analisis tekno-ekonomi pemanfaatan limbah panas … filepltp memiliki potensi berupa limbah panas...

20
ANALISIS TEKNO-EKONOMI PEMANFAATAN LIMBAH PANAS PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA PANAS BUMI UNTUK PROSES PRODUKSI MINYAK AKAR WANGI Alif Nuzulul Hidayat, Widodo Wahyu Purwanto Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia E-mail : [email protected] Abstrak PLTP memiliki potensi berupa limbah panas yang masih terkandung dalam kondensat atau brine yang biasanya diinjeksikan kembali ke dalam bumi melalui sumur reinjeksi. Dalam penelitian ini dilakukan analisis tekno-ekonomi terhadap pemanfaatan potensi limbah panas PLTP Kamojang untuk proses penyulingan minyak akar wangi di Kabupaten Garut. Total biaya kapital dan operasional yang dibutuhkan untuk skema brine secara berturut-turut adalah Rp42.727.999.500 dan Rp549.801.000, sedangkan untuk skema kondensat adalah Rp28.382.845.500 dan Rp420.174.000. Skema pemanfaatan limbah panas bumi untuk penyulingan minyak akar wangi yang paling menguntungkan adalah menggunakan brine pada jarak maksimal 1 km dari sumber panas serta didanai 70% dari hibah dan 30% dari pemerintah dengan NPV Rp 1.057.899.500, IRR 10,16% dan PBP pada tahun ke-8. Emisi gas CO 2 yang dapat dihindari dari penggunaan brine untuk proses penyulingan minyak akar wangi adalah sebanyak 213,5 ton CO 2 /tahun. Techno-Economic Analysis of Waste Heat Utilization from Geothermal Power Plant for Vetiver Oil Production Process Abstract Geothermal power plant potential waste heat in the form of condensate or brine is usually injected back into the earth through reinjection wells. In this research, techno-economic analysis of waste heat utilization from geothermal power plant for vetiver oil production located in Garut is conducted. The result of this research revealed that condensate of Kamojang geothermal power plant technically can be used to supply heat for vetiver oil production. However, it would be more effective if wells that contain brine can be found. Total of capital and operating costs required for the brine scheme are Rp42.727.999.500 and Rp549.801.000, while the condensate scheme are Rp28.382.845.500 and Rp420.174.000, respectively. The most profitable scheme of geothermal waste heat utilization for vetiver oil production is to use brine at a maximum distance of 1 km from the source of heat and funded 70% of grant & 30% of government with NPV Rp1.057.899.500, IRR 10,16% and PBP on the 8 th year. CO 2 emissions can be avoided from the use of brine for vetiver oil production is as much as 213,5 tonnes of CO 2 /year. Keywords : Geothermal, Direct Use, Waste Heat, Vetiver Oil, Steam Distillation

Upload: dinhkien

Post on 20-Apr-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ANALISIS TEKNO-EKONOMI PEMANFAATAN LIMBAH PANAS

PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA PANAS BUMI UNTUK PROSES

PRODUKSI MINYAK AKAR WANGI

Alif Nuzulul Hidayat, Widodo Wahyu Purwanto

Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia

Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia

E-mail : [email protected]

Abstrak

PLTP memiliki potensi berupa limbah panas yang masih terkandung dalam kondensat atau brine

yang biasanya diinjeksikan kembali ke dalam bumi melalui sumur reinjeksi. Dalam penelitian ini

dilakukan analisis tekno-ekonomi terhadap pemanfaatan potensi limbah panas PLTP Kamojang

untuk proses penyulingan minyak akar wangi di Kabupaten Garut. Total biaya kapital dan

operasional yang dibutuhkan untuk skema brine secara berturut-turut adalah Rp42.727.999.500

dan Rp549.801.000, sedangkan untuk skema kondensat adalah Rp28.382.845.500 dan

Rp420.174.000. Skema pemanfaatan limbah panas bumi untuk penyulingan minyak akar wangi

yang paling menguntungkan adalah menggunakan brine pada jarak maksimal 1 km dari sumber

panas serta didanai 70% dari hibah dan 30% dari pemerintah dengan NPV Rp 1.057.899.500,

IRR 10,16% dan PBP pada tahun ke-8. Emisi gas CO2 yang dapat dihindari dari penggunaan

brine untuk proses penyulingan minyak akar wangi adalah sebanyak 213,5 ton CO2/tahun.

Techno-Economic Analysis of Waste Heat Utilization from Geothermal Power Plant for

Vetiver Oil Production Process

Abstract

Geothermal power plant potential waste heat in the form of condensate or brine is usually

injected back into the earth through reinjection wells. In this research, techno-economic analysis

of waste heat utilization from geothermal power plant for vetiver oil production located in Garut

is conducted. The result of this research revealed that condensate of Kamojang geothermal power

plant technically can be used to supply heat for vetiver oil production. However, it would be

more effective if wells that contain brine can be found. Total of capital and operating costs

required for the brine scheme are Rp42.727.999.500 and Rp549.801.000, while the condensate

scheme are Rp28.382.845.500 and Rp420.174.000, respectively. The most profitable scheme of

geothermal waste heat utilization for vetiver oil production is to use brine at a maximum distance

of 1 km from the source of heat and funded 70% of grant & 30% of government with NPV

Rp1.057.899.500, IRR 10,16% and PBP on the 8th

year. CO2 emissions can be avoided from the

use of brine for vetiver oil production is as much as 213,5 tonnes of CO2/year.

