analisis perubahan sikap tiongkok terhadap korea …digilib.unila.ac.id/56112/3/3. skripsi full...
TRANSCRIPT
ANALISIS PERUBAHAN SIKAP TIONGKOK TERHADAP KOREAUTARA TENTANG ISU NUKLIR DI SEMENANJUNG KOREA TAHUN
2006-2018
(Skripsi)
Oleh
TIA PANCA RAHMADHANI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
ABSTRACT
THE ANALYSIS OF TIONGKOK CHANGING ATTITUDE TOWARDSNORTH KOREA ABOUT NUCLEAR CRISIS IN KOREAN PENINSULA
IN 2006-2018
By
TIA PANCA RAHMADHANI
The change in China's attitude to North Korea on the issue of the nuclearcrisis on the Korean Peninsula is one of the most interesting issues to discussed.The nickname of the blood alliance and lips and teeth alliance that is attached tothe relations of the two countries shows a change when North Korea developsnuclear weapons which triggers a security dilemma in the Korean Peninsularegion. The crisis not only triggered changes in China's attitude but involved fiveother countries, the United States, South Korea, Japan and Russia. As a result ofthis, East Asian countries experienced tension.
This study aims to describe the factors causing changes in China's attitudetowards North Korea in the nuclear issue on the Korean Peninsula that occurred in2006-2018. This research uses foreign policy theory and the concept of nationalsecurity. This research is descriptive qualitative research. The data used in thisstudy are secondary data with data collection techniques and literature studies.Whereas, data analysis uses the method suggested by Miles and Huberman whichconsists of data reduction, data presentation and conclusion drawing. Thisresearch concludes that changes in China's attitude towards North Korea in thenuclear crisis on the Korean Peninsula is caused by internal factors consisting ofdomestic political conditions, domestic economic conditions, domestic militaryconditions. While the external factor that causes change is international politicalconditions.
Keywords: External Factors, Internal Factors, Korean Peninsula NuclearCrisis, Changes in Attitudes.
ABSTRAK
ANALISIS PERUBAHAN SIKAP TIONGKOK TERHADAP KOREAUTARA TENTANG ISU NUKLIR DI SEMENANJUNG KOREA TAHUN
2006-2018
Oleh
TIA PANCA RAHMADHANI
Perubahan sikap Tiongkok kepada Korea Utara pada isu krisis nuklir diSemenanjung Korea merupakan salah satu isu yang sangat menarik untuk dibahas.Julukan blood alliance dan lips and teeth alliance yang disematkan kepadahubungan dua negara ini menunjukkan perubahan saat Korea Utaramengembangkan nuklir sebagai persenjataan yang memicu security dilemma dikawasan Semenanjung Korea. Krisis tersebut tidak hanya memicu perubahansikap Tiongkok namun melibatkan lima negara lain yaitu, Amerika Serikat, KoreaSelatan, Jepang dan Russia. Sebagai akibat dari hal tersebut negara-negara di AsiaTimur mengalami ketegangan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang faktor penyebabperubahan sikap Tiongkok terhadap Korea Utara dalam isu nuklir di SemenanjungKorea yang terjadi pada tahun 2006-2018. Penelitian ini menggunakan teorikebijakan luar negeri dan konsep keamanan nasional. Penelitian ini merupakanpenelitian desktriptif kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalahdata sekunder dengan teknik pengumpulan data studi pustaka dan studidokumentasi. Sedangkan, analisis data menggunakan metode yang disarankanoleh Miles dan Huberman yang terdiri dari reduksi data, penyajian data danpenarikan kesimpulan. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa perubahansikap Tiongkok terhadap Korea Utara dalam krisis nuklir di Semenanjung Koreadisebabkan oleh faktor internal yang terdiri dari kondisi politik domestik, kondisiekonomi domestik, kondisi militer dalam negeri. Sedangkan faktor eksternalpenyebab perubahan adalah kondisi politik internasional.
Kata kunci : Faktor Eksternal, Faktor Internal, Krisis Nuklir SemenanjungKorea, Perubahan Sikap.
ANALISIS PERUBAHAN SIKAP TIONGKOK TERHADAP KOREAUTARA TENTANG ISU NUKLIR DI SEMENANJUNG KOREA TAHUN
2006-2018
Oleh
TIA PANCA RAHMADHANI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai GelarSARJANA HUBUNGAN INTERNASIONAL
Pada
Jurusan Ilmu Hubungan InternasionalFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
RIWAYAT HIDUP
Penulis memiliki nama lengkap Tia Panca
Rahmadhani. Penulis lahir di Metro pada tanggal 5
Februari 1995 sebagai anak ke tiga dari empat
bersaudara, putri dari pasangan Bapak (Alm) Indarto
dan Ibu Munawati. Pendidikan formal yang pernah
ditempuh penulis dimulai dari Taman Kanak-Kanak
PKK 1 Yosodadi Metro, kemudian jenjang Sekolah
Dasar di SDN 4 Metro Timur lulus di tahun 2007. Penulis menyelesaikan
pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 4 Metro pada tahun
2010. Selanjutnya, menyelesaikan pendidikan tingkat atas di SMA Negeri 3 Metro
tahun 2014.
Penulis melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dengan terdaftar
sebagai mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Lampung pada tahun 2014 melalui jalur masuk Seleksi
Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Semasa kuliah penulis
aktif bergabung dalam organisasi kemahasiswaan di bawah naungan Himpunan
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional (HMJ HI) FISIP Universitas
Lampung.
Sebagai Sekretaris Departemen bidang Accademic Affairs di tahun
kepengurusan 2015/2016 dan sebagai Ketua Umum di tahun kepengurusan
2016/2017. Penulis juga menjadi perwakilan Jurusan Hubungan Internasional
sebagai Mawapres Tingkat Fakultas pada tahun 2016. Penulis menjadi salah satu
delegasi dalam Pertemuan Sela Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional se-
Indonesia (PSNMHII) di Universitas Jenderal Ahmad Yani, Pertemuan Nasional
Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia (PNMHII) di Universitas Budi
Luhur Jakarta dan Universitas Negeri Sebelas Maret yang berhasil mendapat
nominasi juara ke-3 dalam penulisan karya ilmiah bidang ekonomi.
MOTTO
“Preparation, Perfect, Performance (+Pray)”(Penulis)
只要它抓到老鼠,无论猫是黑色还是白色都没关系
“It doesn’t matter if a cat black or white,so long as it catches mice”
(Deng Xioping)
PERSEMBAHAN
Kepada
Allah SWT,Kedua orang tuaku tercinta,
Bapak Indarto dan Ibu MunawatiMbak Ita dan Mas Heri
Mbak Evi dan AangHeksa Kusuma Wardhana
Seluruh Dosen Jurusan Hubungan Internasional,
terimakasih untuk setiap doa dan dukungan dalam setiap langkahku, terimakasihatas kepercayaan dan tanggungjawab besar yang diberikan kepadaku
serta Almamater yang kubanggakan;Jurusan Hubungan Internasional
Universitas Lampung.
SANWACANA
Alhamdulillahirabil’alamin, puji syukur atas keridhoan Allah SWT yang
senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Perubahan Sikap Tiongkok
Terhadap Korea Utara Tentang Isu Nuklir di Semenanjung Korea Tahun
2006-2018 ” ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis menyampaikan
ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan
skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Allah SWT atas segala kekuatan dan nikmat yang diberikan kepada
penulis. Nabi Muhammad SAW atas tauladan yang baik dalam hidup
penulis. Atas berkat kekuasaan-Mu penulis mampu menyelesaikan
pendidikan, atas rezeki dan nikmat iman sehingga penulis senantiasa
bersyukur dan bersabar dalam setiap ujian yang diberikan hingga hari ini.
2. Ibu Munawati dan Almarhum Bapak Indarto, terimakasih atas segala
dukungan dan semangat yang telah diberikan kepada penulis hingga hari
ini dan seterusnya, dan penulis berharap doa yang tiada putus untuk
mengiringi petualangan yang akan penulis lakukan di masa yang akan
datang. Kepada Bapak, satu lagi anakmu menjadi sarjana. Terimakasih
sudah mendukung, mempercayai dan senantiasa mendoakan yang terbaik.
3. Mbak Ita, Mbak Evi, Mas Heri, Aang, Heksa, serta seluruh keponakanku
yang lucu Kakak Hisyam, Abang Fatih, Mas Hariz dan Mas Biyan.
Terimakasih atas segala waktu, energi, kesabaran, doa serta harapan yang
mengalir kepada penulis. Semoga kesehatan, kebahagiaan dan barakah
rizki akan selalu menyertai kita semua. Tanpa kalian, Tia tidak akan
seperti sekarang.
4. Bapak Dr. Syarief Makhya, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Lampung.
5. Ibu Dr. Ari Darmastuti, M.A selaku Ketua Jurusan Ilmu Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung
yang selalu memberikan motivasi, dukungan dan kasih sayang kepada
penulis.
6. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si selaku Dosen Pembimbing Utama dan
telah memberikan banyak masukan, saran dan kritik sehingga saya dapat
menyelesaikan skripsi ini.
7. Bang Indrajaya Wiranata, M.A selaku Dosen Pembimbing Kedua skripsi
yang telah banyak memberikan ilmu, meluangkan waktu untuk bimbingan,
membimbing, mengarahkan, memberikan kritik dan saran yang
membangun serta memberikan motivasi kepada penulis.
8. Bapak Dr. Dedy Hermawan, M.Si selaku Dosen Penguji skripsi yang juga
memberikan banyak masukan yang membangun dalam penulisan skripsi
ini.
9. Bapak Drs. Aman Toto Dwijono, M.H., terimakasih atas kasih sayang
orang tua yang diberikan kepada penulis selama menjadi mahasiswa di
Jurusan Hubungan Internasional. Penulis memohon maaf jika selama saya
menjadi Ketua Umum HMJHI banyak merepotkan bapak dan
menempatkan bapak dalam kondisi sulit. Serta terimakasih telah berdiri di
barisan terdepan jika kami mengalami kesulitan.
10. Seluruh jajaran dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas
Lampung. Semoga bekal ini dapat membawa penulis menjadi orang yang
lebih bijak dan lebih baik di masa yang akan datang. Semoga di masa yang
akan datang kita dapat bertemu dalam keadaan yang lebih baik.
11. Kepada Bapak Soesilo Bambang Yudhoyono, terimakasih atas jasa Bapak
yang telah membuat mimpi saya untuk mengenyam bangku sekolah tinggi
dapat tercapai berkat program bidikmisi. Semoga Bapak senantiasa
diberikan kesehatan dan rezeki yang berlimpah.
12. Dr. Lonnie Edge dan Prof. Hong Nack Kim yang telah memberikan
bantuan kepada penulis untuk mendapatkan data yang dibutuhkan selama
penelitian meskipun terhalang jarak benua dan perbedaan waktu.
13. “Skripsi 1st Holiday Later”. Fitri Fatharani, Hanifah Az Zahra, Rizka
Amelia dan Amalia Rezki Palendra. Terimakasih atas semua pengertian
terhadap keterbatasan penulis selama ini. Terimakasih telah melewati
‘badai” pendewasaan bersama. Semoga kita dapat terus menjalin
silaturahmi di masa yang akan datang.
14. Keluargaku, “Red Hot Chili Paper” yang selama ini menjadi tempat
berkeluh kesah dan berjuang bersama, Doni Arief Setiawan, Lupita
Indahsari, Riza Febriana, Euis Lara Oktaviani dan Hervina Arnetta
terimakasih atas pelajaran hidup yang diberikan
15. Corpous Motum yang senantiasa memberikan keceriaan, tiada cukup
terimakasihku atas tawa yang kalian hadirkan.
16. Keluarga KKN Kebangsaan 2017 Desa Owata Gorontalo, Bang Rukun,
Bang Danu, Artha, Mega, Ani dan Irma. Semoga suatu hari kita diberikan
kesempatan untuk bertemu kembali.
17. Semua teman-teman angkatan 2014 terimakasih untuk pengalaman
perkuliahan dan cerita yang telah dilewati bersama. Semoga masing-
masing dari kita dapat menggapai mimpi yang telah kita tuliskan. Semoga
kita diberikan kesempatan untuk bertemu kembali di kemudian hari.
18. Teman-teman kepengurusan HMJ HI 2015/2016 dan 2016/2017
terimakasih atas kenangan yang telah kita bangun bersama di HMJHI.
Terimakasih telah menjadi support system saat saya menghadapi masa
sulit sebagai Ketua Umum.
Bandarlampung, 11 Februari 2019Penulis,
Tia Panca Rahmadhani
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................. i
DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... v
DAFTAR GRAFIK ....................................................................................... vi
DAFTAR SINGKATAN................................................................................ vii
I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 11.1 Latar Belakang ..................................................................................... 11.2 Identifikasi Masalah ............................................................................. 101.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 111.4 Kegunaan Penelitian ............................................................................. 12
1.4.1 Kegunaan Ilmiah/ Teoritis .......................................................... 121.4.2 Kegunaan Praktis ....................................................................... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 132.1 Penelitian Terdahulu ............................................................................. 132.2 Landasan Konseptual .......................................................................... 20
2.2.1 Kebijakan Luar Negeri (Foreign Policy) .................................... 202.2.2 Konsep Keamanan Nasional (National Security) ...................... 232.2.3 Perubahan Sikap dalam Politik Internasional ............................ 25
2.3 Kerangka Pemikiran ............................................................................. 26
III. METODE PENELITIAN ...................................................................... 283.1 Tipe Penelitian ...................................................................................... 283.2 Fokus Penelitian .................................................................................. 29
3.2.1 Perubahan Sikap Tiongkok Terhadap Korea Utara 2006-2018 . 293.2.2 Faktor Internal ............................................................................ 303.2.3 Faktor Eksternal ......................................................................... 30
3.3 Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 303.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 313.5 Teknik Analisis Data ............................................................................ 32
3.5.1 Reduksi Data .............................................................................. 32
ii
3.5.2 Penyajian Data ............................................................................ 323.5.3 Penarikan/ Verifikasi Kesimpulan ............................................. 33
IV. GAMBARAN UMUM ............................................................................ 344.1 Krisis Nuklir Semenanjung Korea ..................................................... 344.2 Gambaran Umum Tiongkok .............................................................. 50
4.1.2 Hubungan Tiongkok dan Korea Utara 2006- 2018 ................... 564.1.2.1 Hubungan Politik Tiongkok & Korea Utara 2006-2018 564.1.2.2 Hubungan Ekonomi Tiongkok & Korea Utara ............... 61
4.3 Kondisi Politik Domestik Tiongkok .................................................. 634.3.1 Periode Kepemimpinan Hu Jintao – Xi Jin Ping ........................ 644.3.2 Kondisi Ekonomi Tiongkok ....................................................... 664.3.3 Kondisi Militer-Politik Tiongkok .............................................. 69
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 765.1 Perubahan Sikap Tiongkok Terhadap Korea Utara dalam Isu Nuklir
di Semenanjung Korea Tahun 2006-2018 ........................................ 795.1.1 Perubahan Pola Dukungan Tiongkok dalam DK PBB ............ 805.1.2 Perubahan Peran Tiongkok dalam The Six Party Talks............ 825.1.3 Tiongkok Memperpanjang The Sino Agreement hingga 2021 . 885.1.4 Perubahan Dinamika Kerjasama Ekonomi Tiongkok - Korut . 91
5.2 Analisis Faktor Internal dan Eksternal Sebagai Penyebab Perubahan . . . . .. Sikap Tiongkok ke Korea Utara Tahun 2006-2018 ......................... 93
5.2.1 Analisis Faktor Internal Kondisi Politik Domestik SebagaiPenyebab Perubahan Sikap Tiongkok ke Korea Utara Tahun2006-2018 ............................................................................... 93
5.2.2 Analisis Faktor Internal Kondisi Ekonomi Domestik SebagaiPenyebab Perubahan Sikap Tiongkok ke Korea Utara Tahun2006-2018 ............................................................................... 101
5.2.3 Analisis Faktor Internal Kondisi Militer dalam Negeri SebagaiPenyebab Perubahan Sikap Tiongkok ke Korea Utara Tahun2006-2018 ............................................................................... 105
5.2.4 Analisis Faktor Eksternal Sebagai Penyebab PerubahanSikap Tiongkok ke Korea Utara Tahun 2006-2018 ................ 110
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 1146.1 Kesimpulan ........................................................................................ 1146.2 Saran .................................................................................................. 1156.3 Rekomendasi ...................................................................................... 116
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 118
LAMPIRAN.................................................................................................... 123
LAMPIRAN IRangkuman Konsensus The Six Party Talks Tahun 2003-2009 ............. 123
LAMPIRAN II
iii
Dukungan Tiongkok Terhadap Resolusi DK PBB Pada Isu Krisis Nuklir .di Semenanjung Korea- ............................................................................ 126
LAMPIRAN IIIBantuan Tiongkok Terhadap Korea Utara Tahun 2000-2014 ................ 132
LAMPIRAN IVKorelasi Perubahan Jumlah Impor, Ekspor & FDI Tiongkok di Korea Utaradalam Krisis Nuklir di Semenanjung Korea ........................................... 134
iv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1.1 Perbandingan Kapabilitas Negara-Negara di Asia Timur 2005........... 3
1.2 Rangkuman Pertumbuhan Ekonomi, Kebijakan dan Sikap
Tiongkok tahun 2006 -2014 ................................................................ 9
2.1 Komparasi Penelitian Terdahulu ......................................................... 19
5.1 Analisisis Internal Kondisi Politik Domestik Terhadap Perubahan
Sikap Tiongkok Kepada Korea Utara Tahun 2006-2018..................... 94
5.2 Analisisis Internal Kondisi Ekonomi Domestik Terhadap Perubahan
Sikap Tiongkok Kepada Korea Utara Tahun 2006-2018..................... 102
5.3 Analisisis Internal Militer Dalam Negeri Terhadap Perubahan Sikap
Tiongkok Kepada Korea Utara Tahun 2006-2018............................... 106
5.4 Analisis Faktor Eksternal Perubahan Sikap Tiongkok Terhadap Korea
Utara Tahun 2006-2018 ....................................................................... 110
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1 Peta Asia Timur dan Semenanjung Korea ................................................ 4
1.2 Formasi Militer Tiongkok Tahun 2010 dan Penempatan ALUTSISTA ... 8
2.1 Determinan Pengaruh Politik/ Sikap Luar Negeri Negara ........................ 22
2.2 Bagan Kerangka Pikir ............................................................................... 27
3.1 Proses Analisis Data Kualitatif ................................................................. 33
4.1 Pembagian Wilayah Administratif Tiongkok ........................................... 53
4.2 Bagan Sistem Pemerintahan Tiongkok ..................................................... 55
4.3 Struktur Komando Militer Tiongkok Sebelum Perubahan ....................... 72
4.4 Struktur Komando Militer Tiongkok Setelah Perubahan .......................... 73
5.1 Hasil Analisis Perubahan Sikap dan Faktor Penyebab ............................. 78
5.2 Peran Tiongkok dalam The Six Party Talks .............................................. 84
5.3 Komando Militer Tiongkok 1985-2015 .................................................... 109
5.4 Komando Militer Tiongkok 2016-Sekarang ............................................. 109
vi
DAFTAR GRAFIK
Tabel Halaman
4.1 Jumlah Ekspor Korea Utara ke Tiongkok 2006-2017 .............................. 61
4.2 Jumlah Impor Korea Utara ke Tiongkok 2006-2017 ............................... 62
4.3 Jumlah FDI Korea Utara ke Tiongkok 2006-2017 .................................. 63
4.4 Pertumbuhan Ekonomi Tiongkok 2006-2018 .......................................... 68
4.5 Anggaran Pertahanan Tiongkok 2006-2017 ............................................ 70
5.1 Volume Perdagangan Tiongkok & Korea Utara 2006-2016 ................... 92
vii
DAFTAR SINGKATAN
AS : Amerika SerikatBT : Bujur TimurCCP : Chinese Communist PartyCMC : Central Millitary CommissionCTBTO : The Comprehensive Test Ban Treaty OrganizationCVID : Complete, Verifiable, and Irreversible DismantlementFDI : Foreign Direct InvestmentHAM : Hak Asasi ManusiaHFO : Heavy Fuel OilIAEA : International Atomic Energy AgencyICBM : Intercontinental Balistic MissileJIG : Joint Civilian-Military Investigation GroupLU : Lintang UtaraLWR : Light-Water ReactorNPT : Non Proliferation Nuclear TreatyOBOR : One Belt One RoadPBB : Perserikatan Bangsa-BangsaPLA : People’s Liberation ArmyPLAA : PLA ArmyPLAN : PLA NavyPLAAF : PLA Air ForcePLARF : PLA Rocket ForcePKC : Partai Komunis ChinaSEZs : Spesial Economic Zones of ChinaTHAAD : Terminal High-Altitude Area Defense BatteryUNSC : United Nation Security CouncilZEE : Zona Ekonomi Eksklusive
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Politik internasional merupakan media pertemuan kepentingan berbagai
aktor, termasuk negara. Oleh karena itu dinamika dalam politik internasional
merupakan konsekuensi dari adanya benturan kepentingan setiap aktor yang
terlibat. Timbulnya dinamika dalam politik internasional menciptakan interaksi
antar negara. Interaksi tersebut muncul karena setiap negara memiliki kepentingan
yang berbeda untuk berpartisipasi dalam politik internasional. Oleh karena itu
perubahan sikap negara merupakan hal yang lazim dalam politik internasional
sebagai reaksi dari suatu negara atas isu tertentu (Jackson, 2010: 257).
