analisis struktur, perilaku dan kinerja industri … · sawit dan produk sawit malaysia dari tahun...
TRANSCRIPT
VIII. STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI SAWIT MALAYSIA DAN INDONESIA
8.1. Model Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Sawit Malaysia
Berdasarkan penelitian dan pengamatan yang penulis lakukan tentang
terapan model struktur, perilaku dan kinerja, (Structure, Conduct and
Performance-SCP), penulis berpendapat bahwa model SCP industri sawit
Malaysia merujuk pada gabungan alur berfikir dari Carlton and Perlof, (2001)
dan model Martin, (1993), kemudian penulis melakukan modifikasi model
sebagai kerangka acuan dalam menjelaskan perkembangan pasar minyak
sawit dan produk sawit Malaysia dari tahun 1960 sampai tahun 2008.
Modifikasi model yang penulis lakukan adalah ingin menjelaskan
keberhasilan pembangunan industri sawit Malaysia yaitu dengan sistem
pengelolaan pasar menurut pola usaha bagi hasil, profesional, fokus dan
dapat menjadi rujukan bagi pembangunan pertanian di negara lain.
Model ini menekankan pada penjelasan strategi pemerintah Malaysia
dalam mengatur struktur dan perilaku industri berwawasan global serta
penerapan teknologi dalam memenuhi permintaan konsumen. Hasil
modifikasi model "Strategic Behavior" dari Martin, penulis beri nama model
SCP-MPOI (Structure, Conduct and Performance-Malaysia Palm Oil
Industry), didukung oleh perbandingan ringkasan sejarah pengembangan
Industri Sawit Malaysia Historical Comparative Research berupa matriks
(H-C) tahun 1960-2008. Ringkasan kecocokan model dirangkum dalam
matriks Tabel 61.
229
Tabel 61 Matriks Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Industri Sawit di Malaysia Menurut Model SCP-MPOI
Indikator
Strategic Behavior dari Martin
Model SCP-MPOI Modifikasi Strategic Behavior dari
Martin Kondisi Dasar Υ Υ
Struktur
Υ
Υ Perilaku Υ Υ Kinerja Υ Υ Mekanisme S-C-P S-C-P Interaktif S-C-P Interaktif Terkendali Strategi Υ Υ Kondisi "entry" Terkendali Terkendali Peran Pemerintah 0 Υ Peran Teknologi Υ Υ Permintaan Υ Υ Kemajuan Υ Υ Upaya Penjualan Υ Υ Bauran Marketing 4 P 4 P dan 4 Cs Bauran Komunikasi Satu dan dua Arah Terintegrasi "IMC" Catatan : 0 = Tidak Penting 4 P = (Product, Place, Price, Promotion) Υ = Sangat Penting, 4 Cs = (Customer, Cost, Convenience, Communication) Data : Hasil Analisis, 2009.
Menurut Martin, (1993), kerangka pemikiran teori organisasi industri
terus berkembang dengan pandangan bahwa terdapat hubungan kausal
yang sederhana dalam model linear yang saling mempengaruhi antara
struktur, perilaku dan kinerja menurut aliran ”New-Harvard Tradition” atau
aliran new-strukturalis.
Dalam model tersebut, bagian dari komponen model SCP yaitu
struktur dan perilaku, keduanya ditentukan secara spesifik oleh sebagian
keadaan dasar yaitu keadaan permintaan dan pengembangan teknologi.
Struktur melalui strategi (Strategic Behavior) mempengaruhi perilaku,
perilaku juga mempengaruhi struktur dan keduanya baik struktur maupun
perilaku saling berhubungan untuk menentukan kinerja perusahaan.
230
Dalam kasus industri minyak sawit dan industri produk sawit Malaysia,
penulis menemukan antara struktur dan perilaku terdapat modifikasi model
dari Martin, (1993), yaitu adanya peranan pemerintah Malaysia melalui
Badan Pengelola Minyak Sawit Malaysia (MPOB) dan Kementerian Komoditi
dan Perindustrian Perkebunan Malaysia dalam mengatur strategi. Lihat
Gambar 15.
Modifikasi model dari Martin terletak pada dua hal besar yaitu;
pertama peran MPOB dalam mengatur struktur pasar seperti menentukan
prasyarat izin kebun bagi petani besar, menengah dan pekebun kecil baik
dalam luas minimal, pengembangan teknologi, jumlah penjual dan pembeli,
hambatan masuk pasar melalui asosiasi, differensiasi produk, integrasi
Vertikal, diversifikasi pasar. Selain itu juga peranan pemerintah dalam
menentukan perilaku yaitu : bidang riset dan pengembangan, menentukan
harga, pilihan lokasi usaha, pilihan produk, kerjasama, merjer, advertensi
dan promosi. Kedua, MPOB berperan sebagai Badan Riset dan
Pengembangan (Research & Development) bidang teknologi untuk
memenuhi permintaan konsumen di dalam maupun luar negeri sehingga
dicapai kemajuan untuk menghasilkan kinerja industri yang baik.
Rekonstruksi model yang penulis lakukan, dapat dilihat pada model SCP-
MPOI Gambar 15.
231
Kemajuan
Teknologi
Tingkat Keuntungan
Struktur
Strategi Kinerja
Perilaku
Permintaan (Luar & Dalam Negeri)
Usaha Penjualan
Gambar 15. Hubungan Saling Pengaruh Mempengaruhi dari Struktur Perilaku dan Kinerja Industri Sawit Malaysia, Model SCP-MPOI
8.1.1. Produktivitas Perkebunan Sawit Malaysia
Tingkat produktivitas kebun sawit Malaysia adalah sebesar 19.14
ton/Ha/tahun dengan rata-rata produksi minyak CPO 4.08 ton/Ha/tahun atau
rendemen 21.3 %. Sedangkan produktivitas kebun sawit Indonesia hanya
16.39 ton/Ha/tahun dengan kadar minyak CPO 3.14 ton/Ha/tahun, dengan
Pemerintah
(MPOB)
R & D
232
rendemen rata-rata sekitar 19-an%. Hal ini menunjukkan bahwa yang besar
mempengaruhi volume produksi minyak sawit Indonesia adalah termasuk
produktivitas TBS.
Produk turunan minyak sawit Malaysia yang unggul adalah minyak
RBD dan RBD Olein dan bahan baku untuk industri farmasi dan tekstil
dengan jumlah jenis produk turunan hasil penelitian lebih 100 macam.
Sedangkan produk industri sawit di Indonesia adalah produk oleo kimia,
minyak olein, minyak goreng, sedangkan produk non-makanan terbesar
adalah untuk bahan baku industri farmasi dan tekstil.
8.1.2. Industri Hilir Produk Sawit Malaysia
Industri pengolahan Kelapa Sawit Malaysia lebih maju dibandingkan
dengan industri sawit Indonesia. Industri yang sangat berkembang di
Malaysia adalah industri hilir oleokimia dari minyak RBD dan RBD Olein,
palm kernel cake. Hal ini terlihat dari jumlah pabrik oleo kimia Malaysia
mencapai 18 unit dengan jumlah produksi sebanyak 2.6 juta ton. Sedangkan
di Indonesia hanya memiliki 8 unit dengan jumlah produksi 1.1 juta ton. Hal
ini memperlihatkan kekokohan Industri Sawit Malaysia saat terjadi
goncangan pasar Internasional dibandingkan Indonesia.
Perolehan keuntungan pada industri sawit Malaysia cukup signifikan
terutama saat harga sawit internasional naik, sedangkan pada Industri sawit
Indonesia tidak berpengaruh besar pada perolehan keuntungan karena
sebahagian besar industri sawit Indonesia menjual bahan baku CPO.
Keuntungan yang diperoleh industri sawit Malaysia disebabkan program
diferensiasi produk dan diversifikasi pasar yang cemerlang. Malaysia tidak
233
hanya memperdagangkan minyak CPO mentah, namun juga dalam berbagai
bentuk produk turunan yang dapat dihasilkan, sehingga keuntungan yang
diraih juga bervariasi dan lebih tinggi dibandingkan Indonesia.
Tabel 62. Perbedaan Industri Kelapa Sawit Malaysia dengan Indonesia Per Tahun 2008
Aspek Malaysia Indonesia
Area (juta ton) Total 4,50 7,13 Tanaman menghasilkan 3,94 4,56 Tanaman belum menghasilkan 0,57 2,57 Produksi (juta ton) CPO 17,80 19.3 PKO 2.1 2,3 Produktivitas Kebun TBS (t/ha/tahun) 20,21 16,39 CPO (t/ha/tahun) 4.08 3,14 Rendeman (%) 19,22 19,00 Pabrik CPO Jumlah Pabrik (unit) 410 305 Kapasitas (juta t CPO/tahun) 92,5 60,50 Pabrik Olekimia Jumlah pabrik (unit) 18 8 Kapasitas (juta t/tahun) 2,6 1,10 Oleokimia 2,14 0,80 Volume ekspor (jt ton) CPO 15,42 14,5 PKO 4,67 0,58 Oleokimia 1,20 0,52 Nilai ekspor (US$ juta) CPO 17,2 10,1 PKO 0,26 0,24 Oleokimia 0,67 0,52 Pekebun Harga TBS (% dari harga CPO) 90 83 Pemilik kebun (ha/petani) 4,5 2,0 Pendapatan petani (US$/ha/tahun) 570 533
Sumber : Hasil Analisis, 2010.
234
Berkembangnya Industri hilir minyak sawit Malaysia memacu naiknya
ekspor produk minyak sawit mentah Malaysia, di mana volume ekspor
oleokimia Malaysia sebesar 2,4 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 1.1
juta. Sedangkan di Indonesia, volume ekspor oleokimia sebesar 0,82 juta ton
dengan nilai ekspor sebesar US$ 0,24 juta. Hal ini menunjukkan strategi
Malaysia dalam mengekspor produk kelapa sawit dengan cara
mendiferensiasi produknya merupakan hal yang tepat dalam menghasilkan
keuntungan yang lebih besar. Sedangkan Indonesia lebih banyak menjual
produk kelapa sawit mentah, jika pasar internasional berfluktuatif tidak
memberi pengaruh yang signifikan kepada industri kelapa sawit Indonesia.
8.1.3. Tingkat Kesejahteraan Petani Malaysia dan Indonesia
Dilihat dari segi kesejahteraan petani Malaysia dan Indonesia, terlihat
pada Tabel 62. bahwa petani Malaysia lebih sejahtera. Hal ini disebabkan
oleh tiga faktor yaitu, jumlah kepemilikan lahan rata-rata petani sawit
Malaysia lebih besar dari pada di Indonesia, tingkat produktivitas CPO, dan
harga yang diterima oleh petani. Pertama, petani Malaysia secara rata-rata
memiliki lahan perkebunan sebesar 4,5 ha, sedangkan petani Indonesia
hanya 2 ha. Kedua, tingkat produktivitas CPO Malaysia adalah sebesar 4.08
ton/Ha/tahun, sedangkan Indonesia sebesar 3,14 ton/ha/tahun. Ketiga, harga
TBS (% dari harga CPO) yang diterima petani Malaysia lebih tinggi
dibandingkan Indonesia, yaitu sebesar 90%, sedangkan petani Indonesia
hanya sebesar 83%. Hal ini pada akhirnya menyebabkan pendapatan rata-
rata petani menjadi lebih besar dibandingkan petani Indonesia, yaitu sebesar
235
US$ 570/ha/tahun, sedangkan petani Indonesia sebesar US$ 533 ha/tahun.
Sehingga jika dibandingkan kembali dengan kepemilikan lahan perkebunan,
maka satu orang petani malaysia memperoleh pendapatan rata-rata sebesar
US$ 2.542/tahun, sedangkan pendapatan petani Indonesia lebih rendah
hanya sebesar US$ 1.066/tahun.
8.2. Kebijakan yang berkembang pada Industri Kelapa Sawit Malaysia Kinerja industri kelapa sawit baik di Malaysia maupun di Indonesia
tidak terlepas dari kebijakan yang diterapkan pada industri ini, tentunya
kebijakan yang dibuat haruslah mendukung industri kelapa sawit tersebut,
bukan sebaliknya, malah menjadi bumerang bagi industri tersebut.
Pengelolaan Industri sawit Malaysia berdasarkan pada hukum yang kuat
untuk mewujudkan rencana kebijakan pembangunan pertanian nasional
“The Third National Agricultural Policy 1992-2010” dan master plan
prerencanaan industri “Second Industrial Master Plan 1996-2005”.
