulis buku (dan dicetak!) berjudul De Laude Scriptorum (kira-kira artinya Memuji para Ahli Menulis) pada 1492. Kritik utama Trithemius, menurut O'Donnell, berangkat dari keprihatinan bakal terancamnya tradisi biara dan pusat penulisannya. Meski dalam praktik Trithemius menyetujui dan menggunakan buku cetak, tetapi dia gagal memahami bagaimana menyatukannya dengan kehidupan biara. Padahal, tradisi menulis manuskrip sudah begitu merasuk dalam struktur sosial dan ekonomi komunitas biara. Biarawan yang tak begitu pandai dan bagus dalam menulis bisa bekerja menjadi penjilid, pembuat pena, dan pekerjaan-pekerjaan sejenis. Menulis dan menyalin adalah kerja jiwa yang par excellence. "Tak ada kerja aktif yang lebih baik bagi biarawan caritas mendorongnya tetap berjaga semalaman menyalin naskah-naskah Ilahi," tulis Trithemius. "Biarawan yang mencurahkan waktunya untuk menulis akan mendapat empat manfaat: pemanfaatan waktu yang begitu berharga; pemahamannya menjadi tercerahkan bersamaan dengan penulisan; dalam jiwanya berkobar pengabdian; dan pahala yang akan diterimanya setelah kematian," tambah Trithemius lagi. Dia kemudian bercerita tentang seorang Benediktan yang mencurahkan waktunya untuk menyalin naskah sebelum meninggal. Bertahun-tahun setelah dikubur, secara ajaib tiga jarinya yang sering dipakai untuk menulis tidaklah membusuk seperti bagian badan yang lain. Kini, setelah budaya cetak menjadi urat nadi umat manusia, maka budaya elektronik pun disambut dengan kekhawatiran-kekhawatiran. Dan jarang orang yang sefasih Sven Birkerts dalam menuliskan kegalauan hati pecinta buku sejati yang tak berdaya menahan "serbuan elektronis". Karenanya ia lantas menulis elegi, sebuah lagu sedih, murung, tentang masa depan membaca, dalam buku The Gutenberg Elegies, The Fate of Reading in an Electronic Age (1994). Sebuah elegi akan berlalunya era Gutenberg, era dunia cetak-tulis-baca.

Page 29: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

Tatanan kedua teritori-teritori Gutenberg vis a vis teritori elektronik-dalam banyak hal saling bertolak belakang. Teritori Gutenberg bersifat linear, dan terikat oleh logika lantaran keimperatifan sintaksis. Sintaksis adalah substruktur wacana, memetakan jalan pikiran melewati bahasa. Di dalamnya, pembaca bersifat aktif, karena membaca sebenarnya adalah tindakan "penerjemahan", di mana simbol-simbol dirujukkan ke bunyi verbalnya dan kemudian ditafsirkan. Ikatan pembaca dan teks bersifat sangat privat, di mana isi dan makna tersampaikan dari privasi pengirim ke privasi pembaca. Proses membaca juga bersumbu pada waktu: Membalik-balik halaman, menelusuri teks dari bawah ke atas, dilakukan secara berurutan, di mana isi yang lebih awal menjadi landasan untuk isi berikutnya. Bahan bacaan bersifat statis-adalah pembaca, bukan yang dibaca, yang mengendalikan kecepatan membacanya. Sedangkan tatanan teritori elektronik, seperti disebutkan tadi, bertolak belakang. Impresi dan imaji sudah dikemas, sudah ditafsirkan oleh "produser", dan tinggal disodorkan dan dikunyah oleh penikmat. "Pembaca" bersifat pasif-bisa bengong di depan televisi atau mendengar sandiwara radio-menanti apa yang disampaikan. Laju "pembacaan" tidak ditentukan oleh "pembaca", tetapi oleh media yang "dibaca"-dan biasanya tingkat kelajuannya tinggi, dengan tingkat yang ekstrem seperti video klip ala MTV. Karena yang penting impresi dan imaji, maka sekuensialitas dan logika terpinggirkan. Kesementaraan dan kesegeraaan-sebaliknya dari "keabadian" yang inheren dalam buku, misalnya-menjadi ciri tak terpisahkan. Jika, di masa depan, peradaban manusia sepenuhnya terserap dalam pada teritori all-electronic, apa yang akan terjadi? Birkerts menyodorkan tiga hal yang perlu dicermati. Pertama, erosi bahasa. Tak diragukan lagi bahwa transisi dari budaya cetak ke budaya elektronik mengubah, secara radikal, cara manusia menggunakan bahasa. Kompleksitas ekspresi tertulis dan lisan, yang terikat erat dengan tradisi cetak, akan tergantikan oleh, dalam istilah Bikerts, a more telegraphic sort of "plainspeak". Bahasa menjadi lebih sederhana, sedangkan ambigu, paradok, ironi, kesubtilan bahasa menjadi musnah. Imaji dan impresi visuallah yang mendominasi, dan karena itu peran bahasa menjadi berkurang. Kedua, mendangkalnya perspektif kesejarahan. Berubahnya cara kita menyampaikan dan menyimpan informasi berhubungan dengan ingatan sejarah kita. Rasa ikatan dengan masa lalu bahkan bisa diwakili oleh buku dan akumulasi, secara fisik, buku di rak-rak perpustakaan. Dengan melihat buku di perpustakaan, baik perpustakaan pribadi maupun perpustakaan umum, kita membentuk gambaran berlalunya waktu seiring dengan bertambahnya buku di perpustakaan itu. Tetapi kesegeraan dan kesementaraan akan menggantikan itu. Ketiga, lunturnya diri yang privat. Proses membaca adalah proses yang privat, ruang hening di mana pembaca memperoleh suaka dari hiruk-pikuk dunia sekelilingnya. Kendali pembacaan-waktu, imaji, impresi-sepenuhnya di tangan pembaca, sebaliknya dari tatanan elektronik ketika "pembaca" menyerahkan kendali itu kepada media. Ruang pribadi makin menyempit, kata Birkerts, seiring meluasnya wilayah elektronik. Dari ketiga hal tersebut, tampaknya lunturnya ruang privat adalah yang paling dicemaskan oleh Birkerts. Dan ia betul dalam hal ini. Dalam perspektif lain, privasi adalah milik manusia yang terancam dalam era cyberspace ini. Jika zaman industri