Namun, perlu kita perhatikan bahwa sikap negara dalam merespon suatu isu
akan berkorelasi dengan kepentingan nasional negara dalam isu tersebut.
Sehingga setiap negara akan menghasilkan kebijakan yang berbeda terhadap isu
yang sama. Sebagai salah satu instrumen untuk mencapai kepentingan nasional,
kebijakan luar negeri juga dipengaruhi olehpower yang dimiliki. Baik hardpower,
soft power atau bahkan smart power. Power yang dimiliki suatu negara dapat
meningkatkan daya tawar(bargaining position)dalam negosiasi dengan negara
lain (Mintz, 2010: 13).
2
Implikasi atas hal tersebut negara akan terus meningkatkanpower yang
dimiliki sebagai upaya untuk berperan dalam politik internasional, baik melalui
kerjasama atau membangun kapabilitas secara mandiri. Hubungan kerjasama
ekonomi dan keamanan merupakan bentuk paling lazim dari hubungan kerjasama
antar negara untuk meningkatkan kapabilitas. Terdapat banyak bentuk dan ciri
dari dua kerjasama diatas. Baik dari jumlah keanggotaan hingga aturan dalam
kerjasama tersebut. Jika mengacu pada teori realis yang menganggap bahwa
politik internasional bersifat anarki, maka tidak ada yang dapat menjamin
kerjasama antar negara tersebut dapat berlangsung dalam kondisi-kondisi tertentu.
Oleh karena itu meskipun banyak negara yang telah tergabung dalam kerjasama
keamanan namun tetap meningkatkan kapabilitasnya, terutama bagi negara-negara
yang secara ekonomi dan politik tidak memiliki power yang dominan dalam
politik internasional.
Korea Utara merupakan negara yang tidak memiliki kapabilitas yang besar
di Asia Timur sebelum mengembangkan nuklir sebagai senjata. Dari sisi
geografis, Korea Utara diapit oleh negara dengan kapabilitas besar seperti
Tiongkok atau negara dengan kekuatan sekutu besar seperti Korea Selatan dan
Jepang. Secara politik, Korea Utara juga bukan negara yang berpengaruh dalam
konstelasi politik internasional, selain karena ideologi sosialis yang diterapkan
membuat tidak banyak negara yang membangun kerjasama Pyongyang. Secara
ekonomi, Korea Utara merupakan negara dengan perekonomian yang kurang
berkembang dan tidak memiliki banyak sumber daya atau kemampuan teknologi
yang mampu menciptakan industri seperti Tiongkok dan Jepang. Korea Utara
sendiri, masih sangat bergantung dengan bantuan ekonomi Tiongkok untuk
3
menjalankan aktivitas ekonominya. Baik secara ekonomi dan politik Korea Utara
tidak memiliki power yang dominan di kawasan regional Asia Timur maupun
dunia. Berikut adalah perbandingan kapabilitas Korea Utara dengan negara lain di
Asia Timur pada tahun 2005:
Tabel 1.1 Perbandingan Kapabilitas Negara Asia Timur Tahun 2005
IndikatorKapabilitas
Tiongkok Hongkong Jepang Makau Mongolia Korea Utara KoreaSelatan
Luas Wilayah 9.690.000 km2 1.104 km2 377.944 km2 30.3 km2 1.566.000 km2 120.540 km2 100.210 km2
Jumlah Penduduk 1.303.700.000 Jiwa 6.813.200 Jiwa 127.773.000 Jiwa 482.559 Jiwa 2.526.400 Jiwa 23.904.200 Jiwa 48.184.600 Jiwa
GDP (dalam US$) 2.286 Triliun 181.570 Miliar 4.755 Triliun8.195Miliar
2.523 Miliar 733.000 Miliyar 897.137 Miliar
Jumlah TentaraAktif (Combatan)
2.333.000 Tentara 290.000 Tentara 239.900 Tentara - 8.600 Tentara1.106.000Tentara
687.700 Tentara
AnggaranPertahanan (ShareGDP)
2.0% - 0.9% - 1.2% 15.6% 2.5%
Negara Nuklir* Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak** Tidak
PertumbuhanEkonomi
11.4% 7.4% 1.7% 8.1% 7.3% 3.8% 3.9%
Inflasi 3.9% -0.2% -1.0% 5.6% 20.1% - 1.0%
Keterangan*Berdasarkan Perjanjian NPT** Memiliki Senjata Nuklir Tapi Tidak Diakui Sebagai Negara Nuklir (Ilegal)
Sumber : Worldbank, Stockholm International Peace Research Institute, The Military Balance2005. (Diolah)
Dari delapan indikator yang ada pada tahun 2005, Korea Utara menjadi
negara dengan anggaran pertahanan tertinggi dibandingkan dengan negara lain di
kawasan Asia Timur, 15% dari jumlah total GDP yang dimiliki. Meskipun
demikian, jumlah tentara Pyongyang juga dapat dikatakan cukup rendah dengan
sebaran 9 tentara/km2. Secara geografis letak Korea Utara berada di antara
kawasan yang memiliki tipe hubungan enmity. Selain itu Pyongyang juga diapit
oleh raksasa ekonomi yang sedang tumbuh dan menakjubkan dunia internasional,
Tiongkok. Terlebih lagi Korea Utara berbatasan langsung dengan Korea Selatan
4
yang pada tahun tersebut masih terlibat gencatan senjata pacsa Perang Korea
berakhir. Selain itu, Korea Selatan dan Jepang merupakan negara sekutu Amerika
Serikat (AS).
Tiongkok, Jepang, Hongkong dan Korea Selatan pada tahun tersebut telah
memiliki kapabilitas yang baik dan didukung dengan kekuatan ekonomi yang
serta peran yang cukup baik dalam politik internasional. Sebaliknya, sebagai
negara dengan kondisi politik yang lemah, Korea Utara tidak begitu
diperhitungkan. Pemimpin tertinggi Korea Utara saat itu, Kim Jong Il mengadopsi
doktrin military first sebagai doktrin negaranya, dan salah satu implementasi
doktrin tersebut Pyongyang terus mengembangkan program persenjataan nuklir
sebagai upaya untuk meningkatkan kapabilitas pertahanan sebagai respon kondisi
regional. Pengembangan program persenjataan nuklir tersebut banyak ditentang
bahkan dari negara sekutu, Tiongkok. Perhatian Beijing dalam krisis nuklir
Semenanjung Korea dipicu oleh program pengembangan nuklir oleh Korea Utara
(dibawah rezim Kim Jong Il dan Kim Jong Un) yang memicu respon negara lain
di Kawasan Semenajung Korea sehingga menciptakan krisis nuklir di kawasan
tersebut.
Gambar 1.1 Peta Asia Timur dan Semenanjung KoreaSumber : Encyclopedia of World Cultures
5
Pada uji coba yang dilakukan tanggal 5 Juli 2006, Pyongyang meluncurkan
tujuh fire long-range ballistic missiles, termasuk Taepodong-II dan dua short
missiles, Nodong-IIdiluncurkan dari Desa Kittaraeyong uji coba tersebut
mendapatkan perhatian dunia, karena dalam sebuah statement Korea Utara
mengakui kepemilikan senjata nuklir dalam sebuah fasilitas nuklir yang sedang
dikembangkan (Laporan IISS dalam Military Balance, 2007: 331). Daya jangkau
misil tersebut mencapai 6.000 kilometer dan 10.000 kilometer. Uji coba tersebut
mendapatkan perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)yang kemudian
mengeluarkan Resolusi S/RES/1718/2006 yang menekan Pyongyang dengan
sanksi ekonomi berupa pembekuan seluruh kegiatan ekonomi yang berhubungan
dengan program nuklir (Laporan IISS dalam Military Balance, 2007: 332).
Pasca uji coba yang dilakukan Korea Utara pada tahun yang sama,
Tiongkok melalui Kementerian Pertahanan Tiongkoknya mengumumkan
kenaikan anggaran pertahanan sebesar 14.7% dibandingkan tahun sebelumnya
(Laporan IISS dalam Military Balance, 2007: 208). Namun beberapa pengamat
menyatakan bahwa kenaikan anggaran pertahanan Tiongkok sebagai implikasi
dari kenaikan dan pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang pada tahun 2006
mencapai angka 12,72% (Worldbank, 2006: 1). Kenaikan anggaran ini dibarengi
dengan peningkatan kapabilitas pertahanan dan sistem persenjataan tersebut
dinilai oleh para pengamat sebagai hal yang wajar.
Namun, dengan sistem pertahanan dan persenjataan Tiongkok yang di
modernisasi, dibarengi dengan perubahan sikap Tiongkok terhadap Korea Utara.
Perubahan sikap tersebut salah satunya dapat terlihat dalam dukungan Tiongkok
pada United Nations Security Council (UNSC) atas resolusi-resolusi yang
6
dikeluarkan untuk Korea Utara. Dukungan Beijing atas Resolusi Nomor
S/RES/1695/2006 tertanggal 4 Juli 2006, mengindikasikan perubahan sikap
Tiongkok atas Korea Utara dalam beberapa dekade terakhir (Feng, 2009: 47).
Karena meskipun sebelumnya Tiongkok mendukung resolusi yang dikeluarkan,
namun tetap menjalin kerjasama dengan Korea Utara dan tetap mengirimkan
bantuan. Sejak tahun 2006 Tiongkok perlahan menerapkan sanksi yang telah
diputuskan.
Pada 9 Oktober 2006, Pyongyang melakukan undergroundnuclear device
test yang kemudian membuat AS menekan Dewan Keamanan PBB untuk
merespon hal tersebut. Lima hari setelahnya Dewan Kemanan PBB mengeluarkan
Resolusi Nomor S/RES/1718/2006 tertanggal 14 Oktober 2006, resolusi tersebut
berisi upaya internasional untuk menekan pengembangan nuklir yang dilakukan
Korea Utara yang secara umum dianggap mengancam stabilitas keamanan
internasional dan mengancam stabilitas keamanan kawasan Semenanjung Korea
khususnya.
Pada Mei 2009 Korea Utara kembali meluncurkan ballistic missiles melalui
instalasi peluncuran nuklirnya. Peluncuran ini menjadi peluncuran nuklir yang
terbesar sejak peluncuran tahun 2006 (Kementerian Pertahanan Korea Utara,
asiafoundation.org: 1). Peluncuran tersebut menimbulkan gempa sebesar 4.5 skala
richter dan menyebabkan Tiongkok mengevakuasi warga dengan radius 180
kilometer dari pusat uji coba. Peluncuran ini juga menarik perhatian internasional
yang menganggap bahwa Korea Utara memprovokasi perdamaian yang dibangun
7
di Semenanjung Korea. Atas hal tersebut Jepang mengirimkan surat kepada
Presiden Dewan Keamanan PBB yang meminta rapat darurat atas pengembangan
misil oleh Pyongyang (UNSC Press Release, 2009: 1)
Seiring dengan berubahnya konstelasi keamanan regional terutama di
Semenanjung Korea, Tiongkok merubah orientasi keamanan nasionalnya dari
ground force oriented menjadi continental mindset (Laporan IISS dalam Military
Balance, 2010: 231). Perubahan ini dimulai dengan parade Alat Utama Sistem
Pertahanan (ALUTSISTA) angkatan udara dan national strategic missile force
pada 1 Oktober 2009. Dalam parade ini juga diumumkan bahwa Beijing telah
memperbaharui sistem pertahananya dengan medium range ballistic missile,
intercontinental ballistic missile dan land attack cruise missile.
Di tahun yang sama Tiongkok merilis White Paper (Buku Putih Pertahanan)
yang secara umum merangkum tujuan keamanan jangka panjang. Beijing
menjelaskan mengenai perubahan kebijakan keamanannya yang bertujuan untuk
menjadi major role dalam agenda keamanan internasional. Tujuan ini diimbangi
dengan kenaikan anggaran pertahanan di tahun yang sama, dengan anggaran
untuk ALUTSISTA persenjataan angkatan laut menyentuh angka 25% dari
seluruh anggaran. Sisanya terdistribusi guna keperluan belanja gaji personel,
maintance dan operasi latihan militer. Pada tahun 2010 Tiongkok juga menata
ulang penempatan sistem pertahanan dan formasi personil bersenjata. Hal ini
dianggap sebagai efisiensi dari penempatan personil dan formasi militer dalam
menghadapi dinamika keamanan kawasan di Semenanjung Korea.
8
Berikut adalah peta formasi militer Tiongkok tahun 2010 :
Gambar 1.2 : Formasi Militer Tiongkok Tahun 2010 dan Penempatan ALUTSISTASumber : Laporan IISS dalam Military Balance, 2010.
Pada Februari 2013 Korea Utara kembali meluncurkan uji coba nuklir di
area yang sama dengan peluncuran di tahun 2006 dan 2009. Peluncuran kali ini
diverifikasi oleh Kementerian Pertahanan Korea Utara dan diperkirakan daya
ledak nuklir pada percobaan kali ini mencapai 6-7 kiloton. Uji coba ini kemudian
direspon oleh PBB dengan mengeluarkan resolusi S/RES/2094/2013 yang
mempertegas sanksi kepada Korea Utara dengan memperluas larangan pada impor
material pendukung pengembangan program nuklir dan sanksi finansial, termasuk
membekukan semua aset Korea Utara di luar negeri, baik aset negara maupun
swasta. Sanksi yang diberikan PBB juga direspon Tiongkok dengan menetapkan
“red line” bagi Pyongyang. Kementerian pertahanan Tiongkok dalam pidatonya
menganggap bahwa apa yang telah dilakukan Pyongyang adalah upaya untuk
memancing perang di Semenanjung Korea dan tidak menghargai upaya
perdamaian yang telah dibangun Beijing.
9
Seiring dengan krisis nuklir yang terjadi di kawasan Semenanjung Korea,
Tiongkok sebagai negara yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan
national interest-nya melakukan beberapa kebijakan sebagai respon atas krisis
yang terjadi di kawasan Semenanjung Korea.Dalam tabel dibawah dituliskan
kebijakan dan pencapaian Tiongkok yang bertepatan dengan program
pengembangan nuklir pada tahun 2006, 2009 dan 2013 :
Tabel 1.2 Rangkuman Pertumbuhan Ekonomi, Kebijakan & Sikap Tiongkok 2006 -2014
Tahun Rangkuman Pertumbuhan Ekonomi, Kebijakan dan SikapTiongkok Tahun 2006 -2014
2006
2009
- Pertumbuhan GDP mencapai 12,72%- Menurunkan anggaran pertahanan sebesar 0,1% dari tahun
sebelumnya.- Mendukung Resolusi PBB S/RES/1695 dan S/RES/1718
tentang sanksi Korea Utara- Tiongkok mengadakan pameran persenjataan Angkatan
Udara, Laut dan Artileri (China’s Strategic Missile Forces)- Merubah orientasi sistem pertahanan semesta dari ground
force oriented ke continental mindset oriented
- Memperbaharui sistem pertahanan medium range ballisticmissile, intercontinental ballistic missile dan land attackcruise missile
- Mempublikasikan Buku Putih Pertahanan dengan tujuanmenjadikan Tiongkok sebagai aktor utama dalam perdamaianinternasional.
- Mendukung Resolusi PBB S/RES/1874 dan S/RES/1887tentang sanksi Korea Utara
2013
- Menekan Korea Utara melalui jalur diplomatik atas protesJepang terhadap program pengembangan nuklir Korea Utara.
- Pertumbuhan ekonomi Tiongkok melambat ke angka 7,75%pada 2013.
- Tiongkok mempublikasikan Buku Putih Pertahanan dengandoktrin “Commensurate with China’s International Standing”
- Tujuan jangka panjang pertahanan Tiongkok :A.Berfokus pada kemanaan maritim untuk menjadi kekuatan
utama pertahanan Tiongkok.B. Berfokus pada peningkatan kapabilitas ballistic missile
- Anggaran Pertahanan pada tahun 2013 naik 10,7%dibandingkan tahun 2012.
- Mendukung Resolusi PBB S/RES/2049 tentang sanksi KoreaUtara
Sumber : The Military Balance : The Annual Assesment of Global Military . .. . . . . Capabilities and Defence Economics 2006-2014 (Diolah)
10
Pada tahun 2006, 2009 dan 2013 merupakan tiga tahun yang penting dalam
perkembangan hubungan antara Korea Utara dan Tiongkok. Pada tahun tersebut
Korea Utara meluncurkan misil dan uji coba nuklir sebagai senjata dan dibarengi
dengan perubahan kebijakan ekonomi dan politik Tiongkok yang dirangkum
dalam tabel diatas. Jika dilihat secara garis besar, perubahan sikap Tiongkok dapat
dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu perubahan kebijakan ekonomi, politik dan
pertahanan.
Pasca perang dingin, Semenanjung Korea menjadi salah satu kawasan pusat
pertumbuhan ekonomi Asia. Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, tidak dapat
dihindarkan kawasan tersebut menjadi salah satu kawasan dengan persaingan
kepentingan ekonomi dan ketegangan politik yang tinggi. Hubungan negara-
negara di kawasan Semenanjung Korea lebih kepada hubungan enmity
(Shambaugh, 2008: 52). Perubahan sikap dan kebijakan negara sebagai reaksi atas
dinamika politik internasional merupakan tindakan yang tidak dapat terhindarkan.
Namun, perubahan sikap Tiongkok kepada Korea Utara menarik untuk diteliti
melihat dinamika hubungan kedua negara dalam isu krisis nuklir di Semenanjung
Korea.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa poin penting
yang menjadi landasan penelitian ini, di antaranya :
- Hubungan Tiongkok dan Korea Utara sudah terjalin sejak 1949 dan menjadi
satu-satunya hubungan luar negeri terkuat yang dimiliki Korea Utara.
- Tiongkok merupakan rekan dagang terbesar bagi Korea Utara, juga
merupakan pemberi bantuan ekonomi terbesar bagi Pyongyang.
11
- Pasca Perang dingin kawasan Asia Timur menjadi pusat pertumbuhan
ekonomi sekaligus wilayah pertemuan berbagai kepentingan, namun
Tiongkok mendominasi kekuatan di kawasan tersebut.
- Program pengembangan nuklir Korea Utara dimulai sejak tahun 2000-an
dan terus mendapatkan tekanan dan sanksi internasional untuk dihentikan
(PBB, UNSC, IAEA).
- Tiongkok mendukung Resolusi UNSC S/RES/1695, S/RES/1718,
S/RES/1874, S/RES/1887, S/RES/2094 mengenai sanksi ekonomi dan
politik bagi Korea Utara atas program pengembangan nuklir.
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka pertanyaan penelitian yang
diangkat dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana perubahan sikap Tiongkok
terhadap Korea Utara dan faktor apa saja yang menyebabkan perubahan tersebut
dalam isu krisis nuklir di Semenanjung Korea tahun 2006-2018?”
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti menetapkan tujuan dalam
penelitian ini adalah :
a) Menganalisis perubahan sikap Tiongkok terhadap Korea Utara dalam krisis
nuklir Semenanjung Korea tahun 2006-2018.
b) Mendeskripsikan faktor yang menyebabkan perubahan sikap Tiongkok
terhadap Korea Utara dalam krisis nuklir Semenanjung Korea tahun 2006-
2018.
12
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kesimpulan ilmiah dari topik
yang diteliti. Kegunaan penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu kegunaan
keilmuan dan praktis :
1.4.1 Kegunaan Ilmiah
Penelitian ini diharapkan turut mengembangkan teori-teori ilmu hubungan
internasional, yang berkaitan dengan teori kebijakan luar negeri dan keamanan
nasional. Penelitian ini berguna untuk memaparkan dinamika keamanan
internasional yang terjadi antara Tiongkok dan Korea Utara dalam hal isu nuklir
dan dampaknya terhadap sikap masing-masing negara dan relasi hubungan
tersebut dengan konsep keamanan nasional.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Hasil dari penelitian ini secara praktis dapat berguna bagi kalangan praktisi
hubungan internasional dan menjadi referensi mengenai perubahan sikap
Tiongkok terhadap Korea Utara tahun 2006-2018 dalam krisis nuklir
Semenanjung Korea. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi
mengenai perubahan sikap Tiongkok dan implikasinya terhadap hubungan
Tiongkok dan Korea Utara serta penelitian ini dapat menjadi sumber informasi
dan menjadi acuan sebagai penelitian selanjutnya.
13
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian ini menggunakan paradigma pikir neo-realism yang memiliki
asumsi bahwa sistem internasional merupakan sistem yang anarki, di mana tidak
ada kekuasaan tertinggi di atas negara. Sehingga menciptakan kondisi self-help
yang menciptakan hasrat negara untuk melindungi diri sendiri dengan
menciptakan pilihan kebijakan yang rasional (rational choice) untuk mencapai
kepentingan nasional. Menurut Waltz, negara sebagai unit berkewajiban untuk
memaksimalkan pertahanan diri sendiri dan tidak mengandalkan perlindungan
negara lain, karena tidak akan ada jaminan bahwa negara tersebut mendapat
bantuan.