Sejak tahun 2001, Malaysia tidak lagi menerapkan pajak ekspor. Hal
ini dilakukannya guna meningkatkan daya saing industri kelapa sawit
Malaysia dengan negara lain. Selain itu, Malaysia juga memfasilitasi
kebijakan counter trade guna mendorong ekspor, juga menerapkan
kebijakan yang mempermudah para importir untuk melakukan impor dari
Malaysia. Kebijakan tersebut dikenal dengan nama POCPA atau Palm Oil
Credit and Payment Arrangement. Kebijakan ini mengizinkan para importir
dalam mengimpor komoditi kelapa sawit, terutama produk CPO secara
kredit. Perjanjian tersebut akan disepakati oleh pemerintah Malaysia dengan
236
pemerintah negara pengimpor, antara Bank Negara Malaysia dengan bank
sentral negara pengimpor yang bersangkutan, serta antara eksportir dengan
importir dari negara importir yang bersangkutan. Kebijakan tersebut dapat
berjalan dengan baik disebabkan oleh dukungan dari tiga kelembagaan yang
bergerak dibidang perkelapasawitan Malaysia.
Kelembagaan tersebut adalah PORLA atau Palm Oil Registration and
Licencing Authority, PORIM atau Palm Oil Research Institute of Malaysia,
kemudian digabung menjadi MPOB atau Malaysian Palm Oil Board dan
MPOPC atau Malaysian Palm Oil Promotion Council. Ketiga lembaga ini
memiliki tugas masing-masing. PORLA khusus menangani pelaksanaan
perjanjian, produksi, transportasi, penyimpanan, penjualan, maupun ekspor.
Sedangkan PORIM memiliki tugas untuk penelitian dan pengembangan, dan
MPOPC berperan dalam bidang promosi, advokasi, dan public relation.
Ketiga lembaga ini dibiayai oleh dana yang diperoleh melalui CESS, di mana
5,0 RM untuk PORIM, 1,75 RM untuk PORLA, dan 1 RM untuk MPOPC.
Bahkan pada tahun terakhir ini MPOB mendapat RM 13 per ton
ekspor CPO keluar negeri. Dari segi dana, terlihat Malaysia sangat
perhatian terhadap penelitian dan pengembangan. Ini memang sesuai
dengan perkembangan teori ekonomi yang menyatakan R&D sangat
menunjang kemajuan suatu bisnis, dalam kasus ini adalah industri kelapa
sawit. Dengan R&D, suatu industri semakin tahu bagaimana memproduksi
suatu barang dan jasa dengan cara yang terbaik dalam memenuhi
kebutuhan konsumen, serta menggunakan teknologi yang up-to-date. Seperti
yang kita ketahui teknologi mengalami perubahan dan pengembangan yang
237
begitu cepat. Jika suatu industri hanya menggunakan teknologi yang itu-itu
saja maka pertumbuhan industri tersebut akan terhambat. Kebijakan yang
diharapkan Malaysia sangatlah solid dibandingan Indonesia.
8.3. Analisis Ekonometrika SCP Industri Sawit Malaysia
Model ekonometrika yang digunakan dalam disertasi ini adalah :
PCM = α + β1(CR4it) +β2 (MES)it + β3(PCPOINT)it + β4(PRBDOILD)it + β5(PRBDOLEIND)it + β7(CPODIFF) + β8 (DGROW) + β9 (KURS) + ε
it
Di mana :
PCM = Price-Cost Margin
CR4 = Tingkat konsentrasi empat perusahaan terbesar
MES = Minimum Effieciency of Scale
PCPOINT = Harga CPO Internasional
PRBDOD = Harga Minyak RBD Domestik
PRBDOLD = Harga Minyak RBD Olein Domestik
CPODIFF = Diferensiasi Produk CPO
DGROW = Pertumbuhan permintaan Minyak Sawit Malaysia KURS = Nilai tukar Dolar Amerika terhadap Ringgit Malaysia
ε = Error
I = Industri atau perusahaan (i = 1,2,...,N)
t = Periode Waktu (t = 1,2,...,T)
Sebelumnya penulis jabarkan hasil pengamatan secara deskriptif SCP
mengenai industri kelapa sawit MaIaysia. Kali ini, penulis melihat hubungan
antar variabel PCM dengan koefisien regresi untuk mengukur mekanisme
SCP yang berlaku pada industri sawit Malaysia menggunakan software
SPSS Version 6 dan Minitab 15.
238
8.3.1. Hasil Estimasi Model Regresi
Dalam melakukan uji regresi, tujuan awal penulis ingin melihat
hubungan tingkat konsentrasi, hambatan masuk, tingkat diferensiasi, harga
internasional CPO dan tingkat harga minyak RBD dan RBD Olein domestik,
pertumbuhan permintaan minyak sawit domestik pada perolehan keuntungan
atau PCM. Hal ini membuktikan dugaan penulis akan adanya perilaku kartel
yang terbentuk akibat struktur pasar pada industri kelapa sawit ini. Dari hasil
analisis regresi, penulis menemukan adanya hubungan saling
mempengaruhi antar variabel SCP (interaktif) dengan peran pemerintah
Malaysia sebagai motivator dan dinamisator dalam pengembangan pasar
minyak dan produk sawit Malaysia.
Untuk mendapatkan keakuratan dalam suatu model bukanlah suatu
hal yang mudah, R2
Persamaan struktural dibuat dengan tujuan ingin melihat bagaimana
hubungan yang diberikan oleh variabel-variabel eksogen terhadap variabel
endogennya. Besarnya hubungan variabel eksogen terhadap variabel
endogen dapat dilihat melalui besaran koefisien yang dimiliki masing-masing
variabel eksogen tersebut. Arah pengaruh yang diberikan pada variabel
eksogen dapat dilihat dari positif atau negatifnya koefisein tersebut. Jika
negatif, berarti pengaruh yang diberikan variabel eksogen terhadap variabel
endogennya adalah berlawanan arah. Contohnya, dalam penelitian ini, jika
variabel eksogen dari PCM memiliki koefisien yang negatif, berarti
yang tinggi tidak menjamin model tersebut adalah baik.
Namun, salah satu kriteria suatu model dikatakan akurat atau tidak adalah
kesesuaian model tersebut dengan teori yang ada.
239
peningkatan variabel eksogen tersebut mempengaruhi peningkatan variable
endogen. Selain itu, model persamaan struktural di atas memiliki R-squared
pada masing-masing regresi variabel, dengan tingkat signifikasi pada level
0.01 dan 0.2 menururt regresi Pearson, artinya faktor-faktor yang dijadikan
variabel independen mampu menerangkan variasi penyebab variabel
dependen sebanyak prosentase 99% dan 80 % sisanya diterangkan oleh
faktor lain selain variabel yang terdapat dalam persamaan struktural tersebut.
8.3.2. Hipotesa Analisis Ekonometrika Industri Sawit Malaysia
Hipotesa yang penulis buat untuk diuji kebenarannya adalah :
SCP dapat menjelaskan hubungan antara kinerja dan struktur
dari Industri Kelapa Sawit di Malaysia, di mana :
• Semakin tinggi tingkat konsentrasi maka semakin besar pula
tingkat keuntungan yang terjadi
• Semakin besar tingkat hambatan masuk maka akan semakin tinggi
tingkat keuntungan yang diperoleh
• Semakin besar tingkat harga internasional maka keuntungan yang
diperoleh juga semakin tinggi
• Semakin besar tingkat harga minyak RBD domestik maka semakin
tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh
• Semakin besar tingkat harga minyak RBD Olein maka semakin
tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh
• Semakin beragam produk turunan minyak sawit Malaysia maka
semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh
240
• Semakin tinggi permintaan terhadap Minyak CPO maka semakin
tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh
• Semakin rendah nilai tukar Dolar Amerika terhadap Ringgit
Malaysia maka semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh
Tabel 63. Hipotesa Hubungan Variabel Dependen dengan Variabel Independen
CR4 MES PCPOINT PRBDOLEIN PRBDOILD CPODIFF DGROW KURS
PCM + + + + + + + -
7.3.3. Hasil Pengujian Regresi
PCM = 2558 - 66 CR4 + 143 MES - 0.18 PCPOINT + 1.17 PRBDOLEIN - 0.42 PRBDOILD - 0.64 CPODIFF + 2.26 DGROW_1 - 3.0 KURS 28 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Coef SE Coef T P Constant 2558 2969 0.86 0.400 DGROW_1 2.263 2.544 0.89 0.385 PCPOINT -0.184 1.279 -0.14 0.887 CR4 -66.4 255.8 -0.26 0.798 MES 143.2 990.1 0.14 0.887 PRBDOILD -0.422 1.647 -0.26 0.801 PRBDOLEIN 1.170 1.197 0.98 0.341 CPODIFF -0.643 2.003 -0.32 0.752 KURS -3.03 65.52 -0.05 0.964 S = 106.207 R-Sq = 62.8% R-Sq(adj) = 47.1% Hasil pengujian regresi PCM dengan variabel PCM tidak terdapat
regresi yang signifikan. Hal ini kemungkinan terjadi multikolinearity antar
variabel, dimana dalam uji t tidak terdapat nilai t hitung yang lebih besar dari
nilai t tabel. Dengan demikian perlu dilakukan stepwise atau membuang
241
sebagian variabel untuk mendapatkan regresi antar variabel yang signifikan
sebagai berikut.
PCM = 2950 + 2.47 DGROW_1 - 35.0 CR4 + 0.603 PRBDOLEIN - 0.92 CPODIFF 28 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Coef SE Coef T P Constant 2950 2421 1.22 0.235 DGROW_1 2.470 2.053 1.20 0.241 CR4 -34.98 25.82 -1.35 0.189 PRBDOLEIN 0.6031 0.1228 4.91 0.000 CPODIFF -0.920 1.563 -0.59 0.562 S = 97.7177 R-Sq = 61.9% R-Sq(adj) = 55.3%
Variabel CR4
Hasil regresi menunjukkan bahwa CR4 mempengaruhi PCM secara
signifikan dengan koefisien sebesar -34.98. Artinya, tingkat konsentrasi
mempengaruhi nilai PCM pada industri sawit Malaysia secara negatif,
semakin rendah penguasaan pangsa pasar oleh empat perusahaan
besar makin besar keuntungan atau semakin besar peluang bagi
pendatang baru dalam industri minyak sawit dan produk turunannya pada
skala Nasional. Berarti teori yang dikemukakan oleh Bain tidak berlaku
bagi industri kelapa sawit Malaysia.
Variabel MES
Berdasarkan hasil estimasi dan stepwise, MES tidak memberikan
pengaruh yang signifikan pada PCM dengan demikian variabel MES tidak
diberikan penjelasan dalam estimasi PCM.
242
Variabel PCPOINT
Berdasarkan hasil estimasi dan stepwise, PCPOINT tidak memberikan
pengaruh yang signifikan pada PCM dengan demikian variabel PCPOINT
tidak diberikan penjelasan dalam estimasi PCM.
Variabel PRBDOLEIN
Variabel PRBDOLEIN merupakan variabel yang ingin melihat hubungan
tingkat harga RBD Olein domestik dalam pembentukan keuntungan pada
industri minyak sawit Malaysia. Ternyata, harga RBD Olein domestik
memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap tingkat
keuntungan yang tercipta dengan pengaruh yang diberikan yaitu sebesar
0.6031. Semakin tinggi tingkat harga RBD Olein domestik semakin tinggi
keuntungan industri sawit Malaysia.
Variabel PRBDOILD
Berdasarkan hasil estimasi dan stepwise, PRBDOILD tidak memberikan
pengaruh yang signifikan pada PCM dengan demikian variabel
PRBDOILD tidak diberikan penjelasan dalam estimasi PCM.
Variabel CPODIFF
Variabel CPODIFF merupakan variabel yang ingin melihat hubungan
tingkat keberagaman produk turunan CPO dalam pembentukan
keuntungan pada industri kelapa sawit Malaysia namun tidak signifikan.
Ternyata, semakin banyak produk turunan CPO memberikan pengaruh
negatif terhadap tingkat keuntungan yang tercipta pada industri kelapa
243
sawit dengan pengaruh sebesar -0.92. Berarti ada sebahagian produk
turunan minyak sawit Malaysia yang belum unggul di pasar internasional.
