tinjauan hukum pidana islam terhadap pembelaan...
Post on 14-Mar-2019
234 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA
YANG MELAMPAUI BATAS (NOODWEER EXCES) DALAM TINDAK PIDANA
PENGANIAYAAN
Diajaukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna
Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
OLEH:
RUDI YANA
NIM: 1110043200002
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436H/2015 M
v
ABSTRAK
Seiring dengan perkembangan zaman yang membawa dampak di berbagai bidang,
Banyak terjadi kasus pelanggaran hukum yang berlaku. Seperti terjadi pencurian,
pemerkosaan maupun penganiayaan, yang merupakan perbuatan sangat berbahaya bagi
keselamatan jiwa dan raga manusia serta dapat mengancam keamanan dan kesejahteraan
masyarakat. Upaya yang dilakukan agar seseorang tidak mudah menumpahkan darah
terhadap orang lain dalam rangka melindungi jiwa, kehormatan maupun harta benda yaitu
dengan melakukan pembelaan ketika seseorang diserang atau dirampas haknya. Dalam Pasal
49 ayat 1 dan 2 tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas tidak diatur secara jelas
bagaimana ketentuan pembelaan yang diperbolehkan. Sedangkan dalam hukum Islam selain
ditentukan syarat pembelaan yang sah oleh para fuqaha, juga diatur upaya prefentif yang
disebut amar ma’ruf nahi mungkar yang bertujuan untuk mengurangi adanya tindak kriminal
di dunia ini. Pada dasarnya hukum berfungsi untuk mengatur hak hidup seseorang, demi
terciptanya kemaslahatan umat manusia (maqasidussyari’ah). Berawal dari Pasal 49 tentang
pembelaan terpaksa maka penulis ingin mengetahui sanksi pembelaan yang melampaui batas
dalam hukum pidana Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadist, maka harus diketahui
syarat dan dasar hukumnya. Dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas
lebih lanjut mengenai bagaimana pengertian dan jenis tindak pidana penganiayaan dalam
KUHP dan hukum pidana Islam?, bagaimana syarat pembelaan yang diperbolehkan dalam
KUHP maupun hukum pidana Islam? dan bagaimana tinjauan hukum pidana Islam mengenai
sanksi pembelaan terpaksa yang melampaui batas dalam tindak pidana penganiayaan?
Penelitian menggunakan metode kualitatif, dengan sumber primer dan sekunder, data
penelitian dihimpun dengan pembacaan, dan kajian teks (teks reading) dan selanjutnya
dianalisis menggunakan metode content analysis.
Rudi Yana,1110043200002. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pembelaan
Terpaksa yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) Dalam Tindak Pidana Penganiayaan.
Perbandingan Hukum, Perbandingan mazhab Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan kata kunci: noodweer
exces. Di bawah bimbingan Dr.H.M. Nurul Irfan, M.Ag.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, berkat rahmat Allah SWT yang senantiasa memberikan
taufik serta hidayahnya. Sholawat serta salam tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW
beserta Keluarga dan para sahabatnya. Kemudahan serta pertolongan Allah yang selalu
diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA
YANG MELAMPAUI BATAS (NOODWEER EXCES) DALAM TINDAK PIDANA
PENGANIAYAAN” Karya ini tidaklah dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan dari
kawan-kawan serta pihak-pihak yang terkait dalam memberikan dukungan dan memberikan
sumbangsih ide serta waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Oleh karena itu penulis merasa
sangat perlu untuk mengucapkan terimakasih sebagai bentuk penghargaan kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Khamami Zada, MA, selaku Ketua Prodi Perbandingan Mazhab Hukum,
Fakultas syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Hj. Siti Hana, S.Ag, Lc, MA, selaku sekretaris prodi Perbandingan Mazhab
Hukum, Fakultas syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr.H.M. Nurul Irfan, M.Ag, selaku Pembimbing atas bimbingan dan
pengarahan yang diberikan dengan sabar dan tulus ikhlas.
5. Pimpinan dan staf karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif hidayatullah Jakarta dan
Pimpinan serta karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
vii
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan berupa buku-buku ataupun lainnya.
6. Seluruh dosen fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah banyak mencurahkan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani masa
pendidikan berlangsung.
7. Ayahanda tercinta Alm. Bapak Unus dan ibunda tercinta Ibu Ecih yang selalu
mendukung dan memberikan segalanya kepada saya, dan suatu motivasi agar saya
dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman berkeluh kesah Somya Rupianthi Praywalita, yang selalu memberikan
semangat dan dukungan.
9. Saudara-saudara saya Udin, Ucen, Ubay, Yaya Zakaria, Yayah Siti Sofiah, yang selalu
memotivasi dan memberi dukungan.
10. Sahabat tercinta Rani Putri Larasati, Bagas Nur Ikhlas, Yuda Prayitno, yang tak henti-
henti memberikan dukungan serta menemani dalam kondisi suka dan duka juga
menjadi teman diskusi yang baik dalam untuk penulis menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuangan yang tidak bisa disebutkan satu per satu Perbandingan
hukum angkatan 2010 dan kostan pesanggrahan yang selalu memberikan motivasi dan
kenangan dalam menjalani pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 4 Februari 2015
Rudi Yana
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Batasan dan Perumusan Masalah 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 9
D. Review (Kajian) Studi Terdahulu 10
E. Metode Penelitian 10
F. Sistematika Penulisan 12
BAB II TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM PIDANA
ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
A. Ketentuan Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam 13
B. Macam-Macam Penganiayaan Dalam Hukum Pidana Islam 15
C. Kategorinisasi Penganiayaan dalam Hukum Pidana 21
BAB III MELAMPAUI BATAS MEMBELA DIRI (NOODWEER EXCES)
A. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Pembelaan Terpaksa Menurut Hukum Pidana Islam 28
2. Pembelaan umum (Amar Ma’ruf Nahi Munkar) 35
B. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut KUHP
ix
1. Pengertian pembelaan Terpaksa (noodweer) 41
2. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (noodweer exces) 46
C. Pertanggungjawaban Pidana
1. Pertanggungjawaban Pidana menurut Hukum Pidana Islam 50
2. Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP 58
BAB IV ANALISIS PEMBELAAN TERPAKSA MELAMPAUI BATAS DALAM
TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
A. Syarat dan Dasar Hukum Pembelaan Terpaksa 61
B. Analisis Pembelaan Terpaksa melampaui Batas dalam Tindak Pidana
Penganiayaan 70
1. Kronologi Kasus 73
2. Pertimbangan Hukum oleh Hakim 75
3. Analisis 79
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN 94
B. SARAN . 95
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum,
bahwa UUD 1945 menetapkan Indonesia suatu negara hukum (Rechistaat) dan
dapat dibuktikan dari ketentuan dalam pembukaan, batang tubuh dan penjelasan
UUD 1945. Hukum diciptakan dengan tujuan untuk dapat memberikan
perlindungan dan ketertiban di dalam masyarakat supaya terciptanya keadilan bagi
semua lapisan masyarakat. Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak
ditemukan pelanggaran-pelanggaran serta penyimpangan-penyimpangan terhadap
tujuan hukum itu sendiri, baik disengaja maupun tidak disengaja. Sudah
semestinya peran penegak hukum melaksanakan tugasnya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku.1
Terwujudnya stabilitas dalam setiap hubungan dalam masyarakat dapat
dicapai dengan adanya sebuah peraturan hukum yang bersifat mengatur
(relegen/anvullen recht) dan peraturan hukum yang bersifat memaksa (dwingen-
recht) setiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Setiap hubungan
kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Sanksi yang berupa
1 Ramly Hutabarat, Persamaan Dihadapan Hukum “Equality Before the Law” di Indonesia,
(Jakarta Ghia Indonesia, cetakan pertama, Maret 1985), h. 11.
2
hukuman (pidana) akan dikenakan kepada setiap pelanggar peraturan hukum yang
ada sebagai reaksi terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya. Pada
hakekatnya tindak pidana atau strafbaar feit adalah prilaku yang pada waktu
tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus
diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum
pidana. Akibatnya ialah peraturan-peraturan hukum yang ada haruslah sesuai
dengan asas-asas keadilan dalam masyarakat, untuk menjaga agar peraturan-
peraturan hukum dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota
masyarakat.2
Sebuah peraturan hukum ada karena adanya sebuah masyarakat (ubi-ius
ubi-societas). Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan
hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam
seluruh lapisan masyarakat.3 Sumber hukum bisa dari hukum yang hidup dalam
masyarakat seperti hukum adat, peraturan perundang-undangan seperti Hukum
Barat, konsepsi Hukum Islam yaitu dasar dan kerangkanya ditetapkan oleh Allah,
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan dirinya,
manusia dengan makhluk lain dan manusia dengan lingkunganya. Indonesia
membagi hukum menjadi bebrapa bagian. Menurut isinya, hukum dibedakan
menjadi dua yaitu hukum privat dan hukum publik. Inisiatif pelaksanaan hukum
2 Jan Remmelink,Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari KitabUndang-
Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 61. 3 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. ke-2, 1995, h. 48-49.
3
privat diserahkan kepada masing-masing pihak yang berkepentingan, sedangkan
inisiatif pelaksanaan hukum publik diserahkan kepada negara atau pemerintah
yang diwakilkan kepada jaksa beserta perangkatnya.
Dalam ajaran Islam bahasan-bahasan tentang kejahatan manusia berikut
upaya preventif dan represif dijelaskan dalam fiqh jinayah.4 Islam, seperti halnya
sitem lain melindungi hak-hak untuk hidup, merdeka, dan merasakan keamanan.
Islam melarang bunuh diri dan melakukan pembunuhan serta penganiayaan.
Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa alasan yang benar
diibaratkan seperti membunuh seluruh manusia. Sebaliknya, barang siapa yang
memelihara kehidupan seseorang manusia, maka ia di ibaratkan memelihara
manusia seluruhnya.5 Jika pembunuhan atau penganiayaan itu terjadi juga, maka
seseorang harus mempertanggung-jawabkan perbuatan tersebut. Permasalahanya
adalah bagaimana jika pembunuhan dan penganiayaan sengaja tersebut dilakukan
karena dalam upaya membela jiwa, kehormatan maupun harta benda baik untuk
melindungi diri sendiri maupun orang lain? Dalam melakukan pembelaan dalam
Islam dikenal dengan istilah daf’u as-sail (pembelaan diri). Dalam hukum Islam,
pertanggungjawaban pidana dapat dihapus karena: Pertama, hal-hal yang
bertalian dengan perbuatan atau perbuatan yang dilakukan adalah mubah (tidak
dilarang) yang disebut asbab al-ibahah atau sebab diperbolehkannya perbuatan
4 Lihat H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Cet. ke-3,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, h. 1. 5 Topo santoso, Membumikn Hukum Pidana Islam, Cetakan ke-1 (Jakarta : Gema Insani Perss,
2003). h. 71-72.
4
yang dilarang, diantaranya yaitu: pembelaan yang sah, mendidik, pengobatan,
halalnya jiwa, anggota badan dan harta seseorang, hak dan kewajiban penguasa.
Kedua, hal-hal yang bertalian dengan keadaan pelaku atau perbuatan yang
dilakukan tetap dilarang tetapi pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang disebut
asbab raf’i al-uqubah atau sebab hapusnya hukuman, diantaranya yaitu: paksaan,
mabuk, gila dan anak kecil (di bawah umur).6
Berbeda dengan hukum positif pada masa sebelum revolusi Prancis, setiap
orang bagaimanapun keadaannya bisa dibebani pertanggungjawaban pidana tanpa
membedakan apakah orang tersebut mempunyai kemauan sendiri atau tidak,
sudah dewasa atau belum. Bahkan hewan dan benda mati juga bisa dibebani
pertanggungjawaban apabila menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Kematian
juga tidak bisa menghindarkan seseorang dari pemeriksaan pengadilan dan
hukuman. Demikian juga seseorang harus mempertanggungjawabkan perbuatan
orang lain, meskipun orang tersebut tidak tahu-menahu dan tidak ikut serta
mengerjakannya. Baru setelah revolusi Prancis dengan timbulnya aliran
tradisionalisme dan lain-lainnya, pertanggungjawaban itu hanya dibebankan
kepada manusia yang masih hidup yang memiliki pengetahuan dan pilihan.7
Dalam Hukum Pidana Indonesia, pembelaan terpaksa diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 49 ayat 1 yang berbunyi:
6 Prof. Dr. H. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, Cetakan ke-4 ( Jakarta : Kencana, 2008), h. 436-464.
7 http://kbbi.web.id.wikipedia.
5
“Tidak dipidana barang siapa yang melakukan perbuatan pembelaan
untuk jiwa, kehormatan atau harta benda baik untuk diri sendiri maupun orang
lain karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.
Sedangkan pembelaan terpaksa melampaui batas diatur dalam KUHP
Pasal 49 ayat 2 yang berbunyi:
“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan
oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu,
tidak dipidana.”8
Undang-undang tidak memberikan keterangan lebih jauh tentang
pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Dalam Memorie van Toelichting
(MvT) ada sedikit keterangan mengenai pembelaan terpaksa yang melampaui
batas yang mengatakan jika terdapat “kegoncangan jiwa yang hebat”. Yang
dimaksud terdapat kegoncangan jiwa yang hebat tidak dijelaskan dalam KUHP
tetapi oleh ahli hukum memberikan penjelasan kegoncangan jiwa yang hebat
sehingga diperbolehkan melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas.9
Alasan penghapus pidana diartikan sebagai keadaan khusus (yang harus
dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan oleh terdakwa), meskipun terhadap
8 Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, Agustus
2003, h. 83. 9 Prof. Moeljanto, S.H,. Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan ke-5 ( Jakarta, PT Rineka Cipta,
1993), h. 147-148.
6
semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi tidak dapat dijatuhkan
pidana, alasan penghapus pidana dapat dibedakan menjadi :
1. Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) yaitu alasan yang menghapuskan
sifat melawan hukumnya perbuatan, berkaitan dengan tindak pidana
(strafbaarfeit).
2. Alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yaitu alasan yang menghapuskan
masalah terdakwa yang berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban.10
Ada beberapa hal yang menjadaikan kenapa penulis tertarik untuk
membahas kasus tersebut, yang pertama adalah bahwa belum banyak yang
meneliti dari kasus tersebut dari segi hukum islam maupun hukum positif, pada
umumnya yang dibahas oleh orang masih bersifat umum pada delik penganiayaan
atau delik pembunuhaan saja, yang kedua adalah selama ini sering terjadi tindak-
tindak kekerasan yang menimbulkan berbagai akibat, beberapa kasus
penganiayaan seperti yang dikemukakan dalam peneltian ini yaitu pada kasus
terhadap tindak penganiayaan yang dilakukan oleh Grace dan keluarga terhadap
Robby Lesmana dengan nomor Putusan Mahkamah Agung No.416 K/Pid/2009
dimana Grace dan Robby Lesmana adalah sepasang suami istri yang tengah
menjalani proses perceraian dan mempunyai seorang anak bernama Richelle yang
pengasuhannya dilakukan secara bergantian oleh Grace dan Robby. Ketika Robby
bersama Kuasa hukumnya bernama Adardam yang datang kerumah Grace dengan
10
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, h. 137-138.
7
maksud menjemput anaknya Richelle berdasarkan perjanjian hak asuh yang telah
dibuat dan disepakati bersama oleh grace dan Robby dimana saat itu tiba
gilirannya Robby untuk mengasuh Richelle, pada saat Robby menghampiri Grace
yang sedang menggendong Richelle yang berada didepan pintu rumah, Richelle
menangis ketika akan dibawa pergi oleh Robby, mendengar tangisan Richelle
tiba-tiba keluar Winarno Sarkawi yang langsung menghampiri serta mendorong
dan memukul Robby, kemudian diikuti dengan tindakan Grace yang juga
melakukan pemukulan terhadap Robby dengan maksud mengambil kembali
anaknya Richelle yang menangis dalam gendongan Robby. Kuasa hukum yang
berada diluar pagar kemudian menghampiri dengan maksud melerai peristiwa
pemukulan tersebut tetapi beliau juga dipukul oleh Winarno Sarkawi dan Grace,
Melihat keadaan yang tidak kondusif itu kedua korban akhirnya langsung naik ke
mobil dan pergi. Setelah peristiwa pemukulan tersebut kemudian Robby ditemani
Kuasa hukumnya Adardam melaporkannya kepada pihak kepolisian yang
akhirnya sampai pada tingkat pengadilan. Di Pengadilan Negeri Bandung, setelah
bukti-bukti dihadirkan dipersidangan dan membaca tuntutan pidana Jaksa
Penuntut Umum kemudian Hakim menyatakan bahwa terdakwa Winarno Sarkawi
dan terdakwa Grace telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana secara terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan
terhadap orang dan menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 10 bulan
kepada terdakwa Winarno sarkawi dan terdakwa Grace. Setelah putusan hakim
diberikan, para terdakwa melakukan upaya hukum banding yang kemudian pada
8
tingkat banding Hakim Pengadilan Tinggi Bandung menyatakan bahwa terdakwa
Winarno Sarkawi dan terdakwa Grace terbukti melakukan perbuatan yang
didakwakan tetapi merupakan pembelaan darurat noodweer sehingga melepaskan
kedua terdakwa dari semua tuntutan hukum. Jaksa Penuntut Umum yang
keberatan terhadap pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi tersebut kemudian
melakukan upaya hukum kasasi dengan disertai alasan-alasan yang pada
pokoknya bahwa putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi dalam melepaskan kedua
terdakwa dari semua tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) karena
perbuataannya termasuk dalam apa yang diatur pada Pasal 49 ayat 2 KUHP
adalah telah salah dalam penerapan hukumnya. Akhirnya pada Putusan
Mahkamah Agung permohonan kasasi Jaksa Penuntut ditolak dan memperbaiki
amar putusan Pengadilan Tinggi sehingga menyatakan terdakwa Winarno Sarkawi
bersalah dan terbukti melakukan tindak pidana dan dipidana penjara selama 10
bulan dan kepada terdakwa Grace terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan
tetapi perbuatan tersebut merupakan pembelaan darurat noodweer sehingga
melepaskannya dari semua tuntutan. Berdasarkan uraian diatas, maka
permasalahan yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini berjudul: TINJAUAN
HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBELAAN TERPAKASA
YANG MELAMPAUI BATAS (NOODWEER EXCES) DALAM TINDAK
PIDANA PENGANIAYAAN.
9
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar penulisan skripsi ini tidak menyimpang dari tujuan, maka penulis
akan melakukan pembatasan masalah. Dalam skripsi ini penulis akan
menganalisis Putusan M.A 416 K/Pid/2009. Terhadap penganiayaan terhadap
suami oleh isteri dan keluarganya, serta penulis akan mengkaji pandangan hukum
islam terhadap noodweer-exces.
Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas didalam skripsi ini:
1. Mengapa alasan noodweer exces dijadikan dasar pertimbangan hakim sebagai
alasan pemaaf dalam kasus Putusan M.A 416 K/Pid/2009, kemudian apakah
putusan tersebut telah sesuai dengan konsep noodweer?
2. Bagaimana ketentuan syarat yang terdapat di dalam pembelaan terpaksa dalam
Hukum Islam dan Hukum Positif?
3. Bagaimana Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap sanksi pembelaan terpaksa
yang melampaui batas dalam tindak pidana penganiayaan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan Hukum
Islam mengenai noodweer exces, untuk mengetahui dasar hukum tindak pidana
penganiaayaan dalam Hukum Islam dan KUHP, serta untuk mengetahui alasan
noodweer exces dijadikan dasar pertimbangan hakim sebagai alasan pemaaf dalam
kasus Putusan M.A 416 K/Pid/2009 dimana terdakwa dalam kasus tersebut
10
diputus bebas, kemudian kegunaan penelitian ini secara khusus merupakan suatu
studi dibidang hukum pidana di mana penulis berharap penelitian ini dapat
memberikan gambaran secara jelas perihal bagaimana seharusnya suatu tindakan
yang dihadapi seseorang dalam suatu keadaan dapat digolongkan kedalam suatu
yang melampaui batas (noodweer).
D. Review ( Kajian ) Studi Terdahulu
Dalam skripsi ini, penulis menggunakan studi review terdahulu yaitu
dengan melihat skripsi yang sebelumnya mengenai tindak pidana pembunuhan
guna menjadikan acuan dan rujukan bagi penulis dalam melakukan penelitian,
yang penulis pelajari yaitu skripsi yang berjudul, “ Alasan Pemaaf Atas Tindak
Pidana Pembunuhan Kajian Hukum Islam Dan Hukum Positif, (Studi Kasus :
Analisis Putusan mahkamah Agung No. 1445K/Pid/2011). Yang meneliti adalah
Khusnul Hotimah, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum
UIN syarif Hidayatullah Jakarta/2013.
E. Metode Penelitian
Para peneliiti dapat memilih berjenis-jenis metode dalam melaksanakan
penelitiannya. Sudah terang, metode yang dipilih berhubungan erat dengan
prosedur, alat, serta desain yang dipilih. Prosedur serta alat yang digunakan dalam
penlitian harus cocok dengan metode penelitian. Prosedur memberikan kepada
peneliti urutan-urutan pekerjaan yang harus dilakukan dalam suatu penelitian.
11
Teknik penlitian mengatakan alat-alat pengukur apa yang diperlukan dalam suatu
penelitian, sedangkan metode penelitian memandu si peneliti tentang urutan-
urutan bagaimana penelitian dilakukan.11
Penelitian yang diterapkan dalam penulisan skripsi ini menggunakan
penelitian hukum normatif, yang diteliti hanya bahan pustaka atau data
sekunder.12
Data sekunder adalah data tidak langsung yang di peroleh dari
kepustakaan, yang dibedakan atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tertier, dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan
permasalahan yang dibahas, meliputi: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dan Salinan Putusan M.A 416 K/Pid/2009.
2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukuman yang sifatnya menjelaskan
bahan hukum primer, dimana bahan buku primer berupa buku/literatur, hasil
karya sarjana yang berhubungan dengan penulis skripsi.
3. Bahan Hukum Tertier adalah merupakan bahan hukum sebagai pelengkap dari
kedua bahan hukum sebelumnya, berupa: Kamus Hukum dan Kamus Besar
Bahasa Indonesia.
11
Moh. Nazir, Ph. D, Metode Penelitian, Bogor, Oktober 2005, h. 44. 12
Roni Hantijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Cetakan-4, (Jakarta,
Ghana Indonesia, 1990), h. 52.
12
Pendekatan Penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan
pendekatan kasus yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus
yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.13
Dalam teknik penulisan,
penulis menggunakan acuan pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang
diterbitkan oleh fakultas Sayriah dan Hukum Universitas Islam Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika bertujuan agar penulisan ini dapat terarah dan sistematis,
sehingga dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 (lima) bab yaitu
sebagai berikut : Bab I adalah bab yang berisikan Pendahuluan, Bab II adalah
kerangka teoritis yang memberi gambaran secara sederhana tentang penganiayaan
dalam ruang lingkup Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif. Bab III adalah
pandangan noodweer dalam Hukum Islam. Bab IV adalah analisis kasus, pada
bab ini penulis membahas data hasil penelitian yaitu kronologi kasus
penganiayaan dalam Putusan M.A 416 K/Pid/2009. Bab V adalah penutup yang
berisikan kesimpulan dan saran.
13
Peter Mahmud Marjuki, Penelitian Hukum, cetakan-4, (Jakarta Kencana. 2008), h. 94.
13
BAB II
TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM PIDANA
ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
A. Ketentuan Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam
Menurut para fukaha, tindak pidana atas selain jiwa (penganiayaan) adalah
setiap perbuatan menyakitkan yang mengenai badan seseorang, namun tidak
mengakibatkan kematian. Kejahatan ini bisa dikategorikan ke dalam melukai,
memukul, mendorong, menarik, memeras, menekan, memotong rambut, dan
mencabutnya.1 Tindak pidana atas selain jiwa (penganiayaan) dibagi menjadi dua
klasifikasi yaitu ditinjau berdasarkan niatnya: yang disengaja dan tidak disengaja.
Kedua, ditinjau dari segi objek (sasarannya) yang dibagi menjadi lima yang akan
penulis jelaskan satu persatu.
Tindak pidana penganiayaan disengaja adalah kesengajaan pelaku
melakukan perbuatan yang menyentuh tubuh korban atau mempengaruhi
keselamatannya. Rukun dalam tindak pidana ini ada dua: (1) perbuatan yang
terjadi pada tubuh korban atau mempengaruhi keselamatannya, (2) perbuatan
pelaku dilakukan secara sengaja. Pada rukun yang pertama dimaksudkan agar
menjadi tindak pidana, pelaku disyaratkan harus melakukan perbuatan yang
menyentuh korban atau mempengaruhi keselamatan tubuhnya dalam kondisi
apapun. Perbuatan tidak disyaratkan harus berupa pukulan atau melukai, tetapi
1 Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit:
Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu. h. 19.