Waltz juga mengemukakan bahwa negara dalam menentukan sikap politik
internasional sebenarnya tidak bermaksud dengan sengaja memperbesar kekuatan
untuk menciptakan efek menakuti bagi negara lain, tapi negara akan berkewajiban
untuk berkonsentrasi pada keamanan mereka, berkewajiban untuk memperhatikan
setiap ancaman potensial yang ada dari negara lain. Permasalahan yang timbul
kemudian, persepsi dan definisi ancaman yang berbeda dari setiap aktor
menyebabkan negara lain juga bisa salah menafsirkan persepsi ancaman.
14
Penelitian ini melihat penelitian terdahulu sebagai upaya untuk
mendapatkan gambaran mengenai perubahan sikap Tiongkok tahun 2006-2018.
Sehingga penulis dapat menemukan keunikan penelitian ini dibandingkan dengan
penelitian terdahulu.Namun,penulis belum menemukan penelitian terdahulu yang
membahas secara spesifik mengenai perubahan sikap yang dikeluarkan antara
Tiongkok dalam krisis nuklir yang terjadi di Semenanjung Korea pada tahun
2006-2018. Pada bagian ini penulis akan memaparkan lima penelitian terdahulu
terkait tema yang relevan dengan topik penelitian yang dibahas.
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Robert Sutter (2012) terkait
perubahan kebijakan luar negeri Tiongkok pasca Cold War dalam bukunya yang
berjudul “Chinese Foreign Relations : Power and Policy Since the Cold War”,
dalam buku ini dijelaskan terdapat perubahan sikap cukup signifikan yang
dilakukan oleh Tiongkok. Perubahan tersebut terkait dengan berubahnya kondisi
dunia, penyesuaian dengan norma internasional, penyelarasan antara
pembangunan dunia dan kepentingan Tiongkok, serta konsentrasi Tiongkok
dalam membangun dan menggalang dukungan internasional (Sutter, 2012).
Sutter mengungkapkan bahwa, perubahan sikap Tiongkok merupakan
respon alamiah sebuah negara dalam upaya untuk menyesuaikan diri dengan
kondisi sistem internasional yang dinamis. Perubahan dan pembenahan diri
Tiongkok dimulai jauh dari dalam, dimulai dengan revolusi kebudayaan yang
kemudian menyebar dan mempengaruhi segala aspek sikap Tiongkok. Perubahan
sikap ini hadir karena elit Tiongkok menyadari sepenuhnya bahwa sebuah negara
tidak akan mampu bertahan tanpa kerjasama dari negara lain.
15
Dalam penelitian ini banyak menjelaskan bagaimana perubahan kebijakan
luar negeri Tiongkok yang berasal dari revolusi internal negara itu sendiri. Fokus
penelitian adalah perubahan politik domestik yang berdampak pada politik
internasional negara (Sutter, 2012: 1). Implikasi yang terjadi sebagai akibat dari
perubahan kepemimpinan Tiongkok dan hasilnya pada perubahan sikap kebijakan
luar negerinya. Sedangkan fokus peneliti pada tulisan ini berada pada perubahan
sikap luar negeri Tiongkok sebagai implikasi yang timbul karena perubahan
situasi politik internasional dan bagaimana upaya Tiongkok memperbaiki citra di
mata internasional melalui kebijakan luar negerinya.
Kedua, jurnal yang ditulis oleh Zhu Feng berjudul Shifting Tides : China
and North Korea tahun 2009dalam penelitian ini membahas mengenai perubahan
sikap politik luar negeri Tiongkok terhadap krisis nuklir yang terjadi di
Semenanjung Korea dan perubahan kebijakan luar negeri Tiongkok terhadap
Korea Utara. Penelitian ini berfokus kepada pergeseran sikap Tiongkok dalam
krisis nuklir Korea utara. Penelitian menjelaskan bagaimana Tiongkok merespon
suatu isu yang dinilai mengancam kepentingan nasional. Perubahan sikap
Tiongkok terjadi karena perubahan variabel yang terjadi dan persepsi perubahan
ancaman untuk Tiongkok. Dalam penelitian ini juga dijelaskan bagaimana
perubahan kebijakan yang signifikan Tiongkok terhadap Korea Utara dalam
beberapa tahun terakhir.
Penelitian ini menjelaskan perubahan kebijakan yang dilakukan Tiongkok
sebagai implikasi dari perubahan lingkungan di kawasan sekitarnya. Konsentrasi
dan upaya Tiongkok untuk mempertahankan dominasi di kawasan regional masih
mejadi fokus utama Tiongkok. Perbedaan penelitian oleh Feng dengan penelitian
16
ini lebih menekankankan pada perubahan sikap yang dilakukan Tiongkok dalam
fokus area dari krisis nuklir Korea Utara berkembang menjadi krisis nuklir yang
terjadi di Semenanjung Korea yang tidak hanya melibatkan Korea Utara dan
Tiongkok, namun juga memasukkan negara yang menjadi bagian Semenanjung
Korea.
Ketiga, penelitian yang ditulis oleh Song Joo Young “Understanding
China’s Response to North Korea’s Provocations”, penelitian ini menjelaskan
bagaimana Tiongkok merespon provokasi yang dilakukan oleh Korea Utara.
Penelitian ini menggunakan “Dual Threats Model” sebagai cara untuk membaca
pola reaksi Tiongkok terhadap provokasi Korea Utara. Dalam penelitian ini juga
dijelaskan bagaimana reaksi Tiongkok terhadap krisis nuklir atau provokasi yang
dilakukan Korea Utara oleh Tiongkok hanya jika AS memberikan reaksi terhadap
provokasi. Sehingga dalam penelitian ini menggunakan model yang
memproyeksikan bagaimana dan reaksi seperti apa yang dikeluarkan oleh
Tiongkok dengan pola yang sama dan berulang, sehingga di masa yang akan
datang reaksi Tiongkok terhadap provokasi yang dilakukan oleh Korea Utara
dapat dipetakan dan diprediksi. Dalam penelitian ini, Song menjelaskan Dual
Threats Model, sebagai model atas tindakan Tiongkok dalam menghadapi Korea
Utara dalam beberapa kejadian besar.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak
pada perbedaan isu, penelitian sebelumnya berfokus pada semua isu provokasi
yang dilakukan Korea Utara di Semenanjung Korea dan respon Tiongkok
terhadap isu tersebut. Sedangkan pada penelitian ini akan berfokus pada gangguan
17
stabilitas keamanan yang dipicu oleh Korea Utara dalam isu nuklir pada kawasan
Semenanjung Korea dan reaksi Tiongkok atas isu tersebut.
Keempat, jurnal penelitian yang ditulis oleh Oriana Skylar Mastro “Why
China Won’t Resque North Korea : What to Expect if Things Fall Apart”(2018)
penelitian ini menggambarkan hubungan yang terjadi antara Tiongkok dan Korea
Utara yangberubah seiring dengan berkembangnya isu nuklir yang merebak di
kawasan Semenanjung Korea. Penelitian ini juga menggambarkan bagaimana
kepentingan Tiongkok turut berubah seiring dengan isu yang berkembang di
kawasan tersebut. Penelitian ini banyak memberikan petunjuk bagi AS dalam
menghadapi respon isu nuklir di kawasan Semenanjung Korea. Penelitian ini juga
membahas bagaimana perubahan paradigma yang dalam penyusunan sikap luar
negeri Tiongkok bukan lagi betumpu pada tiga aspek berikut sudah tidak dapat
digunakan lagi, hal tersebut antara lain (Mastro, 2018: 58-66) :
1. Tiongkok dan Korea Utara adalah aliansi.
2. Tiongkok tetap menjaga kestabilan Semenanjung Korea untuk bertahan
sebagai upaya menghindari pengungsi.
3. Tiongkok membutuhkan Korea Utara untuk bertahan sebagai buffer state
antara Tiongkok dan negara-negara aliansi AS di kawasan tersebut.
Ketiga landasan pemikiran di atas menurut Mastro sudah tidak dapat lagi
diterapkan sebagai motif Tiongkok dalam membangun relasi antara Tiongkok dan
Korea Utara, dalam perkembanganya kebijakan luar negeri Tiongkok ditentukan
perkembangan kapabilitas Tiongkok dalam aspek ekonomi, politik dan pertahanan
yang melesat maju dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Dalam penelitan tersebut
juga dijelaskan mengenai alasan Tiongkok untuk menangkal siapapun yang
18
berusaha menguasai fasilitas nuklir Korea Utara dengan alasan apapun. Hal
tersebut mengacu pada kebijakan pertahanan AS di kawasan tersebut, yang
dikhawatirkan Tiongkok akan membuat kawasan Semenanjung Korea justru
semakin memanas. Kekhawatiran Tiongkok terhadap upaya penguasaan fasilitas
nuklir Korea Utara memang beralasan, karena jika terjadi kecelakaan nuklir di
kawasan tersebut maka yang terancam secara geografis adalah Tiongkok dan
Korea Selatan, sedangkan Jepang dipisahkan oleh laut dan AS dipisahkan
Samudra Pasifik.
Kelima, tulisan Xia Liping “How China Thinks About National Security”
yangmerupakan salah satu bab dari buku “Rising China : Power and
Reassurance”(2009) yang ditulis oleh Ron Huisken secara umum pada bab
tersebut menjabarkan penelitian yang di lakukan oleh Liping mengenai perubahan
sikap luar negeri Tiongkok pasca berakhirnya perang dingin. Tulisan ini berfokus
pada perubahan prioritas keamanan nasional Tiongkok pasca perang dingin.
Perubahan tersebut diawali dengan perubahan Tiongkok yang selama perang
dingin berfokus untuk bertahan di antara dua hegemoni besar dunia (Liping, 2009)
kemudian bergeser pada penyelarasan Tiongkok pada globalisasi dan berfokus
pada ancaman non-tradisional.
Penelitian ini juga menjabarkan bagaimana pada tahun 2000-an Tiongkok
mulai merubah image globalnya menjadi lebih bersahabat di mata dunia. Negeri
tirai bambu tersebut mulai mempromosikan bagaimana kebijakan luar negeri yang
mendukung international peace dan terus menegaskan bahwa Tiongkok tidak
akan menyerang negara manapun jika tidak menggancam kepentingan
19
nasionalnya. Tiongkok juga menjelaskan bagaimana perkembangan ekonomi dan
politik bukan merupakan ancaman bagi negara lain, namun hal ini merupakan
keuntungan dan upaya Tiongkok untuk menjadi bagian dari masyarakat
internasional.
Tabel 2.1 Komparasi Penelitian Terdahulu
Var
iabe
l
PenelitianI
PenelitianII
PenelitianIII
PenelitianIV
PenelitianV
Penelitian
Pen
ulis
Robert Sutter Zhu Feng Song Joo YoungOriana Skylar
MastroXia Liping
Tia PancaRahmadhani
Judu
lP
enel
itia
n
Chinese ForeignRelations : Power andPolicy Since the ColdWar
Shifting Tides :China and NorthKorea
UnderstandingChina’s Responseto North Korea’sProvocations
Why ChinaWon’t ResqueNorth Korea :What to Expectif Things FallApart
How China ThinksAbout NationalSecurity
Analisis PerubahanSikap TiongkokTerhadap Korea Utaratentang Isu Nuklir diSemenanjung KoreaTahun 2006-2018
Fok
us P
enel
itian
Perubahan Strategi &Politik Luar NegeriTiongkok PascaPerang Dingin
PerubahanKebijakanTiongkokTerhadap KoreaUtara dalam IsuNuklir
Respon Tiongkokatas Reaksi ASterhadapProvokasi KoreaUtara diSemenanjungKorea
PergeseranPersepsiAncaman (AS,Tiongkok,Korea Utara)
Perubahan StrategiNational SecurityTiongkok PascaPerang Dingin
Penyebab Internal danEksternal PerubahanSikap TiongkokTerhadap Korea Utara
Teo
ri/ K
onse
pPe
nelit
ian
1. Foreign Policy2. Threats3. Comprehensive
National Power4. Hegemoni
1. Security2. Security
Interest3. Strategic
Interest
1. Regional Peace2. Geopolitical
Interests3. Nuclear
Proliferation
1. Threats2. Geopolitik3.Geostrategi4. Insecurities
1. National Security2. Hegemony3. National Interest4. Mutual Security5. Comprehensive
Security
1. National Security2. Foreign Policy
Kes
impu
lan
Perubahan PolaKebijakan LuarNegeri TiongkokTerjadi Pasca PerangDingin
KebijakanTiongkokBerubah padaKorea Utara SaatTiongkok MerasaNational Interest-nya Terancam
KebijakanTiongkokTerhadap KrisisSemenanjungKoreaBerhubunganDenganKebijakan MiliterAS di KawasanTersebut
TerjadiPerubahanPersepsiAncaman diSemenanjungKorea
Perubahan NationalSecurity Tiongkokterjadi Pasca PerangDingin SebagaiImplikasi PerubahanSistem Internasional
(Sementara)Peubahan SikapTiongkok terhadapKorea UtaraDipengarhui olehDinamika PolitikDomestik, EkonomiDomestik, Militerdalam Negeri danKondisi PolitikInternasional
Sumber : Hasil Olah Data Peneliti
Kelima penelitian tersebut secara umum membahas mengenai sikap
Tiongkok dalam merespon perubahan lingkungan sikap di Semenanjung Korea.
Penelitian-penelitian tersebut umumnya berfokus pada isu nuklir Korea Utara,
20
negara-negara yang terlibat dan perubahan respon yang terjadi. Pembahasan
tersebut biasanya berfokus pada respon dan tidak membahas bagaimana proses
kebijakan tersebut dikeluarkan. Level analisa yang digunakan dalam mengkaji
perubahan sikap Tiongkok dalam isu tersebut berada pada level sistem
internasional. Inilah yang menjadikan penelitian ini penting karena akan
menganalisis faktor yang menyebabkan perubahan sikap Tiongkok kepada Korea
Utara dengan menggunakan konsep, batasan tahun serta level analisis internal dan
eksternal yang belum dilakukan oleh penelitian sebelumnya.
2.2 Landasan Konseptual
Dalam penelitian ini menggunakan tiga konsep yang akan membantu
peneliti dalam menginterpretasikan data yang didapatkan untuk menarik
kesimpulan dan menjawab pertanyaan penelitian. Adapun ketiga konsep tersebut
adalah sebagai berikut :
2.2.1 Kebijakan Luar Negeri (Foreign Policy)
Menurut Schelling kebijakan luar negeri merupakan produk yang dihasilkan
oleh policymakers dalam melihat persepsi ancaman, potensi dan kemungkinan
terhadap kondisi sistem internasional dan kemampuan negara. Kebijakan luar
negeri idealnya merupakan serangkaian instrumen teknik yang bebas moral dalam
perumusanya. Dalam perumusan kebijakan luar negeri bukan berfokus pada apa
yang dianggap baik dan buruk, namun kebijakan haruslah dibuat berdasarkan
pertimbangan rasional dan perhitungan atas situasi yang terjadi sehingga dapat
menghasilkan kebijakan luar negeri yang paling efektif (Coplin, 2003: 30).
Dalam merumuskan kebijakan luar negeri, pengambil kebijakanakan
memiliki tingkatan prioritas yang dirumuskan untuk menjadi pilihan utama dalam
21
menentukan kebijakan luar negeri yang akan dikeluarkan (Neack, 1995: 38).
Suatu negara akan memprioritaskan kepentingan nasionalnya melalui
perimbangan dan penyusunan yang sistematis, terukur dan akuntabel. Kebijakan
luar negeri termasuk tujuan, strategi, ukuran, metode, petunjuk, perintah,
instruksi, pemahaman dan termasuk perjanjian yang dilakukan oleh pemerintah
yang resmi melalui hubungan internasional dengan negara lain dalam organisasi
internasional atau negara lain dengan atau tanpa aktor non-pemerintahan untuk
mencapai kepentingan nasional
Menurut Coplin (2003) terdapat dua faktor yang mempengaruhi sikap suatu
negara dalam menentukan kebijakan luar negeri (determinan), yaitu konteks
internasional, perilaku para pengambil keputusan politik luar negeri, dampak
kondisi ekonomi dan militer terhadap suatu negara dan peran politik dalam negeri
dalam perumusan politik luar negeri. Determinan tersebut kemudian dibagi
menjadi faktor internal dan eksternal.
a. Faktor Internal
Kondisi politik dalam negeri dan kemampuan ekonomi serta militer dapat
dikatakan sebagai faktor internal, sedangkan hubungan dengan negara lain
merupakan faktor ekternal. Ketiga indikator tersebut yang akan membantu peneliti
untuk membaca dan memetakan sikap politik Tiongkok tahun 2006-
2018.Perubahan sikap suatu negara terhadap suatu isu dapat dipengaruhi faktor-
faktor yang berasal dari dinamika politik dalam negeri, kemampuan militer dan
ekonomi (Coplin, 2003: 30). Pengambilan keputusan luar negeri atau sikap
Tiongkok terhadap Korea Utara dapat diperhatikan dari interaksi dan dinamika
22
politik dalam negeri antara lain perubahan gaya kepemimpinan dan perubahan
rezim pemerintahan Tiongkok.
b. Faktor Eksternal.
Perubahan sikap suatu negara juga dipengaruhi oleh faktor eksternal
(Coplin, 2003: 38). Perubahan sikap Tiongkok kepada Korea Utara yang
dipengaruhi faktor eksternal antara lain perubahan dinamika kawasan dan
ancaman bahaya nuklir dan hubungan dengan negara lain. Kedua faktor ini dirasa
peneliti cukup relevan untuk digunakan sebagai gambaran dan penyebab
perubahan sikap Beijing. Dalam penelitian ini konsep mengenai kebijakan luar
negeri yang dilihat dari perspektif neo-realisme membantu peneliti membaca
sikap yang dirumuskan Tiongkok di Semenanjung Korea. Peneliti juga akan
membaca prioritas pilihan kebijakan yang dibuat Tiongkok berdasarkan faktor
internal dan eksternal. Berikut pengaruh faktor internal dan eksternal yang
berpengaruh terhadap tindakan politik luar negeri, sebagaimana dijelaskan dalam
gambar berikut :
Politik Dalam Negeri
znegeriPengambil Keputusan
Kondisi Ekonomi danPolitik dalam Negeri
Tindakan Politik LuarNegeri
KonteksInternasional
Gambar 2.1 : Determinan Pengaruh Politik/ Sikap Luar Negeri NegaraSumber : Coplin, William D. 2003. Pengantar Politik Internasional. Bandung, hal 30
23
Dalam penelitian ini akan melihat bagaimana faktor-faktor diatas akan
berpengaruh kepada sikap Tiongkok terhadap Korea Utara. Penelitian ini akan
melihat faktor bahwa sikap suatu negara merupakan hasil dari interaksi antara
kondisi politik dalam negeri, kemampuan ekonomi dan militer dan hubungan
dengan negara lain. (Coplin, 2003: 30). Kondisi politik dalam negeri dan
kemampuan ekonomi militer dapat dikatakan sebagai faktor internal, sedangkan
hubungan dengan negara lain merupakan faktor ekternal. Ketiga indikator tersebut
yang akan membantu peneliti untuk membaca dan memetakan sikap politik
Tiongkok tahun 2006-2018.
2.2.2 Keamanan Nasional (National Security)
Neo-realisme berpendapat bahwa keamanan nasional merupakan inti
kebijakan politik internasional dan penentu kebijakan ekonomi. Dalam
merumuskan inti dari keamanan nasional suatu negara terdapat dua komponen
yang menjadi pertimbangan negara (Buzzan, 1983: 43), yaitu ancaman kemanan
fisik dan ancaman keamanan non-fisik. Ancaman kemananan fisik suatu negara
tidak terlepas dari konsep kewilayahan negara. Di mana definisi negara
merupakan suatu wilayah yang di diami oleh suku, ras atau entitas tertentu yang
memiliki batas-batas geografis yang jelas dan diakui. Dalam hal ini batas
geografis suatu negara dapat didefinisikan sebagai batasan geografis dan batas
kedaulatan negara tersebut. Hal inilah yang membuat definisi ancaman keamanan
fisik dapat diterjemahkan dan dirasakan langsung oleh negara, karena ada, dapat
dirasakan dan dilihat.
Ancaman secara fisik inilah yang kerap didefinisikan sebagai ancaman oleh
negara. Ancaman kemanan non-fisik memiliki level yang berbeda dari ancaman
24
fisik yang dapat langsung dirasakan. Ancaman keamanan non-fisik tidak dapat
langsung dirasakan, misalnya ancaman ekonomi dan politik. Menurut Buzzan
kemanan nasional merupakan konsep sulit untuk didefinisikan dan tidak dapat
disamakan antara satu negara dengan negara lain karena setiap negara akan
memiliki definisi kemanan nasional yang berbeda-beda (Buzzan, 1983: 36).
Merumuskan tujuan keamanan nasional dalam sebuah pemerintahan
menurut Buzzan dipengaruhi faktor idea of the state.Faktor tersebut merupakan
landasan berdirinya sebuah negara. Idea of the state merupakan salah satu
komponen yang paling sulit untuk didefinisikan secara jelas karena tidak
berbentuk dan tidak dapat dilihat wujudnya (Buzzan, 1983: 44). Idea of the state
biasanya merupakan cita-cita tertinggi pada founding father negara tersebut. Idea
of the statemenjadi penting karena akan mencirikan negara tersebut akan menjadi
seperti apa. Dengan hal itu negara akan dapat mendefinisikan kemananan nasional
dari tujuan jangka panjang berdirinya negara tersebut.
