anavina fuka bipolo suatu tinjauan kritis dari prespektif...

40
BAB III Hasil Penelitian Peran Dan Kedudukan Perempuan Buru Dalam Masyarakat Dan Gereja Di Buru Selatan “...andaikata aku jatuh di tengah-tengah perjalananku, aku akan mati bahagia, sebab bagaimanapun jalannya telah terbuka, dan aku telah ikut membantu membuka jalan itu suatu jalan bagi kemerdekaan dan kebebasan Perempuan....____R.A Kartini___ 3.1. Pengantar Secara umum, perempuan (anavina) merupakan bagian integral dari seluruh masyarakat di Buru Selatan. Sebagai bagian real masyarakat, perempuan haruslah dipandang sama dan sederajat dengan laki-laki. Dalam kaitan itu maka berbagai peran dan kedudukan yang dilakukan dan dimiliki oleh laki-laki, semestinya juga dapat dijalani oleh perempuan. Kenyataannya dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan, perempuan justru tidak diberikan kebebasan untuk melakukan berbagai peran yang mereka inginkan dan yang sesuai dengan ketrampilan diri mereka. Selain itu, kedudukan mereka juga sangat kecil dalam struktur masyarakat di Buru Selatan. Peran dan kedudukan yang rendah dari perempuan ini, ter-implementasi dalam berbagai tradisi dan adat istiadat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan. Berbagai praktek hidup masyarakat memperlihatkan adanya diskriminasi dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Meskipun begitu, harus diakui bahwa perempuan- perempuan di Buru Selatan sama sekali tidak mempersoalkan berbagai tradisi dan praktek budaya tersebut. Mereka justru terlihat nyaman dan menikmati kehidupan seperti itu. Bagi mereka, ini adalah kodrat kehidupan yang harus mereka terima dan jalani dengan sepenuh hati. Fenomena ini menjadi hal yang menarik untuk diteliti, dengan melihat bagaimana peran dan kedudukan perempuan dalam realitas sosial budaya masyarakat di Buru Selatan.

Upload: dodang

Post on 03-Mar-2019

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

BAB III

Hasil Penelitian

Peran Dan Kedudukan Perempuan Buru Dalam Masyarakat Dan Gereja

Di Buru Selatan

“...andaikata aku jatuh di tengah-tengah perjalananku, aku akan mati bahagia,

sebab bagaimanapun jalannya telah terbuka, dan aku telah ikut membantu membuka jalan itu

suatu jalan bagi kemerdekaan dan kebebasan Perempuan....” ____R.A Kartini___

3.1. Pengantar

Secara umum, perempuan (anavina) merupakan bagian integral dari seluruh

masyarakat di Buru Selatan. Sebagai bagian real masyarakat, perempuan haruslah dipandang

sama dan sederajat dengan laki-laki. Dalam kaitan itu maka berbagai peran dan kedudukan

yang dilakukan dan dimiliki oleh laki-laki, semestinya juga dapat dijalani oleh perempuan.

Kenyataannya dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan, perempuan justru tidak

diberikan kebebasan untuk melakukan berbagai peran yang mereka inginkan dan yang sesuai

dengan ketrampilan diri mereka. Selain itu, kedudukan mereka juga sangat kecil dalam

struktur masyarakat di Buru Selatan.

Peran dan kedudukan yang rendah dari perempuan ini, ter-implementasi dalam

berbagai tradisi dan adat istiadat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat di Buru

Selatan. Berbagai praktek hidup masyarakat memperlihatkan adanya diskriminasi dan

ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Meskipun begitu, harus diakui bahwa perempuan-

perempuan di Buru Selatan sama sekali tidak mempersoalkan berbagai tradisi dan praktek

budaya tersebut. Mereka justru terlihat nyaman dan menikmati kehidupan seperti itu. Bagi

mereka, ini adalah kodrat kehidupan yang harus mereka terima dan jalani dengan sepenuh

hati. Fenomena ini menjadi hal yang menarik untuk diteliti, dengan melihat bagaimana peran

dan kedudukan perempuan dalam realitas sosial budaya masyarakat di Buru Selatan.

Page 2: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

Dengan demikian maka, pada bab ini penulis akan menguraikan hasil-hasil penelitian

yang telah dilakukan. Berdasarkan data yang terhimpun, maka pembahasan akan difokuskan

kepada beberapa hal penting, diantaranya adalah: pertama peran dan kedudukan perempuan

dalam masyarakat di Buru Selatan; kedua peran dan kedudukan perempuan dalam gereja di

Buru selatan; serta ketiga kondisi sosial budaya dengan berbagai praktek adat istidat yang

terjadi dalam kehidupan masyarakat dan gereja di Buru Selatan. Sebelum itu, akan diuraikan

terlebih dulu gambaran Pulau Buru (termasuk pemerintah dan klasis GPM di Buru Selatan)

secara umum.

3.2. Gambaran Umum Pulau Buru.

Pulau Buru adalah salah satu wilayah di Propinsi Maluku yang lebih dikenal dengan

sebutan Fuka Bipolo. Pulau Buru sendiri merupakan salah satu pulau besar selain pulau

Seram dalam wilayah teritorial Propinsi Maluku. Sampai saat ini, Pulau Buru telah

dimekarkan ke dalam 2 Kabupaten, yakni Kab. Buru Utara dan Kab. Buru Selatan.

Gambar 3.1.76

Peta Pulau Buru

3.2.1. Keadaan Alam.

76

Data dari Badan Statistik Propinsi Maluku.

Page 3: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

Pulau Buru atau (Fuka Bipolo) terletak di antara 126-127⁰ BT dan 3-4⁰ LS. Jarak dari

timur ke barat ± 140 km dan dari utara ke selatan ± 90 km. Pulau Buru dibatasi oleh beberapa

laut, sebelah barat dan selatan dibatasi oleh laut Banda, sebelah utara dibatasi oleh laut

Maluku, sebelah timur dibatasi oleh laut Seram.77

Pulau Buru memiliki beberapa buah teluk

yang ikut memberi bentuk bagi pulau ini, yaitu teluk Kayeli dan teluk Bara. Pulau Buru juga

memiliki sebuah danau yang terletak di tengah-tengah Pulau (pusat pulau) yaitu danau Rana,

yang luasnya sekitar 10 Km². Pulau ini dialiri juga oleh beberapa wae78

besar diantaranya

Waeapo, Waenibe, Waepoti yang mengalir di bagian utara; Waemala, Waetina dan Waekuma

yang mengaliri bagian selatan. Terdapat juga tiga buah kaku79

yang tinggi yakni Kapalamada

(2.735m), Date (Tomahu) dan Batabual.

Dataran Pulau Buru dibentuk oleh daerah-daerah dataran rendah maupun daerah-

daerah dataran tinggi dan bukit-bukit. Daratan Pulau Buru ditumbuhi oleh berbagai jenis

pohon, seperti meranti, dammar, kayu besi dan kayu putih. Jenis-jenis kayu ini tumbuh dan

menyebar di pedalaman Buru. Berbagai jenis tanaman yang diusahakan masyarakat untuk

memenuhi kebutuhan tiap-tiap hari antara lain: sayur-sayuran, umbi-umbian, pala80

, feten81

,

kacang-kacangan, sagu dan bawang merah. Tanaman-tanaman yang memiliki nilai ekonomis

tinggi seperti pala, kopi, cokelat, cengkeh, duren dan kelapa, terdapat di seluruh Pulau Buru.

Selain itu ada juga kentang, wortel, tomat dan cabe yang tumbuh subur di daerah

pegunungan (pedalaman) Pulau Buru. Berbagai jenis unggas dan hewan juga hidup di dataran

77

Mus Huliselan, Ely Rumahlewang & M. Isa Odar, Laporan Penelitian Orang-orang Bumi Lale dan

Dunianya: Organisasi Sosial, Pertukaran dan Perubahan Sosial di sentral Pulau Buru, Maluku-Indonesia

(Ambon: 1998), 44. 78

Wae adalah bahasa asli masyarakat Bipolo yang berarti sungai. 79

Kaku adalah bahasa asli masyarakat Buru yang berarti gunung. 80

Pala berarti Padi-padian, Pala yang dimaksudkan dalam tulisan ini sama sekali tidak mengarah ke

tanaman Pala, yang merupakan salah satu jenis tanaman rempah-rempah di Indonesia. 81

Feten sebutan untuk tanaman hotong. Hotong adalah salah satu jenis tanaman serat asli di Pulau

Buru. Bentuknya kecil seperti gandum dan memiliki rasa yang sangat enak. Tanaman ini, merupakan sejenis

padi, lebih mirip alang-alang yang tumbuh di dataran rendah sampai dengan dataran tinggi pada semua jenis

lahan. Tanaman hotong merupakan tanaman pangan alternatif pengganti beras yang dapat tumbuh dengan baik

di lahan-lahan kering dan marjinal di seluruh Pulau Buru. Oleh masyarakat setempat tanaman ini sering diolah

menjadi waji, kue tar dll

Page 4: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

Pulau Buru diantaranya ayam, bebek, anjing, babi, rusa, babi hutan dan buaya. Ada juga

Burung kakatua, perkutut, merpati, maleo dan elang yang hidup di alam pulau Buru. Selain

itu, ada juga berbagai jenis ikan baik ikan air laut maupun ikan air tawar yang hidup di

lautan, sungai-sungai dan danau di pulau Buru. Semua kekayaan alam ini digunakan oleh

masyarakat untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Kondisi iklim (musim) yang terdiri dari musim panas dan hujan turut mempengaruhi

aktivitas tradisional masyarakat. Dua musim ini oleh masyarakat Buru dikenal dengan

sebutan ful.timo (musim timur) yang terjadi mulai dari bulan Februari – Agustus, dan

ful.fahat (musim barat) yang terjadi dari bulan agustus – februari.82

Pada musim barat,

masyarakat biasanya melakukan aktivitas bercocok tanam atau berkebun (membersihkan

hutan, membakar dan menanam), ada juga yang ke laut untuk menangkap ikan dan

mengambil rumput laut sedangkan pada musim timur aktivitas masyarakat adalah memanen

hasil kebun dan masuk hutan untuk berburu.

Adapun penduduk yang mendiami pulau Buru baik di Buru bagian Utara maupun

Buru bagian Selatan, terdiri dari berbagai etnis dan suku. Selain penduduk asli pulau Buru

(orang Buru asli), ada juga kaum pendatang seperti orang Timor, Buton, Bugis, orang Lease

dan Seram (Maluku Tengah), orang-orang dari Maluku Tenggara (kebanyakan orang Kei),

etnis Tionghoa dan Jawa. Mereka semua hidup membaur menjadi satu, terutama di daerah-

daerah pesisir pantai dan di ibukota kabupaten/kecamatan. Sementara di daerah-daerah

pegunungan 99% penduduknya adalah orang Buru asli.

3.2.2. Sistem Pemerintahan.

Kesatuan hidup (kesatuan sosial) masyarakat di pulau Buru pada awalnya, dibagi

dalam dua wilayah besar yakni Fena Masarete dan Fena Lisela. Fena Masarete berada di

wilayah Buru bagian selatan sedangkan Fena Lisela berada wialayah Buru bagian Utara, dan

82

Barbara Dix Grimes, The Pursuit of Prosperity and Blessing Social Life and Symbolic Action on

Buru Island, Eastern Indonesia (Canberra: The Australian National University, 1993), 61.