Keywords : Geothermal, Direct Use, Waste Heat, Vetiver Oil, Steam Distillation

1 Pendahuluan

Minyak akar wangi merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang dihasilkan dari

tanaman akar wangi (Vetiveria zizanoides). Komponen utama yang terkandung dalam minyak

akar wangi adalah vetivone alpha dan beta. Komponen tersebut merupakan senyawa yang

memunculkan bau wangi pada minyak akar wangi. Sifatnya yang dapat memunculkan bau wangi

membuat minyak akar wangi dijadikan sebagai bahan baku pada pembuatan parfum dan bahan

pewangi, serta dapat pula digunakan dalam aromaterapi. Dalam pembuatan produk-produk itu,

minyak akar wangi berfungsi sebagai pengikat (fixative) dan pemberi bau dasar (Martinez et al.,

2004). Hal tersebut membuat minyak akar wangi memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Produksi minyak akar wangi sebagian besar dilakukan oleh industri kecil dengan cara

konvensional. Selama ini bahan bakar yang digunakan untuk memanaskan air adalah solar atau

kayu bakar. Penggunaan solar sebagai bahan bakar membuat harga jual minyak akar wangi

bergantung terhadap harga bahan bakar tersebut. Selain itu, penggunaan bahan bakar fosil juga

dinilai kurang ramah lingkungan dan sifatnya yang tidak dapat diperbaharui membuat

penggunaan bahan bakar fosil sebaiknya dilakukan secara bijaksana. Hal tersebut membuat

substitusi sumber panas untuk proses produksi minyak akar wangi menjadi salah satu hal yang

menarik untuk diteliti. Mengingat lokasi budi daya tanaman akar wangi sebagai bahan baku

minyak akar wangi terpusat di Provinsi Jawa Barat, maka keberadaan sumber-sumber panas bumi

yang terdapat di Jawa Barat patut untuk dipertimbangkan sebagai substitusi bahan bakar.

PLTP memiliki potensi limbah panas yang berasal dari brine. Brine biasanya diinjeksikan

kembali ke dalam reservoir dengan suhu yang masih cukup tinggi, yaitu sekitar 150-170°C. Saat

ini terdapat empat PLTP di Provinsi Jawa Barat, sekaligus yang terbanyak di Indonesia. Fakta

tersebut menggambarkan besarnya potensi limbah panas dari PLTP yang masih dapat digunakan

untuk keperluan non-listrik di Jawa Barat. Letak geografis yang berdekatan antara sumber panas

(PLTP) dengan pusat budi daya tanaman akar wangi merupakan dua hal yang saling

komplementer dalam masalah substitusi bahan bakar di tempat penyulingan minyak akar wangi

yang diangkat pada penelitian kali ini. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan diusulkan

penggantian bahan bakar fosil dengan limbah panas dari brine di PLTP yang suhunya masih

dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan uap air dalam proses produksi minyak akar wangi.

Substitusi bahan bakar fosil oleh limbah panas dari PLTP diharapkan dapat membuat harga

minyak akar wangi, dalam jangka panjang, tidak lagi bergantung terhadap bahan bakar.

2 Tinjauan Pustaka

2.1 Pengertian Energi Panas Bumi

Energi panas bumi adalah energi panas yang tersimpan dalam batuan di bawah

permukaan bumi dan fluida yang terkandung di dalamnya. Sumber utama dari energi ini adalah

aliran panas dari inti/pusat bumi dan juga aliran panas dari mantel bumi yang dihasilkan dari

peluruhan potasium, thorium dan uranium. Selain itu, aliran panas tersebut juga dapat dihasilkan

dari friksi atau gesekan dalam zona subduksi sepanjang garis lempeng kontinental. Adanya

energi panas dari dalam bumi dapat ditandai dengan adanya fumarol, mata air panas, geyser,

erupsi vulkanik dan aliran lava pada permukaan bumi. Sumber daya dari energi panas bumi ini

sangat besar, dapat diperbaharui dan juga tersedia hampir di seluruh tempat di dunia. Untuk dapat

diaplikasikan, kualitas dari energi yang dihasilkan oleh panas bumi bergantung pada kedalaman

sumber dan juga pertimbangan ekonomi dalam proses produksinya (Harsh, Gupta dan Sukanta

Roy, 2007).

2.2 Pemanfaatan Langsung Energi Panas Bumi di Indonesia

Sampai saat ini pemanfaatan panas bumi di Indonesia mayoritas digunakan untuk

membangkitkan listrik. Hingga tahun 2013, kapasitas terpasang panas bumi hanya mencapai

1.343,5 MW. Dibandingkan dengan jumlah cadangan panas bumi Indonesia, maka pemanfaatan

energi listrik dari panas bumi baru mencapai sekitar 7,5%. Apabila dibandingkan dengan potensi

panas bumi Indonesia yang mencapai 28.994 MW, maka baru mencapai 4,6%.

