analisis yuridis terhadap sengketa hak cipta film soekarno
TRANSCRIPT
Analisis Yuridis terhadap Sengketa Hak Cipta Film Soekarno
Fachrunisa Dwirachma, Brian Amy Prastyo
Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
Email : [email protected]
Abstrak
Di dalam UU Hak Cipta, sinematografi atau film merupakan salah satu komponen yang dilindungi oleh Hak Cipta.
Maraknya film yang diangkat dari biografi seseorang tokoh sejarah atau tokoh terkenal menimbulkan problema
yuridis yang kompleks karena film biografi yang diangkat dari pertunjukan/pagelaran merupakan sebuah hasil dari
karya cipta yang sangat menarik untuk dikaji kedudukannya apakah sebagai karya cipta turunan atau tidak.
Selanjutnya, dikarenakan yang menjadi obyek permasalahan disini adalah film, atau biasa disebut dengan istilah
sinematografi di dalam UndangUndang Hak Cipta, maka diperlukan untuk menentukan siapa yang menjadi pencipta
dalam sebuah karya film.
Analysis Juridiction of Copyright Disputes of SOEKARNO the movie
Abstract
In the Copyright Act, cinematography or film is one component that is protected by Copyright. The rise of the film
adaptation of the biography of someone famous historical figure or figures give rise to more complex juridical
problems for the Law of Copyright because biopic adaptation of the show / performance is a result of adaptation
copyrighted works. It is so interesting to discuss position of Soekarno Film. Is it derivative work or not.
Furthermore, because of which became the subject matter here is a movie, or commonly referred to as
cinematography in Copyright Law, it is necessary to determine who is the creator of a film.
Keyword: Copyright; Derivative Work; Soekarno Film
Pendahuluan
Film biografi, senantiasa mempunyai segmen yang fanatik. Artinya, ide yang sering kali
ditawarkan, mayoritas memang sudah dikenal oleh publik. Diakrabi oleh publik, lewat literatur
pustaka, ataupun kisah sejarah. Tidak heran, kondisi ini akan mendorong munculnya penonton
yang fanatik dan spesifik.1
Dengan banyaknya film sejarah atau film biografi atau yang biasa disebut dengan istilah
film biopik, kini yang menjadi sengketa dan sedang mengalami kontroversi hingga Ibu
Rachmawati sampai melayangkan gugatan ke Pengadilan Niaga dalam perihal : Pelanggaran Hak
1 Jenkins, Keith. (Ed.). (1997). Postmodern History Reader. London & New York: Routledg
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015
Cipta Fim Soekarno”. Karena Ibu Rachmawati merasa bahwa Film Soekarno dibuat berdasarkan
Naskah Pagelaran Dharma Gita Maha Guru yang telah ditayangkan 3 kali di Gedung Taman
Ismail Marzuki. Dan gugatan ini melibatkan sebuah Production House yang memproduksi Film
SOEKARNO yaitu PT. TRIPAR MULTIVISION PLUS sebagai Tergugat I, Produser Film
SOEKARNO, yang bernama RAM JETHMAL PUNJABI sebagai Tergugat II dan juga
Sutradara terkenal yang telah memiliki pengalaman di bidang menyutradai film baik itu film
biografi maupun film yang bersifat non biografi, yaitu HANUNG BRAMANTYO sebagai
Tergugat III.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, film merupakan objek yang termasuk dalam
perlindungan Hak Cipta. Yang menjadi menarik disini adalah dengan adanya kontroversi dalam
film Soekarno yang sudah beredar dan ditayangkan di Indonesia. Kontroversi ini menimbulkan
masalah bahwa ternyata telah terjadi pelanggaran Hak Cipta yang dilakukan oleh Tergugat yang
mana dalam hal ini, terdapat 3 Tergugat, yaitu : PT. TRIPAR MULTIVISON PLUS sebagai
Tergugat I, RAM JETHMAL PUNJABI sebagai Tergugat II, dan HANUNG BRAMANTYO
sebagai Tergugat III. Menurut salah seorang ahli waris dari Presiden Pertama Republik Indonesia
yaitu Ir. Soekarno, yaitu RACHMAWATI SOEKARNO PUTRI (yang di dalam kasus ini
sebagai penggugat), para tergugat dianggap telah melakukan pelanggaran hak cipta Film
Soekarno atau Bung Karno : Indonesia Merdeka.
Setelah membaca Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor : 93/Pdt/Sus HAK-
CIPTA/2013/PN.NIAGA.JKT.PST mengenai kasus terkait, penulis merasa bahwa antara Pihak
Penggugat dan Tergugat masing-masing memberikan keterangan dan alat bukti yang
meyakinkan. Dan akhirnya, pada pengadilan tingkat pertama atau judex factie, kasus ini pun
dimenangkan oleh pihak penggugat yaitu RACHMAWATI SOEKARNO PUTRI. Sebagaimana
yang telah kita ketahui, film yang menjadi sengketa ini adalah film biografi yang berarti film ini
mengisahkan perjalanan hidup Ir. Soekarno mulai dari lahir hingga wafat. Dan dianggap telah
terjadi pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh para tergugat terhadap film biografi ini.
Namun jika dikaji lebih dalam lagi, pada bagian pertimbangan hakim, ada beberapa yang tidak
bersifat netral dan tidak memikirkan keadaan atau posisi para tergugat. Dimana, Majelis Hakim
hanya melihat dari sisi penggugat, namun mengabaikan atau melihat dari sisi para tergugat dan
Majelis Hakim juga tidak memberikan pertimbangan hukum dengan melihat bahwa film yang
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015
menjadi sengketa adalah film biografi atau film sejarah. Ditambah lagi dengan adanya bukti dari
para Penggugat yaitu Perjanjian kerjasama untuk memproduksi Film Layar Lebar dengan judul
Bung Karno : Indonesia Merdeka tanggal 17 Oktober 2011 antara Penggugat yaitu : Rachmawati
Soekarno Putri dan Tegugat I yaitu : PT. TRIPAR MULTIVISION PLUS dan Tergugat II : Ram
Jethmal Punjabi.
