analisis yuridis argumentasi hukum terdakwa dalam
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
ANALISIS YURIDIS ARGUMENTASI HUKUM TERDAKWA
DALAM MEMORI KASASI YANG DIDASARKAN
TERDAPATNYA DISPARITAS PIDANA
(STUDI KASUS DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 2839 K/ PID.SUS/ 2010)
Penulisan Hukum
( Skripsi )
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna
Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
SRI LESTARI HANDAYANI
NIM. E1107214
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : SRI LESTARI HANDAYANI
NIM : E1107214
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum ( skripsi ) berjudul :
”ANALISIS YURIDIS ARGUMENTASI HUKUM TERDAKWA DALAM
MEMORI KASASI YANG DIDASARKAN TERDAPATNYA DISPARITAS
PIDANA (STUDI KASUS DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 2839 K/ PID.SUS/ 2010)” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal
yang bukan karya saya dalam penulisan hukum ( skripsi ) ini diberi tanda citasi
dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti
pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik
berupa pencabutan penulisan hukum ( skripsi ) dan gelar yang saya peroleh dari
penulisan hukum ( skripsi ) ini.
Surakarta, Maret 2011
Yang membuat pernyataan
SRI LESTARI HANDAYANI
NIM. E1107214
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Sri Lestari Handayani, E1107214. 2011. ANALISIS YURIDIS ARGUMENTASI HUKUM TERDAKWA DALAM MEMORI KASASI YANG DIDASARKAN TERDAPATNYA DISPARITAS PIDANA (STUDI KASUS DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2839 K/ PID.SUS/ 2010). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian argumentasi hukum terdakwa dalam mengajukan kasasi berdasarkan adanya disparitas pidana dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mengetahui pertimbangan hakim kasasi dalam menilai pengajuan kasasi terdakwa yang didasarkan adanya disparitas pidana.
Penulisan hukum ini termasuk dalam penulisan hukum normatif yang bersifat preskriptif dengan menggunakan pendekatan kasus. Jenis bahan hukum yang digunakan adalah jenis bahan hukum sekunder dengan menggunakan sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Sumber bahan hukum primer berupa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDRI Tahun 1945), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Putusan Mahkamah Agung Nomor. 2839 K/ Pid.Sus/ 2010, sumber bahan hukum sekunder berupa buku-buku, karya ilmiah, makalah, artikel, sumber dari internet yang terkait, dan sumber bahan hukum tersier berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus hukum. Teknis analisis bahan hukum adalah dengan menggunakan analisis deduksi yaitu menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil simpulan bahwa pengajuan permohonan kasasi yang didasarkan alasan disparitas pidana tidak dapat dibenarkan menurut Undang-Undang karena tidak sesuai dengan alasan pengajuan kasasi yang tercantum dalam Pasal 253 ayat (1) Kiitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sekalipun alasan disparitas dapat digunakan dalam alasan pengajuan kasasi hal tersebut berkaitan penilaian hasil pembuktian, dan penjatuhan pidana merupakan kompetensi judex facti, bukan kompetensi judex juris dan bukan alasan formal kasasi. Selain itu yang dimaksud perkara yang sama dalam disparitas tidak hanya tindak pidananya saja, akan tetapi mempertimbangkan unsur- unsur yang lain karena setiap perkara tindak pidana dalam proses peradilan tentunya ada hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Kata Kunci: Alasan Kasasi, disparitas pidana, Pasal 253 ayat (1) KUHAP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT Sri Lestari Handayani, E1107214. 2011. A JURIDICAL ANALYSIS ON LAW ARGUMENTATION OF THE ACCUSED IN THE MEMORY OF APPEAL TO THE SUPREME COURT (KASASI) BASED ON THE PRESENCE OF CRIMINAL DISPARITY (A CASE STUDY ON SUPREME COURT’S VERDICT NUMBER 2839 K/PID.SUS/2010). Law Faculty of Sebelas Maret University.
This research aims to find out the compatibility of the defendant’s law argumentation in appealing to the Supreme Court based on the presence of punishment disparity and the provision of Criminal Procedural Law Code (KUHAP), and to find out the appeal judge’s rationale in assessing the defendant’s appeal based on the punishment disparity.
This writing belongs to a normative law research that is prescriptive in nature using case study approach. The type of law material used was secondary law material using primary, secondary and tertiary law material sources. The primary law material sources included Republic of Indonesia’s 1945 Constitution (UUDRI 1945), Criminal Procedural Law Code (KUHAP), Supreme Court’s Verdict Number 2839 K/PID.SUS/2010, while the secondary one included books, scientific works, papers, articles, relevant sources from the internet, and the tertiary one include Indonesian Big Dictionary (KBBI) and legal dictionary. Technique of analyzing law material used was deductive analysis.
Considering the result of research, it can be concluded that the proposal of appeal to Supreme Court based on criminal disparity rationale cannot be justified by the Act because it is not consistent with the rationale of appeal to Supreme Court proposal included in the Article 253 clause (1) of Criminal Procedural Law Code (KUHAP). Although disparity rationale can be used in such appeal to Supreme Court proposal, it relates to the authentication result assessment and punishment imposition is judex facti competency, not judex juris competency, and no formal reason of appeal to Supreme Court. In addition, what means by the same cases in disparity is not only the crime, but also considering other elements because each criminal case in the trial process has alleviating and aggravating factors. Keywords: Rationale of appeal to Supreme Court, criminal disparity, Article 253
clause (1) of KUHAP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
Sesungguhnya ALLAH SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum
apabila mereka sendiri tidak merubahnya
(QS. AR-Ro’ad :11)
Kasih sayang tanpa kekuatan adalah kelemahan, kekuatan tanpa kasih
sayang adalah kezaliman
(Shovinji Kempo)
Tuntutlah ilmu tetapi tidak melupakan ibadah dan kerjakanlah ibadah
tetapi tidak boleh melupakan ilmu
(David J. Schwartz)
Pendidikan akan berhasil dengan baik apabila ada kerjasama antara
anak, orangtua, dan guru
(K.H. Dewantara)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta dan
terima kasih kepad a:
1. Allah SWT sang penguasa alam atas segala karunia, rahmat dan
nikmat yang telah diberikan-Nya;
2. Nabi Muhammad SAW, sebagai Uswatun Hasanah yang telah
memberi suri tauladan yang baik bagi umatnya;
3. Ayahanda Slamet Setyoraharjo dan Ibunda Sri Muryani yang telah
memberikan kasih sayang yang tiada duanya kepada penulis;
4. Kakakku Andry Dwi Prasetya, Sri Palupi, Sri Susilowati serta
Keponakanku Nadine Phalosa Syaima, dan Adikku Sri Kayatri;
5. Mas Ardhy yang telah memberikan dukungan serta semangat
kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini;
6. Sahabat-sahabatku yang telah membantu dalam penulisan skripsi
ini dan juga untuk kekompakan selama ini (Dewi A.H., Pandu,
Ginanjar, Topik, Tangguh, dll.);
7. Teman-teman Fakultas Hukum UNS angkatan 2007;
8. Semua pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi
ini;
9. Almamaterku, Fakultas Hukum UNS, yang telah memberi bekal ilmu
pengetahuan dan pengalaman untuk menghadapi kehidupan yang
sesungguhnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut Asma Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, serta
diiringi rasa syukur kehadirat Illahi Rabbi, penulisan hukum (Skripsi) yang
berjudul “ANALISIS YURIDIS ARGUMENTASI HUKUM PENUNTUT
UMUM DALAM MEMORI KASASI YANG DIDASARKAN
TERDAPATNYA DISPARITAS PIDANA (STUDI KASUS DALAM
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2839 K/ PID.SUS/ 2010)” dapat
penulis selesaikan dengan lancar.
Penyusunan penulisan hukum skripsi ini mempunyai tujuan yang utama
untuk melengkapi salah satu syarat dalam mencapai derajat sarjana (S1) dalam
bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini tidak luput dari
kekurangan, baik dari segi materi yang disajikan maupun dari segi analisanya,
namun penulis berharap bahwa penulisan hukum ini mampu memberikan manfaat
baik bagi penulis maupun bagi pembacanya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang
tulus kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non
materiil, sehingga penulisan hukum (Skripsi) ini dapat diselesaikan, terutama
kepada :
1. Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya;
2. Nabi Muhammad SAW, semoga penulis dapat istiqomah dijalan-Nya hingga
akhir jaman;
3. Bapak Muhammad Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan ijin dan kesempatan
kepada penulis untuk dapat melaksanakan Penulisan Hukum ini;
4. Pembantu Dekan I, yang telah membantu dalam pemberian ijin dilakukannya
penulisan hukum ini;
5. Bapak Edy Herdyanto S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah memfasilitasi dalam
penulisan hukum ini;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
6. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. selaku pembimbing skripsi dalam
penulisan hukum ini yang telah bersedia menyediakan waktu dan pikirannya
untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi penulis;
7. Bapak Harjono, S.H., M.H., selaku Ketua Program Non Reguler yang telah
ikut berkontribusi dalam penulisan hukum ini;
8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak dapat
saya sebutkan satu persatu, atas semua ilmu pengetahuan yang tiada terkira
berharganya bagi hidup dan kehidupan penulis;
9. Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas Sebelas
Maret, atas semua kemudahan, fasilitas serta kesempatan-kesempatan yang
telah diberikan;
10. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum UNS;
11. Semua keluargaku, kakakku Mas Andry, Mbak upik, Mbak Wati, adikku
Kayatri, serta ponakanku Nadine Palhosa Syaima terutama ayah dan ibuku
Bapak Slamet Setyoraharjo dan Ibu Sri Muryani yang selalu memberikan
cinta, kepercayaan, nasehat, dorongan, bantuan dan doa yang tiada henti,
semangat, salah satu motivatorku untuk segera lulus;
12. Mas Ardhy, Taufik, Dewik A.H., Ginanjar, Pandu yang telah banyak
berkontribusi dalam penyusunan skripsi ini memberikan pemikiran dalam
skripsi ini, membantu, memberikan semangat untuk segera lulus;
13. Seluruh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
khususnya angkatan 2007 terima kasih semangat yang telah diberikan kepada
saya;
14. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas semua
bantuan baik materiil maupun imateriil.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini masih jauh
dari sempurna, mengingat keterbatasan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu
dengan lapang dada penulis ingin mengharapkan segala saran dan kritik yang
bersifat membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan penulisan hukum ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
Demikian, mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis, akademis, praktisi serta
masyarakat umum.
