repositori.unud.ac.id · “terima kasih atas partisipasi anda dalam menghitung, membayar dan...
TRANSCRIPT
BAB IV
AZAS, HUKUM DAN KETENTUAN PERPAJAKAN
“Terima kasih atas partisipasi Anda dalam menghitung, membayar dan
melaporkan SPT Tahunan. PAJAK untuk pembangunan Bangsa.”
Kutipan diatas tertera pada kertas tanda terima SPT Tahunan setelah kita menyetorkan
bukti SPT Tahunan di Kantor Pajak atau unit lain yang ditunjuk. Makna yang tersirat dalam
kalimat tersebut bahwa warga negara sebenarnya telah diberikan keleluasaan penuh untuk
menghitung, membayar sekaligus melaporkan perkiraan pajak yang dikenakannya secara
mandiri. Pertanyaan yang kemudian muncul apakah Negara bisa menjamin kejujuran seratus juta
lebih warganya untuk melaporkan pajaknya secara jujur, transparan dan bertanggungjawab?
Apakah warga negara kita benar-benar sudah terbuka kesadarannya bahwa pajak bermakna
penting bagi penyelenggaraan pembangunan? Bagaimana urgensi pemungutan pajak yang
berkeadilan serta bagaimana kemudian menjelaskan munculnya negara yang berada pada posisi
bangkrut seperti Yunani akibat perilaku warga sekaligus birokratnya yang bertindak sewenang-
wenang atas pajak yang dipungutnya? Akankah suatu saat negara kita bernasib sama dengan
kebangkrutan Yunani yang akhirnya menciderai demokrasi yang telah dibangunnya selama
ribuan tahun ? Pertanyaan pertanyaan diatas akan dijawab dalam pemaparan bab IV ini.
Tuntutan dalam pelaksanaan demokrasi substansial adalah terdapatnya partisipasi yang
terbuka dan transparan dalam proses politik, khususnya dalam pembuatan kebijakan publik.
Proses ini memberikan ruang bagi elemen masyarakat untuk menjalankan peran sesuai kapasitas
guna melakukan pilihan atas hak politiknya untuk penentuan kehidupannya ke depan. Proses
demokrasi yang menyertakan akomodasi atas partisipasi politik secara ideal menjamin
teraktualisasinya kesejahteraan warganya. Studi Kahin dan Catatan Hatta menyatakan bahwa
regulasi yang jelas dan netral akan mewujudkan wealth of nation (kemakmuran negara) dan pada
gilirannya menciptakan social welfare (kesejahteraan sosial). Pada konteks ini, komitmen
negara untuk melaksanakan kesejahteraan searah dengan pemberian rasa aman kepada warganya
untuk bebas dari segala bentuk ancaman termasuk saat menggunakan hak politik serta
kesempatan sama dalam berusaha dengan jaminan hukum yang berjalan konsisten dan tidak pilih
kasih. Setiap warga negara dianggap memiliki hak dan kebebasan yang sama.
Pada situasi ini, Negara tidak sekedar mewujudkan demokrasi pada konteks prosedural
semata, melainkan pada tata kerja demokrasi deliberatif dengan memberikan ruang pemenuhan
hak-hak dasar seluruh warga Negara. Robert Dahl mendefinisikan demokrasi prosedural sebagai
sikap tanggap pemerintah secara konsisten akan mengakomodasi preference (pilihan) serta
keinginan warganya. Imbangan atas demokrasi ini adalah demokrasi deliberatif dimana
keinginan / gagasan warga tersebut terekspresikan pada bentuk keikusertaan warga dalam proses
pengambilan kebijakan politik atas kepentingan mereka. Pada tataran praktis-instrumentatif
proses ini salah satunya teraktualisasikan melalui politik perpajakan.
Studi Irianto (2009) memperkuat alasan bahwa politik perpajakan adalah instrumen
penting dalam memperkuat pondasi demokrasi modern. Pertama, mengacu pada pendapat Herb
yang menegaskan bahwa pajak merupakan elemen bagi berlangsungnya pelembagaan
perwakilan formal. Pada konsep pemerintahan awal mula, pajak berkaitan dengan seberapa besar
kepentingan warga terakomodasikan pada badan-badan perwakilan politik yang dimilikinya.
Pada tataran modern lembaga perwakilan pada berbagai negara lahir dari hasil negosiasi antara
Pemerintah dengan pembayar pajak, yang tak lain adalah warganya sendiri. Pada konteks ini
Pemerintah memberikan ruang keterwakilan bagi pembayar pajak sebagai imbalan atas
pembayaran pajak yang dilakukan warganya. Pajak menjadi instrumen penting untuk
memastikan berjalannya elemen dasar demokrasi modern, seperti hak memilih sekaligus dipilih
sebagai wakil dalam lembaga perwakilan. Kedua, pajak merupakan salah satu instrumen
kebijakan dan bukan sekedar instrumen ekonomi bagi revenue policy atau kebijakan menarik
pendapatan semata (Irianto, 2009:9).
Adanya aktualisasi pajak pada negara modern, dikemukakan pula oleh Tumakaka (dalam
Materi Pemagangan Buku Ajar bagi Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara dan
Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Udayana, 2015) pada alur historis sebagai berikut :
Modern Taxation
Tahun 1773
Inggris memaksaAmerika sebagaikoloninya untukmembeli teh danmembayar pajak
Warga Boston membuangkargo berisiteh kapalInggris ke laut
PelabuhanBoston ditutup,
DPR akandipilih olehInggris
Tahun 1776, 13 negara bagianAmerikamenandatanganiDeclaration of Independence
No Taxation Without Representation
Sumber : Tumakaka (2015) disampaikan dalam materi Pemagangan Mahasiswa Prodi Ilmu Adminsitrasi
Negara FISIP Unud
Pendapat B. Guy Peters (dalam Irianto, 2009:9) mengungkapkan bahwa pajak merupakan
instrumen bagi pemerintah guna melaksanakan pemenuhan fungsi dasarnya guna mencapai
tujuan substantif dari kebijakan. Pajak menjadi ruang politik bukan disebabkan terjadinya proses
tawar-menawar politik antara negara dengan warganya dalam hal angka saja, melainkan yang
jauh lebih penting adalah adanya kebutuhan negara akan pengakuan politik masyarakat terhadap
berbagai instrumen pajak yang dijalankan negara. Harapan yang diinginkan negara adalah
timbulnya kepatuhan sosial sehingga berbagai tujuan substantif lainnya bisa diraih.
Irianto (2009) lebih lanjut mencatat pula bahwa kebijakan perpajakan bisa menjadi salah
satu cerminan dari demokratis atau tidaknya sebuah Negara. Meskipun bukan satu-satunya faktor
yang menentukan, mekanisme pengelolaan pajak di sebuah Negara memberikan kontribusi yang
berarti bagi terciptanya mekanisme-mekanisme demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Hal ini salah satunya teraktualisasikan pada pengalaman Negara Eropa Barat
dengan jargon No Representation Without Taxation yang sangat mengakar dalam kesadaran
Negara penganut demokrasi liberal dan menunjukkan sedemikian penting peranan pajak dalam
proses kelahiran dan penguatan lembaga-lembaga perwakilan yang tidak lain merupakan pilar
utama dari demokrasi.
4.1. Asas dan Rasio Pajak
4.1.1. Asas Pajak
Pemungutan pajak oleh Negara dalam kerangka penguatan demokrasi harus dilaksanakan
sejalan dengan asas-asas yang disepakati bersama dalam kerangka regulasi negara. Hal ini
mengingat hakikat pemungutan pajak adalah pengaturan kehidupan masyarakat secara adil
termasuk mengakomodasikan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi sehingga setiap
orang mendapat apa yang menjadi haknya masing-masing sebagaimana mestinya. Sutedi
(2013:22) mencatat terdapat beberapa dasar atau asas pemungutan pajak.
1. Asas Sumber;
Pada asas ini tata cara pemungutan pajak bergantung pada sumber penghasilan suatu
negara. Apabila terdapat sumber penghasilan pada negara tertentu, maka Pemerintah
berhak memungut pajak tanpa melihat domisili wajib pajak bersangkutan. Pemerintah
mengenakan pajak pada penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan apabila penghasilan yang dikenakan pajak tersebut diperoleh atau diterima oleh
orang pribadi atau badan bersangkutan dengan sumber-sumber yang berada di Negara
tersebut. Asas ini tidak mempersoalkan siapa dan apa status dari orang atau badan yang
memperoleh penghasilan tersebut, sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah
objek pajak yang timbul atau berasal dari Negara itu. Contoh dari asas ini adalah tenaga
kerja asing yang bekerja di Indonesia, maka penghasilan yang didapat di Indonesia akan
dikenakan pajak oleh Pemerintah Indonesia.
2. Asas Domisili;
Pada asas ini Negara mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi
tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di Negara itu atau apabila
badan yang bersangkutan berkedudukan di Negara itu. Untuk itulah asas ini disebut pula
asas kependudukan (domicile/residence principle). Asas ini tidak mempersoalkan dari
mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Negara yang menganut asas ini,
dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduknya, akan menggabungkan asas
domisili penduduk dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh
di Negara itu, maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income
concept). Intinya, Negara di mana wajib pajak itu bertempat tinggal, maka Negara
tersebut yang berhak mengenakan pajak atas segala penghasilan yang diperoleh dari
manapun sumbernya.
3. Asas Nasional;
Pada asas ini pengenaan pajak didasarkan pada status kewarnegaraan dari orang atau
badan yang memperoleh penghasilan. Asas ini tidak mempersoalkan asal penghasilan dan
seperti asas domisili, sistem pengenaan pajaknya berdasarkan asas nasionalitas ini
dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak
atas world wide income. Berdasarkan hal ini maka asas nasional disebut pula sebagai asas
kewarganegaraan (nationality/citizenship principle). Asas nasional menganut cara
pemungutan pajak yang dihubungkan dengan kebangsaan dari suatu Negara. Terdapat
perbedaan prinsipil antara asas domisili (kependudukan) dengan asas nasionalitas
(kewarganegaraan) di satu pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada
kedua asas tersebut kriteria landasan kewenangan Negara mengenakan pajak adalah
status subjek yang dikenakan pajak. Pada konteks ini apakah subyek bersangkutan
berstatus penduduk atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga
Negara (dalam asas nasionalitas). Pada asas ini pula, asal-muasal penghasilan yang
menjadi objek pajak tidak dianggap penting. Sedangkan pada asas sumber, landasan
pemungutannya adalah status objek pajak, apakah objek yang akan dikenakan pajak
bersumber dari Negara bersangkutan atau tidak. Status orang atau badan yang
memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua asas
tersebut pajak yang akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh dimana saja
(world wide income). Sedangkan pada asas sumber, pungutan dilakukan pada penghasilan
yang diperoleh dari sumber-sumber pada Negara bersangkutan. Biasanya, kebanyakan
Negara tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, melainkan mengadopsi lebih satu
asas atau gabungan diantara ketiganya. Untuk konteks Indonesia, berdasarkan regulasi
perpajakan yang ada, sistem perpajakannya menganut dua asas sekaligus yaitu asas
domisili dan asas sumber. Pada konteks ini, Indonesia juga menganut asas
kewarganegaraan parsial, khususnya dalam ketentuan yang mengatur pengecualian
subjek pajak untuk orang pribadi.
