analisis survival dengan pendekatan bayesian …

40
1 ANALISIS SURVIVAL DENGAN PENDEKATAN BAYESIAN UNTUK MEMODELKAN KETAHANAN PROGRAM KB PADA INDIVIDU IBU DI INDONESIA TAHUN 2007 Oleh: Preatin 1) , Kresnayana Yahya 2) dan Yos Rusdiansyah 3) 1 Mahasiswa S2 Jurusan Statistika, FMIPA-ITS, Surabaya [email protected] , [email protected] 2 Dosen Jurusan Statistika, FMIPA-ITS, Surabaya 3 Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, Surabaya, Indonesia Abstrak Saat ini Indonesia dihadapkan dengan masalah “baby boom” tahap kedua yang mengancam masalah kependudukan. Beberapa indikator demografi membenarkan perkiraan para ahli tersebut, antara lain menurunnya keinginan mempunyai keluarga kecil, menurunnya penggunaan alat kontrasepsi, menurunnya sumber pelayanan Keluarga Berencana (KB) pemerintah, tingginya laju pertumbuhan penduduk di beberapa provinsi, dan pergeseran struktur angka kelahiran menurut umur wanita ke umur yang lebih muda dibeberapa provinsi. Pembatasan jumlah anggota keluarga dengan program “Dua Anak Cukup” ternyata mulai ditinggalkan apalagi setelah kebijakan program KB dilimpahkan ke pemerintah daerah sejalan dengan semangat otonomi daerah. Gagalnya program tersebut pada seorang ibu dapat dilihat dengan kelahiran anak ketiga, sehingga jarak kelahiran antara anak kedua dan ketiga dapat dijadikan obyek penelitian evaluasi program “Dua Anak Cukup”. Data jarak kelahiran anak kedua dan ketiga mengandung data tersensor dimana seorang ibu pada saat pendataan belum memiliki anak ketiga tetapi ada kemungkinan melahirkan anak ketiga setelah periode pendataan selesai. Untuk menangani data tersensor maka digunakan analisis survival dimana memperhitungkan kemungkinan terjadinya kelahiran anak ketiga pada data tersensor. Dalam penelitian ini jarak kelahiran anak kedua dan ketiga dihubungkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya baik dari sisi sosial, ekonomi, fungsi keluarga, dan

Upload: others

Post on 25-Nov-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

ANALISIS SURVIVAL DENGAN PENDEKATAN BAYESIAN

UNTUK MEMODELKAN KETAHANAN PROGRAM KB

PADA INDIVIDU IBU DI INDONESIA TAHUN 2007

Oleh:

Preatin 1)

, Kresnayana Yahya2)

dan Yos Rusdiansyah3)

1Mahasiswa S2 Jurusan Statistika, FMIPA-ITS, Surabaya

[email protected], [email protected] 2Dosen Jurusan Statistika, FMIPA-ITS, Surabaya

3Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, Surabaya, Indonesia

Abstrak

Saat ini Indonesia dihadapkan dengan masalah “baby boom”

tahap kedua yang mengancam masalah kependudukan. Beberapa

indikator demografi membenarkan perkiraan para ahli tersebut, antara

lain menurunnya keinginan mempunyai keluarga kecil, menurunnya

penggunaan alat kontrasepsi, menurunnya sumber pelayanan Keluarga

Berencana (KB) pemerintah, tingginya laju pertumbuhan penduduk di

beberapa provinsi, dan pergeseran struktur angka kelahiran menurut umur

wanita ke umur yang lebih muda dibeberapa provinsi. Pembatasan jumlah

anggota keluarga dengan program “Dua Anak Cukup” ternyata mulai

ditinggalkan apalagi setelah kebijakan program KB dilimpahkan ke

pemerintah daerah sejalan dengan semangat otonomi daerah. Gagalnya

program tersebut pada seorang ibu dapat dilihat dengan kelahiran anak

ketiga, sehingga jarak kelahiran antara anak kedua dan ketiga dapat

dijadikan obyek penelitian evaluasi program “Dua Anak Cukup”.

Data jarak kelahiran anak kedua dan ketiga mengandung data

tersensor dimana seorang ibu pada saat pendataan belum memiliki anak

ketiga tetapi ada kemungkinan melahirkan anak ketiga setelah periode

pendataan selesai. Untuk menangani data tersensor maka digunakan

analisis survival dimana memperhitungkan kemungkinan terjadinya

kelahiran anak ketiga pada data tersensor. Dalam penelitian ini jarak

kelahiran anak kedua dan ketiga dihubungkan dengan faktor-faktor yang

mempengaruhinya baik dari sisi sosial, ekonomi, fungsi keluarga, dan

2

intervensi pemerintah, sehingga dimodelkan dengan Model Proporsional

Hazard.

Indonesia terdiri dari 33 provinsi dengan karakteristik masing-

masing baik dari sosial ekonomi, budaya, maupun demografi

kewilayahannya yang tidak menutup kemungkinan antar provinsi terdapat

perbedaan dan persamaan. Menangani masalah dengan menyikapi

perbedaan dan persamaan antar provinsi tentu membutuhkan perlakuan

berbeda. Pembentukan cluster pada provinsi-provinsi yang lebih

homogen berdasarkan karakteristik sosial ekonomi, budaya, fungsi

keluarga dan intervensi pemerintah dilakukan untuk memperkecil

variabilitas. Metode clustering yang digunakan adalah Two Step Cluster

Analysis. Pendekatan Bayesian dengan simulasi numerik Markov Chain

Monte Carlo (MCMC) akan mempermudah estimasi parameter dalam

model hazard proporsional.

Hasil yang diperoleh adalah terbentuk 4 cluster dimana umur

ibu pada saat melahirkan anak kedua berpengaruh terhadap jarak

kelahiran anak kedua dan ketiga di semua cluster. Beberapa faktor lain

mempunyai pengaruh yang berbeda pada setiap cluster seperti akses ke

media informasi, agama, dan lain-lain.

Kata kunci : Analisis Survival, Bayesian, Keluarga Berencana (KB),

Markov Chain Monte Carlo ( MCMC), Two Step Cluster

Analysis.

1. Pendahuluan

Tantangan memakmurkan bangsa Indonesia dalam beberapa

tahun mendatang tidak terlepas dari permasalahan ekonomi, kemiskinan,

kesehatan, bahkan politik. Tantangan ini ternyata tidak terlepas dari

kualitas sumber daya manusia (SDM) yang masih terus ditingkatkan.

Kualitas SDM yang rendah sangat dipengaruhi oleh permasalahan

kependudukan. Mulai dari aspek besarnya penduduk, pertumbuhan

penduduk, kelahiran, kematian, dan perpindahan penduduk maupun

kualitas penduduk. Berawal dari tingginya angka kelahiran sehingga

pertumbuhan penduduk meningkat walaupun dibarengi dengan masalah

angka kematian ibu dan bayi yang relatif tinggi, ternyata pertambahan

3

penduduk Indonesia tidak dibarengi oleh peningkatan kualitas penduduk

dan kemampuan negara untuk membiayai penyediaan kebutuhan dasar

seperti infrastruktur pendidikan, perumahan, kesehatan dan lainnya.

Masalah pengangguran, kemiskinan, kriminalitas, putus sekolah,

kematian ibu dan bayi, rasanya tidak terlalu berlebihan jika dikatakan ada

kaitannya dengan besarnya jumlah penduduk.

Rata-rata jumlah anak per wanita usia produktif saat ini 2,6

anak dan ada indikasi terjadi kenaikan pada wanita di pedesaan. Bahkan

ada indikasi bangsa ini dihadapkan adanya baby boom tahap kedua dan

diperkirakan pada tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia mencapai

247,5 juta jiwa dan 273 juta jiwa pada tahun 2025 (Kompas, 28 Agustus

2008). Laju pertumbuhan penduduk Indonesia memang mengalami

penurunan setiap tahunnya, tetapi tidak untuk level provinsi. Pada periode

tahun 2000-2005 terdapat 12 provinsi dari 33 provinsi mengalami

kenaikan yang signifikan dibanding periode 1990-2000. Angka kelahiran

di beberapa provinsi juga mengalami pergeseran struktur, dimana angka

kelahiran menurut umur wanita cenderung ke umur yang lebih rendah.

Hal ini akan berdampak lebih panjangnya sisa masa produktif wanita

sehingga peluang naiknya rata-rata jumlah anak per wanita.

Hasil temuan dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

2007 (SDKI 2007) menunjukkan bahwa keinginan untuk membatasi

jumlah anak menurun dibanding SDKI 2002-2003. Pada tahun 2002-2003

persentase wanita yang ingin membatasi jumlah anak sebesar 54,2 persen

dan menurun pada tahun 2007 menjadi 53,5 persen. Penggunaan alat

kontrasepsi juga mangalami penurunan kecuali di Jawa Barat, penurunan

paling signifikan terjadi di DI Yogyakarta (9 persen, dari 76 ke 67

persen) dan DKI Jakarta (3 persen, dari 63 ke 60 persen). Dan sumber

pelayanan kontrasepsi dari pemerintah menurun dari 28 persen pada

tahun 2003 menjadi 22 persen pada tahun 2007. Indikasi-indikasi di atas

menunjukkan bahwa masalah kependudukan di masa yang akan datang

tidak lebih ringan dibanding sekarang.

Adanya stratifikasi permasalahan kependudukan pada provinsi-

provinsi di atas menunjukkan bahwa penanganan permasalahan ini tidak

dapat dilakukan secara umum sama di semua provinsi. Karakteristik

wilayah terbentuk sebagai akumulasi keadaan sosial ekonomi, budaya,

dan keadaan demografis. Provinsi yang agraris dengan industri tentu

4

menghasilkan karakteristik berbeda. Kehidupan metropolis dengan

pedesaan menghasilkan gaya hidup masyarakat yang berbeda.Ruang

lingkup penduduk yang terkecil adalah keluarga, lebih tepatnya keluarga

inti. Dari keluarga intilah kunci pengendalian jumlah penduduk. Keluarga

yang memiliki jumlah anak tidak lebih dari yang bisa dipelihara dengan

baik, akan menjamin keluarga tersebut dari permasalahan kesehatan,

pendidikan, ekonomi, kemiskinan dan lainnya.

Jika Thomas Robert Malthus dengan teorinya tentang

ketidakseimbangan antara penduduk dan bahan makanan, ternyata saat ini

merembet tidak hanya pada masalah pangan tetapi jauh lebih besar dari

itu. Beberapa pengikut teori Malthus yang disebut Neo Malthusionism

beranggapan bahwa untuk menghambat jumlah kelahiran tidak mungkin

hanya mengandalkan moral restraint (berpuasa, penundaan perkawinan,

penegakan moral). Sehingga disarankan metode Birth Control dengan

penggunaan alat kontrasepsi yang akhirnya disebut family planning

(BKKBN, 1981).