Pada tingkat pengadilan pertama yaitu yang diadili oleh Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Majelis Hakim Pengadilan Niaga memenangkan pihak HJ.
RACHMAWATI SOEKARNO PUTRI, S.H.,
Untuk dapat mengkaji permasalahan diatas dapat dilakukan secara yuridis dan tidak dapat
terlepas dari hukum yang mana di Negara Indonesia diatur dalam lingkup Hukum Hak Cipta,
dikarenakan film adalah bagian dari bentuk sinematografi yang juga merupakan suatu ciptaan
yang dilindungi, maka penulis memiliki keinginan untuk dapat mengkaji secara terstruktur dan
dari sudut pandang Hukum Hak Cipta dan bagaimana hukum hak cipta dapat melindungi bagian
dari bentuk sinematografi yaitu film yang memiliki genre film biopik atau film biografi yang
sering juga disebut dengan film sejarah.
Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain:
1. Bagaimana kedudukan film sebagai ciptaan dan siapa yang berhak menjadi pencipta film
menurut Undang-Undang tentang Hak Cipta ?
2. Apakah film “Soekarno” merupakan karya derivatif dari naskah “Bung Karno: Indonesia
Merdeka” atau naskah skenario film “Soekarno”?
3. Apakah pemilihan aktor diatur dalam lingkup hukum Hak Cipta?
Dalam melakukan penelitian ini, penulis memiliki tujuan yang hendak dicapai, yaitu :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara normatif dan yuridis sengketa hak cipta yang
terjadi pada film “SOEKARNO” dengan menggunakan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
Nomor : 93/Pdt/Sus HAK-CIPTA/2013/PN.NIAGA.JKT.PST tentang Sengketa Pelanggaran
Hak Cipta dan terhadap Film “SOEKARNO” atau “BUNG KARNO : INDONESIA
MERDEKA”
Selain daripada tujuan umum yang telah disebutkan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015
1. Menjelaskan kedudukan film sebagai ciptaan dan siapa yang berhak menjadi pencipta
film menurut Undang-Undang Hak Cipta
2. Mengetahui apakah film “Soekarno” merupakan karya derivatif dari naskah “Bung
Karno: Indonesia Merdeka” atau naskah skenario film “Soekarno”
3. Mengetahui mengenai pengaturan pemilihan aktor dalam lingkup Hukum Hak Cipta
Tinjauan Teoritis
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang berbentuk yuridis-normatif,2 dimana penelitian ini
mengacu pada norma hukum yang terdapat di peraturan perundang-undangan dan putusan
pengadilan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan
yang dilakukan dengan tujuan untuk memperolah data sekunder, yang nantinya akan digunakan
sebagai landasan teoritis sehingga berkaitan dengan masalah yang akan diteliti oleh peneliti guna
mendukung data-data yang diperoleh selama penelitian dengan cara mempelajari buku-buku,
literature dan sumber lain yang relevan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian.3
Tipologi penelitian ini bersifat eksploratoris, dimana penulis bertujuan untuk menggambarkan
atau menjelaskan lebih dalam dari suatu gejala. 4 Gejala yang akan digambarkan atau dijelaskan
oleh penulis ialah mengenai pelanggaran hak cipta dan hak moral terhadap naskah film Soekarno
atau Bung Karno : Indonesia Merdeka yang didasarkan pada Studi Kasus Putusan Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat Nomor : 93/Pdt/Sus HAK-CIPTA/2013/PN.NIAGA.JKT.PST. Sumber
data penelitian ini berasal dari data kepustakaan. Sedangkan jenis data yang digunakan oleh
penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder yakni yang mencakup antara lain, dokumen-
dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan, buku harian dan
2 Penelitian yang berbentuk yuridis-normatif adalah penelitian yang menekankan pada
penggunaan norma-norma hukum secara tertulis serta didukung dengan hasil wawancara dengan narasumber dan
informan.
3 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2005), hlm. 250.
4 Ibid
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015
seterusnya. Dalam hal ini data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan.5
Namun, jika menurut penulis membutuhkan data yang lebih valid lagi dikarenakan penelitian
yang penulis angkat adalah berasal dari suatu gejala, maka penulis akan berusaha dan
menggunakan wawancara.
Pembahasan
Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009
Tentang Perfilman (UU baru tentang perfilman) “Film adalah karya seni budaya yang merupakan
pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi
dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan”. Pendefinisian UU Perfilman 2009 jauh lebih
singkat, yang perlu digaris bawahi adalah film merupakan pranata sosial dan media komunikasi
massa. Pranata sendiri diambil dari kata “nata” (bahasa jawa) yang berarti menata artinya film
mempunyai fungsi mempengaruhi orang, baik bersifat negatif ataupun positif bergantung dari
pengalaman dan pengetahuan individu. Tetapi secara umum film adalah media komunikasi yang
mampu mempengaruhi cara pandang individu yang kemudian akan membentuk karakter suatu
bangsa. Nah, fungsi inilah yang ternyata sebagai pranata sosial, mempengaruhi tatanan sosial
kemasyarakatan berbangsa dan bernegara. Sayangnya di Indonesia belum banyak film yang
mampu memberi sumbangsih mendidik, film di negeri ini baru pada tatanan menghibur dan
menginformasikan. Inilah tantangan Anda sebagai calon sineas muda, mampukah kita membuat
film tidak hanya menghibur dan menginformasikan tetapi juga harus mendidik (menata bangsa -
pranata sosial).6
Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa
pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid,
pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala
bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan
5 Ibid., hlm.12
6 http://mind8pro.blogspot.com/p/production-house.html diakses pada 22 September 2014 pukul 01:07
23 http://musa666.wordpress.com/2011/11/04/definisi-film/ diakses pada 22 September 2014 pukul 01:08
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015
atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem Proyeksi
mekanik, eletronik, dan/atau lainnya;7
Sebuah film, juga disebut gambar bergerak, adalah serangkaian gambar diam atau
bergerak. Hal ini dihasilkan oleh rekaman gambar fotografi dengan kamera, atau dengan
membuat gambar menggunakan teknik animasi atau efek visual.