Page 5: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

sekaligus merupakan bagian dalam kekuasaan adat masyarakat Buru. Pada saat Portugis

masuk di Buru, kesatuan hidup masyarakat ini kemudian dibagi ke dalam tiga daerah

kekuasaan adat yakni Masarete, Lisela dan Kayeli. Pada zaman pemerintahan kolonial

Belanda, ketiga daerah ini kemudian berkembang menjadi duabelas Regenschap83

yang

dikuasai oleh duabelas Raja Patih yaitu: Kayeli, Liliali, Tagalisa, Lisela, Hukumina,

Polumata, Waesama, Lumiati, Masarete, Fogi, Malulat dan Ambalau. Belanda kemudian

menghapus lagi beberapa Raja Patih dan menyisakan hanya delapan Regenschap, yakni

empat di bagian utara (Lisela, Tagalisa, Liliali dan Kayeli) dan empat di bagian selatan

(Waesama, Masarete, Fogi dan Ambalau).84

Setelah kemerdekaan Indonesia, maka dalam perkembangan selanjutnya pulau Buru

dimasukkan dalam wilayah Pemerintah daerah tingkat I propinsi Maluku, daerah tingkat II

kabupaten Maluku Tengah. Pada saat itu, pulau Buru dibagi menjadi tiga kecamatan yakni

kecamatan Buru Utara Barat yang berpusat di Air Buaya, Buru Utara Timur yang berpusat di

Namlea dan Buru Selatan yang berpusat di Leksula. Tahun 1999 pulau Buru dimekarkan

menjadi kabupaten sendiri yakni kabupaten Buru yang berpusat di Namlea dengan sepuluh

kecamatan yaitu:

1. Kecamatan Kapala Mada yang berpusat di Biloro.

2. Kecamatan Leksula berpusat di Leksula

3. Kecamatan Namrole berpusta di namrole

4. Kecamatan Waesama berpusat di Wamsisi

5. Kecamatan Ambalau berpusat di Waelua

83

Regenschap adalah istilah bahasa belanda yang menunjukkan kepada pembagian-pembagian wilayah

kesatuan (dalam kekuasaan Belanda), yang dipimpin oleh seorang raja patih pilihan Belanda. 84

Grimes, The Pursuit of Prosperity and Blessing, 43. Lihat juga J.B.J Van Doren, Boeroe en Manipa

Aanteekingeng en Geschiedkundige (Amsterdam: Fieten Verzameld door), 10.

Page 6: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

6. Kecamatan Batabual berpusat di Ilat

7. Kecamatan Wayapo berpusta di Mako

8. Kecamatan Namlea berpusat di Namlea

9. Kecamatan Waplau berpusat di Waplau

10. Kecamatan Air Buaya berpusat di Air Buaya.

Gambar 3.2.85

Pemetaan Wilayah Kabupaten dan Kecamatan di Pulau Buru.

Pada tanggal 9 September 2008, wilayah Pulau Buru bagian selatan dimekarkan

menjadi kabupaten Buru Selatan, dengan lima kecamatan yaitu kecamatan Kapala Madan

dengan ibukota Biloro, kecamatan Leksula dengan ibukota Leksula, kecamatan Namrole

dengan ibukota Namrole, kecamatan Waesama dengan ibukota Wamsisi, dan kecamatan

Ambalau dengan ibukota Wailua. Jumlah penduduk ± 73.666, yang terdiri dari 37.871 laki-

laki dan 35.795 perempuan.86

Dengan demikian maka, saat ini pulau Buru telah terbagi

menjadi dua wilayah kabupaten yakni kabupaten Buru Utara dan kabupaten Buru Selatan.

85

Data Statistik Kabupaten Buru Selatan. 86

Sumber: BPS Maluku dan Dinas Capil Kependudukan Buru Selatan

Page 7: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

Pulau Buru juga dikenal seperti kebanyakan daerah di propinsi Maluku sebagai

daerah adat yang memiliki sistem pemerintahan adat sendiri, yang berbeda secara

institusional dengan pemerintah daerah teritorial seperti kabupaten atau kecamatan.

Pemerintahan adat di Pulau Buru, pada awalnya (sebelum adanya pengaruh kekuasaan-

kekuasaan dari luar yang membawa berbagai perubahan di daerah pesisir sampai ke

pedalaman) memperlihatan kesamaan baik di Masarete maupun Lisela. Wilayah Lisela dan

Masarete masing-masing dipimpin oleh dua orang Matgugul.87

Wilayah Lisela dipimpin oleh

Mat Gugul Nalbesi yang berkedudukan di bagian barat Rana dan Mat Gugul Waekolo di

bagian Timur. Wilayah Masarete dipimpin oleh Mat Gugul Mual dan Mat Gugul Masbait.

Setiap Mat Gugul membawahi empat Soa yang dipimpin oleh seorang Mat Lea.88

Setiap Soa

sendiri membawahi beberapa mata rumah yang oleh masyarakat di Buru dikenal dengan

sebutan Humlolin.

Tabel 3.1.

Stratifikasi Sistem Pemerintahan Adat di Buru.89

87

Mat.Gugul berasal dari kata Mat yang berarti Raja, Tuan atau Penguasa. Gugul berarti tanah. Jadi

Mat.Gugul berarti raja tanah atau tuan tanah. 88

Huliselan, Rumahlewang & Odar, Laporan Penelitian Orang-orang Bumi Lale dan Dunianya, 44. 89

Startifikasi sistem pemerintah adat yang digambarkan dalam tabel adalah stratifikasi yang hanya

berkaitan dengan kepala adat (raja adat) yang membawahi suku (fena), soa dan mata rumah. Tidak mencakup

badan pemerintahan adat secara menyeluruh.

Mat Gugul

Mat Lea Noro

Fena

Page 8: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

Penjabaran tugas dan tanggung jawab dari pemerintah adat di pulau Buru adalah

sebagai berikut :

a) Mat Gugul

Mat Gugul disebut juga raja tanah. Mat Gugul merupakan jabatan tertinggi dalam

masyarakat di Pulau Buru, yang bertugas untuk memutuskan perkara-perkara dalam

masyarakat, mengatur dan menata keseimbangan antara manusia dengan Tuhan dan

lingkungan, memimpin upacara-upacara keagamaan serta melakukan persembahan

kepada leluhur.

b) Hinolong

Hinolong disebut juga pembuka pintu atau penjaga pintu, yang bertugas mendampingi

raja berhubungan dengan masyarakat dan orang luar. Hinolong terdiri dari dua bagian

yakni Hinolong Lea Keha (penjaga matahari terbit) dan Hinolong Lea Sebo (penjaga

matahari terbenam).

c) Portelu

Jabatan ini adalah jabatan kerohanian. Portelu biasanya juga memimpin upacara

keagaman. Tugasnya adalah mengatur pelanggaran-pelanggaran adat, mengatur

masalah-masalah tanah, pemeliharan hutan serta melaksanakan kegiatan ritual.

d) Matlea

Jabatan ini adalah jabatan tertinggi di dalam Noro (Soa) yang bertanggung jawab

penuh atas Noro. Matlea di sebut juga kepala soa, yang tugasnya tidak jauh berbeda

dengan Mat Gugul tetapi hanya pada tingkat Noro.

e) Kawasan

Kawasan Humlolin

Page 9: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

Jabatan ini adalah jabatan yang bertugas untuk mengkoordinir satu pemukiman

tertentu (mata rumah) dari satu noro/soa tertentu. Kawasan mengatur tata tertib dalam

wilayah mata rumah tersebut, sesuai adat dan menangani masalah-masalah yang

terjadi didalamnya.

f) Porwisi

Jabatan ini adalah jabatan kerohanian sama dengan Portelu. Namun Porwisi hanya

pada tingkat Noro/soa.

g) Emrimu

Emrimu bertugas menyampaikan pemerintahan pada masing-masing jenjang. Mat

Gugul kepada Matlea, Matlea kepada Kawasan dan selanjutkan bagi masyarakat.

Emrimu adalah penghubung antara atasan dan bawahan.

Dalam sistem pemerintahan adat di Buru, terlihat adanya pembagian tugas dan

pengorganisasian kerja yang sangat jelas. Tiap-tiap pemimpin mengurusi tugas-tugas pada

jenjangnya masing-masing (Fena, Noro dan Humlolin).

Tabel 3.2.

Pembagian Tugas/Kerja Pemerintah Adat

Sesuai dengan tingkatan masing-masing.

Page 10: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

Pada tingkat Fena

Mat Gugul

Pemerintahan

Hinolong Penjaga

Pintu

Portelu Agama

Emrimu Penghubung

Pada tingkat Noro

Matlea

Pemerintahan

Porwisi Agama

Emrimu Penghubung

Pada tingkat Humlolin

Kawasan Koordinator

Emrimu Penghubung

3.2.3. Kehidupan Sosial dan Klasifikasi Masyarakat.

Masyarakat Buru sebagai sebuah kesatuan masyarakat yang hidup dan berkembang,

terbentuk dari sejumlah Noro/Fena. Noro adalah kesatuan masyarakat yang terdiri dari

beberapa mata rumah (Humlolin), yang juga terdiri dari beberapa rumah tangga (Huma

Kemat).

Gambar 3.3.

Page 11: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

Foto penulis bersama Matlea Noro Mual dan Kawasan Gebhain

di lokasi penelitian Desa Wahaolon

Komentar penulis: Kedua pemimpin adat dalam masyarakat di desa Wahaolon ini sekaligus

merepresentasi para pemimpin adat di pulau Buru yang ikut terlibat

dalam menata dan mengatur kehidupan sosial masyarkaat termasuk

didalamnya pembagian peran dan kedudukan antara laki-laki dan

perempuan. Bagi masyarakat Buru khususnya masyarakat di Wahaolon,

pemimpin adat merupakan pemimpin masyarakat.

Noro dipimpin oleh seorang Matlea. Noro bagi masyarakat Buru merupakan identitas

dan ideologi yang menunjukkan adanya keistimewaan identitas pribadi atau kelompok. Setiap

Noro di Buru memiliki sejarahnya tersendiri yang unik. Keistimewaan dan keunikan itu

merupakan sebuah konfigurasi antara ide, mitos dan simbol yang menciptakan ideologi bagi

masyarakat di masing-masing Noro, lengkap dengan berbagai tindakan sakral yang

berkembang dan mengatur kehidupan masyarakat dalam Noro tersebut.

Masyarakat Buru di setiap Noro memiliki 2 nama yakni nama luar dan nama dalam.

Nama luar lebih dikenal dengan sebutan marga (yang dimiliki oleh semua orang dari bagian

Page 12: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

timur Indonesia) sedangkan nama dalam adalah nama adat. Berikut ini, daftar nama adat

dalam masyarakat Buru :90

Tabel.3.3.

Nama luar (Marga) dan nama dalam (Noro) orang Buru.

