analisis dwelling time terhadap peti kemas impor di...
TRANSCRIPT
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peran pelabuhan sangat penting bagi perkembangan wilayah di sekitarnya
karena pelabuhan menjadi titik simpul logistik dan menjadi penentu tingkat nilai
suatu jenis barang. Triatmodjo (2010) menyatakan “Pelabuhan mempunyai daerah
pengaruh (hinterland), yaitu daerah yang mempunyai kepentingan hubungan
ekonomi, sosial dan lain-lain dengan pelabuhan tersebut”, misalnya barang impor
pada industri otomotif yang masuk ke Indonesia melalui Pelabuhan Tanjung Priok
memiliki mata rantai logistik yang terintergrasi karena selanjutnya akan
didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia. “Pelabuhan secara universal berfungsi
sebagai : (1) gate way atau pintu gerbang resmi lalu lintas barang; (2) link atau mata
rantai penghubung the chain of transport; (3) interface atau tempat berlangsungnya
transfer barang antar dua muka (front) terdiri atas sisi laut dan sisi darat; (4) industry
entity atau pelabuhan sebagai tempat kumpulan industri (collection of industries)
yang terkait erat dengan kepelabuhan berupa usaha pokok maupun pendukung”
(Lasse 2014). Salah satu fasilitas yang dimiliki oleh pelabuhan yaitu terminal peti
kemas yang digunakan sebagai tempat keluar masuk barang khususnya peti kemas
(Setyaningrum 2012).
Kegiatan perekonomian Indonesia masih terpusat pada Pelabuhan Tanjung
Priok yang memiliki ukuran pelabuhan terluas dibandingkan dengan pelabuhan yang
ada saat ini, Pelabuhan Tanjung Priok merupakan pelabuhan utama yang memiliki
fungsi untuk melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri dan internasional dalam
jumlah besar serta memiliki peran yang strategis terhadap pertumbuhan industri dan
perdagangan sekaligus sebagai sektor usaha yang memberikan kontribusi bagi
pembangunan nasional, oleh karna itu sudah seharusnya Pelabuhan Tanjung Priok
mampu menjamin kelancaran seluruh aktivitas di pelabuhan, namun pelabuhan tidak
terlepas dari permasalahan dan tantangan yang harus segera diselesaikan.
Terbatasnya area lapangan penumpukan di Terminal Peti Kemas Koja disebabkan
oleh keterbatasan (lahan yang tidak mencukupi) untuk menampung petikemas,
keterbatasan ini diperparah dengan kondisi lahan yang kurang memadai, serta sistem
operasi dan informasi yang belum optimal (Republika Online 2014). Susantono
(2014) menyatakan “perkiraan jumlah permintaan terminal peti kemas di tanjung
priok hingga tahun 2030 akan mencapai 2-3 kali lipat dari pada kapasitas yang
tersedia di tahun 2014”, permasalahan lainnya adalah fenomena dwelling time di
pelabuhan, yang pertama kali muncul diawali oleh kunjungan Presiden Republik
Indonesia pada tahun 2015. Fungsi pelabuhan pada dasarnya adalah sebagai area
penumpukan sementara bagi peti kemas, namun lamanya peti kemas mengendap di
lapangan lini 1 menjadikan fungsi pelabuhan tidak sesuai dengan peruntukannya. Hal
ini dikarenakan beberapa sebab utama, yaitu lamanya waktu proses pelayanan peti
kemas di pelabuhan. Import container dwelling time memegang peranan penting
karena berhubungan langsung dengan lama waktu yang harus dilalui dalam satu
rangkaian proses pelayanan kepengurusan peti kemas di dalam terminal. Peti kemas
yang telah memiliki Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB) masih mengendap di
terminal peti kemas dalam waktu yang cukup lama, seharusnya peti kemas yang telah
selesai proses kepengurusannya dapat segera keluar dari lapangan penumpukan lini
2
1. Apabila hal tersebut tidak segera ditemukan langkah perbaikan maka akan
berdampak terhadap kelancaran kegiatan di lingkungan pelabuhan yang lebih luas
lagi.
