analisa terhadap penyelenggaraan penataan ruang...
TRANSCRIPT
ANALISA TERHADAP PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG PADA
PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Heru Awal Ludin NIM: 105043201327
K O N S E N T R A S I P E R B A N D I N G A N H U K U M PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul ” ANALISA TERHADAP PENYELENGGARAAN PENATAAN
RUANG PADA PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM”, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Pada tanggal 15
Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum
(PMH) Konsentrasi Perbandingan Hukum.
Ciputat, 15 Juni 2010
Mengesahkan
Dekan
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M.
NIP: 195505051982031012
PANITIA UJIAN 1. Ketua : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A ( .............................. )
NIP: 195703121985031003 2. Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag ( .............................. ) NIP: 196511191998031002 3. Pembimbing I : Dr. A. Sudirman Abbas, M.A ( .............................. ) NIP: 150.294 051 4. Pembimbing II : Dra. Afidah Wahyuni, M.Ag. ( .............................. ) NIP: 197302151999031002 5. Penguji I : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A. ( .............................. ) NIP: 195703121985031003
6. Penguji II : Dr. Hasanudin, M.Ag ( .............................. ) NIP: 196103041955031001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S I) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ciputat, 17 juni 2010
Heru Awal Ludin
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadlirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan Skripsi dengan judul “ANALISA TERHADAP
PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG PADA PERMENDAGRI NO 8
TAHUN 1998 DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM” yang merupakan
kewajiban bagi Mahasiswa Program Sarjana (S-1) Perbandingan Hukum pada
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi dan
melengkapi sebagian persyaratan dan tugas akhir untuk mencapai Gelar Sarjana
Hukum Islam (SHI).
Dalam penulisan Skripsi ini, sudah barang tentu Penulis banyak memperoleh
bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, yang sangat bermanfaat
bagi penulisan ini. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan
terima kasih, yang setulus-tulusnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.M., selaku Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum.
2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA. Dan Bapak Dr. H. Muhammad Taufiqi,
M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
i
3. Bapak. Dr. A. Sudirman Abbas, M.A dan Ibu Dra. Afidah Wahyuni, M.Ag.,
selaku Dosen Pembimbing, yang telah membimbing dan memberikan motivasi
yang besar selama proses penulisan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas
Syari’ah dan Hukum yang dengan penuh keihlasan mencurahkan ilmu
pengetahuannya kepada penulis selama masa studi.
5. Segenap Pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidaytullah Jakarta dan
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas
kepada penulis dalam mencari data-data pustaka.
6. Nenek, Ayahanda dan Ibunda, Ibu Hj. Rohmanih, Bapak Ahcmad dan Ibu
Marwiyah, yang selalu penulis hormati dan sayangi, dan yang selalu
mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan bimbingan, arahan,
nasehat dan do’a demi kesuksesan penulis. Mudah-mudahan Allah SWT selalu
memberi limpahan rahmat dan kasih sayangnya kepada mereka. Amin.
7. Kepada adik-adiku tersayang Nur Hayani, Ani Suryani, dan Siti Laila yang
selalu memberikan senyuman, canda tawa serta doa yang tiada henti untuk
penulis. Dan khusus untuk Ani dan Laila yang sudah berada dipangkuan Allah
SWT. Tidak pernah sedikitpun rasa sayang dan cinta penulis berkurang untukmu
adik-adikku, semoga Allah SWT selalu meninggikan derajat kalian. Amin Ya
Allah SWT.
8. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi dari Program Studi Perbandingan
Madzhab dan Hukum angkatan 2005 / 2006 Fakultas Syariah dan Hukum UIN
ii
iii
Syarif Hidayatullah yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam masa
studi dan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak, baik berupa moril maupun
materil penulis panjatkan do’a semoga Allah SWT membalas dengan imbalan pahala
yang berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah surut
mengalir pahalanya, dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna
bagi penulis dan semua pihak. Amin.
Ciputat, 17 Juni 2010
Heru Awal Ludin Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..............................................9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian......................................................10
D. Tinjauan Kajian Terdahulu (Review Study)...................................11
E. Metode Penelitian..........................................................................14
F. Sistematika Penulisan....................................................................16
BAB II RUANG LINGKUP PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998
A. Pengertian dan Tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang di
Daerah...........................................................................................18
B. Perencanaan Tata Ruang...............................................................20
C. Pemanfaatan Tata Ruang..............................................................27
D. Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang.......................................35
BAB III PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DI DAERAH
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Penyelenggaraan Penataan Ruang
di Daerah Perspektif Hukum Islam...............................................50
B. Perencanaan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam.......................57
iii
iv
C. Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam......................65
D. Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum
Islam..............................................................................................71
BAB IV ANALISA TERHADAP PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Analisis Perspektif Hukum Islam..................................................81
B. Analisis Komperatif.......................................................................90
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................100
B. Saran............................................................................................101
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................103
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara sederhana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan hidup
adalah sistem kehidupan di mana terdapat campur tangan manusia terhadap tatanan
ekosistem. Kemudian secara lebih rinci mengenai pengertian tentang lingkungan
hidup disebutkan bahwa “lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan prikehidupan dan kesejahteran manusia serta makhluk
hidup lain”.1 Dari pengertian tadi dapat digambarkan bahwa manusia di bumi ini
tidak hidup sendirian akan tetapi berkaitan erat secara bersama dengan mahluk lain
seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, mikroorganisme lain. Manusia sebagai salah satu
makhluk hidup, sekalipun memiliki kemampuan lebih dari pada mahluk yang lain,
di dalam menjalani proses kehidupan di planet bumi ini tidak dapat menganggap
dirinya lebih superior dan makhluk lain pada posisi inferior. Manusia dan mahluk
lain, termasuk yang namanya jasad renik (micro organism), sama-sama pada posisi
yang saling membutuhkan, tergantung pada derajat atau tingkat saling
membutuhkannya. Misalnya, manusia membutuhkan oksigen dan makanan, dalam
hal ini manusia tidak dapat memenuhinya melalui dirinya sendiri (heterotrfic).
Oksigen diperoleh hanya melalui tumbuh-tumbuhan dan makanan diperoleh selain
1 Widjojo Nitisastro, “Senantiasa Memiliki Rakyat Kecil “, dalam : Revolusi Berhenti Hari
Minggu, (Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2000), h 49-50.
1
2
dari tumbuhan juga dari hewan. Untuk kebutuhan minuman hanya didapatkan dari
air tanpa benda-benda dari manusia tidak dapat melangsungkan kehidupan dan juga
keturunanya atau tidak akan terjadi proses survival of the fittest.2
Meminjam istilah biologi (lingkungan) bahwa kota merupakan suatu
ekosistem, karena di kota hidup berbagai masyarakat dengan struktur, kelas, dan
status sosial yang berbeda-beda. Kota juga tidak bisa diklaim sebagai milik para
arsitek yang menginginkan gedung-gedung indah dan berbagai real estate atau milik
ekonom yang menginginkan berdirinya mall, plaza, dan supermarket atau milik para
rumbawan yang menginginkan adanya green city yaitu kota yang memiliki banyak
ruang terbuka, ruang bermain, dan taman kota yang melengkapi kota sebagai paru
kota.3
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam ) tentunya
mempunyai aturan mengenai masalah perkotaan. Dalam untaian gagasan qurani
sekaligus indikasi kealaman dan kesejahteraan serta fenomena tingkah laku manusia
itu sendiri, pola dasar konseptual islami tetap memiliki sifat berbanding lurus dengan
setiap bentuk penyimpangan terhadap jalan cara dan pesan Allah kepada umat
manusia. Karena watak dasar islami adalah kesatuan diri dengan hukum-hukum
Allah yang manifestasinya sangat dinamik dalam keseluruhan proses kehidupan.4
2 Effendy Daud, “Manusia, Lingkungan dan Pembangunan Prorpektus Islami ”, (Jakarta ;
lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008). hal 50. 3 MT. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008) cet.
Ke-1, h. 43. 4 Saefudin Ahmad, ‘’Ekonomi dan Masyarakat Dalam Persepektif islam’’(Jakarta Rajawali
Pers1987). hal-181
3
Sesungguhnya tidak ditemukan konsep tata kota Islam, Fikih Perkotaan yang
baku apalagi yang bersifat teknis-mekanistis tentang tata kota dalam ajaran Islam.
Namun ajaran Islam mempunyai prinsip-prinsip dalam hal penataan kota yang
menjadi guidance dalam membuat kebijakan penataan sebuah kota.
Berbicara Fikih Perkotaan termasuk dalam ruang lingkup Fikih Siyasi. Yang
dimaksud dengan Fikih Siyasi adalah fikih yang membicarakan seluk beluk
pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya,
baik tentang peraturan kebijakan untuk mewujudkan kepentingan orang banyak.
Oleh karenanya, ruang lingkup Fikih Siyasi sangatlah luas termasuk pengaturan
Negara secara umum.
Sedangkan Fikih Tata Kota juga mempunyai ruang lingkup sangat luas. Sebut
saja kota sebagai sebuah ekosistem, kota sebagai media kesejahteraan umat, sistem
pengelolaan tanah dan konsolidasi (tanah), sistem penataan ruang, penghijauan kota
(Green City). 5
Tentunya kita tidak menginginkan terjadinya polusi di kota tempat kita
tinggal yang akan berdampak pada multiefek. Mengenai tata kota yang “Green City”
merupakan sebuah keniscayaan. Jauh-jauh hari Rasulullah Saw. menegaskan betapa
pentingnya menjaga lingkungan perkotaan dengan melestarikan pepohonan sebagai
salah satu sumber kehidupan.
5 MT. Dyayadi, “Tata Kota Menurut Islam”, (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008)
cet. Ke-1, hal-118
4
Madinah sebagai kota percontohan yang dikelola Rasulullah Saw.
mensyaratkan kesejukan dengan menjaga pepohonan. Kota Madinah belum memiliki
transportasi yang dapat mengeluarkan polutan karbon monoksida yang dikeluarkan
oleh mobil, sepeda motor, pabrik-pabrik yang mengeluarkan asap dan sebagainya.
Pepohonan tidak hanya merupakan lambang kesejukan, namun pepohonan
merupakan bagian dari kehidupan manusia itu sendiri. Betapa tidak, pepohonan
adalah media siklus udara yang dibutuhkan manusia. Pepohonanlah yang menjadi
sumber adanya udara besih yang kita hirup. Kekurangan udara bersih berarti
mengurangi hak hidup manusia itu sendiri.
Bayangkan saja saat ini kita mulai merasakan betapa suhu udara yang
menggerahkan, curah hujan dan musim yang tidak menentu. Karenanya, tidak salah
jika dikatakan hutan adalah paru-paru dunia. Tanpa pohon-pohonan seolah dunia
kehilangan paru-parunya untuk bernafas dan selanjutnya melenyapkan kehidupan ini.
Lebih dari itu, pepohonan merupakan penangkal terjadinya malapetaka pada
sebuah kota. Sebab pada pohonlah sistem keseimbangan ketersediaan dan
penyimpanan air terjadi. Kebutuhan akan air atau kelebihan terhadap pasokan air
yang datang melalui banjir akan diseimbangkan oleh pohon-pohonan. Karenanya,
penataan kota secara teratur, tersistem rapi, green city merupakan keniscayaan dalam
kehidupan perkotaan. Islam sebagai sistem nilai melalui Al-Quran dan contoh
5
tauladan Rasulullah Saw. Telah mengajarkan dan menuntun manusia untuk dapat
menata tempat tingggalnya dalam rangka kemaslahatan manusia itu sendiri.6
Permasalahan Tata Ruang bukanlah permasalahan Departemen Pekerjaan
Umum atau tanggung jawab Direktorat Penataan Ruang semata. Persoalan tata ruang
sangat erat kaitannya dengan dinamika pembangunan di suatu tempat yang terkadang
tingkat pertumbuhan dan arah pertumbuhannya tidak terkendali. Hal ini disebabkan
oleh banyak faktor, baik alamiah maupun non-alamiah karena adanya kebijakan
pemerintah, keterlibatan dan kepentingan swasta, maupun hal-hal lain seperti akibat
dari implementasi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah yang membuka ruangan terhadap persaingan antar daerah otonom
untuk mendapatkan perolehan PAD sebanyak-banyaknya, yang kemudian terkadang
memberikan tekanan yang berlebihan terhadap suatu kawasan.7
Penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia dilaksanakan berdasarkan UU
No.24/1992 tentang Penataan Ruang, di mana pengertian penataan ruang mencakup
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Perencanaan tata ruang merupakan proses penyusunan rencana tata ruang (RTR),
baik untuk wilayah administratif (provinsi, kabupaten dan kota), maupun untuk
kawasan fungsional (misal kawasan perkotaan dan perdesaan). Pemanfaatan ruang
merupakan wujud operasionalisasi RTR atau pelaksanaan pembangunan oleh
6www.Waspada Online.com Diakes Pada Tanggal 20-des-2009
7 www.Waspada Online.com Diakes Pada Tanggal 20-des-2009
6
berbagai sektor yang mengisi fungsi-fungsi ruang, serta pengendalian pemanfaatan
ruang terdiri atas proses pengawasan (pemantauan, pelaporan, dan evaluasi) serta
penertiban (pengenaan sanksi dan perizinan) terhadap pelaksanaan pembangunan
agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya. Dan Dalam Permendagri No 8
Tahun 1998 pasal (1) huruf a, Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan,
ruang lautan, dan ruang udara sebagai tempat manusia dan tempat mahluk lainya
hidup dan melakukan kegiatan guna memelihara kelangsungan hidupnya. Huruf b,
tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang. huruf c, penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Upaya pengendalian
pemanfaatan ruang akan memberikan feedback bagi proses perencanaan tata ruang
dan pemanfaatan ruang. Ketiga unsur penataan ruang saling terkait erat satu sama
lain membentuk suatu siklus yang interaktif-dinamis.
Melekat dalam setiap unsurnya (perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan ruang), karakteristik penataan ruang sangat terkait erat dengan sistem
politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dan bahkan, pertahanan-keamanan.
Oleh karenanya penataan ruang menekankan pendekatan kesisteman yang kompleks
yang dilandasi oleh 4 (empat) prinsip utama yakni : (a) holistik dan terpadu, (b)
keseimbangan antar fungsi kawasan (misal antar kota-desa, lindung-budidaya,
pesisir-daratan, atau hulu-hilir), (c) keterpaduan penanganan secara lintas
sektor/stakeholders dan lintas wilayah administratif, serta (d) pelibatan peran serta
7
masyarakat mulai tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan
ruang.8
Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) yang dapat diketahui masyarakat
memungkinkan pendayagunaan dan pemeliharaan tata ruang secara terarah.
Pemerintah hendaknya berkewajiban mengusahakan agar penataan ruang dilakukan
secara terbuka. Setiap warga masyarakat perlu memperoleh keterangan mengenai
produk perencenaan tata ruang kota dan proses yang ditempuh dalam penataan ruang
kota tersebut. Dalam menyusun peraturan daerah tentang tata ruang yang diajukan,
masyarakat harus diikut sertakan agar penataan ruang kota berorientasi kepada
kepentingan warga/masyarakat kota.9
Dalam pelaksanaan prinsip-prinsip di atas, banyak kendala dan problem yang
dialami. Salah satu contohnya adalah penggusuran sebuah pemukiman atau bagian
dari lingkungan, dilakukan sebagai pemanfaatan ruang untuk fasilitas umum menurut
pola baru. Tetapi selama ini masyarakat hampir tidak pernah tahu bahwa tanah atau
ruang yang dimanfaatkannya secara turun temurun ternyata menjadi bagian Rencana
Tata Ruang Kota (RTRK) untuk keperluan lain.
Persoalannya bukanlah masalah penggusuran tersebut. Pada mulanya adalah
rencana tata ruang kota yang menjadi landasan. Penggusuran hanyalah tindak lanjut
rencana tersebut. Namun persepsi masyarakat masih tetap sederhana, penggusuran
8Ibid
9MT. Dyayadi, “Tata Kota Menurut Islam”, (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008) cet. Ke-1, h.111.
8
adalah tindakan awal untuk membangun, misalnya pelebaran jalan raya dan lain
sebagainya.
Secara keIndonesiaan, tampak negara kita sudah tidak lagi mampu
menampung dan memelihara para dhuafa, padahal fakir miskin dan anak-anak
terlantar harus dipelihara oleh negara. Kewajiban itu tertuang dalam Undang-Undang
Dasar 1945 dalam pasal 31 ayat (1) disebutkan fakir miskin dan anak-anak terlantar
diplihara oleh negara dan ayat (2) negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan. Namun karena keuangan negara terbatas
itulah, mau tidak mau warga masyarakat seharusnya secara patungan membantu
warga masyarakat lain untuk hidup secara layak.
Allah mengajarkan solidaritas sosial (ukhuwah islamiyah) dengan cara saling
membantu terhadap sesama umat islam. Masyarakat islam telah diajarkan sebuah
solusi mencegah kecemburuan sosial, konflik dan mengurangi kemiskinan yang
berdampak pada meningkatnya kriminalitas dalam masyarakat. Dikaitkan dalam hal
ini Allah swt berfirman.
)١٨٣ السعراء ( Artinya :
‘’Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu
merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan’’(Q.S, Asy-Syura’aa : 183).
9
Secara fisisk, permasalahan lain yang dihadapi kota-kota di Indonesia adalah
pemukiman kumuh, drainase yang buruk kemacetan lalu lintas, polusi udara dan
suara, kepadatan permukiman, ketiadaan ruang terbuka dan sebagainya.10
Kepincangan-kepincangan yang terjadi di perkotaan dianggap identik sebagai
problema (masalah-masalah) sosial oleh masyarakat, tergantung dari sistem dan
nilai-nilai sosial masyarakat itu tersebut. Akan tetapi ada persoalan yang sama yang
dihadapi oleh masyarakat-masyarakat perkotaan pada umumnya.
Dari uraian di atas timbulah ide untuk berusaha memberikan sumbangsih
pemikiran dalam bentuk karya ilmiah (skripsi) guna mendukung upaya
pembangunan tata ruang kota yang berdasarkan studi aplikasi pada
PERMENDAGRI No. 8 tahun 1998, agar kelak memperoleh kebijaksanaan tata
ruang kota yang lebih layak. Untuk itu penulis membuat skripsi ini dengan judul :
ANALISA TERHADAP PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG PADA
PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya membatasi masalah yang berkisar
pada tata ruang kota dalam menerapkan PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998.
Adapun yang dimaksud dengan Rencana tata ruang wilayah (RTRW) kota
adalah rencana tata ruang yang bersifat umum dari wilayah kota, yang merupakan
penjabaran dari RTRW provinsi, dan yang berisi tujuan, kebijakan, strategi penataan
10 MT. Dyayadi, “Tata Kota Menurut Islam”, hal-117
10
ruang wilayah kota, rencana struktur ruang wilayah kota, rencana pola ruang wilayah
kota, penetapan kawasan strategis kota, arahan pemanfaatan ruang wilayah kota, dan
ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota.
Sedangkan PERMENDAGRI No. 8 Tahun 1998 adalah peraturan menteri
dalam negeri tentang prosedur penyelenggaraan penataan ruang dalam proses
perencanaan tata ruang kota.
Berdasarkan latar belakang sebagaimana uraian di atas, terdapat pokok
masalah yang harus diteliti serta dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah penyelenggaraan penataan ruang menurut PERMENDAGRI
NO 8 TAHUN 1998 dan Hukum Islam ?
2. Apakah penyelenggaraan penataan ruang terdapat persamaan dan perbedaan
antara PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 dan Hukum Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dari pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penyelenggaraan penataan ruang menurut
PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 dan Hukum Islam.