Di Indonesia pengendalian penduduk dengan metode Birth

Control pada era sebelum tahun 1957 dikenalkan oleh beberapa tokoh

yang terinspirasi oleh pengikut-pengikut Malthus. Beberapa tokoh

bergerak di daerah-daerah dengan banyak tantangan dari masyarakat

bahkan salah satu tokoh besar KB saat itu yaitu dr. Sulianti mendapat

teguran dari Presiden Sukarno yang tidak menyetujui pembatasan

kelahiran. Pada tahun 1957 akhirnya salah satu tokoh yaitu dr. Suharto

dengan beberapa tokoh yang lain membentuk Perkumpulan Keluarga

Berencana Indonesia (PKBI) yang pada tahun 1968 melalui instruksi

presiden dibentuk LKBN (Lembaga Keluarga Berencana Nasional) yang

dimulai dengan Proyek KB DKI Jaya dengan biaya pemerintah. Pada

tahun 1980 pemerintah menganggap KB perlu dilaksanakan sebagai

integral pembangunan nasional dan dibentuklah BKKBN (Badan

Koordinasi Keluarga Berencana Nasional).

Pembatasan jumlah anak dalam kebijakan family planning

banyak diterapkan di beberapa negara seperti Cina dan Singapura.

Intervensi pemerintah terhadap jumlah anak dalam keluarga dirasakan

masih diperlukan untuk negara berkembang seperti Indonesia. Program

“Dua Anak Cukup” yang diluncurkan BKKBN adalah salah satu bentuk

intervensi untuk pembatasan jumlah anak (limiting family size). Dalam

5

paparan Prof. Dr. Haryono Suyono tentang Strategi Penyegaran Gerakan

KB di masa depan menyebutkan bahwa peserta KB dapat dijadikan

pelopor dalam upaya penyelesaian masalah pengentasan kemiskinan dan

memenuhi komitmen dunia dalam Millennium Development Goals.

Pendekatan yang selama ini dikembangkan yaitu pelayanan KB bagi

keluarga miskin, sebaiknya diperluas sehingga terkesan KB bukan hanya

untuk orang miskin saja. Slogan “Dua Anak Cukup” memberi dampak

kesempatan keluarga mengembangkan aktivitas meningkatkan

kesejahteraan akan lebih mudah dibanding anak banyak (Gemari edisi

86/Tahun IX/Maret 2008).

Untuk melihat keberhasilan intervensi pembatasan jumlah anak

melalui slogan “Dua Anak Cukup” di Indonesia tentu tidak dapat dilihat

secara global karena antar individu memiliki karakteristik yang beragam.

Dari sisi sebaliknya, bagaimana tingkat kegagalan program tersebut dapat

dilihat dari individu ibu yang memutuskan untuk memiliki anak lebih dari

dua. Kegagalan program “Dua Anak Cukup” pada seorang ibu terjadi

pada saat lahir anak ketiga. Secepat apa seorang ibu gagal bertahan di

program “Dua Anak Cukup” dapat dilihat dari jarak kelahiran anak kedua

dan ketiga. Dan ternyata, jarak kelahiran adalah salah satu faktor yang

paling dominan dalam menentukan angka kelahiran selain pemakaian

kontrasepsi, terutama untuk daerah yang didominasi pedesaan (Polo,

Luna, and Fuster, 2000).

Mahmood (2009) melakukan penelitian tentang jarak kelahiran

di Bangladesh dengan menggunakan Multivariate Proportional Hazards

Model, menyimpulkan faktor yang mempengaruhi jarak kelahiran adalah

pendidikan ibu dan umur ibu. Polo et.al. (2000) menyebutkan hasil

penelitiannya di Alpujarra Spanyol bahwa faktor yang mempengaruhi

jarak kelahiran adalah umur ibu, jumlah anak, dan umur perkawinan

pertama. Al-Almaie (2003) meneliti pola dan faktor yang berhubungan

dengan jarak kelahiran di Arab Saudi bagian timur, menemukan adanya

hubungan antara jarak kelahiran dengan umur ibu, pendidikan ibu, jumlah

anggota keluarga, dan lamanya menyusui anak sebelumnya. Stephen dan

Candra (2003) menghasilkan empat faktor yang mempengaruhi jarak

kelahiran pada wanita di Amerika Serikat yaitu umur ibu pada saat

melahirkan anak sebelumnya, tingkat pendidikan ibu, pendapatan dan

suku. Laporan Reev Consult International hasil penelitian kualitatif

6

tentang jarak kelahiran di Uganda tahun 2008 menyebutkan faktor yang

mempengaruhi jarak kelahiran adalah umur perkawinan pertama, akses

ke media informasi, akses ke KB, agama, dan tipe tempat tinggal.

Sedangkan hasil temuan tim SDKI 2007, ada asosiasi antara

jumlah anak dengan pendidikan ibu, pendidikan bapak, kontrasepsi, dan

umur melahirkan pertama. Namun masih banyak lagi variabel lain yang

mungkin mempengaruhi jarak kelahiran antara lain status bekerja ibu,

status bekerja suami, jabatan dalam pekerjaan suami, jumlah perkawinan,

umur suami, pendidikan suami, kemampuan baca tulis, pendapat suami

tentang KB, penentu keputusan ikut KB, serta keaktifan petugas KB.

Tingkat pendidikan yang berbeda, jenis pekerjaan, lingkungan,

dukungan keluarga dan pemerintah dalam menciptakan kondisi yang

kondusif untuk pelaksanaan program-program KB membentuk suatu

struktur sosial yang dapat menjadikan kunci keberhasilan pelaksanaan

program “Dua Anak Cukup”.

Dalam penelitian jarak kelahiran akan dihadapkan pada masalah

adanya data yang tidak teramati karena terbatasnya waktu penelitian

sehingga terdapat data yang tidak lengkap atau data tersensor. Metode

analisis statistik pada umumnya akan menghasilkan interpretasi yang bias

jika terdapat data yang tidak lengkap atau tersensor (Hobcraft et.al,

1984). Analisis survival merupakan alat statistik yang tujuan utamanya

adalah menganalisis data yang selalu positif dalam skala pengukuran

dengan jarak interval data awal dan akhir yang panjang (longevity data)

((Hobcraft et.al, 1984),(Ducrocq, 1997)). Data dengan karakteristik tidak

lengkap atau tersensor dan masih fokus pada estimasi parameter populasi

dan prediksi sampel dimasa datang merupakan life data, sehingga analisis

yang digunakan adalah life data analysis (Nelson, 1982).

Metode analisis survival yang menghubungkan antara waktu

survival dengan variabel lain adalah model hazard proporsional dimana

formulanya memungkinkan untuk interpretasi pengaruh dari masing-

masing variabel bebasnya lebih mudah dan perbandingan secara statistik

dapat dilakukan dalam bentuk relative risk ((Hobcraft et.al, 1984),

(Kleinbaum, 2005), (Kneib dan Fahrmeir, 2004)).

Kneib dan Fahrmeir (2004) membandingkan antara pendekatan

maksimum likelihood dan Bayesian dalam estimasi parameter dalam

model hazard dengan beberapa variasi jumlah data yang tersensor dan

7

hasilnya tidak jauh berbeda dari sisi akurasi estimasi, namun dari sisi

rata-rata probabilitas cakupannya pendekatan bayesian lebih baik

dibanding maksimum likelihood terutama untuk data tersensor yang

tinggi. Keuntungan lain pendekatan bayesian adalah inferensi dari

parameter yang tidak diketahui langsung dari distribusi posteriornya dan

mengakomodasi informasi penelitian sebelumnya dalam bentuk prior

(Mengersen, 2009).

2. Tinjauan Puataka

2.1. Two Step Cluster

Terdapat dua kelompok besar dalam metode clustering,yaitu

relocation dan hierarchical. Untuk metode pengelompokan relocation

seperti k-means dan Expectation-Maximization (EM), obyek dipindah

secara iteratif dari kelompok satu ke kelompok yang lain sehingga

menghasilkan kelompok-kelompok yang homogen. Pada metode ini

dibutuhkan penentuan jumlah kelompok terlebih dahulu, yang tentunya

memerlukan banyak pertimbangan. Pada metode pengelompokan

hierarchical, jumlah kelompok tidak ditentukan terlebih dahulu karena

prosedurnya akan menghasilkan rangkaian pengelompokan dimana

masing-masing obyek dapat dilihat kedekatannya terhadap kelompok

tertenttu. Namun, dari semua metode pengelompokan akan memerlukan

ukuran jarak, yang masing-masing ukuran memiliki kelebihan dan

kekurangan. Jarak Euclidean contohnya hanya bisa digunakan untuk

variabel kontinu dan ukuran simple matching dissimilarity hanya untuk

variabel kategorik.

Metode two Step cluster adalah metode mengelompokkan

obyek dengan jumlah data yang relatif besar dan dengan tipe data

gabungan antara variabel kontinu dan kategorik. Prosedur pada two step

cluster adalah :

1. Pre-cluster, pada tahap ini obyek dibaca satu per satu dan

ditentukan apakah obyek tersebut masih digabung dengan

kelompok sebelumnya atau digabung dengan kelompok yang

8

baru berdasarkan kriteria jarak. Prosedur ini dijalankan dengan

membangun pohon cluster feature(CF).

2. Pengelompokan data ke sub kelompok. Pada tahap ini

menggunakan metode agglomerative hierarchical clustering

yang akan menghasilkan jumlah kelompok optimal dengan

menggunakan BIC atau AIC.

Ukuran jarak yang digunakan adalah jarak log-likelihood,

karena merupakan jarak berdasarkan probabilita yang dapat

menggabungkan antara variabel kontinu dan kategorik. Jarak antara dua

kelompok adalah penurunan pada log-likelihood dibandingkan jika dua

kelompok tersebut digabung dalam satu kelompok. Jika data hanya terdiri

dari variabel kontinu dapat menggunakan jarak Euclidean.

2.1.1. Pohon Clustering Feature (CF)

Clustering Feature adalah ringkasan informasi yang

menggambarkan suatu kelompok. Jika diberikan N data dalam sebuah

kelompok berdimensi-d; {���}, dimana j = 1,2,..., N. Clustering Feature

(CF) vector didefinikan sebagai : CF = {N,M,V,K}, dimana N adalah

banyaknya data, M adalah rata-rata masing-masing variabel kontinu dari

N data, V adalah varian masing-masing variabel kontinu dari N data dan

K adalah jumlah dari masing-masing kategori untuk masing-masing

variabel kategorik.

Pohon CF adalah suatu pohon keseimbangan yang memiliki dua

parameter yaitu Branching Factor (B) dan Threshold (T). Pohon CF

terdiri atas beberapa level of nodes dan pada masing-masing node terdiri

dari beberapa entries.

CF 1 CF 2 ............ CF B

CF 11 CF 12 ............ CF 1B

CF 111, CF 112, ...., CF 11N11

CF B1 CF B2 ............ CF BB

9

Gambar 2.1. Pohon Clustering Feature

Hasil pengelompokan dengan pohon CF di atas adalah sub-cluster dengan

CF tertentu yang terletak pada sebuah entry pada sebuah node di level

terbawah. Ukuran pohon yang terbentuk bergantung dari parameter

threshold (T), semakin besar T maka semakin kecil pohon yang terbentuk.

