analisis kinerja keuangan anggaran pendapatan …eprint.stieww.ac.id/499/1/141214931 ayu atika...
TRANSCRIPT
ANALISIS KINERJA KEUANGAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
(APBD)
(Studi Kasus pada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta)
Tahun 2012-2016
SKRIPSI
Ditulis Oleh :
Nama : Ayu Atika Putri
Nomor Mahasiswa : 141214931
Jurusan : Akuntansi
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI WIDYA WIWAHA
YOGYAKARTA
2018
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
ANALISIS KINERJA KEUANGAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
(APBD)
(Studi Kasus pada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta)
Tahun 2012-2016
SKRIPSI
Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Ujian Akhir Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Strata-1 di Program Studi Akuntansi
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Widya Wiwaha
Ditulis Oleh :
Nama : Ayu Atika Putri
Nomor Mahasiswa : 141214931
Jurusan : Akuntansi
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI WIDYA WIWAHA
YOGYAKARTA
2018
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
“Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan orang lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu
perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara
tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam Referensi. Apabila
kemudian hari terbukti bahwa pernyataan ini tidak benar saya sanggup menerima
hukuman / sanksi apapun sesuai peraturan yang berlaku.”
Yogyakarta, 28 Agustus 2018
Penulis
Ayu Atika Putri
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
ANALISIS KINERJA KEUANGAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
(APBD)
(Studi Kasus pada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta)
Tahun 2012-2016
Nama : Ayu Atika Putri
Nomor Mahasiswa : 141214931
Jurusan : Akuntansi
Yogyakarta, 29 Agustus 2018
Telah disetujui dan disahkan oleh
Dosen Pembimbing
Dra. Sulastiningsih, M.si STIE
Wid
ya W
iwah
a
Jang
an P
lagi
at
HALAMAN PENGESAHAN
ANALISIS KINERJA KEUANGAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
(APBD)
(Studi Kasus pada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta)
Tahun 2012-2016
Telah di pertahankan / diujikan dan disahkan untuk memenuhi syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Strata-1 di Program Studi Akuntansi Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi Widya Wiwaha
Nama : Ayu Atika Putri
Nomor Mahasiswa : 141214931
Jurusan : Akuntansi
Yogyakarta,
Disahkan oleh
Penguji / Pembimbing Skripsi :
Penguji 1 :
Penguji 2 :
Mengetahui
Ketua STIE Widya Wiwaha
Drs Muhammad Subhan, MM
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
ABSTRAK
ANALISIS KINERJA KEUANGAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
(APBD)
(Studi Kasus pada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta)
Tahun 2012-2016
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja keuangan daerah
Provinsi DIY tahun 2012-2016. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
kuantitatif, yang mana data ini berupa data sekunder berupa Anggaran dan
Realisasi Pendapatan Belanja Daerah Istimewa Yogyakarta periode 2012-2016.
Selanjutnya, data ini dianalisis dengan menggunakan rasio keuangan yaitu analisis
varians, derajat desentralisasi, rasio kemandirian, rasio ketergantungan, rasio
keserasian, analisis pertumbuhan dan analisis efisiensi.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa secara umum kinerja keuangan
daerah Pemerintah Provinsi DIY baik. Hal ini ditunjukan dengan rata-rata analisis
varians pendapatan sangat efektif, derajat desantralisasi baik, rasio kemandirian
delegatif, rasio ketergantungan sangat tinggi, analisis pertumbuhan pendapatan
positif, analisis varians belanja baik, rasio belanja modal rendah, rasio belanja
operasional tinggi, analisis pertumbuhan belanja positif, dan analisis efisiensi
belanja sangat efisien.
Kata kunci: Kinerja Keuangan, Rasio Keuangan, Rasio Pertumbuhan.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN
MOTO
“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalatmu
Sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar”
(Al-Baqarah: 153)
“Berbuat lah baik terhadap sesama dan jadilah orang yang
bermanfaat”
(Febri K)
PERSEMBAHAN
Dengan memanjatkan segala puji syukur kehadirat Allah SWT,
Skripsi ini saya persembahkan untuk Mama dan Papa,
yang telah memberi dukungan dan doa untuk kesuksesan anaknya.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkah, rahamat dan
hidyah-Nya yang senantiasa dilimpahakan kepada penulis, sehingga bisa
menyelasaikan skripsi dengan judul “ANALISIS KINERJA KEUANGAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) Studi Kasus
pada Pemerintah Kota Yogyakarta Tahun 2012-2016” sebagai syarat untuk
menyelesaiakan Program Sarjana (S1) Jurusan Akuntansi, Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Widya Wiwaha.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa penyelesaian
skripsi ini dapat terlakasana berkat adanya bimbingan dan bantuan dari berbagai
pihak baik secara moral maupun spiritual. Untuk itu pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Drs Muhammad Subhan, MM Selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Widya Wiwaha.
2. Dra. Sulastiningsih, M.si Selaku Dosen Pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan selama
penyusunan skripsi.
3. Khoirunnisa Cahya Firdarini, SE, M.Si selaku Ka Prodi Akuntansi yang
telah memberikan dukungan pengarahan selama masa perkuliahan.
4. Seluruh jajaran Dosen dan Staf Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Widya
Wiwaha.
5. Kedua Orang tua beserta adik yang telah memberikan doa dan
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
dukungan selama proses pembuatan skripsi, yang selalu mensuport dan
memberikan “warna” yang indah dalam perjalanan akhir masa
perkuliahan. sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
6. Brian A Dewangga yang setia menemani, menjadi teman diskusi, yang
selalu bisa menciptakan senyum di tengah-tengah proses “penat” dalam
pengerjaan skripsi ini.
7. Sahabat sejati Ika Aprianti, terimakasih untuk motivasi, dukungan dan
kekonyolan yang telah kita lalui selama ini.
8. Teman-teman kelas Accounting 2014, Teman seperjuangan Aulia, Lulu,
Eka, Putri, Prasti, Ofi, Fitri, Rian, Dion yang saling memberi semangat
dan bertukar ilmu yang bermanfaat.
9. Rekan kerja yang selalu mendorong untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu memberikan dukungan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh karna
itu penulis mengharapkan kritik dan saran, semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat untuk mendorong penelitian-penelitian selanjutnya.
Yogyakarta, 28 Agustus 2018
Ayu Atika Putri
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ............................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
MOTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................... vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 7
C. Pertanyaan penelitian ................................................................................... 7
D. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 7
E. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................. 10
A. Anggaran Perndapatan dan Belanja Daerah (APBD) ................................ 10
B. Anggaran Pendapatan Daerah .................................................................... 14
C. Anggaran Belanja Daerah .......................................................................... 15
D. Kinerja Keuangan Daerah .......................................................................... 22
E. Analisis Kinerja Keuangan Daerah ............................................................ 26
F. Penelitian Terdahulu .................................................................................. 36
BAB III METODA PENELITIAN ........................................................................ 39
A. Jenis Penelitian ........................................................................................... 39
B. Subjek dan Objek Penelitian ...................................................................... 39
C. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 39
D. Teknik Analisis Data .................................................................................. 40
1. Analisis Kinerja Keuangan Pendapatan Daerah ............................ 40
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
2. Analisis Kinerja Keuangan Belanja Daerah ................................... 44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................... 48
A. Hasil Penelitian .......................................................................................... 48
1. Gambaran Umum ........................................................................... 48
2. Deskripsi Data Penelitian ............................................................... 56
B. Analisis Kinerja Keuangan APBD DIY Tahun 2012-2016 ....................... 59
1. Analisis Kinerja Keuangan Pendapatan Daerah ............................ 59
2. Analisis Kinerja Keuangan Belanja Daerah ................................... 64
C. Pembahasan ................................................................................................ 70
1. Analisis Kinerja Keuangan Pendapatan Daerah ............................ 70
2. Analisis Kinerja Keuangan Belanja Daerah ................................... 74
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 77
A. Kesimpulan ................................................................................................ 77
B. Saran .......................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 81
LAMPIRAN ........................................................................................................... 83
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
DAFTAR TABEL
Tabel
2.1 Kriteria Analisis Varians Pendapatan Daerah ......................................... 28
2.2 Skala Interval Rasio Derajat Desentralisasi ............................................ 29
2.3 Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah .................................. 30
2.4 Kriteria Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah .................................. 32
4.1 APBD Provinsi DIY Tahun 2012-2016 .................................................. 56
4.2 Realisasi APBD Provinsi DIY Tahun 2012-2016 ................................... 57
4.3 Realisasi Pos-Pos Pembentukan Pendapatan Daerah .............................. 58
4.4 Realisasi Belanja Operasional dan Belanja Modal .................................. 59
4.5 Analisis Varians Pendapatan Daerah ...................................................... 60
4.6 Rasio Derajat Desentralisasi .................................................................... 61
4.7 Rasio Kemandirian Keuangan Daerah .................................................... 62
4.8 Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah ................................................ 63
4.9 Analisis Pertumbuhan Pendapatan Daerah .............................................. 64
4.10 Analisis Varian Belanja Daerah .............................................................. 65
4.11 Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah ............................. 66
4.12 Rasio Belanja Operasional terhadap Total Belanja Daerah .................... 67
4.13 Analisis Pertumbuhan Belanja Daerah .................................................... 68
4.14 Analisis Rasio Efisiensi Belanja Daerah ................................................. 69
4.15 Ringkasan Analisis Kinerja Keuangan APBD Provinsi DIY .................. 70
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
DAFTAR GAMBAR
Gambar
4.1 Peta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ............................................ 48
4.2 Peta Kabupaten Kulon Progo .................................................................. 51
4.3 Peta Kabupaten Bantul ............................................................................ 52
4.4 Peta Kabupaten Sleman ........................................................................... 53
4.5 Peta Kota Yogyakarta .............................................................................. 54
4.6 Peta Kabupaten Gunung Kidul ................................................................ 55
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari
pembangungan nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi
daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan
kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat yang
bebas korupsi. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah
diperlukan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber
daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Perspektif kedepan dari sistem keuangan daerah adalah
mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah yang mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan
tanggung jawab yang jelas antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang
transparan, memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat serta
pertanggungjawaban kepada masyarakat, mengurangi kesenjangan
antar daerah dalam kemampuannya untuk membiayai tanggung jawab
otonominya dan memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang
berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan. (Bastian, 2001: 5)
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
Berdasarkan Undang-undang No. 32 tahun 2004, memberikan
definisi otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban yang
dimiliki daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Tujuan kewenangan tersebut adalah untuk lebih
mendekatkan pemerintah dengan masyarakat, memudahkan masyarakat
untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pemerintah
daerah juga dituntut untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah
yang tertib, transparan dan akuntabel agar tujuan utama dapat tercapai
yaitu good govermance dan clean govement.
Pengukuran Kinerja Keuangan sangat penting untuk menilai
akuntabilitas pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan
keuangan daerah. Akuntabilitas bukan sekedar kemampuan
menunjukkan bagaimana uang publik dibelanjakan, akan tetapi meliputi
kemampuan yang menunjukkan bahwa uang publik tersebut telah
dibelanjakan secara efisien, efektif, dan ekonomis. Efisien berarti
penggunaan dana masyarakat tersebut menghasilkan output yang
maksimal, efektif berarti penggunaan anggaran tersebut harus mencapai
target-target atau tujuan untuk kepentingan publik, dan ekonomis
berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam
jumlah dan kualitas tertentu pada tingkat harga yang paling murah
(Mardiasmo, 2004:182)
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
Pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi
tiga maksud meliputi pertama, pengukuran kinerja sektor publik
dimaksudkan untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah.
Ukuran kinerja dimaksudkan untuk dapat membantu pemerintah
berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. Hal ini pada
akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi sektor
publik dalam pemberian pelayanan publik. Kedua, ukuran kinerja
sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan
pembuatan keputusan. Ketiga, ukuran kinerja sektor publik
dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan
memperbaiki komunikasi kelembagaan. ( Mardiasmo, 2002: 121)
Menilai Kinerja Keuangan pemerintah daerah dapat dilakukan
dengan cara melihat kinerjanya melalui Laporan Realisasi Anggaran.
Laporan Realisasi Anggaran menggambarkan perbandingan antara
anggaran dengan realisasinya dalam suatu periode pelaporan. Laporan
Realisasi Anggaran juga menyediakan informasi yang berguna dalam
memprediksi sumber daya ekonomi yang akan diterima untuk mendanai
kegiatan pemerintah daerah dalam periode mendatang dengan cara
menyajikan laporan secara komparatif.
Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah adalah tingkat pencapaian
dari suatu hasil Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah, yang meliputi
anggaran dan realisasi PAD dengan menggunakan indikator keuangan
yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
undangan selama satu periode anggaran. Bentuk dari pengukuran
kinerja tersebut berupa rasio keuangan. Kinerja (performance) menurut
kamus akuntansi manajemen dikatakan sebagai aktivitas terukur dari
suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian dari ukuran
keberhasilan pekerjaan. Pengukuran kinerja diartikan sebagai suatu
sistem keuangan atau non keuangan dari suatu pekerjaan
yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai dari suatu aktivitas, suatu
proses atau suatu uit organisasi. Kinerja keuangan pemerintah daerah
adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan
daerah yang meliputi peneriman dan belanja daerah dengan
menggunakan sistem keuangan yang ditentukan melalui suatu
kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode
anggaran. Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut berupa rasio
keuangan yang terbentuk dari sistem laporan pertanggungjawaban
daerah berupa perhitungan APBD.
Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan
mendorong pencapaian prestasi tersebut. Pengukuran prestasi yang
dilakukan secara berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaya
perbaikan secara terus menerus dan pencapaian tujuan di masa
mendatang. Salah satu alat menganalisis kinerja pemerintah daerah
dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan
análisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
dilaksanakannya. Menurut Widodo di kutip dalam (Halim, 2002 : 126)
hasil analisis rasio keuangan ini bertujuan untuk:
1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam
membiayai penyelenggaraan otonomi daerah.
2. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan
pendapatan daerah.
3. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah
dalam membelanjakan pendapatan daerahnya.
4. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan
dalam pembentukan pendapatan daerah.
5. Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan
dan pengeluaran yang dilakukan selama periode tertentu.
Salah satu cara untuk menganalisis kinerja keuangan pemerintah
daerah dalam pengelolaan keuangannya adalah dengan melakukan
analisis rasio keuangan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Penilaian
kinerja pemerintah berdasarkan berbagai rasio keuangan, diantaranya
Rasio Kemandirian Keuangan Derah, Rasio Efektivitas dan Efisiensi,
Rasio Keserasian, dan Rasio Pertumbuhan (Halim, 2012: 230)
Penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat analisis kinerja
keuangan secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang
bersifat komersial, sedangkan pada lembaga publik khususnya
pemerintah daerah masih sangat terbatas sehingga secara teoritis belum
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
ada kesepakatan yang bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya.
Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur,
demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, maka analisis rasio
keuangan terhadap pendapatan belanja daerah perlu dilaksanakan
Mardiasmo (2002: 105).
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kota pelajar dan
kota budaya, merupakan salah satu Provinsi yang berkembang. Setiap
tahun ajaran baru, selalu berdatangan calon pelajar yang ingin
melanjutkan studi dari berbagai daerah, baik dari luar Yogyakarta
maupun dari sekitar daerah Yogyakarta. Selain itu, potensi wisata alam
dan budaya yang ada di Provinsi DIY menjadikan keunggulan dan ciri
khas dibandingkan dengan Provinsi lainnya di Indonesia. Berkaitan
dengan hal tersebut, Provinsi DIY saat ini selalu mengalami kemajuan
dalam pembangunan. Hal ini menandakan bahwa banyak investor dari
negeri sendiri ingin membuka usaha di Yogyakarta. Keadaan ini
tentunya juga mempengaruhi perekonomian Pemerintah Provinsi DIY.
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu
pemerintah daerah yang telah menyelenggarakan otonomi daerah.
Dengan memiliki potensi dan perkembangan pada Pemerintah Provinsi
DIY dari tahun ke tahun, semakin banyak kalangan menilai mengenai
kemandirian dan kinerja keuangan Pemerintah DIY. Oleh karenanya,
berdasarkan hal tersebut penulis ingin menilai kinerja keuangan
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
keuangan Pemerintah Provinsi DIY, dengan melakukan analisis
terhadap rasio pendapatan dan belanja daerah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini
berjudul “Analisis Kinerja Keuangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) Studi Kasus pada Pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta Tahun 2012-2016”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
”Para pengguna laporan keuangan kebanyakan tidak mampu
memahami akuntansi dan kurang dapat memahami serta
mengintepretasikan Laporan Realisasi Anggaran, sehingga perlu
analisis Kinerja Keuangan yang dapat menjadi alat bantu untuk
memudahkan para pengguna laporan keuangan dalam memahami dan
mengintepretasikan Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.“
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disampaikan di atas
ditarik pertanyaan penelitian berikut ini :
“Bagaimana Kinerja Keuangan Pendapatan dan Belanja Daerah
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta selama periode 2012-2016
yang diukur dengan menggunakan rasio keuangan daerah?”
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas,
penelitian ini bertujuan untuk :
“Mengetahui Kinerja Keuangan Pendapatan dan Belanja Daerah
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta periode 2012-2016 yang
diukur menggunakan rasio keuangan daerah.”
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pemerintah daerah DIY
Sebagai bahan masukan dan gambaran bagi pemerintah DIY di
dalam menentukan kebijakan serta bertujuan untuk menentukan arah
dan strategi untuk perbaikan Kinerja Keuangan pemerintahan daerah
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di masa yang akan
datang.
2. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapan akan memberikan informasi yang
berguna kepada masyarakat tentang kinerja pendapatan dan belanja
daerah sebagai bentuk akuntanbilitas pengelolaan dana masyarakat
oleh pemerintah daerah.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai pembelajaran terutama bagi mahasiswa sebagai dasar
pembanding dalam rangka melakukan penelitian lebih lanjut pada
bidang kajian ini dan menjadi ruang belajar yang sarat nilai positif
yang sangat membantu dalam peningkatan kapasitas serta
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
pengalaman peneliti berkaitan dengan kondisi sosial yang ada dalam
masyarakat terutama berkaitan langsung dengan bidang akuntansi
sektor publik.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
APBD disusun sebagai pedoman pendapatan dan belanja dalam
melaksanakan kegiatan pemerintah daerah. Sehingga dengan adanya
APBD, pemerintah daerah sudah memiliki gambaran yang jelas tentang
apa saja yang akan diterima sebagai pendapatan dan pengeluaran apa
saja yang harus dikeluarkan, selama satu tahun. Dengan adanya APBD
sebagai pedoman, kesalahan, pemborosan, dan penyelewengan yang
merugikan dapat dihindari.
Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah harus dicatat
dan dikelola dalam APBD penerimaan dan pengeluaran daerah tersebut
adalah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas desentralisasi. Sedangkan
penerimaan dan pengeluaran yang berkaitan dengan pelaksanaan
Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan tidak dicatat dalam APBD.
1. Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Menurut Mahsun (2011:81) Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah adalah daftar yang memuat rincian penerimaan dan
pengeluaran/belanja daerah selama satu tahun. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan dengan peraturan
daerah untuk masa satu tahun, mulai dari 1 Januari sampai dengan
tanggal 31 Desember.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
Menurut Halim (2012:87) Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah yaitu rencana pekerjaan keuangan (financial workplan)
yang dibuat untuk suatu jangka waktu tertentu, ketika badan
legislatif (DPRD) memberikan kredit kepada badan eksekutif
(kepala daerah) untuk melakukan pembiayaan kebutuhan rumah
tangga daerah sesuai dengan rancangan yang menjadi dasar
(grondslag) penetapan anggaran, dan yang menunjukkan semua
penghasilan untuk menutup pengeluaran tadi.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2015 Pasal 1 Ayat
1, pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan
disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan
ditetapkan dengan peraturan daerah.
Menurut Mardiasmo (2002:11) mengatakan, bahwa salah satu
aspek penting dari pemerintah daerah yang harus diatur secara hati-
hati adalah masalah pengelolaan keuangan dan anggaran daerah.
Anggaran daerah yang tercermin dalam APBD merupakan
instrumen kebijakan utama bagi pemerintah daerah, menduduki
porsi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan
efektivitas pemerintah daerah. Anggaran daerah seharusnya
digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
belanja, alat bantu pengambilan putusan dan perencanaan
pembangunan serta alat otoritas pengeluaran di masa yang akan
datang dan ukuran standar untuk mengevaluasi kinerja serta alat
koordinasi bagi smeua aktivitas pada berbagai unit kerja.
2. Fungsi APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah disusun sesuai
dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan
pendapatan daerah, APBD mempunyai fungsi otoritas,
perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2003, pasal 66,
APBD memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Fungsi Otoritas, berarti bahwa anggaran daerah menjadi dasar
untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang
bersangkutan.
b. Fungsi Perencanaan, yang berarti bahwa anggaran daerah
menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan
kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
c. Fungsi Pengawasan, berarti bahwa anggaran daerah menjadi
pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
d. Fungsi Alokasi, berarti bahwa anggaran daerah harus
diarahkan untuk menciptaklan lapangan kerja/mengurangi
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta
meningkatankan efisiensi, dan efektivitas perekonomian.
e. Fungsi Stabilisasi, berarti bahwa anggaran pemerintah daerah
menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan
keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
3. Tujuan APBD
APBD disusun dengan tujuan untuk mengatur penerimaan dan
pengeluaran daerah agar dapat mencapai sasaran yang telah
ditetapkan yaitu pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan
kemakmuran masyarakat di daerah. Tujuan pnyusunan APBD
lainnya, yaitu:
a. Membantu pemerintah daerah mencapai tujuan fiskal dan
meningkatkan koordinasi antar bagian dalam lingkungan
pemerintah daerah.
b. Membantu menciptakan efisiensi dan keadilan dalam
menyediakan barang dan jasa publik melalui proses
pemrioritasan.
c. Memungkinkan pemerintah daerah untuk memenuhi prioritas
belanja.
d. Mingkatkan transparasi dan pertanggungjawaban pemeritah
daerah kepada DPRD dan masyarakat luas.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
B. Anggaran Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui
rekening Kas Umum Daerah yang menambah ekuitas dana merupakan
hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali
oleh daerah. Pasal 3 UU No. 25 tahun 1999 mengatakan bahwa sumber
pendanaan bagi daerah otonom meliputi:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh
daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut
berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD) kabupaten/kota terdiri dari:
a. Hasil Pajak Daerah
b. Hasil Retribusi Daerah
c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan
daerah lainnya yang dipisahkan (antara lainnya: bagian laba,
deviden, dan penjualan saham milik daerah)
d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah (antara lain hasil
penjualan aset tetap daerah dan jasa giro.
2. Dana Perimbangan
Dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan
desantralisasi. Dana perimbangan terdiri atas:
a. Bagian Daerah dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
dan penerimaan dari sumber daya alam.
b. Dana Alokasi Umum (DAU).
c. Dana Alokasi Khusus (DAK).
3. Pinjaman Daerah
Pinjaman Daerah bersumber dari dalam negeri dan dari luar
negeri. Pinjaman Daerah dari dalam negeri bersumber dari
Pemerintah Pusat, Lembaga Keuangan Bank, Lembaga Keuangan
Bukan Bank, Masyarakat dan sumber lainnya. Sedangkan Pinjaman
dari luar negeri dapat berupa pinjaman bilateral atau pinjaman
multilateral.
4. Lain-lain Pendapatan Yang Sah
Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah mencakup: hibah/
bantuan dari pemerintah, dana darurat dari pemerintah dalam rangka
penaggulangan korban/kerusakan akibat bencana alam, dana bagi
hasil pajak dari teknis kepada kabupaten/kota, dana penyesuaiaan,
bantuan keuangan dari teknis atau dari pemerintah daerah lainnya.
C. Anggaran Belanja Daerah
Belanja daerah merupakan penurunan dalam manffat ekonomi
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
selama periode akuntansi dalam bentuk arus keluar, atau deplasi aset,
atau terjadinya hutang yang mengakibatkan berkurangnya ekuitas dana,
selain yang berkaitan dengan distribusi kepada para peserta ekuitas
dana. (Halim, 2002: 73)
Belanja daerah yang meliputi semua pengeluaran dari rekening
kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana merupakan kewajiban
daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh
pembayarannya kembali. Menurut Pasal 26 dan 27 dari Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang pengelolaan Keuangan
Daerah bahwa belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi
atau kabupaten/kota yang terdiri atas:
1. Urusan wajib
2. Urusan pilihan
3. Urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu
yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan
pemerintah daerah atau antarpemerintah daerah yang ditetapkan
dengan ketentuan perundang-undangan.
Pemerintah Daerah menetapkan target pencapaian kinerja setiap
belanja, baik dalam konteks daerah, satuan kerja perangkat daerah,
maupun program dan kegiatan. Tujuannya untuk meningkatkan
akuntabilitas perencanaan anggaran dan memperjelas efektivitas dan
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
efisiensi penggunaan anggaran. Berdasarkan Permendagri Nomor 13
tahun 2006 Pasal 32 ayat (2), klasifikasi belanja menurut urusan
pemerintah, organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja
mencakup:
a. Belanja Langsung
Penganggaran belanja langsung dalam rangka
melaksanakan program dan kegiatan Pemerintah Daerah
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Belanja Pegawai
Belanja Pegawai merupakan belanja untuk honorarium/
upah dalam melaksanakan program dan kegiatan Pemerintah
Daerah.
2) Belanja Barang dan Jasa
Belanja Barang dan Jasa merupakan belanja untuk
pembelian/ pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari
12 bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program
dan kegiatan Pemerintah Daerah, mencakup belanja barang
habis pakai, bahan/material, jasa kantor, premi asuransi,
perawatan kendaraan bermotor, cetak/ penggandaan, sewa
rumah/ gedung/ gudang/ parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat
berat, sewa perlengkapan dan atributnya, pakaian kerja, pakaian
khusus dan hari-hari tertentu, perjalanan dinas, perjalanan dinas
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
pindah tugas, dan pemulangan pegawai.
3) Belanja Modal
Belanja Modal merupakan belanja untuk
pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud
yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 bulan untuk
digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk
tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi
dan jaringan, dan aset tetap lainnya.
b. Belanja Tidak Langsung
Penganggaran belanja tidak langsung memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1) Belanja Pegawai
Belanja Pegawai merupakan belanja kompensasi dalam
bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang
diberikan kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai
dengan ketentuan perundangundangan.
