analisis perbandingan antara fatwa lembaga bahtsul...
TRANSCRIPT
ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA FATWA LEMBAGA
BAHTSUL MASAIL NAHDLOTUL ULAMA TENTANG
EKSPLOITASI ALAM DENGAN UU NO 4 TAHUN 2009
TENTANG MINERAL DAN BATU BARA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
TAUPIK HIDAYAT
NIM: 1111043100021
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H/2018M
iv
ABSTRAKSI
Taupik Hidayat (1111043100021), Analisis Perbandingan Antara Fatwa
Lembaga Bahtsul Masail Nahdlotul Ulama Tentang Eksploitasi Alam Dengan Uu
No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Program Studi
Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqih, Fakultas
Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarîf Hidayatullah Jakarta.
Secara konstitusi sendiri penguasaan terhadap kekayaan sumber daya alam
dipegang oleh negara sebagai kekuasaan tertinggi. Sudah kewajiban bagi negara
untuk mengolahnya demi kepentingan masyarakat dan kemajuan negara. Penting
juga untuk mengetahui bagaimana konstitusi di Indonesia yang mengatur
pemanfaatan tersebut baik dalam hukum Indonesia maupun hukum Islam. Senada
dengan itu Islam pun membenarkan dan membolehkan kegiatan pertambangan.
Namun yang ditegaskan bahwa kegiatan tersebut harus untuk kesejahteraan
masyarakatnya bukan untuk pribadi.
Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
normatif serta metode perbadingan hukum,adapun teknik dalam mengumpulkan
datanya melalui kajian kepustakaan yang bersumber dari Undang-Undang dan
Fatwa Bahtsul masail Nahdlotul Ulama.
Dalam pembahasannya penelitian ini akan memaparkan pada Pasal 1 Ayat
7 dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara secara tidak langsung menjelaskan bahwa kegiatan penambangan
dapat dilakukan jika sudah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Kemudian dijelaskan juga bagaimana dasar dari undang-undang yang mengatur
atau menjadi pondasi terkait peraturan eksploitasi alam. Nantinya akan
menganalisis fenomena eksploitasi alam dalam hukum Islam melalui Bahtsul
Masail Nahdlotul Ulama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa eksploitasi
alam diperbolehkan melalui pemberdayaan atas dasar kepentingan masyarakat
luas. Kepemilikan atau pengolahan secara pribadi tidak diperbolehkan menurut
Bahtsul Masail. Sedangkan hukum Indonesia lebih memberikan izin pengelolahan
sumber daya oleh pihak tertentu melalui prosedur yang sudah ditetapkan oleh
negara.
Kata kunci : Eksploitasi Alam, Undang-undang, dan Bahtsul Masail.
Pembimbing : 1. Dr. M. Asrorun Ni’am, Lc., M.A dan
2. Hj. Ummu Hana Yusuf Saumin, M.A
v
بسم اهلل الرمحن الرحيمKATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allâh Subhânahu Wata’âla yang telah melimpahkan
rahmat, nikmat, taufik, hidayah dan ‘inayah-Nya, terucap dengan tulus dan
ikhlas Alhamdulillâhi Rabbil ‘âlamîn tiada henti. Sesungguhnya hanya dengan
pertolongan-Nya lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Salâwat seiring salâm semoga selalu tercurah limpahkan kepada insân pilihan
Tuhan Nabî akhir zamân Muhammad Sallâllâhu ‘Alaihi Wasallam, beserta para
keluarga, sahâbat dan umamatnya. Amin.
Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang
maksimal dari penulis. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis
didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri
karena banyak pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tersusun bukan semata-
mata hasil usaha sendiri, akan tetapi berkat bimbingan dan motivasi dari semua
pihak. Oleh karena itu penulis secara khusus ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A., Selaku Dekan Fakultas
Syarî’ah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syarî’ah
dan Hukum Universitas Islâm Negeri (UIN) Syarîf Hidâyatullâh
Jakarta;
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi, S.H, M.H, M.A., Selaku Wakil Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum Bidang Administrasi Umum;
3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, Selaku Ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab dan ibu Hj. Siti Hana, S. Ag, Lc., MA selaku
vi
Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab;
4. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, selaku Dosen Penasehat
Akademik Penulis;
5. Bapak Dr. M. Asrorun Ni’am, Lc., M.A dan ibu Hj. Ummu Hana
Yusuf Saumin, M.A selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan arahan, saran dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini
dapat diselesaikan dengan baik;
6. Seluruh dosen Fakultas Syarî’ah dan Hukum Universitas Islâm Negeri
(UIN) Syarîf Hidâyatullâh Jakarta, yang telah mendidik dan
mengajarkan ‘Ilmu dan Akhlâq yang tidak ternilai harganya. Sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Syarî’ah dan Hukum
Universitas Islâm Negeri (UIN) Syarîf Hidâyatullâh Jakarta;
7. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islâm
Negeri Syarîf Hidâyatullâh Jakarta;
8. Kedua orang tua tercinta Ayahanda H. Juhud dan Ibunda Hj. Siti
khodijah, yang telah mencintai saya dengan segenap jiwa dan raga,
memberikan segala yang mereka bisa, baik doa maupun dukungan
sehingga dengan ridha mereka saya bisa sampai seperti ini;
9. Adik-adikku tercinta dan seluruh keluarga besar penulis yang terus
menerus memberikan semangat yang luar biasa;
10. Teman-teman Mahasiswa/i Perbandingan Mazhab Fakultas Syarî’ah
dan Hukum UIN Jakarta angkatan 2011;
11. Sahabat-sahabat/i Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
“Komisariat Syari’ah dan Hukum dan Cabang Ciputat”;
12. Serta semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi
ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Sebagai akhir kata semoga Allah Subhânahu Wata’âlâ memberikan
vii
balasan atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini. Dan juga, semoga apa yang telah kalian berikan
menjadi berkah dan amal kebajikan serta bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Jakarta, 01 Agustus 2018
TAUPIK HIDAYAT
NIM: 1111043100021
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... i
SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iii
ABSTRAKSI ................................................................................................ iv
KAT PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .......................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 6
D. Review Studi Terdahulu ..................................................................... 6
E. Metode Penelitian ............................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 10
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI EKSPLOITASI ALAM
A. Pengertian Eksploitasi Alam ............................................................... 11
B. Eksploitasi Alam (Pertambangan) dalam Perspektif Agama .............. 16
C. Eksploitasi Alam (Pertambangan) dalam Undang-undang ................. 20
D. Hak dan Kewajiban Para Pengusaha Penambang Menurut Undang-
undang Pertambangan Mineral dan Batubara ..................................... 22
BAB III TINJAUAN UMUM FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDLATUL
ULAMA TENTANG EKSPLOITASI ALAM
A. Lembaga Bahstaul Misail dalam Nahdatul Ulama .............................. 25
B. Kedudukan Bahstaul Misail Nahdatul Ulama ..................................... 31
C. Metode Istinbat Hukum Bahstaul Misail Nahdatul Ulama ................. 32
ix
D. Fatwa Lembaga Fatwa Bahstaul Misail NU Tentang Eksploitasi
Alam .................................................................................................... .35
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA DAN HASIL
BAHSTAUL MISAIL NAHDLATUL ULAMA
A. Kegiatan Penambangan yang Dibenarkan Undang-Undang .............. 39
B. Hukum Penambangan Menurut Undang-Undang .............................. 40
C. Kegiatan Penambangan yang Dibenarkan Islam Melalui Hasil Bahstaul
Misail Tentang Eksploitasi Alam ..................................................... 42
D. Hasil Analisis Perbandingan Undang-Undang Pertambangan Mineral
Dan Batu Bara Dengan Fatwa Lembaga Bahtsul Masail ................... 44
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 50
B. Saran ..................................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 53
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini
berpedoman pada surat Keputusan Bersama Departemen Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tertanggal 22 Januari 1988
Nomor : 157/1987 dan 0593b/1987
1. Konsonan Tunggal
ARAB LATIN
Kons. Nama Kons. Nama
Alif Tidak dilambangkan ا
Ba b Be ب
Ta t Te ت
Tsa s Es (dengan titik di atas) ث
Jim j Je ج
Cha h Ha (dengan titik di bawah) ح
Kha kh Ka dan ha خ
Dal d De د
Dzal dh De dan ha ذ
Ra r Er ر
Za z Zet ز
Sin s Es س
Syin sh Es dan ha ش
Shad s Es (dengan titik di bawah) ص
Dlat d De (dengan titik di bawah) ض
xi
Tha t Te (dengan titik di bawah) ط
Dha z Zet (dengan titik di bawah) ظ
Ain ‘ Koma terbalik di atas‘ ع
Ghain gh Ge dan ha غ
Fa f Ef ف
Qaf q Qi ق
Kaf k Ka ك
Lam l El ل
Mim m Em م
Nun n En ن
Wawu w We و
Ha h Ha هـ
Hamzah ’ Apostrof ء
Ya y Ye ي
2. Vokal rangkap atau diftong bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan
antara harakat dengan huruf, transliterasinya dalam tulisan Latin
dilambangkan dengan gabungan huruf sebagai berikut:
a. Vokal rangkap ( أو ) dilambangkan dengan gabungan huruf aw, misalnya:
al-yawm.
b. Vokal rangkap ( أي ) dilambangkan dengan gabungan huruf ay, misalnya:
al-bayt.
3. Vokal panjang atau maddah bahasa Arab yang lambangnya berupa harakat
dan huruf, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf
xii
dan tanda macron (coretan horisontal) di atasnya, misalnya ( ال فاتحة = al-fatihah
م ) ,( .( qimah = قي مة ) al-‘ulum ) dan = ال علو
4. Syaddah atau tasydid yang dilambangkan dengan tanda syaddah atau tasydid,
transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf yang sama
dengan huruf yang bertanda syaddah itu, misalnya ( حد = ), ( سد =
saddun ), ( طيب = ).
5. Kata sandang dalam bahasa Arab yang dilambangkan dengan huruf alif-lam,
transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf “al”, terpisah
dari kata yang mengikuti dan diberi tanda hubung, misalnya ( ال بي ت = al-bayt ),
السمآء ) = al-sama’ ).
6. Ta’ marbut mati atau yang dibaca seperti ber-h arakat sukun,
transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf “h”,
sedangkan ta’ marbut yang hidup dilambangkan dengan huruf “t”,
misalnya ( يةال هالل .( ru’yah al-hilal atau ru’yatul hilal = رؤ
7. Tanda apostrof (’) sebagai transliterasi huruf hamzah hanya berlaku untuk
yang terletak di tengah atau di akhir kata, misalnya ( ية = فقهاء ) ,( ru’yah = رؤ
fuqaha’).
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya, dunia dan kehidupan ini merupakan perwujudan Tuhan bagi
keberadaan diri-Nya, segala sesuatu yang ada di alam ini merupakan tanda (ayat)
keagungan Allah sang pencipta. Dia menciptakan alam semesta dalam enam masa
atau enam hari yang bila dihitung oleh manusia akan membutuhkan waktu
miliyaran tahun1.
Kehidupan di dunia ini sendiri tidak bisa dipisahkan dari keberadaan manusia
dan lingkungan hidup di sekitarnya berupa sumber daya alam seperti air, udara,
binatang dan tumbuh-tumbuhan. Tetapi, kalau kita menelaah asal mula manusia,
kita akan mengetahui bahwa manusia berasal dari tanah kemudian Allah tiupkan
ruh kedalamnya, sehingga jadilah ia seorang manusia. Itu artinya manusia adalah
bagian tak terpisahkan dari alam. Namun manusia memiliki kelebihan yang sangat
besar karena manusia memiliki kedudukan sebagai ciptaan Allah yang paling
sempurna diantara makhluk-makhluknya yang lain dengan diberikan-Nya akal
dan fikiran.
Manusia harus menggunakan haknya sesuai dengan perintah dan seizin Syara’
(aturan agama). Maka dari itu, ia tidak boleh menggunakan haknya dengan cara
yang menimbulkan mudarat (kerusakan, kerugian, bahaya) bagi orang lain, baik
secara individual maupun secara komunal, baik dilakukan dengan sengaja atau
tidak2.
Ulama sebagai bagian dari masyarakat sekaligus sebagai pembuat opini dan
penggerak sosial moral masyarakat memiliki bagian penting dalam melihat
persoalan kerusakan alam. Ulama harus berperan dan ambil bagian terhadap
persoalaan-persoalan alam serta memberikan kontribusinya, baik langsung
berhubungan dengan para pengusaha atau dengan pemerintah. Karena ulama
1 Thalhah, Ahmad Mufid, Fiqh Ekologi Menjaga Bumi Memahami Makna Kitab Suci,
(Yogyakarta, Total Media, 2008) , hal. 4-5. 2 Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillathu, (Damsik;Dar Al Fikr),1989.Jilid
IV, hal.30.
2
memiliki pengetahuan agama yang menyadari betapa besarnya hubungan antara
Tuhan, manusia dan alam.
Ulama juga merupakan wakil rakyat dan persentasi masyarakat dalam
memahami persoalan yang sedang terjadi. Oleh karena itu, ulama diharapkan
untuk dapat memberikan kontribusinya dalam persoalan seperti ini, karena ulama
mampu memberikan dan mengemukakan pandangannya serta menyalurkan
aspirasi masyarakat kepada pemerintah dan karena ulama merupakan tokoh yang
menjadi panutan masyarakat, mempunyai wawasan agama yang luas dan mengerti
keadaan masyarakat yang ada di lingkungannya.
Oleh karena itu, pandangan ulama sangat berperan penting dalam melihat
masalah kerusakan alam. Ulama sebagai tokoh masyarakat yang memiliki
wawasan luas tentang keagamaan dan memiliki pemahaman agama yang baik.
Seharusnya mengerti dengan keadaan masyarakat sekitar, tetapi apakah ulama
sudah memposisikan dirinya sebagaimana yang diharapkan masyarakat, ini yang
perlu pengkajian. Bagaimana kenyataannya pandangan ulama melihat persoalan
ini ?
Indonesia adalah salah Satu Negara yang diberi anugerah oleh Allah SWT
Berupa sumber daya alam yang melimpah, sehingga hampir semua koorporasi
tambang dan gas internasional melakukan bisnis ekplorasi. Disatu sisi bisnis ini
menguntungtkan rakyat Indonesa, tetapi di sisi lain menimbulkan kerusakan
lingkungan alam yang luar biasa dampaknya.
Sumber daya alam adalah semua kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik
yang dapat dimanfaatkan untuk mememenuhi kebutuhan manusia dan
kesejahteraan manusia, misalnya : tumbuhan, hewan, udara, air, tanah, bahan
tambang,angin,dll. Eksploitasi sumberdaya alam yang mengabaikan lingkungan
akan mengancam keberlanjutan dan ketersediaan sumber daya alam itu. Hal ini
berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menggariskan
3
bahwa “ Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat”.3
Dalam hal ini bahwa kekayaan alam yang terkandung di dalam Tanah Air
Indonesia dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Hak penguasaan
negara berisi wewenang untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi pengelolaan
atau pengusahaan bahan galian, serta berisi kewajiban untuk mempergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam pengusahaan bahan galian
(tambang), pemerintah dapat melaksanakan sendiri dan/atau menunjuk kontraktor
(badan usaha) apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang
tidak atau belum dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah.4
Indonesia merupakan Negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi kedua di
dunia setelah Brazil. Fakta tersebut menunjukan tingginya keankeragaman sumber
daya alam hayati dan non hayati yang dimiliki Indonesia. Dilihat dari sisi geologi,
Indonesia terletak pada titik pergerakan lempeng tektonik sehingga banyak
terbentuk pegunungan yang kaya akan batu bara dan mineral5. Sejatinya sumber
daya alam terbagi menjadi dua kelompok, yaitu bisa di perbaharui dan tidak bisa
di perbaharui. Sumber daya alam yang tidak bisa di perbaharui ialah ; Minyak
Bumi, Gas Alam, Mineral, dan Batu Bara.
