strategi pemasaran sekolah dalam peningkatan minat peserta
Post on 04-Oct-2021
9 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Kelola
Jurnal Manajemen Pendidikan
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018
Halaman: 1-14
1
Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta Didik
Berdasarkan Delta Model
Ririn Tius Eka Margareta
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
ririntius@gmail.com
Bambang Ismanto
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
bambang.ismanto@staff.uksw.edu
Bambang Suteng Sulasmono
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
bambang.sulasmono@staff.uksw.edu
ABSTRACT
The purpose of this study is to develop a school marketing strategy in increasing
customer interest. This research is limited to the stage of product manufacturing. Data were
collected using documentation study, observation, and in-depth interviews. Data is validated
by source and techniques triangulation. Data analysis techniques using Miles and Huberman
Model (interactive model): data reduction, presentation data, and conclusion/verification.
The result of this research: 1) the implemented strategy is to use a promotional strategy by
spreading brochures and/or presentations to predetermined schools and churches, word of
mouth organizing month language events every year, and activities/program held/followed
by school, 2) obstacles and lack of marketing strategy implemented by this school in
increasing the interest of learners that time management is not right, committee less active,
foundation not yet involved, dissemination of brochure less effective, marketing is less
extensive, does not yet have a document of school marketing strategy, and has not been able
to ensure and communicate that the services offered are relevant to the needs of the
community, and 3) The resulting product is a school marketing strategy based on the Delta
Model in the interest of learners: a) Best Product Strategy: conducting holistic education
through various school activities/programs that are unique and relevant to customer needs,
and apply multi payment system to simplify customer conduct financial transactions; b) Total
Customer Solutions Strategy: maximize resources owned by the company and facilitate the
human resources who participate in the competitions/activities to meet their needs, and give
appreciation of the effort/achievement of human resources; and c) System Lock-In Strategy:
enforcing contract system with certain experts/clients within a certain period of time to lock
customer, implement career path system for teachers and school staff, and have special
cooperation and instructions which applies to alumni, high school favorites, certain
universities, and other educational institutions.
Keywords: Delta Model, School Marketing Strategy, Student Interest
Article Info
Received date: 5 Juni 2018 Revised date: 13 Juni 2018 Accepted date: 21 Juni 2018
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
2
PENDAHULUAN
Sekolah merupakan salah satu lembaga
yang didirikan untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional. Guna mencapai tujuan
tersebut, setiap sekolah menetapkan visi dan
misi. Visi merupakan tujuan yang harus
dicapai oleh sekolah dalam kurun waktu yang
panjang (5-10 tahun) (Muhaimin, Suti’ah, &
Prabowo, 2015). Misi adalah cara bagaimana
mencapai visi (Kautsar, 2015). Sekolah perlu
menetapkan hal-hal yang harus dilakukan
(misi) untuk mencapai visi. Salah satu hal yang
dapat dilakukan untuk mencapai visi dan misi
yaitu melibatkan berbagai pihak terkait dalam
mengelola dan mengembangkan strategi yang
tepat.
Salah satu strategi yang dapat
digunakan oleh sekolah dalam mengenalkan
visi dan misi yaitu strategi pemasaran. Strategi
pemasaran dapat menjadi sebuah terobosan
baru bagi sekolah untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan. Sekolah sebagai lembaga non-
profit sekaligus segmen kelembagaan yang
penting, tujuannya bukanlah penciptaan
kekayaan ekonomi melainkan usaha untuk
melakukan aktivitas yang secara positif akan
mempengaruhi masyarakat pada umumnya
(Hax, 2010). Sekolah perlu memperhatikan
hal-hal yang telah, sedang, dan belum
dilakukan untuk meningkatkan layanan bagi
pelanggan jasa pendidikan. Melalui strategi
pemasaran yang tepat, sekolah dapat
meningkatkan minat pelanggan (termasuk
minat peserta didik). Sekolah yang diminati
pelanggan dan memiliki SDM yang bermutu
akan tetap eksis dan mampu meningkatkan
kualitas pendidikan.
Strategi pemasaran merupakan suatu
rencana kegiatan atau usaha menyampaikan
barang atau jasa dari produsen kepada
konsumen (termasuk pelanggan), dan usaha
menciptakan pertukaran yang memuaskan
melalui kegiatan pendistribusian, sekaligus
sebagai upaya penyesuaian dengan kondisi
lingkungan eksternal (Wijaya, 2012;
Fransiska, tt). Pada penelitian ini, sekolah
sebagai produsen perlu memahami keadaan
dan kebutuhan (calon) pelanggan sehingga
dapat menyediakan jasa yang relevan dengan
kebutuhan pelanggan. Selain kondisi eksternal,
sekolah juga perlu mempertimbangkan kondisi
lingkungan internalnya. Dengan kata lain,
keberhasilan strategi pemasaran sekolah
tergantung pada kondisi lingkungan dan upaya
pemenuhan kebutuhan pihak terkait baik
secara internal maupun eksternal.
Berdasarkan penelitian yang sudah ada,
banyak sekolah telah mengembangkan, meng-
implementasikan, dan/atau mengevaluasi ber-
bagai strategi pemasaran sekolah. Salah satu
hasil penelitian yaitu penelitian Sumarni
(2011) menyatakan bahwa strategi pemasaran
SMP Kristen Satya Wacana Salatiga
berdasarkan analisis SWOT): 1) kekuatan yang
dimiliki yaitu minat, motivasi belajar yang
tinggi, kualifikasi pendidikan guru yang tinggi,
rombongan belajar kecil, prosentase lulusan
tinggi dan nilai rata-rata UAN tinggi; 2)
kelemahannya yaitu kemampuan siswa
beragam, supervisi kurang dan belum ada
jaringan alumni; 3) peluangnya yaitu motivasi
siswa melanjutkan ke jenjang pendidikan
tinggi, peluang guru untuk melanjutkan
pendidikan dan hasil evalusi dapat digunakan
untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi; dan 4) ancamannya yaitu image
sekolah mahal dan eksklusif, tingginya
persaingan sekolah, dan orang tua melihat
keberhasilan anak dari hasil, bukan proses.
Strategi yang diimplementasikan oleh SMP
Kristen Satya Wacana Salatiga berdasarkan
analisis SWOT adalah strategi SO. Dengan
strategi ini, SMP Kristen Satya Wacana
Salatiga telah menggunakan kekuatannya
untuk memanfaatkan peluang yang ada.
