analisis plankton pada keramba jaring apung...
TRANSCRIPT
i
ANALISIS PLANKTON PADA KERAMBA JARING APUNG PEMELIHARAAN IKAN KERAPU (Cromileptes altivelis) YANG TERINFEKSI VNN
(Viral Nervous Necrosis)
SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
Oleh :
IRSYADUL FAJRI NIM. 135080101111060
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
ii
ANALISIS PLANKTON PADA KERAMBA JARING APUNG PEMELIHARAAN IKAN KERAPU (Cromileptes altivelis) YANG TERINFEKSI VNN
(Viral Nervous Necrosis)
SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan
di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya
Oleh :
IRSYADUL FAJRI NIM. 135080101111060
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
iii
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi dengan judul “ Analisis
Plankton Pada Keramba Jaring Apung Pemeliharaan Ikan Kerapu (Cromileptes
altivelis) Yang Terinfeksi VNN (Viral Nervous Necrosis) “. Yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya
juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau di terbitkan oleh
orang lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar
pustaka.
Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut, sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Malang, 7 Juli 2017
Mahasiswa
Irsyadul Fajri NIM 1350810101111060
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Disampaikan Terima Kasih Kepada: Direktorat Riset Dan Pengabdian Masyarakat
Direktorat Jenderal Penguatan Riset Dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi
Yang Telah Membiayai :
Skema Penelitian BOPTN Unggulan Perguruan Tinggi Nomor : 063/SP2H/LT/DRPM/IV/2017, Tanggal 6 April 2017
Dengan Judul :
“Produksi Dan Pengembangan Produk Antiviral Berbasis Peridinin Chloropyll Cell Pigmen (PCP) Spesies Penting Mikroalga Laut Untuk Komoditas Unggulan Ikan
Ekspor”
Sebagai Ketua Peneliti Dr. Uun Yanuhar, S.Pi., M.Si. Anggota Tim Penelitian Sebagai Berikut:
1. Akbar Nugraha 13. Yosef Benny Alta
2. Irsyadul Fajri 14. Yuni Septiyani
3. Syamsul Rizal 15. Aji Sanjaya
4. Shabrina Andrawini 16. Fariz Nur Yahya
5. Yunda Deliza 17. Elsa Novan Alfiyanto
6. Mimin Wirawati 18. Dewi Mangsuroh
7. Faisal Nur Fachrudin 19. Amanda Agustina
8. M. Rizky Mustaqim 20. Ahmad Arief Fathoni
9. Gus Aryadi 21. Farouq Syahrondhi M.
10. Linda Ayu Pratiwi
11. Leny Rosiana
12. Wildan Effendy
Ketua Peneliti,
(Dr. Uun Yanuhar, S.Pi., M.Si) NIP. 19730404 200212 2 001
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan skripsi ini tidak terlepas dari
dukungan moril dan materil dari semua pihak. Melalui kesempatan ini, dengan
kerendahan hati perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Allah S.W.T, karena atas berkah dan limpahan rahmat-Nya laporan ini dapat
terselesaikan dengan tepat waktu.
2. Aba Akhmad Jakfar, Umma Ervin Farida, dan adek Zava tersayang yang
senantiasa mendoakan dan mendukung penulis.
3. Dr. Uun Yanuhar,S.Pi,M.Si selaku pembimbing I yang telah banyak
memberikan saran, bimbingan, arahan dan nasehat bagi penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi ini dengan baik.
4. Andi Kurniawan, S.Pi, M.Eng. D.Sc selaku pembimbing II yang telah banyak
memberikansaran, bimbingan, arahan dan nasehat bagi penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi ini dengan baik.
5. Faisal, Yunda, Mimin Tim Kerapu 17 yang telah banyak membantu penulis
baik secara moril, Fisik bahkan materil. Terima kasih banyak untuk
supportnya selama ini.
6. Tim 17 yang telah berjuang bersama penulis dari awal kuliah hingga
sekarang ini.
7. Sahabat-sahabatku Eki, Febri, Alan, Riris, Iyak dan Bela yang telah
memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam penyusunan
laporan ini.
vii
8. Keluarga BCT Bahagia, Febri, Eki, Yordan, Alan, Ariz, dan Anam yang telah
memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam penyusunan
laporan ini dan berjuang bersama penulis dalam menghadapi suasana
senang dan duka di rumah kita tercinta.
9. Bhakti alam di Kecamatan Sumbermanjing Wetan daerah Pantai Sendang
Biru yang telah membantu penulis dalam memperoleh sampel untuk
penelitian skripsi. Tanpa kalian, penulis tidak akan dapat menyelesaikan
laporan skripsi dengan tepat waktu.
10. Semua teman angkatan program studi MSP 2013 Fam’13 yang telah
menjadi teman dan keluarga yang menyenangkan sampai sekarang ini
11. Semua pihak yang tidak bisa saya sebut satu per satu yang telah
memberikan dukungan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan skripsi ini dengan baik.
Malang,7 Juli 2017
Penulis
viii
RINGKASAN
IRSYADUL FAJRI. Analisis Plankton Pada Keramba Jaring Apung Pemeliharaan Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) Yang Terinfeksi VNN (Viral Nervous Necrosis). (dibawah bimbingan Dr. Uun Yanuhar S.Pi,M.Si dan Andi Kurniawan S.Pi,M.Eng,D.Sc)
Ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) merupakan salah satu komoditas andalan sektor perikanan di Indonesia karena mudah dibudidayakan. Adanya kematian ikan kerapu di Keramba Jaring Apung Pantai Sendang Biru milik Bhakti Alam diduga adanya wabah penyakit seperti Viral Nervous Necrosis (VNN) dan menurunnya kualitas perairan. Keberadaan VNN dapat ditularkan secara vertikal (melalui induk kepada keturunannya dari telur yang telah dibuahi) dan horisontal (paparan ikan yang terinfeksi, kondisi perairan, dan pakan alami (plankton) yang dikonsumsi ikan kerapu). Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk melakukan pengamatan mengenai faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keberadaan VNN dilihat dari plankton yang teridentifikasi dan status kualitas airnya.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis plankton yang teridentifikasi dan status kualitas air. Mengetahui proses Viral Nervous Necrosis (VNN) dalam menginfeksi ikan kerapu pada keramba jaring apung pemeliharaan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Manfaat penelitian ini yaitu sebagai sumber informasi bahwa plankton yang teridentifikasi dan status kualitas air dapat mempengaruhi penyebaran Viral Nervous Necrosis (VNN) pada Ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) sehingga dapat digunakan untuk mengevaluasi serta melakukan pencegahan terhadap wabah Viral Nervous Necrosis (VNN) dalam budidaya perairan. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lingkungan dan Bioteknologi Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang untuk pengukuran kualitas air dan Balai Karantina Ikan Kelas I Sidoarjo untuk uji Polymerase Chain Reaction (PCR). Pada bulan April – Mei 2017.
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik surveilance. Pengambilan sampel air, plankton dan ikan dilakukan di Keramba jaring apung yang berada di Teluk Pantai Sendang Biru yang ada didepan pulau Sempu yang berlokasi di desa Tambak Rejo, Kecamatan Sumber Manjing Wetan, Malang. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 kali ulangan dengan interval waktu selama satu minggu. Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu, kecerahan, pH, salinitas, DO, CO2, NO3, PO4, dan TOM. Sedangkan untuk deteksi VNN pada sampel air, plankton dan ikan dilakukan dengan uji Polymerase Chain Reaction (PCR).
Hasil uji PCR terhadap organ mata dan otak positif terinfeksi VNN sedangkan di saluran pencernaan (lambung dan usus) menunjukkan bahwa plankton negatif terinfeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) Ciri-ciri ikan kerapu tikus yang terinfeksi VNN yaitu ikan berenang di permukaan, berenang agak miring dan kehilangan keseimbangan, pergerakannya lemas, mata menonjol keluar dan berwarna merah kehitaman, tubuh berlendir serta warna tubuh tampak pucat dan beberapa ikan menunjukkan adanya penggelapan warna tubuh. Hasil identifikasi plankton pada perairan diperoleh jenis fitoplankton terdiri dari 5 Filum yaitu divisi Chlorophyta (3 genus), Phragmophyta (1 genus), Diatom (2 genus), Cyanophyta (1 genus) dan Bacillariophyta atau Chrysophyta (2 genus). Zooplankton terdiri dari 4 filum yaitu
ix
filum Arthropoda (7 genus), Mollusca (1 genus), Tracheophyta (1 genus) dan Rotifera (1 genus). Sedangkan plankton yang ditemukan pada lambung ikan kerapu sebagian besar bacilariophyta dan sebagian kecil cyanophyta dan phragmophyta. Plankton yang dikonsumsi ikan kerapu tikus tersebut mengandung beberapa asam amino (asam aspartat dan lisin) yang dimanfaatkan virus sebagai bahan utama dalam pembentukan struktur tubuhnya. Hasil pengukuran kualitas air diperoleh nilai suhu berkisar 27 – 280C, kecerahan 7,15 – 7,53 m, pH 7,8 – 8,1, DO 8,45 – 8,62 mg/L, CO2 0 mg/L, NO3 0,17 – 0,121 mg/L, PO4 0,001 – 0,004 mg/L, dan TOM 70,16 – 72,048 mg/L.
Kesimpulan penelitian ini yaitu status kualitas air pada keramba jaring apung pemeliharaan ikan kerapu masih dalam kondisi yang baik dan masih mendukung kehidupan organisme akuatik baik plankton, ikan kerapu tikus dan Viral Nervous Necrosis (VNN). Sedangkan berdasarkan hasil identifikasi plankton diperoleh bahwa plankton menunjukkan bahwa plankton negatif terinfeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) dan diindikasikan penyebaran Viral Nervous Necrosis (VNN) terjadi bukan karena faktor plankton yang ada di perairan keramba jaring apung tetapi secara vertikal yaitu penyebarannya dari induk ke larva. Oleh karena itu disarankan sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai vektor penyebaran VNN melalui uji mtDNA untuk mengetahui darimana asal usul induk kerapu tersebut.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat
serta hidayah – Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan penyusunan
proposal usulan Skripsi yang berjudul “ANALISIS PLANKTON PADA KERAMBA
JARING APUNG PEMELIHARAAN IKAN KERAPU (Cromileptes altivelis) YANG
TERINFEKSI VNN (Viral Nervous Necrosis)”. Proposal Usulan Skripsi ini
merupakan sarana untuk melaksanakan kegiatan Skripsi yang akan dilakukan di
Laboratorium Lingkungan dan Bioteknologi Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Brawijaya Malang.
Malang,7 Juli 2017
Penulis
xi
DAFTAR ISI
RINGKASAN ......................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ x
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiv
LAMPIRAN ............................................................................................................ xvi
1. PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................................... 3 1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................................... 3 1.5 Waktu dan Tempat Penelitian.................................................................................... 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 4 2.1 Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) ................................................................ 4
2.1.1 Klasifikasi ............................................................................................................... 4 2.1.2 Morfologi ................................................................................................................ 5 2.1.3 Habitat .................................................................................................................... 5 2.1.4 Reproduksi ............................................................................................................. 6 2.1.5 Makanan dan Kebiasaan Makan Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) 6 2.1.6 Kualitas Air Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) .................................... 7
2.2 Viral Nervous Necrosis (VNN) ................................................................................. 10 2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Viral Nervous Necrossis (VNN) ............................ 11 2.2.2 Gejala Klinis Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) ................................ 12 2.2.3 Mekanisme Infeksi dan Transmisi VNN .......................................................... 12 2.2.4 Penularan Viral Nerveous Necrosis (VNN)..................................................... 14
2.3 Polymerase Chain Reaction (PCR) ....................................................................... 16 2.4 Plankton ...................................................................................................................... 17
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN ............................................................... 20 3.1 Materi Penelitian ........................................................................................................ 20 3.2 Alat dan Bahan........................................................................................................... 20 3.3 Metode Penelitian ...................................................................................................... 20 3.4 Jenis Data ................................................................................................................... 20
3.4.1 Data Primer ......................................................................................................... 21 3.4.2 Data Sekunder .................................................................................................... 21
xii
3.5 Prosedur Pengambilan Sampel ............................................................................... 22 3.5.1 Prosedur Pengambilan Sampel Ikan ............................................................... 22 3.5.2 Prosedur Pengambilan Sampel Plankton ....................................................... 22
3.6 Prosedur Analisis Kualitas Air ................................................................................. 23 3.6.1 Parameter Fisika ................................................................................................ 23 3.6.2 Parameter Kimia ................................................................................................. 23 3.6.3 Parameter Biologi ............................................................................................... 25
3.7 Perhitungan Analisis Isi Lambung dan Usus Ikan Kerapu .................................. 29 3.8 Prosedur Pengujian PCR (Polymerase Chain Reaction) .................................... 30
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 32 4.1 Lokasi Umum Penelitian ........................................................................................... 32
4.1.1 Profil Pantai Sendang Biru, Malang, Jawa Timur .......................................... 32 4.1.2 Gambaran Lokasi Penelitian ............................................................................ 33
4.2 Hasil Analisis Ikan Kerapu Tikus ............................................................................. 34 4.2.1 Kondisi Morfologi Ikan Kerapu Tikus ............................................................... 34 4.2.2 Deteksi Viral Nervous Necrosis pada Ikan Kerapu dengan Teknik PCR .. 35
4.3 Hasil Analisis Kualitas Air ......................................................................................... 36 4.3.1 Parameter Fisika ................................................................................................ 37 4.3.2 Parameter Kimia ................................................................................................. 38
4.4 Komposisi Plankton Pada Keramba Jaring Apung............................................... 43 4.4.1 Komposisi Fitoplankton ..................................................................................... 43 4.4.2 Komposisi Zooplankton ..................................................................................... 47
4.5 Perhitungan Plankton ................................................................................................ 49 4.5.1 Kelimpahan Plankton ......................................................................................... 50 4.5.2 Indeks Keanekaragaman .................................................................................. 52 4.5.3 Indeks Dominansi ............................................................................................... 55
4.6 Status Kualitas Air dan Keberadaan Viral Nervous Necrosis (VNN) ................. 57
5. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 61 5.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 61 5.2 Saran ........................................................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 63
LAMPIRAN ............................................................................................................. 68
xiii
DAFTAR TABEL Tabel Halaman
1. Data Kelimpahan Fitoplankton ....................................................................................... 51
2. Data Kelimpahan Zooplankton ...................................................................................... 52
3. Data Indeks Keanekaragaman Fitoplankton ............................................................... 54
4. Data Indeks Keanekaragaman Zooplankton ............................................................... 55
5. Data Indeks Dominansi Fitoplankton ............................................................................ 56
6. Data Indeks Dominansi Zooplankton ............................................................................ 57
7. Alat dan Bahan Parameter Fisika.................................................................................. 68
8. Alat dan Bahan Parameter Kimia .................................................................................. 68
9. Alat dan Bahan Parameter Biologi ................................................................................ 69
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis)(Google image, 2017) ................................ 4
2. Viral Nervous Necrosis (VNN)(Google image, 2017) ................................................. 11
3. Tahapan virus RNA menginfeksi sel inang .................................................................. 13
4. Timbulnya penyakit akibat interaksi antara inang, patogen dan lingkungan .......... 15
5. Keramba Jaring Apung Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) ........................... 33
6. Keadaan Morfologi Ikan Kerapu Tikus yang Terinfeksi VNN .................................... 35
7. Grafik Nilai Pengukuran Suhu ....................................................................................... 37
8. Grafik Nilai Pengukuran Kecerahan.............................................................................. 38
9. Grafik Nilai Pengukuran pH ............................................................................................ 39
10. Grafik Nilai Pengukuran DO ......................................................................................... 39
11. Grafik Nilai Pengukuran Salinitas................................................................................ 40
12. Grafik Nilai Pengukuran Nitrat ..................................................................................... 41
13. Grafik Nilai Pengukuran Fosfat.................................................................................... 42
14. Grafik Nilai Pengukuran TOM ...................................................................................... 43
15. Hasil pengamatan Gonatozygon monotaenium ........................................................ 44
16. Gambar Hasil pengamatan Merismopedia sp ........................................................... 45
17. Gambar Hasil pengamatan Nitszchia sp .................................................................... 46
18. Gambar Hasil pengamatan Halosphaera viridis ....................................................... 46
19. Gambar Hasil pengamatan Eurytemora affinis ......................................................... 48
20. Gambar Hasil pengamatan Eurydice pukhra ............................................................ 49
xv
21. Gambar Hasil pengamatan Pseudocalanus minutus ............................................... 49
22. Aliran karbon, nutrien dan energi pada rantai makanan (Sheik, 2012) ................. 59
xvi
LAMPIRAN Lampiran Halaman
1 Tabel Alat dan Bahan Parameter Fisika, Kimia dan Biologi....................................... 68
2. Prosedur Pengujian Polymerase Chain Reaction (PCR) .......................................... 70
3. Peta Lokasi Penelitian ..................................................................................................... 77
4. Data Hasil Analisis Kualitas Air ..................................................................................... 77
5. Data Perhitungan Plankton ............................................................................................ 78
6. Data Perhitungan Plankton di Dalam Isi Usus dan Isi Lambung Ikan Kerapu Tikus Yang Terinfeksi VNN .......................................................................................... 79
7. Data Perhitungan Plankton di Dalam Isi Usus dan Isi Lambung Ikan Kerapu
Tikus Yang Sehat (Kontrol) ...........................................................................................79 8. Grafik Komposisi Plankton di Dalam Isi Usus dan Isi Lambung Ikan Kerapu
Tikus Yang Terinfeksi VNN ...........................................................................................80 9. Grafik Komposisi Plankton di Dalam Isi Usus dan Isi Lambung Ikan Kerapu
Tikus Yang Sehat (Kontrol) ...........................................................................................81 10. Plankton Yang Teridentifikasi Dalam Keramba Jaring Apung Ikan Kerapu
Tikus Yang Terinfeksi VNN ...........................................................................................82 11. Plankton Yang Teridentifikasi Dalam Isi Lambung Ikan Kerapu Tikus Yang
Terinfeksi VNN.................................................................................................................85 12. Plankton Yang Teridentifikasi Dalam Isi Usus Ikan Kerapu Tikus Yang
Terinfeksi VNN.................................................................................................................86 13. Plankton Yang Teridentifikasi Dalam Keramba Jaring Apung Ikan Kerapu
Tikus Yang Sehat (Kontrol) ...........................................................................................87 14. Dokumentasi Pengambilan Sampel ............................................................................ 90
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu potensi perairan laut yang sudah dikembangkan dan mulai
menunjukkan pasar internasional adalah ikan kerapu. Ikan kerapu tersebar luas di
perairan yang berkarang di daerah tropis maupun subtropis. Beberapa jenis ikan
kerapu yang sudah menjadi sasaran budidaya adalah kerapu tikus (Cromileptes
altivelis), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu sunu (Epinephelus
leopardus) dan kerapu lumpur (Epinephelus coioides). Jenis kerapu tersebut
memiliki nilai jual yang tinggi dan untuk proses budidayanya hanya diperlukan dan
digunakan komponen-komponen lokal. (Sudaryatma, 2012).