Marga Noro Marga Noro

Batuwael/Titawael

Batbual

Belen

Besan

Behuku/Hukunala

Biloro

Latbual

Latuwael

Latuhukum

Lehelima

Lesbassa

Lesbata

Leskona

Lesnussa

Leslessy

Liligoly – Tomhisa

Natjikit

WAKIBO

BATBUAL

EKDAFA

BAMAN

GEWAGIT

HANGWASI

WAELUA

WANHEDAN

KAKHANGA

WAILY

GEBRIHI

WAENU

MAKTITA

MASBAIT

WADUPA

NALBESSI

MIGODO

Nurlatu

Nustelu

Salasiwa

Seleky

Selsily

Sigmarlatu

Solissa

Talessy

Tasane

Tasidjawa

Tomahu

Tomnussa

Wael

Wamese

Wamnebo

Warhangan

WAETEMUN

MARMAHU/WALPANGAT

TIFU

GEBHAIN

GEBHUA

TESLATU – WALUSU

MUAL

……........................ 91

WAGIDA

FNABO

SAMARMAHU

REBUT

WAHIDI

WAKOLO

SEGET

KAKFAFA

Dalam interaksi sosial sehari-hari, ada klasifikasi masyarakat yang didasarkan pada

tempat tinggal orang Buru. Masyarakat yang mendiami daerah pegunungan disebut orang

gunung atau Geba Fuka, yang sering disebut juga sebagai orang belakang, yang

90

Marga-marga ini disusun menurut abjad, bukan menurut marga yang paling besar – kecil atau marga

yang pertama – terakhir mendiami Pulau Buru (Eddy Hukunala, Sepintas kilas tentang kepunahan pendudukan

dan suku-suku terasing di Pulau Buru, Ambon, 1995. Tidak diterbitkan) 91

Nama noro dari marga Talessy ada akan tetapi karena faktor usia narasumber sudah tidak

mengingatnya lagi.

Page 13: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

menunjukkan kepada lokasi pemukiman mereka yang jauh dari pesisir pantai. Sementara

masyarakat yang mendiami daerah pesisir disebut orang pante (Geba Masi).92

Kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami daerah pegunungan (terutama di

pedalaman Buru) masih memiliki sifat-sifat asli bahkan masih menganut agama/kepercayaan

asli orang Buru dengan segala ritus-ritusnya. Mereka sering menyebut diri sebagai Geba

Emlia. Geba Emlia sebenarnya merupakan sebutan terhadap masyarakat asli pulau Buru yang

berbeda dengan masyarakat Buru yang lain, yang bertempat tinggal di daerah di pesisir

pantai, atau yang tidak lagi menganut adat istiadat asli masyarakat Buru.93

Umumnya mereka

merupakan masyarakat di sekitar danau Rana94

dan gunung Date.

3.2.4. Sistem Kekerabatan Masyarakat Buru.

Sistem kekerabatan masyarakat di pulau Buru tersosialisasi dalam banyak bentuk

hubungan kekerabatan yang menjadi simbol budaya bagi masyarakat. Salah satu bentuk

hubungan kekerabatan itu adalah hubungan kai-wai atau kakak-wait. Kai berarti kaka dan

wai berarti adik, jadi kai-wait adalah kakak-adik. Setiap Noro di Buru terikat dalam

hubungan kekerabatan ini. Sebutan-sebutan seperti “kae to yako kai-wai” yang berarti kamu

dan aku bersaudara (kakak-adik); atau “kita rua kai-wai” yang berarti kita berdua bersaudara,

merupakan indikasi bahwa semua Noro yang ada di Buru adalah kaka wait. Ungkapan kaka-

wait merupakan suatu upaya untuk mengatasi primodialisme yang mengagungkan masing-

masing Noro sebagai yang paling benar, paling tinggi, paling berkuasa dan superior. Konsep

92

Orang pante adalah sebutan kepada warga masyarakat yang berdomisili di daerah pesisir pantai dan

sekitarnya. 93

Masyarakat Buru di daerah pesisir pantai, secara umum sudah mengalami banyak perubahan bari

dari segi berpikir maupun berbudaya. Mereka masih menganut adat istiadat Buru tetapi telah diasimilasi dengan

arus globalisasi dan kehidupan modern sehingga adat istiadat yang asli Buru tidak lagi ada dalam kehidupan

masyarakat Buru di pesisir pantai. Adat istiadat yang masih berkembang di masyarakat Buru di pesisir pantai

antara lain: adat perkawinan (telah mengalami perubahan terutama dalam harta kawin), gotong royong, dan

hubungan kekerabatan dalam keluarga. 94

Danau Rana adalah danau terbesar di Pulau Buru, yang berada tepat di tengah-tengah Pulau Buru dan

merupakan pusat dari Pulau Buru. Di sekitar daerah danau Rana terdapat sekitar 7 buah desa yang masih hidup

dalam adat istiadat asli orang Buru. Dua desa diantaranya bahkan masih menganut agama asli (agama suku)

Orang Buru.

Page 14: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

kaka-wait sekaligus menentang ambisi atau kepentingan sekelompok orang (Noro tertentu)

yang dapat mengorbankan orang lain (Noro lain) dan merusak tatanan hidup bersama

masyarakat di Buru

Hubungan kekerabatan lain dalam keluarga terlihat ketika ana menggiwa (anak

sulung) sering menjadi nama bagi kedua orang tua, menggantikan nama panggilan asli orang

tua. Misalnya anak sulung bernama Nona sementara ibunya bernama Agnes dan ayahnya

bernama Yusti. Ibu Agnes dan bapak Yusti tidak lagi di sapa sebagaimana nama mereka

tersebut tetapi di sapa Nona-Tama (untuk ayah) dan Nona-Tina (untuk ibu). Hal ini

menunjukan sebuah sistem kekerabatan dan tananan sosial masyarakat Buru yang dalam,

yang penuh dengan nilai etis moral dan budaya sekaligus menggambarkan adanya ikatan

darah antara orang tua dan anak. Dengan nama panggilan orang tua berdasarkan nama

anaknya tersebut, seorang anggota masyarakat di Buru Selatan yang telah memasuki jenjang

rumah tangga atau lembaga perkawinan mendapatkan penghormatan dan penghargaan lebih

dari sesama warga masyarakat yang belum menikah, dengan cara namanya tidak lagi

disebut/disapa dalam pergaulan hidup sehari-hari.

Dalam kaitan dengan pernikahan, ada juga hubungan kekerabatan antara keluarga

perempuan dengan keluarga laki-laki yang dikenal dengan istilah kori sanat. Istilah ini

menunjukkan hubungan yang erat antara keluarga yang berhubungan darah karena

perkawinan. Salah satu bentuk kekerabatan lain dalam masyarakat Buru yang jika

dilewati/dirusak akan mendapatkan sanksi bagi yang melanggar adalah hubungan wali dawen

(ipar dan ipar). Hubungan kekerabatan ini merupakan salah satu sistem kekerabatan yang

paling kuat dan erat di pegang oleh masyarakat Buru. Kekuatan hubungan kekerabatan wali-

dawen bahkan melewati kuatnya ikatan kekerabatan kai-wai dan kori sanat. Masyarakat Buru

sangat memberikan penghormatan dan penghargaan yang tinggi kepada saudara baik laki-laki

maupun perempuan dari suami atau istrinya. Oleh karena itu, jika kedapatan ada yang

Page 15: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

melakukan pelanggaran terhadap iparnya baik itu laki-laki maupun perempuan, maka ia akan

menerima sanksi (denda) dan hukuman dari keluarga-nya dan memiliki citra buruk dari

masyarakat.95

3.2.5. Sistem Kepercayaan (Religi).

Kepercayaan (religi) masyarakat di Pulau Buru (baik Buru Utara maupun Buru

Selatan) beraneka ragam. Ada banyak agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat

seperti Islam, Kristen Katolik dan Kristen Protestan berkembang dan dianut oleh masyarakat

di Pulau Buru, terutama masyarakat yang berada di pesisir pantai. Sementara sebagian besar

masyarakat di daerah pegunungan, umumnya menganut agama Kristen Protestan.

Selain itu, ada juga agama suku (agama asli)96

masyarakat Buru yang masih dianut

oleh sebagian kecil masyarakat Buru terutama mereka yang berada di daerah pegunungan

(pedalaman) Buru. Para penganut agama asli di Pulau Buru ini mendasari kepercayaan

mereka kepada Tuhan yang disebut sebagai Opo Lastala, dengan berbagai macam ritus

kepercayaan mereka. Mereka ini terutama adalah masyarakat yang masih hidup dalam adat

dan budaya asli orang Buru, dan yang jarang bergaul dengan masyarakat dari luar Pulau

Buru. Mereka disebut juga Geba Emlia dan umumnya bermukim di sekitar danau Rana.

Dalam kepercayaan mereka, arwah para leluhur berdiam di tempat-tempat yang

dianggap keramat seperti pohon-pohon besar, batu-batu besar atau di dalam goa-goa besar.

Masing-masing Noro di Buru, memiliki tempat keramatnya sendiri. Danau Rana dan gunung

Date dianggap sebagai tempat yang paling keramat oleh seluruh masyarakat di pulau Buru.

Sementara itu, puji-pujian dan persembahan dilakukan di Huma Puji atau Huma Sikit (rumah

puji), yang luasnya kira-kira 20-30 meter, tertutup dinding dari daun tikar, tidak memiliki

jendela dan hanya berpintu satu.

95

Hasil wawancara dengan Bpk. S.S pada tgl 10 Okt 2011, Pukul 09.21 WIT 96

Masyarakat di Buru menyebut agama suku ini dengan sebutan Hindo atau Hindu.

Page 16: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

3.2.6. Klasis GPM (gereja) di Buru Selatan.

Klasis GPM Buru Selatan merupakan salah satu lembaga keagamaan yang berada di

lingkungan masyarakat di Pulau Buru khususnya wilayah Buru Selatan. Di samping

Pemerintah adat, Klasis Buru Selatan dalam hal ini gereja juga memiliki pengaruh yang

cukup besar bagi kehidupan masyarakat (individu maupun kelompok) dalam interaksi sosial

mereka di Buru Selatan. Berbagai dinamika hidup masyarakat termasuk seperti tata cara

pergaulan, pendidikan masyarakat, kesehatan masyarakat termasuk juga pembagian kerja

yang meliputi peran dan kedudukan antar anggota masyarakat (laki-laki dan perempuan) ikut

diperhatikan oleh gereja. Pejabat gereja dalam hal ini pendeta, memiliki pengaruh yang besar

dalam masyarakat di Buru Selatan.

Klasis GPM Buru Selatan terdiri dari 29 jemaat Gereja Protestan Maluku yang

terbentang dari pesisir timur, barat dan pegunungan Pulau Buru bagian selatan. Adapun

jemaat-jemaat ini dapat dijangkau dari pusat Sinode GPM (di Ambon) dan Pusat Klasis Buru

Selatan, dengan menggunakan kapal perintis, kapal motor antar pulau dan long boad/jonson

tempel serta jalan kaki dari pusat klasis yang terletak di kecamatan dan desa/jemaat GPM

Leksula.

Secara garis besar jemaat-jemaat di Klasis GPM Buru Selatan terbagi dalam 4

wilayah (sentra/rayon), yakni:

Tabel. 3.4.