Sebagian besar pembangkit listrik tenaga panas bumi tersebut terkonsentrasi di Jawa-Bali,

Sumatra dan Sulawesi Utara, karena pertumbuhan kebutuhan listrik dan ketersediaan

infrastruktur pada daerah ini. Tabel 2 di atas menunjukan pembangkit listrik tenaga panas bumi

yang telah beroperasi di Indonesia hingga tahun 2013. Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa kapasitas

pembangkit listrik panas bumi terbesar adalah pada Gunung Salak. Gunung Salak menghasilkan

listrik sebesar 377 MW yang merupakan pembangkit listrik panas bumi keempat terbesar di dunia

(WWF, 2012). Prospek pengembangan pembangkit listrik di luar pulau Jawa tidak begitu

menarik untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan karena tipe reservoir yang cenderung memiliki

sistem dominasi cair, seperti di Lahendong di Sulawesi dan Sibayak di Sumatera. Selain

pemanfaatan energi panas bumi secara tidak langsung (berupa pembangkit listrik) terdapat pula

pemanfaatan energi panas bumi secara langsung, terutama untuk keperluan industri, yang

terdapat di beberapa lokasi di Indonesia, yaitu kultivasi Jamur di Wilayah Kamojang dan

pengolahan palm sugar di Wilayah Lahendong,

2.3 Minyak Akar Wangi (Vetiver Oil)

Akar wangi (Vetiveria zizanoides) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri

yang potensial. Tanaman dari famili Gramineae ini telah lama dikenal di Indonesia dan menjadi

salah satu komoditas ekspor nonmigas. Tanaman akar wangi, seperti yang terlihat dalam Gambar

2.1, dapat menghasilkan minyak yang dikenal dengan minyak akar wangi (vetiver oil) melalui

suatu proses penyulingan.

Gambar 2.1 Tanaman penghasil minyak akar wangi (Sumber : Kardinan, 2005)

Minyak akar wangi tersimpan dalam kantung-kantung minyak yang berada diantara

lapisan korteks dan endodermis seperti yang terlihat. Pengeluaran minyak dari dalam kantung-

kantung tersebut dilakukan dengan melewatkan uap panas untuk merusak lapisan luar yang

menutupi kantung minyak (epidermis dan koteks). Suhu tinggi dan pergerakan uap air yang

disebabkan oleh kenaikan suhu dalam ketel dapat mempercepat proses difusi. Istilah difusi dalam

konteksi ini adalah penetrasi dari berbagai komponen secara timbal balik sehingga tercapai

keseimbangan.

2.4 Penyulingan Minyak Akar Wangi

Proses ekstraksi atau pengambilan minyak atsiri yang terkandung dalam suatu tanaman

dapat dicapai dengan beberapa metode yang berbeda. Secara umum, terdapat lima metode utama

dalam proses ekstarksi minyak atsiri, yaitu expression, distilasi air/hidrodistilasi, distilasi air &

uap, distilasi uap dan metode yang kelima adalah ekstraksi pelarut. Proses ekstraksi dapat

berlangsung pada tekanan atmosfer, tekanan di bawah atmosfer/vakum atau pun pada tekanan di

atas atmosfer. Pemilihan metode ekstraksi dari minyak atsiri bergantung pada sifat alamiah dari

(a) Tanaman akar wangi (b) Akar wangi

tanaman, stabilitas komponen kimia yang terkandung di dalam tanaman dan spesifikasi dari

produk yang diinginkan.

Dari kelima metode yang sudah disebutkan sebelumnya, metode yang digunakan untuk

mengekstrak minyak akar wangi dari tanaman rumput akar wangi adalah metode distilasi. Jika

dibandingkan dengan metode ekstraksi lainnya, metode distilasi merupakan metode yang paling

ekonomis dalam mengekstrak minyak atsiri. Keuntungan utama dari distilasi adalah peralatan

yang dibutuhkan dalam proses distilasi tergolong sederhana atau tidak rumit, bahkan di lokasi

yang terpencil sekali pun, metode distilasi dapat mengolah tanaman dalam jumlah besar dan

dalam waktu yang relatif singkat. Selain itu, distilasi juga membutuhkan jumlah pekerja yang

lebih sedikit dan menyaratkan pekerja dengan kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan metode ekstraksi (UNIDO dan FAO, 2005).

2.4.1 Teori Distilasi Uap

Distilasi uap adalah metode distilasi minyak atsir dengan cara mengontakkan uap air

secara langsung dengan campuran yang akan diuapkan, baik dengan operasi batch atau pun

kontinu. Hal yang membedakan antara medode distilasi uap dengan metode distilasi minyak atsiri

lainnya terletak pada penggunaan boiler dalam prosesnya. Boiler digunakan untk menghasilkan

uap air, sehingga uap air diproduksi di luar ketel suling. Uap air digunakan secara luas, karena

dianggap memiliki tingkat energi yang cukup tinggi, harganya yang murah dan juga mudah untuk

diperoleh. Keuntungan dan kerugian dari distilasi uap diantaranya adalah kualitas dan banyaknya

uap air ang masuk ke ketel suling dapat dikendalikan; resiko degradasi termal yang lebih rendah

dibandingkan dengan metode distilasi lainnya; banyak digunakan untuk proses ekstraksi minyak

atsiri dalam skala yang besar; banyak variasi yang dapat digunakan, seperti batch, hidrodifusi,

distilasi maserasi, ketel mobile dan proses distilasi kontinu; membutuhkan modal yang jauh lebih

tinggi dibandingkan dengan metode distilasi minyak atsiri lainnya.