2) Belanja Bunga
Belanja Bunga merupakan belanja untuk pembayaran
bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang
berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
3) Belanja Subsidi
Belanja Subsidi merupakan belanja untuk bantuan biaya
produksi kepada perusahaan/ lembaga tertentu agar harga jual
produksi/ jasa yang dihasilkan dapat terjangkau oleh
masyarakat banyak.
4) Belanja Hibah dan Bantuan Sosial
Belanja Hibah merupakan belanja untuk pemberian
hibah dalam bentuk uang, barang dan/ atau jasa kepada
Pemerintah atau Pemerintah Daerah lainnya, dan kelompok
masyarakat/ perorangan yang secara spesifik telah ditetapkan
peruntukannya. Belanja Bantuan Sosial merupakan belanja
untuk pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/ atau barang
kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
5) Belanja Bagi Hasil Pajak
Belanja Bagi Hasil Pajak merupakan belanja untuk dana
bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada
kabupaten/ kota atau pendapatan kabupaten/ kota kepada
Pemerintah Desa atau pendapatan Pemerintah Daerah tertentu
kepada Pemerintah Daerah lainnya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
6) Belanja Bantuan Keuangan
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
Belanja Bantuan Keuangan merupakan belanja untuk
bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari
provinsi kepada kabupaten/ kota, Pemerintah Desa, dan kepada
Pemerintah Daerah lainnya dalam rangka pemerataan dan/ atau
peningkatan kemampuan keuangan.
7) Belanja Tidak Terduga
Belanja Tidak Terduga merupakan belanja untuk
kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan
berulang seperti penanggulangan bencana alam dan bencana
sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk
pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun
sebelumnya yang telah ditutup.
c. Pembiayaan Daerah
Pembiayaan daerah adalah semua penerimaan yang perlu
dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali,
baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun
anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah hanya ditemui pada
Rencana Kerja Anggaran (RKA) dan Dewan Pertimbangan Agung
(DPA) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) badan pengelolaan
keuangan. Pembiayaan daerah meliputi semua transaksi keuangan
untuk menutup defisit atau untuk manfaat surplus, yang dirinci
menurut urusan pemerinthan daerah, organisai, kelompok, jenis
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
pembiayaan. Pembiayaan daerah terdiri dari: Pemenerimaan,
pembiayaan, dan pengeluaran pembiayaan.
Penerimaan pembiayaan mencankup:
a. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya
(SILPA).
b. Pencarian dana dan cadangan, Hasil penjualan kekayaan daerah
yang dipisahkan.
c. Penerimaan pinjaman daerah.
d. Penerimaan kembali pemberian pinjaman.
e. Penerimaan piutang daerah.
Pengeluaran pembiayaan mencankup:
a. Pembentukan dana cadangan.
b. Penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah.
c. Pembayaran pokok utang.
d. Pemberian pinjamandaerah.
Pembiayaan netto merupakan selisih antara penerimaan
pembiayaan dengan pengeluaran pembiayaan. Jumlah pembiayaan
netto harus dapat menutup defisit anggaran. Sisa Lebih Pembiayaan
Anggaran (SILPA) tahun anggaran sebelumnya mencangkup sisa
dana untu mendanai kegiatan lanjutan, yang diperoleh dari efisiensi
belanja dan pelampauan target pedapatan daerah. Hasil penjualan
kekayaan yang dipisahkan dapat berupa hasil penjualan perusahaan
milik daerah atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
penjualan aset milik pemerintah daerah yang dikerjasamakan
dengan pihak ketiga, atau hasil investasi. Pernyataan modal
pemerintah daerah termasuk dalam penerimaan pinjaman adalah
penerbitan obligasi daerah yang akan direalisasikan pada tahun
anggaran berkenan.
D. Kinerja Keuangan Daerah
Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik
oleh pribadi maupun organisasi. Apabila pencapaian sesuai yang
direncanakan, maka kinerja yang dilakukan terlaksana dengan baik.
Apabila pencapaian melebihi dari apa yang direncanakan dapat
dikatakan kinerjanya sangat bagus. Apabila pencapaian tidak sesuai
dengan apa yang direncanakan atau kurang dengan apa yang
direncanakan, maka kinerjanya buruk. Kinerja keuangan adalah suatu
ukuran kinerja yang menggunakan indikator keuangan.
1. Pengertian Kinerja Keuangan Daerah
Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik
oleh pribadi maupun organisasi. Apabila pencapaian sesuai dengan
yang direncanakan, maka kinerja yang dilakukan terlaksana dengan
baik. Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang
menggunakan indikator keuangan. Menurut Inpres No. 7 Thaun 1999
tentang akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, kinerja adalah
gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
program/ kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi
organisasi.
Kinerja (perfomance) diartikan sebagai hasil seorang pekerja,
sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan,
dimana hasil kerja tersebut harus dapat diukur dengan di bandingkan
dengan standar yang telah ditentukan (Sedarmayanti 2003: 64).
Organisasi sektor publik merupakan organisasi yang bertujuan
memberikan pelayanan publik kepada masyarakat dengan sebaik-
baiknya, misalnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan,
penegakan hukum, transportasi dan sebagainya. Pengukuran Kinerja
Keuangan Pemerintah Daerah dilakukan untuk memenuhi 3 tujuan
yaitu (Mardiasmo, 2002:121) :
a. Memperbaiki kinerja Pemerintah Daerah,
b. Membantu mengalokasikan sumber daya dan pembuatan
keputusan,
c. Mewujudkan pertanggungjawaban public dan memperbaiki
komunikasi kelembagaan.
2. Tujuan Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah dilakukan
untuk memenuhi tiga tujuan yaitu (Mardiasmo, 2002:121):
Memperbaiki kinerja Pemerintah Daerah, membantu
mengalokasikan sumber daya dan pembuatan keputusan, serta
mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
komunikasi kelembagaan. Salah satu cara yang dapat digunakan
untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah dengan melihat
tingkat efisiensi pemerintah daerah tersebut.
Pengukuran efisiensi dalam organisasi sektor publik
merupakan hal yang penting, hal ini dikarenakan kurangnya net
income sebagai gambaran akan kinerja keuangan pemerintah daerah
saat ini. Suatu kegiatan dikatakan efisien jika pelaksanaan pekerjaan
tersebut telah mencapai hasil (output) maksimal dengan
menggunakan biaya (input) yang terendah atau dengan biaya
minimal (Hamzah, 2008). Pengelolaan keuangan yang efisien akan
meningkatkan kualitas akan pengambilan keputusan sehingga bila
keputusan yang diambil berkualitas akan meningkatkan kinerja
keuangan pemerintah daerah.
3. Pengelolaan keuangan daerah
Cara mengelola keuangan dengan berhasil dan berdaya guna
merupakan syarat penting untuk peningkatan pelayanan publik di
daerah. Dalam pelaksanaannya harus tetap berpegang pada prinsip-
prinsip pengelolaan keuangan daerah (anggaran) yang baik. Menurut
Soleh dan Rohmansjah (2010: 10) bahwa terdapat lima prinsip
manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol
kebijakan keuangan daerah meliputi :
a. Akuntabilitas, mensyaratkan bahwa dalam mengambil suatu
keputusan hendaknya berperilaku sesuai dengan mandat
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
yang diterimanya. Kebijakan yang dihasilkan harus dapat
diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun
horizontal dengan baik.
b. Value for money, prinsip ini dioperasionalkan dalam
pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah dengan
ekonomis, efektif, dan efisien.
c. Kejujuran dalam mengelola keuangan publik (probity),
dalam pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan
kepada pegawai yang memiliki integritas dan kejujuran
yang tinggi, sehingga potensi munculnya praktek korupsi
dapat diminimalkan.
d. Transparansi, merupakan keterbukaanpemerintah dalam
membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga
dapat diketahui dan diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) maupun masyarakat.
e. Pengendalian, dalam pengelolaan keuangan daerah perlu
dilakukan monitoring terhadap penerimaan maupun
pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), sehingga bila terjadi selisih (varians) dapat dengan
segera dicari penyebab timbulnya selisih.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 4,
terdapat prinsip penting dalam mengelola keuangan daerah
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
meliputi: Taat pada peraturan perundang-undangan, Efektif,
Efisien, Ekonomis, Transparan, Bertanggung jawab, Keadilan.
E. Analisis Kinerja Keuangan Daerah
Menurut Mahmudi (2016: 135) Analisis pendapatan daerah
dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah daerah dalam
melaksanakan anggaran. Berdasarkan data pendapatan daerah yang
disajikan dalam laporan realisasi anggaran, dapat dilakukan beberapa
analisis rasio keuangan, diantaranya: Rasio Derajat Desentralisasi,
Rasio Kemandirian Keuangan, Rasio Efektivitas PAD, Rasio Efisiensi
Keuangan dan Rasio Keserasian Belanja.
1. Analisis Kinerja Keuangan Pendapatan Daerah
Analisis Kinerja Keuangan Pendapatan Daerah dapat terlihat
dari realisasi pendapatan dan anggaran. Apabila realisasi melebihi
anggaran yang telah dibuat maka kinerja pemerintah daerah dinilai
baik. Berdasarkan realisasi anggaran, Analisis Kinerja Keuangan
Pendapatan Daerah dapat dilakukan dengan cara: (Mahmudi, 2016:
135)
a. Analisis Varians Pendapatan Daerah
Analisis Varians Pendapatan Daerah dilakukan dengan cara
menghitung selisih antara realisasi pendapatan dengan yang
dianggarkan. Informasi selisih anggaran tersebut sangat
membantu pengguna laporan dalam memahami dan
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
menganalisis Kinerja Keuangan Pendapatan. Pada prinsipnya,
anggaran pendapatan merupakan batas minimal jumlah
pendapatan yang ditargetkan harus diperoleh oleh pemerintah
daerah. Pemerintah daerah dikatakan memiliki Kinerja
Keuangan Pendapatan yang baik apabila mampu memperoleh
pendapatan melebihi jumlah yang dianggarkan (target
anggaran). Sebaliknya, apabila realisasi pendapatan di bawah
jumlah yang dianggarkan, maka hal itu dinilai kurang baik.
Apabila target pendapatan dapat dicapai bahkan terlampaui,
maka hal itu tidak terlalu mengejutkan karena seharusnya
demikian. Selisih lebih realisasi pendapatan merupakan selisih
yang diharapkan (favourable variansce), sedangkan selisih
kurang merupakan selisih yang tidak diharapkan (unfavourable
variansce). Berikut ini rumus untuk menghitung Analisis
Varians Pendapatan Daerah:
Skala yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian
terhadap Analisis Varians Pendapatan Daerah adalah sebagai
berikut:
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
TABEL 2.1
Kriteria Analisis Varians Pendapatan Daerah
Skala Interval (%) Kemampuan Keuangan Daerah
<75 Tidak Efektif
75-89 Kurang Efektif
90-99 Cukup Efektif
100 Efektif
>100 Sangat Efektif
Sumber: Mahmudi (2010)
b. Analisis Rasio Keuangan Daerah
Menurut Djarwanto (2001:123), Rasio adalah suatu
angka yang menunjukkan hubungan antara suatu unsur dengan
unsur lainnya dalam Laporan Keuangan. Rasio menggambarkan
suatu hubungan atau perimbangan antara suatu jumlah tertentu
dengan jumlah yang lainnya, dan dengan menggunakan alat
analisis berupa rasio. Rasio ini dapat memberikan gambaran
tentang baik buruknya keadaan atau posisi keuangan suatu
koperasi (Munawir, 2001:64). Analisis rasio keuangan dibagi
menjadi tiga, yaitu:
1) Rasio Derajat Desentralisasi
Rasio Derajat Desentralisasi dihitung berdasarkan
perbandingan antara jumlah Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dengan Total Pendapatan Daerah. Rasio ini
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
menunjukan derajat kontribusi PAD terhadap Total
Pendapatan Daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD
maka semakin tinggi kemampuan pemerintah daerah
dalam penyelenggaraan desentralisasi. Rasio ini
dirumuskan sebagai berikut :
Skala yang digunakan untuk mengukur Rasio
Derajat Desentralisasi dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
TABEL 2.2
Skala Interval Rasio Derajat Desentralisasi
Skala Interval Derajat Desentralisasi (%) Kemampuan Keuangan Daerah
00,00-10,00 Sangat Kurang
10,01-20,00 Kurang
20,01-30,00 Cukup
30,01-40,00 Sedang
40,01-50,00 Baik
>50,00 Sangat Baik
Sumber: Wulandari (dalam Adhiantoko 2013)
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
2) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah menunjukan
tingkat kemampuan suatu daerah dalam membiayai sendiri
kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi
sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio
Kemandirian Keuangan Daerah dihitung dengan cara
membandingkan jumlah penerimaan pendapatan asli daerah
dibagi dengan jumlah pendapatan transfer dari pemerintah
pusat dan provinsi serta pinjaman daerah. Semakin tinggi
angka rasio ini menunjukan pemerintah daerah semakin
tinggi kemandirian keuangan daerahnya. Rumus
kemandirian dapat dihitung sebagai berikut:
Pola hubungan yang digunakan untuk mengukur Rasio
Kemandirian Keuangan adalah sebagai berikut:
TABEL 2.3
Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah
Kemampuan
Keuangan Kemandirian (%) Pola Hubungan
Rendah Sekali 0-25% Instruktif
Rendah 25-50% Konsultatif
Sedang 50-75% Partisipatif
Tinggi 75-100% Delegatif
Sumber: Halim (dalam Adhiantoko 2013)
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
a) Pola hubungan instruktif, dimana peranan pemerintah
pusat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah
daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan
otonomi daerah)
b) Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan
pemerintah pusat sudah mulai berkurang karena daerah
dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi
daerah.
c) Pola hubungan partisipatif, peranan pemerintah pusat
sudah mulai berkurang, mengingat daerah yang
bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu
melaksanakan urusan otonomi daerah.
d) Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan
pemerintah sudah tidak ada karena daerah telah benar-
benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan
otonomi daerah.
3) Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah
Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah dihitung
dengan cara membandingkan jumlah Pendapatan Transfer
yang diterima oleh penerimaan daerah dengan total
penerimaan daerah. Semakin tinggi rasio ini, maka semakin
besar tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
pemerintah pusat atau pemerintah provinsi. Rasio ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Kriteria yang dapat digunakan untuk melakukan
penilaian terhadap rasio ketergantungan keuangan daerah
menurut Tim Fisipol UGM dan Balitbang Depdagri (1991)
dalam Juliani Dora (2017), adalah sebagai berikut:
TABEL 2.4
Kriteria Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah
Persentase Pendapatan
Transfer terhadap Total
Pendapatan
Ketergantungan
Keuangan Daerah
00,00-10,00 Sangat Rendah
10,01-20,00 Rendah
20,01-30,00 Sedang
30,01-40,00 Cukup
40,01-50,00 Tinggi
>50,00 Sangat Tinggi
Sumber: Tim Fisipol UGM dan Balitbang Depdagri (1991)
dalam Juliani Dora (2017)
c. Analisis Pertumbuhan Pendapatan daerah
Analisis Pertumbuhan Pendapatan bermanfaat untuk
mengetahui apakah pemerintah daerah dalam tahun anggaran
bersangkutan atau selama beberapa periode anggaran, kinerja
anggarannya mengalami pertumbuhan pendapatan secara positif
atau negatif tentunya diharapkan pertumbuhan pendapatan yang
positif dan kecenderungannya (trend) meningkat. Sebaliknya
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
jika terjadi pertumbuhan yang negatif maka hal itu menunjukan
terjadi penurunan kinerja pendapatan (Mahmudi, 2010: 138)
Analisis Pertumbuhan Pendapatan Daerah dapat dirumuskan
sebagai berikut:
2. Analisis Kinerja Keuangan Belanja Daerah
Analisis Kinerja Keuangan Belanja Daerah dilakukan untuk
mengevaluasi apakah daerah telah menggunakan APBD secara
ekonomis, efisien, dan efektif. Kinerja Keuangan Belanja Daerah
dinilai baik apabila realisasi belanja lebih rendah dari jumlah yang
dianggarkan. Analisis Kinerja Keuangan Belanja Daerah dapat
dilakukan dengan cara:
a. Analisis Varians Belanja Daerah
Analisis ini merupakan analisis terhadap perbedaan atau
selisih antara realisasi dengan anggaran. Selisih dalam analisis
ini dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu: 1) selisih disukai
dan 2) selisih tidak disukai. Selisih disukai terjadi saat realisasi
belanja lebih kecil dari anggaran, sedangkan selisih yang tidak
disukai terjadi jika realisasi belanja lebih besar dari
anggarannya. Selisih yang signifikan akan memiliki dua
kemungkinan, pertama dapat diartikan jika telah terjadi efisiensi
anggaran. Kedua dapat diartikan sebaliknya, ini terjadi jika
selisih kurang maka sangat mungkin telah terjadi kelemahan
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
dalam perencanaan anggaran sehingga estimasi kurang tepat.
Analisis varians belanja daerah dapat dirumuskan sebagai
berikut :
b. Analisis Keserasian Belanja Daerah
Analisis keserasian belanja bermanfaat untuk mengetahui
keseimbangan antar belanja. Hal ini terkait dengan fungsi
anggaran sebagai alat distribusi, alokasi dan stabilisasi dengan
demikian pemerintah daerah perlu untuk membuat harmonisasi
belanja, guna menjaga fungsi anggaran tetap berjalan dengan
baik. (Mahmudi, 2010:162)
1) Rasio Belanja Modal
Rasio ini dapat digunakan untuk mengetahui proporsi
Belanja Daerah yang dialokasikan untuk investasi dalam
bentuk belanja modal dalam tahun anggaran bersangkutan.
Sifat dari belanja ini adalah jangka menengah dan panjang,
selain itu belanja modal tidak rutin. Pemerintah daerah
dengan tingkat pendapatan rendah biasanya akan memiliki
proporsi tingkat belanja modal yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pemerintah daerah dengan tingkat
pendapatan tinggi. Penyebab terjadinya adalah pemerintah
daerah yang memiliki tingkat pendapatan rendah akan
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
berorientasi untuk melakukan belanja modal sebagai bagian
dari investasi modal jangka panjang. Rasio belanja modal ini
dirumuskan sebagai berikut:
2) Rasio Belanja Operasional
Rasio ini memberi informasi mengenai porsi belanja
daerah yang dialokasikan untuk belanja operasi. Belanja
operasi adalah belanja yang manfaatnya dapat habis
dikonsumsi dalam satu tahun anggaran. Pada umumnya,
pemerintah dengan tingkat pendapatan tinggi cenderung akan
memiliki porsi belanja operasi yang lebih tinggi
dibandingkan pemerintah daerah dengan pendapatan rendah.
Penyebabnya adalah pemerintah daerah dengan tingkat
pendapatan tinggi biasanya telah memiliki aset modal yang
mencukupi sehingga pemerintah daerah tersebut cenderung
melakukan belanja yang bersifat jangka pendek. Rasio
belanja operasional dirumuskan sebagai berikut:
c. Analisis Pertumbuhan Belanja Daerah
Analisis Pertumbuhan Belanja Daerah bermanfaat untuk
mengetahui perkembangan belanja dari tahun ke tahun. Belanja
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
Daerah sendiri biasanya memiliki kecenderungan untuk naik,
kenaikan tersebut terjadi karena adanya penyesuaian dengan
inflasi dan perubahan nilai tukar rupiah, perubahan cakupan
pelayanan, dan penyesuaian faktor makro ekonomi. Kenaikan
wajar atau tidaknya perlu melihat beberapa hal yang disebutkan
sebelumnya dan alasan kenaikan belanja terjadi, apakah karena
kenaikan internal yang relatif terencana dan terkendali ataukah
faktor eksternal yang diluar kendalai pemerintah daerah
(Mahmudi, 2010). Analisis ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
d. Analisis Efisiensi Belanja Daerah
Analisis Efisiensi Belanja Daerah ini digunakan untuk
mengukur tingkat penghematan anggaran yang dilakukan
pemerintah daerah. Pemerintah daerah dinilai telah melakukan
efisiensi anggaran jika rasio efisiensinya kurang dari 100%.
Sebaliknya jika lebih dari 100% mengindikasikan terjadinya
pemborosan anggaran (Mahmudi, 2010).Rumus yang digunakan
sebagai berikut :
F. Penelitian Terdahulu
1. “Analisis Kinerja Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
Kabupaten Klaten Tahun 2008-2012” yang dilakukan oleh Bahrun
Assidiqi (2014)
Hasil penelitian dalam Kinerja Keuangan Pendapatan Daerah
secara umum dapat dikatakan baik. Meskipun tingkat ketergantungan
terhadap pemerintah pusat masih tinggi dan pemungutan pajak daerah
masih belum efisien. Dan hasil penelitian dalam Kinerja Keuangan
Belanja Daerah secara umum juga dapat dikatakan baik, tetapi dalam
keserasian belanja belum terjasi keseimbangan antara Belanja Operasi
dengan Belanja Modal.
2. “Analisis Rasio Keuangan Daerah Dalam Mengenai Kinerja Keuangan
Pemerintah Kota Medan” yang dilakukan oleh Lazyra (2016)
Hasil penelitian ini mengatakan bahwa Kinerja Pemerintah Daerah
Kota Medan dengan menggunakan Rasio Keuangan daerah mengalami
penurunan, hal ini terjadi dikarenakan kurang maksimalnya pendapatan
daerah Pemrintah Kota Medan, dan meningkatnya belanja daerah,
bahkan melebihi yang dianggarkan oleh Pemerintah Kota Medan,
selain itu juga Pemerintah Daerah Kota Medan tidak mampu
meningkatkan dan mengelola hasil pendapatan asli daerah, sehingga
masih harus tergantung dengan dana Pemerintahan Pusat.
3. “Analisis Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah dalam Pengelolaan
APBD Kota Surabaya Tahun 2012-2015” yang dilakukan oleh Anis
Karlina (2017)
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
Hasil penelitian ini mengatakan bahwa kinerja keuangan dalam
pertumbuhan pendapatan daerah Kota Surabaya selama tahun 2012-
2015, dapat dikatakan positif karena setiap tahunnya jumlah realisasi
pendapatan daerah baik dari PAD maupun TPD selalu mengalami
peningkatan dari tahun sebelumnya. Dan dapat dilihat dari Efisiensi
Belanja Daerah, realisasi anggaran belanja Pemerintah Kota Surabaya
tidak terdapat angka melebihi anggaran belanja. Hal ini menunjukan
bahwa Pemerintah Kota Surabaya telah melakukan efisiensi belanja.
4. “Analisis Kinerja Keuangan Daerah Pemerintah Kota Yogyakarta
Tahun 2010-2014” yang dilakukan oleh Juliani Dora (2017)
Hasil penelitian ini menunjukan, dilihat dari Derajat Desentralisasi
Pemerintah Kota Yogyakarta tahun 2010-2014 menunjukan masih
rendah. Rasio Ketergantungan menunjukan Pemerintah daerah Kota
Yogyakarta memiliki ketergantungan yang sangat tinggi. Dari Rasio
Kemandirian, menunjukan hasil masih rendah dan memiliki pola
hubungan konsultatif. Dari Rasio Efektivitas Pajak, sangat efektif
dalam mengumpulkan pajak daerah. Dari Rasio Keserasian,
menunjukan bahwa belanja pemerintah daearah Kota Yogyakarta
pengalokasiannya lebih didominasi oleh Belanja Operasi. Dari Rasio
Efisiensi Belanja, menunjukan bahwa pemerintah daerah telah
melakukan penghematan anggaran. Dan dari Rasio Pertumbuhan
Pendapatan, bahwa pertumbuhan pendapatan dan pertumbuhan
pendapatan asli dearah menunjukan hasil yang positif.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
BAB III
METODA PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif,
yang mana, data ini berupa data sekunder berupa Anggaran dan
Realisasi Pendapatan Belanja Daerah Istimewa Yogyakarta periode
2012-2016.
B. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian merupakan sesuatu yang diteliti, oleh
karena itu subjek pada penelitian ini adalah Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Objek pada penelitian ini
adalah Laporan Realisasi APBD Pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta. Tahun 2012-2016.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik
dokumentasi dan data yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan data sekunder yaitu Anggaran APBD Pemerintah
Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2012-2016 dan Laporan
Realisasi APBD Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tahun
2012-2016 yang didapatkan dari Dinas Pendapatan Pengelolaan
Keuangan dan Aset (DPPKA) Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
dan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI)
Perwakilan Provinsi DIY.
D. Teknik Analisis Data
Analisis terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah
dalam pengelolaan Anggaran pendapatan daerah secara umum
terlihat dari realisasi pendapatan dan anggarannya. Apabila
realisasi melampaui anggaran (target) maka kinerja dapat dinilai
dengan baik. Penilaian kinerja pendapatan pada dasarnya tidak
cukup hanya melihat apakah realisasi pendapatan daerah telah
melampaui target anggaran, namun perlu dilihat lebih lanjut
kompenen pendapatan apa yang paling berpengaruh. Mahmudi
(2010:135) menyatakan bahwa, analisis terhadap kinerja keuangan
pemerintah daerah dalam pengelolaan pendapatan daerah antara
lain dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah dalam
Pengelolaan Pendapatan Daerah
a. Analisis Varians Pendapatan Daerah
Analisis ini dilakukan dengan cara menghitung
selisih antara realisasi pendapatan dengan yang
dianggarkan. Biasanya selisih anggaran sudah
diinformasikan dalam laporan realisasi anggaran yang sudah
disajikan oleh pemerintah daerah. Informasi selisih
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
anggaran-anggaran tersebut sangat membantu pengguna
laporan dalam memahami dan menganalisis kinerja
pendapatan. Varians pendpatan dapat dirumuskan sebagai
berikut :
Jika terdapat selisih lebih (realisasi pendapatan melebihi
jumlah yang dianggarkan) maka dikatakan memiliki Kinerja
Keuangan Pendapatan yang baik, sebaliknya apabila
terdapat selisih kurang (realisasi pendapatan kurang dari
jumlah yang dianggarkan) maka Kinerja Keuangan
Pemerintah dalam Pengelolaan Pendapatan Daerah dinilai
kurang baik (Mahmudi, 2010).
b. Analisis Rasio Keuangan Daerah
Menurut Djarwanto (2001:123), Rasio adalah
suatu angka yang menunjukkan hubungan antara suatu
unsur dengan unsur lainnya dalam Laporan Keuangan.
