analisis persepsi masyarakat terhadap penanganan

27
ANALISIS PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENANGANAN KASUS KORUPSI DI INDONESIA (Studi Persepsi Masyarakat Yogyakarta) Proposal Penelitian A. Latar Belakang Kasus korupsi sudah menjadi trend pembicaraan media massa di Indonesia. Sejak jaman era reformasi hingga tahun 2015 ini pembicaraan kasus korupsi menjadi topik hangat dan tidak ada habisnya, mulai dari masyarakat yang tinggal di perkotaan besar hingga pelosok pedesaan. Kasus korupsi yang membuat hati masyarakat miris adalah kasus korupsi yang banyak merugikan keuangan negara, dan keuangan daerah, mulai dari pejabat sektor publik seperti bupati, walikota, kementrian, kepala dinas, hingga kepala kecamatan atau kelurahan. Kasus korupsi seperti ini tidak ada habisnya dalam kurun waktu 25 tahun terakhir. Berdasarkan penulusuran penulis di Internet dan media sosial lainnya, setiap tahun terdapat orang yang tersandung 1

Upload: aulia-fadli-sutan-makmur

Post on 18-Dec-2015

42 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

ANALISIS PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENANGANAN KASUS KORUPSI DI INDONESIA

(Studi Persepsi Masyarakat Yogyakarta)

Proposal Penelitian

A. Latar BelakangKasus korupsi sudah menjadi trend pembicaraan media massa di Indonesia. Sejak jaman era reformasi hingga tahun 2015 ini pembicaraan kasus korupsi menjadi topik hangat dan tidak ada habisnya, mulai dari masyarakat yang tinggal di perkotaan besar hingga pelosok pedesaan. Kasus korupsi yang membuat hati masyarakat miris adalah kasus korupsi yang banyak merugikan keuangan negara, dan keuangan daerah, mulai dari pejabat sektor publik seperti bupati, walikota, kementrian, kepala dinas, hingga kepala kecamatan atau kelurahan. Kasus korupsi seperti ini tidak ada habisnya dalam kurun waktu 25 tahun terakhir. Berdasarkan penulusuran penulis di Internet dan media sosial lainnya, setiap tahun terdapat orang yang tersandung kasus korupsi lebih dari 10 orang. Dan anehnya kasus korupsi tersebut banyak yang tidak mengalami proses penegakkan hukum yang diharapkan, seperti keputusan bebas pada sidang tingkat pertama, hukuman yang sangat ringan dan tidak sebanding dengan uang yang dikorupsi, bukti-bukti kasus korupsi yang hilang dan sebagainya. Kasus korupsi tentunya terkait dengan hukum pidana dan tindak pidana korupsi. Hukum pidana, dan tindak pidana korupsi memberikan keterangan dan penjelasan yang kongkrit akan sangsi bagi pelaku yang melanggarnya dan merugikan keuangan negara khususnya dalam jumlah besar. Lembaga dan isntansi berwenang seperti Kepolisian, Kejaksaan dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) hendaknya bersinergi dalam mengakkan hukum ini. Namun demikian, seringkali kita melihat di media televisi dan koran-koran bahwa ketiga lembaga ini tidak bersinergi dengan baik dalam pemberantasan korupsi, dan bahkan saling menjatuhkan. Kasus terakhir yang tidak luput dari ingatan kita adalah kasus dugaan korupsi dan dugaan tindak pencucian uang yang dilakukan oleh calon Kapolri Budi Gunawan. Kasus ini sampai membuat KPK dan Mabes POLRI bersitegang dan menyebabkan kedua lembaga ini sempat konflik karena sama-sama memiliki wewenang. Kasus ini juga membuat Presiden Jokowi mengundang Tim Dewan Pertimbangan Presiden untuk meminta saran dan masukan atas kasus yang terjadi. Salah satu point penting yang menjadi keputusan Presiden Jokowi adalah bahwa kedua institusi tidak boleh saling mengkriminalisasi dan harus bersinergi dalam pemberantasan kasus korupsi.Kasus Budi Gunawan sebagai contoh kasus korupsi yang ditangani lembaga terkait menjadi headline di media massa dan televisi. Hal ini terkait dengan gugatan yang diajukan oleh pihak Budi Gunawan beserta tim kuasa hukum dalam upaya memperoleh keadilan melalui pra peradilan. Gugatan ini dilayangkan pada Pengadilan yang saat itu dipimpin oleh Hakim Tunggal, yaitu Hakim Saprin. Berdasarkan proses pengadilan yang ada, Hakim Saprin kemudian mengabulkan gugatan pra peradilan Budi Gunawan dan Tim Kuasa hukumnya. Hal ini seketika membuat pihak Budi Gunawan merasa senang dengan dikabulkannya gugatan. Namun demikian ternyata ini menjadi trend bagi pihak tersangka kasus korupsi lainnya seperti Suryadharma Ali untuk juga mengajukan gugatan pra peradilan meskipun pada akhirnya ditolak oleh hakim.Jika dilihat dari konteks di atas, kita bisa melihat bahwa seseorang yang tersangkut kasus korupsi dan sudah menjadi tersangka masih bisa lolos dari jeratan hukum melalui pra peradilan. Secara teoritis hukum berdasarkan Undang-Undang Nomer 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2001 Pasal 2 dinyatakan bahwa segala sesuatu perbuatan yang merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara, memenuhi unsur hukum, dan bertujuan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau korporasi adalah masuk dalam tindak pidana korupsi[footnoteRef:1]. Dari pasal UU ini, jelas menyiratkan suatu kondisi bahwa lembaga KPK selaku lembaga yang melakukan penyelidikan dan penindakan kasus korupsi, dan telah menetapkan seseorang sebagai tersangka ternyata masih bisa lolos dari jeratan korupsi melalui pra peradilan. Kondisi ini tentunya membuat masyarakat bertanya-tanya akan penegakkan hukum di Indonesia, khususnya yang terkait dengan tindak pidana korupsi. [1: Undang-undang No. 31 tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 dan Pasal 5.]

