analisis politik lokal dari orla-orba

20
Analisa Perkembangan Politik dan Undang-Undang Semasa Orde baru sampai Orde lama Putu Aria/21487 POLITIK PEMERINTAHAN DI INDONESIA HINGGA BERAKHIRNYA ORDE BARU A. Perkembangan Pemerintah Daerah Pasca Kemerdekaan: Awal Kemerdekaan dan Semasa Orde Lama Setelah Indonesia merdeka maka berlakulah UUD 1945. Dalam UUD tersebut pengaturan tentang pemerintahan di daerah diatur dalam pasal 18, dimana PPKI waktu itu menetapkan pembagian daerah RI sbb : Membagi sementara Daerah RI menjadi 8 propinsi yang masing-masing dikepalai oleh Gubernur. Daerah Propinsi dibagi dalam Karesidenan yang dikepalai oleh seorang Residen. Gubernur dan Residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah. Kedudukan kooti dan juga Kota (Gemeente) untuk sementara waktu diteruskan seperti sekarang. Adapun UU ataupun peraturan tentang pemerintahan daerah yang diterapkan pasca kemerdekaan dan selama Orde Lama adalah sbb : 1. UU No. 1/1945 UU ini ditetapkan pada tanggal 23-11-1945, dimana setting sosial politik waktu itu merupakan transisi dari kolonialisme menuju kemerdekaan. KND (Komite Nasional Daerah) diadakan (kecuali di daerah Surakarta dan Yogyakarta) di Karesidenan, di Kota berotonomi, Kabupaten dan lain-lain daerah yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri. KND diubah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD), yang bersama-sama dengan dan dipimpin Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya, asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas dari padanya.

Upload: putu-aria-singsingan

Post on 03-Oct-2015

234 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

POLITIK PEMERINTAHAN DI INDONESIA HINGGA BERAKHIRNYA ORDE BARU

TRANSCRIPT

POLITIK LOKAL DI INDONESIA

Analisa Perkembangan Politik dan Undang-UndangSemasa Orde baru sampai Orde lama Putu Aria/21487

POLITIK PEMERINTAHAN DI INDONESIA HINGGA BERAKHIRNYA ORDE BARU

A. Perkembangan Pemerintah Daerah Pasca Kemerdekaan: Awal Kemerdekaan dan Semasa Orde Lama

Setelah Indonesia merdeka maka berlakulah UUD 1945. Dalam UUD tersebut pengaturan tentang pemerintahan di daerah diatur dalam pasal 18, dimana PPKI waktu itu menetapkan pembagian daerah RI sbb :

Membagi sementara Daerah RI menjadi 8 propinsi yang masing-masing dikepalai oleh Gubernur.

Daerah Propinsi dibagi dalam Karesidenan yang dikepalai oleh seorang Residen. Gubernur dan Residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah.

Kedudukan kooti dan juga Kota (Gemeente) untuk sementara waktu diteruskan seperti sekarang.

Adapun UU ataupun peraturan tentang pemerintahan daerah yang diterapkan pasca kemerdekaan dan selama Orde Lama adalah sbb :

1. UU No. 1/1945

UU ini ditetapkan pada tanggal 23-11-1945, dimana setting sosial politik waktu itu merupakan transisi dari kolonialisme menuju kemerdekaan.

KND (Komite Nasional Daerah) diadakan (kecuali di daerah Surakarta dan Yogyakarta) di Karesidenan, di Kota berotonomi, Kabupaten dan lain-lain daerah yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri.

KND diubah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD), yang bersama-sama dengan dan dipimpin Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya, asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas dari padanya.

Wewenang BPRD adalah:

1. kemerdekaan mengadakan peraturan-peraturan untuk kepentingan daerahnya (otonomi)

2. pertolongan pada pemerintah atasan untuk menjalankan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah atasan (medebewind dan selfgovernment)

3. membuat peraturan mengenai suatu hal yang diperintahkan oleh UU umum, dengan ketentuan bahwa perturan itu harus disahkan lebih dulu oleh Pemerintah atasan

Pemerintah Indonesia menetapkan otonomi yang seluas-luasnya, lebih luas dibandingkan masa Hindia Belanda. Otonomi yang dipakai adalah otonomi materiil dan berlaku pada wilayah bekas Karesidenan, Kabupaten dan Kota.

Propinsi tidak dikenal sebagai daerah otonom.

Dibentuk 8 propinsi yang dikepalai oleh Gubernur dan Karesidenan yang dikepalai Residen, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh KND. Dibawah karesidenan terdapat pemerintahan administrative kabupaten, daerah kota, kawedanan (distrik), kecamatan (onderdistrik) dan desa.

Struktur pemerintahan pusat dan daerah yang memiliki 8 propinsi tersebut, struktur pemerintah daerah dibawahnya masih sama meneruskan sistem Belanda, yang dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 2/1945.

Pemerintah daerah terdiri dari BPRD, Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah.