Pemodelan proses distilasi uap dalam penelitian ini menggunakan persamaan

distilasi/pelucutan uap batch yang sudah umum digunakan untuk memperkirakan kebutuhan uap

air atau banyaknya minyak yang diperoleh dalam suatu proses distilasi uap. Persamaan tersebut

didasarkan pada kesetimbangan massa untuk komponen volatil (minyak akar wangi), yaitu

( ) (2.1)

Persamaan 2.1 dapat direduksi menjadi dua variabel dengan menyelesaikan variabel Y terhadap

variabel lain. Tekanan parsial dari komponen volatil dalam fasa uap biasanya kurang dari nilai

teoritisnya akibat adanya tahanan perpindahan massa dan panas dalam proses. Oleh karena itu,

dalam persamaan ini dibuat variabel yang dinamakan efisiensi penguapan/vaporisasi seperti yang

terdapat dalam persamaan 2.2.

(2.2)

Dengan P = tekanan parsial komponen volatil dalam fasa uap

P* = tekanan parsial komponen volatil dalam kondisi equilibrium

Berdasarkan Hukum Dalton, Y adalah rasio antara tekanan parsial komponen volatil (P)

dan tekanan parsial uap air (π-P). π adalah takanan total yang dijaga dalam ruang uap di dalam

tangki distilasi. Kemudian, dengan melakukan substitusi persamaan 2.2 akan diperoleh hubungan

Y seperti yang terdapat dalam persamaan 2.3.

(2.3)

Menggunakan persamaan implisit untuk P*, persamaan 2.1 dan 2.3 akan menghasilkan persamaan

umum untuk distilasi uap batch, yaitu

(2.4)

Dengan Xs = komposisi residu (minyak akar wangi yang tersisa) dalam

tangki distilasi (mol volatil per mol inert)

Xf = komposisi umpan (mol volatil per mol inert)

θ = waktu distilasi uap (satuan waktu yang konsisten dengan laju

alir uap air)

Penyelesaian persamaan 2.4 dengan melakukan integral terhadap rentang nilai komposisi umpan-

residu akan menghasilkan persamaan analitik seperti yang terlihat dalam persamaan 2.5.

[

(

) (

) ( )] (2.5)

Persamaan 2.5 adalah persamaan yang digunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh profil

massa minyak akar wangi pada setiap satuan waktu dengan nilai laju alir uap air dan tekanan total

sistem yang tetap.

3 Metode Penelitian

Alur penelitian yang digunakan pada penelitian ini diilustrasikan dalam Gambar 3.1.

Sintesis Proses

Logis ?

Input parameter

model distilasi uap

Perhitungan neraca

massa & energi

Estimasi Biaya Cash flow

Analisis Keekonomian

Analisis Sensitivitas

Tidak

Ya

Input parameter komputasi

pada HYSYS

T dan P inlet,

laju alir uap air

Karakteristik pipa

: Jenis pipa, jarak

pipa, sistem

insulasi

Running model pada

HYSYS

T dan P

outlet, laju

alir uap air

T dan P operasi,

laju alir uap air,

massa bahan baku

Running model pada

Ms. Excel

NME : yield, flow

rate produk,

energi per kg

bahan baku

Sizing PeralatanUkuran

Peralatan

Sistem Perpipaan

Sistem Distilasi Uap

Variabel sensitif

terhadap

keekonomian

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian

4 Hasil Dan Pembahasan

4.1 Pemodelan Proses Distilasi Uap

Proses distilasi uap yang digunakan dalam penyulingan minyak akar wangi dimodelkan

dengan menggunakan persamaan 3.1. Hasil dari pemodelan tersebut adalah berupa profil massa

minyak akar wangi pada setiap satuan waktu tertentu. Sebelum melakukan simulasi proses

distilasi uap, validasi model dilakukan terlebih dahulu.

4.1.1 Validasi Model

Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model termodinamika yang sudah

cukup umum digunakan untuk keperluan perhitungan dalam proses distilasi uap. Validasi model

dilakukan dengan cara membandingkan hasil perhitungan model dengan data eksperimen. Data

yang dibandingkan adalah berupa profil massa minyak akar wangi pada setiap satuan waktu. Data

eksperimen diperoleh dari penelitian sebelumnya oleh (Tutuarima, 2009). Hasil dari validasi

model dapat dilihat dalam Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Hasil validasi model pada kondisi tekanan konstan (a) 3 bar (b) 2 bar dan (c) 1 bar

Seperti yang terlihat dalam Gambar 4.1, profil massa minyak akar wangi yang diperoleh

dari pemodelan tidak dapat menghasilkan nilai yang 100% sama dengan nilai yang diperoleh dari

eksperimen, terutama pada waktu awal penyulingan (t = 1-5 jam). Namun, kesalahan relatif

(perbedaan antara nilai yang dihasilkan oleh pemodelan dengan nilai eksperimen) yang

dihasilkan pada waktu akhir penyulingan (t = 6-9 jam) bernilai relatif kecil, yaitu di bawah 15%.

Profil massa minyak akar wangi yang dihasilkan melalui pemodelan tidak dapat

mendekati 100% nilai eksperimen, karena pemodelan yang dilakukan pada penelitian ini

didasarkan pada aspek termodinamika, tanpa memerhatikan aspek perpindahan massa di dalam

proses distilasi uap. Akibat dari pengecualian aspek perpindahan massa dalam proses distilasi uap

(a) (b)

(c)

dapat terlihat dari nilai massa minyak akar wangi hasil perhitungan model di akhir waktu

penyulingan yang selalu lebih besar (sekitar 10% lebih besar) dibandingkan nilai eksperimen.

