analisis keuangan daerah di kota surakarta perbandingan .../analisis... · perpustakaan.uns.ac.id...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ANALISIS KEUANGAN DAERAH DI KOTA SURAKARTA
PERBANDINGAN SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH
(Periode 1990-2009)
Skripsi
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat
untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
HILMY FADLLAN
NIM. F0106098
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAK
ANALISIS KEUANGAN DAERAH DI KOTA SURAKARTA PERBANDINGAN SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH
(Periode 1990-2009)
HILMY FADLLAN NIM. F0106098
Salah satu tolok ukur keberhasilan otonomi daerah adalah dengan melihat kemampuan keuangannya. Sehingga berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah di Kota Surakarta beserta tingkat kemandiriannya.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dan kuantitatif. Adapun analisisnya adalah DDF, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya/Posisi Fiskal, Matriks Potensi PAD, Rasio Aktivitas PAD, Rasio Efektivitas PAD, serta Rasio Kemandirian Daerah. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari instansi pemerintah terkait mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surakarta dalam kurun waktu 1990-2009. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif.
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa secara rerata sebelum dan selama era otonomi daerah pertumbuhan APBD, kontribusi PAD terhadap APBD, maupun pertumbuhan PDRB mengalami penurunan. Jika dilihat dari hasil analisis kuantitatifnya, terjadi penurunan rasio PAD terhadap TPD pada era sebelum dan selama otonomi daerah dari 12,54% menjadi 7,30%. Menurut analisis rasio kemandirian, baik sebelum maupun selama otonomi daerah Kota Surakarta memiliki rasio kurang dari 50%.
Berdasarkan hasil penelitian, secara umum dapat dikatakan bahwa kemampuan keuangan daerah Kota Surakarta masih rendah (belum mandiri) dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu diharapkan Pemerintah Daerah Kota Surakarta lebih mengutamakan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber PAD yang potensial, menciptakan daya tarik dan iklim yang kondusif bagi investor untuk menanamkan modalnya sehingga laju pertumbuhan ekonomi daerah dan PDRB meningkat. Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan Kota Surakarta dapat mewujudkan eksistensi kemandirian daerah khususnya dalam bidang fiskal. Kata Kunci: DDF, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya/Posisi Fiskal, Matriks Potensi PAD, Rasio Aktivitas PAD, Rasio Efektivitas PAD, Rasio Kemandirian Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT
REGIONAL FINANCIAL ANALYSIS IN SURAKARTA CITY COMPARISON BEFORE AND DURING THE REGIONAL AUTONOMY
(Period 1990-2009)
HILMY FADLLAN NIM. F0106098
One measure of the success of decentralization is to look at their financial capabilities. So based on this, this study aims to determine the ability of local finance in Surakarta city and their level of independence.
The method of analysis used in this study is descriptive and quantitative analysis methods. The analysis is DDF, Fiscal Need, Fiscal Capacity, Effort/Fiscal Position, PAD Potential Matrix, PAD activity ratio, PAD Effectiveness Ratio, and Ratio of Local Self-Reliance. The data used are secondary data from relevant government agencies regarding the Budget Revenue and Expenditure (Budget) of Surakarta in the period 1990-2009. The research was conducted by using descriptive analysis and quantitative analysis.
The results of descriptive analysis showed that the average before and during the era of regional autonomy budget growth, the contribution of PAD to the budget, as well as GDP growth declined. If seen from the results of quantitative analysis, a decline in the ratio of PAD for TPD before and during the era of regional autonomy from 12.54% to 7.30%. According to the analysis of self-sufficiency ratio, both before and during the autonomous region of Surakarta has a ratio of less than 50%.
Based on this research, in general it can be said that the financial capacity of Surakarta city is still low (not standalone) in the framework of the implementation of regional autonomy. For Local Government is expected to prefer the Surakarta effort intensification and extension of the sources of potential revenue, create attraction and a conducive environment for investors to invest so that the pace of regional economic growth and rising GDP. With these efforts are expected to realize the existence of Surakarta region's autonomy, especially in the fiscal field. Keywords: DDF, Fiscal Need, Fiscal Capacity, Effort/Fiscal Position, PAD Potential Matrix, PAD Activity Ratio, PAD Effectiveness Ratio, Ratio Independence Regional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
MOTTO
“There is no secret to success. It’s the result of preparation, hard work, and
learning from mistakes made along the way”
(Collin Powell)
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
(Al-Faatihah: 1)
“Karena sesunggunhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
(Alam Nasyrah: 5)
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain”
(Alam Nasyrah: 7)
“Orang-orang yang terbaik adalah mereka yang selalu mencoba untuk terus
memperbaiki dirinya”
(Imam Gozali)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan
untuk Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Karya ini kuhadiahkan untuk :
1. Ayah dan Ibuku Tercinta
2. Kakakku Tersayang
3. Sahabat dan teman-temanku.
4. Me, I, and Myself
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, dan
karunia-Nya, sehingga dengan kemampuan yang ada, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “ANALISIS KEUANGAN
DAERAH DI KOTA SURAKARTA PERBANDINGAN SEBELUM DAN
SELAMA OTONOMI DAERAH (PERIODE 1990-2009)”.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi
Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa
tanpa bantuan, bimbingan serta kerja sama yang baik dari berbagai pihak tidak
bisa mewujudkan skripsi ini. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Drs. Kresno Sarosa Pribadi, M.Si. selaku pembimbing skripsi yang dengan
sabar telah membimbing dan memberikan pengarahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dan semoga Allah SWT
membalasnya dan memberikan kemuliaan kepadanya.
2. Dr. Wisnu Untoro, MS. selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
3. Drs. Supriyono, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan.
4. Izza Mafruhah, S.E., M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Ekonomi
Pembangunan.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ekonomi yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, terima kasih atas ilmu yang diberikan dan bimbingannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6. Seluruh Staf Karyawan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret,
terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya.
7. Ayah dan Ibuku yang selalu senantiasa memberikan dorongan, nasehat,
doanya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Kakak Anisa yang tiada henti-hentinya memberikan dorongan,
supaya penulisan skripsi ini cepat diselesaikan. Karena perjuangan belum
berakhir, masih ada dunia kerja yang harus aku jalani..
8. Teman-teman EP angkatan 2006, kakak angkatan 2004, 2005 serta adik
angkatan 2007, 2008, 2009 dan 2010 serta semua sahabat-sahabatku,
terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu baik secara
langsung maupun tidak atas bantuannya kepada penulis hingga
terselesaikannya penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam
rangka kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat dan
sumbangan pikiran untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Surakarta, Juni 2012
Penulis
HILMY FADLLAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
ABSTRAK................................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... v
HALAMAN MOTTO.................................................................................. vi
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii
DAFTAR ISI ............................................................................................... x
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Perumusan Masalah .......................................................... 14
C. Tujuan Penelitian .............................................................. 15
D. Manfaat Penelitian ........................................................... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................... 16
A. Otonomi Daerah ................................................................ 16
1. Pengertian Otonomi Daerah ..................................... 16
2. Landasan Hukum Otonomi Daerah .......................... 19
3. Maksud Dan Tujuan Otonomi Daerah .................... 21
4. Titik Berat Otonomi Daerah .................................... 25
5. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah ...................... 27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Keuangan Daerah ............................................................. 30
1. Asas Umum Keuangan Daerah ............................... 30
2. Manajemen Keuangan Daerah ................................ 32
3. Keuangan Daerah di Era Transisi ............................ 34
4. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ............. 36
5. Sumber-Sumber Keuangan Daerah .......................... 43
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ..................... 44
b. Dana Perimbangan Pinjaman Daerah ............. 45
c. Lain-Lain Pendapatan yang Sah ..................... 46
6. Kebijakan Anggaran Daerah .................................... 46
7. Indikator Kinerja Keuangan Daerah ........................ 48
C. Penelitian Terdahulu .......................................................... 50
D. Kerangka Pemikiran .......................................................... 53
E. Hipotesis ............................................................................ 54
BAB III METODE PENELITIAN ....................................................... 55
A. Ruang Lingkup Penelitian ................................................. 55
B. Jenis dan Sumber Data ...................................................... 55
C. Definisi Operasional Variabel ........................................... 56
D. Teknik dan Model Analisis Data ...................................... 58
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ............................ 63
A. Deskripsi Wilayah Kota Surakarta .................................... 64
1. Keadaan Geografis ..................................................... 64
a. Letak Kota Surakarta ........................................ 64
b. Luas Wilayah .................................................... 64
c. Kondisi Sumber Daya Alam ............................. 65
2. Penduduk dan Tenaga Kerja ....................................... 66
a. Pendudukan ....................................................... 66
b. Ketenagakerjaan ................................................ 67
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Kondisi Sosial Ekonomi ............................................. 68
a. Kondisi Sosial Masyarakat................................ 68
1) Bidang Pendidikan ..................................... 68
2) Kesehatan Penduduk .................................. 69
b. Kondisi Perekonomian Daerah ......................... 70
1) Keuangan Daerah ....................................... 70
2) Pertumbuhan Ekonomi (PDRB)................. 70
B. Hasil Analisis dan Pembahasan ......................................... 72
1. Analisis Deskripsi ....................................................... 72
a. Pertumbuhan PAD............................................... 72
b. Kontribusi PAD terhadap APBD ........................ 74
c. Proporsi Pengeluaran Daerah Terhadap APBD .. 76
2. Analisis Kuantitatif ..................................................... 77
a. Derajat Desentralisasi Fiskal ............................... 77
b. Kebutuhan Fiskal................................................. 80
c. Kapasitas Fiskal................................................... 82
d. Upaya Fiskal ........................................................ 85
e. Matrik Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) .. 87
f. Rasio Aktivitas (Keserasian) ............................... 89
g. Efektivitas PAD................................................... 92
h. Kemandirian Keuangan Daerah dan
Pola Hubungannya .............................................. 94
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 97
A. Kesimpulan ..................................................................... 97
B. Saran................................................................................ 99
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB ) Menurut
Lapangan Usaha, Pendapatan Perkapita dan Pertumbuhan
Atas Dasar Harga Berlaku Kota Surakarta Tahun 2005-2007.. 10
Tabel 1.2 Data Realisasi Penerimaan Daerah Tahun 2005-2007 ............. 12
Tabel 1.3 Data Realisasi Pengeluaran Pemerintah Daerah
Kota Surakarta Tahun 2005-2007 ............................................. 13
Tabel 2.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) .. 43
Tabel 3.1 Matrik Potensi Jenis Pajak atau Retribusi................................. 60
Tabel 3.2 Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah ................... 62
Tabel 4.1 Pertumbuhan PDRB Kota Surakarta Atas Harga Konstan
Dan Berlaku Tahun 2001-2009................................................. 71
Tabel 4.2 Pertumbuhan APBD Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ........... 73
Tabel 4.3 Kontribusi PAD Terhadap APBD Kota Surakarta ................... 74
Tabel 4.4 Proporsi Pengeluaran Daerah Terhadap APBD
Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ............................................. 76
Tabel 4.5 Ukuran Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF)
Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ............................................. 77
Tabel 4.6 Rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF)
Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ............................................. 78
Tabel 4.7 Rata-Rata Kebutuhan Fiskal (KF) Kota Surakarta
Tahun 1990-2009 ...................................................................... 81
Tabel 4.8 Rata-Rata Kapasitas Fiskal Propinsi Jateng dan Kota
Surakarta Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1990-2009 .......... 83
Tabel 4.9 Tabel PAD dan PDRB Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ....... 85
Tabel 4.10 Hasil Penghitungan Pendapatan Asli Daerah
Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ............................................. 87
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 4.11 Hasil Penghitungan Model Matrik Potensi dari
Retribusi Daerah Kota Surakarta Tahun 1990-2009................. 88
Tabel 4.12 Rasio Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan Terhadap
Total APBD Kota Surakarta Tahun 1990-2009........................ 90
Tabel 4.13 Rata-Rata Efektivitas PAD Sebelum Otonomi Daerah dan
Selama Otonomi Daerah ........................................................... 92
Tabel 4.14 Pola Hubungan dan Kemandirian Keuangan Daerah
Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ............................................. 95
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran .............................................................. 53
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
- Tabel Rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Surakarta
Lampiran 2
- Tabel Rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar Se-Jawa Tengah dan
Kota Surakarta
Lampiran 3
- Tabel Rata-rata Kapasitas Fiskal Standar Se-Jawa Tengah dan
Kota Surakarta
Lampiran 4
- Tabel Pertumbuhan PAD dan PDRB Kota Surakarta
Lampiran 5
- Tabel Hasil Matriks Potensi dari Pajak Daerah Kota Surakarta
Lampiran 6
- Tabel Matriks Potensi dari Pos Retribusi Kota Surakarta
Lampiran 7
- Tabel Rasio Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan Terhadap
Total APBD Kota Surakarta
Lampiran 8
- Tabel Rata-Rata Efektifitas PAD Kota Surakarta
Lampiran 9
- Pola Hubungan dan Rata-rata Tingkat Kemandirian Kota Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAK
ANALISIS KEUANGAN DAERAH DI KOTA SURAKARTA PERBANDINGAN SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH
(Periode 1990-2009)
HILMY FADLLAN NIM. F0106098
Salah satu tolok ukur keberhasilan otonomi daerah adalah dengan melihat kemampuan keuangannya. Sehingga berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah di Kota Surakarta beserta tingkat kemandiriannya.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dan kuantitatif. Adapun analisisnya adalah DDF, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya/Posisi Fiskal, Matriks Potensi PAD, Rasio Aktivitas PAD, Rasio Efektivitas PAD, serta Rasio Kemandirian Daerah. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari instansi pemerintah terkait mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surakarta dalam kurun waktu 1990-2009. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif.
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa secara rerata sebelum dan selama era otonomi daerah pertumbuhan APBD, kontribusi PAD terhadap APBD, maupun pertumbuhan PDRB mengalami penurunan. Jika dilihat dari hasil analisis kuantitatifnya, terjadi penurunan rasio PAD terhadap TPD pada era sebelum dan selama otonomi daerah dari 12,54% menjadi 7,30%. Menurut analisis rasio kemandirian, baik sebelum maupun selama otonomi daerah Kota Surakarta memiliki rasio kurang dari 50%.
Berdasarkan hasil penelitian, secara umum dapat dikatakan bahwa kemampuan keuangan daerah Kota Surakarta masih rendah (belum mandiri) dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu diharapkan Pemerintah Daerah Kota Surakarta lebih mengutamakan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber PAD yang potensial, menciptakan daya tarik dan iklim yang kondusif bagi investor untuk menanamkan modalnya sehingga laju pertumbuhan ekonomi daerah dan PDRB meningkat. Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan Kota Surakarta dapat mewujudkan eksistensi kemandirian daerah khususnya dalam bidang fiskal. Kata Kunci: DDF, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya/Posisi Fiskal, Matriks Potensi PAD, Rasio Aktivitas PAD, Rasio Efektivitas PAD, Rasio Kemandirian Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT
REGIONAL FINANCIAL ANALYSIS IN SURAKARTA CITY COMPARISON BEFORE AND DURING THE REGIONAL AUTONOMY
(Period 1990-2009)
HILMY FADLLAN NIM. F0106098
One measure of the success of decentralization is to look at their financial capabilities. So based on this, this study aims to determine the ability of local finance in Surakarta city and their level of independence.
The method of analysis used in this study is descriptive and quantitative analysis methods. The analysis is DDF, Fiscal Need, Fiscal Capacity, Effort/Fiscal Position, PAD Potential Matrix, PAD activity ratio, PAD Effectiveness Ratio, and Ratio of Local Self-Reliance. The data used are secondary data from relevant government agencies regarding the Budget Revenue and Expenditure (Budget) of Surakarta in the period 1990-2009. The research was conducted by using descriptive analysis and quantitative analysis.
The results of descriptive analysis showed that the average before and during the era of regional autonomy budget growth, the contribution of PAD to the budget, as well as GDP growth declined. If seen from the results of quantitative analysis, a decline in the ratio of PAD for TPD before and during the era of regional autonomy from 12.54% to 7.30%. According to the analysis of self-sufficiency ratio, both before and during the autonomous region of Surakarta has a ratio of less than 50%.
Based on this research, in general it can be said that the financial capacity of Surakarta city is still low (not standalone) in the framework of the implementation of regional autonomy. For Local Government is expected to prefer the Surakarta effort intensification and extension of the sources of potential revenue, create attraction and a conducive environment for investors to invest so that the pace of regional economic growth and rising GDP. With these efforts are expected to realize the existence of Surakarta region's autonomy, especially in the fiscal field. Keywords: DDF, Fiscal Need, Fiscal Capacity, Effort/Fiscal Position, PAD Potential Matrix, PAD Activity Ratio, PAD Effectiveness Ratio, Ratio Independence Regional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan Daerah Otonom akan banyak tergantung pada
kemampuan daerah dalam mengumpulkan dan mengelola keuangan daerah
dan strategi pembangunan daerah yang melibatkan partisipasi anggota
masyarakat setempat. Dari titik pandang ekonomi makro, melalui
pelaksanaan otonomi daerah-daerah diharapkan akan dapat
mengalokasikan secara mudah dana pembangunan daerahnya didasarkan
pada karakteristik dan potensi dari masing-masing daerah, sehingga
dicapai hasil maksimal. Dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi
daerah, peranan sektor swasta sangat penting mengingat ketergantungan
yang besar dari pengelolaan pembangunan terhadap pembangunan
ekonomi daerah tersebut. Dalam hal ini, peranan sektor swasta diperlukan
dan memainkan peranan penting dalam memberikan dorongan bagi
pertumbuhan ekonomi daerah.
Di Era Reformasi, untuk mewujudkan Pemerintahan Daerah yang
mandiri maka Pemerintah Pusat mengambil kebijakan Desentralisasi atau
yang biasa dikenal dengan Otonomi Daerah. Untuk mendukung legalitas
kebijakan Otonomi Daerah, Pemerintah menetapkan 2 (dua) Undang-
Undang, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU
No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Daerah. Momentum Reformasi adalah saat yang tepat bagi realisasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Otonomi Daerah, dan merupakan kesempatan menentukan pilihan yang
tepat mengenai bentuk Pemerintahan di daerah serta mengupayakan
pengembangan potensi sumber daya daerah agar dapat terangkat dalam
Era Globalisasi.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
dalam upaya penyelenggaraan Pemerintah dan pelayanan masyarakat. Misi
Otonomi Daerah dijabarkan dalam Penjelasan Umum UU No. 22 Tahun
1999 dan UU No. 25 Tahun 1999:
“Misi utama dari kedua Undang-Undang tersebut bukan hanya
pada keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan
dari Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber
daya Keuangan Daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan
dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu semangat
desentralisasi, transparansi dan akuntabilitas menjadi sangat
dominan dalam mewarnai proses pengelolaan Keuangan Daerah
pada khususnya.”
Dari kedua Undang-Undang tersebut diatur tentang titik berat
Otonomi Daerah yaitu terletak pada Pemerintah Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota, dengan pertimbangan bahwa Pemerintah Daerah dan Kota
yang lebih langsung berhubungan dengan masyarakat. Sehingga
diharapkan aspirasi masyarakat di daerah dan kota yang lebih langsung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
berhubungan dengan masyarakat. Sehingga diharapkan aspirasi
masyarakat di daerah atau kota dapat tersampaikan dan terpenuhi.
Penyerahan urusan-urusan Pemerintah kepada Pemerintah Daerah atau
Kota dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan keadaan dan
kemampuan Daerah atau Kota yang bersangkutan. Dengan demikian, isi
otonomi itu berbeda antara daerah/kota yang satu dengan lainnya.
Otonomi nyata merupakan keluasan daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan Pemerintah dibidang tertentu yang hidup
dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggungjawab
maksudnya ialah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai
konsekwensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud
tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai
tujuan pemberian otonomi, yaitu berupa peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan
demokrasi keadilan dan pemerataan. Serta pemeliharaan hubungan yang
serasi antara Pusat dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Mardiasmo (2002) kebijakan pemberian Otonomi Daerah
dan desentralisasi merupakan langkah strategis Pemerintah Pusat dalam
mengatasi permasalahan lokal bangsa Indonesia yang berupa kemiskinan,
pemerataan distribusi pendapatan yang tidak merata dan masalah
peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah. Selain hal itu,
otonomi daerah dan desentralisasi juga ditujukan dalam menyongsong Era
Globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dengan ditetapkan kedua Undang-Undang di atas, Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dituntut untuk lebih produktif dan kreatif dalam
membangun daerahnya masing-masing. Selain itu, Otonomi Daerah
merupakan sebuah peluang dan tantangan baru bagi Pemerintah
Kabupaten/Kota untuk membangun daerahnya secara optimal setelah
peran pemerintah pusat mulai berkurang. Masyarakat diharapkan juga
lebih aspiratif dalam memberikan kontibusinya dalam pembangunan di
daerah masing-masing.
