analisis kebijakan moneter dalam menstabilkan … · digunakan dalam penelitian ini adalah data...
TRANSCRIPT
ANALISIS KEBIJAKAN MONETER DALAM MENSTABILKAN INFLASI DAN PENGANGGURAN DI INDONESIA
OLEH AZWAR ANAS
H14102016
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN AZWAR ANAS. Analisis Kebijakan Moneter dalam Menstabilkan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia (dibimbing oleh IMAN SUGEMA).
Perekonomian yang stabil akan lebih disukai dibandingkan perekonomian yang mengalami gejolak. Kestabilan menjadi penting karena kondisi yang stabil akan menciptakan suasana yang kondusif untuk perkembangan dunia usaha. Perkembangan perekonomian suatu negara dapat dikatakan sedang meningkat atau menurun berdasarkan beberapa indikator dasar makroekonominya di antaranya suku bunga, jumlah uang yang beredar, inflasi, nilai tukar dan pengangguran.
Upaya menstabilkan perekonomian dapat dicapai melalui kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal yang berkesinambungan berusaha menekan defisit anggaran serendah mungkin, baik melalui peningkatan pajak maupun pengurangan subsidi. Dari sisi moneter, telah terjadi perubahan paradigma yaitu dari stabilisasi yang berbasis jumlah uang yang beredar menjadi Inflation Targeting Framework (ITF) dengan instrumen suku bunga.
Pertumbuhan ekonomi akan mendorong perkembangan kondisi perekonomian. Sebelum krisis 1997 Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, nilai tukar yang stabil dan tingkat inflasi yang rendah. Tetapi ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun, bahkan menjadi negatif di tahun 1998, nilai tukar Rupiah terus terdepresiasi, inflasi meninggi dan terjadi ledakan pengangguran pada tahun 1998 dimana terjadi sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru.
Kondisi perekonomian negara dapat mengalami siklus naik turun, sehingga pada saat tertentu mengalami pertumbuhan yang pesat dan di saat yang lain mengalami penurunan. Untuk mengelola dan mempengaruhi perekonomian agar berada dalam kondisi stabil, pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia perlu melakukan langkah stabilisasi makro, dengan mengelola sisi permintaan dan penawaran suatu perekonomian agar mengarah pada kondisi keseimbangan, yaitu dengan menetapkan SBI sebagai instrumen kebijakan moneter. Telah banyak penelitian mengenai kebijakan moneter, tetapi masih terbatas sekali penelitian yang menghubungkan kebijakan moneter dengan pengangguran hal inilah yang melatarbelakangi penulis melakukan penelitian.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana variabel variabel makroekonomi bereaksi terhadap perubahan kebijakan moneter di Indonesia. Dan yang kedua untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan inflasi dan pengangguran di Indonesia.
Untuk melihat bagaimana kebijakan moneter berpengaruh terhadap inflasi, nilai tukar dan pengangguran, digunakan analisis Structural Vector Auto regression (SVAR) yang dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan Vector Error Correction Model (VECM) dengan software Eviews 4.1. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh publikasi Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) dari Bank Indonesia, publikasi International Financial Statistics dari International Monetary Fund, dan data publikasi Badan Pusat Satistik. Data-data yang digunakan adalah data kuartalan dari periode 1990:1-2005:4, meliputi suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tiga bulanan, jumlah uang yang beredar, Consumer Price Index (CPI), nilai tukar US Dollar per Rupiah dan data pengangguran.
Pada penelitian ini dilihat bagaimana respon variabel-variabel makroekonomi terhadap guncangan SBI. Respon pada dua kuartal awal (periode ke-1 dan periode ke-2) menunjukkan bahwa jumlah uang yang beredar, dan pengangguran mengalami penurunan, SBI dan inflasi mengalami peningkatan dan nilai tukar mengalami apresiasi. Secara umum respon jumlah uang yang beredar dan inflasi mengalami peningkatan, sedangkan respon nilai tukar cenderung mengalami depresiasi dan respon pengangguran mengalami penurunan. Setelah terjadi guncangan SBI, variabel yang lebih cepat menunjukkan respon permanen adalah variabel SBI itu sendiri, nilai tukar, pengangguran, inflasi dan yang membutuhkan waktu paling lama adalah jumlah uang yang beredar. Cukup lamanya respon variabel tersebut menuju ke arah kestabilan (mulai periode dua puluh sembilan sampai empat puluh empat atau tujuh sampai sebelas tahun setelah guncangan) menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia rentan terhadap perubahan, dan kebijakan moneter yang diterapkan kurang mampu untuk menstabilkan perekonomian.
Hasil Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) terhadap inflasi menunjukkan bahwa faktor yang paling berpengaruh pada awal periode adalah inovasi inflasi itu sendiri, dalam jangka panjang faktor yang paling berpengaruh adalah kebijakan moneter. Sedangkan hasil FEVD pengangguran menunjukkan bahwa dari awal hingga akhir periode peramalan, faktor yang paling berpengaruh terhadap variabel pengangguran adalah inovasi dalam pengangguran itu sendiri. Pengaruh kebijakan moneter yang besar terjadi pada periode ke-60 atau 15 tahun setelah terjadi guncangan, hal ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter kurang mampu mengendalikan laju inflasi dan tingkat pengangguran dalam jangka pendek.
ANALISIS KEBIJAKAN MONETER DALAM MENSTABILKAN INFLASI DAN PENGANGGURAN DI INDONESIA
Oleh
AZWAR ANAS H14102016
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa : Azwar Anas
Nomor Registrasi Pokok : H14102016
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Sripsi : Analisis Kebijakan Moneter dalam
Menstabilkan Inflasi dan Pengangguran
di Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Iman Sugema, M.Ec NIP. 131 846 870
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, 5 September 2006
Azwar Anas H14102016
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Azwar Anas lahir pada tanggal 23 Mei 1984 di Jakarta.
Penulis anak ke dua dari empat bersaudara, dari pasangan Dayat dan Nur Aisyah.
Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah
dasar pada SDN Pondok Pinang 07 Pagi Jakarta Selatan, kemudian melanjutkan
ke SMPN 161 Jakarta dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis
diterima di SMUN 47 Jakarta dan lulus pada tahun 2002.
Pada tahun 2002 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melanjutkan
studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi
pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan
mengembangkn pola pikir, sehingga menjadi sumber daya yang berguna bagi
pembangunan Indonesia. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) dan diterima menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu
Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dibeberapa organisasi dan
kegiatan akademik. Penulis pernah menjadi Staf Departemen Sosial Politik Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEM, Ketua Komisi I Advokasi Aspirasi dan
Kesejahteraan Mahasiswa Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FEM. Dan
mengikuti kegiatan organisasi eksternal HMI, dengan menjadi Wasekum
Penelitian dan Pengembangan HMI Komisariat FEM.
Penulis juga aktif dalam kegiatan akademik yaitu menjadi tutor dalam
kegiatan BEM FEM, tutor dalam kegiatan HIPOTESA, Asisten Mata Kuliah
Ekonomi Dasar II dan Asisten Ekonomi Umum. Penulis juga pernah menjadi
salah satu Mahasiswa Berprestasi di Departemen Ilmu Ekonomi dan di Fakultas
Ekonomi dan Manajemen pada tahun 2005. Penulis pernah mengikuti kejuaraan
tingkat nasional yaitu Young Economic Icon 2005, National Talk Show dan LKTI
di Universitas Padjajaran Mei 2006 dan PIMNAS XIX di Universitas
Muhammadiyah Malang Juli 2006.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul
skripsi ini adalah “Analisis Kebijakan Moneter dalam Menstabilkan Inflasi
dan Pengangguran di Indonesia”. Kebijakan moneter dan pengangguran
merupakan topik yang sangat menarik, diharapkan dengan adanya kebijakan
moneter yang tepat maka perekonomian Indonesia menjadi stabil. Di samping itu,
skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih dan hormat kepada Bapak Dr. Ir. Iman Sugema,
M.Ec yang telah menjadi dosen pembimbing skripsi atas dorongan, dan arahannya
selama proses pembuatan skripsi ini. Rasa terima kasih juga penulis tujukan
kepada Bapak Noer Azam Achsani, Ph.D dan kepada Ibu Wiwiek Rindayanti,
M.Si. Semua saran dan kritikannya menjadi masukan yang berharga bagi
penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Mba
Yati Nuryati, S.Pi, M.Si dan Moc. Iqbal Irfani SE yang telah membantu dalam
metode penelitian skripsi ini. Dan ucapan terimakasih kepada para Dosen Fakultas
Ekonomi dan Manajemen beserta staf yang telah membantu proses pendidikan
bagi penulis.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ayah dan Ibu yang telah
membesarkan dan mendidik penulis hingga saat ini, semoga Allah SWT
membalas segala kebaikan dan memberikan perlindungan di dunia maupun di
akhirat kelak. Kepada Ka Nina tersayang terima kasih atas segala dukungan dan
perhatiannya, dan terima kasih kepada adik-adik penulis Mega dan Rifki atas
segala keceriaan dan kebahagiaan yang selalu diberikan.
Penulis juga ucapkan terima kasih kepada teman-teman sepenelitian Nova
Mardianti, Mardi Efriza dan Ade Holis atas segala dukungan yang diberikan,
kepada sahabat F2nE Ipa, Sari, Hasni, May, dan Jun, teman seperjuangan Ary,
ii
Fikri, Edi, Nina, Nilam, Diyah, Selda dan Firman atas bantuan dan perhatiannya.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman IE 39 dan para
peserta seminar yang telah ikut memberi kritik dan saran dalam perbaikan skripsi
ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang
membutuhkan.
Bogor, 5 September 2006
Azwar Anas H14102016
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL........................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ vii
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. viii
I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang................................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ......................................................................... 6
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 6
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ................. 8
2.1. Pengertian dan Definisi.................................................................... 8
2.1.1. Kebijakan Moneter ............................................................... 8
2.1.2. Kebijakan Stabilisasi ............................................................ 8
2.1.3. Suku Bunga .......................................................................... 9
2.1.4. Jumlah Uang yang Beredar .................................................. 9
2.1.5. Inflasi .................................................................................... 10
2.1.6. Indeks Harga Konsumen (IHK)............................................ 11
2.1.7. Nilai Tukar............................................................................ 11
2.1.7.1. Sistem Nilai Tukar Tetap......................................... 12
2.1.7.2. Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas................. 13
2.1.7.3. Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali ......... 13
2.1.8. Pengangguran ....................................................................... 14
2.2. Penelitian Terdahulu....................................................................... 15
2.2.1. Penelitian Djivre dan Ribon (2003)...................................... 15
2.2.2. Penelitian Siregar dan Ward (2005) ..................................... 16
2.2.3. Penelitian Siregar, et al. (2006) ............................................ 17
2.3. Kerangka Teori ............................................................................... 18
iv
2.3.1. Kebijakan Moneter untuk Mengendalikan Suku Bunga....... 18
2.3.2. Efektivitas Kebijakan Moneter dalam Mempengaruhi Perekonomian........................................................................ 19
2.3.3. Teori Permintaan Agregat dengan Pendekatan Model IS-LM 20
2.3.4. Kebijakan Moneter dalam Konsep Pendekatan Harga .......... 22
2.3.5. Inflasi Gejolak Permintaan .................................................... 22
2.3.6. Inflasi Gejolak Penawaran dengan Validasi dan Tanpa Validasi Moneter................................................................... 23
2.3.7. Kebijakan Moneter Ekspansioner dalam Sistem Kurs Tetap 24
2.3.8. Kebijakan Moneter Ekspansioner Sistem Kurs Mengambang 25
2.3.9. Kurva Phillips........................................................................ 25
2.4. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 27
III. GAMBARAN UMUM .......................................................................... 30
3.1. Gambaran Inflation Targeting Framework .................................... 30
3.2. Perkembangan Indikator-Indikator Makroekonomi di Indonesia... 32
IV. METODE PENELITIAN ...................................................................... 38
4.1. Jenis dan Sumber Data.................................................................... 38
4.2. Model Penelitian............................................................................. 39
4.3. Metode Analisis Data ..................................................................... 40
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 53
5.1. Kestasioneran Data ......................................................................... 53
5.2. Uji Lag Optimal .............................................................................. 54
5.3. Uji Stabilitas VAR.......................................................................... 55
5.4. Uji Kointegrasi................................................................................ 55
5.5. Impulse Response Function (IRF) .................................................. 57
5.6. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) ......................... 63
5.6.1. Faktor-Faktor Determinan Inflasi.......................................... 63
5.6.2. Faktor-Faktor Determinan Pengangguran ............................. 65
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 68
6.1. Kesimpulan ..................................................................................... 68
6.2. Saran ............................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 70
LAMPIRAN ............................................................................................... . 72
DAFTAR TABEL Nomor Halaman
3.1. Jumlah Pengangguran di Indonesia Periode 1998-2005..................... 37
4.1. Data, Satuan, Simbol dan Sumber Data.............................................. 38
5.1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level................................................ 53
5.2. Hasil Pengujian Akar Unit pada First Difference............................... 54
5.3. Nilai Lag Optimal ............................................................................... 55
5.4. Hasil Uji Kointegrasi .......................................................................... 56
5.5. Faktor-Faktor Determinan Inflasi ....................................................... 64
5.6. Faktor-Faktor Determinan Pengangguran .......................................... 66
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1. Perubahan Penawaran Uang .................................................................. 18
2.2. Efektivitas Kebijakan Moneter dalam Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi................................................................................................. 19
2.3. Model IS-LM (a) dan Model Penawaran Agregat dan Permintaan Agregat (b) dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang. . ..................... 21 2.4. Inflasi Gejolak Permintaan .................................................................... 23
2.5. Gejolak Penawaran dengan Validasi dan Tanpa Validasi ..................... 24
2.6. Ekspansi Moneter dalam Sistem Kurs Tetap......................................... 25
2.7. Ekspansi Moneter dalam Sistem Kurs Mengambang............................ 25
2.8. Kurva Phillips ........................................................................................ 26
2.9. Kerangka Pemikiran. .............................................................................. 27
3.1. Perkembangan BI rate Periode Januari-Agustus 2006 .......................... 31
3.2. Perkembangan SBI Periode 1996-2005................................................. 33
3.3. Jumlah Uang yang Beredar Periode 1996-2005 .................................... 34
3.4. Inflasi YOY dari Tahun 1990-2005 ....................................................... 35
3.5. Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah dari Tahun 1996-2005. ........................... 36
5.1. Respon Variabel Makroekonomi terhadap Guncangan SBI.................. 58
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman
1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level...................................................... 73
2. Hasil Pengujian Akar Unit pada First Difference..................................... 77
3. Hasil Pengujian Lag Optimal.................................................................... 81
4. Hasil Pengujian Stabilitas VAR................................................................ 82
5. Hasil Estimasi Struktural VAR................................................................. 84
6. Hasil Pengujian Johansen dengan ”Asumsi Summary”............................ 86
7. Hasil Pengujian Johansen dengan ”Asumsi 5” ......................................... 87
8. Impulse Response Function (IRF) ............................................................ 90
9. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) ................................... 92
DAFTAR SINGKATAN
AD = Aggregate Demand
ADF = Aughmented Dickey Fuller
AIC = Akaike Information Criteria
AS = Aggregate Supply
BI = Bank Indonesia
BPS = Badan Pusat Statistik
CPI = Consumer Price Index
ECM = Error-Correction Model
FEVD = Forecast Error Variance Decomposition
HQ = Hannan-Quinn Information Criterion
IFS = International Financial Statistic
ITF = Inflation Targeting Framework
IHK = Indeks Harga Konsumen
ILO = International Labor Organization
IMF = International Monetary Fund
IRF = Impulse Response Function
LRAS = Long-Run Agreggate Supply
OLS = Ordinary Least Squares
RDG = Rapat Dewan Gubernur
SBI = Sertifikat Bank Indonesia
SC = Schwarz Criterion
SEKI = Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia
SRAS = Short-Run Agreggate Supply
SVAR = Strctural Vector Autoregression
VAR = Vector Autoregression
VECM = Vector Error Correction Model
VMA = Vector Moving Average
YOY = Year On Year
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perekonomian yang stabil akan lebih disukai dibandingkan perekonomian
yang mengalami gejolak. Kestabilan menjadi penting karena kondisi yang stabil
akan menciptakan suasana yang kondusif untuk perkembangan dunia usaha.
Stabilitas makroekonomi dapat dilihat dari dampak guncangan suatu
variabel makroekonomi terhadap variabel makroekonomi lainnya. Apabila
dampak suatu guncangan menimbulkan fluktuasi yang besar pada variabel
makroekonomi dan diperlukan waktu yang relatif lama untuk mencapai
keseimbangan jangka panjang, maka dapat dikatakan bahwa stabilitas
makroekonomi rentan terhadap perubahan. Namun apabila dampak guncangan
indikator itu menunjukkan fluktuasi yang kecil dan waktu untuk mencapai
keseimbangan jangka panjang relatif tidak lama maka dapat dikatakan kondisi
makroekonomi relatif stabil (Siregar, et al., 2006).
Menurut Siregar et al. (2006), upaya menstabilkan perekonomian dapat
dicapai melalui kebijakan fiskal maupun melalui kebijakan moneter. Kebijakan
fiskal yang berkesinambungan berusaha menekan defisit anggaran serendah
mungkin, baik melalui peningkatan pajak maupun pengurangan subsidi. Dari sisi
moneter, sejak pertengahan 2005 telah terjadi perubahan paradigma yaitu dari
stabilisasi yang berbasis jumlah uang yang beredar menjadi Inflation Targeting
Framework (ITF) dengan menggunakan instrumen suku bunga.
2
Perkembangan perekonomian suatu negara dapat dikatakan sedang
meningkat atau menurun berdasarkan beberapa indikator dasar makroekonominya
diantaranya suku bunga, jumlah uang beredar, inflasi, nilai tukar dan
pengangguran. Bank Indonesia sebagai lembaga otoritas moneter melakukan
upaya stabilisasi melalui instrumen suku bunga SBI, penetapan SBI dilakukan
untuk mengendalikan jumlah uang beredar. Ketika jumlah uang yang beredar di
masyarakat terlalu banyak maka akan menyebabkan terjadinya inflasi.
Saat krisis tingkat inflasi di Indonesia meningkat tajam, dan pernah
mencapai 82,40 persen pada September 1998. Tingkat inflasi yang tinggi pada
saat itu mencerminkan ketidakstabilan harga, hal ini tentu saja mengurangi daya
beli masyarakat. Ketika inflasi terjadi jumlah uang yang beredar meningkat hal ini
akan berdampak pada terdepresiasinya nilai tukar.
Nilai tukar Rupiah selalu mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, pada
saat sebelum krisis yaitu dari tahun 1993-1996, nilai tukar Rupiah berada pada
kisaran 2.110–2.383 Rupiah per US Dollar. Ketika terjadi krisis ekonomi yang
melanda kawasan Asia pada pertengahan 1997 perekonomian Indonesia terkena
dampak negatifnya. Krisis ekonomi yang terjadi di Asia ini diawali dengan
melemahnya Bath Thailand yang melahirkan contagion-effect (efek menular ke
negara lain) dan menyebabkan krisis mata uang yang merambat ke negara Asia
lainnya termasuk Indonesia.
Krisis mata uang yang melanda Indonesia ditandai dengan melemahnya
mata uang Rupiah terhadap Dollar pada pertengahan tahun 1997. Rupiah yang
bernilai 2.450 Rupiah per US Dollar pada bulan Juni 1997 mengalami depresiasi
3
secara terus menerus hingga pada akhir tahun 1997 mencapai 4.650 Rupiah per
US Dollar Untuk menahan laju nilai tukar Rupiah, pada tanggal 14 Agustus 1997
pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali (managed floating
system) dan menerapkan sistem kurs mengambang bebas (free floating system).
Namun memasuki tahun 1998 kondisi nilai tukar Rupiah semakin parah dan
puncaknya mencapai 14.850 Rupiah per US Dollar pada Juni 1998.
Untuk meredam melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar dan
tingkat inflasi yang tinggi, bank sentral meningkatkan tingkat suku bunga SBI
yang pada bulan November 1998 menyentuh angka 61 persen per tiga bulan.
Langkah ini disatu sisi memang berhasil menurunkan laju inflasi dari 77,63 persen
pada tahun 1998 menjadi 2 persen pada akhir tahun 1999. Namun di sisi lain
keadaan ini berdampak buruk pada tingkat investasi di Indonesia, pada tahun 1997
pelarian arus modal keluar mencapai 3,5 milyar Dollar, sementara pada tahun
1998 dan 1999 masing-masing mencapai 19.7 milyar Dollar dan 11,3 milyar
Dollar (Salim, 2001).
Pelarian modal tentu mengakibatkan dana untuk investasi menurun secara
tajam, akibatnya tidak terjadi perputaran dana di sektor riil, dan berdampak pada
penyerapan tenaga kerja. Akibat krisis finansial banyak para pengusaha yang
bangkrut karena dililit hutang bank, sehingga banyak pekerja atau buruh pabrik
yang terpaksa di-PHK oleh perusahaan untuk mengurangi cost yang dipakai untuk
membayar gaji pekerjanya. Hal ini menjadi salah satu pemicu terjadinya ledakan
pengangguran yakni pelonjakan angka pengangguran dalam waktu yang relatif
4
singkat. Ledakan pengangguran terjadi di tahun 1998 di mana terjadi sekitar 1,4
juta pengangguran terbuka baru (Limongan, 2001).