2.1.2. Jarak Log-Likelihood Jarak log-likelihood adalah ukuran jarak berdasarkan

probabilita. Untuk menghitung log-likelihood diasumsikan distribusi

normal untuk variabel kontinu dan distribusi multinomial untuk variabel

kategorik dan saling bebas antar variabel. Pada beberapa percobaan

secara empiris, prosedur umum two step clustering dengan menggunakan

jarak log-likelihood cukup robust terhadap pelanggaran asumsi

independence dan distributional.

Jarak antara kelompok j dan s didefinisikan sebagai : ���, � = �� + � − ���, �

�� = −�� �� 12��

��� ��� !"�# + !"��# $ + � %&���'

��� (

%&�� = − � ���)��*+

)�� ��� ���)��

Dimana : �� adalah log-likelihood kelompok ke-j � adalah log-likelihood kelompok ke-s ���, � adalah log-likelihood kelompok gabungan antara kelompok ke-j

dan ke-s

KA adalah jumlah variabel kontinu

KB adalah jumlah variabel kategorik !"�# adalah varian variabel kontinu ke-k !"��# adalah varian variabel kontinu ke-k pada kelompok ke-v

10

%&�� adalah log-likelihood variabel kategorik ke-k pada kelompok ke-v �� adalah jumlah data pada kelompok ke-v ���) adalah jumlah data pada kelompok ke-v untuk variabel kategorik ke-

k dengan kategori ke-l

2.1.3. Auto Cluster

Dalam analisis two step cluster akan menghasilkan jumlah

kelompok yang optimal dengan metode hierarchical clustering. Prosedur

pemilihan jumlah kelompok dilakukan dalam dua tahap yaitu menghitung

BIC masing-masing jumlah kelompok untuk menentukan estimasi awal

terhadap jumlah kelompok optimal, kemudian estimasi awal yang didapat

berdasarkan nilai BIC terendah dibandingkan dengan peningkatan jarak

antar dua kelompok terdekat.

,-.�/ = −2 � ��0

��� + 1� �����

1� = / 2234 + ��5� − 1�'

��� 6

Dimana :

J adalah jumlah kelompok �� adalah log-likelihood kelompok ke-j

N adalah jumlah data

KA adalah jumlah variabel kontinu

KB adalah jumlah variabel kategorik

Lk a dalah jumlah kategori pada variabel kategorik ke-k

2.2. MANOVA Jika sampel acak diambil dari tiga atau lebih populasi, dan akan

dilihat kesamaan rata—ratanya, maka akan dibandingkan sebagaimana

pada Analysis of Variansce (ANOVA). Uji kesamaan vektor rata-rata

untuk tiga atau lebih populasi atau kelompok dimana antar variabel dalam

vektor tersebut saling berkorelasi maka menggunakan Multivariate

Analysis of Variance (MANOVA). Asumsi tentang struktur data pada

MANOVA adalah :

11

1. Observasi dari populasi yang berbeda salinng bebas.

2. Semua populasi memiliki matrik kovarian ∑.

3. Masing-masing populasi adalah multivariate normal.

Asumsi ketiga dapat lebih fleksibel dengan pendekatan Teori Limit Pusat

ketika ukuran sampel masing-masing populasi besar.

Misalkan sampel acak berukuran nl dari popolasi ke-l, dimana l

=1,2,....,g. Maka struktur data seperti berikut : 7�� 7�# ⋯ 7�9:7#� 7## ⋯ 7#9;⋮7=�

⋮7=# ⋱… ⋮7=9@

Satu observasi yang diwakili oleh sebuah vektor dari data di atas dapat

didekomposisi sesuai model MANOVA sebagai berikut : 7)� = A + B) + C)� , j = 1,2,..., nl dan l = 1,2,...,,g.

Dimana C)� adalah independent dan berdistribusi �D�0, ∑. Vektor µ

adalah rata-rata total, dan τl merepresentasikan efek dari perlakuan ke-l

dimana ∑ nι=)�� τι = 0. Hipotesis untuk persamaan vektor rata-rata antar

populasi adalah : HI: B� = B# = ⋯ = B=

Sehingga dapat dihitung tabel MANOVA sebagai berikut :

Source or

variation

Matrix of sum of squares and cross

products (SSP)

Degrees of

freedom (d.f.)

Treatment K = � L)=)�� 7) − 7$ 7) − 7$

g-1

Residual

(Error) M = � � 7)� − 7)$ 7)� − 7)$ 9N

���=)�� � LO

=)��

− �

Total K + M = � � 7)� − 7$ 7)� − 7$ 9N���

=)�� � LO

=)��

− 1

Salah satu pendekatan untuk tes hipotesis di atas adalah menggunakan

statistik Wilks’ lambda (Λ*).

12

Λ∗ = |R||, + R| = S∑ ∑ 7)� − 7)$ 7)� − 7)$′9N���=)�� SS∑ ∑ 7)� − 7$ 7)� − 7$′9N���=)�� S

H0 ditolak atau ada sedikitnya sepasang vektor rata-rata yang sama jika

nilai Λ* sangat kecil atau ekuivalen dengan F-test pada kasus univariat.

2.3. Analisis Survival Analisis survival adalah analisis mengenai data yang diperoleh

dari catatan waktu yang dicapai suatu obyek sampai terjadinya peristiwa

tertentu yang disebut sebagai failure event. Menurut Cox dan Oakes

(1984) dalam menentukan waktu survival, T, terdapat tiga elemen yang

harus diperhatikan yaitu :

1. Waktu awal (time origin)

2. Definisi failure time keseluruhan harus jelas

3. Skala waktu sebagai satuan pengukuran harus jelas.

Perbedaan antara analisis survival dengan analisis statistik

lainnya adalah adanya data tersensor. Menurut Miiler (1998) data

dikatakan tersensor jika pengamatan waktu survival hanya sebagian, tidak

sampai failure event. Penyebab terjadinya data tersensor antara lain :

1. Loss to follow up terjadi bila obyek pindah, meninggal atau menolak

untuk berpartisipasi.

2. Drop Out terjadi bila perlakuan dihentikan karena alasan tertentu.

3. Termination of study terjadi bila masa penelitian berakhir sementara

obyek yang diobservasi belum mencapai failure event.

Jika T melambangkan waktu survival dan mempunyai distribusi

peluang f(t), maka fungsi distribusi kumulatif dinyatakan sebagai berikut :

T�U = V�W ≤ U = Y Z�[\I �[ �2.1

Jika fungsi survival, S(t), didefinisikan sebagai probabilita suatu obyek

bertahan setelah waktu ke-t, maka : ^�U = V�W > U = 1 − V�W ≤ U = 1 − T�U �2.2

Fungsi hazard merupakan laju failure atau kegagalan sesaat dengan

asumsi obyek telah bertahan sampai waktu ke-t, yang didef inisikan

sebagai berikut :

13

ℎ�U = lim∆\eI fV�U ≤ W < U + ∆U|W > U∆U h Dari definisi di atas, dapat diperoleh hubungan antara fungsi survival dan

fungsi hazard. Berdasarkan teori probabilitas bersyarat, bahwa :

V�i|, = V�i,V�, Maka dapat ditentukan hubungan sebagai berikut :

jV�U ≤ W < U + ∆UV�W > U k = fT�U + ∆U − T�U^�U h Sehingga :

ℎ�U = lim∆\eI fT�U + ∆U − T�U∆U h 1^�U Dengan

T′�\ = lim∆\eI fT�U + ∆U − T�U∆U h = Z�U Karena f(t) adalah derivatif dari F(t), maka hubungan antara fungsi

survival dan fungsi hazard sebagai berikut :

ℎ�U = Z�U^�U �2.3

Diketahui, F(t) = 1- S(t), dapat dituliskan sebagai m Z�U�U =1 − ^�U. Jika keduanya diturunkan terhadap t maka diperoleh:

Z�U = ��1 − ^�U�U Sehingga nilai h(t) menjadi :

ℎ�U = j��1 − ^�U�U k^�U = n− ��U ^�Uo^�U −ℎ�U�U = ��^�U^�U

Dengan mengintegralkan maka diperoleh :

− Y ℎ�U�U = Y 1^�U\I � ^�U$ \

I

14

− Y ℎ�U�U = p�L ^�U|I\ = ln ^�U − ln ^�0 = ln ^�U \I

Dimana fungsi kumulatif hazard, H�U = m ℎ�U�U ,\I maka hubungan

antara fungsi kumulatif hazard, H(t), dan fungsi survival adalah : H�U = −�L ^�U �2.4

2.4. Model Hazard Proporsional Jika resiko failure pada waktu tertentu bergantung pada nilai x1,

x2, x3, ...., xp dari p variabel prediktor, X1, X2, X3, ...., Xp, maka nilai

variabel tersebut diasumsikan telah tercatat sebagai time origin. Misalkan

h0(t) sebagai fungsi hazard untuk setiap obyek dengan nilai dari semua

variabel prediktor X adalah nol, maka fungsi h0(t) dikatakan sebagai

fungsi baseline hazard (Collet,1994). Model hazard proporsional atau

lebih dikenal dengan regresi cox adalah sebagai berikut : ℎ�U = ℎI�U exp�u��� + u#�# + uv�v + ⋯ + uD�D �2.5

2.5. Odds Ratio Odds ratio merupakan suatu ukuran yang digunakan untuk

mengetahui tingkat resiko (kecenderungan) yaitu perbandingan antara

Odd individu dengan kondisi variabel prediktor X pada kategori sukses

dengan kategori gagal (Hosmer dan Lemeshow, 2000). Nilai estimasi dari

Odds Ratio diperoleh dengan mengeksponensialkan koefisien regresi cox

masing-masing variabel prediktor yang signifikan berhubungan dengan

hazard rate-nya.

Misal X adalah variabel prediktor dengan dua kategori yaitu 0

dan 1. Hubungan antara variabel X dan h(t) dinyatakan dengan h(tΙx) =

h0(t) eβx

maka :

- Individu dengan x=1, fungsi hazardnya :

h(tΙx=1) = h0(t) eβ.1

= h0(t) eβ

- Individu dengan x=0, fungsi hazardnya :

h(tΙx=1) = h0(t) eβ.0

= h0(t)

- Odds Ratio untuk individu dengan x=1 dibanding x=0 adalah :

xy = ℎ�pU|� = 1ℎ�pU|� = 0 = ℎI�Uz{ℎI�U = z{

15

Sehingga diperoleh nilai OR yang artinya bahwa tingkat kecepatan

terjadinya failure event pada individu dengan kategori x=1 adalah sebesar z{ kali tingkat kecepatan terjadinya resiko terjadinya peristiwa failure

event pada individu dengan kategori x=0.

Pada variabel kontinyu, nilai dari z{ mempunyai interpretasi

perbandingan odds ratio antara individu dengan nilai X lebih besar 1

satuan dibanding individu lain.