Menurut UU No. 22 Tahun 1999, tujuan dari Otonomi Daerah
diarahkan untuk meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara
optimal dan terpadu. Sedangkan menurut UU No. 25 Tahun 1999,
Penyelenggaraan pemerintah oleh Daerah diharapkan mampu untuk
meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan Pemerintah dan
pelayanan kepada masyarakat.
Salah satu pertimbangan yang ada dalam UU No. 22 Tahun 1999
yang menyangkut masalah penyelenggaraan Otonomi Daerah, yaitu
perlunya penekanan pada pelakasanaan prinsip-prinsip demokrasi, serta
penggalian potensi dan keanekaragaman daerah.
Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999, Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dengan Daerah adalah suatu Sistem Pembiayaan
Pemerintah dalam kerangka Negara Kesatuan yang mencangkup
perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah secara
proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
potensi, kondisi dan transparan dengan kewajiban dan pembagian
kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut
termasuk pengelolaan dan pengawasaan keuangannya.
Sebagaimana penjelasan dalam kedua Undang-Undang di atas
maka pelaksanaan Otonomi Daerah ditandai dengan adanya desentralisasi
kewenangan (power sharing) dan desentralisasi keuangan (fiscal
decentralization) yang pelaksanaan secara penuh sejak 1 Januari 2001.
Pelaksanaan kewenangan yang luas, nyata serta bertanggungjawab kepada
Pemerintah Daerah secara proporsional yang dilengkapi dengan berbagai
petunjuk mengenai peraturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya
nasional, serta aspek perimbangan antara Pusat dan Daerah.
Seiring dengan perkembangan kebutuhan dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah, kedua Undang-Undang tersebut disempurnakan dan
diganti dengan Undang-Undang yang baru, yaitu UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Implementasi pelaksanaan Otonomi Daerah akan dapat berhasil
jika memperhatikan 5 (lima) kondisi strategis berikut: (i) Self Regulatoring
Power, yaitu kemampuan mengatur dan melaksanakan Otonomi Daerah
demi kepentingan masyarakat di daerahnya; (ii) Self Modifying Power,
berupa kemampuan menyesuaian terhadap peraturan yang telah ditetapkan
secara nasional sesuai dengan kondisi daerah, termasuk terobosan inovatif
kearah kemajuan dalam menyikapi potensi Daerah; (iii) Creating Local
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Political Support, dalam arti penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang
mempunyai legitimasi kuat dari masyarakatnya, baik dari Kepala Daerah
Eksekutif maupun DPRD Sebagai Pemegang kekuasaan legislatif; (iv)
Managing Financial Resource, dalam arti mampu mengembangkan
kompetensi dalam mengelola secara optimal sumber penghasilan dari
keuangan guna pembiayaan aktifitas Pemerintahan pembangunan dan
pelayanan masyarakat; serta (v) Developing Brain Power, dalam arti
membangun Sumber Daya Manusia yang handal dan selalu bertumpu pada
kapabilitas penyelesaian masalah (Rasyid dan Paragoan dalam Mulyanto,
2003:3)
Menurut Kaho dalam Mulyanto (2003:2), untuk menentukan
keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal di
Indonesia. Setidaknya ada 4 (empat) faktor yang harus dipenuhi, yaitu: (i)
faktor manusia sebagai subjek penggerak dalam penyelenggaraan Otonomi
Daerah, (ii) faktor keuangan yang merupakan tulang punggung bagi
terselenggaranya aktivitas Pemerintah Daerah, (iii) faktor peralatan yang
merupakan sarana pendukung bagi terselenggaranya aktivitas
Pemerintahan Daerah, serta (iv) faktor organisasi dan manajemen yang
merupakan sarana untuk menyelenggarakan Pemerintahan Daerah secara
baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Menurut Mardiasmo (2002), dalam upaya pemberdayaan
Pemerintahan Daerah ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan
dalam pengelolaan Keuangan Daerah adalah sebagai berikut:
1. Pengelolaan Keuangan Daerah harus bertumpu pada kepentingan
publik/masyarakat.
2. Misi prngelolaan Keuangan Daerah harus jelas.
3. Desentralisasi Pengelolaan Keuangan dn kejelasan peran instansi yang
terkait dalam Pengelolaan Keuangan Daerah.
4. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi, dan
pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar,
transparansi dan akuntabilitas.
5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan pihak-pihak yang terkait.
6. Ketentuan-Ketentuan yang diperlukan seperti bentuk dan struktur
anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi-tahunan.
7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih
professional.
8. Prinsip akuntansi Pemerintah Daerah, laporan keuangan, peran DPRD,
dan akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating
kinerja anggaran dan transparansi anggaran kepada publik.
9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan,
peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan
profesionalisme aparatur Pemerintah Daerah.
10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang
ideal adalah apabila setiap tingkat Pemerintah dapat independen di bidang
keuangan untuk membiayai pelaksanaan tugas dan wewenang masing-
masing. Adapun kewenangan yang dimiliki Daerah Otonom, antara lain
(Mulyanto, 2003):
a. Kewenangan dalam mengelola sumber daya nasional yang tersedia di
wilayahnya dan bertangguangjawab untuk memelihara kelestarian
lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b. Kewenangan di wilayah laut, meliputi: (i) Eksplorasi; (ii) Pengaturan
kepentingan administratif; (iii) Pengaturan tata ruang; (iv) Penegakan
hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang
dilimpahkan keamanan dan Kedaulatan Negara. Kewenangan Daerah
Kabupaten dan Kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas
laut daerah propinsi.
c. Bidang Pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten
dan Kota, sebagaimana yang dimuat dalam UU No. 22 Tahun 1999,
meliputi 10 (sepuluh) bidang yaitu: Pekerjaan umum, kesehatan,
pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan
perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan,
koperasi dan tenaga kerja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dalam pengaplikasian dari pelaksanaan desentralisasi fiskal, maka
sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang
Pengelolaan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah menegaskan bahwa
Pengelolaan Keuangan Daerah seharusnya dilaksanakan secara tertib taat
pada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif,
transparan dan bertanggungjawab dengan tetap memperhatikan atas
keadilan dan kepatutan. Kemampuan Pemerintah Daerah dalam mengelola
keuangan akan dituangkan dalam APBD yang secara langsung ataupun
tidak langsung akan mencerminkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam
membiayai pelaksanaan tugas-tugas Pemerintahan, Pembangunan dan
Pelayanan Sosial Masyarakat.
Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang berada di Propinsi
Jawa Tengah, dimana dalam pembangunannya merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, namun disesuaikan dengan
potensi dan permasalahan pembangunan di daerahnya. Kota Surakarta
merupakan bagian dari kawasan ekonomi Subosukawonosraten (Surakarta,
Boyolali, Sukoharjo, Karangayar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten) memiliki
kondisi geografis yang cukup strategis untuk menjalankan Pembangunan
Ekonomi serta meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Lapangan Usaha, Pendapatan Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi Atas Dasar Harga
Berlaku Kota Surakarta Tahun 2005-2007
Lapangan Usaha PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (Jutaan Rp.)
2005 2006 2007 (1) (2) (3) (4)
1. Pertanian 3.502,98 3.760,34 4.259,39 2. Pertambangan dan
Penggalian 2.227,96 2.304,36 2.525,78
3. Industri Pengelolaan 1.475.697,87 1.554.314,71 1.681.790,25 4. Listrik, Gas dan Air 144.699,63 166.228,03 186.120,50 5. Bangunan 720.012,60 809.243,40 924.664,68 6. Perdagangan 1.330.461,23 1.507.159,41 1.711.786,42 7. Pengangkutan &
Komunikasi 643.368,20 729.036,31 802.106,24
8. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan
638.280,54 697.231,13 763.887,99
9. Jasa-Jasa 627.525,83 720.834,86 831.953,32 PDRB 5.585.776,84 6.190.112,55 6.909.094,57 Pendapatan Perkapita 10.451.467 11.350.818 12.281.416 Pertumbuhan Ekonomi 5,15 5,43 5,82 Sumber: BPS Kota Surakarta
Berdasarkan data dari BPS Kota Surakarta (Surakarta Dalam
Angka) dalam distribusi produk domestik regional bruto (PDRB) menurut
Lapangan Usaha, Income Perkapita dan pertumbuhan ekonomi atas dasar
harga berlaku menunjukkan bahwa Kota Surakarta mempunyai sektor
unggulan pada sektor Perdagangan yaitu sebesar Rp. 1.711.786.420.000
Atau sebesar 24,78% dari jumlah PDRB sebesar Rp. 6.909.094.570.000
Pada tahun 2007.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 1.1 di atas menggambarkan bahwa di Kota Surakarta
lapangan usaha yang bergerak pada bidang Perdagangan merupakan sektor
yang sumber pendapatan terbesar di Kota Surakarta pada tahun 2007.
Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian merupakan sektor terkecil
penerimaannya, sesuai dengan kondisi Kota Surakarta yang tidak kaya
sumber daya alamnya.
Pendapatan perkapita penduduk Kota Surakarta pada tahun 2007
sebesar Rp. 12.281.416 Dalam setahun dan ada kenaikan dibandingkan
dengan tahun 2006 sebesar Rp. 11.350.818 Sehingga hal tersebut
mengakibatkan adanya pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari tahun
sebelumnya yaitu sebesar 5,43% pada tahun 2006 dan naik menjadi 5,82%
pada tahun 2007.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 1.2 Data Realisasi Penerimaan Pemerintah Daerah Kota Surakarta
Tahun 2005-2007 (Jutaan Rp.) Uraian Penerimaan
Daerah Tahun
2005 2006 2007 (1) (2) (3) (4)
1. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu
- - -
2. PAD 13.519.167 14.065.493 15.655.512 a. Pajak Daerah 8.290.892 8.335.898 9.414.041 b. Retribusi Daerah 3.036.198 3.173.891 3.335.923 c. Hasil Pengelolaan
Kekayaan Daerah yang dipisahkan
152.894 239.478 368.356
d. Lain-lain PAD yang sah
2.039.183 2.296.226 2.537.192
3. Dana Perimbangan 322.276.570 472.232.958 588.863.966 a. BHPBP 34.487.396 38.242.492 87.541.331 b. DAU 254.104.174 393.424.466 427.582.635 c. DAK 12.820.000 15.986.000 31.960.000 d. Dana Lokasi dari
Propinsi 20.865.000 24.580.000 41.780.000
4. Penerimaan Lainnya yang Sah
28.875.210 33.842.410 55.981.150
Jumlah 364.670.947 520.120.861 660.500.628 Sumber: Dipenda Kota Surakarta (beberapa tahun) Realisasi pendapatan daerah Kota Surakarta
Dapat dilihat pada tabel di atas, minimal tiga tahun terakhir dari
penelitian bahwa jumlah realisasi penerimaan Kota Surakarta selalu
meningkat pada tahun 2005 jumlah realisasi penerimaan Kota Surakarta
sebesar Rp.364.670.947.000.000 meningkat menjadi
Rp.520.120.861.000.000 pada tahun 2006 dan Rp.660.500.628.000.000
pada tahun 2007.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 1.3 Data Realisasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Kota Surakarta
Tahun 2005-2007 (Jutaan Rp.) Uraian Pengeluaran
Daerah Tahun
2005 2006 2007 (1) (2) (3) (4)
A. Belanja Rutin 258.736.519 439.311.172 499.186.466 B. Belanja Pembangunan 95.901.878 73.617.054 157.061.226 Jumlah 354.638.398 512.928.227 656.247.692
Sumber: Dipenda dan BPS Kota Surakarta, (beberapa tahun) perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah Kota Surakarta.
Jumlah realisasi pengeluaran Kota Surakarta seperti yang
ditunjukkan pada tabel 1.3 dari tahun 2005-2007 mengalami peningkatan
yaitu mulai tahun 2005 realisasi pengeluarannya sebesar
Rp.354.638.398.000.000 menjadi Rp.512.928.227.000.000 di tahun 2006
dan kembali meningkat sebesar Rp.656.247.692.000.000 di tahun 2007.
Walaupun berdasarkan data di atas menunjukkan realisasi pengeluaran
yang meningkat, Pemerintah Daerah Kota Surakarta masih mempunyai
beban untuk melakukan peningkatan penggalian potensi terhadap PAD
dikarenakan dalam kajian ini hanya menampilkan realisasi penerimaan dan
pengeluaran selama tiga tahun terakhir dari penelitian serta semakin besar
dana yang dibutuhkan oleh daerah untuk kegiatan pembangunan terbukti
dengan semakin bertambahnya realisasi pengeluaran dari tahun ke tahun.
Berdasarkan latar belakang di atas, Penelitian ini dilakukan dengan
mengambil judul “ANALISIS KEUANGAN DAERAH DI KOTA
SURAKARTA PERBANDINGAN SEBELUM DAN SELAMA
OTONOMI DAERAH (Periode 1990-2009).”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, rumusan masalah
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah ada perubahan yang mendasar mengenai keuangan daerah
di Kota Surakarta pada era sebelum otonomi daerah dam pada era
otonomi daerah berdasarkan Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF),
Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya dan Posisi Fiskal,
Potensi Keuangan, Rasio Aktivitas, dan Efektivitas PAD?
2. Bagaimana upaya pemerintah agar keuangan daerah tetap menjadi
tumpuan bagi jalannya pemerintahan yang diukur dengan Rasio
Kemandirian dan Pola Hubungannya?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah dan perumusan
masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisa tingkat perubahan yang
mendasar tentang Keuangan Daerah di Kota Surakarta selama
diberlakukan Otonomi Daerah berdasarkan Derajat Desentralisasi
Fiskal (DDF), Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya Fiskal,
Matriks Potensi PAD, Rasio Aktivitas (Keserasian), dan Efisiensi
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
2. Untuk mengetahui dan menganalisa keuangan daerah agar menjadi
tumpuan bagi jalannya pemerintahan yang diukur melalui Rasio
Kemandirian dan Pola Hubungannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari Penelitian ini adalah:
1. Bagi Peneliti
Untuk melatih menganalisa, mempelajari dan menerapkan serta
membuat perbandingan antara ilmu yang diperoleh dengan praktek
secara langsung.
2. Bagi Pemerintah
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukkan dan
pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daeah (PAD) dari berbagai sektor yang
mempunyai potensi dalam rangka menunjang kelancaran
pembangunan daerah dan kesejahteraan seluruh warga
masyarakatnya dan/dengan tujuan akhir untuk mencapai
kemandirian Keuangan Daerah tanpa harus bergantung dengan
Pemerintah Pusat.
3. Bagi Pihak Lain
Sebagai tambahan wawasan atau literature mengenai sumber
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan merupakan tambahan
perbendaharaan perpustakaan untuk kepentingan ilmiah dan bahan
informasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Otonomi Daerah
1. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Di dalam Negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi,
dikenal adanya struktur pemerintah pusat (central government) sarta
daerah-daerah yang menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Hal ini
dapat diartikan bahwa daerah-daerah tersebut mempunyai hak,
kewajiban, wewenang dan bertanggungjawab untuk mengatur rumah
tangga sendiri yang disebut juga dengan otonomi.
Sehubungan hal tersebut, Sjaffrudin (1988) mangatakan bahwa
“istilah otonomi” mempunyai makna kebebasan atas kemandirian
(Zelfstandheid) tetapi bukan kemerdekaan (Onafhankelijkheid).
Kebebasan yang terbatas atas kemandirian itu adalag wujud pemberian
yang harus dipertanggungjawabkan.
Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian Daerah Otonom
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pelaksanaan Otonomi Daerah memberikan wewenang yang
lebih nyata dan luas serta bertanggungjawab kepada pemerintah
daerah. Dengan adanya perluasan wewenang pemerintah daerah ini
dapat menciptakan Local Accountability yaitu meningkatnya
kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak
masyarakat terutama pada penyediaan barang publik (Smith dalam
Halim, 2001:176).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
1999, memaknai Otonomi Daerah sebagai pemberian kewenangan
yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada Daerah secara
proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta
perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Di dalam Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 ini memberikan kewenangan otonomi kepada
daerah Kabupaten dan daerah Kota didasarkan atas desentralisasi
dalam otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Prinsip otonomi nyata dapat diartikan sebagai kekuasaan daerah
untuk menangani urusan pemerintahan, dilaksanakan berdasarkan
tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan
berpotensi dan kekhasan daerah. Oleh sebab itu, isi dan jenis otonomi
untuk setiap Daerah tidak selalu sama dengan Daerah lainnya. Maksud
otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraannnya harus benar-benar sesuai dengan tujuan dan
maksud pemberian otonomi, pada dasarnya untuk memberdayakan
daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan
bagian utama termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang
merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Otonomi Daerah dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai maka pemerintah wajib melakukan pembinaan yang
berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan,
perencanaan dan pengawasan. Disamping itu, diberikan pula standar
arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi,
pemantauan dan evaluasi. Bersamaan itu wajib memberikan fasilitas
berupa pemberian peluang kemudahan, bantuang dan dorongan kepada
daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara
efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Landasan Hukum Otonomi Daerah
Otonomi Daerah sebagai perwujudan sistem penyelenggaraan
pemerintahan yang berdasarkan atas dasar Desentralisasi yang
diwujudkan dengan otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab
dilaksanakan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah
diatur dalam kerangka landasannya dalam Undang-Undang Dasar 1945
antara lain: (i) pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi: “Negara Indonesia
adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik”, (ii) pasal 18 yang
menyatakan “Pemerintah Daerah dibentuk atas dasar pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan
ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan
mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara
dan hak-hak, asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”.
Dari sisi sejarah perkembangan penyelenggaraan pemerintahan di
daerah, telah dihadirkan berbagai aturan perundangan yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, antara lain pada tahun 1920-
an ada upaya mengambil langkah Desentralisasi untuk membentuk
lembaga-lembaga perwakilan di beberapa propinsi, kabupaten dan kota
tertentu (Legge, 1961:6). Tujuan utamanya adalah sama agar
memperlancar administrasi dan membuka peluang bagi daerah untuk
mengemukakan kenginannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah pertama kali dibuat
pada tahun 1948, yang meletakkan sendi pola pemerintahan yang
sekarang ini dengan meletakkan sebagian besar berdasarkan pada
pembagian wilayah administrasi Belanda dan banyak menggunakan
pendekatan terpusat. Karena tuntutan dari daerah sangat kuat
khususnya pulau diluar pulau jawa untuk memisahkan diri, maka UU
diubah kembali pada tahun 1957 No. 32 yang memberikan kadar
otonomi yang lebih besar pada daerah (Legge, 1961:53), namun UU
ini tidak berlangsung lama karena Presiden Soekarno memperkenalkan
“Demokrasi Terpimpin” tahun 1959.
Pemerintah orde lama dalam menghadapi masalah-masalah
daerah dan pemerintah daerah cenderung menanti krisis dan sering
mengubah UU. Setelah berdirinya orde baru tahun 1966 membuka
peluang untuk memulai awal yang baru dan membuka masa hubungan
yang relatif stabil antara pemerintah pusat dan daerah. Undang-Undang
baru yang mengatur tentang pemerintah daerah disahkan pada tahun
1974 No. 5, yang merupakan langkah penting dalam usaha
membentuk sistem yang jelas dan menyeluruh mengenai hubungan
pusat dan daerah dan mengenai Pemerintah Daerah (MacAndrews,
1986:13). Dengan lebih menekankan pada pengertian “Otonomi
Daerah yang nyata dan bertanggungjawab” dan meletakkan dalam
hubungan dengan penyediaan jasa masyarakat dengan tegas pada
pemerintah daerah tingkat dua.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui
Kebijakan Otonomi Daerah dan perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah yang diatur dalam satu paket Undang-Undang yaitu UU No. 32
Tahun 2004 pengganti dari UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 pengganti dari UU No. 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Pengalaman dalam melaksanakan berbagai aturan perundangan
tersebut telah menunjukan berbagai masalah yang mempunyai dampak
tersendiri, baik terhadap keutuhan Negara, stabilitas politik, serasian
hubungan pusat dan daerah, maupun implikasi lain terhadap
kelancaran penyelenggaraan pemerintahan. Namun demikian masalah
yang ditimbulkan tidak sampai mengancam persatuan dan kesatuan
bangsa.