Sumber daya alam merupakan anugerah Tuhan yang harus kita syukuri
dengan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya dan kita jaga kelestariannya.
Eksploitasi sumber daya alam secara berlebih-lebihan tanpa memperhatikan aspek
peran dan fungsi alam ini terhadap lingkungan dapat mendatangkan berbagai
macam bencana alam seperti tanah longsor, banjir, kabut asap, pemanasan global
hingga bencana lumpur panas yang sangat merugikan masyarakat6. Pada
umumnya, sumber daya alam berdasarkan sifatnya dapat digolongkan menjadi
SDA yang dapat diperbaharui dan SDA tak dapat diperbaharui. SDA yang dapat
3 Undang – undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945, Pasal 33 ayat (3)
4 Salim H. S, Hukum Pertambangan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2010), hlm. 1. 5 https://id.m.wikipedia.org/wiki/sumber_daya_alam&lite_escape/2014 diakses 27
agustus 2016 6 Sumber daya alam Indonesia ;penerbit lajnah ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU
4
diperbaharui adalah kekayaan alam yang dapat terus ada selama penggunaannya
tidak dieksploitasi berlebihan.
Tumbuhan, hewan, mikroorganisme, sinar matahari, angin, dan air adalah
beberapa contoh SDA terbaharukan. Walaupun jumlahnya sangat berlimpah di
alam, penggunannya harus tetap dibatasi dan dijaga untuk dapat terus
berkelanjutan. SDA tak dapat diperbaharui adalah SDA yang jumlahnya terbatas
karena penggunaanya lebih cepat daripada proses pembentukannya dan apabila
digunakan secara terus-menerus akan habis7.
Penambangan batu kapur dikawasan Tagog Apu Padalarang Kabupaten Bandung
Barat adalah salah satu contoh kasus eksploitasi alam secara berlebihan.
Penambangan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar adalah penambangan besar
dengan pemodal yang cukup besar. Rata-rata masyarakat disana bekerja sebagai
penambang batu kapur yang hanya menerima upah harian untuk memproses batu
kapur menjadi butiran batu kapur mentah yang nantinya akan di proses sebagai
bahan dasar pembuatan semen, pasta gigi, kaca, dll.
Bila kita melihat pertambangan ini salah satu sisinya adalah lapangan
pekerjaan bagi masyarakat sekitar namun disisi lain ini adalah bagian dari
penyimpangan sosial karena tanpa disadari mereka telah merusak ekosistem alam
yang tentu saja nantinya akan merugikan lingkungan hidupnya mereka sendiri
pada akhirnya. Sebab dengan mengeksfloitasi alam secara berlebihan tanpa
mereka sadari kelangkaan sumber daya seperti air akan mereka rasakan karena
sumber resapan air habis terkeruk oleh mereka sendiri. Selain itu polusi udara
hasil pembakaran dari pabrik pun menjadi masalah lain selain potensi bencana
alam yang mengancam.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat tema tersebut
ke dalam bentuk tulisan (skripsi) dengan judul “Analisis Perbandingan Antara
Fatwa Lembaga Bahtsul Masail Nahdlotul Ulama Tentang Eksploitasi Alam
Dengan Uu No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu
Bara”.
7 www.gusdurian.net/id/peristiwa/penguasaan-Negara-atas-sumber-daya-alam-menurut-
Islam 2015 diakses 5 September 2016
5
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perlu adanya pembatasan
yang menjadi fokus dalam pembahasan skripsi ini. Untuk mengefektifkan dan
memudahkan pembahasan, maka penulis membatasi permasalahan dalam
penulisan skripsi ini pada hukum eksploitasi alam berdasarkan Lembaga Bahtsul
Masail Nahdlatul Ulama dan perbandingannya dengan Undang-Undang No 4
Tahun 2009.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka penulis merumuskan pokok
permasalahan skripsi ini adalah dalam hukum positif dan undang – undang
Republik Indonesia No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu
Bara, dan fatwa lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama terhadap kasus
pengharaman mengeksploitasi alam secara berlebihan. Pokok permasalahan di
atas diurai dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apa dasar pertimbangan Lembaga Bahtsul Masail dalam memutuskan
fatwa tentang eksploitasi alam ?
2. Bagaimana Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang pertambangan
mineral dan batu bara mengatur pertambangan dan eksploitasi alam ?
3. Bagaimana perbandingan antara fatwa Lembaga Bahtsul Masail dan
Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang eksploitasi alam ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam dari Lembaga
Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama terhadap eksploitasi alam di
Indonesia.
b. Untuk mengetahui bagaimana Undang-Undang dan hukum positif
mengatur dan mengelola kebijakan terkait pertambangan.
6
c. Untuk mengetahui bagaimana kegiatan pertambangan yang dibenarkan
dalam pandangan Islam atupun Undang-Undang.
2. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan manfaat
dan kegunaan bagi pembacanya. Adapun manfaat yang dimaksud terbagi menjadi
dua:
a. Dalam bidang akademik penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya hukum Islam maupun
konvensional mengenai eksploitasi alam yang secara langsung dapat
merespon kenyataan yang terjadi pada masa kini.
b. penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu bahan
pedoman untuk para pengusaha pertambangan agar dapat lebih
bertanggung jawab atas kerusakan dan dampak lingkungan yang
terjadi guna dapat terhindar dari kegiatan–kegiatan yang diharamkan
dalam Islam, khususnya yang menjalankan penambangan tersebut.
c. Bagi masyarakat luas penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan dan pemahaman, guna memberikan kesadaran akan
pentingnya mengetahui hal–hal apa saja yang diperbolehkan dan yang
diharamkan oleh Islam. Juga untuk mengetahui perbedaan antara fatwa
lembaga Bahtsul Masail dengan hukum positif mengenai Eksploitasi
alam.
D. Review Studi Terdahulu
Penulis melakukan tinjauan terhadap kajian-kajian terdahulu, diantaranya
adalah skripsi yang berjudul : Resistensi Penambangan Ilegal : Studi Kasus
Eksploitasi Tambang Galian (Pasir) di Desa Borimasungu Kabupaten Maros
yang ditulis oleh , M. Nur Program studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Hasanudin Makasar. Dalam penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan akan berdampak pada
penurunan kelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan. Kerusakan
sumber daya alam terus mengalami peningkatan, baik dalam jumlah maupun
7
sebaran wilayahnya. Kerusakan tersebut disebabkan baik oleh usaha-usaha
komersial yang secara sah mendapat izin maupun oleh individu-individu yang
tidak mendapat izin.
Masih banyak manusia yang tidak mengetahui manfaat jangka panjang
sumber daya alam, sekaligus tidak peduli dengan kerusakan lingkungan yang
terjadi. Masyarakat lebih mengutamakan kesejahteraan material sesaat
.masyarakat menganggap bahwa lingkungan itu milik publik, menyebabkan orang
pada umumnya tidak merasa bersalah mengeksploitasi sebesar-besarnya sumber
daya alam. Kerusakan lingkungan berkaitan erat dengan daya dukung alam.Daya
dukung alam dapat diartikan sebagai kemampuan alam untuk mendukung
kehidupan manusia.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan riset pustaka (library research) pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif. Penelitian hukum
normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini,
acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.8 Kaitannya
dengan penelitian ini, yang dimaksud dengan hukum yaitu hukum Islam (fiqh)
yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits yang kemudian diinterpretasikan
oleh para ‘ulama sehingga muncul beberapa pendapat dengan berbagai persamaan
dan perbedaan. Yang menjadi objek penelitian pustaka ini adalah fatwa lembaga
Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama’ tentang Analisis Perbandingan Antara Fatwa
Lembaga Bahtsul Masail Nahdlotul Ulama Tentang Eksploitasi Alam Dengan Uu
No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, serta melihat
pendapat-pendapat para ulama dan melihat dalil-dalil yang digunakan dalam
8 Amiruddin, dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Pertama), h. 118.
8
mengeluarkan argument Penelitian ini menggunakan metode deskriftif yaitu
menggambarkan secara besar permasalahan yang mana didasari dengan pemikiran
yang menuju kepada hal-hal yang khusus, berkaitan dengan materi yang akan di
bahas. Adapun cara memperoleh data-data dalam penulisan skripsi ini dengan cara
study pustaka yaitu dengan cara mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan
pembahasan yang sedang diteliti penulis. Penelitian ini juga menggunakan metode
perbandingan hukum, dalam hal ini penulis membandingkan antara hukum Islam
dan hukum positif.9
2. Sumber Data
Data yang dihimpun dalam penelitian ini terdiri menjadi (3) tiga, yaitu
sumber data primer, sumber data sekunder, dan sumber data tersier.
a. Sumber data primer, yaitu semua sumber yang berhubungan langsung
dengan objek penelitian. Sumber primer dalam penelitian ini adalah
hasil fatwa rumusan PWNU Jawa Timur komisi Bahtsul Masail
diniyah waqi’iyah Muktamar Nahdatul Ulama ke-33 tentang
eksploitasi alam. Dan Undang-undang Pertambangan Mineral dan batu
bara No.4 tahun 2009.
b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang dapat menjelaskan
data-data primer dalam hal ini adalah: fiqh Al-bi’ah, Fath al-Bariy
Syarh, shahih al-Bukhari ,buku-buku, artikel ilmiah, berita-berita di
media masa, dan lainnya.
c. Sumber data tersier, meliputi kamus-kamus dan ensiklopedia Islam.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
upaya pengidentifikasi bahan-bahan yang telah tersusun baik berupa buku
maupun jurnal yang memiliki kaitan dengan pembahasan judul Teknik Analisis
9Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2008), hal. 100.
9
Data secara sistematis dan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang
memuat informasi yang berkaitan dengan tema, objek dan masalah penelitian
yang akan dilakukan.10
Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual
teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan studi kepustakaan dengan data-
data kualitatif. Yakni dengan mencari bahan-bahan (referensi) yang terkait serta
mempunyai relevansi dengan penelitian.
4. Teknik Pengelolaan Data
Teknik Pengelolaan data adalah proses penyederhanaan data kedalam
bentuk yang lebih mudah dibaca atau mudah dipahami dan diinformasikan
kepada orang lain. Pada tahapan analisis data, data diolah dan dimanfaatkan
sedemikian rupa hingga dapat menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat
dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-
data tersebut dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu
menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu
gambaran secara jelas sehingga menemukan jawaban yang diharapkan.
5.Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syarî’ah dan Hukum Universitas Islâm Negeri Syarif Hidâyatullâh
Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta tahun 2017.”
10
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode penelitian hukum, (jakarta:lembaga
Penelitian Hukum Uin Syarif hidayatullah 2010), hal. 17-18.
10
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat sistematika
penulisan dengan membagi kepada lima (5) bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub
bab dengan rincian sebagai berikut:
BAB I pendahuluan, bab ini menjelaskan tentang standar karya tulis ilmiah,
yaitu menerangkan alasan kenapa masalah tersebut layak untuk dijadikan sebuah
penelitian. Selanjutnya mengidentifikasi masalah-masalah umum yang berkaitan
dengan judul penelitian dan membuat suatu pembatasan dan rumusan dari
identifikasi masalah tersebut agar penelitian lebih terarah. Terakhir, menerangkan
tujuan dan manfaat dari penelitian serta menentukan metode yang akan digunakan
dalam penelitian.
BAB II tinjauan teoritis tentang pengertian Ekploitasi Alam, bab ini
merupakan suatu pengantar bagi pembaca dalam memahami serta mengetahui apa
yang jadi Hak dan Kewajiban Para Penambang Menurut Undang–Undang Mineral
dan Batu Bara. Menjelaskan tentang eksploitasi alam dalam perspektif Agama dan
Undang-Undang.
BAB III tinjauan umum fatwa Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama, bab ini
menerangkan tinjauan umum mengenai fatwa Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama.
Pembahasan pada bab ini terdiri dari Pengertian, Kedudukan Fatwa, lembaga
Bahtsul Masail NU, Metode istinbath hukum Bahtsul Masail Nahdatul Ulama
tentang eksploitasi alam.
BAB IV tinjauan analisis perbandingan fatwa lembaga Bahtsul Masail NU
dengan Undang-Undang pertambangan minera dan batu bara. Serta membahas
pandangan ulama Nahdlatul Ulama mengenai eksploitasi alam di Indonesia, dan
kegiatan pertambangan yang dibenarkan dalam Islam maupun Undang-Undang.
Dalam BAB V penutup, bab ini berisi kesimpulan yang berupa pernyataan
singkat dari hasil penelitian, dan saran sebagai rekomendasi penelitian yang
menurut penulis dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
11
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI EKSPLOITASI ALAM
A. Pengertian Eksploitasi Alam
1. Pengertian
Eksploitasi adalah kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk penggalian-
penggalian pada objek yang terdapat potensi berupa sumber daya alam dan
lainnya untuk kepentingan bersama. Sedangkan eksploitasi pada Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
Dalam peraturan tersebut eksploitasi sebagai usaha pertambangan dengan maksud
untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya. Sedangkan eksplorasi
adalah penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan adanya bentuk atau
jenis bahan galian.1
2. Macam-macam Eksploitasi
Kegiatan ini dapat dibedakan berdasarkan sifat bahan galiannya yaitu; galian
padat dan bahan galian cair serta gas2.
a) Bahan Galian Padat
Untuk memperoleh bahan galian yang bersifat padat dapat dilakukan
penambangansecara terbuka dan penambangan bawah tanah Penambangan
Terbuka Jenis penambangan ini dilakukan untuk memperoleh bahan galian padat
yang biasanya terdapat tidak jauh dari permukaan tanah. Contoh bahan galian
tersebut adalah emas, batubara, batu gamping, sirtu dan lain-lain.
b) Penambangan Bawah Tanah
Jenis penambangan ini dilakukan dengan membuat terowongan untuk
memperoleh bahan galian padat. Contohnya emas, batubara dan lain-lain yang
biasanya terdapat di bawah permukaan tanah.
1
“Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan”, Artikel diakses pada 18 Februari 2018 dari
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/1967/11TAHUN~1967UU.htm 2 http://kataloggeografi.blogspot.com/2015/09/eksplorasi-dan-eksploitasi-barang.html
12
c) Bahan Galian Cair dan Gas
Untuk memperoleh bahan galian yang bersifat cair dan gas hanya dapat
dilaksanakan dengan cara pengeboran, karena jenis bahan galian ini terdapat jauh
dibawah permukaan tanah. pengusahaan bahan galian cair dan gas berdasarkan
lokasi keterdapatannya dibagi menjadi 2 yaitu : Pemboran Daratan (Onshore Drill
Rig), bila bahan galian ini berada di daratan, Pemboran Lepas Pantai (Offshore
Drill Rig), bila bahan galian ini terdapat di lepas pantai atau laut.
Didalam Undang-Undang pertambangan no 37 tahun 1960 dan Undang-
Undang pokok no 11 tahun 1967 pasal 3, Bahan galian di Indonesia dibagi
menjadi 3 golongan sabagai berikut:
a) Bahan galian golongan A (bahan galian strategis) adalah bahan galian
yang mempunyai perananpenting untuk kelangsungan kehidupan Negara,
misalnya; Minyak bumi, gas alam, batu bara, timah putih, besi, nikel dan
lain-lain. Bahan galian ini sepenuhnya dikuasai oleh Negara.
b) Bahan galian golongan B (bahan galian Vital) adalah bahan galian yang
mempunyai peranan penting untuk kelangsungan kegiatan perekonomian
Negara dan dikuasai oleh Negara dengan meyertakan rakyat, misalnya
emas, perak, intan, timah hitam, belerang, air raksa dan lain-lain. Bahan
galian ini dapat dikuasai oleh badan usaha milik Negara ataupun bersama-
sama dengan rakyat.
c) Bahan galian golongan C (tidak termasuk strategis dan tidak vital) adalah
bahan galian yang dappat diusahakan oleh rakyat atupun badan usaha
milik rakyat.misalnya; batu gamping, marmer, batu sabak, pasir dll.
