analisis jurnal pci
TRANSCRIPT
LAPORAN ANALISIS JURNAL
“Impact of Cardiac Rehabilitation on Mortality and Cardiovascular Events
After Percutaneous Coronary Intervention in the Community”
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Tugas
Stase Keperawatan Gawat Darurat
Disusun Oleh:
1. Lucia Dyah K 09/282146/KU/13233
2. Widya Dwi Astuti 09/288716/KU/13427
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Prevalensi penyakit kardiovaskular di Indonesia semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Survey kesehatan Rumah Sakit Tangga departemen Kesehatan RI
tahun 1992 menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskuler telah menempati urutan
pertama dalam penyebab kematian. Dilaporkan bahwa setiap tahun terdapat 1,5
juta pasien terkena serangan jantung yaitu terkena Infark Miokard Akut (IMA)
dan terjadi kematian pada jam jam pertama serangan IMA, pada umumnya
kematian terjadi di luar Rumah Sakit. Kenyataan tersebut menyatakan bahwa
betapa pentingnya perawatan Pra Rumah Sakit. Penderita, keluarga penderita,
masyarakat dan dokter keluarga diharapkan peduli tentang perlunya
penatalaksanaan penyakit Infark Miokrd Akut dengan cepat dan benar. Yaitu
pertolongan pertama menangani penderita, hingga penderita tidak masuk kedalam
resiko tinggi untuk kematian akibat fibrilasi ventrikel. Selain mendapatkan obat-
obat dan pembedahan, untuk mencapai keadaan optimal secara fisiologis,
psikologis, sosial dan vokasional, perlu dilakukan rehabilitasi sedemikian
sehingga menghindarkan terjadinya relaps dan diharapkan terjadi regresi.
Rehabilitasi Jantung mulai mendunia setelah diselenggarakan Kongres
Rehabilitasi jantung Sedunia pertama di Hamburg Jerman Barat tahun 1977.
Rehabilitasi jantung tidak hanya memulihkan penderita tapi juga termasuk
prevensi sekundair yaitu menekan angka morbiditas, mortalitas dan
mengupayakan regresi proses aterosklerosis. Rehabilitasi Jantung merupakan
pelayanan yang komprehensif, program jangka panjang yang meliputi evaluasi
medik, penyusunan perogram latihan, modifikasi faktor resiko dan konseling.
Perawatan penderita Infark Miokard Akut mengalami perubahan yaitu dari konsep
lama yang menganjurkan perawatan jangka lama (satu bulan) karena khawatir
akan timbulnya pemburukan bila dilakukan ambulasi dini yaitu timbulnya
perluasan infark, aneurisma dan terjadinya kematian. Konsep lama berubah
2
menjadi konsep yang baru yaitu konsep Rehabilitasi Dini (Earli Ambulation,
Early Rehabitation). Konsep Rehabilitasi dini wijaya kusuma, Volume I, Nomor
1, Januari 2007, 41-48 secara nasional dipopulerkan dalam Kongres Rehabilitasi
Jantung Nasional pertama pada tahun 1980 dan yang kedua tahun 1985.
Rehabilitasi dini, aman dan tidak ditemukan peningkatan angka reinfark ataupun
kematian. Rehabilitasi dini mampu memulihkan penderita dari akibat baring yang
lama yaitu penurunan kapasitas fungsi, penurunan kekuatan otot, ansietas,
hipotensi aotostatik menjadi lebih segar bebas dari anseitas, mampu mengerjakan
aktivitas sehari hari dan melakukan olah raga, perawatan penderita pasca Bedah
Pintas Koroner atau pasca Angioplasti Balon hanya memerlukan perawatan 10
hari.(Dede,1998)
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah keefektifan rehabilitasi jantung untuk menurunkan mortalitas
pasien pasca PCI?
C. Tujuan
Mengetahui keefektifan rehabilitasi jantung untuk menurunkan mortalitas
pasien pasca PCI
D. Manfaat
Rehabilitasi jantung pasca PCI dapat menjadi intervensi keperawatan yang
menurunkan angka mortalitas pasien.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sindroma Koroner Akut
1. Definisi
Organisasi kesehatan dunia memprediksi bahwa penyakit kardiovaskuler,
terutama SKA akan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara-
negara berkembang sebelum tahun 2020. World Health Organization (WHO) dan
American Heart Association (AHA) pada akhir tahun 1950 menegakkan diagnosis
SKA berdasarkan 2 dari 3 kriteria yaitu manifestasi klinis nyeri dada, gambaran
EKG dan penanda enzim jantung.