Sugama, et al. (2001) melaporkan ikan kerapu adalah komoditas perikanan
Indonesia yang diunggulkan dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, mempunyai
harga yang mahal serta merupakan komoditas ekspor. Saat ini budidaya ikan kerapu
sudah berkembang, maka perlu ketersediaan benih secara kontinu, untuk
mencukupi kebutuhan benih perlu adanya usaha pembenihan ikan kerapu, yang
teknologinya sudah dapat diaplikasikan.
Kendala yang terdapat pada budidaya ikan kerapu adalah penyakit. Salah satu
penyakit yang telah dilaporkan oleh para peneliti adalah Viral Nervous Necrosis
(VNN) yang dapat menyebabkan kematian massal pada ikan kerapu, terutama pada
stadia larva dan juvenil. Di Indonesia kejadian penyakit VNN ditemukan pertama kali
di daerah Banyuwangi pada budidaya kakap putih dan ikan kakap tersebut tampak
lesu, berenang berputar dengan perut di permukaan dan sering muncul ke
permukaan dengan berenang secara vertikal (Koesharyani et al., 1999).
2
Salah satu makhluk hidup yang dapat digunakan sebagai bahan
imunostimulan adalah alga. Secara biologis, alga merupakan kelompok tumbuhan
yang berklorofil terdiri dari satu atau banyak sel dan berbentuk koloni. Di dalam alga
terkandung bahan-bahan organik seperti hormon, vitamin, mineral, polisakarida dan
senyawa bioaktif. Budidaya mikroalga sangat menarik karena tingkat
pertumbuhannya yang tinggi, maupun menyesuaikan pada kondisi lingkungan yang
bervariasi (Meritasari et al, 2010).
Kualitas air yang buruk dapat meningkatkan terjadinya infeksi virus
diantaranya pada insang, lambung dan usus. Plankton merupakan pakan alami ikan
namun plankton juga dapat menjadi jembatan bagi virus untuk menyerang ikan.
Penting untuk mengetahui jenis plankton apa saja yang terdapat dalam keramba
jaring apung pemeliharaan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi
VNN (Viral Nervous Necrosis) apakah bersifat baik atau justru merugikan. Maka dari
itu penting untuk dilakukan penelitian mengenai analisis plankton pada keramba
jaring apung pemeliharaan ikan kerapu yang terinfeksi Viral Nervous Necrosis
(VNN). Sehingga mampu mengurangi penularan VNN dalam kegiatan budidaya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana jenis plankton yang teridentifikasi dan status kualitas air pada
keramba jaring apung pemeliharaan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis)
yang terinfeksi Viral Nervous Necrosis (VNN)?
2. Bagaimana Viral Nervous Necrosis (VNN) dapat menginfeksi ikan kerapu tikus
(Cromileptes altivelis)?
3
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis plankton yang
teridentifikasi di keramba jaring apung ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang
terinfeksi VNN dan kondisi status kualitas air pada keramba jaring apung
pemeliharaan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi VNN (Viral
Nervous Necrosis) serta mengetahui mekanisme VNN (Viral Nervous Necrosis)
menginfeksi ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis).
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1. Secara teoritis adalah untuk mengetahui jenis plankton yang teridentifikasi serta
status kondisi kualitas air pada keramba jaring apung pemeliharaan ikan kerapu
tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi VNN (Viral Nervous Necrosis).
2. Secara praktis adalah sebagai sumber informasi penelitian selanjutnya untuk
lebih mengidentifikasi jenis plankton yang merupakan faktor penyebar VNN (Viral
Nervous Necrosis).
1.5 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada Bulan April hingga Mei 2017 yang berlokasi di
Laboratorium Lingkungan dan Bioteknologi Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Brawijaya Malang untuk pengukuran kualitas air dan Balai
Karantina Ikan Kelas I Sidoarjo untuk uji Polymerase Chain Reaction (PCR).
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis)
2.1.1 Klasifikasi
Menurut Randall et al., (1993), klasifikasi ikan Kerapu Tikus adalah sebagai
berikut :
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Class : Osteichytes
Sub class : Actinopterigi
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Percoidea
Family : Serranidae
Genus : Cromileptes
Species : Cromileptes altivelis
Gambar 1. Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis)(Google image, 2017)
5
2.1.2 Morfologi
Ikan kerapu tikus ini memiliki tubuh agak pipih dan berwarna dasar kulit
tubuh abu-abu dengan bintik-bintik hitam diseluruh permukaan tubuh. Kepala
berukuran kecil dengan moncong agak meruncing. Karena kepala yang kecil mirip
bebek, maka jenis kerapu ini popular dengan julukan kerapu bebek. Namun, ada
pula yang menyebutnya sebagai kerapu tikus karena bentuk moncongnya yang
meruncing menyerupai moncong tikus. Ikan kerapu tikus digolongkan sebagai ikan
konsumsi bila bobot tubuhnya telah mencapai 0.5 – 2 kg/ekor (Kordi, 2001).
Kerapu memiliki bentuk mulut yang lebar serong keatas dengan bibir bawah
menonjol keatas. Rahang atas dan bawah dilengkapi dengan deretan gigi dua baris,
lancip dan kuat serta terdapat gigi terbesar di ujung luar bagian depan. Umumnya
ikan ini memiliki sirip ekor yang bulat (rounded). Dengan warna dasar sawo matang,
perut bagian bawah berwarna agak putih dan badannya memiliki bintik berwarna
merah kecoklatan. Tampak pula 4-6 baris warna gelap yang melintang hingga
ekornya. Badannya ditutupi oleh sisik sisik kecil mengkilap yang memiliki ciri loreng
(Fajriani, 2011).
2.1.3 Habitat
Ikan kerapu tersebar luas di perairan pantai baik di daerah tropis maupun
daerah sub tropis dan termasuk jenis ikan yang hidup diperairan karang sehingga
ikan ini juga sering disebut ikan karang (coral reef fish) (Aslianti, 2012). Daerah
penyebaran kerapu tikus meliputi Pasifik Barat meliputi Jepang Selatan, Republik
Palau, Pulau Guam, Kaledonia Baru, Oueensland Selatan Australia (Lieske dan
Robert, 1997).
Kondisi ekologi perairan berkarang antara lain memiliki suhu 24 - 31⁰C,
salinitas 30 - 33 ppt, kandungan oksigen terlarut lebih besar dari 3,5 ppm, dan pH air
6
antara 7,8 - 8 (Nybakken, 1988). Yushimitsu dan Hiramatsu, (1986) juga
menyatakan bahwa parameter ekologi yang cocok bagi pertumbuhan ikan kerapu
yaitu pada salinitas antara 30 - 33 ppt, suhu air antara 24 - 31⁰C , pH antara 7,8 - 8,
dan kandungan oksigen terlarut lebih dari 3,5 ppm.
2.1.4 Reproduksi
Hermaprodit adalah sifat yang dimiliki oleh kerapu tikus yaitu perubahan
kelamin (change sex) dari betina ke jantan dipengaruhi oleh ukuran, umur, dan
spesiesnya. Transformasi dari betina ke jantan ini memerlukan waktu yang cukup
lama dalam kondisi alami. Pada kerapu tikus, transisi dari betina ke jantan terjadi
setelah mencapai umur 2,0 - 2,5 tahun. Pada umur 1,5 - 2,5 tahun biasanya ikan
masih berkelamin betina. Adapun ikan - ikan yang berumur 2,5 tahun ke atas,
berkelamin jantan (Khordi dan Andi Tamsil, 2010).
Berdasarkan pengamatan mikroskopis, telur kerapu Tikus berbentuk bulat
tanpa kerutan, cenderung bergerombol pada kondisi tanpa aerasi, kuning telurnya
tersebar merata, telur transparan dengan diameter sekitar 850 mikron dan tidak
mempunyai rongga di dalam telur. Perkembangan embrional telur membutuhkan
waktu setidaknya 19 jam sejak pembuahan hingga penetasan, sel pertama terjadi 40
menit setelah pembuahan berikutnya setiap 15 - 30 menit sampai mencapai tahap
multisel selama 2 jam 25 menit, tahap berikutnya adalah brastula, gastula, neurula
dan embrio (Amirudin et al, 2012).
2.1.5 Makanan dan Kebiasaan Makan Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis)
Embrio, larva, juvenil, dewasa dan tua itu adalah lima periode ikan selama
hidupnya. Pada umumnya larva ikan terbagi atas dua tahap yaitu prolarva dan pasca
larva. Perkembangan prolarva dimulai dari larva baru menetas sampai kuning telur
habis terserap, sedangkan pasca larva dimulai dari kuning telur habis terserap
7
sampai terbentuk organ - organ tubuh atau larva telah menyerupai bentuk induknya
(Bulanin, 2003).
Ikan kerapu dikenal sebagai predator atau piscivorous yaitu pemangsa jenis
ikan - ikan kecil, zooplankton, udang - udangan invertebrate, rebon dan hewan-
hewan kecil lainnya. Ikan ini termasuk jenis karnivora dengan cara memangsanya
memakan satu per satu makanannya. Sedangkan untuk larva ikan kerapu pemakan
larva molusca (trokofor), rotifer, mikrocrustacea, copepod, dan zooplankton (Kordi,
2001). Ikan kerapu memiliki sifat buruk yaitu kanibalisme yang muncul pada larva
yang berumur 30 hari ketika pasokan makanan yang didapat tidak mencukupinya
(Antore et al, 1998).
Pemberian pakan ini sampai larva berumur 16 hari dengan penambahan
secara bertahap rotifera sampai kepadatan 5 - 10 ekor/ml fitoplankton 10 5 -2.10 5
sel/ml media. Umur 9 hari mulai diberi pakan naupli artemia yang baru menetas
dengan kepadatan 0,25 - 0,75 ekor/ml media, pakan diberikan sampai larva berumur
25 hari dengan peningkatan kepadatan mencapai 2 - 5 ekor/ml media. Umur 17 hari
larva dicoba diberi pakan artemia yang telah berumur 1 hari kemudian secara
bertahap diubah dari artemia berumur 1 hari ke artemia setengah dewasa dan
akhirnya artemia dewasa sampai larva berumur 50 hari. Setelah larva berumur 29 -
31 hari berubah menjadi benih aktif, menyerupai kerapu dewasa. Pada saat ini mulai
dicoba pemberian pakan dengan cincangan daging ikan.
2.1.6 Kualitas Air Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis)
Ikan kerapu tikus sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (fisika, kimia dan
biologi) di sekitarnya, seperti :
8
a. Suhu
Suhu merupakan parameter penting dalam lingkungan laut dan berpengaruh
secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan di laut. Suhu air
mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologi perairan. Pengaruh suhu secara
langsung menentukan kehadiran dari spesies akuatik, mempengaruhi pemijahan,
penetasan, aktivitas dan pertumbuhan organisme. Sedangkan secara tidak langsung
dapat menyebabkan perubahan kesetimbangan kimia. Suhu juga merupakan fungsi
dari kelarutan gas-gas dalam air laut dimana kelarutan akan meningkat pada saat
temperatur rendah (Sumich,1992).
Suhu tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan
gangguan status kesehatan untuk jangka panjang, misalnya stres yang ditandai
dengan tubuh lemah, kurus, dan tingkah laku abnormal. Pada suhu rendah, akibat
yang ditimbulkan antara lain ikan menjadi lebih rentan terhadap infeksi fungi dan
bakteri patogen akibat melemahnya sistem imun. Pada dasarnya suhu rendah
memungkinkan air mengandung oksigen lebih tinggi, tetapi suhu rendah
menyebabkan stres pernafasan pada ikan berupa menurunnya laju pernafasan dan
denyut jantung sehingga dapat berlanjut dengan pingsannya ikan-ikan akibat
kekurangan oksigen (Irianto, 2005). Menurut Sugama et al (2001) suhu optimum
untuk pertumbuhan ikan kerapu tikut berkisar antara 27-30⁰C.
b. Salinitas
Salinitas adalah jumlah gram garam terlarut dalam satu kilogram air laut dan
dinyatakan dalam satuan perseribu (Nybakken, 1992). Sedangkan menurut Boyd
(1982), menjelaskan bahwa salinitas adalah kadar seluruh ion-ion yang terlarut
dalam air. Komposisi ion-ion pada air laut dapat dikatakan mantap dan didominasi
9
oleh ion-ion tertentu seperti khlorida, karbonat, bikarbonat, sulfat, natrium, kalsium
dan magnesium.