Surakarta, Maret 2011
Sri Lestari Handayani
NIM. E1107214
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................................... v
ABSTRACT ................................................................................................................... vi
HALAMAN MOTTO .................................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ................................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 7
E. Metode Penelitian .................................................................................. 8
F. Sistematika Penulisan Hukum ............................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ...................................................................................... 14
1. Tinjauan Tentang Disparitas Pidana ................................................ 14
a. Pengertian Disparitas Pidana ..................................................... 14
b. Dampak Disparitas Pidana ......................................................... 14
c. Faktor-faktor Penyebab Disparitas Pidana ................................. 15
d. Usaha intuk Menekan Disparitas Pidana .................................. 16
2. Tinjauan Tentang Argumentasi Hukum ........................................... 16
a. Pengertian Argumentasi Hukum ................................................ 16
b. Teori Argumentasi Hukum ........................................................ 18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
3. Tinjauan Tentang Upaya Hukum Kasasi ........................................ 19
a. Pengertian Upaya Hukum Kasasi ............................................... 19
b. Tujuan Upaya Hukum Kasasi .................................................... 20
c. Alasan Upaya Hukum Kasasi ..................................................... 21
4. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Narkotika ................................... 24
a. Pengertian Tindak Pidana .......................................................... 24
b. Pengertian Tindak Pidana Narkotika ......................................... 25
5. Tinjauan Tentang Kekuasaan Kehakiman ....................................... 28
a. Pengertian Kekuasaan Kehakiman............................................. 28
b. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman .................................. 28
c. Definisi Hakim ........................................................................... 29
d. Kewajiban Hakim ...................................................................... 30
e. Pengawasan Hakim .................................................................... 31
f. Kedudukan Hakim yang Bebas dan Tidak Memihak ................ 31
g. Faktor Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Berat
Ringannya Putusan Pemidanaan ................................................. 31
B. Kerangka Pemikiran ............................................................................... 33
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kesesuaian Argumentasi Hukum Terdakwa dalam Mengajukan
Kasasi Berdasarkan Adanya Disparitas Pidana dengan Ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ...................... 37
B. Pertimbangan Hakim Kasasi dalam Menilai Pengajuan Kasasi
Terdakwa yang Didasarkan Adanya Disparitas Pidana ........................ 47
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................................. 54
B. Saran-Saran ............................................................................................ 55
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Acara Pidana merupakan suatu sistem kaidah atau norma yang
diberlakukan oleh negara, dalam hal ini oleh kekuasaan kehakiman, untuk
melaksanakan Hukum Pidana (materiil), dimana dalam tindak pidana dibuktikan
dengan adanya proses penyelidikan, penyidikan, penahanan, penuntutan,
praperadilan, pemeriksaan sidang, pembuktian, kemudian putusan pengadilan yang
dilakukan oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang oleh Undang-
Undang untuk mengadili. Dan apabila terdapat ketidakpuasan terhadap putusan
pengadilan yang tidak memuaskan terdakwa atau penuntut umum, maka dapat
diajukan upaya hukum.
Upaya hukum dapat dilakukan oleh terdakwa atau penuntut umum terhadap
putusan pengadilan pada tingkat Pengadilan Negeri dengan mengajukan banding,
kecuali terhadap putusan bebas. Apabila terdakwa atau penuntut umum tidak
menerima putusan Pengadilan Tinggi, maka dapat mengajukan upaya hukum kasasi.
Upaya hukum banding dan kasasi merupakan upaya hukum biasa yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab XVII. Menurut Pasal
244 KUHAP putusan perkara pidana yang dapat diajukan permohonan pemeriksaan
kasasi adalah semua putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan kecuali terhadap putusan Mahkamah Agung sendiri dan putusan bebas
(M. Yahya Harahap, 2002: 542). Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi.
Hal ini bersifat imperatif karena tanpa memori kasasi permohonan kasasi dianggap
tidak memenuhi syarat. Akibatnya permohonan kasasi dianggap tidak sah.
Berbagai upaya hukum tersebut diadakan untuk menjamin hak asasi
manusia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD RI 1945). Karena hakim adalah manusia biasa yang dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
melakukan kesalahan dan juga kekhilafan, jaminan dan perlindungan hak-hak asasi
manusia, pemisahan dan pembagian kekuasaan dalam Negara, serta pemerintahan
berdasarkan hukum tersebut harus dijamin dalam suatu konstitusi. Selain itu
konstitusi tersebut harus pula menjamin kemerdekaan warga Negara untuk
mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, menjamin kemerdekaan
berserikat dan berkumpul dan sebagainnya, dengan kata lain harus menjamin
kehidupan berdemokrasi.
Untuk itu semua harus ada lembaga yang bertugas menegakkan konstitusi,
demokrasi dan hukum, yaitu lembaga kekuasaan kehakiman. Menurut Pasal 24 ayat
(1) UUD RI Tahun 1945, kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-Undang.
Kekuasaan Kehakiman sebagai suatu kekuasaan negara yang bebas dan merdeka di
satu sisi membawa dampak yang sangat positif terhadap upaya penegakan hukum di
Indonesia. Dalam hal ini, hakim menjadi suatu badan yang independen dan
putusannya tidak dapat dipengaruhi oleh badan-badan atau kekuasaan lain.
Tetapi di sisi lain, kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusannya
ternyata juga membawa suatu dampak negatif yaitu munculnya disparitas pidana itu
sendiri. Disparitas Pidana (Disparity of Sentencing) dalam hal ini adalah penerapan
pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (Same Offence) atau
terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan
(Offences of Comparable Seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas
(http://library.usu.ac.id/index.php?option=comjournals&sf=keyword&keyword=Huk
um%20pidana&task=search.).
Sepintas terlihat bahwa disparitas pidana merupakan bentuk dari
ketidakadilan yang dilakukan hakim kepada para pencari keadilan. Masyarakat
tentunya akan membandingkan putusan hakim secara general dan menemukan bahwa
disparitas telah terjadi dalam penegakkan hukum di Indonesia. Disparitas pidana ini
pun membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Di satu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
sisi pemidanaan yang berbeda, disparitas pidana merupakan bentuk dari diskresi
hakim dalam menjatuhkan putusan, tapi di sisi lain pemidanaan yang berbeda,
disparitas pidana ini pun membawa ketidakpuasan bagi terpidana bahkan masyarakat
pada umumnya.
Muncul pula kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh
masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk
ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat. Kepercayaan masyarakat
pun semakin lama semakin menurun pada peradilan, sehingga terjadilah kondisi
dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau dianggap sebagai rumah keadilan bagi
mereka atau dengan kata lain terjadi kegagalan dari sistem peradilan pidana. Main
hakim sendiri pun menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih memenuhi rasa keadilan
daripada mengajukan perkara mereka ke pengadilan.
Keadaan ini tentu menimbulkan ketidakseimbangan dalam putusan
peradilan dan juga bertentangan dengan konsep rule of law yang dianut oleh Negara
Indonesia, dimana pemerintahan diselenggarakan berdasarkan hukum dan didukung
dengan adanya lembaga yudikatif yakni institusi peradilan untuk menegakkan hukum,
apa jadinya jika masyarakat tidak lagi percaya pada penegakan hukum di Indonesia.
Tidak sampai disitu saja, konsep equality before the law yang menjadi salah satu ciri
Negara hukum pun masih perlu dipertanyakan terkait dengan realita yang ada,
dimana disparitas pidana tampak begitu nyata dalam penegakan hukum.
Fakta tersebut merupakan bentuk dari perlakuan peradilan yang tidak sama
terhadap sesama pelaku tindak pidana sejenis yang kemudian diberikan hukuman
yang berbeda. Misalnya dalam kasus perkosaan yang sifat dan karakteristikanya
sama, tetapi hakim menjatuhkan pidana yang jauh berbeda (http://devidarmawan.
wordpress.com/2010/10/07/problematika-disparitas-pidana dalam-penegakan-hukum-
di-indonesia/). Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Muladi dan Barda
Nawawi Arief, sebagaimana di kutip oleh Devidarmawan dalam http://
devidarmawan.wordpress.com/2010/10/07/problematika- disparitas- pidanadalam-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
penegakan-hukum-di-indonesia yakni: “Terpidana yang setelah memperbandingkan
pidana kemudian merasa menjadi korban terhadap judicial caprice akan menjadi
terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum
tersebut merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan. Dari ini akan
Nampak suatu persoalan yang serius, sebab akan merupakan suatu indikator dan
manifestasi dari kegagalan suatu sistem unutk mencapai persamaan keadilan di dalam
Negara hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap
sistem penyelenggaraan hukum pidana. Sesuatu yang tidak diharapkan terjadi
bilamana disparitas tersebut tidak diatasi, yaitu timbulnya demoralisasi dan sikap anti
rehabilitasi di kalangan terpidana yang lebih berat daripada yang lain dalam kasus
yang sebanding”.
Disparitas pemidanaan merupakan permasalahan pada pemidanaan. Hal ini
dapat dilihat dari diangkatnya permasalahan tersebut dalam musyawarah Nasional
VII Ikatan Hakim Indonesia di Pandaan Jawa Timur 1975, Musyawarah Nasional
VIII Ikatan Hakim Indonesia di Jakarta Tahun 1992. Adanya disparitas pidana dalam
penegakan hukum ini juga mendapat tanggapan dari Harkristuti Harkrisnowo
sebagaimana di kutip oleh Devidarmawan dalam http://devidarmawan.
wordpress.com/2010/10/07/problematika-disparitas pidanadalam-penegakan-hukum-
di-indonesia yang dalam salah satu tulisannya menyatakan bahwa: “Dengan adanya
realita disparitas pidana tersebut, tidak heran jika publik mempertanyakan apakah
hakim pengadilan telah benar-benar melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan
keadilan?. Dilihat dari sisi sosiologis, kondisi disparitas pidana dipersepsi publik
sebagai bukti ketiadaan keadilan (societal justice). Sayangnya, secara yuridis formal,
kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum. Meskipun demikian,
seringkali orang melupakan bahwa elemen “keadilan” pada dasarnya harus melekat
pada putusan yang diberikan oleh hakim”.
Dari tulisan Harkristuti Harkrisnowo tersebut dapat pula dipahami bahwa
pendapatnya tersebut adalah salah satu pembenaran bahwa disparitas pidana telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
membawa hukum kita kepada keadaan yang tidak lagi sesuai dengan tujuan
penegakan hukum. Hukum yang semula dimaksudkan untuk menjadi penjaga
keadilan, kemanfaatan sosial, dan kepastian hukum tidak lagi dapat dipenuhi secara
utuh, karena dalam hal ini unsur keadilanlah yang oleh masyarakat dirasa tidak lagi
dipenuhi atau diberikan oleh Hakim dalam menegakkan hukum. Disparitas pidana
tidak hanya terjadi di Indonesia, yang termasuk keluarga hukum eropa continental,
yang tidak mengenal sistem presedent. Hampir seluruh Negara di dunia menghadapi
masalah ini. Disparitas pidana yang disebut sebagai the disturbing disparity of
sentencing mengundang perhatian lembaga legislatif serta lembaga lain yang terlibat
dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana untuk memecahkannya
(http://devidarmawan.wordpress.com/2010/10/07/problematika- disparitas pidana
dalam-penegakan-hukum-di-indonesia).
Jika semua putusan hakim yang terdapat suatu disparitas pidana tidak ada
pihak yang melakukan upaya hukum, maka tujuan untuk mencapai suatu keadilan
bagi para pihak tidak akan pernah tercapai karena tegaknya hukum keadilan dan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dalam tindak pidana dibuktikan
dengan dikeluarkannya suatu putusan Hakim. Hal yang tak kalah menarik perhatian
penulis adalah kasus dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2839 K/ Pid.Sus/ 2010
yang dilakukan oleh tedakwa Adang Suryana alias Kamanak, bertempat tinggal di
Kelurahan Kayu Jati, Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal, telah
tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan
narkotika golongan I bukan tanaman, jenis shabu-shabu.
Dimana salah satu alasan pengajuan kasasi oleh terdakwa adalah bahwa
judex facti tidak mempertimbangkan akan disparitas penjatuhan hukuman atas
perkara yang sama dengan nilai barang bukti yang sedemikian kecil misalnya putusan
perkara artis-artis misalnya perkara Semi, Roy Marten dan lain sebagainya. Di mana
tentunya ada dipertimbangkan disparitas penjatuhan hukuman yang harus dilihat dari
sudut keadilan, oleh karena tidak adil jika barang bukti Terdakwa 0,2 gram dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
barang bukti yang dimiliki oleh orang lain yang jumlahnya di atasnya hukumannya
adalah sama, oleh karena keadilan adalah milik semua orang yang harus dijunjung
tinggi. Dalam kasus ini Majelis Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari
pemohon kasasi. Menurut hakim alasan tersebut tidak dapat dikenakan karena alasan-
alasan tersebut berkaitan penilaian hasil pembuktian, dan penjatuhan pidana
merupakan kompetensi judex facti, bukan kompetensi judex juris dan bukan alasan
formal kasasi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk menulis,
meneliti dan menuangkan dalam suatu penulisan hukum dengan judul: “ANALISIS
YURIDIS ARGUMENTASI HUKUM TERDAKWA DALAM MEMORI
KASASI YANG DIDASARKAN TERDAPATNYA DISPARITAS PIDANA
(STUDI KASUS DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2839 K/
PID.SUS/ 2010)”.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting didalam suatu
penelitian, karena dengan itu berarti seorang peneliti telah mengidentifikasi persoalan
yang akan diteliti, sehingga sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas, tegas, terarah
dan dapat mencapai sasaran yang diharapakan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis akan merumuskan
perumusan masalah yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini, sebagai
berikut:
1. Apakah argumentasi hukum terdakwa dalam mengajukan kasasi berdasarkan
adanya disparitas pidana sudah sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)?