Kemanan nasional juga bergantung pada bentuk dari unsur legislatif,
administratif, yudikatif, hukum yang diakui, prosedur dan norma yang dengan
semua elemen itu negara dapat berfungsi. Unsur tersebut dipengaruhi oleh
ideologi yang diusung oleh negara tersebut. Dalam dunia politik terdapat beberapa
ideologi yang biasanya dianut oleh negara antara lain fasisme, komunisme,
demokrasi, monarki, liberalism, feodalisme dan masih banyak lagi. Ideologi inilah
yang turut menyumbang definisi ancaman dan bagaimana negara mempersepsikan
bagaimana ancaman tersebut dapat mengancam keamanan nasionalnya (Buzzan,
1983: 53).
25
Selanjurnya, Buzzan menjelaskan bahwa sesungguhnya dibanding kedua
elemen di atas, faktor fisik yang paling mempengaruhi definisi ancaman suatu
negara. Hal ini dikarenakan objek fisik lebih bersifat materialistik, dapat
dijangkau dan dapat dibangun atau dihancurkan dengan mudah. Teritorial
kedaulatan negara merupakan salah satu unsur yang paling dominan dalam hal ini.
Karena negara dapat melakukan apapun untuk menjaga teritorialnya tetap aman.
Kesimpulan yang dapat diambil dari pendapat di atas bahwa, keamanan
nasional merupakan seperangkat ide mengenai keamanan dan definisi ancaman
bagi suatu negara yang diterima secara umum oleh entitas negara tersebut, dilegal
formalkan melalui instrumen undang-undang atau dalam tata aturan perundangan
dan sejenisnya, dan dalam upaya menjaga keamanan nasional negara dapat
melakukan berbagai langkah sikaps maupun taktis. Ancaman itu dapat berupa
ancaman fisik dan non-fisik sesuai dengan definisi ancaman yang dibuat oleh
yang berwenang di negara tersebut.Konsep keamanan nasional akan membantu
peneliti untuk memetakan definisi ancaman bagi Tiongkok yang berpengaruh
terhadap proses penyusunan kebijakan luar negeri. Mengetahui level dan definisi
ancaman akan membantu peneliti untuk menyusun skala prioritas ancaman yang
akan menunjukkan bagaimana kebijakan luar negeri disusun dengan pilihan
rasional dari level tertinggi ke yang terendah.
2.2.3 Perubahan Sikap dalam Politik Internasional
Sikap dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai
perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian, keyakinan.
Sedangkan dalam perspektif politik internasional, sikap negara merupakan reaksi
26
negara terhadap isu tertentu yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan yang
akan dicapai. Pada praktiknya, perubahan sikap dapat dilihat dari beberapa
tindakan negara, salah satunya kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh
negara. Kebijakan luar negeri sendiri diartikan sebagai tindakan-tindakan,
dinyatakan dalam bentuk tujuan, komitmen dan (atau) arah yang dinyatakan
secara tegas, dan diupayakan oleh wakil-wakil pemerintah maupun organisasi
non-pemerintah yang ingin mereka pengaruhi dan yang berada di luar legitimasi
teritorial mereka (Carlsnaes, 2013: 689)
Berbeda dengan kebijakan luar negeri negara, sikap negara dapat dilihat dari
produk kebijakan yang dikeluarkan. Sikap negara merupakan satu kesatuan
dengan kebijakan negara, namun meskipun setiap kebijakan mencerminkan sikap
negara dalam isu tertentu akan tetapi tidak semua sikap negara diimplementasikan
sebagai kebijakan. Sebagai contoh Tiongkok yang bersikap dingin kepada Korea
Utara pasca krisis nuklir pada tahun 1993, namun tidak mengeluarkan kebijakan
apapun terkait uji coba nuklir tersebut. Hal tersebut menjunjukkan sikap Tiongkok
yang memihak Korea Utara, namun tidak mengeluarkan kebijakan untuk
menunjukkan sikapnya. Pada penelitian ini penulis menggunakan terminologi
sikap dibandingkan kebijakan luar negeri disebabkan adanya sikap Tiongkok
terhadap Korea Utara terkadang tidak ditunjukkan dengan kebijakan yang
dikeluarkan oleh Tiongkok.
2.3 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini akan menjawab permasalahan utama yaitu perubahan sikap
Tiongkok terhadap Korea Utara dalam kurun pada tahun 2006-2018 dan faktor
penyebabnya. Dalam menentukan pola perubahan sikap peneliti akan dibantu
27
dengan konsep yang akan dijabarkan dalam kerangka pikir. Konsep politik luar
negeri serta proses pembuatan kebijakan luar negeri menurut Scheeling dan
Coplin akan membantu peneliti untuk menjawab faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan sikap Tiongkok kepada Korea Utara dalam kurun
waktu 2006-2018. Penelitian ini berangkat konsep bahwa sistem internasional
merupakan media pertemuan kepentingan negara-negara. Sikap negara akan
mementukan posisi negara dalam politik internasional. Namun, perubahan sikap
negara tidak hanya karena faktor sistem internasional sebagai faktor eksternal,
namun juga kondisi politik dalam negeri sebagai faktor internal. Berikut adalah
gambaran kerangka pikir penelitian :
Kondisi Sistem Internasional yang Anarki
Korea Utara Mengembangkan SistemPersenjataan Nuklir
Perubahan Sikap Tiongkok
Perubahan Sikap Tiongkok terhadap Korea Utara dalamResolusi Nomor 1695 dan 1718.
Internal :
Perubahan Sikap Tiongkok terhadap Korea Utara Tahun2006-2018 dipengaruhi oleh :a) Faktor Internalb) Faktor Eksternal
Gambar 2.2 Bagan Kerangka PikirSumber : Olah Data Peneliti
28
III. METODE PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe deskriptif kualitatif yang menitikberatkan
pada analisis terhadap interpretasi data relevan atas isu yang diteliti. Penelitian
deskriptif kualitiatif yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data yang
didapatkan melalui sumber dokumen, situs resmi dan jurnal yang relevan dan
dideskripsikan dalam penjabaran paragraf. Penelitian kualitatif menekankan pada
pemahaman mendalam mengenai sikap dan perilaku (Creswell, 2014: 105) dalam
hal ini kecenderungan perubahan sikap dan perilaku negara yang diamati.
Sedangkan menurut Moh. Nazir metode deskriptif adalah : suatu metodedalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi,suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi,gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Moh. Nazir,2005: 54).
Peneliti juga berusaha membaca dan menginterpretasikan data dengan
akurat dan dapat memberikan deskripsi kritis mengenai signifikansi dan
perbedaan data baru dan kontradiksinya dengan data yang didapatkan
sebelumnya. Melalui penelitian ini juga hasil atau data yang dimiliki akan
dikategorikan sehingga membentuk pola yang menjelaskan perubahan
sikapTiongkok.
29
Diharapkan melaui deskripsi kritis, peneliti dapat menemukan pola dan
pemetaan serta dapat menarik kesimpulan umum dari data yang dipaparkan.
Dalam penelitian ini penulis akan memaparkan perubahan sikap Tiongkok yang
terjadi selama 2006-2018 yang terindikasi memiliki keterkaitan dengan
pengembangan nuklir. Kemudian peneliti akan mereduksi data untuk
mempertajam hipotesis. Penjabaran dan analisis data akan difokuskan terhadap
perubahan sikap Tiongkok yang terkait dengan program pengembangan nuklir
Pyongyang di kawasan Semenanjung Korea. Analisis deksriptif peneliti gunakan
untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sikap Tiongkok..
3.2 Fokus Penelitian
Penelitian ini akan berfokus pada analisis perubahan sikap dan faktor
penyebab internal dan eksternal yang mempengaruhi perubahan sikap Tiongkok
kepada Korea Utara dalam krisis nuklir di Semenanjung Korea yang dijelaskan
melalui konsep kebijakan luar negeri dan national security.Konsep-konsep
tersebut ini akan membantu peneliti dalam mendeskripsikan perubahan sikap
Beijing kepada Pyongyang tahun 2006-2018.
3.2.1 Perubahan Sikap Tiongkok Terhadap Korea Utara 2006-2018
Penelitian ini akan memaparkan perubahan sikap Tiongkok yang terjadi
antara tahun 2006 hingga tahun 2018 terhadap Korea Utara dalam krisis nuklir di
Semenanjung Korea. Perubahan tersebut dianalisis melalui perubahan kebijakan
yang Tiongkok lakukan, maupun perubahan yang tidak berupa kebijakan.
Perubahan sikap tersebut kemudian akan dijelaskan faktor penyebabnya
menggunakan faktor internal dan eksternal menggunakan konsep yang telah
dipaparkan pada bab sebelumnya.
30
3.2.2 Faktor Internal
Pada penelitian ini, peneliti akan melihat perubahan sikap yang terjadi pada
Tiongkok terhadap Korea Utara melalui analisis pada kondisi politik dalam negeri
yang dilihat melalui kebijakan-kebijakan politik domestik yang dikeluarkan.
Selanjutnya, peneliti juga melihat penyebab faktor internal dari kemampuan
ekonomi yang memiliki implikasi terhadap kebijakan kepada Korea Utara. Selain
kedua faktor tersebut, faktor kondisi militer dalam negeri juga mendapatkan
perhatian peneliti karena kapabilitas militer dalam negeri akan berpengaruh
terhadap kebijakan eksternal suatu negara, dalam hal ini Tiongkok. Ketiga
indikator tersebut yang akan membantu peneliti untuk membaca dan memetakan
sikap Tiongkok terhadap Korea Utara pada tahun 2006-2018.
3.2.3 Faktor Eksternal.
Perubahan sikap suatu negara juga dipengaruhi oleh faktor eksternal
Perubahan sikap Tiongkok kepada Korea Utara yang dipengaruhi faktor eksternal
antara lain perubahan dinamika kawasan dan ancaman bahaya nuklir dan
hubungan dengan negara lain. Kedua faktor ini dirasa peneliti cukup relevan
untuk digunakan sebagai gambaran dan penyebab perubahan sikap Beijing. Dalam
penelitian ini akan berfokus pada dinamika hubungan internasional antara
Tiongkok negara-negara yang terlibat dengan isu tersebut, antara lain Jepang, AS,
Korea Selatan, Korea Utara dan Rusia.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan peneliti adalah data mengenai perubahan sikap
ekonomi dan politik Tiongkok yang berasal dari perubahan sikap Tiongkok
31
melalui kebijakan luar negerinya, berupa pernyataan resmi kenegaraan, dokumen
terkait perubahan sikap Tiongkok yang berhubungan dengan program
pengembangan nuklir di Semenanjung Korea. Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder, yang didapatkan didapatkan melalui buku
mengenai perubahan sikap dan kebijakan Tiongkok, jurnal, publikasi resmi dari
kementerian terkait, maupun penelitian sebelumnya yang relevan dengan topik
yang dibahas. Sumber data yang akan digunakan dimulai sejak tahun 2006 hingga
2018. Data juga yang digunakan terutama yang berkaitan isu pengembangan
nuklir dan sikap Tiongkok.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini akan menggunakan teknik studi kepustakaan dan
dokumentasi dalam pengumpulan data. Menurut Creswell (2014: 178) teknik
pengumpulan data dalam penelitian kualitatif adalah upaya yang dilakukan oleh
peneliti untuk mengumpulkan informasi. Dalam penelitian ini akan menggunakan
teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi dokumentasi.Studi
kepustakaan yang akan peneliti lakukan adalah pengumpulan data dari sejumlah
lliteratur, jurnal dan artikel. Beberapa jurnal yang digunakan peneliti berasal dari
proquest, laporan tahunan yang dikeluarkan oleh IISS, SIPRI, dan artikel yang
relevan dari surat kabar. Selain itu studi dokumentasi yang dilakukan oleh peneliti
akan menghimpun dokumen relevan dari World Bank, laporan dalam The
Millitary Balance, publikasi Buku Putih Pertahanan Tiongkok, publikasi laporan
oleh Kementerian Pertahanan Tiongkok dan publikasi yang dikeluarkan oleh PBB
yang dapat diakses dari internet.
32
3.5 Teknik Analisis Data
Penelitian kualitatif memiliki tiga tahapan dalam proses analisis data
(Miles, 1994: 10-11). Peneliti akan menggunakan teknik analisis data yang
disarankan oleh Miles dan Huberman adalah sebagai berikut :
3.5.1. Reduksi Data
Dalam penelitian deskriptif kualitatif, reduksi data merupakan proses
pemilihan, pemfokusan, penyederhanaan, abstraksi dan pentransformasian data
sehingga diperoleh data dalam bentuk yang lebih baik dan mudah untuk diolah
sesuai dengan tujuan penelitian (Miles, dalam Emzir, 2011: 129). Reduksi data
diawali dengan pengurutan data (arranged) agar data dapat dikategorisasikan
dalam periode waktu untuk mengelompokkan perubahan yang muncul. Kegiatan
ini akan memilih dan memusatkan data /informasi terkait dengan kebijakan dan
sikap Tiongkok sejak tahun 2006-2018 baik sikap ekonomi, politik dan keamanan.
3.5.2. Penyajian Data (Display Data)
Kegiatan ini merupakan tahapan analisis setelah reduksi data sudah
dilakukan. Model data atau yang disebut juga dengan penyajian datamerupakan
upaya untuk menyederhanakan data melalui teori dan konsep yang digunakan,
lalu mempertajam pertanyaan penelitian, yang dilanjutkan dengan kembali
melakukan pengumpulan data (yang dirasa kurang). Dalam tahapan ini, kegiatan
yang akan dilakukan memilah perubahan sikap Tiongkok yang terkait dengan
fokus penelitian. Lalu mengelompokannya untuk membuat pola yang terstruktur,
Pola tersebut akan memudahkan peneliti untuk menarik kesimpulan.
33
3.5.3. Penarikan/ Verifikasi Kesimpulan
Proses terakhir analisis data menurut model Miles dan Hubberman adalah
proses penarikan/ verifikasi kesimpulan. Yaitu sebuah upaya menarik kesimpulan
akhir dari proses analisis data yang telah dilakukan. Kesimpulan akhir ini
diperoleh sesuai dengan konsep dan teori pembanding yang digunakan sehingga
akan terbentuk pola dan kesatuan data yang akan memunculkan kesimpulan
umum terkait penelitian. Makna dari interpretasi atas data yang diperoleh dan
dihubungkan dengan konsep yang digunakan akan diuraikan dalam hasil dan
pembahasan. Jika digambarkan, maka proses analisis data kualitaf adalah sebagai
berikut :
PengumpulanData
Model Data
Reduksi Data PenarikanKesimpulan
Gambar 3.1 Proses Analisis Data Kualitatif(Sumber : Diolah)
34
IV. GAMBARAN UMUM
Bab ini akan memaparkan gambaran umum mengenai mengenai krisis
nuklir Semenanjung Korea secara umum, hubungan Tiongkok dan Korea Utara
serta paparan mengenai kondisi politik domestik Tiongkok. Aspek-aspek tersebut
akan memberikan paparan mengenai dinamika hubungan Tiongkok dan Korea
Utara dalam krisis nuklir Semenanjung Korea. Pada bab ini juga akan dipaparkan
hubungan kedua negara dalam isu ekonomi dan politik, terutama kebijakan
Beijing kepada Pyongyang. Peneliti juga akan memaparkan mengenai dinamika
politik domestik Tiongkok sebagai fokus penelitan yang diharapkan akan
memberikan gambaran faktor yang menentukan perubahan sikap luar negeri
Beijing terhadap Pyonyang dalam rentang tahun 2006-2018.
4.1 Krisis Nuklir Semenanjung Korea
Semenanjung Korea secara geografis merupakan kawasan negara-negara
yang berada di antara Laut Jepang hingga Laut Tiongkok Timur, melingkupi
kawasan dengan luas kurang lebih 1000 km2. Kawasan ini mencakup wilayah
teritorial Jepang dan Laut Jepang bagian timur, People’s Republic of China
(Tiongkok) bagian timur dan Laut Kuning, Democratic People’s Republic of
Korea (Korea Utara) dan Republic of Korea (Korea Selatan). Tidak ada definisi
geografis yang pasti mengenai kawasan tersebut, baik perjanjian resmi
35
yang tertulis, perjanjian antar negara, maupun dokumen resmi kenegaraan. Secara
umum, keempat negara tersebut dianggap sebagai negara yang terletak di kawasan
Semenanjung Korea.
Pasca perang dingin, Semenanjung Korea menjadi salah satu kawasan yang
menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Asia. Sebagai pusat pertumbuhan
ekonomi, tidak dapat dihindarkan kawasan tersebut menjadi salah satu kawasan
dengan persaingan kepentingan ekonomi dan ketegangan politik yang tinggi.
Hubungan negara-negara di kawasan Semenanjung Korea lebih kepada hubungan
enmity (Shambaugh, 2008: 52). Hubungan yang dibangun atas dasar tersebut yang
membuat negara di kawasan itu lebih sering dilanda ketegangan.
Ketegangan antar negara di Semenanjung Korea dimulai sejak tahun 1990-
an. Krisis nuklir di kawasan tersebut termasuk salah satu isu keamanan yang
menarik perhatian dunia khususnya Tiongkok (Scobell, 2002: 282). Hal ini
dibuktikan dengan tingkat intensitas hubungan Tiongkok untuk menjalin dialog
dengan Korea Utara antara tahun 2000 – 2017an. Selain upaya untuk membangun
dialog dengan Pyongyang, Tiongkok juga beberapa kali melakukan kunjungan
kenegaraan ke Korea Utara membahas krisis nuklir yang terjadi di kawasan
tersebut.
Upaya Tiongkok untuk meredam konflik yang terjadi di kawasan
Semenanjung Korea berguna untuk menjamin stabilitas keamanan regional agar
dapat menciptakan iklim yang mendukung perkembangan perekonomian dan
menjaga dominasi di kawasan Semenanjung Korea. Kepentingan utama Tiongkok
untuk menjaga kawasan tersebut agar tetap stabil merupakan jaminan bagi
kestabilan perekonomian kawasan Asia Timur yang di dominasi oleh Tiongkok.
36
Krisis keamanan di Semenanjung Korea yang menarik perhatian
internasional dimulai sejak tahun 1993 pada saat Korea Utara memutuskan untuk
menarik diri dari perjanjian Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang
ditandatangani pada tahun 1985 (Liping, 2009: 477). Penarikan diri yang
dilakukan oleh Korea Utara menandai dimulainya krisis nuklir pertama di
Semenanjung Korea. Sejak menarik diri, Korea Utara terus mengembangkan
nuklir sebagai persenjataan. Hal ini terkonfirmasi oleh International Atomic
Energy Agency (IAEA) pada 1994 yang mendeteksi adanya aktivitas reaktor
pengayaan plutonium (salah satu jenis bahan baku pembuatan senjata nuklir) di
kawasan Yongyan.
Menanggapi pengembangan program nuklir yang dilakukan oleh Korea
Utara, IAEA melakukan upaya untuk mengadopsi resolusi mengenai
pengembangan nuklir sebagai senjata atau untuk tujuan tidak damai. Namun pada
Desember 2002, Korea Utara melakukan penyangkalan dengan memindahkan
seluruh pengawasan dari IAEA termasuk kamera pengawasan yang dipasang di
sekitar fasilitas nuklir. Hingga puncaknya, Pyongyang mengusir pengawas yang
ditugaskan oleh IAEA dari fasilitas pengayaan nuklir. Dengan pengusiran tersebut
Korea Utara secara tidak langsung menolak segala bentuk pengawasan terhadap
fasilitas pengembangan nuklir yang dilakukan oleh negaranya.
Pada Februari 2003 Korea Utara mengumumkan reaktivasi fasilitas
nuklirnya kembali. Aktivasi fasilitas nuklir tersebut kemudian diselidiki oleh
IAEA dan dilaporkan kepada Dewan Keamanan PBB. Aktivasi fasilitas nuklir
yang dilakukan oleh Korea Utara ini menandakan bahwa negara ini benar-benar
tidak lagi menghiraukan peran Dewan Keamanan PBB dan seruan dunia
37
internasional untuk menghentikan pengembangan nuklir selain untuk tujuan
damai. Dengan menghangatnya hubungan antar negara di kawasan Semenanjung
Korea, perhatian dunia internasional kembali berfokus pada krisis keamanan di
kawasan ini.
Sejalan dengan tekanan internasional untuk menghentikan proyek
pengembangan nuklirnya, Korea Utara menyatakan bukan lagi bagian dari Non
Proliferation Nuclear Treaty (NPT) pada 10 Januari 2003. Meskipun keluar dari
NPT, Tiongkok sebagai satu-satunya sekutu internasional yang tetap
mempertahankan hubungan politik dan ekonomi dengan Pyongyang. Upaya
pendekatan guna menekan krisis keamanan yang terjadi di Semenanjung Korea
dilakukan oleh tiga negara pada tahun tersebut. Pendekatan tersebut dilakukan
dengan melakukan dialog yang diawali oleh tiga negara yaitu AS, Tiongkok dan
Korea Utara. Negara-negara tersebut melakukan dialog multilateral yang
diselenggarakan pertama kali di Beijing.