Ilustrasi perpindahan massa dari partikel minyak akar wangi pada proses distilasi uap dapat

dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Ilustrasi perpindahan massa minyak akar wangi pada proses distilasi uap

4.1.2 Simulasi Proses Distilasi Uap

Setelah melakukan validasi model dengan data eksperimen, dilakukan simulasi dengan

tekanan tetap dan laju alir uap air divariasikan, serta pada kondisi laju alir uap air tetap dan

tekanan yang divariasikan dalam waktu selama 24 jam. Berat bahan baku yang digunakan adalah

sebesar 2000 kg, sama dengan banyaknya bahan baku yang digunakan pada penyulingan skala

IKM (Industri Kecil dan Menengah). Hasil dari simulasi berupa grafik dapat dilihat dalam

Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Profil perolehan massa minyak akar wangi pada tekanan 3 bar dengan variasi laju alir uap

Melalui hasil simulasi diketahui bahwa perolehan hasil minyak akar wangi mulai

mengalami perlambatan kenaikan ketika menyentuh angka perolehan (recovery) sebesar 97%.

Oleh karena itu, melalui hasil simulasi akan ditentukan kondisi operasi penyulingan yang paling

cepat menghasilkan perolehan sebesar 97%. Perolehan sebesar 97% paling cepat didapat dengan

laju alir 4000 kg/jam pada tekanan 3 bar dalam waktu 11 jam. Namun, laju alir uap air tersebut

jauh di atas laju alir uap air sebesar 2500 kg/jam yang digunakan dalam skala IKM. Selain itu,

apabila diimplementasikan dalam skema pemanfaatan limbah panas bumi yang dilakukan dalam

penelitian ini, laju alir sebesar 4000 kg/jam akan membutuhkan biaya investasi yang sangat besar.

4.2 Simulasi Proses dengan Pemanfaatan Panas Bumi

Simulasi proses yang dilakukan pada penelitian ini dibagi menjadi tiga skema. Ketiga

skema yang dimaksud adalah skema BAU (Business As Usual), skema kondensat dan skema

brine. Keluaran utama yang akan dilihat adalah kebutuhan energi yang digunakan dalam satu kali

penyulingan, banyaknya bahan bakar yang digunakan dan banyaknya CO2 yang dihasilkan pada

setiap skema. CO2 yang terproduksi dari penyulingan minyak akar wangi menjadi salah satu

parameter yang dihitung, karena salah satu manfaat penggunaan limbah panas dari PLTP adalah

pengurangan produksi CO2 sehingga proses berlangsung lebih ramah lingkungan. Hasil simulasi

proses dari ketiga skema terdapat dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil simulasi dengan pemanfaatan panas bumi

Parameter BAU Brine Kondensat

T (°C) 158 130 130

P (bar) 6 3 3

t (jam) 12 14 14

Laju alir uap air (kg/jam) 2500 3000 3000

Kebutuhan energi (MJ) 404.520 566.300 566.300

Konsumsi bahan bakar (l) 525,93 - 687,63

Bahan baku akar wangi (kg) 2000 2000 2000

Hasil minyak akar wangi (g) 6000 6797,96 6797,96

Energi spesifik (MJ/kg minyak) 66.886,02 83.304,4 83.304,4

Produksi CO2 (kg) 1482,71 - 1940,4

Gambar 4.4 Perbandingan (a) konsumsi bahan bakar dan (b) produksi gas CO2 pada ketiga skema

Gambar 4.4 memperlihatkan perbandingan konsumsi bahan bakar dan produksi karbon

dioksida setiap skema dengan basis skema BAU. Dari grafik-grafik tersebut terlihat bahwa skema

kondensat lebih menguntungkan untuk diaplikasikan. Hal tersebut disebabkan oleh lebih

rendahnya konsumsi bahan bakar, maupun produksi karbon dioksida yang dihasilkan

dibandingkan dengan skema BAU. Sementara itu, skema brine yang lebih unggul dibandingkan

dengan skema BAU dan kondensat. Pada skema brine tidak dibutuhkan bahan bakar dan juga

tidak memproduksi gas CO2. Tidak adanya produksi gas CO2 dapat menjadi nilai plus tersendiri

untuk menarik minat investor atau memperoleh dukungan dari lembaga lingkungan dunia, karena

dengan menggunakan skema brine, proses berlangsung menjadi lebih bersih tanpa menghasilkan

emisi gas CO2.

4.3 Sizing Peralatan Proses

Sizing terhadap peralatan proses dilakukan untuk skema kondensat dan skema brine.

Peralatan proses yang akan dilakukan sizing adalah pompa, alat penukar panas dan pipa.

Peralatan-peralatan proses tersebut merupakan peralatan tambahan yang dibutuhkan selain

peralatan proses yang ada dalam skema BAU. Berikut adalah hasil sizing dari ketiga peralatan

proses untuk masing-masing skema.

4.3.1 Pompa

Pompa digunakan untuk menambah tekanan air proses yang dibutuhkan untuk

mengalirkan air dari sumber limbah panas bumi ke tempat penyulingan yang berjarak 6 km.

Tabel 4.2 memperlihatkan hasil sizing dari pompa yang digunakan dalam skema kondensat dan

brine.