Sindroma Koroner Akut (SKA) terdiri dari infark miokard akut (IMA)
disertai elevasi segmen ST (IMA STE), IMA tanpa elevasi segmen ST (IMA non
STE) dan angina pektoris tak stabil (APTS). Walaupun presentasi klinisnya
berbeda tetapi memiliki kesamaan patofisiologi (Libby,1995). Jika troponin T
atau I positif tetapi tanpa gambaran ST elevasi disebut IMA non STE dan jika
troponin negatif disebut APTS seperti yang ditunjukkan pada gambar 1.
4
Gambar 1 . Spektrum dan definisi dari SKA.
American College of Cardiology (ACC) menyatakan bahwa adanya
peningkatan enzim jantung yaitu troponin ataupun creatine kinase MB (otot,otak)
walaupun hanya sedikit merupakan penanda adanya nekrosis miokard dan pasien
harus dikategorikan sebagai IMA.
Secara umum, IMA-STE menggambarkan oklusi koroner total akut.
Tujuan terapi adalah tindakan reperfusi segera, komplit dan menetap dengan
angioplasti primer atau terapi fibrinolitik. Sedangkan pada pasien dengan IMA
non STE/APTS, strategi awal pada pasien ini adalah meredakan iskemia dan
gejala, memantau pasien dengan EKG serial dan mengulangi pengukuran penanda
nekrosis miokard.
Data dari GRACE 2001, menunjukkan pasien yang datang ke rumah sakit
dengan keluhan nyeri dada ternyata yang terbanyak adalah IMA-STE (34%), IMA
non STE (31%) dan APTS (29%).
2. Epidemiologi
Angka mortalitas dalam rawatan di rumah sakit pada IMA-STE dibanding
IMA non STE adalah 7% dibandingkan 4%, tetapi pada jangka panjang (4 tahun),
angka kematian pasien IMA non STE ternyata 2 kali lebih tinggi dibanding pasien
IMA-STE (Rationale and design of GRACE, 2001). II.1.3. Patofisiologi
Lapisan endotel pembuluh darah yang normal akan mengalami kerusakan
oleh adanya faktor risiko antara lain, faktor hemodinamik seperti hipertensi, zat-
zat vasokonstriktor, mediator (sitokin) dari sel darah, asap rokok, peningkatan
gula darah dan oksidasi oleh Low Density Lipoprotein-C (LDL-C). Kerusakan ini
akan menyebabkan sel endotel menghasilkan cell molecule adhesion seperti
sitokin (interleukin-1), tumor nekrosis faktor (TNF-α), kemokin (monocyte
chemoatractant factor-I), dan platelet derived growth factor. Sel inflamasi seperti
monosit dan T-limfosit masuk ke permukaan endotel dan bermigrasi dari
endotelium ke sub endotel. Monosit kemudian berproliferasi menjadi makrofag
5
dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat lebih aterogenik. Makrofag ini
terus membentuk sel busa. LDL yang teroksidasi menyebabkan kematian sel
endotel dan menghasilkan respon inflamasi. Sebagai tambahan terjadi respon dari
angiotensin II yang menyebabkan gangguan vasodilatasi dan mengaktifkan efek
protrombin dengan melibatkan platelet dan faktor koagulasi. Akibat kerusakan
endotel terjadi respon protektif yang dipicu oleh inflamasi dan terbentuk lesi
fibrofatty dan fibrous. Plak yang stabil bisa menjadi tidak stabil (vulnerable) dan
mengalami rupture (Libby, 1995).
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis seperti kolagen,
adenosin diphosphate (ADP), epinefrin dan serotonin memicu aktivasi trombosit,
yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan-A2
(vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu reseptor
glikoprotein II/IIIa yang mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino
pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan
fibrinogen. Dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat
platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan
agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi trombin yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri
koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri
dari agregat trombus dan fibrin. IMA STE umumnya terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak
aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang
berkembang secara lambat biasanya tidak memicu IMA STE karena timbulnya
banyak kolateral sepanjang waktu. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika
plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi ruptur
lokal akan menyebabkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologi menunjukkan
plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis
dan inti kaya lipid. Pada IMA STE gambaran klasik terdiri dari fibrin rich red
6
trombus yang dipercaya menjadi dasar sehingga IMA STE memberikan respon
terhadap terapi trombolitik.