Adaptasi merupakan istilah yang menggambarkan yaitu kegiatan menggubah, mengubah,
dan membuat turunan dari sebuah karya cipta. Adaptasi berarti suatu ciptaan yang diciptakan
dari ciptaan yang sudah ada sebelumnya seperti, terjemahan, adaptasi, ciptaan turunan,
aransemen music atau gubahan apapun dari suatu ciptaan literature atau artistik, atau fonogram
atau pagelaran dan termasuk adaptasi sinematografi atau bentuk apapun lainnya dimana ciptaan
tersebut mungkin dibentuk ulang, diubah, atau diadaptasikan untuk disertakan dalam bentuk
turunan apa pun yang dapat dikenali yang diturunkan dari bentuk aslinya8 Ciptaan Turunan yang
juga sering deikenal dengan istilah atau sebutan (rigt in the exploitation of derivative work).
Ciptaan turunan merupakan ciptaan baru yang diciptakan melalui terjemahan, aransemen,
transformasi, atau adaptasi. Keunikan hak ciptaan turunan ini adalah biarpun pemilik hak
ciptanya adalah pemilik Hak Cipta turunan namun di saat yang sama, pencipta ciptaan orisinal
juga memiliki hak yang sama dengan hak pencipta.
Hak Cipta turunan inilah yang dikenal dengan karya cipta yang di dalamnya memiliki
hak cipta dan berasal dari sebuah karya adaptasi. Jadi dapat dikatakan bahwa karya cipta yang
berasal dari adaptasi sering disebut dengan istilah karya cipta turunan. Dan seperti yang telah
dijelaskan di atas, dalam karya cipta turunan, terdapat hak ekonomi yang dikenal sebagai hak
eksklusif yang merupakan konteks utama dari hak cipta. Dalam karya cipta turunan ini, antara
pemilik hak cipta karya turunan dengan pemilik hak cipta dari karya orisinil tetap memiliki hak
yang sama dalam pembagian royalti.
8 http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Teks_Lisensi_Creative_Commons_Atribusi-BerbagiSerupa_3.0 diakses
pada 20 September 2014 pukul 14:17
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015
Terkait dengan kasus di yang diangkat, pasal manakah yang lebih sinkron atau lebih sesuai
dengan teori mengenai sutradara dan produser dalam adaptasi karya cipta dalam hukum hak
cipta, yaitu apakah Pasal 33 atau Pasal 34 Undang-Undang Hak Cipta tahun 2014, maka pertama
akan dibahas mengenai penafsiran dari Pasal 33 itu sendiri. Pasal 33 berbunyi :
“(1) Dalam hal ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh 2
(dua) orang atau lebih, yang dianggap sebagai pencipta yaitu orang yang memimpin dan
mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan (2) Dalam hal orang yang memimpin dan
mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada,
yang dianggap sebagai Pencipta yaitu orang yang menghimpun ciptaan dengan tidak
mengurangi hak cipta masing-masing atas bagian ciptaannya”9
Yang dimaksud dengan beberapa bagian tersendiri, yaitu di dalam suatu film atau
pertunjukan terdapat beberapa bagian yang masing-masing bagian tersebut memang memiliki
hak, seperti : adanya musik, adanya koreografi, adanya tari dan adanya acting. Keseluruhan
bagian tersebut merupakan beberapa bagian tersendiri yang masing-masing dari bagian tersebut
memiliki penciptanya, namun di dalam suatu karya cipta yang terdiri dari beberapa bagian
tersendiri ini, pasti ada orang yang memimpin dan mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan itu.
Atau bisa disebut sebagai orang yang bertanggung jawab atas penyelesaian dari Karya Cipta
tersebut. Dan jika dalam hal tidak ada orang tersebut, maka yang dianggap sebagai pencipta
adalah orang yang menghimpunnya atau dapat juga dikatakan sebagai orang yang
mempersatukan bagian-bagian tersendiri tersebut namun tidak mengurangi hak cipta yang
dimiliki oleh masing-masing pencipta dari bagian-bagian tersebut yang berdiri secara sendiri-
sendiri. Dalam konsep ini, perlu dipahami bahwa film bukanlah jenis ciptaan yang
dihimpun/dikompilasi sebagaimana yang diterangkan di dalam Pasal 33, sehingga pasal yang
lebih tepat dalam menentukan siapakah pencipta dari suatu film adalah Pasal 34.
