analisis keki

35
TUGAS EVALUASI PENENTUAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS (KEK) DI JAWA TENGAH - DIY DOSEN: PROF. DR. MUDRAJAD KUNCORO, M.Soc.Sc. OLEH: ABDUL AZIZ AHMAD S3 – 1967 UNIVERSITAS GAJAH MADA YOGYAKARTA 2007

Upload: edi-sutriyono-edi

Post on 14-Jun-2015

373 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis keki

TUGAS

EVALUASI PENENTUAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS (KEK) DI JAWA TENGAH - DIY

DOSEN:

PROF. DR. MUDRAJAD KUNCORO, M.Soc.Sc.

OLEH:

ABDUL AZIZ AHMAD

S3 – 1967

UNIVERSITAS GAJAH MADA

YOGYAKARTA

2007

Page 2: Analisis keki

1

DAFTAR ISI

JUDUL

DAFTAR ISI ABSTRACT.................................................................................................................................. 1 PENDAHULUAN......................................................................................................................... 1 METODOLOGI ............................................................................................................................ 3

A. Aglomerasi dan Pusat pertumbuhan.................................................................................... 3

B. Metode Analisis.................................................................................................................. 4

1. Tipologi Daerah ............................................................................................................. 5

2. Analisis Location Quotients (LQ).................................................................................. 5

3. Analisis Spesialisasi Regional ....................................................................................... 8

4. Analisis Konvergensi ..................................................................................................... 8

5. Analisis Perbedaan Kinerja Kawasan Andalan dan Kawasan Bukan Andalan ............. 9

HASIL ANALISIS........................................................................................................................ 10

A. Lokasi Wilayah KEKI Jawa Tengah dan Tipologi Daerah................................................. 10

B. Sektor Unggulan Kabupaten/Kota....................................................................................... 14

C. Analisis Spesialisasi Regional............................................................................................. 18

D. Analisis Konvergensi Wilayah............................................................................................ 20

E. Analisis Logistik.................................................................................................................. 21

KESIMPULAN............................................................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 25

LAMPIRAN

Page 3: Analisis keki

1

EVALUASI PENENTUAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS (KEK) DI JAWA TENGAH – DIY

Abdul Aziz Ahmad

ABSTRACT

This research evaluates determination of Special Economic Region or Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) in Central Java – Yogyakarta Province. In these provinces, the per capita income shows convergence in 2000 to 2004. Despite the convergence value is categorically low, it is adequate to shows that economic development in each regency and town in Central Java – Yogyakarta run in proper way. It is so that the poor regencies/towns are growing faster than the richer regencies/towns. It implies the right determination of KEK will stimulate each periphery areas, especially poor regions, to increase their economic performance faster. On regional typology aspect, counted by economic growth and per capita income, determination of KEK by Central Java Governor tends not to base by the factors. It is proofed by Demak, Rembang and Blora Regency which enacted to be special economic region even these regencies left behind other regions relatively. Nevertheless, Kendal Regency that planned to be basis of Central Java KEK has superiority and keeps the potency in industrial sectors. But in regional typology, this area is classified by advanced but suppressed region; high per capita income but low economic growth. Alternatively, Joglosemar triangle area has interesting note. The three towns: Yogyakarta, Surakarta and Semarang Town, the typology area is advance and grow faster. These areas also have better infrastructure than other regencies/towns. The development in Joglosemar corridor will have positive agglomeration effect to contiguous areas. Last, logistic model shows that the determination of Central Java KEK that enacted by province governor tends not to consider economic growth, per capita income and specialization index factors. It is proofed by these factor are not significant to evaluate the proper of special and non special economic region. Alternatively, if the factors is used to be an economic base to predict special economic area, Joglosemar and the regions that have the typology classified by advance and grow faster will be a better choice. Keyworlds, KEK, regional typology, logistic model

PENDAHULUAN

Satu program khusus untuk mendorong investasi yang diluncurkan pada awal tahun 2006

adalah upaya untuk mengembangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kawasan ini, selain

ditujukan untuk mendorong pertumbuhan wilayah, juga diharapkan dapat menarik penanaman modal

ke wilayah-wilayah itu. Dengan adanya Kawasan Ekonomi Khusus, diharapkan akan membuka

lapangan kerja baru bagi masyarakat di sekitarnya. Komitmen daerah untuk memangkas

birokrasinya, menghilangkan pungutan-pungutan yang membebani kegiatan usaha, menyediakan dan

mengamankan lahan yang sesuai serta dukungan penuh dari Pemerintah Daerah, merupakan kunci

keberhasilan Kawasan Ekonomi Khusus (Yudhoyono, 2006). Lebih lanjut, pembentukan KEKI

diharapkan akan mampu menyerap tenaga kerja langsung maupun tidak langsung, peningkatan

penerimaan devisa, meningkatkan keunggulan kompetitif produk ekspor, meningkatkan pemanfaatan

Page 4: Analisis keki

2

sumber daya lokal, pelayanan dan kapital bagi peningkatan ekspor. KEKI diharapkan akan mampu

mendorong peningkatan kualitas SDM di kawasan tersebut.

Sebagai upaya peningkatan investasi, ekspor dan percepatan pembangunan infrastruktur,

pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 3/2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi

dan SK Menko Perekonomian No. KEP-08/M.EKON/02/2006 (17 Februari 2006) tentang Paket

Kebijakan Infrastruktur. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi global, Indonesia perlu

memfokuskan peningkatan ekspor dan investasinya pada beberapa kawasan khusus. Kawasan khusus

inilah yang akan dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI).

KEKI bukanlah konsep baru yang berlaku di Indonesia. KEKI merupakan kelanjutan

kebijakan program KAPET. Dulu sejumlah daerah masuk dalam KAPET. KAPET rata-rata berlokasi

di Kawasan Timur Indonesia yang Infrastrukturnya masih minim dan pemerintah belum mampu

mengembangkan infrastrukturnya, sehingga kesulitan mendapatkan investasi. Dengan KEKI yang

direkomendasikan, program diperkirakan lebih baik dari pada KAPET dan mampu berjalan karena

infrastruktur pendukungnya lebih siap. keberadaan KEKI diharapkan mendorong kegiatan ekspor,

meningkatkan investasi serta dapat menjadi pendorong pertumbuhan daerah sekitarnya (Anonim,

DPU, 2006).

Sebagai tahap awal, KEK ini secara khusus diperuntukkan bagi pengembangan investasi di

Pulau Batam, Bintan dan Karimun (BBK). Dari KEK BBK tersebut, pemerintah menyatakan jika

model pengembangan ini berhasil, maka dapat dikembangkan KEK di provinsi lain yang memenuhi

persyaratan. Pembentukan KEK ini akan berbentuk kerja sama yang erat antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah serta partisipasi dunia usaha. KEK ini diharapkan akan merupakan simpul-simpul

dari pusat kegiatan ekonomi unggulan, yang didukung baik fasilitas pelayanan prima maupun

kapasitas prasarana yang berdaya saing internasional. Setiap pelaku usaha yang berlokasi di

dalamnya, akan memperoleh pelayanan dan fasilitas yang mutunya dapat bersaing dengan praktek-

praktek terbaik dari kawasan sejenis di Asia-Pasifik. Namun, pemerintah pusat menyatakan,

keberhasilan KEK pada akhirnya akan ditentukan oleh daerah itu sendiri dalam memangkas

birokrasi, memberi pelayanan prima, menjamin ketersediaan lahan dan menjamin kepastian hukum

(Anonim, 2006)

Direktorat Jenderal Penataan Ruang mengusulkan pembentukan 12 Kawasan Ekonomi

Khusus. Ditjen Penataan Ruang yang dalam hal ini berperan sebagai Anggota Tim Pelaksana dalam

susunan Timnas KEKI yang dibentuk melalui SK Menko Perekonomian No. KEP-21/

M.EKON/03/2006 (24 Maret 2006) telah mengajukan kandidat KEKI untuk dikaji (Anonim, DPU,

2006).

Disamping 12 Kawasan Ekonomi Khusus sebagai bahan kajian dari Ditjen Penataan Ruang,

terdapat berbagai usulan pendirian KEK untuk wilayah atau provinsi lain dari pihak pemerintah

daerah. Salah satunya adalah upaya pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang membahas penentuan

Page 5: Analisis keki

3

Kawasan Ekonomi Khusus. Pemerintah Provinsi ini mengusulkan dua wilayah yang potensial

menjadi kawasan ekonomi khusus. Pertama, Semarang-Kendal-Demak-Ungaran (Kabupaten

Semarang) dan kedua, Rembang-Blora. Pada akhirnya, keputusan penentuan KEKI di Jawa Tengah

mengerucut untuk usulan pertama saja dengan fokus pada wilayah Kendal. Titik berat pengembangan

di kawasan ini adalah pengembangan sektor industri. Beberapa pertimbangan dari pemerintah daerah

terkait dengan penetapan Kendal sebagai prioritas KEKI Jawa Tengah antara lain: KEKI di Kendal

akan menyerap tenaga kerja yang signifikan (Koran SINDO, 2007), terdapat beberapa investor yang

sudah dipastikan menanamkan modal di KEKI Kendal (Kompas, 2007) dan daerah Kendal adalah

daerah yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai KEK bagi industri otomotif, karena

tenaga kerja yang memadai dan infrastrukturnya mudah dibangun, serta lokasinya masih dalam

jangkauan industri komponen otomotif (Antara News, 2007)

Terkait dengan upaya pengembangan kawasan ekonomi, khususnya di Jawa Tengah, topik

mengenai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Jawa Tengah menarik untuk dikaji. Meskipun terdapat

dorongan kuat dari pemerintah daerah, baik kabupaten maupun propinsi, untuk menentukan beberapa

daerah sebagai KEK, pemerintah pusat cenderung untuk tidak menerima pengajuan KEK dari

Propinsi Jawa Tengah. Hal ini terlihat pernyataan Sekretariat Wapres yang justru mengajukan usulan

agar lahan yang akan dikembangkan KEK di Jawa Tengah dibangun free trade zone terlebih dulu.

Alasannya, payung hukum yang mengatur keberadaan KEK belum siap (Kadin Jateng, 2007).

Meskipun demikian, upaya untuk mewujudkannya terlaksananya KEKI terus diupayakan oleh

BAPPEDA Jawa Tengah. Bappeda berupaya mengevaluasi peruntukan zona-zona di sekitar calon

lahan KEK. Pihak BAPPEDA menyatakan jika payung hukum berupa regulasi sudah keluar, maka

tinggal dilakukan penetapan Kendal sebagai salah satu KEK di Indonesia.

Dari uraian di atas, penelitian ini berusaha untuk melakukan evaluasi ketepatan penentuan

daerah KEKI Jawa Tengah. Dengan posisi relatifnya yang sulit untuk dipisahkan dari daerah lain

(khususnya Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), maka untuk melihat perekonomian daerah-

daerah di Jawa Tengah perlu pula melihat komparasi dengan daerah-daerah di DIY. Karena itu,

penelitian ini membatasi lingkup wilayah penelitian hanya pada wilayah Jawa bagian Tengah, yang

meliputi Propinsi Jawa Tengah dan DIY.

METODOLOGI

A. Aglomerasi dan Pusat Pertumbuhan

Aglomerasi merujuk pada clustering perusahaan-perusahaan di lokasi tertentu di suatu

daerah perkotaan. Dampak dari kluster ekonomi adalah memunculkan kesempatan kerja baru di

daerah itu. Maoh dan Kanaroglou (2004) menyatakan bahwa klaster merupakan upaya vital dari

suatu daerah untuk menstimulasi pertumbuhan di area perkotaan. Manfaat dari ekonomi aglomerasi

dan peran dari pertumbuhan perkotaan pertama kali diperkenalkan oleh teori Marshall. Ia

Page 6: Analisis keki

4

memberikan argumentasi bahwa kegiatan ekonomi eksternal seperti pooling pasar tenaga kerja, input

sharing dan technological spillover yang mendorong level produktivitas suatu kota akan mendorong

pertumbuhan ekonomi. Maoh dan kanaroglou (2004) menunjukkan terdapat bukti-bukti empiris dari

Glaeser (1992), Hanson (1996) yang telah mendukung teori Marshal tersebut.

Dorongan ekonomi yang tercipta jika perusahaan-perusahaan membentuk cluster di suatu

ruang wilayah, yang juga dikenal dengan ekonomi aglomerasi, merupakan syarat bertahannya dan

kesuksesan dari suatu perusahaan. Maoh mencatat alasan dari hal ini antara lain adalah adanya faktor

keanekaragaman spasial, skala ekonomi internal, skala ekonomi eksternal dan persaingan tak

sempurna.

Aglomerasi suatu daerah juga menunjukkan hubungan sentripetal dan sentrifugal yang

bergerak secara simultan. Hal ini dinyatakan oleh Krugman yang mempelopori pendekatan New

Economic Geography (NEG). Pendekatan ini menjelaskan tensi struktur geografi ekonomi

dipengaruhi oleh kekuatan dari dua faktor yang berlawanan tersebut. Pendekatan NEG tidak hanya

berfokus pada konsentrasi industri tertentu di suatu daerah, tetapi juga meliputi pendekatan pada

struktur vertikal produksi yang juga akan memungkinkan meningkatkan atau menurunkan

konsentrasi industri (Dahl, 2001).