2.6. Pendekatan Bayesian pada Estimasi Parameter

Dalam teori estimasi, dikenal dua pendekatan yaitu pendekatan

statistika klasik dan pendekatan statistika Bayesian. Statistika klasik

sepenuhnya mengandalkan proses inferensia pada data sampel yang

diambil dari populasi. Sedangkan statistika Bayesian, disamping

memanfaatkan data sampel yang diperoleh dari populasi juga

memperhitungkan suatu distribusi awal yang disebut prior. Inferensi

statistik dengan pendekatan statistika Bayesian berbeda dengan

pendekatan statistika klasik. Pendekatan statistika klasik memandang

parameter θ sebagai parameter bernilai tetap. Sedangkan pendekatan

statistika Bayesian memandang parameter θ sebagai variabel random

yang memiliki distribusi, disebut distribusi prior. Dari distribusi prior

selanjutnya dapat ditentukan distribusi posterior sehingga diperoleh

estimator Bayesian yang merupakan mean atau modus dari distribusi

posterior.

Informasi yang diketahui tentang parameter θ sebelum

pengamatan dilakukan disebut sebagai prior θ atau p(θ ). Selanjutnya

untuk menentukan distribusi posterior θ , yaitu p( xθ ) didasarkan pada

aturan probabilitas dalam teorema bayes sebagai berikut:

( ) ( )( )

( )=

f x pp x

f x

θ θθ (2.6)

16

dimana

Z�� = %�Z��|| = }m Z��||Z�|�| �~�� | ��LU~L�[∑ Z��||��| �~�� | �~���~U p f (x) adalah suatu konstanta yang disebut sebagai normalized constant

(Gelman et.al, 1995), selanjutnya persamaan (2.6) dapat ditulis menjadi:

( ) ( ) ( )∝p x f x pθ θ θ (2.7)

Persamaan (2.7) menunjukkan bahwa posterior adalah proporsional

terhadap likelihood dikalikan dengan prior dari parameter model.

Penyelesaian masalah melalui pendekatan bayesian mempunyai

kelebihan dari pendekatan klasik, karena pendekatan ini

mengintegrasikan kondisi priornya ke dalam perhitungan selanjutnya

(Niggli, dan Musi, 2005). Keuntungan menggunakan metode Bayesian

dibandingkan statistik secara konvensional adalah:

• Menggunakan informasi kondisi prior dalam proses pengelolaan

atau inferensia data.

• Pendekatan Bayesian menggunakan prinsip distribusi

probabilitas langsung pada parameternya (parameter

diberlakukan sebagai variabel). Hal ini memberikan

kepercayaan yang lebih dibanding cara statistic klasik pada

umumnya.

• Teori Bayesian merupakan alat bantu estimasi model yang

dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan untuk

berbagai situasi.

• Statistik Bayesian merupakan cara yang sederhana untuk

mempelajari parameter yang bermasalah dalam model.

• Teori Bayesian memberikan cara untuk mendapatkan distribusi

prediksi untuk masa mendatang. Hal ini tidak selalu mudah

dikerjakan dengan cara statistik klasik pada umumnya.

2.6.1. Distribusi Prior

Berdasarkan teorema bayes, informasi awal yang digunakan

sebagai distribusi prior dan informasi sampel yang dinyatakan dengan

fungsi likelihood dikombinasikan untuk membentuk distribusi posterior.

17

Box dan Tiao (1973) menyatakan ada beberapa tipe distribusi prior yang

dikenal dalam metode Bayesian:

1. Conjugate prior VS non conjugate prior ((Box dan Tiao, 1973),

(Gelman et.al,1995), (Tanner, 1996), (Zellner, 1971)). Adalah prior

yang terkait dengan pola model likelihood dari data.

2. Proper prior VS Improper prior (Jeffreys prior). Yaitu prior yang

terkait dengan pemberian bobot/ densitas di setiap titik apakah

terdistribusi secara uniform atau tidak.

3. Informative prior VS Non-Informative Prior, yaitu prior yang

terkait dengan diketahui atau belum diketahuinya pola/ frekuensi

distribusi dari data.

4. Pseudo Prior (Carlin dan Chib, 1995) menjabarkan prior yang

terkait dengan pemberian nilai yang disetarakan dengan hasil

elaborasi dari pendapat kaum frequentist.

2.6.2. Markov Chain Monte Carlo (MCMC) Metode Markov Chain Monte Carlo (MCMC) memudahkan

permodelan yang cukup kompleks sehingga dianggap sebagai suatu

tembusan dalam penggunaan analisis bayesian (Carlin dan Chib, 1995).

Ada beberapa teknik yang tersedia untuk integrasi numerik, dan sebagian

besar metode yang ada sangat berhubungan dengan ide yang ada pada

integral Monte Carlo yaitu sebuah teknik integrasi yang dapat dilakukan

untuk memperoleh sebuah nilai harapan (expectation). Dalam bentuk

yang sederhana dapat dituliskan : m Z������� ≅ :� ∑ ���� ���:�� (2.8)

dimana nilai x1, x2, ..... ,xn dapat diperoleh secara bebas pada kepadatan

p(x) dalam interval (a,b) dalam bentuk yang paling sederhana dapat

menggunakan distribusi uniform (a,b).

Pada analisis Bayesian, penggunaan MCMC dapat

mempermudah analisisnya, sehingga keputusan yang diambil dari hasil

analisis akan dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Ada dua

kemudahan yang diperoleh dari penggunaan metode MCMC pada analisis

bayesian (Iriawan, 2000). Pertama, metode MCMC dapat

menyederhanakan bentuk integral yang komplek dengan dimensi besar

menjadi bentuk integral yang sederhana dengan satu dimensi. Kedua,

18

dengan menggunakan metode MCMC, estimasi densitas data dapat

diketahui dengan cara membangkitkan suatu rantai markov yang

berurutan sebanyak N.

2.6.3. Gibbs Sampling

Salah satu pendekatan MCMC adalah dengan metode Gibbs

Samping (Gelfand dan Smith, 1990). Gibbs Samping merupakan teknik

untuk membangkitkan variabel acak dari distribusi marginal secara tidak

langsung tanpa harus menghitung densitasnya. Dengan menggunakan

Gibbs sampling penghitungan yang sulit dapat dihindari (Casella dan

George, 1992).

Penggunaan Gibbs Sampling pada suatu analisis data ditujukan

untuk mendapatkan data tiap parameter, θk secara individual dari bentuk

distribusi full conditional semua parameter terhadap data, V�|�||��, �,

dimana |�� = �|�, |#, . . . , |���, |���, . . . , |�. Dengan demikian untuk

mendapatkan sampel dari tiap parameter dilakukan dengan membentuk

semua parameter model menjadi sebuah vektor parameter dalam bentuk

partisi yang khusus yaitu : | = �|�, |��.

3. Metode Penelitian

3.1. Metode Penelitian

Untuk dapat mencapai tujuan dari penelitian maka disusun

langkah–langkah penelitian sebagai berikut:

1. Eksplorasi data untuk menentukan variabel prediktor yang masuk

dalam model.

2. Pengelompokkan individu ibu berdasarkan variabel-variabel yang

diduga masuk ke model dengan two step cluster analysis.

3. Identifikasi individu ibu dalam kelompok yang terbentuk menurut

provinsi tempat tinggal.

4. Pengelompokan ulang berdasarkan provinsi.

5. Mengeksplorasi data X dan Y masing-masing kelompok,

menentukan distribusi data Y sebagai dasar pembentukan model

dan deskriptif data X untuk melihat karakteristik individu ibu pada

masing-masing kelompok.

19

6. Menentukan model terbaik dengan software SPSS untuk masing-

masing kelompok.

7. Memeriksa asumsi proportional hazard untuk setiap variabel

prediktor yang signifikan dalam model. Asumsi ini dapat terpenuhi

dengan melihat pola plot antara loge{-loge ( )tS } terhadap t untuk

tiap variabel penjelas. Jika garis antar kategori sejajar maka asumsi

dapat dikatakan terpenuhi.

8. Penentuan distribusi prior untuk setiap parameter dari model.

9. Estimasi parameter fungsi hazard proporsional dibantu software

WinBUGS dan melakukan uji parsial terhadap estimasi yang

diperoleh.

10. Analisa model masing-masing kelompok.

3.2. Variabel yang digunakan dalam penelitian

Variabel dependent (Y) adalah jarak kelahiran anak kedua dan

ketiga dalam bulan, sedangkan variabel dependent (X) yang digunakan

seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Variabel Dependent (X) yang Digunakan dalam Model

Construct Variabel Keterangan

Sosial

X1 Kemampuan Baca Tulis 0= Tidak Bisa Baca Tulis

1= Bisa Baca Tulis

X2 Akses ke Media Informasi 0= Tidak Aktif

1= Aktif Mengakses Media

X3 Umur Ibu Dalam tahun

X4 Umur Suami Dalam tahun

X5 Lama Sekolah Ibu Dalam tahun

X6 Lama Sekolah Suami Dalam tahun

X7 Umur Perkawinan Pertama Dalam tahun

X8 Jumlah Perkawinan 1= Sekali 2= Lebih dr sekali

X9 Anak Yang Diinginkan 1= Diinginkan

2= Diinginkan Nanti

3= Tidak Diinginkan

X10 Lama Menyusui Anak Kedua Dalam bulan

X11 Penggunaan Alat KB 0= Tidak pernah

20

1= Hanya Metode Tradisional

2= Hanya Metode Modern

X12 Agama 1= Islam

2= Protestan

3= Katolik

4= Hindu

5= Budha

6= Konghucu

7= Lainnya

Ekonomi X13 Status Bekerja 0= Tidak Bekerja 1= Bekerja

X14 Status Bekerja Suami 0= Tidak Bekerja 1= Bekerja

X15 Jabatan dalam Pekerjaan

Suami

1= Profesional, kepemimpinan,

dan ketatausahaan

2= Perdagangan dan Jasa

3= Pertanian

4= Lainnya

Fungsi

Keluarga

X16 Pendapat Suami tentang KB 1= Setuju 2= Tidak Setuju

X17 Keputusan ikut KB 1= Sendiri

2= Suami

3= Bersama

4= Lainnya

Intervensi

Pemerintah

X18 Akses ke Alat Kontrasepsi 0= Tidak Tahu 1= Tahu

X19 Keaktifan Petugas KB dalam 6

bulan terakhir

0= Tidak Aktif 1= Aktif

Latar

Belakang

X20 Kota /Desa 1= Perkotaan 2= Pedesaan

X21 Provinsi 33 Provinsi

4. Hasil dan Pembahasan

4.1. Pengelompokan Provinsi Data Sampel SDKI digunakan untuk estimasi pada tingkat

provinsi, sehingga untuk perencanaan maupun evaluasi kebijakan

hanya bisa dilakukan pada kebijakan tingkat provinsi. Kebijakan

pembatasan jumlah anggota keluarga merupakan suatu intervensi

terhadap perilaku individu dimana individu-individu tersebut

memiliki latar belakang sosial ekonomi dan budaya yang berbeda.