Dalam Seminar Nasional Peluang dan Tantangan Profesi Ekspor dan Impor
dalam Menghadapi Asean Economic Community (AEC) 2015, waktu pengeluaran
barang dari pelabuhan untuk ekspor sangat kompetitif di ASEAN, sementara untuk
impor masih perlu ditingkatkan agar menjadi kompetitif dengan negara-negara lain di
ASEAN. Rata-rata dwelling time ekspor di Indonesia pada tahun 2014 yaitu sebesar
tiga hari, sebagai perbandingan Malaysia memiliki dwelling time ekspor sebesar tiga
hari, Thailand empat hari, Vietnam tujuh hari dan Philiphines sebesar lima hari. Jadi
dwelling time ekspor di Indonesia masih cukup kompetitif dibandingkan dengan
negara ASEAN yang lainya.
Dwelling time impor di Indonesia pada tahun 2014 yaitu sebesar delapan hari,
sebagai perbandingan Malaysia memiliki dwelling time impor sebesar tiga hari,
Thailand delapan hari, Vietnam delapan hari dan Philiphines sebesar lima hari. Jadi
dapat dilihat bahwa dwelling time impor di Indonesia masih tertinggal jauh dengan
negara-negara ASEAN lainya, sebagaimana terlihat pada Gambar 1.
Sumber : Bea Cukai, Seminar Seminar Nasional Peluang dan Tantangan Profesi Ekspor dan Impor
Dalam menghadapi Asean Economic Community (AEC) 2015, Jakarta 22 Maret 2014.
Gambar 1 Dwelling time impor di ASEAN
Dalam beberapa tahun terakhir penurunan waktu dwelling time impor menjadi
fokus utama dan menjadi salah satu prioritas kinerja pemerintah, yang bertujuan
menekan tingkat kepadatan arus barang di pelabuhan. Kebijakan ini mengarahkan
stakeholders di lingkungan pelabuhan untuk bekerja secara efektif, efisien dan
professional sesuai dengan fungsinya agar pelayanan di pelabuhan menjadi lancar,
aman dan cepat. “Pelabuhan diharapkan dapat melayani/membantu berputarnya roda
perdagangan industri regional dan menyediakan fasilitas transit untuk daerah
belakangnya” (Salim 2004).
Sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 116 tahun 2016 tentang
Pemindahan Barang yang Melewati Batas Waktu Penumpukan (long stay) di
Pelabuhan Utama, pada pasal 2 ayat 1 menyatakan “untuk menjamin kelancaran arus
3
barang ditetapkan batas waktu penumpukan barang di lapangan penumpukan
terminal peti kemas (lini 1) paling lama 3 (tiga) hari sejak barang ditumpuk di
lapangan penumpukan”. Pada pasal 3 ayat 1 menyatakan “setiap pemilik
barang/kuasanya wajib memindahkan barang yang melewati batas waktu
penumpukan (long stay) dari lapangan penumpukan terminal peti kemas (lini 1) ke
lapangan penumpukan di luar lapangan penumpukan terminal peti kemas (lini 1)
dengan biaya dari pemilik barang”. Pasal 4 menyatakan “dalam hal barang belum
melewati batas waktu penumpukan namun Yard Occupancy Ratio (YOR) telah
melampaui batas standar utilisasi fasilitas sebesar 65%, Otoritas Pelabuhan
memerintahkan kepada Badan Usaha Pelabuhan selaku operator terminal peti kemas
untuk memindahkan barang ke luar lapangan penumpukan terminal (lini 1) dan
berkoordinasi dengan Bea dan Cukai”.
Peraturan Menteri Perhubungan tersebut bertujuan memberikan solusi terhadap
permasalahan dwelling time pada terminal peti kemas, pengelolaan serta kapasitas
lapangan penumpukan merupakan faktor utama terjadinya kepadatan arus peti
kemas. Faktor lainnya yang dapat menjadi penyebab permasalahan dwelling time
adalah sistem penanganan bongkar muat peti kemas di lapangan penumpukan
Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, merupakan salah satu terminal atau entitas
bisnis yang berada di wilayah Tanjung Priok dan memiliki fungsi untuk melayani
kegiatan bongkar muat peti kemas. Indikasi masih tingginya waktu dwelling time di
TPK Koja dapat terlihat pada kapasitas lapangan penumpukan dan sistem
penanganan bongkar muat, TPK Koja menggunakan sistem bongkar muat dengan
alat RTG, sehingga RTG memiliki peran vital dalam mendukung kelancaran aktivitas
bongkar muat di lapangan penumpukan. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Analisis Dwelling Time terhadap Peti Kemas
Impor di Terminal Peti Kemas Koja Jakarta”.
