analisis lakon wiruncana murca dalam pertunjukan wayang topeng jatiduwur di desa jatiduwur kecamatan...
DESCRIPTION
Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : EZZIL PRESTI AGUSTINTRANSCRIPT
ANALISIS LAKON WIRUNCANA MURCA DALAM PERTUNJUKAN WAYANG
TOPENG JATIDUWUR DI DESA JATIDUWUR KECAMATAN KESAMBEN
KABUPATEN JOMBANG
Oleh :
Ezzil Presti Agustin/10020134219
Dosen Pembimbing : Indar sabri, S.Sn.,M.Pd
ABSTRAK
Lakon Wiruncana Murca merupakan lakon menceritakan tentang perjuangan Wiruncana Murca untuk mendapatkan Dewi Kumudaningrat melalui sayembara yang diadakan oleh kerajaan Ngrawan. Lakon ini merupakan salah satu lakon lama dalam pertunjukan wayang topeng Jatiduwur dari dua lakon yaitu lakon Panji Patah Kuda Narawangsa. Untuk lakon Wiruncana Murca merupakan lakon lama yang jarang sekali dipentaskan. Bahkan pada lakon ini belum adanya revitalisasi secara penuh. Jadi belum ada penelitian yang relevan tentang kajian struktur lakon Wiruncana Murca secara lengkap. Jadi dalam penelitian ini menjelaskan tentang analisis struktur lakon. Dengan tujuan untuk mendeskripsikan struktur lakon Wiruncana Murca dalam pertunjukan wayang topeng Jatiduwur.
Metode penelitian yang digunakan untuk mendapatkan data tentang lakon Wiruncana Murca ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Dengan metode pengumpulan data berupa wawancara, observasi dan studi dokumen. Dalam penelitian ini menggunakan sumber data berupa person, place, paper. Teori yang digunakan untuk menganalisis struktur lakon Wiruncana Murca menggunakan teori struktur lakon dari Sudiro Satoto. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa untuk menganalisis struktur lakon terdapat 4 unsur yang mempengaruhi yaitu tema dan amanat, penokohan (perwatakan), alur (plot), setting (latar).
Penelitian ini menjelaskan bahwa tema dalam lakon Wiruncana Murca ini menceritakan tentang kisah perjuangan Wiruncana Murca dan Patih Sundul Mego untuk mendapatkan Dewi Kumudaningrat melalui sayembara di kerajaan Ngrawan. Penokohan pada wayang topeng ini tergantung dari topeng yang digunakan dan busana yang dipakai. Untuk menganalisis penokohan ada tiga macam dimensi yang digunakan sebagai acuan yaitu dimensi fisiologis, dimensi sosiologis, dimensi psikologis. Peran Protagonis dalam lakon ini adalah Wiruncana Murca. Sedangkan peran antagonisnya ada pada Patih Sundul Mego. Peran Tritagonis atau peran penengah dalam lakon ini terdapat pada pendito yang memberi saran kepada Wiruncana Murcauntuk tetap mengikuti sayembara di Kerajaan Ngrawan karena yang bisa mengalahkan Raden Carang Aspo hanya Raden Wiruncana Murca. Sedangkan peran pembantu atau peran yang tidak secara langsung terlibat konflik tetapi cukup berperan penting dalam penyelesaian masalah ada pada Raden Carang Aspo.
Alur atau plot yang digunakan dalam lakon Wiruncana Murca ini adalah plot episodik. Ciri – ciri yang paling terlihat pada plot episodik ini yaitu jalinan peristiwanya tidak lurus tetapi patah – patah, , peristiwa yang di jalin merupakan potongan-potongan peristiwa (episode) atau bagian dari cerita panjang, cerita selalu bertemu pada akhir adegan. Selanjutnya untuk menganalisis setting (latar) ada tiga aspek yang mempengaruhi yaitu aspek ruang, aspek waktu dan aspek suasana. Aspek ruang yang terdapat pada lakon ini yaitu balai agung (kerajaan Rancang Kencono), alun – alun (Kerajaan Rancang Kencono), tempat peristirahatan Raden Wiruncana Murca, Hutan Belantara, Padepokan, Kerajaan Ngrawan. Aspek Waktu yang digunakan yaitu malam hari sedangkan aspek suasana pada lakon ini yaitu suasana, tenang, sedih, gemuruh, ramai.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lakon Wiruncana Murca merupakan lakon lama yang perlu digali lagi. Lakon ini juga perlu adanya revitalisasi agar lakon ini tetap dikenal. Karena masih banyak hal – hal menarik dalam lakon Wiruncana Murca ini yang belum sempat di
1
telusuri secara mendalam. Hal ini dilakukan agar pembaca di kalangan masyarakat dapat paham dan mengerti tentang lakon Wiruncana Murca.Kata Kunci: Lakon Wiruncana Murca, Wayang, Topeng
A. Pendahuluan
Jombang merupakan salah satu
kabupaten yang terletak di tengah-tengah
Jawa Timur. Kabupaten Jombang berbatasan
langsung dengan beberapa kabupaten di
sekitarnya yaitu di sebelah barat ada
kabupaten Nganjuk, timur Kabupaten
Mojokerto, sebelah selatan Kabupaten
Kediri, dan di sebelah utara ada Kabupaten
Lamongan. Kabupaten Jombang merupakan
daerah yang strategis karena wilayah ini
digunakan sebagai jalur transportasi ke
berbagai daerah. Letak Kabupaten Jombang
yang strategis dan berbatasan dengan daerah
di sekitarnya inilah Kabupaten Jombang
banyak mendapatkan pengaruh kebudayaan.
Pengaruh kebudayaan ini yaitu kebudayaan
etnis Jawa Timuran atau budaya arek,etnis
Madura, dan etnis Panaragan. Adanya
pegaruh kebudayaan ini Kabupaten Jombang
bisa di sebut juga daerah multikultur.
Keadaan daerah yang multikultur seperti
inilah menyebabkan Kabupaten Jombang
mempunyai beragam kesenian yang unik.
Beberapa kesenian ini ada yang
mendapat pengaruh dari daerah sekitar
maupun yang dibawa pendatang baru. Ada
juga kesenian yang asli lahir dan
berkembang di Kabupaten Jombang.
Kesenian-kesenian yang ada yang ada di
Jombang adalah Ludruk Besutan, Remo
Bolet, Jaranan Dor, Wayang kulit cek dong,
Wayang Thi – Thi, Wayang krucil,
Kentrung, Sandur Manduro, Wayang
Topeng Jatiduwur dan beberapa kelompok
kesenian teater modern.