Putra (2008) menyatakan bahwa salinitas yang ideal untuk pembesaran ikan
kerapu tikus adalah antara 28-33 ppt. Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan
(Nontji, 2002). pada umumnya nilai salinitas wilayah laut Indonesia berkisar antara
28-33‰.
c. Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hidrogen dalam perairan
dan menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. Karbonat, hidroksida
dan bikarbonat akan meningkatkan kebasaan air, sementara adanya asam-asam
mineral bebas dan asam bikarbonat meningkatkan keasaman (Saeni,1989). Derajat
keasaman air dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan. pH perairan yang rendah
(asam) dapat menyebabkan kematian pada ikan. Keadaan perairan yang memiliki
tingkat keasaman yang tinggi (basa) juga dapat berdampak pada terhambatnya
pertumbuhan ikan.). Dwiyanti (2006) mengatakan bahwa sebagian besar biota
akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7,0–8,5.
d. Oksigen Terlarut (DO)
DO menunjukkan banyaknya oksigen terlarut yang terdapat di dalam air yang
dinyatakan dalam ppm. Oksigen di perairan berasal dari proses fotosintesis dari
fitoplankton atau jenis tumbuhan air, dan melalui proses difusi dari udara
(APHA,1989). Oksigen merupakan faktor penting bagi kehidupan makro dan mikro
organisme perairan karena diperlukan untuk proses pernafasan. Sehingga apabila
ketersediaannya dalam air tidak mencukupi, maka segala aktivitas biota akan
terhambat (Apridayanti, 2005).
10
Secara keseluruhan kadar oksigen terlarut di perairan ini berkisar antara 3,46 -
6,25 ppm dengan rata-rata 4,73±0,76 ppm, relatif lebih rendah dibandingkan dengan
kadar oksigen terlarut di lapisan permukaan laut umumnya (Sutamihardja, 1978).
Menurut Amiruddin et al (2012), kisaran oksigen terlarut optimal untuk pemeliharaan
ikan kerapu tikus berkisar 4 - 4,49 ppm.
2.2 Viral Nervous Necrosis (VNN)
Viral Nervous Necrosis (VNN) adalah penyakit yang pada umumnya
menyerang para pembudidaya kerapu tikus. Penyakit ini merupakan jenis virus
Nodaviridae yang dapat menyebabkan kematian massal hingga 100% dalam
budidaya. Pada umumnya VNN menyerang ikan pada stadia larva dan juvenil.
Koesharyani et al. (2001) menjelaskan bahwa kematian yang disebabkan infeksi
VNN mencapai 100% pada stadia larva, tetapi tidak pada stadia juvenil dan
fingerling (ikan muda).
Pada umumnya, 3-5 hari setelah adanya gejala klinis ikan kerapu akan mati
(Roza et al., 2003). Infeksi virus penyebab VNN pada ikan yang dilakukan melalui
injeksi intra muskular sangat cepat menyebar dan menginfeksi inang melalui saraf
perifer yang ada di otot, masuk ke dalam sistem saraf pusat dan mata yang
mengakibatkan ikan kehilangan keseimbangan dalam berenang dan disfungsi visual.
Larva dan juvenil kerapu peka terserang VNN pada suhu 24,5°C-26°C yang
merupakan suhu optimal dalam proses infeksi VNN dan dapat menyebabkan
kematian pada umur 7-45 hari karena sistem saraf yang masih sederhana.
11
2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Viral Nervous Necrossis (VNN) Menurut Chi et al. (2001), Viral Nervous Necrossis (VNN) dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Virus
Divisio : RNA Virus
Class : Single standart (+) RNA Virus
Family : Nodaviridae
Genus : Betanodavirus
Spesies : Viral Nervous Necrossis (VNN)
Gambar 2. Viral Nervous Necrosis (VNN)(Google image, 2017)
Viral Nervous Necrosis (VNN) atau biasa disebut juga Viral Encephalopathy
dan Retinopathy (VER) adalah penyakit yang terdaftar oleh The Office International
des Epizooties (OIE), menjadi masalah utama di dalam produksi perikanan laut di
dunia. VNN termasuk dalam genus Betanodavirus yang berukuran kecil, virion
berbentuk bulat, tidak memiliki amplop, genomnya terdiri dari dua molekul rangkaian
positif ssRNA serta berdiameter 25-30 nm dan selalu menginfeksi sistem saraf. VNN
dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu Paramyxovirinae dan Rhabdoand
pneumovirues (Yukio, 2007).
12
2.2.2 Gejala Klinis Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis)
Gejala klinis ikan yang terserang virus VNN menunjukkan perilaku berenang
abnormal (memutar dan menabrak), mengapung dengan perut di atas disebabkan
adanya pembengkakan gelembung renang (swim bladder), warna tubuh lebih gelap,
nafsu makan menurun dan lemah. Infeksi pada larva dan juvenil dapat
menyebabkan kematian hingga 95% pada larva dan 30% pada juvenil. Infeksi pada
ikan umur 2-4 bulan menyebabkan ikan tampak diam/tidur di dasar kolam,
sedangkan ikan di atas umur 4 bulan akan terlihat berenang mengambang di atas
permukaan air disertai perbesaran gelembung renang. Ikan yang terinfeksi VNN
memperlihatkan gangguan saraf berupa nekrosis sel vakuolisasi (kerusakan) pada
jaringan saraf pusat (spinal cord), dan retina. Vakuolisasi pada stadium larva,
awalnya terjadi pada tulang belakang, spina (sirip punggung), kerusakan gelembung
renang, kemudian otak, dan retina (Andriyani, 2012).
Gejala klinis yang ditunjukkan ikan kerapu setelah terinfeksi Viral Nervous
Necrosis (VNN) yaitu nafsu makan menurun, menunjukkan tingkah laku berenang
yang tidak beraturan atau berenang memutar (whirling), gerak renang yang pasif,
ikan mengapung dengan perut di atas karena pembengkakan gelembung renang,
berada di dasar kolam terlihat seperti mati dan warna tubuh terlihat lebih gelap
(Amelia et al, 2012).
2.2.3 Mekanisme Infeksi dan Transmisi VNN
Menurut Lucianus (2003) dalam Rahayu (2016), Proses proliferasi virus terdiri
dari enam tahap. Pertama, virus melakukan penempelan atau attachment pada
permukaan sel inang. Kedua, tubuh virus masuk kedalam sel inang yang disebut
dengan tahap penetrasi. Ketiga, virus berada pada sitoplasma dimana pada tahap
ketiga (uncoating) yaitu virus akan melepaskan kapsid atau coat proteinnya dan
13
asam nukleatnya sehingga saling terpisah. Keempat, merupakan tahap biosentesa
yang terdiri dari tahap produksi protein-protein struktural virus dan enzim-enzim
serta replikasi genom virus. Proses biosintesa dimulai dengan replikasi virus RNA
menggunakan enzim RNA-dependent RNA polymerase dimana tahap ini terjadi
didalam sitoplasma inang. Pada tahap ini juga terjadi pembuatan mRNA yang
selanjutnya mRNA akan ditranslasikan untuk membuat protein-protein struktural dan
enzim yan dibutuhkan oleh virus. Kelima, disebut dengan tahap maturasi dimana
pada tahap ini diawali dengan perakitan protein kapsid yang diikuti dengan
packaging genom virus. Keenam, release atau pelepasan dimana pada tahap ini
virus melepaskan diri dari sel inang melalui membran plasma dan kemudian sel
inang akan mati (Gambar 3).
Gambar 3. Tahapan virus RNA menginfeksi sel inang
(Roberts, 2012 dalam Rahayu, 2016)
14
Beberapa penelitian menunjukan bahwa mekanisme Infeksi Viral Nervous
Necrossis (VNN) masuk dan menyebar dalam tubuh ikan tidak begitu diketahui.
Keberadaan virus pada masing-masing organ biasanya tergantung pada jalur infeksi
(Prihartini, 2015). Menurut Grotmol et al. (2009) dalam Prihartini (2015), Distribusi
VNN yang diuji tantang virus dengan cara perendaman pada larva halibut atlantik
menunjukan bahwa hasil virus yang terdeteksi pada usus anteri, spinal cord dan
otak pada Hari ke-18 dan di retina, hati dan insang pada hari ke-20. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa nodavirus tidak hanya dapat bereplikasi pada Central Nerveous
system (CNS) meskipun jaringan syaraf merupakan target utama.
Berdasarkan penelitian Nguyen et al. (1996) dalam Prihartini (2015), proses
masuknya VNN pada tubuh ikan Stiped jack, pada tahap awal infeksi virus, VNN
terdeteksi pada sel-sel epitel sisik dan sel-sel epitel usus bersamaan dengan sel-sel
syaraf pada Central Nerveous system (CNS). Virus dapat membuat akses menuju
CNS melalui syaraf perifer dengan dua cara yaitu jaringan automatic nerveous yang
melalui saluran pencernaan dan menuju jaringan syaraf sensorik dan atau syaraf
motorik menuju sel-sel epitel pada kulit.
2.2.4 Penularan Viral Nerveous Necrosis (VNN)
Sakit pada ikan umumnya timbul akibat interaksi dari 3 faktor, yakni inang,
patogen dan lingkungan. Walaupun keberadaan patogen terdeteksi di media
pemeliharaan, wabah penyakit tidak akan timbul kecuali kualitas lingkungan
terdegradasi dan menjadi salah satu faktor stress bagi ikan (Gambar 4).
15
(A) (B)
Gambar 4. (A).Timbulnya penyakit akibat interaksi antara inang, patogen dan lingkungan, (B) Interaksi antara inang, pathogen dan lingkungan (Novriadi et al.,2007)
Menurut Usman (2007) dalam Novriadi et al. (2014), virus adalah faktor biotik
yang merugikan ikan di dalam ekosistem karena merupakan organisme yang hidup
dan memperoleh makanan dari host (inang) yang ditumpanginya. Terdapat faktor
nonbiotik yang dapat memicu terjadinya penyakit, antara lain:
a) Faktor lingkungan; Diantara faktor lingkungan yang dapat merugikan kesehatan
ikan ialah pH air yang terlalu tinggi atau rendah, kandungan oksigen yang rendah,
temperatur yang berubah secara tiba-tiba, adanya gas beracun serta kandungan
racun yang berada di dalam air yang berasal dari pestisida, pupuk, limbah pabrik ,
limbah rumah tangga dan lain-lain.
b) Pakan. Penyakit dapat timbul karena kualitas pakan yang diberikan tidak baik.
Gizi rendah, kurang vitamin, busuk atau telalu lama disimpan serta pemberian
pakan yang tidak tepat.
c) Genetik. Penyakit genetis atau turunan dapat berupa bentuk tubuh yang tidak
normal dan pertumbuhan yang lambat.
Penularan terjadi secara horizontal melalui kontak antara ikan sakit dengan
ikan sehat terjadi selama kurang lebih 4 hari. Selain itu, penularan dapat terjadi
secara vertikal terhadap anakan yang diinfeksikan oleh ikan-ikan yang lebih besar
16
sebagai karier. Penularan vertikal dicurigai melalu induk-induk yang positif virus
(Kurniawan, 2012).
2.3 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Reaksi berantai polymerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah suatu
metode enzimatis untuk amplifikasi DNA dengan cara in vitro. PCR ini pertama kali
dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary B. Mullis. Amplifikas DNA pada PCR
dapat dicapai bila menggunakan primer oligonukleotida yang disebut amplimers.
Primer DNA suatu sekuens oligonukleotida pendek yang berfungsi mengawali
sintesis rantai DNA. PCR memungkinkan dilakukannya pelipatgandaan suatu
fragmen DNA. Umumnya primer yang digunakan pada PCR terdiri dari 20-30
nukleotida. DNA template (cetakan) yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan
dan berasal dari patogen yang terdapat dalam spesimen klinik. Enzim DNA
polimerase merupakan enzim termostabil Taq dari bakteri termofilik Thermus
aquaticus. Deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) menempel pada ujung 3’ primer
ketika proses pemanjangan dan ion magnesium menstimulasi aktivasi polymerase
(Yusuf,2010).
Pada proses PCR diperlukan beberapa komponen utama yaitu (a) DNA
cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan. DNA cetakan yang
digunakan sebaiknya berkisar antara 105 – 106 molekul. Dua hal penting tentang
cetakan adalah kemurnian dan kuantitas, (b) Oligonukleotida primer, yaitu suatu
sekuen oligonukleotida pendek (18 – 28 basa nukleotida) yang digunakan untuk
mengawali sintesis rantai DNA. Dan mempunyai kandungan G + C sebesar 50 –
60%, (c) Deoksiribonukelotida trifosfat (dNTP), terdiri dari dATP, dCTP, dGTP,
dTTP. dNTP mengikat ion Mg2+ sehingga dapat mengubah konsentrasi efektif ion.
Ini yang diperlukan untuk reaksi polimerasi, (d) Enzim DNA Polimerase, yaitu enzim
17
yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Enzim ini diperoleh dari
Eubacterium yang disebut Thermus aquaticus, spesies ini diisolasi dari taman
Yellowstone pada tahun 1969. Enzim polimerase tak tahan terhadap pemanasan
berulang-ulang yang akan membantu melepaskan ikatan primer yang tidak tepat dan
meluruskan wilayah yang mempunyai struktur sekunder. Dan komponen pendukung
lain adalah senyawa buffer. Larutan buffer PCR umumnya mengandung 10 – 50mM
Tris-HCl pH 8,3-8,8 (suhu 20o C); 50 mM KCl; 0,1% gelatin atau BSA (Bovine
Serum Albumin); Tween 20 sebanyak 0,01% atau dapat diganti dengan Triton X-100
sebanyak 0,1%; disamping itu perlu ditambahkan 1,5 mM MgCl2 (Yusuf, 2010).
Proses PCR memerlukan sejumlah siklus yang mengamflikasi suatu skuen
DNA spesifik. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap yaitu denaturasi, annealing
(hibridisasi), dan ekstensi (polimerasi). Denaturasi dilakukan pada suhu 90-950C,
sehingga terjadi pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal. DNA
menjadi cetakan (template) tempat penempelan primer dan tempat kerja DNA
polimerase. Pada tahap annealing, suhu diturunkan sampai mencapai 550C atau
sesuai melting temperature (Tm) dari primer Oligonukleutida untuk penempelan
primer Oligonukleutida pada sekuen yang komplementer pada molekul DNA
cetakan. Tahap selanjutnya adalah ekstensi yang dilakukan pada suhu 720C. Suhu
ini merupakan suhu optimum untuk kinerja enzim Taq DNA polimerase. Pada tahap
ini Taq DNA polimerase mengkatalis reaksi penambahan mononukleoutida pada
primer yang sesuai dengan utas DNA komplemen yang berada di sebelahnya (Erlich
1989 dalam Andriyani, 2012).
2.4 Plankton
Menurut Davis (1955), plankton merupakan organisme baik hewan maupun
tumbuhan yang hidup mengapung, mengambang atau melayang-layang di dalam air
18
yang pergerakannya sangat terbatas sehingga selalu terbawa hanyut oleh arus air.
Plankton memiliki sifat umum, diantaranya dapat bergerak sedikit dengan bantuan
cilia/ flagel tetapi tidak mempunyai daya menentang arus atau dikalahkan oleh
gerakan air. Selain itu, plankton adalah organisme melayang-layang, hal ini dapat
terjadi karena plankton dapat mengatur berat jenis tubuhnya agar sama dengan
berat jenis air dengan cara menambah atau mengurangi vakuola, cadangan
makanan berupa zat lemak atau minyak, serta melakukan perpanjangan atau
perpendekan chaeta (Nyabaken 1992 dalam Susanti, 2010)
Menurut Barus (2002), berdasarkan ukuran tubuhnya plankton dibagi menjadi
lima, yaitu:
1) Ultraplankton, memiliki ukuran tubuh < 2µm
2) Nanoplankton, memiliki ukuran tubuh 2 – 20 µm
3) Mikroplankton, memiliki ukuran tubuh 20 – 200 µm
4) Makroplankton, memiliki ukuran tubuh > 500 µm
5) Megaplankton, memiliki ukuran tubuh yang sangat besar seperti medusa yang
merupakan kelompok plankton sangat jarang ditemukan dan pada umumnya
hidup di laut.