Pengalaman Negara lain seperti di Jepang, individu yang merupakan penduduk (resident
individual) menggunakan asas domisili, di mana berdasarkan asas ini seorang penduduk
Jepang berkewajiban membayar pajak penghasilan atas keseluruhan penghasilan yang
diperolehnya, baik yang diperoleh di Jepang maupun di luar Jepang. Sedangkan bagi
bukan penduduk (non resident) Jepang serta badan-badan usaha luar negeri berkewajiban
membayar pajak penghasilan atas setiap penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber
di Jepang. Di Australia, semua badan usaha milik Negara maupun swasta yang
berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh dari
seluruh sumber penghasilan. Sementara itu, untuk badan usaha luar negeri hanya
dikenakan pajak atas penghasilan dari sumber yang ada di Australia (Sutedi, 2013:24).
4. Asas Yuridis
Asas ini mempertegas bahwa pemungutan pajak harus didasarkan pada adanya jaminan
hukum atau undang-undang sehingga keadilan bisa ditegakkan. Asas ini merujuk pada
Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa segala pajak
untuk kegunaaan kas Negara berdasarkan undang-undang. Pada penjelasan atas ayat ini
ditegaskan mengenai hakikat pajak yang berasal dari uang rakyat sehingga pungutannya
harus dapat dipertanggungjawabkan. “betapa caranya rakyat, sebagai bangsa akan hidup
dan dari mana didapatnya belanja untuk hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri,
dengan perantaraan Dewan Perwakilan Rakyat. Rakyat menentukan nasibnya sendiri,
karena itu juga cara hidupnya. Oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk
menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menetapkan beban kepada
rakyat, seperti pajak dan lain-lain, harus ditetapkan dengan undang-undang, yaitu dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian halnya dengan yang sudah menjadi
kelaziman (karena keharusan) di Negara Hukum”.
Pada konteks ini, Negara dalam merumuskan kebijakan mengenai pajak tidak boleh
melupakan hal-hal umum. Pertama, para perumus kebijakan khususnya pajak, harus bisa
menjamin kelancaran pungutannya. Termasuk antisipasi atas perilaku wajib pajak yang
bertindak legal maupun tidak, seperti perilaku penghindaran atas pengenaan pajak
sehingga sebagai antisipasinya perlu diadakan penyempurnaan atas peraturan undang-
undang, lengkap dengan sanksinya. Kedua, wajib pajak juga harus mendapatkan jaminan
hukum agar ia tidak diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh aparatur pemungutnya.
Pengaturan dalam regulasi tentang pajak tidak hanya penegasan dari sisi kewajiban,
melainkan juga hak wajib pajak, seperti pada tingkat pertama pengajuan keberatan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam upaya penatapan pajaknya, termasuk hak
wajib pajak mengajukan banding ke pengadilan pajak apabila keberatan atas penetapan
pajaknya tertolak.
Ketiga, terdapat jaminan tersimpannya rahasia-rahasia mengenai diri atau perusahaan-
perusahaan wajib pajak yang disampaikan kepada instansi pemungut pajak dan tidak
boleh disalahgunakan oleh para pejabat pemungutnya. Terjaganya kerahasiaan ini akan
meningkatkan kepercayaan rakyat, terkecuali pemberian informasi tentang data untuk
kepentingan saksi dalam peradilan. Seperti di Australia, pihak yang memiliki wewenang
untuk mengadakan pemeriksaan sampai pada berkas-berkas individual wajib pajak di
kantor-kantor Inspeksi Pajak adalah Auditor General (Badan Pemeriksa Keuangan).
Pada pembuatan regulasi perpajakan harus berdasarkan pada prinsip keadilan. Pada
konteks ini terkadang seringkali terlewatkan hal-hal penting yang akhirnya berujung pada
tindakan yang kurang adil. Misalnya pada ordonansi Pajak Pendapatan tidak diatur
tentang kelonggaran-kelonggaran yang diberikan kepada wajib pajak karena beban-beban
istimewa. Orang yang berpenghasilan bersih sejuta rupiah setahunnya dan karena
menderita suatu penyakit, sehingga setiap bulannya harus mengeluarkan ongkos dokter
dan obat-obatan, tetapi tidak mendapat potongan untuk perhitungan pajaknya (Sutedi,
2013). Hal berbeda berlaku di Nederland, bahwa beban biaya ini terintegrasi dalam
buitengenewone lasten yang tercantum dalam Besluit Inkomstenbelasting 1941 Pasal 51
ayat (1) dan (2) sub 2.
5. Asas Ekonomi;
Pada asas ini ditekankan agar pemungutan pajak jangan sampai menghalangi produksi
dan perekonomian rakyat. Pajak selain mempunyai fungsi budgeter juga pengaturan
politik perekonomian. Pada politik pemungutan pajaknya diusahakan agar jangan sampai
menghambat lancarnya produksi dan perdagangan; serta diusahakan supaya tidak
menghalangi rakyat dalam usahanya menuju kebahagiaan dan tidak merugikan
kepentingan umum.
6. Asas Keuangan;
Asas ini menekankan supaya pengeluaran-pengeluaran untuk memungut pajak harus
lebih rendah dari jumlah pajak yang dipungut. Sesuai dengan fungsi budgeter, maka
biaya pengenaan dan pemungutan pajak harus diusahakan sekecil-kecilnya dibandingkan
dengan pendapatannya, terlebih pada perbandingan pendapatannya. Hasil ini yang
selanjutnya digunakan sebagai sumbangan untuk menutup pengeluaran Negara, termasuk
biaya-biaya dalam upaya pemungutan pajaknya sendiri.
Untuk menghindarkan tertimbunnya tunggakan-tunggakan pajak, harus selalu diteliti,
apakah syarat-syarat penting telah dipenuhi untuk dapat memungut pajak dengan efektif.
Syarat ini antara lain adalah pengenaan pajak harus dilakukan pada saat yang terbaik bagi
yang harus membayarnya, yaitu harus sedekat-dekatnya saat terjadinya perbuatan,
peristiwa ataupun keadaan yang menjadi dasar pengenaan pajak itu, sehingga sangat
mudah dibayar oleh orang-orang bersangkutan.
Sesuai pula dengan asas financial, bahwa bilamana pembuat undang-undang (pajak) ingin
menghapuskan satu macam pajak, ia menilik terlebih dahulu, bagaimana keadaan
keuangan Negara. Bilamana anggaran belanja itu mengizinkan, maka ini akan mendapat
gelar bijaksana jika pajak tadi dipertahankan dulu untuk sementara waktu.
Dalam asas finansial sesuai dengan fungsi budgeter, maka biaya pemungutan pajak harus
seminimal mungkin dan hasil pemungutan pajak hendaknya cukup untuk menutupi
pengeluaran Negara. Harus pula diperhatikan saat pengenaan pajak hendaknya sedekat
mungkin dengan terjadinya perbuatan, peristiwa dan keadaan yang menjadi dasar
pengenaan pajak.
4.1.2. Rasio Pajak
Beberapa asas pemungutan pajak yang terjabarkan di atas tentunya akan memperlihatkan
kemampuan Negara dalam mengupayakan pemungutan pajak. Ukuran untuk menilai kemampuan
pemerintah dalam memungut pajak inilah yang disebut dengan rasio pajak. Pada konteks ini, rasio pajak yang bisa kita cermati adalah
Indonesia. Menurut Studi Welfare Initiative for Better Societes Policy Review (2012) mencatat bahwa pajak merupakan sumber
penerimaan terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada tahun 2012, misalnya, proyeksi penerimaan pajak
berkontribusi sebesar Rp 1.033 triliun atau hampir empatperlima penerimaan negara. Meski terlihat besar, penerimaan tersebut
sebenarnya masih rendah ditinjau dari nilai rasio pajak terhadap Product Domestic Bruto (PDB).
Pada umumnya, negara yang lebih maju memiliki rasio pajak lebih tinggi. Rasio pajak Indonesia masih berkisar 12% terhadap
PDB. Rasio ini termasuk dalam kategori rendah, apabila dibandingkan dengan negara-negara setara. Indonesia saat ini termasuk dalam
kategori negara pendapatan menengah bawah (lower middle income) dan rata-rata rasio pajak pada negara dalam kategori ini adalah
sebesar 19%. Kapasitas penggalian pajak di Indonesia bahkan masih lebih buruk dibandingkan rata-rata rasio pajak negara miskin (low
income) yang mencapai 14,3%. Hal ini seperti terjabar dalam grafik sebagai berikut :
Sumber : Prakarsa, Policy Review (2012)
Tabel diatas memperlihatkan bahwa sebenarnya rasio penerimaan pajak Indonesia lebih rendah dari rata-rata negara miskin. Hal
ini mengindikasikan adanya persoalan mendasar dalam kapasitas pemungutan pajak. Hanya saja apabila kondisi ini ditinjau dari sudut
pandang positif, ragam persoalan tersebut bisa dibenahi karena potensi penerimaan pajak di Indonesia sangatlah tinggi. Faktanya, dalam
setiap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Indonesia senantiasa kehilangan potensi pajaknya. Pada APBN 2012,
misalnya, penerimaan pajak di Indonesia diproyeksikan mencapai Rp. 1,033 triliun. Berdasarkan kategori negara yang berpendapatan
menengah, jumlah ini mengindikasikan bahwa Indonesia kehilangan potensi pajak sekitar Rp. 512 triliun atau hampir 50%. Perkir aan
konservatif International Monetary Fund (IMF), potensi pajak yang hilang juga lebih dari 40%.
Keliat (2014:110) mencatat bahwa ketidakmampuan negara memungut pajak yang lebih
besar daripada yang seharusnya akhirnya membawa posisi Indonesia untuk memilih jalan utang
sebagai satu-satunya untuk membiayai pembelanjaan negara. Kebijakan utang yang
“ditradisikan” sebagai pilihan akhirnya harus mengalahkan atau meninggalkan pilihan “yang
sebenarnya” harus dijalankan yaitu meningkatkan penerimaan pajak.
Apabila pada satu tahun anggaran jumlah utangnya maka utang tersebut hampir selalu lebih
besar dari cicilan hutang. Pada suatu tahun anggaran misalnya kalkulasi akumulasi utang
mencapai 132,633 miliar dollar AS. Hal ini berarti menyiratkan bahwa setiap penduduk
Indonesia menanggung utang Rp. 10 juta rupiah. Akumulasi utang dan pendapatan rendah akan
membawa Indonesia terjebak dalam perangkap utang atau debt trap (Keliat, 2014:11). Rasio
penerimaan pajak di Indonesia kondisinya bahkan lebih rendah dari rata-rata penerimaan pajak
negara miskin. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa terdapat masalah mendasar dalam
kapasitas pemungutan pajak yang dilakukan oleh Negara.