Perumusan Masalah
Kebijakan dwelling time dijadikan pemicu oleh pemerintah yang berguna untuk
memperbaiki kinerja di sektor pelabuhan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi
TPK Koja dalam pengelolaan bisnisnya, karena setiap permasalahan yang timbul
dalam kegiatan bongkar muat berpotensi meningkatkan dwelling time di pelabuhan.
Permasalahan dalam bentuk pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut :
1) Apakah kapasitas lapangan penumpukan dan tingkat dwelling time di TPK Koja
berpengaruh terhadap kelancaran arus peti kemas ?
2) Apakah kapasitas alat bongkar muat Rubber Tyred Gantry (RTG) berpengaruh
terhadap kelancaran arus peti kemas ?
3) Bagaimana kelancaran arus peti kemas di TPK Koja dengan adanya Peraturan
Menteri Perhubungan nomor 116 tahun 2016 ?
Tujuan Penelitian
Terkait dengan latar belakang dan perumusan masalah, tujuan dari penelitian
ini adalah sebagai berikut :
4
1) Menganalisis pengaruh kapasitas lapangan penumpukan dan tingkat dwelling
time di TPK Koja terhadap kelancaran arus peti kemas.
2) Menganalisis pengaruh kapasitas alat bongkar muat RTG yang terpasang
terhadap kelancaran arus peti kemas.
3) Menganalisis dampak Peraturan Menteri Perhubungan nomor 116 tahun 2016
terhadap kelancaran arus peti kemas di TPK Koja.
Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi seluruh
stakeholders dalam menyikapi fenomena yang terjadi dilingkungan pelabuhan,
secara khusus pada penelitian ini dapat memberikan manfaat baik yang bersifat
teoritis maupun praktis, secara rinci manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Bersifat teoritis dalam arti bahwa penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi pengembangan keilmuan khususnya terkait dengan kebijakan
pemerintah dan kepelabuhanan.
2) Bersifat praktis, penelitian ini dapat bermanfaat bagi stakeholders di bidang
kepelabuhanan khususnya TPK Koja dengan berlakunya kebijakan pemerintah
tentang dwelling time melalui pendekatan yang terstruktur.
3) Referensi untuk penelitian selanjutnya dengan topik penelitian yang terkait
dengan analisis kebijakan pemerintah untuk menunjang kegiatan kepelabuhanan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan di TPK Koja yang melibatkan pihak internal perusahaan
dengan lingkup penelitian yaitu pada penanganan dan pelayanan peti kemas impor
terkait dengan Peraturan Menteri Perhubungan nomor 116 tahun 2016, yang didasari
oleh teminologi dan perhitungan pelabuhan. Secara rinci pembatasan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui kondisi saat ini di TPK Koja terhadap tingkat dwelling time
peti kemas impor, dilakukan analisis dan olah data terhadap rata-rata waktu peti
kemas yang mengendap di lapangan penumpukan dengan membandingkan
sebelum dan sesudah berlakunya kebijakan pemerintah tentang dwelling time
yaitu pada tahun 2015 dan 2016. Penelitian ini didasari oleh teminologi dwelling
time pelabuhan yaitu dwelling time dihitung sejak peti kemas stacking sampai
dengan keluar gate teminal, peti kemas yang menjadi fokus penelitian adalah
peti kemas full dan empty khusus impor, tidak termasuk peti kemas reffer dan
peti kemas yang terkena proses overbrengen atau peti kemas yang dipindahkan
dari lapanganan penumpukan lini 1.