3. Faktor Risiko
Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya serangan
jantung dan stroke. Sekitar 24 % kematian akibat serangan jantung pada laki-laki
dan 11 % pada perempuan disebabkan karena kebiasaan merokok (Huon
dkk,2000).
Peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) pada saat serangan nyeri
dada merupakan faktor risiko independen yang kuat dan prognostik yang jelek
untuk pasien dengan SKA bahkan pada pasien non diabetik. Sean dkk (2007)
menunjukkan bahwa angka kematian dalam 30 hari lebih tinggi pada pasien
diabetes dibandingkan tanpa diabetes pada IMA non STE/APTS (2.1% vs 1.1%, P
<.001) dan IMA STE (8.5% vs 5.4%, P <.001). Penelitian DIGAMI menunjukkan
hasil bahwa pengontrolan metabolik insulin secara intensif dengan mengunakan
insulin dan infus glukosa pada pasien dengan diabetes mellitus atau glukosa darah
>11.0 mmol/l ternyata memberikan keuntungan dalam menekan angka kematian
setahun menjadi lebih rendah (18.6% dibandingkan 26.1%).
Saman dkk (2007) menganalisis bahwa umur, DM, hipertensi dan tidak
dilakukan terapi reperfusi ternyata didapatkan bermakna berhubungan dengan
peningkatan risiko kematian dalam 30 hari (tabel 3). Pada laki-laki usia
pertengahan (45-65 tahun) dengan tingkat serum kolesterol yang tinggi (kolesterol
: >240 mg/dL dan LDL kolesterol : >160 mg/dL) risiko terjadinya SKA akan
meningkat.
4. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis awal sangat prediktif untuk prognosis awal. Timbulnya
gejala saat istirahat menandakan prognosis lebih buruk dibanding gejala yang
hanya timbul pada saat aktivitas fisik. Pada pasien dengan gejala intermiten,
peningkatan jumlah episode yang mendahului kejadian acuan juga mempunyai
dampak terhadap hasil akhir klinis. Adanya takikardia, hipotensi atau gagal
jantung pada saat masuk rumah sakit juga mengindikasikan prognosis buruk dan
memerlukan diagnosis serta tatalaksana segera(PERKI,2012).Faktor risiko yang
7
tinggi termasuk angina yang memberat, nyeri dada yang berkelanjutan (> 20
menit), edema paru (Killip klas ≥2 ), hipotensi dan aritmia.
Tabel 4. Klasifikasi Killip terhadap angka kematian pada IMA-STE
(Antman EM, 2005)
Scirica dkk (2002) melaporkan bahwa pasien dengan IMA non STE /
APTS yang mengalami serangan angina yang memberat akan memiliki risiko
kematian yang meningkat dalam 1 tahun.
5. Penanda Enzim Jantung
GRACE (2001) dan WHO menggunakan kriteria diagnostik dengan
penanda enzim jantung untuk IMA dan APTS . Angka kematian dalam 30 hari
dan 6 bulan pada pasien SKA dijumpai signifikan cukup tinggi dengan
peningkatan kadar troponin yang tinggi pada pasien dengan IMA non STE/APTS,
seperti yang ditunjukkan pada tabel 5. Troponin I atau T merupakan penanda
biologis terpilih untuk memprediksi hasil akhir klinis jangka pendek (30 hari)
terkait IMA dan kematian (PERKI,2012). Peningkatan kadar troponin merupakan
prediktor independen terhadap kematian 30 hari dan selama pengamatan jangka
panjang (1 tahun dan lebih). Nilai prognostik dari cTnT dan cTnI ternyata sama.
Peningkatan troponin dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk. Pasien
dengan IMA non STE jika disertai dengan peningkatan kadar enzim jantung
troponin dalam 12 jam, maka memiliki risiko tinggi kejadian kematian (dalam 30
hari dengan angka kematian sampai dengan 4 – 5 %) .
Tabel 5. Definisi dan prognosis SKA berdasarkan kadar serum enzim troponin T
(SIGN,2007)
8
6. Elektrokardiografi
Gambaran EKG awal sangat berguna untuk menduga kejadian SKA.
