analisis framing tentang citra perempuan pada …
TRANSCRIPT
53
ANALISIS FRAMING TENTANG CITRA PEREMPUAN PADA
ARTIKEL HUBUNGAN LAKI-LAKI PEREMPUAN DI MAJALAH
GADIS, ANEKA YESS, KAWANKU DAN COSMO GIRL
Oleh :Zulaikha
Dosen Universitas Dr. Soetomo SurabayaDwi Lando
Peneliti BPPT Wilayah V Surabaya
ABSTRAKSI
Zaman berubah, kata orang. Sekarang kedudukan perempuan dan laki-laki
sudah sama, terutama pada remaja-remaja perkotaan. Tetapi betulkah demikian
2 Penelitian ini mencari jawab tentang nilai-nilai kesetaraan gender pada remaja
kota. Dan itu terlihat dalam pencitraan perempuan di artikel-artikel yang dimuat
di majalah-majalah remaja untuk perempuan seperti Gadis, Aneka Yess,
Kawanku dan Cosmo Girl.
Penelitian ini menggunakan metode analisis framing untuk mengetahui
frame pencitraan perempuan itu sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
nilai-nilai patriarki masih kental terasa dalam konsep gender yang dianut oleh
remaja-remaja putri perkotaan. Hal itu terlihat dari pencitraan perempuan yang
dimuat di majalah-majalah Gadis, Aneka Yess, Kawanku dan Cosmo Girl.
Latar Belakang
Majalah-majalah remaja untuk perempuan (baca: cewek) cenderung hanya
menampilkan urusan penampilan fisik semata dan mengesampingkan urusan-
urusan yang menambah wawasan pengetahuan bagi pembacanya. Istilah yang
biasa mereka gunakan untuk menyebut itu adalah tidak 'membuat kita-kita jadi
smart'. Padahal, kebutuhan para remaja perempuan tidak hanya itu, mereka juga
butuh tulisan-tulisan yang menambah wawasan pengetahuan mereka.
Sebagai contoh, majalah Aneka Yess, edisi 24 21 November - 4 Desember
2002. Setelah diadakan pengamatan sederhana, majalah setebal 160 halaman itu
memuat iklan 63 halaman (39,38%), fashion dan kecantikan dengan berbagai
54
nama rubrik 8 halaman (5%), selebritis, termasuk gossip artis 15 halaman
(9,38%), musik 9 halaman (5,62%), artikel 13,5 halaman (8,44%), fiksi 14
halaman (8,75%), psikologi I halaman (0,62%), zodiak 3 halaman (1,87%), kuis 6
halaman (3,75%), macam-macam informasi 9,5 halaman (5,94%) dan dari redaksi
2 halaman (1,25%).
Dari temuan itu bisa dilihat bahwa rubrik untuk urusan penampilan tasik
(fashion dan kecantikan) hanya 5 %. Tetapi iklan yang mendapat roti paling besar,
39,38%, seluruhnya merupakan iklan dari produk-produk fashion dan alat
kecantikan, dengan gambar-gambar mencolok dan bintang iklan para selebritis
yang sedang terkenal pada saat itu. Tampilan iklan tersebut mare tidak mau
memperlihatkan bahwa yang penting dari agenda tiap remaja putri, atau sebutlah
perempuan muda, adalah urusan penampilan fisik, dan semata-mata hanya
ditujukan agar bisa menarik lawan jenisnya, dalam hal ini adalah laki-laki.
Asumsi ini didasarkan pads teori Agenda Setting dari Maxwell E.
McCombs dan Donald L. Shaw. Ide dasar teori ini adalah bahwa diantara
sejumlah issue atau topik, maka issue yang mendapat lebih banyak perhatian dari
media akan semakin akrab dengan audience dan dianggap penting dalam satu
jangka waktu tertentu, sementara itu yang tidak mendapat perhatian akan semakin
tidak akrab pula.
Agenda Setting memusatkan perhatian pada efek media terhadap
pengetahuan. Jadi, fokus perhatiannya adalah efek kognitif dari media massa.
Menurut teori ini, media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk
mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang
dipikirkan orang itu. Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak
tentang apa yang dianggap penting. (Ralimat, 1999 : 200) Jika teori Agenda
Setting itu diaplikasikan pada kasus 2 majalah remaja putri yang menjadi contoh
di atas, bisa dipastikan apa saja yang menjadi agenda para perempuan muda
pembacanya. Mengapa saya sebut perempuan muda?
Kemajuan teknologi informasi telah memudahkan jaringan komunikasi
global menembus batas-batas negara dan membawa pengaruh terhadap perubahan
tata nilai kehidupan manusia. Perkembangan tersebut merupakan peluang dan
55
sekaligus tantangan bagi upaya mendorong kemajuan dalam berbagai kehidupan.
Terlebih lagi media massa mempunyai potensi untuk memberikan sumbangan
yang lebih besar lagi untuk kemajuan masyarakat, termasuk perempuan.
Periode setelah runtuhnya Orde Bane di Indonesia membuka jalan bagi
banyaknya media cetak yang lahir untuk berkompetisi merebut perhatian
masyarakat. Karena pasar demikian terbuka, segmentasi pembaca pun hangs
dilakukan media cetak tersebut agar bisa eksis dan memberikan keuntungan
secara ekonomi kepada perusahaan. Perempuan merupakan bagian dari
masyarakat yang banyak dibidik media untuk dijadikan segmen pasarnya, karena
sistem kapitalis yang berlaku selama ini memang mendudukkan perempuan pads
obyek dan konsumen yang potensial.
Masalahnya adalah bisakah berbagai media massa itu memberikan
tambahan wawasan bagi perempuan yang dijadikan target pembacanya? Atau
yang muncul justru pelestarian stereotip-stereotip yang telah dibangun dan
diyakini sebagai 'takdir' pada sistem masyarakat patriarki? Teks-teks dalam media
massa juga sering membangun dunia bipolar, dunia yang membedakan laki-laki
dan perempuan secara sangat tegas. Pemilihan kata-kata dalam teks dart judul
juga mencerminkan bahwa penulis - dalam hal ini redaktur dan wartawan -
cenderung melestarikan stereotip yang telah ada. Laki-laki selalu digambarkan
berkuasa, pintar, agresif, sewenang-wenang dan tricky. Sementara perempuan
digambarkan sebagai sosok manusia yang pasif, suka tertipu dan selalu menjadi
korban. ('Widyastuti Purbani dalam Siregar dkk, 1990: 307).
Realitas media acapkali bukan lagi menjadi cerminan dari realitas sehari-
hari karena menampilkan realitas yang didramatisasi sedemikian rupa untuk
kepentingan komersial.