2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penyelenggaraan penataan ruang
antara PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 dan Hukum Islam.
Penulis pun berharap, dengan adanya hasil penulisan ini, dapat berguna
memperkaya wawasan dan wacana dalam penataan ruang kota Islam pada umumnya,
11
sekaligus sebagai sumbang saran dan masukan bagi para pratiksi dalam menetapkan
penataan ruang kota yang layak.
1. Manfaat Teoristis.
Penelitian ini sekiranya dapat memberikan wawasan dan pengetahuan
khususnya bagi diri penulis maupun bagi masyarakat pada umumnya
2. Manfaat Praktis.
Diharapkan berguna untuk memberikan informasi dan wawasan kepada
masyarakat dalam dalam mewujudkan proses perencanaan tata ruang kota.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu (Review Study)
Dalam penelitian yang telah lalu yakni terdapat tiga hasil penelitian yang
ditulis yang pembahasanya berhubungan dengan judul skripsi yang telah penulis
pilih.
1. Judul Tesis ”Penataan Ruang Kota Skala Mikro Dalam Upaya
Penanggulangan Kemacetan Lalu Lintas Di Kawasan Kota”. Institute
Teknolgi Bandung (ITB). Tesis ini Ditulis Oleh Mulia Yuyus Pada Tahun
1992.
Pada penulisan tesis ini, penulis menjelaskan tentang penataan ruang kota
skala mikro dalam upaya penanggulangan kemacetan lalu lintas di kawasan
kota. Tesis ini menitik beratkan pada persoalan kemacetan yang terjadi di
kawasan kota. Sedangkan perbedaan tesis ini dengan skripsi yang penulis
angkat adalah penulis mendeskripsikan tentang penataan ruang kota telah
diatur dalam Permendagri No.8/1998 tentang Penyelenggaraan Penataan
12
Ruang di Daerah, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No.24 Tahun
1992 tentang Tata Ruang dan PP No.69/1996. Pola pemukiman yang
dikembangkan pada masa Islam menunjukkan keteraturan tata ruang.
2. Judul Tesis “Kajian tentang kota Islam: Kasus kawasan Mesjid Besar
Kampung Kauman dan Sekitarnya pada kota-kota di Jawa”. Tesis ini Ditulis
Oleh Ekomadyo Agus pada tahun1999.
Pada penulisan tesis ini, penulis menjelaskan tentang Kajian tentang kota
Islam: Kasus kawasan Mesjid Besar Kampung Kauman dan Sekitarnya pada
kota-kota di Jawa, tesis ini menitik beratkan pada kajian kota islam yang
terjadi pada sekitar masjid besar kampung kauman di jawa. Sedangkan
perbedaan tesis ini dengan skripsi yang penulis angkat adalah penulis
mendeskripsikan tentang penataan ruang kota telah diatur dalam Permendagri
No.8/1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah, yang
merupakan peraturan pelaksana dari UU No.24 Tahun 1992 tentang Tata
Ruang dan PP No.69/1996. Pola pemukiman yang dikembangkan pada masa
Islam menunjukkan keteraturan tata ruang.
3. Judul Skripsi “Pengendalian Penatagunaan Tanah dan Tata Ruang kota di
Kota Kebumen”. Skripsi ini Ditulis Oleh Shinta Mayasari, Pada Tahun 2007
Pada penulisan skripsi ini, penulis menjelaskan tentang pengendalian
penatagunaan tanah dan tata ruang kota di kota kebumen. Yang menitik
beratkan pada penatagunaan tanah dan tata ruang kota dikhususnya di kota
kebumen. Sedangkan perbedaan tesis ini dengan skripsi yang penulis angkat
13
adalah penulis mendeskripsikan tentang penataan ruang kota telah diatur
dalam Permendagri No.8/1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di
Daerah, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No.24 Tahun 1992
tentang Tata Ruang dan PP No.69/1996. Pola pemukiman yang
dikembangkan pada masa Islam menunjukkan keteraturan tata ruang.
Pada ketiga tesis dan skripsi tersebut, berbeda dengan masalah yang akan
diangkat oleh skripsi ini. Pada penelitian ini, penulis mendeskripsikan tentang
penataan ruang telah diatur dalam Permendagri No.8/1998 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang di Daerah dengan perspektif hukum Islam, yang merupakan
peraturan pelaksana dari UU No.24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang dan PP
No.69/1996. Pola pemukiman yang dikembangkan pada masa Islam menunjukkan
keteraturan tata ruang yang di buktikan dengan penempatan bangunan-bangunan
penunjang kota. Pada masa Islam istana merupakan sentral atau pusat pemerintahan.
Penempatan istana mengikuti konsep kosmologi, sebagai sentral atau pusat, maka
istana atau kraton diletakkan di tengah. Pusat ibadah yang diwujudkan melalui
masjid diletakkan di sebelah Timur, lalu diikuti dengan penempatan pasar di bagian
Barat. Namun pola sepert ini bukan menjadi suatu keharusan baku yang diterapkan
oleh kota-kota kuno Islam di Indonesia. Pada beberapa kasus, penempatan
bangunan-bangunan penunjang tidak memperlihatkan adanya konsep kosmologis,
namun unsur-unsur bangunan fisik kota tetap mengacu pada kaidah-kaidah yang
telah dikembangkan oleh penguasa pendahulu kota-kota Islam. Tata ruang yang
dikembangkan oleh penguasa Islam tempo dulu selain memberi pemandangan kota
14
yang proporsional, juga terciptanya optimalisasi penggunaan ruang.
Pengoptimalisasian ruang tentunya akan berdampak pada luasnya penggunaan
lahan. Dengan penggunaan lahan yang sedikit tentunya akan melestarikan dan
menjaga keseimbangan alam.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian kulitatif,
perundang-undangan dan normatif yaitu penelitian kepustakaan (library research)
berdasarkan data sekunder. Penelitian kualitatif dilakukan terhadap banyaknya studi
dokumenter yang ada, sehingga penulis mengedepankan penelitian ini terhadap
kualitas isi dari segi jenis data.
Pada perinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yang
kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur.
Kualitatif bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, bukan
angka.11
Sedangkan pembahasanya akan menggunakan deskriptif analitis komparatif.
Menggambarkan secara garis besar, kemudian dilakukan secara analisis terhadap
persoalan secara umum. Komparatif, artinya mencari titik temu dan titik beda dalam
sudut pandang hukum konvensional dan hukum Islam.
Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menganalisa dan menguraikan
mengenai penyelenggaraan penataan dalam mewujudkan proses perencanaan tata
11 Sudarman Danim, Menjadi peneliti kualitatif (Bandung : Pusaka Setia,2002), h.51
15
ruang dan masalah-masalah yang timbul dari pelaksanaan tata ruang tersebut.
Dalam penelitian ini asas-asas hukum yang dipergunakan adalah Kitab Undang-
Undang Pokok Agraria, PERMENDAGRI No. 8 Tahun 1998 tentang
penyelenggaraan penataan dalam mewujudkan proses perencanaan tata ruang, dan
juga peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan tata ruang .
2. Teknik Pengolahan Data
Dalam rangka mengumpulkan, mengolah dan menyajikanbahan-bahan yang
diperlukan, maka dilakukan pengolahan data dengan cara sebagai berikut :
a) Studi Pustaka (library research)
Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang berhubungan dengan
penelitian skripsi ini yaitu dari literatur-literatur, buku-buku perpustakaan,
tulisan-tulisan sebagai dasar teori dalam pembahasan masalah.
b) Pengolahan Data
Analisis dan pengolahan data, dilakukan dengan cara mengumpulkan
data-data atau literatur yang terdapat di dalam buku dan materi yang
bersangkutan dengan hal yang akan dibahas , kemudian dilakukan analisis
yang dituangkan dalam pembahasan masalah, selanjutnya dapat ditarik
kesimpulan dan diberikan saran-saran untuk perbaikan.
3. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku
pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syari’ah
dan Hukum 2007, yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum.
16
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan memberikan arah serta gambaran materi yang
terdapat dalam skripsi ini, maka penulis menyusun dengan sistematika sebagai
berikut :
BAB I Merupakan PENDAHULUAN yang terdiri dari lima sub bab
yang membahas tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan
dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Tinjauan Kajian Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode
Penelitian dan Sistematika P.enulisan.
BAB II RUANG LINGKUP PERMENDAGRI NO 9 TAHUN 1998,
Dalam Bab ini terdiri dari Pengertian dan Tujuan
Penyelenggaraan Penataan Ruang, Perencanaan Tata Ruang,
Pemanfaatan Tata Ruang, Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang.
BAB III PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DI DAERAH
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Dalam Bab ini terdiri dari
Pengertian dan Ruang Lingkup Penyelenggaraan Penataan Ruang
di Daerah Perspektif Hukum Islam, Perencanaan Tata Ruang
Perspektif Hukum Islam, Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif
Hukum Islam, Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif
Hukum Islam.
17
BAB IV ANALISA TERHADAP PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Bab ini terdiri dari Analisis
Perspektif Hukum Islam dan Analisis Komperatif.
BAB V PENUTUP; Kesimpulan dan Saran
BAB II
RUANG LINGKUP PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998
A. Pengertian dan Tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang
Berdasarkan PERMENDAGRI No 8/1998 Ruang adalah wadah yang
meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai tempat manusia
dan tempat mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan guna memelihara
kelangsungan hidupnya.
Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik
direncanakan maupun tidak, penataan ruang adalah proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Penyelenggaraan penataan ruang adalah rangkain kegiatan dalam proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang.
Penataan ruang berdasarkan UU No 24 Tahun 1992 terdiri atas,
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Selain itu juga dinyatakan ruang terbagi habis antara kawasan lindung dan
kawasan budi daya.1
1Setia Hadi, MS. “Penataan Ruang Untuk Pemantapankawasan Hutan”,(Bogor :
Departemen Kehutanan Badan Planologi Kehutanan Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, 2006), h 2.
18
19
Seperti kita ketahui bersama bahwa tujuan utama dalam penyelenggaraan
penataan ruang berkelanjutan pada akhirnya akan bermuara kembali kepada
kesejahteraan masyarakat sehingga dalam proses pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) peran serta masyarakat dengan kearifan lokalnya perlu
diberikan tools dan mekanisme yang jelas agar bisa berinteraksi dalam
penyelenggaraan penataan ruang. 2
Sesuai dengan Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang bahwa peran serta masyarakat disebutkan pada bagian konsideran butir
(d) yang menyatakan bahwa “keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman
masyarakat yang berkembang terhadap pentingnya penataan ruang sehingga
diperlukan penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan
partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan.”
Kebutuhan akan peran serta masyarakat muncul di Indonesia dan di
berbagai negara disebabkan oleh beberapa alasan. Alasan yang paling utama
adalah keterbatasan sistem demokrasi perwakilan (representative democracy)
yang kurang mampu mewakili keragaman kepentingan masyarakat, terutama
kelompok-kelompok minoritas, miskin, atau kelompok yang memiliki
keterbatasan akses terhadap proses pengambilan keputusan politik. Kebijakan
publik menjadi arena tertutup dan menjadi ajang kepentingan pribadi dan
2 Setia Hadi, MS. “Penataan Ruang Untuk Pemantapan kawasan Hutan”, h 2.
20
kelompok-kelompok yang memiliki akses terhadap proses pengambilan
keputusan politik. Sehingga untuk memperbaiki hal tersebut, maka suara
masyarakat perlu diperkuat dengan cara melibatkan secara langsung masyarakat
dalam proses penentuan kebijakan publik.3
Bila kita cermati perkembangan politik pada beberapa negara barat yang
telah mengalami sejarah panjang demokrasi, akan terlihat kematangan sistem
demokrasi perwakilan dengan partisipasi masyarakat. Semakin baik proses dan
sistem demokrasi perwakilan maka akan semakin mengurangi kebutuhan peran
serta masyarakat secara langsung dalam pengambilan keputusan publik.4
Maka berdasarkan PERMENDAGRI No 8/1998 tujuan penyelenggaraan
penataan ruang terdapat pada Pasal 2 Tujuan penyelenggaraan penataan ruang di
daerah yaitu; Terlaksananya perencanaan tata ruang secara terpadu dan
menyeluruh, Terwujudnya tertib pemanfaatan tata ruang Terselenggaranya
pengendalian pemanfaatan ruang
B. Perencanaan Tata Ruang
Berdasarkan permendagri No 8/1998 perencanaan tata ruang adalah
kegiatan menyusun dan menetapkan rencana tata ruang yang dilakukan melalui
proses dan prosedur penyusunan serta penetapan rencana tata ruang.
3Ibid , h 3. 4Sjofjan Bakar, “Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Penataan
Ruang”(Jakarta : Dir. Fasilitas Penataan Ruang dab Lingkungan Hidup, 2009), h 1.
21
Berdasarkan Permendagri No.8/1998 Pasal 6 perencanaan tata ruang itu
berisi :
(1) Pekerjaan peyusunan rencana tata ruang merupakan kewajiban dan
tanggung jawab Kepala daerah.
(2) Peyusunan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dilakukan dengan cara :
a. Bekerjasama dengan perguruan tinggi dan atau konsultan perencanaan
yang berbentuk badan hukum.
b. Swakelola.
(3) Pemilihan pelaksana pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan oleh instansi yang bertangung jawab menyusun rencana tata
ruang
Ruang wilayah negara yang meliputi ruang lautan, ruang udara, dan ruang
daratan merupakan sumber daya alam dan suatu subsistem. Dalam subsistem
terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan
sumber daya alam, dan sumber daya buatan, dengan tingkat pemanfaatan yang
22
berbeda-beda yang apabila tidak ditata secara baik dapat mendorong ke arah
ketidakseimbangan penanganan serta ketidaklestarian lingkungan hidup.5
Pelaksanaan pembangunan, khususnya pembangunan fisik tidak selalu
berjalan sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pelanggaran
pemanfaatan ruang ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor teknis
operasional, administratif, dan perkembangan pasar. Kondisi ini mengisyaratkan
bahwa untuk mewujudkan terciptanya pembangunan yang “tertib ruang”,
diperlukan tindakan pengendalian pemanfaatan ruang yang sungguh-sungguh.6
Kecenderungan penyimpangan tersebut dapat terjadi karena produk
rencana tata ruang kurang memperhatikan aspek-aspek pelaksanaan
(pemanfaatan ruang), atau sebaliknya pemanfaatan ruang kurang memperhatikan
rencana tata ruang yang telah disusun dan ditetapkan.
Sejalan dengan perubahan dan pembaharuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom telah diberikan kewenangan urusan
pemerintahan dan sekaligus menjadi kewajiban Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk mengatur dan mengurus perencanaan, pemanfaatan dan
pengawasan tata ruang di Daerah. Pemberian kewenangan dan kewajiban sesuai
dengan strata dan fungsi pemerintahan tersebut, hendaknya dipandang sebagai
5Sjofjan Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah”(Jakarta : Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup – Depdagri, 2006), h 1.
6 Sjofjan Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah”, h 1.
23
momentum bagi Daerah untuk lebih menguatkan pengembangan kapasitas
Daerah berbasis kinerja, kerjasama antar daerah, dan koordinasi secara terpadu
dan sinergis.7
Pada prinsipnya proses penyusunan dan evaluasi rencana tata ruang
daerah harus mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku, dalam hal ini
sebagaimana disebutkan pada Pasal 18 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang bahwa sebelum Raperda tentang Rencana Tata Ruang
Daerah baik Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan menjadi Perda harus
dilakukan persetujuan substansi teknis dari Menteri dan khusus untuk
Kabupaten/Kota perlu mendapat rekomendasi dari Gubernur.
Berdasarkan berbagai hal di atas dan sejalan dengan PP Nomor 79 tahun
2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah dan PP Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Kabupatan/Kota
maka disusunlah pedoman mekanisme Konsultasi dan Evaluasi dalam
Penyusunan Rencana Tata Ruang Daerah melalui Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 28 tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan
Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah.Di dalam Permendagri tersebut
perlu dipahami pentingnya peran BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang
Daerah) Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dibentuk berdasarkan Kepmendagri
7 Sjofjan Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah”, h 1.
24
147 tahun 2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah. BKPRD
Provinsi mempunyai fungsi membantu Gubernur untuk mengkoordinasikan
penyusunan rancangan perda RTRWP dan RTR Kawasan Strategis Provinsi
dengan memperhatikan RTRWP yang berbatasan, RTR Pulau/Kepulauan, dan
RTRWN (Pasal 5 ayat 1). BKPRD Kabupaten/Kota mempunyai fungsi
membantu Bupati/Walikota untuk mengkoordinasikan penyusunan rancangan
perda RTRWKabupaten/Kota, RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan
RDTR Kabupaten/Kota,dengan memperhatikan RTRWKabupaten/Kota yang
berbatasan, RTRWP, RTR Pulau/Kepulauan, dan RTRWN (Pasal 5 ayat 2).
Dalam melakukan proses penyusunan rancangan peraturan daerah tentang
rencana tata ruang provinsi terdapat dua tahap yaitu tahap “Konsultasi” dan
tahap “Evaluasi” yang tergambar pada diagram berikut ini:
25
Pada tahap “konsultasi” Bupati/Walikota dibantu BKPRD (Badan
Koordinasi Penataan Ruang Daerah) Kabupaten/Kota mengkonsultasikan
rancangan perda tentang RTRWK/K, RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota,
dan RDTRK/K kepada instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang yang
dikoordinasikan oleh BKTRN guna mendapatkan persetujuan substansi teknis.
Rancangan perda harus dilampiri dokumen RTR Kabupaten/Kota dan album
peta. Pengajuan permintaan persetujuan substansi teknis ke pemerintah
pusat dilakukan setelah rancangan perda dibahas di BKPRD Provinsi dan
mendapatkan rekomendasi dari Gubernur. Setelah keluar Surat Persetujuan
Substansi Teknis dari instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang,
dilanjutkan oleh Bupati/Walikota untuk mendapat persetujuan bersama dengan
DPRD. Kedua bahan tersebut yaitu Surat Persetujuan Substansi Teknis dari
Menteri yang membidangi urusan penataan ruang dan Surat Persetujuan Bersama
dengan DPRD menjadi bahan Gubernur dalam melakukan “evaluasi” terhadap
rancangan perda tentang RTRWK/K, rancangan perda tentang RTR Kawasan
Strategis Kabupaten/Kota, dan rancangan perda tentang RDTR Kabupaten/Kota
serta klarifikasi terhadap Perda tentang RTRWK/K, Perda tentang RTR Kawasan
Strategis Kabupaten/Kota, dan Perda tentang RDTR Kabupaten/Kota yang telah
ditetapkan.8
8Ibid, h 2.
26
Indikator yang digunakan oleh Gubernur dalam mengevaluasi rancangan
peraturan daerah tata ruang kabupaten/kota seperti tercantum di dalam tabel
berikut ini
provinsi pemekaran yang belum memiliki DPRD sehingga belum
dapat membentuk perda, pengaturan tata ruang daerah berdasarkan pada perda
Provinsi induk (Pasal 28 ayat 1).
Kabupaten/Kota pemekaran yang belum memiliki DPRD sehingga belum
dapat membentuk perda, pengaturan tata ruang daerah berdasarkan pada perda
Kabupaten/Kota induk (Pasal 28 ayat 2).
Tata cara evaluasi terhadap perubahan Perda tentang RTRWP, Perda
tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi, Perda tentang RTRWKabupaten/Kota,
27
Perda tentang RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan Perda tentang
RDTR Kabupaten/Kota mutatis mutandis berdasarkan pada Peraturan Menteri
ini (Pasal 29). 9
C. Pemanfaatan Tata Ruang
Berdasarkan Permendagri No 8/1998 pemanfaatan ruang adalah
rangkaian program dan kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan
ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan di dalam rencana tata ruang untuk
membentuk ruang.
