analisis jurnal pci

36
LAPORAN ANALISIS JURNAL “Impact of Cardiac Rehabilitation on Mortality and Cardiovascular Events After Percutaneous Coronary Intervention in the CommunityDisusun Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Stase Keperawatan Gawat Darurat Disusun Oleh: 1. Lucia Dyah K 09/282146/KU/13233 2. Widya Dwi Astuti 09/288716/KU/13427 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN 1

Upload: widya-dwi-astuti

Post on 23-Oct-2015

115 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Jurnal PCI

LAPORAN ANALISIS JURNAL

“Impact of Cardiac Rehabilitation on Mortality and Cardiovascular Events

After Percutaneous Coronary Intervention in the Community”

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Tugas

Stase Keperawatan Gawat Darurat

Disusun Oleh:

1. Lucia Dyah K 09/282146/KU/13233

2. Widya Dwi Astuti 09/288716/KU/13427

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2013

1

Page 2: Analisis Jurnal PCI

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Prevalensi penyakit kardiovaskular di Indonesia semakin meningkat dari

tahun ke tahun. Survey kesehatan Rumah Sakit Tangga departemen Kesehatan RI

tahun 1992 menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskuler telah menempati urutan

pertama dalam penyebab kematian. Dilaporkan bahwa setiap tahun terdapat 1,5

juta pasien terkena serangan jantung yaitu terkena Infark Miokard Akut (IMA)

dan terjadi kematian pada jam jam pertama serangan IMA, pada umumnya

kematian terjadi di luar Rumah Sakit. Kenyataan tersebut menyatakan bahwa

betapa pentingnya perawatan Pra Rumah Sakit. Penderita, keluarga penderita,

masyarakat dan dokter keluarga diharapkan peduli tentang perlunya

penatalaksanaan penyakit Infark Miokrd Akut dengan cepat dan benar. Yaitu

pertolongan pertama menangani penderita, hingga penderita tidak masuk kedalam

resiko tinggi untuk kematian akibat fibrilasi ventrikel. Selain mendapatkan obat-

obat dan pembedahan, untuk mencapai keadaan optimal secara fisiologis,

psikologis, sosial dan vokasional, perlu dilakukan rehabilitasi sedemikian

sehingga menghindarkan terjadinya relaps dan diharapkan terjadi regresi.

Rehabilitasi Jantung mulai mendunia setelah diselenggarakan Kongres

Rehabilitasi jantung Sedunia pertama di Hamburg Jerman Barat tahun 1977.

Rehabilitasi jantung tidak hanya memulihkan penderita tapi juga termasuk

prevensi sekundair yaitu menekan angka morbiditas, mortalitas dan

mengupayakan regresi proses aterosklerosis. Rehabilitasi Jantung merupakan

pelayanan yang komprehensif, program jangka panjang yang meliputi evaluasi

medik, penyusunan perogram latihan, modifikasi faktor resiko dan konseling.

Perawatan penderita Infark Miokard Akut mengalami perubahan yaitu dari konsep

lama yang menganjurkan perawatan jangka lama (satu bulan) karena khawatir

akan timbulnya pemburukan bila dilakukan ambulasi dini yaitu timbulnya

perluasan infark, aneurisma dan terjadinya kematian. Konsep lama berubah

2

Page 3: Analisis Jurnal PCI

menjadi konsep yang baru yaitu konsep Rehabilitasi Dini (Earli Ambulation,

Early Rehabitation). Konsep Rehabilitasi dini wijaya kusuma, Volume I, Nomor

1, Januari 2007, 41-48 secara nasional dipopulerkan dalam Kongres Rehabilitasi

Jantung Nasional pertama pada tahun 1980 dan yang kedua tahun 1985.

Rehabilitasi dini, aman dan tidak ditemukan peningkatan angka reinfark ataupun

kematian. Rehabilitasi dini mampu memulihkan penderita dari akibat baring yang

lama yaitu penurunan kapasitas fungsi, penurunan kekuatan otot, ansietas,

hipotensi aotostatik menjadi lebih segar bebas dari anseitas, mampu mengerjakan

aktivitas sehari hari dan melakukan olah raga, perawatan penderita pasca Bedah

Pintas Koroner atau pasca Angioplasti Balon hanya memerlukan perawatan 10

hari.(Dede,1998)

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah keefektifan rehabilitasi jantung untuk menurunkan mortalitas

pasien pasca PCI?

C. Tujuan

Mengetahui keefektifan rehabilitasi jantung untuk menurunkan mortalitas

pasien pasca PCI

D. Manfaat

Rehabilitasi jantung pasca PCI dapat menjadi intervensi keperawatan yang

menurunkan angka mortalitas pasien.