3. Maksud Dan Tujuan Otonomi Daerah
Menurut pengalaman dalam pelaksanan bidang-bidang tugas
tertentu sistem Sentralistik tidak dapat menjamin kesesuaian tindakan-
tindakan Pemerintah Pusat dengan keadaan di daerah-daerah. Maka
untuk mengatasi hal ini, pemerintah kita menganut sistem
Desentralisasi atau Otonomi Daerah. Hal ini disebabkan wilayah kita
terdiri dari berbagai daerah yang masing-masing memiliki sifat-sifat
khusus terdiri yang dipengaruhi oleh faktor geografis (keadaan alam,
iklim, flora-fauna, adat-istiadat, kehidupan ekonomi dan bahasa),
tingkat pendidikan dan lain sebagainya. Dengan sistem Desetralisasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
diberikan kekuasaan kepada daerah untuk melaksanakan kebijakan
pemerintah sesuai dengan keadaan khusus di daerah kekuasaan
masing-masing, dengan catatan tetap tidak boleh menyimpang dari
garis-garis politik dan jiwa dari pada instruksi dari Pemerintah Pusat.
Jadi pada dasarnya maksudnya dan tujuan diadakannya pemerintahan
di daerah adakah untuk mencapai efektivitas pemerintahan.
Tujuan dari pemberian Otonomi Daerah sebagaimana dijelaskan
dalam UU No. 32 Tahun 2004 adalah untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui
otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman
daerah dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Atas dasar pencapaian tujuan di atas, prinsip-prinsip yang
dijadikan pedoman dalam pemberian Otonomi Daerah adalah sebagai
berikut (Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004): Prinsip Otonomi Daerah
menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk member
pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip
otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata
adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintah
daerah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban
yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan
demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama
dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya
harus benar-benar sejalan dengan tujuan dann maksud pemberian
otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari
tujuan nasional.
Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh
pemerintah atau pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan industri,
kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan,
kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya berlaku
ketentuan peraturan Pemerintah Daerah Otonom:
a) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan
dan fungsi Badan Legislatif Daerah baik fungsi legislasi, fungsi
pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan
Pemerintah Daerah;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b) Pelaksanaan Asas Dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi
dalam kedudukannya sebagai wilayah Administrasi untuk
melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu yang dilimpahka
kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat;
c) Pelaksanaan atas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari
pemerintah kepada Daerah, tetapi juga pemerintah dan Daerah
kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, tetapi juga dari
pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan
pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia
dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Tujuan utama penyelenggaraan Otonomi Daerah adalah untuk
meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajuan
perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama
pelaksanakan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal, yaitu
(Mardiasmo, 2002:59):
a) Meningkatkan kualitas dan kuantitas palayanan public dan
kesehteraan masyarakat;
b) Menciptakan efisien dan efektivitas pengelolaan sumber daya
daerah;
c) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik)
untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Otonomi Daerah dengan menggunakan Atas Desentralisasi dan
membawa berbagai kebaikan bagi Negara kita, antara lain (Kaho,
1988:13):
a) Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan;
b) Dalam menghadapi masalah yang mendesak, perlu membutuhan
tindakan yang cepat daerah tidak perlu menunggu lagi intruksi dari
pusat;
c) Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setia
keputusan dapat segera dilaksanakan;
d) Dalam sistem Desentralisasi, dapat diadakan perbedaan dan
pengkhususan bagi kepentingan tertentu;
e) Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah
pusat.
4. Titik Berat Otonomi Daerah
Mengacu pada UU No. 22 Tahun 1999, berikut perubahan UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa
titik berat pelaksanakan Otonomi Daerah diletakkan pada daerah
kabupaten, sedangkan penjelasannya dikatakan bahwa dalam rangka
meningkatan pelayanan kepada masyarakat maka titik berat
pelaksanakan Otonomi Daerah diletakkan pada daerah kabupaten
dengan memandang pentingnya daerah kabupaten yang secara
langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga diharapkan lebih
dapat mengetahui serta memahami aspirasi masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Beberapa pertimbangan yang mendasari penetapan daerah
kabupaten dan daerah kota sebagai titik berat pelaksanakan Otonomi
Daerah adalah (Kuncoro, 1995:4):
a) Dari dimensi politik, daerah kabupaten dan daerah kota kurang
mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko separatisme dan
peluang berkembangnya aspirasi masyarakat federasi secara relatif
bisa minim;
b) Dari dimensi administratif penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
c) Daerah Kabupaten dan Kota merupakan ujung tombak dalam
pelaksanaan pembangunan sehingga Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota yang lebih mengetahui potensi rakyat di daerahnya.
Penyelenggarakan Otonomi Daerah dengan menitikberatkan pada
Daerah Kabupaten/Kota adalah merupakan suatu kebijakan yang harus
didukung, artinya Daerah Kabupaten/Kota akan menjadi basis
penyelenggaraan Otonomi Daerah. Namun hal lain yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan otonomi Daerah yang menitikberatkan
pada Daerah Kabupaten/Kota adalah apakah kebijakan ini sesuai
dengan prinsip-prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan
Daerah. Bahwa penyelenggaran Desentalisasi masyarakatkan
pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintahan dengan daerah
otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada
pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan
tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai
urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan
pemerintahan. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya
kelangsungan hidup bangsa dan Negara secara keseluruhan, antara
lain: Politik Luar Negeri, Pertahanan dan Keamanan, Moneter, Yustisi
dan Agama. Dan bagian urusan tertentu pemerintahan lainnya yang
berskala nasional tidak diserahkan kepada daerah.
Disamping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat
coucerrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam
bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan coucerrent secara
proporsional antara Pemerintahan, Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten
dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi: Eksternalitas,
Akuntabilitas dan Efisiensi dengan pertimbangan keserasian hubungan
pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kriteria Eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang
ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut.
Apabila dampaknya lokal maka menjadi kewenangan Kabupaten/Kota,
jika dampak dari urusan bersifat regional menjadi kewenangan
Propinsi dan apabila lingkup nasional menjadi kewenangan
Pemerintah.
Kriteria Akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian
urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat
pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat
pemerintahan yang langsung/dekat dengan dampak akibat dari urusan
yang ditangani tersebut.
Kriteria Efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya
(personil, dana dan peralatan) untuk mendapatkan ketetapan, kepastian
dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaran bagian
urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penangannya
dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasil guna untuk
dilaksanakan oleh Daerah Propinsi dan atau Daerah Kabupaten/Kota
dibandingkan apabila ditangani oleh pemerintah maka urusan tersebut
diserahkan kepada Daerah Propinsi dan atau Daerah Kabupaten/Kota,
begitu juga sebaliknya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian hubungan yaitu
pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat
pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan
(interkoneksi), saling tergantung (inter-pendensi) dan saling
mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan
cakupan manfaatnya. Namun dari semua pembagian urusan
pemerintahan tersebut, Pemerintah tetap melakukan verifikasi terlebih
sebelum memberikan pengaturan atas bagian urusan-urusan yang akan
dilaksanakan oleh daerah.
Urusan yang menjadi kewenangan daerah ada dua urusan yaitu
urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib ialah suatu urusan
pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti
pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal,
prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan yang bersifat pilihan
berkaitan erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.
Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan
Daerah atas Desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa
dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk melaksanakan urusan
pemerintah dibidang tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Keuangan Daerah
1. Asas Umum Keuangan Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah membawa perubahan pada
pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan pengelolaan APBD
pada khususnya yang sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah
daerah. Dalam PP No. 105/2000, dikemukakan asas umum
pengelolaan keuangan daerah, yang meliputi:
a. Pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif dan
bertanggungjawab;
b. Semua penerimaan daerah dan pengeluarkan daerah dicatat dalam
APBD, perubahan APBD dan perhitungan APBD;
c. Daerah dapat membentuk dana cadangan;
d. Daerah dapat mencari sumber-sumber pembiayaan lainnya, selain
sumber pembiayaan yang telah ditetapkan, seperti kerjasama
dengan pihak lain;
e. Pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dalam Perda
(peraturan daerah);
f. APBD disusun dengan pendekatan kinerja.
Peraturan pemerintah tersebut sudah memberikan arahan secara
umum kepada Pemerintah Daerah dalam menyusun dan melaksanakan
APBD. Di samping itu, daerah dituntut lebih terampil dalam proses
penyusunan maupun dalam pelaksanaan APBD dengan menggunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pendekatan kinerja. Anggaran dengan kinerja merupakan suatu sistem
anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau
output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan
(penjelasan PP No. 105/2000). Hal ini juga berarti bahwa hasil yang
dicapai harus sepadan atau lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Di
samping itu, setiap penganggaran dalam pos pengeluaran dalam APBD
harus didukung oleh adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam
jumlah yang cukup.
APBD disusun dengan pendekatan kinerja, dalam penyusunannya
paling tidak harus memuat 3 (tiga) hal yaitu (BAB III, Bagian kedua,
Pasal 20 ayat 1, PP No. 105/2000): (i) Sasaran yang diharapkan
menurut fungsi belanja; (ii) Standar pelayanan yang diharapkan dan
pemikiran biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; (iii)
Bagian pendapatan APBD yang membiayai belanja administrasi
umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal
pembangunan. Selanjutnya dalam (BAB III, bagian kedua, pasal 20
ayat 2, PP No. 105/2000) disebutkan bahwa untuk mengukur kinerja
Pemerintah Daerah, dikembangkan: (i) Standar analisa belanja, yaitu
penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap suatu
kegiatan; (ii) Tolak ukur kinerja, yaitu ukuran keberhasilan yang
dicapai pada setiap unit organisasi perangkat daerah; dan (iii) Standar
biaya, yaitu harga saham satuan unit biaya yang berlaku bagi masing-
masing daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Manajemen Keuangan Daerah
Tuntutan globalisasi perekonomian dan pembangunan nasional
menekankan pada pelaksanaan Otonomi Daerah secara luas, nyata dan
bertanggungjawab. Oleh karena itu, guna mendukung pelaksanaan
otonomi daerah yang didambakan tersebut maka diperlukan anggaran
baru yang berkaitan dengan manajemen Keuangan Daerah yang
sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan yang dibagi menjadi
manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah.
Perubahan paradigma anggaran daerah diharapkan dapat
menghasilkan anggaran daerah yang benar-benar mencerminkan
kepentingan masyarakat daerah setempat. Pengelolaan keuangan
daerah secara ekonomis, transparan, efisien dan efektif tersebut dapat
dipenuhi dengan kriteria sebagai berikut (Mardiasmo, 2002:166):
a. Anggaran Daerah bertumpu pada kepentingan publik
b. Anggaran Daerah dikelola dengan hasil yang baik dan biaya yang
rendah (work better and cost less)
c. Anggaran Daerah mampu memberikan transparansi dan
akuntabilitas secara nasional untuk keseluruhan siklus anggaran
d. Anggaran Daerah dikelola dengan pendekatan kinerja
(performance orientied) untuk seluruh jenis pengeluaran maupun
pendapatan
e. Anggaran Daerah mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di
setiap organisasi yang terkait
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
f. Anggaran Daerah dapat memberikan keleluasaan bagi para
pelaksanaannya untuk memaksimalkan pengelolaan dananya
dengan memperhatikan prinsip value for money.
Setiap bentuk organisasi, sektor swasta ataupun sektor publik
untuk mencapai visi dan misinya akan melakukan penganggaran dan
manajemen keuangan daerah yang dilaksanakan sesuai dengan prinsip-
prinsip pokok tertentu, antara lain adalah (World Bank dalam
Mardiasmo, 2002:106-107):
a. Anggaran Daerah dan Manajemen Keuangan Daerah dilaksanakan
secara komprehensif dan disiplin;
b. Pengangguran Daerah dan Manajemen Keuangan Daerah
dilakukan dengan prinsip Fleksibilitas;
c. Penganggaran Daerah dan Manajemen Keuangan Daerah
dilakukan dengan prinsip terprediksi;
d. Terdapat informasi yang benar dan jelas dalam Anggaran Daerah
dan Manajemen Keuangan Daerah tentang laporan biaya, output
dan dampak dari suatu kebijakan yang diambil;
e. Penganggaran Daerah dan Manajemen Keuangan Daerah
dilaksanakan secara transparan dan memperhatikan prinsip
akuntabilitas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Keuangan Daerah di Era Transisi
Pelaksanaan Otonomi Daerah sejak awal bulan Januari 2001
merupakan masa transisi bagi Pemerintah Daerah dari kebiasaan
sentralisasi berubah ke permulaan tugas menyusun sendiri
anggarannya (APBD). Seiring hal tersebut kemudian muncul beberapa
ekses seperti kekurangan gaji pegawai dan beberapa daerah mengalami
APBD defisit. Beberapa daerah menuntut tambahan Dana Alokasi
Umum (DAU), selanjutnya Pemerintah Pusat mengalokasikan Dana
Kontigensi dan sebagainya. Beberapa ekses ini terjadi disebabkan oleh
adanya misallocation dari adanya kebijakan transfer fiskal yaitu
transfer dari APBN ke APBD dalam bentuk Dana Perimbangan,
Khususnya Dana Alokasi Umum (DAU) yang dulu merupakan Subsidi
Daerah Otonom (SDO), Dana Inpres (Instruksi Presiden), sebagian
dana Daftar Isian Kegiatan (DIK) dan Daftar Isian Proyek (DIP) dan
sebagainya. Demikian juga ekses yang ditimbulkan oleh adanya
limpahan pegawai dari Propinsi ke Kabupaten/Kota.
Bagi daerah-daerah yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA),
akan mendapatkan alokasi dana dari pos Dana Bagi Hasil (DBH) SDA
dalam jumlah yang sangat besar sehingga dampak alokasi Dana
Alokasi Umum (DAU) relatif kurang bermasalah. Gejala ini
memberikan indikasi bahwa banyak Daerah yang APBDnya masih
tergantung dan mengandalkan pada pembagian DAU dari Pemerintah
Pusat. Oleh karena itu, untuk APBD tahun-tahun berikutnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pemerintah Daerah dapat meningkatkan jumlah pendapatan dalam
APBDnya melalui berbagai upaya: (1) Kenaikan Pendapatan Asli
Daerah (PAD); (2) Kegiatan Land and Building valuation sehingga
meningkatkan bagi hasil dari pos Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
(3) Melakukan penyempurnaan variable penentu Dana Alokasi Umum
(DAU) dengan cara dan perhitungan yang disusun oleh masing-masing
Daerah yang kemudian diajukan sebagai usulan ke Pemerintah Pusat;
dan (4) Pengelolaan asset daerah dan penyusunan neraca Sumber Daya
Alam (SDA).
Pelaksanaan anggaran daerah harus dilandasi oleh keingan untuk
mewujudkan tata Pemerintahan yang baik (good governance) dan
manajemen keuangan yang efisien (cash management efficiency).
Sebagai dasar aplikasi perubahan sistem akuntansi keuangan daerah
adalah Peraturan Daerah yang dikeluarkan Kepala Daerah sedangkan
Pemerintah Pusat akan membuat sistemnya dan membantu dalam
kegiatan desimensi dan pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM) aparat
pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pemahaman mengenai pentingnya manajemen keuangan daerah oleh
berbagai pihak akan menunjang keberhasilan dalam pembangunan
umumnya dan pengelolaan keuangan daerah khususnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Reformasi Keuangan Daerah sebagai konsekuensi logis dari
otonomi daerah memberikan peluang untuk menunjukkan kemampuan
dalam mengelola anggaran daerah tanpa banyak campur tangan
Pemerintah Pusat atau propinsi (Pasal 40 PP No.105/2000).
Dapat dikatakan bahwa yang menjadi perhatian utama dalam
Pengelolaan Keuangan Daerah adalah adanya paradigma baru dalam
manajemen atau pengelolaan anggaran daerah. Anggaran daerah
sebagai suatu arahan kegiatan operasional, anggaran daerah sebagai
suatu alat komunikasi terhadap publik. Masing-masing maksud atau
tujuan tersebut mempunyai kriteria-kriteria tersendiri untuk
evaluasinya (Coe (1989) dalam Mardiasmo, 2002:108).
Anggaran Daerah adalah rencana kerja Pemerintah Daerah dalam
bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun).
Anggaran daerah atau anggaran pendapatan dan belanja daerah
merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah.
Sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi
sentral dalam upaya pengembangan Kapabilitas dan Efektivitas
Pemerintah Daerah menjalankan fungsi dan peranannya secara efisien,
sedangkan Efektivitas diartikan sebagai upaya untuk menyelaraskan
Kapabilitasnya dengan tuntutan dan kebutuhan dan kebutuhan publik
(World Bank (1997) dalam Mardiasmo, 2002:177).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Reformasi anggaran berarti anggaran harus disusun dengan
pendekatan kinerja yaitu pengelolaan anggaran daerah berorientasi
pada pencapaian hasil atau kinerja (pasal 8 PP No. 105/2002).
Anggaran daerah harus mampu secara optimal difungsikan sebagai alat
menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran dimasa-masa yang
akan dating, sumber pengembangan ukuran-ukuran standard untuk
evaluasi kinerja, alat unyuk memotivasi para pegawai dan alat
koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja (Jones
Prendlebury (1999) dalam Mardiasmo, 2002:177).
Kemampuan pemerintah dalam mengelola keuangannya
dituangkan dalam APBD yang langsung maupun tidak langsung
mencerminakan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai
pelaksanaan tugas-tugas pemerintah, pembangunan dan pelayanan
sosial masyarakat pada satu tahun anggaran, APBD memuat seluruh
perkiraan dalam bentuk angka-angka baik pada sisi pendapatan
(penerimaan) maupun sisi pengeluaran (belanja) maka sistem
Pengelolaan Keuangan Daerah dimulai dari proses perencanaan,
pengangguran sampai pada kebutuhan riil masyarakat disesuaikan
dengan kondisi dan potensi daerah. Anggaran daerah otonom
hakekatnya merupakan salah satu alat memegang peranan penting
dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan
masyarakat dengan memperhatikan potensi keanekaragaman daerah,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
maka dari itu APBD harus memperhatikan prinsip-prinsip anggaran
sebagai berikut (Halim, 2001:79-80):
a. Keadilan Anggaran. Pembiayaan Pemerintah Daerah dilakukan
melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dipilih oleh segenap
lapisan masyarakat daerah. Untuk itu pemerintah wajib
mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati
oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam
pemberian layanan;
b. Disiplin Anggaran. APBD disusun dengan orientasi pada
kebutuhan masyarakat tanpa harus meninggalkan keseimbangan
antara pemerintah, pembangunan dan pelayanan masyarakat;
c. Transparansi dan Akuntabilitas. Anggaran daerah harus mampu
memberikan informasi yang lengkap, akurat dan tepat waktu dan
dilaksnakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan
secara teknis dan ekonomis kepada pihak terkait, baik masyarakat,
Pemerintah Pusat maupun pihak-pihak yang bersifat independent
yang memerlukannya;
d. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran. Dana yang tersedia harus
dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna
kepentingan masyarakat;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
e. Format Anggaran. Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan
format anggaran defisit (defisit budget format). Selisih antara
pendapatan dan belanja mengakibatkan terjadinya surplus atau
defisit anggaran.
Pengeluaran belanja daerah berdasarkan pada konsep Value for
Money yang tercermin dalam indikator 3-E (Ekonomi, Efisien dan
Efektivitas). Pengertian dari indikator 3-E dapat disajikan sebagai
berikut (Kurniawati dalam Mulyanto, 2003:49):
a. Ekonomi; Indikator ekonomi dihasilkan dari suatu perbandingan
antara input (masukan) dengan input value (nilai uang). Indikator
ekonomi juga menunjukkan adanya praktek pemberian barang dan
jasa pada kualitas yang diinginkan dan pada harga yang terbaik
yang dimungkinkan (spending tess). Pengertian ekonomi sebaiknya
mencangkup juga pengertian bahwa pengeluaran daerah hendaknya
dilakukan secara berhati-hati (prudency) dan keuangan daerah
harus digunakan secara optimal tanpa pemborosan (hemat);
b. Efisiensi; Indikator efisiensi erat kaitannya dengan konsep
produktivitas yaitu rasio yang membandingkan antara output
(keluaran) yang dihasilkan terhadap input (masukan) yang
digunakan. Proses kegiatan operasional telah dilakukan secara
efisien, apabila suatu target kinerja tertentu dapat dicapai dengan
penggunaan sumber daya dan biaya yang serendah-rendahnya
dibandingkan secara relatif terhadap kinerja usaha sejenis atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
antar kurun waktu (spending well). Indikator efesiensi diukur
dengan rasio antara output (keluaran) dan secondary input
(masukan sekunder);
c. Efektivitas; Indikator efektivitas merupakan perbandingan antara
outcome (pencapaian/dampak) dengan output (keluaran). Kegiatan
operasional dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai
tujuan dan sasaran akhir dari suatu kebijakan (spending wisely)
yang telah ditetapkan. Indikator efektivitas juga berarti dapat
diselesaikannya suatu kegiatan pada waktunya dan di dalam batas
anggaran yang disediakan atau dapat mencapai tujuan program
(yaitu outcome atau hasilnya dalam mencapai tujuan fungsional
dan tujuan akhir).