Pengembangan strategi pemasaran juga
harus mempertimbangkan berbagai aspek
termasuk peraturan atau kebijakan yang
berlaku. Permendikbud Nomor 14 Tahun
2018: Pasal 3 Ayat (1) menyatakan bahwa
Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta Didik ... | Ririn T. E. Margareta, dkk.
3
pelaksanaan PPDB bagi sekolah yang
diselenggarakan pemerintah daerah dimulai
pada bulan Mei setiap tahun, Pasal 16 Ayat (1)
menyatakan sekolah yang diselenggarakan
pemerintah daerah wajib menerima calon
peserta didik yang berdomisili pada radius
zona terdekat dari sekolah paling sedikit 90%
dari total keseluruhan peserta didik yang
diterima, Pasal 16 Ayat (2) menyatakan
domisili calon peserta didik berdasarkan
alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan
paling lambat 6 bulan sebelum pelaksanaan
PPDB, dan Pasal 16 Ayat (6a) menyatakan
sekolah yang diselenggarakan pemerintah
daerah dapat menerima calon peserta didik
melalui jalur prestasi yang berdomisili diluar
radius zona terdekat tetapi paling banyak 5%
dari total keseluruhan peserta didik yang
diterima. Hal ini berarti, sekolah yang tidak
diselenggarakan oleh pemerintah daerah
memiliki potensi yang sangat besar untuk
menerima calon peserta didik tanpa
mempertimbangkan asal/domisili siswa.
Berdasarkan dokumen, sekolah swasta
yang dijadikan subyek penelitian ini
mengalami penurunan jumlah peserta didik
baru khususnya empat tahun terakhir. Hal ini
tampak dari hasil PPDB pada setiap tahun
pelajaran. Beberapa tahun sebelum tahun
pelajaran 2017/2018, sekolah menyediakan 3
rombel dan terisi 3 rombel meskipun jumlah
peserta didik menurun. Pada tahun pelajaran
2017/2018 menyediakan 3 rombel tetapi hanya
terisi 2 rombel. Hal ini menginformasikan
bahwa jumlah peserta didik baru di sekolah
tersebut menurun dan belum mencapai kuota
yang disediakan. Sekolah perlu mengevaluasi
dan menindaklanjuti hal ini dan
memaksimalkan kesempatan untuk menentu-
kan segmentasi pelanggan dan mengembang-
kan strategi pemasaran yang tepat.
Berdasarkan studi pendahuluan,
sekolah ini memiliki beberapa permasalahan
lainnya: 1) strategi pemasaran yang
diimplementasikan belum mencapai tujuan, 2)
belum memiliki dokumen strategi pemasaran
secara tertulis; 3) kurang sumber dana untuk
perbaikan sarana-prasarana dan promosi; 4)
jumlah SDM terbatas dan tidak seimbang
dengan beban tugas yang diberikan; 5)
memiliki tim promosi tetapi sebagian besar
dipercayakan kepada kepala sekolah, guru, dan
staf; 6) keterbatasan biaya untuk membayar
jasa dosen/pengajar siswa yang akan
mengikuti lomba tertentu; 7) komite sekolah
kurang berperan dalam pemasaran; dan 8)
yayasan belum terlibat dan dilibatkan dalam
pemasaran sekolah. Permasalahan ini harus
segera diatasi untuk mempertahankan
keberadaan sekolah, menyampaikan tujuan
pendidikan kepada masyarakat, dan
meningkatkan minat (calon) pelanggan
pendidikan termasuk (calon) peserta didik.
Terkait dengan masalah yang dihadapi
sekolah tersebut, salah satu upaya yang dapat
dilakukan oleh pihak terkait yaitu
mengembangkan strategi pemasaran sekolah.
Strategi pemasaran sekolah yang tepat yaitu
strategi yang berpusat pada pelanggan
(termasuk peserta didik). Sekolah dapat
menggunakan Delta Model yaitu kerangka
strategi yang memposisikan pelanggan sebagai
pusat manajemen (Hax dan Dean, 2001; Hax,
2003; 2010). Model ini memberikan tiga
pilihan strategi yaitu best product, total
customer solutions, dan system lock-in. Setiap
pilihan memberikan posisi strategis untuk
merancang setiap strategi. Ditinjau dari studi
dokumen, Delta Model belum pernah
digunakan dalam menentukan strategi
pemasaran sekolah. Selain itu, sekolah ini
merupakan sekolah swasta yang memiliki
kebebasan untuk menerima calon peserta
didik. Lebih dari itu, sekolah ini perlu
mengembangkan strategi pemasaran untuk
meningkatkan minat pelanggan sekolah. Minat
pelanggan merupakan ketertarikan dan
kemauan untuk terhubung dengan sesuatu
yang berada di luar dirinya (Siagian, 2013;
Octavany, Wardani, & Prasetyo, 2018). Minat
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
4
pelanggan sekolah dapat ditunjukkan dengan
kemauan mereka mendaftarkan diri/anaknya
sebagai calon peserta didik, merekomendasi-
kan sekolah kepada kerabat/orang lain,
melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan
sekolah termasuk dalam pemasaran sekolah,
dan/atau mengajukan diri sebagai donatur
sekolah. Oleh karena itu, peneliti akan
menggunakan Delta Model untuk membuat
produk berupa strategi pemasaran sekolah
berdasarkan Delta Model dalam peningkatan
minat peserta didik.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif menggunakan metode penelitian dan
pengembangan. Langkah-langkah penelitian
dan pengembangan menggunakan model
Sugiyono namun hanya sampai langkah
ketujuh yaitu pembuatan produk. Tempat
penelitian yaitu salah satu sekolah swasta
Salatiga. Subyek penelitian ini terdiri dari
kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru,
karyawan, siswa, orang tua siswa, calon siswa
dan orang tua calon siswa. Teknik
pengumpulan data meliputi studi dokumentasi,
observasi, dan wawancara mendalam. Analisis
data menggunakan Model Miles and
Huberman: (1) Pengumpulan data, (2) Reduksi
Data, (3) Display Data, (4) Verifikasi/
Kesimpulan. Uji validitas data yang digunakan
dalam penelitian ini menggunakan uji ahli dan
praktisi serta teknik triangulasi sumber dan
teknik.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
1. Strategi Pemasaran Sekolah dalam
Peningkatan Minat Peserta Didik
Berdasarkan hasil wawancara, tujuan
strategi pemasaran yaitu mendapatkan siswa
baru sesuai dengan kuota yang disediakan oleh
sekolah dan memperkenalkan sekolah kepada
publik/masyarakat. Target utama dari
pemasaran sekolah yaitu SD seakses/seiman
khususnya SD yang berada dalam naungan
yayasan yang sama. Target lainnya yaitu
beberapa SD Negeri dan gereja. Pada
Implementasi strategi pemasaran sekolah ini
yaitu promosi. Sekolah melakukan promosi
melalui kegiatan sekolah, menyebar brosur,
presentasi ke beberapa sekolah dan gereja,
mengikut sertakan siswa dalam lomba-lomba,
memberikan pelayanan yang baik pada siswa
dan orang tua, cerita dari mulut ke mulut (word
of mouth), mengadakan bakti sosial, dan
kepala sekolah mencari siswa dengan cara
mendatangi rumah teman-temannya.