Pembagian Rayon jemaat di GPM Klasis Buru Selatan

Rayon Pesisir Timur

Jemaat-jemaat dalam rayon ini adalah :

Rayon Pesisir Barat

Jemaat-jemaat dalam rayon ini adalah :

Page 17: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

Jemaat GPM Waezoar (Jemaat PI)

Jemaat GPM Labuang

Jemaat GPM Waenono

Jemaat GPM Kawanila (Jemaat PI)

Jemaat GPM Wamkana

Jemaat GPM Waenalu

Jemaat GPM Mepa

Jemaat GPM Tifu

Jemaat GPM Ewiri

Jemaat GPM Waewali (Jemaat PI)

Jemaat GPM Slealale

Jemaat GPM Waeturen

Jemaat GPM Grahwaen

Jemaat GPM Waemulang

Jemaat GPM Malilae (Jemaat PI)

Rayon Pegunungan

Jemaat-jemaat dalam rayon ini adalah :

Jemaat GPM Nusarua

Jemaat GPM Wae Eken (Jemaat PI)

Jemaat GPM Fakal

Jemaat GPM Mngeswaen

Jemaat GPM Waekatin

Jemaat GPM Waelo

Jemaat GPM Waeraman

Jemaat GPM Uneth

GPM Waemite (Jemaat PI)

Jemaat GPM Batu Karang (Jemaat PI)

Jemaat GPM Waenamaolon (Jemaat PI)

Rayon Pusat Klasis

Jemaat-jemaat dalam rayon ini adalah :

Jemaat GPM Leksula

Jemaat GPM Kase

Jemaat GPM Waehaolon (Jemaat PI)

Klasis Buru Selatan, secara geografis berada pada wilayah dataran rendah berhadapan

dengan luas laut Banda dan laut Buru (khusus pesisis timur-barat di sekitar Leksula) dan

wilayah dataran tinggi atau pegunungan. Di bagian belakang wilayah klasis GPM Buru

Selatan terdapat perbukitan panjang yang oleh masyarakat disebut “Kaku”. Di daerah ini

terdapat pohon kelapa, cengkeh, pala, coklat, kopi, duren, sagu dan kebun-kebun masyarakat.

Selain itu, hampir di seluruh wilayah pelayanan klasis Buru Selatan terdapat juga

beberapa bukti sejarah penginjilan yang dimulai dari zaman Belanda melalui zending UZV

berupa rumah pendeta dan rumah camat (kantor resimen Belanda), gereja yang berusis di atas

100 tahun serta perkebunan kelapa yang sering disebut dusun jemaat dan dusun persekutuan

klasis.

Page 18: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

Berdasarkan data statistik terakhir awal januari 2011 warga GPM di klasis Buru

Selatan berjumlah 3.666 kk dengan 13.855 jiwa yang terdiri dari laki-laki 6.909 orang dan

perempuan 6.956 orang. Dari sisi kemajemukan jemaat, jemaat klasis GPM Buru Selatan

75% adalah masyarkaat asli Buru dan 25 % merupakan masyarakat pendatang dari luar Pulau

Buru yang bekerja sebagai pegawai, guru, Anggota TNI/POLRI dan juga dari hubungan

pernikahan.

Dari sisi pendidikan sangat beragam mulai dari SD, SMP, SMA, Diploma, Sarjana

dan Pasca Sarjana dengan rata-rata pendidikan adalah SMA. Mata pencarian utama warga

jemaat di Klasis GPM Buru Selatan adalah petani dan nelayan. Tingkat kesehatan

masyarakat/warga jemaat cukup baik dengan lingkungan desa/jemaat yang tertata dengan

baik.

Jemaat-jemaat yang menjadi pusat penelitian penulis adalah jemaat Kase, Leksula,

Wahaolon, Waenamaolon, Batu Karang dan Mngeswaen, memiliki rata-rata tingkat

pendidikan adalah SMP dan SMA. Ke-enam jemaat ini sekaligus merupakan ke-enam desa di

mana penulis melakukan penelitian.

3.3. Peran dan Kedudukan Perempuan di Buru Selatan.

Di daerah Buru Selatan, interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat sangat

dipengaruhi oleh adat istiadat yang diturunkan secara turun temurun, dari zaman dulu hingga

saat ini. Pengaruhnya ada dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Adat istiadat di

Buru Selatan menjadi simbol hidup yang sacral, yang mengatur dan menata hidup seluruh

Page 19: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

masyarakat baik laki-laki maupun perempuan, mulai dari orang tua sampai anak-anak. Adat

istiadat ini, masih tetap hidup dalam kehidupan masyarakat hingga kini, dan telah menjadi

simbol (kekuatan) yang mengatur dan mengikat kehidupan seluruh masyarakat. Salah

satunya adalah tentang peran dan kedudukan (posisi) antara laki-laki dan perempuan di Buru.

Umumnya, perempuan (anavina) memiliki peran dan kedudukan yang berbeda

dengan kaum laki-laki di Buru Selatan. Peran dan kedudukan yang berbeda di antara mereka,

telah ada sejak dulu. Peran dan kedudukan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan ini,

menandakan adanya pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan

masyarakat. Pembagian peran kerja dan status sosial antara mereka, telah lama terbentuk

dalam kosmologi dan kultur masyarakat, yang sangat kuat mengikat kehidupan mereka dari

waktu ke waktu. Artinya bahwa semua hal menyangkut kehidupan laki-laki dan perempuan

di Buru Selatan, telah diatur sesuai dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat

dengan didasarkan pada kepercayaan asli mereka.

3.3.1. Perempuan dalam Masyarakat Buru Zaman Dulu dan Masyarakat Saat ini.

Masyarakat di Buru Selatan, selalu memandang bahwa perempuan (baik itu anak

perempuan atau saudara-saudara perempuan) adalah harta yang sangat berharga dari setiap

keluarga di Buru Selatan. Namun keberhargaan perempuan dalam pandangan masyarakat di

Buru Selatan pada zaman dulu berbeda dengan keberhargaan perempuan dalam pandangan

masyarakat pada saat ini.

Pada zaman dulu, perempuan dipandang berharga oleh karena mereka adalah sumber

kehidupan dalam keluarga. Keturunan keluarga (laki-laki) ada dalam diri perempuan oleh

karena ia yang mengandung dan melahirkan anak. Perempuan juga yang mengatur dan

menyiapkan seluruh kebutuhan keluarga. Ia yang berkebun, mengolah hasil kebun, memasak,

menyiapkan makanan dan mengurus seluruh kebutuhan suami dan anak. Hal ini membuat

Page 20: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

perempuan begitu dilindungi dalam kehidupan keluarga. Perempuan hanya boleh berada di

dalam keluarga saja. Ia tidak diijinkan untuk berada di luar rumah, apalagi jika tidak bersama

dengan saudara laki-laki atau suami-nya.

“Anavina waktu dolo tu, cuma bisa tinggal di dalam rumah saja. Seng bisa pi kamana-mana.

Dia merupakan harta dalam keluarga, yang harus dijaga dan dilindungi deng baik. Orang

laki-laki dong paleng menjaga parampuang.”97

Dolo, katong orang parampuan neh, seng bisa bajalan takaruang. Katong Cuma bisa tinggal

dalam rumah saja. Kalo kaluar jua harus laki-laki pi batamang dan itu hanya untuk hal-hal

tertentu saja macam pi bantu-bantu di orang nikah bagitu. Orang laki-laki tuh paleng taku

kalo katong parampuang sandiri ka luar rumah. Dong taku katong dapa ambe dari orang

lain. Karena dolo tuh parampuan dianggap adalah sumber kehidupan. Laki-laki pung anak

parampuang yang kadung deng melahirkan. Parampuan jua yang mamasa dan kasih siap

samua kebutuhan di dalam rumah.98

Oleh karena perempuan begitu berharga dalam keluarga, maka setiap laki-laki di Buru

Selatan memiliki tugas untuk menjaga dan melindungi mereka. Apalagi konteks sosial

masyarakat saat itu, dipenuhi dengan peperangan antar suku di pulau Buru.

Keberhargaan perempuan ini terlihat dalam pembayaran sejumlah harta kawin sebagai

prasyarat bagi seorang laki-laki ketika mau kawin dengan seorang perempuan di Buru

Selatan. Harta kawin di sini merupakan simbol bahwa seorang perempuan adalah harta dalam

keluarganya sehingga laki-laki yang mau menikahinya harus menunjukkan usaha yang keras

untuk mendapatkannya. Hal ini akan terbukti ketika ia mampu memenuhi semua persyaratan

dalam harta kawin, yang diberikan kepada keluarga perempuan.

“Perempuan itu berharga sekali dalam keluarga. Oleh karena itu dia harus tetap tinggal saja

dalam lingkungan rumah. Bahkan di beberapa daerah pegunungan ada anak-anak perempuan

yang disembunyikan oleh orang tuanya di dalam lumbung-lumbung padi, di rumah-rumah

hutan agar tidak dilihat oleh orang lain terutama orang-orang di luar kampung/desa tersebut.

Wujud dari berharganya perempuan itu adalah dalam jumlah harta kawin yang dikenakan

kepada mereka seperti gong, tombak, parang, kain putih. Laki-laki yang mau kawin dengan

seorang perempuan Buru harus memberikan harta kawin tersebut”.99

Keberhargaan perempuan menjadi berbeda dalam kehidupan masyarakat Buru Selatan

semenjak masuknya bangsa asing ke Indonesia termasuk pulau Buru. Sejak masyarakat

mengenal mata uang, mereka cenderung memandang keberhargaan perempuan dalam segi

97

Hasil wawancara dengan Ibu. O.L pada tgl 21 Okt 2011, pukul 19.00 WIT 98

Hasil wawancara dengan Ibu. J.S pada tgl 12 Okt 2011, pukul 17.00 WIT 99

Hasil wawancara dengan Bpk. Y.H pada tgl 02 Nov 2011, pukul 19.28 WIT

Page 21: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

ekonomi. Perempuan berharga dalam keluarga oleh karena memiliki nilai ekonomis bukan

lagi nilai sebagai seorang manusia, sebagai sumber kehidupan dalam keluarga. Perempuan

berharga oleh karena dalam diri perempuan terletak sejumlah harta kawin yang dapat

diterima oleh keluarga dari pihak laki-laki (calon suami).

Pandangan masyarakat terhadap perempuan seperti ini, terus bertahan hingga

sekarang. Kondisi ini menyebabkan seorang perempuan terutama yang belum kawin atau

masih remaja, sulit mendapatkan kebebasan dari keluarga untuk bersosialisasi dengan orang

lain di sekitarnya, apalagi orang-orang yang berasal dari luar kampung atau desa tempat

tinggalnya tersebut. Pembatasan terhadap ruang gerak perempuan ini kemudian berlanjut

hingga ke berbagai aspek hidup lainnya seperti pendidikan, pemerintahan dan pekerjaan.