Bila dilihat dari proses penyusunan APBD, maka tahap-tahap
proses penyusunan APBD adalah sebagai berikut:
a. Perumusan kebijakan umum APBD antara Pemerintah Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan mempertimbangkan
aspirasi dan masukan dari masyarakat;
b. Penyusunan strategi dan prioritas oleh Pemerintah Daerah;
c. Penyusunan RAPBD yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah;
d. Pembahasan RAPBD yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
bersma DPRD;
e. Penetapan RAPBD dengan peraturan daerah;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
f. Apabila DPRD tidak menyetujui RAPBD yang diusulkan, maka
dipergunakan APBD tahun sebelumnya;
g. Perubahan RAPBD ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan
Menurut PP No. 105/2000, struktur dalam APBD merupakan
suatu kesatuaan yang terdiri dari: (i) Pendapatan Daerah; (ii) Belanja
Daerah; (iii) Pembiayaan. Selisih lebih dari pendapatan daerah
terhadap belanja daerah disebut surplus anggaran, sedangkan selisih
kurang dari pendapatan daerah disebut Defisit Anggaran. Jumlah
pembiayaan sama dengan jumlah surplus/defisit anggaran. Apabila
diperkirakan pendapatan daerah lebih kecil dari rencana belanja
daerah, maka daerah dapat melakukan pinjaman sebagaimana yang
diatur dalam PP No. 107/2000 tentang Pinjaman Daerah. Komponen
APBD menurut PP No. 105/2000 disusun dengan muatan sebagai
berikut:
a. Pendapatan Daerah;
b. Belanja Operasional Pemerintah;
c. Belanja Modal (capital investment).
Investasi modal dalam suatu proyek, hasilnya di sampiung untuk
menambah pendapatan daerah, juga harus digunakan untuk
mengangsur proyek surplus/defisit;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
d. Aset Daerah
Aset daerah dicatat nilainya pada awal tahun anggaran kemudian
menjelang akhir tahun anggaran diadakan evaluation, dan dicatat
apakah terjadi mutasi selama tahun anggaran berjalan;
e. Pembiayaan;
1) Dana Daerah;
2) Pinjaman;
3) Pemerintah Pusat;
4) Masyarakat;
5) Luar Negeri.
Dalam rangka mengelola keuangan daerah, dapat membentuk
dana cadangan yang bersumber dari Pemerintah Daerah, guna
membiayai kebutuhan tertentu. Dana cadangan dapat disediakan dari
sisa anggaran tahun lalu dan/atau sumber pendapatan daerah. Dana
cadangan dibentuk dan diadministrasikan secara terbukti tidak
dirahasiakan, disimpan dalam bentuk kas atau yang mudah diuangkan,
dan semua transaksi harus dicantumkan dalam APBD.
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menjadi UU No. 32 Tahun 2004
dan UU No. 25 Tahun 1999 menjadi UU No. 33 Tahun 2004 serta PP
No. 105 Tahun 2000 dapat dilihat pada tabel 2.1 sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 2.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
No. Uraian Jumlah I II III IV
PENERIMAAN 1. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu 2. Pendapatan Asli Daerah
a. Hasil Pajak Daerah b. Hasil Restribusi Daerah c. Hasil BUMD dan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan d. Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah
3. Dana Perimbangan a. Bagian Daerah Dari Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum c. Dana Alokasi Khusus
PENGELUARAN 1. Pengeluaran Belanja
a. Belanja Rutin 1) Administrasi Umum
a) Belanja Pegawai b) Belanja Barang c) Belanja Perjalanan Dinas d) Belanja Pemeliharaan
b. Operasi Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Umum 2) Belanja Investasi
a) Publik b) Aparatur
2. Pengeluaran Transfer a. Angsuran Pinjaman dan Bunga b. Bangunan c. Dana Cadangan
3. Pengeluaran tak Tersan gka SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN PEMBIAYAAN 1. Dalam Negeri 2. Luar Negeri
Keterangan: Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Sesuai Undang-Undang No. 22 dan No. 25 Tahun 1999 serta PP No.l 105 Tahun 2000)
Sumber: Abdul Halim (2001). Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN, hal. 14
5. Sumber-Sumber Keuangan Daerah
Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 adalah pengganti
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sumber-sumber penerimaan
terdiri atas:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli daerah merupakan penerimaan yang diperoleh
daerah dari sumber-sumber dan wilayahnya sendiri yang dipungut
berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan Perundang-
undangan yang berlaku yang terdiri dari:
1) Hasil Pajak Daerah
Ketentuan mengenai Pajak Daerah ditetapkan dengan Peraturan
Perundang-undangan. Sedangkan penentuan tarif dan tata cara
pemungutan pajak daerah ditetapkan dengan peraturan daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Hasil Restribusi Daerah
Retribusi adalah pungutan yang dikenakan kepada pemakai jasa
tertentu yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Sebagaimana
pajak daerah ketentuan mengenai restribusi daerah juga
ditetapkan dengan Undang-Undang. Sementara penentuan tarif
dan tata cara pemungutan restribusi daerah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3) Hasil Perusahaan Milik Daerah
4) Hasil Pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan
5) Sumber Lain Pendapatan yang Sah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Dana Perimbangan Pinjaman Daerah
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari
penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN)
yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Sumber-sumber
dan yang berasal dari pos dana perimbangan antara lain:
1) Bagian Hasil Daerah
Bagian hasil daerah dapat berasal dari penerimaan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) dan Penerimaan dari sumber daya alam
(SDA)
2) Dana Alokasi Umum
Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang
dialokasikan dengan tujuan Pemerataan Keuangan antar daerah
untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.
3) Dana Alokasi Khusus
Dana alokasi khusus adalah dana yang dialokasikan kepada
daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus tertentu.
Kebutuhan khusus yang dimaksud menggunakan kriteria: (i)
kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan
rumus dana alokasi umum, dan/atau (ii) kebutuhan yang
merupakan komitmen atau prioritas nasional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c. Lain-Lain Pendapatan yang Sah
Lain-lain Penerimaan daerah yang sah, antara lain bersumber
dari: hibah, dana darurat dan penerimaan lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Kebijakan Anggaran Daerah
Kebijakan anggaran yang sering juga disebut sebagai kebijakan
fiskal, secara umum dapat diartikan sebagai upaya dari pemerintah,
termasuk Pemerintah Daerah di dalam menyelenggarakan pembanguan
untuk mencapai suatu tujuan tertentu melalui pengelola APBD. Tujuan
dari pengelolaan anggaran ini, paling tidak ditujukan untuk mengatasi
permasalahan dan fungsi pemerintah dibidang alokasi, distribusi dan
stabilisasi. Fungsi alokasi berkaitan dengan upaya Pemerintah di dalam
menyediakan dana bagi kebutuhan masyarakat banyak yang tidak
mungkin disediakan oleh pihak swasta. Dengan kata lain fungsi alokasi
merupakan wujud campur tangan atau intervensi dari Pemerintah
terhadap kebijakan/program/kegiatan yang tidak diminati oleh sektor
swasta agar terjadi alokasi anggaran yang merata ke seluruh
masyarakat melalui penyediaan atau pengadaan barang-barang dan
jasa-jasa publik (public goods and services). Berdasarkan skala
prioritas yang ditetapkan, Pemerintah Daerah dapat mengalokasikan
nilai belanja tertentu untuk kebutuhan atau kegiatan tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Fungsi distribusi berkaitan dengan upaya pemerintah untuk
menyalurkan anggaran, khususnya melalui pos belanja
pembangunan/belanja publik untuk menciptakan pemeratan atau
mengurangi tingkat kesenjangan pendapatan antar wilayah, sektor
maupun antar golongan/anggota masyarakat. Melalui fungsi distribusi,
Pemerintah dapat membuat suatu kebijakan yang memastikan lapisan
masyarakat yang kaya disuatu wilayah dan juga suatu sektor yang
member kontribusi besar terhadap pembangunan secara keseluruhan,
untuk kemudian mendistribusikan ke lapisan masyarakat yang lebih
miskin melalui program atau kegiatan yang direncanakan dalam
anggaran daerah.
Fungsi stabilisasi, dimaksudkan bahwa melalui pengelolaan
anggaran (APBN), Pemerintah daerah dapat menciptakan tingkat
kesempatan kerja yang memadai, kestabilan tingkat harga atau tingkat
inflasi serta pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif
tinggi. Apabila terjadi angan yang ekstrem, misalnya terjadi tingkat
pengangguran yang tinggi, melalui program atau kegiatan yang
direncanakan dalam anggaran Pemerintah dapat menciptakan lapangan
kerja baru atau memperluas kesempatan kerja yang sudah ada untuk
menyerap tenaga kerja yang berlimpah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dari dimensi manajerial, pengelola anggaran yang dilaksanakan
melalui kebijakan fiskal mempunyai beberapa fungsi:
1) Memberikan pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk
melaksanakan tugasnya pada periode yang akan datang;
2) Sebagai produk politik yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif
atas nama kepentingan masyarakat dan pembebanan konsekuensi
terhadap masyarakat juga, oleh karena itu anggaran bias berfungsi
sebagai alat kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan
yang dibuat Pemerintah;
3) Anggaran dapat dipakai masyarakat untuk menilai seberapa jauh
pencapaian Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan dan
program-program yang direncanakan.
7. Indikator Kinerja Keuangan Daerah
Pada dasarnya terdapat dua hal yang dapat dijadikan sebagai
indikator kinerja, yaitu Kinerja Anggaran dan Anggaran Kinerja.
Kinerja anggaran merupakan instrumen yang dipakai oleh DPRD
untuk mengevaluasi kinerja Kepala Daerah, sedangkan Anggaran
Kinerja merupakan instrumen yang dipakai oleh Kepala Daerah untuk
menevaluasi unit-unit kinerja yang ada di bawah kendali Daerah selaku
manager eksekutif. Penggunaan indikator kinerja sangat penting untuk
mengetahui apakah suatu program kerja telah dilaksanakan secara
efisien dan efektif (Mardiasmo, 2002:19).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berdasarkan konsep Musgrave dalam buku ekonomi publik oleh
Reksohadiprojo (2001: 153-158), indikator keuangan daetah adalah
sebagai berikut:
1) Data Desentralisasi Fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah
pada umumnya ditujukan oleh variable-variabel: (i) Pendapatan
Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), (ii)
Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Daerah (BHPBP)
terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) dan (iii) Rasio
Sumbangan Bantuan Daerah (SBD) terhadap Total Penerimaan
Daerah (TPD).
2) Kebutuhan Fiskal
Variabel-variabel kebutuhan daerah dibagi atas variabel
kependudukan dan variabel kewilayahan. Variabel kependudukan
meliputi jumlah penduduk dan Indeks Kemiskinan Relatif.
Sedangkan variabel kewilayahan meliputi luas wilayah dan Indeks
harga Bangunan (Mardiasmo, 2002:160).
3) Kapasitas Fiskal
Kapasitas Fiskal adalah sejumlah pajak yang seharusnya mampu
dikumpulkan dari dasar pajak, yang biasanya berupa pendapatan
perkapita. Upaya peningkatan kapasitas fiskal daerah sebenarnya
tidak hanya menyangkut peningkatan PAD. Peningkatan kapasitas
fiskal daerah pada dasarnya adalah optimalisasi sumber-sumber
penerimaan daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Variabel-variabel potensi daerah terdiri dari potensi PAD dan
potensi Penerimaan Bagi Hasil (PBB, BHPBP, PPh Perorangan
dan SDA).
4) Usaha Fiskal
Usaha pajak dapat diartikan sebagai rasio antara penerimaan pajak
dengan kapasitas membayar disuatu daerah. Salah satu indikator
yang dapat digunakan mengetahui kemampuan membayar pajak
masyarakat adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto. Jika
PDRB meningkat maka kemampuan daerah-daerah dalam
membayar pajak juga meningkat. Hal ini berarti bahwa
administrasi penerimaan daerah dapat meningkatkan daya pajak.
C. Penelitian Terdahulu
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Wibowo (2006) yang berjudul
Analisis Kinerja Keuangan Daerah sebelum dan pada masa Otda (studi kasus
di Kabupaten Sragen tahun anggaran 1996/1997-2005). Tujuan penelitian
disebutkan adalah untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah Kabupaten
Sragen baik sebelum dan pada masa Otonomi Daerah. Data yang
dipergunakan adalah data APBD sepuluh tahun anggaran dari tahun
1996/1997-2005. Teknik analisis deskriptif menunjukan bahwa APBD
Kabupaten Sragen mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hasil dari
analisis deskriptif menunjukkan bahwa APBD Kabupaten Sragen mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Hasil dari analisis kuantitatif menunjukkan
bahwa Kabupaten Sragen belum mampu dan mandiri secara keuangan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
membiayai penyelenggaraan kegiatan pemerintah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa proporsi PAD terhadap TPD tergolong rendah baik
sebelum dan sesudah Otonomi Daerah. Dimana Rasio PAD rata-rata sebelum
Otonomi Daerah yaitu 15,21% dan Rasio PAD rata-rata sesudah Otonomi
Daerah adalah 9,45%.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Kurniawati (2004) dengan judul
Analisis Kemampuan Keuangan Daerah di Kabupaten Sukoharjo
(Perbandingan Era Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah). Kesimpulan dari
penelitian menyatakan bahwa pada era sebelum otonomi daerah, Kabupaten
Sukoharjo mempunyai rata-rata rasio PAD terhadap Total Penerimaan Daerah
lebih tinggi daripada rata-rata rasio PAD terhadap Total Pengeluaran Daerah
setelah otonomi daerah. Perhitungan tentang kemandirian daerah
menunjukkan bahwa Kabupaten Sukoharjo memiliki kemampuan keuangan
yang rendah sekali yaitu dibawah 25%.
Penelitian yang dilakukan oleh Prayitno pengadakan penelitian tentang
keuangan daerah di Kabupaten Sleman periode 1990/1991-2003. Kesimpulan
penilitian menunjukkan bahwa Kabupaten Sleman belum mampu dalam
mengumpulkan PAD. Perhitungan derajat desentralisasi fiskal menunjukkan
pada era sebelum otonomi daerah, Kabupaten Sleman mempunyai rata-rata
rasio PAD data data-data rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan pada era otonomi daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Zahra (2008) yang berjudul
Analisis Keuangan Daerah di Kabupaten Karangayar Perbandingan sebelum
dan selama Otonomi Daerah (Periode 1994/1995-2006). Tujuan penelitian
disebutkan adalah untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah agar
menjadi tumpuan untuk menjalankan pemerintahan sebelum dan pada masa
Otonomi Daerah. Data yang dipergunakan adalah data APBD tiga belas tahun
anggaran dari tahun 1994/1995-2006. Teknik analisis deskriptif menunjukan
bahwa APBD Kabupaten Karangayar mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Hasil dari analisis kuantitatif. Hasil dari analisis deskriptif
menunjukkan bahwa APBD Kabupaten Karangayar mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Hasil dari analisis kuantitatif menunjukkan bahwa
Kabupaten Karangayar belum mampu dan mandiri secara keuangan dalam
membiayai penyelenggaraan kegiatan pemerintah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa proporsi PAD terhadap TPD tergolong rendah baik
sebelum dan sesudah Otonomi Daerah. Dimana Rasio PAD rata-rata sebelum
Otonomi Daerah yaitu 22,82% dan Rasio PAD rata-rata sesudah Otonomi
Daerah adalah 8,18%.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
D. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Pada era Otonomi Daerah sekarang ini, pemerintah daerah dituntut
untuk dapat lebih mandiri dalam menjalankan pemerintahan. Ketergantungan
pemerintah daerah pada pemerintah pusat harus mulai dikurangi, untuk itu
pemerintah daerah harus mengoptimalkan setiap sumber daya yang dimiliki.
Untuk membuat suatu perencanaan pembangunan ekonomi daerah
diperlukan bermacam-macam data yang digunakan sebagai bahan analisis.
Dalam hal ini unsur-unsur penentu perkembangan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) antara lain adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dan
jumlah penduduk. Apabila jumlah penduduk semakin banyak, maka
pendapatan asli daerah semakin meningkat, karena masyarakat semakin
banyak untuk membayar pajak daerah dan restribusi daerah karena termasuk
kedalam pendapatan asli daerah. Sedangkan untuk menghitung Derajat
Desentralisasi Fiskal antara lain Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil
PDRB Jumlah Penduduk
PAD
Derajat Desentralisasi
Bantuan dan Sumbangan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
Rasio Keuangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pajak dan bukan pajak dan sumbangan. Pemerintah Daerah mendapat
sumbangan antara lain dari Pemerintah Negara Asing, Badan atau Lembaga
Asing, Pemerintah, Lembaga Dalam Negeri atau Perseorangan dan Lembaga
Internasional. Dalam hal ini pemerintah diberi dalam bentuk devisa, rupiah
maupun barang atau jasa termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu
dibayar kembali. Sehingga rasio keuangan daerah dapat disimpulkan apakah
Pemerintah Kota Surakarta telah mandiri dari segi posisi keuangan daerah
dihitung dari derajat desentralisasi fiskal.
E. Hipotesis
Hipotesis pada dasarnya merupakan suatu kesimpulan sementara
tentang perilaku variabel-variabel dalam model yang digunakan, juga akan
dibuktikan kebenarannya melalui syarat uji statistik. Berkenaan dengan hal itu
maka hipotesis yang dirumuskan untuk penelitian ini adalah:
1. Kota Surakarta diduga belum mampu secara keuangan selama
pelaksanaan Otonomi Daerah apabila ditinjau dari beberapa indikator
kemampuan Keuangan Daerah yang meliputi: Derajat Desentralisasi
Fiskal, Potensi Keuangan Daerah, Rasio Aktivitas dan efisiensi PAD.
2. Kota Surakarta diduga belum mandiri secara keuangan dalam
membiayai penyelenggaraaan Otonomi Daerah bila diukur dengan
Rasio Kemandirian dan Pola hubungannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kuantitatif dan
deskriptif. Penelitian ini merupakan studi menyeluruh mengenai Derajat
Desentralsasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya Fiskal,
Matrik Potensi PAD, Rasio Aktivitas (Keserasian), dan Efektivitas PAD.
Data yang digunakan meliputi APBD Kota Surakarta tahun 1990-2009
dan data PDRB atas dasar harga berlaku maupun konstan periode tahun 1990-
2009.
B. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang
diperoleh dari beberapa sumber. Adapun data yang digunakan meliputi:
1. Data Realisasi PAD Kota Surakarta diperoleh dari perhitungan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah Kota Surakarta (Dipenda)
2. Data Realisasi PAD Jawa Tengah (BPS)
3. Data Realisasi pengeluaran daerah Kota Surakarta diperoleh dari
perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Surakarta
(Dipenda dan BPS)
4. Data Realisasi pengeluaran Jawa Tengah (BPS)
5. Data gambaran umum Kota Surakarta diperoleh dari Surakarta dalam
angka (BPS)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6. Data PDRB Kota Surakarta dan Propinsi Jawa Tengah diperoleh dari
PDRB Surakarta dan Jawa Tengah (BPS)
7. Data jumlah penduduk Kota Surakarta dan Jawa Tengah diperoleh dari
Jawa Tengah dalam angka (BPS)
C. Definisi Operasional Variabel
Penelitian ini menggunakan beberapa indikator beserta variable-variabel
guna melihat kondisi keuangan daerah suatu kabupaten/kota.
Definisi Operasional masing-masing variabel tersebut adalah sebagai berikut:
1. Anggaran (budget) adalah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci
tentang penerimaan dan pengeluaran organisasi yang diharapkan dalam
jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun (Suparmoko, 1992:49)
2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana
keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah.
Dinyatakan dalam rupiah (UU Nomor 33 Tahun 2004, Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah)
3. Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-
sumber dalam wilayah sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan
daerah. Dinyatakan dalam rupiah (UU Nomor 33 Tahun 2004,
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah)
4. Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau
lembaga yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Dinyatakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dalam rupiah (UU Nomor 33 Tahun 2004, Perimbanga Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah)
5. Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembiayaan atas jasa
atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan
oleh pemerintah daerah. Dinyatakan dalam rupiah (UU Nomor 33 Tahun
2004, Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah)
6. Kemandirian Keuangan Daerah (Otonomi Fiskal) menunjukkan
kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah
membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan
daerah (Halim, 2004:150)
7. Rasio Efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam
merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan, dibandingkan
dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah (Halim,
2004:152)
8. Rasio Aktivitas menggambarkan bagaimana pemerintah daerah
memprioritaskan alokasi dananya pada biaya rutin dan belanja
pembanguan secara optimal (Halim, 2004:153)
9. Kapasitas Fiskal adalah sejumlah pajak yang seharusnya mampu
dikumpulkan dari dasar pajak (tax base), yang biasanya berupa pendapatan
perkapita (Suparmoko, 1987:320)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
D. Teknik dan Model Analisis Data
Penelitian ini menggunakan dua teknik analisis, yaitu:
1. Analisis Deskriptif
Analisis Deskriptif merupakan teknik analisis data yang tidak berwujud
angka, analisis ini berdasarkan pendapatan atau pikiran yang penyajiannya
dalam bentuk keterangan-keterangan, penjelasan dan pembahasan secara
tertulis. Analisis Deskriptif dimaksudkan untuk memberikan gambaran
tentang perkembangan komponen APBD Kota Surakarta dari waktu ke
waktu.