Khusus untuk SD yang berada dalam
satu yayasan, sekolah menggunakan strategi
“jemput bola” yaitu dengan cara mendatangi
sekolah tersebut. Promosi di gereja dilakukan
dengan mengambil bagian dalam pelayanan
yaitu menampilkan paduan suara dari siswa/i
dan melakukan pendataan calon siswa di
Sekolah Minggu. Promosi melalui kegiatan
sekolah khususnya dilakukan pada kegiatan
Bulan Bahasa. Promosi untuk SD Negeri
menggunakan pendekatan secara personal.
Hasil wawancara ini didukung dengan
adanya dokumen data siswa, guru, dan brosur
promosi sekolah. Berdasarkan data, jumlah
siswa pada tahun ajaran 2012/2013-2017/2018
cenderung turun dari tahun ke tahun dan
khusus pada tahun pelajaran 2017/2018 yang
juga mengalami penurunan jumlah rombel.
Jumlah guru tahun ajaran 2017/2018 yaitu 18
guru. Brosur yang digunakan merupakan
brosur yang belum diperbaharui untuk tahun
ajaran 2017/2018. Hal ini tampak antara lain
dari visi sekolah, foto pengajar dan staf
sekolah, dan foto kegiatan sekolah yang
terdapat pada brosur.
Berdasarkan hasil observasi, sekolah
menyelenggarakan Kegiataan Bulan Bahasa
dengan mengundang beberapa SD dan SMP
dari Salatiga dan luar Salatiga. Selain
menyelenggarakan lomba-lomba Bulan
Bahasa, sekolah juga membuka pendaftaran
Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta Didik ... | Ririn T. E. Margareta, dkk.
5
peserta didik baru saat kegiatan ini
berlangsung.
2. Hambatan dan Kekurangan Strategi
Pemasaran dalam Peningkatan Pelanggan
Berdasarkan hasil wawancara
menginformasikan bahwa pelaksanaan strategi
pemasaran belum sesuai dengan yang
diharapkan. Hal ini disebabkan: manajemen
waktu belum ketat, belum ada diferensiasi,
promosi tidak dilakukan sejak semester ganjil,
penyebaran brosur kurang efektif, jangkauan
pemasaran kurang jauh, tidak presentasi ke
beberapa sekolah yang dikunjungi tahun lalu,
sumber daya manusia terbatas, keterbatasan
dana promosi, belum memiliki dokumen
strategi pemasaran, tidak mengetahui jadwal
SD sehingga timing/waktu pelaksanaan kurang
tepat (SD sudah libur/sedang try out), komite
kurang aktif, yayasan belum terlibat dalam
strategi pemasaran sekolah, dan SDM belum
mampu mengubah pandangan masyarakat
tentang SMP Negeri “gratis”.
Pada bagian ini tidak dilakukan
triangulasi teknik karena data yang terkumpul
hanya menggunakan teknik wawancara.
3. Strategi Pemasaran Sekolah
Berdasarkan Delta Model dalam
Peningkatan Minat Peserta Didik
Strategi pemasaran berdasarkan Delta
Model yang terdiri dari 3 pilihan strategi yaitu
Best Product, Total Customer Solutions, dan
System Lock-In. Setiap pilihan strategi terdiri
dari posisi strateginya masing-masing.
Kerangka kerja strategis Delta Model juga
menjadi pertimbangan pokok dalam
pembuatan strategi pemasaran sekolah
berdasarkan Delta Model.
3.1 Best Product Strategy
Berdasarkan hasil wawancara, sekolah
memiliki koordinator pengelola administrasi
kesiswaan, sarana prasarana, dan keuangan.
Untuk pembayaran, orang tua melakukan
transfer via bank. Sistem keuangan terpusat
dan dianggap konvensional sehingga perlu
dipertimbangkan oleh kedua belah pihak. Saat
ini, sekolah belum melakukan diferensiasi
tetapi memiliki rencana untuk melakukan
beberapa kegiatan/program tertentu sebagai
bentuk diferensiasi.
3.2 Total Customer Solutions Strategy
Hal ini menginformasikan bahwa
sekolah menarik, memuaskan, memper-
tahankan, dan mengembangkan pelanggan
dengan melakukan promosi sekolah dan juga
melibatkan siswa untuk memberikan
testimoni. Sekolah mempertahankan kualitas
layanan, melibatkan orang tua dalam kegiatan
sekolah, menerima masukkan orang tua,
memiliki program/kegiatan sekolah yang
diimplementasikan, memberi informasi sedini
mungkin kepada orang tua dan siswa,
menyebar angket ke orang tua, komite, dan
siswa, dan memfasilitasi kenaikan jabatan dan
keikutsertaan guru/staf dalam seminar.
Sekolah juga mengedukasi pelanggan
melalui program, kegiatan, dan pertemuan-
pertemuan yang diselenggarakan oleh sekolah
meskipun masih bersifat informatoris. Dari
segi komunikasi, sarana komunikasi yang
digunakan antara sekolah dengan orang tua
yaitu surat, telepon, tatap muka, dan grup
whatsapp. Selain sarana tersebut, komunikasi
dengan guru dan staf juga melalui pertemuan
harian dan rapat. Sekolah memiliki kerjasama
antara lain dengan sekolah-sekolah yang
berada dalam satu yayasan, universitas
tertentu, Sido Muncul, dan Sosro.
Sekolah menjalin kerjasama dengan
sekolah-sekolah yang berada dalam satu
yayasan dalam menyelenggarakan kegiatan
sekolah maupun promosi, dengan dosen suatu
universitas dalam mempersiapkan siswa
meng-ikuti lomba atau menjadi pembicara
pada seminar yang diadakan oleh sekolah, dan
dengan fakultas suatu universitas misalnya
menerima mahasiswa praktikum. Selain itu,
Pemerintah melalui dinas pendidikan juga
berperan dalam memberikan anggaran untuk
pengadaan komputer dan keperluan sarana dan
prasarana lainnya.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
6
3.3 System Lock-In Strategy
Hasil wawancara menginformasikan
bahwa sekolah belum memiliki sarana yang
unik untuk menjangkau pelanggan. Salah satu
alasan siswa bersekolah di sekolah ini yaitu
orang tua atau kakek mereka adalah alumni.
