analisi mui terhadap enzim babi
DESCRIPTION
dasTRANSCRIPT
44
BAB IV
ANALISIS TERHADAP FATWA MUI TENTANG PENGGUNAAN
VAKSIN YANG MENGANDUNG ENZIM BABI UNTUK IMUNISASI
POLIO
A. Analisis Fatwa MUI Tentang Penggunaan Vaksin Yang Mengandung
Enzim Babi Untuk Imunisasi Polio.
Polio adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus
poliomielitis yang berupa infeksi atau peradangan pada sumsum tulang
belakang, yang dapat menyebabkan penyakit yang berjalan akut. Infeksi
virus tersebut dapat menjulur ke arah paralysis muskular, terutama pada
anggota badan dan otot-otot pernafasan. Sehingga penderita dapat
mengalami kelumpuhan, bahkan dapat juga mengalami kematian jika yang
diserang adalah sistem pernafasannya.1
Vaksin polio yang digunakan khusus bagi penderita
immunocompromise ( kelainan sistem kekebalan tubuh) adalah vaksin polio
khusus jenis suntik, vaksin polio tersebut adalah vaksin IPV. IPV adalah
vaksin yang dihasilkan dengan cara membiakkan virus polio dalam kultur
jaringan kemudian dibuat tidak aktif (dimatikan) melalui pemanasan dengan
zat kimia yaitu formalin.2
Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama' Indonesia tentang
penggunaan vaksin polio khusus ( jenis suntik IPV) berdasarkan laporan
1 Soedarto , Penyakit-penyakit Infeksi di Indonesia, (Jakarta : Widya Medika, cet II, 1992) hlm
1272 Imunisasi Polio, W W W . I P V . ht m , 4 juli 2005, hlm 3
45
dari Dinas Kesehatan melalui Surat Menteri Kesehatan RI No:
1192/MENKES/IX/2002, tgl 24 September 2002, serta penjelasan Direktur
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman Departemen Kesehatan, Direktur Bio Farma, Badan POM, LP
POM MUI, bahwa terdapat sejumlah balita yang menderita
immunocompromise (kelainan sistem kekebalan tubuh) yang memerlukan
vaksin khusus yang diberikan secara injeksi (vaksin jenis suntik IPV),
dimana jika anak-anak yang menderita immunocompromise tersebut tidak
diimunisasi mereka akan menderita polio serta dikhawatirkan pula mereka
akan menjadi sumber penyebaran virus. Namun dalam penggunaannya IPV
mengalami kesulitan karena vaksin tersebut (IPV) dalam proses
pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi).3
Berdasarkan hasil wawancara yang penulis peroleh dari Sekretaris
MUI Jawa Tengah, beliau mengatakan bahwa MUI mengkaji vaksin dari
segi hukum Islamnya saja, sedangkan hasil laboratorium yang menunjukkan
terdeteksinya enzim babi pada vaksin tersebut MUI berdasarkan laporan
Menteri Kesehatan No 1192/MENKES/IX/2002. Beliau juga mengatakan
bahwa proses pembuatan vaksin yang menggunakan enzim (porcine) babi
tersebut melalui persenyawaan atau percampuran yang tidak dilakukan
penyucian, sehingga vaksin IPV menjadi najis. Beliau mengatakan juga
bahwa keputusan MUI ini didasarkan pada Hadis-hadis Nabi serta kaidah-
kaidah fiqiyah dan pendapat para ulama sertas ahli kesehatan sebagaimana
3Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, ( Jakarta : Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji serta Departemen Agama RI, 2003 ) hlm 368
46
yang tercantum pada keputusan fatwa MUI tentang vaksin polio khusus
(jenis suntik; IPV). 4
Menurut dokter spesialis anak dr.Asri Purwati, beliau mengatakan
bahwa tidak tahu menahu tentang vaksin IPV, beliau hanya sebagai
pengguna, sehingga beliau tidak tahu apakah vaksin tersebut menggunakan
enzim (porcine) babi atau tidak.5
Sedangkan menurut Pegawai Dinas Kesehatan Jawa Tengah,
Bapak Handoko bagian vaksin polio, beliau mengatakan bahwa Dinas
Kesehatan Jawa Tengah tidak memiliki vaksin polio jenis (IPV) tetapi hanya
memiliki vaksin polio jenis (OPV) yang biasa dipakai PIN di puskesmas,
beliau juga mengatakan bahwa vaksin IPV belum beredar secara umum,
karena vaksin ini khusus digunakan bagi penderita immunocompromise
seperti yang tertuang dalam Fatwa MUI tersebut, sedangkan bagi dokter
swasta yang menggunakannya, beliau mengatakan dokter tersebut mungkin
mendatangkan khusus dari produsen vaksin tersebut dan vaksin IPV sampai
sekarang masih terus diuji coba di Yogjakarta dan Sulawesi.6 Oleh karena
itu penelitian ini hanya berdasar pada Keputusan Fatwa MUI tentang vaksin
IPV berdasar Surat Menteri Kesehatan RI No : 1192/MENKES/IX/2002, tgl
24 September 2002, bahwa dalam proses pembuatan vaksin tersebut
menggunakan porcine babi.