Berbagai indikator ekonomi makro moneter sepanjang tahun 2005
menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia masih belum stabil, ini berarti
ekonomi Indonesia masih rawan terhadap berbagai guncangan, ketidakstabilan
indikator makro dapat dilihat dari adanya peningkatan inflasi dan suku bunga,
volatilitas nilai tukar dan adanya kecenderungan kenaikan tingkat pengangguran.
Inflasi IHK 2005 mencapai 17,11 persen, jauh di atas inflasi tahun 2004
yang mencapai 6,4 persen, inflasi tahun 2005 merupakan inflasi tertinggi sejak
pasca krisis. Tingginya laju inflasi disebabkan kenaikan administered prices
khususnya harga BBM pada bulan Maret dan Oktober 2005 dan administered
prices lainnya seperti tarif angkutan, elpiji, cukai rokok, dan tarif tol. Inflasi
administered prices hingga Desember 2005 tercatat sebesar 42,01 persen year on
year (yoy). Laju inflasi juga disebabkan adanya gangguan pasokan dan distribusi
sehingga menyebabkan tingginya harga bahan makanan (volatile foods) sebesar
15,18 persen, adanya peningkatan ekpektasi inflasi yang didorong oleh kenaikan
harga BBM dan pelemahan nilai tukar Rupiah. Dan penyebab terakhir karena
adanya depresiasi nilai tukar Rupiah selama tahun 2005 sebesar 8,6 persen yoy
(Sitorus, 2006).
Ketidakstabilan mata uang Rupiah mulai terjadi sejak bulan Januari 2004.
Sejak bulan itu Rupiah terdepresiasi tidak hanya dengan mata uang Dollar, tetapi
juga dengan mata uang Euro dan Yen. Ini mengindikasikan pengaruh internal
lebih menentukan dibandingkan dengan pengaruh eksternal. Dengan kata lain
5
kondisi Indonesialah yang membuat mata uang Rupiah menjadi melemah. Ketika
Bank Indonesia merespon dengan meningkatkan suku bunga dalam negeri untuk
disesuaikan dengan suku bunga internasional, langkah penyesuaian yang diambil
sudah terlambat. Terjadinya peningkatan suku bunga domestik merupakan respon
atas meningkatnya suku bunga internasional yang mengalami pembalikan trend
sejak the Fed menaikkan suku bunganya di pertengahan 2004. Kenaikan suku
bunga SBI, segera akan diikuti oleh kenaikan suku bunga simpanan dan kredit.
Kenaikan yang terlalu cepat ini tentu akan menyulitkan perbankan dan sektor riil
(Sugema, et al., 2006).
Fenomena perekonomian secara global pada tahun 2005-2006
memperlihatkan bahwa kondisi eksternal belum menunjukkan kondisi yang
kondusif, seperti adanya kecenderungan kenaikan suku bunga internasional,
kenaikan harga minyak dunia, dan masih tingginya inflasi dunia. Kondisi-kondisi
tersebut tentu saja harus dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan untuk
memperbaiki kondisi perekonomian.
Kondisi kestabilan perekonomian negara dapat mengalami siklus naik
turun. Sehingga agar perekonomian berada dalam kondisi stabil, pemerintah
dalam hal ini Bank Indonesia perlu melakukan langkah stabilisasi makro, dengan
mengelola sisi permintaan dan penawaran suatu perekonomian agar mengarah
pada kondisi keseimbangan, yaitu dengan menetapkan SBI sebagai instrumen
kebijakan moneter. Telah banyak penelitian mengenai kebijakan moneter, tetapi
masih terbatas sekali penelitian yang menghubungkan kebijakan moneter dengan
pengangguran. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis melakukan penelitian.
6
1.2. Perumusan Masalah
Perubahan-perubahan dan fluktuasi ekonomi yang terjadi terkadang
menimbulkan guncangan yang besar pada sektor moneter dan sektor riil di
Indonesia, seperti saat krisis 1997 Indonesia mengalami masalah yang multi
dimensi dan pemerintah melakukan berbagai upaya perbaikan untuk membawa
Indonesia keluar dari krisis tersebut. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka
perlu dilakukan suatu analisa empiris mengenai dampak perubahan kebijakan
moneter di Indonesia terhadap kestabilan harga dan dalam mengatasi
pengangguran. Oleh karena itu penulis merumuskan permasalahan dengan lingkup
waktu analisis dari tahun 1990:1 sampai tahun 2005:4, dan membagi
permasalahan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Bagaimana respon variabel-variabel makroekonomi terhadap perubahan
kebijakan moneter di Indonesia?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan inflasi dan
pengangguran di Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Menganalisis bagaimana respon variabel-variabel makroekonomi
terhadap perubahan kebijakan moneter di Indonesia.
2. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan
inflasi dan pengangguran di Indonesia.
7
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk melihat perubahan kebijakan moneter dalam
menstabilkan inflasi dan pengangguran di Indonesia, manfaat penelitian ini bagi
penulis adalah sebagai proses belajar yang dapat memberikan tambahan
pengetahuan, terutama dalam mengaplikasikan ilmu yang telah penulis dapatkan.
Untuk pihak-pihak lain yang berkepentingan, penelitian ini diharapkan dapat
berguna sebagai bahan informasi dan bahan pertimbangan bagi penelitian sejenis.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian
2.1.1. Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter merupakan kebijakan bank sentral atau otoritas
moneter dalam bentuk pengendalian besaran moneter dan atau suku bunga untuk
mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan. Pengendalian
itu berupa terjaganya stabilitas ekonomi makro, yaitu adanya stabilitas harga
(rendahnya laju inflasi), membaiknya perkembangan output riil (pertumbuhan
ekonomi), serta terbukanya kesempatan kerja yang besar.
Kebijakan Moneter yang dikenal terdapat dua macam yaitu, kebijakan
moneter kontraktif dan kebijakan moneter ekspansif. Kebijakan ekspansif
dilakukan untuk mendorong kegiatan ekonomi, antara lain dengan meningkatkan
jumlah uang yang beredar. Sedangkan kebijakan kontraktif dilakukan untuk
memperlambat kegiatan ekonomi dengan mengurangi jumlah uang yang beredar
(Warjiyo, 2004).
2.1.2. Kebijakan Stabilisasi
Kebijakan stabilisasi (stabilization policy) mengacu pada tindakan
kebijakan yang bertujuan mengurangi tekanan fluktuasi ekonomi jangka pendek.
Karena fluktuasi output dan kesempatan kerja di sekeliling tingkat wajar jangka
panjangnya, maka kebijakan stabilisasi dilakukan untuk memperkecil siklus bisnis
dengan mempertahankan output dan kesempatan kerja sedekat mungkin dengan
tingkat wajarnya (Mankiw, 2000).
9
2.1.3. Suku Bunga
Para ekonom membedakan antara suku bunga nominal dan suku bunga
riil. Perbedaan ini adalah relevan ketika seluruh tingkat harga berubah. Suku
bunga nominal (nominal interest rate) adalah tingkat bunga yang biasa dilaporkan,
tingkat bunga yang investor bayar untuk meminjam uang. Suku bunga riil (real
interest rate) adalah tingkat bunga nominal yang dikoreksi karena pengaruh inflasi
(Mankiw, 2000).
Bank Indonesia selalu menetapkan tingkat suku bunga tertentu dari waktu
ke waktu, suku bunga tersebut dinamakan suku bunga SBI. Suku bunga SBI
dihitung dengan menggunakan rata-rata tertimbang dan memperhitungkan bobot
volume transaksi yang terjadi pada periode yang bersangkutan (Bank Indonesia,
2005).
2.1.4. Jumlah Uang yang Beredar
Kewajiban sistem moneter yang terdiri atas uang kartal dan uang giral
dalam arti sempit atau narrow money (M1). Adapun kewajiban yang meliputi
uang kartal, uang giral dan uang kuasi disebut uang beredar dalam arti luas atau
broad money (M2). Uang kartal terdiri atas uang kertas dan uang logam yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai alat pembayaran yang sah. Uang giral
adalah simpanan Rupiah milik penduduk pada sistem moneter yang terdiri atas
rekening giro, kiriman uang (transfer) dan kewajiban segera lainnya antara lain
simpanan berjangka yang telah jatuh waktu. Uang kuasi merupakan simpanan
Rupiah dan valuta asing milik penduduk pada sistem moneter yang untuk
sementara waktu kehilangan fungsinya sebagai alat tukar. Uang kuasi terdiri atas
10
simpan berjangka dan tabungan dalam Rupiah, serta simpanan dalam valuta asing
lainnya (Bank Indonesia, 2005).
Menurut Nopirin (2000), M1 bersifat liquid sebab proses menjadikanya
uang kas sangat cepat. Sedangkan M2 karena mencakup deposito berjangka maka
liquiditasnya lebih rendah, untuk menjadikannya uang kas, deposito berjangka
memerlukan waktu (3, 6, 12 bulan). Dan apabila dijadikan uang kas sebelum
jangka waktu tersebut maka kena penalty atau denda.
2.1.5. Inflasi
Inflasi adalah kenaikan dalam tingkat harga rata-rata, inflasi dapat terjadi
melalui dua sisi, yaitu dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Inflasi dari sisi
permintaan (demand inflation) terjadi apabila secara agregat terjadi peningkatan
terhadap barang-barang dan jasa dalam memenuhi permintaan yang mendorong
produsen untuk menambah dana produksi dan menyebabkan pergeseran kurva
permintaan. Kondisi ini secara langsung dapat mengakibatkan inflasi karena
menyebabkan naiknya harga output. Peristiwa ini dinamakan demand inflation.
Sebaliknya apabila secara agregat terjadi penurunan penawaran terhadap
barang-barang dan jasa yang diakibatkan oleh meningkatnya biaya produksi,
maka terjadi pergeseran kurva penawaran yang secara potensial akan
mengakibatkan inflasi disertai kelesuan usaha dalam perekonomian yang
ditunjukkan dengan menurunnya sejumlah output. Kondisi ini dinamakan inflasi
dari sisi penawaran atau cost push inflation (Mankiw, 2000).
11
2.1.6. Indeks Harga Konsumen (IHK)
Ukuran mengenai tingkat harga yang paling banyak digunakan adalah
Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI). IHK adalah
harga sekelompok barang dan jasa relatif terhadap harga sekelompok barang dan
jasa yang sama pada tahun dasar. Perhitungan ini dimulai dengan mengumpulkan
harga dari ribuan barang dan jasa, IHK mengubah harga berbagai barang dan jasa
menjadi sebuah indeks tunggal yang mengukur seluruh tingkat harga (Mankiw,
2000). Sedangkan menurut Lipsey, et al. (1997) CPI adalah suatu ukuran harga
rata-rata dari berbagai komoditi yang biasanya dibeli rumah tangga, dikompilasi
setiap bulan oleh BPS.
2.1.7. Nilai Tukar
Nilai tukar didefinisikan sebagai nilai suatu mata uang yang dibutuhkan
untuk mendapatkan satu unit mata uang lainnya (Lipsey, et al., 1997). Sedangkan
menurut Mishkin (2001), nilai tukar mata uang suatu negara adalah harga mata
uang suatu negara tersebut yang dihitung dalam mata uang negara lain.
Menurut Hossain dan Chowdhury (1998), kurs nominal adalah harga dari
mata uang asing dalam bentuk mata uang domestik, kurs nominal dapat
dinyatakan dalam persamaan berikut:
e = Pd / Pf (2.1)
dimana:
e = kurs nominal,
Pd = harga domestik,
Pf = harga luar negeri.
12
Berdasarkan Mankiw (2000), nilai tukar dibagi menjadi dua yaitu nilai
tukar nominal (nominal exchange rate) dan nilai tukar riil (real exchange rate).
nilai tukar nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan
nilai tukar riil adalah harga relatif dari barang-barang kedua negara. Hubungan
antara nilai tukar riil dan nilai tukar nominal adalah sebagai berikut:
E = e • P /P* (2.2)
dimana :
E = nilai tukar riil,
e = nilai tukar nominal,
P* = harga luar negeri,
P = harga dalam negeri.
Setiap negara memiliki sistem nilai tukar yang berbeda sesuai dengan
keinginan pemerintah negara untuk menstabilkan nilai tukar tersebut. Kestabilan
nilai tukar itu dapat melalui intervensi bank sentral atau melalui mekanisme pasar.
Secara umum sistem nilai tukar yang diterapkan saat ini dapat dibagi atas tiga
sistem, yaitu sistem nilai tukar tetap, sistem nilai tukar mengambang terkendali
dan mengambang bebas.
2.1.7.1. Sistem Nilai Tukar Tetap
Sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) merupakan sistem mata
uang yang konvertibel di dalam suatu negara. Dalam sistem ini setiap individu
bebas melakukan jual beli valuta asing yang dinginkan dan untuk
mempertahankan nilai tukarnya, pemerintah melalui bank sentral melakukan jual
beli valuta asing.
13
Pada sistem ini nilai tukar ditetapkan pada nilai tertentu, bank sentral akan
selalu siap untuk menjual atau membeli kebutuhan devisa untuk mempertahankan
nilai tukar yang telah ditetapkan. Apabila nilai tukar tersebut tidak dapat lagi
dipertahankan maka bank sentral dapat melakukan devaluasi ataupun revaluasi
atas nilai tukar yang ditetapkan (Warjiyo, 2004).
2.1.7.2. Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas
Menurut Warjiyo (2004), Pada sistem nilai tukar mengambang (floating
exchange rate), nilai tukar dibiarkan bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan
dan penawaran yang terjadi di pasar. Dengan demikian, nilai tukar akan menguat
apabila terjadi kelebihan penawaran, dan sebaliknya nilai tukar akan melemah
apabila terjadi kelebihan permintaan di pasar valuta asing. Kelebihan sistem ini
yaitu sebuah negara tidak harus mempunyai cadangan devisa yang besar sebab
bank sentral tidak harus mempertahankan nilai tukar pada level tertentu.
2.1.7.3. Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali
Otoritas moneter dalam sistem nilai tukar mengambang terkendali (free
floating exchange rate) memiliki wewenang untuk melakukan intervensi di pasar
valuta asing. Hal ini dilakukan untuk melunakkan fluktuasi jangka pendek tanpa
bermaksud mempengaruhi trend kurs jangka panjang. Otoritas moneter ini
menggunakan cadangan devisa untuk mengatasi kelebihan valuta asing jangka
pendek, sehingga mengurangi tekanan depresiasi yang berlebihan.
Bank Sentral menetapkan batasan suatu kisaran tertentu dari pergerakan
nilai tukar yang disebut ’intervention band’ atau batas pita intervensi. Nilai tukar
akan ditentukan sesuai mekanisme pasar sepanjang berada di dalam batas atas
14
atau batas bawah dari kisaran tersebut, jika nilai tukar melewati batas tersebut
maka bank sentral akan secara otomatis melakukan intervensi di pasar valuta
asing sehingga nilai tukar bergerak kembali ke dalam pita intervensi (Warjiyo,
2004).
2.1.8. Pengangguran
Menurut Lipsey, et al. (1997), pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga
macam yaitu pengangguran siklis, pengangguran friksional dan pengangguran
struktural. Pengangguran siklis mengacu kepada pengangguran yang terjadi
bilamana permintaan total tidak memadai untuk membeli semua keluaran
potensial ekonomi, sehingga menyebabkan senjang resesi dimana keluaran aktual
lebih kecil daripada keluaran potensial. Orang–orang yang menganggur secara
siklis dikatakan sebagai orang ynag mengganggur terpaksa (involuntarily
unemployed) dalam arti mereka ingin bekerja dengan tingkat upah yang berlaku
tetapi pekerjaan tidak tersedia.
Penganguran struktural dapat didefinisikan sebagai pengangguran yang
disebabkan ketidaksesuaian antara struktur angkatan kerja berdasarkan jenis
keterampilan, pekerjaan, industri atau lokasi geografis dan struktur permintaan
akan tenaga kerja. Sedangkan pengangguran friksional diakibatkan oleh
perputaran (turn-over) normal tenaga kerja. Sumber penting pengangguran
friksional adalah orang-orang muda yang memasuki angkatan kerja dan mencari
pekerjaan. Sumber lainnya adalah orang-orang yang keluar dari pekerjaannya,
baik karena tidak puas dengan kondisi pekerjaan yang sekarang maupun karena
dipecat. Menurut Mankiw (2000), pengangguran friksional (frictional
15
unemployment) yaitu pengangguran yang disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan
orang untuk mencari pekerjaan. Perubahan dalam komposisi permintaan di antara
industri atau wilayah selalu terjadi, dan karena perlu waktu bagi para pekerja
untuk mengubah sektor maka pengangguran friksional selalu muncul.
Menurut BPS (2004), konsep dan definisi yang digunakan dalam
pengumpulan data ketenagakerjaan mengacu pada the labour force concept yang
disarankan oleh International Labor Organization (ILO). Definisi pengangguran
terbuka terdiri dari : (a) mereka yang mencari pekerjaan, (b) mereka yang
mempersiapkan usaha, (c) mereka yang tidak mencari pekerjan dan (d) mereka
yang sudah punya pekerjaan. Mencari pekerjaan adalah kegiatan seseorang yang
tidak bekerja dan pada saat survey orang tersebut sedang mencari pekerjaan,
seperti mereka : (a) yang belum pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan
pekerjaan; (b) yang sudah pernah bekerja, karena sesuatu hal berhenti atau
diberhentikan dan sedang berusaha untuk mendapatkan pekerjaan (BPS, 2004).
2.2. Penelitian Terdahulu
2.2.1. Penelitian Djivre dan Ribon (2003)
Djivre dan Ribon (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Inflation,
Unemployment, The Exchange Rate, and Monetary Policy in Israel, 1990-99: a
SVAR Approach”, menjelaskan efek kebijakan moneter pada perekonomian Israel,
tingkat pengangguran dan evolusi harga pada periode 1990-1999, dengan
menggunakan pendekatan Structural Vector Autoregression (SVAR). Untuk
menjelaskan penelitian ini digunakan empat variabel endogen yaitu tingkat
pengangguran, inflasi, suku bunga nominal Bank of Israel dan nilai tukar. Analisis
16
IRF pada model penelitian mengindikasikan bahwa kebijakan moneter ketat yang
tidak diharapkan akan diikuti oleh penurunan inflasi secara lambat dan tingkat
pengangguran akan meningkat. Dengan analisis shock struktural aktual, diketahui
bahwa guncangan suplay merupakan penyebab utama mengapa pengangguran
menyimpang dari long term levelnya.
2.2.2. Penelitian Siregar dan Ward (2005)
Siregar dan Ward (2005) melakukan penelitian yang berjudul “Can
Monetary policy / Shocks Stabilize Indonesian Macroeconomic Fluctuations ?”,
penelitiannya bertujuan untuk melihat respon dari variabel-variabel
makroekonomi kuartalan terhadap shock kebijakan moneter dan shock nilai tukar.
Untuk menjawabnya digunakan teori Mundell-Fleming yang dikontruksi untuk
makroekonomi Indonesia, dan dianalisis dengan metode Structural
Vectorautoregression (SVAR) yang dikombinasikan dengan metode koreksi
kesalahan Vector Error Correction Model (VECM) atau kointegrasi SVAR.
Variabel–variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai tukar
nominal, money stock nominal, suku bunga jangka pendek, output riil, IHK, suku
bunga nominal dunia jangka pendek dan IHK dunia. Data yang digunakan
merupakan data seasonally unadjusted dalam periode 1984:2 sampai dengan
1999:1.
Hasil penelitiannya, diketahui bahwa guncangan kebijakan moneter
mempengaruhi output tidak melalui keseimbangan real money tetapi melalui suku
bunga domestik dalam nilai tukar. Selain itu, guncangan terhadap nilai tukar lebih
berperan daripada shock kebijakan moneter dalam mempengaruhi fluktuasi
17
makroekonomi. Hasil penelitian ini berimplikasi bahwa penggunaan kebijakan
moneter saja tidak dapat mengatasi fluktuasi makroekonomi Indonesia, seperti
saat terjadi krisis keuangan Asia. Kestabilan makroekonomi akan lebih efektif jika
kebijakan moneter dipadukan dengan kebijakan fiskal, ini dipercaya lebih mampu
mempengaruhi pergerakan nilai tukar riil.
2.2.3. Penelitian Siregar, et al. (2006)
International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE) dan
Bank Indonesia mengadakan penelitian yang berjudul “Paradoks Pertumbuhan
Ekonomi dan Pengangguran: Indentifikasi, Implikasi, dan Solusi”. Secara umum
tujuan peneliltian ini untuk mengetahui event penting dalam perekonomian
Indonesia yang menunjukkan gejala paradoks pertumbuhan dan pengangguran
serta menganalisis faktor-faktor penyebab munculnya paradoks tersebut dan
menelaah dampak sumber-sumber guncangan perekonomian terhadap variabel
tenaga kerja kondisi masing-masing sektor sesuai dengan tingkat, pengangguran
dan produktivitas.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian selanjutnya dirumuskan implikasi
kebijakan untuk sistem ketenagakerjaan baik secara agregat maupun sektor
industri dan pertanian, serta beberapa implikasi kebijakan jangka panjang.