Plankton ada yang hidup di air laut dan di air tawar. Plankton yang hidup di
perairan tawar dibagi menjadi dua kelompok yaitu limnoplankton dan rheoplankton.
Limnoplankton adalah plankton yang hidup di perairan tawar yang menggenang.
Rheoplankton adalah plankton yang hidup di perairan tawar yang mengalir (Davis,
1955).
Plankton berdasarkan jenisnya dibagi menjadi dua yaitu fitoplankton dan
zooplankton. Fitoplankton merupakan tumbuhan mikroskopis yang hidup melayang-
layang di perairan. Fitoplankton memegang peran penting dalam ekosistem perairan
19
karena adanya kandungan klorofil pada plankton mampu melakukan oroses
fotosintesis. Fitoplankton dapat ditemukan di seluruh masa air mulai dari permukaan
sampai pada kedalaman dengan intensitas cahaya yang memungkinkan terjadinya
fotosintesis. Selain sebagai sumber makanan untuk organisme lainnya, fitoplankton
juga berperan sebagai pemasok oksigen melalui proses fotosintesis (Odum, 1993).
Reaksi fotosintesis:
Kelompok fitoplankton yang biasanya mendominasi di perairan tawar adalah
diatom, chlorophyta dan cyanophyta (Barus, 2004 dalam faza, 2012). Jenis umum
yang biasa ditemukan di perairan tawar antara lain: Pediastrum sp.; Scenedesmus
sp.; Crucigenia sp.; Ankristodesmus sp.; dan Ceratium sp. (Susanti, 2010).
Zooplankton merupakan organisme plankton yang memiliki sifat heterotrofik
yang tergantung pada meteri organik baik berupa fitoplankton maupun detritus.
Umumnya zooplankton memiliki ukuran 0,2 – 2 mm (Nontji, 2006). Zooplankton
merupakan organisme herbivora yang berperan mengontrol kelimpahan fitoplankton.
Hal ini menunjukan bahwa zooplankton memiliki peran sebagai penghubung antara
produsen primer dan organisme karnivora (Nyabakken, 1988). Zooplankton banyak
ditemukan di perairan yang berkecepatan arus rendah dan memiliki kekeruhan yang
rendah pula.
Menurut Barus (2002), kelompok zooplankton yang banyak ditemukan di
ekosistem perairan adalah jenis Crustacea (Copepoda dan Cladosera) serta
Rotifera. Protozoa juga merupakan kelompok zooplankton yang banyak ditemukan
di perairan. Beberapa contoh zooplankton antara lain: Achanthocystys sp.; Volvox
sp.; Euglena sp.; Cyclops sp
6 CO2 + 6 H2O + sinar matahari C6H12O6 + O2
20
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian
Materi penelitian ini yaitu mengenai komunitas plankton pada keramba jaring
apung pemeliharaan ikan kerapu yang terinfeksi Viral Nervous Necrossis (VNN)
meliputi uji ikan yang terinfeksi Viral Nervous Necrossis (VNN), klasifikasi plankton,
kelimpahan plankton berdasarkan indeks keragaman dan indeks dominasi serta
pengukuran kualitas air meliputi parameter fisika yaitu suhu dan kecerahan dan
parameter kimia yaitu pH, Dissolved Oxygen (DO), Nitrat (NO3), Orthophosphate,
salinitas dan TOM.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan parameter fisika, kimia dan biologi yang digunakan dalam
penelitian ini disajikan pada Lampiran 1.
3.3 Metode Penelitian Metode yang digunakan pada Penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut
Hadari Nawawi (1983) menyatakan bahwa, “Metode Deskriptif dapat diartikan
sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan /
melukiskan keadaan subyek / obyek penelitian (seseorang, lembaga, dan lain-lain)
pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagainya”.
3.4 Jenis Data
Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Jenis data ini dikelompokan berdasarkan sumber data. Data primer didapatkan
melalui observasi, wawancara dan dokumentasi, sedangkan sekunder berupa studi
literature,buku, jurnal, artikel dan lain sebagainya.
21
3.4.1 Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara
langsung dari sumber data utama. Data primer disebut juga sebagai data asli atau
data baru yang memiliki sifat up to date. Untuk mendapatkan data primer, peneliti
harus mengumpulkannya secara langsung. Teknik yang dapat digunakan peneliti
untuk mengumpulkan data primer antara lain observasi, wawancara, dan
penyebaran kuesioner (Aedi, 2010).
Pengambilan data primer dalam penelitian ini meliputi identifikasi ikan kerapu
(Cromileptes altivelis) yang terinfeksi Viral Nervous Necrossis (VNN), indentifikasi
komunitas plankton dan pengukuran kualitas pada keramba jaring apung
pemeliharaan ikan kerapu (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi Viral Nervous
Necrossis (VNN).
3.4.2 Data Sekunder
Data Sekunder adalah data sekunder yang telah diolah lebih lanjut dan
disajikan dengan baik oleh pihak pengumpul data primer atau pihak lain.
(Wandansari, 2013).
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari segala
informasi yang berhubungan dengan penelitian tentang identifikasi komunitas
plankton pada keramba jaring apung pemeliharaan ikan kerapu (Cromileptes
altivelis) yang terinfeksi Viral Nervous Necrosis (VNN). Informasi yang digunakan
tersebut diperoleh dari studi literatur yang berasal dari situs internet, jurnal nasional
maupun internasional, buku dan laporan skripsi yang terdapat di ruang baca
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan maupun yang terdapat di perpustakaan
lainnya.
22
3.5 Prosedur Pengambilan Sampel
Prosedur pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu meliputi pengambilan
sampel air, pengambilan sampel ikan dan pengambilan sampel plankton.
3.5.1 Prosedur Pengambilan Sampel Ikan
Prosedur pengambilan sampel ikan kerapu dilakukan dengan mengambil
beberapa sampel ikan kerapu untuk analisis gejala klinis VNN dan analisis PCR.
Prosedur pengambilan sampel ikan kerapu adalah sebagai berikut:
1) Mengambil sampel ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) pada keramba jaring
apung dilakukan dengan menggunakan jaring.
2) Mengambil sampel ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang memiliki gejala
klinis terinfeksi VNN.
3) Memasukkan sampel ikan ke dalam plastik yang telah disediakan untuk proses
transportasi dari keramba jaring apung ke laboratorium agar bisa dianalisis lebih
lanjut.
4) Melakukan analisis PCR.
3.5.2 Prosedur Pengambilan Sampel Plankton
Pengambilan sampel plankton dilakukan sebanyak tiga titik dengan tiga kali
ulangan di mana pengukuran dilakukan setiap minggunya. Prosedur pengambilan
sampel plankton pada keramba jaring apung pemeliharaan ikan kerapu yang
terinfeksi Viral Nervous Necrosis adalah sebagai berikut:
1) Mengambil 25 Liter air laut pada 3 titik berbeda sebanyak 5 liter di setiap titiknya
2) Meyaring air laut menggunakan planktonet nomor 25.
3) Mengendapkan plankton pada ujung planktonet menggunakan botol film.
4) Menambahkan larutan lugol sebanyak 3 tetes.
23
3.6 Prosedur Analisis Kualitas Air
Parameter kualitas air yang dianalisis pada penelitian ini meliputi parameter
fisika, kimia, dan biologi. Parameter fisika yang diukur yaitu suhu. Parameter kimia
yang diukur yaitu pH, salinitas, oksigen terlarut dan nitrat. Sedangkan parameter
biologi yang diukur yaitu plankton baik fitoplankton maupun zooplankton. Adapun
prosedur analisis pengukuran kualitas air pada keramba jaring apung ikan kerapu
yang terinfeksi VNN adalah sebagai berikut :
3.6.1 Parameter Fisika
Adapun prosedur pengukuran parameter fisika yang meilputi pengukuran suhu
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a) Suhu
Cara pengukuran suhu perairan menurut Armita (2011) di ukur dengan
menggunakan thermometer yaitu dengan cara:
1. Termometer dicelupkan sampai 3/4 bagian kedalam air.
2. Termometer didiamkan beberapa menit sampai dapat dipastikan tanda
penunjuk skala berada dalam kondisi tidak bergerak.
3. Kemudian menentukan nilai suhu yang ditunjukkan pada thermometer.
4. Hasil dicatat sebagai nilai suhu.
3.6.2 Parameter Kimia Adapun prosedur pengukuran parameter kimia yang meliputi pH, salinitas,
oksigen terlarut dan nitrat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) pH
pH air diukur dengan menggunakan pH meter atau kertas lakmus menurut
Armita (2011) dengan cara:
24
1. air sampel diambil secukupnya kedalam botol.
2. kertas lakmus dimasukkan ke dalam air sampel.
3. kertas lakmus diangkat dan dikeringkan kemudian dicocokkan pada kotak
standar pH dan dicatat hasilnya.
b) Salinitas
Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan alat refraktometer,
adapun cara pengukuran salinitas menurut Kordi (2005) adalah:
1. Mengangkat penutup kaca prisma.
2. Meletakkan 1-2 tetes air yang akan diukur.
3. Menutup kembali denganhati-hati agar jangan sampai terjadi gelembung udara
dipermukaan kaca prisma.
4. Melihat kaca pengintai dan akan terlihat pada lensa nilai atau salinitas dari air
yang sedang diukur
5. Membersihkan permukaan prisma setelah selesai digunakan
6. Melihat nilai salinitasnya dari air yang diukur melalui kaca pengintai.
c) Oksigen terlarut (DO)
Oksigen terlarut dengan metode elektrokimia adalah langsung untuk
menentukan oksigen terlarut dengan alat DO meter prinsip kerjanya menurut Salmin
(2005) adalah:
1. Menggunakan probe oksigen yang terdiri dari katoda dan anoda yang direndam
dalam larutan elektrolit. Pada alat DO meter, probe ini biasanya menggunakan
katode perak (Ag) dan anoda timbal (Pb) secara keseluruhan, elektroda ini
dilapisi dengan membran plastik yang bersifat semi permiabel terhadap oksigen.
2. Probe yang menggunakan katoda perak (Ag) dan anoda timbal (Pb)
dimasukkan kedalam sampel air.
25
3. Ditunggu hasil yang ditunjukkan pada DO meter beserta nilai suhu yang ada.
d) Nitrat (NO3) Menurut Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan (2015) prosedur analisis
nitrat (NO3) pada perairan di lokasi penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menyaring 25 ml sampel dan tuangkan ke dalam cawan porcelain.
2. Memanaskan cawan berisi sampel sampai kering dengan hati-hati dan
didinginkan setelah terbentuk kerak
3. Menambahkan 1 ml asam fenol disulfonik, aduk dengan spatula
4. Mengencerkan dengan 10 ml aquades
5. Menambahkan dengan meneteskan NH4OH (1:1) sampai terbentuk warna.
6. Mengencerkan dengan aquades sampai 25 ml. kemudian masukkan dalam cuvet.
7. Membandingkan dengan larutan standar pembanding yang telah dibuat,baik
secara visual atau dengan spektrofotometer (pada panjang gelombang 410 µm).
3.6.3 Parameter Biologi
Adapun prosedur pengukuran parameter biologi yang meliputi prosedur
pengambilan sampel plankton, identifikasi plankton dan perhitungan plankton dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
a) Prosedur Pengambilan Sampel Plankton
Pengambilan sampel plankton dilakukan sebanyak tiga titik dengan tiga kali
ulangan selama tiga minggu di mana pengukuran dilakukan setiap minggunya.
Menurut Herawati & Kusriani (2005), prosedur pengambilan sampel fitoplankton
pada lokasi penelitian adalah sebagai berikut:
1. Memasang botol film pada plankton net no.25 (mesh size 64).
26
2. Mengambil sampel air sebanyak 25 liter dan mencatat jumlah air yang disaring
tersebut sebagai (W).
3. Menyaring sampel air dengan plankton net sehingga konsentrat plankton akan
tertampung dalam botol film, dicatat sebagai (V).
4. Memberi lugol sebanyak 3-4 tetes untuk pengawetan serta mempertahankan
warna dan bentuk pada sampel plankton dalam botol film untuk preservasi
sampel sebelum pengamatan genus dan kelimpahan plankton.
5. Memberi label pada botol film yang berisi sampel plankton.
b) Identifikasi Plankton
Tahapan selanjutnya setelah sampel plankton diperoleh, maka dilakukan
pengamatan dengan menggunakan mikroskop. Mikoroskop yang dapat digunakan
untuk pengamatan plankton yaitu menggunakan mikroskop cahaya (light
microscope). Adapula mikroskop lensa okuler ganda (binocular) dengan
pembesaran 100 sampai 1000 kali yang mampu menunjang proses identifikasi
plankton dalam perairan. Beberapa mikroskop dilengkapi dengan fasilitas kamera
sehingga mampu dilihat secara otomatis dengan layar (Nontji, 2008).
Menurut Herawati & Kusriani (2005), prosedur identifikasi fitoplankton sebagai
berikut:
1. Mengambil obyek glass dan cover glass.
2. Mencuci dengan aquadest.
3. Mengeringkan dengan tissue, cara mengeringkannya dengan mengusap secara
searah.
4. Mengambil botol film yang berisi sampel plankton dan mengaduk.
5. Mengambil sampel dari botol film dengan pipet tetes sebanyak 1 tetes.
27
6. Meneteskan pada obyek glass dan menutup dengan cover glass, dengan sudut
kemiringan saat menutup 45ºC.
7. Mengamati di bawah mikroskop dimulai dengan perbesaran terkecil sampai
terlihat gambar organisme pada bidang pandang.
8. Menulis ciri-ciri plankton serta jumlah plankton (n) yang di dapat dari masing-
masing bidang pandang.
9. Mengidentifikasi dengan bantuan buku Davis (1955).
c. Kelimpahan Plankton
Menurut Herawati dan Kusriani (2005), penentuan kelimpahan fitoplankton
dapat dilakukan menggunakan metode “Lackey Drop” dengan satuan individu/liter :
Keterangan: N = Kelimpahan plankton (ind/ liter)
n = Jumlah plankton pada setiap lapang pandang
T = Luas cover glass (20 x 20 mm)
L = Luas satu lapang pandang (𝜋𝑟2 mm2)
V = Volume botol film (ml)
v = Volume 1 tetes air sampel (ml)
p = Jumlah lapang pandang
W = Volume air yang disaring oleh plankton net (L)
N =T x V
L x v x p x W x n
28
d. Indeks Keanekaragaman (H')
Indeks Keanekaragaman adalah indeks yang menunjukkan tingkat
keanekaragaman jenis organisme yang ada dalam suatu komunitas. Perhitungan
indeks keanekaragaman dengan menggunakan persamaan indeks Shannon-
Weaver sebagai berikut (Sournia, 1978). Indeks Keanekaragaman dihitung
menggunakan persamaan Shanon-Wiener :
Keterangan:
H’ = Indeks Keanekaragaman
Pi = ni/N
ni = Jumlah individu jenis ke – i
N = Jumlah total individu
Menurut Utami (2001), bahwa terdapat kriteria indeks keanekaragaman yang
dibagi menjadi 3 kategori yaitu :
H' < 1 = Keanekaragaman jenis rendah
1 < H' < 3 = Keanekaragaman jenis sedang
H' > 3 = Keanekaragaman jenis tinggi
e. Indeks Dominasi
Indeks Shannon-Wiener digunakan untuk menghitung indeks
keanekaragaman jenis,indeks dominansi jenis dan indeks keseragaman. Indeks
dominansi jenis dihitung dengan rumus di bawah ini.
H’ = i-∑ Pi.ln Pi i=0
D = Σ [ni/N]2
29
Keterangan:
ni = jumlah individu genus ke-i
N = Total individu seluruh genera
Menurut Utami (2001), bahwa dalam penilaian indeks dominasi ada dua kriteria.
