analisis struktur musikal, tekstual dan fungsi … · analisis struktur musikal, tekstual dan...
TRANSCRIPT
ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL, TEKSTUAL DAN FUNGSI SOSIAL
BUDAYA DIDONG DOAH BIBI SI REMBAH KU LAU PADA
MASYARAKAT KARO DI BERASTAGI
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H TETY SILVA KURNIA GINTING NIM : 060707021
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Tulisan ini akan membahas tentang didong doah bibi si rembah ku lau,
yaitu salah satu jenis musik vokal yang biasa disajikan dalam pesta perkawinan
pada masyarakat Karo. Secara harafiah, kata ‘didong’ berasal dari kata
‘didong-didong’ yang artinya ‘menimang-nimang sambil bernyanyi’,
sedangkan kata ‘doah’ berasal dari kata ‘oah’ yang artinya ‘gendong’, dan si
rembah ku lau berarti yang menggendong ke sungai. Ginting menegaskan
bahwa didong doah sama dengan lagu nina bobok atau meninabobokkan anak
sambil menggendongnya, dan mengatakan "oah nakku".1 Mendukung pendapat
Ginting, Prints menyebutkan bahwa didong doah adalah " sebuah aktifitas
membuai sambil meninabobokkan anak dengan mengatakan ‘oah’" (Prints
2002 : 160). Berdasarkan uraian di atas maka didong doah si rembah ku lau
dapat diartikan sebagai nyanyian yang digunakan pada waktu seseorang
menimang ataupun menggendong anak sambil membawanya ke sungai.
Namun didong doah bibi si rembah ku lau yang penulis maksud disini adalah
didong doah bibi si rembah ku lau yang terkait dengan konteks pesta
perkawinan pada masyarakat Karo.
Didong doah bibi si rembah ku lau adalah nyanyian yang acap kali
disajikan saat upacara perkawinan. Penyajinya adalah bibi si rembah ku lau,
1 Wawancara dengan Malem Ukur Ginting, 10 Maret 2011
2
yaitu saudara perempuan dari ayah sisereh (pengantin perempuan). Didong
doah bibi si rembah ku lau yang disajikan pada upacara perkawinan
merupakan refleksi ataupun flashback terhadap didong doah yang disajikan
bibi si rembah ku lau mana kala sisereh masih bayi. Flashback disini
maksudnya adalah bahwa upacara perkawinan sisereh adalah merupakan
kesempatan bagi bibi si rembah ku lau untuk mengingatkan atau menceritakan
kepada sisereh—dengan cara bersenandung didong doah—riwayat hidupnya
ketika masih bayi.2 Lewat didong doah ini, bibi si rembah ku lau juga
menuturkan bagaimana dahulu dia begitu menyayangi sisereh, sehingga begitu
banyak kain gendongan yang rusak akibat menggendong dan menidurkannya
setiap saat.3 Untuk kepentingan tersebutlah didong doah bibi si rembah ku lau
selalu disajikan dalam upacara perkawinan.
Didong doah bibi si rembah ku lau adalah sesuatu yang disajikan
dengan cara disenandungkan. Menurut pemahaman masyarakat Karo apabila
didong doah diungkapkan tanpa melantunkan lagunya, maka hal itu tidak
disebut erdidong (bernyanyi) melainkan ngerana (berbicara), khususnya di
upacara perakawinan. Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, didong
doah bibi si rembah ku lau selalu dinyanyikan. Pada umumnya masyarakat
Karo tidak pernah menyebut erdidong doah bibi sirembah ku lau melainkan
didong doah bibi si rembah ku lau. Karena bahasanya terdengar sangat rancu.
2 Dalam senandungnya bibi sirembah ku lau tidak ada mengungkapkan bahwa si bayi adalah calon menantunya, karena hal tersebut sudah jelas terlihat dalam garis kekerabatan yang dimiliki oleh ayah si bayi dengan bibi sirembah ku lau tersebut. 3 Wawancara dengan Katalemuk br Sukatendel, 22 Februari 2011
3
Saat penyajian, teks didong doah bibi si rembah ku lau biasanya
terungkap secara spontan berdasarkan suasana hati si pelaku dan konteks
acaranya. Teks yang disajikan pada upacara perkawinan selalu menggunakan
bahasa sehari-hari, termasuk ungkapan-ungkapan yang digunakan, seperti
ungkapan rasa syukur, rasa senang ataupun ungkapan kesedihan dan
penyesalan.
Diskusi dalam skripsi ini akan diarahkan pada penelaahan fungsi sosial
dan budaya didong doah bibi si rembah ku lau. Dengan kata lain—sebagai
media pendidikan sosial dan budaya—didong doah bibi si rembah ku lau
adalah suatu format ekspresi musikal yang mengandung nilai dan norma
kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu skripsi ini akan lebih jauh
mengindentifikasi kandungan nilai dan norma tersebut di dalam teks didong
doah. Dengan mendeskripsikan teks didong doah bibi si rembah ku lau—yaitu
memahami makna wacana/teks; yang dalam hal ini dapat diartikan melihat arti
yang tersurat maupun tersirat dari teks didong doah bibi si rembah ku lau,
memahami strukutur teksnya, serta melihat hubungan antara tekstual dengan
aktivitas ekstra musikal4 yang muncul pada saat penyajiannya, —maka akan
dapat dipahami kemudian tentang fungsi sosial dan budaya didong doah bibi si
rembah ku lau.
Oleh karena didong doah bibi si rembah ku lau merupakan sebuah
nyanyian, tentulah juga memiliki aspek struktur musikal. Struktur musikal
didong doah bibi si rembah ku lau akan mendapat porsi diskusi di dalam 4 Ekstra musikal adalah kegiatan atau kejadian-kejadian yang muncul di luar musikal—kegiatan ini dapat berupa gerakan,ucapan, maupun ekspresi—yang mana merupakan masih menjadi bagian dari sebuah upacara.
4
skripsi ini. Lebih jauh, karena setiap penyaji didong doah bibi si rembah ku lau
yang berbeda menyajikan gaya yang berbeda, maka akan pula diperhatikan dan
didiskusikan perbedaan tersebut yang sebenarnya menjadi karakter dari setiap
penyajinya. Melalui penganalisaan dimaksud diharapkan dapat memberikan
gambaran umum struktur musikal didong doah bibi si rembah ku lau ini.
Oleh karena itu penulis memberi judul “Analisis Struktur Musikal,
Tekstual dan Fungsi Sosial Budaya Didong Doah Bibi Si rembah Ku Lau Pada
Masyarakat Karo di Berastagi” pada tulisan ini. Meskipun penyajian dari
didong doah bibi si rembah ku lau ini masih disajikan pada pesta perkawinan
masyarakat Karo, namum hal ini tidak menjadi perhatian bagi masyarakat serta
belum banyak dikaji oleh para peneliti. Hal itu lah yang menyebabkan penulis
terdorong untuk melakukan peneletian ini. Selain itu penulis tertarik untuk
melihat apa fungsi sosial dan budaya didong doah bibi si rembah ku lau itu
sendiri dalam kehidupan masyarakat Karo, dengan mengkaji teks didong doah
tersebut.
Tulisan ini merupakan tulisan yang dibuat untuk melanjutkan penelitian
sebelumnya yang pernah dilakukan oleh salah seorang sarjana Etnomusikologi,
yaitu Rumondang Siahaan. Adapun perbedaan yang dapat dilihat adalah
terletak pada judul dan pokok permasalahannya. Judul yang dibuat oleh
Rumondang Siahaan adalah “Studi Analisis Didong Doah Dalam Pesta
Perkawinan Pada Masyarakat Karo”, sedangkan judul yang penulis buat adalah
“Analisi Struktur Musikal, Tekstual dan Fungsi Sosial Budaya Didong Doah
Bibi Si rembah Ku Lau Pada Masyarakat Karo di Berastagi”. Dari kedua judul
5
tersebut jelas terlihat bagaimana perbedaannya. Judul yang penulis kemukakan
lebih spesifik jika dibandingkan dengan judul yang dikemukakan oleh
Rumondang Siahaan. Begitu juga pada pokok permasalahannya, adapun pokok
permasalahan yang dikemukakan oleh Rumondang adalah tentang bagaimana
gambaran umum mengenai pesta perkawinan pada masyarakat karo serta
kaitannya dengan penyajian didong doah dan menganalisis melodi didong
doah tersebut. Sedangkan pokok permasalahan yang penulis kemukakan adalah
apa fungsi sosial dan budaya didong doah bibi si rembah ku lau dalam
kehidupan masyarakat karo, dan selain menganalisa struktur musikalnya,
penulis juga mendeskripsikan teks didong doah bibi si rembah ku lau dengan
melihat makna kalimat, dan hubungan teks dengan kegiatan ekstra musikal
pada upacara perkawinan masyarakat Karo. Adapun tujuan penulis
menjelaskan perbedaan-perbedaan ini adalah agar tidak terjadi pengulangan
ataupun duplikasi terhadap tulisan dari pada Rumondang Siahaan tersebut.
1.2. Pokok Permasalahan
Ada beberapa hal pokok yang menjadi perhatian utama dalam skripsi ini,
antara lain.: apa fungsi sosial dan budaya didong doah bibi si rembah ku lau
dalam kehidupan masyarakat Karo, dan bagaimana format struktur musikal
maupun tekstual didong doah. Dengan kata lain apakah setiap penyanyi didong
doah bibi si rembah ku lau mengaplikasikan sebuah struktur yang sama dan
bersifat umum atau tergantung kepada setiap penyaji dan bersifat individu?
6
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
fungsi sosial dan budaya didong doah bibi si rembah ku lau dalam kehidupan
masyarakat Karo. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisa
struktur musikal dan mendeskripsikan—melihat struktur— teks didong doah
bibi si rembah ku lau.
1.4. Manfaat penelitian
Selain sebagai skripsi, penelitian ini juga menjadi penelitian lanjutan dari
apa yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti budaya Karo sebelumnya, juga
untuk memperdalam pengetahuan tentang didong doah dalam perkawinan
Karo dan menambah referensi dan dokumentasi budaya Karo. Lebih dari pada itu
penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai materi dasar atau awal
untuk penelitian selanjutnya.
1.5. Konsep
Didong doah adalah salah satu musik vokal yang terdapat dalam
kesenian masyarakat karo. Masyarakat Karo mengenal tiga jenis didong
doah, yaitu didong doah anak (nyanyian menidurkan anak), didong doah maba
anak ku lau (nyanyian memandikan anak ke sungai), dan didong doah bibi si
rembah ku lau (nyanyian pada pesta perkawinan). Didong doah merupakan
nyanyian yang tidak memiliki teks yang baku, dengan kata lain teks muncul
7
dengan spontan berdasarkan suasana hati si penyaji. Didong doah ini adalah
nyanyian yang berisi pesan dan nasehat-nasehat, atau dengan kata lain dapat
juga disebut dengan nyanyian nasehat. Namun didong doah yang
dimaksud penulis disini adalah didong doah yang terdapat dalam
upacara perkawinan masyarakat Karo yang disajikan oleh bibi si
rembah ku lau (saudara perempuan ayah sisereh).
Analisis dapat diartikan menguraikan atau memilah-milah suatu hal
atau ide ke dalam setiap bagian-bagian sehingga dapat diketahui bagaimana
sifat, perbandingan, fungsi, maupun hubungan dari bagian-bagian tersebut.5
Analisis yang penulis maksud disini adalah menelaah dan menguraikan
struktur musikal nyanyian didong doah, seperti tangga nada, modus, melodi,
harmoni, sistem tuning, pola ritem, birama, kualitas suara, dan keras lembutnya
suara.
Struktur adalah cara bagaimana sesuatu itu dibangun/dibentuk dari
beberapa unsur-unsur tertentu. Struktur musikal adalah unsur-unsur yang
terdapat dalam sebuah musik, seperti unsur tangga nada, melodi, harmoni, pola
ritem, dan lain sebagainya.
Fungsi dapat dikatakan adalah manfaat atau kegunaan dari suatu hal.
Sosial merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat. Fungsi sosial adalah manfaat maupun kegunaan suatu hal dalam
kehidupan masyarakat. Dalam hal ini penulis akan melihat apa fungsi atau pun
kegunaan didong doah dalam kehidupan masyarakat Karo.
5 Webster’s New World Collage Dictionary
8
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat-istiadat yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa
identitas bersama (Koentjaraningrat 2002 : 146-147). Menurut para ahli
antropologi masyarakat adalah sekelompok orang yang tinggal di suatu
wilayah dan yang memakai suatu bahasa umum yang biasanya tidak dimengerti
oleh penduduk tetangganya (Carol R. Ember dan Melvin Ember dalam T.O.
Ihromi 1994 : 22).
Masyarakat Karo yang dimaksud penulis disini adalah masyarakat Karo yang
tinggal dan menempati daerah dataran tinggi Karo (kabupaten Karo),
khususnya masyarakat Karo yang tinggal di kota Berastagi, di mana penulis
melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan upacara perkawinan yang pernah
dilaksanakan disana
1.6. Kerangka Teori
Penggunaan dan fungsi musik adalah sesuatu yang penting dipelajari di dalam
disiplin ilmu etnomusikologi, karena hal tersebut berhubungan langsung dengan
makna atau kepentingan dari musik itu sendiri di tengah-tengah masyarakat
pemiliknya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Alan P. Merriam :
... for in the study of human behavior we search constantly ... not only for the descriptive facts about music, but, more important, for the meaning of music ... We wish to know not only what a thing is, but, more significantly, what it does for people and how it does it (1964:209)
Merriam mengungkapkan bahwa sebenarnya kita tidak cukup jika
hanya mengumpulkan fakta-fakta tentang musik, yang paling penting adalah
9
apa makna musik tersebut. Kita diharapkan tidak hanya mengetahui apa musik
tersebut, tetapi yang lebih penting adalah apa yang dilakukan musik tersebut
terhadap masyarakat pendukungnya dan bagaimana dampak atau efek yang
dihasilkan terhadap masyarakat pendukungnya sendiri.
Lebih lanjut lagi Merriam mengatakan : “Use” then, refers to situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reasons for its employment and particularly the broader purpose which it serve.
Merriam mengatakan bahwa penggunaan musik menekankan terhadap
situasi yang bagaimana di dalam pelaksanaannya pada aktifitas masyarakatnya.
Sedangkan fungsi musik meliputi alasan-alasan mengapa musik diadakan
secara khusus dan apa saja yang dapat dilakukan/diberikan musik tersebut
terhadap pemakainya (1964:210)
Mutaqqin berpendapat bahwa musik banyak digunakan sebagai media
untuk mengajarkan norma-norma, aturan-aturan yang sekalipun tidak tertulis
namun berlaku di tengah masyarakat (Moh. Muttaqin 2009:10 ). Para pencipta
lagu anak seperti Bu Kasur, Pak Kasur, Pak Daljono, AT Mahmud, Ibu Sud—
semua berupaya mengajarkan anak-anak berperilaku sopan, halus, hormat
kepada orangtua, cinta keindahan, sayangi tanaman dan binatang, patuh pada
guru, dan lain sebagainya. Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa musik juga
berperan sebagai sarana untuk mendidik manusia agar berprilaku baik di
tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
10
Beberapa teori dan pendapat diatas selanjutnya akan penulis gunakan sebagai
landasan didalam pembahasan fungsi sosial didong doah pada kehidupan
masyarakat Karo.
Salah satu sumber pokok yang dapat kita pakai untuk memperdalam pengertian
tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan musik adalah pada teks
nyanyian (Merriam 1964:187). Studi tentang teks juga memberikan
kesempatan untuk menemukan hubungan antara aksen dalam bahasa dengan
aksen pada musik, serta sangat membantu melihat reaksi musikal bagi sebuah
kata yang dianggap penting dan pewarnaan kata-kata dalam puisi (William P.
Malm, 1977 : 9). Pendapat kedua yang diungkapkan oleh Malm tentang reaksi
musikal akan penulis gunakan dalam melihat hubungan teks didong doah
dengan aktivitas ekstra musikal yang terjadi pada saat upacara berlangsung.
Bagaimana reaksi terhadap pengantin dari kata-kata yang diungkapkan si
penyaji dalam teks didong doah bibi si rembah ku lau tersebut.
Aspek-aspek musikal yang perlu diperhatikan dalam
mentranskripsikan dan menganalisis melodi nyanyian didong doah yaitu : pola
ritem, meter, intensitas suara (keras lembutnya suara), tangga nada, melodi,
interval, frasa, bentuk, maupun teksturnya. Aspek-aspek tersebut oleh Slobin
dan Titon (1984) disebut dengan gaya, mereka berpendapat :
Style, this includes everything related to the organization of musical sound itself: pitch elements (scale, mode, melody, harmony, tuning systems, and so forth), time elements (rhythms, meter), timbre elements (voice quality, instrumental tone color), and sound intensity (loudness and softness).
11
Menurut mereka gaya adalah segala sesuatu yang terkait dengan
organisasi bunyi musikal itu sendiri. Selanjutnya ada empat elemen yang
menurut mereka adalah aspek penting yang harus diperhatikan dalam melihat
gaya sebuah musik, yaitu: elemen nada (tangga nada, modus, melodi, harmoni,
sistem tuning), elemen waktu (pola ritem, birama), elemen warna suara
(kualitas suara, warna bunyi instrumental), dan elemen intensitas suara (keras
lembutnya suara).
Style atau gaya yang diungkapkan oleh mereka merupakan beberapa
struktur yang terdapat dalam sebuah musik. Selanjutnya, pernyataan Slobin
dan Titon diatas akan penulis jadikan sebagai pedoman dalam menganalisis
gaya nyanyian didong doah.Dengan kata lain aspek-aspek tersebut diatas akan
dilihat dalam didong doah, dengan pengecualian bahwa hal-hal yang menurut
penulis tidak perlu dianalisis—misalnya modus dan harmoni—tidak akan
dibicarakan di dalam pembahasan gaya nyanyian didong doah tersebut.
1.7. Metode Penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor
dalam Moleong, 1989:3). Sejalan dengan defenisi tersebut, Kirk dan Miller
mendefenisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada
manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang
12
tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (Kirk dan Miller dalam
Moleong, 1989 : 3).
Menurut Curt Sachs dalam Nettl (1962:16) penelitian dalam
etnomusikologi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: kerja lapangan (field work)
dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan meliputi pengumpulan dan
perekaman data dari aktivitas musikal dalam sebuah kebudayaan manusia,
sedangkan kerja laboratorium meliputi pentranskripsian, menganalisis data dan
membuat kesimpulan dari keseluruhan data.6
Dalam rangka mendeskripsikan sebuah musik, kita dianjurkan
memperhatikan strukturnya, maka dilakukanlah transkripsi terhadap musik
tersebut. Dalam melakukan transkripsi terhadap suatu musik, kita dapat
menggunakan dua pendekatan, seperti yang diungkapkan oleh Nettl; pertama
kita dapat menganalisa dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan kedua
kita dapat mendeskripsikan apa yang kita lihat dan menuliskannya di atas
kertas dengan cara penulisan tertentu (1964:98).
Apa yang dikemukakan oleh Nettl ini akan dijadikan pedoman oleh
penulis dalam menganalisis—dengan berpedoman pada pendekatan yang ke
dua—gaya melodi yang terdapat dalam nyanyian didong doah.
Penulis juga melakukan pendekatan emik dan etik dalam penelitian ini,
karena penulis adalah ‟orang dalam‟ (insider). Penulis menganggap hal ini
penting karena dapat membantu penulis untuk mendapatkan semua informasi.
Conrad dalam bukunya Cultural Anthropology mengemukakan:
6 Curt Sachs dalam Bruno Nettl, 1964 : 62
13
Emic approaches focus on native perceptions and explanations. Etic approaches give priority to the ethnographer’s own observations and conclusions.
Conrad menyebutkan pendekatan emik merupakan fokus pendekatan
menurut pandangan dan keterangan pemilik budaya tersebut, sedangkan
pendekatan etik adalah pendekatan berdasarkan pengamatan dan kesimpulan
peneliti itu sendiri.7 Dalam hal ini penulis bisa memandang budaya Karo dengan
pendekatan emik maupun etik. Kedua pendekatan ini dilakukan untuk
mendapatkan data yang objektif
Adapun metode-metode yang penulis lakukan dalam penulisan skripsi
ini adalah: studi kepustakaan, penelitian lapangan dan kerja laboratorium.
Untuk lebih jelas lagi ke tiga metode tersebut akan dijelaskan selajutnya.
1.7.1. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan merupakan salah satu landasan dalam melakukan
sebuah penelitian, yaitu dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan
untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-
sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, buletin, artikel,
laporan penelitian dan lain-lain. Dengan melakukan studi kepustakaan penulis
akan mendapat input atau masukan tentang apa yang sudah dan belum diteliti.
Studi kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh pengetahuan
dasar tentang apa yang akan diteliti. Dalam hal ini penulis mempelajari skripsi
yang sudah pernah ditulis oleh salah seorang sarjana Etnomusikologi yaitu
7 Lihat Conrad Phillip Kottak dalam Cultural Anthropology
14
Rumondang Siahaan dengan judul Studi Analisis Didong Doah Dalam Pesta
Perkawinan Pada Masyarakat Karo (1991). Dengan mempelajari skripsi ini
penulis mendapat keuntungan yaitu mengenai gambaran umum tentang didong
doah bibi sirembah ku lau. Namun demikian skripsi ini hanya membahas
mengenai analisa melodinya saja, serta kaitannya dengan pesta perkawinan
pada masyarakat Karo. Kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini kemudian
akan penulis bahas dalam skripsi penulis. Selain menganalisa melodi dan
bentuk pola ritemnya, penulis juga melihat struktur umum musikal dan fungssi
sosial budaya didong doah bibi si rembah ku lau. Disamping mempelajari
skripsi Rumondang Siahaan, penulis juga membaca dan mendapat informasi
dari beberapa buku, seperti U.C Barus dan Drs. Mberguh Sembiring (1993), Ir.
Terang Malem Milala (2008), Darwan Prints S.H (1991), Sarjani Tarigan
(2009) dan Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan (1988). Adapun informasi yang
penulis peroleh dari buku-buku tersebut adalah berupa pengetahuan menganai
adat perkawinan masyarakat Karo, sistem kekerabatan, dan sistem religinya.
Dari sekian banyak buku yang penulis pelajari, Rumondang Siahaan adalah
satu-satunya penulis yang hanya membahas mengenai didong doah bibi si
rembah ku lau. Untuk itu penulis merasa sangat terbantu dengan adanya skripsi
tersebut.
Untuk melengkapi pengetahuan penulis dalam menulis skripsi ini,
penulis juga melakukan studi kepustakaan terhadap topik-topik lain yang
berhubungan dengan penelitian skripsi ini, seperti pengetahuan tentang
pendidikan, folklore, antropologi, sistem kekerabatan, linguistik, komunikasi,
15
etnograpi, dan musikologi. Selajutnya hasil yang didapat dari penelusuran
kepustakaan tersebut akan digunakan sebagai penambahan informasi dalam
penulisan skripsi ini.
1.7.2. Penelitian lapangan
Penelitian lapangan dilakukan agar penulis dapat mengetahui secara
keseluruhan mengenai objek yang diteliti. Dengan melakukan penelitian
lapangan, penulis dapat terlibat langsung dengan objek yang sedang diteliti dan
mendapat lebih banyak informasi. Dalam kerja lapangan penulis melakukan
pengamatan dan pengambilan data melalui perekaman terhadap jalannya upacara
secara keseluruhan. Selain melakukan perekaman, penulis juga melakukan
berbagai wawancara dengan beberapa tokoh adat, penyaji maupun individu-
individu yang pernah terlibat dalam menyajikan didong doah ini. Wawancara
dengan informan yang pernah terlibat melaksanakan didong doah bibi si
rembah ku lau penulis lakukan di Berastagi, tepatnya di Jalan Kejora-
Berastagi, tempat dimana informan tersebut menetap. Sedangkan perekaman
terhadap upacara perkawinan—yang menyajikan didong doah bibi si rembah
ku lau —dilakukan di Jambur Ta Ras Berastagi. Penulis juga melakukan
perekaman tambahan dengan meminta informan—yang pernah terlibat dalam
penyajian didong doah—untuk menyanyikan didong doah itu sendiri.
Adapun teknik wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara
berfokus (focus interview) yaitu melakukan pertanyaan selalu berpusat pada pokok
permasalahan. Selain itu juga melakukan wawancara bebas (free interview) yaitu
pertanyaan tidak hanya terfokus pada pokok permasalahan tetapi pertanyaan dapat
16
berkembang ke pokok permasalahan lainnya yang bertujuan untuk memperoleh
berbagai ragam data, namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan
(Koentjaraningrat, 1985:139). Hal ini penulis lakukan untuk mendukung data
yang telah diperoleh dari kerja lapangan maupun dari studi kepustakaan.
Perekaman audio-visual juga dilakukan selama upacara berlangsung.
Perekaman audio menggunakan kamera digital CANON IXUS 80 IS yang sudah
dilengkapi dengan alat perekam di dalamnya. Selain itu ada juga rekaman yang
dibuat di luar upacara. Rekaman ini dimaksudkan untuk memperjelas detil-detil
yang tak terekam dengan baik pada saat upacara. Rekaman ini dilakukan secara
digital. Gelombang suara yang muncul—dari suara si penyaji sesuai dengan
permintaan penulis—direkam secara langsung juga dari kamera digital CANON
IXUS 80 IS . Sedangkan rekaman audiovisual untuk mengabadikan adegan-
adegan yang terjadi dalam upacara juga tetap dilakukan dengan menggunakan
kamera digital CANON IXUS 80 IS.
1.7. 3. Metode Transkripsi
Transkripsi adalah proses penotasian bunyi, mengalihkan bunyi
menjadi simbol visual (Nettl, 1964 : 98). Pentranskripsian bunyi musik
merupakan suatu usaha untuk mendeskripsikan musik, yang mana hal ini
merupakan bagian penting dalam disiplin etnomusikologi.
Sebagai bahan transkripsi penulis mengambil tiga buah sampel
nyanyian didong doah dari tiga orang penyaji yang berbeda. Adapun alasan
penulis mengambil tiga sampel dari tiga penyaji yang berbeda adalah karena
penulis ingin melihat perbedaan struktur yang dinyanyikan oleh ketiga penyaji
17
tersebut, dengan membuat salah satu struktur sebagai pembanding terhadap dua
struktur lainnya. Sedangkan alasan penulis memilih ketiga orang tersebut
karena mereka adalah orang-orang yang sudah biasa dan berpengalaman dalam
menyajikan didong doah. Lebih dari pada itu ketiga penyaji masing-masing
menampilkan gaya yang berbeda dalam menyanyikan didong doah. Adapun
ketiga penyaji tersebut adalah: Nande8 Rony br Sembiring (70 tahun), Nande
Paksa br Sembiring (76 tahun), Nande Sabar br Tarigan (69 tahun).
Dalam mentranskripsikan nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau,
penulis meminta bantuan kepada beberapa teman yang mampu dalam hal
pentranskripsian.9 Namun pentranskripsian itu penulis batasi hanya pada satu
sampel saja, yaitu sampel C, karena sampel nyanyian ini direkam secara
langsung pada sebuah pesta perkawinan masyarakat Karo dan memakai iringan
musik. Kurangnya kualitas dari alat perekam yang digunakan menyebabkan
suara yang dihasilkan tidak bersih dan tidak jelas. Selain kurangnya
pengetahuan penulis tentang pentranskripsian, penulis juga merasa kesulitan
untuk membedakan antara bunyi musik pengiring dengan bunyi vokal yang
dihasilkan si penyaji, ditambah lagi penulis tidak mengetahui bagaimana cara
menghilangkan noice (kebisingan) pada rekaman tersebut. Banyaknya noice
yang terdengar membuat penulis merasa kesulitan untuk
mentranskripsikannya. Namun demikian hasil transkripsi yang telah penulis
dapatkan, tidaklah sepenuhnya benar. Setelah diperiksa kembali, ternyata
masih terdapat beberapa kesalahan. Oleh karena itu penulis pun memutuskan 8 Pada masyarakat Karo istilah nande digunakan pada wanita yang sudah menjadi seorang ibu. Nama anak tertua akan digunakan dibelakang istilah tersebut. 9 Franseda Sitepu S.Sn dan Saidul Irfan Hutabarat S.Sn.
18
untuk memperbaiki sendiri kesalahan-kesalahan tersebut, dengan tanpa bantuan
dari siapapun. Hal ini ternyata sangat bermanfaat bagi penulis, karena dapat
menjadi proses pembelajaran bagi penulis. Sehingga dua sampel nyanyian
lainnya penulis transkripsikan sendiri.