Wayang topeng Jatiduwur merupakan
salah satu kesenian yang ada di Jombang
yang akan diteliti. Wayang topeng Jatiduwur
merupakan wayang topeng yang
berkembang di desa Jatiduwur. Kesenian
Wayang Topeng di desa Jatiduwur ini
dibawa oleh mbah Purwa pada abad ke -19.
Sebelum sampai di desa Jatiduwur kesenian
wayang topeng ini terlebih dahulu ada di
Desa Betek daerah Mojoagung. Wayang
topeng pada mulanya digunakan masyarakat
sebagai upacara ritual, ruwatan atau ketika
ada seseorang nadzar. Wayang topeng
sendiri dulunya dikeramatkan oleh warga
desa Jatiduwur sehingga hanya kalangan
tertentu yang boleh nanggap(Supriyo,
wawancara 20-01-2014). Wayang topeng
sama seperti halnya wayang wong di Jawa
Tengah tetapi wayang ini menggunakan
topeng sebagai karakter tokohnya masing-
masing. Dalam pertunjukan wayang topeng
cerita yang dibawakan pada umumnya
adalah cerita siklus panji.
Wayang topeng Desa Jatiduwur ini
merupakan bentuk kesenian yang bisa
dikatakan langka. Menurut Supriyo
(pelestari kesenian wayang topeng) bahwa
wayang topeng di desa Jatiduwur ini
2
merupakan wayang topeng tertua. Bentuk
pertunjukan wayang topeng itu sendiri pun
masih mempertahankan keasliannya. Selain
itu karena wayang topeng di Desa Jatiduwur
ini juga merupakan satu-satunya kesenian
wayang topeng di Kabupaten Jombang
(Supriyo, wawancara20-01-2014). Cerita
yang diangkat atau dibawakan pada setiap
pertunjukan wayang topeng Jatiduwur
merupakan cerita dari siklus Panji. Cerita
siklus panji ini merupakan cerita asli atau
folklore dari Jawa Timur. Cerita ini yang
kemudian sering dibawakan pada
pertunjukan wayang topeng Jatiduwur.
Lakon-lakon yang ada pada wayang topeng
Jatiduwur ini adalah panji Patah Kuda
Narawangsa dan Wiruncana Murca. Lakon
yang dibawakan pada pertunjukan wayang
topeng yang diteliti adalah lakonWiruncana
Murca. LakonWiruncana Murca ini menarik
untuk diteliti karena lakon ini jarang
dipentaskan pada pertunjukan wayang
topeng Jatiduwur. Lakon ini hanya
dipentaskan ketika ada orang yang nadzar
atau kaulan.
Selain itu pada lakonWiruncana
Murca ini memiliki keunikan tersendiri
yakni pada ceritanya menceritakan
perjuangan Wiruncana Murca untuk
mengikuti sayembara di Kerajaan Ngrawan
untuk mendapatkan Dewi
Kumudaningarat.Keadaan wayang topeng
Jatiduwur saat ini masih stagnan dan kurang
berkembang, sehingga dikhawatirkan
kesenian ini akan tenggelam dan punah
khususnya pada lakon Wiruncana Murca.
Karena pada lakonWiruncana Murca
merupakan lakon lama yang jarang
dipentaskan. Hal itu disebabkan karena
kurang adanya tanggapan atau respon yang
baik dari masyarakat terhadap kesenian
Wayang topeng Jatiduwur. Pada pertunjukan
wayang topeng Jatiduwur ini belum ada
penelitian yang relevan tentang analisis
lakon.
Peneliti wayang topeng Jatiduwur
yang sebelumnya adalah Hariyati. Peneliti
ini membahas tentang bentuk penyajian dan
gaya pertunjukan wayang topeng Jatiduwur.
Namun pada peneliti Hariyati tidak
membahas secara mendetail tentang lakon
yang dibawakan wayang topeng Jatiduwur.
Oleh Karena itu, untuk melengkapi
penelitian yang sebelumnya peneliti
mendeskripsikan tentang analisis dari
struktur lakon Panji Wiruncana Murca pada
pertunjukan wayang topeng Jatiduwur.
Karena dalam lakon ini menarik untuk digali
lebih lanjut.Dan keberadaan lakon ini pun
sudah sangat jarang untuk dipentaskan lagi.
Berdasarkan latar belakang dan
identifikasi masalah diatas maka
permasalahan yang akan dijadikan fokus
adalah tentang struktur lakon Wiruncana
Murca dalam pertunjukan wayang topeng
Jatiduwur. Hal ini dengan tujuan untuk
mendeskripsikan struktur lakon dalam
pertunjukan wayang topeng Jatiduwur. Yang
akan dibahas dalam struktur lakon kemudian
dirumuskan dalam permasalahan seperti ini,
3
(1) Bagaimana tema dan amanat lakon
Wiruncana Murca dalam pertunjukan
Wayang Topeng Jatiduwur?; (2) Bagaimana
penokohan (perwatakan) dalam lakon
Wiruncana Murca pada pertunjukan wayang
topeng Jatiduwur?; (3) Bagaimana alur
(plot) dalam lakon Wiruncana Murca pada
pertunjukan wayang topeng Jatiduwur?; (4)
Bagaimana setting (latar) dalam lakon
Wiruncana Murca pada pertunjukan wayang
topeng Jatiduwur?.
Untuk menjawab keempat
permasalahan diatas, penelitian ini
menggunakan teori struktur lakon sebagai
acuan dan berpedoman dengan konsep –
konsep dramaturgi dan struktur dalam
lakon.Untuk menganalisis tema dan amanat,
penokohan, setting (latar) menggunakan
acuan pedoman pada teori struktur lakon
Sudiro Satoto (2012).Sedangkan dalam
menganalisis alur (plot) menggunakan acuan
gabungan teori struktur lakon Sudiro Satoto
(2012) dan konsep Autar Abdillah (2008).
B. Pembahasan
1. Gambaran umum desa
Jatiduwur
Pada zaman penjajahan Belanda dan
Jepang yang berlangsung sekian lamanya
membuat para pejuang di wilayah selatan
sungai brantas dan membuat markas di
daerah yang banyak ditumbuhi pohon jati
dan pohon mahoni dan diantara pohon –
pohon tersebut ada yang tingginya mencapai
puluhan meter yang dalam bahasa Jawa
dinamakan “Nduwur” kata inilah yang
menjadi cikal bakal nama Desa Jatiduwur.
