analisis pelaksanaan fatwa dsn-mui no....
TRANSCRIPT
ANALISIS PELAKSANAAN FATWA DSN-MUI NO. 25/DSN-MUI/III/2002 TENTANG RAHN
(STUDI PELAKSANAAN GADAI SYARI’AH DI BTN SYARI’AH SEMARANG)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata Satu (S.I)
Dalam Ilmu Syari'ah
Oleh :
SITI HANI MASFIAH NIM. 062311026
JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARI'AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2011
ii
iii
iv
MOTTO
.............
Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)........(Q.S. Al-Baqoroh: 283)*
*Lajnah Pentansih Mushaf Al-qur’an Departemen Agama RI, Alqur’an Dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989, hlm 71
v
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini teruntuk.
Orang-orang yang ku cintai yang selalu hadir mengiringi hari-hariku.
Dalam menghadapi perjuangan hidup yang penuh cucuran keringat dan air mata.
Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia mendukung & mendoakanku.
Di detiap ruang & waktu dalam kehidupanku khususnya buat:
1. Ayah dan bunda tercinta (Bpk Chasbullah dan ibu Cholisoh). “Yang selalu
mendoakan, mendukung baik moral maupun material dan selalu mencurahkan
kasih sayang, perhatian dan memberikan motivasi kepada ananda dalam
segala hal. Semoga Allah Swt selalu melindungi beliau”.
2. Kakak-kakak ku (Mas Kholiq sekeluarga, Mbak. Rohmah sekeluarga, Mbak.
Zah sekeluarga, Mbak. Hid sekeluarga, dan Mbak. Tutik). “yang selalu
mendoakan, mendukung baik moral maupun materi dan selalu mencurahkan
kasih saying, perhatian & memberikan motivasi kepada adinda, jasamu takan
pernah kulupakan, semoga Allah SWT senantiasa memberikan yang terbaik
buat kalian semua.thanks for all”.
3. Adek ku (I’in L.I). “yang selalu mendukung & menyayangiku, yang paling
baik & suatu kebanggaan buatku, tetap semangat & sukses selalu.
4. Keponakanku (Syakira, Zuhairina, Mujib, Ami, Dewi, Renata). “ thanks,
kalian memang keponakanku yang paling lucu, & imut-imut, canda tawamu
selalu memberikan kebahagiaan dihidupku”.
5. Sahabat-sahabatku (Mbak. Chimoed, Eka,Uswatun, Ulil, Baiti, Tyas, Fuad,
Wahib, kakak zein). “Yang senantiasa memberiku dukungan, & doa, memberi
senyum saat ku sedih, membangunkan ku saat ku terjatuh dan memotivasi
disaat ku rapuh, thanks for All”. Sahabat-sahabatku di kos D2 (Mbak. Indah,
Faza, Khoir, Nely, Corina, Ummi, Emi, Ida, Nurul, Ulin, Alim, Salis, Lala,
Nia, Maya). “thanks atas doa dan dukungan kalian semua baik moril maupun
materiil . Kalian semua telah memberi warna baru dalam hidupku”.
vi
6. Sahabat-sahabatku MUB 06’ (Eni, Nh, Naziel, Vitri, Miftach, Robi’ah, Evi,
Mbak. Mini, Fia, Isti, Nata’, Aniq, Puje’, A’an, Abidin)& sahabat-sahabat
seperjuangan angkatan 2006 yang tak dapat ku sebutkan satu persatu.
“Terimakasih atas doa dan dukungan kalian semua, kalian selalu memberi
motivasi dan selalu mewarnai hari-hariku dengan penuh canda dan tawa”.
vii
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis
Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah
atau pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Dengan
demikian skripsi ini tidak berisi satupun pikiran orang lain,
kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang
menjadi bahan rujukan.
Semarang, Juni 2011
Penulis
SITI HANI MASFIAH NIM. 062311026
viii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “ Analisis Pelaksanaan Fatwa DSN-MUI No.25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn (Studi Lapangan Pelaksanaan Gadai Syari’ah Di BTN Syari’ah Semarang). Hal ini di latar belakangi bahwa gadai merupakan salah satu katagori dari perjanjian utang piutang untuk suatu kepercayaan dari yang berpiutang, maka yang berhutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya. Secara konseptual operasional gadai syari’ah tidak jauh beda dengan pegadaian konvensional, perbedaan utama antara biaya rahn dan bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sedang biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan dimuka.
Adapun perumusan masalah adalah: a). Bagaimana Pelaksanaan Gadai Syari’ah Di BTN Syari’ah Semarang? b). Apakah Pelaksanaan Gadai Syari’ah Sesuai Dengan Fatwa DSN-MUI No.25/DSN-MUI/III/2002?
Jenis penelitian ini dilihat dari objeknya termasuk penelitian lapangan atau field research yang dilakukan di BTN Syari’ah Semarang. Untuk mendapatkan data yang valid, penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data yaitu dokumentasi dan wawancara. Sumber data dalam penelitian ini ada dua yaitu sumber data primer (secara langsung) hasil dari wawancara dengan para pihak Bank yang terkait dan sumber data sekunder (tidak langsung) berupa dokumen-dokumen, buku, catatan dan sebagainya. Setelah data-data terkumpul maka penulis menganalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan gadai syari’ah di BTN Syari’ah Semarang menggunakan dua akad yaitu akad Qardh artinya akad pemberian hutang piutang dari Bank kepada Nasabah yang disertai dengan penyerahan tugas agar Bank menjaga barang jaminan yang telah diserahkan oleh nasabah. Dan akad Ijarah dalam menentukan biaya perawatan, pemeliharaan, dan penyimpanan barang milik nasabah, yang berdasarkan pada jumlah berat dan kadar emas dalam menentukan pinjaman. Bank akan mendapatkan fee atau upah atas jasa yang diberikan kepada penggadai atau bayaran atas jasa sewa tempat yang diberikan kepada penggadai. Hal ini berarti dalam penentuan biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang tidak sesuai dengan ketentuan fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn.
ix
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur alhamdulillahirobbil’alamin penulis ucapkan atas kehadirat
Allah SWT atas rahmat, hidayat, dan karunianya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi berjudul: Analisis Pelaksanaan Fatwa DSN-
MUI No.25/DSN-MUI/III/2002 (Studi Lapangan Pelaksanaan Gadai Syari’ah Di
BTN Syari’ah Semarang) dengan baik. Shalawat salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan keluarganya yang
membawa kita dari zaman jahiliyah kepada zaman yang penuh dengan ilmu
pengetahuan dan ilmu teknologi seperti sekarang ini.
Skripsi ini disusun guna memperoleh gelar sarjana (S1) di Fakultas
Syariah IAIN Walisongo. Dalam penulisan skripsi ini tentu penulis tidak luput
bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada yang Terhormat:
1. Bapak Dr. Imam Yahya M. Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang.
2. Bapak Drs. H. Nur Khoirin, M. Ag, selaku dosen pembimbing I dan Bapak
Drs. Moh. Solek, MA selaku dosen pembimbing II yang telah sabar dan
bersedia meluangkan waktu, tenaga serta pikiran untuk memberikan
bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Segenap bapak dan ibu dosen Fakultas Syari’ah yang telah membantu dan
mendukung penyelesaian skripsi ini. 4. Segenap karyawan dan karyawati di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang.
5. BTN Syari’ah Semarang khususnya Ibu Ira Rosanty yang telah memberikan
informasi-informasi yang dibutuhkan oleh penulis.
6. Bapak dan Ibu, kakak serta adik beserta segenap keluarga, atas segala do’a,
dukungan, perhatian, arahan, dan kasih sayangnya, sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
x
7. Sahabat-sahabatku semua yang selalu memberi do’a, dukungan, dan
semangat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. “Semoga Allah membalas
semua amal kebaikan mereka dengan balasan yang lebih dari mereka berikan
pada diriku” amin.
Penulis juga menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa penulisan
skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Amin.
Semarang, Juni 2011
Penulis,
SITI HANI MASFIAH NIM. 062311026
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................ ii
PENGESAHAN.......................................................................................... iii
MOTTO ..................................................................................................... iv
PERSEMBAHAN ...................................................................................... v
DEKLARASI ............................................................................................ vii
ABSTRAK ................................................................................................. viii
KATA PENGANTAR ............................................................................... ix
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................ 1
B. Perumusan Masalah .............................................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................................. 5
D. Kajian Pustaka ...................................................................... 6
E. Metode Penelitian ................................................................. 9
F. Sistematika Penulisan ........................................................... 12
BAB II : FATWA DSN-MUI NO.25/DSN-MUI/III/2002 TENTANG RAHN
A. Profil DSN-MUI ................................................................... 14
1. Latar Belakang Pembentukan DSN-MUI ........................ 14
2. Visi Misi ......................................................................... 18
3. Orientasi Dan Peran MUI ............................................... 19
4. Prosedur Penetapan MUI ................................................ 23
5. Tugas Dan Wewenang Anggota ..................................... 25
B. Fatwa DSN-MUI No.25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn .. 29
xii
BAB III : PELAKSANAAN GADAI SYARI’AH DI BTN SYARI’AH
SEMARANG
A. Profil BTN Syari’ah Semarang ............................................. 33
1. Latar Belakang Berdirinya BTN Syari’ah Semarang ....... 33
2. Visi Misi ......................................................................... 35
B. Produk-Produk BTN Syari’ah Semarang............................... 36
1. Pendanaan ..................................................................... 36
2. Pembiayaan.................................................................... 39
3. Pelayanan ...................................................................... 45
C. Pelaksanaan Gadai Syari’ah .................................................. 45
1. Syarat Dan Ketentuan..................................................... 45
2. Prosedur Dan Mekanisme............................................... 46
3. Cara Perhitungan............................................................ 50
D. Ijarah .................................................................................... 52
BAB IV : ANALISIS
A. Analisis Pelaksanaan Gadai Syari’ah Di BTN Syari’ah Semarang 55
1. Analisis Akad Gadai Syari’ah Di BTN Syari’ah Semarang 55
2. Analisis Rukun Dan Syarat Akad Rahn ......................... 57
3. Analisis Pelaksanaan Gadai di BTN Syari’ah Semarang . 62
B. Analisis Kesesuaian Gadai Syari’ah Dengan Fatwa DSN-MUI
No.25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn.............................. 63
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 67
B. Saran-Saran ......................................................................... 68
C. Penutup................................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Agama Islam adalah risalah (pesan-pesan) yang diturunkan Tuhan
kepada Muhammad S.A.W. sebagai petunjuk dan pedoman yang mengandung
hukum-hukum sempurna untuk dipergunakan dalam menyelenggarakan tata
cara kehidupan manusia, yaitu mengatur hubungan manusia dengan alam, dan
hubungan manusia dengan khaliqnya.
Syari’at Islam memerintahkan umatnya supaya tolong-menolong yang
kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak
mampu. Salah satu bentuk yang disyari’atkan dalam Islam adalah gadai
(rahn).1
Gadai merupakan salah satu katagori dari perjanjian utang-piutang,
yang mana untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang
yang berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya
itu. Barang jaminan tetap menjadi milik orang yang menggadaikan (orang
yang berhutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang berpiutang).
Praktik ini telah ada sejak zaman Rasululloh SAW, dan Rasululloh sendiri
pernah melakukannya. Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi dan
dilakukan secara suka rela atas dasar tolong menolong.2
1 Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, hlm. 78
2 Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003, hlm. 3
2
Gadai dalam bahasa Arab disebut dengan Rahn. Secara etimologi
berarti tetap, kekal, dan jaminan. Gadai dalam istilah hukum positif di
Indonesia adalah apa yang disebut dengan barang jaminan, agunan,
rungguhan, cagar atau cagaran dan tanggungan. Gadai merupakan perjanjian
penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas pembiayaan yang
diberikan.
Pengertian gadai atau ar-rahn seperti yang telah diuraikan adalah
menyimpan sementara harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman
uang yang diberikan oleh yang meminjamkan. Berarti barang yang dititipkan
pada si peminjam uang dapat diambil kembali dalam jangka waktu tertentu.