Berdasarkan Permendagri No 8/1998 yang terdapat pada Pasal 11
(1) Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang, kepala daerah mempersiapkan
kebijakan yang berisi pengaturan bagi wilayah atau kawasan yang akan
dimanfaatkan sesuai dengan fungsi lindung dan budi daya yang ditetapkan
dalan rencana tata ruang.
(2) Pengaturan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), berupa penetapan
Keputusan Kepala Daerah tentang ketentuan persyaratan teknis bagi
pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya.
9Gunawan,“Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Tata
Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Daerah”(Jakarta : Kasubdit Perencanaan, Pemanfaatan dan Pengendalian Tata Ruang Ditjen Bina Bangda Depdagri, 2008), h 1-8.
28
Dalam rangka efisiensi alokasi pemanfaatan lahan diperlukan rencana
yang merangkum kebutuhan seluruh sektor kegiatan masyarakat, baik kebutuhan
saat ini maupun kegiatan di masa mendatang. Rencana tata ruang merupakan
bentuk rencana yang telah mempertimbangkan kepentingan berbagai sektor
kegiatan masyarakat dalam mengalokasikan lahan/ruang beserta sumber daya
yang terkandung di dalamnya (bersifat komprehensif). Rencana tata ruang
merupakan pedoman pemanfaatan ruang/lahan oleh sektor sebagaimana diatur
dalam UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.10
Perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang yang telah
ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan melalui pembangunan dalam
rangka mengembangkan kawasan lindung, kegiatan budidaya, serta sarana dan
prasarana penunjang. Agar dapat berlangsung secara efektif dan efisien hal
tersebut perlu diatur melalui peraturan perundang-undangan. Beberapa aspek
penting dalam pemanfaatan ruang beserta ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengaturnya dapat disampaikan sebagai berikut:
1. Penetapan Lokasi Kegiatan/Investasi.
Tujuan penataan ruang di samping terselenggaranya pemanfaatan
ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan
Ketahanan Nasional, juga terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang
10Hermanto Dardak, “Pemanfaatan Lahan Berbasis Rencana Tata Ruang Sebagai
Upaya Perwujudan Ruang Hidup Yang Nyaman, Produktif, Dan Berkelanjutan” (Bogor ; Direktur
Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, 2005), h 1.
29
kawasan lindung dan kawasan budi daya, dan tercapainya pemanfaatan ruang
yang berkualitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, penataan ruang
dilaksanakan melalui proses perencanaan tata ruang yang menghasilkan
rencana tata ruang, pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tata ruang yang
telah ditetapkan, dan pengendalian pemanfaatan ruang agar pemanfaatan
ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Dengan perkataan lain, kualitas
pemanfaatan ruang ditentukan antara lain oleh rencana tata ruang yang
digambarkan dalam peta rencana tata ruang wilayah yang disusun dalam suatu
sistem perpetaan dan disajikan berdasarkan pada unsur-unsur serta simbol dan
atau notasinya yang dibakukan secara nasional.11
Penetapan lokasi pengembangan kawasan lindung, kegiatan budidaya,
serta sarana dan prasarana penunjangnya perlu dengan kebutuhan dan
kesesuaian lokasi.
Alokasi pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung, kawasan budi
daya, kawasan perkotaan, kawasan perdesaan dan kawasan tertentu dalam
rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah daerah
propinsi, rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten, dan rencana tata ruang
wilayah daerah kota, serta rencana tata ruang kawasan, digambarkan dengan
unsur alam seperti garis pantai, sungai, danau, dan unsur buatan seperti jalan,
pelabuhan, bandar udara, permukiman, serta unsur-unsur kawasan lindung dan
11 Penjelasan Atas Peraturan pemerintah republik indonesia Nomor 10 tahun 2000 Tentang Tingkat ketelitian peta untuk penataan Ruang wilayah
30
kawasan budi daya dengan batas wilayah administrasi dan nama kota, nama
sungai, dan nama laut. Penggambaran unsur-unsur tersebut disesuaikan
dengan keadaan di muka bumi dan pemanfaatan ruang yang direncanakan.12
Ruang terbuka hijau dialokasikan sebagai bagian dari kehidupan
perkotaan, Ruang terbuka hijau terdiri dari kawasan lindung/alami, hijau
buatan dan hijau fungsional. Ruang Terbuka Hijau memiliki fungsi untuk
perlindungan ekosistem, pengamanan lingkungan dari pencemaran,
penciptaan iklim mikro, perlindungan tata air, meningkatkan citra estetika
lingkungan, menciptakan kebersihan dan kesehatan, sarana rekreasi, dan
sarana produksi.13
pasal 13 UULH (undang-undang lingkungan hidup) berbunyi :
ketentuan tentang sumber daya buatan ditetapkan dengan undang-undang.
Perlindungan sumber daya buatan yang penting ditunujukan kepada
konservasi fungsi sumber daya tersebut bagi kesinambungan pembangunan.
Sumber daya buatan meliputi bendungan, waduk, instalasi energi, perumahan
dan pemukiman, dan lain-lain.
Yang perlu dilindungi oleh undang-undang adalah sumber daya buatan
yang menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga perlu diatur
penggunaannya oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
12 Penjelasan Atas Peraturan pemerintah republik indonesia Nomor 10 tahun 2000 Tentang
Tingkat ketelitian peta untuk penataan Ruang wilayah.
13 RTRW Depok - Rencana Tata Ruang Kota
31
Yang dipentingkan disini adalah konservasi fungsi bagi kesinambungan
penyambung untuk kesejahteraan manusia.14
2. Penyelenggaraan Kegiatan Budidaya Dan Pengelolaan Kawasan Lindung.
Penyelenggaraan kegiatan budidaya dan pengelolaan kawasan lindung
yang ditetapkan dalam rencana tata ruang harus mengikuti kaidah-kaidah yang
ditetapkan secara sektoral. Untuk itu berbagai peraturan perundang-undangan
sektoral harus dijadikan referensi dalam mengatur kegiatan budidaya.
Termasuk dalam kawasan lindung adalah kawasan hutan lindung,
kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan sungai,
kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air, kawasan suaka alam,
kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan
bakau, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, kawasan
cagar budaya dan ilmu pengetahuan, dan kawasan rawan bencana alam.
Termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan hutan produksi, kawasan
pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan berikat, kawasan
pariwisata, kawasan pendidikan, kawasan pertahanan keamanan.15
Pasal 12 UULH (undang-undang lingkungan hidup) berbunyi sebagai
berikut : ketentuan tentang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya ditetapkan dengan undang-undang. Dalam penjelasan tertera :
14Koesnadi Hardjasoemantri, “Hukum Tata Lingkungan” (Yogyakarta : Gajah Mada
University Press, 2006), h 223 15Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 Tentang
Penataan Ruang , h 22-23
32
pengertian konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
mengandung 3 aspek, yaitu :
a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan.
b. Pengawetan dan pemeliharaan keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya pada matra darat, air dan udara.
c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Dalam pengertian konservasi tersebut di atas termasuk pula
perlindungan jenis hewan yang tata cara hidupnya tidak diatur oleh manusia,
tumbuh-tumbuhan yang telah menjadi langka atau terancam punah dan hutan
lindung.16
3. Peran Serta Masyarakat Dalam Pemanfaatan Ruang.
Peran serta masyarakat yang sejalan dengan UU 26/2007 di dalamnya
mencakup empat kegiatan utama yaitu : pengaturan, pembinaan, pelaksanaan,
dan pengawasan penataan ruang. Keempat ruang lingkup tersebut lebih luas
dari ruang lingkup yang disebutkan dalam PP 69/1996 tentang Pelaksanaan
Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat
dalam Penataan Ruang yang hanya mencakup empat hal yaitu perencanaan,
pemanfaatan, dan pengendalian penataan ruang serta pembinaan masyarakat.
Mekanisme peran serta masyarakat dilakukan sesuai dengan tahapan kegiatan
16Koesnadi Hardjasoemantri, “Hukum Tata Lingkungan” (Yogyakarta : Gajah Mada
University Press, 2006), hal-219.
33
penataan ruang. Secara umum mekanisme tersebut dapat berbentuk
penyampaian informasi, usul dan saran lisan maupun tulisan melalui berbagai
media informasi sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada (media
cetak dan elektronik, seminar, workshop, konsultasi publik, brosur, kegiatan
budaya, website, kegiatan pameran, public hearing dengan masyarakat)
kepada lembaga-lembaga yang berwenang; dan keterlibatan secara langsung
dalam kegiatan penataan ruang, misalnya sebagai salah satu wakil masyarakat
yang terlibat dalam penyusunan rencana tata ruang. Selain upaya-upaya yang
bersifat individual, mekanisme peran serta dapat dilakukan oleh kelompok
dan organisasi masyarakat serta organisasi profesi yang melakukan advocacy
planning kepada lembaga-lembaga yang berwenang.17
Pelaksanaan peran serta masyarakat dilakukan bisa melalui lokakarya
atau konsultasi publik untuk menjaring aspirasi masyarakat yang dilakukan
secara bertahap. Tahap pertama lokakarya bisa dilakukan lebih dari satu kali
untuk setiap daerah Kabupaten/Kota. Pada tahap ini setiap warga
Kabupaten/Kota dapat menghadiri acara lokakarya/konsultasi tersebut yang
diselenggarakan oleh Pemda. Output workshop pertama adalah serangkaian
isu-isu yang terkait pengaturan penataan ruang. Pada tahap ini juga ditentukan
wakil-wakil masyarakat yang dapat mengikuti tahap kedua.18
17 Koesnadi Hardjasoemantri, “Hukum Tata Lingkungan”. hal- 223. 18Sjofjan Bakar, “Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Penataan
Ruang”(Jakarta : Dir. Fasilitas Penataan Ruang dab Lingkungan Hidup, 2009), h 1.
34
Tahap kedua merupakan lokakarya atau konsultasi publik pada skala
propinsi yang akan mendiskusikan lebih lanjut hasil-hasil diskusi pada tahap
pertama. Bila pada tahap pertama, masyarakat mengemukakan masalah
pengaturan penataan ruang pada skala yang lebih kecil, maka pada tahap
kedua, isu yang akan dibicarakan akan meliputi masalah-masalah pada skala
yang lebih luas (propinsi). Pada tahap kedua ini , peserta dapat dibagi dalam
beberapa kelompok berdasarkan isu-isu spesifik yang telah dihasilkan pada
tahap pertama untuk mempertajam isu dan memperoleh informasi dan
tanggapan dari pihak eskekutif dan legislatif. Lokakarya bisa dilakukan lebih
dari satu kali tergantung kebutuhan.
Bahan yang telah dihasilkan pada kedua tahap lokakarya ini menjadi
masukan penting bagi pihak eksekutif dan legislatif dalam penyusunan perda
pengaturan penataan ruang. Selain melalui workshop, aspirasi dapat dilakukan
secara tertulis, lisan, dan perantara teknologi yang ada (short message service,
email, website, dan lain-lain) kepada pihak eksekutif dan legislatif yang
memiliki kewenangan dalam menyusun dan menetapkan keputusan.19
Di samping itu pemerintah telah mempersiapkan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat
Dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah. Dalam perundangan
19Sjofjan Bakar, “Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang”, hal
1.
35
tersebut diamanatkan bahwa untuk penyelenggaraan penataan ruang
dilaksanakan oleh Pemerintah dengan mengikutsertakan peran serta
masyarakat. Peran dan keikutsertaan masyarakat dalam melaksanakan dan
mengamankan aturan tersebut amat sangat penting artinya karena hasilnya
akan dinikmati kembali oleh masyarakat di wilayahnya. 20
Sebagaimana telah disampaikan, masyarakat mempunyai hak untuk
berperan dalam setiap tahap penataan ruang termasuk dalam pemanfaatan
ruang. Ketentuan ini diatur dalam UU 24/1992 yang menyatakan bahwa setiap
orang berhak untuk berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan. Berbagai ketentuan
pelaksanaan peran serta masyarakat dalam penataan ruang telah diatur secara
lebih terinci dalam PP 69/1996.21
D. Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang
Berdasarkan Permendagri No 8/1998 pengendalian pemanfaatan tata
ruang adalah kegiatan pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang sebagai
usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang
20 Handiman Rico, ”Merealisasikan Hak Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Tata
Ruang” Kebijakan Nasional Dalam Perencanaan Tata Ruang Kebijakan Nasional Dalam Perencanaan Tata Ruang (Bogor : Divisi Riset JKPP, ) h 1
21http://pertamanan.jakarta.go.id/download/kebijakan2/Tinjauan%20aspek%20Pemanfaatan%20Pengendalian%20Penat.Ruang.pdf. Diakes pada tanggal 3 januari 2010.
36
yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dan untuk mengambil tindakan agar
pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud.
(1) Pengendalian pemanfaatan ruang diselengarakan dengan cara :
a. Melaporkan pelaksaan pemanfaatan ruang
b. Memantau perubahan pemanfaatan ruang
c. Mengevaluasi konsitensi pelaksanaan rencana tata ruang
d. Pemberian sanksi hukum atas pelanggaran terhadap pemanfaatan
ruang
(2) Pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban pemanfaatan
ruang.
Ruang wilayah negara yang meliputi ruang lautan, ruang udara, dan
ruang daratan merupakan sumber daya alam dan suatu subsistem. Dalam
subsistem terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan
pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya buatan, dengan tingkat
pemanfaatan yang berbeda-beda yang apabila tidak ditata secara baik dapat
37
mendorong ke arah ketidakseimbangan penanganan serta ketidaklestarian
lingkungan hidup.22
Pengendalian pemanfaatan ruang menurut Pasal 1 angka 15 UU No.
26/2007 adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Pasal 35 UU No.
26/2007 menyatakan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan
melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan
disinsentif, serta pengenaan sanksi. Dari ketentuan ini terlihat adanya dua cara
pengendalian pemanfaatan ruang. Pertama, memprioritaskan terlebih dahulu
cara-cara preventif dengan menetapkan ruang secara zonasi (membagi
peruntukkan ruang dengan pendekatan kawasan) yang dapat menunjukkan
kegiatan apa yang boleh dan tidak boleh dalam suatu kawasan, sistem dan
proses perizinan yang sesuai dengan peruntukkan kawasan dan kaídah-kaidah
lingkungan, pemberian insentif dan disinsentif seperti keringanan pajak dan
pengenaan pajak yang tinggi. Kedua, pengendalian pemanfaatan ruang
dilakukan secara represif melalui pengenaan sanksi.23
Dalam UU 24/1992 tidak terdapat ketentuan yang secara spesifik
mengatur kewenangan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang. Namun
22Sjofjan Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah”(Jakarta
: Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup – Depdagri, 2006), h 1. 23 Sjofjan Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah” (Jakarta :
direktur fasilitasi penataan ruang dan lingkungan hidup – depdagri, 2006),h 1
38
dengan mempertimbangkan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang
merupakan bagian dari penyelenggaraan penataan ruang, maka
Kewenangannya disesuaikan dengan kewenangan penyelenggaraan penataan
ruang. Mengingat pengendalian pemanfaatan ruang senantiasa dikaitkan
dengan rencana tata ruang, berdasarkan ketentuan UU 24/1992 kewenangan
pengendalian pemanfaatan ruang dapat disimpulkan sebagai berikut:
• Pengendalian pemanfaatan ruang yang didasarkan pada RTRWN,
pemanfaatan ruang lintas propinsi, dan pemanfaatan ruang pada
kawasan-kawasan yang memiliki nilai strategis nasional
diselenggarakan di bawah koordinasi Menteri yang bertugas
mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang.
• Pengendalian pemanfaatan ruang yang didasarkan pada RTRWP dan
pemanfaatan ruang lintas Kabupaten/Kota diselenggarakan di bawah
koordinasi Gubernur.
• Pengendalian pemanfaatan ruang yang didasarkan pada RTRWK
diselenggarakan oleh Bupati/Walikota.
• Penyesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang.
Sebagai sebuah produk hukum yang mengikat, ketentuan-ketentuan
dalam rencana tata ruang harus diikuti oleh masyarakat. Mengingat rencana
tata ruang adalah gambaran kondisi spasial yang hendak dicapai dalam jangka
39
waktu perencanaan, sudah tentu terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan
kondisi eksisting, termasuk dalam pemanfaatan ruang.24
Kondisi ini mengisyaratkan bahwa untuk mewujudkan terciptanya
pembangunan yang tertib ruang diperlukan tindakan pengendalian
pemanfaatan ruang. Kecenderungan penyimpangan tersebut dapat terjadi
karena produk rencana tata ruang kurang memperhatikan aspek pelaksanaan
atau sebaliknya bahwa pemanfaatan ruang kurang memperhatikan rencana
tata ruang.
Pengendalian pemanfaatan tata ruang dilakukan agar pemanfaatan tata
ruang dapat berjalan sesuai dengan rencana tata ruang. Salah satu perangkat
pengendalian pemanfaatan ruang adalah perizinan. Izin yang berlaku pada
sebagian besar daerah di Indonesia hanya sampai pada Izin Mendirikan
Bangunan (IMB), tidak sampai pada izin memanfaatkan bangunan, di mana
pelanggaran pemanfaatan ruang berawal. Di samping itu, izin yang
dikeluarkan oleh masing-masing instansi tidak mengacu kepada rujukan yang
sama, yaitu rencana rinci tata ruang, sehingga sering terjadi kurang
koordinasi. Untuk itu, masing-masing daerah harus memiliki rencana rinci
dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang.25
24http://pertamanan.jakarta.go.id/download/kebijakan2/Tinjauan%20aspek%20Pemanfaatan%
20Pengendalian%20Penat.Ruang.pdf. Di akes pada tanggal 3 januari 2010. 25 Buletin Tata Ruang, “Penataan Ruang Dalam Meminimalisasi Dampak Bencana” (Jakarta
: BKRTN, 2007), h 1.
40
Terkait pengendalian, terdapat 3 (tiga) perangkat utama yang harus
disiapkan yakni:
a. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
Sebagaimana kita ketahui bersama, permis penataan ruang adalah
keseimbangan lingkungan hidup. Pemanfaatan suatu kawasan untuk berbagai
kegiatan disesuaikan dengan kemampuan daya dukung lingkungannya. Pola
pengembangan kegiatanya pun pada umumnya memiliki pertimbangan tidak
hanya fisik melainkan juga sosial budaya. Kearifan lokal pun senantiasa
menjadi salah satu referensi pokok dalam merumuskan langkah-langkah
pembangunan untuk menjawab tantangan kemajuan.26
Dalam konteks ini, terbitnya UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan
ruang jelas perlu disambut secara positif. Dengan sejumlah perbaikan yang
cukup signifikan dari UU terkait sebelumnya (UU No.24/1992), terbitnya
payung hukum tersebut merupakan gambaran kuat dari komitmen seluruh
elemen masyarakat yang menginginkan agar penataan ruang berjalan lebih
baik lagi ke depan. Selama ini, dalam 15 tahun perjalanannya penataan ruang
dinilai kurang begitu berhasil menjaga konsistensi perencanaannya sampai ke
tahap pelaksanaan.27
Fungsi utama dari RDTR adalah sebagai dokumen operasionalisasi
rencana tata ruang wilayah. Dengan kedalaman pengaturan yang rinci dan
26 Buletin Tata Ruang, “Penataan Ruang Dalam Meminimalisasi Dampak Bencana”, h 2. 27 Ibid, 3.
41
skala peta yang besar, rencana detail dapat dijadikan dasar dalam pemberian
izin dan mengevaluasi kesesuaian pemanfaatan lahan dengan rencana tata
ruang yang telah ditetapkan.