4 Sumber, Hasil wawancara Sekretaris MUI Jawa Tengah Drs.H.Muhyiddi, M.Si5 Sumber, hasil wawancara dokter spesialis anak dokter Asri Purwati6 Sumber, hasil wawancara Pegawai Dinas Kesehatan Jawa Tengah bagian vaksin polio
Bapak Handoko
47
Vaksin IPV dibuat dengan menggunakan enzim yang berasal dari
porcine (babi), Enzim adalah setiap protein kompleks yang dihasilkan dari
sel-sel hidup yang berfungsi menggerakkan dan mempercepat reaksi kimia
pada substansi lain tanpa dirinya berubah dalam proses tersebut.7 Enzim
merupakan protein yang khusus disintesis oleh sel hidup untuk mengkatalis
reaksi yang berlangsung didalamnya.8
Oleh karena itu fungsi khusus enzim antara lain adalah pertama
merendahkan energi aktivasi, kedua mempercepat reaksi pada suhu dan
tekanan tetap tanpa mengubah besarnya tetapan seimbangnya, dan yang
ketiga mengendalikan reaksi.9
Enzim digunakan dalam pembuatan vaksin (IPV) dengan bertujuan
sebagai persenyawaan dengan media yang digunakan untuk pembiakan
virus bahan vaksin, enzim yang berasal dari porcine babi tersebut berfungsi
untuk mempercepat reaksi kimia dalam persenyawaan virus bahan vaksin
dengan media pembiakannya,dan dari persenyawaan tersebut antara porcine
(babi) yaitu (enzim) dengan media pembiakan bahan vaksin, tidak
dilakukannya penyucian sebagaimana yang dibenarkan syari'ah, bahkan
memakan-makanan yang beasal dari babi dengan tegas dilarang oleh Allah,
sebagaimana firman Allah dalam surat al- Maidah : 3
ر..... زي خلان م لح و مدال و
ة تيامل
كم يعل
تم
رح
7 Van Nostrand Rein Hold Company, a Popular Guide to Medical Language, terj.RM.SoelarkoSoemohatmoko, Istilah Populer Kedokteran, (Bandung : Angsa, cet X, 1984) hlm 112
8 Soeharsono Matoharsono, Biokimia, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, cet 14,1994) hlm 81
9 Ibid, hlm 93
Artinya : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi"10
Menurut nash ayat, yang diharamkan yaitu dagingnya, maka
sebagian golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa yang diharamkan itu
hanya dagingnya saja, tidak termasuk gajihnya karena Allah berfirman " dan
daging babi". Sedangkan Jumhur berpendapat bahwa gajihnya juga haram
karena daging itu meliputi gajih. Allah menyebut "daging" secara khusus itu
untuk menunjukkan bahwa yang diharamkan itu dzatiyah babi itu sendiri.11
Menurut Al-Qurtubi yang telah dinukil oleh Ash-shabuni, berkata
bahwa " tidak diperselisihkan seluruh anggota badan babi adalah haram
kecuali bulunya yang boleh dimanfaatkan oleh tukang jahit kulit, sebab cara
seperti itu telah berlangsung sejak zaman Nabi dan sesudahnya, sedang
kami tidak mengetahui Nabi mengingkarinya, demikian juga Ulama'
sesudahnya".12
Dengan demikian sangat jelas bahwa babi adalah haram
tidak saja hanya dagingnya saja melainkan apa saja yang terkandung dalam
babi, baik dagingnya maupun zat-zat yang terkandung didalamnya. Allah
melarang hal-hal yang diharamkan untuk dijauhi apalagi untuk dikonsumsi,
selain itu Allah juga melarang kita untuk mendekati hal-hal yang najis.
Dengan demikian barang najis merupakan benda yang harus dijahui dan
apabila mendapatkannya maka harus disucikan dari benda tersebut.
10 Depag RI ,Al-Quran dan Terjemahannya, (Semarang : PT. Toha Putra,1989) hlm 15711 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir al-Bayan, terj.Muhammad Hamidi dan Imran A.Manan,
Terjemahan Tafsir Ash-Shabuni, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, cet I, 1983) hlm 11712 Ibid
Bahwa benda-benda najis secara analogi otomatis suatu barang
najis akan menjadi najis ini dilarang oleh syara' selama masih terdapat
pengobatan-pengobatan yang baik serta tidak dilarang oleh syara'.