(a) (b)

Tabel 4.2 Sizing pompa skema kondensat dan brine

Parameter Skema

Kondensat Skema Brine

Jenis Pompa Resiprokal Resiprokal

Tekanan Masuk (bar) 1 1

Tekanan Keluar (bar) 6 3,5

Laju alir (kg/jam) 3000 3000

Daya (kW) 2,77 2,56

Head (m) 372 344

4.3.2 Alat Penukar Panas

Sizing penukar panas dilakukan dengan menggunakan software HTRI. Tipe TEMA dari

alat penukar panas yang digunakan untuk skema kondensat adalah AES, sedangkan untuk skema

brine adalah tipe AKT. Tipe AKT digunakan untuk skema brine, karena alat penukar panas pada

skema brine berguna untuk menguapkan air proses ketika bertukar panas dengan brine yang

bersumber dari PLTP. Suhu keluar brine dari alat penuka panas dibatasi paling rendah pada suhu

100°C untuk menghindari terjadinya pembentukan kerak. Hasil sizing dapat dilihat pada Gambar

4.5 dan 4.6.

Gambar 4.5 Ilustrasi alat penukar panas untuk skema brine

Gambar 4.6 Ilustrasi alat penukar panas untuk skema kondensat

4.3.3 Pipa Uap Air

Pipa uap air berfungsi untuk mengalirkan air proses yang sudah bertukar panas dengan

brine atau kondensat. Pipa uap air memiliki panjang 6000 m yang merupakan jarak antara sumber

limbah panas dengan tempat penyulingan minyak akar wangi. Rute dan perubahan elevasi dari

pipa uap air dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Tabel 4.3 Sizing pipa uap air

Parameter Skema Kondensat Skema Brine

Panjang (m) 6000 6000

ID (inch) 6,065 10,02

OD (inch) 6,625 10,75

Bahan pipa Carbon Steel Carbon Steel

Tebaal insulasi (inch) 1,5 1,5

Bahan insulasi Kalsium silikat Kalsium silikat

Kehilangan panas (kW) 23,7 172,5

4.4 Perhitungan Ekonomi

Pada bagian ini dihitung nilai investasi atau biaya kapital yang dibutuhkan untuk

mengimplementasikan pemanfaatan limbah panas PLTP untuk proses produksi minyak akar

wangi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Selain biaya investasi, komponen biaya lain yang

yang dihitung adalah biaya operasional dan pemeliharaan. Setelah komponen biaya

investasi/kapital dan operasional dihitung dilakukan analisis profitabilitas menggunakan

parameter NPV, IRR dan PBP (Payback Period).

4.3.1 Biaya Kapital

Investasi awal yang diperlukan untuk implementasi skema pemanfaatan limbah panas

PLTP untuk produksi akar wangi adalah biaya yang diperlukan untuk mengadakan alat yang

dibutuhkan. Alat-alat tambahan yang dibutuhkan untuk mewujudkan implementasi tersebut

terdiri dari pompa reciprocating, alat penukar panas dan pipa. Rician biaya untuk masing-masing

alat tersebut tersedia pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Biaya investasi alat skema brine dan kondensat

No Peralatan Brine (Rp) Kondensat

(Rp)

1 Pompa 550.638.000 662.458.500

2 Alat penukar

panas 8.740.021.500 5.029.276.500

3 Pipa 27.135.756.000 18.505.179.000

Total Investasi Alat 36.426.415.500 24.196.900.500

Selain biaya pembelian alat, komponen biaya kapital lainnya adalah biaya untuk instalasi alat di

lapangan. Komponen biaya yang dimaksud terdiri dari biaya untuk persiapan lahan, kontingensi

dan upah kontraktor, startup, dan working capital. Rincian biaya masing-masing komponen dapat

dilihat dalam Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Total biaya kapital skema brine dan kondensat

Komponen Biaya (Rp)

Skema Brine Skema Kondensat

Total Investasi Alat 36.426.415.500 24.196.900.500

Persiapan lahan 1.092.798.000 725.895.000

Kontingensi &Upah kontraktor 3.751.920.000 2.492.289.000

Biaya Startup 619.069.500 411.223.500

Working Capital 837.810.000 556.524.000

Total Biaya Kapital 42.727.999.500 28.382.845.500

4.3.2 Biaya Operasional dan Pemeliharaan

Selain biaya kapital terdapat biaya yang dikeluarkan setiap tahunnya untuk

melangsungkan proses. Biaya ini memiliki nilai yang sama setiap tahunnya. Komponen biaya

operasional dan pemeliharaan terdiri dari upah buruh, utilitas, pemeliharaan, pajak dan asuransu,

plant overhead dan general expense. Rincian biaya operasional dan pemeliharaan dapat dilihat

pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Total biaya operasional dan pemeliharaan skema brine dan kondensat

Komponen Biaya($)

Skema Brine Skema Kondensat

Upah Buruh 62.910.000 62.910.000

Utilitas 51.988.500 51.988.500

Pemeliharaan 206.347.500 137.079.000

Pajak dan asuransi 165.078.000 109.660.500

Plant Overhead 18.886.500 13.972.500

General expenses 44.550.000 44.550.000

Total Biaya Operasional 549.801.000 420.174.000

4.3.3 Skema Pendanaan

Pada perhitungan ekonomi ini dilakukan sejumlah variasi pendanaan. Pada masing-

masing skema terdapat tiga pihak yang berperan sebagai sumber perolehan dana untuk

membiayai biaya kapital dan operasional. Ketiga pihak yang dimaksud adalah bank, pemerintah

dan pihak ketiga yang memberikan hibah. Perbedaan dari ketiga pihak penyedia dana ini terletak

pada bunga yang dikenakan terhadap permintaan dana yang dibutuhkan. Pihak bank menetapkan

bunga sebesar 12%, pemerintah memberi bunga lebih rendah, yaitu 5% dan juga keringanan

dalam bentuk insentif pajak, dan pihak ketiga merupakan pihak yang memberi dana tanpa adanya

bunga pinjaman. Variasi pendanaan dalam penelitian ini dibuat sebanyak lima skema. Pada

setiap skema divariasikan besaran nilai investasi yang diperoleh dari masing-masing pihak.