Memang, kemasan-kemasan pesan dalam media cetak yang diperuntukkan
bagi perempuan acapkali masih tidak jauh dari peran perempuan dalam ranch
domestik. Bahkan pertanyaan semacam "sudahkah posisi strategis media untuk
mengkonstruksi subyektivitas jender telah dimanfaatkan amok membangun
kinerja positif perempuan dengan menciptakan role model perempuan yang
mandiri, mampu memecahkan kesulitannya sendiri, aktif berusaha untuk
56
memperjuangkan hak-haknya, menolong diri sendiri dan sekitarnya?" terkadang
sangat susah untuk dijawab setelah kita mengamati isi media-media yang
segmentasinya jelas untuk perempuan.
Menjadi menyedihkan apabila ketika membaca majalah remaja putri pun
isinya senada seirama dengan simpulan yang ditampilkan dari penelitian tabloid
wanita tadi. Ketika dunia bipolar dan ranah domestik selalu menjadi isi teks dalam
media, ketika, itu pula isi pikiran remaja putri kita tak jauh-jauh amat dari dunia
domestik, bias jender dan gemerlap selebritis. Khayalan para gadis belia itu
kemudian hanya diisi dengan bagaimana mempercantik diri agar dilirik laki-laki,
bagaimana penampilannya dalam beraktivitas tetap mencerminkan
kepribadiannya yang lembut, ingin dicintai dan dilindungi supaya menarik
perhatian lawan jenisnya. Jika ini yang terjadi, maka bisa dipastikan, bagaimana
image feminitas yang ada dalam pikiran mereka.
Penelitian ini bertolak dari asumsi-asumsi tersebut, dengan sedikit
pengamatan sederhana dari majalah-majalah remaja putri yang terbit di Indonesia.
Menjadi menarik untuk diteliti karena remaja-remaja putri itu - yang menjadi
segmen pembaca media tadi - nantinya akan menjadi perempuan dewasa yang
turut berperanan dalam masyarakat. Dengan demikian, sesungguhnya kesadaran
akan jender, kesadaran akan hak-hak perempuan dan kesadaran akan kodrat
perempuan disamping kesadaran tentang kedudukan perempuan dalam sistem
patriarki yang melingkupi masyarakat saat ini telah tertanam jauh sebelum is
beranjak dewasa.
Perempuan dari segala tingkatan usia menjadi sasaran tembak
konsumerisme dalam sistem kapitalis. Mengamati iklan-iklan dalam televisi akan
membuat bulu kuduk bergidik, karena begitu banyak penciptaan kebutuhan untuk
perempuan itu. Begitu banyak nilai-nilai kapitalisme telah ditayangkan setiap saat
oleh televisi yang mengkonstruksi pola pikir dan life style perempuan segala usia,
juga remaja putri.
Ratu Sejagad 2000 terpilih dari Afrika Selatan. Tubuhnya langsing dan
dadanya rata. Masyarakat Afrika Selatan sendiri menyikapi keterpilihan wakilnya
itu dengan dua sikap yang kontradiktif. Senang, bangga, tapi sekaligus juga heran,
57
mengapa ia bisa terpilih menjadi Ratu Sejagad. Magi masyarakat dan sukunya, ia
bukanlah orang yang bisa dianggap cantik. Nilai cantik menurut masyarakat
disana adalah apabila orang itu berbadan subur dan berdada montok, dengan
rambut keriting dan bibir yang tebal. Tapi ia sama sekali tidak memiliki kriteria
itu. Ia hanya memenuhi kriteria cantik menurut ukuran media dan nilai yang
dipaksakan para kapitalis agar produknya laku. (Kompas, Oktober 2001).
Berita di Kompas itu menjadi contoh nyata bagi kita. Betapa nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat bisa dijungkirbalikkan oleh media. Teks-teks media telah
mendekonstruksi nilai-nilai masyarakat mengenai sesuatu sesuai dengan
keinginan para kapitalis yang menguasai media. Salah satu media massa yang
mempunyai kekuatan besar dalam mengkonstruksi masyarakat adalah televisi,
meski media-media lain pun juga mampu melakukan hat yang sama.
Ketika remaja putri yang notabene masih pada usia labil disuguhi
oleh berbagai informasi, maka informasi-informasi itulah yang menjadi
agendanya. Jika informasi tadi bias jender, maka ketika ia beranjak menjadi
perempuan dewasa, maka is pun tidak menyadari kedudukan dirinya serta
tidak menyadari akan adanya keadilan dan kesetaraan jender. Juga kesadaran
bahwa di ruang publik pun is bisa berperan sama seperti halnya laki-laki.
Alasan-alasan itu kemudian menjadi sebab kenapa penelitian ini
dilakukan. Sengaja memilih majalah remaja putri, karena jauh hari ketika
perempuan masih menjadi remaja, seharusnyalah pendidikan kesejajaran
jender itu diberikan. Sehingga, ketika beranjak dewasa, konstruksi kesetaraan
jender dan pemahaman peran perempuan di ruang publik sudah semakin
matang. Penelitian ini kemudian ingin meneliti bagaimanakah citra perempuan
yang menjadi tema tulisan di majalah-majalah remaja putri itu. Karena
segmennya remaja, maka perempuan disini diberi makna perempuan muda,
usia remaja, atau dalam bahasa sehari-hari sering disebut cewek.
Yang menjadi obyek penelitian ini pun juga majalah yang familiar,
dalam arti semua remaja putri tahu, pernah mendengar dan pernah
membacanya, distribusinya juga karena selalu ada di hampir setiap kios koran dan
majalah) dan oplahnya pun lumayan besar.
58
Ada 4 majalah remaja putri yang menjadi obyek penelitian yakni Gadis,
Aneka Yess, Kawanku dan Cosmo Girl. Meski pun ini penelitian kualitatif, tetapi
sengaja dipilih majalah wanita yang sejenis, semata-mata hanya untuk
mempermudah penelitian raja. Tetapi bukan berarti penelitian ini akan
memperbandingkan keempat majalah tersebut. Penelitian ini hanya akan
memberikan analisis bingkai (framing analysis) dari obyek yang diteliti.
Permasalahan
Bagaimanakah framing citra perempuan yang menjadi tema tulisan pada
artikel-artikel tentang hubungan laki-laki - perempuan di majalah Gadis, Aneka
Yess, Kawanku dan Cosmo Girl edisi bulan Agustus 2002?
Manfaat Penelitian
1. Memberi masukan bagi pengelola media untuk mempertimbangkan isi
pesan dalam medianya dengan menambahkan materi tentang kesetaraan
jender dan wawasan yang lebih berguna bagi segmen pembacanya.
2. Memberi masukan bagi pengelola media mengenai topik-topik yang selama
ini telah dimuat dalam media sejenis, ditinjau dari analisis framing.
3. Memberi masukan bagi pengelola media tentang materi-materi yang belum
tergarap oleh media kompetitor, sehingga berguna bagi keuntungan
ekonomis media yang bersangkutan.
4. Sebagai tambahan khasanah pengetahuan baru di bidang ilmu komunikasi
secara umum.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe Taxonomical, yakni menemukan
pengetahuan dari suatu fenomena. Metode yang dipilih adalah analisis framing
(analisis bingkai), salah satu versi dari analisis wacana (discourse analysis).
