analisis hubungan kadar gula darah puasa … · 66 meditory | vol. 4, no.2, desember 201 6 ni wayan...
TRANSCRIPT
65
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Meditory
Number 1
ANALISIS HUBUNGAN KADAR GULA DARAH PUASA DENGAN KADAR
KOLESTEROL HIGH DENSITY LIPOPROTEIN (HDL) PADA PASIEN
DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI RSUP SANGLAH
Ni Wayan Nia Ariska Purwanti1, I Nyoman Jirna
2, Ida Ayu Made Sri Arjani
3
Abstract
Background Diabetes mellitus (DM) is a group of metabolic diseases with characteristic of
hyperglycemia that happens by abnormal secretions of insulin, insulin action, or both. The
condition of insulin resistance in DM type 2 which cause abnormality in lipid metabolism that
indicated by increase or decrease levels of lipid fraction in plasma, include increase levels of
Very Low Density Lipoprotein (VLDL) or triglycerides, decrease levels of High Density
Lipoprotein (HDL), and formed small dense Low Density Lipoprotein (LDL).
Objective The purpose of this study is to determine the relationship between the fasting blood
sugar levels with HDL cholesterol levels in patients with DM type 2.
Methods The method uses an analytical study with cross sectional design. Sampling examined
as many as 35 samples by purposive sampling.
The results The relationship between fasting blood sugar levels with HDL cholesterol levels
is analyzed by Pearson Product Moment Correlation test. Based on the result concluded that
there is a relationship between fasting blood sugar levels with HDL cholesterol levels in
patients with DM type 2 in RSUP Sanglah with significant value sig=0,030 (sig<0,05) and
coefficient correlation value -0,367. It is suggested for patients with DM to perform
laboratory test including HDL cholesterol test to prevent the complication of coronary heart
disease.
Keywords: DM type 2; fasting blood sugar levels; HDL cholesterol levels
Pendahuluan
Diabetes mellitus (DM) merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya1. Menurut data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
prevalensi DM di Indonesia berdasarkan
wawancara mengalami peningkatan dari
1,1% pada tahun 2007 menjadi 2,7% pada
tahun 2013. Meningkatnya prevalensi DM
di beberapa negara berkembang akibat
peningkatan kemakmuran di negara
bersangkutan, akhir-akhir ini banyak
disoroti. Peningkatan pendapatan per
kapita dan perubahan gaya hidup terutama
di kota- kota besar, menyebabkan Penyakit
1.,2.,3., Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Denpasar
Korespondensi : Ni Wayan Nia Ariska Purwanti1,
Jurusan Analis Kesehatan, Poltekes Denpasar, Jalan
Sanitasi No. 1 Sidakarya, Denpasar-Bali 80224,
Indonesia.
Telp. +62-361-710 527, Fax. +62-361-710 448
Email : [email protected]
66
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Ni Wayan Nia Ariska Purwanti, dkk., ANALISIS HUBUNGAN KADAR GULA DARAH PUASA DENGAN
KADAR KOLESTEROL HIGH DENSITY LIPOPROTEIN (HDL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2
DI RSUP SANGLAH 1
CHOLERAE
Jantung Koroner (PJK), hipertensi, dan
hiperlipidemia2.
Jumlah kunjungan pasien DM di
RSUP Sanglah berdasarkan data rekam
medik pasien DM pada tahun 2013 adalah
sebanyak 450 orang yang keseluruhannya
merupakan pasien DM tipe 2 (tidak
tergantung insulin). Tercatat jumlah kasus
baru pada tahun 2014 sebesar 178 kasus
baru untuk DM tipe 1 dan 1.533 kasus
untuk DM tipe 2. Pada tahun 2015, jumlah
kasus baru yang tercatat adalah sebesar
346 kasus yang terdiri dari 154 kasus DM
tipe 1 dan 192 kasus DM tipe 2.
Berdasarkan studi epidemiologi
terbaru, Indonesia telah memasuki epidemi
DM tipe 2. Perubahan gaya hidup dan
urbanisasi nampaknya merupakan
penyebab penting masalah ini, dan terus
menerus meningkat pada milenium baru
ini3. Keadaan resistensi insulin atau
sindrom metabolik dan DM tipe 2
menyebabkan kelainan metabolisme lipid
yang ditandai dengan peningkatan atau
penurunan fraksi lipid dalam plasma
(dyslipidemia). Dyslipidemia akan
menimbulkan stres oksidatif, keadaan ini
terjadi akibat gangguan metabolisme
lipoprotein yang sering disebut sebagai
lipid triad meliputi peningkatan
konsentrasi Very Low-Density Lipoprotein
(VLDL)atau trigliserida, penurunan
konsentrasi High Density Lipoprotein
(HDL), dan terbentuknya small dense Low
Density Lipoprotein (LDL) yang lebih
bersifat aterogenik4.
Meningkatnya kolesterol dapat
terjadi jika seseorang memiliki faktor
risiko lainnya seperti DM, sehingga
menimbulkan suatu kondisi dimana
kolesterol menumpuk di dinding pembuluh
darah arteri (aterosklerosis).LDL kolesterol
merupakan jenis kolesterol yang bersifat
aterosklerotik.Jika kolesterol ini semakin
tinggi, maka semakin besar risikonya
untuk menumpuk di dinding pembuluh
darah.Sebaliknya HDL kolesterol
merupakan jenis pengangkut kolesterol
yang baik karena mampu menyapu
kolesterol yang berada di dinding
pembuluh darah.HDL mengangkut
kolesterol dan dibawa ke hati untuk diolah
dan diubah menjadi garam empedu5.
Berdasarkan latar belakang diatas,
penulis tertarik untuk mengetahui lebih
lanjut hubungan kadar gula darah puasa
dengan kadar kolesterol High Density
Lipoprotein(HDL) pada pasien DM tipe 2
di RSUP Sanglah.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian
observasional yang bersifat analitik.
Desain penelitian yang digunakan adalah
studi cross sectional. Penelitian dilakukan
di Laboratorium Patologi Klinik dan
Poliklinik Diabetic Centre RSUP Sanglah
67
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Ni Wayan Nia Ariska Purwanti, dkk., ANALISIS HUBUNGAN KADAR GULA DARAH PUASA DENGAN
KADAR KOLESTEROL HIGH DENSITY LIPOPROTEIN (HDL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2
DI RSUP SANGLAH 1
CHOLERAE
dari Bulan Maret-Juni 2016.Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh pasien
DM tipe 2 di Poliklinik Diabetic Centre
RSUP Sanglah.Teknik penentuan sampel
dengan Sampling Purposive dimana
sampel ditentukan berdasarkan
pertimbangan tertentu6. Besar sampel
dalam penelitian ini sebanyak 35 pasien
DM tipe 2 yang melakukan kontrol rutin
dan melakukan pemeriksaan kadar gula
darah puasa, serta bersedia menjadi
responden. Sampel pemeriksaan
menggunakan sampel darah vena,
selanjutnya dilakukan pemeriksaan kadar
gula darah puasa dan kadar kolesterol HDL
dengan menggunakan alat Cobas
6000.Data yang dikumpulkan selanjutnya
dianalisis dengan menggunakan uji
normalitas Kolmogorov Smirnov dan uji
korelasi Pearson Product Moment untuk
mengetahui hubungan kadar gula darah
puasa dengan kadar kolesterol HDL pada
pasien DM tipe 2 di RSUP Sanglah.
Hasil dan Pembahasan
1. Distribusi subjek penelitian
berdasarkan karakteristik
Pasien DM tipe 2 yang paling banyak
ditemukan berjenis kelamin laki-laki.Jenis
kelamin sebenarnya bukan salah satu
faktor risiko DM7.Berdasarkan kelompok
umur, pasien DM tipe 2 paling banyak
ditemukan pada kelompok umur 41-50
tahun.Diabetes sering muncul setelah
seseorang memasuki usia rawan, terutama
setelah usia 45 tahun. Seseorang dengan
usia lebih dari 45 tahun memiliki
peningkatan risiko terhadap terjadinya DM
dan intoleransi glukosa yang disebabkan
oleh faktor degeneratif yaitu menurunnya
fungsi tubuh, khususnya kemampuan dari
sel β dalam memproduksi insulin8.
Sebagian besar responden yang
diteliti tidak merokok (80%). Merokok
dapat menyebabkan trombosis dengan cara
memproduksi stres oksidatif, disfungsi
endotel dan aktivasi platelet, yang juga
dalam waktu lama akan menyebabkan
aterosklerosis dan trombosis, yang juga
akan menyebabkan kerusakan sensitivitas
insulin dan disfungsi ginjal9.
Hasil penelitian menunjukkan
sebanyak 15 orang responden (42,9%)
memiliki riwayat hipertensi. Hipertensi
merupakan salah satu faktor dalam
resistensi insulin atau sindrom metabolik
dan sering menyertai DM tipe 2, adanya
hipertensi akan memperberat disfungsi
endotel dan meningkatkan risiko penyakit
jantung koroner10
. Penyakit Hipertensi
pada pasien DM adalah komplikasi
makroangiopati (kelainan pada pembuluh
darah besar) ini terjadi karena
mengerasnya atau tidak elastisnya
pembuluh darah sehingga menyebabkan
tekanan darah menjadi tinggi4.
68
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Ni Wayan Nia Ariska Purwanti, dkk., ANALISIS HUBUNGAN KADAR GULA DARAH PUASA DENGAN
KADAR KOLESTEROL HIGH DENSITY LIPOPROTEIN (HDL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2
DI RSUP SANGLAH 1
CHOLERAE
2. Distribusi subjek penelitian
berdasarkan kadar gula darah puasa
Hasil pemeriksaan pada pasien DM
tipe 2 di Poliklinik Diabetic Centre RSUP
Sanglah menunjukkan rentang kadar gula
darah puasa yaitu 92-230 mg/dl dengan
rata-rata kadar sebesar 142,2 mg/dl. Hasil
ini mengalami peningkatan dari rentang
kadar gula darah puasa normal berdasarkan
nilai normal pada alat Cobas 6000 (80-100
mg/dl). Responden dengan kadar gula
darah puasa tinggi (hiperglikemia)
sebanyak 32 orang (91,4%) didominasi
oleh responden berjenis kelamin laki-laki.
Sementara distribusi terbanyak kadar gula
darah puasa tinggi (hiperglikemia)
berdasarkan kelompok umur ditemukan
pada kelompok umur 41-50 tahun yaitu
sebanyak 10 orang responden. Semakin
bertambahnya usia maka individu akan
mengalami penyusutan sel-sel β yang
progresif. Organ tubuh yang melemah akan
mengalami penurunan fungsi organ tubuh
pada lansia termasuk sel β pankreas yang
bertugas menghasilkan insulin. Sel β
pankreas dapat mengalami degradasi
menyebabkan hormon insulin yang
dihasilkan terlalu sedikit sehingga kadar
glukosa darah meningkat11
.
Jumlah responden yang merokok
dengan kadar gula darah puasa yang tinggi
adalah sebanyak 20%.Kecanduan rokok
merupakan salah satu faktor yang dapat
memperburuk dan mempengaruhi
perkembangan diabetes3.
Jumlah responden yang memiliki
riwayat hipertensi dengan kadar gula darah
puasa tinggi adalah sebanyak 13 orang
(37,1%). Hipertensi yang berhubungan
dengan diabetes sering berhubungan
dengan abnormalitas koagulasi sekaligus
gangguan lipid12
. Adanya hipertensi akan
memperberat disfungsi endotel dan
meningkatkan risiko PJK10
.
3. Distribusi subjek penelitian
berdasarkan kadar kolesterol HDL
Hasil pemeriksaan kolesterol HDL
pada pasien DM tipe 2 di Poliklinik
Diabetic Centre RSUP
Sanglahmenunjukkan rentang kadar hasil
pemeriksaan antara 20-57,8 mg/dl dengan
rata-rata sebesar 35,5 mg/dl. Hasil ini
mengalami penurunan dari nilai normal
kadar kolesterol HDL berdasarkan alat
Cobas 6000 (40-65 mg/dl).
Sebagian besar responden
menunjukkan kadar kolesterol HDL yang
tidak normal atau rendah yaitu sebanyak
27 responden. Jumlah responden laki-laki
yang memiliki kadar kolesterol HDL tidak
normal lebih banyak dibandingkan
responden perempuan. Distribusi kadar
kolesterol HDL rendah berdasarkan
kelompok umur menunjukkan prevalensi
terbanyak pada kelompok umur 41-50 dan
61-70 tahun yaitu masing-masing sebanyak
69
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Ni Wayan Nia Ariska Purwanti, dkk., ANALISIS HUBUNGAN KADAR GULA DARAH PUASA DENGAN
KADAR KOLESTEROL HIGH DENSITY LIPOPROTEIN (HDL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2
DI RSUP SANGLAH 1
CHOLERAE
9 responden. Usia dan jenis kelamin juga
mempengaruhi kadar HDL darah. Nilai
HDL darah pada wanita akan meningkat
sampai usia 60 tahun dan mulai menurun
pada usia 60-65 tahun sesuai dengan
pertambahan usia13
.
Jumlah responden yang merokok
dengan kadar kolesterol HDL rendah
adalah sebanyak 5 orang (14,3%). Efek
nikotin pada rokok hampir secara
keseluruhan melepaskan katekolamin,
meningkatkan lipolisis, dan meningkatkan
asam lemak bebas. Dengan meningkatnya
asam lemak bebas membuat produksi
kolesterol VLDL yang berlebihan dan
dengan produksi VLDL yang berlebihan
maka kadar kolesterol HDL darah dengan
sendirinya akan menurun14
.
Jumlah responden yang memiliki
kadar kolesterol HDL rendah dengan
riwayat hipertensi adalah sebanyak 13
orang (37,1%). Orang dengan DM dan
hipertensi, atau orang dengan gangguan
toleransi glukosa dan hipertensi
menunjukkan sebuah karakteristik
dislipidemia yaitu kadar HDL rendah,
tinggi LDL dan VLDL12
.
4. Analisis hubungan kadar gula darah
puasa dengan kadar kolesterol HDL
pada pasien diabetes mellitus tipe 2
Distribusi hasil pemeriksaan kadar
gula darah puasa dan kadar kolesterol HDL
disajikan dalam tabel 1 berikut ini :
Tabel 1: Distribusi Kadar Gula Darah Puasa dan Kolesterol HDL pada Pasien DM Tipe 2 di
RSUP Sanglah
Hasil pemeriksaan kadar gula darah
puasa dan kolesterol HDL pada 35
responden menunjukkan bahwa jumlah
responden yang memiliki kadar gula darah
puasa tinggi dan kadar kolesterol HDL
rendah adalah sebanyak 74,3%. Hal ini
menunjukkan bahwa penurunan kadar
kolesterol HDL pada responden DM tipe 2
Kadar Gula Darah Puasa Kadar Kolesterol HDL
Normal % Rendah % Total %
Normal 2 5,7 1 2,9 3 8,6
Tinggi 6 17,1 26 74,3 32 91,4
Total 8 22,8 27 77,2 35 100
70
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Ni Wayan Nia Ariska Purwanti, dkk., ANALISIS HUBUNGAN KADAR GULA DARAH PUASA DENGAN
KADAR KOLESTEROL HIGH DENSITY LIPOPROTEIN (HDL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2
DI RSUP SANGLAH 1
CHOLERAE
tidak hanya dipengaruhi oleh kadar gula
darah puasa yang tinggi. Penurunan kadar
kolesterol HDL juga dipengaruhi banyak
faktor lain seperti aktivitas fisik yang
dilakukan, pola makan, kebiasaan merokok,
konsumsi obat, dan faktor genetik15
.
Hasil uji korelasi Pearson Product
Momentdalam penelitian ini menunjukkan
nilai sig.=0,030, menyatakan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara kadar gula
darah puasa dan kadar kolesterol HDL.Hasil
penelitian ini sesuai dengan teori bahwa
dyslipidemia yang khas pada sindrom
metabolik dan DM tipe 2 ditandai dengan
peningkatan trigliserida dan penurunan
kolesterol HDL.Kolesterol LDL biasanya
normal, namun mengalami perubahan
struktur berupa peningkatan small dense
LDL. Penurunan kolesterol HDL
disebabkan peningkatan trigliserida
sehingga terjadi transfer trigliserida ke
HDL16
. Tingginya kadar gula darah dalam
tubuh secara patologis berperan dalam
peningkatan konsentrasi glikoprotein, yang
merupakan pencetus atau faktor risiko dari
beberapa penyakit vaskuler17
.
Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Ada hubungan yang signifikan antara
kadar gula darah puasa dan kadar kolesterol
HDL pada pasien DM tipe 2 di RSUP
Sanglah dengan nilai sig=0,030. Korelasi
negatif mengindikasikan pola hubungan
kadar gula darah puasa dan kadar kolesterol
HDL adalah tidak searah yaitu semakin
tinggi kadar gula darah puasa maka semakin
rendah kadar kolesterol HDL.
2. Saran
Bagi penderita DM tipe 2 sebaiknya
melakukan pemeriksaan gula darah puasa
secara rutin dan berkesinambungan disertai
dengan pemeriksaan penunjang yaitu
pemeriksaan kolesterol HDL untuk
mencegah terjadinya komplikasi berupa
penyakit jantung koroner.
Bagi peneliti selanjutnya diharapkan
dapat menambah variabel yang diperiksa
berupa pemeriksaan terhadap kadar gula
darah dan kadar lipid profil (trigliserida,
kolesterol total, kolesterol HDL, dan
kolesterol LDL) pada pasien DM tipe 2.
Daftar Pustaka
1. Purnamasari, D. Diagnosis dan
Klasifikasi Diabetes Mellitus. Jakarta:
Interna Publishing; 2010
2. Suyono, S. Diabetes Mellitus di
Indonesia. Jakarta: Interna Publishing;
2010
3. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(PERKENI). Konsensus Pengendalian
dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe
2 di Indonesia. [online] [cited 25 Januari
2016]; didapat dari URL:
file:///C:/Users/Windows%208.1/Downl
oads/234334110-Konsensus-DM-
Perkeni-2011.pdf.
4. Shahab, A. Komplikasi Kronik DM
Penyakit Jantung Koroner. Jakarta:
Interna Publishing; 2010.
71
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Ni Wayan Nia Ariska Purwanti, dkk., ANALISIS HUBUNGAN KADAR GULA DARAH PUASA DENGAN
KADAR KOLESTEROL HIGH DENSITY LIPOPROTEIN (HDL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2
DI RSUP SANGLAH 1
CHOLERAE
5. Cahyono, J.B.S.B. Gaya Hidup dan
Penyakit Modern. Yogyakarta: Kanisius;
2008.
6. Sugiyono, Statistika untuk Penelitian.
Bandung: Penerbit Alfabeta; 2013.
7. Laila R., A. Rinayanti, dan
H.Priambodo. Penatalaksanaan Penyakit
Diabetes Mellitus Tipe 2 Pada Pasien
Rawat Inap di RSUD Koja Jakarta
Utara. Jakarta : Fakultas Farmasi
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta;
2013.
8. Betteng, R., D. Pangemanan, dan N.
Maluyu. Analisis Faktor Resiko
Penyebab Terjadinya Diabetes Melitus
Tipe 2 Pada Wanita Usia Produktif di
Puskesmas Wawonasa. Jurnal e-
Biomedik (eBM). Volume 2 Nomor 2.
Juli 2014.
9. Manoy, Y., S.H.Rampengan, dan
S.Palar. Hubungan Beberapa Faktor
Risiko Penyakit Jantung Koroner
Dengan Laju Filtrasi Glomerulus Pada
Pasien Infark Miokard Lama. Manado:
Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi Manado; 2013.
10. Shahab, A. Komplikasi Kronik DM
Penyakit Jantung Koroner. Jakarta:
Interna Publishing; 2010.
11. Sholikhah, W.S. 2014. Hubungan Antara
Usia, Indeks Massa Tubuh, dan Tekanan
Darah dengan Kadar Gula Darah pada
Lansia di Desa Baturan Kecamatan
Colomadu. [online] [cited20 Juni 2016];
di dapat dari URL:
http://eprints.ums.ac.id/32167/13/NASK
AH%20PUBLIKASI.pdf.
12. Rinandyta, S.A. Perbedaan Kadar LDL
pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
dengan Hipertensi dan Tanpa Hipertensi
di RSUD Dr. Moewardi. [online][cited
17 Januari 2016]; 2012;
URL:http://eprints.ums.ac.id
13. Sepriati. Pengaruh Latihan Fisik
Terstruktur terhadap High Density
Lipoprotein (HDL) pada Pasien
Hipertensi diu Poliklinik Ginjal dan
Hipertensi RSUP M Djamil Padang.
[online] [cited 5 Juni 2016]; 2011; di
dapat dari URL: Gopdianto, D.A.,
D.Wongkar, dan S.H.R. Ticoalu. 2013.
Perbandingan Kadar Kolesterol High
Density Lipoprotein Darah pada Pria
Perokok dan Bukan Perokok. Jurnaal e-
Biomedik (eBM). Volume 1 Nomor 2.
Juli 2013. Halaman 997-1001.
14. National Cholesterol Education Program
(NCEP). 2002. Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood
Cholesterol In Adults (Adult Treatment
Panel III). NIH Publication No. 02-5215.
[online] [cited 25 April 2016]; di dapat
dari URL: http://circ.ahajournals.org/.
15. Soegondo, S. dan D. Purnamasari..
Sindrom Metabolik. Jakarta: Interna
Publishing. 2010.
16. Khudin, A.M. Hubungan Kadar Gula
darah Sewaktu dengan kejadian Stoke
Iskemik Ulang di Rumah sakit Umum
Daerah Sukoharjo. [online] [cited 20
Juni 2016]; 2014; di dapat dari
URL:http://eprints.ums.ac.id.
72
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Meditory
Number 2
ANALISIS TOTAL FENOL PADA BERBAGAI FORMULASI REBUSAN KULIT
SALAK BALI SIBETAN KARANGASEM SEBAGAI MINUMAN FUNGSIONAL
I DG Aditya Satria Darma Putra1, I Wayan Merta
2, Cok Dewi Widhya Hana Sundari
3
Abstract
Background: Snakefruit‟s rind that only so far as waste, can be processed into a functional
beverage is good for health. Snakefruit‟s bark contains phenolic compounds which are
natural antioxidants in fruits.
Objective: The purpose of this study is to determine the total phenol levels and sensory value
of stew salak bali sibetan karangasem‟s bark in various formulations as functional beverage.
Methods: Analysis of total used spectrophotometric method with Folin-Ciocalteu phenol
reagent and gallic acid standard. It also performed the water content analysis used
thermogravimetry method.
Result: Salak Bali Sibetan‟s bark have average water content 24.1872±0.036%wb. The
results of total phenol analysis showed that 2, 10, 20, 30, 40 gram of Salak Bali‟s bark with
200 ml water are: 10,84±0,587; 13,79±0,756; 12,19±0,205; 12,02±0,268; 10,57±0,389 mg/L
GAE respectirely. Conclusions: The highest total phenol content is (10g/200ml) formulation,
and also supported by a sensory test showed that a majority of panelist also prefer that
formulation because has good colour, flavor and smell.
Keywords : Salak Bali‟s Sibetan rind, total phenol, Folin-Ciocalteu.
PENDAHULUAN
Salak (Salacca zalacca) merupakan
tanaman asli Indonesia. Di Indonesia
dikenal antara 20 sampai 30 jenis spesies
salak. Beberapa yang terkenal diantaranya
adalah salak Sidimpuan dari Sumatra
Utara, salak pondoh dari Yogyakarta, salak
condet dari DKI jakarta, dan salak Bali1.
Buah salak mengandung berbagai senyawa
yang dapat berperan sebagai antioksidan,
diantaranya vitamin C, likopen serta β-
karoten yang merupakan provitamin A,
asam asam organik, senyawa fenolik serta
tanin2,3
. Senyawa fenolik bersifat sebagai
antioksidan karena kemampuannya
melawan pembentukan radikal bebas
dalam tubuh.
1.,2.,3., Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Denpasar
Korespondensi : Ni Wayan Nia Ariska Purwanti1,
Jurusan Analis Kesehatan, Poltekes Denpasar, Jalan
Sanitasi No. 1 Sidakarya, Denpasar-Bali 80224,
Indonesia.
Telp. +62-361-710 527, Fax. +62-361-710 448
Email : [email protected]
73
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
I DG Aditya Satria Darma Putra, dkk., ANALISIS TOTAL FENOL PADA BERBAGAI FORMULASI REBUSAN
KULIT SALAK BALI SIBETAN KARANGASEM SEBAGAI MINUMAN FUNGSIONAL
Banyak penelitian telah
menunjukkan bahwa buah-buahan dan
sayuran yang kaya polifenol sangat efektif
dalam melindungi tubuh dari penyakit
kanker, kardiovaskular, dan gangguan
saraf 4. Beberapa senyawa polifenol juga
diketahui mempunyai aktivitas
antihipertensi 5. Buah salak diketahui
memiliki total polifenol yang lebih tinggi
dari pada buah manggis (Garcinia
mangostana) 6. Salak Bali memiliki kadar
fenolik total lebih tinggi di bandingkan
dengan salak pondoh dan salak ngelumut
yaitu 6,43±1,21 mg/kg db 7.
Desa Sibetan Kecamatan Bebandem
merupakan salah satu sentra penghasil
buah salak di Kabupaten Karangasem.
Mayoritas jenis salak yang dikembangkan
oleh petani di desa ini adalah salak
“Sibetan” yang lebih dikenal dengan
sebutan salak Bali. Kelebihan salak Bali
adalah memiliki biji yang kecil sehingga
daging buah lebih tebal, rasa yang manis
dan renyah 8. Saat musim panen tiba selain
dijual langsung, untuk meminimalisir
kerugian warga desa tersebut memiliki
inisiatif meracik dan mengolah buah-buah
tersebut menjadi beberapa olahan seperti
wine, dodol, kripik, sirup dan manisan 9.
Cara-cara seperti ini sangat diperlukan
selain untuk mengurangi kerugian, juga
untuk meningkatkan daya jual dari buah
salak tersebut.
Selama ini salak dianggap sebagai
buah-buahan yang hanya dapat dinikmati
buahnya saja. Tidak hanya itu, kulit buah
salak dianggap hanya sebagai limbah dan
tidak termanfaatkan. Penelitian penelitian
tentang kandungan kulit salak banyak di
lakukan. Hasil uji fitokimia menunjukkan
kulit buah salak mengandung senyawa
flavonoid dan tannin serta sedikit alkaloid.
Kandungan flavonoid di dalam ekstrak
kulit salak mampu menurunkan kadar
glukosa dalam darah 10
. Tingkat kekuatan
antioksidan pada air rebusan kulit salak
tergolong aktif karena berada pada
rentangan 50 – 100 ppm 11
.
Antioksidan sangat bermanfaat bagi
kesehatan yaitu dapat mencegah pemicu
penyakit regeneratif seperti : kanker,
diabetes, penuaan dini yang disebabkan
oleh radikal bebas dan antioksidan juga
dapat mempertahankan mutu produk
pangan 12
. Bahan alam memiliki potensi
aktivitas biologis sebagai antioksidan dan
antikanker karena strukturnya memiliki
gugus fenol 13
. Fenol merupakan senyawa
kimia yang alami terkandung di dalam
tumbuhan, bersifat sebagai antioksidan
kuat dan umumnya banyak terkandung
pada kulit buah 14
.
Berdasarkan uji pendahuluan yang
telah dilakukan menggunakan reagen
Folin-Ciocalteu phenol, saat rebusan kulit
salak direaksikan dengan reagen tersebut
74
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
I DG Aditya Satria Darma Putra, dkk., ANALISIS TOTAL FENOL PADA BERBAGAI FORMULASI REBUSAN
KULIT SALAK BALI SIBETAN KARANGASEM SEBAGAI MINUMAN FUNGSIONAL
terjadi perubahan warna menjadi biru yang
menandakan bahwa rebusan kulit salak
mengandung senyawa fenol. Formulasi
yang digunakan dalam uji pendahuluan ini
adalah 40 gram kulit salak dengan 200 ml
air. Hasil air rebusan yang didapatkan
sudah cukup pekat, maka perlu dilakukan
penelitian dengan formulasi dibawahnya
dan dibatasi hingga formulasi tersebut agar
penambahan kulit salak tidak terlalu
banyak. Berdasarkan uraian di atas maka
peneliti tertarik dan ingin melakukan
penelitian mengenai analisis total fenol
pada berbagai formulasi rebusan kulit
salak Bali Sibetan Karangasem yang dapat
di aplikasikan sebagai minuman
fungsional.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan
adalah pra eksperimen dengan rancangan
Posttest Only Design. Dalam rancangan ini
perlakuan atau intervensi telah dilakukan
(X) kemudian dilakukan pengukuran
(observasi) atau posttest (02). Hasil
observasi hanya memberikan informasi
yang bersifat deskriptif. Dalam rancangan
ini tidak terdapat kontrol 15
.Penelitian ini
dilakukan pada bulan Februari sampai Juni
2016 di Agrowisata milik Kelompok Tani
Abian Salak Desa Sibetan Kecamatan
Bebandem Kabupaten Karangasem untuk
pengambilan sampel salak. Pemeriksaan
dilakukan pada Laboratorium Kimia
Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes
Denpasar untuk menguji kadar air dan total
fenol kulit salak.
Cara pengambilan sampel dengan
purposive sampling, yaitu suatu teknik
penetapan sampel dengan cara memilih
sampel sesuai dengan kriteria sampel. Cara
pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah observasi, uji
subjektif (warna, rasa, aroma, dan
penerimaan keseluruhan) serta analisis
laboratorium kadar total fenol pada
berbagai formulasi rebusan kulit salak
menggunakan metode spektrofotometer
dengan reagen Folin-Ciocalteu phenol.
Setelah mendapatkan data, data diolah
dengan statistik deskriptif yaitu statistik
yang berfungsi untuk mendeskripsikan
atau memberi gambaran terhadap objek
yang diteliti melalui data sampel atau
populasi sebagaimana adanya 16
.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil :
1. Hasil pemeriksaan total fenol
Analisis total fenol yang dilakukan
dalam penelitian ini menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang
760 nm dan dengan menggunakan reagen
Folin-Ciocalteu phenol. Hasil dari
pengukuran absorbansi larutan standar
asam galat yang telah diplot dalam kurva
absorbansi standar dapat dilihat pada
Gambar 1.
75
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
I DG Aditya Satria Darma Putra, dkk., ANALISIS TOTAL FENOL PADA BERBAGAI FORMULASI REBUSAN
KULIT SALAK BALI SIBETAN KARANGASEM SEBAGAI MINUMAN FUNGSIONAL
Hasil dari pemeriksaan total fenol
pada berbagai formulasi rebusan kulit
salak yang diperiksa menggunakan metode
spektrofotometri dengan reagen reagen
Folin-Ciocalteu phenol dapat dilihat pada
Tabel 1.
Gambar 1.