Didalam perkembanganya penguasaan dan pengelolaan telah banyak di
keluarkan aturan-atran yang pada perinsipnya member keluasan usaha
masyarakat. Dismping itu apabila dicermati lebih lanjut pengolongan
bahan galian seperti yang tersebut didalam undang-undang didasarkan atas
Memiliki peranan yang tinggi dalam pertahanan, pembangunan dan
perekonomian Negara. Memiliki peranan penting bagi hajat hidup orang
banyak Banyak tidaknya bahan galian tersebut didapatkan. Teknik
pengolahan bahan galian tersebut Pengunaan bahan galian tersebut dalam
13
industry. Pengelolaan bahan galian C sangat berhubungan erat dengan
penyelamatan sumberdaya alam disekitarnya. Pengerukan bahan-bahan
galian C seperti pasir, kerikil maupun batu alam memberikan andil yang
besar bagi kelestarian lingkungan, demikian halnya perambahan hutan di
hulu sungai juga memberikan andil terhadap besar kecilnya debit air
sungai.
Menurut Sukandarrumidi (1999), bahwa pengerukan bahan galian C juga
berakibat turunnya kualitas dan kuantitas sungai. Kualitas air menurun karena air
sungai menjadi keruh sehingga jumlah cahaya yang mampu menembus sungai
sangat sedikit dan ini sangat mempengaruhi proses fotosintesis hewan-hewan air.
Sukandarrumidi (1999) menambahkan bahan galian adalah bahan yang dijumpai
di dalam perut bumi baik berupa unsur kimia, mineral, biji ataupun segala macam
batuan, di dalam pengertian ini termasuk bahan galian yang berbentuk padat
seperti emas, perak, batu gamping, lempung, berbentuk cair seperti minyak bumi
dan yodium, maupun berbentuk gas seperti gas alam. Lebih lanjut Sukandarrumidi
(1999), menyatakan bahwa sistem dan cara penambangan bahan galian, tidak
seluruhnya harus dengan cara penggalian atau pengerukan, namun juga dapat
dilakukan dengan cara disemprot dengan air, disedot dengan pipa ataupun
dipompa. Berdasarkan cara pengambilannya, seluruh bahan-bahan tersebut
diartikan sebagai bahan tambang. Penggolongan bahan galian diatur dalam
Undang-Undang Pertambangan Republik Indonesia N0 37 Tahun 1960 juncto
Undang-undang Pokok Pertambangan Republik Indonesia No 11 Tahun 1967
pasal 3.3
3. Dampak Eksploitasi Alam
Manusia sering kali hanya berfikir untuk mengambil manfaat dan keuntungan
yang sebesar-besarnya dari alam tanpa memperdulikan etika berlingkungan dan
dampak negatifnya, akhirnya eksplorasi-eksplorasi yang berlebihan terhadap
lingkungan terjadi di mana-mana, karena kekeliruan manusia dalam memahami
3 Penggolongan bahan galian dalam Undang-Undang Pertambangan Republik Indonesia
N0 37 Tahun 1960 juncto Undang-undang Pokok Pertambangan Republik Indonesia No 11 Tahun
1967 pasal 3.
14
konsep taskhir.4 Efek ketidakseimbangan tersebut kemudian terjadi seperti banjir,
gempa bumi, tanah longsor, kekeringan, dan buruknya kualitas udara
mengingatkan kita secara langsung, bahwa segala perilaku manusia yang tidak
bersahabat dengan alam akan mengakibatkan bencana, tidak hanya bagi manusia
tapi juga bagi semua makhluk hidup yang bergantung kepada alam sekitar kita. Di
Indonesia sendiri ekplorasi sumber daya alam sudah sangat luar biasa dan massive
dilakukan, mulai dari penebangan hutan, pengeboran minyak, dan eksplorasi
sumber daya alam yang dilakukan dengan besar-besaran yang kesemuanya itu
tidak hanya memberikan dampak positif bagi bangsa Indonesia tetapi juga
memberikan dampak menyakitkan seperti kasus banjir lumpur panas di Sidoarjo
akibat pengeboran minyak oleh PT. Lapindo.
Eksploitasi sumber daya alam secara berlebih-lebihan tanpa memperhatikan
aspek peran dan fungsi alam ini terhadap lingkungan dapat mendatangkan
berbagai macam bencana alam seperti tanah longsor, banjir, kabut asap,
pemanasan global hingga bencana lumpur panas Sidoarjo yang sangat merugikan
masyarakat. Bencana tanah longsor disebabkan oleh penggundulan yang
dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan.
Ketika hutan dalam keadaan gundul maka formasi tanah akan menjadi larut dan
menggelincir diatas bidang licin pada saat terjadi hujan. Sehingga bencana banjir
yang disertai tanah longsor tidak dapat dihindarkan lagi. Bencana banjir yang
selalu terjadi setiap tahun hampir di seluruh wilayah Indonesia disebabkan oleh
polah tingkah manusia yang suka membuang sampah sembarangan yang
mengakibatkan rusaknya tata guna lahan dan air. Tata guna lahan dan air
menyebabkan laju erosi dan frekuensi banjir meningkat.5
4 Taskhir secara literal berarti menundukkan, kemudian berkembang sebagai ekplorasi
alam. Tim Peneliti, Eko-Teologi Al-Qur’an “Sebuah Kajian Tafsir dengan Pendekatan Tematik”,
(Banjarmasin; IAIN Antasari Banjarmasin, 2012), hal. 7. 5 http://temp1o0whnjao4qhs.blogspot.com/2010/10/dampak-eksploitasi-
berlebihan-terhadap.html
15
Eksploitasi hutan di daerah hulu yang dapat menghilangkan fungsi hutan di
daerah hulu sebagai penutup lahan terhadap tumpahan air hujan dan penghambat
kecepatan aliran permukaan juga dapat menyebabkan banjir. Pembangunan dan
penataan sarana-sarana fisik yang tidak teratur dan pengguanaan lahan yang tidak
seimbang di kota-kota besar seperti Jakarta merupakan salah saru sebab ibu kota
negara ini tidak pernah absen dari bencana banjir. Contoh: Tidak diperhatikannya
aspek drainase, banyaknya bangunan di bantaran sungai, berubahnya fungsi lahan
dan lain-lain. Setelah musim hujan usai dan bencana banjir sementara telah pergi,
kemudian bencana kabut asap akan terjadi di musim kemarau. Hampir disetiap
musim kemarau kita melihat kasus-kasus kabut asap yang terjadi akibat
pembakaran hutan oleh pihak-pihak yang ingin mendapatkan secuil keuntungan
pribadi melalui permbuatan lahan baru di hutan. Pembakaran yang dilakukan
umumnya hanya menggunakan alat pengendali api seadanya sehingga laju api
tidak dapat dikendalikan sehingga kabut asap tebal menyelimuti wilayah tersebut.
Masalah lingkungan yang tidak habis-habisnya dibicarakan oleh msyarakat dunia
adalah masalah pemanasan global (Global Warming). Industrialisasi di seluruh
dunia menyebabkan polusi CO2 diudara meningkat dengan cepat menyebabkan
terjadinya bencana pemanasan global. Akibatnya terjadi perubahan iklim dan
kenaikan air laut yang menyebabkan abrasi pantai. Bencana paling hebat di
Indonesia adalah bencana lumpur panas yang terjadi pada bulan Juni 2006.
Peristiwa ini terjdi karena pengeboran yang tidak sesuai dengan formasi batuan
sehingga memotong formasi lumpur dan menembus formasi gas. Banyak sekali
eksploitasi sumber daya alam yang membawa dampak terhadap kehidupan. Segala
kegiatan pembangunan yang berlangsung diharapkan tidak hanya mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga harus mampu menjaga
kelestarian sumber daya alam. Sehingga alam tidak akan kehilangan fungsinya
sebagai pengendali keseimbangan kehidupan. Oleh karena itu setiap
pembangunan yang dilakukan harus berwawasan lingkungan mengenalisis
mengenai dampak lingkungan yang akan terjadi.
Dalam islam eksploitasi dikenal dengan pemanfaatan sumber daya alam
dimana dalam pemanfaatannya tidak boleh untuk dirinya sendiri. Syauqi Ahmad
16
Dunya menyebutkan sumber daya alam sebagai rahmat dari Allah Swt untuk
mengendalikan perilaku kekerasan terhadap alam bahwa kekayaan alam untuk
semua makhluk hidup. Manusia bertugas untuk membagikan sumber tersebut
melalui eksploitasi secara adil.6
B. Eksploitasi Alam (Pertambangan) dalam Perspektif Islam dan Undang-
Undang
1. Eksplotasi Alam (Pertambangan) dalam Perspektif Islam
Dalam ajaran Islam, memelihara lingkungan (hifzh al-bì'ah) merupakan salah
satu tujuan diturunkannya syariat Islam.7
Islam mengajarkan umatnya untuk
bersikap santun dan bersahabat dengan alam (eco-friendly). Alam harus dipahami
sebagai ciptaan dan nikmat Allah yang harus dijaga dan dipelihara dalam rangka
ketaatan dan rasa cinta kepada Pencipta.8
Menjaga alam adalah dengan cara: tidak
merusak alam dengan semena-mena, termasuk eksplorasi dan eksploitasi yang
tidak memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutannya. Melakukan
pengrusakan terhadap alam sama artinya dengan menjalin permusuhan
dengannya. Sedang Allah, melarang manusia untuk tolong-menolong dalam
permusuhan dan kejahatan.9 Berbagai bentuk kerusakan lingkungan akibat
ekploitasi sumber daya alam dan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh
manusia telah menimbulkan berbagai bencana, seperti banjir, gempa bumi,
longsor, dan lain-lain. Bencana ini tidak hanya merusak ekosistem, namun lebih
lagi telah mengancam kemaslahatan hidup makhluk hidup, termasuk di dalamnya
manusia. Alquran dan sunnah memperingatkan umat Islam agar tidak mencelakai
diri dan sekitarnya ( ال ضرر ال و ضرار ). Ayat ini menurut ar-Râziy
mengindikasikan larangan membuat mudarat (bahaya). Dan pada dasarnya, setiap
6
Sholahuddin Muhammad, Asas-Asas Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Grafindo Persada,
2007. Hal. 43. 7 Yùsuf al-Qardhàwi, Ri‘ayah al-Bi'ah fi Syari‘ah al-Islàm, Cet. 1 (Kairo: Dàr asy-
Syurùq, 1421 H/2001 M), 47. 8 Arabiy, Futùhàt al-Makkiyyah fi Ma‘rifah al-Asràr al-Malikiyyah wa al-Mulkiyyah,
(Beirut: Dàr Ihyà' at-Turàts al-‘Arabiy, t. th), III: 167 9 Allah berfirman, ت ع وا ا اا لاع وا ل ىا و ت ب ا ت قت لا وا ت وا ع وا ا لاع اا إل ىا تو ت إل عوا ع ت :Al-Mà'idah/5) وا
2)
17
perbuatan yang menimbulkan mudarat adalah haram dan dilarang oleh agama
selama belum ada nash yang mentaskhsis keumumannya.10
Merusak lingkungan
dicirikan Allah, sebagai sifat orang yang munafik. Mereka mengaku sebagai orang
yang berbuat kebaikan. Padahal, apabila mereka berjalan di muka bumi, mereka
sengaja berbuat kerusakan dan menghancurkan tanam-tanaman dan memusnahkan
binatang ternak.
Alquran merupakan kitab petunjuk yang di dalamnya tidak hanya berbicara
tentang hal-hal yang bersifat metafisis-eskatologis, tetapi juga berbicara tentang
alam semesta yang dihuni oleh manusia dan makhluk lainnya. Alquran memuat
pedoman tentang bagaimana menyantuni alam semesta dan lingkungan
sekitarnya.11
Keberadaan alam dan seluruh isinya merupakan satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan, semuanya saling terkait dan saling melengkapi.
Kelangsungan hidup satu unsur dalam alam semesta terkait dengan kelangsungan
unsur lain. Oleh karena itu perlu adanya hubungan harmonis antara manusia dan
alam sekitarnya. Manusia tidak hanya dituntut memberikan perhatian dan cintanya
kepada sesama manusia, namun juga kepada seluruh makhluk di alam raya ini.
Eksistensi gunung, laut, air dan tumbuh-tumbuhan yang merupakan bagian dari
alam raya harus dihormati, dengan menjaga dan memelihara kelestariannya.
Sebab kerusakan alam juga akan berakibat pada rusaknya kehidupan manusia itu
sendiri.
Dalam beberapa ayatnya, Alquran melarang segala bentuk perusakan
lingkungan dan eksploitasi alam secara berlebihan. Seperti; tidak berbuat
kerusakan di bumi setelah adanya perbaikan (Hud (11): 85), memperhatikan
akibat yang diterima oleh umat-umat terdahulu yang melakukan perusakan di
bumi (al-A‘ràf (7): 86), kerusakan di bumi sebagai akibat perbuatan manusia (ar-
Rūm (30): 41) dan menghindari sebab-sebab yang menimbulkan kerusakan (al-
Baqarah (2): 11-12). Sekalipun, alam diciptakan untuk manusia untuk
dimamfaatkan demi keberlangsungan hidup mereka, namun manusia dituntut
bersikap arif dalam mengelola alam, tidak berlebihan dan bertindak sewena-wena
10 Ar-Ràziy, Mafàtih al-Gaib, h. 128 11 Uraian lebih lengkapnya dapat dilihat dalam Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok
Alquran, terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1983), 95-116.
18
dalam memamfaatkannya sehingga mengakibat kerusakan dan kehancuran.
Kerusakan lingkungan yang terjadi sedikit banyak disebabkan oleh sikap manusia
yang tidak menghargai lingkungan, akibat keserakahan manusia yang
mengeksploitasi alam lingkungannya secara membabi buta. Alquran menyebutkan
dalam Surah Ar-Rùm (30): 41.
Artinya “Telah nampak (nyata) kerusakan di darat dan di laut disebabkan
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang lurus)”.
Term fasād bermakna شيء خوج قعتل ىن ت sesuatu yang keluar dari) ت ى
keseimbangan). Hal ini menyangkut jiwa/rohani, badan/fisik, dan apa saja yang
menyimpang dari keseimbangan/yang semestinya.12
Dalam Alquran, bila term
fasâd berbentuk mashdar dan berdiri sendiri, maka menunjukkan kerusakan yang
bersifat hissi/fisik, seperti banjir, pencemaran udara, dan lain-lain; dan jika berupa
kata kerja (fi‘il) atau bentuk mashdar namun sebelumnya ada kalimat fi‘il, maka
yang terbanyak adalah menunjukkan arti kerusakan yang bersifat non
fisik/ma‘nawi, seperti kafir, syirik, munafik, dan semisalnya.
Para mufassir menjelaskan bentuk-bentuk kerusakan di darat dan laut, dengan
tafsiran yang berbeda-beda, antara lain; banjir besar, musim paceklik, kekurangan
air,13
kematian sia-sia, kebakaran, kezaliman, perilaku-perilaku sesat, gagal panen
dan krisis ekonomi.14
Terjadinya kerusakan alam dan penyimpangan alam yang
melahirkan bencana disebabkan oleh perbuatan manusia, sebagaimana disebutkan
dengan redaksi yang sangat jelas (bimà kasabat aidin-nàs). Meski begitu, redaksi
tersebut dipahami oleh sebagian ahli tafsir bukan hanya menunjukkan perilaku
manusia secara langsung dalam konteks kerusakan alam, seperti illegal loging,
12 Al-Ashfahàniy, al-Mufradàt fî Garîbil-Qur'àn, (Beirut: Dàrul-Ma‘rifah, t. th), pada
term fasada, 379.Penggunaan term fasàd dalam Alquran memiliki banyak pengertian, yaitu:
perilaku menyimpang dan tidakbermanfaat (al-Baqarah (2): 11), ketidakteraturan/berantakan (al-
Anbiyà' (21): 22), perilaku destruktif/merusak (an-Naml (27): 34), menelantarkan atau tidak peduli
(al-Baqarah (2): 220), kerusakan lingkungan (ar-Rùm (30): 40). Term lain yang menunjukkan
kerusakan lingkungan adalah term ‘halaka’ dan ‘sa‘a’. Hanya saja kedua kata ini tidak selalu
menunjukkan makna kerusakan lingkungan. Makna kerusakan lingkungan, hanya bisa ditemui
dalam beberapa ayat misalnya dalam al-Baqarah (2): 205. 13 Ar-Ràziy, Mafàtih al-Gaib, XII: h. 245. 14 Az-Zamakhsyariy, Tafsìr al-Kasysyāf ‘an Haqà'iqut-Tanzìl wa ‘Uyun al-Aqàwil, Juz 3,
Beirut: Dārul-Kutub, t.th., V: 259.