Indonesia dengan 33 provinsi yang memiliki tingkat ekonomi,

keadaan sosial, budaya, dan lingkungan yang berbeda tentu akan

menghasilkan perilaku yang berbeda terhadap masyarakatnya. Untuk

melihat pola keberhasilan intervensi “Dua Anak Cukup” di Indonesia

diperlukan pengelompokan provinsi sehingga model yang didapat

lebih menggambarkan perilaku ibu tentang keputusan memiliki anak

21

ketiga dalam kelompok yang lebih homogen. Kayri (2007) setelah

membagi suatu set data yanng heterogen dalam subpopulasi atau

kelompok yang homogen, hasil analisis statistik akan lebih robust

dan unbiased.

Pengelompokan individu berdasarkan variabel-variabel yang

sebagai karakteristik individu dengan skala pengukuran kontinu dan

diskrit dapat dilakukan dengan analisis Two Step Clustering.

Pengelompokan dilakukan berdasarkan kemiripan atau kedekatan

karakteristik dari individu, menghasilkan pengelompokan provinsi

sebagai berikut :

Tabel 2. Hasil Pengelompokan Provinsi Berdasarkan Data SDKI-2007

Kelompok Provinsi

(1) (2)

1 DI Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan,

Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Kep. Riau, DKI Jakarta,

Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Papua,

dan Papua Barat.

2 Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan

Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat

3 Riau, Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan Barat

4 Jawa Tengah, DI Yogayakarta, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan

Tengah

Sumber : SDKI-2007 (hasil pengolahan)

Masing-masing kelompok provinsi di atas memiliki karakteristik ibu

yang lebih homogen sehingga diharapkan model yang didapatkan nanti

lebih tepat menjelaskan keadaan individu ibu pada masing-masing

kelompok. Pola karakterisrik dari keempat kelompok yang terbentuk di

atas adalah sebagai berikut :

Tabel 3. Perbandingan Karakteristik Kelompok Berdasarkan Data SDKI-2007

Kelompok Karakteristik (1) (2)

1 Pendidikan ibu rendah, umur ibu muda, usia perkawinan pertama

termuda, petugas KB paling aktif, mayoritas menginginkan anak ke-3

22

2 Pendidikan ibu paling tinggi, akses ke media dan alokon tinggi,

partisipasi kerja rendah, suami bekerja di luar pertanian, suami setuju

KB, menginginkan anak ke-3 terendah

3 Pendidikan ibu paling rendah, akses ke media dan alokon paling

rendah, partisipasi kerja rendah, suami bekerja di sektor pertanian,

persentase suami setuju KB terendah, menginginkan anak ke-3 rendah

4 Pendidikan ibu tinggi,umur ibu tua, usia perkawinan pertama tertinggi,

akses ke media rendah, persentase wanita tidak menginginkan anak ke-

3 tertinggi

Sumber : SDKI-2007 (hasil pengolahan)

4.2. Uji Beda Vektor Rata-rata Hasil analisis two-step clustering terdapat 4 kelompok provinsi

dengan karakteristik berbeda-beda. Dari 20 variabel yang digunakan

dalam pengelompokan terdapat 6 variabel kontinyu yang dapat dilakukan

uji beda vektor rata-rata antar keempat kelompok di atas, sehingga dapat

dilakukan inferensia dari pola pengelompokan di atas. Keenam variabel

kontinyu adalah X3 : Umur Ibu saat Melahirkan Anak Kedua, X4 : Umur

Suami, X5 : Lama Sekolah Ibu, X6 : Lama Sekolah Suami, X7 : Umur

Perkawinan Pertama dan X10 : Lama Menyusui Anak Kedua.

Hipotesis untuk persamaan vektor rata-rata antar kelompok adalah : HI: B� = B# = Bv = B� H�: �~L~1�� �[� �z�U�� ��U� − ��U� �z��z��

Dimana B� = �B�v� B��� B��� B��� B��� B��I�′ , i=1,2,3,4 adalah

vektor rata-rata yang terdiri dari rata-rata variabel X3, X4, X5, X6, X7, dan

X10. Pada Tabel 4.6 berdasarkan keempat kriteria tes multivariate, H0

ditolak yang artinya minimal dua vektor rata-rata dari empat vektor rata-

rata untuk empat kelompok berbeda secara signifikan.

Tabel 4. Tabel MANOVA untuk Multivariate Test Criteria

Statistic Value F Value Num DF Den DF Pr > F

Wilks' Lambda 0.92106304 12.29 18 7501.5 <.0001

Pillai's Trace 0.08020163 12.15 18 7962 <.0001

Hotelling-Lawley Trace 0.08433127 12.42 18 5298 <.0001

Roy's Greatest Root 0.06328477 27.99 6 2654 <.0001

23

S=3 M=1 N=1325

NOTE: F Statistic for Roy's Greatest Root is an upper bound

Sumber : SDKI-07 (hasil penngolahan)

Jika dibandingkan dengan uji beda rata-rata secara univariate, dari

keenam variabel di atas, hanya satu variabel yaitu X4 (Umur Suami) yang

gagal menolak H0 dan satu variabel X10 (Lama Menyusui Anak Kedua)

menolak H0 pada tingkat signifikan 8,75 persen. Sedangkan keempat

variabel lainnya berbeda secara signifikan pada level dibawah 1 persen.

4.3. Model

4.3.1. Model Kelompok 1 Model pertama untuk Kelompok 1 yaitu tanpa interaksi adalah : ℎ�U = z���−0,2102 �# − 0,00269 �v − 0,2422 ���2− 0,2632 ���3 − 0,6339 ��� − 0,138 �#I ℎI�U

Tabel 5. Koefisien dan Odds Ratio Model untuk Kelompok 1 tanpa

Interaksi

Variabel Koefisien

(��)

Selang

Kepercayaan (β)

Odds

Ratio

(���)

Selang Kepercayaan

(��)

2.5 % 97.5 % 2.5 % 97.5 %

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 7� -0,2102 -0,2858 -0,1368 0,8104 0,7514 0,8721 7  -0,0027 -0,0160 -0,0098 0,9973 0,9841 0,9903 7¡�� -0,2422 -0,3333 -0,1560 0,7849 0,7166 0,8556 7¡�  -0,2632 -0,4496 -0,0841 0,7686 0,6379 0,9193 7¢£ -0,6339 -0,8383 -0,4028 0,5305 0,4324 0,6684 7�¤ -0,1380 -0,2450 -0,0333 0,8711 0,7827 0,9672

Sumber: SDKI-2007 (hasil pengolahan)

Untuk seorang ibu yang aktif mengakses media cenderung

memiliki resiko lebih kecil untuk gagal melaksanakan program “Dua

Anak Cukup” atau dengan kata lain lebih cepat melahirkan anak ketiga.

24

Resiko ibu yang aktif mengakses media informasi sebesar 0,8104 kali

dari resiko ibu yang tidak aktif mengakses media informasi. Sedangkan

faktor umur ternyata memiliki nilai odds ratio mendekati satu yang

artinya umur seorang ibu pada saat melahirkan anak kedua tidak terlalu

membedakan perilaku dalam menentukan bertahan lebih lama dengan dua

anak atau melahirkan anak ketiga lebih cepat.

Jika dilihat dari Kategori Anak yang Diinginkan, anak lahir

dengan kondisi diinginkan nanti memiliki resiko lebih kecil dibandingkan

anak dengan kondisi memang benar-benar diinginkan sekarang yang

artinya jarak kelahirannya akan cenderung lebih panjang. Sedangkan

untuk anak yang tidak diinginkan atau tidak direncanakan cenderung

lebih panjang lagi jarak kelahirannya dengan resiko sebesar 0,7686 kali

anak yang diinginkan. Hal ini wajar jika seorang ibu menginginkan anak

nanti tentu ada usaha untuk menunda kehamilan baik dengan alat

kontrasepsi maupun tidak, berbeda dengan ibu yang menginginkan anak

sekarang yang tidak memakai alat kontrasepsi sehingga resiko terjadinya

kehamilan lebih besar. Apalagi jika tidak menginginkan anak lagi, akan

ada usaha untuk mencegah kehamilan seperti sterilisasi, sehingga resiko

terjadinya kehamilan anak ketiga akan lebih kecil lagi.

Untuk variabel Status Bekerja Suami, seorang ibu dengan suami

yang berstatus bekerja cenderung lebih kecil resiko kelahiran anak

ketiganya yaitu sebesar 0,5305 kali dibanding dengan suami tidak

bekerja. Hal ini biasanya berhubungan dengan tingkat pendidikan suami

yang dimana menentukan status bekerja suami dan wawasan tentang

pentingnya mengatur jarak kelahiran. Tipe tempat tinggal ternyata masih

signifikan untuk provinsi-provinsi di Kelompok 1 ini, yang menarik

adalah ibu yang tinggal di daerah perkotaan cenderung beresiko lebih

tinggi untuk gagal dalam program “Dua Anak Cukup” atau melahirkan

anak ketiga dibanding seorang ibu yang tinggal di pedesaan.

Model kedua untuk Kelompok 1 yaitu dengan interaksi adalah: ℎ�U = z���−0,5361 �# − 0,02238 �v − 0,2395 ���2 − 0,2223 ���3− 0,8228 ��� − 0,9332 �#I + 0,03081 �# ∗ �v + 0,9236 ���∗ �#I − 2,962% − 4 �# ∗ �v ∗ ��� ℎI�U

25

Interaksi yang terjadi antara variabel Akses ke Media Informasi

dan Umur menjelaskan bahwa nilai odds ratio masih berkisar pada nilai

satu walaupun secara uji parameter signifikan. Yang menarik adalah

interaksi antara Status Bekerja Suami dan Tipe Tempat Tinggal, secara

parsial atau univariat seorang ibu dengan suami bekerja memperpanjang

jarak kelahiran atau resiko gagal bertahan pada program “Dua Anak

Cukup” lebih kecil dan seorang ibu yang tempat tinggalnya di pedesaan

resiko gagal bertahan pada program “Dua Anak Cukup” lebih kecil juga.

Namun interaksi kedua variabel ini menghasilkan lain dimana seorang

ibu yang tinggal di pedesaan dengan suami bekerja memiliki resiko lebih

tinggi sebesar 2,5 kali dibanding jika tinggal di perkotaan dengan status

suami bekerja. Adanya kecenderungan peningkatan ekonomi keluarga

akan memutuskan penambahan jumlah anak ternyata lebih banyak terjadi

di pedesaan yang ditunjukkan dengan status bekerja suami dibanding

tidak bekerja walaupun variabel ini masih sangat umum.