3

Page 4: Analisis Jurnal PCI

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sindroma Koroner Akut

1. Definisi

Organisasi kesehatan dunia memprediksi bahwa penyakit kardiovaskuler,

terutama SKA akan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara-

negara berkembang sebelum tahun 2020. World Health Organization (WHO) dan

American Heart Association (AHA) pada akhir tahun 1950 menegakkan diagnosis

SKA berdasarkan 2 dari 3 kriteria yaitu manifestasi klinis nyeri dada, gambaran

EKG dan penanda enzim jantung.

Sindroma Koroner Akut (SKA) terdiri dari infark miokard akut (IMA)

disertai elevasi segmen ST (IMA STE), IMA tanpa elevasi segmen ST (IMA non

STE) dan angina pektoris tak stabil (APTS). Walaupun presentasi klinisnya

berbeda tetapi memiliki kesamaan patofisiologi (Libby,1995). Jika troponin T

atau I positif tetapi tanpa gambaran ST elevasi disebut IMA non STE dan jika

troponin negatif disebut APTS seperti yang ditunjukkan pada gambar 1.

4

Page 5: Analisis Jurnal PCI

Gambar 1 . Spektrum dan definisi dari SKA.

American College of Cardiology (ACC) menyatakan bahwa adanya

peningkatan enzim jantung yaitu troponin ataupun creatine kinase MB (otot,otak)

walaupun hanya sedikit merupakan penanda adanya nekrosis miokard dan pasien

harus dikategorikan sebagai IMA.

Secara umum, IMA-STE menggambarkan oklusi koroner total akut.

Tujuan terapi adalah tindakan reperfusi segera, komplit dan menetap dengan

angioplasti primer atau terapi fibrinolitik. Sedangkan pada pasien dengan IMA

non STE/APTS, strategi awal pada pasien ini adalah meredakan iskemia dan

gejala, memantau pasien dengan EKG serial dan mengulangi pengukuran penanda

nekrosis miokard.

Data dari GRACE 2001, menunjukkan pasien yang datang ke rumah sakit

dengan keluhan nyeri dada ternyata yang terbanyak adalah IMA-STE (34%), IMA

non STE (31%) dan APTS (29%).

2. Epidemiologi

Angka mortalitas dalam rawatan di rumah sakit pada IMA-STE dibanding

IMA non STE adalah 7% dibandingkan 4%, tetapi pada jangka panjang (4 tahun),

angka kematian pasien IMA non STE ternyata 2 kali lebih tinggi dibanding pasien

IMA-STE (Rationale and design of GRACE, 2001). II.1.3. Patofisiologi

Lapisan endotel pembuluh darah yang normal akan mengalami kerusakan

oleh adanya faktor risiko antara lain, faktor hemodinamik seperti hipertensi, zat-

zat vasokonstriktor, mediator (sitokin) dari sel darah, asap rokok, peningkatan

gula darah dan oksidasi oleh Low Density Lipoprotein-C (LDL-C). Kerusakan ini

akan menyebabkan sel endotel menghasilkan cell molecule adhesion seperti

sitokin (interleukin-1), tumor nekrosis faktor (TNF-α), kemokin (monocyte

chemoatractant factor-I), dan platelet derived growth factor. Sel inflamasi seperti

monosit dan T-limfosit masuk ke permukaan endotel dan bermigrasi dari

endotelium ke sub endotel. Monosit kemudian berproliferasi menjadi makrofag

5

Page 6: Analisis Jurnal PCI

dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat lebih aterogenik. Makrofag ini

terus membentuk sel busa. LDL yang teroksidasi menyebabkan kematian sel

endotel dan menghasilkan respon inflamasi. Sebagai tambahan terjadi respon dari

angiotensin II yang menyebabkan gangguan vasodilatasi dan mengaktifkan efek

protrombin dengan melibatkan platelet dan faktor koagulasi. Akibat kerusakan

endotel terjadi respon protektif yang dipicu oleh inflamasi dan terbentuk lesi

fibrofatty dan fibrous. Plak yang stabil bisa menjadi tidak stabil (vulnerable) dan

mengalami rupture (Libby, 1995).

Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis seperti kolagen,

adenosin diphosphate (ADP), epinefrin dan serotonin memicu aktivasi trombosit,

yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan-A2

(vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu reseptor

glikoprotein II/IIIa yang mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino

pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan

fibrinogen. Dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat

platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan

agregasi.