Kabupaten/Kota merupakan daerah otonom dan diberi wewenang hak otonomi luas asalkan tidak bertentangan dengan UU yang lebih tinggi.

Pemberlakuan asas medebwind dari pemerintah pusat kepada daerah kota dan kabupaten, disertai bantuan keuangan untuk pelaksanaannya.

2. UU No. 22/1948 dan SIT No. 44/1950

Setting sosial politik waktu itu tidak lepas dari agresi tentara Belanda ke wilayah RI (Agresi Militer Belanda I dan II) dan penguasaan kembali beberapa daerah oleh tentara Belanda, yang mengakibatkan bentuk negara Indonesia menjadi negara serikat, juga banyak terjadi pemberontakan di daerah-daerah. Dengan tercapainya persetujuan KMB, maka terbentuklah RIS dimana Negara RI hanya merupakan Negara Bagian. Berdasarkan UU ini dibentuk 7 daerah otonom tingkat propinsi. Sementara di wilayah Indonesia Timur sendiri diberlakukan Staatblad Indonesia Timur (SIT) No. 44/1950, dimana UU ini menetapkan dua atau tiga tingkatan daerah otonom yaitu daerah, derah bagian, dan daerah anak bagian. Seluruh wilayah Negara Indonesia Timur (NIT) dibagi dalam 13 daerah. Wilayah RI dibagi ke dalam daerah-daerah otonom, dengan 3 tingkatan yaitu Propinsi, Kabupaten (Kota Besar) dan Desa (Kota Kecil). Sedangkan Karesidenan meskipun mempunyai DPR bukan merupakan daerah otonom. Menghasilkan pemerintah daerah yang bersifat kolegial yakni Pemerintah Daerah terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai legislative (yang mempunyai tugas melakukan pengaturan dalam rangka penyelenggaraan daerah dan juga mengawasi kebijaksanaan-kebijaksanaan Kepala Daerah dalam implementasinya) dan Dewan Pemerintah Daerah (Kepala Daerah menjabat sebagai Ketua dan merangkap juga sebagai anggota DPD). UU No 22/1948 memberi hak dan kewenangan cukup luas bagi DPRD. Hak dan wewenang yang luas ini merupakan refleksi dari hak, wewenang yang sangat luas dari DPR waktu itu sesuai dengan asas demokrasi parlementer. Kewenangan DPRD yang cukup signifikan tersebut antara lain:a. Kepala daerah selaku ketua DPD merangkap anggota DPD walaupun diangkat oleh pemerintah pusat, tapi pengangkatannya diambil dari calon-calon yang dimajukan oleh DPRD. DPRD berhak mengusulakn pemberhentian seorang Kepla Daerah kepada pusat

b. DPD yang menjalankan pemerintahan sehari-hari dipilih oleh dan dari DPRD atas dasar perwakilan berimbang yang mencerminkan lairan dalam dewan pilihanm rakyat. DPD sebagai suatu kesatuan atau masing-masing angotanya sendiri bertanggungjawab kepada DPRD

c. DPRD membuat pedoman untuk DPD guna mengatur cara menjalankan kekuasaan dan kewajibannya

d. DPRD mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya

e. Suatu DPRD dapat membela kepentingan daerah dan penduduknya di hadapan Pemerintah dan DPR

f. Suatu DPRD dapat membela kepentingan daerah dan penduduknya dihadapan DPD dan atau DPR atasnya

g. DPRD mengangkat dan memberhentikan Sekretaris Daerah atas usul DPD

Karena hanya berdasarkan asas desentralisasi dan medebewind (tidak mengenal asas dekonsentrasi), maka dikenal 2 macam pemerintah daerah yaitu pemerintah daerah yang punya hak otonomi dan yang punya hak medebwind. Dibentuk daerah otonom dalam 2 kelompok besar yaitu daerah otonom biasa dab daerah istimewa yang setingkat propinsi. Pemerintah Kota dan Kabupaten menganut asas desentralisasi dan medebewind. Implikasinya pemerintah daerah berwenang melakukan pengawasan dan penbimbingan bagi daerah yang setingkat dibawahnya yakni desa dan kota kecil. 3. UU No. 1/1957

Terjadi perubahan ketatanegaraan dimana RIS berubah menjadi NKRI dengan berdasarkan pada UUD 1950. Maka setting sosial politik waktu itu Indonesia menganut Demokrasi Liberal, dengan sistem pemerintahan yang parlementariat, dan juga dengan persaingan politik yang tinggi.

Menganut sistem otonomi yang riil dan seluas-luasnya.

Hanya mengatur tentang pelaksanaan asas desentralisasi dan asas tugas pembantuan (tidak mengenal asas dekonsentrasi).

Dibentuk Daerah Swatantra (yang mempunyai arti sama dengan Daerah Otonom) dimana pemerintahannya disebut Pemerintah Daerah Swatantra; Daerah Istimewa (untuk menyebut Daerah Swapraja); dan Kotapraja daerah kota yang mengurus rumah tangganya sendiri).