Penyiapan RDTR dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa prinsip
dasar. Pertama, rencana detail tata ruang harus dapat langsung diterapkan,
sehingga ke dalaman rencana dan skala petanya harus benar-benar memadai.
Kedua, rencana detail tata ruang harus memiliki kekuatan hukum yang
mengikat, untuk itu harus diamanatkan dalam Peraturan Daerah dan secara
tegas dinyatakan sebagai bagian tak terpisahkan dari rencana tata ruang
wilayah. Ketiga, rencana detail tata ruang harus memiliki legitimasi yang kuat
dari seluruh pemangku kepentingan, sehingga harus disusun dengan
pendekatan partisipatif.
b. Peraturan Zonasi (Zoning Regulation)
pembangunan kota memerlukan dua instrumen penting, yang pertama
development plan dan kedua development regulation. Development plan
adalah rencana tata ruang kota yang umumnya di semua negara terdiri dari 3
jenjang rencana yang baku, meliputi rencana umum, rencana intermediate
dan rencana rinci. Rencana umum dikenal dengan berbagai istilah antara lain
strategic plan, structure plan, master plan, schematic plan, general plan,
concept plan. Rencana intermediate juga dikenal dengan berbagai istilah
antara lain functional plan, zoning plan, district plan, local plan. Sedangkan
42
rencana rinci dikenal dengan istilah antara lain subdivision plan, land use
plan.28.
Development regulation dikenal dengan berbagai macam istilah,
antara lain zoning regulation, zoning code, land management and
development code, town planning act and zoning code, planning act dan
planning rule dan lain sebagainya. Istilah yang paling populer digunakan
adalah zoning regulation.zoning regulation adalah suatu perangkat peraturan
yang dipakai sebagai landasan dalam menyusun rencana tata ruang mulai
dari jenjang yang paling tinggi sampai kepada rencana yang sifatnya
operasional dan juga sebagai alat kendali dalam pelaksanaan pembangunan
kota.29
Dalam penataan ruang, zoning regulation lebih penting kedudukannya
dan harus ditetapkan sebagai prioritas dalam penyusunannya ketimbang
perencanaan. Bahkan ada pendapat yang mengatakan better regulation
without planning rather than planning without regulation. Konsepsi
increamental planning yang diterapkan di Houston dan floating zone
sebagaimana yang diberlakukan di Prancis, dapat dikatakan mencerminkan
hal tersebut. Houston tidak memiliki zoning plan, sedangkan Prancis
menyusun konsepsi zoning plan atas dasar kondisi existing. Tetapi mereka
memiliki zoning regulation yang kuat sebagai alat untuk bernegosiasi.
28 Ibid, 3. 29 Ibid, 3.
43
Langkah pertama dalam penentuan zoning adalah menetapkan zona-
zona dasar, selanjutnya pada setiap zona dasar ditentukan zona-zona utama
dan pada setiap zona utama ditentukan paket penggunaan atau jenis-jenis
perpetakan. Untuk menentukan seberapa jauh perpetakan tersebut dapat
dikembangkan bagi kegiatan lain, maka perlu diinventarisasi seluruh jenis-
jenis penggunaan rinci yang dikenal. Untuk menghindari penafsiran yang
keliru maka perlu dirumuskan tujuan pengembangan setiap zona dasar, zona
utama dan paket penggunaannya.30
Menurut undang-undang No 26/2007 pasal 35 dan 36 ayat (1),
peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang
dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan
sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi berisi ketentuan
yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan
ruang yang dapat terdiri atas ketentuan tentang koefisien dasar ruang hijau,
koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan garis sepadan
bangunan, penyediaan sarana dan prasarana, serta ketentuan lain yang
dibutuhkan untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan. Peraturan zonasi sangat penting dalam proses pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Peraturan zonasi adalah
peraturan yang menjadi rujukan perizinan, pengawasan dan penertiban dalam
pengendalian pemanfaatan ruang, yang merujuk pada rencana tata ruang
30 Ibid, 3.
44
wilayah yang pada umumnya telah menetapkan fungsi, intensitas, ketentuan
masa bangunan, sarana dan prasarana, serta indikasi program
pembangunan.31
Peraturan zonasi merupakan dokumen turunan dari RDTR yang
berisi ketentuan yang harus diterapkan pada setiap zona peruntukan. Dalam
peraturan zonasi dimuat hal-hal yang harus dilakukan dan yang tidak boleh
dilakukan oleh pihak yang memanfaatkan ruang, termasuk pengaturan
koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, penyediaan ruang
terbuka hijau publik, dan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk
mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Peraturan
zonasi tersebut bersama dengan RDTR menjadi bagian ketentuan perizinan
pemanfaatan ruang yang harus dipatuhi oleh pemanfaat ruang. 32
c. Mekanisme Insentif-Disinsentif
Pemberian insentif kepada pemanfaat ruang dimaksudkan untuk
mendorong pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang.
Sebaliknya, penerapan perangkat disinsentif dimaksudkan untuk mencegah
pemanfaatan ruang yang menyimpang dari ketentuan rencana tata ruang.
Contoh bentuk insentif adalah penyediaan prasarana dan sarana lingkungan
yang sesuai dengan karakteristik kegiatan yang diarahkan untuk berkembang
di suatu lokasi. Sedangkan disinsentif untuk mengurangi pertumbuhan
31 Ismail Zubir, “Zoning Regulation Sebagai Instrumen Dalam Penataan Ruang” (Jakarta :
Buletin Tata Ruang, 2007), h 18 32 Ismail Zubir, “Zoning Regulation Sebagai Instrumen Dalam Penataan Ruang” , h 7
45
kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dapat berupa
pengenaan pajak yang tinggi atau ketidak-tersediaan prasarana dan sarana.
Sesuai dengan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, mekanisme insentif dan disinsentif merupakan bagian dari
pengendalian pemanfaatan ruang. Mekanisme insentif dan disinsentif
dianggap mampu untuk mendorong perkembangan kota dan dapat
menimbulkan dampak positif yang menunjang pembangunan kota atau
upaya pengarahan pada perkembangan yang berdampak negatif untuk
mengefektifkan pembangunan/rencana tata ruang yang telah ditetapkan.33
Mekanisme insentif dan disinsentif mengandung suatu pengaturan dan
pengendalian pembangunan yang akomodatif terhadap setiap perubahan
yang menunjang pembangunan/perkembangan kota. Insentif dan disinsentif
diharapkan disusun oleh masing-masing daerah sebagai perangkat
pengendaliannya.
Pengendalian pemanfaatan ruang bukan hanya kewajiban pemerintah,
tetapi juga merupakan hak dan kewajiban masyarakat. Ketentuan mengenai
bentuk dan tata cara pelaksanaan peran masyarakat dalam pengendalian
pemanfaatan ruang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69
33Sjofjan Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah” (Jakarta :
direktur fasilitasi penataan ruang dan lingkungan hidup – depdagri, 2006),h 4-5
46
Tahun 1996. Hal ini dipertegas dalam rumusan naskah RUU Penataan Ruang
yang disusun untuk menggantikan UU No.24 Tahun.34
Kegiatan pengawasan pemanfaatan ruang adalah usaha untuk menjaga
kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dengan
rencana tata ruang. Kegiatan pengawasan dimaksud untuk mengikuti dan
mendata perkembangan pelaksanaan pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh
semua pihak sehingga apabila terjadi penyimpangan pelaksanaan pemanfaatan
ruang dari rencana yang telah ditetapkan dapat diketahui dan dilakukan upaya
penyelesaiannya.
Kegiatan penertiban pemanfaatan ruang adalah usaha untuk
mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat
terwujud. Tindakan penertiban ini dilakukan melalui pemeriksaan dan
penyidikan atas semua pelanggaran yang dilakukan terhadap pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.35
Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 tahun 1998
tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah, kegiatan penertiban
terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang
telah ditetapkan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Selain
34Hermanto Dardak, “Pemanfaatan Lahan Berbasis Rencana Tata Ruang Sebagai Upaya
Perwujudan Ruang Hidup Yang Nyaman, Produktif, Dan Berkelanjutan” (Bogor ; Direktur Jenderal
Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, 2005), h 7-8 35Hermanto Dardak, “Pemanfaatan Lahan Berbasis Rencana Tata Ruang Sebagai Upaya
Perwujudan Ruang Hidup Yang Nyaman, Produktif, Dan Berkelanjutan”. h 8.
47
PPNS, ada beberapa Instansi/lembaga yang dapat melaksanakan penertiban
terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang yaitu:
• Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD);
• Instansi penerbit izin;
• Instansi/lembaga lain yang bertugas dalam penertiban.
Adapun instansi atau lembaga yang bertugas dalam menjatuhkan
sanksi terhadap pelanggaran adalah lembaga peradilan yang membentuk
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya, guna
mengefektifkan daya penertiban, Bupati/Walikota membentuk Tim Khusus
yang bertugas menangani pembongkaran bangunan-bangunan yang melanggar
tata ruang. Tim ini terdiri dari unsur Bappeda, Bawasda, Penyidik PNS,
kejaksaan, dinas teknis terkait, camat, dan sebagainya.36
Pengawasan adalah usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan
ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang berupa
pengumpulan data dengan melalui proses visualisasi, pengawasan dan
monitoring untuk keudian dievaluasi dari setiap pemanfaatan ruang/lahan
yang terjadi. Tahapan proses pengawasan meliputi pelaporan, pemantauan dan
evaluasi.
a. Pelaporan
36Sjofjan Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah” (Jakarta : direktur fasilitasi penataan ruang dan lingkungan hidup – depdagri, 2006),h 6-7.
48
Berdasarkan tugas dan fungsinya, kelembagaan yang terlibat dalam
proses ini adalah instansi-instansi teknis di tingkat Kabupaten / Kota dan
Propinsi, aparat pemerintahan di tingkat yang lebih kecil (Kecamatan,
Kelurahan/Desa). Lembaga Swadaya Masyarakat, Masyarakat dan lembaga
swasta lain yang mempunyai kepentingan terhadap pemanfaatan ruang.
Semua mempunyai wewenang yang yang sama dalam melaporkan setiap
tindakan penyimpangan pemanfaatan ruang ruang, yang dilakukan secara
berjenjang dari lingkup terkecil hingga lingkup terbesar.
b. Pemantauan
Pemantauan dilakukan untuk mendapatkan tambahan informasi dari
dinas-dinas lain yang ada di TKPRD maupun masyarakat berkaitan dengan
kegiatan yang ditenggarai ada penyimpangan dengan rencana tata ruang. Hasil
pemantauan masing-masing kelembagaan tersebut dikoordinasikan dalam
rapat koordinasi TKPRD Propinsi. Tugas penilaian atas informasi yang ada
menjadi tanggung jawab instansi teknis (Diskimtaru).
Berdasarkan penilaian tersebut, secara umum hasil penilaian akan
menghasilkan pengelompokkan pemanfaatan ruang yaitu :
Pemanfaatan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Pemanfaatan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang
c. Evaluasi
49
Dalam proses evaluasi, hasil penilain dari permasalahan dipilah
menjadi 2 (dua) aspek yaitu pemanfaatan tidak bermasalah dan pemanfaatan
bermasalah. Dari hasil evaluasi tersebut maka penyimpangan bermasalah
dapat dibagi menjadi dua yaitu pemanfaatan yang sesuai dan pemanfaatan
yang tidak sesuai. Pemanfaatan yang sesuai dengan rencana tata ruang dipilah
menjadi 3 (tiga) yaitu yang tidak menimbulkan masalah, yang menimbulkan
masalah kecil, dan yang menimbulkan masalah besar. Dari ketiga kriteria
tersebut, akan dijadikan masukan sebagai peninjauan kembali RUTRK Kota.
Kemudian dari pemanfaatan yang tidak sesuai dengan RUTRK dipilah
menjadi 2 (dua), berdampak kecil dan besar, dan nantinya akan ditarik
kesimpulannya sebagai rekomendasi Gubernur dan Kabupaten untuk
dilakukan penertiban dari penyimpangan yang ada.37
37 Rencana umum tata ruang kabupaten pekalongan 2005-2014 h 3-4.
BAB III
PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DI DAERAH PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Penyelenggaraan Penataan Ruang di
Daerah Perspektif Hukum Islam
Agama Islam sebagai agama yang mengklaim sebagai agama yang
rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam), tentunya mempunyai aturan
mengenai masalah perkotaan. Dalam hal-hal tersebut, tampak jelas hubungan
kontekstual ilmu fiqih itu diolah dengan metode ijtihad yang mengembangkan
ijma, qiyas, dan istiqara. Selanjutnya dalam periode tahzib disempurnakan
sistematikanya dan mengalami beberapa reformulasi sampai pada pembakuan
formatnya. Sejak periode taqlid yang cukup lama bertahan, hingga dapat
diwariskan periode taqnim yang kini telah berkembang pesat.1
Menurut K.H. Ali Yafie mengatakan bahwa fiqih itu pada dasarnya
bukanlah suatu ilmu teoristis (ulum nazhariyah) tetapi garapannya berupa
ketentuan-ketentuan positif (ahkam ahmaliyah). Oleh karena itu, menurutnya,
definisi yang baku untuk fiqih ialah : “al-fiqih huwa al-ilmu bi al-ahkam asy-
syar’iyyah al-amaliyyah al-mutasabu min adillatiha at-tafshiliiyah.” Kalau
definisi ini diuraikan, maka isinya dapat dipertajam yakni :
1 MT. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008)cet.
Ke-1, h. 9
50
51
1. Fikih itu adalah garapan manusia (ilmu al-muktasab) karena fiqih
itu merupakan ilmu muktasab, maka peran akal, (ra’yi) mendapat
tempat dan diakui dalam batas-batas tertentu.
2. Fikih itu objek garapannya adalah al-ahkam al-amaliyah. Dengan
kata lain, ia terkait dengan pengaturan dan penataan perbuatan/
kegiatan manusia yang bersifat positif dan nyata seta tidak bersifat
teoristis(nazha-riyyah) seperti halnya garapan ilmu kalam (aqaid).
3. Sumber pokok fikih itu adalah wahyu (syar’i) dalam bentuknya
yang rinci (adillah tafsiliyyah) baik dalam Al-Qur’an maupun
dalam As-Sunnah.
Sedangkan fikih perkotaan, termasuk dalam ruang lingkup fikih siyasi
(al-fiqh as-siyasi). Dijelaskan yang dimaksud dengan fikih siyasi adalah ilmu
tentang seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan
negara pada khususnya, berupa hukum, peraturan, dan kebijkasanaan yang dibuat
oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan ajaran islam untuk mewujudkan
kepentingan orang banyak.2
Jelaslah dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa fikih perkotaan
dapat didefinisikan : ilmu tentang seluk beluk pengaturan kepentingan umat
manusia pada umumnya dan bermukim di kota pada khususnya, berupa hukum,
peraturan, dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan (pemerintah
2 MT. Dyayadi, “Tata Kota Menurut Islam”, h. 10.
52
kota) yang bernafaskan ajaran islam untuk mewujudkan kepentingan orang
banyak yang bermukim diperkotaan.3
Nabi, yang merupakan penunjuk pertama dan yang paling pasti dalam
memahami Al-Quran, yang perkataannya (hadits) dan tindakan dan perbuatannya
(sunnah) melengakapi ajaran Al-Qur’an mengenai alam, senantiasa melakukan
perbuatan yang mencerminkan ajaran Al-Qur’an untuk menjaga, merawat, dan
memelihara alam dalam kehidupannya sehari-hari. Dia menanam pepohonan,
tidak merusak berbagai vegetasi meskipun saat perang, mencintai hewan dan
menunjukan kebaikan kepada mereka, dan senantiasa mendorong kepada umat
muslim untuk melakukan hal serupa. Dia bahkan mendirikan kawasan yang
dilindungi untuk kehidupan alam, yang dianggap sebagai prototipe taman alam
islam kontemporer dan konservasi alam.4
Nabi Muhammad saw melaksanakan politik kenegaraan, mengirim dan
menerima duta, memutuskan perang dan membuat perjanjian serta
bermusyawarah. Akan tetapi dalam kekuasaan tertinggi menempatkan Allah
sebagai raja, yang maha suci, yang maha sejahtera, yang maha mengaruniakan
keamanan, yang memelihara, yang maha perkasa, yang maha kuasa, yang maha
memiliki keagunggan atau seperti dikatakan oleh Dr. Rahan Zainudin M.A.
3 Ibid, h. 11. 4 Fachruddin M Manggunjaya, “Menanam Sebelum Kiamat Islam, Ekologi, Dan Gerakan
Lingkungan Hidup (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007),h 57
53
bahwa dalam pandangan islam,5 tuhan menempatkan posisi yang amat sentral
dalam setiap bentuk dan manifestasi pemikiran. Tuhan adalah pencipta langit dan
bumi6 atas kehendak-Nya sendiri. Demikian pula alam semesta7 dan juga
menciptakan manusia8. Dalam pemikran islam, Tuhan itu juga merupakan
sumber dari kebenaran.9
Sejak pertama kali Nabi Muhammad saw memulai dakwahnya sampai
beliau wafat, disebut masa kenabian, yaitu masa keagungan islam. untuk melihat
pemerintahan beliau adalah setelah hijrah dari mekah ke madinah, karena setelah
terbentuknya pemerintahan islam di Madinah, jamaah islamiyah memperoleh
kedaulatan yang sempurna, kemerdekaan yang penuh dan konsep islam mulai
diterapkan.10
Apabila kita berfikir untuk memulai pembuatan semacam islamic village,
maka pertimbangan berikut perlu mendapatkan porsi perhatian yang cukup dalam
menata perumahan yang islami, yaitu :
1. Lokasi masjid mudah dijangkau
5 Rahan Zainudin, pokok-pokok pemiiran islam dan masalah kekuasaan politik dalam
Bertram Ravendan JRP dalam bukunya the basic and of socail power mengatakan bahwa dasar kekuasaan adalah coercive power (dengan kekerasan), legimate power (dengan pengangkatan), expert power (dengan keahlian), reward power (dengan pemberanian), rever ent power (dengan daya tarik). Sedangkan strauss menggerakan orang-orang adalah dengan paksaan (be strong approach), persaingan (competition), pemanjaan (be good approach), perjanjian (implicit bargaining), dan kesadaran kerja (internalized motivation.)
6 Surah Al-An’am (6) ayat I dan lain-lain banyak sekali yang mengatur tentang ini
7 Surah Al-Mu’min (40) ayat 62 8 Surah An-Nahl (16) ayat 4 dan surah Al-Furqan (25) ayat 54 9 Surah Al-Baqarah (02) ayat 147 dan surah Ali Imran (03) ayat 60 10 Inu Kencana Syafi’ie, “ Ilmu Pemerintahan Dan Al-Quran” (Jakarta ; PT Bumi Aksara,
2004), h, 129
54
Hendaknya masjid diletakan di tengah-tengah komplek perumahan
tersebut sebagai sentral aktifitas masyarakat. Lokasi masjid seperti itu
menjadikan jarak setiap warga menuju masjid dekat dari semua arah. Secara
psikologis, masjid yang berada di tengah masyarakat mengisyaratkan simbol
ruhaniyah. Warga masyarakat akan memiliki kedekatan dan keterikatan
dengan nilai-nilai kebaikan karena terkondisi oleh masjid.
Apabila kita melihat aktivitas Rasulullah sesaat beliau dan sahabat
Muhajirin diterima sahabat Anshar di Madinah, yang beliau lakukan adalah
membangun masjid sebagai sebuah markas pergerakan dakwah islam waktu
itu, masjid mempunyai pengaruh yang besar dalam mengikat persaudaraan
dan menguatkan ikatan diantara mereka.11
2. Lokasi Komplek Pendidikan dan Sarana Kesehatan Umum yang Dekat
dengan Masjid
Setelah masjid terbangun ditengah kompleks perumahan, bangunan
berikutnya yang harus diperhatikan adalah sarana pendidikan dan pelayanan
kesehatan umum. Kedua sarana ini amat vital bagi kehidupan masyarakat.