Selanjutnya, pembahasan mengenai Pasal 34 Undang-Undang Hak Cipta tahun 2014
yang berbunyi :
“Dalam hal ciptaan dirancang oleh seseorang dan diwujudkan serta dikerjakan oleh
orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, yang dianggap
pencipta yaitu orang yang merancang ciptaan”10
9 Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, Tahun 2014, Ps. 33
10 Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, Tahun 2014, Ps. 34
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015
Pasal 34 menjelaskan mengenai posisi dari orang yang merancang sekaligus ia memiliki
rancangan tersebut dan dengan orang yang mengerjakan rancangan tersebut di bawah pimpinan
dan pengawasan orang yang merancang. Dianalogikan, orang yang merancang sekaligus
memiliki rancangan tersebut adalah seorang Sutradara. Berikut dijabarkan beberapa unsur dari
Pasal 34 beserta fakta yang memang terbukti dan terjadi pada sutradara sebagai perancang.
Untuk menentukan bahwa suatu karya dapat dianggap sebagai karya turunan, pertama kali suatu
karya cipta harus mengandung keaslian dan kedua, terdaftar secara sah menurut ketentuan Undang-
Undang Hak Cipta. Istilah “sah” mengacu pada izin yang diberikan oleh pemilik hak cipta yang
sebenarnya. Oleh karena itu, orang yang ditemukan memiliki sebuah karya turunan yang berasal dari
suatu karya cipta, akan bertanggung jawab atas pelanggaran jika karya turunan tersebut dibuat tanpa
izin pemegang hak cipta atas karya cipta tersebut.
Standar yang dapat digunakan dalam menentukan orisinalitas yang diperlukan suatu karya untuk
dianggap sebagai karya turunan yakni karya turunan harus membuat variasi pada karya mendasar
yang dianggap lebih dari “hanya sepele”. Jika tingkat orisinalitas dianggap lebih dari “hanya sepele”
dan orang tersebut secara sah telah mendapat izin untuk menciptakan karya turunan, pencipta karya
adaptasi tersebut hak cipta derivatif-nya yang akan terpisak dari hak cipta yang terkandung di
dalamnya.
Karya derivatif dilindungi oleh Hak Cipta. Untuk dapat digolongkan sebagai karya derivatif,
tentunya versi baru harus memiliki perbedaan yang mencukupi dan memiliki konten atau material
baru dalam jumlah tertentu. Dengan demikian, perubahan minor tidaklah digolongkan sebagai karya
derivatif.11
Dalam reproduksi, hal yang terpenting adalah ketika kita membuat suatu karya cipta asli
namun menggunakan atau mengutip beberapa referensi yang berbeda-beda, maka hal terpenting
yang dilakukan adalah kita harus menyebutkan nama dari pencipta masing-masing kalimat atau
referensi yang dikutip dan digunakan.
Pembatasan yang sangat signifikan dalam hak eksklusif dari pemegang suatu hak cipta tertelak
pada wacana pengecualian yang biasa dikenal dengan istilah “fair dealing” atau “fair use”. Doktrin
ini seringkali sulit untuk dimengerti dibandingkan dengan seluruh ketentuan hukum dalam hak cipta.
11 Feri Sulianta, Seri Referensi Praktis: Konten Internet, dilihat (On-line) di:
http://books.google.co.id/books?id=f9Vurjx2D8C&pg=PA56&lpg=PA56&dq=buku,+hak+cipta,+derivatif,+karya+turuna
n&source=bl&ots=4nGPhr0Bv9&sig=iuOfIeNANaoTGKnsJV1s8C5OMA&hl=id&ei=KO19TfKkKMfprQfs06XMBQ&s
a=X&oi=book_result&ct=result&resnum=7&ved=0CCsQ6AEwBg#v=onepage&q=buku%2C%20hak%20cipta%2C%20d
erivatif%2C%20karya%20turunan&f=false
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015
Doktrin tersebut mengizinkan untuk menggunakan atau menggandakan hasil ciptaan orang lain
dengan tetap mempertahankan sifat yang adil (“fair”). Sejak abad ke-19, pengadilan telah memulai
mengembangkan prinsip-prinsip pembebasan berbagai bentuk pelanggaran penggunaan penggandaan
hak cipta sebagai bentuk “fair use” atau pengecualian yang diperbolehkan oleh hukum.
Pasal 9 ayat (2) Konvensi Berne memberikan kewenangan terhadap legislasi nasional untuk
mengizinkan perlindungan suatu reproduksi dalam hal-hal tertentu, selama terpenuhinya 2 (dua)
kondisi khusus, yaitu: (a) reproduksi tidak menyebabkan konflik dengan pemanfaatan dari suatu
hasil ciptaan; dan (b) setiap reproduksi tidak menyebabkan hilangnya legitimasi sang pencipta
secara wajar. Konsep yang diterapkan oleh India berbeda dengan Amerika Serikat yang
menggunakan doktrin “fair use” atau pengecualian hak cipta secara general. India juga berbeda
dengan „civil system‟ yang diterapkan di Eropa ataupun Indonesia sekalipun, di mana negara-
negara tersebut memberikan pengertian secara umum mengenai pengecualian hal cipta atas nama
pribadi. Konsep demikian dianggap berbeda sebab pengertian pengecualian seperti yang
diterapkan oleh banyak negara masihlah bersifat sangat luas dan kurang tepat. Suatu tindakan
pelanggaran hak cipta dengan pembelaan berdasarkan alasan pengecualian biasanya akan
sampaipada putusan yang menyatakan ditolaknya suatu permohonan. Namun bagaimanapun
juga, fleksibilitas mengenai pendekatan pengertian pengecualian secara luas, dapat juga
membawa dampak positif untuk menjaga konsep hukum tentang hak cipta selalu „up to date‟
dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi dan hal-hal baru dalam setiap penggunaan
hasil ciptaan.12
Film Soekarno dibuat dengan menggunakan salah satu referensinya yaitu naskah “Bung
Karno” : Indonesia Merdeka. Naskah ini diciptakan oleh Ibu Hj. Rachmawati Soekarno Putri
yang dituangkan dalam Pagelaran Gita Dharma Maha Guru yang telah dipertunjukkan sebanyak
tiga kali dan mendapat respon yang positif dari masyarakat. Namun dari pernyataan di atas, tidak
dikatakan bahwa Film Soekarno merupakan sebuah “Derivative Works” atau karya cipta turunan
dari naskah “Bung Karno : Indonesia Merdeka. Karena film ini dibuat juga berdasarkan skenario
atau naskah yang dibuat oleh Ben Parulian Sihombing sebagai Penulis Skenario Masing-masing
dari karya cipta ini memiliki pencipta yang berbeda. Film Soekarno diciptakan oleh Hanung
Bramantyo. Sedangkan Naskah “Bung Karno : Indonesia Merdeka” diciptakan oleh Ibu Hj.