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel

yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin

menjadi trombin yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri

koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri

dari agregat trombus dan fibrin. IMA STE umumnya terjadi jika aliran darah

koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak

aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang

berkembang secara lambat biasanya tidak memicu IMA STE karena timbulnya

banyak kolateral sepanjang waktu. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika

plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi ruptur

lokal akan menyebabkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologi menunjukkan

plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis

dan inti kaya lipid. Pada IMA STE gambaran klasik terdiri dari fibrin rich red

6

Page 7: Analisis Jurnal PCI

trombus yang dipercaya menjadi dasar sehingga IMA STE memberikan respon

terhadap terapi trombolitik.

3. Faktor Risiko

Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya serangan

jantung dan stroke. Sekitar 24 % kematian akibat serangan jantung pada laki-laki

dan 11 % pada perempuan disebabkan karena kebiasaan merokok (Huon

dkk,2000).

Peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) pada saat serangan nyeri

dada merupakan faktor risiko independen yang kuat dan prognostik yang jelek

untuk pasien dengan SKA bahkan pada pasien non diabetik. Sean dkk (2007)

menunjukkan bahwa angka kematian dalam 30 hari lebih tinggi pada pasien

diabetes dibandingkan tanpa diabetes pada IMA non STE/APTS (2.1% vs 1.1%, P

<.001) dan IMA STE (8.5% vs 5.4%, P <.001). Penelitian DIGAMI menunjukkan

hasil bahwa pengontrolan metabolik insulin secara intensif dengan mengunakan

insulin dan infus glukosa pada pasien dengan diabetes mellitus atau glukosa darah

>11.0 mmol/l ternyata memberikan keuntungan dalam menekan angka kematian

setahun menjadi lebih rendah (18.6% dibandingkan 26.1%).

Saman dkk (2007) menganalisis bahwa umur, DM, hipertensi dan tidak

dilakukan terapi reperfusi ternyata didapatkan bermakna berhubungan dengan

peningkatan risiko kematian dalam 30 hari (tabel 3). Pada laki-laki usia

pertengahan (45-65 tahun) dengan tingkat serum kolesterol yang tinggi (kolesterol

: >240 mg/dL dan LDL kolesterol : >160 mg/dL) risiko terjadinya SKA akan

meningkat.

4. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis awal sangat prediktif untuk prognosis awal. Timbulnya

gejala saat istirahat menandakan prognosis lebih buruk dibanding gejala yang

hanya timbul pada saat aktivitas fisik. Pada pasien dengan gejala intermiten,

peningkatan jumlah episode yang mendahului kejadian acuan juga mempunyai

dampak terhadap hasil akhir klinis. Adanya takikardia, hipotensi atau gagal

jantung pada saat masuk rumah sakit juga mengindikasikan prognosis buruk dan

memerlukan diagnosis serta tatalaksana segera(PERKI,2012).Faktor risiko yang

7

Page 8: Analisis Jurnal PCI

tinggi termasuk angina yang memberat, nyeri dada yang berkelanjutan (> 20

menit), edema paru (Killip klas ≥2 ), hipotensi dan aritmia.

Tabel 4. Klasifikasi Killip terhadap angka kematian pada IMA-STE

(Antman EM, 2005)

Scirica dkk (2002) melaporkan bahwa pasien dengan IMA non STE /

APTS yang mengalami serangan angina yang memberat akan memiliki risiko

kematian yang meningkat dalam 1 tahun.

5. Penanda Enzim Jantung

GRACE (2001) dan WHO menggunakan kriteria diagnostik dengan

penanda enzim jantung untuk IMA dan APTS . Angka kematian dalam 30 hari

dan 6 bulan pada pasien SKA dijumpai signifikan cukup tinggi dengan

peningkatan kadar troponin yang tinggi pada pasien dengan IMA non STE/APTS,

seperti yang ditunjukkan pada tabel 5. Troponin I atau T merupakan penanda

biologis terpilih untuk memprediksi hasil akhir klinis jangka pendek (30 hari)

terkait IMA dan kematian (PERKI,2012). Peningkatan kadar troponin merupakan

prediktor independen terhadap kematian 30 hari dan selama pengamatan jangka

panjang (1 tahun dan lebih). Nilai prognostik dari cTnT dan cTnI ternyata sama.

Peningkatan troponin dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk. Pasien

dengan IMA non STE jika disertai dengan peningkatan kadar enzim jantung

troponin dalam 12 jam, maka memiliki risiko tinggi kejadian kematian (dalam 30

hari dengan angka kematian sampai dengan 4 – 5 %) .