14
cukup berupa perbuatan yang membahayakan atau tindakan melawan hukum
dengan segala bentuknya, seperti memukul, melukai, mencekik, menarik,
mendorong, menekan, atau memelintir. Pelaku tidak harus menggunakan alat
tertentu untuk menyiksa korbannya. Karena tindak pidana penganiayaan tidak
dimaksudkan untuk membunuh dengan alat tertentu, karena semua alat hukumnya
sama. Imam Syafi‟i berpendapat bahwa sengaja di dalam perbuatan penganiayaan,
adakalanya murni disengaja atau menyerupai sengaja. Murni disengaja adalah
perbuatan yang biasanya menimbulkan akibat. Adapun menyerupai sengaja adalah
perbuatan yang biasanya tidak menimbulkan akibat. Misalnya seseorang yang
menampar kepala orang lain kemudian kepala itu bengkak sampai terbelah dan
terlihat tulangnya, maka perbuatan tersebut dianggap tindak pidana menyerupai
sengaja.
Dikatakan menyerupai sengaja karena biasanya tamparan tidak
mengakibatkan luka sampai terlihat tulangnya.2 Syarat yang kedua, sengaja
melakukan perbuatan yaitu perbuatan harus berasal dari kehendak pelaku dan
dilakukan dengan maksud melawan hukum. Jika pelaku tidak menghendaki
perbuatan, atau menghendaki tetapi tidak bertujuan melawan hukum, perbuatan
tersebut tidak dianggap perbuatan yang disengaja tetapi tidak disengaja (tersalah).
3Selanjutnya, tindak pidana penganiayaan tidak disengaja adalah jika suatu
perbuatan mengakibatkan tidak kematian, perbuatan tersebut dianggap
2 Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit:
Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu., h. 23. 3 Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit:
Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu., h. 24.
15
penganiayaan. Dalam Hukum Islam perbuatan penganiayaan yang tidak disengaja
dengan melihat dan menyesuaikan akibat perbuatan yang ditimbulkan, perbuatan
yang terjadi akibat kelalaian pelaku tanpa ada maksud melakukan perbuatan
tersebut. Misalnya orang yang membalikkan badan dan menimpa orang yang
sedang tidur di sampingnya sehingga tulang rusuknya patah.
B. Macam-Macam Penganiayaan Dalam Hukum Pidana Islam
Para fukaha membagi tindak pidana atas selain jiwa baik yang disengaja
maupun yang tidak disengaja menjadi lima bagian menurut objeknya. Pembagian
ini didasarkan pada akibat perbuatan pelaku. Pembagian tersebut adalah:
1. Memisahkan anggota badan atau yang sejenisnya, adalah memotong anggota
badan dan sesuatu yang mempunyai manfaat serupa. Termasuk dalam bagian
ini adalah memotong tangan, kaki, jari-jari, kuku, hidung, telinga, bibir,
mencungkil mata, memotong pelupuk mata, mencabut gigi, dan
memecahkannya, mencukur dan mencabut rambut kepala, jenggot, kedua alis
dan kumis.
2. Menghilangkan manfaat anggota badan, tetapi anggota badannya tetap ada,
artinya menghilangkan manfaat dari anggota badan tersebut. Termasuk di
dalamnya pendengaran, penciuman penglihatan, perasa, manfaat bicara
16
kemampuan bersetubuh. Termasuk di dalamnya berubah warna gigi menjadi
hitam, merah dan warna lainnya. Juga termasuk menghilangan akal.4
3. Melukai kepala dan muka (asy-syijaj), adalah melukai kepala dan muka secara
khusus. Menurut Imam Abu Hanifah, asy-syijaj ada sebelas jenis yaitu, al-
kharisah, yaitu luka yang merobek kulit dan tidak menimbulkan pendarahan,
ad-damiah, yaitu luka yang menimbulkan pendarahan, tetapi tidak sampai
mengalir seperti air mata, ad-damiyah yaitu luka yang mengalirkan darah, al-
badi’ah, yaitu luka yang memotong daging, al-mutalahimah, yaitu luka yang
menghilangkan daging lebih banyak dari daging yang hilang pada al-badi’ah,
as-samhaq, yaitu luka yang memotong daging dan menampakkan lapisan
antara daging dan tulang, al-mudihah, yaitu luka yang memotong kulit yang
melindungi tulang dan menampakkan tulang walaupun hanya seujung jarum,
al-hasyimah, yaitu luka yang memecahkan tulang, al-munqilah, yaitu luka
dengan pindahnya tulang setelah pecah, al-amah, yaitu luka yang menembus
tulang (tempurung) kepala, yaitu lapisan di bawah tulang di atas otak, ad-
dagimah, yaitu luka yang menembus lapisan (di bawah tulang) sampai ke otak.
4. Melukai selain kepala dan muka (al-jirah), yaitu luka pada badan. Luka ini
dibagi menjadai dua: al-ja’ifah adalah luka yang sampai rongga dada dan
perut, baik luka tersebut di dada, perut, punggung, dan dua lambung, antara
4 Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit:
Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu, h. 20.
17
dua buah pelir, dubur, maupun tenggorokan, dan gairu ja’ifah adalah luka
yang tidak sampai ke rongga tersebut.5
5. Luka yang tidak termasuk empat jenis sebelumnya, maksudnya adalah semua
bentuk kejahatan atau bahaya yang tidak mengakibatkan hilangnya anggota
badan atau manfaatnya dan tidak mengakibatkan luka di kepala ataupun muka,
juga badan.6
Hukuman tindak pidana atas selain jiwa dapat dibagi menjadi tiga bagian.
Pertama, hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja. Kedua,
hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa yang menyerupai sengaja. Ketiga,
hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa karena kesalahan. Hukuman untuk
tindak pidana atas jiwa tergantung kepada akibat yang timbul atas kelima jenis
tindak pidana menurut subjeknya tersebut., baik perbuatan yang dilaukan dengan
sengaja, maupun tidak sengaja (kekeliruan). Perbedaan yang mencolok dalam
tindak pidana sengaja, menyerupai sengaja, dan kesalahan untuk kasus tindak
pidana atas selain jiwa ini adalah dalam hukuman pokok. Dalam tindak pidana
atas selain jiwa dengan sengaja, sepanjang kondisinya memungkinkan, hukuman
pokonya adalah qisas. Sedangkan untuk menyerupai sengaja dan kekeliruan,
hukuman pokoknya adalah diat atau irsy.7 Akan tetapi, diat dan irsy juga
diberlakukan untuk tindak pidana sengaja sebagai hukuman pengganti. Oleh
5 Asadullah Al Faruq, Hukum pidana dalam sistem hukum islam, penerbit Ghia Indonesia, oktober
2009, h. 52. 6 Asadullah Al Faruq, Hukum pidana dalam sistem hukum islam, penerbit Ghia Indonesia, oktober
2009, h. 21. 7 Ahmad wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: sInar Grafika, cet-pertama, 2005, h. 184.
18
karena itu, dalam membicarakan hukuman diat atau irsy, tidak ada perbedaan oleh
sengaja, dan kekeliruan.8
Untuk athraf (anggota badan) dan sejenisnya menurut para fukaha adalah
tangan dan kaki. Pengertian tersebut kemudian diperluas kepada anggota badan
yang lain: jari, kuku, bulu mata, gigi, rambut, jenggot, alis, kumis, hidung, lidah,
zakar, biji pelir, telinga, bibir, mata, dan bibir kemaluan perempuan. Sedangkan
ibanah (perusakan) anggota badan meliputi tindakan pemotongan seperti pada
tangan dan kaki, pencongkelan seperti pada mata, serta pencabutan seperti pada
gigi. Hukuman pokok untuk perusakan athraf dengan sengaja adalah qisas,
sedangan hukuman penggatinya adalah diat dan takzir. Adapun hukuman pokok
untuk perusakan anggota badan yang menyerupai sengaja dan kekeliruan adalah
diat, sedangkan hukuman penggantinya adalah takzir.
1. Hukuman Qisas
Qisas terhadap selain jiwa (penganiayaan) mempunyai syarat sebagai
berikut:9 Pelaku berakal, sudah mencapai umur balig
10, motivasi kejahatan
disengaja, hendaknya darah orang yang dilukai sederajat dengan darah orang yang
melukai. Yang dimaksud dengan sederajat disini adalah hanya dalam hal
kehambaan dan kekafiran. Oleh sebab itu maka tidak diqisas seorang merdeka
8 Ahmad wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: sInar Grafika, cet-pertama, h. 185.
9 As-Sayyid Sabiq, Fiqh., III : 38.
10 Balig adakalanya karena mimpi bersenggama atau karena factor umur. Batas maksimal
kebaligan seseorang berdasarkan umur adalah delapan belas tahun, dan batas minimalnya adalah lima
belas tahun, ini berdasarkan hadis riwayat sahabat Ibnu 'Umar. Ada pun mengenai tumbuhnya bulu
kemaluan para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
19
yang melukai hamba sahaya atau memotong anggotanya. Dan tidak pula diqisas
seorang muslim yang melukai kafir zimmi atau memotong anggotanya. Apabila
pelaku melakukan perbuatan pelukaan tersebut secara sengaja, dan korban tidak
memiliki anak, serta korban dengan pelaku sama di dalam keislaman dan
kemerdekaan, maka pelaku diqisas berdasarkan perbuatannya terhadap korban,
misalnya dipotong anggota berdasarkan anggota yang terpotong, melukai serupa
dengan anggota yang terluka.11
Kecuali jika korban menghendaki untuk
pembayaran diyat atau memaafkan pelaku. Besarnya diyat disesuaikan dengan
jenis dari perbuatan yang dilakukannya terhadap korban. Syarat-syarat qisas
dalam pelukaan :
a. Tidak adanya kebohongan di dalam pelaksanaan, maka apabila ada
kebohongan maka tidak boleh diqisas,
b. Memungkinkan untuk dilakukan qisas, apabila qisas itu tidak mungkin
dilakukan, maka diganti dengan diyat,
c. Anggota yang hendak dipotong serupa dengan yang terpotong, baik dalam
nama atau bagian yang telah dilukai, maka tidak dipotong anggota kanan
karena anggota kiri, tidak dipotong tangan karena memotong kaki, tidak
dipotong jari-jari yang asli (sehat) karena memotong jari-jari tambahan,
d. Adanya kesamaan 2 (dua) anggota, maksudnya adalah dalam hal kesehatan dan
kesempurnaan, maka tidak dipotong tangan yang sehat karena memotong
11
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h. 425.
20
tangan yang cacat dan tidak diqisas mata yang sehat karena melukai mata yang
sudah buta,
e. Apabila pelukaan itu pada kepala atau wajah (asy-syijjaj), maka tidak
dilaksanakan qisas, kecuali anggota itu tidak berakhir pada tulang, dan setiap
pelukaan yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan qisas, maka tidak
dilaksanakan qisas dalam pelukaan yang mengakibatkan patahnya tulang, akan
tetapi diwajibkan diyat atas hal tersebut.
Kemudian dalam hal tindakan menempeleng, seseorang diperbolehkan
membalasnya sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, hal ini sesuai firman
Allah SWT :12
2. Diyat
Menurut As-Sayyid Sabiq, diyat adalah :
المااللذىيجببسببالجناية, وتؤدىإلىالمجنىعليه, أووليه
Dalam hal penganiayaan jenis jinayatul atraf, pelaksanaan diyat dibagi
menjadi dua, yaitu yang dikenakan sepenuhnya dan yang dikenakan hanya
setengahnya saja.13
Sedangkan diyat yang dikenakan hanya setengahnya saja
adalah dalam hal melukai :14
Satu buah mata, Satu daun telinga, Satu buah kaki,
Satu buah bibir, Satu buah pantat, Satu buah alis, dan Satu buah payudara wanita.
12
Al-Baqarah (2) : 194. 13
Lihat, Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h. 428. 14
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h. 428-429.
21
Kemudian pelukaan yang mewajibkan diyat kurang dari setengahnya
adalah memotong sebuah jari, yaitu diyatnya sepuluh ekor unta.15
Kemudian
wajib dalam mematahkan gigi diyat sebanyak lima ekor unta, berdasarkan sabda
Rasul dalam kitabnya Amr Ibn Hazm.16 Sedangkan sanksi dalam hal al-jirah,
sesuai dengan ketetapan syara‟ yang telah ada.17
Adapun mengenai hukuman dari
pelukaan yang bersifat al-jirah.18
C. Kategorinisasi Penganiayaan dalam Hukum Pidana
Pengertian penganiayaan pada point sebelumnya telah dijelaskan menurut
Hukum Islam yaitu tindak pidana atas selain jiwa (penganiayaan) adalah setiap
perbuatan menyakitkan yang mengenai badan seseorang, namun tidak
mengakibatkan kematian. Demikian pula dalam hukum positif, penganiayaan
merupakan tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum yang berupa tubuh
manusia.19
Penganiayaan mempunyai rumusan menurut yurisprudensi yaitu:
1. Pengadilan Tertinggi tanggal 10 Desember 1902 merumuskan “penganiayaan”
ialah dengan sengaja melukai tubuh manusia atau menyebabkan perasaan sakit
sebagai tujuan, bukan sebagai akal untuk mencapai suatu maksud yang
15
Lihat, At-Turmuzi, al-Jami‟ as-Sahih wa huwa Sunan at-Tirmizi, Kitab ad-Diyah „an Rasulillah,
Bab Ma Ja‟a fi Diyat al-Asabi‟ (Beirut: Dar al-Fikr, 1988). IV: 8. Hadis Nomor 1311. Riwayat Ikrimah
dari ibn Abbas. 16
Lihat, Jalaluddin as-Suyuti, Sunan an-Nasa‟i, Kitab al-Qasamah, Bab Zikru Hadis „Umar Ibn
Hazm fi „Uqul wa Ikhtilaf an-Naqilaini (Beirut: Dar al-Fikr, 1930). Hadis Nomor 4774. Riwayat Ibn
Hazm dari Bapaknya. 17
Lihat, Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h. 429-430. 18
Lihat, Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h. 430. 19
Tongat, Hukum pidana materil, tinjauan atas tindak pidana terhadap subjek hukum dalam
KUHPidana, Jakarta: Djambatan, 2003, h. 67.
22
diperbolehkan, seperti memukul anak dan lain-lain. Batas-batas yang dianggap
perlu ialah yang dilakukan oleh orang tua anak itu atau gurunya.
2. Pengadilan Tertinggi tanggal 20 April 1925 menyatakan penganiayaan ialah
dengan sengaja melukai tubuh manusia. Tidak dianggap penganiayaan jika
maksudnya hendak mencapai suatu tujuan, dan di dalam menggunakan akal itu
tidak sadar bahwa ia melewati batas-batas yang wajar.
3. Pengadilan Tertinggi tanggal 11 Februari 1929 menyatakan penganiayaan
bukan saja menyebabkan perasaan sakit, tetapi juga menimbulkan penderitaan
lain pada tubuh. Menyebabkan rasa tidak enak pada tubuh atau bagian-bagian
dalam dari tubuh dapat menjadikan penganiayaan.20
Dapat disimpulkan bahwa
untuk penganiayaan harus ada unsur kesengajaan yaitu maksud untuk melukai
atau penyebab rasa sakit sebagai tujuan. Apabila diuraikan lebih terperinci,
maka rumusan penganiayaan di atas memuat unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur kesengajaan, dalam tindak pidana penganiayaan secara prinsip unsur
kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan haruslah ditafsirkan sebagai
kesengajaan sebagai maksud (opzet als ogmerk). Dengan penafsiran yang
demikian, maka seseorang baru dapat dikatakan melakukan tindak pidana
penganiayaan, apabila orang tersebut mempunyai maksud melakuakan
perbuatan yang dapat menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka pada
tubuh.
20
M. Sudrajat Basaar, S.H, Tindak-tindak pidana tertentu di dalam KUHPidana, Bandung:
Remadja Karya , 1986, h. 133.
23
b. Unsur perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan dalam konteks pasal 351
KUHP adalah perbuatan dalam arti positif. Yang artinya perbuatan tersebut
haruslah merupakan aktifitas atau kegiatan dari manusia dengan
menggunakan (sebagian) anggota tubuhnya sekalipun sekecil apapun
aktifitas itu. Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana
penganiayaan juga bersifat abstrak, yaitu penganiayaan dapat berupa
berbagai macam dan bentuk perbuatan seperti memukul, menendang,
mencubit, mengiris, dan membacok.21
c. Unsur akibat yang berupa rasa sakit dan luka tubuh, rasa sakit dalam
konteks pasal 351 KUHP mengandung arti sebagai terjadinya atau
timbulnya rasa sakit, rasa perih tidak enak, atau penderitaan tanpa
mempersyaratkan adanya perubahan rupa pada tubuh. Sementara yang
dimaksud denngan luka adalah terjadinya perubahan dari tubuh, atau
terjadinya perubahan rupa tubuh sehingga menjadi berbeda dari keadaan
tubuh sebelum terjadinya penganiayaan. Perubahan rupa tubuh ini misalnya,
lecet-lecet pada kulit, putusnya jari tangan , bengkak-bengkak pada anggota
tubuh.
d. Akibat mana menjadi tujuan satu-satunya, unsur ini mengandung
pengertian, bahwa dalam tindak pidana penganiayaan akibat berupa rasa
sakit atau luka pada tubuh haruslah merupakan tujuan satu-satunya dari
pelaku. Artinya pelaku memang menghendaki timbulnya rasa sakit atau luka
21
Tongat, Hukum pidana materiil, tinjauan atas tindak pidana terhadap subjek hukum dalam
KUHPidana, Jakarta: Djambatan, 2003, h. 75.
24
dari perbuatan (penganiayaan) yang dilakukan. Jadi untuk adanya
penganiayaan harus dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka pada tubuh
menjadi tujuan dari pelaku.22
Ada beberapa macam penganiayaan, yaitu, penganiayaan biasa (pasal
351KUHP), penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP), penganiayaan yang
direncanakan terlebih dahulu (pasal 353KUHP), penganiayaan yang disengaja
untuk melukai berat (pasal 354KUHP), penganiayaan berat yang direncanakan
terlebih dahulu (pasal 355KHP), penganiayaan terhadap orang-orang tertentu dan
dengan menggunakan benda-benda yang membahayakan kesehatan orang (pasal
356KUHP), penyerangan atau perkelahian (pasal 358KUHP). Penganiayaan biasa
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, atau denda
paling banyak 4500 rupiah. Perbuatan ini semuanya harus dilakukan dengan
sengaja, dan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan.
Umpamanya, seorang bapak dengan tangan memukul anaknya pada bagian
pipinya karena anak itu nakal. Perbuatan ini memang menimbulkan rasa sakit
namun tidak termasuk bagian dari penganiayaan sebab ada maksud baik yaitu
mengajarkan anaknya. Namun apabila si bapak memukul anaknnya menggunakan
sebuah besi di bagian kepalanya, maka terdapat unsur penganiayaan.
Penganiayaan ringan, tindak pidana ini termasuk pada bagian kejahatan
ringan, ancamannya pun yaitu hukuman penjara paling lama tiga bulan atau denda
paling besar 4.500 rupiah. Yang dimaksud penganiayaan ringan ialah: yang
22
Tongat, Hukum pidana materiil, tinjauan atas tindak pidana terhadap subjek hukum dalam
KUHPidana, Jakarta: Djambatan, 2003, h.76.
25
mengakibatkan sakit atau menyebaban terhalangnya orang menjalankan
jabatannya atau mata pencahariannya, yang tidak direncanakan terlebih dahulu,
yang tidak menggunakan benda yang membahayakan nyata atau kesehatan
oranng, yang tidak dilakukan terhadap orangtuanya , isterinya, atau suaminya,
anak-anaknya, atau pegwainya yang sedang atau karena melaukan
kewajibannya.23
Penganiayaan berencana, penganiayaan jenis ini diatur dalam
pasal 353 KUHP yang menyatakan: (1) penganiayaan dengan rencana lebih dahlu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, (2) jika perbuatan
mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan penjara paling lama
tujuh tahun, (3) jika perbuatan mengakibatkan mati, dia dikenakan pidana penjara
paling lama sembilan tahun. Dari rumusan pasal 353 KUHP di atas maka
tersimpul pendapat, bahwa penganiayaan berencana dapat berupa tiga bentuk.
Penganiayaan berencana pada dasarnya adalah penganiayaan biasa dalam pasal
351 KUHP yang ditambahkan dengan unsur rencana terlebih dahulu.24
Peganiayaan berat, jenis tindak pidana ini diatur dalam psal 354 KUHP.
Tindak pidana penganiayaan berat terdiri dari dua macam yaitu: tindak pidana
penganiayaan berat biasa (yang tidak menimbulkan kematian) diatur dalam pasal
354 (1). Dan tindak pidana penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian,
diatur dalam pasal 354 (2). Tindak pidana penganiayaan dalam pasal ini diancam
23
M. Sudrajat Basaar, S.H. Tindak-tindak pidana tertentu di dalam KUHPidana, Bandung:
Remadja Karya , 1986, h. 136. 24
Tongat, Hukum pidana materiil, tinjauan atas tindak pidana terhadap subjek hukum dalam
KUHPidana, Jakarta: Djambatan, 2003, h. 89.
26
dengan pidana penjara delapan tahun dan apabila mengakibatkan kematian maka
dikenakan pidana sepuluh tahun. Dalam tindak pidana penganiayaan berat yang
diatur dalam pasal 354 KUHP akibat luka berat itu merupakan maksud atau tujuan
pelaku, dalam arti bahwa pelau memang menghendaki terjadinya luka berat pada
korban.25
Penganiayaan berat berencana, jenis pidana ini diatur dalam pasal 355
KUHP. Penganiayaan ini pada dasarnya merupakan bentuk penganiayaan berat
yang dilakukan dengan rencana. Jenis penganiayaan ini pada dasarnya merupakan
gabungan antara penganiayaan berat (pasal 354 ayat 1) dengan penganiayaan
berencana (pasal 353 ayat 1). Menurut kententuan pasal 355 KUHP penganiayaan
berat berencana mendapatkan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Serta
lima belas tahun untuk perbuatan yang mengakibatkan kematian dan direncanakan
terlebih dahulu.26
Penganiayaan terhadap orang-orang tertentu dan dengan menggunakan
benda-benda yang membahayakan kesehatan orang, diatur dalam pasal 35 KUHP,
ancaman hukuman yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat
ditambah dengan sepertiganya apabila, kejahatan itu dilakukan terhadap ibunya,
bapaknya yang sah, isterinya atau suaminya, atau anaknya. Apabila kejahatan
dilakukan terhadap seoranng pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya
yang sah, apabila kejahatan dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya
25
Tongat, Hukum pidana materiil, tinjauan atas tindak pidana terhadap subjek hukum dalam
KUHPidana, Jakarta: Djambatan, 2003, h. 97. 26
Tongat, Hukum pidana materiil, tinjauan atas tindak pidana terhadap subjek hukum dalam
KUHPidana, Jakarta: Djambatan, 2003, h. 102.
27
bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.27
Penyerangan atau
perkelahian, istilah penyerangan mempunyai konotasi adanya dua pihak, di mana
pihak orang yang melakukan penyerangan bersifat aktif. Sementara pihak yang
lain dalam posisi sebagai pihak yang diserang atau dalam posisi pasif.
Sementara istilah perkelahiann menunjuk pada pengertian ada dua pihak
yang saling berhadapan secara aktif untuk saling menyerang. Ancaman
hukumannya dengan hukuman paling lama dua tahun delapan bulan, jikalau
penyerangan atau perkelahian itu hanya mengakibatkan luka berat saja. Dengan
hukuman paling lama empat tahun penjara, jikalau penyerangan atau perkelahian
itu mengakibatkan matinya orang. 28
Tindak pidana terhadap tubuh dengan tidak
sengaja atau karena kealpaan. Hal ini diatur dalam pasal 359-361 KUHP. Pada
pasal 359 mengancam dengan hukuman penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun, karena kealpaan menyebabkan matinya orang
lain. Akibat dari perbuatan ini disebabkan kurangnya hati-hati dan adanya
kelalaian. Isi pada pasal 360 hampir sama dengan pasal 359, akan tetapi bedanya,
yaitu bahwa akibat dari pasal 359 adalah mati sedangkan akibat dari pasal 360
adalah: luka berat, luka yang menyebabkan jatuh sakit, dan terhalangnya
pekerjaan sehari-hari.
27
M. Sudrajat Basaar, S.H, Tindak-tindak pidana tertentu di dalam KUHPidana, Bandung:
Remadja Karya , 1986, h. 138. 28
M. Sudrajat Basaar, S.H, Tindak-tindak pidana tertentu di dalam KUHPidana, Bandung:
Remadja Karya , 1986, h. 139.
28
BAB III
MELAMPAUI BATAS MEMBELA DIRI (NOODWEER EXCES)
A. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Pembelaan Terpaksa Menurut Hukum Pidana Islam
a. Pengertian dif’a asy-syar’i (pembelaan syar’i khusus)
Menurut istilah yang dinamakan pembelaan diri adalah kewajiban manusia
untuk menjaga dirinya atau jiwa orang lain, atau hak manusia untuk
mempertahankan hartanya atau harta orang lain dari kekuatan yang lazim dari
setiap pelanggaran dan penyerangan yang tidak sah. Penyerangan khusus baik
yang bersifat wajib maupun hak bertujuan untuk menolak serangan, bukan sebagai
hukuman atas serangan tersebut sebab pembelaan tersebut tidak membuat
penjatuhan hukuman atas penyerang menjadi tertolak.1
b. Hukum pebelaan diri
Para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa membela diri adalah suatu
jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain dari
serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda. Tetapi berbeda atas
hukumnya, apakah merupakan suatu kewajiban atau hak. Jadi, konsekuensinya
apabila membela diri merupakan suatu hak, maka seseorang boleh memilih antara
meninggalkan dan mengerjakannya, tetapi tidak berdosa dalam memilih salah
1 Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit:
Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu, h. 138.