2. Analisis Kuantitatif
Analisis Kuantitatif merupakan analisis yang berdasarkan perhitungan
yang menjadi objek secara ilmiah yang berwujud dalam angka.
a. Hipotesis I
Untuk menguji hipotesis I digunakan rumus:
1) Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) antara penerimaan pusat dan
daerah digunakan ukuran sebagai berikut (Reksohadiprojo,
2001:155)
TPD=PAD+BHPBP+SBD
Keterangan: kalau hasilnya tinggi, maka derajat desentralisasinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
besar atau mandiri.
2) Kebutuhan Fiskal (Fiskal Need) dengan menghitung indeks
pelayanan publik perkapita (IPPP) dengan formula sebagai berikut
(Sukanto, 2001:155).
Keterangan:
SKbFPJATENG : Rata-rata Kebutuhan Fiskal Standart Se-Jawa Tengah
SKbFPSKA : Kebutuhan Fiskal Kota Surakarta
PPP : Jumlah Pengeluaran Rutin dan Pembangunan
perkapita masing-masing daerah atau Pengeluaran
aktual perkapita untuk Jasa Publik
Jika hasilnya tinggi maka kebutuhan akan fiskalnya rendah.
3) Kapasitas Fiskal (Fiscal Capasity/KaF)
Keterangan:
SKaFKJATENG : Rata-rata Kebutuhan Fiskal Standart Se-Jawa Tengah
SKaFKPSKA : Kapasitas Fiskal Kota Surakarta
Jika hasilnya tinggi, maka kapasitas fiskalnya tinggi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4) Upaya/Posisi Fiskal (Tax Effort)
Upaya/Posisi Fiskal suatu daerah dihitung dengan mencari
koefisien elatisitas PAD terhadap PDRB. Semakin elastis PAD
suatu daerah, maka struktur PAD di daerah tersebut makin baik
(Halim, 2001:105)
5) Matrik Potensial PAD (Pendapatan Asli Daerah)
Untuk Menilai pajak atau retribusi dapat digunakan matrik
klasifikasi potensi pajak atau retribusi (Kirana dalam Mulyanto,
2001:24-25)
Tabel 3.1
Matrik Potensi Jenis Pajak atau Retribusi
Proporsi
Pertumbuhan
Prima Berkembang
Potensial Terbelakang
Sumber: Mulyanto (2001). Identifiksi dan Analisis Potensi Penerimaan Pajak dan
Retribusi Daerah di Eks-Karisidenan Surakarata hal. 24-25.
Keterangan:
Yi : Jenis Pajak/Retribusi
Q : Nilai Rata-rata Jenis Pajak/Retribusi
∆Yi : Total Penerimaan Suatu Pajak/Retribusi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
∆Q : Total Tambahan Penerimaan Suatu Pajak/Retribusi
6) Rasio Aktivitas (Keserasian) merupakan keserasian antara Belanja
Rutin dan Belanja Pembangunan dapat diformulasikan sebagai
berikut (Halim, 2004:153)
7) Analisis Efektifitas dan Efisiensi PAD, Rasio Efektivitas
menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam
merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan
dibanding dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil
daerah. Sedangkan Rasio Efisiensi menggambarkan perbandingan
antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima (Halim,
2004:152)
b. Hipotesis II
Untuk menguji Hipotesis II dengan menghitung Rasio Kemandirian
dengan rumus sebagai berikut:
Untuk mengetahui tingkat kemandirian keuangan daerah Kota
Surakarta digunakan analisis Rasio Kemandirian dengan rumus
sebagai berikut (Halim, 2004:189).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 3.2 Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah Kemampuan
Keuangan Kemandirian Pola Hubungan
Rendah Sekali 0%-25% Instruktif Rendah 25%-50% Konsultatif Sedang 50%-75% Partisipatif Tinggi 75%-100% Delegatif
Sumber: Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah (Halim, 2004:189)
Pola Hubungan Instruktif menunjukkan bahwa peranan pemerintah
pusat lebih dominan daripada kemandirian pemenitah daerah (daerah tidak
mampu melaksanakan otonomi daerah).
Pola Hubungan Konsultatif menunjukkan bahwa campur tangan
pemerintah pusat sudah mulai berkurang karena daerah dianggap sedikit
lebih mampu melaksanakan otonomi daerah.
Pola Hubungan Partisipatif menunjukkan bahwa pemerintah pusat
semakin berkurang mengingat daerah yang bersangkutan tingkat
kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.
Pola Hubungan Delegatif menunjukkan bahwa campur tangan
pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu
dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Bab IV ini akan mendeskripsikan daerah penelitian yang meliputi gambaran
umum daerah penelitian; keadaan geografis; kondisi demografis; kondisi sosial
ekonomi meliputi kondisi sosial masyarakat, kondisi perekonomian daerah
ditinjau dari keuangan daerah, pertumbuhan ekonomi (PDRB) perkapita. Dalam
bab ini juga akan diuraikan hasil analisis data yang meliputi analisis data yang
meliputi analisis deskriptif dan analisis kuantitatif.
Analisis deskriptif dapat memberikan gambaran mengenai kondisi
perkembangan daerah Kota Surakarta dengan melihat pertumbuhan APBD dari
tahun ke tahun baik disisi penerimaan maupun pengeluarannya dan kontribusi
PAD terhadap APBD.
Analisis kuantitatif dimaksudkan untuk menghitung seberapa besar
kemampuan keuangan daerah (perkembangan keuangan daerah), kemandirian dan
kinerja Kota Surakarta di era sebelum maupun selama Otonomi Daerah serta
kesiapan Pemerintah Daerah Kota Surakarta dalam menghadapi Otonomi Daerah.
Untuk menguji hipotesis pertama, yaitu Kota Surakarta mampu secara keuntungan
selama pelaksanaan Otonomi Daerah dihitung dengan besarnya Derajat
Desentralisasi, Potensi Keuangan, Rasio Aktivitas, Efektifitas dan Efisiensi PAD.
Untuk menguji hipotesis kedua, yaitu bagaimana kemandirian keuangan daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kota Surakarta dalam membiayai penyelenggaraan Otonomi Daerah jka diukur
dengan Rasio Kemandirian dan Pola Hubungannya.
A. Deskripsi Wilayah Kota Surakarta
1. Keadaan Geografis
a. Letak Kota Surakarta
Kota Surakarta merupakan salah satu Kota besar di Jawa Tengah
yang menunjang kota-kota lainnya seperti Semarang maupun
Yogyakarta. Wilayah Kota Surakarta atau lebih dikenal dengan “Kota
Solo”. SOLO berbatasan di sebelah Utara dengan Kabupaten Boyolali,
sebelah Timur dengan Kabupaten Karanganyar, sebelah Selatan
dengan Kabupaten Sukoharjo.
Kota Surakarta terletak antara dan
Bujur Timur dan antara dan Lintang Selatan. Kota
Surakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian ± 92 meter
dari permukaan laut serta beriklim tropis dengan suhu udara rata-rata
berkisar antara . Sedangkan kelembaban udara berkisar
antara 64% - 85%.
b. Luas Wilayah
Luas Wilayah Kota Surakarta mencapai 44,06 Km2 yang terbagi
dalam 5 Kecamatan yaitu: Kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar
Kliwon, Jebres dan Banjarsari. Sebagian besar lahan dipakai sebagai
tempat pemukiman sebesar 61,68%. Sedangkan untuk kegiatan
ekonomi juga memakan tempat yang cukup besar juga yaitu berkisar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
antara 20% dari luas lahan yang ada. Luas penggunaan lahan di Kota
Surakarta yaitu pertama untuk Perumahan atau Pemukiman sebesar
2.723 Ha, Jasa 427,13 Ha, Perusahaan sebesar 287,48 Ha, Industri
sebesar 101,42 Ha, Tanah Kosong sebesar 53,38 Ha, Tegalan sebesar
81,96 Ha, Sawah sebesar 146,17 Ha, untuk Kuburan sebesar 72,86 Ha,
Lapangan OR sebesar 65,14 Ha, Taman Kota sebesar 31,60 Ha, dan
lainnya sebesar 399,44 Ha.
c. Kondisi Sumber Daya Alam
Kondisi iklim di Kota Surakarta adalah tropis dengan musim hujan
dan kemarau saling bergantian di sepanjang tahun. Berdasarkan data
dari 6 stasiun pengukur yang ada di Kota Surakarta, banyaknya hari
hujan selama tahun 2009 adalah hari dengan rata-rata curah hujan
pada bulan Januari dan terendah terjadi pada bulan Juni sampai
Oktober.
Secara hidrografis Kota Surakarta memiliki berbagai sumber air
yang antara lain disebabkan oleh letaknya yang berada di kaki gunung
lawu dimana keadaan tanahnya makin ke barat makin datar dan banyak
sumber air yang berasal dari gunung lawu.
Dilihat dari aspek topografi Kota Surakarta merupakan dataran
rendah dengan ketinggian antara 80 meter hingga 130 meter.
Ketinggian 80-110 meter mencakup beberapa wilayah antara lain
Laweyan, Serengan dan Pasar Kliwon; Ketinggian 80-120 meter
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mencakup wilayah Banjarsari; dan Ketinggian 80-130 meter mencakup
wilayah Jebres.
2. Penduduk dan Tenaga Kerja
a. Pendudukan
Jumlah penduduk di Kota Surakarta pada tahun 2009 adalah
sebesar 528.202 jiwa, yang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak
249.287 orang, dan penduduk perempuan sebanyak 278.915 orang.
Apabila dibandingkan dengan kondisi di tahun 2008 dengan jumlah
penduduk 522.935 orang, terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak
247.245 orang dan penduduk perempuan 275.690 orang.
Kecamatan dengan penduduk terbanyak adalah Kecamatan
Banjarsari, yaitu sebanyak 86.315 orang (atau sebesar 31,45%);
kemudian Kecamatan Jebres yaitu sebanyak 138.624 orang (atau
sebesar 12,58%); dan Kecamatan Laweyan yaitu sebanyak 111.315
orang (atau sebesar 8,63%); Sedangkan Kecamatan dengan jumlah
penduduk paling sedikit adalah Kecamatan Pasar Kliwon yaitu
sebanyak 74,145 orang (atau sebesar 4,82%); dan Kecamatan Serengan
yaitu sebanyak 44.120 orang (atau sebesar 3,19%).
Tingkat kepadatan penduduk di Kota Surakarta juga cenderung
mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 tingkat kepadatan penduduk
mencapai 11.996 jiwa/Km2. Kepadatan penduduk perkotaan secara
umum cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kecmatan dengan tingkat kepadatan paling tinggi adalah kecamatan
Pasar Kliwon, yaitu 15.383 jiwa/Km2dan yang paling rendah adalah
Kecamatan Laweyan yaitu sebesar 10.002 jiwa/Km2.
b. Ketenagakerjaan
Jumlah penduduk bekerja di Kota Surakarta pada tahun 2009
mencapai 275.546 orang atau sebesar 65,02% dari seluruh penduduk
Kota Surakarta. Penduduk Laki-laki usia kerja lebih rendah (48,30%)
dari pada penduduk Perempuan (51,70%). Ini menunjukkan bahwa
peran perempuan di Kota Surakarta cukup tinggi dalam peningkatan
kesejahteraan keluarga.
Stuktur penduduk menurut kelompok umur usia produktif
tertinggi pada kelompok umur 20-24 tahun sebesar 58.776 jiwa.
Keadaan ini sangat dimungkinkan karena Kota Surakarta merupakan
basis dari pendidikan dan tenaga kerja yang berpotensi pada usia
tersebut. Penduduk usia kerja ini biasanya menjadi yang cukup besar
dalam ketenagakerjaan. Total jumlah penduduk usia kerja (15 tahun)
keatas mencapai 423.800 orang.
Jumlah tersebut terbagi menjadi angkatan kerja (bekerja dan
pengangguran) sebanyak 275.546 orang (65,02%) sedangkan bukan
angkatan kerja (sekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya) sebesar
148.254 orang (34,98%). Dari jumlah angkatan kerja, jumlah
pengangguran ini perlu ditangani secara serius karena adanya krisis
global yang mempengaruhi tenaga kerja di Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Menurut jenis pekerjaan bagi penduduk Kota Surakarta tercatat
sebanyak 35,84% (89.995 orang) dari jumlah penduduk (246.531
orang) bekerja sebagai tenaga usaha penjualan dan diikuti oleh tenaga
produksi sebesar 28,40% (71.314 orang). Menurut lapangan usaha,
terdapat 43,13% bergerak dibidang perdagangan, diikuti oleh jasa-jasa
sebesar 24,23%. Pekerjaan disektor perdagangan dan jasa di Kota
Surakarta memang cukup menjanjikan karena Kota Surakarta
merupakan Kota Perdagangan dan Jasa.
3. Kondisi Sosial Ekonomi
a. Kondisi Sosial Masyarakat
1) Bidang Pendidikan
Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kota Surakarta, pada tahun 2009 jumlah SD/MI sebanyak 286
buah, SMP/MTs 89 buah, SMA/MA 51 buah, SMK N 8 buah.
Jumlah Perguruan Tinggi di Kota Surakarta 50 buah.
Jumlah murid SD/MI sebanyak 129.316 siswa dengan
jumlah guru sebanyak 3.722 orang sehingga rasio guru : murid
sebanyak 1 : 34,744. Jumlah murid SLTP/MTs sebanyak
36.133 siswa dengan guru sebanyak 2.466 orang sehingga rasio
guru : murid sebanyak 1 : 14,652. Jumlah SMA/MA sebanyak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20.506 siswa, dengan jumlah guru sebanyak 1.815 orang
sehingga rasio guru : murid sebanyak 1 : 11.298.
Pada tahun 2009 penduduk Kota Surakarta usia 5 tahun
keatas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan terdiri
dari tidak/belum pernah sekolah sebanyak 105.834 orang,
belum tamat SD sebanyak 66.799 orang. Tidak tamat SD
44.051 orang. Tamat SD sebanyak 98.118 orang, Tamat SLTP
sebanyak 101.351 orang, Tamat SMA sebanyak 71.143 orang,
dan tamat Perguruan Tinggi/Akademi sebanyak 35.639 orang.
2) Kesehatan Penduduk
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Surakarta
tahun 2009 menunjukkan bahwa jumlah fasilitas kesehatan
yang ada terdiri dari 12 Rumah Sakit; 15 Puskesmas; 25
Puskesmas Pembantu; 9 Rumah Bersalin Swasta; dan 35 Balai
Pengobatan Swasta.
Perkembangan jumlah tenaga kerja di Kota Surakarta pada
tahun 2009, terdiri dari Dokter Umum sebanyak 276 orang;
Dokter Gigi sebanyak 68 orang; Bidan sebanyak 261 orang
dan Perawat sebanyak 2.027 orang.
Selama tahun 2009, jenis penyakit yang banyak diderita
oleh pasien dan yang berobat ke Puskesmas adalah jenis ISPA
(Infeksi Saluran Pernapasan) yang jumlahnya mencapai 18.052
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
orang atau sebesar 22,36% dari total penderita, yang
jumlahnya adalah 80.734 penderita.
b. Kondisi Perekonomian Daerah
1) Keuangan Daerah
Berdasarkan Neraca Daerah dan aliran Kas Kota Surakarta
Tahun 2009, anggaran pendapatan ditetapkan sebesar
Rp.710.827.482.180,-; atau 108,05% Rinciannya adalah
sebagai berikut Pendapatan Asli Daerah (PAD) dianggarkan
sebesar Rp.71.002.320.000,-; sedangkan realisasinya sebesar
Rp.76.127.372.000,-; atau 107,22%. Dan bagian Dana
Perimbangan dianggarkan sebesar Rp.621.726.198.000,-
Realisasinya sebesar Rp.651.173.021.000,- ;atau 104,74%.
Dan lain-lain pendapatan yang sah dianggarkan sebesar Rp. 0,-
sedangkan realisasinya sebesar Rp. 0,- atau sebesar 100%.
2) Pertumbuhan Ekonomi (PDRB)
Kondisi perekonomian daerah dapat diketahui dengan
menghitung ekonomi. Pertumbuhan ekonomi digunakan untuk
mengetahui perkembangan perekonomian denghan melihat
besar produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baik atas harga
berlaku maupun konstan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 4.1 Pertumbuhan PDRB Kota Surakarta Atas Harga Konstan dan Berlaku
Tahun 2001-2009
Tahun PDRB
Konstan (Jutaan Rp.)
Pertumbuhan PDRB
Konstan
PDRB Berlaku
(Jutaan Rp.)
Pertumbuhan PDRB
Berlaku 2001 3.372.850,36 12,79 3.113.668,99 4,12 2002 3.772.737,68 26,16 3.268.559,64 9,30 2003 4.251.845,59 42,18 3.468.276,94 15,98 2004 4.756.559,53 59,06 3.669.373,45 22,70 2005 5.585.776,84 86,79 3.858.169,67 29,02 2006 6.190.112,55 107 4.067.529,95 36,02 2007 6.909.094,57 131,04 4.304.287,37 43,93 2008 7.901.886,06 164,24 4.549.342,95 52,13 2009 8.880.691,24 196,97 4.817.877,63 61,11
Rerata 5.735.728,27 91,80 3.901.898,51 30,48 Sumber: BPS Kota Surakarta. (Beberapa Tahun)
Berdasarkan tabel 4.1 di bawah dapat diketahui besar
pertumbuhan PDRB atas harga konstan dan berlaku Kota
Surakarta pada masa selama Otonomi Daerah. Pertumbuhan
PDRB atas harga konstan Kota Surakarta cenderung
mengalami peningkatan, dimana kenaikan tertinggi dicapai
pada tahun 2009 yaitu sebesar 196,97% sedangkan yang paling
rendah yaitu sebesar 12,79% terjadi pada tahun 2001.
Jika ditinjau dari pertumbuhan PDRB atas harga berlaku
maka pertumbuhan PDRB Kota Surakarta yang tertinggi adalah
tahun 2009 sebesar 61,11% dan terendah pada tahun 2001
sebesar 4,12%.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c. Inflasi
Selama tahun 2009 inflasi di Kota Surakarta mencapai 2,63%. Inflasi
tertinggi jatuh pada bulan Februari, sebesar 0,67% dan terendah pada
bulan Desember sebesar -0,29%. Penyumbang inflasi terbesar adalah
kelompok Bumbu-bumbuan mencapai 10,06%, kemudian kelompok
sebesar 6,96% dan ketiga adalah kelompok Bahan Makanan sebesar
6,25%. Diikuti oleh kelompok Makanan Jadi sebesar 5,65% dan
kelompk Perumahan sebesat 2,28%. Penyumbang inflasi terendah
adalah kelompok Perumahan yaitu 2,28% dan kelompok sebesar
Bumbu-bumbuan 10,06%
B. Hasil Analisis dan Pembahasan
1. Analisis Deskripsi
a. Pertumbihan PAD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan
kebijaksanaan keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang disusun
berdasarkan instruksi menteri dalam negeri serta berbagai
pertimbangan lainnya dengan maksud agar penyusunan, pemantauan,
pengendalian, dan evaluasi APBD mudah dilakukan. Dari sisi lain,
APBD dapat pula menjadi sarana bagi pihak tertentu untuk dapat
melihat atau mengetahui kemampuan keuangan daerah. Pertumbuhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
APBD Kota Surakarta tahun 1990-2009 dapat dilihat pada tabel 4.2 di
bawah ini.
Pada tabel 4.2 di bawah ini, dapat diketahui bahwa pertumbuhan
APBD Kota Surakarta era sebelum otonomi daerah mengalami
pertumbuhan rata-rata 16,22%. Sedangkan pada era selama otonomi
daerah, pertumbuhan rata-rata APBD sebesar 15,43% atau mengalami
penurunan sekitar 0,79% dari era sebelum otonomi daerah.
Tabel 4.2 Pertumbuhan APBD Kota Surakarta
Tahun 1990-2009
Tahun APBD (Jutaan Rp.)