Desa Jatiduwur merupakan salah satu desa
yang terletak di sebelah selatan sungai
brantas. Secara umum karakteristik Desa
Jatiduwur dapat dilihat dari aspek fisik yang
meliputi letak, luas, topografi, dan kondisi
iklim. Desa Jatiduwur merupakan desa yang
terletak ± 7 Km dari pusat pemerintahan
Kecamatan Kesamben. Secara administratif
batas – batas desa Jatiduwur di sebelah utara
ada Desa Tapen Kecamatan Kudu, sebelah
selatan ada Desa Pojok Kulon Kecamatan
Kesamben, sebelah Barat ada Desa Gumulan
Kecamatan Kesamben, sebelah timur ada
Desa Jombatan Kecamatan Kesamben. Desa
ini terdiri dari dua dusun yaitu Dusun
Jatiduwur dan Dusun Jatipandak.
Luas wilayah Desa Jatiduwur adalah
241.005 Ha. Sebagian besar luas wilayah
tersebut adalah daerah pertanian atau sawah.
Karena sebagian besar wilayah Desa
Jatiduwur merupakan dataran. Daerah ini
juga termasuk kedalam wilayah agraris,
dimana sebagian besar mata pencaharian
penduduk adalah bercocok tanam. Komoditi
unggulan yang ada di Desa Jatiduwur ini
sebagian besar padi dan kedelai. Jumlah
penduduk di Desa Jatiduwur pada tahun
2014 sebanyak 3.228 jiwa yang terdiri dari
laki – laki 1.531 jiwa dan perempuan 1.697
jiwa. Untuk mencapai desa ini dapat
ditempuh dengan berbagai alternatif
transportasi. Transportasi yang sering
digunakan dan efektif yaitu lewat tambangan
4
karena daerahnya yang dekat dengan sungai
brantas.
2. Lakon Wiruncana Murca
Dalam pertunjukan wayang topeng
Jatiduwur biasanya menggunakan cerita
pada siklus panji.Cerita Panji yang terdapat
pada wayang topeng Jatiduwur yaitu cerita
Panji Patah Kuda Nrawangsa dan Wiruncana
Murca. Salah satu cerita panji yang dipakai
pada pertunjukan wayang topeng Jatiduwur
merupakan cerita Panji Murca atau biasa
disebut Wiruncana Murca. Cerita
Wiruncana Murca ini berdasarkan
kriterianya termasuk cerita Panji muda
karena dalam ceritanya setting tidak
menjelaskan keempat kerajaan di Jawa
melainkan hanya satu kerajaan yaitu
Ngrawan atau Urawan selain itu penyebutan
nama Gegelang tidak disebutkan melainkan
kerajaan Ngrawan atau Urawan. Lakon
Wiruncana Murca ini menceritakan tentang
kisah perjalanan atau pengembaraan seorang
patih untuk mengikuti sayembara di kerajaan
Ngrawan agar bisa mboyong (membawa)
Dewi Kumudaningrat kepada Prabu Klana
Jaka. Selain itu lakon Wiruncana Murca ini
bisa juga dikatakan sebuah lakon yang
menceritakan tentang perjalanan dan
perjuangan Wiruncana Murca untuk
mengikuti sayembara di Kerajaan Ngrawan.
3. Struktur Lakon Wiruncana
Murca
3.1 Tema dan amanat lakon
Wiruncana Murca
Dengan mengacu kepada teori yang
dikemukakan Sudiro Satoto (2012), Lakon
Wiruncana Murca pada pertunjukan wayang
topeng Jatiduwur mempunyai tema dan
amanat secara tersurat dan tersirat.Secara
tersurat (langsung) dalam lakon ini
bertemakan tentang perjuangan. Tema ini
dapat terlihat pada adegan jejeran perang.
Pada adegan ini diceritakan bahwa
perjalanan Wiruncana Murca beserta
Bancak dan Doyok dihadang oleh Patih
Sundul Mego dan Wiruncana Murca disuruh
pulang tetapi Wiruncana Murca tetap
bersikeras untuk mengikuti sayembara
dikerajaan Ngrawan. Akhirnya rombongan
Wiruncana Murca dan Patih Sundul Mego
pun saling perang. Berikut adalah
Sebaliknya secara tersirat (tidak langsung)
dalam lakon panji Wiruncana Murca ini
bertemakan tentang Pernikahan Panji Murca
dengan Dewi Kumudaningrat.Amanat yang
terdapat dalam lakon Wiruncana Murca ini
yaitu segala sesuatu yang diperjuangkan
dengan keras dan sungguh – sungguh maka
akan mendapatkan hasilnya yang
memuaskan.
3.2 Penokohan (perwatakan)
dalam lakon Wiruncana
Murca
Watak tokoh dapat terungkap lewat
tindakan atau lakuan, ujaran atau ucapan,
pikiran atau perasaan atau kehendak,
penampilan fisiknya, apa yang dipikirkan,
dirasakan atau dikehendaki tentang dirinya
atau tentang orang lain. Dalam sebuah
5
pertunjukan wayang topeng, hal yang paling
penting dan paling mudah terlihat untuk
mengetahui watak dan karakter tokoh adalah
topeng. Karena pada topeng tersebut sudah
tergambar dengan jelas bagaimana karakter
pada masing – masing tokoh melalui bentuk
mata, mulut, hidung, dan alis. Selain bentuk
topeng yang dapat menggambarkan karakter
tokoh, busana juga merupakan hal penting
yang dapat menggambarkan penokohan
terutama pada busana kepala (irah – irahan,
jamang).Untuk memahami sebuah karakter
atau perwatakan tokoh dalam suatu cerita
dapat di jabarkan menjadi tiga dimensi yaitu
dimensi fisiologis (kondisi fisik tokoh),
dimensi sosiologis (kondisi social tokoh),
dimensi psikologis (kondisi kejiwaan tokoh).
Ketiga dimensi tersebut juga terdapat dalam
lakon Wiruncana Murca.
Berikut adalah analisis penokohan atau
karaterisasi dalam lakon Wiruncana Murca
menurut ketiga dimensi penokohan yaitu,
3.2.1 Prabu Klana Jaka
Gambar 1
Tokoh Prabu Klana Jaka
(doc. Pribadi Ezzil tahun 2014)
a. Dimensi fisiologis
Umur sekitar 60 – 65 tahun
Laki – laki
Berbadan besar, gagah dan
perkasa.