Dalam QS.Al-Baqarah ayat 283.3
Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).4
Pengertian ayat tersebut, secara ekplisit menyebutkan barang
tanggungan yang dipegang oleh orang yang berpiutang. Dalam dunia finansial
dan perbankan, barang tanggungan biasa dikenal sebagai objek gadai atau
jaminan ( kolateral ). Selain itu, istilah ar-rahnu juga disebut dalam salah satu
hadist Nabi Muhammad saw. Yang artinya: apabila ada ternak digadaikan,
punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah
mengeluarkan biaya (menjaga) Nya… Kepada orang yang naik ia harus
3 Zainudin Ali, Hukum Gadai Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 18 4 Departemen Agama RI, Alqur’an Dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989, hlm.
71
3
mengeluarkan biaya perawatannya. (HR. Al-Jamaah kecuali Muslim dan An-
Nasa’I, Al-Bukhari no.2329, kitab Ar-Rahn).5
Rahn adalah pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain
(bank) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Atas jasanya, maka penerima
kekuasaan dapat menerima imbalan tertentu dari pemberi amanah.
Dalam gadai secara syari’ah, tidak ada pembungaan uang pinjaman,
melainkan biaya penitipan barang.
Dalam perbankan syariah kontrak rahn di gunakan pada 2 (dua) hal
sebagai berikut.
1. Rahn dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan (
jaminan/ collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’
al murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi
akad tersebut.
2. Sebagai produk tersendiri, bedanya dengan pegadaian biasa, dalam rahn,
nasabah tidak dikenakan bunga, yang dipungut dari nasabah adalah biaya
penitipan, pemeliharaan penjagaan, serta penaksiran.
Perbedaan utama antara biaya rahn dan bunga pegadaian adalah dari
sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sedangkan biya rahn
hanya sekali dan ditetapkan dimuka.6
Dengan adanya fatwa DSN-MUI tersebut, maka BTN Syari’ah
Semarang mengeluarkan produk pembiayaan Gadai Syari’ah untuk membantu
5 Zainudin Ali, op.cit, hlm 18 6 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema
Insani, 2001, hlm. 130
4
nasabah dalam menggadaikan barangnya untuk memperoleh pinjaman. Dalam
memberikan pembiayaan gadai kepada nasabah, BTN Syari’ah Semarang
menggunakan prinsip qard yang diberikan oleh Bank kepada nasabah
berdasarkan kesepakatan yang disertakan dengan Surat Gadai sebagai
penyerahan barang jaminan (marhun) untuk jaminan pengembalian seluruh
atau sebagian penyerahan barang jaminan (marhun) untuk jaminan
pengembalian seluruh atau sebagian hutang nasabah kepada Bank (murtahin).
Untuk memperoleh pinjaman dari BTN Syari’ah Semarang nasabah bisa
datang langsung ke BTN Syari’ah Semarang dengan membawa persyaratan
sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia.
b. Berusia minimal 17 tahun atau telah menikah.
c. Mengisi formulir pembukaan rekening yang telah disediakan.
d. Melampirkan fotokopy KTP atau identitas diri lainnya.
e. Menyerahkan fotocopy NPWP pribadi untuk nasabah dengan jumlah
pembiayaan 100 juta keatas.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian terhadap pelaksanaan fatwa DSN-MUI NO. 25/DSN-
MUI/III/2002 tentang Rahn studi lapangan pelaksanaan Gadai Syari’ah di
BTN Syari’ah Semarang.
5
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan gadai syari’ah di Bank Tabungan Negara Syari’ah
Semarang?
2. Apakah pelaksanaan gadai syari’ah sesuai dengan fatwa DSN-MUI
NO.25/DSN-MUI/III/2002?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan gadai syari’ah di Bank
Tabungan Negara Syari’ah Semarang.
b. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan gadai syari’ah sesuai dengan
fatwa DSN-MUI NO.25/DSN-MUI/III/2002.
2. Manfaat penelitian
a. Manfaat bagi penulis
Dengan melakukan penelitian tentang gadai ( Rahn ) di Bank
Tabungan Negara Syari’ah Semarang maka penulis akan mengetahui
bagaimana pelaksanaan gadai syari’ah di Bank Tabungan Negara
Syari’ah Semarang secara komprehensif.
b. Manfaat bagi pihak lain
Penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
perkembangan ilmu pengetahuan baik secara teori maupun praktis dan
bisa dijadikan sebagai salah satu bahan referensi dan rujukan untuk
penelitian-penelitian selanjutnya.
6
D. KAJIAN PUSTAKA
Untuk menghindari terjadinya duplikasi dan penelitian terhadap objek
yang sama serta menghindari anggapan plagiasi terhadap karya tertentu, maka
perlu pengkajian terhadap karya-karya yang telah ada. Penelitian yang
berkaitan dengan gadai (rahn) memang bukan untuk yang pertama kali,
sebelumnya sudah ada penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut, diantara
penelitian yang sudah pernah dilakukan adalah sebagai berikut:
1. “Pemanfaatan Barang Gadai Oleh Pemberi Gadai (Rahn) Dalam
Perspekif Hukum Islam Dan KUH Perdata”. Oleh Nur asyah, Nim
2101171. Mahasiswi Fakultas Syari’ah/Muamalah lulus tahun 2006. Hasil
temuan dalam penelitian ini adalah pertama mengenai pemanfaatan
barang gadai , bahwa dalam KUH Perdata, pemegang gadai tidak boleh
mengambil manfaat dari barang gadai demikian pula dalam hukum Islam.
Pemegang gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadai, inilah
persamaannya. Akan tetapi, dalam hukum Islam ditentukan bahwa
pemegang gadai dapat mengambil manfaat terhadap barang gadai apabila
barang gadainya berupa binatang ternak yang tentunya memerlukan
pembiayaan. Maka sekedar mengambil manfaat untuk membiayai
perawatan dan pemeliharaan terhadap barang gadai itu diperkenankan.
Kedua gadai (pand) dalam KUH Perdata hanya menyangkut benda
bergerak, sedangkan dalam Hukum Islam, gadai itu meliputi benda
bergerak dan benda tidak bergerak. Dengan demikian, gadai dalam hukum
7
Islam merupakan kombinasi dari gadai dalam KUH Perdata dan Hukum
Adat.7
2. “Tinjauan Hukum Islam Pemanfaatan Barang Gadai Sepeda Motor
(Studi Kasus Di Desa Karangmulyo Pegandon Kendal), oleh Nur
Rif’ati mahasiswa angkatan 2002 jurusan muamalah Fakultas Syariah
IAIN Walisongo Semarang. Dalam skripsi tersebut membidik pada
pemanfaatan barang gadai ditinjau dari segi hukum Islam.8
3. “Analisis Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Fatwa DSN NOMOR:
26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas (Studi Di Bank Syari’ah
Mandiri Semarang)” oleh minikmatin lutfiah, nim 062311037 mahasiswi
angkatan 2006 Jurusan Muamalah Fakultas Syariah IAIN Walisongo
Semarang. Hasil temuan dalam peneliatian ini adalah pertama secara teori
hukum Islam yang tertera dalam Fatwa DSN-MUI NO: 26/DSN-
MUI/III/2002 tentang rahn emas yaitu: rahn emas di perbolehkan
berdasarkan prinsip rahin, bahwa murtahin (penerima barang) mempunyai
hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang (rahin) dilunasi.
Besarnya biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh
ditentukan berdasarkan besarnya jumlah pinjaman. Ongkos dan biaya
penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).
Besarnya ongkos didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata
diperlukan. Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan
7 Nur asyah, Pemanfaatan Barang Gadai Oleh pemberi Gadai (Rahn) Dalam Perspektif Hukum Islam Dan KUH Perdata, S1 Mualah IAIN Walisongo Semarang 2006
8 Nur Rif’ati, Analisis Hukum Islam Pemanfaatan Barang Gadai Sepeda Motor (Studi Kasus Di Desa Karangmulyo Pegandon Kendal) SI Muamalah IAIN Walisongo Semarang, 2006
8
akad ijarah. Kedua, Pelaksanaan praktek gadai emas di Bank Syari’ah
Mandiri Cabang Karangayu Semarang menggunakan dua akad yaitu akad
Qardh dalam rangka rahn artinya akad pemberian pinjaman dari Bank
kepada Nasabah yang disertai dengan pnyerahan tugas agar Bank menjaga
barang jaminan yang telah diserahkan oleh nasabah. dimana akad ini
digunakan sebagai akad dalam pemberian pembiayaan kepada nasabah
yang memberikan jaminan barang berupa emas. dan akad ijarah
digunakan pada biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang gadai
berupa emas. Dengan akad ijarah dalam pemeliharaan atau penyimpanan
barang gadai, maka bank dapat memperoleh pendapatan yang sah dan
halal. 9
Adapun yang penulis lakukan dalam penelitian ini yaitu gadai
syari’ah dalam produk pembiayaan di Bank Tabungan Negara Syari’ah
Semarang kaitannya dengan Fatwa DSN-MUI NO. 25/DSN-MUI/III/2002
tentang Rahn. Dan sepengetahuan penulis, belum ada tulisan yang
membahas masalah tersebut. Sehingga penelitian ini benar-benar berbeda
dari penelitian- penelitian sebelumnya seperti yang penulis paparkan di
atas.
9 Minikmatin Lutfiah, Analisis Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Fatwa DSN NO. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas (Studi Di Bank Syariah Mandiri Semarang), SI Muamalah IAIN Walisongo Semarang, 2011
9
E. METODE PENELITIAN
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini dilihat dari objeknya termasuk penelitian lapangan
atau field research yaitu kegiatan penelitian yang dilakukan di lingkungan
masyarakat tertentu baik di lembaga-lembaga organisasi masyarakat
(sosial) maupun lembaga pemerintahan.10 Dalam penelitian ini penulis
meneliti, mengkaji dan melakukan wawancara langsung ke Bank
Tabungan Negara Syari’ah Semarang.
2. Metode pengumpulan data
Sesuai dengan keperluan dalam penulisan ini, pengumpulan data
akan dilakukan dengan cara dokumentasi dan wawancara.
a. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal
atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, dan sebagainya.11
Dalam penelitian ini penulis melakukan pengumpulan data melalui
dokumentasi dari dokumen-dokumen di Bank Tabungan Negara
Syari’ah Semarang, kitab, buku-buku, internet dan lain-lain yang
berkaitan dengan gadai di Bank Tabungan Negara Syar’iah Semarang.
10 Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. ke-II, 1998 hlm. 22
11 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 2006 hlm 231
10
b. Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti
dengan responden.12 Dengan penelitian ini penulis melakukan
wawancara langsung dengan kepala cabang, karyawan, dan customer
di Bank Tabungan Negara Syari’ah Semarang, mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan gadai di Bank Tabungan Negara Syari’ah Semarang.
3. Sumber data
Dalam penelitian ini ada dua sumber data yang penulis gunakan
yaitu sumber data primer dan sekunder.
a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber
pertama.13
Sumber data primer yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah data yang diperoleh dari wawancara langsung dengan kepala
cabang, karyawan, dan customer Bank Tabungan Negara Syari’ah
Semarang.
b. Data sekunder yaitu sumber yang dapat memberikan informasi atau
data tambahan yang dapat memperkuat data pokok baik yang berupa
manusia atau benda (majalah, buku, Koran dll).14 Dalam penelitian ini
yang menjadi data sekunder adalah dokumen-dokumen, buku-buku
dan data-data lain yang berkaitan dengan gadai.
12 W. Gulo, Metode Penelitian, Jakarta: Grasindo, 2002 hlm.119 13 Amirudin Dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Dan Penelitian Hukum, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003 hlm.30 14 Sumardi Suryabrata, Op.Cit hlm 85
11
4. Metode analisis
Setelah data-data terkumpul maka penulis akan melakukan analisis
dengan menggunakan metode deskriftif dan menggunakan pendekatan
kualitatif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang bertujuan
untuk membuat deskripsi atau gambaran mengenai fakta-fakta, sifat-sifat,
serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.15 Dalam penelitian ini
penulis akan menggambarkan bagaimana analisis pelaksanaan fatwa
DSN-MUI NO.25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn (studi pelaksanaan
gadai syariah di Bank Tabungan Negara Syari’ah Semarang).