Dengan demikian yang dituntut adalah sebuah lembaga pendidikan islami
mulai dari kurikulum yang tidak terjadi pengungkungan atasnya, sistem
interaksi belajar mengajar yang islami, guru yang memberikan keteladanan
11 MT. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008)cet.
Ke-1, h. 271- 272
55
dan kebaikan, serta akifitas tambahan yang menunjang terbentuknya pribadi
anak didik yang beriman, berilmu, bertakwa dan mampu mengamalkan.12
3. Ada Batas-Batas Kepemilikan yang Jelas
Betapa sering dalam kehidupan sehari-hari kita mendengar berita
tentang sengketa mengenai tanah. Sejak dari masalah ketidakjelasan sertifikat
hak milik tanah, masalah batas, sampai sengketa-sengketa lain dengan
beraneka ragam dan bentuk motifnya.
Perumahan yang islami sudah tentu harus terhindar dari permasalahan
semacam itu, seluruh masalah yang berkenaan dengan kejelasan akad harus
telah diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Hal ini untuk menjaga kebaikan
bersama, dan juga menjaga ketenangan serta keamanan setiap warga penghuni
perumahan tersebut.13
4. Keamanan, Keindahan, dan Kesehatan
Kompleks perumahan islami hendaknya ditata sedemikian rupa
sehingga tampak indah dipandang sekaligus aman. Penataan jalan-jalan atau
gang-gang yang rapi, teratur, penanaman pohon-pohonan yang rindang dan
sejuk, pengaturan pembuangan limbah air ataupun limbah padat yang
mengutamakan aspek kesehatan perlu diusahakan seoptimal mungkin.
12 MT. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam h. 272- 273 13 ibid, h. 277.
56
Penjagaan kebersihan senantiasa diperhatikan baik secara individu
maupun secara kolektif dalam bentuk kerja bakti pembersihan fasilitas umum,
kabel-kabel listrik ditata dengan mempertimbangkan aspek keindahan
pandangan serta keamanan masyarakat. Penerangan jalan-jalan atau gang-
gang umum dimalam hari juga harus tertata rapi.14
5. Tersedia Bebagai Fasilitas Umum
Banyak pihak membuat kompleks perumahan tanpa menyediakan
berbagai fasilitas umum yang menunjang kenyamanan warganya. Taman mini
untuk rekreasi, tanah untuk pemakaman, serat berbagai fasilitas lainnya yang
diperlukan seperti telepon umum, sarana kesehatan, kompleks pertokoan, dan
lain-lain.
Dalam kondisi rumah tangga islami yang tidak mampu memiliki rumah
cukup luas karena keterbatasn kemampuan ekonomi, berbagai fasilitas umum
tersebut akan sangat bermanfaat. akan lebih baik apabila lokasi tempat olah
raga dipisahkan khusus untuk laki-laki dan wanita. Tempat olah raga yang
dilengkapi dengan bebagai fasilitas, sepeti kolam renang, ruang senam,
peralatan kebugaran, dan sebagainya hanya bernilai islami apabila ada
pemisahan antara laki-laki dengan perempuan. Diupayakan tidak ada ikhtilat
dalam suasana olah raga yang lebih membutuhkan kebebasan bergerak
tersebut.
14ibid, h. 277- 278
57
Kompleks pemakaman sering luput dari perhatian pihak dari yang
membuat perumahan , mereka tidak mau rugi barang sejengkal tanah pun
untuk makam padahal pada akhirnya seluruh warga juga akan mati, untuk itu
diperlukan sebidang tanah yang dikelola secara profesional untuk dijadikan
makam. Agar makam tersebut tidak memerlukan tanah yang terlalu luas, maka
setiap warga tidak berhak memiliki kavling sendiri-sendiri semua dikelola
oleh petugas yang ditunjuk sehingga tanah makam bisa efektif tanpa ada
pemborosan yang disebabkan oleh keinginan warga untuk mengabadikan
setiap kavling makam keluarganya.15
Allah swt berfirman, dalam surat Qaf: 11;
⌧ )١١ق ( ⌧ Artinya :
“ Untuk menjadi rezki bagi hamba-hamba (Kami), dan kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). seperti Itulah terjadinya kebangkitan.”(Qaf: 11).
B. Perencanaan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam
Islam adalah agama rahmatan lil al-alamin telah memberikan isyarat dan
pesan-pesan yang berhubungan dengan pembangunan dan lingkungan hidup serta
kehidupan terutama melalui ayat-ayat kauniah dalam Al-Qur’an, yang menurut
Thanthawi Jauhari sebagimana yang dikemukakan M. Quraish Shihab : “tidak
kurang dari 750 ayat yang secara tegas menguraikan hal-hal (lingkungan hidup
15Ibid, h. 278- 279
58
dan kehidupan)”16 ayat-ayat tersebut tentunya dijadikan sebagai rujukan dasar
atau sebagai prinsip karena merupakan petunjuk-petunjuk dasar atau prinsip-
prinsip yang pertama dan utama dalam berbagai hal termasuk mengenai
pembangunan dan lingkungan hidup sebagai suatu ekosistem. Bahkan melalui
ayat-ayat tersebut juga merupakan jalan keluar yang lebih tepat atas peristiwa-
peristiwa yang berhubungan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia
ketika terjadi tragedi-tragedi akibat dari dampak pembangunan yang seperti
masalah kerusakan alam sekalipun Allah mengingatkan kepada manusia untuk
tidak merusaknya.17 Allah swt berfirman, dalam surat Al-A’raf 56;
☺ )۵٦األعراف ( ☺
Artinya : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS : Al-A’raf 56).
Islam sebagai ajaran ilahiyah yang syarat dengan tata nilai kehidupan
yang sempurna hanya akan menjadi ajaran yang melangit jika tidak diapliaksikan
dalam kehidupan nyata.18 Dalam perencanaan menata dan membangun kota Nabi
Muhammad saw mengutamakan membangun masjid, masjid merupakan suatu
16 Quraish, Shihab, membunikan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1997), h 131 17 Daud Effendy, “manusia, lingkungan dan pembangunan prospektus islam” (Jakarta :
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah), h 70-71 18 Fachruddin M Manggunjaya, “Menanam Sebelum Kiamat Islam, Ekologi, Dan Gerakan
Lingkungan Hidup (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007),h 257
59
wadah atau institusi yang paling penting untuk membina masyarakat islam. Di
masjid pulalah rasa kesatuan dan persatuan umat islam ditumbuh kembangkan.
Sebagai rumah Allah (baitullah), masjid adalah tempat turunnya rahmat
Allah SWT dan malaikat. Oleh karena itu, masjid dalam pandangan islam
merupakan tempat yang paling baik dan mulia di muka bumi ini. Di masjid pula
kaum muslimin menemukan ketenangan dan ketentraman hidup serta kesucian
jiwa, karena di tempat ini dilaksanakan forum-forum terhormat.19 Maka di bawah
ini akan dijelaskan beberapa masjid yang dibuat langsung oleh Nabi Muhammad
SAW, yaitu :
1. Membangun Masjid Quba.
Ketika pertama kali mendengar Nabi Muhammad SAW hijrah dari
Makkah ke Yastrib, orang-orang madinah yang sudah masuk islam dari suku Aus
dah Khazraj telah menunggu dengan perasaan gembira dan harap-harap cemas,
karena itulah ketika mendengar informasi bahwa Rasulullah saw bersama Abu
Bakar sudah mendekati Quba (kurang lebih 5 Km dari arah Madinah), kedua
kabilah itu menyongsong Rasulullah saw di Quba. Setibanya di Quba unta
Rasulullah SAW berhenti dan duduk di tanah lapang milik Kultsum bin Hadm,
biasanya tanah lapang itu oleh pemiliknya dipakai menambatkan unta dan
menjemur kurma.
19 MT. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008)cet.
Ke-1, h 59
60
Nabi Muhammad saw menghabiskan waktu empat hari untuk istirahat di
Quba. Pada malam hari Nabi Muhammad SAW menginap di rumah Kultsum dan
pada siang hari duduk-duduk di rumah Sa’ad bin Khaitsamah Al-Ausi sambil
menerima orang-orang Anshar yang mengundangnya pindah ke Yastrib. Dalam
waktu empat hari, selama menetap di Quba itulah Nabi Muhammad SAW
mendirikan masjid Quba pada tahun 622 M (tahun ke 13 kenabian). Masjid ini
dibangun langsung di tanah lapang milik Kultsum bin Hadm yang diwakafkan
untuk masjid. Masjid Quba dibangun langsung oleh Rasulullah SAW dengan
bantuan kaum muslimin. Bangunan masjid ini terbuat dari batu bata merah dan
beratapkan daun kurma.20
2. Membangun Masjid Nabawi.
Ketika Nabi Muhammad SAW pertama kali memasuki kota Yastrib unta
yang ditunggangi Nabi Muahammad SAW berlutut pula ditempat penjemuran
kurma milik Sahl dan Suhail bin Amr. Kemudian tempat itu dibelinya guna
membangun Masjid. Pembanguan Masjid yang kemudian dinamakan Masjid
Nabawi ini dilakukan oleh Nabi Muhammad saw bersama kaum muslimin di
tengah kota Madinah pada tahun 622 M.
Sementara tempat itu dibangun, beliau tinggal pada keluarga Abu
Ayyub Khalid bin Zaid Al-Anshari. Dalam membangun Masjid itu Nabi
Muhammad SAW juga turut bekerja dengan tanggannya sendiri. Kaum Muslimin
20 MT. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008)cet.
Ke-1, h60-61
61
dari kalangan Muhajirin dan Anshar ikut pula bersama-sama membangun.
Selesai Masjid itu dibangun, disekitarnya dibangun pula tempat tinggal
Rasulullah SAW.
Masjid mempunyai peranan yang sangat besar dalam masyarakat Islam,
dengan masjid selain dapat dipergunakan untuk shalat berjamaah, maka masjid
juga dipakai untuk bermusyawarah, belajar ilmu agama, beri’tikaf, membaca dan
mengkaji Al-Qur’an, dan sebagainya.
Dengan demikian secara garis besarnya pada Zaman Rasuluallah SAW
paling tidak fungsi masjid dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Sebagai pusat peribadatan, yaitu termasuk shalat, membaca Al-
Qur’an, bertadarus, mengutip zakat, beritikaf, berzikir, dan aneka
kegiatan ibadah lainnya.
2. Sebagai pusat pendidikan dan pengajaran serta perpustakaan,
pengadilan, tempat prajurit latihan militer sebelum memulai
perjuangan (tempat mengatur strategi perang), tempat membuat
pengumuman. Masjid juga merupakan tempat kegitan ekonomi,
baitul mal, menghimpun dana dari orang-orang kaya yang
didistribusikan kepada fakir dan miskin.21
21 MT. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam, h 64-65
62
Pembangunan Kota di Zaman Khalifah Umar bin Al-Khatab
Pembanguanan kota merupakan sarana dan prasarana mendasar yang
menjadi tuntutan dalam proses pengembangan ekonomi, karena di dalamnya
dilakukan banyak kegiatan ekonomi, dan di atasnya didirikan berbagai
fasilitas dan pelayanan umum.
Sesungguhnya hal ini mendapat perhatian yang besar dari Khalifah
Umar bin Al-Khatab, di antara contoh yang paling menonjol adalah
pembangunan kawasan perumahan bagi kaum muslimin di daerah-daerah
yang ditaklukan. Di antara kota terpenting yang dibangun pada masa Umar
adalah Kufah, dan Basrah. Ketika membangun kota tersebut Umar
memperhatikan beberapa hal, yakni :
1. Memilih tempat yang sesuai.
Pemilihan tempat pembangunan kota mendapat perhatian yang besar
dari Umar, beliau berupaya keras untuk memilih tempat yang sesuai bagi para
penghuninya, seperti sesuai tabiat mereka dan tidak berdampak buruk kepada
kesehatan mereka. Umar menetapkan beberapa kreteria tempat yang sesuai
adalah dekat dengan fasilitas umum.
Ketika Irak telah dikuasai umat muslim, maka perlu adanya
pemukiman unuk orang-orang Arab, untuk itulah Umar lalu menulis surat
63
kepada Sa’ad seorang panglima perang irak. Maksud Umar dengan menulis
surat itu adalah:
1. Daerah yang dipilih untuk pemukiman harus kering seperti
pedalaman, tetapi ada sumber air yang bagus.
2. Tidak terhalang oleh lautan atau jembatan untuk pengiriman bala
bantuan kepada pasukan yang tinggal di daerah itu jika sewaktu-
waktu diperlukan.
Kewaspadaan Umar bin Al-Khattab ini mengangap laut itu seperti
kapal yang berbahaya, dan untuk itu ia berpendapat antara dia dengan
angkatan bersenjata jangan sampai dipisahkan oleh apa pun yang akan
membahayakan pengiriman bala bantuan kepada mereka.22
2. Membangun Fasilitas Umum yang Lain
a. Jalan.
Jalan merupakan sarana yang urgen karena memudahkan mobilisasi
dan penyebrangan barang, kendaraan, dan orang serta unsur-unsur produksi
dan sebagai sarana yang menghubungkan antara pasar dan menjadi tempat
peredaran hasil produksi.
Umar sangat memperhatikan urgensi jalan, baik jalan darat maupun
jalan sungai, di mana Umar menunjuk orang yang bertanggung jawab dalam
22ibid , h 88
64
urusan ini. Sebagaimana Umar juga mensyaratkan kepada Ahli Dzimah agar
ikut andil dalam perbaikan jalan dan pembnagunan jembatan. Beberapa
referensi tentang perhatian Umar dalam mempermudah transportasi laut
antara Hizaz dan Mesir. Di antara ucapannya dalam hal terssebut, “sungguh
jika masih hidup, niscaya aku akan membawakan kepada penduduk madinah
makanan dari mesir hingga aku meletekannya di Al-jar”.23
Untuk melaksanakan keinginan ini Umar memerintahkan kepada
gubernur di Mesir, Amr bin Al-Ash untuk menggali terusan yang
menghubungkan Laut Merah dan Sungai Nil, yang pelaksanaanya selesai
dalam satu tahun, sehingga kapal dapat berlabuh di Al-Jar, dan Umar
malakukan kunjungan kepelabuhan tersebut. Bahkan Umar memerintahkan
membangun gudang di sana yang disebut Dar Ar-Rizqi untuk meyimpan
makanan dan hal-hal lain yang datang dari mesir, dan menunjuk Sa’ad Al-Jari
sebagai penangung jawab pelabuhan Al-Jar yang terdapat disana.
b. Fasilitas Umum.
Dalam buku fiqih ekonomi Umar bin Al-Khattab yang ditulis Dr.
Jaribah bin Ahmad Al-Harits (2006) dijelaskan bahwa fasilitas umum yang
dibangun pada zaman Umar adalah:
23 Al-jar, sebuah pelabuhan , dan orang yang dipercaya oleh Umar adalah Sa’d Al-Jari
sebagai penanggung jawab pelabuhan tersebut, dan dibuat gudang yang disebut Dar Ar-Rizqi untuk menyimpan makanan dan hal-hal lain yang datang dari mesir.
65
1. Rumah tamu atau (dar adh-dhiyafah) untuk para tamu dari berbagai daerah
yang datang ke madinah, bahkan Umar memerintahkan para gubernurnya
untuk membangun rumah seperti itu di kota mereka masing-masing.
2. Gudang logistik (dar ar-rizqi) yang dibangun diberbagai daerah yang di
dalamnya disimpan bahan-bahan makanan dan dibagikan kepada kaum
muslimin.
3. Pembangunan bendungan untuk mencegah bahaya banjir terhadap
kemaslahatan umum seperti ini merupakan sumbangan terpenting terhadap
modal sosial.
4. Di anatara pelayanan penting yang dilakukan Umar adalah memberikan
penerangan (lampu) terhadap Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dan
lampu-lampu tersebut merupakan sarana penerangan terbaik dari apa yang
dicapai manusia pada masa itu.
5. Di antara fasilitas umum yang didirikan Umar adalah beranda yang
dibangun di sisi Masji Nabawi, yang disebut Al-Buthaiha.24
C. Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam
1. Pemafaatan Pada Darat.
Hutan dan segala ekosistemnya yang berada di dalamnya merupakan
bagian dari komponen penentu kestabilan alam. Keanekaragaman hayati
menjadi luar biasa yang sanggup memberikan inspirasi bagi pencinta alam,
tentunya bukan sebagai sarana hiburan namun demi memahami makna
24Ibid , h 96-97
66
kekuasaan agung sang pencipta. Pepohonan di hutan menjadi tumpuan sekaligus
penahan resapan air dalam tanah, sehingga air tidak mudah terlepas meluncur
menjadi bencana banjir yang menyengsarakan manusia. Hewan-hewan
melengkapi kekayaan hutan menjadi bermakna lebih. Suasana ini seolah
mengatakan kepada kita, bahwa di dunia ini bukan hanya manusia saja yang
menjadi mahluk Allah, tapi masih ada hewan dan tumnbuhan yang senantiasa
hidup dan tumbuh serasi dengan sunnatullah yang telah digariskan.25
Islam menempatkan ekosistem hutan sebagai wilayah bebas (al-
mubahaat) dengan status bumi mati (al-mawaat) dalam hutan-hutan liar, secara
berstatus bumi pinggiran (marafiq al-balad) dalam hutan yang secara geografis
berada di sekitar wilayah pemukiman kedua jenis hutan ini memiliki nilai
persamaan dalam prinsip-prinsip pengaturannya, di mana semuanya masih
menjadi bidang garapan pemerintah. Dan pemerintah juga berhak memberikan
izin penebangan hutan selama tidak berdampak negatif pada lingkungan
sekitar.26
Hanya saja dalam jenis hutan bebas (liar), secara prinsip asal, legal untuk
dimanfaatakan oleh siapa pun, baik untuk dijadikan untuk kepemilikan (ihya’ li
al-tamaluk) maupun untuk diambil kekayaan alam yang ada di dalamnya.
Sehingga wajar sampai saat ini masih kita kenal model pembukaan lahan hutan
25 Fachruddin M Manggunjaya, “Menanam Sebelum Kiamat Islam, Ekologi, Dan Gerakan
Lingkungan Hidup (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007),h 18 26 Fiqh Al-islamy juz V hal. 542-543 dan hawasyi al-syarwani juz VIII hal. 43-44 dar el-
kutub el- alamiyah
67
sebagai pemukiman atau persawahan. Hal ini tidak bisa dimaknai sebagai
perusakan lingkungan, karena secara alami pertambahan jiwa akan selalu
menuntut pertambahan lokasi pemukiman.27
Untuk jenis hutan yang termasuk marafiq al-balad, karena secara lazim
penduduk sekitar selalu memanfaatkannya untuk keperluan pengembalaan
binatang, sebagai sumber kayu bakar serta untuk keperluan lain, maka bagi
pemerintah tidak diperkenankan mengalihkan pemanfaatan kawasan itu untuk
kepentingan personal maupun kelompok tertentu. Dalam arti, hak dari rakyat
yang berada di sekitar maupun yang berada jauh dari kawasan itu adalah sama.