Wilayah RI dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu

Daerah-daerah Swantantra dalam 3 tingkat yakni daerah Swatantra tingkat I, II dan III (namun pada kenyataan daerah Swatantra tingkat III tidak pernah terbentuk) dimana propinsi menjadi Dati I termasuk Kotapraja Jakarta.

Daerah Swapraja dibagi menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh. Perbedaan keduanya terletak pada kedudukan Kepala Daerah.

Pemerintah Daerah Swatantra terdiri dari DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD)

Kekuasaan, tugas, kewajiban DPRD:

1. DPRD memilih ketua dan wakil ketuanya sendiri

2. memberikan pengecualian terhadap larangan melakukan usaha/pekerjaan yang dilarang bagi anggota DPRD

3. memberhentikan anggota yang tidak mentaati larangan melakukan usaha/pekerjaan yang ditetapkan bagi anggota DPRD

4. membuat peraturan tentang uang sidang, uang jalan, dan uang penginapan anggota DPRD

5. membuat peraturan tentang uang kehormatan ketua/wakil ketua DPRD

6. DPRD bersidang sekurang-kurangnya sekali dalam 3 bulan

7. mengadakan rapat tertutup dan dapat membebaskan kewajiban merahasiakan segala pembicaraan yang dilangsungkan dalam rapat tertutup

8. membuat peraturan tata tertib rapat DPRD

9. memilih anggota DPD

10. memberhentikan anggota DPRD karena melanggar larangan melakukan suatu usaha/pekerjaan yang ditetapkan bagi anggota itu atau karena sesuatu alasan lain

11. membuat pedoman cara DPD menjalankan kekuasaan dan kewajibannya

12. mengesahkan tata tertib rapat DPD

13. membuat peraturan tentang uang kehormatan, uang jalan, dan uang penginapan anggota DPD

14. memilih kepala daerah. Selama hal ini belum mungkin sehingga kepala daerah perlu diangkat oleh pusat, maka DPRD mengemukakan calon sedikit-dikitnya 2 dan sebanyak-banyaknya 4 orang kepada pusat

15. memberhentikan kepala daerah dan DPD

16. mencalonkan kepala/wakil kepala daerah istimewa kepada pusat

17. membuat peraturan tentang gaji, uang jalan, uang penginapan, dan penghasilan lainnya bagi kepala daerah

18. mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya

19. menyerahkan urusan rumah tangga daerahnya kepada daerah-daerah bawahannya

20. membantu menjalankan peraturan perundangan dari pusat atau daerah tingkatan lebih tinggi yang ditugaskan kepadanya

21. menugaskan kepada daerah bawahan untuk menjalankan peraturannya

22. membela kepentingan daerah dan pendudknya ke hadapan pemerintah, DPR atau pemerintah dan atau DPRD diatasnya

23. membuat peraturan untuk kepentingan daerah dan melaksanakan otonomi/medebewind, peraturan ini dinamakan peraturan daerah

24. menetapkan ancaman pidana kurungan selama-lamanya 6 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000,00 bagi pelanggaran terhadap peraturan.

25. menunjuk pegawai daerah daerah yang diberi tugas pengusutan terhadap pelanggaran peraturannya

26. membebankan kepada pelanggar keputusannya biaya yang dikeluarkan untuk bantuan yang diberikan oleh alat kekuasaan lain bagi pelkasana keputusan itu

27. bekerjasama dengan daerah lain untuk mengatur dan mengurus kepentingan bersama

28. membentuk panitia-panitia untuk melancarkan pelksanaan tugasnya

29. menunjuk instansi-instansi yang akan menjalankan hal-hal yang telah dilalaikan pelaksanaan pembantuannya oleh daerah-daerah bawahan

30. mengangkat dan memberhentikan sekretaris daerah

31. membuat peraturan tentang pengangkatan, pemberhentian, pemberhentian sementara, gaji, pensiun, uang tunggu, dan hal-hal lain mengenai kedudukan hukum pegawai daerah

32. meminta kepada pusat agar dipekerjakan pegawai-paegawai pusat untuk melakukan urusan-urusan bagi kepentingan daerahnya

33. mengadakan pajak daerah dan retribusi daerah

34. mendirikan perusahaan daerah

35. memegang semua kekuasaan pengelolaan umum keuangan daerah

36. menetapkan anggaran keuangan daerah, termasuk perubahannya

37. mengajukan keberatan kepada instansi yang setingkat lebih atas daripada instansi yang menolak mengesahkan keputusannya

38. memberikan keterangan yang diminta oleh instansi pengawas

39. menyelidiki dan memeriksa pekerjaan mengurus rumahtangga atau tugas pembentukan yang dilakukan oleh daerah-daerah bawahan

Sedangkan kekuasaan , tugas, kewajiban DPD secara garis besar antara lain:

