analisis keputusan menteri kesehatan no 364
TRANSCRIPT
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 364 TAHUN 2009
TENTANG
PEDOMAN PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS
OLEH
HADIYANTO USMAN
NPM: 1006754970
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2010
DAFTAR ISI
BAB 1PendahuluanI. Latar Belakang................................................................................................................ 3II. Tujuan............................................................................................................................ 4III. Metode Analisis............................................................................................................ 4BAB IIGambaran Umum Kebijakan KesehatanI.Maksud dan Tujuan Kebijakan....................................................................................... 6II. Rujukan Dasar UUD 1945 atau Perubahannya dan UU lainnya................................... 6III. Filosofi dasar............................................................................................................... 7IV. Apa yang diatur............................................................................................................ 7V. Tata cara pengaturannya................................................................................................ 7VI. Obyek yang diatur dari keputusan menteri ................................................................ 8VII. Kelompok anggota masyarakat yang terkena peraturan ini...................................... 8VIII. Lembaga yang memprakarsai dan menyusun........................................................... 9IX. Lembaga yang meresmikan ....................................................................................... 9X. Lembaga yang menegakkan dan mengevaluasi pelaksanaannya................................. 9BAB IIIAnalisis lingkungan strategis KMKI.Analisis Ideologi.............................................................................................................. 10II. Analisis Politik............................................................................................................... 12III.Analisis Ekonomi........................................................................................................... 13IV. Analisis Sosial Budaya................................................................................................. 15V. Analisis Pertahanan dan Keamanan............................................................................... 16BAB IVKesimpulan......................................................................................................................... 16Saran.................................................................................................................................. 19Daftar Pustaka.................................................................................................................... 20
BAB I
Pendahuluan
I. Latar BelakangMelihat makin tingginya angka penyakit Tuberkulosis yang menginfeksi sekitar sepertiga dari
penduduk dunia, dan kebanyakan menyerang kelompok usia produktif (15-50 tahun), sehingga
mengakibatkan kehilangan pendapatan secara ekonomi sekitar 20-30 % per tahunnya, dan secara
sosial seorang penderita TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan
dikucilkan oleh masyarakat.
Penyebab dari tingginya masalah TB antara lain :
1. Kemiskinan pada kelompok masyarakat yang terkena,terutama pada negara berkembang
2. Kegagalan dari program TB sendiri, antara lain :
a. Minimnya komitmen politik dan pendanaan
b. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB(tidak dapatd iakses oleh masyarakat,
penemuan kasus yang tidak standar, obat yang tidak terjamin penyediaannya, dsb)
c. Gagalnya tatalaksana kasus (diagnosis dan panduan obat yang tidak standar, gagal
mneyembuhkan kasus yang telah terdiagnosis)
d. Salah persepsi tentang manfaat BCG
3. Perubahan demografik karena meningkatnya jumlah penduduk dan perubahan struktur
umur penduduk
4. Dampak pandemi HIV/AIDS
Hal ini menjadi perhatian khusus dari pemerintah Indonesia, sehingga diterbitkan suatu
keputusan menteri kesehatan yang mengatur penatalaksanaan penyakit Tuberkulosis.
II. Tujuan
Dengan adanya keputusan menteri ini maka dapat dilihat secara nasional suatu pedoman
untuk penanggulangan Tuberkulosis, dimana tatalaksananya dari sabang sampai merauke telah
sama prosedurnya, di dalam analisis ini akan melihat secara keseluruhan keputusan menteri ini
apakah sudah sesuai dengan pancagatra, yaitu analisis ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya,
serta pertahanan dan keamanan, dan apakah dapat diterapkan secara nasional dimana Indonesia
terkenal sebagai negara yang berpulau-pulau.
III. Metode Analisis
Cara menganilisis keputusan ini dengan melihat secara total dan membedahnya dengan
melihat dari aspek pancagatra
BAB II
Gambaran umum Kebijakan Kesehatan
Keputusan ini lahir dikarenakan banyaknya kasus TB di Indonesia yang telah merugikan
baik secara ekonomi maupun produktifitas dari penderita, Indonesia yang menduduki peringkat
ke-3 setelah India dan Cina, Fakta menunjukkan bahwa TB masih merupakan masalah utama
kesehatan masyarakat Indonesia, antara lain:
• Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina.
Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia.
• Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB
merupakan penyebab kematian nomor tiga (3) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit
saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu (1) dari golongan penyakit
infeksi.
• Hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB
BTA positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara Regional Insiden TB BTA
positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu:
1. Wilayah Sumatera angka insiden TB adalah 160 per 100.000 penduduk.
2. Wilayah Jawa angka insiden TB adalah 107 per 100.000 penduduk.
3. Wilayah Indonesia Timur angka insiden TB adalah 210 per 100.000 penduduk.
4. Khusus untuk Provinsi DIY dan Bali angka insiden TB adalah 64 per 100.000 penduduk.
• Berdasarkan hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden TB Basil
Tahan Asam (BTA) positif secara Nasional 2-3 % setiap tahunnya. Sampai tahun 2005, program
Penanggulangan TB dengan Strategi DOTS menjangkau 98% Puskesmas, sementara rumah sakit
dan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)/Balai Kesehatan Paru Masyarakat
(BKPM)/Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru/Rumah Sakit Paru (RSP) baru sekitar 30%.
I. Maksud dan Tujuan
Dengan merujuk pada peraturan ini maka dapat diketahui kalau maksud dari peraturan ini adalah
• Menjamin bahwa setiap pasien TB mempunyai akses terhadap pelayanan yang bermutu, untuk
menurunkan angka kesakitan dan kematian karena TB.
• Menurunkan resiko penularan TB.
• Mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat TB
Sedangkan tujuan keputusan ini adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB,
memutuskan rantai penularan, serta mencegah MDR TB
II. Rujukan UUD 1945/perubahannya dan
UU lainnya
UU No.4 tahun 1984, tentang wabah penyakit menular, dimana TB merupakan suatu penyakit
menular yang dapat menyebabkan rantai penularan yang semakin besar bahkan dapat menulari
sampai seluruh penduduk Indonesia.
UU No.23 tahun 1992, tentang kesehatan, di dalam pasal 6 dari peraturan ini dikatakan
pemerintah berkewajiban membina, mengatur, dan mengawasi penyelenggaraan upaya
kesehatan, dengan adanya perturan ini makan pemerintah harus dan mau melakukan upaya-
upaya yang berhubungan dengan penyakit Tuberkulosis.
UU No.29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran dimana dalam penatalaksanaan kasus TB ini
tanggung jawab terbesar berada di pundak seorang dokter, karena ia yang harus memutuskan
mulai dari membuat diagnosa seseorang terkena TB, pemberian obat TB, edukasi pasien serta
keluarga pasien penderita TB, sampai pada memutuskan apakah pasien tersebut sembuh atau
tidak.(hal ini sesuai dengan bunyi pasal 51 dan 52 tentang hak dan kewajiban dokter dan
pasien)
UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, di dalam pasal 13 dikatakan bahwa
pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk penanganan di bidang kesehatan, dengan adanya
peraturan ini maka pemerintah daerah harus dan mau ikut mengimplementasikan peraturan
menteri kesehatan ini, karena dengan adanya rakyat yang sehat maka PAD akan meningkat
karena masyarakatnya menjadi produktif dan PAD tidak akan berkurang karena tersedot oleh
biaya kesehatan yang mahal akibat dari penanganan yang berfokus hanya kuratif.
III. Filosofi dasar
Sesuai dengan filosofi dasar Indonesia adalah pancasila maka keputusan ini mesti dilihat
satu per satu dari pancasila dan undang-undang dasar 1945, sehat adalah HAM yang
meruapakan sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap orang, dan melalui amanat undang-undang
dasar 1945 maka pemerintah wajib dan harus menyelenggarakan upaya kesehatan bagi
masyarakatnya. Upaya kesehatan itu dilaksanakan oleh petugas kesehatan baik yang berada di
pemerintah pusat maupun di daerah, dan upaya kesehatan itu apabila dianggap perlu dapat
diundang dalam bentuk suatu keputusan seperti keputusan menteri tentang Tuberkulosis.
IV. Apa yang diatur
Dalam keputusan menteri ini, yang diatur adalah tata cara penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia, mulai dari cara pencarian tersangka kasus TB, pengobatan, evaluasi kesembuhan
pasien TB hingga pada evaluasi berupa laporan triwulan terhadap pasien TB.
V. Tata cara pengaturannya
Untuk penanganan TB secara per propinsi diatur dengan PP No. 38 tahun 2007 tentang
pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah propinsi dan pemerintah
kabupaten/kota. Pengaturan penanggulangan tuberkulosis secara garis besar diatur oleh
kementrian kesehatan, sedangkan di daerah dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten atau kota
yang mengikuti acuan keputusan menteri ini.