Menurut A. Hassan : " Adapun babi menurut ayat Al-Quran haram
dimakan, tetapi tidak ada keterangan yang mengatakan najisnya".13 Namun
disisi lain salah satu faktor diharamkannya daging babi adalah kotornya
yang menurut para dokter telah diketemukan, bahwa daging babi
mengandung bakteri-bakteri yang sangat ganas, disamping itu babi memiliki
tabiat-tabiat jelek yang dapat berpengaruh kepada orang yang memakan
dagingnya. 14
Disisi lain agama Islam telah mensyari'atkan untuk setiap muslim
agar bersuci dan menjauhkan diri (taharah) dari segala najis. Bahwa
membersihkan dan menghilangkan najis sewaktu akan menjalankan suatu
ibadah adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi, karena resiko
atau dampak dari adanya najis tersebut adalah tidak sahnya ibadah.
Adapun vaksin ini digunakan sebagai pencegahan terhadap suatu
penyakit masuk dalam maslahah hajiyah (kebutuhan).15 Menurut Ibnu
Taimiyah bahwa: kebutuhan diartikan sebagai keterdesakan atau
keterpaksaan yang dialami oleh seseorang berdasar dari situasi dan kondisi ,
13 A. Hassan , et.al., Soal – Jawab : Tentang berbagai Masalah Agama (Bandung : C.V. Diponegoro, 1984) hlm 33
14 Muhammad Hamidy dan Imran A.Manan, op.cit., hlm 12015 Yusuf Qardhawi, Halal wa Haram fi Islam, terj.Mua'amal Hamidy, Halal dan Haram dalam
Islam,(Surabaya : PT. Bina Ilmu Offset, 1993) hlm 53
sehingga kebolehan diberikan atas dasar kebutuhan dan kedaruratan.16
Kebutuhan akan seorang manusia untuk mendapatkan kesehatan,
menghindarkan diri dari kesempitan dan kesulitan.17 Apabila mengalami
kesulitan dalam masalah hajiyah maka jalan keluarnya adalah rukhsoh.
Sebagaiman vaksin IPV ini sangat dibutuhkan bagi mereka yang memiliki
ketahanan tubuh yang menurun, hal ini merupakan kebutuhan yang harus
dipenuhi.
Sedangkan bahaya yang akan terjadi jika seseorang tidak diberikan
vaksin polio pertama; anak-anak yang tidak memiliki kekebalan (tidak
divaksin) maka dapat dengan mudah terinfeksi polio, kedua; akibat anak
yang terinfeksi polio akan lumpuh atau meninggal dunia, ketiga; untuk
setiap anak yang terinfeksi polio akan tetapi tidak lumpuh maka akan tetap
menjadi sumber penyebab penyebaran virus polio terhadap anak yang lain,
dan yang keempat; anak-anak yang telah terinfeksi polio tidak dapat
disembuhkan karena hingga sekarang belum ditemukan pengobatannya. 18
Lebih lanjut Yusuf Qardhowi menerangkan ada syarat-syarat
rukhsoh (keringanan) dalam menggunakan barang yang diharamkan oleh
syari'at (vaksin IPV) untuk menjadi pengobatan.19 Syarat pertama, yaitu
bahwa adanya suatu bahaya yang mengancam terhadap kesehatan seseorang
bila tidak menggunakan obat (vaksin IPV) tersebut. Bahwa penyakit yang
16 M. Maslehuddin, Islamic Yurisprudence And The Rule Of Necessity And Need, terj. A. Tafsir, (Bandung : Pustaka, cet I, 1985) hlm 50
17 Sarmin Syukur, Ilmu Ushul Fiqh Perbandingan Sumber-sumber Hukum Islam, (Surabaya :Al-Ikhlas) hlm 81
18 Buku Petunjuk Pekan Imunisasi Nasional, hlm 4 B19 Yusuf Qardhawy, op.cit., hlm 53
diderita oleh seseorang tersebut haruslah telah sampai pada batas-batas akut
dari standaritas penyakit, sehingga orang tersebut harus diobati atau
diberikan pengobatan dengan menggunakan barang yang diharamkan oleh
syara' atau dengan kata lain bahwa pada batasan-batasan tertentu seorang
harus menggunakan vaksin IPV untuk mencegah terkena terhadap bahaya
suatu penyakit. Syarat kedua, tidak didapatkan lagi pengobatan yang halal
atau kedudukannya sama atau lebih dari pengobatan yang menggunakan
barang haram. Dalam pemilihan pengobatan ini hendaklah diutamakan
memilih pengobatan yang oleh syara' tidak dilarang. Yang ketiga bahwa
yang menyuruh menggunakan pengobatan dengan barang haram adalah
seorang dokter muslim yang terpercaya (dokter ahli) dalam bidang
kedokteran maupun agama, etika ini disebut adab yang berarti suatu cara
yang layak atau tatacara yang benar.20
Dalam etika pengobatan, seorang dokterlah yang lebih diutamakan
dalam mengobati suatu penyakit. Sebagaimana ketika ada salah seorang
sahabat terluka dan luka itu banyak sekali mengeluarkan darah. Lalu
Rasulullah memanggil dua orang dari Bani Anmar, kemudian Rasulullah
bertanya :