Analisis framing digunakan dalam literatur komunikasi untuk menggambarkan
proses penseleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh
media. Disamping itu, juga dapat mengungkap kecenderungan perspektif jurnalis
59
atau media saat mengkonstruksi fakta.
Obyek penelitian ini adalah majalah remaja putri yang terbit di Indonesia
dan cukup familiar yakni Gadis, Kawanku, Aneka Yess dan Cosmo Girl yang
terbit bulan Agustus 2002 dengan rincian sebagai :
Gadis : 4 edisi, yakni no. 20,21,22, 23 / XXX/ Agustus 2002
Kawanku : 4 edisi, yakni no. 06, 07, 08, 09 /XXXII/ Agustus 2002
Aneka Yess : 2 edisi, yakni no. 16, 17 Agustus 2002
Cosmo Girl : 1edisi, yakni edisi bulan Agustus 2002
Gadis dan Kawanku merupakan majalah yang terbit mingguan, Aneka Yess
terbit dwi mingguan, sedang Cosmo Girl merupakan majalah bulanan. Dipilih
bulan Agustus, semata-mata hanya untuk memudahkan saja, dan dinilai cukup
representatif untuk memperlihatkan isi media yang bersangkutan.
Adapun yang menjadi obyek penelitian ini adalah artikel-artikel yang
dimuat di majalah-majalah tersebut, khususnya artikel mengenai hubungan laki-
laki dan perempuan.
Teknik Analisis dan Data
Teknik analisis data yang dipergunakan adalah analisis framing model
Gamson dan Modigliani. Dalam suatu skema, model in] akan nampak sebagai
berikut
60
Sumber: Diadopsi dari William A. Damson dan Andre Modigliani, "Media
discourse and Public Opinion on Nuclear Power A Constuctionist Approach",
Journal of Sociology, Vol. 95, No. 1, Juli 1989, h. 3, dalam Siahaan et al, 2001, h.
87
Landasan Berpikir
Penelitian ini memang mengambil topik tentang citra yang terbentuk akibat
informasi-informasi yang dimuat media. Kajian tentang media yang membentuk
citra menjadi sentral dari alur berpikir dalam penelitian ini. Disamping itu akan
dipaparkan pula wacana-wacana yang relevan dengan media sebagai institusi yang
mengkonstruksi masyarakat. Lebih jauh lagi memaparkan akar dari teori-teori
yang dipakai yakni interaksi simbolik. Meski begitu, tidak tertutup kemungkinan
akan juga menyangkut dimensi struktural, meski antara interaksi simbolik dengan
struktural terdapat perbedaan yang nyata.
Teori interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung teori Tindakan
Sosial yang dikemukakan oleh Max Weber. Menurut Weber, tindakan sosial
merupakan semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu
makna subjektif terhadap perilaku tersebut. (Mulyana, 2001: 61) Tindakan
bermakna sosial sejauh, berdasarkan makna subjektifnya yang diberikan individu
atau individu-individu, mempertimbangkan perilaku orang lain dan karenanya
diorientasikan dalam penampilannya. Jelasnya, Weber memberi pengertian bahwa
tindakan manusia pada dasarnya bermakna, melibatkan penafsiran, berpikir dan
kesengajaan.
Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan
kegiatan dinamis manusia. Dalam perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif
dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.
Banyak pakar setuju bahwa pemikiran Mead berlandaskan pada beberapa
cabang filsafat antara lain pragmatisme dan behaviorisme. Meski demikian, kajian
ini lebih tepat jika hanya mengambil satu cabang filsafat dalam interaksi simbolik
yang relevan, yakni pragmatisme. Aliran filsafat in] memiliki beberapa pandangan
seperti yang dirumuskan oleh John Dewey, William James, Charles Peirce dan
61
Josiah Royce.(Mulyana, 2001: 64-65) Yaitu;
1. Realitas yang sejati tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif
diciptakan ketika kita bertindak di dan terhadap dunia.
2. Manusia mengingat dan melandaskan pengetahuan mereka tentang dunia pada
apa yang terbukti berguna bagi mereka. Semakin berguna pengetahuan (fakta,
definisi, asumsi, nilai, gagasan, pengalaman dan sebagainya) yang diterapkan
dalam kehidupan, semakin besar kepercayaan terhadapnya.
3. Manusia mendefinisikan obyek fIsik dan obyek sosial yang mereka temui
berdasarkan kegunaannya bagi mereka termasuk tujuan mereka. Arti penting
suatu benda menjadi sangat kontekstual.
4. Bila ingin memahami orang yang melakukan tindakan (aktor), hat-us
mendasarkan pemahaman pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di dunia.
Interaksi simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang
komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer memisahkan
tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari interaksi simbolik
ini. Masing-masing hal tersebut mengidentifikasikan sebuah konsep sentral
tentang tradisi interaksi simbolik itu. Yaitu (Littlejohn, 1996 : 160 )
1. People understand things by assigning meaning to their experience. Human
perception is always mediated by a filter of symbols.
2. Meanings are learned in interaction between people. Meaning arise from
the exchange of symbols in social groups.
3. All social structures and institutions are created by people interacting with
one another
4. Individual behavior is not strictly determined by prior events, but is
voluntary.
5. Mind consist of an internal conversation, with reflects interactions one has
had with others.
6. Behavior is enacted, or created in the social group in the course of
interaction.
7. One cannot understand human experience by observing overt behavior
People understandings, their meanings, for events must be ascertained.
62
Sebagai pengikut Mead, Blumer kemudian menyatakan pokok-pokok
prinsip yang sebelumnya telah dinyatakan oleh Mead. Menurut Blumer, interaksi
simbolik merujuk pada karakter interaksi khusus yang berlangsung antar manusia.
Aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan yang lain, tetapi dia
menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon aktor balk
secara langsung maupun tidak selalu didasarkan atas penilaian makna.
Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas
manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Dalam
konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi, dan proses tersebut
bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial
memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari
organisasi sosial dan kekuatan sosial. (Mulyana, 2001 : 70)
Deddy Mulyana, kemudian meringkaskan premis-premis yang terkandung
dalam interaksi simbolik itu sebagai berikut (Mulyana, 2001 71-73)
1. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan,
termasuk obyek fisik (benda) dan obyek sosial (perilaku manusia)
berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan
tersebut bagi mereka. Ketika mereka menghadapi suatu situasi, respon
mereka tergantung pada bagaimana mereka mendefinisikan situasi yang
dihadapi dalam interaksi sosial. Jadi individu dipandang aktif untuk
menentukan lingkungan mereka sendiri.
2. Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat
pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.
Negosiasi ini dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala
sesuatu, bukan hanya obyek fisik, tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa
kehadirannya secara fisik), namun juga gagasan yang abstrak. Tetapi,
nama atau simbol yang digunakan itu bersifat arbitrer (sembarang).
3. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu
sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.