VI. Obyek yang diatur
Obyek dalam keputusan menteri ini mengatur secara keseluruhan tindakan dari seorang
1. Petugas medis, seperti dokter umum, dan dokter spesialis
2. Petugas paramedis, seperti suster, brother
3. Petugas laboratorium,seperti analis lab
4. Petugas administrasi, seperti adm khusus TB dan admin rumah sakit
5. Apoteker,seperti apoteker dan asisten apoteker
6. Petugas di jejaring penatalaksaan TB
7. Petugas di dinas kesehatan kabupaten atau kota, seperti wasor kabupaten atau kota
8. Petugas di kementerian kesehatan yang merupakan muara semua laporan pengendalian TB di
Indonesia
VII. Kelompok mana yang dari anggota
masyarakat yang akan terkena kebijakan
Anggota masyarakat yang tekena dari peraturan ini tentu saja yang menjadi sasaran
secara langsung dari peraturan ini adalah penderita TB beserta dengan keluarga, sedangkan yang
tidak langsung terkena adalah tokoh masyarakat atau pemuka agama atau orang yang disegani
atau di hormati dimana penderita itu berada, sedangkan jumlah obyek dan kelompok mana yang
terkena, tentu saja pada umumnya semua masyarakat di wilayah Republik Indonesia, dengan
jumlah penduduk yang lebih dari 220 juta orang.
VIII. Lembaga yang memprakarsai dan
menyusun
Lembaga yang memprakarsai dan menyusunnya adalah kementrian kesehatan yang dibantu oleh
para ahli dari berbagai ikatan profesi seperti IDI, PDPI, IDAI, KNCV, WHO, TUBERCULOSIS
FOUNDATION, PPTI, PERKUMPULAN DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM,
PERKUMPULAN AHLI MIKROBIOLOGI, POGI DAN IAKMI.
IX. Lembaga yang meresmikan
Lembaga yang meresmikannya adalah kementrian kesehatan, yaitu menteri kesehatan RI,
sewaktu peraturan ini dikeluarkan, Dr.dr.Siti Fadilah Supari,SpJP(K).
X. Lembaga yang menegakkan dan
mengevaluasi pelaksanaannya
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan penanggulangan TB dilaksanakan oleh
Kementrian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dengan
mengikutsertakan institusi dan organisasi profesi terkait sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
BAB III
Analisis Lingkungan Strategis Keputusan
Menteri Kesehatan No.364 tahun 2009
I. Analisis ideologi
Ideologi di Indonesia adalah berdasarkan Pancasila yang terbagi menjadi 5 sila, yang dibuat oleh
presiden Ir. Soekarno, adapun sila tersebut :
Sila ke-1, Ketuhanan yang maha esa, di peraturan ini tidak terlihat secara eksplisit,
menjelaskan bahwa keputusan yang dibuat berdasarkan Ketuhanan yang maha esa, tetapi
dijelaskan secara implisit, dan juga dapat dilihat dari undang-undang pendukung keputusan
menteri kesehatan, seperti dalam UU no 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran, UU no.4
tahun 1984 tentang wabah, dimana di pembukaan undang-udang tertulis dengan jelas dengan
rahmat dari Tuhan yang maha esa, dan undang-undang pendukung lainnya.
Sila ke-2, Kemanusiaan yang adil dan beradab, peraturan ini hampir semua isinya
bernafaskan kemanusiaan yang adil dan beradab, di peraturan ini melihat orang-orang yang
terlibat di dalamnya adalah sederajat serta harus menunjung tinggi keadilan dan kemanusiaan
yang adil dan beradab, baik dari tenaga medis yang merawat pasien, tenaga parademis yang
memberikan dukungan perawatan kepada pasien, pasien sendiri, maupun keluarga atau orang-
orang terdekat dari pasien, sampai kepada petugas dari kementerian kesehatan juga diharuskan
menerapkan sila ke-2 ini.
Sila ke-3, persatuan Indonesia, semua program penanggulangan TB harus sesuai dengan
pedoman yang diterbitkan oleh menteri kesehatan dan dilaksanakan tanpa perbedaan strata sosial
maupun ekonomi, oleh semua petugas kesehatan, semua penanangganan pasien TB sama
mencerminkan adanya persatuan dari sabang sampai merauke. Hal ini dapat dibaca baik di
bagian penetapan pada putusan butir ke-3, dan bagian penutup dari peraturan ini
“.....Pedoman sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua merupakan acuan bagi petugas
kesehatan dalam melaksanakan penanggulangan TB....”