“Banya orang tatua yang memadang kalo dong pung ana parampuang bisa menghasilkan

banyak uang par dong. Makanya ana-ana parampuang apalai di daerah gunung itu, sulit par

bebas dan sekolah. Dong hanya tinggal di rumah saja. Tunggu sampe ada laki-laki yang mau

kaweng deng dong. Saat odng su kaweng, orang tua seng mau tau lai deng dong. Apapun

yang dilakukan suami terhadap dong su seng jadi tangung jawab orang tatua lai. Parampuan

su jadi barang yang bisa dapa jual dar keluarga dalam masyarakat”.100

3.3.2. Perempuan “Gunung” dan Perempuan “Pante”.

Kehidupan masyarakat di Buru Selatan berbeda antara masyarakat di daerah pesisir

pantai dan masyarakat di daerah pegunungan (pedalaman). Masyarakat di pesisir pantai

bersifat lebih terbuka terhadap hal-hal baru di sekitar mereka (pendidikan, teknologi

informasi dll). Sementara masyarakat di daerah pegunungan (pedalaman) lebih bersifat

tertutup terhadap berbagai pengaruh yang datang dari luar adat istiadat mereka. Perbedaan ini

disebabkan oleh karena masyarakat di daerah pesisir telah hidup lebih modern dalam arti

telah ber-sekolah (mendapatkan pendidikan), memiliki informasi dan komunikasi yang

memadai, telah berinteraksi dengan banyak orang dari luar Buru dan sebagainya. Sementara

masyarakat di daerah pegunungan tidak memiliki semua itu, bahkan kebutuhan hidup seperti

100

Hasil wawancara dengan Ibu B.L pada tgl 23 Okt 2011, pukul 19.20 WIT

Page 22: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

listrik, jalan dan sekolah tidak mereka miliki. Akibatnya mereka masih tetap bertahan dalam

tradisi lama yang tertutup hanya dalam komunitas suku mereka saja.

Perbedaan antara masyarakat di pesisir pantai dan masyarakat di daerah pegunungan

ini, berdampak pula kepada kehidupan perempuan di daerah pegunungan dan perempuan di

daerah pesisir pantai. Ada perbedaan besar antara perempuan di daerah pegunungan

(pedalaman) dengan perempuan di daerah pesisir pantai di Buru Selatan, terutama dalam hal

bersosialisasi dengan orang lain. Contohnya dapat terlihat dalam berbagai proses wawancara

yang dilakukan oleh penulis dengan warga masyarakat/jemaat di Buru Selatan. Bagi

masyarakat di pesisir pantai dan di pusat klasis atau kecamatan, perempuan telah diberikan

ruang yang cukup besar untuk berinteraksi dengan orang lain bahkan melakukan berbagai

aktivitas di luar kehidupan rumah-tangga. Mereka tidak lagi dibatasi untuk mengeluarkan

pendapat dan berinteraksi dalam masyarakat (baik dalam area rumah tangga maupun luar

rumah tangga) seperti yang terjadi pada masa dulu atau pada perempuan-perempuan di

daerah pegunungan.

Gambar 3.4.

Proses Wawancara dengan Pemimpin adat di Desa Wahaolon.

Gambar 3.5

Proses Wawancara dengan keluarga Guru/Majelis Jemaat di Jemaat Leksula

Page 23: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

Gambar 3.6.

Proses FGD dengan para perempuan di Desa Leksula

Komentar Penulis: Dalam gambar-gambar ini terlihat jelas adanya gap antara perempuan di

daerah pesisir, di kota kecamatan dengan perempuan di daerah pegunungan.

Dalam gambar (3.4.) wawancara hanya dilakukan dengan laki-laki oleh

karena para perempuan di daerah wahaolon (pegunungan) menutup diri untuk

diwawancara. Mereka hanya sibuk mempersiapkan makan di dapur. Bagi

mereka, berbicara dengan orang lain apalagi yang berasal dari luar kampung

mereka, hanya dapat dilakukan oleh laki-laki. Selain itu, memang kaum

perempuan di daerah pegunungan memiliki tingkat pendidikan yang rendah

sehingga sulit untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran mereka. Gambar

(3.5.) & (3.6.) adalah wawancara dengan pasangan suami istri di desa leksula

(ibu kota kecamatan dan daerah pusat klasis) dan FGD dengan para

perempuan di Leksula. Disini terlihat jelas bahwa para perempuan tidak

dibatasi untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran mereka. Bahkan mereka

bersama dengan laki-laki (suami) turut bersosialisasi dengan orang lain.

3.3.3. Adat Perkawinan sebagai Penentu Peran dan Kedudukan Perempuan.

Secara tradisional, sistem perkawinan di Buru Selatan terbagi ke dalam 2 jenis

perkawinan yakni kaweng maso minta dan kaweng panjar. Kaweng maso minta adalah

proses perkawinan yang dilakukan dengan cara keluarga laki-laki secara baik-baik datang ke

rumah keluarga perempuan untuk meminang anak perempuan menjadi istri anak laki-laki

mereka. Proses seperti ini dapat dilakukan dengan turut serta membawakan harta kawin yang

telah disepakati ataupun tidak (harta kawin dibahas saat acara perkawinan). Kaweng maso

minta biasanya dilakukan setelah anak laki-laki dan perempuan telah saling mengenal lebih

dulu melalui hubungan pacaran dan telah memasuki jenjang kedewaaan. Jadi kaweng maso

minta dilakukan pada saat anak laki-laki dan anak perempuan telah berusia dewasa (20 tahun

ke-atas).

Kaweng panjar atau yang dikenal juga dalam masyarakat di Buru Selatan dengan

sebutan kaweng piara, merupakan bentuk perkawinan yang berbeda dari kaweng maso minta.

Page 24: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

Proses kaweng panjar dapat dilakukan ketika anak perempuan masih kecil dan masih berada

pada jenjang sekolah dasar bahkan masih dalam kandungan ibunya. Kaweng panjar didahului

dengan proses pemberian harta kawin dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sejak

perempuan tersebut masih berada di dalam kandungan hingga perempuan lahir dan

bertumbuh serta dirasakan telah pantas untuk diambil ke dalam keluarga laki-laki. Ketika

keluarga calon suami membawakan harta kawin (harta panjar) kepada keluarga perempuan

dan ketika di terima, saat itulah kaweng panjar telah terjadi.

Dalam sistem kaweng panjar tidak ada masa berpacaran, oleh karena perkawinan

ditentukan oleh pihak laki-laki yang telah melakukan panjar. Bahkan ada perempuan yang

masih berusia delapan/sembilan tahun telah diambil dari keluarganya oleh pihak laki-laki

(yang memanjar). Proses pemberian harta ini biasanya disesuaikan dengan permintaan

keluarga perempuan. Jadi apapun yang diminta oleh keluarga perempuan untuk dipanjarkan

keluarga laki-laki harus dipenuhi.101

Apabila kemudian perkawinan tersebut batal maka

keluarga perempuan harus menggantikan harta panjar kepada keluarga laki-laki dua kali lipat

besarnya.

Bentuk perkawinan maso minta maupun perkawinan panjar atau piara, memiliki

kesamaan yang terdapat pada harta kawin. Harta kawin, baik yang ada dalam bentuk kaweng

maso minta maupun kaweng piara memiliki nilai yang sangat besar dan beragam jenisnya.102

Jenis-jenis harta kawin (sekaligus merupakan persyaratan perkawinan) yang harus dibayarkan

oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dalam proses perkawinan (baik maso minta

maupun panjar) antara lain adalah: kain putih, piring, gelas, kawali (wajan besar), katue

(parang), seekor babi (fafu katuben) dan uang (yang disebut sebagai harta air susu). Saat ini,

101

Hasil wawancara dengan Bpk S.S pada tgl 10 Okt 2011, Pukul 09.21 WIT dan Bpk V. N pada tgl 18

Okt 2011, pukul 10.05 WIT 102

Hasil wawancara dengan Bpk R.S pada tgl 16 Nov 2011 pukul 11.00 WIT

Page 25: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

kalau persyaratan kawin di atas tidak ada, dapat dibayarkan dalam bentuk uang tergantung

dari keluarga perempuan.103

Harta kawin yang besar seperti di atas adalah simbol bahwa seorang perempuan Buru

benar-benar berharga dalam keluarganya. Namun, pemahaman masyarakat tentang harta

kawin di Buru Selatan, tidak lagi sama antara masyarakat zaman dulu dan masyarakat saat

ini. Zaman dulu, harta kawin yang diwajibkan untuk diberikan kepada keluarga perempuan

dalam jumlah yang besar itu, semata-mata merupakan simbol betapa perempuan itu sangat

berharga, bahwa perempuan adalah simbol hidup dalam keluarga. Dari perempuan ini, akan

lahir keturunan bagi rumah-tangga. Selain itu, masyarakat pada zaman dulu percaya bahwa

harta kawin yang mereka berikan kepada keluarga perempuan, suatu hari pasti akan kembali

kepada mereka. Hal ini terjadi oleh karena perkawinan masyarakat pada zaman dulu adalah

perkawinan saudara. Di mana seseorang yang di sebut orang Buru asli haruslah kawin dengan

anak perempuan dari saudara ayahnya. Dengan demikian ia mengawini keponakan ayahnya

sendiri (saudara sepupunya).

Dolo, katong orang buru neh sodara kaweng sodara. Orang Buru asli itu adalah ketika laki-

laki kaweng deng dia papa pung sodara pung ana parampuang. Jadi dia kaweng deng dia

pung sodara sandiri. Makanya harta kaweng yang banya itu, waktu dolo seng jadi masalah.

Karena orang tatua pikir, dong kasih akan par dong sodara sandiri deng nanti pasti akan

bale jua par dong.104

Sementara itu, pandangan masyarakat tentang harta kawin mulai berubah sejak

mereka mengenal yang namanya mata uang. Perempuan tidak lagi berharga semata-mata

karena dia adalah sumber kehidupan tetapi lebih karena nilai ekonomi dalam dirinya. Harta

kawin dalam dirinya tersebut dianggap dapat membawa keuntungan bagi keluarga.

Perempuan sangat berharga dalam keluarga oleh karena ketika kawin, orang tua dapat

memiliki banyak uang. Apalagi dalam kawin panjar, orang tua bisa mendapatkan banyak uang

karena laki-laki (calon suami) musti memberikan semua hal yang diminta oleh keluarga

perempuan. Jadi perempuan tidak lagi dianggap berharga karena dia yang melahirkan anak

untuk keluarga tetapi karena dia nanti waktu kawin, orang tua akan dapat uang banyak.

103

Hasil wawancara dengan Bpk J.S pada tgl 13 Okt 2011 pukul 15.00 WIT 104

Hasil wawancara dengan Bpk. V.L pada tgl 18 Okt 2011 pukul 20.00 WIT

Page 26: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

Karena itu juga maka anak-anak perempuan itu, apalagi di daerah pegunungan begini yang

dilarang untuk bersekolah dan keluar dari kampung ini.105

Pemaknaaan yang berbeda tentang harta kawin inilah, yang lambat laun menjadi salah

satu akar kuat dari berbagai tindak diskriminasi terhadap kaum perempuan di Buru Selatan.

Apalagi perkawinan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan saat ini, tidak

lagi perkawinan saudara seperti pada zaman dulu. Siapapun dapat kawin dengan perempuan

Buru asalkan ia mampu membayar harta kawin yang telah diwajibkan tersebut. Dampaknya

adalah laki-laki terutama suami sering berpikir bahwa perempuan yang telah menjadi istrinya

itu telah ia beli dengan sejumlah harta kawin tersebut. Oleh karena itu, suami berhak

melakukan apapun terhadap istrinya atau menyuruh istri melakukan apapun sesuai

kehendaknya termasuk mencukupi seluruh kebutuhan hidup keluarga. Dapat dikatakan

bahwa, ada eksploitasi hidup terhadap istri dari suaminya. Hal ini diakui oleh sebagian besar

masyarakat yang menjadi narasumber, baik di daerah pesisir maupun pegunungan seperti

yang diungkapkan oleh Bpk AT dan Ibu JS.