Pentingnya aglomerasi terkait pula dengan meningkatnya pangsa penjualan yang dihasilkan

oleh perusahaan-perusahaan di suatu wilayah terhadap wilayah lainnya. Aglomerasi juga akan

memberikan keterkaitan penting antara daerah pusat (core) dengan daerah sekitar. Jika ukuran

perusahaan di wilayah core meningkat maka permintaan input faktor akan meningkat (Ottaviano dan

Puga, 1997). Terutama jika input tersebut dapat disediakan oleh daerah pusat atau daerah sekitar.

Salah satu faktor pendorongnya adalah biaya transportasi yang lebih rendah jika input diperoleh dari

wilayah yang relatif lebih dekat dengan pusat industri.

Pembentukan kawasan ekonomi khusus di Jawa Tengah – DIY pada penelitian ini dilihat

sebagai proses pembentukan aglomerasi di wilayah tertentu. KEK di wilayah ini merupakan

perencanaan kebijakan untuk menentukan suatu daerah menjadi pusat ekonomi dengan fokus pada

sektor industri. Dampak adanya KEK ini bukan hanya akan memberikan manfaat positif bagi

perkembangan ekonomi daerah utama (KEK), tetapi juga akan memberikan stimulasi positif

meningkatnya aktivitas ekonomi daerah sekitar KEK. Daerah koridor KEK ini terutama

diproyeksikan sebagai daerah penyangga untuk menyediakan input bagi daerah kawasan khusus.

B. Metode Analisis

Penelitian ini mengkaji potensi ekonomi kabupaten/kota di wilayah yang ditetapkan sebagai

kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di wilayah Jawa bagian tengah, yang meliputi Propinsi Jawa

Tengah (Jateng) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan menentukan sektor-sektor basis

(unggulan). Menurut Kuncoro (2004) penentuan basis ekonomi merupakan salah satu tugas yang

Page 7: Analisis keki

5

perlu dilakukan pada tahap pertama dalam proses perencanaan pembangunan ekonomi daerah. Selain

penentuan sektor ekonomi basis, perlu pula digambarkan kondisi tipologi di wilayah tersebut,

penggunaan analisis spesialisasi regional untuk mengetahui tingkat spesialisasi antar daerah dan

melihat ketepatan penentuan kawasan andalan berdasar faktor-faktor ekonomi yang ada.

1. Tipologi Daerah

Tipologi Daerah menunjukkan gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi di

setiap daerah. Tipologi utama pada penelitian ini membagi daerah berdasarkan dua indikator utama;

pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah. Axis ditentukan sebagai berikut:

sumbu vertikal menunjukkan rata-rata pertumbuhan ekonomi, sumbu horizontal menunjukkan

pendapatan per kapita daerah. Daerah yang diamati dibagi menjadi empat klasifikasi (tabel 1)

berikut: daerah cepat maju dan tumbuh (pertumbuhan ekonomi tinggi dan pendapatan per kapita

tinggi), daerah maju tapi tertekan (pendapatan tinggi tapi pertumbuhan rendah), daerah berkembang

cepat (pertumbuhan tinggi tapi pendapatan rendah) dan relatif tertinggal (pertumbuhan dan

pendapatan rendah) (Kuncoro, 2004).

Tabel 1. Tipologi Daerah Berdasarkan Pertumbuhan Ekonomi

dan Pendapatan Per Kapita

PDRB per kapita (yi < y) (yi > y)

(ri > r) Pendapatan per kapita

rendah dan pertumbuhan ekonomi tinggi

Pendapatan per kapita tinggi dan pertumbuhan

ekonomi tinggi Pertumbuhan Ekonomi

(ri < r) Pendapatan per kapita

rendah dan pertumbuhan ekonomi rendah

Pendapatan per kapita tinggi dan pertumbuhan

ekonomi rendah Sumber: Kuncoro (2004)

2. Analisis Location Quotients (LQ)

Untuk mengidentifikasi subsektor-subsektor unggulan atau ekonomi basis dari wilayah

Kabupaten/Kota di Propinsi Jateng dan DIY akan digunakan alat analisis Location Quotients.

Subsektor ungulan yang berkembang dengan baik tentunya akan memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan daerah

secara optimal (Kuncoro, 2004).

Formula yang digunakan untuk analisis Location Quotient (SLQ) adalah sebagai berikut

(Wagner, 2000);

Page 8: Analisis keki

6

ee

ee

LQs

isi

=

Dimana;

es i = nilai produksi subsektor s pada daerah kabupaten/kota

ei = total PDRB kabupaten/kota

es = nilai produksi sektor s pada Propinsi Jateng/DIY

e = total PDRB Provinsi Jateng/DIY

Kriteria hasil penilaian yang diterapkan adalah sebagai berikut (Kuncoro, 2004):

1. LQ > 1, berarti tingkat spesialisasi sub sektor tertentu pada tingkat daerah kabupaten/kota

lebih besar dari sektor yang sama pada tingkat propinsi

2. LQ < 1, berarti tingkat spesialisasi sub sektor tertentu pada tingkat daerah kabupaten/kota

lebih kecil dari sektor yang sama pada tingkat propinsi

3. LQ > 1, berarti tingkat spesialisasi sub sektor tertentu pada tingkat daerah kabupaten/kota

sama dengan sektor yang sama pada tingkat propinsi

Jika suatu subsektor ekonomi memiliki nilai LQ > 1 dapat dikatakan bahwa subsektor

tersebut merupakan subsektor ungulan dari daerah kota/kabupaten. Sebaliknya jika LQ < 1, subsektor

tersebut bukan merupakan subsektor ungulan.

Formula LQ tersebut bersifat statis atau Static Location Quotients (SLQ) karena hanya

melihat satu periode atau titik waktu saja. Model ini lemah karena tidak mampu melihat perubahan

spesialisasi secara periodik. Model tidak dapat melihat apakah suatu sektor yang unggul pada tahun

ini masih tetap menjadi sektor unggulan pada tahun yang akan datang. Demikian pula, model tidak

mengakomodasi jika sektor yang belum unggul pada saat ini akan menjadi sektor unggulan di masa

yang akan datang. Pada analisis ini, nilai SLQ yang dipergunakan adalah rata-rata SLQ dari setiap

SLQ yang dihasilkan pada setiap periode tahun penelitian.

Untuk lebih mempertajam hasil analisis LQ, analisis yang ditambahkan adalah penggunaan

model Dinamic Location Quotient (DLQ). Model DLQ lebih baik dari model SLQ karena mampu

melihat perubahan LQ antar dua rentang periode waktu. Adapun formula yang digunakan untuk

analisis Dynamic Location Quotient (DLQ) adalah sebagai berikut (Kuncoro, 2005):

DLQij= t

i

jij

GGgg

⎥⎦

⎤⎢⎣

++

++

)(/)(

)(/)(

1111

= i

ij

IPPSIPPS

dimana:

DLQij = Indeks potensi sektor i di kabupaten/kota j

gij = Laju pertumbuhan nilai tambah sektor i di kabupaten/kota j

gj = Rata-rata laju pertumbuhan PDRB kabupaten/kota j

Page 9: Analisis keki

7

Gi = Laju pertumbuhan nilai tambah sektor i di regional Jateng + DIY

G = Rata-rata laju pertumbuhan PBRB regional Jateng + DIY.

t = Selisih tahun akhir dan tahun awal

IPPSij = Indeks Potensi Perkembangan sektor i di kabupaten/kota

IPPSi = Indeks Potensi Perkembangan sektor i di regional Jateng + DIY

Adapun rumus untuk menentukan laju pertumbuhan sektor ekonomi (Yuwono, 2000: 135)

adalah sebagai berikut:

gij = ⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

0ij

ijt

EE t/1

- 1

dimana:

gij = laju pertumbuhan nilai tambah sektor i di kabupaten/kota j

Eijt = adalah nilai tambah sektor i di kabupaten/kota j pada tahun akhir pengamatan

Eij0 = adalah nilai tambah sektor i di kabupaten/kota j pada tahun awal pengamatan

t = adalah selisih tahun akhir dan tahun awal pengamatan.

Untuk menentukan g j , Gi dan G dapat digunakan rumus yang sama dengan rumus di atas.

Perbedaannya, untuk mencari gj, data yang digunakan adalah PDRB kabupaten/kota; untuk mencari

Gi, data yang digunakan adalah nilai tambah sektor i di regional Jateng + DIY, sedangkan untuk

mencari G, data yang digunakan adalah PDRB regional Jateng + DIY. Interpretasi nilai DLQij adalah

jika DLQij > 1 berarti potensi perkembangan sektor i kabupaten/kota j lebih cepat dibandingkan

dengan potensi perkembangan sektor i di propinsi regional Jateng + DIY (sektor i tersebut

berpotensi unggulan di kabupaten/kota j).

Jika DLQij = 1, berarti potensi perkembangan sektor i di kabupaten/kota j sebanding dengan

potensi perkembangan sektor i di regional Jateng + DIY.

Jika DLQij < 1 berarti potensi perkembangan sektor i di kabupaten/kota j lebih rendah

dibandingkan dengan potensi perkembangan sektor i di regional Jateng + DIY (sektor i

tersebut tidak berpotensi unggulan ).

Perolehan nilai SLQ dan DLQ dapat dibuat komparasi dalam tabel potensi sektor-sektor

ekonomi untuk setiap kabupaten/kota sebagaimana pada tabel 2, dimana;

Kuadran (A) : sektor bukan unggulan yang tidak berpotensi unggulan

Kuadran (B) : sektor bukan unggulan tetapi berpotensi unggulan

Kuadran (C) : sektor unggulan yang tidak berpotensi unggulan

Kuadran (D) : sektor unggulan yang berpotensi unggulan

Page 10: Analisis keki

8

Tabel 2. Klasifikasi Sektoral atas Dasar Analisis Komparatif

DLQ Kriteria DLQi < 1 DLQi > 1 SLQi < 1 A B SLQ SLQi > 1 C D

Sumber: Kuncoro 2005, setelah dilakukan pivot pada tabel

3. Analisis Spesialisasi Regional

Penggunaan alat analisis indeks spesialisasi regional adalah untuk mengetahui tingkat

spesialisasi antar daerah di Propinsi Jateng/DIY dengan menggunakan Indeks Krugman. Perumusan

Indeks Krugman adalah sebagai berikut (Kuncoro, 2004):

k

ik

j

ijn

ijk E

EEE

SI −= ∑=1

Dimana:

SIjk = Indeks Spesialisasi kabupaten j dan k

Eij = PDRB sektor i pada Kabupaten j

Ej = PDRB total kabupaten j

Eik = PDRB sektor i pada Kabupaten k

Ek = PDRB total kabupaten k

Kriteria pengukuran dari indeks spesialisasi Krugman adalah jika indeks spesialisasi regional

mendekati nol maka kedua daerah j dan k tidak memiliki spesialisasi, dan jika indeks spesialisasi

regional mendekati dua maka kedua daerah j dan k memiliki spesialisasi. Batas tengah antara angka

nol dan dua adalah nilai satu. Maka, jika nilai indeks spesialisasi lebih besar dari satu maka dapat

dianggap sektor tersebut memiliki tingkat spesialisasi yang tinggi. Untuk melihat tinggi rendahnya

tingkat spesialisasi suatu daerah terhadap daerah lainnya dipergunakan nilai rata-rata indeks

spesialisasi seluruh daerah sebagai pembanding.

4. Analisis Konvergensi

Untuk melihat percepatan pertumbuhan ekonomi daerah-daerah diperlukan analisis

konvergensi. Pada penelitian ini, konvergensi yang dimaksudkan adalah percepatan pertumbuhan

pendapatan per kapita daerah-daerah kabupaten dan kota di Jawa Tengah – DIY.

Capolupo (1998) membuat persamaan regresi yang didasarkan pada model regresi neoklasik

untuk mengukur tingkat konvergensi atau divergensi pada periode t0 sampai t0+T sebagai berikut:

titiTti

T

tiTti XyLnTeyyLn

T ,,,,, )()/( μγαβ

++⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ −−= +

+ 00011

Page 11: Analisis keki

9

Dimana tingkat pertumbuhan pendapatan rata-rata adalah fungsi dari pendapatan tahun awal. Vektor

X adalah variabel kondisional yang dapat terdiri dari rasio investasi, pertumbuhan penduduk, tingkat

pendidikan, variabel moneter dan fiskal ataupun variabel kondisional lainnya. Sedangkan vektor μ i,T

merupakan faktor gangguan acak.

Estimasi β yang bernilai negatif menunjukkan jika perekonomian bermula dari kondisi di

bawah tingkat steady state, maka perekonomian tersebut akan cenderung maju lebih cepat daripada

perekonomian yang dekat dengan kondisi steady state dan akan menghasilkan konvergensi

pendapatan per kapita. Semakin besar nilai β (negatif) maka akan semakin cepat konvergensinya

(Hu, 2004).