Kurva Standar Asam Galat
Tabel 1. Total Fenol Pada Berbagai Formulasi Rebusan Kulit Salak Bali Sibetan
Formulasi
Total Fenol (mg/L GAE)
Replikasi
1
Replikasi
2
Rata rata & SD
2 gram kulit salak : 200 ml air 10.42 11.25 10.84 ± 0.587
10 gram kulit salak : 200 ml air 13.25 14.32 13.79 ± 0.756
20 gram kulit salak : 200 ml air 12.04 12.33 12.19 ± 0.205
30 gram kulit salak : 200 ml air 11.83 12.21 12.02 ± 0.268
40 gram kulit salak : 200 ml air 10.29 10.84 10.57 ± 0.389
76
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
I DG Aditya Satria Darma Putra, dkk., ANALISIS TOTAL FENOL PADA BERBAGAI FORMULASI REBUSAN
KULIT SALAK BALI SIBETAN KARANGASEM SEBAGAI MINUMAN FUNGSIONAL
Tabel 1 menunjukkan hasil dari
perhitungan total fenol yang telah
dilakukan, nilai rata-rata total fenol
tertinggi adalah pada formulasi 10gram
dengan 200ml yaitu 13.79 ± 0.756 mg/L
GAE dan kadar terendahnya adalah pada
formulasi 40gram dengan 200ml yaitu
10.57 ± 0.389 mg/L GAE. Pada formulasi
2 gram hanyak mampu menghasilkan total
fenol 10.84 ± 0.587 mg/L GAE. Terjadi
penurunan kadar total fenol pada formulasi
20 gram hingga 40 gram.
2. Hasil uji organoleptik berbagai
formulasi rebusan kulit salak
Digunakan panelis sebanyak 25
orang di Jurusan Analis Kesehatan
Poltekkes Denpasar untuk menguji secara
sensori formulasi air rebusan kulit salak.
Adapun kriteria penilaian dalam penelitian
kali ini adalah warna, rasa, aroma dan
penerimaan keseluruhan disajikan pada
Tabel 2.
Pembahasan
Polifenol adalah sekelompok zat
kimia yang secara alami ditemukan pada
tumbuhan. Zat ini memiliki tanda khas
yakni memiliki banyak gugus fenol
didalam molekulnya. Komponen senyawa
fenolik bersifat polar dan memiliki fungsi
antara lain sebagai penangkap radikal
bebas dan peredam terbentuknya oksigen
singlet. Pada beberapa penelitian,
disebutkan bahwa kelompok polifenol
memiliki peran sebagai antioksidan yang
baik untuk kesehatan. Antioksidan dari
senyawa ini dapat mengurangi beberapa
risiko penyakit seperti serangan jantung
dan kanker 14
.
Berdasarkan hasil pengujian kadar
air dengan menggunakan metode
pemanasan langsung (direct heating)
menggunakan oven, didapatkan bahwa
kulit salak Bali Sibetan mengandung rata-
rata kadar air 24.1872%bb ±0.036.
Berbeda jenis salak tentunya berbeda juga
kadar air dari kulit salak tersebut. Adapun
berdasarkan hasil penelitian kadar air kulit
salak Pondoh yaitu 74.67% dan kulit salak
Gading yaitu 30.06% 17
. Maka dari itu
kulit salak Bali Sibetan memiliki kadar air
yang lebih rendah dibandingkan salak
Gading dan Pondoh. Kadar air dalam suatu
bahan sangat perlu diuji karena tingginya
kadar air menjadi faktor mudahnya suatu
komoditi mengalami kerusakan
dikarenakan bakteri, kapang, khamir
mudah berkembang 18
.
77
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
I DG Aditya Satria Darma Putra, dkk., ANALISIS TOTAL FENOL PADA BERBAGAI FORMULASI REBUSAN KULIT
SALAK BALI SIBETAN KARANGASEM SEBAGAI MINUMAN FUNGSIONAL
Berdasarkan hasil pengujian analisis
total fenol yang telah dilakukan, formulasi
yang memiliki nilai total fenol tertinggi
adalah formulasi ke 2 yaitu 13.79 ± 0.756
mg/L GAE. Formulasi tersebut dibuat
dengan kandungan 10 gram kulit salak.
Hasil ini lebih tinggi jika dibandingankan
dengan hasil penelitian menggunakan 10
gram daging buah salak Bali yang
memiliki nilai total fenol sebesar 6.43
mg/kg GAE 7. Hal ini didukung dengan
teori bahwa polifenol memang banyak
terkandung dalam kulit buah 14
. Dalam
proses pelarutan kulit salak digunakan air
sebagai pelarut karena senyawa fenol
bersifat polar atau mudah larut di dalam air
14.Selain itu penggunaan air sebagai pelarut
tentunya mempertimbangkan agar
mudahnya pengaplikasian dimasyarakat
jika nantinya kulit salak dikembangkan
sebagai suatu produk minuman fungsional
berbasis kulit salak.
Pada formulasi 2 gram kulit salak
dengan 200 ml air hanya dapat
menghasilkan total fenol sebesar 10.86 ±
0.587 mg/L GAE. Hal tersebut
menandakan hanya sebesar itulah
kandungan fenol pada kulit salak yang
mampu terekstrak dengan maksimal.
Penurunan nilai total fenol dengan
kandungan 20, 30 dan 40 gram kulit salak
dapat disebabkan oleh senyawa fenol yang
terkandung dalam kulit salak tidak dapat
larut atau terekstrak sempurna dengan 200
Tabel 2. Hasil Rekapitulasi Data Uji Organoleptik Air Rebusan Kulit Salak
Kriteria
Penilaian
Formulasi
Total
responden (1)
2g/200ml
(2)
10g/200ml
(3)
20g/200ml
(4)
30g/200ml
(5)
40g/200ml
Suka Tidak
suka
Suka Tidak
suka
Suka Tidak
suka
Suka Tidak
suka
Suka Tidak
suka
Warna 4 21 20 4 1 21 0 25 0 25
25 orang
Rasa 7 18 16 9 2 23 0 25 0 25
Aroma 4 21 16 9 3 22 0 25 2 23
Penerimaan
keseluruhan
3 22 20 5 2 23 0 23 0 25
Keterangan :
- Formulasi yang paling banyak diminati panelis baik dari segi warna, rasa, aroma dan penerimaan keseluruhan
adalah formulasi ke 2 (10gram/200ml)
78
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
I DG Aditya Satria Darma Putra, dkk., ANALISIS TOTAL FENOL PADA BERBAGAI FORMULASI REBUSAN KULIT
SALAK BALI SIBETAN KARANGASEM SEBAGAI MINUMAN FUNGSIONAL
ml air (setara dengan segelas air) atau
dapat dikatakan larutan tersebut lewat
jenuh. Larutan lewat jenuh merupakan
larutan yang mengandung solute
berlebihan sehingga terdapat solute yang
tidak terlarut 19
. Sehingga dapat
diasumsikan senyawa fenolnya masih
berada di dalam kulit salaknya dan belum
terlarut maksimal. Maka dari itu formulasi
rebusan kulit salak terbaik adalah
formulasi 10 gram dengan 200 ml air.
Dalam penelitian ini dilakukan juga
uji organoleptik terhadap beberapa
formulasi rebusan kulit salak tersebut.
Berdasarkan hasil pengujian yang
dilakukan pada 25 orang di Jurusan Analis
Kesehatan Poltekkes Denpasar, didapatkan
hasil yaitu tingkat kesukaan tertinggi
diperoleh oleh formulasi kedua baik dari
segi warna, rasa, aroma dan penerimaan
keseluruhan. Mayoritas panelis memilih
formulasi tersebut karena memiliki warna
yang tidak terlalu bening ataupun pekat
karena penambahan kulit salak yang tidak
terlalu sedikit ataupun terlalu banyak,
aroma yang harum dengan rasa yang tidak
terlalu pahit maka dari itu lebih cocok jika
nantinya dijadikan sebuah minuman.
Kandungan polifenol didalam kulit salak
itulah yang menyebabkan timbulnya aroma
wangi yang menyegarkan. Dimana
tumbuhan atau buah-buahan yang
mengandung polifenol akan memiliki
aroma yang harum dan rasa yang
menyegarkan 20
.
Di Bali sentra penghasil buah salak
adalah Kabupaten Karangasem dengan
produksi terbesarnya berada di Desa
Sibetan yaitu sebuah desa di Kecamatan
Bebandem, Karangasem. Pengolahan
berbahan salak tentunya sangat diperlukan
selain untuk mengurangi kerugian saat
musim panen, juga untuk meningkatkan
nilai ekonominya. Pengolahan berbahan
salak di desa ini baru hanya sebatas daging
buah dan bijinya saja saja. Kulit dari salak
tersebut berdasarkan hasil observasi dan
keterangan dari kelompok tani setempat
belum dimanfaatkan padahal banyak
kandungan bermanfaat yang terkandung
didalam kulit salak tersebut yang salah
satunya adalah senyawa polifenol yang
dapat sebagai antikanker. Sedikitnya
terdapat 5 mekanisme aktivitas antikanker
dari polifenol. Pertama, kemampuan
antioksidan dari polifenol dapat
melindungi sel dari kerusakan DNA
dengan membersihkan sel dari radikal
bebas (Reactive Oxygen Species / ROS).
Kedua, polifenol memodulasi protein yang
berperan dalam jalur transduksi signal
seperti activator protein 1 (AP-1),
mitogen-activated protein kinase (MAPK),
phosphatidylinositol 3-kinase (PI 3’-K),
p70S6-K dan Akt. Ketiga, polifenol
mengurangi aktivitas dari tyrosine kinase
79
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
I DG Aditya Satria Darma Putra, dkk., ANALISIS TOTAL FENOL PADA BERBAGAI FORMULASI REBUSAN KULIT
SALAK BALI SIBETAN KARANGASEM SEBAGAI MINUMAN FUNGSIONAL
receptors (PDGF-Rβ, EGF-R) yang
berperan dalam proliferasi ganas dari sel
tumor. Keempat, polifenol menginduksi
apoptosis pada sel tumor. Kelima,
polifenol mengatasi resistensi multiobat
dengan memblok efluks P-glycoprotein (P-
gp) terhadap obat-obat antikanker 21
.
Berdasarkan hal tersebut kulit salak yang
selama ini dibuang begitu saja jika diolah
dengan baik tentunya memiliki berbagai
manfaat selain sebagai salah satu cara
penanggulangan limbah, juga memiliki
kandungan-kandungan yang baik bagi
kesehatan salah satunya yaitu polifenolnya.
Sehingga kulit salak ini dapat
dikembangkan menjadi minuman
fungsional yang nantinya dapat dikenal
sebagai minuman herbal berbasis kulit
salak.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Nilai total fenol rebusan kulit salak
Bali Sibetan Karangasem yang
tertinggi adalah formulasi 10 gram
kulit salak dengan 200 ml air yaitu
13.79 ± 0.756 mg/L GAE
2. Hasil uji organoleptik rebusan kulit
salak yang terbaik adalah formulasi 10
gram kulit salak dengan 200 ml air
karena memiliki warna, rasa, aroma
dan penerimaan keseluruhan yang pas
dan cocok dijadikan sebagai sebuah
minuman.
Saran
1. Bagi petani setempat disarankan untuk
melakukan pengembangan terhadap
pengolahan berbahan salak, salah
satunya adalah pada bagian kulitnya
Disarankan formulasi yang digunakan
adalah 10 gram kulit salak dengan 200
ml air karena selain memiliki total
fenol yang maksimal, juga memiliki
warna, aroma dan rasa yang terbaik
diantara formulasi lainnya. Dapat juga
ditambahkan Bahan Tambahan
Pangan berupa gula untuk menambah
cita rasa dari produk minuman
tersebut.
2. Untuk masyarakat dapat menjadikan
rebusan kulit salak sebagai minuman
alternatif yang baik bagi kesehatan
untuk pencegahan dini berbagai
penyakit degeneratif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tika, I N., I G. A. T. Agustina, dan
G. A. Yuniartaa. IbM Salak di Desa
Sibetan Bali.
http://lemlit.undiksha.ac.id/media/1
280._i_nyoman_Tikadkk.,m
(diakses pada 27 november 2015).
2013.
80
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
I DG Aditya Satria Darma Putra, dkk., ANALISIS TOTAL FENOL PADA BERBAGAI FORMULASI REBUSAN KULIT
SALAK BALI SIBETAN KARANGASEM SEBAGAI MINUMAN FUNGSIONAL
2. Astawan, A-Z Ensiklopedia Gizi
Pangan Untuk Keluarga. Jakata :
Dian Rakyat, M. 2009.
3. Lestari, R., G. Elbert, dan S.H.
Keil. Fruit Quality Changes of
Salak “Pondoh” Fruits (Salacca
zalacca (Gaertn.) Voss) during
Maturation and Ripening ; Journal
of Food Research: Vol. 2, No. 1.
http://www.ccsenet.org/journal/inde
x.php/jfr/article/viewFile/22743/15
394 (diakses pada 30 november
2015). 2013
4. Vauzour, D., A. R. Mateos, G.
Corona, dan J.P.E. Spencer.
Polyphenol and Human Health :
Prevention of Diseases and
Mechanism of Action : Journal
nutrient. ISSN 2072-6643. 2010.
5. Dhianawaty, D., Ruslin.
Kandungan Total Polifenol Dan
Aaktovitas Antioksidan Dari
Ekstrak Metanol Akar Imperata
cylindrica (L) Beauv (Alang
Alang). MKB. Volume 47 (1).
http://journal.fk.unpad.ac.id/index.p
hp/mkb/article/viewFile/398/pdf_1
61. (diakses pada tanggal 24 januari
2016). 2015.
6. Leontowicz, H., M. Leontowicz, J.
Drzewiecki, dan S. Poovarodom.
Bioactive properties of Snake Fruit
(Salacca edulis Reinw) and
Mangosteen (Garcinia
mangostana) and their Influence on
Plasma Lipid Profile and
Antioxidant activity in Rats Fed
Cholesterol. European Food
Research and Technology 223 :
697-703.
http://link.springer.com/article/10.1
007%2Fs00217-006-0255-7.(
Diakses pada 27 november 2015).
2006.
7. Ariviani, S., N.H.R. Parnanto.
Kapasitas Antioksidan Buah Salak
(Salacca Edulis Reinw) Kultivar
Pondoh, Nglumut Dan Bali Serta
Korelasinya Dengan Kadar
Fenolik Total Dan Vitamin C :
Agritech.Vol.33. No.3. Agustus
2013. 2013.
8. Sarmiati, N. N., N.W. Suparmi, dan
N.M.A. Trisnawati. Upaya
Pelestarian Salak Gula Pasir
Melalui Pelatihan Dan Pembinaan
Petani Dengan Pencangkokan Di
Desa Sibetan. Jurnal Bestari.
Volume 42. 2009.
9. Triadi, N. Tinjauan Kapasitas
Antioksidan Madu Salak di Desa
Sibetan, Kecamatan Bebandem,
Kabupaten Karangasem. Denpasar
: Jurusan Analis Kesehatan
Poltekkes Denpasar. 2015.
81
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
I DG Aditya Satria Darma Putra, dkk., ANALISIS TOTAL FENOL PADA BERBAGAI FORMULASI REBUSAN KULIT
SALAK BALI SIBETAN KARANGASEM SEBAGAI MINUMAN FUNGSIONAL
10. Sahputra, F., M. Potensi Ekstrak
Kulit dan Daging Buah Salak
Sebagai Antidiabetes. Bogor:
Program Studi Biokimia Fakultas
MIPA. 2008.
11. Dhyanaputri, I G. A., I W. Karta,
dan L.A. Wilan. Analisis
Kandungan Gizi Ekstrak Kulit
Salak Produksi Kelompok Tani
Abian Salak Desa Sibetan Sebagai
Upaya Pengembangan Potensi
Produk Pangan Lokal . Denpasar :
Politeknik Kesehatan Denpasar.
2015.
12. Yusniarti, F., A.D.Y. Montolalu,
dan F. Mentang. Kandungan Total
Fenol Dalam Rumput Laut
(Caulerpa racemosa ) Yang
Berpotensi Sebagai
Antioksidan.http://ejournal.unsrat.a
c.id/index.php/jmthp/article/viewFi
le/1859/1468. (diakses pada 27
november 2015). 2013.
13. Handayani, S., R. Arianingrum,
dan W. Haryadi. Aktivitas
Antioksidan dan Antikanker
Turunan Benzalseton. Yogyakarta :
Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas
Negeri Yogyakarta. 2014.
14. Winarti, S. Makanan Fungsional.
Yogyakarta : Graha Ilmu. 2010.
15. Notoatmodjo, S. Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta :
Rineka Cipta
16. Sugiyono.. Statistika Untuk
Penelitian. Bandung : Alfabeta
2013.
17. Hendri, Z., dan R. Arianingrum.
Pengembangan Teknologi
Pengawetan Kulit Salak Untuk
Bahan Produk Seni Kerajinan.
Jurnal Penelitian Saintek: Vol.15,
No.2. 2010.
18. Musthafavi, Z. Analisis Kapasitas
Antioksidan Dan Kandungan Total
Fenol Pada Buah.
http://repository.ipb.ac.id (diakses
pada 29 mei 2016). 2014.
19. Budiman, A. Farmasi Fisika
Kelarutan. Online.
http://blogs.unpad.ac.id. (Diakses
pada 17 Juli 2016). 2011.
20. Kumalaningsih, S. 2006.
Antioksidan Alami. Surabaya :
Trubus Agrisarana
21. Ramadhan, P. Mengenal
Antioksidan. Yogyakarta : Graha
ilmu. 2015.
82
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Meditory
Number 3
KADAR SERUM GLUTAMATE PIRUVAT TRANSAMINASE PECANDU MINUMAN
KERAS DI BANJAR AMBENGAN DESA SAYAN UBUD GIANYAR
IGA Tari Diva Pradnya Dewi1, Nyoman Mastra
2, I Wayan Merta
3
Abstract
Background Banjar Ambengan is one banjar contained in Sayan village, where people still
have the habit of gathering accompanied by excessive alcohol consumption. Consumption of
alcohol has a direct relationship with the death cases caused by liver sirosis. The liver
mechanism disturbance leads to the case of swelling as the result of the rise of serum
glutamate piruvat transminase (SPGT) enzyme.
Objective This study is aimed at investigating the SPGT level of the serum of the alcoholic.
The study uses the non-probability sampling technique called snowball sampling. The
samples of this study are thirty alcoholic men aging upper eighteen. The respondents will be
interviewed to get the deeper information. The research reveals that 6 respondents have high
SPGT level (20%) and 24 of them have normal SPGT level (80%).
Result of the examination serum SGPT levels alcoholics in the study ranged from 11 to 79.20
U / L. The measurement results SGPT levels are high on the research respondents based on
the characteristics of age at most 33.3%, based on the frequency of consumption of at most
33.3%, based on the period of consumption at most 50%, based on the volume of consumption
at most 66.7%, based on the type of liquor consumed at most 66.7%, and based on the type of
work at most 50%.
Conclusion SGPT levels of the alcoholics in Banjar sub district Ambengan Desa Sayan Ubud
Gianyar regency that of 30 respondents, 20% respondents had a high ALT levels as many as 6
people and 80% respondents choose a normal ALT levels as many as 24 people.
Keywords: Liquor, Liver, Addict, SGPT Levels
PENDAHULUAN
Hati adalah organ terbesar dan
secara metabolisme paling kompleks di
dalam tubuh. Organ hati terlibat dalam
metabolisme zat makanan serta sebagian
besar obat dan toksikan. Hati merupakan
organ tubuh yang penting untuk
mendetoksifikasi zat kimia yang tidak
berguna/merugikan tubuh. Terdapat banyak
faktor yang mempengaruhi kerusakan hati,
seperti misalnya virus, bakteri, toksisitas
dari obat-obatan dan bahan kimia serta
konsumsi alkohol yang berlebihan 1
Minuman keras beralkohol
merupakan faktor penyebab dari sekitar 60
jenis penyakit dan merupakan faktor
komponen dari 200 jenis penyakit lainnya.
1.,2.,3., Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Denpasar
Korespondensi : Ni Wayan Nia Ariska Purwanti1,
Jurusan Analis Kesehatan, Poltekes Denpasar, Jalan
Sanitasi No. 1 Sidakarya, Denpasar-Bali 80224,
Indonesia.
Telp. +62-361-710 527, Fax. +62-361-710 448
Email : [email protected]
83
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
IGA Tari Diva Pradnya Dewi, dkk., KADAR SERUM GLUTAMATE PIRUVAT TRANSAMINASE PECANDU MINUMAN
KERAS DI BANJAR AMBENGAN DESA SAYAN UBUD GIANYAR
Terdapat berbagai jenis penyakit yang
disebabkan oleh konsumsi alkohol, salah
satunya adalah gangguan fungsi hati seperti
penyakit hati alkoholik (alcoholic liver
disease).2. Terdapat hubungan langsung
antara konsumsi minuman keras beralkohol
dengan mortalitas akibat sirosis hati.
Gangguan mekanisme di hati dapat
mengakibatkan terjadinya pembengkakan
dengan adanya kenaikan enzim
transaminase yang diproduksi oleh hati3.
Pemeriksaan yang digunakan untuk
mengetahui adanya kenaikan enzim
transaminase yaitu dengan melakukan
pemeriksaan serum glutamate piruvat
transaminase (SGPT) atau serum glutamate
oksaloasetat transaminase (SGOT), tetapi
pemeriksaan serum glutamate piruvat
transaminase (SGPT) lebih spesifik
dilakukan karena lebih banyak diproduksi di
hati dari pada enzim serum glutamate
oksaloasetat transaminase (SGOT).4.
Penelitian menyebutkan bahwa tingkat
kerusakan hati biasanya dapat dilihat dari
adanya peningkatan rasio serum glutamate
piruvat transaminase (SGPT) lebih dari dua
kali angka normal 5. Penelitian lain
menyebutkan dampak negatif dari
penyalahgunaan minum minuman keras
antara lain prestasi sekolah merosot 96%,
hubungan keluarga memburuk 93%,
perkelahian dan tindak kekerasan 65,3% dan
kecelakaan lalu lintas 58,7%. 6
Pada tahun 2012, seorang laki-laki
berusia 57 tahun asal Karangasem mengeluh
perutnya membesar disertai dengan nyeri
pada ulu hati. Selain itu masih banyak
keluhan lainnya yang dialami, setelah
dilakukan pemeriksaan untuk diagnosis
pasien, ditemukan adanya peningkatan pada
bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin
indirek, serum glutamate piruvat
transaminase (SGPT), serum glutamate
oksaloasetat transaminase (SGOT), BUN
dan kreatinin, albumin rendah, pemeriksaan
HBsAg dan anti HCV hasilnya non reaktif.
Pasien dikatakan menderita sirosis hati yang
disebabkan oleh alkohol. Hal ini semakin
diperkuat dengan pengakuan pasien yang
gemar mengkonsumsi minuman keras sejak
masih muda7.
Berdasarkan pengamatan Desa
Sayan terdiri dari 8 banjar dan tempat
penjualan minuman keras yang masih
beroperasi dengan bebas, salah satunya
terdapat di Banjar Ambengan. Serta
merupakan salah satu banjar dengan jumlah
penduduk terkecil yang terdapat di Desa
Sayan. Walaupun demikian jumlah pecandu
yang terdapat di Banjar Ambengan dapat
dikatakan sangat banyak. Dilihat dari
kebiasaan masyarakatnya yang masih suka
berkumpul dan mengobrol disertai dengan
konsumsi minuman keras membuat tempat
penjualannya juga semakin banyak
berkembang. Bahkan saat ini di Banjar
84
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
IGA Tari Diva Pradnya Dewi, dkk., KADAR SERUM GLUTAMATE PIRUVAT TRANSAMINASE PECANDU MINUMAN
KERAS DI BANJAR AMBENGAN DESA SAYAN UBUD GIANYAR
Ambengan terdapat dua tempat penjualan
minuman keras yang beroperasi secara aktif
dan hampir setiap hari selalu ramai
dikunjungi oleh masyarakat Banjar
Ambengan sendiri.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan
adalah deskriptif yaitu penelitian yang
dilakukan dengan tujuan untuk
mendeskripsikan atau menggambarkan
suatu fenomena (termasuk kesehatan) yang
terjadi di dalam masyarakat tanpa
melakukan rancangan8. Lokasi penelitian di
Banjar Ambengan, Desa Sayan, Kecamatan
Ubud, Kabupaten Gianyar. Pengukuran
kadar SGPT dilakukan di laboratorium
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar. Populasi penelitian adalah
keseluruhan dari obyek yang diteliti, dengan
menggunakan teknik-teknik tertentu
sehingga sampel sedapat mungkin mewakili
populasi8. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh laki-laki berusia 18 tahun
keatas pecandu minuman keras di Banjar
Ambengan, Desa Sayan, Kecamatan Ubud,
Kabupaten Gianyar sebanyak 48 orang. Unit
analisis pada penelitian ini adalah kadar
serum glutamate piruvat transaminase
(SGPT). 2Responden dalam penelitian ini
adalah para pecandu minuman keras di
Banjar Ambengan, Desa Sayan, Kecamatan
Ubud, Kabupaten Gianyar. Ketentuan
responden yang digunakan dalam penelitian
ini adalah yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi. Sampel yang layak dalam
suatu penelitian antara 30 sampai dengan
5009. Dalam penelitian ini menggunakan
ukuran sampel minimal yaitu 30 sampel
yang mewakili keseluruhan populasi, hal ini
dipengaruhi oleh adanya kendala yang
dialami peneliti dari segi biaya dan waktu.
Teknik sampling dalam penelitian ini
dilakukan dengan teknik Nonprobability
Sampling yaitu Snowball sampling. Teknik
penentuan sampel yang mula-mula
jumlahnya kecil, kemudian membesar.
Pertama-tama dipilih satu atau dua orang,
tetapi karena dengan dua orang ini belum
merasa lengkap terhadap data yang
diberikan, maka peneliti mencari orang lain
yang dipandang lebih tahu dan dapat
melengkapi data yang diberikan oleh dua
orang sebelumnya. Begitu seterusnya
sehingga jumlah sampel semakin banyak
dan memenuhi jumlah sampel yang
diinginkan9.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil
a. Karakteristik subyek penelitian
1. Berdasarkan kelompok umur
Responden paling banyak dalam penelitian
ini adalah responden yang memiliki rentang
usia 19-28 tahun sebanyak 43,34%, dan
paling sedikit pada rentang usia 59-68 tahun
sebanyak 3,33%.
85
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Tabel 1.Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
No Umur (Tahun) Jumlah Persentase (%)
1 19-28 13 43,34
2 29-38 3 10
3 39-48 4 13,33
4 49-58 4 13,33
5 59-68 1 3,33
6 69-78 5 16,67
Total 30 100
Tabel 2. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Frekuensi Konsumsi Minuman
Keras
No Frekuensi Konsumsi Jumlah Persentase (%)
1 1 Kali Seminggu 10 33
2 2 Kali Seminggu 7 23
3 3 Kali Seminggu 5 17
4 4 Kali Seminggu 2 7
5 5 Kali Seminggu 3 10
6 6 Kali seminggu 1 3
7 7 Kali Seminggu 2 7
Total 30 100
IGA Tari Diva Pradnya Dewi, dkk., KADAR SERUM GLUTAMATE PIRUVAT TRANSAMINASE PECANDU MINUMAN
KERAS DI BANJAR AMBENGAN DESA SAYAN UBUD GIANYAR
2. Berdasarkan frekuensi konsumsi
minuman keras
Persentase responden paling banyak
yaitu mengkonsumsi minuman keras 1 kali
seminggu yaitu 33%, sedangkan paling
sedikit yang mengkonsumsi 6 kali seminggu
yaitu 3%.
3. Berdasarkan jangka waktu konsumsi
minuman keras.
Persentase paling banyak didapatkan
pada responden yang mengkonsumsi
minuman keras dengan jangka waktu 1-5
tahun sebanyak 63,33% dan persentase
paling sedikit didapatkan pada jangka waktu
>15 Tahun yaitu 3,34%.
4. Berdasarkan volume konsumsi minuman
Responden paling banyak
mengkonsumsi 1,5 liter minuman keras
86
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Tabel 3. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Jangka Waktu Konsumsi
Minuman Keras
No Jangka Waktu Konsumsi
(Tahun) Jumlah Persentase (%)
1 1-5 Tahun 19 63,33
2 6-10 Tahun 4 13,33
3 11-15 Tahun 6 20
4 >15 Tahun 1 3,34
Total 30 100
Tabel 4.Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Volume Konsumsi Minuman
Keras
No Volume Konsumsi (Liter) Jumlah Persentase (%)
1 1 Liter 7 23
2 1,5 Liter 20 67
3 2 Liter 3 10
Total 30 100
IGA Tari Diva Pradnya Dewi, dkk., KADAR SERUM GLUTAMATE PIRUVAT TRANSAMINASE PECANDU MINUMAN
KERAS DI BANJAR AMBENGAN DESA SAYAN UBUD GIANYAR
yaitu sebesar 67% dan untuk konsumsi
paling sedikit responden yaitu 2 liter
minuman keras dengan persentase 10 %.
5. Berdasarkan jenis minuman keras
Responden penelitian paling banyak
mengkonsumsi minuman keras jenis tuak
yaitu sebesar 47%, sedangkan jumlah
konsumsi paling sedikit yaitu minuman
keras jenis arak dengan persentase 10%.
b. Hasil pengukuran terhadap subyek
penelitian berdasarkan variable
penelitian
1. Hasil pengukuran kadar SGPT
responden berdasarkan kelompok umur.
Responden pecandu minuman keras
di Banjar Ambengan, Desa Sayan,
Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, yang
memiliki kadar SGPT normal paling banyak
terdapat pada rentang usia 19-28 tahun
sebanyak 54,2%. Kadar SGPT tinggi
paling banyak terdapat pada pecandu
dengan rentang usia 39-48 tahun sebanyak
33,3%, rentang usia 49-58 tahun sebanyak
87
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Tabel 5.Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Minuman Keras
No Jenis Minuman Keras Jumlah Persentase (%)
1 Bir 13 43
2 Tuak 14 47
3 Arak 3 10
Total 30 100
IGA Tari Diva Pradnya Dewi, dkk., KADAR SERUM GLUTAMATE PIRUVAT TRANSAMINASE PECANDU MINUMAN
KERAS DI BANJAR AMBENGAN DESA SAYAN UBUD GIANYAR
33,3% dan rentang usia 69-78 tahun
sebanyak 33,3%.
2. Hasil pengukuran kadar SGPT
responden berdasarkan frekuensi
konsumsi minuman keras
Responden pecandu minuman keras di
Banjar Ambengan, Desa Sayan, Kecamatan
Ubud, Kabupaten Gianyar, yang memiliki
kadar SGPT normal lebih banyak terdapat
pada pecandu yang mengkonsumsi
minuman keras 1 kali seminggu sebanyak
41,6% dan responden yang mengkonsumsi 5
kali seminggu memiliki kadar SGPT yang
tinggi terbanyak yaitu 33,3%.