Penelitian ini menggunakan Hodrick-Prescott Filter (HPF), Cross-correlation dan
pemodelan Structural Vectorautoregression (cointegrated SVAR) dengan
melakukan inovasi acounting Impulse Response Function (IRF) dan Forecast
Error Variance Decomposition (FEVD).
18
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak duapuluh buah,
dengan menggunakan data dari periode 1980:1 sampai 2005:2. Berdasarkan hasil
ordering (peringkat) terhadap masing-masing variabel, dikelompokkan dua
model, yaitu model agregat (pengangguran, tenaga kerja, dan produktivitas) dan
model sektoral (tenaga kerja dan produktivitas persektor yang meliputi sektor
pertanian, industri dan jasa). Hasil penelitian ini di antaranya menyimpulkan
bahwa paradoks antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran tidak terjadi
dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan angka
pengangguran melalui kesempatan kerja dalam jangka panjang. Terdapat tiga
periode penting yang menunjukkan tingkat pengangguran meningkat yaitu 1982-
1983, 1994-1995 dan 2000-2005. Faktor penyebab munculnya paradoks secara
agregat adalah guncangan suku bunga, guncangan agregat suplai, guncangan
produktivitas tenaga kerja dan guncangan upah.
2.3. Kerangka Teori
2.3.1. Kebijakan Moneter untuk Mengendalikan Suku Bunga
i
MS1 MS2 i1 i0
LP
M1 M2
Gambar 2.1. Perubahan Penawaran Uang
Sumber : Mankiw, 2000.
19
Gambar 2.1 menunjukkan kebijakan moneter yang dilakukan melalui
penurunan jumlah uang yang beredar untuk mempengaruhi keseimbangan suku
bunga. Jumlah uang yang beredar ditunjukkan dengan kurva vertikal MS2, dan
permintaan uang diperlihatkan dengan kurva berkemiringan negatif LP,
keseimbangan awal tingkat suku bunga io. Penurunan jumlah uang yang beredar
menyebabkan kurva jumlah uang yang beredar bergeser ke kiri dari MS1 ke MS2,
terjadi keseimbangan suku bunga baru yang lebih tinggi yaitu, di i1.
2.3.2. Efektivitas Kebijakan Moneter dalam Mempengaruhi Perekonomian
Efektivitas kebijakan moneter dapat digambarkan melalui kurva IS-LM.
Berdasarkan pada kurva tersebut, efektivitas kebijakan moneter ditentukan oleh
(1) kemiringan kurva IS, yaitu menunjukkan elastisitas pengeluaran investasi
terhadap suku bunga dan (2) kemiringan kurva LM, yaitu elastisitas permintaan
uang terhadap suku bunga (Gambar 2.2).
Tingkat Bunga Tingkat Bunga (r) (r) LMTo LMT1 LM0 LMD0 LM1 ro ro LMD1 r1’ r1 r1 IS datar IS IS tegak Y0 Y1 Y2 Y Yo Y1 Y2 Y
Gambar 2.2. Efektivitas Kebijakan Moneter dalam Mempengaruhi Perekonomian.
Sumber : Nopirin, 2000.
20
Bila Bank Indonesia melakukan ekspansi moneter dengan menambah
jumlah uang beredar maka kebijakan ini akan efektif mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi (output) pada kurva IS yang datar yaitu sebesar Y2 tetapi apabila kurva
IS tegak pertumbuhan ekonomi sebesar Y1. Kebijakan moneter kurang efektif
dalam mempengaruhi output (Y0–Y1) bila kurva LM datar (LMD), dan apabila
kurva LM tegak (LMT) maka berpengaruh efektif terhadap perekonomian sebesar
(Y0–Y2). Apabila kurva LM horizontal, kebijakan moneter tidak efektif sama
sekali karena Y tidak berubah dan menyebabkan terjadinya liquidy trap yaitu
kebijakan moneter gagal mempengaruhi output tetapi justru menimbulkan dampak
terhadap inflasi.
2.3.3. Teori Permintaan Agregat dengan Pendekatan Model IS-LM
Kurva permintaan agregat menggambarkan hubungan antara tingkat harga
dengan tingkat pendapatan nasional. Keseimbangan makroekonomi secara
simultan ditentukan oleh bertemunya permintaan agregat (AD) dan penawaran
agregat (AS). Teori ini memperlihatkan posisi kurva IS-LM ketika harga
dibiarkan berubah-ubah. Guncangan yang terjadi pada permintaan agregat akan
menyebabkan terjadinya perubahan harga. Guncangan ini dapat diantisipasi
melalui kebijakan moneter yang mempengaruhi kurva LM.
Perekonomian berada pada keseimbangan jangka pendek pada titik K dan
tingkat harga P1 , kondisi ini menunjukkan perekonomian sedang resesi. Apabila
dalam jangka pendek diasumsikan tingkat harga tetap, terjadi penurunan biaya
input maka output dapat diproduksi dengan biaya yang lebih rendah sehingga
biaya output turun. Kondisi ini menggeser kurva AS jangka pendek ke bawah
21
pada tingkat harga yang lebih murah P2. Keseimbangan jangka panjang pada
kurva IS-LM terjadi ketika harga turun menyebabkan keseimbangan uang riil
(daya beli) meningkat melalui pergeseran kurva LM ke kanan bawah LM (P2)
dengan suku bunga yang lebih rendah. Biaya output yang lebih murah
meningkatkan kembali perekonomian pada tingkat kesimbangan alamiah di titik C
pada kurva SRAS2. Uraian ini dapat dijelaskan pada Gambar 2.3.
Tingkat LRAS P LRAS bunga, r LM (P1)
r1 LM (P2) P1 SRAS1
r2 P2 SRAS2
IS AD
K
C
Y Pendapatan (Y) Y Pendapatan (Y)
Gambar 2.3. Model IS-LM (a) dan Model Penawaran Agregat dan Permintaan Agregat (b) dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Sumber : Mankiw, 2000.
Analisis ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, proses
penyesuaian belum sempurna karena harga masih kaku terhadap adanya
perubahan (shock) dalam perekonomian. Sementara itu, dalam jangka panjang
penyesuaian terjadi secara sempurna karena adanya penyesuaian pada tingkat
harga sehingga keseimbangan perekonomian kembali pada posisi alamiah atau
pada titik keseimbangan baru.
Guncangan kebijakan moneter dalam mempengaruhi permintaan agregat
dalam perekonomian sangat tergantung pada posisi kurva penawaran agregat
(AS). Apabila kurva AS vertikal (asumsi klasik), shock kebijakan moneter akan
22
menyebabkan tingkat harga berubah dan pendapatan nasional tetap, tetapi apabila
kurva AS horisontal (asumsi Keynesian) maka shock kebijakan moneter akan
menyebabkan perubahan pada tingkat pendapatan dari posisi alamiah sementara
tingkat harga tetap.
2.3.4. Kebijakan Moneter dalam Konsep Pendekatan Harga
Kebijakan moneter dalam konsep pendekatan harga diset untuk mencapai
sasaran, yaitu pengendalian inflasi melalui pendekatan operasional suku bunga.
UU No.23/1999 melandasi tugas Bank Indonesia, yaitu pencapaian inflasi dan
nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika yang terkendali.
Konsep dasar kebijakan moneter dalam pentargetan inflasi, meliputi
sasaran inflasi, kebijakan moneter yang mengarah kedepan, transparansi,
akuntabilitas dan kredibilitas. Dalam penetapannya, sasaran inflasi
mempertimbangkan berbagai faktor dan perkembangan ekonomi makro terutama
kerugian sosial yang diakibatkan oleh adanya trade-off antara inflasi dan
pertumbuhan ekonomi. Sasaran inflasi merupakan dasar bagi pelaksanaan
kebijakan moneter dan penetapannya dilakukan dalam jangka waktu menengah
dan panjang. Kebijakan pentargetan inflasi merupakan langkah untuk
mengantisipasi inflasi yang akan terjadi (forward looking) akibat pengaruh
kebijakan moneter terhadap kestabilan harga dimana terdapat tenggang waktu atau
lag (Warjiyo, 2004).
2.3.5. Inflasi Gejolak Permintaan
Inflasi gejolak permintaan (demand shock inflation) terjadi bila pergeseran
ke kanan pada kurva AD menyebabkan permintaan agregat melebihi penawaran
23
agregat pada tingkat pendapatan kesempatan kerja penuh. Pergeseran kurva AD
dapat disebabkan oleh pengurangan pajak, kenaikan mata pembelanjaan otonom
seperti investasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor neto atau kenaikan jumlah
uang yang beredar.
LRAS
Tingkat harga SRAS
P
AD2 AD1
Yf Ya Y riil
Gambar 2.4. Inflasi Gejolak Permintaan
Sumber : Lipsey, et al., 1997.
Berdasarkan Gambar 2.4 dapat diketahui bahwa ketika terjadi pergeseran
kurva AD ke kanan, terjadi peningkatan output melebihi tingkat kerja penuh (Ya
>Yf), pada kondisi ini tingkat pengangguran turun dan tingkat harga akan naik.
2.3.6. Inflasi Gejolak Penawaran dengan Validasi dan Tanpa Validasi Moneter
Setiap kenaikan tingkat harga yang bermula dari kenaikan biaya yang
tidak disebabkan oleh kelebihan permintaan di pasar akan faktor-faktor produksi
dinamakan inflasi gejolak penawaran atau inflasi desakan biaya (cost-push
inflation), contoh gejolak sisi penawaran adalah kenaikan biaya bahan baku impor
atau kenaikan biaya upah domestik perunit keluaran. Gejolak penawaran
inflasioner pada Gambar 2.5 awalnya menaikkan harga bersamaan dengan
24
menurunkan pendapatan. Gejolak penawaran menyebabkan kurva SRAS bergeser
ke kiri dari SRAS1 ke SRAS2 seperti diperlihatkan oleh anak panah 1.
LRAS
Tingkat harga, P SRAS2
2 SRAS1
P1
AD2 1 AD1
Yf Ya Y riil
Gambar 2.5. Gejolak Penawaran dengan Validasi dan Tanpa Validasi Moneter Sumber : Lipsey, et al., 1997.
Jika tidak ada validasi moneter, pengangguran akan menimbulkan
tekanan ke bawah terhadap upah dan biaya lain-lain, menyebabkan kurva SRAS2
bergeser lambat kembali ke kanan, ke SRAS1, harga akan turun dan output akan
kembali ke keseimbangan semula di Yf. Jika ada validasi moneter, kurva AD
bergeser dari AD1 ke AD2, seperti ditunjukkan oleh anak panah 2. Ini memulihkan
kembali menuju keseimbangan kesempatan kerja penuh dengan tingkat harga
yang lebih tinggi.
2.3.7. Kebijakan Moneter Ekspansioner dalam Sistem Kurs Tetap
Bila bank sentral meningkatkan penawaran uang (membeli obligasi dari
masyarakat) pada sistem kurs tetap, maka akan terjadi tekanan ke bawah pada
kurs, dari ê menuju keseimbangan baru di e. Untuk mempertahankan kurs tetap
(ê) maka bank sentral menurunkan penawaran uang sehingga kurva LM2 bergeser
kembali ke kiri, dan tingkat kurs tetap (ê) dapat dicapai kembali.
25
Kurs, e LM1 LM2
Pendapatan, Y
ê
e
Pendapatan, Y
Gambar 2.6. Ekspansi Moneter dalam Sistem Kurs Tetap
Sumber : Mankiw, 2000.
2.3.8. Kebijakan Moneter Ekspansioner dalam Sistem Kurs Mengambang
Dengan asumsi tingkat harga tetap, ketika bank sentral meningkatkan
penawaran uang, maka keseimbangan uang riil akan meningkat sehingga kurva
LM1 bergeser ke kanan, pendapatan (Y) naik dan kurs akan turun (Gambar 2.7).
Kurs, e LM1 LM2
e1
e2
Y1 Y2
Gambar 2.7. Ekspansi Moneter dalam Sistem Kurs Mengambang
Sumber : Mankiw, 2000.
2.3.9. Kurva Phillips
Para ekonom sering menampilkan penawaran agregat atau Aggregate
Supply (AS) dalam hubungan yanng disebut Kurva Phillips. Kurva ini
menyatakan bahwa inflasi tergantung pada inflasi yang di harapkan, deviasi
pengangguran dari tingkat alamiah, dan guncangan penawaran. Menurut kurva
26
Phillips, para pembuat kebijakan yang mengendalikan permintaan agregat
menghadapi trade-off jangka pendek antara inflasi dan pengangguran.
Inflasi, π
π1 π0
Pengangguran, U
Gambar 2.8. Kurva Phillips
Sumber : Mankiw, 2000.
Kurva Phillips menunjukkan bahwa dengan adanya guncangan ynag
menguntungkan, menurunkan inflasi memerlukan periode pengangguran tinggi
dan menurunnya output. Berdasarkan Gambar 2.8 dapat diketahui trade off dalam
jangka pendek dimana terdapat hubungan yang negatif antara inflasi dan
pengangguran. yang tergantung pada inflasi yang diharapkan. Kurva tersebut lebih
tinggi bila inflasi yang diharapkan semakin tinggi.
Menurut Lipsey, et al. (1997), kurva Phillips dapat diterjemahkan ke
dalam kurva yang mengaitkan perubahan upah dengan senjang keluaran dengan
memperhatikan bahwa pengangguran mempunyai hubungan negatif. Senjang
resesi berkaitan dengan tingkat pengangguran yang tinggi dan senjang inflasi
berkaitan dengan tingkat pengangguran yang rendah.
27
2.4. Kerangka Pemikiran
Latar Belakang Masalah: Perekonomian Indonesia mengalami fluktuasi naik turun dalam periode 1990-2005, sehingga terdapat kebijakan yang berbeda pada setiap siklus perekonomian.
Ketika krisis 1997/1998, Indonesia mengalami inflasi sebesar 77,63 persen pada tahun 1998, BI menerapkan suku bunga pada Juli 1998 hingga menyentuh angka 61 persen, tingkat pengangguran meningkat 1,4 juta orang dan Rupiah terdepresiasi hingga pernah mencapai level 14.900 Rupaih per Dollar pada Juni 1998.
Agar perekonomian stabil, pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia perlu melakukan langkah stabilisasi makro, yaitu dengan menetapkan SBI sebagai instrument kebijakan moneter.
Dari sejumlah masalah yang dirumuskan kemudian dibuat tujaun penelitian: 1. Menganalisis bagaimana respon variabel-variabel makroekonomi terhadap
perubahan kebijakan moneter di Indonesia? 2. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan inflasi dan
pengangguran di Indonesia?
Model Penelitian: it
k
iti
k
iitiit
k
iiit
k
iiit
k
iit eDUECPIMix ++++Ψ+Φ+Γ= ∑∑∑∑∑
=−
=−−
=−
=−
= 11
1111θη
Metode Penelitian : Structural Vector Autoregression (SVAR) yang dikombinasikan metode koreksi kesalahan Vector Error Correction Model (VECM)
Variabel Endogen : SBI, jumlah uang beredar, CPI, nilai tukar, penggangguran. Variabel Eksogen : dummy krisis-perubahan rezim nilai tukar
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
Gambar 2.9. Kerangka Pemikiran
28
Dengan sejumlah permasalahan dan tujuan yang dirumuskan dalam
penelitian ini, secara garis besar tahapan-tahapan dalam penelitian ini dapat di
lihat pada Gambar 2.9. Untuk menjawab permasalahan dan penelitian yang
dirumuskan, maka sebagai langkah awal dilakukan studi literatur melaui berbagai
sumber mengenai teori-teori ekonomi dan hasil penelitian sebelumnya yang
terkait dengan kebijakan moneter yaitu penetapan tingkat suku bunga, jumlah
uang yang beredar, inflasi, nilai tukar dan pengangguran.
Untuk mendapatkan hasil penelitian, variabel-variabel penelitian diolah
dengan metode SVAR yang dikombinasikan metode koreksi kesalahan Vector
Error Correction Model (VECM), variabel-variabel tersebut diurutkan (ordering)
berdasarkan teori ekonomi, yaitu menghubungkan keterkaitan antara kebijakan
moneter berupa penetapan tingkat suku bunga, jumlah uang yang beredar, inflasi,
nilai tukar dan pengangguran.
Pengurutan variabel atau ordering dengan faktorisasi cholesky berdasarkan
teori ekonomi, yaitu dengan menempatkan variabel yang relatif paling sulit
dipengaruhi oleh variabel lain diletakkan paling awal, sementara variabel yang
tidak memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan dibelakang,
sedangkan variabel yang memiliki korelasi prediksi terhadap variabel lain
diletakkan berdampingan satu sama lain. Variabel tersebut diurutkan dari variabel
yang moneter sampai menuju variabel yang riil.
Ordering penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut, bank sentral
menetapkan kebijakan moneter dengan menggunakan instrumen suku bunga SBI,
untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar. Perubahan jumlah uang yang
29
beredar akan mempengaruhi tingkat inflasi yang terjadi. Perubahan jumlah uang
yang beredar juga berdampak pada terdepresiasi atau terapresiasinya nilai tukar
Rupiah. Yang terakhir yaitu menempatkan variabel pengangguran pada akhir
pengurutan. Setelah variabel-variabel penelitian diurutkan (ordering), kemudian
diolah melalui berbagai tahapan pengujian, lalu dianalisis untuk menarik
kesimpulan dan saran.
BAB III. GAMBARAN UMUM
3.1. Gambaran Inflation Targeting Framework
Bank Indonesia mulai bulan Juli 2005 mengimplementasikan kerangka
kerja kebijakan moneter yang baru, yaitu ITF (Inflation Targeting Framework),
ITF merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan
pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam
beberapa periode ke depan.
Menurut Mishkin dalam Bank Indonesia (2005) penggunaan ITF
bermanfaat untuk: (1) menurunkan inflasi; (2) membuat kebijakan moneter lebih
terfokus; (3) memperkuat komunikasi, transparansi dan akuntabilitas; (4)
membantu menurunkan dan mengarahkan ekspektasi inflasi dan lebih baik dalam
mengatasi kejutan inflasi; (5) membantu menurunkan volatilitas output dalam
jangka menengah; (6) teruji terhadap kejutan ekonomi yang kurang
menguntungkan; (7) kebijakan moneter relatif fleksibel dalam mengakomodasi
kejutan inflasi temporer yang tidak mengganggu pencapaian sasaran inflasi jangka
menengah. Dan manfaat yang terakhir untuk memperkuat independensi bank
sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter.
Menurut Bank Indonesia (2005), sasaran inflasi yang telah ditetapkan
Pemerintah untuk tahun 2005, 2006, dan 2007 masing-masing sebesar 6 persen ±
1 persen, 5,5 persen ± 1 persen, dan 5 persen ± 1 persen. Penetapan lintasan
sasaran inflasi ini sejalan dengan keinginan untuk mencapai sasaran inflasi jangka
31
menengah panjang sebesar 3 persen agar Indonesia mampu bersaing dengan
negara-negara Asia lainnya.
Salah satu isu jangka pendek yang perlu diperhatikan adalah prakiraan
inflasi tahun 2006 yang cenderung lebih tinggi dari sasaran, terutama karena
dampak administered prices, volatile foods, dan melemahnya nilai tukar yang
lebih besar dari perkiraan semula. Dan dalam pembahasan asumsi makro APBN-P
2005 dan RAPN 2006 juga disepakati angka inflasi yang lebih tinggi, yaitu 7,5
persen untuk tahun 2005, dan 6,5 persen sampai 8 persen untuk tahun 2006.
ITF mencakup empat elemen mendasar: penggunaan suku bunga BI rate
sebagai sasaran operasional, proses perumusan kebijakan moneter yang
antisipatif, strategi komunikasi yang lebih transparan, dan penguatan koordinasi
kebijakan dengan Pemerintah. Langkah-langkah tersebut ditujukan untuk
meningkatkan efektifitas dan tata kelola (governance) kebijakan moneter dalam
mencapai sasaran akhir kestabilan harga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat.
12.75 12.75 12.75 12.7512.5 12.5
12.25
11.75
11.211.411.611.8
1212.212.412.612.8
13
9-Ja
n-06
7-Fe
b-06
7 Maret 200
6
5-Ap
r-06
9 Mei
2006
6 Ju
ni 20
06
6 Ju
li 200
6
8 Ag
ust 2
006
Periode
Pers
en (%
)
BI Rate
Gambar 3.1. Perkembangan BI rate periode Januari-Agustus 2006.
Sumber : Bank Indonesia (2006).
32
BI rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam Rapat
Dewan Gubernur (RDG). Dalam Gambar 3.1 dapat dilihat perkembangan BI rate
periode Januari-Agustus 2006. BI rate yang diumumkan pada bulan Januari-April
bernilai sama yaitu sebesar 12,75 persen. Kemudian mulai diturunkan pada bulan
berikutnya menjadi sebesar 12,50 persen dan pada bulan Agustus nilainya
ditetapkan sebesar 11,75 persen. BI rate tersebut ditetapkan sebagai sinyal stance
kebijakan moneter dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan.
3.2. Perkembangan Indikator-Indikator Makroekonomi di Indonesia
Perkembangan perekonomian suatu negara dapat dikatakan sedang
meningkat atau menurun berdasarkan beberapa indikator dasar makroekonominya
diantaranya suku bunga, jumlah uang beredar, inflasi, nilai tukar dan
pengangguran. Berikut ini merupakan perkembangan indikator-indikator
makroekonomi di Indonesia dari tahun ke tahun.
a. Suku Bunga SBI
Bank Indonesia sebagai lembaga otoritas moneter melakukan upaya
stabilisasi melalui instrumen suku bunga SBI, dari Gambar 3.2 dapat dilihat
perkembangan SBI mulai tahun 1996 sampai dengan tahun 2005.