2. Bagaimanakah pertimbangan hakim kasasi dalam menilai pengajuan kasasi
terdakwa yang didasarkan adanya disparitas pidana?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas, sehingga dengan
adanya tujuan tersebut dapat dicapai solusi atas masalah yang dihadapi saat ini.
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan
sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui kesesuaian argumentasi hukum terdakwa dalam
mengajukan kasasi berdasarkan adanya disparitas pidana dengan ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim kasasi dalam menilai pengajuan
kasasi terdakwa yang didasarkan adanya disparitas pidana.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh bahan hukum-bahan hukum sebagai bahan utama
penyusunan penulisan hukum guna memenuhi syarat-syarat untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk meningkatkan dan mendalami berbagai teori yang telah penulis
peroleh selama berada di bangku kuliah.
c. Untuk menambah wawasan dalam memperluas pemahaman akan arti
penting ilmu hukum dalam teori.
D. Manfaat Penelitian
Dalam setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan
yang diperoleh dari penelitian, sebab besar kecilnya manfaat penelitian akan
menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. Adapun yang manjadi manfaat dari
penelitian ini dibedakan antara manfaat teoritis dan manfaat praktis yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan perkembangan pemikiran dalam ilmu hukum pada umumnya,
dan pada Hukum Acara Pidana pada khususnya.
b. Dapat memberikan jawaban terhadap permasalah yang akan diteliti.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan pengetahuan pemikiran bagi para pihak yang memiliki
kepentingan dalam penelitian ini.
b. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk
mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
c. Untuk melatih Penulis dalam mengungkapkan adanya semacam
permasalahan tertentu secara sistematis dan berusaha memecahkan
permasalahan yang ada tersebut dengan metode ilmiah yang baik.
d. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
terkait dengan masalah penelitian ini.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah merupakan unsur yang paling penting dalam
penelitian untuk mendapatkan bahan hukum dengan validitas tinggi. Tanpa suatu
metode maka seorang peneliti akan mengalami kesulitan dalam menentukan,
merumuskan dan memecahkan masalah dalam mengungkapkan suatu kebenaran.
Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-
prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum yang berguna untuk menjawab isu
hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 35). Beberapa hal yang
menyangkut metode penelitian dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif disebut juga
penelitian hukum doktrinal atau penulisan hukum kepustakaan. Yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
sekunder, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari hasil penelitian kajian bahan-
bahan pustaka. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian
ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.
Penelitian hukum normatif sering kali hukum dikonsepkan sebagai apa
yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum
dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku
manusia yang dianggap pantas (Amiruddin & H. Zainal Asikin, 2008: 118).
Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk
menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya
(Johnny Ibrahim, 2006: 57).
2. Sifat Penelitian
Dalam usaha memperoleh bahan hukum yang diperlukan untuk menyusun
penulisan hukum ini, maka akan dipergunakan metode penelitian preskriptif dan
terapan. Sebagai suatu ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari
tujuan hukum, nilai nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum
dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar
prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum
(Peter Mahmud Marzuki, 2005: 22).
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini adalah dengan
menggunakan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan kasus (case
approach) dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan
norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Dalam
penelitian normatif kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memeperoleh gambaran
terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam
eksplanasi hukum (Johnny Ibrahim, 2006: 321).
4. Jenis Bahan hukum Penelitian
Bahan hukum adalah suatu keterangan atau fakta dari obyek yang diteliti.
Berkaitan dengan jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis yang merupakan
penelitian normatif, maka jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
ini adalah jenis bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder didapat dari
sejumlah keterangan atau fakta-fakta yang diperoleh secara tidak langsung, yaitu
melalui bahan hukum-bahan hukum yang diperoleh dengan cara penelitian
kepustakaan yang terdiri dari dokumen-dokumen, buku-buku literatur, himpunan
peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku, hasil penelitian yang
berwujud laporan, bahan-bahan dari internet maupun bentuk-bentuk lain yang
berkaitan dengan masalah penelitian.
5. Sumber Bahan hukum Penelitian
Sumber bahan hukum adalah tempat dimana penelitian ini diperoleh.
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah sumber bahan hukum
sekunder, yaitu tempat dimana diperoleh bahan hukum sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini, meliputi :
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 141). Bahan-bahan
hukum primer terdiri dari perundang-undangan dan putusan-putusanhakim.
Yang menjadi bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini adalah:
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI
Tahun 1945);
2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
4) Putusan Mahkamah Agung No. 1099 K/Pid/2007;
5) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;
6) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika;
7) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman;
8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana;
9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer (Amiruddin & H. Zainal Asikin, 2008: 32).
Yang digunakan dalam penelitian hukum ini antara lain buku-buku terkait,
karya ilmiah, makalah, artikel, sumber dari internet, dan lain sebagainya
yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
(Amiruddin & H. Zainal Asikin, 2008: 32). Bahan hukum tersier seperti
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, Kamus Politik, dan
Ensiklopedia.
6. Teknik Pengumpulan Bahan hukum
Berdasarkan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif maka
untuk memeperoleh bahan hukum yang mendukung, kegiatan pengumpulan
bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan (library
research), yang mana studi pustaka ini dilaksanakan dengan membaca dan
mempelajari buku-buku literatur, surat kabar, majalah, internet, peraturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
perundang-undangan dan dokumen resmi yang terkait dengan permasalahan yang
sesuai dengan dasar penyusunan penulisan hukum ini.
7. Teknik Analisa Bahan hukum
Agar bahan hukum yang terkumpul dapat dipertanggungjawabkan dan
dapat menghasilkan jawaban yang tepat dari suatu permasalahan maka perlu suatu
teknik anaisis bahan hukum yang tepat. Analisis bahan hukum merupakan langkah
selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Di dalam
penelitian studi kepustakaan, disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Dalam penelitian hukum ini
permasalahan hukum dianalisa oleh penulis dengan metode deduksi, yaitu manarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan
konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006: 393). Analisa dengan menggunakan
metode deduksi ini dengan menggunakan premis mayor dan premis minor. Dalam
premis mayor atau hal yang bersifat umum yaitu dengan menggunakan undang-
undang sebagai bahan acuan yang dalam hal ini adalah KUHAP terutama dalam
Pasal 253 ayat (1) dan beserta teori-teorinya, sedangkan premis minor atau
permasalahan konkret yang dihadapi adalah alasan kasasi sesuai dengan Pasal 253
ayat (1) KUHAP, yang dalam hal ini alasan pengajuan kasasi dikaitkan dengan
adanya disparitas pidana. Dari hasil tersebut ditarik suatu kesimpulan.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk mempermudah pemahaman dalam pembahasan dan untuk
memberikan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi, penulisan hukum ini
akan dibagi menjadi 4 (empat) bab dengan menggunakan sistematika sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian
yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan mengenai teori-teori yang menjadi landasan
dalam penulisan hukum ini. Adapun mengenai teori-teori tersebut
antara lain mengenai tinjauan tentang disparitas pidana, tinjauan
tentang argumentasi hukum, tinjauan tentang upaya hukum kasasi,
tinjauan tentang tindak pidana narkotika, tinjauan tentang kekuasaan
kehakiman.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh
dari hasil meneliti, yaitu meliputi: apakah argumentasi hukum
terdakwa dalam mengajukan kasasi berdasarkan adanya disparitas
pidana sudah sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dan bagaimanakah pertimbangan hakim
kasasi dalam menilai pengajuan kasasi terdakwa yang didasarkan
adanya disparitas pidana.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini diuraikan mengenai simpulan yang dapat diperoleh dari
keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, dan saran dari
penelitian ini yang tentu saja berpedoman pada hasil penelitian dan
pembahasan.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Disparitas Pidana
a. Pengertian Disparitas Pidana
Yang dimaksud dengan disparitas pidana atau “disparity of sentencing”
menurut Cheang seperti dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi (1998:53)
adalah penerapan pidana yang tidak sama atau “same offence” terhadap
tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan atau
“offences comparable seriousness” tanpa dasar pembenaran yang jelas.
b. Dampak Disparitas Pidana
Menurut Muladi dan Barda Nawawi bahwa terpidana yang setelah
membandingkan pidana kemudian merasa menjadi korban terhadap “yudicial
caprice” akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal
penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target di dalam
tujuan pemidanaan. Dari sini akan nampak suatu persoalan yang serius, sebab
akan merupakan suatu indikator dan manifestasi dari kegagalan suatu sistem
untuk mencapai persamaan keadilan di dalam Negara hukum dan sekaligus
akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan
hukum pidana. Sesuatu yang tida diharapkan terjadi bilamana disparitas
pidana tersebut tidak dapat diatasi yakni timbulnya demoralisasi dan sikap anti
rehabilitasi dikalangan terpidana yang lebih berat dari pada yang lain dalam
kasus yang sebanding (Gregorius Aryadi, 1995: 34).
Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Sekretariat PBB
pada tahun 1965 menyatakan bahwa “In most countries there is, admittedly, a
varying degree of disparity and inconsistency in the sentencing process and
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
this tends to engender disrespect and even contempt for the law” (Muladi dan
Barda Nawawi, 1998: 54).
c. Faktor-Faktor Penyebab Disparitas Pidana
Menurut Muladi dan Barda Nawawi bahwa disparitas pidana dapat
disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya:
1) Hukum itu sendiri
Yang mana dalam hukum pidana positif Indonesia hakim
mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana yang
dihendaki, sehubungan dengan penggunaan sistem alternative di dalam
pengancaman pidana di dalam Undang-Undang (Muladi dan Barda
Nawawi, 1998: 56).
2) Faktor Si hakim sendiri baik secara aksternal dan internal
Sifat eksternal dan internal ini kadang-kadang sulit dipisahkan
karena sudah terpadu sebagai atribut seseorang yang disebut sebagai
“human equation” atau “personality of the judge” dalam arti luas yang
menyengkut pengaruh latar belakang sosial, pendidikan, agama,
pengalaman, perangai dan perilaku sosial. Hal ini sebagaimana
diungkapkan oleh Hood ang Sparked yang dikutip oleh Muladi dan Barda
Nawawi (1998: 58).
Faktor sex (jenis kelamin), recidivisme dan usia, juga
mempengaruhi pertimbangan seorang hakim dalam menerapkan sanksi
pidana (Muladi dan Barda Nawawi, 1998: 60).
Persepsi hakim terhadap “philosophy of punishment” dan “ the aims
of punishment”, yang oleh Molly Cheang dikatakan sebagai “the basic
difficulty, sangat memegang peranan penting di dalam penjatuhan pidana.
Seorang hakim mungkin berfikir bahwa tujuan berupa “deterrence” hanya
bias dicapai dengan pidana penjara. Namun di lain pihak dengan tujuan
yang sama akan berpendapat bahwa pengenaan denda akan lebih efektif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Seorang hakim yang memandang “classical shool” lebih baik daripada
“positive shool” akan memidana lebih berat sebab ia akan berfikir bahwa
“punishment fit the criminal” (Muladi dan Barda Nawawi, 1998: 59).
d. Usaha Untuk Menekan Disparitas Pidana
Menurut Muladi dan Barda Nawawi (1998: 67-71), bahwa upaya yang
dapat dilakukan untuk mengatasi disparitas pemidanaan adalah:
1) Menciptakan suatu pedoman pemberian pidana (statutory guide lines for
sentencing), yang memberikan kemungkinan bagi hakim untuk
memperhitungkan seluruh “fecet” daripada kejadian, yaitu dengan berat
ringannya delik dan cara delik itu dilakukan dengan pribadi si pembuat,
umurnya, tingkat kecerdasannya dan keadaan-keadaan serta suasana
waktu perbuatan pidana itu dilakukan.