Variabel KURS
Berdasarkan hasil estimasi dan stepwise, KURS tidak memberikan
pengaruh yang signifikan pada PCM dengan demikian variabel KURS
tidak diberikan penjelasan dalam estimasi PCM.
8.4. Model Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Sawit Indonesia
Banyak Penulis di Indonesia berpendapat bahwa pola fikir
pengembangan industri sawit di Indonesia adalah menganut pemikiran New-
Harvard Tradition dari Carlton dan Perlof (2001), dimana ada dua
pendekatan model dalam studi pasar; pertama, pendekatan struktur,
perilaku dan kinerja (structure, conduct and performance-SCP), model ini
biasa digunakan untuk mendeskripsikan pasar. Kedua, adalah teori harga
dari teori ekonomi mikro untuk menjelaskan perilaku dan struktur pasar.
Pendekatan model SCP New-Harvard Tradition, dimana masing-
masing komponen saling berinteraktif, misalnya kinerja pasar tergantung
pada perilaku pasar, perilaku tergantung pada struktur pasar yaitu faktor
yang menentukan persaingan, selanjutnya struktur pasar tergantung pada
kondisi dasar yaitu permintaan dan produksi meliputi elastisitas permintaan,
barang pengganti, musim, tingkat pertumbuhan ekonomi, lokasi, jumlah
order, metode perbelanjaan dan teknologi, bahan baku, keseragaman
produk, ketahanan barang, lokasi, skala ekonomi dan skop ekonomi.
Sebaliknya kondisi dasar mempengaruhi struktur pasar, struktur
244
mempangaruhi perilaku dan perilaku mempengaruhi kinerja, ketiga
komponen ini dan kondisi dasar dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah.
Menurut teori, struktur pasar (structure) dapat dijelaskan; bila terdapat
banyak pembeli dan penjual dan tidak ada batasan untuk masuk dan keluar
pasar, pasar ini disebut pasar persaingan (competition). Ketika satu
perusahaan penjual dan banyak pembeli dan tidak ada perusahaan baru
yang dapat masuk pasar sebagai penjual, pasar ini disebut monopoli
(monopoly). Sebaliknya jika hanya ada satu perusahaan yang membeli
kepada banyak penjual, disebut monopsoni (monopsony). Jika penjual
dapat mempengaruhi harga walaupun terdapat persaingan dalam pasar,
maka struktur pasar ini disebut oligopolistik atau persaingan monopolistik
(monopolistic competitions). Jika terdapat sedikit perusahaan penjual dalam
pasar dengan hambatan masuk dan keluar pasar cukup besar bagi
perusahaan lain disebut oligopoli (oligopoly).
Dari sisi perilaku (conduct), perusahaan melakukan berbagai upaya
untuk mewujudkan tujuannya dengan; melakukan promosi, riset dan
pengembangan, penetapan harga, taktik yang legal, pilihan produk, kolusi,
merjer dan sistem kontrak. Tindakan yang diambil perusahaan umumnya
untuk menurunkan tingkat persaingan di pasar seperti menetapkan harga
atau membatasi jumlah barang yang dijual bahkan tindakan yang lebih
kompleks dari itu yang dikenal dengan tindakan strategis perusahaan
(strategic behavioral).
Sementara itu kinerja (performance), yang didefinisikan sebagai
kesuksesan pasar dalam menghasilkan keuntungan bagi konsumen,
245
misalnya kinerja pasar dikatakan bagus jika perusahaan mampu menetapkan
harga mendekati biaya marginalnya.
Lebih lanjut menurut Carlton dan Perlof (2000), ketiga komponen yaitu
struktur, perilaku, kinerja dan kondisi dasar dipengaruhi oleh kebijakan
pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung meningkatkan atau
menurunkan kesejahteraan produsen dan konsumen. Beberapa tindakan
pemerintah berkaitan dengan aturan (regulation) yaitu; anti monopoli,
pembatasan masuk atau keluar pasar, pemberlakuan pajak atau subsidi,
insentif investasi, insentif tenaga kerja dan kebijakan ekonomi makro, untuk
lebih jelasnya lihat Gambar 16.
8.4.1. Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
Produktivitas perkebunan kelapa sawit di Indonesia selama beberapa
tahun ini menunjukkan adanya kecenderungan menurun dan berfluktuasi.
Kondisi tersebut dialami oleh keseluruhan perkebunan yang ada. Tidak
terkecuali perkebunan besar milik negara (PBN). Produktivitas rata-rata
perkebunan kelapa sawit pada tahun 1993 masih sekitar 3.680 ton/ha,
namun 1997 menurun menjadi 3.416 ton/ha. Pada tahun 1999, tingkat
produktivitas menurun hingga 2.879 ton/ha. Namun, tingkat produktivitas
rata-rata perkebunan kelapa sawit untuk CPO kembali menurun cukup tajam
hingga 3.083 ton/ha.
246
Sumber : Modifikasi dari Carlton and Perloff, 2001.
Gambar 16. Bagan Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Sawit Indonesia
Kondisi Dasar (Basic Conditions)
Pernintaan Konsumen Produksi
- Elastisitas Permintaan - Teknologi - Substitusi - Bahan Baku - Musim/trend - Penyeragaman - Tingkat Pertumbuhan - Ketahanan Barang - Lokasi - Lokasi - Pesanan - Skala Ekonomi - Metode Pembelian - Skope Ekonomi
Struktur (Structure)
- Jumlah Pembeli dan Penjual - Hambatan Masuk Pasar - Diferensisasi Produk - Integrasi Vertikal - Diversivikasi
Perilaku (Conduct)
- Promosi/Iklan - Riset dan Pengembangan - Perilaku Harga - Pilihan Lokasi Investasi - Taktik legal - Pilihan Produk - Kerjasama (Collusion) - Merjer dan sistem kontrak
Kinerja (Performance)
- Harga - Efisiensi Produksi - Efisiensi Alokasi - Pemerataan - Kualitas Produk - Kemajuan bidang Teknik - Keuntungan
Kebijakan Pemerintah
- Regulasi - Anti Monopoli - Batasan Masuk Pasar - Pajak dan Subsidi - Insentif investasi - Insentif tanaga kerja - Kebijakan Makroekonomi
247
Produktivitas rata-rata CPO milik PBN terlihat paling tinggi
dibandingkan kedua perkebunan lainnya. Meskipun begitu, PBN juga
mengalami penurunan dalam tingkat produktivitas. Pada tahun 1993, tingkat
produktivitas PBN adalah sebesar 4.216 ton/ha. Pada tahun 1997 mengalami
peningkatan menjadi 4.514 ton/ha dan pada tahun 2000 produktivitas CPO
oleh PBN mengalami penurunan menjadi 4.285 ton/ha. Namun, pada tahun
2001 tingkat produktivitas PBN akan CPO dapat ditingkatkan kembali
menjadi 4.520 ton/ha. Namun, mengalami penurunan tetapi tidak signifikan
pada tahun 2002 menjadi 4.497. ton/ha.
Begitu juga dengan produktivitas kelapa sawit untuk produk CPO yang
dihasilkan oleh PBS juga mengalami fluktuasi. Namun, penurunan
produktivitas PBS lebih tajam dibandingkan dengan penurunan produktivitas
PBN. Produktivitas PBS pada tahun 1993 mencapai 4.043 ton/ha, kemudian
pada tahun 1997 turun menjadi 3.344 ton/ha, dan pada tahun 2000 hanya
mencapai 2.885 ton/ha. Tingkat produktivitas tersebut mengalami penurunan
yang terus menerus hingga pada tahun 2002 mencapai 2.763 ton/ha.
Sedangkan untuk perkebunan rakyat (PR), hingga tahun 2002
memiliki tingkat produktivitas yang paling rendah dibandingkan dengan dua
perkebunan lainnya. Produktivitas PR yang paling tinggi selama periode
1993-2002, dicapai pada tahun1995, yaitu sebesar 2.715 ton/ha, namun
setelah tahun 1995 tingkat produktivitas PR terus mengalami penurunan, di
mana titik terendah produktivitas yang dicapai adalah sebesar 2.135 ton/ha.
Pada tahun 2001 produktivitas PR kembali mengalami peningkatan, yaitu
menjadi 2.682 ton/ha, dan tahun 2002 sebesar 2.689 ton/ha.
248
PBN memiliki tingkat produktivitas yang paling tinggi dibandingkan
dengan kedua jenis perkebunan lainnya. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Departemen Pertanian, mengatakan bahwa hal tersebut terjadi
dikarenakan usia tanam yang sebagian besar kelapa sawit merupakan
tanaman produktif usia matang. Selain itu, pola tanam yang dimiliki oleh PBN
lebih baik dibandingkan kedua perkebunan lainnya. Sebagian besar tanaman
kelapa sawit yang dikelola oleh perkebunan rakyat sebagian besar masih
berusia muda, sehingga produktivitas yang dimiliki belum maksimal. Selain
itu, pengelolaan yang dilakukan oleh perkebunan rakyat bersifat non-intensif,
seperti rendahnya kualitas bibit serta pemeliharaan dan pemupukan yang
tidak memenuhi standar.
Selain produk CPO, kelapa sawit juga menghasilkan produk PKO.
Meskipun, PKO atau minyak inti sawit ini agak sedikit terabaikan pada
industri kelapa sawit, khususnya di Indonesia, namun tetap harus dijaga
tingkat produktivitas perkebunannya.
Produktivitas rata-rata pada kelapa sawit untuk produk PKO tahun
1993 sebesar 631 ton/ha. Produktivitas rata-rata terus mengalami
peningkatan, namun pada tahun 1998 tingkat produktivitas rata-rata PKO
mengalami penurunan menjadi 75 ton/ha yang kemudian berhasil mengalami
peningkatan pada tahun 1999 menjadi 668 ton/ha. Kemudian pada tahun
2001 kembali mengalami penurunan yang sangat tajam hingga mencapai 64
ton/ha. Namun, pada tahun 2002 kembali berhasil ditingkatkan hingga
mencapai 640 ton/ha. Seperti pada CPO, produktivitas PKO diungguli oleh
PBN. Namun ketiga jenis pengelola perkebunan kelapa sawit mengalami
249
fluktuatif dalam tingkat produktivitas PKO-nya. Produktivitas PBN pada
produk PKO pada tahun 1993 adalah sebesar 829 ton/ha, yang kemudian
terus mengalami peningkatan hingga tahun 1995 dengan mencapai angka
1.036 ton/ha. Pada tahun 1996, tingkat produktivitas PBN mengalami
penurunan menjadi 983 ton/ha. Tingkat produktivitas PKO oleh PBN berhasil
ditingkatkan pada tahun 1999, yaitu mencapai 1.063 ton/ha, namun kali ini
tidak dapat dipertahankan selama tiga tahun berikutnya, sehingga pada
tahun 2002 tingkat produktivitas PKO oleh PBN mencapai 1.034 ton/ha.
Pada PBS, tingkat produktivitas PKO-nya juga mengalami fluktuatif.
Pada tahun 1993, tingkat produktivitas mencapai 616 ton/ha, yang kemudian
meningkat pada tahun 1994, yaitu sebesar 733 ton/ha. Namun, pada tahun
1995 mengalami penurunan, hingga mencapai 726 ton/ha. Tingkat
produktivitas PBS mengalami penurunan yang sangat tajam pada tahun
2001 dengan angka 58 ton/ha. Namun, pada tahun 2002, tingkat
produktivitas kembali dapat ditingkatkan hingga mencapai 571 ton/ha.
Seperti CPO, PR kembali menjadi perkebunan yang memiliki tingkat
produktivitas paling rendah dibandingkan kedua jenis perkebunan lainnya.
Pada tahun 1993, tingkat produktivitas PKO oleh PR adalah sebesar 448
ton/ha, kemudian mengalami peningkatan dari tahun ke tahun hingga tahun
1997 tingkat produktivitas mencapai 568 ton/ha. Pada tahun 1998,
produktivitas PR akan PKO mengalami penurunan yang sangat tajam, yaitu
mencapai 54 ton/ha, dan kembali dapat ditingkatkan pada tahun 2002, yaitu
mencapai 537 ton/ha.