Tabel 6. Koefisien dan Odds Ratio Model untuk Kelompok 1 dengan

Interaksi

Variabel Koefisien

(��)

Selang

Kepercayaan (β)

Odds

Ratio

(���)

Selang

Kepercayaan (��)

2.5 % 97.5 % 2.5 % 97.5 %

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 7� -0,5361 -0,6322 -0,4398 0,5850 0,5314 0,6442 7  -0,0224 -0,0383 -0,0079 0,9779 0,9624 0,9921 7¡�� -0,2395 -0,3287 -0,1541 0,7870 0,7199 0,8572 7¡�  -0,2223 -0,4077 -0,0388 0,8007 0,6652 0,9619 7¢£ -0,8228 -1,0720 -0,5696 0,4392 0,3423 0,5658 7�¤ -0,9332 -1,2050 -0,6623 0,3933 0,2997 0,5157 7� ∗ 7  0,0308 0,0131 0,0476 1,0313 1,0132 1,0487 7¢£ ∗ 7�¤ 0,9236 0,6325 1,2180 2,5183 1,8823 3,3804

Sumber: SDKI-2007 (hasil pengolahan)

26

Nilai deviance model kedua yaitu model dengan interaksi lebih

kecil dibanding model pertama namun penurunannya hanya sekitar 0,4

persen dari model pertama. Jika kesederhanaan model yang

dipertimbangkan maka model pertama lebih disarankan, tetapi jika dilihat

dari hasil temuan interaksi beberapa variabel pada model kedua yang

sangat berarti menjelaskan permasalahan maka penulis menyarankan

pemakaian model kedua untuk melihat fenomena permasalahan ini.

4.3.2. Model Kelompok 2 Model untuk Kelompok 2 yaitu tanpa interaksi adalah : ℎ�U = z���−0,05756 �v − 0,8791 ��#�2 − 0,6673 ��#�3 − 0,9844 ��#�4− 1,095 ��#�5 + 0,3186 ��#�7 + 1,176 �#I ℎI�U

Berdasarkan uji hipotesis pada βi, distribusi posterior untuk β12 (5), β12 (7)

dan β20 tidak signifikan karena selang kepercayaan memuat angka nol.

Tabel 7. Koefisien dan Odds Ratio Model untuk Kelompok 2 tanpa

Interaksi

Variabel Koefisien

(��)

Selang Kepercayaan

(β)

Odds

Ratio

(���)

Selang

Kepercayaan (��)

2.5 % 97.5 % 2.5 % 97.5 %

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 7  -0,0576 -0,0767 -0,0355 0,9441 0,9261 0,9652 7¢��� -0,8791 -0,9382 -0,8217 0,4152 0,3913 0,4397 7¢��  -0,6673 -0,8821 -0,4653 0,5131 0,4139 0,6279 7¢��£ -0,9844 -1,5530 -0,4755 0,3737 0,2116 0,6216

Sumber: SDKI-2007 (hasil pengolahan)

Pada Kelompok 2 ini faktor umur ternyata lebih terlihat

pengaruhnya dibanding Kelompok 1 yang mendekati satu, walaupun nilai

odds ratio hanya sedikit lebih kecil yaitu 0,9441 yang artinya semakin

tua seorang ibu pada saat memiliki anak dua akan memiliki resiko lebih

kecil dibanding ibu yang lebih muda. Variabel lain yang signifikan adalah

Agama. Kategori 1 sebagai reference adalah Islam sebagai agama untuk

27

mayoritas penduduk Indonesia. Seorang ibu yang menganut agama Hindu

memiliki resiko paling kecil yaitu 0,3737 kali ibu dengan agama Islam,

kemudian agama Protestan sebesar 0,4152 dan yang paling dekat dengan

Islam adalah Katolik sebesar 0,5131 kali. Sedangkan agama Budha dan

Lainnya tidak signifikan pada uji parameter. Tentu hal ini perlu kajian

lebih dalam karena representasi sampel SDKI juga belum

memperhitungkan variabel agama. Variabel Tipe Tempat Tinggal

ternyata juga tidak signifikan pada Kelompok 2.

4.3.3. Model Kelompok 3 Model untuk Kelompok 3 yaitu tanpa interaksi adalah :

ℎ�U = z�� −0,1009 �v − 0,6571 ���2 − 0,4093 ���3$ ℎI�U

Berdasarkan selang kepercayaan 2,5% - 97,5%, semua

distribusi posterior koefisien di atas tidak memuat angka nol sehingga

semua variabel signifikan dalam model.

Tabel 8. Koefisien dan Odds Ratio Model untuk Kelompok 3 tanpa

Interaksi

Variabel Koefisien

(��)

Selang

Kepercayaan (β) Odds Ratio

(���)

Selang

Kepercayaan (��)

2.5 % 97.5 % 2.5 % 97.5 %

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 7  -0,1099 -0,1366 -0,0835 0,8959 0,8723 0,9199 7¡�� -0,6571 -0,7170 -0,5949 0,5184 0,4882 0,5516 7¡�  -0,4093 -0,5856 -0,2321 0,6641 0,5568 0,7929

Sumber: SDKI-2007 (hasil pengolahan)

Pada Kelompok 3 ini faktor umur memiliki nilai odds ratio

lebih kecil dibanding 2 kelompok sebelumnya yaitu 0,8959 yang artinya

semakin tua seorang ibu memiliki anak 2 akan memiliki resiko lebih kecil

dibanding ibu yang lebih muda. Variabel lain yang signifikan adalah

Kategori Anak yang Diinginkan, anak lahir dengan kondisi diinginkan

nanti memiliki resiko lebih kecil dibandingkan anak dengan kondisi

28

memang benar-benar diinginkan sekarang yaitu sebesar 0,5184 kali anak

yang diinginkan. Sedangkan untuk anak yang tidak diinginkan atau tidak

direncanakan cenderung memiliki resiko sebesar 0,6641 kali dibanding

anak yang diinginkan.

4.3.4. Model Kelompok 4 Model pertama untuk Kelompok 4 yaitu tanpa interaksi adalah :

ℎ�U = z�� −0,4838 �� − 0,06106 �v − 0,3092 ���2− 0,4788 ���3$ ℎI�U

Hasil pengujian hipotesis untuk setiap parameternya menunjukkan semua

parameter model signifikan.

Tabel 9. Koefisien dan Odds Ratio Model untuk Kelompok 4 tanpa

Interaksi

Variabel Koefisien

(��)

Selang

Kepercayaan (β)

Odds

Ratio

(���)

Selang

Kepercayaan (��)

2.5 % 97.5 % 2.5 % 97.5 %

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 7¢ -0,4838 -0,7790 -0,1829 0,6164 0,4589 0,8329 7  -0,0611 -0,0784 -0,0430 0,9408 0,9246 0,9579 7¡�� -0,3092 -0,4925 -0,1285 0,7340 0,6111 0,8794 7¡�  -0,4788 -0,6495 -0,3126 0,6195 0,5223 0,7315

Sumber: SDKI-2007 (hasil pengolahan)

Untuk seorang ibu yang mempunyai kemampuan baca tulis

cenderung memiliki resiko lebih kecil untuk bertahan pada program “Dua

Anak Cukup” yaitu sebesar 0,6164 kali dari resiko ibu yang tidak bisa

baca tulis. Sedangkan faktor umur hampir sama dengan Kelompok 2

yaitu mempunyai nilai odds ratio mendekati satu yang artinya umur

seorang ibu pada saat melahirkan anak kedua tidak terlalu berbeda

perilaku dalam menentukan bertahan lebih lama dengan dua anak atau

melahirkan anak ketiga lebih cepat. Jika dilihat dari Kategori Anak yang

Diinginkan, anak lahir dengan kondisi diinginkan tetapi waktunya nanti

29

memiliki resiko lebih kecil dibandingkan anak dengan kondisi memang

benar-benar diinginkan sekarang yaitu sebesar 0,7340 kali dibanding

anak yang diinginkan sekarang. Sedangkan untuk anak yang tidak

diinginkan atau tidak direncanakan lebih panjang lagi jarak kelahirannya

dengan resiko sebesar 0,6195 kali jika anak diinginkan saat ini.

Model kedua untuk Kelompok 4 yaitu dengan interaksi adalah:

ℎ�U = z�� 0,02845 �v − 0,145 ���2 − 0,4591 ���3 − 0,2684 �� ∗ ���2− 0,4617 �� ∗ ���3$ ℎI�U

Tabel 10. Koefisien dan Odds Ratio Model untuk Kelompok 4 dengan

Interaksi

Variabel Koefisien

(��)

Selang

Kepercayaan (β)

Odds

Ratio

(���)

Selang

Kepercayaan (��)

2.5 % 97.5 % 2.5 % 97.5 %

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 7  0,0285 0,5635 0,0533 1,0289 1,7568 1,0547 7¡�� -0,1450 -0,1716 -0,1183 0,8650 0,8423 0,8884 7¡�  -0,4591 -0,6349 -0,2887 0,6319 0,5300 0,7492 7¢ ∗ 7¡�� -0,2684 -0,4488 -0,0882 0,7646 0,6384 0,9156 7¢ ∗ 7¡�  -0,4617 -0,5942 -0,2438 0,6302 0,5520 0,7836

Sumber: SDKI-2007 (hasil pengolahan)

Interaksi yang terjadi antara variabel Kemampuan Baca Tulis

dan Anak Yang Diinginkan menjelaskan bahwa nilai odds ratio masih

sejalan dengan odds ratio variabel Anak Yang Diinginkan secara parsial.

Namun setelah berinteraksi dengan variabel Kemampuan Baca Tulis

terlihat bahwa seorang ibu yang bisa baca tulis akan menurunkan resiko

gagalnya program “Dua Anak Cukup” atau memperpanjang jarak

kelahiran anak ketiga dari anak kedua. Hal ini berlaku untuk kategori

anak diinginkan nanti maupun tidak diinginkan yang berinteraksi dengan

kemampuan baca tulis memiliki nilai odds ratio lebih kecil dibanding jika

tanpa interaksi. Untuk seorang ibu yang mampu baca tulis dan anak

ketiga diinginkan nanti memiliki nilai odds ratio sebesar 0,7646 kali

30

dibanding ibu yang mampu baca tulis dan menginginkan anak sekarang

dan untuk kondisi ibu yang mampu baca tulis dan anak ketiga tidak

diinginkan memiliki nilai odds ratio sebesar 0,6302 kali dibanding ibu

yang mampu baca tulis dan menginginkan anak sekarang.

Variabel Anak Yang Diinginkan cenderung berkaitan dengan

penggunaan alat kontrasepsi, dimana jika kategori 1 yaitu diinginkan

maka seorang ibu cenderung tidak menggunakan alat kontrasepsi. Jika

menginginkan nanti maka cenderung menggunakan alat kontrasepsi

untuk mencegah kehamilan saat ini dan akan berhenti jika waktunya

dianggap tepat. Sedangkan kategori 3 yaitu tidak diinginkan, maka

penggunaan alat kontrasepsi cenderung untuk jangka panjang seperti

sterilisasi. Sehingga wajar jika berinteraksi dengan kemampuan baca

tulis yang berkaitan dengan wawasan terhadap informasi tentang

pengaturan jarak kelahiran.

Nilai deviance model kedua yaitu model dengan interaksi lebih

kecil dibanding model pertama namun penurunannya hanya sekitar 0,9

persen dari model pertama. Jika dilihat dari hasil temuan interaksi

beberapa variabel pada model kedua ternyata menghasilkan interpretasi

yang tidak jauh berbeda dengan model pertama, dan mempertimbangkan

kemudahan interpretasi model pada model pertama maka penulis

menyarankan pemakaian model pertama untuk melihat fenomena

permasalahan pada kelompok 4 ini.