“Harta kawin yang besar, yang harus dibayarkan oleh laki-laki dalam setiap adat perkawinan,

sering menjadi pemicu yang paling utama sehingga terjadi ketidakadilan dan diskriminasi

terhadap perempuan dan menunjukkan adanya ketidak-seimbangan posisi di antara mereka.

Laki-laki sering berpikir bahwa mereka telah membayar harta yang sangat besar karena itu

maka perempuan harus melakukan segala pekerjaan yang ada dalam keluarga itu.”106

“Perempuan memikul banyak tanggungjawab dalam keluarga termasuk bekerja dengan berat

oleh karena perempuan tersebut telah dibayar dengan harta kawin yang sangat besar dan

banyak oleh suaminya.”107

“Perempuan-perempuan di Buru harus melakukan banyak pekerjaan rumah tangga termasuk

juga berkebun dan mencari nafkah untuk kehidupan keluarga. Terkadang laki-laki hanya

tinggal di rumah saja. Mereka beranggapan bahwa istri-istri mereka telah dibayar sehingga

harus bekerja”108

“Pembayaran harta kawin yang besar dari laki-laki kepada keluarga perempuan di Buru

menyebabkanadanya sikap harap gampang yang kemudian berpengaruh kepada peran-peran

baku secara signifikan dalam masyarakat, di mana perempuan mendapat beban (melakukan

pekerjaan) yang berat dibandingkan laki-laki. Contoh perempuan ketika pulang dari kebun

diharuskan membawa banyak barang bawaan, renge fodo sambil gendong anak kecil

105

Hasil wawancara dengan ibu I.S pada tanggal 10 Nov 2011 pukul 17.00 WIT 106

Hasil wawancara dengan Bpk A.T pada tgl 22 Okt 2011 pukul 23.00 WIT 107

Hasil wawancara dengan Ibu J.S pada tgl 21 Nov 2011 pukul 10.00 WIT 108

Hasil FGD bersama Para Perempuan di desa Kase pada tgl 15 Okt 2011 pukul 17.30 WIT

Page 27: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

sedangkan laki-laki hanya memikul tombak dan parang saja. Contoh lain ketika perempuan

juga harus membuat kopra, padahal pekerjaan ini harus dilakukan oleh laki-laki”.109

Masyarakat di Buru Selatan, juga menganut sistem perkawinan poligami, yang

berkembang terutama di daerah pegunungan. Dalam sistem perkawinan ini, seorang lelaki

boleh mengawini lebih dari satu orang istri, bahkan bisa mencapai lima orang istri. Sistem

poligami ini diterima dalam masyarakat dan terjadi sejak dulu hingga saat ini. Rata-rata

masyarakat di Buru (terutama pada zaman dulu), sering menganggap jika mereka belum

memiliki anak laki-laki dalam perkawinan mereka maka rumah tangga mereka itu belum

dapat disebut sebagai sebuah keluarga. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai

praktek poligami dalam masyarakat.110

“Laki-laki Buru bisa kawin dan mempunyai hingga 5 orang istri. Asalkan dia dapat

membayar harta kawin dan memberikan nafkah kepada mereka itu tidak menjadi masalah. Itu

sah saja dan adat istiadat tidak melarang hal ini”.111

Ana laki-laki tuh paleng penting bagi seorang laki-laki Buru. Karena ana laki-laki selain

menjadi kebanggaan dalam keluarga juga yang nanti menjaga keturunan itu tetap ada. Jadi

ketika dia balom pung ana laki-laki maka dia akan kaweng tarus sampe dia pung anak laki-

laki. Dan istri-istri sebelumnya dong menerima hal ini. Karena seng bisa heran kalo zaman

dolo itu deng sakarang ini di daerah-daerah gunung itu, orang laki-laki dong bisa pung istri

sampe 4-5 orang. 112

Meskipun demikian, ada satu hal menarik dan unik dalam sistem perkawinan

poligami dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan, yakni adanya kerukunan dan

hubungan yang erat antara istri-istri dari orang yang berpoligami tersebut. Dari istri pertama

sampai terakhir tidak pernah terjadi keributan malahan mereka secara bersama-sama saling

membantu dalam melayani sang suami. Hal ini dapat terjadi oleh karena suami mampu

memberikan nafkah lahir batin (segala kebutuhan hidup perempuan termasuk kepuasaan

seks) kepada semua istrinya tersebut.113

Dalam kehidupan masyarakat tradisional di Buru

109

Hasil FGD dengan para Perempuan di desa Leksula tgl 24 Okt 2011 pukul 15.30 WIT 110

Hasil wawancara dengan Bpk Pdt. V.L pada tgl 18 Okt 2011 pukul 20.00 WIT 111

Hasil wawancara dengan Bpk. N.S pada tgl 14 Nov 2011 pukul 21.00 WIT 112

Hasil wawancara dengan Bpk. T.S pada tgl 29 Okt 2011 pukul 21.00 WIT 113

Hasil wawancara dengan Bpk Pdt S.H pada tgl 14 Okt 2011 pukul 13.00 WIT

Page 28: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

Selatan, sistem poligami ini menunjukkan adanya kekuasaan, kekuatan (termasuk

seks/kepuasan biologis) dan kekayaan yang besar dari seorang laki-laki Buru.

3.3.4. Pembagian tugas dalam Keluarga.

Secara historis dalam masyarakat di Buru Selatan, telah tergambar jelas pembagian

peran dan tugas antara laki-laki dan perempuan, baik dalam kehidupan keluarga maupun

masyarakat. Dalam stratifikasi masyarakat, perempuan dalam keluarga selalu diberi ruang

untuk memasak, mencuci, dan melakukan perkerjaan rumah tangga lainnya. Sementara laki-

laki bertugas untuk berburu di hutan. Ketika ada acara atau pertemuan keluarga, perempuan

memiliki bertugas menyiapkan sirih pinang sedangkan laki-laki harus menyiapkan eha114

yang didalamnya terdapat kola115

. Disinilah semua keluarga duduk berkumpul dan merasakan

kola secara bersama.116

Perempuan di Buru Selatan, setiap hari selalu melakukan berbagai pekerjaan rumah

tangga. Mulai dari mencuci, memasak, mengurus anak dan rumah hingga berkebun dan

membawakan hasil kebun ke rumah. Mereka terlihat melakukan pekerjaan-pekerjaan ini

dengan sepenuh hati bahkan ada perempuan yang menganggap bahwa pekerjaan-pekerjaan

tersebut merupakan bagian dari kodrat hidup mereka sebagai seorang perempuan.

Katong parampuang neh, su pung nasib par bagini jua. Mamasa, bacuci, jaga ana,

manyimpang rumah, itu su jadi katong pung tugas. Dari dolo, katong dapat ajar dari orang

tatua par karja bagini. Jadi sampe sakarang katong musti karja akang.117

Parampuang, mau deng seng mau musti mamasa, bacuci deng ator dalam rumah. Katong

pung laki seng mungkin karja akang. Dong su cape waktu pulang dari kabong.118

Gambar 3.7.

Seorang anak perempuan yang sementara mencuci pakaian seluruh anggota keluarga

114

Eha adalah sageru (tuak) yang baru diperas dari pohon sageru/tuak. 115

Kola adalah tempat minum sageru. Dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan, kola

melambangkan adanya kebersamaan dan kesatuan dari seluruh masyarakat, tanpa perbedaan dan batasan (baik

kelas/strata, usia, dll). 116

Hasil wawancara dengan Pdt. Bpk S.H pada tgl 10 Okt 2011 pukul 09.45 WIT 117

Hasil wawancara dengan Ibu H.S pada tgl 13 Nov 2011, pukul 11.00 WIT. 118

Hasil FGD dengan para perempuan di desa Wahaolon, 20 Nov 2011, pukul 15.00 WIT

Page 29: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

Gambar 3.8.

Para perempuan yang baru pulang dari kebun sambil membawakan hasil kebun

(Keku tolfafak)

Gambar 3.9.

Seorang ibu yang sementara renge fodo sambil membawa anak.

Gambar 3.10.

Pada bagian atas seorang ibu yang baru pulang kebun sambil renge fodo sedangkan pada bagian ke

dua ada seorang perempuan lagi yang sementar sibuk di dapur.

Page 30: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

Komentar penulis: Perempuan di Buru Selatan dalam menjalani kehidupan sehari-hari selalu

diperhadapkan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan

mencuci, membawa hasil kebun dan mengurus anak. Semua pekerjaan ini

menjadi tugas harian bagi mereka. Sementara itu, kaum lelaki sangat sulit

untuk mengambil peran-peran rumah-tangga seperti ini. Hal ini terjadi bukan

hanya karena adanya struktur budaya yang baku di masyarakat yang telah

mengatur pembagian peran di natara mereka, tetapi juga karena kaum laki-laki

di Buru Selatan umumnya tidak memiliki ketrampilan dan tidak terbiasa untuk

melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Beberapa gambar di atas secara jelas

memperlihatkan adanya beban kerja yang banyak dari para perempuan di Buru.

Meskipun, mereka tetap menerimanya dengan sepenuh hati dan melakukan

rutinitas seperti ini setiap hari.

Dalam kehidupan masyarakat pada zaman dulu, terdapat pembagian peran dan posisi

antara laki-laki dan perempuan. Hal ini terlihat jelas ketika laki-laki dan perempuan sama-

sama pergi ke kebun atau hutan (sama-sama berjalan), wanita selalu renge fodo dan keku

tolfafak sambil menggendong anak sedangkan laki-laki bertugas memikul tombak dan

parang. Dalam berjalan, posisi wanita selalu berada di belakang laki-laki. Pembagian peran

yang seperti ini, berhubungan dengan fungsi laki-laki untuk melindungi istri dan anaknya

(keluarga) dari bahaya yang dapat mengancam kehidupan mereka. Hal ini berkaitan erat

dengan keadaan sosial masyarakat pada saat itu, yang sering dihadapkan dengan peperangan

antar suku. Untuk itu, dibuatlah pembagian peran atau tugas seperti di atas. Dengan

memberikan semua beban yang berat kepada perempuan untuk dipikul maka laki-laki dapat

dengan leluasa bergerak, mengawal dan menjaga keluarganya serta memberikan

perlindungan bagi mereka dari dari berbagai serangan musuh (serangan dari fena/suku lain,

binatang buas atau ular berbisa) di sepanjang perjalanan mereka.119

Hal yang menarik adalah bahwa sistem pembagian tugas seperti ini terus bertahan

hingga sekarang meskipun zaman peperangan tersebut telah lama berakhir. Masyarakat tetap

saja melakukan praktek pembagian kerja seperti diatas, dengan menempatkan semua hasil

kebun untuk dibawa sang istri sementara laki-laki hanya memegang parang saja. Posisi

119

Hasil wawancara dengan Bpk D.S pada tgl 26 Okt 2011 pukul 19.50 WIT

Page 31: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

berjalan antara keduanya juga masih sama, laki-laki berjalan di bagian depan dan perempuan

di bagian belakang.

Gambar 3.11. Gambar 3.12.

Posisi perempuan dan laki-laki di Buru Selatan ketika pergi dan pulang dari

hutan/kebun.

Komentar penulis: Dalam keseharian ketika perempuan dan laki-laki di Buru Selatan pergi dan

pulang dari hutan atau kebun, maka kita akan melihat sebuah pemandangan

unik namun tidak seimbang. Laki-laki akan membawa sedikit beban sementara

perempuan membawa lebih banyak beban daripada yang dibawa laki-laki.laki-

laki akan berjalan di bagian depan sementara perempuan di bagian belakang.