2) Meningkatkan peranan pengadilan banding di dalam mengurangi
disparitas pidana.
3) Membentuk lembaga seperti di Amerika yang disebut “sentencing
council” yang fungsinya untuk saling berkonsultasi memberikan
pandangan terhadap perkara yang sedang dihadapi.
4) Seleksi dan pelatihan para hakim yaitu dengan memberikan informasi
tentang masalah pemidanaan, obyek pemidanaan dan bagaimana untuk
menjadi hakim yang sukses.
2. Tinjauan Tentang Argumentasi Hukum
a. Pengertian Argumentasi Hukum
Dalam terminology hukum menurut Rahuhandoko sebagaimana dikutip
oleh Kusnu Goesniadhie dalam http://pn-kepanjen.go.id/index.php?option=
com_content&view=category&id=23&Itemid=36. istilah argument diartikan
sebagai berusaha mempercayakan orang lain dengan mengajukan alasan-
alasan. Dalam kamus filsafat menurut Rakhmad sebagaimana dikutip oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Kusnu Goesniadhie dalam http://pn-kepanjen.go.id/index.php?option=com
content&view=category&id=23&Itemid=36. argument dari bahasa Latin
arguere yang berarti menjelaskan. Alasan-alasan (bukti) yang ditawarkan
untuk mendukung atau menyangkal sesuatu.
Dalam Kamus Hukum menurut Sudarsono, sebagaimana dikutip oleh
Kusnu Goesniadhie dalam http://pn-kepanjen.go.id/index.php?option=com
content&view=category&id=23&Itemid=36. istilah argumen diberikan arti
sebagai alasan yang dapat dipakai untuk memperkuat atau menolak suatu
pendapat, pendirian, atau gagasan. Berargumen, berarti berdebat dengan
saling mempertahankan atau menolak alasan masing-masing. Istilah
argumentasi, diartikan sebagai pemberian alasan untuk memperkuat atau
menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan. Berargumentasi berarti
memberikan alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat,
pendirian atau gagasan.
Istilah hukum dimaksudkan sebagai norma, yang lazimnya diartikan
sebagai aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur bagaimana
seyogyanya berbuat atau tidak berbuat agar kepentingan masing-masing
terlindungi. Norma merupakan pandangan objektif masyarakat tentang apa
yang seyogyanya diperbuat atau tidak diperbuat. Pengertian norma hukum
meliputi asas hukum, norma hukum dalam arti sempit atau nilai (value norm)
dan peraturan hukum konkret.
Norma hukum dalam arti yang luas, berhubungan satu sama lain dan
merupakan satu sistem, yaitu sistem hukum. Di samping norma dan sistem
hukum sebagai sasaran studi ilmu hukum, karena hukumnya tidak lengkap,
sehingga perlu dicari dan diketemukan. Oleh karena itu harus dipelajari pula
caranya mencari atau menemukan hukum. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan argumentasi hukum adalah alasan berupa uraian penjelasan yang
diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis, untuk
memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
dengan asas hukum, norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta sistem
hukum dan penemuan hukum (http://pnkepanjen.go.id/index.php?option=
comcontent &view= category&id=23&Itemid=36.).
b. Teori Argumentasi Hukum
Teori argumentasi mengkaji bagaimana menganalisis, merumuskan suatu
argumentasi secara cepat. Teori argumentasi mengembangkan kriteria yang
dijadikan dasar untuk suatu argumentasi yang jelas dan rasional. Isu utama
adalah kriteria universal dan kriteria yuridis yang spesifik yang menjadikan
dasar rasionalitas argumentasi hukum. Argumentasi hukum merupakan satu
model argumentasi khusus. Terdapat dua hal yang menjadi dasar kekhususan
argumentasi hukum :
1) Tidak ada Hakim atau pun Pengacara, yang mulai berargumentasi dari
suatu keadaan hampa. Argumentasi hukum selalu dimulai dari hukum
positif. Hukum positif bukan merupakan suatu keadaan yang tertutup
ataupun statis, akan tetapi merupakan satu perkembangan yang berlanjut.
Dari suatu ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan menentukan
norma-norma baru. Orang dapat bernalar dari ketentuan hukum positif
dari asas yang terdapat dalam hukum positif untuk mengambil keputusan-
keputusan baru.
2) Kekhususan yang kedua dalam argumentasi hukum atau penalaran
hukum, berkaitan dengan kerangka prosedural, yang di dalamnya
berlangsung argumentasi rasional dan diskusi rasional (http://pn-
kepanjen.go.id/index.php?option=com_content&view=category&id=23&
Itemid=36.).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
3. Tinjauan tentang Upaya Hukum Kasasi
a. Pengertian Upaya Hukum Kasasi
Undang-Undang menyediakan upaya hukum bagi terdakwa maupun
penuntut umum, yaitu apabila pihak-pihak tersebut merasa tidak puas
terhadap kualitas putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan atau putusan
tersebut dirasakan tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan (http://eprints.
undip.ac.id/24015/1/Ni_Nengah_Adiyaryani-01.pdf).
Pasal 1 angka 12 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menjelaskan bahwa : “Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut
umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan,
banding, kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan
kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
Kasasi adalah pembatalan atas keputusan pengadilan lain yang dilakukan
pada tingkat peradilan terakhir dimana menetapkan perbuatan pengadilan-
pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali
keputusan pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan
terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (http://advokatku.blogspot.
com/2010/06/kasasi-pengertian-dan-prosedurnya. html).
Pengertian kasasi ada dua istilah adalah sebagai berikut (M. Yahya
Harahap, 2002 : 535-537) :
1) Kasasi merupakan upaya hukum biasa : Seperti dalam penjelasan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 telah menegaskan : Mahkamah Agung merupakan peradilan tingkat terakhir (kasasi) bagi semua lingkungan peradilan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
atau dengan kata lain Mahkamah Agung adalah peradilan kasasi bagi semua lingkungan peradilan.
2) Kasasi merupakan hak : Upaya kasasi adalah hak yang diberikan kepada terdakwa maupun kepada penuntut umum. Tergantung pada mereka untuk mempergunakan hak tersebut. Seandainya mereka dapat menerima putusan yang dijatuhkan, dapat mengesampingkan hak itu, tetapi apabila keberatan atas putusan yang diambil, dapat menggunakan hak ntuk mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung.
b. Tujuan Upaya Hukum Kasasi
Adapun tujuan utama upaya hukum kasasi, adalah sebagai berikut :
a) Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan
Salah satu tujuan kasasi, memperbaiki dan meluruskan kesalahan
penerapan hukum, agar hukum benar-benar diterapkan sebagaimana
mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan
menurut ketentuan Undang-Undang (M. Yahya Harahap, 2002 : 539).
b) Menciptakan dan membentuk hukum baru
Di samping tindakan koreksi yang dilakukan Mahkamah Agung
dalam peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus
menciptakan hukum baru dalam membentuk yurisprudensi. Berdasarkan
jabatan dan wewenang yang ada padanya dalam bentuk judge making law,
sering Mahkamah Agung menciptakan hukum baru yang disebut hukum
kasus atau case law, guna mengisi kekosongan hukum, maupun dalam
rangka menyejajarkan makna dan jiwa ketentuan Undang-Undang sesuai
dengan elastisitas pertumbuhan kebutuhan lajunya perkembangan nilai
dan kesadaran masyarakat (M. Yahya Harahap, 2002 : 541).
c) Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum
Mewujudkan kesadaran atau keseragaman penerapan hukum atau
unified legal frame work dan unified legal opinion. Dengan adanya
putusan kasasi yang mencipta yurisprudensi, akan mengarahkan
keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum, serta dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindari kesewenangan dan
penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam
memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya (M. Yahya
Harahap, 2002 : 542).
c. Alasan Upaya Hukum Kasasi
Alasan kasasi ada dua, yaitu adalah sebagai berikut (M. Yahya Harahap,
2002 : 565-573) :
1) Alasan kasasi yang dibenarkan menurut Undang-Undang
Alasan kasasi sudah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 253 ayat
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pemeriksaan
kasasi dilakukan Mahkamah Agung berpedoman kepada alasan-alasan
tersebut dan pemohon kasasi harus mendasarkan keberatan-keberatan
kasasi bertitik tolak dari alasan yang disebutkan Pasal 253 ayat (1). Yang
harus diutarakan dalam memori kasasi ialah keberatan atas putusan yang
dijatuhkan pengadilan, karena isi putusan itu mengandung kekeliruan atau
kesalahan yang tidak dibenarkan oleh Pasal 253 ayat (1).
Alasan kasasi yang diperkenankan atau yang dapat dibenarkan Pasal
253 ayat (1), yaitu terdiri dari :
a) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak dterapkan atau diterapkan
tidak sebagaimana mestinya;
b) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan
undang-undang;
c) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Ketiga hal ini keberatan kasasi yang dibenarkan oleh Undang-
Undang sebagai alasan kasasi. Di luar ketiga alasan ini, keberatan kasasi
ditolak karena tidak dibenarkan Undang-Undang. Penentuan alasan kasasi
yang limitatif dengan sendirinya serta sekaligus membatasi wewenang
Mahkamah Agung memasuki pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
terbatasnya hanya meliputi kekeliruan pengadilan atas ketiga hal tersebut.
Di luar ketiga hal itu, Undang-Undang tidak membenarkan Mahkamah
Agung menilai dan memeriksanya.
2) Alasan kasasi yang tidak dibenarkan oleh Undang-Undang
a) Keberatan kasasi putusan Pengadilan Tinggi menguatkan putusan
Pengadilan Negeri
Alasan kasasi yang memuat keberatan, putusan Pengadilan
Tinggi tanpa pertimbangan yang cukup menguatkan putusan
Pengadilan Negeri, tidak dapat dibenarkan dalam pemeriksaan kasasi.
Percuma pemohon kasasi mengajukan alasan keberatan yang
demikian, sebab seandainya Pengadilan Tinggi menguatkan putusan
serta sekaligus menyetujui pertimbangan Pengadilan Negeri, hal ini :
(1) Tidak merupakan kesalahan penerapan hukum, dan tidak
merupakan pelanggaran dalam melaksanakan peradilan menurut
ketentuan Undang-Undang serta tidak dapat dikategorikan
melampaui batas wewenang yang ada padannya;
(2) Tindakan Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan
Negeri, masih dalam batas wewenang yang ada padannya, karena
berwenang penuh menguatkan dan mengambil alih putusan
Pengadilan Negeri yang dianggap telah tepat.
b) Keberatan atas penilaian pembuktian
Keberatan kasasi atas penilaian pembuktian termasuk di luar
alasan kasasi yang dibenarkan Pasal 253 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu, Mahkamah
Agung tidak berhak menilainnya dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
c) Alasan kasasi yang bersifat pengulangan fakta
Pengulangan fakta dalam hal ini adalah mengulang-ulang
kembali hal-hal dan peristiwa yang pernah dikemukakannya baik
dalam pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri maupun dalam memori
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
banding. Isi memori kasasi yang diajukan hanya mengulang kembali
kejadian dan keadaan yang telah dikemukakannya dalam pemeriksaan
pengadilan yang terdahulu.
d) Alasan yang tidak menyangkut persoalan perkara
Alasan ini sering dikemukakan pemohon dalam memori kasasi
mengemukakan keberatan yang menyimpang dari apa yang menjadi
pokok persoalan dalam putusan perkara yang bersangkutan. Keberatan
kasasi yang seperti ini dianggap irrelevant, karena berada di luar
jangkauan pokok permasalahan atau dianggap tidak megenai masalah
pokok yang bersangkutan dengan apa yang diputus pengadilan.
e) Berat ringannya hukuman atau besar kecilnya jumlah denda
Keberatan pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan oleh Undang-
Undang, sebab tentang berat ringannya hukuman pidana yang
dijatuhkan maupun tentang besar kecilnya jumlah denda adalah
wewenang pengadilan yang tidak takluk pada pemeriksaan tingkat
kasasi. Jika hukuman atau denda yang dijatuhkan masih di bawah
batas maksimum ancaman pidana yang didakwakan, pengadilan tidak
salah menerapkan hukum, dan berwenang menjatuhkan pidana badan
atau denda asal tidak melampaui batas maksimum ancaman hukuman,
tetapi jika hukuman atau denda yang dijatuhkan melampaui batas
maksimum ancaman hukuman, pengadilan salah menerapkan hukum
dan terhadapnya dapat dibenarkan permohonan kasasi.
f) Keberatan kasasi atas pengembalian barang bukti
Alasan kasasi seperti ini tidak dapat dibenarkan Pengembalian
barang bukti dalam perkara pidana adalah wewenang pengadilan yang
tidak takluk pada pemeriksaan kasasi. Pengadilan sepenuhnya berhak
menentukan kepada siapa barang bukti dikembalikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
g) Keberatan kasasi karena novum
Masalah keberatan kasasi mengenai hal-hal yang telah “pernah
diperiksa” sehubungan degan perkara yang bersangkutan, baik dalam
sidang Pengadilan Negeri maupun dalam tingkat banding. Berarti
suatu hal yang diajukan dalam keberatan kasasi, padahal itu tidak
pernah diperiksa dan diajukan baik pada pemeriksaan sidang
Pengadilan Negeri maupun pada pemeriksaan tingkat banding, tidak
dapat dibenarkan karena tidak tunduk pada pemerikasaan kasasi.