19
membuang sampah secara sembarangan, membuang limbah industri tanpa
memperhatikan ekosistem, dan lain-lain, tetapi juga mengacu kepada perilaku non
fisik, seperti kemusyrikan, kemunafikan dan segala bentuk maksiat. Artinya,
penyimpangan akidah dan perilaku maksiat itulah yang menjadi penyebab
kerusakan lingkungan. Hanya saja ar-Ràziy memberikan penegasan bahwa
kemusyrikan dan kekufuran disini bukan hanya dalam tataran akidah tetapi
perilaku, sehingga fasiq pun dianggap sebagai syirik dalam konteks perbuatan
bukan keyakinan.15
Dalam Alquran terdapat banyak ayat yang berbicara tentang lingkungan dan
larangan merusaknya. Hal ini menunjukkan besarnya perhatian Alquran terhadap
pemeliharaan lingkungan. Untuk lebih mengetahui bagaimana Alquran mengatur
etika pengelolaan lingkungan dan memandang tindakan pengrusakan sebagai
tindakan yang menimbulkan bahaya bagi keberlangsungan hidup makhluk hidup,
maka diperlukan penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran melalui pendekatan tafsir
ahkam. Pendekatan ini dibutuhkan untuk memformulasikan hukum atas tindakan
pengrusakan dan eksploitasi lingkungan dan sanksi yang harus diterima oleh
pelakunya. Begitupun eksploitasi atau proses pertambangan dalam agama Islam
haruslah untuk kepentingan umum. Hal tersebut bersandar pada hadits riwayat At-
Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Hadits tersebut menjelaskan Abyadh meminta
kepada Rasullulah untuk mengelola tambang garam.
“Wahai Rasullulah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan
kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air
mengalir (ma’u al-iddu)” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang
tersebut darinya”.16
Ma’u al-iddu merupakan bentuk air dengan jumlah banyak dan terus
mengalir. Maksudnya tambang garam tersebut sangat mengandung air dengan
jumlah besar. Fokus pada hadits tersebut pada tambangnya bukan garamnya. Hal
tersebut yang membuat Rasullulah menarik kembali pemberian tersebut sebab
15 Ar-Ràziy, Mafàtih al-Gaib, XII: 245.
16 DEPAG RI. 2001. Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta :
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, DEPAG.
20
jumlahnya sangat banyak. Dengan kata lain penarikan kembali permberian
Rasullulah sebagai bentuk larangan sesuatu yang sudah menadi miliki umum.17
Senada dengan tersebut Ibnu Qudamah dalam kitabnya berjudul Al-Mughni
menjelaskan bahwa:
“Barang-barang tambang yang dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam,
air, belerang, gas, munia, petroleum, intan, dan lain-lain tidak boleh dimiliki
individu selain oleh seluruh kaum muslimin sebab hal tersebut akan merugikan
mereka.”18
Eksploitasi itu sendiri dalam Islam sangat dilarang jika dilakukan secara
berlebihan. Terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang ini, seperti tidak
berbuat kerusakan di bumi setelah adanyan perbaikan (Hud 11:85), kerusakan di
bumi sebagai akibat dari perbuatan manusia (Ar-Rum 30:41), menghindari sebab-
sebab yang menimbulkan kerusakan (Al-Baqarah 2:11-12), dan memperhatikan
akibat yang diterima oleh umat-umat terdahulu yang melakukan perusakan di
bumi (Al-Araf 7:86).19
C. Eksploitasi Alam (Pertambangan) Dalam Perspektif Undang-Undang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara pada Pasal 1 menyebutkan bahwa
pertambangan adalah serangkaian kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan,
dan pengusahaan mineral atau batubara. Kegiatan tersebut meliputi penyelidikan
umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, pengelolaan, pemurnian,
pengangkutan, penjualan, dan kegiatan pasca tambang.20
Sedangkan penambangan sebagai bagian aktivitas pertambangan yang
menghasilkan mineral atau batubara. Secara spesifik pertambangan mineral adalah
pertambangan berupa kumpulan mineral berbentuk biji atau batuan yang berada di
17
DEPAG RI. Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum.
Jakarta : PT Bulan Bintang, 2000. Hal. 31.
18
DEPAG RI. Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta :
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, DEPAG, 2001. Hal. 35.
19 Reflita, Eksploitasi Alam dan Perusakan Lingkungan (Istinbath Hukum atas Ayat-Ayat
Al-Quran), Substantia, Volume 17, Nomor 2, Oktober 2015. Hal. 147. 20
‘’Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara’’, Artikel diakses pada 17 Februari 2018 dari
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2009/4TAHUN2009UU.HTM
21
luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. Sedangkan pertambangan
batubara sebagai pertambangan endapan karbon yang ada di dalam bumi, seperti
bitumen padat, gambut, dan batuan aspal. Adapun asas pertambangan batubara
atau mineral pada Bab II Asas dan Tujuan Pasal 2 meliputi:
1. keadilan, manfaat, dan keseimbangan
2. berpihak pada kepentingan bangsa
3. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas
4. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
Tujuan pertambangan mineral dan batubara sebagai pondasi pembangunan
nasional, yakni :
a) terjaminnya efektivitas dalam pelaksanaan dan pengendalian aktivitas
pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing.
b) menjamin kegunaan pertambangan mineral dan batubara secara
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
c) tersediannya mineral dan batubara untuk berbagai kebutuhan dalam
negeri.
d) mendukung kemampuan nasional dengan tujuan mampu bersaing baik
secara nasional, regional, dan internasional.
e) meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara serta
menciptakan lapangan kerja untuk kesejahteraan rakyat.
f) terjaminnya kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan
pertambangan mineral dan batubara.21
Pada prakteknya pertambangan diimplementasikan dalam bentuk berbagai
usaha. Usaha pertambangan adalah kegiatan perusahaan mineral dan batubara
dalam berbagai tahapan, meliputi eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengangkutan, penjualan, dan pascatambang. Nantinya untuk
21 ‘’Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara’’, Artikel diakses pada 17 Februari 2018 dari
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2009/4TAHUN2009UU.HTM
22
membuat suatu badan usaha baik individu, kelompok, maupum orgainisasi harus
membuat Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Terkait pengertian atau segala hal yang berkaitan dengan eksploitasi dalam
undang-undang pertambangan tidak disebutkan. Namun redaksi yang digunakan
adalah ‘eksplorasi’ yang mendekati pengertian eksploitasi. Secara definisi
eksplorasi merupaka tahapan dalam aktivitas pertambangan dalam rangka
mendapatkan informasi secara mendetail. Informasi tersebut berupa lokasi,
bentuk, sumber daya, sebaran, dimensi, dan informasi terkait lingkungan sosial
dan hidup. Bentuk usaha dalam eksplorasi disebut sebagai IUP eksplorasi sebagai
izin mengadakan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.22
Akan tetapi redaksi eksploitasi justru terdapat pada undang-undang
sebelumnya atau belum direvisi, yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967
Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Dalam peraturan tersebut
eksploitasi sebagai usaha pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan
bahan galian dan memanfaatkannya. Sedangkan eksplorasi adalah penyelidikan
geologi pertambangan untuk menetapkan adanya bentuk atau jenis bahan galian.23
Perlu ditegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sebagai revisi
dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tidak terdapat kata ‘eksploitasi’
justru hanya ada ‘eskplorasi’. Maka pembahasan dalam bagian ini aktivitas
eksploitasi disamakan dengan eksplorasi dengan asumsi kedua aktivitas tersebus
sama-sama memanfaatkan sumber pertambangan.
D. Hak dan Kewajiban Para Pengusaha Penambangan Menurut Undang-
Undang Pertambangan Mineral dan Batubara
Dalam pembahasan ini hak dan kewajiban para penambang
diimplementasikan pada bentuk usaha pertambangan. Usaha pertambangan pada
Pasal 34 terdiri dari Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat
(IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). IUP yang diberikan oleh
22 ‘’Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara’’, Artikel diakses pada 17 Februari 2018 dari
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2009/4TAHUN2009UU.HTM 23
“Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan”, Artikel diakses pada 18 Februari 2018 dari
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/1967/11TAHUN~1967UU.htm
23
bupati, gubernur, dan menteri kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan.
Ada juga disebut sebagai Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang diberikan oleh
bupati dan walikota kepada perseorangan (1 hektare), kelompok masyarakat (5
hektare), dan koperasi (10 hektare).24
Adapun hak dan kewajiban para penambang
dalam bentuk usaha pertambangan baik IUP dan IPR adalah :
1. berhak memperoleh pembinaan dan pengawasan di bidang keselamatan
dan kesehatan kerja, lingkungan, teknis pertambangan, serta manajemen
dari pemerintah daerah atau pusat.
2. berhak memperoleh bantuan modal berdasarkan ketentuan perundang-
undangan.
3. berkewajiban melakukan aktivitas penambangan paling lama 3 bulan
setelah IPR diterbitkan.
4. berkewajiban mengikuti aturan yang tertuang pada perundang-undangan
dalam bidang kesehatan kerja pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan
memenuhi standar yang berlaku.
5. berkewajiban pengelolaan lingkungan hidup bersama pemerintah daerah.
6. berkewajiban membayar iuran tetdap dan iuran produksi.
7. berkewajiban menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan rakyat secara berkala kepada pemberi IPR.25
IUPK diberikan oleh menteri dengan memperhatikan kepentingan daerah.
Pemegang IUPK sebagai pengusaha pertambangan adalah pihak yang menemukan
mineral lain sehingga mendapatkan prioritas untuk mengusahakannya. Pemberian
IUPK diberikan kepada badan usaha atau bentuk pengusaha yang berbada hukum
Indonesia. Pemegang IUPK sebagai bentuk pengusaha memiliki hak dan
kewajiban sebagai berikut :
a. menentukan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan.
24 ‘’Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara’’, Artikel diakses pada 17 Februari 2018 dari
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2009/4TAHUN2009UU.HTM
25 ‘’Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara’’, Artikel diakses pada 17 Februari 2018 dari
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2009/4TAHUN2009UU.HTM
24
b. keselamatan operasi pertambangan.
c. pengelolaan dan pemauntauan lingkungan pertambangan, termasuk
kegiatan reklamasi dan pascapertambangan.
d. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara.
e. sisa tambang yang ada dapat diolah dalam bentuk padat, cair, dan gas
dengan syarat memenuhi standar baku kualitas lingkungan dilepas ke
media lingkungan.
f. pemegang IUPK wajib menjamin implementasi standar lingkungan sesuai
dengan karakteristik suatu daerah.
g. wajib menjaga kelestarian daya dukung sumber daya air dengan ketentuan
peraturan perundangan.26
Jadi hak dan kewajiban dalam pertambangan dilihat dari segi bentuk usaha
yang terbagi dalam tiga bagian, yakni IUP, IPR, dan IUPK. Ketiga bentuk usaha
tersebut memiliki hak dan kewajibannya tergantung tingkatannya masing-masing.
Adapun garis besar hak dan kewajiban dari pengusaha penambang adalah
menjamin kebutuhan pekerja tambang, memproduksi hasil tambang, dan tetap
menjaga kelestarian lingkungan sekitar.
26 ‘’Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara’’, Artikel diakses pada 17 Februari 2018 dari
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2009/4TAHUN2009UU.HTM
25
BAB III
TINJAUAN UMUM FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDATUL ULAMA
TENTANG EKSPLOITASI ALAM
A. Lembaga Bahstul Masil dalam Nahdlatul Ulama
a.1. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama
Membahas sejarah berdirinya LBM-NU tentu tidak bisa dilepaskan dengan
sejarah kemunculan organisasi NU itu sendiri. NU didirikan pada 31 Januari 1926
M bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H di Surabaya Jawa Timur. Pendirian
Nahdhatul ʽUlama diprakarsai oleh KH. Hasyim Asy‟ari dengan dukungan
beberapa ulama karismatik lainnya. Nahdlatul Ulama sebagai al-Jam'iyyah al-
Diniyyah al-Islamiyyah yang diberi nama oleh KH Alwi Abdul Aziz dan
lambangnya diciptakan oleh KH Ridlwan Surabaya.1 NU berakidah atau berasas
Islam dengan menganut faham Ahl al-sunnah Wal Jamaʽah dan mengikuti salah
satu Maẓhab dari empat Maẓhab, Ḥanafi, Maliki, Hanbali, Syafiʽi. Untuk pertama
kalinya pada Oktober 1926 Aggaran Dasar NU ditetapkan pada Muktamar III
Tahun 1928, atas dasar Anggaran Dasar tersebut NU mendapat izin berbadan
hukum pada tanggal 6 Februari 1930 dari Gouveneur General van Nederlands-
Indie dengan nomor lX.
Lahirnya Nahdlatul Ulama dilatarbelakangi oleh karena adanya upaya untuk
mengembangkan dan mengakomodir gagasan yang muncul di kalangan ulama di
perempat pertama abad 20. Disamping itu pula, lahir sebagai mata rantai dari
gerakan tradisional sebelumnya, seperti gerakan Nahdlatul Tujjār 1918, sebuah
gerakan ekonomi keumatan, gerakan Taṣwirul Afkār 1922, sebuah gerakan
keilmuan dan kebudayaan dan gerakan Nahdlatul waṭan 1924 yang menggarap
gerakan politik dalam bentuk pendidikan.2 Sejarah NU tidak dapat dipisahkan dari
Kongres Islam ke-4 di Yokyakarta ( 21-27 Agustus 1925) dan Kongres Islam ke-5
1 Faisal Ismail, Dilema NU Ditengah Badai Pragmatisme Politik, Cet I, (Jakarta : Proyek
Peningkatan Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depak RI,
2004), h. 10-11 2 Soeleiman Fadeli, Antologi Nu, Sejarah Amaliah Uswah, Cet 2, (Surabya : Khalista,
2008), h. 1-15
26
di Bandung ( 6 Februari 1926) yang di dominasi oleh kaum pembaharu, pada
waktu itu memutuskan untuk mengirim Tjokro Aminoto dari Serikat Islam (SI)
dan Mas Mansoer dari Muhammadiyah ke Makkah untuk mengikuti pertemuan
dengan Raja Sa‟ud, dan Abdul Wahab menambah usulan untuk menghormati
tradisi yang berlaku di Nusantara oleh Kepala Negara Arab Saudi, dan tentu saja
usulan ini ditolak oleh kaum pembaharu. Penolakan ini membuat kaum
Tradisionalis menjadi terdorong untuk memperjuangkan nasibnya sendiri diawali
dengan rapat-rapat di Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem dan Pati, sehingga
disepakati untuk membentuk komite Hijaz guna memperjuangkan kepentingan
mereka menghadap Raja Sa‟ud agar melestarikan tradisi keagamaan yang
berkembang di Makkah.3
a.2. Sejarah Berdirinya Lembaga Bahtsul Masail NU
Al-Baht al-Masā‟il al-Dīniyyah (pengkajian masalah-masalah keagamaan)
secara historis menurut Sahal Mahfudh telah ada sebelum NU berdiri, dimana
pada waktu itu telah terjadi diskusi keagamaan di pesantren atau antar pesantren
yang hasilnya diterbitkan dalam bulletin LINO (Lailatul Ijtimaʽ Nahdlatul
Oelama). Dan keorganisasian LBM NU telah terlihat secara jelas tertulis pada
hasil fatwa 1926, hasil fatwa di antaranya tentang hukum bermazhab dan pendapat
imam yang boleh difatwakan.4 Pengkhususan istilah Lajnah al-Baht al-Masā‟il
al-Diniyyah (Lembaga Pengkajian Masalah-Masalah Keagamaan) bermula pada
mukhtamar XXVIII di Yogyakarta tahun 1989, ketika komisi I (Bahtsul Masail)
merekomendasikan kepada PBNU untuk membentuk Lajnah al- Baht al-Masā‟il
al-Diniyyah sebagai lembaga permanen yang khusus menangani persoalan
keagamaaan.