“...Dengan tersusunnya Pedoman Penanggulangan TB ini, maka upaya penanggulangan
penyakit TB dapat dilaksanakan secara komprehensif, berkesinambungan dan sesuai standar
yang berlaku serta diharapkan para petugas kesehatan dapat memberikan pelayanan yang
bermutu kepada masyarakat....”
“.......Setiap petugas kesehatan di sarana pelayanan kesehatan dan aparatur di dinas kesehatan
provinsi, kabupaten/kota dan serta instansi lainnya yang terkait mengikuti pedoman ini secara
utuh....”
Sila ke-4, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, dalam sila ini mengandung adanya nilai – nilai bijaksana dan musyawarah mufakat,
jika dimaksukkan ke dalam peraturan menteri ini maka sangat terlihat nilai ini dalam hal
penangganan pasien mulai dari diagnosis sampai evaluasi apakah pasien sudah sembuh atau
belum, dimana dokter memberikan nasehat akan penyakitnya serta obat-obatnya dan
mendiskusikan perkembangan penyakitnya, suster yang menanyakan dan memusyawarahkan
siapa yang menjadi Pengawas Menelan Obat (PMO), sampai pada cara minum obat, serta
menginggatkan kapan pasien datang kembali.
Sila ke-5, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, keputusan menteri ini tidak
memandang siapa yang akan diobati dengan standar pengobatan ini, tetapi semua yang
mempunyai sakit yang sama maka wajib di diobati dengan obat yang sama dan standar. Begitu
juga dengan dokter yang melayani penderita tidak boleh membeda-bedakan, tetapi tetap harus
sama dalam pelayanannya terhadap semua pasien
II. Analisis politik
Tuberkulosis masih merupakan masalah yang cukup besar bagi negara ini, hal ini dapat
dijadikan sebagai suatu alat politik baik untuk menjatuhkan pemerintah ataupun untuk
mengangkat pemerintah, oleh karena itu pemerintah dalam hal ini menteri kesehatan membuat
langkah-langkah penanganan masalah Tuberkulosis ini yang harus diikuti oleh seluruh petugas
kesehatan yang berada di negeri ini. Sayangnya penangangan TB di negara ini masih
mengandung unsur politis yang cukup tinggi dikarenakan untuk pendanaan program ini masih
menggunakan dana dari negara donor, seperti GF ATM, KNCV serta lembaga donor lainnya
sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan sangat berpengaruh terhadap setiap
keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Jika negara donor mencabut dana dari program ini maka akan terjadi dampak sistemik dari
kelangsungan program ini, sehingga Indonesia sudah saatnya mencari sumber dana sendiri untuk
mendanai program TB agar dapat mendesain program yang lebih spesifik sesuai dengan tingkat
kebutuhan daerah dan tepat sasaran sesuai dengan kondisi di Indonesia.
III. Analisis ekonomi
Berdasarkan latar belakang yang dibuat di keputusan tersebut tergambar bahwa
kebanyakan penderita Tuberkulosis adalah masyarakat dengan golongan ekonomi yang rendah,
jika dilihat dari GNP saja sekitar $3830 (tahun 2009), itupun hanya estimasi rata-rata dimana
distribusi pendapatannya tentu saja pasti belum merata antar orang miskin dan orang kaya antara
penduduk kota dengan penduduk desa. Dengan banyaknya penduduk miskin menyulitkan bagi
penderita untuk mencari pengobatan yang sebenarnya sudah di gratiskan oleh pemerintah, namun
hal ini belum diketahui oleh masyarakat secara luas, selain itu juga diperkirakan sekitar 75%
pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun).Selain itu
juga penduduk yang cenderung berpindah – pindah akibat urbanisasi ke kota untuk mencari
pekerjaan atau penghidupan yang lebih baik dan layak.
Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3
sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya
sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15
tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara
sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:
• Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang sedang
berkembang.
• Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
O Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
O Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat,penemuan
kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan
pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya).
O Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar, gagal
menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)
O Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
O Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau
pergolakan masyarakat.
• Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur
kependudukan.
• Dampak pandemi HIV
Hal di atas merupakan suatu lingkaran besar yang pada akhirnya sangat sulit bagi pemerintah
memutuskan mata rantai penyebaran Tuberkulosis walaupun sudah membuat program
pemberantasan Tuberkulosis dengan cermat.