Setelah mengggelar dialog tiga negara, sebagai lanjutan untuk menekan
berkembangnya krisis nuklir di kawasan tersebut dibentuklah dialog yang terdiri
dari enam negara yang berfokus kepada upaya untuk melucuti program nuklir
Korea Utara. Dialog ini kemudian disebut sebagai The Six-Party Talks yang sejak
tahun 2003 terus aktif menekan perkembangan krisis melalui dialog yang dihadiri
oleh Tiongkok, Jepang, Korea Utara, Korea Selatan, Rusia dan Amerika Serikat.
Meskipun dalam perkembanganya pada 2009 Korea Utara memutuskan untuk
tidak lagi bergabung dalam forum tersebut (armscontrol.org, 2018: 1).
Pada kurun waktu 2004 hingga 2005 Korea Utara terus mengembangkan
kemampuan program nuklirnya. Pada 10 Februari 2005 Korea Utara melalui
38
Menteri Luar Negeri-nya memverifikasi bahwa negara tersebut dengan sedang
dalam tahap “mengimbangi” kekuatan Amerika Serikat di Semenanjung Korea
yaitu dengan mengembangkan senjata nuklir (dikutip dari press releaseNorth
Korean news agency KCNA, 2005: 1) setelah sebelumnya Korea Utara tidak
pernah secara resmi mengakui pengembangan senjata nuklir.
Setelah secara resmi Korea Utara mengakui kepemilikan senjata nuklirnya,
pada Juni 2006 Korea Utara meluncurkan fire long-range missile yang
jangkauanya mencapai pantai barat AS dan Jepang. Uji coba ini kemudian
direspon Jepang dan AS dengan mengadakan latihan militer bersama di wilayah
Laut China Selatan. Peluncuran ini membuat kawasan Semenanjung Korea berada
dalam krisis keamanan regional. Amerika Serikat mengganggap peluncuran ini
sebagai aktivitas yang provokatif. Selain AS yang mengeluarkan pernyataan
tersebut, Dewan Keamanan PBB kemudian pada 15 Juli 2006 mengadopsi
Resolusi Nomor S/RES/1695/2006 yang secara garis besar berisi tekanan terhadap
Pyongyang untuk menghentikan aktivitas pengembangan nuklirnya. Resolusi
tersebut mencegah masuknya segala bentuk bahan, material dan teknologi yang
berhubungan dengan pengembangan persenjataan nuklir.
Tiongkok, sebagai salah satu sekutu internasional Korea Utara menganggapi
peristiwa yang terjadi di Semenanjung Korea pada 4 Juli 2006. Beijing merespon
aksi tersebut dengan mengarahkan misil ke kawasan Gunung Changbai (salah satu
pegunungan di wilayah Tiongkok). Dalam hal ini Tiongkok terus melakukan
upaya untuk menghentikan program pengembangan nuklir, mulai dari upaya
dialog diplomatis hingga sanksi keras. Hingga akhirnya perubahan sikap Beijing
atas peristiwa pada 4 Juli 2006 saat Pyongyang meluncurkan misil Taepodong-II
39
yang memancing UNSC mengeluarkan Resolusi nomor S/RES/1695/2006. Hal ini
mengindikasikan dengan jelas perubahan kebijakan paling signifikan Tiongkok
atas Korea Utara dalam beberapa dekade terakhir (Zhu, 2009: 47). Pada 9 Oktober
2006, Pyongyang melakukan undegroundnuclear device test yang kemudian
memancing AS dengan menekan Dewan Keamanan PBB untuk merespon hal
tersebut. Lima hari setelahnya Dewan Kemanan PBB mengeluarkan Resolusi
nomor S/RES/1718/2006 tertanggal 14 Oktober 2006, resolusi tersebut berisi
upaya internasional untuk menekan pengembangan nuklir yang dilakukan Korea
Utara yang secara umum dianggap mengancam stabilitas keamanan internasional
dan mengancam stabilitas keamanan kawasan Semenanjung Korea khususnya.
Selain respon Tiongkok, pada bulan yang sama Jepang dan Australia juga
mengumumkan bahwa dua negara ini mengadopsi Resolusi Dewan Keamanan
PBB Nomor S/RES/1695/2006.
Sepanjang tahun 2007, pembicaraan dan diskusi mengenai upaya untuk
menekan perkembangan nuklir di Korea Utara banyak dilakukan melalui upaya
diplomatis. Pendekatan yang dilakukan oleh Tiongkok, IAEA dan Six Party Talks
banyak menggunakan upaya yang lebih menekankan pada upaya perundingan.
Bahkan pada tahun tersebut AS mengkonfirmasi pengiriman bantuan sebesar
USD $25 Juta sebagai dana yang akan digunakan untuk membantu upaya Korea
Utara dalam menghentikan program nuklirnya dengan energi yang lebih ramah
lingkungan (The Washington Pos 2007: 1).
Pada Mei 2009, Korea Utara kembali melakukan tindakan yang dianggap
sebagai provokasi keamanan di Semenanjung Korea yaitu dengan melakukan
40
underground missile test yang kedua di kawasan sekitar desa P’unggye (UN
Security Council Press Release, 2009: 1). Aksi ini kemudian ditanggapi oleh
Dewan Keamanan PBB dengan mengadopsi resolusi S/RES/1718/2009 sebagian
besar merupakan tekanan kepada Korea Utara untuk kembali mematuhi upaya-
upaya yang selama ini telah dilakukan dunia internasional untuk mengurangi
krisis yang terjadi di Semenanjung Korea.Dewan Keamanan PBB juga
mengeluarkan resolusi S/RES/1/874/2009 yang berisi 34 poin pada 12 Agustus
2009 sebagai respon atas peluncuran misil yang dilakukan. Resolusi tersebut
menekankan kembali kepada Korea Utara dan sekutunya untuk menghentikan dan
menghormati upaya perdamaian yang dibangun oleh dunia internasional di
kawasan Semenanjung Korea. Resolusi ini didukung oleh seluruh anggota tetap
Dewan Keamanan PBB tanpa hak veto. Dalam hal ini Tiongkok juga mendukung
upaya untuk menekan untuk menciptakan stabilitas perdamaian di kawasan
tersebut.
Namun, tujuan untuk mencapai stabilitas perdamaian di Semenanjung Korea
sepertinya tidak dapat dengan mudah untuk dicapai. Pada awal tahun 2010,
penenggelaman kapal Cheonan milik Korea Selatan di kawasan perbatasan
maritim antara Korea Utara dan Korea Selatan kembali membuat suasana di
kawasan Semenanjung Korea menghangat. Menteri Luar negeri Korea Selatan
mengkonfirmasi bahwa penenggelaman kapal Cheonan diakibatkan torpedo yang
sengaja ditembakkan oleh Korea Utara (UN Security Council Press Release,
2009: 1). Bukti lain juga dirilis oleh Joint Civilian-Military Investigation Group
(JIG)merupakan sebuah badan yang penyelidik yang beranggotakan penyelidik
41
independen yang sengaja dibentuk oleh Korea Selatan untuk menyelidiki kasus
penengelaman kapal Cheonan mengungkapkan penyebab tenggelamnya kapal
Cheonan karena oleh tembakan torpedo. Atas kejadian tersebut, Korea Utara
menyangkal semua tuduhan dan tidak mengakui keterlibatan dalam tenggelamnya
kapal Cheonan, sebagai reaksi atas hal tersebut Seoul menghentikan segala bentuk
kerjasama perdagangan dengan Pyongyang sebelum insiden tersebut jelas.
Selain penenggelaman Cheonan, pada 2010 juga Korea Utara juga
memperkeruh suasana di Kawasan Semenanjung Korea dengan menembaki pulau
Yeonpyeong di Korea Selatan yang menewaskan dua tentara dan melukai
penduduk sipil. Merespon hal tersebut, Tiongkok kemudian mengundang AS,
Jepang dan Korea Selatan sebagai upaya untuk membicarakan hal tersebut melalui
dialog. Namun ketiga negara tersebut menolah dan memilih tidak mengindahkan
ajakan Tiongkok untuk membicarakan krisis tersebut melalui dialog multilateral
Six Party Talks.
Kondisi di kawasan Semenanjung Korea pada 2011 dimulai dengan latihan
militer secara besar-besaran yang digelar oleh AS dan Korea Selatan. Dinamika
keamanan di kawasan tersebut juga menjadi perhatian Tiongkok yang
mengajukan upaya untuk terus mengupayakan perdamaian di Kawasan
Semenanjung Korea melaui Six Party Talks meskipun hal tersebut belum
diperhatikan oleh negara anggota yang lain.Sepanjang tahun 2011 upaya dialog
terus dilakukan, hingga terjadi kesepakatan antara Korea Utara dan negara
anggota Six Party Talks lain untuk kembali membicarakan masalah krisis nuklir di
Semenanjung Korea dengan cara yang damai. Namun, ditengah upaya tersebut
42
pada Desember 2011 Kim Jong Il meninggal setelah 17 tahun memimpin rezim di
Korea Utara dan pada bulan yanag sama Kim Jong Un (anak ke-3 dari Kim Jong
Il) yang dipercaya berumur 28 tahun ditetapkan sebagai pemimpin Korea Utara
yang baru.Sepanjang tahun 2012, Korea Utara dibawah kepemimpinan Kim Jong
Un melakukan dua kali peluncuran roket, peluncuran pertama gagal mencapai
orbit namun Pyongyang mengklaim peluncuran tersebut sukses.
Kedua peluncuran yang dikonfirmasi sebagai peluncuran satelit komunikasi.
Namun, Tiongkok dalam hal ini menganggap peluncuran yang dilakukan oleh
Pyongyang merupakan upaya provokasi keamanan di kawasan Semenanjung
Korea. Terlebih, pada perayaan 100 tahun kelahiran Kim Il Sung, Korea Utara
memamerkan parade persenjataan bersama dengan enam mobil pengangkut yang
telah di modifikasi dengan Intercontinental Balistic Missile (ICBM). Pada
Desember 2012, setelah Korea Utara sukses mengorbitkan satelitnya
menggunakan teknologi ICBM, merespon penggunaan teknologi ICBM tersebut
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi S/RES/2087/2013 yang
memperkuat sanksi dan membekukan aset Korea Utara di negara lain.
Pada Januari 2013 Korea Utara mengumumkan melalui kementerian
pertahananya bahwa negara tersebut akan tetap mengembangkan program nuklir
dan roket peluncurnya. Kemudian pada Februari 2013 The Comprehensive Test
Ban Treaty Organization (CTBTO) mendeteksi adanya aktivitas seismik di sekitar
kawasan tes nuklir yang pernah digunakan Korea Utara pada 2006 dan 2009.
Korea Selatan memprediksi daya ledak nuklir tersebut mencapai 6-7 kiloton.
Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan Resolusi S/RES/2094/2013 yang
43
memperkuat sanksi Korea Utara selain melarang segala aktivitas finansial dengan
negara tersebut hingga seluruh aset pribadi penduduk Korea Utara yang berada di
luar negeri ikut dibekukan.
Sepanjang 2014 Korea Utara tidak meluncurkan misil dengan daya jangkau
yang jauh, akan tetapi pengembangan persenjataan nuklir menggunakan teknologi
yang lebih kecil. Range missileyang dikembangkan oleh Pyongyang merupakan
generasi terbaru persenjataan yang dimodifikasi dengan nuklir. Pada tahun
tersebut juga terjadi konfrontasi langsung antara Pyongyang dan Seoul di kawasan
Barat Laut batas kedua negara. Meskipun tidak menimbulkan korban jiwa dari
kedua negara namun konfrontasi lansung ini mengindikasikan hubungan dua
negara tersebut berada dalam kondisi krisis.
Pada awal tahun 2016 Korea Utara melakukan uji coba peluncuran senjata
nuklir yang keempat yang diklaim bersama dengan uji coba bom hidrogen.
CTBTO mendeteksi adanya aktivitas seismik di kawasan tersebut. Pada Februari
2016 Pyongyang kembali meluncurkan long-range ballistic missile yang
kemudian mendapat reaksi internasional. Dewan Keamanan PBB kemudian
mengeluarkan resolusi S/RES/2270/2016. Resolusi tersebut berisi larangan
kepada untuk negara lain dalam ekspor bahan bakar penerbangan, mineral spesifik
dan perlengkapan militer ke negara tersebut dalam waktu yang tidak ditentukan.
Setelah serangkaian percobaan medium-range missile yang dilakukan oleh
Korea Utara sejak awal hingga pertengahan 2016, Korea Selatan dan AS sepakat
untuk mengembangkan Terminal High-Altitude Area Defense Battery (THAAD)
pada Juli 2016. THAAD merupakan sebuah sistem pertahanan yang disebut
44
sebagai upaya pertahanan untuk memastikan keamanan. Sistem tersebut
dikembangkan di Korea Selatan guna menangkal dan menembak jatuh jenis misil
short dan medium yang dianggap sebagai ancaman bagi keamanan Korea Selatan
dan ancaman bagi perdamaian di Semenanjung Korea.
Pada Februari 2017 Korea Utara kembali melakukan tes ballistic missile
yang terbaru dan dinamai Pukguksong-2 yang sukses mencapai jarak 500 km.
Misil ini masuk dalam kategori medium-range yang diluncurkan melalui kapal
dengan teknologi terbaru. Selain peluncuran Pukguksong-2, Korea Utara juga
sukses meluncurkan empat ballistic missile yang berdekatan dengan batas utara
Tiongkok. Misil tersebut menjangkau area sejauh 1000 km dan mendarat di Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) Jepang yang berjarak sekitar 300 kilometer dari daratan
Jepang. Peluncuran ini menjadi perhatian Tiongkok yang merasa bahwa
penanganan krisis nuklir di Semenanjung Korea tidak dapat lagi dilakukan hanya
dengan menerapkan sanksi dan hukuman.
Setelah peluncuran tersebut, Presiden Tiongkok dan AS bertemu dalam
agenda untuk membicarakan perdagangan antara AS dan Tiongkok serta isu
mengenai krisis di kawasan Semenanjung Korea (The Guardian Post, 2017: 1).
Pertemuan tersebut merupakan pertemuan pertama bagi Presiden Xi Jin Ping dan
Presiden Donald Trump. Pertemuan tersebut menjadi salah satu pertemuan yang
berpengaruh terhadap perkembangan untuk meredam krisis nuklir di
Semenanjung Korea. Meskipun setelah pertemuan tersebut AS menaikkan
tekanan ke Korea Utara dengan memaksa Korea Utara terlibat dalam membangun
45
perdamaian di kawasan Semenanjung Korea pernyataan tersebut disampaikan
oleh Assistant Secretary of State for East of US.
Pada Mei 2017, Korea Selatan Moon Jae-in terpilih sebagai presiden baru
Korea Selatan dan berkomitmen untuk merealisasikan perdamaian di kawasan
Semenanjung Korea. Namun, krisis di kawasan tersebut belum menemukan titik
terang, pada 14 Mei Korea Utara meluncurkan misil Hwasong-12 yang masuk
dalam kategori intermediate-range ballistic missile yang memiliki daya jangkau
sejauh 4.800 km. Tiongkok kemudian merespon peluncuran tersebut dengan
mengeluarkan sanksi kepada sembilan perusahaan dan institusi pemerintahan
yang memberikan dukungan terhadap pengembangan persenjataan nuklir di Korea
Utara. Melalui Menteri Luar Negerinya Tiongkok memberikan keterangan bahwa
dua negara tersebut juga berencana melakukan blacklist terhadap entitas atau
individu yang membantu pengembangan persenjataan nuklir melalui Dewan
Keamanan PBB.
Meskipun sanksi yang diberikan dunia internasional semakin berat,
Pyongyang tetap meluncurkan misil dengan kemampuan yang lebih baik dari
sebelumnya. Pada 3 dan 28 Juli 2017 Korea Utara meluncurkan Hwasong-14
dengan daya jangkau 6.700 km dengan klasifikasi ICBM namun beberapa ahli
berpendapat daya jangkau misil tersebut mencapai 10.400 km yang dapat
menjangkau Los Angeles, Denver atau Chicago. Menanggapi hal itu, Dewan
Keamanan PBB mengeluarkan sanksi S/RES/2371/2012. Resolusi tersebut
melarang ekspor batu bara, besi, makanan laut dan timbal. Sebagian besar ekspor
tersebut merupakan kebutuhan energi pokok dalam negeri. Dewan Keamanan
46
PBB juga menyatakan sikap melalui pernyataan yang dikemukakan Presiden
Dewan Keamanan PBB bahwa apa yang dilakukan oleh Pyongyang merupakan
upaya untuk sengaja merusak perdamaian dan stabilitas regional dan
menyebabkan kekhawatiran keamanan di seluruh dunia (Pernyataan Presiden
Dewan Keamanan PBB, 2017: 1).
Sepanjang Agustus 2017 krisis di Semenanjung Korea menjadi perhatian
dunia karena pernyataan langsung kedua kepala negara AS dan Korea Utara.
Presiden AS Donal Trump menyerang Presiden Korea Utara secara langsung
melalui akun pribadi dan menyebut Kim sebagai “Little Rocket Man” dan Kim
membalas dengan menyebut bahwa Trump adalah orang tua dengan gangguan
mental. Pernyataan-pernyataan kedua negara tersebut menjadi perhatian dunia
karena dilontarkan oleh kepala negara yang sedang dalam kurang baik dan
dikhawatirkan akan memicu konflik yang sesungguhnya.
September 2017 Korea Utara merilis foto Kim Jong Un dengan senjata
thermonuclear berupa misil antar benua yang diklaim dapat menjangkau daratan
AS. Pyongyang mengatakan bahwa percobaan nuklir ke-6 yang dilakukan sukses
dengan bom hidrogen yang diledakkan di estimasi CTBTO kekuatan 100 kiloton
dan menyebabkan getaran seismik 6,1 skala richter lebih besar dari percobaan
nuklir Korea Utara sebelumnya. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi
S/RES/2375/2017 sebagai respon peluncuran tersebut. Resolusi tersebut
menekankan larangan terhadap ekspor produk tekstil dan produk petroleum.
Kemudian pada Sidang Umum PBB Trump mengeluarkan pernyataan :
"....No nation on Earth has an interest in seeing this band of criminals arm itselfwith nuclear weapons and missiles. The United States has great strength and patience,but if it is forced to defend itself or its allies, we will have no choice but to totally destroyNorth Korea. Rocket man is on a suicide mission for himself and for his regime. The
47
United States is ready, willing, and able, but hopefully this will not be necessary. That'swhat the United Nations is all about. That's what the United Nations is for. Let's see howthey do. It is time for North Korea to realize that the denuclearization is its onlyacceptable future. The United Nations Security Council recently held two unanimous 15-0 votes adopting hard-hitting resolutions against North Korea, and I want to thank Chinaand Russia for joining the vote to impose sanctions, along with all of the other membersof the Security Council. Thank you to all involved. But we must do much more
It is time for all nations to work together to isolate the Kim regime until it ceasesits hostile behavior. We face this decision not only in North Korea; it is far past time forthe nations of the world to confront another reckless regime, one that speaks openly ofmass murder, vowing death to America, destruction to Israel, and ruin for many leadersand nations in this room...”
Setelah pernyataan Trump dalam Sidang Umum PBB, Kim Jong Un
menanggapi dengan mengatakan bahwa Trump adalah orang yang terganggu
mentalnya dan pidato Trump dalam sidang tersebut meyakinkanya untuk semakin
mengembangkan program nuklirnya, hal tersebut dapat dilihat melalui pernyataan
berikut :
“......But, far from making remarks of any persuasive power that can be viewedto be helpful to defusing tension, he made unprecedented rude nonsense one has neverheard from any of his predecessors. A frightened dog barks louder. I'd like to adviseTrump to exercise prudence in selecting words and to be considerate of whom he speaksto when making a speech in front of the world. The mentally deranged behavior of theU.S. president openly expressing on the UN arena the unethical will to "totally destroy" asovereign state, beyond the boundary of threats of regime change or overturn of socialsystem, makes even those with normal thinking faculty think about discretion andcomposure.
His remarks remind me of such words as "political layman" and "politicalheretic" which were in vogue in reference to Trump during his presidential electioncampaign. After taking office Trump has rendered the world restless through threats andblackmail against all countries in the world. He is unfit to hold the prerogative ofsupreme command of a country, and he is surely a rogue and a gangster fond of playingwith fire, rather than a politician.....”
Setelah ketegangan yang terjadi antara pemimpin AS dan Korea Utara, pada
tanggal 23 September pesawat bomber U.S. B1-B terbang sangat dekat ke pantai
Korea Utara. Tindakan ini merupakan tindakan yang serius selama krisis nuklir
Semenanjung Korea. Dalam tindakan sebelumnya, semua negara bertindak
melalui Dewan Keamanan PBB dan tidak mengeluarkan pernyataan atau tindakan
48
dari dalam negeri, bahkan Tiongkok juga tidak melakukan tindakan apapun dalam
kapasitas sebagai negara.
Pada November 2017 Korea Utara kembali meluncurkan misil dari kawasan
Pyongsong dan mencapai jarak 1000 km dan mendarat di Laut Jepang. AS
mengutuk keras tindakan tersebut. Dewan Keamanan PBB kemudian
mengeluarkan Resolusi Nomor S/RES/2397/2017 yang berisi tentang larangan
kepada seluruh anggota Dewan Keamanan PBB untuk membatasi pengiriman
petroleum kepada Korea Utara dalam 12 bulan kedepan. Dan membatasi ekspor
minyak hanya sebanyak 4 juta barel dalam dua tahun kedepan.