Adapun sampel nyanyian yang penulis transkripsikan tersebut adalah
sampel A dan C. Penyajian kedua sampel ini tidak didampingi dengan iringan
musik, karena penulis tidak mendapatkan sampel ini melalui sebuah pesta
perkawinan, melainkan dari dua orang informan—yang sekaligus juga sebagai
penyaji—yang langsung penulis wawancara. Karena kedua sampel ini tidak
diiringi dengan musik dan alat perekam yang digunakan berkualitas baik, hal
ini memberi kemudahan bagi penulis untuk mentranskripsikannya. Untuk
mentranskripsikan kedua sampel nyanyian tersebut, penulis melakukan dua
buah metode. Adapun kedua metode itu adalah : pertama, penulis
mentranskripsikan bunyi melodinya terlebih dahulu, yaitu dengan mendengar
nyanyian terebut frasa per frasa dan menirukan bunyinya pada instrumen
keyboard, lalu mencatat nada apa yang terdengar, kedua, lalu penulis
mentranskripsikan pola ritemnya, yaitu dengan memisahkan teks nyanyian itu
menjadi suku-suku kata. Setelah mendapatkan hasilnya (baik melodi maupun
pola ritemnya) penulis lalu memindahkannya ke dalam software musik
sibellius, kemudian mendengarkan kembali hasil yang telah dipindahkan
tersebut. Jika ada bunyi nada atau pola ritem yang kurang tepat, penulis
mendengarkan kembali sampel nyanyian tersebut, lalu kemudian
19
memperbaikinya hingga benar. Begitulah terus menerus cara yang penulis
lakukan pada setiap frasa sampel nyanyian tersebut.
Dalam memindahkan hasil transkripsi didong doah bibi si rembah ku
lau tersebut, penulis menggunakan sistem notasi barat. Adapun alasan penulis
memilih sistem notasi barat adalah pertama sistem notasi barat sangat cocok
digunakan untuk menunjukkan tinggi atau rendahnya suatu nada, kedua sistem
notasi barat bisa digunakan untuk menunjukkan nilai ritmis dari setiap nada.
Lebih dari pada itu simbol-simbol yang terdapat dalam sistem notasi barat
bersifat fleksibel, artinya untuk menyatakan sebuah nada yang sulit untuk
ditranskripsikan dapat dibubuhkan atau ditambahkan simbol lain sesuai dengan
kebutuhan yang penulis inginkan.
Pendekatan transkripsi yang penulis gunakan dalam tulisan ini adalah
pendekatan transkripsi deskriptif, yaitu mencatat semua detail-detail fenomena
bunyi musikal yang dapat didengar.10 Namun kenyataannya, ada detail-detail
fenomena musikal yang terlalu rumit untuk bisa dinotasikan, misalnya
pergeseran tinggi rendahnya nada yang sangat halus pada saat sebuah nada
dinyanyikan mau pun perbedaan yang sangat halus dalam nilai ritmis diantara
setiap nada. Persoalan diatas merupakan problema musikal yang sulit
divisualisasikan dalam penulisan dengan menggunakan sistem notasi barat.
Oleh karena itu detail-detail yang tidak dapat divisualisasikan oleh notasi barat
tersebut, akan di tangani dengan beberapa simbol tambahan.
Tabel 1.1. Simbol-simbol Tambahan Pada Pentranskripsian Didong Doah Bibi Si rembah Ku Lau
10 Lihat Seeger dalam Bruno Nettl, Theory and Method in Ethnomusicology, 1964 : 99
20
No Simbol Keterangan
1 ,
,
dan
Ketiga simbol ini digunakan untuk menunjukkan rengget. Perbedaan pada simbol-simbol ini menunjukkan adanya perbedaan gaya pada setiap rengget.
2
Simbol ini menyatakan bahwa pitch nada yang seharusnya lebih tinggi sedikit dari nada yang tertulis.
3 Simbol ini menyatakan bahwa nada yang seharusnya lebih rendah dari nada yang tertulis.
4
5
Simbol ini digunakan untuk membatasi setiap frasa (pada sampel A dan B) Simbol ini digunakan untuk membatasi setiap frasa pada sampel C.
6
Simbol ( ) digunakan untuk menunjukkan dinamika keras dan simbol ( ) digunakan untuk menunjukkan dinamika lembut. Yang dimaksud dengan dinamika disini adalah bertambah dan berkurangnya volume suara ketika sipenyaji menyanyikan didong doah bibi si rembah ku lau tersebut.
1.7.4. Kerja Laboratorium
Dalam kerja laboratorium akan dilakukan proses penganalisisan
terhadap semua data-data yang telah didapat. Setelah semua data yang diperoleh
dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya
dilakukan pengolahan data dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil
21
rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya dianalisis. Pada akhirnya,
data-data hasil pengolahan dan analisis disusun secara sistematis dengan
mengikuti kerangka penulisan.
1.8. Lokasi Penelitian
Daerah yang penulis ambil sebagai lokasi penelitian adalah di Kota
Berastagi, Kabupaten Karo. Adapun alasan penulis memilih lokasi ini adalah,
karena berastagi merupakan salah satu daerah tempat bermukimnya masyarakat
suku Karo di Kabupaten Tanah Karo, dengan begitu praktek penyajian didong
doah bibi si rembah ku lau masih sangat mudah ditemukan. Selain itu
Berastagi juga merupakan kampung halaman penulis dan semua kerabat dekat
penulis menetap disana, sehingga mudah bagi penulis untuk mencari dan
mendapatkan informan. Disamping itu dapat menghemat biaya untuk
transportasi dan makan sehari-hari penulis ketika melakukan penelitian. Dalam
melakukan wawancara dengan beberapa informan penulis juga tidak
menemukan adanya kendala ataupun kesulitan, karena penulis menguasai
bahasa Karo dengan baik, yang merupakan bahasa pengantar masyarakat di
Berastagi. Dekatnya jarak dari kampus penulis—yang berada di Medan—
dengan Berastagi merupakan salah satu alasan penulis memilih lokasi ini.
Karena dekatnya jarak tempuh tersebut, penulis dapat melakukan perjalanan
pulang dan pergi hanya dalam waktu sehari saja.
22
BAB II
ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT KARO
Pada bab II ini saya akan menguraikan tentang keadaan lingkungan dan
masyarakat Karo yang tinggal di Berastagi, seperti lokasi lingkungan alam dan
23
demografi, mata pencaharian dan sistem bahasa, serta etnografi umum
masyarakat Karo seperti sistem religi, sistem kekerabatan maupun sistem
keseniannya. Beberapa aspek tersebut menurut penulis juga penting untuk
jelaskan, karena selain untuk mengenalkan daerah penelitian penulis kepada
pembaca, beberapa aspek seperti sistem bahasa, sistem kekerabatan dan sistem
keseniannya juga berhubungan dengan didong doah bibi si rembah ku lau.
Penyajian didong doah bibi si rembah ku lau menggunakan bahasa Karo dan
disajikan di pesta perkawinan, yang mana masalah perkawinan disini
berhubungan erat dengan sistem kekerabatan. Penulis juga berpendapat bahwa
sistem kesenian juga menjadi aspek yang sangat penting untuk dibahas disini,
karena didong doah bibi si rembah ku lau merupakan salah satu bentuk seni
vokal dari kebudayaan musikal Karo. Berikut ini akan dijelaskan beberapa
aspek tersebut secara umum.
2.1 Lokasi Lingkungan Alam dan Demografi
Daerah yang penulis ambil sebagai lokasi penelitian adalah Berastagi,
Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo. Berastagi berjarak ± 65 km dari ibu
kota propinsi Sumatera Utara dan dapat di tempuh dengan menggunakan bus
umum, dengan lama perjalanan sekitar 1,5 jam (jika kondisi arus lalu lintas
dalam keadaan normal).
24
Gambar 2.1. Kota Berastagi dilihat dari Puncak Gundaling11
Berdasarkan data monografi yang diperoleh penulis dari kantor
kecamatan Berastagi, luas wilayah daerah tersebut adalah 3.050 ha dengan
jumlah penduduk 40.500 jiwa. Berastagi terletak 1400 meter di atas permukaan
laut dengan suhu rata-rata 16° C - 22° C dan diapit oleh dua gunung berapi ;
Sinabung (2400 m) dan Sibayak (2100 m).12
Kecamatan Berastagi berbatasan dengan Kabupaten Deli
Serdang di sebelah utara, Kecamatan Kabanjahe di sebelah selatan, sebelah
barat berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat, dan sebelah timur
berbatasan dengan Kecamatan Tigapanah dan Barusjahe. (Data Statistik
Kecamatan Berastagi tahun 2010).
11 Sumber : Dokumentasi penulis, 6 Februari 2009 12 http://www.dharssi.org.uk/travel/indonesia/berastagi.html
25
Gambar 2.2. Peta Kecamatan Berastagi13
Berastagi merupakan daerah yang subur dan sangat berpotensi dalam
bidang pertanian, oleh karena itu Berastagi dikenal sebagai salah satu daerah
penghasil sayur dan buah terbesar di Sumatera Utara. Dengan suhu yang dingin
dan tanah yang subur14, membuat daerah ini sangat cocok untuk kegiatan
pertanian. Tidak sedikit dari hasil pertanian tersebut yang di ekspor ke luar
negeri.
13 Sumber : Kantor Camat Berastagi. 14 Tanah yang subur berasal dari letusan dahsyat gunung Sibayak (1881). Letusan vulkanik tersebut menyebabkan tanah disekitarnya menjadi sangat subur dan sangat cocok digunakan untuk kegiatan bercocok tanam.
26
Selain itu Berastagi juga dikenal sebagai salah satu daerah tujuan
wisata, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Hal ini disebabkan
karena adanya dua gunung berapi yang menjadi tujuan pendakian wisatawan
serta keadaan alamnya yang masih sejuk dan asri. Disamping itu ada beberapa
tujuan wisata yang juga menarik perhatian para wisatawan, seperti Bukit
Gundaling, Pasar Buah (yang menjual berbagai macam buah-buahan yang
dihasilkan dari bumi Berastagi sendiri), dan wisata sado/delman.
Mengenai keadaan penduduk , pendidikan, pertanian, sarana gedung
serta kelengkapan lainnya dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini.15
TABEL 2.1 Distribusi Penduduk Menurut Jenis Kelamin
No Wanita Pria Jumlah (Jiwa)
1 21.074 19.426 40.500
TABEL 2.2 Distribusi Sarana Pendidikan
No SMU SMP SD
Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta
1 2 6 3 5 18 8
TABEL 2.3 Distribusi Sarana Kesehatan
No Rumah sakit/
bersalin/klinik Puskesmas Pustu BKIA Posyandu
1 32 2 10 13 25
15 Data ini diperoleh dari data monografi (2010) yang terdapat di kantor camat Kecamatan Berastagi.
27
TABEL 2.4 Distribusi Tempat Peribadatan
No Mesjid/Mushola Gereja Kuil Vihara 1 30 31 _ 3
TABEL 2.5 Jumlah Tenaga Kerja yang Bekerja Menurut
Lapangan Pekerjaan
No Pertanian Industri PNS/ABRI Lainnya 1 18.961 1.772 1.041 312
TABEL 2.6 Luas dan Produksi Tanaman
No Jenisnya Luas
Tanaman/ ha Luas yang panen/ ha
Rata-rata produksi/ ton
1. Padi
- - -
2. Jagung
34 50 5,2
3. Ketela pohon
25 38 0,8
4. Ketela rambat
30 45 1,2
5. Sayur-sayuran 904 850 -
6. Buah-buahan 81 159 -
Data pertanian mengenai tanaman padi tidak ada ditunjukkan pada tabel
diatas, karena tidak ditemukannya masyarakat di Berastagi yang bercocok
tanam menanam padi. Mengenai kosongnya data rata-rata produksi pada
tanaman sayur dan buah, dikarenakan data yang penulis peroleh dari kantor
camat Berastagi memang tidak lengkap. Disamping itu penulis juga merasa
28
tidak perlu untuk mencari tahu mengenai hal tersebut, karena penelitian ini
bukan berfokus pada masalah pertaniannya.
TABEL 2.7 Sarana Gedung dan Kelengkapan Lainnya
No Sarana Gedung Jumlah
1. Kantor Camat 1 unit
2. Kantor Kepala Desa/Kelurahan 9 unit
3. Koperasi Unit Desa 1 unit
4. Hotel 9 unit
5. Penginapan/ Losmen/ Wisma 31 unit
6. Bank Umum 4 unit
7. BPR 3 unit
Jika dilihat kembali tabel diatas menunjukkan bahwa sarana hotel,
penginapan, losmen maupun wisma memiliki jumlah unit yang paling banyak
diantara sarana gedung lainnya. Sekitar 70% sarana gedung tersebut terdapat di
Berastagi. Ini menunjukkan bahwa kepariwisataan di Berastagi berkembang
pesat.
Melihat keterangan dari tabel-tabel tersebut, wilayah Kecamatan
Berastagi dapat dikatakan berpotensial dalam bidang pertanian dan pariwisata.
Dalam bidang pertanian, dapat dilihat dari banyaknya hasil pertanian dan
tenaga kerja yang bekerja di bidang yang sama. Sedangkan dalam bidang
pariwisata, dapat dilihat dari banyaknya (±68%) sarana-sarana penginapan
(hotel, losmen atau pun wisma) yang tersedia.
29
2.2. Masyarakat Karo di Berastagi
2.2.1. Mata Pencaharian
Melihat daerah Berastagi yang subur dan berpotensi tinggi dalam
bidang pertanian, tidak heran jika sebagian besar mata pencaharian
penduduknya adalah bertani terutama penduduk asli yang turun temurun telah
menetap di sana. Namun demikian sebagian penduduknya juga ada yang
bermata pencaharian sebagai pegawai (swasta maupun negeri), pedagang,
maupun kuli di tanah-tanah perkebunan. Biasanya penduduk yang bermata
pencaharian sebagai pedagang maupun kuli adalah penduduk (suku)
pendatang16, karena sebagian besar dari mereka tidak memiliki sawah atau
kebun sendiri untuk diolah.
Gambar 2.3. Lahan perkebunan milik rakyat17
Selain berpotensi di bidang pertanian, Berastagi juga memiliki potensi
yang cukup tinggi dalam bidang pariwisata. Oleh karena itu sebagian dari
16 Suku-suku pendatang di Tanah Karo adalah Batak Toba, Simalungun, Jawa, Padang, Nias dan Tionghoa. 17 Sumber : Dokumentasi penulis, 6 Februari 2009
30
penduduknya juga ada yang bermata pencaharian sebagai pengusaha dalam
bidang jasa, yang menawarkan jasa perhotelan, penginapan, maupun losmen.
2.2.2. Bahasa
Berastagi merupakan salah satu daerah di Kabupaten Tanah Karo yang
penduduknya adalah mayoritas suku Karo. Bahasa Karo merupakan bahasa ibu
dari masyarakat Karo yang menetap disana. Hampir seluruh masyarakat Karo
menggunakan bahasa Karo sebagai media komunikasi dalam percakapan
formal maupun percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan sebagian
penduduk yang tidak bersuku Karo pun mengerti dan fasih menggunakan
bahasa ini, karena bahasa Karo lebih sering digunakan jika dibandingkan
dengan bahasa nasional (bahasa indonesia). Hal ini mengharuskan mereka
untuk beradaptasi dengan penduduk asli yang dalam kesehariannya
menggunakan bahasa karo.
Masyarakat Karo juga memiliki aksara atau tulisan sendiri yang disebut
dengan indung surat. Aksara Karo terdiri dari 21 huruf. Adapun bunyi huruf-
huruf itu menurut Barus dan Sembiring dalam buku mereka ”Sejemput Adat
Budaya Karo” adalah : ha, ka, ba, pa, na, wa, ga, ja, da, ra, ma, ta, sa, ya, nga,
la, ca, nda, mba, i, u.
31
Gambar 2.4. Indung Surat Aksara Karo18
Aksara Karo tersebut juga di lengkapi dengan beberapa aksara
tambahan yang disebut dengan anak surat. Adapun fungsi dari anak surat ini
adalah untuk merubah bunyi indung surat. Berikut ini dapat kita lihat beberapa
anak surat pada aksara karo serta contoh-contoh penggunaannya.
TABEL 2.8 Penggunaan Anak Surat dalam Indung Surat
Sumber : Roberto Bangun (2005)
No
Bentuk/ gambar
Anak Surat
Nama Contoh Dibaca
Fungsi
1.
Kebencaren
Ta-tang
Menambah huruf ng pada akhir kata
2.
Ketolongen
Ka-ro
Mengubah akhiran a menjadi o
3.
Kalawen
Ja-di
Mengubah akhiran a menjadi i
18 Sumber : Sejemput Adat Budaya Karo oleh U.C Barus dan Drs. Mberguh Sembiring S.H.
32
4.
Kejeringen
La-wah
Menambah huruh h pada akhir kata
5.
Ketelengen
Ma-te
Mengubah akhiran a menjadi ē
6.
Sikurun
Ja-bu
Mengubah akhiran a menjadi u
7.
Kebereten
Le-nga
Mengubah akhiran a jadi e
8.
Pemantik
Ka-m
Menghilangkan huruf vokal pada akhir kata
2.2.3. Sistem Religi dan Kepercayaan
Kepercayaan yang paling tua pada masyarakat Karo adalah Dinamisme
dan Animisme. Dalam tingkat kepercayaan ini dilakukan pemujaan yakni
penyembahan kepada yang dianggap suci dan berkuasa, dan pemujaan tersebut
dilakukan dimana saja dan kapan saja (E.P. Gintings, 1999:1). Dengan
memeluk kepercayaan tersebut masyarakat Karo selalu berfikir secara mistis
dan memakai mitos-mitos untuk memahami hidup dan keadaan lingkungan
sekitar. Mitos-mitos inilah yang selanjutnya dijadikan acuan dalam mengatur
dan mengarahkan seluruh kegiatan hidupannya.
Sistem kepercayaan animisme berasal dari zaman Pra-Hindu yang
dibawa oleh bangsa Proto-Melayu—nenek moyang masyarakat Karo—ke
33
dalam wilayah Karo. Dalam lapisan sejarah berikutnya, pengaruh Hindu pun
memasuki Karo, yang membuat kepercayaan kepada dewata. Kepercayaan ini
dibawa oleh pedagang-pedagang dari India (Tamil) yang masuk dari pantai
Barat, Barus, dan terus ke Dairi hingga masuk ke Karo.19 Selanjutnya terjadilah
pertemuan antara kepercayaan animisme (serba roh) dengan kepercayaan
terhadap dewata (Dibata dalam bahasa Karo) melalui adanya perkawinan
campuran masyarakat Karo dengan bangsa India/ Tamil. Pengaruh Hindulah
yang memperkenalkan kepercayaan terhadap Dewata (Dibata) kepada suku
Karo (Gintings 1992:2). Penganut kepercayaan terhadap Dibata ini disebut
juga Perbegu. Perbegu berasal dari kata begu yang artinya hantu atau roh
orang-orang yang sudah meninggal. Kepercayaan animisme dan dinamisme
selanjutnya dapat berbaur serasi dengan pengaruh Hindu, sehingga ritus-ritus
yang berhubungan dengan alam dan benda-benda yang dianggap gaib dapat
terus berlangsung (Gintings 1992:3)
Gintings dalam bukunya Religi Karo, juga menyebutkan bahwa
kepercayaan terhadap Dewata ini merupakan kepercayaan terhadap Dibata
Kaci-Kaci atau Dibata La Idah. Dibata Kaci-Kaci memiliki tiga wilayah
kekuasaan yang masing-masing diperintah oleh seorang Dibata sebagai wakil
Dibata Kaci-Kaci. Ketiga Dibata tersebut merupakan satu kesatuan yang
dalam bahasa Karo disebut Dibata Sitelu (Gintings 1992:3).
Konsep Dibata Sitelu :
19 H. Parkin dalam Pdt. E.P. Gintings, 1999:2
34
1. Dibata Datas, yang disebut dengan Guru Batara adalah Dibata yang
menguasai dunia bagian atas (langit). Guru Batara berfungsi sebagai
pemelihara alam, sumber segala berkat dan kebaikan.
2. Dibata Tengah, yang disebut dengan Tuhan Padukah ni Aji adalah
Dibata yang menguasai dunia bagian tengah yaitu bumi.
3. Dibata Teruh, yang disebut Tuhan Banua Koling adalah Dibata yang
menguasai dunia bagian bawah yaitu dunia roh atau makhluk halus.
Masyarakat Karo juga memiliki beberapa kegiatan ritual atau upacara
ritual yang berhubungan dengan kehidupan mereka. Adapun kegiatan-kegiatan
tersebut dapat dilihat pada penjelasan dibawah ini.
a. Erpangir ku Lau
Erpangir ku lau adalah salah satu upacara ritual yang bersifat religius
pada kepercayaan tradisional masyarakat Karo. Erpangir ku lau dapat juga
diartikan keramas/upacara berkeramas ke sungai. Upacara ini dapat dilakukan
dengan/ tanpa bantuan seorang guru (dukun),20 tergantung pada permintaan
keluarga yang melaksanakannya.
20 Guru atau dukun yang memimpin upacara ini disebut Guru Sibaso. Guru Sibaso biasanya adalah seorang wanita. Guru Sibaso berfungsi sebagai mediator atau pun perantara antara roh-roh yang berada disekitar tempat pelaksanaan dengan keluarga yang melaksanakan upacara tersebut.
35
Gambar 2.5. Upacara Erpangir Ku Lau21
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi dilaksanakannya upacara
ini, yaitu : sebagai ucapan terimakasih kepada Dibata (Tuhan), untuk
menghindari malapetaka, untuk menyembuhkan suatu penyakit, pembersihan
diri dari yang kotor, menabalkan seseorang menjadi guru (dukun), dan untuk
melaksanakan perkawinan.
b. Raleng Tendi
Raleng tendi adalah upacara memanggil roh seseorang yang telah
mengembara atau meninggalkan raganya karena diganggu oleh keramat (roh
penunggu suatu tempat) atau karena suatu peristiwa tertentu. Hal tersebut
berhubungan dengan berawan22 yang membuat seseorang sakit. Roh orang
sakit itu lah yang perlu dipanggil pulang ke rumah dan kembali kepada raga
orang yang bersangkutan. Raleng tendi dilaksanakan oleh seorang Guru Sibaso
21 Sumber : www.karokab.go.id 22 Roh yang tertinggal atau yang pergi dari tubuh seseorang karena suatu peristiwa yang menakutkan yang mengakibatkan orang tersebut menjadi sakit-saitan (Darwin Prints, Kamus Karo-Indonesia 2002:91).
36
yang pandai ermang-mang (mengucapkan kata-kata puitis dan magis yang
menyentuh hati). Raleng tendi dilaksanakan pada malam hari di rumah sukut
(tuan rumah) yang dihadiri oleh sangkep nggeluh (kalimbubu, sembuyak, anak
beru) dan hari pelaksanaannya disesuaikan dengan hari yang baik menurut
guru simeteh wari (dukun yang mengetahui primbon hari).
Perlengkapan yang diperlukan untuk melaksanakan upacara ini adalah
baka (keranjang), bulung simelias gelar (dedaunan yang namanya mempunyai
makna baik), beras meciho ibas pernakan (beras putih di dalam bakul nasi)23,
tinaruh manuk raja mulia ( telur ayam yang disimbolkan sebagai kemuliaan),
amak mbentar (tikar putih yang terbuat dari anyaman pandan), dagangen
mbentar (kain putih), kumenen (kemenyan). Sebelum upacara dimulai sukut
terlebih dahulu memberikan sesajian kepada begu (roh orang mati) yang
dianggap sebagai pelindung keluarga. Setelah itu guru pun ersentabi (meminta
ijin) dan memanggil tendinya (rohnya) atau jinujungnya (begu yang menjadi
junjungannya). Orang yang rohnya dipanggil tersebut dipersilahkan duduk
diatas sebuah amak mbentar dan ditutupi dengan dagangen mbentar (kain
putih). Baka diangkat diatas kepalanya oleh dua orang gadis yang masih
lengkap kedua orang tuanya. Lalu guru pun mulai ermang-mang dengan
melantunkan beberapa lirik yang berhubungan dengan upacara tersebut.
Setelah ermang-mang dukun pun menggoncang-goncangkan beras yang ada
dalam pernakan (bakul nasi), bila baka yang dipegang ke dua gadis tersebut
bergetar, menandakan bahwa tendi yang dipanggil tadi telah kembali ke rumah.
23 Beras meciho merupakan sebutan untuk beras putih yang digunakan untuk keperluan suatu upacara.
37
Setelah itu dukun memasukkan telur ayam ke dalam pernakan, sebagai tanda
bahwa rohnya telah kembali ke raganya (orang yang sakit tersebut).
c. Perumah Begu
Perumah begu adalah upacara memanggil roh orang yang telah
meninggal. Perumah begu merupakan salah satu kepercayaan tradisional yang
hidup pada orang Karo. Menurut aliran kepercayaan ini bahwa orang yang
sudah meninggal, rohnya masih bisa di panggil melalui seorang dukun atau
Guru Sibaso. Guru Sibaso disini berfungsi sebagai mediator atau penghubung
antara roh tersebut dengan keluarga yang bersangkutan melaksanakan upacara.
Salah satu tujuan diadakannya upacara ini adalah karena adanya
perselisihan yang terjadi diantara keluarga yang bersangkutan, untuk itu perlu
di panggil roh nenek moyang mereka untuk mendamaikannya.24
Gambar 2.6. Upacara Perumah Begu25
24 Wawancara dengan Katalemuk br Sukatendel, 23 Agustus 2011) 25 Sumber : www.karosiadi.blogspot.com.
38
d. Ndilo Wari Udan
Ndilo wari udan adalah salah satu upacara dalam kebudayaan
masyarakat Karo yang bersifat magis. Tujuan upacara ini dilaksanakan adalah
untuk memohon hujan kepada dibata (Tuhan) karena kemarau yang
berkepanjangan. Dalam tradisi kepercayaan tersebut dipahami bahwa adanya
bencana yang dialami manusia atau sekelompok manusia karena terganggunya
hubungan manusia dengan alam sekitarnya akibat ulah manusia itu sendiri.
Misalnya jika terjadi kemarau, hal ini dapat mengganggu kegiatan pertanian
masyarakat yang berakibat pada siklus menanam pada para petani. Maka untuk
menghindari kemarau yang berkepanjangan diadakanlah upacara ndilo wari
udan.
Upacara ndilo wari udan juga dikenal dengan kebiasaan ersimbu
(perang air). Acara ini dimulai pada pagi hari, semua warga desa berkumpul di
kesain (alun-alun). Pembukaan ersimbu dibuka dengan mencurahkan air secara
simbolis kepada beberapa orang penting, seperti : simantek kuta (pendiri desa,
pengulu), anak beru kuta, kalimbubu kuta, senina dari simantek kuta, guru
(dukun) yang ada di desa tersebut. Setelah itu maka acara ersimbu sudah resmi
dimulai. Dengan melakukan upacara ini, diharapkan agar hujan pun turun.
e. Pagar dan Mere Buah Huta-huta
Pagar dan Buah huta-huta adalah roh pelindung keluarga dan atau roh
pelindung kampung. Pagar merupakan pemujaan penduduk di suatu kampung
terhadap begu (roh) leluhur sebagai tanda penghormatan. Letak pagar biasanya
disekeliling kampung.
39
Mere buah huta-huta juga memiliki persamaan dengan pagar, bedanya
adalah pada tempatnya saja. Jika pagar dilakukan disekeliling kampung, maka
mere buah huta-huta terletak di tengah kampung. Buah huta-huta adalah nama
pohon kayu nabar (sejenis pohon beringin) yang ditanam di tengah kampung
dan dijadikan sebagai tempat pemujaan. Mere artinya memuja roh tersebut.
Pemujaan dilakukan dengan membuat anjap telu suki.26 Pelaksanaan pemujaan
ini biasanya dilakukan oleh beberapa orang Guru Sibaso.
Pada umumnya masyarakat Karo di Berastagi sudah menganut
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan kata lain setiap individu
sudah memeluk agama yang diyakininya masing-masing. Agama yang umum
dianut oleh masyarakat Karo di Berastagi adalah Islam, Kristen Protestan dan
Katolik.
Mengenai kegiatan-kegiatan ritual seperti yang dijelaskan diatas,
masyarakat Karo di Berastagi sudah sangat jarang melakukannya, terutama
bagi individu yang sudah memeluk agama.
2.2.4. Sistem Kekerabatan
Masyarakat Karo memiliki sistem kekerabatan yang dikenal dengan
nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut/ daliken sitelu. Ketiga sistem
tersebut selalu diperlukan dan hadir dalam setiap upacara adat pada masyarakat
Karo, termasuk juga dalam sebuah upacara perkawinan.
2.2.4.1. Merga Silima
26 Sejenis tempat persembahan berbentuk segitiga, tiangnya terbuat dari bambu dan dihias keliling dengan lambe (daun muda enau),
40
Masyarakat Karo mempunyai sistem marga (klan). Marga atau merga
dalam bahasa Karo tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk
perempuan disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama
seseorang. Merga atau beru ini diperoleh dari marga ayah (garis keturunan
patrilineal). Garis keturunan patrilineal inilah yang selanjutnya dapat
memberikan arah dengan siapa seseorang boleh kawin dan tidak boleh kawin.
Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara
dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga
sama, maka mereka disebut ersenina (bersaudara), demikian juga antara
perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka
disebut juga ersenina. Namun bila ditemukan seorang laki-laki dengan
perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, dan dilarang
melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring yang ada dapat menikah
diantara mereka.
Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut
dengan merga silima, yang berarti marga yang lima. Kelima merga tersebut
adalah: Ginting, Karo-Karo, Perangin-angin, Sembiring, dan Tarigan. Kelima
merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Submerga ini biasanya
dipakai di belakang merga, sehingga tidak terlihat kerancuan mengenai
pemakaian merga dan submerga. Berikut akan disajikan merga dan
pembagiannya :
41
1. Ginting : Pase, Munthe, Manik, Sinusinga, Seragih, Suka,
Babo, Sugihen, Gurupatih, Suka, Beras, Bukit,
Garamata, Ajartambun, Jadibata, Jawak, Tumangger,
Capah
2. Karo-Karo : Purba, Ketaren, Sinukaban, Sekali, Sinuraya,
Sinuhaji, Jong/ Jung, Kemit, Samura, Bukit,
Sinulingga, Kaban, Kacaribu, Surbakti, Sitepu, Barus,
Manik, Gurusinga, Sinubulan.
3. Perangin-perangin : Sukatendel, Kutabuloh, Jomborberingen, Jenabun,
Kacinambun, Bangun, Keliat, Beliter, Mano, Pinem,
Sebayang, Laksa, Penggarun, Uwir, Sinurat,
Pincawan/ Pencawan, Singarimbun, Limbeng, Prasi,
Benjerang, Namohaji, Perbesi, Simanjorang,
Tanjung, Ulunjadi.
4. Sembiring. Merga sembiring terbagi menjadi dua kelompok submerga, yang
pertama adalah sembiring si man biang (kelompok yang tidak
memantangkan daging anjing dan tidak melakukan perkawinan dengan
submerga sembiring lainnya), dan yang kedua adalah sembiring si
mantangken biang (kelompok yang memantangkan daging anjing dan boleh
melakukan perkawinan dengan submerga sembiring lainnya). Uraiannya
dapat dilihat sebagai berikut : (a). Sembiring Siman Biang : Kembaren,
Keloko, Sinulaki dan Sipayung. (b). Sembiring Simantangken Biang :
42
Brahmana, Gurukinayan, Colia, Muham, Pandia, Keling, Depari, Bunuaji,
Milala/Meliala, Pelawi, Sinukapor, Tekang, Busuk, Pandebayang dan
Sinukapar.
5. Tarigan : Tua, Bondong, Jampang, Gersang, Cingkes, Gana-
gana, Peken/ Pekan, Tambak, Purba, Sibero, Silangit/
Selangit, Kerendam, Tegur, Tambun, Sahing,
Gerneng.
2.2.4.2. Tutur Si Waluh
Tutur adalah kedudukan atau status seseorang dalam masyarakat, yang
juga dapat menentukan kekerabatan seseorang. Untuk menunjukkan tingkat
kekerabatan di dalam masyarakat Karo dikenal dengan istilah ertutur
(bertutur). Ertutur adalah saling menanyakan identitas yang dilakukan oleh dua
orang atau lebih. Ertutur merupakan salah satu ciri masyarakat Karo bila ia
hendak berkenalan dengan seseorang yang belum pernah dikenalnya. Biasanya
diawali dengan menanyakan merga, kemudian bere-bere (marga ibu). Melalui
ertutur diperolehlah jalinan hubungan kekerabatan satu sama lain melalui
sapaan kekeluargaan yang diperoleh. Sapaan itu dapat berupa : bapa (bapak),
nande (ibu), mama (paman), mami (bibi), bengkila (panggilan istri kepada
mertua laki-laki), bibi (panggilan istri kepada mertua perempuan), senina
(saudara semarga), turang (laki-laki terhadap perempuan dan sebaliknya, yang
memiliki marga sama), impal (hubungan kekerabatan antara seorang pemuda
dengan anak dari saudara laki-laki ibunya), silih (abang ipar atau adik ipar),
43
bere-bere (keponakan), anak (anak), kempu (cucu), ente (cicit), entah (buyut),
turangku (panggilan seorang istri kepada suami dari kakak atau adik
perempuan suaminya), agi (adik), kaka (kakak laki-laki/ perempuan), permen
(panggilan mertua laki-laki terhadap menantu perempuannya), nini bulang
(kakek), nini tudung (nenek), empung (kakek dari ayah atau ibu), beru (nenek
dari ayah atau ibu).
Pada dasarnya begitu seseorang (kalak/ orang Karo) lahir ke dunia dia
telah memiliki Waluh (delapan) kemungkinan tutur, yaitu apakah sebagai
sebagai kalimbubu, puang kalimbubu, senina, sembuyak, senina sipemeren,
senina sepengalon/sedalanen, atau anak beru (Tarigan, 2009). Kedelapan
kemungkinan tutur tersebut dalam masyarakat Karo dikenal dengan istilah
Tutur Siwaluh, yang mana diperoleh melalui hubungan darah, hubungan
perkawinan, maupun melalui ertutur itu sendiri.
Proses ertutur yang dikenal dalam kalangan masyarakat Karo terdiri
dari enam lapis27 yaitu :
1. Merga/ beru adalah marga yang diturunkan/ diwariskan dari ayah,
untuk laki-laki disebut merga dan beru untuk perempuan.
2. Bere-bere adalah beru ibu kita. Jika ibu saya beru Karo, maka bere-
bere saya adalah bere-bere Karo.
3. Binuang adalah bere-bere ayah kita.
4. Kempu adalah bere-bere ibu kita.
27 Yusuf Tarigan dalam Sarjani Tarigan, 2009:102-103
44
5. Kampah adalah bere-bere dari kakek kita (dari pihak ayah)
6. Soler adalah bere-bere dari nenek kita (dari pihak ibu)
Lazimnya, masyarakat Karo hanya memakai proses ertutur sampai
lapisan kedua saja, sedangkan pada lapisan ketiga dan seterusnya biasanya
dipakai dalam acara-acara adat. Kecuali, bila dua orang yang hendak
berkenalan, sama sekali tidak memiliki hubungan merga atau beru yang pas,
maka diusutlah sampai lapisan ke enam. (Tarigan, 2009).
2.2.4.3. Daliken Sitelu
Secara harafiah daliken si telu berarti "tungku yang tiga". Daliken
berarti batu tungku, si berarti yang, telu berarti tiga. Secara nyata hal ini
menunjukkan pada fungsi batu tungku yaitu sebagai tempat untuk memasak
atau menyalakan api. Sebagian orang mengartikannya sebagai rakut si telu
(ikatan yang tiga), ada juga yang mengartikannya sebagai sangkep nggeluh
(kelengkapan hidup). Konsep ini tidak hanya terdapat pada masyarakat Karo
saja, tetapi juga dimiliki oleh suku Batak yang lain dengan nama yang berbeda.
Masyarakat Batak Toba dan Mandailing mengenalnya dengan sebutan dalihan
na tolu. Adapun unsur daliken si telu ini adalah Kalimbubu, sembuyak/senina,
dan anakberu.
Kalimbubu
45
Gambar 2.7. Sistem Daliken Sitelu28
Daliken si telu berfungsi sebagai alat pemersatu pada masyarakat Karo,
dan dapat mengikat hubungan kekerabatan. Dalam segala aspek kehidupan
masyarakat Karo daliken sitelu ini sangat berperan penting, karena daliken
sitelu merupakan dasar dalam sistem kekerabatan dan menjadi landasan bagi
semua kegiatan yang berhubungan dengan semua kegiatan adat dan hubungan
antara sesama masyarakat Karo, serta sebagai dasar untuk saling menghormati
dan memperkuat sikap gotong royong. Oleh karena itu maka setiap anggota
masyarakat Karo saling berhubungan karena daliken si telu tersebut.
Daliken si telu terdiri dari tiga unsur penting yaitu kalimbubu,
senina/sembuyak dan anakberu. Sebagai sebuah sistem kekerabatan, daliken
sitelu bersifat terbuka. Kedudukan seseorang, sebagai anakberu, atau
kalimbubu, atau senina/ sembuyak, tergantung pada keadaan. Penjelasan
mengenai unsur-unsur tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
Kalimbubu
28 Sumber : Adat Karo oleh Darwan Prints, 2008
Anak Beru Sembuyak/Senina
46
Kalimbubu merupakan salah satu unsur yang paling penting dalam
struktur daliken si telu. Kalimbubu adalah kelompok/ pihak pemberi wanita
dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Kalimbubu juga kelompok yang
sangat dihormati dan dianggap sebagai pemberi berkat oleh masyarakat Karo.
Maka dari itu kelompok kalimbubu juga disebut dengan istilah Dibata Ni Idah
(Tuhan yang dapat dilihat). Oleh karena itu sikap menentang dan menyakiti
hati kalimbubu sangat tidak dianjurkan dalam kebudayaan masyarakat Karo.
Dalam acara-acara adat kelompok kalimbubu diwajibkan untuk hadir
dan mendapatkan peran. Dalam sebuah pesta perkawinan, orang yang berperan
sebagai kalimbubu harus dilayani sebaik mungkin oleh pihak anakberu, yang
dalam hal ini adalah penyelenggara pesta.
Kalimbubu dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu :
1. Kalimbubu Bena-Bena, adalah paman (mama) dari ayah ego (aku).
Misalnya si A bermerga Ginting bere-bere Sembiring, maka
Sembiring (turang ibu si A) adalah kalimbubu Si A. Jika si A
mempunyai anak, maka merga Sembiring adalah kalimbubu bena-
bena dari anak A. Jadi kalimbubu bena-bena adalah kalimbubu dari
ayah kandung. Disebut kalimbubu bena-bena, karena kelompok ini
telah berfungsi sebagai pemberi dara minimal sebanyak tiga
generasi. Oleh karena itu kelompok ini juga disebut kalimbubu tua.
2. Kalimbubu Simajek Lulang (Kalimbubu Taneh), adalah golongan
kalimbubu pertama yang mendirikan sebuah kampung. Status
kalimbubu ini selamanya dan diwariskan secara turun temurun.
47
Penentuan kalimbubu ini dilihat berdasarkan merga yang telah
mendirikan kampung tersebut. Jika orang pertama yang mendirikan
kampung itu adalah bermerga Ginting, maka kalimbubu simajek
lulang dikampung itu adalah orang-orang yang bermerga Ginting
dan keturunannya. Kalimbubu ini selalu diundang dalam pesta-
pesta adat.
3. Kalimbubu Simada Dareh/ Simupus, adalah saudara laki-laki dari
ibu kandung ego (paman kandung ego). Disebut kalimbubu simada
dareh karena merekalah yang dianggap mempunyai darah ego.
Golongan kalimbubu ini adalah pihak pemberi wanita terhadap
generasi ayah, atau pihak klen dari ibu kandung ego. Dalam adat
perkawinan kelompok kalimbubu si mada dareh ini dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu (1) Kalimbubu singalo ulu emas
adalah saudara laki-laki dari ibu pengantin pria, dan (2) Kalimbubu
singalo bere-bere adalah saudara laki-laki dari ibu pengantin
wanita.
4. Kalimbubu I Perdemui (kalimbubu si erkimbang), adalah kelompok
dari pihak mertua ego (laki-laki), atau bapak mertua berserta
seluruh senina dan sembuyaknya.
5. Puang Kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu, yaitu
kelompok pemberi anak dara terhadap kalimbubu ego.
Pada adat perkawinan masyarakat Karo juga dikenal adanya kalimbubu
si telu sada dalanen, yaitu :
48
1. Kalimbubu singalo bere-bere, adalah paman dari pada mempelai wanita
atau saudara laki-laki dari ibu mempelai wanita.
2. Kalimbubu singalo perninin/ perkempun, adalah puang kalimbubu dari
ibu mempelai wanita.
3. Kalimbubu singalo perbibin, adalah saudara perempuan dari ibu
mempelai wanita.
Dalam acara pesta perkawinan masyarakat Karo, ketiga kalimbubu tersebut
selalu hadir bersama-sama pada saat acara landek (menari) dan ngerana
(berbicara memberi nasehat).
Dalam kehidupan bermasyarakat maupun adat, kalimbubu juga
memiliki hak maupun kewajiban (tugas). Kelompok kalimbubu berhak
mendapat segala penghormatan dan penghargaan dari anakberunya, dengan
kata lain kelompok kalimbubu harus selalu diutamakan, dan berhak menerima
ulu emas/ bere-bere (mahar) dari sebuah perkawinan, maneh-maneh (tanda
mata atau kenang-kenangan) dari salah seorang anak berunya yang meninggal
( yang menerima disebut kalimbubu si mada dareh). Sedangkan yang menjadi
kewajibannya yaitu memberikan saran dan masukan jika diminta oleh anak
berunya, mendamaikan anak berunya jika terjadi perselisihan, ngosei
(meminjamkan/memakaikan) pakaian adat kepada anak berunya dalam acara-
acara adat (misalnya acara perkawinan).
Sembuyak/ Senina
Senina adalah pertalian saudara semerga atau mereka yang bersaudara
karena mempunyai merga/ submerga yang sama. Menurut Prints senina adalah
49
orang-orang yang satu kata dalam permusyawaratan adat. Se berarti satu, nina
berarti kata atau pendapat; atau senina juga dapat dikatakan orang yang
bersaudara (Prints, 2008:46). Dalam sebuah acara adat senina dan seluruh
keluarganya akan ikut serta dan mendukung acara tersebut, senina juga akan
mewakili pihak sukut/ sembuyak sebagai penyambung lidah dan sebagai
penengah. Mereka bertanggungjawab terhadap setiap upacara adat yang
diadakan oleh sembuyak-sembuyaknya.
Secara umum hubungan senina ini dapat disebabkan karena adanya
hubungan pertalian darah, sesubklen (semerga/ seberu), memiliki ibu yang
bersaudara (sepemeren), memiliki istri yang bersaudara (siparibanen),
memiliki istri dari beru (sesubklen) yang sama, dan memiliki suami yang
bersaudara (kandung atau seklen) (Brahmana, 2003:13). Masyarakat Karo
mengenal dua macam bentuk senina, yaitu senina si seh ku sukut (senina
langsung) dan senina erkelang ku sukut.
Senina si seh ku sukut atau disebut juga senina langsung adalah orang
yang langsung memiliki hubungan kekerabatan dengan sukut (tuan rumah) atau
pemilik pesta. Senina si seh ku sukut dapat dibedakan menjadi dua : (1)
Sembuyak29, adalah orang-orang yang bersaudara kandung (satu ayah ibu, satu
nenek dan kakek, satu empung dan satu empung nu empung). Secara harfiah
29 Sembuyak dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : (1) Sembuyak berdasarkan tutur. Mereka yang bersaudara karena memiliki merga yang sama (sesubklen) dan (2) sembuyak berdasarkan hubungan kekerabatan, yang dapat dibagi menjadi 3, yaitu : (a) Sembuyak nini bulang, adalah orang- orang yang bersembuyak karena kakek mereka bersaudara kandung. (b) Sembuyak bapa, adalah orang-orang yang bersembuyak karena ayah mereka bersaudara kandung. (c) Sembuyak Nande adalah orang-orang yang bersembuyak karena ibu mereka bersaudara kandung.
50
se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi sembuyak adalah orang-
orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam
masyarakat Karo istilah ini juga digunakan untuk senina yang berlainan
submerga , dalam bahasa Karo disebut sindauh iperdeher (yang jauh menjadi
dekat). Saudara perempuan tidak termasuk ke dalam kelompok sembuyak
walaupun dilahirkan dari satu rahim, hal ini dikarenakan perempuan mengikuti
suaminya. Di dalam acara perkawinan, sembuyak berfungsi untuk menerima
rudang-rudang (sejumlah uang). (2) Senina sikaku ranan, adalah orang-orang
yang mempunyai merga sama, tetapi submerga yang berbeda. Di dalam acara
adat, seperti pesta perkawinan, dia berfungsi menjadi sikaku ranan (sebagai
juru bicara).
Sedangkan senina erkelang ku sukut adalah senina yang
perkerabatannya memiliki perantaraan dengan sukut atau pemilik pesta. Senina
erkelang ku sukut ini dapat dibedakan menjadi lima, yaitu (1) senina
sepemeren, adalah mereka yang bersenina (bersaudara) karena ibu mereka
bersaudara kandung, atau dalam bahasa yang lebih sederhana disebut dengan
saudara sepupu. Di dalam adat perkawinan senina sepemeren bertugas
menerima perbibin (nama mahar yang diberikan kepada pihak saudara-saudara
perempuan yang sesubklen dengan ibu kandung pengantin). (2) senina
siparibanen, adalah orang-orang yang ersenina karena istri mereka bersaudara
kandung (sembuyak) atau beru istri mereka sama. Dalam perkawinan dia
bertugas menerima perbibin yang berasal dari istrinya. (3) senina sepengalon,
adalah orang-orang yang bersenina karena anaknya yang perempuan menjadi
51
istri dari bere-bere (keponakan) seninanya tersebut. (4) senina sedalanen,
adalah orang-orang yang ersenina karena istrinya adalah impal dari seninanya
tersebut (singempoi impal). (5) senina secimbangen (untuk wanita), mereka
yang bersenina karena suami mereka sesubklen (ersembuyak).
Senina/ sembuyak juga memiliki hak dan kewajiban, yaitu mendapat
pembagian harta (hanya yang bersembuyak atau seibu seayah), berhak
mendapat mas kawin (tukor) jika salah seorang anak wanita dari keluarga
tersebut menikah. Sedangkan yang menjadi kewajibannya adalah mengawasi
pelaksanaan tugas para anakberunya dan secara bersama-sama menanggung
sementara semua biaya pesta.
Anak Beru
Anak beru berarti anak perempuan. Kelompok anak beru juga dikenal
sebagai kelompok pengambil anak dara. Dalam semua acara/ pesta adat, anak
beru lah yang bertanggung jawab atas sukses atau tidaknya pesta tersebut.
Tugas daripada anakberu adalah sebagai pekerja, pemegang tanggung jawab
dan pembawa acara pada sebuah acara/ upacara adat atau acara musyawarah
lainnya. Begitu pentingnya peranan anak beru, sehingga kelompok anak beru
ini disebut juga kelompok yang perlu itami-tami (disayangi) oleh
kalimbubunya. Dalam acara adat pelaksanaan tugas seperti di atas merupakan
tugas dari anak beru, sedangkan anak beru menteri dan anak beru singikuri
bertugas sebagai pelaksana acara. Anak beru Singerana (anak beru yang
berbicara) bertugas sebagai protokol. Anak beru cekuh baka tutup, beserta anak
beru iangkip/iampu/darah bertugas mengatur pembagian tugas.
52
Masyarakat Karo mengenal beberapa jenis dari anak beru ini, yaitu :
1. Anak beru Tua. Anak beru tua adalah pihak penerima anak wanita
dalam tingkatan nenek moyang yang secara bertingkat terus menerus
minimal tiga generasi. Anak beru tua adalah anak beru yang utama,
karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh
pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak
beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai
pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat adalah sebagai
pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubunya,
dalam konteks upacara adat
2. Anakberu Jabu ( Anak beru cekuh baka tutup, dan Anak beru cekuh
baka buka). Cekuh baka artinya orang yang langsung boleh mengambil
barang simpanan kalimbubunya. Dengan kata lain anak beru yang
secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga
kalimbubunya Dipercaya dan diberi kekuasaan seperti ini karena dia
merupakan anak kandung saudara perempuan ayah. Misalnya Si A
seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak dari
Si B adalah anak beru cekoh baka dari Si A. Dalam panggilan sehari-
hari anak beru ini disebut juga bere-bere mama (keponakan paman).
3. Anakberu Iangkip/ Iampu, adalah kelompok penerima wanita yang
menciptakan jalinan keluarga yang pertama, karena generasi
53
sebelumnya belum pernah mengambil anak wanita dari pihak
kalimbubunya. Sebutan lain untuk anak beru ini adalah anak beru
langsung, karena dia langsung mengambil anak wanita dari keluarga
tertentu (kalimbubunya). Masalah peranannya didalam tugas-tugas adat,
harus dipilah lagi, dia tidak dibenarkan untuk mencampuri urusan
warisan adat dari pihak mertuanya, karena ia merupakan orang pertama
yang mengambil/ menikahi anak wanita dari keluarga tersebut
(kalimbubunya). Sedangkan orang yang boleh mencampurinya
hanyalah anak beru jabu.
4. Anak beru Menteri. Anak beru menteri adalah anak beru dari anak
beru. Asal kata menteri adalah dari kata minteri yang berarti
meluruskan. Jadi anak beru menteri mempunyai pengertian yang lebih
luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya
dalam sebuah upacara adat. Anak beru menteri juga bertugas menjaga
penyimpangan-penyimpangan adat, baik dalam bermusyawarah
maupun ketika acara adat sedang berlangsung.
5. Anak beru Singikuri adalah anak beru dari anak beru menteri. Anak
beru singikuri bertugas memberikan saran dan petunjuk di dalam
landasan adat dan sekaligus memberi dukungan tenaga yang
diperlukan. Anak beru ini juga bertugas dalam mempersiapkan
hidangan (konsumsi) dalam konteks upacara adat.
Adapun tugas-tugas dari anak beru adalah (1) mengatur jalannya
pembicaraan ketika runggu (musyawarah), (2) menyiapkan hidangan dan
54
peralatan pesta serta menanggulangi sementara biaya pesta, (3) mengawasi
semua harta benda milik kalimbubunya, yang mana ia wajib menjaga dan
mengetahui harta benda kalimbubunya. Ia juga memiliki hak untuk membuka
rahasia kalimbubunya. Tugas-tugas seperti ini dilakukan oleh anak beru cekuh
baka, (4) Menjadwal pertemuan keluarga, (5) Memberi kabar kepada para
kerabat yang lain bila ada pihak kalimbubunya yang berduka cita, (6) Memberi
pesan kepada puang kalimbubunya agar membawa ose (pakaian adat) bagi
kalimbubunya. Tugas ini juga dilaksanakan oleh anak beru cekuh baka, (7)
Menjadi juru damai bagi pihak kalimbubunya.
Karena tugas-tugasnya ini lah, maka anakberu berhak untuk (1)
mengambil putri kalimbubunya, dan biasanya para kalimbubu tidak berani
untuk menolak dan (2) berhak mendapat atau menerima warisan dari
kalimbubunya yang meninggal dunia. Warisan ini berupa barang yang disebut
morah-morah atau maneh-maneh, seperti parang, pisau, pakaian almarhum dan
lainnya sebagai kenang-kenangan.
Hubungan Kalimbubu-Anakberu-Sembuyak/Senina
Struktur hubungan kekerabatan antara kalimbubu, anakberu dan
senina/sembuyak dalam daliken si telu dapat dilihat pada bagan di halaman
berikutnya.
Bagan 2.1. Hubungan Kalimbubu-Anak beru-Sembuyak/Senina30
30 Brahmana, 2003:15 (Bagan dan keterangan)
Kalimbubu (K)
Sembuyak (S1) Sesubklen
Senina (S2) Seklen/ lain klen
55
Keterangan :
Masing-masing dari K maupun B memiliki sembuyak/ seninanya. Hubungan yang sudah jelas terpola berdasarkan jalur anak beru-kalimbubu. Hubungan yang jelas dan bisa berpola berdasar mengikuti jalur kekerabatan K-B (anak beru-kalimbubu) karena mereka masing-masing sesubklen Hubungan kekerabatannya belum tentu jelas, terpola berdasarkan jalur K-B (anak beru-kalimbubu), dan bisa juga tidak berpola berdasarkan jalur K-B. Kedudukannya yang sejajar dan masing-masing mempunyai anak beru dan kalimbubu yang bisa sama atau tidak sama dengan jalur K-B
Hubungan perkawinan secara langsung dapat terjadi pada jalur K-B,
sedangkan jalur K-X1 atau K-X2, atau B-S1 atau B-S2 merupakan hubungan
perkawinan yang terjadi secara tidak langsung.
Dalam keluarga K dan keluarga B, secara individu mereka jelas
memiliki hubungan kekerabatan, K menjadi kalimbubu (pemberi anak dara)
bagi keluarga B dan keluarga B menjadi anak beru (penerima anak dara) dari
keluarga K.
Dalam keluarga S1 dan X1, walaupun mereka masing-masing memiliki
subklen yang sama dengan keluarga K dan keluarga B, yang secara otomatis
memiliki jalur hubungan kekerabatan yang sama, namun secara individu jalur
kekerabatan ini tidak mutlak harus sama, sebab bisa saja terjadi sebaliknya, di
Anak beru (B)
Sembuyak (X1) Sesubklen
Senina (X2) Seklen/ lain klen
56
dalam keluarga S1 dan keluarga X1, keluarga X1 lah yang berposisi sebagai
kalimbubu bagi keluarga S1.
Dalam keluarga S2 dan keluarga X2 (jika mengikut jalur hubungan
kekerabatan keluarga K dan keluarga B) walaupun tidak sesubklen, hubungan
mereka bisa saj sama dengan keluarga K dan keluarga B, tetapi secara individu
jalur ini tidak mutlak demikian, sebab kasusnya sama seperti yang terdapat
pada keluarga S1 dan keluarga X1. Di dalam keluarga S2 dan keluarga X2,
keluarga X2 bisa menjadi kalimbubu bagi keluarga S2 dan begitu juga
sebaliknya. Peluang terjadinya ketidaksamaan jalur kekerabatan tersebut jauh
lebih besar dibandingkan keluarga S1 dan keluarga X1, hal ini karena mereka
masih tidak sesubklen dengan keluarga K atau keluarga B atau juga dengan
keluarga S1 dan X1.
Dari semua penjelasan diatas terlihat lah bahwa daliken si telu bersifat
demokratis. Seseorang berfungsi sebagai kalimbubu, anak beru atau senina/
sembuyak bergantung kepada situasi dan kondisinya, jadi sifatnya bergiliran.
2.2.5. Kesenian
Bentuk kesenian yang paling berkembang dan menonjol dalam
kebudayaan masyarakat Karo adalah seni musik, seni tari dan seni suara.
Karena ketiga bentuk kesenian tersebut tidak pernah terlepas dari pelaksanaan
acara-acara adat, termasuk dalam upacara adat perkawinan.
2.2.5.1. Seni Musik
57
Penyebutan musik dalam masyarakat Karo dikenal dengan istilah
gendang. Bagi masyarakat Karo gendang bermakna jamak, setidaknya gendang
mempunyai lima makna, yaitu : (1) gendang sebagai ensambel musik, misalnya
gendang lima sedalanen, gendang telu sedalanen dan sebagainya; (2) gendang
sebagai repertoar atau kumpulan beberapa buah komposisi tradisional,
misalnya gendang perang-perang, gendang guru dan sebagainya; (3) gendang
sebagai nama lagu atau judul lagu secara tradisional, misalnya gendang
simalungen rayat, gendang odak-odak, gendang patam-patam (yang juga
terkadang sebagai cak-cak atau style) dan sebagainya; (4) gendang sebagai
instrument musik, misalnya gendang indung, gendang anak; dan (5) gendang
sebagai upacara, misalnya gendang guro-guro aron, dan sebagainya (Julianus
P. Limbeng, http://xeanexiero.blogspot.com)
(a) Sarune (b) Gendang Singanaki (c) Gendang
Singindungi
58
(d) Penganak (e) Gung
Gambar 2.8. Ensambel Gendang Lima Sedalanen31
Ensambel musik yang umum dikenal pada masyarakat Karo adalah
ensambel gendang lima sedalanen. Dikatakan lima sedalanen karena ensambel
tersebut terdiri dari lima buah alat musik yang dimainkan oleh lima orang
pemain. Secara harafiah lima sedalanen dapat diartikan dengan lima sejalan.
Adapun kelima alat musik tersebut adalah sarune (aerophone), gendang
indung/ singindungi (membranophone), gendang anak/ singanaki
(membranophone), serta gung (idiophone) dan penganak (idiophone).
Sedangkan kelima orang pemainnya disebut penarune (sebutan untuk orang
yang memainkan sarune), penggual (sebutan untuk orang yang memainkan
gendang indung maupun gendang anak), dan simalu gung (sebutan untuk
orang yang memainkan penganak dan gong). Ensamble gendang lima
sedalanen ini sering digunakan untuk mengiringi kegiatan-kegiatan musikal
pada masyarakat Karo, seperti acara menari dan menyanyi ataupun berbagai
acara adat dan kegiatan ritual
31 Sumber : www.karosiadi.blogspot.com (Dok.Perikuten Tarigan)
59
(a) Gendang Kulcapi (b) Gendang Belobat
Gambar 2.9. Ensambel Gendang Telu Sedalanen32
Selain beberapa alat musik diatas masih ada alat musik lain yang
dikenal oleh masyarakat Karo, yaitu kulcapi (kordophone), murbab
32 Sumber : www.karosiadi.blogspot.com (Dok. Irwansyah Harahap)
60
(kordophone), surdam (aerophone), balobat (aerophone), dan keteng-keteng
(kordo-idiophone). Beberapa alat musik diatas juga sering digunakan oleh
masyarakat Karo dalam sebuah ensambel musik, seperti ensambel gendang telu
sedalanen. Gendang telu sedalanen sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
gendang kulcapi dan gendang belobat. Gendang telu sedalanen terdiri dari tiga
buah instrumen musik, yaitu keteng-keteng, mangkuk meciho (berisi air), dan
kulcapi/belobat. Perbedaan dari keduanya hanya terletak pada instrumen
pembawa melodinya saja, yaitu kulcapi dan belobat.