Jumlah lead yang menunjukkan depresi ST dan magnitudonya, merupakan
indikasi adanya iskemia berat dan luas dan berkorelasi dengan prognosis terhadap
angka kematian dalam 1 tahun seperti yang di tunjukkan pada tabel 6. Pemantauan
segmen ST secara berkala pada EKG saat istirahat memberi informasi prognostik
tambahan, selain hasil troponin dan variabel klinis lainnya.
Pada penelitian sebelumnya juga dijumpai faktor yang berhubungan secara
independen terhadap peningkatan angka kematian yaitu pertambahan usia, klas
Killip, peningkatan denyut jantung, depresi segmen ST, tanda-tanda gagal
jantung, tekanan darah sistolik yang rendah, nyeri dada yang khas dan
peningkatan enzim jantung. Adanya gambaran segmen ST yang deviasi
merupakan prediktor yang kuat untuk hasil akhir klinis dibandingkan dengan
peningkatan enzim jantung troponin pada pasien SKA.
Penelitian dari Fibrinolytic Therapy Trialists’ Collaboration melaporkan
bahwa gambaran EKG merupakan prediktor kematian yang cukup memberikan
manfaat apabila dijumpai adanya elevasi segmen-ST atau bundle branch block
yang dianggap baru. Right bundle branch block (RBBB) ternyata banyak dijumpai
9
pada gambaran EKG namun memiliki angka kematian yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan left bundle branch block (LBBB).
7. Komplikasi
Pasien dengan irama atrial fibrilasi (AF) yang baru muncul setelah
serangan IMA menunjukkan peningkatan angka risiko kejadian kardiovaskuler
dan kematian. AF merupakan aritmia yang paling sering muncul setelah serangan
IMA dan menjadi prediktor utama untuk hasil akhir klinis pada pasien dengan
SKA. Hasil GRACE menunjukkan bahwa persentase kejadian kematian lebih
tinggi pada IMA non STE dibandingkan dengan IMA STE (13% vs 8%), namun
pada kejadian masuk kembali ke rumah sakit dijumpai persamaan persentase
antara IMA non STE dan APTS (20%).
8. Penatalaksanaan Sindroma Koroner Akut
a) Kombinasi pemberian aspirin dan clopidogrel
Pada penelitian CURE kombinasi aspirin (300 mg saat awal dan
75-150 mg setiap hari) dan clopidogrel (300 mg saat awal dan 75 mg
setiap hari) ternyata jauh lebih efektif dibandingkan dengan pemberian
aspirin tunggal. Manfaat kombinasi aspirin dan clopidogrel terlihat
dalam 24 jam dan ternyata mengurangi kejadian infark miokard
berulang atau iskemik berulang. Bila dibandingkan dengan plasebo,
pemberian aspirin ternyata bermakna untuk mengurangi rerata angka
kejadian kardiovaskuler (kematian kardiovaskuler, infark miokard yang
tidak fatal dan non-fatal stroke) pada pasien dengan APTS (absolute
risk reduction; RR 5.3%, relative RR 46%) dan mengurangi hampir
sepertiga angka kematian (absolute RR 3.8%, relative RR 30%) pada
pasien dengan IMA.
Penelitian CLARITY-TIMI 28 (clopidogrel 300 mg saat awal dan
75 mg setiap hari) dan COMM IT/CCS (clopidogrel 75 mg setiap hari)
pada pasien dengan IMA STE memberikan hasil yang menurunkan
angka kematian bila dengan pemberian kombinasi aspirin dan
10
clopidogrel dibandingkan dengan hanya pemberian aspirin tanpa
adanya komplikasi perdarahan mayor.
b) Beta Blocker
Meta analisis kecil pada pasien APTS memberikan hasil bahwa
beta blocker akan menurunkan rata-rata progresi kejadian infark
miokard sebesar 13%. Penelitian meta analisis dari COMMIT/CCS
dengan pemberian beta blocker lebih awal pada pasien IMA STE
dengan Killip klas I (tidak ada tanda gagal jantung) disertai dengan
tekanan darah sistolik > 105 mmHg dan denyut jantung > 65 kali/menit
memperlihatkan bahwa pemberian intravena yang diikuti pemberian
oral akan menurunkan angka kematian (absolute RR 0.7%, relative RR
13%), kejadian infark berulang (absolute RR 0.5%, relative RR 22%)
dan serangan jantung (absolute RR 0.7%, relative RR 15%).
c) Terapi Antikoagulan
Pada pasien dengan IMA non STE, pemberian unfractionated
heparin (UFH) dalam 48 jam ternyata mengurangi angka kematian
ataupun infark miokard (absolute RR 2.5%; relative RR 33%). Pada
pasien dengan IMA STE, pemberian UFH yang diikuti dengan aspirin
dan trombolitik dengan agen spesifik –fibrin, ternyata memberikan hasil
yang cukup baik dengan menurunnya angka kejadian infark ulangan
(0.3% absolute RR) dan kematian (0.5% absolute RR).