Sebelum terjadi krisis ekonomi terjadi, tingkat SBI yang ditetapkan
otoritas moneter berkisar antara 11-14 persen, kemudian meningkat tajam pada
bulan Mei-September 1998 yaitu sebesar 39 persen, penetapan tingkat SBI yang
tinggi ini merupakan langkah yang diambil otoritas moneter untuk mengurangi
jumlah uang beredar yang terlalu banyak dimasyarakat. Di tahun 2005 tingkat SBI
33
yang ditetapkan sekitar 12 persen. Penetapan SBI ini tentu saja disesuaikan
dengan kondisi perekonomian yang terjadi.
05
1015202530354045
Q1 1996
Q4 1996
Q3 1997
Q2 1998
Q1 1999
Q4 1999
Q3 2000
Q2 2001
Q1 2002
Q4 2002
Q3 2003
Q2 2004
Q1 2005
Q4 2005
Triwulanan
%
SBI
Gambar 3.2. Perkembangan SBI Periode 1996-2005
Sumber: Bank Indonesia (2006).
b. Jumlah Uang yang Beredar (M1)
Jumlah uang yang beredar dalam arti sempit dipengaruhi oleh
pertumbuhan uang kartal dan uang giral. Pertumbuhan M1 selama periode
penelitian mengalami pertumbuhan yang positif, meskipun pertumbuhannya
mengalami naik turun. Jumlah uang yang beredar dapat menggambarkan
liquiditas perekonomian. Gambar 3.3 memperlihatkan trend jumlah uang yang
beredar (M1) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
34
Jumlah Uang Beredar
050000
100000150000200000250000300000
Q1 1996
Q4 1996
Q3 1997
Q2 1998
Q1 1999
Q4 1999
Q3 2000
Q2 2001
Q1 2002
Q4 2002
Q3 2003
Q2 2004
Q1 2005
Q4 2005
Triwulanan
Mily
ar R
p
Jumlah Uang Beredar
Gambar 3.3. Jumlah Uang yang Beredar Periode 1996-2005
Sumber: Bank Indonesia (2006).
Pada bulan Januari 2006, jumlah uang yang beredar kurang lebih sebesar
281 milyar Rupiah, bulan Februari dan Maret 2006 menurun menjadi kurang lebih
sebesar 277 milyar Rupiah, bulan berikutnya mengalami peningkatan dan pada
bulan Mei 2006 jumlahnya kurang lebih sebesar 304 milyar Rupiah. Peningkatan
jumlah uang yang beredar ini menunjukkan liquiditas perekonomian mengalami
peningkatan.
c. Consumer Price Index (CPI)
Inflasi adalah indikator pergerakan harga-harga barang dan jasa secara
umum, yang secara bersamaan juga berkaitan dengan kemampuan daya beli.
Sebelum krisis, tingkat inflasi di Indonesia berada antara nilai 6.63 % - 10.18 %
pertahun, inflasi mencerminkan stabilitas harga semakin rendah nilai suatu inflasi
berarti semakin besar adanya kecenderungan ke arah stabilitas harga. Gambar 3.4
menunjukkan perkembangan inflasi year on year periode 1990-2005.
35
0102030405060708090
Tahun 1
990
Tahun 1
991
Tahun 1
992
Tahun 1
993
Tahun 1
994
Tahun 1
995
Tahun 1
996
Tahun 1
997
Tahun 1
998
Tahun 1
999
Tahun 2
000
Tahun 2
001
Tahun 2
002
Tahun 2
003
Tahun 2
004
Tahun 2
005
Tahun
Pers
en (%
)
Inflasi
Gambar 3.4. Inflasi YOY dari Tahun 1990-2005.
Sumber : Bank Indonesia (2006).
Saat krisis terjadi tingkat inflasi di Indonesia meningkat tajam, pada
September 1998 tingkat Inflasi di Indonesia mencapai 82,40 persen. Tingkat
inflasi yang tinggi pada saat itu mencerminkan ketidakstabilan harga, hal ini tentu
saja mengurangi daya beli masyarakat.
Pada Januari 2006 tingkat inflasi yang terjadi sebesar 17,03 persen, pada
bulan Maret 2006 sebesar 15,74 persen, kemudian terus menurun dan pada bulan
Juli 2006 tingkat inflasi yang terjadi sebesar 15,15 persen. Tingkat inflasi bulanan
periode Januari-Juli 2006 yang cenderung mengalami penurunan dari waktu ke
waktu menunjukkan semakin besar kecenderungan ke arah stabilitas harga.
d. Nilai Tukar
Nilai tukar merupakan pembanding nilai mata uang suatu negara dengan
negara lain. Ketika nilai mata uang suatu negara menguat, maka perekonomiannya
dapat dikatakan sedang meningkat dibandingkan dengan negara lain, ini berlaku
pula sebaliknya. Sehingga, nilai tukar dapat digunakan sebagai indikator pada
36
kondisi perekonomian suatu negara. Nilai tukar Rupiah mengalami fluktuasi dari
tahun ke tahun, pada saat sebelum krisis yaitu dari tahun 1993-1996, nilai tukar
Rupiah berada pada kisaran 2.110 – 2.383 Rupiah per US Dollar.
02000400060008000
10000120001400016000
Q1 1996
Q4 1996
Q3 1997
Q2 1998
Q1 1999
Q4 1999
Q3 2000
Q2 2001
Q1 2002
Q4 2002
Q3 2003
Q2 2004
Q1 2005
Q4 2005
Triwulanan
Rp/
US$
Kurs
Gambar 3.5. Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah dari Tahun 1996-2005
Sumber : Bank Indonesia (2006).
Rupiah yang bernilai 2.450 Rupiah per US Dollar pada bulan Juni 1997
mengalami depresiasi secara terus menerus hingga pada akhir tahun 1997
mencapai 4.650 Rupiah per US Dollar. Untuk menahan laju nilai tukar Rupiah,
pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali dan menerapkan sistem
kurs mengambang bebas. Namun memasuki tahun 1998 kondisi nilai tukar
Rupiah semakin parah dan puncaknya mencapai 14.850 Rupiah per US Dollar
pada Juni 1998.
Pada akhir triwulan ke-4 tahun 2005 Rupiah cenderung menguat, hal ini
disebabkan adanya capital inflow, konsistensi kebijakan moneter yang ketat,
adanya kebijakan stabilisasi Rupiah dan karena terdapat sentimen positif resufle
37
kabinet. Nilai tukar Rupiah pada triwulan ke-4 tahun 2005 bergerak cukup stabil
dengan kecenderungan terapresiasi di bulan terakhir, dengan nilai rata-rata pada
triwulan terakhir mencapai 9.991 Rupiah per US Dollar. Secara tahunan, pada
tahun 2005 Rupiah telah mencapai 9.713 Rupiah per US Dollar atau terdepresiasi
8,6 persen dibanding rata-rata 2004 (Sitorus, 2006).
e. Pengangguran
Masalah pengangguran selalu terjadi di setiap negara. Munculnya
pengangguran dalam perekonomian dapat menimbulkan biaya, yaitu hilangnya
output yang seharusnya bisa dihasilkan oleh setiap tenaga kerja.
Tabel 3.1. Jumlah Pengangguran di Indonesia Periode 1998-2005
Tahun Jumlah Pengangguran (Orang) Persentase Kenaikan (%) 1998 5.062.483 - 1999 6.030.319 19,11 % 2000 5.813.231 -3,59 % 2001 8.005.031 37,70 % 2002 9.132.104 14,07 % 2003 9.531.090 4,36 % 2004 10.251.351 7,55 % 2005 10.854.254 5,88 %
Sumber : BPS (2006).
Berdasarkan Tabel 3.1 dapat diketahui bahwa angka pengangguran
menunjukkan trend yang meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 1998 jumlah
pengangguran di Indonesia hanya sekitar 5,06 juta orang dan dalam jangka waktu
tujuh tahun meningkat lebih dari 100 persen menjadi sekitar 10,8 juta orang.
Adanya peningkatan jumlah penganguran dari tahun ke tahun menunjukkan
bahwa lapangan pekerjaan yang tersedia lebih sedikit dibandingkan dengan
penawaran tenaga kerjanya.
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari berbagai sumber, yaitu data publikasi Statistik Ekonomi dan
Keuangan Indonesia (SEKI) dari Bank Indonesia (BI), publikasi International
Financial Statistic (IFS) dari International Monetary Fund (IMF) dan data
publikasi Badan Pusat Satistik Indonesia (BPS). Data-data yang digunakan adalah
data kuartalan dari periode 1990:1-2005:4, meliputi suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) tiga bulanan, jumlah uang beredar (M), Consumer Price Index
(CPI), nilai tukar US Dollar per Rupiah (E) dan data pengangguran (U).
Tabel 4.1. Data, Satuan, Simbol dan Sumber Data
Nama Variabel Satuan Simbol Sumber Definisi
SBI 3 bulan Persen i (SBI) SEKI, BI
Suku bunga SBI dihitung dengan menggunakan rata-rata tertimbang dan memperhitungkan bobot volume transaksi yang terjadi pada periode yang bersangkutan
Jumlah uang beredar
Milyar Rupiah M SEKI, BI
Kewajiban sistem moneter yang terdiri atas uang kartal dan uang giral dalam arti sempit (M1)
CPI - CPI IFS, IMF
Harga sekelompok barang dan jasa relatif terhadap harga sekelompok barang dan jasa yang sama pada tahun dasar
Nilai tukar (kurs) US Dollar per Rupiah
KURS (E) SEKI, BI harga dari mata uang asing dalam
bentuk mata uang domestik
Pengangguran Orang U BPS Total pengangguran terbuka yang berada di desa dan di kota
Data tahunan yang diteliti dapat menyebabkan derajat bebas model
menjadi kecil. Karena itu data tahunan perlu dilakukan transformasi frekuensi
menjadi triwulanan dengan menggunakan Cubic Spline. Perubahan frekuensi high
39
to low dilakukan melalui Maximum Observation, sedangkan perubahan dari low to
high dilakukan melalui Cubic Math. Dalam penelitian ini data pengnguran
ditransformasi dengan menggunakan Cubic Spline.
Semua data yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk logaritma,
kecuali data yang sudah dalam bentuk persen seperti suku bunga SBI. Hal ini
untuk memudahkan analisis, karena baik dalam IRF maupun variance
decomposition pengaruh guncangannya dilihat dalam persentase.
4.2. Model Penelitian
Model penelitian ini diadopsi dari Djivre dan Ribon (2003), metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Strctural Vector Autoregression (SVAR)
yang dikombinasikan dengan Vector Error Correction Model (VECM).
Krisis ekonomi terjadi pada pertengahan tahun 1997, begitupula dengan
pergantian rezim nilai tukar (pemerintah melepas sistem kurs mengambang
terkendali dan menerapkan sistem kurs mengambang bebas pada tanggal 14
Agustus 1997). Karena kedua peristiwa tersebut terjadi pada waktu berdekatan
maka hanya digunakan satu variabel dummy konstanta sebagai variabel eksogen.
Dummy sebelum krisis dan sebelum pergantian rezim nilai tukar pada periode
1990:1 sampai 1997:2 bernilai nol, sedangkan dummy krisis sampai pasca krisis
dan setelah pergantian rezim nilai tukar pada periode 1997:3 sampai 2005:4
bernilai satu.
40
Model SVAR penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
it
k
iti
k
iitiit
k
iiit
k
iiit
k
iit eDUECPIMix ++++Ψ+Φ+Γ= ∑∑∑∑∑
=−
=−−
=−
=−
= 11
1111θη (4.1)
dimana:
xt = variabel it, Mt, CPIt, Et, Ut,
it = suku bunga Bank Indonesia pada periode t,
Mt = jumlah uang beredar pada periode t,
CPIt = inflasi pada periode t,
Et = nilai tukar US $/Rp pada periode t,
Ut = pengangguran pada periode t,
D = dummy krisis-peralihan rezim nilai tukar,
Γ = parameter dalam bentuk matriks polinomial it,
Φ = parameter dalam bentuk matriks polinomial Mt,
Ψ = parameter dalam bentuk matriks polinomial CPIt,
η = parameter dalam bentuk matriks polinomial Et,
θ = parameter dalam bentuk matriks polinomial Ut,
i = panjang lag (ordo) VAR,
e = error term.
4.3. Metode Analisis Data
Salah satu metode yang digunakan untuk menganalisis data time series
adalah menggunakan metode VAR, metode ini merupakan salah satu bentuk
model ekonometrika makro yang sering digunakan untuk melihat permasalahan
fluktuasi makroekonomi.
41
Metode analisis Vector Autoregression (VAR) merupakan suatu sistem
persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi linier dari
konstanta dan nilai lag (lampau) dari peubah itu sendiri serta nilai lag dari peubah
lain yang ada dalam sistem. Jadi peubah penjelas dalam VAR meliputi nilai lag
seluruh peubah tak bebas dalam sistem.
Menurut Arsana (2004), metode Vector Autoregression (VAR) ciptaan
Sims menyediakan alat analisis melalui empat macam penggunaannya: (1)
Forecasting, ekstrapolasi nilai saat ini dan masa depan seluruh variabel dengan
memanfaatkan seluruh informasi masa lalu variabel, (2) IRF melacak respon saat
ini dan masa depan setiap variabel akibat perubahan atau shock suatu variabel
tertentu, (3) FEVD memprediksi kontribusi persentase varians setiap variabel
terhadap perubahan suatu variabel tertentu, (4) Granger Causality Test, untuk
mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel.
VAR dengan lag p dan n peubah tak bebas pada waktu ke-t dapat
dimodelkan sebagai berikut:
tptPttt YAYAYAAY ε+++++= −−− ......12110 (4.2)
dimana:
Yt = vektor peubah tak bebas (Y1.t, Y2.t, Yn.t) berukuran n x 1,
A0 = vektor intersep berukuran n x 1,
Ai = matriks parameter berukuran n x 1,
εt = vektor sisaan (ε1t, ε2t,…… εnt) berukuran n x 1.
42
Persamaan VAR secara umum menurut Thomas (1997) adalah:
t
k
iitit YAY ∈+=∑
=−
1
(4.3)
dimana:
Yt = vektor kolom pengamatan pada waktu t semua variabel dalam model,
At = matriks parameter,
k = lag dari model VAR.
Analisis VAR harus memenuhi asumsi bahwa semua peubah tak bebas
bersifat stasioner, semua sisaan bersifat white-noise. Berarti sisaannya memiliki
rataan nol, ragam konstan dan diantara variabel tak bebas tidak ada korelasi.
Metode SVAR merupakan bentuk perluasan dari Vector Autoregression
(VAR). Dalam metode VAR tidak dibuat suatu restriksi teoritis berdasarkan teori
ekonomi yang relevan pada variabel yang digunakan dalam analisis, sedangkan
dalam SVAR dibuat suatu restriksi berdasarkan hubungan teoritis yang kuat akan
skema (peta hubungan) bentuk urutan (ordering) variabel-variabel yang digunakan
dalam sistem VAR. Oleh karena itu SVAR juga dikenal sebagai bentuk VAR
yang teoritis (Arsana, 2004).
Spesifikasi model SVAR yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dinyatakan dalam persamaan (4.4):
⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
+
⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
+
⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
=
⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
−
−
−
−
−
t
t
t
t
t
t
t
t
t
t
t
t
t
t
t
UE
CPIMi
UE
CPIMi
bbbbbbbbbbbbbbbbbbbb
5
4
3
2
1
1
1
1
1
1
5554535251
4544434241
3534333231
2524232221
1514131211
50
40
30
20
10
54535251
45434241
35343231
25242321
15141312
11
11
1
εεεεε
γγγγγγγγγγγγγγγγγγγγγγγγγ
γγγγγ
B yt γo Г1 yt-1 εt
43
Persamaan SVAR untuk model di atas dapat diringkas menurut Zivot (2000)
menjadi persamaan sebagai berikut:
ttyt yB εγ ++Γ+= −110 (4.5)
dimana:
B = matriks n*n yang mengandung parameter struktural dari variabel
endogen,
yt = vektor variabel endogen suku bunga SBI, jumlah uang yang beredar,
indeks harga konsumen, nilai tukar dan pengangguran,
γo = intersep,
Г1 = matriks polinomial (finite order matrix) dengan lag operator 1,
yt-1 = vektor auto regressive dengan lag operator 1,
εt = vektor white-noise.
Persamaan (4.5) memiliki masalah representasi. Hal itu karena koefisien
dari matriks tidak diketahui dan setiap variabel memiliki efek kontemporer
(contemporeneous effect) sehingga tidak mungkin untuk menentukan nilai
parameter dalam model tersebut dan model tersebut tidak dapat diidentivikasi
secara penuh. Untuk itu perlu dibentuk persamaan reduce form yang juga
merepresentasikan sebuah Vector Moving Average (VMA). Persamaan VMA
digunakan untuk menghilangkan korelasi antar error yang terjadi dalam model
VAR biasa. Persamaan matematis VMA adalah sebagai berikut (Zivot, 2000):
yt = B-1 γo + B-1 Г1 yt-1+ B-1 εt (4.6)
= ao +A1 yt-1+ ut
44
Sistem persamaan (4.6) disebut sebagai model standar VAR. Error term
(ut) adalah kombinasi linier dari error struktural (εt), dimana error term tersebut
memiliki nilai rata-rata (mean) nol dan nilai kovarian yang konstan.
Dalam pemodelan SVAR perpindahan dari non-ortoghonal VMA ke
ortogonal VMA direpresentasikan melalui Cholesky Factorization (Ω) dari
matriks Σ (Ammisano dan Giannini, 1997). Matriks Σ adalah varian atau kovarian
dari residual (ut) dari sistem VAR standar, persamaan matematis matriks Σ adalah
sebagai berikut (Zivot, 2000):
[ ] [ ] '1'1' −−==∑ BEBuuE tttt εε , (4.7)
= B-1D B-1’,
= Ω.
Fokus dalam analisis SVAR adalah error term, yaitu sisaan atau shock,
yang berupa inovasi. Shock atau guncangan struktural dapat dibuat dalam bentuk
matriks (4.8 ) sebagai berikut:
⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
=
⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
u
e
dp
m
i
u
e
dp
m
i
eeeee
bij
aaaaaaa
aaa
εεεεε
101001000100001
54535251
434241
3231
21
(4. 8)
A ε B e
dimana:
aij = elemen dari A,
εj = inovasi (error term) terhadap variabel yang digunakan j,
bij = elemen dari B (dalam kasus ini i = j untuk i, j = 1,…..,5),
45
ej = guncangan (shock) struktural dari variabel j.
Tahapan penelitian ini menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Uji Stasioneritas
Data time series (deret waktu) dikatakan stasioner jika data menunjukkan
pola yang konstan dari waktu ke waktu dan tidak terdapat pertumbuhan atau
penurunan data secara tajam. Data yang tidak stasioner akan menghasilkan
spurious regression (regresi palsu), yaitu regresi yang menggambarkan hubungan
dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik padahal
kenyataanya tidak demikian.
Menurut Gujarati (2003), data yang stasioner akan mempunyai
kecenderungan untuk mendekati nilai rata-rata dan berfluktuasi di sekitar nilai
rata-ratanya. Dengan kata lain data akan menyebar acak pada satu kisaran nilai
tengah tertentu. Uji stasioneritas dilakukan dengan menggunakan uji Dickey-
Fuller, dimulai dari proses autoregresi orde pertama, yaitu:
Yt = ρYt-1 + ut (4.9)
dimana:
ut = white-noise error dengan mean nol dan varians konstan.
Kondisi di atas dinamakan random walk dimana variabel Yt ditentukan
oleh variabel sebelumnya (Yt-1). Oleh karena itu jika nilai ρ=1 maka persamaan
(4.9) mengandung akar unit atau tidak stasioner. Kemudian persamaan (4.9) dapat
dimodifikasi dengan mengurangi pada kedua sisi persamaan, sehingga persamaan
(4.9) dapat diubah menjadi persamaan (4.10):
46
Yt – Yt-1 = ρ Yt-1 – Yt-1 + ut (4.10)
= (ρ-1) Yt-1 + ut
Persamaan (4.10) dapat dituliskan menjadi persamaan (4.11) sebagai berikut:
ΔY = δ Yt-1 + ut (4.11)
dimana:
δ = (ρ-1),
Δ = first difference (perbedaan pertama).
Oleh karena itu hipotesis pada persamaan (4.11), Ho: δ = 0, ini
menunjukkan bahwa persamaan tersebut tidak stasioner, sedangkan hipotesis
alternatifnya H1: δ<0 menunjukkan persamaan tersebut mengikuti proses
stasioner. Jadi apabila Ho ditolak maka artinya data deret waktu tersebut stasioner
dan sebaliknya.
Pada persamaan (4.11) diasumsikan bahwa error term (ut) tidak
berkorelasi, jika terdapat error term yang berkorelasi maka persamaan yang diuji
menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF) sebagai berikut:
tit
m
iitt YYtY εαδββ +Δ+++=Δ −
=− ∑
1121 (4.12)
dimana:
εt = pure white noise error term,
ΔYt-1 = Yt-1 – Yt-2,
ΔYt-2 = Yt-2 – Yt-3 dan seterusnya.