Rincian dari persentase nilai investasi yang ditanggung oleh masing-masing pihak dalam kelima

skema tersedia dalam Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Total biaya kapital skema brine dan kondensat

Skema

Pendanaan

Penyandang Biaya

Bank Hibah Pemerintah

Skema 1 100% - -

Skema 2 - 100% -

Skema 3 70% 30% -

Skema 4 40% 30% 30%

Skema 5 - 70% 30%

4.3.4 Profitabilitas

Profitabilitas dari pemanfaatan limbah panas bumi untuk proses produksi minyak akar

wangi yang dilakukan pada penelitian ini dihitung dari seberapa besar NPV, IRR dan PBP yang

diperoleh pada skema brine dan kondensat. Ketiga parameter profitabilitas tersebut dihitung

untuk kelima skema seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. NPV yang diperoleh untuk

kelima skema tersebut dapat dilihat dalam Tabel 4.8, sedangkan perolehan IRR dan PBP dapat

dilihat dalam Tabel 4.9.

Tabel 4.8 Perolehan NPV pada setiap skema pendanaan

Skema

Pendanaan

NPV (Rp)

Brine Kondensat

1 -36.659.231.900 -30.135.462.900

2 6.068.769.400 -1.752.615.700

3 -23.840.831.600 -21.620.608.700

4 -23.840.831.600 -21.620.608.700

5 -6.749.631.100 -10.267.469.800

Tabel 4.9 Perolehan IRR dan PBP pada setiap skema pendanaan

Skema

Pendanaan

IRR (%) PBP

Brine Kondensat Brine Kondensat

1 -14,41 N/A N/A N/A

2 N/A N/A 1 N/A

3 -11,43 N/A N/A N/A

4 -11,43 N/A N/A N/A

5 -3,05 N/A N/A N/A

Keterangan N/A pada Tabel 4.9 menandakan bahwa IRR dan PBP tidak dapat dihitung. Hal

tersebut diakibatkan oleh tidak adanya arus kas positif dalam perhitungan IRR (arus kas selalu

negatif) atau sebaliknya (arus kas selalu positif). Sementara itu, untuk perhitungan PBP,

keterangan N/A menandakan bahwa pengembalian modal terjadi di luar atau melebihi umur dari

proyek (15 tahun).

4.3.5 Biaya Energi

Setiap proses penyulingan minyak akar wangi membutuhkan sejumlah energi tertentu

untuk memberikan panas selama proses belangsung. Banyaknya energi yang dibutuhkan

sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi bahan bakar. Biaya konsumsi bahan

bakar dan energi yang dibutuhkan per penyulingan dapat dihubungkan dengan cara dinyatakan

dalam biaya energi. Satuan dari biaya energi yang digunakan adalah Rp/kJ. Pada skema BAU

biaya energi dihitung dengan cara membagi total biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan

bakar solar dengan energi/duty panas yang dibutuhkan per penyulingan. Berdasarkan perhitungan

dari hasil simulasi diketahui bahwa biaya energi pada skema BAU adalah sebesar Rp0,007/kJ.

Berbeda dengan perhitungan untuk skema BAU, biaya energi untuk penyulingan minyak

akar wangi skema brine dan kondensat dihitung berdasarkan arus kas. Nilai tersebut diperoleh

dengan cara menjumlahkan nilai depresisasi dan biaya operasional per tahun lalu membaginya

dengan total suplai uap air per tahun. Biaya energi untuk skema brine dan kondensat pada setiap

skema pendanaan dapat dilihat dalam Tabel 4.10.

Tabel 4.10 Analisis sensitivitas terhadap panjang pipa (L) untuk skema brine

Skema Biaya Energi (Rp/kJ)

Skema 1 Skema 2 Skema 3 Skema 4 Skema 5

Brine 0,0119 0,0036 0,0119 0,0119 0,0092

Kondensat 0,0082 0,0028 0,0082 0,0082 0,0065

BAU 0,007

Pada Tabel 4.10 terlihat bahwa biaya energi skema kondensat lebih rendah dibandingkan dengan

skema brine. Hal tersebut disebabkan oleh biaya kapital dan biaya operasional yang dibutuhkan

pada skema kondensat lebih rendah dibandingkan dengan skema brine. Dari kelima skema

pendanaan diketahui bahwa biaya energi paling rendah/murah dihasilkan pada skema pendanaan

2 yang nilainya lebih rendah dibanding BAU, lalu diikuti oleh skema pendaaan 5 yang nilainya

sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan skema BAU. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa

intervensi pemerintah dan besarnya hibah yang diberikan berperan penting untuk

keberlangsungan proyek pemanfaatan langsung panas bumi ini.

4.3.6 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan setelah NPV dihitung untuk kelima skema pendanaan. Hal

tersebut dilakukan untuk melihat apakah pemanfaatan limbah panas bumi untuk proses produksi

minyak akar wangi ini masih memberikan keuntungan apabila tedapat komponen biaya diubah.