Dan mengenai intervensi pemerintah dalam melarang penebangan pohon dalam
kawasan ini mutlak diperbolehkan, seperti dalam hutan liar.28
Dari uraian di atas, terlihat bahwa pemerintah memegang peranan
penting dalam setiap kebijakannya tentang pengaturan hutan. Sehingga syariat
menganggap pencurian kayu di hutan merupakan tindakan yang ilegal dan harus
ditindak tegas. Bahkan kayu-kayu tersebut haram untuk diperdagangkan.29
Pada bagian lain islam juga sangat menganjurakan pelestarian sumber
daya alam hewani. Dan hal ini dapat kita pahami dari beberapa konsep syariat
sebagai berikut :
27 Fiqh Al-islamy juz V hal. 542-543 dan hawasyi al-syarwani juz VIII hal. 43-44 dar el-
kutub el-alamiyah 28 Fiqh Al-islamy juz V hal. 517-519 29 Is’ad Al-Rafiq Juz. II hlm 97 dan Qulyuby Juz. II hlm. 162 Dar Ihya’
68
1. Islam tidak memperkenankan pembunuhan hewan selain untuk kebutuhan
konsumsi. Padahal hewan yang diperbolehkan untuk dikonsumsi dalam islam
rata-rata termasuk hewan yang mempunyai populasi cukup banyak, bukan
termasuk hewan-hewan langka yang populasinya semakin sedikit.30
2. Syariat juga tidak memperbolehkan penyiksaan hewan, baik dengan cara
memperlakukan tidak semestinya maupun dalam bentuk penyiksaan lainya.31
3. Islam menganjurkan untuk merawat binatang dengan memberikan kebebasan
hidup atau memberikan kebutuhan hidup hewan, andai saja binatang itu ada
pada milik kita. Bahkan hal itu merupakan perbuatan terpuji dan berpahala.
4. Dalam aturan pembunuhan hewan, islam hanya memprioritaskan atas hewan
yang termasuk jenis hewan yang berbahaya (al-fawasiiq al-khams) serta
hewan sejenis, yakni hewan-hewan yang menggangu ataupun menyerang
manusia. Sehingga hewan-hewan lain tidak memenuhi ketentuan tersebut
tetap wajib dilestarikan hidupnya, baik yang halal dikonsumsi maupun yang
tidak.32
Dari beberapa keterangan di atas dapat kita pahami bahwa ketika
pemerintah membuat aturan perlindungan hewan-hewan langka karna
mempertimbangkan kestabilan ekosistem, maka bagi individu rakyat tidak
30 Al-Mughni Syarkh Al-Kabir Juz. IX hlm. 232 dan ahkam Al-Quran Ibn Araby Juz. II Hlm.
26 31Al-Zawajir Juz. I hlm. 349 32 Al-Bahr Al-Zakhar Juz. VI hlm. 227
69
diperbolehkan untuk melanggarnya. Sehingga praktek perburuan ilegal secara
syariat tidak di benarkan dengan alasan apapun.33
2. Pemanfaatan Pada Air.
Secara alamiah air bersih dapat diambil dari sumber-sumber ; air hujan,
air permukaan yang mencangkup air mata air, air sungai, air salju, air danau, air
rawa, dan air laut serta air tanah yang mencangkup air tanah dangkal (sumur
dangkal) dan air tanah dalam (sumur dalam).
Memang secara alamiah sumber-sumber air-air merupakan kekayaan
alam yang dapat diperbaharui dan mempunyai daya regenerasi, yaitu yang selalu
dalam sirkulasi dan lahir kembali mengikuti suatu daur yang disebut daur
hidrologi, sehingga relatif jumlahnya tetap. Air dari sumber mengalir ke laut,
dan menguap menjadi awan. Air hujan turun ke bumi, sebagian meresap ke
tanah, ada yang diisap akar-akaran dan ada pula yang melaui tanah bergabung
menjadi satu dengan air tanah.
Dalam pada itu Rasulullah SAW melarang membuang kotoran ke
tempat-tempat yang mengakibatkan tercemarnya air. Dipahami bahwa kotoran
manusia baik yang berasl dari buang air kecil maupun buang air besar menjadi
penyebab utama tercemarnya air. Oleh karena iu, betapa penting pengaturan
pembuangan air, yang semestinya buang air di tempat yang tertutup, dalam arti
33 Fachruddin M Manggunjaya, “Menanam Sebelum Kiamat Islam, Ekologi, Dan Gerakan
Lingkungan Hidup (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007),h 20
70
tertutup tempat membuang air dan tertutup pula tempat penampungan
kotorannya.34
3. Pemanfaatan Pada Udara.
Secara prinsip, pemanfaatan udara dalam syariat telah diatur dengan
begitu longgar, selama tidak berhubungan dengan udara di sekitar wilayah
kepemilikan pribadi. Membuat fasilitas melawati wilayah udara diatas rumah-
rumah penduduk, harus melalui izin mereka. Karena menurut syariat, wilayah
udara yang berbeda di atas sebuah kepemilikan secara hukum mengikuti status
kepemilikan tempat yang berada di bawahnya.35 Bahkan pemanfaatan wilayah
udara dari tempat-tempat umum juga diperkenankan selama tidak menimbulkan
ekses negatif.36
Asap kendaraan, asap pabrik maupun pencemar udara lain sebenarnya
tidak secara langsung timbul dari pemanfaatan udara. Hanya saja, ketika
gangguan itu dihasilkan melawati udara, secara tidak langsung hal itu
merupakan penyalahgunaan wilayah udara yang seharusnya bersifat netral.
Dalam hal ini syariat menggarisbawahi, bahwa pemanfaatan udara yang
diperkenankan adalah penggunaan secara wajar dan tidak sampai menggangu
atau bahkan menimbulkan ekses negatif pada orang lain. Selain menetapkan
sanksi, syariat juga memperkenankan pemerintah menindak pelaku pencemaran
34 Majelis Ulama Indonesia “Air, Kebersihan Dan Kesehatan Lingkunan Menurut Ajaran Islam”(Jakarta : Majelis Ulama Indonesia, 1992) h 31-33
35 Al-furuuq Juz. IV hlm. 15-16 36 Bujairimy ‘ ala Al-Khtatib Juz. III hlm. 100
71
ketika mengakibatkan dampak negatif pada tingkat tertentu, selama terbukti
bahwa kesalahan itu memang diakibatkan prosedur yang tidak benar.37
D. Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam
Dalam proses penciptaan manusia Allah telah memberikan kelengkapan
hidup berupa akal pikiran, hati dan perasaan serta kelengkapan fisik biologis
dimaksudkan dapat menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai khalifah di muka
bumi. Fungsi dan tugas yang harus dijalankan manusia antara lain berupa
menjalankan tugas pembangunan, memelihara dan mengelola lingkungan hidup
dan menjaga keseimbangan lingkungan hidup hal ini akan diuraikan sebagai
berikut.38
1. Manusia Dan Tugas Pembangunan.
Dalam Al-Quran maupun Al-Hadits telah banyak disebut mengenai
manusia menyangkut proses terjadinya, statusnya, hak dan kewajibannya, serta
sifat-sifat dan kecenderungan-kecenderungannya. Di dalam Al-Quran dikatakan
bahwa Allah menciptakan manusia dengan kesempurnaannya sehingga
diberikan kemampuan yang lebih dibanding dengan mahluk lainnya, bahkan
dengan malaikat sekalipun. Kesempurnaan manusia itu ditandai dari posisinya di
hadapan Allah, yaitu pada satu sisi manusia adalah kecil dan sangat lemah
karena ia sebagai hamba atau abdi, tetapi dalam posisi lain dalam hubunganya
37 Fatawi Al-Ramli Juz. III hlm 13 38Daud Effendy , “manusia, lingkungan dan pembangunan prospektus islam” (Jakarta :
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah), h 106-107
72
dengan sesama ciptaan Allah manusia mempunyai kedudukan yang tinggi dan
mulia yakni sebagai Khalifah-Nya.
Untuk menunjukan bahwa manusia adalah hanya sebagai hamba atau abdi-
Nya yang lemah tak berdaya serta diciptakannya manusia dan jin adalah hanya
untuk menyembah kepada Allah. Maka manusia diberi peran besar sebagai
khlifah di muka bumi, sebagaimana disebutkan di dalam surat Al-Baqarah ayat
30 yang berbunyi ;
☺ ⌧
⌧ ⌧ ☺
☺ )٣٠البقرة (
Artinya :
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."(QS:Al-Baqarah, 30).
Sehubungan dengan ditunjuknya manusia sebagai khalifah Allah, dengan
argumentasi sebagaimana oleh M. Quraish Shihab: “bahwa mahluk ini, memiliki
keistimewaan dibandingkan dengan para pemrotes yaitu kemampuan
73
mengetahui fungsi benda-benda alam.”39 Masih dalam hal keunggulan manusia
dari pada mahluk lain, Murtadha Muthahhari juga mengatakan sebagai berikut :
“manusia berbeda dengan mahluk hidup lainnya. Bedanya adalah manusia lebih
tahu, lebih mengerti, dan lebih tinggi keinginannya. Kekhasan ini yang dimiliki
manusia membedakan manusia dan binatang, dan membuat manusia lebih
unggul dari pada binatang lainnya.40
Karena keunggulan itu, Allah memberi peran kepada manusia sebagai
wakil-Nya di mana ia diberi tanggung jawab untuk atas nama Allah menegakkan
hukum-hukumNya di muka bumi sebagai imbalannya seluruh alam dan isinya
diserahkan pengelolaaannya dan pemanfaatanya serta pemeliharaannya kepada
manusia. Namun demikian pengelolaan alam yang dimaksudkan bukanlah dalam
arti sebagai penakluk (superiority) atas yang di taklukan (inferiority). Dalam
persoalan demikian M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa: “hubungan
manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya bukan
merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukan atau antara tuan
dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah
SWT. Karena, kemampuan manusia dalam mengelola bukanlah akibat kekuatan
39Quraish Shihab, “Peranan Dakwah Terhadap Pembangunan Berwawasan Lingkungan,
Dalam : Lingkungan Hidup Berkeadilan”, (Jakarta : CV, Puspita Sari Indah Bekerjasama Dengan LPPM-UNAS, 1993), h. 5
40 Murthadlo Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Terj : Ilyas Hasan, (Jakarta:PT Lentera Basritama, 2002 ). H 1
74
yang dimilikinya, tetapi akibat anugrah Allah SWT.”41 Manusia itu pada
dasarnya lemah dan yang memiliki kekuatan bukanlah siapa-siapa, melainkan
hanya Allah sehingga disebutkan dalam Al-Quran “La Haula Wa La Quawwata
Illa Bi Illah” tiada daya dan kekutan kecuali atas izin Allah.
Manusia mengembangkan tugas membangun dunia ini dan memeliharanya
sesuai dengan hukum-hukumnya yang berlaku dalam keseluruhannya secara
utuh (tidak hanya dalam bagiannya secara parsial semata) demi usaha mencapai
kualitas hidup yang lebih tinggi tersebut. Di sini letak relevansi keimanan untuk
wawasan lingkungan, environmentalism.42 Oleh sebab itu menurut M. Qurasih
Shihab : “Al-Quran tidak memandang manusia sebagai mahluk yang tercipta
secara kebetulan, atau terciptanya dari kumpulan atom, tetapi ia diciptakan
setelah sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu tugas menjadikan
seorang khalifah di bumi.”43
Menurut Yusuf Al Qaradhawi tentang peranan manusia tadi dikategorikan
sebagai tujuan-tujuan yang sangat mulia di tengah-tengah kehidupan manusia,
hal itu merupakan hikmah Allah kepada para mukallafin yang akhirnya dibagi
menjadi tiga tujuan yaitu :
41 Quraish Shihab, “Peranan Dakwah Terhadap Pembangunan Berwawasan Lingkungan,
Dalam : Lingkungan Hidup Berkeadilan”, (Jakarta : CV, Puspita Sari Indah Bekerjasama Dengan LPPM-UNAS, 1993), h.295
42 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta; Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h 479
43 M. Quraish Shihab, “Peranan Dakwah Terhadap Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Dalam : Lingkungan Hidup Berkeadilan”, (Jakarta : CV, Puspita Sari Indah Bekerjasama Dengan LPPM-UNAS, 1993), h. 70
75
1. Untuk mengabdi pada Allah (surat Al-Dzariat: 56). Ibadah ini meliputi
segala sesuatu yang disenangi Allah dan diridhoinya, baik berupa
perkataan dan perbuatan. Maka dalam konteks ini, sebenarnya bentuk
ibadah itu mencakup semua aspek kehidupan.
2. Sebagai wakil (Khalifah Allah) di atas bumi (Al-Baqarah: 30). Supaya
praktik kekhilafahan ini terwujud, mereka dituntut untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan, serta meyiarkan kebaikan dan kemaslahatan
(surat Shad:26).
3. Membangun peradaban di muka bumi (surat Hud:61). Dalam arti
mengandung pesan pada manusia untuk membangun kehidupan.44
Kemampuan manusia melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan untuk
membangun kehidupan di muka bumi ini, merupakan pengejawantahan atau
refleksi dari keberimanan seseorang sebagai hamba Allah. Dari sini lah
tergambar dengan jelas tentang berlangsungnya hubungan dua dimensional
yakni secara vertikal dan horizontal yang dijalankan oleh manusia. Hubungan
vertikal yang dimaksud adalah kemampuan manusia dalam menjalankan
perintah Allah, dan hubungan horizontal adalah kemampuan manusia melakukan
hubungan dengan alam lingkungan termasuk sesama manusia.45
44 Yusuf Al-Qaradhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, Terj : Abdullah Hakam Shah,
Dkk, (Jakarta : Pustaka Al-kauthsar, 2002)h 24-25 45Daud Effendy, “manusia, lingkungan dan pembangunan prospektus islam” (Jakarta :
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah), h 111
76
Di dalam proses membangun ini, manusia tidak dapat berjalan sendiri
atau melepas keterkaitanya dengan alam di luar dirinya baik yang bersifat biotic
maupun abiotic atau benda hidup atau benda tak hidup. Faktor-faktor alam ini
sebagai sesama mahluk ciptaannya ikut andil di dalam menentukan keberhasilan
pembangunan dimana manusia sebagai yang ditugasi untuk mengelolanya.
disinilah perlu terjadi interaksi positif antara manusia dengan manusia, antara
manusia dengan alam dan antara manusia dengan Allah SWT. Bila kondisi
demikian ini terwujud, maka tidak mustahil semua akan saling membantu serta
bekerja sama dan tentunya Tuhan meridhainya. Perwujudan hubungan interaktif
yang meliputi semua unsur kehidupan dalam melakukan pembangunan yang
berlangsung secara utuh itulah, kemudian disebut pembangunan yang holistik.
2. Manusia Sebagai Pemelihara dan Pengelola Lingkungan.
Suatu pandangan yang menyatakan bahwa : “segala wujud di dunia ini
harmonis, dan evolusinya menuju ke pusat yang sama. Segala yang diciptakan
tidak ada sia-sia, dan bukan tanpa tujuan. Dunia ini di kelola dengan serangkaian
sistem yang pasti dikenal sebagai hukum (sunnah Allah). Di antara mahluk yang
ada, manusia memiliki martabat yang khusus, dan misi khusus.46
Dengan menyimak pernyataan tersebut diperoleh suatu pemahaman :
pertama, kehidupan ini adalah suatu yang harmonis, artinya antara sesama
46 Murthadlo Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Terj : Ilyas Hasan, (Jakarta:PT
Lentera Basritama, 2002 ). H 57
77
mahluk terjadi hubungan yang berpadan dan berkeseimbangan (equilibrium).
Kedua, keseluruhan proses kehidupan ini semuanya bergerak menuju dan
bertemu ke pusat yang sama yaitu liqo illah (menuju Allah). Ketiga, kehidupan
dan alam semesta ini sengaja diciptakan Allah dengan kesemuanya memiliki
nilai guna dan manfaat serta bertujuan (teologis). Keempat, alam semesta ini
merupakan suatu sistem bergerak sesuai dengan hukum-hukum Allah
(sunnahtullah). Kelima, mengenai manusia sebagai mahluk yang paling
bermanfaat (mewah). Pada dirinya diberikan tanggung jawab yakni berupa tugas
dan misi khusus. Dari kelima hal yang disebutkan tadi, tergambar bahwa dengan
mengingat fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi maka disitulah
manusia memiliki peran sentral di dalam memelihara dan mengelola alam. Di
dalam memelihara dan mengelola alam beserta seluruh isinya, manusia tidak
dapat berbuat sekehendaknya sendiri, melaikan harus bersandar pada pesan-
pesan ilahi, atau di dalam bertindak memelihara dan mengelola lingkungan alam
itu adalah atas nama Allah SWT.
Fungsi kekhalifahan yang harus diperankan manusia terhadap lingkungan
alam semestinya harus dipahami sebagai hubungan kebersamaan dalam
ketundukan kepada Allah SWT. Petunjuk-petunjuk Allah itu dengan sengaja
diberikan kepada manusia karena pada diri manusia terdapat sifat-sifat dan
kecenderungan ganda yakni manusia memiliki sifat baik dan buruk atau shaleh
dan dzalim ataupun terpuji dan tercela. Perbuatan shaleh memperoleh pahala
78
atau kenikmatan, dan perbuatan buruk berakibat pada penderitaan. Itulah
sebabnya hubungan antara manusia dengan alam lingkungan adakalanya
manusia sebagai perusak dan pada saat yang lain manusia sebagai pemelihara
dan pengelola alam (pemakmur bumi). Walaupun mengelola dan membangun
kehidupan di bumi tidak mungkin dihindari terjadinya dampak-dampak negatif
yang merupakan suatu konsekuensi logis dalam pembangunan. Akan tetapi
dengan keistimewaan dan keunggulan yang dimiliki manusia yaitu berupa ilmu
pengetahuan dan ketrampilan, diharapkan dapat mengurangi atau meminimalisir
berbagai dampak negatif akbat pembangunan tersebut.47
Sifat-sifat dan kecenderungan-kecenderungan manusia sebagai perusak
dan larangan-larangan Allah untuk tidak melakukan perusakan di muka bumi
terdapat pada surat Ar-Rum ayat 41.
⌧
☺ ⌧
⌧
)٤١ الروم( Artinya :
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS : Ar-Rum 41)
47 Daud Effendy, “manusia, lingkungan dan pembangunan prospektus islam” (Jakarta :
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah), h 114
79
Ayat tersebut menunjukan sifat buruk manusia yang tidak bersahabat
dengan lingkungan alam, di mana sebenarnya perlakuan manusia berbuat
kerusakan alam pada dasarnya adalah juga berakibat merusak diri sendiri. Itulah
yang dikatakan oleh Seyyed Hosein Nasr dengan melansir pendapat Faust bahwa
manusia : “setelah menjual jiwanya untuk memperoleh kekuasaan terhadap
lingkungan alam manusia, ia menciptakan situasi di mana kontrol terhadap
lingkungan berubah menjadi pencekikan terhadap lingkungan, tetapi juga
perbuatan bunuh diri.48 Keadaan dan kejadian ini disebut oleh Nasr karena
manusia sudah tidak lagi memiliki horizon spiritual dan yang dimaksudkan di
sini ialah bahwa manusia hanya dapat menyaksikan segala sesuatu dari sudur
pandang sendiri dan lupa dengan sumbu maupun pusat lingkaran eksistensinya.
Namun demikian, manusia yang ditakdirkan Tuhan sebagai mahluk yang
memiliki kelebihan dari yang lainya, akibat dari kekeliruan yang telah dirasakan
tadi menjadi manusia sadar dan melakukan perbaikan, pemeliharaan terhadap
lingkungan alam dan kembali pada jalan dan tujuan yang benar. Untuk mencapai
kepada jalan yang benar kepada Allah, manusia harus berusaha secara
bersungguh-sungguh dengan tetap mnejaga iman dan beramal shaleh. Dalam
hubunga ini Nurkholis Madjid mengemukakan : “bahwa tujuan hidup manusia
ialah bertemu (liqo) dengan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dalam ridha-Nya.
