analisis struktur, perilaku dan kinerja industri … · sawit dan produk sawit malaysia dari tahun...

60
VIII. STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI SAWIT MALAYSIA DAN INDONESIA 8.1. Model Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Sawit Malaysia Berdasarkan penelitian dan pengamatan yang penulis lakukan tentang terapan model struktur, perilaku dan kinerja, (Structure, Conduct and Performance-SCP), penulis berpendapat bahwa model SCP industri sawit Malaysia merujuk pada gabungan alur berfikir dari Carlton and Perlof, (2001) dan model Martin, (1993), kemudian penulis melakukan modifikasi model sebagai kerangka acuan dalam menjelaskan perkembangan pasar minyak sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan keberhasilan pembangunan industri sawit Malaysia yaitu dengan sistem pengelolaan pasar menurut pola usaha bagi hasil, profesional, fokus dan dapat menjadi rujukan bagi pembangunan pertanian di negara lain. Model ini menekankan pada penjelasan strategi pemerintah Malaysia dalam mengatur struktur dan perilaku industri berwawasan global serta penerapan teknologi dalam memenuhi permintaan konsumen. Hasil modifikasi model "Strategic Behavior" dari Martin, penulis beri nama model SCP-MPOI (Structure, Conduct and Performance-Malaysia Palm Oil Industry), didukung oleh perbandingan ringkasan sejarah pengembangan Industri Sawit Malaysia Historical Comparative Research berupa matriks (H-C) tahun 1960-2008. Ringkasan kecocokan model dirangkum dalam matriks Tabel 61.

Upload: hoangtuyen

Post on 27-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

VIII. STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI SAWIT MALAYSIA DAN INDONESIA

8.1. Model Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Sawit Malaysia

Berdasarkan penelitian dan pengamatan yang penulis lakukan tentang

terapan model struktur, perilaku dan kinerja, (Structure, Conduct and

Performance-SCP), penulis berpendapat bahwa model SCP industri sawit

Malaysia merujuk pada gabungan alur berfikir dari Carlton and Perlof, (2001)

dan model Martin, (1993), kemudian penulis melakukan modifikasi model

sebagai kerangka acuan dalam menjelaskan perkembangan pasar minyak

sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008.

Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

keberhasilan pembangunan industri sawit Malaysia yaitu dengan sistem

pengelolaan pasar menurut pola usaha bagi hasil, profesional, fokus dan

dapat menjadi rujukan bagi pembangunan pertanian di negara lain.

Model ini menekankan pada penjelasan strategi pemerintah Malaysia

dalam mengatur struktur dan perilaku industri berwawasan global serta

penerapan teknologi dalam memenuhi permintaan konsumen. Hasil

modifikasi model "Strategic Behavior" dari Martin, penulis beri nama model

SCP-MPOI (Structure, Conduct and Performance-Malaysia Palm Oil

Industry), didukung oleh perbandingan ringkasan sejarah pengembangan

Industri Sawit Malaysia Historical Comparative Research berupa matriks

(H-C) tahun 1960-2008. Ringkasan kecocokan model dirangkum dalam

matriks Tabel 61.

Page 2: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

229

Tabel 61 Matriks Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Industri Sawit di Malaysia Menurut Model SCP-MPOI

Indikator

Strategic Behavior dari Martin

Model SCP-MPOI Modifikasi Strategic Behavior dari

Martin Kondisi Dasar Υ Υ

Struktur

Υ

Υ Perilaku Υ Υ Kinerja Υ Υ Mekanisme S-C-P S-C-P Interaktif S-C-P Interaktif Terkendali Strategi Υ Υ Kondisi "entry" Terkendali Terkendali Peran Pemerintah 0 Υ Peran Teknologi Υ Υ Permintaan Υ Υ Kemajuan Υ Υ Upaya Penjualan Υ Υ Bauran Marketing 4 P 4 P dan 4 Cs Bauran Komunikasi Satu dan dua Arah Terintegrasi "IMC" Catatan : 0 = Tidak Penting 4 P = (Product, Place, Price, Promotion) Υ = Sangat Penting, 4 Cs = (Customer, Cost, Convenience, Communication) Data : Hasil Analisis, 2009.

Menurut Martin, (1993), kerangka pemikiran teori organisasi industri

terus berkembang dengan pandangan bahwa terdapat hubungan kausal

yang sederhana dalam model linear yang saling mempengaruhi antara

struktur, perilaku dan kinerja menurut aliran ”New-Harvard Tradition” atau

aliran new-strukturalis.

Dalam model tersebut, bagian dari komponen model SCP yaitu

struktur dan perilaku, keduanya ditentukan secara spesifik oleh sebagian

keadaan dasar yaitu keadaan permintaan dan pengembangan teknologi.

Struktur melalui strategi (Strategic Behavior) mempengaruhi perilaku,

perilaku juga mempengaruhi struktur dan keduanya baik struktur maupun

perilaku saling berhubungan untuk menentukan kinerja perusahaan.

Page 3: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

230

Dalam kasus industri minyak sawit dan industri produk sawit Malaysia,

penulis menemukan antara struktur dan perilaku terdapat modifikasi model

dari Martin, (1993), yaitu adanya peranan pemerintah Malaysia melalui

Badan Pengelola Minyak Sawit Malaysia (MPOB) dan Kementerian Komoditi

dan Perindustrian Perkebunan Malaysia dalam mengatur strategi. Lihat

Gambar 15.

Modifikasi model dari Martin terletak pada dua hal besar yaitu;

pertama peran MPOB dalam mengatur struktur pasar seperti menentukan

prasyarat izin kebun bagi petani besar, menengah dan pekebun kecil baik

dalam luas minimal, pengembangan teknologi, jumlah penjual dan pembeli,

hambatan masuk pasar melalui asosiasi, differensiasi produk, integrasi

Vertikal, diversifikasi pasar. Selain itu juga peranan pemerintah dalam

menentukan perilaku yaitu : bidang riset dan pengembangan, menentukan

harga, pilihan lokasi usaha, pilihan produk, kerjasama, merjer, advertensi

dan promosi. Kedua, MPOB berperan sebagai Badan Riset dan

Pengembangan (Research & Development) bidang teknologi untuk

memenuhi permintaan konsumen di dalam maupun luar negeri sehingga

dicapai kemajuan untuk menghasilkan kinerja industri yang baik.

Rekonstruksi model yang penulis lakukan, dapat dilihat pada model SCP-

MPOI Gambar 15.

Page 4: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

231

Kemajuan

Teknologi

Tingkat Keuntungan

Struktur

Strategi Kinerja

Perilaku

Permintaan (Luar & Dalam Negeri)

Usaha Penjualan

Gambar 15. Hubungan Saling Pengaruh Mempengaruhi dari Struktur Perilaku dan Kinerja Industri Sawit Malaysia, Model SCP-MPOI

8.1.1. Produktivitas Perkebunan Sawit Malaysia

Tingkat produktivitas kebun sawit Malaysia adalah sebesar 19.14

ton/Ha/tahun dengan rata-rata produksi minyak CPO 4.08 ton/Ha/tahun atau

rendemen 21.3 %. Sedangkan produktivitas kebun sawit Indonesia hanya

16.39 ton/Ha/tahun dengan kadar minyak CPO 3.14 ton/Ha/tahun, dengan

Pemerintah

(MPOB)

R & D

Page 5: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

232

rendemen rata-rata sekitar 19-an%. Hal ini menunjukkan bahwa yang besar

mempengaruhi volume produksi minyak sawit Indonesia adalah termasuk

produktivitas TBS.

Produk turunan minyak sawit Malaysia yang unggul adalah minyak

RBD dan RBD Olein dan bahan baku untuk industri farmasi dan tekstil

dengan jumlah jenis produk turunan hasil penelitian lebih 100 macam.

Sedangkan produk industri sawit di Indonesia adalah produk oleo kimia,

minyak olein, minyak goreng, sedangkan produk non-makanan terbesar

adalah untuk bahan baku industri farmasi dan tekstil.

8.1.2. Industri Hilir Produk Sawit Malaysia

Industri pengolahan Kelapa Sawit Malaysia lebih maju dibandingkan

dengan industri sawit Indonesia. Industri yang sangat berkembang di

Malaysia adalah industri hilir oleokimia dari minyak RBD dan RBD Olein,

palm kernel cake. Hal ini terlihat dari jumlah pabrik oleo kimia Malaysia

mencapai 18 unit dengan jumlah produksi sebanyak 2.6 juta ton. Sedangkan

di Indonesia hanya memiliki 8 unit dengan jumlah produksi 1.1 juta ton. Hal

ini memperlihatkan kekokohan Industri Sawit Malaysia saat terjadi

goncangan pasar Internasional dibandingkan Indonesia.

Perolehan keuntungan pada industri sawit Malaysia cukup signifikan

terutama saat harga sawit internasional naik, sedangkan pada Industri sawit

Indonesia tidak berpengaruh besar pada perolehan keuntungan karena

sebahagian besar industri sawit Indonesia menjual bahan baku CPO.

Keuntungan yang diperoleh industri sawit Malaysia disebabkan program

diferensiasi produk dan diversifikasi pasar yang cemerlang. Malaysia tidak

Page 6: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

233

hanya memperdagangkan minyak CPO mentah, namun juga dalam berbagai

bentuk produk turunan yang dapat dihasilkan, sehingga keuntungan yang

diraih juga bervariasi dan lebih tinggi dibandingkan Indonesia.

Tabel 62. Perbedaan Industri Kelapa Sawit Malaysia dengan Indonesia Per Tahun 2008

Aspek Malaysia Indonesia

Area (juta ton) Total 4,50 7,13 Tanaman menghasilkan 3,94 4,56 Tanaman belum menghasilkan 0,57 2,57 Produksi (juta ton) CPO 17,80 19.3 PKO 2.1 2,3 Produktivitas Kebun TBS (t/ha/tahun) 20,21 16,39 CPO (t/ha/tahun) 4.08 3,14 Rendeman (%) 19,22 19,00 Pabrik CPO Jumlah Pabrik (unit) 410 305 Kapasitas (juta t CPO/tahun) 92,5 60,50 Pabrik Olekimia Jumlah pabrik (unit) 18 8 Kapasitas (juta t/tahun) 2,6 1,10 Oleokimia 2,14 0,80 Volume ekspor (jt ton) CPO 15,42 14,5 PKO 4,67 0,58 Oleokimia 1,20 0,52 Nilai ekspor (US$ juta) CPO 17,2 10,1 PKO 0,26 0,24 Oleokimia 0,67 0,52 Pekebun Harga TBS (% dari harga CPO) 90 83 Pemilik kebun (ha/petani) 4,5 2,0 Pendapatan petani (US$/ha/tahun) 570 533

Sumber : Hasil Analisis, 2010.

Page 7: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

234

Berkembangnya Industri hilir minyak sawit Malaysia memacu naiknya

ekspor produk minyak sawit mentah Malaysia, di mana volume ekspor

oleokimia Malaysia sebesar 2,4 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 1.1

juta. Sedangkan di Indonesia, volume ekspor oleokimia sebesar 0,82 juta ton

dengan nilai ekspor sebesar US$ 0,24 juta. Hal ini menunjukkan strategi

Malaysia dalam mengekspor produk kelapa sawit dengan cara

mendiferensiasi produknya merupakan hal yang tepat dalam menghasilkan

keuntungan yang lebih besar. Sedangkan Indonesia lebih banyak menjual

produk kelapa sawit mentah, jika pasar internasional berfluktuatif tidak

memberi pengaruh yang signifikan kepada industri kelapa sawit Indonesia.

8.1.3. Tingkat Kesejahteraan Petani Malaysia dan Indonesia

Dilihat dari segi kesejahteraan petani Malaysia dan Indonesia, terlihat

pada Tabel 62. bahwa petani Malaysia lebih sejahtera. Hal ini disebabkan

oleh tiga faktor yaitu, jumlah kepemilikan lahan rata-rata petani sawit

Malaysia lebih besar dari pada di Indonesia, tingkat produktivitas CPO, dan

harga yang diterima oleh petani. Pertama, petani Malaysia secara rata-rata

memiliki lahan perkebunan sebesar 4,5 ha, sedangkan petani Indonesia

hanya 2 ha. Kedua, tingkat produktivitas CPO Malaysia adalah sebesar 4.08

ton/Ha/tahun, sedangkan Indonesia sebesar 3,14 ton/ha/tahun. Ketiga, harga

TBS (% dari harga CPO) yang diterima petani Malaysia lebih tinggi

dibandingkan Indonesia, yaitu sebesar 90%, sedangkan petani Indonesia

hanya sebesar 83%. Hal ini pada akhirnya menyebabkan pendapatan rata-

rata petani menjadi lebih besar dibandingkan petani Indonesia, yaitu sebesar

Page 8: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

235

US$ 570/ha/tahun, sedangkan petani Indonesia sebesar US$ 533 ha/tahun.