IV. Analisis Sosial Budaya
Di dalam peraturan ini sudah dipikirkan dampak sosial dari penderita penyakit ini, yaitu
masyarakat yang takut kepada penderita sehingga banyak penderita yang dikucilkan bahkan
diusir dari tempat tinggalnya di karenakan penyakit ini di katakan sebagai kutukan atupun
sebagai suatu akibat dari perbuatan jahat seseorang, sehingga sangat sulit memutuskan rantai
penyebaran penyakit ini, adanya stigma negatif terhadap penderita yang ingin dikikis dalam
peraturan ini.
Pertimbangan budaya masyarakat terutama di daerah pedesaan kurang diperhatikan dari
peraturan ini, dikarenakan masyarakat pedesaan lebih senang dan suka berobat kepada dukun
dari pada ke dokter, dokter masih dianggap barang mahal sehingga masyarakat masih senang
berobat kepada dukun, hal ini bisa dimengerti dikarenakan dari faktor kepercayaan masyarakat
kepada dukun, yang telah menemani mereka setiap hari dibandingkan dokter, apalagi di daerah
terpencil, yang hanya datang pergi sesuai dengan masa PTT yang mereka jalani, sehingga
peraturan ini tidak dapat diimplementasikan secara total dan mantap di lapangan, selain itu juga
yang belum diperhatikan adalah faktor pendidikan masyarakat, dimana sebagian besar
pendidikan masyarakat Indonesia masih banyak yang pendidikannya hanya SD bahkan ada yang
buta huruf, sehingga sebenarnya tenaga yang perlu dikedepankan untuk mengurangi
penyebarannya bahkan untuk memutuskan mata rantai penularan adalah tenaga penyuluh
kesehatan masyarakat, tenaga penyuluh ini masih di pandang sebelah mata dan belum perlu, hal
ini dikarenakan sikap dari pemerintah sendiri yang masih memandang aspek kuratif sebagai hal
yang sangat penting dibandingkan aspek promotif dan preventif, padahal jika dilihat kembali dari
sisi ekonomi, lebih murah mencegah dari pada mengobati penderita selama 6 bulan, belum lagi
dari sisi penderita yang harus kehilangan pendapatan karena harus berobat mengambil obat di
puskesmas walaupun gratis. Belum lagi jika penderita drop out, maka pengobatan akan makin
mahal dan penderita pun akan semakin tidak produktif lagi, sehingga pemerintah dan masyarakat
akan sama-sama rugi.
V. Aspek Pertahanan dan keamanan
Kesehatan adalah sesuatu yang sangat berharga di dunia ini, sehat sendiri harus dilihat
dari 2 aspek, yaitu sehat secara jasmani dan sehat secara rohani, sehingga dengan kondisi sehat,
maka seseorang dapat mempertahankan hidup dan kehidupannya di masa sekarang dan yang
akan datang, dan dapat hidup secara produktif. Hal ini diperhatikan sangat diperhatikan oleh
keputusan menteri ini terlihat dari isinya secara eksplisit yang mengatakan bahwa tuberkulosis
merupakan penyakit menular dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan
merupakan salah satu penyebab kematian. Dengan badan yang sehat maka rakyat dapat berperan
serta dalam mempertahankan keamanan negeri ini, dengan rakyat yang sehat maka akan terjadi
imbal balik bagi pemerintah, yaitu selain ikut membantu memelihara keamanan dan pertahanan
negara ini, juga akana menciptakan masayarakat yang produktif yang pada akhirnya negara juga
akan makmur karena masyarakatnya sehat.
BAB IV
Kesimpulan dan saran
Kesimpulan
Tingginya angka penyakit Tuberkulosis yang menginfeksi sekitar sepertiga dari
penduduk dunia, dan di Indonesia sendiri merupakan masalah kesehatan di karenakan
kebanyakan menyerang kelompok usia produktif (15-50 tahun), sehingga mengakibatkan
kehilangan pendapatan secara ekonomi sekitar 20-30 % per tahunnya, dan secara sosial seorang
penderita TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan
oleh masyarakat, sehingga diperlukan suatu keputusan menteri yang mengatur masalah ini, yaitu
menteri yang berwenang dalam hal ini adalah menteri kesehatan, keputusan ini berisikan tentang
pedoman penanggulangan Tuberkulosis yang harus dilakukan oleh semua petugas kesehatan
yang berada dari sabang sampai merauke, dari kota sampai ke desa, semua harus mematuhi
pedoman penanggulangan Tuberkulosis.