1. Memberhentikan sementara anggota DPRD yang melanggar larangan melakukan usaha/pekerjaan yang ditetapkan bagi anggota itu

2. Memutuskan permintaan banding bagi anggota DPRD setingkat lebih rendah yang telah diberhentikan atau yang diberhentikan sementara karena melanggar larangan melakukan usaha/pekerjaan yang ditetapkan bagi anggota itu

3. memutuskan usulan pengguguran keanggotaan DPRD yang diajukan oleh DPD setingkat dibawahnya

4. meminta pada ketua DPRD agar diadakan rapat DPRD

5. menjalankan medebewind yang ditugaskan padanya

6. menjalankan keputusan DPRD

7. menyiapkan segala sesuatu yang harus dipertimbangkan dan diputuskan oleh DPRD

8. bertanggungjawab pada DPRD dan memberikan keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD

9. mengusulkan pengangkatan/pemberhentian sekretaris daerah kepada DPRD

10. menunjuk pegawai lain untuk mewakili sekretaris daerah yang berhalangan

11. memutuskan permintaan banding dari DPRD yang keputusannya tidak dapat disahkan oleh DPD setingkat dibawahnya

Kepala Daerah berfungsi sebagai organ Daerah yaitu sebagai Ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah.

Anggota DPD dipilih oleh DPRD, namun DPD dapat melakukan impeach terhadap anggota DPRD.

Tugas DPD adalah menjalankan pemerintahan sehari-hari dengan melaksanakan Perda yang dibuat oleh DPRD, mengusulkan pemberhentian anggota DPRD, serta bertanggungjawab kepada DPRD.

Karena tidak mengenal asas dekonsentrasi sehingga pemerintah di daerah yang bersifat administrative/pemerintahan pamong praja/pemerintahan pagreh praja tidak diatur. Ini mengakibatkan dualisme pimpinan pemerintahan di daerah karena ada 2 macam pemerintah dengan masing-masingnya mempunyai kepala sendiri-sendiri yaitu Pemerintah Daerah Swatantra dan Pemerintahan Pamong Praja yang dipimpin oleh Kepala Pemerintahan Pamong Praja.

Pengawasan bersifat preventif dan represif.

4. UU No. 6/1959

UU ini terbentuk dengan maksud akan diserahkannya semua tugas pemerintah pusat dalam bidang pemerintahan umum yang ada di daerah kepada pemerintah daerah Swantantra untuk dijadikan urusan rumah tangganya sendiri. Oleh karena itu kekuasaan pamong praja dihapuskan.

Namun belum sempat UU ini diberlakukan, akibat pergolakan politik yang tidak menciptakan stabilitas dalam masa demokrasi parlementer dan juga adanya ancaman disintegrasi bangsa karena adanya pemberontakan di beberapa daerah seperti PRRI/Permesta, dikeluarkanlah Dekrit Presiden 1959.

5. Penetapan Presiden No. 6/1959 dan Penetapan Presiden No. 5/1960

Setting sosial politik waktu itu terjadi pergolakan politik dalam negeri dengan jatuh bangunnya kabinet dan pertarungan yang sengit antar partai politik, yang baru diakhiri dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dimana berimplikasi pada menguatnya kekuasaan Presiden (cenderung sentralistik). Dengan Dekrit tersebut maka RI kembali kepada UUD 1945.

Kedua peraturan tersebut tidak mengatur tentang pembagian wilayah negara, sehingga pembagian wilayah RI menjadi daerah-daerah otonom serta tingkaannya masih tetap mengikuti UU No. 1/1957. Hanya namanya yang mengalami perubahan dari daerah swwaantara diubah dengan istilah daerah, sedang pemerintahannya disebut dengan pemerintah daerah.

Tetap mempertahankan politik dekonsentrasi dan desentralisasi, dengan menjunjung paham desentralisasi territorial.

Menghapus dualisme pemerintahan daerah dengan menghapus Dewan Pemerintahan Daerah (DPD), sehingga Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dimana dalam menjalankan tugasnya Kepala Daerah dibantu oleh Badan Pemerintah Harian, dimana hubungan keduanya bersifat presidensial.

Dihapuskannya dualisme pimpinan di daerah, dimana daerah otonom dalam menyelenggarakan urusan rumah tangganya mempunyai 2 tugas yaitu tugas eksekutif dan tugas legislative. Pimpinan di bidang pemerintahan umum pusat di daerah dan pimpinan di bidang pemerintahan daerah terletak di tangan Kepala Daerah.

Kepala Daerah diberi kedudukan sebagai Pegawai Negara.

Kekuasaan eksekutif yang dijalankan Kepala Daerah tidak lagi bersifat kolegial, tapi tetap tidak boleh meninggalkan dasar permusyaratan dalam sistem pemerintahan.

Kepala daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRD-GR, oleh karena itu tidak dapat dijatuhkan oleh DPRD-GR.