Sehingga jika dibandingkan kembali dengan kepemilikan lahan perkebunan,

maka satu orang petani malaysia memperoleh pendapatan rata-rata sebesar

US$ 2.542/tahun, sedangkan pendapatan petani Indonesia lebih rendah

hanya sebesar US$ 1.066/tahun.

8.2. Kebijakan yang berkembang pada Industri Kelapa Sawit Malaysia Kinerja industri kelapa sawit baik di Malaysia maupun di Indonesia

tidak terlepas dari kebijakan yang diterapkan pada industri ini, tentunya

kebijakan yang dibuat haruslah mendukung industri kelapa sawit tersebut,

bukan sebaliknya, malah menjadi bumerang bagi industri tersebut.

Pengelolaan Industri sawit Malaysia berdasarkan pada hukum yang kuat

untuk mewujudkan rencana kebijakan pembangunan pertanian nasional

“The Third National Agricultural Policy 1992-2010” dan master plan

prerencanaan industri “Second Industrial Master Plan 1996-2005”.

Sejak tahun 2001, Malaysia tidak lagi menerapkan pajak ekspor. Hal

ini dilakukannya guna meningkatkan daya saing industri kelapa sawit

Malaysia dengan negara lain. Selain itu, Malaysia juga memfasilitasi

kebijakan counter trade guna mendorong ekspor, juga menerapkan

kebijakan yang mempermudah para importir untuk melakukan impor dari

Malaysia. Kebijakan tersebut dikenal dengan nama POCPA atau Palm Oil

Credit and Payment Arrangement. Kebijakan ini mengizinkan para importir

dalam mengimpor komoditi kelapa sawit, terutama produk CPO secara

kredit. Perjanjian tersebut akan disepakati oleh pemerintah Malaysia dengan

Page 9: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

236

pemerintah negara pengimpor, antara Bank Negara Malaysia dengan bank

sentral negara pengimpor yang bersangkutan, serta antara eksportir dengan

importir dari negara importir yang bersangkutan. Kebijakan tersebut dapat

berjalan dengan baik disebabkan oleh dukungan dari tiga kelembagaan yang

bergerak dibidang perkelapasawitan Malaysia.

Kelembagaan tersebut adalah PORLA atau Palm Oil Registration and

Licencing Authority, PORIM atau Palm Oil Research Institute of Malaysia,

kemudian digabung menjadi MPOB atau Malaysian Palm Oil Board dan

MPOPC atau Malaysian Palm Oil Promotion Council. Ketiga lembaga ini

memiliki tugas masing-masing. PORLA khusus menangani pelaksanaan

perjanjian, produksi, transportasi, penyimpanan, penjualan, maupun ekspor.

Sedangkan PORIM memiliki tugas untuk penelitian dan pengembangan, dan

MPOPC berperan dalam bidang promosi, advokasi, dan public relation.

Ketiga lembaga ini dibiayai oleh dana yang diperoleh melalui CESS, di mana

5,0 RM untuk PORIM, 1,75 RM untuk PORLA, dan 1 RM untuk MPOPC.

Bahkan pada tahun terakhir ini MPOB mendapat RM 13 per ton

ekspor CPO keluar negeri. Dari segi dana, terlihat Malaysia sangat

perhatian terhadap penelitian dan pengembangan. Ini memang sesuai

dengan perkembangan teori ekonomi yang menyatakan R&D sangat

menunjang kemajuan suatu bisnis, dalam kasus ini adalah industri kelapa

sawit. Dengan R&D, suatu industri semakin tahu bagaimana memproduksi

suatu barang dan jasa dengan cara yang terbaik dalam memenuhi

kebutuhan konsumen, serta menggunakan teknologi yang up-to-date. Seperti

yang kita ketahui teknologi mengalami perubahan dan pengembangan yang

Page 10: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

237

begitu cepat. Jika suatu industri hanya menggunakan teknologi yang itu-itu

saja maka pertumbuhan industri tersebut akan terhambat. Kebijakan yang

diharapkan Malaysia sangatlah solid dibandingan Indonesia.

8.3. Analisis Ekonometrika SCP Industri Sawit Malaysia

Model ekonometrika yang digunakan dalam disertasi ini adalah :

PCM = α + β1(CR4it) +β2 (MES)it + β3(PCPOINT)it + β4(PRBDOILD)it + β5(PRBDOLEIND)it + β7(CPODIFF) + β8 (DGROW) + β9 (KURS) + ε

it

Di mana :

PCM = Price-Cost Margin

CR4 = Tingkat konsentrasi empat perusahaan terbesar

MES = Minimum Effieciency of Scale

PCPOINT = Harga CPO Internasional

PRBDOD = Harga Minyak RBD Domestik

PRBDOLD = Harga Minyak RBD Olein Domestik

CPODIFF = Diferensiasi Produk CPO

DGROW = Pertumbuhan permintaan Minyak Sawit Malaysia KURS = Nilai tukar Dolar Amerika terhadap Ringgit Malaysia

ε = Error

I = Industri atau perusahaan (i = 1,2,...,N)

t = Periode Waktu (t = 1,2,...,T)

Sebelumnya penulis jabarkan hasil pengamatan secara deskriptif SCP

mengenai industri kelapa sawit MaIaysia. Kali ini, penulis melihat hubungan

antar variabel PCM dengan koefisien regresi untuk mengukur mekanisme

SCP yang berlaku pada industri sawit Malaysia menggunakan software

SPSS Version 6 dan Minitab 15.

Page 11: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

238

8.3.1. Hasil Estimasi Model Regresi

Dalam melakukan uji regresi, tujuan awal penulis ingin melihat

hubungan tingkat konsentrasi, hambatan masuk, tingkat diferensiasi, harga

internasional CPO dan tingkat harga minyak RBD dan RBD Olein domestik,

pertumbuhan permintaan minyak sawit domestik pada perolehan keuntungan

atau PCM. Hal ini membuktikan dugaan penulis akan adanya perilaku kartel

yang terbentuk akibat struktur pasar pada industri kelapa sawit ini. Dari hasil

analisis regresi, penulis menemukan adanya hubungan saling

mempengaruhi antar variabel SCP (interaktif) dengan peran pemerintah

Malaysia sebagai motivator dan dinamisator dalam pengembangan pasar

minyak dan produk sawit Malaysia.

Untuk mendapatkan keakuratan dalam suatu model bukanlah suatu

hal yang mudah, R2

Persamaan struktural dibuat dengan tujuan ingin melihat bagaimana

hubungan yang diberikan oleh variabel-variabel eksogen terhadap variabel

endogennya. Besarnya hubungan variabel eksogen terhadap variabel

endogen dapat dilihat melalui besaran koefisien yang dimiliki masing-masing

variabel eksogen tersebut. Arah pengaruh yang diberikan pada variabel

eksogen dapat dilihat dari positif atau negatifnya koefisein tersebut. Jika

negatif, berarti pengaruh yang diberikan variabel eksogen terhadap variabel

endogennya adalah berlawanan arah. Contohnya, dalam penelitian ini, jika

variabel eksogen dari PCM memiliki koefisien yang negatif, berarti

yang tinggi tidak menjamin model tersebut adalah baik.

Namun, salah satu kriteria suatu model dikatakan akurat atau tidak adalah

kesesuaian model tersebut dengan teori yang ada.

Page 12: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

239

peningkatan variabel eksogen tersebut mempengaruhi peningkatan variable

endogen. Selain itu, model persamaan struktural di atas memiliki R-squared

pada masing-masing regresi variabel, dengan tingkat signifikasi pada level

0.01 dan 0.2 menururt regresi Pearson, artinya faktor-faktor yang dijadikan

variabel independen mampu menerangkan variasi penyebab variabel

dependen sebanyak prosentase 99% dan 80 % sisanya diterangkan oleh

faktor lain selain variabel yang terdapat dalam persamaan struktural tersebut.

8.3.2. Hipotesa Analisis Ekonometrika Industri Sawit Malaysia

Hipotesa yang penulis buat untuk diuji kebenarannya adalah :

SCP dapat menjelaskan hubungan antara kinerja dan struktur

dari Industri Kelapa Sawit di Malaysia, di mana :

• Semakin tinggi tingkat konsentrasi maka semakin besar pula

tingkat keuntungan yang terjadi

• Semakin besar tingkat hambatan masuk maka akan semakin tinggi

tingkat keuntungan yang diperoleh

• Semakin besar tingkat harga internasional maka keuntungan yang

diperoleh juga semakin tinggi

• Semakin besar tingkat harga minyak RBD domestik maka semakin

tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh

• Semakin besar tingkat harga minyak RBD Olein maka semakin

tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh

• Semakin beragam produk turunan minyak sawit Malaysia maka

semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh

Page 13: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

240

• Semakin tinggi permintaan terhadap Minyak CPO maka semakin

tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh

• Semakin rendah nilai tukar Dolar Amerika terhadap Ringgit

Malaysia maka semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh

Tabel 63. Hipotesa Hubungan Variabel Dependen dengan Variabel Independen

CR4 MES PCPOINT PRBDOLEIN PRBDOILD CPODIFF DGROW KURS

PCM + + + + + + + -

7.3.3. Hasil Pengujian Regresi

PCM = 2558 - 66 CR4 + 143 MES - 0.18 PCPOINT + 1.17 PRBDOLEIN - 0.42 PRBDOILD - 0.64 CPODIFF + 2.26 DGROW_1 - 3.0 KURS 28 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Coef SE Coef T P Constant 2558 2969 0.86 0.400 DGROW_1 2.263 2.544 0.89 0.385 PCPOINT -0.184 1.279 -0.14 0.887 CR4 -66.4 255.8 -0.26 0.798 MES 143.2 990.1 0.14 0.887 PRBDOILD -0.422 1.647 -0.26 0.801 PRBDOLEIN 1.170 1.197 0.98 0.341 CPODIFF -0.643 2.003 -0.32 0.752 KURS -3.03 65.52 -0.05 0.964 S = 106.207 R-Sq = 62.8% R-Sq(adj) = 47.1% Hasil pengujian regresi PCM dengan variabel PCM tidak terdapat

regresi yang signifikan. Hal ini kemungkinan terjadi multikolinearity antar

variabel, dimana dalam uji t tidak terdapat nilai t hitung yang lebih besar dari

nilai t tabel. Dengan demikian perlu dilakukan stepwise atau membuang

Page 14: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

241

sebagian variabel untuk mendapatkan regresi antar variabel yang signifikan

sebagai berikut.

PCM = 2950 + 2.47 DGROW_1 - 35.0 CR4 + 0.603 PRBDOLEIN - 0.92 CPODIFF 28 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Coef SE Coef T P Constant 2950 2421 1.22 0.235 DGROW_1 2.470 2.053 1.20 0.241 CR4 -34.98 25.82 -1.35 0.189 PRBDOLEIN 0.6031 0.1228 4.91 0.000 CPODIFF -0.920 1.563 -0.59 0.562 S = 97.7177 R-Sq = 61.9% R-Sq(adj) = 55.3%

Variabel CR4

Hasil regresi menunjukkan bahwa CR4 mempengaruhi PCM secara

signifikan dengan koefisien sebesar -34.98. Artinya, tingkat konsentrasi

mempengaruhi nilai PCM pada industri sawit Malaysia secara negatif,

semakin rendah penguasaan pangsa pasar oleh empat perusahaan

besar makin besar keuntungan atau semakin besar peluang bagi

pendatang baru dalam industri minyak sawit dan produk turunannya pada

skala Nasional. Berarti teori yang dikemukakan oleh Bain tidak berlaku

bagi industri kelapa sawit Malaysia.

Variabel MES

Berdasarkan hasil estimasi dan stepwise, MES tidak memberikan

pengaruh yang signifikan pada PCM dengan demikian variabel MES tidak

diberikan penjelasan dalam estimasi PCM.

Page 15: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

242

Variabel PCPOINT

Berdasarkan hasil estimasi dan stepwise, PCPOINT tidak memberikan

pengaruh yang signifikan pada PCM dengan demikian variabel PCPOINT

tidak diberikan penjelasan dalam estimasi PCM.

Variabel PRBDOLEIN

Variabel PRBDOLEIN merupakan variabel yang ingin melihat hubungan

tingkat harga RBD Olein domestik dalam pembentukan keuntungan pada

industri minyak sawit Malaysia. Ternyata, harga RBD Olein domestik

memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap tingkat

keuntungan yang tercipta dengan pengaruh yang diberikan yaitu sebesar

0.6031. Semakin tinggi tingkat harga RBD Olein domestik semakin tinggi

keuntungan industri sawit Malaysia.