Karena penelitian ini semata-mata melihat besaran konvergensi atau divergensi dan tidak

untuk melihat kontrol desain untuk mengukur perbedaan preferensi dan teknologi pada kondisi

steady state, variabel kondisional X tidak dipergunakan. Maka, penelitian ini menggunakan model

konvergensi standar Barro (Togo, 2001):

tiTti

T

tiTti yLnTeyyLn

T ,,,, )()/( μαβ

+⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ −−= +

+ 00011

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ −−

Te Tβ1 merupakan besaran parameter hasil regresi b. Jika nilai parameter b dapat

diketahui, maka nilai konvergensi β akan dapat diketahui. Dengan kata lain, ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ −−=

Teb

Tβ1

5. Analisis Perbedaan Kinerja Kawasan Andalan dan Kawasan Bukan Andalan

Penelitian ini menerapkan model logistik regression sebagaimana dilakukan oleh Kuncoro

(2004) untuk melihat perbedaan kinerja perekonomian di kawasan andalan dan kawasan bukan

andalan. Pada penelitian ini, model logistik dipergunakan untuk menguantifikasi hubungan antara

probabilitas dua pilihan dengan beberapa karakteristik yang berbeda, yaitu probabilitas satu sebagai

kawasan andalan dan nol sebagai kawasan bukan andalan. Dengan penggunaan model ini, hasil dari

suatu kawasan dikategorikan sebagai kawasan unggulan (khusus) apakah sudah tepat atau tidak dapat

diketahui. Data yang dipergunakan akan menggunakan data panel yang meliputi 40 daerah

kabupaten/kota dengan periode waktu 5 tahun (2000 – 2004).

Analisis model logistik dilakukan dengan menggunakan persamaan (Kuncoro, 2004):

Prob [Y=0] = 1 / [ 1 + exp (b0 + b1 IS + b2 PERTUM + b3 PERKAP) ]

Dimana:

Y = Dummy variabel

1 = Kawasan andalan

Page 12: Analisis keki

10

0 = kawasan bukan andalan

IS = Spesialisasi Daerah

PERTUM = Pertumbuhan PDRB

PERKAP = PDRB per Kapita

Kawasan andalan dalam analisis ini dibagi menjadi empat kategori (skenario). Dua kategori

adalah kawasan yang telah ditentukan sebagai kawasan ekonomi khusus oleh pemerintah daerah dan

dua kawasan yang menjadi alternatif pembentukan kawasan ekonomi andalan, yaitu:

Kategori 1 : Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) 1 dan 2;

Demak, Semarang, Kendal, Kota Semarang, Rembang, Blora

Kategori 2 : Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) 1;

Demak, Semarang, Kendal, Kota Semarang

Kategori 3 : Pusat Pertumbuhan Joglosemar;

Kota Yogyakarta, Kota Surakarta, Kota Semarang

Kategori 3: Daerah yang berdasarkan hasil analisis tipologi daerah diidentifikasikan sebagai

daerah cepat maju dan cepat tumbuh

HASIL ANALISIS

A. Lokasi Wilayah KEKI Jawa Tengah dan Tipologi Daerah

Pemerintah Propinsi Jawa Tengah telah mengusulkan dua kawasan Ekonomi Khusus (KEK),

yaitu

1. KEK 1: Semarang – Kendal – Demak – Ungaran (Kabupaten Semarang)

2. KEK 2: Rembang – Blora

Dua KEK tersebut terletak di wilayah utara pulau Jawa bagian tengah. Posisi Relatif dari dua daerah

KEKI Jateng dapat digambarkan pada Gambar 1. KEKI 1 berada di wilayah Kota Semarang dan

Sekitarnya dan KEK 2 bagian timur laut Jawa Tengah (area lebih gelap).

Selain penentuan dua KEK tersebut, perlu pula dilihat pentingnya bentuk kerja sama lain,

yaitu daerah pusat pertumbuhan Joglosemar. Kawasan JOGLOSEMAR merupakan daerah-daerah

pusat pertumbuhan utama di Jawa Tengah dan DIY. Daerah ini meliputi Kota Yogyakarta, Kota

Semarang dan Kota Surakarta (Solo). Pada gambar 1, koridor Joglosemar terhubung oleh garis tebal.

Peningkatan aglomerasi di koridor JOGLOSEMAR ini bersifat strategis karena akan meningkatkan

pertumbuhan ekonomi kawasan kabupaten sekitarnya.

Page 13: Analisis keki

11

Gambar 1. Kawasan KEKI dan Koridor Joglosemar di Jawa Bagian Tengah

Kawasan yang diperkirakan akan memperoleh imbas utama manfaat aglomerasi terutama

daerah yang terlintas jalur koridor Joglosemar, antara lain: Kabupaten Magelang, Kota Magelang,

Sleman, Klaten, Boyolali, Kota Salatiga dan kabupaten Semarang dan daerah sekitar koridor yaitu;

Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar dan Kendal.

Untuk melihat kondisi perekonomian di wilayah Jawa Tengah DIY perlu dilihat tipologi

masing-masing daerah. Analisis tipologi daerah pada penelitian ini untuk menunjukkan sebaran nilai

pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Tabel 3 menunjukkan daftar pendapatan perkapita

serta pertumbuhan ekonomi di lingkup wilayah Jateng DIY.

Pada tabel 3 tersebut, rata-rata pendapatan per kapita kabupaten/kota Jateng DIY sebesar

Rp3.788.330,73 dan rata-rata pertumbuhan ekonominya sebesar 3,72%. Daerah dengan pertumbuhan

ekonomi tertinggi adalah Kota Tegal (6,79%) sementara daerah dengan pendapatan per kapita

tertinggi adalah Kota Semarang (Rp11.390.236,85).

Jika antara pendapatan per kapita dengan pertumbuhan ekonomi dikaitkan, tipologi daerah

akan diperoleh dengan membagi tipologi tersebut berdasar 4 kuadran (Grafik 1);

Kuadran 1: Daerah dengan pendapatan per kapita tinggi, pertumbuhan ekonomi tinggi

Kuadran 2: Daerah dengan pendapatan per kapita rendah, pertumbuhan ekonomi tinggi

Kuadran 3: Daerah dengan pendapatan per kapita rendah, pertumbuhan ekonomi rendah

Kuadran 4: Daerah dengan pendapatan per kapita tinggi, pertumbuhan ekonomi rendah

U

Page 14: Analisis keki

12

Tabel 3. Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Per kapita Kabupaten/Kota di Jateng DIY tahun 2000 - 2004

No Kab/Kota Singkatan Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Perkapita

1 Cilacap Clc 5,51% Rp6.338.886,94 2 Banyumas Bms 3,70% Rp1.864.566,26 3 Purbalingga Pbg 3,48% Rp1.820.520,86 4 Banjarnegara Bjn 1,72% Rp2.400.768,63 5 Kebumen Kbm 2,80% Rp1.724.930,54 6 Purworejo Prj 3,64% Rp2.657.538,66 7 Wonosobo Wns 2,33% Rp1.879.439,20 8 Magelang Mgl 3,89% Rp2.569.232,47 9 Boyolali Byl 3,50% Rp3.301.313,08

10 Klaten Klt 4,29% Rp2.695.421,15 11 Sukoharjo Skh 3,82% Rp3.808.952,89 12 Wonogiri Wng 2,67% Rp2.048.961,16 13 Karanganyar Kra 4,11% Rp4.205.737,29 14 Sragen Sra 3,40% Rp2.415.290,66 15 Grobogan Grb 4,09% Rp1.516.826,67 16 Blora Blr 3,38% Rp2.080.844,66 17 Rembang Rmb 4,24% Rp2.574.707,26 18 Pati Pat 2,71% Rp2.644.342,12 19 Kudus Kds 2,65% Rp11.173.157,72 20 Jepara Jpr 3,87% Rp2.966.284,13 21 Demak Dmk 3,12% Rp2.397.660,75 22 Semarang Smg 3,23% Rp4.255.158,96 23 Temanggung Tmg 3,77% Rp2.864.189,98 24 Kendal Knd 2,96% Rp4.371.481,74 25 Batang Btg 2,06% Rp2.707.416,73 26 Pekalongan Pkl 2,93% Rp2.874.242,13 27 Pemalang Pml 3,52% Rp2.031.906,88 28 Tegal Tgl 4,94% Rp1.725.315,50 29 Brebes Brb 5,12% Rp2.198.020,35 30 Kota Magelang KMgl 3,43% Rp6.802.671,17 31 Kota Surakarta KSrk 5,04% Rp6.747.625,28 32 Kota Salatiga KSlt 4,19% Rp4.685.739,14 33 Kota Semarang KSmg 4,44% Rp11.390.236,85 34 Kota Pekalongan KPkl 3,84% Rp5.446.102,47 35 Kota Tegal KTgl 5,90% Rp3.263.850,54 36 Kulonprogo Klp 3,82% Rp3.480.781,20 37 Bantul Bnt 4,25% Rp3.520.469,46 38 Gunung Kidul Gnk 3,22% Rp3.630.345,46 39 Sleman Slm 4,76% Rp4.725.662,38 40 Kota Yogyakarta Kygy 4,43% Rp9.726.629,72

Rata-rata 3,7198% Rp3.788.330,73 Grafik 1 menunjukkan sebagian besar daerah berada pada kuadran 3, atau daerah dengan

pendapatan per kapita rendah diiringi pertumbuhan ekonomi rendah (dari rata-rata Jateng DIY).

Seluruh daerah ini berbentuk kabupaten.

Page 15: Analisis keki

13

Clc

BmsPbg

Bjn

Kbm

Prj

Wns

MglByl

Klt

Skh

Wng

Kra

Srg

Grb

Blr

Rmb

Pat Kds

Jpr

Dmk Smg

Tmg

Knd

Btg

Pkl

Pml

TglBrb

Kmgl

Ksrk

KsltKsmg

Kpkl

Ktgl

Klp

Bnt

Gnk

SlmKygy

02.000.000

4.000.0006.000.000

8.000.00010.000.000

12.000.000

Pendapatan Perkapita (Rp)

0%

1%

2%

3%

4%

5%

6%

7%

Per

tum

buha

n E

kono

mi

Sumber: BPS, data diolah

Grafik 1. Tipologi Daerah Berdasarkan Pendapatan Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi (tahun 2000 - 2004)

Pada wilayah penentuan KEKI 1, dua daerah tergolong klasifikasi maju tertekan (Kendal dan

kabupaten Semarang), satu daerah adalah cepat maju dan tumbuh (Kota Semarang) dan terdapat 1

daerah dengan klasifikasi daerah relatif tertinggal (Demak). Pada wilayah KEKI 2, Blora adalah

daerah dengan klasifikasi daerah relatif tertinggal sementara Rembang adalah daerah berkembang

cepat. Klasifikasi rinci untuk masing-masing daerah Jateng DIY disajikan pada tabel 4.

Tabel 4. Daerah Berdasar Klasifikasi Tipologinya

Pendapatan per kapita Klasifikasi

Rendah Tinggi

Tinggi

Daerah berkembang cepat: Magelang, Klaten, Grobogan, Rembang, Jepara, Temanggung, Tegal, Brebes, Kota Tegal, Kulonprogo, Bantul

Daerah cepat maju cepat tumbuh: Cilacap, Sukoharjo, Karanganyar, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Sleman, Kota Yogyakarta

Pertumbuhan Ekonomi

Rendah

Daerah relatif tertinggal: Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Boyolali, Wonogiri, Sragen, Blora, Pati, Demak, Batang, Pekalongan, Pemalang, Gunung Kidul

Daerah maju tertekan: Kudus, Semarang, Kendal, Kota Magelang

(2) (1) (3) (4)

Page 16: Analisis keki

14

Dilihat sisi tipologi daerah, wilayah KEKI 2 (Rembang dan Blora) cenderung ditentukan

oleh pemerintah daerah propinsi sebagai daerah kawasan ekonomi andalan bukan karena faktor

tingginya pendapatan per kapita dan tingginya pertumbuhan ekonomi. Karena dari dua determinan

ini, Rembang dan Blora kurang mendukung ditetapkan sebagai wilayah ekonomi khusus. Hal ini

mengingat tingginya pertumbuhan ekonomi serta pendapatan per kapita merupakan modal yang

penting bagi daerah untuk memperoleh perhatian bagi para investornya. Demikian pula penetapan

Demak sebagai wilayah tergabung pada KEKI 1. Daerah ini juga merupakan daerah yang relatif

tertinggal dibandingkan daerah kabupaten/kota lain di Jawa Tengah dan DIY.

Sementara, penentuan Kota Semarang, Ungaran (Kabupaten Semarang) dan Kendal dari sisi

tipologi cenderung lebih diterima daripada penentuan daerah KEKI 2. Hal ini didukung tipologi kota

Semarang merupakan daerah dengan klasifikasi daerah cepat maju, meskipun Kabupaten Semarang

dan Kendal cenderung tertekan karena pertumbuhan ekonominya relatif rendah.