29
satunya. Sebaliknya apabila dikatakan kewajiban maka seseorang tidak memiliki
hak pilih dan berdosa ketika meninggalknnya.2
Serangan seseorang adakalanya ditujukan kepada kehormatan jiwa atau
harta benda. Untuk membela kehormatan, para ulama sepakat bahwa hukumnya
adalah wajib. Apabila seorang laki-laki hendak memperkosa seorang perempuan
sedangkan untuk mempertahankan kehormatannya tidak ada lagi kecuali
membunuhnya maka perempuan tersebut wajib membunuhnya, demikian pula
bagi yang menyaksikan. Untuk membela jiwa para fuqaha berbeda pendapat
mengenai hukumnya. Menurut mazhab Hanafi dan pendapat yang rajih dalam
mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i membela jiwa hukumnya wajib. Sedangkan
menurut pendapat yang marjuh (lemah) di dalam mazhab Maliki dan mazhab
Syafi’i serta pendapat yang rajih (kuat) di dalam mazhab Hanbali membela jiwa
hukumnya jaiz (boleh) bukan wajib.3
c. Serangan anak-anak orang gila dan hewan
Imam Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa jika
seseorang diserang oleh anak-anak, orang gila dan hewan maka harus membela
diri. Jadi, jika korban tidak memiliki cara lain untuk membela diri dari serangan
2 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, Bulan Bintang, Jakarta: 1993, h. 211.
3 Misalnya, jika ada seorang laki-laki hendak memperkosa wanita, sedang seorang wanita tidak
sanggup menolaknya (membela diri) kecuali dengan jalan membunuh, wanita tersebut wajib
membunuhnya jika dia sanggup. Demikian pula jika seorang lelaki (A) yang melihat lelaki lain (B)
hendak menzinahi wanita, tetapi dia tidak sanggup mencegah perzinahan yang menimpa wanita
itukecuali dengan membunuh si B, maka si A wajib membunuh jika dia sanggup. Wajib adalah suatu h
dimana orang yang meninggalkannya akan tercela secara syara‟. Lihat dalam Abul Qadir Audah,
Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma Ilmu, h. 88.
30
mereka kecuali dengan membunuh, dan tidak bertanggungjawab baik secara
pidana maupun perdata sebab korban hanya menunaikan kewajibannya untuk
menolak serangan terhadap jiwanya.4
Imam Abu Hanifah serta muridnya kecuali Abu Yusuf berpendapat bahwa
orang yang diserang harus bertanggung jawab secara perdata yaitu dengan
membayar diat atas anak-anak, orang gila dan harga binatang yang telah
dibunuhnya. Alasannya adalah karena pembelaan diri dilakukan untuk menolak
tindak pidana, padahal perbuatan anak-anak, orang gila dan hewan tidak dianggap
sebagai tindak pidana karena binatang tidak berakal. Abu Yusuf berpendapat
bahwa orang yang diserang hanya bertanggungjawab atas harga hewan karena
perbuatan anak kecil dan orang gila tetap dianggap sebagai tindak pidana.
Meskipun penjatuhan hukuman atas keduanya dihapuskan karena keduanya tidak
memiliki pengetahuan (kecakapan bertindak). Berdasarkan pendapat ini, dapat
dikatakan bahwa menolak serangan anak kecil dan orang gila adalah dalam
keadaan membela diri sedangkan menolak serangan hewan merupakan keadaan
darurat yang memaksa.5 Alasan ulama yang mengatakan ditegakannya pembelaan
diri dalam segala keadaan bahwa manusia berkewajiban untuk membela dirinya
4 Marsum, Jinayat (HPI), Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, Cet. ke-2, 1989, h. 168.
5 Abul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma Ilmu, h. 141,
dharurat adalah situasi yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kematian atau mendekati kematian.
Dengan kata lain, pengertian tersebut mengarah kepada tujuan pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs). Wahbah
Zuhaili menilai pengertian-pengertian tersebut kurang lengkap, karena dharurat mencakup semua yang
berakibat dibolehkannya yang haram atau ditinggalkannya yang wajib. Maka ia menambahkan selain
memelihara jiwa, dharurat juga memelihara akal, kehormatan dan memelihara harta. Lihat dalam
Wahbah al-Zuhaily, Nazariyyah al-darurah al Syar’iyah ma‟a al Qanun al-Wad’i, Damaskus:
Muassasah al Risalah, 1995, h. 65.
31
dan orang lain dari segala serangan terhadap jiwa. Termasuk hak dan kewajiban
manusia untuk menjaga harta pribadinya dan harta orang lain dari semua serangan
yang ditujukan terhadap harta, baik bersifat pidana maupun bukan.6
d. Syarat-syarat pembelaan
1) Adanya serangan atau tindakan melawan hukum
Perbuatan yang menimpa orang yang diserang haruslah perbuatan yang
melawan hukum. Apabila perbuatan tersebut bukan perbuatan yang melawan
hukum, maka pembelaan atau penolakan tidak boleh dilakukan. Jadi, pemakaian
hak atau menunaikan kewajiban baik oleh individu maupun penguasa, atau
tindakan yang diperbolehkan oleh syara’ tidak disebut sebagai serangan, seperti
pemukulan oleh orang tua terhadap anaknya sebagai tindakan pengajaran atau
pendidikan atau algojo yang melaksanakan hukuman potong tangan terhadap
terhukum sebagai pelaksanaan tugas.
Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad penyerangan tidak
perlu harus berupa perbuatan jarimah yang diancam dengan hukuman, tapi cukup
dengan perbuatan yang tidak sah (tidak benar). Demikian pula kecakapan pembuat
tidak diperlukan dan oleh karenanya serangan orang gila dan anak kecil dapat
dilawan. Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, serangan harus berupa
jarimah yang diancam dengan hukuman dan dilakukan oleh orang yang dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana. Jadi, apabila perbuatan (serangan) bukan
6 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, Bulan Bintang, Jakarta: 1993, h. 213.
32
jarimah yang diancam dengan hukuman, melainkan hanya perbuatan yang tidak
sah atau pelakunya tidak memiliki kecakapan maka orang yang diserang itu hanya
berada dalam keadaan terpaksa. Imam Abu Yusuf berbeda dengan gurunya Imam
Abu Hanifah yaitu perbuatan diisyaratkan harus berupa jarimah yang diancam
dengan hukuman tetapi pelakunya tidak perlu harus orang yang dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana.7 Pembelaan diri hanya terdapat pada orang yang
diserang, bukan yang menyerang. Tetapi jika melebihi batas dalam melakukan
pembelaan dirinya, kemudian orang yang pada mulanya sebagai penyerang
mengadakan pembelaan diri juga, karena balasan serangan dari orang yang
diserang semula sudah melampaui batas maka tindakan itu dapat dibenarkan.8
2) Penyerangan harus terjadi seketika
Apabila tidak ada penyerangan seketika, maka perbuatan orang yang baru
akan diserang saja merupakan perbuatan yang berlawanan dengan hukum.
Pembelaan baru boleh diperbolehkan apabila benar-benar telah terjadi serangan
atau diduga kuat akan terjadi. Apabila terjadi serangan yang masih ditunda seperti
ancaman dan belum terjadi bahaya maka tidak diperlukan pembelaan. Tetapi jika
ancaman sudah dianggap sebagai bahaya maka penolakannya harus dengan cara
7 Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit:
Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu, h. 479-480. 8 A. Wardi Mushlich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Singa Grafika, 2004, h.
90.
33
yang seimbang, antara lain seperti berlindung atau melaporkan adanya ancaman
kepada pihak yang berwenang.9
3) Tidak ada jalan lain untuk mengelakkan serangan
Apabila masih ada cara lain untuk menolak serangan maka cara tersebut
harus digunakan. Jadi, jika seseorang masih bisa menolak serangan dengan
teriakan-teriakan, maka tidak perlu menggunakan senjata tajam untuk melukai
atau bahkan senjata api yang dapat membunuh orang yang menyerang. Apabila
perbuatan tersebut telah dilakukan padahal tidak diperlukan maka perbuatan
tersebut dianggap sebagai serangan dan termasuk jarimah. Para fuqaha berbeda
pendapat tentang lari sebagai cara untuk menghindari serangan. Sebagaian fuqaha
menyatakan bahwa lari bisa digunakan sebagai salah satu cara untuk menghindari
serangan, karena itu dianggap sebagai salah satu cara yang paling mudah, tetapi
menurut sebagian fuqaha yang lain, lari bukan merupakan jalan untuk membela
diri.10
4) Penolakan serangan hanya boleh dengan kekuatan seperlunya11
9 A. Wardi Mushlich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Singa Grafika, 2004, h.
91. 10
Marsum, Jinayat (HPI), Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, Cet. ke-2, 1989, h. 168-
169. 11
Ukuran kekuatan seperlunya memang relatif, dan itu didasarkan atas dugaan orang yang
diserang disesuaikan dengan perkiraan yang benar-benar terjadi atau dengan perbuatan yang diniatkan
oleh orang yang melakukan perbuatan. Jika penyerang tidak menggunakan senjata maka untuk
penolakannya tidak perlu memakai senjata. Apabila orang yang diserang menggunakan kekuatan yang
Melebihi batas yang diperlukan, maka harus bertanggungjawab atas kelebihan perbuatanya itu. Lihat
dalam A. Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Singa Grafika, 2004, h.
91.
34
Apabila penolakan tersebut melebihi batas yang diperlukan, hal itu bukan
lagi disebut pembelaan melainkan penyerangan. Dengan demikian, orang yang
diserang selamanya harus memakai cara pembelaan yang seringan mungkin, dan
selama hal itu masih bisa dilakukan maka tidak boleh dilakukan cara yang lebih
berat. Antara serangan dengan pembelaan terdapat hubungan yang sangat erat,
karena pembelaan timbul dari serangan. Dalam perampasan harta, pembelaan
belum berarti selesai dengan larinya penyerang yang membawa harta
rampasannya. Dalam hal ini, orang yang diserang harus berupaya mencari dan
menyelidikinya sampai berhasil mengembalikan harta yang dirampas oleh
penyerang, dengan menggunakan kekuatan yang diperlukan, bahkan bila
diperlukan maka boleh membunuhnya.
e. Melewati batas ukuran pembelaan diri (yang dibolehkan)
Jika seseorang melakukan pembelaan diri dengan kekuatan yang lebih
besar dari kekuatan yang diperlukan, maka harus bertanggungjawab atas
tindakannya itu. Salah satu contohnya adalah: Jika serangan dapat ditolak dengan
mengancam si penyerang, namun orang yang diserang itu memukul si penyerang
maka harus bertanggungjawab atas pemukulan tersebut.12
Pada dasarnya
pembelaan diri hukumnya mubah (dibolehkan) dan tidak ada hukumannya namun
jika sampai melewati batasnya dan mengenai orang lain dengan tersalah maka
12
Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit:
Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu, h. 151.
35
perbuatannya bukan mubah lagi melainkan kekeliruan dan kelalaian si pembela
diri.13
2. Pembelaan umum (Amar Ma’ruf Nahi Munkar)
Pembelaan umum artinya pembelaan untuk kepentingan umum atau
menganjurkan untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut syara’
dan mencegah apa yang seharusnya ditinggalkan.14
a. Dasar hukum pembelaan umum
( . . .QS. Al Imran (3): 110.)
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah”. (QS. Al Imran (3): 110.)
Para fuqaha berpendapat bahwa pembelaan umum atau amar ma’ruf nahi
munkar adalah suatu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Pembelaan umum
diadakan dengan tujuan agar masyarakat berdiri diatas kebajikan dan pada
individu-individu yang ada di masyarakat ditumbuhkan sifat keutamaan sehingga
dengan demikian kapasitas jarimah dan penyelewengan akan menjadi berkurang.
Akan tetapi, para fuqaha masih berbeda pendapat tentang ketentuan atau batas
13
Lihat, Abul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma Ilmu, h. 152. 14
Marsum, Jinayat (HPI), Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, Cet. ke-2, 1989, h. 16.
36
wajib tersebut dalam 2 hal yaitu sifat dari kewajiban tersebut, apakah wajib ain
atua wajib kifayah dan tentang orang yang terkena kewajiban tersebut.
Menurut sebagian fuqaha adalah wajib ain yang dikenakan kepada setiap
muslim, bahkan menurut mereka kewajiban tersebut lebih kuat dari pada
kewajiban haji, karena untuk kewajiban haji disyaratkan adanya kesanggupan
(istitha’ah), sedangkan untuk pembelaan umum tidak disyaratkan kesanggupan.15
Para fuqaha Yang berpendapat bahwa hukum pembelaan umum hukumnya wajib
kifayah berdasarkan atas firman Allah SWT
(QS. Al Imran 3: 104)
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yangmenyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”( QS. Al Imran (3): 104)
Jihad atau berperang diwajibkan atas setiap orang tetapi kewajiban
menjadi terhapus jika sudah ada orang lain yang menjalankannya. Dalam ayat
tersebut terdapat kalimat (waltakum minkum) yang artinya adalah hendaklah ada
diantara kamu, konotasinya adalah tidak menunjukkan keseluruhan umat.16
Tentang orang yang diwajibkan melakukan pembelaan umum, menurut sebagian
15
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, Bulan Bintang, Jakarta: 1993, h. 219-230. 16
Abul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma Ilmu, h. 494, lihat
juga dalam Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, Bulan Bintang, Jakarta: 1993, h. 220 dan A.
Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Singa Grafika, 2004, h. 95.
37
fuqaha adalah setiap orang. Tetapi menurut fuqaha lainnya yaitu hanya orang
yang mempunyai kesanggupan seperti: pemuka agama atau ulama, dengan alasan
dikhawatirkan jika dibebankan kepada setiap orang, sedangkan orang tersebut
tidak mengetahui tentang hukum Islam maka bisa terjadi keadaan sebaliknya yaitu
melarang kebaikan dan memerintahkan keonaran.
b. Sumber dan hukum tindakan pembelaan umum
Ma’ruf atau kebaikan adalah setiap ucapan atau perbuatan yang perlu
diucapkan atau diperbuat sesuai dengan ketentuan dan prinsip umum syari’at
Islam, seperti berakhlak mulia, berbuat baik kepada fakir dan miskin dan
sebagainya. Munkar adalah setiap perbuatan yang dilarang terjadinya menurut
syari’at Islam.17
Menyuruh kebaikan (amar ma’ruf) bisa berupa perkataan seperti
ajakan untuk membantu korban gempa atau dapat berupa perbuatan seperti
pemberian contoh hal yang baik kepada orang lain. Bisa juga gabungan antara
perbuatan dan ucapan seperti mengajak untuk mengeluarkan zakat sekaligus
mengeluarkannya.
Sedangkan melarang kemungkaran (nahi munkar) bisa berupa perkataan
seperti melarang orang lain minum minuman keras. Dengan demikian, menyuruh
kebaikan adalah menganjurkan untuk mengerjakan atau mengucapkan apa yang
17
Nashr Farid Muhammad Washil, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa‟id Fiqhiyyah, Jakarta:
Amzah, 2009, h. 252-253.
38
seharusnya. Sedangkan melarang keburukan adalah membujuk orang lain agar
meninggalkan apa yang sebaiknya ditinggalkan.18
c. Syarat-syarat pembelaan umum
Hukum pembelaan umum adalah wajib, tetapi dalam pelaksanaannya
diperlukan syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan orang yang
melaksanakannya. Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan tabiat (sifat)
kewajiban dan ada pula yang berkaitan denagn prinsip dasar syariat: Dewasa dan
berakal sehat (mukalaf), beriman, adanya kesanggupan, adil, izin (persetujuan).19
d. Syarat melarang keburukan
Untuk melaksanakan amar ma’ruf tidak diperlukan syarat khusus, karena
amar ma’ruf berupa nasihat, petunjuk dan pengajaran. Jadi, bisa dilakukan setiap
saat dan kesempatan. Adapaun untuk mencegah kemungkaran maka diperlukan
syarat tertentu, yaitu: Adanya perbuatan buruk atau munkar, keburukan atau
kemunkaran terjadi seketika, kemunkaran itu diketahui dengan jelas.
e. Cara memberantas kemungkaran
Apabila seseorang melakukan keburukan (kemungkaran) sedang ia tidak
tahu perbuatannya adalah keburukan, cara yang baik untuk mencegahnya adalah
dengan memberi penjelasan dengan sikap yang halus dan lemah lembut bahwa
perbuataanya itu adalah suatu perbuatan yang buruk.
18
A. Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Singa Grafika, 2004, h.
95. 19
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, Bulan Bintang, Jakarta: 1993, h. 220-221.
39
1) Penjelasan
Jika seseorang melakukan suatu perbuatan mungkar tetapi dia tidak tahu
bahwa perbuatannya adalah keburukan, maka cara yang baik untuk mencegahnya
adalah memberi penjelasan kepadanya bahwa perbuatannya adalah suatu
perbuatan mungkar
2) Memberi nasihat dan petunjuk
Ditunjukan kepada orang yang memulai suatu perbuatan dan
menyadarinya bahwa perbuatan itu adalah perbuatan munkar. Jika dengan nasihat
dan petunjuk bisa diduga pelaku perbuatan tersebut akan meninggalkan
kemungkaran tersebut.
3) Menggunakan kekerasan
Hanya dalam keadaan darurat dan orang yang melakukan perbuatan tidak
dapat diatasi dengan cara halus, orang yang menggunakan kekerasan tidak boleh
mengeluarkan kata-kata yang kasar, melainkan dengan kata-kata yang baik, benar,
sopan serta sesuai dengan kebutuhan20
4) Mengadakan tindakan dengan tangan
Cara ini hanya berlaku pada perbuatan maksiat yang menurut tabiatnya
dapat mengalami perubahan materil dan tidak berlaku pada maksiat yang
berkaitan dengan lisan dan hati. Ada 2 syarat yang diperlukan: Orang yang
melakukan pemberantasan tidak perlu menggunakan tangannya sendiri, selama
20
Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit:
Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu, h. 506.
40
pelaku dapat dan bersedia mengubahnya sendiri, tindakan dengan tangan harus
disesuaikan dengan kadarnya.21
5) Menggunakan ancaman pemukulan dan pembunuhan
Cara ini baru tahap ancaman, bukan tindakan. Ancman tersebut harus
merupakan ancaman yang bisa diwujudkan, bukan ancaman yang tidak boleh
diwujudkan. Misalnya nanti kamu saya dera atau saya pukuli dengan perkataan
yang lebih keras.
6) Menggunakan pemukulan dan pembunuhan
Cara ini boleh dilakukan dalam keadaan darurat dan digunakan secara
bertahap sesuai dengan keperluan. Pembunuhan hanya boleh digunakan apabila
sudah tidak ada jalan lain lagi untuk memberantas perbuatan maksiat yang terjadi.
7) Minta bantuan orang lain
Apabila dengan dirinya sendiri seseorang tidak mampu untuk
memberantas kemungkaran dan memerlukan bantuan orang lain dengan kekuatan
dan senjatanya maka para fuqaha berbeda pendapat. Sebagian fuqaha berpendapat
meminta bantuan orang lain untuk memberantas kemungkaran tidak
diperbolehkan karena cara tersebut dikhawatirkan bertambah luasnya keributan
dan ketidaktenteraman sebab orang yang diberantas juga akan mendatangkan
temannya sehingga dapat menimbulkan peperangan. Perorangan boleh
menggunakan cara ini jika mendapat izin dari penguasa.
21
A. Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Singa Grafika, 2004, h.
98-100.
41
Menurut sebagian fuqaha lainnya, cara tersebut boleh digunakan tanpa
memerlukan izin dari penguasa sebab cara tersebut pada hakikatnya sama dengan
cara lain yang menimbulkan kemungkinan terjadinya keributan yang lebih luas.
Ketujuh cara tersebut dapat digunakan terhadap siapa saja, kecuali terhadap orang
tua, suami dan pihak penguasa.
B. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut KUHP
1. Pembelaan Terpaksa (Noodweer)
a. Pengertian Pembelaan Terpaksa
Dari segi bahasa, noodweer terdiri dari kata “nood”dan “weer”. “Nood”
yang artinya (keadaan) darurat.”Darurat” berarti: Dalam keadaan sukar (sulit)
yang tidak disangka-sangka yang memerlukan penanggulangan segera, kemudian
dalam keadaan terpaksa. “Weer” artinya pembelaan yang berarti perbuatan
membela, menolong, melepaskan dari bahaya22
. Jika digabungakan kedua kata
tersebut maka dapat diartikan melepaskan dari bahaya dalam keadaan terpaksa
atau menolong dalam keadaan sukar (sulit).23
Noodweer adalah pembelaan yang
diberikan karena sangat mendesak terhadap serangan yang mendesak dan tiba-
tiba serta mengancam dan melawan hukum.24
Pembelaan terpaksa merupakan
alasan menghilangkan sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid atau
onrechtmatigheid), maka alasan menghilangkan sifat tindak pidana
22
Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, h.
156. 23
Pengertian tersebut muncul karena undang-undang tidak memberi pengertian dari pada
“noodweer”. Doktrin memberikan kata “noodweer” bagi pasal 49 ayat (1) KUHP. 24
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 200.
42
(strafuitsluitings-grond) juga dikatakan alasan membenarkan atau menghalalkan
perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana (rechtvaardigings-
grond) disebut fait justificatief.25
Pembelaan terpaksa dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1 sebagai berikut:
“Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa
(lijf) untuk diri atu orang lain, kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta
benda (goed) sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan (aanranding)
atau ancaman serangan yang melawan hukum (wederrechtelijk) pada ketika itu
juga.”
Maka tidaklah berlaku pasal 49 ayat 1 KUHP jika: Apabila serangan dari
seseorang dikatakan belum dimulai dan juga belum memenuhi syarat onmiddelijk
dreigende (dikhawatirkan akan segera menimpa), kemudian apabila serangan
dari seseorang dikatakan telah selesai. Istilah onmiddelijk dreigende tidak ada
dalam pasal tersebut dari KUHP Belanda tetapi hanya disebut serangan
ogenblikkelijk (seketika itu). Van Hattum menceritakan bahwa dari rancangan
KUHP belanda tersebut, yang dimaksud dengan ogenblikkelijk juga meliputi
onmiddelijk dreigende, tetapi usulan tersebut ditolak oleh Perlemen Belanda pada
tahun 1900 karena dikhawatirkan akan adanya penyalahgunaan. Tetapi dalam
KUHP Indonesia yang mulai berlaku pada 1 Januari 1918 kata onmiddelijk
dreigende (serangan tiba-tiba) ditambahkan. Dengan alasan bahwa keadaan
khusus di Indonesia karena sering terjadi perampokan dalam suatu rumah.
25
Wirjono Prodjodikoro, Asa-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Eresco, 1989, h. 78.
43
Apabila dalam hal ini para perampok itu baru mendekati rumah yang akan
dirampok, maka dianggap layak apabila penghuni rumah melakukan tembakan
kepada para perampok, setelah para perampok dari jauh mendekati rumah dalam
kasus tersebut sudah merupakan pelaku serangan yang onmiddelijk dreigende
atau dikhawatirkan akan segera menimpa.26
b. Doktrin membuat syarat / unsur noodweer yaitu:
1) Harus ada serangan (aanranding), harus memenuhi syarat:
a) Serangan itu harus datang mengancam27
dengan tiba-tiba
Pembolehan pembelaan terpaksa bukan saja pada saat serangan sedang
berlangsung akan tetapi sudah boleh dilakukan pada saat adanya ancaman
serangan. Artinya serangan itu secara obyektif belum diwujudkan namun baru
adanya ancaman serangan.28
b) Serangan itu harus melawan hukum (wederrechtelijk)
Serangan tersebut tidak dibenarkan baik dari undang-undang (melawa
hukum formil) maupun dari sudut masyarakat (melawan hukum materil).
2) Terhadap serangan perlu dilakukan pembelaan diri29
harus memenuhi
syarat: Harus merupakan pembelaan yang terpaksa30
, kemudian
pembelaan itu harus dengan serangan yang setimpal.31
26
Wirjono Prodjodikoro, Asa-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Eresco, h. 79. 27
Serangan mengancam adalah serangan yang sedang berlangsung, artinya telah dimulai dan
belum berakhir. 28
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke- 1,
2002, h. 47. 29
Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Jakarta: Sinar Grafika,
1991, h. 73-74.
44
3) Pembelaan harus dilakukan untuk membela diri sendiri atau orang lain,
peri kesopanan (kehormatan) diri atau orang lain, benda kepunyaan
sendiri atau orang lain.32
Diri berarti badan, kehormatan adalah
kekhususan dari penyerangan terhadap badan, yaitu penyerangan badan
dalam lapangan seksual.
4) Harus ada serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum dan
seketika, berarti ada 3 syarat: Serangan seketika, ancaman serangan
seketika itu, bersifat melawan hukum33
c. Serangan yang dilakukan binatang, orang gila dan instrumen security/
keamanan
1) Serangan binatang
Serangan mengancam dengan tiba-tiba tetapi serangan itu tidak melawan
hukum, karena binatang tidak tunduk pada hukum dan tidak mengerti hukum.