Variabel PRBDOILD

Berdasarkan hasil estimasi dan stepwise, PRBDOILD tidak memberikan

pengaruh yang signifikan pada PCM dengan demikian variabel

PRBDOILD tidak diberikan penjelasan dalam estimasi PCM.

Variabel CPODIFF

Variabel CPODIFF merupakan variabel yang ingin melihat hubungan

tingkat keberagaman produk turunan CPO dalam pembentukan

keuntungan pada industri kelapa sawit Malaysia namun tidak signifikan.

Ternyata, semakin banyak produk turunan CPO memberikan pengaruh

negatif terhadap tingkat keuntungan yang tercipta pada industri kelapa

Page 16: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

243

sawit dengan pengaruh sebesar -0.92. Berarti ada sebahagian produk

turunan minyak sawit Malaysia yang belum unggul di pasar internasional.

Variabel KURS

Berdasarkan hasil estimasi dan stepwise, KURS tidak memberikan

pengaruh yang signifikan pada PCM dengan demikian variabel KURS

tidak diberikan penjelasan dalam estimasi PCM.

8.4. Model Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Sawit Indonesia

Banyak Penulis di Indonesia berpendapat bahwa pola fikir

pengembangan industri sawit di Indonesia adalah menganut pemikiran New-

Harvard Tradition dari Carlton dan Perlof (2001), dimana ada dua

pendekatan model dalam studi pasar; pertama, pendekatan struktur,

perilaku dan kinerja (structure, conduct and performance-SCP), model ini

biasa digunakan untuk mendeskripsikan pasar. Kedua, adalah teori harga

dari teori ekonomi mikro untuk menjelaskan perilaku dan struktur pasar.

Pendekatan model SCP New-Harvard Tradition, dimana masing-

masing komponen saling berinteraktif, misalnya kinerja pasar tergantung

pada perilaku pasar, perilaku tergantung pada struktur pasar yaitu faktor

yang menentukan persaingan, selanjutnya struktur pasar tergantung pada

kondisi dasar yaitu permintaan dan produksi meliputi elastisitas permintaan,

barang pengganti, musim, tingkat pertumbuhan ekonomi, lokasi, jumlah

order, metode perbelanjaan dan teknologi, bahan baku, keseragaman

produk, ketahanan barang, lokasi, skala ekonomi dan skop ekonomi.

Sebaliknya kondisi dasar mempengaruhi struktur pasar, struktur

Page 17: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

244

mempangaruhi perilaku dan perilaku mempengaruhi kinerja, ketiga

komponen ini dan kondisi dasar dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah.

Menurut teori, struktur pasar (structure) dapat dijelaskan; bila terdapat

banyak pembeli dan penjual dan tidak ada batasan untuk masuk dan keluar

pasar, pasar ini disebut pasar persaingan (competition). Ketika satu

perusahaan penjual dan banyak pembeli dan tidak ada perusahaan baru

yang dapat masuk pasar sebagai penjual, pasar ini disebut monopoli

(monopoly). Sebaliknya jika hanya ada satu perusahaan yang membeli

kepada banyak penjual, disebut monopsoni (monopsony). Jika penjual

dapat mempengaruhi harga walaupun terdapat persaingan dalam pasar,

maka struktur pasar ini disebut oligopolistik atau persaingan monopolistik

(monopolistic competitions). Jika terdapat sedikit perusahaan penjual dalam

pasar dengan hambatan masuk dan keluar pasar cukup besar bagi

perusahaan lain disebut oligopoli (oligopoly).

Dari sisi perilaku (conduct), perusahaan melakukan berbagai upaya

untuk mewujudkan tujuannya dengan; melakukan promosi, riset dan

pengembangan, penetapan harga, taktik yang legal, pilihan produk, kolusi,

merjer dan sistem kontrak. Tindakan yang diambil perusahaan umumnya

untuk menurunkan tingkat persaingan di pasar seperti menetapkan harga

atau membatasi jumlah barang yang dijual bahkan tindakan yang lebih

kompleks dari itu yang dikenal dengan tindakan strategis perusahaan

(strategic behavioral).

Sementara itu kinerja (performance), yang didefinisikan sebagai

kesuksesan pasar dalam menghasilkan keuntungan bagi konsumen,

Page 18: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

245

misalnya kinerja pasar dikatakan bagus jika perusahaan mampu menetapkan

harga mendekati biaya marginalnya.

Lebih lanjut menurut Carlton dan Perlof (2000), ketiga komponen yaitu

struktur, perilaku, kinerja dan kondisi dasar dipengaruhi oleh kebijakan

pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung meningkatkan atau

menurunkan kesejahteraan produsen dan konsumen. Beberapa tindakan

pemerintah berkaitan dengan aturan (regulation) yaitu; anti monopoli,

pembatasan masuk atau keluar pasar, pemberlakuan pajak atau subsidi,

insentif investasi, insentif tenaga kerja dan kebijakan ekonomi makro, untuk

lebih jelasnya lihat Gambar 16.

8.4.1. Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia

Produktivitas perkebunan kelapa sawit di Indonesia selama beberapa

tahun ini menunjukkan adanya kecenderungan menurun dan berfluktuasi.

Kondisi tersebut dialami oleh keseluruhan perkebunan yang ada. Tidak

terkecuali perkebunan besar milik negara (PBN). Produktivitas rata-rata

perkebunan kelapa sawit pada tahun 1993 masih sekitar 3.680 ton/ha,

namun 1997 menurun menjadi 3.416 ton/ha. Pada tahun 1999, tingkat

produktivitas menurun hingga 2.879 ton/ha. Namun, tingkat produktivitas

rata-rata perkebunan kelapa sawit untuk CPO kembali menurun cukup tajam

hingga 3.083 ton/ha.

Page 19: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

246

Sumber : Modifikasi dari Carlton and Perloff, 2001.

Gambar 16. Bagan Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Sawit Indonesia

Kondisi Dasar (Basic Conditions)

Pernintaan Konsumen Produksi

- Elastisitas Permintaan - Teknologi - Substitusi - Bahan Baku - Musim/trend - Penyeragaman - Tingkat Pertumbuhan - Ketahanan Barang - Lokasi - Lokasi - Pesanan - Skala Ekonomi - Metode Pembelian - Skope Ekonomi

Struktur (Structure)

- Jumlah Pembeli dan Penjual - Hambatan Masuk Pasar - Diferensisasi Produk - Integrasi Vertikal - Diversivikasi

Perilaku (Conduct)

- Promosi/Iklan - Riset dan Pengembangan - Perilaku Harga - Pilihan Lokasi Investasi - Taktik legal - Pilihan Produk - Kerjasama (Collusion) - Merjer dan sistem kontrak

Kinerja (Performance)

- Harga - Efisiensi Produksi - Efisiensi Alokasi - Pemerataan - Kualitas Produk - Kemajuan bidang Teknik - Keuntungan

Kebijakan Pemerintah

- Regulasi - Anti Monopoli - Batasan Masuk Pasar - Pajak dan Subsidi - Insentif investasi - Insentif tanaga kerja - Kebijakan Makroekonomi

Page 20: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

247

Produktivitas rata-rata CPO milik PBN terlihat paling tinggi

dibandingkan kedua perkebunan lainnya. Meskipun begitu, PBN juga

mengalami penurunan dalam tingkat produktivitas. Pada tahun 1993, tingkat

produktivitas PBN adalah sebesar 4.216 ton/ha. Pada tahun 1997 mengalami

peningkatan menjadi 4.514 ton/ha dan pada tahun 2000 produktivitas CPO

oleh PBN mengalami penurunan menjadi 4.285 ton/ha. Namun, pada tahun

2001 tingkat produktivitas PBN akan CPO dapat ditingkatkan kembali

menjadi 4.520 ton/ha. Namun, mengalami penurunan tetapi tidak signifikan

pada tahun 2002 menjadi 4.497. ton/ha.

Begitu juga dengan produktivitas kelapa sawit untuk produk CPO yang

dihasilkan oleh PBS juga mengalami fluktuasi. Namun, penurunan

produktivitas PBS lebih tajam dibandingkan dengan penurunan produktivitas

PBN. Produktivitas PBS pada tahun 1993 mencapai 4.043 ton/ha, kemudian

pada tahun 1997 turun menjadi 3.344 ton/ha, dan pada tahun 2000 hanya

mencapai 2.885 ton/ha. Tingkat produktivitas tersebut mengalami penurunan

yang terus menerus hingga pada tahun 2002 mencapai 2.763 ton/ha.

Sedangkan untuk perkebunan rakyat (PR), hingga tahun 2002

memiliki tingkat produktivitas yang paling rendah dibandingkan dengan dua

perkebunan lainnya. Produktivitas PR yang paling tinggi selama periode

1993-2002, dicapai pada tahun1995, yaitu sebesar 2.715 ton/ha, namun

setelah tahun 1995 tingkat produktivitas PR terus mengalami penurunan, di

mana titik terendah produktivitas yang dicapai adalah sebesar 2.135 ton/ha.

Pada tahun 2001 produktivitas PR kembali mengalami peningkatan, yaitu

menjadi 2.682 ton/ha, dan tahun 2002 sebesar 2.689 ton/ha.

Page 21: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

248

PBN memiliki tingkat produktivitas yang paling tinggi dibandingkan

dengan kedua jenis perkebunan lainnya. Menurut penelitian yang dilakukan

oleh Departemen Pertanian, mengatakan bahwa hal tersebut terjadi

dikarenakan usia tanam yang sebagian besar kelapa sawit merupakan

tanaman produktif usia matang. Selain itu, pola tanam yang dimiliki oleh PBN

lebih baik dibandingkan kedua perkebunan lainnya. Sebagian besar tanaman

kelapa sawit yang dikelola oleh perkebunan rakyat sebagian besar masih

berusia muda, sehingga produktivitas yang dimiliki belum maksimal. Selain

itu, pengelolaan yang dilakukan oleh perkebunan rakyat bersifat non-intensif,

seperti rendahnya kualitas bibit serta pemeliharaan dan pemupukan yang

tidak memenuhi standar.

Selain produk CPO, kelapa sawit juga menghasilkan produk PKO.

Meskipun, PKO atau minyak inti sawit ini agak sedikit terabaikan pada

industri kelapa sawit, khususnya di Indonesia, namun tetap harus dijaga

tingkat produktivitas perkebunannya.

Produktivitas rata-rata pada kelapa sawit untuk produk PKO tahun

1993 sebesar 631 ton/ha. Produktivitas rata-rata terus mengalami

peningkatan, namun pada tahun 1998 tingkat produktivitas rata-rata PKO

mengalami penurunan menjadi 75 ton/ha yang kemudian berhasil mengalami

peningkatan pada tahun 1999 menjadi 668 ton/ha. Kemudian pada tahun

2001 kembali mengalami penurunan yang sangat tajam hingga mencapai 64

ton/ha. Namun, pada tahun 2002 kembali berhasil ditingkatkan hingga

mencapai 640 ton/ha. Seperti pada CPO, produktivitas PKO diungguli oleh

PBN. Namun ketiga jenis pengelola perkebunan kelapa sawit mengalami

Page 22: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

249

fluktuatif dalam tingkat produktivitas PKO-nya. Produktivitas PBN pada

produk PKO pada tahun 1993 adalah sebesar 829 ton/ha, yang kemudian

terus mengalami peningkatan hingga tahun 1995 dengan mencapai angka

1.036 ton/ha. Pada tahun 1996, tingkat produktivitas PBN mengalami

penurunan menjadi 983 ton/ha. Tingkat produktivitas PKO oleh PBN berhasil

ditingkatkan pada tahun 1999, yaitu mencapai 1.063 ton/ha, namun kali ini

tidak dapat dipertahankan selama tiga tahun berikutnya, sehingga pada

tahun 2002 tingkat produktivitas PKO oleh PBN mencapai 1.034 ton/ha.

Pada PBS, tingkat produktivitas PKO-nya juga mengalami fluktuatif.

Pada tahun 1993, tingkat produktivitas mencapai 616 ton/ha, yang kemudian

meningkat pada tahun 1994, yaitu sebesar 733 ton/ha. Namun, pada tahun

1995 mengalami penurunan, hingga mencapai 726 ton/ha. Tingkat

produktivitas PBS mengalami penurunan yang sangat tajam pada tahun

2001 dengan angka 58 ton/ha. Namun, pada tahun 2002, tingkat

produktivitas kembali dapat ditingkatkan hingga mencapai 571 ton/ha.