Namun seiring berkembangnya teknologi, maka kedudukan ensambel/
instrumen tradisional Karo tersebut pun tergantikan. Kedudukan alat musik
tradisional tersebut digantikan oleh adanya teknologi baru dalam musik yang
disebut keyboard atau kibot dalam istilah masyarakat Karo. Era masuknya
kibot ke dalam kesenian Karo yaitu sekitar tahun 1990-an, yang pertama kali
dikenalkan oleh salah seorang seniman Karo yaitu Jasa Tarigan. Alat musik ini
memiliki kelebihan dapat menirukan semua bunyi dari alat musik tradisional
Karo.
Gambar 2.10. Instrumen Gendang Keyboard/Kibot (KN 2600)33 Sejak saat itu alat musik kibod mendominasi seni musik pada
masyarakat Karo. Masyarakat lebih memilih menggunakan kibot untuk
33 Sumber : jakartacity.olx.co.id
61
melengkapi sebuah acara adat atau kesenian lainnya dari pada ensambel
gendang lima sedalanen, karena praktis dan menghabiskan biaya yang lebih
sedikit.
2.2.5.2. Seni Tari
Dalam masyarakat Karo istilah tari dikenal dengan sebutan landek. Pola
dasar dari tari Karo adalah posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun
lutut (endek) yang disesuaikan dengan tempo gendang (musik) dan gerak kaki.
Pola dasar tarian itu ditambah dengan variasi tertentu sehingga tarian tersebut
terlihat indah dan menarik.
Menurut Julianus P. Limbeng (http://xeanexiero.blogspot.com) ada tiga
hal yang perlu diperhatikan dalam tari karo, yaitu endek (gerakan naik turun
kaki), jole atau jemole, yaitu goyangan badan, dan tan lempir, yaitu tangan
yang gemulai dan lembut. Gerakan dasar tarian Karo dibagi atas beberapa gaya
yang dalam bahasa Karo disebut dengan cak-cak. Ada beberapa cak-cak yang
dikenal pada musik Karo, yang terkait dengan gaya dan tempo sekaligus, yaitu
yang dimulai dari cak-cak yang sangat lambat sampai kepada cak-cak yang
relatif cepat, yaitu antara lain: cak-cak simalungen rayat (dengan tempo lebih
kurang 60-66), cak-cak mari-mari yang merupakan cak-cak yang lebih cepat
dari cak-cak simalungen rayat (dengan tempo lebih kurang 70-80), cak-cak
odak-odak (dengan tempo lebih kurang 90 – 98), cak-cak patam-patam
(dengan tempo lebih kurang 98-105). Setiap cak-cak ini berhubungan dengan
gerakan maupun endek kaki pada tarian Karo. Semakin cepat cak-cak yang
62
dimainkan maka semakin cepat pula endek kaki atau pun gerakan tarian
tersebut.
Setiap gerakan-gerakan yang terdapat dalam tari Karo memiliki makna
tertentu. Berikut ini beberapa makna dari gerakan tari Karo yaitu:
1) Gerak tangan kiri naik (sejajar bahu), gerak tangan kanan ke bawah
(sejajar dengan paha) melambangkan tengah rukur, yang bermakna
selalu menimbang segala sesuatu sebelum melakukannya.
2) Gerakan tangan kanan ke atas (sejajar bahu), gerakan tangan kiri ke
bawah (sejajar paha) melambangkan sisampat-sampaten, yang artinya
saling membantu dan tolong menolong.
3) Gerakan tangan kiri serong ke kanan (di depan badan) melambangkan
ise pe la banci ndeher adi langa si oraten, yang artinya siapa pun
tidak boleh dekat kalau belum mengetahui hubungan kekerabatan.
4) Gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen
enteguh, yang artinya mengutamakan persatuan, kesatuan, dan
musyawarah untuk mencapai mufakat
5) Gerakan tangan ke atas (diatas kepala), melambangkan ise pe labanci
ndeher, artinya siapapun tidak bisa mendekat dan berbuat sembarangan
6) Gerakan tangan sampai kepala dan jari membentuk seperti burung
merak, melambangkan beren rukur, yang maknanya menimbang/
memikirkan sebelum memutuskan sesuatu.
63
7) Gerak tangan kanan dan kiri sampai bahu, melambangkan baban
simberat ras menahang ras ibaba, yang bermakna ringan sama
dijinjing, berat sama dipikul.
8) Gerakan tangan dipinggang melambangkan penuh tanggung jawab.
9) Gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri
melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur i alo-alo alu mehuli,
artinya siapapun yang datang jika sudah berkenalan dan mengetahui
hubungan kekerabatan diterima dengan baik sebagai kade-kade
(keluarga).
Menurut Sarjani Tarigan (2009:155) konteks penyajian tari Karo dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu : (a) konteks penyajian dalam adat istiadat (b)
konteks penyajian dalam religi dan (c) konteks penyajian untuk hiburan.
Contoh-contoh tarian yang termasuk ke dalam tiga kategori tersebut dapat
dilihat sebagai berikut.
a. Konteks penyajian dalam adat istiadat
- tarian dalam kerja erdemu bayu (perkawinan); landek sukut, landek
kalimbubu, landek anak beru.
- tarian dalam acara merdang merdem atau kerja tahun (upacara
pertanian/panen).
- tarian dalam upacara kematian yang disebut nurun-nurun.
- tarian dalam acara guro-guro aron (tarian muda-mudi)
- tarian dalam acara ersimbu (upacara memanggil hujan), yang biasa
juga
64
disebut dengan dogal-dogal
Gambar 2.11.
Acara Menari Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Karo34
- tarian dalam acara mengket rumah mbaru (meresmikan rumah baru)
- tarian dalam upacara ngukal tulan-tulan (menggali tulang)
b. Konteks penyajian dalam religi
34 Sumber : Pancasona Shooting Video
65
- gendang guru (tarian yang dilakukan oleh seorang dukun)
- seluk (trance atau kesurupan)
Gambar 2.12. Tari Tungkat35
- perumah begu (memanggil roh)
- erpangir ku lau (keramas ritual atau bathing ceremony)
- tari tungkat (tarian untuk mengusir roh-roh jahat dengan
menggunakan
sebuah tongkat sebagai propertinya)
- tari baka (tarian untuk menyembuhkan orang sakit).
c. Konteks penyajian untuk hiburan
- Mayan atau Ndikkar (seni bela diri khas Karo)
- Tari Kuda-Kuda (Simalungun: Hoda-Hoda)
- Gundala-gundala (Tembut-tembut Seberaya) 35 Sumber : www.karokab.go.id
66
- Beberapa tarian kreasi baru seperti tari roti manis, tari terang bulan,
tari
lima serangke, tari telu serangke, tari uis gara, dll.
(a) (b)
Gambar 2.13. Ndikkar (a) & Gundala-gundala (b)36
2.2.5.3. Seni Suara (Vokal)
Masyarakat Karo baru mengenal seni suara/ vokal diperkirakan sekitar
tahun 1800-an, kemudian dalam perkembangannya muncullah lagu-lagu yang
36 Sumber : Dokumentasi penulis, 26 September 2010
67
dibawakan seseorang sebagai ‘perende-rende’ (penyanyi).37 Masyarakat Karo
mengenal konsep rende untuk penyebutan istilah bernyanyi. Sedangkan
reportoar yang dinyanyikan disebut ende-enden, dan orang yang
menyanyikannya disebut perende-rende. Seorang perende-ende yang pandai
menari (landek) dan terbiasa menyanyi dalam sebuah acara adat/ pesta adat
disebut perkolong-kolong. Selain menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan
cinta maupun muda-mudi, seorang perkolong-kolong juga diharuskan bisa
menyanyikan lagu-lagu yang bertema pemasu-masun yang berisi nasehat-
nasehat. Teks atau lirik dari pemasu-masun ini bergantung pada konteks
upacaranya.
Gambar 2.14. Perkolong-kolong38
37 http://www.karoweb.or.id/kedudukan-kebudayaan-karo-ditinjau-dari-aspek-keseniannya/ 38 Nama perkolong-kolong : Luther Tarigan dan Nelly br Sembiring, sumber : salahketik.com
68
Namun dalam kenyataannya tidak hanya ende-enden saja lah yang
dapat dinyanyikan. Ada beberapa jenis nyanyian yang bukan ende-enden
namun cara penyampaiannya dinyanyikan, seperti tangis-tangis (nyanyian
ungkapan kesedihan/ keluh kesah), mang-mang (nyanyian yang berisi doa-
doa), tabas (nyanyian yang berisi mantra pada saat seorang guru melakukan
pengobatan), nendong (nyanyian yang bertujuan untuk mendekatkan seorang
guru dengan jinujungnya), turi-turin (nyanyian yang berisikan sebuah cerita),
katoneng-katoneng (nyanyian yang berisikan pengharapan), didong doah
(nyanyian yang berisi nasehat); didong doah anak (nyanyian menidurkan
anak), didong doah maba anak ku lau (nyanyian memandikan anak ke sungai),
dan didong doah bibi si rembah ku lau (nyanyian nasehat pada saat upacara
perkawinan). Didong doah bibi si rembah ku lau merupakan yang akan
menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini.
Semua nyanyian diatas dapat dikatakan sebagai musik vokal yang
bersifat individu, yaitu nyanyian yang dinyanyikan secara pribadi dan sesuai
dengan keinginan dan kebutuhan seseorang. Dalam hal menggarap melodi
maupun teksnya, bergantung pada yang menyanyikannya dan konteks
acaranya.
69
BAB III
PERKAWINAN PADA MASYARAKAT KARO
3.1. Tinjauan Umum Perkawinan Pada Masyarakat Karo
Melaksanakan sebuah perkawinan merupakan suatu keharusan bagi
semua orang, baik pria maupun wanita untuk memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya. Maka perkawinan diarahkan, diawasi, dan dilaksanakan sesuai
dengan aturan-aturan adat demi tercapainya sebuah kebahagiaan.
Perkawinan adalah hubungan permanen antara laki-laki dan perempuan
yang diakui sah oleh masyarakat. Mengingat setiap masyarakat mempunyai
tata cara tersendiri, maka sahnya suatu perkawinan berbeda antara satu
masyarakat dengan masyarakat lain. Perkawinan mengesahkan hubungan laki-
laki dan perempuan serta melegalkan kedudukan hukum atas pengasuhan anak
serta pewarisan.
Perkawinan yakni suatu kehidupan bersama dari seorang pria dengan
seorang wanita yang memenuhi syarat-syarat serta peraturan-peraturan yang
telah ditetapkan oleh/ dalam suatu masyarakat tertentu (Tarigan, 1988:46). Di
dalam The Advanced Learner’s Dictionary of Current English disebutkan
bahwa :
Marriage [mæridʒ] n.1. [u] union of a man and woman as husband and wife; state of being married. Perkawinan merupakan bersatunya seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami dan istri; bersatu dalam sebuah pernikahan.
70
Masyarakat karo adalah masyarakat yang mengenal adanya sistem
perkawinan clan/ klan (marga). Perkawinan harus dilakukan diluar klan,
seseorang diharuskan menikah dengan orang lain di luar marganya (klannya).
Sistem perkawinan ini merupakan sistem perkawinan yang berbentuk exogami.
Gambar 3.1. Pengantin Karo39
Perkawinan pada masyarakat Karo tidak hanya berfungsi mengikat
seorang pria dengan seorang wanita, tapi juga mengikat hubungan keseluruhan
keluarga kedua belah pihak ( Prints 2004 : 71). Dari sinilah berkembang suatu
ikatan kekeluargaan dari keluarga inti (nuclear family) menjadi keluarga besar
(extended family). Maka dari itu perkawinan rimpal atau disebut cross-cousins
eksklusif40 (seorang laki-laki yang menikah dengan putri pamannya atau
39 Sumber : Dokumentasi penulis,29 Juni 2011) 40 Lihat Henry Guntur Tarigan dalam bukunya Percikan Budaya Karo, 1988:47
71
seorang wanita yang menikah dengan putra bibinya) sangat dianjurkan dalam
masyarakat Karo. Hal ini dimaksudkan agar hubungan kekerabatan kedua
keluarga tidak terputus, dan untuk mencegah jatuhnya harta kekayaan ke
tangan orang lain yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan apa pun
dengan mereka.
= Laki-laki
=
Perempuan
A B
Skema 3.1.Cross-Cousins Eksklusif
Keterangan : A dapat atau dianjurkan mengawini B
Perkawinan pada masyarakat karo dapat dikatakan bersifat religius,
karena jalinan tersebut tidak hanya mengikat hubungan kedua belah pihak yang
berkawin saja, tetapi juga mengikat seluruh kerabat/keluarga dari kedua belah
pihak.
Perkawinan yang dianggap tidak wajar pada masyarakat karo yaitu
perkawinan semarga (satu klan) dan perkawinan erturang rimpal atau disebut
dengan cross-cousins inklusif41 . Sada merga dalam adat karo dianggap
bersaudara, sehingga perkawinan tidak diperbolehkan kecuali dalam klan
Sembiring.
41 Lihat Henry Guntur Tarigan dalam bukunya Percikan Budaya Karo, 1988:47
72
A B
Skema 3.2. Cross-Causins Inklusif
Keterangan : A tidak dapat atau dilarang mengawini B
3.2. Jenis-Jenis Perkawinan Pada Masyarakat Karo
Menurut Darwan Prints (2008:76-82) jenis-jenis perkawinan pada
masyarakat Karo dapat dibedakan berdasarkan dua bagian besar, yaitu : (i)
jenis perkawinan berdasarkan status pihak yang berkawin dan (ii) jenis
perkawinan berdasarkan jauh dekatnya hubungan kekeluargaan/ kekerabatan
dari yang berkawin.
3.2.1. Jenis Perkawinan Berdasarkan Status Pihak Yang Berkawin
Jenis perkawinan ini dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu : gancih
abu, lako man (dapat dibagi menjadi beberapa bagian lagi) dan piher
tendi/erbengkila bana. Jenis-jenis perkawinan tersebut merupakan perkawinan
yang tidak umum dan tidak biasa pada masyarakat Karo, tetapi justru diizinkan
dan tidak dilarang oleh adat (Tarigan, 1988:48). Untuk lebih jelasnya, dapat
dilihat pada penjelasan di bawah ini.
3.2.1.1. Gancih Abu
Secara harafiah gancih abu berarti ”ganti abu”, dan secara luas
berarti ”perkawinan yang berlangsung antara dilaki mbalu (pria duda) dengan
adik perempuan almarhumah istrinya (Tarigan, 1988:53). Dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa seorang adik menggantikan posisi kakaknya yang telah
73
meninggal sebagai istri dari suami almarhumah kakaknya. Dengan
terlaksananya perkawinan gancih abu tersebut, maka dianggap bahwa wanita
tersebut telah menggantikan—abu jenazah—kakaknya dan menjadi istri yang
resmi.
D C A(+) B
Skema 3.3. Gancih Abu
Keterangan : Jika A meninggal, maka adat mengizinkan B menikahi C ataupun D.
Perkawinan ini biasanya terjadi untuk meneruskan hubungan
kekeluargaan, melindungi kepentingan anak yang telah dilahirkan pada
perkawinan sebelumnya dan untuk menjaga keutuhan harta dari perkawinan
pertama (Prints, 2004:76).
3.2.1.2. Lako Man
Jika diartikan kata demi kata lako man artinya ”tugas makan”, namun
secara lebih luas lako man dapat diartikan ”segala sesuatu sudah beres,
makanan/ santapan telah tersedia, sekarang tinggal makan saja” (Tarigan,
1988:48). Perkawinan lako man adalah perkawinan yang terjadi antara seorang
laki-laki dengan janda dari saudara atau pun ayahnya yang telah meninggal.
74
Jadi dapat dikatakan bahwa tugas seorang pria dalam hal ini adalah sebagai
pengambil-alih ataupun pengganti dari almarhum suami janda tersebut.
Ada beberapa jenis perkawinan lako man yang dikenal pada masyarakat Karo,
yaitu :
a. Lako man tiaken
Perkawinan lako man tiaken adalah perkawinan yang terjadi antara
seorang wanita janda dengan saudara kandung mendiang suaminya atau
saudara mendiang suaminya yang berlainan ibu. Untuk lebih jelasnya marilah
kita perhatikan skema di bawah ini.
B2 A B1
C3 C2 C1 C(+) D
Skema 3.4. Lako man tiaken
Keterangan : A memiliki dua orang istri; B1 dan B2. Jika C meninggal, maka D dapat dinikahi oleh C1, C2 atau C3.
b. Lako man ngalihken senina
Perkawinan lako man ngalihken seniana merupakan perkawinan yang
berlangsung antara seorang wanita janda dengan putra saudara laki-laki dari
75
ayah mendiang suaminya. Untuk lebih jelas lihat skema pada halaman
berikutnya :
E D C A(+) B
Skema 3.5. Lakoman ngalihken senina
Keterangan : Jika A meninggal dunia, maka B dapat dinikahi oleh C, D, atau E.
c. Lakoman ku nandena
Perkawinan yang terjadi antara seorang janda dengan putra saudara
laki-laki dari mendiang suaminya. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada skema
dibawah ini :
A(+) B
C D E F
76
Skema 3.6. Lakoman ku nandenan
Keterangan : Jika A meninggal dunia, maka B dapat menikah dengan C,D,E, atau F, yang mana keempat nya merupakan kemenakan dari B.
d. lakoman mindo cina
Lakoman mindo cina yaitu perkawinan yang berlangsung antara
seorang wanita janda dengan cucu laki-laki dari saudara laki-laki—kandung
maupun berlainan ibu—dari mendiang suaminya. Atau dengan kata lain dapat
dikatakan perkawinan yang terjadi antara seorang laki-laki dengan seorang
wanita janda yang menurut silsilah adalah neneknya. Agar lebih jelas lagi dapat
diperhatikan pada skema berikut.
A(+) B
C D E F
Skema 3.7. Lakoman mindo cina
Keterangan : Jika A meninggal dunia, maka B dapat menikah dengan C,D,E, atau F, yang mana keempat nya merupakan cucu dari B.
77
3.2.1.3. Piher Tendi/ Erbengkila Bana
Piher tendi/ erbengkila bana adalah perkawinan yang berlangsung
antara seorang wanita dengan seorang laki-laki yang menurut tutur si wanita
memanggil bengkila atau paman kepada laki-laki tersebut. Perhatikan skema di
bawah ini :
B C (+)
A Skema 3.8. Piher Tendi/ Erbengkila Bana
Keterangan : Jika C meninggal dunia maka B dapat menikahi A atau A dapat di peristri oleh B 3.2.2. Jenis Perkawinan Berdasarkan Jauh Dekatnya Hubungan
Kekeluargaan Dari Yang Berkawin.
3.2.2.1. Erdemu Bayu
Erdemu bayu adalah perkawinan antara seorang laki-laki yang
mempunyai tutur impal kandung dengan seorang wanita, di mana wanita yang
dinikahinya merupakan putri dari paman kandungnya (saudara laki-laki dari
ibunya), atau jika seorang wanita menikah dengan putra bibi kandungnya
(saudara perempuan ayahnya). Jenis perkawinan erdemu bayu ini lah yang
diharapkan oleh masyarakat Karo. Karena akan semakin mempererat tali
persaudaraan dan dapat mencegah jatuhnya harta kekayaan keluarga tersebut
78
ke tangan yang orang yang tidak mempunyai hubungan persaudaraan (darah)
dengan mereka.
3.2.2.2. Ngeranaken/ La Arus
Ngeranaken adalah perkawinan yang terjadi antara seorang laki-laki
dengan seorang wanita yang bukan impalnya, melainkan dengan turangnya.
Hal ini dapat dikatakan sebagai pelanggaran adat. Tidak seharusnya mereka
menikah, karena tuturnya adalah erturang (memiliki marga yang sama atau
dari klan yang sama). Misalnya, turang sipemeren artinya apabila seorang lak-
laki menikahi seorang wanita yang memiliki bere-bere (marga ibu) yang sama
dengannya. Turang rimpal yaitu merga (marga) yang dibawa oleh pihak laki-
laki sama dengan bere-bere yang dibawa si wanita. Di dalam adat pertuturen
masyarakat Karo, marga yang dibawa oleh laki-laki lebih berharga daripada
marga yang dibawa oleh perempuan. Jadi marga yang dibawa oleh laki-lakilah
yang dijadikan sebagai pedoman dalam adat pertuturen.
3.2.2.3. Petuturken
Petuturken (perkenalan) atau disebut juga emas perdemuken yaitu
apabila seorang pria atau wanita Karo menikah bukan dengan impal
kandungnya (orang yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengannya).
Hubungan kekerabatan terjadi, justru karena terjadi perkawinan tersebut.
Ada dua jenis petuturken yang dikenal dalam adat perkawinan masyarakat
Karo,yaitu :
79
1) Laki-laki dan perempuan yang akan menikah tersebut tidak saling
mengenal sebelumnya, karena tidak tinggal di tempat/ desa yang sama.
Setelah ertutur, maka diketahui bahwa mereka berdua adalah rimpal.
Artinya mereka berasal dari klan yang berbeda dan bisa melangsungkan
pernihakan, contoh :
Laki-laki Perempuan
Merga Tarigan Beru Sembiring
Bere-bere Sembiring Bere-bere Ginting
2) Apabila tidak ada satu marga pun yang berkaitan diantara kedua nya,
maka mereka juga bisa dikatakan rimpal, contoh :
Laki-laki Perempuan
Merga Tarigan Beru Sembiring
Bere-bere Bangun Bere-bere Ginting
Berdasarkan keterangan tersebut maka disebutlah hubungan mereka
sebagai rimpal, agar mereka dapat melangsungkan pernikahan. Oleh
karena itu , pihak laki-laki harus membayar utang kepada anak beru
dari pihak perempuan, dan utang itu disebut persadan. Karena dengan
membayar persadan tersebutlah pihak laki-laki dapat berdamai dengan
anak beru dari pihak wanita.
3.3. Jenis Pesta Perkawinan
Dalam pelaksanaan acara perkawinan ini peranan anakberu,
senina/sembuyak dan kalimbubu sangat penting. Apakah itu dalam mengatur
hidangan, mengawas acara, mengatur pelaksanaan acara. Kalau calon
80
pengantin bukan orang yang mampu, pihak anakberu, akan memilih jenis pesta
yang akan dibuat. Pesta perkawinan pada masyarakat Karo dapat dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu kerja sintua (pesta besar), kerja sintengah (pesta
menengah), dan kerja singuda (pesta kecil). Berikut ini dapat dilihat penjelasan
lengkapnya.
3.3.1. Kerja Sintua (Pesta Besar)
Pesta besar dalam hal ini ialah dengan mengundang semua kerabat,
teman-teman sekerja dan teman-teman akrab lainnya. Pesta diadakan di gedung
pertemuan umum yang mampu menampung banyak undangan, dan diadakan
gendang (musik). Sedangkan untuk konsumsinya (lauk pauk), harus memotong
sapi besar berukuran 130-150 kg atau 7-8 ayan (kaleng) daging sapi. Dan
berdasarkan aturan adat pembagian tulang sapi harus diberikan kepada orang
yang berhak menerimanya, seperti kelompok kalimbubu yang berhak
menerima tulan putur (tulang kaki depan), kelompok anak beru yang berhak
menerima tulan ikur (tulang bagian buntut), dan kelompok penggual (penabuh
gendang) berhak menerima tulan tagan (tulang pinggul).
3.3.2. Kerja Sintengah (Pesta Menengah)
Pesta menengah ini ialah dengan mengundang semua kerabat, teman-
teman sekerja dan teman-teman akrab lainnya melalui surat undangan. Pesta
diadakan di gedung pertemuan umum atau los/ jambur (balai desa) yang
mampu menampung banyak undangan, tetapi tidak diadakan gendang (musik).
3.3.3. Kerja Singuda (Pesta Kecil)
81
Pesta kecil dalam hal ini tidak dengan mengundang semua kerabat,
teman-teman sekerja dan teman-teman akrab lainnya. Yang diundang hanyalah
kerabat penting terdekat saja dari kedua belah pihak, dan hanya diundang
secara lisan saja (tanpa surat undangan). Pesta diadakan di rumah penganten
wanita, dan tidak diadakan gendang (musik).
3.4. Adat Perkawinan Pada Masyarakat Karo
3.4.1. Nungkuni Kata
Nungkuni kata merupakan tahap paling awal dalam proses perkawinan
pada masyarakat Karo. Pada tahap ini akan diadakan runggu (pembicaraan)
mengenai maksud hati daripada kalimbubu (pihak pemberi istri) dan
menentukan waktu yang tepat untuk mengadakan acara ngembah belo
selambar (acara pinangan). Disini anak beru si ersura-sura (anak beru dari
pihak pria/ anak beru yang mempunyai niatan) akan mengutarakan maksud
kedatangan mereka kepada kalimbubu dari pihak wanita serta menanyakan
kesediaan si gadis untuk di pinang. Apabila sigadis menyatakan belum ada niat
untuk erjabu (menikah) maka pihak anak beru si ersura-sura akan undur diri
dan menyatakan akan datang kembali pada lain waktu. Jika kalimbubu dari
pihak wanita setuju untuk mengadakan proses selanjutnya, maka pihak anak
beru si ersura-sura bermohon agar waktu dan tempat pelaksanaan ngembah
belo selambar segera ditetapkan. Adapun orang-orang yang terlibat dalam
nungkuni kata ini adalah si mupus (kedua orang tua dari kedua belah pihak
yang berkahwin) dan beberapa orang dari sukut, senina ku ranan, dan anak
beru tua dan beberapa saudaranya.
82
3.4.2. Ngembah Belo Selambar
Ngembah belo selambar (ngembah = membawa, belo = sirih, selambar
= selembar atau satu lembar) merupakan upacara meminang gadis pada adat
perkawinan masyarakat Karo. Acara peminangan ini dilakukan oleh keluarga si
laki-laki beserta pihak anak beru, senina, dan kalimbubunya dengan datang dan
mengunjungi rumah si gadis. Terjadinya ngembah belo selambar ini apabila
sebelumnya telah dilaksanakan musyawarah nungkuni kata dan telah
menetapkan tanggal maupun hari dan tempat untuk rencana berikutnya kepada
masing-masing keluarga.
Acara ngembah belo selambar ini biasanya dilakukan pada malam atau
pun sore hari. Jika acara ini dilakukan pada sore hari maka akan diakhiri
dengan makan malam bersama, dan jika dilakukan pada malam hari maka
acara makan bersama dilakukan sebelum melaksanakan acara tersebut. Sudah
menjadi kebiasaan bahwa seluruh biaya yang dibutuhkan untuk acara makan
bersama ini di tanggung oleh pihak pengantin pria. Sedangkan tempat untuk
melaksanakan ngembah belo selambar ini diadakan di rumah kalimbubu (pihak
wanita). Acara ngembah belo selambar ini dihadiri oleh keluarga kedua belah
pihak yang berkawin. Adapun orang-orang yang hadir dalam acara ini adalah :
1. Dari pihak perempuan
a. gadis yang dilamar e. kalimbubu si ngalo beré-beré
b. orang tua (sukut) f. si ngalo perbibin
c. sembuyak g. anak beru
d. senina sikaku ranan
83
2. Dari pihak laki-laki
a. pemuda yang melamar d. senina sikaku ranan
b. orang tua e. kalimbubu si ngalo ulu emas
c. sembuyak f. anak beru
Sebelum acara ngembah belo selambar dimulai, anak beru dari pihak
keluarga calon pengantin pria akan lebih dulu menyerahkan kampil persentabin
kepada keluarga calon pengantin wanita melalui anak beru keluarga calon
pengantin wanita. Pihak pelamar harus mempersiapkan enam buah kampil
yang berisi rokok, korek api, daun sirih, gambir, kapur, pinang, dan tembakau.
Lima buah kampil akan diserahkan kepada pihak perempuan yang masing-
masing kepada sukut, anak beru, kalimbubu singalo bere-bere, kalimbubu
singalo perkempun, dan kalimbubu singalo perbibin. Sedangkan satu buah
kampil yang tersisa akan diserahkan kepada pihak laki-laki dan diserahkan
kepada kalimbubu singalo ulu emas. Setelah acara penyerahan kampil
persentabin ini selesai, barulah acara maba belo selambar dimulai.
Pembicaraan yang utama dalam acara maba belo selambar ini adalah
menanyakan kesediaan si gadis, orang tua (sembuyak,senina), anak beru, dan
kalimbubu (singalo bere-bere, singalo perkempun) dan singalo perbibin atas
lamaran tersebut. Apabila jawaban atau kesediaannya sudah diperoleh maka
selesailah acara maba belo selambar tersebut.