4.2. Keadilan, Pembukuan dan Cara Pemungutan Pajak
Pada proses pemungutan pajak, Negara mengedepankan asas-asas pemungutan pajak
terutama prinsip keadilan. Prinsip keadilan menjadi sangat penting di saat ketimpangan ekonomi
masih resisten mendominasi kehidupan perekonomian masyarakat Indonesia.
Mengenai prinsip keadilan ini beberapa ahli mengemukakan beberapa definisi, antara lain
Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations (Sari, 2013). Pada buku ini, Smith
mengemukakan ajarannya yang terkenal The Four Maxims. Terdapat beberapa hal penting dalam
pemungutan pajak.
Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan) artinya
pada setiap pemungutan pajak negara harus melihat kemampuan dan penghasilan
wajib pajak. Pada konteks ini negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap
wajib pajak;
Asas Certainty (asas kepastian hukum) artinya pungutan pajak harus berdasarkan
regulasi yang berlaku, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi
hukum;
Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas
kesenangan artinya pemungutan pajak harus dilakukan pada saat yang tepat / baik
bagi wajib pajak misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau
disaat wajib pajak menerima hadiah.
Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis) artinya segala bentuk
pembiayaan pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai
terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
Pendapat lain dikemukakan W.J. Langen yang menekankan beberapa asas dalam
pemungutan pajak, seperti :
Asas daya pikul artinya besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan
besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka
semakin tinggi pajak yang dibebankan;
Asas manfaat artinya pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
Asas kesejahteraan artinya pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat;
Asas kesamaan artinya dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu
dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan
sama);
Asas beban yang sekecil-kecilnya artinya pemungutan pajak diusahakan sekecil-
kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandinglan sengan nilai obyek pajak.
Sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.
Sedangkan tokoh lainnya, Adolf Wagner mengemukakan asas pemungutan pajak antara
lain :
Asas politik finalsial yaitu pajak yang dipungut negara jumlahnya harus memadai
sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara;
Asas ekonomi yaitu penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya pajak
pendapatan, serta pajak untuk barang-barang mewah;
Asas keadilan yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi,
untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula;
Asas administrasi yaitu menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan,
dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara
membayarnya) dan besarnya biaya pajak;
Asas yuridis yaitu pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.
Jelas kiranya dari definisi yang dikemukakan para ahli sebagian besar menyatakan bahwa
asas pemungutan pajak harus memperhatikan dan menekankan aspek keadilan. Pada konteks ini,
pengenaan pajak harus sebanding dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Equality
pembagian beban pajak di antara masing-masing subjek pajak hendaknya dilakukan seimbang
dengan kemampuannya yaitu seimbang dengan penghasilan yang diterima oleh setiap subjek
pajak.
Terdapat kajian kasus menarik mengenai Negara Yunani. Kajian ini memperlihatkan
mengenai pengingkaran atas prinsip-prinsip pemungutan pajak yang disebutkan diatas dimana
berujung pada situasi krisis ekonomi (disarikan dari berbagai sumber www.viva.co.id, Senin, 17
Desember 2012 dan diplomatmudahiuinsyarifhidayatullah.blogspot.com). Yunani dan Krisis Keuangan
Negara Yunani semenjak awal tahun 2011 mengalami krisis keuangan yang parah. Krisis ini berimbas
pada kondisi ekonomi Yunani yang benar-benar lumpuh. Munculnya berbagai aksi demo dan mogok
massal yang dilakukan ratusan ribu pekerja dan pegawai pemerintah telah mengakibatkan berbagai sektor di Yunani lumpuh total. Puncaknya aksi demo dan mogok masal ini menelan 3 koban jiwa yang tebunuh
akibat ledakan dan kebakaran yang terjadi di Bank Marfin Athena.
Aksi yang dilakukan masyarakat Yunani ini merupakan bentuk perlawanan terhadap keputusan
pemerintah yang mengeluarkan kebijakan sinering terhadap gaji pegawai negeri, menaikkan beberapa
jenis pajak, menunda dana pensiun, dan memangkas anggaran militer sebagai upaya meningkatkan
cadangan devisa negaranya. Untuk mengurangi dampak krisis ini, Yunani melakukan reformasi pemungutan pajak dan sekaligus menindak kecurangan pajak. Hal ini mengingat sebelumnya banyak
pajak yang dikemplang oleh oknum pegawai pajak melakukan pemilik usaha. Pendapatan yang hilang
dari sektor pajak bisa mencapai lima persen dari output nasional negara Yunani.
Perekonomian Yunani yang tidak terpantau sistem pajak berjumlah lebih dari seperempat dari output tahunan pada tahun 2011 dan kondisi ini merupakan level tertinggi di kalangan anggota Uni Eropa.
Di Yunani sudah dianggap lumrah bagi para pelaku usaha kecil melaporkan penjualan yang lebih rendah
dari sebenarnya sehingga membayar pajak pertambahan nilai yang lebih rendah dari seharusnya. Para wirausaha seperti tukang ledeng dan tukang listrik memilih dibayar secara tunai biasanya tidak disertai
dengan pembuatan tanda terima.
Akibatnya sebesar 53 miliar euro pajak yang jatuh tempo kepada negara Yunani, 15 hingga 20 persen
seharusnya bisa dipungut, namun menjadi nihil ketika perilaku korupsi merajalela. Pada upaya mereduksi dampak resiko krisis, sistem pajak Yunani akhirnya dirombak dengan peraturan
yang lebih ringkas dan mudah. Peraturan baru mencabut sejumlah pengecualian pajak dan menaikkan
pajak properti, korporat dan rumah tangga yang berpendapatan di atas rata-rata. Pemerintah juga memungut pajak atas pendapatan modal dari harga saham yang diperdagangan di bursa Athena. Langkah-
langkah ini diharapkan bakal menambah pemasukan negara Yunani dari sektor pajak sekitar 2,5 miliar
euro selama 2013-2014. Menggenjot pendapatan dari sektor pajak perlu bagi Yunani untuk mengatasi krisis utang.
Belajar dari kasus diatas tentunya terdapat tiga penyebab krisis ekonomi di Yunani
(Tumakaka, Disampaikan dalam Materi Pemagangan Mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi
Negara dan Program Studi Ilmu Politik FISIP Unud 2015:Mei). Pertama, yaitu korupsi berupa
maraknya fakelaki (amplop kecil) untuk suap. Kedua, naiknya hutang dengan besarnya utang
160% PDB. Ketiga, adanya defisit neraca perdagangan, dimana nilai impor yang melampaui
nilai ekspor. Hal ini mempengaruhi angka pertumbuhan ekonomi di Yunani sempat terpuruk
sebagai berikut :
Sumber : Tumakaka (2015) disampaikan dalam materi Pemagangan Mahasiswa Prodi Ilmu Adminsitrasi Negara FISIP Unud
Kegagalan sistem perpajakan di Yunani mengakibatkan adanya turunnya Tax Ratio
sebesar 2.8% dari 2001-2009. Kontribusi pajak akhirnya hanya dipikul sebagian kecil
masyarakat. Penyebab lain adalah terdapatnya besaran tax evasion sebesar 30% total
penerimaan. Pada kondisi ini kontribusi pajak turun dan utang terus meningkat. Potensi Pajak
banyak yang hilang sebesar 33% sehingga aktifitas ekonomi lebih banyak dikuasai pedagang
black market yg tidak membayar pajak. Legarde list menyatakan bahwa 2.000 rekening jumbo
terparkir di Bank Swiss. Kondisi terakhir yang terjadi di negara Yunani hingga kini untuk
memulihkan perekonomiannya, negara ini melakukan beberapa langkah. Langkahnya antara lain
pemotongan gaji pegawai dan pensiunan, pengurangan subsidi rakyat, serta langkah lainnya
dalam mengatasi pengangguran.
Refleksi Awal Lumpuhnya kehidupan ekonomi di Yunani akibat tidak bisa membayar hutang kepada IMF yang
sudah jatuh tempo pada akhirnya menyertakan sedikit imbas bagi Indonesia (Metrotvnews.com 10 Juli
2015). Awalnya tercatat oleh beberapa pengamat, meski Indonesia dan Yunani memiliki kerjasama namun tidak banyak nilai ekspornya USD200 juta atau Rp. 2,6 triliun dan sebagian besar adalah kelapa
sawit dan pertanian. Begitu pula sekitar 1000 warga negara Indonesia yang sebagian besar bekerja di
sektor informal kehilangan pekerjaannya akibat krisis ini. Negara terdampak justru di negara-negara Uni Eropa (UE).
Terdapat tawaran dana talangan dari kreditor Internasional pemerintahan zona mata uang euro
yang dipimpin Jerman sebesar US 95 miliar dollar Amerika. Hanya saja tuntutannya Perdana Menteri
Alexis Tsipras harus melakukan paket pengetatan menyeluruh dengan menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pengawasan pihak asing. Kewajiban Tsipiras adalah mengakhiri pengetatan
ekonomi, mengesahkan legislasi terkait pemotongan dana pensiun, penaikan pajak pertambahan nilai dan
kebijakan penjualan aset sektor publik senilai 50 miliar euro dibawah pengawasan kreditur asing (Bisnis.com, 15 Juli 2015).
Hal inilah yang memaksa PM Yunani mengadakan referendum ke masyarakat. Hasilnya 38,69%
warga menerima bantuan asing dan 61,31% menolak bantuan asing. Hasil referendum ini tentu membuat
kaget seluruh menteri zona euro dan segera menimbang ulang persyaratannya. Di sisi lain para penentang kebijakan penghematan yang datang dari petinggi partai politik menyanjung langkah dari hasil
referendum ini sebagai kemajuan demokrasi bagi Yunani (Kompas.com 6 Juli 2015).
Refleksi bagi kita tentunya teladan di balik krisis Yunani ini adalah adanya penghargaan Negara (baca : pemerintah) atas kedaulatan rakyat. Negara sangat mengakui bahwa rakyat adalah pihak yang tak
boleh diabaikan dalam penentuan kebijakan meski harus langkah cepat dan tepat untuk keluar dari situasi
krisis. Pengalaman rejim Orde Baru maupun pemimpin negara sesudahnya yang terkesan sepihak dalam menerima bantuan keuangan dari kreditur lembaga (negara) asing / internasional tanpa menimbangkan
secara matang akibat atau konsekuensinya adalah pelajaran berharga betapa kearifan dalam pengambilan
kebijakan terkait penerimaan bantuan asing perlu menjadi perhatian. Akibatnya tercatat banyak kasus
besar ekonomi terjadi di negara kita seperti Krisis Ekonomi Tahun 2007-2008 serta kasus-kasus yang menyeret oknum mantan menteri kita di meja pengadilan akibat terjerat kasus tindak korupsi di dalamnya.
Pada kasus ini Yunani telah memberikan teladan betapa Pemerintah masih memberikan ruang
bagi warganya untuk menentukan sikapnya secara langsung sebagai imbalan atas kesetiaan warganya dalam membayar pajak. Warga yang telah membayar pajak tidak sekedar dipandang sebagai obyek atas
instrumen revenue policy atau kebijakan menarik pendapatan semata, melainkan dilibatkan pula dalam
penentuan kebijakan strategis bagi negaranya.