Seperti CPO, PR kembali menjadi perkebunan yang memiliki tingkat

produktivitas paling rendah dibandingkan kedua jenis perkebunan lainnya.

Pada tahun 1993, tingkat produktivitas PKO oleh PR adalah sebesar 448

ton/ha, kemudian mengalami peningkatan dari tahun ke tahun hingga tahun

1997 tingkat produktivitas mencapai 568 ton/ha. Pada tahun 1998,

produktivitas PR akan PKO mengalami penurunan yang sangat tajam, yaitu

mencapai 54 ton/ha, dan kembali dapat ditingkatkan pada tahun 2002, yaitu

mencapai 537 ton/ha.

Page 23: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

250

Dilihat dari kedua bentuk produk, PBN memiliki tingkat produktivitas

yang paling tinggi dibandingkan dengan kedua jenis perkebunan lainnya.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Departemen Pertanian, mengatakan

bahwa hal tersebut terjadi dikarenakan usia tanam yang sebagian besar

merupakan tanaman produktif usia matang. Selain itu, pola tanam yang

dimiliki oleh PBN lebih baik dibandingkan dengan kedua perkebunan lainnya.

Sebahagin besar tanaman kelapa sawit yang dikelola oleh perkebunan

rakyat sebagian besar masih berusia muda, sehingga produktivitas yang

dimiliki belum maksimal. Selain itu, pengelolaan yang dilakukan oleh

perkebunan bersifat non-intensif, seperti rendahnya kualitas bibit serta

pemeliharaan dan pemupukan yang tidak memenuhi standar.

8.4.2. Produksi Kelapa Sawit Indonesia

Tingkat produksi kelapa sawit, khususnya untuk produksi CPO, di

Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hal ini terjadi akibat

lonjakan tingkat permintaan akan produksi CPO baik dalam pasar domestik

maupun pasar internasional. Seperti yang kita ketahui, CPO merupakan

minyak sawit mentah yang digunakan sebagai bahan baku dari minyak

goreng, sedangkan di pasar internasional CPO juga digunakan sebagai

bahan baku lainnya, seperti kosmetik, sabun, bahkan bahan bakar alternatif.

Kelangkaan serta tingginya harga minyak dunia membawa pengaruh kepada

tingkat permintaan CPO. Akibat tingginya harga minyak dunia, membuat

negara maju seperti Amerika Serikat untuk memproduksi biofuel, bahan

bakar alternatif pengganti BBM. Bahan baku pembuat biofuel itu adalah

Page 24: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

251

CPO. Oleh sebab itu permintaan CPO kian meningkat dan membuat harga

CPO dunia juga ikut meningkat.

Hal ini membuat Indonesia dan negara penghasil kelapa sawit,

terutama CPO untuk meningkatkan hasil produksinya. Indonesia dari tahun

ke tahun terus mengalami peningkatan tingkat produksi, ditambah lagi sejak

tahun 1980an dimana pada tahun ini perusahaan kelapa sawit dibagi ke

dalam tiga kelompok perusahaan, yaitu perkebunan rakyat, perkebunan

besar negara, perkebunan besar swasta. Tingkat produksi kelapa sawit

tersebut dapat disimak melalui Tabel 65.

Tabel 64. Tingkat Produksi CPO dalam Ton menurut Pengelola Tahun 1980-2005

Tahun Tingkat Produksi

PR PBN PBS TOTAL 1990 376.950 1.247.156 788.506 2.412.612 1991 413.319 1.360.363 883.918 2.657.600 1992 699.605 1.489.745 1.076.900 3.266.250 1993 582.021 1.469.156 1.370.272 3.421.449 1994 839.334 1.571.501 1.597.227 4.008.062 1995 1.001.443 1.613.848 1.864.379 4.479.670 1996 1.133.547 1.706.852 2.058.259 4.898.658 1997 1.282.823 1.586.879 2.578.806 5.448.508 1998 1.344.569 1.501.747 3.084.099 5.930.415 1999 1.547.811 1.468.949 3.438.830 6.455.590 2000 1.905.653 1.460.954 3.633.901 7.000.508 2001 2.798.032 1.519.289 4.079.151 8.396.472 2002 3.426.740 1.607.734 4.587.871 9.622.345 2003 3.517.324 1.750.651 5.172.859 10.440.834 2004 3.847.157 1.617.706 5.365.526 10.830.389 2005 4.500.769 1.449.254 5.911.592 11.861.615 2006 5.130.635 1.935.826 6.324.346 13.390.807

Sumber : Deptan, 2007.

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa tingkat produksi kelapa sawit

untuk produk CPO terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya.

Page 25: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

252

Secara total tingkat produksi Indonesia, pada tahun 2006 mencapai

13.390.807 ton. Diperkirakan tingkat produksi ini akan terus mengalami

peningkatan di tahun-tahun berikutnya. Hal ini dimungkinkan karena lahan

yang memiliki tanaman belum menghasilkan yang masih luas.

Peranan perkebunan swasta dalam produksi CPO Indonesia terlihat

paling besar, kemudian diikuti dengan PBN dan PR. Awalnya, pada tahun

1990, PBN memiliki kontribusi yang paling tinggi yaitu sebesar 52%,

kemudian diikuti PBS sebesar 32% dan 16% oleh PR. Namun, sejak tahun

1994, PBS memiliki kontribusi terbesar, yaitu sebesar 40%, kemudian diikuti

dengan PBN sebesar 39%, dan PR sebesar 12%.

Kontribusi PBS terlihat semakin mengalami peningkatan. Sedangkan

kontribusi PBN mengalami penurunan dan kontribusi PR justru mengalami

peningkatan. Hal ini terlihat pada tahun 1999, kontribusi PBS sebesar 53%,

kemudian PR sebesar 24% dan PBN sebesar 23%. Pada tahun 2000, PBS

mengalami sedikit penurunan dalam kontribusinya terhadap produksi CPO,

namun tetap menjadi kontributor yang paling besar, yaitu sebesar 52%.

Sedangkan di tahun yang sama, kontribusi PR sebesar 27% dan PBS

sebesar 21%. PBN terus mengalami penurunan dalam kontribusinya

terhadap produksi CPO, hingga pada tahun 2006 kontribusi PBN sebesar

15% sedangkan PBS sebesar 47% dan PR sebesar 38%.

Di masa berikutnya PBS akan terus menjadi kontributor terbesar

dalam produksi CPO Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena besarnya

peluang PBS untuk meningkatkan luas lahan perkebunan kelapa sawit

dibandingkan dengan PBN. Padahal, awalnya tadi sudah disinggung bahwa

Page 26: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

253

produktivitas PBN lebih tinggi dibandingkan dengan kedua jenis perkebunan

lainnya. Apalagi, jika PBS meningkatkan produktivitas lahannya, maka

tingkat produksinya juga dapat ditingkatkan lagi.

Begitu juga yang dialami oleh produk minyak inti sawit berupa PKO.

Meskipun tingkat produksi kelapa sawit untuk produk PKO tidak sebanyak

produk kelapa sawit, tapi tingkat produksi PKO semakin tahun

memperlihatkan adanya peningkatan.

Pada tahun 1990, total PKO Indonesia mencapai 503.803 ton dan

terus mengalami peningkatan hingga tahun 1996, yaitu menjadi 1.084.676

ton. Peningkatan ini terus terjadi hingga pada tahun 2005 jumlah produksi

PKO Indonesia mencapai 2.474.532 ton dan pada tahun 2006 mencapai

2.792.059 ton. Dalam memproduksi PKO, tentunya diproduksi oleh ketiga

jenis perkebunan, yaitu PBN, PBS dan PR.

PBN pada awalnya, yaitu tahun 1990 menduduki posisi yang dominan

dalam memproduksi PKO, dengan kontribusi sebesar 49,51%, kemudian

diikuti dengan PBS sebesar 35,53% dan PR sebesar 14,96%. Meskipun

tingkat produksi PKO Indonesia mengalami peningkatan dari tahun

ketahunnya, tetapi tingkat kontribusi PBN mengalami PBN mengalami

penurunan, tepatnya semenjak tahun 1996, yaitu sebesar 36,59%.

Sedangkan kontribusi PBS sebesar 41,89% dan PR sebesar 21,52%.

Penurunan kontribusi PBN berjalan terus, hingga pada tahun 2006 PBN

berkontribusi sebesar 15,25% terhadap produksi PKO Indonesia. Sedangkan

di tahun yang sama, PBS terus menjadi kontributor yang dominan, dengan

Page 27: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

254

tingkat kontribusi sebesar 49,83% yang kemudian diikuti oleh PR sebesar

34,91%.

Produk turunan dari kelapa sawit untuk bahan makanan terbesar di

Indonesia adalah pada industri minyak goreng, sedangkan untuk non-

makanan terbesar adalah pada industri farmasi dan tekstil sedangkan di

Malaysia digunakan untuk membuat minyak RBD dan RBD Olein, kemudian

diekspor ke pasar internasional.

8.4.3. Perkembangan Ekspor Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki peranan

sangat penting dalam perdagangan minyak sawit dunia. Saat ini Indonesia

menempati urutan kedua setelah Malaysia sebagai eksportir minyak sawit.

Dari tahun ke tahun, volume ekspor minyak sawit mengalami peningkatan,

bahkan semenjak krisis ekonomi volume ekspor komoditi tersebut

mengalami perkembangan yang cukup pesat.

Pesatnya ekspor minyak sawit Indonesia terjadi akibat lemahnya nilai

tukar mata uang Indonesia terhadap mata uang dolar. Dengan melemahnya

rupiah membuat pendapatan dari hasil jual ekspor lebih tinggi dibandingkan

dengan hasil jual di dalam negeri. Hal ini diakibatkan oleh selisih antara nilai

tukar rupiah terhadap dolar yang cukup besar dibandingkan dengan menjual

komoditi di dalam negeri. Hal ini jugalah yang mendorong para produsen

untuk meningkatkan tingkat produksi minyak sawit, terutama untuk ekspor.

Namun, tidak selamanya keuntungan tersebut dapat dinikmati mereka. Dari

tahun ke tahun, volume ekspor memang mengalami peningkatan namun

Page 28: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

255

tidak sejalan dengan nilai ekspor komoditi minyak sawit yang mereka

peroleh.

Volume ekspor CPO mengalami penurunan yang sangat tajam

dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu tahun 1997. Pada tahun

1997, volume ekspor CPO mencapai 2.967.589 ton dengan nilai US$

1.466.100.000. Sedangkan, pada tahun 1998 volume ekspor CPO mencapai

1.479.278 ton dengan nilai ekspor US$ 745.277.000. Artinya, volume ekspor

antara tahun 1997 dan tahun 1998 mengalami penurunan sebesar 1.488.311

ton. Salah satu penyebab hal ini terjadi adalah pemberlakuan kebijakan

pemerintah berupa pajak ekspor dan pembatasan jumlah komoditi CPO

untuk diekspor. Hal ini dilakukan pemerintah dengan alasan menjaga suplai

dalam negeri agar dapat memenuhi kebutuhan CPO dalam negeri. Selama

ini, terutama semenjak krisis ekonomi melanda Indonesia, para produsen

lebih tertarik untuk menjual komoditinya ke pasar internasional dibandingkan

dijual di dalam pasar domestik. Seperti yang sudah disinggung di atas, salah

satu faktor pendorongnya adalah nilai tukar rupiah yang melemah yang

menjadikan para pengekspor dapat menikmati keuntungan yang cukup

besar.

Penurunan volume tersebut tidak berlangsung lama, pada tahun

berikutnya yaitu tahun 1999, volume ekspor kembali berhasil ditingkatkan

dengan mencapai 3.298.987 ton dengan nilai US$ 1.114.242. Semenjak itu,

volume ekspor CPO terus mengalami peningkatan hingga tahun 2005 yaitu

dengan volume ekspor sebesar 10.375.792 ton dengan nilai US$

3.756.557.000. Penjelasan ini dapat memperlihatkan kepada kita bahwa

Page 29: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

256

secara kasat mata nilai ekspor mengalami peningkatan dari tahun ke

tahunnya.

Disisi lain, sebenarnya kenaikan nilai ekspor CPO tidak berbanding

lurus dengan kenaikan yang dialami oleh volume ekspor. Ketidakselarasan

ini diakibatkan harga CPO dunia mengalami fluktuatif. Pada tahun 1998, nilai

ekspor sempat mengalami peningkatan, yaitu menjadi US$ 678/ton di mana

pada tahun 1997 mencapai US$ 545/ton. Namun, pada tahun 1999 harga

CPO dunia mengalami penurunan yang cukup tajam, yaitu mencapai US$

438/ton. Penulis memperkirakan bahwa penyebab peningkatan volume

ekspor CPO tidak berbanding lurus dengan peningkatan nilai ekspor akibat

harga CPO dunia yang diterima oleh para eksportir menurun akibat adanya

pajak ekspor yang diterapkan pemerintah. Penurunan harga CPO yang

diterima produsen berlangsung hingga tahun 2001, di mana pada tahun ini

mencapai US$ 275/ton. Pada tahun 2002, harga CPO yang diterima para

eksportir kembali mengalami peningkatan, yaitu mencapai US$ 388/ton.