Faktor pendukung penentuan ketiga daerah terakhir tersebut sebagai kawasan KEKI adalah

fasilitas yang disediakan oleh wilayah Semarang berupa keberadaan pelabuhan udara dan juga

terdapat pelabuhan laut yang memadai untuk kegiatan bongkar muat kapal besar. Dengan letaknya

yang strategis di kawasan Joglosemar koridor utara, kawasan ini mendukung percepatan

pertumbuhan ekonomi wilayah jika ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus.

B. Sektor Unggulan Kabupaten/Kota

Nilai Location Quotient (LQ) pada analisis KEKI penting untuk menentukan sektor apa yang

menjadi sektor unggulan di daerah-daerah yang ditentukan sebagai kawasan andalan. Nilai LQ yang

dipergunakan meliputi LQ Statis (SLQ) untuk melihat suatu sektor adalah sektor unggulan atau

bukan, dan LQ Dinamis (DLQ) untuk melihat bagaimana potensi dari suatu sektor apakah memiliki

potensi unggulan ataukah tidak berpotensi. Untuk kriteria sektor ekonomi adalah sektor unggulan

ditentukan memiliki nilai SLQ >1. Untuk kriteria suatu sektor ekonomi memiliki potensi unggulan

adalah sektor dengan nilai DLQ>1.

Nilai SLQ dan DLQ rata-rata (tahun 2000 sampai 2004) disajikan pada tabel 5 dan 6.

Penentuan nilai LQ ini juga memasukkan daerah-daerah di DIY. Posisi relatif dari DIY yang berada

di Jawa bagian tengah di regional selatan dan adanya moda transportasi yang saling berkaitan dalam

jarak yang pendek menyebabkan aktivitas ekonomi masyarakat Jawa Tengah dan DIY relatif sulit

untuk dipisahkan.

Dari hasil perhitungan SLQ dan DLQ tersebut, dapat dinyatakan untuk setiap daerah yang

diusulkan pemerintah daerah propinsi sebagai kawasan andalan (KEKI 1 dan 2), daerah yang

memiliki sektor ekonomi unggulan dan sekaligus memiliki potensi untuk tetap unggul adalah:

Page 17: Analisis keki

15

Demak : Sektor pertanian

Semarang : Sektor industri pengolahan; serta sektor listrik gas dan air bersih

Kendal : Sektor industri pengolahan

Kota Semarang : Sektor industri pengolahan

Blora : sektor pertanian; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan

Rembang : sektor pertanian; sektor pengangkutan dan komunikasi

Tabel 5. Rata-rata SLQ Jateng – DIY, 2000 – 2004

Sektor Kawasan Kabupaten 1 2 3 4 5 6 7 8 9 KEKI 1 Demak 2,063 0,219 0,693 0,558 0,464 0,730 0,461 0,542 0,751 Semarang 0,676 0,137 1,981 1,001 0,242 0,782 0,414 0,702 0,832 Kendal 1,005 0,446 1,666 1,960 0,314 0,753 0,451 0,490 0,821 Kota Semarang 0,047 0,352 1,353 1,342 1,954 1,357 1,214 0,873 1,078KEKI 2 Blora 2,099 2,938 0,519 0,546 0,642 0,585 0,526 1,392 0,650 Rembang 2,239 2,440 0,196 0,506 0,643 0,759 1,143 0,628 0,780Non KEKI Cilacap 1,001 1,718 0,516 0,594 0,378 2,028 0,512 0,598 0,441 Banyumas 1,161 1,608 0,829 1,058 0,783 0,663 1,467 1,793 1,239 Purbalingga 1,518 0,485 0,441 0,994 1,097 0,788 0,904 0,804 1,711 Banjarnegara 1,628 0,541 0,609 0,446 1,191 0,540 0,939 1,069 1,505 Kebumen 1,749 6,113 0,439 0,791 0,891 0,435 0,809 1,098 1,519 Purworejo 1,587 2,434 0,370 0,607 1,066 0,702 1,012 0,942 1,665 Wonosobo 2,133 0,752 0,485 0,879 0,856 0,495 1,185 1,094 0,748 Magelang 1,414 2,422 0,790 0,548 0,990 0,669 1,067 0,568 1,369 Boyolali 1,479 0,762 0,758 0,815 0,495 1,099 0,536 1,316 0,599 Klaten 1,043 0,457 0,806 0,699 1,513 1,114 0,552 0,861 1,196 Sukoharjo 0,983 1,150 1,305 1,194 0,918 0,869 0,957 0,756 0,789 Wonogiri 2,301 0,838 0,156 0,667 0,652 0,541 1,817 0,791 0,948 Karanganyar 0,654 0,963 2,217 1,272 0,523 0,482 0,601 0,465 0,828 Sragen 1,556 1,308 0,782 1,223 0,520 0,722 0,854 0,742 1,226 Grobogan 1,949 1,251 0,162 0,806 0,970 0,818 0,704 0,877 1,384 Pati 1,585 0,862 0,810 1,149 0,644 0,833 0,539 1,122 0,823 Kudus 0,185 0,010 2,391 0,407 0,184 1,208 0,387 0,553 0,220 Jepara 1,035 0,509 1,181 0,691 0,746 0,908 1,127 1,088 0,810 Temanggung 1,536 1,228 0,724 0,834 1,231 0,638 1,046 0,768 1,218 Batang 1,185 2,359 1,215 0,729 0,898 0,710 0,527 0,573 1,117 Pekalongan 0,893 1,118 1,170 0,845 1,043 0,808 0,813 0,977 1,365 Pemalang 1,353 1,072 0,746 0,891 0,551 1,187 0,698 0,809 0,799 Tegal 0,951 2,089 1,065 0,702 0,895 1,074 0,925 1,310 0,667 Brebes 2,399 1,135 0,401 0,934 0,372 0,852 0,248 0,670 0,364 Kota Magelang 0,143 0,000 0,151 2,944 3,362 0,278 3,709 2,161 3,477 Kota Surakarta 0,004 0,052 1,222 2,541 2,440 1,019 1,987 1,983 1,075 Kota Salatiga 0,268 0,657 0,814 4,947 0,976 0,723 4,405 1,394 1,615 Bantul 0,672 0,000 0,873 1,066 1,692 1,103 1,461 1,649 1,045 Gunung Kidul 0,703 0,000 0,607 2,698 1,558 0,937 2,866 2,015 1,052 Sleman 1,188 1,130 0,676 0,645 0,911 0,687 1,848 1,055 1,639 Kota Yogyakarta 1,075 1,204 0,845 0,870 1,693 0,759 1,314 1,136 1,193Dimana: 1 = pertanian, 2 = pertambangan penggalaian, 3 = industri pengolahan, 4 = listrik gas air bersih,

5 = bangunan, 6 = perdagangan hotel restoran, 7 = pengangkutan komunikasi, 8 = keuangan persewaan jasa perusahaan, 9 = jasa-jasa

Page 18: Analisis keki

16

Tabel 6. Rata-rata DLQ Jateng – DIY, 2000 – 2004

Sektor Kawasan Kabupaten 1 2 3 4 5 6 7 8 9 KEKI 1 Demak 1,107 0,978 0,981 1,124 0,979 0,928 0,953 0,925 0,935 Semarang 0,957 0,960 1,029 1,039 1,047 0,956 1,105 1,041 1,015 Kendal 0,977 1,010 1,040 0,681 0,910 1,017 0,902 0,981 1,051 Kota Semarang 0,964 1,035 1,005 0,991 0,922 0,918 1,025 0,957 1,134KEKI 2 Blora 1,046 0,939 1,028 1,070 0,936 0,996 0,938 1,000 0,925 Rembang 1,068 0,952 0,911 0,911 0,935 0,971 1,026 0,948 0,948Non KEKI Cilacap 0,987 1,042 0,956 0,962 0,997 1,033 0,928 0,941 0,951 Banyumas 0,948 1,053 1,077 1,006 0,999 1,008 0,943 1,033 0,992 Purbalingga 1,024 0,989 1,023 1,032 0,998 1,009 0,929 1,035 0,959 Banjarnegara 0,961 0,999 1,049 1,093 0,970 0,976 1,074 1,080 1,071 Kebumen 1,008 1,050 1,002 1,033 0,988 1,071 0,998 0,986 0,961 Purworejo 0,998 1,005 1,024 0,925 1,064 0,962 1,093 1,073 0,988 Wonosobo 1,030 1,020 1,021 0,894 0,979 1,013 1,042 0,976 0,989 Magelang 0,960 0,995 1,013 1,052 1,054 0,994 0,970 0,929 1,120 Boyolali 1,041 0,996 0,926 1,375 0,993 0,995 0,983 1,000 1,129 Klaten 0,947 1,106 1,028 1,084 1,135 0,963 0,967 0,934 1,105 Sukoharjo 1,003 0,888 1,003 1,007 1,012 0,966 0,984 1,036 1,106 Wonogiri 0,998 1,022 1,113 1,011 0,991 0,984 1,027 1,053 1,086 Karanganyar 1,027 1,009 1,010 1,023 1,022 0,950 1,106 0,933 0,956 Sragen 0,947 0,947 1,054 1,019 1,081 1,008 1,017 0,973 1,122 Grobogan 1,042 0,994 0,998 0,944 0,976 0,998 0,986 1,003 0,950 Pati 0,985 0,934 1,063 1,077 1,058 0,995 0,919 1,009 1,036 Kudus 1,090 0,866 1,000 1,072 1,237 0,964 1,122 1,089 0,966 Jepara 1,062 1,048 0,967 1,125 1,377 0,945 0,901 1,120 0,970 Temanggung 1,060 0,962 1,020 0,989 1,005 1,005 0,988 0,945 0,897 Batang 0,955 0,908 1,032 1,152 1,174 0,974 1,018 1,033 1,066 Pekalongan 1,025 0,875 1,008 0,986 0,902 0,987 1,014 1,042 0,978 Pemalang 0,971 1,081 0,964 1,184 0,892 1,067 1,025 1,065 1,046 Tegal 0,856 1,342 1,121 0,907 1,025 1,003 0,973 1,244 0,842 Brebes 1,077 0,989 1,017 0,906 0,997 0,973 0,969 0,903 0,966 Kota Magelang 0,735 0,000 0,944 0,956 0,974 1,024 0,988 0,949 0,932 Kota Surakarta 0,634 0,889 1,010 0,935 0,912 1,001 0,897 0,944 0,984 Kota Salatiga 0,995 0,955 0,957 0,926 0,964 0,951 1,086 0,907 0,888 Bantul 1,069 0,000 1,017 0,894 0,917 1,006 0,873 0,977 0,939 Gunung Kidul 1,044 0,000 0,986 0,958 0,901 1,113 0,930 0,925 0,839 Sleman 1,007 0,705 0,994 1,062 0,961 0,955 1,071 1,205 0,957 Kota Yogyakarta 1,002 0,904 0,983 1,165 0,958 1,034 0,938 1,106 0,971Dimana: 1 = pertanian, 2 = pertambangan penggalaian, 3 = industri pengolahan, dan seterusnya

Untuk wilayah KEKI 1 dan 2, tabel 7 menunjukkan kriteria sektor-sektor yang merupakan

sektor unggulan dan berpotensi unggulan (kriteria D) dan kriteria lainnya. Dari tabel 7 ini dapat

dinilai bahwa untuk pengembangan kawasan dengan tujuan peningkatan nilai tambah sektor industri

pengolahan, maka seluruh daerah di wilayah KEKI 1, kecuali Demak, layak untuk ditetapkan sebagai

kawasan andalan. Ungaran (Semarang), Kendal dan Kota Semarang merupakan daerah yang

memiliki keunggulan di sektor industri pengolahan dan sekaligus memiliki potensi untuk tetap

unggul. Kelayakan tiga daerah KEKI dengan potensi industri ini ditunjang dengan potensi sektor

Page 19: Analisis keki

17

tersier (modern) yang juga merupakan sektor unggulan di Kota Semarang, antara lain sektor

pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa-jasa.

Tabel 7. Klasifikasi sektor Ungulan - Berpotensi Unggulan di wilayah KEKI

Sektor Kawasan Kabupaten 1 2 3 4 5 6 7 8 9

KEKI 1 Demak D A A B A A A A A Semarang A A D D B A B B B Kendal C B D C A B A A B Kota Semarang A B D C C C D A D KEKI 2 Blora D C B B A A A D A Rembang D C A A A A D A A Dimana:

1 = pertanian, 2 = pertambangan penggalaian, 3 = industri pengolahan, dan seterusnya A = SLQ <1 dan DLQ <1 (sektor bukan unggulan yang tidak berpotensi unggulan) B = SLQ <1 dan DLQ >1 (sektor bukan unggulan tetapi berpotensi unggulan) C = SLQ >1 dan DLQ <1 (sektor unggulan yang tidak berpotensi unggulan) D = SLQ >1 dan DLQ >1 (sektor unggulan yang berpotensi unggulan)

Kabupaten Demak bersama dua daerah di KEKI 2 cenderung tidak tepat jika penentuan

kawasan andalan bertujuan meningkatkan nilai tambah dan manfaat aglomerasi di sektor industri

pengolahan. Sektor industri pengolahan di ketiga daerah tersebut dikategorikan sebagai sektor yang

bukan unggulan. Sektor ini tidak berpotensi unggulan di Rembang dan Demak, tetapi berpotensi

unggulan di Blora.