Rachmawati Soekarno Putri. Lalu, dalam proses pembuatan film Soekarno, naskah Bung Karno : 12
http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/11/penelitian-hukum-pengecualian-terhadap.html diakses pada 12 Januari
2015 pukul 7:28 WIB
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015
Indonesia Merdeka ini kemudian dikembangkan menjadi suatu skenario film yang ditulis oleh
Ben Parulian Sihombing sebagai Penulis Skenario dan Hanung Bramantyo sebagai Sutradara.
Sedangkan Ibu Hj. Rachmawati disini berperan sebagai referensi utama dan telah mengikatkan
dirinya dalam suatu perjanjian kerja sama. Hal ini dibuktikan kuat dengan adanya Perjanjian
Kerja Sama Produksi Film Layar Lebar antara PT. Tripar Multivision Plus dengan Yayasan
Pendidikan Soekarno.
Pasal 34 menjelaskan mengenai posisi dari orang yang merancang sekaligus ia memiliki
rancangan tersebut dan dengan orang yang mengerjakan rancangan tersebut di bawah pimpinan
dan pengawasan orang yang merancang. Dianalogikan, orang yang merancang sekaligus
memiliki rancangan tersebut adalah seorang Sutradara. Jadi disini Sutradara adalah orang yang
memiliki rancangan dan merancang suatu film. Seorang sutradara adalah orang yang memiliki
tugas menentukan tema, lalu dilanjutkan dengan memilih naskah yang tepat untuk dijadikan
skenario, kemudian memilih aktor atau pemain yang cocok dengan penafsiran naskah, melatih
aktor atau pemain, mengatur jadwal shooting, dan sebagainya. Sutradara sebagai seseorang yang
memimpin dan mengawasi jalannya proses pembuatan film. Dan ia juga dianggap sebagai
perancang film.
Jika diaplikasikan dalam pembuatan film “Soekarno”, maka disini yang menjadi perancang
dan memiliki rancangan adalah sang sutradara, yaitu Hanung Bramantyo. Sehingga yang
menjadi pencipta dari film “Soekarno” adalah Hanung Bramantyo. Melihat pada putusan yang
telah dikeluarkan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka penulis
mengemukakan bahwa Putusan Pengadilan Niaga sudah tepat. Disini, Pengadilan Niaga
mengemukakan dalam pertimbangan hukumnya salah satunya adalah bahwa yang menjadi
perancang dalam film “Soekarno” adalah Hanung Bramantyo sebagai sutradara. Dan dialah yang
menjadi pencipta film “Soekarno”. Film dikenal sebagai suatu ciptaan yang terdiri dari beberapa
unsur dan masing-masing unsurnya memiliki hak ciptanya tersendiri. Berikut juga pada film
“Soekarno”. Dikarenakan hal tersebut, maka jelas tergambar bahwa Film Soekarno dirancang
oleh Hanung Bramantyo berdasarkan naskah skenario yang dibuat oleh Ben Parulian Sihombing
bersama-sama Hanung Bramantyo sebagai Sutradara dan Ibu Hj. Rachmawati Soekarno Putri.
Perlu digaris bawahi disini bahwa Ibu Hj. Rachmawati Soekarno Putri hanya berperan sebagai
referensi utama dan tidak seluruh Naskah Bung Karno: Indonesia Merdeka yang dimilikinya,
menjadi referensi pembuatan Film Soekarno yang dirancang oleh Hanung Bramantyo. Sehingga
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015
dengan adanya hal tersebut, Ibu Hj. Rachmawati Soekarno Putri hanya dapat dikatakan memiliki
hak cipta atas naskah Bung Karno : Indonesia Merdeka.
Dalam pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh Majelis Hakim Pada tingkat
pertama di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta pusat, telah dikemukakan beberpa
pendapat dan fakta yang telah berusaha digali oleh Majelis Hakim. Namun, disini menurut
penulis yang juga menjadi salah satu rumusan masalah dari penulis, yaitu mengenai
pertimbangan dan putusan hakim sudah tepat atau belum. Penulis disini berpendapat bahwa
pertimbangan hukum dari Majelis Hakim di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, sudah tepat. Karena didasari pokok permasalahan yang dirumuskan oleh Majelis Hakim,
yaitu : Apakah Penggugat yang dimaksud disini adalah Hj. Rachmawati Soekarno Putri adalah
pencipta atas naskah film “SOEKARNO” atau disebut BUNG KARNO : INDONESIA
MERDEKA.
Disini, Pengadilan Niaga mengemukakan dalam pertimbangan hukumnya salah satunya
adalah bahwa yang menjadi perancang dalam film “Soekarno” adalah Hanung Bramantyo
sebagai sutradara. Dan dialah yang menjadi pencipta film “Soekarno”. Film dikenal sebagai
suatu ciptaan yang terdiri dari beberapa unsur dan masing-masing unsurnya memiliki hak
ciptanya tersendiri. Berikut juga pada film “Soekarno”. Dikarenakan hal tersebut, maka jelas
tergambar bahwa Film Soekarno dirancang oleh Hanung Bramantyo berdasarkan naskah
skenario yang dibuat oleh Ben Parulian Sihombing bersama-sama Hanung Bramantyo sebagai
Sutradara dan Ibu Hj. Rachmawati Soekarno Putri. Perlu digaris bawahi disini bahwa Ibu Hj.
Rachmawati Soekarno Putri hanya berperan sebagai referensi utama dan tidak seluruh Naskah
Bung Karno: Indonesia Merdeka yang dimilikinya, menjadi referensi pembuatan Film Soekarno
yang dirancang oleh Hanung Bramantyo. Sehingga dengan adanya hal tersebut, Ibu Hj.
Rachmawati Soekarno Putri hanya dapat dikatakan memiliki hak cipta atas naskah Bung Karno :
Indonesia Merdeka.
Maka dapat disimpulkan bahwa Kedudukan Film Soekarno bukanlah sebagai derivative
work atau karya cipta turunan dari naskah Bung Karno: Indonesia Merdeka. Melainkan ia adalah
original work atau karya cipta asli yang memang dibuat dari referensi yang bermacam-macam
dan dari sumber manapun. Dan tidak dibuat dari naskah Bung Karno : Indonesia Merdeka satu-
satunya sebagai referensi. Hal semacam inilah yang disebut sebagai reproduksi dan menjadi
“reproductive work”.
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015
Mengacu kepada dua sudut pandang yang telah dikaji, yaitu dari segi dunia perfilman dan
dari segi Undang-Undang Hak Cipta, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa yang memiliki
hak untuk memilih aktor dalam proses pembuatan suatu film adalah sutradara, karena dia adalah
orang yang merancang dan memiliki rancangan. Maka daripada itu, Ibu Hj. Rahmawati Soekarno
Putri tidak berhak untuk melarang Hanung Bramantyo sebagai sutradara untuk melakukan
pemilihan aktor untuk memerankan tokoh Soekarno. Dan sayangnya, hal ini tidak dibahas detail
di dalam Putusan Pengadilan Niaga, padahal pemilihan aktor merupakan salah satu pokok
perkara yang menjadi dasar gugatan.
Kesimpulan
1. Suatu Karya Cipta yang sangat rentan dengan proses adaptasi adalah film yang merupakan
bagian dari Sinematografi. Adaptasi sebenarnya tidak memiliki definisi yang mutlak benar
sehingga dapat didefinisikan ke dalam makna yang bermacam-macam. Jika dilihat dari sudut
pandang secara umum, maka adaptasi dapat diambil definisinya adalah adanya penggubahan atau
pengambilan bentuk dari karya cipta lama yang akhirnya nanti menghasilkan karya cipta baru
yang disebut dengan karya cipta turunan atau terkenal dengan istilah “derivative work”. Disebut
sebagai karya cipta turunan, dikarenakan karya cipta tersebut merupakan suatu bentuk baru
namun berasal dari karya cipta yang lama yang akhirnya menjadi sumber inspirasi untuk
membuat karya cipta tersebut.
Jika adaptasi dilihat makna dan definisinya dari segi hukum hak cipta yang berada di bawah
payung hukum Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, maka tidak dapat kita
temukan definisi yang valid dari adaptasi. Karena Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002
tentang Hak Cipta lebih menjelaskan mengenai batas waktu perlindungan untuk sebuah karya
cipta turunan atau “derivative work” . Jadi, Undang-Undang Hak Cipta memandang adaptasi
sebagai suatu proses pengalihwujudan. Akan tetapi, menurut Landasan Yuridis yang dipakai
pada saat sekarang, yaitu Undang-Undang Hak Cipta nomor 28 tahun 2014, diatur mengenai
definisi dari adaptasi yang tertuang dalam Penjelasan pada huruf n, yaitu Yang dimaksud dengan
adaptasi adalah mengalihwujudkan suatu ciptaan menjadi bentuk lain. Sebagai contoh dari buku
menjadi film. Sedangkan menurut narasumber, adaptasi merupakan pengambilan substansi dari
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015
karya cipta lama menjadi karya cipta baru, namun tidak menjadikan karya cipta lama sebagai
suatu referensi yang diambil secara keseluruhan dalam menciptakan suatu karya cipta baru.
Kita dapat melihat bahwa banyak unsur yang terlibat dalam pembuatan film, yaitu, Produser,
Sutradara dan Penulis Skenario. Tiga unsur atau elemen ini harus selalu berkomunikasi selama
proses pembuatan film. Di antara sutradara dan produser, sebenanrnya tidak dapat diberikan
pernyataan siapa diantara dua orang itu yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Karena dua orang
tersebut telah menduduki kedudukan paling tinggi di bidang mereka masing-masing. Sutradara
merupakan orang yang paling mengerti dan paling tahu keadaan lapangan yang digunakan untuk
shooting dan sangat mengetahui seni artistik dalam perfilman. Sedangkan Produser adalah orang
yang membiayai seluruh keperluan untuk shooting dan dialah yang memberikan dana untuk
pembuatan film agar dapat berjalan dengan lancar.. Tidak semua film adalah karya cipta turunan
(Derivative Work) dikarenakan ada beberapa film, yaitu salah satunya film biografi yang disebut
sebagai Reproductive Work yang mengalami proses reproduksi dan termasuk kepada kategori
ciptaan yang dirancang, dan pencipta dari film adalah pemilik rancangannya, yaitu Sutradara.