Peningkatan tersebut terus berlangsung hingga tahun 2005, yaitu mencapai

US$ 482/ton. Meskipun meningkat, namun nilai ekspor tidak berbanding

lurus dengan peningkatan volume ekspor. Namun, dilihat dari segi volume

ekspor, menunjukkan bahwa Industri Kelapa Sawit Indonesia lebih mengarah

ke export oriented.

Begitu juga dengan produk kelapa sawit berupa PKO, volume ekspor

komoditi ini juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya meskipun

volume ekspornya tidak sebesar CPO. Perkembangan volume dan nilai

ekspor PKO dapat dilihat pada Tabel 66.

Page 30: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

257

Indonesia mulai mengekspor PKO sejak tahun 1981. Sejak itulah,

tingkat produksi PKO untuk ekspor mengalami peningkatan. Pada Tabel 66,

penulis menunjukkan perkembangan volume ekspor PKO sejak tahun 1990.

Pada Tabel tersebut dapat dilihat volume PKO terus meningkat hingga pada

tahun 1997 dengan jumlah 502.979 ton dengan nilai sebesar

US$ 294.255.000. Pada tahun 1998, volume ekspor mengalami penurunan,

yaitu menjadi 347.009 ton dengan nilai US$ 195.477.000. Namun, pada

tahun 1999 volume PKO dapat kembali ditingkatkan, yaitu menjadi 597.842

ton dengan nilai sebesar US$ 347.975.000. Pada tahun 2001 volume ekspor

mengalami peningkatan sehingga mencapai angka 581.926 ton, namun tidak

dengan nilai ekspornya, yaitu hanya mencapai angka US$ 146.259.000. Hal

ini menjelaskan adanya peningkatan nilai ekspornya. Peningkatan yang

cukup tajam terjadi pada tahun 2004, di mana pada tahun 2003 volume

ekspor PKO mencapai 659.864 ton meningkat menjadi 904.327 ton dengan

nilai sebesar US$ 502.681.000.

8.5. Analisis Deskriptif Industri Kelapa Sawit Indonesia

Industri kelapa sawit Indonesia mulai mengalami kejayaannya pada

dekade 1994-2008, di mana Indonesia semakin tahun berhasil meningkatkan

hasil produksi kelapa sawitnya hingga menduduki posisi produsen CPO

terbesar dan negara pengekspor terbesar nomor dua setelah Malaysia.

Seiring dengan pemanfaatan dari hasil kelapa sawit yang meningkat

membuat tingkat permintaan akan produk ini menjadi meningkat pula.

Selain untuk bahan baku minyak goreng, kelapa sawit juga dapat

digunakan sebagai bahan baku lainnya, seperti sabun, kosmetik, bahkan

Page 31: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

258

bahan bakar alternatif yang dikenal dengan nama biofuel yang akhir-akhir ini

sedang banyak dibicarakan dunia. Pemanfaatan yang meningkat serta

didukung dengan tingginya permintaan membuat para produsen yang

berkecimpung di industri ini terdorong untuk meningkatkan hasil produksinya.

Awalnya perkebunan kelapa sawit dikelola oleh pemerintah atau

disebut juga dengan Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan

Besar Swasta (PBS). Terhitung sejak tahun 1979, pengolahan kelapa sawit

ini juga dikelola oleh Perkebunan Rakyat (PR). Perkembangan luas lahan

yang dimiliki oleh ketiga jenis perkebunan ini dapat disimak melalui tabel 66.

Tabel 65 menjelaskan bahwa pada periode tahun 1967-2009 luas

lahan terbesar dikuasai oleh perkebunan besar negara (PBN), yaitu sekitar

61%-70% sedangkan perkebunan sawit yang dimiliki oleh perkebunan besar

swasta (PBS) sebesar 30%-39%. Pada periode 1979-1991, sejak

perkebunan rakyat juga ikut mengelola kelapa sawit, perkebunan rakyat

menguasai lahan sebesar 1%-30%, perkebunan swasta menguasai lahan

sekitar 22%-40%, dan perkebunan negara menguasai sebesar 30%-67%.

Namun, sejak tahun 1989an PBS memiliki persentase penguasaan lahan

yang paling besar dibandingkan dua jenis perkebunan lainnya. Pada tahun

ini luas lahan yang dimiliki oleh swasta adalah sebesar 40%, sedangkan

PBN yang awalnya memiliki persentase luas lahan yang paling besar hanya

menguasai lahan sebesar 37%, dan sisanya dikuasai oleh perkebunan

rakyat pada periode 1992-2004.

Page 32: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

259

Tabel 65. Perkembangan luas lahan Kelapa Sawit menurut Status Perkebunan 1967-2009

Tahun Luas Lahan (Ha) CPO

PR PBN PBS TOTAL 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3.125 6.175 5.695 8.537 37.043 40.552 118.564 129.904 203.047 196.279 223.832 291.338 384.594 439.468 502.332 572.544 658.536 738.887 813.175 890.506 1.041.046 1.166.758 1.561.031 1.808.424 1.854.394 2.220.338 2.356.895 2.636.425 2.857.777 3.079.129 3.300.481

65.573 79.209 84.640 86.640 91.153 96.562 98.033 117.513 120.940 141.333 148.775 163.465 176.408 199.538 213.204 224.440 261.339 340.511 335.195 332.694 365.575 373.409 366.028 372.246 395.183 389.761 380.746 386.309 404.732 426.804 517.064 556.640 576.999 588.125 609.947 631.566 662.803 605.865 529.854 696.699 717.803 783.906 760.010

40.235 40.451 34.880 46.658 47.950 55.497 59.747 64.223 67.885 69.772 71.626 86.651 81.406 88.847 100.008 96.924 107.264 130.958 143.603 144.182 160.040 293.171 383.668 463.093 531.219 638.241 730.109 845.296 961.718 1.083.823 1.592.057 2.113.050 2.283.757 2.403.194 2.542.457 2.627.068 2.766.360 2.458.520 2.567.068 2.741.802 1.849.481 2.957.161 3.064.840

105.808 119.660 119.520 133.298 139.103 152.059 157.780 181.736 188.825 211.105 220.401 250.116 260.939 294.560 318.967 329.901 405.646 512.021 597.363 606.780 728.662 862.859 973.528 1.126.677 1.310.996 1.467.470 1.613.187 1.804.149 2.024.986 2.249.514 2.922.296 3.560.196 3.901.802 4.158.077 4.713.435 5.067.058 5.283.557 5.284.723 5.453.817 6.074.926 6.425.061 6.775.196 7.125.331

Sumber : Dirjen Perkebunan, 2009.

Page 33: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

260

Perkebunan rakyat mengalami peningkatan dalam penguasaan lahan,

di mana luas lahannya adalah sebesar 25%-42%, sedangkan perkebunan

pemerintah sebesar 11%-27%, dan 43%-60% dikuasai perkebunan swasta.

Hal ini terlihat bahwa dalam hal penguasaan lahan, pemerintah tidak

lagi menguasai lahan kelapa sawit. Bahkan diperkirakan oleh bagian statistik

Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, menjelang tahun

2009 nanti, perkebunan rakyat akan menyamai persentase penguasaan

lahan oleh perkebunan swasta bahkan Deptan memperkirakan perkebunan

rakyat akan menguasai lahan perkebunan untuk kelapa sawit dalam proporsi

yang paling besar dibandingkan dengan dua jenis perkebunan lainnya.

Ha

Gambar 17. Perkembangan luas lahan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia menurut Status Kepemilikan Tahun 1980-2009

Menurut teori ekonomi, dua faktor input yang penting dalam

menghasilkan output adalah kapital (modal) dan tenaga kerja. Modal yang

digunakan dapat berupa uang, lahan, ataupun mesin. Oleh sebab itu, untuk

Page 34: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

261

memenuhi tingkat permintaan yang tinggi, Indonesia terus berusaha untuk

meningkatkan luas lahan penanaman kelapa sawit. Namun, harus

diperhatikan pula produktivitas dari lahan tersebut. Jika produktivitas lahan

tersebut tidak mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan lahan,

maka produksi yang dihasilkan juga sulit mencapai target.

8.5.1. Tingkat Konsentrasi Industri

Sesuai teori yang sudah dikemukakan, yaitu tingkat konsentrasi

merupakan barometer struktur suatu pasar. Semakin tinggi tingkat

konsentrasi maka struktur pasar semakin mengarah pada monopoli.

Umumnya para ekonom, mengasumsikan batasan tingkat konsentrasi suatu

pasar yang dikatakan monopoli adalah di atas 70%, sedangkan untuk ukuran

pasar itu merupakan oligopoli adalah sebesar 40% ke atas. Berikut adalah

perkembangan tingkat konsentrasi pada industri kelapa sawit Indonesia pada

tahun 1990, 1993, 1995, 1999 dan 2000.

Dari tabel perhitungan CR4, yaitu dengan membagi jumlah output

empat perusahaan terbesar dengan jumlah output pada industri kelapa sawit,

maka pada tahun 1990, struktur pasar industri kelapa sawit mengarah ke

arah monopoli, karena pada tahun ini tingkat konsentrasi industri ini sangat

tinggi yaitu mencapai 84%. Sedang di tahun 1993 tingkat konsentrasi mulai

mengalami penurunan yaitu menjadi 63%, ini menandakan struktur pasar

Industri Kelapa Sawit hampir mendekati struktur pasar monopoli.

Hingga pada tahun 1995, tingkat konsentrasi penjualan dari empat

besar perusahaan pada industri kelapa sawit ini semakin menurun hingga

Page 35: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

262

mencapai 57%, dengan kata lain industri ini mulai mengarah ke arah

oligopoli di mana batasan struktur pasar ini adalah 40%. Namun, tingkat

konsentrasi ini pada tahun 1999 dan 2000 kembali meninggi dan

menunjukkan pasar dalam keadaan struktur monopoli, dimana tingkat

konsentrasi pada tahun 2000 mencapai 72%. Menurut teori yang sudah

dikemukakan sebelumnya, jika tingkat konsentrasi suatu pasar tinggi salah

satu faktor penyebabnya adalah faktor hambatan masuk. Berarti, pada tahun

1993 hingga 1995 seiring dengan perkembangan pasar, maka semakin

banyak produsen baru memasuki pasar. Ini menandakan, bahwa hambatan

pasar pada tahun tersebut mulai melonggar. Pergerakan antara CR4 dengan

jumlah perusahaan dapat disimak melalui Gambar 17.

Tabel 66. Tingkat Konsentrasi CR4 Industri Kelapa Sawit Indonesia

Tahun Tingkat Konsentrasi Penjualan dari Empat Perusahaan Terbesar (%)

1990 84.6

1993 63.0

1995 56.7

1999 69.3

2000 72.3 Sumber : Hasil Analisis. 2010

Pada tahun 1990, jumlah perusahaan yang berkecimpung dalam

industri kelapa sawit berjumlah 11 perusahaan, kemudian pada tahun 1993

perusahaan ini kemudian meningkat sebanyak 16 perusahaan, yaitu

mencapai 27 perusahaan. Pada tahun 1990 dan 1993 membenarkan teori

Page 36: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

263

yang mengatakan bahwa dengan jumlah perusahaan yang meningkat

menyebabkan tingkat konsentrasi yang menurun.

Pada tahun 1995, jumlah perusahaan kembali meningkat hingga

mencapai 37 buah perusahaan, hal ini kembali menunjukkan adanya

hubungan yang terbalik antara jumlah perusahaan dengan tingkat

konsentrasi industri tersebut. Pada tahun 1999, terjadi penurunan jumlah

perusahaan yang diakibatkan masa krisis yang melanda Indonesia.

Sehingga ada beberapa perusahaan yang akhirnya tidak sanggup

meneruskan bisnis perkelapasawitan ini dan memilih untuk membubarkan

perusahaannya.

Jumlah perusahaan di tahun 1999 adalah sebesar 31 perusahaan

mengalami peningkatan kembali yaitu sebanyak 37 perusahaan dengan

tingkat konsentrasi yang meningkat pula, yaitu 72%. Sehingga, pada tahun

2000, teori yang mengatakan bahwa semakin banyaknya perusahaan

muncul membuat tingkat konsentrasi menjadi mengalami penurunan tidak

berlaku. Hal ini, dimungkinkan dengan adanya cara mereka dalam

berproduksi dan penguasaan lahan yang belum optimal. Penulis menduga,

meskipun jumlah perusahaan semakin banyak, belum tentu mereka

berproduksi pada tingkat biaya minimum yang diperlukan.

