anestesi lokal
DESCRIPTION
anestesiTRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Anestesi lokal adalah hilangnya sensasi pada bagian tubuh tertentu tanpa disertai
kehilangan kesadaran atau kerusakan fungsi kontrol saraf pusat dan bersifat reversibel.
Obat anestesi lokal terutama berfungsi untuk mencegah atau menghilangkan sensasi nyeri
dengan memutuskan konduksi impuls saraf yang bersifat sementara. Obat anestesi lokal
pertama yang ditemukan adalah kokain. Kokain yang ditemukan secara tidak sengaja pada
akhir abad ke-19 ternyata memiliki kemampuan sebagai anestesi yang baik. Kokain
diperoleh dari ekstrak daun coca (Erythroxylon coca).
Selama berabad-abad bangsa Andean mengunyah ekstrak daun ini untuk
mendapatkan efek stimulasi dan euforia. Kokain pertama kali diisolasi pada tahun 1860
oleh Albert Niemann. Layaknya ahli kimia lainnya beliau mencicipi sendiri penemuannya
dan merasakan efek mati rasa di lidah. Sigmund Freud meneliti efek fisiologi kokain dan
pada tahun 1884 Carl Koller memperkenalkan pemakaian kokain dalam praktek klinis
sebagai anestesi topikal untuk operasi mata. Halstead mempopulerkan penggunaan cara
infiltrasi dan blok saraf. Penggunaan obat anestesi lokal secara luas saat ini berdasarkan
hasil observasi dan temuan di atas.1
Anestesi merupakan pendamping paling tua Ilmu Bedah.Banyak kemajuan Ilmu
Bedah dicapai sejalan dengan perkembangan teknik serta penemuan obat anestesi lokal
baru yang lebih efektif dibandingkan obat anestesi lokal terdahulu. Hampir tidak ada
tindakan bedah yang dilakukan tanpa anestesi. Anestesi dapat mengurangi rasa sakit saat
tindakan, mengurangi biaya dan waktu, serta pemulihan lebih cepat, sehingga tindakan
bedah dapat dilakukan dengan tenang dan memberikan hasil baik.2
Pada tindakan bedah, obat anestesi lokal dapat langsung diberikan dan diawasi oleh
operator sehingga operator harus memiliki pengetahuan mengenai jenis, cara, penggunaan,
metabolisme, dosis dan mekanisme kerja, efek samping, dan efek merugikan dari obat
anestesi lokal.2
Makalah ini menguraikan tentang jenis, mekanisme kerja, metabolisme serta
penggunaan klinis obat anestesi lokal, agar pengetahuan dan penerapannya dalam
penggunaan klinis menjadi lebih baik.
OBAT ANESTESI LOKAL
Obat anestesi lokal diklasifikasikan menjadi dua golongan berdasarkan struktur
molekul, yaitu golongan amida dan ester. Masing-masing golongan mempunyai kaitan pada
struktur kimianya.2,4,6,7.
Persyaratan obat yang boleh digunakan sebagai anestesi lokal: 6
o Tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen
o Batas keamanan harus lebar
o Efektif dengan pemberian secara injeksi atau penggunaan setempat pada
membrane mukosa
o Mulai kerjanya harus sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu yang
yang cukup lama
o Dapat larut air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga stabil terhadap
pemanasan.
Golongan amida, meliputi bupivakain, dibukain, etidokain, lidokain, mepivakain
dan prilokain. Golongan ini dihidrolisis oleh enzim mikrosom hepar dan diekskresikan
melalui ginjal. Golongan ester, meliputi benzokain, kloroprokain, kokain, prokain dan
tetrakain. Golongan ini dihidrolisis di dalam plasma dan hepar oleh enzim
pseudokolinesterase dan diekskresikan melalui ginjal. 6
1
Tabel 1. Obat anestesi lokal*
Jenis Nama
dagang
Penggunaan Potensi Onset
(menit)
pKa Durasi
( jam )
Dosis
maksimum
Dosis
maksimum
+ epinefrin
Amida
Bupivakain
Dibukain
Etidokain
Lidokain
Mepivakain
Prilokain
Prilokain/lidokain
Marcaine
Nupercain
Duranest
Xylocaine
Carbocaine
Citanest
EMLA
Infiltrasi
Topikal
Infiltrasi
Infiltrasi/topikal
Infiltrasi
Infiltrasi
topikal
8
6
2
2
2
2-10
cepat
3-5
cepat
3-20
cepat
30-120
8,1
7,7
7,7
3-10
singkat
3-10
1-2
2-3
2-4
singkat
175 mg
300 mg
300 mg
300 mg
400 mg
250 mg
400 mg
500 mg
400 mg
600 mg
Ester
Benzokain
Kloroprokain
Kokain
Prokain
Proparakain
Tetrakain
Tetrakain
Anbesol
Nesacaine
Novocaine
Ophthaine
Pontocaine
Cetacaine
Topikal
Infiltrasi
Topikal
Infiltrasi
Topikal
Infiltrasi
topikal
1
1
8
Cepat
Cepat
2-10
lambat
cepat
lambat
cepat
8,9
8,51
Singkat
0,5-2
1-3
1-1,5
singkat
2-3
singkat
600 mg
200 mg
500 mg
20-50 mg