Penelitian secara RCT membandingkan pemberian low molecular
weight heparin (LMWH) dengan UFH pada IMA STE menunjukkan
beberapa manfaat pada penggunaan LMWH, terutama enoxaparin.
Secara meta analisis memastikan bahwa pasien yang diterapi dengan
trombolitik, LMWH (enoxaparin) memiliki hasil akhir klinis yang jauh
lebih baik pada kasus IMA, (absolute RR 2.3%, relative RR 41%);
iskemik berulang (absolute RR 2.0%, relative RR 30%); kematian
ataupun infark berulang (absolute RR 2.9%, relative RR 26%); dan
kematian atau iskemik berulang (absolute RR 4.8%, relative RR 28%)
11
tapi tidak ada penurunan pada angka kematian bila dibandingkan
dengan penggunaan UFH. II.2.8.4. Terapi Reperfusi
Pasien IMA STE yang datang ke rumah sakit yang memiliki
fasilitas tindakan intervensi koroner perkutan (IKP) harus dilakukan
tindakan IKP primer dalam 90 menit saat kontak medis pertama kali
diberikan (Klas I, Level of Evidence :A). Pasien IMA STE yang datang
ke rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas tindakan IKP dan tidak
dapat dirujuk ke pusat IKP dan tidak dapat dilakukan tindakan IKP
dalam 90 menit saat kontak medis pertama kali, harus diberikan terapi
fibrinolitik dalam 30 menit setelah tiba di rumah sakit, kecuali
didapatkan kontraindikasi terapi fibrinolitik (Klas I, Level of
Evidence:B). Tujuannya adalah untuk meningkatkan jumlah pasien
yang mendapatkan tindakan IKP primer, setidaknya 75% pasien
dilakukan tindakan IKP dalam 90 menit setelah tiba di rumah sakit,
berdasarkan penggunaan strategi evidenced-based untuk mengurangi
keterlambatan.
Meskipun ditemukan hubungan antara waktu pemberian terapi dan
hasil akhir klinis, hasil yang terbaik adalah pemberian trombolisis
dalam jam pertama saat pasien tiba di rumah sakit. Hal ini juga
ditunjukkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh De Luca, dkk
(2004) bahwa keterlambatan 30 menit dalam pemberian terapi reperfusi
akan memberikan 7,5% angka kematian dalam 1 tahun. Salah satu hal
yang penting adalah bahwa waktu untuk pemberian terapi dipengaruhi
oleh beberapa faktor, termasuk usia lanjut, jenis kelamin perempuan
dan riwayat diabetes ataupun tindakan revaskularisasi sebelumnya.
Pasien dengan SKA yang tidak mendapatkan terapi reperfusi
ternyata menunjukkan angka risiko kematian yang lebih tinggi. Pada
pasien IMA STE ternyata hal ini sangat mempengaruhi hasil akhir
jangka pendek dan jangka panjang. Data menunjukkan bahwa dari 1000
pasien hidup yang diterapi dengan fibrinolitik bila dibandingkan dengan
plasebo keberhasilan terapi ternyata dipengaruhi oleh cepatnya
12
pemberian setelah onset nyeri dada timbul. Oleh karena angka
keberhasilan hidup setelah pemberian fibrinolitik adalah maksimal 4
jam, maka hal tersebut menjadi “golden hour” untuk reperfusi
farmakologis. Dibandingkan dengan placebo, terapi trombolitik akan
mengurangi angka kematian dalam 35 hari (1.9% absolute RR, 18%
relative RR) pada pasien dengan IMA STE (Boersma dkk, 1996; van
Der Welf, 2003). Pemberian trombolitik dapat mengurangi angka
kematian dalam 35 hari (1.9% absolute RR , 18% relative RR ) pada
pasien dengan IMA STE dengan onset < 12 jam.