Sekolah sudah memiliki niat untuk membentuk
jaringan alumni tetapi belum tercapai. Sekolah
juga memiliki web tetapi belum
dimaksimalkan.
Strategi pemasaran sekolah melalui
promosi sudah melibatkan guru, staf, siswa,
orang tua, dan komite. Melalui hubungan
personal dapat tercipta word of mouth dari
pelanggan kepada pelanggan lain/ calon
pelanggan. Kontribusi intelektual dari pihak
universitas berupa mahasiswa praktik dan
dosen. Sekolah melibatkan dosen untuk
mengajar/menjadi pembicara saat seminar
orang tua dan/atau anak. Sekolah memfasilitasi
siswa yang mengikuti OSN dengan
pembelajaran yang dibimbing oleh dosen.
Sekolah biasanya mengundang dosen sebagai
pembicara dalam kegiatan sekolah atau
sebagai pengajar OSN. Sekolah mengadakan
seminar/kegiatan dan pembicara dari luar
sekolah. Sekolah juga memiliki guru ekskul
basket yang hanya melatih siswa/i sekolah
tersebut. Beberapa tahun yang lalu, komite
pernah melibatkan dosen untuk menjadi
pengurus komite.
Pembahasan
1. Strategi Pemasaran dalam Peningkatan
Minat Peserta Didik
Berdasarkan wawancara dan hasil
penelitian, tujuan strategi pemasaran sekolah
yaitu mendapatkan siswa baru sesuai dengan
kuota yang disediakan. Hal ini sejalan dengan
penelitian Abrori (2015) yaitu tujuan strategi
pemasaran yaitu meningkatkan minat peserta
didik. Tujuan ini sangat logis karena setiap
sekolah pasti menginginkan kursi-kursi yang
disediakan untuk siswa baru terisi penuh
dengan jumlah pendaftar lebih banyak dari
jumlah kursi yang tersedia bahkan meningkat
dari tahun ke tahun. Selain mendapatkan siswa
baru sesuai kuota, tujuan strategi pemasaran
sekolah yaitu memperkenalkan diri kepada
masyarakat luas. Hal ini senada dengan
pendapat Wijaya (2016), tujuan strategi
pemasaran sekolah untuk meyakinkan
masyarakat dan pelanggan pendidikan akan
keberadaan dan ketersediaan jasa yang relevan
dengan kebutuhan mereka. Pernyataan lain
yang mendukung yaitu pernyataan dari Asrori
(2016) & Putri (2016), tujuan pemasaran
pendidikan yaitu mengetahui dan memahami
kebutuhan pelanggan untuk memberikan
pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan
pelanggan. Sekolah yang mampu
menyediakan layanan jasa sesuai dengan
kebutuhan pelanggan akan menjadi pilihan
utama calon pelanggan dan lebih mudah
mempertahankan pelanggan yang sudah ada.
Namun pada kenyataannya, tujuan strategi
pemasaran sekolah ini belum tercapai. Sekolah
perlu memahami dan mempelajari cara-cara
yang diperlukan untuk menarik minat
masyarakat dalam pengambilan keputusan
pembelian jasa pendidikan (Zulhelmi, 2017:
230). Hal ini juga berarti bahwa sekolah perlu
menganalisis apa saja yang telah, sedang, dan
akan dilakukan untuk menarik minat
masyarakat termasuk minat pelanggan
khususnya minat peserta didik sehingga
mencapai tujuan strategi pemasaran.
Tujuan strategi pemasaran juga perlu
dievaluasi baik dari segi kualitas maupun
kuantitas. Tujuan pemasaran yang mengarah
pada kuantitas dapat dilihat dari jumlah siswa
baru yang diterima sedangkan yang mengarah
pada kualitas misalnya, pemberian
layanan/penyampaian jasa pendidikan kepada
konsumen secara memuaskan (sesuai selera
konsumen) (Alma, 2003: 46). Hal ini
menunjukan bahwa setiap pemasar sekolah
harus mampu memasarkan layanan jasa
dengan cara yang menarik dan memuaskan
pelanggan. Dalam hal ini, sekolah perlu
mempersiapkan pemasar termasuk pelanggan,
Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta Didik ... | Ririn T. E. Margareta, dkk.
7
komplemen, dan pihak terkait lainnya untuk
juga mampu menjadi pemasar sekolah. Salah
satu cara yang dapat ditempuh yaitu
mendatangkan ahli pemasaran pendidikan
untuk mentransfer pengetahuan kepada
pemasar sekolah. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Tyagita (2016), salah satu
keberhasilan strategi pemasaran yaitu
mengundang seorang ahli pemasaran untuk
mengajar tim promosi melakukan pemasaran.
Bila ahli pemasaran mengajar dan memotivasi
setiap pihak terkait maka mereka akan mampu
dan mau memasarkan sekolah. Pada akhirnya
tujuan strategi pemasaran yang telah
ditetapkan dapat tercapai. Setiap pemasar perlu
mengetahui bahwa strategi pemasaran sekolah
adalah setiap langkah yang diambil sekolah
untuk berkomunikasi dengan masyarakat dan
bertujuan untuk mencapai target atau sasaran
yang sudah ditetapkan (Putri, 2016). Langkah-
langkah strategi pemasaran sekolah perlu
direncanakan, dilaksanakan, dikontrol, dan
dievaluasi sedemikian rupa sehingga dapat
diketahui ketercapaian tujuannya.
Sekolah juga perlu menentukan target
strategi pemasaran untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Pemasar sekolah dan
pihak terkait perlu menentukan target yaitu
kelompok pelanggan yang akan dituju
(targeting) (Indrajaya, 2008). Berbeda dengan
sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh
pemerintah, sekolah ini memiliki kebebasan
untuk menentukan target pemasaran. Sekolah
ini melakukan presentasi ke beberapa sekolah
yang telah ditentukan. Hal ini juga dilakukan
oleh SMA Islam Nurul Amanah yaitu
mengunjungi target sekolah di beberapa
kecamatan Asrori (2016). Sebagai sekolah
swasta termasuk sekolah ini dituntut untuk
lebih mandiri dalam mempertahankan
eksistensi dan meningkatkan jasa yang
ditawarkan kepada target pemasaran yang
tepat.
Target utama yang ditentukan yaitu SD
seakses khususnya SD dalam yayasan yang
sama. Target lainnya yaitu SD Negeri, SD
swasta lainnya, dan beberapa gereja.