Perhatian yang cukup serius terlihat pada tahun 1980-an ketika tokoh-tokoh
NU membahas tentang tajdīd dalam menjawab tantangan zaman, kajian ini lebih
insentif lagi terjadi pada tahun 1987 yang dilakukan oleh intelektual muda NU
dalam diskusinya. Semula diskusi ini bertempat di kantor PBNU, karena
3 Ibid. 4 Soeleiman fadeli, Antologi Nu......,h. 7-11
27
mendapat larangan dari senior NU, di pindahkan ke P3M (Pusat Pengembagan
Pesantren dan Masyarakat), yang hasilnya dipublikasikan pada Jurnal Pesantren.
Sebagai kegiatan lanjutan dari diskusi itu diadakan seminar/muzakarah pada 15-
17 Desember 1988 di ponpes Darussalam Watucongol, Muntilan, Magelang,
dengan tema "Telaah kitab secara Kontektual", yang menghasilkan pokok pikiran
sebagai berikut:5
a. Dalam memahami teks kitab terdahulu, dirasakan bahwa kitab kitab kuning
tidak dapat menjawab tantangan zaman sehingga harus dibarengi dengan konteks
sosial historis;
b. Mengembangkan kemampuan observasi dan analisis terhadap teks kitab,
memperbanyak muqabalah (perbandingan mengenai halhal yang berbeda) dengan
kitab lain;
c. Meningkatkan intensitas diskusi lintas pakar terkait dengan materi dalam
kitab klasik, menjadikan kitab klasik dalam wacana aktual dan bahasa
komunikatif, tersebut, sehingga harus direkatualisasikan berdasarkan
kontektualisasi zaman.
Hasil dari tajdīd itu bahwa agenda Baht al-Masā‟il tidak hanya membahas
halal atau haram, akan tetapi juga membahas hal-hal yang bersifat pengembangan
keislaman dan kajian kitab, dalam suatu institusi yang permanen. Kemudian
institusi Lajnah Baht al-Masā‟il wacana keberadaannya secara resmi pada
Mukamar XXVIII pada Nopember 1989 di Ponpes al Munawwir Krapyak
Yogyakarta, pada waktu Komisi I Baht al-Masā‟il merekomendasikan kepada
PBNU untuk membentuk Lajnah al-Baht al-Masā‟il al-Diniyyah (lembaga
pengkajian masalah-masalah keagamaan) sebagai lembaga tetap yang khusus
menangani masalah keagamaan.6 Sebelum muktamar XXVIII itu yaitu pada
Oktober 1989 di ponpes al Munawwir Krapyak Yogyakarta di adakan halaqah
mengenai "Masa Depan NU", salah seorang pembicara, Ahmad Qodri Abdillah
Azizy, perlunya redefinisi mazhab dengan istilah bermazhab secara al-manhāj
(mengkuti metodologinya).
5 Ibid. 6 Ibid.
28
Dari ḥalaqah (sarasehan) Denanyar pada 26-28 Januari 1990 di Ponpes
Mambaul Ma'arif Denanyar Jombang juga merekondasikan untuk dibentuknya
Lajnah al-Baht al-Masā‟il al-Diniyyah, dengan hasil adanya bermazhab secara
qawlī dan manhājī serta harapan dapat menghimpu para ulama dan intelektual NU
untuk melakukan istinbaṭ jamaʽi (penggalian dan penetapan hukum secara
kolektif).7
Dalam struktur organisasi Nahḍatul Ulama (NU) memiliki suatu lembaga
yang bertugas mengkaji masalahmasalah agama atau yang dikenal dengan
Lembaga Baḥth al-Masā‟il Nahḍatul 'Ulama (LBM-NU). Posisi penting LBM-
NU dalam struktur kelembagaan NU adalah sebagai lembaga yang berfokus untuk
menjawab berbagai permasalahan warga Nahḍiyyin. Munculnya lembaga ini
karena adanya kebutuhan masyarakat terhadap hukum islam praktis (amaly) bagi
kehidupan sehari-hari yang mendorong para ulama dan intelektual NU untuk
mencari solusinya dengan melakukan Baḥth al-Masā‟il.8
Pada mulanya Baḥth al-Masā‟il dilaksanakan setiap tahun, yaitu pada
Muktamar I sampai dengan Mukhtamar XV (1926-1940). Namun karena keadaan
yang kurang stabil berkaitan dengan meletusnya perang dunia II, maka
pelaksanaan Baḥth al-Masā‟il juga tersendat-sendat mengikuti tersendatnya
Muktamar. Menurut M.Cholis Nafis, Baḥth al- Masā‟il sebagai wadah ilmiah NU
dalam mencari solusi setiap problem hukum Islam yang dihadapi oleh masyarakat
di bagi dalam tiga periode.9
Pertama, periode ta'sis (pembentukan). Periode ini dimulai sejak berdirinya
NU dan dipraktekkan setelah beberapa bulan berikutnya sampai tahun 1990-an.
Pembentukan Baḥth al-Masā‟il merupakan pelembagaan dan formallisasi
kegiatan yang merupakan bagian dari proses pelaksanaan fungsi tradisional para
kyai dan pesantren sebagai simbol otoritas keagamaan atas permasalahan
7 Ibid. 8 M.Yusuf Amin Nugroho, “FIQH AL-IKHTILAF: NU-Muhammadiyah”,
http://gusmujib.yu.tl/files/fiqh-al-ikhtilaf-nu-muham.pdf, Wonosobo, 2012. h. 31-40 9 Ibid.
29
keagamaan aktual (masā'il diniyah waqi'iyah) yang diajukan masyarakat atau
pribadi yang menjadi unsurnya.10
Periode Kedua, periode tajdīd (pembaharuan). Periode ini dimulai dengan
keputusan Musyawarah Nasional tahun 1992 di Lampung yang memutuskan
tentang metode pengambilan (istinbaṭ) hukum untuk mengatasi kebuntuan hukum
(mawquf) karena tidak ada ibarat kitabnya, sampai tahun 2000-an. Dalam
keputusan Munas tersebut metode istinbaṭ dibagi menjadi tiga tingkatan; metode
istinbaṭ qawli ( termaktub ibarat kitab), metode ilhaqi (analogi masalah kepada
masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya dalam ibarat kitab), metode
manhajī (menetapkan hukum dengan cara mengikuti metode imam maẓhab
terhadap masalah yang tidak bisa dijawab menggunakan metode qawli atau
metode ilhaqi).11
Periode Ketiga, yakni periode tasḥīh wa taqnīn (perbaikan dan legislasi).
Periode ini dimulai dengan proses pembersihan terhadap paham yang ekstrim,
baik kanan maupun kiri yang menyusup ke tubuh organisasi NU dengan cara
peneguhan Keputusan Munas Lampung 1992 tentang metode istinbaṭ hukum
dilingkungan NU pada Muktamar NU ke-31 di Asrama Haji Donuhudan Jawa
Tengah tahun 2004. Pada Muktamar itu juga dimulai pembahasan tentang
kebijakan pemerintah dan undang- undang yang dibahas dalam komisi masā‟il
diniyah qonūniyah (masalah keagamaan perundang-undangan) tersendiri.12
1. Pengertian Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Pada dasarnya Lajnah Bahtsul Masail atau Lembaga Pengkajian Keagamaan
tidak bisa dipisahkan dalam tradisi fiqih mahzab yang berjumlah empat, yakni
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Secara historis juga Nahdlatul Ulama sudah
menggunakanhukum fiqih , yakni empat mahzab sebagai cara untuk memecahkan
berbagai masalah.13
Bahtsul Masail sebagai tempat pengkajian yang membahasa
berbagai masalah kegaman Islam. Lembaga itu sendiri terbagi dalam dua bentuk,
10 Ibid. 11 Ibid. 12 Ibid. 13 Ahmad Zaro, Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama1926-1999: Telaah Kritis
Terhadap Keputusan Hukum Fıqıh, Disertasi, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalıjaga, 2001.
Hal. 35.
30
yakni Bahtsul Masail ad-Diniyyah al-Waqiiyah dan Bahtsul Masail ad-diniyyah
al-Maudu’ıyyah.
Ad-Diniyyah al-Waqiiyah adalah kajian yang berfokus pada berbagai masalah
keagamaan bersifat aktual atau istilah lama yang sudah digunakan. Sedangkan ad-
diniyyah al-Maudu’ıyyah merupakan kajian yang membahas permasalahan
konseptual sebagai istilah baru yang digunakan bersamaan dengan Muktamar ke
XXIX pada 1994 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Secara resmi diimplementasikan
pada Munas Alim Ulama NU pada 1997 di Lombok Tengah, Nusa Tenggara
Barat.14
Harus dibedakan juga redaksi ‘Lajnah Bahtsul Masail’ dengan ‘Bahtsul
Masail’. Redaksi pertama mengacu pada proses sedangkan redaksi kedua sebagai
wadah atau tempatnya. Ini penting dibedakan sebab dalam aktivitasnya sering
kedua redaksi ini digunakan sebagai sesuatu yang sama padahal berbeda secara
definisi. Ditegaskan kembali bahwa penelitian ini membahas Bahtsul Masail
sebagai suatu proses.
Secara historis Bahtsul Masail adalah tradisi intelektual yang memang sudah
ada sejak dulu bahkan sebelum terbentuknya NU sebagai organisasi formal.
Ketika NU menjadi organisasi formal membuat Bahtsul Masail menjadi bagian
dari NU. Pada Kongres I NU pada 21-23 September 1926 lembaga tersebut
ditempatkan sebagai komisi yang membahas materi muktamar. Di tingkat
nasional Bahtsul Masail dilaksanakan bersamaan dengan Muktamar.15
Pada 1989 melalui rekomendasi Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta kepada
PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah sebagai lembaga
permanen. Tahun berıkutnya PBNU membentuk Lajnah Bahtsul masail Diniyah
melalui SK PBNU Nomor 30/A.I.05/5/1990. Pada perkembangannya tepat
14
KH. A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Nahdlatul Ulama, (Surabaya: PP RMI
dan Dinamika Press, 1997) Hal. 364. 15 ‘’Sejarah Lembaga Bahtsul Masail NU’’, Artikel diakses pada 22 Februari 2018 darı
http://lbmnu.blogspot.com.tr/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-nu.html
31
Muktamar 2004 mengubah status ‘lajnah’ menjadi ‘lembaga’ sehingga bernama
Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama.16
Mengacu pada penjelasan di atas bahwa Bahtsul Masail sebagai lembaga
yang berkedudukan sebagai penentuan hukum terhadap berbagai masalah di
masyarakat. Lembaga ini bertujuan membahas masalah maudluiyyah (tematik)
dan waqiiyah (aktual) yang nantinya akan menjadi keputusan Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama.
B. Kedudukan Lembaga Bahtsul Masail
Kedudukan Lembaga Bahtsul Masa`il di lingkungan jam’iyah Nahdlatul
Ulama adalah sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar NU Pasal 13, Anggaran
Rumah Tangga Pasal 15 dan 16 Tentang Lembaga, Lajnah, dan Badan Otonom
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama : Pasal 13
Untuk melaksanakan tujuan dan usaha-usaha sebagaimana dimaksud Pasal 8 dan
9, Nahdlatul Ulama membentukk perangkat organisasi yang meliputi: Lembaga,
Lajnah, dan Badan Otonomi yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kesatuan
organisasi Jam'iyah Nahdlatul Ulama Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama
: Pasal 17 dan 18: Pasal 17 Perangkat organisasi Nahdlatul Ulama terdiri dari :
a. Lembaga.
b.Lajnah.
c. Badan Otonom.
Pasal 18 Lembaga adalah perangkat departementasi organisasi Nahdlatul
Ulama yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan Nahdlatul Ulama berkaitan
dengan kelompok masyarakat tertentu dan beranggotakan perseorangan.
1) Ketua Lembaga ditunjuk langsung dan bertanggung jawab kepada
Pengurus Nahdlatul Ulama sesuai dengan tingkatannya.
2) Ketua Lembaga dapat diangkat untuk maksimal 2 (dua) masa jabatan.
16
‘’Sejarah Lembaga Bahtsul Masail NU’’, Artikel diakses pada 22 Februari 2018 darı
http://lbmnu.blogspot.com.tr/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-nu.html
32
3) Pembentukan dan penghapusan Lembaga ditetapkan melalui Rapat Harian
Syuriyah dan Tanfidziyah pada masing-masing tingkat kepengurusan
Nahdlatul Ulama
4) Pembentukan Lembaga di tingkat Wilayah, Cabang dan Cabang Istimewa,
disesuaikan dengan kebutuhan penanganan program
5) Lembaga sebagaimana dimaksud pada pasal 17 butir (a) dan ayat 1 pasal
ini adalah: Ayat 6 butir (l) Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
disingkat LBMNU, bertugas membahas masalah-masalah maudlu'yah
(tematik) dan waqi'iyah (aktual) yang akan menjadi Keputusan Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama.
C. Metode Istinbat Hukum Bahstul Masil Nahdatul Ulama
Bermunculan berbagaı permasalahan baru dalam kehıdupan bermasyarakat
mengharuskan NU melakukan tinjauan terhadap hukum itu sendiri. Dalam
menangani permasalahan tersebut muncullah sebuah metode dalam pengambilan
keputusan. Tentuny kemunculan metode ini sudah digunakan oleh NU sejak lama
dalam menangani berbagai masalah baru. KH. Ahmad Asyhar Shofwan
mengelompokkan berbagai masalah ke dalam tiga bagian, meliputi:
a. Waqi’iyah adalah permasalahan yang bersifat riil terjadi di masyarakat
luas.
b. Maudhu’iyah yaitu masalah tematik dalam bentuk konsep yang sistematis
dan kompherensif dalam mempertimbangkan aspeknya.
c. Qanuniyah yakni berkaitan dengan perundangan dalam berbagai masalah
krusial yang perlu diperbaiki berdasarkan perspektif hukum Islam.
Metode tersebut dikenal dengan istinbath. Secara definisi Istinbath adalah
metode yang dipakai oleh pakar hukum fiqih dalam memberikan dalil terhadap
hukum tertentu untuk menjawab berbagai masalah yang terjadi.17
Metode ini
mengacu pada suatu kitab rujukan. Dimana metode ini akan diterapkan jika tidak
digunakan metode ilhaqiy (meng-qiyas-kan masalah baru terkait belum ada
kejelasan terkait hukum tertentu). Apabila tidak memungkinkan barulah
17 “Pengertian Istinbath Menurut Fikih”, Artikel diakses pada 21 Februari 2018 dari
http://www.referensimakalah.com/2013/pengertian-istinbath-menurut-fikih.html
33
digunakan metode manhajiy. Manhajiy sebagai cara menentukan hukum melalui
penelusuran cara yang digunakan oleh empat mahzab. Tentunya melalui proses
tanya-jawab dan diskusi. Tapi kenyataan yang ada bahwa Bahtsul Masil
cenderung berpihak pada mahzab Syafi’ı sebab langsung merujuk Al-Quran dan
Sunnah.18
Dapat dikatakan bahwa istinbath sebagai cara terakhir ketika metode ilhaqiy
dan manhajiy tidak bisa diterapkan. Dalam penerapannya di kalangan NU dikenal
dengan istinbath jama’i yang kemudian untuk melaksanakannya disebut dengan
istinbath al-ahkam. Metode istinbath al-ahkam terbagi dalam metode bayani,
qiyasi, dan istishlahi atau maqashidi.