Bentuk topeng – mata berbentuk
Thelengan (biji mata
membelalak bulat besar, hidung
bentulan berbentuk menyerupai
pangotan ukuran sedang atau
ujung sebuah parang,bentuk
mulut menampakkan deretan
gigi atas saja atau gigi atas dan
gigi bawah (bibir terbuka).
Prabu Klana Jaka menggunakan
busana celana berwarna merah
dan kain batik tanpa atasan dan
memakai sayap dibelakang. Hal
ini menandakan kedudukannya
sebagai raja yang lebih tinggi
dari punggawanya. Busana yang
lain adalah memakai sampur
berwarna ungu dan hijau,
memakai sabuk warna merah
dan keris di belakang. Busana
kepala (irah – irahan, jamang)
yang dipakai Prabu Klana Jaka
yaitu topong atau mahkota yang
menandakan bahwa
kedudukannya sebagai raja.
Topong atau mahkota ini
memiliki bentuk seperti sasra
yang dipadukan dengan
mahkota. Pada samping kiri dan
kanan topong memiliki motif
sekar (bunga).
6
b. Dimensi sosiologis – strata sosial
prabu Klana Jaka tinggi karena
merupakan raja dari sebuah kerajaan
di sabrang (luar pulau jawa) yakni
Negara Rancang Kencono. Di
kerajaannya pengaruh Prabu Klana
Jaka sangat kuat karena beliau
memimpin dengan tegas dan
bijaksana.
c. Dimensi psikologis – Dilihat dari
bentuk topeng dan warna topeng
maka dimensi psikologis Prabu
Klana Jaka adalah tangguh, pantang
mundur, gagah berani. Bentuk
topeng seperti yang telah di
deskripsikan pada topeng Prabu
Klana Jaka biasa dipakai juga pada
tokoh satria atau raja. Sifat- sifat ini
dibuktikan di setiap adegan prabu
Klana Jaka yakni adegan jejeran
sabrangan. Pada adegan tersebut
prabu Klana Jaka dengan tegas
menyuruh patih Sundul Mego untuk
ikut sayembara ke Negara Ngrawan
demi mboyong (membawa) Dewi
Kumudaningrat untuk prabu Klana
Jaka.
3.2.2 Patih Sundul Mego
Gambar 2
Patih Sundul Mego
(doc. Pribadi Ezzil tahun 2014)
a. Dimensi fisiologis
Umur sekitar 45 – 50 tahun
laki-laki
tubuhnya tegap, tinggi badan
dibawah prabu Klana Jaka
Bentuk topeng : Hidung
pangotan berbentuk menyerupai
pangot ukuran besar. Mata
thelengan berbentuk biji mata
membelalak bulat besar, bentuk
mulut bibir terbuka
menampakkan deretan gigi atas
saja atau gigi atas dan bawah.
Memakai busana celana hitam
pendek atau bisa juga disebut
celana panji dengan kain batik
(Jarik) putih tanpa atasan. Irah
– irahan memakai gelung
gembel berbentuk gelung pada
bagian belakang melengkung
sampai keatas sampai ujungnya
menempel pada jamang.
b. Dimensi sosiologis – strata sosial
patih Sundul Mego termasuk dalam
golongan menengah karena patih ini
menjadi punggawa kerajaan. Jabatan
Patih Sundul Mego dalam kerajaan
Rancang Kencana ini termasuk
mempunyai pengaruh. Karena ia
menjadi orang kepercayaan prabu
Klana Jaka untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi pada
kerajaan Rancang Kencana. Ia juga
7
dipercaya prabu Klana Jaka untuk
mengikuti sayembara di kerajaan
Ngrawan karena kepandaiannya
dalam berperang.
c. Dimensi psikologis – dari deskripsi
bentuk topeng maka dimensi
psikologis dari Patih Sundul Mego
adalah kasar, keras, gagah berani,
tangguh, pantang mundur. Sifat-sifat
patih Sundul Mego tersebut dapat
dilihat pada adegan jejeran
sabrangan, jejeran perang dan
jejeran Jawa. Pada jejeran sabrangan
patih Sundul Mego menjadi patih
yang sangat patuh terhadap perintah
prabu Klana Jaka. Pada adegan
jejeran perang patih Sundul Mego
mempunyai sifat yang pantang
mundur dan tangguh. Sifat ini juga
terlihat pada adegan jejeran Jawa
ketika Patih Sundul Mego
menghadapi Raden Carang Aspo.
3.2.3 Tumenggung Pancat Nyowo
Gambar 3
Tokoh Tumenggung Pancat Nyowo
(doc. Pribadi Ezzil tahun 2014)
a. Dimensi fisiologis
Umur sekitar 45 – 50 tahun
laki-laki, tubuhnya tegap dan
gagah, tinggi badan hampir
sama dengan Patih Sundul
Mego
Bentuk topeng : hidung
bapangan berbentuk panjang
seperti sarung pedang, mata
plelengan berbentuk biji mata
yang melotot, bulat besar atau
mendolo, mulut gusen bentuk
bibir terbuka lebar
menampakkan deretan gigi atas
ada kalanya gigi atas dan bawah
bertaring.
Memakai busana celana pendek
warna hitam atau biasa disebut
celana panji dengan dibalut kain
batik (jarik) tanpa atasan.
Busana kepala memakai irah –
irahan berbentuk sasra. Irah –
irahan sasra memiliki motif
naga pada bagian belakang, dan
lebih tinggi pada bagian
belakang daripada depan,
disamping kanan dan kiri
memiliki motif naga menghadap
depan.
b. Dimensi sosiologis – kedudukan
Tumenggung Pancat Nyowo dalam
kerajaan dibawah dari Patih Sundul
Mego karena statusnya hanya
sebagai tumenggung kerajaan.
Tumenggung Pancat Nyowo juga
menjadi orang kepercayaan Prabu
Klana Jaka untuk menemani patih
Sundul Mego ikut sayembara di
kerajaan Jawa (Ngrawan)
8
c. Dimensi psikologis – dimensi
psikologis berdasarakan warna dan
bentuk topeng adalah angkara, jahat,
berani, ugal – ugalan, sok gagah
berani, bersifat keji, galak. Sifat-
sifat ini dapat dilihat pada adegan
jejeran sabrangan dan grebek
sabrang. Dalam adegan tersebut
Tumenggung Pancat Nyowo
mematuhi perintah raja untuk
menemani Patih Sundul Mego.