Penentuan target (targeting) merupakan salah
satu strategi pemasaran sederhana selain
segmenting dan positioning (Indrajaya, 2008).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
target pemasaran Madrasah Ibtidaiyah Nurul
Islam Pongangan Gresik yaitu TK (Putri,
2016), target pemasaran SMA Batik 1
Surakarta yaitu SMP (Lestari, 2011), target
pemasaran SMK N 1 Ngawen yaitu SMP
(Nugroho, 2013), target pemasaran SMA Islam
Nurul Amanah yaitu SMP dan MTs Nurul
Amanah (Asrori, 2016), dan target pemasaran
SMA Sedes Sapientiae Jambu yaitu SMP
diberbagai daerah Jawa (Tyagita, 2016).
Penentuan target pemasaran merupakan salah
satu aspek yang menentukan keberhasilan
tujuan pemasaran. Penentuan target pemasaran
pada setiap tingkat pendidikan berbeda. Pada
tingkat SD/sederajat, penentuan target
pemasaran berdasarkan lokasi/ jarak tempuh.
Sedangkan pada tingkat SMP /sederajat,
penentuan target pemasaran tidak hanya
berdasarkan lokasi/jarak tempuh tetapi lebih
pada kebutuhan siswa dan pelanggan lainnya.
Selain itu, sebagai sekolah swasta yang
mendapatkan kebebasan dalam menentukan
target pemasaran harus memaksimalkan
kesempatan ini.
Sekolah ini telah menerapkan strategi
pemasaran yaitu promosi diantaranya
menyebar brosur dan/atau melakukan
presentasi ke beberapa sekolah dan gereja yang
telah ditentukan, mengadakan kegiatan
sekolah khususnya Bulan Bahasa,
memenangkan lomba-lomba yang diikuti oleh
siswa, dan memberikan pelayanan yang baik
untuk siswa dan orang tua. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Putri (2016), Madrasah
Ibtidaiyah Nurul Islam Pongangan Gresik juga
menjalankan strategi pemasaran melalui
brosur dan kegiatan sekolah yang produktif.
Senada juga dengan hasil penelitian Asrori
(2016), SMA Islam Nurul Amanah juga
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
8
menyebar brosur dan banner sebagai salah satu
strategi pemasaran sekolah. Hasil penelitian
lain yang mendukung yaitu strategi pemasaran
yang paling efektif adalah promosi dengan
presentasi dan program Jakumikat (Jalur
Khusus Minat dan Bakat) ke alumni (Lestari,
2011 dan Nugroho, 2013). Hal ini menunjukan
bahwa promosi dengan cara presentasi dan
program Jakumikat telah diterapkan oleh
sekolah lain. Dalam pengelolaan strategi
pemasaran, sekolah ini dapat mengadakan
program Jakumikat dan program lain yang
memiliki keunikan untuk menjangkau
pelanggan. Melalui program yang unik dapat
mengunci pelanggan dan menghalangi
lembaga lain memperoleh pelanggan (System
Locik-In).
Strategi pemasaran sekolah ini juga
melalui cerita dari mulut ke mulut (word of
mouth) bahkan kepala sekolah ke rumah
teman-teman gerejanya untuk mencari calon
siswa. Sejalan dengan hal tersebut, hasil
penelitian Khanifudin (2013) yaitu cerita dari
mulut ke mulut (Word of Mouth/ WOM) yang
telah diterapkan oleh SD Al Firdaus Surakarta
dengan media WOM melalui tatap muka,
telepon, dan website. Dengan WOM, (calon)
pelanggan mendapatkan informasi secara
verbal tentang jasa yang ditawarkan oleh
sekolah. Selain tatap muka, telepon, dan
website, media lain juga dapat dijadikan sarana
WOM. Seiring berkembangnya teknologi dan
informasi, sekolah dapat menggunakan
berbagai media sebagai sarana WOM misalnya
email, whatsapp, facebook, Instagram, skipe,
dan sebagainya.
Strategi pemasaran yang digunakan
untuk SD dalam satu yayasan yang sama yaitu
strategi “jemput bola” dengan pendekatan
melalui komite, mengadakan presentasi, dan
try out. Senada dengan hasil penelitian Asrori
(2016) yang menyatakan bahwa SMA Islam
Nurul Amanah menggunakan strategi
pemasaran dengan cara mengunjungi target
sekolah di beberapa kecamatan. Strategi
“jemput bola” yaitu mendatangi target
pemasaran dan melakukan sosialisasi/
presentasi tentang jasa yang ditawarkan
kepada pelanggan. Melalui strategi ini,
pelanggan dapat bertanya dan mendapatkan
jawaban secara langsung.
Promosi di gereja menggunakan
pendekatan melalui kepala sekolah, mengirim
brosur, persembahan pujian (paduan
suara/vocal group siswa), dan mendata siswa
Sekolah Minggu. Selain itu, kegiatan sekolah
juga dijadikan sarana untuk promosi
khususnya kegiatan rutin tahunan yaitu Bulan
Bahasa. Pada kesempatan ini, sekolah
mengundang beberapa SD-SMP yang ada di
Salatiga dan luar Salatiga. Selain itu, sekolah
memberikan potongan khusus bagi pendaftar
sekaligus pemenang lomba Bulan Bahasa. Hal
ini senada dengan hasil penelitian Putri (2016),
salah satu strategi pemasaran Madrasah
Ibtidaiyah Nurul Islam Pongangan Gresik
melalui kegiatan produktif. Kegiatan-kegiatan
sekolah tidak hanya terbatas sebagai strategi
pemasaran tetapi juga dapat memperkaya/
meningkatkan kompetensi dan kapabilitas
sumber daya yang ada. Seiring dengan itu,
hasil penelitian Haryanto & Roza (2012)
menyatakan bahwa melalui strategi pemasaran
internal dengan mengembangkan kemampuan
SDM internal dalam mencapai kompetensi
yang memadai. Melalui strategi process,
sekolah mengoptimalkan citra positif yang
memiliki value added dalam integritas,
karakter, disiplin, dan tertib menjaring
pelanggan yang loyal (Nugroho, 2013).
Dengan kompetensi, dan kapabilitas sumber
daya yang memadai bahkan melebihi
ekspektasi, sekolah dapat mengelola termasuk
mengimplementasi strategi yang tepat untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan.
2. Hambatan dan Kekurangan Strategi
Pemasaran dalam Peningkatan Pelanggan
Setiap strategi perlu dievaluasi guna
mengetahui hal-hal yang perlu diperbaiki,
dipertahankan, ataupun ditingkatkan.
Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta Didik ... | Ririn T. E. Margareta, dkk.
9
Hambatan dan kekurangan yang ada perlu
ditinjau ulang sebagai bahan untuk merevisi
strategi di waktu yang akan datang. Hambatan
dan kekurangan strategi dapat menyebabkan
tujuan yang ditetapkan tidak tercapai.
Demikian pula dengan strategi pemasaran
yang diimplementasikan oleh sekolah ini
belum mencapai tujuan yang diharapkan. Hal
ini dikarenakan ada beberapa hambatan dan
kekurangan: 1) jumlah SDM yang terlibat
terbatas dan memiliki tugas pokok dan fungsi
yang lain, 2) tidak ada diferensiasi, 3)
manajemen waktu yang tidak tepat (kegiatan
pemasaran terlambat dimulai, beberapa
sekolah yang dikunjungi sedang sibuk), 4)
penyebaran brosur tidak efektif, 5) jangkauan
pemasaran kurang jauh, 6) tidak mengunjungi
sekolah yang dikunjungi tahun lalu, 7) promosi
di gereja terbatas pada beberapa gereja yang
ada di Salatiga, 8) keterbatasan dana promosi,
9) yayasan belum terlibat/dilibatkan dalam
kegiatan pemasaran, 10) belum memiliki
dokumen strategi pemasaran sekolah, dan 11)
belum mampu memastikan dan
mengkomunikasikan bahwa sekolah hadir
untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Senada dengan hasil penelitian Asrori (2016),
hambatan strategi pemasaran yang serupa juga
dialami oleh SMA Islam Nurul Amanah yaitu
hambatan yang berasal dari faktor internal
(belum maksimal dalam melakukan sosialisasi
dan persepsi masyarakat terkait hafalan Al-
Qur’an yang menjadi beban bagi anak) dan
eksternal sekolah (persaingan antar lembaga
pendidikan). Hambatan-hambatan yang ada
dapat diatasi dengan melakukan berbagai
upaya perbaikan misalnya menjalin hubungan
dan melibatkan berbagai pihak terkait dalam
mengembangkan strategi pemasaran sekolah.
Pelanggan, komplemen, dan pihak
terkait lainnya perlu diedukasi sehingga
implementasi strategi dapat berjalan sesuai
dengan perencanaan dan mencapai tujuan yang
diharapkan. Kepala sekolah sebagai pemimpin
sekaligus manager dapat bekerjasama dengan
wakil kepala sekolah dan pihak-pihak terkait
untuk memasarkan sekolah. Hal ini telah
dilakukan oleh kepala dan wakil kepala
Madrasah Ibtidaiyah Nurul Islam Pongangan
Gresik yang berupaya menggandeng tokoh
masyarakat dalam memasarkan sekolah (Putri,
2016). Selain itu, sekolah dapat menganalisis
permasalahan pemasaran melalui musyawarah
bersama dalam pemecahan masalah dan selalu
menjalin hubungan yang baik dengan pihak-
pihak yang mendukung tercapainya tujuan
sekolah (Asrori, 2016). Terkait dengan
perkembangan teknologi, kegiatan pemasaran
yang dilakukan perlu mencocokkan sumber
informasi dengan kebutuhan siswa (Moogan,
2011). Melalui pemanfaatan teknologi yang
maksimal, dan komunikasi yang transparan
dan terkoordinasi antar pihak dalam kegiatan
pemasaran sekolah, tujuan dapat dicapai
dengan lebih efisien dan efektif.
3. Strategi Pemasaran Sekolah
Berdasarkan Delta Model dalam
Peningkatan Minat Peserta Didik
Berbagai strategi pemasaran telah
diterapkan oleh lembaga profit maupun non-
profit. Saat ini banyak sekolah (lembaga non-
profit) yang menerapkan strategi pemasaran.
Sebagai salah satu strategi penting, strategi
pemasaran perlu dikelola sesuai dengan
kebutuhan pelanggan, bukan hanya melakukan
diferensiasi. Hal ini senada dengan Wijaya
(2016), strategi pemasaran diperlukan karena
sekolah perlu meyakinkan pelanggan bahwa
sekolah yang dikelola masih eksis dan jasa
yang ditawarkan relevan dengan kebutuhan
mereka. Namun, alih-alih ingin tampil berbeda
dengan sekolah lain, beberapa sekolah tergoda
untuk melihat strategi pemasaran sekolah lain
dan meniru kemudian melakukan modifikasi
sesuai versi sekolah tanpa mempertimbangkan
kebutuhan pelanggan. Hasil dari tindakan ini
tidak dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan
pelanggan.
Dalam pengelolaan dan pengembangan
strategi pemasaran, sekolah dapat mengguna-
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
10
kan berbagai alat analisis atau berdasarkan
model tertentu. Salah satu alat analisis yang
sering digunakan yaitu SWOT. Beberapa
penelitian yang menggunakan analisis SWOT
yaitu strategi pemasaran SMP Kristen Satya
Wacana Salatiga (Sumarni, 2011), SMA Batik
1 Surakarta (Lestari, 2011), dan PT Duta
Pratama Jaya (Triastuti, 2003). Melalui
analisis dan matriks SWOT diperoleh empat
tipe strategi yang dapat diterapkan yaitu
strategi SO, strategi ST, strategi WO, dan
strategi WT.
Dalam pengembangan strategi
pemasaran juga dapat didasarkan pada bauran
pemasaran, Porter, RBV, dan Delta Model.
Pada penelitian ini, strategi pemasaran yang
dibuat didasarkan pada Delta Model yang
dikemukakan pertama kali oleh oleh Hax dan
Wilde (2001) dan dikembangkan oleh Hax
(2003, 2010). Kerangka strategis Delta Model
yang dikembangkan pada penelitian ini
meliputi empat langkah yaitu 1) segmentasi
dan proposisi nilai pelanggan, 2) kompetensi,
kapabilitas, dan sumber daya, 3) misi, dan 4)
agenda strategis. Kerangka strategis Delta
Model ditentukan berdasarkan analisis hasil
penelitian. Pada bagian ini, juga akan dibahas
tiga pilihan strategi pada Delta Model untuk
meningkatkan minat peserta didik sekolah ini.