Adapun kriteria nilai indeks dominasi yaitu apabila nilai indeks dominasi 0 < D < 1,15
maka tidak terdapat jenis plankton yang mendominasi. Sedangkan apabila nilai
indeks dominasi 1,15 < D < 2,30 maka dalam suatu perairan terdapat jenis plankton
yang mendominasi.
f. Perhitungan Keseragaman
Indeks Shannon-Wiener digunakan untuk menghitung indeks
keanekaragaman jenis, indeks dominansi jenis dan indeks keseragaman. Indeks
keseragaman dihitung dengan rumus di bawah ini.
Keterangan:
E = indeks keseragaman
H’ = Indeks keanekaragaman
Hmax = Indeks keanekaragaman maksimum
S = Jumlah jenis
3.7 Perhitungan Analisis Isi Lambung dan Usus Ikan Kerapu
Perhitungan isi lambung dan usus ikan kerapu bertujuan untuk mengetahui
prosentase plankton yang dikonsumsi oleh ikan kerapu. Perhitungan dilakukan
E = H’/Hmax
Hmax = Log2S
30
dengan rumus Indeks of Propoderance (IP). Effendi (1978) menyatakan bahwa
Indeks of Propoderance (IP) melakukan perhitungan dengan rumus dibawah ini
IP = Indeks of Proponderance (Indeks Bagian Terbesar)
Vi = Presentase jumlah satu jenis makanan
Oi = Persentase frekuensi kejadian satu jenis makanan
ΣVixOi = Jumlah Vi x Oi dari semua jenis makanan
Vi dilakukan perhitungan dengan rumus dibawah ini:
Oi dilakukan perhitungan dengan rumus dibawah ini:
Berdasarkan kuantitas makanan yang di konsumsi maka
makanan dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu sebagai berikut:
IP > 25 % sebagai makanan utama
IP 5 - 25 % sebagai makanan pelengkap
IP < 5 % sebagai makanan Tambahan
3.8 Prosedur Pengujian PCR (Polymerase Chain Reaction)
Pengujian PCR dilakukan untuk mengetahui ikan sampel positif atau negatif
terinfeksi VNN. Adapun prosedur pengujian Polymerase Chain Reaction (PCR) yang
dilakukan pada penelitian tentang analisis kualitas air dan gambaran
IP = Vi x Oi x 100
ΣVixOi
𝑉𝑖 = 𝛴𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝛴𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠𝑥 100%
𝑂𝑖 = 𝛴𝐿𝑎𝑚𝑏𝑢𝑛𝑔 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑖𝑠𝑖 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛
𝛴𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑙𝑎𝑚𝑏𝑢𝑛𝑔 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑖𝑠𝑖 𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛𝑥 100%
31
histopatologi ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi Viral Nervous
Necrosis (VNN) dapat dilihat pada (Lampiran 2).
32
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Lokasi Umum Penelitian
Penelitian ini berlokasi pada salah satu pantai di Provinsi Jawa Timur yaitu
pantai sendang biru yang berada di wilayah desa Tambak Rejo, Kecamatan Sumber
Manjing Wetan, Kabupaten Malang. Lokasi penelitian ini dipilih berdasarkan atas
survei mengenai daerah yang memiliki kegiatan budidaya ikan kerapu yang
menunjukkan adanya kematian ikan.
4.1.1 Profil Pantai Sendang Biru, Malang, Jawa Timur
Pantai Sendang Biru adalah satu lagi pantai yang terletak di Kabupaten
Malang. Tepatnya di 30 Km bagian selatan Malang, Sendang biru berada di
kecamatan Sumbermanjing Wetan. Pantai Sendang Biru berpotensi sebagai obyek
wisata yang sangat indah yang bisa dikunjungi. Di samping itu, bagi mereka yang
ingin menyebrang ke pulau Sempu, pasti harus melewati pantai Sendang Biru
terlebih dahulu. Dengan adanya pulau Sempu ini, membuat pantai Sendang Biru
memiliki ombak yang tidak terlalu besar layaknya pantai laut selatan lainnya.
Pantai Sendang Biru ini juga dikenal sebagai tempat pendarat dan pelelang
ikan di Malang. Dinamakan pantai Sendang Biru karena di pantai ini terdapat
sumber mata air yang biasa disebut sebagai sendang, dan berwarna biru. Saat ini,
secara resmi pantai Sendang Biru dikelola oleh perusahaan negara milik Forestay.
Untuk itu, terdapat beberapa fasilitas untuk menunjang pariwisata di Sendang Biru
seperti, penginapan, guess house, rumah jaga dan persewaan perahu. Untuk
mencapai pantai ini, para pengunjung bisa menggunakan kendaraan pribadi seperti
mobil dan motor, juga kendaraan umum. Untuk kendaraan umum bisa diakses
menggunakan Mikrolet jurusan Gadang – Turen – Sendang Biru
33
Secara administrasi perairan Sendang Biru berada di wilayah Desa Tambak
Rejo, Kecamatan Sumber Manjing Wetan, Kabupaten Malang. Sedangkan letak
geografisnya adalah 08°37` - 08°41` LS dan 112°35` - 112°43` BT dengan
ketinggian 0 – 100 m di atas permukaan laut. Secara administrasi perairan Sendang
Biru berada diwilayah Desa Tambak Rejo, Kecamatan Sumber Manjing Wetan,
Kabupaten Malang. Sedangkan letak geografisnya adalah 08°37` - 08°41` LS dan
112°35` - 112°43` BT dengan ketinggian 0 – 100 m di atas permukaan laut. Batas
administrasi perairan Sendang Biru adalah sebagai berikut :
Sebelah Barat : berbatasan dengan Desa Sitiarjo
Sebelah Utara : berbatasan dengan Desa Kedung Banteng
Sebelah Timur : berbatasan dengan Desa Tambak Asri
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Samudera Indonesia
4.1.2 Gambaran Lokasi Penelitian
Gambar 5. Keramba Jaring Apung Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis)
(Dokumentasi Pribadi, 2017).
. Keramba jaring apung pemeliharaan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis)
yang terinfeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) dapat dilihat pada Gambar 5.
Penelitian ini dilakukan di salah satu keramba jaring apung milik Bhakti Alam yang
berlokasi di Jalan Raya Sendang Biru RT.27 RW.03, Desa Tambak Rejo,
34
Kecamatan Sumber Manjing Wetan, Kabupaten Malang. Keramba jaring apung
pemeliharaan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) berada di teluk pantai
sendang biru yang ada didepan pulau sempu. Peta lokasi penelitian dapat dilihat
pada Lampiran 3.
4.2 Hasil Analisis Ikan Kerapu Tikus
Sampel ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang diambil merupakan ikan
yang menunjukkan adanya gejala terinfeksi virus khususnya Viral Nervous Necrosis
(VNN). Selanjutnya sampel ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang diperoleh
kemudian dilakukan analisis terhadap morfologi dan dilakukan deteksi virus dengan
analisis PCR. Organ tubuh ikan kerapu tikus yang dianalisis untuk deteksi Viral
Nervous Necrosis (VNN) yaitu otak, mata, usus lambung, ginjal dan otot.
4.2.1 Kondisi Morfologi Ikan Kerapu Tikus
Pada penelitian ini ikan kerapu tikus yang diteliti adalah ikan kerapu tikus yang
berasal dari keramba jaring apung pemeliharaan Bhakti Alam yang berada di Desa
Tambak Rejo, Kecamatan Sumber Manjing Wetan, Kabupaten Malang. Pada proses
pengambilan sampel,ikan kerapu tikus di ambil dengan cara menjaring ikan secara
langsung. Kemudian ikan di masukan kedalam wadah dan dilihat ciri-ciri klinis gejala
Viral Nervous Necrosis (VNN). Sampel ikan yang diambil untuk di uji ada tidaknya
keberadaan Viral Nervous Necrosis (VNN) adalah ikan yang memiliki ciri-ciri
berenang terbalik, warna tubuh menghitam, dan mata menonjol. Gejala klinis yang
ditunjukan ikan kerapu tikus dapat digunakan sebagai langkah awal untuk
mengetahui keberadaan Viral Nervous Necrosis (VNN). Morfologi ikan kerapu tikus
dapat dilihat pada Gambar 6.
35
Gambar 6 . Keadaan Morfologi Ikan Kerapu Tikus yang Terinfeksi VNN (Dokumentasi Pribadi, 2017)
Menurut Thieryet al. (2006), gejala klinis khas VNN pada beberapa jenis ikan
antara lain: perilaku ikan terserang berenang tak menentu dan ikan mengapung
dengan perut di atas disebabkan oleh pembengkakan gelembung renang (swim
bladder), warna tubuh terlihat lebih gelap dan selera makan berkurang.
Perilaku ikan yang terinfeksi ikan menunjukkan gejala-gejala antara lain nafsu
makan berkurang, gerakan lemah, berenang tidak normal (memutar-mutar),
pembesaran gelembung renang pada beberapa spesies ikan, dan warna menjadi
kehitaman (Chi, 2006).
4.2.2 Deteksi Viral Nervous Necrosis pada Ikan Kerapu dengan Teknik PCR
Berdasarkan gejala klinis yang tampak pada ikan kerapu tikus (Cromileptes
altivelis), maka tahap selanjutnya yaitu dilakukan uji laboratorium dengan
menggunakan analisis PCR (Polymerase Chain Reaction). Hal ini bertujuan untuk
mendeteksi adanya virus Viral Nervous Necrosis (VNN) yang menginfeksi ikan
kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Organ tubuh ikan yang diambil untuk analisis
PCR yaitu otak, mata, otot, ginjal, lambung dan usus. Kemudian selanjutnya
digunakan untuk uji elektroforesis untuk mendeteksi DNA sampel ikan kerapu tikus
(Cromileptes altivelis).
36
Pengambilan sampel organ tubuh ikan tersebut didasarkan bahwa Viral
Nervous Necrosis selain menginfeksi sistem syaraf (mata dan otak) inangnya, juga
menyerang organ tubuh ikan lainnya. Menurut Nakai et al. (2009), menyatakan
bahwa berdasarkan hasil hispatologi, virus ini menyebabkan kerusakan sistem saraf
pusat seperti otak, sumsum tulang belakang serta pada retina. Penelitian serupa
yang dilakukan oleh Prihartini (2015), menjelaskan bahwa untuk mendeteksi DNA
ikan kerapu tikus yang terinfeksi VNN menggunakan base primer 294 bp.
Berdasarkan hasil pemeriksaan PCR pada benih ikan kerapu yang positif VNN
terdapat pada organ otak dan mata
Berdasarkan hasil pada uji PCR menunjukkan adanya gambaran ekspresi
DNA yang diamplifikasi menggunakan base primer VNN yaitu 294 bp. Hasil gambar
dari proses elektroforesis menunjukkan bahwa organ tubuh ikan kerapu tikus
(Cromileptes altivelis) yang positif terinfeksi VNN yaitu otak dan mata. Sedangkan
pada organ otot, ginjal, lambung dan usus menunjukkan hasil negatif terinfeksi VNN.
4.3 Hasil Analisis Kualitas Air
Air merupakan kebutuhan utama dalam kegiatan budidaya perairan.
ketersediaan air yang cukup dan kualitas air yang baik akan berdampak pada
keberhasilan suatu usaha budidaya perairan. Sampel air pada keramba jaring apung
pemeliharaan ikan kerapu tikus diambil pada jam 11.00 WIB dan dilakukan
sebanyak 3 ulangan dalam minggu yang berbeda. Pengukuran kualitas air
didasarkan pada siklus hidup plankton yang singkat yaitu antara 7 – 14 hari.
Berdasarkan data kualitas air yang diperoleh maka dapat diketahui adanya dinamika
kualitas air. Perbedaan nilai disetiap parameter dari minggu ke minggu, selanjutnya
dapat dianalisis dan diketahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
37
organisme akuatik baik plankton maupun ikan kerapu tikus. Kualitas air yang
dianalisis yaitu suhu, kecerahan, pH, oksigen terlarut, karbondioksida, nitrat,
ortofosfat, dan TOM. Adapun hasil analisis kualitas air berdasarkan masing-masing
parameter yang diukur dapat dilihat pada Lampiran 4.
4.3.1 Parameter Fisika
a. Suhu
Hasil pengukuran suhu pada keramba jaring apung dalam penelitian ini
berkisar antara 27-28ºC. Hal ini sejalan dengan Amiruddin et al. (2012) parameter
kualitas air yang sangat cocok untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan
Kerapu Tikus adalah suhu 27-29ºC dan pendapat Tiskiantoro (2006) yang
melaporkan bahwa suhu optimal untuk budi daya ikan Kerapu Tikus adalah 27–
32°C. Sementara Kordi & Ghufran (2005) menyatakan bahwa suhu yang dibutuhkan
untuk kehidupan ikan Kerapu Bebek yang dipelihara dalam keramba jaring apung
berkisar 25–31°C. Grafik suhu dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Grafik Nilai Pengukuran Suhu
b. Kecerahan
Hasil pengukuran kecerahan pada keramba jaring apung dalam penelitian ini
berkisar antara 7,15-7,53 m. Perairan yang memiliki indikator tingkat kejernihan yang
Minggu 1 minggu 2 minggu 3
Suhu 27.5 27 28
26.4
26.6
26.8
27
27.2
27.4
27.6
27.8
28
28.2
Suh
u ⁰
C
38
sangat tinggi dengan cahaya yang dapat menembus sampai ke dasar perairan
merupakan perairan yang sangat baik untuk digunakan sebagai lokasi pembesaran
dan kejernihan perairan yang sangat cocok untuk pembesaran ikan Kerapu Bebek
adalah lebih dari 2 m (Akbar & Sudaryanto, 2001). Grafik kecerahan dapat dilihat
pada Gambar 8.
Gambar 8. Grafik Nilai Pengukuran Kecerahan
4.3.2 Parameter Kimia
a. pH
Hasil pengukuran pH pada keramba jaring apung dalam penelitian ini berkisar
antara 7,8-8,1. Menurut Amiruddin et al. (2012) parameter kualitas air yang sangat
cocok untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan Kerapu Tikus adalah pH
7,0-7,8. Dwiyanti (2006) juga mengatakan bahwa sebagian besar biota akuatik
sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7,0–8,5. Grafik pH
dapat dilihat pada Gambar 9.