Dalam proses berjalan seperti ini telah terlihat adanya dikriminasi terhadap

perempuan dalam tatanan kehidupan keluarga-keluarga di Buru Selatan.

Perempuan selalu menjadi yang nomor dua dan membawakan banyak beban

dibandingkan dengan laki-laki.

Dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan, sistem pembagian kerja seperti di atas

dianggap adil. Tidak ada masyarakat (baik laki-laki dan terutama perempuan) yang

menganggap pembagian kerja seperti ini sebagai suatu hal yang mengandung ketidakadilan.

Mereka terlihat “nyaman” dengan hal tersebut.

Sistem pembagian tugas/peran tersebut mengalami sedikit pergeseran ketika

masuknya gereja yang membawa pengaruh injil dalam kehidupan masyarakat di Buru

Selatan. Sebagian besar pelayan (pendeta dan majelis jemaat), berupaya untuk memberikan

pemahaman baru tentang tugas dan peran yang lebih adil dan sejajar antara laki-laki dan

Page 32: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

perempuan bagi sebagian besar warga masyarakat yang menjadi warga jemaat dari gereja-

gereja di Buru Selatan. Usaha gereja-gereja ini didukung dengan masuknya arus globalisasi

dan modernisasi di pulau Buru yang semakin merubah pemikiran sebagian masyarakat

tentang kehidupan bersama antara laki-laki dan perempuan beserta dengan pembagian tugas-

tugas dalam keluarga maupun masyarakat yang lebih merata di antara mereka.120

Kaum laki-laki, sedikit demi sedikit mulai membantu tugas-tugas dan pekerjaan dari

para perempuan. Tugas-tugas rumah tangga seperti memasak, mencuci dan sebagainya mulai

dilakukan oleh laki-laki walaupun hanya oleh sebagian kecil saja dari mereka. Begitupun

ketika berjalan bersama, perempuan telah berdampingan sejajar dengan laki-laki bahkan

mereka tidak lagi memikul beban yang berat karena laki-laki telah mengambil tanggung

jawab tersebut.

Umumnya masyarakat yang mengalami perubahan ini adalah yang berada di daerah

pesisir pantai dan telah beragama resmi (khususnya Kristen). Sementara masyarakat yang

belum beragama resmi (masih memeluk agama suku) dan yang hidup di daerah-daerah

pegunungan yang jauh (di pedalaman pulau Buru), yang belum terjangkau oleh globalisasi

dan modernisasi, masih tetap hidup dan bertahan pada tradisi serta adat istiadat asli

masyarakat, yang mengandung diskriminasi terhadap perempuan.121

Laki-laki masih tetap

berpikir bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah tangga adalah tugas perempuan, sehingga mereka

sulit untuk membantu perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan tersebut.

Dapat dikatakan bahwa ketimpangan peran dalam hal ini pembagian tugas dan kerja

antara laki-laki dan perempuan di Buru Selatan terutama di daerah pegunungan, merupakan

sebuah kebiasaan hidup yang telah ada sejak dulu dan tetap hidup dalam masyarakat hingga

120

Hasil wawancara dengan Bpk Pdt S.H pada tgl 14 Okt 2011 pukul 13.00 WIT 121

Dalam penelitian ditemukan juga bahwa ada warga masyarakat yang sudah beragama tetapi masih

tetap hidup dalam adat istiadat Buru yang lama, yang masih mengikuti sistem pembagian tugas/peran antara

laki-laki dan perempuan seperti pada zaman dulu, yang menurut penulis mengandung nilai-nilai diskriminasi

dan ketidakadilan terhadap perempuan.

Page 33: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

saat ini. Meskipun pembagian tugas dan kerja seperti itu, sesungguhnya membuat perempuan

memikul beban kerja lebih dari kekuatannya.

3.3.5. Kedudukan atau Peran dalam Pemerintah dan Gereja.

Kedudukan atau posisi antara laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda dengan

pembagian tugas dan peran mereka dalam kehidupan bersama di masyarakat, khususnya

dalam bidang pemerintahan.

Dalam sejarah kehidupan masyarakat Buru Selatan, tidak pernah ditemukan

perempuan memiliki keterlibatan secara langsung dalam bidang pemerintahan. Perempuan

tidak memiliki akses untuk menduduki posisi (jabatan) penting dalam bidang pemerintahan

seperti kepala desa, badan adat (Matgugul, Matlea dan Kawasan). Semuanya menjadi hak

dari kaum laki-laki. Hanya laki-laki saja yang dapat menjadi kepala desa atau kepala adat.

Posisi perempuan hanya sebagai orang-orang yang bertugas untuk menyiapkan makan dan

minum, tempat sirih pinang dan mempersiapkan tempat (balai desa) bagi pertemuan-

pertemuan atau rapat pemerintah atau badan adat desa. Hal ini diakui oleh kepala-kepala soa

di beberapa desa yang diteliti oleh penulis seperti yang dikungkapkan oleh Bpk J.S selaku

kepala Soa Gebhain di desa Leksula:

“Sejak dulu hingga saat ini, perempuan tidak pernah memegang jabatan atau tugas dalam

struktur pemerintah di desa-desa di Buru Selatan. Baik itu pemerintahan desa maupun

pemerintahan adat. Hal ini memang telah menjadi kebiasaan dan sesuai dengan adat istiadat.

Perempuan akan terlibat dalam acara-acara adat hanya untuk membantu menyiapkan segala

kelengkapan acara”122

Perempuan juga tidak memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan-

keputusan penting di dalam masyarakat, termasuk dalam rapat-rapat atau pertemuan-

pertemuan desa. Bahkan di beberapa desa tertentu di daerah pegunungan dan pedalaman di

Buru Selatan, perempuan dilarang untuk ikut dalam berbagai pertemuan desa apalagi menjadi

122

Hasil wawancara dengan Bpk J.S tgl 30 Okt 2011 pukul 14.00 WIT

Page 34: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

pejabat pemerintah. Tempat atau posisi perempuan yang sesungguhnya adalah di dalam

rumah tangga atau keluarga.

Selain adat istiadat, penyebab lain minimnya keterlibatan perempuan serta rendahnya

kedudukan mereka dalam struktur pemerintahan di Buru Selatan, adalah tingkat pendidikan

perempuan yang rendah. Perempuan karena dibatasi untuk bersekolah, sering dianggap tidak

memiliki ketrampilan dan kompetensi untuk menjadi pejabat desa dan ikut serta dalam

pengambilan keputusan dalam masyarakat. Bahkan para perempuan sendiri mengakui hal

tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Sdri Y.L berikut ini :

“Katong Anavina nih, seng pernah mo dilibatkan par masuk dalam badan pemerintahan.

Bahkan dalam kegiatan desa kayak panitia pemilihan kades kalmareng tuh saja parampuang

cuma 1 orang. Katong cuma dapat suruh untuk mamasa saja. Dong pikir, katong seng pung

kemampuan, hanya menghambat dan kegiatan seng maksimal. Padahal itu cuma dong pung

alasan.”123

Meskipun saat ini perempuan telah diberikan kedudukan dalam pemerintahan, namun

presentasinya masih sangat kecil dan sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu,

perempuan juga sudah mulai dilibatkan dalam berbagai pertemuan desa dan ikut dalam

mengeluarkan pendapat dan pikiran mereka. Hanya saja, dalam badan pemerintah adat

(Matgugul, Matlea, Kawasan) perempuan memang belum dilibatkan. Masyarakat masih

menganggap bahwa jabatan adat adalah tabu bagi kaum perempuan dan bertentangan dengan

adat istiadat mereka.

Parampuang dari dolo seng ada yang jadi badan adat. Yang bisa jadi kapala adat tuh hanya

orang laki-laki saja. Su dari dolo akang bagitu. Orang tatua bilang jabatan adat itu sakral

deng karas. Jadi parampuang seng bisa di situ.124

Peran dan kedudukan perempuan dalam gereja agaknya lebih baik jika dibandingkan

dengan kedudukan mereka dalam pemerintahan. Gereja dalam hal ini GPM (Gereja Protestan

Maluku), memberikan ruang yang sama kepada perempuan dan laki-laki untuk berperan dan

memiliki posisi (kedudukan). Tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan untuk

123

Hasil wawancara dengan Sdri. Y.L tgl 15 Nov 2011 pukul 11.23 WIT 124

Hasil wawancara dengan Bpk R.S pada tgl 16 Nov 2011 pukul 11.00 WIT

Page 35: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

berperan dalam gereja. Tugas jabatan seperti majelis jemaat, koordinator organisasi

pelayanan, koordinator unit, tuagama (koster) dipegang baik oleh perempuan maupun laki-

laki tanpa pembatasan.

Kalo dalam gereja, katong perempuan su banyak dilibatkan. Di leksula sini saja, majelis laki-

laki deng perempuan sama banya. Perempuan saja banyak yang su jadi ketua panitia dalam

kegiatan gereja. Selain itu, kegiatan-kegiatan perempuan banyak dilakukan bahkan turut

serta melibatkan laki-laki. Jadi menurut beta, gereja ini membuka peluang yang besar kepada

perempuan untuk berkarya dan menunjukkan katong pung kapasitas diri itu.125

“Partisipasi dan posisi perempuan dalam gereja itu selalu ada. Bahkan kalau mau dibilang

lebih besar dari kaum laki-laki. perempuan bahkan memegang banyak jabatan pelayanan

dalam gereja seperti majelis jemaat, pengurus organisasi pelayanan atau panitia gereja”126

Selain itu, gereja justru berusaha membantu warga jemaat khususnya perempuan

ketika terjadi kasus-kasus seperti perkosaan, kaweng panjar atau poligami. Gereja berupaya

untuk memberikan kesadaran dan pembaruan pemahaman dan pola pikir warga jemaat untuk

membangun kehidupan yang lebih setara antara laki-laki dan perempuan. Upaya-upaya ini

dilakukan oleh para pelayan gereja (pendeta dan badan majelis jemaat) melalui pelayanan

ibadah, khotbah, PA dan kegiatan-kegiatan sosial gereja lainnya.

“Kami para pelayan gereja di klasis Buru Selatan sini terutama pendeta selalu berupaya untuk

menjadikan gereja ini, tidak hanya sebagai sebuah tempat beribadah umat tetapi lebih sebagai

sebuah lembaga sosial masyarakat. Oleh karena itu, tugas-tugas pelayan gereja tidak hanya

diarahkan pada kegiatan-kegiatan ibadah saja, khotbah, atau PA tetapi juga untuk menolong

warga jemaat terkait dengan berbagai permasalah sosial dan adat istiadat seperti poligami,

kawin panjar, kekerasan dalam rumah tangga yang sangat mendiskiminasi para

perempuan”127

.