Metode bayani berupa pengambilan keputusan hukum dari nash seperti Al-
Quran dan Al-Sunnah. Nash dalam konteks ini melıputi nash juz’ı-tafshili, nash
kulli-ıjmali, dan lainnya berupa kaidah umum. Terdapat beberapa langkah dalam
prosese metode ini. Pertama, mengkaji sebab-musabab baik secara khusus
maupun secara umum. Kedua, mengkaji teks ayat atau hadıts dalam perspektif
kaidah. Ketiga, menghubungkan nash yang sedang dikaji dengan nash laınnya.19
Metode qiyasi dilakukan melalui pendekatan qıyas. Definis qıyas adalah
menyamakan kasus yang tidak mempunyai nash dengan kasus laınnya namun
memiliki nash. Terakhir metode istishlahi adalah metode ijtihad yang mengacu
pada maqashid al-syariah. Maqashid al-syariah tidak hanya memperhatikan
tafsiran nash tetapi harus juga menggali hukum tertentu yang tidak memili nash
secara langsung.20
Adapun teknis pelaksanaannya dalam bentuk rapat khusus. Kegiatan rapat
diawali dengan pembukaan dari pimpinan Bahtsul Masail. Setelah itu aka ada
penjelasan terkait masalah tertentu yang akan dibahas dalam rapat tersebut.
Permasalahan tersebut berdasarkan pada daftar pertanyaan sebagai usulan dari
18
Ahmad Zaro, Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama1926-1999: Telaah Kritis
Terhadap Keputusan Hukum Fıqıh, Disertasi, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalıjaga, 2001.
Hal. 16. 19 ‘’Hasil-Hasil Muktamar Ke-33 NU’’, Artikel diakses pada 22 Februari 2018 dari
file:///C:/Users/Hollywood/Downloads/Hasil-hasil%20Muktamar%20Ke-33%20NU.pdf 20 ‘’Hasil-Hasil Muktamar Ke-33 NU’’, Artikel diakses pada 22 Februari 2018 dari
file:///C:/Users/Hollywood/Downloads/Hasil-hasil%20Muktamar%20Ke-33%20NU.pdf
34
para peserta pada waktu sebelumnya. Selain itu juga akan mendatangkan beberapa
pihak tertentu di luar NU sebagai narasumber. Tentunya narasumber tersebut
berupa seorang pakar atau ahli yang memahami masalah tertentu. Dimana
narasumber akan memberikan penjelasan atau keterangan tertentu.21
Dalam prosesnya para peserta akan memberikan berbagai pendapat.
Bersamaan ıtu narasumber juga akan memaparkan penjelasan dan berbagai bukti
terkait permasalahan yang sedang dikaji. Berbagai pendapat yang diutarakan oleh
peserta bersumber pada dalil-dalildari ta’bir atau pendapat yang berasal dari kitab
kuning serta nash-nash dari Al-Quran dan Hadits. Terkait metode untuk mencari
dasar yang dijadikan sebagai argumen terbagi dalam 3 bentuk, meliputi:
Metode Qaulty, sebagai suatu cara istinbath terhadap masalah yang sedang
dihadapi melalui pendekatan fiqih dari empat mahzab. Secara langsung mengacu
pada bunyi teksnya.
Metode Ilhaqiy, melalui penyamaan hukum suatu masalah yang belum ada
jawabannya di kitab terhadap masalah yang sama yang telah dijawab di Al-Quran.
Metode Manhajiy, untuk menetapkan hukum terkait suatu masalah sesuai
dengan tingkatan hukum Islam yang sudah disusun oleh keempat Imam Madzab.22
Jadi dapat dinyatakan bahwa Istinbath hukum sebagai bentuk cara untuk
memutuskan suatu hukum baru terhadap permasalahan baru atau kontemporer di
masyarakat. Adapun metodenya Istinbath itu sendiri dilakukan dengan pendekatan
empat mahzab, yakni Hanbali, Syafii, Hanafi, dan Maliki. Namun NU sendiri
cenderung menggunakan metode Istinbath yang berasal dari mahzab Syafii sebab
mendekati langsung dengan Al-Quran-Hadits.
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa metode istinbath yang diterapkan oleh
NU adalah istinbath jama’i atau secara khusus disebut dengan istinbath al-ahkam.
Metode tersebut meliputi metode bayani, qiyasi, dan istishlahi atau maqashidi.
Bagian terpenting dalam implementasi metode istinbath adalah keputusan harus
21
Muhammad Shuhufi, Fatwa dan Dinamika Hukum Islam di Indonesia, (Makassar:
Alauddin University Press, 2012) Hal. 152. 22
Ahmad Zaro, Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama1926-1999: Telaah Kritis
Terhadap Keputusan Hukum Fıqıh, Disertasi, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalıjaga, 2001.
Hal. 141
35
dilakukan secara kolektif bukan individual. Hal tersebut bertujuan menghindari
kesewenangan dalam pelaksanaan ıstınbath.
D. Fatwa Lembaga Bahstul Masil NU Tentang Eksploitasi Alam
Dalam organisasi NU yang mampu melakukan Bahts al-Masa’il disebut
sebagai lembaga Syuriyah. Kepengurusannya dipegang oleh ketua atau ra’is,
sekretaris atau katib, dan anggota atau a’da/ a’wan. Adapun peserta dalam
lembaga tersebut adalah ulama dan cendekiawan NU yang berasal dari struktur
kepengerusan atau di luar sktruktur.
PBNU menyebutkan dalam fatwanya bahwa eksploitasi sumber daya alam
bersifat haram. Keputusan tersebut disepakati pada sidang Bahtsul Masail di
pesantren Almanar Azhari, Depok, Jawa Barat. Para Kyai yang berpartisipasi
dalam sidang tersebut menyepakati keputusan sebab eksploitasi alam berdampak
pada kerusakan lingkungan alam.23
Adapun Beberapa keputusan dari Hasil Muktamar Ke-33 NU di Jombang
pada 1-5 Agustus 2015 tentang eksploitasi alam adalah :
1. Eksploitasi kekayaan alam yang berlebihan yang berdampak pada
kerusakan lingkungan hukumnya adalah haram.
2. Pemberian izin eksploitasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah serta
berdampak pada kerusakan alam dimana kerusakannya tidak bisa
diperbaiki lagi maka hukumnya haram jika secara sengaja melakukannya.
3. Sikap yang dilakukan oleh masyarakat adalah wajib amar ma’ruf nahi
munkar sesuai kemampuannya.24
Keputusan fatwa tersebut tidak lepas dari realitas yang terjadi di Indonesia.
Dalam draft tersebut juga membahas berbagai realitas yang menjadi dasar
keputusan fatwa tersebut. Beberapa realitas tersebut meliputi kerusakana alam di
Kepulauan Riau, kerukan tanah sebanyak ribuan hektar di Kalimantan, kubangan
raksasa di Papua, kerusakan lahan dari produksi minyak dan gas di Aceh, serta
23
‘’PBNU Haramkan Eksploitasi Sumber Daya Alam di Indonesia’’, Artikel diakses pada
22 Februari 2018 dari http://www.nu.or.id/post/read/59422/pbnu-haramkan-eksploitasi-sumber-
daya-alam-di-indonesia 24
‘’Hasil-Hasil Muktamar Ke-33 NU’’, Artikel diakses pada 22 Februari 2018 dari
file:///C:/Users/Hollywood/Downloads/Hasil-hasil%20Muktamar%20Ke-33%20NU.pdf
36
berabagai kerusakan lainnya. Sejauh ini batasan etis eksplorasi sumberdaya alam
telah banyak diabaikan. Pengusaha melakukan eksplorasi bahkan pada batas-batas
tertentu telah melakukan eksploitasi tanpa mempertimbangkan visi pembangunan
yang berkelanjutan (sustainable development).
Ekploitasi dilakukan hanya mempertimbangkan kepentingan ekonomi semata,
seakan-akan tidak ada lagi manusia yang akan hidup setelah masa eksploitasi
berakhir. Pencemaran udara tidak diperhitungkan, rusaknya alam tidak dipikirkan,
hancurnya tatanan musim dengan pancaroba berkepanjangan dan matinya segala
biota, flora dan fauna dianggap sebagai konsekuensi yang wajar-wajar saja dari
sebuah pertumbuhan ekonomi.
Pertanyaan:25
1. Bagaimana hukum melakukan eksploitasi kekayaan alam secara legal, tetapi
membahayakan lingkungan ?
2. Bagaimana hukum aparat pemerintah terkait yang memberikan ijin
penambangan yang berdampak pada kerusakan alam yang tidak bisa
diperbaiki lagi?
3. Bagaimana seharusnya sikap masyarakat yang melihat perusakan alam akibat
penambangan?
4. Apa hukumnya harta yang diperoleh dari hasil eksploitasi alam secara
berlebihan dan tidak bertanggungjawab?
Jawaban :
1. Eksploitasi kekayaan alam yang berlebihan sehingga menimbulkan madlarrat
yang lebih besar daripada mashlahanya maka hukumnya adalah haram
walaupun legal.
2. Pemberian izin eksploitasi oleh aparat pemerintah yang berdampak pada
kerusakan alam yang tidak bisa diperbaiki lagi maka hukumnya haram jika
disengaja.
3. Sikap yang dilakukan oleh masyarakat adalah wajib amar ma’ruf nahi munkar
sesuai kemampuannya.
25 Rumusan PWNU Jatim Masail Waqi'iyah Muktamar NU Ke 33; Jombang 3 Agustus
2015.h.19-22.
37
Eksploitasi alam secara berlebihan dan tidak bertanggungjawab maka
hukumnya haram meskipun secara legal, sedangkan harta yang diperoleh
hukumnya makruh. Fatwa tersebut juga menegaskan bahwa sebagian besar
pengusaha di Indonesia sering mengabaikan batasan eksplorasi sumberdaya alam.
Bahkan pada tingkatan tertentu melakukan eksploitasi tanpa mempertimbangkan
lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Eksploitasi juga dilakukan hanya
untuk kepentingan ekonomi. Tidak aneh jika banyak menimbulkan berbagai
dampak negatif, seperti pencemaran udara, rusaknya alam, serta matinya flora dan
fauna di Indonesia.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa telah terjadi perubahan
Karakteristik fatwa dalam LBM-NU dari yang semula fatwa hanya merupakan
jawaban atas suatu persoalan yang ditanyakan mustatfi, berkembang menjadi
jawaban atas persoalan yang menurut panitia LBM-NU sangat urgen untuk di
bahas dalam forum baḥth al-masāʽil. Perubahan lain yang terjadi pada bentuk
persoalan LBMNU adalah terjadinya dinamika permasalahan yang dulunya hanya
meliputi masalah-masalah mawquf saja berkembang pada ranah permasalahan-
permasalahan mauḍuʽiyah. Adapun secara rinci permasalahan yang dibahas di
lingkungan LBM-NU adalah sebagai berikut:26
1) Masā‟il Diniyah Waqī‟iyah, yakni permasalahan kekinian yang
menyangkut hukum suatu peristiwa.
2) Masā‟il Diniyah Mauḍu‟iyah, yakni permasalahan yang menyangkut
pemikiran. Misalnya fikrah Nahdliyah, Globalisasi.
3) Masā‟il Diniyah Qanuniyah, penyikapan terhadap rencana UU yang
diajukan pemerintah atau UU peralihan yang baru disahkan. Komisi ini
bertugas mengkaji RUU atau UU baru dari sisi agama, untuk diajukan
kepada pemerintah sebagai bahan masukan dan koreksi. Paparan mengenai
kelompok permasalahan yang dibahas LBM-NU tersebut menunjukkan
bentuk perubahan Karakteristik dari fatwa yang semula hanya
mencangkup masalah aqidah, akhlaq, ibadah dan muʽāmalah yang hanya
26 Soeleiman Fadeli dan Moh. Subhan, Antologi NU. H. 77
38
menjangkau suatu komunitas masyarakat tertentu, diperluas hingga
meliputi berbagai permasalahan global dan juga permasalahan di bidang
pemeritahan (siyasah).
2. Dari sisi kekuatan hukum, fatwa LBM-NU tidak mengalami perubahan
Karakteristik yakni tetap menjadi fatwa yang tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat.
3. Dari sisi format, mayoritas fatwa LBM-NU memiliki format yang sama
dengan format fatwa ulama terdahulu. Hanya sedikit fatwa yang memiliki
format yang cenderung mengikuti model perumusan peraturan perundang-
undangan di antaranya dalah fatwa tentang Masalah Bank Islam dan
Reksadana. Selain dua fatwa tersebut keseluruhan fatwa memiliki format
yang sama yakni soal, jawaban dan dasar hukum.
4. Perubahan signifikan dalam fatwa LBM-NU adalah dalam hal
pengambilan dasar hukum fatwa yakni dengan merujuk pada qawl
mu'tabarah.27
27 Ibid.
39
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG PERTAMBANGAN
MINERAL DAN BATU BARA DAN HASIL BAHTSUL MASAIL
NAHDATUL ULAMA
A. Kegiatan Penambangan yang Dibenarkan Undang-Undang
Indonesia dikenal dengan negara yang memiliki beranekaragam barang
tambang, seperti emas, nikel, timah, tembaga, dan sebagainya. Begitupun dengan
kegiatan pertambangan yang harus dikelola sesuai dengan UUD 1945 bahwa
kekayaan Indonesia harus digunakan secara lestari untuk kesejahteraan
masyarakat Indonesia untuk masa sekarang dan masa akan datang. Pasal 33 Ayat
3 UUD 1945 menegaskan bahwa galian tambang adalah milik seluruh masyarakat
Indonesia.1
Pasal 1 Ayat 7 dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara secara tidak langsung menjelaskan bahwa
kegiatan penambangan dapat dilakukan jika sudah mendapatkan Izin Usaha
Pertambangan (IUP). Pemerintah memiliki wewenang penuh dalam memberikan
IUP kepada aktor tertentu. Secara spesifik IUP diberikan oleh Menteri, Gubernur,
dan Bupati/Walikota.
Kegiatan penambangan yang memiliki IUP itulah pada tataran prosedural
sudah dibenarkan Undang-Undang. Adapun beberapa aktor yang dapat melakukan
kegiatann pertambangan, meliputi Badan Usaha (BUMN, BUMD, dan BUMS),
Koperasi, dan perseorangan. Dalam tataran praktisnya mengacu pada Pasal 95
dalam undang-undang yang sama bahwa terdapat beberapa peraturan dalam
kegiatann pertambangan atau disebut dengan teknik pertambangan yang baik,
seperti:
a) Pengelolaan terhadap lingkungan pertambangan, maksudnya dalam
kegiatannya harus memperhatikan dampak negatif apa yang akan dihasilkan
dari kegiatan tersebut.
1 M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2001), Hal. 98.
40
b) Upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara, menegaskan bahwa
kegiatan pertambangan bukan bersifat jangka pendek melainkan jangka
panjang.
c) Melaksanakan pemberdayaan masyarakat sekitar, maksudnya kegiatan
pertambangan harus memberikan kesempatan kepada masyarakat di daerah
penambangan.
d) Mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan, dalam konteks ini jika
kegiatan penambangan memiliki potensi besar terhadap kerusakan
lingkungan sekita maka kegiatan tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Dalam konteks undang-undang yang berlaku di Indonesia bahwa tidak
menutup kemungkinan suatu negara akan menyerahkan kegiatan pertambangan
kepada kontraktor sebagai representasi perusahaan tertentu. Tentunya akan
dibenarkan jika perusahaan tertentu sudah menyelesaikan berbagai prosedur
tertentu. Dalam panduan undang-undang tersebut bahwa kegiatan pertambangan
perusahaan harus dilakukan secara transparan, sistematis, efisien, berwawasan
lingkungan, berdaya saing, dan memiliki Amdal.2
B. Hukum Penambangan Menurut Undang-Undang
Salim HS menyatakan;3 “Hukum Pertambangan merupakan salah satu bidang
kajian hukum yang mengalami perkembangan yang pesat. hal ini dibuktikan
dengan ditetapkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pertambangan. Pada dekade tahun 1960-an, undang-undang yang
mengatur tentang pertambangan, yaitu Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan -Ketentuan Pokok Pertambangan, sementara pada dekade
tahun 2000 atau khususnya pada tahun 2009, maka Pemerintah dengan
persetujuan DPR RI telah menetapkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.” Ada dua hal yang diatur dalam
Undang -Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, yaitu bahan tambang mineral dan batubara. Apabila dikaji ketentuan
2
Nandang Sudrajat, Teori dan Praktek Pertambangan, Hal. 65. 3 Salim Hs, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, Sinar Grafika, Jakarta Timur,
2014, hlm. 11.