Pada awal Januari 2018 Korea Utara memberikan pernyataan bahwa
kemampuan nuklirnya sudah dapat menangkal ancaman dan serangan nuklir
Korea Utara. Pyongyang juga mengumumkan untuk memproduksi hulu ledak
nuklir dan balistik misil secara masal. Disisi lain upaya reunifikasi yang terus
diupayakan oleh Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mulai direspon oleh Korea
Utara dengan sikap yang positif. Pada olimpiade musim dingin yang digelar di
Korea Selatan, Pyongyang mengirimkan wakilnya dan berada dalam satu bendera
reunifikasi. Sementara itu Washington dan Seoul menunda latihan militernya guna
mempersiapkan Seoul agar berkonsentrasi pada penyelenggaraan olimpiade
musim dingin.
Dunia internasional terus mengapresiasi upaya damai yang dilakukan oleh
Seoul untuk meredam krisis nuklir di Semenanjung Korea. Dialog damai terus
dilakukan oleh presiden Moon. Dalam upaya tersebut, Korea Utara sepakat untuk
menunda seluruh aktivitas program pengembangan nuklirnya sebagai sikap untuk
menghormati Seoul. Sementara dialog tersebut mendapat perhatian dari negara-
49
negara yang telah lama menaruh perhatian pada krisis ini, yaitu AS, Tiongkok dan
Russia. Dan pada oliampiade musim dingin yang digelar, adik dari Kim Jong Un
menghadiri acara tersebut.
Dalam upaya untuk meredam krisis tersebut, deklarasi Panmunjon
merupakan peristiwa yang tidak dapat dilupakan. Pernyataan sikap Korea Utara
dan Korea Selatan untuk mengusahakan perdamaian di Semenanjung Korea
merupakan kemajuan yang besar dalam upaya untuk membangun perdamaian di
kawasan tersebut. Dokumen yang ditandatangani langsung oleh dua pemimpin
Korea tersebut berisi upaya untuk memulihkan perdamaian dikawasan
Semenanjung Korea. Perjanjian tersebut berisi tiga poin utama dengan tambahan
tiga belas sub point yang menjelaskan poin utama.
Setelah mengadakan pertemuan dengan Korea Selatan, Presiden Kim Jong
Un mengatakan bahwa Korea Utara berkomitmen untuk segera memulai negosiasi
dengan AS terkait isu denuklirisasi selama hal itu dibarengi dengan jaminan
keamanan bagi Pyongyang setelah sepakat untuk melakukan denuklirisasi.
Bahkan Pyongyang menutup fasilitas nuklir di kawasan Punggye Ri dan
mengundang dewan pengawasan dari IAEA dan UNSC untuk melihat langsung
situs tersebut agar melihat keseriusan Korea Utara untuk denuklirisasi dan
bernegosiasi.
Merespon krisis nuklir yang terjadi di Kawasan Semenanjung Korea,
Tiongkok menginisiasi pembentukan sebuah dialog yang berfokus kepada upaya
penyelesaian krisis melalui upaya damai yang melibatkan negara-negara
berkepentingan di kawasan tersebut. Dialog ini muncul sebagai reaksi alternatif
dari keluarnya Korea Utara dari NPT. Pada tahun 2003, Tiongkok, Jepang, Korea
50
Utara, Russia, Korea Selatan dan AS memulai dialog intensif yang disebut dengan
Six Party Talks. Dialog ini diselenggarakan di Beijing dan dipimpin oleh
Tiongkok. Dalam kurun waktu 2003 sampai tahun 2009Six Party Talks telah
menggelar enam pertemuan (Six Round) utama dan tujuh pertemuan tambahan.
4.2 Gambaran Umum Tiongkok
Tiongkok merupakan negara dengan peradaban yang maju sejak abad yang
lampau. Bangsa ini menjadi salah satu peradaban yang memiliki pengetahuan
yang tinggi. Banyak karya yang mengubah dunia dihasilkan oleh peradaban ini,
baik seni dan ilmu pengetahuan. Kemampuan untuk membangun peradaban
bangsa Tiongkok juga dilengkapi dengan kemampuan dalam pembangunan dan
pertahanan militer dan pasukan yang sangat kuat. Serta kemampuan berdagang
bangsa ini yang dikenal hingga penjuru dunia. Secara geografis Tiongkok terletak
di kawasan Asia Timur dengan letak berada pada garis 180 Lintang Utara (LU)
sampai 540 LU dan 730 Bujur Timur (BT) sampai 1350 BT. Luas wilayah
Tiongkok kurang lebih mencapai 9.596.961 km2 dengan populasi mencapai
1.373.541.278 jiwa. Tiongkok menjadi negara dengan luas terbesar setelah Rusia,
Kanada dan AS serta menjadi negara dengan populasi penduduk tertinggi dan
terpadat di dunia (Pong, 2009 :1)
Memasuki abad 19 hingga 20 bangsa Tiongkok mengalami pergolakan,
bangsa ini menghadapi banyak masalah yang menimbulkan kemunduran. Ledakan
jumlah penduduk, masalah sosial dan politik menjadikan Tiongkok sebagai salah
satu negara dengan kualitas hidup yang buruk. Ketidakcakapan pemerintah dan
adanya perang sipil yang terus menerus untuk memenangkan kekuasaan dalam
pemerintahan menyebabkan penderitaan yang tidak henti-hentinya bagi rakyat dan
51
menciptakan instabilitas ekonomi dan politik yang berujung pada hilangnya
kepercayaan dunia internasional pada negeri tirai bambu tersebut.
Kebangkitan kondisi ekonomi dan politik Tiongkok dimulai dengan revolusi
kebudayaan dan berakhirnya perang saudara yang ditandai dengan kemenangan
Partai Komunis China (Chinese Comunist Party) yang hingga saat ini masih
memegang kekuasaan sentral di Tiongkok. Kebangkitan negeri tirai bambu ini
tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Mao Zedong yang meletakkan dasar yang
kuat bagi Tiongkok hingga hari ini (Wibowo, 2007: 62). Mao dengan sistem
sosialisnya mampu membawa Tiongkok perlahan bangkit dan memperbaiki
kondisi politik dan ekonomi serta perlahan mengembalikan kepercayaan dunia
internasional.
Setelah era Mao, kepemimpinan Tiongkok terus menguat dan menjadi salah
satu keajaiban ekonomi dunia abad 20. Di kepemimpinan Hu Jiantao hingga Xi
Jinping Tiongkok kembali mendapatkan kejayaan ekonomi dan stabilitas
politiknya dalam politik internasional. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai dua
digit diimbangi dengan penguatan sektor militer dan politik dan relasi dengan
negara lain menjadikan negeri tirai bambu yang sebelumnya tertutup menjadi
negeri yang terbuka dengan segala perubahan dan menjadi salah satu new
emerging country. Dapat dikatakan Asia Timur memiliki pemimpin regional yang
belum dapat ditandingi.
Reformasi ekonomi Tiongkok tidak dapat dilepaskan dari peristiwa yang
terjadi di lapangan Tianamen, saat terjadi tragedi pembunuhan aktivis mahasiswa
pada 4 Juni 1989 yang membuat negara lain mengutuk aksi yang dilakukan oleh
pemerintah Beijing saat itu. Embargo yang dilakukan negara-negara barat
52
terhadap negara ini dan keruntuhan rezim komunis di Eropa Timur dan Rusia
setelahnya menyebabkan ketepurukan ekonomi di tahun 1984 hingga hanya
menyentuh angka pertumbuhan ekonomi 4%. Pada tahun 1990 pertumbuhan
ekonomi menyentuh angka paling rendah sekitar 3,80%. Namun, di tahun-tahun
setelah krisis Tiongkok dapat menyentuh pertumbuhan ekonomi tertinggi hingga
15,40% pada 1993. Setelah tahun 2000-an pertumbuhan ekonomi Tiongkok stabil
di angka sekitar 6% per tahun (tradingeconomics.com, 2018: 1).
Guna menekan jumlah ledakan penduduk, pemerinth Tiongkok kemudian
menerapkan kebijakan one child policy dan diakui secara internasionalpada 1979.
Kebijakan pemerintah tersebut berupa larangan untuk penduduk Tiongkok
memiliki anak dengan jumlah lebih dari satu. Namun hal ini tidak berlaku bagi
mereka yang memiliki anak perempuan pertama, maka diperbolehkan untuk
memiliki anak kedua dan kebijakan tersebut juga tidak berlaku bagi etnis
minoritas. Kebijakan tersebut diklaim menekan lebih dari 400 juta kelahiran.
Secara administratif, Tiongkok terbagi menjadi 33 provinsi dan setiap
provinsi akan terbagi menjadi wilayah yang lebih kecil setingkat kota yang
biasanya disebut dengan prefektur dan kecamatan. Lima kota terbesar di
Tiongkok yaitu Beijing sebagai pusat pemerintahan dan ibu kota negara,
Guangzhou, Hangzhou, Shanghai dan Shenzhen. Jumlah prefektur di Tiongkok
sebanyak 333 wilayah dan setingkat kota sebanyak 2.862 wilayah serta 41.636
setingkat dengan kecamatan. Serta desa yang memiliki jumlah yang sangat
banyak. Berikut adalah peta pembagian wilayah administratif Tiongkok :
53
Politik domestik Tiongkok era kepemimpinan Mao Zedong yang memimpin
sejak tahun 1949-1976 meletakkan pondasi yang kuat bagi Tiongkok saat ini
(Sun, 2013: 2). Meskipun pemimpin yang otoriter namun Mao dapat membangun
Tiongkok untuk bergerak dan menstabilkan politik dalam negeri dan mulai
membangun dari dalam. Akibatnya saat itu Tiongkok banyak mendapatkan
kritikan dari luar mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan banyak
mendapatkan tuduhan negatif. Berlanjut ke masa kepemipinan Deng Xiaoping
sejak tahun 1978-1992 juga masih memiliki gaya kemimpinan yang mirip dengan
pendahulunya Deng Xiaoping yang otoriter dan hanya melibatkan sedikit sekali
elit untuk memutuskan suatu kebijakan.
Pada masa ini Tiongkok menggunakan apa yang disebut sebagai collective
leadership sebagai batasan untuk memutuskan suatu kebijakan. Perumus
kebijakan Tiongkok beranggotakan pemimpin senior yang tergabung dalam
dengan asas democratic centralism dan keseluruhan dewan tersebut berasal dari
Gambar 4.1 Pembagian Wilayah Administratif Tiongkok(Sumber : Encyclopedia of World Cultures)
54
CCP. Tiongkok memiliki sistem yang unik dan tidak dapat dipisahkan dari
pengaruh CCP dalam pemerintahanya. Dalam sistem pemerintahan Tiongkok
terdiri dari Central Committee sebagai badan bagian tertinggi yang merumuskan
keputusan secara formal. Karena konsensus keputusan sebenarnya berada di tubuh
partai. Dalam Central Committee yang terdiri dari 205 anggota yang didalamnya
dan terdapat 25 anggota Politburo Standing Committee, anggota paling
berpengaruh dalam pengambilan keputusan di Central Committee partai maupun
Central Committee State (Jakobson, 2016: 101).
Dalam sistem politik Tiongkok partai memegang peranan penting dalam
proses pengambilan keputusan (Ibid, 2016: 102). Peranan partai mencakup semua
sektor negara, termasuk bagian pemerintahan. Pengaruh partai juga masuk melalui
pasukan Party Liberation Army (PLA) di mana pasukan ini merupakan pasukan
yang sangat berpengaruh di Tiongkok. Penguasaan pasukan dalam sebuah sistem
pemerintahan akan memberikan dukungan yang besar. CCP juga mampu
menguasai mayoritas suara dalam parlemen karena sistem anggota parlemen yang
hampir semuanya merupakan anggota partai. Dengan menguasai hampir semua
anggota parlemen, maka secara otomatis partai juga menguasai hampir semua
suara parlemen.
Arah kebijakan Tiongkok tidak dapat dilepaskan dari National People’s
Congress yang pada 24 Oktober 2017 telah melaksanakan kongres ke-19 kalinya.
National People’s Congress merupakan kongres tertinggi CCP yang akan
menentukan arah politik partai dalam kurun waktu tertentu dan menutuskan hal
krusial seperti arah haluan negara, penentuan suksesi kepemimpinan dan
55
lingkaran pengambilan keputusan di dalamnya.Berikut merupakan sistem
pemerintahan Tiongkok :
Proses ini membuat proses pembuatan kebijakan dalam sistem formal tidak
menimbulkan banyak pertentangan antar elit. Karena proses perumusan kebijakan
telah dimatangkan dalam tubuh partai.Selain itu dalam sistem kepemimpinan
Tiongkok Presiden Tiongkok merangkap empat jabatan sekaligus yaitu, Kepala
Pemerintahan (Presiden), General Secretary of Communist Party of China, Head
of Central Military Commission dan General Secretary of Politburo. Secara tidak
langsung sebagai pemimpin Tiongkok, Presiden menjabat semua badan yang
menyokong berjalanya pemerintahan dan suport sistem yang mendukung
pemerintahannya berjalan. Secara umum Tiongkok menciptakan sistem
pemerintahan yang berbeda dan secara umum sangat efektif untuk menciptakan
Gambar 4.2 Bagan Sistem Pemerintahan TiongkokSumber : Olah Data Peneliti
Communist Party ofChina
President People’s Republic of China(also)
General Secretary of Communist Party of ChinaHead of Central Military Commission
General Secretary of Politburo
Chinese People’sLiberation Army
(PLA)
The State Council
(State Premier/ PrimeMinister)
Central Committee ofParty
Central Committee of theState
Commission Ministries State-ownedEnterprises
AdministrationBodies
56
stabilitas politik dalam negeri dan tetap menempatkan presiden sebagai ultimate
decision-maker (Jakobson, 2016: 108)
Dalam hubungan eksternal, pasca perang dingin kebijakan luar negeri
Tiongkok mengalami perubahan kearah yang lebih dinamis (Sutter, 2012: 1).
Pergeseran tersebut menunjukkan bahwa pemimpin Beijing mulai beradaptasi
pada kondisi dunia, menyesuaikan pada norma-norma internasional, mendukung
perdamaian dan pembangunan dunia yang juga selaras dengan kepentingan
Tiongkok. Meskipun proses perumusan haluan negara masih menggunakan sistem
yang sama dan menempatkan partai sebagai badan yang lebih tinggi meskipun
tidak secara formal. Peran tersebut akan dibahas secara spesifik pada tema yang
relevan pada bagian selanjutnya dalam skripsi ini.
4.1.2 Hubungan Tiongkok dan Korea Utara 2006-2018
Pada bab ini peneliti akan memaparkan hubungan bilateral yang terjalin
antara Tiongkok dan Korea Utara. Paparan tersebut akan berfokus pada hubungan
politik dan ekonomi antara Tiongkok dan Korea Utara sejak tahun 2006 dan 2018.
Hubungan ekonomi dan politik Beijing dan Pyongyang akan dipaparkan guna
meyajikan data mengenai stabilitas dan kondisi dalam kerangka kerjasama dan
ketegangan antar dua negara tersebut agar dapat memberikan gambaran umum
mengenai perubahan sikap Tiongkok ke Korea Utara dalam isu krisis nuklir di
Semenanjung Korea.
4.1.2.1 Hubungan Politik Tiongkok dan Korea Utara 2006-2018
Hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Korea Utara mengalami krisis
yang disebabkan berbagai faktor. Pada tulisan ini akan membatasi hubungan
57
politik kedua negara secara umum pada rentang waktu 2006-2018. Di mana waktu
tersebut dipilih sesuai dengan fokus penelitian. Hubungan Politik Tiongkok dan
Korea Utara terjalin sejak Beijing memutuskan untuk bergabung dalam Perang
Korea dan mendukung Pyongyang. Sejak saat itu hubungan kedua negara ini
disebut sebagai blood alliance (hubungan darah) sebagai ungkapan atas kedekatan
ideologi, geografis dan politik kedua negara (Beina dan Bajoria, 2006: 2).
Memiliki latar belakang ideologi yang sama membuat Tiongkok dan Korea
Utara memiliki kemiripan dalam merumuskan kebijakan dalam politik domestik
dan internasional. Selain latar belakang ideologi, kedekatan hubungan dua negara
ini dapat dilihat dari interaksi keduanya dalam politik internasional. Tiongkok
secara kekuatan politik memiliki peran yang dominan politik internasional. Hal ini
dikarenakan Tiongkok sebagai salah satu anggota Dewan Keamanan PBB
memiliki kekuatan yang dapat memberikan perlindungan kepada Korea Utara
melalui mekanisme hak veto (Isnaeni, 2017: 51).
Selain perlindungan melalui dalam Dewan Keamanan, hubungan politik
antara Pyongyang dan Beijing juga dapat dilihat dari kerjasama The Sino yang
ditandatangai pada tahun 1961 berupa Treaty of Frienship, Cooperation and
Mutual Assistance, yaitu sebuah perjanjian yang mengikat dua negara untuk
mengedepankan dialog dan aliansi yang menguntungkan. Terkait sikap dalam
politik internasional juga diatur dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian
tersebut juga diatur mengenai upaya melindungi satu sama lain antar negara jika
terjadi ancaman yang timbul dari negara lain.
58
Treaty of Friernship, Cooperation and Mutual Assistance antara Tiongkok
dan Korea Utara secara tidak langsung mengikat dua negara ini untuk saling
melindungi. Perjanjian tersebut juga menjamin Tiongkok akan menyediakan
bantuan kepada Korea Utara begitu pula sebaliknya. Perjanjian ini mencakup
hubungan dua negara dalam kerangka kerjasama ekonomi, budaya, teknologi, dan
sosial politik. Juga dalam perjanjian tersebut tertuang kerjasama jika dalam
kondisi tertentu salah satu negara diserang, maka yang lain wajib membantu.
Namun, sejak tahun 2006-2018 hubungan antara Pyongyang dan Beijing
mengalami pasang surut. Terutama akibat dari program pengembangan nuklir
yang dilakukan oleh Korea Utara yang menyebabkan timbulnya security dilema di
kawasan Semenanjung Korea. Sebagai respon atas program pengembangan nuklir
yang dilakukan Pyongyang, negara-negara di Asia Timur juga mengembangkan
sistem pertahananya karena merasa terancam dengan pengembangan nuklir yang
dilakukan oleh Korea Utara. Implikasi dari hal tersebut, AS dan sekutunya
terutama Jepang dan Korea Selatan meningkatkan kerjasama keamanan kawasan.
Salah satunya pemindahan pasukan AS dari pangkalan militer Jepang ke Korea
Selatan. Latihan militer bersama juga dilakukan sebagai upaya untuk meredam
provokasi yang dilakukan oleh Korea Utara. Selain latihan militer bersama
Washington juga mengembangkan Terminal High-Altitude Area Defence System
(THAAD) sebuah sistem yang dirancang untuk pertahanan dari ancaman misil
Pyongyang.
Peluncuran misil Taepodong I serta tujuh misil lain oleh Korea Utara pada
4-5 Juli 2006 dianggap oleh dunia internasional sebagai provokasi yang serius
59
bagi kedamaian internasional yang telah dibangun dan diusahakan semua bangsa.
Rapat khusus diadakan guna menanggapi hal tersebut. Bahkan perwakilan Jepang
di DK PBB secara khusus mengirimkan surat guna menanggapi pelncuran misil
yang dilakukan oleh Korea Utara. Pada tanggal 15 Juli 2006 dikeluarkan resolusi
nomor 1695 tentang sanksi yang diberikan pada Korea Utara. Sanksi tersebut
berupa sanksi ekonomi atas impor beberapa barang yang berhubungan dengan
pengembangan nuklir (Laporan Dewan Keamanan PBB 2006). Namun, pada
sanksi 1695, Tiongkok tidak sepenuhnya menerapkan hal tersebut. Meskipun
Tiongkok mendukung resolusi itu.
Kemudian pada 5 April 2009 Korea Utara mengkonfirmasi peluncuran
nuklir yang daya jangkau misilnya mencapai Laut Jepang. Delapan hari
setelahnya DK PBB mengeluarkan resolusi 1718 yang memperkuat sanksi
terhadap Korea Utara, meskipun Tiongkok mendukung resolusi ini dan
sebelumnya, namun Beijing tidak sepenuhnya mematuhi sanksi tersebut.
Hubungan dagang dua negara ini tetap berjalan dan tetap ada ekspor impor yang
dilarang sesuai dengan sanksi ekonomi bagi Pyongyang. Sekali lagi Tiongkok
tetap menunjukkan keberpihakan kepada Pyongyang meskipun secara tidak
langsung.Namun, kondisi politik kedua negara ini mulai berubah saat Korea Utara
melakukan peluncuran misil yang ketiga pada tahun 2013. Saat itu Tiongkok
sepenuhnya memberikan dukungan kepada draft resolusi yang diusulkan oleh
majelis Dewan Keamanan PBB untuk memberikan sanksi berat kepada Korea
Utara. Tiongkok tidak lagi melanggar seluruh larangan dan sanksi ekonomi yang
diberlakukan. Menurut beberapa pengamat, hal ini menajadi catatan bahwa
60
perubahan pola dan sikap Tiongkok menunjukkan perubahan arah kebijakan
negeri tersebut selama beberapa dasarawarsa terakhir.