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk mempermudah dalam memahami tulisan ini, maka penulis akan
membagi dalam lima bab yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN, pada bab ini memuat Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kajian
Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II : FATWA DSN-MUI NO.25/DSN-MUI/III/2002 TENTANG
RAHN terdiri atas: Profil DSN-MUI, Dasar Pemikiran
Pembentukan DSN, Visi Misi MUI, Orientasi Dan Peran MUI,
Prosedur Penetapan Fatwa MUI, Tugas Dan Wewenang DSN,
Fatwa DSN-MUI No.25/DSN-MUI/III/2002, Kedudukan DSN.
15 Beni Akhmad Saebani, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Pustaka Setia, 2009 hlm 57
12
BAB III : PELAKSANAAN GADAI SYARI’AH DI BANK TABUNGAN
NEGARA SYARI’AH SEMARANG, meliputi: Profil Bank
Tabungan Negara Syari’ah Semarang, Visi Misi Bank Tabungan
Negara Syari’ah Semarang, Produk-Produk Bank Tabungan
Negara Syari’ah Semarang, Pelaksanaan Gadai syari’ah Di Bank
Tabungan Negara Syari’ah Semarang.
BAB IV : ANALISIS, pada bab ini berisi: Analisis pelaksanaan gadai
syari’ah di Bank Tabungan Negara Syariah Semarang, Analisis
Kesesuaian gadai syari’ah dengan fatwa DSN-MUI NO.25/DSN-
MUI/III/2002.
BAB V : PENUTUP, meliputi Kesimpulan dan Saran-Saran.
13
BAB II
FATWA DSN-MUI NO.25/DSN-MUI/III/2002 TENTANG RAHN
A. Profil DSN-MUI
1. Latar Belakang Pembentukan DSN-MUI
MUI adalah wadah yang menghimpun dan mempersatukan
pendapat dan pemikiran ulama Indonesia yang tidak bersifat operasional
tetapi koordinatif. Majelis ini dibentuk pada tanggal 26 juli 1975 M atau
17 rajab 1395 H dalam suatu pertemuan ulama nasional, yang kemudian
disebut Musyawarah Nasional I Majelis Ulama Indonesia, yang
berlangsung di Jakarta pada tanggal 21-27 Juli 1975.
Berdirinya MUI dilatarbelakangi oleh dua faktor:
a. Wadah ini telah lama menjadi hasrat umat Islam dan pemerintah,
mengingat sepanjang sejarah bangsa ulama memperlihatkan
pengaruhnya yang sangat kuat, nasihat-nasihat mereka dicari umat,
sehingga program pemerintah khususnya menyangkut keagamaan
akan berjalan baik bila mendapat dukungan ulama, atau minimal tidak
dihalangi oleh para ulama.
b. Peran ulama yang dirasakan sangat penting.16
Motivasi mendirikan MUI Pusat pada saat itu adalah agar
pemerintah mengadakan pembinaan terhadap kegiatan masyarakat
16 Ainul Rokhim Faqih, et al. HKI, Hukum Islam Dan Fatwa MUI, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, hlm. 35
14
yang dianggap penting. Peran dan tugas MUI Pusat ketika itu hanya
mencari dukungan untuk pemerintah dari pihak ulama.
Pusat dakwah Islam Indonesia yang dibentuk Menteri Agama RI
14 September 1969 memprakarsai penyelenggaraan loka karya muballigh
se-Indonesia (26-29 November 1974). Loka karya ini melahirkan sebuah
konsensus bahwa diperlukan adanya majlis ulama sebagai wahana yang
dapat menjalankan mekanisme yang efektif dan efisien guna memelihara
dan membina kontinuitas partisipasi umat Islam Indonesia terhadap
pembangunan. Hal tersebut diperkuat oleh amanat Presiden Soeharto pada
saat itu yang juga mengharapkan segera dibentuknya Majelis Ulama
Indonesia.
Dalam sebuah musyawarah yang dihadiri dua puluh enam orang
ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama
merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu NU,
Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al-Washiliyah, Math’laul Anwar,
GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari dinas Rohani
Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh atau cendekiawan
yang merupakan tokoh perorangan, dihasilkan sebuah kesepakatan untuk
membentuk wadah bermusyawarahnya para ulama, Zu’amma dan
cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “PIAGAM
BERDIRINYA MUI” yang ditandatangani oleh seluruh peserta
musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama.
15
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia
tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka,
di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik
kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.
Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama
Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan
cendekiawan muslim berusaha untuk : 17
1. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia
dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang
diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala;
2. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan
kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-
umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa
serta;
3. Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan
penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna
mensukseskan pembangunan nasional meningkatkan hubungan serta
kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin
dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat
khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi
secara timbal balik.
17 Ibid
16
Akhirnya, melalui Menteri Agama dengan surat yang bernomor
28, pada tanggal 1 Juli 1975 dibentuklah sebuah panitia Munas 1 MUI
yang kemudian melahirkan keputusan untuk membentuk MUI dengan
memberikan kepercayaan kepada Prof. Dr. HAMKA sebagai ketuanya.
Pembentukan MUI dimaksudkan agar para ulama mempunyai wadah
dalam ke ikut sertaan menciptakan masyarakat yang aman, damai, adil,
dan makmur serta diridhoi Alloh Swt.18
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali
kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali
pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri
Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal
Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah
meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang
terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama
ini.19
Adapun dasar pemikiran pembentukan DSN adalah:
a. Dengan semakin berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syari’ah
di tanah air akhir-akhir ini dan adanya Dewan Pengawas Syari’ah
Nasional pada lembaga keuangan, dipandang perlu didirikan Dewan
Syari’ah Nasional yang akan menampung berbagai masalah atau kasus
yang memerlukan fatwa agar diperoleh kesamaan dalam
penanganannya dari masing-masing Dewan Pengawas Syari’ah yang
18 Ibid 19 Http://www.mui.or.id/index.53, dikutib sabtu, 12 Maret 2011, jam 10.00
17
ada di lembaga syari’ah.
b. Pembentukan Dewan Syariah Nasional merupakan langkah efisiensi
dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang
berhubungan dengan masalah ekonomi/keuangan. Dewan Syariah
Nasional diharapkan dapat berfungsi untuk mendorong penerapan
ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi.
c. Dewan Syariah Nasional berperan secara pro-aktif dalam menanggapi
perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis dalam bidang
ekonomi dan keuangan.
2. Visi Misi MUI sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, dan
cendikiawan muslim adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, MUI
tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di
kalangan umat Islam, yang menjunjung tinggi semangat kemandirian, oleh
karena itu, MUI juga mempunyai visi, misi dan peran penting MUI
sebagai berikut :
1. Visi
Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan
kenegaraan yang baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah swt
(baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur) menuju masyarakat
berkualitas (khaira ummah) demi terwujudnya kejayaan Islam dan
kaum muslimin (izzul Islam wal-muslimin) dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat bagi
seluruh alam (rahmatan lil 'alamin).
18
2. Misi
a. Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan umat secara
efektif dengan menjadikan ulama sebagai panutan (qudwah
hasanah), sehingga mampu mengarahkan dan membina umat
Islam dalam menanamkan dan memupuk aqidah Islamiyah, serta
menjalankan syariah Islamiyah;
b. Melaksanakan dakwah Islam, amar ma'ruf nahi mungkar dalam
mengembangkan akhlak karimah agar terwujud masyarakat
berkualitas (khaira ummah) dalam berbagai aspek kehidupan;
c. Mengembangkan ukhuwah Islamiyah dan kebersamaan dalam
mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.20
3. Orientasi Dan Peran MUI
MUI dalam pedoman dasarnya (pasal 5) menyebutkan bahwa
berdirinya MUI bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang berkualitas
(khaira ummah), dan Negara yang aman, damai, adil dan makmur
rohaniah dan jasmaniyah yang diridlai Alloh SWT. MUI juga
menempatkan Sembilan orientasi sebagai bentuk pengkhidmatan, yaitu:
1. Diniyyah
MUI merupakan wadah pengkhidmatan yang mendasari semua
langkah dan kegiatannya pada nilai dan ajaran Islam yang kaffah.
20Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005, Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 2005, hlm 20-21
19
2. Irsyadiyyah
MUI merupakan wadah pengkhidmatan dahwah wal irsyat,
yaitu upaya untuk mengajak umat manusia kepada kebaikan serta
melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam arti yang seluas-
luasnya. Setiap kegiatan MUI dimaksudkan untuk dakwah dan
dirancang untuk selalu berdimensi dakwah.
3. Istijabiyyah
MUI merupakan wadah pengkhidmatan yang berorientasi
istijabiyyah, senantiasa memberikan jawaban positif dan responsif
terhadap setiap permasalahan yang dihadapi masyarakat melalui
prakarsa kebajikan (amal shaleh) dalam semangat berlomba dan
kebaikan.
4. Hurriyyah
MUI merupakan wadah pengkhidmatan independen yang
bebas dan merdeka serta tidak dan tergantung maupun terpengaruh
oleh pihak-pihak lain dalam mengambil keputusan, mengeluarkan
pikiran, pandangan dan pendapat.21
5. Ta’awuniyah
MUI merupakan wadah pengkhidmatan yang mendasari diri
pada semangat tolong menolong untuk kebaikan dan ketaqwaan dalam
membela kaum dhu’afa untuk meningkatkan harkat dan martabat,
serta derajat kehidupan masyarakat. Semangat ini dilaksanakan atas
21 Ibid
20
dasar persaudaraan dikalangan seluruh umat Islam (ukhuwwah
Islamiyah). Ini merupakan landasan bagi MUI untuk mengembangkan
persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah) dan
memperkukuh persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyyah).
6. Syurriyah
MUI merupakan wadah pengkhidmatan yang menekankan
prinsip musyawarah dalam mencapai permufakatan melalui
pengembangan sikap demokratis, akomodatif dan aspiratif terhadap
berbagai aspirasi yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
7. Tasamuh
MUI merupakan wadah pengkhidmatan yang mengembangkan
sikap toleransi dan moderat dalam menghadapi masalah-masalah
khilafiyah.
8. Qudwah
MUI merupakan wadah pengkhidmatan yang mengedepankan
kepeloporan dan keteladanan melalui prakarsa kebajikan yang bersifat
perintisan untuk kemaslahatan umat.
9. Addualiyah
MUI merupakan wadah pengkhidmatan yang menyadari
dirinya sebagai anggota masyarakat dunia yang ikut aktif
memperjuangkan perdamaian dan tatanandunia sesuai dengan ajaran
Islam.
21
Dalam hal peran, MUI mengagendakan organisasi ini pada enam
peran utama, yaitu:
a) Sebagai pewaris tugas-tugas para nabi (warasat al anbiya). Yaitu
menyebarkan agama Islam serta memperjuangkan terwujudnya suatu
kebijakan yang arif dan bijaksana berdasarkan Islam.
b) Sebagai pemberi fatwa (mufti). Sebagai lembaga pemberi fatwa MUI
mengakomodasikan dan menyalurkan aspirasi umat Islam Indonesia
yang sangat beragam aliran faham dan pemikiran serta organisasi
keagamaannya.
c) Sebagai pembimbing dan pelayanan umat. Yaitu, melayani umat dan
bangsa dalam memenuhi harapan, aspirasi dan tuntutan mereka.
d) Sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar. Yaitu, menegaskan
kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan sebagai kebatilan dengan
penuh hikmah dan istiqamah.
e) Sebagai pelopor gerakan pembaharuan (al tajdid). Yaitu, gerakan
pembaharuan pemikiran Islam.
f) Sebagai pelopor gerakan ishlah. 22
4. Prosedur Penetapan Fatwa MUI Metode pembuatan fatwa MUI pertama kali dibuat pada 1975 dan
tampak kemudian dalam himpunan fatwa MUI 1995 dan 1997. Secara
umum, petunjuk penetapan fatwa MUI dapat dikemukakan sebagai
berikut:
22 Ainur Rokhim Faqih, et al. op.cit, hlm 37-41
22
a. Dasar-dasar fatwa adalah:
1) Al quran
2) Sunnah (tradisi dan kebiasaan nabi)
3) Ijma’(kesepakatan pendapat para ulama)
4) Qiyas (penarikan kesimpulan dengan analogi)
b. Pembahasan masalah yang memerlukan fatwa harus
mempertimbangkan:
1) Dasar-dasar fatwa merujuk ke atas
2) Pendapat para imam madzhab mengenai hukum Islam dan
pendapat para ulama terkemuka diperoleh melalui penelitian
terhadap penafsiran al-quran.
c. Pembahasan yang merujuk keatas adalah metode untuk menentukan
penafsiran mana yang lebih kuat dan bermanfaat sebagai fatwa bagi
masyarakat Islam.
d. Ketika suatu permasalahan yang memerlukan fatwa tidak dapat
dilakukan seperti prosedur di atas, maka harus ditetapkan dengan
penafsiran dan pertimbangan (ijtihad).
e. Mereka yang mempunyai otoritas untuk menangani fatwa adalah:
1) MUI berkaitan dengan:
a) Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan
berkaitan dengan masyarakat Islam Indonesia secara umum.
b) Masalah-masalah keagamaan yang relevan dengan wilayah
tertentu yang dianggap dapat diterapkan di wilayah lain.