Masih dari UU yang sama yaitu UU Nomer 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2001 Pasal 5 menyebutkan bahwa penyuapan juga terkait tindak pidana korupsi apabila memenuhi unsur sebagai penyelenggara negara dan bertentangan dengan tugas dan kewajiban yang dimiliki sebagai penyelenggara negara. Dari pasal ini jika kita melihat dalam konteks Indonesia, juga terdapat banyak kasus korupsi yang terkait dengan penyuapan, dan ternyata kasus tersebut juga mengalami hal yang sama, yaitu berhenti di tengah jalan atau setelah masuk sidang pengadilan memperoleh hukuman yang sangat kecil dan tidak menyentuh aspek keadilan. Kondisi ini juga diperburuk dengan adanya isu bahwa hakim yang mengadili perkara diduga menerima suap dari pihak tersangka.Sebenarnya KPK sebagai lembaga yang melakukan tindakan penanganan kasus korupsi tetap memiliki landasan hukum yang kuat dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, dasar hukum yang dipegang oleh KPK adalah Peraturan Perundang-undangan yang Terkait dengan KPK, yaitu: UU No. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi[footnoteRef:2] [2: Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi]

UU No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN[footnoteRef:3] [3: Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN]

UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidaan korupsi Peraturan Pemerintah tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi[footnoteRef:4] [4: Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi]

UU No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi[footnoteRef:5] [5: Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi]

UU No. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang[footnoteRef:6] [6: Undang-undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang]

Peraturan pemerintah nomor 63 tahun 2005 tentang system manajemen sumber daya manusia KPK[footnoteRef:7] [7: PP No. 63 tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK]

Berdasarkan landasan hukum di atas, rasanya sulit untuk bisa dimengerti bahwa seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK ternyata masih bisa lolos dari jeratan hukum. Hal ini tentunya akan menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa memang ada yang salah dengan penegakkan hukum di Indonesia, khususnya terkait dengan pemberantasan korupsi. Masyarakat tentunya akan memiliki kesan tidak percaya lagi akan penegakkan hukum di Indonesia. Berdasarkan gambaran di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai persepsi masyarakat akan penanganan kasus korupsi di Indonesia. Bagi penulis penelitian ini sangat menarik untuk dilakukan, sebab masih sangat sedikit para ahli hukum yang melakukan penelitian sejenis. Alasan berikutnya adalah bahwa penelitian ini akan menggugah pandangan masyarakat Indonesia akan penanganan kasus korupsi di Indonesia, dengan harapan masyarakat akan ikut aktif dan peduli dalam memberikan masukan bagi pihak terkait dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Alasan ketiga adalah bahwa masyarakat Yogyakarta merupakan masyarakat terpelajar dan berpendidikan. Kondisi ini tentunya akan memberikan suatu khasanah dan gambaran tersendiri mengenai pemberantasan kasus korupsi di Indonesia dan apa yang seharusnya dilakukan oleh pihak terkait, dengan harapan bahwa masyarakat Yogyakarta sebagai masyarakat terpelajar akan memiliki respon yang dapat diterima secara lokal dan nasional mengenai penanganan korupsi.