Tabel 5. Definisi dan prognosis SKA berdasarkan kadar serum enzim troponin T

(SIGN,2007)

8

Page 9: Analisis Jurnal PCI

6. Elektrokardiografi

Gambaran EKG awal sangat berguna untuk menduga kejadian SKA.

Jumlah lead yang menunjukkan depresi ST dan magnitudonya, merupakan

indikasi adanya iskemia berat dan luas dan berkorelasi dengan prognosis terhadap

angka kematian dalam 1 tahun seperti yang di tunjukkan pada tabel 6. Pemantauan

segmen ST secara berkala pada EKG saat istirahat memberi informasi prognostik

tambahan, selain hasil troponin dan variabel klinis lainnya.

Pada penelitian sebelumnya juga dijumpai faktor yang berhubungan secara

independen terhadap peningkatan angka kematian yaitu pertambahan usia, klas

Killip, peningkatan denyut jantung, depresi segmen ST, tanda-tanda gagal

jantung, tekanan darah sistolik yang rendah, nyeri dada yang khas dan

peningkatan enzim jantung. Adanya gambaran segmen ST yang deviasi

merupakan prediktor yang kuat untuk hasil akhir klinis dibandingkan dengan

peningkatan enzim jantung troponin pada pasien SKA.

Penelitian dari Fibrinolytic Therapy Trialists’ Collaboration melaporkan

bahwa gambaran EKG merupakan prediktor kematian yang cukup memberikan

manfaat apabila dijumpai adanya elevasi segmen-ST atau bundle branch block

yang dianggap baru. Right bundle branch block (RBBB) ternyata banyak dijumpai

9

Page 10: Analisis Jurnal PCI

pada gambaran EKG namun memiliki angka kematian yang lebih tinggi bila

dibandingkan dengan left bundle branch block (LBBB).

7. Komplikasi

Pasien dengan irama atrial fibrilasi (AF) yang baru muncul setelah

serangan IMA menunjukkan peningkatan angka risiko kejadian kardiovaskuler

dan kematian. AF merupakan aritmia yang paling sering muncul setelah serangan

IMA dan menjadi prediktor utama untuk hasil akhir klinis pada pasien dengan

SKA. Hasil GRACE menunjukkan bahwa persentase kejadian kematian lebih

tinggi pada IMA non STE dibandingkan dengan IMA STE (13% vs 8%), namun

pada kejadian masuk kembali ke rumah sakit dijumpai persamaan persentase

antara IMA non STE dan APTS (20%).

8. Penatalaksanaan Sindroma Koroner Akut

a) Kombinasi pemberian aspirin dan clopidogrel

Pada penelitian CURE kombinasi aspirin (300 mg saat awal dan

75-150 mg setiap hari) dan clopidogrel (300 mg saat awal dan 75 mg

setiap hari) ternyata jauh lebih efektif dibandingkan dengan pemberian

aspirin tunggal. Manfaat kombinasi aspirin dan clopidogrel terlihat

dalam 24 jam dan ternyata mengurangi kejadian infark miokard

berulang atau iskemik berulang. Bila dibandingkan dengan plasebo,

pemberian aspirin ternyata bermakna untuk mengurangi rerata angka

kejadian kardiovaskuler (kematian kardiovaskuler, infark miokard yang

tidak fatal dan non-fatal stroke) pada pasien dengan APTS (absolute

risk reduction; RR 5.3%, relative RR 46%) dan mengurangi hampir

sepertiga angka kematian (absolute RR 3.8%, relative RR 30%) pada

pasien dengan IMA.

Penelitian CLARITY-TIMI 28 (clopidogrel 300 mg saat awal dan

75 mg setiap hari) dan COMM IT/CCS (clopidogrel 75 mg setiap hari)

pada pasien dengan IMA STE memberikan hasil yang menurunkan

angka kematian bila dengan pemberian kombinasi aspirin dan

10

Page 11: Analisis Jurnal PCI

clopidogrel dibandingkan dengan hanya pemberian aspirin tanpa

adanya komplikasi perdarahan mayor.

b) Beta Blocker

Meta analisis kecil pada pasien APTS memberikan hasil bahwa

beta blocker akan menurunkan rata-rata progresi kejadian infark

miokard sebesar 13%. Penelitian meta analisis dari COMMIT/CCS

dengan pemberian beta blocker lebih awal pada pasien IMA STE

dengan Killip klas I (tidak ada tanda gagal jantung) disertai dengan

tekanan darah sistolik > 105 mmHg dan denyut jantung > 65 kali/menit

memperlihatkan bahwa pemberian intravena yang diikuti pemberian

oral akan menurunkan angka kematian (absolute RR 0.7%, relative RR

13%), kejadian infark berulang (absolute RR 0.5%, relative RR 22%)

dan serangan jantung (absolute RR 0.7%, relative RR 15%).