Selain itu pada adegan jejeran
perang Tumenggung Pancat Nyowo
dengan berani melawan Wiruncana
Murca.
3.2.4 Wiruncana Murca
Gambar 3
Tokoh Wiruncana Murca
(doc. Pribadi Ezzil tahun
2014)
a. Dimensi fisiologis
Umur sekitar 40 – 45 tahun
Laki-laki, tubuh tinggi dan
gagah, berwajah tampan,
mempunyai mata sipit dan
hidung mancung, bentuk alis
yang tipis.
Bentuk topeng : hidung
berbentuk bentulan
( menyerupai pangot ukuran
sedang atau ujung sebuah
parang, mata menyerupai butir
padi “gabah” atau bisa disebut
juga “liyepan” seperti layap –
layap mata mengantuk
(Gabahan atau liyepan), mulut
berbentuk setengah tersenyum
memperlihatkan sedikit deretan
gigi atas (bibir sedikit terbuka).
Memakai busana celana pendek
warna hitam (celana panji)
dengan dibalut jarik warna putih
tanpa atasan. Hiasan busana
yang lain yaitu sampur
berwarna kuning dan juga sabuk
dengan memakai keris di bagian
belakang. Busana kepala (irah –
irahan) berbentuk gelung
gembel.
b. Dimensi sosiologis – ia merupakan
seorang panji yang menyamar jadi
pemuda biasa yang ditemani dengan
dua orang punakawannya
c. Dimensi psikologis – dilihat dari
bentuk topeng dan warna maka
dimensi psikologis dari Wiruncana
Murca ini yaitu gagah berani, jujur,
sabar, lembut, perwira, gesit, luhur
budi, jatmika (berwibawa). Hal ini
dibuktikan pada setiap adegan-
adegan dalam lakon dan perjalanan
Wiruncana Murca untuk mengikuti
9
sayembara di kerajaan Ngrawan
tidak berhenti meskipun dihadang
oleh Patih Sundul Mega ditengah-
tengah perjalanan. Sifat religious
Wiruncana Murca juga terlihat pada
adegan jejeran padepokan.
Wiruncana Murca pergi untuk
meminta pendapat pendito dan cerita
bahwa perjalanannya ke kerajaan
Ngrawan di hadang oleh Patih
Sundul Mega.
3.2.5 Bancak
Gambar 5
Tokoh Bancak
(doc. Pribadi Ezzil tahun 2014)
a. Dimensi fisiologis
Umur sekitar 60 – 70 tahun
Laki – laki, berbadan besar dan
gemuk, topengnnya putih tanpa
mulut dan dagu. Jadi topeng
hanya sampai pada hidung.
Bentuk pipi bulat dan gemuk,
mata sipit melengkung,
hidungnya bulat kecil, serta
bentuk alis tipis dan
melengkung. Menggunakan ikat
kepala seperti topi kecil dan
rompi berwarna biru.
Bentuk topeng : hidung
berbentuk terongan, bulat
seperti buah terong glathik.
Mata berbentuk menyerupai
bulan separuh (koplikan atau
kelipan).
Memakai bisana atasan rompi
berwarna biru dan bawahan
celana pendek hitam dibalut
dengan kain jarik putih dan
sampur warna merah muda.
Untuk busana kepala memakai
topi kupluk kecil berwarna
kuning.
b. Dimensi sosiologis – merupakan
kerabat dari Wiruncana Murca yang
kemudian mengabdikan dirinya
menjadi pengikut Wiruncana atau
dalam istilah pewayangan di sebagai
punakawan.
c. Dimensi psikologis – berdasarkan
bentuk topeng dimensi psikologis
dari bancak adalah bijaksana, arif,
setia, berbudi, humor. Sifat- sifat ini
sangat umum dimiliki oleh
punakawan yang merupakan
pengikut dari Panji.
3.2.6 Doyok
10
Gambar 6
Tokoh Doyok
(doc. Pribadi Ezzil tahun 2014)
a. Dimensi fisiologis
Umur sekitar 50 – 60 tahun
Laki – laki, berbadan besar dan
gemuk serta perutnya buncit,
memakai topeng berwarna
merah dengan mata yang bulat
besar seperti orang melotot,
bentuk mulut besar mempunyai
gigi satu di bawah dan tebal di
sertai dengan kumis tipis.
Memakai tutup kepala berupa
topi kecil.
Bentuk topeng : hidung
terongan berbentuk bulat seperti
buah terong glathik, mata
thelengan berbentuk biji mata
membelalak bulat besar.
Memakai busana atasan
berwarna merah dan memakai
celana panji warna hitamdengan
dibalut kain jarik putih. Untuk
busana kepala hanya memakai
topi kupluk berwarna hijaudan
merah.
b. Dimensi sosiologis – kedudukan
Doyok pada lakon ini sama dengan
tokoh Bancak. Doyok berperan
sebagai abdi atau pengikut dari
Wiruncana Murca. Selain sebagai
abdi Doyok juga berperan penting
sebagai penglipur lara Wiruncana
Murca ketika sedang sedih atau
susah. Kemanapun Wiruncana
Murca berkelana dari satu kerajaan
ke kerajaan lain Doyok selalu setia
menemani.
c. Dimensi psikologis – Dari deskripsi
bentuk topeng maka diperoleh
dimensi psikologis Doyok yaitu
bijak, arif, setia, berbudi, humor,
tangguh, pantang mundur, gagah
3.2.7 Pendito
Gambar 7
Tokoh Pendito
(Doc. Pribadi Ezzil tahun 2014)
a. Dimensi fisiologis
Umur sekitar 90 – 100 tahun
Laki – laki, mempunyai tubuh
yang agak pendek, Topeng
warna putih, mempunyai kumis
lebat dan berjenggot. Memakai
jubah berwarna putih
menandakan bahwa tokoh
Pendito ini seorang pertapa
yang di segani setiap orang.
Bentuk topeng : bentuk hidung
wali miring (bentuknya seperti
pangot kecil atau sebuah pisau
pengukir kayu), bentuk mata
kriyipan (bentuknya matayang
11
“ngriyip” sipit), bentuk bibir
terkatup
Memakai busana seperti jubbah
putih dan membawa teken
(tongkat). Untuk busana kepala
memakai sorban putih yang
dililitkan.
b. Dimensi sosiologis – tokoh Pendito
ini merupakan seorang pertapa atau
pendito atau guru spiritual. Tokoh
Pendito ini sangat disegani oleh
masyarakat karena perannya di
dalam masyarakat sebagai orang
yang suka memberi nasihat untuk
menyelesaikan masalah atau
persoalan.
c. Dimensi psikologis – dilihat dari
bentuk topeng dan warna maka
dimensi psikologis pendito adalah
suci atau kesucian, lembut, setia,
penuh pengabdian. Sifat-sifat dalam
peran ini sangat terlihat dari kostum
dan topeng yang digunakan.
