analisis resepsi film sang pencerah (proposal skripsi sampai kegunaan penelitian)
TRANSCRIPT
Pemaknaan Film “Sang Pencerah” pada warga Muhammadiyah dan Nadhatul
Ulama
Proposal Skripsi
Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan
Pendidikan Strata 1
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Diponegoro
Penyusun:
Nama: Muhammad Akbar Nugroho
NIM: D2C007058
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejak diluncurkan pada September 2010, film Sang Pencerah mendapat
sambutan positif dari kalangan Muhammadiyah. Film tersebut diadaptasi dari
kehidupan K.H. Ahmad Dahlan, seorang tokoh nasional yang juga pendiri
organisasi sosial kemasyarakatan Islam, Muhammadiyah. Oleh ketua umumnya,
warga Muhammadiyah dihimbau untuk menonton film ini. Dan ternyata imbauan
tersebut berhasil, dengan besarnya antuasiasme warga Muhammadiyah untuk
menonton.
“Wakil Ketua Majelis Pembinaan Kader Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Barat Arif Jhoni Prasetyo mendukung imbauan yang dikeluarkan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin untuk menonton film "Sang Pencerah" di bioskop" (http://www.voa-islam.com/lintasberita/hidayatullah/2010/09/15/10074/wargamuhammadiyah-kalbar-didorong-tonton-sang-pencerah/, diakses pada 14 Juni 2011 pukul 11.00 WIB).
Film ini menceritakan tentang kehidupan Ahmad Dahlan yang diperankan
oleh Lukman Sardi. Dari perjuangannya menegakkan nilai-nilai murni Islam di
tengah pencampuradukkan ajaran agama, hingga meningkatkan martabat umat
Islam di mata pemerintah Hindia Belanda. Dalam perjuangannya, Dahlan
menghadapi banyak rintangan, yang kebanyakan justru berasal dari keluarganya
dan umat Islam sendiri. Ia rela dicaci-maki serta diberi sebutan “kyai kafir” hanya
karena bergaul dengan nonmuslim. Murid-muridnya pun sempat berprasangka
buruk padanya, namun ia menjelaskan bahwa dalam belajar yang dibutuhkan
adalah berprasangka baik pada siapa pun, termasuk pada yang berbeda keyakinan.
Pada akhirnya, ia berhasil mendirikan perkumpulan Muhammadiyah, yang
mempunyai tujuan untuk meningkatkan pendidikan dan tingkat kehidupan orang
Islam, dengan tetap menjalankan ajaran agama yang murni.
”Dengan film ini, bisa mengilhami banyak anak muda bangsa ini untuk berani dan mampu membuat perubahan dari sekarang. Bukan nanti ketika sudah tua. Karena, Ahmad Dahlan di usia 21 tahun saja sudah bisa memberikan perubahan dan pembaharuan yang sangat dihargai oleh semua golongan hingga saat ini,” (http://www.hariansumutpos.com/arsip/?p=59376, diakses pada 12 Juni 2011 pukul 20.35 WIB).
Film ini patut ditonton tidak hanya oleh kalangan Muhammadiyah atau pun
orang Islam saja. Pesan-pesan Islam disampaikan bukan dengan memaksa dan
kepicikan, namun dengan keterbukaan berpikir. Perjuangan Ahmad Dahlan dalam
mewujudkan cita-cita sesuai keyakinannya, patut ditiru oleh segenap warga
negara Indonesia. Meskipun begitu, film ini tidak lepas dari kontroversi, terutama
saat sebelum diluncurkan.
“Sungguh ngeri membayangkan hadirnya sosok KH Ahmad Dahlan di film Sang Pencerah ditangan sutradara yang tendensius justru memojokan Islam.” (http://www.suara-islam.com/news/berita/kolom/923-sosok-pendiri-muhammadiyah-di-tangan-sineas-liberal, diakses pada 8 Juni 2011 pukul 21.00 WIB).
Pernyataan salah satu media online tersebut berdasarkan pada film-film yang
dibuat oleh sutradara kelahiran 1975 tersebut. Dalam film Perempuan Berkalung
Sorban, ia mendapat kritik pedas karena dianggap merendahkan sosok kyai dan
pesantren. Sebelumnya, dalam Ayat-ayat Cinta, Hanung dianggap memberikan
citra negatif terhadap orang berpakaian gamis dan berjenggot yang
diidentifikasikan sebagai muslim. Sedangkan Lentera Merah, dituduh
menyebarkan ajaran komunis. Atas dasar itulah, Hanung diberi julukan sebagai
sineas liberal yang menyebarkan ajaran sepilis (Sekularis, Pluralis, Komunis).
Media tersebut juga menampilkan wawancara dengan tokoh sastrawan Taufik
Ismail, yang menyatakan;
“..Hanung Bramantyo bagus diusulkan mendapat Bintang Joseph Stalin atau Anugerah Dipa Nusantara Aidit.” (http://www.suara-islam.com/news/berita/wawancara/964-hanung-kau-keterlaluan-pesantren-dan-kiyai-begitu-kau-burukkan, diakses pada 8 Juni 2011 pukul 21.00 WIB)
Joseph Stalin adalah, DN aidit adalah, adnya penghrgaan it krn, pghrgaan it
utk sp biasanya, jd hanung disamakn sbg ‘agen komnis’
Namun anggapan tersebut terpatahkan setelah Sang Pencerah diluncurkan.
Pemutaran perdana (premiere) dilakukan bertepatan dengan perayaan Idul Fitri
tahun 2010. Acara yang dilakukan di salah satu bioskop ternama di Jakarta,
dihadiri oleh beberapa pejabat negara dan masyarakat. Hampir tidak ada komentar
negatif terkait pelecehan agama setelah itu. Justru pujianlah yang muncul tentang
cerita film yang mengajarkan pentingnya toleransi dan menghargai perbedaan.
Beberapa komentar berupa kritikan juga muncul, salah satunya dari Roy Suryo. Ia
mengkritik kurangnya keakuratan dalam menampilkan aspek sejarah.
“100 tahun yang lalu, bukan seperti itu kota Yogya. Sebagai contoh, Tugu Yogya yang tidak proporsional karena terlalu kecil. Jalan-jalan di Yogya juga nggak kecil, dan masih ada hutannya. Nggak seperti itu,” kata Roy dalam KapanLagi.com (http://inimu.com/berita/2010/09/21/video-film-sang-pencerah-dikritik-roy-suryo-sinopsis-movie-trailer-ost/, diakses pada 12 Juni 2011 pukul 20.30 WIB).
Hanung menyadari pentingnya mengikutkan filmnya dalam festival-festival
film. Tujuannya untuk mengenalkan filmnya, tidak hanya pada penonton bioskop
yang memberikan keuntungan secara komersial. Hasilnya, tujuh Anugerah Terpuji
dalam Festifal Film Bandung (FFB) 2011. Film ini juga diputar dalam festifal-
festifal film di Singapura, Dubai, Kairo hingga Belanda. Bahkan, pada 26 Maret
2011 lalu, bisokop di Sydney dan Melbourne, Australia, telah memutar film ini
secara komersial. Setelah itu juga terdapat kabar tentang pemutaran di bisokop di
Singapura dan Malaysia. Sayangnya, film ini tidak mempunyai kesempatan
meraih Piala Citra, dalam Festifal Film Indonesia (FFI) 2010. Salah satu panitia
seleksi film pada FFI 2010, Viva Westi, menyatakan alasan panitia seleksi tidak
meloloskan Sang Pencerah;
“Upaya untuk mengangkat biografi orang besar memang perlu dihargai dengan harapan memberi inspirasi kepada penontonnya. Tapi, sayang, biografi yang dimaksud baru sampai pada penggambaran sejumlah peristiwa penting sang tokoh.” (http://www.inilah.com/read/detail/991422/kontroversi-ffi-2010-ada-apakah, diakses pada 12 Juni 2011 pukul 20.30 WIB).
Mereka menilai penggambaran kehidupan K.H. Ahmad Dahlan kurang utuh,
selain itu sejarah yang ditampilkan juga kurang akurat. Keputusan tersebut
menimbulkan kekhawatiran di sebagian kalangan perfilman. Jika Sang Pencerah
tidak lolos kualifikasi, maka dikhawatirkan investor tidak mau lagi membuat film
bertema sejarah dan pendidikan. Dennis Adhiswara, aktor dan sutradara muda
yang juga salah satu pemeran dalam Sang Pencerah, khawatir jika film bertema
horor dan seks justru yang paling banyak diproduksi.
"Juri nggak memasuki film Sang Pencerah, Sang Pemimpi, Darah Garuda, tapi tolong alasan itu harus diklarifikasi, kalau nggak investor akan takut," (http://www.inilah.com/read/detail/991422/kontroversi-ffi-2010-ada-apakah, diakses pada 12 Juni 2011 pukul 20.30 WIB).
Namun Hanung tampaknya tidak mau terlalu merisaukan penilaian dari FFI
2010. Meskipun ia sempat menduga ada penyelewengan dalam panitia seleksi,
namun ia bersikap menerima. Baginya, ia telah menunjukkan dukungan pada
penyelenggaraan FFI, dengan mendaftarkan karyanya. Namun terlepas dari itu,
terbukti Sang Pencerah sangat diterima di kalangan masyarakat, khususnya
kalangan warga Muhammadiyah.
Imbauan dari ketua umum direspon oleh para pengurus Muhammadiyah di
daerah. Setelah beberapa bulan film ini diluncurkan, mereka mulai mencari DVD
film tersebut untuk ditonton bersama. Sejumlah acara nonbar (nonton bareng)
juga digelar pengurus Muhammadiyah di berbagai daerah, salah satunya di
Makassar.
“Pengurus Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan menggelar rangkaian nonton bareng Sang Pencerah bagi para kader Muhammadiyah di daerah ini..."Setidaknya jika dinonton akan berbeda efeknya. Akan timbul semangat baru yang lebih baik lagi," ujarnya ditemui usai nonton bareng di Studio 21 Makassar Town Center Makassar, Kamis (16/9/2010). (http://celebrity.okezone.com/read/2010/09/16/206/372822/muhammadiya
h-sulsel-gelar-nobar-sang-pencerah, diakses pada 14 Juni 2011 pukul 11.00 WIB).
Hal serupa juga terjadi pada warga Muhammadiyah ranting Boyolali Kota,
cabang kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kebanyakan dari mereka tidak
menonton di bioskop, tetapi lewat DVD. Ibu-ibu dari Asyiah juga terlibat
kegiatan saling meminjam DVD. Ada satu orang yang membeli, kemudian
dipinjam oleh yang lainnya. Hal itu baru terjadi beberapa bulan sejak film
diluncurkan. Sebelumnya, kebanyakan dari mereka hanya membicarakan tentang
film tersebut, meski belum menontonnya.
Penonton film yang nampaknya sangat pasif itu, melakukan kegiatan yang luar biasa. Kegiatan itu meliputi baik organ panca indra maupun organ pikiran. (Mangunhardjana; 1976; 110).
Kesuksesan film ini diawali dari niat Hanung Bramantyo untuk menceritakan
kehidupan tokoh pendiri organisasi Muhammadiyah. Sejak Ayat-ayat Cinta,
Hanung selalu berusaha membuat film dengan memasukkan unsur agama (film
yang lain adalah Perempuan Berkalung Sorban¸ Doa yang Mengancam, Tanda
Tanya). Hal itu sedikit banyak dipengaruhi oleh latar belakang keluarganya yang
cukup religius, apalagi ayahnya pernah menjadi ketua Majelis Ekonomi
Muhammadiyah di Yogyakarta.
Sumber bahan untuk membuat film tidak terbatas banyaknya. Apabila pembuat film telah menemukan bahan yang dianggap baik untuk dijadikan film, bahan itu akan diolah dulu dalam pikirannya. Hasil pengolahan bahan itu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, pendidikan, sikap, perasaan, ketajaman artistik, kesadaran, kemasyarakatan, kepandaian melihat bahan dari segi film dan seluruh kebudayaan filmnya. (Mangunhardjana; 1976; 109)
Meskipun Sang Pencerah bercerita tentang kehidupan tokoh pendiri
Muhammadiyah, namun bukan berarti hanya ditonton warga Muhammadiyah.
Beberapa warga organisasi keislaman lain, seperti Nadhatul Ulama (NU) juga
turut menyaksikan film tersebut. Namun mereka memiliki tanggapan lain terhadap
Sang Pencerah. Istri almarhum K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Shinta
Nuriah menyayangkan adanya kebiasaan warga NU yang diberi sudut pandang
lain dalam film tersebut. Salah satunya adalah amalan melakukan tahlil bersama
(berdoa dengan mengesakan Tuhan), serta membaca surat Yasin untuk
memperingati kematian secara bersama-sama / berjamaah.
Dalam film tersebut, Ahmad Dahlan tidak mengharuskan tahlil untuk
memperingati kematian. Ada adegan di mana seseorang berkonsultasi tentang
kesulitan ekonomi yang dihadapi jika melakukan peringatan dengan tahlil
bersama. Seperti sebagian masyarakat Jawa hingga saat ini, untuk memperingati
kematian kerabat, mereka mengundang tetangga untuk melakukan tahlil dan
membaca surat Yasin secara bersama-sama. Untuk keperluan itu, tuan rumah
menyediakan hidangan bagi para tetangga untuk dibawa. Pendapat Dahlan dalam
film tersebut, mendoakan kerabat yang meninggal tidak perlu dengan ritual
semacam itu, cukup dengan ikhlas berdoa langsung pada Tuhan tanpa perantara.
Namun oleh sebagian kalangan NU, hal itu dianggap menyinggung.
Dikhawatirkan warga NU akan ragu-ragu untuk kembali melakukan amalan yang
telah dilakukannya turun-temurun. Seperti yang disampaikan K.H. Akrom Sofyan
dari pengurus NU kota Pekalongan menyikapi adanya adegan terkait dalam film;
"Kita sebagai warga NU harus arif dan bijaksana, tidak perlu berlebihan dalam menyikapi, sebab yang telah diamalkan merupakan tuntunan yang benar dari para ulama...Sehingga, warga NU tidak perlu berkecil hati dan tetap melakukan aktivitas amaliyah secara baik.” (http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/09/27/66216/Sikapi-
Film-Sang-Pencerah-Nahdliyin-Diminta-Arif, diakses pada 14 Juni 2011 pukul 11.00 WIB).
Oleh karena itu beberapa kalangan NU sempat mendesak Hanung Bramantyo
untuk membuat film tentang NU. Shinta Nuriah Wahid menilai pentingnya
membuat film tentang organisasi-organisasi Islam di Indonesia. Film-film
semacam itu diharapkan dapat menjaga kerukunan antar golongan. Seperti
pernyataannya yang tersirat dalam salah satu media;
"Saya berharap ada film tentang NU sehingga orang NU bisa nonton film Muhammadiyah dan orang Muhammadiyah bisa nonton film NU," (http://www.detiknews.com/read/2010/09/21/183851/1445126/10/usai-nonton-sang-pencerah-istri-gus-dur-ingin-ada-film-tentang-nu, diakses pada 14 Juni 2011 pukul 11.00 WIB)
Baik warga Muhammadiyah maupun NU, memiliki pandangan tersendiri
menyikapi film Sang Pencerah. Pada dasarnya kedua organisasi itu bukanlah
aliran agama, namun merupakan organisasi yang bertujuan untuk kemaslahatan
umat Islam, serta bangsa dan negara Indonesia. Namun tidak dipungkiri sering
terjadi kesalahpahaman dan kecurigaan akibat terlalu mengedepankan
kepentingan golongan. Oleh karena itu, film ini diharapkan dapat menjadi sarana
dialog yang ampuh.