الذي �وءآ ل الد ز ل اهللا: ان سو ا ر ي
ريخ
ب الط
في
وا
فقالا : ،ا أطب كم
أي
رواه كلم ) ) اء و ل األد ز أن
20 Fazlul Rahman, Health and Medicine in the Islamic Tradition : change and Identity, terj.
Jaziar Radianti, Etika Pengobatan Islam : Penjelajah Seorang Neo Modernis, (Bandung : 1999) hlm 127
Artinya :" Siapa diantara kalian yang paling pandai dalam ilmu pengobatan? Salah seorang dari mereka bertanya : 'Apakah ilmu pengobatan (kedokteran) ada manfaatnya wahai Rasulullah?'Rasulullah menjawab : 'Dzat yang menurunkan penyakit telahpula menurunkan obatnya'. "
Ibnu Al- Qayyim berpendapat bahwa "hadis tersebut menunjukan
dibolehkannya meminta bantuan, baik dalam bidang ilmu maupun
tehnologi, kepada orang yang paling berpengalaman. Karena hasilnya akan
lebih dipercaya". 21
Berdasarkan hadis diatas bahwa Rasulullah menyuruh untuk pergi
kedokter dan untuk meminta pengobatan. Hendaklah diikuti serta menuruti
seluruh nasehatnya. Dalam memilih seorang dokter As-suyuti menganjurkan
untuk memilih seorang yang mengetahui kedokteran dan terampil di dalam
seni ini.22 Maksud dari terampil dalam seni ini adalah doketr yang ahli
dalam bidangnya, dengan memilih dokter yang ahli dalam bidangnya
(dokter spesialis) tersebut maka kemungkinan kecil diagnosa yang dibuat
adalah salah, karena berdasarkan ilmu yang dia miliki serta berpengalaman
dalam bidangnya tersebut. Serta diutamakan juga dalam memilih dokter
tersebut adalah seorang dokter yang muslim, karena sedikit banyak ia akan
mengetahui hukum Islam, sehingga akan terhindar dari pemilihan obat yang
diharamkan oleh agama.
Ahmad berkata, " Adalah diperbolehkan menarik kebaikan dari
saran dokter dzimmi (non muslim) bila ia menjelaskan pengobatan yang
21 Yusuf Al- Qardhawy, As-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban, terj. SetiawanBudi Utomo (Jakarta : Pustaka Al- Kautsar, 1998) hlm 206
22 Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti, as-Suyuti's Medicine of The Propet, terj Luqman Hakim dan Ahsin Muhammad, Pengobatan Cara Nabi SAW, (Bandung : Pustaka Hidayah, cet I, 1997) hlm 176
halal, akan tetapi, sarannya jangan diikuti manakala ia memberiskan resep
obat yang haram, semisal alkohol dan sebagainya.23
Maka berdasarkan pendapat para ulama diatas bahwa, upaya
pencegahan maupun mendapatkan pengobatan dari suatu penyakit
(mendapatkan keadan sehat) merupakan suatu hak asasi manusia yang harus
didapatkan oleh setiap manusia, tetapi yang dilarang disini adalah caranya
dalam mendapatkan kesehatan yaitu dengan menggunakan barang yang
oleh syara' dilarang penggunaannya (harus dijauhi), selagi masih ada yang
menggunakan barang yang tidak melanggar syara'. Apabila pengobatan
dengan usaha yang halal masih tidak didapatkan atau tidak kunjung sembuh
malah akan bertambah parah maka baru diperbolehkan (rukhsoh)
menggunakan barang yang dilarang oleh agama dengan catatan bahwa
rekomendasi penggunaan barang tersebut dari dokter muslim yang ahli
dibidangnya serta ahli dibidang agama.
B. Analisis Metodologi Istimbat Hukum MUI Tentang
Kebolehan Menggunakan Vaksin Yang Mengandung Enzim Babi
Untuk Imunisasi Polio.
MUI dalam menetapkan fatwanya berdasarkan kepada ketentuan
pasal 2, 3, tentang Dasar-Dasar Umum Penetapan Fatwa dan Prosedur
Penetapan Fatwa serta berdasarkan pada Dasar Umum dan Sifat Fatwa
serta berdasar pada Metode Penetapan Fatwa MUI, yang kesemuanya
bertitik tolak kepada kemaslahatan umat.