23
2) MUI tingkat propinsi berkaitan dengan masalah keagamaan yang
sifatnya local dan kasus kedaerahan, tetapi setelah berkonsultasi
dengan MUI pusat dan komisi fatwa.
f. Sidang komisi fatwa harus dihadiri para anggota komisi fatwa yang
telah diangkat pimpinan pusat MUI dan pimpinan pusat MUI propinsi
dengan kemungkinan mengundang para ahli jika dianggap perlu.23
g. Sidang komisi fatwa diselenggarakan ketika:
1) Ada permintaan atau kebutuhan yang dianggap MUI memerlukan
fatwa.
2) Permintaan atau kebutuhan tersebut dapat dari pemerintah,
lembaga-lembaga sosial, dan masyarakat atau MUI sendiri.
h. Sesuai dengan aturan sidang komisi fatwa, bentuk fatwa yang
berkaitan dengan masalah tertentu harus diserahkan ketua komisi
fatwa kepada ketua MUI nasional dan propinsi.
i. Pimpinan pusat MUI nasional/propinsi akan merumuskan kembali
fatwa itu kedalam bentuk sertifikat keputusan penetapan fatwa.24
5. Tugas Dan Wewenang Anggota Pada tahun 2000, lampiran II SK MUI No. Kep-754/MUI/II/99
tentang Pembentukan Dewan Syari’ah Nasional dijadikan sebagai
Pedoman Dasar Dewan Syari’ah Nasional melalui Keputusan DSN-MUI
No. 01 Tahun 2000. Tugas dan wewenang dari DSN adalah sebagai
berikut:
23 Ibid 24Depag RI, Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia, Jakarta: Bagian Proyek Sarana
Dan Prasarana Depag RI, 2003, hlm 6
24
a. Dewan Syariah Nasional bertugas:
1) Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam
kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada
khususnya.
2) Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.
3) Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
4) Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
b. Dewan Syariah Nasional berwenang :
1) Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah
dimasing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar
tindakan hukum pihak terkait.
2) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi
ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.
3) Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-
nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada
suatu lembaga keuangan syariah.
4) Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang
diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas
moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri.
5) Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan
oleh Dewan Syariah Nasional.
25
6) Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil
tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.25
Sebelum terbentuknya DSN, masing-masing LKS telah
membentuk DPS. Pembentukan DPS didasarkan pada PP No. 72 Th. 1992
dan SEBI No. 25/4/BPPP.
Pada pasal 5 PP No. 72 Th. 1992 ditentukan bahwa:
(1) Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas
Syari’ah yang mempunyai tugas melakukan pengawasan atas produk
perbankan dalam menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan
kepada masyarakat agar berjalan sesuai dengan prinsip syari’ah.
(2) Pembentukan Dewan Pengawas Syari’ah dilakukan oleh Bank yang
bersangkutan berdasarkan hasil konsultasi dengan lembaga yang
menjadi wadah para ulama Indonesia.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya Dewan Pengawas Syari’ah
berkonsultasi dengan lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pada Surat Edaran Bank Indonesia No. 25/4/BPPP tanggal 29
februari 1993 ditentukan pula bahwa Bank berdasarkan prinsip bagi hasil
(Bank Syari’ah) wajib memiliki DPS. Hal ini yang juga kemudian diikuti
pada LKS lainnya, seperti di perusahaan asuransi syari’ah. Ketentuan-
ketentuan ini dapat terlihat peran MUI yang ikut serta dilibatkan oleh
25 Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Dalam Sistem Hukum Nasional Di Indonesia, Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010, hlm 146
26
pemerintah sejak awal penyelenggaran perekonomian syari’ah.26
Tugas utama dari DPS yang dibentuk oleh DSN adalah mengawasi
kegiatan usaha LKS agar sesuai dengan ketentuan dan prinsip syari’ah
yang telah difatwakan oleh DSN. Untuk melaksanakan tugas tersebut,
maka DPS melakukan pengawasan secara periodik pada LKS yang berada
dibawah pengawasannya, berkewajiban mengajukan usul-usul
pengembangan LKS kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan
kepada DSN, melaporkan perkembangan produk dan operasional LKS
yang diawasi kepada DSN dan merumuskan permasalahan yang
memerlukan pembahasan DSN.
Dewan Pengawas Syari’ah yang berfungsi sebagai perwakilan
DSN yang ditempatkan pada LKS memiliki kewajiban:
a. Mengikuti fatwa DSN
b. Merumuskan permasalahan yang memerlukan pengesahan DSN
c. Melaporkan kegiatan usaha serta perkembangan LKS yang diawasinya
kepada DSN sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun.
Dalam melaksanakan fungsi DPS memiliki tugas pokok pada LKS
sebagai berikut:
a) Memberikan nasihat dan saran kepada direksi, pimpinan unit usaha
syari’ah dan pimpinan kantor cabang lembaga keuangan syari’ah
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan aspek syari’ah.
b) Melakukan pengawasan, baik secara aktif dan pasif, terutama dalam
26 Ibid, hlm 148
27
pelaksanaan fatwa DSN serta memberikan pengarahan/pengawasan
atas produk/jasa dan kegiatan usaha agar sesuai dengan prinsip
syari’ah.
c) Sebagai mediator antara lembaga keuangan syari’ah dengan DSN
dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan
jasa dari LKS yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN.
Bank Indonesia telah membuat pedoman pengawasan syari’ah dan
tata cara pelaporan hasil pengawasan bagi DPS di bank-bank syari’ah dan
unit-unit usaha syari’ah pada bank konvensional dalam SEBI No. 8/19/D
Pbs tanggal 24 agustus 2006. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan tugas,
wewenang dan tanggung jawab DPS adalah:
1) Memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional bank
terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI.
2) Menilai aspek syari’ah terhadap pedoman operasional, dan produk
yang dikeluarkan bank.
3) Memberikan opini dari aspek syari’ah terhadap pelaksanaan
operasional bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi bank.
4) Mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk diminta
fatwa kepada DSN-MUI.
5) Menyampaikan hasil pengawasan syari’ah sekurang-kurangnya setiap
6 bulan kepada direksi, komisaris, DSN-MUI dan BI.27
27 Ibid, hlm 156
28
B. Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang
dalam bentuk rahn dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun
(barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya,
marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizing rahin,
dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar
mengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya
pemeliharaan dan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh
ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun.
a. Apabila jatuh tempo, marhun harus memperingatkan rahin untuk
segera melunasi utangnya.
b. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun
dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syari’ah.
c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
29
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya
menjadi kewajiban rahin.28
Pertimbangan DSN menetapkan fatwa tentang rahn adalah:
1) Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan
masyarakat adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai
jaminan utang.
2) Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) perlu merespon kebutuhan
masyarakat tersebut dalam berbagai produknya.
3) Agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.29
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syari’ah,
diantaranya sebagai berikut:
a) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.
25/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn.
b) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.
26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas.
c) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.
09/DSN-MUI/III/2000, tentang Pembiayaan Ijaroh.
d) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.
10/DSN-MUI/III/2000, tentang Wakalah.
28Dsn-Mui, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, Jakarta: CV. Gaung Persada, Cet. Ke-3, 2006, hlm 153-154
29 Yeni Salma Barlinti, Op.Cit, hlm 198
30
e) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.
43/DSN-MUI/III/2004, tentang Ganti Rugi.30
Kedudukan DSN:
Fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) merupakan hukum positif yang mengikat. Sebab,
keberadaannya sering dilegitimasi lewat peraturan perundang-undangan
oleh lembaga pemerintah, sehingga harus dipatuhi pelaku ekonomi
syariah. Terlebih, adanya keterikatan antara DPS dan DSN karena anggota
DPS direkomendasikan oleh DSN. “Keterikatan itu juga ketika melakukan
tugas pengawasan, DPS harus merujuk pada fatwa DSN.” Adapun
kedudukannya adalah:
a) Dewan Syari’ah Nasional merupakan bagian dari Majelis Ulama’
Indonesia.
b) Dewan Syari’ah Nasional membantu pihak terkait, seperti
departement keuangan, Bank Indonesia, dan lain-lain dalam menyusun
peraturan atau ketentuan untuk lembaga keuangan syari’ah.
c) Anggota Dewan Syari’ah Nasional terdiri dari para ulama’, praktisi,
dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan Muamalah syari’ah.
d) Anggota Dewan Syari’ah National ditunjuk dan diangkat oleh MUI
untuk masa bakti 4 (empat) tahun.31
30 Zainudin Ali, Hukum Gadai Syari’ah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm 8 31 Http://Yuhardin.Csriptitermedia.Com/view dikutip 14 Maret 2011, jam 13.30
31
BAB III
PELAKSANAAN GADAI SYARI’AH DI BTN SYARI’AH SEMARANG
A. Profil BTN Syari’ah Semarang
1. Latar Belakang Bredirinya BTN Syari’ah Semarang
BTN Syariah merupakan Unit Usaha Syariah (UUS) dari Bank
BTN (Persero).Tbk yang menjalankan bisnis dengan prinsip Syariah. BTN
Syariah mulai beroperasi pada tanggal 14 Februari 2005 melalui
pembukaan Kantor Cabang Syariah pertama di Jakarta, sampai dengan
Desember 2009 telah dibuka 20 Kantor Cabang, 1 Kantor Cabang
Pembantu Syariah, dengan 119 Kantor Layanan Syariah.
Tujuan dari pendirian UUS Bank BTN adalah untuk memenuhi
kebutuhan nasabah akan produk dan layanan perbankan sesuai prinsip
Syariah dan memberi manfaat yang setara, seimbang dalam pemenuhan
kepentingan nasabah dan Bank.
Sebagai bagian dari Bank BTN yang merupakan Bank BUMN
BTN Syariah menjalankan fungsi intermediasi dengan menghimpun dana
masyarakat melalui produk-produk Giro, Tabungan, dan Deposito, dan
menyalurkan kembali ke sektor riil melalui berbagai produk pembiayaan
KPR, Multiguna, Investasi dan Modal Kerja.32
32 http://www.btn.ac.id/syariah/profil-btn-syariah dikutip 25 Maret 2011
32
Sesuai dengan motonya : "Maju dan Sejahtera Bersama" maka
BTN Syariah mengutamakan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam
penerapan imbal hasil antara Nasabah dan Bank.
KPR BTN iB adalah produk pembiayaan BTN Syariah yang
ditujukan bagi perorangan, untuk pembelian rumah,ruko, apartemen, baik
baru ataupun lama. Akad yang digunakan adalah akad Murabahah (jual
beli), dimana nasabah bebas memilih lokasi obyek KPR sesuai dengan
kebutuhan dan pertimbangan nasabah sendiri dari aspek lokasi maupun
harga.
Keuntungan dan manfaat dari KPR BTN iB antara lain: Angsuran
tetap sampai pembiayaan lunas, maksimal pembiayaan sampai dengan
80%, jangka waktu sampai dengan 15 Tahun, bebas menentukan lokasi,
margin bersaing mulai 8,07%, persyaratan mudah dan fleksibel, tidak ada
pinalti untuk pelunasan dipercepat dan tidak ada biaya provisi Selain KPR
BTN IB, produk BTN Syariah yang mendukung pembiayaan untuk rumah
adalah: KPR Indensya BTN iB untuk pembelian rumah berdasarkan
pesanan. Swagriya BTN iB untuk kebutuhan renovasi ataupun
pembangunan rumah anda.