4.3. Pembukuan dan Pencatatan Pajak
Mengaca dari pengalaman negara Yunani diatas maka dalam menjamin berjalannya asas
keadilan dalam pemungutan pajak tentunya sangat dibutuhkan adanya pencatatan atau
pembukuan perpajakan secara benar dan terarah. Pembayaran pajak merupakan kewajiban
masyarakat kepada negara yang harus dipatuhi. Di sisi lain, negara harus memberikan
kepercayaan penuh kepada masyarakat untuk menghitung sendiri besarnya pajak yang harus
dibayar (Burton, 2014:29). Pemberian kepercayaan ini salah satunya tertuang dalam aktifitas
pembukuan pajak.
Pembukuan pajak digunakan sebagai dasar penghitungan pajak terutang pada suatu tahun
pajak. Pada upaya ini dibutuhkan adanya informasi yang benar dan lengkap mengenai
penghasilan wajib pajak guna pengenaan pajak yang adil dan wajar senilai dengan kemampuan
ekonomi masing-masing wajib pajak. Untuk dapat menyajikan informasi tersebut, maka
diperlukan adanya aktifitas pembukuan pajak yang mana pada proses pembukuan ini wajib pajak
dapat mengetahui sendiri berapa besanya pajak terutang yang harus dilaporkan dan disetorkan.
Secara harafiah, pembukuan memiliki arti proses pencatatan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi tentang keadaan harta, kewajiban atau utang, modal,
penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan laba rugi pada setiap
periode tahun pajak tersebut (Sari, 2013:222).
Pencatatan pajak memiliki arti pengumpulan data secara teratur tentang peredaran atau
penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang
terutang termasuk penghasilan yang bukan obyek pajak dan atau yang dikenai pajak yang
bersifat final.
Aktifitas pembukuan pajak wajib diselenggarakan oleh wajib pajak (WP) badan serta
Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan atau pekerjaan bebas dengan peredaran
bruto kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 setahun. Pada aktifitas pembukuan pajak diawali dengan
pencatatan yaitu pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto dan atau penerimaan
penghasilan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang. Pencatatan dapat
dilakukan oleh WP Orang Pribadi yang diperkenankan norma perhitungan penghasilan neto,
yaitu WP Orang Pribadi yang peredaran brutonya di bawah Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) dalam setahun (Sari, 2013:222).
Terdapat beberapa syarat penyelenggaraan pembukuan (Sari, 2013:223). Pertama,
diselenggarakan secara teratur dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya
dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam
Bahasa Indonesia. Kedua, pencatatan dalam satu tahun harus diselenggarakan secara kronologis.
Ketiga, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik
atau secara progam aplikasi online wajib pajak, harus disimpan selama 10 tahun di tempat
tinggal wajib pajak atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Keempat, pencatatan terdiri
atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan atau
penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang, termasuk penghasilan
yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final. Kelima, pembukuan
sekurang-kurangnya terdiri dari catatan yang dikerjakan secara teratur tentang catatan mengenai
harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat
dihitung besarnya pajak yang terutang. Keenam, bagi wajib pajak yang mempunyai lebih dari
satu jenis usaha dan atau tempat usaha, pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas
untuk masing-masing jenis usaha dan atau tempat usaha yang bersangkutan. Ketujuh, selain
menyelenggarakan pencatatan di atas, Wajib Pajak Orang Pribadi harus menyelenggarakan
pencatatan atas harta dan kewajiban.
Wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan
melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Tujuan penyelenggaraan pembukuan dan pencatatan
antara lain untuk mempermudah pengisian SPT, perhitungan penghasilan kena pajak,
penghitungan PPN dan PPN, serta mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas. Pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data
dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara progam aplikasi online wajib pajak,
harus disimpan selama sepuluh tahun di Indonesia dengan ketentuan wajib pajak adalah orang
pribadi, di tempat kegiatan atau tempat tinggal serta wajib pajak badan dengan tempat
kedudukannya yang jelas (Sari, 2013:224).
Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau
stelsel kas. Perubahan tahun buku dan perubahan metode pembukuan harus mendapat
persetujuan Direktur Jenderal Pajak. Wajib pajak yang dapat menyelenggarakan pembukuan
dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah adalah wajib pajak dalam rangka penanaman
modal asing; wajib pajak dalam rangka kontrak karya; wajib pajak dalam rangka kontrak bagi
hasil; bentuk usaha tetap, serta wajib pajak yang berafiliasi dengan perusahaan induk di luar
negeri. Pembukuan yang diselenggarakan oleh wajib pajak bersifat rahasia. Pada saat dilakukan
pemeriksaan oleh pihak pemeriksa pajak, maka kerahasiaan untuk merahasiakan pembukuan itu
ditiadakan atau gugur.
Dalam hal tata cara pemungutan pajak pada warganya, dalam pemungutannya negara
harus berpegang pada beberapa karateristik pemungutan. Beberapa karakteristik tersebut antara
lain (Sari, 2013:76):
1. Stelsel nyata atau riil, yaitu pengenaan pajak didasarkan pada objek penghasilan
nyata sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak,
yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Kelebihan model ini
pajak dikenakan lebih realistis, sedangkan kelemahannya pajak baru dikenakan
pada akhir periode;
2. Stelsel anggapan, yaitu pengenaan pajak didasarkan pada anggapan yang diatur
undang-undang. Kelebihan model ini pajak dibayar selama tahun berjalan, tanpa
harus menunggu sampai akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak
dibayarkan tidak berdasarkan keadaan sesungguhnya;
3. Stelsel campuran yaitu pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan
suatu anggapan,kemudian pada akhir tahun pembayaran didasarkan dan
disesuaikan dengan keadaan sebenarnya.
Negara juga memiliki sistem pemungutan pajak tertentu. Negara pada kondisi ini
menjalankan beragam metoda bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib Pajak
dapat mengalir ke kas negara (Sari, 2013:78). Pertama, official assesment system yaitu sistem
pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah/fiskus untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang oleh wajib pajak. Cirinya adalah wewenang untuk menentukan besarnya
pajak terutang ada pada pemungut; wajib pajak bersifat pasif; serta utang pajak yang timbul
setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh pemungut. Kedua, self assesment system adalah
sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang pada wajib pajak untuk menentukan
sendiri besaran pajak yang terutang. Cirinya wewenang untuk menentukan besarnya pajak
terutang ada wajib pajak sendiri, dari proses penghitungan, setor dan pelaporan pajak yang
terutang. Pada posisi ini fiskus hanya mengawasi dan tidak campur tangan. Ketiga, with holding
system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga,
bukan foskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan untung menentukan besarnya pajak
terutang oleh wajib pajak. Cirinya wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada
pada pihak ketiga.
4.4. Tarif Pajak Tarif merupakan area sensitif karena didalam pengenaannya mencerminkan aspek
keadilan. Seseorang akan melaksanakan atau menjalankan kesukarelaan membayar pajak jika
lingkungannya menjamin keadilan. Ukuran keadilan ini menjadi ukuran pribadi sehingga
sifatnya sangat relative atau subyektif (Sari, 2013:46). Mardiasmo (2011:312) mengemukakan
pula bahwa tarif pajak merupakan dasar pengenaan pajak terhadap objek pajak yang menjadi
tanggungannya. Tarif pajak biasanya dinyatakan dalam bentuk persentase (%). Dasar pengenaan
pajak merupakan nilai berupa uang yang dijadikan dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
Tarif pajak yang besarnya harus dicantumkan dalam undang-undang pajak merupakan
salah satu unsur yang menentukan rasa keadilan dalam pemungutan pajak. Penentuan besarnya
suatu tarif adalah hal yang krusial dimana kesalahan persepsi dalam penentuannya dapat
merugikan berbagai pihak termasuk Negara. Terdapat beberapa jenis pemungutan pajak (Sari,
2013:46).
Tarif progresif (progressive tax rate) merupakan tarif pemungutan pajak yang
persentasenya semakin besar atau meningkat apabila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan
pajak juga semakin besar. PEnerapan tariff progresif untuk menghitung pajak terutang dilakukan
dengan menerapkan lapisan pajak. Dasar tariff progresif adalah sewajarnya artinya seseorang
membayar pajak sesuai dengan kemampuannya. Contoh : Kategorisasi Pajak sesuai Pasal 17 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Beberapa kategorinya antara lain :
Pendapatan Pengenaan Tarif
Rp. 0 – Rp. 50.000.000,- Tarif 5 %
Rp. 50.000.000,00 – Rp. 250.000.000,00 Tarif 15%
Rp. 250.000.000,00 – Rp. 500.000.000,00 Tarif 25%
Di atas Rp. 500.000.000,00 Tarif 30%
Tarif degresif (degressive tax rate) merupakan kebalikan dari tarif progresif. Tarif
degresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin kecil bila jumlah yang
dijadikan dasar pengenaan pajak semakin besar. Namun, tidak berarti jika persentasenya semakin
kecil kemudian jumlah pajak yang terutang juga menjadi kecil. Angka ini bisa menjadi lebih
besar karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya juga semakin besar.
Misalnya, terlihat pada tabel ini dibawah :
Pajak yang Terhutang Pengenaan Prosentase Jumlah Terhitung
Rp. 10.000.000,- 15% Rp. 1.500.000,-
Rp. 25.000.000,- 13% Rp. 3.250.000,-
Rp. 50.000.000,- 11% Rp. 5.500.000,-
Rp. 60.000.000,- 10% Rp. 6.000.000,-
Jadi menurut pengenaan tarif degresif besaran jumlah pajak yang terutang adalah sebesar
Rp.16.250.000
Tarif proporsional (proportional tax rate) atau tarif sebanding. Pengenaan tarif tidak lagi
dipengaruhi oleh naik turunnya dasar objek yang dikenakan pajak, karena tarifnya telah berlaku
secara sebanding. Tarif proporsional adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan
persentase tetap tanpa memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Semakin
besar jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak, akan semakin besar pula jumlah pajak
terutang (yang harus dibayar). Tarif ini diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2000 mengenai Tarif PPN dan PPnBM dengan pengenaan tarif proporsional sebesar 10%.
Misalnya terdapat pajak yang terutang sebagai berikut :
Pajak yang Terhutang Pengenaan Prosentase Jumlah Terhitung
Rp.15.000.000,- 10% Rp.1.500.000,-
Rp.25.000.000,- 10% Rp.2.500.000,-
Rp.40.000.000,- 10% Rp.4.000.000,-
Rp.60.000.000,- 10% Rp.6.000.000,-
Tarif tetap (fixed tax rate) adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap
tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Pengenaan atas tarif ini
didasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM). Dengan
adanya PP No. 24 Tahun 2000, tarif yang digunakan adalah Bea Meterai dengan nilai nominal
sebesar Rp.3.000,00 dan Rp.6.000,00.