Karenanya tidak dapat dimasukkan kepada pengertian noodweer. Hoge Raad (H.
R) pada tanggal 3 Mei 1915 (N. J. 1915 Nr. 9820) tentang anjing-anjing polisi
yang dikenal dengan “politie-honden arrest”. H.R mengatakan: “penggunaan
anjing-anjing polisi untuk menangkap tersangka adalah alat yang wajar digunakan
dan oleh sebab itu, melawan penangkapan dengan perantaraan anjing bukan suatu
noodweer”.
30
Yang dimaksud adalah jika tidak ada jalan lain yang memungkinkan untuk menghindarkan
serangan itu atau juga disebut asas subsidiaritas. 31
Yang berarti bahwa ada keseimbangan kepentingan hukum yang dibela dengan kepentingan
hukum yang dikorbankan atau juga disebut asas keseimbangan (proposionaliteit). 32
Apa yang dibela secara limitatif dicantumkan oleh pasal 49 ayat (1) KUHP. 33
Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1987, h. 76.
45
2) Serangan orang gila
Orang gila adalah yang jiwanya dihinggapi penyakit atau tidak sempurna
akalnya berdasarkan pasal 44 KUHP. Perbuatan yang dilakukan oleh orang gila
adalah wedwerrechtelijk. Hanya karena keadaan jiwanya, tidak dapat dihukum,
jadi dapat mengadakan ”noodweer”. Menurut VOS, terhadap suatu serangan yang
datang dari seorang yang berpenyakit jiwa yang tidak dapat mengetahui lagi
tentang apa yang dilakukan itu, orang tidak dapat melakukan suatu noodweer
karena dalam peristiwa tersebut orang tidak dapat lagi mengatakan tentang adanya
suatu serangan. Hazewinckel-Suringa berpendapat bahwa “Perbuatan yang
dilakukan oleh seorang yang mempunyai penyakit jiwa itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada pelakunya, akan tetapi hal tersebut tidak
menghapuskan sifatnya yang melanggar hukum dari perbuatannya yaitu apabila
perbuatannya itu merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.”
Maka suatu serangan yang dilakukan oleh seorang yang mempunyai penyakit jiwa
itu tetap bersifat melanggar hukum.34
Menurut Prof. Pompe yang berpendapat bahwa “Selama pencuri
menguasai barang curian masih dalam jangkauan si pemilik barang, maka pemilik
barang tersebut dapat melakukan noodweer untuk memperoleh kembali
miliknya.” Dengan selesai kejahatan pencurian tidaklah berarti serangan
sebagaimana dimaksud pasal 49 ayat (1) KUHP itu juga harus dianggap selesai.
Sedangkan menurut Prof. Van Bemmelen “Bahwa noodweer tidak dapat
34
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghia Indonesia, 2006, h. 196.
46
dilakukan di dalam 2 peristiwa,” yaitu: Pertama, peristiwa di mana suatu serangan
yang bersifat melawan hukum itu baru akan terjadi di masa yang yang akan
datang. Kedua, peristiwa di mana suatu serangan yang bersifat melawan hukum
itu telah berakhir.35
Perbuatan yang masuk dalam pembelaan terpaksa pada dasarnya adalah
tindakan menghakimi terhadap orang yang berbuat melawan hukum terhadap diri
orang itu atau orang lain (eigenriching).36
Jika peristiwa pengroyokan seorang
pencuri oleh banyak orang dapat masuk pelampauan batas keperluan membela diri
yang memenuhi syarat-syarat dari pasal 49 ayat 1 KUHP, maka orang-orang yang
mengeroyok tidak dapat dihukum. Tapi si pencuri berhak membela diri
(noodweer) terhadap pengroyokan sehingga mungkin melukai salah seorang dari
pengroyokan tersebut maka si pencuri tidak dapat dihukum karena penganiayaan
(mishandeling) dari pasal 351 KUHP.
2. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (noodweer exces)
a. Pengertian Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas
Menurut Van Bemmelen noodweer exces adalah melawan hukum atau
tidak tercela. Pelampauan batas pembelaan terpaksa yang disebabkan oleh suatu
35
Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum pidana, Jakarta: aksara Baru, 1987, h. 77. 36
Tindakan ini dilarang oleh undang-undang tapi dalam h pembelaan terpaksa seolah-olah suatu
eigenriching yang diperkenankan oleh undang-undang, berhubung dalam h seranganseketika yang
melawan hukum ini, negara tidak dapat berbuat banyak untuk melindungi penduduknya, maka orang
yang menerima serangan seketika yang melawan hukum, diperkenakan melakukan perbuatan sepanjang
memenuhi syarat untuk melindungi kepentingan sendiri atau orang lain. Lihat dalam Adami Chazawi,
Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke- 1, 2002, h. 41.
47
tekanan jiwa yang hebat karena adanya serangan orang lain yang mengancam.
Perbuatan pidana tetap ada tetapi unsur pertanggungjaawaban pidana terhapus.37
Dirumuskan dalam pasal 49 ayat 2:
“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan
oleh kegoncanngan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu,
tidak dipidana.”
Dalam Teks aslinya:
“Niet strafbaar is de overschrijding van de grenzen van noodzakelikjke
verdediging, indien zij het onmiddelijkgeloig is gewest van
hevigegemoedsbeweging, door de aanranding veroorzaakt”
Penafsiran dan terjemahan yang berbeda khususnya mengenai
”hevigegemoedsbeweging” oleh Prof. Satochid Kartanegara diterjemahkan
dengan, keadaan jiwa yang menekan secara sangat atau secara hebat (tekanan jiwa
yang hebat), sedang Tiraamidjaja menerjemahkan dengan “gerak jiwa yang
sangat”, Utrecht menerjemahkan ”perasaan sangat panas hati”.
Karena terjadi perbedaan mengenai terjemahan dalam pasal tersebut, maka
harus diuraikan komponen “nooodweer exces”, yaitu:
1) Melampaui batas pembelaan yang perlu. Dapat disebabkan karena alat yang
dipilih untuk membela diri atau cara membela diri adalah terlalu keras. Misalnya
menyerang dengan sebatang kayu, dipukul kembali dengan sepotong besi.
Kemudian yang diserang sebetulnya bisa melarikan diri atau mengelakan ancaman
37
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 200.
48
kelak akan dilakukan serangan, tetapi masih juga memilih membela diri. Prof.
Pompe berpendapat bahwa “Perbuatan melampaui batas keperluan dan dapat pula
berkenaan dengan perbuatan melampaui batas dari pembelaannya itu sendiri,
batas dari keperluan itu telah dilampaui yaitu baik apabila cara-cara yang telah
dipergunakan untuk melakukan pembelaan itu telah dilakukan secara berlebihan,
misalnya dengan cara membunuh si penyerang padahal dengan sebuah pukulan
saja, orang sudah dapat membuat penyerang tersebut tidak berdaya. Apabila orang
sebenarnya tidak perlu melakukan pembelaan, misalnya karena dapat
menyelamatkan diri dengan cara melarikan diri. Batas dari pembelaan itu telah
terlampaui yaitu apabila setelah pembelaannya sudah selesai/ berakhir, orang itu
masih menyerang si penyerang.” Sedangkan menurut Hoge Raad,”hebatnya
kegoncangan hati itu hanya membuat seseorang tidak dapat dihukum yaitu dalam
hal melampaui batas yang diizinkan untuk melakukan suatu pembelaan telah
dilakukan terhadap suatu serangan yang melawan hukum yang telah terjadi
seketika itu juga”.38
2) Tekanan jiwa hebat/terbawa oleh perasaan yang sangat panas hati
“Hevigegemoedsbeweging” oleh Prof. Satochid diartikan keadaan jiwa yang
menekan secara hebat yang menurut Utrecht, karena ketakutan putus asa,
kemarahan besar, kebencian, dapat dipahami bahwa pertimbangan waras akan
lenyap, jika dalam keadaan emosi kemarahan besar.
38
Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Jakarta: Sinar Grafika,
1991, h. 80-81.
49
3) Hubungan kausal antara “serangan” dengan perasaan sangat panas hati
Pelampauan batas ini terjadi apabila serangan balasan dilanjutkan pada waktu
serangan lawan sudah dihentikan. Kemudian tidak ada imbangan antara
kepentingan yang diserang dan kepentingan lawan yang menyerang.
Karena pelampauan batas ini tidak diperbolehkan, maka seseorang
berdasarkan pasal ini tidak dapat dihukum, tetap melakukan perbuatan melanggar
hukum. Perbuatannya tidak halal, tetapi si pelaku tidak dihukum.39
Dalam pasal
ini dapat dipahami bahwa serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum
dan menyebabkan goncangan jiwa yang hebat sehingga orang yang terancam
melakukan tindak pidana yang lebih berat dari ancaman serangan yang
menimpanya, maka perbuatan tersebut tidak dipidana. Schravendik memberikan
contoh ada seorang laki-laki secara diam-diam masuk ke kamar seorang gadis
dengan maksud hendak menyetubuhi gadis tersebut. Pada saat laki-laki meraba-
raba tubuh si gadis, terbangunlah dia. Dalam situasi yang demikian, tergoncanglah
jiwa antara amarah, bingung, ketakutan yang hebat40
sehingga dengan tiba-tiba
gadis itu mengambil pisau di dekatnya dan laki-laki tersebut ditikam hingga
mati.41
Oleh sebab adanya kegoncangan jiwa yang hebat inilah, maka pakar
39
Wirjono, Asa-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Eresco, h. 81. 40
Perasaan takut adakalanya hanya berupa meringankan hukuman seperti tindak pidana
mempersilakan anak di bawah umur 7 tahun agar ditemukan dan dipiara oleh orang lain (to
vondelingleggen) dari pasal 305 KUHP, menurut pasal 308 KUHP hukuman yang diancamkan dalam
pasal 305 KUHP dikurangi separuh apabila perbuatan itu dilakukan oleh seorang ibu pada waktu dekat
anak itu dilahirkan olehnya dan merasa ketakutan oleh khayak ramai bahwa ia sudah melahirkan. H
tersebut biasanya terjadi di luar pernikahan. 41
Jonkers J.E, Handboek van het Nederladsch Indische Strafrech, dalam Adami Chazawi,
Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke- 1, 2002, h. 53.
50
hukum memasukkan noodweer exces ke dalam alasan pemaaf karena
menghilangkan unsur kesalahan pada diri si pembuat.
C. Pertanggungjawaban Pidana
1. Pertanggungjawaban Pidana menurut Hukum Pidana Islam
a. Pengertian dan sebab-sebab penghapus tindak pidana dalam
pertanggungjawaban pidana
Hukum Islam mencakup aspek yang sangat luas, mulai dari aturan yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya maupun hubungan
sesama manusia itu sendiri. Salah satu ruang lingkup itu adalah hukum pidana
Islam yang dalam tradisi fiqih disebut dengan istilah jarimah atau jinayah, yang
secara terminologis bermakna tindak pidana atau delik yang dilarang oleh syari’at
dan diancam dengan hukuman bagi pelanggarnya. Salah satu prinsip dalam
syari’at Islam adalah seseorang tidak bertanggung jawab42
kecuali terhadap
jarimah yang telah diperbuatnya sendiri dan bagaimanapun juga tidak
bertanggungjawab atas perbuatan jarimah orang lain. Suatu perbuatan tidak dapat
dianggap sebagai suatu tindak pidana sebelum ada ketentuan Undang-undang
yang melarang. Suatu perbuatan dan pelanggaran dari ketentuan Undang-undang
tersebut berakibat pada pelaku tindak pidana untuk diminta
pertanggungjawabannya.
42
Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam adalah pembebanan terhadap
seseorang atas suatu perbuatan yang telah dilarang yang ia kerjakan dengan kemauan sendiri dan ia
Sadar akibat dari perbuatannya itu. Lihat dalam, Abd. Salam Arief, Fiqh Jinayah, Yogyakarta: Ideal,
1987, h. 45.
51
Pertanggungjawaban pidana (al-Mas’uliyyah al-Jināiyyah) ditegakkan atas
3 hal, yaitu:43
Pelaku melakukan perbuatan yang dilarang, pelaku mengerjakan
dengan kemauan sendiri (mukhtar), pelaku mengetahui akibat perbuatannya
(mudrik). Ketiga hal tersebut harus terpenuhi, sehingga bila salah satunya tidak
terpenuhi maka tidak ada pertanggungjawaban pidana. Pelanggaran atau kejahatan
terhadap ketentuan hukum dapat berupa berbuat atau tidak berbuat. Pelaku
jarimah dapat dihukum apabila perbuatannya dapat dipersalahkan. Setiap
perbuatan pidana atau peristiwa pidana itu harus mengandung unsur-unsur sifat
melawan hukum, perbuatan tersebut dapat dipersalahkan dan perbuatan yang
dilakukan merupakan perbuatan yang dalam hukum dinyatakan perbuatan yang
dapat dihukum.
Lebih lanjut dikatakan bahwa jarimah dapat dipersalahkan terhadap
pelakunya apabila pelaku tersebut sudah berakal, cukup umur, dan bebas
berkehendak. Dalam arti pelaku tersebut terlepas dari unsur paksaan dan dalam
keadaan kesadaran yang penuh.44
Sedangkan menurut syari’at Islam
pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yaitu kekuatan berpikir
dan kesadaran penuh. Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda
menurut perbedaan masa yang dilalui hidupnya. Unsur-unsur jarimah dalam
hukum pidana Islam, yaitu:45
Adanya nas yang melarang dan mengancam
43
Ahmad Hanafi,Asas-asas Hukum Pidana, Bulan Bintang, Jakarta: 1993, h.154. 44
Abd. Salam Arief, Fiqh Jinayah, Yogyakarta: Ideal, 1987, h. 4. 45
Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), yogyakarta: Perpustakaan Universitas Islam Indonesia,
1991, h. 6.
52
perbuatan itu, adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, si pembuat adalah
mukallaf.
Pada dasarnya orang yang melakukan jarimah itu dihukum, tetapi ada yang
di antaranya tidak dihukum karena mabuk, gila dan belum dewasa. Dalam syarat
sahnya memberi hukuman kepada mukallaf ada dua syarat yang harus dipenuhi,
yaitu:
a. Sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif yakni ia harus mampu
memahami nas-nas hukum yang dibebankan Al-Qur’an dan sunnah baik
langsung maupun yang melalui perantara.
b. Sang mukallaf harus orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan
kepadanya, pengertian ahli secara etimologis adalah kelayakan atau layak.
Oleh karena itu kedua syarat tersebut apabila telah terdapat pada seseorang
maka ia dapat dikenai pertanggungjawaban. Jadi prinsip dasar dari kedua prinsip
syarat tersebut adalah kemampuan membedakan dengan menggunakan akalnya.
Tanggung jawab dapat diartikan bertindak tepat tanpa perlu diperingatkan. Sedang
bertanggung jawab merupakan sikap tidak tergantung dan kepekaan terhadap
perasaan orang lain. Jelasnya pengertian tanggung jawab di sini adalah kesadaran
yang ada dalam diri seseorang bahwa setiap tindakan akan mempunyai pengaruh
bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri.46
Dalam hukum pidana Islam, pertanggungjawaban pidana dapat terhapus
karena adanya sebab-sebab tertentu baik yang berkaitan dengan perbuatan si
46
Alex Sobur, Komunikasi Orang Tua dan Anak, Bandung: Angkasa, 1991, h. 63.
53
pelaku tindak pidana maupun sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan
pembuat delik.47
Dalam keadaan pertama, perbuatan yang dilakukan adalah
perbuatan yang mubah (tidak dilarang), sedangkan dalam keadaan kedua
perbuatan tersebut tetap dilarang tapi tidak dijatuhi hukuman ketika
melakukannya.48
Seperti kejahatan yang dilakukan dalam keadaan dipaksa, tidak
akan ada tuntutan hukum atas hal tersebut asalkan terbukti benarnya, kemudian
kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan tidak sadar seperti
mengigau, meskipun dia tampak awas, namun dia tetap tertidur. Maka secara
hukum dia tidak bertanggungjawab, begitu juga dengan tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang yang masih anak-anak dan seseorang yang dalam
keadaan gila atau sakit saraf.
a. Pembolehan perbuatan yang dilarang.
Pada dasarnya perbuatan yang dilarang oleh hukum Islam itu diharamkan
tetapi terdapat pengecualian yaitu pembolehan sebagaian perbuatan yang dilarang
bagi orang yang memiliki karakter-karakter khusus sebab kondisi seseorang atau
keadaan masyarakat menuntut adanya pembolehan ini. Juga karena orang yang
diperkenankan untuk melakukan perbuatan yang dilarang sebenarnya
melakukannya untuk mencapai suatu tujuan atau beberapa tujuan hukum Islam.
Contohnya membunuh. Perbuatan ini diharamkan bagi setiap orang. Hukuman
47
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia, 2000, h. 177. 48
Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit:
Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu, h.135.
54
bagi pembunuh sengaja adalah qishash yaitu hukuman mati. Tetapi hukum Islam
memberikan hak dalam pelaksanaan hukuman mati kepada wali korban.
b. Hak dan kewajiban
Antara hak dan kewajiban pada dasarnya adalah dua hal yang berbeda.
Melakukan hak hanya bersifat boleh, sedangkan melakukan kewajiban bersifat
harus secara mutlak. Meskipun hak dan kewajiban berbeda pada tabiatnya,
keduanya sejalan dari segi pidana yaitu bahwa perbuatan yang dilakukannya baik
menjalankan kewajiban maupun menggunakan hak merupakan perbuatan yang
diperbolehkan dan tidak dianggap sebagai tindak pidana. Satu perbuatan dianggap
sebagai hak bagi seseorang, namun dianggap sebagai kewajiban bagi orang lain.
Misalnya: membunuh sebagai hukuman qishash adalah hak bagi wali korban tapi
qishash menjadi wajib bagi algojo yang ditugaskan untuk menjalankannya.
1) Hak tidak mungkin dapat dijatuhi hukuman karena meninggalkannya,
sedangkan kewajiban ada kemungkinan dijatuhi hukuman karena
meninggalkannya, ketetapan ini telah disepakati oleh para fuqaha.
2) Hak terikat dengan syarat keselamatan, sedangkan kewajiban tidak terikat
dengan syarat keselamatan. Maksudnya, orang yang menggunakan haknya
senantiasa bertanggungjawab atas keselamatan objek karena dia dapat memilih
antara melakukan perbuatan yang menjadi haknya atau meninggalkannya.
3) Sebab dan tingkat pertanggung jawaban pidana
Apabila pertanggungjawaban pidana tergantung kepada adanya perbuatan
melawan hukum, sedangkan perbuatan melawan hukum itu bertingkat maka
55
pertanggungjawaban juga bertingkat-tingkat. Hal ini disebabkan karena
kejahatan seseorang itu erat kaitannya dengan niatnya: Sengaja (Al-amdu),
menyerupai sengaja (Syibhu al Amd), keliru (al Khata).
4) Yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana
a. Pengaruh tidak tahu
Ketentuan yang berlaku dalam syariat Islam adalah bahwa pelaku tidak
dihukum karena suatu perbuatan yang dilarang, kecuali mengetahui dengan
sempurna tentang dilarangnya perbuatan tersebut maka tidak dibebani
pertanggungjawaban pidana. Dengan adanya kemungkinan untuk mengetahui
maka setiap mukallaf dianggap mengetahui semua hukum atau undang-undang
walaupun dalam kenyataannya banyak dari mereka yang tidak mengetahui. Tidak
tahu tentang arti suatu undang-undang dipersamakan dengan tidak tahu bunyi
undang-undang itu sendiri dan kedudukannya, maka tidak bisa diterima sebagai
alasan pembebasan hukuman. Dalam hukum positif kesalahan pengertian ini
disebut sebagai salah tafsir.
b. Pengaruh lupa
Lupa adalah tidak siapnya sesuatu pada waktu diperlukan. Dalam syariat
Islam, lupa disejajarkan dengan keliru. Para fuqaha terbagi dua kelompok dalam
membahas hukum dan pengaruh lupa. Pertama, lupa adalah alasan yang umum
baik dalam urusan ibadah maupun pidana. Berdasarkan prinsip umum yang
menyatakan bahwa orang yang mengerjakan perbuatan yang dilarang karena lupa,
tidak berdosa dan dibebaskan dari hukuman. Meskipun demikian tetap dikenakan
56
pertanggungjawaban perdata apabila perbuatannya menimbulkan kerugian orang
lain. Kedua, lupa hanya menjadi alasan hapusnya hukuman akhirat, karena
hukuman akhirat didasarkan atas kesengajaan sedangkan orang lupa kesengajaan
itu sama sekali tidak ada. Untuk hukuman dunia, lupa tidak bisa menjadi alasan
hapusnya hukuman sama sekali kecuali hal yang berhubungan dengan hak Allah
dengan syarat adanya motif yang wajar untuk melakukan perbuatannya itu dan
tidak ada hal yang mengingatkannya sama sekali. Meskipun demikian pengakuan
lupa dari pelaku tidak bisa membebaskannya dari hukuman sebab pelaku harus
dapat membuktikan kelupaannya dan hal ini sangat sulit dilakukan.
c. Pengaruh keliru
Keliru adalah terjadinya sesuatu di luar kehendak pelaku. Dalam jarimah
yang terjadi karena kekeliruan, pelaku melakukan perbuatan tersebut bukan
karena niat atau kesengajaan melainkan karena kelalaian dan kurang hati-hati.
Dalam segi pertanggungjawaban pidana orang yang keliru dipersamakan dengan
orang yang sengaja berbuat, apabila perbuatan yang dilakukannya itu merupakan
perbuatan yang dilarang oleh syara’. Sebenarnya pertanggungjawaban pidana
hanya dibebankan kepada perbuatan sengaja yang diharamkan oleh syara’ dan
tidak dikenakan terhadap kekeliruan.
Dengan adanya ketentuan pokok dan yang satu lagi merupakan
pengecualian dari ketentuan pokok maka untuk dapat dikenakan hukuman atas
perbuatan karena kekeliruan harus terdapat ketentuan yang tegas dari syara’. Jadi
apabila syara’ tidak menentukan hukuman untuk suatu perbuatan karena
57
kekeliruan maka tetap berlaku ketentuan pokok yaitu bahwa perbuatan tersebut
tidak dikenakan hukuman.49
Perbuatan yang berkaitan dengan jarimah dan hubungannya dengan
pertanggungjawaban pidana ada 3:
1) Perbuatan langsung (mubasyaroh)
Suatu perbuatan yang dengan langsung tanpa perantara telah menimbulkan
jarimah dan sekaligus menjadi illat bagi jarimah tersebut, seperti penembakan
seseorang dengan pistol terhadap orang lain yang mengakibatkan kematian.
2) Perbuatan sebab
Suatu perbuatan yang secara tidak langsung menimbulkan jarimah dan
menjadi illat-nya pula, tapi dengan perantara perbuatan lain, seperti persaksian
palsu atas orang yang sebenarnya tidak bersalah bahwa telah melakukan
pembunuhan.
3) Perbuatan syarat
Suatu perbuatan yang tidak menimbulkan jarimah dan tidak menjadi illat
nya seperti orang yang membuat sumur untuk keperluan sehari-hari tetapi
digunakan oleh orang lain (orang kedua) untuk menjerumuskan orang ketiga
sampai meninggal. Dalam contoh tersebut, adanya sumur menjadi syarat kematian
korban dan penjerumusan adalah perbuatan langsung. Bagi pembuat syarat, tidak
ada pertanggungjawaban pidana selama dengan perbuatannya itu tidak bermaksud
untuk turut serta, memudahkan atau memberi bantuan untuk terlaksananya
49
A. Wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Singa Grafika, h.78-80.
58
jarimah. Sedangkan bagi pelaku perbuatan langsung dan sebab dikenakan
pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya karena keduanya merupakan illat
(sebab) adanaya jarimah.50
2. Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP
Dalam sistem hukum pidana positif, pertanggungjawaban pidana terkait
erat dengan kesalahan dan perbuatan melawan hukum, sehingga seseorang
mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu:51
a. Unsur obyektif, yaitu harus ada unsur melawan hukum.
b. Unsur subyektif, yaitu terhadap pelakunya harus ada unsur kesalahan
dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan.
Menurut Pompe, sebagaimana dikutip oleh Martiman Projohamidjojo,
unsur-unsur pertanggungjawaban, adalah :52
a. Kemampuan berfikir (psychis) pada pembuat yang memungkinkan
pembuat menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya
b. Dapat mengerti makna dan akibat perbuatannya
c. Pembuat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya (tentang
makna dan akibat)
Satochid Kartanegara menyatakan bahwa toerekeningsvatbaarheid atau
dapat dipertanggungjawabkan adalah mengenai keadaan jiwa seseorang,
50
Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), yogyakarta: Perpustakaan Universitas Islam Indonesia,
1991, h. 84. 51 Martiman Projohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukuman Pidana di Indonesia 2 Jakarta:
Pradnya Paramita, 1997, h. 31.
59
sedangkan toerekenbaarheid (pertanggungjawaban) adalah mengenai perbuatan
yang dihubungkan dengan sipelaku atau pembuat.