Dilihat dari potensi unggulnya, ketiga daerah terakhir tersebut menunjukkan keunggulan dan

potensi unggul di sektor pertanian. Dengan demikian, jika pengembangan wilayah dengan penentuan

KEKI sebagai kawasan unggulan berbasis sektor pertanian maka kabupaten Demak, Blora dan

Rembang sudah tepat menjadi kawasan andalan.

Sebagai perbandingan KEKI Jateng, disajikan tabel sektor unggulan dan potensi unggulan

untuk kawasan Joglosemar dan daerah yang teridentifikasi bertipologi cepat maju dan cepat tumbuh

(tabel 8). Untuk kawasan Joglosemar, Kota Yogyakarta tidak menunjukkan adanya unggulan dan

potensi unggulan pada sektor industri pengolahan. Tetapi, di kota ini, sektor-sektor tersier (sektor 4

sampai 7) memiliki keunggulan dan tetap berpotensi unggulan. Untuk kota Surakarta, daerah ini

unggulan dan berpotensi unggulan untuk basis sektor industri pengolahan dan 1 sektor tersier. Dari

sudut pandang pengembangan kawasan andalan, untuk tujuan pengembangan sektor industri

pengolahan, kota Surakarta dapat dipandang strategis untuk mendampingi Kota Semarang sebagai

wilayah andalan berbasis industri pengolahan, tetapi Kota Yogyakarta tidak tepat untuk basis ini.

Satu-satunya daerah yang tergolong bertipologi cepat tumbuh dan cepat maju di daerah

bagian barat Jawa Tengah-DiY adalah kabupaten Cilacap. Selain kabupaten Cilacap dan Kota

Pekalongan, daerah-daerah menurut tipologi ini semunya terletak pada jalur dan sekitar koridor

Joglosemar. Cilacap dikategorikan unggul dan memiliki potensi tetap unggul di sektor pertambangan

Page 20: Analisis keki

18

dan sektor perdagangan hotel dan restoran. Penentuan kawasan andalan di daerah ini yang didukung

semakin baiknya kinerja sektor perdagangan hotel restoran di Cilacap akan mendung percepatan

pertumbuhan daerah sekitar. Aglomerasi di daerah ini akan mengangkat perekonomian daerah sekitar

yang cenderung tertinggal (Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen) atau yang sering

disebut sebagai kawasan kerja sama Barlingkascakeb.

Tabel 8. Klasifikasi sektor Ungulan - Berpotensi Unggulan

di kawasan Joglosemar dan Daerah dengan Klasifikasi Cepat Maju Cepat Tumbuh

Sektor Kawasan Kabupaten 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kota Yogyakarta A A A D D D D C C Kota Surakarta A A D C C D C C C

Joglosemar

Kota Semarang A B D C C C D A D Cilacap C D A A A D A A A Sukoharjo B C D D B A A B B Karanganyar B B D D B A B A A Kota Surakarta A A D C C D C C C Kota Salatiga A A A C A A D C C Kota Semarang A B D C C C D A D Kota Pekalongan B - B C C D C C C Sleman A A B B D B C D C

Cepat Maju Cepat Tumbuh

Kota Yogyakarta A A A D D D D C C Dimana:

1 = pertanian, 2 = pertambangan penggalaian, 3 = industri pengolahan, dan seterusnya A = SLQ <1 dan DLQ <1 (sektor bukan unggulan yang tidak berpotensi unggulan) B = SLQ <1 dan DLQ >1 (sektor bukan unggulan tetapi berpotensi unggulan) C = SLQ >1 dan DLQ <1 (sektor unggulan yang tidak berpotensi unggulan) D = SLQ >1 dan DLQ >1 (sektor unggulan yang berpotensi unggulan)

Tabel 8 juga menunjukkan koridor Joglosemar pada umumnya adalah daerah yang cepat

maju dan cepat tumbuh. Pembentukan kawasan ekonomi khusus di tiga pusat pertumbuhan

(Yogyakarta, Semarang dan Surakarta) akan mendorong percepatan perekonomian di wilayah ini dan

daerah-daerah sekitarnya. Tetapi, penentuan kawasan andalan di wilayah koridor Joglosemar perlu

mempertimbangkan perbedaan basis sektor ekonomi. Sukoharjo dan Karanganyar lebih tepat

menyertai Surakarta sebagai daerah khusus industri pengolahan. Kota Salatiga mendukung

aglomerasi Kota Semarang karena kemajuan di sektor transportasinya. Sleman mendukung

aglomerasi di Kota Yogyakarta dengan kemajuan sektor bangunan. Sementara, Kota Pekalongan

cenderung layak sebagai daerah penyangga kawasan utara Jawa Tengah dengan kemajuannya di

sektor perdagangan hotel dan restoran.

C. Analisis Spesialisasi Regional

Analisis spesialisasi regional pada penentuan kawasan andalan di Jawa Tengah bertujuan

untuk melihat kecenderungan spesialisasi daerah, apakah di satu kabupaten/kota sumbangan sektor-

sektor ekonomi terhadap total PDRB terkonsentrasi pada satu atau beberapa sektor saja ataukah

Page 21: Analisis keki

19

cenderung merata sumbangannya jika dibandingkan dengan konsentrasi ekonomi daerah lainnya.

Tabel 9 menunjukkan nilai indeks spesialisasi dalam rentang tahun 2000 sampai 2004, rata-rata IS

serta perubahan tahunan dalam ukuran rata-rata..

Tabel 9. Indeks Spesialisasi Regional Jateng - DIY (2000 – 2004)

Tahun Kawasan Kabupaten/ Kota 2000 2001 2002 2003 2004

Rata-rata

Perkem-bangan

KEKI 1 Demak 0,51 0,52 0,53 0,54 0,55 0,53 meningkat Semarang 0,66 0,69 0,69 0,68 0,67 0,68 meningkat Kendal 0,57 0,58 0,58 0,59 0,59 0,58 meningkat Kota Semarang 0,77 0,76 0,75 0,73 0,73 0,75 menurun KEKI 2 Blora 0,56 0,57 0,58 0,59 0,59 0,58 meningkat Rembang 0,60 0,62 0,63 0,63 0,64 0,62 meningkat

Cilacap 0,70 0,70 0,73 0,75 0,76 0,73 meningkat Non KEKI Banyumas 0,44 0,45 0,45 0,45 0,45 0,45 meningkat Purbalingga 0,48 0,47 0,47 0,47 0,47 0,47 menurun Banjarnegara 0,48 0,47 0,47 0,47 0,48 0,48 menurun Kebumen 0,57 0,57 0,58 0,58 0,57 0,57 meningkat Purworejo 0,49 0,49 0,50 0,50 0,50 0,50 meningkat Wonosobo 0,57 0,56 0,56 0,57 0,58 0,57 menurun Magelang 0,43 0,43 0,43 0,44 0,45 0,44 meningkat Boyolali 0,48 0,48 0,48 0,48 0,48 0,48 menurun Klaten 0,45 0,46 0,46 0,46 0,46 0,46 meningkat Sukoharjo 0,48 0,47 0,48 0,48 0,48 0,48 menurun Wonogiri 0,68 0,68 0,68 0,67 0,66 0,67 menurun Karanganyar 0,78 0,74 0,75 0,76 0,78 0,76 menurun Sragen 0,43 0,43 0,43 0,43 0,43 0,43 menurun Grobogan 0,56 0,56 0,56 0,57 0,57 0,56 meningkat Pati 0,43 0,43 0,44 0,44 0,44 0,44 meningkat Kudus 0,99 0,98 0,98 0,98 0,97 0,98 menurun Jepara 0,47 0,47 0,46 0,46 0,46 0,46 menurun Temanggung 0,43 0,43 0,43 0,43 0,43 0,43 meningkat Batang 0,47 0,47 0,47 0,47 0,47 0,47 meningkat Pekalongan 0,47 0,47 0,47 0,46 0,46 0,47 menurun Pemalang 0,46 0,46 0,47 0,47 0,48 0,47 meningkat Tegal 0,47 0,48 0,49 0,50 0,52 0,49 meningkat Brebes 0,65 0,66 0,68 0,69 0,69 0,67 meningkat Kota Magelang 1,18 1,16 1,17 1,17 1,17 1,17 menurun Kota Surakarta 0,77 0,76 0,75 0,74 0,74 0,75 menurun Kota Salatiga 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 meningkat Kota Pekalongan 0,54 0,52 0,53 0,53 0,52 0,53 menurun Kota Tegal 0,59 0,56 0,57 0,59 0,58 0,58 meningkat Kulonprogo 0,45 0,45 0,45 0,46 0,46 0,46 meningkat Bantul 0,44 0,43 0,43 0,43 0,43 0,43 menurun Gunung Kidul 0,50 0,50 0,50 0,50 0,49 0,50 meningkat Sleman 0,52 0,52 0,52 0,52 0,52 0,52 menurun Kota Yogyakarta 0,84 0,83 0,83 0,83 0,83 0,83 menurun Tabel 9 memperlihatkan rata-rata spesialisasi daerah 1 dengan lainnya di hampir seluruh

daerah cenderung tidak menunjukkan adanya spesialisasi. Hal ini ditunjukkan dari nilai Spesialisasi

Krugman yang berada di bawah nilai 1. Hanya Kota Magelang yang memperlihatkan adanya

Page 22: Analisis keki

20

spesialisasi dengan nilai lebih dari 1. Meskipun demikian, terlihat beberapa daerah yang cenderung

mendekati nilai 1. Meskipun masih jauh dari nilai spesialisasi 2, nilai indeks yang mendekati 1 dapat

ditafsirkan spesialisasi sektor-sektor ekonomi di daerah ini cenderung lebih tinggi daripada daerah

lain. Daerah yang mendekati nilai ke arah spesialisasi ini antara lain Kota Semarang, Cilacap,

Karanganyar, Kudus, Kota Surakarta, Kota Salatiga dam Kota Yogyakarta, dimana masing-masing

daerah ini nilai ISnya lebih dari 0,70.

Khusus untuk kawasan KEKI 1, hanya Kota Semarang yang memiliki indeks spesialisasi

relatif lebih tinggi dari daerah lain, meskipun nilai indeks ini cenderung menurun pada tempo 2000

sampai 2004. Nilai rata-rata indeks Kota Semarang ini sesuai dengan pangsa sektor ekonomi yang

mendominasi nilai PDRB. Sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan hotel restoran

merupakan sektor ekonomi utama yang total keduanya menyumbang PDRB Kota Semarang sebesar

67,04% pada tahun 2000 dan menurun menjadi 64,53% pada tahun 2004.

Sementara Kendal yang difokuskan oleh pemerintah daerah sebagai daerah utama kawasan

ekonomi khusus cenderung menunjukkan tingkat spesialisasinya yang rendah yaitu sebesar 0,58,

meskipun cenderung terjadi peningkatan nilai IS. Di kabupaten ini, sektor tradisional masih cukup

memiliki peran penting. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB sepanjang tahun 2000 – 2004

sebesar 24,04% dan industri pengolahan menyumbang PDRB sebesar 40,38%.

Demikian pula untuk daerah KEKI 2, sektor-sektor ekonomi di kabupaten Blora dan

Rembang cenderung tidak terspesialisasi. Kedua daerah ini menunjukkan rata-rata indeks spesialisasi

sebesar 0,58 dan 0,62. Terlebih lagi, kedua daerah ini masih mengandalkan sektor pertanian sebagai

sektor utama dimana sektor ini memberikan kontribusi bagi PDRB masih lebih dari 50%. Sementara,

industri pengolahan di Blora menyumbang PDRB sebesar 12,58% dan di Rembang sebesar 4,74%.

Jika daerah ini ditetapkan sebagai kawasan andalan dengan tujuan pengembangan ekonomi berbasis

sektor industri maka kedua daerah ini cenderung kurang layak. Dengan demikian, dari pembahasan

mengenai indeks spesialisasi dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah tidak melihat aspek

spesialisasi daerah sebagai pertimbangan utama dalam menentukan apakah suatu kawasan tepat

ditentukan sebagai kawasan andalan..

D. Analisis Konvergensi Wilayah

Hasil analisis ini menunjukkan daerah-daerah kabupaten/kota di wilayah Jawa Tengah - DIY

cenderung menunjukkan adanya konvergensi ekonomi selama periode waktu 2000 sampai 2004.

Hasil regresi diperoleh nilai parameter b signifikan pada level probabilitas kesalahan sebesar 10%,

(tepatnya α = 7,77%);

Ln Ya – Ln Y0 = – 0,0564 + 0,0057 Ln Y0

Page 23: Analisis keki

21

Untuk mendapatkan nilai konvergensi atau divergensi Setelah nilai parameter b dimasukkan

ke persamaan konvergensi (divergensi); ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ −−=

Teb

Tβ1 , penghitungan nilai konvergensi absolut

(absolut convergence) dari parameter b tersebut sebesar –0,567%. Nilai β yang diperoleh bertanda

negatif yang berarti terjadi konvergensi. Adanya kondisi konvergensi ini menunjukkan pendapatan

per kapita daerah miskin tumbuh lebih cepat daripada daerah yang lebih kaya. Atau dengan kata lain

disparitas pendapatan per kapita antara daerah-daerah yang kaya dan miskin di Jawa Tengah – DIY

semakin menurun selama periode 2000 – 2004. Nilai β konvergensi ini relatif rendah karena kurang

dari 1% per tahunnya.