Page 30: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

menghasilkan efek samping berupa limbah dan polusi, maka era informasi ini berefek samping terancamnya privasi. Tidak hanya dalam artian filosofis seperti yang dicemaskan Birkerts, tetapi juga "praktis" seperti cerita dalam novel Nineteen Eighty Four karya Orwell yang terkenal itu. Tetapi si Big Brother bukanlah harus seorang penguasa tiran, tetapi juga bisa seorang industrialis tamak yang mengais-ngais jejak elektronik yang kita tinggalkan ketika, misalnya, mengambil uang di ATM, membayar kartu kredit, atau berkelana di mayantara. Kita tak mungkin, kata Birkerts, menghentikan laju itu. Tetapi, setidaknya, kita awas dan menyadari efek-efek samping itu dan menghindarinya sejauh mungkin. Itu pula yang disadari oleh Nicholas Negroponte-seorang pendukung kemajuan teknologi, profesor Teknologi Media di Massachussets Institute of Technology, dan pelopor penyatuan media surat kabar, televisi, hiburan dan komputer -ketika menulis buku Being Digital (1998), dan tidak menjadikan bukunya dalam bentuk multimedia. Multimedia interaktif, katanya, hanya memberi ruang sempit bagi imajinasi. Seperti film-film Hollywood watak naratif multimedia memberi gambaran kurang imajinatif. Sedangkan tulisan mampu menimbulkan imaji-imaji dan membangkitkan metafor-metafor yang mengandung banyak arti bagi imajinasi dan pengalaman membaca. Ketika kita mebaca sebuah novel, muncul berbagai warna, suara, dan gerak yang datang dari dalam kita sendiri. Saya pikir, lanjut Negroponte, pengalaman seperti itulah yang diperlukan untuk merasakan apa arti "menjadi digital" (being digital) dalam kehidupan Anda. Penutup Karlina Leksono (dalam Buku dalam Indonesia Baru, Alfons Taryadi, ed., 1999) pernah mengatakan bahwa proses membaca dan menulis sejatinya mendorong pengayaan eksistensial manusia-keduanya adalah pembentuk jalan ke masa depan. Keduanya, tulisnya lagi, merupakan bagian yang memungkinkan perkembangan penalaran individual, pemikiran kritis yang independen, pembangkitan kepekaan terhadap kemanusiaan yang di negeri ini seperti terbungkamkan selama tiga dasawarsa. Sayangnya, meski sadar begitu penting membaca (dan, tentu saja, menulis) bagi masa depan bangsa ini, kita belum banyak berbuat untuk mendorongnya. Kini sudah bulan Mei lagi, dan itu berarti Bulan Buku Nasional lagi. Tetapi kita masih saja belum juga beringsut jauh, dari Mei ke Mei, dari tahun ke tahun. Berbeda dengan negara-negara maju yang, seperti dikeluhkan Birkerts, akan mengalami senjakala budaya baca setelah mengalami "fajar dan hari terang" budaya baca, akankah kita-di negeri ini-mengalami senjakala itu bahkan tanpa sebelumnya menikmati "fajarnya" budaya baca sekali pun? Baiklah, memang kondisi perpustakaan Indonesia secara umum compang-camping, tetapi mengapa bahkan untuk perpustakaan yang bagus dan lengkap pengujungnya juga tetap seret?