Minggu 1 minggu 2 minggu 3
Kecerahan 7.45 7.15 7.53
6.9
7
7.1
7.2
7.3
7.4
7.5
7.6m
ete
r
39
Gambar 9. Grafik Nilai Pengukuran pH
b. Oksigen Terlarut
Hasil pengukuran oksigen terlarut pada keramba jaring apung dalam penelitian
ini berkisar antara 8,45-8,62 ppm. Menurut Amiruddin et al. (2012) parameter
kualitas air yang sangat cocok untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan
Kerapu Tikus adalah DO 4-4,49 ppm. Sementara pendapat Kordi (2001), oksigen
terlarut optimal bagi kehidupan ikan kerapu tikus adalah tidak boleh kurang dari 4
mg/l. Grafik oksigen terlarut dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Grafik Nilai Pengukuran DO
Minggu 1 minggu 2 minggu 3
pH 7.8 8 8.1
7.6
7.7
7.8
7.9
8
8.1
8.2
De
raja
t K
eas
aman
Minggu 1 minggu 2 minggu 3
DO 8.45 8.62 8.51
8.35
8.4
8.45
8.5
8.55
8.6
8.65
mg/
L
40
c. Salinitas
Hasil pengukuran salinitas pada keramba jaring apung dalam penelitian ini
berkisar antara 31-33 ppt. Menurut Amiruddin et al. (2012) parameter kualitas air
yang sangat cocok untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan Kerapu Tikus
adalah salinitas 30-33 ppt. Sementara pendapat Kordi & Ghufran (2004) bahwa
salinitas optimal untuk pertumbuhan ikan Kerapu Tikus di keramba jaring apung
berkisar 33–35 ppt. Grafik Salinitas dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Grafik Nilai Pengukuran Salinitas
d. Nitrat (NO3)
Hasil pengukuran nitrat pada keramba jaring apung dalam penelitian ini
berkisar antara 0.115-0.121. Menurut Marganof (2007) dalam Armita (2011),
kandungan nitrogen yang tinggi di suatu perairan dapat disebabkan oleh limbah
yang berasal dari limbah domestik, pertanian, peternakan dan industri. Berdasarkan
PP No. 82 tahun 2001 menjelaskan bahwa baku mutu kandungan nitrat dalam
perairan tidak boleh lebih dari 10 mg/L. Basmi (1988) dalam Subrata (2008),
menyatakan bahwa nitrat dalam perairan nilainya akan berkurang bersama dengan
meningkatnya pertumbuhan fitoplankton. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan
Minggu 1 minggu 2 minggu 3
Salinitas 33 32 31
30
30.5
31
31.5
32
32.5
33
33.5
pp
t
41
nitrat selama pengamatan masih dalam kondisi yang baik dan belum mengalami
pencemaran. Grafik hasil pengukuran nitrat pada keramba jaring apung
pemeliharaan ikan kerapu tikus disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Grafik Nilai Pengukuran Nitrat e. Orthofosfat (PO4)
Hasil pengukuran orthofosfat pada keramba jaring apung dalam penelitian ini
berkisar antara 0,001-0,004 mg/L. Menurut Armita (2011), menjelaskan bahwa
perairan alami pada umumnya memiliki kandungan fosfat terlarut tidak lebih dari 0,1
ppm, kecuali pada perairan penerima limbah rumah tangga dan industri tertentu
serta limpahan air dari daerah pertanian yag umumnya mengalami pemupukan
fosfat. Sedangkan baku mutu ortofosfat berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 tentang
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran perairan yaitu 0,2 mg/L.
Jadi, kandungan ortofosfat pada keramba jaring apung pemeliharaan ikan kerapu
secara keseluruhan masih baik dan perairan masih belum mengalami pencemaran.
Berikut merupakan grafik hasil pengukuran orthofosfat yang disajikan pada Gambar
13.
Minggu 1 minggu 2 minggu 3
Nitrat 0.17 0.115 0.121
0
0.05
0.1
0.15
0.2
mg/
L
42
Gambar 13. Grafik Nilai Pengukuran Fosfat f. Total Organic Matter (TOM)
Hasil pengukuran orthofosfat pada keramba jaring apung dalam penelitian ini
berkisar antara 70,16-72,048 mg/L. Perdana (2014), menjelaskan bahwa kandungan
bahan organik total yang tinggi disebabkan oleh beberapa faktor seperti letak lokasi
pengamatan berada di dekat pemukiman penduduk sehingga mendapat pasokan
bahan organik yang terbawa oleh arus. Budiardi et al. (2007), menambahkan bahwa
terjadinya akumulasi kandungan bahan organik atau Total Organic Matter (TOM)
dalam perairan disebabkan rendahnya oksigen terlarut dan bakteri pengurai dalam
perairan. Meningkatnya kandungan bahan organik ini disebabkan oleh sisa-sisa
pemberian pakan serta ekskresi atau feses dari organisme yang dibudidayakan.
Berikut merupakan grafik hasil pengukuran TOM yang disajikan pada Gambar 14.
Minggu 1 minggu 2 minggu 3
Fosfat 0.004 0.001 0.002
0
0.001
0.002
0.003
0.004
0.005
mg/
L
43
Gambar 14. Grafik Nilai Pengukuran TOM
4.4 Komposisi Plankton Pada Keramba Jaring Apung Pemeliharaan Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis)
4.4.1 Komposisi Fitoplankton
Fitoplankton yang ditemukan dalam keramba jaring apung pemeliharaan ikan
kerapu tikus yang terinfeksi Viral Nerveous Necrosis baik di air, lambung dan usus
ditemukan sebanyak 8 genus. Genus yang ditemukan meliputi chlorogonium,
gonatozygon, thalassiosira, thallasiothrix, stigeoclonium, nitzschia, merismopedia,
dan halosphaera. Sedangkan pada keramba jaring apung pemeliharaan ikan kerapu
tikus sehat baik di lambung dan usus ditemukan sebanyak 7 genus. Genus yang
ditemukan meliputi chlorogonium, gonatozygon, hemiaulus, pseudonitzschia,
halosphaera, merismopedia, dan thalassiothrix. Genus yang memiliki jumlah yang
banyak adalah thalassiothrix, gonatozygon, dan merismopedia.
a. Gonatozygon monotaenium
G. monotaenium merupakan salah satu spesies dari kelas Charophyceae.
Gonatozygon monotaenium memiliki karakteristik yaitu Sel berbentuk silindris
memanjang dengan panjang 90-300 μm dan lebar 8-12,5 μm (John et all., 2002:
529). Apeks rata dengan dinding sel ditutupi oleh struktur seperti spine. Dalam
Minggu 1 minggu 2 minggu 3
TOM 72.048 70.16 71.62
69
69.5
70
70.5
71
71.5
72
72.5
mg/
L
44
setiap sel terdapat 2 kloroplas yang berbentuk seperti pita dengan banyak pirenoid.
Gonatozygon dapat ditemukan soliter maupun dalam bentuk filamen. Gonatozygon
monotaenium hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 15.
.
Gambar 15. Hasil pengamatan Gonatozygon monotaenium
b. Merismopedia sp.
Merismopedia sp. merupakan salah satu spesies fitoplankton dari kelas
Cyanophyceae (Aktan dan Aykulu, 2003). Merismopedia sp. memiliki karakteristik
yaitu bersifat uniseluler-kolonial, koloni melayang bebas di perairan, mikroskopis,
biasanya berbentuk seperti tabel, datar dan tipis dengan sel yang terletak dalam
satu bidang dengan posisi saling tegak lurus satu sama lain (biasanya terdiri dari 2
atau 4 sel). Namun, biasanya koloni Merismopedia sp. terdiri dari 4 – 16 sel bahkan
pada beberapa spesies Merismopedia sp. menunjukkan koloni terdiri dari ratusan sel
hingga 4000 sel. Sel Merismopedia sp. berbentuk oval atau bulat. Spesies
fitoplankton ini banyak ditemukan di perairan tawar (Miranda dan Guiry, 2013).
Kelas Cyanophyceae memiliki kemampuan berfotosintesis pada cahaya
berintensitas rendah dan mampu mengikat nitrogen dari udara untuk
pertumbuhannya (Prescott dan Mahendra, 1984 dalam Erdina et al., 2010).
Merismopedia sp. mengandung toksin lipopolisakarida yang membahayakan bagi
45
kesehatan manusia (Wagner, 2013). Merismopedia sp hasil pengamatan dapat
dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Gambar Hasil pengamatan Merismopedia sp
c. Nitzschia sigma
Nitzschia sigma memilki cir-ciri yaitu dinding sel terbuat dari silika, sel
berwarna kuning-kecoklatan, sel berbentuk rectangular, sel soliter, sel berbentuk
linier-lanceolate dengan katup dibagian luar, dan ditengah sel terdapat garis
memanjang. Sel memiliki ukuran dengan panjang sekitar 32,5 – 81,7 μm dan lebar
sekitar 1,4 – 2,9 μm. Spesies ini kosmopolit dimana dapat ditemukan di perairan
tawar, payau, dan laut. Selain itu, spesies diatom ini biasanya dapat ditemukan pada
permukaan air (pelagik) maupun bentik (Smida et al., 2014). Menurut Scholz dan
Liebezeit (2012), Nitzschia sp. memiliki komposisi asam amino diantaranya prolin,
asam glutamat, asam aspartat, serin, glisin, alanin, dan lisin. Komposisi asam amino
yang terkandung pada alga Nitzschia sp. terbanyak yaitu asam aspartat diikuti
dengan glisin. Penelitian lain oleh Jakson et al. (1992), menyebutkan bahwa
komposisi asam amino alga Nitzschia sp. pada berbagai salinitas diantaranya yaitu
asam aspartat, treonin, serin, glutamat, glisin, alanin, valin, tirosin, dan lisin. Secara
keseluruhan asam amino yang dominan terkandung dalam alga ini yaitu asam amino
glutamat. Nitszchia sp hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 17.
46
Gambar 17. Gambar Hasil pengamatan Nitszchia sp
d. Halosphaera viridis
Halosphaera viridis merupakan salah satu spesies fitoplankton dari kingdom
Plantae yang memiliki ciri-ciri kecil, berbentuk buah pir sel dengan empat flagellae
berenang di salah satu ujungnya. Ini mereproduksi dengan membelah dua, yang
memungkinkan untuk mencapai konsentrasi yang tinggi dan dari waktu ke waktu
beberapa sel menjadi kista kecil yang isinya dibagi menjadi disk kecil. Setiap disk
akhirnya menjadi sebuah Halosphaera flagellated viridis sel yang akan dilepas ke
laut. Ada dapat ratusan kista per meter persegi di laut terbuka, dan mereka mungkin
merupakan sumber makanan penting bagi zooplankton yang lebih besar.
Halosphaera viridis hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Gambar Hasil pengamatan Halosphaera viridis
47
4.4.2 Komposisi Zooplankton
Zooplankton yang ditemukan dalam keramba jaring apung pemeliharaan ikan
kerapu tikus yang terinfeksi Viral Nervous Necrosis di air ditemukan sebanyak 8
Genus tetapi pada lambung dan usus tidak ditemukan zooplankton. Genus yang
ditemukan meliputi eucalanus, copilia, calanus, Eurydice, naupilus, pseudocalanus,
eurytemora, dan Branchionus. Sedangkan pada keramba jaring apung pemeliharaan
ikan kerapu tikus sehat di air ditemukan sebanyak 7 genus tetapi pada lambung dan
usus tidak ditemukan zooplankton. Genus yang ditemukan yakni temora,
gyrodinium, muggiaea, eurytemora, pseudocalanus, eurydice dan
archaeogastropoda. Genus yang memiliki jumlah yang banyak adalah eucalanus,
copilia, calanus. Pseudocalanus, eurytemora, dan brachionus.
a. Eurytemora affinis
Eurytemora affinis merupakan salah satu spesies zooplankton dari kingdom
Animalia yang biasa ditemukan di zona pelagik danau air dingin dan laut. Terdapat
Terjadi musim semi melalui musim gugur dengan kelimpahan puncak di musim
panas. Biasanya ditemukan pada ketinggian 0 sampai 86 meter (0-282 kaki).
Memiliki karakterisasi yaitu panjang ventral plate 118 µm, jari kaki (dengan cakar) 66
µm, setiap ramus ekor dengan lima setae, ketiga segmen dari ujung antena yang
tepat dengan proses ramping yang melengkung dan biasanya menunjuk. Proses ini
lebih pendek dari segmen kedua dari ujung antena yang sama, kedua proses dari
exopod kelima kiri tidak digitiform atau tumpul, yang satu jelas falsiforme, kiri kelima
endopod tidak sempurna juga bukan ditandai dengan striae melintang, kelima kanan
endopod lebih pendek dari bagian pertama yang exopod, terminal segmen kelima
kanan exopod ramping dan memanjang, kaki kelima Kiri tidak mencapai akhir dari
48
segmen pertama dari kanan exopod, Spesimen sekitar 1,4-2,1 mm. Eurytemora
affinis hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Gambar Hasil pengamatan Eurytemora affinis b. Eurydice pukhra
Eurydice pukhra merupakan salah satu spesies zooplankton dari kingdom
Animalia yang biasanya ditemukan di zona pasang surut di tepi air pada jarak rata-
rata dari permukaan laut 3 meter (8 kaki). Graptoleberis testudinaria ditemukan
berhubungan terutama dengan vegetasi daripada menjadi penghuni bawah. Terjadi
musim semi melalui musim gugur dengan kelimpahan puncak di musim panas.
Biasanya ditemukan pada ketinggian 0 sampai 86 meter (0-282 kaki). Memiliki
karakterisasi yaitu Antennules dua tersegmentasi, pada banyak spesies yang
karapas lama tidak membuang selama molting, memberikan penampilan kerang
bersarang, besar dengan dentikel marjinal banyak dan setae lateral yang panjang
Postabdomen, Sering ditutupi dengan detritus. Eurydice pukhra hasil pengamatan
dapat dilihat pada Gambar 20.
49
Gambar 20. Gambar Hasil pengamatan Eurydice pukhra
c. Pseudocalanus minutus
Pseudocalanus minutus merupakan salah satu spesies zooplankton dari
kingdom Animalia yang ditemukan di zona pelagik danau air dingin Terdapat Terjadi
musim semi melalui musim gugur dengan kelimpahan puncak di musim panas.
Biasanya ditemukan pada ketinggian 0 sampai 86 meter (0-282 kaki). Memiliki
karakterisasi yaitu ekor ramus dengan tiga setae, ramus ekor dari kedua jenis
kelamin dengan seta luar ramping yang sekitar sama panjang dengan ramus.
Pseudocalanus minutus hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21. Gambar Hasil pengamatan Pseudocalanus minutus
4.5 Perhitungan Plankton
Perhitungan plankton yang di peroleh meliputi perhitungan kelimpahan
plankton, perhitungan indeks keanekaragaman, perhitungan indeks dominansi,
50
perhitungan indeks keseragaman dan perhitungan indeks preponderance yang
meliputi isi lambung dan isi usus. Data perhitungan plankton dapat dilihat pada
Lampiran 5.
4.5.1 Kelimpahan Plankton
A. Fitoplankton
Kelimpahan fitoplankton merupakan jumlah individu fitoplankton persatuan
volume air per liter (ind/L). Lingkungan yang tidak menguntungkan bagi fitoplankton
dapat menyebabkan jumlah individu atau kelimpahan maupun jumlah spesies
fitoplankton berkurang. Keadaan ini dapat mempengaruhi tingkat kesuburan
perairan. Oleh karena itu, suatu tingkat kesuburan perairan salah satunya ditentukan
oleh tingkat kelimpahan fitoplankton (Nugroho, 2006 dalam Salam, 2010). Hasil
perhitungan kelimpahan plankton (fitoplankton dan zooplankton) pada keramba
jaring apung pemeliharaan ikan kerapu tikus diperoleh hasil yang beragam pada
setiap minggunya.
Data kelimpahan fitoplankton yang diperoleh selama pengamatan meliputi
Divisi Chlorophyta dan Diatom. Nilai rata-rata kelimpahan fitoplankton (ind/L)
mencapai 35559.18337-375346.94 ind/L. Nilai divisi rata-rata terbesar adalah Divisi
Chlorophyta dengan nilai 375346.94 ind/L. Sedangkan nilai rata-rata divisi terendah
ialah Divisi Diatom dengan nilai 35559.183 ind/L. Total kelimpahan fitoplankton pada
minggu pertama yakni sebesar 450416.3261 ind/L yang meliputi Divisi Chlorophyta
dan Diatom. Total kelimpahan fitoplankton pada minggu kedua yakni sebesar
403004.082 ind/L yang meliputi Divisi Chlorophyta dan Diatom. Total kelimpahan
plankton pada minggu ketiga yakni sebesar 379297.962 ind/L yang meliputi Divisi
Chlorophyta dan Diatom. Sedangkan rata-rata total kelimpahan dari semua divisi
51
mencapai 410906.1234 ind/L. Data kelimpahan fitoplankton dapat dilihat pada
Tabel1.
Tabel 1. Data Kelimpahan Fitoplankton
KELIMPAHAN FITOPLANKTON (Ind/L)
No FILUM Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Rata-Rata
1 Chlorophyta 391151.02 379297.96 355591.84 375346.94
2 Diatom 59265.3061 23706.122 23706.122 35559.18337
Total 450416.3261 403004.082 379297.962 410906.1234
Fitoplankton mempunyai peranan yang sangat penting di dalam suatu
perairan, selain sebagai dasar dari rantai pakan (primary producer) juga merupakan
salah satu parameter tingkat kesuburan suatu perairan. Terdapat hubungan positif
antara kelimpahan fitoplankton dengan produktivitas perairan. Jika kelimpahan
fitoplankton di suatu perairan tinggi maka perairan tersebut cenderung memiliki
produktivitas yang tinggi pula (Raymont, 1980).