Simbol itu sendiri, menurut FW Dillistone dalam bukunya The Power of Symbols,
bisa dipandang sebagai
63
1. Sebuah kata atau barang atau obyek atau tindakan atau peristiwa atau pola
atau pribadi atau hal yang konkret;
2. Yang mewakili atau menggambarkan atau mengisyaratkan atau menandakan
atau menyelubungi atau menyampaikan atau menggugah atau
mengungkapkan atau mengingatkan atau menunjukkan atau berhubungan
atau menggantikan atau mencorakkan atau menunjukkan atau berhubungan
dengan attar kesesuaian dengan atau menerangi atau mengacu kepada atau
mengambil bagian dalam atau menggelar kembali atau berkaitan dengan;
3. Sesuatu yang lebih besar atau transeden atau tertinggi atau terakhir sebuah
makna, realitas, suatu cita-vita, nilai, prestasi, kepercayaan, masyarakat,
konsep, lembaga, dan suatu keadaan. (Dillistone, 2002 : 20
Sebuah symbol sesungguhnya mengambil bagian dalam realitas yang
membuatnya dapat dimengerti. Pengambilan bagian atau partisipasi ini pada abad
ke-19 dikenal dengan istilah substansi yang dipopulerkan oleh Coleridge.
Karakteristik khusus yang melekat pada simbol adalah daya kekuatan simbol itu
sendiri yang bersifat emotif, dan merangsang orang untuk bertindak.
Simbol juga berkaitan erat dengan kohesi sosial dan transformasi sosial.
Benar bahwa individu mungkin bertanggungjawab atas penciptaan bentuk
simbolis yang baru dan pengaitannya dengan gagasan dan nilai baru. Tapi
semuanya itu harus mempunyai hubungan yang lama. Artinya setiap individu
dibentuk dalam sistem simbol bersama dan meskipun sumbangannya sendiri
mungkin mengubahnya, sumbangan itu tidak akan menggantikan sistem simbolis
itu yang telah ada tersebut. Simbol-simbol dan masyarakat saling memiliki dan
saling mempengaruhi.
Media massa, dalam hal ini, menjadi alat untuk mentransformasikan simbol-
simbol ke dalam kehidupan masyarakat. Selain berfungsi untuk mensosialisasikan
simbol-simbol yang telah diciptakan, media massa juga mempunyai kekuatan
untuk membuat dan menciptakan simbol-simbol sendiri yang nantinya bisa
menjadi agenda khalayak pembacanya.
George Herbert Mead bahkan menekankan bahwa individu itu bukanlah
budak masyarakat. Dia membentuk masyarakat sebagaimana masyarakat
64
membentuk individu. Demikian juga media. Media massa punya kekuatan untuk
menentukan corak khalayaknya, sebagaimana khalayak menentukan corak media
massa.
Pemikiran ini sesuai dengan kerangka konstruktivis yang juga menjadi
acuan dalam penelitian ini. Peter Dahlgren menyebutkan bahwa realitas sosial
menurut pandangan konstruktivis (fenomenologis), setidaknya sebagian, adalah
produk manusia, hasil proses budaya, termasuk penggunaan bahasa (Dahlgren,
1999 : 72)
Filsafat konstruktivisme kemudian mengembangkan istilah konstruksi sosial
yang diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Realitas sosial
menurut Berger dan Luckmann merupakan kerja kognitif individu dalam
menafsirkan realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan
lingkungan atau orang sekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri
pengetahuan atas realitas yang dilihatnya itu berdasarkan struktur pengetahuan
yang telah ada sebelumnya. (Bungin, 2001 : 11)
Jika demikian halnya, maka teks-teks media massa merupakan realitas
simbolik, yang karena dipajani setiap saat oleh khalayaknya, maka khalayak
menganggap itu sebagai realitas obyektif yang akan mempengaruhi realitas
subyektif mereka. Meski sudah melalui proses internalisasi dalam din' masing-
masing individu, tetapi tidak dapat disangkal bahwa media massa punya kekuatan
penetrasi yang sangat besar.
Saya tidak akan membahas tentang bagaimana realitas subyektif yang
terbentuk pada khalayak pembaca majalah remaja putri itu. Kajian ini lebih
kepada menganalisis bagaimana realitas simbolik yang terdapat dalam media itu.
Sebab, seperti telah disebutkan dalam awal tulisan ini, bahwa realitas simbolik
(informasi-informasi yang dimuat di majalah remaja putri) bisa menciptakan citra
tentang sesuatu yang dituliskannya. Mengenai citra itu sendiri, Jalaluddin Rahmat
menulis : Realitas yang ditampilkan media adalah realita yang sudah diseleksi -
realitas tangan kedua (second hand reality) Jadi, akhirnya, kita membentuk citra
tentang lingkungan sosial kita berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan oleh
media massa. (Rahmat, 1985 : 224)
65
Erat kaitannya dengan itu adalah apa yang disebut oleh Lazarsfeld
dan Merton sebagai pemberian status (status conferral). Dalam jurnalistik
dikenal pemeo `names make news' ; maka dalam pembentukan citra pun bisa
juga dikatakan `news makes names'. (Rahmat, 1985:225)
Karena media massa melaporkan realitas obyektif secara selektif,
maka citra lingkungan sosial yang terbentuk pun akan menjadi timpang, bias
dan tidak cermat. Dan, terjadilah stereotip-stereotip. Stereotip itu sendiri,
menurut Emil Dofivat, didefinisikan sebagai : ... unbewalgiche, klisschehafte, oft
verzerrte and unzutrefende Vaerallgeneinerungen jur die Einzelne sowohli die
gauze Gruppen, Berufe, Volker sich so anfallig zeigen. (Dofivat, 1968 119)
Ringkasnya, stereotip merupakan gambaran umum tentang individu,
kelompok, profesi, atau masyarakat yang tidak berubah-ubah, bersifat klise, dan
seringkali timpang dan tidak benar.
Intinya, van den Haag mengatakan bahwa media massa pada akhirnya.
mengasingkan orang dari pengalaman personalnya, dan walaupun tampak
menggoncangkannya, media masa memperluas isolasi moral sehingga. mereka
terasing dari yang lain, dan realitas dari diri mereka sendiri. Orang mungkin
berpaling pada media massa bila is kesepian atau bosan. Tetapi, sekali media
massa menjadi kebiasaan, media massa dapat merusak kemampuan memperoleh
pengalaman yang bermakna.
Tokoh lain, Lee Loevinger mengemukakan 'reflective-projective theory',
dan beranggapan bahwa media massa adalah cerminan masyarakat yang
mencerminkan suatu citra yang ambigu, sehingga pada media massa setiap orang
memproyeksikan atau melihat citranya. Media massa mencerminkan citra
khalayak, dan khalayak menproyeksikan citranya pada penyajian media massa.
Media tidak saja mempertahankan citra khalayak, tetapi lebih jauh, justru
mempertahankan status quo. Informasi dipilih sedapat mungkin tidak terlalu
menggoncangkan status quo tersebut.