Dalam sistem hukum pidana positif (KUHP), pelaku tindak pidana tidak
dapat dikenakan pidana apabila tidak dapat dasar peniadaan pidana sebagai
berikut:53
a. Alasan yang membenarkan atau menghalalkan perbuatan
pidana,54
adalah:
1) Keperluan membela diri atau noodweer (Pasal 49 ayat 1 KUHP)
2) Melaksanakan ketentuan undangundang (Pasal 50 KUHP)
3) Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh seorang
penguasa yang berwenang (Pasal 51 ayat 1 KUHP)
Ketiga alasan ini menghilangkan sifat melawan hukum dari suatu tindakan
sehingga perbuatan si pelaku menjadi diperbolehkan.
b. Alasan yang memaafkan pelaku55
, hal ini termuat dalam :
53 Andi Hamzah, op. cit, hlm. 143. Dasar peniadaan pidana adalah alasan-alasan yang
memugkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik tidak dipidana, Lihat
dalam, Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990, hlm. 138 54 Yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang
dilakukan terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tidak pidananya terdakwa karena
perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Walaupun dalam kenyataanya
perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur tindak pidana. Akan tetapi karena hilangnya sifat melawan
hukum, maka terdakwa tidak dipidana. Lihat dalam, Moeljatno, op. cit, hlm. 137. 55 Yaitu alasan yang menghapuskan kesalaahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan terdakwa
bersifat melawan hukum, tetapi tidak dipidana karena tidak ada kesalahan..Perbuatan tersebut walaupun
terbukti melanggar undang-undang (bersifat melawan hukum), namun karena hapusnya kesalahan pada
diri terdakwa, maka perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.lihat dalam, Adami Chazawi,
op. Cit, hlm. 19.
60
1) Pasal 44 ayat 1 KUHP, yang menyatakan seseorang tidak
dapatvdipertanggung jawabkan perbuatannya, disebabkan jiwanya cacat dalam
tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke
storing)
2) Pasal 48 KUHP, yang menyatakan seseorang yang melakukan
perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana
3) Pasal 49 ayat 2 KUHP, menyatakan bahwa pembelaan terpaksa yang
melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat
karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
4) Pasal 51 ayat 2 KUHP, menyatakan terhapusnya pidana karena perintah
jabatan tanpa wenang, jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa
perintah diberikan dengan wenang, dan pelaksanaanya termasuk dalam
lingkungan pekerjaanya.
Ketentuan-ketentuan tentang alasan dan hal-hal yang mempengaruhi
pemidanaan ini bersifat umum, sehingga berlaku juga pada kejahatan terhadap
nyawa. Dalam mengartikan sebuah delik atau tindakan yang dapat dipidana
haruslah ada unsur-unsur tertentu di dalamnya, unsur-unsur tersebut menurut
hukum positif yaitu : Suatu perbuatan, Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan
hukuman, dan Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.56
56
Leden Marpaung, op. cit, hlm. 4.
61
BAB IV
ANALISIS PEMBELAAN TERPAKSA MELAMPAUI BATAS
DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
A. Syarat dan Dasar Hukum Pembelaan Terpaksa
Pada dasarnya istilah pembelaaan terpaksa melampaui batas, tidak
ditemukan dalam Hukum Pidana Islam. Pengertian yang lebih spesifik dalam
hukum pidana Islam lebih dikenal dengan istilah dif’a asy-syar’i al-khass
(pembelaan syar’i khusus atau pembelaan yang sah) atau daf’u as-sail (menolak
penyerang). Meskipun demikian, secara subtantif pengertian tersebut penulis
analogikan dengan maksud yang terdapat dalam hukum positif.
Dalam masalah pembelaan yang sah Islam membedakannya menjadi dua
yaitu Pembelaan khusus (daf us-sha’il) dan Pembelaan umum atau (dif’a asy-
syar’i al-am) atau yang lebih dikenal dengan istilah Amar Ma’ruf Nahi Munkar.1
Tetapi di dalam KUHP pasal 49 ayat 1, dikenal istilah pembelaan terpaksa
(noodweer), yang berasal dari kata nood dan weer. “Nood” berarti darurat
(keadaan)/ keadaan terpaksa, sedangkan “weer” berarti pembelaan, menolong
atau melepaskan dari bahaya. Sedangkan pasal 49 ayat 2 dikenal pengertian
pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces). Pengertian tersebut pada
dasarnya sama dengan pengertian yang dimaksud dalam ayat 1 tetapi dalam ayat 2
terdapat kata “exces” yang berarti pelampauan batas. Jadi, terdapat perbedaan
1 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma Ilmu, h. 138.
62
istilah dalam pengertian antara hukum pidana Islam dan KUHP. Tetapi terdapat
persamaan yang mendasar antara keduanya, yaitu objek atau sasaran yang
dilindungi. Dalam KUHP maupun hukum Islam, dalam pembelaan terpaksa,
sama-sama bertujuan melindungi jiwa, kehormatan, harta benda baik untuk diri
sendiri maupun orang lain.
Dalam KUHP tidak ditentukan atau dijelaskan pengertian maupun syarat
pembelaan terpaksa, dan apakah pembelaan merupakan hak atau kewajiban
seseorang. Tetapi oleh ahli hukum, dijelaskan secara rinci mengenai apa yang
dimaksud pembelaan terpaksa ini. Karena dalam pasal tersebut hanya disebutkan
tidak dipidana, barang siapa “yang melakukan pembelaan terpaksa”, hal ini berarti
kalimat aktif, dalam keadaan seketika itu juga terpaksa atau terdorong oleh situasi
yang darurat atau mendesak, bukan merupakan anjuran atau perintah. Tetapi
dalam hukum pidana Islam diperselisihkan apakah termasuk hak atau kewajiban
dalam pembelaan yang sah.2
Para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa membela diri adalah suatu
jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain dari
serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda. Tetapi berbeda atas
hukumnya, apakah merupakan suatu kewajiban atau hak. Jadi, konsekuensinya
apabila membela diri merupakan suatu hak, maka seseorang boleh memilih antara
2 Drs.H. Ahmad Wardi Muslih, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Singa Grafika,
2004, h. 93.
63
meninggalkan dan mengerjakannya, tetapi tidak berdosa dalam memilih salah
satunya. Sebaliknya apabila dikatakan kewajiban maka seseorang tidak memiliki
hak pilih dan berdosa ketika meninggalkannya.3 Melakukan pembelaan terhadap
serangan didasarkan pada Firman Allah SWT:
(QS2. Al Baqarah: 194)
“Bulan Haram dengan Bulan Haram dan pada sesuatu yang patut
dihormati, berlaku hukum qishash. oleh sebab itu barang siapa yang menyerang
kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.
bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang
yang bertakwa.” (Al Baqarah 2: 194).4
Jadi, dalam ayat tersebut dapat dilihat bahwa hukum pembelaan diri sangat
penting karena dalam hukum pidana Islam maupun positif mempunyai satu tujuan
yang sama dalam pembentukan hukum yaitu perlindungan HAM. Hukum Islam
dalam pembentukan hukum mempunyai tujuan utama yaitu untuk kemaslahatan
umat manusia baik di dunia maupun akhirat, yang sering dikenal Al-Maqasidu
Khamsah (Panca Tujuan: hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al-aql (menjaga akal),
hifz al-din (menjaga agama), hifz al-mal (menjaga harta) dan hifz al-nasl (menjaga
3 Ahmad hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana, Bulan Bintang, Jakarta: 1993, h. 211.
4 Al Baqarah (2): 194.
64
keturunan)5 terbukti dalam ayat tersebut memberikan penjelasan bahwa begitu
pentingnya pembelaan diri karena dalam Islam juga melindungi hak-hak manusia
walaupun umat Islam diserang di bulan Haram6, yang sebenarnya di bulan itu
tidak boleh berperang, Maka diperbolehkan membalas serangan itu di bulan itu
juga.
Pada dasarnya perbuatan yang dilarang oleh hukum Islam itu diharamkan
tetapi terdapat pengecualian yaitu pembolehan sebagaian perbuatan yang dilarang
bagi orang yang memiliki karakter-karakter khusus sebab kondisi seseorang atau
keadaan masyarakat menuntut adanya pembolehan ini. Juga karena orang yang
diperkenankan untuk melakukan perbuatan yang dilarang sebenarnya
melakukannya untuk mencapai suatu tujuan atau beberapa tujuan hukum Islam.
Seperti melindungi jiwa, menjaga kehormatan dan mempertahankan harta baik
diri sendiri maupun orang lain. Salah satu sebab diperbolehkannya perbuatan yang
dilarang baik dalam hukum pidana Islam maupun dalam KUHP yang tidak
dipidana yaitu melakukan pembelaan diri. Dalam menentukan apakah perbuatan
tersebut merupakan pembelaan diri atau bukan, maka dalam hukum pidana Islam
dan hukum positif mengatur tentang syarat maupun unsur. Dalam menetapkan
syarat pembelaan diri terdapat persamaan dan perbedaan antara hukum pidana
Islam dan hukum Positif. Persamaan syarat tersebut yaitu antara lain: Pertama,
pembelaan terpaksa dilakukan karena sangat terpaksa atau tidak ada jalan lain
5 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999, h. 65-67.
6 Bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab, tanah haram (Mekah) dan ihram.
65
untuk mengelakan serangan, harus benar-benar dalam keadaan terpaksa. Kedua
untuk mengatasi adanya serangan atau ancaman serangan seketika yang bersifat
melawan hukum. Jadi, disini dalam melakukan pembelaan tidak boleh adanya
praduga / prasangka dan rasa takut yang berlebihan akan diserang sehingga dia
menyerang dulu sebagai bentuk pembelaan diri, dalam hal ini tidak dibenarkan.
Maka pembelaan dilakukan harus terjadi serangan seketika itu terjadi. Ketiga
serangan atau ancaman serangan ditujukan pada 3 kepentingan hukum atas:
badan, kehormatan kesusilaan, dan harta benda sendiri atau orang lain. Keempat
harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan berlangsungnya serangan,
atau bahaya yang masih mengancam. Kelima perbuatan pembelaan harus
seimbang7 dengan serangan yang mengancam.
Yang menjadi perbedaan syarat pembelaan diri dalam hukum pidana Islam
dan KUHP adalah Pertama, melewati batas ukuran pembelaan diri (yang
diperbolehkan). Dalam hukum pidana Islam, jika seseorang melakukan pembelaan
diri dengan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan yang diperlukan, maka harus
bertanggung jawab atas tindakannya itu. Kedua, Imam Abu Hanifah, Asy-Syafi’i
dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa jerat atau perangkap yang dipasang
7 Dalam hukum pidana positif, ukuran seimbang atau lebih berat yang dimaksud adalah terletak
pada akal manusia pada umumnya. Jadi di sini terdapat ukuran objektif yang sekaligus subjektif.
Ukuran subjektif yaitu terletak pada akal manusia, sedangkan ukuran objektif adalah bagi orang normal
pada umumnya. Ukuran subjektif dan objektif ini haruslah digunakan secara bersama. Tidak boleh
subjektif saja misalnya hanya pada akal dan perasaan si pembuat, tetapi harus pada akal pikiran bagi
orang pada umumnya. Hakimlah yang berwenang menilai dan menentukan telah dipenuhinya syarat
subjektif maupun objektif tersebut, dan dia harus mampu menangkap akal pikiran bagi semua orang
terhadap resiko atas suatu pilihan perbuatan tertentu berdasarkan akal budi yang dimilikinya. Lihat
dalam Zainal Abidin Farid, op. cit h. 199.
66
dibelakang pintu, pagar atau di jalan dengan maksud membunuh atau melukai
penyerang hukumnya boleh. Orang yang mempunyai tempat tersebut tidak
bertanggungjawab apabila bertujuan untuk membela diri karena orang yang
memasukinya berarti membunuh dirinya sendiri lantaran memasuki rumah orang
lain secara ilegal (tanpa hak). Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa orang
yang melakukan hal tersebut harus bertanggungjawab apabila perbuatannya
bertujuan untuk melukai atau membinasakan orang yang memasuki rumah tanpa
izin. Dengan alasan, kaidah pembelaan diri karena pembelaan berdiri atas dasar
untuk menolak serangan dengan penolakan yang paling ringan.8
Sedangkan dalam KUHP, pertama dikenal pembelaan terpaksa yang
melampaui batas, dalam hal ini si korban mengalami kegoncangan jiwa yang
sangat hebat. Jadi, faktor subyektifitas memegang peranan karena temperamen
setiap individu berbeda-beda. Sebaiknya terhadap diri pribadi si pelaku noodweer
exces dimintakan keterangan ahli psikolog/psikiater, kedua mengenai pemasangan
alat atau perangkap di depan rumah sebagai bentuk pembelaan diri, tidak
diperbolehkan karena dalam pasal 49 ayat 1 yang menjadi syarat pembelaan
terpaksa salah satunya adalah serangan yang dilakukan harus sedang dijalankan.
Jika pemasangan alat atau perangkap yang mematikan sebagai pembelaan diri
diperbolehkan atau “dikhawatirkan akan segera menimpa” (onmiddelijk
dreigende), dengan alasan sebagai perlindungan diri karena di Indonesia sering
8 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma Ilmu, h. 152.
67
terjadi perampokan jadi sebagai alat perlindungan diri maka tidak dibenarkan
karena dikhawatirkan dalam hal ini tidak ada faktor seimbang antara dua
kepentingan yang dirugikan ada peranan penting.9
Persamaan pembelaan terpaksa dengan pembelaan yang melampaui batas
antara lain yaitu: Pertama, pada keduanya harus ada serangan atau ancaman
serangan yang melawan hukum yang ditujukan pada tiga kepentingan hukum
(tubuh, kehormatan kesusilaan dan harta benda), sama-sama dilakukan dalam
keadaan yang terpaksa (noodzakelijk) dalam usaha mempertahankan dan
melindungi suatu kepentiangan hukum yang terancam bahaya oleh serangan atau
ancaman serangan yang melawan hukum. Kedua, pada keduanya pembelaan
ditujukan untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan hukum
(rechsbelang) diri sendiri atau kepentingan hukum orang lain.10
Sedangkan perbedaannya yaitu antara lain: Pertama, perbuatan yang
dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa harus perbuatan yang seimbang
dengan bahaya atau ancaman serangan dan tidak diperbolehkan melampaui dari
apa yang diperlukan dalam pembelaan. Tetapi dalam pembelaan terpaksa
melampaui batas, pilihan perbuatan tidak seimbang dengan bahaya yang
ditimbulkan oleh serangan atau ancaman serangan karena adanya kegoncangan
9 Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung: 2003, h. 85-87. 10
Drs. Adami Chazawi.S.H. Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2002,
h. 51.
68
jiwa yang hebat.11
Kedua, pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan ketika
adanya ancaman atau serangan sedang berlangsung dan tidak boleh dilakukan
setelah serangan berhenti atau tidak ada lagi, tapi dalam pembelaan yang
melampaui batas, perbuatan pembelaan masih boleh dilakukan sesudah serangan
terhenti. Ketiga, tidak dipidana dalam pembelaan terpaksa karena sifat melawan
hukum pada perbuatannya, jadi merupakan alasan pembenar. Dasar peniadaan
pidana pada pembelaan terpaksa terletak pada perbuatannya. Sedangkan dalam
pembelaan yang melampaui batas merupakan alasan pemaaf karena adanya alasan
penghapus kesalahan pada diri pelaku.12
Dalam noodweer mengandung asas subsidairiteit yaitu harus adanya
keseimbangan antara kepentingan yang dibela, cara yang dipakai dan kepentingan
yang dikorbankan dan asas propositionaliteit yaitu tidak semua alat dapat dipakai,
hanya yang masuk akal. Karena terdapat pembelaan yang dilakukan harus sesuai
dengan serangan yang bersifat melawan hukum, sedangkan pembelaan diri harus
disebabkan terpaksa karena tidak ada jalan lain. Jadi, dalam pembuktian suatu
kasus, hakim harus benar-benar memperhatikan asas tersebut apakah merupakan
alasan dalam noodweer atau bukan. Selain pembelaan diri (pembelaan khusus),
hukum pidana Islam juga mengatur adanya pembelaan umum (amar ma’ruf nahi
munkar) karena dengan adanya pembelaan umum, maka dapat mencegah
11
Drs. Adami Chazawi.S.H. Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2002,
h. 51. 12
Prof. Moeljanto,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta: 2002, h. 146.
69
terjadinya jarimah dan mengurangi terjadinya penyelewengan yang tidak
diinginkan (upaya prefentif). Jadi dalam hukum Islam, pembelaan umum
hukumnya wajib. Tetapi tidak semua orang dikenakan kewajiban dalam
melaksanakannya. Ada beberapa syarat yang harus ada pada pembelaan umum,
salah satunya yaitu adanya kesanggupan dan berakal sehat.13
Dari segi hukum dan dasar tujuan tidak ada perbedaan antara pembelaan
khusus dan pembelaaan umum tersebut. Tetapi dalam segi objek terdapat
perbedaan yaitu: Objek pembelaan khusus adalah setiap serangan yang mengenai
keselamatan orang atau hartanya atau kehormatannya, sedang objek pembelaan
umum adalah yang mengenai hak masyarakat, keamanan dan ketertibannya yang
bersifat wajib. Pembelaan khusus terjadi jika adanya serangan dari seseorang,
sedang pembelaan umum terjadi ketika tidak ada serangan. Contoh: Jika ada
seorang laki-laki mendatangi seorang prempuan dengan maksud memperkosa,
maka disini terdapat pembelaan khusus. Tetapi jika lelaki itu mendatanginya
dengan persetujuan seorang perempuan tersebut, maka terjadi pembelaan umum
yaitu menolak (menggagalkan) perbuatan munkar.14
Ciri khas syari’at Islam yang tidak terdapat pada hukum positif adalah
“amar ma’ruf nahi munkar”. Dengan adanya asas ini dimaksudkan agar setiap
orang menjadi pengawas atas orang lain dan penguasa serta sesama manusia
13
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma Ilmu, h. 153. 14
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma Ilmu, h. 175.
70
saling memberi petunjuk dan mengingatkan untuk menjauhkan diri perbuatan
munkar dan ma’siat, menjaga keamanan dan ketertiban, memberantas jarimah dan
menjunjung akhlak yang tinggi. Sistem amar ma’ruf nahi munkar tidak dikenal
oleh hukum positif kecuali pada awal abad XIX M, dimana hukum tersebut
mulai mengakui adanya hak mengeritik dan membimbing rakyat biasa
(perorangan), serta memberikan hak untuk menangkap orang yang tertangkap
basah waktu melakukan jarimah dan menyerahkannya kepada pihak yang
berwajib. Bahkan dalam keadaan tertentu perseorangan diberikan hak untuk
menghalangi perbuatan jarimahnya jika menyangkut kepentingan masyarakat
seperti dalam penggulingan kekuasaan pemerintah dan menghancurkan bangunan
umum. Tetapi sistem amar ma’ruf nahi munkar hanya diterapkan oleh hukum
positif dalam keadaan tertentu saja sedang dalam syari’at Islam dijalankan dengan
seluas-luasnya.15
B. Analisis Pembelaan Terpaksa melampaui Batas dalam Tindak Pidana
Penganiayaan
Di dalam KUHP, tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan yang
dilakukan karena pembelaan terpaksa tidak dipidana, karena adanya peniadaan
pidana yang di dalamnya terdapat alasan pembenar yang menyebabkan hapusnya
sifat melawan hukum perbuatan, sehingga apa yang dilakukan terdakwa menjadi
perbuatan yang patut dan benar. Tidak dipidananya terdakwa karena perbuatan
15
Ahmad hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana, Bulan Bintang, Jakarta: 1993, h. 225-226.
71
tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Walaupun dalam
kenyataanya perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur tindak pidana. Akan tetapi
karena hilangnya sifat melawan hukum, maka terdakwa tidak dipidana. Selain
alasan pembenar, juga terdapat alasan pemaaf karena orang yang melakukan
perbuatan karena terdorong oleh pembelaan terpaksa melampaui batas yang
sebenarnya terpaksa dilakukan karena didorong oleh suatu tekanan batin atau
tergoncangnya jiwa, jadi fungsi batinnya menjadi tidak normal. Oleh karena itu
seseorang yang melakukan penganiayaan karena dalam keadaan terpaksa dan
dalam pembuktian di persidangan benar-benar terbukti adanya syarat dan unsur
pembelaan terpaksa yang melampaui batas, maka terdakwa dinyatakan lepas dari
segala tuntutan. Namun jika dalam pembuktian tidak terbukti adanya unsur
pembelaan terpaksa dalam tindak pidana penganiayaan, dengan
mempertimbangkan kaidah terdapat dalam pasal 49 ayat 2 KUHP, maka pelaku
dapat dijatuhkan hukuman sebagaimana yang telah diatur dalam KUHP.16
Penyerangan yang melawan hukum seketika itu melahirkan hukum darurat
yang membolehkan korban melindungi dan mempertahankan kepentingannya atau
kepentingan hukum orang lain. Inilah dasar filosofi pembelaan terpaksa. Suatu
16
Hal ini berdasarkan pendapat Langenmeyer yang dikutip oleh Roeslan Saleh:“ Sifat melawan
hukum pada suatu perbuatan yang memenuhi rumusan delik akan mempunyai arti jika melalui cara
yaitu hakim akan memutuskan supaya ia lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan tidak dapat
dipidananya perbuatan tersebut bilamana ia berfikir bahwa harus memperhatikan keadaan-keadaan yang
khusus yag dipandang dari sudut peraturan tertulis atau tidak tertulis perbuatan tersebut merupakan hal
yang patut walaupun bertentangan dengan ketentuan yang melarang. Dalam semua kejadian-kejadian
demikian masih dibuktikan apa yang sepatutnya didakwakan tetapi bersamaan dengan hilangnya sifat
melawan hukum, hilang pula hal yang dapat dipidananya, dan karenanya putusannya adalah lepas dari
tuntutan hukum, bukan bebas dari tuntutan hukum.” Lihat dalam Roeslan Saleh, op. cit, h. 6.
72
perbuatan dianggap sebagai suatu tindak pidana karena perbuatan tersebut bisa
merugikan terhadap tata nilai hidup yang ada di dalam masyarakat, kepercayaan-
kepercayaan, merugikan anggota-anggota masyarakat, harta benda, nama baik,
perasaan-perasaannya dan pertimbangan-pertimbangan baik yang harus dihormati
dan dipelihara.
Islam memberikan kebebasan kepada seseorang selama tidak melampaui
batas. Seseorang diizinkan untuk hidup dan mempunyai hak untuk hidup selama
ia tidak melakukan kekerasan apa pun. Tetapi, bila ia melampaui batas tersebut
dan membuat kekacauan serta penindasan dalam masyarakat atau menjadi
ancaman bagi kehidupan sesamanya, maka ia kehilangan hak hidupnya. Jadi,
dalam menentukan sanksi hukuman atas pembelaan yang melampaui batas dalam
hukum Islam penulis berdasarkan penjelasan diatas berpendapat bahwa terjadi
perbedaan pendapat dikalangan Ulama. Pada dasarnya pembelaan diri hukumnya
mubah (diperbolehkan) dan tidak ada hukuman baginya.
Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal
penyerangan tidak perlu harus berupa perbuatan jarimah yang diancam dengan
hukuman, tapi cukup dengan perbuatan yang tidak sah (tidak benar). Demikian
pula kecakapan pembuat tidak diperlukan dan oleh karenanya serangan orang gila
dan anak kecil dapat dilawan. Jika sampai mengakibatkan kematian maka tidak
terdapat pertanggungjawaban baginya baik secara perdata maupun pidana.
Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, serangan harus berupa jarimah
73
yang diancam dengan hukuman dan dilakukan oleh orang yang dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana. Jadi, apabila perbuatan (serangan) bukan jarimah
yang diancam dengan hukuman, melainkan hanya perbuatan yang tidak sah atau
pelakunya tidak memiliki kecakapan maka orang yang diserang itu hanya berada
dalam keadaan terpaksa. Imam Abu Yusuf berbeda dengan gurunya Imam Abu
Hanifah yaitu perbuatan diisyaratkan harus berupa jarimah yang diancam dengan
hukuman tetapi pelakunya tidak perlu harus orang yang dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana. Pendapat Abu Yusuf ini, maka tidak terdapat
pertanggungjawaban secara pidana tapi terdapat pertanggungjawaban secara
perdata yaitu dengan membayar diat.17
Terdapat contoh yaitu :
1. Kronologi kasus
Kasus penganiayaan dalam perkara Nomor: 416 K/Pid/2009 merupakan
salah satu kasus yang melibatkan 4 (empat) terdakwa yang masih memiliki
hubungan keluarga diantaranya yaitu terdakwa I Winarno Sarkawi terdakwa II
Andreas Suhartoyo, terdakwa III Grace binti Winarno dan terdakwa IV Yuniarsih
Herliana yang telah melakukan penganiayaan terhadap Robby Lesmana. Grace
dan Robby Lesmana adalah sepasang suami istri yang tengah menjalani proses
perceraian dan mempunyai seorang anak bernama Richelle yang pengasuhannya
dilakukan secara bergantian oleh Grace dan Robby. Ketika Robby bersama Kuasa
17
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta: 2006,
h. 90.