250
Dilihat dari kedua bentuk produk, PBN memiliki tingkat produktivitas
yang paling tinggi dibandingkan dengan kedua jenis perkebunan lainnya.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Departemen Pertanian, mengatakan
bahwa hal tersebut terjadi dikarenakan usia tanam yang sebagian besar
merupakan tanaman produktif usia matang. Selain itu, pola tanam yang
dimiliki oleh PBN lebih baik dibandingkan dengan kedua perkebunan lainnya.
Sebahagin besar tanaman kelapa sawit yang dikelola oleh perkebunan
rakyat sebagian besar masih berusia muda, sehingga produktivitas yang
dimiliki belum maksimal. Selain itu, pengelolaan yang dilakukan oleh
perkebunan bersifat non-intensif, seperti rendahnya kualitas bibit serta
pemeliharaan dan pemupukan yang tidak memenuhi standar.
8.4.2. Produksi Kelapa Sawit Indonesia
Tingkat produksi kelapa sawit, khususnya untuk produksi CPO, di
Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hal ini terjadi akibat
lonjakan tingkat permintaan akan produksi CPO baik dalam pasar domestik
maupun pasar internasional. Seperti yang kita ketahui, CPO merupakan
minyak sawit mentah yang digunakan sebagai bahan baku dari minyak
goreng, sedangkan di pasar internasional CPO juga digunakan sebagai
bahan baku lainnya, seperti kosmetik, sabun, bahkan bahan bakar alternatif.
Kelangkaan serta tingginya harga minyak dunia membawa pengaruh kepada
tingkat permintaan CPO. Akibat tingginya harga minyak dunia, membuat
negara maju seperti Amerika Serikat untuk memproduksi biofuel, bahan
bakar alternatif pengganti BBM. Bahan baku pembuat biofuel itu adalah
251
CPO. Oleh sebab itu permintaan CPO kian meningkat dan membuat harga
CPO dunia juga ikut meningkat.
Hal ini membuat Indonesia dan negara penghasil kelapa sawit,
terutama CPO untuk meningkatkan hasil produksinya. Indonesia dari tahun
ke tahun terus mengalami peningkatan tingkat produksi, ditambah lagi sejak
tahun 1980an dimana pada tahun ini perusahaan kelapa sawit dibagi ke
dalam tiga kelompok perusahaan, yaitu perkebunan rakyat, perkebunan
besar negara, perkebunan besar swasta. Tingkat produksi kelapa sawit
tersebut dapat disimak melalui Tabel 65.
Tabel 64. Tingkat Produksi CPO dalam Ton menurut Pengelola Tahun 1980-2005
Tahun Tingkat Produksi
PR PBN PBS TOTAL 1990 376.950 1.247.156 788.506 2.412.612 1991 413.319 1.360.363 883.918 2.657.600 1992 699.605 1.489.745 1.076.900 3.266.250 1993 582.021 1.469.156 1.370.272 3.421.449 1994 839.334 1.571.501 1.597.227 4.008.062 1995 1.001.443 1.613.848 1.864.379 4.479.670 1996 1.133.547 1.706.852 2.058.259 4.898.658 1997 1.282.823 1.586.879 2.578.806 5.448.508 1998 1.344.569 1.501.747 3.084.099 5.930.415 1999 1.547.811 1.468.949 3.438.830 6.455.590 2000 1.905.653 1.460.954 3.633.901 7.000.508 2001 2.798.032 1.519.289 4.079.151 8.396.472 2002 3.426.740 1.607.734 4.587.871 9.622.345 2003 3.517.324 1.750.651 5.172.859 10.440.834 2004 3.847.157 1.617.706 5.365.526 10.830.389 2005 4.500.769 1.449.254 5.911.592 11.861.615 2006 5.130.635 1.935.826 6.324.346 13.390.807
Sumber : Deptan, 2007.
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa tingkat produksi kelapa sawit
untuk produk CPO terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya.
252
Secara total tingkat produksi Indonesia, pada tahun 2006 mencapai
13.390.807 ton. Diperkirakan tingkat produksi ini akan terus mengalami
peningkatan di tahun-tahun berikutnya. Hal ini dimungkinkan karena lahan
yang memiliki tanaman belum menghasilkan yang masih luas.
Peranan perkebunan swasta dalam produksi CPO Indonesia terlihat
paling besar, kemudian diikuti dengan PBN dan PR. Awalnya, pada tahun
1990, PBN memiliki kontribusi yang paling tinggi yaitu sebesar 52%,
kemudian diikuti PBS sebesar 32% dan 16% oleh PR. Namun, sejak tahun
1994, PBS memiliki kontribusi terbesar, yaitu sebesar 40%, kemudian diikuti
dengan PBN sebesar 39%, dan PR sebesar 12%.
Kontribusi PBS terlihat semakin mengalami peningkatan. Sedangkan
kontribusi PBN mengalami penurunan dan kontribusi PR justru mengalami
peningkatan. Hal ini terlihat pada tahun 1999, kontribusi PBS sebesar 53%,
kemudian PR sebesar 24% dan PBN sebesar 23%. Pada tahun 2000, PBS
mengalami sedikit penurunan dalam kontribusinya terhadap produksi CPO,
namun tetap menjadi kontributor yang paling besar, yaitu sebesar 52%.
Sedangkan di tahun yang sama, kontribusi PR sebesar 27% dan PBS
sebesar 21%. PBN terus mengalami penurunan dalam kontribusinya
terhadap produksi CPO, hingga pada tahun 2006 kontribusi PBN sebesar
15% sedangkan PBS sebesar 47% dan PR sebesar 38%.
Di masa berikutnya PBS akan terus menjadi kontributor terbesar
dalam produksi CPO Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena besarnya
peluang PBS untuk meningkatkan luas lahan perkebunan kelapa sawit
dibandingkan dengan PBN. Padahal, awalnya tadi sudah disinggung bahwa
253
produktivitas PBN lebih tinggi dibandingkan dengan kedua jenis perkebunan
lainnya. Apalagi, jika PBS meningkatkan produktivitas lahannya, maka
tingkat produksinya juga dapat ditingkatkan lagi.
Begitu juga yang dialami oleh produk minyak inti sawit berupa PKO.
Meskipun tingkat produksi kelapa sawit untuk produk PKO tidak sebanyak
produk kelapa sawit, tapi tingkat produksi PKO semakin tahun
memperlihatkan adanya peningkatan.
Pada tahun 1990, total PKO Indonesia mencapai 503.803 ton dan
terus mengalami peningkatan hingga tahun 1996, yaitu menjadi 1.084.676
ton. Peningkatan ini terus terjadi hingga pada tahun 2005 jumlah produksi
PKO Indonesia mencapai 2.474.532 ton dan pada tahun 2006 mencapai
2.792.059 ton. Dalam memproduksi PKO, tentunya diproduksi oleh ketiga
jenis perkebunan, yaitu PBN, PBS dan PR.
PBN pada awalnya, yaitu tahun 1990 menduduki posisi yang dominan
dalam memproduksi PKO, dengan kontribusi sebesar 49,51%, kemudian
diikuti dengan PBS sebesar 35,53% dan PR sebesar 14,96%. Meskipun
tingkat produksi PKO Indonesia mengalami peningkatan dari tahun
ketahunnya, tetapi tingkat kontribusi PBN mengalami PBN mengalami
penurunan, tepatnya semenjak tahun 1996, yaitu sebesar 36,59%.
Sedangkan kontribusi PBS sebesar 41,89% dan PR sebesar 21,52%.
Penurunan kontribusi PBN berjalan terus, hingga pada tahun 2006 PBN
berkontribusi sebesar 15,25% terhadap produksi PKO Indonesia. Sedangkan
di tahun yang sama, PBS terus menjadi kontributor yang dominan, dengan
254
tingkat kontribusi sebesar 49,83% yang kemudian diikuti oleh PR sebesar
34,91%.
Produk turunan dari kelapa sawit untuk bahan makanan terbesar di
Indonesia adalah pada industri minyak goreng, sedangkan untuk non-
makanan terbesar adalah pada industri farmasi dan tekstil sedangkan di
Malaysia digunakan untuk membuat minyak RBD dan RBD Olein, kemudian
diekspor ke pasar internasional.
8.4.3. Perkembangan Ekspor Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki peranan
sangat penting dalam perdagangan minyak sawit dunia. Saat ini Indonesia
menempati urutan kedua setelah Malaysia sebagai eksportir minyak sawit.
Dari tahun ke tahun, volume ekspor minyak sawit mengalami peningkatan,
bahkan semenjak krisis ekonomi volume ekspor komoditi tersebut
mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Pesatnya ekspor minyak sawit Indonesia terjadi akibat lemahnya nilai
tukar mata uang Indonesia terhadap mata uang dolar. Dengan melemahnya
rupiah membuat pendapatan dari hasil jual ekspor lebih tinggi dibandingkan
dengan hasil jual di dalam negeri. Hal ini diakibatkan oleh selisih antara nilai
tukar rupiah terhadap dolar yang cukup besar dibandingkan dengan menjual
komoditi di dalam negeri. Hal ini jugalah yang mendorong para produsen
untuk meningkatkan tingkat produksi minyak sawit, terutama untuk ekspor.
Namun, tidak selamanya keuntungan tersebut dapat dinikmati mereka. Dari
tahun ke tahun, volume ekspor memang mengalami peningkatan namun
255
tidak sejalan dengan nilai ekspor komoditi minyak sawit yang mereka
peroleh.
Volume ekspor CPO mengalami penurunan yang sangat tajam
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu tahun 1997. Pada tahun
1997, volume ekspor CPO mencapai 2.967.589 ton dengan nilai US$
1.466.100.000. Sedangkan, pada tahun 1998 volume ekspor CPO mencapai
1.479.278 ton dengan nilai ekspor US$ 745.277.000. Artinya, volume ekspor
antara tahun 1997 dan tahun 1998 mengalami penurunan sebesar 1.488.311
ton. Salah satu penyebab hal ini terjadi adalah pemberlakuan kebijakan
pemerintah berupa pajak ekspor dan pembatasan jumlah komoditi CPO
untuk diekspor. Hal ini dilakukan pemerintah dengan alasan menjaga suplai
dalam negeri agar dapat memenuhi kebutuhan CPO dalam negeri. Selama
ini, terutama semenjak krisis ekonomi melanda Indonesia, para produsen
lebih tertarik untuk menjual komoditinya ke pasar internasional dibandingkan
dijual di dalam pasar domestik. Seperti yang sudah disinggung di atas, salah
satu faktor pendorongnya adalah nilai tukar rupiah yang melemah yang
menjadikan para pengekspor dapat menikmati keuntungan yang cukup
besar.
Penurunan volume tersebut tidak berlangsung lama, pada tahun
berikutnya yaitu tahun 1999, volume ekspor kembali berhasil ditingkatkan
dengan mencapai 3.298.987 ton dengan nilai US$ 1.114.242. Semenjak itu,
volume ekspor CPO terus mengalami peningkatan hingga tahun 2005 yaitu
dengan volume ekspor sebesar 10.375.792 ton dengan nilai US$
3.756.557.000. Penjelasan ini dapat memperlihatkan kepada kita bahwa
256
secara kasat mata nilai ekspor mengalami peningkatan dari tahun ke
tahunnya.
Disisi lain, sebenarnya kenaikan nilai ekspor CPO tidak berbanding
lurus dengan kenaikan yang dialami oleh volume ekspor. Ketidakselarasan
ini diakibatkan harga CPO dunia mengalami fluktuatif. Pada tahun 1998, nilai
ekspor sempat mengalami peningkatan, yaitu menjadi US$ 678/ton di mana
pada tahun 1997 mencapai US$ 545/ton. Namun, pada tahun 1999 harga
CPO dunia mengalami penurunan yang cukup tajam, yaitu mencapai US$
438/ton. Penulis memperkirakan bahwa penyebab peningkatan volume
ekspor CPO tidak berbanding lurus dengan peningkatan nilai ekspor akibat
harga CPO dunia yang diterima oleh para eksportir menurun akibat adanya
pajak ekspor yang diterapkan pemerintah. Penurunan harga CPO yang
diterima produsen berlangsung hingga tahun 2001, di mana pada tahun ini
mencapai US$ 275/ton. Pada tahun 2002, harga CPO yang diterima para
eksportir kembali mengalami peningkatan, yaitu mencapai US$ 388/ton.
Peningkatan tersebut terus berlangsung hingga tahun 2005, yaitu mencapai
US$ 482/ton. Meskipun meningkat, namun nilai ekspor tidak berbanding
lurus dengan peningkatan volume ekspor. Namun, dilihat dari segi volume
ekspor, menunjukkan bahwa Industri Kelapa Sawit Indonesia lebih mengarah
ke export oriented.
Begitu juga dengan produk kelapa sawit berupa PKO, volume ekspor
komoditi ini juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya meskipun
volume ekspornya tidak sebesar CPO. Perkembangan volume dan nilai
ekspor PKO dapat dilihat pada Tabel 66.
257
Indonesia mulai mengekspor PKO sejak tahun 1981. Sejak itulah,
tingkat produksi PKO untuk ekspor mengalami peningkatan. Pada Tabel 66,
penulis menunjukkan perkembangan volume ekspor PKO sejak tahun 1990.
Pada Tabel tersebut dapat dilihat volume PKO terus meningkat hingga pada
tahun 1997 dengan jumlah 502.979 ton dengan nilai sebesar
US$ 294.255.000. Pada tahun 1998, volume ekspor mengalami penurunan,
yaitu menjadi 347.009 ton dengan nilai US$ 195.477.000. Namun, pada
tahun 1999 volume PKO dapat kembali ditingkatkan, yaitu menjadi 597.842
ton dengan nilai sebesar US$ 347.975.000. Pada tahun 2001 volume ekspor
mengalami peningkatan sehingga mencapai angka 581.926 ton, namun tidak
dengan nilai ekspornya, yaitu hanya mencapai angka US$ 146.259.000. Hal
ini menjelaskan adanya peningkatan nilai ekspornya. Peningkatan yang
cukup tajam terjadi pada tahun 2004, di mana pada tahun 2003 volume
ekspor PKO mencapai 659.864 ton meningkat menjadi 904.327 ton dengan
nilai sebesar US$ 502.681.000.
8.5. Analisis Deskriptif Industri Kelapa Sawit Indonesia
Industri kelapa sawit Indonesia mulai mengalami kejayaannya pada
dekade 1994-2008, di mana Indonesia semakin tahun berhasil meningkatkan
hasil produksi kelapa sawitnya hingga menduduki posisi produsen CPO
terbesar dan negara pengekspor terbesar nomor dua setelah Malaysia.
Seiring dengan pemanfaatan dari hasil kelapa sawit yang meningkat
membuat tingkat permintaan akan produk ini menjadi meningkat pula.
Selain untuk bahan baku minyak goreng, kelapa sawit juga dapat
digunakan sebagai bahan baku lainnya, seperti sabun, kosmetik, bahkan
258
bahan bakar alternatif yang dikenal dengan nama biofuel yang akhir-akhir ini
sedang banyak dibicarakan dunia. Pemanfaatan yang meningkat serta
didukung dengan tingginya permintaan membuat para produsen yang
berkecimpung di industri ini terdorong untuk meningkatkan hasil produksinya.
Awalnya perkebunan kelapa sawit dikelola oleh pemerintah atau
disebut juga dengan Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan
Besar Swasta (PBS). Terhitung sejak tahun 1979, pengolahan kelapa sawit
ini juga dikelola oleh Perkebunan Rakyat (PR). Perkembangan luas lahan
yang dimiliki oleh ketiga jenis perkebunan ini dapat disimak melalui tabel 66.
Tabel 65 menjelaskan bahwa pada periode tahun 1967-2009 luas
lahan terbesar dikuasai oleh perkebunan besar negara (PBN), yaitu sekitar
61%-70% sedangkan perkebunan sawit yang dimiliki oleh perkebunan besar
swasta (PBS) sebesar 30%-39%. Pada periode 1979-1991, sejak
perkebunan rakyat juga ikut mengelola kelapa sawit, perkebunan rakyat
menguasai lahan sebesar 1%-30%, perkebunan swasta menguasai lahan
sekitar 22%-40%, dan perkebunan negara menguasai sebesar 30%-67%.
Namun, sejak tahun 1989an PBS memiliki persentase penguasaan lahan
yang paling besar dibandingkan dua jenis perkebunan lainnya. Pada tahun
ini luas lahan yang dimiliki oleh swasta adalah sebesar 40%, sedangkan
PBN yang awalnya memiliki persentase luas lahan yang paling besar hanya
menguasai lahan sebesar 37%, dan sisanya dikuasai oleh perkebunan
rakyat pada periode 1992-2004.
259
Tabel 65. Perkembangan luas lahan Kelapa Sawit menurut Status Perkebunan 1967-2009
Tahun Luas Lahan (Ha) CPO
PR PBN PBS TOTAL 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3.125 6.175 5.695 8.537 37.043 40.552 118.564 129.904 203.047 196.279 223.832 291.338 384.594 439.468 502.332 572.544 658.536 738.887 813.175 890.506 1.041.046 1.166.758 1.561.031 1.808.424 1.854.394 2.220.338 2.356.895 2.636.425 2.857.777 3.079.129 3.300.481
65.573 79.209 84.640 86.640 91.153 96.562 98.033 117.513 120.940 141.333 148.775 163.465 176.408 199.538 213.204 224.440 261.339 340.511 335.195 332.694 365.575 373.409 366.028 372.246 395.183 389.761 380.746 386.309 404.732 426.804 517.064 556.640 576.999 588.125 609.947 631.566 662.803 605.865 529.854 696.699 717.803 783.906 760.010
40.235 40.451 34.880 46.658 47.950 55.497 59.747 64.223 67.885 69.772 71.626 86.651 81.406 88.847 100.008 96.924 107.264 130.958 143.603 144.182 160.040 293.171 383.668 463.093 531.219 638.241 730.109 845.296 961.718 1.083.823 1.592.057 2.113.050 2.283.757 2.403.194 2.542.457 2.627.068 2.766.360 2.458.520 2.567.068 2.741.802 1.849.481 2.957.161 3.064.840
105.808 119.660 119.520 133.298 139.103 152.059 157.780 181.736 188.825 211.105 220.401 250.116 260.939 294.560 318.967 329.901 405.646 512.021 597.363 606.780 728.662 862.859 973.528 1.126.677 1.310.996 1.467.470 1.613.187 1.804.149 2.024.986 2.249.514 2.922.296 3.560.196 3.901.802 4.158.077 4.713.435 5.067.058 5.283.557 5.284.723 5.453.817 6.074.926 6.425.061 6.775.196 7.125.331
Sumber : Dirjen Perkebunan, 2009.
260
Perkebunan rakyat mengalami peningkatan dalam penguasaan lahan,
di mana luas lahannya adalah sebesar 25%-42%, sedangkan perkebunan
pemerintah sebesar 11%-27%, dan 43%-60% dikuasai perkebunan swasta.
Hal ini terlihat bahwa dalam hal penguasaan lahan, pemerintah tidak
lagi menguasai lahan kelapa sawit. Bahkan diperkirakan oleh bagian statistik
Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, menjelang tahun
2009 nanti, perkebunan rakyat akan menyamai persentase penguasaan
lahan oleh perkebunan swasta bahkan Deptan memperkirakan perkebunan
rakyat akan menguasai lahan perkebunan untuk kelapa sawit dalam proporsi
yang paling besar dibandingkan dengan dua jenis perkebunan lainnya.
Ha
Gambar 17. Perkembangan luas lahan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia menurut Status Kepemilikan Tahun 1980-2009
Menurut teori ekonomi, dua faktor input yang penting dalam
menghasilkan output adalah kapital (modal) dan tenaga kerja. Modal yang
digunakan dapat berupa uang, lahan, ataupun mesin. Oleh sebab itu, untuk
261
memenuhi tingkat permintaan yang tinggi, Indonesia terus berusaha untuk
meningkatkan luas lahan penanaman kelapa sawit. Namun, harus
diperhatikan pula produktivitas dari lahan tersebut. Jika produktivitas lahan
tersebut tidak mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan lahan,
maka produksi yang dihasilkan juga sulit mencapai target.
8.5.1. Tingkat Konsentrasi Industri
Sesuai teori yang sudah dikemukakan, yaitu tingkat konsentrasi
merupakan barometer struktur suatu pasar. Semakin tinggi tingkat
konsentrasi maka struktur pasar semakin mengarah pada monopoli.
Umumnya para ekonom, mengasumsikan batasan tingkat konsentrasi suatu
pasar yang dikatakan monopoli adalah di atas 70%, sedangkan untuk ukuran
pasar itu merupakan oligopoli adalah sebesar 40% ke atas. Berikut adalah
perkembangan tingkat konsentrasi pada industri kelapa sawit Indonesia pada
tahun 1990, 1993, 1995, 1999 dan 2000.
Dari tabel perhitungan CR4, yaitu dengan membagi jumlah output
empat perusahaan terbesar dengan jumlah output pada industri kelapa sawit,
maka pada tahun 1990, struktur pasar industri kelapa sawit mengarah ke
arah monopoli, karena pada tahun ini tingkat konsentrasi industri ini sangat
tinggi yaitu mencapai 84%. Sedang di tahun 1993 tingkat konsentrasi mulai
mengalami penurunan yaitu menjadi 63%, ini menandakan struktur pasar
Industri Kelapa Sawit hampir mendekati struktur pasar monopoli.
Hingga pada tahun 1995, tingkat konsentrasi penjualan dari empat
besar perusahaan pada industri kelapa sawit ini semakin menurun hingga
262
mencapai 57%, dengan kata lain industri ini mulai mengarah ke arah
oligopoli di mana batasan struktur pasar ini adalah 40%. Namun, tingkat
konsentrasi ini pada tahun 1999 dan 2000 kembali meninggi dan
menunjukkan pasar dalam keadaan struktur monopoli, dimana tingkat
konsentrasi pada tahun 2000 mencapai 72%. Menurut teori yang sudah
dikemukakan sebelumnya, jika tingkat konsentrasi suatu pasar tinggi salah
satu faktor penyebabnya adalah faktor hambatan masuk. Berarti, pada tahun
1993 hingga 1995 seiring dengan perkembangan pasar, maka semakin
banyak produsen baru memasuki pasar. Ini menandakan, bahwa hambatan
pasar pada tahun tersebut mulai melonggar. Pergerakan antara CR4 dengan
jumlah perusahaan dapat disimak melalui Gambar 17.
Tabel 66. Tingkat Konsentrasi CR4 Industri Kelapa Sawit Indonesia
Tahun Tingkat Konsentrasi Penjualan dari Empat Perusahaan Terbesar (%)
1990 84.6
1993 63.0
1995 56.7
1999 69.3
2000 72.3 Sumber : Hasil Analisis. 2010
Pada tahun 1990, jumlah perusahaan yang berkecimpung dalam
industri kelapa sawit berjumlah 11 perusahaan, kemudian pada tahun 1993
perusahaan ini kemudian meningkat sebanyak 16 perusahaan, yaitu
mencapai 27 perusahaan. Pada tahun 1990 dan 1993 membenarkan teori
263
yang mengatakan bahwa dengan jumlah perusahaan yang meningkat
menyebabkan tingkat konsentrasi yang menurun.
Pada tahun 1995, jumlah perusahaan kembali meningkat hingga
mencapai 37 buah perusahaan, hal ini kembali menunjukkan adanya
hubungan yang terbalik antara jumlah perusahaan dengan tingkat
konsentrasi industri tersebut. Pada tahun 1999, terjadi penurunan jumlah
perusahaan yang diakibatkan masa krisis yang melanda Indonesia.
Sehingga ada beberapa perusahaan yang akhirnya tidak sanggup
meneruskan bisnis perkelapasawitan ini dan memilih untuk membubarkan
perusahaannya.
Jumlah perusahaan di tahun 1999 adalah sebesar 31 perusahaan
mengalami peningkatan kembali yaitu sebanyak 37 perusahaan dengan
tingkat konsentrasi yang meningkat pula, yaitu 72%. Sehingga, pada tahun
2000, teori yang mengatakan bahwa semakin banyaknya perusahaan
muncul membuat tingkat konsentrasi menjadi mengalami penurunan tidak
berlaku. Hal ini, dimungkinkan dengan adanya cara mereka dalam
berproduksi dan penguasaan lahan yang belum optimal. Penulis menduga,
meskipun jumlah perusahaan semakin banyak, belum tentu mereka
berproduksi pada tingkat biaya minimum yang diperlukan.
Dengan kata lain, kita harus melihat indikator lain dari hambatan
masuk. Tidak selamanya jumlah perusahaan dapat dijadikan indikator yang
mempengaruhi tingkat konsentrasi yang pada akhirnya mempengaruhi
struktur pasar suatu industri. Kita harus melihat dari segi efisiensi suatu
perusahaan dalam menghasilkan barang dan jasa pada industri tersebut.
264
Dalam hal ini, penulis melihat hambatan masuk pada industri kelapa sawit ini
melalui Minimum Efficiency of Scale atau MES.
8.5.2. Minimum Efficiency of Scale atau MES
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa MES merupakan
proksi dari hambatan masuk ke dalam suatu pasar. Semakin suatu pasar
dapat memproduksi dengan biaya rata-rata yang paling minimum, maka
akan membuat para entrant enggan memasuki pasar tersebut. Hal ini karena
susah bagi mereka untuk menyaingi pemain lama yang sudah dapat
memproduksi komoditi tersebut dengan biaya yang rendah. Karena hal ini
tentunya membutuhkan proses yang cukup panjang. Terlebih lagi, para
pemain lama dapat menentukan harga yang lebih rendah dikarenakan
keberhasilan mereka dalam berproduksi di batas AC minimum. Berikut
perkembangan MES pada industri kelapa sawit pada tahun 1990, 1993,
1995, 1999 dan 2000.
Tabel 67. Nilai Skala Efisiensi Minimun Industri Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1990-2000 Tahun Tingkat Skala Usaha Minimum dari
Empat Perusahaan Terbesar (%) 1990 21.1
1993 15.7
1995 14.2
1999 17.3
2000 18.1 Sumber : Hasil Analisis. 2010
265
Jika dibandingkan dengan data CR4 sebelumnya, maka pada tahun
1990 tingkat MES adalah sebesar 21.1% dan mengalami penurunan pada
tahun 1993 yaitu sebesar 15.7%. Sedangkan tingkat konsentrasi yang terjadi
antara kedua tahun ini mengalami penurunan yaitu dari 85% menjadi 63%.
Hal ini menandakan semakin kecil MES maka menjadikan hambatan masuk
para pemain baru ke dalam perusahaan ini menjadi melonggar. Kemudian,
pada tahun 1995, tingkat konsentrasi kembali mengalami penurunan hingga
mencapai 57% dengan tingkat MES sebesar 14.2%. Pada tahun 1999,
tingkat konsentrasi kembali meningkat hingga mencapai 69% dengan tingkat
MES sebesar 17.3%.
Sedangkan pada tahun 2000, tingkat konsentrasi kembali mengalami
peningkatan hingga mencapai angka 72% dengan tingkat tingkat sebesar
18.1%. Ternyata, yang menyebabkan tingkat konsentrasi industri kelapa
sawit Indonesia ini tinggi bukanlah jumlah perusahaan atau pelaku pasar
yang ada, melainkan tingkat MES yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut.
Akibatnya, meskipun pada saat tingkat konsentrasi industri kelapa sawit ini
tinggi, jumlah perusahaan bukanlah hal yang menjanjikan adanya penurunan
tingkat konsentrasi, namun tergantung MES suatu perusahaan.
Semakin efisien suatu perusahaan dalam berproduksi maka semakin
tinggi kesempatan mereka untuk menguasai pasar, dan semakin tinggi
kemungkinan terjadinya tingkat konsentrasi yang tinggi yang akhirnya
membuat struktur pasar cenderung ke arah monopoli. Biaya yang dibutuhkan
dalam pengelolaan kelapa sawit cukup tinggi. Hal ini membuat biaya
produksi dalam industri ini menjadi mahal. Pemain pasar yang sudah lama
266
dalam industri ini, mereka lebih dapat memproduksi dengan biaya minimum
dibandingkan dengan pamain pasar yang baru memasuki industri ini. Hal
inilah yang dapat menghambat pemain pasar tersebut untuk menguasai
pasar. Berdasarkan teori ekonomi industri, berproduksi pada titik biaya
minimum memerlukan proses waktu yang cukup lama. Oleh karena itu,
meskipun jumlah perusahaan yang masuk ke dalam pasar bertambah
banyak, jika tidak dapat berproduksi dengan biaya minimum yang sama
dengan pesaing yang sudah menguasai pasar sejak lama, maka para
pemain lama tersebut dapat lebih meningkatkan pangsa pasarnya.
Prosentase (%)
Gambar 18. Grafik Tingkat Konsentrasi dan Skala Efisiensi Empat Perusahaan Terbesar Indonesia
8.5.3. Perilaku Industri Kelapa Sawit Indonesia
Perkembangan tingkat konsentrasi yang terbentuk pada industri
kelapa sawit ini semakin meningkat seiring peningkatan pangsa pasar yang
267
dimiliki para perusahaan terbesar begitu juga dengan hambatan masuk yang
juga meningkat bagi pemain baru untuk memasuki industri ini. Berdasarkan
teori SCP, dimana struktur pasar merupakan fungsi dari hambatan masuk
dan tingkat konsentrasi, maka hasil penjelasan deskriptif diatas menandakan
bahwa struktur pasar yang terbentuk adalah struktur pasar oligopoli.
Dengan struktur pasar yang oligopoli ini maka akan berpengaruh
kepada pembentukan harga oleh perusahaan-perusahaan yang ada.
Sehingga, keuntungan yang mereka miliki dapat lebih tinggi lagi dan
menciptakan hambatan pemain baru lain untuk masuk.
Struktur pasar yang oligopoli cenderung menciptakan perilaku kolusif
diantara perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang besar. Konsumsi
terbesar komoditi kelapa sawit, khususnya CPO terjadi pada industri minyak
goreng. Hal ini terjadi akibat sebagian besar bahan baku minyak goreng
adalah CPO. Harga minyak goreng Indonesia dalam tahun-tahun terakhir ini
mengalami fluktuasi. Alasan yang sering dikemukakan adalah jumlah
komoditi kelapa sawit lebih banyak diprioritaskan sebagai komoditi ekspor
yang mengakibatkan suplai minyak sawit mentah untuk dalam negeri
menjadi lebih sedikit.
Akibatnya, domestik mengalami kekurangan bahan baku minyak
goreng. Secara teori ekonomi, tepatnya hukum penawaran, jika suplai
mengalami penurunan dengan keadaan tingkat permintaan yang berlebih,
akan membuat harga menjadi lebih tinggi. Begitu juga yang terjadi pada
industri minyak goreng ini, akibat sebagian besar produksi CPO ditujukan
untuk ekspor dan membuat sedikitnya jumlah CPO yang ditawarkan di dalam
268
negeri dan kurangnya kuantitas tersebut untuk memenuhi permintaan maka
harga CPO menjadi naik. Naiknya harga CPO membuat biaya produksi
dalam menghasilkan minyak goreng menjadi ikut naik.
Hal ini terjadi jika memang benar keadaan yang terjadi seperti apa
yang dijelaskan. Namun, berdasarkan data BPS, ditemukan data-data yang
tidak menguatkan alasan tersebut. Penulis membandingkan ketiga data
sebagai bukti ketidakkuatan alasan yang selama ini sering terdengar oleh
masyarakat Indonesia. Jika data ini valid, maka sesuai dengan mekanisme
pasar, harga minyak goreng menjadi lebih murah. Hal ini dapat dilihat melalui
tabel 68.
Menurut data, bahwa pada tahun 1990-1996, Indonesia belum
mengarah ke export oriented, hal ini terlihat pada jumlah ekspor CPO yang
lebih kecil dibandingkan jumlah CPO untuk domestik. Namun, sejak tahun
1997-2004, volume CPO untuk ekspor lebih tinggi dibandingkan dengan
volume CPO untuk dalam negeri. Selain itu lahan perkebunan yang
menghasilkan Tanda Buah Segar (TBS) meningkat yang menyebabkan
produksi CPO meningkat, tingginya ekspor juga dengan pejualan dari
keuntungan yang diperoleh dari ekspor lebih tinggi dibandingkan dengan
penjualan dari dalam negeri. Terlebih lagi pada tahun 1998, di mana terjadi
puncak krisis moneter di Indonesia, yang menyebabkan nilai tukar rupiah
mengalami kelemahan, maka terjadi selisih antara nilai tukar rupiah dengan
mata uang asing (Dolar Amerika) yang menyebabkan keuntungan yang
semakin tinggi.
269
Tabel 68. Tingkat Penawaran dan Ekspor CPO serta Permintaan CPO Oleh Industri Minyak Goreng tahun 1990-2004
Tahun Penawaran CPO Ekspor CPO Permintaan Industri Minyak Goreng
1990 1623,20 815,58 981,60 1991 1527,77 1167,70 1302,31 1992 2544,74 1030,30 1498,55 1993 1941,34 1632,00 1508,46 1994 2500,54 1631,20 1788,37 1995 3264,49 1265,00 2014,06 1996 3334,30 1671,96 2811,64 1997 2504,59 2967,59 3051,90 1998 4178,49 1479,28 3288,14 1999 2691,85 3298,99 3625,30 2000 2283,38 3937,82 3909,43 2001 3493,40 4903,22 4082,81 2002 3298,14 6333,71 3901,78 2003 4058,44 6386,41 3910,66 2004 3453,36 8661,65 4050,76
Sumber : BPS, 2005
Pada tahun 1990-1996 tingkat penawaran CPO untuk domestik lebih
besar dibandingkan dengan tingkat permintaan CPO domestik untuk Industri
Minyak Goreng. Hal ini menunjukkan bahwa bahan baku penghasil minyak
goreng ini mengalami ekses penawaran yang sesuai dengan teorinya dapat
terjadi penurunan harga pada bahan baku tersebut. Sehingga harga minyak
goreng dapat ditekan menjadi lebih murah. Namun, sesuai dengan data yang
diperoleh, faktanya hukum tersebut seolah-olah tidak berlaku pada industri
kelapa sawit, khususnya CPO ini.
Penulis membandingkan tingkat permintaan CPO untuk minyak
goreng domestik. Setelah dibandingkan ketiga variabel tersebut, ternyata
tingkat harga minyak goreng domestik terus mengalami peningkatan dari
tahun 1990-1996 seiring dengan tingkat suplai yang melebihi tingkat
permintaannya. Pada tahun 1990 harga minyak goreng domestik mencapai
270
tingkat harga sebesar Rp. 708,30/kg, kemudian pada tahun 1991 mencapai
Rp 822,60/kg.
Pada tahun 1992, harga minyak goreng kembali mengalami
peningkatan, yaitu menjadi Rp. 961/kg. Hal ini terus terjadi hingga tahun
1996 dengan tingkat harga minyak goreng domestik sebesar Rp. 1.821/kg.
Berarti alasan yang sering terdengar bahwa meningkatnya harga minyak
goreng domestik akibat harga bahan baku yang meningkat yang disebabkan
oleh ekses permintaan, tidak terbukti kebenarannya dalam industri kelapa
sawit Indonesia. Hal ini terjadi karena peningkatan ekses suplai akan
komoditi CPO tahun 1990-1996 diikuti dengan peningkatan harga minyak
goreng domestik.
Pada tahun 1998, harga minyak goreng mengalami peningkatan yang
sangat tajam, yaitu mencapai level Rp. 5.449/kg. Jika dilihat dari segi excess
demand, kenaikan harga yang terjadi sangat wajar akibat suplai CPO
domestik yang tidak mencapai kebutuhan CPO untuk industri minyak goreng.
Namun, sebenarnya hal yang sama terjadi pada tahun 1999 yang juga
terdapat kelebihan permintaan CPO. Tetapi tidak begitu adanya, yang terjadi
malah penurunan harga.
Pada tahun 1999, harga minyak goreng adalah sebesar Rp.4.143/kg.
Hal ini terus terjadi hingga tahun 2003 dengan tingkat harga sebesar
Rp 4.625/kg. Penulis mengasumsikan terjadinya penurunan harga ini akibat
adanya kebijakan pemerintah dalam bentuk operasi pasar ataupun subsidi,
atau bisa saja terjadi akibat penggunaan kelebihan bahan baku CPO untuk
minyak goreng pada tahun sebelumnya. Namun, ketika penulis mencoba
271
membandingkan perkembangan harga minyak goreng domestik dengan
harga CPO internasional, timbul suatu kecurigaan adanya dugaan perilaku
kartel dalam industri kelapa sawit Indonesia ini. Berikut Tabel 70 tentang
perkembangan harga CPO internasional dan harga minyak goreng domestik.
Dengan membandingkan harga CPO internasional dengan harga
minyak goreng domestik, terlihat sejak tahun 1997-2004 terjadi pergerakan
yang searah dan sebanding antara kedua tingkat harga tersebut, padahal,
jika dilihat dari segi penawaran dan permintaan akan CPO ini, seharusnya
hal ini lebih mempengaruhi tingkat harga yang terbentuk dalam pasar
domestik. Ternyata yang ditemukan oleh penulis adalah adanya pergerakan
yang searah dan sebanding antara harga minyak goreng domestik dengan
harga CPO internasional. Sehingga, harga minyak goreng tidak terbentuk
berdasarkan permintaan dan penawaran menurut mekanisme pasar. Dengan
melihat data tersebut, penulis menduga adanya unsur perilaku kartel yang
terbentuk pada Industri Kelapa Sawit ini.
Sebenarnya, Indonesia mengalami peningkatan produksi sekitar bulan
Juni dan Juli setiap tahunnya, yang dikarenakan musim panen pada bulan
ini, ditambah lagi semenjak November curah hujan tinggi dan turunnya hujan
mempengaruhi jumlah produksi kelapa sawit. Sehingga tingkat produksi
kelapa sawit bertambah, seharusnya keadaan ini dapat memenuhi
permintaan domestik dan membuat harga minyak goreng tetap melambung
tinggi. Pada tahun 2007, harga minyak goreng domestik bahkan mencapai
angka Rp. 9.000 – Rp. 11.000,-/kg, sedangkan harga internasional CPO
adalah US$ 750 (Agustus 2007). Dibandingkan dengan harga internasional
272
CPO tahun tersebut harga CPO tahun lalu adalah sebesar US$ 500.
Kenyataan inilah yang membuat penulis menduga adanya unsur kartel dalam
industri ini. Terlebih lagi teori ekonomi industri, struktur pasar yang oligopoli
cenderung membentuk perilaku kolusif.
Tabel 69. Pergerakan Harga Minyak Goreng Domestik dan Harga Internasional CPO tahun 1990-2004
Tahun Harga Minyak
Goreng (Rupiah)
Harga Internasional ($ USD)
1990 708,30 279,88 1991 822,60 333,03 1992 961,40 290,75 1993 987,70 406,85 1994 1250,00 524,55 1995 1463,00 648,95 1996 1821,40 531,81 1997 2000,00 545,03 1998 5449,12 678,13 1999 4143,58 438,39 2000 3418,54 310,44 2001 3527,27 275,66 2002 4337,99 388,89 2003 4625,76 447,61 2004 4905,99 482,19
Sumber : Deperindag, 2005.
Berdasarkan Tabel 69, harga CPO internasional dengan harga minyak
goreng domestik diatas, harga CPO internasional mengalami peningkatan
yang tidak signifikan. Sedangkan, harga minyak goreng domestik mengalami
gejolak harga yang berfluktuatif. Penulis menduga kartel yang terbentuk lebih
mengarah kepada kartel output dibandingkan dengan kartel harga. Indonesia
dari tahun ke tahun mengalami peningkatan volume produksi. Namun
ternyata, 80% dari total keseluruhan produksinya, masih merupakan
273
Rp & $ USD
gabungan dengan industri sawit Malaysia. Hal inilah yang melatarbelakangi
Indonesia mau berkartel dengan Malaysia.
Gambar 19. Pergerakan Harga Minyak Goreng Domestik dan Harga CPO Internasional Tahun 1990-2004
Indonesia takut jika tidak melakukan kartel dengan Malaysia, karena
akan mencabut investasinya dari Indonesia yang pada akhirnya akan
mengurangi volume produksi kelapa sawit yang dapat dihasilkan. Hal ini
dapat menyebabkan keuntungan yang diperoleh Indonesia jadi menurun.
Begitu juga dengan Malaysia, negara jiran ini takut jika tidak melakukan
kesepakatan dengan Indonesia akan membuka peluang Indonesia untuk
mengalahkan Malaysia. Hal ini disebabkan Indonesia memiliki potensi untuk
memperluas lahan untuk penanaman kelapa sawit, sedangkan Malaysia
tidak, akhirnya kartel terbentuk diantara keduanya.
274
Kartel yang terbentuk dalam bentuk penetapan jumlah output
bersama, Malaysia dan Indonesia bersama-sama menentukan jumlah
output yang diproduksi. Tentunya, hal ini mengakibatkan jumlah output yang
diproduksi menjadi lebih sedikit dibandingkan jika mereka tidak berkolusi dan
mengakibatkan jumlah yang diproduksi lebih sedikit dibandingkan dengan
tingkat permintaannya. Hal ini berdampak pada industri hilir yang
menggunakan bahan baku CPO, akibatnya harga internasional menjadi
mahal. Perilaku kolusif berbentuk kartel ini menurut penulis tidak
mempengaruhi kestabilan harga minyak goreng domestik di Indonesia dan
secara tidak langsung justru menguntungkan industri sawit Malaysia.
8.5.4. Kinerja Industri Kelapa Sawit Indonesia
Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dalam industri kelapa sawit
ini sebenarnya lebih dirasakan oleh para pengusaha yang berkecimpung di
Industri kelapa sawit ini. Terlebih lagi seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa struktur pasar yang terbentuk oleh Industri ini
berdasarkan pengamatan tingkat struktur pasar terbentuk, maka industri ini
tergolong oligopoli bahkan mendekati monopoli. Seperti yang telah
dikemukakan oleh Bain, bahwa semakin mengarah ke monopoli semakin
tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh. Penulis mencoba menjelaskan
pernyataan yang dikemukakan oleh Bain tersebut melalui grafik berikut
dengan membandingkan pergerakan keuntungan dengan tingkat
konsentrasi. Di mana, PCM digunakan sebagai proksi dari keuntungan
tersebut dan CR4 sebagai tingkat konsentrasi industri kelapa sawit.
275
Secara rata-rata pergerakan PCM dengan CR4 memiliki hubungan
yang positif antara tahun 1990 dengan 1993, tingkat konsentrasi mengalami
penurunan yang awalnya mencapai 0,85 menjadi 0,63, begitu juga antara
tahun 1995 dengan 1999, terjadi peningkatan konsentrasi dari 0,56 menjadi
0,69. Hingga pada tahun 2000, tingkat konsentrasi mencapai tingkat 0,72.
Hal ini juga diikuti dengan peningkatan PCM, artinya terbukti CR4 memang
mempengaruhi tingkat keuntungan yang terjadi pada industri ini. Ini artinya,
teori Bain dalam industri kelapa sawit Indonesia terbukti kebenarannya.
Tingkat konsentrasi semakin tinggi membuat struktur pasar industri
kelapa sawit ini menunjukkan struktur pasar yang oligopoli yang mendorong
terbentuknya perilaku kolusif yang menjadikan mereka bertindak selayaknya
pelaku pasar monopoli yang kemudian mengakibatkan keuntungan yang
tercapai juga meningkat.
Menurut pemikiran penulis, masalah struktur pasar terkonsentrasi
tidak selamanya menjadi masalah bagi industri. Jika suatu industri
menunjukkan adanya keuntungan yang besar didalamnya, maka hal ini justru
akan menarik para pemain baru untuk ikut masuk ke dalam industri tersebut.
Apalagi, didukung dengan pasar kelapa sawit yang terus mengalami
pengembangan dengan adanya tingkat permintaan yang meningkat serta
tingkat produksi yang juga meningkat. Akibatnya banyak pemain baru yang
tertarik untuk melakukan bisnis ini.
Akhirnya, struktur pasar yang tadinya hanya dikuasai oleh beberapa
perusahaan menjadi semakin berkurang dan menimbulkan adanya
persaingan dalam pasar. Tingginya tingkat konsentrasi juga tetap bisa
276
terjadi, namun yang berada pada CR4 ini merupakan perusahaan-
perusahaan yang berganti-ganti akibat kehebatan dan keunggulannya dalam
berproduksi dan penggunaan teknologinya. Berarti peningkatan tingkat
konsentrasi sebenarnya juga bisa membuat struktur pasar menciptakan
adanya persaingan di dalam industri tersebut. Penulis beranggapan tingkat
konsentrasi yang tinggi bukan berarti tingkat kompetisi antara pesaing hilang
selama tidak ada hambatan masuk.
Oleh sebab itu, jika tingkat yang semakin tinggi mendorong
terciptanya iklim persaingan di industri kelapa sawit, maka seharusnya
keuntungan yang dirasakan akan menurun seiring peningkatan tingkat
konsentrasi tersebut akibat adanya persaingan. Selain itu, kondisi ini akan
membuat pasar menjadi lebih seimbang akibat menurunnya kecenderungan
monopoli. Namun, berhubung industri kelapa sawit menunjukkan adanya
arah yang positif antara PCM dengan CR4, maka perilaku yang terduga kuat
adalah terdapat perilaku kolusi di antara para pesaing di industri ini.
Sehingga hal ini mengakibatkan minimnya persaingan yang terjadi pada
industri ini. Pergerakan yang searah antara PCM dan CR4 yang telah
disajikan sebelumnya, menunjukkan bahwa perilaku kolusi yang terdapat di
industri ini yang membuat para pesaingnya berperilaku selayaknya monopoli
sehingga dapat menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi.
Menurut penulis, kinerja industri kelapa sawit dapat lebih tinggi lagi.
Indonesia termasuk pemasok CPO terbesar di dunia. Di sisi Industri Hulu,
Indonesia bisa menciptakan produksi kelapa sawit dengan jumlah yang
tinggi. Selain itu, perluasan lahan yang dilakukan Indonesia serta
277
peningkatan jumlah produksi menunjukkan adanya pengembangan di sektor
hulunya. Namun, tidak dengan sektor hilir yang tidak mengalami
perkembangan yang nyata. Sebagian besar CPO domestik, yaitu sebesar
79% digunakan untuk industri minyak goreng. Sedangkan Indonesia
mengekspor sebagian besar volume CPOnya ke pasar internasional.
Seharusnya, Indonesia mengembangkan industri hilirnya juga agar dapat
menciptakan nilai tambah dari CPO yang dihasilkan di sektor hulu.
Menurut teori ekonomi industri oleh Martin, (1993), keuntungan bisa
ditingkatkan dengan melakukan diferensiasi produk. Oleh sebab itu,
seharusnya penggunaan CPO tidak hanya digunakan untuk minyak goreng.
Namun lebih dikembangkan lagi ke sektor lain, seperti sabun, biofuel,
kosmetik, dan lain sebagainya. Bandingkan dengan Malaysia, negara ini
tidak sepenuhnya mengekspor hasil CPO ke luar negeri, melainkan
sebahagin diolah menjadi bahan jadi untuk kebutuhan domestik maupun
ekspor. Sehingga, hal ini membuat Malaysia tidak mengalami gejolak harga
minyak goreng dalam negerinya seperti apa yang dialami oleh Indonesia.
Malaysia dalam mengembangkan industri hilirnya dengan mengolah
produk hulunya menjadi bernilai tinggi, membuat negeri jiran ini
meningkatkan keuntungan industri kelapa sawitnya. Selain itu, tingkat
produksi Malaysia bisa tetap lebih tinggi ketimbang Indonesia yang memiliki
lahan lebih melimpah dan tenaga kerja yang banyak adalah tingkat
produktivitas Malaysia yang berjumlah 3,21 ton/tahun dengan 422 pabrik
pengolahan. Sedangkan Indonesia tingkat produktivitasnya hanya sebesar
2,5 ton CPO/tahun dengan 323 pabrik pengolahan. Perbedaan itu juga yang
278
membuat Malaysia dapat menggunakan 87% kapasitas terpasang pabrik
yang mencapai 86 juta ton TBS/tahun, sedangkan Indonesia 65 ton
TBS/tahun. Untuk lebih jelasnya lihat Tabel 70 dan Tabel 71.
8.5.5. Kontribusi Industri Kelapa Sawit pada Perekonomian Indonesia Industri minyak nabati, salah satunya adalah kelapa sawit mendorong
perekonomian Indonesia. Sektor ini dapat menyerap tenaga kerja dengan
jumlah besar. Selain itu, komoditi ini menghadapi permintaan dengan jumlah
yang selalu meningkat dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 1990 jumlah
tenaga kerja yang terserap adalah sebesar 2.273 orang, sedangkan pada
tahun 1993 jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebesar 3.854 orang.
Pada tahun 1995 jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebesar
7.674 orang, kemudian meningkat pada tahun 1999 menjadi 9.232 orang.
Namun, pada tahun 2000 tenaga kera yang terserap hanya sebanyak 6.260
orang. Hal ini diakibatkan keadaan ekonomi Indonesia yang sedang dilanda
krisis. Nilai tukar rupiah yang jatuh, dan harga barang yang mengalami
peningkatan sehingga membuat tingkat upah juga menjadi mahal. Akibatnya,
untuk menekan biaya produksi, perusahaan-perusahaan kelapa sawit
terpaksa merumahkan beberapa pekerjanya. Namun pada tahun 2005
jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebanyak 170.060 orang untuk
industri pengolahan kelapa sawit, sedangkan untuk industri minyak goreng
adalah sebanyak 37.621 orang. Perusahaan pengolahan kelapa sawit
dengan jumlah sebanyak 58 perusahaan. Begitu juga dengan industri minyak
goreng, jumlah perusahaan terbanyak terdapat di Sumatera Utara dengan
jumlah sebanyak 57 perusahaan.
279
280
281
Semakin banyak jumlah tenaga kerja yang terserap, maka tingkat
pengangguran menjadi menurun. Penurunan tingkat pengangguran
menandakan peningkatan pada individu yang berpendapatan. Oleh karena
itu pembeli potensial dalam artian pembeli yang memiliki daya beli menjadi
meningkat. Sehingga, tingkat kemiskinan menjadi menurun dan
perekonomian juga akan membaik. Diharapkan untuk tahun selanjutnya
jumlah tenaga kerja kelapa sawit dapat ditingkatkan kembali. Jika tenaga
kerja semakin banyak terserap maka akan dapat mengurangi tingkat
pengangguran yang ada di Indonesia. Selain dilihat dari sisi tenaga kerja
yang terserap, industri ini juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan
Peningkatan yang tajam terlihat adalah pada tahun 1998, yaitu
mencapai Rp. 4.940.692/kapita. Dengan melihat data yang ada, penulis
menduga peningkatan pendapatan per kapita yang begitu pesat ini akibat
terjadinya nilai tukar rupiah yang lemah yang membuat jumlah CPO yang
diekspor menghasilkan devisa yang cukup tinggi meskipun yang diekspor
hanya dengan jumlah 1.479.280 ton. Sedangkan penawaran untuk domestik
sebanyak 4.178.490 ton dan ini melebihi tingkat permintaan CPO pada
industri minyak goreng. Akibat kelebihan penawaran CPO di pasar domestik
membuat harga bahan baku minyak goreng ini menjadi lebih murah. Oleh
karena itu, penulis memperkirakan hal inilah yang membuat pendapat per
kapita dari industri ini meningkat, yaitu akibat tingginya pendapatan devisa.
Penulis menduga bahwa akibat fakta ini, pemerintah yang awalnya
menetapkan kebijakan kuota ekspor CPO mengalami dilema, dan akhirnya
memperlonggar kebijakan tersebut hingga membuat volume ekspor menjadi
282
lebih tinggi dibandingkan penawaran CPO pada pasar domestik. Hal ini
terbukti, dengan adanyan peningkatan volume ekspor CPO, pendapatan per
kapita semakin meningkat. Terlebih lagi dengan adanya penawaran domestik
yang tidak memenuhi kebutuhan tingkat permintaan domestik,
mengakibatkan harga bahan baku minyak goreng ini menjadi lebih mahal.
Contohnya saja pada tahun 2004, tingkat permintaan CPO untuk minyak
goreng adalah sebesar 4.050.760 ton, sedangkan penawaran domestiknya
hanya sekitar 3.453.000 ton di mana penawaran untuk ekspor sebesar
8.661.650 ton. Dengan keadaan seperti itu, pendapatan per kapita pada
industri kelapa sawit menjadi lebih tinggi, yaitu mencapai Rp. 10.571.442.
Keadaan inilah menurut penulis yang membuat pemerintah Indonesia
semakin mengizinkan peningkatan volume CPO untuk diekspor.
8.6. Analisis Ekonometrika SCP Industri Sawit Indonesia
Model ekonometrika yang digunakan dalam disertasi ini adalah :
PCM = α + β1CR4it +β2 (MES)it + β3(PCPOINT)it + β4(PDMG)it + Β5 (DGROW) + β6 (KURS) + ε
t = Periode Waktu (t = 1,2,...,T)
it
Di mana :
PCM = Price-Cost Margin
CR4 = Tingkat konsentrasi empat perusahaan terbesar
MES = Minimum Effieciency of Scale
PCPOINT = Harga CPO Internasional
PDMG = Harga Minyak Goreng Domestik
DGROW = Pertumbuhan permintaan Minyak Sawit Indonesia KURS = Nilai tukar Dolar Amerika terhadap Rupiah Indonesia
ε = Error
I = Industri atau perusahaan (i = 1,2,...,n)
283
Sebelumnya penulis telah menjabarkan hasil pengamatannya secara
deskriptif mengenai industri sawit Indonesia. Kali ini, penulis melihat
hubungan variabel-variabel PCM melalui software SPSS Version 6 dan
Minitab 15 dengan analisis korelasi.
Dalam melakukan analisis regresi, awal tujuan penulis ingin melihat
adanya pengaruh tingkat konsentrasi, hambatan masuk, tingkat harga
internasional CPO dan tingkat harga minyak goreng domestik. Hal ini
bertujuan ingin membuktikan dugaan penulis akan perilaku kartel yang
terbentuk akibat struktur pasar yang terbentuk pada industri kelapa sawit ini.
8.7. Hasil Estimasi Model
Pada hasil analisis regresi diatas, penulis tidak memasukkan variable
time pada persamaan. Hal ini terjadi, akibat tidak kuatnya pengaruh waktu
terhadap PCM yang terbentuk pada industri ini. Sehingga, analisa yang
terbentuk berdasarkan hasil analisis regresi sebagai berikut :
PCM = - 434 + 0.60 CR4 + 0.642 PCPOINT - 0.0158 PDMG + 14.2 DGROW + 0.0087 KURS
18 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Coef SE Coef T P Constant -433.7 415.5 -1.04 0.317 DGROW 14.230 4.040 3.52 0.004 PCPOINT 0.6418 0.3109 2.06 0.061 CR4 0.602 5.021 0.12 0.907 PDMG -0.01576 0.02549 -0.62 0.548 KURS 0.00871 0.01520 0.57 0.577 S = 99.5281 R-Sq = 70.8% R-Sq(adj) = 58.6%
284
Untuk mendapatkan keakuratan dalam suatu model bukanlah suatu
hal yang mudah, R2
Variabel CR4
adalah 70.8 % namun tidak menjamin model tersebut
adalah baik. Namun, salah satu kriteria suatu model dikatakan akurat atau
tidak adalah kesesuaian model tersebut dengan teori yang ada.
Persamaan struktural dibuat dengan tujuan ingin melihat bagaimana
hubungan yang diberikan oleh variabel-variabel eksogen terhadap variabel
endogennya. Besarnya hubungan variabel eksogen terhadap variabel
endogen dapat dilihat melalui besaran koefisien yang dimiliki masing-masing
variabel eksogen tersebut. Arah pengaruh yang diberikan pada variabel
eksogen tersebut dapat dilihat dari positif atau negatifnya koefisein tersebut.
Jika negatif, berarti pengaruh yang diberikan variabel eksogen terhadap
variabel endogennya adalah berlawanan arah. Contohnya, dalam penelitian
ini, jika variabel eksogen dari PCM memiliki koefisien yang negatif, berarti
peningkatan atau penurunan variabel eksogen tersebut mempengaruhi
penurunan atau peningkatan variabel.
Dari hasil analisis regresi dapat dikatakan bahwa CR4 mempengaruhi
PCM secara positif dengan koefisien sebesar + 0.60 namun tidak
signifikan. Artinya, tingkat konsentrasi yang dihasilkan mempengaruhi
terbentuknya struktur pasar pada suatu industri. Berarti, teori yang
dikemukakan oleh Bain berlaku pada industri kelapa sawit Indonesia.
Variabel MES
Berdasarkan hasil estimasi dan stepwise, MES tidak memberikan
pengaruh yang signifikan pada PCM dengan demikian variabel MES tidak
285
diberikan penjelasan dalam estimasi PCM. Berarti ada faktor non-
ekonomi yang menentukan masuknya pelaku dalam pasar seperti
kebijakan pemerintah, faktor keamanan atau faktor politik
Variabel PCPOINT
Variabel PCPOINT merupakan variabel yang ingin melihat hubungan
tingkat harga CPO Internasional dalam pembentukan keuntungan pada
industri kelapa sawit. Ternyata, harga CPO Internasional memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap tingkat keuntungan pada industri
kelapa sawit Indonesia dengan pengaruh yang diberikan yaitu sebesar
+0.642. Semakin tinggi harga CPO Internasional semakin tinggi
keuntungan industri sawit Indonesia dalam skala Nasional.
Variabel PDMG
Variabel PDMG adalah Harga Minyak Goreng Domestik merupakan
variabel yang ingin melihat hubungan tingkat harga minyak goreng di
pasar Indonesia dalam pembentukan keuntungan pada industri kelapa
sawit Indonesia. Ternyata, harga minyak goreng domestic memberikan
pengaruh pada keuntungan yang tercipta pada industri kelapa sawit
dengan pengaruh negatif yaitu sebesar - 0.0158 namun tidak signifikan.
Semakin rendah harga minyak goreng dalam negeri semakin tinggi
keuntungan yang tercipta.
Variabel DGROW
Variabel DGROW merupakan variabel yang ingin melihat hubungan
tingkat permintaan minyak sawit domestik dalam pembentukan
keuntungan pada industri kelapa sawit. Ternyata, permintaan minyak
286
sawit domestik memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
keuntungan pada industri minyak sawit skala Nasional, yaitu sebesar
+ 14.2, hal ini seiring semakin tinggi permintaan minyak sawit domestik
Indonesia untuk kebutuhan industri dan konsumsi rumah tangga berupa
minyak goreng dan sebagainya.
Hasil ini membuktikan kebenaran hipotesa yang dibuat penulis
sebelumnya. Artinya ketika suatu saat terjadi lonjakan permintaan akan
minyak sawit goreng maka para pemain lama akan lebih mudah
memenuhi lonjakan permintaan tersebut dikarenakan taktik mereka
dalam melakukan produksi. Mereka sepakat memproduksi dibawah
kapasitas kemampuan mereka dalam berproduksi. Mereka tahu semakin
tahun semakin banyak jumlah penduduk yang ada, maka semakin tinggi
pula kebutuhan akan minyak goreng. Saat terjadi peningkatan
permintaan, para pengusaha yang tergolong dalam pangsa pasar
terbesar menggunakan kelebihan kapasitas mereka yang sengaja
mereka jaga dari tahun ke tahun. Sehingga, permintaan yang tinggi
dapat dipenuhi oleh para pemain pasar tersebut. Akhirnya, para pemain
baru yang berusaha untuk masuk ke dalam pasar menjadi berfikir dua
kali untuk terjun ke pasar tersebut. Hal ini dikarenakan biaya produksi
mereka pastinya akan lebih tinggi dibandingkan dengan para pemain
lama yang membuat mereka tidak dapat bersaing dengan para pemain
lama. Oleh karena itu, para pemain baru akan terhambat untuk
memasuki pasar ini, dan membuat para pemain lama menikmati
keuntungan yang lebih tinggi.
287
Variabel KURS
Variabel KURS merupakan variabel yang ingin melihat hubungan tingkat
nilai tukar mata uang Dolar Amerika terhadap nilai tukar Rupiah. Menurut
teori bahwa hubungan antara keuntungan industri berbanding terbalik
dengan niai tukar, dalam penelitian ini adalah benar namun tidak
signifikan. Semakin rendah nilai tukar Rupiah Indonesia terhadap Dolar
Amerika, maka semakin tinggi keuntungan yang diperoleh dengan
pengaruh yang signifikan terhadap tingkat keuntungan yang tercipta
pada industri kelapa sawit dengan pengaruh yang diberikan yaitu
sebesar + 0.0087. Untuk lebih jelasnya berikut ini penulis tampilkan
data sejarah pengembangan Industri Sawit Malaysia dan Indonesia
Historical Comparative Research berupa matriks (H-C) tahun 1960-
2008. Tabel 72 - Tabel 79.