41
atau pasal dalam undang- undang ini, tidak ditemukan pengertian hukum
pertambangan mineral dan batubara.
Istilah hukum pertambangan berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu
minning law, bahasa Belanda disebut dengan mijnrecht, sedangkan dalam bahasa
Jerman disebut dengan bergrecht. Joan Kuyek mengemukakan pengertian hukum
pertambangan. Minning laws is :4
“have been set up protect the interests of the mining industry and to minimize the
conflicts between mining companies by giving clarity to who owns what rights to
mine. They were never intended to control mining or its impact on land or people.
We have to look to other laws to protect these interests”.
Artinya : Hukum pertambangan merupakan seperangkat aturan yang
bertujuan untuk melindungi kepentingan yang berkaitan dengan industri
pertambangan dan untuk meminimalkan konflik antara perusahaan tambang dan
memberikan penjelasan yang bersifat umum kepada siapa saja yang mempunyai
hak-hak untuk melakukan kegiatan pertambangan. Mereka tidak pernah
bermaksud untuk mengendalikan kegiatan pertambangan atau dampaknya
terhadap tanah atau orang. Kita harus melihat hukum untuk melindungi
kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan pertambangan. Definisi ini
menganalisis tujuan hukum pertambangan. Tujuan hukum pertambangan, yaitu :
a. Melindungi kepentingan yang berkaitan dengan industri pertambangan; dan
b. Mencegah atau meminimalkan konflik antara perusahaan tambang dengan
masyarakat yang berada di wilayah pertambangan.
Dari unsur-unsur di atas, dapat dirumuskan definisi hukum pertambangan
mineral dan batubara. Hukum pertambangan mineral dan batubara merupakan :
“kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara dengan mineral
dan batubara dan mengatur hubungan antara negara dengan subjek hukum, baik
bersifat perorangan maupun badan hukum dalam rangka pengusahaan mineral dan
batubara.” Ada dua macam hubungan yang diatur dalam hukum pertambangan
4 Joan Kuyek, 2005, “Canadian Mining Law and the Impacts on Indigenous Peoples Lands
and Resources”. Backgrounder for a presentation to the North American Indigenous Mining Summit, July 28, 2005, hlm. 1.
42
mineral dan batubara, yaitu : mengatur hubungan antara negara dengan mineral
dan batubara; dan mengatur hubungan antara negara dengan subjek hukum.
Hubungan antara negara dengan bahan mineral dan batubara adalah negara
mempunyai kewenangan untuk mengatur pengelolaan mineral dan batubara
Wujud pengaturannya, yaitu negara membuat dan menetapkan berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan mineral dan batubara. Salah satu
undang-undang yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR, yaitu
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara dan berbagai peraturan pelaksanaannya.
Unsur yang kedua hukum pertambangan mineral dan batubara, yaitu
mengatur hubungan negara dengan subjek hukum. Kegiatan pertambangan
mineral dan batubara tidak hanya dilakukan oleh negara, namun negara dapat
memberikan izin kepada subjek hukum untuk melakukan kegiatan pertambangan
mineral dan batubara. Subjek hukum, yaitu pendukung dan kewajiban. Subjek
hukum dibagi menjadi dua macam, yaitu manusia dan badan hukum. Subjek
hukum yang diberi hak untuk melakukan kegiatan pertambanagn mineral dan
batubara, meliputi (1) orang dan (2) badan usaha. Badan usaha dapat berbadan
hukum dan tidak berbadan hukum.5 Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah ditentukan asas-
asas hukum pertambangan mineral dan batubara. Ada tujuh asas hukum
pertambangan mineral dan batubara. Ketujuh asas itu, meliputi : manfaat,
keadilan, keseimbangan, keberpihakan kepada kepentingan bangsa, partisipatif,
transparansi, akuntabilitas, dan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
C. Kegiatan Penambangan yang Dibenarkan Menurut Islam Melalui Hasil
Bahtsul Masail Tentang Eksploitasi Alam
Tujuan utama syariat Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sesuai dengan misi Islam secara
keseluruhan sebagai rahmatan lil’alamin. Assyatibi dalam kitabnya, Almuwafaqot
menegaskan, telah diketahui bahwa diundangkannya syariat Islam adalah untuk
5 Salim HS, Hukum Pertambangan Mineral & Batubara, Op.Cit, h. 20.
43
mewujudkan kemaslahatan mahkluk secara mutlak.6 Sebagaimana Oleh karena
itu, diperlukan ijtihad yang didasarkan pada istinbat hukum dari sumber-
sumbernya.
Islam sendiri memandang bahwa kekayaan alam termasuk tambang di
dalamnya haruslah bertujuan untuk kemaslahatan para hamba-Nya dan dikelola
dengan baik. Kekayaan pertambangan di Indonesia merupakan karunia Tuhan
Yang Maha Esa sebagai kekayaan nasional untuk kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat Indonesia.7 Nabhani berpendapat bahwa jumlah kekayaan tambang di
Indonesia sangatlah banyak bahkan tidak ada habisnya. Hal tersebut dalam
prakteknya seharusnya diberikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang bersifat
primer. Selain itu harus mampu menunjang pendidikan, kesehatan, dan fasilitas
umum lainnya.8
Mengacu pada kegiatan pertambangan yang dibenarkan dalam Islam adalah
pemanfaatan barang tambang secara kolektif bukan secara pribadi. Islam
memandang bahwa barang tambang merupakan miliki bersama serta tidak boleh
dinikmati secara perorangan. Hal tersebut mengacu pada permasalahan nadhriyah
milkiyah terkait kepemilikian pribadi. Dimana menjelaskan kepemilikikan pribadi
terhadap sesuatu tidak membolehkan seseorang untuk menghalanginya. Begitupun
dengan kepemilikan bersama tidak boleh dirintangi individu tertentu.9
Pandangan Malikiyah menyebutkan kegiatan pertambangan berupa
pengelolaan hasil bumi merupakan milik Baitulmal kaum muslimin atau milik
pemerintah negara. Pemerintah sebagai kekuasaan tertinggi memiliki wewenang
untuk mengatur kegiatan pertambangan yang berlandaskan kebersamaan,
keadilan, dan kesejahteraan. Hasil pertambangan tersebut dikumpulkan di bawah
naungan pemerintah untuk kemaslahatan umat Islam. Hal tersebut berlaku pada
6 Asy-syatiby, al-muwafaqot, II: 19. Bandingkan dengan ‘Izz ad-Din bin ‘abdussalam, qawaid al-ahkam fi mashalih al-an-anam, (t.tp: Mathba’ah al-Istiqamah) 10
7 Yusuf Qadrawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani
Press, 1997), Hal. 138.
8 Taqyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,
(Surabaya: Risalah Gusti, 2002), Hal. 252.
9 T.M. Hasbih Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, (Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, 1974), Hal. 18.
44
kegiatan pertambangan oleh perusahaan tertentu merupakan milik umum,
khususnya muslimin.10
Pandangan lain dari Ibnu Qudamah melalui kitabnya Al-Mughni bahwa
barang-barang tambang sama seperti air, garam, gas, dan lainnya yang bisa
dimanfaatkan tanpa biaya. Selain itu dalam pemanfaatannya tidak bisa dimiliki
oleh individu atau atas nama kelompok tertentu. Kepemilikan pribadi terhadap
barang tertentu akan menyulitkan orang lain. Oleh karena barang tambang milik
umum maka negara secara legal mampu mengelola kegiatan pertambangan.11
Pada dasarnya kegiatan pertambangan dalam perspektif Islam diserahkan
kepada wewenang negara atau pemerintahan. Sedangkan perusahaan atau aktor
tertentu di luar negara yang melakukan kegiatan pertambangan tidak
diperbolehkan menurut perspektif Islam. Tindakan tersebut berdasarkan
kenyataan bahwa negara sebagai kekuasaan tertinggi yang dibentuk atas dasar
keinginan masyarakat luas.
D. Hasil Analisis Perbandingan Undang-Undang Pertambangan Mineral
Dan Batu Bara Dengan Fatwa Lembaga Bahtsul Masail NU
Yūsuf al- Qardhawi menyatakan; dimana ada maslahah, disanalah terdapat
hukum Allah.12
Teks-teks hukum bersifat terbatas, sedangkan kasus-kasus hukum
tiada terbatas (an-nushush mutanâhiyah, wa amma al-waqa'i‘ghair mutanâhiyah).
Kemaslahatan juga akan terus berubah dan bertambah seiring kemajuan zaman.
Dalam kondisi ini, permasalahan baru yang hukumnya belum ditegaskan dalam
Alquran dan sunnah akan banyak muncul. Oleh karena itu, diperlukan ijtihad yang
didasarkan pada istinbâth hukum dari sumber-sumbernya. Permasalahan baru
tidak selalu bisa diselesaikan dengan metode qiyas, karena banyak kasus yang
tidak bisa diselesaikan dengan metode ini. Solusinya, perlu ditempuh metode lain
seperti mengintrodusir konsep istishlâh atau mashlahah yang ditelusuri dari
10 Yusuf Qadrawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani
Press, 1997), H. 130.
11
Ibnu Qudamah, Al-Mugni, (Kairo: Hajar, 1992), Hal. 155. 12 Yùsuf al-Qardhàwi, al-Ijtihàd al-Mu‘ashir, (Beirut: al-Maktab al-Islamiy, 1998), H.68.
45
pengetahuan dan pemahaman akan maqâshid asy-syari‘ah.13
Orang yang berhenti
pada zhahir ayat atau pendekatan lafzhiah serta terikat dengan nash yang parsial
akan mengalami kesulitan dalam menangkap hikmah suatu hukum. Berkaitan
dengan pemeliharaan lingkungan (hifzul-bî'ah), Alquran hanya menyinggung
tentang prinsip-prinsip konservasi dan restorasi lingkungan, seperti larangan
pengrusakan,14
larangan berlebih-lebihan (isrâf) dalam pemanfataannya, dan
larangan bersikap mubazir. Namun sejauh mana kadar berlebih-lebihan,
bagaimana hukuman pelaku perusakan serta teknis operasional penjagaan sama
sekali tidak ditemukan dalam Alquran.
Disinilah sangat diperlukan ijtihad untuk menjelaskannya. Adanya larangan
pengrusakan di muka bumi dalam Alquran dimaksudkan untuk memelihara lima
unsur penting dalam syariat Islam yang mesti dijaga, yakni jiwa, agama, akal,
keturunan dan harta yang merupakan tujuan penetapan syariat (maqâshid
asysyari‘ ah).15
Oleh karena itu seluruh tindakan yang mengarah pada tindakan
yang dapat merusak lima elemen penting tersebut merupakan tindakan yang
dilarang oleh agama dan pelakunya berhak mendapatkan sanksi. Dalam kitab
tafsirnya, ar-Râziy menyebutkan segala bentuk tindakan yang menimbulkan
bahaya, pada dasarnya adalah haram dan terlarang menurut agama. Keharaman ini
disandarkan pada kaidah fiqh yang diformulasikan dari hadis nabi “la dharara wa
la dhirara”(suatu perbuatan hukum tidak boleh merugikan diri sendiri maupun
orang lain. Dalam kaidah lain disebutkan “adhdhararu yuzâl” (bahaya harus
dihilangkan). Kerusakan yang terjadi di muka bumi tentunya menimbulkan
berbagai bahaya (mudharat) bagi keberlangsungan makhluk hidup di dalamnya.
Makanya tindakan ini harus dihindarkan. Salah satu bentuk pengrusakan di bumi
adalah eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan seperti praktik-praktik
illegal loging, illegal fishing, illegal mining, pencemaran, environmental crime,
korupsi lingkungan, degradasi hutan dan lain sebagainya. Alam diciptakan untuk
13 Yùsuf al-Qardhàwi, Diràsah fì Fiqh Maqàshid asy-Syari‘ah,Cet. 1 (Kairo:Dàr asy-
Syurùq, 1427 H/2006 M), H. 20-24 14
Misalnya larangan berbuat kerusakan di bumi setelah adanya ishlah (al-A‘râf (7): 56),
larangan merusak tumbuhan (al-Baqarah (2): 205. 15 Yùsuf al-Qadhàwiy, Diràsah fì Fiqh Maqàshid asy-Syari‘ah, (Kairo:Dàr asy-Syurùq,
1427 H/2006 M), H. 27.
46
manusia (al-Baqarah/2: 29) untuk dikelola secara proporsional, bukan untuk
diberlakukan secara sewenang-wenang. Manusia diberi kebebasan untuk
mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam untuk kemaslahatan dirinya,
namun tetap harus memperhatikan kelestarian ekologi. Kemashlahatan pribadi
tidak boleh mengabaikan kemaslahatan umum atau orang banyak. Dalam hal ini
berlaku kaidah “al mashlahah al-‘ammah muqaddam ‘ala al-mashlahah al-
fardhiyyah” (kemaslahatan umum/kolektif harus didahulukan dari pada
kepentingan individu/khusus).16
Pemamfaatan alam secara berlebihan telah
menimbulkan dampak negatif yang besar bagi manusia dan alam itu sendiri.
Sepertinya rusaknya hutan, pencemaran air, tanah dan udara. Eksploitasi yang
berlebihan terhadap sumber daya alam akibat kerakusan manusia, juga menjadi
penyebab timbulkan berbagai bencana alam, yang tidak hanya mengakibatkan
ribuan nyawa manusia melayang, juga merusak kelestarian ekosistem. Setiap
perilaku destruktif dan eksploitatif menimbulkan mafsadàt dan mudarat, sekalipun
membawa kemashlahatan pribadi atau golongan tertentu, terlarang dalam agama
dan harus dihindari. Segala yang menimbulkan mudharat hukum perbuatannya
adalah haram. Demikian menurut ar-Râzî, ketika menafsirkan ayat ini. Larangan
melakukan perusakan di muka bumi dalam ayat ini diungkapkan dalam bentuk
nahyi (larangan).17
Dalam kaidah ushul disebutkan “ al-ashl fi an-nahy liltahrim”
(hukum asal dari larangan adalah haram). Dalam konsepsi Islam, khususnya
prinsip penetapan hukum dalam ushul fiqh, tindakan menghindarkan keburukan
(mafsadàt) harus lebih didahulukan daripada tindakan untuk mengambil manfaat
(dar'u al-mafasid muqaddam ‘ala jalbi al-mashàlih).
Indonesia adalah salah Satu Negara yang diberi anugerah oleh Allah SWT
Berupa sumber daya alam yang melimpah, sehingga hampir semua koorporasi
tambang dan gas internasional melakukan bisnis ekplorasi. Disatu sisi bisnis ini
menguntungtkan rakyat Indonesa, tetapi di sisi lain menimbulkan kerusakan
lingkungan alam yang luar biasa dampaknya.
16 al-Ghazàli, Syifà' al-Ghalìl fì Bayàni
Syàbahi wa al-Mukhayyal wa Masàlik at-Ta‘lil, (Bagdad: Mathba‘ah al-Irsyàd, 1971), H. 210-211. 17 Ar-Ràzì, Mafàtihul-Gaib, XI: H. 283.