600 mg
MEKANISME KERJA
Obat anestesi lokal mencegah hantaran dan konduksi impuls saraf. Lokasi utama
kerja obat anestesi lokal adalah pada membran sel. Obat anestesi lokal mencegah konduksi
dengan menurunkan atau mencegah peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion
natrium.1
Terdapat 2 teori mekanisme kerja obat anestesi lokal dalam menghambat kanal
natrium. Teori pertama, obat anestesi lokal berikatan dengan reseptor spesifik di kanal
natrium dan ikatan ini mengubah struktur serta fungsi kanal natrium dan menghambat
pergerakan ion natrium ke luar sel. Teori ini disebut natrium trap. Teori kedua dikenal
2
sebagai teori ekspansi/expantion, obat anestesi lokal diabsorbsi pada membran sel sehingga
terjadi pembengkakan membran dan menyebabkan penyempitan kanal natrium.5,8,9
Untuk meningkatkan kerja obat, obat harus larut dalam lemak agar dapat berdifusi
ke dalam membran sel saraf dan mielin serabut saraf perifer. Bahan yang larut dalam lemak
akan kurang larut dalam air sehingga menyulitkan formulasi obat, oleh karena itu
ditambahkan garam hidroklorida yang dapat larut dalam air pada pH 4-7. Formulasi ini
mengandung fraksi ion yang seimbang dengan sedikit fraksi bebas dalam larutannya.
Setelah disuntikkan, larutan ini menyebabkan pH jaringan meningkat dan menambah fraksi
lipofilik non-ion yang dapat berdifusi ke dalam membran sel saraf. Di dalam cairan intrasel
pH sedikit lebih asam sehingga gugus aktif obat anestesi lokal dapat menghambat kanal
natrium.1,2,5,6,9
Obat anestesi lokal dibedakan dalam awitan, durasi dan potensinya. Perbedaan ini
bergantung pada komposisi kimiawi khas masing-masing, misalnya konstanta disosiasi
(pKa), daya larut dalam lemak, dan daya ikat dengan protein. Nilai pKa merupakan
konstanta disosiasi asam; pKa menunjukkan kekuatan relatif dari gugus amin untuk
berdisosiasi. Nilai pKa rendah berarti awitan anestesi cepat karena sebagian besar anestesi
akan terionisasi menjadi bentuk aktif. Daya larut dalam lemak tinggi berarti anestesi
berpotensi tinggi dan mudah berpenetrasi ke dalam membran sel saraf. Durasi
menunjukkan lama ikatan anestesi dengan reseptor kanal natrium.2,9
METABOLISME
Metabolisme obat anestesi lokal merupakan hal yang sangat penting, karena
toksisitasnya bergantung pada keseimbangan kecepatan absorbsi dan eliminasi. Absorbsi
obat anestesi lokal dapat dikurangi dengan menambahkan vasokonstriktor ke dalamnya.
Kecepatan metabolisme obat anestesi lokal sangat bervariasi dan merupakan faktor utama
sebagai penentu keamanannya. Toksisitas dihubungkan dengan konsentrasi obat bebas serta
ikatan obat dengan protein serum dan jaringan. Ikatan ini menurunkan konsentrasi obat
bebas di sirkulasi, sehingga menurunkan toksisitas. Sebagai contoh obat anestesi yang
diberikan secara intravena di ekstremitas, kurang lebih separuh dosis obat awal masih
terikat di jaringan setelah 30 menit torniquet dilepaskan.1
3
Beberapa obat anestesi lokal yang biasa digunakan, yaitu golongan ester,
dihidrolisis dan diinaktifkan terutama oleh enzim esterase, kemungkinan enzim plasma
pseudokolinesterase. Hepar juga berperan dalam hidrolisis obat anestesi lokal, yaitu oleh
enzim mikrosom spesifik sitokrom P-450. Dalam cairan serebrospinal yang mengandung
sedikit atau tidak ada esterase, obat anestesi lokal yang disuntikkan melalui intratekal akan
menetap sampai obat anestesi lokal diabsorbsi ke dalam sirkulasi.5
Obat anestesi lokal golongan amida, umumnya didegradasi oleh retikulum
endoplasmik hepar. Reaksi awal melibatkan N-dealkilasi dan selanjutnya terjadi hidrolisis.
Langkah awal degradasi prilokain adalah hidrolisis yang menghasilkan metabolit o-toluidin
yang dapat menyebabkan methemoglobinemia. Pada pasien dengan kelainan hepar
penggunaan obat anestesi lokal golongan amida perlu diperhatikan. Amida yang terdapat
pada obat anestesi lokal terikat dengan protein plasma dalam jumlah besar (55%-95%),
khususnya asam glikoprotein.
Faktor yang dapat meningkatkan konsentrasi asam glikoprotein adalah keganasan,
pembedahan, trauma, infark miokardium, merokok, dan uremia. Faktor yang dapat
menurunkan adalah kontrasepsi oral.