Hal yang digarisbawahi disini adalah bahwa partisipasi perpajakan sangat ditentukan oleh
kepemilikan warga. Tidak semua warga diberi beban berpartisipasi yang sama dalam
pembayaran pajak. Pada konteks ini, pajak dipandang sebagai sarana untuk membatasi yang kuat
dan melindungi yang lemah sekaligus penyeimbang antara kelompok masyarakat kaya dengan
kelompok masyarakat miskin menjadi titik tekan dalam soal partisipasi perpajakan rakyat. Pada
pengertian ini, pajak hanya dibebankan kepada kalangan yang memiliki sumber penghasilan,
sumber kekayaan dan harta benda yang diwajibkan oleh aturan perundang-undangan negara.
Pada penjelasan ini Tumakaka (2015 dalam Materi Pemagangan Mahasiswa Prodi Ilmu
Administrasi Negara dan Program Studi Ilmu Politik FISIP Unud) menggambarkannya sebagai
berikut :
Publik
PartisipasiPublik
PartisipasiPublik
Legislatif Eksekutif
Dewan Perwakilan Rakyat Presiden/Gubernur/Bupati
KebutuhanPublik
PartisipasiFinansial
11
APBN/APBD
Keuangan Negara
Sumber : Tumakaka (2015) disampaikan dalam materi Pemagangan Mahasiswa Prodi
Ilmu Adminsitrasi Negara dan Program Studi Ilmu Politik FISIP Unud
Partisipasi warga dalam membayar pajak merupakan aktualisasi pengakuan
mereka atas kekuasaan yang terpilih dari proses demokrasi. Pada alur ini, warga
membayar pajak sebagai bentuk partisipasi finansial. Pajak inilah yang kemudian
pengalokasiannya diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) di
level Pemerintah Pusat maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di level
Pemerintah Daerah. Proses penyusunan hingga penetapan APBD ini melibatkan peran
Presiden dan DPR sebagai Pemerintah Pusat; serta Gubernur, Bupati atau Walikota dan
DPRD sebagai Pemerintah Daerah. Alokasi penerimaan APBN atau APBD inilah yang
salah satunya berasal dari pajak warga kemudian diperuntukkan sebagai belanja daerah.
Komponen belanja ini yang kemudian diperuntukkan bagi pendanaan atas program-
program kesejahteraan masyarakat. Aktualisasi atas komponen belanja ini seperti
terjabar dalam program-program populis Kartu Indonesia Sehat atau Kartu Indonesia
Pintar yang digencarkan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Segenap
komponen belanja atas pelaksanaan program di bidang pendidikan dan bidang kesehatan
ini bersumber dari pendanaan APBN.
Pada contoh kasus program yang bersumber dari pendanaan APBD, seperti pada
program Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM), Bedah Rumah, Simantri, dan
program lain yang dijalankan Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Pada pelaksanaan
program ini warga sebenarnya tetap bisa memiliki akses partisipasi untuk mengontrol
pelaksanaannya. Tidak hanya memilih wakil-wakilnya sebagai representasi kepentingan
di lembaga dewan, warga juga masih bisa mengontrol pelaksanaan atas program-program
yang dijalankan Pemerintah melalui saluran-saluran publik seperti media massa, media
sosial, hingga penyampaian petisi ke lembaga dewan. Substansi atas akses partisipasi
publik ini merupakan tuntutan warga agar bisa tetap mengontrol pajak yang telah
dibayarkannya terhadap pelaksanaan program-program pembangunan yang dijalankan
oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah agar benar-benar berkomitmen pada
kebutuhan publik. Refleksi Diri
Pada akhir 2014 negara berhasil mengembalikan uang negara Rp. 2,6 Triliun dari
berbagai kasus penyimpangan pajak di level Pusat maupun Daerah. Pengembalian itu berbentuk uang tunai maupun sejumlah aset berdasarkan pengusutan kasus yang dilakukan selama tiga
tahun terakhir . Hasil kerja Tim Instruksi Presiden yang dibentuk saat maraknya kasus
penyimpangan pajak, termasuk kasus Gayus Tambunan. Uang ini masih terus nertambah sering dengan masuk berjalannya banyak proses hukum di sejumlah perkara. Tim ini bekerja dibawah
Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengedalian Pembangunan (UKP4). Misalnya,
untuk kasus Gayus Tambunan secara khusus negara berhasil menyita Rp. 74 miliar, 31 batang
logam mulia seberat @100 gram, satu rumah, satu apartemen dan dua mobil. Mantan Wakil Presiden Budiono saat itu menyatakan atas koordinasi dari berbagai
instansi pada tingkat Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah selama kurun tahun 2012-
2014 sebanyak 2.647 pegawai dan staf dari berbagai instansi telah mendapat sanksi dari paling ringan hingga diproses pidana karena terlibat penyimpangan pajak, baik Pajak Pusat maupun
Pajak Daerah (beritasatu.com tanggal 14 Oktober 2014).
Pada sisi yang sama, untuk mensiasati peningkatan Pajak Daerah yang transparan dan
bebas dari praktek korupsi maupun kolusi, beberapa daerah di Indonesia melakukan terobosan,
salah satunya DKI Jakarta dengan menerapkan sistem Pajak Online. Pajak Online ini diterapkan
pada pajak hiburan, pajak hotel, pajak restoran dan pajak parkir. Untuk mencapai target pendapatan pajak daerah ini, Gubernur Basuki Tjahaya Purnama menerpakan enam langkah.
Pertama, memberlakukan peraturan tentang standarisasi alat transaksi elektronik. Kedua,
mewajibkan wajib pajak untuk menggunakan alat transaksi elektronik termasuk pelaporannya.
Ketiga, melakukan audit sistem informasi wajib pajak. Keempat, menggunakan fiber optic untuk mengganti wireless network. Kelima, melakukan standarisasi sistem informasi bagi wajib pajak.
Keenam, melakukan pembangunan sistem aplikasi sesuai spesifikasi mesin cash register. Melalui
langkah ini, Pemerintah DKI Jakarta akan menarrgetkan penerimaan Pajak Daerah sebesar Rp. 45,32 triliun dengan 10.951 wajib pajak dalam setahun (beritasatu.com tanggal 20 Januari 2015).
4.5.Koreksi Pajak
Pengertian koreksi pajak adalah koreksi atau penyesuaian yang harus dilakukan oleh
wajib pajak sebelum menghitung Pajak Penghasilan (PPh) bagi wajib pajak badan dan wajib
pajak orang pribadi (yang menggunakan pembukuan dalam menghitung penghasilan kena pajak).
Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan perlakuan/pengakuan penghasilan maupun biaya
antara akuntansi komersial dengan akuntansi pajak (https://herlinamargareta.wordpress.com).
Perbedaan tersebut dikategorikan menjadi beda tetap, yaitu penghasilan dan biaya yang
diakui dalam penghitungan laba neto untuk akuntansi komersial tetapi tidak diakui dalam
penghitungan akuntansi pajak. Contoh beda tetap adalah penghasilan berupa sumbangan dan
penghasilan bunga deposito. Biaya dalam konteks ini merupakan biaya sumbangan dan biaya
sanksi perpajakan. Sedangkan beda waktu adalah penghasilan dan biaya yang dapat diakui saat
ini oleh akuntansi komersial atau sebaliknya, tetapi tidak dapat diakui sekaligus oleh akuntansi
pajak, biasanya karena perbedaan metode pengakuan. Contoh beda waktu adalah penghasilan
pendapatan laba selisih kurs. Sedangkan contoh biaya pada beda waktu adalah biaya penyusutan
dan biaya sewa.
Terdapat beberapa jenis koreksi fiskal antara lain koreksi fiskal positif merupakan
koreksi fiskal yang menyebabkan penambahan penghasilan kena pajak dan PPh terutang. Pada
konteks ini contohnya adalah Biaya PPh. Selain itu terdapat pula koreksi fiskal negatif yang
merupakan koreksi dimana mengakibatkan pengurangan penghasilan kena pajak dan PPh
terutang. Pada konteks ini contohnya adalah penghasilan bunga deposito
Pengertian koreksi fiskal positif yaitu koreksi fiskal yang menyebabkan penambahan
penghasilan kena pajak dan PPh terutang. Terdapat tiga jenis koreksi fiskal positif
(www.wibowopajak.com/2012/01/jenis-koreksi-fiskal-positif.html). Pertama, pembagian laba
dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. Kedua,
biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu,
atau anggota. Ketiga, pembentukan atau pemupukan dana cadangan. Hanya saja disini yang
dikecualikan terdapat beberapa hal, yaitu ; cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan
badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, serta perusahaan asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS); cadangan penjaminan untuk
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS); cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; serta cadangan biaya penutupan dan
pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri.
4.6. Hukum Perpajakan
Pajak merupakan pungutan yang dilakukan negara atas warganya, sehingga menyangkut
seluruh rakyat yang berada di lingkup wilayah Republik Indonesia. Atas kondisi inilah maka
pada setiap pungutan pajak harus didasarkan pada dasar regulasi (hukum) tertentu. Hukum pajak
atau disebut pula sebagai hukum fiskal adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang
meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya
kembali kepada masyarakat melalui kas negara. Hukum perpajakan merupakan bagian hukum
publik yang mengatur hubungan antara negara dan orang-orang serta badan hukum yang
berkewajiban membayar pajak. Atas kondisi inilah maka hukum pajak seringkali disebut pula
sebagai cabang dari hukum administrasi (Sutedi, 2013:6).
4.6.1. Hukum Pajak Material dan Formal
Pada hakikatnya, hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku
pemungut pajak dengan rakyat sebagai Wajib Pajak. Terdapat dua macam hukum pajak yaitu
(hukum-pajak.blogspot.com) :
1. Hukum pajak materil, yaitu memuat norma-norma yang menerangkan antara lain;
keadaan, perbuatan atau peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang
dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu
tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan
Wajib Pajak. Contohnya adalah Undang-undang Pajak Penghasilan.
2. Hukum pajak formil memuat bentuk atau tata cara untuk mewujudkan hukum materil
menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materil). Hukum ini memuat antara
lain:
a. Tata cara penyelanggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
b. Hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai
keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
c. Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-
hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan atau banding. Contoh: Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.
4.6.2. Klasifikasi Pajak
Klasifikasi Pajak dapat dibagi berdasarkan golongan sifat dan lembaga pemungut.
Klasifikasi pajak berdasarkan golongan antara lain pajak langsung dan pajak tidak langsung.
Pajak langsung merupakan pajak yang harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat
dibebankan kepada pihak lain. Contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh). Pajak tidak
langsung merupakan pajak yang dapat dibebankan kepada pihak lain. Contohnya adalah Pajak
Pertambahan Nilai (PPN).
Klasifikasi pajak berdasarkan dua bentuk, yaitu pajak subyektif dan pajak obyektif. Pajak
subjektif merupakan pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak tanpa memperhatikan objek
pajak. Contoh pajak subyektif adalah PPh. Pajak objektif merupakan pajak yang dikenakan
terhadap objek pajak tanpa memperhatikan subjek pajak. Contoh pajak obyektif adalah PPN.
Klasifikasi pajak berdasarkan lembaga pemungut terdiri atas Pajak Daerah dan Pajak Pusat.