Upaya yang dilakukan Tiongkok untuk menjembatani komunikasi antara
Pyongyang dan dunia internasional sebenarnya telah dilakukan Beijing melalui
Six Party Talks, dialog yang terus mengedepankan upaya untuk membangun
perdamaian dengan meminimalisir konflik dalam upaya denuklirisasi Korea
Utara. Melalui Six Party Talks Tiongkok membangun komunikasi dengan AS,
Jepang, Korea Selatan, Rusia dan Korea Utara. Beijing menjadi host dalam setiap
pertemuan yang diadakan. Meskipun tidak memiliki daya paksa, dialog yang
digelar antara negara tersebut benar-benar berfokus pada upaya denuklirisasi
Pyongyang dengan sejumlah upaya alternatif. Meskipun dapat dikatakan peran Six
Party Talks belum sepenuhnya maksimal dan cenderung tidak begitu dihiraukan
oleh Korea Utara. Namun Six Party Talks menjadi satu-satunya dialog multilateral
yang dilakukan guna membahas isu nuklir di Semenanjung Korea.
Pada tahun 2018 hubungan Tiongkok dan Korea Utara mengalami titik
terjenuh. Pada tahun ini Korea Utara sepakat untuk menghentikan program
pengembangan nuklirnya. Keputusan ini diambil oleh Korea Utara setelah terjadi
pertemuan dan dialog yang intensif antara Presiden Korea Utara dan Presiden
Korea Selatan. Keputusan ini diambil setelah pertimbangan yang sangat matang
dan kesepakatan bahwa AS dan sekutu akan mencabut sanksi ekonomi dan
memberikan bantuan ekonomi terhadap Pyongyang.
61
4.1.2.2 Hubungan Ekonomi Tiongkok dan Korea Utara
Tiongkok merupakan aliansi ekonomi yang sangat penting bagi Korea
Utara, Beijing memastikan kehidupan Pyongyang tetap dapat berjalan (Manyin,
2010: 13). Peran tersebut karena Tiongkok menyediakan sebagian besar bantuan
pangan, peralatan pertanian, barang kebutuhan pokok bagi Pyongyang. Tiongkok
merupakan partner dagang paling penting bagi Pyongyang. Pada tahun 2009
Tiongkok merupakan partner dagang terbesar bagi Pyongyang, meskipun
Pyongyang hanya menempati urutan ke-82 yang bahkan lebih kecil dari Kenya,
Sri Langka dan Peru. Sebagai negara importir, Korea Utara hanya menempati
urutan ke-77 bagi Tiongkok dibawah Gabon, Yaman dan Ukraina (Manyin, 2010:
14).
Berikut merupakan grafik ekspor Korea Utara ke Tiongkok tahun 2006-2017 :
Grafik ekspor diatas menunjukkan perdagangan sejak tahun 2006-2017
mengalami kenaikan. Adapun komoditas ekspor Korea Utara ke Tiongkok berupa
batu bara, biji besi, pakaian tenun, besi dan baja, ikan, makanan laut dan garam.
Ekspor tersebut merupakan agenda kerjasama yang dibangun Tiongkok dan Korea
Utara sebagai upaya untuk mempertahankan kerjasama ekonomi dan perdagangan
$467,718,000
$581,521,000$754,046,000
$793,048,000$1,187,861,000
$2,464,188,000$2,484,699,000
$2,913,624,000$2,841,476,000
$2,483,944,000$2,634,402,000
$3,607,821,123
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Jumlah Ekspor Korea Utara ke Tiongkok 2006-2017 (DalamUSD)
Jumlah Ekspor Korea Utara ke Tiongkok 2006-2017 (Dalam USD)
Grafik 4.1 Jumlah Ekspor Korea Utara ke Tiongkok 2006-2017Sumber : U.N Comtrade (diolah)
62
antara dua negara. Meskipun dalam pelaksanaan Korea Utara selalu mengalami
defisit neraca perdagangan dengan Tiongkok, namun kerjasama perdagangan
tersebut tetap berjalan. Begitu pula dengan impor dari Korea Utara ke Tiongkok
yang paling tinggi pada tahun 2014 dengan nilai US$ 4.022.515.000 dan pada
tahun 2017 lalu menyentuh angka yang paling rendah sejak tahun 2007. Berikut
merupakan grafik jumlah impor Korea Utara ke Tiongkok pada tahun 2006-2017 :
Selain dari partner dagang paling penting bagi Korea Utara, Tiongkok
merupakan negara yang menanamkan investasi asing tertinggi di Pyongyang
dalam berbagai sektor. Dari tahun 2006 hingga tahun 2016, Tiongkok
menanamkan modalnya ke Korea Utara dan yang tertinggi pada tahun 2012
mencapai US$ 109.460.000, namun angka tersebut terus menurun hingga tahun
2016. Jika dilihat lebih spesifik, pada tahun 2009 Tiongkok merupakan sumber
utama bagi Korea Utara untuk mengimpor minyak bumi sebagai bahan baku
utama sumber energi negara tersebut. Total impor Pyongyang mencapai
US$327.000.000 di mana angka tersebut merupakan 17% dari total ekspor
Tiongkok ke Korea Utara (A Study Report on The DPRK Mineral Resources,
2007: 1)
$1,231,886,000$1,392,453,000
$2,033,233,000
$1,887,686,000$2,277,816,000
$3,165,181,000
$3,527,843,000$3,632,909,000
$4,022,515,000
$3,226,464,000$3,422,035,000
$1,704,030,568
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Jumlah Impor Korea Utara dari Tiongkok 2006-2017
Jumlah Impor Korea Utara ke Tiongkok 2006-2017 (Dalam USD)
Grafik 4.2 Jumlah Impor Korea Utara dari Tiongkok 2006-2017Sumber : U.N Comtrade (diolah)
63
Berikut merupakan data FDI Tiongkok di Korea Utara sejak tahun 2006-
2016 yang mengalami fluktuasi :
Selain hubungan dagang, Tiongkok dan Korea Utara memiliki hubungan
sebagai pemberi dan penerima bantuan. Setengah dari jumlah bantuan ekonomi
luar negeri Beijing diberikan kepada Pyongyang (Manyin, 2010: 17). Namun hal
tersebut tetap tidak dapat menekan perkembangan nuklir yang dilakukan oleh
Korea Utara. Sebagai upaya untuk menahan pengungsi yang ingin memasuki
wilayah perbatasan Tiongkok - Korea Utara, Beijing kemudian menanamkan
investasi pada bidang mineral di wilayah utara Korea Utara, hal ini sebagai bagian
dari strategi Tiongkok dan upaya untuk meningkatnya standar hidup warga Korea
Utara secara umum dan sebagai upaya untuk menstabilkan wilayah perbatasan
Tiongkok - Korea Utara.
4.3 Kondisi Politik Domestik Tiongkok
Kondisi politik domestik Tiongkok pada tahun 2006 sampai 2018 dibagi
menjadi dua, yaitu masa periode kepemimpinan Hu Jintao yang berlangsung sejak
tahun 2003 hingga pada periode kepemimpinan Xi Jinping yang dimulai pada
$11,060,000
$18,400,000
$41,230,000
$5,860,000$12,140,000
$55,950,000
$109,460,000
$86,200,000
$51,940,000$41,210,000
$28,440,000
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Jumlah FDI Tiongkok di Korea Utara dari 2006-2016
Jumlah FDI Tiongkok di Korea Utara 2006-2016 (Dalam USD)
Grafik 4.3 Jumlah FDI Tiongkok di Korea Utara 2006-2016Sumber : U.N Comtrade (diolah)
64
2013 hingga sekarang. Kemudian setelah memaparkan kondisi politik domestik
Tiongkok di bawah kepemimpinan Hu Jintao dan Xi Jinping penulis akan
memaparkan kondisi ekonomi dan militer politik Tiongkok secara umum.
Mengenai kebijakan dan peristiwa penting yang terjadi sepanjang tahun tersebut
guna mendapatkan poin penting mengenai kondisi domestik Tiongkok yang dapat
mempengaruhi perubahan sikap Tiongkok.
4.3.1 Periode Kepemimpinan Hu Jintao – Xi Jin Ping (2006 -2018)
Hu Jintao terpilih sebagai pemimpin Tiongkok pada Kongres CCP yang ke-
16 di tahun 2002 dan ke-17 pada tahun 2007 (menjabat 2 periode). Namun pada
tulisan ini akan membatasi kondisi pemerintahan Hu Jintao pada tahun 2006
hingga berakhir pada tahun 2012 saat peralihan kepemimpinan Tiongkok pada Xi
Jinping di tahun 2012. Hu Jintao merupakan pemimpin generasi ke-4 yang berasal
dari kaderisasi CCP, seperti hampir semua pemimpin Tiongkok sejak era Mao
Zedong. Terpilihnya Hu Jintao sebagai penerus Deng Xiaoping sudah dapat di
prediksi karena pola kepemimpinan dan pemilihan pemimpin Tiongkok sudah
dipersiapkan masa sebelumnya dengan melibatkan calon pemimpin selanjutnya
dalam pengambilan keputusan dan bagian dari pemerintahan. Biasanya pemimpin
Tiongkok berasal dari anggota Politburo yang telah memahami kondisi politik
Tiongkok. Begitupula dengan Hu Jintao yang telah menjadi bagian dari
pemerintahan Deng Xiaoping pada masa pemerintahanya.
Pada awal kepemimpinannya setelah Kongres PCC ke-16, Hu Jintao
memiliki sangat sedikit dukungan pada jajaran Politburo (Godement, 2009: 4).
Namun pada kongres PCC ke-17 Hu Jintao telah memiliki dukungan penuh dari
seluruh anggota Politburo sebanyak 25 anggota. Dukungan dari anggota Politburo
65
menjadi sangat penting karena suara anggota dewan kecil ini menjadi penentu
kebijakan yang akan di proses di Central Committee. Pengaruh dan posisi dari
anggota Politburo mampu mempengaruhi seluruh anggota Central Committee.
Kondisi yang paling penting pada masa pemerintahan Hu Jintao adalah
berubahnya corak pemerintahan Tiongkok pada sistem pengambilan keputusan
dalam struktur pemerintahan. Pada masa sebelumnya, proses pengambilan
keputusan didominasi oleh pemimpin dalam hal ini presiden, kemudian pada masa
kepemimpinan Hu Jintao proses pengambilan keputusan dirubah menjadi model
power balancing di mana keputusan General Secretary (merangkap presiden)
lebih diutamakan, dalam prosesnya sehingga mengabaikan tradisi kepemimpinan
yang selama ini dijalankan. Juga pada masa pemerintahan Hu Jintao sistem
kepemimpinan kolektif dalam kongres mulai dijalankan hal ini dilakukan untuk
menjelaskan dan mempertegas bahwa seharusnya kepemimpinan General
Secretary jauh lebih dominan dibandingkan dengan Politburo dan Standing
Committee.
Kepimimpinan Hu Jintao berakhir pada tahun 2012 dan kemudian
digantikan oleh Xi Jinping sesuai dengan prediksi para pengamat politik
Tiongkok. Xi Jinping menjadi penerus pemerintahan Hu Jintao pada kongres PCC
yang ke-18 pada 9-12 Oktober 2013. Xi Jinping memimpin Tiongkok sebagai
presiden dan Li Keqiang sebagai Perdana menteri. Xi Jinping merupakan tokoh
yang tidak asing lagi bagi pemerintahan Tiongkok. Pada masa pemerintahan Hu
Jintao, Xi telah menjadi bagian dari Politbiro dan kepemimpinan Xi telah
diramalkan sebelumnya.
66
Periode Xi Jinping tidak banyak merubah struktur pemerintahan yang telah
disusun pada periode sebelumnya. Xi Jinping tetap menggunakan collective
leadership sebagai bagian dari upaya untuk perimbangan kekuasaan antara CCP
(Politbiro dan anggota), CC dan State Council. Periode penting pada masa
pemerintahan Xi merupakan adanya penegasan tugas antar elit di Tiongkok. Xi
mampu menyatukan dan berperan dengan baik sebagai Sekertaris Umum CCP,
Presiden, Ketua Politbiro dan melakukan pendekatan dengan sangat baik pada
PLA. Xi mampu membangun kepercayaan antar elit politik Tiongkok dan
menegaskan kembali bahwa collective leadership dalam elit pemimpin Tiongkok
dapat membawa kestabilan dan kemajuan.
4.3.2 Kondisi Ekonomi Tiongkok
Perekonomian Tiongkok menjadi salah satu yang paling cepat mengalami
pertumbuhan setelah menerapkan program economic reforms pada tahun 1978
(Focus Economic, 2018: 1). Sejak dicanangkanya program economic reforms
perekonomian Tiongkok berkembang dengan cepat dan menjadi negara dengan
perekonomian terbesar ke-dua setelah AS. Program economic reforms membawa
Tiongkok menjadi negara hub industri terbesar di dunia. Program tersebut
diungkapkan Deng Xioping pada Kongres ke-11 PCC pada tahun 1978 yang
terbagi atas empat tujuan modernisasi internal guna menunjang pertumbuhan
ekonomi nasional yang mencakup agrikultur, pertahanan, industri, ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Tiongkok menjadi salah satu negara yang dapat menjalankan sistem
ekonomi kapitalis dan pasar bebas sistem pemerintahanya. Negara ini menjamin
kestabilan sosial dan politik bagi investor, sehingga Tiongkok menjadi salah satu
67
negara tujuan investor. Selain menerapkan sistem ekonomi yang efektif dan
efisien, Tiongkok juga dapat melewati beberapa krisis ekonomi besar (great
economic depression) dengan baik (Focus Economic, 2018: 2). Pada krisis
ekonomi tahun 2008, sebagain besar negara di Asia terkena dampak krisis
ekonomi termasuk Indonesia dan negara-negara ASEAN. Namun, Tiongkok tetap
dapat mempertahankan pertumbuhan ekonominya tetap di angka 9% dengan
inflasi dibawah 7%. Keberhasilan Tiongkok untuk melewati krisis tersebut
menjadi salah satu bukti yang menunjukkan bahwa perekomian Tiongkok masih
stabil.
Perekonomian Tiongkok yang maju dan berkembang dan disebut sebagai
salah satu keajaiban ekonomi dunia bukan tanpa adanya dampak yang menyertai.
Sebagai negara dengan GDP terbesar kedua di dunia dan pertumbuhan ekonomi
yang mencapai dua digit memberikan Tiongkok permasalah pada isu pemerataan
perekonomian yang terpusat di distrik tertentu dan adanya ketimpangan ekonomi
yang sangat menghawatirkan. Selain masalah ketimpangan, Tiongkok juga
dihadapkan pada masalah ekternalitas lingkungan yang semakin parah akibat
perkembangan industri yang tidak dibarengi dengan pengelolaan limbah yang
baik.Tidak meratanya pembangunan ekonomi di Tiongkok kemudian oleh Hu
Jiantao dan Wen Jiabao ditekan supaya menyentuh angka yang paling minimal
dengan cara meningkatkan subsidi, meningkatkan subsidi agrikultur,
memperlambat privatisasi terhadap aset negara dan mempromosikan
kesejahteraan sosial (Focus Economic, 2018: 3). Selain upaya untuk memperkecil
kesenjangan ekonomi, upaya diatas dilakukan oleh Hu juga untuk menekan
pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang pada masa itu mengalami
68
overheatingkarena pertumbuhan double digit menjadi rata-rata 7% pertahun.
Angka tersebut masih stabil dan tetap konsisten hingga saat ini.
Berikut adalah grafik pertumbuhan ekonomi Tiongkok sejak tahun 2006
hingga tahun 2018 pada quartal ketiga pada saat penelitian ini dilakukan :
Pada saat pemerintahan Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang dimulai
pada tahun 2012 perekonomian Tingkok sedang berada dalam fase yang stabil
pada angka 7%. Xi mendorong perekonomian Tiongkok kearah yang yang lebih
sustainable growth (Focus Economic, 2018: 3), artinya pereknomian Tiongkok
akan diupayakan pada angka yang stabil guna menghindari adanya krisis ekonomi
sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tekanan pada pertumbuhan
ekonomi Tiongkok pada tahun tersebut juga disesuaikan dengan visi raising with
peace and stability serta menerapkan bahwa pertumbuhan dan kebangkitan
Tiongkok bukan ancaman kepada negara lain baik secara regional maupun dalam
tataran internasional.
Investasi asing di Tiongkok (Foreign Direct Investment) juga merupakan
tertinggi ke-2 dengan rekor investasi pada tahun 2013 mencapai US$ 4.2 trilon
12.72%
14.23%
9.60%
9.40%
10.60%
9.53%7.85%
7.75%7.29%
6.90%
6.70%
6.90%6.50%
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Pertumbuhan Ekonomi Tiongkok 2006-2018
Pertumbuhan Ekonomi Tiongkok Tahun 2006-2018
Grafik 4.4 Pertumbuhan Ekonomi Tiongkok 2006-2018Sumber : Worldbank (diolah)
69
dan menjadikan negara ini sebagai negara dagang terbesar ke-2 setelah AS. Tidak
hanya berofkus pada FDI, Tiongkok juga bergabung dalam banyak perjanjian
dagang dengan organisasi dan negara lain. Misalnya pada tahun 2001 Tiongkok
resmi menjadi anggota WTO dan memperluas jangkauan ekomominya dengan
mengikuti berbagai forum seperti AFTA & BRIC. Negara ini juga terus
berekspansi pasar ke negara berkembang lain seperti Afrika. Tidak hanya
berekspansi, Tiongkok juga mendirikan kerjasama ekonominya sendiri dengan
mitra, One Belt One Road (OBOR) misalnya.
Sedangkan untuk mempermudah investor luar negeri, Tiongkok
menerapkan Spesial Economic Zones of China (SEZs) yaitu zona khusus yang
mendapatkan perlakuan berbeda dari wilayah lain di Tiongkok guna mendukung
berkembangnya perekomomian, menarik investor asing dan memusatkan kawasan
dan zona industri guna mempermudah pengelolaan. Pada SEZs terdapat beberapa
aturan khusus seperti adanya pemberlakuan pajak khusus, fasilitas dan
infrastruktur khusus guna mendukung produksi, kawasan yang berbasis produksi
produk export-oriented dan regulasi lain yang mempermudah perusahaan asing
untuk menanamkan investasinya di Tiongkok.
4.3.3 Kondisi Militer-Politik Tiongkok
Kekuatan militer Tiongkok merupakan salah satu kekuatan militer terbesar
di dunia. Kekutaan militer Tiongkok merupakan kekuatan terbesar ke tiga di dunia
(Globalfirepower, 2018: 1). Kekuatan militer ini didukung dengan jumlah
personel militer aktif sebanyak 2,693,000 tentara. Jumlah tersebut juga didukung
dengan jumlah penduduk yang dapat dikonversikan sebagai kekuatan pendukung
cadangangan sebanyak 619,000,000 jiwa. Kekuatan ini didukung dengan jumlah
70
anggaran militer yang kuat untuk mempersenjatai personel dengan baik. Selain
persenjataan, dengan anggaran militer yang tinggi jika dibandingkan dengan
GDP-nya, Tiongkok dapat menyediakan fasilitas pelatihan yang memadai dan
pendidikan personelnya untuk meningkatkan kapabilitasnya. Selain unggul secara
jumlah personel dan anggaran, Tiongkok juga unggul dalam kapabilitas
persenjataan angkatan darat, laut dan udara. Keunggulan tersebut ditunjang
dengan anggaran pertahanan Tiongkok pada tabel berikut :
Jika dilihat dari pembagian dengan jumlah GDP, maka anggaran pertahanan
Tiongkok dalam kurun waktu 2006-2017 berada dalam kisaran angka kurang dari
2% per tahun, hanya pada tahun 2009 anggaran pertahahan Tiongkok menyentuh
angka 2,1%. Anggaran pertahanan Tiongkok ini terdistribusi pada pembayaran
gaji personel, pemeliharaan dan perawatan ALUTSISTA serta infrastruktur
militer, sisanya adalah untuk belanja peralatan. Seluruh pembagian dalam tingkat
tersebut guna mendukung reformasi militer yang digalakkan, namun butuh kehati-
hatian yang sangat khusus saat Tiongkok menaikkan anggaran militernya, karena
hal ini dapat ditangkap sebagai sinyal ancaman oleh negara lain. Oleh karena itu
dengan visi Tiongkok raising with peace maka perlu tindakan untuk menekan
anggaran pertahanan dalam batas yang paling minimum. Jika dibandingkan
2.0%1.9%
1.9%
2.1%
1.9%
1.8%
1.8%1.9%
1.9%1.9%
1.9%
1.9%
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Anggaran Pertahanan Tiongkok berdasarkan BesaranGDP 2006-2017
Presentase Anggaran Pertahanan berdasarkan GDP
Grafik 4.5 Anggaran Pertahanan Tiongkok Berdasarkan Besaran GDP 2006-2017Sumber : Stockholm International Peace and Research Institute (diolah)
71
dengan jumlah GDP Tiongkok yang terus bertambah setiap tahun, meskipun
anggaran pertahanan masih berada dalam presentase yang tetap antara tahun 2013
hingga 2017, namun sebenarnya besaran tersebut berubah mengikuti kenaikan
GDP Tiongkok dengan kata lain anggaran pertahanan Tiongkok setiap tahunya
juga berubah.