Namun di dalam keputusan menteri ini masih ada beberapa kekurangan yang perlu
disempurnakan supaya dapat diimplementasikan di seluruh wilayah republik Indonesia,
diantaranya :
Dari analisis secara politik
Keputusan menteri ini masih mengandung unsur politis yang sangat berpengaruh
terhadap jalannya penanggulangan TB baik di pusat maupun di daerah karena sangat tergatung
secara dana kepada pihak luar negeri, terutama donor untuk melaksanakan program ini, dan
sangat rapuh jika dilihat dari segi pendanaan jika donor mencabut dana dari program ini, maka
seluruh program akan kolaps dan akan berdampak sistemik terhadap kesehatan seluruh warga
negara di negeri ini, sehingga bisa saja nanti negri ini menjadi negeri “zombi”, yaitu negeri yang
penuh dengan penderita TB.
Dari analisis secara ekonomi
TB masih merupakan penyakit kronis yang masih sulit dilepaskan dari bangsa ini karena
ekonomi bangsa ini yang masih rendah, dimana mereka yang berada di strata yang paling bawah
merupakan penyumbang angka kesakitan yang besar, dikarenakan mereka merupakan kelompok
yang miskin secara stara ekonomi, secara pendidikan mereka juga berada di paling bawah, dan
jika dilihat dari asupan gizi juga paling jelek sehingga hal ini semua membuat lingkaran setan
yang tidak akan diputuskan hanya dengan satu program dari kementrian kesehatan saja,
sedangkan bagi mereka yang berada di lapisan menengah dan atas dapat mencari pengobatan
dengan dana dari mereka sendiri.
Dari analisis sosial budaya
Keputusan menteri ini belum melihat Indonesia secara keseluruhan karena implementasi
kebijakan ini sulit dilaksanakan di daerah, terutama daerah terpencil dan sangat terpencil yang
masih sulit mendapatkan kehadiran seorang petugas kesehatan, seperti dokter, selain itu
masyarakat di daerah terpencil lebih suka berobat ke dukun daripada ke dokter, dokter masih
dianggap “barang mahal”.
Keputusan ini juga belum melihat fungsi dari seorang penyuluh kesehatan sebagai key
point, untuk memutuskan rantai penularan, beban untuk memutuskan rantai penularan baru
sampai ke beban seorang dokter, masih merupakan “favorit” bagi pemerintah untuk mengobati
daripada mencari secara aktif dan memutuskan rantai penularan di masyarakat.
Dari Analisis pertahanan dan keamanan
Dengan tingginya angka TB, Indonesia berada di urutan ke-3, setelah India dan Cina,
maka TB masih merupakan ancaman serius untuk aspek pertahanan dan keamanan, mana bisa
seorang warganya yang sedang sakit membela negaranya jika menghadapi serangan musuh dari
negara lain, selain itu juga jika dilihat dari produktifitasnya seorang penderita sudah rendah
sehingga tidak dapat menghasilkan sesuatu baik untuk dirinya, keluarganya apalagi untuk
bangsanya.
Dari berbagai kekurangan di atas tentunya peraturan ini ada hal yang baik, seperti sudah
menerapkan secara ideologi keputusan ini melihat semua masyarakatnya adalah sama tanpa ada
perbedaan stara, pengobatan yang sama dan seragam, mencerminkan negara ini sudah
mengusahakan yang terbaik bagi seluruh rakyatnya.
Saran
1.Perlu adanya perbaikan dari peraturan ini, dengan mencari dana sendiri untuk mendanai
program TB agar dapat terhindar dari aroma politis dalam penangganan pasien TB.
2. Perlu adanya suatu program yang komperhensif yang melibatkan lintas kementrian,
dikarenakan TB bukan hanya milik “ekslusif” dari kementrian kesehatan, hal ini perlu disadari
oleh pemerintah.
3. Pemerintah dalam hal ini kementrian kesehatan sudah saatnya menciptakan tenaga penyuluh
lapangan yang banyak dan berkualitas, jangan hanya menaruh semua masalah berada di pundak
seorang dokter, yang harus melayani begitu banyak pasien dalam sehari.
Daftar Pustaka
1. Keputusan Menteri kesehatan No. 364 tahun 2009, tentang pedoman penanggulangan
Tuberkulosis
2. Depkes RI 2008, Pedoman Pasional Penanggulangan Tuberkulosis, Depkes RI, ed.ke-2:2008.
3. UU No.4 tahun 1984, tentang wabah penyakit menular
4. UU No.23 tahun 1992, tentang kesehatan
5. UU No. 29 tahun 2004, tentang praktek kedokteran
6. UU No. 32 tahun 2004, tentang pemerintah daerah