Sedangkan makna hidup manusi didapatkan dalam usaha penuh kesungguhan
48 Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nistapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyuddin,
(Bandung :Penerbit Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, 1983), h 4
80
(mujahadah) untuk mencapai tujuan itu, melalui iman kepada Allah dan beramal
kebajikan.”49
Allah menyerukan kepada manusia untuk melakukan pemeliharaan dan
pelestarian alam. Allah menyerukan kepada manusia untuk memanfaatkan alam
bagi kepentingan umat dan memakmurkanya. Hal ini sebagaimana terdapat
dalam surat Hud ayat 61 yang berbunyi :
☺ ☯
⌧
☺
)٦١ود ه( Artinya :
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, Karena itu mohonlah ampunan-Nya, Kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."( QS : Hud, 61).
Dalam konteks nikmat dari Allah atas segala sesuatu yang diberikan
kepada manusia, maka menjaga dan memelihara kelestarian alam adalah
merupakan upaya untuk mensyukuri limpahan nikmat dan karunia Allah
tersebut. Mencermati tentang tumbuhnya kesadaran manusia untuk memelihara,
49 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, (Jakarta; Yayasan Wakaf Paramadina,
1992), h 18
81
mengelola dan memakmurkan bumi ini dapat disimpulkan bahwa setidaknya
terdapat tiga hal yaitu : pertama, al-intifa ‘ (mengambil manfaat dan mendaya
gunakan dengan sebaik-baiknya). Kedua, al-I’tibar (mengambil pelajaran,
memikirkan, mensyukuri seraya menggali rahasia-rahasia di balik alam ciptaan
Allah). Ketiga, al-islah (memelihara dan menjaga kelestarian alam sesuai dengan
kehendak pencipta, yakni untuk kemaslahatan dan kemakmuran manusia serta
tetap terjaganya hubungan yang harmonis kehidupan alam ciptaan Allah SWT).
BAB IV
ANALISA TERHADAP PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Analisis Perspektif Hukum Islam
Ajaran Islam adalah merupakan wahyu terakhir dari Allah SWT yang
disampaikan Nabi Muhammad SAW, yang kemudian diteruskan kepada seluruh umat
manusia untuk dijadikan pedoman hidup dalam mencapai keselamatan dunia akhirat.
Disebut sebagai pedoman hidup karena agama Islam mengandung ketentuan-
ketentuan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan
manusia, manusia dengan mahkluk hidup, manusia dengan lingkungan alam
sekitarnya.
Islam sebagai agama yang rahmatal li al-alamin telah memberikan isyarat dan
pesan-pesan yang berhubungan pembangunan dan lingkunan hidup serta tata ruang
melalui ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur’an.1
Bertauhid sebagai epistimologi merupakan tolak ukur di dalam menilai
berbagai aktifitas manusia, termasuk dalam hal hubungan manusia dengan
lingkungan dalam menata ruang kota, apakah sebagai pemelihara, penjaga, penata,
atau perusak lingkungan.2
Berbicara tentang bagaimana menciptakan hubungan antara manusia dengan
lingkungan dalam menata ruang kota terjadi relasi yang positif, manusia tidak
1 Daud Efendy, Manusia Lingkungan dan Pembangunan, (Jakarta Lembaga Penelitian UIN
SYAHID 2008) h. 70 2 Daud Efendy, Manusia Lingkungan dan Pembangunan . h 72
81
82
bertauhidpun bisa saja melalui rasionya yang terbatas dengan pendekatan hitungan
matematikanya, apabila hasilnya tidak sesuai dengan wahyu Allah (al-Qur’an) maka
hal itu harus ditolak, akan tetapi jika hasil pemikirannya tidak bertentangan dengan
wahyu Allah maka tidak haram untuk diadopsi.
Masalah penataan ruang di lingkungan manusia yang sesuai dengan ajaran
Islam memang perlu diatur dengan cermat agar negara yang makmur dan kaya akan
sumber daya alam ini bisa menjadi lingkungan yang indah, nyaman, damai, dan
religius. Karena penataan ruang yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi
manusia tanpa mempertimbangkan kelestarian alam dan kesejahteraan mahkluk hidup
lainnya maka hal itu akan mendatangkan kerugian saja bagi semua pihak.
Masalah penataan lingkungan atau tata ruang telah diatur dalam
PERMENDAGRI no 8 tahun 1998, isi dari peraturan ini cukup sempurna jika
disesuaikaan dengan kondisi lingkunan dan masyarakat Indonesia, tetapi dalam
pandangan agama Islam tentu ada perbedaan.
Menurut Islam tata ruang dalam suatu lingkungan seharusnya meningkatkan
kesejahteraan umat, menjaga kelestarian serta keserasian lingkungan, dan bernuansa
nilai-nilai keislaman yang sangat terasa. Penataan ruang harus berupa pendayagunaan
dan penigkatan kualitas hidup, karena tugas manusia adalah memakmurkan bumi
(tanah) Allah SWT, bukan merusaknya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam kitab
al-Qur’an :
⌧
83
Artinya :
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar. (QS : Ar-Rum 41)”.3
Selama ini masalah tata ruang seringkali, menjadi teka-teki masyarakat. Jika
dikaitkan dengan PERMENDAGRI No. 8 Tahun 1998, penataan ruang bukan bagian
dari hak masyarakat untuk mengetahuinya. Sehingga akibat ketidaktahuan itu
masyarakat menjadi ragu-ragu memanfaatkan ruang kota. Terlebih masyarakat hanya
menjadi korban kegiatan pembangunan, akibat ruang yang semula mereka anggap
aman ternyata dimanfaatkan untuk proyek pemerintah kota.4
Rencana tata ruang kota yang dapat diketahui masyarakat luas akan
memungkinkan pendayagunaan pemeliharaan kualitas tata ruang kota secara terarah.
Pemerintah hendaknya berkewajiban mengusahakan agar penataan ruang dilakukan
secara terbuka.
Setiap masyarakat perlu memperoleh keterangan mengenai produk
perencanaan tata ruang kota dan proses yang ditempuh dalam perencanaan tata ruang
kota tersebut. Dalam menyusun peraturan daerah tentang tata ruang kota yang
3 Daud Efendy, Manusia Lingkungan dan Pembangunan (Jakarta Lembaga Penelitian UIN
SYAHID 2008) h, 115 4 Dyayadi , Tata Kota Menurut Islam (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008) cet. Ke-1
h, 109
84
diajukan, masyarakat harus diikut sertakan agar penataan ruang kota berorientasi
kepada kepentingan warga atau masyarakat kota.
Penataan ruang yang dibuat seharusnya memperhatikan penataan ruang
bersumber dari rencana induk (master plan) kota, di mana masih belum ada
kelengkapan. Banyak kota besar yang rencana induknya dibuat puluhan tahun lalu,
tetapi tanpa ada perubahan sama sekali. Selain itu pembangunan yang berkaitan
dengan penataan ruang kota terkesan tanpa rencana yang baik. Pemanfaatan ruang
kota sering mengejutkan.
Dengan kenyataan seperti itu, terdapat hubungan timbal balik antara tuntutan
kepada masyarakat dan kemauan pemerintah kota secara positif. Pemerintah kota
seharusnya teliti menyusun rencana penataan ruang kota secara konkret dan
berkesinambungan, tidak berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Sementara
masyarakat juga menyadari bahwa rencana tata ruang kota tersebut adalah program
pembangunan kota yang harus ditaati bersama karena masyarakat sendiri tahu atau
dilibatkan dalam rencana tersebut.
Dengan dimengertinya rencana penataan ruang kota, maka hak-hak
masyarakat untuk memanfaatkan potensi yang dimilikinya bisa diakomodasi secara
optimal tanpa ganjalan. Hal yang terakhir ini menjadi demikian penting, mengingat
masih banyaknya kesan betapa pembangunan kota “mengorbankan masyarakat.”
Alangkah bagusnya bila rencana tata ruang itu dibuat dengan mendengar kehendak
masyarakat dan hasil akhirnya juga diberitahukan kepada masyarakat.
85
Penataan ruang berasaskan keterbukaan, persamaan, keadilan, dan
perlindungan hukum yang bertujuan:
1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan dengan
dilandasi wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan budi daya.
3. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas.5
Untuk memenuhi harapan tersebut diperlukan kebijakan dan kearifan
pemerintah, karena sebuah rencana tata ruang wilayah kabupaten / kota sangat
dipengaruhi oleh kebijakan yang diambil pemerintah. Kebijakan ini haruslah
berdasarkan pada pertimbangan dan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,
antara lain dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial budaya, daya dukung
dan daya tampung lingkungan, fungsi pertahanan dan keamanan, serta aspek
keagamaan.
Pemerintah juga perlu melakukan pembinaan masyarakat, karena pemahaman
masyarakat perencanaan, pemanfaatan dan perlindungan atas tata ruang tidaklah sama
dan beragam. Ketidaksamaan ini dapat dipengaruhi oleh faktor pendidikan maupun
latar belakang ekonomi yang berbeda.
Ibarat menata rumah, bukan isi atau perabotnya yang dikeluarkan, akan tetapi
bagaimana perabot ini kelihatan rapi, bersih, dan yang terpenting adalah bagaimana
5 Dyayadi , Tata Kota Menurut Islam h, 113
86
perabot ini berada pada tempat yang sesuai dengan peran dan fungsinya masing-
masing.6
Penataan ruang kota seharusnya dapat menciptakan kota yang ramah
lingkungan. Kita tentu tidak menginginkan polusi melanda kota kita, walaupun telah
dibuat perencanaan penataan ruang yang begitu sempurna tetap saja kota kita penuh
dengan polusi, kemiskinan, dan penyakit sekaligus. Semua bersumber dari perilaku
yang tidak ramah lingkungan.
Kota yang ramah lingkungan memang masih menjadi harapan kita, namun hal
itu bukan berarti tidak dapat terwujud dengan cepat, apabila seluruh nasyarakat,
pelaku usaha, dan terutama sekali pemerintah memberi dukungan penuh.
Dalam PERMENDAGRI NO. 8 tahun 1998, tidak begitu terasa perencanaan
penataan ruang kota yang dapat menciptakan kota yang ramah lingkungan, maka
itulah masyarakat harus memiliki kesadaran diri untuk menjaga lingkungan
menciptakan kota yang ramah lingkungan, penuh keasrian, dan terasa nyaman.
Dalam sunah Rasulullah SAW jauh-jauh hari sudah menegaskan pentingnya
menjaga lingkungan perkotaan. Rasulullah memberikan contoh kota madinah, dimana
beliau mempertahankan pepohonan dan melarang penebangan atau merusak /
mengganggu lingkungan kota tersebut.
Dengan indahnya Islam telah memberikan pengajaran bahwa menebang
pohon yang terdapat dalam kota (kota Madinah) dalam kasus di atas adalah perbuatan
dosa / terlarang. Artinya Rasulullah yang merupakan manusia pilihan Allah telah
6 Ibid, h 115
87
mengajarkan kaum muslimin agar tidak menebang pohon yang ada di dalam kota.
Justru sebaliknya kita harus gemar menanam pepohonan yang dampaknya akan
menciptakan lingkungan kota yang hijau, sejuk, asri, dan mengurangi polusi udara.
Pemerintah seharusnya lebih mengutamakan penataan ruang yang dapat
menciptakan kota yang hijau serta ramah lingkungan, karena lingkungan harus dilihat
sebagai sebuah ekosistem. Semua aspek, baik ekonomi, sosial, dan ekologi terkait
satu sama lain, sehingga perubahan disatu aspek mempengaruhi aspek yang lain.
Kita sebagai umat islam hendaknya menjadi pelopor dalam menjaga
kelestarian dan keserasian lingkungan, sebab dalam berbagai ayat al-Qur’an Allah
telah melarang umat manusia merusak ekosistemnya atau lingkungan hidupnya.
Sebagaimana firman Allah swt dalam surat Al-A’raf 56 ;
☺
)۵٦عراف األ( ☺Artinya :
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik (QS : Al-A’raf 56)”.7
Agama Islam dalam mengatur tata ruang mengacu pada ayat-ayat al-Qur’an
dan hadits Rasulullah SAW. Karena kedua sumber tersebut merupakan pedoman
agama Islam dalam menentukan berbagai syariat amaliah.
7 Daud Efendy, Manusia Lingkungan dan Pembangunan (Jakarta Lembaga Penelitian UIN SYAHID 2008) h, 123
88
Jika dianalisis menurut perspektif hukum Islam PERMENDAGRI NO. 8
Tahun 1998 tentang tata ruang cukup , tetapi dalam PERMENDAGRI NO. 8 Tahun
1998 ini tidak diatur sama sekali tentang penataan atau perencanaan sarana ibadah,
hal ini bertentangan dengan hukum Islam. Seharusnya PERMENDAGRI lebih
mengutamakan penataan sarana ibadah, karena sarana ibadah seperti masjid
merupakan hal yang urgen dalam kegiatan sehari-hari.
Menurut hukum Islam penataan kota harus mengutamakan hal-hal sebagai
berikut :
1. Lokasi masjid mudah dijangkau
Hendaknya masjid diletakan di tengah-tengah komplek perumahan tersebut
sebagai sentral aktifitas masyarakat. Lokasi masjid seperti itu menjadikan jarak setiap
warga menuju masjid dekat dari semua arah. Secara psikologis, masjid yang berada di
tengah masyarakat mengisyaratkan simbol ruhaniyah. Warga masyarakat akan
memiliki kedekatan dan keterikatan dengan nilai-nilai kebaikan karena terkondisi
oleh masjid. Sebaliknya, bila masjid terletak dipinggiran. Terisolir dari penduduk,
dan sulit dijangkau akan menimbulkan kesan ruhaniyah yang berbeda pula.
Apabila kita melihat aktivitas Rasulullah sesaat beliau dan sahabat Muhajirin
diterima sahabat Anshar di Madinah, yang beliau lakukan adalah membangun masjid
sebagai sebuah markas pergerakan dakwah islam waktu itu, masjid mempunyai
pengaruh yang besar dalam mengikat persaudaraan dan menguatkan ikatan diantara
mereka.
89
2. Kota ramah lingkungan
Cobalah sekali-kali kita membayangkan sebuah kota, dengan gedung-gedung
yang menggunakan sel surya (sollar cel) sebagai pembangkit energi memakai lampu
hemat listrik, dan adanya skema daur ulang limbah. Sebuah kota dengan sarana
transportasi massa yang efisien dan kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang
digerakkan dengan listrik atau hidrogen sehingga tidak memuntahkan polusi udara.
Kota ramah lingkungan seperti diilustrasikan di atas memang masih sulit
menjadi mimpi, tetapi hal tersebut bisa dicapai dengan adanya kerjasama dari semua
pihak yang bertanggung jawab dalam memelihara lingkungan.
3. Memperbaiki lingkungan
Menurut Prof. Emil Salim bahwa mengurus lingkungan bersifa jangka
panjang. “Kita menanam pohon, apa hasilnya untuk sekarang?” tanya dia. Tak heran,
lingkungan menjadi sektor yang rentan terhadap konflik jangka pendek dan
cenderung dikalahkan oleh kepentingan lain (terutama ekonomi).
Lingkungan merupakan sebuah ekosistem, semua aspek kehidupan, baik
ekonomi, sosial, politik, ekologi terkait satu sama lain, sehingga perubahan disatu
aspek mempengaruhi perubahan pada aspek yang lain. Maka dari itu perlu saling
mendukung dan kerjasama dari berbagai aspek. Sebab tujuan semua aspek pada
hakikatnya sama yaitu menuju kehidupan yang lebih baik lagi.
Sebagai umat Islam sudah seharusnya menjadi pelopor dalam menjaga
kelestarian dan keserasian lingkungan hidup, serta menata ruang dengan sebaik-
baiknya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an dan hadits
90
Rasulullah. Sebab dalam al-Qur’an Allah telah melarang umat manusia merusak
ekosistemnya atau lingkungan hidupnya. Jika ini kita langgar kita tidak hanya
melakukan dosa besar, tetapi juga akan menyengsarakan masyarakat banyak.
B. Analisa komparatif
Berkenaan dengan permasalahan penyelenggaraan penataan ruang secara jelas
tertuang pada Undang-undang No. 24 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No.69
Tahun 1996 dan peraturan penyelenggaraan penataan ruang Permendagri No. 8
Tahun 1998 yang bertujuan untuk penyelenggaraan penataan ruang. Dari peraturan di
atas penulis tertarik untuk mewancarain staf dinas tata ruang dan pemukiman, yang
bernama, Ari panujo, S.T, M.Si dengan Nip : 19790232003121006. Bahwa beliau
mengatakan dalam menyelenggarakan penataan ruang, pengurusan sarana ibadah
disesuaikan kepada kondisi ke agamaan pada masyarakat disuatu daerahnya. Artinya
peraturan serana ibadah mengikuti kondisi mayoritas agama masyarakat yang tinggal
didaerahnya. Dengan contoh Kota Depok yang mayoritas masyarakatnya beragama
muslim dan ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
No Sarana Ibadah Jumlah 1 Musholla 7.551 2 Masjid 686 3 Gereja 76 4 Pure 3 5 Bihara 2 Jumlah 8318
Suber laporan dinas pemukiman dan tata ruang kota Depok tahun 2009
91
Dari data di atas menunjukkan bahwa masyarakat di kota Depok sangat peduli
terhadap sarana ibadah.8 Adapun persamaan dan perbedaan terkait masalah
penyelenggraan penataan ruang, sebagai berikut penuturannya:
Persamaan
Terdapat persamaan antara penyelenggaran penataan ruang menurut
Permendagri No 8 Tahun 1998, dengan penyelenggaraan penataan ruang menurut
hukum Islam dalam beberapa pokok, sebagai berikut :
Pertama, penyelenggaraan penataan ruang dalam arti luas, mengatur seluk
beluk umat manusia pada umumnya, dan yang bermukim pada khususnya, berupa
hukum peraturan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan
(pemerintah) untuk mewujudkan kepentingan orang banyak yang bermukim guna
memelihara kelangsungan hidupnya.
Kedua, penyelenggaraan penataan ruang dalam arti sempit, untuk mengatur,
memelihara dan menjaga penyelenggaraan penataan ruangyang efektif dengan tanpa
melanggar hak-hak seorangpun.
Dalam penyelenggaraan penataan ruang terdapat tiga hal untuk mewujudkan
penataan ruang yang ideal, yaitu : perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata ruang
dan pengendalian pemanfaatan tata ruang. Sebagaimana yang akan diuraikan dibawah
ini :
1. Perencanaan tata ruang.
8 Ari, Panujo, staf dinas tata ruang dan pemukiman, wawancara pribadi, depok 17 Juni 2010.
92
Dalam hal perencanaan tata ruang baik ajaran hukum islam maupun hukum
konvensional sama-sama menitik beratkan kepada pembangunan kawasan yang
strategis, seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Al-Khatab, di antara contoh
yang paling menonjol adalah pembangunan kawasan startegis bagi kaum muslimin di
daerah-daerah yang ditaklukan. Misalnya ; Umar membangun sebuah pelabuhan yang
bernama Al-Jar, dan membangun gudang yang disebut Dar Ar-Rizqi untuk meyimpan
makanan dan hal-hal lain yang datang dari mesir.
2. Pemanfaatan tata ruang.
Mengenai pemanfaatan tata ruang akan terdapat beberapa persamaan antara
hukum islam dan hukum konvensional yang bersamaan menyoroti kepada konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Menyangkut hajat hidup orang banyak
dan penggunaannya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Yang dipentingkan
disini adalah konservasi fungsi bagi kesinambungan penyambung untuk
kesejahteraan manusia. Yang mengandung beberapa aspek, di antaranya :
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pemeliharaan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.