3.1 Best Product Strategy
Melalui Best Product Strategy, sekolah
dapat mengembangkan posisi strategi
diferensiasi dan efisiensi administrasi (Hax,
2010). Dengan kata lain, diferensiasi yang
diciptakan atau dikembangkan tetap
memperhitungkan efektifitas dan efisiensi dari
berbagai sudut pandang. Sekolah dapat
melakukan diferensiasi dengan men-
yelenggarakan berbagai kegiatan/program
sekolah yang unik berlandaskan pendidikan
holistik misalnya mengelola kegiatan belajar
mengajar di dalam dan di luar kelas sesuai
dengan kebutuhan pelanggan. Hal ini ini
sejalan dengan hasil penelitian Putri (2016),
Madrasah Ibtidaiyah Nurul Islam Pongangan
Gresik melakukan kegiatan yang produktif,
menarik, dan melibatkan masyarakat, serta
menggunakan media sosial sebagai media
pemasaran. Hasil penelitian Triastuti juga
senada yaitu PT Duta Pratama memiliki
strategi diferensiasi berupa keunikan produk
dengan menambah/mengkombinasi bahan
alami untuk memenangkan pasar dalam
maupun luar negeri. Sekolah juga dapat
memfasilitasi SDM untuk mengembangkan
minat dan bakatnya, melibatkan pelanggan
dalam mengembangkan strategi pemasaran,
dan mengadakan kegiatan indoor ataupun
outdoor.
Efisiensi administrasi dapat dilakukan
dengan menerapkan multi payment dan
membuat RKAS sesuai dengan kebutuhan
pelanggan melalui kegiatan/program sekolah
yang unik. Tujuan dari efisiensi administrasi
sekolah tidak hanya mencapai efisiensi tetapi
juga efektifitas administrasi dan kegiatan/
program yang akan dilaksanakan. Sekolah
dapat menyebar angket untuk mengetahui
kebutuhan pelanggan. Dalam menarik
pelanggan, sekolah juga dapat memberi akses
kepada masyarakat untuk menggunakan sarana
dan prasarana sekolah melalui prosedur yang
ditentukan oleh pihak sekolah. Selain menarik,
sekolah dapat mempertahankan, dan memper-
tahankan pelanggan melalui keterlibatan
alumni dalam kegiatan/program sekolah yang
unik.
3.2 Total Customer Solutions Strategy
Dalam Delta Model, sekolah juga dapat
mengembangkan Total Customer Solutions
Strategy yang sangat mendukung dalam
penciptaan ikatan yang kuat antar pelanggan
dan antara pelanggan/komplemen/pihak
terkait dengan penyedia jasa. Dengan ikatan
yang kuat, penyedia jasa dapat memahami
kebutuh-an pelanggan dengan baik dan
memberikan layanan jasa yang relevan.
Sekolah dapat memenuhi seluruh kebutuhan
pelanggan yang relevan dan sesuai dengan
kompetensi yang dimiliki oleh sekolah.
Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta Didik ... | Ririn T. E. Margareta, dkk.
11
Sekolah dapat memaksimalkan sumber daya
yang dimiliki untuk mengelola dan
mengembangkan website sekolah sebagai
sarana untuk berbagi informasi tentang sekolah
dan kegiatan/ program yang
diselenggarakan/diikuti. Hal ini senada dengan
hasil penelitian Khanifudin (2013), salah satu
media word of mouth (WOM) yaitu
pengembangan strategi pemasaran sekolah
dapat dilakukan dengan mengintensifkan
website. Hasil penelitian Tang, Yasa, &
Forrester (2004) juga senada yaitu aplikasi
berbasis web dan internet memfasilitasi cara
baru untuk mengirim produk dan layanan
kepada pelanggan secara efektif dan efisien.
Selain website, sekolah juga dapat
menyediakan sarana komunikasi lainnya yang
relevan dengan mengelola dan menyediakan
prosedur/alur komunikasi antar pihak terkait.
Melalui Total Customer Solutions
Strategy, sumber daya yang dimiliki juga perlu
difasilitasi dalam memenuhi kebutuhannya
baik melalui pelatihan ataupun kegiatan
produktif lainnya. Sekolah dapat
memfasilitasi, mempersiapkan, mengikutserta-
kan, dan mengapresiasi usaha/pencapaian
SDM yang mengikuti lomba/kegiatan tertentu.
Sebagai contoh, guru dan staf difasilitasi dalam
proses kenaikan jabatan, siswa difasilitasi
dalam mengembangkan minat dan bakat
melalui lomba ataupun ekstrakurikuler, dan
orang tua difasilitasi dalam menyelenggarakan
kegiatan orang tua (dan siswa). Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Haryanto dan Rozza
(2012), strategi internal yang dilakukan yaitu
mengembangkan kemampuan
petugas/pegawai Humas dalam mencapai
kompetensi yang memadai.
3.3 System Lock-In Strategy
Pengembangan System Lock-In
Strategy membutuhkan para pemikir yang “óut
of the box”, memikirkan strategi yang sulit
bahkan tidak dapat ditiru oleh lembaga lain.
Selain itu, dengan System Lock-In Strategy,
tidak ada lembaga lain yang dapat mengakses
pelanggan. Sekolah dapat mengunci pelanggan
dengan sistem kontrak dengan ahli/lembaga
tertentu. Sebagai contoh, sekolah dapat
mengunci SD seyayasan melalui
perjanjian/kontrak. Dalam hal ini dibutuhkan
SDM yang kompeten untuk memfasilitasi dan
mewujudkan system lock-in. Sekolah juga
dapat menerapkan sistem jenjang karir bagi
guru atau staf sekolah. Selain itu, melalui
kerjasama dengan alumni, sekolah dapat
membuat suatu prosedur khusus yang hanya
berlaku untuk alumni. Demikian pula dengan
lembaga lain yang relevan misalnya SMA/K
favorit dan Universitas tertentu. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Tyagita (2016), salah
satu kunci sukses pemasaran yaitu kegiatan
yang menjalin hubungan baik dengan berbagai
daerah, alumni, orang tua, panitia, dan
penduduk setempat. Salah satu hasil penelitian
Sitompul dan Nahartyo (2006) juga senada
yaitu mewujudkan peluang kerjasama dengan
komplementor. Hal ini dapat diartikan bahwa
penting bagi sekolah untuk menjalin hubungan
baik dengan siapa saja untuk meningkatkan
minat pelanggan termasuk minat peserta didik.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
1. Implementasi strategi pemasaran sekolah
dalam peningkatan minat peserta didik
yaitu menggunakan strategi promosi
dengan menyebar brosur dan/atau
presentasi ke sekolah dan gereja yang telah
ditentukan, cerita dari mulut ke mulut (word
of mouth) menyelenggarakan kegiatan
lomba Bulan Bahasa setiap tahun, dan
kegiatan/program yang diselenggara-
kan/diikuti oleh sekolah.