Mengenai Pajak Pusat dan Pajak Daerah ini, Tumakaka (2015 dalam Materi Pemagangan
Mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Negara dan Program Studi Ilmu Politik FISIP Unud)
menggambarkan sebagai berikut :
Alur Penerimaan dan Penggunaan Pajak
Masyarakat
Bank
bayar
setor
Kantor Kas Negara
setor
APBN
APBDsetor
disalurkan • Kementerian• Lembaga• Instansi Vertikal• Masyarakat
disalurkan
• Dinas-Dinas• Masyarakat
Sumber : Tumakaka (2015) disampaikan dalam materi Pemagangan Mahasiswa Prodi Ilmu Adminsitrasi Negara
dan Prodi Ilmu Politik FISIP Unud
Pajak Daerah merupakan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah. Contohnya adalah : Pajak Kendaraan
Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Parkir, Pajak Penerangan
Jalan, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB).
Pajak Pusat merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk
membiayai pengeluaran negara. Contohnya adalah Pajak Penghasilan (UU No. 36 Tahun 2008),
Pajak Pertambahan Nilai (UU No. 42 Tahun 2009), Bea Meterai (UU No.13 Tahun 1985), Bea
Masuk atau Kepabeanan (UU No. 17 Tahun 2006), dan Cukai (UU No.39 Tahun 2007).
4.6.3. Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan
Ketentuan dan tata cara perpajakan di Indonesia diatur secara formal dalam
Undang-Undang Perpajakan. Pada Undang-Undang ini diatur mengenai prosedur atau
tata cara pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan serta sanksi-sanksi bagi yang
melanggar kewjiban perpajakan. Pada Undang-Undang ini diatur pula ketentuan formal
dalam melaksanakan hukum pajak materil seperti UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM), UU
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), UU Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), UU Bea Meterai dan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP).
Pemungutan pajak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundangan kecuali apabila
ketentuan perpajakan atau undang-undang pajak yang lain secara khusus menentukan
sendiri tata cara pemungutannya.
Terdapat beberapa istilah penting dalam undang-undang perpajakan, khususnya
yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2007
(www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2007_28.pdf). Mengenai definisi pajak
merupakan kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Pada pajak ini dibayarkan oleh wajib pajak adalah orang pribadi
atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Badan merupakan sekumpulan orang dan/atau modal yang menjadi kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha, meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara dan badan usaha
milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap.
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor
barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar
daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
Pengusaha kena pajak merupakan pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena
pajak dan/atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. Nomor Pokok Wajib Pajak
merupakan nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak
dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Masa Pajak merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk
menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu
tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang. Tahun pajak merupakan jangka
waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang
tidak sama dengan tahun kalender. Bagian tahun pajak merupakan bagian dari jangka
waktu 1 (satu) tahun pajak.
Pajak yang terutang merupakan yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa
pajak, tahun pajak, atau bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Surat pemberitahuan merupakan surat
yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran
pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/ atau harta dan kewajiban sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Surat pemberitahuan masa
adalah surat pemberitahuan untuk suatu masa pajak. Surat pemberitahuan tahunan adalah
surat pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak.
Surat Setoran Pajak merupakan bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah
dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas
negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Surat
ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan
pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih
harus dibayar. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. Surat
Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak
sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada
pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi
administrasi berupa bunga dan/atau denda. Surat Paksa adalah surat perintah membayar
utang pajak dan biaya penagihan pajak. Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah
pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang
dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau
kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan
pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau
setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak
yang terutang.Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang
mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak
terikat oleh suatu hubungan kerja.
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/ atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau
bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya
dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan
yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara.
Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau
setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak
yang terutang. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang
mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak
terikat oleh suatu hubungan kerja. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun
dan mengolah data, keterangan, dan/ atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bukti permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan,
tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang
atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja
yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Pemeriksaan Bukti
Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan
tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Penanggung
Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak,
termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi
untuk periode Tahun Pajak tersebut. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk menilai ke!engkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-
lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan
tersangkanya. Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan
kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan
pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan
Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat
ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang
diajukan oleh Wajib Pajak.
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap
Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Putusan Gugatan adalah
putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan.
Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan
peninjauan kembali yang diajukan oteh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak
terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan
yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak
tertentu. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang
menentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau
dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau
putusan disampaikan secara langsung. Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos
pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal
pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.
4.7. Kasus Pajak Fiktif dan Pengemplang Pajak
Pada tataran praktis pemungutan pajak, senantiasa terdapat penyimpangan. Salah satu
diantaranya adalah terdapatnya kasus pajak fiktif. Kasus pajak fiktif adalah pelaporan pajak tidak
dalam kondisi sesungguhnya. Identik dengan kasus ini terdapat kasus pengemplangan pajak.
Sedangkan kasus pengemplang pajak adalah kasus yang melibatkan kelompok
masyarakat yang tidak peduli kepada keadilan dan kesejahteraan. Melalui tindakan
mengemplang pajak ini, wajib pajak sama saja telah membiarkan pemerintah kehilangan
kemampuan membangun ekonomi dan mendistribusikan kemakmuran pada sebuah negara.
Untuk memahami kondisi ini, harap dibaca beberapa studi kasus berikut ini : Kasus I Pajak Fiktif dari Berita Kompas, 30 Oktober 2014
PEMERINTAH RINGKUS PELAKU PAJAK FIKTIF
KOMPAS – Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan dan Bareskrim Mabes POLRI berhasil
meringkus tersangka penerbit faktur pajak fiktif. Tersangka yang berinisial SH alias RM merupakan komisaris PT
Mitra Solusi Lintasindo, yang menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasar transaksi yang sebenarnya.
Dalam kasus itu, tersangka menggunakan tiga modus. Modus pertama yakni menerbitkan faktur pajak pertambahan nilai (pajak keluaran) atas nama PT Mitra Solusi Lintasindo tanpa adanya kegiatan atau transaksi yang
sebenarnya. Modus kedua yaitu menggunakan faktur pajak pertambahan nilai (pajak masukan) dari pihak ketiga
tanpa didasarkan pada kegiatan atau transaksi yang sebenarnya.
Sedangkan modus ketiga adalah menyampaikan surat pemberitahuan pajak, tapi isi pajak pertambahan nilainya tidak
benar. Akibat tindakan tersangka dan jejaringnya dalam kurun waktu 2010-2012 negara diperkirakan merugi sebesar
Rp 16,19 miliar. Sesuai dengan Undang-Undang perpajakan, tersangka diancam hukuman pidana penjara 2-6 tahun
penjara, serta denda sebesar 2-6 kali jumlah pajak dalam faktur pajak. (Baca: Mantan Petugas Cleaning Service
Kantor Pajak Jadi Tersangka Faktur Fiktif)
Setelah penangkapan tersebut, tersangka langsung diserahkan kepada PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) Ditjen
Pajak untuk dilakukan pemeriksaan lanjut. Sebelumnya, PPNS Ditjen Pajak telah melakukan pemanggilan terhadap
SH alias RM untuk diperiksa sebagai tersangka. Namun tersangka tersebut melarikan diri, sehingga dimasukkan
dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Penyidikan atas tersangka SH alias RM merupakan pengembangan dari kasus penyidikan sebelumnya dengan
tersangka Muhammad Kamil alias Emka Tony (MK alias ET). Tersangka yang merupakan Direksi Mitra Solusi
Lintasindo ini sudah divonis bersalah melakukan tindak pidana pajak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. MK
alias ET hukuman 1 tahun 6 bulan penjara, serta denda sebesar Rp 44 Milyar subsider kurungan 3 bulan.
Direktur Penyidikan dan Intelejen Ditjen Pajak Yuli Kritiyono membenarkan adanya hubungan antara tersangka SH
alias RM dengan jejaring pengemplan pajak Muhammad Kamil. "Betul sekali (ini merupakan salah satu
jejaringnya)," tutur Yuli kepada Katadata, Kamis 30/10).
Pelaku pengemplangan pajak dengan bermodus faktur pajak fiktif ini cukup banyak. Penanganan kepada penerbit
selama ini ternyata tidak menghilangkan minat pasar untuk meminta atau membeli faktur pajak. (Baca: Kasus
Faktur Fiktif, Ditjen Pajak Melawan Putusan Pengadilan)
Hal ini membuat potensi penerimaan negara hilang hingga triliunan Rupiah. Catatan Ditjen Pajak, sejak 2008 lebih dari 100 kasus faktur pajak fiktif yang berhasil dibongkar bersama kepolisian.
Meski demikian, Ditjen Pajak mengaku punya beberapa metode mengungkap kejahatan perpajakan tersebut.
Terutama dari aktivitas jual beli yang tidak lazim, sebab rata-rata penerbitan faktur bodong dilakukan perusahaan
bidang perdagangan.
Kondisi diatas terjadi sebagai konsekuensi atas pungutan pajak di Indonesia. Menurut
catatan Burton (2014:162) secara awal pemungutan pajak di Indonesia mengacu pada sistem
official assessment dimana penghitungan pajak yang mesti dibayar oleh wajib pajak menjadi
kewenangan penuh pemerintah. Hanya saja semenjak tahun 1983 dilakukan perubahan dengan
memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan sendiri pajak yang harus dibayar (self assessment). Pada saat sistem pemungutan
pajak ini ditetapkan dalam Undang-Undang Pajak maka secara otomatis regulasi ini menjadi
politik perpajakan yang disepakati bersama. Pada saat terjadi penyimpangan atas pemungutan
pajak, seperti terjadinya kasus pajak fiktif, maka kesalahan ini menjadi tanggungjawab bersama
yang harus diantisipasi.
Untuk mendalami pengertian ini lebih lanjut, terdapat kasus kedua sebagai berikut :
Kasus 2 : Pengemplang Pajak dari Berita Dirjen Pajak berita dari
www.mediaindonesia.com/editorial/view/293
PENGEMPLANG PAJAK DIMANA-MANA
Pengemplang pajak ialah kelompok masyarakat yang tidak peduli kepada keadilan dan kesejahteraan. Dengan
mengemplang, wajib pajak sama saja telah membiarkan pemerintah kehilangan kemampuan membangun ekonomi
dan mendistribusikan kemakmuran. Perlakuan paling tepat bagi mereka ialah tindakan tegas dan keras. Salah satu
contohnya ialah tindakan penyegelan Mal Green Tebet, kemarin. Mal yang terletak di Jl MT Haryono, Tebet,
Jakarta Selatan, itu disegel petugas pajak karena mengemplang pajak bumi dan bangunan selama 4 tahun.
Jumlah tunggakan pajak mal itu dilaporkan telah mencapai Rp1,8 miliar. Kita sangat mengapresiasi langkah petugas
pajak atas penyegelan mal itu. Tindakan tersebut sangat tepat momentumnya. Selama ini, kita jarang melihat pesan sekuat itu disampaikan aparat pajak kepada wajib pajak yang bandel. Tindakan penyegelan mal itu juga sejalan
dengan pernyataan Wapres Jusuf Kalla di depan Rapat Pimpinan Nasional Kamar Dagang dan Industri beberapa
waktu lalu. Dalam kesempatan itu, JK mengingatkan para pengusaha untuk taat membayar pajak.