23 Ibid
Istimbat menurut bahasa adalah mengeluarkan, sedangkan menurut
istilah istimbat adalah upaya oleh seorang ahli fiqh dalam menggali hukum
Islam dari sumber-sumbernya.24
Metodologi istimbath dalam menetapkan fatwa tentang vaksin
polio khusus yang mengandung enzim babi berdasar pada :
1. Fatwa MUI tentang penggunaan vaksin ini berdasar pada Hadis-hadis
Nabi tentang perintah berobat, larangan menggunakan pengobatan
dengan menggunakan barang haram, serta hadis Nabi tentang najis.
2. Fatwa MUI berdasar juga pada Kaidah-kaidah fiqh.
3. Fatwa Juga berdasar pada Pedoman dasar dan pedoman rumah tangga
MUI periode 2000-2005
4. Fatwa MUI tentang vaksin ini berdasar pada pedoman penetapan
fatwa MUI
5. Serta berpedoman pada pendapat para ulama' dan para ahli dibidang
kesehatan, seperti menteri kesehatan, badan pengawas obat dan
makanan, bio farma, juga berdasar pada LP-POM MUI.
Pedoman MUI tersebut berorientasi pada kepentingan
kesejahteraan umum yang istilah Islamnya disebut Maslahah Mursalah.
Maslahah Mursalah adalah memperoleh suatu hukum yang sesuai menurut
akal pandang dari kebaikannya sedangkan tidak diperoleh alasannya, seperti
seseorang menghukum terhadap sesuatu yang belum ada ketentuanya oleh
agama. Apakah perbuatan itu haram atau boleh, maka hendaklah dipandang
24 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad As-Syaukani, ( Jakarta : Logos, cet I, 1999 ) hlm 45
kemadharatannya dan kemanfaatannya.25 Menurut Ibnu Qayyim "
kepentingan umum adalah dimaksudkan dengan kebutuhan masysrakat".26
Sebagian Ulama' Ushul menamakannya dengan Istishlah (Hanabilah) dan
sebagian lagi menyebutnya ' berbuat atas dasar Maslahat Mursalah
(Malikiyah). 27
Bahwa pembentukan hukum itu tidak dimaksudkan, kecuali
merealisir kemaslahatan umat manusia, artinya mendatangkan keuntungan
bagi mereka dan menolak madharat serta menghilangkan kesulitan dari
padanya.28
Bila kemadharatannya lebih banyak dari kemanfaatannya berarti
perbuatanya itu terlarang, sebaliknya bila kemanfaatannya lebih banyak dari
kemandharatannya berarti perbuatan itu dibolehkan oleh agama. Karena
agama membawa kepada kebaikan, seperti yang dikatakan oleh Ibnu
Taimiyah yang dinukil oleh Nazar Bakri dalam bukunya fiqh dan ushul fiqh:
� ته صلح مو
�هت
دفس
م الى
رطين
فل
اح
بم
وا امرح
وها
يئ لش ا كم ح
"Hukum sesuatu adalah dia haram atau mubah, maka dilihat dari segi kebiasaan dan kebaikannya".29
Berpegang ketentuan hukum yang dibina atas dasar maslahat,
diperselisihkan oleh para ulama' : menurut Imam Malik dan Imam Ahmad
25 Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, cet IV, 2003) hlm64
26 M. Maslehuddin,op.cit., hlm 5027 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam : Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta
: Sinar Grafika, cet I, 1995) hlm 141
28 Abdullah Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, cet VIII, 2002) hlm 123
29 Nazar Bakry, op.cit., hlm 64-65
beserta pengikut keduanya berpendapat bahwa maslahat mursalah (maslahat
yang tidak ditemui petunjuk diakuinya atau ditolaknya dari syari') adalah
maslahat yang patut atau boleh dijadikan landasan istimbat hukum.
Sedangkan menurut Imam Syafi'I dan pengikutnya dinukil Sulaiman
Abdullah, berpendapat bahwa boleh beristimbat hukum yang Istishlah dan
mereka tidak mengakuinya sebagai dalil syara', namun menurut Ath Tufy
dari kalangan Hanabilah berpendapat bahwa istishlah adalah dalil syara'
yang asasi dalam masalah mu'amalah dan segala ketentuan hukum yang
ditetapkan untuk mewujudkan maslahat dan menolak mafsadah.30
Masing-masing kelompok mempunyai argumentasi atau alasan
untuk memperkuat pendapat mereka. Bagi mereka yang menerima memiliki
alasan sebagai berikut pertama bahwa hukum-hukum syara' itu hanya
ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Kedua bahwa
peristiwa hukum baru terus terjadi sejalan dengan perubahan sosial budaya
dan kebutuhan (dharury) dan kepentingan (hajj) selalu menuntut yang tidak
pernah ditemui oleh yang terdahulu. Ketiga bahwa kemaslahatan yang
menjadi landasan hukum syariat adalah kemaslahatan yang rasional bahwa
yang dilarang adalah yang buruk dan diperintahkan adalah baik yang dapat
diterima akal dan yang keempat bahwa sahabat Nabi saw, ketika menemui
beberapa peristiwa hukum baru setelah Nabi saw wafat. Mereka menetapkan
30 Sulaiman Abdullah, op.cit., hlm 145-146
hukumnya menurut pendapat mereka. Ketntuan hukum itulah yang akan
mewujudkan keamslahatan.31
Argumentasi dari kelompok yang menolak dengan alasan pertama
bahwa hukum-hukum syara' tidak di bina atas landasan illat, karena akal
akan berarti mendapatkanya. Kedua hukum-hukum yang telah ditentukan
Allah SWT tidak memerlukan sesuatu yang menyempurnakannya karena
telah sempurna.