3. Hasil pengukuran kadar SGPT responden
berdasarkan jangka waktu konsumsi
Responden yang memiliki kadar SGPT
normal paling banyak terdapat pada pecandu
yang mengkonsumsi minuman keras dengan
jangka waktu 1-5 tahun sebanyak 75% dan
kadar SGPT yang tinggi paling banyak
terdapat pada pecandu yang mengkonsumsi
Tabel 6. Kadar SGPT Responden Berdasarkan Kelompok Umur
Umur
(Tahun)
Pecandu
Normal Tinggi
Jumlah % Jumlah %
19-28 13 54,2 0 0
29-38 3 12,5 0 0
39-48 2 8,3 2 33,3
49-58 2 8,3 2 33,3
59-68 1 4,2 0 0
69-78 3 12,5 2 33,3
Total 24 100 6 100
88
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Tabel 7. Kadar SGPT Responden Berdasarkan Frekuensi Konsumsi Minuman Keras
Frekuensi Konsumsi
(Per-Minggu)
Pecandu
Normal Tinggi
Jumlah % Jumlah %
1 Kali Seminggu 10 41,6 0 0
2 Kali Seminggu 7 29,2 0 0
3 Kali Seminggu 4 16,6 1 16,7
4 Kali Seminggu 1 4,2 1 16,7
5 Kali Seminggu 1 4,2 2 33,3
6 Kali seminggu 0 0 1 16,7
7 Kali Seminggu 1 4,2 1 16,7
Total 24 100 6 100
Tabel 8.Kadar SGPT Responden Berdasarkan Jangka Waktu Konsumsi
Jangka Waktu
Konsumsi (Tahun)
Pecandu
Normal Tinggi
Jumlah % Jumlah %
1-5 Tahun 18 75 1 16,7
6-10 Tahun 3 12,5 1 16,7
11-15 Tahun 3 12,5 3 50
<15 Tahun 0 0 1 16,7
Total 24 100 6 100
IGA Tari Diva Pradnya Dewi, dkk., KADAR SERUM GLUTAMATE PIRUVAT TRANSAMINASE PECANDU MINUMAN
KERAS DI BANJAR AMBENGAN DESA SAYAN UBUD GIANYAR
minuman keras dengan jangka waktu 11-15
tahun sebanyak 50%.
4. Hasil pengukuran kadar SGPT
responden berdasarkan volume
konsumsi
Responden pecandu minuman keras yang
memiliki kadar SGPT normal paling banyak
yaitu yang mengkonsumsi minuman keras
1,5 Liter dalam 1 kali kegiatan minum
sebanyak 66,7% dan kadar SGPT lebih dari
normal paling banyak juga terdapat pada
pecandu yang mengkonsumsi minuman
keras 1,5 liter dalam 1 kali kegiatan minum
sebanyak 66,7%.
5. Hasil pengukuran kadar SGPT
responden berdasarkan jenis minuman
89
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
IGA Tari Diva Pradnya Dewi, dkk., KADAR SERUM GLUTAMATE PIRUVAT TRANSAMINASE PECANDU MINUMAN
KERAS DI BANJAR AMBENGAN DESA SAYAN UBUD GIANYAR
keras yang dikonsumsi
Responden pecandu minuman keras
yang memiliki kadar SGPT normal paling
banyak yaitu yang mengkonsumsi minuman
keras jenis bir sebanyak 50% dan kadar
SGPT yang tinggi paling banyak ditemukan
pada responden yang mengkonsumsi
minuman keras jenis tuak sebanyak 66,7%.
6. Pembahasan
Banyak faktor yang mempengaruhi
seseorang sehingga memilih untuk
mengkonsumsi minuman keras. Beberapa
faktor penyebab penyalahgunaan alkohol
adalah faktor keturunan, pengaruh keluarga,
aspek-aspek tertentu dalam hubungan
dengan teman sebaya, etnis, karakteristik
kepribadian, faktor genetik dan lingkungan
sama-sama berperan10
. Responden yang
berusia diatas 30 tahun rata-rata sudah
mengkonsumsi minuman keras dengan
jangka waktu yang lama sehingga organ hati
mereka lebih lama terpapar alcohol,
konsumsi alkohol berlebih dalam jangka
waktu lama akan mengakibatkan
peningkatan radikal bebas dengan berbagai
mekanisme sehingga terjadi stress oksidatif
yang akan merusak jaringan hati11
.
Mengkonsumsi minuman keras beralkohol
dalam jumlah yang besar dan terus menerus
dapat merusak sel hati hepatosit yang pada
akhirnya menimbulkan berbagai penyakit
hati seperti sirosis hati11
. Sedangkan kadar
SGPT yang normal paling banyak pada
responden yang mengkonsumsi minuman
Tabel 9. Kadar SGPT Responden Berdasarkan Volume Konsumsi
Volume
Konsumsi
(Liter)
Pecandu
Normal Tinggi
Jumlah % Jumlah %
1 Liter 6 25 1 16,7
1,5 Liter 16 66,7 4 66,7
2 Liter 2 8,3 1 16,7
Total 24 100 6 100
Tabel 10. Kadar SGPT Responden Berdasarkan Jenis Minuman Keras Yang Dikonsumsi
Jenis Minuman Keras
Pecandu
Normal Tinggi
Jumlah % Jumlah %
Bir 12 50 1 16,7
Tuak 10 41,7 4 66,7
Arak 2 8,3 1 16,7
Total 24 100 6 100
90
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
IGA Tari Diva Pradnya Dewi, dkk., KADAR SERUM GLUTAMATE PIRUVAT TRANSAMINASE PECANDU MINUMAN
KERAS DI BANJAR AMBENGAN DESA SAYAN UBUD GIANYAR
keras 1 kali seminggu sebanyak 10 orang
(41,6%). Berdasarkan pengukuran yang
dilakukan terhadap kadar SGPT pecandu,
kadar SGPT normal paling banyak pada
responden yang mengkonsumsi minuman
keras 1,5 liter dalam 1 kali kegiatan minum
sebanyak 16 orang (66,7%) dan kadar SGPT
lebih dari normal paling banyak juga
terdapat pada pecandu yang mengkonsumsi
minuman keras 1,5 liter dalam 1 kali
kegiatan minum sebanyak 4 orang (66,7%).
Dijelaskan bahwa mengkonsumsi alkohol
dengan volume berlebih akan menyebabkan
kerusakan hepatosit yang disebabkan oleh
toksisitas produk akhir metabolisme alkohol
seperti asetaldehida dan ion hydrogen12
. Ada
3 golongan minuman keras beralkohol, yaitu
golongan A dengan kadar etanol 1-5%
seperti bir, golongan B dengan kadar etanol
5-20% seperti anggur, wine dan tuak, serta
golongan C dengan kadar etanol 20-50%
seperti whiskey, vodka, mansonhouse,
johnywalker, kemput dan arak. Semua
golongan minuman keras dapat mengganggu
kesehatan apabila dikonsumsi dalam jumlah
yang berlebihan. Dijelaskan pula bahwa
mengkonsumsi tuak yang termasuk
minuman keras golongan B dan arak yang
termasuk minuman keras golongan C dapat
menyebabkan penyakit hati kronis seperti
sirosis hati yang dapat meningkatkan kadar
SGPT pada serum13
SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
Simpulan dari penelitian ini adalah hasil
pemeriksaan kadar SGPT serum
pecandu minuman keras berkisar antara
11-79,20 U/L. Berdasarkan nilai normal
SGPT orang dewasa bahawa kadar
SGPT para pecandu minuman keras di
Banjar Ambengan Desa Sayan
Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar
yaitu dari 30 orang responden, 20%
reponden memiliki kadar SGPT yang
tinggi yaitu sebanyak 6 orang dan 80%
responden memilik kadar SGPT yang
normal yaitu sebanyak 24 orang.
2. Saran
Bagi masyarakat Banjar Ambengan,
Desa Sayan, Kecamatan Ubud,
Kabupaten Gianyar khususnya pecandu
minuman keras sebaiknya mengurangi
minum minuman keras agar kadar SGPT
nya tidak meningkattentang. Bagi
peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini
digunakan sebagai acuan juga
menambah karakteristik penelitian
seperti tingkat pendidikan,
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauziyah, A.H., 2015, Uji Aktivitas
Hepatoprotektif Ekstrak Air Sarang
Burung Walet Putif (Collocalia
Fuciphaga Thunberg) Terhadap
Aktivitas SGPT dan SGOT Pada Tikus
91
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
IGA Tari Diva Pradnya Dewi, dkk., KADAR SERUM GLUTAMATE PIRUVAT TRANSAMINASE PECANDU MINUMAN
KERAS DI BANJAR AMBENGAN DESA SAYAN UBUD GIANYAR
Putih Janta Galur Sprague Dawley,
Online,
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bits
tream/123456789/29062/1/AGENG%2
0HASNA%20FAUZIYAH-FKIK.pdf
diakses tanggal 12 Januari 2016
2. Conreng, D., B.J., Waleleng, dan S.,
Palar, 2014, Hubungan Konsumsi
Alkohol Dengan Gangguan Fungsi Hati
Pada Subjek Pria Dewasa Muda Di
Kelurahan Tateli Dan Teling Atas
Manado, Online,
http://download.portalgaruda.org/article
.php?article=172333&val=1001&title=
diakses tanggal 5 Januari 2016
3. Herlida, 2015, Hubungan Skor Apri
(Aspartat Aminotransferase To Platelet
Ratio Index) Dengan Derajat
Keparahan Sirosis Hati Di Rsud Dokter
Soedarso Pontianak, Online,
http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jfk/ar
ticle/download /10593/10161 diakses
tanggal 4 Januari 2016
4. Ronika, C., 2012,Peningkatan Kadar
Serum Glutamic Piruvic Transaminase
(Sgpt) Pada Tikus Wistar (Rattus
Norvegicus) Jantan Yang Dipapar
Stresor Rasa Sakit Renjatan Listrik,
Online,
http://repository.unej.ac.id/bitstream/ha
ndle/123456789/3360/Skripsi.pdf?sequ
ence=1 diakses tanggal 12 Januari 2016
5. Suaniti, dkk., 2012, Kerusakan Hati
Akibat Keracunan Alkohol Berulang
pada Tikus Wistar, Online,
http://download.portalgaruda.org/article
.php?article=82935&val=972 diakses
tanggal 10 Januari 2016
6. Indraprasti, D., dan M.A., Rachmawati,
2008, Hubungan Antara Kontrol Diri
Dengan Perilaku Minum-Minuman
Keras Pada Remaja Laki-Laki, Online,
http://pository.uii.ac.id/320/SK/I/0/00/0
00/000784/uii-skripsi-psikologi
kesehatan - kecanduan-indraprasti -
04320092-4912848072-naskah
publikasi.pdf diakses tanggal 4 Januari
2016
7. Suryadarma, I.G.A., dan P.M.A.,
Saskara,2012, Laporan Kasus Sirosis
Hepatitis, Online,
http://download.portalgaruda.org/article
.php article=82524 val=970 diakses
tanggal 4 Januari 2016
8. Notoatmodjo, S., 2012, Metodologi
Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi
Cetakan Kedua,Jakarta: PT RINEKA
CIPTA
9. Sugiyono, 2013, Statistika Untuk
Penelitian, Cetakan ke-23, Bandung :
Alfabeta
10. Sulistyowati, D., 2012, Hubungan
Tingkat Pengetahuan Dan Sikap
Remaja Usia Pertengahan Tentang
92
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
IGA Tari Diva Pradnya Dewi, dkk., KADAR SERUM GLUTAMATE PIRUVAT TRANSAMINASE PECANDU MINUMAN
KERAS DI BANJAR AMBENGAN DESA SAYAN UBUD GIANYAR
Bahaya Minuman Keras Dengan
Perilaku Minum- Minuman Keras Di
Desa Klumprit Sukoharjo, Online.
http://NASKAH_PUBLIKASI_DESI_
OKE.pdf diakses tanggal 24 Juni 2016
11. Hernawati, 2009, Gambaran Efek Toksik
Etanol Pada Sel Hati , Online,
http://dokumen.tips/documents/file-15-
5590a46c1de2b.html diakses tanggal 12
Januari 2012
12. Agustin, D., 2013, Analisis Praktik
Klinik Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan Pada Pasien
Dengan Sirosis Hepatis Di Ruang Pu 6
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat
Gatot Soebroto Jakarta Pusat, Online,
http://digital_20351501-PR-Destiana
Agustin.pdf diakses pada tanggal 22
Juni 2016
13. Panggabean, S.M., 2015, Analisis
Konsumsi Tuak Pada Peminum Tuak Di
Desa Lumban Siagian Jae Kecamatan
Siatas Barita Kabupaten Tapanuli Utara
Sumatera Utara Tahun 2015, Online,
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/
bitstream/123456789/29599/3/SUKMA
%20MARDIYAH%20PANGABEAN-
FKIK.pdf diakses pada 22 Juni 2016
93
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Meditory
Number 4
ANALISIS KANDUNGAN GIZI EKSTRAK KULIT SALAK PRODUKSI
KELOMPOK TANI ABIAN SALAK DESA SIBETAN SEBAGAI UPAYA
PENGEMBANGAN POTENSI PRODUK PANGAN LOKAL
I Gusti Ayu Sri Dhyanaputri1, I Wayan Karta
2, Luh Ade Wilan Krisna
3
Abstract
Background Snakefruit more technically known as „Salak‟ (Salacca sp) is native fruit of
Indonesia regarded as exotic fruit that can consumed not only its flesh fruit but also its skin in
the form of extract as it has an efficacy. Extract of snakefruit rind can be proceed into a
healthy beverages that contains phenolic compounds which known as natural antioxidants.
Objective This study aimed to describe the content of nutrients such as carbohydrates,
proteins, and antioxidants in the extract of snakefruit rind products.
Methods This research is a descriptive study that examines the content of carbohydrates,
protein, and antioxidants in the extract of snakefruit rind products. Samples were rind of
snakefruit with various concentration masses, in water ratio 1%, 5%, 10%, and non
compositions.
Result Carbohydrate, protein, antioxidant capacity and IC50 respectively for each
composition, are (1) the composition of the 1%: -0.04%; 0.21%; 20.70 ppm, 426.58 ppm; (2)
the composition of 5%: 0.82%; 0.20%; 73.40 ppm; 151.41 ppm; (3) the composition of 10%:
0.93%; 0.20%; 110.29 ppm; 87.11 ppm; (4) non composition: 28.14%; 44.90%; 215.10 ppm;
56.10 ppm, and non composition: 1.00%; 0.00%; 25.73 ppm; 92.18 ppm.
The most potential nutrient compound in extract of snakefruit rind is the antioxidant, which
produced as beverages like tea product. The composition of 10% is the most active category
of antioxidant activity
Conclusions This study revealed that extract of snakefruit rind can produced as healthy
beverages (such as tea), as it is a potential wastes treatment for local food products. The
extract of snakefruit rind consist of nutrition just like proteins, carbohydrates which are great
for health and also contains lots of a powerful antioxidant.
Keywords: Rind of snakefruit. Antioxidant, Tea
PENDAHULUAN
Pengolahan buah salak menjadi
berbagai macam produk tentunya
memberikan nilai ekonomis terhadap buah
salak. Pengolahan buah salak ini tentunya
juga menghasilkan sampah berupa kulit
salak. Kulit salak ini kemudian diolah oleh
masyarakat dengan cara mengekstrak kulit
salak menjadi minuman.
1.,2.,3., Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Denpasar
Korespondensi : I Gusti Ayu Sri Dhyanaputri1,
Jurusan Analis Kesehatan, Poltekes Denpasar, Jalan
Sanitasi No. 1 Sidakarya, Denpasar-Bali 80224,
Indonesia.
Telp. +62-361-710 527, Fax. +62-361-710 448
Email : [email protected]
94
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
I Gusti Ayu Sri Dhyanaputri, dkk., ANALISIS KANDUNGAN GIZI EKSTRAK KULIT SALAK PRODUKSI
KELOMPOK TANI ABIAN SALAK DESA SIBETAN SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN POTENSI PRODUK
PANGAN LOKAL
Ekstrak ini diharapkan memiliki kandungan
gizi yang berguna bagi kesehatan
masyarakat. Namun hasil ekstrak kulit salak
belum diketahui kandungan gizinya seperti
karbohidrat, protein, dan antioksidan yang
bermanfaat untuk kesehatan.
Berdasarkan beberapa hasil
penelitian, salak memiliki kandungan gizi
yang baik untuk kesehatan. Salak memiliki
kandungan karbohidrat yang tinggi, vitamin
C, kalsium, fosfor, zat besi, serta
antioksidan. Buah salak jenis Bongkok
memiliki aktivitas antioksidan dan
antihiperurikemia yang diekstrak dengan etil
asetat1. Salak Bali dan salak Nglumut
memiliki kadar komponen bioaktif
(vitamin C dan senyawa fenolik) dan
aktivitas penangkapan radikal DPPH (2,2-
diphenyl-1-picrylhydrazil) yang tidak
berbeda nyata namun secara signifikan
lebih tinggi daripada salak Pondoh2.
Selain buah salak, kulit salak juga banyak
diteliti memiliki antioksidan. Hasil uji
fitokimia menunjukkan kulit buah salak
mengandung senyawa flavonoid dan tannin
serta sedikit alkaloid. Kandungan
flavonoid di dalam ekstrak kulit salak
mampu menurunkan kadar glukosa dalam
darah3. Ekstrak etanol kulit buah salak
mengandung metabolit sekunder alkaloid,
polifenolat, flavonoid, tanin, kuinon,
monoterpen dan seskuiterpen. Ekstrak
etanol kulit buah salak memiliki aktivitas
antioksidan dengan nilai IC50 sebesar
229,27 ± 6,35 (μg/mL)4. Kandungan gizi ini
tentunya akan mengalami perubahan dalam
proses pengolahannya. Penelitian mengenai
analisis kandungan gizi pada ekstrak kulit
salak yang diproduksi oleh kelompok tani
Abian Salak di Desa Sibetan, Karangasem
perlu dilakukan, untuk memberikan
informasi bahan pangan bermutu dari suatu
pengolahan.Data kandungan gizi ini
nantinya dapat bermanfaat sebagai bahan
informasi kandungan gizi kepada
masyarakat sebagai potensi produk pangan
lokal, bagi kelompok tani atas produk yang
dihasilkan, serta sebagai penelitian lanjutan
mengenai produk olahan salak bagi
kesehatan.
METODE
Penelitian ini merupakan jenis
penelitian deskriptif yang mengkaji
kandungan karbohidrat, protein, dan
antioksidan pada produk ekstrak kulit salak.
Sampel yang akan dianalisis adalah sampel
kulit salak, ekstrak kulit salak dengan
variasi konsentrasi perbandingan massa kulit
salak dengan air yaitu 1%, 5%, dan 0%, dan
non komposisi.
Uji kandungan karbohidrat menggunakan
metode perhitungan kasar (proximat
analysis) atau disebut juga Carbohydrate by
Difference, kandungan protein dengan Semi
mikro Kjeldahl, serta analisa antioksidan
dan aktivitasnya dengan Spektrofotometer
menggunakan DPPH5.
Data yang telah diperoleh dari hasil
pemeriksaan laboratorium diolah secara
manual dan dianalisis secara deskriptif
dalam bentuk tabel ataupun grafik, dan
narasi dengan kajian pustaka yang relevan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil
Hasil kegiatan penelitian ini adalah rebusan
kulit salak dan kadar proksimat serta
aktioksidannya. Setiap komposisi campuran
antara kulit salak dengan air yaitu 1%, 5%,
dan 10% (jumlah air yang digunakan yaitu
200 mL atau setara dengan 1 gelas air).
Setelah dilakukan pengujian di laboratorium
95
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
I Gusti Ayu Sri Dhyanaputri, dkk., ANALISIS KANDUNGAN GIZI EKSTRAK KULIT SALAK PRODUKSI
KELOMPOK TANI ABIAN SALAK DESA SIBETAN SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN POTENSI PRODUK
PANGAN LOKAL
dihasilkan data sebagai berikut seperti Tabel
1.
2. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengujian seperti
Tabel 1, terjadi perubahan dari kulit salak
kemudian diolah menjadi ekstrak kulit salak
dan dikenal sebagai teh kulit salak. Tingkat
kekuatan antioksidan pada kulit salak
tergolong aktif karena berada pada
rentangan 50-100 ppm. Komposisi
campuran yang memiliki tingkat kekuatan
antioksidan aktif yaitu komposisi 10%,
sedangkan komposisi 5% dan non
komposisi memiliki tingkat kekuatan
antioksidan sedang, sedangkan komposisi
1% memiliki tingkat kekuatan antioksidan
lemah. Jika dilihat pada setiap komposisi,
diperoleh pola bahwa semakin ditingkatkan
komposisi campurannya, maka kadar
antioksidanya juga semakin tinggi. Hal ini
tentu berhubungan dengan semakin banyak
kulit salak yang ditambahkan, maka
semakin banyak zat antioksidan akan larut
dalam campuran. Komposisi dibatasi sampai
10%, agar dalam pengembangan produknya
komposisi penambahan kulit salak dalam air
tidak terlalu banyak, namun tetap diperoleh
manfaat antioksidannya. Variasi komposisi
10%, memberikan nilai kekuatan
antioksidan yang aktif. Tabel 1,
menunjukkan kandungan karbohidrat,
protein, dan kadar abu tidak memberikan
nilai tambah pada produk. Hal ini karena
kadarnya sangat rendah, sehingga yang lebih
banyak nanti dimanfaatkan dalam produk ini
adalah antioksidannya. Rendahnya
kandungan tersebut dibandingkan dengan
kulit salaknya karena terdapat proses
pelarutan dengan air dan terjadi proses
pengenceran. Hal ini dapat kita perhatikan,
semakin tinggi komposisi campuran
kandungan karbohidrat semakin tinggi,
sedangkan pada protein banyak terdapat
perbedaan yang disebabkan oleh karena
berhubungan dengan protein terlarut.
Pada proses pembuatan ekstrak ini
terdapat perbedaan antara hasil pada
antioksidan kulit salak dengan variasi
komposisi. Hal ini berarti tidak semua
Tabel 1. Hasil Analisis Kandungan Gizi Ekstrak Kulit Salak pada Variasi Komposisi
Sampel
Kapasitas
antioksidan IC 50% Air Abu Protein Karbohirat
ppm
GAEAC ppm % bb % bb % bb % bb
Kulit
salak 215,10 56,10 13,71 8,40 44,90 28,14
1% 20,70 426,58 99,69 0,13 0,21 -0,04
5% 73,40 151,41 98,65 0,30 0,20 0,82
10% 110,29 87,11 98,37 0,47 0,20 0,93
non
komposisi 25,73 192,18 99,57 0,15 0,00 0,01
96
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
I Gusti Ayu Sri Dhyanaputri, dkk., ANALISIS KANDUNGAN GIZI EKSTRAK KULIT SALAK PRODUKSI
KELOMPOK TANI ABIAN SALAK DESA SIBETAN SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN POTENSI PRODUK
PANGAN LOKAL
antioksidan yang terdapat dalam kulit salak
dapat larut dalam air. Antioksidan
berdasarkan kelarutannya dapat dibedakan
menjadi antioksidan yang larut dalam air
(hidrofilik) dan yang larut dalam lemak
(hidropobik). Secara umum antioksidan
yang larut dalam air bereaksi dengan
oksidan di sitoplasma sel dan plasma darah.
Sedangkan antioksidan larut lemak
melindungi membran sel dari peroksidasi
lemak6. Oleh karena itu, dalam ekstrak kulit
teh kulit salak yang diperoleh adalah
antioksidan yang larut dalam air dan perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
jenis antioksidan yang terdapat pada ekstrak
kulit salak, seperti antioksidan jenis
polifenol yang lebih larut dalam air.
Berdasar nilai kapasitas antioksidan dan
IC50, ekstrak kulit salak memiliki potensi
besar untuk dipasarkan menjadi produk
pangan lokal sebagai minuman
berantioksidan khas Karangasem dan
berguna untuk kesehatan, selain itu juga
sebagai upaya pemanfaatan kulit salak
sehingga bernilai ekonomis. Bentuk produk
ini dapat berupa celup bubuk kulit salak
yang telah dikeringkan dan dikemas. Produk
ini akan dikenal sebagai teh kulit salak.
Istilah “Teh” memiliki makna yang cukup
luas, tidak hanya berlaku untuk sebutan
tanaman Camellia sinensis (pohon teh).
Semua jenis minuman dari tanaman apapun
yang disajikan dengan cara diseduh bisa
disebut sebagai “Teh”. Berbagai jenis
minuman yang dihasilkan dari daun, kulit,
akar, bunga tumbuhan lain selain tanaman
teh juga disebut dengan istilah teh. Misalnya
adalah teh ginseng, teh bunga melati, teh
daun sirsak, teh bunga rosela atau teh
krisan7.Teh kulit salak sangat bermanfaat
untuk kesehatan karena antioksidan dewasa
ini semakin diperlukan oleh masyarakat
dalam menjaga kesehatannya dari proses
oksidasi dan radikal bebas.
Antioksidan bersifat meredam atau
menetralkan radikal bebas dan senyawa
oksigen reaktif. Antioksidan dengan
mencegah kerusakan oksidatif oleh
pengaruh oksidan terhadap target (DNA,
RNA, protein dan lipida), akan bersifat
protektif pada individu yang tidak memiliki
sel kanker8. Antioksidan yang kemungkinan
banyak larut dalam ekstraks kulit salak
adalah senyawa polifenol. Hal ini didukung
oleh adanya kandungan polifenol yang
sangat tinggi pada jenis salak pondoh,
nglumut, dan Bali2. Jenis polifenol ini dapat
berupa flavonoid. Flavonoid merupakan
senyawa polifenol yang dikenal memiliki
aktivitas antikanker. Sedikitnya terdapat 5
mekanisme aktivitas antikanker dari
polifenol. Pertama, kemampuan antioksidan
dari polifenol dapat melindungi sel dari
kerusakan DNA dengan membersihkan sel
dari radikal bebas (Reactive Oxygen Species
/ ROS). Kedua, polifenol memodulasi
protein yang berperan dalam jalur transduksi
signal seperti activator protein 1 (AP-1),
mitogen-activated protein kinase (MAPK),
phosphatidylinositol 3-kinase (PI 3’-K),
p70S6-K dan Akt. Ketiga, polifenol
mengurangi aktivitas dari tyrosine kinase
receptors (PDGF-Rβ, EGF-R) yang
berperan dalam proliferasi ganas dari sel
tumor. Keempat, polifenol menginduksi
apoptosis pada sel tumor. Kelima, polifenol
mengatasi resistensi multiobat dengan
memblok efluks P-glycoprotein (P-gp)
terhadap obat-obat antikanker. Kelima
mekanisme tersebut yang berperan dalam
mekanisme sitotoksik adalah dengan
menginduksi program kematian sel
(apoptosis)9.
97
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
I Gusti Ayu Sri Dhyanaputri, dkk., ANALISIS KANDUNGAN GIZI EKSTRAK KULIT SALAK PRODUKSI
KELOMPOK TANI ABIAN SALAK DESA SIBETAN SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN POTENSI PRODUK
PANGAN LOKAL
Menurut penelitian sebelumnya,
mekanisme apoptosis dari senyawa polifenol
tanaman adalah dengan mobilisasi tembaga
(copper) intraselular dan ekstraselular.
Senyawa-senyawa polifenol seperti
flavonoid, tannic acid, gallic acid,
curcumin, dan resveratrol menyebabkan
pemecahan rantai oksidatif di dalam DNA
dengan adanya Cu (II). Pada reaksi ini, Cu
(II) direduksi menjadi Cu (I), dan Reactive
Oxygen Species (ROS) seperti hydroxyl
radical (OH•) terbentuk, yang berperan
sebagai agen pemecah DNA10
. Mekanisme
lain dari flavonoid dalam menginduksi
apoptosis sudah banyak diteliti. Sebagai
contoh Epigallocatechin gallate (EGCG),
salah satu flavonoid yang terdapat dalam
teh, dapat berikatan dengan reseptor Fas
(CD-95 atau APO-1) sehingga dapat
menginduksi apoptosis melalui jalur
ekstrinsik9. Flavonoid yang lain, misalnya
resveratrol, menginduksi p38 MAPK dan
memediasi aktivasi p53 yang berakibat
terhambatnya siklus sel dan mengawali jalur
apoptosis. Penelitian lain menyebutkan
bahwa efek stimulasi apoptosis dari
resveratrol juga diperlihatkan melalui
sebuah jalur mitokondria baru yang
dikontrol oleh Bcl-211
. Mekanisme
antioksidan dalam sel dapat digambarkan
pada Gambar 1.
Penelitian lain yang berhubungan
dengan antioksidan memiliki potensi
sebagai anti kanker adalah kurkumin.
Aktivitas antioksidan senyawa kurkumin
dapat terjadi karena pembentukan radikal
bebas dihambat oleh senyawa kurkumin
dengan cara menekan aktivitas sitokrom
p450 (isoenzim yang penting untuk
bioaktivasi awal pada benzo[a]pyrene) atau
adanya spesies oksigen reaktif dideaktivasi
secara enzimatik oleh GST (glutathione S-
transferase) sehingga dapat menghambat
aktivitas mutagenik dari benzo[a]pyrene12
.
Sifat kurkumin dapat menghambat lipid
peroksidasi yang terinduksi oleh berbagai
agent selular atau zat asing sangat berperan
dalam mekanisme aktivitas kurkumin
sebagai antiinflamasi, antitumor dan
aktivitas farmakologi lainnya12
.
Gambar 1. Mekanisme antioksidan
(flavonoid) sebagai antikanker9
Dalam produk pangan, antioksidan
dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
proses oksidasi yang dapat menyebabkan
kerusakan, seperti ketengikan, perubahan
warna, aroma, dan kerusakan fisik lainnya.
Antioksidan dapat berbentuk gizi seperti
vitamin E dan C, non-gizi (pigmen karoten,
likopen, flavonoid, dan klorofil), dan
enzim (glutation peroksidase, koenzim
Q10 atau ubiquinon). Antioksidan dapat
dibagi menjadi 3 golongan, yaitu
antioksidan preventif (enzim
superoksidadismutase, katalase, dan
glutation peroksidase), antioksidan primer
(vitamin A, fenolat, flavonoid,katekin,
kuersetin), dan antioksidan komplementer
(vitamin C, β-karoten, retinoid)13
.
98
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
I Gusti Ayu Sri Dhyanaputri, dkk., ANALISIS KANDUNGAN GIZI EKSTRAK KULIT SALAK PRODUKSI
KELOMPOK TANI ABIAN SALAK DESA SIBETAN SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN POTENSI PRODUK
PANGAN LOKAL
Fungsi paling efektif dari
antioksidan dalam menghambat terjadinya
oksidasi adalah dengan menghentikan
reaksi berantai dari radikal-radikal bebas.
Pada tubuh manusia menggunakan sistem
perlawanan dengan antioksidan untuk
menetralkan adanya oksigen yang reaktif
atau radikal bebas. Penggunaan antioksidan
ini dalam sistem penetralan dapat dalam
bentuk enzim ataupun non enzimatis.
Beberapa antioksidan berupa enzim
ditemukan untuk melindungi dari radikal
bebas seperti superoxide dismutases,
catalases, and glutathione peroxidases.
Sedangkan antioksidan yang berupa non
enzimatis berupa molekul kecil yang
terdisdribusi secara luas dalam sistem
biologis dan dapat melawan radikal bebas13
.
Zat antioksidan telah dipercaya dapat
membantu menangkal beberapa penyakit
seperti kanker, kista, hipertensi, penyakit
paru-paru, penyakit tulang, hepatitis,
diabetes, asam urat, penyakit kulit,
mencegah alergi, menambah kesuburan, dan
meningkatkan kekebalan tubuh. Antioksidan
dapat mencegah dan mengobati penyakit
kanker. Radikal bebas yang ada di dalam
tubuh akan merusak asam lemak tak jenuh
ganda pada membrane sel sehingga
mengakibatkan kerapuhan dinding sel,
sistem genetika kacau dan timbul
pembentukan sel kanker9. Radikal bebas
menyerang inti sel pada organ tertentu
kemudian sel akan membelah terus tanpa
terkendali. Sel kanker dapat merambat dan
meluas pada sel lainnya. Antioksidan akan
menghalangi radikal bebas pada saat
merusak inti sel dengan cara memberikan
atom hidrogen dari antioksidan kepada
radikal bebas sehingga radikal bebas
menjadi stabil. Pada penyakit kista, radikal
bebas menyerang inti sel dari organ yang
diserang, sehingga melakukan pembelahan
diri dengan tidak terkendali dan mengalami
mutasi. Antioksidan bekerja dengan cara
memberikan atom hidrogen kepada radikal
bebas agar tidak merusak inti sel dan radikal
bebas menjadi stabil.9
Zat antioksidan dapat mencegah
kerusakan pembuluh darah sejak dini
apabila dikonsumsi secara rutin.