74
hukumnya bernama Adardam yang datang kerumah Grace dengan maksud
menjemput anaknya Richelle berdasarkan perjanjian hak asuh yang telah dibuat
dan disepakati bersama oleh grace dan Robby dimana saat itu tiba gilirannya
Robby untuk mengasuh Richelle, pada saat Robby menghampiri Grace yang
sedang menggendong Richelle yang berada didepan pintu rumah, Richelle
menangis ketika akan dibawa pergi oleh Robby, mendengar tangisan Richelle
tiba-tiba keluar Winarno Sarkawi yang langsung menghampiri serta mendorong
dan memukul Robby.18
Kuasa hukum yang berada diluar pagar kemudian menghampiri dengan
maksud melerai peristiwa pemukulan tersebut tetapi beliau juga dipukul oleh
Winarno Sarkawi dan Grace19
, Melihat keadaan yang tidak kondusif itu kedua
korban akhirnya langsung naik ke mobil dan pergi. Setelah peristiwa pemukulan
tersebut kemudian Robby ditemani Kuasa hukumnya Adardam melaporkannya
kepada pihak kepolisian yang akhirnya sampai pada tingkat pengadilan.
Akibat perbuatan para terdakwa tersebut, saksi Adardam Achyar,
menderita nyeri tekan dan memar kemerahan di daerah perbatasan punggung dan
leher sesuai Visum Et Repertum No.255/RSAI/VISUM/I/2007 tertanggal 23
Januari 2007 dan demikian halnya akibat perbuatan para terdakwa tersebut, saksi
Robby Lasmana menderita memar garis-garis kemerahan pada daerah bahu kanan
18
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor : 416 K / Pid / 2009,
h. 3-8. 19
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor : 416 K / Pid / 2009,
h. 4.
75
bagian belakang, bercak kemerahan di bahu kiri belakang dan kedua pipi
kemerahan, agak bengkak dan nyeri tekan sesuai Visum Et Repertum
No.254/RSAI/VISUM/I/2007 tertanggal 23 Januari 2007.20
Berdasarkan uraian
tersebut di atas, maka para perbuatan perbuatan para terdakwa dalam dakwaan
pertama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 170 (1) KUHP,
dakwaan kedua diancam pidana dalam Pasal 351 (1) KUHP jo Pasal 55 (1) ke 1
KUHP dan dakwaan ketiga sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
335 ayat (1) ke 1 KUHP.
2. Pertimbangan Hukum oleh Hakim
a. Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung
Di dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung
Nomor 845/Pid/B/2007/PN.BDG tanggal 03 Januari 2008, setelah bukti-bukti
dihadirkan dipersidangan dan membaca tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum
kemudian Hakim menyatakan bahwa terdakwa Winarno Sarkawi dan terdakwa
Grace telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
secara terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap
orang dan menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 10 bulan kepada
20
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor : 416 K / Pid / 2009,
h. 5.
76
terdakwa Winarno sarkawi dan terdakwa Grace.21
Setelah putusan hakim
diberikan, para terdakwa melakukan upaya hukum banding.
b. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung
Putusan Pengadilan Tinggi Bandung dengan Nomor registrasi
127/PID/2008/PT.Bdg tanggal 22 April 2008 menerima permohonan banding dari
Pembanding Jaksa Penuntut Umum dan para terdakwa (kuasanya) tersebut dan
membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung tanggal 3 Januari 2008 Nomor
: 845/Pid/B/2007/PN.Bdg. yang dimohonkan banding tersebut. Pengadilan Tinggi
Bandung mengadili sendiri menyatakan bahwa terdakwa Winarno Sarkawi dan
terdakwa Grace terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi merupakan
pembelaan darurat noodweer sehingga melepaskan kedua terdakwa dari semua
tuntutan hukum.22
Jaksa Penuntut Umum yang keberatan terhadap pertimbangan
Hakim Pengadilan Tinggi tersebut kemudian melakukan upaya hukum kasasi.
c. Putusan Kasasi Mahkamah Agung
Mengingat akan akta tentang permohonan kasasi Nomor
37/Akta.Pid/2008/PN.Bdg yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri
Kelas IA Bandung yang menerangkan, bahwa pada tanggal 10 Juli 2008
Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandung mengajukan permohonan
kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi. Pada pertimbangan hukumnya
21
Lihat, Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor : 416 K / Pid /
2009, h. 9. 22
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor : 416 K / Pid / 2009,
h. 16.
77
menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi/Jaksa/Penuntut Umum yang pada pokoknya bahwa putusan Judex Facti
Pengadilan Tinggi dalam melepaskan kedua terdakwa dari semua tuntutan hukum
(onslag van alle rechtsvervolging) karena perbuataannya termasuk dalam apa
yang diatur pada Pasal 49 ayat 2 KUHP adalah telah salah dalam penerapan
hukumnya.
Putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi Bandung tersebut, dalam
mempertimbangkan tentang tidak terbuktinya surat dakwaan sebagaimana yang
dituntut oleh Jaksa/Penuntut Umum yang mana amarnya telah membebaskan
terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana dari segala
dakwaan (vrijspraak) serta melepaskan terdakwa I Winarno Sarkawi dan terdakwa
III Grace binti Winarno dari semua tuntutan hukum (ontslag van alle
rechtsvervolging) adalah putusan bebas yang tidak murni sifatnya karena Judex
Facti dalam putusan Pengadilan Tinggi Bandung tersebut semata-mata didasarkan
pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam
surat dakwaan dan tidak didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan
yang di dakwakan.23
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka Mahkamah Agung berpendapat
bahwa alasan-alasan dan keberatan-keberatan kasasi dari Pemohon Kasasi
23
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor : 416 K / Pid / 2009,
h. 11-15.
78
(Jaksa/Penuntut Umum) tidak dapat dibenarkan oleh karena Judex Facti
(Pengadilan Tinggi) telah benar menerapkan hukum, namun demikian putusan
Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor : 127/PID/2008/PT. Bdg tanggal 22 April
2008 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor :
845/Pid/B/2007/PN.Bdg harus diperbaiki yaitu perihal pidana terhadap terdakwa I
(Winarno Sarkawi) dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Bahwa apa yang sudah dipertimbangkan oleh Judex Facti (Pengadilan Negeri)
terhadap terdakwa I Winarno Sarkawi menurut pendapat Mahkamah Agung
sudah tepat dan benar;
b. Bahwa dengan demikian pertimbangan tersebut diambil alih sebagai
pertimbangan oleh Mahkamah Agung.24
Selanjutnya berdasarkan pertimbangan, lagi pula putusan judex facti dalam
perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka
permohonan kasasi tersebut harus ditolak dengan memperbaiki amar putusan
Pengadilan Tinggi tersebut. Oleh karena Termohon Kasasi/Terdakwa I Winarno
Sarkawi dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat kasasi ini.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, hakim Mahkamah
Agung dalam memeriksa dan menangani perkara ini memutuskan dan mengadili
24
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor : 416 K / Pid / 2009,
h. 15.
79
menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa/Penuntut Umum pada
Kejaksaan Negeri Bandung dengan memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi
Jawa Barat No.127/PID/2008/PT.Bdg yang telah membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Bandung Nomor : 845/Pid/B/2007/PN.Bdg.25
3. Analisis
Tidak semua perbuatan yang memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana
si pelakunya dapat dijatuhi pidana, tetapi hakim dapat memberikan putusan bebas
atau putusan lepas. Kemungkinan hakim memberikan putusan bebas kepada
pelaku atas tindak pidana yang telah dilakukan merupakan bagian dari prinsip di
dalam sistem pemidanaan yang berlaku di Indonesia. Persoalannya, adakah
alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum pidana bagi seorang hakim
memberikan putusan bebas atau si pelaku itu tidak dapat dipertanggungjawabkan
atas tindak pidana yang dilakukan.
Persoalan tersebut di atas, dapat dilihat dari ketentuan khusus yang
dirumuskan oleh pembentuk undang-undang yang memungkinkan si pelaku
tindak pidana tidak dapat dijatuhi pidana apapun. Artinya, undang-undang
menerima keadaan-keadaan tertentu yang memungkinkan seorang pelaku tindak
pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atau tidak dapat dijatuhi pidana
apapun. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan seseorang yang telah memenuhi
25
Lihat, Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor : 416 K / Pid /
2009, h. 16-17.
80
keadaan-keadaan tertentu tersebut memungkinkan ketentuan hukum pidana tidak
dapat diberlakukan, baik ketentuan yang terdapat di dalam KUHP maupun lain-
lain peraturan perundang-undangan di luar KUHP. Perihal tidak dapat
diberlakukannya ketentuan hukum pidana kepada pelaku tindak pidana berkaitan
erat dengan dua hal yaitu dasar yang meniadakan penuntutan adalah hal-hal atau
keadaan-keadaan tertentu yang menjadi alasan-alasan bagi penuntut umum tidak
dapat melakukan penuntutan terhadap seseorang yang didakwa melakukan tindak
pidana dan dasar yang meniadakan pidana atau hukuman, adalah hal-hal tertentu
yang menjadi alasan-alasan bagi hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap
seseorang yang telah dituduh melakukan tindak pidana, atau di dalam ilmu
pengetahuan hukum pidana disebut hal-hal yang memaafkan kepada pelaku tindak
pidana sehingga dirinya tidak dipidana.26
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap berkas perkara kasus
tindak pidana penganiayaan pada kasus Putusan M.A 416 K/PID/2009, dengan
para terdakwa yaitu terdakwa I Winarno Sarkawi terdakwa II Andreas Suhartoyo,
terdakwa III Grace binti Winarno dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana yang
dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan alternatif dituntut dengan
Pasal 170 ayat (1) KUHP, Pasal 351 ayat (2) jo 55 ke-1 KUHP, dan Pasal 335
ayat (1) KUHP karena telah melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap
Robby Lesmana.
26
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H.,M.Si. Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2012, h.
126.
81
Putusan Hakim Mahkamah Agung dalam kasus putusan M.A
416K/PID/2009 menyatakan terdakwa I Winarno Sarkawi telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan terang-terangan
dan tenaga bersama menggunakan kekekerasan terhadap orang dengan
menjatuhkan pidana kepada pidana penjara selama 10 bulan.27
Memerintahkan
pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali di kemudian hari dengan putusan
Hakim diberikan perintah lain atas alasan bahwa sebelum masa percobaaan
selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan berakhir bagi terdakwa. Untuk terdakwa II
Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan, untuk itu
terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana dibebaskan
dari semua dakwaan (vrijspraak) dan menyatakan terdakwa III Grace binti
Winarno terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi perbuatan tersebut
merupakan pembelaan darurat (noodweer) dengan menyatakan melepaskan
terdakwa III Grace binti Winarno dari semua tuntutan hukum (ontslag van alle
rechtsvervolging).
Untuk menjawab permasalahan mengapa alasan noodweer dijadikan dasar
pertimbangan Hakim sebagai alasan pemaaf dalam kasus Putusan M.A 416
K/PID/2009, maka pada analisis skripsi ini terlebih dahulu diuraikan unsur-unsur
27
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor : 416 K / Pid / 2009,
h. 16.
82
pasal yang dituduhkan, dimana para terdakwa didakwa dengan Pasal 170 ayat
(1)28
, Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 5529
, dan Pasal 355 ayat (1) KUHP.
Ketiga pasal yang dituduhkan para terdakwa kesemuanya mengandung
unsur adanya kekerasan dan berdasarkan fakta-fakta yang ada bahwa terdakwa II
Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herlina secara fisik tidak
melakukan apa-apa kepada Adardam Achyar maupun kepada Robby Lasmana,
sehingga salah satu unsur dari dakwaan kesatu atau kedua tidak terpenuhi. Namun
untuk terdakwa I Winarno Sarkawi yang telah menarik rambut dan baju Robby
Lesmana dan juga mendorong Adardam Achyar dan terdakwa III Grace binti
Winarno yang telah memukul pipi dan telinga korban Robby Lesmana, semua
unsur dari pasal yang didakwakan telah terbukti. Selanjutnya terdakwa III Grace
binti Winarno sebagai ibunya sangat mungkin untuk melakukan tindakan guna
melindungi anaknya karena Richelle pada saat itu dalam kondisi ketakutan dan
histeris. Setiap orang apabila mengalami keadaan yang demikian juga akan
melakukan yang sama pada saat melihat anaknya dalam keadan terancam atau
anaknya dalam keadaan ketakutan.
Berdasarkan uraian di atas, apabila dihubungkan dengan keterangan dapat
dianalisis bahwa meskipun terdakwa I Winarno Sarkawi terdakwa III Grace binti
Winarno melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan, perbuatan itu
28
Lihat, R. Soenarto Soedibroto,S.H. KUHP dan KUHAP. PT Raja Grafindo Persada, h. 105. 29
R. Soenarto Soedibroto,S.H. KUHP dan KUHAP. PT Raja Grafindo Persada, h. 50.
83
termasuk dalam apa yang diatur pada Pasal 49 ayat (2) KUHP, yaitu melampaui
batas pertahanan yang sangat perlu, yaitu perbuatan itu dengan seketika itu juga
dilakukan karena perasaan tergoncang, dengan segera, pada saat itu juga,
terdakwa III setelah mendengar anaknya Richelle menangis menjerit-jerit selain
berusaha mempertahankan anaknya dengan menepis saksi 2 Robby Lasmana
(yang adalah suaminya, yang masih dalam proses perceraian). Begitu juga
terdakwa I mendengar tangisan dan jeritan cucunya, yang semula ia berada di
dalam rumah dan begitu keluar rumah melihat cucunya sedang diperebutkan oleh
anak dan menantunya, para terdakwa berusaha membantu anaknya (terdakwa III)
untuk mempertahankan cucunya (Richelle) dengan cara menarik rambut dan baju
Robby Lasmana saksi 2, adalah perbuatan seperti apa yang diatur dalam Pasal 49
ayat (2) KUHP tersebut.30
Begitu juga perbuatan terdakwa I yang mendorong saksi 1 Adardam
Achyar, yang dilihatnya tiba-tiba masuk ke pekarangan tanpa ijin darinya sebagai
pemilik rumah, adalah merupakan tindakan yang wajar yaitu untuk mencegah
terjadinya keterlibatan orang lain yang dapat memperkeruh suasana. Berdasarkan
apa yang telah diuraikan di atas, maka perbuatan terdakwa I Winarno Sarkawi dan
terdakwa III Grace binti Winarno adalah merupakan pembelaan darurat
(noodweer), dan perbuatan seperti itu tidak boleh dihukum dan untuk terdakwa II
Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana, karena tidak terbukti
30
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung: 2003, h. 83.
84
melakukan perbuatan sebagaimana didakwaan dalam dakwaan kesatu atau kedua
atau ketiga, maka mereka (terdakwa II dan terdakwa IV) harus dibebaskan dari
semua dakwaan. Terdakwa I Winarno Sarkawi dan terdakwa III Grace binti
Winarno meskipun terbukti melakukan perbuatan seperti yang disebutkan di atas,
perbuatan tersebut adalah merupakan pembelaan terpaksa, dan sesuai dengan
ketentuan Pasal 49 ayat (2) KUHP, terdakwa I dan terdakwa III harus dilepaskan
dari tuntutan hukum.31
Berdasarkan uraian di atas, penulis kurang sependapat dengan hakim
Mahkamah Agung yang telah memutus perkara membebaskan Terdakwa III
Grace binti Winarno dengan alasan noodweer (noodwer exces), karena noodwer
maupun nodweer exces mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum
yang dibela yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri
maupun orang lain. Perbuatan dapat dikatakan sebagai noodweer exces harus
adanya serangan dan apabila serangan itu mengakibatkan terjadinya goncangan
jiwa dan untuk mengetahui adanya goncangan jiwa, perlu adanya pemeriksaan
secara psikologis oleh dokter atau psikiater. Pemeriksaan tersebut nantinya akan
diketahui seseorang mengalami kegoncangan jiwa ada atau tidak.32
Pada analisis ini diperoleh fakta persidangan bahwa tidak terlihat adanya
serangan yang bersifat melawan hukum dan seketika dan yang mengancam jiwa,
31
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung: 2003, h. 84. 32
Prof. Moeljanto,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta: 2002, h. 48.
85
kehormatan dan benda sebagaimana yang disyaratkan dalam noodweer. Apa yang
dilaukkuan oleh terdakwa Grace dengan melakukan pemukulan sebagai maksud
mengadakan pembelaan dinilai kurang tepat sebab pembelaan terhadap serangan
itu harus perlu diadakan (noodsakelijk) yakni pembelaan itu bersifat sekali dimana
tidak ada jalan lain dan mengenai perasaan33
yang dialami oleh terdakwa Grace
yang melihat anaknya menangis saat akan dibawa pergi oleh Robby yang juga
merupakan ayah kandung dari anaknya dinilai terlalu berlebihan jika dikatakan
menimbulkan goncangan jiwa yang hebat.
Untuk dapat suatu perbuatan digolongkan sebagai noodweer exces
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP, bahwa pelaku tersebut dalam
melakukan sesuatu perbuatan yang melampaui batas pembelaan seperlunya
merupakan akibat langsung dari kegoyahan hati yang demikian rupa yang
disebabkan oleh serangan tersebut, dan ternyata bahwa fakta hukum yang
terungkap di persidangan adalah tidak ada serangan bersifat melawan hukum dan
seketika yang mengancam jiwa, kehormatan dan benda. Pada kasus ini tidak ada
sama sekali serangan melawan hak dan mengancam dengan seketika itu juga atau
pada ketika itu juga. Melawan hak artinya penyerang melakukan serangan itu
melawan hak orang lain atau tidak mempunyai hak untuk itu.34
Sebagaimana
diketahui bahwa noodweer exces merupakan pembelaan darurat yang melampaui
33
Prof. Moeljanto,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta: 2002, h. 147. 34
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung: 2003, h. 87.
86
batas karena pelaku tersebut dalam melakukan sesuatu perbuatan yang melampaui
batas pembelaan seperlunya merupakan akibat langsung dari kegoyahan hati yang
demikian rupa yang disebabkan oleh serangan tersebut, dan berdasarkan bahwa
fakta hukum yang terungkap di persidangan adalah tidak ada serangan bersifat
melawan hukum dan seketika yang mengancam jiwa, kehormatan dan benda.
Baik di Putusan Pengadilan Tinggi Bandung maupun Putusan Mahkamah
Agung menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Terdakwa III Grace binti
Winarno apa yang dilakukan dinyatakan sebagai noodweer exces. Berarti disini
hakim Mahkamah Agung kurang memperhatikan unsur-unsur dari pembelaan
terpaksa (noodweer), salah satunya yaitu adanya serangan sekejap atau ancaman
serangan yang sangat dekat pada saat itu.35
Pada saat Richelle hendak di bawa
pergi oleh ayahnya Robby Lesmana terjadi perebutan anak yang disertai
pemukulan oleh Terdakwa III Grace binti Winarno. Saat itu pula meskipun telah
dipukul dan ditampar, namun Robby Lesmana tidak melakukan upaya
perlawanan. Berarti di sini tidak ada serangan yang bersifat melawan hukum,
maka syarat noodweer exces tidak terpenuhi.
Apabila melihat syarat-syarat noodweer, maka jelas disini tidak ada
serangan yang membahayakan bagi terdakwa III Grace binti Winarno baik diri
sendiri dan anaknya, harta benda, kehormatan maupun kesusilaannya. Dengan
demikian seharusnya terdakwa III Grace Winarno tidak dapat dikenai noodweer
35
Prof. Moeljanto,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta: 2002, h. 148.
87
dan sudah selayaknya dikenakan Pasal 351 (1) KUHP jo Pasal 55 (1) ke 1 KUHP
karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana dengan terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan
terhadap orang dengan ancaman hukuman 10 (sepuluh) bulan sebagaimana yang
menjadi tuntutan di Pengadilan Negeri Bandung.
Seperti halnya pembelaan darurat, disinipun harus ada serangan yang
seketika itu juga dilakukan atau mengancam pada saat itu juga. Batas-batas
keperluan pembelaan itu dilampaui. Misalnya seseorang yang diserang dengan
tangan kosong oleh orang lain, membela diri menembakkan pistol, sedangkan
sebenarnya pembelaan dengan memukul kayu saja sudah cukup. Melampaui
batas-batas ini oleh undang-undang diperkenankan asal saja disebabkan perasaan
tergoncang hebat yang timbul karena serangan itu, perasaan tergoncang hebat
misalnya karena jengkel atau marah sekali yang biasa disebut dengan mata
gelap.36
Pertahanan atau pembelaan itu harus noodzakelijk (perlu sekali, terpaksa,
dalam keadaan darurat). Boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Sebenarnya hampir
tidak ada suatu pembelaan yang terpaksa. Kebanyakan pembelaan itu dapat
dihindarkan dengan jalan melarikan diri atau menyerah pada nasib yang
dideritanya, bukan itu yang dimaksud. Disini harus ada keseimbangan yang
tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan seranganya. Untuk membela
36
Prof. Moeljanto,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta: 2002, h. 145-146.
88
kepentingan yang tidak berarti misalnya orang tidak boleh membunuh atau
melukai orang lain.37
Pembelaan atau pertahanan itu dilakukan hanya terhadap kepentingan-
kepentingan yang tersebut di atas yaitu badan, kehormatan dan barang diri sendiri
atau orang lain. Badan ialah tubuh. Kehormatan ialah kehormatan seksual yang
biasanya diserang dengan perbuatan-perbuatan tidak senonoh atau cabul,
memegang bagian-bagian tubuh yang menurut kesusilaan tidak boleh dilakukan,
misalnya kemaluan, buah dada, dan lain-lain. Kehormatan dalam arti nama baik
tidak termasuk disini. Barang ialah segala sesuatu yang berwujud, termasuk juga
binatang.
Alasan Majelis Hakim Mahkamah Agung memberikan putusan
pembebasan dengan alasan noodweer exces kurang tepat. Oleh karena unsur-unsur
noodweer exces tidak terpenuhi, karena syarat noodweer harus adanya suatu
serangan, serangan itu diadakan seketika itu juga atau suatu ancaman yang kelak
akan dilakukan, serangan itu melawan hukum, serangan itu diadakan terhadap diri
sendiri, diri orang lain, kehormatan diri sendiri, kehormatan orang lain, harta
benda sendiri, harta benda orang lain serta pembelaan terhadap serangan itu harus
perlu diadakan ( noodzakelijk ) yakni pembelaan itu bersifat darurat dan harus
adanya alat yang dipakai untuk membela atau cara membela harus setimpal. Fakta
37
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung: 2003, h. 87.
89
di persidangan tidak ada serangan bersifat melawan hukum dan seketika yang
mengancam jiwa, kehormatan dan benda sebagaimana yang disyaratkan dalam
noodweer exces sehingga alasan Hakim Mahkamah Agung yang membebaskan
terdakwa III Grace binti Winarno dinilai kurang tepat.38
Agar setiap orang dapat terjamin kehidupannya maka harus berlaku adil.
Dengan demikian, orang-orang kuat harus melindungi orang lemah, orang-orang
kaya harus memberikan makan kepada orang-orang fakir, dan sebagainya. Dalam
hal ini banyak sekali Nas-nas al-Qur'an yang menjelaskannya. Sebagaimana
firman Allah SWT:
(QS4. An-Nisâ': 58)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha mendengar lagi Maha Melihat”. (An-Nisâ' 4: 58).39
Allah memerintahkan kaum Muslimin agar berlaku adil dalam
menghukum dan memutuskan perkara. Keadilan dalam bidang pengadilan itu
38
Prof. Moeljanto,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta: 2002 h. 14. 39
An-Nisâ' (4) : 58.
90
dianggap sebagai menunaikan amanah Allah. Al-Qur'an sendiri memerintahkan
keadilan secara umum, tanpa menentukan dalam bidang apa dan terhadap
golongan mana, melainkan dalam segala urusan dan terhadap semua golongan
yang melakukan pelanggaran, karena keadilan itu hukum Allah dan aturan-Nya
sedang manusia seluruhnya hamba Allah. Dalam hal ini Islam mombolehkan
adanya pembelaan yaitu adanya unsur keadilan sebagai akibat adanya serangan
tersebut. Yang menjadi asas yang terpenting dalam hukum Islam adalah keadilan
mutlak. Syari’at Islam sangat menginginkan penegasan asas ketetapan hukum
yang sangat penting ini yaitu keadilan mutlak disetiap ketentuan hukumnya. Islam
menetapkan keadilan yang sama dalam ketentuan hukum duniawi antar manusia
secara keseluruhan, namun ketentuan ukhrawi dibatasi pada orang yang beriman
pada-Nya dan tunduk terhadap ketentuan hukum-Nya.
Pada masa sekarang ini yang menjadi dasar penjatuhan hukuman adalah
rasa keadilan40
dan melindungi masyarakat. Rasa keadilan menghendaki agar
sesuatu hukuman harus sesuai dengan besarnya kesalahan pembuat. Dalam KUHP
berat ringannya hukuman yang harus dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana seperti
pencurian, pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, dan lain-lain sudah ada
ketentuannya sendiri. Akan tetapi berat ringannya hukuman tersebut belum
40 Sikap keadilan itu adalah kerelaan untuk mengakui suatu aturan bagi kehidupan manusia yang
mengatasi kesukaan individual. Aturan yang obyektif ini adalah aturan yang seharusnya (Ordnung des
Gehorens), aturan ini merupakan dasar dan ukuran bagi aturan yang ditentukan (Ordnung des Setzen).