B. Zooplankton
Data kelimpahan Zooplankton yang diperoleh selama pengamatan meliputi
Filum Crustacea, Tracheophyta, dan Rotifera. Nilai rata-rata kelimpahan
Zooplankton (ind/L) mencapai 213355.1016-260767.351 ind/L. Nilai filum rata-rata
terbesar adalah Filum Crustacea dengan nilai 225208.166 ind/L. Sedangkan nilai
rata-rata filum terendah ialah Filum Rotifera dengan nilai 11853.0611 ind/L. Pada
minggu pertama diperoleh total kelimpahan sebesar 213355.1016 ind/L yang
meliputi filum Crustacea, Tracheophyta, dan Rotifera. Pada minggu kedua diperoleh
total kelimpahan sebesar 260767.351 ind/L yang meliputi filum Crustacea dan
52
Rotifera. Pada minggu ketiga diperoleh total kelimpahan sebesar 248914.29 ind/L
yang meliputi filum Crustacea. Sedangkan rata-rata kelimpahan total zooplankton
dari semua filum mencapai 260767.3495 ind/L. Data kelimpahan zooplankton dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Kelimpahan Zooplankton
KELIMPAHAN ZOOPLANKTON
No FILUM Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Rata-Rata
1 Crustacea 177795.918 248914.29 248914.29 225208.166
2 Tracheophyta 23706.1224 0 0 23706.1224
3 Rotifera 11853.0612 11853.061 0 11853.0611
Total 213355.1016 260767.351 248914.29 260767.3495
Menurut Arinardi, et al. (1994) dalam Soedibjo (2005), menyatakan bahwa
faktor-faktor biotik seperti ketersediaan pakan, banyaknya predator serta persaingan
merupakan faktor-faktor yang menentukan komposisi jenis zooplankton. Menurut
Pranoto et al. (2005), kelimpahan zooplankton mengalami kenaikan dan penurunan
disebabkan oleh faktor dari masing-masing zooplankton itu sendiri, seperti
pertumbuhan, kematian, distribusi vertikal, dan migrasi yang berbeda serta adanya
perubahan kualitas air.
4.5.2 Indeks Keanekaragaman
A. Fitoplankton
Indeks keanekaragaman Shannon-Weaner merupakan indeks yang digunakan
untuk melihat tingkat keanekaragaman organisme dan sering juga digunakan
sebagai indikator bagi kualitas perairan (Radiarta, 2013). Data indeks
keanekaragaman fitoplankton yang diperoleh selama pengamatan meliputi Divisi
53
Chlorophyta dan Diatom. Nilai rata-rata indeks keanekaragaman fitoplankton (ind/L)
mencapai 0.08874-2.54465 ind/L. Nilai divisi rata-rata terbesar adalah Divisi Diatom
dengan nilai 2.54465 ind/L. Sedangkan nilai rata-rata divisi terendah ialah Divisi
Chlorophyta dengan nilai 0.08874 ind/L. Total indeks keanekaragaman fitoplankton
pada minggu pertama yakni sebesar 2.16923 ind/L yang meliputi Divisi Chlorophyta
dan Diatom. Total indeks keanekaragaman fitoplankton pada minggu kedua yakni
sebesar 2.89383 ind/L yang meliputi Divisi Chlorophyta dan Diatom. Total indeks
keanekaragaman fitoplankton pada minggu ketiga yakni sebesar 2.83713 ind/L yang
meliputi Divisi Chlorophyta dan Diatom. Sedangkan rata-rata total indeks
keanekaragaman dari semua divisi mencapai 2.63339 ind/L. Kriteria indeks
keanekaragaman dibagi menjadi tiga yaitu keanekaragaman jenis rendah dengan H'
< 1, keanekaragaman sedang apabila 1 < H' < 3 dan keanekaragaman tinggi apabila
H' > 3 (Utami, 2001). Hasil indeks keanekaragaman (H') fitoplankton menunjukkan
bahwa pada minggu ke-1 minggu ke-2 dan ke-3 tergolong dalam kriteria perairan
yang memiliki nilai indeks keanekaragaman (H') sedang. Menurut Krebs (1989)
dalam Sari et al. (2013), keanekaragaman sedang dapat diartikan bahwa ekosistem
dalam kondisi cukup baik, dimana penyebaran individu atau jenis fitoplankton hampir
merata. Keanekaragaman rendah mengindikasikan adanya kecenderungan
dominasi jenis dalam suatu ekosistem yang disebabkan adanya ketidakstabilan
faktor-faktor lingkungan dan populasi. Hal ini didukung oleh pendapat Pamukas
(2011) yang menyatakan bahwa keragaman spesies menunjukkan keseimbangan
ekosistem, semakin tinggi keragaman spesies maka semakin seimbang ekosistem
tersebut. Sebaliknya semakin rendah keragaman spesies maka menandakan bahwa
ekosistem perairan tersebut mengalami tekanan dan kondisinya menurun. Hal
tersebut menandakan perairan tercemar ringan-berat dan memiliki tingkat
54
keanekaragaman yang rendah dan sedang. Data Indeks keanekaragaman
fitoplankton dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Data Indeks Keanekaragaman Fitoplankton
INDEKS KEANEKARAGAMAN (H') FITOPLANKTON
No FILUM Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 rata-rata
1 Chlorophyta 0.14108 0.06062 0.06454 0.088746667
2 Diatom 2.02815 2.83321 2.77259 2.54465
Total 2.16923 2.89383 2.83713 2.633396667
B. Zooplankton
Data indeks keanekaragaman Zooplankton yang diperoleh selama
pengamatan meliputi Filum Crustacea, Tracheophyta dan Rotifera. Nilai rata-rata
indeks keanekaragaman Zooplankton (ind/L) mencapai 0.07628-1.9938033 ind/L.
Nilai filum rata-rata terbesar adalah Filum Rotifera dengan nilai 1.9938033 ind/L.
Sedangkan nilai rata-rata filum terendah ialah Filum Crustacea dengan nilai 0.07628
ind/L. Pada minggu pertama diperoleh total indeks keanekaragaman sebesar
5.26991 ind/L yang meliputi Crustacea, Tracheophyta, dan Rotifera. Pada minggu
kedua diperoleh total indeks keanekaragaman sebesar 3.13756 ind/L yang meliputi
filum Crustacea dan Rotifera. Pada minggu ketiga tidak diperoleh nilai indeks
keanekaragaman adalah 0. Nilai indeks keanekaragaman zooplankton yang
diperoleh selama penelitian berkisar 0-5.26991 hal tersebut menunjukkan bahwa
perairan tersebut memiiki tingkat keanekaragaman yang rendah. Data indeks
keanekaragaman zooplankton dapat dilihat pada Tabel 4.
55
Tabel 4. Data Indeks Keanekaragaman Zooplankton
INDEKS KEANEKARAGAMAN (H') ZOOPLANKTON
No FILUM Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 rata-rata
1 Crustacea 0.18232 0.04652 0 0.07628
2 Tracheophyta 2.19722 0 0 0.732406667
3 Rotifera 2.89037 3.09104 0 1.993803333
total 5.26991 3.13756 0 2.80249
4.5.3 Indeks Dominansi
A. Fitoplankton
Data indeks dominansi fitoplankton yang diperoleh selama pengamatan
meliputi Divisi Chlorophyta dan Diatom. Nilai rata-rata indeks dominansi fitoplankton
(ind/L) mencapai 0.00822-0. 83962 ind/L. Nilai divisi rata-rata terbesar adalah Divisi
Chlorophyta dengan nilai 0. 83962 ind/L. Sedangkan nilai rata-rata divisi terendah
ialah Divisi Diatom dengan nilai 0.00822 ind/L. Total indeks dominansi fitoplankton
pada minggu pertama yakni sebesar 0.77146 ind/L yang meliputi Divisi Chlorophyta
dan Diatom. Total indeks dominansi fitoplankton pada minggu kedua yakni sebesar
0.88927 ind/L yang meliputi Divisi Chlorophyta dan Diatom. Total indeks dominansi
fitoplankton pada minggu ketiga yakni sebesar 0.88282 ind/L yang meliputi Divisi
Chlorophyta dan Diatom. Sedangkan rata-rata total indeks keanekaragaman dari
semua divisi mencapai 0.84785 ind/L. Insafitri (2010) menyatakan bahwa semakin
kecil nilai indeks keanekaragaman (H’) maka indeks keseragaman (e) juga akan
semakin kecil, yang mengisyaratkan adanya dominansi suatu spesies terhadap
spesies lain. Semakin besar nilai indeks dominansi (C), maka semakin besar pula
kecenderungan adanya jenis tertentu yang mendominasi Data Indeks
keanekaragaman fitoplankton dapat dilihat pada Tabel 5.
56
Tabel 5. Data Indeks Dominansi Fitoplankton
INDEKS DOMINANSI (D) FITOPLANKTON
No FILUM Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 rata-rata
1 Chlorophyta 0.754155125 0.88581 0.87891 0.839625042
2 Diatom 0.017313019 0.00346 0.00391 0.008227673
Total 0.771468144 0.88927 0.88282 0.847852715
Menurut Pamukas (2011), dalam penelitiannya diperoleh hasil bahwa nilai
indeks dominasi berkisar antara 0,13 – 0,52 menunjukkan tidak terdapat fitoplankton
yang mendominasi. Indeks dominasi yang mendekati 1 berarti terdapat organisme
yang dominan dan jika indeks dominasi yang mendekati 0 maka tidak terdapat
organisme yang dominan. Menurut Kilham dan Kilham (1978) dalam Pamukas
(2011), yang menyatakan bahwa setiap jenis fitoplankton mempunyai respon yang
berbeda terhadap perbandingan jenis nutrien yang terlarut dalam badan air. Kondisi
ini menyebabkan komunitas fitoplankton dalam suatu badan air mempunyai struktur
dan dominansi jenis yang berbeda dengan badan air lainnya.
B. Zooplankton
Data indeks dominansi Zooplankton yang diperoleh selama pengamatan
meliputi Filum Crustacea, Tracheophyta dan Rotifera. Nilai rata-rata indeks
dominansi Zooplankton (ind/L) mencapai 0.001718-0.868534 ind/L. Nilai filum rata-
rata terbesar adalah Filum Crustacea dengan nilai 0.868534 ind/L. Sedangkan nilai
rata-rata filum terendah ialah Filum Rotifera dengan nilai 0.001718 ind/L. Pada
minggu pertama diperoleh total indeks dominansi sebesar 0.70987 yang meliputi
filum Crustacea, Tracheophyta, dan Rotifera. Pada minggu kedua diperoleh total
indeks dominansi sebesar 0.91323 ind/L yang meliputi filum Crustacea dan Rotifera.
57
Pada minggu ketiga diperoleh total indeks dominansi sebesar 1 ind/L. Sedangkan
rata-rata indeks dominansi total zooplankton dari semua filum mencapai 0.87436
ind/L. Menurut Yuliana (2014), menjelaskan bahwa nilai D yang mendekati 0 berarti
bahwa di dalam struktur komunitas zooplankton tidak terdapat spesies yang secara
ekstrim mendominasi spesies lainnya, semua jenis zooplankton memiliki
kemampuan dan kesempatan yang sama untuk tumbuh, kondisi struktur komunitas
dalam keadaan stabil, kondisi lingkungan cukup prima, tidak ada bahan pencemar
yang secara akut dapat membahayakan zooplankton dan tidak terjadi tekanan
ekologis (stress) terhadap biota pada habitat bersangkutan. Data indeks
keanekaragaman zooplankton dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Data Indeks Dominansi Zooplankton
INDEKS DOMINANSI (D) ZOOPLANKTON
No FILUM Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 rata-rata
1 Crustacea 0.694444 0.91116 1 0.868534667
2 Tracheophyta 0.012345679 0 0 0.004115226
3 Rotifera 0.00308642 0.00207 0 0.001718807
total 0.709876099 0.91323 1 0.8743687
4.6 Status Kualitas Air dan Keberadaan Viral Nervous Necrosis (VNN)
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kualitas air di keramba jaring apung
pemeliharaan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) bahwa nilai yang diperoleh
dari parameter fisika dan kimia masih dalam kisaran yang baik bagi pertumbuhan
dan perkembangan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) dan plankton yang hidup
didalamnya. Namun, kondisi di lapang tidak menunjukkan bahwa ikan kerapu yang
dibudidayakan dalam kondisi yang baik. Hal ini dapat dilihat bahwa sering terjadinya
kematian ikan kerapu. Faktor yang dapat mempengaruhi kematian ikan kerapu yaitu
adanya penyakit seperti virus. Salah satu jenis virus yang dapat menyerang ikan
58
kerapu yaitu Viral Nervous Necrosis (VNN). Keberadaan VNN di perairan
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yaitu parameter fisika-kimia air. Faktor yang
dapat mempengaruhi keberadaan VNN yaitu pH, suhu dan kandungan bahan
organik total. Suhu berperan dalam proses replikasi virus. Semakin banyak virus
yang terdapat dalam perairan dan kemungkinan besar ikan kerapu dapat terinfeksi
oleh VNN. Menurut Shetty et al. (2012), menjelaskan bahwa infeksi betanodavirus
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu inang seperti usia, faktor lingkungan seperti
suhu air dan faktor lain seperti kualitas air, pakan, padat tebar, serta pemijahan dari
induk yang terinfeksi. Hal ini didukung dengan hasil penelitian dengan uji PCR
bahwa pada organ otak dan mata ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang
menunjukkan hasil positif terinfeksi VNN.
Hasil pengukuran kualitas air terhadap pH, suhu, bahan organik atau TOM
secara berturut-turut yaitu berkisar antara 7.8 – 8.1, 27.5 – 28°C, dan 70,16 – 72,048
mg/L. Menurut OIE (2016), bahwa betanodavirus sangat tahan pada lingkungan
dengan suhu rendah dan dapat bertahan hidup pada air laut dalam kurun waktu
yang lama. Pada suhu 25°C atau suhu tinggi secara signifikan dapat mempengaruhi
infeksi betanodavirus terhadap ikan. Adanya kontaminasi pada lingkungan perairan
diikuti dengan wabah dalam periode yang lama dan ikan yang rentan akan mudah
terinfeksi oleh virus ini. Viral Encephalopathy and Retinopathy (VER) dapat bertahan
hidup pada kondisi lingkungan dengan kondisi pH asam bahkan pada suhu 37°C.
Hal ini didukung oleh pendapat Frerichs et al., (1996) dalam Munday (2003), bahwa
betanodavirus dapat bertahan hidup pada kondisi lingkungan perairan dengan pH
berkisar antara 2 – 9. Sedangkan pada pH 11 – 12 akan menyebabkan inaktivasi
betanodavirus.
59
Hal ini menunjukkan bahwa kondisi kualitas air pada keramba jaring apung
pemeliharaan ikan kerapu tikus menunjukkan bahwa nilai pH termasuk dalam
kondisi asam hingga basa. Keadaan ini tentu akan mendukung kehidupan dan
keberadaan VNN di keramba jaring apung pemeliharaan ikan kerapu. Sedangkan
kondisi suhu perairan pada minggu ke-1 sampai ke-3 masih dalam kondisi yang
dapat mendukung proses proliferasi atau replikasi VNN. Hal ini sesuai dengan
Yuasa et al. (2007), bahwa kematian tertinggi ikan akibat betanodavirus terjadi pada
suhu yang tinggi pula. Namun, pada suhu perairan yang lebih dari 31°C akan
menghambat proliferasi dari betanodavirus. Sedangkan adanya virus mempunyai
peranan terhadap kandungan bahan organik di perairan yang dapat dilihat pada
Gambar 22.