Beberapa penelitian terhadap rescue IKP dibandingkan dengan
terapi konservatif setelah trombolitik yang tidak berhasil memberikan
hasil penurunan angka kejadian gagal jantung yang berat (absolute RR
8%, relative RR 68%) dan penurunan angka kematian dalam 1 tahun
pada pasien dengan IMA (absolute RR 5%, relative RR 38%).
Penelitian secara acak antara rescue IKP terhadap elektif IKP (rata-rata
12 hari setelah serangan IMA) memberikan hasil bahwa tindakan rescue
IKP menunjukkan adanya penurunan angka kematian, serangan infark
berulang, revaskularisasi dan kejadian iskemik dalam 6 bulan (absolute
RR 25%, relative RR 49%). Pasien dengan IMA STE onset dalam 6
jam, yang gagal dilakukan trombolitik, harus segera dilakukan rescue
IKP (Levine dkk, 2011; Sohby dkk, 2010). Pasien dengan IMA non
STE risiko sedang atau tinggi untuk angka kejadian serangan
kardiovaskuler berulang harus dilakukan tindakan angiografi koroner
dan revaskularisasi
Dari penelitian GUSTO I terhadap kejadian 30 hari kematian
menunjukkan hasil bahwa umur (31.2%) berperan cukup penting untuk
kejadian SKA, kemudian tekanan darah sistolik (24%), klas Killip
(15%) dan denyut jantung (12%) secara statistik ternyata bermakna.
Faktor risiko hipertensi (0.6%) dan riwayat penyakit kardiovaskuler
sebelumnya (0.4%) hanya memiliki persentase yang kecil.
13
d) Rehabilitasi jantung
Secara ringkas, program rehabilitasi jantung yang komprehensif
harus mencakup beberapa komponen berikut: (1) pengkajian kondisi
dan riwayat medis pasien, (2) edukasi dan konseling dalam rangka
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pasien agar dengan upaya
sendiri mampu menghindari faktor risiko, mampu mengatasi faktor
risiko agar proses penyakit atau proses atherosklerosis dapat dihentikan
atau dihambat, demikian pula kecemasan, (3) upaya pengontrolan faktor
risiko; menyangkut edukasi, modifikasi gaya hidup kearah hidup sehat
dan pengobatan yang diperlukan, (4) program latihan fisik dan
konseling aktifitas fisik, terutama dalam upaya meningkatkan pola
hidup sehat, tingkat kebugaran, kualitas hidup dan pengendalian faktor
risiko.
e) Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa
didahului fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif
dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa
jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari
fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan
dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang
yang lebih baik.11,16 PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok
kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan
meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika
bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat
fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas,
dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di
beberapa rumah sakit.
14
BAB III
ANALISIS JURNAL
A. Identitas Jurnal
Judul Penelitian : Impact of Cardiac Rehabilitation on Mortality and
Cardiovascular Events After Percutaneous Coronary Intervention in the
Community
Peneliti : Kashish Goel, MBBS; Ryan J. Lennon, MS; R. Thomas
Tilbury, MD; Ray W. Squires, PhD; Randal J. Thomas, MD, MS
Sumber : Journal of The American Heart Association
B. Ringkasan Jurnal
1. Tujuan penelitian
Penelitian dilakukan untuk mengetahui keefektifan rehabilitasi jantung
dalam menurunkan mortalitas setelah dilakukan PCI.
2. Metode penelitian
Penelitian dilakukan di Olmested Country kepada pasien post PCI yang
berpartisipsi dalam rahabilitasi jantung selama periode I Januari 1994
sampai 30 Juni 2008. Sampel penelitian diambil dengan teknik random
sampling.
3. Instrumen penelitian
Dengan menggunakan rekam medis pasien dan follow up melalui
telephone mengenai vital status dan informasi lainya selama hospitalisasi.
C. Hasil Penelitian
Populasi dalam penelitian ini sebanyak 2395 pasien, 40% (964)
berpartisipasi dalam rehabilitasi jantung minimal 1 sesi selama 3 bulan
setelah PCI. Pada tabel 1 dapat dilihat pada studi chohort meunjukkan
bahwa antara individu yang mengikuti CR dan yang tidak mengikuti CR
tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam demografi, medikasi,
angiograpi, dan karakteristik klinik.