Pertumbuhan APBD (%)
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
16.633.379 22.014.288 24.586.680 26.832.883 33.845.062 40.091.557 48.334.925 63.329.878 66.531.359 91.374.002 101.419.602
- 24,44 10,46 8,37 20,72 15,58 17,05 23,68 4,81 27,19 9,90
Rerata* 48.635.783 16,22 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
212.094.519 251.994.832 359.410.690 351.968.337 354.638.398 512.928.227 656.247.692 760.080.857 612.610.012
52,18 15,83 29,89 -2,11 0,75 30,86 21,84 13,66 -24,07
Rerata** 452.441.507 15,43 Catatan: *) Sebelum Otda **) Selama Otda Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Kontribusi PAD terhadap APBD
Kontribusi Mengukur besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Terhadap Total APBD Kota Surakarta.
Tabel 4.3 Kontribusi PAD Terhadap APBD Kota Surakarta
Tahun 1990-2009
Tahun PAD (Jutaan Rp.)
APBD (Jutaan Rp.)
Kontribusi (%)
1990 3.029.181 16.633.379 18,21 1991 3.462.985 22.014.288 15,73 1992 3.729.192 24.586.680 15,17 1993 4.028.878 26.832.883 15,01 1994 4.315.434 33.845.062 12,75 1995 5.569.932 40.091.557 13,89 1996 6.325.182 48.334.925 13,09 1997 7.269.896 63.329.878 11,48 1998 7.811.435 66.531.359 11,74 1999 8.841.838 91.374.002 9,68 2000 12.816.761 101.419.602 12,64 2001 15.880.342 212.094.519 7,49 2002 20.943.463 251.994.832 8,31 2003 24.656.991 359.410.690 6,86 2004 27.395.768 351.968.337 7,78 2005 29.089.223 354.638.398 8,20 2006 35.589.770 512.928.227 6,94 2007 41.404.086 656.247.692 6,31 2008 44.981.954 760.080.857 5,92 2009 51.823.682 612.610.012 8,46
Rerata sebelum otda 5.438.395 43.357.401 12,54 Rerata selama otda 30.458.204 417.339.317 7,30
Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berdasarkan tabel 4.3 di atas, besarnya kontribusi PAD Kota
Surakarta yang paling tinggi pada tahun 1990 adalah sebesar 18,21%,
sedangkan yang paling rendah pada tahun 2008 sebesar 5,92%. Jika
dilihat dari reratanya, kontribusi PAD terhadap APBD cenderung
mengalami penurunan, yaitu dari 12,54% pada era sebelum otonomi
daerah menjadi 7,30% di era otonomi daerah. Hal ini menunjukkan
bahwa pemerintah daerah Kota Surakarta masih perlu menggali
potensi daerahnya yang mungkin untuk dapat meningkatkan kontribusi
PAD terhadap APBD.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c. Proporsi Pengeluran Daerah Terhadap APBD
Tabel 4.4 Proporsi Pengeluaran Daerah Terhadap APBD Kota Surakarta
Tahun 1990-2009
Tahun Pengeluran Daerah
(Jutaan Rp.) APBD
(Jutaan Rp.)
Proporsi Pengeluaran Daerah Terhadap
APBD (%) 1990 12.538.367 16.633.379 75,38 1991 12.938.377 22.014.288 58,77 1992 13.029.379 24.586.680 52,99 1993 13.398.277 26.832.883 49,93 1994 13.672.878 33.845.062 40,40 1995 13.988.290 40.091.557 34,89 1996 14.001.989 48.334.925 28,97 1997 14.325.624 63.329.878 22,62 1998 12.330.184 66.531.359 18,53 1999 12.508.074 91.374.002 13,69 2000 29.651.289 101.419.602 29,24 2001 33.216.856 212.094.519 15,66 2002 37.035.103 251.994.832 14,70 2003 41.774.908 359.410.690 11,62 2004 47.566.695 351.968.337 13,51 2005 55.857.769 354.638.398 15,75 2006 61.901.126 512.928.227 12,07 2007 69.090.946 656.247.692 10,53 2008 79.018.861 760.080.857 10,40 2009 80.483.229 612.610.012 13,14
Rerata sebelum otda 13.273.144 143.357.401 9,26 Rerata selama otda 53.559.678 427.339.317 12,53
Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
Berdasarkan ada tabel 4.4 besarnya pengeluran daerah terhadap APBD
Kota Surakarta yang paling tinggi pada tahun 1990 sebesar 75,38%,
sedangkan yang paling rendah pada tahun 2008 sebesar 10,40%. Jika
dilihat dari reratanya, pengeluaran daerah terhadap APBD yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
cenderung mengalami penurunan yaitu 9,26% sebelum Otonomi
Daerah menjadi 12,53% selama Otonomi Daerah.
2. Analisis Kuantitatif
a. Derajat Desentralisasi Fiskal
Derajat Deasentralisasi Fiskal (DDF) digunakan untuk mengukur
kinerja Kota Surakarta dalam mengumpulkan pendapatannya sesuai
dengan potensi daerahnya.
Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) dapat diukur dengan tiga
formula. Formula pertama yaitu membandingkan antara Pendapatan
Asli Daerah (PAD) terhadap Total Pendapatan Daerah (TPD) yang
disebut dengan DDF1. Besar DDF1 menunjukkan kemandirian murni
Kota Surakarta. Formula kedua yaitu dengan membandingkan antara
Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) terhadap Total
Pendapatan Daerah (TPD), yang disebut dengan DDF2. DDF2
menunjukkan kemandirian semu Kota Surakarta, formula ketiga adalah
dengan membandingkan antara Sumbangan dan Bantuan dengan Total
Pendapatan Daerah (TPD), yang disebut DDF3 menunjukkan
ketergantungan Kota Surakarta terhadap Pemerintah Pusat.
Tabel 4.5 Ukuran Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) Kota Surakarta
Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) Kemampuan Keuangan Daerah < 50% Rendah > 50% Tinggi
Sumber: Reksohadiprodjo. (2001). Ekonomika Publik, Edisi I. Yogyakarta: BPFE-UGM
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 4.6 Rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) Kota Surakarta
Tahun 1990-2009
Tahun Derajat Desentralisasi Fiskal
PAD/TPD BHPBP/TPD SBD/TPD 1990 18,211 50,225 38,855 1991 15,731 37,988 29,406 1992 15,168 34,079 26,408 1993 15,015 31,269 24,225 1994 12,751 24,820 19,237 1995 13,893 21,025 16,288 1996 13,086 17,643 13,555 1997 11,479 13,313 10,487 1998 11,741 12,368 10,312 1999 9,677 9,300 8,387 2000 12,637 10,696 8,037 2001 7,487 8,116 5,272 2002 8,311 7,022 7,129 2003 6,860 6,475 7,317 2004 7,784 9,845 7,158 2005 8,203 9,725 7,165 2006 6,939 7,456 7,670 2007 6,309 13,340 6,516 2008 5,918 12,908 6,589 2009 8,459 16,786 9,506
Rerata Sblm Otda 13,675 25,203 19,716 Rerata Slm Otda 7,891 10,237 7,236
Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
Berdasarkan tabel 4.6 jika ditinjau dari besar DDF1 dapat diketahui
bahwa Kota Surakarta cenderung mempunyai kemandirian murni yang
rendah. Hal tersebut disebabkan oleh angka DDF1 yang cenderung
menunjukkan prosentase di bawah 50% pada era sebelum maupun
selama Otonomi Daerah. DDF1 tertinggi dicapai pada tahun 1990
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yaitu sebesar 18,21%, sedangkan yang terendah adalah sebesar 5,92%
pada tahun 2008.
Jika dibandingkan, rerata antara sebelum Otonomi Daerah yang
sebesar 13,68% dengan rerata selama Otonomi Daerah sebesar 7,89%,
maka Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Surakarta cenderung
mengalami penurunan. Dari hasil rerata ini dapat dikatakan bahwa
PAD Kota Surakarta cebenderung masing mempunyai proporsi yang
relatif kecil terhadap Total Pendapatan Daerahnya.
Dari tabel DDF2 di atas dapat diketahui bahwa Kota Surakarta
cenderung mempunyai tingkat kemandirian semu yang rendah. Hal ini
disebabkan oleh angka DDF2 yang cenderung menunjukkan
prosentase di bawah 50% baik pada era sebelum maupun selam
Otonomi Daerah. DDF2 yang paling tinggi dicapai pada tahun 1990
sebesar 50,22%, sedangkan terendah terjadi pada tahun 2003 sebesar
6,48%.
Jika dibandingkan, rerata antara sebelum Otonomi Daerah yang
sebesar 25,20% dengan rerata selama Otonomi Daerah sebesar 10,24%
maka Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Surakarta cenderung
mengalami penurunan. Berdasarkan rerata ini dapat dikatakan bahwa
BHPBP Kota Surakarta cenderung masih mempunyai proporsi yang
relatif kecil terhadap Total Pendapatan Daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dari tabel DDF3 di atas dapat diketahui bahwa Kota Surakarta
mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi. Hal ini disebabkan
angkan DDF3 yang cenderung menunjukkan prosentase di atas 50%
baik pada era sebelum maupun selama Otonomi Daerah. DDF3
tertinggi dicapai pada tahun 1990 sebesar 38,86%, sedangkan yang
terendah terjadi pada tahun 2001 sebesar 5,27%.
Jika dibandingkan, rerata antara sebelum Otonomi Daerah yang
sebesar 19,72% dengan rerata selama Otonomi Daerah sebesar 7,24%,
maka Derajat Desentralisasi Kota Surakarta cenderung mengalami
kenaikan. Dari hasil rerata ini dapat dikatakan bahwa Sumbangan dan
Bantuan Kota Surakarta cenderung masih mempunyai proporsi yang
relatif besar terhadap Total Pendapatan Daerahnya.
b. Kebutuhan Fiskal
Kebutuhan fiskal dapat menggambarkan seberapa besar kebutuhan
perkapita penduduk jika jumlah seluruh pengeluaran (pengeluaran
rutin dan pengeluaran pembangunan) dibagi secara adil kepada seluruh
penduduk daerah tersebut. Kebutuhan fiskal juga menunjukkan
besarnya indeks pelayanan publik perkapita Kota Surakarta. Tabel
kebutuhan Fiskal Propinsi Jawa Tengah dan Kota Surakarta dapat
dilihat dari tabel berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 4.7 Rata-rata Kebutuhan Fiskal (KF) Kota Surakarta
Tahun 1990-2009
Tahun Kebutuhan Fiskal Standar se-Jateng (SKbFP Yk) (%)
Kebutuhan Fiskal Kota Surakarta (SKbFK Ska)
1990 1,381 17,567 1991 1,369 18,170 1992 1,361 18,286 1993 1,351 18,659 1994 1,358 18,871 1995 1,419 18,394 1996 1,467 17,693 1997 1,531 17,233 1998 0,785 28,734 1999 0,942 24,142 2000 0,908 59,004 2001 1,252 47,832 2002 1,410 52,818 2003 1,550 52,783 2004 1,713 51,937 2005 2,035 53,562 2006 2,504 48,013 2007 2,757 48,629 2008 3,178 47,543 2009 3,430 44,423
Rerata Sblm Otda 1,387 18,234 Rerata Slm Otda 2,074 50,654
Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dari tabel 4.7 di atas dapat diketahui bahwa pada era sebelum dan
selama Otonomi Daerah, Standar Kebutuhan Fiskal Kota Surakarta
(Kapasitas Fiskal Propinsi Jawa Tengah) cenderung mengalami
peningkatan dari tahun 1993 ke tahun 1997, namun turun pada tahun
1998 dan cenderung mengalami peningkatan kembali pada tahun
2000-2009. Secara rerata, Standar Kebutuhan Fiskal Kota Surakarta
(Kapasitas Fiskal Propinsi Jawa Tengah) cenderung mengalami
peningkatan yaitu dari 1,387 pada era sebelum Otonomi Daerah
menjadi 2,074 pada era selama Otonomi Daerah. Di samping itu,
Indeks Pelayanan Publik Perkapita (Kebutuhan Fiskal Kota Surakarta)
mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, secara rerata cenderung
mengalami peningkatan yaitu dari 18,234 pada era sebelum otonomi
daerah menjadi 50,654 pada era selama Otonomi Daerah. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kebutuhan Fiskal Kota
Surakarta yang sangat besar.
c. Kapasitas Fiskal
Kapasitas Fiskal menunjukkan seberapa besar usaha dari daerah
yang diwujudkan dalam PDRB untuk memenuhi kebutuhannya, dalam
hal ini adalah total pengeluaran rutin dan total pengeluran
pembangunan. Hasil dari Indeks Kapasitas Fiskal menunjukkan
seberapa besar hasil yang didapatkan setiap penduduk dalam setiap
daerah. Berikut adalah tabel Kapasitas Fiskal Propinsi Jawa Tengah
dan Kota Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 4.8 Rata-rata Kapasitas Fiskal Propinsi Jateng dan Kota Surakarta Atas Dasar
Harga Berlaku Tahun 1990-2009
Tahun Kapasitas Fiskal Standar se-Jateng (SKaFP Jateng)
Kapasitas Fiskal Kota Surakarta (SkaFK Ska)
1990 0,022 186,782 1991 0,026 171,952 1992 0,030 154.450 1993 0,033 146,618 1994 0,038 129,015 1995 0,045 118,473 1996 0,051 109,686 1997 0,058 102,525 1998 0,079 69,099 1999 0,094 54,877 2000 0,110 49,144 2001 0,123 49,628 2002 0,137 55,381 2003 0,153 54,338 2004 0,171 52,162 2005 0,204 53,562 2006 0,250 48,013 2007 0,268 49,969 2008 0,279 54,136 2009 0,305 55,398
Rerata Sblm Otda 0,047 107,510 Rerata Slm Otda 0,200 52,510
Sumber: BPS Kota Surakarta Dalam Angka; Data diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dari tabel 4.8 dapat dilihat bahwa Standar Kapasitas Fiskal
Propinsi Jawa Tengah cenderung mengalami peningkatan setiap
tahunnya, sedangkan Kapasitas Fiskal Kota Surakarta cenderung
mengalami penurunan dan berflutuasi pada tahun 2002 sampai tahun
2008. Jika dilihat dari reratanya, Kapasitas Fiskal Kota Surakarta
mengalami penurunan dari 107,510 pada era sebelum Otonomi Daerah
menjadi 52,210 di era selama Otonomi Daerah. Lain halnya dengan
Standar Kapasitas Fiskal Propinsi Jawa Tengah, secara rerata
cenderung mengalami peningkatan yaitu dari 0,047 di era sebelum
Otonomi Daerah menjadi 0,200 di era selama Otonomi Daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
d. Upaya Fiskal
Posisi Fiskal dihitung dengan mencari koefisien elastisitas
Pendapatan Asli Daerah terhadap PDRB sebagai berikut:
Tabel 4.9 Pertumbuhan PAD dan PDRB Kota Surakarta Tahun 1990-2009
Tahun
Pertumbuhan (%)
PAD
PDRB (Harga Berlaku)
PDRB (Harga Konstan)
1990 0 0 0 1991 14,32 9,55 10,77 1992 7,69 4,31 9,37 1993 8,04 7,48 6,11 1994 7,11 2,55 8,54 1995 29,07 8,65 8,65 1996 13,56 4,29 9,18 1997 14,94 7,27 4,22 1998 7,45 -7,51 -13,93 1999 13,19 -3,98 1,44 2000 44,96 5,04 5,04 2001 23,90 12,79 4,12 2002 31,88 11,86 4,97 2003 17,73 12,70 6,11 2004 11,11 11,87 5,80 2005 6,18 17,43 5,15 2006 22,35 10,82 5,43 2007 16,34 11,62 5,82 2008 8,64 14,37 5,69 2009 15,21 12,39 5,90
Total 313,66 153,50 98,38 Total Sblm Otda 115,36 32,62 44,35 Total Slm Otda 198,30 120,88 54,03
Elastisitas PAD/PDRB 2,04 3,19 Elastisitas PAD/PDRB Sblm Otda 3,54 2,60 Elastisitas PAD/PDRB Slm Otda 1,64 3,67
Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dari tabel 4.8 dapat diketahui Upaya/Posisi Fiskal Kota Surakarta
dengan melihat elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga
Berlaku maupun PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Konstan.
Selama kurun waktu 20 tahun dari tahun 1990-2009, Elastisitas PAD
terhadap PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di Kota Surakarta adalah
sebesar 2,04 (elastis). Artinya laju pertumbuhan PDRB Atas Dasar
Harga Berlaku berpengaruh terhadap peningkatan PAD yaitu apabila
PDRB naik 1% maka PAD akan meningkat sebesar 2,04.
Apabila nilai dari Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar
Harga Kontan selama 20 tahun dari tahun 1990-2009, mempunyai nilai
rata-rata Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Kontan
adalah sebesar 3,19. Artinya laju pertumbuhan PDRB Atas Dasar
Harga Konstan sangat berpengaruh terhadap peningkatan PAD yaitu
apabila PDRB naik 1% maka PAD akan meningkat sebesar 3,19
Berdasarkan tabel di atas dapat juga diketahui bahwa Kota
Surakarata mempunyai elastisitas PAD terhadap PDRB baik PDRB
Atas Harga Berlaku maupun PDRB Atas Harga Kontan yang bersifat
Elatis (>1). Besarnya elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar
Harga Berlaku di Kota Surakarta sebelum Otonomi Daerah adalah
sebesar 3,54. Begitu juga dengan PDRB Atas Dasar Harga Konstan di
Kota Surakarta sebelum Otonomi Daerah sebesar 2,60.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Begitu juga selama Otonomi Daerah, terlihat bahwa Kota Surakarta
mempunyai nilai Elastisitas PAD terhadap PDRB baik Atas Dasar
Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan sama-sama bersifat
elastis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, apabila PDRB mengalami
kenaikana maka PAD juga akan ikut naik. Besarnya elastisitas PAD
terhadap PDRB Atas Dasar Harga Konstan sebesar 1,64. Sedangkan
besarnya elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Konstan
sebesar 3,67.
e. Matrik Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Adapun untuk matrik potensi PAD Kota Surakarta dapat dilihat
dari tabel 4.10 berikut ini:
Tabel 4.10
Hasil Perhitungan Model Matriks Potensi dari Pajak Daerah
Kota Surakarta Tahun 1990-2009
Jenis Pajak Pertumbuhan Proporsi Kategori P. Hotel & Restoran 0,593 0,603 Terbelakang P. Hiburan 0,062 0,069 Terbelakang P. Reklame 4,958 4,934 Prima P. Penerangan Jalan 0,073 0,084 Terbelakang P. Gol. Galian B&C 0,305 0,428 Terbelakang P. Pemanfaan Air 0,429 0,514 Terbelakang
Catatan: ·Prima, apabila tingkat pertumbuhan dan proporsi >1 ·Potensi, apabila tingkat pertumbuhan <1, proporsi >1 ·Berkembang, apabila tingkat pertumbuhan >1 proporsi <1 ·Terbelakang, apabila pertumbuhan dan proporsi <1
Sumber: Hasil pengelolaan data sekunder
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Jenis Pajak Daerah di Kota Surakarta yang mempunyai klasifikasi
Pajak Daerah yang berkategori Prima adalah Pajak Penerangan Jalan.
Sedangkan Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame,
Pajak Golongan dan Galian B & C dan Pajak Pemanfaatan Air
berkategori Terbelakang. Maka disimpulkan bahwa sebagian besar
Pajak Daerah di Kota Surakarta mempunyai potensi yang kurang bagus.
Sementara itu, untuk jenis Retribusi Daerah dapat dilihat pada tabel
4.11 berikut ini:
Tabel 4.11 Hasil Perhitungan Model Matrik Potensi dari Retribusi Daerah
Kota Surakarta Tahun 1990-2009 Jenis Retribusi Pertumbuhan Proporsi Kategori
R. Pelayanan Kesehatan 4,129 4,592 Prima R. Pelayanan Kebersihan 0,089 0,131 Terbelakang R. Penggantian Biaya Cetak KTP 0,803 0,804 Terbelakang R. Parkir Jl. Umum 0,082 0,091 Terbelakang R. Pasar 0,893 0,985 Terbelakang R. Pengujian Kendaraan Bermotor 0,098 0,096 Terbelakang R. Penjualan PUD 0 0 - R. Pemakaian Kekayaan Daerah 0,152 0,131 Terbelakang R. Terminal 0,081 0,118 Terbelakang R. Tempat Parkir Khusus 0,017 0,019 Terbelakang R. Potong Hewan 0,031 0,046 Terbelakang R. Rekreasi Olahraga 0,302 0,312 Terbelakang R. Penyeberangan di Atas Air 0,041 0,053 Terbelakang R. Ijin Pengguna Tanah 0,048 0,064 Terbelakang
Catatan: · Prima, apabila tingkat pertumbuhan dan proporsi >1 · Potensi, apabila tingkat pertumbuhan <1, proporsi >1 · Berkembang, apabila tingkat pertumbuhan >1 proporsi <1 · Terbelakang, apabila pertumbuhan dan proporsi <1
Sumber: Hasil pengelolaan data sekunder
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jenis Retribusi Daerah di
Kota Surakarta yang mempunyai klasifikasi sebagai Retribusi Daerah
yang berkategori Prima adalah Retribusi Pelayanan Kesehatan.