Peningkatan transpor obat anestesi lokal ke dalam hepar untuk dimetabolisme
mempengaruhi toksisitas sistemik. Usia mempengaruhi ikatan obat anestesi lokal dengan
protein. Pada neonatus terdapat defisiensi protein plasma yang dapat berikatan dengan obat
anestesi lokal sehingga kemungkinan besar terjadi toksisitas. Protein plasma bukan satu-
satunya faktor yang menentukan distribusi obat anestesi lokal. Absorbsi melalui paru juga
berperan penting dalam distribusi obat anestesi lokal.1
Pada perempuan hamil penggunaan obat anestesi lokal harus selektif karena dapat
menyebabkan efek teratogenik. Obat anestesi lokal pilihan untuk perempuan hamil adalah
lidokain. Lidokain termasuk obat kategori B pada kehamilan, berarti pada percobaan hewan
tidak ditemukan efek teratogenik. Selain itu dilaporkan juga bahwa pada perempuan hamil
yang mendapat lidokain pada bulan keempat kehamilan tidak ditemukan peningkatan
kelainan anatomi pada bayi baru lahir. Lidokain dapat melewati sawar plasenta masuk ke
dalam fetus. Lidokain aman pula digunakan pada wanita menyusui meskipun sebagian
dapat diekskresikan melalui ASI.2
4
Pada anak lidokain juga aman, tetapi dosis maksimum yang dianjurkan harus lebih
rendah dari dewasa disesuaikan dengan usia dan berat badan. Paraben digunakan sebagai
bahan pengawet dan di dalam sirkulasi paraben berikatan dengan albumin. Pada bayi
ikterik ikatan dengan albumin dapat digantikan oleh bilirubin, sehingga memperburuk
keadaan hiperbilirubinemia.2
JENIS OBAT ANESTESI LOKAL
Pemilihan dan penggunaan obat anestesi lokal harus memperhatikan efikasi dan
toksisitasnya. Toksisitas bergantung kadar obat anestesi lokal dalam plasma. Kadar plasma
bervariasi bergantung lokasi penyuntikan. Suntikan di interpleura atau interkosta
menyebabkan kadar dalam plasma tinggi, sedangkan infiltrasi subkutan menyebabkan
kadar dalam plasma rendah.9
A. Dibukain2
Devirat kuinon ini, merupakan anestetik lokal yang paling kuat, paling toksik dan
mempunyai masa kerja panjang. Dibandingkan dengan prokain, dibukain kira-kira 15 kali
lebih kuat dan toksik dengan masa kerja 3 kali lebih panjang. Dibukain HCl digunakan
untuk anesthesia suntikan pada kadar 0,05-0,1%; untuk anesthesia topical telinga 0,5-2%;
dan untuk kulit berupa salep 0.5-1%. Dosis total dibukain pada anesthesia spinal ialah 7,5-
10mg.
B. Lidokain2
Lidokain (Xilokain) adalah anestetik lokal yang kuat yang digunakan secara luas
dengan pemberian topical dan suntikan. Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat, lebih lama
dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Lidokain merupakan
aminoetilamid. Pada larutan 0,5% toksisitasnya sama, tetapi pada larutan 2% lebih toksik
daripada prokain. Larutan lidokain 0,5% digunakan untuk anesthesia
infiltrasi, sedangkan larutan 1,0-2% untuk anesthesia blok dan topical. Anesthesia ini
efektif bila digunakan tanpa vasokonstriktor, tetapi kecepatan absorbs dan toksisitasnya
bertambah dan masa kerjanya lebih pendek. Lidokain merupakan obat terpilih bagi mereka
yang hipersensitif terhadap prokain dan juga epinefrin. Lidokain dapat menimbulkan
5
kantuk sediaan berupa larutan 0,5%-5% dengan atau tanpa epinefrin. (1:50.000 sampai 1:
200.000).
Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan, dan dapat melewati sawar darah otak.
Kadarnya dalam plasma fetus dapat mencapai 60% kadar dalam darah ibu. Di dalam hati,
lidokain mengalami deakilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (Mixed- Function
Oxidases) membentuk monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid. Kedua metabolit
monoetilglisin xilidid maupun glisin xilidid ternyata masih memiliki efek anestetik lokal.
Pada manusia 75% dari xilidid akan disekresi bersama urin dalam
membentuk metabolit akhir, 4 hidroksi-2-6 dimetil-anilin.
Efek samping lidokain biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap SSP, misalnya
mengantuk, pusing, parestesia, gangguan mental, koma, dan seizures. Mungkin sekali
metabolit lidokain yaitu monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid ikut berperan dalam
timbulnya efek samping ini.
Lidokain dosis berlebihan dapat menyebabkan kematian akibat fibrilasi ventrikel,
atau oleh henti jantung Lidokain sering digunakan secara suntikan untuk anesthesia
infiltrasi, blockade saraf, anesthesia epidural ataupun anesthesia selaput lender. Pada
anesthesia infitrasi biasanya digunakan larutan 0,25% - 0,50% dengan atau tanpa adrenalin.