B. Rumusan MasalahBerdasarkan gambaran pada latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:1. Bagaimana persepsi masyarakat Yogyakarta terhadap penanganan kasus korupsi di Indonesia?2. Bagaimana tanggapan masyarakat Yogyakarta terhadap penanganan kasus korupsi yang seharusnya dilakukan oleh pihak terkait?

C. Tujuan PenelitianTujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:1. Untuk mengetahui persepsi masyarakat Yogyakarta terhadap penanganan kasus korupsi di Indonesia.2. Untuk mengetahui tanggapan masyarakat Yogyakarta terhadap penanganan kasus korupsi yang seharusnya dilakukan oleh pihak terkait.

D. Manfaat PenelitianManfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:1. Bagi masyarakat umumPenelitian ini bermanfaat sebagai bahan kajian informasi mengenai penanganan kasus korupsi di Indonesia, sehingga masyarakat umum akan mengetahui gambaran kasus korupsi yang terjadi selama ini, dan bagaimana proses penanganannya oleh pihak terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK.

2. Bagi mahasiswaPenelitian ini juga akan bermanfaat bagi mahasiswa, yaitu sebagai referensi bagi penelitian sejenis untuk penelitian yang akan datang. Penelitian ini diharapkan berfungsi sebagai dasar penyempurnaan penelitian berikutnya.3. Bagi pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan KPKPenelitian ini bermanfaat bagi pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK untuk lebih bersinergi dan bekerjasama dalam penanganan kasus korupsi di Indonesia.

Tinjauan Pustaka

E. Tinjauan Pustaka1. Definisi dan Ruang Lingkup KorupsiDefinisi korupsi menurut kamus Bahasa Indonesia adalah segala perbuatan yang termasuk memperkaya diri sendiri dengan cara menipu atau merugikan orang lain dan pihak lain[footnoteRef:8]. Dari definisi ini terlihat jelas bahwa perbuatan yang memperkaya diri sendiri dan juga memperkaya pihak lain dengan merugikan keuangan daerah, keuangan negara, maupun merugikan instansi atau organisasi dimana orang tersebut bekerja dapat dikategorikan sebagai korupsi. Korupsi juga adalah suatu tindakan yang sangat tidak terpuji dan dapat merugikan suatu bangsa. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus korupsi yang terbilang cukup banyak. Kita melihat akhir-akhir ini banyak sekali pemberitaan dari koran maupun media elektronik yang banyak sekali memberitakan beberapa kasus korupsi di beberapa daerah di Indonesia yang oknumnya kebanyakan berasal dari pegawai negeri yang seharusnya mengabdi untuk kemajuan bangsa ini. [8: Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama]

Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah:Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukanyang dapat merugikan keuangan negara atauperekonomian negara. Korupsi merupakan penyakit negara yang sangat berdampak pada pembangunan, tatanan sosial dan juga politik. Korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan dengan melibatkan unsur-unsur tipu daya muslihat, ketidakjujuran dan penyembunyian suatu kenyataan. Korupsi merupakan suatu tindakan yang merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung dan jika ditinjau dari aspeknormatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran hak orang lain yang berat.Tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan kejahatan publik dimana tidak dibutuhkan laporan oleh siapapun sebagai syarat untuk melakukan proses hukum terhadap orang yang diduga melakukan tindakan tersebut. Jika dalam pidana umum proses hukum dimulai dari tahap penyelidikan oleh pihak Kepolisian sebelum dilakukan penyidikan oleh Kejaksaan, maka dalam tindak pidana korupsi penyelidikan juga bisa dilakukan oleh Kejaksaan, maupun KPK sehingga proses hukum tidak harus melalui tahap di Kepolisian. 2. Lembaga Berwenang Yang Menangani KorupsiSebagaimana diketahui bahwa lembaga yang berwenang dalam melakukan penindakan korupsi adalah Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Ketiga lembaga ini memiliki kewenanganan dalam penindakan korupsi termasuk meneruskannya ke sidang pengadilan. Namun demikian KPK memiliki otoritas lebih dalam untuk melakukan tindak penanganan korupsi, baik itu mulai anggota DPR dan DPRD, kementrian, dan dinas-dinas. Pada awalnya pembentukan KPK diiringi dengan semangat yang tinggi untuk memberantas korupsi, namun beberapa bulan terbentuk tampaknya KPK dibiarkan untuk statis. Hal tersebut terjadi karena kesalahan pemerintah dan DPR pada waktu itu yang tidak serius memfasillitasi KPK untuk membangun infrastruktur yang kuat. Hal ini terbukti dengan KPK tidak memiliki penyidik sendiri, tidak punya pegawai, tidak punya gedung yang representatif dan tidak punya peralatan serta infrastruktur untuk bergerak cepat. Dalam tahun pertama menjalankan peranannya sebagai ujung tombak memerangi korupsi, KPK menghadapi beberapa kendala yang klasik antara lain keterlambatan pencairan dana dari pemerintah. Hal ini mengundang kritik pedas dari berbagai pihak bahwa KPK hanya mencari-cari alasan apabila ditagih tentang kinerja pimpinan KPK. Dalam menangani kasus, KPK diberi kewenangan memperpendek jalur birokrasi dan proses dalam penuntutan. Jadi KPK mengambil sekaligus dua peranan yaitu tugas Kepolisian dan Kejaksaan yang selama ini tidak berdaya dalam memerangi korupsi. Disamping itu dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. Selanjutnya KPK mengambil alih kasus korupsi yang sedang ditangani Kepolisian atau Kejaksaan apabila :1. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;2. Proses penanganan tindak pidana korupsi tidak ada kemajuan/berlarut-larut/ tertunda tanpa alasan yang bisa dipertanggung jawabkan;3. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya;4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;5. Adanya hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari Eksekutif, Yudikatif atau Legislatif; atau6. Keadaan lain yang menurut pertimbangnan Kepolisian atau Kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK juga diberi kerwenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan penyelenggara negara;2. Mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat; dan/atau3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).Untuk memerangi tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai tindak pidana luara biasa (extra ordinary crime), maka KPK diberi tambahan kewenangan yang tidak dimiliki institusi lain yaitu:1. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;2. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian keluar negeri;3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;4. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;5. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait;6. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;7. Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti diluar negeri;8. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.Kelebihan-kelebihan yang dimiliki KPK di atas sempat membuat banyak kalangan memiliki kekhawatiran besar, bahwa KPK akan bertindak arogan dalam pemberantasan korupsi. Namun demikian harapan besar masyarakat juga adalah bahwa KPK tetap menjalankan tugasnya dengan tetap berpegang pada koridor hukum, etika serta tidak arogan. Dari penjelasan-penjelasan di atas, penulis mencantumkan dasar hukum bagi KPK sebagai lembaga yang melakukan penindakan terhadap korupsi yaitu: UU No. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi UU No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidaan korupsi Peraturan Pemerintah tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi UU No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi UU No. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang Peraturan pemerintah nomor 63 tahun 2005 tentang system manajemen sumber daya manusia KPK

Bab IIIF. Metode Penelitian1. Jenis PenelitianJenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian deskriptif kuantitatif merupakan kegiatan penelitian yang hendak membuat gambaran atau mencoba menggambarkan suatu peristiwa, kondisi, atau gejala, secara sistematis, faktual, dengan berdasarkan data-data angka yang akurat[footnoteRef:9][footnoteRef:10]. Dalam hal ini, jenis penelitian ini digunakan dalam mengetahui persepsi masyarakat Yogyakarta mengenai penanganan kasus korupsi di Indonesia. [9: Supardi (2005), Metodologi Penelitian Untuk Ekonomi dan Bisnis, Yogyakarta: UII PRESS] [10: Sarwono dan Martadiredjo (2008), Riset Bisnis Untuk Pengambilan Keputusan, Yogyakarta: ANDI]