Beberapa struktur karakteristik individu ibu di Indonesia dapat

terjelaskan dari proses pengelompokan provinsi dan permodelan di atas.

Varibel umur pada saat melahirkan anak kedua sangat berpengaruh

terhadap jarak kelahiran dengan anak ketiga yang ditunjukkan dengan

masuknya variabel ini ke semua model yang terbentuk pada 4 kelompok.

Makin tua seorang ibu melahirkan anak kedua, semakin kecil peluangnya

untuk melahirkan anak ketiga yang artinya akan memperpanjang jarak

kelahiran. Variabel ini tidak dapat terlepas dari umur perkawinan pertama

dan jarak kelahiran sebelumnya serta terbatasnya masa reproduksi

seorang wanita.

Penundaan umur perkawinan pertama sangat erat dengan faktor

pendidikan perempuan, semakin tinggi perempuan berpartisipasi dalam

pendidikan secara langsung akan menunda usia perkawinan pertama. Dari

empat kelompok yang terbentuk, kelompok 2 dan kelompok 3

31

memberikan gambaran yang sangat jelas akan kondisi di atas. Kelompok

2 dengan tingkat pendidikan ibu paling tinggi yaitu dengan rata-rata lama

sekolah 9,22 tahun yang artinya mayoritas lulus sekolah menengah

pertama, memiliki rata-rata umur perkawinan pertama relatif lebih tinggi

yaitu 21,20 tahun. Tingkat pendidikan lebih tinggi juga dibarengi dengan

kemampuan baca tulis serta tingkat akses ke media informasi yang lebih

baik. Sehingga akses ke alat kontrasepsi juga mengikuti serta keinginan

memiliki anak ketiga paling rendah dibanding kelompok lainnya yang

didukung dengan penggunaan alat kontrasepsi. Pada kelompok ini fungsi

keluarga juga lebih baik, terlihat dari pendapat suami tentang KB dan

keputusan ikut ber-KB yang lebih mudah. Secara ekonomi, keluarga pada

kelompok 2 ini lebih banyak ditopang oleh pekerjaan suami dibidang

perdagangan dan jasa serta profesional, dan status bekerja ibu memiliki

persenatse paling kecil dibanding ketiga kelompok lainnya.

Sebaliknya, pada kelompok 3 dengan tingkat pendidikan paling

rendah yaitu rata-rata lama sekolah hanya berkisar pada 7,49 tahun yang

artinya lulus sekolah dasar dan pernah duduk di sekolah menengah

pertama tetapi tidak lulus. Umur perkawinan pertama adalah 20,25 tahun

dengan persentase ibu yang mampu baca tulis hanya 87 persen dan yang

aktif mengakses media informasi sekitar 65 persen, tingkat terendah dari

keempat kelompok yang diikuti pula dengan akses ke alat kontrasepsi

yang rendah. Dari sisi intervensi pemerintah yang tidak mengena jika

lewat media informasi, ternyata melalui petugas KB juga memiliki

tingkat keaktifan terendah yaitu hanya 2,9 persen. Dari sisi keluarga,

suami yang setuju KB hanya 59 persen dan pekerjaan suami mayoritas di

sektor pertanian. Di sektor ini persentase perempuan bekerja lebih tinggi

karena sebagai pemilik lahan dan pekerja keluarga.

32

Gambar 4.11. Hazard rate kelompok 1,2,3, dan 4

Namun, terdapat fenomena yang tidak seperti pada umumnya

yaitu kenaikan tingkat pendidikan yang tidak linier dengan penurunan

tingkat kegagalan program “Dua Anak Cukup”. Terlihat pada Gambar

4.11 bahwa hazard rate kelompok 2 lebih tinggi dibanding kelompok 3.

Hal ini terjadi tidak hanya pada kelahiran anak ketiga saja, tetapi fertilitas

secara umum di Indonesia jika dihubungkan dengan tingkat pendidikan

ibu memiliki hubungan huruf U-terbalik. Perempuan tidak berpendidikan

memiliki TFR terendah dan meningkat pada perempuan belum dan tamat

SD kemudian menurun pada tingkat pendidikan belum tamat sekolah

menengah dan menurun lagi pada tingkat pendidikan tinggi tetapi tidak

lebih rendah dibanding perempuan tidak berpendidikan. Fertilitas

menurut indek kekayaan juga mempunyai hasil yang tidak diharapkan.

TFR tertinggi justru terjadi pada kalangan kuantil terbawah atau

termiskin, diikuti kuantil menengah dan kuantil teratas atau terkaya.

Tabel 11. Angka Fertilitas Total (TFR) Menurut Tingkat Pendidikan dan

Indek Kekayaan Ibu Tahun 2007

12 24 36 48 60 72 84 96 108 120

h1 0,01 0,01 0,02 0,02 0,02 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03

h2 0,01 0,01 0,02 0,02 0,02 0,02 0,03 0,03 0,03 0,03

h3 0 0,01 0,01 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,03 0,03

h4 0,01 0,01 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,03 0,03 0,03

0

0,005

0,01

0,015

0,02

0,025

0,03

0,035

0,04

ha

zard

rate

33

Tingkat Pendidikan Ibu TFR Indek Kekayaan TFR

(1) (2) (3) (4)

Tidak Berpendidikan 2,4 Kuantil Terbawah 3,0

Belum Tamat SD 2,8 Kuantil Kedua 2,5

Tamat SD 2,8 Kuantil Menengah 2,8

Belum Tamat Sekolah Menengah 2,7 Kuantil Keempat 2,5

Tamat Sekolah Menengah 2,5 Kuantil Teratas 2,7

Sumber: SDKI-2007

Tingkat pendidikan ibu di Indonesia tidak dapat menjadi

jaminan turunnya fertilitas, justru naiknya taraf pendapatan yang dapat

diwakili oleh indek kekayaan menyatakan bahwa peningkatan

kesejahteraan sejalan dengan penurunan TFR. Hal ini menjadi perhatian

bersama bahwa program KB tidaklah semata-mata kebijakan

kependudukan, tetapi merupakan program strategis pembangunan yang

dalam jangka panjang akan berdampak pada kesejahteraan penduduk

dalam arti luas. Penelitian di beberapa negara yang telah mencapai bonus

demografi menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah sebesar 1 US

dolar akan memberikan keuntungan pada negara sebesar 4 US dolar.

Tentu hal ini akan tercapai dengan adanya komitmen bersama terutama

pemerintah daerah dimana saat ini kebijakan program KB dilimpahkan

pada pemerintah daerah dengan diterbitkannya perundang-undangan yang

mendukung yaitu UU No.32/2004, PP No.38/2007, PP No.41/2007 dan

UU No.39/2008. Walaupun pelaksanaannya sampai saat ini belum semua

daerah memiliki kelembagaan KB sesuai amanat undang-undang dan

yang sudah terbentuk cenderung digabung dengan unit atau dinas lain

yang akhirnya program KB terpinggirkan. Akhirnya program ini

tergantung pada persepsi dan pemahaman pemerintah daerah tentang

program KB.

Di antara 4 kelompok provinsi di atas, paling membutuhkan

perhatian adalah kelompok 1. Kelompok 1 terdiri dari 16 provinsi hampir

setengah dari jumlah seluruh provinsi di Indonesia, memiliki hazard rate

tertinggi pada waktu kapanpun. Rata-rata lama sekolah ibu rendah yang

diikuti oleh usia perkawinan pertama muda, walaupun petugas KB aktif

34

di kelompok ini lebih tinggi persentasenya dibanding kelompok lain

namun keinginan ibu untuk memiliki anak ketiga masih tinggi. Hal ini

mengindikasikan intervensi program “Dua Anak Cukup” pada kelompok

1 tidak mengena pada sasaran. Untuk bidang ekonomi, kelompok ini juga

paling rentan dengan resiko gagalnya program “Dua Anak Cukup”

dengan berubahnya status bekerja suami. Status suami bekerja

mengurangi resiko 53 persen dibanding suami tidak bekerja, tetapi jika

seorang ibu memiliki suami bekerja antara di pedesaan dan perkotaan

memiliki resiko yang sangat berbeda dimana di pedesaan 2,5 kali lebih

besar resikonya untuk gagal bertahan di program “Dua Anak Cukup”.

5. Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa :

1. Indikasi adanya ledakan penduduk di Indonesia yang ditunjukkan

beberapa indikator demografi menjadikan pengendalian penduduk

menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan. Pergeseran perilaku

ibu dalam membatasi jumlah anak, pergeseran usia perkawinan

pertama, dan beberapa masalah lain ditunjukkan hasil SDKI-2002

dan SDKI-2007 cukup mengkhawatirkan. Namun permasalahan-

permasalahan di atas tidak terjadi di semua provinsi. Masing-

masing provinsi memiliki permasalahan masing-masing yang

dipengaruhi keadaan ekonomi, sosial, budaya dan kondisi

demografinya, sehingga pengelompokan provinsi-provinsi

dilakukan untuk mendapatkan kelompok provinsi yang lebih

homogen (variabilitas kecil) dan antar kelompok lebih heterogen.

Pengelompokan provinsi menghasilkan 4 kelompok yaitu :

i. Kelompok 1 terdiri dari 16 provinsi yaitu DI Aceh, Sumatera

Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu,

Lampung, Bangka Belitung, Kep. Riau, DKI Jakarta,

Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku

Utara, Papua, dan Papua Barat memiliki karakteristik rata-

rata lama sekolah ibu rendah (7,59 tahun), umur ibu muda

(31,8 tahun), usia perkawinan pertama termuda (19,26

tahun), keaktifan petugas KB paling tinggi (6,2 persen), dan

mayoritas menginginkan anak ke-3 (77,1 persen).

35

ii. Kelompok 2 terdiri dari 9 provinsi yaitu Banten, Bali, Nusa

Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,

Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi

Barat memiliki karakteristik rata-rata lama sekolah ibu

paling tinggi (9,22 tahun), akses ke media dan alokon tinggi

(88 persen dan 91,2 persen), partisipasi kerja rendah (55,9

persen), suami bekerja di luar pertanian tinggi (72 persen),

suami setuju KB (80,1 persen), menginginkan anak ke-3

terendah (68,9 persen).

iii. Kelompok 3 terdiri dari 4 provinsi yaitu Riau, Jawa Timur,

Jawa Barat, dan Kalimantan Barat memiliki karakteristik

rata-rata lama sekolah ibu paling rendah (7,49 persen), akses

ke media dan alokon paling rendah (65 persen dan 70,2

persen), partisipasi kerja rendah (57,8 persen), suami bekerja

di sektor pertanian (56,1 persen), persentase suami setuju

KB terendah (59,2 persen), menginginkan anak ke-3 rendah

(72 persen).

iv. Kelompok 4 terdiri dari 4 provinsi yaitu Jawa Tengah, DI

Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah

memiliki karakteristik rata-rata lama sekolah ibu tinggi (8,22

tahun), umur ibu tua (33,17 tahun), usia perkawinan pertama

tertinggi (21,3 tahun), akses ke media rendah (67,8 persen),

dan persentase wanita tidak menginginkan anak ke-3

tertinggi (13,7 persen) .