3. Pengendalian pemanfaatan tata ruang.
Sehubungan dengan ditunjuknya manusia sebagai khalifah Allah, manusia
berbeda dengan mahluk hidup lainnya. Bedanya adalah manusia lebih tahu, lebih
mengerti, dan lebih tinggi keinginannya. Maka dalam pengendalian pemanfaatan
ruang terdapat beberapa kesamaan antara hukum islam dan hukum konvesional
seperti dalam hal : Membagun kehidupan di muka bumi yang dilakukan oleh manusia
93
adalah suatu pesan ekstologis yang merupakan konsekuensi dari peran pentingnya
manusia sebagai khalifah Allah. Dalam memaknai pembangunan adalah juga dalam
arti mengelola lingkungan hidup secara baik dan benar bukan justru berakibat pada
kerusakan alam dan ekosistem.
Kemampuan manusia melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan untuk
membangun kehidupan di muka bumi ini, merupakan pengejawantahan atau refleksi
dari keberimanan seseorang sebagai hamba Allah. Dari sini lah tergambar dengan
jelas tentang berlangsungnya hubungan dua dimensional yakni secara vertikal dan
horizontal yang dijalankan oleh manusia. Hubungan vertikal yang dimaksud adalah
kemampuan manusia dalam menjalankan perintah Allah, dan hubungan horizontal
adalah kemampuan manusia melakukan hubungan dengan alam lingkungan termasuk
sesama manusia, hal ini sesuai dengan Mekanisme Insentif-Disinsentif Pemberian
insentif kepada pemanfaat ruang dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan ruang
yang sesuai dengan rencana tata ruang. Sebaliknya, penerapan perangkat disinsentif
dimaksudkan untuk mencegah pemanfaatan ruang yang menyimpang dari ketentuan
rencana tata ruang. Contoh bentuk insentif adalah penyediaan prasarana dan sarana
lingkungan yang sesuai dengan karakteristik kegiatan yang diarahkan untuk
berkembang di suatu lokasi. Sedangkan disinsentif untuk mengurangi pertumbuhan
kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dapat berupa pengenaan pajak
yang tinggi atau ketidak-tersediaan prasarana dan sarana
Perbedaan
94
Di mana ada persamaan tentu ada perbedaan kendati pada hakekatnya makna
penyelenggaraan pentaan ruang yang didefiniskan menurut hukum konvensional dan
hukum Islam adalah sama, yaitu untuk menyangkut hajat hidup orang banyak dan
penggunaannya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, serta perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pemeliharaan keanekaragaman tumbuhan dan satwa,
dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.
Dalam penyelenggaraan penataan ruang terdapat tiga hal untuk mewujudkan
penataan ruang yang ideal dalam pembahasan ini akan dijelaskan tentang
perbedaannya, yaitu : perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata ruang dan
pengendalian pemanfaatan tata ruang. Sebagaimana yang akan diuraikan di bawah
ini;
1. perencanaan tata ruang.
Dalam hal perencanaan tata ruang, ajaran hukum islam dan hukum
konvensional terdapat perbedaan, yakni perbedaannya adalah :
Islam adalah agama rahmatan lil al-alamin telah memberikan isyarat dan
pesan-pesan yang berhubungan dengan pembangunan dan lingkungan hidup serta
kehidupan terutama melalui ayat-ayat kauniah, dalam perencanaan, menata dan
membangun kota Nabi Muhammad saw mengutamakan membangun masjid, masjid
merupakan suatu wadah atau institusi yang paling penting untuk membina
masyarakat islam. Di masjid pulalah rasa kesatuan dan persatuan umat islam
ditumbuh kembangkan.
95
Sebagai rumah Allah (baitullah), masjid adalah tempat turunya rahmat Allah
SWT dan malaikat. Oleh karena itu, masjid dalam pandangan islam merupakan
tempat yang paling baik dan mulia di muka bumi ini. Dimasjid pula kaum muslimin
menemukan ketenangan dan ketentraman hidup serta kesucian jiwa, karena ditempat
ini dilaksanakan forum-forum terhormat.
Sedangkan hukum konvensional memakai tahap “Konsultasi” dan
tahap “Evaluasi”. Pada tahap “konsultasi” Bupati/Walikota dibantu BKPRD (Badan
Koordinasi Penataan Ruang Daerah) Kabupaten/Kota mengkonsultasikan rancangan
perda tentang RTRWK/K, RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan RDTRK/K
kepada instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang yang dikoordinasikan oleh
BKTRN guna mendapatkan persetujuan substansi teknis. Rancangan perda harus
dilampiri dokumen RTR Kabupaten/Kota dan album peta. Pengajuan permintaan
persetujuan substansi teknis ke pemerintah pusat dilakukan setelah rancangan perda
dibahas di BKPRD Provinsi dan mendapatkan rekomendasi dari Gubernur. Setelah
keluar Surat Persetujuan Substansi Teknis dari instansi pusat yang membidangi
urusan tata ruang, dilanjutkan oleh Bupati/Walikota untuk mendapat persetujuan
bersama dengan DPRD. Kedua bahan tersebut yaitu Surat Persetujuan Substansi
Teknis dari Menteri yang membidangi urusan penataan ruang dan Surat Persetujuan
Bersama dengan DPRD menjadi bahan Gubernur dalam
melakukan “evaluasi” terhadap rancangan perda tentang RTRWK/K, rancangan
perda tentang RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan rancangan perda tentang
RDTR Kabupaten/Kota serta klarifikasi terhadap Perda tentang RTRWK/K, Perda
96
tentang RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan Perda tentang RDTR
Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan.
Maka dapat disimpulkan bahwa dalam perencanaan penataan ruang hukum
islam tidak melalui birokrasi yang terlalu rumit, seperti yang dilakukan oleh hukum
konvensional bahkan dalam Permendagri No 8 tahun 1998 tidak terdapat satu pasal
pun yang menyinggung tentang tempat untuk sarana ibadah, hukum Islam hanya
mengikuti apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW pada saat baru tiba Di
Madinah yaitu langsung membuat sarana tempat ibadah yaitu masjid.
2. Pemanfaatan tata ruang
Dalam hal pemanfaatan tata ruang, ajaran hukum islam dan hukum
konvensional terdapat perbedaan, yakni perbedaannya adalah :
Islam menempatkan ekosistem hutan sebagai wilayah bebas (al-mubahaat)
dengan status bumi mati (al-mawaat) dalam hutan-hutan liar, secara berstatus bumi
pinggiran (marafiq al-balad) dalam hutan yang secara geografis berada di sekitar
wilayah pemukiman kedua jenis hutan ini memiliki nilai persamaan dalam prinsip-
prinsip pengaturannya, di mana semuanya masih menjadi bidang garapan
pemerintah. Dan pemerintah juga berhak memberikan ijin penebangan hutan selama
tidak berdampak negatif pada lingkungan sekitar.
Hanya saja dalam jenis hutan bebas (liar), secara prinsip asal, legal untuk
dimanfaatakan oleh siapa pun, baik untuk dijadikan untuk kepemilikan (ihya’ li al-
tamaluk) maupun untuk diambil kekayaan alam yang ada di dalamnya. Sehingga
wajar sampai saat ini masih kita kenal model pembukaan lahan hutan sebagai
97
pemukiman atau persawahan. Hal ini tidak bisa dimaknai sebagai perusakan
lingkungan, karena secara alami pertambahan jiwa akan selalu menuntut
pertambahan lokasi pemukiman.
Ulama berbeda pendapat dalam mendefiniskan tanah mawat ini.
Sebagaian ulama mengatakan, bahwa yang dimaksud adalah tanah ynga tidak ada
pemiliknya. Karna itu, tanah yang sudah lama tinggal oleh pemiliknya, masih
digolongkan tanah mawat. Sebagaian ulama juga mengatakan dengan tanah yang
tidak pernah dikelola oleh seorangpun. Tanah yang sudah pernah dimanfaatkan, lalu
ditinggalkan oleh pemiliknya tidak disebut tanah mawat. Ibn Rif’ah membagi dua
bentuk tanah mawat. Pertama, tanah yang tidak pernah dikelola oleh seseorang. Ini
adalah bentuk asal dan tanah mawat. Kedua, tanah yang pernah dimanfaatkan oleh
oarang kafir, kemudian ditinggalkan Al-Zarkasyi membagi lahan itu menjadi empat
macam. Pertama, tanah yang dimiliki dengan cara pembelian, hibah, dan
semacamnya. Kedua, tanah yang digunakan untuk kepentingan umum. Seperti lahan
ynag diwakafkan untuk masjid, madrasah; dan juga lahan yang digunakan untuk
kepentingan umum seperti pasar, jalan, dan semacamnya. Ketiga, tanah milik orang
atau kelompok tertentu. Misalnya waqaf khaissah (waqaf untuk komunitas tertentu),
tanah desa dan semacamnya. Keempat, tanah ynag tidak dimiliki baik oleh
perorangan, kelompok, ataupun umum. Inilah yang disebut tanah mawat. Beberapa
definisi ini sebenarnya memiliki maksud yang hampir sama, bahwa ynag dimaksud
adalah tanah yang tidak dikelola seseorang.
98
Sedangkan hukum konvensional tidak mengenal istilah ihya’ li al-
tamaluk, karena hutan bebas (liar) memang bisa dimanfaatkan oleh siapa pun, tetapi
tidak bisa dijadikan untuk kepemilikikan, hanya dapat dimanfaatkan saja tanpa bisa
dimiliki secara pribadi sesuai dengan UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria pasal II yaitu, bumi, air dan luar angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
3. Pengendalian pemanfaatan tata ruang
Dalam hal pengendalian pemanfaatan tata ruang, ajaran hukum Islam dan
hukum konvensional terdapat perbedaan, yakni perbedaannya adalah :
Islam menyerukan kepada manusia untuk melakukan pemeliharaan dan
pelestarian alam. Allah menyerukan kepada manusia untuk memanfaatkan alam bagi
kepentingan umat dan memakmurkanya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam surat
Hud ayat 61 yang berbunyi :
☺ ☯
⌧
☺
)٦١ود ه( Artinya: “ Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, Karena
99
itu mohonlah ampunan-Nya, Kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."( QS : Hud, 61)
Dalam konteks nikmat dari Allah atas segala sesuatu yang diberikan kepada
mausia, maka menjaga dan memelihara kelestarian alam adalah merupakan upaya
untuk menysukuri limpahan nikmat dan karunia Allah tersebut. Mencermati tentang
tumbuhnya kesadaran manusia untuk memelihara, mengelola dan memakmurkan
bumi ini dapat disimpulkan bahwa setidaknya terdapat tiga hal yaitu : pertama, al-
intifa ‘ (mengambil manfaat dan mendaya gunakan dengan sebaik-baiknya). Kedua,
al-I’tibar (mengambil pelajaran, memikirkan, mensyukuri seraya menggali rahasia-
rahasia di balik alam ciptaan Allah). Ketiga, al-islah (memelihara dan menjaga
kelestarian alam sesuai dengan kehendaki pencipta, yakni untuk kemaslahatan dan
kemakmuran manusia serta tetap terjaganya hubungan yang harmonis kehidupan
alam ciptaan Allah SWT).
Sedangkan hukum konvensional hanya mementingkan memelihara dan
menjaga kelestarian alam tanpa ada unsur keTuhanan sedikit pun, serta adanya
birokrasi yang cukup panjang yang telah diceritakan pada bab-bab sebelumnya. Serta
adanya Tahapan proses pengawasan meliputi pelaporan, pemantauan dan evaluasi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan bertawakal kepada Allah SWT penulis mengambil kesimpulan
sebagai berikut.
1. Berdasarkan Permendagri No 8/1998 Tujuan penyelenggaraan penataan ruang di
daerah yaitu; Terlaksananya perencanaan tata ruang secara terpadu dan
menyeluruh, Terwujudnya tertib pemanfaatan tata ruang Terselenggaranya
pengendalian pemanfaatan ruang, Berdasarkan Permendagri No.8/1998 Pasal 6
perencanaan tata ruang itu berisi; Pekerjaan peyusunan rencana tata ruang
merupakan kewajiban dan tanggung jawab Kepala daerah, Peyusunan rencana
tata ruang dapat dilakukan dengan cara; Bekerjasama dengan perguruan tinggi
dan atau konsultan perencanaan yang berbentuk badan hukum dan swakelola.
Dan Penyelenggaraan Penataan Ruang menurut hukum Islam Perencanaan Tata
Ruang Perspektif Hukum Islam, Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum
Islam, Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum hukum Islam.
Agama Islam memberikan tuntunan dan petunjuk yang jelas dengan tata cara
hidup tanpa merusak ekosistem, tidak kurang dari 750 ayat yang secara tegas
menguraikan hal-hal (lingkungan hidup dan kehidupan) ayat-ayat tersebut
tentunya dijadikan sebagai rujukan dasar atau sebagai prinsip karena merupakan
petunjuk-petunjuk dasar atau prinsip-prinsip yang pertama dan utama dalam
100
101
berbagai hal termasuk mengenai pembangunan dan lingkungan hidup sebagai
suatu ekosistem.
2. Terdapat persamaan antara penyelenggaran penataan ruang menurut
Permendagri No 8 Tahun 1998, dengan penyelenggaraan penataan ruang
menurut hukum islam, yakni; untuk mengatur, memelihara dan menjaga
penyelenggaraan penataan ruangyang efektif dengan tanpa melanggar hak-hak
seorangpun.Terdapat perbedaan antara penyelenggaran penataan ruang menurut
Permendagri No 8 Tahun 1998, dengan penyelenggaraan penataan ruang
menurut hukum islam, yakni; perencanaan penataan ruang hukum islam tidak
melalui birokrasi yang terlalu rumit, seperti yang dilakukan oleh hukum
konvensional bahkan dalam Permendagri No 8 Tahun 1998 tidak terdapat satu
pasal pun yang menyinggung tentang tempat untuk sarana ibadah, hukum Islam
hanya mengikuti apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW pada saat baru tiba
Di Madinah yaitu langsung membuat sarana tempat ibadah yaitu masjid.
B. Saran
1. Mendukung kebijaksanaan pemerintah dalam Penyelenggaraan Penataan
Ruang dengan memprioritaskan daerah-daerah yang tertinggal.
2. Menghimbau kepada pemerintah untuk membuat peraturan tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang yang tidak hanya mengatur tentang
pembangunan lingkungan tetapi juga memperhatikan sarana tempat ibadah
102
karena negara kita adalah negara ketuhanan yang maha esa, sesuai dengan
sila pertama.
3. Mengharapkan kepada segenap masyarakat serta tokoh masyarkat untuk ikut
berperan serta dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang, agar tidak terjadi lagi
kesimpangan dalam penataan ruang.
4. Mengharapkan kepada para akademisi untuk bersifat aktif pada setiap
kebijakan baru tentang penataan ruang, yang di buat oleh pemerintah agar
dapat meminimalisir kesalahan dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang.
103
Daftar Pustaka
Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M,A Bergaul Bersama Alam Di Bawah Naungan Syari’at, Depok : Intisab, 2007.
Dr. Daud Effendy AM, “manusia, lingkungan dan pembangunan prospektus islam”
Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan di
Indonesia, Yogyakarta: Alumni, 2007. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam; Konsep Pembangunan Kota yang Ramah
Lingkungan, Estetik & Berbasis Sosial, Jakarta: Khalifa, 2008. Facruddin MM, Ahmad Sudirman Abbas, khazanah Alam Menggali Tradisi Islam
untuk Konservasi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2009. Fachruddin M Manggunjaya, “Menanam Sebelum Kiamat Islam, Ekologi, Dan
Gerakan Lingkungan Hidup (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007. Ir. H. Gunawan, MA, “Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008
Tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Daerah”, Jakarta : Kasubdit Perencanaan, Pemanfaatan dan Pengendalian Tata Ruang Ditjen Bina Bangda Depdagri, 2008
Hadi Sabari Yunus, Struktur Tata Ruang Kota, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Handiman Rico, ”Merealisasikan Hak Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan
Tata Ruang” Kebijakan Nasional Dalam Perencanaan Tata Ruang Kebijakan Nasional Dalam Perencanaan Tata Ruang, Bogor : Divisi Riset JKPP,
Dr. Ir. H. Hermanto Dardak, M.Sc. “Pemanfaatan Lahan Berbasis Rencana Tata
Ruang Sebagai Upaya Perwujudan Ruang Hidup Yang Nyaman, Produktif, Dan Berkelanjutan” Bogor ; Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, 2005.
Drs. H. Inu Kencana Syafi’ie, “ Ilmu Pemerintahan Dan Al-Quran”, Jakarta ; PT
Bumi Aksara, 2004. Ismail Zubir, “Zoning Regulation Sebagai Instrumen Dalam Penataan Ruang”,
Jakarta : Buletin Tata Ruang, 2007
104
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2008.
Majelis Ulama Indonesia “Air, Kebersihan Dan Kesehatan Lingkunan Menurut
Ajaran Islam”, Jakarta : Majelis Ulama Indonesia, 1992. Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, Jakarta:
Paramadina, 2001. Murthadlo Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Terj : Ilyas Hasan, Jakarta:PT
Lentera Basritama, 2002. M.R. Khairul Muluk, Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah;
Sebuah Kajian dengan Pendekatan Berpikir Sistem, Malang: Bayumedia Publishing, 2007.
M.R. Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Malang: Bayumedia
Publishing, 2007, Cet. Ke-2. Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta; Yayasan Wakaf
Paramadina, 1992. Dr. Rahan Zainudin, pokok-pokok pemiiran islam dan masalah kekuasaan politik
dalam Bertram Ravendan JRP Dr. Ir Setia Hadi, MS. “Penataan Ruang Untuk Pemantapankawasan Hutan”, Bogor
: Departemen Kehutanan Badan Planologi Kehutanan Pusat Rencana Dan Statistik Kehutanan, 2006.
Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nistapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyuddin,
Bandung :Penerbit Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, 1983 Drs. Sjofjan Bakar, M.Sc, “Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Penataan Ruang” Jakarta : Dir. Fasilitas Penataan Ruang dab Lingkungan Hidup, 2009
Drs. Sjofjan Bakar, M.Sc, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di
Daerah”, Jakarta : Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup – Depdagri, 2006
Koesnadi Hardjasoemantri, “Hukum Tata Lingkungan”, Yogyakarta : Gajah Mada
University Press, 2006
105
Widjojo Nitisastro, “Senantiasa Memiliki Rakyat Kecil “, dalam : Revolusi Berhenti Hari Minggu, Jakarta : PT. Kompas media nusantara, 2000.
Quraish, Shihab, membunikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1997. Quraish Shihab, “Peranan Dakwah Terhadap Pembangunan Berwawasan
Lingkungan, Dalam : Lingkungan Hidup Berkeadilan”, Jakarta : CV, Puspita Sari Indah Bekerjasama Dengan LPPM-UNAS, 1993.
Yusuf Al-Qaradhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, Terj : Abdullah Hakam
Shah, Dkk, Jakarta : Pustaka Al-kauthsar, 2002 Peraturan Perundang-undangan Undang-undang No 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Undang-undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah No 26/2008 Tentang Rencana Tata Ruang Nasional Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban,
serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 1998 Tentang Peran Masyarakat
Dalam Rencana Tata Ruang. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 8 Tahun 1998 Tentang penyelenggaraan
penataan ruang Di Daerah. Penjelasan Atas Peraturan pemerintah republik indonesia Nomor 10 tahun 2000
Tentang Tingkat ketelitian peta untuk penataan Ruang wilayah. Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 Tentang
Penataan Ruang.