Perilaku mengemplang, menurut JK, merupakan tindakan egoistis. Dengan mengemplang, pengusaha berarti tidak
peduli kepada kehidupan masyarakat. Karena itu, penyegelan mal pengemplang pajak menjadi pesan kuat bagi wajib
pajak lain yang masih dan atau berniat mengemplang pajak. Kita ingin tindakan tegas dan keras semacam itu
diteruskan dan diperluas. Diteruskan untuk membuat efek jera bagi pengemplang pajak benar-benar terbangun.
Diperluas agar tindakan tegas semacam itu dilakukan ke semua sektor, bukan hanya di sektor perdagangan ritel atau
mal-mal.
Salah satu sektor yang wajib diberi tindakan tegas ialah sektor pertambangan dan migas. Data Direktorat Jenderal
Pajak menyebutkan ketaatan pajak perusahaan di sektor pertambangan sangat rendah. Dari 11 ribu perusahaan
pemegang izin usaha pertambangan yang tercatat, hanya 2.000 yang tercatat memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Artinya, ada 9.000 perusahaan yang tidak membayar pajak.
Padahal, jika 9.000 perusahaan pertambangan itu semuanya taat membayar pajak, kita mungkin tidak perlu berutang
ke luar negeri untuk membiayai pembangunan. Karena itu, tindakan tegas dan keras semestinya juga diberlakukan
kepada para pengemplang pajak di sektor pertambangan dan migas. Sudah kerap kita mendengar pengemplangan
pajak secara masif oleh perusahaan-perusahaan besar di sektor itu, tetapi tindakan tegas dan keras terhadap mereka
masih nihil. Kita ingin penyegelan seperti yang dilakukan terhadap Mal Green Tebet, dalam bentuknya yang setara
juga diterapkan di sektor pertambangan.
Rasio pajak kita selama ini berkisar hanya 12% hingga 13%. Angka rasio itu baru separuh dari standar rasio
pembangunan milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa, yakni sebesar 24%. Angka 12% hingga 13% itu bahkan
sangat jauh di bawah rata-rata rasio pajak negara maju anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan
Pembangunan (OECD), yakni 35%. Karena itu, peningkatan rasio pajak tersebut harus digenjot. Tindakan tegas yang konsisten dari aparat pajak kepada pengemplang merupakan jalan menuju sasaran itu, bukan patgulipat seperti
yang selama ini kerap kita dengar.
Pajak menjadi penopang dominan pembiayaan APBN maupun APBD, sehingga berbagai
jenis pajak yang dipungut, pola pembayaran serta pengawasannya menjadi tanggungjawab
seluruh warga negara maupun pemerintah. Fungsi pajak secara ideal untuk membiayai
pembangunan, keadilan, pemerataan dan kesejahteraan seluruh warga negara.
Apabila membicarakan mengenai pajak sebagai instrument kesejahteraan dan keadilan,
sebenarnya terjadi kejanggalan di negara kita. Akumulasi kekayaan 40 orang terkaya di
Indonesia yang setara dengan 10,3% PDB atau kekayaan 60 juta penduduk. (Policy Review,
2011). Melihat kesenjangan yang tinggi, sesuai asa keadilan maka besarnya beban pajak
seharusnya mengikuti tingginyua pendapatan atau kekayaan yang dimiliki seseorang. Maknanya,
semakin mampu dan kaya seseorang maka proporsi pajak yang dipungut seharusnya lebih tinggi.
Hanya saja secara praktek, yang terjadi sebaliknya. Kelompok kaya justru membayar pajak jauh
lebih kecil dari kelompok menengah bawah.Kondisi ini seperti terlihat pada realisasi APBN
2010 (Keliat, 2014:115).Penerimaan pajak yang berasal dari pajak penghasilan
pegawai/karyawan (PPh pasal 21) mencapai Rp. 55,3 triliun. Sedangkan pajak penghasilan
pribadi non pegawai/karyawan atau pengusaha hanya Rp. 3,6 triliun (PPh pasal 25/29). Hal
inilah yang dinilai tidak adil karena para pemilik usaha yang masuk kategori orang kaya justru
membayar pajak yang jauh lebih kecil. Kondisi ini juga ditengarai sebagai penyebab makin
timpangnya kesenjangan yang terjadi di Indonesia dan menjadi celah bagi maraknya kasus pajak
fiktif atau kasus pengemplang pajak.
Pada sisi yang sama rendahnya pemungutan pajak di Indonesia salah satunya juga
disebabkan antipati warga negara yang melihat buruknya tata kelola pajak dan kasus-kasus
penyimpangan pajak yang mempengaruhi ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi yang
melakukan pemungutan pajak. Studi Keliat (2014:117) menegaskan untuk membangun sistem
perpajakan yang kuat dibutuhkan konstruksi sistem yang mampu menyakinkan warganegara
bahwa mereka dilindungi dari praktik korupsi dan ketidakefisienan birokrasi. Studi yang
dilaksanakan pada 30 negara maju dan berkembang menunjukkan fakta bahwa terjadi korelasi
positif antara kepatuhan pajak dengan rendahnya tingkat korupsi dan efisiensi birokrasi.
Refleksi Akhir
Integritas menjadi kunci penting dalam setiap penyelenggaraan pelayanan publik di negara kita. Hasil temuan Komisi XI DPR menyatakan ada 12 titik rawan penyalahgunaan kewenangan dalam
perpajakan yang terjadi di seluruh jajaran Direktorat Jenderal Pajak mulai dari Daerah sampai ke Pusat.
Beberapa titik rawan tersebut antara lain terletak pada aktifitas proses pemeriksaan, penagihan dan pengadilan pajak, proses keberatan pajak, proses banding pajak, proses pemeriksaan bukti permulaan dan
penyidikan pajak, proses penuntutan (kejaksaan), proses persidangan (pengadilan negeri), oknum wajib
pajak (termasuk oknum konsultan pajak), oknum pejabat pajak, oknum pengadilan pajak, rekayasa
akuntansi pajak, rekayasa fasilitas pajak, serta rekayasa melalui peraturan perpajakan. Temuan lainnya adalah banyak pemeriksa pajak masih tidak profesional dan tidak berintegritas
dalam menjalankan kinerjanya. Petugas pajak merasa terbiasa memainkan proses penagihan dan
pembayaran yang hasilnya masuk ke kantong pribadi petugas pajak termasuk menghilangkan kohir. Pada proses account representative juga seringkali ditemukan tindak negosiasi melalui proses himbauan seperti
kasus “menjual” data. Titik rawan inilah yang berpotensi merugikan keuangan negara (Viva News. Com
tanggal 25 Januari 2011). Integritas masih ditafsirkan secara terbatas akan berjalan apabila aparat
pemungut pajak diberikan kompensiasi gaji atau tunjangan mencukupi. Sejalan dengan hal ini, pada Maret 2015, Jokowi menaikkan tunjangan kinerja bagi pegawai Direktorat Jenderal Pajak, sebesar 2,5 kali
lipat (Tribunnews.com 13 Februari 2015). Para aparatur negara diberikan tunjangan kinerja sesuai
peringkat jabatan (grade) dengan mempertimbangkan realisasi penerimaan pajak pada tahun sebelumnya yang besarannya, antara lain : Dirjen Pajak (grade 27) besarannya Rp. 117.375.000/bulan; Eselon II
(grade 20-23) besarannya Rp. 56.780.00-Rp. 81.940.000/bulan; Untuk Eselon III (grade 17-19)
besarannya Rp. 37.219.800-Rp. 46.478.000/bulan; serta untuk Eselon IV (grade 14-16) besarannya Rp. 22.935.765-Rp. 28.757.200/bulan
Maksud dari pemberian tunjangan ini tentunya untuk mengurangi tindak korupsi di lembaga ini.
Selain itu, terdapat pula wacana Dirjen Pajak akan menjadi badan langsung dibawah kendali tanggung
jawab presiden yang bernama Badan Penerimaan Pajak. Hal ini didasarkan beberapa pertimbangan. Kurang lebih 78% penerimaan negara berasal dari pajak yang kelak penerimaan ini digunakan mensubsidi
kebutuhan pokok seperti BBM, listrik, menaikkan gaji aparat negara termasuk TNI Polri, mencicil hutang
luar negeri, bantuan desa, peningkatan taraf layanan pendidikan dan kesehatan, peningkatan kualitas alutsista serta kemakmuran rakyat lainnya. Hanya saja upaya pemenuhan atas pekerjaan peningkatan
penerimaan pajak tersebut tidak diimbangi dengan jumlah aparatur pemungut pajak yang masih kecil
dibandingkan dengan pihak yang harus dipungut yang tak lain adalah warga negara Indonesia sendiri.
Kalaupun Dirjen Pajak masih bernaung di Kementerian Keuangan, selain hambatan koordinasi kinerja, selama ini permintaan alokasi kebutuhan pegawai perpajakan juga masih terbatasi oleh formasi di
tingkat kementerian (Tumakaka, 2015). Dari sisi administrasi kepegawaian, Dirjen Pajak selama ini juga
merupakan institusi di bawah Kementerian Keuangan yang membawahi 32 ribu pegawai di bawah pimpinan pejabat eselon I. Sedangkan pejabat eselon II sebanyak 49 orang dan merupakan jumlah
terbesar dari seluruh kementerian sebab kementerian lainnya jumlahnya maksimal 10 orang. Berdasarkan
kondisi inilah dianggap pantas apabila pegawai dari Dirjen Pajak diberikan tunjangan kinerja yang
lumayan tinggi tentu guna meniadakan praktek kecurangan dalam pemungutan pajak. Dengan adanya badan ini maka target penerimaan pajak sebesar 1,439,7 triliun dari non migas serta pajak migas sebesar
139,3 triliun menjadi beban tersendiri sehingga perlu konsentrasi dalam pencapaian atas target ini
(Liputan 6.com, 17 Februari 2015).
4.8. Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak Penghasilan (PPh) merupakan Pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak
Penghasilan atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
4.8.1. Landasan Historis
Pungutan Pajak Penghasilan memiliki latar belakang sejarah tersendiri di negara kita
(www.dispenda.tasikmalayakota.go.id). Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia
dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) yang berlaku pada tahun 1816. Pajak ini
dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya
rumah atau bangunan. Hingga tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara
penduduk pribumi dengan orang Asia dan Eropa. Pada saat itu, pengenaan pajak terdapat banyak
perbedaan dan tidak ada uniformitas perlakuan pajak. Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya
diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya business tax atau
bedrijfsbelasting dikenakan bagi orang pribumi. Sejak tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya
Poll Tax yang pengenaannya didasarkan pada status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.
Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa,
dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang
sahamnya. Dasar pengenaan pajak penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun
barang tidak bergerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun serta
pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria
tertentu. Pada tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang sebelumnya
ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General income tax yakni Ordonansi pajak
pendapatan yang diperbaharui pada tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting
1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia
maupun orang Eropa. Sesuai Ordonansi, pungutan atas pajak pendapatan telah menerapkan asas-
asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber.