Hipotesis yang diuji adalah:
Ho : δ = 0 (data tidak stasioner atau mengandung unit root)
H1 : δ < 0 (data stasioner atau tidak mengandung unit root)
47
Uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah sebuah data time series
bersifat stasioner atau tidak adalah dengan melakukan uji Ordinary Least Squares
(OLS) dan melihat nilai t-statistik dari estimasi δ. Adapun persamaan
matematisnya dalah sebagai berikut:
thit = δ / S δ (4.13)
dimana :
δ = koefisien estimasi,
S δ = standar error dari koefisien estimasi.
Jika nilai ADF statistikya lebih besar dari MacKinnon Critical Value
(dalam nilai kritis 1 persen, 5 persen atau 10 persen) maka data tersebut tidak
stasioner namun jika nilai ADF statistikya lebih kecil dari MacKinnon Critical
Value maka data tersebut stasioner.
b. Penetapan Tingkat Lag Optimal
Menurut Gujarati (2003), autokorelasi merupakan korelasi antara anggota
serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data time
series). Dalam model klasik diasumsikan bahwa unsur gangguan yang
berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur distrubansi atau
gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain manapun. Sehingga tidak
ada alasan untuk percaya bahwa suatu gangguan akan terbawa ke periode
berikutnya, jika hal itu terjadi berarti terdapat autokorelasi. Konsekuensi
terjadinya autokorelasi dapat memberikan kesimpulan yang menyesatkan
mengenai arti statistik dari koefisien regresi yang ditaksir. Pemilihan panjang lag
dilakukan sedemikian rupa sehingga sisaan tidak lagi mengandung autokelasi.
48
Penetapan lag optimal dapat menggunakan kriteria Schwarz Criterion
(SC), Hannan-Quinn Information Criterion (HQ), Akaike Information Criterion
(AIC). Dalam penelitian ini menggunakan kriteria AIC, menurut Eviews user
guide (2000) definisi AIC, SC dan HQ adalah sebagai berikut:
Akaike Information Criteria = -2(l /T)+ 2 (k/ T) (4.14.1)
Schwarz Criterion = -2(l /T)+ k log (T )/ T (4.14.2)
Hannan-Quinn Information Criterion = -2(l /T)+ 2k log (log(T )) / T (4.14.3)
Dimana l adalah nilai log dari fungsi likelihood dengan k parameter
estimasi dengan sejumlah T observasi. Untuk menetapkan lag yang paling
optimal, model VAR yang diestimasi dicari lag maksimumnya, kemudian tingkat
lagnya diturunkan. Dari tingkat lag yang berbeda-beda tersebut dicari lag yang
paling optimal dan dipadukan dengan uji stabilitas VAR.
c. Uji Stabilitas VAR
Menurut Arsana (2004), stabilitas sistem VAR dan VEC akan dilihat dari
inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai
modulus di tabel AR-nomialnya, jika seluruh nilai AR-rootsnya di bawah 1, maka
sistem VAR-nya stabil. Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-
akar dari fungsi polinomial atau dikenal dengan roots of characteristic
polinomial. Jika semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada di dalam unit
circel atau jika nilai absolutnya < 1 maka model VAR tersebut dianggap stabil
sehingga IRF dan FEVD yang dihasilkan akan dianggap valid.
49
d. Uji Kointegrasi
Apabila ada kombinasi linier antara variabel non stasioner yang
terintegrasi pada lag yang sama, maka kondisi tersebut dinamakan kointegrasi
(Enders, 2004). Apabila dua buah peubah time series X dan Y tidak stasioner,
akan tetapi kombinasi linier keduanya (aX + bY = Z) menghasilkan peubah baru
yang stasioner, maka antara X dan Y dikatakan terkointegrasi. Kointegrasi
digunakan untuk memperoleh persamaan jangka panjang yang stabil. Dalam
analisis ini, uji kointegrasi digunakan untuk melihat apakah metode VECM dapat
digunakan atau tidak. Apabila terdapat lebih dari nol rank kointegrasi, maka
metode VECM dapat digunakan.
Rank kointegrasi (r) dari vektor Yt adalah banyaknya vektor kointegrasi
yang saling bebas. Nilai r dapat diketahui melalui uji Johansen. Menurut Harris
(1995) untuk menguji rank dapat menggunakan trace statistic sebagai berikut:
∑+=
−−=−=n
riitrace TQ
1)1log()log(2 λλ (4.15)
dimana:
r = 0,1,2,.... n-2, n-1,
Q = restricted maximised likelihood ÷ unrestricted maximized likelihood,
T = jumlah observasi yang diamati,
λi = akar ciri ke-i matriks π.
e. Vector Error Correction Model
Menurut Thomas (1997), untuk mengatasi persamaan regresi yang
sporious adalah dengan menarik differensial atas variabel dependen dan
50
independen, sehingga diperoleh variabel yang stasioner dengan pendifferensialan
I(n). Kestasioneran data melalui pendifferensialan tidaklah cukup, hal ini
mengindikasikan bahwa model VAR biasa tidak dapat digunakan secara langsung
karena mempertimbangkan tercover tidaknya informasi jangka pendek dan jangka
panjang dalam model.
Terdapat dua pilihan yang dapat dilakukan yaitu model VAR dengan
pendifferensialan untuk data yang tidak terkointegrasi atau VECM untuk data
yang terkointegrasi. Apabila pilihan pertama dilakukan maka informasi jangka
panjang akan hilang karena hanya menerangkan hubungan jangka pendek
sehingga hubungan antara variabel pada level menjadi hilang karena berdasarkan
parameter yang tidak terkointegrasi. Sehingga diperlukan pendekatan alternatif
yaitu menggunakan Error Correction Model (ECM) jika persamaan tunggal atau
Vector Error Correction Model (VECM) jika persamaannya lebih dari satu. ECM
atau VECM telah mengcover informasi jangka pendek dan jangka panjang karena
dalam persamaan mengandung parameter jangka pendek dan jangka panjang.
Sehingga persamaan ECM dapat dituliskan sebagai:
ttttt XoYXbY εββλ +−−−Δ=Δ −− )( 1111 (4.16)
dimana:
b1 = parameter jangka pendek,
λ = parameter error corection,
βo, β1 = parameter jangka panjang.
VECM ini berangkat dari VAR (k) dengan mengurangi lag VAR sama
dengan satu dimana variabel yang relevan bersifat endogen. Menurut Pesaran dan
51
Pesaran (1997) dalam Siregar dan Ward (2005), model VECM (k-1) secara umum
adalah:
ttot
k
it xtxix εαβμμ ++++ΔΓ=Δ −−
−
=∑ 1
'11
1
1
(4.17)
dimana:
Δxt = xt - xt-1,
(k-1) = lag VECM dari VAR,
Γl = matrik koefisien regresi (b1, b2, b3),
xt-l = vektor variabel in level yang digunakan,
μo = vektor intercept,
μ1 = vektor koefisien regresi,
α = loading matrix,
β’ = vektor kointegrasi.
Berdasarkan persamaan (4.17) vektor kointegrasi β’ sangat ditekankan
karena menunjukkan adanya kointegrasi dalam variabel-variabel yang dianalisis.
Apabila rank kointegrasi dua (r=2) maka terdapat dua vektor kointegrasi yang
terbentuk. Dalam model Siregar dan Ward (2005), lag optimal pada saat estimasi
VECM menggunakan lag optimal dikurangi satu, namun dalam penelitian ini lag
optimal dicari menggunakan first difference sehingga lag yang digunakan dalam
estimasi VECM adalah lag optimal.
f. Impulse Response Function (IRF)
Fungsi impuls respon digunakan untuk menjelaskan bagaimana setiap
variabel bereaksi setiap saat terhadap adanya inovasi (Amisano dan Giannini,
52
1996). IRF ini dilakukan untuk mengetahui respon dinamik SBI, jumlah uang
beredar, inflasi, nilai tukar, dan pengangguran terhadap adanya guncangan (shock)
variabel tertentu. IRF juga bertujuan untuk mengisolasi suatu guncangan agar
lebih spesifik artinya suatu variabel yang dapat dipengaruhi oleh shock atau
guncangan tertentu.
g. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
Peramalan dekomposision varians error merupakan alat yang menyediakan
informasi untuk melihat hubungan dinamis anatara variabel yang di analisis
(Amisano dan Giannini, 1996). FEDV merupakan suatu guncangan atau shock
yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi varibilitas (fluktuasi) dari
variabel tertentu yang dilakukan secara ortogonal. FEVD ini dilakukan untuk
melihat berapa persen peran masing-masing guncangan (shock) terhadap
variabilitas variabel tertentu atau menelaah sumber-sumber fluktuasi pada variabel
tertentu. Dengan demikian dapat diketahui secara pasti faktor-faktor yang
mempengaruhi fluktuasi inflasi dan pengangguran. Faktor–faktor tersebut
merupakan implikasi kebijakan yang memegang peranan penting terhadap
kestabilan variabel-variabel tersebut.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian mengenai “Analisis Kebijakan Moneter dalam Menstabilkan
Inflasi dan Pengangguran di Indonesia” menggunakan metode analisis Structural
Vector Autoregression (SVAR) yang dikombinasikan dengan metode koreksi
kesalahan Vector Error Correction Model (VECM) dan software yang digunakan
untuk menganalisis data Eviews 4.1.
5.1. Kestasioneran Data
Untuk melihat kestasioneran data yang akan dianalisis dilakukan uji akar
unit (unit root test). Data yang tidak stasioner akan menghasilkan spurious
regression (regresi palsu), yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua
variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik padahal
kenyataanya tidak demikian.
Kestasioneran data pada setiap variabel dapat dilihat dengan uji
Augmented Dickey Fuller (ADF). Pengujian ADF didasarkan pada nilai Akaike
Information Criteria (AIC). Bila nilai statistik ADF-nya lebih besar dari nilai
kritis Mc Kinnon maka data tersebut tidak stasioner, tetapi bila nilai statistik
ADFnya lebih kecil dari nilai kritisnya maka data tersebut stasioner atau
terintegrasi pada ordo nol (I(0)).
Tabel 5.1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level
Variabel Nilai ADF Nilai Kritis MacKinnon 5 % Keterangan SBI -2,847964 -2,911730 tidak stasioner LOG_M -0,427825 -2,910860 tidak stasioner LOG_CPI 0,116255 -2,910860 tidak stasioner LOG_KURS -1,158646 -2,909206 tidak stasioner LOG_U -0,692761 -2,910860 tidak stasioner
Sumber : Lampiran 1.
54
Dari Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa variabel SBI, LOG_M, LOG_CPI,
LOG_KURS, dan LOG_U tidak stasioner pada level. Karena semua variabel tidak
stasioner pada level maka perlu dilanjutkan dengan melakukan uji akar unit pada
tingkat first difference.
Tabel 5.2. Hasil Pengujian Akar Unit pada First Difference
Variabel Nilai ADF Nilai Kritis Mc Kinnon 5 % Keterangan
SBI -5,280405 -2,912631 stasioner LOG_M -6,454295 -2,910860 stasioner LOG_CPI -3,544063 -2,910860 stasioner LOG_KURS -5,844543 -2,909206 stasioner LOG_U -3,978405 -2,910860 stasioner
Sumber : Lampiran 2. Uji akar unit pada tingkat first difference (derajat 1) dilakukan karena tidak
terpenuhinya asumsi stasioneritas pada tingkat level (derajat nol). Tabel 5.2
memperlihatkan bahwa semua variabel dari hasil uji akar unit pada tingkat first
difference telah stasioner.
5.2. Uji Lag Optimal
Untuk menetapkan lag optimal dapat menggunakan kriteria nilai Akaike
Information Criteria (AIC), Schwarz information Criterion (SC) maupun Hannan-
Quinn Information Criterion (HQ). Penelitian ini menggunakan nilai AIC,
perhitungan nilai AIC untuk setiap lag dapat dilihat di Tabel 5.3. Dari perhitungan
nilai AIC tersebut diketahui bahwa nilai minimum terdapat pada lag 4, sehingga
dapat ditetapkan bahwa lag optimal adalah 4.
55
Tabel 5.3. Nilai Lag Optimal
Lag AIC SC HQ 1 -8,301398 -7,068961 -7,820304 2 -9,428629 -7,315879 -8,603897 3 -10,37921 -7,386145 -9,210837 4 -11,52964* -7,656263* -10,01763*
Sumber : Lampiran 3.
5.3. Uji Stabilitas VAR
Sebelum masuk pada tahapan analisis yang lebih jauh lagi, hasil estimasi
sistem persamaan VAR yang telah terbentuk perlu diuji stabilitasnya melalui
VAR stability condition check yang berupa roots of characterictic polynomial
terhadap seluruh variabel yang digunakan dikalikan jumlah lag dari masing-
masing VAR. Jika modulus dari seluruh nilai AR-rootsnya di bawah 1, maka
sistem VAR-nya dikategorikan stabil. Jumlah root yang diuji sebanyak 20 (5*4).
Dari Lampiran 4 dapat diketahui bahwa semua nilai modulus di tabel AR-
nomialnya berada pada kisaran 0,24-0,93 dan bernilai di bawah 1, sehingga dapat
dikatakan sistem VAR-nya stabil.
5.4. Uji Kointegrasi
Uji kointegrasi dilakukan untuk memperoleh hubungan jangka panjang
yang stabil antara variabel-variabel yang terintegrasi pada derajat yang sama,
yaitu derajat satu (I(1)). Uji kointegrasi yang digunakan dalam penelitian ini.
adalah uji Johansen, uji ini dilakukan pada tingkat lag optimal, berdasarkan
Lampiran 3 dapat diketahui bahwa dalam penelitian ini menggunakan VECM
yang mempunyai lag 4.
Berdasarkan hasil summary, sebagaimana terlihat pada Lampiran 6,
asumsi trend deterministik yang sesuai digunakan dalam penelitian ini adalah
56
asumsi lima (Intercept and trend in CE-linier tend in VAR). Pemilihan asumsi
lima berdasarkan nilai Akaike Information Criteria (AIC). Hasil uji kointegrasi
Johansen dengan asumsi lima menunjukkan bahwa terdapat dua persamaan
kointegrasi pada taraf nyata satu persen dan lima persen, baik berdasarkan Trace
test dan Max-eigenvalue test (Lampiran 7). Hasil uji kointegrasi berdasarkan
Trace test dapat dilihat pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Hasil Uji Kointegrasi
Ho R=0 R<=1 R<=2 R<=3 R<=4 H1 R>=1 R>=2 R>=3 R>=4 R>=5
Trace Statistic 135,7825 74,69065 34,15123 12,10125 1,561902 Nilai Kritis 5 % 77,74 54,64 34,55 18,17 3,74
Sumber : Lampiran 7.
Karena mencari persamaan jangka panjang atau persamaan kointegrasi
bukanlah tujuan dari analisis ini maka, tidak dilakukan over restriction untuk
mendapatkan hasil estimasi VECM lebih lanjut. Tujuan pendekatan VECM dalam
penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana respon variable SBI, jumlah uang
yang beredar, inflasi, kurs dan pengangguran terhadap perubahan kebijakan
moneter. Oleh karena itulah analisis yang digunakan adalah Impuls Respose
Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEDV) untuk untuk
melihat berapa persen peran masing-masing guncangan (shock) terhadap
variabilitas variabel tertentu atau menelaah sumber-sumber fluktuasi pada variabel
tertentu.
57
5.5. Impulse Response Function (IRF)
IRF adalah respon sebuah variabel dependen jika mendapat guncangan
atau inovasi variabel independen sebesar satu standar deviasi. Penelitian ini akan
melihat pengaruh guncangan SBI terhadap variabel-variabel makroekonomi.
Gambar 5.1 menunjukkan reaksi SBI, jumlah uang yang beredar, CPI, kurs
dan pengangguran dalam 60 periode terhadap guncangan SBI dalam satuan
standar deviasi. Sumbu vertikal adalah respon variabel-variabel makroekonomi
atas guncangan SBI sedangkan sumbu horizontal adalah periode waktu (kuartal).
Guncangan SBI sebesar satu standar deviasi pada kuartal pertama akan
mengakibatkan peningkatan SBI sebesar 178,4 persen, penurunan jumlah uang
yang beredar (M1) sebesar 1,7 persen, peningkatan inflasi sebesar 0,39 persen,
peningkatan nilai tukar (apresiasi) sebesar 0,06 persen, peningkatan inflasi sebesar
0,39 persen dan penurunan pengangguran sebesar 1,11 persen.
Pada kuartal ke dua, guncangan SBI sebesar satu standar deviasi akan
mengakibatkan peningkatan SBI sebesar 7 persen, penurunan jumlah uang yang
beredar sebesar 2,3 persen, peningkatan inflasi sebesar 0,39 persen, peningkatan
nilai tukar (apresiasi) sebesar 0,55 persen, peningkatan inflasi sebesar 3,5 persen
dan penurunan pengangguran sebesar 3,18 persen.
58
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
10 20 30 40 50 60
Response of SBI to SBI
-.025
-.020
-.015
-.010
-.005
.000
.005
.010
10 20 30 40 50 60
Response of LOG_M to SBI
-.004
-.002
.000
.002
.004
.006
.008
.010
10 20 30 40 50 60
Response of LOG_CPI to SBI
-.04
-.03
-.02
-.01
.00
.01
.02
.03
.04
10 20 30 40 50 60
Response of LOG_KURS to SBI
-.12
-.10
-.08
-.06
-.04
-.02
.00
10 20 30 40 50 60
Response of LOG_U to SBI
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Persen Persen
Persen
Periode Periode
Persen
Periode Periode
Persen
Periode Gambar 5.1. Respon Variabel Makroekonomi terhadap Guncangan SBI
59
SBI ditetapkan bank sentral untuk mempengaruhi perekonomian, ketika
perekonomian dirasakan tumbuh terlalu cepat maka SBI dinaikkan untuk
mengerem pertumbuhan dan begitu pula sebaliknya. Guncangan SBI terhadap SBI
itu sendiri mengakibatkan peningkatan pada periode 1 dan 2 dan mulai periode 3
bernilai negatif, respon naik turunnya SBI karena ada batas titik psikologis yang
dicapai, ketika nilai SBI dirasa terlalu tinggi maka bank sentral menurunkan nilai
SBI secara perlahan-lahan sehingga nilainya akan menurun, begitu juga ketika
nilai SBI dirasa terlalu rendah maka secara perlahan-lahan nilai SBI tersebut akan
dinaikkan. Penetapan naik turunnya SBI tentu saja disesuaikan dengan kondisi
perekonomian yang terjadi. Menurut Bank Indonesia (2005), saat ini perubahan
SBI dilakukan jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya (inflation gap)
dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan indikator ekonomi
lainnya.
Respon jumlah uang yang beredar mengalami penurunan dari periode 1 ke
periode 2. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang berlaku yaitu ketika suku
bunga naik maka masyarakat akan memilih untuk menyimpan uangnya di Bank
sehingga jumlah uang yang beredar menurun. Namun ketika jumlah uang yang
beredar turun, pada periode ini respon inflasi mengalami peningkatan. Hal ini
menunjukkan bahwa SBI sebagai instrumen moneter tidak bisa secara penuh
dijadikan sebagai alat kontraksi moneter dalam mengendalikan inflasi yang
terjadi. Ini juga menunjukkan bahwa faktor eksternal turut berpengaruh terhadap
tingkat inflasi yang terjadi. Pada periode ini pula, peningkatan SBI dan penurunan
jumlah uang beredar menyebabkan nilai tukar mengalami apresiasi.
60
Secara umum respon SBI mengalami penurunan dan respon jumlah uang
yang beredar mengalami peningkatan, mulai periode 1 sampai periode 5 respon
SBI terhadap guncangan SBI itu sendiri mengalami peningkatan yang menurun,.
Respon penurunan suku bunga SBI secara umum, akan menyebabkan jumlah
uang yang beredar meningkat, hal ini karena masyarakat mungkin kurang tertarik
dengan tingkat suku bunga yang berlaku, sehingga masyarakat lebih memilih
untuk memegang uangnya, dan akibatnya jumlah uang yang beredar mengalami
peningkatan.
Respon secara umum peningkatan jumlah uang yang beredar sejalan
dengan respon peningkatan inflasi. Ketika bank sentral menetapkan SBI pada nilai
tertentu, maka untuk membayarnya bank sentral mencetak uang. Dalam jangka
panjang ketika otoritas moneter menetapkan tingkat SBI yang tinggi, maka
masyarakat banyak yang tertarik membelinya. Dan untuk membayarnya bank
sentral melakukan pencetakan uang, upaya pencetakan uang yang dilakukan
secara terus menerus tentu saja berbahaya sebab mengakibatkan money supply
meningkat dan mendorong terjadinya inflasi.
Selain inflasi peningkatan jumlah uang yang beredar juga menyebabkan
terjadinya depresiasi nilai tukar. Sampai periode ke-5 nilai tukar Rupiah masih
mengalami apresiasi walaupun cenderung melemah, dan mulai periode
selanjutnya cenderung mengalami depresiasi, hal ini karena penurunan SBI
menyebabkan jumlah uang yang beredar meningkat, akibatnya nilai tukar
melemah dan mengalami depresiasi.