3.2.8 Raden Carang Aspo
Gambar 8
Tokoh Raden Carang Aspo
(Doc. Pribadi Ezzil tahun 2014)
a. Dimensi fisiologis
Umur sekitar 30 – 40 tahun
Laki-laki, Mempunyai tubuh
yang gagah perkasa, topeng
berwarna hijau tua, mempunyai
hidung yang mancung,
Bentuk topeng : bentuk hidung
bentulan (menyerupai pangot
ukuran sedang atau ujung
sebuah parang, bentuk mata
“gabahan” atau “liyepan”
menyerupai butir padi (gabah)
bisa juga disebut “liyepan”
seperti layap – layap mata
mengantuk, bentuk mulut bibir
terkatup.
Memakai busana bawahan
berupa celana pendek warna
hitam dengan dibalut kain jarik
putih dan sampur warna kuning
dan merah. Untuk busana kepala
memakai irah – irahan bentuk
gelung gembel.
b. Dimensi sosiologis – strata
Sosialnya tinggi karena merupakan
seorang raja dari kerajaan Jawa
(Ngrawan). Merupakan Kakak dari
Dewi Kumudaningrat. Pengaruhnya
pada masyarakat dalam kerajaannya
sangat besar.
c. Dimensi psikologis – dari bentuk
topeng dan warna maka diperoleh
dimensi psikologis Raden Carang
Aspo adalah gagah berani, jujur,
sabar, lembut, gesit, perwira. Sifat-
sifat tersebut dapat terlihat pada
adegan 6 yaitu ketika raden Carang
12
Aspo sedang mengadakan
sayembara untuk mencarikan Dewi
Kumudaningrat seorang suami yang
kekuatannya dapat menandingi
Raden Carang Aspo. Sifat Sopan
Santun Raden Carang Aspo dapat
terlihat juga pada adegan 6 yaitu
ketika Raden Carang Aspo
mengetahui bahwa Wiruncana
Murca adalah Panji Murca, Raden
Carang Aspo langsung menyembah
kepada Panji Murca.
3.2.9 Dewi Kumudaningrat
Gambar 9
Tokoh Dewi Kumudaningrat
(doc. Pribadi Ezzil tahun 2014)
a. Dimensi fisiologis
Umur sekitar 25 – 30 tahun
Perempuan, mempunyai tubuh
yang ramping dan langsing,
Rambutnya panjang dan terurai,
Topengnya berwarna putih
kekuningan dengan bentuk alis
yang tipis dan bentuk mata yang
lentik, mempunyai tahi lalat
kecil di pipi kanan bawah.
Bentuk topeng: bentuk hidung
wali miring bentuknya seperti
pangot kecil (sebuah pisau alat
pengukir kayu), bentuk mata
“gabahan” atau “liyepan”
menyerupai butir padi (gabah)
bisa juga disebut “liyepan”
seperti layap – layap mata
mengantuk, bentuk mulut bibir
terkatup.
Memakai busana seperti kebaya
berwarna putih dan emas. Untuk
busana kepala memakai irah –
irahan bentuk gelung putren.
b. Dimensi sosiologis – merupakan
adik dari Raden Carang Aspo.
Dalam kehidupan sosialnya
dimasyarakat Dewi Kumudaningrat
termasuk masih berpengaruh.
Karena kecantikannya yang tersohor
dan terkenal di kalangan masyarakat
dan di kerajaan lain maka Dewi
Kumudaningarat sangat di sukai oleh
masyarakat dan banyak diharapkan
oleh kerajaan lain supaya jadi
permaisurinya.
c. Dimensi psikologis – dari warna
mempunyai sifat kesucian atau
masih muda, dari bentuk topeng
dimensi psikologisnya yaitu lembut,
jujur, sabar. Sifat – sifat Dewi
Kumudaningrat ini dapat terlihat di
adegan 6 (Jejeran Jawa). Pada
13
adegan tersebut Dewi
Kumudaningrat sangat mematuhi
apa yang dikatakan Raden Carang
Aspo untuk mencarikan suami
dengan cara mengadakan sayembara.
3.2.10 Panji Murca
Gambar 10
Tokoh Panji Murca
(doc. Pribadi Ezzil)
a. Dimensi fisiologis
Umur sekitar 40 – 45 tahun
Laki – laki, berbadan tinggi
gagah dan perkasa.
Bentuk topeng : bentuk hidung
bentulan menyerupai pangot
ukuran sedang atau ujung
sebuah parang, bentuk mata
“Gabahan” atau “liyepan”
menyerupai butir padi bisa juga
disebut “liyepan” seperti layap –
layap mata mengantuk, bentuk
mulut bibir terkatup.
Memakai busana bawahan
berupa celana pendek hitam
dengan dibalut kain jarik putih
dan sampur warna kuning.
Untuk busana kepala
mengunakan irah- irahan bentuk
gelung gembel.
b. Dimensi sosiologis – strata sosial
dari Panji Murca adalah seorang
anak Raja yaitu Prabu Klana Jaka.
Dalam masyarakat peran Panji
Murca sangat disegani karena
pembawaannya yang bijaksana.
c. Dimensi psikologis – berdasarkan
bentuk topeng dan warna topeng
maka dimensi psikologis dari Panji
adalah gagah berani, jujur, sabar,
lembut, gesit, perwira.
3.3 Alur (plot)
Pada pertunjukan wayang topeng
Jatiduwur dalam lakon Wiruncana Murca
menggunakan alur (plot) secara episodik
karena gambaran cerita lakon terpotong –
potong pada awalnya kemudian bertemu
pada bagian bagian akhir. Ciri dari plot
episodik adalah jalinan peristiwanya tidak
lurus tetapi patah-patah, peristiwa yang di
jalin merupakan potongan-potongan
peristiwa (episode) atau bagian dari cerita
panjang, cerita selalu bertemu pada akhir
adegan.