2) Menganalisis kapasitas lapangan penumpukan impor dengan menghitung YOR
dan luas eksisting lapangan penumpukan impor yang terpakai, serta menghitung
kapasitas alat bongkar muat yang eksisting saat ini terhadap peti kemas yang
dilayani di TPK Koja, perhitungan didasari oleh sistem penanganan bongkar
muat peti kemas di TPK Koja yaitu menggunakan RTG.
3) Mengkaji hasil analisis serta mendapatkan solusi permasalahan pada lapangan
penumpukan dan alat bongkar muat RTG di TPK Koja yang terkait kelancaran
5
arus peti kemas impor dengan berlakunya Peraturan Menteri Perhubungan
nomor 116 tahun 2016.
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian "Analisis Dwelling Time di TPK Koja terhadap
Peti Kemas Impor" disusun dalam bentuk rangkuman dari rangkaian beberapa
metode analisis, yaitu melalui identifikasi variabel penelitian dalam bentuk data
primer dan data sekunder. Data yang diteliti terkait dengan rata-rata lamanya peti
kemas impor mengendap di lapangan penumpukan pada tahun 2015 dan tahun 2016
serta melakukan observasi terhadap kapasitas dan kemampuan alat bongkar muat
RTG dalam melayani peti kemas di TPK Koja.
Perolehan data dwelling time di TPK Koja yang kemudian akan digunakan
sebagai dasar untuk melakukan perhitungan kapasitas lapangan penumpukan impor
(YOR) dan menghitung luas eksisting lapangan penumpukan impor terpakai.
Selanjutnya dilakukan simulasi perhitungan untuk mengetahui kapasitas dan batasan
luas maksimal penggunaan lapangan penumpukan serta throughput yang dihasilkan
sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 116 tahun 2016.
Dari hasil observasi pelayanan operasional alat bongkar muat RTG selanjutnya
dilakukan perhitungan kapasitas alat bongkar muat RTG yang eksisting di TPK Koja,
kemudian dapat diilustrasikan tingkat kemampuan alat bongkar muat RTG yang
dimiliki TPK Koja saat ini terhadap throughput pada tahun 2015 dan tahun 2016.
Hasil perhitungan kapasitas dan ilustrasi alat bongkar muat RTG tersebut
didiskusikan dan diinterpretasikan dengan key informan. Apabila hasil interpretasi
dengan key informan tersebut ditemukan ketidaksesuaian maka dilakukan simulasi
perhitungan kapasitas RTG yang bertujuan mendapatkan kesesuaian dengan kondisi
alat bongkar muat RTG di TPK Koja saat ini.
Hasil perhitungan lapangan penumpukan dan perhitungan alat bongkar muat
RTG selanjutnya dianalisis secara bersamaan dengan menggunakan metode 5W+1H,
untuk mengetahui akar permasalahan lebih mendalam dan sekaligus menjawab
pertanyaan-pertanyaan pada penelitian ini, serta memberikan rekomendasi sebagai
langkah perbaikan di TPK Koja. Langkah konseptual analisis dwelling time di TPK
Koja terhadap peti kemas impor dapat di lihat pada Gambar 2.
6
Gambar 2 Kerangka pemikiran
2 TINJAUAN PUSTAKA
Kerangka Teoritis
Dalam penelitian ini, digunakan beberapa rujukan dan penelitian atau kajian
terdahulu yang berkaitan dengan pelabuhan, kebijakan pemerintah, dwelling time,
terminal peti kemas, dan sistem penanganan peti kemas.
Lapangan Penumpukan
Peti Kemas Alat B/M
RTG
5W+1H
Dwelling Time
Impor
Analisis Permasalahan
Kelancaran Arus Peti Kemas di
TPK Koja
Observasi
Perhitungan
Kapasitas Alat
B/M RTG Perhitungan
Luas CY
Terpakai
Perhitungan
Y.O.R
Simulasi YOR dan Luas
CY terpakai Sesuai
Permenhub 116/2016 Simulasi
Perhitungan
Kapasitas RTG
Ilustrasi Kemampuan
RTG - Throughput
Interpretasi
Key Informan
yes
no
Kesimpulan & Saran
Analisis 1 Analisis 2
Analisis 3
Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan SB-IPB