61
Nilai tukar Rupiah secara umum mengalami trend depresiasi, hal ini
karena Indonesia sebagai negara small open economy dan menganut sistem nilai
tukar floating, sehingga nilai tukar tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal
saja tetapi juga turut dipengaruhi faktor eksternal. Indonesia sebagai negara kecil
yang menganut sistem nilai tukar floating, jika mendapat tekanan yang besar dari
luar maka akan sukar untuk mempertahankan nilai tukarnya, hal ini menyebabkan
nilai tukar Rupiah selalu berfluktuasi.
Secara umum angka pengangguran mulai periode 1 sampai periode 60
bernilai negatif dan mengalami penurunan. Secara teori hal ini karena suku bunga
SBI juga cenderung menurun, langkah ini kemudian akan diikuti oleh perbankan
dalam menetapkan suku bunga kredit, sehingga cost meminjam menjadi relatif
lebih murah dan menyebabkan perkembangan sektor riil sehingga akhirnya
pengangguran menurun.
Menurut Siregar et al., (2006), dalam periode 2002-2004, penurunan suku
bunga terus menerus dilakukan untuk menstimulus sektor riil, tetapi efek dari
transmisi moneter melalui penyesuaian suku bunga kredit sangatlah lambat
sehingga stimulus yang diharapkan justru tidak terjadi, ini menunjukkan kebijakan
moneter hanya mampu menggerakkan dan mengendalikan variabel-variabel
makro dan belum mampu mentransmisikan ke sektor riil.
Ketika angka pengangguran menunjukkan trend yang meningkat dari
tahun ketahun, ini menunjukkan bahwa SBI sebagai instrumen moneter kurang
kredibel dalam melakukan kontraksi dan ekspansi untuk mempengaruhi
perekonomian dalam mengatasi masalah pengangguran. Selain itu jumlah
62
pengangguran yang meningkat setiap saat, karena selalu ada angkatan kerja baru
yang memasuki pasar kerja, bila angkatan kerja baru tersebut tidak terserap maka
akan menambah angka pengangguran yang terjadi. Hal ini menunjukkan
kebijakan moneter saja tidak cukup untuk mengatasi masalah pengangguran.
Mulai periode 29 respon SBI terhadap guncangan SBI itu sendiri menjadi
permanen dan konvergen dengan nilai yang mulai stabil dalam interval minus 54
persen sampai minus 51 persen. Sedangkan guncangan SBI terhadap jumlah uang
yang beredar mulai periode 11 sampai periode 60 bernilai positif, dengan nilai
cenderung naik dan menuju ke arah kestabilan mulai periode 44 dalam kisaran
0,55-0,62 persen. Dalam jangka panjang, inovasi dari SBI memiliki hubungan
yang permanen terhadap jumlah uang yang beredar, hal ini mengindikasikan
bahwa kebijakan moneter dalam mengatur tingkat suku bunga harus selalu
disesuaikan dengan jumlah uang yang beredar.
Proses kenaikan inflasi secara bertahap terjadi sampai periode 36 dan
mulai periode 37 sampai periode 60 respon inflasi menjadi permanen dengan nilai
yang mulai stabil yaitu sekitar 0,8 persen. Dalam jangka panjang, inovasi dari SBI
memiliki hubungan yang permanen terhadap inflasi, hal ini mengindikasikan
bahwa kebijakan moneter dalam mengatur tingkat suku bunga harus selalu
disesuaikan dengan inflation targeting yang telah ditetapkan oleh bank sentral.
Mulai periode ke 32 sampai periode 60 respon nilai tukar terhadap
guncangan SBI menjadi permanen dan nilainya menjadi stabil dengan nilai sekitar
minus 3,2 persen. Dalam jangka panjang, inovasi dari SBI memiliki hubungan
63
yang permanen terhadap nilai tukar, hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan
moneter akan selalu berpengaruh terhadap kestabilan Rupiah.
Pada periode 35 sampai periode 60, respon pengangguran menjadi
permanen dan nilainya mulai stabil yaitu sekitar minus 10 persen. Cukup lamanya
respon variabel-variabel makroekonomi menuju ke arah kestabilan (mulai periode
29 sampai periode 44 atau 7-11 tahun setelah guncangan) menunjukkan bahwa
perekonomian Indonesia rentan terhadap perubahan, dan kebijakan moneter yang
diterapkan kurang mampu menstabilkan perekonomian dalam jangka pendek.
5.6. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
FEVD digunakan untuk melihat prediksi kontribusi persentase varians
setiap variabel terhadap perubahan suatu variabel tertentu. Penelitian ini ingin
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi inflasi dan pengangguran.
Hasil FEVD selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 9.
5.6.1. Faktor-Faktor Determinan Inflasi
Data analisis variance decomposition variabel inflasi ditunjukkan pada
Tabel 5.5. Pada periode satu diketahui bahwa pengaruh guncangan inflasi itu
sendiri sebesar 76,09 persen, guncangan uang beredar mempengaruhi sebesar
18,64 persen, guncangan SBI mempengaruhi sebesar 5,25 persen, dan guncangan
nilai tukar serta pengangguran bahkan tidak berpengaruh sama sekali.
Pengaruh SBI yang relatif kecil terhadap tingkat inflasi, yaitu hanya
sebesar 5,25 persen pada kurtal pertama, mengidikasikan bahwa Bank Indonesia
dalam jangka pendek tidak bisa terlalu optimis terhadap inflation targeting yang
64
ditetapkan, sebab masih banyak faktor di luar SBI yang dapat mempengaruhi
inflasi.
Pada tahap lima ke depan, pengaruh guncangan jumlah uang yang beredar,
nilai tukar dan pengangguran semakin meningkat. Pada tahap duapuluh ke depan,
pengaruh SBI, jumlah uang yang beredar dan inflasi itu sendiri semakin
meningkat. Pengaruh pengangguran mendominasi pada periode ke 5, namun
dalam jangka panjang pengaruhnya terhadap inflasi semakin menurun.
Keterkaitan antara pengangguran dan inflasi tidak terjadi secara langsung,
menurut kurva Phillips, terdapat trade-off antara pengangguran dan inflasi, ketika
terjadi inflasi yang tinggi maka jumlah penganguran akan menurun dan hal ini
berlaku pula sebaliknya.
Tabel 5.5. Faktor-Faktor Determinan Inflasi
Periode SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U 1 5,255915 18,64711 76,09698 0,000000 0,000000 5 2,312209 10,04451 22,67846 0,427801 64,53702 10 2,071591 13,88814 22,00576 5,336382 56,69813 20 10,00927 18,18633 26,40856 4,647713 40,74812 30 19,06980 18,67664 26,48828 3,947362 31,81792 40 25,64963 18,33141 26,04568 3,377577 26,59570 50 30,14750 18,02611 25,62627 2,985774 23,21436 60 33,34501 17,81005 25,31679 2,706861 20,82129
Sumber : Lampiran 9
Tingkat inflasi yang terjadi selalu berkaitan dengan inflasi periode
sebelumnya maupun tingkat inflasi yang diharapkan dimasa datang. Pada variabel
inflasi terlihat bahwa peramalan dari periode 1 hingga periode 60, pengaruh
inflasi terhadap guncangan di dalam inflasi itu sendiri semakin menurun.
Hasil penelitian menunjukkan pada periode 60 kuartal setelah guncangan,
pengaruh guncangan jumlah uang yang beredar sebesar 17,81 persen, dan
65
pengaruh guncangan SBI sebesar 33,34 persen. Hal ini mengindikasikan perlu
adanya keseriusan otoritas moneter dalam menetapkan SBI pada tingkat tertentu,
sebab bila pada akhirnya SBI dibayar dengan mencetak uang maka money supply
akan meningkat dan tingkat inflasi juga akan semakin meningkat.
Pada periode 60, pengaruh guncangan SBI mendominasi yaitu sebesar
33,34 persen, kemudian guncangan dalam inflasi itu sendiri berpengaruh sebesar
25,31 persen. Hasil FEVD ini mengindikasikan bahwa kebijakan moneter kurang
mampu mengendalikan laju inflasi sebab pengaruhnya dalam jangka pendek kecil
sekali (hanya sebesar 5,25 persen pada periode 1). Lamanya pengaruh kebijakan
moneter baru terasa, menunjukkan penetapan SBI dalam inflation targeting yang
ditargetkan kurang mampu mempengaruhi tingkat inflasi dalam jangka pendek.
Besarnya pengaruh kebijakan moneter terhadap variabilitas inflasi dalam
jangka panjang, menunjukkan bahwa agar inflation targeting dapat tercapai maka
kebijakan moneter yang diterapkan dalam berbagai kondisi harus selalu diarahkan
untuk mencapai inflasi yang telah ditargetkan. Kebijakan moneter yang diterapkan
Bank Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang tetap
mempunyai pengaruh terhadap kestabilan inflasi karena itu kebijakan moneter
yang dilakukan oleh Bank Sentral harus selalu diusahakan untuk mencapai
inflation targeting yang telah ditetapkan.
5.6.2. Faktor-Faktor Determinan Pengangguran
Hasil FEVD variabel pengangguran pada Tabel 5.6 menunjukkan bahwa
pada peramalan periode pertama hingga periode ke 60, varians penganguran
terutama disebabkan oleh guncangan pengangguran itu sendiri dan kemudian oleh
66
guncangan SBI. Pada periode pertama, penganguran disebabkan oleh guncangan
penganguran itu sendiri sebesar 47,56 persen, guncangan inflasi sebesar 10,56
persen, guncangan nilai tukar sebesar 7,99 persen dan guncangan SBI sebesar
31,12 persen.
Tabel 5.6. Faktor-Faktor Determinan Pengangguran
Periode SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U 1 31,12669 2,747585 10,56803 7,995924 47,56177 5 28,72947 0,085257 2,625266 12,36666 56,19335 10 34,56411 1,052042 2,881495 11,53891 49,96344 20 37,85528 1,619483 3,053888 10,99092 46,48043 30 38,76958 1,748515 3,059338 10,84424 45,57832 40 39,13209 1,797256 3,058202 10,73429 45,27816 50 39,33099 1,824275 3,054906 10,65693 45,13290 60 39,46031 1,840715 3,050858 10,60474 45,04337
Sumber : Lampiran 9 Pada tahap lima ke depan, pengaruh guncangan nilai tukar meningkat
menjadi 12,36 persen, pengaruh guncangan SBI menurun menjadi sebesar 28,72
persen, pengaruh guncangan inflasi menurun menjadi sebesar 2,62 persen dan
pengaruh guncangan pengangguran sendiri meningkat menjadi sebesar 56,19
persen, Pada tahap sepuluh ke depan, pengaruh guncangan SBI semakin
meningkat menjadi sebesar 34,56 persen, pengaruh guncangan inflasi naik
menjadi 2,88 persen dan pengaruh guncangan pengangguran berkurang menjadi
sebesar 49,96 persen.
Pada tahap 60 ke depan, guncangan penganguran sebesar 45,04 persen
menjadi faktor yang dominan dalam mempengaruhi variabilitas pengangguran.
Hasil empiris tersebut menunjukkan bahwa masalah pengangguran ditentukan dari
sisi pasar tenaga kerja. Dalam jangka panjang upaya mengatasi peningkatan
pengangguran dapat dilakukan melalui perbaikan kinerja di pasar tenaga kerja.
67
Pengaruh guncangan nilai tukar sebesar 10,60 persen menunjukkan bahwa
kestabilan nilai tukar Rupiah juga diperlukan dalam kondisi perekonomian. Pada
saat krisis, banyak industri yang mayoritas menggunakan bahan baku impor
mengalami gulung tikar akibat kenaikan biaya produksi, ini tentu saja
menyebabkan industri harus merasionalisasi jumlah pekerjanya dan dampak
lanjutannya yaitu terjadi kenaikan jumlah penganguran. Karena itu kestabilan nilai
tukar sangat penting dipelihara agar tidak berdampak negatif terhadap penciptaan
pengangguran.
Pengaruh guncangan inflasi sebesar 3,05 persen dan pengaruh guncangan
nilai tukar sebesar 10,60 persen menunjukkan bahwa dalam jangka panjang upaya
menentukan kebijakan ketenagakerjaan harus disertai dengan kondisi makro
ekonomi yang stabil baik itu kestabilan inflasi maupun kestabilan nilai tukar.
Hasil FEVD ini mengindikasikan bahwa pada dari periode awal hingga
periode 60, guncangan dalam variabel-variabel makroekonomi memiliki pengaruh
yang lebih kecil dibandingkan dengan guncangan dalam penggguran itu sendiri.
Namun dalam jangka panjang variabel SBI justru semakin memiliki pengaruh
yang semakin besar terhadap variabel pengangguran. Hal ini mengindikasikan
bahwa dalam jangka panjang faktor yang paling mempengaruhi pengangguran
adalah pengangguran itu sendiri, peningkatan pengaruh SBI dalam jangka panjang
sebesar 39,46 persen, menunjukkan bahwa kebijakan moneter memiliki pengaruh
yang besar untuk mengatasi tingkat pengangguran, Sehingga agar masalah
pengangguran dapat teratasi diperlukan adanya kombinasi antara kebijakan
ketenagakerjaan dan kebijakan moneter yang saling mendukung.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Penelitian ini melihat bagaimana respon variabel-variabel makroekonomi
terhadap guncangan SBI. Respon pada dua kuartal awal (periode 1-2)
menunjukkan jumlah uang yang beredar dan pengangguran mengalami
penurunan, SBI dan inflasi mengalami peningkatan dan nilai tukar
mengalami apresiasi. Secara umum respon jumlah uang yang beredar dan
inflasi mengalami peningkatan, sedangkan respon nilai tukar cenderung
mengalami depresiasi dan respon pengangguran mengalami penurunan.
Setelah terjadi guncangan SBI, variabel yang lebih cepat menunjukkan
respon permanen adalah variabel SBI itu sendiri, nilai tukar,
pengangguran, inflasi dan yang membutuhkan waktu paling lama adalah
jumlah uang yang beredar. Cukup lamanya respon variabel tersebut
menuju ke arah kestabilan (mulai periode 29-44 atau 7-11 tahun setelah
guncangan) menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia rentan terhadap
perubahan, dan kebijakan moneter yang diterapkan kurang mampu untuk
menstabilkan perekonomian.
2 Hasil FEVD terhadap inflasi menunjukkan bahwa faktor yang paling
berpengaruh pada awal periode adalah inovasi inflasi itu sendiri, dalam
jangka panjang faktor yang paling berpengaruh adalah kebijakan moneter.
Sedangkan hasil FEVD pengangguran menunjukkan bahwa dari awal
hingga akhir periode peramalan, faktor yang paling berpengaruh terhadap
69
variabel pengangguran adalah inovasi dalam pengangguran itu sendiri.
Pengaruh kebijakan moneter yang besar terjadi pada periode ke-60 atau 15
tahun setelah terjadi guncangan, hal ini menunjukkan bahwa kebijakan
moneter kurang mampu mengendalikan laju inflasi dan tingkat
pengangguran dalam jangka pendek.
6.2. Saran
1. Hasil impulse response menunjukkan bahwa respon variabel-variabel
makroekonomi untuk menjadi permanen membutuhkan waktu yang cukup
lama, ini berarti kebijakan moneter kurang mampu untuk mempengaruhi
perekonomian, karena itu bank sentral diharapkan mampu merumuskan
kebijakan yang lebih efektif dalam mentransmisikan sektor moneter ke
sektor riil.
2. Bank sentral diharapkan tidak hanya terfokus pada pentargetan inflasi saja
namun perlu juga memperhatikan variabel makroekonomi lainnya,
termasuk perubahan kondisi internal dan eksternal, sehingga diharapkan
kebijakan yang diambil cepat menyesuaikan diri dengan keadaan
perekonomian yang terjadi. Dan dalam menetapkan kebijakan moneter,
bank sentral diharapkan menerapkan kebijakan yang disesuaikan dengan
kondisi dan permasalahan tenaga kerja yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Amisano, Gianni dan Carlo Giannini. 1996. Topics in Structural VAR Econometrics Second, Revised and Enlarged Edition. Springer, Germany.
Arsana, I Gede Putra. 2004. Vector Auto Regressive. Laboratorium Komputasi
Ilmu Ekonomi FEUI, Jakarta. Bank Indonesia. Statisik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Berbagai Edisi. Bank
Indonesia, Jakarta. Badan Pusat Statistik. Laporan Badan Pusat Statistik. Berbagai Edisi. BPS,
Jakarta. Djivre, Joseph dan Sigal Ribon. 2003. “Inflation, Unemployment, The Exchange
Rate, and Monetary Policy in Israel, 1990-99: A SVAR Approach”. Israel Economic Review, 2: 71-99.
Eviews. 2002. Quantitative Micro Software-All rights reserved-Help system.
http://www.eviews.com. Enders, Walter. 2004. Applied Econometric Time Series. John Wiley & Sons, Inc,
United States of America. Gujarati, Damodar. 2003. Basic Economsetrics fourth edition. McGraw Hill.
Singapure. Harris, Richard. 1995. Using Cointegration Analysis in Econometric Modelling.
Prentice Hall/ Harvester Wheatshcaf. British. Hossain, Akhtar dan Anis Chowdhury. 1998. Open-Economy Macroeconomics
for Developing Countries. Edward Elgar Publishing Limited, United States of America.
International Monetary Fund (IMF). International Financial Statistic (IFS). http:
www.imf.org [23 Februari 2006]. Limongan, Andreas. 2001. Masalah Pengangguran di Indonesia.
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/07/21/0018.html. [ 26 April 2006].
Lipsey, Richard, Paul Courant, Doughlas Purvis, dan Peter Steinar. 1997.
Pengantar Makroekonomi. Agus Maulana [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta.
71
Mankiw, Gregory. 2000. Teori Makroekonomi. Imam Nurmawan [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.
Mishkin, Frederic. 2001. The Economics of Money, Banking and Financial
Markets. Columbia University, America. Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter. Edisi ke-4. BPFE, Yogyakarta. Salim, Fahruddin. 2001. Prioritas Agenda Kabinet Mega-Hamzah.
http://www.suaramerdeka.com/harian/0108/01/kha1.htm. [ 26 April 2006]. Siregar, Hermanto dan Bert Ward. 2005. “Can Monetary Policy/Shocks Stabilize
Indonesian Macroecnomics Fluctuations?”. InterCAFE. Working Paper Series, No : IWP/007/2005, hal 1-26.
Siregar, Hermanto, Iman Sugema, Noer Azam Achsani, Yati Nuryati, Dwi Berta
Susila, Mohamad Iqbal Irfany. 2006. Paradoks Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran: Identifikasi, Implikasi dan Solusi. Internacional Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE), Institut Pertanian Bogor, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Bogor.
Sitorus, Tarmiden. 2006. Kinerja Ekonomi Moneter 2005 dan Prospek Tahun
2006. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, Jakarta.
Sugema, Iman, Hermanto Siregar, Rina Oktaviani, Noer Azam Achsani, Heti
Mulyati, Yati Nuryati, Agit Kriswantriono, Mohamad Iqbal Irfany. 2006. Monetary and Banking Outlook: Beyond Stabilization and Consolidatin. International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE), Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Thomas, Leighton. Modern Econometrics an Introduction. 1997. Addison Wesley
Longman, England. Warjiyo, Perry. 2004. Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia Sebuah
Pengantar. Pusat Studi dan Kebanksentralan BI, Jakarta. Zivot, Eric. 2000. Notes on Structural VAR Modeling. Copyright Eric Zivot.