Pada setiap pertunjukan wayang baik
itu wayang kulit atau pun wayang topeng,
plot atau alur dipengaruhi oleh pathet. Pathet
ini terbagi atas gending yang akan
membangun suasana pada pertunjukan
wayang. Gending dalam pathet pada
pertunjukan wayang topeng sangat
mempengaruhi terbentuknya suatu alur dan
struktur lakon. Gending yang terdapat dalam
lakon Wiruncana Murca yaitu dalam pathet
wolu terdapat gending krucilan dan ayak –
14
ayakan slendro. Pathet wolu ini terdapat
dalam adegan jejeran sabrangan, grebek
sabrang, adegan bambangan. Sedangkan
dalam pathet sanga terdapat gending
krucilan dan ayak – ayakan. Pathet sanga ini
terdapat dalam adegan jejeran perang,
jejeran padepokan, jejeran jawa dan jejeran
kerajaan rancang kencono.
Alur (plot) episodik pada lakon
Wiruncana Murca ini dimulai dengan pathet
wolu yang menceritakan kehidupan kerajaan
sabrang yaitu kerajaan Rancang Kencono
yang terkena musibah pagebluk (masa
dimana banyak wabah penakit menular).
Kemudian rajanya, Prabu Klana Jaka
menyuruh patih dan tumenggungnya untuk
mengikuti sayembara di kerajaan Jawa.
Adegan tersebut berlanjut pada adegan
bersiapnya patih Sundul Mego dan
Tumenggung Pancat Nyowo dan prajurit
kerajaan untuk berangkat menuju kerajaan
Jawa. Adegan kerajaan sabrang kemudian
terputus berganti dengan adegan yang
menceritakan tentang kegelisahan dan
kegundahan raden Panji Wiruncana Murca
karena ia juga ingin mengikuti sayembara di
kerajaan Jawa.
Potongan-potongan adegan tersebut
bertemu pada adegan jejeran perang (perang
gagal). Dalam adegan perang gagal ini,
pathetnya sudah berubah menjadi pathet
sanga.Pada adegan tersebut Wiruncana
Murca bertemu dengan para punggawa
kerajaan sabrang dan perjalanannya di
hadang. Wiruncana Murca tidak mau
kembali karena niat dan keinginannya sama
dengan para punggawa kerajaan sabrang.
KeinginanPatih Sundul Mego dan
Wiruncana Murca sama-sama kerasnya
maka kedua rombongan tersebut kemudian
perang. Adegan perang tersebut kemudian
terputus dengan ditandai dengan larinya
Wiruncana Murca ke padepokan untuk
bertemu dengan pendito. Setelah itu adegan
langsung berlanjut pada jejeran kerajaan
jawa yang menceritakan sayembara yang di
gelar Raden Carang Aspo untuk mencarikan
suami Dewi Kumudaningrat. Datanglah
Patih Sundul Mego dengan beberapa
punggawa kerajaan dan prajurit untuk
mengikuti sayembara, Raden Carang Aspo
dan patih Sundul Mego kemudian perang.
Kekalahan Patih Sundul Mego semakin
menguatkan posisi dan kekuatan raden
Carang Aspo di kerajaan Ngrawan tersebut.
Setelah itu datanglah Wiruncana
Murca untuk mengikuti sayembara yang
sama dengan patih Sundul Mego.
Wiruncana Murca Dan Raden Carang Aspo
kemudian perang, ditengah-tengah
peperangan Raden Wiruncana berubah
menjadi panji. Dengan berubahnya raden
Wiruncana menjadi Panji, raden Carang
Aspo kaget kemudian menyembah pada
Panji Murca tersebut karena ternyata Raden
Carang Aspo adalah adik dari Panji Murca.
Adegan kemudian berakhir pada adegan
kerajaan Rancang Kencana, Raden Carang
Aspo, Dewi Kumudaningrat dan Panji
Wiruncana kemudan pulang ke Negara
15
Rancang Kencana untuk mengatasi masalah
pagebluk (masa dimana banyak wabah
penyakit menular) di kerajaan tersebut.
3.4 Setting (latar)
Setting (Latar) pada cerita
Panji pada umumnya menceritakan tentang
kisah empat kerajaan di Jawa yaitu Koripan
atau Kahuripan (Jenggala atau Keling),
Daha (Kediri atau Mamenang), Gegelang
atau Urawan, dan Singasari. Keempat
kerajaan tersebut dapat menjadi setting
utama pada cerita maupun setting tambahan.
Tidak jarang Juga cerita pada lakon Panji
hanya bercerita disalah satu kerajaan dari
keempat kerajaan tersebut dengan kerajaan
yang ada di sabrang (luar pulau Jawa). Hal
ini juga terdapat pada lakon Wiruncana
Murca. Setting (latar) yang dominan pada
lakon Wiruncana Murca terdapat di kerajaan
Sabrang (Rancang Kencana) dan kerajaan
Jawa (Ngrawan).
Untuk mengetahui lebih jelasnya,
setting (latar) pada lakon dapat dilihat dari
tiga spek setting yaitu:
1) Aspek Ruang – menggambarkan tempat
terjadinya peristiwa dalam lakon. Aspek
ruang pada lakon Panji Wiruncana
Murca ada 5 tempat yaitu balai
pertemuan agung (kerajaan Rancang
Kencono), Alun – alun (kerajaan
Rancang Kencono), kerajaan Ngrawan,
Padepokan, hutan, tempat peristirahatan
Wiruncana Murca.
2) Aspek Waktu – menggambarkan waktu
terjadinya peristiwa dalam lakon.
Dalam aspek waktu ini terdapat dua
kategori waktu penceritaan yaitu
berdasarkan waktu cerita (fable time)
dan waktu penceritaan (narrative time)
dalam sebuah pertunjukan. Berdasarkan
waktu cerita (fable time) peristiwa
terjadi pada masa pengembaraan
Wiruncana Murca atau Panji Murca
untuk mencari seorang putri. Sedangkan
berdasarkan waktu penceritaannya
(narrative time) pada lakon ini yaitu
pertunjukan ini terjadi pada malam hari.
Untuk mengetahui waktu penceritaan
secara jelas dapat terlihat dari iringan
gending dan pathetnya. Karena kedua
unsur ini sudah menjadi tatanan baku
pada pertunjukan wayang jika
menganalisis aspek waktu pada lakon.
3) Aspek Suasana – menggambarkan
Suasana yang ada pada saat peristiwa
terjadi. Aspek Suasana yang terjadi
pada lakon Wiruncana Murca ini yaitu
tenang, sedih, ramai, gaduh, tegang,
sepi.
d. Penutup
Kesimpulan
Lakon Wiruncana Murca merupakan
lakon lama yang terdapat dalam pertunjukan
wayang topeng Jatiduwur.Lakon ini
menceritakan tentang kisah perjuangan.