2. Data jarak kelahiran anak kedua dan ketiga yang dihubungkan

dengan beberapa faktor yang mempengaruhinya mengandung data

tersensor yang dapat ditangani dalam analisis survival dengan

Model Proporsional Hazard. Model yang terbentuk masing-masing

kelompok adalah :

i. Kelompok 1 menggunakan model dengan interaksi yaitu: ℎ�U = z���−0,5361 �# − 0,02238 �v − 0,2395 ���2− 0,2223 ���3 − 0,8228 ��� − 0,9332 �#I+ 0,03081 �# ∗ �v + 0,9236 ��� ∗ �#I − 2,962%− 4 �# ∗ �v ∗ ��� ℎI�U Pada kelompok 1 ini faktor yang mempengaruhi jarak

kelahiran anak kedua dan ketiga adalah akses ke media

36

informasi, umur ibu pada saat melahirkan anak kedua, anak

yang diinginkan, status bekerja suami dan tipe tempat

tinggal.

ii. Model untuk Kelompok 2 adalah model tanpa interaksi

yaitu: ℎ�U = z���−0,05756 �v − 0,8791 ��#�2 − 0,6673 ��#�3− 0,9844 ��#�4 − 1,095 ��#�5 + 0,3186 ��#�7+ 1,176 �#I ℎI�U Kelompok 2, faktor yang mempengaruhi bertahannya

propgram “Dua Anak Cukup” pada individu ibu adalah umur

ibu pada saat melahirkan anak kedua, agama dan tipe tempat

tinggal.

iii. Model untuk Kelompok 3 yaitu tanpa interaksi dengan

persamaan: ℎ�U = z�� −0,1009 �v − 0,6571 ���2 − 0,4093 ���3$ ℎI�U

Pada kelompok 3, ketahanan program “Dua Anak Cukup”

dipengaruhi oleh faktor umur ibu pada saat melahirkan anak

kedua dan anak yang diinginkan.

iv. Model untuk kelompok 4 menggunakan model tanpa

interaksi yaitu : ℎ�U = z�� −0,4838 �� − 0,06106 �v − 0,3092 ���2− 0,4788 ���3$ ℎI�U

Pada kelompok terakhir ini program “Dua Anak Cukup”

dipengaruhi oleh faktor kemampuan baca tulis, umur ibu

pada saat melahirkan anak kedua dan anak yang diinginkan.

3. Kelompok yang paling membutuhkan perhatian adalah kelompok

1, dimana memiliki hazard rate tertinggi, rata-rata lama sekolah

rendah dan usia perkawinan pertama muda. Keadaan

perekonomian keluarga mempengaruhi keputusan mempunyai anak

ketiga yang mayoritas ibu masih menginginkan memiliki anak

ketiga walaupun keaktifan petugas KB paling tinggi dibanding

kelompok lain. Selain itu, umur ibu saat melahirkan anak kedua

sangat kecil mempengaruhi resiko gagalnya program “Dua Anak

Cukup”. Meskipun ada penundaan usia perkawinan pertama yang

akibatnya menunda kelahiran anak kedua dan memperkecil resiko

lahirnya aanak ketiga, namun efeknya sangat kecil. Jadi dibutuhkan

37

kerja keras pemerintah dan semua pihak untuk dapat melakukan

intervensi pembatasan jumlah anak pada kelompok 1 ini.

5.2. Saran Dalam kerangka pembangunan nasional baik ditinjau dari sisi

ekonomi maupun pembangunan manusia, masalah kependudukan tidak

bisa diabaikan. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi pada level

tertentu tidak dapat dipisahkan dari pengendalian jumlah pengangguran,

jumlah penduduk miskin, partisipasi sekolah, dan lain-lain yang berkaitan

erat dengan penduduk. Sehingga pengendalian jumlah penduduk rasanya

masih diperlukan di Indonesia dengan kebijakan yang mengintervensi

jumlah anggota keluarga seperti “Dua Anak Cukup” yang sekarang di

perbarui dengan “Dua Lebih Baik”.

Beberapa hal yang dapat disarankan adalah:

1. Untuk pemerintahan pusat, menunda usia perkawinan adalah usaha

yang dapat dilakukan secara nasional dengan melalui pendekatan

kesehatan seperti bahayanya melahirkan di usia dini, dari sisi

pendidikan dengan meningkatkan partisipasi sekolah untuk

perempuan pada tingkat sekolah menengah atas dan perguruan

tinggi, dari sisi ekonomi dengan meningkatkan partisipasi angkatan

kerja perempuan dan lain-lain. Selain itu, memberikan pemahaman

yang sama kepada pemerintah daerah tentang pentingnya program

kependudukan bagi pembangunan.

2. Untuk pemerintah daerah, faktor-faktor yang mempengaruhi

kurang berhasilnya program “Dua Anak Cukup” berbeda antar

wilayah sehingga disesuaikan dengan kondisi wilayahnya masing-

masing. Bahkan jika memungkinkan sampai tingkat

kabupaten/kota dapat dilakukan dengan pendekatan yang berbeda

mengingat pada era otonomi beberapa urusan telah dijadikan

urusan wajib bagi pemerintah daerah termasuk kelembagaan KB

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Untuk Badan Pusat Statistik sebagai penyelenggara SDKI,

pengambilan sampel dapat dilakukan dengan penimbang beberapa

variabel yang memungkinkan mempengaruhi perilaku individu

dibidang demografi dan kesehatan seperti suku dan agama. Bahkan

kenyataan bahwa dalam provinsipun terdapat perbedaan-perbedaan

38

karakteristik antar kabupaten/kota yang dalam pemecahan masalah

seperti kependudukan tidak dapat digeneralisir menurut provinsi.

Pengambilan sampel untuk estimasi tingkat kabupaten/kota kiranya

perlu menjadi perhatian untuk penyelenggaraan SDKI yang akan

datang.

DAFTAR PUSTAKA

AL-Almaie, S.M. (2003), The Pattern and Factors Associated with Child

Spacing in Eastern Saudi Arabia, The Journal of the Royal Society

for the Promotion of Health. Vol.123, No.4, 217-221

BKKBN, (1981), Sejarah Perkembangan Keluarga Berencana dan

Program Kependudukan, BKKBN, Jakarta.

Bongaarts, J. (1978). A Framework for Analysing the Proximate

Determinants of Fertility. Population and Development Review,

4(1), 105-132.

Box, G.E.P dan Tiao, G.C. (1973), Bayesian Inference in Statistical

Analysis, Reading, MA: Addison-Wesley.

BPS, BKKBN, DEPKES, dan ORC Macro (2008), Indonesia

Demographic and Health Survey 2007, BPS, BKKBN, DEPKES,

dan ORC Macro, Jakarta.

Carlin, B.P. dan Chib, S. (1995), “Bayesian Model Choice via Markov

Chain Monte Carlo Methods”, Journal of The Royal Statistical

Society. Series B(Methodological), Vol.57, No. 3, hal. 473 – 484.

Casella, G. dan George, E.I. (1992), “Explaining Gibbs Sampler”,

Journal of The American Statistical Association, 46(3), 167 – 174.

Collet, D. (1994), Modelling Survival Data in Medical Research,

Chapman and Hall, London.

Cox, DR. and Oakes, D. (1984), Analysis of Survival Data, Chapman and

Hall, London.

Ducrocq, V. (1997), “Survival Analysis, a Statistical Tool for Longevity

Data”, 48th Annual Meeting of the European Association for

39

Animal Production, Institut National de la Recherche

Agronomique, Vienna.

Gelfand, A. E., Hills, S.E., Recine-Poon, A. and Smith,A.F.M. (1990),

Illustration of Bayesian Inference in Normal Data Models Using

Gibbs Sampling, Journal of the American Statistical Association

85(412), 972-985.

Gelman, A, Carlin, J.B, Stern, H.S, dan Rubin, D.B. (1995), Bayesian

Data Analysis, Chapman and Hall, London.

Hobcraft, J., McDonald, J., Menken, J., Rodriguez, G. and Trussel, J.

(1984), A Comparative Analysis of determinants of Birth Intervals.

In, WFS Comparative Study: Cross-National Summaries (World

Fertility Surveys). Voorburg, Netherland, International Statistical

Institute, 31 pp.

Iriawan, N. (2000), Computationally Intensive Approuches to Inference in

Neo Normal Linear Model , Ph.D Thesis, CUT - Australia.

Kayri, M. (2007), “Two-Step Clustering Analysis in Researches: A Case

Study”, Eurasian Journal of Educational Researches Vol : 28,

pp,89-99.

Kleinbaum, D.G, and Klein, M.(2005), Survival Analysis: A Self-

Learning Text, Second Edition, Springer, New York.

Kneib,T and Fahrmeir, L, (2004), “A Mixed Model Approach for

Structured Hazard Regression”, Sonderforchungsbereich 386

paper 400, Department of Statistics, University of Munich,

Munich.

Mahmood, S. (2009), Estimating Multivariate Proporsional Hazards

Model: an Application to the Birth Interval in Bangladesh.Thesis,

ISRT, Bangladesh.

Mengersen, K. (2009), “Modul 1 Bayesian Analysis”, Short Course on

Bayesian Modelling, Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh

Nopember, Surabaya.

40

Miller, R. (1998), Survival Analysis, John Willey and Sons Inc. New

York.

Nelson, W.B. (1982), Applied Life Data Analysis, John Willey and Sons

Inc., New York.

Niggli, M. dan Musy, A. (2005), A Bayesian combination method of

flood models: Principles and application results. Agricultural

Water Management. Vol: 7, Pp. 110–127

Polo, V., Luna, F., and Fuster,V. (2000), Determinants of Birth Interval in

a Rural Mediterranean Population (La Alpujarra, Spain).

http://findarticles.com/p/articles/mi_qa3669/is_20001/ai_n8924237

Reev Consult International (2008), Uganda Birth Spacing Qualitative

Research Study.

http://jhuccp.org/training/Webconference/ChangingNorms07/Ugan

da

Rindfuss, R. R., Palmore, J. A., & Bumpass, L. L. (1987). Analyzing

Birth Intervals: Implications for Demographic Theory and Data

Collection. Sociological Forum, 2(4), 811-828.

Stephen, E.H, and Chandra, A. (2007). The Long and the Short : Birth

Interval Spacing among Women in United States.

http://paa2007.princeton.edu/download.aspx?submissionId=71525

Tanner, M.A. (1996), Tools for Statistical Inference: Methods to the

Eksploration of Posterior Distributions and Likelihood Functions,

3th

ed. Springer-Verlag, New York.

Zellner, A. (1971), An Introduction to Bayesian Inference in

Econometrics, John Willey and Sons Inc., New York.