Pengajuan hal seperti ini dalam keberatan kasasi dianggap “hal baru”
atau “novum”.
4. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Narkotika
a. Pengertian Tindak Pidana
Menurut Wirjono Prodjodikoro pengertian tindak pidana adalah
“pelanggaran norma-norma dalam 3 (tiga) bidang hukum lain, yaitu Hukum
Perbahan hukum, Hukum Ketata-Negaraan dan Hukum Tata-Usaha-
Pemerintahan, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu
hukuman pidana” (Wirjono Prodjodikoro, 2002: 1).
Menurut Lamintang (1997: 185), tindak pidana itu sebagai suatu
tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun
tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan yang dapat dihukum.
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan
sebagai “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut” (Moeljatno, 2000: 54).
Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan
dilarang yang disertai ancaman pidana pada barangsiapa yang melanggar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
larangan tersebut. Wadah tindak pidana ialah Undang-undang, baik berbentuk
kodifikasi yakni KUHP dan di luar kodifikasi, tersebar luas dalam berbagai
peraturan perundang-undangan (Adami Chazawi, 2002: 67).
Dalam kamus hukum tindak pidana merupakan setiap perbuatan yang
diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut
dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya.
Suatu perbuatan agar dapat disebut sebagai tindak pidana harus
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1) Perbuatan yang dilarang;
2) Akibat dari perbuatan itu menjadi dasar alasan mengapa perbuatan
tersebut dilarang (dalam rumusan undang-undang);
3) Bersifat melanggar Hukum.
Pada pemutusan pemidanaanya kejahatan dipidana lebih berat
dibandingkan dengan pelanggaran. Prinsipnya suatu tindak pidana terdapat
sifat yang sama yakni wederrechtelijkheid (sifat melanggar hukum), sehingga
dapat dikatakan suatu tindak pidana tidak akan ada tanpa adanya sifat yang
melanggar hukum.
Kriteria untuk membedakan suatu golongan tindak pidana dengan
golongan tindak pidana lain terdapat pada kriterianya untuk membedakan hal
tersebut. KUHP membagi tindak pidana ke dalam 2 (dua) golongan yaitu
pelanggaran dan kejahatan. Hal ini disebabkan keduanya bersifat kuantitatif
yaitu kejahatan pada umumnya diancam dengan pidana lebih berat
dibandingkan dengan pelanggaran (Wirjono Prodjodikoro, 2002: 8).
b. Pengertian Tindak Pidana Narkotika
1) Pengertian Narkotika
Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
2) Penggolongan Narkotika
Penggolongan Narkotika diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009, yaitu:
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
3) Ketentuan Pidana Narkotika
Perbuatan-perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana serta
ketentuan sanksi pidana pidana mengenai narkotika dalam Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 diatur dalam BAB XV Pasal 111 sampai
dengan Pasal 148.
Adapun mengenai perbuatan yang digolongkan sebagai tindak
pidana narkotika anatara lain:
a) Perbuatan menggunakan, menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, menyediakan, memproduksi, mengimpor,
mengekspor, menyalurkan, menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
menyerahkan, membawa, mengirim, mengangkut, mentransito
narkotika yang bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang
(Pasal 111 sampai dengan Pasal 126).
b) Perbuatan tidak melapor adanya penyelahgunaan/ kepemilikan
narkotika secara tidak sah (Pasal 128 dan Pasal 131).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
c) Menggunakan anak belum cukup umur dalam melakukan tindak
pidana narkotika (Pasal 133).
Sedangkan mengenai ketentuan sanksi pidana dalam tindak pidana
narkotika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 memberi kebijakan
sebagai berikut:
a) Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (pidana penjara dalam waktu
tertentu/ seumur hidup, denda, kurungan dan pidana mati), pidana
tambahan (pencabutan izin usaha/ pencabutan hak tertentu), dan
tindakan pengusiran (bagi warga Negara asing).
b) Jumlah dan lamanya pidana bervariasi. Untuk denda berkisar antara
1.000.000,00 (satu juta rupiah) sampai dengan 20.000.000.000,00
(dua puluh milyar rupiah). Untuk pidana penjara berkisar antara 3
(tiga) bulan sampai dengan 20 (dua puluh) tahun dan seumur hidup.
c) Sanksi pidana pada umumnya diancamkan secara komulatif
(terutama pidana penjara dan denda).
d) Ada pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului
dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan
oleh korporasi, digunakan dengan menggunakan anak belum cukup
umur, dan apabila ada pengulangan (residive).
e) Percobaan dan pembantuan melakukan tindak pidana narkotika
dipidana sama dengan melakukan tindak pidanannya.
4) Subyek Tindak Pidana
Subyek tindak pidana (orang yang dapat dipidana) menurut
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dapat berupa orang perorangan
maupun korporasi. Namun disamping itu, ada pula subyek yang bersifat
khusus, yaitu pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah,
apotek, Dokter, pimpinan lembaga ilmu pengetahuan, pimpinan industry
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
farmasi, dan pimpinan pedagang besar farmasi (Pasal 14 jo Pasal 147
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009).
5. Tinjauan Tentang Kekuasaan Kehakiman
a. Pengertian Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan Kehakiman menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia.
b. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman
Dasar penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman diatur dalam BAB IX
Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 yang menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan
oleh Mahkamah Agung dan Badan-badan Kehakiman lan yang susunan dan
kekuasaannya diatur dalam Undang-Undang serta syarat-syarat untuk menjadi
dan memberhentikan hakim ditetapkan dengan Undang-Undang.
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan bahwa penyelenggaraan Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dalam pelaksanaan operasionalnya Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan
oleh Mahkamah Konstitusi dan Badan Peradilan yang terdiri dari empat
lingkungan peradilan dan berpuncak pada Mahkamah Agung. Berdasarkan
Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, empat lingkungan peradilan tersebut adalah Badan Peradilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha
Negara, Peradilan Militer. Masing-masing dari lingkungan peradilan tersebut
meliputi badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding serta berwenang
untuk menyelenggarakan pengadilan terhadap perkara-perkara perdata dan
pidana bagi golongan masyarakat umum. Sedangkan Peradilan Agama,
Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer berwenang untuk
menyelenggarakan pengadilan terhadap perkara-perkara khusus bagi golongan
tertentu sehingga merupakan peradilan yang khusus.
c. Definisi Hakim
Pengertian Hakim yaitu pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang
oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Dalam Pasal 12 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, hakim
pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman.
Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang.
Wewenang hakim sebagai pejabat peradilan Negara yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang berdasarkan Pasal 1 butir 8 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana adalah untuk mengadili. Dalam Pasal 1 butir 9
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan mengadili adalah serangkaian
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana
berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di siding pengadilan dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.
Kemudian disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat (1) Pengadilan dilarang menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
untuk memeriksa dan mengadilinya. Pasal 12 ayat (1) dan (2) menyebutkan
bahwa Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana
dengan kehadiran terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain. …….
dan seterusnya. Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004
tentang Peradilan Umum disebutkan bahwa Pengadilan Negeri bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan
perkara perdata di tingkat pertama.
d. Kewajiban Hakim
Kewajiban hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman dapat diperinci sebagai berikut:
1) Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1)).
2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib
memperhatikan pula sifat baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)).
3) Apabila ada hubungan darah sampai derajad ketiga atau semenda atau
hubungan suami/ istri meskipun telah bercerai dengan Hakim Ketua,
Hakim Anggota, Jaksa, Penasihat Hukum atau Panitera, hakim wajib
mengundurkan diri dari suatu pemeriksaan perkara (Pasal 29 ayat (3)).
4) Hakim Ketua Sidang, Hakim Anggota dan Jaksa bahkan Panitera yang
masih terikat hubungan darah sampai derajad ketiga atau semenda atau
hubungan suami/ istri meskipun telah bercerai dengan yang diadili, wajib
mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara tersebut (Pasal 29 ayata (4)).
5) Hakim diwajibkan untuk bersumpah atau berjanji menurut agamannya
sebelum memangku jabatan (Pasal 30).
Kewajiban hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dapat diperinci sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal
5 ayat (1)).
2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang
hukum (Pasal 5 ayat (2)).
3) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim (Pasal 5 ayat (3)).
e. Pengawasan Hakim
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi
Yudisial (Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman).
f. Kedudukan Hakim yang Bebas dan Tidak Memihak
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 menjamin adanya
Kekuasaan Kehakiman yang bebas. Kedudukan hakim yang bebas dan tidak
memihak secara tegas tercantum dalam Penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, yang menyatakan:
“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggarannya Negara Hukum Republik
Indonesia”.
g. Faktor Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Berat Ringannya Putusan
Pemidanaan
Seperti yang telah dikemukakan di atas dalam hal hakim diberi
kebebasan dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
tentunya hakim terikat juga oleh alat bukti yang sah. Hal ini sesuai dengan
Pasal 183 KUHAP yang menyatakan secara tegas bahwa hakim tidak bolah
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kuranya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP dijelaskan bahwa tujuan hal
tersebut adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian
hokum. Oleh karena itu dikenal asas tiada pidana tanpa kesalahan (geemstraf
zonder sould) dalam hukum pidana yaitu pidana hanya dapat dijatuhkan
apabila terdakwa benar-benar terbukti melakukan suatu kesalahan yang
dibuktikan di siding pengadilan. Asas ini tercantum pula dalam Pasal 193 ayat
(1) KUHAP yang menyatakan bahwa pengadilan menjatuhkan pidana apabila
pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
yang harus diperhatikan oleh hakim yaitu hal-hal yang meringankan dan hal-
hal yang memberatkan.
Faktor yang meringankan adalah terdakwa masih muda. Faktor yang
memberatkan adalah keterangan yang berbelit-belit, tidak mengakui
perbuatannya, meresahkan masyarakat, merugikan Negara, dan lain-lain
(Bambang Waluyo, 2000: 89-90). Hal ini tercantum dalam penjelasan Pasal
28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa
sifat-sifat yang baik maupun yang jahat dari tertuduh wajib diperhatikan
hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan.