Teori agenda setting sendiri, sebagaimana telah disebut menjadi latar
belakang kajian ini, berangkat dari asumsi bahwa media massa menyaring berita,
artikel atau tulisan yang akan disiarkannya. Secara selektif, gatekeepers seperti
66
redaktur, editor, bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas
diberitakan dan many yang harus disembunyikan.
TENTANG ANALISIS FRAMING
Wacana-wacana diatas mendasari pemikiran kajian ini, yang memang
ingin membuat framing analysis (analisis bingkai) dari informasi-informasi
dalam media massa. Istilah ini kemudian di-Indonesia-kan oleh Eriyanto
menjadi analisis framing, dan menjadi sebuah buku dengan judul yang lama,
Analisis framing itu sendiri merupakan pengembangan lebih lanjut
dari analisis wacana (discourse analysis) dan banyak meminjam perangkat
operasional analisis wacana (Siahaan, 2001 : 76). Analisis framing dipakai
untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta.
Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan dan pertautan fakta ke dalam
berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih
diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan
kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif
atau cara pandang yang digunakan wartawan ketika menyeleksi issue dan
menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan
fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan serta
hendak dibawa ke mana berita tersebut. Karenanya berita menjadi manipulatif
dari bertujuan mendominasi keberadaan subyek sebagai sesuatu legitimate,
obyektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan. (Sober, 2001 : 162)
Menurut George Junus Aditjondro (dalarn Siahaan, 2001: 8-10),
proses framing merupakan metode penyampaian realitas dimana kebenaran
tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, tapi dibelokkan secara
halus dengan memberi sorotan terhadap aspek-aspek tertentu menggunakan
istilah-istilah berkonotasi tertentu, dibantu foto, karikatur dan ilustrasi lainnya.
Proses framing, masih menurut Aditjondro, merupakan bagian tak
terpisahkan dari proses penyuntingan yang melibatkan semua pekerja di
bagian keredaksian media cetak. Reporter di lapangan menentukan siapa
yang diwawancarainya. Redaktur dengan atau tanpa berkonsultasi dengan
67
redaktur pelaksana menentukan apakah laporan si reporter akan dimuat atau
tidak, dan menentukan judul apa yang akan diberikan. Petugas lay out - dengan
atau tanpa berkonsultasi dengan redaktur tersebut - menentukan apakah teks berita
itu perlu diberi aksentuasi foto, karikatur, bahkan ilustrasi mana yang dipilih.
Bahkan proses framing tidak hanya melibatkan para pekerja pers tapi juga pihak-
pihak yang bersangkutan dalam kasus-kasus tertentu. Proses framing menjadikan
media massa sebagai arena di mana informasi tentang masalah tertentu
diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama
menginginkan pandangannya di dukung pembaca. Para jurnalis dan pekerja pers
bisa menggunakan berbagai konfigurasi simbol untuk menulis dan mengurai suatu
issue.
Menurut Deddy Mulyana, analisis framing cocok digunakan untuk melihat
konteks sosial budaya suatu wacana, khususnya hubungan antar berita dan
ideologi, yakni proses atau mekanisme mengenai bagaimana berita membangun,
mempertahankan, memproduksi, mengubah dan meruntuhkan ideologi. Analisis
framing dapat digunakan untuk melihat siapa mengendalikan siapa dalam suatu
struktur kekuasaan, pihak mana yang diuntungkan dan dirugikan, siapa si
penindas dan si tertindas, tindakan politik mana yang konstitusional dan yang
inkonstitusional, kebijakan publik mana yang harus didukung dan tidak boleh
didukung, dan sebagainya. (dalam Eriyanto, 2002 ; xiv-xv)
Konsepsi analisis framing itu sendiri bisa. dilihat dari dua sisi, yakni
sosiologis dan psikologis. Erving Goffman mengatakan, secara sosiologis, konsep
analisis framing memelihara kelangsungan mengklasifikasi, mengorganisasi, dan
menginterpretasikan secara aktif pengalaman-pengalaman hidup untuk dipahami.
Skemata interpretasi itu disebut frames, yang memungkinkan individu untuk dapat
melokalisasi, merasakan, mengidentifikasi, dan memberi label terhadap peristiwa-
peristiwa serta informasi. Gitlin (1980, dalam Siahaan, 2001:76-77)
mendefinisikan frame sebagai seleksi, penegasan dan eksklusif yang tepat. Ia
menghubungkan konsep tersebut dengan proses memproduksi wacana berita
dengan mengatakan, frame memungkinkan para jurnalis memproses sejumlah
besar informasi secara tepat dan rutin, sekaligus mengemas informasi demi
68
penyiaran yang efisien kepada khalayaknya.
Dari sisi psikologis, framing dilihat sebagai penempatan informasi dalam
konteks yang unik sehingga elemen-elemen tertentu suatu issue memperoleh
alokasi sumber kognitif individu lebih besar. Konsekuensinya, elemen-elemen
yang terseleksi menjadi penting dalam mempengaruhi penilaian individu atau
penarikan simpulan.
Beberapa tokoh yang secara intens mengembangkan analisis framing ini
adalah Murray Edelman, Robert N. Entman, William A. Gamson, Zhongdang Pan
serta Gerald M. Kosicki.
Edelman mensejajarkan framing sebagai kategorisasi: pemakaian perspektif
tertentu dengan pemakaian kata-kata yang tertentu pula, yang menandakan
bagaimana fakta dan realitas dipahami. (Eriyanto, 2002: 156) Kategorisasi pada
dasarnya adalah upaya mengklasifikasikan dan menyederhanakan realitas dan
dunia yang kompleks menjadi sederhana, mengerucut dan dapat dipahami dengan
mullah. Dalam pandangan Edelman, kategorisasi berhubungan dengan ideologi.
Bagaimana realitas diklasifikasikan dan dikategorisasikan, diantaranya ditandai
dengan bagaimana kategorisasi tersebut. dilakukan.
Sementara itu Robert N. Entman memandang framing sebagai penempatan
informasi-informasi dalam konteks yang khas, sehingga issue tertentu
mendapatkan alokasi lebih besar daripada issue yang lain. Entman melihat
framing dalam dua dimensi besar : seleksi issue dan penekanan atau penonjolan
aspek-aspek tertentu dari realitas/issue. Penonjolan disini diartikan sebagai proses
membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, berarti atau lebih
diingat oleh khalayak.
Gamson, yang karena latar belakang keilmuannya adalah sosiologi,
memandang segala sesuatunya dan studi gerakan sosial (social movement)., dan
relevansinya dengan media. Dalam pandangan Gamson, pertanyaan utama dari
studi gerakan sosial adalah apa yang menyebabkan individu terlibat dalarn
gerakan sosial. Jawaban dan pertanyaan tersebut diantaranya karena framing.
Frame menunjuk pada skema pemahaman individu sehingga seseorang dapat
menempatkan, mempersepsi, mengidentifikasikan, dan member] label peristiwa
69
dalam pemahaman tertentu. Dalam suatu peristiwa, frame berperan dalam
mengorganisasi pengalaman dan petunjuk tindakan, baiksecara individu maupun
kolektif. Dalam pemahaman ini frame berperan dan menjadi aspek yang
menentukan dalam partisipasi gerakan social.
Tokoh yang lain adalah Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Mereka
mendefinisikan framing sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol,
menempatkan informasi lebih dari pada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju
pada pesan tersebut. Framing dalam pandangan mereka dilihat dari dua konsepsi
yakni konsepsi psikologis dan konsepsi sosiologis. Model Pan dan Kosicki ini
merupakan model analisis framing yang paling banyak digunakan dalam
penelitian, dibandingkan model-model yang lain.
Penelitian ini memakai model Gamson, yang ditulis bersama-sama dengan
Andre Modigliani. Studi Garrison mengenai framing, pertama kali berkaitan
dengan studs gerakan sosial. Keberhasilan gerakan sosial, menurut Gamson,
terletak pada bagaimana peristiwa dibingkai sehingga menimbulkan tindakan
kolektif. Lebih lanjut, Eriyanto (Eriyanto, 2002 : 220-221) menjelaskan pemikiran
Gammon itu sebagai berikut : Untuk memunculkan tindakan kolektif tersebut,
dibutuhkan penafsiran dan pemaknaan simbol yang bisa diterima secara kolektif.
Dalam pandangan Gamson, seseorang berpikir dan mengkomunikasikannya
melalui citra dan diterima sebagai kenyataan. Makna disini bukan sesuatu yang
tetap dan pasti, melainkan secara terus menerus dinegosiasikan. Citra dan simbol
itulah yang bisa membangkitkan perasaan bersama khalayak.
Dalam gerakan sosial, paling tidak membutuhkan tiga frame/bingkai.
(Gamson, 1992 dalam Eriyanto, 2002 : 221-222). Yaitu
1. Aggregate Frame
Proses pendefinisian issue sebagai masalah sosial. Bagaimana individu yang
mendengar frame atas peristiwa tersebut sadar bahwa issue tersebut adalah
masalah bersama yang berpengaruh bagi setiap individu.
2. Consensus frame
70
Proses pendefinisian yang berkaitan dengan masalah sosial hanya dapat
diselesaikan oleh tindakan kolektif Frame konsensus ini mengkonstruksi
perasaan dan identifikasi dari individu untuk bertindak secara kolektif:
3. Collective Action Frame
Proses pendefinisian yang berkaitan dengan kenapa dibutuhkan tindakan
kolektif, dan tindakan kolektif apa yang seharusnya dilakukan. Frame ini
mengikat perasaan kolektif khalayak agar bisa terlibat secara bersama-sama
dalam gerakan sosial. Collective action frame ini dikonstruksi lewat tiga
elemen: injustice frame, agency frame dan identity frame.
Dalam formulasi yang dibuat Gamson dan Modigliani, frame dipandang
sebagai cara bercerita (story line) atau gugusan ide-ide yang tersusun sedemikian
rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan
suatu wacana. Gamson melihat wacana media terdiri atas sejumlah kemasan
(package) melalui mana konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk. Kemasan itu
merupakan skema dan struktur pemahaman yang dipakai oleh seseorang ketika
mengkonstruksi pesan-pesan yang dia sampaikan, dan menafsirkan pesan yang dia
terima.
ANALISIS
Melalui analisis yang telah dilakukan untuk semua artikel tentang hubungan
laki-laki - perempuan di semua majalah yang menjadi obyek penelitian in], maka.
didapati temuan-temuan data sebagai berikut
a. Kategorisasi Hubungan
Dari 26 artikel yang diteliti, maka didapati data sebagaimana nampak dalam
tabel berikut
Tabel 1. KATEGORI HUBUNGAN
Kategori Hubungan Jumlah Persentase
PerkenalanKeakrabanRomantik
2519
7,719,2373,08
Jumlah 26 100
Data menunjukkan lebih banyak artikel yang menulis tentang hubungan romantik
71
atau hubungan percintaan daripada hubungan keakraban dan perkenalan. Ini
menunjukkan orientasi remaja sekarang dalam menjalin hubungan dengan lawan
jenis lebih banyak ke hubungan romantik daripada persahabatan yang lebih luas
sifatnya. Data ini sekaligus juga menunjukkan bahwa artikel-artikel yang ditulis
itu lebih banyak menyoroti masalah bagaimana mencoba menarik perhatian
teman-teman lawan jenisnya untuk dijadikan pacar atau pasangannya daripada
dijadikan sahabat atau sekedar teman biasa.
Realitas ini sesuai dengan apa yang dikatakan Aristoteles, sebagaimana
telah disebut di muka, bahwa pada masa remaja, hasrat seksuallah yang paling
mendesak dalam diri remaja, dan dalam hal inilah mereka menunjukkan hilangnya
kontrol diri.
b. Framing Devices
Data yang ada menunjukkan hal-hal sebagai berikut
a) Methapors
Yang menarik untuk dicermati dalam penelitian ini adalah banyak sekali
artikel-artikel yang tidak mempunyai methapors. Data yang ditemukan
menunjukkan 1I tulisan atau 42,3% tidak ada metaphors-nya. Ini patut digaris
bawahi. Dengan demikian, remaja-remaja sebagai pembaca tidak dibiasakan
melihat suatu permasalahan dari metaphors-metaphors yang caratt dengan nilai-
nilai itu. Tetapi, pembaca hanya disuguhi terjemahan-terjemahan yang telah
dilakukan oleh media dan wartawan sebagai penulisnya.
Tabel 2. METAPHORS DALAM TULISAN
Ada Tidaknya Methapors Jumlah Persentase
Ada
Tidak Ada
15
11
57,7
42,3
Jumlah 26 100 r
b) Catchphrases
Dalam penelitian ini, banyak sekali didapati istilah-istilah, yaitu bete,
boring, cewek, cinlok, cool, cuek, date, dikomporin, doi, enggak nyambung, gaul,
72
gebetan, jadian, jaim, jomblo, mati gaya, matre, miss ringring, nembak,
ngecengin, ngeh, ngerumpi, otak encer, PDKT, Pede, SKSD, Seleb.