Page 31: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

Lalu, begitu argumen pendukung minat baca sebagai penyebab, perhatikan statistik yang diolah dari data yang dikeluarkan Unesco pada 1993. Statistik mencatat 84 persen penduduk Indonesia sudah melek huruf, jauh di atas rata-rata negara berkembang yang cuma 69 persen? Tetapi, kenapa di Indonesia hanya ada 12 judul baru setahun untuk setiap sejuta penduduk (rata-rata negara berkembang 55 judul, dan negara maju 513 judul baru setahun untuk setiap sejuta penduduk)? Juga kenapa jumlah tiras surat kabar hanya 2,8 persen dari penduduk Indonesia, sedang standard Unesco 10 persen (negara maju di atas 30 persen)? Dengan demikian bisa dilihat bahwa kemelekhurufan masyarakat Indonesia belum fungsional, yaitu tidak digunakan untuk menyerap dan memproduksi kembali informasi tertulis. Katakan kita tidak usah menghitung seluruh penduduk Indonesia yang 220 juta jiwa, tetapi sekitar 10 persen saja, atau sekitar 22 juta, yang bisa dikategorikan memiliki penghasilan cukup dan tinggal di perkotaan. Andaikan mereka membelanjakan uang sebesar 20.000 rupiah sebulan (yang kurang lebih sama dengan makan di restoran fastfood), yang dengan uang sejumlah itu bisa membeli buku setebal kurang lebih 200 halaman atau 3-4 buku untuk anak-anak, bukankah volume industri buku sebesar 440 milyar rupiah sebulan, atau 5,28 trilyun rupiah setahun? Yang dimaksud buku di sini tentu saja bukan buku pelajaran yang memang sudah wajib dibeli, tetapi buku non-pelajaran yang bisa menjadi indikator kegemaran membaca. Angka itu pun di luar proyek-proyek pembelian buku yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengisi perpustakaan-perpustakaan. Sayangnya, kini belum ada data yang memadai tentang volume industri buku di Indonesia. Tetapi sebagai praktisi dalam bisnis penerbitan saya bisa memperkirakan angkanya akan jauh di bawah 5,28 trilyun itu. Jika volume industri buku sebesar "angka idaman" itu, bisa dipastikan industri penerbitan buku akan jauh lebih besar dari sekarang. Dari segala perdebatan mengenai lembeknya dunia perbukuan di negeri ini, ada dua tema besar yang senantiasa muncul, yaitu daya beli masyarakat dan minat baca masyarakat. Ada yang cenderung menganggap karena daya beli yang rendahlah yang menyebabkan kurang bergairahnya dunia perbukuan. Alasannya, kalau kita lihat, begitu bejubelnya pengunjung toko buku, anak-anak antusias berselonjor di lorong-lorong toko buku untuk membaca, berbondong-bondongnya orang pergi pameran buku terutama untuk mengejar buku-buku yang sedang didiskon oleh penerbitnya. Konon juga penduduk-penduduk desa begitu bergairah-baik anak-anak maupun dewasa-menyambut dibukanya perpustakaan-perpustakaan desa atau perpustakaan-perpustakaan keliling. Sayangnya biasanya kegairahan penduduk desa ini makin lama makin pudar, bukan karena mereka malas membaca tetapi karena buku baru untuk perpustakaan-perpustakaan itu seret datang, tak sesuai dengan animo yang ada. Ditambah lagi, banyak kasus di mana malah anggota perpustakaan desa sukar meminjam buku, karena aparat pemerintah desa khawatir buku yang ada menjadi rusak. Khawatir nanti-nanti kalau ditinjau oleh atasan ternyata buku-buku sudah kumal karena terlalu sering dipinjam, dan dianggap tidak mampu merawat harta negara.

Page 32: Apa kabar Budaya Baca? - file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA... · bahkan bisa cetak ulang dalam waktu tak terlalu lama. Hanya saja, secara

Putut Widjanarko Direktur Pelaksana Penerbit Mizan