Sedangkan alasan penolakan oleh Imam Syafi'i dengan alasan
bahwa berpegang dengan maslahat mursalah dalam menetapkan hukum
akan membuka pintu bagi para hakim dan fuqaha mengikuti hawa nafsu
untuk imemasukkan sesuatu yang bukan hukum syariat ke dalam hukum
syariat yang membawa kerusakan manusia. Selain itu bahwa berpegang
dengan maslahat dalam menetapkan hukum akan membawa perbedaan
hukum menuntut perbedaan waktu dan tempat yang akan meniadakan
kesatuan hukum syariat universal dan efernalitasnya (abadi).32
Para ulama' menjadikan hujjah maslahah mursalah, mereka berhati-
hati dalam hal itu, sehingga tidak menjadi pintu bagi pembentukan hukum
syari'at menurut hawa nafsu dan keinginan perorangan. Karena itu mereka
mensyaratkan dalam maslahah mursalah yang dijadikan dasar pembentukan
hukum.
Imam malik, memberikan persyarata sebagai berikut : pertama
bahwa kasus hukum yang ditetapkan termasuk bidang bukan dibidang
31 Ibid, hlm 146-14732 Ibid, hlm 148-149
ibadah. Kedua maslahat tersebut tidak boleh bertentangan dengan salah satu
sumber hukum syariah. Ketiga, maslahat tersebut harus haruslah berupa hal-
hal yang pokok dan darurat bukan yang bersifat penyempurnaan
(kemewahan).33
Sementara itu, al-Ghazali menetapkan beberapa syarat agar
maslahat dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Adapun syarat-syarat
tersebut adalah sebagai beikut : pertama, kemaslahatan itu masuk kategori
peringkat daruriyat. Artinya, bahwa untuk menetapkan suatu kemaslahatan,
tingkat keperluan harus diperhatikan, apakah akan sampai mengancam
eksistensi lima unsur pokok maslahat atau belum sampai batas tersebut.
Kedua kemaslahatan itu bersifat qath'i. Artinya yang dimaksud dengan
maslahat tesebut benar-benar telah diyakini sebagai maslahat, tidak di
dasarkan pada dugaan (dzan) semata-mata. Ketiga kemaslahatan itu bersifat
hulli, artinya kemaslahatan itu berlaku secara umum atau kolektif, tidak
bersifat individual. Kata al- Gazali, syarat lain yang harus dipenuhi adalah
bahwa maslahat tersebut harus sesuai dengan maqasid al-syari'ah.
Berdasarkan persyaratan maslahat yang dikemukakan oleh para
ahli ushul figh di atas, dapat di pahami betapa eratnya hubungan antara
metode maslahah mursalah dan maqasid al-syari'ah. Ungkapan Imam
Malik bahwa maslahat harus sesuai dengan tujuan yang disyari'atkan hukum
dan diarahkan pada upaya menghilangkan kesulitan, jelas memperkuat
asumsi ini. Begitu pula dengan syarat yang pertama yang dikemukakan Al-
33M. Maslehuddin,op.cit., hlm 48
Gazali, baginya yang dimaksud memelihara aspek daruriyah tiada lain
adalah untuk memelihara lima unsur pokok maslahat yaitu : agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta.
Berdasarkan syarat-syarat yang dikemukakan oleh para ahli ushul
fiqh diatas, maka dapat diambil kesimpulan syarat-syarat yang menjadi
hujjah maslahah mursalah adalah sebagai berikut :
1. Berupa masalah yang pasti atau sebenarnya, bukan masalah yang
bersifat dugaan semata
2. Berupa maslahat yang umum bukan maslahat pribadi atau
perorangan
3. Pembentukan hukum bagi maslahah ini tidak bertentangan dengan
hukum atau prinsip yang telah ditetapkan oleh nash, qiyas dan ijma'
Hal ini selaras dengan yang tertera dalam pedoman tata cara
penetapan fatwa MUI bahwa dasar-dasar untuk mengeluarkan fatwa
menurut urutan tingkat adalah, al-Qur'an, as-Sunnah, ijma', dan qiyas. Hal
itu harus disusuli dengan penelitian pendapat para imam mazhab yang ada
dan fuqoha yang mengemukakan penelaahan mendalam tentang masalah
serupa.