Rasio menggambarkan suatu hubungan atau perimbangan
antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah yang lainnya,
dan dengan menggunakan alat analisis berupa rasio. Rasio
ini dapat memberikan gambaran tentang baik buruknya
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
keadaan atau posisi keuangan suatu koperasi (Munawir,
2001:64). Analisis rasio keuangn dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Rasio Derajat Desentralisasi
Derajat desentralisasi dihitung berdasarkan
perbandingan antara jumlah Pendapatan Asli Daerah
dengan total penerimaan daerah. Rasio ini menunjukkan
derajat kontribusi PAD terhadap total penerimaan
daerah. Semakin tinggi Pendapatan Asli Daerah, maka
semakin tinggi kemampuan pemerintah dalam
penyelenggaraan desentralisasi (Mahmudi, 2010). Rasio
ini dirumuskan sebagai berikut :
2) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Menurut Widodo (2001:150) rasio kemandirian
adalah rasio yang menunjukan pemerintah daerah dalam
membiayai sendiri kegiatan pemerintah, penggunaan
pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar
pajak dan retribusi daerah sebagai sumber Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan
daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan
pemerintah pusat atau pinjaman. Rumus yang digunakan
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
untuk menghitung Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
adalah
3) Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah
Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah
dihitung dengan cara membandingkan jumlah
Pendapatan Transfer yang diterima oleh penerimaan
daerah dengan total penerimaan daerah. Semakin tinggi
rasio ini, maka semakin besar tingkat ketergantungan
pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat atau
pemerintah propinsi (Mahmudi, 2010). Menurut
Kementerian Keuangan (2011), jika Rasio
Ketergantungan Keuangan Daerah berada di bawah 50%
berarti pemerintah daerah memiliki ketergantungan
keuangan daerah yang rendah. Rumus Rasio
Ketergantungan Keuangan Daerah yaitu:
c. Analisis Pertumbuhan Pendapatan Daerah
Rasio pertumbuhan pendapatan bertujuan untuk
mengetahui apakah pemerintah daerah dalam tahun
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
anggaran bersangkutan atau selama beberapa periode
anggaran, kinerja anggarannya mengalami pertumbuhan
pendapatan secara positif atau negatif. Rumus yang
digunakan adalah sebagai berikut :
2. Analisis Kinerja Keuangan Pemerinah Daerah dalam
Pengelolaan Anggaran Belanja Daerah
Analisis belanja daerah sangat penting dilakukan untuk
mengevaluasi apakah pemerintah daerah telah menggunakan
APBD secara ekonomis, efisien dan efektif. Mahmudi
(2010:155) menyatakan bahwa, analisis anggaran belanja
dilakukan dengan cara :
a. Analisis Varians Belanja Daerah
Analisis varians merupakan analisis terhadap
perbedaan atau selisih antara realisasi belanja dengan
anggaran. Berdasarkan laporan realisasi anggaran yang
disajikan, pembaca laporan dapat mengetahui secara
langsung besarnya varians anggaran belanja dengan
realisasinya yang bisa dinyatakan dalam bentuk nilai
nominal atau peresentasenya. Kinerja pemerintah daerah
dinilai kurang baik jika terdapat selisih lebih (realisasi
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
belanja melebihi jumlah yang dianggarkan) sedangkan jika
terdapat selisih kurang (realisasi belanja kurang dari
jumlah yang dianggarkan) maka Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Belanja Daerah
dinilai baik (Mahmudi, 2010) Analisis varians belanja
daerah dapat dirumuskan sebagai berikut :
b. Analisis Keserasian Belanja Daerah
Rasio Keserasian menggambarkan bagaimana
pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada
Belanja Operasional dan Belanja Modal secara optimal.
Ada 2 perhitungan dalam Rasio Keserasian ini, yaitu :
1) Rasio Belanja Modal
Rasio Belanja Modal merupakan perbandingan
antara total belanja modal dengan total belanja daerah.
(Mahmudi 2010:164). Rasio belanja modal ini
dirumuskan sebagai berikut:
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
2) Rasio Belanja Operasional
Rasio Belanja Operasi merupakan perbandingan
antara total belanja operasional dengan total belanja
daerah. (Mahmudi 2010:164). Rasio belanja
operasional dirumuskan sebagai berikut:
c. Analisis Pertumbuhan Belanja Daerah
Analisis Pertumbuhan Belanja Daerah berguna
untuk mengetahui pertumbuhan belanja dari tahun ke
tahun. Belanja daerah sendiri biasanya memiliki
kecenderungan untuk naik, kenaikan tersebut terjadi
karena adanya penyesuaian dengan inflasi, perubahan nilai
tukar rupiah, perubahan cakupan pelayanan, dan
penyesuaian faktor makro ekonomi. Kenaikan wajar atau
tidaknya perlu melihat beberapa hal yang disebutkan
sebelumnya dan alasan kenaikan belanja terjadi, apakah
karena kenaikan internal yang relatif terencana dan
terkendali ataukah faktor eksternal yang diluar kendalai
pemerintah daerah (Mahmudi, 2010).
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
d. Analisis Efisiensi Belanja Daerah
Analisis Efisiensi Belanja Daerah ini digunakan
untuk mengukur tingkat penghematan anggaran yang
dilakukan pemerintah daerah. Pemerintah daerah dinilai
telah melakukan efisiensi anggaran jika rasio efisiensinya
kurang dari 100%. Sebaliknya jika lebih dari 100%
mengindikasikan terjadinya pemborosan anggaran
(Mahmudi, 2010).Rumus yang digunakan sebagai berikut :
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum
a. Kondisi Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi dari 34
provinsi di wilayah Indonesia dan terletak di pulau Jawa bagian tengah.
D.I. Yogyakarta di bagian selatan dibatasi Lautan Indonesia, sedangkan di
bagian timur laut, tenggara, barat, dan barat laut dibatasi oleh wilayah
provinsi Jawa Tengah yang meliputi : Kabupaten Klaten di sebelah Timur
Laut, Kabupaten Wonogiri di sebelah Tenggara, Kabupaten Purworejo di
sebelah Barat, Kabupaten Magelang di sebelah Barat Laut.
PETA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Sumber : DPPKA
Gambar 4.1
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara 7º.33’- 8 º.12’
Lintang Selatan dan 110 º.00’ - 110 º.50’ Bujur Timur, tercatat memiliki
luas 3.185,80 km² atau 0,17 persen dari luas Indonesia (1.860.359,67 km²),
merupakan provinsi terkecil setelah Provinsi DKI Jakarta, yang terdiri dari
:Kabupaten Kulonprogo, dengan luas 586,27 km² (18,40 persen)
Kabupaten Bantul, dengan luas 506,85 km² (15,91 persen) Kabupaten
Gunungkidul dengan luas 1.485,36 km² (46,63 persen) Kabupaten Sleman,
dengan luas 574,82 km² (18,04 persen) Kota Yogyakarta, dengan luas
32,50 km² (1,02 persen)
D.I. Yogyakarta terdiri dari empat kabupaten dan satu kota dengan
78 kecamatan dan 438 kelurahan/desa yaitu : Kabupaten Kulonprogo
terdiri dari 12 kecamatan dan 88 kelurahan/desa, Kabupaten Bantul terdiri
dari 17 kecamatan dan 75 kelurahan/ desa, Kabupaten Gunungkidul terdiri
dari 18 kecamatan dan 144 kelurahan/ desa, Kabupaten Sleman terdiri dari
17 kecamatan dan 86 kelurahan/desa, Kota Yogyakarta terdiri dari 14
kecamatan dan 45 kelurahan/desa.
Ibu kota Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Kota Yogyakarta.
Daerah ini memiliki nama Daerah Istimewa Yogyakarta dikarenakan
masih menggunakan sistem kekerajaan kesultanan. Daerah Istimewa
Yogyakarta meskipun memiliki wilayah yang lebih kecil jika
dibandingkan dengan provinsi lain, tapi tidak menutupi bahwa Daerah
Istimewa Yogyakarta ini memiliki potensi budaya dan sejarah yang dijaga
dengan baik.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
Daerah Istimewa Yogyakarta ini juga memiliki potensi dalam
perekonomian yang baik dan mendapatkan predikat sebagai Kota Pelajar
dan Kota Berbudaya, sehingga mendatangkan para wisatawan dari
berbagai mancanegara maupun lokal. Dalam hal ini Daerah Istimewa
Yogyakarta memiliki suatu sektor keunggulan yang baik dalam
perekonomian daerah. Sektor yang paling penting dalam memacu
perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta ini adalah sektor pariwisata.
Sektor pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta ini meliputi pariwisata
alam seperti pantai, gunung, dan lain-lain serta budaya dan candi
peninggalan zaman dahulu.
b. Profil Kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta
1) Kabupaten Kulon Progo
Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu kabupaten dari
lima kabupaten/kota di Provinsi DIY yang terletak dibagian barat.
Batas Kabupaten Kulon Progo di sebelah timur yaitu Kabupaten
Bantul dan Kabupaten Sleman, disebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah, sebelah utara
berbatasan dengan Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah
dan sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia.
Kabupaten Kulon Progo memiliki topografi yang bervariasi
dengan ketinggian antara 0-1000 meter diatas permukaan air laut,
yang terbagi menjadi 3 wilayah meliputi, Bagian utara: merupakan
dataran tinggi/perbukitan Menoreh dengan ketinggian antara 500-
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
1000 meter diatas permukaan air laut, meliputi Kecamatan
Girimulyo, Kokap, Kalibawang dan Samigaluh. Bagian tengah:
merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 100-500
meter diatas permukaan laut, meliputi Kecamatan Nanggulan,
Sentolo, Pengasih, dan sebagian Lendah. Bagian selatan:
merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0-100 meter diatas
permukaan laut, meliputi Kecamatan Temon, Wates, Panjatan,
Galur, dan sebagian Lendah.
PETA KABUPATEN KULON PROGO
Sumber: DPPKA
GAMBAR 4.2
Luas wilayah Kabupaten Kulon Progo adalah 58.627,54 hektar,
secara administratif terbagi menjadi 12 kecamatan yang meliputi 88
desa dan 930 dusun, penggunan tanah di Kulon progo, meliputi
sawah 10.732,04 Ha (18,30%); tegalan 7.145,42 Ha (12,19%);
kebun campur 31.131,81 Ha (53,20%); perkampungan seluas
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
3.337,73 Ha (5,69%); hutan 1.025 Ha (1,75%); perkebunan rakyat
486 Ha (0,80%); tanah tandus 1.225 Ha (2,09%); waduk 197 Ha
(0,34%); tambak 50 Ha (0,09%); dan tanah lain-lain seluas 3.315
Ha (5,65%).
2) Kabupaten Bantul
Kabupaten Bantul adalah kabupaten yang terletak di sebelah
selatan Provinsi DIY. Moto Kabupaten ini adalah Projotamansari
sigkatan dari Produktif-Profesional, Ijo royo royo, Tertib, Aman,
Sehat dan Asri.
PETA KABUPATEN BANTUL
Sumber: DPPKA
GAMBAR 4.3
Kabupaten Bantul terletak antara 07° 44’04”- 08° 00’ 27”
Lintang Selatan dan 110° 12’ 34”- 110° 31’ 08” Bujur Timur. Luas
wilayah Kabupaten Bantul 506, 85Km² (15,90% dari luas wilayah
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
Provinsi DIY). Secara administratif Kabupaten bantul terdiri dari
17 Kecamatan, 75 Desa, dan 933 Dusun.
3) Kabupaten Sleman
Kabupaten Sleman adalah salah satu kabupaten di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Batas wilayah Kabupaten Sleman, sebelah
timur ada Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah, sebelah Barat
berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten
Magelang, Provinsi Jawa Tengah, sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Boyolali Provinsi Jawa Tengah dan sebelah Selatan
berbatasan dengan Kota Yogyakarta, Kabupaten Gunung Kidul dan
Kabupaten Bantul.
PETA KABUPATEN SLEMAN
Sumber: DPPKA
GAMBAR 4.4
Luas wilayah Kabupaten Sleman adalah 57.482 Ha atau sekitar
18% dari luas Provinsi DIY, dengan jarak terjauh Utara-Selatan 32
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
Km, Timur-Barat 35 Km. Secara administratif kabupaten Sleman
terdiri 17 wilayah Kecamatan, 86 Desa, dan 1.212 Dusun.
4) Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Provinsi DIY
dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus Kota
disamping 4 daerah tingkat II lainnya yang berstatus kabupaten.
Batas wilayah Kota Yogyakarta, sebelah timur ada Kabupaten
Bantul dan Kabupaten Sleman, sebelah Barat berbatasan dengan
Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman, sebelah utara berbatasan
dengan Kabupaten Sleman dan sebelah Selatan berbatasan dengan
Kabupaten Bantul.
PETA KOTA YOGYAKARTA
Sumber: DPPKA
GAMBAR 4.5
Luas dari Kota Yogyakarta sendiri lebih sempit jika
dibandingkan dengan daerah kabupaten lainnya yaitu 3.250 Ha atau
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
kurang lebih 1,025% atau 32,5 km2 dari luas wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta. Menurut administratif Kota Yogyakarta ini
mempunyai 14 kecamatan yang mencakup 45 kelurahan, 617 RW,
dan 2.531 RT. Dengan jumlah penduduk sebanyak 489.000 jiwa.
5) Kabupaten Gunung Kidul
Kabupaten Gunung Kidul adalah salah satu kabupaten di
Provinsi DIY. Batas wilayah Kabupaten Bantul, sebelah timur ada
Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah, sebelah Barat
berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman,
sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Kabupaten
Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah dan sebelah Selatan berbatasan
dengan Samudera Hindia.