2. Lokasi PenelitianLokasi penelitian bertempat di wilayah Yogyakarta3. Populasi dan SampelPopulasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan warga Yogyakarta yang menjadi subjek penelitian. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari warga Yogyakarta yang memenuhi kriteria pengambilan sampel. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel dimana peneliti telah membuat kriteria, atau batasan pengambilan sampel[footnoteRef:11]. Kriteria yang digunakan adalah sampel (responden) yang memiliki usia minimal 25 tahun, berjenis kelamin pria dan wanita, berpendidikan minimal diploma 3, dan yang sudah bekerja. Penulis menggunakan kriteria ini dikarenakan sampel (responden) tersebut dianggap memiliki pemahaman yang baik akan penanganan kasus korupsi di Indonesia. [11: Indriantoro dan Supomo (2002), Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen, Yogyakarta: BPFE UGM]

4. Metode Pengumpulan DataData yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari studi pustaka, dan angket[footnoteRef:12]. Studi pustaka digunakan untuk mengumpulkan literatur-literatur, kajian teori, dan penelitian terdahulu terkait dengan penelitian yang penulis lakukan[footnoteRef:13]. Sedangkan angket digunakan untuk mengetahui persepsi masyarakat Yogyakarta terhadap penanganan kasus korupsi di Indonesia. Penulis tidak menggunakan metode wawancara dan observasi dikarenakan melalui studi literatur dan angket sudah cukup mewakili dalam pengumpulan data penelitian[footnoteRef:14].Metode pengumpulan data melalui studi literatur dan angket juga sangat lazim digunakan pada penelitian mahasiswa umumnya. [12: Masyhuri dan Zainuddin (2008), Metodologi Penelitian: Pendekatan Praktis dan Aplikatif, Bandung: Refika Aditama] [13: Rangkuti (2002), Riset Pemasaran, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama] [14: Azwar (2007), Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar]

5. Alat Analisis PenelitianAlat analisis yang digunakan di dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk memberikan gambaran penanganan kasus korupsi di Indonesia. Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui persepsi masyarakat Yogyakarta terhadap penanganan kasus korupsi tersebut. Alat analisis kuantitatif ini juga sangat terkait dengan angket yang digunakan[footnoteRef:15]. Di dalam angket, terdapat pertanyaan-pertanyaan yang harus diisi oleh responden mengenai penanganan kasus korupsi di Indonesia. Jawaban pertanyaan angket menggunakan skala likert yang dimulai dari skor 1 sampai dengan skor 5[footnoteRef:16]. Di dalam angket juga akan berisikan biodata responden. Untuk melakukan analisis data kuantitatif, peneliti menggunakan alat bantu program SPSS 17.0 untuk memudahkan penginterpretasian hasil analisis. Dalam memproses data kuantitatif yang diperoleh, penulis menggunakan distribusi frekuensi, statistik deskriptif yang disertai dengan grafik pie, dan grafik histogram. Berikut disajikan contoh skala jawaban dari pertanyaan penanganan kasus korupsi di Indonesia: [15: Sugiyono (2007), Statistik untuk Penelitian, Bandung: ALFABETA] [16: Husein Umar (2003), Metode Riset Perilaku Organisasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama]

Skala 1 (skor 1) = Sangat burukSkala 2 (skor 2) = BurukSkala 3 (skor 3) = Cukup baikSkala 4 (skor 4) = BaikSkala 5 (skor 5) = Sangat baik

Daftar Pustaka

Undang-undang dan peraturan pemerintah:Peraturan Pemerintah tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahaan dan pemberantasan tindak pidana korupsiPeraturan pemerintah nomor 63 tahun 2005 tentang system manajemen sumber daya manusia KPKUU No. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsiUU No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKNUU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidaan korupsiUU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsiUU No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsiUU No. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uangBuku-buku:Azwar. (2007). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.Husein Umar. (2003). Metode riset perilaku organisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Indriantoro & Supomo. (2002). Metodologi penelitian bisnis: untuk akuntansi dan manajemen. Yogyakarta: BPFE UGM.Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2008). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Masyhuri & Zainuddin. (2008). Metodologi penelitian: pendekatan praktis dan aplikatif. Bandung: Refika Aditama. Rangkuti. (2002). Riset pemasaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Sugiyono. (2007). Statistika untuk penelitian. Bandung: CV. Alfabeta. Supardi. (2005). Metodologi penelitian ekonomi dan bisnis. Yogyakarta: UII PRESS.

16