Gambar 22. Aliran karbon, nutrien dan energi pada rantai makanan (Sheik, 2012)
Pada Gambar 22 diatas mengambarkan adanya aliran karbon, nutrien dan
energi pada rantai makanan. Fitoplankton menjadi produsen utama yang menyerap
bahan anorganik di perairan serta mengubahnya menjadi bahan organik.
60
Fitoplankton digambarkan dengan warna hijau muda, sedangkan fitoplankton
dengan warna abu-abu menunjukkan biomassa fitoplankton yang mati. Siklus diatas
merupakan siklus mikroba yang menghubungkan antara bakteri, virus dan bahan
organik terlarut. Adanya lisis pada sel fitoplankton akibat infeksi virus akan
meningkatkan ketersediaan bahan organik terlarut (DOM) yang nantinya akan
dimanfaatkan oleh bakteri. Warna hijau tua pada Gambar 22 diilustrasikan dengan
virus alga dalam bentuk agregat yang dapat mempertahankan keberadaan bakteri
dan virus dalam perairan. Tahapan selanjutnya bakteri, agregat dan virus yang
berada di dasar perairan akan dimakan oleh organisme grazer (zooplankton) yang
selanjutnya akan dimakan oleh organisme pada tingkat trofik lebih tinggi misalnya
ikan. Hal ini menunjukkan bahwa virus berperan dalam siklus biogeokimia dan
berkontribusi terhadap ketersediaan bahan organik dalam perairan.
61
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis plankton pada keramba jaring
apung pemeliharaan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi Viral
Nervous Necrosis (VNN), maka dapat disimpulkan bahwa :
Plankton yang teridentifikasi terdiri dari jenis fitoplankton dan zooplankton. Pada
jenis fitoplankton yaitu Thalassiosira, Hemiaulus, Chlorogonium, Stigeoclonium,
Nitzschia, Thalassiothrix, Pseudonitzschia, Merismopedia. Sedangkan pada
Zooplankton yaitu Eucalanus, Copilia, Calanus, Eurydice, Pseudocalanus,
Eurytemora, Temora, Naupilus dan Brachionus. Parameter kualitas air yang
terukur seperti suhu, kecerahan, pH, oksigen terlarut, karbondioksida, nitrat,
ortofosfat dan TOM masih mendukung untuk pertumbuhan plankton dan untuk
kegiatan budidaya perikanan serta mendukung keberadaan Viral Nervous
Necrosis (VNN) di keramba jaring apung pemeliharaan ikan kerapu tikus
(Cromileptes altivelis) khususnya untuk parameter suhu, pH dan bahan organik
atau TOM.
Hasil uji PCR terhadap organ mata dan otak positif terinfeksi VNN sedangkan di
saluran pencernaan (lambung dan usus) menunjukkan bahwa plankton negatif
terinfeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) dan diindikasikan penyebaran Viral
Nervous Necrosis (VNN) terjadi bukan karena faktor plankton yang ada di
perairan keramba jaring apung tetapi secara vertical yaitu penyebarannya dari
induk ke larva.
62
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis plankton pada keramba jaring
apung pemeliharaan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi Viral
Nervous Necrosis (VNN), maka sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai vektor penyebaran VNN melalui uji mtDNA untuk mengetahui darimana
asal usul induk kerapu tersebut.
63
DAFTAR PUSTAKA
Aedi, N. 2010. Pengolahan dan Analisis Data Hasil Penelitian. Bahan Belajar Mandiri Metode Penelitian Pendidikan. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Pendidikan Indonesia. Jakarta.
Akbar S & Sudaryanto. 2001. Pembenihan dan pembesaran Kerapu Bebek. Penerbit
Penebar Swadaya. Jakarta. 103 pp. Aktan, Y. dan Aykulu, G. 2003. A Study on the Occurrence of Merismopedia Meyen
(Cyanobacteria) Population on the Littoral Sediments of Izmit Bay (Turkey). Turk. J. Bot. 27 : 277 – 284.
Amelia, N. dan B. Salmet R. 2012. Pengaruh Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium
guajava) Untuk MenginaktifkanViral Nervous Necrosis (VNN) Pada Ikan Kerapu Bebek (Epinephelus fuscoguttatus). Journal Of Aquaculture Management and Technology 1(1): 264-278.
Amiruddin H., K. Ridhlo.D. N. Robianta.2012. Manajemen Induk Ikan Kerapu Tikus
(Cromileptes altivelis) Sebagai Upaya Optimalisasi Produksi Telur Berkualitas. Balai Budidaya Laut Ambon.
Amiruddin H., K. Ridhlo.D. N. Robianta.2012. Manajemen Induk Ikan Kerapu Tikus
(Cromileptes altivelis) Sebagai Upaya Optimalisasi Produksi Telur Berkualitas. Balai Budidaya Laut Ambon.
Antoro, S., E. Widiastuti dan P. Hartono. 1998. Biologi Kerapu Macan. Dalam: Balai
Budidaya Laut Kampung (Eds). Pembenihan Kerapu Macan ( Epinephelus fuscoguttatus). Departemen Pertanian. Direktorat Jendral Perikanan. Balai Budidaya Laut Lampung. Lamoung. Hal 4-18.
APHA (American Public Health Association). 1989. Standard Method for the
Examinition of Water and Waste Water. American Public Health Association. Water Pollution Control Federation. Port City Press. Baltimore, Mariland. 1202 p.
Apridayanti, Eka. 2005. Evaluasi Pengelolaan Lingkungan Perairan Waduk Lahor
Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang. Armita, D. 2011. Analisis perbandingan kualitas air di daerah budidaya rumput laut
dengan daerah tidak ada budidaya rumput laut, di Dusun Malelaya, Desa Punaga, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Boyd, C. E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Amsterdam :
Elsevier Scientific Publishing Company.
64
Bulanin, U. 2003. Perkembangan Larva Ikan Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis, Sampai Umur 50 Hari. Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta Padang.
Chi, S. C. 2006. Piscine Nodavirus Infections in Asia. First International Symposium
on Viral Nervous Necrosis of Fish International Conference Center, Hiroshima, November 28 to December 1, 2006.
Dennis. K., Dong J.L., Gun W.B., Hee J.Y., Nam S.S, Hwa Y.Y, Cheol Y.H., Jun
H.P., Se C.P. 206. Detection of Betanodaviruses in Apparenthy Healthy Aquarium Fishes and Invertebretes. Zoonotic Disease Priority Research Institute, and College of Veterinary Medicine. Seoul National University. Seoul 151-742. Korea.
Dwiyanti. 2006. Pengaruh jenis media pelindung yang berbeda terhadap tingkat
kelangsungan hidup benih ikan Kerapu Bebek (Epinephelus fuscogutattus) pada bak terkontrol. Skripsi. Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan. Universitas Haluoleo. Kendari. 125 pp.
Dwiyanti. 2006. Pengaruh jenis media pelindung yang berbeda terhadap tingkat
kelangsungan hidup benih ikan Kerapu Bebek (Epinephelus fuscogutattus) pada bak terkontrol. Skripsi. Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan. Universitas Haluoleo. Kendari. 125 pp.
Erdina, L., A. Ajizah., dan Hardiansyah. 2010. Keanekaragaman dan Kelimpahan
Alga Mikroskopis Pada Daerah Persawahan di Desa Sungai Lumbah Kecamatan Alalak Kabupaten Barito Kuala. Jurnal Wahana-Bio. 3 : 72 – 91.
Fajriani, Nur N. 2011. Polimorfisme Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguttatus
forsskål) yang Tahan Bakteri Vibrio alginolitycus dan Toleran Salinitas Rendah Serta Salinitas Tinggi.Universitas Hasanudin. Makassar.
Hemmstra, P.H. & Randall, J.E. 1993. FAO Species Catalogue, Vol.16, Groupers of
the world. FAO, Rome 382 P.pl.XXXI. Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. Isnansetyo. A, dan Kurniastuty, 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton,
Kanisius, Yogyakarta. Koesharyani I., Zafran and Yuasa, I. 1999. Deteksi Viral Nervous Necrosis (Vnn)
Menggunakan Polymerase Chain Reaction (Pcr) Pada Ikan Kerapu Bebek. Pros.Sem.Nas.Pen. Dis. Tek. Budidaya Laut dan Pantai : 237-240.
Kordi dan Andi. 2005. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Rineka
Cipta. Jogjakarta. Kordi K., M.G.H. 2010. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis Secara Buatan. Penerbit
Lily Publisher, Yogyakarta. 188 halaman.
65
Kordi M & HK Ghufran. 2004. Penanggulangan hama dan penyakit ikan. Penerbit Rineka Cipta dan Bina Adiaksara. Jakarta. 225 pp.
Kordi M & HK Ghufran. 2005. Budidaya ikan laut di karamba jaring apung. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. 233 pp.
Kordi, G. 2001. Usaha Pembesaran Ikan Kerapu di Tambak. Kanisius. Yogyakarta. Kordi, M. 2001. Usaha Pembesaran Ikan Kerapu di Tambak. Kanisius. Yogyakarta. Kordi, M. 2001. Usaha Pembesaran Ikan Kerapu di Tambak. Kanisius. Yogyakarta. Meritasari, D., R. Jannah, D. Irsalina, Inayah, S. 2010. Eksplorasi Bahan Aktif
Mikroalga Laut Nannochloropsis oculata Sebagai Antibakteri (Penghambat) Vibrio alginolyticus. Universitas Airlannga. Surabaya.
Miranda, S. V., dan Guiry, G.M. 2013. Algaebase. World-Wide Electronic
Publication, National University Of Ireland, Galway. http://www.algaebase.org. Diakses Pada Tanggal 27 April 2016 Pukul 18.42 WIB.
Munday, B. 2003. Viral Encephalopathy and Retinopathy : Disease Strategi Manual.
Indexx Laboratories. East Brisbane. Nakai, T., K. Mori., T. Sugaya., T. Nishioka., And K. Mushiake. 2009. Current
Knowledge on Viral Nervous Necrosis (VNN) and its Causative Betanodaviruses. The Israeli Journal of Aquaculture. 61(3): 198-206.
Nawawi, H. 1983. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta. Nontji, A., 2002. Laut Nusantara. Pener-bit Djambatan. Jakarta: 59-67. Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa H. M.
Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukardjo. PT Gramedia Jakarta. 459 hal.
Pamukas, N. A. 2011. Perkembangan Kelimpahan Fitoplankton dengan Pemberian
Pupuk Organik Cair. Berkala Perikanan Terubuk. 39 (1) : 79 – 90. Prihartini, N. C. 2015. Distribusi dan Analisis Filogenetik RNA Nervous Necrotic
Pada Benih Nila (Orechromis niloticusi). Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya. Malang.
Putra, S. E. 2008. Alga Laut sebagai Biotarget Industri. www.chem-is-try.org. Randall, John E. Phillip C. Heemstra,.1993. FAO Species Catalogue : Vol. 16.
Groupers Of The World. Food And Agriculture Organization Of The United Nations. Roma.
66
Sachlan, M. 1972. Planktonologi. Direktorat Jendral Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Sachlan,M. 1982. Planktonologi. Correspondence Course Centre. Direktorat
Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta. Saeni, M. S. 1989. Kimia Lingkungan. PAU-IPB. Bogor. 177 hal Salam. A. 2010. Kelimpahan dan Keanekaragaman Plankton di Area Waduk
Jangari, Bobojong, Cianjur. Skripsi. Program Studi Biologi Fakultas Sains dan teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai
Salah Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. ISSN 30 (30). Sari, E.P., F. Y. Khodijah, dan N. William. 2013. Keanekaragaman Plankton di
Kawasan Perairan Teluk Bakau Riau. Jurnal Tugas Akhir Universitas Maritim Raja Ali Haji : 36 – 46.
Scholz, B. dan dan Liebezeit, G. 2012. Compatible Solutes in Three Marine
Intertidal Microphytobenthic Wadden Sea Diatoms Sea Diatoms Exposed to Different Salinities. European Journal of Phycology. 47 (4) : 393 – 407.
Sheik, A. R. 2012. Viral Regulation of Nutrient Assimilation by Alga and Prokaryotes.
Disertation zur Erlangung des. Der Universitat Bremen. Shetty, M., B. Maiti., K. S. Santhosh., M. N. Venugopal., dan i. Karunasagar. 2012.
Betanodavirus of Marine and Freshwater Fish : Distribution, Genomic Organization, Diagnosis and Control Measures. Indian Journal Virol. 23 (2) : 114 – 123.
Smida, D. B., N. Lundholm., W. H. C. F Kooistra., I. Sahraoui., M. V. Ruggiero, Y.
Kotaki., M. Ellegaard., C. Lambert., H. H. Mabrouk dan A. S. Hlaili. 2014. Morphology and molecular phylogeny of Nitzschia bizertensis sp. nov.—A new domoic acid-producer. Journal of Harmful Algae. 32 : 49 – 63.
Sudaryatma P.E, Artanti T.L, Ni L.S, Ketut S.W, Sulis N.H, dan Didik S. 2012.
Imunositokimia Streptavidin Biotin: Deteksi Dini Viral Nervous Necrosis Virus pada Lendir Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Immunocytochemistry Streptavidin Biotin: Early Detection of Viral Nervous Necrosis Virus in the mucous of the Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus). JURNAL SAIN VETERINER.
Sudaryatma P.E, Artanti T.Li, Ni L.S, Ketut S.W, Sulis N.H, dan Didik S. 2012.
Imunositokimia Streptavidin Biotin: Deteksi Dini Viral Nervous Necrosis Virus pada Lendir Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus). JURNAL SAIN VETERINER ISSN : 0126 – 0421. JSV 30 (1)
67
Sugama K. 2001. Petunjuk Teknis Produksi Benih Ikan Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis. Balai Riset Budidaya Laut Gondol, Pusat Riset dan Pengembangan Laut dan Perikanan Departemen Perikanan dan Kelautan. Bali.
Sugama, K., Tridjoko, B. Slamet, S. Ismi, E. Setadi, dan S. Kawahara. 2001.
Petunjuk teknis produksi benih ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis. BBRPBL, Pusris., DKP dan JICA.
Sumich, J. L. 1992. Introduction to the Biology of Marine Life. 5th Edition. WCB, Wm.
C. Brown Publishers, USA. 348 p. Sutamihardja, R. T. M. 1978. Kualitas dan Pencemaran Lingkungan. Fakultas
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 92 hal. Thiery, R., J. Cozien, J. Cabon, F. Lamour, M. Baud, and A. Schneemann. 2006.
Induction of a Protective Immune Response Against Viral Nervous Necrosis in the European Sea Bass Dicentrarchus labrax by Using Betanodavirus Virus-Like Particles. Journal of Virology, Vol. 80, No. 20, p. 10201–10207.
Tiskiantoro F. 2006. Analisis kesesuaian lokasi budi daya keramba jaring apung
dengan aplikasi sistem informasi geografis di Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. 212 pp.
Utami, D. 2001. Pengaruh Pemupukan Lanjutan Terhadap Sintasan dan Laju
Pertumbuhan Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio) Pada Pendederan Pertama. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wagner, C. 2013. Indiana’s Cyanobacteria Monitoring Program. Indiana Department
of Enviromental Management. Wandansari, N. D. 2013. PERLAKUAN AKUNTANSI ATAS PPH PASAL 21 PADA
PT. ARTHA PRIMA FINANCE KOTAMOBAGU. Fakultas Ekonomi. Universitas Sam Ratulangi Manado. Manado.
Yuasa, K., I. Koesharyani dan K. Mahardika. 2007. Effect of Higher Water
Temperature on Betanodavirus Infection of Fingerling Humpback Grouper Cromileptes altivelis. Journal of Fish Pathology. 42 : 219 – 221.
Zuhriana K.Yusuf. 2010. POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR). Jurusan
Kesehatan Masyarakat FIKK. Gorontalo