Terkait dengan penentuan KEK Jateng DIY dengan kondisi konvergensi ini, meskipun

nilainya rendah, konvergensi ini menunjukkan jika suatu daerah dengan pertumbuhan pendapatan per

kapita yang tinggi ditentukan sebagai kawasan andalan maka akan memberikan peluang daerah-

daerah sekitarnya yang pertumbuhan pendapatan per kapitanya rendah akan memiliki kesempatan

untuk meningkatkan angka pertumbuhan pendapatan per kapitanya lebih cepat.

Melihat peta wilayah dan tipologi daerah dimana daerah dengan pendapatan per kapita tinggi

cenderung berada di kawasan bagian timur laut (Koridor Kota Semarang dan Kota Surakarta),

penentuan KEK untuk wilayah selatan dan barat penting untuk dipikirkan. Pembentukan KEKI di

kawasan Jawa Tengah - DIY bagian barat (Cilacap dan sekitarnya) dan bagian selatan (Kota

Yogyakarta dan sekitarnya) akan mendorong perkembangan ekonomi di kawasan sekitar.

Peningkatan aktivitas ekonomi di kawasan ini akan mendorong proses konvergensi yang lebih besar

lagi.

E. Analisis Logistik

Analisis logistik digunakan untuk membedakan kinerja kawasan andalan dan kawasan bukan

andalan. Untuk melihat ketepatan penempatan kawasan andalan, maka dibuat 4 kategori (skenario).

Masing-masing kategori bertujuan untuk melihat apakah variabel-variabel independen yang

dipergunakan mampu mempengaruhi keputusan penentuan KEK ataukah tidak. Kategori 1 dan 2

adalah pengujian untuk KEK dengan wilayah yang ditentukan oleh pemerintah daerah. Kategori 3

dan 4 adalah pengujian kawasan andalan dengan daerah alternatifnya (Joglosemar dan daerah cepat

maju cepat tumbuh).

Pada kategori dengan menentukan KEKI 1 dan KEKI 2 sebagai kawasan andalan diperoleh

pengujian statistik Chi-Square yang tidak signifikan pada α = 5% maupun 10%. Dari uji ini dapat

dikatakan semua variabel penjelas tidak mampu membedakan kawasan andalan dan bukan andalan

(Tabel 10). Jika pengujian diteruskan untuk pembuatan model logistik, maka semua variabel penjelas

Page 24: Analisis keki

22

tidak mampu menjelaskan perbedaan antara kawasan andalan dan bukan andalan. Hal ini terbukti

dari signifikansinya yang rendah dengan dan nilai Wald test yang rendah.

Tabel 10. Parameter dan Tes Statistik 4 kategori Kawasan Andalan

Variabel tak Tergantung

Kategori Wilayah Parameter dan uji Indeks

SpesialisasiPertumbuhan

Ekonomi Pendapatan Per Kapita

Konstanta

KEKI 1 dan KEKI 2 B 0,7773 -4,4441 8,96E-08 -2,4125 Wald test 0,2370 0,0814 0,7549 6,5935 Sig. (prob) 0,6264 0,7754 0,3849 0,0102KEKI 1 B -2,5517 -11,4982 3,7E-07* -1,9148 Wald test 1,1708 0,3163 8,0307 2,1920 Sig. (prob) 0,2792 0,5739 0,0046 0,1387Joglosemar B -5,6795 69,8814* 1,1E-06* -8,2538 Wald test 1,2873 7,1691 11,7813 10,4273 Sig. (prob) 0,2565 0,0074 0,0006 0,0012Cepat maju dan tumbuh B -4,3528** 71,5929* 8,4E-07* -5,1948 Wald test 4,4669 12,5866 26,0264 18,6633 Sig. (prob) 0,0346 0,0004 0,0000 0,0000

*) signifikan pada probabilitas 1% **) signifikan pada probabilitas 5% Pengujian chi-square dan Standar Error disajikan di Lampiran

Jika digunakan kriteria kawasan andalan adalah meliputi wilayah pada KEKI 1, maka uji Chi

Square menunjukkan signifikansi yang cukup tinggi, pada α = 5%. Hal ini berarti terdapat paling

tidak satu variabel independen memiliki tingkat signifikansi yang secara statistik dapat diterima. Dari

hasil pengujian lebih lanjut, model logistik menunjukkan bahwa Pendapatan per kapita adalah satu-

satunya variabel independen yang memiliki makna signifikan dalam mempengaruhi penentuan

kawasan andalan. Uji statistik menunjukkan variabel ini mampu menjelaskan perbedaan kawasan

andalan dengan bukan dengan andalan pada probabilitas kesalahan 0,46%. Parameter yang bertanda

positif menunjukkan semakin tinggi pendapatan per kapita suatu daerah akan semakin

memungkinkan daerah tersebut ditentukan sebagai kawasan andalan.

Pada alternatif ke tiga, kawasan andalan yang ditentukan adalah daerah utama koridor

Joglosemar, yaitu Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Semarang, diperoleh hasil Chi-square

yang signifikan. Model logistik menunjukkan variabel pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per

kapita mampu dengan baik secara statistik menunjukkan perbedaan kawasan andalan dan bukan

andalan. Parameter dari kedua variabel ini positif. Semakin tinggi pendapatan per kapita dan semakin

tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi maka akan semakin mendukung suatu daerah ditentukan

sebagai kawasan andalan. Tetapi pada model ini, variabel indeks spesialisasi tidak signifikan secara

statistik.

Page 25: Analisis keki

23

Alternatif ke empat, kawasan andalan ditentukan berdasarkan analisis tipologi daerah yang

diidentifikasikan sebagai daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh. Terdapat 9 daerah yang

tergolong pada tipologi ini yaitu kabupaten Cilacap, Sukoharjo, Karanganyar, Kota Surakarta, Kota

Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Sleman dan Kota Yogyakarta. Hasil pengujian Chi-

Square menunjukkan signifikan. Hasil pengujian regresi logistik memperlihatkan seluruh variabel

independen mampu dengan baik secara statistik menunjukkan perbedaan kinerja kawasan andalan

dengan bukan andalan. Parameter pertumbuhan ekonomi dan pendapatan berkapita menunjukkan

tanda positif yang berarti semakin tinggi nilai kedua variabel ini akan semakin mendukung

kesempatan suatu daerah ditentukan sebagai kawasan andalan.

Demikian pula, indeks spesialisasi menunjukkan parameter negatif (signifikan pada α = 5%).

Nilai IS yang negatif menunjukkan sektor-sektor ekonomi daerah semakin terspesialisasi atau

mengerucut pada satu sektor ekonomi. Sebaliknya, jika nilai parameter adalah positif maka terdapat

sifat homogenitas dari sektor-sektor ekonomi yang berarti spesialisasi cenderung tidak ada. Pada

model ini terlihat daerah-daerah di Jawa Tengah – DIY yang semakin terkonsentrasi atau

terspesialisasi sektor-sektor ekonominya maka akan semakin meningkatkan kesempatan daerah itu

untuk secara tepat ditentukan sebagai kawasan andalan. Sebagai perbandingan, dari statistik

deskriptif dapat diketahui rata-rata nilai spesialisasi indeks di daerah cepat maju cepat tumbuh

sebesar 0,674 sementara daerah-daerah dengan tipologi lain rata-rata ISnya sebesar 0,544.

KESIMPULAN

Program kawasan pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) sebagai program untuk

mempercepat pembangunan daerah memperlihatkan berbagai kendala. Karena itu, pemerintah

menetapkan program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai program lanjutan KAPET dengan

menentukan kawasan-kawasan andalan baru yang dinilai akan memiliki fungsi strategis bagi

perkembangan daerah setempat maupun untuk menggerakkan perekonomian daerah sekitarnya.

Pengkajian mengenai penentuan kawasan andalan atau Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

menarik untuk dilakukan. Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah beserta daerah yang ditetapkan

sebagai daerah kawasan andalan berkeinginan agar pemerintah pusat menetapkan daerah tersebut

menjadi kawasan andalan. Meskipun pemerintah pusat telah menyarankan agar wilayah yang

ditetapkan oleh pemerintah daerah sebagai kawasan di Jawa Tengah terlebih dahulu ditetapkan

sebagai area perdagangan bebas (free trade zone), pemerintah pusat berkeinginan daerah tersebut

ditetapkan menjadi daerah ekonom khusus setelah aturan baku mengenai KEK disahkan. Tarik ulur

kepentingan pusat dengan daerah ini menarik untuk dikaji. Karena itu, penelitian ini mengevaluasi

penentuan KEK berdasarkan aspek-aspek ekonomi.

KEK yang diusulkan oleh pemerintah Propinsi Jawa Tengah meliputi dua KEK: KEK

Semarang – Kendal – Demak – Ungaran (Kabupaten Semarang) dan KEK Rembang – Blora. Dari

Page 26: Analisis keki

24

posisinya, wilayah ini terletak di bagian utara Jawa bagian Tengah, dan relatif dekat dengan ibukota

propinsi sekaligus terhubung dengan jarak relatif dekat dengan transportasi ke pusat

pelabuhan/dermaga di Semarang. Titik berat dari KEK Jawa Tengah adalah penentuan wilayah

Kendal sebagai basis dari KEK.

Dilihat dari sisi tipologi daerah berdasar pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per

kapitanya, penentuan kawasan KEKI cenderung bukan didasarkan pada dua faktor ini. Hal ini

terbukti dari kondisi Kabupaten Demak, Rembang dan Blora yang dikategorikan daerah relatif

tertinggal. Rendahnya pertumbuhan ekonomi disertai rendahnya pendapatan per kapita di daerah-

daerah ini tidak menjadi faktor pertimbangan penghambat bagi pemerintah daerah ketika

memasukkan daerah ini sebagai bagian dari kawasan andalan.

Selain itu, tiga daerah tersebut dari sisi potensi ekonominya cenderung memiliki keunggulan

dan berpotensi tetap unggul di sektor pertanian, bukan pada sektor industri pengolahan. Jika

penentuan KEK didasarkan sebagai upaya pengembangan kawasan pertanian maka penentuan tiga

daerah tersebut sebagai kawasan andalan bisa dipahami. Tetapi jika kawasan andalan bertujuan untuk

pengembangan industri, maka tiga daerah tersebut tidak memiliki potensi unggulan sebagai daerah

industri.

Sementara untuk kabupaten Kendal, daerah yang direncanakan sebagai basis KEK Jawa

Tengah ini memang memiliki keunggulan dan potensi unggulan di sektor industri pengolahan. Tetapi

kabupaten ini memperlihatkan tipologinya sebagai daerah maju yang tertekan; berpendapatan per

kapita relatif tinggi tetapi pertumbuhan ekonominya relatif rendah. Selain itu, kabupaten Kendal

sebagaimana sebagian besar kabupaten/kota lain di Jawa bagian tengah merupakan daerah dengan

indeks spesialisasi yang rendah. Sektor-sektor ekonomi di Kendal cenderung tidak berkonsentrasi

pada satu sektor saja. Meskipun sumbangan industri pengolahan menunjukkan porsi terbesar bagi

PRDB, tetapi pangsa sektor pertanian masih tetap tinggi. Meskipun demikian, jika dilihat dari posisi

relatifnya yang dekat dengan pelabuhan laut dan sarana prasarana Kota Semarang, maka Kendal

dapat menjadi alternatif prioritas sebagai kawasan andalan industri dengan syarat penyediaan lahan

untuk pengembangan industri.

Alternatif penentuan kawasan Joglosemar sebagai kawasan andalan cenderung perlu

dicermati. Ketiga daerah ini merupakan daerah ekonomi utama di Jawa bagian Tengah. Dengan

didukung tipologi sebagai daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh, ketiga daerah ini memiliki

fasilitas pelabuhan udara dan prasarana ekonomi penting lainnya, terutama Semarang dengan fasilitas

pelabuhan lautnya. Pengembangan kawasan khusus Joglosemar akan memberikan manfaat

aglomerasi sepanjang koridornya.

Hasil pengujian statistik dengan metode logistik menunjukkan bahwa penentuan kawasan

andalan sebagaimana direncanakan oleh pemerintah daerah cenderung tidak melihat faktor

pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita maupun kondisi spesialisasi wilayah. Hal ini terbukti

Page 27: Analisis keki

25

bahwa ketiga faktor tersebut tidak signifikan ketika digunakan untuk mengevaluasi ketepatan

penentuan kawasan andalan dan bukan andalan.

Alternatif lain dalam pengujian penentuan kawasan andalan adalah menentukan kawasan

andalan berdasarkan tipologinya. Jika kawasan ekonomi khusus ditetapkan berdasarkan tipologi

daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh, maka faktor pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi

dan indeks spesialisasi akan menjadi variabel yang layak untuk diperhitungkan dalam pemilihan

kawasan andalan dan bukan andalan.