c) Terapi Antikoagulan

Pada pasien dengan IMA non STE, pemberian unfractionated

heparin (UFH) dalam 48 jam ternyata mengurangi angka kematian

ataupun infark miokard (absolute RR 2.5%; relative RR 33%). Pada

pasien dengan IMA STE, pemberian UFH yang diikuti dengan aspirin

dan trombolitik dengan agen spesifik –fibrin, ternyata memberikan hasil

yang cukup baik dengan menurunnya angka kejadian infark ulangan

(0.3% absolute RR) dan kematian (0.5% absolute RR).

Penelitian secara RCT membandingkan pemberian low molecular

weight heparin (LMWH) dengan UFH pada IMA STE menunjukkan

beberapa manfaat pada penggunaan LMWH, terutama enoxaparin.

Secara meta analisis memastikan bahwa pasien yang diterapi dengan

trombolitik, LMWH (enoxaparin) memiliki hasil akhir klinis yang jauh

lebih baik pada kasus IMA, (absolute RR 2.3%, relative RR 41%);

iskemik berulang (absolute RR 2.0%, relative RR 30%); kematian

ataupun infark berulang (absolute RR 2.9%, relative RR 26%); dan

kematian atau iskemik berulang (absolute RR 4.8%, relative RR 28%)

11

Page 12: Analisis Jurnal PCI

tapi tidak ada penurunan pada angka kematian bila dibandingkan

dengan penggunaan UFH. II.2.8.4. Terapi Reperfusi

Pasien IMA STE yang datang ke rumah sakit yang memiliki

fasilitas tindakan intervensi koroner perkutan (IKP) harus dilakukan

tindakan IKP primer dalam 90 menit saat kontak medis pertama kali

diberikan (Klas I, Level of Evidence :A). Pasien IMA STE yang datang

ke rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas tindakan IKP dan tidak

dapat dirujuk ke pusat IKP dan tidak dapat dilakukan tindakan IKP

dalam 90 menit saat kontak medis pertama kali, harus diberikan terapi

fibrinolitik dalam 30 menit setelah tiba di rumah sakit, kecuali

didapatkan kontraindikasi terapi fibrinolitik (Klas I, Level of

Evidence:B). Tujuannya adalah untuk meningkatkan jumlah pasien

yang mendapatkan tindakan IKP primer, setidaknya 75% pasien

dilakukan tindakan IKP dalam 90 menit setelah tiba di rumah sakit,

berdasarkan penggunaan strategi evidenced-based untuk mengurangi

keterlambatan.

Meskipun ditemukan hubungan antara waktu pemberian terapi dan

hasil akhir klinis, hasil yang terbaik adalah pemberian trombolisis

dalam jam pertama saat pasien tiba di rumah sakit. Hal ini juga

ditunjukkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh De Luca, dkk

(2004) bahwa keterlambatan 30 menit dalam pemberian terapi reperfusi

akan memberikan 7,5% angka kematian dalam 1 tahun. Salah satu hal

yang penting adalah bahwa waktu untuk pemberian terapi dipengaruhi

oleh beberapa faktor, termasuk usia lanjut, jenis kelamin perempuan

dan riwayat diabetes ataupun tindakan revaskularisasi sebelumnya.

Pasien dengan SKA yang tidak mendapatkan terapi reperfusi

ternyata menunjukkan angka risiko kematian yang lebih tinggi. Pada

pasien IMA STE ternyata hal ini sangat mempengaruhi hasil akhir

jangka pendek dan jangka panjang. Data menunjukkan bahwa dari 1000

pasien hidup yang diterapi dengan fibrinolitik bila dibandingkan dengan

plasebo keberhasilan terapi ternyata dipengaruhi oleh cepatnya

12

Page 13: Analisis Jurnal PCI

pemberian setelah onset nyeri dada timbul. Oleh karena angka

keberhasilan hidup setelah pemberian fibrinolitik adalah maksimal 4

jam, maka hal tersebut menjadi “golden hour” untuk reperfusi

farmakologis. Dibandingkan dengan placebo, terapi trombolitik akan

mengurangi angka kematian dalam 35 hari (1.9% absolute RR, 18%

relative RR) pada pasien dengan IMA STE (Boersma dkk, 1996; van

Der Welf, 2003). Pemberian trombolitik dapat mengurangi angka

kematian dalam 35 hari (1.9% absolute RR , 18% relative RR ) pada

pasien dengan IMA STE dengan onset < 12 jam.