Selain itu, juga banyak digunakan kata-kata senu, seperti : kok, nih, tuh,
Bong, yah, ups, fuih, hmm.... yummi, nah lo! Kata-kata bahasa Inggris juga
digunakan dalam bahasa pergaulan mereka tetapi, sudah dicampuradukkan dengan
kata-kata dalam bahasa Indonesia, seperti : warna soft, over pede, ngajak dance,
surprise, felling, happy, play boy, playgirl, care abis, fair, .... man! Dan bahasa
Betawi juga dipergunakan untuk menyebut diri : gue, lu. Beberapa kosa kata
bahasa Indonesia ditulis sama dengan bahasa tutur: enggak, aja, emang, bareng,
dan kata-kata berakhiran in.
c. Depictions
Depictions sulit dibedakan dengan catchphrass. Tetapi, data penelitian
menunjukkan ada beberapa depictions yang ditemukan yaitu : PDKT, Pede,
Cinlok, Bete dan Jaim. Tidak semua tulisan mengandung depictions. Ada
beberapa bahkan tidak ditemukan depictions-nya. Hal ini wajar-wajar raja karena
memang bisa saja terjadi dalam satu tulisan tidak membutuhkan dan tidak
mengharuskan penulisnya menggunakan akronim.
d. Exemplar
Pada penelitian mi didapati realitas bahwa
(1) Remaja mengaju ke budaya pop dalam aktivitas mereka.
(2) Komunikasi dengan pacar itu memerlukan biaya mahal, tapi tetap saja
dilakukan.
(3) Cewek Itu Tidak Matre
(4) Ganti-ganti pacar justru bisa menambah wawasan.
(5) Cewek punya hak yang sama dengan cowok
(6) Stereotip tetap disosialisasikan
e. Visual Images.
Ada beberapa hal yang menarik dari penelitian ini, yakni
(1) Visual tidak mewakili teks
(2) Model sebagai ikon
(3) Pelabelan
73
(4) Relatif tidal: berbeda dengan visualisasi iklan
c. Reasoning Devices
Ada dua hal yang akan dibahas dalam reasoning devices ini yakni roots dan
appeals to principle.
a). Roots.
Roots merupakan analisis kausal dengan mengedepankan suatu issue
yang dianggap sebagai sebab terjadinya hal yang lain. Tujuannya untuk
memberikan alasan pembenar dalam penyimpulan. Menarik juga untuk
digarisbawahi disini adalah tidak semua tulisan mengandung roots. Artinya
tidak semua tulisan kausalitas antar gejala atau perilaku remaja. Tulisan-
tulisan tanpa roots tersebut hanya sekedar memaparkan kejadian-kejadian
atau kiat-kiat berperilaku khusus tanpa menyebutkan alasan atau latar
belakang kenapa perilaku tersebut harus dilaksanakan oleh pembacanya..
Tabel 3. ADA TIDAKNYA ROOTS DALAM TULISAN
Ada Tidaknya Roots Jumlah Persentase
Ada
Tidak Ada
3
23
11,5
88,5
Jumlah 26 00
Ini menunjukkan bahwa kebanyakan artikel di majalah remaja itu masih
menggunakan standar-standar penulisan yang biasa dipergunakan untuk
penulisan artikel di media massa.
b. Appeals to Principle
Ada beberapa Maim moral yang ditemukan dalam penelitian ini, yakni
(1) Sudah tidak zamannya lagi perempuan hanya menunggu laki-laki.
Sekarang perempuan boleh menyatakan cinta lebih dulu kepada laki-
laki yang ditaksimya. Tapi, harus ada strateginya supaya tidak
mendapat malu. Dan cara menyatakannya juga harus sedemikian rupa
sehingga tidak terkesan agresif, karena laki-laki tidak suka perempuan
74
yang agesif.
(2) Untuk dapat menarik perhatian dan mendapat cinta laki-laki,
perempuan harus modis, lembut, wangi, tapi juga diimbangi dengan
pengetahuan yang leas dan otak yang encer. Meski demikian lebih
disukai perempuan-perempuan yang ekstrovert, gampang
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pergaulan.
(3) Ganti-ganti pacar atau punya pacar lebih dari satu, bagi perempuan
sekarang, itu bukan masalah. Jadi sah-sah saja dilakukan.
(4) Untuk menjadi pasangan, tidak masalah perempuan lebih tua dari laki-
laki (atau kakak kelasnya), karena lebih tua bukan berarti dominan
terhadap yang lebih muda.
(5) Pacaran satu sekolah itu mengandung banyak resiko.
Citra Perempuan
Dari temuan data dan analisis yang dilakukan melalui perangkat-perangkat
gaming dan penalaran, maka didapati hasil sebagaimana yang akan dipaparkan
berikut ini. Untuk lebih memudahkan membaca, maka akan diperlihatkan dalam
tabel berikut.
Tabel 4. PENCITRAAN PEREMPUAN
Pencitraan Jumlah Persentase
Citra Pilar 2 7,7Citra Pigura 4 15,4Citra Pinggan - -Citra Pergaulan 18 69,2Tanpa Citra 2 7,7Jumlah 26 100
a. Citra Pilar
Perempuan digambarkan sebagai tulang punggung utama keluarga.
Perempuan mempunyai derajat yang sama dengan laki-laki. Hanya karena
kodratnya yang berbeda dengan laki-lakilah yang menyebabkan ia harus memikul
tanggung jawab yang lebih besar terhadap rumah tangganya. Lebih leas lagi,
perempuan digambarkan memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan-pekerjaan
75
domestik.
b. Citra Pigura
Pencitraan ini menggambarkan perempuan dengan menekankan issue
natural anomy, penegasan pada sifat kewanitaannya secara biologis. Ada
beberapa tulisan ( 15,4% ) yang memuat citra pigura ini dalam menggambarkan
perempuan. Ke-4 tulisan yang mencitrakan citra pigura ini mengandung nilai-
nilai seperti :
(1) Perempuan yang patah hati, biasanya sangat sulit melupakan pacar
lamanya untuk menerima datangnya cinta barn.
(2) Kalau perempuan lebih tua dari pasangan laki-lakinya, maka sebelum
memutuskan untuk pacaran harus dipikir dulu masak-masak.
(3) Perempuan paling senang kalau diperhatikan dengan cara diberi aneka
macam hadiah
(4) Perempuan yang disukai laki-laki digambarkan sebagai perempuan
yang lembut, feminin, wangi, tidak banyak berkeringat, lemah secara
fisik, berambut panjang dan cenderung introvert karena lebih banyak
beraktivitas di dalam rumah.
c. Citra Pinggan
Citra pinggan menggambarkan perempuan yang tidak bisa melepaskan diri
dari dapur, karena dapur adalah dunia perempuan. Dan tidak satupun artikel dalam
majalah remaja tersebut yang menggambarkan citra ini. Ketiadaan ini mungkin
disebabkan karena mulainya disosialisasikan ketidaksukaan perempuan bekerja di
dapur dan lebih suka mengejar prestasi di luar rumah.
d. Citra Pergaulan.
Yang paling banyak dicitrakan adalah citra pergaulan. Citra ini ditandai
dengan pergulatan perempuan untuk masuk ke dalam kelas-kelas tertentu yang
lebih tinggi di masyarakatnya.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, citra pergaulan menggambarkan
76
bagaimana seharusnya menjadi perempuan yang bisa menarik hati lawan jenisnya.