Dengan kata lain, kita harus melihat indikator lain dari hambatan

masuk. Tidak selamanya jumlah perusahaan dapat dijadikan indikator yang

mempengaruhi tingkat konsentrasi yang pada akhirnya mempengaruhi

struktur pasar suatu industri. Kita harus melihat dari segi efisiensi suatu

perusahaan dalam menghasilkan barang dan jasa pada industri tersebut.

Page 37: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

264

Dalam hal ini, penulis melihat hambatan masuk pada industri kelapa sawit ini

melalui Minimum Efficiency of Scale atau MES.

8.5.2. Minimum Efficiency of Scale atau MES

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa MES merupakan

proksi dari hambatan masuk ke dalam suatu pasar. Semakin suatu pasar

dapat memproduksi dengan biaya rata-rata yang paling minimum, maka

akan membuat para entrant enggan memasuki pasar tersebut. Hal ini karena

susah bagi mereka untuk menyaingi pemain lama yang sudah dapat

memproduksi komoditi tersebut dengan biaya yang rendah. Karena hal ini

tentunya membutuhkan proses yang cukup panjang. Terlebih lagi, para

pemain lama dapat menentukan harga yang lebih rendah dikarenakan

keberhasilan mereka dalam berproduksi di batas AC minimum. Berikut

perkembangan MES pada industri kelapa sawit pada tahun 1990, 1993,

1995, 1999 dan 2000.

Tabel 67. Nilai Skala Efisiensi Minimun Industri Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1990-2000 Tahun Tingkat Skala Usaha Minimum dari

Empat Perusahaan Terbesar (%) 1990 21.1

1993 15.7

1995 14.2

1999 17.3

2000 18.1 Sumber : Hasil Analisis. 2010

Page 38: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

265

Jika dibandingkan dengan data CR4 sebelumnya, maka pada tahun

1990 tingkat MES adalah sebesar 21.1% dan mengalami penurunan pada

tahun 1993 yaitu sebesar 15.7%. Sedangkan tingkat konsentrasi yang terjadi

antara kedua tahun ini mengalami penurunan yaitu dari 85% menjadi 63%.

Hal ini menandakan semakin kecil MES maka menjadikan hambatan masuk

para pemain baru ke dalam perusahaan ini menjadi melonggar. Kemudian,

pada tahun 1995, tingkat konsentrasi kembali mengalami penurunan hingga

mencapai 57% dengan tingkat MES sebesar 14.2%. Pada tahun 1999,

tingkat konsentrasi kembali meningkat hingga mencapai 69% dengan tingkat

MES sebesar 17.3%.

Sedangkan pada tahun 2000, tingkat konsentrasi kembali mengalami

peningkatan hingga mencapai angka 72% dengan tingkat tingkat sebesar

18.1%. Ternyata, yang menyebabkan tingkat konsentrasi industri kelapa

sawit Indonesia ini tinggi bukanlah jumlah perusahaan atau pelaku pasar

yang ada, melainkan tingkat MES yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut.

Akibatnya, meskipun pada saat tingkat konsentrasi industri kelapa sawit ini

tinggi, jumlah perusahaan bukanlah hal yang menjanjikan adanya penurunan

tingkat konsentrasi, namun tergantung MES suatu perusahaan.

Semakin efisien suatu perusahaan dalam berproduksi maka semakin

tinggi kesempatan mereka untuk menguasai pasar, dan semakin tinggi

kemungkinan terjadinya tingkat konsentrasi yang tinggi yang akhirnya

membuat struktur pasar cenderung ke arah monopoli. Biaya yang dibutuhkan

dalam pengelolaan kelapa sawit cukup tinggi. Hal ini membuat biaya

produksi dalam industri ini menjadi mahal. Pemain pasar yang sudah lama

Page 39: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

266

dalam industri ini, mereka lebih dapat memproduksi dengan biaya minimum

dibandingkan dengan pamain pasar yang baru memasuki industri ini. Hal

inilah yang dapat menghambat pemain pasar tersebut untuk menguasai

pasar. Berdasarkan teori ekonomi industri, berproduksi pada titik biaya

minimum memerlukan proses waktu yang cukup lama. Oleh karena itu,

meskipun jumlah perusahaan yang masuk ke dalam pasar bertambah

banyak, jika tidak dapat berproduksi dengan biaya minimum yang sama

dengan pesaing yang sudah menguasai pasar sejak lama, maka para

pemain lama tersebut dapat lebih meningkatkan pangsa pasarnya.

Prosentase (%)

Gambar 18. Grafik Tingkat Konsentrasi dan Skala Efisiensi Empat Perusahaan Terbesar Indonesia

8.5.3. Perilaku Industri Kelapa Sawit Indonesia

Perkembangan tingkat konsentrasi yang terbentuk pada industri

kelapa sawit ini semakin meningkat seiring peningkatan pangsa pasar yang

Page 40: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

267

dimiliki para perusahaan terbesar begitu juga dengan hambatan masuk yang

juga meningkat bagi pemain baru untuk memasuki industri ini. Berdasarkan

teori SCP, dimana struktur pasar merupakan fungsi dari hambatan masuk

dan tingkat konsentrasi, maka hasil penjelasan deskriptif diatas menandakan

bahwa struktur pasar yang terbentuk adalah struktur pasar oligopoli.

Dengan struktur pasar yang oligopoli ini maka akan berpengaruh

kepada pembentukan harga oleh perusahaan-perusahaan yang ada.

Sehingga, keuntungan yang mereka miliki dapat lebih tinggi lagi dan

menciptakan hambatan pemain baru lain untuk masuk.

Struktur pasar yang oligopoli cenderung menciptakan perilaku kolusif

diantara perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang besar. Konsumsi

terbesar komoditi kelapa sawit, khususnya CPO terjadi pada industri minyak

goreng. Hal ini terjadi akibat sebagian besar bahan baku minyak goreng

adalah CPO. Harga minyak goreng Indonesia dalam tahun-tahun terakhir ini

mengalami fluktuasi. Alasan yang sering dikemukakan adalah jumlah

komoditi kelapa sawit lebih banyak diprioritaskan sebagai komoditi ekspor

yang mengakibatkan suplai minyak sawit mentah untuk dalam negeri

menjadi lebih sedikit.

Akibatnya, domestik mengalami kekurangan bahan baku minyak

goreng. Secara teori ekonomi, tepatnya hukum penawaran, jika suplai

mengalami penurunan dengan keadaan tingkat permintaan yang berlebih,

akan membuat harga menjadi lebih tinggi. Begitu juga yang terjadi pada

industri minyak goreng ini, akibat sebagian besar produksi CPO ditujukan

untuk ekspor dan membuat sedikitnya jumlah CPO yang ditawarkan di dalam

Page 41: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

268

negeri dan kurangnya kuantitas tersebut untuk memenuhi permintaan maka

harga CPO menjadi naik. Naiknya harga CPO membuat biaya produksi

dalam menghasilkan minyak goreng menjadi ikut naik.

Hal ini terjadi jika memang benar keadaan yang terjadi seperti apa

yang dijelaskan. Namun, berdasarkan data BPS, ditemukan data-data yang

tidak menguatkan alasan tersebut. Penulis membandingkan ketiga data

sebagai bukti ketidakkuatan alasan yang selama ini sering terdengar oleh

masyarakat Indonesia. Jika data ini valid, maka sesuai dengan mekanisme

pasar, harga minyak goreng menjadi lebih murah. Hal ini dapat dilihat melalui

tabel 68.

Menurut data, bahwa pada tahun 1990-1996, Indonesia belum

mengarah ke export oriented, hal ini terlihat pada jumlah ekspor CPO yang

lebih kecil dibandingkan jumlah CPO untuk domestik. Namun, sejak tahun

1997-2004, volume CPO untuk ekspor lebih tinggi dibandingkan dengan

volume CPO untuk dalam negeri. Selain itu lahan perkebunan yang

menghasilkan Tanda Buah Segar (TBS) meningkat yang menyebabkan

produksi CPO meningkat, tingginya ekspor juga dengan pejualan dari

keuntungan yang diperoleh dari ekspor lebih tinggi dibandingkan dengan

penjualan dari dalam negeri. Terlebih lagi pada tahun 1998, di mana terjadi

puncak krisis moneter di Indonesia, yang menyebabkan nilai tukar rupiah

mengalami kelemahan, maka terjadi selisih antara nilai tukar rupiah dengan

mata uang asing (Dolar Amerika) yang menyebabkan keuntungan yang

semakin tinggi.

Page 42: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

269

Tabel 68. Tingkat Penawaran dan Ekspor CPO serta Permintaan CPO Oleh Industri Minyak Goreng tahun 1990-2004

Tahun Penawaran CPO Ekspor CPO Permintaan Industri Minyak Goreng

1990 1623,20 815,58 981,60 1991 1527,77 1167,70 1302,31 1992 2544,74 1030,30 1498,55 1993 1941,34 1632,00 1508,46 1994 2500,54 1631,20 1788,37 1995 3264,49 1265,00 2014,06 1996 3334,30 1671,96 2811,64 1997 2504,59 2967,59 3051,90 1998 4178,49 1479,28 3288,14 1999 2691,85 3298,99 3625,30 2000 2283,38 3937,82 3909,43 2001 3493,40 4903,22 4082,81 2002 3298,14 6333,71 3901,78 2003 4058,44 6386,41 3910,66 2004 3453,36 8661,65 4050,76

Sumber : BPS, 2005

Pada tahun 1990-1996 tingkat penawaran CPO untuk domestik lebih

besar dibandingkan dengan tingkat permintaan CPO domestik untuk Industri

Minyak Goreng. Hal ini menunjukkan bahwa bahan baku penghasil minyak

goreng ini mengalami ekses penawaran yang sesuai dengan teorinya dapat

terjadi penurunan harga pada bahan baku tersebut. Sehingga harga minyak

goreng dapat ditekan menjadi lebih murah. Namun, sesuai dengan data yang

diperoleh, faktanya hukum tersebut seolah-olah tidak berlaku pada industri

kelapa sawit, khususnya CPO ini.

Penulis membandingkan tingkat permintaan CPO untuk minyak

goreng domestik. Setelah dibandingkan ketiga variabel tersebut, ternyata

tingkat harga minyak goreng domestik terus mengalami peningkatan dari

tahun 1990-1996 seiring dengan tingkat suplai yang melebihi tingkat

permintaannya. Pada tahun 1990 harga minyak goreng domestik mencapai

Page 43: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

270

tingkat harga sebesar Rp. 708,30/kg, kemudian pada tahun 1991 mencapai

Rp 822,60/kg.

Pada tahun 1992, harga minyak goreng kembali mengalami

peningkatan, yaitu menjadi Rp. 961/kg. Hal ini terus terjadi hingga tahun

1996 dengan tingkat harga minyak goreng domestik sebesar Rp. 1.821/kg.

Berarti alasan yang sering terdengar bahwa meningkatnya harga minyak

goreng domestik akibat harga bahan baku yang meningkat yang disebabkan

oleh ekses permintaan, tidak terbukti kebenarannya dalam industri kelapa

sawit Indonesia. Hal ini terjadi karena peningkatan ekses suplai akan

komoditi CPO tahun 1990-1996 diikuti dengan peningkatan harga minyak

goreng domestik.

Pada tahun 1998, harga minyak goreng mengalami peningkatan yang

sangat tajam, yaitu mencapai level Rp. 5.449/kg. Jika dilihat dari segi excess

demand, kenaikan harga yang terjadi sangat wajar akibat suplai CPO

domestik yang tidak mencapai kebutuhan CPO untuk industri minyak goreng.

Namun, sebenarnya hal yang sama terjadi pada tahun 1999 yang juga

terdapat kelebihan permintaan CPO. Tetapi tidak begitu adanya, yang terjadi

malah penurunan harga.

Pada tahun 1999, harga minyak goreng adalah sebesar Rp.4.143/kg.

Hal ini terus terjadi hingga tahun 2003 dengan tingkat harga sebesar

Rp 4.625/kg. Penulis mengasumsikan terjadinya penurunan harga ini akibat

adanya kebijakan pemerintah dalam bentuk operasi pasar ataupun subsidi,

atau bisa saja terjadi akibat penggunaan kelebihan bahan baku CPO untuk

minyak goreng pada tahun sebelumnya. Namun, ketika penulis mencoba

Page 44: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

271

membandingkan perkembangan harga minyak goreng domestik dengan

harga CPO internasional, timbul suatu kecurigaan adanya dugaan perilaku

kartel dalam industri kelapa sawit Indonesia ini. Berikut Tabel 70 tentang

perkembangan harga CPO internasional dan harga minyak goreng domestik.