Penelitian ini masih menyisakan beberapa permasalahan yang perlu untuk lebih banyak

dikaji. Pertama, penelitian ini menyarankan adanya studi yang lebih khusus mengenai efek

aglomerasi di kawasan ekonomi khusus. Penelitian tersebut akan penting untuk melihat apakah

aglomerasi di kawasan khusus ini akan mampu memberikan manfaat positif bagi daerah yang relatif

jauh dari pusat pertumbuhan Jawa Tengah – DIY. Kedua, perlu dilihat secara spesifik bagaimana

model dan kriteria investasi yang tepat untuk kawasan khusus tersebut. Hal ini penting untuk

mempercepat pertumbuhan investasi kawasan yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi,

peningkatan permintaan input lokal dan tambahan lapangan kerja.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2006, Berita Penataan Ruang, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan

Umum, Edisi 02 – Mei 2006, Jakarta.

, 2006, Berita Penataan Ruang, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen

Pekerjaan Umum, Edisi 04 – Juli 2006, Jakarta.

, 2006, Keterangan Pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan Daerah di Depan Sidang

Paripurna DPD-RI, 23 Agustus 2006, Jakarta

, Sambutan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas pada Rapat Pleno Dengan Gubernur,

Musrenbangnas, 17 April 2006, Jakarta

, 2006, Jawa Tengah Usulkan Dua KEK, KOMPAS 12 Agustus 2006.

, 2006, Kendal Optimis KEKI Serap 30.000 Tenaga Kerja, KOMPAS 02 Maret 2007.

, 2007, Pengusaha Malaysia Tertarik Investasi, Koran SINDO 15 Maret 2007.

, 2007, Usulan Kendal jadi KEK Industri otomotif Masih Dikaji, Antara News, 19 juni 2007

, 2007, Pengembangan KEK Kendal Mentah Lagi, www.kadinjateng.com dikutip dari

www.suaramerdeka.com, Kamis, 20 September 2007 09:42 WIB.

Capulapo, Rosa, 1998, Convergence in Recent Growth Theories: A Survey, Jurnal of Economic

Studies, Vol. 25 No. 6, 1998, MCB University Press

Page 28: Analisis keki

26

Dahl, Michel S., 2001. Overview of The Histories of Geographical Clustering and Agglomeration,

prepared for the DRUID Winter Seminar in Korsor, Denmark,

Glaeser, E.L, Kallal, H.D, Scheinkman, J.A., Shleifer, A .,1992, Growth in Cities, The Journal of

Political Economy 100.

Hanson, G.H, 1996, Agglomeration, Disersion, and The Pioneer Firm, The Journal of Political

Economy, 39.

Hu, Albert Guangzhou, 2004, Technology Parks and Regional Economic Growth in China, the

Fourth International Conference of the Chinese Economy, Clermont-Ferrand, France,

October 23 - 24, 2003 and the NUS - Beijing University - Tsinghua University Workshop

on the Chinese Economy, February 11-12, 2004,

Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi & Pembangunan Daerah, Reformasi, Perencanaan, Strategi,

dan Peluang, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Kuncoro, Mudrajad, 2004, Metode Kuantitatif, Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi, UPP

AMP YKPN, Yogyakarta

Kuncoro, M., Widodo, T., Sulistyaningrum, E., 2005, Pembangunan Daerah kabupaten Sleman di

Era Otonomi: Analisis Kebijakan dan Implikasinya Bagi Perencanaan jangka Panjang,

Kerja sama Pusat Studi Ekonomi & Kebijakan Publik UGM dengan Lembaga Penyelidikan

Ekonomio dan Masyarakat FE UI, Maret 2005

Ottaviano, Gianmarco IP. And Puga, Diego, 1997, Agglomeration in The Gloal Economy – A Survey

of The ‘New Economic Geography’, Centre of Economic Performance, Discussion paper

No 356, August 1997.

Renyansih, 2002, Pendekatan dan Program Pengembangan Kawasan, Bulletin Kawasan, Edisi 2 –

2002, Publikasi Direktorat Pengembangan kawasan Khusus dan Tertinggal, Jakarta.

Rygbi, D and Essletzbichler, J, 2002, Agglomeration Economic and Productivity Difference in US

Cities, Journal of Economic Geography, 2.

Togo, Ken, 2001, A Brief Survey on Regional Convergence in East Asian Economies, Musashi

University Working Paper No. 5, June 2001

Wagner, 2000, Regional Economic Diversity: Action, Concept, or State of Confusion, The Journal of

Regional Analysis and Policy (2000)30:2

Yudhoyono, Susilo Bambang, 2006, Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia Serta

Keterangan Pemerintah Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan

Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007 Beserta Nota Keuangannya Di Depan Rapat

Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 16 Agustus 2006, Jakarta

Yuwono, P, 2000, Perencanaan dan Analisis Kebijakan Pembangunan, Edisi 1. Fakultas Ekonomi

Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga

Page 29: Analisis keki

1

LAMPIRAN

1. DATA UNTUK ANALISIS LOGISTIK

kawasan Andalan = 1 , bukan andalan = 0

Tahun Sam-pel kabupaten/Kota IS

Pendapat-an

Per kapita (Rp)

Pertumbuhan

Ekonomi KEKI 1 dan

2 KEKI

1 Joglo-semar

Cepat maju cepat tumbuh

2000 1 Cilacap 0,6988 5.798.867 5,53% 0 0 0 1 2 Banyumas 0,4431 1.779.894 4,19% 0 0 0 0 3 Purbalingga 0,4756 1.731.727 2,73% 0 0 0 0 4 Banjarnegara 0,4833 2.391.169 1,01% 0 0 0 0 5 Kebumen 0,5730 1.667.848 4,17% 0 0 0 0 6 Purworejo 0,4930 2.477.900 1,98% 0 0 0 0 7 Wonosobo 0,5727 1.826.871 4,11% 0 0 0 0 8 Magelang 0,4308 2.418.200 3,18% 0 0 0 0 9 Boyolali 0,4844 3.050.224 1,69% 0 0 0 0 10 Klaten 0,4541 2.501.435 3,55% 0 0 0 0 11 Sukoharjo 0,4842 3.607.676 3,36% 0 0 0 1 12 Wonogiri 0,6804 1.974.957 3,49% 0 0 0 0 13 Karanganyar 0,7767 4.103.487 4,88% 0 0 0 1 14 Sragen 0,4327 2.285.783 3,46% 0 0 0 0 15 Grobogan 0,5563 1.426.967 4,95% 0 0 0 0 16 Blora 0,5613 1.963.458 2,29% 1 0 0 0 17 Rembang 0,5955 2.434.653 5,27% 1 0 0 0 18 Pati 0,4350 2.517.588 0,58% 0 0 0 0 19 Kudus 0,9908 10.744.942 2,00% 0 0 0 0 20 Jepara 0,4712 2.877.813 4,61% 0 0 0 0 21 Demak 0,5057 2.341.751 2,95% 1 1 0 0 22 Semarang 0,6617 3.981.912 4,53% 1 1 0 0 23 Temanggung 0,4285 2.712.922 4,07% 0 0 0 0 24 Kendal 0,5744 4.154.559 2,46% 1 1 0 0 25 Batang 0,4673 2.635.193 1,82% 0 0 0 0 26 Pekalongan 0,4679 2.789.376 1,45% 0 0 0 0 27 Pemalang 0,4585 1.928.583 3,63% 0 0 0 0 28 Tegal 0,4684 1.600.550 4,93% 0 0 0 0 29 Brebes 0,6546 2.047.917 4,73% 0 0 0 0 30 Kota Magelang 1,1767 6.369.622 3,94% 0 0 0 0 31 Kota Surakarta 0,7684 6.098.222 4,21% 0 0 1 1 32 Kota Salatiga 0,7072 4.314.378 4,07% 0 0 0 1 33 Kota Semarang 0,7705 10.836.130 4,75% 1 1 1 1 34 Kota Pekalongan 0,5373 5.084.663 3,43% 0 0 0 1 35 Kota Tegal 0,5850 2.935.567 4,90% 0 0 0 0 36 Kulonprogo 0,4539 3.208.963 2,60% 0 0 0 0 37 Bantul 0,4356 3.309.017 3,32% 0 0 0 0 38 Gunung Kidul 0,4975 3.414.827 2,67% 0 0 0 0 39 Sleman 0,5243 4.419.452 3,96% 0 0 0 1 40 Kota Yogyakarta 0,8399 8.832.293 3,92% 0 0 1 1

Page 30: Analisis keki

2

kawasan Andalan = 1 , bukan andalan = 0

Tahun Sam-pel kabupaten/Kota IS

Pendapat-an

Per kapita (Rp)

Pertumbuhan

Ekonomi KEKI 1 dan

2 KEKI

1 Joglo-semar

Cepat maju cepat tumbuh

2001 41 Cilacap 0,7034 5.968.249 4,46% 0 0 0 1 42 Banyumas 0,4482 1.802.772 2,22% 0 0 0 0 43 Purbalingga 0,4696 1.765.807 2,96% 0 0 0 0 44 Banjarnegara 0,4746 2.360.858 -0,11% 0 0 0 0 45 Kebumen 0,5731 1.674.375 0,94% 0 0 0 0 46 Purworejo 0,4943 2.553.410 3,54% 0 0 0 0 47 Wonosobo 0,5630 1.854.589 1,01% 0 0 0 0 48 Magelang 0,4310 2.464.827 2,68% 0 0 0 0 49 Boyolali 0,4838 3.226.218 6,33% 0 0 0 0 50 Klaten 0,4577 2.589.003 4,14% 0 0 0 0 51 Sukoharjo 0,4747 3.713.844 4,20% 0 0 0 1 52 Wonogiri 0,6782 1.987.103 1,22% 0 0 0 0 53 Karanganyar 0,7392 3.967.871 -1,28% 0 0 0 1 54 Sragen 0,4303 2.343.981 2,95% 0 0 0 0 55 Grobogan 0,5595 1.472.313 4,16% 0 0 0 0 56 Blora 0,5701 2.014.051 2,89% 1 0 0 0 57 Rembang 0,6169 2.484.047 3,13% 1 0 0 0 58 Pati 0,4344 2.593.015 3,94% 0 0 0 0 59 Kudus 0,9826 11.048.968 3,88% 0 0 0 0 60 Jepara 0,4657 2.922.149 3,20% 0 0 0 0 61 Demak 0,5174 2.380.606 3,72% 1 1 0 0 62 Semarang 0,6855 4.073.675 2,69% 1 1 0 0 63 Temanggung 0,4320 2.772.724 3,19% 0 0 0 0 64 Kendal 0,5828 4.265.435 3,38% 1 1 0 0 65 Batang 0,4666 2.678.159 2,35% 0 0 0 0 66 Pekalongan 0,4694 2.796.718 2,50% 0 0 0 0 67 Pemalang 0,4636 1.970.976 2,87% 0 0 0 0 68 Tegal 0,4783 1.646.830 3,72% 0 0 0 0 69 Brebes 0,6648 2.096.031 6,15% 0 0 0 0 70 Kota Magelang 1,1563 6.597.672 3,44% 0 0 0 0 71 Kota Surakarta 0,7588 6.355.970 4,12% 0 0 1 1 72 Kota Salatiga 0,7125 4.505.816 4,66% 0 0 0 1 73 Kota Semarang 0,7634 10.934.597 2,73% 1 1 1 1 74 Kota Pekalongan 0,5233 5.267.064 3,96% 0 0 0 1 75 Kota Tegal 0,5559 3.153.861 8,06% 0 0 0 0 76 Kulonprogo 0,4496 3.328.616 3,66% 0 0 0 0 77 Bantul 0,4281 3.393.597 3,74% 0 0 0 0 78 Gunung Kidul 0,5047 3.520.266 3,38% 0 0 0 0 79 Sleman 0,5151 4.558.384 4,67% 0 0 0 1 80 Kota Yogyakarta 0,8345 9.218.954 3,95% 0 0 1 1

Page 31: Analisis keki

3

kawasan Andalan = 1 , bukan andalan = 0

Tahun Sam-pel kabupaten/Kota IS

Pendapat-an

Per kapita (Rp)