Kepala Daerah bersama-sama dengan DPRD bertugas di bidang legislative.

Kepala Daerah adalah Ketua tetapi bukan anggota DPRD-GR.

Penghapusan seluruh daerah karesidenan dan kawedanan di seluruh Indonesia.

Pamong praja statusnya sebagai pegawai yang diperbantukan kepada daerah.

6. UU No. 18/1965

Setting sosial politik waktu itu merupakan saat-saat dimana terjadi puncak perebutan kekuasaan antara Soekarno, TNI AD dan PKI. Juga ada intervensi dari Amerika Serikat.

Wilayah RI dibagi menjadi Propinsi atau Kotaraya sebagai Dati I, Kabupaten atau Kotamadya sebagai Dati II, dan Kecamatan atau Kotapraja sebagai Dati III. Pada pelaksanaannya Dati I dan Dati II telah terbentuk, sedangkan Dati III belum terbentuk. Untuk mempercepat pembentukan Dati III maka diciptakanlah Desapraja yang diatur dalam UU No. 19/1965.

Pemerintah daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD, dimana dalam menjalankan tugas sehari-hari Kepala daerah dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian.

Tidak dirangkapnya jabatan ketua DPR-GR oleh Kepala Daerah.

Guna meniadakan sistem dualisme dalam pimpinan pemerintahan di daerah, maka Kepala daerah mempunyai 2 fungsi yaitu sebagai alat Pemerintah Pusat dan juga sebagai alat Pemerintah Daerah.

Dalam menjalankan kewenangannya pemerintah kabupaten/kota menerapkan prinsip otonomi dan medewind, namun diawasi ketat oleh pemerintah pusat dengan pengawasan umumnya.

UU No18 Tahun 1965 ini memuat tentang kekuasaan, tugas, dan kewajiban DPRD yang paling minim, hampir semua kekuasan tugas, kewajiban pemerintah daerah dilimpahkan ke kepala daerah. Dalam garis besarnya kekuasaan, tugas, kewajiban DPRD:

1. membuat dan menetapkan peraturan daerah

2. mencalonkan kepala daerah

3. mencalonkan wakil kepala daerah

Sebagai tambahannya, DPRD mempunyai hak petisi dalam membela kepentingan daerahnya kepada pemerintah dan DPR dengan sepengetahuan kepala daerah. Dalam pasal 56 disebutkan DPRD dapat dilikuidasi Mendagri apabila DPRD tersebut tidak berfungsi lagi dengan baik menurut kewennagan DPRD.

Karena peristiwa G 30 S/PKI mengakibatkan banyak ekses di berbagai bidang, maka UU No. 18/1965 dan UU No. 19/1965 belum terlaksanakan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu dengan lahirnya Orde Baru maka pencabutan terhadap kedua UU tersebut akan dilakukan setelah UU penggantinya diundangkan. Catatan :Orde lama merupakan masa dimana bangsa Indonesia masih terjadi kekacauan. Bangsa kita baru menapaki diri dari sisa-sisa puing penjajahan. Bangsa kita mulai mandiri dan menyusun apa saja yang menjadi system pemerintahannya. Pada masa orde baru, bangsa kita adalah bangsa yang masih kebingungan. Mungkin, pada saat itu bangsa kita baru merdeka jadi periode ini masih banyak bermunculan kekacauan administratif yang meluas disatu pihak serta kegairahan politik dipihak lain masyarakat kelas bawah menikmati kebebasan demokrasi.Pada periode ini pemerintah masih kacau. Banyak pergolakan-pergolakan yang terjadi didalam masyarakat mengenai perlawanan kepada kolonialisme. Serta permasalahan mengenai

Pada masa orde lama pemerintahan parlementer yang menganut system pluralis (banyak ideologi). Mengapa demikian? Karena pada masa tersebut pemerintah memberikan ruang sebebas-bebasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi. Hal ini ditandai dengan banyak bermunculnya ideology-ideologi serta partai-partai politik yang ada di Indonesia. Contohnya, Partai Masyumi, Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Komunis Indonsia (PKI), dll. Dalam hal ini, pemerintah memberikan dan membuka ruang partisipasi masyarakat kedalam pemerintahan dan kepentingan msyarakat pun sangat diutamakan. Hal ini juga desakan dari pihak luar negeri yang menuntut agar melaksanakan demokrasi terutama untuk Negara-negara baru yang ingin diakui oleh Negara-negara luar. Media-media pun banyak bermunculan, seperti Koran-koran dan majalah partai politik. Media pun sangat dibebaskan untuk mengungkapkan ide dan pikiran kritis mengenai perpolitikan Indonesia, ilmuan politik pun bermunculan lewat media massa tersebut. Partisipasi lain dari masyarakat Indonesia yaitu melalui laskar-laskar atau organisasi kemasyarakatan.

Akan tetapi di dalam Orde Lama masih banyak memiliki kelemahan dan kekurangan, mungkin ini sebab bangsa kita mulai lepas dari bangsa penjajah yang mengakibatkan kita masihsangat awam dalam megelola pemerintahan yang efektif dan baik. Kelemahan dari orde lama yaitu, Posisi Negara masih lemah karena berbagai sebab yang berhubungan dengan masalah awal kemerdekaan Indonesia, yaitu dengan banyaknya partisipasi dan kebebasan masyarakat itulah menjadi bumerang yang membuat bangsa kita tergoyah. Dari permasalahan tersebut, banyak daerah yang memiliki laskar sendiri menginginkan kemerdekaan nya muncul gerakan separatisme. Oleh karena itu, walaupun Negara kita pluralis seharusnya diimbangi juga dengan pemerintahan yang kuat. Sedangkan, pada saat itu pemerintahan kita posisi nya masih sangat lemah. Pengaturan atau tata pemerintahannya belum sempurna.

B. Perkembangan Pemerintah Daerah Semasa Orde Baru

Setting sosial politik waktu itu transisi dari orde lama ke regim orde baru yang nantinya ternyata sangat sentralistis dan otoritarian. Selama regim ini berlangsung, negara sengaja menegasikan/menihilkan kepercayaannya pada politisi, sehingga menyebabkan kehidupan partai politik dan DPRD membosankan dan menjadikan kedua lembaga tersebut yang seharusnya bisa menjadi pilar demokrasi justru dimandulkan dan dibisukan oleh berbagai kebijakan Orde Baru, juga karena dominasi Golkar selama Pemilu diselenggarakan oleh Orde baru.

Pemerintah Orde Baru dibawah kekuasaan Soeharto mengembangkan politik sentralisasi dan otoritarianisme melalui berbagai langkah yaitu :

Pembentukan sejumlah lembaga represif, seperti KOPKAMTIB, OPSUS, BAKIN dan lainnya, yang berfungsi mengamankan semua langkah kebijakan Soeharto.

Depolitisasi Masyarakat, yang dilakukan dengan cara :

a) Sistem Massa Mengambang (Floating Massa), misalnya dengan dengan penyederhanaan partai, pembatasan pengurus partai yang hanya boleh sampai pada tingkat Kecamatan kecuali Golkar, juga Pancasila sebagai satu-satunya ideologi.

b) Pemilihan Umum untuk memperoleh legitimasi.

c) Pengebirian partai politik, yang dilakukan dengan :

d) kampanye yang sangat intensif semangat anti partai politik

e) sistem penyederhanaan partai yang dipaksakan

f) rekruitmen para pimpinan partai harus dikontrol sehingga parpol tidak dipimpin oleh orang-orang yang kristis terhadap pemerintah

g) Kontrol terhadap kehidupan politik yang sangat ketat dengan alasan melancarkan pembangunan nasional bidang ekonomi.

h) Dominasi kalangan militer dan birokrasi

Lembaga Kepresidenan sebagai inti. Pada masa Orde Baru tersebut kekuasaan lembaga kepresidenan sangat besar. Presiden mengontrol rekruitmen politik baik rekruitmen Lembaga Tinggi Negara, eksekutif, maupun organisasi politik. Presiden pun memiliki sumberdaya keuangan sangat besar, memiliki personal otoritas (seperti pengemban Supersemar, Bapak Pembangunan, Madataris MPR), dan juga merupakan Panglima Tertinggi ABRI.

UU No. 5/1974

Selama kurang lebih 25 tahun pemerintah Orde Baru menempuh kebijaksanaan sentralisasi ataupun dekonsentrasi melalui UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. UU ini mensyaratkan penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan sentralisasi kekuasaan yang dibungkus dengan dekonsentrasi. Atau dengan kata lain, kewenangan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang diberikan kepada daerah lebih merupakan alat pembungkus untuk melakukan sentralisasi ketimbang desentralisasi. Pemahaman otonomi daerah menurut UU ini pun merupakan kewajiban dari masyarakat dan pemerintah daerah, bukan hak.

Beberapa karakteristik yang sangat menonjol dari prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut UU No. 5/1974 tersebut adalah :

Wilayah negara dibagi ke dalam daerah besar dan kecil yang bersifat otonom atau administrasi saja, dimana tidak ada perbedaan yang tegas antara antara Daerah Otonom dan Daerah Administratif, sehingga sebuah wilayah pemerintahan mempunyai 2 kedudukan sekaligus yakni Daerah Otonom yang berpemerintahan sendiri dan sebagai Wilayah Administratif yang merupakan representasi dari kepentingan Pusat yang ada di Daerah.

Pemerintahan daerah diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II sebagai Daerah Otonom, dan kemudian Wilayah Administratif berupa propinsi, kabupaten/kotamadya, dan kecamatan. Hubungan antara Daerah Tingkat I dan Tingkat II adalah bersifat hierarkis di hampir semua aspek pemerintahan, sehingga sistem otonomi yang hierarkis itu tentu saja bertentangan dengan makna otonomi sendiri.