Hasil perhitungan dari analisis sensitivitas ini dapat dilihat dalam Gambar 4.7.

(a) (b)

Gambar 4.7 Perubahan NPV terhadap panjang pipa untuk (a) skema brine (b) skema kondensat

Hasil analisis sensitivitas yang telah dilakukan pada skema brine menunjukkan bahwa dari

kelima skema pendanaan yang divariasikan terdapat dua skema yang layak secara ekonomi, yaitu

skema 2 dan skema 5. Pada skema 2 nilai NPV positif diperoleh untuk panjang pipa 0-6 km.

Sementara itu, pada skema 5, NPV mulai bernilai positif ketika panjang pipa bernilai 0-1 km. Hal

tersebut memiliki arti bahwa pemanfaatan limbah panas PLTP Kamojang untuk produksi minyak

akar wangi skala IKM milik H. Ede layak secara ekonomi apabila jarak lokasi penyulingan

bernilai maksimal 1 km dari sumber panas dengan menggunakan skema 5 dan layak secara

ekonomi untuk jarak 6 km (kondisi lapangan saat ini) apabila digunakan skema pendanaan 2.

Penggunaan skema pendanaan 5 dengan mengurangi jarak antara lokasi penyulingan dengan

sumber limbah panas hingga menjadi 1 km memiliki NPV sebesar Rp 1.057.899.500 dengan

IRR 10,16% dan PBP pada tahun ke-8.

5. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa :

1. Secara teknis, kondensat PLTP Kamojang dapat dimanfaatkan untuk dimanfaatkan sebagai

sumber limbah panas PLTP untuk penyulingan akar wangi. Namun, akan lebih efektif

apabila dapat ditemukan sumur yang mengandung brine.

2. Penyulingan minyak akar wangi dengan tekanan 3 bar dan laju alir uap air 3000 kg/jam

selama 14 jam dapat meningkatkan recovery minyak hingga mencapai 97%

3. Laju alir brine minimum untuk melangsungkan proses penyulingan minyak akar wangi pada

tekanan 3 bar dan laju alir uap air 3000 kg/jam adalah sebesar 115.000 kg/jam.

4. Total biaya kapital dan operasional yang dibutuhkan untuk skema brine secara berturut-turut

adalah Rp 42.727.999.500 dan Rp 549.801.000, sedangkan untuk skema kondensat adalah

Rp 28.382.845.500 dan Rp 420.174.000.

5. Secara ekonomi, penggunaan kondensat tidak layak untuk penyulingan minyak akar wangi.

6. Skema pemanfaatan limbah panas bumi untuk penyulingan minyak akar wangi di tempat

IKM H. Ede yang paling menguntungkan, dengan NPV Rp 1.057.899.500; IRR 10,16%;

PBP pada tahun ke-8, adalah menggunakan brine pada jarak maksimal 1 km dari sumber

panas serta didanai 70% dari hibah dan 30% dari pemerintah.

7. Emisi yang dapat dihindari dari penggunaan brine untuk proses penyulingan minyak akar

wangi adalah sebanyak 213,5 ton CO2/tahun.

6. Daftar Pustaka

Dickson, Mary H. Dan Mario Fanelli. 2003. Geothermal Energy : Utilization and Technology.

UNESCO

DiPippo, Ronald. 2012. Geothermal Power Plants : Principles, Applications, Case Studies

and Environmental Impact. Oxford : Elsevier

Gehringer, M. dan Loksha, V., 2012. Geothermal handbook : Planning and Financing Power

Generation, Washington DC: The International bank for Reconstruction.

Gudmundsson, J. S. dan Lund, J. W. 1985. Direct Uses of Earth Heat. International Journal of

Energy Research, 9, 345-375

Guenther. 1990. Minyak Atsiri Jilid I dan IVA. Semangat Ketaren, penerjemah. Jakarta :

Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari : The Essential Oils.

Harsh, Gupta dan Sukanta Roy. 2007. Geothermal Energy : An Alternative Resource For The

21st Century.

Kardinan A. 2005. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri. Jakarta : Agromedia Pustaka

Lund, JW., 2015. Fresston D.H., Boyd, T.L.: World Direct Uses of Geothermal Energy 2015,

Proceedings, World Geothermal Congres 2015, Australia.

Martinez J, Paulo TV, Chantal M, Alain L, Pierre B, Dominique P, Angela AM. 2004.

Valorization of Brazilian Vetiver (Vetiveria zizanoides (L) Nash ex Small) Oil. J. Agr and

Food Chem, 52, 6578 – 6584.

Seider, W. D., Seader, J. & Lewin, D. R., 2003. Product and Process Design Principles. 2nd ed.

New Jersey: John Wiley and Sons, Inc..

Sinnot, R., 2005. Coulson & Richardson’s Chemical Engineering Series : Chemical Engineering

Design; 4th ed. Oxford: Elsevier.

Surana, T., Atmojo, J. P., Suyanto & Subandriya, A., 2010. Development of Geothermal Energy

Direct Use in Indonesia. GHC Bulletin , August.

Suwarda, Rosniyati. 2009. Analisis Energi Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi dengan

Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Air Secara Bertahap [thesis]. Bogor : Institut

Pertanian Bogor.

Tutuarima, Tuti. 2009. Rekayasa Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi dengan Peningkatan

Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap [thesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

UNIDO dan FAO. 2005. Herbs, Spices and Essential Oils : Post-harvest operations in

developing countries. Vienna