Pertumbuhan

Ekonomi KEKI 1 dan

2 KEKI

1 Joglo-semar

Cepat maju cepat tumbuh

2002 81 Cilacap 0,7309 6.339.191 6,67% 0 0 0 1 82 Banyumas 0,4466 1.846.923 3,27% 0 0 0 0 83 Purbalingga 0,4715 1.804.376 3,23% 0 0 0 0 84 Banjarnegara 0,4742 2.361.446 0,95% 0 0 0 0 85 Kebumen 0,5762 1.720.544 3,24% 0 0 0 0 86 Purworejo 0,4951 2.632.392 3,45% 0 0 0 0 87 Wonosobo 0,5644 1.874.278 1,99% 0 0 0 0 88 Magelang 0,4344 2.557.210 4,59% 0 0 0 0 89 Boyolali 0,4798 3.295.222 2,59% 0 0 0 0 90 Klaten 0,4621 2.676.561 3,91% 0 0 0 0 91 Sukoharjo 0,4835 3.784.499 3,08% 0 0 0 1 92 Wonogiri 0,6791 2.029.834 3,62% 0 0 0 0 93 Karanganyar 0,7482 4.115.564 4,50% 0 0 0 1 94 Sragen 0,4269 2.393.665 2,39% 0 0 0 0 95 Grobogan 0,5621 1.508.563 3,26% 0 0 0 0 96 Blora 0,5758 2.052.963 2,44% 1 0 0 0 97 Rembang 0,6292 2.597.715 5,80% 1 0 0 0 98 Pati 0,4366 2.645.379 2,78% 0 0 0 0 99 Kudus 0,9770 11.230.996 2,47% 0 0 0 0 100 Jepara 0,4625 2.983.436 3,92% 0 0 0 0 101 Demak 0,5251 2.430.161 2,68% 1 1 0 0 102 Semarang 0,6894 4.495.436 10,77% 1 1 0 0 103 Temanggung 0,4323 2.845.278 3,38% 0 0 0 0 104 Kendal 0,5803 4.379.768 3,23% 1 1 0 0 105 Batang 0,4695 2.708.480 2,00% 0 0 0 0 106 Pekalongan 0,4664 2.854.059 2,91% 0 0 0 0 107 Pemalang 0,4659 2.027.366 3,38% 0 0 0 0 108 Tegal 0,4899 1.713.313 5,19% 0 0 0 0 109 Brebes 0,6773 2.196.600 5,16% 0 0 0 0 110 Kota Magelang 1,1668 6.753.411 3,01% 0 0 0 0 111 Kota Surakarta 0,7504 6.678.899 4,97% 0 0 1 1 112 Kota Salatiga 0,7141 4.668.409 3,88% 0 0 0 1 113 Kota Semarang 0,7454 11.420.910 5,45% 1 1 1 1 114 Kota Pekalongan 0,5330 5.416.372 3,22% 0 0 0 1 115 Kota Tegal 0,5742 3.257.798 5,09% 0 0 0 0 116 Kulonprogo 0,4548 3.468.011 4,12% 0 0 0 0 117 Bantul 0,4299 3.504.540 4,46% 0 0 0 0 118 Gunung Kidul 0,5010 3.625.099 3,26% 0 0 0 0 119 Sleman 0,5172 4.710.463 4,86% 0 0 0 1 120 Kota Yogyakarta 0,8335 9.672.769 4,49% 0 0 1 1

Page 32: Analisis keki

4

kawasan Andalan = 1 , bukan andalan = 0

Tahun Sam-pel kabupaten/Kota IS

Pendapat-an

Per kapita (Rp)

Pertumbuhan

Ekonomi KEKI 1 dan

2 KEKI

1 Joglose-

mar Cepat maju

cepat tumbuh

2003 121 Cilacap 0,7460 6.639.644 5,26% 0 0 0 1 122 Banyumas 0,4465 1.916.455 4,78% 0 0 0 0 123 Purbalingga 0,4704 1.872.407 4,46% 0 0 0 0 124 Banjarnegara 0,4747 2.411.806 2,94% 0 0 0 0 125 Kebumen 0,5767 1.768.035 3,70% 0 0 0 0 126 Purworejo 0,4987 2.760.217 5,08% 0 0 0 0 127 Wonosobo 0,5699 1.900.948 2,27% 0 0 0 0 128 Magelang 0,4419 2.656.619 4,73% 0 0 0 0 129 Boyolali 0,4836 3.440.777 4,86% 0 0 0 0 130 Klaten 0,4628 2.794.021 4,91% 0 0 0 0 131 Sukoharjo 0,4831 3.908.547 4,14% 0 0 0 1 132 Wonogiri 0,6652 2.102.623 1,69% 0 0 0 0 133 Karanganyar 0,7628 4.306.028 5,67% 0 0 0 1 134 Sragen 0,4287 2.473.746 3,62% 0 0 0 0 135 Grobogan 0,5662 1.567.068 4,50% 0 0 0 0 136 Blora 0,5867 2.143.605 4,84% 1 0 0 0 137 Rembang 0,6271 2.642.038 3,12% 1 0 0 0 138 Pati 0,4371 2.688.757 2,13% 0 0 0 0 139 Kudus 0,9760 11.289.301 1,68% 0 0 0 0 140 Jepara 0,4575 2.992.090 3,85% 0 0 0 0 141 Demak 0,5441 2.392.121 2,85% 1 1 0 0 142 Semarang 0,6813 4.346.048 -2,96% 1 1 0 0 143 Temanggung 0,4333 2.953.249 4,52% 0 0 0 0 144 Kendal 0,5883 4.479.836 2,91% 1 1 0 0 145 Batang 0,4723 2.740.843 2,14% 0 0 0 0 146 Pekalongan 0,4610 2.927.702 3,69% 0 0 0 0 147 Pemalang 0,4721 2.081.455 3,81% 0 0 0 0 148 Tegal 0,5038 1.794.054 5,56% 0 0 0 0 149 Brebes 0,6889 2.292.677 4,77% 0 0 0 0 150 Kota Magelang 1,1657 7.049.757 3,74% 0 0 0 0 151 Kota Surakarta 0,7438 7.093.055 6,11% 0 0 1 1 152 Kota Salatiga 0,7117 4.899.459 5,19% 0 0 0 1 153 Kota Semarang 0,7314 11.703.362 4,91% 1 1 1 1 154 Kota Pekalongan 0,5298 5.607.222 3,78% 0 0 0 1 155 Kota Tegal 0,5853 3.399.911 5,20% 0 0 0 0 156 Kulonprogo 0,4579 3.616.134 4,19% 0 0 0 0 157 Bantul 0,4312 3.627.279 4,69% 0 0 0 0 158 Gunung Kidul 0,4976 3.736.925 3,36% 0 0 0 0 159 Sleman 0,5187 4.878.095 5,08% 0 0 0 1 160 Kota Yogyakarta 0,8255 10.175.589 4,76% 0 0 1 1

Page 33: Analisis keki

5

kawasan Andalan = 1 , bukan andalan = 0

Tahun Sam-pel Kabupaten/Kota IS

Pendapat-an

Per kapita (Rp)

Pertumbuhan

Ekonomi KEKI 1 dan

2 KEKI

1 Joglo-semar

Cepat maju cepat tumbuh

2004 161 Cilacap 0,7648 6.948.485 5,63% 0 0 0 1 162 Banyumas 0,4481 1.976.787 4,02% 0 0 0 0 163 Purbalingga 0,4735 1.928.287 3,99% 0 0 0 0 164 Banjarnegara 0,4838 2.478.565 3,82% 0 0 0 0 165 Kebumen 0,5660 1.793.851 1,97% 0 0 0 0 166 Purworejo 0,4981 2.863.775 4,17% 0 0 0 0 167 Wonosobo 0,5773 1.940.510 2,29% 0 0 0 0 168 Magelang 0,4483 2.749.307 4,27% 0 0 0 0 169 Boyolali 0,4850 3.494.125 2,04% 0 0 0 0 170 Klaten 0,4625 2.916.085 4,95% 0 0 0 0 171 Sukoharjo 0,4785 4.030.198 4,31% 0 0 0 1 172 Wonogiri 0,6635 2.150.288 3,31% 0 0 0 0 173 Karanganyar 0,7828 4.535.736 6,79% 0 0 0 1 174 Sragen 0,4311 2.579.279 4,60% 0 0 0 0 175 Grobogan 0,5719 1.609.223 3,56% 0 0 0 0 176 Blora 0,5887 2.230.146 4,45% 1 0 0 0 177 Rembang 0,6429 2.715.083 3,88% 1 0 0 0 178 Pati 0,4399 2.776.972 4,13% 0 0 0 0 179 Kudus 0,9665 11.551.581 3,24% 0 0 0 0 180 Jepara 0,4562 3.055.933 3,78% 0 0 0 0 181 Demak 0,5526 2.443.665 3,40% 1 1 0 0 182 Semarang 0,6703 4.378.723 1,13% 1 1 0 0 183 Temanggung 0,4349 3.036.777 3,69% 0 0 0 0 184 Kendal 0,5878 4.577.811 2,80% 1 1 0 0 185 Batang 0,4737 2.774.409 2,00% 0 0 0 0 186 Pekalongan 0,4605 3.003.355 4,10% 0 0 0 0 187 Pemalang 0,4818 2.151.154 3,94% 0 0 0 0 188 Tegal 0,5174 1.871.830 5,31% 0 0 0 0 189 Brebes 0,6885 2.356.877 4,81% 0 0 0 0 190 Kota Magelang 1,1693 7.242.893 3,00% 0 0 0 0 191 Kota Surakarta 0,7406 7.511.981 5,80% 0 0 1 1 192 Kota Salatiga 0,7094 5.040.633 3,13% 0 0 0 1 193 Kota Semarang 0,7302 12.056.185 4,37% 1 1 1 1 194 Kota Pekalongan 0,5203 5.855.190 4,80% 0 0 0 1 195 Kota Tegal 0,5779 3.572.116 6,25% 0 0 0 0 196 Kulonprogo 0,4631 3.782.182 4,52% 0 0 0 0 197 Bantul 0,4320 3.767.914 5,04% 0 0 0 0 198 Gunung Kidul 0,4936 3.854.610 3,43% 0 0 0 0 199 Sleman 0,5170 5.061.916 5,25% 0 0 0 1 200 Kota Yogyakarta 0,8277 10.733.543 5,05% 0 0 1 1

Page 34: Analisis keki

6

2. ANALISIS LOGISTIK

KEKI 1 DAN KEKI 2

Demak Omnibus Tests of Model Coefficients Semarang Chi-square df Sig. Kendal Step 1 Step 3,0142136 3 0,3894389 Kota Semarang Block 3,0142136 3 0,3894389 Rembang Model 3,0142136 3 0,3894389 Blora Variables in the Equation B S.E. Wald df Sig. Exp(B) IS 0,7773 1,5968 0,2370 1 0,6264 2,1756 PERTUM -4,4441 15,5776 0,0814 1 0,7754 0,0117 PERKAP 8,961E-08 1,031E-07 0,7549 1 0,3849 1,0000 Constant -2,4125 0,9395 6,5935 1 0,0102 0,0896 A Variable(s) entered on step 1: IS, PERTUM, PERKAP.

KEKI 1 Demak Omnibus Tests of Model Coefficients Semarang Chi-square df Sig. Kendal Step 1 Step 11,272814 3 0,0103385 Kota Semarang Block 11,272814 3 0,0103385 Model 11,272814 3 0,0103385 Variables in the Equation B S.E. Wald df Sig. Exp(B) IS -2,5517 2,3583 1,1708 1 0,2792 0,0779 PERTUM -11,4982 20,4459 0,3163 1 0,5739 0,0000 PERKAP 3,665E-07 1,293E-07 8,0307 1 0,0046 1,0000 Constant -1,9148 1,2933 2,1920 1 0,1387 0,1474 a Variable(s) entered on step 1: IS, PERTUM, PERKAP.

JOGLOSEMAR Kota Yogyakarta Omnibus Tests of Model Coefficients Kota Surakarta Chi-square df Sig. Kota Semarang Step 1 Step 64,61641 3 6,062E-14 Block 64,61641 3 6,062E-14 Model 64,61641 3 6,062E-14 Variables in the Equation B S.E. Wald df Sig. Exp(B) IS -5,6795 5,0058 1,2873 1 0,2565 0,0034 PERTUM 69,8814 26,0993 7,1691 1 0,0074 2,234E+30 PERKAP 1,09E-06 3,175E-07 11,7813 1 0,0006 1,0000 Constant -8,2538 2,5560 10,4273 1 0,0012 0,0003 a Variable(s) entered on step 1: IS, PERTUM, PERKAP.

Page 35: Analisis keki

7

CEPAT MAJU CEPAT TUMBUH Cilacap Omnibus Tests of Model Coefficients Sukoharjo Chi-square df Sig. Karanganyar Step 1 Step 81,0820 3 0,0000 Kota Surakarta Block 81,0820 3 0,0000 Kota Salatiga Model 81,0820 3 0,0000 Kota Semarang Kota Pekalongan Sleman Kota Yogyakarta Variables in the Equation B S.E. Wald df Sig. Exp(B) IS -4,3528 2,0595 4,4669 1,0000 0,0346 0,0129 PERTUM 71,5929 20,1797 12,5866 1,0000 0,0004 1,237E+31 PERKAP 8,445E-07 1,655E-07 26,0264 1,0000 0,0000 1,0000 Constant -5,1948 1,2025 18,6633 1,0000 0,0000 0,0055 A Variable(s) entered on step 1: IS, PERTUM, PERKAP.

3. ANALISIS KONVERGENSI

Beta Std.Err. B Std.Err. t(38) p-level Intercept -0,056385 0,047282 -1,19252 0,240453 Ln_perkap00 0,282231 0,155627 0,005735 0,003162 1,81351 0,077657

Regression Summary for Dependent Variable:

Ln_pertum (Konvergensi.sta) R= .28223057 R²= .07965409 Adjusted R²= .05543446 F(1,38)=3.2888 p<.07766 Std.Error of estimate: .01002