Dalam rumusan Pasal 58 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana diatur juga dalam hal pemidanaan hakim mempertimbangkan
kesalahan pembuat, motif dan tujuan dilakukan tindak pidana, cara melakukan
tindak pidana, sikap batin pembuat, riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi
pembuat, sikap dan tindakan pembuat setelah melakukan tindak pidana,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat, pandangan masyarakat
terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Selain itu hal-hal yang meringankan dan memberatkan diatur dalam
Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP yang menyatakan bahwa surat putusan
pemidanaan memuat pasal peraturan perundang-ubdangan yang menjadi dasar
hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang
meringankan terdakwa.
B. Kerangka Pemikiran
Dalam rangka untuk memberi kemudahan dalam melakukan penelitian,
berikut ini penulis menyusun gambaran sekilas melalui sebuah diagram yang
menggambarkan beberapa hal mengenai apa yang akan penulis teliti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
PUTUSAN HAKIM
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
UPAYA HUKUM YANG DILAKUKAN
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
UPAYA HUKUM BIASA
KASASI BANDING SALAH SATU DASAR PENGAJUAN KASASI
TERDAPAT DISPARITAS PIDANA
TERDAKWA MENGGUNAKAN
ARGUMENTASI HUKUM
DALAM MEMORI KASASI
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2839 K/
PID.SUS/ 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Penjelasan:
Berbagai upaya hukum tersebut diadakan untuk menjamin hak asasi
manusia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Upaya
hukum dilakukan apabila terdakwa atau penuntut umum belum merasa puas atas
putusan Hakim. Di dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2839 K/ Pid.Sus/ 2010
terdakwa telah mengajukan kasasi.
Dimana salah satu alasan pengajuan kasasi oleh terdakwa adalah dalam
putusan terdahulu terdapat disparitas pidana, yaitu bahwa judex facti tidak
mempertimbangkan akan disparitas penjatuhan hukuman atas perkara yang sama
dengan nilai barang bukti yang sedemikian kecil misalnya putusan perkara artis-artis
misalnya perkara Semi, Roy Marten dan lain-lain sebagainya dimana tentunya ada
dipertimbangkan disparitas penjatuhan hukuman yang harus dilihat dari sudut
keadilan, oleh karena tidak adil jika barang bukti Terdakwa 0,2 gram dengan barang
bukti yang dimiliki oleh orang lain yang jumlahnya di atasnya hukumannya adalah
sama, oleh karena keadilan adalah milik semua orang yang harus dijunjung tinggi.
Meskipun terdakwa telah menggunakan argumentasi hukum dalam alasan
kasasinya tetapi Hakim dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2839 K/ Pid.Sus/
2010 tetap menolak permohonan kasasi pemohon kasasi.Menurut hakim alasan
tersebut tidak dapat dikenakan karena alasan-alasan tersebut berkaitan penilaian hasil
pembuktian, dan penjatuhan pidana merupakan kompetensi judex facti, bukan
kompetensi judex juris dan bukan alasan formal kasasi.
Di sisi lain jika semua putusan hakim yang terdapat suatu disparitas pidana
tidak ada pihak yang melakukan upaya hukum, maka tujuan untuk mencapai suatu
keadilan bagi para pihak tidak akan pernah tercapai karena tegaknya hukum keadilan
dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dalam tindak pidana
dibuktikan dengan dikeluarkannya suatu putusan Hakim.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Hal tersebut yang menyebabkan penulis tertarik untuk mengkaji lebih
dalam, dengan mengadakan penelitian mengenai analisis tentang argumentasi hukum
terdakwa dalam memori kasasi yang didasarkan terdapatnya disparitas pidana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 37
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kesesuaian Argumentasi Hukum Terdakwa Dalam Mengajukan Kasasi
Berdasarkan Adanya Disparitas Pidana Dengan Ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
1. Uraian Diskripsi Kasus
Terdakwa Adang Suryana Als Kamanak padan hari Sabtu tanggal 09
Januari 2010, sekira pukul 16.30 Wib, bertempat di Jalan Merdeka, Kelurahan
Kayu Jati, Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal, atau setidak-
tidaknya pada suatu tempat tertentu yang termasuk dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Mandailing Natal, tanpa hak dan melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman,
jenis shabu-shabu yang dibungkus dalam plastik kecil warna putih sebanyak 1
(satu) bungkus, yang berdasarkan hasil penimbangan berikut dengan
pembungkusnya berat keseluruhannya seberat 0,2 (nol koma dua) gram .
2. Identitas Terdakwa
Identitas terdakwa yaitu, Adang Suryana alias Kamanak, tempat lahir
Kayu Jati, umur 30 tahun, tanggal lahir 14 Juli 1979, jenis kelamin laki-laki,
kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Kelurahan Kayu Jati, Kecamatan
Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal, Agama Islam, Pekerjaan
Wiraswasta.
3. Dakwaan Penuntut Umum
Bahwa Ia Terdakwa Adang Suryana Als Kamanak pada hari Sabtu, tanggal
09 Januari 2010, sekira pukul 16.30 Wib, atau setidak tidaknya pada waktu lain
dalam bulan Januari 2010, bertempat di Jalan Merdeka, Kelurahan Kayu Jati,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal, atau setidak-tidaknya
pada suatu tempat tertentu yang termasuk dalam daerah hukum Pengadilan
Negeri Mandailing Natal, tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman, jenis shabu-
shabu yang dibungkus dalam plastik kecil warna putih sebanyak 1 (satu)
bungkus, yang berdasarkan hasil penimbangan berikut dengan pembungkusnya
berat keseluruhannya seberat 0,2 (nol koma dua) gram . Perbuatan tersebut
dilakukan Terdakwa dengan cara sebagai berikut :
- Berawal ketika saksi Muhammad Riza Nasution (anggota Sat Narkoba
Polres Madina) mendapatkan informasi dari seorang laki-laki yang
menghubungi saksi Muhammad Riza Nasution melalui handphone dan
mengatakan ada transaksi Narkoba. Selanjutnya saksi Muhammad Riza
Nasution bersama dengan saksi Dedi dan saksi Hendra Kumbara (anggota
Sat Narkoba Polres Madina) bergerak menuju jalan umum Merdeka
Kelurahan Kayu Jati Kecamatan Panyabungan Kota Kabupaten Mandailing
Natal dengan mengendarai sepeda motor dengan berjalan pelan-pelan.
Kemudian para saksi melihat Terdakwa Adang Suryana Als Kamanak turun
dari angkutan kota dan informasi yang diterima saksi Muhammad Riza
Nasution sesuai dengan ciri-ciri Terdakwa. Para saksi langsung menghampiri
Terdakwa dan melihat Terdakwa memegang bungkusan plastik kecil warna
putih di tangan sebelah kiri, saksi Muhammad Riza Nasution lalu
memeriksa bungkusan tersebut, ternyata bungkusan yang dipegang
Terdakwa adalah Narkotika jenis shabu-shabu. Terdakwa sebelumnya
mendapatkan shabu-shabu tersebut dari Brusli (DPO) di Desa Banjar Saba
Kelurahan Panyabungan II Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing
Natal dengan harga Rp. 300.000.- (tiga ratus ribu rupiah).
- Terdakwa juga tidak ada ijin memiliki narkotika jenis shabu-shabu tersebut
dari pihak yang berwenang .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
- Bahwa berdasarkan hasil Analisis Laboratorium Forensik Bareskrim Polri
Cabang Medan No. Lab: 243/KNF/I/2010, tanggal 20 Januari 2010, terhadap
barang bukti yang disita dan diajukan dalam perkara ini adalah benar
mengandung Metamfetamina dan terdaftar dalam golongan I Nomor Unit 61
Lampiran Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
112 ayat (1) Undang-Undang RI No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
4. Tuntutan Penuntut Umum
Membaca tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri
Penyabungan tanggal 27 Juli 2010 sebagai berikut :
a. Menyatakan Terdakwa ADANG SURYANA AIs KAMANAK secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Narkotika jenis shabu-
shabu sebagaimana yang didakwakan dalam Dakwaan Tunggal melanggar
Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang RI No 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika.
b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa ADANG SURYANA AIs
KAMANAK dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dikurangi
selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara. Dan pidana denda
sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) Subsidiar 3 (tiga) bulan
kurungan, dengan perintah Terdakwa tetap ditahan .
c. Menyatakan barang bukti berupa :
- 0,2 (nol koma dua) gram Narkotika golongan I (jenis shabu-shabu)
sebanyak 1 (satu) paket / bungkus kecil warna putih.
Dirampas untuk dimusnahkan.
d. Menetapkan supaya Terdakwa ADANG SURYANA AIs KAMANAK
dibebani membayar biaya perkara, sebesar Rp. 5.000.- (lima ribu rupiah).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
5. Amar Putusan Pengadilan Negeri
Membaca putusan Pengadilan Negeri Mandailing Natal No.149/Pid.B/
2010/PN.Mdl. tanggal 04 Agustus 2010 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
- Menyatakan Terdakwa ADANG SURYANA ALS KAMANAK telah
terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
"Tanpa hak dan melawan hukum memiliki/menguasai Narkotika Golongan I
bukan tanaman";
- Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun dan ditambah dengan denda sebesar
Rp.800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah ) ;
- Menentapkan bahwa apabila pidana denda tersebut tidak dibayar oleh
Terdakwa maka dapat diganti dengan pidana dengan pidana kurungan
selama 1 (satu) bulan;
- Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
- Memerintahkan agar Terdakwa dikeluarkan dan dibebaskan dari tahanan
Rutan dan kemudian dimasukkan ke panti rehabilitasi medis dan sosial di
R.S Adam Malik Jalan Bungalaw No. 17 Medan 2036 untuk menjalani
rehabilitasi medis dan sosial yang diperhitungkan sebagai hukuman
Terdakwa ;
- Memerintahkan barang bukti berupa :
- 0.2 (nol koma dua) gram /1 (satu) paket shabu yang dibungkus dalam
plastik kecil dirampas untuk dimusnahkan;
- Membebani Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,-
(lima ribu rupiah).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
6. Alasan Terdakwa Mengajukan Kasasi
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi
pada pokoknya sebagai berikut :
Bahwa judex facti telah salah dan keliru dalam menerapkan hukum atau
menerapkan tidak sebagaimana mestinya atau putusan judex facti telah
melanggar undang-undang dengan alasan :
a. Putusan judex facti telah salah dalam menerapkan hukum :
1) Bahwa putusan judex facti yang telah memperberat hukuman Terdakwa
tidak mempunyai dasar pertimbangan hukum yang cukup oleh karena
dalam pertimbangan hukum yang dilakukan tidak ada dengan tegas apa
sebabnya judex facti memperberat hukuman Terdakwa sementara dalam
halaman 6 alinea 4 tentang hal-hal yang memberatkan dan meringankan
Terdakwa putusan Pengadilan Tinggi Medan sependapat dengan
putusan Pengadilan Negeri Mandailing Natal jadi tidak jelas apa latar
belakang judex facti memperberat hukuman Terdakwa tidak ada
dipertimbangkan ;
2) Bahwa judex facti tidak mempertimbangkan akan disparitas penjatuhan
hukuman atas perkara yang sama dengan nilai barang bukti yang
sedemikian kecil misalnya putusan perkara artis-artis misalnya perkara
Semi, Roy Marten dan lain-lain sebagainya dimana tentunya ada
dipertimbangkan disparitas penjatuhan hukuman yang harus dilihat dari
sudut keadilan, oleh karena tidak adil jika barang bukti Terdakwa 0,2
gram dengan barang bukti yang dimiliki oleh orang lain yang jumlahnya
di atasnya hukumannya adalah sama, oleh karena keadilan adalah milik
semua orang yang harus dijunjung tinggi;
3) Bahwa saya selaku Terdakwa juga melihat judex facti dalam
pertimbangan hukumnya bertindak selaku corong undang-undang yang
tidak mempertimbangkan jumlah barang bukti yang hanya 0,2 (nol
koma dua) gram saja, di mana dalam hasil Rakernas MARI tahun 2008
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
dan 2009 serta Rakerda Pengadilan Tinggi di Brastagi tahun 2010 ada
disepakati dapat menyimpang hukuman minimal dengan pertimbangan
yang eksepsional hal mana sesuai dengan pertimbangan Pengadilan
Negeri Mandailing Natal pada halaman 14 dan 15, yang mana
seharusnya judex facti mempertimbangkan jumlah barang bukti serta
tujuan apa Terdakwa membeli shabu-shabu tersebut, yang ternyata hal
itu sama sekali tidak ada dipertimbangkan;
4) Bahwa dengan barang bukti 0,2 (nol koma dua) gram dengan tujuan
untuk dipakai sendiri sesuai dengan keterangan saksi dari petugas
Kepolisian bahwa Terdakwa diinformasikan ada memakai sabu-sabu di
salah satu rumah di Kelurahan Kayu Jati, akan tetapi sewaktu diselidiki
rumah yang diberitahukan oleh informan di mana tidak ada orang di
tempat tersebut, sehingga sewaktu Terdakwa lewat di depan RS Armina
Panyabungan sedang mendorong sepeda motornya yang mogok dilihat
oleh saksi petugas Polisi yang mendapat informasi sebelumnya (saksi
Dedi) sehingga Terdakwa dilakukan pemeriksaaan dan ternyata ada
ditemukan barang bukti 0,2 gram shabu yang baru saja dibelinya dari
Brusli Nasution;
5) Bahwa pertimbangan judex facti pada halaman 7 putusan di mana
dikutip selaku pasal yang menjadi bahan pertimbangan dalam perkara
ini yakni Pasal 112 ayat (1) jo Pasal 103, 127 dan Pasal 128 UU No.35
tahun 2009, akan tetapi jika kita lihat dalam pertimbangan hukumnya
dan juga dalam amar putusan di mana pertimbangan hukum yang
menyangkut kepada Pasal 103 tentang Hakim yang memeriksa perkara
narkotika dapat memutus untuk menempatkan yang bersangkutan di
panti rehabilitasi untuk menjalani pengobatan atau perawatan, yang
mana pertimbangan yang menyangkut Pasal 103 jo Pasal 127 Undang-
Undang Nomor 35 tahun 2009 tidak ada dipertimbangkan sama sekali
akan tetapi dasar judex facti menjatuhkan putusan ada mengutip kedua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
pasal tersebut sehingga putusan judex facti antara dasar hukum memutus
dengan pertimbangannya tidak saling singkron;
6) Bahwa juga dalam pertimbangan putusan halaman 6 disebutkan harus
ada surat keterangan dokter jiwa/psikiater (pemerintah) yang ditunjuk,
di mana namanya Mandailing Natal sampai saat ini tidak ada dokter
jiwa atau dokter psikiater Pemerintah sementara dokter spesialis lainnya
juga hanya terbatas oleh karena Kabupaten Mandailing Natal selaku
kabupaten yang baru mekar tahun 1999 dan rumah sakitnya juga masih
rumah sakit dengan Type D maka dokter spesialisnya juga dapat
dibayangkan sedikit, sehingga dengan harus adanya surat keterangan
dari dokter jiwa atau psikiater maka hal itu tidak mungkin didapat dan
hanya ada di Medan yang menempuh perjalanan 12 jam dan harus
memakan biaya yang banyak yang tidak mungkin Terdakwa/keluarga
mampu untuk membiayai petugas yang mengantar Terdakwa berikut
dengan pengawalan dan mobilnya untuk mendapatkan surat tersebut;
7) Bahwa juga sekiranya Majelis Hakim Agung berpendapat lain, maka
saya Terdakwa memohon agar hukuman saya kalaupun dirobah kiranya
tidak dijatuhkan hukuman yang minimal berhubung karena di samping
jumlah barang buktinya 0,2 gram juga saya sudah menyadari bahwa
narkotika itu adalah merusak diri sendiri, di mana untuk menghilangkan
stres saya tidak akan mendekati narkotika jenis apapun namanya, dan
juga saya selaku anak laki-laki dalam keluarga yang diharapkan untuk
membantu orangtua untuk mencari nafkah, sehingga saya selaku
Terdakwa memohon kiranya hukuman saya tidak dijatuhi hukuman
yang minimal dengan alasan tersebut di atas dan juga dapat
dipertimbangkan apa sebab musababnya Terdakwa membeli shabu-
shabu tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
7. Pembahasan
Menurut ketentuan Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) putusan perkara pidana yang dapat diajukan permohonan pemeriksaan
kasasi adalah semua putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir
oleh pengadilan kecuali terhadap putusan Mahkamah Agung sendiri dan putusan
bebas. Adalah wajar dan logis jika permohonan kasasi tidak dapat diajukan
terhadap putusan Mahkamah Agung. Tidak wajar memeriksa dan memutus
kembali putusan perkara yang telah diambil oleh Mahkamah Agung. Hal itu akan
melenyapkan tujuan penegakan kepastian hukum (M. Yahya Harahap. 2002:
542).
Dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 2839 K/ Pid.Sus/ 2010 tersebut,
dapat diketahui bahwa Terdakwa mengajukan permohonan kasasi atas putusan
Judex Facti yang mana salah satu alasan pengajuan kasasi terdakwa adalah
“bahwa judex facti tidak mempertimbangkan akan disparitas penjatuhan
hukuman atas perkara yang sama dengan nilai barang bukti yang sedemikian
kecil misalnya putusan perkara artis-artis misalnya perkara Semi, Roy Marten
dan lain-lain sebagainya di mana tentunya ada dipertimbangkan disparitas
penjatuhan hukuman yang harus dilihat dari sudut keadilan, oleh karena tidak
adil jika barang bukti Terdakwa 0,2 gram dengan barang bukti yang dimiliki oleh
orang lain yang jumlahnya di atasnya hukumannya adalah sama, oleh karena
keadilan adalah milik semua orang yang harus dijunjung tinggi”.
Hal tersebut tidak sesuai dengan alasan kasasi yang dibenarkan menurut
Undang-Undang seperti yang disebutkan dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP.
Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung berpedoman pada alasan-
alasan tersebut. Sejalan dengan itu, pemohon kasasi harus mendasarkan
keberatan-keberatan kasasi dengan bertitik tolak dari alasan yang disebutkan
Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Yang harus diutarakan dalam memori kasasi ialah
keberatan atas putusan yang dijatuhkan pengadilan kepadannya, karena isi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
putusan tersebut mengandung kekeliruan atau kesalahan yang tidak dibenarkan
oleh Pasal 253 ayat (1) KUHAP.
Alasan kasasi yang dapat dibenarkan pada Pasal 253 ayat (1) terdiri dari:
a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya;
b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-
Undang;
c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas kewenangannya.
Diluar ketiga alasan tersebut, keberatan kasasi akan ditolak karena tidak
dibenarkan oleh Undang-Undang. Seperti dalam perkara yang diteliti,
permohonan kasasi terdakwa ditolah oleh Majelis Hakim Mahkamh Agung
karena alasan terdakwa dalam permohonan kasasi tidak dibenarkan oleh Undang-
Undang.
Alasan kasasi yang diutarakan oleh Terdakwa bahwa Majelis Hakim tidak
mempertimbangkan adanya disparitas adalah termasuk keberatan kasasi tentang
penilaian pembuktian, oleh karena itu Mahkamah Agung tidak berhak
menilainya dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Hal tersebut sesuai dengan
pertimbangan Hakim yang berpendapat “bahwa alasan-alasan tersebut berkaitan
penilaian hasil pembuktian, dan penjatuhan pidana merupakan kompetensi judex
facti, bukan kompetensi judex juris dan bukan alasan formal kasasi”.
Menurut penulis jika terdakwa menggunakan alasan disparitas seharusnya
memberikan contoh yang tegas terhadap putusan yang dijadikan disparitas
tersebut, sehingga tidak ngambang dengan menggunakan istilah misalnya perkara
Semi, Roy Martin. Dan yang dimaksud perkara yang sama dalam disparitas tidak
hanya tindak pidananya saja, akan tetapi mempertimbangkan unsur- unsur yang
lain karena setiap perkara tindak pidana dalam proses peradilan tentunya ada hal-
hal yang meringankan dan memberatkan, apakah setiap orang bisa sama persis,
menurut penulis kemungkinannya kecil sekali.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Hukum di Indonesia mengacu pada Undang-Undang sehingga jika
dimungkinkan adanya disparitas tentunya Undang-Undang yang dikenakan
terhadap pelaku tindak pidana tersebut haruslah sama, misalnya dalam perkara di
atas Undang-Undang yang diterapkan terhadap pemohon kasasi (Terdakwa)
adalah Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika, maka seharusnya yang dijadikan dasar disparitas haruslah sama yaitu
Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,
sedangkan perkara Roy Martin menggunakan Undang-Undang yang berbeda
yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, karena
didakwa melanggar Pasal 60 dan 62 UU No 5/1997 tentang Psikotropika.
Selain itu berdasarkan hasil penelitian penulis, disparitas hanya
diberlakukan atau bisa dipertimbangkan jika terhadap putusan yang selisihnya
teramat jauh , tetapi jika hanya selisih 1 (satu) tahun lebih berat atau lebih ringan
dianggap sama. Jadi tidak bisa menggunakan alasan disparitas untuk kasasi, alas
anya bahwa penjatuhan pidananya tidak sama. Karena setiap terdakwa ada hal-
hal yang meringankan dan memberatkan dalam proses persidangan. Dalam
menentukan tuntutan jaksa juga sudah membandingkan dengan perkara lain yang
sama yang sudah inkrah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
B. Pertimbangan Hakim Kasasi Dalam Menilai Pengajuan Kasasi
Terdakwa Yang Didasarkan Adanya Disparitas Pidana
1. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
berpendapat :
Bahwa judex facti tidak salah menerapkan hukum, keberatan memori
kasasi tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan
tentang suatu kenyataan, keberatan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan
dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi
hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan
hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang, dan apakah Pengadilan telah
melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 tahun
1981).
Bahwa judex facti tidak salah menerapkan hukum karena putusan judex
facti yang memperberat pidana terhadap diri Terdakwa dari 1 (satu) tahun
penjara dan denda Rp.800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) Subsidair 1 (satu)
bulan kurungan menurut putusan Pengadilan Negeri menjadi 4 (empat) tahun
penjara dan denda Rp.800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) / Subsidair 3
(tiga) bulan kurungan dibuat berdasarkan pertimbangan hukum yang benar. Ada
dasar yang memberatkan yang belum dipertimbangkan Pengadilan Negeri yaitu :
Agar pidana dapat jadi pedoman masyarakat, penggunaan narkotika makin
meningkat, hukuman harus setimpal dengan perbuatan.
Bahwa alasan kasasi Terdakwa bahwa judex facti memperberat hukuman
tanpa pertimbangan yang cukup, terjadi disparitas antara kasus Terdakwa dengan
kasus Roy Marthen, dan Sammy, padahal barang bukti Terdakwa hanya 0,2 gram
tidak dapat dikenakan karena alasan-alasan tersebut berkaitan penilaian hasil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
pembuktian, dan penjatuhan pidana merupakan kompetensi judex facti, bukan
kompetensi judex juris dan bukan alasan formal kasasi.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata,
putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau
undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak.
Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Kasasi/Terdakwa dipidana,
maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini.
Memperhatikan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Undang-Undang
No.8 Tahun 1981 dan Undang-Undang No.14 Tahun 1985 sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, serta peraturan perundang-
undangan lain yang bersangkutan.
2. Amar Putusan Mahkamah Agung
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/ Terdakwa Adang
Suryana Als. Kamanak tersebut.
Membebankan kepada Pemohon Kasasi/ Terdakwa untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp.2.500,-(dua ribu lima ratus rupiah).
3. Pembahasan
Pada dasarnya yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan berat ringannya pidana tersebut terhadap pelaku tindak
pidana narkotika adalah apabila pelaku melakukan perbuatan sesuai dengan apa
yang telah disebutkan sebagai tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana apabila telah
memenuhi unsur-unsur yang dilarang dalam Undang-Undang. Apabila unsur-
unsur yang terdapat dalam pasal bersangkutan tidak terpenuhi maka hakim akan
memberikan putusan bebas dari segala tuntutan hukum bagi terdakwa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Seorang hakim harus mempertimbangkan faktor-faktor yang ada di dalam
diri terdakwa, yaitu apabila terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang
dituduhkan kepadanya, apakah terdakwa mengetahui perbuatannya tersebut
melanggar hukum sehingga dilakukan dengan adanya perasaan takut dan
bersalah, apakah terdakwa pada waktu melakukan perbuatan dianggap mampu
bertanggungjawab atau tidak. Selain hal tersebut hakim harus memberikan
putusan yang sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku serta harus
berdasarkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 2839 K/ Pid.Sus/ 2010 tersebut,
dapat diketahui bahwa Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan
pertimbangan yang dilihat dari segi hukum dan juga faktor-faktor yang
memberatkan dan meringankan.
Berdasarkan segi hukum, Majelis Hakim menjatuhkan putusan karena alas
an kasasi terdakwa terhadap putusan judex facti dalam perkara tersebut tidak
bertentangan dengan hukum dan/ atau Undang-Undang. Dimana menurut Majelis
Hakim, judex facti tidak salah menerapkan hukum, keberatan memori kasasi
tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang
suatu kenyataan, keberatan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya
berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum
tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang, dan apakah Pengadilan telah
melampaui batas wewenangnya.
Dasar pertimbangan hakim yang memperberat pidana terhadap diri
Terdakwa sudah berdasarkan pertimbangan hukum yang benar yaitu agar
pidana dapat jadi pedoman masyarakat, penggunaan narkotika makin meningkat,
hukuman harus setimpal dengan perbuatan. Serta terjadi disparitas antara kasus
Terdakwa dengan kasus Roy Marthen, dan Sammy tidak dapat dikenakan karena
alasan-alasan tersebut berkaitan penilaian hasil pembuktian, dan penjatuhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
pidana merupakan kompetensi judex facti, bukan kompetensi judex juris dan
bukan alasan formal kasasi.
Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 112 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 adalah:
a. Setiap orang
Yang dimaksud dengan unsur setiap orang adalah orang atau pribadi
yang merupakan subyek hukum pendukung hak dan kewajiban, yaitu mampu
melakukan perbuatan yang dapat dipidana dan dipersalahkan sebagai pelaku
dari suatu tindak pidana.
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika menyetakan yang dimaksud dengan kata setiap orang adalah orang
baik warga Negara Indonesia maupun orang asing yang melakukan tindak
pidana Narkotika di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan masuk
wilayah Negara Republik Indonesia.
Terdakwa Adang Suryana alias Kamanak adalag pribadi atau orang
yang beridentitas tersebut sesuai dengan dakwaan, serta tidak keberatan maka
terdakwa sebagai subyek hukum adalah pelaku perbuatan dari tindak pidana
yang didakwakan kepadanya dan bukan orang lain. Dengan demikian maka
unsur setiap orang telah terpenuhi sehingga terbukti secara sah dan
menyakinkan.
b. Tanpa hak atau melawan hukum
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak
mengatur dan tidak member penjelasan tentang pengertian tanpa hak atau
melawan hukum namun sifat melawan hukum dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dirumuskan yaitu melawan hukum tanpa hak, tanpa
izin dengan melampaui wewenanya atau tanpa menghiraukan ketentuan-
ketentuan dalam peraturan hukum dengan kata lain tanpa hak adalah identik
dengan melawan hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Baik dalam Yurisprudensi maupun pendapat para ahli hukum yang
dimaksudkan dengan pengertian melawan hukum adalah setiap perbuatan
ataupun tidaj berbuat yang melanggar hak subyektif orang lain atau
bertentangan dengan kewajiban hukum diri pelaku atau bertentangan dengan
tata susila atau bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian dan sikap hati-
hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup sesama warga
masyarakat atau terhadap harta beda orang lain.
Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 8
ayat (2), Majelis Hakim dapat menyimpulkan “tanpa hak atau melawan
hukum” hapus apabila dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat
digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah
mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut dikaitkan dengan fakta-fakta yang
terungkap ternyata terdakwa Adang Suryana alias Kamanakbukan orang yang
diberi wewenang khusus untuk itu oleh Menteri atas rekomendasi Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam jumlah terbatas untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk
reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium, Terdakwa tidak memiliki
ijin dan tidak mempunyai kapasitas ataupun wewenang untuk itu, oleh karena
itu pula tidak menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan terdakwa
sehingga dapat dinyatakan “tanpa hak atau melawan hukum”.
c. Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I
bukan tanaman
Terdakwa telah terbukti memiliki Narkotika Golongan I jenis shabu-
shabu yang dibungkus dalam plastik kecil warna putih sebanyak 1 (satu)
bungkus, yang berdasarkan hasil penimbangan berikut dengan
pembungkusnya berat keseluruhannya seberat 0,2 (nol koma dua) gram. Pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
saat terdakwa lewat di depan RS Armina Panyabungan sedang mendorong
sepeda motornya yang mogok dilihat oleh saksi petugas Polisi yang mendapat
informasi sebelumnya (saksi Dedi) sehingga Terdakwa dilakukan
pemeriksaaan dan ternyata ada ditemukan barang bukti 0,2 gram shabu yang
baru saja dibelinya dari Brusli Nasution.
Berdasarkan hasil Analisis Laboratorium Forensik Bareskrim Polri
Cabang Medan No. Lab: 243/KNF/I/2010, tanggal 20 Januari 2010, terhadap
barang bukti yang disita dan diajukan dalam perkara ini adalah benar
mengandung Metamfetamina dan terdaftar dalam golongan I Nomor Unit 61
Lampiran Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dalam memberi putusan ada 2 jenis faktor yang menjadi pertimbangan
hakim, yaitu:
a. Faktor-faktor yang meringankan:
1) Terdakwa berterus terang dan bersikap sopan;
2) Terdakwa menyadari perbuatannya bahwa narkotika itu dapat merusak
diri sendiri dan dimana untuk menghilangkan stress tidak akan mendekati
narkotika jenis apapun namanya;
3) Terdakwa selaku anak laki-laki diharapkan oleh keluarga untuk
mambantu orang tua mencari nafkah.
b. Faktor-faktor yang memberatkan:
1) Terdakwa melakukan penyalahgunaan Narkotika yang merupakan
ancaman bagi kelangsungan Bangsa dan Negara serta penyalahgunaan
Narkotika dapat merusak generasi muda;
2) Terdakwa tidak mau melaporkan penggunaan Narkotika kepada yang
berwajib dan tidak ada ijin memiliki Narkotika jenis shabu-shabu tersebut
dari pihak yang berwenang;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
3) Penyalahgunaan narkotika merupakan musuh dari semua bangsa dan
semua Negara bersama-sama untuk memberantas penyalahgunaan
Narkotika.
4) Yang dijadikan perbandingan oleh Terdakwa terkait dengan kasusnya
adalah perkara artis, selain pidana yang dijatuhkan meskipun dianggap
ringan, tetapi hal tersebut juga menjadi beban moral karena mereka
sebagai publik figure di dalam masyarakat.
Terhadap putusan tersebut (Pengadilan Negeri Mandailing Natal)
Terdakwa menerima dan tidak mengajukan upaya hukum apapun, tetapi Jaksa
Penuntut Umum mengajukan banding ke Pengadilan yang lebih tinggi
tingkatannya (Pengadilan Tinggi Medan). Atas putusan tersebut (Pengadilan
Tinggi Medan) Terdakwa merasa putusan Hakim pengadilan Tinggi Medan tidak
adil.
Dimana telah memperberat pidana terhadap diri Terdakwa dari 1 (satu)
tahun penjara dan denda Rp.800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) Subsidair 1
(satu) bulan kurungan menurut putusan Pengadilan Negeri menjadi 4 (empat)
tahun penjara dan denda Rp.800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) / Subsidair
3 (tiga) bulan kurungan. Karena menurut Terdakwa judex facti memperberat
hukuman tanpa pertimbangan yang cukup. Tidak mempertimbangkan akan
disparitas penjatuhan hukuman atas perkara yang sama dengan nilai barang bukti
yang sedemikian kecil. Maka dari itu terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi,
namun pada akhirnya Mahkamah Agung menolak permohonan Kasasi Terdakwa
Adang Suryana Alias Kamanak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 54
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya maka penulis
dapat menarik simpulan sebagai berikut:
1. Alasan permohonan kasasi Terdakwa dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
2839 K/ Pid.Sus/ 2010 tersebut bahwa Majelis Hakim tidak mempertimbangkan
adanya disparitas tidak sesuai dengan alasan kasasi yang dibenarkan menurut
Undang-Undang seperti yang disebutkan dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP.
Seharusnya yang harus diutarakan dalam memori kasasi ialah keberatan atas
putusan yang dijatuhkan pengadilan kepadannya, karena isi putusan tersebut
mengandung kekeliruan atau kesalahan yang tidak dibenarkan oleh Pasal 253
ayat (1) KUHAP. Yang mana alasan yang diutarakan Terdakwa dalam
permohonan kasasi termasuk keberatan kasasi tentang penilaian pembuktian,
oleh karena itu Mahkamah Agung tidak berhak menilainya dalam pemeriksaan
tingkat kasasi. Hal tersebut sesuai dengan pertimbangan Hakim yang
berpendapat “bahwa alasan-alasan tersebut berkaitan penilaian hasil pembuktian,
dan penjatuhan pidana merupakan kompetensi judex facti, bukan kompetensi
judex juris dan bukan alasan formal kasasi”. Selain itu yang dimaksud perkara
yang sama dalam disparitas tidak hanya tindak pidananya saja, akan tetapi
mempertimbangkan unsur- unsur yang lain karena setiap perkara tindak pidana
dalam proses peradilan tentunya ada hal- hal yang meringankan dan
memberatkan.
2. Yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan berat
ringannya pidana tersebut terhadap pelaku tindak pidana narkotika adalah apabila
pelaku melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang telah disebutkan sebagai
tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika. Seorang hakim harus mempertimbangkan faktor-faktor yang ada di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
dalam diri terdakwa, yaitu apabila terdakwa benar-benar melakukan perbuatan
yang dituduhkan kepadanya, apakah terdakwa mengetahui perbuatannya tersebut
melanggar hukum sehingga dilakukan dengan adanya perasaan takut dan
bersalah, apakah terdakwa pada waktu melakukan perbuatan dianggap mampu
bertanggungjawab atau tidak. Selain hal tersebut hakim harus memberikan
putusan yang sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku serta harus
berdasarkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dari
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2839 K/ Pid.Sus/ 2010 tersebut, dapat
diketahui bahwa Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan
pertimbangan yang dilihat dari segi hukum dan juga faktor-faktor yang
memberatkan dan meringankan.
B. SARAN
Dalam konteks kasus seperti yang telah dibahas dimuka, penulis memberikan
saran sebagai berikut:
1. Hakim dalam menjatuhkan pidana diharapkan mempertimbangkan adanya
disparitas penjatuhan hukuman yang harus dilihat dari sudut keadilan maksudnya
hakim harus mempertimbangkan faktor eksternal (latar belakang sosial, perilaku
sosial, pendidikan), faktor internal (usia, agama, jemis kelamin), serta faktor
yang memberatkan dan meringankan dari diri terdakwa. Karena keadilan adalah
milik semua orang yang harus dijunjung tinggi.
2. Penyalahgunaan Narkotika merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup
Bangsa dan Negara serta dapat merusak generasi muda, oleh karena itu perlu
sebuah peningkatan hubungan kerja sama yang baik diantara para penegak
hukum dan masyarakat. Selain itu Roh dari hukum adalah keadilan sehingga
setiap putusan yang diambil harus bercermin pada keadilan, di samping harus
mempertimbangkan kepastian hukumnya.