Karena sutradara adalah orang yang merancang dalam pembuatan suatu film. Hal ini mengacu
pada Pasal 34 UU Hak Cipta Nomor 28 tahun 2014
2. Namun ternyata dapat disimpulkan bahwa Kedudukan Film Soekarno bukanlah sebagai
derivative work atau karya cipta turunan dari naskah Bung Karno: Indonesia Merdeka ataupun
dari naskah film Soekarno. Melainkan ia adalah original work atau karya cipta asli yang memang
dibuat dari referensi yang bermacam-macam dan dari sumber manapun. Dan tidak dibuat dari
naskah Bung Karno : Indonesia Merdeka satu-satunya sebagai referensi. Hal semacam inilah
yang disebut sebagai reproduksi dan menjadi “reproductive work”.
3. Mengenai pemilihan aktor, dapat dikaji dari dua sudut pandang yaitu dari sudut dunia
perfilman dan juga dari sudut Undang-Undang Hak Cipta. Dari dunia perfilman, ternyata
pemilihan aktor merupakan tugas pokok dari seorang sutradara. Dan dari Undang-Undang Hak
Cipta, memang tidak diatur secara tegas, namun Penulis mengacu kepada Pasal 34 UU Hak Cipta
nomor 28 tahun 2014. Maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa yang memiliki hak untuk
memilih aktor dalam proses pembuatan suatu film adalah sutradara, karena dia adalah orang
yang merancang dan memiliki rancangan. Maka daripada itu, Ibu Hj. Rachmawati Soekarno
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015
Putri tidak berhak untuk melarang Hanung Bramantyo sebagai sutradara untuk melakukan
pemilihan aktor untuk memerankan tokoh Soekarno. Dan sayangnya, hal ini tidak dibahas detail
di dalam Putusan Pengadilan Niaga, padahal pemilihan aktor merupakan salah satu pokok
perkara yang menjadi dasar gugatan.
Saran
• Kepada para penggagas film, yaitu pemilik naskah dan tim produksi film yang terdiri dari
produser, sutradara dan penulis skenario disarankan untuk dapat melakukan perjanjian
kerjasama secara detail termasuk menjelaskan mengenai proses adaptasi dari karya cipta
yang dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman
• Kepada para produser film, disarankan dalam hal manajerial proses pembuatan film, yang
berkaitan dengan wewenang produser yaitu agar dapat mengatur hak dan kewajiban
antara pencipta dari original work dan derivative work secara jelas
• Kepada para sutradara film, disarankan dalam mengelola suatu pembuatan film yang
dimulai dari tahap pre-production, production dan post production agar mengemukakan
wewenang yang dimiliki oleh sutradara kepada seluruh insan yang terlibat dalam proses
pembuatan film termasuk salah satunya adalah tahap pemilihan aktor
• Kepada pemerintah, disarankan agar dapat menyempurnakan beberapa hal yang belum
diatur secara jelas di dalam UUHC No. 28 tahun 2014 khususnya mengenai adaptasi serta
karya turunan untuk objek sinematografi dan juga mengenai reproductive work dalam
proses reproduksi dan melakukan sosialisasi mengenai pengetahuan di bidang Hak Cipta
untuk insan yang terlibat dalam dunia perfilman
Kepustakaan
A. BUKU
Barricelli & Gibaldi, Interrelations of Literature (New York: MLA, 1982).
Bourdieu, Pierre. (1977). Outline Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University Press
Burke, Peter. (2001b). “ History of Events and the Revival of Narrative.” Dalam Peter Burke,
(ed.), New Perspsectives on Historical Writing. London: Blackwell. Hal.283-300
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015
Campbell, 2001
Chakrabarty, Dipesh. (1997). “Poscoloniality and the Artifice of History.” Dalam Bill Aschroff,
Damian,Eddy.Hukum Hak Cipta.ed.2.cet.3.Bandung:PT. Alumni.2005. hal. 125
Djumhana , Muhammad. Hak Milik Intelektual (Dalam Sejarah dan Teori), hlm., 68
Effendy, 1986., hlm 34.,
Effendy, Heru. Industri Pertelevisian Indonesia, Jakarta : Erlangga, 2009 , hlm., 62
Essay, Mari Menonton Buku, 1 Juni 2004
Gareth Griffiths & Helen Tiffin (Eds.), The Post-Colonial Studies Reader. London & New York:
Routledge. Hal. 383-388
Hidayah, Unning Kesuma, Penanggulangan Pelanggaran Hak Cipta Terhadap Pembajakan
CD/VCD (Studi Kasus di Jawa Tengah), (Semarang: 2008), hlm.20.
Hobsbawn. Eric. (1999). On History. London: Abacus
Indah Hanisa, Eka. Artikel Ilmiah Tinjauan Yuridis Tindakan Pengalihwujudan atas Karya
Fotografi dalam Perspektif Hak Cipta Indonesia dan Amerika Serikat. Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya. Malang: 2014
Irawanto., 1999., hlm 13.,
Jenkins, Keith. (Ed.). (1997). Postmodern History Reader. London & New York: Routledg
Kernodle, George R., Invitation to the Theatre (New York: Harcourt, Brace & World, Inc.,
1967).
Kesowo, Bambang , Inovasi dan HAKI, 2010
Kuntowijoyo. (1995). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang
Lee, 1965., hlm. 149.,
M.Ramli,Ahmad.,Fathurrahman.Film Independen Dalam Perspektif Hukum Hak Cipta dan
Hukum Perfilman Indonesia.Bogor: Ghalia Indonesia.2005
Mamudji, Sri., dkk., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Depok: Badan Penerbit Fakultas
Magill, Frank N., Cinema: The Novel into Film (Pasadena: Salem Press Inc., 1980).