Beberapa penelitian terhadap rescue IKP dibandingkan dengan

terapi konservatif setelah trombolitik yang tidak berhasil memberikan

hasil penurunan angka kejadian gagal jantung yang berat (absolute RR

8%, relative RR 68%) dan penurunan angka kematian dalam 1 tahun

pada pasien dengan IMA (absolute RR 5%, relative RR 38%).

Penelitian secara acak antara rescue IKP terhadap elektif IKP (rata-rata

12 hari setelah serangan IMA) memberikan hasil bahwa tindakan rescue

IKP menunjukkan adanya penurunan angka kematian, serangan infark

berulang, revaskularisasi dan kejadian iskemik dalam 6 bulan (absolute

RR 25%, relative RR 49%). Pasien dengan IMA STE onset dalam 6

jam, yang gagal dilakukan trombolitik, harus segera dilakukan rescue

IKP (Levine dkk, 2011; Sohby dkk, 2010). Pasien dengan IMA non

STE risiko sedang atau tinggi untuk angka kejadian serangan

kardiovaskuler berulang harus dilakukan tindakan angiografi koroner

dan revaskularisasi

Dari penelitian GUSTO I terhadap kejadian 30 hari kematian

menunjukkan hasil bahwa umur (31.2%) berperan cukup penting untuk

kejadian SKA, kemudian tekanan darah sistolik (24%), klas Killip

(15%) dan denyut jantung (12%) secara statistik ternyata bermakna.

Faktor risiko hipertensi (0.6%) dan riwayat penyakit kardiovaskuler

sebelumnya (0.4%) hanya memiliki persentase yang kecil.

13

Page 14: Analisis Jurnal PCI

d) Rehabilitasi jantung

Secara ringkas, program rehabilitasi jantung yang komprehensif

harus mencakup beberapa komponen berikut: (1) pengkajian kondisi

dan riwayat medis pasien, (2) edukasi dan konseling dalam rangka

meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pasien agar dengan upaya

sendiri mampu menghindari faktor risiko, mampu mengatasi faktor

risiko agar proses penyakit atau proses atherosklerosis dapat dihentikan

atau dihambat, demikian pula kecemasan, (3) upaya pengontrolan faktor

risiko; menyangkut edukasi, modifikasi gaya hidup kearah hidup sehat

dan pengobatan yang diperlukan, (4) program latihan fisik dan

konseling aktifitas fisik, terutama dalam upaya meningkatkan pola

hidup sehat, tingkat kebugaran, kualitas hidup dan pengendalian faktor

risiko.

e) Percutaneous Coronary Interventions (PCI)

Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa

didahului fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif

dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa

jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari

fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan

dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang

yang lebih baik.11,16 PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok

kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan

meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika

bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat

fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas,

dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di

beberapa rumah sakit.

14

Page 15: Analisis Jurnal PCI

BAB III

ANALISIS JURNAL

A. Identitas Jurnal

Judul Penelitian : Impact of Cardiac Rehabilitation on Mortality and

Cardiovascular Events After Percutaneous Coronary Intervention in the

Community

Peneliti : Kashish Goel, MBBS; Ryan J. Lennon, MS; R. Thomas

Tilbury, MD; Ray W. Squires, PhD; Randal J. Thomas, MD, MS

Sumber : Journal of The American Heart Association

B. Ringkasan Jurnal

1. Tujuan penelitian

Penelitian dilakukan untuk mengetahui keefektifan rehabilitasi jantung

dalam menurunkan mortalitas setelah dilakukan PCI.

2. Metode penelitian

Penelitian dilakukan di Olmested Country kepada pasien post PCI yang

berpartisipsi dalam rahabilitasi jantung selama periode I Januari 1994

sampai 30 Juni 2008. Sampel penelitian diambil dengan teknik random

sampling.

3. Instrumen penelitian

Dengan menggunakan rekam medis pasien dan follow up melalui

telephone mengenai vital status dan informasi lainya selama hospitalisasi.

C. Hasil Penelitian

Populasi dalam penelitian ini sebanyak 2395 pasien, 40% (964)

berpartisipasi dalam rehabilitasi jantung minimal 1 sesi selama 3 bulan

setelah PCI. Pada tabel 1 dapat dilihat pada studi chohort meunjukkan

bahwa antara individu yang mengikuti CR dan yang tidak mengikuti CR

tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam demografi, medikasi,

angiograpi, dan karakteristik klinik.