3.4.3. Nganting Manuk
84
Acara nganting manuk merupakan suatu acara yang diadakan sebagai
lanjutan dari maba belo selambar. Dalam acara nganting manuk ini akan
diadakan runggu (musyawarah) tentang besarnya jumlah gantang tumba/
unjuken (mas kawin) yang harus diterima oleh pihak perempuan. Untuk itu
dalam acara ini harus hadir sangkep nggeluh dari kedua belah pihak, yaitu :
1. Dari pihak perempuan
a. Gadis yang akan kawin f. Kalimbubu singalo bere-bere
b. Sukut (orang tua) g. Kalimbubu singalo perkempun
c. Sembuyak h. Singalo Perbibin
d. Senina i. Anak beru
e. Sepemeren/ separibanen
2. Dari pihak laki-laki
a. Pemuda yang akan kawin e. Sepemeren/ separibanen
b. Sukut (orang tua) f. Kalimbubu singalo ulu emas
c. Sembuyak g. Puang kalimbubu
d. Senina i. Anak beru
Acara nganting manuk diadakan pada malam hari, diawali dengan
makan bersama yang lauk utamanya adalah ayam (manuk) yang dimasak
dengan jagung tua tumbuk (cipera). Sebelum makan, pihak pria terlebih dahulu
menyerahkan luah (oleh-oleh) berupa gulame (dodol) atau rires (lemang), dan
nakan baluten kepada pihak perempuan.42 Pada acara makan nakan baluten
42 Di Karo Langkat kebiasaan ini disebut pinggan lanami dan berjumlah sebanyak 12 buah, masing-masing diserahkan kepada singalo perkempun, singalo perninin, singalo bere-bere, sukut (senina, separibanen, sepemeren, sepengalon), anak beru tua, anak beru menteri,
85
yang berjumlah lima buah akan diserahkan masing-masing kepada sukut
sinereh, sembuyak/ senina kuranan, singalo bere-bere, singalo perkempun, dan
singalo perbibin. Sebelum acara runggu dimulai—sama halnya dengan acara
pada maba belo selambar—kampil persentabin (sebanyak 5 buah) yang berisi
peralatan untuk merokok dan peralatan makan sirih, akan diserahkan kepada
pihak perempuan, dan satu buah kampil lainnya akan diserahkan kepada pihak
laki-laki.
Setelah acara merokok dan makan sirih selesai, runggu pun dimulai.
Dalam hal ini ada kalanya proses nungkuni diulangi, karena ketika acara maba
belo selambar mungkin saja keluarga maupun kerabat belum terlalu banyak
yang hadir. Namun hal ini tetap tergantung kepada pihak perempuan. Jika
proses nungkuni tidak dilaksanakan lagi maka akan langsung dibicarakan
tentang gantang tumba/ unjuken. Setelah pembicaraan mengenai mas kawin
(gantang tumba) selesai, maka dilanjutkan dengan membicarakan hal-hal
berikut ini :
- Waktu dan tempat pelaksanaan kerja adat (pesta adat)
Disini penting dibicarakan waktu dan tempat pelaksanaan kerja,
khususnya di daerah perantauan, sebab tempat kerja pada umumnya di
gedung-gedung komersial sehingga waktunya sangat tergantung pada
tersedianya gedung tersebut. Tempat pelaksanaan kerja biasanya
dilaksanakan i kuta si diberu (kampung pihak perempuan)
kalimbubu kuta, guru kuta, penggual, pande namura, pengulu lesung, dan anak kuta. ( Adat Enggeloh Karo Langkat 1995:5 dalam Darwan Prints 2008:94)
86
- Luah kalimbubu (barang bawaan kalimbubu)
Menyiapkan luah kalimbubu bukanlah kewajiban pihak laki-laki, tetapi
atas permintaan pihak laki-laki bahwa merekalah yang menyiapkan
luah
kalimbubu. Ini dilakukan pihak laki-laki sebagai pernyataan hormat dan
terimakasih atas kerelaan kalimbubu (pihak perempuan) telah
merelakan
dan mengizikan anak gadis mereka untuk erjabu (menikah).
- Gulen Kerja (Konsumsi untuk pesta)
Disini dibicarakan jenis dan banyaknya gulen kerja dan pengadaan
daging
untuk gulen (sayur) motong atau erbante. Motong berarti sapi atau
kerbau
yang disembelih, erbante artinya daging yang dibeli ditempat penjualan
daging.
Setelah hal-hal diatas selesai dibicarakan, maka selanjutnya acara
sijalapen pun dimulai (masing-masing menanyakan sangkep nggeluh). Disini
terjadi proses perkenalan yang lebih mendalam diantara kedua belah pihak
yang dilakukan oleh anak beru dari masing-masing pihak. Seperti menanyakan
nama yang menikah beserta marga atau beru yang dibawanya, nama kedua
orang tua yang menikah (baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak
perempuan), dan saling memperkenalkan sembuyak/ senina dan anak beru
masing-masing. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada penjelasan berikut ini.
87
Mula-mula pihak sinereh (pihak perempuan) njalapi (menanyai) pihak siempo
(pihak laki-laki), yaitu : ise siempo (siapa yang kawin), ise si mupus (siapa
ayah kandungnya), ise si peempokenca (siapa yang mengawinkannya), ise
senina ku ranan (siapa saudara semarganya), ise anak beru cekoh baka tutup,
ise anak beru menteri. Selanjutnya pihak siempo (pihak laki-laki) njalapi
sinereh, yaitu : ise sisereh (siapa yang kawin), ise si mupus (siapa ayah
kandungnya), ise senina sinerehkenca (siapa saudara yang mengawinkannya),
ise senina ku ranan, ise anak beru tua, ise anak beru cekoh baka tutup.
3.4.4. Kerja Adat
Kerja adat atau disebut juga dengan pesta adat merupakan rangkaian
inti dari adat perkawinan masyarakat Karo. Pada kerja adat ini juga terdapat
beberapa langkah yang harus ditempuh lagi. Mengenai langkah-langkah
tersebut akan dijelaskan pada halaman berikutnya.
Kerja adat biasanya dilaksanakan di sebuah balai desa, yang dikenal
dengan sebutan jambur oleh masyarakat Karo. Disinilah kemudian terjadi
berbagai kegiatan yang berhubungan dengan beberapa langkah adat
perkawinan tersebut.
88
Gambar 3.2. Jambur Ta Ras Berastagi43
3.4.4.1. Ngukati
Sebelum rangkaian adat perkawinan dimulai, sekitar pukul 8 pagi
diadakanlah acara sarapan bersama-sama (ngukati). Seluruh tamu yang sudah
datang dan keluarga dari kedua belah pihak, hadir dan duduk bersama di
jambur atau ditempat yang sudah ditentukan menjadi lokasi pesta. Ngukati ini
sangat penting diadakan, karena ini merupakan sebuah simbol dalam
memberikan penghargaan paling tinggi kepada para tamu yang sudah hadir.
3.4.4.2. Nangketken Ose
Nangketken ose merupakan rangkaian pertama dari adat upacara
perkawinan Karo. nangketken ose (rose) adalah merupakan acara memberikan
pakaian adat lengkap kepada kedua pengantin maupun sukut . Apabila pesta itu
adalah kerja sintua dan kalimbubu membawa ose (seperangkat pakaian adat)
anak berunya, maka kalimbubu si ngalo ulu emas dari pihak laki-laki akan
memasangkan ose pengantin laki-laki, begitu juga dengan kalimbubu si ngalo
ulu emas dari pihak perempuan akan memasangkan ose pengantin perempuan.
Selanjutnya semua sukut iosei (diberi pakaian adat) oleh kalimbubu si ngalo
ulu emasnya masing-masing. Setelah rose selesai maka acara akan dilanjutkan
pada langkah selanjutnya, yaitu runggu (akan dijelaskan selajutnya)
43 Sumber : metamorfosasinabung.blogspot.com
89
Gambar 3.3.
Pakaian Adat Karo ; Ose Lengkap la eremas-emas44
Acara rose pada pesta perkawinan masyarakat Karo dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu :
1. Ose lengkap la eremas-emas, merupakan seperangkat pakaian adat yang
tidak dilengkapi dengan emas-emas (seperangkat perhiasan emas).45
Ose (pakaian) lengkap untuk laki-laki terdiri dari : (a) Bulang-bulang: uis
nipes; beka buloh (kain yang dipakai sebagai penutup kepala), (b) Gonje:
jongkit/ uis ariteneng/ uis julu (kain yang dipakai sebagai sarung), (c)
44 Sumber : Dize Photo Studio Berastagi (7 Juli 2011) 45 Ir. Terang Malem Milala, 2008.
Bulang-bulang
kadangenna
Selempang
Gonje
Tudung
Langge-langge
Abit
90
Selempang: kampoh eremas-emas (sarung yang berhiaskan benang berwarna
emas yang dipakai sebagai selempang), (d) Kadangennna: uis nipes/ uis
eremas-emas (kain yang dipakai dibahu). Ose lengkap untuk perempuan terdiri
dari : (a) Tudung: kelam-kelam/ uis gara (kain yang dipakai sebagai penutup
kepala), (b) Abit: uis ariteneng/ uis julu (kain yang dipakai sebagai sarung),
(c) Langge-langge: uis nipes (kain yang dipakai di pinggang)
2.Ose lengkap eremas-emas, merupakan seperangkat pakaian adat yang
dilengkapi dengan seperangkat perhiasan emas (perhiasan emas tiruan).46 Pada
dasarnya ose (pakaian) yang di gunakan adalah sama dengan ose lengkap la
ermas-emas. Maka dari itu disini penulis hanya menambahkan seperangkat
perhiasannya saja, karena kelengkapan mengenai pakaian telah dijelaskan
sebelumnya. Ose lengkap untuk laki-laki terdiri dari : (a) Bulangna (kain
penutup kepala) dililit dengan sertali (semacam ikat kepala), (b) Memakai
kalung yang juga disebut dengan sertali, (c) Memakai gelang yang disebut
gelang sarong, (d) Memakai rudang-rudang yang dipakai sebagai penghias
bulang-bulang. Ose lengkap untuk perempuan terdiri dari : (a) Junjungenna
(kain pelapis tudung) kain rambu emas, dan disekeliling tudung dililitkan
dengan sertali, (b) Memakai anting-anting yang disebut dengan kodong-
kodong, (c) Memakai kalung yang disebut dengan sertali.
46 Ir. Terang Malem Milala, 2008.
91
Gambar 3.4. Pakaian Adat Karo ; Ose Lengkap Eremas-emas47
3.4.4.3. Runggu
Dalam acara runggu ini akan dibicarakan masalah-masalah yang masih
menyangkut dengan perkawinan tersebut. Adapun masalah-masalah yang
dimusyawarahkan atau dibicarakan disini adalah masih menyangkut pada hal-
hal yang dibicarakan pada saat acara nganting manuk. Hal ini dilakukan karena
keluarga dan kerabat yang hadir pada saat nganting manuk masih terbatas. Dan
disinilah hal-hal yang muncul pada acara nganting manuk akan didiskusikan
kembali di depan para undangan. Hal ini dilakukan mengingat jika ada terjadi
suatu perubahan. Pada musyawarah tersebut, masalah yang berkaitan dengan
kesiapan mental dan spiritual pengantin juga akan dibicarakan (Siahaan,
1991:44).
47 Sumber : Pancasona Shooting Video
Sertali
Kodong-kodong
Burana Sertali
Sertali
Burana Sertali
Gelang Sarong
Rudang-ridang
92
Setelah pembicaran mengenai hal tersebut diatas selesai, maka akan
dilanjutkan pada acara ersukat emas/pedalan emas. Pertama-tama anak beru
dari pihak laki-laki akan menanyakan kepada pihak perempuan, apakah acara
ersukat emas/pedalan emas ini sudah bisa dilaksanakan atau belum. Jika pihak
perempuan menyatakan sudah bisa, maka pihak laki-laki akan menyerahkan
enam buah kampil persentabin (ndudurken kampil) yang berisi perlengkapan
merokok dan makan sirih, lima buah untuk pihak perempuan dan satu buah
untuk pihak laki-laki. Sesudah itu masing-masing anak beru dari kedua belah
pihak menyatakan bahwa acara tersebut sudah bisa dimulai. Ndudurken kampil
(menyerahkan kampil) disini berfungsi sebagai pertanda bahwa acara sudah
dapat dimulai.
Gambar 3.5. Acara Ndudurken Kampil48
Disini anak beru lah (baik dari pihak perempuan maupun laki-laki)
yang bertugas untuk melakukan musyawarah dan duduk mengambil posisi di
tengah-tengah para undangan kedua belah pihak (duduk berbentuk 48 Sumber : http://mannaismayaadventure.wordpress.com
93
lingkaran).49 Masing-masing kelompok anak beru dari kedua belah pihak
biasanya terdiri dari 5 atau 6 orang, salah seorang akan menjadi juru bicara dan
yang lainnya adalah pendamping (membantu). Anak beru kelompok sinereh
terdiri dari : sembuyak ( saudara semarga ayah kandugnya), sinerehken (yang
mengawinkan/ saudara ayah kandung), senina ku ranan, anak beru tua/
singerana, anak beru cekoh baka, dan anak beru menteri. Sedangkan anak
beru kelompok siempo terdiri dari : sembuyak, si peempoken (yang
mengawinkan), senina ku ranan, anak beru tua/ singerana, anak beru cekoh
baka, dan anak beru menteri (anak beru sindungi dahin).
Gambar 3.6. Anak beru dari kedua belah pihak50
Hal-hal yang akan dilakukan pada tahap ini (ersukat emas/pedalan
emas) adalah penghitungan pembayaran utang adat (uang dalam bentuk tunai)
yang disebut batang unjuken. Penghitungan jumlah batang unjuken ini disebut
49 Pesta perkawinan pada masyarakat Karo umumnya diadakan disebuah balai desa yang disebut los atau kesain. Seluruh keluarga, kerabat dan para tamu undangan duduk bersama-sama diatas tikar yang sudah disediakan menurut tegunnya (tempat yang sudah ditentukan berdasarkan kekerabatannya) masing-masing. 50 Sumber : Pancasona Shooting Video
94
dengan istilah ersukat emas. Uang unjuken yang telah selesai dihitung tersebut
diletakkan di dalam pinggan pasu (piring khas Karo) berwarna putih yang
berisi beras, belo cawir (sirih yang paling bagus), uang dirham, dan kuning
gersing (kunyit). Pinggan pasu yang sudah diisi tersebut di alasi dengan uis
kapal (kain adat yang tebal) berwarna hitam yang disebut uis ariteneng, uis ini
berfungsi sebagai lanam (alas) pinggan pasu. Dalam hal ini juga dibutuhkan
amak cur (tikar kecil berwarna putih yang dianyam), tikar ini berfungsi sebagai
tempat pinggan pasu beserta lanamnya (alasnya).
Selanjutnya anak beru dari pihak siempo menyerahkan batang
unjuken51 tersebut kepada anak beru pihak sisereh. Penyerahan/ pemberian
batang unjuken ini disebut dengan istilah pedalan emas. Adapun batang
unjuken yang diserahkan tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel 3.1. Batang Unjuken52
No
Kelompok Penerima
Jumlah yang diterima
1. Singalo bere-bere Rp. 286.000
2. Singalo perkempun Rp. 196.000
3. Singalo perbibin Rp. 196.000
4. Singalo perkembaren/ perseninan Rp. 96.000
5. Singalo ulu emas Rp. 386.000
51 Sejumlah uang sebagai pokok dari mas kawin. 52 Data diperoleh di daerah penulis melakukan penelitian; Berastagi.
95
Kelima kelompok penerima tersebut merupakan kelompok yang
termasuk kedalam kalimbubu. Selanjutnya masing uang unjuken akan dibagi
rata kepada setiap orang yang ada dalam kelompok tersebut. Besar atau
kecilnya hasil bagi rata tidak menjadi masalah, karena yang terpenting adalah
uang unjuken tersebut telah sampai kepada individu yang berhak
menerimanya. Hal ini menandakan bahwa individu tersebut dihargai haknya
sebagai kalimbubu.53
Setelah pihak keluarga laki-laki menyerahkan uang unjuken kepada
pihak pengantin perempuan, maka kelompok pengantin laki-laki sudah berhak
menjemput pengantin perempuan untuk duduk di kelompok pengantin laki-laki
(disandingkan dikursi yang sudah disediakan). Jadi sebelum semua transaksi
uang mahar dan lainnya selesai, kedua pengantin masih duduk di kelompoknya
masing-masing dan belum dibolehkan untuk duduk berdampingan. Namun
pada kenyataannya seiring perkembangan jaman, keadaan/ peraturan seperti ini
sudah banyak dilanggar, terutama dapat kita lihat di daerah perkotaan. Setelah
acara penyerahan uang unjuken ini selesai, maka dilanjutkan lah dengan acara
makan siang bersama.
3.4.4.4. Ngerana
Ngerana merupakan rangkaian terakhir dari adat upacara perkawinan
masyarakat Karo. Acara ngerana ini selalu diselingi dengan kegiatan menari
bersama (landek). Setiap kelompok yang mendapat giliran ngerana akan 53 Wawancara dengan Katalemuk br Sukatendel, 23 Maret 2011.
96
diberikan kesempatan untuk menari. Dalam acara ini setiap unsur dari daliken
sitelu (kalimbubu, senina/sembuyak, anak beru) diberikan kesempatan ngerana
(berbicara) untuk menyampaikan pedah-pedah (berbagai nasehat), ajar
(petuah), dan toto (doa dan harapan). Ketiga unsur daliken sitelu mempunyai
gilirannya masing-masing untuk ngerana dan setiap kelompok mempunyai
beberapa orang perwakilannya untuk ngerana. Namun sebelum ketiga unsur
daliken sitelu tersebut dipersilahkan untuk ngerana, terlebih dahulu keluarga-
keluarga terdekat dari kedua mempelai yang dipersilahkan untuk menari
(landek). Adapun kelompok-kelompok tersebut adalah sukut (orang tua dari
kedua belah pihak), sembuyak (dari kedua belah pihak), senina; sepemeren,
separibanen, sepengalon, dan sedalanen (dari kedua belah pihak).
Setelah seluruh keluarga dari kedua belah pihak selesai menari, maka
acara ngerana pun sudah dapat dimulai. Kesempatan pertama untuk ngerana
akan diberikan kepada kalimbubu dari pihak siempo. Setelah pihak tersebut
selesai ngerana dan landek, maka kesempatan kedua diberikan kepada
kalimbubu dari pihak sisereh. Kelompok kalimbubu dari pihak sisereh ini juga
disebut dengan istilah kalimbubu si telu sada dalanen, karena kelompok ini
terdiri dari tiga subkelompok lagi, yang selalu sejalan/bersama-sama hadir
ketika mendapat giliran ngerana dalam acara pesta perkawinan. Adapun ketiga
subkelompok tersebut adalah kalimbubu singalo bere-bere, kalimbubu singalo
perkempun, dan kalimbubu singalo perbibin. Setelah selesai ngerana dan
menari bersama, selanjutnya pihak kalimbubu si telu sada dalanen akan
menyerahkan luah (kado) kepada kedua mempelai berupa:
97
Tendang (lampu teplok yang menyala), memiliki makna agar rumah
tangga yang baru dibangun menjadi terang kepada semua keluarga dan
kepada semua orang.
Amak tayangen (tikar, tilam dan bantal), maknanya agar keluarga baru
tersebut dapat menikmati kebahagiaan.
Kudin perdakan (periuk nasi), maknanya adalah sebagai modal dasar
dalam membangun rumah tangga baru, diharapkan agar kedua
mempelai rajin bekerja mencari makan.
Pinggan perpanganen (piring nasi), maknanya adalah agar kedua
mempelai dapat menerima berkat dari Tuhan.
Beras meciho ras naruh manuk (beras putih/suci dan telur ayam),
maknanya adalah agar keluarga yang beru tersebut selalu serasi dan
mendapat kemuliaan. Biasanya kedua komponen tersebut akan
dimasukkan kedalam sebuah wadah yang disebut sumpit.
Manuk asuhen (ayam peliharaan), maknanya agar keluarga baru itu
mendapat rejeki yang baik, serta tercapai apa yang dicita-citakan.
98
Gambar 3.7. Luah dari Kalimbubu54
Setelah pihak kalimbubu si telu sada dalanen selesai menari dan
menyerahkan luahnya, anak beru dari pihak siempo pun mendapat giliran
selanjutnya untuk ngerana. Begitu kelompok ini selesai ngerana, anak beru
dari pihak sisereh pun dipersilahkan untuk ngerana. Anak beru sisereh
merupakan kelompok terakhir yang diberikan kesempatan ngerana pada acara
ini. Pada saat anak beru dari pihak sisereh ngerana (memberikan nasehat),
disinilah diberikan kesempatan kepada bibi si rembah ku lau untuk
memberikan nyanyian didong doah terhadap pengantin perempuan, Karena
bibi si rembah ku lau termasuk kedalam kelompok anak beru dari pihak
sisereh. Biasanya ketika erdidong (menyanyi) si bibi akan menangis tersedu-
sedu sambil menyampaikan semua keluh kesahnya.
54 Sumber : Pancasona shooting video
Kudin perdakan
Pinggan perpanganen
Tendang
Manuk asuhen Beras Meciho ras naruh manuk
Amak tayangen
99
Gambar 3.8. Bibi Si rembah Ku Lau55
Setelah bibi si rembah ku lau selesai erdidong, maka dilanjutkan pada
giliran anak beru menteri, yang merupakan kelompok terakhir yang ngerana.
Setelah kelompok anak beru ini selesai ngerana, maka selesai pula lah acara
kerja adat/ pesta perkawinan tersebut. Penutupan kerja adat ini akan diakhiri
dengan menari bersama. Kerja adat biasanya dimulai pada pukul 09.00 WIB
dan berakhir pukul 17.00 WIB.
55 Sumber : Dokumentasi penulis, 2 Maret 2011
100
BAB IV
ANALISIS FUNGSI SOSIAL BUDAYA
DIDONG DOAH BIBI SI REMBAH KU LAU
Dalam bab ini akan dibahas mengenai fungsi sosial budaya dari didong
doah bibi si rembah ku lau. Penulis disini akan mendeskripsikan teks dari
didong doah bibi si rembah ku lau dengan menterjemahkannya dan melihat
apa-apa saja makna teks tersebut. Penulis juga akan melihat bagaimana
pengaruh didong doah bibi si rembah ku lau itu sendiri terhadap kehidupan
sosial dan budaya masyarakat Karo. Dengan begitu, maka akan dapat diketahui
fungsi sosial dan budaya dari didong doah bibi si rembah ku lau tersebut.
4.1. Deskripsi Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau
Didong doah bibi si rembah ku lau adalah sebuah nyanyian tradisional
Karo yang terdapat/ dinyanyikan pada saat pesta perkawinan. Nyanyian ini
dinyanyikan oleh bibi si rembah ku lau (kelompok anak beru) secara individu
atau solo dan biasanya diiringi dengan gendang simalungun rayat (musik
tradisional Karo). Nyanyian ini biasanya dinyanyikan oleh bibi sisereh
(saudara perempuan dari ayah mempelai wanita) dan ditujukan pada sisereh,
yang dalam hal ini merupakan permen daripada bibi tersebut.
Teks yang dinyanyikan selalu muncul secara spontan berdasarkan
konteks penyajiannya (konteks perkawinan). Artinya teks yang muncul tidak
bersifat baku dan muncul berdasarkan suasana hati si penyaji. Si penyaji selalu
merasa bebas untuk memulai atau menggarap teksnya.
101
Hal yang sama juga terjadi dalam penggarapan melodi dan ritem didong
doah bibi si rembah ku lau. Hal ini terjadi karena secara struktural, melodi dan
ritem didong doah ini memang tidak memiliki bentuk yang baku. Hal ini pula
yang menyebabkan bahwa penyajian didong doah selalu bervariasi, karena
setiap penyaji akan menyajikannya dengan gaya dan teknik yang berbeda-beda.
4.2. Penggunaan dan Fungsi Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau
Penggunaan dan fungsi sebuah musik dalam kebudayaan suatu
masyarakat penting untuk dibahas, karena hal ini berhubungan dengan makna
musik tersebut terhadap masyarakat pemiliknya, dengan melihat sikap dan cara
bersosialisasi mereka dalam kehidupan bermasyarakat.
Merriam mengatakan bahwa penggunaan musik menekankan terhadap
situasi yang bagaimana di dalam pelaksanaannya pada aktifitas masyarakatnya.
Sedangkan fungsi musik meliputi alasan-alasan mengapa musik diadakan
secara khusus dan apa saja yang dapat dilakukan musik tersebut terhadap
pemakainya (1964:210).
Adapun penggunaan didong bibi si rembah ku lau adalah untuk
menyelesaikan tuntutan adat dan untuk kepentingan pesta perkawinan pada
kebudayaan masyarakat Karo. Sedangkan fungsi didong doah itu sendiri lebih
cenderung sebagai alat komunikasi antara bibi si rembah ku lau baik dengan
kedua pengantin maupun kepada orang-orang yang hadir atau ikut terlibat
dalam pelaksanaan upacara tersebut. Karena dengan menyanyikan didong doah
bibi si rembah ku lau tersebut, si bibi—orang yang bersangkutan—telah dapat
mengungkapkan perasaan yang ada didalam hatinya.
102
4.3. Penyajian Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau
Seperti yang telah diungkapkan diatas bahwa didong doah bibi si
rembah ku lau selalu disajikan dalam pesta perkawinan pada masyarakat Karo.
Penyaji didong doah bibi si rembah ku lau adalah saudara perempuan dari ayah
sisereh, yang disebut dengan bibi si rembah ku lau. Untuk menjadi seorang
bibi si rembah ku lau seorang wanita harus mempunyai permen perempuan.
Namun ada kalanya seorang wanita tidak mempunyai permen kandung. Hal ini
terjadi karena dia tidak memiliki saudara laki-laki atau jika ia memiliki saudara
laki-laki tapi saudaranya tersebut tidak memiliki anak perempuan. Walau
demikian berdasarkan sistem kekerabatan (melalui tutur) masyarakat Karo,
ditemukanlah bahwa dia juga mempunyai permen, sehingga dia juga dapat
dianggap sebagai bibi si rembah ku lau.
Biasanya didong doah bibi si rembah ku lau disajikan pada saat giliran
anak beru untuk ngerana. Disinilah kesempatan bagi bibi si rembah ku lau
untuk erdidong, karena bibi si rembah ku lau termasuk kedalam kelompok
anak beru. Namun demikian sebagian orang menganggap bahwa didong doah
bibi si rembah ku lau bukan lah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan
dalam sebuah upacara perkawinan masyarakat Karo. Karena didong doah bibi
si rembah ku lau tidak mempengaruhi sah atau tidaknya sebuah perkawinan.
Tapi dianggap penting untuk melengkapi keharusan melaksanakan adat.56
Menurut konsep bibi si rembah ku lau jika didong doah tersebut tidak
dilaksanakan maka sebuah upacara perkawinan dapat dikatakan kurang 56 Dalam konsep masyarakat karo adat merupakan suatu kebiasaan-kebiasaan yang selalu dilaksanakan dan dipatuhi, yang apabila tidak dilaksanakan akan mempunyai akibat-akibat, tetapi tidak dimuat atau tidak tertulis dalam sebuah kitab undang-undang.
103
lengkap secara adat. Karena selain sebagai bagian daripada rangkaian adat
istiadat Karo, penyajian didong doah bibi si rembah ku lau tersebut juga
menyangkut tanggung jawab dan eksistensi atau keberadaan mereka sebagai
bibi si rembah ku lau. Dengan melaksanakan didong doah maka selesailah
tugas dan tanggung jawab mereka sebagai bibi si rembah ku lau dalam
pelaksanaan upacara perkawinan tersebut. Lebih jauh lagi jika sebuah upacara
perkawinan dilaksanakan tanpa mengikutsertakan didong doah, maka keluarga
yang melaksanakannya itu dikatakan orang yang tidak beradat.57 Dari
keterangan-keterangan diatas maka penulis menyimpulkan bahwa didong doah
merupakan hal yang penting dilaksanakan dalam sebuah upacara perkawinan
dalam memenuhi kelengkapan sebuah adat. Oleh karena itu selain berfungsi
sebagai alat untuk berkomunikasi, didong doah berperan penting untuk
melengkapi adat upacara perkawinan pada masyarakat karo.
4.4. Deskripsi Teks Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau
4.4.1. Teks Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau
Dalam menuliskan teks dari didong doah bibi si rembah ku lau ini,
penulis akan menampilkan ketiga nyanyian yang disajikan oleh tiga orang yang
berbeda, yaitu Nande Paksa Br Sembiring (76 tahun), Nande Roni Br
Sembiring (70 tahun) dan Nande Sabar Br Tarigan (69 tahun). Disini penulis
juga akan menuliskan terjemahan dari teks tersebut, yang mana langsung
diterjemahkan oleh penulis sendiri. Agar memudahkan pembaca dalam
57 Wawancara dengan Nande Rony, Berastagi 27 Februari 2011
104
membaca teknya, penulis langsung membubuhkan terjemahannya di sebelah
kanan teks tersebut.
1. Sampel A, Didong doah bibi si rembah ku lau oleh Nande Paksa Br
Sembiring
Nyanyian ini penulis peroleh melalui rekonstruksi kembali yang
dilakukan oleh Nande Paksa Br Sembiring (25 Februari 2011), karena pada
saat itu tidak ada pesta perkawinan yang akan diamati. Menurut penulis hasil
rekaman ini layak untuk dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini karena
Nande Paksa Br Sembiring merupakan penyaji yang sudah biasa melakukan
didong doah bibi si rembah ku lau pada acara-acara perkawinan masyarakat
Karo.