Dalam menganalisis lakon terdapat 4
unsurnya itu tema dan amanat, penokohan
(perwatakan), Alur (plot), Setting (Latar).
16
4
Dalam penceritaannya lakon Wiruncana
Murca ini ada 7 adegan yang terdiri dari
jejeran sabrangan, grebek sabrang, adegan
bambangan, jejeran perang, jejeran
padepokan, jejeran Kerajaan Jawa (kerajaan
Ngrawan), jejeran Kerajaan Rancang
Kencono.
Tema dari lakon Wiruncana Murca ini
yaitu tentang perjuangan, kegigihan. Hal ini
bisa terlihat dari adegan jejeran perang. Pada
adegan tersebut Wiruncana Murca sangat
gigih melawan Patih Sundul Mego untuk
tetap mengikuti sayembara di Kerajaan
Ngrawan. Begitu juga sebaliknya dengan
Patih Sundul Mego yang gigih melawan
Wiruncana Murca untuk melaksanakan
tugasnya mengikuti sayembara di Kerajaan
Ngrawan.
Untuk menganalisis penokohan atau
perwatakan terdapat tiga dimensi yaitu
dimensi fisiologi (keadaan fisik tokoh),
dimensi Sosiologi (keadaan social tokoh),
dimensi psikologis (keadaan psikis atau
kejiwaan tokoh). Dari hasil analisis tersebut
dapat diketahui bahwa tokoh protagonist
dari lakon ini adalah Wiruncana Murca atau
Panji Murca, tokoh antagonisnya adalah
Patih Sundul Mego. Sedangkan tokoh
tritagonis atau peran penengah dari lakon ini
adalah Pendito. Untuk peran pembantu
adalah Raden Carang Aspo, meskipun
Raden Carang Aspo tidak terlibat langsung
dalam konflik tapi perannya disini sangat
penting. Karena Raden Carang Aspo
menunjukkan atau membantu untuk
menyelesaikan jalan cerita atau
menunjukkan penyelesaiannya.
Selanjutnya alur (plot) yang terdapat
dalam lakon Wiruncana Murca ini adalah
plot episodik. Pada tahap pertama
(eksposisi) terlihat pada adegan jejeran
sabrang dan adegan bambangan. Yang
kedua adalah complication terlihat pada
adegan jejeran perang. Ketiga yaitu
pengembangan dari adegan keempat yaitu
jejeran perang. Adegan tersebut yaitu
adegan jejeran padepokan. Keempat yaitu
krisis atau klimaks, klimaks pada lakon
Wiruncana Murca terdapat pada adegan
jejeran kerajaan Jawa (Ngrawan). Kelima
yaitu adegan akhir, pada lakon Wiruncana
Murca ini terdapat pada jejeran Rancang
Kencana.
Unsur keempat yaitu setting atau latar
pada peristiwa. Untuk menganalisis setting
ada tiga macam aspek yaitu aspek ruang
(tempat terjadinya peristiwa), aspek waktu
(waktu terjadinya peristiwa), aspek suasana
(suasana yang terjadi saat peristiwa terjadi).
Aspek ruang pada lakon Wiruncana Murca
ini ada 5 tempat yaitu Kerajaan Rancang
Kencono, tempat peristirahatan Raden
Wiruncana Murca, hutan belantara,
padepokan dan Kerajaan Ngrawan atau
Urawan. Aspek waktu yang terdapat pada
lakon ini yaitu malam hari yang terbagi atas
dua pathet yaitu pathet wolu dan pathet
sanga. Pathet wolu dimulai pada awal
pertunjukan yaitu dari jam 9 – 12 malam dan
pathet sanga yang dimulai dari jam 12 – 3
17
malam. Selanjutnya aspek suasana yang
terdapat ketika peristiwa terjadi pada lakon
ini yaitu tenang, sedih, ramai, gaduh, tegang,
sepi.
Berdasarkan simpulan diatas maka
peneliti perlu menyampaikan beberapa
saran.Banyak hal dari pertunjukan wayang
topeng Jatiduwur yang belum tergali dan
belum dikenal baik oleh masyarakat. Bahkan
dari selingkungan kelompok kesenian
wayang topeng Jatiduwur sendiri masih
belum begitu paham secara menyeluruh
tentang kesenian ini apalagi lakon – lakon
yang dimainkan. Hal ini karena kesenian
wayang topeng ini sempat mati suri
beberapa tahun sebelum akhirnya
direvitalisasi kembali. Revitalisasi itu terjadi
karena ada kegelisahan dari salah satu
masyarakat yang cinta akan kesenian
wayang topeng ini. Banyak hal yang didapat
dari revitalisasi tersebut termasuk juga lakon
Wiruncana Murca ini. Setelah direvitalisasi
lakon dalam pertunjukan wayang topeng
Jatiduwur hanya ada 2 yang terdeteksi salah
satunya lakon Wiruncana Murca. Untuk
lakon Wiruncana Murca ini belum banyak
yang tahu dan mengerti secara detail isi
lakon ini terutama pada struktur lakonnya.
Oleh karena itu peneliti merasa perlu untuk
menggali, menelusuri, mencari tahu,
menanyakan kembali dan menyajikan
struktur lakon dari lakon Wiruncana Murca.
Hal ini supaya mempermudah masyarakat
dan pembaca untuk mencari data tentang
lakonWiruncana Murca.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah,Autar.2008.Dramaturgi
1.Surabaya: Unesa University
Press
Sudiro,Satoto.2012.Analisis Drama dan
Teater (Bagian
1).Yogyakarta:Penerbit Ombak
Supriyanto,Henri.1990.Kamus kecil: Istilah
Seni Drama dan
Teater.Malang:Dioma
Supriyanto,Henri & M.Soleh Adi
Pramono.1997.Drama Tari
Wayang Topeng
Malang.Malang:Padepokan
Seni Mangun Dharma
Suwarni.2013.Sastra Jawa
Pertengahan.Surabaya:Perwira
Media Nusantara
Timoer,Soenarto. Topeng Dhalang di Jawa
Timur.Jakarta:Proyek Sasana
Budaya Direktorat Jenderal
Kebudayaan Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan
Liaw Yock Fang.2011.Sejarah Kesusastraan
Melayu Klasik.Jakarta:Yayasan
Pustaka obor Indonesia
18