15
16
Pada gambar 1 dapat dilihat partisipan CR setelah PCI. Partisipan meningkat
secara signifikan dari 25 % sebelum tahun 2006 menjadi 42% setelah tahun 2006,
dimana saat itu merupakan tahun diberlakukanya perubahan regulasi mengenai
indikasi pasien yang mengikuti CR. Angka partisipan tidak berubah secara
signifikan dari waktu kewaktu dalam partisipasi PCI.
17
Pada tabel 2 dapat dilihat variabel yang berhubungan dengan partisipasi CR
setelah PCI. Faktor independen yang berhubungan positif dengan partisipasi CR
meliputi usia, tahun PCI, riwayat AMI, keterlibatan yang minimal dari cabang
arteri coroner, terapi antiplatelet selama PCI, dan kejadian MI/CABG/PCI di
Rumah Sakit. Sedangkan faktor independen yang berhubungan negative dengan
partisipasi CR setelah PCI antara lain merokok, riwayat DM, PCI sebelumnya,
dan penggunaan drug-eluting stent. Selama follow up kurang lebih 6 tahun
terdapat 503 kematian, 199 disebabkan kardiovaskuler. Sebanyak 755 pasien
mengalami revaskularisasi, MI berulang pada 394 pasien selama periode follow
up.
Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat perbandingan kematian, MI yang berulang, dan
revaskularisasi. Pada penelitian ini menunjukan bahwa pada pastisipan CR lebih
sedikit terjadi dibandingkan dengan yang tidak mengikuti CR. Hal tersebut juga
sesuai dengan penelitian sebelumnya.
18
D. Pembahasan dan Kesimpulan Penelitian
1. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara partisipasi CR dan mortality rates yang lebih rendah pada
pasien yang menjalani PCI. Dengan menggunakan 3 teknik analisis yang
berbeda, ditemukan 45%-47% penurunan semua penyebab kematian pada
pasien post PCI yang menjalani CR dibandingkan dengan pasien yang
tidak berpartisipasi dalam CR. Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan sebelumnya di Olmsted County yang melaporkan adanya
penurunan semua sebab kematian sebesar 56% berhubungan dengan CR
post MI, bahkan terdapat penurunan semua penyebab kematian yang lebih
besar 20%-30% pada penelitian lain.
Penelitian ini menambah sejumlah studi yang meneliti hubungan
antara partisipasi CR dan kematian setelah PCI. Studi observasional yang
dilakukan oleh suaya dan coworkers melaporkan bahwa dalam analisis
subkelompok pasien Medicare yang menjalani PCI dari tahun 1997 sampai
2002 menunjukkan bahwa partisipasi CR berhubungan dengan
pengurangan semua penyebab kematian sebesar 30%. Meskipun peneliti
menggunakan analisis PS untuk menghindari factor perancu, namun
peneliti tidak mengandalikan factor lain seperti status merokok, obesitas,
hiperkolesterolemia, riwayat penyakit arteri coroner pada keluarga,
penggunaan obat, dan variable angiografi dan PCI) karena keterbatasan
dari Medicare database.
Pada penelitian ini, kematian akibat penyakit jantung berkurang
sebesar 39% pada pasien yang berpartisipasi dalam CR ketika analisis
stratifikasi PS diaplikasikan pada seluruh populasi penelitian. Namun,
penyebab kematian karena penyakit jantung tidak berpengaruh secara
signifikan pada analisis matched-pair, yang merupakan metode statistic
paling kuat yang digunakan dalam penelitian ini. Temuan ini mungkin
19
dipengaruhi oleh kesalahan penetapan penyebab kematian, yang menjadi
salah satu alasan mengapa penggunaan penyebab cardiac mortality sebagai
end point dapat menjadi permasalah, karena tidak semua pasien memiliki
bukti otopsi. Karena semua pasien dalam penelitian ini memiliki penyakit
arteri coroner, penyebab cardiac seharusnya bertanggungjawab atas
sebagian besar kematian. Namun, pada penelitian ini hanya 39,5% dari
semua total kematian yang disebabkan oleh masalah jantung. Persentase
ini konsisten dengan daftar calon PCI pada 50 US center dan analisis
gabungan dari 4 penelitian prospeksif, randomized, double blind clinical
trial yang mengaitkan 40% dari total kematian dengan penyebab cardiac.
Selain itu, kematian yang disebabkan oleh masalah jantung hanya
bertanggung jawab sebesar 27% dari dari semua kematian pada pasien PCI
yang terdaftar di Clinical Outcomes Utilizing Revascularization and
Aggressive Drug Evaluation (COURAGE) trial.