Menurut Nande Paksa Br Sembiring Sebelum bibi si rembah kulau
menyajikan didong doah, dia akan menyampaikan beberapa kata-kata pembuka
terlebih dahulu. Adapun kata-kata tersebut adalah :
ngerana aku bibindu saya bibindu berbicara nakku beru ginting anakku beru ginting58 emaka wari sekali enda maka hari ini adalah wari salang sai hari yang cerah /berbahagia kudoahken me kam sekalenda ku doahken kamu hari ini ras sembiring mergana dengan sembiring mergana59 emaka nakku jadi anakku enggo gia kam erjabu meskipun kamu sudah menikah ula rubat-rubat Jangan bertengkar gelah malem ate kami agar kami merasa lega ras nande ndu ras bapandu Begitu juga dengan ayah dan ibu mu e man buaten kami itu lah yang kami harapkan ma enggo nakku beru ginting kan sudah anakku beru ginting
58 Marga atau klan yang dibawa perempuan 59 Marga atau klan yang dibawa laki-laki
105
Setelah menyampaikan kata-kata pembuka tersebut, si bibi pun
langsung bernyanyi dan mengungkapkan isi hatinya terhadap sisereh. Teks
nyanyian sampel A dapat dilihat pada lampiran I.
2. Sampel B, Didong doah bibi si rembah ku lau oleh Nande Roni Br
Sembiring.
Sama halnya dengan didong doah diatas, nyanyian ini juga penulis
peroleh melalui konstruksi ulang yang dilakukan oleh Nande Roni Br
Sembiring (27 Februari 2011), yang juga merupakan pelaku yang biasa
menyajikan didong doah bibi si rembah ku lau dalam pesta perkawinan
masyarakat Karo. Sama halnya dengan nande Paksa, nande Rony juga
mengungkapkan beberapa kalimat pembukaan, yaitu :
kami enda ngerana sitik kami disini akan berbicara sedikit tegun anak beru kelompok anak beru ras sirembah ku lau dan sirembah ku lau
Menurut nande Rony kalimat diatas diungkapkan oleh salah seorang
dari perwakilan anak beru. Nande Rony juga mengungkapkan, sebelum bibi si
rembah ku lau menyajikan didong doah, maka dipersilahkan terlebih dahulu
kepada anak beru yang lain untuk menyampaikan pedah-pedah kepada
pengantin.Setelah kelompok anak beru selesai ngerana, maka dilanjutkan oleh
bibi si rembah ku lau yang langsung erdidong. Didong doah bibi si rembah ku
lau yang disajikan oleh nande Rony br Sembiring dapat dilihat pada bagian
lampiran I.
106
3. Sampel C, Didong Doah bibi si rembah ku lau oleh Nande Sabar Br Tarigan
Nyanyian ini penulis peroleh dari rekaman audio secara langsung pada
sebuah upacara perkawinan Karo di Jambur Ta Ras Desa Rumah Berastagi
pada tanggal 02 Maret 2011. Nande sabar merupakan penyaji yang juga biasa
erdidong pada acara-acara pesta perkawinan. Dengan kata lain, ia sering
diminta untuk erdidong pada acara-acara pesta perkawinan, dengan catatan
bahwa yang menikah tersebut masih mempunyai hubungan kekerabatan
dengannya. Begitu juga pada kasus ini, pengantin perempuan bukanlah
permen kandung dari nande Sabar, namun masih memiliki hubungan
kekerabatan dengannya. Disini nande Sabar juga mengungkapkan beberapa
kalimat pembuka, dan menyatakan ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
ibas wari simeriah ukur enda pada hari yang berbahagia ini enggo erjabu sudah menikah anak kami ras permen kami anak kami dan menantu kami emaka bujur ningku maka dari itu syukur saya ucapkan man Dibata kepada Tuhan
aku pe ngerana sitik saya juga akan berbicara sedikit em kap sirembah ku lau yaitu sirembah ku lau ku didong kam nakku ku timang kamu anakku
Setelah kata-kata pembuka diatas selesai diucapkan, maka bibi si
rembah ku lau pun langsung erdidong. Untuk mengetahui teks nyanyian dari
sampel C dapat dilihat pada bagian lampiran I
Pada sampel B dan C juga ditemukan adanya aktivitas ekstra musikal.
Aktivitas ini muncul ketika si penyaji mengungkapkan sesuatu sambil
107
menangis atau dengan kata-kata yang menyentuh hati sisereh. Ketika si bibi
menangis atau merasa sangat sedih, maka kedua pengantin akan mendatangi si
bibi dan berusaha membujuknya agar tidak bersedih dan berhenti menangis.
Aktivitas ini lah yang kemudian disebut dengan aktivitas ekstra musikal.
Dibawah ini adalah teks yang diungkapkan oleh si penyaji, yang memicu
munculnya aktivitas ekstra musikal tersebut.
Sampel B;B4
B4 enca ge ku elukken ka kena tapi kemudian aku berpaling darimu nande biring nande biring ku ayaki tarigan mergana e ku kejar tarigan mergana ini bage nindu nande biringku itu lah yang kau ucapkan nande biring morah kel ateku kena nande biring aku sangat berharap padamu nande ginting
Menurut nande Rony br Sembiring contoh seperti kalimat tersebutlah
yang dapat menyentuh hati sisereh, sehingga dia kemudian mendatangi bibinya
dan membujuk si bibi agar tidak bersedih lagi. Nande Rony juga menuturkan
bahwa hal tersebut diatas pasti selalu dialami oleh setiap pengantin perempuan
di masyarakat Karo, begitu juga dengan dirinya dahulu. Melihat si bibi
bersedih/menangis akan menimbulkan rasa sayang yang lebih besar sisereh
terhadap bibinya. Selain itu juga akan memicu sisereh untuk melakukan hal
yang sama terhadap permennya kelak.60
Sampel C;C8-C9
C8
enggo bagem anakku ... biarlah begitu anakku
keleng sikeleng-kelengen saling menyayangilah
60 Wawancara dengan nande Rony br Sembiring, 27 Februari 2011
108
kam pagi duana kamu berdua nande tigan anakku (menangis) nande tigan anakku ginting mergana ginting mergana maka malem pagi ate nande ndu agar lega perasaan ibu bapandu anakku ... ayahmu anakku ... C9 bagenda gia lawes begini walaupun sudah pergi nandendu ndai ibumu tadi turang bibina ... nakku anakku turang bibina ... nakku anakku (menangis)
Ketika penulis melakukan perekaman langsung pada sampel C di
sebuah pesta perkawinan di Berastagi, penulis melihat bahwa saat si bibi
mengungkapkan kalimat-kalimat diatas, si bibi tidak henti-hentinya menangis.
Sesekali si bibi menghapus air matanya dan berhenti sejenak untuk menarik
nafas. Terlihat sekali bahwa si bibi merasakan kesedihan yang begitu
mendalam saat itu. Karena melihat si bibi menangis tersedu-sedu, kedua
pengantin lalu mendatangi si bibi. Bersama dengan suaminya, dia memeluk si
bibi sambil berusaha menenangkan perasaan si bibi.
4.4.2. Makna Teks Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau
Meski menggunakan bahasa sehari-hari dalam penyajiannya, teks
didong doah bibi si rembah ku lau tetap menyiratkan makna yang jelas. Pada
bagian ini akan dijelaskan mengenai makna tersurat (harafiah) dan makna
tersirat dari kata-kata maupun kalimat yang terdapat dalam teks didong doah
bibi si rembah ku lau. Makna tersebut akan dilihat baik dari kata/kalimat,
maupun arti yang tersirat dari setiap baitnya. Sebelum melihat arti yang
tersirat dari setiap bait tersebut, berikut ini dapat kita lihat makna kata/kalimat
dari teks didong doah bibi si rembah ku lau yang disajikan dalam sebuah tabel.
109
Tabel 4.1. Makna Kata Teks Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau
Sampel Kata/ Kalimat Makna Tersurat Makna Tersirat
A Njabuken bana (A1)
Menikahkan diri sendiri Telah sah menikah
Enggo tambahindu teman ndu (A2)
Sudah menambahkan teman mu
Sudah memiliki calon suami pilihannya sendiri
Enteguh lah perjabun kena (A2)
Kuatlah pernikahan kalian
Agar kedua mempelai memiliki pernikahan yang langgeng.
Kupudi wari enda (A3)
Kebelakang hari ini Untuk waktu yang selanjutnya/ waktu yang akan datang
Jumpa matawari jumpa bulan (A6)
Bertemu matahari dan bulan
Agar kedua pengantin cepat mendapatkan anak laki-laki dan perempuan (mendapat keturunan).
Morah ateku (A7) Yang ku harapkan/ ingini Merupakan ungkapan rasa sesal dan kesedihan
B Elukken (B1, B4, B7, B8)
Menghindari/ dihindari Kata ini berarti bahwa dia telah mengingkari janjinya kepada bibinya.
Morah (B4, B7) Berharap/ menginginkan Merupakan ungkapan rasa sesal dan kesedihan
Beru sembiring e merambit. E pagi dalan ndu ula rubat-rubat (B6)
Beru sembiring ini cerewet. Itulah jalanmu agar tidak bertengkar
Agar mereka berdua janganlah bertengkar hanya karena si beru sembiring memiliki sifat yang cerewet.
Perembahndu ndube (B9)
Kain gendonganmu tadi. Kata ndube (tadi) disini berarti waktu ketika sisereh masih
110
bayi.
Buah bara nande biring (B9)
Buah bahu dari nande biring
Buah bara disini bermakna hal yang sangat dicintai si nande biring.
C
Lako kam ku jabu kalak (C2)
Kamu laku ke rumah orang lain
Kata lako (laku) disini berarti bahwa si gadis telah di pinang oleh keluarga lain
Sangap kam kerina encari (C6)
Mujur dalam mencari Agar mereka semua bernasib baik dalam mencari uang (dalam pekerjaan), atau murah rejeki.
Enggo gia lawes (C9)
Walau sudah pergi Kata lawes disini berarti telah meninggal dunia61
Setelah melihat penjelasan dalam tabel tersebut, selanjutnya akan
dijelaskan mengenai arti dari teks didong doah bibi si rembah ku lau yang
dilihat pada setiap bait. Arti/makna tersebut dapat berisi berupa pesan, doa dan
harapan. Ketiga isi ini selalu terdapat dalam sebuah teks didong doah bibi si
rembah ku lau. Namun mengingat bahwa teks didong doah bibi si rembah ku
lau ini selalu diungkapkan secara bebas oleh penyajinya, maka dalam satu bait
teks bisa saja berisi dua hal seperti doa dan harapan, dan kadangkala juga dapat
ditemukan adanya ungkapan rasa haru (morah). Jadi bisa saja dalam satu bait
nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau terdiri dari beberapa isi. Untuk
lebih jelasnya dapt dilihat pada uraian berikut ini.
1. Sampel A 61 Lawes merupakan ungkapan yang lebih halus untuk menggantikan kata mate (meninggal dunia). Masyarakat karo selalu menggunakan ungkapan yang lebih halus untuk kata-kata yang dianggap terlalu kasar untuk diucapkan.
111
Pada sampel A isi yang berupa pesan terdapat pada A1, A3, A5, dan A7.
Ungkapan “maka ula kena rubat-rubat” (jangan bertengkar) merupakan hal
yang menandakan bahwa sampel A1 ini mengandung pesan. Ungkapan yang
sama juga dapat ditemukan pada sampel A3. Sedangkan pesan yang terdapat
pada sampel A5 dan A7, adalah pesan untuk menyayangi si bibi. Pesan ini dapat
dilihat melalui ungkapan “kelengi kena pagi aku” (sayangilah aku).
Isi yang berupa doa dan harapan terdapat pada sampel A2, A3, A4, dan
A6. Pada sampel A2, doa dan harapan yang disampaikan dapat dilihat melalui
ungkapan “lampas kena galang maka man impalndu e kam pepagi” (cepat
besar agar nanti kamu menikah dengan impal mu). Pada sampel A3, doa dan
harapan yang diungkapkan dapat dilihat pada kalimat ”enteguh lah perjabun
kena” (memiliki pernikahan yang langgeng). Sedangkan pada sampel A4,
ungkapan doa dan harapan tersebut dapat dilihat pada kalimat “mejuah-juah
kel kam njabuken bana” (diberkatilah kamu karena telah menikah). Pada
sampel A6, isi berupa doa dan harapan itu dapat dilihat melalui ungkapan
“maka mis ka pagi kena jumpa matawari jumpa bulan nakku” (semoga cepat
mendapatkan keturunan).
Disamping ungkapan yang telah disebutkan diatas, juga terdapat
ungkapan rasa haru (morah) dan sedih pada teks didong doah bibi si rembah ku
lau. Ungkapan ini dapat dilihat pada kalimat “enda enggo tambahindu
temanndu nakku” (sekarang kamu sudah punya teman lain), yang terdapat pada
sampel A2. Ungkapan lain juga dapat dilihat pada sampel A7, yaitu “biasna
112
kam la jumpa ras impalndu e” (cukuplah kamu tidak bertemu dengan impal
mu ini).
2. Sampe B
Isi yang berupa pesan pada sampel B ini, dapat dilihat pada sampel B5
dan B6. Pada sampel B5 pesan tersebut dapat dilihat melalui ungkapan
“sikeleng-kelengen kena pagi” (saling menyayangilah kalian), sedangkan pada
sampel B6 ungkapan berupa pesan tersebut dapat dilihat pada kalimat “ula
rubat-rubat nakku” (jangan bertengkar).
Berikut ini adalah isi yang berupa ungkapan doa dan harapan, yang
terdapat pada sampel B8 dan B9. Pada sampel B8 ungkapan berupa doa dan
harapan dapat dilihat pada kalimat “sehat sehat kam turang” (sehat-sehat lah
kamu turang). Ungkapan ini disampaikan kepada ayah sisereh. Sedangkan
pada sampel B9 ungkapan tersebut berupa ”emaka panjang perjabunndu,
murah rejekindu nande biring” (maka panjanglah pernikahanmu, murah
rejekimu nande biring).
Pada sampel B ini juga terdapat adanya ungkapan rasa haru
(morah),sedih dan juga rasa kecewa. Ungkapan tersebut dapat kita lihat pada
sampel B1, B2, B3, B4, B7 dan B8. Seluruh kalimat yang diungkapan pada setiap
bait tersebut merupakan ungkapan rasa sedih, morah, dan kecewa si bibi yang
diungkapkan secara acak. Namun pada sampel B8, pada akhir bait terdapat
ungkapan doa dan harapan terhadap ayah sisereh, seperti yang tertera diatas.
Hal ini sangat memungkinkan, mengingat bahwa teks didong doah bibi si
rembah ku lau selalu diungkapkan dengan bebas oleh penyajinya.
113
3. Sampel C
Pada sampel C, isi yang berupa ungkapan pesan terdapat pada C3, C4
dan C8. Pesan pada sampel C3 dapat dilihat melalui ungkapan ”e lit sambar
ganti nandendu ndai” (inilah pengganti ibumu), maksudnya adalah bahwa si
bibi berpesan kepada siempo si beru tarigan ini merupakan pengganti dari
ibunya yang sudah meninggal. Sampel C4 menunjukkan ungkapan pesan yang
ditujukan kepada ayah sisereh yaitu agar si ayah tidak bersedih lagi meski si
beru tarigan tidak bersamanya lagi. Dan pesan yang diungkapkan pada sampel
C8, yang ditujukan kepada kedua pengantin adalah ”keleng sikeleng-kelengen
kam pagi duana” (saling menyayangilah kalian berdua).
Isi yang berupa ungkapan doa dan harapan terdapat pada sampel C1 dan
C6. Ungkapan doa dan harapan pada sampel C1 ditandai dengan kalimat
”lampas mbelin lampas gedang” (cepat besar dan tinggi). Sedangkan pada
sampel C6 dapat dilihat melalui ungkapan ”sangap kam encari” (beruntung
dalam pekerjaan).
Dan ungkapan berupa rasa haru (morah) dan kesedihan dapat
ditemukan pada sampel C2, C5, C7, C9, dan C10. Pada sampel C2 si bibi merasa
morah karena permennya menikah dengan orang lain, hal yang sama juga
diungkapkan pada sampel C5. Sedangkan pada sampel C7 rasa morah yang
diungkapkan lebih ditujukan kepada ibu sisereh. Pada sampel C9 rasa morah
diungkapkan karena ibu siempo telah meninggal dunia. Oleh karena itu rasa
morah (haru) tersebut ditujukan kepada siempo. Dan ungkapan rasa morah
yang terakhir terdapat pada sampel C10, disini rasa morah tersebut diungkapkan
114
bersamaan dengan perasaan rela/ikhlas terhadap kedua pengantin yang telah
mengikat janji dalam sebuah pernikahan. Pada sampel C12 tidak terdapat
adanya isi mengenai ungkapan pesan maupun doa, harapan dan rasa morah
(haru). Bait tersebut hanya berfungsi sebagai bait penutup terhadap
keseluruhan teks didong doah bibi si rembah ku lau.
4.4.3. Pemilihan dan Penggunaan Kata dalam Teks Didong Doah Bibi
Si Rembah Ku Lau
Berdasarkan teks-teks yang telah dituliskan sebelumnya, dapat dilihat
bahwa kata-kata yang dipakai dalam teks didong doah bibi si rembah ku lau
merupakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bahasa sehari-hari
masyarakat Karo. Teks yang digunakan adalah kalimat yang tidak bersifat
baku, karena berasal dari perasaan (apa yang dipikirkan) oleh penyajinya.
Kalimat-kalimat yang terdapat dalam teks didong doah bibi si rembah ku lau
memiliki tujuan dan waktu penggunaan, maksudnya kepada siapa kalimat itu
ditujukan dan kapan kalimat tersebut digunakan (muncul).
Kata-kata seperti ”didong doah...”, ”doah doah...”, atau ”didong
didong...” selalu ditujukan kepada kedua pengantin, khususnya kepada
pengantin perempuan. Kalimat ini selalu muncul pada saat si penyaji
mengungkapkan isi hatinya kepada kedua pengantin, dan terkhusus kepada
pengantin perempuan. Kalimat-kalimat ini biasa muncul pada awal lagu atau
pada saat pertengahan lagu.
Penggunaan untuk kata didong doah dapat dilihat pada sebagai berikut.
Contoh 1 (Lihat sampel A;A1)
115
A1 didong doah... doah nande ginting timang-timang nande ginting adi bas wari sekali enda nakku Karena hari ini anakku enggo kam njabuken bana Kamu sudah menikah ras sembiring mergana dengan sembiring mergana Contoh 2 (Lihat sampel C;C2) C2 didong doah doah ... timang timang anakku nande tigan anakku nande tigan lako kam ku jabu kalak nande tigan laku kamu ke keluarga lain nande tigan kujabu ginting mergana e ... ke keluarga ginting mergana ini Penggunaan kata doah doah dapat dilihat sebagai berikut.
Contoh 1 (Lihat sampel A;A6 dan A7) A6 doah-doah... timang-timang ku didong doah ku didong ku timang-timang ku timang nande ginting mama biring nande ginting mama biring A7 doah ... doah timang ... timang ... nande ginting la megogo nande ginting yang baik hati kelengi kena pagi aku sayangi lah aku ras bengkila ndu e nakku dan paman mu ini anakku Penggunaan kata didong didong dapat dilihat sebagai berikut.
Contoh 1 (Lihat sampel B;B1) B1 didong didong... doah teman bibina timang-timang, timang teman bibi na enggo kam ku elukken ndai bibi aku sudah mengingkari janji bibi bage nge nindu nande biring itu lah yang kau ucapkan nande biring teman bibi na teman bibina
Contoh 2 (Lihat sampel C;C1 dan C3) C1 didong didong ... timang timang ... doah nande tigan timang nande tigan ning kami pagi-pagi karaben kami ucap pagi dan sore nande tigan nande tigan C3 didong-didong doah ... timang timang anakku ginting mergana ... anakku ginting mergana ku didong ka kam anakku ku timang juga kamu anakku
116
Sedangkan kata morah62 secara umum selalu ditujukan kepada sisereh,
karena si bibi merasa sedih dan menyesal terhadap kenyataan bahwa
permennya menikah dengan orang lain. Namun ada kalanya kata morah ini
juga dapat ditujukan kepada orang tua pengantin perempuan (lihat sampel B)63
maupun kepada orang tua pengantin pria (lihat sampel C).64 Kata morah ini
selalu digunakan atau muncul pada pertengahan lagu (lihat sampel B), atau bisa
saja pada akhir nyanyian (lihat sampel A). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada contoh-contoh berikut ini.
Contoh 1 (Lihat sampel B;B4 dan B7) B4 enca ge ku elukken ka kena tapi kemudian aku berpaling darimu ku ayaki tarigan mergana e ku kejar tarigan mergana ini bage nindu nande biringku itu lah yang kau ucapkan nande biring morah kel ateku kena nande biring aku sangat berharap padamu nande ginting B7 enggo bagem biarlah begitu turang sembiring mergana turang sembiring mergana enggo gia kami bibi na walaupun kami bibi nya elukken anak ndu e turang di ingkari anak kalian ini morah na e seh kel morah na harap tentu sangat berharap mama biring mama biring
Contoh 2 (Lihat sampel A;A7) A7 doah ... doah timang ... timang ...
62 Penyesalan terhadap sesuatu yang tidak dilakukan (Prints, 2002:399) 63 Pada sampel B ini, oleh si penyaji kata morah juga ditujukan kepada ayah pengantin perempuan. si penyaji juga merasa terharu/sedih (morah), karena ayah pengantin perempuan tidak dapat membuat anaknya menikah dengan anak si penyaji. 64 Pada sampel C, si penyaji secara khusus menujukan kata morah ini kepada ayah pengantin pria. Hal ini dikarenakan istrinya (ibu pengantin pria) telah meninggal dunia. Oleh karena itu si penyaji menyampaikan pesan agar mereka berdua (ayah dan anak tersebut) jangan bersedih (morah) lagi, meskipun ibu/istri nya telah tiada.
117
nande ginting la megogo nande ginting yang baik hati kelengi kena pagi aku sayangi lah aku ras bengkila ndu e nakku dan paman mu ini anakku adi enggo kam ku didong karena kamu sudah ku didong bias me kam la jumpa cukuplah kamu tidak bertemu ras impal ndu e dengan impal mu ini nande ginting morah ate ku nande ginting yang begitu aku harapkan
Adapun kalimat yang ditujukan kepada ayah dari pengantin perempuan
adalah ”enggo bagem turang....”, sedangkan kalimat ”maka/ emaka/ enggo
bagem...” adalah kalimat yang ditujukan kepada sisereh dan siempo, atau ayah
siempo. Jika kalimat enggo bagem diikuti dengan kata turang dibelakangnya,
hal ini menandakan bahwa kalimat tersebut sudah pasti ditujukan kepada ayah
sisereh. Karena kata turang merupakan panggilan si bibi terhadap ayah sisereh.
Namun jika kalimat enggo bagem tidak diikuti oleh kata turang dibelakangnya,
maka kalimat tersebut bisa saja ditujukan kepada sisereh, siempo, maupun ayah
siempo. Untuk lebih jelasnya, dapat kita lihat pada contoh-contoh berikut ini.
Contoh 1 (ditujukan kepada ayah sisereh)
Lihat sampel B;B7
B7 enggo bagem biarlah begitu turang sembiring mergana turang sembiring mergana enggo gia kami bibi na walaupun kami bibi nya elukken anak ndu e turang di ingkari anak kalian ini morah na e seh kel morah na harap tentu sangat berharap mama biring mama biring
Lihat sampel C;C4 dan C10
C4 enggo bagem turang ya sudah lah turang tarigan mergana tarigan mergana edangku ras silih kami ipar ku dan ipar (laki-laki) kami ola nai kam menek-menek jangan lagi kamu bersedih ola nai terame-ame jangan lagi terame-ame la gia je beru tarigan e ndai walaupun beru tarigan tak disini lagi
118
bage atendu turang ... begitu pikiranmu turang
C10 enggo bagem bapa Ferdi begitulah ayah Ferdy adi enggo erjabu permen ta e kalu sudah menikah menantu kita ini ras anakta e dengan anak kita Contoh 2 (ditujukan kepada sisereh dan siempo)
Lihat sampel A;A3, A4, dan A5
A3 maka bagem nakku, tapi ya sudahlah anakku, enteguh lah perjabun kena semoga pernikahan kalian langgeng ula kam rubat-rubat jangan pernah bertengkar ku pudi wari enda nande ginting untuk ke belakang harinya nande ginting A4 emaka bagem nande ginting, maka dari itu nande ginting, mejuah-juah kel kam mejuah-juah lah kamu njabuken bana telah menikah maka malem agar lega ate nande ndu bapa ndu perasaan ibu dan ayahmu njabuken bana nande gintingku menikah nande ginting ku sembiring mergana sembiring mergana A5 maka bagem teman jadi biarlah teman adi la gia kam man anakku ndai walau kamu tidak menikah dengan anakku kelengi kena pagi aku sayangi lah aku nande ginting sembiring mergana nande ginting sembiring mergana
Lihat sampel C;C8 C8 enggo bagem anakku ... biarlah begitu anakku keleng sikeleng-kelengen saling menyayangilah kam pagi duana kamu berdua nande tigan (menangis) nande tigan ginting mergana ginting mergana
119
Kata enggo bagem disini merupakan ungkapan dari perasaan ikhlas/
sikap pasrah terhadap sesuatu yang sudah terjadi yang tidak bisa diputar
kembali. Menurut nande Sabar br Tarigan ungkapan ini dapat mengurangi rasa
sedih dan penyesalan yang dia rasakan.65 Sedangkan nande Paksa mengatakan
bahwa ungkapan tersebut merupakan ekspresi untuk menunjukkan rasa kesal
dan penyesalan terhadap sisereh.66
4.4.4. Struktur Teks Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau
Secara umum teks dari didong doah bibi si rembah ku lau tidak
memiliki struktur teks yang baku. Artinya teks yang diungkapkan oleh penyaji
selalu berdasarkan isi hati si penyaji itu sendiri. Apa yang diungkapkan si
penyaji pada awal nyanyian bisa saja muncul kembali pada bagian pertengahan
atau akhir dari nyanyian tersebut. Teks didong doah bibi si rembah ku lau tidak
memiliki aturan mengenai dimana letak bagian pembuka, isi, atau penutup.
Seluruh teks dari didong doah bibi si rembah ku lau merupakan isi. Karena
keseluruhan dari teks tersebut berisi pesan-pesan yang jelas, yang harus
disampaikan kepada mempelai wanita/pria, kepada kedua orang tua mempelai
wanita/pria, kepada famili mempelai wanita, maupun kepada si penyaji itu
sendiri. Urutan ini tidaklah bersifat baku. Bisa saja pesan yang disampaikan
kepada mempelai wanita muncul dua atau tiga kali, demikian juga halnya
dengan pesan yang disampaikan kepada orang tua si mempelai wanita. Berikut
65 Wawancara dengan nande Sabar br Tarigan, 02 Maret 2011 66 Wawancara dengan nande Paksa br Sembiring, 27 Februari 2011
120
ini akan dijelaskan struktur teks didong doah bibi si rembah ku lau yang
terdapat dalam tulisan ini.
Strukutur teks yang dapat dilihat pada sampel A adalah : dimulai dari
pesan yang disampaikan kepada sisereh (A1-A5) pesan yang disampaikan
kepada sisereh/ siempo (A6) pesan yang disampaikan kepada sisereh (A7).
Pada sampel A ini, si penyaji menyampaikan pesan yang ditujukan kepada
sisereh, kemudian kepada sisereh/siempo, dan kembali lagi kepada sisereh.
Struktur teks pada sampel B adalah : dimulai dari pesan yang
disampaikan kepada sisereh (B1-B4) pesan yang disampaikan kepada
siempo (B5-B6) pesan yang disampaikan kepada orang tua (ayah)
sisereh (B7-B8) pesan yang disampaikan kepada sisereh dan siempo
(B9). Pada sampel II ini, si penyaji menyampaikan pesan yang ditujukan
kepada sisereh, pesan yang ditujukan kepada siempo, kemudian kepada orang
tua (terutama ayah) sisereh, dan yang terakhir adalah pesan yang ditujukan
kepada kedua pengantin.
Struktur teks pada sampel nyanyian C adalah : dimulai dari pesan yang
disampaikan kepada sisereh (C1-C2) pesan yang disampaikan kepada
siempo (C3) pesan yang disampaikan kepada orang tua sisereh (C4-C7)
pesan yang disampaikan kepada siempo dan sisereh (C8) pesan yang
disampaikan kepada siempo (C9) pesan yang disampaikan kepada ayah
siempo (C10) pesan yang disampaikan kepada siempo (C11) pesan yang
disampaikan kepada kedua orang tua sisereh (C12). Pada samapel C ini,
pertama si penyaji menyampaikan pesan yang ditujukan kepada sisereh,
121
kemudian kepada siempo, setelah itu pesan ditujukan kepada orang tua sisereh,
lalu pesan kembali ditujukan kepada kedua pengantin secara bersamaan,
selanjutnya pesan kembali disampaikan kepada siempo, kemudian pesan yang
disampaikan ditujukan kepada ayah siempo, lalu kembali lagi pesan ditujukan
kepada siempo, dan yang terakhir adalah pesan yang disampaikan ditujukan
kepada kedua orang tua sisereh.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan penulis diatas, jelas
terlihat bahwa teks didong doah bibi si rembah ku lau tidak memiliki struktur
yang baku. Pesan-pesan yang disampaikan oleh si penyaji diungkapkan
berdasarkan perasaan si penyaji dan diungkapkan secara acak. Namun ketiga
nyanyian tersebut memiliki persamaan, yaitu : hal yang pertama sekali
diungkapkan oleh ketiga penyaji adalah pesan yang ditujukan kepada sisereh.