Dari sinilah kemudian kemaslahatan dapat dijadikan batu pijakan
dan pedoman pokok MUI dalam memecahkan berbagai permasalahan
hukum yang tidak ada ketegasannya dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, serta
belum pernah diijtihadkan oleh ulama'-ulama' fiqh masa lalu.
Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja, rajin, selalu
melakukan aktivitas, bekerja keras dan melarang mereka bersikap lamban,
bermalas-malasan dan suka menunda-nunda. Islam juga memperhatikan
kesehatan tubuh diantaranya taharah (bersuci), yakni kebersihan dan juga
melarang dan mengharamkan segala yang memabukkan dan melemahkan
kekuatan tubuh.34
Sebagaimana perhatiannya terhadap kesehatan, maka Islam juga
memperhatikan masalah kedokteran (pengobatan), baik yang bersifat
represif maupun preventif (pencegahan). Dalam hal ini perhatian Islam
terhadap usaha preventif tampak lebih menonjol karena dalam
mengeluarkan uang untuk pecegahan (sebelum tertimpa penyakit) lebih
kecil dari pada biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya pengobatan.35
Namun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa dalam
bidang kesehatan maupun kedokteran juga terdapat masalah-masalah yang
harus dihadapi umat Islam terutama pada masalah-masalah yang
berhubungan dengan status hukum. Sebuah produk yang dihasilkan dari
temuan atau hasil pengembangan atau penelitian dari bidang tehnologi
kadang-kadang atau terang-terangan menyimpang dari ajaran Islam.
Apalagi pada saat sekarang ini di era globalisasi dimana jarak
komunikasi dan transportasi tidak berarti lagi dan lancarnya arus informasi
menjadikan sekat wilayah dan budaya menjadi kabur disebabkan kemajuan
34 Yusuf Qardhawi,Hadyul Islam Fatawi Mu'ashirah, terj.As'ad Yasin, penyunting M. SholihatSubhan, Fatwa-Fatwa Kontemporer,jilid I (Jakarta : Gema Insani, Cet I, 1995) hlm 853
35 Ibid, hlm 855
iptek.36 Kemajuan iptek tersebut menuntut pembangunan diseluruh aspek
kehidupan, dimana akan membawa berbagai kemudahan dan kebahagiaan
namun disisi lain dapat menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan-
persoalan baru, baik persoalan yang belum pernah dikenal, bahkan tidak
pernah terbayangkan, yang kini hal tersebut menjadi nyata. Oleh karena itu
setiap timbul persoalan, maka umat perlu mendapatkan jawaban yang tepat
dari pandangan ajaran Islam.
Atas dasar itu Allah telah memberikan hak kepada orang-orang
yang memiliki kemampuan melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah
yang tidak shahih atau ditetapkan secara tidak jelas dan tidak pasti (qath'i)
didalam Al-Quran. Kata ijtihad digunakan oleh para fuqaha untuk beberapa
persoalan yang rumit dan sulit yang membutuhkan banyak energi.
Menurut Imam Al-Syaukani ijtihad adalah mencurahkan
kemampuan guna mendapatkan hukum syara' yang bersifat operasional
dengan cara istinbath (mengambil kesimpulan hukum). Dengan melakukan
ijtihad dalam beberapa persoalan yang belum jelas, syari'at islam harus
mampu menghadapi dan menjawab masalah baru yang lain seiring dengan
kemajuan budaya manusia.37
Dalam menghadapi persoalan, dan membiarkan tanpa ada jawaban
dan membiarkan umat dalam kebingungan tidak dibenarkan. Oleh karena itu
para alim ulama' atau para faqih atau mufti yang bisa melakukan penalaran
36 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad : Isu-isu Penting Hukum Islam KontemporerDi Indonesia, ed.,Abdul Halim, (Jakarta : Ciputat Pers, Cet I, 2002) hlm 8
37 Ahmad Syahid, Kontroversi Pemikiran Islam Di Indonesia : Sekilas Tentang Ijtihad, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, Cet II, 1993) hlm 5
hukum yang disebut mujtahid, yakni orang yang menggunakan segala
usahanya untuk mendapatkan hukum dari objek wahyu sambil mengikuti
prinsip-prinsip dan prosedur yang telah dibangun dalam ushul fiqih.38
Mereka harus mencurahkan segala kemampuannya untuk mendapatkan
hukum terhadap persoalan tersebut. Kajian tentang ijtihad dan ushul fiqih
pada umumnya tidak terlepas dari kajian tentang dalil dan sumber hukum,
sebagai dasar tempat untuk melakukan penggalian hukum (istimbath al-
ahkam), tanpa lebih dahulu mengkaji dalil dan sumber hukum maka kajian
tentang ijtihad menjadi tidak utuh karena tidak berangkat dari fondasi
hukum yang akan menjadi acuan dalam setiap aktifitas ijtihad.39
Imam Syafi'I mengemukakan bahwa seorang mujtahid tidak boleh
mengatakan "aku tahu" atau "tidak tahu" terhadap suatu permasalahan
sebelum terlebih dahulu berusaha mengerahkan segala kemampuannya
meneliti permasalahan tersebut sampai ia menemukan hukumnya.