LAMPIRAN
73
Lampiran 1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level Hasil Pengujian Akar Unit SBI pada Level Null Hypothesis: SBI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.847964 0.0578 Test critical values: 1% level -3.546099
5% level -2.911730 10% level -2.593551
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SBI) Method: Least Squares Date: 06/14/06 Time: 20:27 Sample(adjusted): 1991:2 2005:4 Included observations: 59 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. SBI(-1) -0.285401 0.100212 -2.847964 0.0062
D(SBI(-1)) 0.268567 0.124591 2.155584 0.0357D(SBI(-2)) 0.160028 0.129825 1.232637 0.2232D(SBI(-3)) 0.208275 0.130515 1.595798 0.1165D(SBI(-4)) -0.186962 0.133660 -1.398781 0.1677
C 4.148248 1.615894 2.567154 0.0131
R-squared 0.270616 Mean dependent var -0.201695Adjusted R-squared 0.201806 S.D. dependent var 4.523117S.E. of regression 4.041030 Akaike info criterion 5.727021Sum squared resid 865.4861 Schwarz criterion 5.938296Log likelihood -162.9471 F-statistic 3.932806Durbin-Watson stat 2.005982 Prob(F-statistic) 0.004170 Hasil Pengujian Akar Unit LOG_M pada Level Null Hypothesis: LOG_M has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -0.427825 0.8971 Test critical values: 1% level -3.544063
5% level -2.910860 10% level -2.593090
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
74
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_M) Method: Least Squares Date: 06/14/06 Time: 20:25 Sample(adjusted): 1991:1 2005:4 Included observations: 60 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
LOG_M(-1) -0.003814 0.008915 -0.427825 0.6704D(LOG_M(-1)) -0.199681 0.127650 -1.564290 0.1235D(LOG_M(-2)) -0.076563 0.129266 -0.592287 0.5561D(LOG_M(-3)) -0.315317 0.127068 -2.481492 0.0162
C 0.108492 0.101247 1.071561 0.2886
R-squared 0.137677 Mean dependent var 0.041185Adjusted R-squared 0.074962 S.D. dependent var 0.056148S.E. of regression 0.054003 Akaike info criterion -2.919911Sum squared resid 0.160396 Schwarz criterion -2.745383Log likelihood 92.59734 F-statistic 2.195295Durbin-Watson stat 1.892687 Prob(F-statistic) 0.081454 Hasil Pengujian Akar Unit LOG_CPI pada Level Null Hypothesis: LOG_CPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 0.116255 0.9645 Test critical values: 1% level -3.544063
5% level -2.910860 10% level -2.593090
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_CPI) Method: Least Squares Date: 06/14/06 Time: 20:23 Sample(adjusted): 1991:1 2005:4 Included observations: 60 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG_CPI(-1) 0.000774 0.006654 0.116255 0.9079
D(LOG_CPI(-1)) 0.685584 0.134138 5.111035 0.0000D(LOG_CPI(-2)) 0.150310 0.164775 0.912215 0.3656D(LOG_CPI(-3)) -0.363404 0.134261 -2.706701 0.0090
C 0.012715 0.028290 0.449443 0.6549R-squared 0.474781 Mean dependent var 0.028966Adjusted R-squared 0.436583 S.D. dependent var 0.038213S.E. of regression 0.028683 Akaike info criterion -4.185339Sum squared resid 0.045251 Schwarz criterion -4.010810
75
Log likelihood 130.5602 F-statistic 12.42954Durbin-Watson stat 1.804089 Prob(F-statistic) 0.000000 Hasil Pengujian Akar Unit LOG_KURS pada Level Null Hypothesis: LOG_KURS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.158646 0.6869 Test critical values: 1% level -3.540198
5% level -2.909206 10% level -2.592215
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_KURS) Method: Least Squares Date: 06/14/06 Time: 20:24 Sample(adjusted): 1990:3 2005:4 Included observations: 62 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG_KURS(-1) -0.028830 0.024882 -1.158646 0.2513
D(LOG_KURS(-1)) 0.285932 0.124693 2.293089 0.0254C -0.261483 0.209753 -1.246627 0.2175
R-squared 0.094485 Mean dependent var -0.026992Adjusted R-squared 0.063789 S.D. dependent var 0.146183S.E. of regression 0.141443 Akaike info criterion -1.026659Sum squared resid 1.180366 Schwarz criterion -0.923733Log likelihood 34.82641 F-statistic 3.078137Durbin-Watson stat 2.009446 Prob(F-statistic) 0.053509 Hasil Pengujian Akar Unit LOG_U pada Level Null Hypothesis: LOG_U has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -0.692761 0.8404 Test critical values: 1% level -3.544063
5% level -2.910860 10% level -2.593090
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_U)
76
Method: Least Squares Date: 06/14/06 Time: 20:26 Sample(adjusted): 1991:1 2005:4 Included observations: 60 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG_U(-1) -0.003811 0.005500 -0.692761 0.4914
D(LOG_U(-1)) 1.774270 0.127217 13.94677 0.0000D(LOG_U(-2)) -1.322096 0.203396 -6.500100 0.0000D(LOG_U(-3)) 0.321756 0.127624 2.521136 0.0146
C 0.064903 0.084097 0.771760 0.4436R-squared 0.916901 Mean dependent var 0.028598Adjusted R-squared 0.910857 S.D. dependent var 0.078697S.E. of regression 0.023496 Akaike info criterion -4.584281Sum squared resid 0.030365 Schwarz criterion -4.409752Log likelihood 142.5284 F-statistic 151.7149Durbin-Watson stat 1.941228 Prob(F-statistic) 0.000000
77
Lampiran 2. Hasil Pengujian Akar Unit pada First Difference Hasil Pengujian Akar Unit SBI pada First Difference Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.280405 0.0000 Test critical values: 1% level -3.548208
5% level -2.912631 10% level -2.594027
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SBI,2) Method: Least Squares Date: 06/14/06 Time: 20:28 Sample(adjusted): 1991:3 2005:4 Included observations: 58 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(SBI(-1)) -1.388198 0.262896 -5.280405 0.0000
D(SBI(-1),2) 0.466598 0.214780 2.172443 0.0344D(SBI(-2),2) 0.505419 0.193857 2.607181 0.0119D(SBI(-3),2) 0.567397 0.165386 3.430750 0.0012D(SBI(-4),2) 0.250995 0.131615 1.907030 0.0620
C -0.166138 0.553460 -0.300181 0.7652R-squared 0.524067 Mean dependent var 0.143103Adjusted R-squared 0.478305 S.D. dependent var 5.810914S.E. of regression 4.197135 Akaike info criterion 5.804378Sum squared resid 916.0288 Schwarz criterion 6.017528Log likelihood -162.3270 F-statistic 11.45184Durbin-Watson stat 1.960366 Prob(F-statistic) 0.000000
Hasil Pengujian Akar Unit LOG_M pada First Difference Null Hypothesis: D(LOG_M) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.454295 0.0000 Test critical values: 1% level -3.544063
5% level -2.910860 10% level -2.593090
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
78
Dependent Variable: D(LOG_M,2) Method: Least Squares Date: 06/14/06 Time: 20:25 Sample(adjusted): 1991:1 2005:4 Included observations: 60 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(LOG_M(-1)) -1.596466 0.247349 -6.454295 0.0000
D(LOG_M(-1),2) 0.395617 0.196060 2.017838 0.0484D(LOG_M(-2),2) 0.316790 0.126091 2.512395 0.0149
C 0.065499 0.012242 5.350268 0.0000R-squared 0.637040 Mean dependent var -0.000119Adjusted R-squared 0.617595 S.D. dependent var 0.086689S.E. of regression 0.053607 Akaike info criterion -2.949922Sum squared resid 0.160930 Schwarz criterion -2.810299Log likelihood 92.49767 F-statistic 32.76227Durbin-Watson stat 1.891137 Prob(F-statistic) 0.000000 Hasil Pengujian Akar Unit LOG_CPI pada First Difference Null Hypothesis: D(LOG_CPI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.365808 0.0009 Test critical values: 1% level -3.544063
5% level -2.910860 10% level -2.593090
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_CPI,2) Method: Least Squares Date: 06/14/06 Time: 20:24 Sample(adjusted): 1991:1 2005:4 Included observations: 60 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(LOG_CPI(-1)) -0.526363 0.120565 -4.365808 0.0001
D(LOG_CPI(-1),2) 0.211679 0.137271 1.542055 0.1287D(LOG_CPI(-2),2) 0.362207 0.132681 2.729903 0.0085
C 0.015951 0.004977 3.205283 0.0022
R-squared 0.268251 Mean dependent var 0.001299Adjusted R-squared 0.229050 S.D. dependent var 0.032379S.E. of regression 0.028430 Akaike info criterion -4.218426Sum squared resid 0.045262 Schwarz criterion -4.078803Log likelihood 130.5528 F-statistic 6.842977Durbin-Watson stat 1.802176 Prob(F-statistic) 0.000522
79
Lampiran 2. Lanjutan Hasil Pengujian Akar Unit LOG_KURS pada First Difference Null Hypothesis: D(LOG_KURS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.844543 0.0000 Test critical values: 1% level -3.540198
5% level -2.909206 10% level -2.592215
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_KURS,2) Method: Least Squares Date: 06/14/06 Time: 20:24 Sample(adjusted): 1990:3 2005:4 Included observations: 62 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(LOG_KURS(-1)) -0.727626 0.124497 -5.844543 0.0000
C -0.019380 0.018347 -1.056299 0.2951R-squared 0.362778 Mean dependent var 0.000954Adjusted R-squared 0.352157 S.D. dependent var 0.176231S.E. of regression 0.141846 Akaike info criterion -1.036418Sum squared resid 1.207224 Schwarz criterion -0.967801Log likelihood 34.12896 F-statistic 34.15868Durbin-Watson stat 1.994671 Prob(F-statistic) 0.000000
Hasil Pengujian Akar Unit LOG_U pada First Difference Null Hypothesis: D(LOG_U) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.978405 0.0029 Test critical values: 1% level -3.544063
5% level -2.910860 10% level -2.593090
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_U,2) Method: Least Squares
80
Date: 06/14/06 Time: 20:26 Sample(adjusted): 1991:1 2005:4 Included observations: 60 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(LOG_U(-1)) -0.233895 0.058791 -3.978405 0.0002
D(LOG_U(-1),2) 1.007544 0.093044 10.82871 0.0000D(LOG_U(-2),2) -0.312103 0.126270 -2.471712 0.0165
C 0.006692 0.003427 1.952571 0.0559R-squared 0.772820 Mean dependent var 0.000480Adjusted R-squared 0.760650 S.D. dependent var 0.047803S.E. of regression 0.023387 Akaike info criterion -4.608926Sum squared resid 0.030629 Schwarz criterion -4.469303Log likelihood 142.2678 F-statistic 63.50026Durbin-Watson stat 1.932776 Prob(F-statistic) 0.000000
81
Lampiran 3. Hasil Pengujian Lag Optimal Hasil Pengujian Lag 4 VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DSBI DLOG_M DLOG_CPI DLOG_KURS DLOG_U Exogenous variables: C DUMMY Date: 06/14/06 Time: 21:55 Sample: 1990:1 2005:4 Included observations: 59
Lag LogL LR FPE AIC SC HQ
0 161.8632 NA 4.00E-09 -5.147905 -4.795780 -5.010450 1 279.8912 208.0494 1.72E-10 -8.301398 -7.068961 -7.820304 2 338.1446 92.81036 5.69E-11 -9.428629 -7.315879 -8.603897 3 391.1866 75.51753 2.33E-11 -10.37921 -7.386145 -9.210837 4 450.1243 73.92184* 8.17E-12* -11.52964* -7.656263* -10.01763*
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Hasil Pengujian Lag 5 VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DSBI DLOG_M DLOG_CPI DLOG_KURS DLOG_U Exogenous variables: C DUMMY Date: 08/24/06 Time: 13:56 Sample: 1990:1 2005:4 Included observations: 58
Lag LogL LR FPE AIC SC HQ
0 157.4898 NA 4.26E-09 -5.085855 -4.730606 -4.947478 1 273.4512 203.9321 1.86E-10 -8.222454 -6.979083 -7.738136 2 332.3489 93.42406 5.92E-11 -9.391342 -7.259850 -8.561083 3 389.0864 80.21503 2.10E-11 -10.48574 -7.466123 -9.309537 4 446.3347 71.06689* 7.72E-12 -11.59775 -7.690012* -10.07561*5 478.9240 34.83678 7.17E-12* -11.85945* -7.063588 -9.991363
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
82
Lampiran 4. Hasil Pengujian Stabilitas VAR Pengujian Stabilitas VAR pada Lag 4 yang Stabil Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DSBI DLOG_M DLOG_CPI DLOG_KURS DLOG_U
Exogenous variables: C DUMMY Lag specification: 1 4 Date: 06/14/06 Time: 21:55 Root Modulus -0.938772 0.938772 -0.102055 + 0.914347i 0.920025 -0.102055 - 0.914347i 0.920025 0.758071 - 0.471558i 0.892770 0.758071 + 0.471558i 0.892770 0.355192 - 0.791213i 0.867283 0.355192 + 0.791213i 0.867283 0.657117 - 0.554737i 0.859963 0.657117 + 0.554737i 0.859963 -0.547736 + 0.647958i 0.848449 -0.547736 - 0.647958i 0.848449 0.794851 + 0.156972i 0.810203 0.794851 - 0.156972i 0.810203 -0.708502 - 0.254758i 0.752912 -0.708502 + 0.254758i 0.752912 -0.234848 - 0.670491i 0.710430 -0.234848 + 0.670491i 0.710430 0.337159 + 0.203722i 0.393928 0.337159 - 0.203722i 0.393928 -0.248041 0.248041 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
83
Lampiran 4. Lanjutan Pengujian Stabilitas VAR pada Lag Maksimum (Lag 8) yang Tidak Stabil Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DSBI DLOG_M DLOG_CPI DLOG_KURS DLOG_U Exogenous variables: C DUMMY Lag specification: 1 8 Date: 08/24/06 Time: 13:50 Root Modulus -0.030930 - 1.009991i 1.010465 -0.030930 + 1.009991i 1.010465 0.897000 - 0.434174i 0.996552 0.897000 + 0.434174i 0.996552 -0.982982 - 0.045697i 0.984044 -0.982982 + 0.045697i 0.984044 0.784458 + 0.591843i 0.982676 0.784458 - 0.591843i 0.982676 -0.839398 + 0.490635i 0.972271 -0.839398 - 0.490635i 0.972271 -0.473420 + 0.849034i 0.972104 -0.473420 - 0.849034i 0.972104 0.429115 + 0.863042i 0.963836 0.429115 - 0.863042i 0.963836 0.924642 + 0.260378i 0.960604 0.924642 - 0.260378i 0.960604 -0.913648 + 0.267143i 0.951903 -0.913648 - 0.267143i 0.951903 0.591970 + 0.739716i 0.947422 0.591970 - 0.739716i 0.947422 0.935319 0.935319 -0.253726 - 0.876300i 0.912293 -0.253726 + 0.876300i 0.912293 0.477189 + 0.775677i 0.910706 0.477189 - 0.775677i 0.910706 0.230302 + 0.876891i 0.906629 0.230302 - 0.876891i 0.906629 -0.589191 + 0.674412i 0.895532 -0.589191 - 0.674412i 0.895532 0.663070 - 0.600561i 0.894615 0.663070 + 0.600561i 0.894615 -0.105393 - 0.882043i 0.888317 -0.105393 + 0.882043i 0.888317 -0.582848 - 0.531564i 0.788842 -0.582848 + 0.531564i 0.788842 -0.428272 + 0.462572i 0.630389 -0.428272 - 0.462572i 0.630389 0.565294 0.565294 0.266604 + 0.473732i 0.543599 0.266604 - 0.473732i 0.543599 Warning: At least one root outside the unit circle. VAR does not satisfy the stability condition.
84
Lampiran 5. Hasil Estimasi Structural VAR
Structural VAR Estimates Date: 07/17/06 Time: 09:45 Sample(adjusted): 1991:2 2005:4 Included observations: 59 after adjusting endpoints Estimation method: method of scoring (analytic derivatives) Convergence achieved after 18 iterations Structural VAR is just-identified
Model: Ae = Bu where E[uu']=I Restriction Type: short-run text form @e1 = C(1)*@u1 @e2 = C(2)*@e1 + C(3)*@u2 @e3 = C(4)*@e1 + C(5)*@e2 + C(6)*@u3 @e4 = C(7)*@e1 + C(8)*@e2 + C(9)*@e3 + C(10)*@u4 @e5 = C(11)*@e1 + C(12)*@e2 + C(13)*@e3 + C(14)*@e4 + C(15)*@u5 where @e1 represents DSBI residuals @e2 represents DLOG_M residuals @e3 represents DLOG_CPI residuals @e4 represents DLOG_KURS residuals @e5 represents DLOG_U residuals
Coefficient Std. Error z-Statistic Prob.