Hal ini dikarenakan bahwa sisereh merupakan orang yang menjadi objek utama
dalam didong doah bibi si rembah ku lau ini.
4.4.5. Isi Teks Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau
Jika diamati lebih jauh, teks didong doah bibi si rembah ku lau sering
sekali berisi sejarah kehidupan sisereh dan kedua orang tuanya. Bisa juga
mengungkapkan rasa sedih bibi si rembah ku lau terhadap sisereh; misalnya
ungkapan rasa kecewa dan penyelesalannya terhadap kenyataan bahwa orang
yang diharapkannya akan menikah dengan anaknya ternyata menikah dengan
orang lain.67 Kendati dirundung kesedihan yang demikian, di dalam didong
67 Menurut Kumalo Tarigan, dalam masyarakat Karo sudah menjadi keharusan seorang permen (menantu perempuan) akan dinikahkan dengan anak laki-laki bibi sirembah ku lau apabila dewasa nanti. Karena ketika permennya masih bayi, bibi lah yang mendidong doahkan si bayi
122
doahnya bibi si rembah ku lau juga selalu menyertakan pedah (pesan), ajar
(ajaran/perintah), dan toto (doa dan harapan) yang disampaikan kepada sisereh,
seperti ula rubat-rubat (jangan bertengkar), sikeleng-kelengen kena pagi
(saling menyayangi), sangap encari (murah rejeki), gedang ras meteguh
perjabun kena (agar memiliki perkawinan yang panjang dan langgeng), jumpa
bulan ras matawari (mendapatkan anak laki-laki dan perempuan).
4.5. Fungsi Sosial Budaya Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Pada
Masyarakat Karo
Selain menganalisis struktur musikalnya, fokus penelitian pada tulisan
ini juga membahas mengenai fungsi sosial dan budaya didong doah bibi si
rembah ku lau. Setelah menganalisis teks, dengan melihat makna yang tersirat,
pesan-pesan yang terkandung, kegiatan ekstra musikalnya, dan melihat
keadaan penyajiannya, maka penulis memperoleh fungsi sosial budaya dari
nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau ini adalah sebagai perantara atau
media pendidikan sosial dan budaya terhadap masyarakat Karo.
Adapun fungsi sosial dari didong doah bibi si rembah ku lau adalah
ketika nyanyian ini disajikan di depan khayalak ramai. Pesan-pesan yang
disampaikan oleh si bibi jelas akan didengar oleh seluruh audiens yang hadir di
tempat itu. Dan pesan-pesan tersebut dapat dijadikan pengajaran atau sumber
pendidikan informal oleh para audiens yang hadir pada umunya, dan kepada
kedua mempelai khususnya. Bentuk pendidikan informal seperti ini lah yang
sambil memandikannya ke sungai. Hal ini menunjukkan bahwa si bibi memiliki tanggung jawab terhadap permennya.
123
kerap kali gampang diserap dan diaplikasikan oleh masyarakat. Karena
meskipun tidak tertulis, bentuk pengajaran yang berupa norma-norma dan
aturan-aturan tersebut berlaku di kehidupan masyarakat. Dan hal ini lah
mendorong masyarakat untuk berlaku sesuai norma dan aturan tersebut agar
hidup rukun dan damai.
Selain bermanfaat kepada khalayak ramai atau pun masyarakat Karo
yang hadir pada acara perkawinan tersebut, pesan-pesan atau ajaran yang
disampaikan oleh bibi si rembah ku lau juga jelas sangat memiliki dampak
positif kepada kedua pengantin. Dalam pesannya si bibi juga memberi nasehat
agar kedua pengantin hendaknya selalu selalu menghargai dan menghormati
orang-orang yang sudah menjadi kerabat mereka. Hal ini menandakan bahwa
keduanya dianjurkan untuk selalu mendatangi familinya apabila mereka
mengadakan pesta adat. Dengan melakukan hal tersebut, maka mereka berdua
akan dihargai dan dihormati juga di mata famili-familinya dan masyarakat
Karo sebagai orang yang memiliki sopan santun dan etika. Dari penjelasan
diatas dapat dipetik bahwa bentuk pengajaran seperti itu juga sangat berguna
sebagai sebuah pendidikan dalam keluarga mereka kelak.
Berdasarkan penjelasan diatas maka diketahuilah bahwa penggunaan
didong doah bibi si rembah ku lau yang disajikan di dalam pesta perkawinan
masyarakat Karo ini, jelas dapat mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat
Karo itu sendiri. Penyajian didong doah bibi si rembah ku lau tersebut telah
memberi dampak atau efek positif terhadap masyarakat Karo. Hal ini sesuai
124
dengan apa yang diungkapkan Merriam mengenai penggunaan dan fungsi
musik.
Sedangkan fungsi budayanya dapat dilihat dari masih dilakukannya
praktek didong doah bibi si rembah ku lau ini di Tanah Karo, meski sebagian
masyarakat menganggap hal itu tidaklah begitu penting. Dengan masih
dilakukannya praktek tersebut menandakan bahwa masyarakat Karo masih
memelihara salah satu kebudayaan mereka. Jika hal itu dilakukan dengan
sungguh-sungguh dan terus memeliharanya, maka akan memungkinkan bagi
sebagian masyarakat Karo yang tidak melakukan praktek didong doah bibi si
rembah ku lau tersebut untuk kembali melakukan penyajiannya dan tetap
melestarikannya dan membuatnya menjadi suatu keharusan untuk disajikan.
Dengan begitu penyajian dari didong doah bibi si rembah ku lau ini dapat
dikatakan berfungsi sebagai sarana dalam menjaga kelestarian salah satu
warisan budaya suku Karo ini.
Selain itu, melalui aktivitas ektra musikal seperti yang dijelaskan
sebelumnya (terdapat pada sampel B dan C), kegiatan penyajian nyanyian ini
juga akan terus dapat berlangsung. Karena orang yang telah i didong doahken
(dinyanyikan lagu didong doah) oleh bibinya, juga memiliki kemauan untuk
melakukan hal yang sama terhadap permennya kelak. Penulis menyimpulkan
bahwa jika didong doah bibi si rembah ku lau ini dilakukan oleh setiap
generasi, sudah dapat dipastikan bahwa kelestariannya akan tetap terjaga
sebagai sebuah warisan kebudayaan pada masyarakat Karo. Dengan masih
terjaganya dan dilaksanakannya penyajian didong doah bibi si rembah ku lau
125
ini menjadi sebuah keharusan oleh masyarakat Karo, maka nyanyian ini akan
dapat memberi kontribusi atau sumbangan dalam kelestarian budaya Karo,
serta dapat berfungsi sebagai media atau alat untuk pelestarian salah satu
kebudayaan Karo.
126
BAB V
ANALISIS MUSIKAL DIDONG DOAH BIBI
SI REMBAH KU LAU
Pada bab V ini akan dibahas mengenai analisis melodi dari didong doah
bibi si rembah ku lau. Nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau akan di
transkripsikan terlebih dahulu sebelum dilakukan penganalisaan terhadap
melodinya.
5.1. Analisis Musikal Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau
Dalam menganalisis melodi didong doah bibi si rembah ku lau,
penulis mengacu pada teori yang diungkapkan oleh Slobin dan Titon mengenai
aspek-aspek musikal yang perlu diperhatikan dalam mentranskripsikan sebuah
musik. Menurut mereka ada empat elemen yang harus diperhatikan dalam
melihat gaya sebuah musik, yaitu : elemen nada (tangga nada, modus, melodi,
harmoni, sistem tuning), elemen waktu (pola ritem, meter), elemen warna suara
(kualitas suara, warna bunyi instrumental), dan elemen intensitas suara (keras
lembutnya suara). Aspek-aspek tersebut kemudian akan dilihat dalam nyanyian
didong doah bibi si rembah ku lau, dengan pengecualian bahwa harmoni dan
warna suara instrumental tidak akan dibicarakan dalam pembahasan gaya
nyanyian ini. Karena kedua elemen tersebut tidak dapat ditemukan dalam
nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau.
127
5.2. Elemen Nada
5.2.1. Tangga Nada
Tangga nada atau scale (Itali) adalah susunan nada-nada naik atau pun
turun yang tersusun secara berurutan. Setiap nada memiliki jarak terhadap nada
lain, sebelum maupun sesudahnya. Tangga nada diatonis (tangga nada mayor
dan tangga nada minor) merupakan sistem tangga nada yang lazim digunakan
pada musik barat.
Pada kebudayaan musik Karo tidak dikenal adanya sistem tangga
nada,seperti halnya pada kebudayaan musik barat. Dalam praktek nyanyian
didong doah bibi si rembah ku lau, tangga nadanya dapat ditentukan dengan
melihat susunan melodi yang dinyanyikan oleh sipenyaji. Berikut ini dapat
dilihat susunan tangga nada didong doah bibi si rembah ku lau dari tiga penyaji
yang berbeda.
Nande Paksa br Sembiring
F A B C D
Nande Rony br Sembiring
F G A
128
Nande Sabar br Tarigan
A Bes D Es E F
Selain menampilkan bentuk tangga nada dari ketiga penyaji, dibawah
ini juga dapat dilihat jumlah dari setiap nada yang muncul.
Tabel 5.1. Jumlah Nada Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau
dari Masing-masing Penyaji
Nande Paksa br Sembiring (Sampel A)
F A B C D 20 15 321 36 12
Nande Rony br Sembiring
(Sampel B)
F G A 327 35 8
Nande Sabar br Tarigan
(Sampel C)
A Bes D Es E F 4 71 389 37 15 11
129
Jika kita lihat kembali ketiga tangga nada dari ketiga penyaji tersebut,
terdapat beberapa nada yang sama, yaitu nada F dan A, sementara nada D
hanya terdapat pada sampel A dan C. Sedangkan nada yang sering muncul dari
ketiga dari ketiga sampel tersebut adalah nada B (321 kali), nada F (327 kali),
nada D (389 kali), nada Bes (71 kali) dan nada Es (37 kali) Dari beberapa
keterangan tersebut, maka dapat dilihat apa saja nada yang sering/umum
digunakan ketika menyajikan didong doah bibi si rembah ku lau. Sehingga
dapat ditarik kesimpulan bahwa tangga nada yang umum digunakan pada
penyajian didong doah bibi si rembah ku lau adalah :
F A Bes B D Es
Setelah melalui proses pengamatan terhadap tangga nada dari ketiga
sampel, maka didapatlah bentuk tangga nada yang umum pada didong doah
bibi si rembah ku lau.
5.2.2. Melodi
Melodi adalah jajaran atau susunan dari unsur nada yang
dikombinasikan dengan unsur ritem dan bergerak/berjalan dalam waktu. Secara
alami kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan. Melodi tersusun dari
beberapa rangkaian nada secara horizontal.
Melodi dari nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau yang disajikan
oleh setiap penyaji memiliki variasi yang berbeda-beda. Setiap penyaji
130
mempunyai gaya tersendiri yang diekpresikan dengan kemampuan menguasai
nada-nada tinggi maupun menciptakan rengget pada melodi di beberapa frasa.
Rengget merupakan ciri khas dalam kebudayaan musik Karo. Tidak hanya
pada musik vokal saja, rengget juga terdapat pada sajian musik instrumental
pembawa melodi, seperti kulcapi dan sarune. Sebagian orang mengartikan
rengget sebagai ornamentasi atau nada hias. Tapi menurut penulis rengget
lebih tepat jika disebut gaya, karena rengget memang selalu ditemukan pada
musik Karo, dan ini menjadi gaya atau ciri khas dari musik Karo itu sendiri.
Sedangkan ornamentasi atau nada hias merupakan nada yang diberi
ornamentasi sedemikian rupa, artinya bisa saja ornamentasi itu ada ataupun
tidak.
Pada melodi dari ketiga sampel nyanyian didong doah bibi si rembah
ku lau juga terdapat adanya rengget. Pada umumnya ketiga penyaji
menyanyikan rengget pada akhir setiap frasa (sampel A dan B) dan bar (sampel
C). Adapun bentuk melodi dari didong doah bibi si rembah ku lau yang
disajikan oleh ketiga penyaji dapat dilihat pada bagian lampiran.
Setelah melihat bentuk-bentuk melodi yang disajikan oleh ketiga
penyaji, penulis menyimpulkan bahwa ketiganya memiliki ciri khasnya
masing-masing. Jika dibandingkan dengan penyaji A dan C, penyaji B
cenderung menampilkan melodi yang tidak bervariasi. Penyaji hanya mengolah
lagu dari tiga nada saja yaitu nada F, G, dan A. Sedangkan dua penyaji lainnya,
menampilkan bentuk-bentuk melodi yang bervariasi, yang diolah dari lima atau
enam nada.
131
Ketika membicarakan masalah melodi kita juga hendaknya tidak lupa
untuk membicarakan masalah bentuk, frasa dan motif. Meskipun didong doah
bibi si rembah ku lau ini merupakan nyanyian tradisional, namun nyanyian ini
tetap memiliki ketiga unsur tersebut.
Untuk menentukan bentuk pada nyanyian ini, penulis melihatnya
berdasarkan kesatuan makna dari pada teks, yang penulis lihat pada kalimat-
kalimat yang diungkapkan. Setiap kalimat memiliki bentuk-bentuk yang
berbeda, baik dari segi makna maupun melodinya. Bentuk-bentuk ini
dibedakan berdasarkan adanya ornamentasi pada melodinya. Munculnya
ornamentasi ini disebabkan karena adanya perubahan atau pun penambahan
kata pada teks nyanyian tersebut. Beberapa bentuk tersebut dapat dilihat pada
contoh dibawah ini.
Dari contoh diatas kita dapat melihat adanya dua buah bentuk. Hal ini
dapat dilihat pada kalimat “doah didong doah nande ginting” (bentuk A) dan
kalimat “adi bas wari sekalenda nakku enggo kam njabuken bana” (bentuk B).
132
Kalimat yang ditandai dengan lingkaran merah merupakan adanya ornamentasi
pada melodi, hal ini terjadi karena adanya penambahan kalimat.
Unsur berikutnya yang akan dibicarakan adalah frasa. Frasa merupakan
bentuk-bentuk yang lebih kecil dari sebuah komposisi musik. Jika dianalogikan
dengan pantun atau puisi, satu frasa itu mirip atau sama dengan satu buah
kalimat atau satu bait. Frasa bisa juga dikatakan sebuah pernyataan musikal
yang menuju pada suatu saat, dimana saat itu merupakan waktu istirahat. Atau
dengan kata lain, setiap satu frasa, ditunjukkan dengan setiap tanda istirahat.
Agar lebih dimengerti, dapat dilihat pada contoh berikut ini.
Frasa I Frasa II
Dalam nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau ini juga terdapat
beberapa frasa. Frasa-frasa tersebut ditandai dengan berakhirnya satu kalimat
atau pada saat penyaji berhenti bernyanyi dan mengambil waktu istirahat.
Tanda/simbol frasa hanya penulis gunakan pada sampel A dan B saja,
sedangkan pada sampel C penulis tidak menggunakan simbol tersebut. Hal ini
dikarenakan pada sampel C sudah terdapat adanya tanda birama. Namun
demikian simbol frasa yang penulis gunakan pada sampel A dan B, bukan
difungsikan sebagai tanda birama (lihat pada lampiran). Oleh karena itu, frasa
pada sampel C akan lebih sulit untuk diidentifikasi jika dibandingkan dengan
133
sampel A dan B. Namun demikian, penulis tetap memberi kemudahan, yaitu
dengan menentukan bahwa setiap frasa ditandai dengan berakhirnya satu
kalimat atau adanya jeda penyaji untuk istirahat. Seperti ditunjukkan pada
sampel C berikut ini.
Pada contoh tersebut penulis membuat tanda untuk membatasi pada
setiap frasanya, serta meletakkan angka diatasnya, agar terlihat lebih sederhana
dan mudah dimengerti. Alasan penulis membedakan simbol frasa pada sampel
A,B dan C ini dikarenakan pada sampel C terdapat adanya tanda birama, yang
menyerupai simbol frasa pada sampel A dan B. Jadi penulis memutuskan untuk
membuat simbol yang berbeda, agar tidak membingungkan dan terjadi
kesalahan dalam memahaminya.
Dan unsur ketiga yang dibicarakan dalam pembahasan melodi ini
adalah motif. Motif merupakan bagian terkecil dari pada frasa. Dalam didong
doah bibi si rembah ku lau ini, motif yang dapat ditemukan adalah rengget.
134
Rengget ini merupakan unsur terkecil yang dapat ditemukan dalam melodi
didong doah bibi si rembah ku lau tersebut. Untuk lebih jelasnya, motif yang
berupa rengget tersebut dapat dlihat pada contoh berikut.
Sampel A
Sampel B
Sampel C
Lingkaran merah yang terdapat pada setiap contoh diatas adalah motif ,
yang berupa rengget.
5.2.4. Sistem Tuning
Sistem tuning (tuning system) atau disebut juga sistem laras adalah
sistem yang digunakan untuk melaraskan atau menetapkan nada (pitches) yang
akan digunakan ketika bermain musik. Sistem tuning alat musik keyboard yang
digunakan dalam mengiringi nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau
selalu bervariasi, maksudnya sistem tuning yang digunakan pada setiap
penyanji berbeda-beda. Hal ini akan mengikut pada vokal daripada penyajinya.
135
Dalam ketiga sampel yang ada dalam tulisan ini, hanya satu sampel saja
lah yang diiringi dengan menggunakan alat musik keyboard (sampel C). Dan
alat musik ini menggunakan sistem tuning dengan nada Bes. Sedangkan dua
sampel lainnya (A dan B) tidak terdapat adanya sistem tuning, karena tidak
diiringi oleh intsrumen musik.
5.3. Elemen Waktu
5.3.1. Ritem
Jika berbicara mengenai ritem, biasanya kita mengidentifikasikan dan
mendiskusikan mengenai pulsa, meter, nilai not, atau pun tempo. Walau
bagaimanapun masing-masing elemen tersebut memiliki kontribusi untuk
mendefinisikan ritem itu sendiri, tapi tidak ada dari elemen tersebut yang dapat
menjelaskannya secara keseluruhan. Sebenarnya, defenisi dari ritem itu sendiri
sangatlah kompleks, karena melibatkan hubungan antara elemen-elemen
seperti yang disebutkan diatas, dan yang lainnya yaitu elemen ritme. Namun
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ritem itu selalu berhubungan dengan
waktu. Ritem adalah organisasi musik dalam waktu, atau dengan kata lain
lamanya waktu (duration) dari bunyi musik.
Untuk menentukan bentuk ritem didong doah bibi si rembah ku lau,
penulis melihat bentuk-bentuk yang sering muncul pada ketiga sampel
nyanyian tersebut. Kemudian penulis melihat persamaan pada ketiganya.
Persamaan tersebutlah yang kemudian penulis simpulkan sebagai bentuk ritem
yang sering digunakan dalam penyajian didong doah bibi si rembah ku lau.
136
Berikut ini akan disajikan beberapa bentuk ritem yang sering muncul
pada didong doah bibi si rembah ku lau, dari masing-masing penyaji.
Tabel 5.2. Bentuk Ritem Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Pada Nande Paksa br Sembiring
Bentuk Ritem Jumlah Muncul
32 kali
15 kali
16 kali
10 kali
13 kali
3 kali
Tabel 5.3. Bentuk Ritem Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Pada Nande Rony br Sembiring
Bentuk Ritem Jumlah Muncul
8 kali
137
Tabel 5.5. Bentuk Ritem Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Pada Nande Sabar Tarigan
Bentuk Ritem Jumlah Muncul
12 kali
25 kali
12 kali
13 kali
12 kali
8 kali
3 kali
19 kali
19 kali
11 kali
14 kali
17 kali
138
12 kali
8 kali
18 kali
8 kali
Berdasarkan keterangan dari tabel-tabel tersebut, dapat dilihat bentuk
pola ritem yang bagaimana yang sering muncul pada ketiga sampel. Bentuk
ritem , , , , dan dapat ditemukan pada ketiga sampel.
Sedangkan bentuk ritem , , dan ditemukan pada sampel B dan C.
Dan bentuk ritem , hanya ditemukan pada sampel A dan C. Dari
penjelasan-penjelasan tersebut, maka penulis mendapat suatu kesimpulan
bahwa bentuk ritem yang umum ditemukan pada didong doah bibi si rembah
ku lau adalah bentuk ritem yang sama-sama terdapat pada ketiga sampel dan
bentuk ritem yang terdapat pada sampel B dan C. Karena beberapa bentuk
ritem tersebut digunakan oleh ketiga penyaji dan dua diantaranya. Berikut ini
adalah bentuk-bentuk ritem tersebut :
Bentuk-bentuk ritem tersebut terdapat pada ketiga sampel.
139
5.3.2. Meter
Kombinasi dari kuat dan lemahnya sebuah pulsa berulang disebut
dengan meter (Duckworth, 1992:7). Dengan kata lain meter juga dapat
difinisikan sebagai pola berulang yang timbul dari adanya aksen atau
penekanan dari sebuah bunyi musik, yang kemudian menetapkan tempo atau
ketukan dari musik itu sendiri. Pola meter yang paling umum dikenal adalah
duple meter (meter 2/4), triple meter (meter 3/4), dan quadruple meter (meter
4/4). Angka yang terletak di sebelah kiri menunjukkan jumlah ketukan (pulsa)
dalam setiap birama, sedangkan angka yang terletak di sebelah kanan
menunjukkan nilai dari sebuah nada pada setiap ketukan. Pola-pola tersebut
dikenal dengan istilah time signature (tanda waktu). Time signature ini
dituliskan/ diletakkan pada awal sebuah komposisi musik.
Bentuk-bentuk ritem tersebut terdapat pada sampel B dan C.
140
Pada didong doah bibi si rembah ku lau tidak ditemukan adanya
penggunaan meter (free meter). Karena nyanyian ini disajikan sesuai dengan
kebutuhan daripada si penyaji itu sendiri. Maksudnya adalah si penyaji
memiliki kebebasan untuk menentukan dimana dia harus berhenti maupun
mulai bernyanyi. Namun terdapat pengecualian pada nyanyian didong doah
bibi si rembah ku lau yang disajikan dengan iringan musik tradisional karo
(simalungun rayat). Musik simalungun rayat merupakan salah satu reportoar
dalam musik tradisional karo yang memiliki tempo antara 60-65 MM, serta
mempunyai meter 16/8 (Sebayang, 2011:91-92). Sesuai dengan meter dari
musik simalungun rayat, maka nyanyian didong doah si rembah ku lau pun
mengikuti meter musik tersebut. Hal ini terdapat pada sampel nyanyian ketiga
yang dinyanyikan oleh Nande Sabar br Sembiring, yaitu dengan meter 16/8.
Sedangkan dua sampel lainnya tidak disajikan dengan iringan musik
simalungun rayat, oleh sebab itu kedua sampel tersebut bermeter bebas (free
meter).
Dari penjelasan diatas maka penulis menyimpulkan, bahwa meter dari
didong doah bibi si rembah ku lau ditentukan dari keadaan penyajiannya.
5.4. Elemen Warna Suara
5.4.1. Kualitas Suara
Jika kita mendengar dua orang bernyanyi secara bersamaan, maka akan
terdengar dua warna suara yang berbeda. Hal ini dikarenakan pita suara yang
beresonansi pada kedua tenggorokan mereka menghasilkan bunyi yang
berbeda.
141
Sama halnya dengan ketiga penyaji didong doah bibi si rembah ku lau
yang juga menghasilkan warna atau kualitas suara yang berbeda. Salah satu
penyaji (sampel B) memiliki warna suara lebih rendah jika dibandingkan
dengan dua penyaji lainnya (sampel A dan C). Penyaji pada sampel B
menghasilkan warna suara rendah atau disebut alto dalam musik barat,
sedangkan penyaji pada sampel A dan C menghasilkan suara yang tinggi dan
nyaring atau dalam musik barat dikenal dengan istilah sopran.
5.4.2. Warna Bunyi Instrumen
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, intstrumen yang
digunakan untuk mengiringi nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau pada
sampel C adalah alat musik keyboard. Instrumen keyboard ini dapat menirukan
bunyi atau suara yang dihasilkan oleh alat-alat musik tradisional Karo. Alat
musik yang ditirukan dalam instrumen keyboard ini ketika mengiringi
nyanyian tersebut adalah gendang anak/indung, kulcapi, gong dan penganak.
Bunyi gendang anak/indung ditirukan oleh alat musik perkusi, bunyi kulcapi
ditirukan oleh alat musik banjo, sedangkan gong dan penganak ditirukan oleh
instrumen sejenis gamelan.
5.5. Elemen Intensitas Suara
Elemen intensitas suara berhubungan dengan keras dan lembutnya
bunyi. Keras atau lembutnya bunyi yang dihasilkan dalam musik barat dikenal
dengan istilah dinamika. Meskipun didong doah bibi si rembah ku lau
merupakan sebuah nyanyian tradisional, namun dalam penyajiannya dapat
142
ditemukan adanya dinamika, yaitu bagian ketika suara si penyaji terdengar
keras/kuat dan ketika suaranya melemah/lembut. Yang penulis maksud dengan
dinamika pada tulisan ini adalah bertambah ataupun berkurangnya volume
suara si penyaji ketika menyanyikan didong bibi si rembah ku lau. Pada
umumnya, dinamika bunyi yang keras/kuat pada didong doah bibi si rembah
ku lau ini lebih sering terdengar, bersamaan ketika nada bunyi nada juga
naik/meninggi. Sedangkan dinamika yang lembut/pelan terdengar pada saat
bunyi nada datar (tidak naik/turun). Berikut ini akan diperlihatkan beberapa
contoh yang diambil dari masing-masing sampel didong doah bibi si rembah
ku lau.
1. Dinamika Keras/Kuat
Sampel A
Sampel B
Sampel C
Bagian yang ditandai dengan lingkaran merah adalah bentuk perubahan bunyi nada ketika dinamikanya berubah menjadi lebih keras.
143
2. Dinamika Lembut/pelan
Sampel A
Sampel B
Sampel III
Bagian yang ditandai dengan lingkaran biru adalah bunyi nada ketika dinamikanya berubah menjadi lebih lembut
144
Dari beberapa contoh tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa perubahan
bunyi menjadi lebih keras/kuat terjadi ketika nada-nadanya juga meninggi.
Dan perubahan bunyi menjadi lembut terjadi ketika nada hanya pada keadaan
datar saja (tidak naik ataupun turun).
145
BAB VI
KESIMPULAN
Penelitian yang penulis lakukan terhadap nyanyian didong doah bibi si
rembah ku lau ini menghasilkan beberapa kesimpulan mengenai struktur
musikal serta fungsi sosial dan budayanya.
Setelah melakukan penganalisaan terhadap unsur-unsur musikalnya,
maka penulis menemukan struktur umum musikal dari nyanyian tersebut.
Adapun kesimpulan mengenai struktur umum dari nyanyian tersebut adalah
pertama, nyanyian ini memiliki gaya yang disebut dengan istilah rengget dan
sipenyaji selalu meletakkan gaya tersebut pada akhir dari setiap frasa lagu.
Kedua, nyanyian ini bersifat free meter apabila disajikan tanpa adanya iringan
musik dan memiliki tempo 60-65 MM, baik ketika diiringi dengan musik
maupun tidak. Musik pengiringnya adalah reportoar simalungun rayat yang
memiliki meter 16/8. Ketiga, nada yang digunakan pada setiap lagu berkisar
antara tiga sampai enam buah nada. Dan keempat, meskipun nyanyian ini
merupakan sebuah seni tradisional, namun nyanyian ini memiliki dinamika
keras/lembut. Dinamika ini ditunjukkan dengan membesar dan mengecilnya
volume suara si penyaji.
Meskipun penulis menemukan struktur umum musikal didong doah
bibi si rembah kulau ini, namun masih terdapat perbedaan dari setiap penyaji
ketika mereka menyanyikannya, baik dari segi melodi maupun bentuk pola
ritemnya. Karena hal ini mengikut pada kebiasaan orang yang menyajikannya.
146
Perbedaan ini dikarenakan rasa musikalitas yang berbeda dari setiap penyaji.
Mengingat kembali bahwa didong doah bibi si rembah ku lau ini, disajikan
secara bebas berdasarkan perasaan si penyaji nya. Maka dari pernyataan diatas,
penulis menyimpulkan bahwa didong doah bibi si rembah ku lau merupakan
salah satu tradisi lisan dari kebudayaan masyarakat Karo. Ketika sebuah
nyanyian—sebuah tradisi lisan—disajikan oleh beberapa orang, tentu saja
setiap penyaji menyanyikannya dengan gaya yang berbeda-beda. Atau ketika
seseorang menyanyikan lagu itu sebanyak dua kali, jika diteliti dengan
seksama pasti kita akan menemukan beberapa perbedaan. Perbedaan atau
keberagaman ini lah yang menyebabkan struktur musik pada sebuah tradisi
lisan juga berbeda-beda. Oleh karena itu sebagai sebuah tradisi lisan, didong
doah bibi si rembah ku lau ini sudah jelas memiliki strukutur musik yang
berbeda-beda pula. Maka dari itu sebagai sebuah tradisi lisan, nyanyian ini
haruslah tetap dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya.
Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan terhadap teks didong
doah bibi si rembah ku lau, penulis mendapat kesimpulan bahwa teks yang
disajikan bersifat tidak baku. Maksudnya adalah teks yang diungkapkan oleh
setiap penyaji tidak pernah sama persis, karena dalam menggarap teksnya
penyaji selalu mengungkapkannya dengan bebas berdasarkan apa yang
dirasakan oleh sipenyaji. Selain mengungkapkan hal-hal yang berkisar
mengenai rasa kecewa dan haru si bibi terhadap sisereh, juga terdapat
ungkapan berupa pesan, doa dan harapan terhadap kedua pengantin maupun
kepada ayah dan ibu mereka.
147
Mengenai fungsi sosial budaya didong doah bibi si rembah ku lau,
penulis melakukan pengamatan terhadap teks dan keadaan penyajiannya.
Karena nyanyian ini disajikan di depan khalayak ramai/ masyarakat, maka
pesan-pesan yang disampaikan secara otomatis juga didengar oleh seluruh
masyarakat yang hadir. Hal ini dapat dijadikan sebagai sumber pendidikan
informal bagi masyarakat pada umunya, dan kedua mempelai khsusnya.
Dengan begitu didapatlah fungsi sosial dari didong doah bibi si rembah ku lau,
yaitu sebagai media pendidikan sosial dan budaya yang didalamnya terdapat
nilai dan norma kehidupan dalam bermasyarakat. Sedangkan fungsi budayanya
dapat dilihat dari masih disajikannya praktek didong doah bibi si rembah ku
lau ini pada upacara perkawinan masyarakat Karo. Dengan masih
ditemukannya penyajian tersebut, dapatlah dilihat bahwa masyarakat karo
masih menjaga salah satu kebudayaan dari suku masyarakat itu sendiri. Selain
itu rasa ingin atau kemauan sisereh untuk melakukannya lagi kelak terhadap
permennya, juga termasuk menjadi salah satu unsur membuat didong doah bibi
si rembah ku lau ini tetap ada. Apabila setiap generasi melakukan hal yang
sama kepada permennya, maka dapat dipastikan bahwa praktek penyajian
nyanyian ini akan terus dapat kita lihat. Dan hal ini menyangkut pada
kelestarian salah satu kebudayaan masyarakat Karo. Sehingga ditemukan
bahwa penyajian didong doah bibi si rembah ku lau ini dapat berfungsi sebagai
sarana untuk tetap menjaga kelestarian salah satu kebudayaan masyarakat
Karo. Hal ini juga disebut dengan fungsi kesinambungan kebudayaan.
148
Ketika melakukan penelitian ini, penulis menemukan sedikit kesulitan
dalam mencari praktek dari didong doah bibi si rembah ku lau ini. Karena
parakteknya tidak selalu dilakukan pada setiap upacara perkawinan yang
diadakan oleh masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari data yang penulis peroleh
di lapangan. Dari ketiga sampel yang penulis dapatkan, hanya satu sampel saja
yang penulis peroleh dari sebuah upacara perkawinan. Sedangkan dua sampel
lainnya penulis peroleh ketika penulis melakukan wawancara dengan
penyajinya, dengan meminta kedua penyaji tersebut untuk menyanyikannya.
Terlihat bahwa praktek didong doah bibi si rembah ku lau sudah jarang
dilakukan oleh masyarakat Karo. Oleh karena itu penulis mengharapkan agar
seluruh masyarakat Karo dapat terus menjaga eksistensi dari penyajian didong
doah bibi si rembah ku lau ini, dengan tetap menjalankan tradisi ini.
Disamping itu, penulis juga menyarankan agar dilakukan penelitian mengenai
kebudayaan Karo lainnya, agar seluruh masyarakat Karo (terutama generasi
muda) dapat mengetahui budaya mereka sendiri. Dengan begitu masyarakat
Karo akan sadar bahwa sebuah kebudayaan itu berharga dan penting untuk
tetap dilestarikan.
149
DAFTAR PUSTAKA Barus, U.C. dan Drs. Mberguh Sembiring SH. 1993. Sejemput Adat Budaya Karo.
Kabanjahe.
Brahmana, M.SI. Drs. Pertampilen S. 2003. Daliken Sitelu dan Solusi Masalah Sosial Pada Masyarakat Karo : Kajian Sistem Pengendalian Sosial. Medan. (tidak dipublikasi)
Duckworth, William. 1992. A Creative Approach to Music Fundamental. Belmont, California : Wadsworth, Inc.
Gintings, E.P. 1999. Religi Karo. Kabanjahe : Abdi Karya. Hornby, A.S, et al. 1963. The Advanced Learner’s Dictionary of Current English.
Oxford University Press. Ihromi, T.O. (ed). 1994. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia. Koentjaraningrat. 1985. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT
Gramedia Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Kottak, Conrad Philip. 2000. Cultural Anthropology. New York : The McGraw-
Hill Companies. Malm, William P. 1977. Music Cultures of the Pacific, the Near East, and Asia.
New Jersey : Prentice-Hall, Inc. Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Evanston, Illionis :
Northwestern University Press. Milala, Ir. Terang Malem. 2008. Indahnya Perkawinan Adat Karo. Jakarta Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya. Muttaqin, Moh, dkk. ___ . Seni Musik Klasik : Untuk Sekolah Menengah
150
Kejuruan. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York : The
Free Press of Glencoe. Prints, Darwan SH. 2004. Adat Karo. Medan : Bina Media Perintis. Prints, Darwin.2002. Kamus Karo Indonesia. Medan : Bina Media Perintis. Sebayang, Vanesia Amelia. 2011. Dalan Gendang : Analisis Pola Ritme Dalam Ensambel Gendang Lima Sendalanen Oleh Tiga Pemusik Karo. Medan : Skripsi Sarjana Etnomusikologi. (tidak dipublikasi) Siahaan, Rumondang. 1991. Studi Analisis Didong Doah Dalam Pesta
Perkawinan Pada Masyarakat Karo. Medan : Skripsi Sarjana Etnomusikologi. (tidak dipublikasi)
Tarigan, Prof. Dr. Henry Guntur. 1988. Percikan Budaya Karo : Kumpulan
Karangan Mengenai Adat Istiadat Merga Silima. Bandung : Yayasan Merga Silima.
Tarigan, Sarjani. 2009. Lentera Kehidupan Orang Karo Dalam Berbudaya.
Medan. Titon, Jeff Todd. 1984. Worlds of Music : An Introduction to the Music of the
World’s Peoples. New York : Schirmer Books A Division of Macmillan, Inc.
151
DAFTAR WEBSITE
Julianus P. Limbeng, http://xeanexiero.blogspot.com. http://www.karoweb.or.id/kedudukan-kebudayaan-karo-ditinjau-dari-aspek- keseniannya/ www.karokab.go.id
www.karosiadi.blogspot.com
www.jakartacity.olx.co.id
www.salahketik.com
www.metamorfosasinabung.blogspot.com
Danielle Surkatty. Karo Batak Wedding Ceremonies. http://mannaismayaadventure.wordpress.com
152
Lampiran I
Sampel A Didong Doah Bibi Sirembah Ku Lau
Oleh Nande Paksa br Sembiring A1 Doah didong... doah nande ginting timang-timang nande ginting68 adi bas wari sekalenda nakku Karena hari ini anakku enggo kam njabuken bana Kamu sudah menikah ras sembiring mergana dengan sembiring mergana maka ula kena rubat-rubat jadi janganlah kalian bertengkar nande gintingku nande gintingku A2 adi mbarenda kalau dulu ku embah kena ku lau ku gendong kamu ke sungai lampas kena galang cepatlah kamu besar maka man impalndu e kam pepagi agar nanti kamu menikah dengan impal mu enda enggo tambahindu sekarang kamu menambah teman ndu nakku teman kamu anakku man teman impaldu e erdahin dengan teman kerja impal kamu ini beru ginting bibina beru ginting bibina A3 maka bagem nakku, tapi ya sudahlah anakku, enteguh lah perjabun kena semoga pernikahan kalian langgeng ula kena rubat-rubat jangan pernah bertengkar ku pudi wari enda nande ginting untuk ke belakang harinya nande ginting
A4 emaka bagem nande ginting, maka dari itu nande ginting, mejuah-juah kel kam mejuah-juah lah kamu njabuken bana telah menikah maka malem agar lega ate nande ndu bapa ndu perasaan ibu dan ayahmu njabuken bana nande gintingku menikah nande ginting ku sembiring mergana sembiring mergana
68 Panggilan kepada perempuan yang mempunyai klen Ginting
153
A5 maka bage teman jadi biarlah teman adi la gia kam man anakku ndai walau kamu tidak menikah dengan anakku kelengi kena pagi aku sayangilah aku nande ginting sembiring mergana nande ginting sembiring mergana bagem bibi begitulah bibi labo kerina jumpa ras impal na tidak semua orang bertemu dengan manusia enda nindu nakku impalnya, ujar mu
A6 doah-doah timang-timang ku didong doah ku didong ku timang-timang ku timang nande ginting mama biring nande ginting mama biring maka mis ka pagi kena semoga kalian cepat jumpa matawari bertemu bulan jumpa bulan nakku bertemu matahari anakku maka meriah kel ukur kami agar hati kami merasa senang nande ndu bapa ndu ibu mu ayah mu mama ndu kerina teman bibina semua paman-paman mu teman bibina
A7 doah ... doah timang ... timang ... nande ginting la megogo nande ginting yang baik hati kelengi kena pagi aku sayangi lah aku ras kila ndu e nakku dan paman mu ini anakku adi enggo kam ku didong karena kamu sudah ku didong bias na kam la jumpa cukuplah kamu tidak bertemu ras impal ndu e dengan impal mu ini nande ginting morah ate ku nande ginting yang begitu aku harapkan
Sampel B Didong Doah Bibi Sirembah Ku Lau
Oleh Nande Rony br Sembirng B1 didong didong, doah teman bibina timang-timang, timang teman bibi na enggo kam ku elukken ndai bibi aku sudah mengingkari janji bibi bage nge nindu nande biring itu lah yang kau ucapkan nande biring teman bibi na teman bibina
B2 eggo bage bibi, begitulah bibi la padanku jumpa ras anakndu e bukan takdir ku bertemu dengan anakmu
154
bage nge nindu itulah yang kau ucapkan nande biring buat ndu tarigan mergana e kau ambil tarigan mergana tading karo mergana e tinggallah karo mergana
B3 emaka lasam bibi maka semua percuma bibi aku i oah ndu mbarenda aku kau timang dulu keri kain panjang e ntah piga entah berapa kain panjang yang habis i oah oah ndu aku untuk menggendong ku nindu teman bibi na ucap mu teman bibi na ...
B4 enca ge ku elukken ka kena tapi kemudian aku berpaling darimu nande biring nande biring ku ayaki tarigan mergana e ku kejar tarigan mergana ini bage nindu nande biringku itu lah yang kau ucapkan nande biring morah kel ateku kena nande biring aku sangat berharap padamu nande ginting B5 egia bagem tarigan mergana tapi sudahlah tarigan mergana seri nge kam kamu sama ras mama karo, anakku dengan mama karo anakku sikeleng-kelengen kena pagi saling menyayangi lah kalian nanti ras beru sembiring dengan beru sembiring ini B6 beru sembiring e merambit beru sembiring ini cerewet mama tigan mama tigan em pagi dalan ndu itu lah jalanmu ula rubat-rubat nakku agar tidak bertengkar anakku B7 enggo bagem biarlah begitu turang sembiring mergana turang sembiring mergana enggo gia kami bibi na walaupun kami bibi nya elukken anak ndu e turang di ingkari anak kalian ini morah na e seh kel morah na harap tentu sangat berharap mama biring mama biring tading ken anak ndu e kami ditinggalkan anakmu ini kami
B8 anak kami pe enggo melala galang anak kami pun sudah besar semua karo mergana ndai karo mergana tadi
155
egia di ngeluk anak ndu e, tapi kalau anak mu sudah berpaling mama biring nande karo mama biring nande karo sehat sehat kam turang sehat sehat lah kamu sembiring mergana sembiring mergana nande edangku ibu ipar ku Jika bibi sirembah ku lau membawa hadiah berupa kain panjang, maka
mereka pun akan menyerahkannya kepada kedua pengantin. Kain panjang itu
kemudian akan dibungkuskan ke badan mereka, sambil bibi sirembah ku lau
menyanyi.69
B9 enda baba kami ini kami bawa kain panjang ndai kain panjang tadi perembahndu ndube nande biring gendonganmu dulu nande biring emaka panjang perjabunndu maka panjanglah pernikahanmu nande biring nande biring kain panjang enda ndai kain panjang ini labo mejile ca tidak lah begitu bagus murah rejekindu nande biring murah rejeki kamu nande biring mama tigan buah bara nande biring mama tigan kesayangan nande biring
Sampel C Didong Doah Bibi Sirembah Ku Lau
Oleh Nande Sabar br Tarigan C1 didong didong ... timang timang ... doah nande tigan timang nande tigan ning kami pagi-pagi karaben kami ucap pagi dan sore nande tigan nande tigan lampas mbelin lampas gedang cepat besar cepat tinggi ning kami erdoah e nande tigan ... kami ucap saat menggendong nande tigan ngena ate kami ... yang kami cintai C2 didong doah doah ... timang timang anakku nande tigan anakku nande tigan lako kam ku jabu kalak nande tigan laku kamu ke keluarga lain nande tigan
69 Wawancara dengan nande Rony, 27 Februari 2011.
156
kujabu ginting mergana e ... ke keluarga ginting mergana ini kam erjabu nande tigan kamu menikah nande tigan ate kami ngena yang kami cintai C3 didong-didong doah ... timang timang anakku ginting mergana ... anakku ginting mergana ku didong ka kam anakku ku timang juga kamu anakku adi nggo buatndu nande tigan e kalau sudah kamu nikahi nande tigan ini e lit sambar ganti nandendu ndai iniah ganti ibumu tadi anakku ateku jadi anakku yang ku cintai C4 enggo bagem turang ya sudah lah turang tarigan mergana tarigan mergana edangku ras silih kami ipar ku dan ipar (laki-laki) kami ola nai kam menek-menek jangan lagi kamu bersedih ola nai terame-ame70 jangan lagi terame-ame la gia je beru tarigan ndai walaupun beru tarigan tak disini lagi bage atendu turang ... begitu pikiranmu turang C5 ruh anakndu beru tarigan e ... datang anakmu beru tarigan ini enggo ku jabu ginting mergana e ... sudah ke keluarga ginting mergana ini Turang tarigan mergana turang tarigan mergana Nande, eda kami ibu, ipar kami C6 sangap kam kerina encari beruntung dalam pekerjaan kam pe kerina ku jei kamu pun sekalian o turang tarigan mergana o turang tarigan mergana nande, eda kami, permen kami ibu, ipar kami, menantu kami C7 didong-didong doah ... anakku ... timang timang ... anakku … lanai terbelasken aku nande Devi tak bisa aku ucapkan lagi ibu teman senina ... teman senina tading aku kaka tinggal aku kakak erjabu anakta sintengah e kaka menikah anak kita yang tengah ini nindu nge o nande Devi71 begitu ucapmu ibu Devi Nande tigan kaka ... nande tigan kakak C8 enggo bagem anakku ... biarlah begitu anakku 70 Terame-ame, yang berkata dasar ame merupakan panggilan sayang kepada anak perempuan pada masyarakat karo. 71 Nama pengantin wanita ; Enda Devinta br Tarigan
157
keleng sikeleng-kelengen saling menyayangilah kam pagi duana kamu berdua nande tigan anakku (menangis) nande tigan anakku ginting mergana ginting mergana maka malem pagi ate nande ndu agar lega perasaan ibu bapandu anakku ... ayahmu anakku ... C9 bagenda gia lawes begini walaupun sudah pergi nandendu ndai ibumu tadi turang bibina ... nakku anakku turang bibina ... nakku anakku (menangis) C10 enggo bagem bapa Ferdi72 begitulah ayah Ferdy adi enggo erjabu anakta e gi kalu sudah menikah menantu kita ini ras permenta dengan anak kita C11 kam pe erdua-dua ginting mergana kamu juga berdua ginting mergana ula nai ermorah-morah jangan lagi bersedih tatap nande tigan e lihatlah nande tigan ini eme sambar e ganti ini lah sebagai ganti nande ndu ndai ibumu tadi ateku agi pikirku adik C12 bage ngenca pasu-pasuku hanya itu lah berkat ku man permenndu e untuk menantu kamu ras beberendu e dan keponakan kamu ini turang tarigan mergana turang tarigan mergana nande, edangku ibu, iparku
72 Nama pengantin pria ; Ferdy Ginting
158
Lampiran II 1. Bentuk Melodi Sampel A
159
160
2. Bentuk Melodi Sampel B
161
162
3. Bentuk Melodi Sampel C
163
164
165
Lampiran III
FOTO
(a) Gunung Sinabung (b) Gunung Sibayak
Kedua gunung ini merupakan salah satu landmark Berastagi Sumber : Dokumentasi penulis (8 Februari 2009)
Rumah adat Karo
Sumber : www.karosiadi.blogspot.com Dok. Robert Moore
166
Uis julu yang digunakan sebagai abit (sarung) pada pakaian pengantin perempuan.
Sumber : http://rinda-salon.blogspot.com/
Jongkit yang digunakan sebagai gonje (sarung) pada pengantin pria. Sumber : http://rinda-salon.blogspot.com/
167
Uis nipes; uis gara yang digunakan sebagai bulang-bulang (penutup kepala), dan dipakai di bahu sebagai kadangen pada pengantin pria, dan
sebagai tudung (penutup kepala) pada pengantin perempuan. Sumber : http://rinda-salon.blogspot.com/
Seperangkat pakaian adat perkawinan Karo lengkap dengan emas-emas (Ose Lengkap Eremas-emas).
Sumber : http://rinda-salon.blogspot.com/
168
Berbagai jenis uis nipes yang juga digunakan oleh pengantin perempuan sebagai langge-langge (kain yang dipakai di pinggang).
Sumber : http://rinda-salon.blogspot.com/
169
Lampiran IV
DATA INFORMAN
1. Nama : Malem Ukur Ginting Umur : 52 Tahun Alamat : Simalingkar Pekerjaan : Seorang pelatih tari tradisional Karo dan penyuluh budaya di Pemkab
Karo 2. Nama : Katalemuk Br Sukatendel Umur : 76 Tahun Alamat : Jalan Perwira No. 200A Berastagi Pekerjaan : Pensiunan Pegawai Negeri (Guru) 3. Nama : Nande Rony Br Sembiring Umur : 70 Tahun Alamat : Jalan Kejora I Berastagi Pekerjaan : Petani 5. Nama : Nande Paksa Br Sembring Umur : 76 Tahun Alamat : Jalan Kejora I Berastagi Pekerjaan : - 6. Nama : Nande Sabar Br Tarigan Umur : 69 Tahun Alamat : Desa Raya – Kab. Karo Pekerjaan : Petani
170
GLOSARIUM Adat : Aturan (perbuatan, kebiasaan dsb) yang lazim dituruti
atau dilakukan sejak dahulu kala. Aerophone : Alat musik yang sumber bunyinya berasal dari getaran
udara pada pipa alat musik (alat musik tiup pada umunya).
Aksara : Sistem tanda grafis yg digunakan manusia untuk
berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran. Anak Beru : Anak perempuan atau keturunan dari klan anak
perempuan dalam sebuah marga; Pihak penerima wanita
dalam adat perkawinan masyarakat Karo. Anak Surat : Tanda untuk mematikan atau merubah tulisan huruf atau
abjad Karo yang berjumlah 8 buah. Analisa : Suatu usaha untuk menjelaskan dan mendeskripsikan
sebuah musik. Animisme : Kepercayaan kepada roh yg mendiami semua benda
(pohon, batu, sungai, gunung, dsb). Ansamble (ensambel) : Seperangkat/sekumpulan alat musik yang dimainkan
secara bersama-sama dalam sebuah kelompok/grup. Antropologi : Ilmu ttg manusia, khususnya ttg asal-usul, aneka warna
bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaannya pd masa lampau.
Baka : Keranjang rotan berbentuk segi empat. Begu : Roh orang yang telah meninggal. Berawan (birawan) : Roh yang tertinggal atau pergi dari tubuh seseorang karena suatu peristiwa yang menakutkan, yang
mengakibatkan orang itu menjadi sakit-sakitan
171
Beru : Klan yang dibawa oleh perempuan. Bibi sirembah ku lau : Kelompok/ orang yang biasa menyajikan didong doah bibi
sirembah ku lau.
Birama : Ruang-ruang ketukan yang disesuaikan dengan tempo dasar.
Budaya : Pikiran; akal budi; sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan
yg sudah sukar diubah. Cak-cak : Tempo, pola irama. Demokratis : Bersifat demokratis atau persamaan hak dan kewajiban. Deskripsi : Pemaparan atau penggambaran dng kata-kata secara jelas dan terperinci.
Dibata : Tuhan, dewata. Didong doah : Nyanyian menidurkan anak. Dinamisme : Kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yg dapat mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup.
Dokumentasi : Pengumpulan bukti-bukti dan keterangan-keterangan (spt
kutipan dari surat kabar, gambar-gambar, dan lain sebagainya).
Duplikasi : Perangkapan; perulangan. Endek : Irama, ritme, gerakan naik turun tubuh pada waktu menari. Ensiklopedi : Buku (serangkaian buku) yg menghimpun keterangan atau
uraian tt berbagai hal di bidang seni dan ilmu pengetahuan, yang disusun menurut abjad atau menurut lingkungan ilmu.
172
Erdidong : Berdendang atau menyanyi Erpangir : Berkeramas Ersimbu : Saling menyiram. Ertutur : Memperkenalkan diri untuk mengetahui hubungan
kekeluargaan antara pihak-pihak yang baru saling mengenal dengan saling menanyakan identitas masing- masing.
Etnografi : Ilmu ttg pelukisan kebudayaan suku-suku bangsa yg hidup
tersebar di muka bumi. Etnomusikologi : Ilmu perbandingan musik yg bertujuan memperoleh
pengertian tt sejarah asal-usul, perkembangan, dan persebaran musik pd pelbagai bangsa di dunia.
Garis Paranada : Garis tempat peletakan notasi yang terdiri dari lima garis
dan empat spasi. Gundala-gundala : Salah satu tari hiburan pada masyarakat Karo, yang mana
penarinya menggunakan sebuah topeng. Guru : Dukun, orang pintar. Idiophone : Alat musik yang sumber bunyinya berasal dari getaran
pada badan alat itu sendiri. Impal : Hubungan kekerabatan seorang gadis dng anak lelaki dr
pamannya/ hubungan kekerabatan seorang pemuda dng anak perempuan dr saudara lelaki ibunya.
Indung Surat : Huruf atau abjad kuno Karo yang berjumlah 21 buah. Informan : Orang yg memberi informasi; orang yg menjadi sumber
data dalam penelitian; narasumber.
Jambur : Balai desa, suatu bangunan yang atapnya berbentuk rumah
173
adat Karo. Kade-kade : Famili, sanak saudara. Kalimbubu : Pihak pemberi istri pada adat perkawinan masyarakat
Karo;kelompok kekerabatan yang dianggap memiliki kedudukan paling tinggi pada masyarakat Karo.
Katoneng-katoneng : Nyanyian bercerita (narrative song) pada masyarakat Karo.
Kayu Nabar : Sejenis kayu beringin. Keramat : Keramat, suci, angker Kerja adat : Pesta adat Kesain : Alun-alun, lapangan desa. Konteks : Situasi yang ada hubungannya dng suatu kejadian. Kordo-idiophone : Alat musik yang sumber bunyinya berasal dari senar yang
diregangkan dari badan alat musik itu sendiri. Kordophone : Alat musik yang sumber bunyinya berasal dari senar yang
dipetik. Kualitatif : Metode penelitian dalam dunia ilmu sosial yang didasari
penelitian langsung ke lapangan dan wawancara terhadap informan
Laboratorium : Ruang kerja analisis data bagi etnomusikolog. Linguistik : Ilmu ttg bahasa. Literatur : Kesustraan/kepustakaan. Luah : Oleh-oleh/buah tangan Maneh-maneh : Barang warisan atau kenang-kenangan dari seseorang
yang sudah meninggal.
Mangmang : Mantra, jampi, perkataan yang diucapkan untuk mendatangkan kesaktian.
174
Mayoritas : Jumlah orang terbanyak yg memperlihatkan ciri tertentu
menurut suatu patokan dibandingkan dng jumlah yg lain
yg tidak memperlihatkan ciri itu.
Melodi : Susunan rangkaian tiga nada atau lebih dl musik yg terdengar berurutan secara logis serta berirama dan mengungkapkan suatu gagasan.
Membranophone : Alat musik yang sumber bunyinya berasal dari getaran
pada membran. Merga : Klan yang dibawa oleh laki-laki. Metode : Cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yg ditentukan.
Mistis : Bersifat mistik atau gaib. Mitos : Cerita suatu bangsa ttg dewa dan pahlawan zaman dahulu,
mengandung penafsiran ttg asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut dan mengandung arti mendalam yg diungkapkan dng cara gaib.
Monografi : Tulisan atau uraian mengenai satu bagian dr suatu ilmu
atau mengenai suatu masalah tertentu. Musikal : Bersifat musik. Musikologi : Ilmu ttg musik, sejarah, dan perkembangannya. Nada : Tinggi rendahnya bunyi (pitch) Ndilo Wari Udan : Upacara memanggil hujan. Ngukal Tulan-tulan : Upacara mengangkat tulang/kerangka orang yang sudah
meninggal.
Ninabobo : Nyanyian untuk menidurkan anak.
175
Notasi : Penggambaran simbolik sebuah musik. Ose : Sejenis pakaian yang dipakai pada suatu upacara adat
dalam masyarakat Karo. Patrilineal : Garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah. Pemasu-masun : Pemberian petuah agar mendapat berkat dari Tuhan. Perbegu : Kepercayaan kuno yang dianut oleh masyarakat Karo. Perende-rende : Penyanyi. Perkolong-kolong : Seorang penyanyi (pria/wanita) yang juga pandai menari,
yang juga pandai melakukan pemasu-masun. Permen (permain) : Menantu perempuan. Perumah begu : Suatu upacara yang dilakukan pada malam hari untuk
memanggil roh orang yang sudah meninggal. Pra-Hindu : Zaman atau masa sebelum masuknya agama Hindu. Primbon : Kitab yang berisikan ramalan (perhitungan hari baik dan
tidak), sistem bilangan yang pelik untuk menghitung hari
mujur untuk mengadakan selamatan, mendirikan rumah,
memulai perjalanan dan mengurus segala macam kegiatan
yang penting, baik bagi perorangan maupun masyarakat.
Protokol : Pembawa acara pada sebuah acara adat pada masyarakat
Karo.
Proto-Melayu : Bangsa Melayu yg terdahulu atau pertama sekali. Refleksi : Cerminan, gambaran. Religi : Kepercayaan; kepercayaan kepada Tuhan Repertoar : Repertoire; Sebuah komposisi musik.
176
Rose : Memakai pakaian adat pada suatu upacara. Sampel : Contoh. Sembuyak : Saudara seperut, saudara kandung. Senina : Saudara, pertalian keluarga antara pria dan pria atau
wanita dan wanita. Siempo : Pengantin pria Sijalapen : Proses perkenalan yang terjadi antara kedua belah
pihak yang menikah, yang biasa dilakukan sebelum
pembayaran mas kawin.
Siklus : Putaran waktu yang didalamnya terdapat rangkaian
kejadian yang berulang-ulang secara tetap dan teratur. Sisereh : Pengantin wanita Sistem tuning : Pelarasan alat musik, agar dapat menghasilkan nada yang
tepat. Spontan : Serta merta, tanpa dipikir, atau tanpa direncanakan lebih
dulu; melakukan sesuatu karena dorongan hati. Struktur : Cara sesuatu disusun atau dibangun; ketentuan unsur-
unsur dari suatu benda.
Sukut : Orang yang melaksanakan pesta, keluarga terdekat (semerga), tuan rumah.
Tangga nada : Susunan nada-nada naik atau pun turun yang tersusun secara
berurutan. Teks : Naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang. Tempo : Ukuran lama waktu kecepatan sesuatu gerak (musik, lagu,
dll).
177
Tendi : Roh, jiwa. Teori : Pendapat yg didasarkan pd penelitian dan penemuan,
didukung oleh data dan argumentasi. Tradisi : Adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang
masih dijalankan dalam masyarakat. Turang : Hubungan kekerabatan antara seorang wanita dan laki-laki
yang memiliki klan yang sama atau satu darah. Upacara : Tanda-tanda kebesaran, rangkaian tindakan atau perbuatan
yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama,
perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting.
Variasi : Ragam. Vokal : Mengenai suara, linguistik bunyi bahasa yang
dihasilkan oleh arus udara dari paru-paru melalui pita suara dan penyempitan pada saluran suara di atas glotis.