Tanpa adrenalin dosis total tidak boleh melebihi 200mg dalam waktu 24 jam, dan dengan
adrenalin tidak boleh melebihi 500 mg untuk jangka waktu yang sama. Dalam bidang
kedokteran gigi, biasanya digunakan larutan 1 – 2 % dengan adrenalin; untuk anesthesia
infiltrasi dengan mula kerja 5 menit dan masa kerja kira-kira satu jam dibutuhkan dosis 0,5-
1,0 ml. untuk blockade saraf digunakan 1-2 ml.
Lidokain dapat pula digunakan untuk anesthesia permukaan. Untuk anesthesia
rongga mulut, kerongkongan dan saluran cerna bagian atas digunakan larutan 1-4% dengan
dosis maksimal 1 gram sehari dibagi dalam beberapa dosis. Pruritus di daerah anogenital
atau rasa sakit yang menyertai wasir dapat dihilangkan dengan supositoria atau bentuk
salep dan krem 5 %. Untuk anesthesia sebelum dilakukan tindakan sistoskopi atau
kateterisasi uretra digunakan lidokain gel 2 % dan selum dilakukan bronkoskopi atau
pemasangan pipa endotrakeal biasanya digunakan semprotan dengan kadar 2-4%. Lidokain
juga dapat menurunkan iritabilitas jantung, karena itu juga digunakan sebagai aritmia.
6
C. Mepivakain HCl2
Devirat amida dari xylidide ini cukup populer sejak diperkenalkan untuk tujuan
klinis pada akhir 1950-an. Anestetik lokal golongan amida ini sifat farmakologiknya mirip
lidokain. Mepivekain digunakan untuk anesthesia infiltrasi, blockade saraf regional dan
anesthesia spinal. sediaan untuk suntikan merupakan larutan 1,0; 1,5 dan 2%.
Kecepatan timbulnya efek, durasi aksi, potensi, dan toksisitasnya mirip dengan
lidokain. Mepivakain tidak mempunyai sifat alergenik terhadap agen anestesi lokal tipe
ester. Agen ini dipasarkan sebagai garam hidroklorida dan dapat digunakan untuk anestesi
infiltrasi atau regional namun kurang efektif bila digunakan untuk anestesi topikal.
Mepivakain dapat menimbulkan vasokonstriksi lebih ringan daripada lignokain tetapi
biasanya mepivacain digunakan dalam bentuk larutan dengan penambahan adrenalin 1:
80.000. maksimal 5 mg/kg berat tubuh. Satu buah cartridge biasanya sudah cukup untuk
anestesi infiltrasi atau regional.
Mepivakain kadang-kadang dipasarkan dalam bentuk larutan 3 % tanpa
penambahan vasokonstriktor, untuk medapat kedalaman dan durasi anestesi pada pasien
tertentu di mana pemakaian vasokonstriktor merupakan kontradiksi. Larutan seperti ini
dapat menimbulkan anestesi pulpa yang berlangsung antara 20-40 menit dan anestesi
jaringan lunak berdurasi 2-4 jam.
Obat ini jangan digunakan pada pasien yang alergi terhadap anestesi lokal tipe
amida, atau pasien yang menderita penyakit hati yang parah. Mepivakain lebih toksik
terhadap neonatus, dan karenanya tidak digunakan untuk anestesia obstetrik. Mungkin ini
ada hubungannya dengan pH darah neonates yang lebih rendah, yang menyebabkan ion
obat tersebut terperangkap, dan memperlambat metabolismenya. Pada orang dewasa,
indeks terapinya lebih tinggi daripada lidokain.
Mula kerjanya hampir sama dengan lidokain, tetapi lama kerjanya lebih panjang
sekitar 20%. Mepivakain tidak efektif sebagai anestetik topikal. Toksisitas mepivacain
serata dengan lignokain (lidokain) namun bila mepivacain dalam darah sudah mencapai
tingkat tertentu, akan terjadi eksitasi system saraf sentral bukan depresi, dan eksitasi ini
dapat berakhir berupa konvulsi dan depresi respirasi.
7
D. Prilokain2
Walaupun merupakan devirat toluidin, agen anestesi lokal tipe amida ini pada
dasarnya mempunyai formula kimiawi dan farmakologi yang mirip dengan lignokain dan
mepivakain. Anestetik lokal golongan amida ini efek farmakologiknya mirip lidokain,
tetapi mula kerja dan masa kerjanya lebih lama daripada lidokain. Prilokain juga
menimbulkan kantuk seperti lidokain. Sifat toksik yang unik ialah prilokain dapat
menimbulkan methemoglobinemia. Walaupun methemoglobinemia ini mudah diatasi
dengan pemberian biru-metilen intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB larutan 1 % dalam
waktu 5 menit; namun efek terapeutiknya hanya berlangsung sebentar, sebab biru metilen
sudah mengalami bersihan, sebelum semua methemoglobin sempat diubah menjadi Hb.
Anestetik ini digunakan untuk berbagai macam anestesia disuntikan dengan sediaan
berkadar 1,0; 2,0 dan 3,0%. Prilokain umumnya dipasarkan dalam bentuk garam
hidroklorida dengan nama dagang Citanest dan dapat digunakan untuk mendapat anestesi
infiltrasi dan regional. Namun prilokain biasanya tidak dapat digunakan untuk mendapat
efek anestesi topikal.Prilokain biasanya menimbulkan aksi yang lebih cepat daripada
lidokain namun anastesi yang ditimbulkannya tidaklah terlalu dalam. Prilokain juga kurang
mempunyai efek vasodilator bila dibanding dengan lidokain dan biasanya termetabolisme
dengan lebih cepat.
Obat ini kurang toksik dibandingkan dengan lignokain tetapi dosis total yang
dipergunakan sebaiknya tidak lebih dari 400 mg.Salah satu produk pemecahan prilokain
adalah ortotoluidin yang dapat menimbulkan metahaemoglobin. Metahaemoglobin yang
cukup besar hanya dapat terjadi bila dosis obat yang dipergunakan lebih dari 400 mg.
metahaemoglobin 1 % terjadi pada penggunaan dosis 400 mg, dan biasanya diperlukan
tingkatan metahaemoglobin lebih dari 20 % agar terjadi simtom seperti sianosis bibir dan
membrane mukosa atau kadang-kadang depresi respirasi. Karena pemakainan satu cartridge
saja sudah cukup untuk mendapat efek anestesi infiltrasi atau regional yang diinginkan, dan
karena setiap cartridge hanya mengandung 80 mg prilokain hidroklorida, maka resiko
terjadinya metahaemoglobin pada penggunaan prilokain untuk praktek klinis tentunya
sangat kecil.
8
Walaupun demikian, agen ini jangan digunakan untuk bayi, penderita
metaharmoglobinemia, penderita penyakit hati, hipoksia, anemia, penyakit ginjal atau gagal
jantung, atau penderita kelainan lain di mana masalah oksigenasi berdampak fatal, seperti
pada wanita hamil. Prilokain juga jangan dipergunakan pada pasien yangmempunyai
riwayat alergi terhadap agen anetesi tipe amida atau alergi paraben.Penambahan felypressin
(octapressin) dengan konsistensi 0,03 i.u/ml (=1:200.000) sebagai agen vasokonstriktor
akan dapat meningkatakan baik kedalam
maupun durasi anestesi. Larutan nestesi yang mengandung felypressin akan sangat
bermanfaat bagi pasien yang menderita penyakit kardio-vaskular.
E. Bupivakain (Markain)2
Struktur mirip dengan lidokain, kecuali gugus yang mengandung amin dan butyl
piperidin. Merupakan anestetik lokal yang mempunyai masa kerja yang panjang, dengan
efek blockade terhadap sensorik lebih besar daripada motorik. Karena efek ini bupivakain
lebih popular digunakan untuk memperpanjang analgesia selama persalinan dan masa
pascapembedahan. Suatu penelitian menunjukan bahwa bupivakain dapat mengurangi dosis
penggunaan morfin dalam mengontrol nyeri pada
pascapembedahan Caesar. Pada dosis efektif yang sebanding, bupivakain lebih kardiotoksik
daripada lidokain.
Lidokain dan bupivakain, keduanya menghambat saluran Na+ jantung (cardiac
Na+ channels) selama sistolik. Namun bupivakain terdisosiasi jauh lebih lambat daripada
lidokain selama diastolic, sehingga ada fraksi yang cukup besar tetap terhambat pada akhir
diastolik. Manifestasi klinik berupa aritma ventrikuler yang berat dan depresi miokard.
Keadaan ini dapat terjadi pada pemberian bupivakain dosis besar. Toksisitas jantung yang
disebabkan oleh bupivakain sulit diatasi dan bertambah berat dengan adanya asidosis,
hiperkarbia, dan hipoksemia. Ropivakain juga merupakan anestetik lokal yang mempunyai
masa kerja panjang, dengan toksisitas terhadap jantung lebih rendah daripada bupivakain
pada dosis efektif yang sebanding, namun sedikit kurang kuat dalam menimbulkan
anestesia dibandingkan bupivakain.Larutan bupivakain hidroklorida tersedia dalam
9
konsentrasi 0,25% untuk anestesia infiltrasi dan 0,5% untuk suntikan paravertebral. Tanpa
epinefrin, dosis maksimum untuk anesthesia infiltrasi adalah sekitar 2 mg/KgBB.
F. Naropin (Ropivakain HCl)2
Naropin injeksi mengandung ropivakain HCl, yaitu obat anestetik lokal golongan
amida. Naropin injeksi adalah larutan isotonik yang steril, mengandung bahan campuran
obat (etantiomer) yang murni yaitu Natrium Klorida (NaCl) agar menjadi larutan isotonik
dan aqua untuk injeksi. Natrium Hidroksida (NaOH) dan/ atau asam Hidroklorida (HCl)
dapat ditambahkan untuk meyesuaikan pHnya (keasamannya).
Naropin injeksi diberikan secara parentral. Nama kimia ropivakain HCl adalah
molekul S-(-)-1-propil-2,6-pipekoloksilida hidroklorida monohidrat. Zat bat berupa bubuk
kristal berwarn putih dengan rumus molekul C17H26N2O-R-HCl-H2O dan berat
molekulnya 328,89. Struktur molekulnya adalah sebagai berikut: Pada suhu 250C,
kelarutan ropivakain HCl dalam air adalah 53,8 mmg/mL dengan rasio distribusi antara n-
oktanol dan fosfat bufer pada pH 7,4 adalah 14:1 dan pKanya 8,07 dalam larutan KCl 1 M.
pKa ropivakain hampir sama dengan bupivakain (8,1) dan mendekati pKa mepivakain
(7,7), akan tetapi kelarutan ropivakain dalam lemak (lipid) berada diantar kelarutan
bupivakain dan mepivakain.Naropin injeksi tidak mengandung bahan pengawet dan
tersedia dalam bentuk sediaan dosis tunggal dengan konsentrasi masing-masing 2,0 mg/mL
(o,2%), 5,0 mg/mL (0,5%), 7,5 mg/mL (0,75%), dan 10 mg/mL (1,0%). Gravitas (berat)
larutan Naropin injeksi berkisar antara 1,002 sampai 1,005 pada suhu 24oC.
Efek samping ropivakain mirip dengan efek samping anastetik lokal kelompok
amida lainnya. Reaksi efek samping anastetik lokal kelompok amida terutama berkaitan
dengan kadarnyan dalam plasma yang berlebihan, yang dapat terjadi apabila melebihi
dosis, jarum suntik masuk ke dalam pembuluh darah tanpa sengaja atau jika metabolisme
obat tersebut dalam tubuh lambat. Kejadian tentang efek sampingnya telah dilaporkan
berdasarkan penelitian klinik yang telah dilakukan di amerika serikat dan negara-negara
lainnya. Obat yang dijadikan acuan biasanya adalah bupivakain. Penelitian tersebut
meggunakan bermacam-macam obat premedikasi, sedasi dan prosedur pembedahan.
Sebanyak 3988 pasien diberikan naropin dengan konsentrasi sampai 1 % dalam percobaan
10
klinik. Setiap pasien dihitung sekali untuk setiap jenis reaksi efek samping yang
dialaminya.
Efek samping akut yang Paling sering dijumpai dan memerlukan penanganan yang
cepat adalah efek sampingnya pada sistem saraf pusat (SSP) dan system kardiovaskuler.
Reaksi efek samping ini pada umumnya tergantung pada dosis dan disebabkan oleh kadar
obat dalam plasma yang tinggi yang bisa terjadi karena over dosis, absorbsi (penyerapan)
obat terlalu cepat dari tempat suntikan, rendahnya toleransi pasien terhadap obat, atau
apabila jarum suntik anastesi lokal masuk ke
dalam pembuluh darah.
Di samping toksisitas sistemiknya yang tergantung pada dosis, masuknya obat ke
dalam subaraknoid secara tidak sengaja ketika melakukan blok epidural melalui lumbal
(tulang punggung), atau ketika melakukan blok saraf di dekat kolumna vertebra (khususnya
di bagian kepala dan dibagian leher), dapat mengakibatkan depresi pernafasan dan apnea
(sesak nafas) total atau apnea sesuai tingkat saraf spinal yang mengontrol pernafasan. Juga
dapat terjadi hipotensi karena berkurangnya tonus (kekuatan) saraf simpati atau para lisis
respirasi (kelumpuhan otot-otot pernafasan) serta hipoventilasi karena obat anastetik
mencapai tingkatan saraf motorik di kepala. Keadaan ini dapat memicu henti jantung
apabila tidak ditangani dengan segera.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ikatan obat dengan protein plasma misanya
asidosis, penyakit sistemik yang dapat mengubah produksi protein dalam tubuh, atau
kompetensi dengan obat-obat lainnya untuk berikatan dengan protein, dapat menurunkan
toleransi (daya terima terhadap obat) seorang pasien. Pemberian naropin secara epidural
pada beberapa kasus seperti halnya pemberian obat-obat anastesi lainnya dapat
meningkatkan suhu tubuh secara mendadak diatas 38,5oC. ini paling sering terjadi apabila
dosis naropin diatas 16mg/jam.
Efek samping ini ditandai dengan kegelisahan dan depresi. Ketegangan, kecemasan,
pusing, telinga berdengung (tinitus), penglihatan kabur atau tremor (bergetar) dapat terjadi
dan bahkan dapat menimbulkan komvulsi (kejang otot). Akan tetapi, kegelisahan dapat
terjadi mendadak atau bisajuga tidak terjadi, dimana reaksi efek samping hanya berupa
depresi. Depresi ini bisa berlanjut menjadi rasa kantuk dan akhirnya kesadaran pasien
11
hilang dan terjadi henti nafas. Efek samping lainnya pada sistem saraf pusat adalah nausea
(mual), muntah menggigil, dan konstriksi pupil (pupil mata menyempit). Dosis tinggi atau
masuknya jarum suntik ke dalam pembuluh darah dapat menyebabkan kadar obat dalam
plasma meningkat sehingga mengakibatkan depresi otot jantung (jantung menjadi lemah),
darah yang dipompa jantung berkurang, hambatan konduksi saraf pada jantung, hipotensi,
bradikardi (denyut nadi kurang 60 kali/menit), aritmia ventrikular (denyut jantung tidak
berirama), yaitu takikardi ventrikel (denyut jantung diatas 100 kali/ menit) dan vibrilasi
atrium (jantung berdebar) dan bahkan henti jantung (oleh karena itu, perlu diperhatikan
catatan peringatan, pencegahan, dan overdosis pada label obat). Pada penggunaan naropin
injeksi, jarang terjadi reaksi alergi tetapi bisa saja terjadi jika pasien terlalu sensitif terhadap
obat anestesi lokal (perhatikan peringatan pada label obat). Reaksi efek samping alergi
ditandai dengan gejala-gejala berupa urtikaria (kulit bengkak merah), pruritus (gatal-gatal),
eritema (kulit merah-merah), udem angioneurotik (misalnya udem laring), takikardi, bersin-
bersin, mual, muntah, pusing, sinkop (pingsan), keringatan, badan panas dan bahkan reaksi
anafilaksis (termaksuk hipotensi berat). Sensistifitas silang antar obat anestesi lokal
kelompok amida pernah terjadi. Bupivacain Injeksi bupivacain HCl merupkan solusi
isotonic steril yang mengandung agen anastetik lokal dengan atau tanpa epinefrin 1:2000
dan diinjeksikan secara parenteral. Bupivacain PKA memiliki kemiripan dengan lidocain
dan memiliki derajat slubilitas lipid yang lebih besar. Bupivacain dihubungkan secara kimia
dan farmakologis dengan aastetik lokal amino acyl. Bupivacain merupakan homolog dari
mepivacain dan secara kimiawi dihubungkan dengan lidocain. Ketiga anastetik ini
mengandung rantai amida dan amino. Berbeda dengan anastetik lokal tipe procain yang
memiliki ikatan ester. Setiap 1 ml larutan isotonik steril mengandung bupivacain
hidroklorida dan 0.005 mg epinefrin, dengan 0.5 mg sodium metabisulfite sebagai anti
oksidan dan 0.2 mg asam sitrat sebagai stabilisasi.
G. Duranest ( Etidokain)2
Duranest (etidocaine HCl) indikasi pemberian suntikan untuk anasesi infiltrasi,
perpheral nerve blok (pada Brachial Plexus, intercostals, retrobulbar, ulnar dan inferior
alveolar) dan pusat neural blok (Lumbat atau Caudal epidural blok). Dengan semua anastesi
12
lokal, dosis dari Duranest (Etidocaine HCl) pemberian suntikan dengan memkai daerah
depend upon untuk pemberian anastetiknya, Pembuluh darahnya halus, nomor dari bagian
neuronal menjadi terhalang, tipe dari anastetik adalah regional, dan kondisi badan dai
seorang pasien.
Dosis maksimum dengan memakai 1 suntikan ditentukan pada dasar dari status
pasien, dengan menjalankan tipe anastetik regional meskipun 1 suntikan 450 mg yang
dipakai untuk anastetik regional tanpa menimbulkan efek. Pada waktu sekarang salah bila
menerima bentuk dosis maksimum dari 1 suntikan tidak melampaui 400 mg
( approximately 8,0 mg/kg atau 3,6 mg/lb dibawah 50 kg berat badan seseorang) dengan
epenefrin 1:200,000 dan 1:300,000 ( approximately 6 mg/kg atau 2.7 mg/lb dibawah 50 kg
berat badan seseorang) tanpa epinefrin. Tindakan pencegahan bertentangan, kadang-kadang
pengalaman kurang baik sehingga tidak sengaja mengikuti penembusan pada daerah
Subarachnoid. Dosis percobaan 2-5 ml memberi bentuk obat sampai 5 menit pertama, total
volume suntikan pada Lumbar atau Caudal Epidural blok, bentuk dosis percobaan diberikan
berulang-ulang jika pasien bergerak seperti biasa bahwa catheter boleh dipindahkan.
Epinefrin jika berisi dosis percobaan (10-15 mg) boleh membantun pada penembusan
suntikan intra vaskular. Jika suntikan mengenai Blood Vessel, berjalanya epinefrin untuk
menghasilkan “Respon Epinefrin” dalam 45 menit terdiri dari bertambahnya tekanan darah
sistolik heart rate. Circumolar pallor, palpitis pada seorang pasien. Ketika pemberian
anastetik lokal pada bidang kedokteran gigi, dosis Duranest (Etidocaine Hcl) pemberiannya
pada saat pasien masih sadar pemberian anastetiknya pada bagian oral cavity,
vaskularisasinya pada oral tissue, volume efektif pada anastesi lokal harus benar-benar
tepat. Pada oral cavity pemberian anastesi lokal dan teknik serta prosedurnya harus spesifik.
Bentuk keperluan dosis determinan pada individu dasar, pada maxilla, inferior alveolar,
nervus blok dosisnya 1,0-50 mL dan pemberian Duranest 1.5% sedangkan dengan epinefrin
1:200,000 biasanya sangat efektif.