C(2) -0.005927 0.002590 -2.288778 0.0221 C(4) 0.001977 0.001272 1.553835 0.1202 C(5) 0.134404 0.061300 2.192572 0.0283 C(7) -0.003174 0.004755 -0.667558 0.5044 C(8) -0.292087 0.233511 -1.250848 0.2110 C(9) -0.403056 0.476885 -0.845186 0.3980
C(11) -0.005728 0.001161 -4.934252 0.0000 C(12) 0.039433 0.057545 0.685261 0.4932 C(13) 0.290574 0.116692 2.490095 0.0128 C(14) 0.008819 0.031666 0.278490 0.7806 C(1) 1.892364 0.174206 10.86278 0.0000 C(3) 0.037643 0.003465 10.86278 0.0000 C(6) 0.017724 0.001632 10.86278 0.0000
C(10) 0.064925 0.005977 10.86278 0.0000 C(15) 0.015792 0.001454 10.86278 0.0000
Log likelihood 381.2979
Estimated A matrix: 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.005927 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -0.001977 -0.134404 1.000000 0.000000 0.000000 0.003174 0.292087 0.403056 1.000000 0.000000 0.005728 -0.039433 -0.290574 -0.008819 1.000000
Estimated B matrix:
85
1.892364 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.037643 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.017724 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.064925 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.015792
`
86
Lampiran 6. Hasil Pengujian Johansen dengan Asumsi “Summary” Date: 06/14/06 Time: 21:18 Sample: 1990:1 2005:4 Included observations: 59 Series: SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U Exogenous series: DUMMY Warning: Rank Test critical values derived assuming no exogenous series Lags interval: 1 to 4 Data Trend: None None Linear Linear Quadratic
Rank or No Intercept Intercept Intercept Intercept Intercept No. of CEs No Trend No Trend No Trend Trend Trend
Selected (5% level) Number of Cointegrating Relations
by Model (columns)
Trace 3 3 3 3 2 Max-Eig 3 4 3 2 2 Log Likelihood by Rank
(rows) and Model (columns)
0 436.8195 436.8195 450.1243 450.1243 462.2439 1 474.2088 475.6811 486.5291 487.6567 492.7899 2 493.2066 495.0863 500.4080 507.9307 513.0596 3 503.9341 507.2553 511.3587 520.5856 524.0846 4 507.9540 515.8180 515.8186 528.8054 529.3542 5 507.9807 516.0309 516.0309 530.1352 530.1352
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model
(columns)
0 -11.41761 -11.41761 -11.69913 -11.69913 -11.94047 1 -12.34606 -12.36207 -12.59421 -12.59853 -12.63694 2 -12.65107 -12.64699 -12.72570 -12.91291 -12.98507 3 -12.67573 -12.68662 -12.75792 -12.96900 -13.01982* 4 -12.47302 -12.60400 -12.57012 -12.87476 -12.85947 5 -12.13494 -12.23833 -12.23833 -12.54696 -12.54696
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
0 -7.896359 -7.896359 -8.001817 -8.001817 -8.067098 1 -8.472685 -8.453482 -8.544770* -8.513881 -8.411444 2 -8.425572 -8.351068 -8.324134 -8.440918 -8.407445 3 -8.098108 -8.003358 -8.004233 -8.109680 -8.090066 4 -7.543265 -7.533401 -7.464309 -7.628097 -7.577591 5 -6.853062 -6.780397 -6.780397 -6.912956 -6.912956
87
Lampiran 7. Hasil Pengujian Johansen dengan “Asumsi 5” (allwow for quadratic deterministic trend in data: Intercept and trend in CE-linier tend in VAR) Date: 06/14/06 Time: 21:19 Sample(adjusted): 1991:2 2005:4 Included observations: 59 after adjusting endpoints Trend assumption: Quadratic deterministic trend Series: SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U Exogenous series: DUMMY Warning: Critical values assume no exogenous series Lags interval (in first differences): 1 to 4
Unrestricted Cointegration Rank Test
Hypothesized Trace 5 Percent 1 Percent No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Critical Value
None ** 0.644935 135.7825 77.74 85.78
At most 1 ** 0.496972 74.69065 54.64 61.24 At most 2 0.311836 34.15123 34.55 40.49 At most 3 0.163587 12.10125 18.17 23.46 At most 4 0.026126 1.561902 3.74 6.40
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates 2 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels
Hypothesized Max-Eigen 5 Percent 1 Percent No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Critical Value
None ** 0.644935 61.09182 36.41 41.58
At most 1 ** 0.496972 40.53942 30.33 35.68 At most 2 0.311836 22.04998 23.78 28.83 At most 3 0.163587 10.53935 16.87 21.47 At most 4 0.026126 1.561902 3.74 6.40
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):
SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U -0.412980 9.164098 10.08165 -5.744332 5.148791 -1.163923 60.74809 3.825452 8.587690 6.817462 0.119487 54.40541 9.949059 16.20456 -7.220804 0.249040 -20.45540 53.96330 18.00268 3.940220 -0.134279 -72.44637 -58.60095 -36.97661 37.41272
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
D(SBI) -0.129021 0.572803 0.077530 -0.005642 0.196301
88
D(LOG_M) 0.000773 0.004237 0.001602 -0.009733 -0.002748 D(LOG_CPI) -0.004920 -0.004313 -0.001997 -0.003970 0.000874 D(LOG_KUR
S) 0.035045 -0.007670 -0.011175 0.002856 0.001388
D(LOG_U) -0.001894 -0.000760 -0.006913 -0.001410 -0.001258
1 Cointegrating Equation(s): Log likelihood 492.7899 Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses)
SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U 1.000000 -22.19018 -24.41196 13.90947 -12.46741
(30.6933) (24.7316) (13.9577) (11.5375)
Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(SBI) 0.053283
(0.10418) D(LOG_M) -0.000319
(0.00214) D(LOG_CPI) 0.002032
(0.00097) D(LOG_KURS) -0.014473
(0.00257) D(LOG_U) 0.000782
(0.00107)
2 Cointegrating Equation(s): Log likelihood 513.0596 Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses)
SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U 1.000000 0.000000 -40.03652 29.65417 -17.35634
(36.1075) (13.2928) (9.46456) 0.000000 1.000000 -0.704120 0.709534 -0.220319
(0.75214) (0.27690) (0.19715)
Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(SBI) -0.613416 33.61435
(0.28697) (14.2751) D(LOG_M) -0.005251 0.264462
(0.00634) (0.31520) D(LOG_CPI) 0.007052 -0.307085
(0.00277) (0.13760) D(LOG_KURS) -0.005545 -0.144808
(0.00752) (0.37397) D(LOG_U) 0.001667 -0.063513
(0.00320) (0.15927)
3 Cointegrating Equation(s): Log likelihood 524.0846 Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses)
SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U 1.000000 0.000000 0.000000 10.07310 -12.19363
(1.99576) (3.77695) 0.000000 1.000000 0.000000 0.365163 -0.129523
(0.03597) (0.06808) 0.000000 0.000000 1.000000 -0.489080 0.128950
(0.12042) (0.22789)
89
Adjustment coefficients (std.err. in parentheses)
D(SBI) -0.604152 37.83240 1.661839 (0.28784) (19.0367) (3.40351)
D(LOG_M) -0.005059 0.351642 0.039946 (0.00636) (0.42043) (0.07517)
D(LOG_CPI) 0.006813 -0.415734 -0.085972 (0.00275) (0.18163) (0.03247)
D(LOG_KURS) -0.006880 -0.752806 0.212782 (0.00717) (0.47412) (0.08477)
D(LOG_U) 0.000841 -0.439603 -0.090777 (0.00286) (0.18919) (0.03383)
4 Cointegrating Equation(s): Log likelihood 529.3542 Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses)
SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -11.65665
(5.16613) 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 -0.110057
(0.10988) 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.102878
(0.11857) 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 -0.053308
(0.28952)
Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(SBI) -0.605557 37.94781 1.357397 6.814970
(0.29357) (19.6191) (12.9726) (6.10865) D(LOG_M) -0.007483 0.550741 -0.485296 -0.117317
(0.00613) (0.40965) (0.27087) (0.12755) D(LOG_CPI) 0.005824 -0.334517 -0.300232 -0.112613
(0.00267) (0.17811) (0.11777) (0.05546) D(LOG_KURS) -0.006169 -0.811224 0.366897 -0.396857
(0.00729) (0.48687) (0.32193) (0.15159) D(LOG_U) 0.000489 -0.410759 -0.166868 -0.133047
(0.00290) (0.19391) (0.12822) (0.06038)
90
Lampiran 8. Impulse Response Function (IRF) Period SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U
1 1.784785 -0.017030 0.003944 0.000602 -0.011110 2 0.070108 -0.023762 0.005505 0.035765 -0.031814 3 -0.310049 -0.023429 -0.000261 0.023997 -0.056569 4 -0.428339 -0.011488 -0.000798 0.019163 -0.078684 5 -1.312724 -0.013846 -0.000967 0.023287 -0.090077 6 -1.175425 -0.007827 -0.001747 -0.006128 -0.093851 7 -1.038859 -0.008188 -0.001640 0.010695 -0.093269 8 -1.149462 -0.000605 -0.002264 -0.000297 -0.091200 9 -0.898966 -0.003743 -0.000487 -0.010853 -0.092143 10 -0.870230 -0.005152 0.000671 -0.009730 -0.095960 11 -0.829872 0.000770 0.000799 -0.016991 -0.101677 12 -0.520332 0.002155 0.002694 -0.021609 -0.107243 13 -0.539705 0.000243 0.004975 -0.024758 -0.109978 14 -0.488485 0.001161 0.005430 -0.028289 -0.109462 15 -0.399469 0.004398 0.005873 -0.026888 -0.106297 16 -0.440680 0.004677 0.006820 -0.026834 -0.101913 17 -0.478375 0.001914 0.007567 -0.028413 -0.098872 18 -0.541891 0.001698 0.007160 -0.024353 -0.098667 19 -0.615573 0.004154 0.006559 -0.023746 -0.101042 20 -0.625370 0.004015 0.006849 -0.026635 -0.104817 21 -0.669081 0.002698 0.007170 -0.028485 -0.108306 22 -0.650983 0.004659 0.006804 -0.029843 -0.110265 23 -0.569727 0.006729 0.007006 -0.031259 -0.110120 24 -0.523436 0.005996 0.007820 -0.033038 -0.108221 25 -0.507425 0.004695 0.008241 -0.033492 -0.105814 26 -0.483825 0.005559 0.008076 -0.031717 -0.104085 27 -0.485303 0.006191 0.008196 -0.031112 -0.103567 28 -0.506622 0.004923 0.008548 -0.031764 -0.104306 29 -0.546155 0.004252 0.008471 -0.031411 -0.105848 30 -0.557357 0.005684 0.008074 -0.031035 -0.107387 31 -0.548929 0.006381 0.008164 -0.032059 -0.108189 32 -0.547851 0.005562 0.008464 -0.033170 -0.108042 33 -0.546334 0.005461 0.008413 -0.033097 -0.107253 34 -0.524045 0.006440 0.008258 -0.032515 -0.106297 35 -0.514180 0.006326 0.008471 -0.032739 -0.105589 36 -0.522344 0.005331 0.008662 -0.032953 -0.105452 37 -0.533226 0.005364 0.008513 -0.032389 -0.105907 38 -0.530461 0.006198 0.008363 -0.032160 -0.106628 39 -0.530587 0.006061 0.008529 -0.032861 -0.107208 40 -0.535856 0.005523 0.008630 -0.033269 -0.107437 41 -0.534380 0.005898 0.008500 -0.033002 -0.107286 42 -0.521713 0.006475 0.008466 -0.032922 -0.106854 43 -0.519588 0.006068 0.008645 -0.033233 -0.106359 44 -0.525830 0.005576 0.008676 -0.033108 -0.106073 45 -0.528567 0.005891 0.008534 -0.032618 -0.106110 46 -0.526424 0.006208 0.008510 -0.032603 -0.106379 47 -0.531226 0.005832 0.008624 -0.032999 -0.106719 48 -0.535994 0.005661 0.008601 -0.033038 -0.106997 49 -0.532698 0.006098 0.008500 -0.032889 -0.107098 50 -0.525307 0.006286 0.008543 -0.033077 -0.106978
91
51 -0.525264 0.005912 0.008656 -0.033314 -0.106727 52 -0.526607 0.005816 0.008625 -0.033114 -0.106501 53 -0.524571 0.006114 0.008554 -0.032848 -0.106391 54 -0.523651 0.006102 0.008597 -0.032929 -0.106410 55 -0.528836 0.005783 0.008650 -0.033054 -0.106540 56 -0.531838 0.005835 0.008586 -0.032923 -0.106720 57 -0.529756 0.006127 0.008538 -0.032879 -0.106852 58 -0.527675 0.006084 0.008593 -0.033090 -0.106872 59 -0.529051 0.005867 0.008633 -0.033192 -0.106800 60 -0.528129 0.005968 0.008585 -0.033038 -0.106691
Cholesky Ordering: SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U
92
Lampiran 9. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Hasil Pengujian FEVD terhadap Inflasi Period S.E. SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U
1 1.784785 5.255915 18.64711 76.09698 0.000000 0.000000 2 2.461517 7.027959 24.39368 52.99521 0.019378 15.56378 3 3.064447 4.243829 17.88361 39.22601 0.344800 38.30175 4 3.581595 2.910924 12.09918 27.73241 0.241670 57.01582 5 4.212851 2.312209 10.04451 22.67846 0.427801 64.53702 6 4.509581 2.127628 8.734805 20.36194 2.974684 65.80094 7 4.723253 2.146911 8.442851 20.08129 4.308498 65.02045 8 5.216345 2.283673 9.180961 20.41711 4.892699 63.22555 9 5.649402 2.170362 11.15258 21.81112 5.019601 59.84634 10 5.916055 2.071591 13.88814 22.00576 5.336382 56.69813 11 6.182096 2.014263 15.32127 22.76713 5.342857 54.55447 12 6.331099 2.169476 16.46709 23.69452 5.274973 52.39393 13 6.470413 2.828523 17.33970 24.85325 5.103252 49.87527 14 6.582723 3.576727 18.27429 25.26914 5.053258 47.82658 15 6.666048 4.465359 18.34224 25.72656 4.933142 46.53270 16 6.739550 5.641034 18.25044 25.98997 4.822538 45.29601 17 6.816068 7.002041 18.16679 26.27805 4.732803 43.82031 18 6.883612 8.161565 18.24043 26.19935 4.748663 42.64999 19 6.983460 9.084608 18.15338 26.29178 4.691988 41.77824 20 7.095279 10.00927 18.18633 26.40856 4.647713 40.74812 21 7.219414 10.93042 18.34340 26.54663 4.620074 39.55947 22 7.338919 11.70112 18.60438 26.53104 4.622191 38.54127 23 7.456104 12.49249 18.64549 26.66304 4.530985 37.66800 24 7.562666 13.44582 18.74719 26.74136 4.426086 36.63955 25 7.659282 14.45917 18.85912 26.77038 4.323782 35.58755 26 7.739183 15.42209 18.91347 26.67498 4.241295 34.74816 27 7.820395 16.38394 18.79617 26.66111 4.141530 34.01725 28 7.899411 17.37103 18.73776 26.62118 4.057867 33.21218 29 7.980791 18.28036 18.70851 26.56792 3.996564 32.44664 30 8.063395 19.06980 18.67664 26.48828 3.947362 31.81792 31 8.153242 19.82746 18.58323 26.49062 3.877163 31.22153 32 8.241873 20.58898 18.56996 26.46084 3.818492 30.56172 33 8.329057 21.30263 18.57369 26.40899 3.763753 29.95093 34 8.411780 21.97365 18.55016 26.33430 3.705308 29.43658 35 8.495423 22.64804 18.47989 26.30339 3.634548 28.93413 36 8.575501 23.31783 18.46650 26.24218 3.576487 28.39701 37 8.654064 23.93933 18.44762 26.17527 3.525642 27.91214 38 8.731840 24.52128 18.40436 26.11367 3.475322 27.48537 39 8.812127 25.09345 18.34432 26.09159 3.420590 27.05005 40 8.890417 25.64963 18.33141 26.04568 3.377577 26.59570 41 8.967839 26.17176 18.30832 25.99606 3.335377 26.18849 42 9.044026 26.67652 18.26582 25.94896 3.289737 25.81897 43 9.120578 27.17844 18.21833 25.91873 3.241519 25.44298 44 9.194678 27.66344 18.20268 25.86466 3.202222 25.06700 45 9.268181 28.11867 18.17276 25.81200 3.163497 24.73307 46 9.341707 28.55574 18.13160 25.76853 3.123795 24.42033 47 9.416189 28.98066 18.09646 25.73930 3.085153 24.09844
93
48 9.489245 29.38579 18.08442 25.69579 3.053618 23.78038 49 9.562064 29.77071 18.05855 25.65769 3.020536 23.49252 50 9.634448 30.14750 18.02611 25.62627 2.985774 23.21436 51 9.706385 30.51828 18.00053 25.59868 2.952051 22.93046 52 9.776403 30.87636 17.98650 25.55753 2.922644 22.65696 53 9.845969 31.22087 17.95830 25.52114 2.891790 22.40790 54 9.915315 31.55720 17.92769 25.49023 2.860933 22.16394 55 9.984572 31.88297 17.90542 25.46151 2.832535 21.91756 56 10.05291 32.19424 17.89015 25.42592 2.807427 21.68227 57 10.12138 32.49348 17.86487 25.39729 2.780885 21.46347 58 10.18970 32.78578 17.84120 25.37282 2.754524 21.24568 59 10.25750 33.07000 17.82467 25.34752 2.729961 21.02785 60 10.32419 33.34501 17.81005 25.31679 2.706861 20.82129
Cholesky Ordering: SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U
94
Lampiran 9. Lanjutan Hasil Pengujian FEVD terhadap Pengangguran Period S.E. SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U
1 1.784785 31.12669 2.747585 10.56803 7.995924 47.56177 2 2.461517 28.82973 0.894260 4.717750 9.289693 56.26857 3 3.064447 28.42975 0.243228 2.624437 9.898356 58.80423 4 3.581595 28.53971 0.103195 2.394781 11.24323 57.71908 5 4.212851 28.72947 0.085257 2.625266 12.36666 56.19335 6 4.509581 29.46662 0.188684 2.890957 12.84437 54.60937 7 4.723253 30.59291 0.448006 3.121857 12.71852 53.11871 8 5.216345 31.85928 0.727780 3.145044 12.27451 51.99339 9 5.649402 33.22289 0.932764 3.035943 11.81605 50.99235 10 5.916055 34.56411 1.052042 2.881495 11.53891 49.96344 11 6.182096 35.78838 1.118786 2.755712 11.48479 48.85233 12 6.331099 36.74011 1.200324 2.731264 11.59613 47.73218 13 6.470413 37.29575 1.323587 2.829805 11.72697 46.82389 14 6.582723 37.51012 1.467370 2.987254 11.75232 46.28294 15 6.666048 37.52862 1.589076 3.134665 11.64544 46.10220 16 6.739550 37.47780 1.663227 3.216004 11.46189 46.18108 17 6.816068 37.45853 1.688225 3.223926 11.26647 46.36285 18 6.883612 37.51888 1.677917 3.179386 11.10826 46.51556 19 6.983460 37.66228 1.648396 3.113635 11.01251 46.56318 20 7.095279 37.85528 1.619483 3.053888 10.99092 46.48043 21 7.219414 38.05425 1.606591 3.020394 11.02686 46.29190 22 7.338919 38.22665 1.617856 3.019415 11.07804 46.05803 23 7.456104 38.35556 1.651126 3.046460 11.10210 45.84475 24 7.562666 38.43740 1.695578 3.082562 11.08429 45.70017 25 7.659282 38.49085 1.734854 3.108284 11.03222 45.63379 26 7.739183 38.53786 1.758156 3.114554 10.96556 45.62387 27 7.820395 38.58987 1.764512 3.105086 10.90387 45.63666 28 7.899411 38.64745 1.760584 3.087539 10.86221 45.64222 29 7.980791 38.70889 1.753353 3.070258 10.84452 45.62298 30 8.063395 38.76958 1.748515 3.059338 10.84424 45.57832 31 8.153242 38.82281 1.749849 3.058296 10.84918 45.51986 32 8.241873 38.86434 1.758271 3.064653 10.84911 45.46363 33 8.329057 38.89819 1.770378 3.072796 10.83795 45.42068 34 8.411780 38.93008 1.781688 3.077773 10.81648 45.39399 35 8.495423 38.96283 1.789426 3.077946 10.79043 45.37936 36 8.575501 38.99722 1.793278 3.073559 10.76700 45.36894 37 8.654064 39.03390 1.794061 3.066872 10.75027 45.35490 38 8.731840 39.07087 1.793695 3.060836 10.74092 45.33368 39 8.812127 39.10434 1.794344 3.057898 10.73681 45.30661 40 8.890417 39.13209 1.797256 3.058202 10.73429 45.27816 41 8.967839 39.15527 1.801904 3.060492 10.72935 45.25298 42 9.044026 39.17553 1.807111 3.063006 10.72028 45.23407 43 9.120578 39.19427 1.811769 3.064352 10.70807 45.22154 44 9.194678 39.21323 1.815122 3.063586 10.69514 45.21292 45 9.268181 39.23394 1.816855 3.061067 10.68354 45.20459 46 9.341707 39.25581 1.817555 3.057970 10.67472 45.19395 47 9.416189 39.27719 1.818205 3.055520 10.66894 45.18015
95
48 9.489245 39.29700 1.819507 3.054221 10.66520 45.16408 49 9.562064 39.31503 1.821574 3.054150 10.66163 45.14762 50 9.634448 39.33099 1.824275 3.054906 10.65693 45.13290 51 9.706385 39.34515 1.827221 3.055761 10.65077 45.12110 52 9.776403 39.35858 1.829850 3.055942 10.64357 45.11206 53 9.845969 39.37227 1.831745 3.055279 10.63608 45.10463 54 9.915315 39.38622 1.832988 3.054043 10.62930 45.09745 55 9.984572 39.40009 1.833903 3.052657 10.62386 45.08948 56 10.05291 39.41372 1.834790 3.051459 10.61971 45.08033 57 10.12138 39.42681 1.835858 3.050768 10.61622 45.07035 58 10.18970 39.43888 1.837277 3.050627 10.61282 45.06040 59 10.25750 39.44989 1.838982 3.050779 10.60906 45.05129 60 10.32419 39.46031 1.840715 3.050858 10.60474 45.04337
Cholesky Ordering: SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U
96
Lampiran 10. Data-Data Penelitian
BI BI IMF BI BPS SBI M1 CPI KURS U
DUMMY Kuartal
Persen Milyar Rp - US $ per Rp Orang -
Q1 1990 13.9 22155 27.6 0.000549 2054502 0 Q2 1990 17.4 23205 28.2 0.000542 2019196 0 Q3 1990 17.8 22982 29.3 0.000536 1983011 0 Q4 1990 19.9 23819 29.9 0.000526 1951684 0 Q1 1991 24.7 23570 30.2 0.000518 1941293 0 Q2 1991 19.9 24610 30.9 0.000512 1947365 0 Q3 1991 19.6 25805 32.0 0.000508 1975769 0 Q4 1991 19.6 26342 32.7 0.000502 2032369 0 Q1 1992 19 27318 33.2 0.000496 2095299 0 Q2 1992 16.5 26845 33.7 0.000492 2162006 0 Q3 1992 15.2 27626 34.0 0.000491 2202202 0 Q4 1992 13.8 28779 34.4 0.000485 2185602 0 Q1 1993 12.8 30592 36.2 0.000483 2140547 0 Q2 1993 10.5 31142 36.9 0.000479 2084674 0 Q3 1993 9.6 34802 37.4 0.000474 2094248 0 Q4 1993 9.3 36805 37.9 0.000474 2245536 0 Q1 1994 10.5 37908 39.1 0.000466 2557570 0 Q2 1994 11.6 39886 39.7 0.000463 2981180 0 Q3 1994 10.39 42195 40.7 0.000459 3409966 0 Q4 1994 10.85 45374 41.5 0.000455 3737524 0 Q1 1995 14.3 44908 42.7 0.000451 3885149 0 Q2 1995 14.2 47046 43.9 0.000445 3924185 0 Q3 1995 14.88 48981 44.5 0.000439 3953671 0 Q4 1995 14.95 52677 45.2 0.000433 4072647 0 Q1 1996 14.96 53162 47.2 0.000428 4280073 0 Q2 1996 15.08 56448 47.4 0.000427 4513452 0 Q3 1996 14.58 59685 47.6 0.000427 4610209 0 Q4 1996 13.8 64089 48.0 0.00042 4407769 0 Q1 1997 11.9 63565 49.3 0.000413 3907340 0 Q2 1997 11.3 69950 49.7 0.000408 3211539 0 Q3 1997 11.2 66258 50.6 0.000305 2586764 1 Q4 1997 11.2 78343 52.4 0.000215 2299414 1 Q1 1998 11.2 98270 62.8 0.00012 2593398 1 Q2 1998 39 109480 74.4 6.71E-05 3287625 1
97
Q3 1998 39 102563 89.3 9.35E-05 4178514 1 Q4 1998 39 101197 93.6 0.000125 5062483 1 Q1 1999 38 105705 98.0 0.000115 5598204 1 Q2 1999 23.8 105964 97.4 0.000149 5932220 1 Q3 1999 13.3 118124 95.2 0.000119 6073326 1 Q4 1999 12.8 124633 95.1 0.000141 6030319 1 Q1 2000 11 124663 97.5 0.000132 5943235 1 Q2 2000 11.1 133832 98.4 0.000114 5799149 1 Q3 2000 13.3 135431 100.6 0.000114 5716376 1 Q4 2000 14.3 162185 103.5 0.000104 5813231 1 Q1 2001 14.9 148375 106.6 9.62E-05 6180901 1 Q2 2001 16.3 160143 109.4 8.74E-05 6739860 1 Q3 2001 17.6 164237 113.5 0.000103 7383455 1 Q4 2001 17.6 177731 116.6 9.62E-05 8005031 1 Q1 2002 16.9 166173 122.1 0.000104 8438393 1 Q2 2002 15.2 174017 123.1 0.000115 8759649 1 Q3 2002 14.1 181791 125.2 0.000111 8985364 1 Q4 2002 13.1 191939 128.6 0.000112 9132104 1 Q1 2003 12 181239 131.5 0.000112 9257216 1 Q2 2003 10.2 195219 131.8 0.000121 9347218 1 Q3 2003 8.7 207587 132.9 0.000119 9429410 1 Q4 2003 8.3 223799 135.7 0.000118 9531090 1 Q1 2004 7.3 219087 137.9 0.000116 9681966 1 Q2 2004 7.3 233726 140.6 0.000106 9863233 1 Q3 2004 7.3 240911 142.1 0.000109 10058494 1 Q4 2004 7.3 253818 144.4 0.000108 10251351 1 Q1 2005 7.3 250492 148.6 0.000105 10418527 1 Q2 2005 8.1 267635 151.4 0.000103 10571603 1 Q3 2005 9.3 273954 154.1 9.7E-05 10715278 1 Q4 2005 12.8 281905 170.0 0.000102 10854254 1
Keterangan : SBI = Suku bunga SBI tiga bulanan, M1 = Jumlah uang yang beredar, CPI = Consumer Price Index, KURS = US Dollar per Rupiah, U = Pengangguran, DUMMY = Sebelum krisis dan pergantian rezim nilai tukar bernilai 0,
Krisis, pasca krisis dan setelah pergantian rezim nilai tukar bernilai 1.