Sedangkan retribusi yang lain berkategori terbelakang.
f. Rasio Aktivitas (Keserasian)
Rasio aktivitas menggambarkan bagaimana Pemerintah Daerah
memprioritaskan alokasi dananya pada Belanja Rutin dan Belanja
Pembangunan secara optimal. Dari perhitungan dapat diperoleh rata-
rata Rasio Aktivitas sebelum Otonomi Daerah dan selama Otonomi
Daerah pada tabel 4.12 berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 4.12 Rasio Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan Terhadap Total APBD
Kota Surakarta Tahun 1990-2009
Tahun Belanja Rutin
Terhadap APBD (Jutaan Rp.)
Belanja Pembangunan Terhadap Total APBD
(Jutaan Rp.) 1990 10.965.061 5.668.318 1991 14.180.111 7.834.177 1992 16.061.881 8.524.799 1993 18.221.289 8.611.594 1994 19.130.339 14.714.723 1995 21.568.729 18.522.828 1996 24.134.413 24.200.512 1997 46.454.434 16.875.444 1998 48.961.646 17.569.713 1999 63.852.788 27.521.214 2000 63.464.847 37.954.755 2001 191.790.105 20.304.414 2002 212.391.411 39.603.421 2003 262.510.720 96.899.970 2004 257.521.974 94.446.363 2005 258.736.519 95.901.878 2006 439.311.172 73.617.054 2007 499.186.466 157.061.226 2008 323.942.328 436.138.529 2009 418.736.383 193.873.629 Total 3.211.122.616 1.395.844.563
Total (A) Sblm Otda 6,15 Rerata (A) Sblm Otda 0,62 Total (A) Slm Otda 63,55 Rerata (A) Slm Otda 6,35 Total (B) Sblm Otda 3,26 Rerata (B) Sblm Otda 0,33 Total (B) Slm Otda 27,04 Rerata (B) Slm Otda 2,70
Sumber: BPS Kota Surakarta Dalam Angka; Data diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dari tabel 4.12 di atas dapat dilihat bahwa rata-rata Rasio Belanja
Rutin terhadap Total APBD Kota Surakarta selama kurun waktu 20
tahun 1990-2009 adalah sebesar 69,70%. Dengan rasio yang sebesar
itu menyebabkan Rasio Belanja Pembangunan terhadap Total
Pengeluaran Daerah menjadi kecil yaitu hanya sebesar 30,30%.
Apabila dibandingkan dengan perubahan rata-rata Rasio Belanja
Rutin sebelum Otonomi Daerah dan selama Otonomi Daerah adalah
bahwa rata-rata Rasio Belanja Rutin sebelum Otonomi Daerah lebih
kecil dari pada Rasio Belanja Rutin selama Otonomi Daerah dengan
persentase sebesar 6,15% dan 0,62%. Begitu juga dengan Rasio
Belanja Pembangunan sebelum Otonomi Daerah lebih kecil dari pada
selama Otonomi Daerah dengan persentase sebesar 3,26% dan
27,04%.
Dari perhitungan tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar
dana yang dimiliki Pemerintah Daerah masih diprioritaskan untuk
kebutuhan Belanja Rutin sehingga Rasio Belanja Pembangunan
terhadap APBD masih relatif kecil.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
g. Efektivitas PAD (Analisis Realisasi dan Target PAD)
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah
dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan
dibandingkan dengan target yang ditentukan berdasarkan potensi riil
daerah. Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan
efektif apabila rasio yang dicapai mencapai minimal sebesar 1 (satu)
atau 100% (seratus persen). Namun demikian semakin tinggi Rasio
Efektivitas, menggambarkan Kemampuan Keuangan Daerah yang
semakin baik.
Tabel 4.13
Rata-rata Efektivitas PAD Sebelum Otonomi Daerah dan
Selama Otonomi Daerah (%)
Bagian PAD Rerata Sebelum Otda Rerata Selama Otda
Efektivitas Efektivitas Pajak Daerah 0,98 1,06 Retribusi Daerah 1,02 1,09 Bagian LUMD 1,03 2,02 Penerimaan dari Dinas* 1,16 0
Catatan: * Setelah tahun 1999, Penerimaan dari Dinas dihilangkan sebagai salah satu dari PAD Sumber: BPS Kota Surakarta Dalam Angka; Data diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berdasarkan tabel 4.13 menunjukkan bahwa untuk Pos Pajak
Daerah di Kota Surakarta sebelum Otonomi Daerah mempunyai rata-
rata Efektivitas PAD sebesar 0,98%, sedangkan rata-rata selama
Otonomi Daerah sebesar 1,02%. Untuk Pos Pajak Daerah sudah
memenuhi target yang ditetapkan, karena mempunyai Rasio
Efektivitas cenderung lebih dari 1 (satu) atau di atas 100% (seratus
persen). Jika dilihat selama Otonomi Daerah, rata-rata Efektivitas PAD
cenderung mengalami penurunan.
Untuk Pos Retribusi Daerah di Kota Surakarta sebelum Otonomi
Daerah mempunyai rata-rata Efektivitas PAD sebesar 1,03%,
sedangkan rata-rata selama Otonomi Daerah sebesar 1,16%. Untuk
Pos Retribusi Daerah sudah memenuhi target yang ditetapkan sehingga
mempunyai Rasio Efektivitas lebih dari 1 (satu) atau lebih 100%
(seratus persen).
Sedangkan untuk Pos Bagian Laba Usaha Milik Daerah
mempunyai rata-rata Efektivitas PAD sebesar 1,06% sebelum Otonomi
Daerah, sedangkan rata-rata selama Otonomi Daerah sebesar 1,09%.
Untuk Pos Bagian Laba Usaha Milik Daerah sebelum Otonomi Daerah
sudah mencapai target yang ditetapkan, sedangkan selama Otonomi
Daerah belum mencapai target yang diinginkan karena kurang dari 1
(satu) atau kurang dari 100% (seratus persen).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pos penerimaan dari Dinas-dinas mempunyai rata-rata Efektivitas
PAD sebesar 1,16% sebelum Otonomi Daerah, sedangkan selama
Otonomi Daerah Tidak ada karena mulai tahun 1999 pos ini telah
masuk bagian dari Pendapatan Asli Daerah.
h. Kemandiran Keuangan Daerah dan Pola Hubungannya
Pola Hubungan dan Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Kota
Surakarta menunjukkan seberapa besar Pemerintah Kota Surakarta
berusaha untuk membiayai seluruh kegiatan dan kebutuhan daerahnya
secara mandiri tanpa menggantungkan bantuan yang terlalu besar dari
Pemerintah Pusat. Tabel pola Hubungan dan Tingkat Kemandirian
Keuangan Daerah Kota Surakarta sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 4.14 Pola Hubungan dan Kemandirian Keuangan Daerah
Kota Surakarta Tahun 1990-2009
Tahun Kemandirian
Keuangan Daerah (%)
Kemampuan Keuangan Daerah Pola Hubungan
1990 18,48 Rendah Sekali Instruktif 1991 21,12 Rendah Sekali Instruktif 1992 22,66 Rendah Sekali Instruktif 1993 24,42 Rendah Sekali Instruktif 1994 26,08 Rendah Konsultatif 1995 33,58 Rendah Konsultatif 1996 38,10 Rendah Konsultatif 1997 43,69 Rendah Konsultatif 1998 0 Rendah Sekali Instruktif 1999 13,27 Rendah Sekali Instruktif 2000 15,72 Rendah Sekali Instruktif 2001 14,20 Rendah Sekali Instruktif 2002 11,66 Rendah Sekali Instruktif 2003 9,38 Rendah Sekali Instruktif 2004 10.87 Rendah Sekali Instruktif 2005 11,45 Rendah Sekali Instruktif 2006 9,05 Rendah Sekali Instruktif 2007 9,68 Rendah Sekali Instruktif 2008 8,98 Rendah Sekali Instruktif 2009 8,27 Rendah Sekali Instruktif
Rerata Sblm Otda 27,36 Rendah Konsultatif Rerata Slm Otda 9,85 Rendah Sekali Instruktif
Sumber: BPS Kota Surakarta Dalam Angka; Data diolah
Dari tabel 4.14 dapat diketahui besar Kemandirian Keuangan
Daerah Kota Surakarta yang cenderung semakin menurun dari 27,36%
di era sebelum Otonomi Daerah menjadi 9,85% selama Otonomi
Daerah atau cenderung turun sebesar 17,51%.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dari tahun 1998-2009 Kota Surakarta, cenderung mengalami
Kemampuan Keuangan Daerah yang rendah sekali dan berpola
Insruktif, sedangkan pada tahun 1994-1998 Kota Surakarta
mempunyai kemampuan keuangan daerah yang berpola Konsultatif.
Hal tersebut bahwa Pemerintah Daerah Kota Surakarta cenderung
mulai berkurang pada bantuan dan sumbangan Pemerintah Pusat. Akan
tetapi dari tahun 1998-2009 Kota Surakarta, sekali lagi mempunyai
kecenderungan Kemampuan Keuangan Daerah yang rendah sekali dan
berpola Instruktif. Hal tersebut mengandung maksud bahwa
Pemerintah Daerah Kota Surakarta cenderung masih sangat tergantung
pada bantuan pada bantuan dan sumbangan Pemerintah Pusat, bahkan
di sini Pemerintah Pusat sangat mendominasi. Oleh karena itu,
Pemerintah Daerah Kota Surakarta masih perlu menggali sektor-sektor
potensial yang menjadi andalan daerahnya supaya Pendapatan Asli
Daerah (PAD) meningkat sehingga dapat mengurangi ketergantungan
terhadap Pemerintah Pusat dan utamanya kesejahteraan masyarakat
tercapai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan mengenai
Kemampuan Keuangan Daerah Kota Surakarta pada era sebelum maupun
selama Otonomi Daerah, maka dapat diambil kesimpulan secara deskriptif
dan kuantitatif. Hasil kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai
berikut:
1. Analisis Deskriptif
a. Rata-rata pertumbuhan APBD Kota Surakarta mengalami
penurunan dari era sebelum otonomi daerah ke era selama otonomi
daerah sebesar 0,79%.
b. Kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap APBD Kota
Surakarta mengalami penurunan dari 12,54% sebelum otonomi
daerah menjadi 7,30% pada era otonomi daerah. Hal ini disebabkan
selama otonomi daerah, pemerintah pusat memberikan dana
perimbangan yang cukup besar untuk daerah sesuai dengan
konsekuensi diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999.
c. Rerata pertumbuhan ekonomi menurut PDRB atas dasar harga
berlaku sebelum era otonomi daerah sebesar 9,09%, sedangkan era
selama otonomi daerah sebesar 11,11% atau mengalami
peningkatan sebesar 2,02%. Rarata pertumbuhan ekonomi menurut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PDRB atas dasar harga konstan sebelum era otonomi daerah
sebesar 9,09% sedangkan era selama otonomi daerah sebesar
11,11% atau mengalami peningkatan sebesar 2,02%.
2. Analisis Kuantitatif
a. Dari hasil analisis kuantitatif tentang Derajat Desentralisasi Fiskal
Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya Fiskal, Matrik Potensi
PAD, Rasio Aktivitas (Keserasian), Rasio Efektivitas PAD.
Sebagai ringkasan dari hipotesis pertama adalah sebagai berikut:
1) Derajat Desentralisasi Fiskal yang telah dihitung dengan
menggunakan beberapa indikator atau Rasio PAD dengan Total
Pendapatan Daerah, Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
untuk Daerah dengan Total Pendapatan Daerah menunjukkan
bahwa:
a) Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Pendapatan
Daerah Kota Surakarta sebelum Otonomi Daerah yang
paling tinggi pada tahun 1990 sebesar 18,21%, sedangkan
selama Otonomi Daerah yang paling tinggi pada tahun
2009 sebesar 8,46%.
b) BHPBP terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Surakarta
sebelum Otonomi Daerah yang paling tinggi pada tahun
1990 sebesar 50,23%, sedangkan selama Otonomi Daerah
paling tinggi pada tahun 2009 sebesar 16,79%.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c) Sumbangan terhadap Total Pendapatan Daerah Kota
Surakarta sebelum Otonomi Daerah yang paling tinggi pada
tahun 1990 sebesar 38,86%, sedangkan selama Otonomi
Daerah paling tinggi pada tahun 2009 sebesar 9,51%.
2) Dari hasil Analisis Kuantitatif tentang Kebutuhan Fiskal (KF)
menunjukkan bahwa secara rerata, Standar Kebutuhan Fiskal
Kota Surakarta (Kebutuhan Fiskal Propinsi Jawa Tengah)
cenderung mengalami penurunan pada era sebelum Otonomi
Daerah jika dibandingkan dengan Kebutuhan Fiskal pada era
selama Otonomi Daerah. Di samping itu, Indeks Pelayanan
Publik Per Kapita (Kebutuhan Fiskal Kota Surakarta)
berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun secara rerata
cenderung mengalami penurunan di era sebelum Otonomi
Daerah. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan
penurunan kebutuhan Fiskal Kota Surakarta.
3) Dari hasil analisis kuantitatif tentang Kapasitas Fiskal
menunjukkan bahwa secara rerata, Kapasitas Fiskal Kota
Surakarta cenderung mengalami penurunan pada era sebelum
Otonomi Daerah, jika dibandingkan pada era selama Otonomi
Daerah. Sama dengan Standar Kapasitas Fiskal Propinsi Jawa
Tengah, secara rerata cenderung mengalami peningkatan pada
era selama Otonomi Daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4) Dari hasil analisis kuantitatif tentang upaya/posisi fiskal yang
dihitung dengan rata-rata perubahan PAD terhadap perubahan
APBD menunjukkan hasil yang berbeda. Jika menggunakan
APBD atas dasar harga berlaku, maka struktur PAD cukup baik
dengan hasil 2,04 (elastis). Begitu juga dengan menggunakan
PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan hasil yang cukup
baik juga yaitu sebesar 3,19 (elastis). Sedangkan rata-rata
perubahan PAD terhadap perubahan PDRB pada era sebelum
dan selama Otonomi Daerah menunjukkan hasil yang baik
yaitu Elastis. Dengan menggunakan PDRB atas dasar harga
berlaku maupun atas dasar harga kontan.
5) Hasil analisis Kuantitatif tentang Matrik Potensi PAD
menunjukkan bahwa:
a) Ada satu jenis Pajak Daerah Kota Surakarta termasuk
kategori Prima yaitu Pajak Reklame, sedangkan pajak-
pajak yang lain memiliki kategori Terbelakang. Bisa dilihat
bahwa pajak di Kota Surakarta masih sangat terbelakang.
b) Ada satu jenis Retribusi Daerah Kota Surakarta yang
memiliki kategori Prima yaitu Retribusi Pelayanan
Kesehatan, sedangkan Retribusi Daerah yang lain memiliki
kategori Terbelakang. Sama dengan Pajak Daerah Kota
Surakarta juga mempunyai retribusi yang sangat
terbelakang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6) Hasil Analisis Kuantitatif tentang Rasio Aktivitas (Keserasian)
antara belanja rutin dan belanja pembangunan menunjukkan
bahwa: Rata-rata Rasio Belanja Rutin terhadap Total
Pengeluaran Daerah sebelum maupun selama Otonomi Daerah
di Kota Surakarta lebih besar dari rata-rata Rasio Belanja
Pengeluaran Daerah. Dengan demikian sebagian besar
anggaran hanya terserap untuk belanja rutin yang digunakan
untuk membiayai semua keperluan daerah. Hal ini
menunjukkan bahwa di Kota Surakarta Belanja Rutin lebih
besar daripada Belanja Pembangunan, maka manfaat
pembangunan yang diperoleh masyarakat Kota Surakarta masih
rendah.
7) Analisis Kuantitatif tentang efektivitas PAD menunjukkan
bahwa pada era sebelum otonomi daerah memiliki Rasio
Efektivitas lebih besar dari Rasio Efektivitas selama Otonomi
Daerah.
8) Berdasarkan perhitungan analisis Kuantitatif tentang
Kemandirian Daerah dan Pola Hubungan sebagai jawaban dari
hipotesis ke dua, menunjukkan bahwa Kota Surakarta memiliki
Kemampuan Keuangan Daerah yang rendah (Konsultatif) pada
tahun 1994-1997, tapi mayoritas kemampuan keuangan daerah
Kota Surakarta memiliki kemampuan yang rendah sekali.
Artinya peran Pemerintah Pusat lebih dominan dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kemandirian Pemerintah Daerah (daerah tidak mampu
melaksanakan Otonomi Daerah).
B. Saran
Dari kesimpulan diatas maka dapat dikatakan bahwa Pemerintah
Daerah Kota Surakarta dalam hal Kemampuan Keuangan Daerah termasuk
masih rendah. Untuk itu, dianjurkan kepada Pemerintah Daerah lebih
meningkatkan lagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa menimbulkan
beban yang semakin berat kepada masyarakat. Disamping itu juga perlu
pengelolaan Keuangan Daerah secara optional, agar ketergantungan
Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat dapat semakin berkurang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR PUSTAKA
BPS Kota Surakarta. (Beberapa Edisi). Produk Domestik Regional Bruto Kota
Surakarta. Surakarta: BPS Kota Surakarta. BPS Kota Surakarta. (Beberapa Edisi). Statistik Keuangan Pemerintahan Kota
Surakarta. Surakarta: BPS Kota Surakarta. BPS Kota Surakarta. (Beberapa Edisi). Surakarta Dalam Angka. Surakarta: BPS
Kota Surakarta. BPS Propinsi Jawa Tengah. (Beberapa Edisi). Jawa Tengah Dalam Angka.
Semarang: BPS Propinsi Jawa Tengah. BPS Propinsi Jawa Tengah. (Beberapa Edisi). Pendapatan Regional Jawa
Tengah. Jawa Tengah: BPS Propinsi Jawa Tengah. BPS Propinsi Jawa Tengah. (Beberapa Edisi). Produk Domestik Regional Bruto
Beberapa Edisi. Semarang: BPS Propinsi Jawa Tengah. BPS Propinsi Jawa Tengah. 2001. APBD Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun
2000. Semarang: BPS Propinsi Jawa Tengah. BPS Propinsi Jawa Tengah. 2004. Statistik Keuangan Pemerintah Propinsi Jawa
Tengah dan Pemerintah Kabupaten/Kota seJawa Tengah Tahun 2001-2003. Semarang: BPS Propinsi Jawa Tengah.
Halim, Abdul. 2001. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:
AMP YKPN. Halim, Abdul. 2004. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:
AMP YKPN. Kuncoro, Mudrajad. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Bagaimana
Meneliti dan Menulis Tesis?. Jakarta: Erlangga. Kurniawati, Ana Dwi. 2004. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah di
Kabupaten Sukoharjo (perbandingan Era Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah. Skripsi Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tidak Dipulikasikan.
Josef Riwu Kaho. 1997. Prospek Otonomi Daerah di Negara Indonesia (Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya). Jakarta: Rajawali Press.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi Offset.
Mulyanto. 2003. Identifikasi dan Analisis Sektor Ekonomi Unggulan di Kawasan
Subosukawonosraten Propinsi Jawa Tengah. Surakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret.
Musgrave, RA dan PB Musgrave. 1993. Keuangan Negara dalam Teori dan
Praktek. Jakarta: Erlangga. Prayitno, Sumardi Agus. 2005. Analisis Keuangan Daerah di Kabupaten Sleman
Periode 1990/1991-2003 (Perbandingan Era Sebelum Otonomi Daerah dan Pada Era Otonomi Daerah). Skripsi Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tidak Dipublikasikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000. Tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 202, Tambahan Negara Nomor 4022).
Sukanto, Reksohadiprojo. 2001. Ekonomika Publik. Yogyakarta: BPFE UGM. Suparmoko. 1992. Keuangan Daerah dalam Teori dan Praktek, Edisi IV.
Yogyakarta: BPFE UGM Syafruddin, Ateng & Ryaas Rasyid. 2001. Otonomi Daerah dalam Perspektif
Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya. Jakarta: Djambatan Unipress. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Negara Nomor 3839).
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Negara Nomor 3848).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Negara Nomor 4437).