Sikap keadilan tidak hanya ditemukan pada orang yang beriman, artinya pada orang yang menerima
wahyu Allah. Allah mewujudkan aturan semesta alam, termasuk alam manusia. hal ini dimungkinkan
melalui akal budi yang diberikan Allah kepadanya.
91
sepenuhnya dapat diterapkan oleh para hakim. Hal ini berhubungan dengan
adanya batas maksimal dan minimal hukuman yang ada dalam KUHP.
Kebanyakan para hakim menjatuhkan hukuman mengambil di antara kedua batas
tersebut, dan jarang sekali hakim menjatuhkan hukuman maksimal kecuali dalam
kasus tertentu.
Alasan manusia menerima prinsip keadilan dalam ajaran Islam adalah
karena persamaan dan kebebasan diantaranya yaitu manusia berasal dari
keturunan yang sama dan semua makhluk tidak dapat melampui batas-batas dan
hukum yang ditetapkan. Tetapi lingkungan yang rusak dan tamak meruntuhkan
fondasi tersebut. Jadi, untuk menghindari adanya kejahatan yang datang dalam
diri seseorang, maka dianjurkan untuk membela diri ketika diserang.
Jadi dalam suatu peristiwa serangan yang terjadi dalam pembelaan
terpaksa, maka harus dilihat dengan cermat dan teliti, apakah peristiwa tersebut
merupakan suatu pembelaan atau bukan. Terlihatlah disini bahwa rasa keadilanlah
yang harus menentukan sampai dimanakah keperluan noodweer dibutuhkan yang
menghalalkan perbuatan yang bersangkutan terhadap seorang penyerang. Dalam
hukum Islam antara pembelaan terpaksa dan dharurah terdapat persamaan syarat
sedangkan dalam hukum positif terdapat persamaan syarat dengan keadaan
darurat (noodtoestand). Diantaranya adalah pertama Keadaan dharurat harus
sudah ada bukan masih ditunggu, dengan kata lain kekhawatiran akan kematian
itu benar-benar ada dalam kenyataan. Kedua, orang yang terpaksa tidak punya
92
pilihan lain kecuali melanggar perintah atau larangan syar’i atau tidak ada cara
lain yang dibenarkan untuk menghindari kemudharatan selain melanggar hukum.
Dalam dharurah terdapat kekhawatiran akan timbulnya kematian. Ketiga, Dalam
menghindari keadaan darurat hanya dipakai tindakan seperlunya dan tidak
berlebihan. Sedangkan perbedaannya adalah tidak boleh melanggar prinsip-
prinsip syar’i (maqasid al-syari’ah) seperti diharamkannya zina, pembunuhan,
dalam kondisi bagaimanapun.41
Keadaan darurat (noodtoestand) adalah suatu keadaan dimana suatu
kepentingan hukum terancam bahaya, untuk menghindari ancaman itu terpaksa
dilakukan perbuatan yang pada kenyataanya melanggar kepentingan hukum yang
lain. Dalam noodtoestand bersifat lebih umum, suatu keadaan dimana suatu
kepentingan hukum terancam bahaya, yang untuk menghindari ancaman itu
terpaksa dilakukan perbuatan yang pada kenyataanya melanggar kepentingan
hukum yang lain. Perbedaan antara noodweer dengan noodtoestand, dalam
pembelaan terpaksa dengan pembelaan yang melampaui batas antara lain yaitu:
Pertama, kepentingan hukum yang ada pada noodtoestand tidak dibatasi
sedangkan dalam noodweer terdapat batasan hanya untuk tubuh, kesusilaan dan
harta benda. Kedua, dalam noodweer mengenal noodweer exces sedangkan dalam
41 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid VI, Damaskus: Dar al- Fikr, Cet. ke-3,
1989., Nazariyyah al-darurah al Syar’iyah ma’a al Qanun al-Wad’i, Damaskus: Muassasah al Risalah,
1995, h. 73-74.
93
noodtoestand tidak ada. Ketiga, noodweer untuk memebla kepentingan hukum
bagi diri sendiri atau orang lain sedangkan dalam noodtoestand tidak.42
42
S.R. Sianturi, S.H. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni
Ahaem-Petehaem, 1989. h. 283-284.
94
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Tindak pidana atas selain jiwa (penganiayaan) adalah setiap perbuatan
menyakitkan yang mengenai badan seseorang, namun tidak mengakibatkan
kematian. Tindak pidana penganiayaan diatur dalam Pasal 351 – 358 KUHP
dengan ancaman hukuman paling berat yaitu Pasal 355 penganiayaan berat,
sedangkan penganiayaan biasa Pasal 351 KUHP. Dalam hukum Islam, tindak
pidana atas selain jiwa disebut pembelaan yang sah (daf’u as-sail), dan upaya
prefentif yang disebut amar ma’ruf nahi mungkar. Dalam hukum positif
dikenal pembelaan terpaksa (noodweer) ketentuan dalam KUHP dalam pasal
49 ayat 1 sebagai alasan pembenar, sedangkan dalam ayat 2 dikenal istilah
pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) sebagai alasan
pemaaf untuk dasar penghapus hukuman.
2. Berdasarkan uraian analisis Putusan M.A 416 K/Pid/2009 di atas, dapat
diambil kesimpulan: Alasan Majelis Hakim Mahkamah Agung memberikan
putusan pembebasan dengan alasan noodweer exces kurang tepat. Oleh karena
unsur-unsur noodweer exces tidak terpenuhi. Fakta di persidangan tidak ada
serangan bersifat melawan hukum dan seketika yang mengancam jiwa,
kehormatan dan benda sebagaimana yang disyaratkan dalam noodweer exces.
95
B. SARAN
Setelah melalui proses pembahasan dan kajian yang telah dibahas, maka
kiranya penulis perlu memberikan saran-saran untuk kelanjutan dan kemajuan
bersifat kajian akademik terhadap fenomena sosial yang terjadi di Indonesia
dalam hukum Islam yaitu, perlunya penelitian yang lebih mendalam tentang
pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Dalam penulisan ini penulis
mengandung maksud: Pertama, kepada pembaca untuk dapat
menginterpretasikan dan merenungkan kembali konsepsi pembelaan diri dalam
perspektif hukum pidana Islam maupun dalam KUHP karena maraknya kejahatan
terhadap tubuh seperti penganiayaan. Kedua, Dalam tindak pidana penganiayaan
memang perlu dipertimbangkan tujuan dan nilai maslahah demi terciptanya
realitas hukum di Indonesia yang adil. Seperti perbuatan pembelaan yang
diperbolehkan harus terdapat kejelasan dalam menentukan syarat dan untuk
dijadikan bahan pertimbangan dalam pembentukan hukum. Ketiga, Perlu ada
kejelasan tentang batasan kegoncangan jiwa secara tepat agar seseorang mendapat
alasan pemaaf sebagai dasar penghapus hukuman, kemudian pembelaan terpaksa
yang melampaui batas dalam dalam tindak pidana penganiayaan memang perlu
dipertimbangkan maslahahnya oleh penegak hukum demi terwujudnya prinsip
Maqasid asy-Syari’ah dan terciptanya nuansa hukum di Indonesia yang adil.
DAFTAR PUSTAKA
Al Faruq, Asadullah, Hukum pidana dalam sistem hukum islam, penerbit Ghia
Indonesia, oktober, 2009.
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Arief, Abd. Salam, Fiqh Jinayah, Yogyakarta: Ideal, 1987.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Edisi
Revisi), Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Audah, Abdul Qadir, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil
Wad’iy, Penerbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT
Charisma Ilmu.
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid VI, Damaskus: Dar al-
Fikr, Cet. ke-3, 1989., Nazariyyah al-darurah al Syar’iyah ma’a al Qanun
al-Wad’i, Damaskus: Muassasah al Risalah, 1995.
Basaar , Sudrajat, Tindak-tindak pidana tertentu di dalam KUHPidana, Bandung:
Remadja Karya, 1989.
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, Cet. ke-1, 2002.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:
Syaamil Cipta Media, 1984.
Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Balai
Pustaka, 1989.
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Djazuli, H.A. Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam,
Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia,
2000.
Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Pradya
Paramita, cet. ke-1 1989.
Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Hutabarat, Ramly. Persamaan Dihadapan Hukum “Equality Before the Law” di
Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.
Kansil, C.S.T, Pokok-pokok Hukum Pidana : Hukum Pidana untuk Tiap Orang,
Jakarta: Pradnya Paramita, 2007.
Lamintang, P.A.F., Delik-delik Khusus, Bandung: Bina Cipta, Cet. ke-1, 1986.
Maramis Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012.
Marjuki, Mahmud Peter, Penelitian Hukum, Penerbit Kencana, Jakarta, 2008.
Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta: Sinar
Grafika, 2005.
Marpaung, Leden, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Jakarta:
Sinar Grafika, 1991.
Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), yogyakarta: Perpustakaan Universitas
Islam Indonesia, 1991.
Moeljanto, S.H, Prof, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit PT Rineka Cipta,
Jakarta, 1993.
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Fiqih
Jinayah), Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
Nazir, Ph. D, Moh, Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, 2005.
Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia Indonesia,
2006.
Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2012
Prodjodikoro, Wirjono, Prof. Dr. S.H. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia,
Bandung, 2003.
Projohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukuman Pidana di
Indonesia 2, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.
Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari
KitabUndang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Sabiq, As-Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, Kairo: Dar ad-Diyan li at-Turas, Cet.
ke-2, 1990.
Saleh, Roeslan, Kitab Undang-undang Hukum pidana, Jakarta: aksara Baru, 1987.
Samosir, Djisman, Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990.
Santoso, Topo, Membumikn Hukum Pidana Islam, Penerbit Gema Insani Perss,
Jakarta, 2003.
Sianturi, S.R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta:
Alumni Ahaem-Petehaem, 1989.
Sobur, Alex, Komunikasi Orang Tua dan Anak, Bandung: Angkasa, 1991.
Soemitro,Hantijo, Roni, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Penerbit
Ghana Indonesia, Jakarta, 1990.
Soerodibroto, Soenarto, KUHP dan KUHAP (dilengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Agung dan Hoge Raad), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Soeroso, Pengatar ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Sudarsono. Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1995.
Syah, Ismail Muhammad , Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999.
Syarifin, Pipin, Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Tongat, Hukum pidana materil, tinjauan atas tindak pidana terhadap subjek
hukum dalam KUHPidana, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003.
Washil, Nashr Farid Muhammad, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id
Fiqhiyyah, Jakarta: Amzah, 2009.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
Http://kbbi.web.id.wikipedia.
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P U T U S A N
Nomor : 416 K / Pid / 2009
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
M A H K A M A H A G U N G
memeriksa perkara pidana dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai
berikut dalam perkara para Terdakwa :
1. N a m a
Tempat lahir
Umur/tanggal
lahir
Jenis kelamin
Kebangsaan
Tempat
tinggal
Kebangsaan
Agama
Pekerjaan
: Dr. WINARNO SARKAWI, Sp.OG ;
: Indramayu ;
: 57 tahun/25 Desember 1950 ;
: Laki-laki ;
: Indonesia ;
: Jl. Setra Sari Indah No. 17 Rt 05 Rw 02 Kel. Sukarasa, Kec. Suk
Bandung ;
: Katholik ;
: Dokter ;
N a m a : ANDREAS SUHARTOYO ;
Tempat lahir : Bandung ;
Umur/tanggal lahir : 22 tahun/14 Desember 1985 ;
Jenis kelamin : Laki-laki ;
Kebangsaan : Indonesia ;
Hal. 1 dari 18 hal. Put. No. 416 K/Pid/2009
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Tempat tinggal : Jl. Setra Sari Indah No. 17 Rt 05 Rw 02 Kel.
Sukarasa, Kec. Sukasari Kota Bandung ;
Agama : Katholik ;
Pekerjaan : Mahasiswa ;
2.
N a m a
: GRACE binti WINARNO ;
Tempat lahir : Medan ;
Umur/tanggal lahir : 24 tahun/19 Januari 1983 ;
Jenis kelamin : Perempuan ;
Kebangsaan : Indonesia ;
Tempat tinggal : Jl. Setra Sari Indah No. 17 Rt 05 Rw 02 Kel.
Sukarasa, Kec. Sukasari Kota Bandung ;
Agama : Kristen ;
Pekerjaan : Ibu rumah tangga ;
3.
N a m a : YUNIARSIH HERLIANA ;
2
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Tempat lahir : Bogor ;
Umur/tanggal lahir : 55 tahun/16 Oktober 1952 ;
Jenis kelamin : Perempuan ;
Kebangsaan : Indonesia ;
Tempat tinggal : Jl. Setra Sari Indah No. 17 Rt 05 Rw 02 Kel.
Sukarasa, Kec. Sukasari Kota Bandung ;
Agama : Katholik ;
Pekerjaan : Ibu rumah tangga ;
4.
Para Terdakwa berada di luar tahanan ;
yang diajukan di muka persidangan Pengadilan Negeri Bandung karena
didakwa :
Pertama :
Bahwa mereka, terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi, terdakwa II. Andreas
Suhartoyo, terdakwa III Grace dan terdakwa IV. Yuniarsih Herliana pada hari
Minggu tanggal 21 Januari 2007 sekitar pukul 16.15 WIB atau pada waktu
lainnya di dalam bulan Januari tahun 2007, bertempat di depan halaman sebuah
rumah Jl. Setrasari Indah No. 17 Rt. 05/02 Kelurahan Sukarasa Kecamatan
Sukasari Kota Bandung atau di tempat lainnya yang masih termasuk dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Klas IA Bandung, secara terbuka dan secara
bersama-sama melakukan kekerasan terhadap manusia atau barang, yang
dilakukan oleh para terdakwa dengan cara sebagai berikut :
- Bermula saksi Adardam Achyar,SH.MH datang ke Jl. Setrasari Indah No. 17 Rt
05/02 Kel. Sukarasa Kec. Sukasari Kota Bandung selaku kuasa hukum
dengan maksud mendampingi saksi Robby Lasmana dalam rangka
menjemput anaknya yang bernama Richelle yang pada hari/Minggu tersebut
hak asuhnya berada pada saksi Robby Lasmana sesuai perjanjian atau
Hal. 3 dari 18 hal. Put. No. 416 K/Pid/2009
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
kesepakatan antara saksi Robby Lasmana dengan isterinya (terdakwa III
Grace) yang dibuat di bawah tangan tertanggal 19 Oktober 2006 ;
- Bahwa setelah pintu pagar rumah Jl. Setrasari Indah No.17 tersebut dibuka,
langsung saksi Robby Lasmana masuk menghampiri terdakwa III Grace yang
berada di pintu depan rumah sedang menggendong anaknya Richelle,
kemudian oleh karena anaknya Richelle menangis ketika akan dibawa oleh
saksi Robby Lasmana, lalu terdakwa III Grace berusaha mengambil kembali
anaknya sehingga terjadi tarik-menarik dan tiba-tiba dari dalam rumah keluar
terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi.Sp.OG menghampiri saksi Robby Lasmana
langsung mendorong/menekan kepala dan menjambak rambut saksi Robby
Lasmana sebanyak 2 kali sambil memiting leher saksi Robby Lasmana
dengan keras, lalu datang terdakwa IV Yuniarsih Herliana berusaha
mengambil kembali Richelle dalam gendongan saksi Robby Lasmana diikuti
tindakan terdakwa III Grace dari arah belakang/samping memukul pipi atau
kuping dari saksi Robby Lasmana sebanyak 2 kali ;
- Bahwa saksi Adardam Achyar,SH.,MH., yang ketika itu berada di luar halaman
melihat keadaan tersebut masuk halaman rumah dengan maksud melerai dan
menyelamatkan saksi Robby Lasmana, namun tiba-tiba terdakwa I Dr.
Winamo Sarkawi Sp.OG menghampiri saksi Adardam Achyar,SH., MH., dan
dengan keras tangan kirinya memegang krah baju dan tangan kanannya
menampar dan mendorong saksi Adardam Achyar,SH.,MH., sampai keluar
halaman rumah sambil terus memukuli bagian belakang kepala atau leher
saksi Adardam Achyar,SH.,MH., lebih dari 5 kali dengan mengatakan "Dasar
pengacara goblog, babi, tolol" dan ketika saksi Adardam Achyar, SH.,MH.,
berada di pinggir pintu pagar atau di belakang mobil, terdakwa III Grace
memukul bagian kepala dan pundak saksi Adardam Achyar, SH.,MH., masing-
masing 1 kali, diikuti terdakwa IV Yuniarsih Herliana dengan telapak tangan
terbuka memukul bagian ubun-ubun kepala saksi Adardam Achyar,SH.,MH.,
sebanyak 1 kali dan terdakwa II Andreas Suhartoyo menampar bagian leher
saksi Adardam Achyar, SH.,MH. sebanyak 1 kali, demikian halnya ketika saksi
Adardam Achyar,SH.,MH. akan naik mobil dari sebelah kiri diikuti dari
belakang oleh terdakwa IV Yuniarsih Herliana dan terdakwa II Andreas
Suhartoyo lalu terdakwa IV Yuniarsih kembali memukul pundak kiri belakang
sebanyak 1 kali diikuti terdakwa II Andreas Suhartoyo kembali memukul
pangkal leher belakang saksi Adardam Achyar, SH.,MH. sebanyak 2 kali,
demikian halnya ketika saksi Robby Lasmana berada dalam mobil setelah
berhasil membawa anaknya Richelle masuk dalam mobil, hendak menutup
4
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
pintu, kembali terdakwa III Grace memukuli wajah dan mencaci maki saksi
Robby Lasmana diikuti terdakwa Dr. Winamo Sarkawi memukuli kepala dan
pinggang saksi Robby Lasmana berkali kali setidaknya lebih dari sekali
ataupun dengan cara-cara lainnya seperti itu ;
- Bahwa akibat perbuatan para Terdakwa tersebut, saksi Adardam Achyar,
SH.,MH. menderita nyeri tekan dan memar kemerahan di daerah perbatasan
punggung dan leher sesuai Visum Et Repertum No.255/RSAI/VISUM/I/2007
tertanggal 23 Januari 2007 dan demikian halnya akibat perbuatan para
terdakwa tersebut, saksi Robby Lasmana menderita memar garis-garis
kemerahan pada daerah bahu kanan bagian belakang, bercak kemerahan di
bahu kiri belakang dan kedua pipi kemerahan, agak bengkak dan nyeri tekan
sesuai Visum Et Repertum No.254/RSAI/VISUM/I/2007 tertanggal 23 Januari
2007 ;
Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 170 (1)
KUPidana ;
atau
Kedua :
Bahwa mereka terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi, terdakwa II Andreas
Suhartoyo, terdakwa III Grace dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana pada waktu
dan tempat seperti yang telah diuraikan dalam dakwaan pertama primair, secara
bersama-sama sebagai yang melakukan, menyuruh melakukan atau ikut
melakukan perbuatan penganiayaan kepada saksi Adardam Achyar,SH.,MH dan
saksi Robby Lasmana, perbuatan tersebut mereka terdakwa lakukan dengan
cara sebagai berikut :
- Bermula saksi Adardam Achyar,SH.,MH selaku kuasa hukum bersama dengan
saksi Robby Lasmana datang ke Jl.Setrasari Indah No.17 Rt. 05/02
Kel.Sukarasa Kec.Sukasari Kota Bandung dengan maksud untuk membawa
anak saksi Robby bernama Richelle yang pada hari/Minggu tersebut hak
asuhnya berada pada saksi Robby Lasmana sesuai perjanjian atau
kesepakatan antara saksi Robby Lasmana dengan isterinya (terdakwa III
Grace) yang dibuat di bawah tangan tertanggal 19 Oktober 2006 ;
- Bahwa setelah pintu pagar rumah dibuka, saksi Robby Lasmana langsung
masuk menghampiri terdakwa III Grace yang berada di depan pintu untuk
mengambil anaknya Richelle dalam gendongan terdakwa III Grace dan
karena anaknya Richelle berteriak menangis maka terjadi tarik-menarik, tiba-
tiba dari dalam rumah keluar terdakwa I Dr.Winarno Sarkawi.Sp.OG langsung
mendorong atau menekan kepala dan menjambak rambut saksi Robby
Hal. 5 dari 18 hal. Put. No. 416 K/Pid/2009
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Lasmana sambil memiting leher saksi Robby Lasmana dengan keras diikuti
tindakan terdakwa Grace dari arah belakang/samping memukul pipi atau
kuping dari saksi Robby Lasmana sebanyak 2 kali ;
- Bahwa saksi Adardam Achyar,SH.,MH dengan maksud melerai dan
menyelamatkan saksi Robby Lasmana, masuk ke halaman rumah bermaksud
menghampiri saksi Robby Lasmana, namun tiba-tiba terdakwa I Dr. Winarno
Sarkawi Sp.OG mencegat saksi Adardam Achyar,SH., MH., dan dengan keras
tangan kirinya memegang krah baju sedangkan tangan kanannya menampar
dengan mendorong saksi Adardam Achyar,SH.,MH., sampai keluar halaman
rumah sambil terus memukuli bagian belakang kepala atau leher saksi
Adardam Achyat,SH.,MH beberapa kali sambil mengatakan "Dasar pengacara
goblog, babi, tolol" dan ketika saksi Adardam Achyar,SH.,MH berada di pinggir
pintu pagar/di belakang mobil, terdakwa III Grace memukul bagian kepala dan
pundak saksi Adardam Achyar,SH.,MH., diikuti terdakwa IV Yuniarsih Herliana
dengan telapak tangan terbuka memukul bagian ubun-ubun kepala saksi
Adardam Achyar,SH.,MH dan terdakwa II Andreas Suhartoyo menampar
bagian leher saksi Adardam Achyar,SH.,MH dan ketika saksi Adardam
Achyar,SH.,MH akan naik mobil dari sebelah kiri, tiba-tiba terdakwa IV
Yuniarsih Herliana kembali memukul pundak kiri belakang diikuti terdakwa II
Andreas Suhartoyo kembali memukul pangkal leher belakang saksi Adardam
Achyar,SH.,MH ataupun dengan cara-cara lainnya seperti itu, demikian halnya
ketika saksi Robby Lasmana berada dalam mobil setelah berhasil mengambil
anaknya Richelle, hendak menutup pintu mobil, kembali terdakwa III Grace
memukuli wajah dan mencaci maki saksi Robby Lasmana diikuti terdakwa Dr.