Tujuan Pendirian a. Untuk memenuhi kebutuhan Bank dalam memberikan pelayanan jasa
keuangan syariah.
b. Mendukung pencapaian sasaran laba usaha Bank.
c. Meningkatkan ketahanan Bank dalam menghadapi perubahan
lingkungan usaha.
33
d. Memberi keseimbangan dalam pemenuhan kepentingan segenap
nasabah dan pegawai.
Dewan Pengawas
Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah badan independen yang
ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) pada bank.
Anggota DPS harus terdiri dari para pakar di bidang Syariah
Muamalah yang juga memiliki pengetahuan umum di bidang perbankan,
persyaratan anggota DPS diatur dan ditetapkan oleh DPS. Dalam
pelaksanaan tugas sehari-hari, DPS wajib mengikuti fatwa DSN yang
merupakan otoritas tertinggi dalam mengeluarkan fatwa mengenai
kesesuaian produk dan jasa Bank dengan ketentuan dan prinsip Syariah.33
2. Visi Misi
1. Visi
Menjadi bank yang terkemuka dalam pembiayaan perumahan
2. Misi
a. Memberikan pelayanan unggul dalam pembiayaan perumahan dan
industri terkait, pembiayaan konsumsi dan usaha kecil menengah.
b. Meningkatkan keunggulan kompetitif melalui inovasi
pengembangan produk, jasa dan jaringan strategis berbasis
teknologi terkini.
c. Menyiapkan dan mengembangkan Human Capital yang
berkualitas, profesional dan memiliki integritas tinggi.
33 Ibid
34
d. Melaksanakan manajemen perbankan yang sesuai dengan prinsip
kehati-hatian dan good corporate governance untuk meningkatkan
Shareholder Value.
e. Mempedulikan kepentingan masyarakat dan lingkungannya.34
B. Produk-produk BTN Syari’ah Semarang
1. Pendanaan
a. Giro Batara
Merupakan produk dana dengan prinsip wadiah (titipan) yang
diperuntukan bagi nasabah perorangan, joint account perorangan, atau
lembaga baik WNI maupaun WNA dalam mata uang rupiah.
Keunggulan:
1) Sarana penitipan uang yang aman dan terpercaya.
2) Menunjang aktivitas usaha dalam pembayaran dan penerimaan.
3) Fasilitas kartu ATM Batara Syari’ah yang dapat digunakan pada
ATM berlogo link bagi nasabah perorangan.
4) Bonus diberikan secara sukarela sesuai kebijakan Bank kepada
nasabah.
5) Penarikan dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan Cek,
Bilyet, Giro, Kartu ATM, Pemindah bukuan atau sarana perintah
pembayaran lainnya.
6) Dapat dipotong zakat.
34 Hasil wawancara dengan Bpk. Rifki Officer Gadai Bank Tabungan Negara Syari’ah Semarang pada tanggal 24 Maret 2011.
35
b. Giro Investa Batara
Giro yang bersifat/berjangka yang penarikannya hanya dapat
dilakukan menurut syarat dan ketentuan dan imbal bagi hasil yang
disepakati, menggunakan Cek/BG, kartu ATM dan sarana lainnya
pemindah bukuan.
c. Tabungan Batara
Merupakan produk tabungan dengan prinsip wadiah (titipan)
yang diperuntukan bagi nasabah perorangan, joint account
perorangan, atau lembaga baik WNI maupun WNA.
Keunggulan:
1) Bebas biaya adminstrasi.
2) Fasilitas ATM link dan ATM bersama bebas biaya kartu.
3) Mendapatkan asuransi jiwa bebas dan premi.
4) Bonus diberikan secara sukarela sesuai kebijakan Bank kepada
nasabah.
5) Kemudahan bertransaksi di seluruh KCS dan KLS.
6) Atas pemberian bonus diberikan pilihan pemotongan pajak.
d. Tabungan Investa Batara
Merupakan produk tabungan dengan prinsip mudharabah
(investasi) yang diperuntukan bagi nasabah perorangan, joint account
perorangan, atau lembaga baik WNI maupun WNA.
Keunggulan:
1) Biaya administrasi ringan.
36
2) Fasilitas ATM link dan ATM bersama bebas biaya kartu.
3) Mendapatkan asuransi jiwa bebas premi.
4) Mendapatkan bagi hasil yang menarik
5) Kemudahan bertransaksi diseluruh KCS dan KLS.
6) Atas pemberian bagi hasil diberikan pilihan pemotongan zakat.
e. Tabungan Baitulloh Batara
Merupakan sarana penyimpanan dana untuk mempersiapkan
biaya perjalanan Ibadah Haji, dengan prinsip mudharabah (investasi).
Keunggulan:
1) Bebas biaya administrasi.
2) Bagi hasil sesuai dengan nisbah yang disepakati.
3) Kemudahan penyetoran lanjutan diseluruh KCS dan KLS.
4) Fasilitas on-line siskohat dengan Departemen Agama.
5) Atas pemberian bagi hasil diberikan pilihan pemotongan zakat.
f. Deposito Batara
Merupakan produk dana dengan prinsip mudharabah
(investasi) yang diperuntukan bagi nasabah perorangan, atau lembaga
baik WNI maupun WNA.
Keunggulan:
1) Bagi hasil yang menarik, dan dapat diakumulasikan ke dalam
pokok.
2) Penyaliran zakat, infaq, shadaqah.
37
3) Fasilitas Automatic Roll Over (ARO) dan Non Automatic Over
(non ARO).
4) Pencairan sebelum jatuh tempo tidak dikenakan penalty.35
2. Pembiayaan
a. KPR BTN
KPR BTN adalah produk pembiayaan BTN syari’ah yang
ditujukan bagi perorangan, untuk pembelian rumah, ruko, apartemen
baik baru maupun lama. Akad yang dipergunakan adalah akad
murabahah (jual beli), dimana nasabah bebas memilih obyek KPR,
sesuai dengan kebutuhan dan pertimbangan nasabah sendiri dari aspek
lokasi maupun harga. Dengan keunggulan tersebut maka nasabah
KPR BTN akan mendapat keuntungan dan manfaat sebagai berikut:
1) Angsuran tetap sampai lunas.
2) Maksimal pembiayaan KPR BTN syari’ah yang diberikan adalah
80% untuk rumah baru dan 70% untuk rumah second.
3) Jangka waktu maksimal sampai dengan 15 (lima belas) tahun.
4) Lokasi rumah, rumah toko, apartemen dan jenis rumah tinggal
lainnya bebas.
5) Margin bersaing.
6) Persyaratan mudah dan fleksibel.
7) Pelunasan dipercepat tidak dikenakan penalty.
8) Berdasarkan prinsip syari’ah.
35 http://www.btn.co.id/getattchment/syariah/tentang kami/produk-btn-syariah, dikutip senin 4 april 2011, jam 11.00
38
b. KPR INDENSYA BTN
KPR indensya BTN adalah fasilitas pembiayaan KPR
berdasarkan akad istishna (pesanan), diperuntukan bagi pemohon
peorangan yang akan membeli rumah dari Bank, yang dibangun oleh
pengembang sesuai dengan pesanan dari nasabah. Pembiayaan KPR
indensya memeberikan keuntungan dan manfaat bagi nasabah antara
lain sebagai berikut:
1) Angsuran tetap sampai lunas.
2) Mendapatkan grace period pembayaran angsuran s/d 6 bulan
setelah akad, atau sesuai kebijakan Bank.
3) Maksimal pembiayaan KPR INDENSYA diberikan sebesar 70%
untuk nasabah non-kolektif.
4) Jangka waktu pembiayaan maksimal 15 (lima belas) tahun.
5) Margin bersaing.
6) Persyaratan mudah dan fleksibel.
7) Pelunasan dipercepat tidak dikenakan penalty.
8) Berdasarkan prinsip syari’ah.
c. Gadai BTN
Pembiayaan Gadai BTN dengan jenis gadai (kadar emas 16 s/d
24 karat) dapat berupa emas batangan, emas perhiasan, uang emas,
koin emas, piagam emas, dan mahkota, adalah pinjaman kepada
nasabah berdasarkan prinsip qard yang diberikan oleh Bank kepada
nasabah berdasarkan kesepakatan, yang disertakan dengan surat gadai
39
sebagai penyerahan barang jaminan (marhun) untuk jaminan
pengembalian seluruh atau sebagian penyerahan barang jaminan
(marhun) untuk jaminan pengembalian seluruh atau sebagian hutang
nasabah kepada Bank (murtahin).36
d. Kendaraan Bermotor BTN
Kendaraan Bermotor BTN adalah fasilitas pembiayaan
berdasarkan akad murabahah (jual beli), dalam rangka membeli
kendaraan mobil atau sepeda motor bagi nasabah perorangan.
Nasabah kendaraan bermotor BTN akan menikmati berbagai
keuntungan sebagai berikut:
1) Angsuran tetap sampai lunas.
2) Maksimal pembiayaan kendaraan bermotor BTN syari’ah yang
diberikan sebesar 80%.
3) Jangka waktu pembiayaan kendaraan bermotor untuk mobil baru 5
(lima) tahun, mobil bekas (masa pakai+ jangka waktu pembiayaan
tidak melebihi 7 (tujuh) tahun).
4) Jangka waktu maksimum pembiayaan kendaraan bermotor untuk
motor baru adalah 4 (empat) tahun.
5) Margin bersaing.
6) Persyaratan mudah dan fleksibel.
7) Pelunasan dipercepat tidak dikenakan penalty.
36 Brosur BTN Syari’ah
40
e. Swagriya BTN
Swagriya BTN adalah fasilitas pembiayaan berdasarkan akad
murabahah (jual beli), yang diperuntukan bagi pemohon yang
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Bank, untuk membiayai
pembangunan atau renovasi rumah, ruko atau bangunan lainnya diatas
tanah yang sudah dimiliki oleh pemohon, baik untuk dipakai sendiri
maupun untuk disewakan.
Nasabah swagriya BTN akan menikmati berbagai manfaat dan
keuntungan sebagai berikut:
1) Angsuran tetap sampai lunas.
2) Nasabah bebas merencanakan pembagunan atau renovasi rumah/
ruko sesuai keinginan dan kebutuhannya.
3) Maksimum pembiayaan yang diberikan 100% dari RAB.
4) Jangka waktu hingga 15 (lima belas) tahun.
5) Margin bersaing.
6) Persyaratan mudah dan fleksibel.
7) Pelunasan dipercepat tidak dikenakan penalty.
8) Berdasarkan prinsip syari’ah.
f. Modal Kerja BTN
Modal Kerja BTN adalah fasilitas pembiayaan dengan akad
mudharabah (bagi hasil), berupa penyediaan dana oleh Bank BTN
untuk memenuhi kebutuhan modal kerja usaha nasabah, baik
perorangan, perusahaan, maupun koperasi.
41
Bidang usaha yang dibiayai antara lain adalah:
1) Industri sektor perumahan dan industri ikutannya, perdagangan
atau jasa.
2) Pengadaan barang atau jasa atau proyek dengan surat perintah
kerja (SPK) oleh kontraktor.
3) Memenuhi kenutuhan modal kerja untuk disalurkan kembali
kepada konsumen (end user).37
g. Yasa Griya BTN
Yasa Griya BTN adalah pembiayaan modal kerja dengan akad
musyarakah (sharing capital), untuk keperluan modal kerja
pembangunan proyek perumahan kepada pengembang/developer, baik
perorangan, perusahaan, maupaun koperasi.
Dengan pola musyarakah maka masing-masing pihak (Bank
dan Nasabah) menyertakan modal dan berbagi pendapatan menurut
kesepakatan bersama.
Yasa Griya BTN dapat digunakan untuk membiaya seluruh
kegiatan pembangunan kontruksi perumahan, yaitu pembangunan
rumah berikut prasarana pendukung.
h. Pembiayaan Investa BTN
Pembiayaan investa BTN adalah pembiayaan kepada lembaga
atau badan usaha dengan prinsip murabahah atau musyarakah yang
diberikan kepada nasabah lembaga yang memenuhi syarat, untuk
37 Ibid
42
mendanai pembelian barang modal atau barang investasi dalam rangka
rehabilitasi, modernisasi, perluasan atau peningkatan kapasitas usaha.
i. Pembiayaan KPR Subsidi BTN
Pembiayaan KPR BTN bersubsidi adalah pembiayaan KPR
BTN yang disediakan kepada kelompok masyarakat yang memenuhi
criteria menurut ketentuan Kementrian Negara Perumahan Rakyat
untuk mendapatkan subsidi Uang Muka dalam rangka pembelian
Rumah Sederhana Sehat (RSH). Syarat-syarat yang harus dipenuhi
nasabah adalah sebagai berikut:
1) Keluarga/rumah tangga yang berpenghasilan tetap atau tidak tetap.
2) Belum pernah memiliki rumah.
3) Belum pernah memperoleh subsidi perumahan.
4) Penghasilan/gaji pokok maksimal Rp. 2,5 juta/bulan.
3. Pelayanan
a. Layanan SKN (System Kliring Nasional)
Kiriman uang rupiah, untuk memudahkan transaksi
pengiriman uang dengan jangka waktu penerimaan uang 1hari.
b. Layanan RTGS (Real Time Gross Settelment)
System transfer uang on-line dengan waktu pengiriman yang
cepat ke nomor rekening tujuan dengan jangka waktu penerimaan
uang pada hari yang sama.38
38 Brosur Bank Tabungan Negara Syariah
43
C. Pelaksanaan Gadai Syari’ah
1. Syarat Dan Ketentuan
Syarat:
a. Minimal berusia 17 tahun atau telah menikah.
b. Mengisi formulir pembukaan rekening yang telah disediakan.
c. Melampirkan fotocopy KTP atau identitas lainnya.
d. Menyerahkan fotocopy NPWP pribadi untuk nasabah dengan jumlah
pembiayaan 100 juta keatas.
e. Jaminan barang berupa emas perhiasan atau emas batangan atau koin
emas, Emas perhiasan tidak ada keharusan dilengkapi kuitansi
pembelian.
f. Barang jaminan harus milik nasabah secara sah tidak diperoleh dari
hasil kejahatan, tidak terkait dengan barang yang disewabelikan.
Ketentuan:
a. Pembiayaan mulai 500 ribu.
b. Jaminan emas minimal 16 karat berupa emas perhiasan atau batangan
maupun logam.
c. Biaya sewa ditetapkan pada saat pembiayaan diajukan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
d. Biaya administrasi.
e. Jangka waktu 4 bulan dan dapat diperpanjang.39
39 Hasil wawancara dengan Ibu Ira Rosanty officer gadai Syari’ah Bank Tabungan Negara Syari’ah Semarang, pada tanggal 24 Maret 2011.
44
2. Prosedur Dan Mekanisme
Ada beberapa tahap yang harus dilakukan nasabah dalam
mengajukan pembiayaan adalah sebagai berikut:
a. Nasabah datang ke penaksir atau officer gadai untuk mengisi formulir
permohonan pembiayaan rahn, serta menyerahkan barang jaminan
untuk dilakukan penaksiran.
b. Sebelum melakukan penaksiran, Bank melakukan penentuan terhadap
barang tersebut dengan menggunakan timbangan emas (jika berupa
perhiasan) dan batu gosok disertai larutan (jika berupa emas batangan)
untuk menetukan berat kadar emas tersebut.
c. Barang ditaksir sesuai standardisasi harga emas yang berlaku di BTN
Syari’ah.
d. Setelah dilakukan penaksiran kemudian ditentukan nilai pembiayaan
serta biaya administrasi dan biaya pemeliharaan dan penyimpanan.
e. Nasabah diberikan Surat Bukti Gadai Emas (SBGE) untuk
ditandatangani. surat ini berisi atas perjanjian akad, dan memorandum
pembiayaan, serta tanda terima barang.
f. Setelah nasabah menandatangani SBGE, nasabah bisa langsung
mengambil uang di teller dengan membawa slip penarikan uang.
Sebelumnya kedua belah pihak bertanggung jawab dibawah ini:
a. BTN Syari’ah sebagai tersebut dalam surat gadai yang dalam hal ini
diwakili oleh pejabat cabang dan oleh karenanya berhak untuk dan
45
atas serta kepentingan Bank sebagai Muqarid selanjutnya di sebut
Bank.
b. Nasabah / Muqarid yaitu orang yang nama dan alamatnya tercantum
dalam surat gadai itu.
Para pihak terlebih dahulu menerangkan bahwa dengan ini telah
setuju dan sepakat untuk membuat perjanjian pembiayaan berdasarkan
prinsip Qard selanjutnya dengan ketentuan dan syarat sebagai berikut:
a. Qard adalah pokok dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak
peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus/cicilan
dalam jangka waktu tertentu.
b. Bank/Muqarid adalah pihak yang memberikan sejumlah uang sebagai
pinjaman kepada nasabah.
c. Nasabah/Muqarid adalah penerima pinjaman atau sejumlah uang yang
harus dikembalikan kepada Bank sekaligus pada saat jatuh tempo.
d. Bank dengan ini mengikatkan diri untuk memberikan pinjaman uang
dan oleh karena itu berpiutang serta berhak menagih kepada nasabah
sejumlah hutang atau bagian dan hutang yang belum dibayar oleh
nasabah.
e. Nasabah menerima pinjaman uang dan oleh karena itu mengaku
berhutang serta berjanji dan dengan jangka waktu dan cara
pembayaran ditetapkan.
f. Jumlah Qard adalah sebesar sebagaimana telah tercantum dalam surat
gadai BTN Syari’ah.
46
g. Jumlah Qard tersebut belum termasuk biaya-biaya yang timbul
sehubungan dengan pembuatan perjanjian ini, seperti biaya sewa
tempat pembiayaan dan biaya lainnya. Biaya tersebut telah disepakati
akan menjadi beban nasabah dan untuk itu bank sebagai pihak yang
berpiutang dibebaskan untuk menanggung biaya-biaya tersebut.
h. Nasabah berjanji dan dengan ini mengikat diri untuk membayar
sejumlah uang kepada bank dalam jangka waktu senagaimana tersebut
dalam surat gadai BTN Syari’ah terhitung sejak akad ini
ditandatangani serta berakhir pada tanggal sebagaimana tercantum
dalam surat gadai BTN Syari’ah.
i. Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada surat gadai BTN Syari’ah bertepatan dengan bukan
hari kerja bank, maka nasabah berjanji dan dengan ini mengikat diri
untuk melakukan pembayaran pada hari pertama bank bekerja.
j. Setiap pembayaran atau pelunasan pembiayaan oleh nasabah kepada
bank dilakukan melalui pemindah bukuan atas rekening yang dibuka
oleh dan atas nasabah dikantor bank atau tunai.
k. Nasabah memberikan kuasa yang tidak dapat berakhir karena sebab-
sebab yang ditentukan dalam pasal 1813 KUHP kepada bank, untuk
mendebet rekening nasabah guna membayar atau melunasi pokok
pembiayaan.
47
l. Dalam hal terjadi perbedaan penaksiran terhadap pelaksanaan akad
pembiayaan ini maka para pihak sepakat menyelesaikan secara
musyawarah dan mufakat.
Adapun akad yang digunakan dalam gadai syari’ah:
a. Akad yang digunakan adalah Qard dalam rangka Rahn.
b. Qard dalam rangka Rahn adalah akad pemberian pinjaman yang
diberikan Bank kepada nasabah yang disertai dengan penyerahan
tugas agar bank menjaga barang jaminan yang diserahkan.
c. Rahn adalah barang jaminan yang diberikan nasabah kepada Bank,
dan Bank bertanggung jawab sepenuhnya atas barang jaminan yang
dititipkan termasuk mengenai keberadaannya, jumlah, keadaan dan
wajib memelihara sebaik-baiknya.
d. Biaya pemeliharaan menggunakan akad ijaroh.40
3. Cara Perhitungan
Dalam penetapan biaya kepada nasabah, Bank menggunakan
komponen sebagai berikut:
a. Biaya administrasi sebesar Rp10.000,00
b. Biaya pemeliharaan sebesar Rp1.860 pergram per 10 hari untuk emas
murni 24 karat.
Periode pembebanan biaya pemeliharaan dihitung per 10 hari.
Biaya ini bersifat proposional artinya (menyesuaikan dengan berat kadar
emas yang dijaminkan serta jangka waktu pembiayaan). Biaya
40 Hasil wawancara dengan Ibu Ira Rosanty officer gadai Bank Tabungan Negara Syari’ah Semarang tanggal 28 Maret 2011
48
administrasi dan sewa tempat penyimpanan wajib dibayar dimuka, kecuali
biaya sewa tempat penyimpanan masa tenggang di bayar pada saat
pelunasan pinjaman.
Adapun standarisasi harga emas di BTN pada Maret 2011 ini adalah
sebagai berikut:
Kadar Emas Taksiran Harga BTN 24 Karat Rp.390,497 23 Karat Rp.374,226 22 Karat Rp.357,955 21 Karat Rp.341,685 20 Karat Rp.325,414
19-18 karat Rp.292,872 17-16 Karat Rp.260,331
Harga bisa berubah sesuai dengan perkembangan harga yang
berlaku di pasaran. Untuk pencairan dana 90% dari harga taksiran berlaku
untuk kadar emas 24 karat, pembiayaan 85% untuk kadar emas 23-20
karat, dan pembiayaan 80% untuk kadar emas 19-18 karat dan 17-16
karat.
Contoh: ibu sari mempunyai emas perhiasan seberat 10 gram, dan
ingin menggadaikan emas tersebut. Berapa pembiayaan yang diberikan
oleh Bank serta berapa biaya yang harus dibayar oleh ibu sari?
Harga emas 20 karat = RP 325.414/gr
Nilai harga emas pembiayaan = Rp 276.602 (85% dari harga)
Berat emas = 10 gram
Nilai jaminan Rp 276.602 X 10gram = Rp 2.766.019
49
Pembulatan = Rp 2.766.000
Biaya-biaya:
Biaya sewa/ 10 hari = Rp 1.484
Biaya sewa 1 bulan : 3X1.484 = RP 44.520
Biaya administrasi = Rp 10.000
Total biaya (sewa + administrasi) = Rp 54.520.41
D. Ijarah
Akad ijarah di BTN Syari’ah digunakan sebagai akad sewa dalam
pembiayaan gadai. Dimana Bank akan memeperoleh upah atas jasanya dalam
menyewakan tempat, memelihara, dan merawat barang milik nasabah.
a. BTN Syari’ah sebagaimana dalam surat gadai BTN diwakili oleh pejabat
cabang dan oleh karena bertindak untuk dan diatas nama serta kepentingan
bank selaku pihak yang menyewakan selanjutnya yang menyewakan.
b. Nasabah selaku penyewa yaitu orang yang nama dan alamat tercantum
dalam surat gadai BTN Syari’ah.
Sebelumnya para pihak menerangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Bahwa nasabah sebelumnnya telah mengadakan perjanjian dengan bank
sebagaimana tercantum dalam surat gadai dimana nasabah bertindak
sebagai pemberi gadai dan bank sebagai penerima gadai dari oleh
karenanya surat gadai BTN tersebut merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari akad ini.
41 Hasil wawancara dengan Ibu Ir, Officer Gadai Syari’ah BTN Syari’ah Semarang tanggal 6 April 2011
50
b. Bahwa atas marhun (barang jaminan) berdasarkan akad diatas penyewa
telah menyetujui menyewa tempat penyimpanan marhun (barang jaminan)
sebagai tempat penyimpanan marhun (barang jaminan) dari yang
menyewakan dan yang menyewakan bersedia menyewakan objek sewa
sebagai tempat penyimpanan marhun kepada penyewa dengan
menggunakan akad sewa tempat.
c. Untuk maksud tersebut para pihak membuat dan menandatangani akad ini
dengan ketentuan:
1) Para pihak sepakat dengan sewa tempat atas marhun (barang jaminan)
sesuai dengan ketentuan yang berlaku (tabel), apabila telah jatuh tempo
sementara itu penyewa belum melunasi pinjaman mereka dikenakan
biaya sewa tempat penyimpanan masa tenggang sebesar Rp 1000
pergram untuk masa tenggang 15 hari.