15

Page 16: Analisis Jurnal PCI

16

Page 17: Analisis Jurnal PCI

Pada gambar 1 dapat dilihat partisipan CR setelah PCI. Partisipan meningkat

secara signifikan dari 25 % sebelum tahun 2006 menjadi 42% setelah tahun 2006,

dimana saat itu merupakan tahun diberlakukanya perubahan regulasi mengenai

indikasi pasien yang mengikuti CR. Angka partisipan tidak berubah secara

signifikan dari waktu kewaktu dalam partisipasi PCI.

17

Page 18: Analisis Jurnal PCI

Pada tabel 2 dapat dilihat variabel yang berhubungan dengan partisipasi CR

setelah PCI. Faktor independen yang berhubungan positif dengan partisipasi CR

meliputi usia, tahun PCI, riwayat AMI, keterlibatan yang minimal dari cabang

arteri coroner, terapi antiplatelet selama PCI, dan kejadian MI/CABG/PCI di

Rumah Sakit. Sedangkan faktor independen yang berhubungan negative dengan

partisipasi CR setelah PCI antara lain merokok, riwayat DM, PCI sebelumnya,

dan penggunaan drug-eluting stent. Selama follow up kurang lebih 6 tahun

terdapat 503 kematian, 199 disebabkan kardiovaskuler. Sebanyak 755 pasien

mengalami revaskularisasi, MI berulang pada 394 pasien selama periode follow

up.

Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat perbandingan kematian, MI yang berulang, dan

revaskularisasi. Pada penelitian ini menunjukan bahwa pada pastisipan CR lebih

sedikit terjadi dibandingkan dengan yang tidak mengikuti CR. Hal tersebut juga

sesuai dengan penelitian sebelumnya.

18

Page 19: Analisis Jurnal PCI

D. Pembahasan dan Kesimpulan Penelitian

1. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara partisipasi CR dan mortality rates yang lebih rendah pada

pasien yang menjalani PCI. Dengan menggunakan 3 teknik analisis yang

berbeda, ditemukan 45%-47% penurunan semua penyebab kematian pada

pasien post PCI yang menjalani CR dibandingkan dengan pasien yang

tidak berpartisipasi dalam CR. Penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan sebelumnya di Olmsted County yang melaporkan adanya

penurunan semua sebab kematian sebesar 56% berhubungan dengan CR

post MI, bahkan terdapat penurunan semua penyebab kematian yang lebih

besar 20%-30% pada penelitian lain.

Penelitian ini menambah sejumlah studi yang meneliti hubungan

antara partisipasi CR dan kematian setelah PCI. Studi observasional yang

dilakukan oleh suaya dan coworkers melaporkan bahwa dalam analisis

subkelompok pasien Medicare yang menjalani PCI dari tahun 1997 sampai

2002 menunjukkan bahwa partisipasi CR berhubungan dengan

pengurangan semua penyebab kematian sebesar 30%. Meskipun peneliti

menggunakan analisis PS untuk menghindari factor perancu, namun

peneliti tidak mengandalikan factor lain seperti status merokok, obesitas,

hiperkolesterolemia, riwayat penyakit arteri coroner pada keluarga,

penggunaan obat, dan variable angiografi dan PCI) karena keterbatasan

dari Medicare database.

Pada penelitian ini, kematian akibat penyakit jantung berkurang

sebesar 39% pada pasien yang berpartisipasi dalam CR ketika analisis

stratifikasi PS diaplikasikan pada seluruh populasi penelitian. Namun,

penyebab kematian karena penyakit jantung tidak berpengaruh secara

signifikan pada analisis matched-pair, yang merupakan metode statistic

paling kuat yang digunakan dalam penelitian ini. Temuan ini mungkin

19

Page 20: Analisis Jurnal PCI

dipengaruhi oleh kesalahan penetapan penyebab kematian, yang menjadi

salah satu alasan mengapa penggunaan penyebab cardiac mortality sebagai

end point dapat menjadi permasalah, karena tidak semua pasien memiliki

bukti otopsi. Karena semua pasien dalam penelitian ini memiliki penyakit

arteri coroner, penyebab cardiac seharusnya bertanggungjawab atas

sebagian besar kematian. Namun, pada penelitian ini hanya 39,5% dari

semua total kematian yang disebabkan oleh masalah jantung. Persentase

ini konsisten dengan daftar calon PCI pada 50 US center dan analisis

gabungan dari 4 penelitian prospeksif, randomized, double blind clinical

trial yang mengaitkan 40% dari total kematian dengan penyebab cardiac.