DPRD baik di Tingkat I maupun di Tingkat II dan Kotamadya merupakan bagian dari pemerintah daerah, padahal umumnya sebagai pilar demokrasi DPRD harusnya terpisah dari pemerintah daerah.

Peranan Menteri Dalam Negeri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah bersifat sangat eksesif/berlebih-lebihan yang diwujudkan dengan melakukan pembinaan langsung terhadap daerah. Adanya pengawasan yang dilakuakan pemerintahan daerah melalui pengawasan prevebtif, represif dan pengawasan umum hanya dimanipulasi untuk kepentingan pemerintah pusat.

UU ini memberikan tempat yang sangat terhormat dan sangat kuat kepada Kepala Wilayah ketimbang kepada Kepala Daerah. Bahkan disebutkan bahwa Kepala Wilayah sebagai Kepala Pemerintahan adalah penguasa tunggal di bidang pemerintahan dalam wilayahnya.

Menyangkut keuangan daerah telah diatur sebagaimana umumnya. Tetapi disebutkan juga bahwa daerah mendapatkan pula bantuan dari pemerintah pusat berupa pemberian pemerintah, sebuah istilah yang menunjukkan kemurahan hati pemerintah pusat di Jakarta, padahal itu merupakan kewajiban dari pusat sebagai imbalan dilaksanakannya tugas-tugas pemerintahan di daerah yang seharusnya dilaksanakan oleh pusat. Daerah juga tidak memiliki keleluasaan dalam menggali sumber daya keuangan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki daerah. Pada intinya daerah dibuat sepenuhnya tergantung kepada pemerintah pusat. (Syaukani dkk., 2002).

Adapun karakteristik lainnya dari UU No. 5/1974 antara lain sbb :

UU ini menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind, dimana titik berat lebih pada asas dekonsentrasi dan desentralisasi.

Dianut otonomi daerah dengan sistem residu, dimana urusan pemerintah pusat diperinci sedangkan urusan pemerintah daerah adalah sisa dari itu sehingga tidak diperinci.

Menganut prinsip otonomi daaerah yang nyata dan bertanggung jawab.

Asas dekonsentrasi dapat dilihat dari kehadiran instansi-instansi vertical dan pada fungsi kepala daerah dalam kedudukannya sebagai alat pemerintah pusat.

Pengawasan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah menjadi lebih intensif dilakukan melalui pengawasan preventif, represif dan umum.

Pemerintah daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD

Melanjutkan formasi terdapatnya wakil kepala daerah dan sekda, juga dibentuk sekretaris dewan (sekwan).

Secara tegas menyebutkan adanya 2 tingkatan daerah otonom yaitu Dati I dan Dati II.

Eksistensi wilayah administratit lebih dipertegas, yaitu terdiri dari 3 tingkatan yakni propinsi dan ibukota negara (dikepalai oleh Gubernur), Kabupaten (dikepalai oleh Bupati), dan Kotamadya (oleh Walikotamadya) dan Kecamatan (oleh Camat). Disamping itu juga terbuka kesempatan bagi dibentuknya Kota Administratif (Walikota).

Adanya dualisme fungsi Kepala Daerah yaitu sebagai pejabat negara yang menjalankan tugas-tugas dekonsentrasi dan bertanggungjawab kepada pemerintah pusat, serta sebagai kepala eksekutif dalam bidang desentralisasi yang bertanggung jawab kepada DPRD.

Dibentuk juga Badan Pertimbangan Daerah yang keanggotaannya terdiri dari pimpinan DPRD dan unsure fraksi-fraksi yang belum terwakili dalam pimpinan DPRD.

Dibentuk pula Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Presiden tentang penghapusan atau penambahan penyerahan urusan atau penarikan kembali suatu urusan yang telah diserahkan kepada daerah otonom.

Dibentuk juga Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) di Dati I dan Dati II sebagai cerminan dari dominannya ideology pembangunan yang dikembangkan oleh Orde Baru.

UU ini tidak memberikan dasar hukum lagi bagi Daerah-Daerah Istimewa kecuali melanjutkan berlangsungnya Daerah-Daerah Istimewa yang dibentuk berdasarkan UU No.1/1950.