Imam Al-Syaukani dan Imam Amidi memberikan gambaran agar
tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan sehingga membuat hukum
seenaknya tanpa terlebih dahulu memeras kemampuan, mengadakan
penelitian terhadap dalil-dalilnya, memahaminya secara mendalam, dan
mengambil kesimpulan dari dalil-dalil tersebut serta mengadakan
perbandingan dengan dalil-dalil yang bertentangan.40
38 Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, tej.E. Kusnadiningrat, Abdul Haris binWalid, Sejarah Teori Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cet II, 2001) hlm 17239 Nasrun Rusli,op.cit., hlm 1940 Ahmad Syahid, op.cit., hlm 6
Ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang
mujtahid yang berkaitan dengan akumulasi keaslian dalam banyak bidang.
Yang pertama ia harus memiliki pemahaman yang memadahi atas ayat-ayat
hukum dalam Al-Quran, ia tidak mesti harus hafal tetapi tahu bagaimana ia
dapat menggunakan ayat-ayat tersebut secara efisien dan cepat ketika ia
membutuhkannya. Kedua ia harus benar-benar mengetahui koleksi hadis-
hadis yang relevan dengan hukum, dan harus menguasai teknis kritisisme
hadis hingga ia bisa menguji otensisitas dan nilai istemik dari hadis dimana
hadis-hadis tersebut sudah diteliti dan diterima oleh sebagian besar faqih
yang mendahuluinya sebagai hadis yang kredibel. Ketiga ia harus
menguasai bahas arab, sehingga ia memahami kompleksitas permasalahan
yang dikandungnya, diantaranya pemakaian metaforis umum dan khas,
pernyataan tegas dan samar-samar. Keempat ia harus menguasai
pengetahuan tentang nasakh, hingga ia tidak berpikiran atas dasar ayat atau
hadis yang dinasakh. Kelima ia harus betul-betul menguasai semua
tingkatan prosedur dari penarikan kesimpulan. Keenam ia harus mengetahui
semua kasus yang telah menjadi kesepakatan, akan tetapi ia tidak
diharuskan mengetahui semua kasus hukum substantif.41
Berdasarkan syarat-syarat diatas maka, MUI harus memenuhi
kriteria tersebut, karena menetapkan fatwa bukan merupakan hal yang
mudah, dan harus dipertanggungjawabkan kepada Allah.
41 Wael B. Hallaq, op.cit., hlm 173-174
Begitulah nyatanya atas dasar kemaslahatan dan dengan tujuan
memudahkan, maka persyari'atan hukum Islam pada awalnya dilakukan
secara bertahap. Karena itu mengingat pentingnya maslahat atau
kemaslahatan sebagai tujuan inti persyariatan hukum Islam, para ahli ilmu
ushul atau pelaku hukum harus mempunyai pendirian dimana ditemukan
(dicapai) kemaslahatan, maka disitulah syari'at hukum Allah SWT. Oleh
karena itu, tidak patut kita berbuat kaku pada nash-nash (teks al-Qur'an dan
Hadist) dan fatwa-fatwa terdahulu, dan tidak patut pula kita menutup diri
dari perkembangan zaman dan kemaslahatan kekinian.
Tujuan syara' menurut yang diisyaratkan tersebut adalah
tercapainya kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Kemaslahatan yang
dimaksud adalah bersifat dinamis dan fleksibel, artinya pertimbangan
maslahat itu seiring dengan perkembangan zaman. Konsekwensinya bisa
jadi yang dianggap maslahat pada waktu lalu belum tentu dianggap maslahat
pada masa sekarang.
Oleh karena itu, ijtihad terhadap tatbiq (pelaksanaan) hukum
dengan pertimbangan kemaslahatan ini dilakukan secara terus menerus, baik
terhadap masalah-masalah yang mendahului ijtihad maupun masalah-
masalah yang secara prospektif diduga pasti terjadi. Jadi, tujuan hukum
Islam itu adalah prinsip dan keprinsipan maslahat sebagai tujuan hukum
Islam telah disepakati oleh ahli-ahli hukum Islam.