Beberapa factor mungkin bertanggung jawab terhadap hasil penelitian
ini. CR meningkatkan aktivitas fisik dan kapasitas latihan yang pada
akhirnya dapat menghasilkan adaptasi fisiologis penting yang dapat
meningkatkan kesehatan jantung. Selain itu, partisipasi CR dapat
meningkatkan kepatuhan pengobatan, yang merupakan factor yang sangat
penting bagi pasien PCI yang mendapatkan terapi antiplatelet setelah PCI.
Selain itu, pengendalian factor risiko kardiovaskular, mengurangi
inflamasi, identifikasi depresi dan pengobatan, serta dukungan psikososial
menjadi lebih tinggi pada pasien yang berpartisipasi dalam CR dari pada
pasien yang tidak mengikuti CR. Follow up pasien yang dilakukan oleh
staff program CR saat mereka berinteraksi dengan pasien beberapa kali
dalam sebulan membantu mengidentifikasi gejala baru, efek samping, dan
kondisi komorbid yang mungkin membutuhkan evaluasi tambahan
ataupun penyesuaian treatment. Sehingga hal tersebut memungkinkan
bahwa pengobatan yang diterima selama CR dapat menstimulasi adaptasi
20
fisiologis yang menguntungkan, termasuk peningkatan jumlah circulating
endothelial progenitor cells.
2. Kesimpulan
Data dari Olmsted County, Minnesota, menunjukkan bahwa
partisipasi CR setelah PCI berhubungan secara signifikan dengan
pengurangan semua penyebab kematian dan cardiovascular mortality.
21
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Cardiac rehabilitation (CR) secara signifikan dapat menurunkan
angka mortalitas pada pasien post PCI.
B. Saran
1. Bagi pasien
Program cardiac rehabilitaton dapat dipertimbangkan sebagai salah
satu pilihan intervensi yang efektif untuk menurunkan angka mortalitas
post PCI.
2. Bagi perawat
Dapat memberikan informasi bagi pasien post PCI terkait program
cardiac rehabilitation yang sangat bermanfaat untuk menurunkan
angka mortalitas.
3. Bagi Rumah Sakit
Dapat memfasilitasi program rehabilitasi jantung bagi pasien post PCI.
22
DAFTAR PUSTAKA
Libby P. 2005. The Pathogenesis of atherosclerosis. In : Harrisons Principles of Internal Medicine. Mc Graw Hill : 1425-1429
Radi B, Joesoef A, Kusmana D. 2009. Rehabilitasi Kardiovaskular Di Indonesia. Jurnal Kardiologi Indonesia (30) : 2
ACC/AHA. 2004. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction. http://circ.ahajournals.org/cgi/reprint/110/9/e82.pdf
Kumar A, Cannon CP. 2009. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and Management Part I. Mayo Clin Proc 84(10):917-938. http://www.mayoclinicproceedings.com/content/84/10/917.full.pdf
Kleinschmidt KC. Epidemiology and Patophysiology of Acute Coronary Syndrome. Adv Stud Med. 2006;6(6B):S477-S482. http://www.jhasim.com/fi les/articlefi les/pdf/ASIM_6_6Bp477_482_R1.pdf
Antman EM, Braunwald E. ST-Elevation Myocardial Infarction: Pathology, Pathophysiology, and Clinical Features. Dalam: Braunwald E. ed. Braunwald’s Heart Disease. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2008. Pp: 1207-31.
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Pedoman Praktis Tatalaksana Sindroma Koroner Akut. 2008. Jakarta: FKUI.
Rosen AB., Gelfand EV. Patophysiology of Acute Coronary Syndromes. Dalam: Gelfand Eli V., Cannon Cristopher P. Management of Acute Coronary Syndromes. West Sussex: Wiley Blackwell. 2009. Pp: 1-11; http://media.wiley.com/product_data/excerpt/75/04707255/0470725575-1.pdf
Canadian Institute For Health Information. 2007. Acute Coronary Syndromes: Understanding the Spectrum. http://www.smgh.ca/_uploads/PageContent/documents/ACS-spectrum.pdf
Char DM. The Patophysiology of Acute Coronary Syndromes. http://www.emcreg.org/publications/monographs/acep/2004/char.pdf
23