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Negara Nomor 4438).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Wibowo, Yuandhi Harmanto. 2006. Analisis Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah (Studi Kasus Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 1996/1997-2005). Skripsi Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tidak Dipublikasikan.
Zahra, Fatima. 2008. Analisis Keuangan Daerah di Kabupaten Karanganyar
Perbandingan Sebelum dan Selama Otonomi Daerah (Periode 1994/1995-2006). Skripsi Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tidak Dipublikasikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Lampiran 1: Tabel Rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Surakarta
Tahun PAD BHPBP Sumbangan
Total Pendapatan Daerah Derajat Desentralisasi Fiskal
(Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) PAD/TPD BHPBP/TPD SBD/TPD 1990 3,029,181 8,354,104 6,462,979 16,633,379 18.211 50.225 38.855 1991 3,462,985 8,362,707 6,473,622 22,014,288 15.731 37.988 29.406 1992 3,729,192 8,378,998 6,492,808 24,586,680 15.168 34.079 26.408 1993 4,028,878 8,390,508 6,500,189 26,832,883 15.015 31.269 24.225 1994 4,315,434 8,400,298 6,510,901 33,845,062 12.751 24.820 19.237 1995 5,569,932 8,429,109 6,530,203 40,091,557 13.893 21.025 16.288 1996 6,325,182 8,527,810 6,552,005 48,334,925 13.086 17.643 13.555 1997 7,269,896 8,431,422 6,641,177 63,329,878 11.479 13.313 10.487 1998 7,811,435 8,228,715 6,860,594 66,531,359 11.741 12.368 10.312 1999 8,841,838 8,497,681 7,663,221 91,374,002 9.677 9.300 8.387 2000 12,816,761 10,848,290 8,151,134 101,419,602 12.637 10.696 8.037 2001 15,880,342 17,213,991 11,182,211 212,094,519 7.487 8.116 5.272 2002 20,943,463 17,695,212 17,964,887 251,994,832 8.311 7.022 7.129 2003 24,656,991 23,271,998 26,298,525 359,410,690 6.860 6.475 7.317 2004 27,395,768 34,651,055 25,194,745 351,968,337 7.784 9.845 7.158 2005 29,089,223 34,487,396 25,410,417 354,638,398 8.203 9.725 7.165 2006 35,589,770 38,242,492 39,342,446 512,928,227 6.939 7.456 7.670 2007 41,404,086 87,541,331 42,758,263 656,247,692 6.309 13.340 6.516 2008 44,981,954 98,108,598 50,084,542 760,080,857 5.918 12.908 6.589 2009 51,823,682 102,832,677 58,236,262 612,610,012 8.459 16.786 9.506
Rerata Sebelum Otda 13.675 25.203 19.716 Rerata Selama Otda 7.891 10.237 7.236
Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Lampiran 2: Tabel Rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar Se-Jawa Tengah dan Kota Surakarta
Pengeluaran Pengeluaran Jumlah Jumlah
Kebutuhan Fiskal
Kebutuhan Fiskal
Tahun Jateng Kota Surakarta Penduduk Penduduk Se-Jateng Kota Surakarta (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) Jateng Kota Surakarta (SKaFP Jateng) (SKaFP Ska)
1990 1,380,928,372 21,253,837 28,578,090 516,967 1.381 29.779 1991 1,386,820,123 26,293,838 28,934,662 519,997 1.369 36.925 1992 1,389,018,271 31,302,938 29,154,590 523,455 1.361 43.931 1993 1,390,928,100 33,339,828 29,409,069 531,377 1.351 46.431 1994 1,393,035,658 38,367,288 29,313,421 533,628 1.358 52.954 1995 1,465,860,322 40,398,829 29,519,447 536,005 1.419 53.123 1996 1,525,053,600 41,400,199 29,698,845 539,387 1.467 52.315 1997 1,602,964,269 58,432,562 29,907,476 542,832 1.531 70.293 1998 846,102,225 61,233,018 30,785,445 546,469 0.785 142.696 1999 1,013,732,927 112,508,074 30,761,221 550,251 0.942 217.156 2000 977,829,252 129,651,289 30,775,846 553,580 0.908 257.995 2001 1,361,314,802 233,216,856 31,063,818 554,630 1.252 335.831 2002 1,564,183,005 237,035,103 31,691,866 497,232 1.410 338.051 2003 1,738,527,891 341,774,908 32,052,840 510,711 1.550 431.835 2004 1,942,783,776 347,566,695 32,397,431 534,540 1.713 379.500 2005 2,344,353,233 355,857,769 32,908,850 512,372 2.035 341.231 2006 2,819,967,091 461,901,126 32,177,730 514,898 2.504 358.267 2007 3,124,288,071 469,090,946 32,380,279 515,372 2.757 330.167 2008 3,629,387,083 479,018,861 32,626,390 522,935 3.178 288.210 2009 4,029,373,099 480,483,229 33,563,805 528,202 3.430 265.204
Rerata Sblm Otda 1,339,444,387 46,453,041 29,606,227 534,037 1.387 45.065 Rerata Slm Otda 2,353,200,730 353,559,678 32,163,886 524,447 2.074 332.629 Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Lampiran 3: Tabel Rata-rata Kapasitas Fiskal Standar Se-Jawa Tengah dan Kota Surakarta
PDRB Laku PDRB Laku Jumlah Jumlah Kapasitas Fiskal
Kapasitas Fiskal
Tahun Jateng Kota Surakarta Penduduk Penduduk Se-Jateng Kota Surakarta (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) Jateng Kota Surakarta (SKbFK Jateng) (SKbFK Ska)
1990 21,689,283 2,093,827.83 28,578,090 516,967 0.022 186.782 1991 25,980,443 2,293,871.78 28,934,662 519,997 0.026 171.952 1992 30,200,681 2,392,817.07 29,154,590 523,455 0.030 154.450 1993 33,978,909 2,571,873.98 29,409,069 531,377 0.033 146.618 1994 39,303,565 2,637,401.44 29,313,421 533,628 0.038 129.015 1995 46,622,461 2,865,536.62 29,519,447 536,005 0.045 118.473 1996 52,505,361 2,988,456.04 29,698,845 539,387 0.051 109.686 1997 60,296,427 3,205,834.45 29,907,476 542,832 0.058 102.525 1998 84,610,223 2,965,128.91 30,785,445 546,469 0.079 69.099 1999 101,509,194 2,846,979.26 30,761,221 550,251 0.094 54.877 2000 118,404,885 2,990,464.31 30,775,846 553,580 0.110 49.144 2001 133,227,558 3,372,850.36 31,063,818 554,630 0.123 49.628 2002 151,968,826 3,772,737.68 31,691,866 497,232 0.137 55.381 2003 171,881,877 4,251,845.59 32,052,840 510,711 0.153 54.338 2004 193,435,263 4,756,559.53 32,397,431 534,540 0.171 52.162 2005 234,435,233 5,585,776.84 32,908,850 512,372 0.204 53.562 2006 281,996,709 6,190,112.55 32,177,730 514,898 0.250 48.013 2007 304,054,810 6,909,094.57 32,380,279 515,372 0.268 49.969 2008 318,736,052 7,901,886.06 32,626,390 522,935 0.279 54.136 2009 358,027,691 8,880,691.24 33,563,805 525,983 0.305 55.398
Rerata Sblm Otda 49,669,655 2,686,172.74 29,606,227 534,037 0.047 107.510 Rerata Slm Otda 226,616,890 5,461,201.87 32,163,886 524,225 0.200 52.510 Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Lampiran 4: Tabel Pertumbuhan PAD dan PDRB Kota Surakarta
Tahun PAD PDRB Laku PDRB Konstan PERTUMBUHAN
(Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) PAD PDRB Laku PDRB Konstan 1990 3,029,181 2,093,827.83 1,890,291.09 0 0 0 1991 3,462,985 2,293,871.78 2,093,802.58 14.32 9.55 10.77 1992 3,729,192 2,392,817.07 2,289,930.31 7.69 4.31 9.37 1993 4,028,878 2,571,873.98 2,429,888.91 8.04 7.48 6.11 1994 4,315,434 2,637,401.44 2,637,401.44 7.11 2.55 8.54 1995 5,569,932 2,865,536.62 2,865,536.62 29.07 8.65 8.65 1996 6,325,182 2,988,456.04 3,128,651.94 13.56 4.29 9.18 1997 7,269,896 3,205,834.45 3,260,719.67 14.94 7.27 4.22 1998 7,811,435 2,965,128.91 2,806,489.55 7.45 -7.51 -13.93 1999 8,841,838 2,846,979.26 2,846,979.26 13.19 -3.98 1.44 2000 12,816,761 2,990,464.31 2,990,464.32 44.96 5.04 5.04 2001 15,880,342 3,372,850.36 3,113,668.99 23.90 12.79 4.12 2002 20,943,463 3,772,737.68 3,268,559.64 31.88 11.86 4.97 2003 24,656,991 4,251,845.59 3,468,276.94 17.73 12.70 6.11 2004 27,395,768 4,756,559.53 3,669,373.45 11.11 11.87 5.80 2005 29,089,223 5,585,776.84 3,858,169.67 6.18 17.43 5.15 2006 35,589,770 6,190,112.55 4,067,529.95 22.35 10.82 5.43 2007 41,404,086 6,909,094.57 4,304,287.37 16.34 11.62 5.82 2008 44,981,954 7,901,886.06 4,549,342.95 8.64 14.37 5.69 2009 51,823,682 8,880,691.24 4,817,877.63 15.21 12.39 5.90
Total 313.66 153.50 98.38 Total Sblm Otda 115.36 32.62 44.35 Total Slm Otda 198.30 120.88 54.03
Elastisitas PAD/PDRB 2.04 3.19 Elastisitas PAD/PDRB Sblm Otda 3.54 2.60 Elastisitas PAD/PDRB Slm Otda 1.64 3.67
Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Lampiran 5: Tabel Hasil Matriks Potensi dari Pajak Daerah Kota Surakarta
Pos Tahun Total Rasio Rasio
Kategori 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Ayat Pajak Pertumbuhan Proporsi
P. Hotel & Restoran
629,635 351,321 557,926 631,359 762,241 784,220 452,824 0.593 0.603 Terbelakang
P. Hiburan 61,251 62,000 13,086 18,533 20,075 21,048 382,736 0.062 0.069 Terbelakang P. Reklame 41,215 56,942 96,733 140,271 70,136 90,235 22,018,289 4.958 4.934 Prima P.PPJU 4,713,062 4,658,800 7,734,822 1,182,794 1,804,690 2,015,892 258,127 0.073 0.084 Terbelakang P. Gol. Galian B&C
67,982 60,832 0 0 0 0 2,819,382 0.305 0.428 Terbelakang
P. Pemanfaatan Air
235,543 250,374 290,330 291,034 0 0 3,012,980 0.429 0.514 Terbelakang
Jlh Pos Pajak 2,837,298 4,729,308 5,880,304 10,943,451 14,656,998 16,839,109 Pertumbuhan
0 66.68 24.34 86.10 33.93 14.89 Total Pajak Rata-rata 958,115 906,712 1,448,816 377,332 442,857 485,232
Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Lampiran 6: Tabel Matriks Potensi dari Pos Retribusi Kota Surakarta
Pos Tahun Total Rasio Rasio
Kategori 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Ayat Pajak Pertumbuhan Proporsi
R. Pelayanan Kesehatan
1,035,916 871,372 1,318,396 1,534,342 1,799,047 26,974,948 33,534,021 4.129 4.592 Prima
R. Peyalana Kebersihan
112,810 84,752 131,181 149,235 181,634 209,531 869,144 0.089 0.131 Terbelakang
R. Penggantian Biaya Cetak KTP
243,914 300,467 622,558 682,616 1,063,203 692,255 3,605,013 0.803 0.804 Terbelakang
R. Parkir Jl. Umum 84,533 69,293 50,451 123,300 119,377 153,729 600,682 0.082 0.091 Terbelakang R. Pasar 323,939 361,783 634,607 722,741 834,932 0 2,878,002 0.893 0.985 Terbelakang R. Pengujian Kendaraan Bermotor
0 0 0 0 199,107 200,294 399,401 0.098 0.096 Terbelakang
R. Penjualan PUD 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Terbelakang R. Pemakaian Kekayaan Daerah
43,474 38,029 66,847 133,504 276,682 301,093 859,630 0.152 0.131 Terbelakang
R. Terminal 152,635 197,356 220,555 304,913 331,944 382,782 1,590,183 0.081 0.118 Terbelakang R. Tem. Parkir Khusus
45,029 48,298 51,890 58,035 0 0 203,252 0.017 0.019 Terbelakang
R. Potong Hewan 16,736 18,273 22,224 23,984 27,330 31,094 139,641 0.031 0.046 Terbelakang R. Rekreasi Olga 253,647 283,746 321,536 377,371 421,381 452,817 2,110,498 0.302 0.312 Terbelakang R. Penyeberangan di Atas Air
4,980 4,991 5,012 5,008 5,076 5,089 30,156 0.041 0.053 Terbelakang
R. Ijin Penggunaan Tanah
0 0 0 0 0 0.048 0.064 Terbelakang
Jml Pos Retribusi 2,830,761 3,029,107 3,505,946 5,094,782 7,060,009 8,673,162 46,819,622 Pertumbuhan Total Pos Retribusi
0 7.01 15.74 45.32 38.57 22.85
Rata-rata 178277.947 175258.543 246089.6873 293931.9669 375693.792 2100259.374 Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Lampiran 7: Tabel Rasio Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan Terhadap Total APBD Kota Surakarta Pos Pengeluaran
Tahun Belanja Rutin (A) Belanja Pembangunan (B) Total APBD (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.)
1990 10,965,061 5,668,318 16,633,379 1991 14,180,111 7,834,177 22,014,288 1992 16,061,881 8,524,799 24,586,680 1993 18,221,289 8,611,594 26,832,883 1994 19,130,339 14,714,723 33,845,062 1995 21,568,729 18,522,828 40,091,557 1996 24,134,413 24,200,512 48,334,925 1997 46,454,434 16,875,444 63,329,878 1998 48,961,646 17,569,713 66,531,359 1999 63,852,788 27,521,214 91,374,002 2000 63,464,847 37,954,755 101,419,602 2001 191,790,105 20,304,414 212,094,519 2002 212,391,411 39,603,421 251,994,832 2003 262,510,720 96,899,970 359,410,690 2004 257,521,974 94,446,363 351,968,337 2005 258,736,519 95,901,878 354,638,398 2006 439,311,172 73,617,054 512,928,227 2007 499,186,466 157,061,226 656,247,692 2008 323,942,328 436,138,529 760,080,857 2009 418,736,383 193,873,629 612,610,012
Total 3,211,122,616 1,395,844,563 4,606,967,179 Total (A) Sblm Otda 283,530,691 Rerata (A) Sblm Otda 28,353,069 Total (A) Slm Otda 2,927,591,925 Rerata (A) Slm Otda 292,759,193 Total (B) Sblm Otda 150,043,322 Rerata (B) Sblm Otda 15,004,332 Total (B) Slm Otda 1,245,801,241 Rerata (B) Slm Otda 124,580,124
Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Lampiran 8: Tabel Rata-Rata Efektifitas PAD Kota Surakarta
Keterangan Pajak Daerah Retribusi Daerah Bagian LUMD Penerimaan dari
Dinas Penerimaan Lain-lain (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.)
1990 Target 2,225,798 2,993,498 203,812 208,918 48,238 Realisasi 1,240,878 3,012,142 205,042 210,390 51,923
1991 Target 1,245,089 3,028,692 208,588 216,110 62,937 Realisasi 1,258,910 3,034,534 211,324 236,298 65,004
1992 Target 1,265,383 3,041,336 213,845 240,125 72,139 Realisasi 1,270,896 3,053,498 215,268 258,268 75,863
1993 Target 1,324,548 3,058,475 218,480 267,432 83,736 Realisasi 1,335,750 3,084,364 221,345 279,385 87,431
1994 Target 1,445,555 3,091,388 216,592 281,510 133,922 Realisasi 1,463,474 3,138,834 221,250 391,445 140,821
1995 Target 1,552,596 3,159,380 243,175 294,348 210,537 Realisasi 1,588,166 3,383,610 253,198 302,490 249,269
1996 Target 1,827,549 3,420,435 258,110 308,318 359,063 Realisasi 1,947,360 3,529,488 261,288 414,345 393,435
1997 Target 2,733,662 3,647,535 549,210 418,598 612,453 Realisasi 2,853,333 3,697,388 564,278 421,721 632,861
1998 Target 3,045,878 5,329,455 329,322 425,626 0 Realisasi 3,192,040 5,432,498 343,410 628,550 0
1999 Target 3,891,999 8,872,560 227,942 0 1,769,374 Realisasi 3,915,464 9,066,510 250,810 0 1,792,392
2000 Target 3,886,409 959,227 269,985 0 1,803,998 Realisasi 3,961,255 992,996 285,438 0 1,828,989
2001 Target 4,581,868 1,527,182 36,297 0 1,847,692 Realisasi 5,288,038 1,827,376 402,720 0 1,857,383
2002 Target 7,296,152 2,048,398 475,218 0 1,882,728 Realisasi 8,894,345 2,012,575 466,368 0 1,892,372
2003 Target 9,094,346 2,012,575 466,368 0 1,900,234 Realisasi 10,065,698 2,667,812 664,390 0 1,902,883
2004 Target 8,465,699 2,667,812 664,390 0 1,928,324 Realisasi 7,739,576 2,848,513 102,712 0 1,938,283
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2005 Target 7,826,440 2,938,152 129,367 0 1,993,838 Realisasi 8,290,892 3,036,198 152,894 0 2,039,183
2006 Target 8,344,901 3,036,198 203,878 0 2,203,938 Realisasi 8,355,898 3,173,891 239,478 0 2,296,226
2007 Target 8,394,660 3,173,891 352,148 0 2,296,226 Realisasi 9,414,041 3,335,923 368,356 0 2,537,192
2008 Target 9,457,812 3,335,923 380,161 0 2,638,293 Realisasi 9,468,556 3,527,609 382,981 0 2,693,803
2009 Target 10,514,632 3,527,609 392,818 0 2,719,205 Realisasi 10,521,638 4,029,167 402,919 0 3,029,382
R. Efektivitas Sblm Otda 0.978 1.019 1.028 1.163 0.958 R. Efektivitas Slm Otda 1.060 1.094 2.015 0 1.034
Realisasi Sblm Otda 20,066,270 40,432,866 2,747,213 3,142,892 3,488,999 Realisasi Slm Otda 81,999,937 27,452,060 3,468,256 0 22,015,696 Target Sblm Otda 20,558,058 39,642,754 2,669,076 2,660,985 3,352,399 Target Slm Otda 77,862,918 25,226,967 3,370,630 0 21,214,476
Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Lampiran 9: Pola Hubungan dan Rata-rata Tingkat Kemandirian Kota Surakarta
Tahun PAD Bantuan/Sumbangan Kemandirian Kemampuan
Pola Hubungan (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) Keuangan Keuangan
1990 3,029,181 16,389,215 18.48 Rendah Sekali Instruktif 1991 3,462,985 16,400,187 21.12 Rendah Sekali Instruktif 1992 3,729,192 16,459,810 22.66 Rendah Sekali Instruktif 1993 4,028,878 16,500,918 24.42 Rendah Sekali Instruktif 1994 4,315,434 16,548,178 26.08 Rendah Konsultatif 1995 5,569,932 16,587,810 33.58 Rendah Konsultatif 1996 6,325,182 16,602,179 38.10 Rendah Konsultatif 1997 7,269,896 16,641,179 43.69 Rendah Konsultatif 1998 7,811,435 0 0 Rendah Sekali Instruktif 1999 8,841,838 66,632,142 13.27 Rendah Sekali Instruktif 2000 12,816,761 81,511,348 15.72 Rendah Sekali Instruktif 2001 15,880,342 111,822,114 14.20 Rendah Sekali Instruktif 2002 20,943,463 179,648,873 11.66 Rendah Sekali Instruktif 2003 24,656,991 262,985,252 9.38 Rendah Sekali Instruktif 2004 27,395,768 251,947,455 10.87 Rendah Sekali Instruktif 2005 29,089,223 254,104,174 11.45 Rendah Sekali Instruktif 2006 35,589,770 393,424,466 9.05 Rendah Sekali Instruktif 2007 41,404,086 427,582,635 9.68 Rendah Sekali Instruktif 2008 44,981,954 500,845,428 8.98 Rendah Sekali Instruktif 2009 51,823,682 626,965,873 8.27 Rendah Sekali Instruktif
Rerata Sblm Otda 5,438,395 19,876,162 27.36 Rendah Konsultatif Rerata Slm Otda 30,458,204 309,083,762 9.85 Rendah Sekali Instruktif
Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah