analisis kinerja keuangan pemerintah kota salatiga …
TRANSCRIPT
3
PENDAHULUAN
Keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari kinerja Pemerintah Daerah dalam
mengelola keuangannya secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien,
ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab. Pengelolaan keuangan daerah
tersebut dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD
yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah (PP 58 tahun 2005, pasal 4). Tolok
ukur kinerja anggaran belanja dalam suatu organisasi termasuk Pemerintah Daerah adalah
value for money yakni efisiensi, efektivitas dan ekonomis (Bastian :335). Efisien berarti
penggunaan dana masyarakat (public money) tersebut menghasilkan output yang
maksimal, efektivitas berarti penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target
atau tujuan untuk kepentingan publik, dan ekonomis berkaitan dengan pemilihan dan
penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada tingkat harga yang
paling murah ( Mardiasmo : 182) .
Salah satu cara untuk mengukur kinerja Pemerintah Daerah dalam pengelolaan
keuangannya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Dengan analisis rasio keuangan, pemerintah daerah
dapat menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-
tugasnya, mengukur efektivitas dan efisiensi kemampuan dalam merealisasikan
Pendapatan Asli Daearah (PAD), kinerja keuangan juga mengukur aktivitas pemerintah
daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya apakah lebih dominan pada belanja
rutin ataukah belanja pembangunan, serta dalam pertumbuhan bagaimana pandapatan dan
pengeluaran Pemerintah Daerah dalam rangka mempertahankan maupun meningkatkan
kinerja yang telah dicapainya, serta kebutuhan fiskal untuk mendukung pelayanan publik
4
bagi masyarakat di wilayah kerjanya, Kapasitas fiskal yang merupakan ukuran apakah
daerah mampu untuk membiayai sendiri kebutuhan fiskalnya dan upaya fiskal untuk
mengetahui bagaimana pengaruh laju pertumbuhan domestik dengan PAD nya.
Adanya analisis rasio keuangan maka diharapkan kualitas dari laporan keuangan
yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dapat meningkat. Sehingga
masyarakat umum dapt melihat kondisi keungan daerah
Dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dinas
Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Salatiga tahun 2009,
disebutkan visi Kota Salatiga adalah “Terwujudnya kemampuan keuangan daerah yang
mandiri, efisien, dan efektif serta pengelolaan aset daerah yang berdaya guna dan berhasil
guna dalam penyelenggaraan pemerintahan”. Lakip menunjukan pertumbuhan ekonomi
Kota Salatiga secara agregat cukup dinamis dimana dalam 5 tahun terakhir mencapai 4 %,
akan tetapi kemampuan keuangan Kota Salatiga dilihat dari DOF (Derajad Otonomi
Fiskal) selama 7 tahun terakhir hanya mencapai 20,49 % termasuk kategori rendah sekali.
Untuk itu penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi kinerja
keuangan pemerintah berdasarkan rasio keuangan melalui APBD. Adapun rumus persoalan
penelitian adalah bagaiman kinerja keuangan pemerintah Kota Salatiga pada periode 2005–
2010.
TINJAUAN LITERATUR
Pengukuran Kinerja Pemerintah
Secara umum kinerja merupakan gambaran pencapaian pelaksanaan suatu
kegiatan/ program/ kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi
5
organisasi (Indra Bastian:274). Namun menurut PP No. 8 tahun 2006, kinerja adalah
keluaran / hasil dari kegiatan/program yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan
penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur. Dengan demikian kinerja
mencerminkan hasil / prestasi kerja yang dapat dicapai oleh seorang , unit kerja, dan atau
suatu organisasi pada periode tertentu sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya
dalam upaya mencapai tujuan secara legal serta sesuai moral dan etika.
Adapun pengukuran kinerja merupakan suatu aktivitas penilaian pencapaian
target- target tertentu yang diderivasi dari tujuan strategi organisasi (Lohman,2003).
Pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan menggunakan sistem penilaian (rating) yang
relevan. Rating tersebut harus mudah digunakan sesuai dengan yang akan diukur, dan
mencerminkan hal-hal yang memang menentukan kinerja (Werther dan Davis,1996:346).
Dalam SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah), pengukuran
kinerja digunakan sebagai dasar untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan
kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka
mewujudkan visi,dan misi instansi pemerintah. Pengukuran dilakukan melalui penilaian
yang sistematik bukan hanya pada input, tetapi juga pada output, dan benefit serta impact
(dampak) yang ditimbulkan. Dengan demikian pengukuran kinerja merupakan dasar yang
reasonable untuk pengambilan keputusan dan melalui pengukuran kinerja akan dapat
dilihat seberapa jauh kinerja yang telah dicapai dalam satu periode tertentu dibandingkan
yang telah direncanakan dan dapat juga untuk mengukur kecenderungan dari tahun ke
tahun.
6
Evaluasi Kinerja
Evaluasi kinerja merupakan suatu proses umpan balik atas kinerja masa lalu yang
berguna untuk, meningkatkan kinerja di masa mendatang (LAN,2008:140). Evaluasi
kinerja sangat penting untuk menilai akuntabilitas suatu organisasi dan pimpinan dalam
menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik.
Evaluasi kinerja dapat dibagi menjadi dua yaitu evaluasi formatif, dimana
evaluasi dilakukan sebelum program berjalan atau sedang dalam pelaksanaan, serta
evaluasi sumatif, dimana evaluasi dilakukan untuk beberapa periode/tahun, sehingga
memerlukan pengumpulan data time series untuk beberapa tahun yang dievaluasi (LAN,
2008 : 141)
Pengukuran kinerja sektor publik, dilakukan untuk memenuhi tiga maksud,
pertama untuk memperbaiki kinerja pemerintah, ukuran kinerja dimaksudkan untuk
membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja, sehingga pada
akhirnya akan meningkatkan efektivitas dalam memberi pelayanan publik; kedua untuk
mengalokasikan sumber daya dan pembuatan keputusan; ketiga untuk mewujudkan
pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan (Mardiasmo,2004
: 121).
Evaluasi kinerja Pemerintah Daerah berfungsi untuk :
a. Mengetahui tingkat keberhasilan dan kegagalan kinerja suatu organisasi.
b. Memberikan masukan untuk mengatasi permasalahan yang ada.
7
Melalui evaluasi kinerja dapat diketahui bagaimana pencapaian hasil, kemajuan
dan kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan misi dapat dinilai dan dipelajari guna
perbaikan pelaksanaan program/kegiatan di masa yang akan datang.
Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah dalam Era Otonomi Daerah
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sesuai UU No. 32 th
2004 tentang Pemerintahan Daerah, berdasarkan asas money follows function, juga dikuti
dengan penyerahan sumber-sumber pembiayaan yang sebelumnya masih dipegang oleh
Pemerintah Pusat, maka timbul hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang
sehingga perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan daerah. Keuangan
daerah harus dilaksanakan dengan pembukuan yang terang, rapi dan pengurusan keuangan
daerah harus dilaksanakan secara sehat termasuk sistem administrasinya. Dengan demikian
diharapkan daerah menyusun dan menetapkan APBD nya sendiri (Azhari, 1995:39-40).
Dalam pasal 4 pada PP. 58 tahun 2005 tersebut dinyatakan bahwa pengelolaan
keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu sistem terintegrasi yang diwujudkan dalam
APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah.
Masalah keuangan daerah berhubungan dengan ekonomi daerah, terutama
menyangkut tentang pengelolaan keuangan suatu daerah, tentang bagaimana sumber
penerimaan digali dan didistribusikan oleh Pemerintah Daerah (Devas,1995:179).
Sedangkan keberhasilan perkembangan daerah terefleksikan oleh besar kecilnya
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai pembangunan daerah. Potensi dana
pembangunan yang paling besar dan lestari adalah bersumber dari masyarakat sendiri yang
dihimpun dari pajak dan retribusi daerah (Basri, 2003:94).
8
Oleh karena itu, peningkatan peran atau porsi PAD terhadap APBD tanpa
membebani masyarakat dan investor merupakan salah satu indikasi keberhasilan
Pemerintah Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah, yang lebih penting adalah
bagaimana Pemerintah Daerah mengelola keuangan daerah secara efisien dan efektif
(Saragih, 2003:133).
APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan
disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan Peraturan
Daerah. Struktur APBD menurut PP. 58 tahun 2005 pasal 20 terdiri dari pendapatan
daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah.
Pendapatan daerah, meliputi penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum
Daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah dalam satu
tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah
Belanja daerah, meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah,
yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu
tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah
Pembiayaan daerah, meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan
atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun dengan pendekatan
kinerja dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling lambat 1 (satu) bulan setelah
APBN ditetapkan, demikian juga halnya dengan perubahan APBD ditetapkan dengan
Peraturan Daerah selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran.
9
Sedangkan perhitungan APBD ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya
tahun anggaran yang bersangkutan. APBD yang disusun dengan pendekatan kinerja
tersebut memuat hal-hal sebagai berikut (Nirzawan,2001:81):
1. Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja.
2. Standar pelayanan yang diharapkan dan diperkirakan biaya satuan komponen
kegiatan yang bersangkutan.
3. Bagian pendapatan APBD yang membiayai belanja administrasi umum,
belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/pembangunan.
Analisis Rasio Keuangan
Analisis keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan
laporan keuangan yang tersedia (Abdul Halim, 231). Pemerintah Daerah sebagai pihak
yang diberikan tugas menjalankan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat
wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerah sebagai dasar
penilaian kinerja keuangannya. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja keuangan
Pemerintah Daerah adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD
yang telah ditetapkan dan dilaksanakan (Halim, 2002:126).
Sedangkan analisis rasio keuangan adalah suatu cara untuk membuat
perbandingan data keuangan, sebagai dasar untuk mengetahui kinerja keuangan suatu
lembaga (Samryn, 324).
Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis,
efektif, efisien, dan akuntabel, analisis rasio keuangan terhadap pendapatan belanja daerah
10
perlu dilaksanakan meskipun terdapat perbedaan kaidah pengakuntansiannya dengan
laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta (Mardiasmo, 2002: 169).
Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan cara membandingkan hasil
yang dicapai dari satu periode dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui
bagaimana kecenderungan yang terjadi .
Beberapa rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur akuntabilitas
Pemerintah Daerah (Halim, 2002:128), yaitu rasio kemandirian keuangan , rasio efektivitas
dan efisiensi keuangan daerah, rasio kemampuan rutin, rasio keserasian, rasio
pertumbuhan. Adapun menurut Sularmi (2006) rasio keuangan dapat diukur melalui rasio
kebutuhan fiskal, Rasio Kapasitas fiskal dan Rasio upaya fiskal.
a) Rasio Kemandirian
Kemandirian daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam
membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang
diperlukan daerah (Abdul Halim : 232)
Rasio kemandirian keuangan daerah menunjukkan tingkat kemampuan suatu
daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang
diperlukan daerah. Rasio kemandirian ditunjukkan oleh besarnya pendapatan asli daerah
dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain(pihak ekstern)
antara lain : Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil bukan Pajak sumber daya Alam, Dana Alokasi
Umum dan Alokasi Khusus, Dana Darurat dan pinjaman (Widodo, 2001 : 262). Rumus
yang digunakan untuk menghitung rasio kemandiriaan adalah sebagai berikut
11
Berhubungan dengan hal ini, Paul Hersey dan Kenneth Blanchard dalam Halim
(2001:168) mengemukakan mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
dalam pelaksanaan otonomi daerah, terutama pelaksanaan Undang-undang tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu sebagai berikut :
1. Pola hubungan instruktif, yaitu peranan Pemerintah Pusat lebih dominan daripada
kemandirian Pemerintah Daerah (daerah tidak mampu melaksanakan otonomi
daerah secara finansial).
2. Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan Pemerintah Pusat sudah mulai
berkurang dan lebih banyak pada pemberian konsultasi karena daerah dianggap
sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi daerah.
3. Pola hubungan partisipatif, yaitu pola dimana peranan Pemerintah Pusat semakin
berkurang mengingat tingkat kemandirian daerah otonom bersangkutan mendekati
mampu melaksanakan urusan otonomi. Peran pemberian konsultasi beralih ke
peran partisipasi Pemerintah Pusat.
4. Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan Pemerintah Pusat sudah tidak ada
lagi karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan
urusan otonomi daerah. Pemerintah Pusat siap dan
dengan keyakinan penuh mendelegasikan otonomi keuangan kepada Pemerintah
Daerah.
12
Pola hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah serta tingkat kemandirian dan
kemampuan keuangan daerah dapat disajikan dalam matriks seperti pada Tabel I berikut
ini
TABEL 1
Pola Hubungan Tingkat Kemandirian, dan Kemampuan Keuangan Daerah
Kemampuan
Keuangan
Rasio
Kemandirian (%)
Pola
Hubunggan
Rendah Sekali 0 – 25 Instruktif
Rendah > 25 – 50 Konsultatif
Sedang > 50 – 75 Partisipatif
Tinggi > 75 – 100 Delegatif
Sumber = Anita Wulandari (2001 : 21 )
Pada penelitian sebelumnya oleh Widodo (2001), melakukan penelitian tentang
analisis rasio keuangan APBD kabupaten Boyolali. Hasilnya menunjukkan bahwa
kemandirian pemerintah daerah Boyolali dalam memenui kebutuhan dana untuk
pemyelenggaraan tugas-tugas pemerintah, pembangunan dan pelayanan social
kemasyarakatan masih relatif rendahdan cenderung turun.
Sedang penelitian oleh Tri Suprapto (2006) menganai Analisis Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman Dalam Masa Otonomi Daerah Tahun 2000 – 2004.
Hasilnya Bahwa Kemandirian Juga masih rendah sekali dan dalam kategori instruktif. Tapi
dalam setiap tahunya mengalami peningkatan dikarenakan PAD kabupaten sleman setiap
tahunnya mengalamai peningkatan yang cukup besar
Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana
eksternal, semakin tinggi rasio kemandirian berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap
pihak eksternal semakin rendah dan sebaliknya rasio ini juga menggambarkan tingkat
13
partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio ini berarti
semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang
merupakan komponen dari PAD.
b) Rasio Efektivitas dan Efisiensi PAD
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam
merealisasikan PAD yang direncanakan dibanding dengan target yang ditetapkan
berdasarkan potensi riil daerah ( Abdul Halim : 234). Adapun rumus untuk Rasio
Efektivitas adalh sebagai berikut
Pada penelitian yang dilakukan oleh Nanis H (2008) mengenai penilaian kinerja
bagian Keuangan Pemkab Probolinggo menggunakan analisis rasio keuangan , dimana
hasilnya adalah penurunan effektivitas kinerja. Untuk penellitan yang pada kabupaten
Sleman oleh Tri Suprapto(2006) mengatakan bahwa dari effektifitasnya cenderung
effektif.
Kemampuan daerah dikatakan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 1 atau
100%, dan semakin tinggi rasio yang dicapai menunjukkan kemampuan yang semakin
efektif dan mengambarkan kemampuan daerah semakin baik.
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya
biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang
diterima (Abdul Halim : 234). Adapun rumus rasio efisiensi adalah sebagai berikut
14
Pada penelitian sebelum nya oleh Tri suprapto (2006), mendapatkan hasil bahwa
effisiensi kabupaten sleman semakin baik dari tahun ketahun. Alopun setiap tahun nya
mengalami peningkatan biaya pada pemungutan tetapi itu tidak berpengaruh pada tingkat
effisiensinya karena realisasi pendapatannya juga meningkat.
Kinerja Pemerintah Daerah dalam mengelola anggaran dikatakan efisien, apabila
rasio yang dicapai kurang dari satu atau kurang dari 100%, semakin kecil rasionya
semakin efisien .
c) Rasio Kemampuan Rutin
Indeks kemampuan rutin dapat dilihat melalui proporsi antara Pendapatan Asli
Daerah dengan pengeluaran rutin tanpa transfer dari pemerintah pusat. Adapun mengitung
rasio kemampuan rutin adalah sebagai berikut
Sedangkan dalam menilai indeks kemampuan rutin dengan menggunakan skala
menurut wulandari (2001 : 15 ) sebagaimana yang terlihat dalam tabel II
Tabel 2
Skala Kemampuan Keuangan Daerah
% Kemampuan keuangan daerah
00,00 – 20,00
20,01 – 40,00
40,01 – 60,00
60,00 – 80,00
80,00 – 100,00
Sangat kurang
Kurang
Cukup
Baik
Sangat baik
Sumber : anita wulandari (2001 :22)
15
Penelitian sebelimnya yang dilakukan oleh Sri wahyuni (2008) mengenai Analisis
Kemampuan Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten Sragen Dalam Mendukung
Pelaksanaan Otonomi Daerah dimana hasil dari analisis rasio kemampuan rutin amasih
sangat kurang begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Suyoko (2008) mengenai
Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Mendukung Pelaksanaan Autonomi
Daerah Pada Kabupaten Karanganyar dimana hasil utujk kemampuan rutin masih dalam
skala interval sanagat kurang berarti PAD mempunyai kemampuan yang sanagad kecil
dalam membiayai pengeluaran rutin
d) Rasio Keserasian
Rasio keserasian menunjukkan bagaimana Pemerintah Daerah memprioritaskan
alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal (Halim : 235).
Adapun rumus rasio keserasian adalah sebagai berikut
Pada penelitian sebelumnya Sedang kan penelitian oleh suyoko (2008) sebagian
dana yang dimiliki pemerintah daerah masih diprioritaskan untuk kebutuhan belanja rutin
sehingga rasio pembangunan terhadap APBD relatif kecil. Ini dibuktikan dari rasio belanja
rutinyang selalu lebih besar dibandingkan dengan rasio belanja pembangunan. Hasil
penelitian oleh Sri Wahyuni (2008) masih sama yaitu pada rasio keserasian menunjukan
bahwa pengeluaran rutin lebih besar daripada belanja pembangunan.
16
Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin/belanja
aparatur daerah artinya persentase belanja pembangunan/belanja pelayanan publik yang
digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cenderung
semakin kecil. Walaupun belum ada patokan yang pasti untuk belanja pembangunan.
Sehingga pemerintah masih berfokus pada belanja rutin.
e) Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan mengukur seberapa besar kemampuan Pemerintah Daerah
dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari periode ke
periode berikutnya, baik dilihat dari sumber pendapatan maupun pengeluaran (Halim :
241). Adapun rumus dari rasio pertumbuhan adalah sebagai berikut
r = Pertumbuhan
Pn = TPD/ PAD / Belanja rutin/ Belanja pembangunan yang dihitung pada tahun ke-n
Po = TPD/ PAD / Belanja rutin/ Belanja pembangunan Data yang dihitung pada tahun ke-o
Pertumbuhan APBD dilihat dari berbagai komponen penyusun APBD yang terdiri
dari pendapatan asli daerah, total pendapatan, belanja rutin dan belanja pembangunan
(Widodo, 2000: 270)
Rasio pertumbuhan berfungsi untuk mengevaluasi potensi-potensi daerah yang
perlu mendapatkan perhatian. Semakin tinggi nilai PAD, Total Pendapatan Daerah (TPD)
dan belanja pembangunan yang diikuti oleh semakin rendahnya belanja rutin, maka
pertumbuhannya adalah positif. Artinya bahwa daerah yang bersangkutan telah mampu
mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhannya dari periode yang satu ke periode
17
berikutnya. Jika semakin tinggi nilai PAD, TPD, dan belanja rutin yang diikuti oleh
semakin rendahnya belanja pembangunan, maka pertumbuhannya adalah negatif. Artinya
bahwa belum mampu meningkatkan pertumbuhan daerahnya.
f) Kebutuhan fiskal
Menurut UU No 33 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1, “Kebutuhan fiskal Daerah
merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum.
(Undang–Undang Otonomi Daerah 2004: 236 dalam Haryati 2006). Maka rumus dari rasio
pertumbuhan fiskal adalah sebagai berikut
Keterangan
PPP = Jumlah Pengeluaran Rutin dan Pembangunan per kapita masing – masing daerah
Rata – rata kebutuhan Fiskal Standar se – Jawa Tengah adalah :
Semakin tinggi Indeks Pelayanan Publik Perkapita (IPPP), maka kebutuhan fiskal
suatu daerah semakin besar. IPPP dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar
jumlah pengeluaran atau kebutuhan fiskal daerah dan untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan penduduk untuk memenuhinya. Apabila jumlah pengeluaran per kapita suatu
daerah lebih besar dibandingkan dengan standar kebutuhan fiskal, berarti kebutuhan
18
fiskalnya besar. Apabila pemerintah mampu mencukupi sebesar kebutuhan fiskal daerah
tersebut berarti pemerintah daerah sudah dianggap mampu.
g) Kapasitas fiskal
Menurut UU No 33 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 3, “ Kapasitas fiskal Daerah
merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan dana bagi hasil.“ Ibid: 236
(Haryati 2006). Sehingga rumusnya sebagai berikut
1. Analisis Kapasitas Fiskal
Keterangan :
PDRB = Produk Domestik Regional Bruto
Semakin tinggi rata-rata kapasitas fiskal (FC) suatu daerah maka kemampuan daerah
dalam mendanai kebutuhannya semakin memadai guna membiayai pembangunan daerah.
Apabila jumlah PAD yang diserahkan kepada pemerintah daerah lebih besar dari
jumlah kebutuhan fiskal daerah tersebut berarti potensi untuk mendapatkan PAD didaerah
tersebut cukup bagus tanpa ada subsidi dari pemerintah pusat. Apabila pendapatan
(kapasitas fiskal) lebih besar dari pengeluaran atau kebutuhan fiskal sama dengan surplus,
dapat dikatakan bahwa daerah tersebut sudah mampu membiayai kebutuhan fiskal
daerahnya dan apabila pendapatan atau kapasitas fiskal kurang dari pengeluaran atau
kebutuhan fiskal, sama dengan defisit, dapat dikatakan daerah tersebut belum mampu
19
membiayai sendiri kebutuhan fiskalnya dan masih harus ditutup dengan subsidi dari
pemerintah pusat.
h) Upaya fiskal
Analisis Upaya fiskal merupakan analisis yang bertujuan untuk mengetahui
tingkat pendapatan asli daerah dengan laju pertumbuhan produk Domestik Bruto (Haryati
:2006). Oleh karena itu rumus dari Upaya fiskal adalah sebagai berikut
Keterangan
Upaya fiskal dihitung dengan mencari koefisien elastisitas PAD terhadap PDRB.
Semakin elastis PAD, maka stuktur PAD didaerah akan semakin baik. Untuk mengetahui
tingkat PAD dengan laju pertumbuhan produk domestik regional bruto dengan kriteria
penilaian yaitu apabila PDRB naik 1% maka akan berpengaruh pada PAD.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif komparatif atas
data timeseries. Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder, data sekunder
dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Pemerintah Kota Salatiga
tahun 2005-2010.
20
2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) penduduk Kota Salatiga dan provinsi Jawa
tengah tahun anggaran 2005-2010 .
3. Data Jumlah Penduduk Kota Salatiga dan Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 - 2010
Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh akan diolah dengan menggunakan analisis rasio kemudian
dibandingkan dari tahun ke tahun sehingga akan dapat dievaluasi kinerja Pemerintah Kota
Salatiga untuk periode 2005 sampai tahun 2010
1. Analisis Rasio Kemandirian
2. Analisis Rasio Efektivitas dan Efisiensi
3. Analisis rasio kemampuan rutin
21
4. Analisis Rasio Keserasian
5. Analisis Rasio Pertumbuhan
r = Pertumbuhan
Pn = TPD/ PAD / Belanja rutin/ Belanja pembangunan yang dihitung pada tahun ke-n
Po = TPD/ PAD / Belanja rutin/ Belanja pembangunan Data yang dihitung pada tahun
ke-o
Membandingkan PAD, Total Pendapatan, Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan
dari periode ke periode berikutnya yaitu tahun 2005/2006, tahun 2006/2007, tahun
2007/2008, tahun 2008/2009 dan tahun 2009/2010
6. Analisis Kebutuhan Fiskal
Keterangan
PPP = Jumlah Pengeluaran Rutin dan Pembangunan per kapita masing – masing
daerah
22
Rata – rata kebutuhan Fiskal Standar se – Jawa Tengah adalah :
7. Analisis Kapasitas Fiskal
Keterangan :
PDRB = Produk Domestik Regional Bruto
8. Analisis Upaya Fiskal
Keterangan
Perubahan
23
PENGOLAHAN DATA DAN PEMBAHASAN
Profil kinerja Keuangan Kota Salatiga
Tabel 3 A
Profil Kinerja Keuangan
Kota Salatiga Tahun 2005 – 2010
Ket
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-
rata
Pajak
daerah 5.818.339.630 6.514.964.208 7.065.860.976 7.995.573.127 9.201.402.994 9.206.459.923
7.633.
766.8
10
Restrib
usi
Daerah
14.961.794.610 17.425.939.511 19.427.777.942 22.321.901.734 6.843.378.023 7.283.075.519
14.71
0.644.
557
Hasil
Perusah
aan
Milik
Dae. &
Hsl
pengelo
laan
Dae.
Yang
dpt
dipisah
kan
1.724.356.789 1.094.934.748 684.131.589 1.452.640.514 1.637.644.177 2.469.461.328
1.510.
528.1
91
lain
Lain
PAD
yang
sah
5.280.233.536 7.413.628.031 9.014.977.521 13.380.786.604 35.373.208.115 32.590.750.738
17.17
5.597.
424
Total
PAD 27.784.724.565 32.449.466.498 36.192.748.028 45.150.901.979 53.055.633.309 51.549.747.508
41.03
0.536.
981
Dana
Hasil
pajak
&
bukan
Pajak
15.412.527.997 14.665.351.453 18.466.186.203 72.282.994.284 24.834.796.587 26.547.312.729
28.70
1.528.
209
Dana
Alokasi
Umum
1.241.170.000.000 185.429.000.000 212.614.000.000 225.384.715.000 236.691.342.000 238.069.009.000
389.8
93.01
1.000
Dana
Alokasi
Khusus
7.060.000.000 26.810.000.000 22.196.510.000 31.028.000.000 32.044.000.000 21.182.300.000
23.38
6.801.
667
Bagi
Hasil
Pajak
Dan
bantua
n Keu.
Dari
Provins
i
12.025.852.458 13.329.659.530 13.218.894.444 12.190.578.848 25.089.209.107 49.500.385.175
20.89
2.429.
927
Total
Pendap
atan
dari
Pihak
Ekstern
al
158.615.380.455 240.234.010.983 266.495.590.647 340.886.288.132 318.659.347.694 335.299.006.904
276.6
98.27
0.803
24
A. Analisis Kemandirian
Berdasarkan kondisi data tentang PAD dan bantuan Pemerintah Pusat, Provinsi
dan Pinjaman dalam Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Salatiga, maka untuk
rasio kemandirian pemerintah Kota Salatiga tahun 2005-2010 pada tabel 3 adalah Sebagai
berikut
Tabel 3 B
Rasio Kemandirian
Kota Salatiga Tahun 2005 – 2010
(dalam ribuan)
Ket
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata
PAD (Rp) 27.784.724 32.449.466 36.192.748 45.149.901 53.055.833 51.549.747 41.030.403
Bantuan Pemerintah Pusat,
Provinsi dan Pinjaman (Rp) 158.615.380 240.234.010 266.495.590 340.886.288 318.659.347 335.299.006 276.698.270
Rasio Kemandirian ( %) 17,52 13,51 13,58 13,24 16,65 15,37 14,83
Kemampuan Keuangan Rendah
Sekali
Rendah
Sekali
Rendah
Sekali
Rendah
Sekali
Rendah
Sekali
Rendah
Sekali
Rendah
Sekali
Pola Hubungan Instruktif Instruktif Instruktif Instruktif Instruktif Instruktif Instruktif
Berdasarkan Tabel 3 Rasio Kemandirian belum stabil. Ditahun 2005 dan 2009
terdapat angka yang cukup tinggi yakni mencapai 17,52% dan 16,65 % dibandingakna
tahun 2006, 2007, 2008, 2010 yakni 13,51 %, 13,58 %, 13,24 %, 15,37%
Sehingga rasio kemandirian selama lima tahun pada kota Salatiga memiliki rata-
rata tingkat kemandirian yang rendah sekali dengan pola hubungan Instruktif artinya
peranan pemerintah pusat sangat dominan. Terlihat dari rasio kemandirian yang dihasilkan
berkisar antara 0% - 25 % yaitu 14,83 %. Rasio Kemadirian yang masih rendah
menunjukan bahwa pada sumber penerimaan daerah masih kurang maksimal. Hal ini
dikarenakan masih relatif kurangnya PAD yang dapat digali oleh pemerintah daerah.
25
Dimana sumber-sumber potensial untuk PAD yang masih dikuasai oleh pemerintah pusat,
sedangkan untuk pajak yang cukup besar masih dikelola oleh pemerintah pusat, yang
dalam pemungutan berdasarkan undang-undang/persyaratan pemerintah dan daerah hanya
menjalankan serta menerima bagian dalam bentuk dan perimbangan. Dampak perimbangan
itu sendiri terdiri dari : bagi hasilpajak/bukan pajak, DAU, DAK dan bantuan propinsi.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah daerah harus dapat mengoptimalkan penerimaan
dari potensi pendapatan yang telah ada. Inisiatif , kreatifitas dan kemauan daerah sangat
diperlukan dalam meningkatkan PAD. Pemerintah daerah harus mencari jalan yang dapat
memungkinkan mengatasi kekurangan pembiayaannya, hal ini memerlukan kreatifitas dari
aparat pelaksana keuangan daerah untuk mencari sumber-sumber pembiayaan dengan
pihak swasta dan juga program peningkatan PAD. Berikut grafik perkembangan rasio
kemandirian Kota Salatiga Tahun 2005 - 2010
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Rasio Kemandirian ( %) 17.52 13.51 13.58 13.24 16.65 15.37
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
Grafik 1
Rasio Kemandirian
Kota Salatiga Tahun 2005 - 2010
26
B. Analisis Efektivitas dan Efisiensi
Berdasarkan kondisi data tentang Realisasi PAD dan target PAD dalam Laporan
Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Salatiga, maka untuk rasio efektivitas pemerintah
Kota Salatiga tahun 2005-2010 pada tabel 4 adalah Sebagai berikut
Tabel 4
Rasio Effektifitas PAD
Kota Salatiga Tahun 2005 – 2010
Keterangan Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata - Rata
Realisasi PAD (Rp)
27.784.724.565 32.449.466.498 36.192.748.028 45.149.901.979 53.055.833.309 51.549.747.508 41.030.403.648
Target PAD
(Rp) 25.397.362.000 29.770.340.000 32.008.484.000 36.597.951.000 50.130.034.000 52.284.327.000 37.698.083.000
Rasio
Effektifitas PAD
109,40 109,00 113,07 123,37 105,84 98,60 108,84
Dari tabel 4 di atas diketahui bahwa rasio efektivitas Kota Salatiga dalam melakukan
pemungutan sumber pendapatan daerah antara tahun 2005 – 2010 berkisar antara 98,60%
sampai 108,84%. Dimana pada taun 2005 hingga 2008 mengalami peningkatan. Namun di
tahun 2009 dan 2010 mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena ditahun tersebut
adanya pengalihan deposito ke giro yang menyebabkan bunga deposito turun sehingga
penerimaan lain- lain dari PAD yang sah turun dibawah target anggarannya. Namum secara
keseluruhan dalam enam tahun terkhir ini Salatiga sudah efektif mencapai target PAD yang
ditetapkan yakni 108,84%. Berikut grafik Efektivitas Kota Salatiga Dari Tahun 2005 – 2010
27
Berdasarkan kondisi data tentang total biaya yang dikeluarkan untuk memungut PAD
dibanding dengan Peneriamaan PAD dalam Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota
Salatiga, maka untuk rasio efisiensi pemerintah Kota Salatiga tahun 2005-2009 pada tabel
5 adalah Sebagai berikut
Tabel 5
Rasio Efisiensi
Kota Salatiga Tahun 2005 -2010
Keterang
an
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata - Rata
Total Biaya
(Rp)
85.112.605.0
20
101.404.225.0
96
127.473.930.9
38
129.123.586.2
55
261.541.450.6
56 353.520.205.6
88
1.058.176.003.
653
Total
Penerimaan
Realisasi
PAD (Rp)
27.784.724.5
65
32.449.466.49
8
36.192.748.02
8
45.149.901.97
9
53.055.833.30
9
51.549.747.50
8
246.182.421.88
7
Rasio Efisiensi
3,06 3,12 3,52 2,86 4,93 6,86 4,30
Kenaikan biaya yang besar dari tahun 2009 ke 2010 dikarenakan ditahun tersebut
adanya penerimaan pegawai negri sipil yang menyebabkan peningkatan biaya yang besar ,
sebagai mana terlihat pada tabel berikut:
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Rasio Effektifitas PAD 109.40 109.00 113.07 123.37 105.84 98.60
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
140.00
Grafik 2
Rasio Efektivitas
Kota Salatiga tahun 2005 - 2010
28
Tabel 5 B
Belanja total dan belanja Pegawai
Kota Salatiga Tahun 2005 - 2010
Keteranga
n
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-Rata
Belanja
Total
172.292.837.
180
225.666.718
.901
253.773.747.
814
368.393.972.66
7
432.656.545.
412
418.615.915.6
31
311.899.956.
268
Belanja
Pegawai
93.512.132.1
66
112.220.142
.725
144.585.251.
511
181.687.845.02
4
191.556.249.
542
241.205.368.0
23
162.461.164.
832
Dari tabel 5 di atas diketahui bahwa rasio efisiensi Kota Salatiga dalam mendapatkan
pendapatan daerah antara 3,06 – 6,86 memiliki rata – rata 4,30.. Berpengaruh pada naiknya
rasio effisiensi. Menggambarkan bahwa Pemerintah Kota Salatiga belum effisien. Dapat
terlihat pada biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penerimaan realisasi PAD lebih besar
dari 1. Berikut grafik Efisiensi Kota Salatiga Dari Tahun 2005 – 2010
C. Analisis Indeks kemampuan rutin
Berdasarkan Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Salatiga maka total PAD
dibandingkan dengan Total pengeluaran rutin, maka rasio kemampuan rutin pada tabel 6
adalah sebagai berikut
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Rasio Efisiensi 3.06 3.12 3.52 2.86 4.93 6.86
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
Grafik 3
Rasio Efisiensi
Kota Salatiga tahun 2005 - 2010
29
Tabel 6
Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Kota Salatiga Tahun 2005 - 2010
Keteran
gan
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata
PAD
(Rp)
27.784.724
.565
32.449.466
.498
36.192.748
.028
45.149.901
.979
53.055.833
.309 51.549.747
.508
41.030.403
.648
Total
pengelua
ran rutin
( Rp)
1.646.109.
066
11.375.036
.128
4.118.636.
733
5.400.000.
000
10.500.000
.000
4.127.249.
333
6.194.505.
210
Rasio
Kemamp
uan rutin
16,88 2,85 8,79 8,36 5,05 12,49 6,62
Kemamp
uan
keuanga
n
Sangat
kurang
Sangat
kurang
Sangat
kurang
Sangat
kurang
Sangat
kurang
Sangat
kurang
Sangat
kurang
Berdasarkan tabel indeks kemampuan rutin terlihat bahwa Rasio PAD terhadap
pengeluaran rutin daerah Kota Salatiga dari tahun ke tahun masih fluktuatif. Sehingga rata-
rata indeks kemampuan rutin sebesar 6,62% . Didapat dari Total PAD tahun 2005-2010
dibagi dengan Total pengeluaran rutin 2005–2010.
Hal ini berarti bahwa PAD mempunyai kemampuan yang masih sangat kurang
untuk membiayai pengeluaran rutin. Dimana PAD Kota Salatiga masih relatif kecil dan
masih mendapat bantuan yang cukup besar pada sumber keuangan yang berasal dari
pemerintah pusat. Berikut adalah Grafik Pertumbuhan Rasio indeks Kemampuan rutin dari
tahun ke tahun
30
D. Analisis Keserasian
Berdasarkan Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Salatiga tahun 2005 – 2010
maka perbandingan antara Belanja rutin dna belanja pembangunan , maka rasio keserasian
pada tabel 6 adalah sebagai berikut
Tabel 7
Rasio Keserasian
Kota Salatiga Tahun 2005 - 2010
(Dalam rinuan)
*Rasio Belanja Rutin
Ket Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-Rata
Total Belanja rutin
( Rp) 136.934.188 171.231.560 198.241.063 241.853.726
282.027.667 328.973.091 226.543.549
Total Belanja APBD (Rp)
172.292.837 225.666.718 253.773.747 368.393.972 432.656.545 418.615.915 311.899.956
Rasio Belanja
Rutin 79,48 75,88 78,12 65,65 65,19 78,59 74
*rasio belanja pembangunan
Keterangan Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-Rata
Total Belanja
pembangunan (Rp)
35.358.648 54.435.158 55.532.684 126.540.246 150.628.877 89.642.823 85.356.406
Total Belanja APBD (Rp)
172.292.837 225.666.718 253.773.747 368.393.972 432.656.545.412
418.615.915 311.899.956
Rasio Belanja
Pembangunan 20,52 24,12 21,88 34,35 34,81 21,41 26
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Rasio Kemampuan rutin 16.88 2.85 8.79 8.36 5.05 12.49
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
Grafik 4
Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Kota Salatiga Tahun 2005 - 2010
31
Dari hasil perhitungan tabel 7 di atas, menunjukkan bahwa belanja aparatur daerah
tahun 2005 mengalami kenaikan sebesar 25,05% pada tahun 2006. Pada tahun 2007
belanja aparatur daerah naik sebesar 15,77%. Pada tahun 2006 dan 2007 mengalami
kenaikan lagi menjadi 22,00% dan 16,61%.
Pada belanja pembangunan tahun 2005 naik di tahun 2006 menjadi sebesar
53,95%. Pada tahun 2007 mengalami kenaikan menjadi 2,02%. Pada tahun 2008 naik lagi
menjadi 127,87%. Pada tahun 2009 juga mengalami kenaikan lagi menjadi 19,04%.
Dari tahun ke tahun rasio belanja rutin dan belanja pembangunan masih belum
stabil. Sebagian besar dana yang dimiliki pemerintah daerah masih diprioritaskan untuk
kebutuhan belanja rutin, sehingga rasio pembangunan terhadap APBD lebih kecil. Tapi
dalam perkembangannya mengalami peningkatan yang positif karena dari tahun ke tahun
rasio belanja rutin menjadi lebih kecil sedang belanja pembangunan meningkat. kecuali
pada tahun 2010 mengalami peningkatan belanja rutin karena kenaikan pengeluaran pada
belanja pegawai
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Rasio Belanja Rutin 79.48 75.88 78.12 65.65 65.19 78.59
Rasio Belanja Pembangunan
20.52 24.12 21.88 34.35 34.81 21.41
0.0010.0020.0030.0040.0050.0060.0070.0080.0090.00
Grafik 5
Rasio Keserasian
Kota Salatiga tahun 2005 - 2010
32
E. Analisis Rasio Pertumbuhan
Membandingkan PAD, Total Pendapatan, Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan
dari periode ke periode berikutnya yaitu tahun 2005/2006, tahun 2006/2007, tahun
2007/2008, tahun 2008/2009 serta tahun 2009/2010. Maka rasio pertumbuhan Kota
Salatiga Tahun 2005 -2010 pada tabel 7 adalah sebagai berikut
Tabel 8
Rasio Pertumbuhan
Kota Salatiga Tahun 2005 - 2010
Keterangan Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-Rata
PAD (Rp) 27.784.724.5
65
32.449.466.4
98
36.192.748.0
28
45.149.901.9
79
53.055.833.3
09
51.549.747.5
08
41.030.403.6
48
pertumbuhan PAD
16,79 11,54 24,75 17,51 (2,84) 11
Total Pendapatan
(Rp)
191.383.605.
020
272.683.477.
481
302.688.638.
675
390.721.283.
861
376.195.456.
003
411.504.439.
506
324.196.150.
091
Pertumbuhan
Pendapatan (%)
42,48 11,00 29,08 (3,72) 9,39 15
Belanja Rutin
(Rp)
136.934.188.198
171.231.560.542
198.241.063.136
241.853.726.432
282.027.667.986
328.973.091.955
226.543.549.708
Pertumbuhan
Rutin(%) 25,05 15,77 22,00 16,61 16,65 16
Belanja
pembangunan(Rp)
35.358.648.9
82
54.435.158.3
59
55.532.684.6
78
126.540.246.
235
150.628.877.
426
89.642.823.6
76
85.356.406.5
59
Pertumbuhan
Belanja
Pembangunan (%)
53,95 2,02 127,87 19,04 (40,49) 27
Dari tabel diatas terlihat bahwa dari tahun ketahun PAD, Total pendapatan daerah
dan belanja pembangunan mengalami peningkatan diikuti belanja rutin yang fluktuatif.
33
Ditahun 2008 adanya kenaikan atas total pendapatan daerah karena ditahun tersebut
mendapat bantuan dana dari pemerintah untuk pembangunan Jalan Lingkar Selatan.
Penurunan PAD ditahun 2010 karena pengalihan dana pemerintah kepada sumber yang
lebih likuid sehingga menurunkan PAD pada penerimaan lain – lain yang sah. Serta
penurunan belanja pembangunan 2010 dikarenakan pengeluaran pemerintah lebih
diprioritaskan untuk belanja pegawai sehingga belanja rutin mengalami peningkatan.
Berikut grafik rasio pertumbuhan tahun 2005 – 2009
F. Analisis Kebutuhan Fiskal
Berdasarkan data Produk Domestik Regional Bruto Kota Salatiga dan Provinsi
Jawa Tengah maka rasio kebutuhan fiskal sebagai berikut
2005 2006 2007 2008 2009 2010
pertumbuhan PAD 16.79 11.54 24.75 17.51 2.84
Pertumbuhan Pendapatan (%)
42.48 11.00 29.08 3.72 9.39
Pertumbuhan Rutin (%) 25.05 15.77 22.00 16.61 16.65
Pertumbuhan Belanja Pembangunan (%)
53.95 2.02 127.87 19.04 40.49
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
100
120
140
Grafik 6
Rasio Pertumbuhan
Kota Salatiga tahun 2005 - 2010
34
Tabel 9
Rasio kebutuhan Fiskal
Kota Salatiga Tahun 2005 – 2010
Keteranga
n Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2009
Pengeluaran
Untuk Jasa - Jasa
Publik (Rp)
172.292.837.
180
225.666.718.
901
253.773.747.
814
368.393.972.
667
432.656.545.
412
418.615.915.
631
311.899.956.
268
Jumlah
Penduduk 176.183 176.795 167.261 168.374 168.934 171.067 171.436
Pengeluaran
Perkapita Jasa-Jasa
Publik
977.919,76 1.276.431,57 1.517.232,04 2.187.950,47 2.561.098,09 2.447.087,49 1.827.953
Pengeluaran
Daerah (Rp)
1.597.171.000.000
3.028.854.792.000
3.039.630.052.000
3.069.145.438.000
5.200.113.113.000
4.852.025.591.000
3.464.489.997.667
Jumlah Penduduk
32.908.850 32.177.730 32.380.279 32.626.390 32864563 32382657 32.556.745
Jumlah
Kabupaten/
Kota
35 35 35 35 35 35 35
Rata - Rata Keb.Fiskal
se-Jateng
1.386,66 2.689,40 2.682,08 2.687,70 4.520,82 4.280,97 3.041
Pelayanan
Publik Perkapita
705,23 474,62 565,69 814,06 566,51 571,62 616
Berdasarkan tabel 8 terlihat bahwa Indek Pelayanan Publik perkapita atau
Pelayanan publik perkapita di kota Salatiga tahun 2005-2010 mengalami perkembangan
yang fluktuatif. Dapat diketahui pula bahwa kebutuhan fiskal kota Salatiga selama 6 tahun
anggaran 2005-2010 untuk setiap tahunnya lebih lebih besar dari standar kebutuhan
fiskalnya, dan jika dilihat secara rata-rata kebutuhan fiskal Rp 3041 atau 616 kali lipat dari
standar kebutuhan fiskal daerah. Ini didapat dari penjumlahan total pengeluaran perkapita
dibagi dibagi dengan jumkah tahun yang dikenakan dibandingkan dengan seluruh total rata
rata kebutuhan fiskal sejawa tengah. Hal ini berarti bahwa kebutuhan fiskal kota Salatiga
besar, baik untuk setiap tahunnya maupun secara rata-rata selama 6 tahun anggaran, karena
kebutuhan fiskal daerahnya lebih besar dari standar kebutuhan fiskal se-Jawa Tengah.
35
Pengeluaran perkapita besar karena didominasi oleh pos belanja tidak langsung terdiri dari
belanja pegawai, belanja modal, dan belanja bantuan keuangan kepada
propinsi/kabupaten,/kota dan pemerintah desa, dan belanja tidak terduga. Berikut Grafik
kebutuhan fiskal kota salatiga tahun 2005-2010
G. Analisis Kapasitas Fiskal
Tabel 10
Rasio Kapasitas Fiskal
Kota Salatiga Tahun 2005 – 2010
Keteran
gan
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-Rata
PDRB
(Kota Salatiga
)
1.104.131.850
.000
1.237.905.220
.000
1.370.166.640
.000
1.541.682.440
.000
1.660.286.910
.000
1.849.275.560
.000
1.460.574.770
.000
Jumlah
Penduduk ( kota
salatiga) 176.183 176.795 167.261 168.374 168.934 171.067 171.436
PDRB
(Jawa
Tengah)
234.435.323.3
10.000
281.996.709.1
00.000
312.428.807.0
90.000
367.135.954.9
00.000
397.903.943.7
50.000
444.396.468.1
90.000
339.716.201.0
56.667
Jumlah
Pendudu
k ( Jawa Tengah) 32.908.850 32.177.730 32.380.279 32.626.390 32.864.563 32.382.657 32.556.745
Kapasitas Fiskal
Standar 203.536,50 250.392,08 275.678,21 321.506,57 345.925,31 392.093,89 298.131,07
Rasio
Kapasitas Fiskal 30,7904 27,9638 29,7150 28,4793 28,4108 27,5705 28,5769
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Pelayanan Publik Perkapita
705.23 474.62 565.69 814.06 566.51 571.62
0.00
500.00
1,000.00
Grafik 7
Pelayanan Publik Perkapita
Kota Salatiga Tahun 2005 - 2010
36
Dari hasil table 9, terlihat bahwa PDRB perkapita Kota Salatiga selama 6 tahun
anggaran mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan PDRB Kota
Salatiga dari tahun ke tahun semakin baik, karena terjadi peningkatan. Begitu juga dengan
standar kapasitas fiskal se-jawa Tengah juga mengalami peningkatan. Dan Kapasitas fiskal
kota Salatiga selama 6 tahun anggaran mengalami penurunan. Oleh karena itu Kota
Salatiga mempunyai kapasitas fiskal yang lebih rendah dari kebutuhan fiskal standar. Hal
ini berarti dalam memenuhi kebutuhan fiskalnya, Kota Salatiga dapat dikatakan belum
mampu membiayai sendiri kebutuhan fiskalnya dan masih membutuhkan bantuan dari
pemerintah pusat. Berikut adalah grafik kapasitas fiskal kota salatiga tahun 2005-2010
H. Analisis Upaya Fiskal
Berdasarkan Laporan Realisasi APBD dan PDRB maka dapat diketahui perubahan PAD
dan Perubahan PDRB tiap tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Rasio Kapasitas Fiskal 30.7904 27.9638 29.7150 28.4793 28.4108 27.5705
25.0000
26.0000
27.0000
28.0000
29.0000
30.0000
31.0000
32.0000
Grafik 8
Rasio Kapasitas Fiskal
Kota Salatiga Tahun 2005 - 2010
37
Tabel 11
RasioUpaya Fiskal
Kota Salatiga Tahun 2005 – 2010
Keteranga
n
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-Rata
Perubahan
PAD
6.163.502
.815
4.664.741.
933
3.743.281.
530
8.957.153.
951
7.905.931.
330
-
1.506.085.
801
4.988.087.
626
Perubahan
PDRB
56.071.24
2.501
133.773.3
70.000
132.261.4
20.000
171.515.8
00.000
118.604.4
70.000
110.956.5
33.600
120.530.4
72.684
Rasio
Upaya
fiskal
0,11 0,03 0,03 0,05 0,07 0,01 0,04
Berdasarkan table rasio upaya fiskal. Terlihat bahwa elastisitas PAD terhadap
PDRB atas harga berlaku secara rata-rata sebesar 0,04 % yang berarti bahwa setiap
kenaiakan PDRB sebesar 1% akan mengakibatkan kenaikan PAD sebesar 0,04% yang
berarti berpengaruh positif terhadap penerimaan PAD. Hal ini menunjukkan bahwa
penerimaan PAD Kota Salatiga cukup peka terhadap perubahan yang terjadi pada PDRB
Yang menyebabkan besarnya PAD mengalami peningkatan setiap tahunnya didominasi
oleh pendapatan pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Berikut grafik Upaya
fiskal kota Salatiga Tahun 2005- 2010
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Rasio Upaya fiskal 0.11 0.03 0.03 0.05 0.07 0.01
0.05
0.00
0.05
0.10
0.15
Grafik 9
Rasio Upaya Fiskal
Kota Salatiga Tahun 2005 - 2010
38
KESIMPULAN
Dari perhitungan kedelapan rasio keuangan maka dapat disimpulkan bahwa kesadaran
masyarakat dalam membayar pajak dan kontribusi masing rendah sehingga pemerintah masih
bergantung pada bantuan dari pemerintah pusat , pola hubungan tingkat kemandirian daerah adalah
instruktif. Walaupun dalam perkembangan dari tahun ke tahun kemandirian Kota Salatiga untuk
setiap tahun anggarannya mengalami peningkatan. Menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Salatiga
telah berusaha mandiri dalam mengelola keuangan daerahnya dan berusaha untuk dapat
berotonomi sesuai dengan sasaran yang hendak dituju dalam otonomi daerah.
Sedangkan untuk Rasio efektivitas pendapatan daerah Kota Salatiga selama enam tahun
anggaran (tahun anggaran 2005 sampai dengan tahun 2010memiliki rata – rata lebih dari 100%.
Dengan demikian pemungutan Pendapatan Asli Daerah dalam kategori efektif. Hal ini
menunjukkan kinerja pemerintah daerah yang baik, karena setiap tahunnya target Pendapatan Asli
Daerah yang ingin dicapai selalu terealisasikan sesuai dengan yang telah ditargetkan bahkan untuk
setiap tahunnya realisasi Pendapatan Asli Daerah yang diterima lebih dari target yang ditetapkan.
Walaupun belum ada patokan mengenai besarnya persentase untuk target PAD . Sedangkan Rasio
Efisiensi pemungutan PAD Salatiga belum dapat mencapai effiensi yang diharapkan karena biaya
yang dikeluarkan untuk mendapatkan PAD masih lebih dari 1 atau 100%. Oleh karena itu
pemerintah masih membutuhkan bantuan dari pemerintah pusat untuk membiayai pembiayaan
daerah.
Hal ini juga diikuti oleh Rasio Indeks Kemampuan Rutin selama enam tahun pada
pemerintahan Kota Salatiga masih dalam skala interval 00,00 % – 20,00 % yaitu sebesar 6,62% dan
ini berarti bahwa PAD mempunyai kemampuan yang masih sangat kurang untuk membiayai
39
pengeluaran rutin. Dimana PAD Kota Salatiga masih dikategorikan kecil dan masih mendapat
bantuan yang cukup besar pada sumber keuangan yang berasal dari pemerintah pusat. Serta Rasio
Keserasian dari tahun ke tahun rasio belanja rutin dan belanja pembangunan masih belum stabil.
Untuk sebagian dana yang dimiliki pemerintah daerah masih diprioritaskan untuk kebutuhan
belanja rutin, sehingga rasio pembangunan terhadap APBD lebih kecil. Tapi dalam
perkembangannya mengalami peningkatan yang positif karena dari tahun ke tahun rasio belanja
rutin menjadi lebih kecil sedang belanja pembangunan meningkat.
Untuk Rasio Pertumbuhan dari tahun ketahun PAD, total pendapatan daerah dan belanja
pembangunan belanja rutin yang secara prosentase msh fluktuatif. Selanjutnya Rasio Analisis
Kebutuhan Fiskal menunjukan pengeluaran perkapita penduduk lebih besar dari standar kebutuhan
fiskal jawa tengah. Namun Analisis Kapasitas Fiskal menunjukan kapasitas fiskal pemerintah Kota
Salatiga lebih rendah dari kebutuhan fiskal standar Jawa Tengah. Hal ini berarti dalam memenuhi
kebutuhan fiskalnya, Kota Salatiga dapat dikatakan masih membutuhkan bantuan dari pemerintah
pusat.
Untuk Analisis Upaya Fiskal Terlihat bahwa elastisitas PAD terhadap PDRB berdasarkan
harga berlaku secara rata-rata sebesar 0,04 % yang berarti bahwa setiap kenaiakan PDRB sebesar
1% akan mengakibatkan kenaikan PAD sebesar 0,04% yang berarti berpengaruh positif terhadap
penerimaan PAD. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan PAD Kota Salatiga cukup peka
terhadap perubahan yang terjadi pada PDRB.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan Pemerintah
Kota Salatiga pada tahun 2005 – 2010 belum dapat dikatakan baik. Karena hanya memenuhi dua
rasio keuangan yaitu rasio efektivitas dan rasio upaya fiskal.
40
Saran
Pemerintah Kota Salatiga perlu meningkatkan fasilitas sarana dan prasarana publik
dengan meningkatkan belanja pembangunan khususnya pembangunan sarana dan prasana
yang dapat menjadi sumber pendapatan daerah. Meningkatkan pengawasan dan pengendalian
pengelolaan dan pendayagunaan aset daerah. Oleh karena rasio efektivitas yang baik maka
Pemerintah Kota Salatiga perlu meninjau penentuan target. Kemudian sebaiknya Pemerintah
lebih mengupayakan speningkatan efisiensi dan efektivitas unit pelayanan teknis daerah dalam
pemberian layanan kepada masyarat.
DAFTAR PUSTAKA
.
Azhari. A. Surouda, 1995, Perpajakan Indonesiakeuangan Pajak Dan Retribuso Daerah.
Gramedia, Jakarta
Bastian, Indra, 2001, Akuntansi Sektor Publik Di Indonesia, Yogyakarta,BPFE
Bastian, Indra, 2006, Akuntansi Sektor Publik Suatu Pengantar, Erlangga, Jakarta
Basri, Yuswar Zainul Dan Mulyadi Subir (2003), Keuangan Negara Dan Kebijakan Utang
Luar Negeri, PT Grafindo Persada, Jakarta
Devas, Nick (1995), Keuangan Pemerintah Darah Di Indonesia, UJ Press, Jakarta
Deddi, Nordiawan, 2006, Akuntansi Sektor Publik, Salemba Empat, Jakarta
Halim, Abdul, Akuntansi Keuangan Daerah, Edisi Ketiga, Salemba Empat, Jakarta,2008
Haryati, Sri, 2006, Perbandingan Kinerja Keuangan Daerah Sebelum Dan Sesudah
Kebijakan Otonomi Daerah Kabupaten Sleman Tahun 1998-2000 Dan 2001-2003,
Jogjakarta
LAN (Lembaga Administrasi Negara), AKIP Dan Pengukuran Kinerja, Edisi Tahun 2008
Mardiasmo, 2004, Akuntansi Sektor Publik, Edisi Kedua , Yogyakarta
Mohammad Mahsun, Dkk, 2007, Akuntansi Sektor Publik, Edisi Kedua
41
Hairunissa Nanis, 2008, Penilaian Kinerja Bagian Keuangan Pemkab Probolinggo
Menggunakan Analisis Rasio Keuangan Terhadap APBD, Jurnal Ekonomika, Vol.2,
No.2, Desember
Nirzawan. 2001. Tinjauan Umum Terhadap Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah Di
Kabupaten Bengkulu Utara. Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP
YKPN
Samryn, L.M., 2002, Akuntansi Manajerial Suatu Pengantar. Cetakan Kedua. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta
Saragih, Juli Panglima, 2003, Desentralisasi Fiskal Dan Keuangan Daerah Dalam
Otonomi, PT Ghalia Indonesia, Jakarta
Suyoko, 2008, Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Mendukung Pelaksanaan
Autonomi Daerah Pada Kabupaten Karanganyar, Surakarta
Sularmi, Sularmi And Endro Suwarno, Agus (2006) Analisis Kinerja Pemerintah Daerah
Dalam Menghadapi Otonomi Daerah Ditinjau Aspek Keuangan : Studi Empiris
Pada Wilayah Karesidenan Surakarta. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan, Vol.5
(No.1). Pp. 28-50. Issn 1411-6510
Supraptto, Tri, 2008 . “Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten
Sleman Dalam Masa Otonomi Daerah Tahun 2000 – 2004, Jogjakarta
Undang – Undang Nomor 22 Tahun1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang – Undang No.24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintah
Undang – Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang “Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat Dengan Pemerintah Daerah”
Undang – Undang No.8 Tahun 2006 Tentang Pelaporan Keuangan Dan Kinerja Instansi
Daerah
Undang-Undang No.58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Wahyuni, Sri (2008), Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten
Sragen Dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah. Surakarta
Werther, WB Dan Davis, K, 1996, Human Resources And Personel Management, Mcgraw
Hill Inc, New York.
42
Widodo. 2001. Analisa Rasio Keuangan Pada APBD Kabupaten Boyolali, Manajemen
Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP YKPN.
Wulandari, Anita, 2001, Kemampuan Keuangan Daerah Di Kota Jambi Dalam
Melaksanakan Otonomi Daerah. Jurnal Kebijakan Dan Administrasi Publik,
Kemampuan Keuangan Daerah, Vol. 5, No. 2, November