Gereja (para pendeta) berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki adalah ciptaan

Tuhan. Diciptakan dengan maksud untuk saling melengkapi dan menolong satu dengan yang

lain. Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk menikmati kehidupannya

secara bebas sesuai dengan keinginannya. Dalam kesadaran ini, pihak gereja selalu berupaya

untuk membuat berbagai kegiatan yang melibat secara bersama laki-laki dan perempuan

125

Hasil wawancara dengan Ibu J.S pada tgl 21 Nov 2011 pukul 10.00 WIT 126

Hasil wawancara dengan Pdt Ibu E.R pada tgl 19 Okt 2011 pukul 09.44 WIT 127

Hasil wawancara dengan Pdt. Bpk. V.L pada tgl 18 Okt 2011 pukul 20.00 WIT

Page 36: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

didalamnya. Selain itu, gereja berusaha keras membantu jemaat khususnya perempuan yang

mengalami perlakuan yang diskriminatif dalam kehidupannya.128

Meskipun demikian, di beberapa jemaat tertentu khususnya di daerah pegunungan dan

di pedalaman Buru Selatan, posisi dan kedudukan perempuan di dalam gereja masih kecil dan

terbatas. Selain karena rendahnya tingkat pendidikan dari perempuan di daerah-daerah

tersebut, adat istiadat yang masih mengakar kuat dalam masyarakat turut berpengaruh kepada

keterlibatan mereka dalam gereja. Para pendeta di daerah-daerah tersebut, kesulitan untuk

mencari sumber daya perempuan yang dapat dilibatkan menjadi para pelayan di dalam gereja.

Beta pribadi mau saja par parampuang neh jadi majelis jemaat atau pung jabatan di wadah

organisasi gereja. Tapi masalahnya cari parampuang yang par dudu di situ seng gampang.

Sedangkan par jadi pengasuh saja susah apalai par jadi majelis jemaat. Orang-orang di sini

neh, banya yang seng kasih ijin dong anak par pi sekolah akibatnya parampuang di sini

terbatas dalam sumber daya. Banya dar dong yang seng skolah, jadi katong stengah mati par

mau cari parampuang yang layak di majelis jemaat ini.129

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran dan kedudukan perempuan dalam

pemerintah dan gereja memang sedikit berbeda. Perempuan lebih diberikan ruang dan posisi

di dalam tugas jabatan dan pelayan gereja dibandingkan di bidang pemerintah dan adat.

3.3.6. Keterlibatan dalam Pendidikan.

Adat istiadat masyarakat di Buru Selatan pada masa dulu, secara langsung tidak

memberi ruang bagi kaum perempuan untuk bersekolah, belajar dan memperoleh pendidikan.

Masyarakat (orang tua atau kaum laki-laki) beranggapan bahwa perempuan selayaknya

tinggal di rumah, melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga karena itu adalah tugas

mereka. perempuan mesti belajar menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik, karenanya ia

harus tetap ada di rumah.130

128

Hasil wawancara dengan Pdt. Bpk. V.L pada tgl 18 Okt 2011 pukul 20.00 WIT 129

Hasil wawancara dengan Pdt (Penginjil) Bpk J.M. pada tgl 14 Okt 2011 pukul 18.12 WIT 130

Hasil wawancara dengan Ibu P.L pada tgl 10 Okt 2011 pukul 16.20 WIT

Page 37: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

Terbatasnya peluang anavina dalam dunia pendidikan, berkaitan juga dengan harta

kawin yang ada dalam diri perempuan tersebut. Orang tua takut kalau anaknya bersekolah

apalagi sampai ke luar Pulau Buru maka ia akan kawin dengan orang luar yang tentu akan

berakibat pada ketiadaan harta kawin.131

Apalagi bila perempuan tersebut telah dipanjarkan

(telah terikat dalam budaya kawin panjar), orang tua yang telah menerima harta panjar akan

terancam untuk menggantikan harta tersebut dua kali lipat apabila anak perempuan mereka

tidak kawin dengan pihak laki-laki yang telah melakukan panjar terhadapnya. Dengan

ketakutan seperti itu maka orang tua selalu berupaya untuk membatasi anak-anak perempuan

untuk memperoleh pendidikan. Tak jarang juga orang tua beserta calon suami menghentikan

pendidikan anak-anak perempuan mereka pada waktu mereka masih berada di tingkat SD

hanya dengan alasan tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan anak mereka. Hal ini diakui

sendiri oleh salah seorang pendeta yang bertugas di salah satu jemaat/desa di Buru Selatan.

“Di jemaat saya ini, kira-kira 2 tahun lalu, ada anak perempuan yang belum menyelesaikan

sekolah, masih di kelas 5 atau 6 SD sudah diberhentikan sekolah oleh orang tuanya dengan

alasan bahwa mereka sudah tidak sanggup lagi membiayai anak tersebut sekolah. Padahal

biaya sekolah sama sekali tidak dipungut oleh guru. Setelah dicari tau ternyata anak tersebut

telah dipanjarkan dan pihak laki-laki telah menuntut untuk mengambil anak tersebut. Apabila

dalam 2 bulan belum diserahkan pada pihak laki-laki maka orang tua harus mengganti harta

yang telah dipanjarkan kepada mereka 2x lipat banyaknya”.132

Kondisi seperti ini jelas membuat para perempuan kehilangan peluang untuk meraih

kehidupan yang lebih baik. Mereka juga kehilangan kesempatan untuk melibatkan diri

dengan berbagai peran dalam masyarakat di Buru Selatan, oleh karena ketiadaan ketrampilan

dan keahlian diri akibat tidak mendapatkan pendidikan yang memadai. Pada akhirnya mereka

terpaksa kawin dan harus tetap bergelut dengan berbagai tugas rumah tangga yang berat.

Selain karena perkawinan, ketiadaan sekolah dan guru untuk memberikan pendidikan kepada

sebagian besar anak-anak di Buru Selatan juga menjadi salah satu penyebab lain yang

menghambat kemajuan dari para perempuan (bahkan sebagian laki-laki) di Buru Selatan.

131

Hasil wawancara dengan Bpk H.L pada tgl 15 Okt 2011 pukul 08.50 WIT 132

Hasil wawancara dengan Pdt (Penginjil) Bpk J.M. pada tgl 14 Okt 2011 pukul 18.12 WIT

Page 38: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

Gambar 3.14.

Seorang perempuan yang kehilangan hak untuk sekolah

dan terpaksa harus menjadi ibu rumah tangga.

Gambar 3.15.

Anak-anak di desa Wahaolon yang terancam tidak memperoleh pendidikan

Oleh karena ketiadaan guru dalam mengajar di sekolah.

Komentar penulis: Banyak perempuan di Buru Selatan baik yang berada di tingkat SD maupun

SMA dan kuliah yang terpaksa harus terhenti harapan mereka untuk sekolah,

mendapatkan pendidikan dan mengejar masa depan yang lebih baik.

Keterbatasan peluang mereka di dunia pendidikan ini disebabakan oleh banyak

faktor seperti ketiadaan biaya sekolah, ketiadaaan sekolah dan guru bahkan

telah terikat oleh sistem kaweng panjar dalam masyarakat.

Pada saat ini, kesempatan perempuan dalam dunia pendidikan di Buru Selatan mulai

bergerak maju ke arah yang lebih sejajar dengan laki-laki. Memang masih ada pembatasan

terhadap perempuan untuk belajar dan memperoleh pendidikan, tetapi presentasenya kecil

jika dibandingkan dengan zaman dulu, dan hanya terjadi di daerah-daerah pegunungan dan

pedalaman pulau Buru yang belum memiliki sekolah. Umumnya mereka adalah masyarakat

yang masih berpegang teguh pada adat istiadat Buru, yang melarang dan membatasi anak

perempuan untuk memperoleh pendidikan. Ataupun juga masyarakat yang masih sering

Page 39: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

terlibat dalam praktek kaweng panjar yang telah terlanjur menerima harta panjar terhadap

anak perempuan mereka.

Di daerah-daerah di pesisir pantai dan di beberapa daerah di pegunungan, masyarakat

mulai menyadari arti penting pendidikan bagi anak-anak mereka (baik itu laki-laki dan

perempuan). Mereka tidak lagi memberikan batasan bagi anak-anaknya yang mau bersekolah.

Hanya saja, keterbatasan biaya pendidikan seringkali juga menjadi penghalang bagi sebagian

besar anak perempuan di Buru Selatan, untuk belajar dan memperoleh pendidikan yang

memadai bagi masa depan mereka. Selain itu ke-engganan sebagian besar guru untuk

memberikan pendidikan bagi anak-anak yang berdomisili di daerah pegunungan dan

pedalaman Buru Selatan juga memiliki pengaruh pada rendahnya sumber daya manusia

terutama pendidikan dalam masyrakat di Buru Selatan. Faktor-faktor inilah yang

menciptakan adanya kesenjangan dalam bidang pendidikan antara laki-laki dan perempuan di

Buru Selatan serta membuat tingkat pendidikan dari masyarakat di Buru Selatan menjadi

sangat kecil, jika dibandingkan dengan daerah lain di propinsi Maluku.133

3.4. Rangkuman.

Peran dan kedudukan perempuan asli Buru di tengah-tengah keluarga, gereja dan

masyarakat di Buru Selatan dalam kehidupan sehari-hari, dapat dikatakan kontradiktif. Di

satu sisi perempuan terlihat “nyaman” dalam menikmati kehidupan mereka setiap waktu,

sesuai dengan adat istiadat yang tumbuh dan berkembang sejak zaman dulu. Sementara di sisi

lain, terlihat jelas bahwa proses hidup yang mereka jalani itu penuh dengan banyak

ketidakadilan yang mendiskriminasikan hidup mereka.

Berbagai bentuk ketidakadilan dan diskriminasi antara lain seperti terbatasnya

pendidikan bagi perempuan, posisi yang kurang/kecil dalam pemerintahan, kesempatan yang

133

Hasil wawancara dengan Bpk R.S pada tgl 09 Nov 2011 pukul 19.30 WIT.

Page 40: Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/4/T2_752010001_BAB III... · Dengan demikian maka, p. ada ba. b ini penulis

kecil untuk terlibat dalam berbagai keputusan penting baik dalam masyarakat maupun

keluarga. Semua ini disebabkan karena pengaruh adat istiadat yang kuat dalam kehidupan

masyarakat. Sementara dalam kehidupan gereja, perempuan dan laki-laki diberikan ruang

yang sama baik dalam peran maupun kedudukan mereka.

Harta kawin terutama dalam bentuk perkawinan kaweng panjar menjadi salah satu

indikator kuat yang menyebabkan perempuan harus merelakan masa depan dan impian akan

kehidupan yang lebih baik menjadi hilang. Harta panjar ini pula yang membuat perempuan

terutama yang sudah kawin, terdiskriminasi oleh suaminya dan harus melakukan berbagai

pekerjaan melebihi kekuatan mereka. Satu hal yang pasti bahwa perempuan yang sudah

dipanjarkan akan sangat sulit untuk menjalani kehidupan sesuai dengan keinginan dirinya

sendiri.

Meskipun saat ini, peran dan kedudukan perempuan dan laki-laki terutama di daerah

pesisir di Buru Selatan mulai bergerak ke-arah yang lebih setara, adil dan sejajar, namun

masih ada perempuan di daerah pegunungan yang hidup dalam diskriminasi dan ketiadak-

adilan. Di daerah pesisir, kemajuan perempuan ini, berjalan bersama dengan masuknya arus

globalisasi dan modernisasi dalam kehidupan masyarakat serta pengaruh Injil dan gereja yang

kuat dalam masyarakat. Sementara di daerah pegunungan, ketiadaan informasi, komunikasi

bahkan sekolah membuat masyarakat tetap hidup dalam kebiasaan-kebiasaan yang

mendiskriminasi kaum perempuan dan belum tersentuh perubahan.