Winarno Sarkawi memukuli kepala dan pinggang saksi Robby Lasmana
berkali-kali setidaknya lebih dari sekali ataupun dengan cara-cara lainnya
seperti itu ;
- Bahwa akibat perbuatan para terdakwa tersebut, saksi Adardam Achyar,SH.,
MH menderita nyeri tekan dan memar kemerahan di daerah perbatasan
punggung dan leher sesuai Visum Et Repertum No.255/RSAI/VISUM/I/2007
tertanggal 23 Januari 2007 dan demikian halnya akibat perbuatan para
terdakwa tersebut, saksi Robby Lasmana menderita memar garis-garis
kemerahan pada daerah bahu kanan bagian belakang, bercak kemerahan di
bahu kiri belakang dan kedua pipi kemerahan, agak bengkak dan nyeri tekan
sesuai Visum Et Repertum No.254/RSAI/VISUM/I/2007 tertanggal 23 Januari
2007 ;
6
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 (1) KUH
Pidana jo Pasal 55 (1) ke 1 KUHPidana ;
atau :
Ketiga :
Bahwa mereka, terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi, terdakwa II Andreas
Suhartoyo, terdakwa III Grace dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana pada hari
Minggu tanggal 21 Januari 2007 sekitar pukul 16.15 WIB atau pada waktu
lainnya di dalam bulan Januari tahun 2007, bertempat di halaman di depan
rumah Jl. Setrasari Indah No.17 Rt.05/02 Kelurahan Sukarasa Kecamatan
Sukasari Kota Bandung atau di tempat lainnya yang masih termasuk dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Klas. IA Bandung, secara bersama-sama
sebagai yang melakukan, menyuruh melakukan atau ikut melakukan perbuatan
dengan kekerasan, dengan sesuatu perbuatan yang lain atau dengan suatu
tindakan yang tidak menyenangkan ataupun dengan ancaman kekerasan,
dengan ancaman akan melakukan sesuatu tindakan yang lain atau dengan
ancaman akan melakukan tindakan yang tidak menyenangkan, yang ditujukan
terhadap orang itu sendiri atau terhadap pihak ketiga, memaksa orang lain untuk
melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu secara
melawan hukum, perbuatan tersebut mereka terdakwa lakukan dengan cara
sebagai berikut :
- Bermula saksi Adardam Achyar,SH.,MH datang ke Jl. Setrasari Indah No. 17
Rt.05/02 Kel.Sukarasa Kec.Sukasari Kota Bandung mengantar saksi Robby
Lasmana dengan maksud untuk membawa anak saksi Robby Lasmana
bernama Richelle yang pada hari/Minggu tersebut hak asuhnya berada pada
saksi Robby Lasmana sesuai perjanjian atau kesepakatan antara saksi Robby
Lasmana dengan isterinya (terdakwa III Grace) yang dibuat di bawah tangan
tertanggal 19 Oktober 2006 ;
- Bahwa setelah pintu pagar dibuka, saksi Robby Lasmana langsung masuk
menghampiri terdakwa III Grace yang berada di depan pintu untuk membawa
anaknya Richelle dalam gendongan terdakwa III Grace, namun karena
anaknya Richelle berteriak menangis maka terjadi tarik menarik, tiba-tiba dari
dalam rumah keluar terdakwa I Dr.Winarno Sarkawi,Sp.OG langsung
mendorong/menekan kepala dan menjambak rambut saksi Robby Lasmana
sambil memiting leher saksi Robby Lasmana dengan keras, lalu datang
terdakwa Yuniarsih Herliana berusaha mengambil kembali Richelle dalam
gendongan saksi Robby Lasmana diikuti tindakan terdakwa Grace dari arah
belakang/samping memukul kepala bagian pipi atau kuping dari saksi Robby
Hal. 7 dari 18 hal. Put. No. 416 K/Pid/2009
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Lasmana, kemudian saksi Adardam Achyar,SH.,MH dengan maksud melerai
dan menyelamatkan saksi Robby Lasmana, masuk ke halaman rumah, namun
terdakwa I Dr.Winarno Sarkawi,Sp.OG mencegat Adardam Achyar, SH.,MH
dan dengan keras tangan kirinya memegang krah baju saksi Adardam Achyar,
SH.,MH sedangkan tangan kanannya menampar dengan mendorong saksi
Adardam Achyar, SH., MH., keluar dari halaman rumah sambil terus memukuli
bagian belakang kepala atau leher saksi Adardam Achyar,SH.,MH beberapa
kali sambil mengatakan "Dasar pengacara goblog, babi, tolol", dan ketika saksi
Adardam Achyar,SH.,MH berada di pinggir pintu pagar/di belakang mobil,
terdakwa III Grace memukul bagian kepala dan pundak saksi Adardam
Achyar,SH.,MH diikuti terdakwa IV Yuniarsih Herliana dengan telapak tangan
terbuka memukul bagian ubun-ubun kepala saksi Adardam Achyar,SH.,MH
dan terdakwa II Andreas Suhartoyo menampar bagian leher saksi Adardam
Achyar,SH.,MH lalu ketika saksi Adardam Achyar,SH.,MH akan naik mobil dari
sebelah kiri, tiba-tiba terdakwa IV Yuniarsih Herliana kembali memukul pundak
kiri belakang diikuti terdakwa Andreas Suhartoyo kembali memukul pangkal
leher belakang saksi Adardam Achyar,SH.,MH demikian halnya ketika saksi
Robby Lasmana berada dalam mobil setelah berhasil membawa anaknya
Richelle hendak menutup pintu mobil, kembali terdakwa III Grace memukuli
wajah dan mencaci maki saksi Robby Lasmana diikuti terdakwa Dr. Winarno
Sarkawi, Sp.OG memukuli kepala dan pinggang saksi Robby Lasmana berkali-
kali setidaknya lebih dari sekali ataupun dengan cara-cara lainnya seperti itu,
sehingga akibat perbuatan para Terdakwa tersebut, saksi Adardam Achyar,
SH.,MH dan saksi Robby Lasmana merasa tidak senang ;
Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 335 ayat (1) ke 1
KUHPidana ;
Mahkamah Agung tersebut ;
Membaca tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri
Bandung tanggal 3 Desember 2007 sebagai berikut :
1. Menyatakan terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi,Sp.OG, terdakwa II Andreas
Suhartoyo, terdakwa III Grace binti Winarno dan terdakwa IV Yuniarsih
Herliana bersalah melakukan tindak pidana secara terbuka dan bersama-
sama melakukan kekerasan terhadap manusia atau barang sebagaimana
diatur dalam Pasal 170 (1) KUH Pidana dalam dakwaan Pertama Jaksa
Penuntut Umum ;
2. Menjatuhkan pidana terhadap : terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi,Sp.OG,
terdakwa II Andreas Suhartoyo, terdakwa III Grace binti Winarno dan
8
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
terdakwa IV Yuniarsih Herliana, masing-masing dengan pidana penjara
selama 3 (tiga) tahun ;
3. Menyatakan barang bukti berupa :
• 1 (satu) buah kemeja merk Nautica motif kotak-kotak yang kencing no. 2
lepas dikembalikan kepada saksi Adardam Achyar, SH., MH ;
• 1 (satu) buah handycam merk Panasonic dikembalikan kepada terdakwa
Dr. Winarno Sarkawi, Sp.OG ;
• Cassete rekaman peristiwa/kejadian penganiayaan an. Adardam dan 1
(satu) album foto berisikan peristiwa foto-foto kejadian pada tanggal 21
Januari 2007 yang diserahkan pelapor Adardam Achyar, SH., MH tetap
terlampir dalam berkas perkara ;
4. Menetapkan supaya para terpidana dibebani biaya perkara masing-
masing sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah) ;
Membaca putusan Pengadilan Negeri Klas IA Bandung Nomor 845/Pid/
B/2007/PN.BDG tanggal 03 Januari 2008 yang amar lengkapnya sebagai
berikut :
1. Menyatakan terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi, Sp.OG., terdakwa II
Andreas Suhartoyo, terdakwa III Grace binti Winarno, dan terdakwa IV
Yuniarsih Herliana tersebut di atas, telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan terang-terangan
dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang ;
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa I dan terdakwa III oleh karena itu
dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan, dan
kepada terdakwa II dan terdakwa IV dengan pidana penjara masing-
masing selama 4 (empat) bulan ;
3. Memerintahkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali di kemudian
hari dengan putusan Hakim diberikan perintah lain atas alasan bahwa
sebelum masa percobaan selama I (satu) tahun 6 (enam) bulan berakhir
bagi terdakwa I dan terdakwa III dan masa percobaan selama 8 (delapan)
bulan berakhir bagi terdakwa II dan terdakwa IV, para terdakwa
dinyatakan bersalah telah melakukan suatu tindak pidana ;
4. Menetapkan barang bukti berupa :
a. 1 (satu) buah kemeja merk Nautica motif kotak-kotak, dikembalikan
kepada saksi Adardam Achyar,SH.,MH ;
b. 1 (satu) buah handycam merk Panasonic berikut kaset MDV merk
Panasonic, dikembalikan kepada saksi Anthony Sugiharto ;
Hal. 9 dari 18 hal. Put. No. 416 K/Pid/2009
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
5. Membebankan biaya perkara kepada para terdakwa masing-masing
sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) ;
Membaca putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung Nomor 127/
PID/2008/PT.Bdg tanggal 22 April 2008 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
• Menerima permohonan banding dari Pembanding Jaksa Penuntut Umum
dan para terdakwa (kuasanya) tersebut ;
• Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung tanggal 3 Januari
2008
Nomor : 845/Pid/B/2007/PN.Bdg.yang dimohonkan banding tersebut ;
MENGADILI SENDIRI
• Menyatakan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih
Herliana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan ;
• Membebaskan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih
Herliana dari semua dakwaan (vrijspraak) ;
• Menyatakan terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi. Sp.OG. dan terdakwa III
Grace
binti Winarno terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi
perbuatan tersebut merupakan pembelaan darurat (noodweer) ;
• Melepaskan terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi. Sp.OG. dan terdakwa III
Grace binti Winarno dari semua tuntutan hukum (ontslag van alle
rechtsvervolging). ;
• Memulihkan hak para terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan
harkat serta martabat mereka ;
• Memerintahkan agar barang bukti berupa :
• 1 (satu) buah kemeja merk nautical motif kotak-kotak dikembalikan
kepada saksi 1 Adardam Achyar, SH.,MH ;
• 1 (satu) buah handycam merk Panasonic berikut kaset MDV merk
Panasonic dikembalikan kepada Anthony Sugiharto ;
• Membebankan biaya perkara kepada Negara ;
Mengingat akan akta tentang permohonan kasasi Nomor 37/Akta.Pid/
2008/PN.Bdg yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Klas IA
Bandung yang menerangkan, bahwa pada tanggal 10 Juli 2008 Jaksa/Penuntut
Umum pada Kejaksaan Negeri Bandung mengajukan permohonan kasasi
terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut ;
10
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Memperhatikan memori kasasi tanggal 18 Juli 2008 dari Jaksa/Penuntut
Umum sebagai Pemohon Kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri Klas IA Bandung pada tanggal 18 Juli 2008 ;
Membaca surat-surat yang bersangkutan ;
Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah
diberitahukan kepada Jaksa/Penuntut Umum pada tanggal 27 Juni 2008 dan
Jaksa/Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 10 Juli
2008 serta memori kasasinya telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Klas IA Bandung pada tanggal 18 Juli 2008, dengan demikian permohonan
kasasi beserta dengan alasan-alasannya telah diajukan dalam tenggang waktu
dan dengan cara menurut undang-undang, oleh karena itu permohonan kasasi
tersebut formal dapat diterima ;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/
Jaksa/Penuntut Umum pada pokoknya sebagai berikut :
Bahwa putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Bandung tersebut, dalam
mempertimbangkan tentang tidak terbuktinya surat dakwaan sebagaimana yang
dituntut oleh Jaksa/Penuntut Umum yang mana amarnya telah membebaskan
terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana dari segala
dakwaan (vrijspraak) serta melepaskan terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi,Sp.OG
dan terdakwa III Grace binti Winarno dari semua tuntutan hukum (ontslag van
alle rechtsvervolging) adalah PUTUSAN BEBAS YANG TIDAK MURNI sifatnya
karena Judex Facti dalam putusan Pengadilan Tinggi Bandung tersebut semata-
mata didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana
yang dimuat dalam surat dakwaan dan tidak didasarkan pada tidak terbuktinya
unsur-unsur perbuatan yang dakwakan yaitu :
a. Bahwa Judex Faxti Vide / Pengadilan Tinggi Bandung dalam putusannya
telah membebaskan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV
Yuniarsih Herliana bukan karena tidak terbuktinya unsur kekerasan dalam
Pasal 170 ayat (1) KUHP namun karena Judex Facti telah MENGABAIKAN
alat bukti keterangan saksi-saksi sebagai alat bukti yang sah dan semata-
mata hanya mempertimbangkan keterangan para terdakwa, sehingga Judex
Facti/PengadiIan Tinggi Bandung telah salah dalam penerapan hukum
pembuktian vide Pasal 183 jo Pasal 184 jo Pasal 185 KUHAP ;
- Berdasarkan alat bukti berupa keterangan saksi I Adardam Achyar,SH., MH,
saksi 2 Robby Lasmana, saksi 3 Burhanudin als. Ahmad bin M. Khoerudin
di bawah sumpah dihubungkan dengan alat bukti Surat berupa Visum Et
Repertum sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim
Hal. 11 dari 18 hal. Put. No. 416 K/Pid/2009
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Pengadilan Negeri Bandung dalam putusannya di mana alat bukti
dimaksud telah saling bersesuaian dengan alat bukti lainnya, sehingga
telah memunuhi syarat mininal alat bukti dalam membuktikan tentang
kesalahan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih
Herliana sebagai pelaku yang bersama-sama melakukan tindak pidana
sebagaimana yang di dakwakan dalam dakwaan pertama vide putusan
Pengadilan Negeri Bandung tanggal 3 Januari 2008 Nomor : 845/Pid/B/
2007/PN.Bdg ;
- Bahwa demikian halnya keterangan saksi Jason Sastra Jaya yang
merupakan saksi fakta sebagai alat bukti sah yang terungkap di
persidangan, yang walaupun tidak disumpah karena usia masih di bawah
umur vide Pasal 171 (a) KUHAP, namun karena keterangan saksi Jason
Sastra Jaya tersebut saling bersesuaian dengan keterangan saksi lainnya
yang di bawah sumpah, maka sesuai ketentuan Pasal 185 ayat (7) KUHAP
keterangannya tersebut dapat digunakan sebagai tambahan alat bukti sah
yang Iainnya ;
- Bahwa walaupun para terdakwa khususnya terdakwa II Andreas Suhartoyo
dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana di persidangan telah tidak mengakui
perbuatannya tersebut, selain keterangan terdakwa tersebut hanya dapat
dipergunakan terhadap dirinya sendiri vide Pasal 189 ayat (3) KUHAP,
sehingga Judex Facti yaitu Pengadilan Tinggi Bandung tidak dapat
mengesampingkan keterangan saksi-saksi sebagai alat bukti sah yang
terungkap di persidangan tersebut hanya berlandaskan kepada keterangan
para terdakwa tersebut ;
- Bahwa kekeliruan Judex Facti semakin jelas setelah salah menafsirkan
fakta hukum yang terungkap di persidangan bahwa terdakwa II Andreas
Suhartoyo dalam peristiwa tersebut dianggap melakukan pengambilan
gambar yang kemudian menjadi barang bukti dalam perkara ini, karena
yang sebenarnya mengambil gambar dalam peristiwa tersebut adalah
saudara kembar dari terdakwa II Andreas Suhartoyo, yaitu Antonhy
Sugiharto untuk kepentingan perkara perdata ;
- Bahwa apabila Judex Facti/Pengadilan Tinggi Bandung tidak salah atau
keliru mempertimbangkan alat bukti sah tersebut (dan “yang seharusnya
dipertimbangkan oleh Judex Facti/Pengadilan Tinggi Bandung”) maka
Judex Facti dalam putusannya tidak akan membebaskan terdakwa II
Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana dari surat dakwaan
pertama Jaksa/Penuntut Umum ;
12
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
b. Bahwa putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi Bandung dalam putusannya
yang telah melepaskan terdakwa I Dr.Winarno Sarkawi,Sp.OG dan terdakwa
III Grace binti Winarno dari semua tuntutan hukum (ontslag van alle
rechtsvervolging) karena perbuatannya termasuk dalam apa yang diatur
pada Pasal 49 ayat (2) KUHP adalah telah salah dalam penerapan
hukumnya, yaitu ;
Bahwa untuk dapat suatu perbuatan digolongkan sebagai noodweer exces
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP, bahwa pelaku tersebut
dalam melakukan sesuatu perbuatan yang melampaui batas pembelaan
seperlunya merupakan akibat langsung dari kegoyahan hati yang demikian
rupa yang disebabkan oleh SERANGAN tersebut, dan ternyata bahwa fakta
hukum yang terungkap di persidangan adalah TIDAK ADA serangan bersifat
melawan hukum dan seketika yang mengancam jiwa, kehormatan dan
benda, karena :
- Para terdakwa mengetahui bahwa kedatangan saksi Robby Lasmana dan
saksi Adardam Achyar, SH., MH adalah BUKAN UNTUK MELAKUKAN
SERANGAN, namun dalam kepentingan saksi Robby Lasmana (sebagai
seorang ayah) untuk menjemput anak kandungnya bernama Richelle
sesuai surat pernyataan tertanggal 19 Oktober 2006 tentang pengasuhan
anak, di mana pada waktu itu adalah bagian saksi Robby untuk mengasuh
Richelle, dan kedatangan saksi Adardam Achyar,SH.,MH dan saksi Robby
Lasmana pada waktu itu, sebelumnya TELAH DIKONFIRMASI (melalui
sms kepada saksi Adardam Achyar, SH., MH) kepada terdakwa III Grace
binti Winarno dan TELAH DISETUJUI oleh terdakwa III Grace binti
Winarno,Sp.OG untuk menjemput Richelle (Richelle yang selalu menangis
bila dibawa oleh saksi Robby Lasmana) sehingga tidak mungkin dan tidak
masuk akal bahwa apabila kedatangan saksi Robby Lasmana yang
merupakan ayah kandungnya Richelle tersebut akan mengancam jiwa
anaknya Richelle maupun harta benda para terdakwa ;
- Bahwa para terdakwa mengetahui kedatangan saksi Adardam Achyar, SH.,
MH selaku Advokad dan kuasa hukum saksi Robby Lasmana dalam
menjalankan tugas mendampingi klien untuk menjemput anak saksi Robby
Lasmana dan saksi Adardam Achyar,SH.,MH TIDAK MEMPUNYAI
HUBUNGAN EMOSIONAL dalam peristiwa hukum yang menyangkut
antara saksi Robby Lasmana dengan pihak para terdakwa, sehingga oleh
karenanya maksud saksi Adardam Achyar,SH.,MH masuk ke halaman
rumah adalah semata-mata untuk melerai dan menengahi keributan antara
Hal. 13 dari 18 hal. Put. No. 416 K/Pid/2009
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
pihak para terdakwa dengan saksi Robby Lasmana dan saksi Adardam
Achyar, SH.,MH hal tersebut terlihat dalam gambar rekaman bahwa saksi
Adardam Achyar,SH.,MH tidak melakukan perbuatan perlawanan atas
tindakan dari para terdakwa setelah saksi Robby Lasmana telah berhasil
membawa Richelle, namun hanya bersikap atau berposisi berjaga-jaga
menangkis dari serangan para terdakwa di belakang mobil di luar halaman
rumah para terdakwa, dan tidak masuk akal apabila kedatangan saksi
Adardam Achyar,SH.,MH masuk ke halaman rumah tersebut dalam
merupakan perbuatan melawan hukum karena pintu pagar sudah dalam
keadaan terbuka ;
- Bahwa perbuatan pemukulan terdakwa III Grace binti Winarno kepada saksi
Robby Lasmana juga dilakukan BUKAN TERJADI SEKETIKA
TERJADINYA PERISTIWA dimana TERDAKWA III BERUSAHA MEREBUT
KEMBALI ANAK/RICHELLE dari gendongan saksi Robby Lasmana, namun
terdakwa III Grace melakukan pemukulan ("BUKAN MENEPIS") ketika
saksi Robby Lasmana sedang berjalan meninggalkan halaman rumah
menuju ke mobil dan bersama-sama terdakwa I Dr. Winarno
Sarkawi,Sp.OG melakukan pemukulan kembali kepada saksi Robby
Lasmana adalah setelah saksi Robby Lasmana berada dalam mobil dalam
keadaan sedang menggendong Richelle, dan adalah tidak masuk akal
apabila saksi Robby Lasmana sebagai ayah kandung Richelle bermaksud
untuk menyakiti anak kandungnya sendiri yang selama ini oleh saksi
Robby Lasmana hak asuh terhadap anaknya Richelle tersebut
dipertahankan sampai dalam sengketa perkara perdata di pengadilan ;
- Bahwa selain peristiwa sengketa perceraian (masih dalam proses di
persidangan) yang menyangkut antara terdakwa III Grace binti Winarno,
Sp.OG dengan saksi Robby Lasmana, namun ada latar belakang perkara
pidana lainnya yang saling melaporkan antara kedua belah pihak yang
dianggap telah merugikan pihak para terdakwa, yang mana telah pula
memicu emosional para terdakwa kepada saksi Robby Lasmana dan
kepada saksi Adardam Achyar, SH., MH ;
- Bahwa secara kasat mata setelah melihat rekaman dan foto-foto kejadian
tersebut, jelas terlihat bahwa tindakan para terdakwa telah menggunakan
tenaga yang keras secara bersama-sama bukan hanya memegang rambut
dan menggelitik perut saksi Robby Lasmana sebagaimana dikatakan oleh
terdakwa Dr.Winarno Sarkawi, Sp.OG atau hanya menepis kepala atau pipi
14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
saksi Robby Lasmana sebagaimana yang dikatakan oleh terdakwa Grace
binti Winarno dalam persidangan ;
- Bahwa sebagai referensi, dengan ini disampaikan beberapa putusan HR
yang berkaitan dengan Pasal 49 KUHP, sebagai berikut :
• H.R. tanggal 8 Pebruari 1932 yang menyatakan "suatu perasaan takut
bahwa dirinya akan diserang oleh orang Iain yang bersikap
mengancam, tidak menyebabkan perbuatannya menyerang orang itu
menjadi sah menurut hukum'' ;
• H.R. tanggal 29 Desember 1913 yang menyatakan "membalas
serangan dengan serangan bukanlah tindakan yang bersifat membela
diri" ;
• H.R. tanggal 4 Mei 1936 yang menyatakan "dengan tidak adanya
serangan secara melawan hak ketika itu juga, tidak dibenarkan tentang
adanya suatu pembelaan seperlunya yang diizinkan" ;
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
berpendapat :
Bahwa alasan-alasan dan keberatan-keberatan kasasi dari Pemohon
Kasasi (Jaksa/Penuntut Umum) tidak dapat dibenarkan oleh karena Judex Facti
(Pengadilan Tinggi) telah benar menerapkan hukum ;
Menimbang, bahwa namun demikian putusan Pengadilan Tinggi Jawa
Barat Nomor : 127/PID/2008/PT. Bdg tanggal 22 April 2008 yang membatalkan
putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor : 845/Pid/B/2007/PN.Bdg tanggal 3
Januari 2008 harus diperbaiki yaitu mengenai pidana terhadap terdakwa I (Dr.
Winarno Sarkawi, Sp.OG) dengan pertimbangan sebagai berikut :
• Bahwa apa yang sudah dipertimbangkan oleh Judex Facti (Pengadilan
Negeri) terhadap terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi, Sp.OG menurut
pendapat Mahkamah Agung sudah tepat dan benar ;
• Bahwa dengan demikian pertimbangan tersebut diambil alih sebagai
pertimbangan oleh Mahkamah Agung ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata,
putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/
atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak dengan
memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi tersebut di atas ;
Menimbang, bahwa oleh karena Termohon Kasasi/Terdakwa I Dr.
Winarno Sarkawi, Sp.OG dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini ;
Hal. 15 dari 18 hal. Put. No. 416 K/Pid/2009
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Memperhatikan Undang-Undang No.48 Tahun 2009, Undang-Undang
No.8 Tahun 1981 dan Undang-Undang No.14 Tahun 1985 sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan
lain yang bersangkutan ;
M E N G A D I L I
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa/Penuntut
Umum pada Kejaksaan Negeri Bandung tersebut ;
Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat No. 127/
PID/2008/PT.Bdg, tanggal 22 April 2008 yang telah membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Bandung Nomor : 845/Pid/B/2007/PN.Bdg tanggal 3 Januari
2008 sehingga berbunyi sebagai berikut :
• Menyatakan terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi, Sp.OG., telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan
terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekekerasan
terhadap orang ;
• Menjatuhkan pidana kepada terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi, Sp.OG.,
oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 bulan ;
• Memerintahkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali di kemudian
hari dengan putusan Hakim diberikan perintah lain atas alasan bahwa
sebelum masa percobaaan selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan
berakhir bagi terdakwa I ;
• Menyatakan II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan
yang didakwakan ;
• Membebaskan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih
Herliana dari semua dakwaan (vrijspraak) ;
• Menyatakan terdakwa III Grace binti Winarno terbukti melakukan
perbuatan yang didakwakan tetapi perbuatan tersebut merupakan
pembelaan darurat (noodweer) ;
• Melepaskan terdakwa III Grace binti Winarno dari semua tuntutan hukum
(ontslag van alle rechtsvervolging) ;
• Memulihkan hak para terdakwa II Andreas Suhartoyo, III Grace binti
Winarno, dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana dalam kemampuan,
kedudukan dan harkat serta martabatnya ;
• Memerintahkan agar barang bukti berupa :
16
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
- 1 (satu) buah kemeja merk nautical motif kotak-kotak dikembalikan
kepada saksi 1 Adardam Achyar, SH.,MH ;
- 1 (satu) buah handycam merk Panasonic berikut kaset MDV merk
Panasonic dikembalikan kepada Anthony Sugiharto ;
Membebankan Termohon Kasasi/Terdakwa I tersebut untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus
Rupiah) ;
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari Kamis tanggal 04 Februari 2010 oleh Prof. Dr. H.MUCHSIN,
S.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai
Ketua Majelis, Prof. Dr. HM. HAKIM NYAK PHA, S.H.,DEA., dan Prof. Dr.
VALERINE J.L. KRIEKHOFF, S.H.,M.A., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota,
dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua
Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota tersebut, dan dibantu oleh RITA ELSY,
S.H., M.H., Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh Pemohon Kasasi : Jaksa/
Penuntut Umum dan para terdakwa.
Hakim-Hakim Anggota : K e t u a ,
ttd/.Prof.Dr.HM.HAKIM NYAK PHA,S.H.,DEA.,
ttd/.Prof.Dr. VALERINE J.L. KRIEKHOFF, S.H.,M.A.
Panitera Pengganti ,
ttd/. RITA ELSY, S.H., M.H.
Oleh karena Ketua Majelis/Pembaca III, Prof. Dr. H. Muchsin, S.H., telah
meninggal dunia pada hari Minggu tanggal 4 September 2011, maka putusan
ini ditandatangani oleh Hakim-Hakim Anggota/Pembaca I dan II, Prof. Dr. HM.
HAKIM NYAK PHA, S.H.,DEA., dan Prof.Dr. VALERINE J.L. KRIEKHOFF,
S.H.,M.A.
Jakarta, ...... September 2011
Ketua Muda Perdata,
ATJA SONDJAJA, S.H.
Hal. 17 dari 18 hal. Put. No. 416 K/Pid/2009
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Tim F
UNTUK SALINANMAHKAMAH AGUNG RI.
a.n. PaniteraPanitera Muda Pidana,
MACMUD RACHIMI, S.H., M.H.NIP. 040 018 310
18
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
top related