Selain itu, kematian yang disebabkan oleh masalah jantung hanya

bertanggung jawab sebesar 27% dari dari semua kematian pada pasien PCI

yang terdaftar di Clinical Outcomes Utilizing Revascularization and

Aggressive Drug Evaluation (COURAGE) trial.

Beberapa factor mungkin bertanggung jawab terhadap hasil penelitian

ini. CR meningkatkan aktivitas fisik dan kapasitas latihan yang pada

akhirnya dapat menghasilkan adaptasi fisiologis penting yang dapat

meningkatkan kesehatan jantung. Selain itu, partisipasi CR dapat

meningkatkan kepatuhan pengobatan, yang merupakan factor yang sangat

penting bagi pasien PCI yang mendapatkan terapi antiplatelet setelah PCI.

Selain itu, pengendalian factor risiko kardiovaskular, mengurangi

inflamasi, identifikasi depresi dan pengobatan, serta dukungan psikososial

menjadi lebih tinggi pada pasien yang berpartisipasi dalam CR dari pada

pasien yang tidak mengikuti CR. Follow up pasien yang dilakukan oleh

staff program CR saat mereka berinteraksi dengan pasien beberapa kali

dalam sebulan membantu mengidentifikasi gejala baru, efek samping, dan

kondisi komorbid yang mungkin membutuhkan evaluasi tambahan

ataupun penyesuaian treatment. Sehingga hal tersebut memungkinkan

bahwa pengobatan yang diterima selama CR dapat menstimulasi adaptasi

20

Page 21: Analisis Jurnal PCI

fisiologis yang menguntungkan, termasuk peningkatan jumlah circulating

endothelial progenitor cells.

2. Kesimpulan

Data dari Olmsted County, Minnesota, menunjukkan bahwa

partisipasi CR setelah PCI berhubungan secara signifikan dengan

pengurangan semua penyebab kematian dan cardiovascular mortality.

21

Page 22: Analisis Jurnal PCI

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Cardiac rehabilitation (CR) secara signifikan dapat menurunkan

angka mortalitas pada pasien post PCI.

B. Saran

1. Bagi pasien

Program cardiac rehabilitaton dapat dipertimbangkan sebagai salah

satu pilihan intervensi yang efektif untuk menurunkan angka mortalitas

post PCI.

2. Bagi perawat

Dapat memberikan informasi bagi pasien post PCI terkait program

cardiac rehabilitation yang sangat bermanfaat untuk menurunkan

angka mortalitas.

3. Bagi Rumah Sakit

Dapat memfasilitasi program rehabilitasi jantung bagi pasien post PCI.

22

Page 23: Analisis Jurnal PCI

DAFTAR PUSTAKA

Libby P. 2005. The Pathogenesis of atherosclerosis. In : Harrisons Principles of Internal Medicine. Mc Graw Hill : 1425-1429

Radi B, Joesoef A, Kusmana D. 2009. Rehabilitasi Kardiovaskular Di Indonesia. Jurnal Kardiologi Indonesia (30) : 2

ACC/AHA. 2004. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction. http://circ.ahajournals.org/cgi/reprint/110/9/e82.pdf

Kumar A, Cannon CP. 2009. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and Management Part I. Mayo Clin Proc 84(10):917-938. http://www.mayoclinicproceedings.com/content/84/10/917.full.pdf

Kleinschmidt KC. Epidemiology and Patophysiology of Acute Coronary Syndrome. Adv Stud Med. 2006;6(6B):S477-S482. http://www.jhasim.com/fi les/articlefi les/pdf/ASIM_6_6Bp477_482_R1.pdf

Antman EM, Braunwald E. ST-Elevation Myocardial Infarction: Pathology, Pathophysiology, and Clinical Features. Dalam: Braunwald E. ed. Braunwald’s Heart Disease. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2008. Pp: 1207-31.

Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Pedoman Praktis Tatalaksana Sindroma Koroner Akut. 2008. Jakarta: FKUI.

Rosen AB., Gelfand EV. Patophysiology of Acute Coronary Syndromes. Dalam: Gelfand Eli V., Cannon Cristopher P. Management of Acute Coronary Syndromes. West Sussex: Wiley Blackwell. 2009. Pp: 1-11; http://media.wiley.com/product_data/excerpt/75/04707255/0470725575-1.pdf

Canadian Institute For Health Information. 2007. Acute Coronary Syndromes: Understanding the Spectrum. http://www.smgh.ca/_uploads/PageContent/documents/ACS-spectrum.pdf

Char DM. The Patophysiology of Acute Coronary Syndromes. http://www.emcreg.org/publications/monographs/acep/2004/char.pdf

23