PETA KABUPATEN GUNUNG KIDUL
Sumber: DPPKA
GAMBAR 4.6
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
Luas dari Kabupaten Gunung Kidul sendiri adalah 1.485,36
km2 atau kurang lebih 46,63% dari luas wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta. Menurut administratif Kabupaten Gunung Kidul ini
mempunyai 18 kecamatan yang mencakup 144 desa, 1.416 dusun,
1.583 RW, dan 6.844 RT. Dengan jumlah penduduk sebanyak
971.511 jiwa.
2. Deskripsi data penelitian Anggaran dan Laporan Realisasi Keuangan
APBD DIY tahun 2012-2016
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi DIY Tahun 2012-
2016
APBD merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah yang
dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta ditetapkan dengan peraturan
daerah.
Berikut ini merupakan tabel Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Provinsi DIY tahun 2012-2016:
TABEL 4.1
APBD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012-2016 (dalam Rupiah)
Tahun APBD
SURPLUS/DEFISIT Anggaran Pendapatan Anggaran Belanja
2012 2.078.185.750.549,00 2.285.140.075.735,00 (206.954.325.186,00)
2013 2.658.370.090.569,00 2.917.270.974.520,00 (258.900.883.951,00)
2014 3.155.760.939.182,27 3.466.745.462.269,77 (310.984.523.087,50)
2015 3.357.761.886.230,77 3.806.092.624.463,02 (448.330.738.232,25)
2016 3.905.666.302.867,80 4.039.848.730.885,60 (134.182.428.017,80)
Sumber: BPK RI Perwakilan Provinsi DIY
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
Berdasarkan tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2012 sampai
dengan tahun 2016 APBD Provinsi DIY lebih memperbanyak anggaran
belanja dari pada anggaran pendapatan.
Berikut ini merupakan tabel Realisasi Pendapatan dan Belanja
Daerah Provinsi DIY tahun 2012-2016:
TABEL 4.2
Realisasi APBD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012-2016 (dalam
Rupiah)
Tahun Realisasi APBD
SURPLUS/DEFISIT Realisasi Pendapatan Realisasi Belanja
2012 2.171.734.307.663,33 2.053.825.959.467,00 117.908.348.196,33
2013 2.583.056.763.524,01 2.509.643.375.218,35 73.413.388.305,66
2014 3.139.871.880.417,16 2.981.068.320.421,41 158.803.559.995,75
2015 3.400.014.811.777,00 3.496.425.502.266,40 (96.410.690.489,40)
2016 3.899.192.985.313,51 3.847.962.965.846,72 51.230.019.466,79
Sumber: BPK RI Perwakilan Provinsi DIY
Berdasarkan tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2012-2014
Pemerintah Provinsi DIY mengalami surplus, di tahun 2015 mengalami
defisit dan ditahun 2016 mengalami surplus lagi.
b. Pendapatan Daerah Provinsi DIY Tahun 2012-2016
Menurut Halim (2007:99) Pendapatan Daerah adalah semua
penerimaan kas daerah yang menambah ekuitas dan pada periode tahun
anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah daerah, dan
tidak perlu dibayar kembali oleh Pemda.
Berikut ini merupakan tabel Pendapatan Daerah Provinsi DIY
tahun 2012-2016:
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
TABEL 4.3
Realisasi Pos-Pos Pembentukan Pendapatan Daerah (dalam Rupiah)
Tahun Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Transfer Lain-lain Pendapatan
yang Sah
2012 1.004.063.125.812,33 1.161.102.204.851,00 6.568.977.000,00
2013 1.216.102.749.617,01 1.356.662.127.537,00 10.291.886.370,00
2014 1.464.604.954.200,60 1.666.443.974.080,00 8.822.952.137,00
2015 1.593.110.769.595,00 1.795.163.924.136,00 11.740.118.046,00
2016 1.673.749.196.521,51 2.215.906.007.176,00 9.537.781.616,00
Total 6.951.630.795.746,45 8.195.278.237.780,00 46.961.715.169,00
Sumber: BPK RI Perwakilan Provinsi DIY
Berdasarkan tabel 4.3 menunjukan jika pos realisasi Lain-Lain Pendapatan
yang Sah lebih besar dibandingkan Pendapatan Asli Daerah dan
Pendapatan Transfer, yaitu sebesar Rp46.961.715.169,00 untuk
Pendapatan Asli Daerah sebesar Rp6.951.630.795.746,45 dan Pendapatan
Transfer sebesar Rp8.195.278.237.780,00.
c. Realisasi Belanja Operasi dan Belanja Modal Provinsi DIY Tahun
2012-2016
Belanja Operasi dan Belanja Modal merupakan pos-pos penyusun
belanja daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Berikut ini merupakan tabel Realisasi Belanja Operasi dan Belanja
Modal Provinsi DIY tahun 2012-2016:
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
TABEL 4.4
Realisasi Belanja Operasi dan Belanja Modal (dalam Rupiah)
Tahun Realisasi Belanja Operasi Realisasi Belanja Modal
2012 1.521.924.861.485,00 216.419.982.440,00
2013 1.640.519.809.958,57 369.395.794.039,00
2014 1.942.797.509.932,94 442.446.473.601,00
2015 2.168.034.330.402,65 627.602.185.565,00
2016 2.312.451.570.808,70 836.873.712.179,35
Total 9.585.728.082.587,86 2.492.738.147.824,35
Sumber: BPK RI Perwakilan Provinsi DIY
Berdasarkan tabel 4.4 di atas menunjukkan jika realisasi belanja operasi
lebih besar dari realisasi belanja modal pada semua tahun yang
dibandingkan. Total realisasi belanja operasi dari lima tahun bersangkutan
sebesar Rp9.585.728.082.587,86, sedangkan total realisasi belanja modal
sebesar Rp2.492.738.147.824,35.
3. Analisis dan Pembahasan Kinerja Keuangan APBD DIY Tahun 2012-
2016
3.1 Analisis Kinerja Keuangan APBD DIY
a. Analisis Kinerja Keuangan APBD DIY dalam Pengelolaan
Pendapatan Daerah Tahun 2012-2016
1) Analisis Varians Pendapatan Daerah
Analisis Varians Pendapatan Daerah dilakukan dengan cara
menghitung selisih antara realisasi pendapatan dengan yang
dianggarkan untuk membantu pengguna laporan dalam memahami
dan menganalisis Kinerja Keuangan Pendapatan. Berikut ini tabel
perhitungan Varians Pendapatan Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta tahun 2012-2016
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
TABEL 4.5
Secara rata-rata dalam 5 tahun terakhir (2012-21016),
Analisis Varians Pendapatan Daerah menunjukan bahwa Kinerja
Keuangan Pendapatan Daerah Provinsi DIY dapat dikatakan baik.
Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat rata-rata varians pendapatan
yang ditunjukkan sebesar 100,45%. Hal ini menunjukan bahwa
selama lima periode dapat memperoleh pendapatan yang melebihi
jumlah yang dianggarkan. Walaupun di tahun 2013, 2014, dan
2016 mengalami selisih kurang, tetapi selisih kurang tersebut selalu
menurun. Jika dilihat dari lima periode yang diteliti, varians
pendapatan paling tinggi terjadi pada tahun 2012 yaitu
Rp93.548.557.114,33, sedangkan pendapatan varians paling rendah
terjadi pada tahun 2013 Rp-75.313.327.044,99
2) Analisis Rasio Keuangan Daerah
Rasio menggambarkan suatu hubungan atau perimbangan
antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah yang lainnya, dan
Analisis Varians Pendapatan Daerah (dalam Rupiah)
Tahun
Pendapatan
APBD Realisasi Selisih
Persentase
Realisasi
APBD
2012 2.078.185.750.549,00 2.171.734.307.663,33 93.548.557.114,33 104,50%
2013 2.658.370.090.569,00 2.583.056.763.524,01 (75.313.327.044,99) 97,16%
2014 3.155.760.939.182,27 3.139.871.880.417,16 (15.889.058.765,11) 99,49%
2015 3.357.761.886.230,77 3.400.014.811.777,00 42.252.925.546,23 101,25%
2016 3.905.666.302.867,80 3.899.192.985.313,51 (6.473.317.554,29) 99,83%
Total 15.155.744.969.398,80 15.193.870.748.695,00 38.125.779.296,17 100,45%
Sumber: data diolah (2018)
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
dengan menggunakan alat analisis berupa rasio. Rasio ini dapat
memberikan gambaran tentang baik buruknya keadaan atau posisi
keuangan suatu koperasi (Munawir, 2001:64). Analisis Rasio
Keuangan dibagi menjadi tiga, yaitu:
a) Rasio Derajat Desentralisasi
TABEL 4.6
Rasio Derajat Desentralisasi (dalam Rupiah)
Tahun Pendapatan Asli
Daerah Total Pendapatan
Derajat
Desentralisasi (%)
2012 1.004.063.125.812,33 2.171.734.307.663,33 46,23%
2013 1.216.102.749.617,01 2.583.056.763.524,01 47,07%
2014 1.464.604.954.200,60 3.139.871.880.417,00 46,64%
2015 1.593.110.769.595,00 3.400.014.811.777,00 46,85%
2016 1.673.749.196.521,51 3.899.192.985.313,51 42,92%
Rata-rata 1.390.326.159.149,29 3.038.774.149.738,97 45,94%
Sumber: data diolah (2018)
Berdasarkan perhitungan rasio derajat desentralisasi dalam
tabel 4.6 di atas, di tahun 2012 derajat desentralisasi Provinsi DIY
sebesar 46,23%, kemudian mengalami peningkatan di tahun 2013
menjadi 47,07% dan ditahun 2013 adalah derajat desentralisasi
yang paling tinggi selama lima periode tersebut. Tetapi ditahun
2014 mengalami penurunan menjadi 46,64%, di tahun 2015
mengalami penaikan lagi menjadi 46,85% dan di tahun 2016
mengalami penuruan menjadi 42,92%. Secara keseluruhan rata-rata
derajat desentralisasi di Provinsi DIY dari tahun 2012 sampai
tahun 2016 sebesar 45,94% yang artinya kontribusi Pendapatan
Asli Daerah dari Total Pendapatan baik.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
b) Rasio Kemadirian Keuangan Daerah
TABEL 4.7
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (dalam Rupiah)
Tahun Pendapatan Asli Daerah Sumber Pendapatan
(Transfer+Provinsi+Pinjaman)
Rasio
Kemandirian
(%)
2012 1.004.063.125.812,33 1.161.102.204.851,00 86,47%
2013 1.216.102.749.617,01 1.356.662.127.537,00 89,63%
2014 1.464.604.954.200,60 1.666.443.974.080,00 87,88%
2015 1.593.110.769.595,00 1.795.163.924.136,00 88,74%
2016 1.673.749.196.521,51 2.215.906.007.176,00 75,53%
Rata-rata 1.390.326.159.149,29 1.639.055.647.556,00 85,65%
Sumber: data diolah (2018)
Bersadarkan tabel 4.7 di atas mengenai perhitungan rasio
kemandirian keuangan daerah di Provinsi DIY ditahun 2012-2013,
2014-2015 mengalami kenaikan, dan ditahun 2013-2014, 2015-
2016 mengalami penurunan. Rasio kemandirian paling tinggi yakni
ditahun 2013 jumlahnya 89,63% dan yang paling rendah ada pada
tahun 2016 yakni 75,53%. Secara keseluruhan jika dilihat dari
tingkat kemampuan keuangan daerah Provinsi DIY adalah tinggi,
sedangkan jika dilihat dari pola hubungan di Provinsi DIY adalah
deleglatif yang artinya campur tangan pemerintah sudah tidak ada.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
c) Rasio Ketergantungan keuangan Daerah
TABEL 4.8
Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah (dalam Rupiah)
Tahun Pendapatan Transfer Total Pendapatan
Daerah
Rasio
Ketergantungan
(%)
2012 1.161.102.204.851,00 2.171.734.307.663,33 53,46%
2013 1.356.662.127.537,00 2.583.056.763.524,01 52,52%
2014 1.666.443.974.080,00 3.139.871.880.417,00 53,07%
2015 1.795.163.924.136,00 3.400.014.811.777,00 52,79%
2016 2.215.906.007.176,00 3.899.192.985.313,51 56,82%
Rata-rata 1.639.055.647.556,00 3.038.774.149.738,97 53,73%
Sumber: data diolah (2018)
Berdasarkan tabel 4.8 perhitungan Rasio Ketergantungan
Keuangan Daerah dapat dikatakan bahwa tingkat ketergantungan
Provinsi DIY tahun 2012-2016 sangat tinggi yang ditunjukkan
dengan rata-rata Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah sebesar
53,73%. Tingkat ketergantungan tertinggi terjadi pada tahun 2016
yaitu 56,82%, sedang tingkat ketergantungan terendah terjadi pada
tahun 2013 yaitu 52,52%. Hasil ini menunjukkan bahwa
ketergantungan Pemerintah Daerah Provinsi DIY cukup tinggi
terhadap pemerintahan pusat.