Tapi menarik hati laki-laki ternyata tidak mudah dan sederhana. Karena itu
diperlukan banyak strategi dan kiat-kiat. Kebanyakan tulisan dalam majalah
remaja itu membahas kiat-kiat dan segala hat yang berkaitan dengan cara menarik
perhatian dan cinta laki-laki untuk dijadikan pasangannya. Data yang ada
menunjukkan 69,2% menulis tentang hal itu.
e. Tanpa Citra
Ada 2 tulisan yang tidak mencitrakan perempuan sama sekali. Ini
dikarenakan artikel tersebut hanya menceritakan peristiwa saja, dari sudut
pandang laki-laki tentu, tapi sama sekali tidak menilai atau berkaitan secara
langsung dengan perempuan meski yang menjadi terra utama adalah hubungan
dengan perempuan.
Bentukan Citra
Setelah melakukan analisis sebagaimana paparan di atas, maka didapati
bentukan citra dari data yang ada sebagaimana nampak dalam table berikut ini
Tabel 5. BENTUKAN CITRA
Bentukan Citra Jumlah Persentase
Stereotip 3 11,5Menyokong status quo 6 23,1Kesetaraan 15 57,7Tanpa bentukan citra 2 7,7
Jumlah 26 100
KESIMPULAN
Dari semua rubrik-rubrik tentang hubungan laki-laki - perempuan yang dimuat ke
empat majalah itu, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Susahnya jadi perempuan
Jadi perempuan tidak bisa sembarangan bertindak dan berpenampilan.
Salah-salah bisa dipersepsi lain oleh lingkungan, terutama oleh lawan jenis.
Meski ada tuntutan untuk jadi diri sendiri, tapi perempuan juga harus
memenuhi nilai-nilai stereotip yang selama ini berlaku, bahkan stereotip
77
yang terkadang terkesan diada-adakan. Misalnya jadi perempuan itu harus
selalu wangi, feminin tapi tidak pura-pura meski trend-nya sekarang lebih
disukai remaja putri yang mempunyai sifat androgini. Perempuan juga tetap
dicitrakan mahluk yang lemah dan harus dilindungi, meski kedudukannya
telah setara dengan laki-laki. Kesetaraan jender rupanya telah banyak
menjadi tema dalam tulisan-tulisan tersebut. Di sisi lain, standar moral
ganda masih ditetapkan untuk kehidupan perempuan pada era sekarang ini.
Pacaran Bukan Hat Yang Istimewa
Pacaran tidak lagi bisa disebut sebagai hal yang istimewa, istilah lain untuk
disebut sebagai sesuatu hal yang 'sakral'. Era sekarang, remaja bisa pacaran
dengan siapa saja, dengan tidak memakai alasan cinta. Mereka bisa mudah
'nembak' teman untuk dijadikan pacar hanya karena teman tersebut ditaksir
banyak lawan jenisnya, atau karena ngetop di sekolah, atau karena alasan-
alasan lain yang bukan cinta. Karena itu, putus cinta juga bisa menjadi
peristiwa biasa saja dan kapan saja dan karenanya tidak perlu ditangisi atau
dijadikan alasan kesedihan. Pacaran zaman sekarang bukan lagi suatu proses
menuju perkawinan tetapi hanya berupa gaya dalam pergaulan saja.
Istilahnya, daripada jomblo, mending punya pacar.
Cewek = Enggak Matre
Asumsi yang selama ini berkembang bahwa perempuan itu matre dengan
sendirinya gugur. Hampir di semua tulisan mengemukakan bahwa harta dan
status bukan segala-galanya. Bahkan laki-laki sendiri yang mengatakan
bahwa mereka lebih menyukai perempuan yang sederhana tapi pintar
daripada yang isi otaknya cuma pakaian dan aksesoris saja.
Mahalnya Perhatian dan Cinta I aki-laki
Untuk bisa diperhatikan dan dicintai laki-laki, remaja putri harus
mengeluarkan biaya yang lumayan besar. Penampilannya harus modis,
fashionable, mengikuti trend dan tidak boleh ketinggalan zaman, harus
selalu wangi, baik mulutnya, bau badannya, dan pakaiannya. Remaja putri
itu juga harus bisa mengimbangi pembicaraan laki-laki yang mengajaknya
berkencan sehingga citra dirinya. tetap terjaga balk. Juga harus mempunyai
78
kegiatan yang bisa dibanggakan laki-laki tersebut, misalnya pintar dansa
atau menguasai alat musik tertentu, dan sebagainya.
Nunggu Cowok Nembak, Itu Sih Kuno!
Pernyataan itu juga saya ambil dari bahasa pergaulan remaja., Maksudnya,
pada era sekarang ini perempuan juga mempunyai hak untuk menyatakan
cinta. Realitas ini juga memudarkan stereotip bahwa laki-lakilah yang
mempunyai hak untuk menyatakan cinta sedang perempuan mempunyai hak
untuk menolak cinta. Perempuan sekarang sah-sah saja menyatakan cinta
dubs, tanpa harus menunggu pernyataan cinta dari pihak laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan., 2001, Imaji Media Massa, Konstruksi dan Makna Realitas
Sosial Iklan Televisi Dalam Masyarakat KapitaIistik, Yogyakarta, Jendela
Dahlgren, Peter, 1999, Television News Narrative dalam Mary S. Mander.,
Framing Fiction, Urbana, University of Illinois Press.
Dillistone, FW.. 2002, The Power of Symbols, Yogyakarta, Kanisius Dofivat,
E., 1968, Handbuch der Publizistik, Berlin, Walter de Gryter
Eriyanto., 2002, Framing Analisis, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media,
Yogyakarta, LKIS
Fakib, Mansour., 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar
Littlejohn, Stephen W., 1995, Theories of Human Communication 5-ed, Belmont,
Melbourne, Washington, Wadsworth Publishing Company
Mulyana, Deddy., 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif', Bandung, Remaja
Rosdakarya
Pease, Allan., Bahasa Tubuh, Bagaimana Membaca Pikiran Seseorang Melalui
Gerak Isyarat, 1981, Jakarta, Arcan
Rakhmat, Jalaluddin., 1999, Psikologi Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya
Saadawi, Nawal EL, 2002, Perempuan Dalam Budaya Patriarki, Yogyakarta,
79
Pustaka Pelajar
Sanderson, Stephen K, 1993, Makro Sosiologi, Jakarta, Rajawali Press
Sarwono, Sarlito Wirawan.; 1997, Psikologi Remaja, Jakarta, Rajawali Pers
Siahaan, Hotman M. (dkk)., 2001, Pers Yang Gamang, Studi Pemberitaan Jajak
Pendapat Timor Timur, Surabaya, Jakarta, LSPS, ISAI dan US AID
Sobur, Alex., 2001, Analisis Teks Media, Bandung, Remaja Rosdakarya
Sulaernan, Dadang., 1995, Psikologi Remaja, Dimensi-dimensi Perkembangan,
Bandung, Mandar Maju
Zeitlin, Irving M., 1995, Memahami Kembali Sosiologi, Kritik Terhadap Teori
Sosiologi Kontemporer, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press