Berdasarkan desakan kebutuhan serta makin banyaknya perusahaan yang didirikan di
Indonesia seperti perkebunan (ondememing) pada tahun 1925, ditetapkan Ordonasi pajak
perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting). Melalui ordonansi ini Pajak
yang dikenakan terhadap laba perseroan dikenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi
mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak
Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dikenal dengan
UU MPO dan MPS. Perubahan penting lain adalah UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak
dimasukkan dalam Ordonansi PPs 1925, khususnya ketentuan tentang cuti pajak (tax holiday).
Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni saat
diadakannya reformasi pajak. Pada awal tahun 1925 bersamaan dengan mulai berlakunya
Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri
Belanda, maka timbul kebutuhan merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yaitu
ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting
1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax).
Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan
penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia;
Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.
Makin banyaknya perusahaan yang mulai berdiri di Indonesia maka kebutuhan akan pengenaan
pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Pada tahun 1935 ditetapkan Ordonansi
Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan memotong Pajak
Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada saat
Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang
ada dimana tahun 1946 diganti dengan Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Regulasi ini
kemudian berlanjut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1957 yang mengganti Pajak Peralihan
dengan nama Pajak Pendapatan pada tahun 1944 dengan singkatan Ord. PPd. 1944. Sedangkan
pajak pendapatan disingkat dengan PPd. saja.
Ord. PPd. 1944 mengalami beberapa kali perubahan hingga diterbitkannya Undang-
Undang Nomor 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan
Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal
dengan "UU MPO dan MPS". Pada masa-masa sesudahnya regulasi ini disempurnakan dengan
Undang-Undang No. 9 tahun 1970 yang berlaku hingga 31 Desember 1983 dan kemudian
digantikan kembali saat diadakannya reformasi perpajakan di Indonesia.
4.8.2. Subyek Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan (PPh) merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya
melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan (www.pajak.go.id). Kewajiban pajak pada pajak
penghasilan ini dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Dalam
rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak
subjektif menjadi penting. Subjek PPh adalah orang pribadi; warisan yang belum terbagi sebagai
satu kesatuan, menggantikan yang berhak; badan; dan bentuk usaha tetap (BUT).
Subjek Pajak terdiri dari, Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri.
Terdapat beberapa subjek pajak dalam negeri. Orang pribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia atau yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, meliputi Perseroan
Terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis,
lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana. Warisan yang belum
terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Untuk subjek pajak luar negeri antara lain adalah orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh t iga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
badan usaha tetap yang ada atau domisilinya di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat
menerima atau memperoleh panghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dalam badan usahda yang ada di Indonesia.
Terdapat beberapa badan atau perorangan yang tidak termasuk subjek pajak. Pertama,
badan perwakilan negara asing. Kedua, pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau
pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka. Hanya saja persyaratannya bukan
warga Negara Indonesia di Indonesia yang tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di
luar jabatan atau pekerjaannya tersebut dan negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal
balik.
Untuk organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan harus memiliki persyaratan, antara lain Indonesia menjadi anggota organisasi
tersebut, serta yang bersangkutan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal
dari iuran para anggotanya. Sedangkan untuk pejabat-pejabat perwakilan organisasi
internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan harus memiliki persyaratan
bukan warga negara Indonesia, serta tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Mengenai pajak penghasilan ini, terdapat pertanyaan dari salah satu peserta pemagangan
buku ajar Program Studi Ilmu Administrasi Negara dan Program Studi Ilmu Politik FISIP
Universitas Udayana mengenai kategori usaha yang dikenakan pajak penghasilan. Pada
pertanyaan ini dilontarkan pula mengenai pengenaan pajak atas usaha-usaha bisnis online yang
semakin marak di masyarakat. Jawaban yang diberikan Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak
Provinsi Bali atas pertanyaan tersebut ditegaskan mengenai hakikat dasar pengenaan pajak. Pajak
penghasilan tidak melihat pada jenis usahanya, melainkan pengenaannya didasarkan pada si
pelaku usaha yang mendapatkan penghasilan atas nilai transaksi atas usaha yang dijalankannya
itu, termasuk usaha bisnis online (E-commerce) yang marak belakangan ini. Pada kesempatan ini
pula, Kepala Kanwil DJP Bali mengajak mahasiswa sebagai salah satu komponen masyarakat
berperan aktif dalam mengawal penggunaan pajak.
4.9. Penutup
Kebijakan perpajakan bisa menjadi salah satu cerminan dari demokratis atau tidaknya
sebuah Negara. Mekanisme pengelolaan pajak di suatu negara akan memberikan kontribusi yang
berarti bagi terciptanya mekanisme-mekanisme demokrasi terutama dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Pemungutan pajak oleh Negara dalam kerangka penguatan demokrasi harus
dilaksanakan sejalan dengan asas-asas yang disepakati bersama dalam kerangka regulasi negara.
Hal ini mengingat hakikat pemungutan pajak adalah pengaturan kehidupan masyarakat secara
adil termasuk mengakomodasikan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi sehingga
setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya masing-masing sebagaimana mestinya.
Pada proses pemungutan pajak, negara mengedepankan asas-asas pemungutan pajak
terutama prinsip keadilan. Prinsip keadilan menjadi sangat penting di saat ketimpangan ekonomi
masih resisten mendominasi kehidupan perekonomian masyarakat Indonesia. Tidak hanya
sebatas ini, pekerjaan rumah terbesar bagi Indonesia adalah melaksanakan reformasi perpajakan.
Reformasi perpajakan ini menjalankan dimensi modernisasi administrasi perpajakan yang
meliputi reformasi struktur organisasi, reformasi proses bisnis, dan reformasi administrasi
sumber daya manusia. Dimensi lainnya yang juga dijalankan adalah amandemen Undang-
Undang Perpajakan serta mengintesifkan paradigma perubahan kinerja, yang berpijak pada
prinsip-prinsip client oriented, equal treatment, simplification, certainty, justifiable, efficiency,
IT based system dan good governance (Tumakaka : 2015).
Kelembagaan pemungut yang berintegritas dengan disertai pengawasan sekaligus
partisipasi yang intensif dari warga negara tentunya akan mempercepat berjalannya reformasi
perpajakan di Indonesia. Muara dari komitmen ini tentunya adalah kesejahteraan dan
kemakmuran seluruh rakyat Indonesia yang berkeadilan.
4.10. Latihan Soal
Jelaskan potensi pajak daerah yang ada di wilayah Anda! Sebutkan pula apa saja faktor
pendorong dan penghambat dalam pemungutannya!
Jelaskan peran politik perpajakan dalam penguatan elemen demokrasi modern!
Jelaskan pemetaan potensi persoalan kasus-kasus dalam pemungutan perpajakan!
Bagaimana menurut Anda, apakah kasus-kasus ini bisa menyebabkan kondisi negara
bangkrut seperti yang dialami negara Yunani, jelaskan!
Seluruh jawaban atas soal diatas harus didukung oleh sumber jurnal online minimal tiga
artikel. Beberapa jurnal bisa diakses pada alamat web sebagai berikut :
1. http://www.jurnal.lipi.go.id/
2. www.oxfordjournals.org/
3. http://www.sciencedirect.com/
4. https://doaj.org/
Pedoman Penilaian:
Pedoman penilaian di kelas yaitu berdasarkan lembar jawab atas latihan soal serta hasil
temuan saat pemagangan.
Pedoman penilaian di tempat magang (10 jam dengan Tim Pendamping Pemagangan)
Pedoman Penilaian di kelas dan di tempat magang {+ 10 jam, 2 hari @ 5 jam dengan penilaian
dari tim pendamping setiap harinya sesuai indikator dalam Lembar Penilaian Magang
Mahasiswa}.
Tempat Magang, kantor:
Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Provinsi Bali
Tim Pendamping:
Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Provinsi Bali
Tim Dosen Pengajar:
1. Tedi Erviantono
2. Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Provinsi Bali
Sumber Bacaan :
- Burton, Richard. 2014. Kajian Perpajakan dalam Konteks Kesejateraan dan
Keadilan. Jakarta: Mitra Wacana Media ;
- Irianto, Edi Slamet. 2012 (Cet.2). Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Pajak di
Indonesia. Yogyakarta : CV Aswaja Pressindo;
- Keliat, Makmur, dkk. 2014. Tanggung Jawab Negara. Jakarta : Friedrich-Ebert-
Stiftung ;
- Mardiasmo, 2011. Perpajakan Edisi Revisi. Yogyakarta : Yayasan Andi ;
- Prakarsa, Welfare Initiative for Better Societes Report, dalam
http://theprakarsa.org/new/in/press-release, diakses 25 Juni 2015;
- Sari, Diana. 2013. Konsep Dasar Perpajakan. Bandung : Refika Aditama;
- Sutedi, Adrian. 2013 (Cet.2). Hukum Pajak. Jakarta : Sinar Grafika;
- Tumakaka, Wahju J. 2015. Materi Pemagangan Buku Ajar FISIP Universitas
Udayana : Pajak adalah Keniscayaan Negara Demokratis. Denpasar.
Sumber Web dan Media :
- https://herlinamargareta.wordpress.com diakses pada 16 Mei 2015;
- www.beritasatu.com tanggal 14 Oktober 2014 diakses pada 4 Juni 2015;
- www.beritasatu.com tanggal 20 Januari 2015 diakses pada 4 Juni 2015;
- www. Bisnis.com, 15 Juli 2015 dengan judul Bailout Yunani : Tsipiras Didesak
Jual Aset Senilai US50 Dollar Miliar diakses pada 17 Juli 2015;
- www.wibowopajak.com/2012/01/jenis-koreksi-fiskal-positif.html diakses pada 16
Mei 2015;
- www.hukum-pajak.blogspot.com diakses pada 17 Mei 2015;
- www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2007_28.pdf diakses pada 1 Juni 2015
- www.dispenda.tasikmalayakota.go.id/index.php?...sejarah...pajak-penghasilan
diakses pada 1 Juni 2015;
- www.pajak.go.id/ diakses pada 3 Juni 2015;
- Harian Kompas, 30 Oktober 2014;
- www.Kompas.com 6 Juli 2015 dengan judul Referendum Yunani: 61 Persen
memilih “Tidak” pada Kreditor diakses pada 17 Juli 2015;
- www.mediaindonesia.com/editorial/view/293 diakses pada 30 Mei 2015;
- www.metrotvnews.com 10 Juli 2015 denagn judul Situasi Yunani Krisis, WNI
belum Dipulangkan, diakses pada 17 Juli 2015;
- www.viva.co.id, Senin, 17 Desember 2012 diakses pada 30 Mei 2015;
- www.viva.co.id. 25 Januari 2011 diakses pada 30 Mei 2015;
- www. diplomatmudahiuinsyarifhidayatullah.blogspot.com diakses pada 30 Mei
2015.
- Liputan 6.com, 17 Februari 2015 dengan Judul Pemerintah restui Ditjen Pajak PIsah
dari Kemnetreian Keuangan diakses pada 3 Juni 2015.
- Tribunnews.com 13 Februari 2015. Gaji Seluruh Pegawai Pajak akan Naik 2,5
Kali Lipat. Diakses pada 3 Juni 2015.