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015
Monaco, James., 1984., hlm., 233
Mukti Fajar dkk, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2010
Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008
Nugroho, Garin, Kekuasaan dan Hiburan (Yogyakarta: Bentang, 1995)
Purba, Achmad Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, PT. Alumni, Bandung, 2011
Riswandi. Budi Agus, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005, hlm.1
Rooseno Harjowidigdo, Pejanjian Lisensi Hak Cipta Musik dalam Pembuatan Rekaman, Jakarta
: Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, 2005, hlm,. 20
S. Itafarida. Adaptasi dari Karya Sastra ke Film : Persoalan dan Tantangan.
Soekanto, Soerjono , Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
2010, hal. 52.
Subekti, Aneka Perjanjian, cet.10, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hlm.,. 59.
Sumarno, 1996 ., hlm 10.,
Sutedi, Adrian, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
Tempo, ed. 30 Maret 2003 ., hlm. 64
Zulqamar., 2007 hlm., 29
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works
Burgerlijk Wetbook. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Psl. 1320
Indonesia, Undang-Undang Perfilman, UU No. 33 tahun 2009, LN No. 14, TLN No 5060
Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs)
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 19 tahun 2002, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No.
4220
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 28 tahun 2014, LN No.
United States Code Title 17
WIPO Copyright Treaty
B. KAMUS
Bryan A. Garner Thomson, Black‟s Law Dictionary Eight Edition, West Group, Amerika Serikat,
2004
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai
Pustaka, Jakarta, 1996
Henry Campbell, Black‟s Law Dictionary, hal. 34
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka :1990 hlm., 242
JURNAL INTERNET
BBC, 2013, Ukraina Ditunding Tak Lindungi HKI (online), http://www.bbc.co.
uk/indonesia/majalah/2013/ 05/13050, (26 Maret 2014)
BBC, 2010, RI Pelanggar Terburuk HKI di Asia (online), http://www.bbc.co.uk/indonesia/
beritaindonesia/2010/08/100825_hakintelektual.shtml, (26 Maret 2014)
Daniel Gervais, 2012, Derivative Works, User-Generated Content, And (Messy) Copyright
Rules, Copyright & New Media Law Newsletter (online), 16.1, http://search.proquest.
com/docview/1027226464/ fulltextPDF/9338A4815BDB4018PQ/4?accountid=46437
(diakses tanggal 8 Mei 2014)
Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M in IT Law, Hak Kekayaan Intelektual Dalam Era Digital
(online), http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17077/hak-kekayaan-intelektual-
dalam-era-digital- (diakses tanggal 3 Juli 2014)
Fatkhul Aziz, 2014, Indonesia Terbelakang Dalam Perlindungan Kekayaan Intelektual, (online),
http://www.lensaindonesia.com/2014/02/03/indonesia-terbelakang-dalam-perlindungan-
kekayaan-intelektual.html, (diakses tanggal 6 April 2014)
http://creativecommons.or.id/2011/10/apakah-penggunaan-saya-termasuk-suatu-adaptasi/
diakses pada 21 September 2014 pukul 2:55
http://depts.washington.edu/uwcopy/Using_Cpyright/Evaluating_Risks/Adaptation.php, diakses
pada 21 September 2014 pukul 1:33
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015
http://djih.riset.go.id diakses pada 21 September 2014 pukul 7:50
http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/viewFile/628/617 diakses pada 21
September 2014 pukul 10:57
http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Teks_Lisensi_Creative_Commons_Atribusi-
BerbagiSerupa_3.0 diakses pada 20 September 2014 pukul 14:17
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Adaptasi%20dari%20Karya%20Sastra%20ke%20Film.pdf
diakses pada 21 September 2014 pukul 11:05
http://www.kemenkumham.go.id/berita/155-ruu-hak-cipta-disahkan-pencipta-dan-seniman-
semakin-mendapat-kepastian-hukum diakses pada 21 September 2014 pukul 8:06
http://m.okezone.com/read/2014/09/14/206/1038811/deretan-nama-pemenang-festival-film-
bandung-2014 diakses pada 28 September 2014 pukul 9:09
http://magisterhukum.narotama.ac.id/index.php/detil_berita/54 diakses pada 21 September 2014
pukul 3:03
http://mind8pro.blogspot.com/p/production-house.html diakses pada 22 September 2014 pukul
01:07
http://musa666.wordpress.com/2011/11/04/definisi-film/ diakses pada 22 September 2014 pukul
01:08
http://opiqueghoqielt.blog.com/2010/12/19/job-description-film-production/ diakses pada 22
September 2014 pukul 00:24
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37615/3/Chapter%20II.pdf diakses pada Sabtu,
20 September 2014, pukul 15.03
http://5martconsultingbandung.blogspot.com/2010/10/pengertian-film.html diakses pada 22
September 2014 01:04
http://teaterdunia.wordpress.com/ diakses pada 21 September 2014 pukul 2:16
www.wikipedia.com diakses pada 22 September 2014 pukul 17:24
Anonim, 2006, Comparing Fair Dealing and Fair Use, Copyright & New Media Law
Newsletter (online), Vol.10.4, http://search.proquest.com /docview/274619544
/76AD818A20164CF3 PQ/3?accountid=46437, (diakses tanggal 20 Juni 2014)
Richard A. Posner, When Is Parodi Fair Use?, Chicago Journals (online),
http://www.jstor.org/discover/10.2307/724401?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=21104
276913503, (diakses tanggal 8 Juni 2014)
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015
Analisis yuridis..., Fachrunisa Dwirachma, FH, 2015