47
Sumber daya alam adalah semua kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik
yang dapat dimanfaatkan untuk mememenuhi kebutuhan manusia dan
kesejahteraan manusia, misalnya : tumbuhan, hewan, udara, air, tanah, bahan
tambang,angin,dll. Eksploitasi sumberdaya alam yang mengabaikan lingkungan
akan mengancam keberlanjutan dan ketersediaan sumber daya alam itu. Hal ini
berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menggariskan
bahwa “ Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar – besarnya kemakmuran
rakyat”.18
Dalam hal ini bahwa kekayaan alam yang terkandung di dalam Tanah Air
Indonesia dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Hak penguasaan
negara berisi wewenang untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi pengelolaan
atau pengusahaan bahan galian, serta berisi kewajiban untuk mempergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam pengusahaan bahan galian
(tambang), pemerintah dapat melaksanakan sendiri dan/atau menunjuk kontraktor
(badan usaha) apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang
tidak atau belum dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah.19
Indonesia merupakan Negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi kedua di
dunia setelah Brazil. Fakta tersebut menunjukan tingginya keankeragaman sumber
daya alam hayati dan non hayati yang dimiliki Indonesia. Dilihat dari sisi geologi,
Indonesia terletak pada titik pergerakan lempeng tektonik sehingga banyak
terbentuk pegunungan yang kaya akan batu bara dan mineral20
. Sejatinya sumber
daya alam terbagi menjadi dua kelompok, yaitu bisa di perbaharui dan tidak bisa
di perbaharui. Sumber daya alam yang tidak bisa di perbaharui ialah ; Minyak
Bumi, Gas Alam, Mineral, dan Batu Bara.
Sumber daya alam merupakan anugerah Tuhan yang harus kita syukuri
dengan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya dan kita jaga kelestariannya.
18
Undang – undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945, Pasal 33 ayat (3) 19
Salim H. S, Hukum Pertambangan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2010), hlm. 1. 20
https://id.m.wikipedia.org/wiki/sumber_daya_alam&lite_escape/2014 diakses 27
agustus 2016
48
Eksploitasi sumber daya alam secara berlebih-lebihan tanpa memperhatikan aspek
peran dan fungsi alam ini terhadap lingkungan dapat mendatangkan berbagai
macam bencana alam seperti tanah longsor, banjir, kabut asap, pemanasan global
hingga bencana lumpur panas yang sangat merugikan masyarakat21
. Pada
umumnya, sumber daya alam berdasarkan sifatnya dapat digolongkan menjadi
SDA yang dapat diperbaharui dan SDA tak dapat diperbaharui. SDA yang dapat
diperbaharui adalah kekayaan alam yang dapat terus ada selama penggunaannya
tidak dieksploitasi berlebihan.
Revisi Undang-Undang No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara akan merombak sejumlah ketentuan, termasuk insentif yang biasa
diperoleh perusahaan tambang. Berdasarkan draf RUU Minerba tertanggal 24
Januari 2018 yang diperoleh Bisnis, ada beberapa pasal yang berubah drastis dari
UU Minerba yang masih berlaku saat ini. Dalam pasal 47, IUP Operasi Produksi
yang terintegrasi dengan smelter atau pembangkit listrik dapat diberikan
perpanjangan secara langsung paling lama 20 tahun serta bisa diperpanjang
selama 10 tahun. Selain itu, dalam pasal 103, pemegang IUP atau IUPK yang
melakukan pengolahan dan pemurnian sendiri dan membangun pembangkit listrik
bisa diberikan insentif fiskal dan nonfiskal.
Salah satunya adalah tidak terkena pengurangan wilayah saat mendapatkan
izin perpanjangan operasi. Selanjutnya, dalam pasal 169B, Kontrak Karya (KK)
dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah
diamandemen dan terintegrasi dengan smelter atau pembangkit listrik bisa
kembali mengusahakan wilayahnya dalam bentuk IUPK untuk jangka waktu 20
tahun dan dapat diperpanjangan 2x10 tahun. Luas wilayahnya pun sesuai dengan
rencana kerja seluruh wilayah pertambangan yang telah disetujui dalam kontrak.
Artinya, tidak akan ada pengurangan wilayah. Terkait dengan pengolahan dan
pemurnian, pemegang KK wajib melakukan pengolahan dan pemurnian paling
lama 2 tahun sejak UU ini diundangkan. Adapun bagi KK, IUP, dan IUPK yang
telah atau sedang membangun smelter, bisa menjual produk hasil pengolahan
dalam jumlah tertentu ke luarn negeri dalam jangka waktu paling lama 2 tahun
21
Sumber daya alam Indonesia ;penerbit lajnah ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU
49
sejak UU ini diundangkan. Untuk masalah divestasi minimal 51%, dalam pasal
112 tidak diatur lagi secara spesifik jangka waktu pelepasan saham tersebut.
Namun, untuk yang membangun smelter atau pembangkit listrik, diatur secara
spesifik bahwa pelaksanaan kewajiban divestasi dimulai dalam jangka waktu 10
tahun sejak kegiatan penambangan dilakukan. Untuk setoran kepada pemerintah
pusat, rencananya akan ada peningkatan seperti yang diatur dalam pasal 129 draf
RUU Minerba.
Pemerintah pusat yang tadinya menerima 4% dari keuntungan bersih sejak
berproduksi akan menerima 5%. Penerimaan pmerintah daerah pun direncanakan
meningkat dari 6% menjadi 10%.22
Adapun 10% tersebut terbagi dari pemerintah
provinsi sebesar 4,5%, pemerintah kabupaten/kota penghasil 3,5%, dan
pemerintah kabupaten/kota lainnya dalam satu provinsi 2%. Selebihnya, isi draf
RUU Minerba tersebut mencakup hal-hal yang lebih didetailkan dari UU Minerba
saat ini, mulai dari masuknya Holding Minerba, tata cara penetapan wilayah
pertambangan, hingga perubahan kewenangan dari pemerintah kota/kabupaten ke
pemerintah provinsi yang menggunakan istilah umum sebagai pemerintah daerah.
22 http://industri.bisnis.com/read/20180321/44/752748/inilah-poin-poin-baru-dalam-revisi-uu-minerba 21 maret 2018.
50
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kegiatan pertambangan membawa dampak buruk bagi lingkungan perairan
akibat penggunaan senyawa logam berat merkuri (Hg). Merkuri dapat
terakumulasi dalam tubuh organisme yang hidup di perairan dan bersifat toksik
atau mematikan pada konsentrasi tertentu. Selain itu pencemaran lingkungan
perairan akibat kegiatan pertambangan secara nyata berpengaruh terhadap
perekonomian nelayan. yang mencemari perairan berpotensi menurunkan kualitas
dan produktifitas perairan sehingga mengurangi hasil tangkapan nelayan. Solusi
untuk mengatasi dampak pencemaran perairan oleh kegiatan penambangan terbagi
dari sisi ekologi dan ekonomi. Dari sisi ekologi berupa pembangunan bendungan
serta Instalasi Pengolah Limbah (IPAL). Sedangkan dari sisi ekonomi, khususnya
bagi nelayan, dapat dilakukan dengan penerapan strategi pertahanan hidup
substitutif.
Pada dasarnya kebijaksanaan dan memenuhi kebutuhan masyarakat luas
melalui pemanfaatan sumber daya alam sangatlah diperlukan dalam pembangunan
suatu negara. Secara konstitusi sendiri penguasaan terhadap kekayaan sumber
daya alam dipegang oleh negara sebagai kekuasaan tertinggi. Sudah kewajiban
bagi negara untuk mengolahnya demi kepentingan masyarakat dan kemajuan
negara. Penting juga untuk mengetahui bagaimana konstitusi di Indonesia yang
mengatur pemanfaatan tersebut baik dalam hukum Indonesia maupun hukum
Islam.
Dalam organisasi NU yang mampu melakukan Bahts al-Masa’il disebut
sebagai lembaga Syuriyah. Kepengurusannya dipegang oleh ketua atau ra’is,
sekretaris atau katib, dan anggota atau a’da/ a’wan. Adapun peserta dalam
lembaga tersebut adalah ulama dan cendekiawan NU yang berasal dari struktur
kepengerusan atau di luar sktruktur.
51
Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama menyebutkan dalam fatwanya
bahwa eksploitasi sumber daya alam bersifat haram. Keputusan tersebut
disepakati pada sidang Bahtsul Masail di pesantren Almanar Azhari, Depok, Jawa
Barat. Para Kyai yang berpartisipasi dalam sidang tersebut menyepakati
keputusan sebab eksploitasi alam berdampak pada kerusakan lingkungan alam.1
Eksploitasi alam secara berlebihan dan tidak bertanggungjawab maka
hukumnya haram meskipun secara legal, sedangkan harta yang diperoleh
hukumnya makruh. Fatwa tersebut juga menegaskan bahwa sebagian besar
pengusaha di Indonesia sering mengabaikan batasan eksplorasi sumberdaya alam.
Bahkan pada tingkatan tertentu melakukan eksploitasi tanpa mempertimbangkan
lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Eksploitasi juga dilakukan hanya
untuk kepentingan ekonomi. Tidak aneh jika banyak menimbulkan berbagai
dampak negatif, seperti pencemaran udara, rusaknya alam, serta matinya flora dan
fauna di Indonesia
Pemanfaatan terhadap kekayaan sumber daya alam tertuang pada Pasal 33
Ayat 3 UUD 1945. Pasal tersebut menjelaskan bahwa galian tambang adalah
milik seluruh masyarakat Indonesia. Selain itu juga terdapat pada Pasal 1 Ayat 7
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara secara tidak langsung menjelaskan bahwa kegiatan penambangan dapat
dilakukan jika sudah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pada Pasal
33 menjelaskan tentang kepemilikan serta hak dan kewajiban sumber daya alam
sebagai milik masyarakat Indonesia. Sedangkan Pasal 1 berkaitan dengan teknis
pengelolaan sumber daya alam.
Senada dengan itu Islam pun membenarkan dan membolehkan kegiatan
pertambangan. Namun yang ditegaskan bahwa kegiatan tersebut harus untuk
kesejahteraan masyarakatnya bukan untuk pribadi. Dasar dari penjelasan tersebut
mengacu pada nadhriyah milkiyah. Selain itu juga menjelaskan bahwa
kepemilikan barang tambang dari pengelolaan sumber daya alam merupakan
milik bersama.
1 ‘’PBNU Haramkan Eksploitasi Sumber Daya Alam di Indonesia’’, Artikel diakses pada
22 Februari 2018 dari http://www.nu.or.id/post/read/59422/pbnu-haramkan-eksploitasi-sumber-
daya-alam-di-indonesia
52
B. Saran
Mengacu pada gambaran dan analisis dalam penelitian ini maka dapat
diambil beberapa saran. Pertama, kepada pihak pemerintahan untuk lebih
memperhatikan pengelolaan kekayaan sumber daya alam untuk kebutuhan
masyarakat luas. Kedua, bagi masyarakat sebagai pengontrol atau pengawas harus
lebih kritis terhadap berbagai kebijakan terkait pengelolaan sumber daya alam
yang seharusnya untuk masyarakat luas. Ketiga, organisasi masyarkat harus terus
melakukan advokasi terhadap kebijakan pemerintah yang mendukung kebutuhan
masyarakat luas.
Dalam hal ini bahwa kekayaan alam yang terkandung di dalam Tanah Air
Indonesia dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Hak penguasaan
negara berisi wewenang untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi pengelolaan
atau pengusahaan bahan galian, serta berisi kewajiban untuk mempergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam pengusahaan bahan galian
(tambang), pemerintah dapat melaksanakan sendiri dan/atau menunjuk kontraktor
(badan usaha) apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang
tidak atau belum dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah.2
Kegiatan pertambangan di Indonesia harus dipantau secara ketat untuk
menghindari adanya penambangan ilegal yang seringkali mengabaikan dampak
negatif yang timbul pascapenambangan. Setiap industri penambangan perlu
melakukan recovery terhadap lingkungan pada tahap pascaoperasi kegiatan
penambangan agar dampak yang merugikan dapat ditekan.
2 Salim H. S, Hukum Pertambangan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2010), hlm. 1.
53
DAFTAR PUSTAKA
Buku Referensi dan PerUndang-Undangan
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Aripin, Jaenal. Metode penelitian hukum.
Jakarta: lembaga Penelitian Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillathu. Damsik: Dar Al Fikr, 1989.
An-Nabhani, Taqyuddin. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam.
Surabaya: Risalah Gusti, 2002.
DEPAG RI. Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta :
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 2001.
DEPAG RI. Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum.
Jakarta : PT Bulan Bintang, 2000.
Matin, Ibrahim Abdul. Greendeen Inspirasi Islam Dalam Menjaga dan Mengelola
Alam. Jakarta; Mizan, 2012..
Masyhuri, KH. A. Aziz. Masalah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Surabaya: PP
RMI dan Dinamika Press, 1997.
Muhammad, Sholahuddin. Asas-Asas Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 2007
Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Qadrawi, Yusuf. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. Jakarta:
Robbani Press, 1997.
Qudamah, Ibnu. Al-Mugni. Kairo: Hajar, 1992.
Reflita. Eksploitasi Alam dan Perusakan Lingkungan (Istinbath Hukum atas Ayat-
Ayat Al-Quran). Substantia. Volume 17. Nomor 2, Oktober 2015.
S, Salim H. Hukum Pertambangan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2010.
Shuhufi, Muhammad. Fatwa dan Dinamika Hukum Islam di Indonesia. Makassar:
Alauddin University Press, 2012.
Shiddieqy, T.M. Hasbih Ash. Pengantar Fiqih Muamalah. Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, 1974.
54
Silalahi, M. Daud. Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum
Lingkungan Indonesia. Bandung: PT. Alumni, 2001.
Sumber daya alam Indonesia. penerbit lajnah ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2008.
Thalhah, Ahmad Mufid. Fiqh Ekologi Menjaga Bumi Memahami Makna Kitab
Suci. Yogyakarta, Total Media, 2008
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 aya 3.
Zaro, Ahmad. Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama1926-1999: Telaah Kritis
Terhadap Keputusan Hukum Fıqıh. Disertasi. Institut Agama Islam Negeri
Sunan Kalıjaga, 2001.
Rumusan PWNU Jatim Masail Waqi'iyah Muktamar NU Ke 33; Jombang 3
Agustus 2015.
Website
‘’Hasil-Hasil Muktamar Ke-33 NU’’. Artikel diakses pada 22 Februari 2018 dari
file:///C:/Users/Hollywood/Downloads/Hasil-hasil%20Muktamar%20Ke-
33%20NU.pdf
https://id.m.wikipedia.org/wiki/sumber_daya_alam&lite_escape/2014 diakses 27
Agustus 2016
‘’PBNU Haramkan Eksploitasi Sumber Daya Alam di Indonesia’’, Artikel diakses
pada 22 Februari 2018 dari http://www.nu.or.id/post/read/59422/pbnu-
haramkan-eksploitasi-sumber-daya-alam-di-indonesia
“Pengertian Istinbath Menurut Fikih”, Artikel diakses pada 21 Februari 2018 dari
http://www.referensimakalah.com/2013/pengertian-istinbath-menurut-
fikih.html
‘’Sejarah Lembaga Bahtsul Masail NU’’, Artikel diakses pada 22 Februari
2018 darıhttp://lbmnu.blogspot.com.tr/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-nu.html
“Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan”, Artikel diakses pada 18 Februari 2018 dari
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/1967/11TAHUN~1967UU.htm
55
‘’Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara’’, Artikel diakses pada 17 Februari
2018 dari
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2009/4TAHUN2009UU.HTM
“Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan”, Artikel diakses pada 18 Februari 2018 dari
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/1967/11TAHUN~1967UU.htm
www.gusdurian.net/id/peristiwa/penguasaan-Negara-atas-sumber-daya-alam-
menurut-Islam 2015 diakses 5 September 2016
http://industri.bisnis.com/read/20180321/44/752748/inilah-poin-poin-baru-
dalam-revisi-uu-minerba 21 maret 2018.