3) Rasio Pertumbuhan Pendapatan Daerah
Analisis Pertumbuhan Pendapatan Daerah bermanfaat untuk
mengetahui apakah pemerintah daerah dalam tahun anggaran
bersangkutan atau selama periode anggaran, Kinerja Keuangan
APBD mengalami pertumbuhan secara positif ataukah negatif.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
TABEL 4.9
Analisis Pertumbuhan Pendapatan Daerah (dalam Rupiah)
Tahun Realisasi Pendaptan
Daerah tahun n
Realisasi Pendaptan
Daerah tahun n-1 Pertumbuhan
Rasio
Pertumbuhan
Pendapatan
Daerah (%)
2012 2.171.734.307.663,33 1.604.910.831.405,87 566.823.476.257,46 35,32%
2013 2.583.056.763.524,01 2.171.734.307.663,33 411.322.455.860,68 18,94%
2014 3.139.871.880.417,16 2.583.056.763.524,01 556.815.116.893,15 21,56%
2015 3.400.014.811.777,00 3.139.871.880.417,16 260.142.931.359,84 8,29%
2016 3.899.192.985.313,51 3.400.014.811.777,00 499.178.173.536,51 14,68%
Rata-rata 3.038.774.149.739,00 2.579.917.718.957,47 458.856.430.781,53 19,76%
Sumber: data diolah (2018)
Dari perhitungan tabel 4.9 di atas, Kinerja Keuangan
Pendapatan Daerah dilihat dari Analisis Pertumbuhan Daerah
Provinsi DIY Tahun 2012-2016 dikatakan mengalami pertumbuhan
positif. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata pertumbuhan yang
positif yaitu 19,76%. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun
2012 yaitu 35,32% sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada
tahun 2015 yaitu 8,29%.
b. Analisis Kinerja Keuangan APBD DIY dalam Pengelolaan Belanja
Daerah Tahun 2012-2016
1) Analisis Varians Belanja Daerah
Analisis varians merupakan analisis terhadap perbedaan
atau selisih antara realisasi belanja dengan anggaran belanja.
Kinerja pemerintah daerah dinilai baik apabila jika realisasi belanja
lebih kecil dari jumlah yang dianggarakan dan sebaliknya.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
TABEL 4.10
Analisis Varians Belanja Daerah (dalam Rupiah)
Tahun
Belanja
APBD Realisasi Selisih
Persentase
Realisasi
APBD
2012 2.285.140.075.735,00 2.053.825.959.467,00 (231.314.116.268,00) 89,87%
2013 2.917.270.974.520,00 2.509.643.375.218,35 (407.627.599.301,65) 86,03%
2014 3.466.745.462.269,77 2.981.068.320.421,41 (485.677.141.848,36) 85,99%
2015 3.806.092.624.463,02 3.496.425.502.266,40 (309.667.122.196,62) 91,86%
2016 4.039.848.730.885,60 3.847.962.965.846,72 (191.885.765.038,88) 95,25%
Total 16.515.097.867.873,40 14.888.926.123.219,90 (1.626.171.744.653,51) 89,80%
Sumber: data diolah (2018)
Berdasarkan tabel 4.10 di atas, Analisis Varians Belanja
Daerah Provinsi DIY selama tahun 2012 sampai dengan tahun
2016 terlihat realisasi belanja tidak ada yang melebihi dari
anggaran belanja atau dapat dinilai baik. Meskipun dari segi
nominal jumlah realisasi belanja yang direalisasikan pemerintah
daerah terus meningkat tiap tahunnya akan tetapi jumlah tersebut
masih lebih kecil dari jumlah yang telah dianggarakan sehingga
kinerjanya tetap dinilai baik karena pemerintah daerah Provinsi
DIY dapat memanfaatkan anggaran belanja tidak sampai melebihi
anggaran yang ditetapkan.
Secara keseluruhan dapat dilihat rata-rata persentase
pemerintah Provinsi DIY selama lima periode menggunakan
89,80% dari jumlah anggaran yang ditetapkan.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
2) Analisis Keserasian Belanja Daerah
Rasio keserasian belanja daerah menggambarkan
bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya
pada Belanja Modal dan Belanja Operasi secara optimal. Ada 2
perhitungan dalam Rasio Keserasian Belanja Daerah, yaitu:
a) Rasio Belanja Modal
TABEL 4.11
Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah (dalam Rupiah)
Tahun Total Belanja Modal Total Belanja
Rasio Belanja
Modal
Terhadap
Total Belanja
(%)
2012 216.419.982.440,00 2.053.825.959.467,00 10,53%
2013 369.395.794.039,00 2.509.643.375.218,35 14,71%
2014 442.446.473.601,00 2.981.068.320.421,41 14,84%
2015 627.602.185.565,00 3.496.425.502.266,40 17,94%
2016 836.873.712.179,35 3.847.962.965.846,72 21,74%
Rata-rata 498.547.629.564,87 2.977.785.224.643,98 15,95%
Sumber: data diolah (2018)
Menurut tabel 4.11 di atas, menunjukan persentase rata-rata
tingkat belanja modal terhadap total belanja daerah yaitu sebesar
15,95%. Tingkat belanja modal terhadap total belanja paling tinggi
terjadi pada tahun 2016 sebesar 21,74%, dan tingkat belanja modal
terhadap total belanja paling rendah terjadi pada tahun 2012 yaitu
sebesar 10,53%.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
b) Rasio Belanja Operasional
TABEL 4.12
Rasio Belanja Operasional terhadap Total Belanja Daerah (dalam Rupiah)
Tahun Total Belanja
Operasional Total Belanja
Rasio
Belanja
Operasional
Terhadap
Total
Belanja (%)
2012 1.521.924.861.485,00 2.053.825.959.467,00 74,10%
2013 1.640.519.809.958,57 2.509.643.375.218,35 65,36%
2014 1.942.797.509.932,94 2.981.068.320.421,41 65,17%
2015 2.168.034.330.402,65 3.496.425.502.266,40 62,00%
2016 2.312.451.570.808,70 3.847.962.965.846,72 60,09%
Rata-rata 1.917.145.616.517,57 2.977.785.224.643,98 65,34%
Sumber: data diolah (2018)
Sedangkan tabel 4.12 menunjukan persentase rata-rata
tingkat belanja operasional terhadap total belanja yaitu sebesar
65,34%. Tingkat belanja operasional terhadap total belanja paling
tinggi terjadi pada tahun 2012 yaitu sebesar 74,10%, dan tingkat
belanja operasional terhadap total belanja paling rendah terjadi
pada tahun 2016 sebesar 60,09%.
3) Analisis Pertumbuhan Belanja Daerah
Analisis Pertumbuhan Belanja Daerah berguna untuk
mengetahui pertumbuhan belanja dari tahun ke tahun. Belanja
daerah sendiri biasanya memiliki kecenderungan untuk naik,
kenaikan tersebut terjadi karena adanya penyesuaian dengan
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
inflasi, perubahan nilai tukar rupiah, perubahan cakupan
pelayanan, dan penyesuaian faktor makro ekonomi.
TABEL 4.13
Analisis Pertumbuhan Belanja Daerah (dalam Rupiah)
Tahun Realisasi Belanja
Daerah tahun n
Realisasi Belanja
Daerah tahun n-1 Pertumbuhan
Rasio
Pertumbuhan
Belanja
Daerah (%)
2012 2.053.825.959.467,00 1.562.268.734.645,00 491.557.224.822,00 31,46%
2013 2.509.643.375.218,35 2.053.825.959.467,00 455.817.415.751,35 22,19%
2014 2.981.068.320.421,41 2.509.643.375.218,35 471.424.945.203,06 18,78%
2015 3.496.425.502.266,40 2.981.068.320.421,41 515.357.181.844,99 17,28%
2016 3.847.962.965.846,72 3.496.425.502.266,40 351.537.463.580,32 10,05%
Rata-rata 2.977.785.224.643,98 2.520.646.378.403,63 457.138.846.240,34 19,95%
Sumber: data diolah (2018)
Dari tabel perhitungan tabel 4.13 di atas Kinerja Keuangan
Belanja Daerah dilihat dari Analisis Pertumbuhan Belanja Daerah
Provinsi DIY Tahun 2012-2016 mengalami pertumbuhan positif.
Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 19,95%,
pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2012 yaitu 31,46%,
sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2016 yaitu
10,05%.
4) Analisis Efisiensi Belanja Daerah
Rasio efisiensi belanja ini digunakan untuk mengukur
tingkat penghematan anggaran yang dilakukan pemerintah daerah.
Pemerintah daerah dinilai telah melakukan efisiensinya kurang dari
100%. Sebaliknya jika lebih dari 100% mengindiksikan terjadinya
pemborosan anggaran (Mahmudi, 2010). Berikut ini perhitungan
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
Analisis Efisiensi Belanja Daerah Tahun 2012-2016 yang disajikan
pada tabel 4.10:
TABEL 4.14
Analisis Rasio Efisiensi Belanja Daerah (dalam Rupiah)
Tahun Realisasi Belanja Anggaran Belanja
Rasio
Efisiensi
Belanja (%)
2012 2.053.825.959.467,00 2.285.140.075.735,00 89,87%
2013 2.509.643.375.218,35 2.917.270.974.520,00 86,03%
2014 2.981.068.320.421,41 3.466.745.462.269,77 85,99%
2015 3.496.425.502.266,40 3.806.092.624.463,02 91,86%
2016 3.847.962.965.846,72 4.039.848.730.885,60 95,25%
Total 14.888.926.123.219,90 16.515.097.867.873,40 89,80%
Sumber: data diolah (2018)
Berdasarkan perhitungan tabel 4.14 mengenai rasio
efisiensi belanja daerah bahwa kinerja pemerintah Provinsi DIY
dari segi efisiensi belanja dalam waktu lima taun terakhir yaitu dari
tahun 2012-2016 telah melakukan kinerja yang cukup efisiensi,
yang dimana masing-masing rasio efisiensi setiap tahunnya sebesar
89,87% pada tahun 2012, 86,03% pada tahun 2013, 85,99% pada
tahun 2014, 91,86% pada tahun 2015, dan sebesar 95,25% pada
tahun 2016.
Rasio ini masih di bawah 100% sehingga hal ini
menunjukan bahwa kinerja pemerintah daerah Provinsi DIY telah
melakukan efisiensi belanja untuk tahun 2012-2016.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
3.2 Pembahasan
Ringkasan hasil penelitian mengenai Kinerja Keuangan APBD
Provinsi DIY Tahun 2012-2016 adalah sebagai berikut:
TABEL 4.15
Ringkasan Analsis Kinerja Keuangan APBD Provinsi DIY
No Analisis Kinerja Keuangan Hasil
Penelitian
Keterangan
A Kinerja Keuangan Pendapatan Daerah
1. Analisis Varians Pendapatan Daerah 100,45% Sangat Efektif
2. Analisis Rasio Keuangan Pendapatan
Daerah
a. Derajat Desentralisasi 45.94% Baik
b.Rasio Kemandirian Keuangan Daerah 85,65% Delegatif
c.Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah 53,73% Sangat Tinggi
3. Analisis Pertumbuhan Pendapatan Daerah 19,76% Positif
B Kinerja Keuangan Belanja Daerah
1. Analisis Varians Belanja Daerah 89,80% Baik
2. Analisis Keserasian Belanja Daerah
a.Rasio Belanja Modal 15,95% Rendah
b.Rasio Belanja Operasional 65,34% Tinggi
3. Analisis Pertumbuhan Belanja Daerah 19,95% Positif
4. Analisis Efisiensi Belanja Daerah <100% Efisien
Sumber: data diolah (2018)
1. Analisis Kinerja Keuangan Pendapatan Daerah
Hasil analisis menunjukan bahwa Analisis Kinerja Keuangan
Pendapatan Daerah Provinsi DIY tahun 2012-2016 yang meliputi:
d. Analisis Varians Pendapatan Daerah
Analisis Varians Pendapatan Daerah dapat dikatakan
memiliki Kinerja Keuangan Pendapatan dengan baik apabila
memiliki selisih lebih (realisasi pendapatan lebih besar dari jumlah
yang dianggarkan) dan sebaliknya, apabila memiliki selisih kurang
(realisasi pendapatan lebih kecil dari jumlah yang dianggarkan)
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
maka Kinerja Keuangan Pendapatan dikatakan kurang baik. Secara
rata-rata, Analisis Varians Pendapatan Daerah Provinsi DIY tahun
2012-2016 menunjukan bahwa Kinerja Keuangan Pendapatan
Daerah dapat dikatakan baik. Dikuatkan dengan target realisasi
anggaran pendapatan dari tahun 2012-2016 memiliki angka rata-
rata sebesar 100,45%. Jika dilihat dari persentase tertinggi terdapat
pada tahun 2012 sebesar 104,50% dan persentase terendah terdapat
pada tahun 2013 sebesar 97,16%. Hasil Penelitian ini mendukung
pendapat yang dikemukakan oleh Mahmudi (2010:137) yaitu
Pemerintah Provinsi DIY selama tahun 2012-2016 dikatakan
memiliki kinerja pendapatan yang baik karena dapat memperoleh
pendapatan yang melebihi jumlah yang dianggarkan.
e. Analisis Rasio Keuangan Pendapatan Daerah
Analisis Rasio Keuangan Pendapatan Daerah menunjukkan
secara umum Kinerja Keuangan Pendapatan Provinsi DIY
berdasarkan :
1) Rasio Derajat Desentralisasi
Rasio Derjat Desentralisasi menunjukan derajat kontribusi
PAD terhadap Total Pendapatan Daerah. Semakin tinggi
kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi. Derajat
desentralisasi Provinsi DIY tahun 2012-2016 menunjukan
angka rata-rata 45,94% yang artinya kontribusi Pendapatan
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
Asli Daerah dari Total Pendapatan baik. Derajat Desentralisasi
tertinggi terjadi pada tahun 2015 yaitu 46,85% sedangkan
Derajat Desentralisasi terendah terjadi pada tahun 2016 yaitu
42,92%.
2) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah menunjukan tingkat
kemampuan suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan
pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat
yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber
pendapatan yang diperlukan daerah. Semakin tinggi angka
rasio ini menunjukan pemerintah daerah semakin tinggi
kemandirian keuangan daerahnya. Rasio Kemandirian
Keuangan Provinsi DIY tahun 2012-2016 menunjukan angka
rata-rata sebesar 85,65% yang artinya tingkat kemampuan
keuangan daerah Provinsi DIY adalah tinggi. Pemerintah
Daerah Provinsi DIY mampu dan mandiri melaksanakan
urusan otonomi daerah. Angka rata-rata tertinggi terjadi
ditahun 2013 yakni 89,63% dan yang paling rendah ada pada
tahun 2016 yakni 75,53%.
3) Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah
Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah dapat
dikatakan rendah apabila berada dibawah 50% jika semakin
tinggi Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah, maka semakin
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
besar tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap
pemerintah pusat atau pemerintah provinsi. Rasio
Ketergantungan Keuangan Provinsi DIY tahun 2012-2016
menunjukan angka rata-rata sebesar 53,73%, hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa ketergantungan Pemerintah Daerah
Provinsi DIY cukup tinggi terhadap pemerintahan pusat.
Selama lima periode ini tingkat ketergantungan tertinggi
terjadi pada tahun 2016 yaitu 56,82%, sedang tingkat
ketergantungan terendah terjadi pada tahun 2013 yaitu 52,52%.
f. Analisis Pertumbuhan Pendapatan Daerah
Analisis Pertumbuhan Pendapatan Daerah menunjukkan
Kinerja Keuangan Pendapatan cenderung meningkat jika
mengalami pertumbuhan secara positif, sedang dikatakan
Kinerja Keuangan Pendapatan mengalami penurunan jika
mengalami pertumbuhan secara negatif (Mahmudi, 2010).
Kinerja Keuangan Pendapatan Daerah dilihat dari Analisis
Pertumbuhan Daerah Provinsi DIY Tahun 2012-2016 dikatakan
mengalami pertumbuhan positif. Hal ini ditunjukkan dengan
rata-rata pertumbuhan yang positif yaitu 19,76%. Pertumbuhan
tertinggi terjadi pada tahun 2012 yaitu 35,32% sedangkan
pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2015 yaitu 8,29%.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
2. Analisis Kinerja Keuangan Belanja Daerah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Analisis Kinerja Keuangan
Belanja Daerah Provinsi DIY selama periode 2012-2016 yang
meliputi:
a. Analisis Varians Belanja Daerah
Analisis Varians Belanja Daerah dapat dikatakan memiliki
Kinerja Keuangan Belanja dengan baik apabila realisasi belanja
lebih kecil dari jumlah yang dianggarkan, dan sebaliknya apabila
realisasi belanja lebih besar dari jumlah yang dianggarkan maka
Kinerja Keuangan Pendapatan dikatakan kurang baik. Analisis
Varians Belanja Daerah menunjukan bahwa secara umum Kinerja
Keuangan Provinsi DIY tahun 2012-2016 dikatakakan baik. Hal ini
ditunjukan tidak adanya realisasi belanja yang melebihi anggaran
belanja. Secara keseluruhan dapat dilihat rata-rata persentase
pemerintah Provinsi DIY selama lima periode menggunakan
89,80% dari jumlah anggaran yang ditetapkan. Realisasi tertinggi
terjadi pada tahun 2016 sebesar 95,25% dan realisasi terendah
terjadi pada tahun 2014 sebesar 85,99%.
b. Analisis Keserasian Belanja Daerah
Analisis Keserasian Belanja Daerah umumnya
menunjukkan bahwa proporsi Belanja Operasi mendominasi Total
Belanja Daerah, yaitu antara 60-90 persen dan proporsi Belanja
Modal terhadap Total Belanja Daerah adalah antara 5-20 persen
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
(Mahmudi, 2010). Analisis Keserasian Belanja Daerah, secara
umum terlihat bahwa sebagian besar dana belanja daerah
dialokasikan untuk Belanja Operasi, dan hanya beberapa persen
dialokasikan untuk Belanja Modal. Selama tahun 2012-2016 rata-
rata belanja operasi sebesar 65,34% sedangkan untuk Belanja
Modal sebesar 15,95%. Hasil ini mendukung pendapat Mahmudi
(2010:164) bahwa pemerintah dengan tingkat pendapatan tinggi
cenderung memiliki porsi Belanja Operasi yang tinggi
dibandingkan pemerintah daerah yang tingkat pendapatan rendah.
c. Analisis Pertumbuhan Belanja Daerah
Kenaikan belanja daerah dikatakan wajar atau tidak perlu
melihat inflasi, perubahan nilai tukar rupiah, perubahan cakupan
pelayanan, penyesuaian faktor makro ekonomi dan alasan kenaikan
belanja terjadi, apakah karena kenaikan internal yang relatif
terencana dan terkendali ataukah faktor eksternal yang diluar
kendali pemerintah daerah (Mahmudi, 2010). Analisis
Pertumbuhan Belanja Daerah Provinsi DIY Tahun 2012-2016
mengalami pertumbuhan positif. Hal ini ditunjukkan dengan rata-
rata pertumbuhan sebesar 19,95%, pertumbuhan tertinggi terjadi
pada tahun 2012 yaitu 31,46%, sedangkan pertumbuhan terendah
terjadi pada tahun 2016 yaitu 10,05%.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
d. Analisis Efisiensi Belanja Daerah
Pemerintah daerah dinilai dari Analisis Efisiensi Belanja
Daerah, dikatakan telah melakukan efisiensi anggaran jika rasio
efisiensinya kurang dari 100%. Sebaliknya jika lebih dari 100%
mengindikasikan terjadinya pemborosan anggaran (Mahmudi,
2010). Analisis Efisiensi Belanja Daerah menunjukkan bahwa
Provinsi DIY telah melakukan efisiensi belanja untuk tahun 2012-
2016. Secara rata-rata Rasio Efisiensi Belanja sebesar 89,80%. Hal
ini ditunjukan selama lima periode ini tidak melebihi angka 100%
atau tidak terdapat angka realisasi yang melebihi anggaran belanja.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah
dilaksanakan, maka sesuai dengan tujuan penelitian dapat disimpulkan
beberapa hal berikut ini:
1. Kinerja Keuangan Pendapatan Daerah
Hasil Kinerja Keuangan Pendapatan Daerah secara umum dapat
dikatakan baik, meskipun tingkat ketergantungan terhadap pemerintah
pusat masih tinggi.
a. Kinerja Keuangan Pendapatan Daerah Provinsi DIY dilihat dari
Varians Pendapatan Daerah Provinsi DIY selama Tahun 2012-
2016, secara umum dapat dikatakan sangat efektif. Hal ini
ditunjukkan dengan rata-rata target realisasi APBD Provinsi DIY
sebesar 100,45%.
b. Kinerja Keuangan Pendapatan Daerah Provinsi DIY dilihat dari
Rasio Keuangan Pendapatan Daerah Provinsi DIY selama tahun
2012-2016 menunjukkan bahwa Derajat Desentralisasi Provinsi
DIY dapat dikatakan baik dengan rata-rata Derajat Desentralisai
sebesar 45,94%. Dilihat dari Rasio Kemandirian Keuangan
Provinsi DIY selama tahun 2012-2016 dapat dikatakan tinggi
dengan rata-rata 85,65% yang artinya campur tangan pemerintah
pusat sangat rendah. Dan dilihat dari Rasio Ketergantungan
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
Keuangan Provinsi DIY selama 2012-2016 menunjukkan bahwa
Provinsi DIY masih tergantung kepada pemerintah pusat
ditunjukkan dengan angka ketergantungan mencapai 53,73%.
c. Kinerja Keuangan Pendapatan Daerah Provinsi DIY dilihat dari
Pertumbuhan Pendapatan Daerah Provinsi DIY selama Tahun
2012-2016, secara umum mengalami peningkatan Kinerja
Keuangan Pendapatan. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata
pertumbuhan yang positif yaitu 19,76%.
2. Kinerja Keuangan Belanja Daerah
Hasil Kinerja Keuangan Belanja Daerah secara umum dapat
dikatakan baik, tetapi dalam keserasian belanja belum terjadi
keseimbangan antara Belanja Operasi dengan Belanja Modal.
a. Kinerja Keuangan Belanja Daerah Provinsi DIY dilihat dari
Varians Belanja Daerah Provinsi DIY selama tahun 2012-2016,
secara umum dapat dikatakan baik. Hal ini ditunjukkan dengan rata
rata target realisasi APBD Provinsi DIY sebesar 89,80%.
b. Kinerja Keuangan Belanja Daerah Provinsi DIY dilihat dari
Keserasian Belanja Daerah secara umum terlihat bahwa sebagian
besar dana belanja daerah dialokasikan untuk Belanja Operasi, dan
hanya beberapa persen dialokasikan untuk Belanja Modal. Selama
tahun 2012-2016 rata-rata Belanja Operasi sebesar 65,34% sedang
Belanja Modal sebesar 15,95%.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
c. Kinerja Keuangan Belanja Daerah Provinsi DIY dilihat dari
Pertumbuhan Belanja Daerah Provinsi DIY selama tahun 2012-
2016, secara umum menunjukkan pertumbuhan yang positif. Hal
ini ditunjukkan dengan rata-rata pertumbuhan yang terjadi yaitu
19,95%.
d. Kinerja Keuangan Belanja Daerah Provinsi DIY dilihat dari
Efisiensi Belanja Daerah, realisasi anggaran belanja Pemerintah
Provinsi DIY tidak terdapat angka melebihi anggaran belanja. Hal
ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten Klaten telah
melakukan efisiensi belanja.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian serta hal-hal yang terkait dengan
keterbatasan penelitian, maka peneliti memberikan saran sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah Provinsi DIY
a. Provinsi DIY perlu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
Provinsi DIY dengan cara meningkatkan efisiensi untuk beberapa
pos yang berhubungan dengan PAD Provinsi DIY yaitu
Pendapatan Pajak Daerah dan Pendapatan Retribusi Daerah. Ada
juga dengan cara melakukan pengawasan dan pengendalian secara
benar dan berkelanjutan untuk menghindari terjadinya
penyimpangan dalam pemerolehan PAD oleh yang bersangkutan.
b. Angka ketergantungan yang masih tinggi juga merupakan masalah
dalam Pemerintahan Provinsi DIY, maka dari itu Pemerintah
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
Provinsi DIY perlu menggali lagi guna mencari beberapa potensi
dari masyarakat maupun alam untuk meningkatkan PAD dan
sebagai tambahan sumber dana untuk Pemerintah Provinsi DIY.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Periode penelitian ini terbatas untuk tahun 2012-2016. Diharapkan
penelitian selanjutnya menambahkan periode tahun penelitian agar
lebih akurat dalam menganalisis Kinerja Keuangan Provinsi DIY.
b. Peneliti selanjutnya perlu untuk menambah teknik pengumpulan
data yaitu dengan melakukan wawancara, guna untuk menanyakan
mengenai penyebab terjadinya suatu kenaikan dan penurunan
terhadap pendapatan dan belanja daerah.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
DAFTAR PUSTAKA
Assidiqi, B. (2014). “Analisis Kinerja Keuangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Klaten tahun 2008-2012”. Skripsi.
Universitas Negeri Yogyakarta.
Bastian, I. (2001). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: BPFE Unversitas Gajah
Mada.
Bastian, I. (2010). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Edisi Ketiga Erlangga.
Dora, J. (2017). “Analisis Kinerja Keuangan Daerah Pemerintah Kota Yogyakarta
Tahun 2010-2014”. Skripsi. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Halim, A. (2012). Akuntansi Sektor Publik, Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta:
Salemba Empat.
Hamzah, A. (2008). Pengaruh Belanja dan Pendapatan terhadap Pertumbuhan
Ekonomi, Kemiskinan dan Pengangguran. Jawa Timur: Konferensi
Penelitian.
Komite Standar Akuntansi Pemerintah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2005 tantang Standar Akuntansi Pemerintahan. Jakarta:
Salemba Empat.
Karlina, A. (2017). “Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam
Pengelolaan APBD Kota Surabaya tahun 2012-2015”. Jurnal. STIESIA
Surabaya.
Mahmudi. (2010). Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Yogyakarta:
UPP STIM YKPN
Mahsun, M. (2006). Pengukuran Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: BPFE
YOGYAKARTA
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at
Mahsun, M. (2011). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Edisi Ketiga: BPFE
Yogyakarta
Mardiasmo. (2004). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi.
Pemerintah Republik Indonesia. (2010). Peraturan Pemerintah Nomor 71 tentang
Standar Akuntansi pemerintahan. Jakarta: Salemba Empat.
Undang-undang Nomor 32 tahun 2003 tentang Pemerintah Daerah.
Pemerintah Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 13 Tahn 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Widodo. (2001). Analisis Rasio Keuangan pada APBD Kab. Boyolali Manajemen
Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
STIE W
idya
Wiw
aha
Jang
an P
lagi
at