Dengan membandingkan harga CPO internasional dengan harga

minyak goreng domestik, terlihat sejak tahun 1997-2004 terjadi pergerakan

yang searah dan sebanding antara kedua tingkat harga tersebut, padahal,

jika dilihat dari segi penawaran dan permintaan akan CPO ini, seharusnya

hal ini lebih mempengaruhi tingkat harga yang terbentuk dalam pasar

domestik. Ternyata yang ditemukan oleh penulis adalah adanya pergerakan

yang searah dan sebanding antara harga minyak goreng domestik dengan

harga CPO internasional. Sehingga, harga minyak goreng tidak terbentuk

berdasarkan permintaan dan penawaran menurut mekanisme pasar. Dengan

melihat data tersebut, penulis menduga adanya unsur perilaku kartel yang

terbentuk pada Industri Kelapa Sawit ini.

Sebenarnya, Indonesia mengalami peningkatan produksi sekitar bulan

Juni dan Juli setiap tahunnya, yang dikarenakan musim panen pada bulan

ini, ditambah lagi semenjak November curah hujan tinggi dan turunnya hujan

mempengaruhi jumlah produksi kelapa sawit. Sehingga tingkat produksi

kelapa sawit bertambah, seharusnya keadaan ini dapat memenuhi

permintaan domestik dan membuat harga minyak goreng tetap melambung

tinggi. Pada tahun 2007, harga minyak goreng domestik bahkan mencapai

angka Rp. 9.000 – Rp. 11.000,-/kg, sedangkan harga internasional CPO

adalah US$ 750 (Agustus 2007). Dibandingkan dengan harga internasional

Page 45: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

272

CPO tahun tersebut harga CPO tahun lalu adalah sebesar US$ 500.

Kenyataan inilah yang membuat penulis menduga adanya unsur kartel dalam

industri ini. Terlebih lagi teori ekonomi industri, struktur pasar yang oligopoli

cenderung membentuk perilaku kolusif.

Tabel 69. Pergerakan Harga Minyak Goreng Domestik dan Harga Internasional CPO tahun 1990-2004

Tahun Harga Minyak

Goreng (Rupiah)

Harga Internasional ($ USD)

1990 708,30 279,88 1991 822,60 333,03 1992 961,40 290,75 1993 987,70 406,85 1994 1250,00 524,55 1995 1463,00 648,95 1996 1821,40 531,81 1997 2000,00 545,03 1998 5449,12 678,13 1999 4143,58 438,39 2000 3418,54 310,44 2001 3527,27 275,66 2002 4337,99 388,89 2003 4625,76 447,61 2004 4905,99 482,19

Sumber : Deperindag, 2005.

Berdasarkan Tabel 69, harga CPO internasional dengan harga minyak

goreng domestik diatas, harga CPO internasional mengalami peningkatan

yang tidak signifikan. Sedangkan, harga minyak goreng domestik mengalami

gejolak harga yang berfluktuatif. Penulis menduga kartel yang terbentuk lebih

mengarah kepada kartel output dibandingkan dengan kartel harga. Indonesia

dari tahun ke tahun mengalami peningkatan volume produksi. Namun

ternyata, 80% dari total keseluruhan produksinya, masih merupakan

Page 46: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

273

Rp & $ USD

gabungan dengan industri sawit Malaysia. Hal inilah yang melatarbelakangi

Indonesia mau berkartel dengan Malaysia.

Gambar 19. Pergerakan Harga Minyak Goreng Domestik dan Harga CPO Internasional Tahun 1990-2004

Indonesia takut jika tidak melakukan kartel dengan Malaysia, karena

akan mencabut investasinya dari Indonesia yang pada akhirnya akan

mengurangi volume produksi kelapa sawit yang dapat dihasilkan. Hal ini

dapat menyebabkan keuntungan yang diperoleh Indonesia jadi menurun.

Begitu juga dengan Malaysia, negara jiran ini takut jika tidak melakukan

kesepakatan dengan Indonesia akan membuka peluang Indonesia untuk

mengalahkan Malaysia. Hal ini disebabkan Indonesia memiliki potensi untuk

memperluas lahan untuk penanaman kelapa sawit, sedangkan Malaysia

tidak, akhirnya kartel terbentuk diantara keduanya.

Page 47: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

274

Kartel yang terbentuk dalam bentuk penetapan jumlah output

bersama, Malaysia dan Indonesia bersama-sama menentukan jumlah

output yang diproduksi. Tentunya, hal ini mengakibatkan jumlah output yang

diproduksi menjadi lebih sedikit dibandingkan jika mereka tidak berkolusi dan

mengakibatkan jumlah yang diproduksi lebih sedikit dibandingkan dengan

tingkat permintaannya. Hal ini berdampak pada industri hilir yang

menggunakan bahan baku CPO, akibatnya harga internasional menjadi

mahal. Perilaku kolusif berbentuk kartel ini menurut penulis tidak

mempengaruhi kestabilan harga minyak goreng domestik di Indonesia dan

secara tidak langsung justru menguntungkan industri sawit Malaysia.

8.5.4. Kinerja Industri Kelapa Sawit Indonesia

Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dalam industri kelapa sawit

ini sebenarnya lebih dirasakan oleh para pengusaha yang berkecimpung di

Industri kelapa sawit ini. Terlebih lagi seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya, bahwa struktur pasar yang terbentuk oleh Industri ini

berdasarkan pengamatan tingkat struktur pasar terbentuk, maka industri ini

tergolong oligopoli bahkan mendekati monopoli. Seperti yang telah

dikemukakan oleh Bain, bahwa semakin mengarah ke monopoli semakin

tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh. Penulis mencoba menjelaskan

pernyataan yang dikemukakan oleh Bain tersebut melalui grafik berikut

dengan membandingkan pergerakan keuntungan dengan tingkat

konsentrasi. Di mana, PCM digunakan sebagai proksi dari keuntungan

tersebut dan CR4 sebagai tingkat konsentrasi industri kelapa sawit.

Page 48: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

275

Secara rata-rata pergerakan PCM dengan CR4 memiliki hubungan

yang positif antara tahun 1990 dengan 1993, tingkat konsentrasi mengalami

penurunan yang awalnya mencapai 0,85 menjadi 0,63, begitu juga antara

tahun 1995 dengan 1999, terjadi peningkatan konsentrasi dari 0,56 menjadi

0,69. Hingga pada tahun 2000, tingkat konsentrasi mencapai tingkat 0,72.

Hal ini juga diikuti dengan peningkatan PCM, artinya terbukti CR4 memang

mempengaruhi tingkat keuntungan yang terjadi pada industri ini. Ini artinya,

teori Bain dalam industri kelapa sawit Indonesia terbukti kebenarannya.

Tingkat konsentrasi semakin tinggi membuat struktur pasar industri

kelapa sawit ini menunjukkan struktur pasar yang oligopoli yang mendorong

terbentuknya perilaku kolusif yang menjadikan mereka bertindak selayaknya

pelaku pasar monopoli yang kemudian mengakibatkan keuntungan yang

tercapai juga meningkat.

Menurut pemikiran penulis, masalah struktur pasar terkonsentrasi

tidak selamanya menjadi masalah bagi industri. Jika suatu industri

menunjukkan adanya keuntungan yang besar didalamnya, maka hal ini justru

akan menarik para pemain baru untuk ikut masuk ke dalam industri tersebut.

Apalagi, didukung dengan pasar kelapa sawit yang terus mengalami

pengembangan dengan adanya tingkat permintaan yang meningkat serta

tingkat produksi yang juga meningkat. Akibatnya banyak pemain baru yang

tertarik untuk melakukan bisnis ini.

Akhirnya, struktur pasar yang tadinya hanya dikuasai oleh beberapa

perusahaan menjadi semakin berkurang dan menimbulkan adanya

persaingan dalam pasar. Tingginya tingkat konsentrasi juga tetap bisa

Page 49: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

276

terjadi, namun yang berada pada CR4 ini merupakan perusahaan-

perusahaan yang berganti-ganti akibat kehebatan dan keunggulannya dalam

berproduksi dan penggunaan teknologinya. Berarti peningkatan tingkat

konsentrasi sebenarnya juga bisa membuat struktur pasar menciptakan

adanya persaingan di dalam industri tersebut. Penulis beranggapan tingkat

konsentrasi yang tinggi bukan berarti tingkat kompetisi antara pesaing hilang

selama tidak ada hambatan masuk.

Oleh sebab itu, jika tingkat yang semakin tinggi mendorong

terciptanya iklim persaingan di industri kelapa sawit, maka seharusnya

keuntungan yang dirasakan akan menurun seiring peningkatan tingkat

konsentrasi tersebut akibat adanya persaingan. Selain itu, kondisi ini akan

membuat pasar menjadi lebih seimbang akibat menurunnya kecenderungan

monopoli. Namun, berhubung industri kelapa sawit menunjukkan adanya

arah yang positif antara PCM dengan CR4, maka perilaku yang terduga kuat

adalah terdapat perilaku kolusi di antara para pesaing di industri ini.

Sehingga hal ini mengakibatkan minimnya persaingan yang terjadi pada

industri ini. Pergerakan yang searah antara PCM dan CR4 yang telah

disajikan sebelumnya, menunjukkan bahwa perilaku kolusi yang terdapat di

industri ini yang membuat para pesaingnya berperilaku selayaknya monopoli

sehingga dapat menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi.

Menurut penulis, kinerja industri kelapa sawit dapat lebih tinggi lagi.

Indonesia termasuk pemasok CPO terbesar di dunia. Di sisi Industri Hulu,

Indonesia bisa menciptakan produksi kelapa sawit dengan jumlah yang

tinggi. Selain itu, perluasan lahan yang dilakukan Indonesia serta

Page 50: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

277

peningkatan jumlah produksi menunjukkan adanya pengembangan di sektor

hulunya. Namun, tidak dengan sektor hilir yang tidak mengalami

perkembangan yang nyata. Sebagian besar CPO domestik, yaitu sebesar

79% digunakan untuk industri minyak goreng. Sedangkan Indonesia

mengekspor sebagian besar volume CPOnya ke pasar internasional.

Seharusnya, Indonesia mengembangkan industri hilirnya juga agar dapat

menciptakan nilai tambah dari CPO yang dihasilkan di sektor hulu.

Menurut teori ekonomi industri oleh Martin, (1993), keuntungan bisa

ditingkatkan dengan melakukan diferensiasi produk. Oleh sebab itu,

seharusnya penggunaan CPO tidak hanya digunakan untuk minyak goreng.

Namun lebih dikembangkan lagi ke sektor lain, seperti sabun, biofuel,

kosmetik, dan lain sebagainya. Bandingkan dengan Malaysia, negara ini

tidak sepenuhnya mengekspor hasil CPO ke luar negeri, melainkan

sebahagin diolah menjadi bahan jadi untuk kebutuhan domestik maupun

ekspor. Sehingga, hal ini membuat Malaysia tidak mengalami gejolak harga

minyak goreng dalam negerinya seperti apa yang dialami oleh Indonesia.

Malaysia dalam mengembangkan industri hilirnya dengan mengolah

produk hulunya menjadi bernilai tinggi, membuat negeri jiran ini

meningkatkan keuntungan industri kelapa sawitnya. Selain itu, tingkat

produksi Malaysia bisa tetap lebih tinggi ketimbang Indonesia yang memiliki

lahan lebih melimpah dan tenaga kerja yang banyak adalah tingkat

produktivitas Malaysia yang berjumlah 3,21 ton/tahun dengan 422 pabrik

pengolahan. Sedangkan Indonesia tingkat produktivitasnya hanya sebesar

2,5 ton CPO/tahun dengan 323 pabrik pengolahan. Perbedaan itu juga yang

Page 51: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

278

membuat Malaysia dapat menggunakan 87% kapasitas terpasang pabrik

yang mencapai 86 juta ton TBS/tahun, sedangkan Indonesia 65 ton

TBS/tahun. Untuk lebih jelasnya lihat Tabel 70 dan Tabel 71.

8.5.5. Kontribusi Industri Kelapa Sawit pada Perekonomian Indonesia Industri minyak nabati, salah satunya adalah kelapa sawit mendorong

perekonomian Indonesia. Sektor ini dapat menyerap tenaga kerja dengan

jumlah besar. Selain itu, komoditi ini menghadapi permintaan dengan jumlah

yang selalu meningkat dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 1990 jumlah

tenaga kerja yang terserap adalah sebesar 2.273 orang, sedangkan pada

tahun 1993 jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebesar 3.854 orang.