Struktur militer Tiongkok terdiri atas militer dan paramiliter yang memiliki
tugas umum melindungi kedaulatan dan menjaga ketertiban sipil. Militer
Tiongkok disebut dengan People’s Liberation Army (PLA) yang berada di bawah
Central Millitary Commission (CMC). Tidak seperti banyak negara di dunia CMC
bukan kementerian pertahanan. Tiongkok memiliki kementerian pertahanan,
namun bertugas untuk berhubungan dengan militer dari negara lain dan misi yang
tidak berhubungan dengan politik. CMC sendiri merupakan komisi yang berada
langsung dengan kementerian pertahanan. Secara komando, CMC tunduk pada
perintah presiden. Namun, yang paling penting dalam pengambilan keputusan
mengenai perang, keputusan mengenai angkatan bersenjata, dan pertahanan serta
ketahanan nasional sepenuhnya akan dibahas oleh Politbiro CCPdimana badan ini
diketuai oleh General Secretary CCP.
Selain garis komando militer yang khas, Tiongkok sebagai negara dengan
kondisi georgrafis yang luas, memiliki wilayah darat, udara dan lautan yang besar
untuk dilindungi. Secara geografis ancaman kedaulatan batas wilayah Tiongkok
juga menjadi hal yang patut untuk diperhatikan. Jumlah penduduk Tiongkok
merupakan yang tertinggi di dunia sebanyak 1,3 miliar jiwa atau 18% dari seluruh
total populasi dunia. Dengan beberapa variabel diatas, tidak menghenkan jika
72
kekuatan militer Tiongkok menjadi perhatian pemerintah selain kekuatan
ekonomi.
Dengan variabel diatas dan kondisi regional yang berubah, pada Januari
2016 Presiden Xi melakukan reformasi dalam organisasi dan struktur komando
militer Tiongkok untuk menguatkan kontrol politik terpusat atas kekuatan militer
karena terdapat banyak korupsi dalam organisasi militer yang tidak dapat
langsung ditangani akibat kurang efisienya garis komando sebelumnya, dan guna
membangun PLA sebagai organisasi militer yang kredibel. Berikut merupakan
struktur komando militer Tiongkok sebelum perubahan :
Pada struktur komando militer Tiongkok yang lama, terdapat empat
departemen umum, kemudian terdapat tujuh zona militer, wilayah komando, dan
terdapat alur yang lebih panjang untuk pengambilan keputusan saat terjadi kondisi
darurat, sedangkan setelah perubahan Xi divisi komando medan perang. Dalam
divisi ini terbagi atas wilayah bagian timur dari Tiongkok, bagian selatan, wilayah
bagian barat, wilayah bagian utara dan wilayah bagian tengah. Pasca perubahan
penambahkan komando strategis dan komando markas besar dipegang langsung
Gambar 4.3 Struktur Komando Militer Tiongkok Sebelum PerubahanSumber : Institute for National Strategic Studies
73
oleh CMC. Perubahan ini memotong garis komando militer menjadi lebih efisien
dalam tata kelola kemiliteran Tiongkok (Saunders, 2016:1). Berikut merupakan
skema perubahan struktur kemiliteran Tiongkok :
Terdapat alasan yang memperkuat adanya reformasi militer pada masa
pemerintahan presiden Xi (Saunders, 2016 : 5). Pertama, Xi ingin menguatkan
kontrol politik atas PLA. Kontrol pemimpin kepada pasukan PLA tidak dapat
langsung dilaksanakan jika melihat struktur komando terdahulu, Xi beranggapan
bahwa kontrol general departments dan komando wilayah terlalu kuat dan
memiliki power yang lebih dominan dari pusat. Adanya jarak antara komando
pusat dan wilayah ini membuka peluang adanya korupsi di tubuh militer. Xi
berniat membersihkan militer dari praktik korupsi yang melemahkan citra militer
di mata rakyat. Seperti yang diketahui bahwa Xi memiliki peranan yang sangat
besar dalam pemberantasan korupsi di Tiongkok. Begitupun di tubuh militer, Xi
Gambar 4.4 Struktur Komando Militer Tiongkok Setelah PerubahanSumber : Institute for National Strategic Studies
74
ingin menguatkan kontrol pemerintah dan memberantas korupsi yang berada
dalam tubuh militer terutama dalam hal promosi jabatan. Xi juga ingin
memperbaiki citra partai dengan mengedepankan efisiensi komando dalam tubuh
militer.
Kedua, adanya reformasi militer mengeliminasi adanya general department
yang memperpanjang garis komando antara pusat dan divisi dibawahnya. Xi
melihat adanya komando yang tidak efisien dengan adanya general department
yang mengepalai masing-masing matra. Xi berupaya untuk mengurangi
kewenangan kepala general department dan membuat mereka bertanggung jawab
langsung kepada CMC. Ketiga, Xi mencoba menguatkan fungsi dari CMC dengan
memberikan wewenang khusus untuk dapat melalukan inspeksi langsung kepada
PLA yang menurut Xi dirasa lebih efektif karena CMC lebih independen
dibandingkan jika inspeksi dilakukan oleh partai. Kondisi ini diharapkan dapat
menciptakan kondisi yang seimbang antara partai, pemerintahan dan PLA (ibid,
2016: 7).
Selain ketiga hal diatas, dalam upaya reformasi dalam struktur komando
PLA tertuang dalam buku putih pertahanan Tiongkok. Upaya reformasi ini
diharapkan dapat mendukung upaya Tiongkok untuk menyiapkan diri pada
informationized local war mengacu pada konflik Laut Cina Selatan dan terkait
dengan kondisi keamanan regional Asia Timur. Tiongkok memandang perlu
adanya strategi baru dan sistem baru yang diterapkan guna mengimbangi
kemajuan Tiongkok dalam berbagai bidang termasuk politik dan ekonomi
75
sertaadanya adaptasi militer terhadap kondisi keamanan global dan revolusi pada
teknolog persenjataan yang semakin berkembang.
Pada struktur komando militer Tiongkok yang lama, terdapat empat
departemen umum, kemudian terdapat tujuh zona militer, wilayah komando, dan
terdapat alur yang lebih panjang untuk pengambilan keputusan saat terjadi kondisi
darurat, sedangkan setelah perubahan Xi divisi komando medan perang. Dalam
divisi ini terbagi atas wilayah bagian timur dari Tiongkok, bagian selatan, wilayah
bagian barat, wilayah bagian utara dan wilayah bagian tengah. Pasca perubahan
penambahkan komando strategis dan komando markas besar dipegang langsung
oleh CMC. Perubahan ini memotong garis komando militer menjadi lebih efisien
dalam tata kelola kemiliteran Tiongkok (Saunders, 2016:1).
114
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian yang telah diuraikan, maka
peneliti menyimpulkan bahwa :
1. Perubahan sikap Tiongkok terhadap Korea Utara dalam isu nuklir di
Semenanjung Korea pada tahun 2006-2018antara lain, terjadinya perubahan
pola dukungan Tiongkok dalam resolusi Dewan Keamanan PBB terhadap
sanksi yang diberikan kepada Korea Utara, adanya perubahan peran
Tiongkok dalam The Six Party Talksyang menjadi tidak lagi mendominasi
dialog yang berjalan, adanya persetujuan Tiongkok untuk
memperpanjangThe Sino Agreement dan adanya dinamika kerjasama
ekonomi Tiongkok terhadap Korea Utara dalam bantuan ekonomi, impor,
ekspor dan FDI.
2. Faktor internal penyebab perubahan sikap Tiongkok ke Korea Utara dalam
isu nuklir di Semenanjung Korea pada tahun 2006-2018 terdiri dari, a)
kondisi politik domestik Tiongkok, b) kondisi ekonomi dalam negeri
Tiongkok, c) kondisi militer dalam negeri.
115
3. Faktor eksternal penyebab perubahan sikap Tiongkok ke Korea Utara dalam
isu nuklir di Semenanjung Korea pada tahun 2006-2018 adalah perubahan
kondisi pola hubungan antara negara-negara yang terkait dengan isu nuklir
di Semenanjung Korea.Perubahan ini terjadi karena adanya perubahan
dinamika kawasan dan konstelasi dalam politik internasional yang berubah
sejak tahun 2006-2018. Misalnya perubahan pemimpin negara lain akan
memberikan pola hubungan yang berbeda dan kebijakan luar negeri yang
berbeda. Seperti halnya Tiongkok yang mengalami pergantian
kepemimpinan dalam kurun waktu tersebut, negara lain yang terlibat dalam
krisis di Semenanjung Korea juga mengalami dinamika domestiknya sendiri
yang akan menghasilkan kebijakan luar negeri yang berbeda.
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan, maka peneliti
memberikan saran :
1. Pemerintah Tiongkok sebaiknya menyadari adanya dinamika yang berubah
dalam pola hubungan antar negara yang terlibat dalam krisis nuklir di
Semenanjung Korea, sehingga membutuhkan adanya peninjauan ulang
terhadap kebijakan yang selama ini telah dijalankan. Misalnya perubahan
sikap Korea Utara yang lebih terbuka kepada dunia internasional terutama
Korea Selatan dan Amerika Serikat. Hal tersebut dapat menjadi perhatian
pemerintah Tiongkok atau dapat dijadikan sebagai landasan untuk
melakukan penelitian selanjutnya.
116
2. Dalam politik internasional, kebijakan luar negeri yang berpengaruh
terhadap kondisi politik luar negeri terutama di kawasan Semenanjung
Korea, Tiongkok seharusnya mampu memberikan sikap yang lebih netral
agar tidak memancing adanya krisis keamanan lebih lanjut di kawasan
tersebut. Sebagai negara dengan power yang terus berkembang sebaiknya
lebih mengarahkan kebijakan politkik, ekonomi dan militer dalam negeri
yang lebih mengedepankan kepentingan bersama, terutama mengenai
dinamika kawasan Semenanjung Korea.
6.3 Rekomendasi
Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu enam bulan. Penelitian sangat
menyadari terdapat banyak kelemahan dalam penulisan dan analisis dalam skripsi
ini, diantaranya perubahan dinamika dalam krisis nuklir di Semenanjung Korea
yang hanya diteliti dalam rentang waktu tiga belas tahun dan tidak mampu
memberikan prediksi mengenai konstelasi politik yang akan terjadi pada masa
yang akan datang. Selain itu, sangat disayangkan penelitian ini tidak dapat
dikonfimasi kepada para pengambil kebijakan Tiongkok secara langsung untuk
mendapatkan data yang lebih akurat, namun menggunakan data sekunder yang
diinterpetasikan oleh peneliti. Karena hal tersebut, maka penulis memberikan
beberapa rekomendasi yang dapat menjadi masukan untuk akademisi jurusan
hubungan internasional, pemerintah Tiongkok dan para peneliti yang akan
melakukan penelitian terkait dengan perubahan sikap Tiongkok dalam krisis
nuklir di Semenanjung Korea. Adapun saran yang dapat penulis berikan adalah
sebagai berikut :
117
1. Para akademisi jurusan hubungan internasional diharapkan dapat menyadari
adanya kelemahan dalam penelitian yang memiliki rentang waktu yang
panjang. Pada penelitian dengan rentang waktu yang panjang terdapat
banyak dinamika dalam politik internasional yang terjadi sehingga
mengaburkan fokus penelitian yang sedang dilakukan. Oleh karena itu, pada
penelitian yang menggunakan sampel rentang waktu yang panjang
dibutuhkan ketelitian dan kepekaan dalam mereduksi data yang akan
digunakan. Sehingga hasil yang didapatkan akan sedekat mungkin untuk
menjawab pertanyaan penelitian yang telah dipaparkan.
2. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat mennggali data penelitian yang lebih
komprehensif dan dapat memberikan analisis prediktif mengenai krisis
nuklir di kawasan Semenanjung Korea. Sehingga dapat memberikan
analisis-analisis yang lebih tajam terhadap sikap Tiongkok dalam krisis
nuklir di Semenanjung Korea. Karena pada akhir penelitian ini
dilaksanakan, krisis nuklir di Semenanjung Korea telah mengalami banyak
perubahan yang tidak dianalisis dalam penelitian ini.
118
DAFTAR PUSTAKA
Andrew, Scobell. 2002. “China and North Korea : The Close but UncomfortableRelationship”. Current History. Vol 101.
Babbie, Earl. 2014. “The Basics of Social Research (6th edition)”. WadsworthCengage Learning: New Zealand.
Buzzan, Barry. 1983. “People, States and Fear : The National Security Problemin International Relations”. Departement of International Studies,University of Warwick. Brighton, Sussex.
Buzan, Barry and Amitav Acharya. 2010. “Non-Western International RelationsTheory : Perspectives on and Beyond Asia”. London and New York.Routledge.
Breuning, Marijke. 2007. “Foreign Policy Analysis : A ComparativeIntroduction”. New York. Palgrave Macmillan.
Bryman, Alan. “Social Research Methods (4th edition)”. Oxford University Press:New York.
Carlsnaes, Walter etc. 2013. “Handbook Hubungan Internasional”. Bandung.Nusa Media.
Coplin, William D, Marsedes Marbun. 2003. “Pengantar Politik Internasional :Suatu Telaah Teoritis. Edisi ke-2”. Bandung. Sinar Baru.
Cresswell, John W. 2014. “Research Design : Qualitiative, Quantitative, andMixed Methods Approach. 4th ed.”. Sage Publications. USA
Emzir, Prof. Dr. 2011. “Metodologi Peneltian Kualitatif : Analisis Data”. Jakarta.Rajawali Pres
Fels, Enrico. 2016. “Shifting Power in Asia-Pacific : The Rise of China, Sino-USCompetition and Regional Middle Power Allegiance”. Bonn. Springer.
Feng, Zhu. 2009. “The Architecture of Security in the Asia-Pacific”.Australia.ANU Press
.
119
Freeman, Carla P. 2015. “China and North Korea : Strategic and PolicyPerspektives From A Changing China”. New York. Palgrave Macmillan
Gray, Colin S. 2014. “Strategy and Defence Planning : Meeting the Challenge ofUncertainty”. United Kingdom. Oxford University Press
Hasan, M. Iqbal. 2002. “Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian danAplikasinya”. Bogor, Indonesia. Ghalia.
Hocking, Paul. 1991. “Encyclopedia of World Cultures : East and Southeast Asia.Volume V”. G.K Hall & Company. New York.
International Institute for Strategic Studies (IISS). 2004. “The Military Balance,2004-2005.Oxford University Press.
International Institute for Strategic Studies (IISS). 2006. “The Military Balance,2006-2007.Oxford University Press.
International Institute for Strategic Studies (IISS). 2009. “The Military Balance,2000-2010. Oxford University Press.
Jackson R, Sorensen, Georg & Moller J. 2010 “Introduction to InternationalRelations : Theories and Approaches”. USA. Oxford University Press.
Joshua, John. 2017. “China’s Economic Growth : Towards Sustainable EconomicDevelopment and Social Justice”. London. Palgrave Macmillan.
Kwak, Tae-Hwan and Seung-Ho Jo. 2007. “North Korea’s Second Nuclear Crisisand Northeast Asian Security”. Burlington. Ashgate Publishing Limited.
Liping, Xia. 2009. “How China Thinks about National Security (Chapter 8 DalamBuku Rising China : Power and Reassurance (2009)” oleh Ron Huisken).ANU Press
Nanto, Dick K dan Mark E. Manyin. “China-North Korea Relations”. CRSReport for Congress.
Mahnken, Thomas, Joseph A. Mailolo. 2008. “Sikapc Studies: A Reader”.Routledge: London.
Martono, Nanang. 2011.”Metode Penelitian Kuantitatif”. Jakarta. PT RayaGrafindo Persada.
Miles, Matthew B. And Huberman, A. Michael. 1994. “Qualitative DataAnalysis: A Source Book of New Methods (Second Edition)”. London:Sage Publications.
Mintz, Alex, and Karl DeRouen Jr. 2010. “Undestanding Foreign Policy DecisionMaking”. Cambridge University Press.
120
Morin, Jean-Frederic and Jonathan Paquin. 2018. “Foreign Policy Analysis : AToolbox”. Switzerland. Palgrave Macmillan.
Neack, Laura, Jeanne A.K.Hey , and Patrick J. Haney. 1995. “Foreign PolicyAnalysis : Continuity and Change in it’s Second Generation”, englewoodCliffs, NJ : Pretince Hall.
OECD. 2005. “China in The Global Economy : Governance in China”. China.OECD Publishing.
Roselle, Laura, and Spray, Sharon. 2012. “Research and Writing in InternationalRelations (Second Edition)”. Longman. Pearson Education
Saunders, Phillips C dan Joel Wuthnow. 2013. “Chinese Military Reforms in theAge of Xi Jinping Drivers, Challenges and Implications”. NationalDefence University. Beijing.
Shambaugh, David dan Michael Yahuda. 2008. “International Relations of Asia”.Estover Road. Rowman & Littefield Publishers,Inc.
Solingen, Etel. 2007. “Nuclear Logics : Contrasting Paths in East Asia and TheMiddle East”. Oxfordshire. Princeton University Press.
Starr, Harvey. 2006. “Appeoaches, Levels and Methods of Analysis inInternational Politics”. New York. Palgrave Macmillan.
Strachan, Hew. 2013. “The Direction of War: Contemporary Strategy inHistorical Perspective”. Cambridge University Press.United Kingdom.
Sun, Yun. 2013. “Chinese National Security Decision-Making Processes andChallenges”. Washington D.C. The Brookings Institution.
Sutter, Robert G. 2012. “Chinese Foreign Relations : Power and Policy Since theCold War”. 3th Ed. Maryland. Rowman & Littefield Publishing Group.
Tsang, S and S. Yao. 2016. “China in The Xi Jinping Era”. Nottingham. PalgraveMacmillan.
Waltz, Kenneth. 1979. “Theory of International Politics”. Waveland Press.United States
Weatherbee, Donald E. 2009. “International Relations in Southeast Asia : TheStruggle for Autonomy (Second Edition)”. Lanham. Rowman &Littlefield Publisher.Inc.
Wibowo, I. 2007. “Belajar Dari Cina : Bagaimana Cina Merebut Peluang DalamEra Globalisasi”. Jakarta. Kompas Media Nusantara. Cetakan ke-4.
Waltz, Kenneth. 1979. “Theory of International Politics”. Waveland Press.United States
121
Jurnal :
Beina Xu and Jayshree Bajoria. 2014. “The China –North Korea Relationship.The China-North Korea Relationship - Council on Foreign Relations”.https://www.cfr.org/backgrounder/china-north-korea-relationship, Diaksespada 10 Oktober 2018.
Feng, Zhu. 2009. “Shifting Tides : China and North Korea”. Anu Press.
Godement, Francois and Mathieu Duchael. 2009. “China’s Politics Under HuJintao”. Journal of Current Chinese Affairs, Vol. 38, No. 3.
Harnicsh, Prof. Dr. Sebastian. 2017. “The Military Alliance Between north Koreaand China”. Journal of Heidelberg University.
Isnaeni, Nur Afiyah. 2017. “Dampak Program Pengembangan Nuklir KoreaUtara Terhadap Hubungan Bilateralnya Dengan Tiongkok Tahun 2013-2015”. Journal of International Relations, Vol.3, No. 3.
Jakobson, Linda and Ryan Manuel. 2016. “How are Foreign Policy DecisionsMade in China”. Journal of Asia and Pacific Policy Studies.Vol 3, No. 1.
Jeong, Dongjin, 2012. “China’s Foreign Policy Toward North Korea : TheNuclear Issue”. Naval Postgraduate School. California.
Jeong, Tong Ho and Young Nam. 2008. “China’s Soft Power : Discussions,Resources and Prospects. Asian Survey Vol.48, No.3 (pp 453-472).
Mastro, Oriana Skylar. 2018. “Why China Won’t Resque North Korea : What toExpect if Things Fall Apart”. New York. Wals School of ForeignService. Georgetown University. Jurnal Vol 97, Iss 1
Nanto, Dick K and Mark E. Manyin. 2010. “China- North Korea Relations”.CRS Report for Congress.
Saunders, Philip C and Joel Wuthnow. 2016. “China’s Goldwater-Nichols?Assesing Pla Organizational Reforms”. National Defence University.No.292.
Song, Jooyoung. 2011. “Understanding China’s Response to North Korea’sProvocations : The Dual Threats Model”. Asian Survey. Vol. 51. No. 6
Dokumen Lain :
The Document of Agreed Framework Between the United States of America andthe Democratic People's Republic of Korea 1994.
Dokumen Resolusi Dewan Keamanan PBB : S/RES/825/1993, S/RES/1695/2006,S/RES/1718/2006, S/RES/1874/2009, S/RES/1985/2011, S/RES/2087/2013,
122
S/RES/2270/2016, S/RES/2371/2017, S/RES/2375/2017, S/RES/2397/2017,S/RES/2407/2018.
United Nations Press Release Documents (2006-2018)
Sumber Lain :
http://world.kbs.co.kr diakses pada 04 November 2018 Pukul 19.45
http://un.comtradedatabase.org diakses pada 05 November 2018 Pukul 16.30 WIB
https://www.focus-economics.com/countries/china diakses pada 17 November2018 Pukul 18.49 WIB
https://data.worldbank.org diakses pada 18 November 2018 Pukul 9.20 WIB
https://www.sipri.org diakses pada 18 Januari 2019 Pukul 11.45 WIB
https://www.globalfirepower.com diakses pada 25 Januari 2019 Pukul 13.28 WIB