Sebuah dialog dengan senjata kamera serta kewaskitaan menangkap kisah manusia dan kemanusiaan, sebuah senjata tanpa peluru dan darah, tetapi yang dibutuhkan adalah sikap terbuka berdialog lewat apresiasi dan kreasi yang kritis. (Nugroho, Garin. “Dialog Islam dalam Sinema Dunia” dalam Ibrahim; 2005; 226).
Dengan menonton film Sang Pencerah ini, baik warga Muhammadiyah
maupun NU dapat mempelajari kembali perbedaan yang ada. Yang lebih penting
adalah bukan mengedepankan perbedaan, namun mementingkan persamaan yang
ada. Perbedaan yang ada selayaknya disikapi dengan keterbukaan berpikir, bukan
dengan kebekuan berpikir maupun sekedar ikut-ikutan menentang kelompok lain
tanpa dasar pengetahuan. Seperti pesan yang ada dalam film besutan Hanung
Bramantyo tersebut.
1.2 Perumusan Masalah
Dalam memahami film Sang Pencerah, warga Muhammadiyah memiliki
sudut pandang yang berbeda jika dibandingkan dengan kalangan di luar
Muhammadiyah, apalagi non muslim. Sebagian dari mereka yang menjadi
pengurus maupun hanya terlibat dalam kegiatan Muhammadiyah, tentu memiliki
alasan tersendiri terkait keikutsertaannya. Sebagian mempunyai visi dakwah,
sebagian bervisi sosial, sebagian merupakan kebutuhan pribadi untuk
bersosialisasi.
Sikap dalam beragama dan bermasyarakat warga Muhammadiyah adalah
berdasarkan pada Quran dan Hadits. Muhammadiyah juga mendukung setiap
perubahan dan hal baru demi kemajuan. Karena Muhammadiyah merupakan
gerakan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah
keburukan), serta gerakan tajdid (reformasi).
Begitu pun warga Nadhatul Ulama yang menghargai setiap perbedaan aliran
pemahaman dalam Islam. NU muncul dari kalangan pesantren tradisional,
kemudian mengalami evolusi menjadi organisasi yang semakin modern. Namun
NU tetap menjaga nilai-nilai tradisional, serta menyeimbangkan antara penafsiran
rasional dengan tekstual.
Muhammadiyah maupun NU adalah organisasi yang sama-sama melakukan
dakwah agama. Keduanya berusaha memperjuangkan kepentingan umat Islam,
serta warga yang tertindas. Serta ikut memperjuangkan kepentingan bangsa
Indonesia, dari masa kolonialisme hingga saat ini.
Seberapa jauh penonton dapat menangkap arti dan isi film yang dilihatnya, sangat tergantung dari latar belakang kebudayaan, pengalaman hidup, pendidikan, pengetahuan dan perasaan film, kepekaan artistik dan keasadaran sosial mereka, (Mangunhardjana; 1976; 110).
Gambaran tentang tokoh penggagas Muhammadiyah, serta cita-cita yang
melandasi pembentukan organisasi ditampilkan sedemikian rupa oleh Hanung
Bramantyo. Gambaran tersebut bukanlah hasil rekaan sutradara semata, namun
berdasarkan riset yang telah dilakukan sebelumnya. Untuk keperluan riset tokoh
utama, Hanung telah pergi ke Leiden, Belanda selama 2 bulan. Ia juga
mewawancarai keluarga Ahmad Dahlan. Sumber juga didapatkan di antaranya
dari catatan Haji Syuja (murid Ahmad Dahlan), serta studi pustaka di berbagai
universitas. Meskipun begitu, sutradara bisa menafsirkan sumber-sumber data
tersebut sesuai interpretasinya sendiri. Hal itulah yang sering menjadi kontroversi
pada film-film Hanung. Ia menilai tafsir atau pemaknaan tentang suatu hal dalam
filmnya, sering ditafsirkan lain oleh beberapa kalangan.