Manisfestasi kardiovakular biasanya menekan pada karakteristik oleh bradikardi,
pembuluh darah kolaps, dan berbagai macam penyakit cardiac, reaksi alergi merupakan
karakteristik dari lesi cutaneus, urticaria, edema atau reaksi anapilaktik. Reaksi aleri bleh
terjadi dari akibat sensitive dari anastesi lokal, untuk methylparaben pada obat dengan
13
berbagai macam dosis obat, mengetahui sensifitas pada kulit jika disentuh dan biasanya
double harganya.
RINGKASAN
Anestesi lokal adalah hilangnya sensasi pada bagian tubuh tertentu tanpa kehilangan
kesadaran atau kerusakan fungsi kontrol saraf pusat dan bersifat sementara. Obat anestesi
lokal pertama yang ditemukan pada tahun 1860 oleh Albert Neimann adalah kokain.
Obat anestesi lokal diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu golongan amida
dan ester. Golongan ester dihidrolisis dalam plasma dan hepar oleh enzim kolinesterase dan
diekskresikan melalui ginjal, sedangkan golongan amida dihidrolisis oleh enzim mikrosom
hepar dan diekskresikan melalui ginjal.
Mekanisme kerja obat anestesi lokal adalah melalui hambatan hantaran dan
konduksi impuls saraf. Obat anestesi lokal menghambat kanal natrium dan mencegah
depolarisasi membran sel. Terdapat dua teori tentang cara kerja obat pelali lokal dalam
menghambat kanal natrium, yaitu pertama bekerja melalui reseptor spesifik, dan kedua
terjadi akibat penyempitan kanal natrium.
Efek samping obat anestesi lokal dapat mempengaruhi beberapa organ, misalnya
sistem saraf pusat, kardiovaskuler, otot polos, dan neuromuscular junction, selain dapat
menyebabkan reaksi hipersentivitas dan refleks vasovagal. Teknik anestesi lokal yang
sering digunakan adalah teknik infiltrasi.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Catterall W, Mackie K. Lokal Anesthetics. Dalam: Goodman & Gilman`s, editor
The Pharmacological Basis of Therapeutics. Edisi ke-9. Milan: Mc Graw-Hill;
2001.h.367-79.
2. Hruza GJ. Anesthesia. Dalam: Bolognia J, Jorizzo JL, Rapini RP, editor.
Dermatology. Toronto: Mosby;2003.h.2233-9.
3. Mardjono M, Sidharta P. Susunan Somestesia. Dalam: Neurologi Klinis Dasar.
Edisi ke-6. Jakarta: Dian Rakyat;1997:h.70-7.
4. Matarasso SL, Glogau RG. Lokal Anesthesia. Dalam: Lask GP, Moy RL, editor.
Principles and Techniques of Cutaneous Surgery. Singapore: Mc Graw-
Hill;1996.h.63-74.
5. Gmyrek R, Ratner D, Butler DF, Albertini JG, Quirk C, Elston DM. Local
Anesthesia and Regional Nerve Block Anesthesia. February 24, 2005. URL
http://www.emedicine.com/emerg/topic383.htm
6. Robinson JK, Hruza GJ. Dermatologic Surgery: Introduction and Approach. Dalam:
Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editor.
Fitzpatrick`s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-
Hill;2003.h.2517-20.
7. Sherwood E, Williams CG, Prough DS. Anesthesiology Principles, Pain
Management, and Conscious Sedation. Dalam: Townsend CM, Beauchamp RD,
Evers BM, Mattox KL. Sabiston Textbook of Surgery. Edisi ke-17. Philadelpia:
Saunders;2004.h.429-30.
8. Whiteside JB, Wildsmith JAW. Lokal Anaesthetics. July 2000. URL
http://www.rcoa.ac.uk/docs/B2 Primary.pdf
9. Skinner IJ. Lokal Anaesthetics and their uses. Dalam: Basic Surgical Skill Manual.
Hong Kong: Mc Graw-Hill;2000.h.171-84.
10. Lawrence CM, Walker NPJ, Telfer NR. Dermatological Surgery. Dalam: Burns T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editor. Rook`s Textbook of Dermatology. Edisi
ke-7. Chambridge : Blackwell Science Ltd;2004.h.78.1-78.10.
15
11. Albom MJ. Cutaneous Surgery, Including Mohs Surgery. Dalam: Moschella SL,
Hurley HJ. Dermatology. Edisi ke-3. Tokyo: W.B. Saunders Company;
1992.h.2314-8.
12. Usatine RP, Moy RL. Anesthesia. Dalam: Usatine RP, Moy RL, Tobinick EL,
Siegel DM. Skin Surgery a Practical Guide. London: Mosby;1998.h.20-30.
13. Schultz BC, McKinney P. Anesthesia. Dalam: Office Practice of Skin Surgery.
Sydney:W.B. Saunders Company;1985.h.15-22.
14. Chiarello SE. Tumesent Infiltration of Corticosteroid, Lidocaine, and Epinephrine
Into Dermatomes of acute Herpetic Pain or Postherpetic Neuralgia. Arch Dermatol.
1998; 134: 279-81.
16