Dalam pengaturan tentang DPRD, UU ini memang merumuskan cukup rinci hak dan kewajiban anggota DPRD tapi tidak merumuskan dengan jelas apa fungsi DPRD. Hak DPRD meliputi: hak anggaran, hak mengajukan pertanyaan bagi masing-masing anggota, hak meminta keterangan, hak mengadakan perubahan, hak mengajukan pendapat, hak prakarsa, hak mengadakan penyelidikan. Dengan adanya hak prakarsa, rancangan-rancangan peraturan daerah tidak hanya dibuat oleh kepal daerah tetapi dapat pula dibuat oleh DPRD. Fungsi DPRD: fungsi memilih dan menyeleksi, fungsi pengendalian dan pengawasan, fungsi pembuatan peraturan daerah, fungsi debat, fungsi representasiCatatan :

Pada rezim orde baru ruang public masih abu-abu. Karena ruang public pada saat itu memang ada akan tetapi masih adanya campur tangan kekuasaan Negara didalamnya. Pada dasarnya ruang public dibuat untuk lancarnya jalan demokratisasi dengan cara menghadirkan masyarakat dalam kehidupan Negara, ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, pengambilan kebijakan atau regulasi, dll. Akan tetapi, pada realitasnya ruang public yang disediakan pada masa orde baru masih dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan Negara saja.

Strategi-strategi diatas yang dilakukan agar masyarakat mengikuti aturan Negara yaitu dengan cara intervensi, ategara untuk melaksanakan intervensi adalah militer. Kita tahu, bahwa pada masa orde baru peran militer dan pengaruhnya terhadap Negara begitu kuat, karena orang-orang di pemerintahannya atau pejabatnya sendiri adalah orang dengan background militer. Peran militer lainnya yaitu untuk menjaga stabilitas politik, disini militer menjadi pengatur agar masyarakat rtibtidak melakukan perlawanan kepada negara) yang bertujuan agar stabilitas tetap terjaga. Pada rezim orde baru, pemerintah juga melakukan manipulasi. Manipulasinya yaitu, agar masyarakat menganggap Negara membuka ruang public dan supaya tidak timbulpemberontakan dikalangan masyarakat. Pemerintahan orde baru melakukan pluralisme terbatas. Negara membuka ruang pertisipasi masyarakat melalui lembaga-lembaga. Akan tetapi, lembaga-lembaga tersebut merupakan bentukan Negara. Jika ada lembaga yang muncul, harus sesuai dan sejalan dengan kepentingan Negara. Jika ada lembaga yang bertentangan dengan Negara, maka lembaga tersebut akan dicekal dan tidak diperbolehkan untuk bertahan. Penghambatan partisipasi masyarakat kedalam pemerintahan pada rzim orde baru, Negara juga memobilisasi media. Jadi, media diatur sedemikian rupa agar memberitakan yang tidak bertentangan dengan jalannya pemerintahan, hal ini sangat membatasi informasi kepada masyarakat yang akan berpengaruh pada proses pengambilan kebijakan.Dalam segi ekonomi, Negara juga campur tangan. Pada rezim orde baru, pembangunan ekonomi sangat digalakkan, pemerintah secara luas membuka para investor asing untuk menanamkan modal dan Negara juga membuka peluang investor dalam negeri untuk melakukan pinjaman modal asing upaya kelancaran pembangunan ekonomi. Dari masalah tersebut, terbentuklah suatu kaum atau golongan ekonomi atau para pengusaha, yang disebut sebagai kelas borjuasi. Seharusnya, kelas ini merupakan actor sebagai penyeimbang kekuatan Negara. Akan tetapi, pada realitasnya adalah kaum borjuasi ini dimobilisasi oleh birokrat atau pemerintah. Otomatis, pasar juga dikuasai oleh Negara.Pada rezim orde baru, Negara memang menyediakan ruang public untuk masyarakat. Akan tetapi ruang public tersebut sangat terbatas. Hanya kalangan elit-elit, kaum borjuasi yang sejalan dengan pemerintahlah yang bisa mengaksesnya. Sehingga masyarakat luas tidak bisa bertisipasi aktif dan memberiikan inputnya kepada pemerintah untuk membuat suatu kebijakan. Hal ini yang menyebabkan pada rezim orde baru menggunakan sistem pluralitas akan tetapi terbatas. Terbatas hanya pada kalangan elit-elit politik, militer dan kaum borjuasi.Litelatur

Wignosubroto, Soetandyo, dkk., Pasang Surut Otonomi Daerah, Sketsa Pengalaman 100 Tahun, Institute for Local Development dan Yayasan TIFA, Jakarta, 2005.Liang Gie, The, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia : Suatu Analisa Tentang Masalah-Masalah Desentralisasi, Jilid I, Gunung Agung, Jakarta, 1993.

Liang Gie, The, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia : Suatu Analisa Tentang Masalah-Masalah Desentralisasi, Jilid II, Gunung Agung, Jakarta, 1993.

Liang Gie, The, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia : Suatu Analisa Tentang Masalah-Masalah Desentralisasi, Jilid III, Gunung Agung, Jakarta, 1993.

Riwu Kaho, Josef, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1982.

Riwu Kaho, Josef, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Rajawali Press, Jakarta, 1988.

Soehino, S.H., Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Liberty, Yogyakarta, 1980.

Syaukani, Affan Gaffar, Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.

Gaffar, Afan, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.

Masoed, Mohtar, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966 1971, LP3ES, Jakarta, 1989.

Pemikiran politik Indonesia 1945-1965. Pengantar xix.