Antioksidan akan menangkap radikal bebas
yang berada dalam pembuluh darah menuju
jantung sehingga kerusakan pembuluh darah
jantung tidak terjadi13
. Zat antioksidan dapat
mencegah dan memperbaiki kerusakan pada
saluran pernapasan serta daerah paru-paru.
Radikal bebas yang berasal dari rokok dan
zat polutan akan ditangkap oleh antioksidan
sehingga memperbaiki kesehatan saluran
paru-paru. Pada mata, antioksidan akan
menangkap radikal bebas yang masuk ke
mata sebelum radikal tersebut mengoksidasi
molekul lipid dan protein pada lensa dengan
cara mengikat radikal bebas. Sehingga
kerusakan mata dapat dicegah. Zat
antioksidan akan membantu menangkap
radikal bebas yang akan mengoksidasi sel
tulang sehingga dapat mencegah kerusakan
tulang. Untuk hepatitis, antioksidan akan
membantu dengan menangkap radikal
bebas, mencegah mutasi gen, dan
memperbaiki sel hati yang rusak13
.
Berdasarkan hal tersebut, maka ekstrak kulit
salak memiliki potensi besar sebagai produk
hasil olahan biji salak yang bernilai ekonomi
karena mengandung antioksidan yang
bermanfaat bagi kesehatan, khususnya
sebagai antikanker.
Potensi lain yang dapat juga
dikembangkan dari produk ekstrak kulit
salak adalah sebagai antidiabetes. Beberapa
senyawa aktif yang biasanya dipercaya
99
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
I Gusti Ayu Sri Dhyanaputri, dkk., ANALISIS KANDUNGAN GIZI EKSTRAK KULIT SALAK PRODUKSI
KELOMPOK TANI ABIAN SALAK DESA SIBETAN SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN POTENSI PRODUK
PANGAN LOKAL
sebagai obat pencegahan dan penanganan
terapi diabetes yaitu mengandung
mengandung senyawa aktif seperti alkaloid,
flavonoid, saponin, steroid dan triterpenoid,
fenolik hidrokuinon, tannin, dan asam
sinamat.
Kulit salak mengandung unsur aktif.
Keseluruhan unsur aktif tersebut bekerja
secara bersamaan pada tubuh pasien untuk
menyembuhkan penyakit pasien. Diantara
unsur aktif yang terkandung di dalam kulit
salak yang berkhasiat untuk menyembuhkan
penyakit diabetes adalah:
1. Ferulic Acid dan Proline; senyawa
yang mendorong terbetuknya
kolagen dan elastin (dua unsur
penting untuk memulihkan jaringan).
2. Cinnamic acid derivatives; senyawa
yang mendorong regenerasi sel
epitel. Zat-zat di atas berperan
penting dalam proses perbaikan
pancreas pada penderita diabetes tipe
I14
.
3. Arginin; senyawa yang menstimulir
pembelahan sel dan memperkuat
biosintesa protein. Zat Bee Health
Products & Bee Health Propolis ini
sangat bermanfaat untuk normalisasi
sel-sel tubuh agar responsive pada
insulin, zat ini sangat dibutuhkan
oleh penderita diabetes tipe II.
4. Pterostilbene; senyawa ini
merupakan zat anti diabetes dan
berperan langsung dalam
menurunkan kadar gula darah3.
SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan sebagai berikut.
Kandungan karbohidrat, protein, kapasitas
antioksidan dan IC50 berturut-turut untuk
masing-masing komposisi yaitu (1)
komposisi 1% : -0,04%; 0,21%; 20,70 ppm,
426,58 ppm; (2) komposisi 5% : 0,82%;
0,20%; 73,40 ppm; 151,41 ppm; (3)
komposisi 10% : 0,93%; 0,20%; 110,29
ppm; 87,11 ppm; (4) kulit salak : 28,14%;
44,90%; 215,10 ppm; 56,10 ppm, dan non
komposisi :1,00 %; 0,00%; 25,73 ppm;
92,18 ppm.
Kandungan gizi yang paling berpotensi pada
ekstrak kulit salak yang akan menjadi
produk teh kulit salak adalah kandungan
antioksidannya. Kandungan antioksidannya
memiliki tingkat kekuatan aktif pada kulit
salak dan komposisi campuran 10%.
2. Saran
Saran yang dapat disampaikan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
Perlu dilakukan uji lebih lanjut mengenai
jenis antioksidan yang terlarut dalam air
pada ekstrak kulit salak.Perlu dilakukan
pengujian mengenai potensi ekstrak kulit
salak untuk kesehatan seperti antikanker dan
antidiabetes.
100
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
I Gusti Ayu Sri Dhyanaputri, dkk., ANALISIS KANDUNGAN GIZI EKSTRAK KULIT SALAK PRODUKSI
KELOMPOK TANI ABIAN SALAK DESA SIBETAN SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN POTENSI PRODUK
PANGAN LOKAL
DAFTAR PUSTAKA
1. Afrianti L.H., E. Y. Sukandar, S.
Ibrahim, I K. Adnyana. Senyawa Asam
2-Metilester – 1 – H – Pirol – 4-
Karboksilat dalam Ekstrak Etil Asetat
Buah Salak Varietas Bongkok sebagai
Antioksidan dan Antihyperuricmia.
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan,
Vol. XXI No.1 Th. 2010
2. Ariviani S., N. H. R. Parnanto.
Kapasitas Antioksidan Buah Salak
(Salacca Edulis Reinw) Kultivar
Pondoh, Nglumut dan Bali serta
Korelasinya dengan Kadar Fenolik
Total dan Vitamin C. AGRITECH, Vol.
33, No. 3, Agustus 2013
3. Sahputra, F.M. Potensi Ekstrak Kulit
dan Daging Buah Salak Sebagai
Antidiabetes. Bogor: Program Studi
Biokimia Fakultas MIPA, 2008.
4. Fitrianingsih S.P., F. Lestari, S.
Aminah.. Uji Efek Antioksidan Ekstrak
Etanol Kulit Buah Salak [Salacca
Zalacca (Gaertner) Voss] Dengan
Metode Peredaman DPPH. Prosiding
SNaPP2014 Sains, Teknologi, dan
Kesehatan ISSN 2089-3582, 2014.
5. Sudarmadji, S., B. Haryono, Suhardi.
Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan
dan Minuman. Yogyakarta: Liberty,
1997.
6. Suprapto B, Biological Antioxidant :
What are They ?. Kumpulan Makalah
Lengkap PIT VII Endokrinologi,
Surakarta : UNS Press, hal : 25-29,
2006.
7. Azzamy. 4 Jenis Teh Terpopuler dan
Manfaatnya. Diakses pada
http://mitalom.com/4-jenis-teh-
terpopuler-dan-manfaatnya/, diakses
tanggal 7 Oktober 2015, 2015
8. Boskou Dimitrios. Sources Of Natural
Phenolic Antioxidants. Trends in Food
Science & Technology 17 (2006) 505–
512, 2006.
9. Demeule M, et al. Green tea catechins
as novel antitumor and antiangiogenic
compounds. [Online]. Curr. Med.
Chem. – Anti Cancer Agents; 2:441-63.
Available from: EBSCO Publising.
2002.
10. Hadi SM, Asad SF, Singh S, Ahmad A.
Putative mechanism for anticancer and
apoptosis-inducing properties of plant-
derived polyphenolic compounds.
[Online]. IUBMB Life 2000;50:167-71.
Available from: EBSCO Publising.
2000.
11. Tinhover I, et al.Resveratrol, a tumor-
suppressive compound from grapes,
induces apoptosis via anovel
mitochondrial pathway controlled by
Bcl-2. FASEB J [serial online]
200115:1613-15. Available from:
URL:http://www.fasebj.org/
12. Majeed M, V. Badmaev, U. Shirakumar
Rajendran R 1995. Curcuminoids
Antioxidant Phytonutrients. Pis
Cathway : 3-24., NJ.: Nutrition Science
Publisher Inc.
13. Irmawati. Keajaiban Antioksidan.
Jakarta Timur: Padi, 2014.
14. Hartanti, S. Inhibitory
potential of some synthetic cinnamic
acid derivatives towars tyrosinase
enzyme. Indo.j. Chem. 9 : 158-
168.2009.
101
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Meditory
Number 1 Number 5
PENGARUH EKSTRAK AKAR ENCOK TERHADAP PERTUMBUHAN
STAPHYLOCOCCUS AUREUS
Anak Agung Inten Pradnya Suamami1., I Gede Sudarmanto
2., Nyoman Mastra
3.
ABSTRACT
Background Resistance is defined as growth inhibition of bacteria with antibiotics.
Staphylococcus aureus bacteria is known to be resistant to gentamicin and methicillin.
Staphylococcus aureus can cause various infection of the skin, injuries, and system.
Methods This research is true-experimental with Posttest-Only Control Group Design and
using Kirby-Bauer method by means of five concentration (20, 40, 60, 80, dan 100%). The
negative control uses sterile distilled water, and the positive control uses Vancomycin 30 µg.
Result This research showed the mean of inhibition zone diameter of each concentration
consecutively 16 mm, 20 mm, 22 mm, 23 mm, and 23 mm. Oneway ANOVA statistic analysis
showed that the value of p is 0,000 that mean there is an influence of encok roots extract to
Staphylococcus aureus growth.
Conclusion There is an influence of encok roots extract to Staphylococcus aureus growth.
Seen from its ability to inhibit the growth of Staphylococcus aureus.
Keywords: Plumbago zeylanica L.; roots extract; Staphylococcus aureus
PENDAHULUAN
Plumbago zeylanica L. merupakan
obat herbal serba guna pada famili
Plumbaginaceae. Plumbago zeylanica
adalah tanaman paling umum yang
digunakan pada cara pengobatan tradisional
India. Tanaman ini berasal dari Asia
Selatan, dan terdistribusi di sebagian besar
daerah tropis serta subtropis. Plumbago
zeylanica tumbuh di hutan gugur, sabana,
dan semak belukar yang akarnya dari
permukaan laut hingga 2000 meter diatas
permukaan laut. Akar Plumbago zeylanica
digunakan sebagai obat pencahar
(ekspektoran), astringent, abotifatient dan
disentri. Larutan alkohol dari kulit akar
digunakan sebagai antiperiodik. Daunnya
sengit dan digunakan pada perawatan
scabies1.
Dalam pengobatan Ayurweda dan
Sidda, Plumbago zeylanica telah digunakan
untuk formulasi obat-obatan Ayurweda.
Tumbuhan ini digunakan untuk demam,
diare, masalah pencernaan, pilek, masalah
kulit seperti kusta/lepra dan malaria di India.
1.,2.,3., Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Denpasar
Korespondensi : Anak Agung Inten Pradnya
Suamami1, Jurusan Analis Kesehatan, Poltekes
Denpasar, Jalan Sanitasi No. 1 Sidakarya, Denpasar-
Bali 80224, Indonesia.
Telp. +62-361-710 527, Fax. +62-361-710 448
Email : [email protected]
102
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Anak Agung Inten Pradnya Suamami, dkk., PENGARUH EKSTRAK AKAR ENCOK TERHADAP PERTUMBUHAN
STAPHYLOCOCCUS AUREUS
Tumbuhan ini digunakan sebagai antivirus
di Nepal, di Taiwan dapat digunakan
sebagai aktivitas anti-heliobakteri.
Plumbago zeylanica juga digunakan untuk
antioksidan di Madras. Selain itu tumbuhan
ini digunakan untuk masalah lambung dan
penyakit parasit, serta scabies di Ethiopia
dan Nigeria2.
Resistensi didefinisikan sebagai
tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri
dengan pemberian anti biotik secara
sistemik dengan dosis normal yang
seharusnya atau kadar hambat
minimalnya3. Pemakaian antibiotik yang
tidak teratur, tidak tepat atau tidak sesuai
resep dapat meningkatkan resistensi bakteri
terhadap antibiotik. Resistensi bakteri
terhadap antibiotik merupakan salah satu
masalah kesehatan yang dihadapi
belakangan ini.
Berdasarkan hasil penelitian
Gambaran Pola Resistensi Bakteri di Unit
pola kuman yang paling banyak dijumpai di
unit perawatan neonatus RSHAM adalah
Staphylococcus sp, Pseudomonas sp dan
Enterobacter sp yang sensitif terhadap
vancomycin, meropenem dan amikacine
sedangkan penggunaan antibiotik lini
pertama yaitu ampicillin, gentamicin dan
cefotaxime telah resisten.
Staphylococcus aureus termasuk
dalam keluarga Micrococcaceae dan
merupakan bagian dari genus
Staphylococcus, yang berisi lebih dari 30
spesies seperti S. epidermidis, S.
saprophyticus dan S. haemolyticus. Di
antara spesies staphylococcal,
Staphylococcus aureus adalah yang paling
ganas dan patogen untuk manusia.
Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram-
positif. Di laboratorium dapat diamati
sebagai sel tunggal, berpasangan atau
sebagai kelompok teratur seperti anggur4.
Staphylococcus aureus dapat
menyebabkan berbagai infeksi dari berbagai
kulit, luka dan infeksi jaringan dalam
kondisi yang mengancam jiwa lebih seperti
pneumonia, endokarditis, arthritis septik dan
septikemia. Bakteri ini juga merupakan
salah satu spesies yang paling umum pada
infeksi nosokomial. Staphylococcus aureus
juga dapat menyebabkan keracunan
makanan, sindrom scalded-kulit dan toxic
shock syndrome, melalui produksi racun
yang berbeda4.
Seiring dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi, disamping
pemberian antibiotik sebagai obat
antibakteri, stigma masyarakat tidak lepas
dari penggunaan obat-obat herbal atau obat
tradisional. Penggunaan obat tradisional
dipilih karena faktor turun-temurun atau
kepercayaan, dan memiliki efek samping
yang lebih kecil dibandingkan dengan obat-
obatan medis.
103
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Anak Agung Inten Pradnya Suamami, dkk., PENGARUH EKSTRAK AKAR ENCOK TERHADAP PERTUMBUHAN
STAPHYLOCOCCUS AUREUS
Indonesia sebagai negara tropis
memiliki kekayaan flora meliputi tanaman
yang dapat difungsikan sebagai obat. Salah
satunya adalah tanaman Encok (Plumbago
zeylanica L.). Tanaman ini memiliki nama
berbeda pada beberapa wilayah di Indonesia
seperti, Ceraka (Sumatera), Daun encok, Ki
encok (Sunda), Gadong encik, Poksor
(Jawa), Kareka (Madura), Bama (Bali) dan
Oporie (Timor)5.
Berdasarkan Phytochemical
Screening and Antimicrobial Studies on
Plumbago zeylanica L. oleh Subash5, zat-zat
aktif dari akar Encok seperti saponin,
karbohidrat, steroid, alkaloid, flavonoid, dan
tanin dapat diekstraksi dengan pelarut yang
berbeda dan disimpulkan bahwa ekstrak
metanol da n etanol akar Plumbago
zeylanica L. dapat menghambat
pertumbuhan Staphylococcus aureus
masing-masing sepanjang 16 mm dan 10
mm. Untuk memaksimalkan pemanfaatan
dari tanaman ini, peneliti ingin mengetahui
pengaruh Ekstrak Akar Encok (Plumbago
zeylinica L.) terhadap Staphylococcus
aureus dengan pelarut akuades dengan
berbagai macam konsentrasi.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian true-experimental.
Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan
dengan metode difusi dengan cara Kirby-
Bauer dilakukan di laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.
Tahap penelitian dilakukan dengan
penanaman bakteri Staphylococcus aureus
pada media Mueller Hinton Agar. Kemudian
masing-masing cakram disk yang
mengandung ekstrak akar encok konsentrasi
20, 40, 60, 80 dan 100% diukur. Kontrol
negatif (cakram disk mengandung akuades
steril) dan kontrol positif (cakram disk
mengandung vankomisin 30 µg) juga
ditempelkan pada permukaan media. Media
MHA yang telah ditempeli cakram disk
diinkubasi pada inkubator selama 24 jam
dengan suhu 37oC. Hasil zona hambat
pertumbuhan Staphylococcus aureus yang
terbentuk pada masing-masing cakram disk
dinyatakan dalam satuan milimeter (mm).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil
Data yang diperoleh selanjutnya di
analisis menggunakan uji statistik
Kolmogorov Smirnov. Pada uji tersebut
diperoleh hasil nilai p = 0,323, jika
dibandingkan dengan nilai α (0,05) maka
nilai p lebih besar dari α (0,323 > 0,05).
Berdasarkan uji tersebut, diketahui bahwa
data penelitian ini berdistribusi normal.
Setelah diperoleh hasil data
berdistribusi normal, uji statistik dilanjukan
dengan Oneway Annova Test untuk menguji
apakah ada pengaruh ekstrak akar encok
terhadap
104
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Anak Agung Inten Pradnya Suamami, dkk., PENGARUH EKSTRAK AKAR ENCOK TERHADAP PERTUMBUHAN
STAPHYLOCOCCUS AUREUS
pertumbuhan Staphylococcus aureus. Pada
uji Oneway Annova diperoleh nilai
probabilitas p = 0,000 dengan tingkat
kepercayaan 95% (0,05).
Untuk menganalisis perbedaan zona
hambat ekstrak akar encok terhadap
pertumbuhan Staphylococcus aureus dapat
diketahui dengan melakukan uji LSD (Least
Significant Different). Uji LSD menunjukan
terdapat perbedaan bermakna konsentrasi
20% terhadap konsentrasi 40, 60, 80, dan
100% yang ditunjukan dengan nilai α (0,05)
lebih besar dibandingkan nilai p (0,000).
Adanya perbedaan bermakna juga terdapat
pada konsentrasi 40% terhadap konsentrasi
80% dan 100% dengan nilai p = 0,001 dan
konsentrasi 60% terhadap konsentrasi 80%
dengan nilai p = 0,046, dimana nilai
probabilitas tersebut masih lebih kecil
dibandingkan nilai α (0,05). Namun, pada
uji ini menunjukan tidak ada perbedaan
signifikan antara konsentrasi 40% terhadap
60% dan konsentrasi 60% terhadap 100%
dengan nilai p = 0,070, dan konsentrasi 80%
terhadap konsentrasi 100% dengan nilai p =
0,835 ( p > α (0,05)).
2. Pembahasan
a. Panjang diameter zona hambat pada
kontrol
Tujuan penggunaan kontrol dalam
penelitian ini yaitu sebagai pembanding
hasil diameter zona hambat perlakuan.
Kontrol yang digunakan dalam penelitian
ada dua yaitu, kontrol negatif dengan
akuades steril dan kontrol positif dengan
vankomisin 30 µg. Akuades steril tidak
memiliki zat antimikroba harus bernilai
negatif atau menghasilkan panjang diameter
zona hambat dengan nilai 0 mm. Sedangkan
kontrol positif digunakan sebagai
Tabel 1. Data Hasil Penelitian Pengaruh Ekstrak Akar Encok terhadap Pertumbuhan
Staphylococcus aureus
No Konsentrasi
Zona Hambat (mm)
Rata- rata Replikasi 1 Replikasi 2
1 2 3 1 2 3
1 20% 14 16 17 15 18 15 16
2 40% 21 20 20 19 20 18 20
3 60% 23 21 21 20 22 20 21
4 80% 26 21 23 23 23 21 23
5 100% 24 22 23 21 24 22 23
6 Kontrol (-) 0 0 0 0 0 0 0
7 Kontrol (+) 18 18 18 18 17 19 18
105
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Anak Agung Inten Pradnya Suamami, dkk., PENGARUH EKSTRAK AKAR ENCOK TERHADAP PERTUMBUHAN
STAPHYLOCOCCUS AUREUS
pembanding terhadap hasil zona hambat
perlakuan untuk menetapkan tingkat
resisten, intermediet, atau sensitif.
Pada penelitian ini kontrol negatif
tidak menimbulkan zona hambat untuk
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus
karena akuades steril tidak memiliki zat
antimikroba. Rata-rata diameter kontrol
negatif sepanjang 0 mm sedangkan kontrol
positif memiliki rata-rata diameter
sepanjang 18 mm .
Pemilihan antibiotik lain yang
sekarang digunakan untuk mengobati
Staphylococcus aureus yang telah resisten
terhadap turunan penisilin yaitu vankomisin
dan teikoplanin6.
Selain itu vankomisin termasuk
dalam golongan antibiotik yang mekanisme
kerjanya menghambat sintesis atau merusak
dinding sel bakteri. Vankomisin
diindikasikan untuk infeksi yang disebabkan
oleh Staphylococcus aureus yang resisten
terhadap meticilin (MRSA)7. Setelah
dibandingkan dengan tabel, diameter zona
hambat cakram vankomisin 30 µg lebih dari
15 mm (>15 mm) termasuk dalam kelompok
sensitif dalam menguji Staphylococcus.
Hasil kontrol positif dari penelitian ini
termasuk dalam kelompok sensitif yaitu 18
mm
b. Panjang diameter zona hambat terhadap
perlakuan
1) Diameter zona hambat pada konsentrasi
20%
Berdasarkan pengukuran diameter
zona hambat ekstrak akar encok konsentrasi
20% didapatkan hasil dengan rata-rata 16
mm. Dengan konsentrasi 20% ekstrak akar
encok dapat menghambat pertumbuhan
Staphylococcus aureus sepanjang 16 mm.
2) Diameter zona hambat pada konsentrasi
40%
Konsentrasi 40% ekstrak akar encok
menghasilkan rata-rata diameter zona
hambat sebesar 20 mm dan jika
dibandingkan dengan kontrol positif
(vankomisin 30 µg) pada tabel NCCLS
termasuk dalam sifat sensitif. Berdasarkan
pengukuran, rerata diameter zona hambat
pada konsentrasi 40% lebih besar dari
konsentrasi 20% (20 mm >16 mm). Ekstrak
akar encok konsentrasi 40% dapat
menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus sepanjang 20 mm,
3) Diameter zona hambat pada konsentrasi
60%
Ekstrak akar encok konsentrasi
60% menghasilkan diameter zona bening
dengan rata-rata 21 mm. Hasil ini tidak
berbeda jauh dari rata-rata diameter
konsentrasi 40% dan jika dibandingkan
dengan kontrol positif (vankomisin 30 µg)
pada tabel NCCLS termasuk dalam sifat
sensitif.
106
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Anak Agung Inten Pradnya Suamami, dkk., PENGARUH EKSTRAK AKAR ENCOK TERHADAP PERTUMBUHAN
STAPHYLOCOCCUS AUREUS
4) Diameter zona hambat pada konsentrasi
80%
Berdasarkan pengukuran diameter
zona hambat ekstrak akar encok dengan
konsentrasi 80% didapatkan rata-rata 23
mm. Jika dibandingkan dengan kontrol
positif (vankomisin 30 µg) pada tabel
NCCLS, ekstrak akar encok konsentrasi
80% termasuk dalam sifat sensitif.
5) Diameter zona hambat pada konsentrasi
100%
Pengukuran terakhir pada
konsentrasi 100%, didapatkan rata-rata
diameter sebesar 23 mm. Ekstrak akar encok
konsentrasi 100% termasuk dalam sifat
sensitif dan hasil reratanya tidak berbeda
dari konsentrasi 80%.
Hasil penelitian menunjukan
semakin tinggi konsentrasi ekstrak akar
encok, maka semakin besar diameter zona
hambatnya. Hal tersebut dikarenakan
semakin tinggi konsentrasinya, kandungan
zat aktif sebagai penghambat bakteri juga
semakin banyak. Namun, terdapat hasil
yang sama yaitu pada konsentrasi 80% dan
100%.
Kesamaan hasil zona hambat
pada konsentrasi 80% dan 100% mungkin
disebakan karena ekstrak konsentrasi 100%
lebih pekat, sehingga zat-zat aktifnya tidak
dapat berdifusi dengan maksimal. Ekstrak
akar encok konsentrasi 100% dapat
menghampat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus sepanjang 23 mm.
Zona bening atau zona hambat
yang terbentuk dari perlakuan ekstrak akar
encok 20, 40, 60, 80, dan 100% terhadap
bakteri Staphylococcus aureus dikarenakan
zat-zat aktif antibakteri yang terdapat dalam
ekstrak sehingga dapat menghambat
pertumbuhan bakteri tersebut. Ekstrak akar
encok (Plumbago zeylanica L.) dengan
berbagai macam pelarut ditemukan zat-zat
antioksidan seperti saponin, steroid,
alkaloid, flavonoid, dan tanin.
Saponin bekerja sebagai antibakteri
dengan mengganggu stabilitas membran sel
bakteri sehingga menyebabkan sel
bakterilisis. Mekanisme kerja saponin
termasuk dalam kelompok antibakteri yang
mengganggu permeabilitas membran sel
bakteri, yang mengakibatkan kerusakan
membran sel dan menyebabkan keluarnya
berbagai komponen penting dari dalam sel
bakteri yaitu protein, asam nukleat dan
nukleotida.
Alkaloid sebagai antibakteri
memiliki mekanisme sebagai inhibitor
pertumbuhan bakteri adalah dengan cara
mengganggu komponen penyusun
peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga
lapisan dinding sel tidak terbentuk secara
utuh dan menyebabkan kematian sel
tersebut.
107
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Anak Agung Inten Pradnya Suamami, dkk., PENGARUH EKSTRAK AKAR ENCOK TERHADAP PERTUMBUHAN
STAPHYLOCOCCUS AUREUS
Flavonoid adalah golongan terbesar
dari senyawa fenol. Senyawa fenol memiliki
kemampuan antibakteri dengan cara
mendenaturasi protein yang menyebabkan
terjadinya kerusakan permeabilitas dinding
sel bakteri.
Kandungan Tanin dapat
mengganggu permeabilitas membran sel
bakteri dan memiliki kemampuan mencegah
koagulasi plasma pada Staphylococcus
aureus8.
Berdasarkan pemaparan diatas
ditunjukan bahwa adanya pengaruh ekstrak
akar encok terhadap pertumbuhan
Staphylococcus aureus. Sehingga penelitian
mengenai ekstrak akar encok ini sangat
bermanfaat bagi masyarakat dan diharapkan
dapat dimanfaatkan untuk mengatasasi
infeksi yang disebabkan oleh
Staphylococcus aureus.
SIMPULAN DAN SARAN
Terdapat pengaruh ekstrak akar
encok terhadap pertumbuhan
Staphylococcus aureus. Rerata zona hambat
ekstrak akar encok pada konsentrasi 20%
sebesar 16 mm, pada konsentrasi 40%
sebesar 20 mm, konsentrasi 60% sebesar 21
mm, dan konsentrasi 80% dan 100% sebesar
23 mm.
Konsentrasi 20% ekstrak akar encok
merupakan konsentrasi yang efektif untuk
menghambat pertumbuhan Staphylococcus
aureus. Terdapat perbedaan bermakna
konsentrasi 20% terhadap konsentrasi 40,
60, 80, dan 100% dengan nilai α (0,05) lebih
besar dibandingkan nilai p (0,000).
Saran untuk masyarakat agar dapat
memanfaatkan ekstrak akar encok sebagai
salah satu upaya pencegahan infeksi yang
disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
Bagi calon peneliti disarankan
penelitian ini mencari KHM (Koefisien
Hambat Minimum) ekstrak akar encok
untuk mengetahui konsentrasi minimum
yang efektif untuk membunuh bakteri
Staphylococcus aureus.
Menggunakan bahan uji yang lebih
mudah dibuat dan diaplikasikan kepada
masyarakat seperti perasan, dan penelitian
ini dapat menjadi bahan referensi untuk
penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jain, Paras, et al., Pharmacological
Profiles of Ethno-Medicinal Plant:
Plumbago zeylanica l.-A Review,
Ranchi: Laboratory of Plant Phyciology
and Biotechnology, Univercity
Departement of Botany. 2013.
2. Anonim, t.t, Plumbago zeylanica
(plumbaginaceae)Online:http://www.m
mhmms.com/downloads/mp15plumbag
ozeylanica.pdf, Diakses tanggal 25
Januari 2015.
3. Rahayu, Eka, Antibiotika, Resistensi,
dan Rasionalitas Terapi Online:
108
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Anak Agung Inten Pradnya Suamami, dkk., PENGARUH EKSTRAK AKAR ENCOK TERHADAP PERTUMBUHAN
STAPHYLOCOCCUS AUREUS
http://ejournal.uin-
malang.ac.id/index.php/sainstis/article/v
iewFile/-1861/pdf_1. Diakses tanggal
25 Januari 2016. 2012.
4. Stark, Lisa, Staphylococcus aureus
Online : http://liu.diva-
portal.org/smash/get/diva2:647005/FUL
LTEXT01.pdf. (Diakses tanggal 25
Januari 2016). 2013,
5. Datta, Sanjana dan RN, Mishra, ,
Plumbago zeylinica Linn. (Chitrak)-
Review as Rasayan (Rejuvenator/
Antiaging). India: Sanggar Institute of
Pharmaceutial Sciences. 2012
6. Sulistianingsih, Uji Kepekaaan
Beberapa Sediaan Antiseptik terhadap
Bakteri Staphylococcus aureus dan
Staphylococcus aureus Resisten
Metisilin (MRSA) Online :
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2010/11/uji_kepekaan_
beberapa_sediaan_antiseptik_tdhp_bakt
eri_resisten_metisilin.pdf, Diakses 19
Juni 2016. 2010.
7. Depkes, Permenkes RI No.
2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang
Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik Online: http://www.
binfar.depkes.go.id/dat Permenkes
Antibiotik.pdf, Diakses tanggal 19 Juni
2016. 2011.
8. Tammi, Alfan, , Perbandingan Daya
Hambat Ekstra Daun Salam (Syzygium
polyanthum [Wight.] Walp.) terhadap
Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli secara In
Vitro
Online:http://digilib.unila.ac.id/21636/3
/SKRIPSI%20TANPA%20BAB%20PE
MBAHASAN.pdf, (Diakses tangga 21
Juni 2016). 2016.
109
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Meditory
Number 1 Number 6
IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA USUS
PADA KUKU TANGAN PENGRAJIN GENTENG
DI DESA PEJATEN, KEDIRI, TABANAN
Mulan Tirtayanti1, Cok. Dewi Widhya H.S.
2, IGA. Sri Dhyanaputri
3.
Abstract
Backgrounds Workers have a risk of getting a disease caused by their job. Groups of workers
while do their jobs are always in direct contact with soil as a medium of transmission of the
worm eggs like roof tile maker. Based on data from health worm infection at Puskesmas I
Kediri in the last three years there are three persons from Pejaten village who check worm
infection and two of them showed positive result that they were infected by intestinal worm
eggs.
Objective This study aims to find out the existence of the worm eggs Intestinal Nematode on
the roof tile maker‟s fingernails in Pejaten village, Kediri, Tabanan. Methods This research
did on January until June 2016. This research use descriptive study. Sample are taken with
purposive sampling technique and researcher take 26 samples. The examination is searching
for worm eggs at 26 fingernails specimens had done by floating methods using a solution of
2% eosin. Results From this results, as much as 50% samples contained worm eggs. The
infection rate of each worm eggs type is Ascaris lumbricoides 53,8%, Hookworm 23,1%, mix
of Ascaris lumbricoides and Hookworm 15,4% and 7,7% of the sample identified containing
worm eggs from the mix of Ascaris lumbricoides and Trichuris trichiura.
Recommended Suggestion for a roof tile maker are to maintain the cleanliness of nails,
washing hands after contact with soil, and also using hand gloves and footwear while they
working.
Keyword : Roof tile maker; fingernails; worm eggs.
PENDAHULUAN
Indonesia pada saat ini sedang giat
membangun dalam segala bidang. Salah satu
tujuan pembangunan tersebut adalah
meningkatkan kualitas sumber daya
manusia.1 Upaya peningkatan kualitas
sumber daya manusia tersebut yang
berhubungan dengan pekerjaannya, para
pekerja berisiko mendapat gangguan
kesehatan atau penyakit yang disebabkan
oleh pekerjaannya.2
Soil Trasmitted Helminths (STH)
adalah nematoda usus yang dalam siklus
hidupnya membutuhkan tanah untuk proses
pematangan sehingga terjadi perubahan dari
stadium non-infektif menjadi stadium
infektif.
1.,2.,3., Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Denpasar
Korespondensi : Mulan Tirtayanti1, Jurusan Analis
Kesehatan, Poltekes Denpasar, Jalan Sanitasi No. 1
Sidakarya, Denpasar-Bali 80224, Indonesia.
Telp. +62-361-710 527, Fax. +62-361-710 448
Email : [email protected]
110
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Mulan Tirtayanti, dkk., IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA USUS PADA KUKU TANGAN PENGRAJIN
GENTENG DI DESA PEJATEN, KEDIRI, TABANAN
Jenis cacing yang tergolong ke
dalam jenis STH yang penting dan
menghinggapi manusia adalah Ascaris
lumbricoides, Necator americanus,
Ancylostoma duodenale dan Trichuris
trichiura.3
Masyarakat Pejaten, Kediri, Tabanan
masih minim dalam upaya memeriksakan
kecacingan. Menurut data infeksi
kecacingan dari Puskesmas I Kediri dalam
tiga tahun terakhir dari tahun 2013-2016
terdapat tiga orang masyarakat Pejaten yang
memeriksakan kecacingan dengan hasil dua
orang positif terinfeksi kecacingan.
Sebagian besar dari Pengrajin genteng di
desa Pejaten memiliki kuku yang panjang
dan tidak terawat sehingga memungkinkan
menjadi tempat hidup dari telur cacing.
Berdasarkan dari uraian diatas perlu
diadakan penelitian tentang kejadian
kecacingan dengan subjek penelitian yang
digunakan adalah pengrajin genteng di desa
Pejaten, Kediri, Tabanan.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui keberadaan telur cacing
Nematoda Usus pada kuku tangan pengrajin
genteng di desa Pejaten, Kediri, Tabanan.
METODE
Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian deskriptif yaitu untuk
mengidentifikasi telur cacing nematoda usus
pada kuku tangan pengrajin genteng di desa
Pejaten, Kediri, Tabanan. Penelitian ini
berlokasi di desa Pejaten, Kediri, Tabanan.
Pemeriksaan sampel dilakukan di
Laboratorium Mikrobiologi RSAD Udayana
Denpasar. Penelitian dilaksanakan pada
bulan Januari sampai dengan bulan Juni
tahun 2016. Populasi penelitian yaitu
seluruh pengrajin genteng di Desa Pejaten,
Kediri, Tabanan yang berjumlah 130 orang.
Sampel diambil menggunakan teknik secara
purposive sampling sebanyak 26 sampel.
Informasi mengenai karakteristik responden
dan kategori kebersihan perorangan
responden diperoleh menggunakan lembar
wawancara. Pemeriksaan telur cacing pada
26 sampel potongan kuku tangan dilakukan
dengan metode apung menggunakan larutan
eosin 2%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Presentase Telur Cacing pada Sampel
Kuku Tangan
Adapun presentase hasil pemeriksaan
telur cacing pada sampel potongan kuku
tangan responden dapat dilihat pada grafik
di bawah ini.
Gambar 1 Presentase Keberadaan Telur
Cacing pada Potongan Kuku Responden
50%50%
Ada Telur Cacing
Tidak Ada TelurCacing
111
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Tabel 1. Tabel 1 Spesies Telur Cacing pada Sampel Potongan Kuku Tangan
No
Spesies Telur Cacing
Total
N %
1 Ascaris lumbricoides 7 53,8
2 Hookworm 3 23,1
3 Trichuris trichiura 0 0
4 Campuran
a. Ascaris lumbricoides dan Hookworm
b. Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura
2
1
15,4
7,7
Total 13 100
Mulan Tirtayanti, dkk., IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA USUS PADA KUKU TANGAN PENGRAJIN
GENTENG DI DESA PEJATEN, KEDIRI, TABANAN
Berdasar gambar di atas, diketahui bahwa
masih terdapat 50% responden dengan
keberadaan telur cacing pada sampel
potongan kuku tangannya.
b. Spesies Telur Cacing pada Sampel
Potongan Kuku Tangan.
Adapun spesies telur cacing pada sampel,
dapat dilihat pada tabel.
Berdasar tabel di atas, prevalensi
telur cacing tertinggi yaitu Ascaris
lumbricoides (53,8%). Hal ini dapat
dipengaruhi oleh keadaan tanah dan curah
hujan serta temperatur optimal
perkembangbiakan cacing ini. Cacing
Ascaris lumbricoides frekuensinya sangat
tinggi berkisar antara 20-90%. Telur infektif
ini dapat hidup lama dan tahan terhadap
pengaruh buruk sehingga prevalensinya
tinggi.3
Telur cacing Hookworm juga
memiliki prevalensi yang cukup tinggi pada
penelitian ini yaitu terdapat pada 23,1%
sampel potongan kuku tangan pengrajin
genteng. Keberadaan telur cacing
Hookworm dapat disebabkan karena
kebiasaan pengrajin genteng kontak
langsung dengan lingkungan kerja sehari-
hari yaitu tanah liat dan masih kurangnya
penggunaan alas kaki maupun pelindung
tangan pada pengrajin genteng.
Pada
penelitian ini teridentifikasi juga telur
cacing campuran Ascaris lumbricoides dan
Trichuris trichiura salah satu penyebabnya
karena kondisi lingkungan pertumbuhan
kedua telur cacing ini hampir sama. Namun,
telur cacing Trichuris trichiura jarang
ditemukan dikarenakan pada siklus hidup
cacing Trichuris trichiura memerlukan
waktu yang cukup lama dan pada tanah
yang lembab dan teduh agar telur menjadi
matang.4
1. Keberadaan telur cacing
berdasarkan karakteristik subjek
penelitian.
a. Hasil pemeriksaan telur cacing pada
responden berdasarkan umur.
112
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing Berdasarkan Umur
No Umur
(tahun)
Telur Cacing Total
Ada Tidak ada
N % N % N %
1 Masa remaja (12-25) 1 3,8% 3 11,5% 4 15,4%
2 Masa dewasa (26-45) 9 34,6% 7 26,9% 16 61,5%
3 Masa lansia (46-65) 3 11,5% 3 11,5% 6 23,1%
Jumlah 13 50% 13 50% 26 100%
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin
Telur Cacing Total
Ada Tidak ada
N % N % N %
1 Laki-laki 8 30,8% 11 42,3% 19 73,1%
2 Perempuan 5 19,2% 2 7,7% 7 26,9%
Jumlah 13 50% 13 50% 26 100%
Mulan Tirtayanti, dkk., IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA USUS PADA KUKU TANGAN PENGRAJIN
GENTENG DI DESA PEJATEN, KEDIRI, TABANAN
Hasil pemeriksaan telur cacing pada
responden berdasar umur dapat dilihat pada
tabel 2.
Berdasar tabel di atas, dapat dilihat
bahwa keberadaan telur cacing yang
tertinggi terdapat pada responden pada
rentang umur 26-45 tahun yaitu sebanyak 9
orang (34,6%). Hal tersebut dapat
disebabkan karena responden dominan
berada pada masa dewasa dengan rentang
umur 26-45 tahun yaitu 16 orang (61,5%)
dibandingkan dengan responden lainnya,
sehingga tidak bisa menunjukkan bahwa
orang dewasa memiliki prilaku yang lebih
buruk yang dapat menyebabkan adanya telur
cacing pada kotoran kuku tangannya. Hal ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Martila, Sandy dan Paembonan (2015)
yang menyatakan bahwa infeksi kecacingan
yang disebabkan oleh STH terjadi pada
semua golongan umur sebesar 40% - 60%.5
b. Hasil pemeriksaan telur cacing pada
responden berdasarkan jenis kelamin.
Adapun hasil pemeriksaan telur
cacing pada responden berdasarkan jenis
kelamin dapat dilihat pada tabel 3.
Berdasar tabel di atas, dapat dilihat
bahwa keberadaan telur cacing yang
tertinggi terdapat pada responden berjenis
kelamin laki-laki yaitu sebanyak 8 orang
(30,8%). Hal tersebut dapat disebabkan
karena perbandingan jenis kelamin
113
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing Berdasarkan Pendidikan
No Pendidikan
Telur Cacing Total
Ada Tidak ada
N % N % N %
1 Tidak bersekolah 6 23,1% 2 7,7% 8 30,8%
2 Tamat SD 4 15,4% 4 15,4% 8 30,8%
3 Tamat SMP 3 11,5% 6 23,1% 9 34,6%
4 Tamat SMA 0 0% 1 3,8% 1 3,8%
Jumlah 13 50% 13 50% 26 100%
Mulan Tirtayanti, dkk., IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA USUS PADA KUKU TANGAN PENGRAJIN
GENTENG DI DESA PEJATEN, KEDIRI, TABANAN
responden yang terbanyak adalah berjenis
kelamin laki-laki yaitu 19 orang (73,1%)
sedangkan pada perempuan adalah 7 orang
(26,9%), sehingga tidak bisa diartikan
bahwa telur cacing yang dominan pada jenis
kelamin laki-laki. Selain hal tersebut,
seringnya pengrajin genteng kontak
langsung dengan tanah liat dalam bekerja,
baik itu pekerja berjenis kelamin laki-laki
maupun perempuan memiliki risiko yang
sama dalam terinfeksi telur cacing.
c. Hasil pemeriksaan telur cacing pada
responden berdasarkan pendidikan.
Hasil pemeriksaan telur cacing pada
responden berdasarkan pendidikan dapat
dilihat pada tabel 4.
Berdasar tabel di atas, dapat dilihat
bahwa keberadaan telur cacing yang
tertinggi terdapat pada responden yang tidak
bersekolah yaitu sebanyak 6 orang (23,1%).
Hal ini disebabkan karena pendidikan atau
pengetahuan mempengaruhi terhadap
penyakit kecacingan dan sangat berperan
penting untuk mencegah terjadinya penyakit
kecacingan. Kecenderungan pengetahuan
rendah akan semakin meningkatkan risiko
infeksi kecacingan.6
2. Keberadaan Telur Cacing
Berdasarkan Kebersihan Perorangan
Berikut adalah keberadaan telur
cacing pada responden berdasarkan
kebersihan kuku, kebiasaan mencuci tangan,
penggunaan pelindung tangan serta
penggunaan alas kaki.
a. Kebersihan kuku
Adapun kategori kebersihan kuku
responden dapat dilihat pada tabel 5.
Berdasar tabel 5 dapat diketahui
bahwa keberadaan telur cacing yang tinggi
terdapat pada responden yang memiliki
kebersihan kuku buruk yaitu sebanyak 12
orang (46,2%). Kegiatan memotong kuku
ini penting dilakukan untuk mencegah
kemungkinan masuknya tanah liat yang
merupakan salah satu tempat hidup ataupun
sumber penularan telur cacing STH. Murid
yang memiliki kebiasaan buruk memotong
kuku terinfestasi tinggi dari 70 orang murid
114
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Tabel 5. Kebersihan Kuku Pengrajin Genteng
No Kebersihan Kuku
Telur Cacing Total
Ada Tidak ada
N % N % N %
1 Baik 1 3,8% 13 50% 14 53,8%
2 Buruk 12 46,2% 0 0% 12 46,2%
Jumlah 13 50% 13 50% 26 100%
Tabel 6. Kebiasaan Mencuci Tangan Pengrajin Genteng
No Kebiasaan
Mencuci Tangan
Telur Cacing Total
Ada Tidak ada
N % N % N %
1 Baik 2 7,7% 11 42,3% 13 50%
2 Buruk 11 42,3% 2 7,7% 13 50%
Jumlah 13 50% 13 50% 26 100%
Mulan Tirtayanti, dkk., IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA USUS PADA KUKU TANGAN PENGRAJIN
GENTENG DI DESA PEJATEN, KEDIRI, TABANAN
yang mempunyai kebiasaan buruk dalam
memotong kuku terdapat 65% positif
terinfestasi.7
b. Kebiasaan Mencuci Tangan
Adapun kategori kebiasaan mencuci
tangan responden dapat dilihat pada
tabel 6.
Mencuci tangan yang baik akan
dapat mengurangi risiko infeksi kecacingan
yang berasal dari tangan dan kuku yang
kotor. Berdasar tabel di atas dapat diketahui
bahwa keberadaan telur cacing yang tinggi
terdapat pada responden yang memiliki
kebiasaan mencuci tangan buruk yaitu
sebanyak 11 orang (42,3%). Hal tersebut
disebabkan karena responden hanya
mencuci tangan dengan air yang ditampung
pada ember serta tanpa menggunakan sabun.
Mmencuci tangan menggunakan air bersih
dan sabun akan dapat mematikan telur
cacing yang melekat pada tangan dan kuku.8
c. Kebiasaan Penggunakan Pelindung
Tangan.
Adapun kebiasaan penggunaan pelindung
tangan responden dapat dilihat pada tabel 7.
Penggunaan sarung tangan saat
bekerja sangat membantu pengrajin genteng
dalam melindungi tangan dan kukunya agar
tidak terselip tanah liat yang mengandung
telur cacing. Hasil penelitian dari seluruh
responden yang tidak menggunakan
pelindung tangan tersebut, masih terdapat
50% responden dengan keberadaan telur
Tabel 7. Kebiasaan Penggunaan Pelindung Tangan Pengrajin Genteng
No Penggunaan
Pelindung Tangan
Telur Cacing Total
Ada Tidak ada
N % N % N %
1 Ya 0 0% 0 0% 0 0%
2 Tidak 13 50% 13 50% 26 100%
Jumlah 13 50% 13 50% 26 100%
115
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Tabel 8. Penggunaan Alas Kaki Pengrajin Genteng
No Penggunaan Alas
Kaki
Telur Cacing Total
Ada Tidak ada
N % N % N %
1 Baik 4 15,4% 8 30,8% 12 46,2%
2 Buruk 9 34,6% 5 19,2% 14 53,8%
Jumlah 13 50% 13 50% 26 100%
Mulan Tirtayanti, dkk., IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA USUS PADA KUKU TANGAN PENGRAJIN
GENTENG DI DESA PEJATEN, KEDIRI, TABANAN
cacing pada kuku tangannya. Hal ini dapat
disebabkan karena responden memotong
kuku dengan baik dan rutin serta mencuci
tangan dengan air bersih sehingga 50%
responden lainnya tidak terinfeksi telur
cacing.
d. Pengunaan Alas Kaki
Kebiasaan penggunaan alas kaki
responden dapat dilihat pada tabel 8.
Lingkungan sekitar pengrajin
genteng dengan beralaskan tanah liat,
mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap infeksi kecacingan pada pengrajin
genteng, sehingga perlu diperhatikan
penggunaan alas kaki pada pengrajin
genteng. Berdasar tabel di atas dapat
diketahui bahwa keberadaan telur cacing
tertinggi terdapat pada responden yang
memiliki kebiasaan penggunaan alas kaki
buruk yaitu sebanyak 9 orang (34,6%).
Kebiasaan tidak memakai alas kaki berisiko
lebih besar terinfeksi cacing dibanding
responden yang memiliki kebiasaan
memakai alas kaki dalam aktifitas sehari-
hari.9
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, presentase
pengrajin genteng yang positif terdapat telur
cacing pada kotoran kuku tangan adalah
50%. Presentase jenis telur cacing yang
ditemukan adalah telur cacing Ascaris
lumbricodes sebanyak 53,8%, Hookworm
sebanyak 23,1%, campuran telur cacing
Ascaris lumbricodes dan Hookworm
sebanyak 15,4% serta campuran telur cacing
Ascaris lumbricodes dan Trichuris trichiura
sebanyak 7,7%.
Berdasar karakteristik responden,
keberadaan telur cacing yang tinggi terdapat
pada responden pada rentang umur 26-45
tahun sebanyak 34,6%, jenis kelamin laki-
laki sebanyak 30,8% serta pada responden
yang tidak bersekolah sebanyak 23,1%.
Berdasar kebersihan perorangan keberadaan
telur cacing yang tinggi pada responden
yang memiliki kebersihan kuku buruk
sebanyak 46,2%, kebiasaan mencuci tangan
buruk sebanyak 42,3%, tidak menggunakan
pelindung tangan yaitu 50% serta kebiasaan
116
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Mulan Tirtayanti, dkk., IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA USUS PADA KUKU TANGAN PENGRAJIN
GENTENG DI DESA PEJATEN, KEDIRI, TABANAN
penggunaan alas kaki buruk sebanyak
34,6%.
SARAN
Bagi Instansi Kesehatan Kabupaten
Tabanan diharapkan melakukan kegiatan
promosi kesehatan secara rutin, sedangkan
bagi pengrajin genteng diharapkan menjaga
kebersihan kuku dengan memotong kuku
secara rutin, mencuci tangan setelah kontak
dengan tanah liat, menggunakan sarung
tangan dan alas kaki dalam bekerja.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kieswari, A.F.D. Hubungan Antara
Kebersihan Perorangan dan Sanitasi
Tempat Kerja dengan Kejadian Infeksi
Soil Transmitted Helminths pada
Pengrajin Genteng di Desa Singorojo
Kecamatan Mayong Kabupaten
Jepara.http://lib.unnes.ac.id/438/1/6030.
pdf, diakses tanggal 16 November 2015.
2. Ridley, J. Kesehatan dan Keselamatan
Kerja Edisi Ketiga. Jakarta : Erlangga.
2006
3. Safar, R. 2009. Parasitologi Kedokteran
Protozoologi, Entomologi dan
Helmintologi. Bandung : Yrama
Widya.Adam, S. 2009
4. Guntur, W.G. Identifikasi Telur Cacing
Gelang dan Cacing Cambuk Metode
Konsentrasi dengan Teknik Sedimentasi
pada Siswa Kelas 1 dan 2 SD Negeri 2
Lebih Gianyar Bali. Denpasar : STIKES
Wira Medika Bali, 2013
5. Martila, S. Sandy dan N. Paembonan.
Hubungan Higiene Perorangan dengan
Kejadian Kecacingan pada Murid SD
Negeri Abe Pantai Jayapura.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/1234
56789/6822/1/08E00343.pdf, diakses
tanggal 29Mei 2016.
6. Jusuf, A., Ruslan dan M. Selomo,
Gambaran Parasit Soil Transmitted
Helminths dan Tingkat Pengetahuan,
Sikap Serta Tindakan Petani Sayur di
Desa Waiheru Kecamatan Baguala Kota
Ambon. http://repository.
unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/
JURNAL.pdf, diakses tanggal 29 Mei
2016.
7. Jalaluddin, Pengaruh Sanitasi
Lingkungan, Personal Hygiene dan
Karakteristik Anak Terhadap Infeksi
Kecacingan pada Murid Sekolah Dasar di
Kecamatan Blang Mangat Kota
Lhokseumawe.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/1234
56789/6730/1/09E01727.pdf, diakses
pada 05 Januari 2016.
8. Rizki, R., Hubungan Higiene
Perorangan Siswa dengan Infeksi
Kecacingan Anak SD Negeri di
Kecamatan Sibolga Kota Sibolga.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/1234
56789/6822/1/08E00343.pdf, diakses
tanggal 29 Mei 2016.
9. Sumanto, D. Faktor Resiko Infeksi
Cacing Tambang pada Anak Sekolah.
http://core.ac.uk/download/files/379/1172
2932.pdf ,diakses tanggal 13 November
2015.
117
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Meditory
Number 7
PEMERIKSAAN KLINIK BERBASIS BIOSENSOR BAGIAN 2:
Biosensor Virus Untuk Deteksi Penyakit Patogen
Nur Habibah1
Abstract
Nowadays, rapid determination of several viruses which caused pathogen diseases is really
important. Most of rapid detection of human pathogen viruses was developed by using
biosensor technology. Biosensor technology offers several advantages, such as simple,
efficient, low cost, fast response, easy to operate, and reliable. Viral detection by using
biosensor can also avoid the delay of diagnosis, so the doctor can determine the type of drugs
quickly and also can decide the type of patient care, properly.
Most of biosensor for virus detection was exploited by using electrochemical principle, with
amperometric and volumetric transducer. Almost of virus biosensor used immobilized
antibody onto electrode surface as a biorecognition element. Some of viruses that could be
detected by using electrochemical biosensor are HCV, HBV, HIV and influenza virus.
However, quality control of the biosensor result is important, so the biosensor could be
selected as an alternative method for on-site determination, especially in clinical
determination.
Keywords: biosensor, virus biosensor, virus detection, pathogen diseases detection
PENDAHULUAN
Dewasa ini, kebutuhan terhadap
metode analisis yang cepat, akurat, efektif,
efisien dan mudah serta murah terus
meningkat. Hal ini tentu saja menjadi
tantangan baru bagi peneliti, tidak terkecuali
di bidang pengembangan pemeriksaan
klinik. Metode baru yang mulai banyak
dikembangkan saat ini adalah teknologi
sensor dan biosensor. Biosensor
dikembangkan dengan mengintegrasikan
sinyal biologis dari molekul seperti enzim,
antibodi, fag-aptamer, atau rantai tunggal
DNA dengan suatu transduser fisikokimia
yang sesuai, menjadi sinyal elektrik yang
bermakna1,2
.
Sejak pertama kali
dikembangkan oleh Clark dan Lyons pada
tahun 1962 dengan mengimobilisasi enzim
glukosa oksidase pada permukaan elektroda
untuk mendeteksi glukosa darah, teknologi
biosensor berkembang sangat pesat, salah
satunya biosensor untuk mendeteksi virus3.
1.,2.,3., Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Denpasar
Korespondensi : Nur Habibah1, Jurusan Analis
Kesehatan, Poltekes Denpasar, Jalan Sanitasi No. 1
Sidakarya, Denpasar-Bali 80224, Indonesia.
Telp. +62-361-710 527, Fax. +62-361-710 448
Email : [email protected]
118
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Nur Habibah, PEMERIKSAAN KLINIK BERBASIS BIOSENSOR BAGIAN 2: Biosensor Virus Untuk Deteksi
Penyakit Patogen
Setiap jenis virus memiliki
mekanisme aksi yang berbeda. Secara
umum virus terdiri dari virion (10-100 nm),
yang mengandung genom DNA atau RNA
yang dikemas dalam suatu kapsid4. Asam
nukleat virus berfungsi untuk membawa
informasi genetik yang diperlukan saat
replikasi virus pada sel inang, sedangkan
kapsid berfungsi untuk melindungi asam
nukleat dari nukleasis dan membantu proses
penempelan virus ke sel inang. Virus
memerlukan sel inang untuk dapat
bereproduksi dan bertahan hidup, dan
sebagian besar virus bersifat patogen bagi
manusia3,4,5
. Virus dapat berpindah melalui
makanan dan lingkungan, misalnya HRV,
HEV, HAVs, astrovirus, sapovirus,
enterovirus, coronavirus, parvovirus,
rotavirus, adenovirus, dan lain-lain4. Hingga
saat ini, rotavirus masih menjadi salah satu
penyebab utama diare pada anak, dan
dilaporkan menyebakan kematian hingga
5% penderita setiap tahunnya. Adenovirus
merupakan virus yang menyebabkan infeksi
saluran nafas, okular hingga enterik. Virus
tersebut merupakan satu dari banyak virus
yang sulit didiagnosa, karena memberikan
gejala yang sangat sedikit5. Di beberapa
negara berkembang, penyakit yang
disebabkan oleh virus lain seperti malaria,
TB, pneumonia, influenza dan HIV pernah
menjadi pandemi3 Penyakit yang disebabkan
oleh virus dapat dicegah, tetapi sayangnya
ratusan bahkan ribuan kasus kematian,
terutama yang menimpa anak-anak dan
balita setiap tahunnya disebabkan oleh
virus5. Oleh karena itu, penyakit patogen
yang disebabkan oleh virus menjadi masalah
serius yang perlu diperhatikan.
Hingga saat ini, proses deteksi dan
kuantifikasi virus masih banyak dilakukan
dengan metode konvensional. Metode
konvensional yang banyak dilakukan adalah
pengujian secara mikrobiologi. Meskipun
metode pengujian tersebut memiliki
sensitivitas yang cukup tinggi, namun
pengujian secara mikrobiologi memerlukan
waktu yang relatif lama, meliputi tahap
kultur sel yang membutuhkan waktu 2-10
hari, tergantung pada jenis virus yang
dideteksi, diikuti dengan tahap pengujian
imunologi. Selain itu, pengujian secara
mikrobiologi harus dilakukan oleh tenaga
ahli3,4
.
Infeksi yang disebabkan oleh virus
seringkali memberikan gejala umum yang
hampir sama, sehingga menyulitkan dokter
untuk menentukan diagnosa. Penggunaan
teknologi biosensor untuk mendeteksi virus
akan memungkinkan dokter untuk
memastikan virus penyebab suatu infeksi
dengan cepat dan memberikan resep dan
jenis penanganan yang tepat. Adanya
antibodi spesifik dapat dideteksi
menggunakan komponen virus sebagai agen
119
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Nur Habibah, PEMERIKSAAN KLINIK BERBASIS BIOSENSOR BAGIAN 2: Biosensor Virus Untuk Deteksi Penyakit
Patogen
Nur Habibah, PEMERIKSAAN KLINIK BERBASIS BIOSENSOR BAGIAN 2: Biosensor Virus Untuk Deteksi Penyakit
Patogen
sensing untuk menunjukkan sejarah infeksi
pada pasien non-imunocompromised3.
Deteksi dan kuantifikasi virus
merupakan hal yang mendasar untuk
beragam aplikasi, mulai dari sanitasi dan
produksi makanan hingga untuk
kepentingan diagnostik dan terapeutik.
Pengembangan teknologi biosensor untuk
dapat menghasikan biosensor virus yang
efisien, sensitif, mudah dan ekonomis masih
terus dilakukan hingga saat ini. Terdapat
beberapa jenis biosensor virus yang telah
dikembangkan, antara lain metode optik
seperti Surface Plasmon Resonance (SPR),
serat optik, kuantum dot, elektrokimia
seperti amperometri, voltametri, impedansi
dan material nano6,7,8,9
PEMBAHASAN
Biosensor Virus Elektrokimia: Biosensor
Amperometri dan Volumetri
Biosensor adalah perangkat bioanalitik
yang mengintegrasikan rekognisi molekul
dengan suatu transduser fisikokimia.10
Biosensor terdiri dari dua komponen utama,
yaitu bioreseptor yang akan mengenali
analit target dan transduser yang akan
merubah sinyal biologis menjadi sinyal
elektrik yang terukur. Pada umumnya,
perangkat biosensor juga ditambah dengan
amplifier yang berfungsi untuk
memperbesar sinyal elektrik yang diterima
sehingga dapat dilanjutkan ke bagian
pemroses data dengan mudah. Bioreseptor
yang digunakan pada umumnya berupa
asam nukleat, baik DNA, RNA atau PNA,
enzim, antibodi, sel atau mikroorganisme,
sedangkan jenis transduser yang digunakan
antara lain transduser elektrokimia, optik,
pizoelektrik dan termal11
. Komponen utama
biosensor dapat dilihat pada Gambar 14.
Sebagian besar biosensor yang
digunakan untuk mendeteksi patogen adalah
biosensor elektrokimia. Biosensor
elektrokimia memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan dengan transduser lain, antara
Gambar 1. Komponen utama biosensor
120
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Nur Habibah, PEMERIKSAAN KLINIK BERBASIS BIOSENSOR BAGIAN 2: Biosensor Virus Untuk Deteksi Penyakit
Patogen
lain memiliki sensitivitas yang tinggi,
cocok untuk dikembangkan dalam skala
mikro, instrumentasi yang digunakan
sederhana, pengukuran tidak dipengaruhi
oleh kekeruhan sampel, absorbsi atau
fluoresensi komponen dalam sampel, serta
dapat digunakan untuk deteksi sampel
dengan berbagai jenis pelarut, sifat elektrolit
dan temperatur3,11
. Deteksi secara
elektrokimia biasanya digunakan untuk
deteksi virus patogen dengan menggunakan
rekognisi DNA-DNA, DNA-PNA, DNA-
RNA dan DNA-aptamer asam
nukleat.11,12,13,14
.
Kelebihan lain biosensor
elektrokimia adalah dapat digunakan untuk
analisis in-situ serta dapat dioperasikan
tanpa tenaga ahli. Analisis dan deteksi virus
pada biosensor jenis ini didasarkan pada
prinsip afinitas, dimana antibodi digunakan
untuk “mengikat” virus5 Kuantifikasi
dengan menggunakan biosensor
elektrokimia didasarkan pada pengukuran
perubahan arus, potensial dan impedansi,
yang diinduksi oleh reaksi biokimia yang
terjadi antara bioreseptor dengan target
analit. Sebagian besar biosensor
elektrokimia menggunakan transduser
amperometri danvolumetri11
.
Pada umumnya, biosensor virus
elektrokimia dibagi menjadi 3, yaitu
biosensor voltametri, amperometri dan
impedansi. Pada biosensor amperometri,
hubungan antara arus dengan potensial di
ukur di dalam sel elektrokimia, sedangkan
biosensor voltametri mengukur tegangan
pada saat tidak arus yang dialirkan.
Transduser amperometri akan mendeteksi
ikatan antara analit dengan bioreseptor jika
ada produk yang dapat menyebabkan
terjadinya reaksi redoks pada permukaan
elektroda, biasanya dilakukan dengan
penambahan kompleks enzim antibodi-
redoks3. Pada umumnya biosensor
amperometri menggunakan elektroda
karbon screen-printed karena lebih stabil,
murah, disposable dan dapat digunakan
untuk volume dalam jumlah kecil15
.
Permasalahan yang sering ditemukan pada
biosensor elektrokimia adalah proses
imobilisasi bioreseptor. Pada proses
imobilisasi, bioreseptor arus dijaga agar
tidak mengalami perubahan dan denaturasi.
Selain itu, sensor amperometri dan
volumetri sensitif terhadap perubahan pH
dan ikatan molekul yang tidak spesifik
sehingga dapat memberikan hasil positif
palsu3.
Beberapa pengembangan dan
aplikasi biosensor elektrokimia untuk proses
deteksi virus telah dipublikasikan. Biosensor
elektrokimia yang dikembangkan oleh Ding,
et al. mampu mendeteksi sekuen virus
hepatitis B (HBV) melalui interaksi antara
DNA virus dengan indikator redoks 2,9-
dimetil-1,10-fenantrolin-kobalt. Deteksi
121
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Nur Habibah, PEMERIKSAAN KLINIK BERBASIS BIOSENSOR BAGIAN 2: Biosensor Virus Untuk Deteksi Penyakit
Patogen
elektrokimia pada biosensor ini dilakukan
menggunakan voltametri siklik dan
voltametri diferensial pulsa. Pada kondisi
optimum, sinyal elektrik yang dihasilkan
memiliki linieritas pada range konsentrasi
DNA target sebesar 3,96×10-7
~1,32×10-6
M,
dengan limit deteksi 1,94×10-8
M. hal ini
membuktikan bahwa biosensor ini memiliki
sensitivitas yang cukup baik.16
Biosensor lain yang dikembangkan
oleh Arikyosal et al. mampu mendeteksi
sekuen DNA virus HBV, menggunakan
prinsip deteksi voltametri, dengan
memonitor sinyal oksidasi guanin pada
pengembangan resistensi lamivudin. Pada
kondisi optimum, biosensor ini mampu
mendeteksi hingga konsentrasi 457 fmol/mL
DNA target17
. Biosensor virus HBV yang
lain dikembangkan dengan menggunakan
indikator hibridisasi bis-(benzimidazol)-
cadmium(II) dinitrat untuk mengembangkan
biosensor elektrokimia sekuen DNA virus
HBV. Biosensor ini memiliki range
konsentrasi 1,49×10-7
~1,06×10-6
M dengan
limit deteksi
8,4×10-8
M.18
Biosensor HBV lain
dikembangkan oleh Zhang et al., dengan
menggunakan kompleks diaquabis-[N-(2-
piridinilmetil)-benzamida-ĸ2N,O]-
cadmium(II) dinitrat sebagai indikator
elektroaktif untuk mendeteksi adanya HBV
secara voltametri. Biosensor ini dapat
mendeteksi DNA virus HBV secara selektif
pada range konsentrasi
1,01×10-8
~1,62×10-6
molL-1
, dan memiliki
limit deteksi 7,19×10-9
mol L-1
.19
Inovasi
biosensor amperometri lain dikembangkan
oleh Lonescu, et al. untuk mendeteksi
antibodi Virus West Nile (WNV) dengan
mengimobilisasi bakteriofage T7. Biosensor
ini terbukti potensial untuk dikembangkan
sebagai biosensor untuk diagnosis virus20
.
Biosensor amperometri lain yang
banyak dikembangkan adalah biosensor
virus hepatitis C (HCV). Hepatitis C adalah
penyakit yang ditemukan di hati akibat
adanya infeksi virus HCV. Pada umumnya
infeksi ini tidak memberikan gejala, namun
dapat menyebabkan infeksi kronis yang
mengakibatkan terjadinya sirosis hati setelah
bertahun-tahun. Pada beberapa kasus, sirosis
hati dapat menyebabkan terjadinya gagal
fungsi hati, kanker hati, varises lambung dan
esofagus yang dapat membahayakan jiwa21
.
Beberapa biosensor HCV yang pernah
dilaporkan antara lain adalah biosensor
elektrokimia yang dikembangkan oleh
Riccardi et al. Biosensor ini memiliki
kelemahan karena memerlukan waktu
respon yang relatif lama, yaitu 10 menit22
.
Biosensor elektrokimia untuk deteksi HCV
secara kualitatif dan kuantitatif didasarkan
pada pembelahan spesifik enzim BamHI
endonuklease juga berhasil dikembangkan
oleh Liu, et al. Kuantifikasi didasarkan pada
perbedaan puncak arus yang bervariasi,
122
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Nur Habibah, PEMERIKSAAN KLINIK BERBASIS BIOSENSOR BAGIAN 2: Biosensor Virus Untuk Deteksi Penyakit
Patogen
yang linier pada range konsentrasi
0,1~2,5μM23
.
Virus lain yang penting dan dapat
menginfeksi manusia adalah virus HIV. HIV
adalah lentivirus yang dapat menyebabkan
acquired immunodeficiency syndrome, yaitu
suatu kondisi dimana terjadi kegagalan
progresif dari sistem kekebalan tubuh
sehingga dapat menyebabkan infeksi
oportunistik yang membahayakan jiwa
hingga metastasis sel kanker. Deteksi awal
virus HIV sangat penting dilakukan untuk
penanganan penyakit serta pencegahan
penyebaran penyakit21
.
Sebagian biosensor elektrokimia
untuk deteksi virus HIV dikembangkan
menggunakan teknologi nanomaterial. Salah
satu biosensor virus HIV yang
dikembangkan dengan teknologi nano
adalah ultra trace biosensor voltametri,
dengan menggunakan matriks nanotubes
karbon yang berisi nano partikel perak, yang
dilekatkan pada mikroelektroda emas
sebagai media pendukung untuk imobilisasi
21-mer ss-DNA. Biosensor ini memiliki
bekerja pada range konsentrasi 1~100 pM
dengan limit deteksi 0,5 pM24
.
Pengembangan biosensor elektrokimia lain
untuk mendeteksi virus HIV-1 dilakukan
dengan mengimobilisasi bioreseptor pada
matriks nano biokomposit kitosan/Fe3O4
dengan menggunakan metilen biru sebagai
indikator hibridisasi redoks. Imobilisasi
bioreseptor pada matriks pendukung
dilakukan berdasarkan pada ikatan kovalen
yang terjadi antara sisi aktif elektroda
dengan bioreseptor yang digunakan.
Penggunaan Fe3O4 dapat meningkatkan
transfer elektron, sehingga mampu
meningkatkan sensitivitas sensor. Elektroda
pada biosensor ini dilaporkan memiliki limit
deteksi yang cukup rendah, yaitu 50 pM
dengan stabilitas dan reprodusibilitas yang
cukup baik25
.
Biosensor elektrokimia untuk deteksi
jenis virus lain yang juga banyak
dikembangkan antara lain adalah biosensor
virus influenza A, virus avian influenza dan
virus papilloma. Salah satu biosensor
elektrokimia yang ultrasensitif untuk
mendeteksi virus influenza A dikembangkan
menggunakan glukosa oksidase yang
dideposisikan pada nano partikel perak-
heksasianoferat. Biosensor ini disebut
sebagai biosensor ultrasensitif karena
mampu mendeteksi ss-DNA target hingga
pada rang konsentrasi femtomolar.
Konsentrasi DNA target dikorelasikan
dengan puncak arus voltamogram pada
voltametri diferensial pulsa. Konsentrasi
DNA dapat terkuantifikasi dengan baik jika
berada pada range 1,0~10,0 fM, dengan
limit deteksi 1,0 fM25
. Biosensor
elektrokimia virus papilloma dikembangkan
dengan mengimobilisasi rantai tunggal
oligonukleotida (HS-ssDNA) secara
123
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Nur Habibah, PEMERIKSAAN KLINIK BERBASIS BIOSENSOR BAGIAN 2: Biosensor Virus Untuk Deteksi Penyakit
Patogen
koadsorpsi spontan pada permukaan
elektroda emas screen-printed. DNA yang
telah terimobilisasi pada permukaan
elektroda tersebut, mampu meng-hibridisasi
secara selektif DNA dalam larutan
membentuk DNA rantai ganda (ds DNA)
pada permukaan elektroda. DNA
diperlakukan dalam asam, dan basa purin
yang dilepaskan dalam kondisi asam diukur
langsng secara voltametri. Pada kondisi
optimum, biosensor ini mampu mendeteksi
sekuen DNA target hingga pada konsentrasi
2pgmL-1
. Biosensor ini meiliki kekurangan,
karena hanya dapat digunakan satu kali27
.
Biosensor Virus Elektrokimia: Biosensor
Impedansi
Selain hubungan antara arus-potensial
dan tegangan, perubahan kapasitansi dan
impedansi pada saat terjadi fenomena
hibridisasi dapat digunakan untuk
kuantifikasi biosensor. Biosensor impedansi
elektrokimia untuk deteksi virus pada
umumnya dikembangkan menggunakan
lapisan monolayer dan polimer konduktif
pada permukaan elektroda3. Skema
biosensor impedansi yang dikembangkan
dengan mengimobilisasi antigen pada
lapisan monolayer dapat dilihat pada
Gambar 23.
Proses hibridisasi antara biosensor
dengan antivirus yang terimobilisasi, akan
menimbulkan respon konduktivitas yang
dapat terukur, yang kemudian akan di
konversikan menjadi perubahan resisitensi
dan atau kapasitansi. Deteksi teradap
perubahan kapasitansi lebih mudah
dilakukan karena tidak memerlukan
elektroda referensi. Akan tetapi, teknik ini
memiliki beberapa kekurangan anatara lain
kurang sensitif, dan ikatannya idak spesifik,
Antibodi terimobilisasi
Lapisan monolayer
Elektroda emas
Gambar 2. Biosensor virus yang dikembangkan dengan mengimobilisasi antibodi pada
lapisan monolayer di permukaan elektroda emas3
124
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Nur Habibah, PEMERIKSAAN KLINIK BERBASIS BIOSENSOR BAGIAN 2: Biosensor Virus Untuk Deteksi Penyakit
Patogen
seingga dapat memberikan hasil positif
palsu3.
Beberapa biosensor impedansi yang
telah dikembangkan anatara lain biosensor
untuk deteksi virus influenza, herpes, HBV,
HCV, demam, rabies dan HIV3. Salah satu
biosensor impedansi untuk deteksi virus
berhasil dikembangkan pada tahun 2015.
Biosensor ini dikembangkan dengan lapisan
multilayer untuk modifikasi elektroda emas.
Lapisan multilayer yang digunakan adalah
1,6-heksanaditiol, asam 11-
merkaptoundekanoat, dan 5 jenis antibodi
monoklonal yang diimobilisasi pada
permukaan elektroda secara kovalen.
Biosensor ini mampu mendeteksi 5 tipe
adenovirus. Biosensor ini memiliki
kemampuan deteksi yang baik, dengan limit
deteksi 30 partikel virus/mL21
. Biosensor
impedansi virus yang lain dikembangkan
dengan memasangkan metode biosensor ini
dengan spektroskopi elektrokimia impedansi
(EIS) dan mikroskop gaya atom (AFM)3.
Meskipun biosensor impedansi virus
ini sangat potensial untuk dikembangkan,
namun pengembangan metode ini masih
terbilang baru. Pengembangan secara
kontinyu sangat diperlukan untuk
meningkatkan stabilitas, selektivitas dan
sensitivitas elektroda, serta kecepatan
respons sehingga mampu digunakan untuk
real-time monitoring3.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa pengembangan
biosensor di bidang pemeriksaan klinik,
utamanya untuk deteksi virus patogen
memberikan banyak keuntungan. Deteksi
virus menggunakan biosensor mampu
memeberikan hasil yang lebih cepat,
sehingga memungkinkan diagnosis yang
lebih cepat serta penanganan yang lebih
tepat. Disamping itu, deteksi dini terhadap
penyakit patogen dapat mengurangi
penyebaran virus serta resiko yang mungkin
timbul akibat penyebaran virus tersebut.
Sebagian besar biosensor virus
dikembangkan dengan mengimobilisasi
asam nukleat atau antibodi pada permukaan
elektroda. Interaksi antara antara antibodi
dengan DNA virus akan menghasilkan
respon yang dapat terkuantifikasi. Biosensor
virus yang paling banyak dikembangkan
adalah biosensor elektrokimia dengan
transduser amperometri, volumetri dan
impedansi. Beberapa virus patogen yang
telah berhasil dideteksi dengan biosensor
elektrokimia antara lain adalah virus HIV,
HCV, HBV dan influenza.
Saran
Perlu disampaikan review
pengembangan biosensor virus dengan
metode yang lain, seperti sensor optik virus
dan sensor pizoelektrik virus, serta
125
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Nur Habibah, PEMERIKSAAN KLINIK BERBASIS BIOSENSOR BAGIAN 2: Biosensor Virus Untuk Deteksi Penyakit
Patogen
biosensor untuk deteksi penyakit patogen
yang disebabkan oleh bakteri. Selain itu,
perlu juga disampaikan pengembangan
sensor untuk pemeriksaan di bidang yang
lain seperti lingkungan dan industri
makanan sehingga dapat memberikan
informasi dan wawasan yang baru kepada
pembaca dan peneliti. Pelaksanaan kontrol
kualitas terhadap hasil yang diberikan oleh
biosensor dan sensor juga perlu terus
dikembangkan agar hasil yang diberikan
selalu akurat, sehingga dapat dijadikan
sebagai alternatif metode untuk pemeriksaan
di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
1. E.B. Bahadir and M.K. Sezgintürk,
Applications of Commercial Biosensors
in Clinical, Food, Environmental, and
Biothreat/Biowarfare Analyses, Anal.
Biochem., 2015 (478), 107–120.
2. V. Perumal and U. Hashim, Advances In
Biosensors: Principle, Architecture And
Applications, J. of App. Biomed. 2014
(12), 1–15.
3. Caygill, R.L., Blair, G.E. and Miller,
P.A., A Review on Viral Biosensor to
Detect Human Pathogens, Anal. Chim.
Acta, 2010 (681), 8-15.
4. Yadav, R., Dwivedi, S., Kumar, S. and
Chaudhury, Trends and Perspectives of
Biosensors for Food and Environmental
Virology, Food Environ. Virol, 2010 (2),
53-63.
5. Altintas, Z., Gittens, M., Pocock, J. and
Tothill, I.E., Biosensor for Waterborne
Viruses: Detection and Removal,
Biochimie, 2015 (115), 144-154.
6. Yang, L. and Bashir, R.,
Electrical/electrochemical impedance for
rapid detection of foodborne pathogenic
bacteria, Biotechnol. Adv., 2008 (26),
135–150.
7. Ricci, F., Volpe, G., Micheli, L. and
Palleschi, G., Anal. Chim. Acta, 2007
(605).
8. Munoz-Berbel, X., Godino, N., Laczka,
O., Baldrich, E., Munoz, F.X. and Del-
Campo, F.J., Impedance-Based
Bioensors for Pathogen Detection,
Springer, 2008.
9. Wark, A.W., Lee, J., Kim, S., Faisal,
S.N. and Lee, H.J., Bioaffinity Detection
of Pathogen on Srfaces, J. Ind. Eng.
Chem., 2010 (16), 169-177.
10. Malhotra, B. D., Chaubey, A. and Singh,
S.P., Prosepect of Cnducting Polymers
in Biosensors, Anal. Chim. Acta, 2006
(578), 59-74.
11. Singh, R., Mukherjee, M.D., Sumana,
G., Gupta, R.K., Sood, A. and Malhotra,
B.D., Biosensors for Pathogen
Detection: A Smart Approach Towards
Clinical Diagnosis, Sens. And Act. B:
Chem., 2014 (197), 385-404.
12. Drummond, T.G., Hill, M.G. and
Barton, J.K, Electrochemical DNA
Sensors, Nat. Biotechnol., 2003 (21),
1192-1199.
13. Mothershed, E.A. and Whitney, A.M.,
Nucleic Acid-Based Methods for the
Detection of Bacterial Pathogens:
Present and Future Considerations for
the Clinical Laboratory, Clin. Cim. Acta,
2006 (363), 206-220.
14. Girousi, S., Karastogianni, S. and Serpi,
C., Innovative Configurations of
Electrochemical DNA Biosensors (A
Review), Sens. Electroanal., 2011 (6),
65-87.
15. Yu, D., Blankert, B., Viré, J-C. and
Kauffmann, J-M., Biosensors in Drug
Discovery Analysis, Anal. Letters., 2005
(38), 1687-1701.
16. Ding, C., Zhao, F., Zhang, M. and
Zhang, S., Hybridization Biosensor
Using 2,9-Dimethyl-1,10-Phenantroline
Cobalt as Electrochemical Indicator for
126
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Nur Habibah, PEMERIKSAAN KLINIK BERBASIS BIOSENSOR BAGIAN 2: Biosensor Virus Untuk Deteksi Penyakit
Patogen
Detection of Hepatitis B Virus DNA,
Bioelectrochemistry, 2008 (72), 28-33.
17. Arikyosal, D.O., Karadeniz, H., Erdem,
A., Sengonul, A., Sayiner, A.A. and
Ozsoz, M., Label-Free Electrochemical
Hybridization Genosensor for the
Detection of Hepatitis B Virus Genotype
on the Development of Lamivudine
Resistance, Anal. Chem., 2005 (77),
4908-4917.
18. Li, X-M., Ju, H-Q., Du, L-P. and Zhang,
S-S., A Nucleic Acid Biosensor for the
Detection of a Short Sequence Related
to the Hepatitis B Virus Using Bis-
(Benzimidazole)-Cadmium(II) Dinitrate
as an Electrochemical Indicator, J. of
Inorganic Chem., 2007 (101), 1165-
1171.
19. Zhang, S., Tan, Q., Li, F. and Zhang, X.,
Hybridization Biosensor Using
Diaquabis[N-(2-
Pyridinylmethyl)Benzamide-к2N,O]-
Cadmium(II) Dinitrate as a New
Electroactive Indicator for Detection of
Human Hepatitis B Virus DNA, Sens.
And Act. B: Chem., 2007 (124), 290-
296.
20. Ionescu, R.E., Cosnier, S., Herzog, G.,
Gorgy, K., Leshem, B., Herrmann, S.
and Marks, R.S., Enzyme Microb.
Technol., 40 (2007), 403.
21. Lin, D., Tang, T., Jed Harrison, D., Lee
W.E. and Jemere, A.B., A Regenerating
Ultrasensitive Electrochemical
Impedance Immunosensor for the
Detection of Adenovirus, Biosens.
Bioelectron., 2015 (68), 129-134.
22. Riccardi, C.S., Kowalik, J., Josowics,
M., Hideko, Y., Mizaikoff, B. and
Kranz, C., Label-Free DNA Detection of
Hepatitis C Virus (HCV), 210th ECS
Meeting, 2006, 585.
23. Liu, S., Hu, Y., Jin, J., Zhang H. and
Cai, C., Electrochemical Detection of
Hepatitis C Virus based on Site-Specific
DNA Cleavage of BamHI Endonuclease,
Chem. Commun., 2009 (13).
24. Wang, R., Xue, C., Gao, M., Qi, H. and
Zhang, C., Ultratrace Voltammetric
Method for the Detection of DNA
Sequence Related to Human
Immunodeficiency Virus Type 1,
Microchim. Acta, 2011 (172), 291-297.
25. Tran, L.D., Nguyen, B.H., Van Hieu, N.,
Tran, H.V., Nguyen H. Le. and Nguyen,
P.X., Electrochemical Detection of Short
HIV Sequences on Chitosan/Fe 3O4
Nanoparticle Based Screen Printed
Electrodes, Mater. Sci. Eng. C, 2011
(31), 477-485.
26. Chen, X., Xie, H., Seow, Z.Y. and Gao,
Z., Biosensors and Bioelectronics an
Ultrasensitive DNA Biosensor based on
Enzyme-Catalyzed Deposition of Cupric
Hexacyanoferrate Nanoparticles, Bioens.
And Bioelectron., 2010 (25), 1420–6.
27. Zari, N., Amine, A. and Enhaji, M.M.,
Label-Free DNA Biosensor for
Electrochemical Detection of Short
DNA Sequences Related to Human
Papilloma Virus, Anal. Letters, 2009
(42), 519-535.
127
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Meditory
Number 1 Number 8
GAMBARAN KADAR KALSIUM DARAH PADA WANITA MENOPAUSE
DI BANJAR BINOH KAJA, DESA UBUNG KAJA,
KECAMATAN DENPASAR UTARA
Made Indah Kesuma Dewi1, IGA. Dewi Sarihati
2, Cok. Dewi Widhya HS
3
ABSTRACT
Background: Menopause women are one of the groups that have a high risk of osteoporosis,
because at that time the amount of estrogen is reduced so that the absorption of calcium from
the digestive tract will be reduced about 20-25%. This is the reason why the level of calcium
decreasing in blood. According to the initial observation at Banjar Binoh Kaja by researcher,
from 10 menopause women, four of them are at risk of osteoporosis.
Methode: This study is a descriptive study which describes the blood calcium levels in
menopause women at Banjar Binoh Kaja, Ubung Kaja Village, North Denpasar District, by
doing measurement on their blood calcium concentration with O – Cresolphthalein
Complexon (OCPC) method. The 34 respondents taken from total population of menopause
women in age range 50-65 years. Respondent was selected using purposive sampling with
criteria: menopause women in age range 50-65 years and not undergoing hormone
replacement therapy.
.Result: The results showed that the average concentration of blood calcium is 8,83 mg/dL
which 11.76% respondents had low levels of blood calcium and 88.24% respondents had
normal blood calcium levels. 33,33% respondents in age range 62 – 65 years and 66,67%
respondents in 16 – 20 years periods of menopause has decrement of blood calcium levels.
Coclusion: The decrement of blood calcium levels mostly held in respondents in age range 62
– 65 years and respondents with 16-20 years periods of menopause.
Keywords: blood calcium, menopause.
PENDAHULUAN
Wanita yang telah mengalami
menopause termasuk dalam golongan yang
berisiko tinggi terhadap osteoporosis1 Pada
masa tersebut jumlah hormon estrogen
berkurang dan mengakibatkan terjadinya
penurunan kadar kalsium darah 2.
Hormon estrogen memiliki efek tidak
langsung pada tubuh yaitu berperan dalam
pengaturan keseimbangan kalsium dalam
tubuh. Estrogen akan meningkatkan
penyerapan kalsium di usus dan
menurunkan pengeluaran kalsium dari ginjal
sehingga kalsium di dalam darah dapat
dipertahankan kadarnya 3.
Menurut Hutton4, menurunnya kadar
estrogen akan diikuti dengan penurunan
penyerapan kalsium yang terdapat dalam
makanan sehingga wanita yang mencapai
masa menopause cenderung mengalami
1.,2.,3., Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Denpasar
Korespondensi : Made Indah Kesuma Dewi1, Jurusan
Analis Kesehatan, Poltekes Denpasar, Jalan Sanitasi
No. 1 Sidakarya, Denpasar-Bali 80224, Indonesia.
Telp. +62-361-710 527, Fax. +62-361-710 448
Email : [email protected]
128
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Made Indah Kesuma Dewi, dkk., GAMBARAN KADAR KALSIUM DARAH PADA WANITA MENOPAUSE
DI BANJAR BINOH KAJA, DESA UBUNG KAJA,
KECAMATAN DENPASAR UTARA
pengurangan penyerapan kalsium sebanyak
20-25%. Penyerapan kalsium dari saluran
pencernaan yang berkurang mengakibatkan
kalsium tulang akan diambil atau diserap
untuk memenuhi kadar kalsium darah
sehingga terjadilah pengeroposan tulang
(osteoporosis)5.
Kalsium darah adalah kalsium yang
berada dalam darah dan jaringan lunak.
Kadar kalsium darah harus dikontrol dalam
batas kadar yang sempit untuk mendapatkan
fungsi fisiologinya yang normal6. Kalsium
dalam darah atau cairan ekstraseluler (CES)
berperan penting dalam proses fisiologis,
yang meliputi kontraksi otot rangka, jantung
dan otot polos, pembekuan darah, transmisi
impuls saraf dan pembentukan tulang.
Orang dewasa normal memiliki rentang
konsentrasi kalsium plasma (darah) 2,2-2,6
mmol/L atau 8,8-10,4 mg/dL7. Pemeriksaan
kadar kalsium darah pada wanita menopause
(dengan umur ≥ 50 tahun) merupakan
pemeriksaan yang hasilnya dapat digunakan
dalam menentukan risiko teradinya
osteoporosis 8.
METODE
Penelitian ini adalah penelitian
deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan
untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan suatu fenomena di
masyarakat atau memotret masalah
kesehatan pada sekelompok penduduk atau
orang yang tinggal dalam komunitas tertentu
Populasi penelitian ini adalah seluruh
wanita yang berumur 50-65 tahun di Banjar
Binoh Kaja, Desa Ubung Kaja, Kecamatan
Denpasar Utara yang berjumlah 137 orang.
Besar sampel 34 orang yang ditentukan
berdasarkan cara purposive sampling.
Data primer dikumpulkan dengan
metode wawancara dan pemeriksaan
laboratorium. Wawancara dilakukan untuk
mengetahui nama responden, jenis kelamin
responden, umur responden, lama
menopause responden, konsumsi suplemen
kalsium dan vitamin D responden, riwayat
penyakit responden, pendidikan terakhir
responden, dan pekerjaan responden. Kadar
kalsium darah diukur melalui pemeriksaan
laboratorium menggunakan alat Cobas
Integra 400 Plus dengan metode O –
Cresolphthalein Complexon (OCPC) di
Laboratorium Patologi Klinik RSUP
Sanglah Denpasar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
a. Hasil pemeriksaan kadar kalsium darah
pada wanita menopause
Berdasarkan hasil analisis, diperoleh
rata-rata kadar kalsium darah pada
responden adalah sebesar 8,83 mg/dL,
dengan kadar kalsium darah terendah adalah
129
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Made Indah Kesuma Dewi, dkk., GAMBARAN KADAR KALSIUM DARAH PADA WANITA MENOPAUSE
DI BANJAR BINOH KAJA, DESA UBUNG KAJA,
KECAMATAN DENPASAR UTARA
8,12 mg/dL dan kadar kalsium darah
tertinggi adalah 9,32 mg/dL.
Kadar kalsium darah pada wanita
menopause menurut kategori dapat dilihat
pada Tabel 1.
Kadar kalsium darah yang diperoleh
dari hasil pemeriksaan dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu: rendah (<8,40 mg/dL),
normal (8,40-9,70 mg/dL), dan tinggi (>9,70
mg/dL). Berdasarkan hasil penelitian,
sebagian besar responden memiliki kadar
kalsium darah yang normal yaitu sebanyak
30 orang (88,24%).
b. Kadar kalsium darah pada wanita
menopause berdasarkan kelompok usia
Kadar kalsium darah pada wanita
menopause berdasarkan kelompok usia
dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan kelompok usia, dari 34
responden, kadar kalsium darah yang rendah
paling banyak ditemukan pada kelompok
usia 62-65 tahun, yaitu sebanyak 4 orang
(33,33%).
c. Kadar kalsium darah pada wanita
menopause berdasarkan lama
menopause
Kadar kalsium darah pada wanita
menopause di berdasarkan lama menopause
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 1. Kadar Kalsium Darah pada Wanita Menopause
Kadar Kalsium Darah (mg/dL) Jumlah Persentase (%)
< 8,40
8,40-9,70
>9,70
4
30
0
11,76
88,24
0
Total 34 100
Tabel 2. Kadar Kalsium Darah pada Wanita Menopause Berdasarkan Kelompok Usia
Kelompok
Usia (th)
Kadar Kalsium Darah (mg/dL) Total
< 8,40 8,40-9,70 >9,70
∑ % ∑ % ∑ % ∑ %
50-53
54-57
58-61
62-65
0
0
0
4
0
0
0
33,33
5
8
9
8
100
100
100
66,67
0
0
0
0
0
0
0
0
5
8
9
12
100
100
100
100
130
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Made Indah Kesuma Dewi, dkk., GAMBARAN KADAR KALSIUM DARAH PADA WANITA MENOPAUSE
DI BANJAR BINOH KAJA, DESA UBUNG KAJA,
KECAMATAN DENPASAR UTARA
Berdasarkan lama menopause, dari 34
responden, kadar kalsium darah yang rendah
paling banyak ditemukan pada wanita
menopause yang telah mengalami
menopause selama 16-20 tahun, yaitu
sebanyak 4 orang (66,67%).
Pembahasan
Rata-rata dari seluruh hasil
pemeriksaan kadar kalsium darah pada
wanita menopause adalah 8,83 mg/dL yang
tergolong kategori normal. Hasil penelitian
pada Tabel 1 menunjukkan bahwa 11,76%
responden memiliki kadar kalsium darah
yang rendah, 88,24% responden memiliki
kadar kalsium darah yang normal, dan 0%
responden memiliki kadar kalsium darah
yang tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa
lebih banyak wanita menopause yang
memiliki kadar kalsium darah yang normal.
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan di Pk. St. Corolus Jakarta Timur,
dimana sebagian besar wanita menopause
yang diteliti mempunyai kadar kalsium
darah yang normal yaitu sebanyak 61,82% 8.
Berbeda halnya dengan hasil penelitian yang
dilakukan di RW 03 Kelurahan
Sendangmulyo, Kecamatan Tembalang,
Semarang, dimana diperoleh hasil kadar
kalsium darah pada wanita menopause yang
diteliti cenderung rendah yaitu sebanyak
69,23% dan hanya 30,77% yang memiliki
kadar kalsium darah yang normal9.
Kadar kalsium darah yang normal
disebabkan karena metabolisme kalsium di
dalam tubuh berjalan normal dan tidak
adanya gangguan pada faktor-faktor yang
mempengaruhi kadar kalsium darah
tersebut. Menurut Sauberlich10
, kadar
kalsium serum dikontrol secara ketat oleh
berbagai faktor termasuk asupan gizi yang
diterima oleh tubuh. Selain itu, kontrol juga
dilakukan oleh 1,25-
dehidroxycholecalsiferol, hormon paratiroid,
kalsitonin, fosfor, protein, dan estrogen.
Tabel 3.Kadar Kalsium Darah pada Wanita Menopause Berdasarkan Lama Menopause
Lama
Menopause
(th)
Kadar Kalsium Darah (mg/dL) Total
< 8,40 8,40-9,70 >9,70
∑ % ∑ % ∑ % ∑ %
1-5
6-10
11-15
16-20
0
0
0
4
0
0
0
66,67
8
7
13
2
100
100
100
33,33
0
0
0
0
0
0
0
0
8
7
13
6
100
100
100
100
131
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Made Indah Kesuma Dewi, dkk., GAMBARAN KADAR KALSIUM DARAH PADA WANITA MENOPAUSE
DI BANJAR BINOH KAJA, DESA UBUNG KAJA,
KECAMATAN DENPASAR UTARA
Penurunan kadar kalsium darah dapat terjadi
apabila terdapat ketidakseimbangan diantara
faktor-faktor tersebut. Salah satunya adalah
penurunan kadar hormon estrogen secara
bertahap yang dialami oleh wanita
menopause. Hormon estrogen memiliki efek
tidak langsung pada tubuh yaitu berperan
dalam pengaturan keseimbangan kalsium
dalam tubuh. Estrogen akan meningkatkan
penyerapan kalsium di usus dan
menurunkan pengeluaran kalsium dari ginjal
sehingga kalsium di dalam darah dapat
dipertahankan kadarnya11
.
Penurunan kadar kalsium darah terjadi
pada wanita menopause kelompok usia
tertinggi, yaitu kelompok usia 62-65 tahun.
Hasil analisis terhadap kadar kalsium darah
dari 34 responden diperoleh kadar kalsium
darah terendah adalah sebesar 8,12 mg/dL
yang ditemukan pada responden yang
berusia 65 tahun, sedangkan kadar kalsium
darah tertinggi (namun masih dalam batas
normal) yaitu 9,32 mg/dL ditemukan pada
responden yang berusia 50 tahun. Hasil ini
menggambarkan bahwa semakin tinggi usia
maka kadar kalsium darah akan mengalami
penurunan. Hasil ini senada dengan
penelitian yang dilakukan di Panti Sosial
Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar,
dimana pemeriksaan kadar kalsium darah
terhadap wanita menopause usia 50-60
tahun menunjukkan penurunan kadar
kalsium darah paling banyak terjadi pada
wanita menopause yang berusia 60 tahun12
.
Kemampuan tubuh menyerap kalsium
dari makanan semakin menurun dengan
semakin bertambanya usia13
. Laju
kehilangan kalsium akan meningkat cepat
pada wanita pascamenopause (tiga sampai
tujuh tahun setelah menopause) dikarenakan
kekurangan hormon estrogen. Hutton
menjelaskan bahwa, menurunnya kadar
estrogen akan diikuti dengan penurunan
penyerapan kalsium yang terdapat dalam
makanan sehingga wanita yang mencapai
masa menopause cenderung mengalami
pengurangan penyerapan kalsium sebanyak
20-25% 4.
Penurunan kadar kalsium darah
ditemukan pada wanita menopause dengan
rentang lama waktu menopause 16-20 tahun.
Hasil analisis terhadap kadar kalsium darah
dari 34 responden diperoleh kadar kalsium
darah terendah adalah sebesar 8,12 mg/dL
yang ditemukan pada responden yang
memiliki rentang lama waktu menopause 19
tahun, sedangkan kadar kalsium darah
tertinggi (namun masih dalam batas normal)
yaitu 9,32 mg/dL ditemukan pada responden
yang memiliki rentang lama waktu
menopause 1 tahun. Hasil ini
menggambarkan bahwa kadar kalsium darah
yang rendah terjadi pada wanita menopause
yang mempunyai rentang lama waktu
menopause yang panjang. Semakin lama
132
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Made Indah Kesuma Dewi, dkk., GAMBARAN KADAR KALSIUM DARAH PADA WANITA MENOPAUSE
DI BANJAR BINOH KAJA, DESA UBUNG KAJA,
KECAMATAN DENPASAR UTARA
waktu menopause maka kadar hormon
estrogen juga akan semakin berkurang.
Penurunan hormon estrogen akan
berpengaruh pula pada efektivitas
penyerapan kalsium di usus dan tentunya
kadar kalsium darah dalam tubuh juga dapat
berkurang.
Produksi hormon estrogen tidak akan
berhenti secara tiba-tiba pada awal
menopause karena tidak terjadi kerusakan
pada indung telur14
. Produksi hormon
estrogen akan berangsur-angsur berkurang
dan penurunan ini akan memakan waktu
yang cukup lama dan bertahap.
Berkurangnya kadar hormon estrogen akan
mengganggu penyerapan kalsium yang akan
mempengaruhi kadar kalsium darah
sehingga akan menggangu proses
pembentukan tulang dan fungsi kerja dalam
tubuh lainnya. Rendahnya hormon estrogen
dalam jangka panjang akan menimbulkan
ancaman osteoporosis (pengeroposan
tulang) yang membuat mudahnya terjadi
patah tulang. Penelitian menunjukkan,
37,3% terjadinya osteoporosis dialami oleh
wanita >40 tahun yang sudah menopause
dan 6% pada wanita yang belum
menopause15
.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Wanita menopause di Banjar Binoh Kaja,
Desa Ubung Kaja, Kecamatan Denpasar
Utara memiliki rata-rata kadar kalsium
darah sebesar 8,83 mg/dL, dimana 11,76 %
responden memiliki kadar kalsium yang
rendah dan 88,24 % responden memiliki
kadar kalsium darah yang normal. Kadar
kalsium darah yang rendah paling banyak
ditemukan pada kelompok usia 62-65 tahun
yaitu sebesar 33,33%. Kadar kalsium darah
yang rendah ditemukan pada kelompok
responden dengan lama waktu menopause
16-20 tahun yaitu sebesar 66,67%.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
dengan mengontrol faktor-faktor risiko lain
yang dapat mempengaruhi kadar kalsium
darah, seperti asupan makanan, aktivitas
fisik, kebiasaan merokok, kebiasaan
konsumsi alkohol dan kafein, serta penyakit
lain yang dapat mempengaruhi kadar
kalsium darah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Akmal, M., dkk, Ensiklopedi
Kesehatan Untuk
Umum,Yogyakarta: AR-RUZZ
MEDIA, 2010.
2. Febriani, R. Hubungan Tingkat
Pengetahuan Osteoporosis Dengan
Perilaku Pencegahan Osteoporosis
Pada Wanita Pre-Menopause Di
Kelurahan Jebres Surakarta, (online),
available:
[http://dglib.uns.ac.id/pengguna.
php?mn= showview&id=2926], (22
Januari 2014), 2010
3. Purnamasari, D., Ensiklopedia
Praktis Kesehatan: Mendeteksi
Gejala Penyakit – Penyakit Umum
133
Meditory | Vol. 4, No.2, Desember 2016
Made Indah Kesuma Dewi, dkk., GAMBARAN KADAR KALSIUM DARAH PADA WANITA MENOPAUSE
DI BANJAR BINOH KAJA, DESA UBUNG KAJA,
KECAMATAN DENPASAR UTARA
Bagi Orang Awam dan
Penanggulangannya, Yogyakarta:
Pustaka Radja. 2011
4. Kuntjoro, Z.S., Menopause,
(online), available: [http://www.e-
psikologi.com/artikel/lanjut-
usia/menopause], (22 Januari 2014).
2002.
5. Waluyo, S., 100
Questions&Answers: Menopause
atau Mati Haid, Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo. 2010.
6. Imron S., Gambaran
Pemeriksaan Kalsium Darah dan
Urine Pada Lansia yang Ikut Senam
di Sasana kyai Saleh Semarang,
(online), available :
[http:digilib.unimus.ac.id] (22
November 2013). 2009.
7. Guyton, A.C. dan Hall J.E., Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran, Alih
Bahasa : Irawati, dkk., Edisi 11,
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.2007.
8. Aruan dan Apryana, Gambaran
Kalsium Darah Pada Wanita
Menopause, (online), available:
[http://library.thamrin.ac.id/index.ph
p?p=show_detail&id =1588] (22
Januari 2014). 2011.
9. Tyas, A.C., Gambaran Kalsium
Darah Pada Wanita Menopause ,
(online), available:
[http://digilib.unimus.ac.id/files/disk
1/125/jtpunimus-gdl-apriliyaca-
6213-1-babi.pdf], (22 Desember
2013), 2011.
10. Suryono, dkk., Pengaruh
Pemberian Susu Terhadap Kadar
Kalsium Darah dan Kepadatan
Tulang Remaja Pria, Media Gizi dan
Keluarga,Juli 2007 31(1): p.63-
70.2007.
11. Purnamasari, D., Ensiklopedia
Praktis Kesehatan: Mendeteksi
Gejala Penyakit – Penyakit Umum
Bagi Orang Awam dan
Penanggulangannya, Yogyakarta:
Pustaka Radja. 2011.
12. Fridayani, I., Pemeriksaan
Kalsium Pada Wanita Usia 50-60
Tahun, Karya Tulis Ilmiah tidak
diterbitkan, Denpasar: Jurusan
Analis Kesehatan STIKes Wira
Medika.2011.
13. Waluyo, S., 100
Questions&Answers: Menopause
atau Mati Haid, Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo.2010.
14. Wirakusumah, E.S., Menopause,
Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.2003.
15. Tsania, N., Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian
Osteoporosis Pada Kelompok Usia
40 Tahun Keatas di Lima
Puskesmas Kecamatan Sukmajaya
Kota Depok tahun 2008, (online),
available :
[http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital
/125633-S-5641-Faktor-
faktor%20osteoporosis-Hasil.pdf], (6
Pebruari 2014).2008.
134
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
Meditory
Number 9
Zika Outbreak: What You Need to Know
Luh Ade Wilan Krisna1
Abstract
The Zika virus (ZIKV) is a flavivirus related to Dengue, Yellow Fever virus,
Japanese encephalitis virus and West Nile virus. It is responsible for mosquito-transmitted
infection known as Zika fever or Zika disease. Zika Virus is commanding worldwide attention
recently because researchers have found evidence that Zika may be linked to birth defects
and neurological conditions like microcephaly and Guillain-Barré syndrome in adults.
Zika virus infection is among the nationally notifiable diseases in the South East Asia
including Indonesia. State and local health departments should be informed by healthcare
professionals of suspected cases of Zika virus infection to facilitate diagnosis and to reduce
the risk of local transmission.
Most cases of Zika virus infection are mild and self-limited. Owing to the mild nature
of the disease, more than 80% of Zika virus infection cases likely go unnoticed. However,
serious complications have been reported in rare cases, including Guillain-Barré syndrome.
Key words: Zika virus, flavivirus, microcephaly, Guillain-Barre Syndrome
PENDAHULUAN
Virus Zika (ZIKV) merupakan golongan
genus Flavivirus; seperti flavivirus lainnya,
virus zika adalah virus RNA single-standed
yang terbungkus ikosahedral – kumpulan
lipid dilindungi oleh tonjolan padat yang
terdiri dari membran dan glikoprotein1.
Pada banyak kasus, infeksi virus zika
menyebabkan penyakit self-limited yang
ringan. Masa inkubasinya sekitar 3-12 hari.
Karena sifat penyakit yang ringan, lebih dari
80% kasus infeksi virus zika mungkin tidak
diketahui. – Spektrum penyakit virus zika
tumpang-tindih dengan yang lainnya yaitu
infeksi arboviral, tapi beruam
(makulopapular dan mungkin termediasi
imun)2.
Pada April 2016, Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit (CDC)
memperingatkan risiko tinggi akibat infeksi
virus zika, ditandai dengan peningkatan
vektor nyamuk (30 negara bagian Amerika
dari 12 yang diperkirakan sebelumnya) dan
risiko perpindahan penduduk yang
berhubungan dengan Olimpiade 2016 di
Brazil3.
Virus zika pertama kali ditemukan
pada monyet rhesus febrile di hutan Zika
Entebbe, Uganda dan dilaporkan
menginfeksi para pekerja lapangan tidak
1.,2.,3., Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Denpasar
Korespondensi : Luh Ade Wilan Krisna1, Jurusan
Analis Kesehatan, Poltekes Denpasar, Jalan Sanitasi
No. 1 Sidakarya, Denpasar-Bali 80224, Indonesia.
Telp. +62-361-710 527, Fax. +62-361-710 448
Email : [email protected]
135
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
Luh Ade Wilan Krisna, Zika Outbreak: What You Need to Know
lama setelahnya.
1 Saat ini, virus Zika
diketahui tersebar luas di Afrika. Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
(CDC) menyebutkan bahwa beberapa
negara Amerika dan kepulauan pasifik
sebagai wilayah transmisi virus aktif. Infeksi
virus zika merupakan penyakit yang harus
dilaporkan secara nasional di Amerika
Serikat. Badan kesehatan negara dan
wilayah di Negara tersebut harus
mengiinformasikan terjadinya kasus infeksi
virus zika untuk membantu diagnosis dan
mengurangi risiko transmisi lokal4,5
.
Kasus virus Zika juga terjadi di Indonesia,
namun untuk kasus kelahiran bayi dengan
microcephaly dari penderita Zika belum
ditemukan. Lembaga Eijkman mencatat ada
lima kasus virus Zika di Indonesia, yaitu: (1)
pada tahun 1981 dilaporkan terdapat satu
pasien di rumah sakit Tegalyoso, Klaten,
Jawa Tengah; (2) pada tahun 1983
dilaporkan terdapat 6 dari 71 sampel di
Lombok, NTB; (3) pada tahun 2013
dilaporkan seorang turis perempuan dari
Australia positif terinfeksi virus Zika setelah
9 hari tinggal di Jakarta; (4) pada tahun
2015 dilaporkan seorang turis dari Australia
terinfeksi virus Zika setelah digigit monyet
di Bali; dan (5) pada tahun 2015-2016
Lembaga Eijkman melaporkan seorang
pasien di Provinsi Jambi positif terinfeksi
virus Zika. Bulan Agustus 2016 di
Singapura, tercatat ada 41 orang yang positif
terinfeksi virus ini, sedangkan pada April
2016 di Vietnam mengonfirmasi ada 2 orang
yang terinfeksi virus Zika5.
Temuan-temuan ini cukup mengejutkan
mengingat virus Zika endemik di kawasan
Afrika, Amerika, dan area Pasifik. Virus ini
terbilang langka di kawasan Asia Tenggara.
Oleh karena itu, perlu adanya ulasan
mengenai apa sebenarnya virus Zika,
bagaimana patogenesisnya, tindakan kuratif
dan preventif apa saja yang perlu diketahui
masyarakat untuk mencegah dampak berupa
cacat lahir ataupun kematian.
PEMBAHASAN
Klasifikasi Sistematis Virus Zika
Group: Group IV ((+)ssRNA)
Family: Flaviviridae
Genus: Flavivirus
Species: virus zika
Virus zika adalah molekul RNA single-
stranded positif dengan panjang dasar
10794 dengan dua non-coding regions
flanking regions yang dikenal sebagai NCR
5’ dan NCR 3’. Kerangka baca terbuka
pembacaan virus zika adalah: 5′-C-prM-E-
NS1-NS2A-NS2B-NS3-NS4A-NS4B-NS5-
3′ dan kode untuk poliprotein yang
kemudian terbelah menjadi kapsid (C),
membran prekursor (prM), bungkus (E) dan
protein non struktural (NS). Protein E
membangun sebagian besar permukaan
virus dan terlibat dalam replikasi seperti
pengikatan sel inang dan fusi membran.
136
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
Luh Ade Wilan Krisna, Zika Outbreak: What You Need to Know
NS1, NS3, dan NS5 adalah protein tidak
berubah bentuk yang berukuran besar
sementara protein NS2A, NS2B, NS4A, dan
NS4B adalah protein hidrofobik yang lebih
kecil. Di dalam NCR 3’ terdapat 428
nukleotida yang berperan dalam
penerjemahan, pembungkusan RNA,
stabilisasi genome siklisasi, dan rekognisi.
NCR 3’ membentuk struktur loop dan NCR
5’ memungkinkan penerjemahan melalui
katup nukleotida atau protein genome1,21,22
.
Struktur Virus Zika
Virion zina biasanya berbentuk
ikosahedral. Terbungkus dengan diameter
18-45 nanometer. Genomenya adalah RNA
strand positif yang diselubungi kapsida dan
dikelilingi membran. RNA terdiri dari
10.794 nukleotida yang mengkodekan 3.419
asam amino1,21
.
ZIKV adalah virus RNA yang mengandung
10.794 nukleotida yang mengkodekan3.419
anggota clade dalam klaster vektor nyamuk
penular flavivirus. Penelitian di hutan Zika
menyatakan bahwa infeksi ZIKV dengan
blunted the viremia disebabkan oleh virus
demam kuning pada monyet19,23
.
Epidemiologi
Infeksi global akibat virus zika belum
dilaporkan secara luas karena perjalanan
asam amino. Homolog 90% dengan virus
Spondweni; virus tersebut merupakan klinis
asimtomatik, kemiripan klinis infeksi lain
dengan flavivirus lain (dengue;
chikungunya), dan karena kesulitan
memastikan diagnosis6.
Berdasarkan laporan kasus sporadis, survei
entomologis, dan survei seroprevalensi,
infeksi virus zika telah dilaporkan ada di
beberapa inang, termasuk manusia, primata,
dan nyamuk, di 14 negara di seluruh Afrika,
Asia, dan Oseania pada tahun 20149.
Penyebaran infeksi virus zika di Uganda
sebesar 6.1% pada tahun 1952 dari 99
penduduk10
. Penyebaran infeksi virus zika
sebesar 7.1% ditemukan di Jawa, Indonesia
pada tahun 1977-1978 dari pasien yang
dirawat karena demam11
. Sejak virus zika
diisolasi pada tahun 1947, penyakit infeksi
telah menyebar ke Afrika, terutama di Asia
Tenggara. Hingga 2007, dilaporkan adanya
Struktur Virus ZIKA
137
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
Luh Ade Wilan Krisna, Zika Outbreak: What You Need to Know
kasus sporadis penyakit virus zika pada
manusia. Pada tahun 2007, Yap Island di
Micronesia melaporkan wabah infeksi virus
zika yang ditransmisikan melalui Aedes
hensilli5.Setelah itu, pada tahun 2013 dan
2014, epidemik infeksi virus zika terjadi di
Polinesia Perancis, New Kaledonia, Cook
Islands, dan Easter Islands12
.
Pada bulan Mei 2015, Brazil melaporkan
wabah infeksi virus zika di Amerika.
Kementerian Kesehatan Brazil
memperkirakan ada sekitar 440.000-
1.300.000 kasus infeksi virus zika pada
Desember 201513
. Aedes aegypti dan Aedes
albopictus dianggap sebagai vektor
transmisi virus zika. Sejak saat itu, infeksi
tersebut telah menyebar dengan cepat ke
beberapa negara lain, menjadi wabah.
Hubungan infeksi virus zika dengan
sindrom Guillain-Barre (GBS) dan cacat
kelahiran bawaan (khususnya microcephaly)
di tengah-tengah wabah infeksi virus zika
yang sedang terjadi di Brazil masih berada
dalam penyelidikan13,14
.
Pada Maret 2016, WHO melaporkan bahwa
virus zika secara aktif berputar di 38 negara
dan teritori, 12 di antaranya telah
melaporkan peningkatan kasus GBS atau
bukti laboratorium adanya virus zika di
antara pasien penyakit GBS.15
Pada Juni 2016, sebanyak 591 laboratorium
menyatakan infeksi virus zika dihasilkan
melalui transmisi bawaan vektor lokal.
Dilaporkan ada sebelas kasus ditransmisikan
secara seksual, dan satu kasus berhubungan
dengan sindrom Guillain-Barre. Negara
teritorial AS mendapatkan 935 kasus lokal
hasil laboratorium infeksi virus zika dan 4
kasus berkenaan dengan perjalanan.
Dilaporkan juga lima kasus berhubungan
dengan sindrom Guilain-Barre16
.
Patofisiologi
Seperti banyak favivirus lain, virus zika
ditransmisikan oleh antropoda: nyamuk
Aedes, termasuk Aedes aegypti,Aedes
africanus, Aedes luteocephalus, Aedes
albopictus, Aedes vittatus, Aedes furcifer,
Aedes hensilli, dan Aedesapicoargenteus.
Juga melalui transmisi seksual antar
manusia6,7
.
Virus zika mudah beradaptasi untuk
tumbuh di berbagai inang, mulai dari
antropoda hingga vertebrata. Penempelan
virus ke penerima seluler tak teridentifikasi
dimediasi oleh glikoprotein E (envelope).
Hal ini diikuti oleh serapan endositik,
pengelupasan nukleokapsida dan pelepasan
virus RNA ke sitoplasma. Poliprotein virus
diproduksi dan dimodifikasi oleh retikulum
endoplasma. Virion yang belum matang
terkumpul dalam retikulum endoplasma dan
vesikula sekretorik sebelum dilepaskan6.
Sirohi et al menjelaskan struktur virus zika
dewasa berdasarkan mikroskopi
cryoelectron. Rangkaian virus yang
diketahui sebagai struktur flavivirus dengan
138
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
Luh Ade Wilan Krisna, Zika Outbreak: What You Need to Know
pengecualian hampir 10 asam amino di
sekeliling glikosilasi Asn154 pada tiap 180
glikoprotein E mengandung cangkang
ikosahedral. Karbohidrat pada ikosahedral
merupakan tempat pelekatan virus ke sel
inang6.
Patogenesis
Transmisi:
Virus zika menyebar pada manusia melalui
gigitan nyamuk. Virus yang diperoleh dari
nyamuk genus Aedes meliputi Aedes
africanus, Aedes apicoargenteus, Aedes
leuteocephalus, Aedes aegypti, Aedes
vitattus dan Aedes furcifer. Beberapa bukti
menyebutkan bahwa virus zika juga dapat
ditransmisikan ke manusia melaui transfusi
darah, transfusi perinatal dan transmisi
seksual. Namun, jenis transmisi ini sangat
jarang. Virus ini juga ditemukan pada satu
kasus dalam air mani1,5,6
.
Siklus penyakit berlanjut dari host reservoir
– nyamuk – host reservoir, 2-5 hari viremia
di host, 5-7 hari dalam tubuh nyamuk, lalu
kembali ke host1,7
.
Informasi terkait patogenesis ZIKV bersifat
langka tapi flavivirus yang dibawa nyamuk
dianggap sebelumnya mereplikasi diri dalam
sel deindrit di dekat tempat inokulasi lalu
menyebar ke kelenjar getah bening dan
aliran darah. Walaupun replikasi flaviviral
dianggap terjadi dalam sitoplasma seluler,
beberapa penelitian menyatakan bahwa
antigen ZIKV dapat ditemukan dalam
nukleus sel terinfeksi8.
Manifestasi Klinis
Laporan pertama tentang penyakit ZIKV
pada manusia dilakukan pada tahun 1964.
Simpson dalam penelitiannya menjelaskan
tentang penyakit ZIKV pada pasien laki-laki
berusia 28 tahun. Penyakit itu dimulai
dengan sakit kepala ringan. Hari berikutnya,
ruam makulopapular menutupi wajah, leher,
badan, dan lengan atas, dan kemudian
menjalar hingga telapak tangan dan kaki.
Lalu demam disertai kelesuan, dan ruam
memudar. Di hari ketiga, kondisi pasien
mulai membaik dan hanya terdapat ruam
yang menghilang di 2 hari berikutnya. ZIKV
terisolasi dari serum yang didapatkan ketika
sedang demam27
.
Pada tahun 1973, Filipe et al., melaporkan
penyakit ZIKV melalui hasil laboratorium
pada laki-laki dengan serangan demam,
sakit kepala, dan sakit punggung yang akut
tanpa ruam. ZIKV terisolasi dari serum yang
didapat di hari pertama gejala, penyakit laki-
laki itu sembuh dalam waktu 1 minggu26
.
Dari 7 pasien ZIKV di Indonesia yang
digambarkan oleh Olson et al., semua pasien
mengalami demam. Manifestasi lain
termasuk anoreksia, diare, konstipasi, sakit
perut, dan pusing.11
Satu pasien mengalami
konjungtivitis tapi tanpa ruam. Wabah di
Yap Island ditandai oleh konjungtivitis
ruam, dan artralgia. Manifestasi lain yang
139
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
Luh Ade Wilan Krisna, Zika Outbreak: What You Need to Know
jarang terjadi termasuk sakit kepala mialgia,
sakit retro orbital, edema, dan muntah2.
Masa Inkubasi:
Masa inkubasi (waktu dari paparan hingga
munculnya gejala) penyakit virus zika tidak
jelas, tapi sepertinya sekitar 3-12 hari.
Tanda-tanda dan Gejala:
Hanya sekitar 20-25% orang yang terinfeksi
virus zika memunculkan gejala. Gejala
infeksi virus zika yang paling umum adalah:
Demam
Demam makulopapular
Sakit sendi (arthritis, arthralgia)
Konjungtivitis (mata merah)
Myalgia
Infeksi zika lebih serius karena berhubungan
dengan dua kondisi syaraf:
Microcephaly: cacat kelahiran serius di
mana bayi memiliki kepala kecil dan
perkembangan otak yang kurang
sempurna. Hal ini dapat terjadi ketika ibu
terinfeksi selama tiga bulan pertama
kehamilan.
Sindrom Guillain-Barré: Sindrom
Guillain-Barre (GBS) adalah gangguan
yang jarang di mana sistem imun
seseorang merusak sel syaraf,
menyebabkan kelemahan otot dan
kadang, paralisis.
Diagnosis Laboratorium
Uji diagnosis infeksi ZIKV termasuk uji
PCR pada sampel serum fase akut, yang
mendeteksi virus RNA, dan tes lain untuk
mendeteksi antibodi tertentu terhadap ZIKV
dalam serum. ELISA telah dibuat di
Laboratorium Diagnosis dan Referensi
Arboviral di Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit (Ft. Collins, CO, AS)
untuk mendeteksi immunoglobulin (Ig) M
pada ZIKV1. Sampel dari Yap Island, hasil
silang reaktif serum pasien dalam fase
penyembuhan terjadi lebih sering pada
pasien dengan bukti infeksi flavivirus
sebelumnya daripada pasien dengan infeksi
ZIKV primer yang tampak1,2
. Silang
reaktivitas lebih sering dicatat pada virus
dengue daripada pada demam kuning,
Japanese encephalitis, atau West Nile virus,
tapi terlalu sedikit sampel yang diuji untuk
memperoleh perkiraan sensitivitas dan
kespesifikan ELISA secara akurat. IgM
dapat dideteksi di awal 3 hari setelah
serangkaian penyakit pada beberapa orang;
1 orang dengan bukti infeksi flavivirus
sebelumnya belum menghasilkan IgM pada
hari ke-5 melainkan hari ke-81. Antibodi
penetralisir dihasilkan pada 5 hari pertama
setelah infeksi. Plaque Reduction
Neutralization Assay telah memperbaiki
kemampuan spesifitas terhadap imunoassai,
tapi masih dapat menghasilkan silang reaktif
pada infeksi flavivirus sekunder. Uji PCR
dapat dilakukan pada sampel yang didapat
kurang dari 10 hari setelah infeksi; 1 pasien
dari Yap Island masih menunjukkan RNA
virus pada hari ke-11. Secara umum,
140
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
Luh Ade Wilan Krisna, Zika Outbreak: What You Need to Know
pengujian diagnostif infeksi flavivirus harus
meliputi sampel serum fase akut yang
dikumpulkan seawal mungkin setelah
munculnya penyakit dan sampel kedua
dikumpulkan 2 hingga 3 minggu setelah
pengambilan pertama.
Tidak ada uji yang tersedia secara luas
untuk infeksi zika. Pada kebanyakan orang,
diagnosis berdasarkan gejala klinis dan
kondisi epidemiologis (seperti wabah zika di
wilayah pasien atau perjalanan ke wilayah di
mana virus berputar). Uji diagnosis infeksi
ZIKV mencakup:
1. Reaksi Rantai Polimerase :
Deteksi asam nukleat dengan reaksi
rantai transcriptase-polymerase terbalik
dengan target non-struktural protein 5
genomic region merupakan primer
diagnosis. Hal ini berguna di 3-5 hari
setelah munculnya gejala.
2. Uji Serologis :
ELISA dapat digunakan untuk hari ke-5.
Memungkinkan silang reaksi dengan uji
antibodi virus tersebut.
3. Uji Amplifikasi Asam Nukleat :
Uji amplifikasi asam nukleat untuk
deteksi virus RNA juga dapat dilakukan.
4. Plaque Reduction Neutralization
Assay:
Bertujuan untuk memperbaiki
spesifikasi imunoassai, tapi masih
memungkinkan terjadi silang reaktif
pada infeksi flavivirus sekunder.
Prognosis
Sebagian besar kasus infeksi virus zika
bersifat ringan dan self-limited. Karena
sifatnya yang ringan, lebih dari 80% kasus
infeksi virus zika mungkin tidak diketahui2.
Namun, komplikasi serius telah dilaporkan
di beberapa kasus, termasuk sindrom
Guillain-Barré2,11
. Selain itu, keprihatinan
yang besar terjadi pada malformasi
kongenital karena transmisi transplacental
virus disertai berbagai ketidaknormalan
oftalmologis11,12
.
Pengobatan
Tidak ada vaksin atau pengobatan tertentu
yang tersedia untuk mencegah atau
mengobati infeksi virus zika. Gejalanya
ringan dan hanya membutuhkan istirahat
dan perawatan pendukung lainnya.
Pencegahan dan Pengendalian
1. Pemusnahan dan Pengendalian
Nyamuk:
Hindari adanya penampungan air
tergenang sehingga tidak menjadi tempat
bertelur nyamuk, hindari sampah yang
berakumulasi, gunakan jaring nyamuk di
jendela dan pintu.
2. Pencegahan Gigitan Nyamuk : Cara
perlindungan pribadi untuk menghindari
gigitan nyamuk harus dilakukan ketika
berada di wilayah berisiko, tidur di
141
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
Luh Ade Wilan Krisna, Zika Outbreak: What You Need to Know
dalam jaring nyamuk, menggunakan
losion anti nyamuk, tidak bepergian ke
wilayah terjangkit.
3. Kesadaran Masyarakat tentang Zika
dan Nyamuk: Penyuluhan tentang
penyakit dan cara pencegahannya.
Termasuk tindakan pencegahan dasar
untuk melindungi mereka dari
penyakit27
.
KESIMPULAN
Virus Zika (ZIKV) telah menyebar luas
di Afrika dan Asia, sehingga dapat dianggap
sebagai patogen yang berkembang.
Penemuan ZIKV di komunitas yang
terisolasi secara fisik di Yap Island
merupakan bukti bahwa perjalanan atau
niaga berpotensi untuk menyebarkan virus.
Penyebaran ZIKV di seluruh dunia relatif
sulit untuk bisa dideteksi karena silang
reaktivitas diagnosis assai antibodi
flavivirus. Penyakit ZIKV dapat dengan
mudah berbaur dengan dengue dan mungkin
mengakibatkan penyakit selama wabah
dengue. Penelitian penyebaran ZIKV dan
dampak ZIKV pada kesehatan manusia
membutuhkan kolaborasi antara dokter,
pejabat kesehatan masyarakat, dan
laboratorium rujukan berkualitas tinggi.
142
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
Luh Ade Wilan Krisna, Zika Outbreak: What You Need to Know
DAFTAR PUSTAKA
1. Thiel J-H, Collet MS, Gould EA, Heinz
FX, Meyers G, et al.Fauquet CM, Mayo
MA, Maniloff J, Deusselberger U, Ball
LA, editors. Virus Taxonomy: Eighth
Report of the International Committee
on Taxonomy of Viruses. San Diego:
Elsevier Academic Press; 2005. Family
Flaviviridae. pp. 981–998.
2. Dick GW, Kitchen SF, Haddow AJ.
Zika virus. I. Isolations and serological
specificity. Trans R Soc Trop Med Hyg.
1952;46:509–520. [PubMed]
3. Haddow AJ, Williams MC, Woodall JP,
Simpson DI, Goma LK. Twelve
Isolations of Zika virus from Aedes
(Stegomyia) Africanus (Theobald) taken
in and above a Uganda Forest. Bull
World Health Organ. 1964;31:57–69.
[PMC free article] [PubMed]
4. Boorman JP, Porterfield JS. A simple
technique for infection of mosquitoes
with viruses; transmission of Zika virus.
Trans R Soc Trop Med Hyg.
1956;50:238–242. [PubMed]
5. Henderson BE, Hewitt LE, Lule M.
Serology of wild mammals. Virus
Research Institute Annual Report. 1968.
pp. 48–51. East African Printer, Nairobi,
Kenya.
6. Kirya BG, Okia NO. A yellow fever
epizootic in Zika Forest, Uganda, during
1972: Part 2: Monkey serology. Trans R
Soc Trop Med Hyg. 1977;71:300–303.
[PubMed]
7. McCrae AW, Kirya BG. Yellow fever
and Zika virus epizootics and enzootics
in Uganda. Trans R Soc Trop Med Hyg.
1982;76:552–562. [PubMed]
8. McCrae AW, Kirya BG, Tukei PM.
Summary of an apparent epizootic of
Zika virus: Pattern of incidence from
Aedes africanus collected from the Zika
Forest, 1969–1970. Virus Research
Institute Annual Report. 1970. pp. 20–
21. East African Printer, Nairobi.
9. Duffy MR, Chen TH, Hancock WT,
Powers AM, Kool JL, et al. Zika virus
outbreak on Yap Island, Federated States
of Micronesia. N Engl J Med.
2009;360:2536–2543. [PubMed]
10. Darwish MA, Hoogstraal H, Roberts TJ,
Ahmed IP, Omar F. A sero-
epidemiological survey for certain
arboviruses (Togaviridae) in Pakistan.
Trans R Soc Trop Med Hyg.
1983;77:442–445. [PubMed]
11. Simpson DI. Zika virus infection in man.
Trans R Soc Trop Med Hyg.
1964;58:335–338. [PubMed]
12. Filipe AR, Martins CM, Rocha H.
Laboratory infection with Zika virus
after vaccination against yellow fever.
Arch Gesamte Virusforsch.
1973;43:315–319. [PubMed]
143
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
Luh Ade Wilan Krisna, Zika Outbreak: What You Need to Know
13. Olson JG, Ksiazek TG, Suhandiman,
Triwibowo Zika virus, a cause of fever
in Central Java, Indonesia. Trans R Soc
Trop Med Hyg. 1981;75:389–393.
[PubMed]
14. Foy BD, Kobylinski KC, Chilson Foy
JL, Blitvich BJ, Travassos da Rosa A, et
al. Probable non-vector-borne
transmission of Zika virus, Colorado,
USA. Emerg Infect Dis. 2011;17:880–
882. [PMC free article] [PubMed]
15. Heang V, Yasuda CY, Sovann L,
Haddow AD, Travassos da Rosa A, et al.
Zika virus infection, Cambodia, 2010.
Emerg Infect Dis. 2012;18 [Epub
January 12, 2012] DOI:
10.3201/eid1802.111224. [PMC free
article] [PubMed]
16. Kuno G, Chang GJ. Full-length
sequencing and genomic
characterization of Bagaza, Kedougou,
and Zika viruses. Arch Virol.
2007;152:687–696. [PubMed]
17. Lanciotti RS, Kosoy OL, Laven JJ,
Velez JO, Lambert AJ, et al. Genetic and
serologic properties of Zika virus
associated with an epidemic, Yap State,
Micronesia, 2007. Emerg Infect Dis.
2008;14:1232–1239. [PMC free article]
[PubMed]
18. Felsenstein J. PHYLIP - phylogeny
inference package (version 3.2).
Cladistics. 1989;5:164–166.
19. De Madrid AT, Porterfield JS. The
flaviviruses (group B arboviruses): a
cross-neutralization study. J Gen Virol.
1974;23:91–96. [PubMed]
20. Kuno G, Chang GJ, Tsuchiya KR,
Karabatsos N, Cropp CB. Phylogeny of
the genus Flavivirus. J Virol.
1998;72:73–83. [PMC free article]
[PubMed]
21. Theiler M, Downs WG. The arthropod-
borne viruses of vertebrates. New Haven
and London: Yale University Press;
1973.
22. Grard G, Moureau G, Charrel RN,
Holmes EC, Gould EA, et al. Genomics
and evolution of Aedes-borne
flaviviruses. J Gen Virol. 91:87–94.
[PubMed]
23. McCoy OR, Sabin AB, editors. (1964)
Dengue. Washington, D.C.: Office of
the Surgeon General, Department of the
Army; 1964. pp. 29–62.
24. Carey DE. Chikungunya and dengue: a
case of mistaken identify? J His Med
Allied Sci. 1971;26:243–262. [PubMed]
25. Asahina S. Transoceanic flight of
mosquitoes on the Northwest Pacific.
Jpn J Med Sci Biol. 1970;23:255–258.
[PubMed]
26. Curry DP. A documented record of a
long flight of Ae. sollicitans. Proc New
Jersey Mosq Exterm Ass. 1939;26:36–
39.
144
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
Luh Ade Wilan Krisna, Zika Outbreak: What You Need to Know
27. Chambers TJ, Halevy M, Nestorowicz
A, Rice CM, Lustig S. West Nile virus
envelope proteins: nucleotide sequence
analysis of strains differing in mouse
neuroinvasiveness. J Gen Virol.
1998;79(Pt 10):2375–2380. [PubMed]
145
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
Meditory
Number 1 Number 10
GAMBARAN KADAR UREUM DAN KREATININ SERUM PADA PASIEN
GAGAL GINJAL KRONIS YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS
DI RSUD SANJIWANI GIANYAR
D G A Suryawan1., I A M S Arjani
2., I G Sudarmanto
3
Abstrack
Background The kidneys are responsible for filtering waste from the body such as urea, uric
acid, and creatinine. When these organs stop functioning properly, waste builds up to high
levels in the blood. In patients with kidney failure are usually equipped with a blood
chemistry that urea and serum creatinine as an amplifier diagnosis of the patient's illness.
Chronic Kidney Disease (CKD) the progressive loss of function of kidney and patient
requires a long treatment in the form of renal replacement therapy. Hemodialysis is one of
the renal replacement therapy, during waste products of the body are removed. Patients with
kidney failure are associated with increased levels of some biochemical parameters.
Objective the study was aimed to analyze urea and creatinine serum in CKD patients
undergoinpre-dialysis revealed abnormal levels and indicated hyperuremic.
Methods this study was aimed to analyzed urea and creatinine serum in CKD patient
undergoing hemodialysis in Sanjiwani Hospital. A description study, used purposive
sampling methods, involving 30 patients with CKD undergoing hemodialysis. Blood samples
were analyzed for urea and creatinin level. Data are presented as table.
Result of this study showed that all samples (100%) had serum urea and creatinine levels
high or exceed the normal limits. While of urea/creatinine levels as many as 20 patients
(66,7%) had low ratio, 7 patients (23,3%) had a normal ratio, and 3 patients (10%) have a
high ratio, so that it can be concluded that all patients had hyperuremic.
Key words: Urea, Creatinine, Hemodialysis
PENDAHULUAN
Penyakit ginjal mencakup berbagai
penyakit dan gangguan yang mempengaruhi
ginjal. Sebagian besar penyakit ginjal
menyerang unit penyaring ginjal, nefron,
dan merusak kemampuannya untuk
menghilangkan limbah dan kelebihan
cairan1.
Ginjal memiliki peran penting untuk
mempertahankan stabilitas volume,
komposisi elektrolit, dan osmolaritas cairan
ekstraseluler. Salah satu fungsi penting
ginjal lainnya adalah untuk
mengekskresikan produk-produk akhir atau
sisa metabolisme tubuh, misalnya urea,
asam urat, dan kreatinin. Apabila sisa
metabolisme tubuh tersebut dibiarkan
menumpuk, zat tersebut bisa menjadi racun
bagi tubuh, terutama ginjal.
1.,2.,3., Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Denpasar
Korespondensi : D G A Suryawan1, Jurusan Analis
Kesehatan, Poltekes Denpasar, Jalan Sanitasi No. 1
Sidakarya, Denpasar-Bali 80224, Indonesia.
Telp. +62-361-710 527, Fax. +62-361-710 448
Email : [email protected]
146
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
D G A Suryawan, dkk., GAMBARAN KADAR UREUM DAN KREATININ SERUM PADA PASIEN
GAGAL GINJAL KRONIS YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS
DI RSUD SANJIWANI GIANYAR
Peran yang penting tersebut akan
menimbulkan masalah bila ginjal
mengalami kegagalan. Hasil metabolit
seperti ureum dan kreatinin akan meningkat.
Bila fungsi ginjal hanya 5% atau kurang,
maka pengobatan cuci darah atau cangkok
ginjal mutlak diperlukan2.
Jika penyakit ginjal tidak segera diobati
dan ditangani maka kemungkinan akan
terjadi gagal ginjal3. Kelainan fungsi ginjal
merupakan kelainan yang sering terjadi pada
orang dewasa. Kelainan fungsi ginjal
berdasarkan durasinya dibagi menjadi dua
yaitu Gagal Ginjal akut dan gagal ginjal
kronik Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah
kemunduran dari kemampuan ginjal dalam
membersihkan darah dari bahan-bahan
racun, yang menyebabkan penimbunan
limbah metabolik didalam darah. Gagal
Ginjal Akut merupakan suatu keadaan klinis
yang ditandai dengan adanya penurunan
fungsi ginjal secara mendadak dengan
akibat terjadinya peningkatan hasil
metabolik seperti ureum dan kreatinin.
Kasus GGK saat ini meningkat dengan cepat
terutama di negara-negara berkembang.
GGelah menjadi masalah utama kesehatan
di seluruh dunia, karena selain merupakan
faktor risiko terjadinya penyakit jantung dan
juga menyebabkan peningkatan angka
kematian dan kesakitan. Prevalensi GGK
berdasarkan pernah didiagnosis dokter di
Indonesia sebesar 0,2% 4.
Hingga akhir tahun 2004 terdapat
1.783.000 penduduk dunia yang menjalani
perawatan ginjal akibat gagal ginjal,
diantaranya 77% dengan cuci darah, 23%
dengan transplantasi ginjal, disebutkan juga
bahwa Indonesia termasuk dengan tingkat
penderita gagal ginjal yang cukup tinggi.
Menurut data dari Persatuan Nefrologi
Indonesia diperkirakan ada 70.000 penderita
gagal ginjal di Indonesia, namun yang
terdeteksi menderita GGK tahap termil dari
mereka yang menjalani cuci darah
(hemodialisis) hanya sekitar 4.000 sampai
5.000 saja. Sedangkan menurut data Profil
Kesehatan Indonesia (2006), gagal ginjal
menempati urutan ke enam sebagai
penyebab kematian pasien yang dirawat di
rumah sakit di Indonesia5.
Kecendrungan kenaikan penderita gagal
ginjal juga terlihat dari meningkatnya
jumlah pasien yang menjalani terapi
hemodialisis, dimana frekuensi hemodialisis
per minggu di Indonesia tahun 2012 yaitu
frekuensi sekali seminggu sebanyak 3.666,
frekuensi 2 kali seminggu sebanyak 7.902,
frekuensi 3 kali seminggu sebanyak 783,
frekuensi >3 kali seminggu sebanyak 53,
sedangkan frekuensi yang tidak teratur
sebanyak 4.631. Frekuensi tindakan
hemodialisis per minggu di Bali tahun 2012
yaitu frekuensi sekali seminggu sebanyak
814, frekuensi 2 kali seminggu sebanyak
580, frekuensi 3 kali seminggu sebanyak 66,
147
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
D G A Suryawan, dkk., GAMBARAN KADAR UREUM DAN KREATININ SERUM PADA PASIEN
GAGAL GINJAL KRONIS YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS
DI RSUD SANJIWANI GIANYAR
frekuensi >3 kali seminggu sebanyak 11,
sedangkan frekuensi yang tidak teratur
sebanyak 317 6.
Pada pasien gagal ginjal biasanya
dilengkapi dengan pemeriksaan darah
sebagai penguat diagnosis dari penyakit
pasien. Salah satu parameter yang biasanya
diperiksakan adalah kadar ureum dan
kreatinin serum. Ureum dan kreatinin
merupakan prosuk sisa dari metabolisme
tubuh. Kadar kreatinin yang tinggi delapan
kali lebih umum ditemukan di antara para
pengidap hipertensi dibandingkan individu
lain yang tekanan darahnya normal.
Penyakit ginjal dan hipertensi dapat menjadi
penyakit ginjal kronik dan bila tidak diatasi
akan berkembang ke gagal ginjal termin
yang memerlukan terapi pengganti fungsi
ginjal berupa dialisis atau transplantasi
ginjal7.
Ureum dan kreatinin merupakan
senyawa kimia yang menandakan fungsi
ginjal masih normal, sementara kreatinin
merupakan metabolisme endogen yang
berguna untuk menilai fungsi glomerulus.
Kreatinin diproduksi dalam jumlah yang
sama dan diekskresikan melalui urine setiap
hari, dengan nilai normal kreatinin <1,5
mg/dl dan ureum 10-50 mg/dl. Ureum
merupakan produk nitrogen yang
dikeluarkan ginjal berasal dari diet protein.
Penderita gagal ginjal, kadar ureum serum
memberikan gambaran tanda paling baik
untuk timbulnya ureum toksik dan
merupakan gejala yang dapat dideteksi
dibandingkan kreatinin 8.
Kadar ureum pasien GGK sebelum
melakukan hemodialisis masih berada pada
level abnormal, dan rata-rata juga
mengalami hiperuremik. Kadar ureum dan
kreatinin serum ini perlu dimonitor sebagai
indikator kerusakan ginjal dan pemeriksaan
ini dilakukan setiap akan menjalani terapi
hemodialisis, seringkali terlihat bahwa kadar
ureum dan kreatinin serum pasien yang akan
menjalani terapi hemodialisis kadarnya
berubah-ubah, bahkan melebihi kadar
normal9 Berdasarkan hasil survei di ruangan
Unit Hemodialisis RSUD Sanjiwani Gianyar
diketahui bahwa, ruang hemodialisis RSUD
Sanjiwani Gianyar memiliki kapasitas 12
tempat tidur, dengan 2 shift yaitu pagi dan
siang hari. Jumlah pasien gagal ginjal yang
menjalani terapi hemodialisis pada tahun
2015 adalah berjumlah 94 orang, dan
lamanya terapi hemodialisis dilakukan
selama 4 sampai 5 jam dengan jadwal terapi
satu kali dan dua kali seminggu.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis
tertarik untuk mengetahui gambaran kadar
ureum dan kreatinin serum pada pasien
GGK yang menjalani terapi hemodialisis.
Peranan penting ginjal akan
menimbulkan masalah bila ginjal
mengalami kegagalan. Hasil metabolisme
tubuh akan mengendap dalam tubuh. Bila
148
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
D G A Suryawan, dkk., GAMBARAN KADAR UREUM DAN KREATININ SERUM PADA PASIEN
GAGAL GINJAL KRONIS YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS
DI RSUD SANJIWANI GIANYAR
fungsi ginjal hanya 5% atau kurang, maka
pengobatan cuci darah atau cangkok ginjal
mutlak diperlukan. Pada pasien gagal ginjal
biasanya dilengkapi dengan pemeriksaan
kimia darah yaitu ureum dan kreatinin
serum sebagai penguat diagnosis. Pada
beberapa penelitian kadar ureum dan
kreatinin serum pasien GGK sebelum
melakukan hemodialisis masih berada pada
level abnormal, dan rata-rata juga
mengalami hiperuremik.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran kadar ureum dan
kratinin serum pada pasien GGK yang
menjalani terapi hemodialisis di RSUD
Sanjiwani Gianyar.
METODE
Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian deskriptif dengan rancangan cross
sectional yaitu jenis penelitian dimana
variabel sebab atau resiko dan akibat atau
kasus terjadi pada objek penelitian diukur
atau dikumpulkan secara simultan (dalam
waktu yang bersamaan) 9.
Penelitian dilaksanakan di Unit
Hemodialisis RSUD Sanjiwani Gianyar dan
Laboratorium Kesehatan RSUD Sanjiwani
Gianyar yang bertujuan untuk mengetahui
gambaran kadar ureum dan kratinin serum
pada pasien GGK yang menjalani terapi
hemodialisis di RSUD Sanjiwani Gianyar.
Pada penelitian ini menggunakan sampel
penelitian yang berjumlah 30 sampel pasien
GGK. Teknik sampling sampel pada
penelitian ini adalah dengan teknik non
probability sampling dengan metode
purposive sampling.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Bersadarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, kadar ureum dan kreatinin serum
pada pasien GGK sebelum menjalani terapi
hemodialisis di RSUD Sanjiwani Gianyar
berdasarkan jenis kelamin adalah sebagai
berikut (Tabel 1):
Dari hasil penelitian seluruh pasien
GGK yang menjalani terapi hemodialisis di
RSUD Sanjiwani Gianyar (100%) memiliki
kadar ureum dan kreatinin serum yang
tinggi atau melebihi batas normal.Sementara
data rasio ureum/kreatinin serum pasien
Tabel 1.Kadar Ureum & Kreatinin Serum pada Pasien GGK sebelum MenjalaniTerapi
Hemodialisis di RSUD Sanjiwani Gianyar berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis
Kelamin
Kadar Ureum & Kreatinin Serum (mg/dl) Total
Tinggi Normal Rendah
∑ % ∑ % ∑ % ∑ %
Laki-laki 24 80 0 0 0 0 24 80
Perempuan 6 20 0 0 0 0 6 20
Jumlah 30 100 0 0 0 0 30 100
149
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
D G A Suryawan, dkk., GAMBARAN KADAR UREUM DAN KREATININ SERUM PADA PASIEN
GAGAL GINJAL KRONIS YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS
DI RSUD SANJIWANI GIANYAR
GGK yaitu sebanyak 20 pasien (66,7%)
memiliki rasiorendah, 7 pasien (23,3%)
memiliki rasio normal, dan 3 pasien (10%)
memiliki rasio tinggi.
Pasien GGK memiliki rasio
ureum/kreatinin serum normal, dan 10%
pasien GGK memiliki rasio ureum/kreatinin
serum tinggi (Tabel 2).
Berdasarkan hasil pemeriksaan kadar ureum
dan kreatinin serum pada pasien GGK,
maka diperoleh kadar ureum dan kreatinin
serum, selanjutnya kadar tersebut
dibandingkan antara hasil dari kadar ureum
serum dengan hasil kadar kreatinin serum
setiap sampel, sehingga diperoleh data rasio
ureum/kreatinin serum sebanyak
pemeriksaan ureum dan kreatinin 66,7%
pasien GGK memiliki ratio ureum/kreatinin
serum rendah, 23,3%.
Pembahasan
Pada pemeriksaan kadar ureum dan
kreatinin serum dilakukan secara kuantitatif
dengan metode pemeriksaan ureum serum
yaitu UV auto fast-rate dan metode
pemeriksaan kreatinin serum yaitu Jaffe
reaction. Kedua parameter serum ini
diperiksa menggunakan alat Kimia Klinik
Biolis Premium 24i di Laboratorium
Patologi Klinik RSUD Sanjiwani Gianyar.
Sampel yang diperiksa merupakan sampel
darah vena dari masing-masing responden
yang telah diproses sehingga menjadi serum.
Hasil pemeriksaan akan muncul pada layar
monitor dengan satuan mg/dl yang
kemudian disajikan sebagai data penelitian.
1. Distribusi kadar ureum serum pada
pasien GGK
Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa hasil
penelitian terhadap 30 pasien GGK dapat
diketahui bahwa seluruh pasien (100%)
memiliki kadar ureum serum yang tinggi.
Hasil ini serupa dengan hasil penelitian di
RSU Margono Soekarjo Purwokerto dari 52
pasien, seluruhnya (100%) mengalami
hiperuremik dengan rata-rata kadar ureum
serum pasien 151,1 mg/dl10
. Kadar ureum
dalam darah mencerminkan keseimbangan
antara produksi dan eksresi urea. Kadar
ureum dalam darah mempunyai nilai
rujukan normal yaitu 15-43 mg/dl. Bila
kadar ureum darah tinggi maka disebut
uremia. Sumber protein tinggi dalam
makanan dapat dijumpai pada telur, susu,
Tabel 2. Rasio Kadar Ureum/Kreatinin Serum
No Kategori Jumlah Persntase (%)
1 Rendah 20 66,7
2 Normal 7 23,3
3 Tinggi 3 10
Jumlah 30 100
150
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
D G A Suryawan, dkk., GAMBARAN KADAR UREUM DAN KREATININ SERUM PADA PASIEN
GAGAL GINJAL KRONIS YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS
DI RSUD SANJIWANI GIANYAR
daging, semua jenis kacang-kacangan
termasuk olahannya seperti tempe dan tahu
yang juga menjadi pemicu peningkatan
kadar urea dalam darah, sementara
penurunan kadar ureum dapat disebabkan
oleh hipervolemia (overhidrasi), kerusakan
hati yang berat, diet rendah protein,
malnutrisi, kehamilan dan penambahan
cairan glukosa intravena yang lama dan juga
konsumsi obat fenotiazin 11
.
Ureum dalam darah merupakan unsur
utama yang dihasilkan dari proses
penguraian protein dan senyawa kimia lain
yang mengandung nitrogen. Ureum dan
produk sisa yang kaya akan nitrogen
lainnya, secara normal akan dikeluarkan dari
dalam pembuluh darah melalui ginjal,
sehingga peningkatan kadar ureum dapat
menunjukan terjadinya kegagalan fungsi
ginjal.Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, terlihat dari hasil pemeriksaan
kadar ureum serum pada pasien GGK
dengan jenis kelamin laki-laki diperoleh
data sebanyak 24 sampel (80%) memiliki
kadar ureum serum yang tinggi (>43 mg/dl)
dengan rata-rata kadar ureum serumnya
yaitu 134,8 mg/dl, sementara dari 6 sampel
perempuan (20%), dimana seluruhnya
memiliki kadar ureum serum yang tinggi
pula (>43 mg/dl) dengan rata-rata kadar
ureum serumnya yaitu 130,4 mg/dl.
2. Distribusi kadar kreatinin serum pada
pasien GGK
Berdasarkan tabel 1 terlihat jelas bahwa
hasil penelitian terhadap 30 pasien GGK
dapat diketahui bahwa seluruh pasien
(100%) memiliki kadar kreatinin serum
yang tinggi. Hasil ini serupa dengan hasil
penelitian di RSU Margono Soekarjo
Purwokerto dari 52 pasien gagal ginjal,
seluruhnya (100%) memiliki kadar kreatinin
serum tinggi dengan rata-rata kadar
12,6mg/dl10
. Kreatinin merupakan limbah
molekul kimia yang dihasilkan dari
metabolisme otot. Kreatinin dihasilkan dari
keratin, yang merupakan molekul yang
sangat penting dalam produksi energi di
otot. Kreatinin sebagian besar dijumpai di
otot rangka, tempat zat ini terlibat dalam
penyimpanan energi sebagai kreatinin
fosfat, dalam sintesis ATP dari ADP,
kreatinin fosfat diubah menjadi kreatinin
dengan katalisasi enzim kreatinin kinase.
Reaksi ini berlanjut seiring dengan
pemakaian energi sehingga dihasilkan
kreatinin fosfat. Pada proses metabolisme
kreatinin, sejumlah kecil kreatinin diubah
secara ireversibel menjadi kreatin, yang
dikeluarkan dari sirkulasi oleh ginjal.
Kreatinin diangkut melalui aliran darah ke
ginjal. Ginjal menyaring sebagian besar
kreatinin dan membuangnya ke dalam
urine.Kadar kreatinin akan berubah sebagai
respon terhadap disfungsi ginjal, sedangkan
kadar ureum akan berubah sebagai respons
terhadap dehidrasi dan pemecahan protein.
151
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
D G A Suryawan, dkk., GAMBARAN KADAR UREUM DAN KREATININ SERUM PADA PASIEN
GAGAL GINJAL KRONIS YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS
DI RSUD SANJIWANI GIANYAR
Kreatinin serum dan ureum serum kadarnya
akan meningkat seiring dengan penurunan
kemampuan penyaringan glomerulus. Kadar
kreatinin serum ini mencerminkan
kerusakan ginjal yang paling sensitif karena
dihasilkan secara konstan oleh tubuh.
Berdasarkan pemeriksaan kadar kreatinin
serum pada pasien GGK dengan jenis
kelamin laki-laki diperoleh data sebanyak
24 orang (80%) memiliki kadar kreatinin
serum yang tinggi (>1,0 mg/dl) dengan rata-
rata kadar kreatinin serumnya yaitu 13,1
mg/dl, sementara dari 6 pasien perempuan, 6
orang (20%) memiliki kadar kreatinin serum
yang tinggi pula (>1,0 mg/dl), dengan rata-
rata kadar kreatinin serumnya yaitu 10,6
mg/dl. Kadar kreatininserum dalam darah
mempunyai nilai rujukan normal yaitu 0,5-
1,0 mg/dl 12
.
Kadar ureum dan kreatinin serum
pada pasien GGK yang menjalani terapi
hemodialisis di RSUD Sanjiwani Gianyar
dapat dilihat bahwa setiap pasien GGK yang
menjadi sampel pada penelitian ini memiliki
kadar ureum dan kreatinin yang berbeda-
beda. Peningkatan kadar ureum serum akan
selalu dibarengi dengan peningkatan kadar
kreatini serum juga, hal ini dikarenakan
pasien yang menjadi sampel dalam
penelitian merupakan pasien dengan riwayat
GGK yang penurunan fungsi ginjalnya
bersifat irreversible, selain itu pasien yang
menjadi sampel pada penelitian ini telah
mengidap stadium lanjut gagal ginjal,
sehingga jarang akan ditemui kadar ureum
dan kreatinin serumnya yang berada dalam
batas normal atau dibawah normal.
Tingginya kadar ureum dan kreatinin serum
dalam darah dapat juga disebabkan oleh
tingginya asupan protein pada seseorang,
selain itu peningkatan kadar ureum juga
dapat disebabkan karena dehidrasi yang
berlebihan dan kurangnya suplai darah ke
ginjal 13
.
3. Rasio kadar ureum/kreatinin serum
pada pasien GGK
Untuk menilai fungsi ginjal, permintaan
pemeriksaan ureum dan kreatinin serum
selalu disatukan untuk mengetahui rasio dari
kedua pemeriksaan tersebut. Rasio
ureum/kreatinin serum merupakan indeks
yang baik untuk membedakan antara
berbagai kemungkinan penyebab uremia.
Berdasarkan hasil pemeriksaan kadar
ureum dan kreatinin serum yang telah
dilakukan maka diperoleh rasio kadar
ureum/kreatinin serum yaitu sebanyak 20
orang pasien (66,7%) memiliki rasio
ureum/kreatinin serum rendah yaitu dibawah
12, sebanyak 7 orang pasien (23,3%)
memiliki rasio ureum/kreatinin serum
normal (12-20), dan 3 orang pasien (10%)
memiliki rasio ureum/kreatinin serum tinggi
lebih dari 20. Dalam penelitian yang
dilakukan sebagian besar rasio
ureum/kreatinin serum pasien memiliki rasio
152
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
D G A Suryawan, dkk., GAMBARAN KADAR UREUM DAN KREATININ SERUM PADA PASIEN
GAGAL GINJAL KRONIS YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS
DI RSUD SANJIWANI GIANYAR
rendah (<12), hal ini dapat dikarenakan
pasien tersebut menjalani diet rendah
protein, hal ini juga merupakan salah satu
syarat pasien gagal ginjal stadium lanjut,
dimana mereka diharuskan memperhatikan
asupan proteinnya, sehingga tidak
memberiksan kerja yang lebih berat
terhadap ginjal untuk menyaring sebagian
besar protein yang masuk kedalam tubuh
melalui makanan, karena makanan yang
banyak mengandung protein dapat
meningkatkan kadar ureum dalam darah13
.
Pada penelitian ini juga ditemui 3 orang
pasien (10%) memiliki rasio
ureum/kreatinin serum tinggi, hal ini dapat
disebabkan karena dehidrasi, hipovolumia,
atau asupan tinggi protein. Dehidrasi pada
pasien GGK yang menjalani terapi
hemodialisis dapat sering terjadi, hal ini
dikarenakan dalam terapi hemodialisis yang
dilakukan, pasien akan banyak kehilangan
penumpukan cairan dalam tubuhnya,
sehingga tidak jarang pasien akan
mengalami dehidrasi. Terjadinya dehidrasi
menyebabkan ureum dan kreatinin dalam
darah menjadi pekat sehingga kadar ureum
dan kreatinin serum dalam darah menjadi
meningkat yang akan menyebabkan ratio
ureum/kreatinin serum mejadi tinggi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan:
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa kadar ureum dan
kreatinin serum pasien rata-rata mengalami
hiperuremik, dan seringnya menjalani terapi
hemodialisis tidak mencerminkan akan
terjadinya penurunan kadar ureum dan
kreatinin serum menjadi normal11
.
Saran:
Kepada pasien GGK disarankan agar
memantau kondisi kesehatannya dan
memperhatikan dietnya dengan mengurangi
asupan makanan tinggi protein seperti susu,
telur, dan kacang-kacangan, sehingga kadar
ureum dan kreatinin serumnya dapat
terkontrol.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardyaningsih, D. P. Kualitas Hidup
Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik yang
Menjalani Terapi Hemodialisis di RSUD
dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten
Wonogiri. Surakarta: Stikes Kusuma
Husada Surakarta, 2014
2. Mubarokah, A., A. Zamridan, dan A.
Darmawan. Perbedaan Kadar
Hemoglobin, Ureum, Kreatinin Pre dan
Post Hemodialisa Selama 3 Bulan
Menjalani Hemodialisa di RSUD Raden
Mattaher Jambi Periode Desember 2012-
Maret 2013. Jambi: Universitas Jambi, .
2013
3.Setyaningsih, A., D. Puspita, dan M. I.
Rosyidi. Perbedaan Kadar Ureum dan
Creatinin Pada Klien yang Menjalani
Hemodialisa dengan Hollow Fiber Baru
153
Meditory | Vol. 4, No.2, Denpasar 2016
D G A Suryawan, dkk., GAMBARAN KADAR UREUM DAN KREATININ SERUM PADA PASIEN
GAGAL GINJAL KRONIS YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS
DI RSUD SANJIWANI GIANYAR
dan Hollow Fiber re-use di RSUD
Unggaran. Jurnal Keperawatan Medikal
Bedah. Volume 1. No 1. Unggaran:
Stikes Ngudi Waluyo Unggaran, 2013.
4. Pranata, S., dkk. Pokok-pokok Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Provinsi Bali Tahun 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
2013.
5. Aisyah, J. Karakteristik Penderita Gagal
Ginjal Kronik (GGK) yang Dirawat Inap
di RS Haji Medan Tahun 2009. Medan:
Skripsi Mahasiswa FKM USU Medan,
2011.
6. PERNEFRI. Frekuensi Tindakan
Hemodialisis per Minggu di Indonesia
Tahun 2011 dalam 5 th Report of
Indonesia Renal Registry. Jakarta :
Perkumpulan Nefrologi Indonesia
(PERNEFRI),2011.
7. Price, S. A., dan L. M. Wilson. Alih
Bahasa: B. U. Pendit, dkk. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Volume 2. Edisi 6. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2012.
8. Martini. Hubungan Tingkat Asupan
Protein dengan Kadar Ureum dan
Kreatinin Darah Pada Penderita Gagal
Ginjal Kronik di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta. Surakarta: Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2010.
9. Runtung, R.,A. Kadir, dan A.Semana.
Pengaruh Hemodialisa Terhadap Kadar
Ureum, Kreatinin dan Hemoglobin pada
Pasien GGK di Ruangan Hemodialisa
RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo
Makasar, Volume 2 Makasar : Stikes
Nani Hasanudin Makasar dan Politeknik
Kesehatan Kemenkes Makasar, 2013.
10. Saryono dan Handoyo. Kadar Ureum
dan Kreatinin Darah pada Pasien yang
Menjalani Terapi Hemodialisis di
Rumah Sakit Umum Margono Soekarjo
Purwokerto. Vol. 2. Purwokerto: Jurnal
Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 2006.
11. Sacher, Ronald A., dan R. A.
McPHERSON. Alih Bahasa: B. U.
Pendit, dan Wulandari. Tinjauan Klinis
Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi
11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 2004.
12. Sacher, Ronald A., dan R. A.
McPHERSON. Alih Bahasa: B. U.
Pendit, dan Wulandari. Tinjauan Klinis
Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi
11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 2004.
13. Arimartini. Desak M. Gambaran Kadar
Blood Urea Nitrogen (BUN) dan Serum
Kreatinin (SC) pada Usia Lanjut di
Banjar Buana Kubu Tegal Harum
Denpasar Barat. Denpasar: Politeknik
Kesehatan Denpasar, 2013.