Pada tahun 1995 jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebesar

7.674 orang, kemudian meningkat pada tahun 1999 menjadi 9.232 orang.

Namun, pada tahun 2000 tenaga kera yang terserap hanya sebanyak 6.260

orang. Hal ini diakibatkan keadaan ekonomi Indonesia yang sedang dilanda

krisis. Nilai tukar rupiah yang jatuh, dan harga barang yang mengalami

peningkatan sehingga membuat tingkat upah juga menjadi mahal. Akibatnya,

untuk menekan biaya produksi, perusahaan-perusahaan kelapa sawit

terpaksa merumahkan beberapa pekerjanya. Namun pada tahun 2005

jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebanyak 170.060 orang untuk

industri pengolahan kelapa sawit, sedangkan untuk industri minyak goreng

adalah sebanyak 37.621 orang. Perusahaan pengolahan kelapa sawit

dengan jumlah sebanyak 58 perusahaan. Begitu juga dengan industri minyak

goreng, jumlah perusahaan terbanyak terdapat di Sumatera Utara dengan

jumlah sebanyak 57 perusahaan.

Page 52: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

279

Page 53: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

280

Page 54: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

281

Semakin banyak jumlah tenaga kerja yang terserap, maka tingkat

pengangguran menjadi menurun. Penurunan tingkat pengangguran

menandakan peningkatan pada individu yang berpendapatan. Oleh karena

itu pembeli potensial dalam artian pembeli yang memiliki daya beli menjadi

meningkat. Sehingga, tingkat kemiskinan menjadi menurun dan

perekonomian juga akan membaik. Diharapkan untuk tahun selanjutnya

jumlah tenaga kerja kelapa sawit dapat ditingkatkan kembali. Jika tenaga

kerja semakin banyak terserap maka akan dapat mengurangi tingkat

pengangguran yang ada di Indonesia. Selain dilihat dari sisi tenaga kerja

yang terserap, industri ini juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan

Peningkatan yang tajam terlihat adalah pada tahun 1998, yaitu

mencapai Rp. 4.940.692/kapita. Dengan melihat data yang ada, penulis

menduga peningkatan pendapatan per kapita yang begitu pesat ini akibat

terjadinya nilai tukar rupiah yang lemah yang membuat jumlah CPO yang

diekspor menghasilkan devisa yang cukup tinggi meskipun yang diekspor

hanya dengan jumlah 1.479.280 ton. Sedangkan penawaran untuk domestik

sebanyak 4.178.490 ton dan ini melebihi tingkat permintaan CPO pada

industri minyak goreng. Akibat kelebihan penawaran CPO di pasar domestik

membuat harga bahan baku minyak goreng ini menjadi lebih murah. Oleh

karena itu, penulis memperkirakan hal inilah yang membuat pendapat per

kapita dari industri ini meningkat, yaitu akibat tingginya pendapatan devisa.

Penulis menduga bahwa akibat fakta ini, pemerintah yang awalnya

menetapkan kebijakan kuota ekspor CPO mengalami dilema, dan akhirnya

memperlonggar kebijakan tersebut hingga membuat volume ekspor menjadi

Page 55: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

282

lebih tinggi dibandingkan penawaran CPO pada pasar domestik. Hal ini

terbukti, dengan adanyan peningkatan volume ekspor CPO, pendapatan per

kapita semakin meningkat. Terlebih lagi dengan adanya penawaran domestik

yang tidak memenuhi kebutuhan tingkat permintaan domestik,

mengakibatkan harga bahan baku minyak goreng ini menjadi lebih mahal.

Contohnya saja pada tahun 2004, tingkat permintaan CPO untuk minyak

goreng adalah sebesar 4.050.760 ton, sedangkan penawaran domestiknya

hanya sekitar 3.453.000 ton di mana penawaran untuk ekspor sebesar

8.661.650 ton. Dengan keadaan seperti itu, pendapatan per kapita pada

industri kelapa sawit menjadi lebih tinggi, yaitu mencapai Rp. 10.571.442.

Keadaan inilah menurut penulis yang membuat pemerintah Indonesia

semakin mengizinkan peningkatan volume CPO untuk diekspor.

8.6. Analisis Ekonometrika SCP Industri Sawit Indonesia

Model ekonometrika yang digunakan dalam disertasi ini adalah :

PCM = α + β1CR4it +β2 (MES)it + β3(PCPOINT)it + β4(PDMG)it + Β5 (DGROW) + β6 (KURS) + ε

t = Periode Waktu (t = 1,2,...,T)

it

Di mana :

PCM = Price-Cost Margin

CR4 = Tingkat konsentrasi empat perusahaan terbesar

MES = Minimum Effieciency of Scale

PCPOINT = Harga CPO Internasional

PDMG = Harga Minyak Goreng Domestik

DGROW = Pertumbuhan permintaan Minyak Sawit Indonesia KURS = Nilai tukar Dolar Amerika terhadap Rupiah Indonesia

ε = Error

I = Industri atau perusahaan (i = 1,2,...,n)

Page 56: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

283

Sebelumnya penulis telah menjabarkan hasil pengamatannya secara

deskriptif mengenai industri sawit Indonesia. Kali ini, penulis melihat

hubungan variabel-variabel PCM melalui software SPSS Version 6 dan

Minitab 15 dengan analisis korelasi.

Dalam melakukan analisis regresi, awal tujuan penulis ingin melihat

adanya pengaruh tingkat konsentrasi, hambatan masuk, tingkat harga

internasional CPO dan tingkat harga minyak goreng domestik. Hal ini

bertujuan ingin membuktikan dugaan penulis akan perilaku kartel yang

terbentuk akibat struktur pasar yang terbentuk pada industri kelapa sawit ini.

8.7. Hasil Estimasi Model

Pada hasil analisis regresi diatas, penulis tidak memasukkan variable

time pada persamaan. Hal ini terjadi, akibat tidak kuatnya pengaruh waktu

terhadap PCM yang terbentuk pada industri ini. Sehingga, analisa yang

terbentuk berdasarkan hasil analisis regresi sebagai berikut :

PCM = - 434 + 0.60 CR4 + 0.642 PCPOINT - 0.0158 PDMG + 14.2 DGROW + 0.0087 KURS

18 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Coef SE Coef T P Constant -433.7 415.5 -1.04 0.317 DGROW 14.230 4.040 3.52 0.004 PCPOINT 0.6418 0.3109 2.06 0.061 CR4 0.602 5.021 0.12 0.907 PDMG -0.01576 0.02549 -0.62 0.548 KURS 0.00871 0.01520 0.57 0.577 S = 99.5281 R-Sq = 70.8% R-Sq(adj) = 58.6%

Page 57: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

284

Untuk mendapatkan keakuratan dalam suatu model bukanlah suatu

hal yang mudah, R2

Variabel CR4

adalah 70.8 % namun tidak menjamin model tersebut

adalah baik. Namun, salah satu kriteria suatu model dikatakan akurat atau

tidak adalah kesesuaian model tersebut dengan teori yang ada.

Persamaan struktural dibuat dengan tujuan ingin melihat bagaimana

hubungan yang diberikan oleh variabel-variabel eksogen terhadap variabel

endogennya. Besarnya hubungan variabel eksogen terhadap variabel

endogen dapat dilihat melalui besaran koefisien yang dimiliki masing-masing

variabel eksogen tersebut. Arah pengaruh yang diberikan pada variabel

eksogen tersebut dapat dilihat dari positif atau negatifnya koefisein tersebut.

Jika negatif, berarti pengaruh yang diberikan variabel eksogen terhadap

variabel endogennya adalah berlawanan arah. Contohnya, dalam penelitian

ini, jika variabel eksogen dari PCM memiliki koefisien yang negatif, berarti

peningkatan atau penurunan variabel eksogen tersebut mempengaruhi

penurunan atau peningkatan variabel.

Dari hasil analisis regresi dapat dikatakan bahwa CR4 mempengaruhi

PCM secara positif dengan koefisien sebesar + 0.60 namun tidak

signifikan. Artinya, tingkat konsentrasi yang dihasilkan mempengaruhi

terbentuknya struktur pasar pada suatu industri. Berarti, teori yang

dikemukakan oleh Bain berlaku pada industri kelapa sawit Indonesia.

Variabel MES

Berdasarkan hasil estimasi dan stepwise, MES tidak memberikan

pengaruh yang signifikan pada PCM dengan demikian variabel MES tidak

Page 58: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

285

diberikan penjelasan dalam estimasi PCM. Berarti ada faktor non-

ekonomi yang menentukan masuknya pelaku dalam pasar seperti

kebijakan pemerintah, faktor keamanan atau faktor politik

Variabel PCPOINT

Variabel PCPOINT merupakan variabel yang ingin melihat hubungan

tingkat harga CPO Internasional dalam pembentukan keuntungan pada

industri kelapa sawit. Ternyata, harga CPO Internasional memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap tingkat keuntungan pada industri

kelapa sawit Indonesia dengan pengaruh yang diberikan yaitu sebesar

+0.642. Semakin tinggi harga CPO Internasional semakin tinggi

keuntungan industri sawit Indonesia dalam skala Nasional.

Variabel PDMG

Variabel PDMG adalah Harga Minyak Goreng Domestik merupakan

variabel yang ingin melihat hubungan tingkat harga minyak goreng di

pasar Indonesia dalam pembentukan keuntungan pada industri kelapa

sawit Indonesia. Ternyata, harga minyak goreng domestic memberikan

pengaruh pada keuntungan yang tercipta pada industri kelapa sawit

dengan pengaruh negatif yaitu sebesar - 0.0158 namun tidak signifikan.

Semakin rendah harga minyak goreng dalam negeri semakin tinggi

keuntungan yang tercipta.

Variabel DGROW

Variabel DGROW merupakan variabel yang ingin melihat hubungan

tingkat permintaan minyak sawit domestik dalam pembentukan

keuntungan pada industri kelapa sawit. Ternyata, permintaan minyak

Page 59: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

286

sawit domestik memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat

keuntungan pada industri minyak sawit skala Nasional, yaitu sebesar

+ 14.2, hal ini seiring semakin tinggi permintaan minyak sawit domestik

Indonesia untuk kebutuhan industri dan konsumsi rumah tangga berupa

minyak goreng dan sebagainya.

Hasil ini membuktikan kebenaran hipotesa yang dibuat penulis

sebelumnya. Artinya ketika suatu saat terjadi lonjakan permintaan akan

minyak sawit goreng maka para pemain lama akan lebih mudah

memenuhi lonjakan permintaan tersebut dikarenakan taktik mereka

dalam melakukan produksi. Mereka sepakat memproduksi dibawah

kapasitas kemampuan mereka dalam berproduksi. Mereka tahu semakin

tahun semakin banyak jumlah penduduk yang ada, maka semakin tinggi

pula kebutuhan akan minyak goreng. Saat terjadi peningkatan

permintaan, para pengusaha yang tergolong dalam pangsa pasar

terbesar menggunakan kelebihan kapasitas mereka yang sengaja

mereka jaga dari tahun ke tahun. Sehingga, permintaan yang tinggi

dapat dipenuhi oleh para pemain pasar tersebut. Akhirnya, para pemain

baru yang berusaha untuk masuk ke dalam pasar menjadi berfikir dua

kali untuk terjun ke pasar tersebut. Hal ini dikarenakan biaya produksi

mereka pastinya akan lebih tinggi dibandingkan dengan para pemain

lama yang membuat mereka tidak dapat bersaing dengan para pemain

lama. Oleh karena itu, para pemain baru akan terhambat untuk

memasuki pasar ini, dan membuat para pemain lama menikmati

keuntungan yang lebih tinggi.

Page 60: ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI … · sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan

287

Variabel KURS

Variabel KURS merupakan variabel yang ingin melihat hubungan tingkat

nilai tukar mata uang Dolar Amerika terhadap nilai tukar Rupiah. Menurut

teori bahwa hubungan antara keuntungan industri berbanding terbalik

dengan niai tukar, dalam penelitian ini adalah benar namun tidak

signifikan. Semakin rendah nilai tukar Rupiah Indonesia terhadap Dolar

Amerika, maka semakin tinggi keuntungan yang diperoleh dengan

pengaruh yang signifikan terhadap tingkat keuntungan yang tercipta

pada industri kelapa sawit dengan pengaruh yang diberikan yaitu

sebesar + 0.0087. Untuk lebih jelasnya berikut ini penulis tampilkan

data sejarah pengembangan Industri Sawit Malaysia dan Indonesia

Historical Comparative Research berupa matriks (H-C) tahun 1960-

2008. Tabel 72 - Tabel 79.