Film menjadi alat komunikasi, sarana dialog. Dengan filmnya, pembuat film mengajak penontonnya menerima data, fakta, gagasan, pandangan, pikiran, cita-citanya, dan saling berbicara tentangnya, (Mangunhardjana; 1976; 109).
Dalam film ini, Hanung menyampaikan tafsirnya sendiri tentang pemikiran
Ahmad Dahlan dan organisasi Muhammadiyah. Di mana tafsirnya yang telah
ditampilkan dalam film, mendapat apresiasi dari berbagai kalangan masyarakat,
baik muslim maupun non-muslim. Deretan para pemainnya pun juga tak melulu
aktor dan aktris muslim. Namun bagaimanapun juga film ini lebih memiliki
kedekatan pada masyarakat muslim. Masyarakat muslim di Indonesia sendiri
diwakili oleh dua organisasi kemasyarakatan terbesar, Muhammadiyah dan
Nadhatul Ulama. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ingin diketahui;
1. Bagaimanakah pemaknaan warga Muhammadiyah dan NU terhadap tokoh
utama (K.H. Ahmad Dahlan) dalam film Sang Pencerah?
2. Bagaimana pemaknaan mereka terhadap penggambaran organisasi
Muhammadiyah dalam film itu?
1.3 Tujuan
Penelitian bertujuan untuk mengetahui keragaman pemaknaan film Sang
Pencerah di antara warga Muhammadiyah dengan Nadhatul Ulama terhadap
permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam film tersebut.
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Signifikansi Teoritis: memperkaya khasanah penelitian tentang pemaknaan
film sebagai budaya populer dan sarana penyampaian pikiran.
2. Signifikansi Praktis: menambah khasanah penelitian tentang masyarakat
muslim di Indonesia, yang dikenal penuh dinamika dan keragaman
pemikiran serta ekpresi keagamaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim, Idi Subandy (Eds). 2005. Media dan Citra Muslim. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.
Mangunhardjana, A. Margija. (1976). Mengenal Film. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Mulyana, Deddy. (2003). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sumarno, Marselli. (1996). Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: Grasindo.
Tim Penyusun FISIP Undip. (2010). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Semarang: FISIP Undip.
Rahardjo, Turnomo. 2009. Cetak Biru Teori Komunikasi dan Studi Komunikasi di Indonesia. Makalah. Disampaikan pada Simposium Nasional: Arah Depan Pengembangan Ilmu Komunikasi di Indonesia (13 Maret).
Sumber artikel media massa:
Kisihandi, Ferry. (2011, Mei 27). Islam Menentang Pluralisme Agama. Harian Republika, Suplemen Dialog Jumat: 5
Sumber Internet:
Ramadhan, Shodiq. (2010). Sosok Pendiri Muhammadiyah di Tangan Sineas Liberal. http://www.suara-islam.com/news/berita/kolom/923-sosok-pendiri-muhammadiyah-di-tangan-sineas-liberal. Diunduh pada 8 Juni 2010 pukul 21.00 WIB.
Ramadhan, Shodiq. (2010). Hanung Bramnatyo, Sosok Sineas Liberal. http://www.suara-islam.com/news/tabloid/suara-utama/2429-hanung-bramantyo-sosok-sineas-liberal. Diunduh pada 8 Juni 2010 pukul 21.00 WIB.
(http://www.hariansumutpos.com/arsip/?p=59376).
Film “Sang Pencerah” dikritik Roy Suryo. (2010). Dalam http://inimu.com/berita/2010/09/21/video-film-sang-pencerah-dikritik-roy-suryo-sinopsis-movie-trailer-ost/. Diunduh pada 12 Juni 2010 pukul 20.30 WIB.
http://bahasa.cs.ui.ac.id/kbbi/kbbi.php?keyword=sutradara&varbidang=all&vardialek=all&varragam=all&varkelas=all&submit=kamus