2) Apabila nasabah melunasi sebelum jangka waktu pembiayaan Qard
jatuh tempo, nasabah akan diberi pengembalian biaya tempat
penyimpanan secara proposional terhadap sisa jangka waktu
pembiayaan yang telah dibayarkan.
3) Pembayaran biaya sewa tempat penyimpanan wajib dibayar dimuka
oleh penyewa kepada yang menyewakan kecuali biaya sewa tempat
penyimpanan masa tenggang yang dibayar pada saat pelunasan
pinjaman.
4) Apabila penyewa tersebut mengambil marhun bersamaaan dengan
pelunasan pinjaman maka yang menyewakan memberi waktu
51
selambat-lambatnya 5 hari setelah pelunasan dan keterlambatan
pengambilan marhun dikenakan biaya titipan sebesar Rp 10,000 per
hari.
5) Jika marhun rusak / hilang maka penyewa akan mendapatkan
penggantian yang menyewakan sebesar 100% dari nilai taksiran
marhun tersebut kecuali hilang/rusak marhun disebabkan oleh kejadian
diluar kemampuan (force majeur) yang menyewakan seperti bencana
alam dan lain-lain untuk itu tidak diganti rugi.
52
BAB IV
ANALISIS PELAKSANAAN GADAI SYARI’AH DI BTN SYARI’AH
SEMARANG
A. Analisis Pelaksanaan Gadai Syari’ah Di BTN Syari’ah Semarang
1. Analisis Akad Gadai Syari’ah Di BTN Syari’ah Semarang
Akad yang digunakan dalam gadai syari’ah ada dua macam yaitu
qard dan ijarah. Akad qard digunakan Bank BTN Syari’ah dalam
memberikan pembiayaan gadai syari’ah kepada nasabah berdasarkan
kesepakatan, yang disertakan dengan surat gadai sebagai penyerahan
barang jaminan (marhun) untuk jaminan pengembalian seluruh atau
sebagian penyerahan barang jaminan (marhun) untuk jaminan
pengembalian seluruh atau sebagian hutang nasabah kepada Bank
(murtahin). Di dalam akad Al-Qardh atau hutang piutang orang yang
berhutang boleh melebihkan bayarannya dan yang berpiutang halal untuk
mengambil kelebihan tersebut selama kelebihan tersebut tidak
diperjanjikan/ disyaratkan selagi membuat akad hutang piutang. Qardh
yang disertai dengan syarat yang menguntungkan pihak yang
menghutangkan maka akad qardh tersebut batal. Qardh yang membawa
keuntungan adalah riba.42
Adapun akad ijaroh yaitu akad pemindahan hak guna atas barang
dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan
42 Zainuddin Bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fannani, Fathul Mu’in, Much Anwar Dkk ” Terjemahan Fathul Mu’in” Jilid 1. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994 , hlm. 836
53
pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini
dimungkinkan bagi Bank untuk menarik Biaya Ijarah atas penyimpanan
dan pemeliharaan barang milik nasabah / Rahin yang telah melakukan
akad. Ijarah berasal dari kata ujrah yang berarti upah yaitu memberikan
upah kepada seseorang setelah mengerjakan pekerjaan tertentu atau
sampai waktu tertentu. Dasar yang membolehkan upah yaitu firman Allah
dalam Q. S At-Talaq ayat 6 dan sunah rasul.43
Artinya: kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu
Maka berikanlah kepada mereka upahnya. (Q. S Ath-Thalaq: 6). Ijarah secara bahasa berarti upah dan sewa, jasa atau imbalan.
Ijarah merupakan transaksi yang memperjualbelikan manfaat suatu harta
benda. Menurut fuqaha Hanafiyah pengertian ijarah adalah akad atau
transaksi terhadap manfaat dengan imbalan. Menurut fuqaha Syafi’iyah
ijarah transaksi terhadap manfaat yang dikehendaki secara jelas harta
yang bersifat mubah dan dapat dipertukarkan dengan imbalan tertentu.
Sedangkan menurut fuqaha Malikiyah dan Hanabilah, ijarah adalah
pemilikan manfaat suatu benda yang bersifat mubah selama periode waktu
tertentu dengan suatu imbalan.44
43 Adlchmiyah Sunarto dan Multazam, Fiqih Syafi’i, Bintang Pelajar, Tt, hlm. 328 44 Ghufron Mas’adi. Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Raja Grafindo Persada. hlm.
182
54
2. Analisis Rukun Dan Syarat Akad Rahn
Rukun dari akad rahn yang harus dipenuhi dalam transaksi ada
beberapa, yaitu:
1) Pelaku akad, yaitu rahin (yang menyerahkan barang), dan murtahin
(penerima barang).
Rahin: Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan
memiliki barang yang akan digadaikan.
Murtahin: Orang, Bank, atau lembaga yang dapat dipercaya oleh
rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang
(gadai).
2) Objek akad, yaitu marhun (barang jaminan) dan marhun bih
(pembiayaan).
Marhun: Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan
dalam mendapatkan utang. Marhun bih : Sejumlah dana
yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya
tafsiran marhun.
3) Shigat, yaitu ijab dan qabul.
Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi
gadai.45
Sedangkan syarat-syarat dari akad rahn, yaitu:
1) Pemeliharaan dan penyimpanan jaminan
2) Penjualan jaminan.46
45 Heri Sudarsono, Bank Dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi Dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia, 2003, hlm.157
55
Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria:
a. Milik nasabah sendiri.
b. Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil
pasar.
c. Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh Bank.47
Di samping syarat-syarat di atas, para ulama fiqh sepakat bahwa
Rahn itu di anggap sempurna marhun (barang gadaian) secara hukum
sudah berada ditangan murtahin, dan uang yang dibutuhkan telah diterima
oleh rahin. Maka akad menjadi lazim, dan rahin tidak boleh
membatalkannya secara sepihak. Dengan demikian, jika barang belum
dipegang oleh murtahin, akad bisa dikembalikan lagi.48 Apabila marhun
berupa barang bergerak seperti rumah, tanah, motor dan lain-lain, maka
cukup surat jaminan tanah atau surat-surat rumah, dan motor itu yang di
pegang oleh pemberi utang sebagai jaminannya. Apabila barang jaminan
itu telah dikuasai oleh pemberi utang, maka akad rahn bersifat mengikat
bagi kedua belah fihak. Oleh sebab itu, utang itu terkait dengan barang
jaminan, sehingga apabila utang itu tidak dapat dilunasi, barang jaminan
dapat dijual dan utang itu dapat dilunasi. Apabila dalam penjualan ada
kelebihan uang maka, wajib dikembalikan pada pemiliknya.49
46 Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 108-109
47 Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh Dan Keuangan, Jakarta: IIIT Indonesia, 2003, hlm 94
48 Rahmad Syafe’I, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm 165 49 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, hlm 255
56
Sebagai sebuah transaksi al-ijarah baru dianggap syah apabila
telah memenuhi rukun dan syaratnya. Adapun syarat al-ijarah adalah
sebagai berikut:
1. Orang yang berakad
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah disyaratkan telah
baligh dan berakal. Maka jika yang melakukan ijarah orang yang
belum atau tidak berakal ijarah nya tidak sah. Berbeda dengan ulama
Hanafiyah dan Malikiyah mereka berpendapat bahwa orang yang
berakad tidak perlu mencapai usia Baligh, tapi anak yang mumayyiz
pun boleh melakukan akad ijarah asalkan ada izin dari walinya.
2. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk
melakukan akad ijarah. Apabila salah satu pihak melakukan akad
dengan terpaksa maka ijarah nya tidak sah.
3. Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna,
sehingga tidak muncul penyesalan dikemudian hari.
4. Objek al-ijarah itu bisa diserahkan dan dipergunakan secara langsung
dan tidak bercacat. Oleh sebab itu para ulama fiqh sepakat
menyatakan bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak bisa
diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa.
5. Objek ijarah adalah sesuatu yang dihalalkan oleh syara’.
6. Yang disewakan itu bukan sesuatu yang wajib dikerjakan bagi
penyewa. Seperti menyewa seseorang untuk melakukan shalat, haji
dan kewajiban-kewajiban lain.
57
7. Objek ijarah merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti rumah,
mobil, dan hewan tunggangan.
8. Upah sewa dalam akad ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang
bernilai harta.
9. Menurut ulama Hanafiyah, upah sewa tidak boleh sejenis dengan
manfaat yang disewa.50
Menurut Saleh Al-Fauzan dalam buku yang berjudul fiqih sehari-hari
menyebutkan bahwa syarat sah ijarah adalah sebagai berikut:
1. Ijarah berlangsung atas manfaat
2. Manfaat tersebut dibolehkan
3. Manfaat tersebut diketahui
4. Jika ijarah atas benda yang tidak tertentu maka harus diketahui secara
pasti ciri-cirinya.
5. Diketahui masa penyewaan
6. Diketahuinya ganti atau bayarannya.
7. Upah sewa berdasarkan jerih payah yang memberikan jasa.51
Adapun rukun ijarah meliputi:
a. Orang yang berakad
b. Sewa atau imbalan
c. Manfaat
d. Sighat (ijab dan qabul).
50 Ibid., hlm. 232-235 51 Saleh Al Fauzan, Fiqh Sehari-hari, Jakarta: Gema Insani, 2006 hlm. 483
58
Menurut imam ahmad, ishak, al-laits dan al hasan, bahwa barang
gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak
yang dapat di ambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil
manfaat benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan
yang dikeluarkan selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.
Rasul bersabda:
ى ل عا ونوهر مانا كذ ابرش ي ر الدنب لا ونوهر منا كاذ ابر ك يرهلظ ا ٥٢)رواه البخارى (هتقف نبرش ي وبكرى يذال
Artinya: binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya
apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya.
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai ditekankan pada
biaya atau tenaga untuk pemeliharaan, sehingga bagi yang memegang
barang-barang tersebut punya kewajiban tambahan. Pemegang barang
gadai berkewajiban memberikan makanan, bila barang gadai itu adalah
hewan. Harus berupa bensin bila barang itu berupa kendaraan, jadi yang
dibolehkan adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian
yang ada pada dirinya. Selain itu, jika barang gadaian itu berupa emas,
perhiasan maka rahin berkewajiban untuk merawat dan memelihara emas
tersebut.53
52 Imam Abi Abdillah Mukhammad Bin Ismail Bin Ibrahim Al-Maghiroh Bin Bardzabah Al-Bukhori Al-Ja’fi, Sohih Bukhori, Birut Libanon: Darul Kutub Al-Ilmiah, Juz 3, hlm 162.
53 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 108
59
Dilihat dari segi objeknya para ulama fiqh membagi ijarah
menjadi dua macam yaitu ijarah yang bersifat manfaat dan yang bersifat
pekerjaan atau jasa. Ijarah yang bersifat manfaat diantaranya adalah sewa
menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian dan perhiasan. Para ulama
sepakat memperbolehkan manfaat atas barang sebagai objek dari ijarah
selama manfaat itu diperbolehkan oleh syara’. Sedangkan ijarah yang
bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk
melakukan suatu pekerjaan. Para ulama memperbolehkan ijarah tersebut
asalkan pekerjaan itu jelas. Ijarah dalam hal pekerjaan dibagi menjadi dua
macam yaitu ijarah yang bersifat pribadi dan ijarah yang bersifat serikat
yaitu seorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya untuk
kepentingan orang banyak.54 Ijarah dalam pembiayaan gadai di BTN
Syari’ah Semarang termasuk ijarah bersifat serikat atau kelompok
(lembaga). Dengan akad ijarah, maka bank mendapatkan upah atas jasa
yang diberikan nasabah kepada Bank yang telah merawat, memelihara
dan menyimpan barang milik nasabah.
3. Analisis Pelaksanaan Gadai Di BTN Syari’ah Semarang
Dalam prakteknya gadai syari’ah di BTN Syari’ah Semarang
menggunakan prinsip Rahn dimana Bank bertindak sebagai murtahin
(pihak penerima gadai) sedangkan nasabah sebagai rahin (pihak pemberi
gadai). Produk gadai ini memberikan pelayanan kepada nasabah dengan
memberikan pembiayaan sesuai dengan ketetapan Bank, setelah menaksir
54Saleh Alfauzan. Op,Cit, hlm. 236
60
barang milik nasabah berupa emas sebagai barang jaminan. Bank akan
memberikan pembiayaan senilai 90% untuk emas batangan, 80-85% untuk
emas perhiasan sesuai dengan berat kadar emas tersebut. Dalam
menentukan berat kadar emas, BTN Syari’ah menggunakan alat seperti
timbangan untuk perhiasan dan menggunakan batu gosok yang disertai
larutan HCL dan HNA untuk emas batangan sehingga tampak jelas berapa
karat emas tersebut. Sebelum Bank memberikan pembiayaan, nasabah
diwajibkan membayar semua biaya administrasi yang ditetapkan oleh
pihak Bank. Nasabah menerima dan menandatangani SBGE (surat bukti
gadai emas). Dalam akadnya BTN Syari’ah menggunakan akad Qard dan
Ijaroh, akad ini sudah tertera dalam surat gadai tersebut.
Marhun (barang gadaian) milik nasabah akan disimpan di tempat
penyimpanan atau ruangan anti air sehingga akan terjaga keamanannya,
barang yang digadaikan tidak dipergunakan oleh Bank. Bank tidak
mengambil manfaat dari barang gadaian tersebut, karena pada dasarnya
marhun adalah milik murtahin sepenuhnya. Bank hanya memberikan
fasilitas tempat penyimpanan maka Bank memberikan beban kepada
nasabah berupa biaya pemeliharaan dan penyimpanan.
B. Analisis Keseuaian Gadai Syari’ah Dengan Fatwa DSN-MUI
No.25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn
Berdasarkan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional dan Majlis Ulama
Indonesia menetapkan fatwa DSN-MUI NO.25/DSN-MUI/III/2002
tentang Rahn. Menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang
61
sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan
sebagai berikut: Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk
menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan
barang) dilunasi. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin, pada
prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin
rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu
sekedar mengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. Pemeliharaan
dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun
dapat dilakukan oleh murtahin, sedangkan biaya pemeliharaan dan
penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin. Besar biaya pemeliharaan
dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan oleh
pinjaman.55 Penjualan marhun dilakukan apabila telah jatuh tempo dan
nasabah belum bisa melunasi. Selama peneliti melakukan penelitian di
Bank Tabungan Negara Syari’ah Semarang dalam praktek gadai syari’ah
adalah sebagai berikut:
1. Bank bertindak sebagai murtahin (penerima barang), nasabah sebagai
rahin (pemberi barang).
2. Bank berhak menahan barang gadaian sampai nasabah melunasi
semua hutangnya.
3. Barang gadai tetap menjadi milik nasabahnya sepenuhnya. Artinya
nasabah bisa mengambil sewaktu-waktu dengan melunasi biaya
perawatan, pemeliharaan dan penyimpanan barang, tidak menunggu
55 DSN-MUI, Op.Cit, hlm 153
62
batas jatuh tempo.
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun berdasarkan
jumlah pinjaman dan ditentukan atas berat dan kadar emas.
5. Dalam hal jatuh tempo dan nasabah tidak bisa melunasi semua
pembiayaan maka Bank mempunyai hak untuk menjual marhun. Hasil
penjualan barang jaminan itu digunakan Bank untuk membayar atau
melunasi utang nasabah kepada Bank setelah dikurangi biaya-biaya
yang timbul atas penjualan.
6. Apabila hasil penjualan barang jaminan tidak mencukupi untuk
melunasi hutang nasabah, maka nasabah tetap bertanggung jawab
melunasi kekurangan hutangnya itu. Dan sebaliknya jika hasil
penjualan barang melebihi hutang nasabah, maka Bank akan
mengembalikan kelebihan penjualan itu ke nasabah.
Dalam hal biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang
menggunakan akad ijarah (sewa). Artinya, penggadai (rahin) menyewa
tempat di Bank untuk menyimpan atau menitipkan barang gadainya,
kemudian Bank menetapkan biaya sewa tempat.
Dalam pengertian lainnya, penggadai (rahin) menggunakan jasa
Bank untuk menyimpan atau memelihara barang gadainya hingga jangka
waktu gadai berakhir. Biaya pemeliharaan/ penyimpanan ataupun biaya
sewa tersebut diperbolehkan oleh para ulama dengan merujuk kepada
diperbolehkannya akad ijarah.
Dalam fatwa DSN-MUI No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn
63
disebutkan bahwa: besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun
tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. Besarnya ijarah di
BTN Syari’ah Semarang dalam menentukan biaya pemeliharaan dan
penyimpanan berdasarkan pinjaman dan berdasarkan atas berat dan kadar
emas. Ijarah merupakan imbalan atas jasa yang diberikan rahin kepada
pihak Bank (murtahin) yang telah merawat, memelihara dan menyimpan
barang milik rahin.
Dengan akad ijarah dalam pemeliharaan atau penyimpanan barang
gadaian Bank akan mendapatkan fee atau upah atas jasa yang diberikan
kepada penggadai atau bayaran atas jasa yang diberikan kepada penggadai.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Pelaksanaan gadai syariah di BTN Syari’ah Semarang menggunakan dua
akad, yaitu qard dan ijarah. Akad qard digunakan Bank BTN Syari’ah
dalam memberikan pinjaman kepada nasabah berdasarkan kesepakatan,
adapun akad ijarah yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau
jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi
Bank untuk menarik biaya Ijarah atas penyimpanan dan pemeliharaan
barang milik nasabah/Rahin yang telah melakukan akad. Ijarah dalam
pembiayaan gadai di BTN Syari’ah Semarang termasuk ijarah bersifat
serikat atau kelompok (lembaga). Dengan akad ijarah, maka bank
mendapatkan upah atas jasa yang diberikan nasabah kepada Bank yang
telah merawat, memelihara dan menyimpan barang milik nasabah.
2. Dilihat dari rukun dan syaratnya, gadai syariah di BTN Syari’ah Semarang
sesuai dengan ketentuan rukun dan syarat yang berlaku. Namun jika
dilihat dari ijarah atau upah tidak sesuai karena Dalam fatwa DSN-MUI
No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn disebutkan bahwa: besar biaya
pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman. Besarnya ijarah di BTN Syari’ah Semarang
65
dalam menentukan biaya pemeliharaan dan penyimpanan berdasarkan
pinjaman dan berdasarkan atas berat dan kadar emas. Maka dalam
memberikan ijarah berdasarkan berat dan jumlah kadar emas, ijarah
merupakan imbalan atas jasa yang diberikan rahin kepada pihak Bank
(murtahin) yang telah merawat, memelihara dan menyimpan barang milik
rahin.
B. Saran
1. Bank BTN Syari’ah Semarang sebagai salah satu Bank yang beroperasi
dengan prinsip syari’ah, harus lebih mengedepankan nilai-nilai syari’ah.
Nilai-nilai syari’ah harus diterapkan dalam akad maupun pelaksanaannya.
2. BTN Syari’ah Semarang dalam memberikan pembiayaan harus lebih
memperhatikan aturan-aturan yang menjadi landasan hukum, seperti
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Dewan Syari’ah Nasional (DSN)
dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang tertuang di dalam fatwa-
fatwanya.
3. Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai pengawas produk Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) harus lebih meningkatkan pengawasannya
sehingg tidak terjadi penyimpangan.
C. Penutup
Rasa syukur Al-Hamdulillahi Rabbil 'Alamin. Segala puji bagi Allah
SWT atas segala nikmat, rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
66
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis sangat menyadari bahwa
kesempurnaan hanyalah milik Allah dan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari segi penulisan ataupun referensi. Oleh karena itu
saran dan kritik dari para pembaca yang bersifat membangun untuk
memperbaiki skripsi ini sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga
skripsi ini dapat menjadi suatu wacana yang bermanfaat baik bagi penulis
maupun bagi semua pihak yang membacanya, amin ya robbal alamin.
67
DAFTAR PUSTAKA
Al Fanani, Zainudin Bin Abdul Aziz Al Malibari, Fatkhul Mu’in, Much Anwar Dkk, Terjemahan Fatkhul Mu’in, Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994
Ali, Zainudin, Hukum Gadai Syari’ah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Amirudin, Dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Dan Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Antonio, Mukhammad Syafi’I, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 2006.
Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syari’ah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Asyah, Nur, “Pemanfaatan Barang Gadai (Rahn) Dalam Perspektif Hukum Islam Dan KUHPerdata” S1. Muamalah IAIN Walisongo Semarang.
Barlinti, Yeni Salma, Kedudukan Dewan Syari’ah Nasional Dalam Sistem Hukum Nasional Di Indonesia, Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010.
Brosur BTN Syari’ah Semarang.
Departemen Agama RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Proyek Sarana Dan Prasarana Depag RI, 2005.
Fauzan, Saleh Bin, Fiqh Sehari-hari, Jakarta: Gema Insani Perss, 2005.
Faqih, Ainul Rokhim, et.al, HKI, Hukum Islam Dan Fatwa MUI, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Gulo, W, Metode Penelitian, Jakarta: Grasindo, 2002.
Hadi, Mukhammad Sholikul, Pegadaian Syari’ah, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003.
Imam Abi Abdillah Mukhammad Bin Ismail Bin Ibrahim Al-Maghiroh Bin Bardzabah Al-Bukhori Al-Ja’fi, Sohih Bukhori, Birut Libanon: Darul Kutub Al-Ilmiah, Juz 3,
68
Karim, Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqh Dan Keuangan, Jakarta: IIIT Indonesia, 2003.
Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Lutfiyah, Minnikmatin, “Analisis Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Fatwa DSN-MUI No. 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas (Studi Di Bank Syari’ah Mandiri Semarang) SI, Muamalah IAIN Walisongo Semarang, 2011.
Mas’adi, Gufron Ajib, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Raja Grafindo Persada 2002.
MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Sekretariat MUI, 2005.
MUI-DSN, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah, Ciputat: CV. Gaung Persada Cet.ke-3, 2006.
Muttaqien, Dadan, Aspek Legal Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Safiria Insani Perss, 2009.
Passaribu, Chairuman dan Suhrawardi K Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
RI-Depag, Alqur’an Dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989.
Rif’ati Nur, “Analisis Hukum Islam Pemanfaatan Barang Gadai Sepeda Motor (Studi Kasus Di Desa Karangmulyo Kec. Pegandon Kab. Kendal) SI, Muamalah IAIN Walisongo Semarang, 2006.
Saebani, Bani Akhmad, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Sjahdeini, Sutan Remy, Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Di Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, Cet ke 3, 2007.
Sodarsono, Heri, Bank Dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi Dan Ilustrasi, Yogyakarta, Ekonisia, 2003.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Suryabrata, Sumardi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Syarifudin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Pranada Media, 2003.
69
Wawancara Bpk Rifki dan Ibu Ira Rosanty Officer Gadai BTN Syari’ah Semarang.
Yanggo, Chuzaimah T, Hafiz Anshory AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
Http://www.mui.or.id/index.53
Http://Yuhardin.Csriptitermedia.Com/view
http://www.btn.ac.id/syariah/profil-btn-syariah
http://www.btn.co.id/getattchment/syariah/tentang
70
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Siti Hani Masfiah
Tempat dan Tanggal Lahir : Magelang, 01 Mei 1987
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia-Jawa
Alamat Tinggal : Ds. Sidomulyo, Kec. Salaman,
Kab. Magelang
Riwayat Pendidikan:
1. TK Roudhotul Atfal Sidomulyo Tahun lulus 1994
2. MI. Ma’arif Sidomulyo Tahun lulus 2000
3. Mts. P. Diponegoro Salaman Tahun lulus 2003
4. MA. Al-Iman Margoyoso Salaman Tahun lulus 2006
5. Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, Angkatan 2006
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya,
untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, Juni 2011
Penulis,
Siti Hani Masfiah