2. Hambatan dan kekurangan strategi
pemasaran sekolah yang diimplementasi-
kan oleh sekolah ini dalam peningkatan
minat peserta didik yaitu manajemen waktu
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
12
belum tepat, komite kurang terlibat aktif,
yayasan belum terlibat, penyebaran brosur
kurang efektif, jangkauan pemasaran
kurang luas, belum memiliki dokumen
strategi pemasaran sekolah, dan belum
mampu memastikan dan
mengkomunikasikan bahwa jasa yang
ditawarkan relevan dengan kebutuhan
masyarakat.
3. Produk yang dihasilkan yaitu strategi
pemasaran sekolah berdasarkan Delta
Model dalam peningkatan minat peserta
didik: 1) Best Product Strategy:
menyelenggarakan pendidikan holistik
melalui berbagai kegiatan/program sekolah
yang unik dan relevan dengan kebutuhan
pelanggan, serta memberlakukan multi
payment system untuk mempermudah
pelanggan dalam melakukan transaksi
keuangan, 2) Total Customer Solutions
Strategy: memaksimalkan sumber daya
yang dimiliki dengan mengembangkan
website sekolah dan sarana komunikasi lain
yang relevan serta menyediakan
prosedur/alur komunikasi antar pihak
terkait, memfasilitasi SDM yang mengikuti
lomba/kegiatan tertentu untuk memenuhi
kebutuhan mereka, dan memberikan
apresiasi atas usaha/pencapaian SDM, dan
3) System Lock-In Strategy: member-
lakukan sistem kontrak dengan ahli/
lembaga tertentu dalam jangka waktu
tertentu untuk mengunci pelanggan,
menerapkan sistem jenjang karir bagi guru
dan staf sekolah, dan memiliki kerjasama
serta prosedur khusus yang berlaku untuk
alumni, SMA/K favorit, Universitas
tertentu, dan lembaga pendidikan lainnya.
Saran
Saran penelitian ini ditujukan kepada:
1. Kepala sekolah dan pihak terkait, menjadi
penelitian ini sebagai acuan dalam
melaksanakan dan mengembangkan
strategi pemasaran di waktu mendatang.
2. Direktur sekolah, menjadikan penelitian ini
sebagai salah satu bahan pertimbangan/
masukan untuk mengevaluasi dan
mengembangkan strategi pemasaran
sekolah.
3. Bagi penelitian berikutnya, menjadikan
penelitian ini sebagai salah satu referensi
khususnya di bidang manajemen pemasar-
an jasa pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Asrori, B. 2016. Strategi Pemasaran Sekolah
dalam Upaya Meningkatkan Partisipasi
Masyarakat di SMA Islam Nurul
Amanah Kecamatan Tragah
Kabupaten Bangkalan. Inspirasi
Manajemen Pendidikan, 2(2).
Abrori, M. 2015. Strategi Pemasaran Lembaga
Pendidikan untuk Meningkatkan
Jumlah Peserta Didik di PG/TK
Samarinda. SYAMIL, 3(2).
Alma, B. 2003. Pemasaran Stratejik Jasa
Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Fransiska, R. Kebijakan Strategi Pemasaran
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE)
Palangka Raya. Jurnal Sains
Manajemen, 1 (1), 69-85.
Haryanto, R., & Rozza, S. 2012.
Pengembangan Strategi Pemasaran dan
Manajemen Hubungan Masyarakat
Dalam Meningkatkan Peminat
Layanan Pendidikan. Jurnal Ekonomi
dan Bisnis, 11(1), 27-34.
Hax, A. C. 2010. The Delta Model:
Reinventing Your Business Strategy.
Springer Science & Business Media.
Hax, A. C., & Wilde, D. L. 2003. The Delta
Model-A New Framework of
Strategy. Journal of Strategic
Management Education, 1(1), 1-21.
Hax, A., & Wilde II, D. 2001. The Delta
Model—Discovering New Sources of
Profitability in A Networked
Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta Didik ... | Ririn T. E. Margareta, dkk.
13
Economy. European Management
Journal, 19(4), 379-391.
Indrajaya, R. 2008. Jangan Takut Memulai
Bisnis. Jakarta: MeBook.
Kautsar, E. M. 2015. Be A Passionpreneur! 11
Langkah Menjadikan Hobi sebagai
Profesi yang Menyukseskan dan
Membahagiakan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Khanifudin, K. 2013. Pengembangan Strategi
Pemasaran Sekolah Berbasis Word of
Mouth Di SD Al Firdaus
Surakarta (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah
Surakarta).
Lestari, S. 2011. Strategi Pemasaran Sekolah
di SMA Batik 1 Surakarta (Doctoral
dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakarta).
Moogan, Y. J. 2011. Can A Higher Education
Institution's Marketing Strategy
Improve the Student-Institution
Match? International journal of
educational management, 25(6), 570-
589.7
Muhaimin, Suti’ah, & Prabowo. 2015.
Manajemen Pendidikan: Aplikasinya
dalam Penyusunan Rencana
Pengembangan Sekolah/ Madrasah.
Jakarta: Prenadamedia Group.
Nugroho, S. A. 2013. Strategi Pemasaran
Sekolah Berbasis Bauran Pemasaran:
SMK N 1 Ngawen,
Gunungkidul (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah
Surakarta).
Octavany, Y., Wardani, N. S., & Prasetyo, T.
(2018). Efektivitas Pendekatan Inkuiri
dan Model Jigsaw (Pi-Mj) terhadap
Minat Belajar Siswa Kelas 4
SD. PENDEKAR| FKIP UMMat, 1(1),
226-231.
Permendikbud. 2018. Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2018
tentang Penerimaan Peserta Didik
Baru pada Taman Kanak-kanak,
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah
Pertama, Sekolah Menengah Atas,
Sekolah Menengah Kejuruan, atau
Bentuk Lain yang Sederajat. Jakarta:
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Putri, M. I. 2016. Strategi Pemasaran Sekolah
(Studi Kasus di Madrasah Ibtidaiyah
Nurul Islam Pongangan
Gresik). Inspirasi Manajemen
Pendidikan, 1(1).
Siagian, R. E. F. 2013. Pengaruh Minat dan
Kebiasaan Belajar Siswa Terhadap
Prestasi Belajar Matematika. Jurnal
Formatif, 2(2), 122-131.
Sitompul, Y. C., & Nahartyo, E. 2006. Strategi
Bank BRI Dalam Penyaluran Kredit
Mikro Melalui Pendekatan Delta
Model (Doctoral dissertation,
Universitas Gadjah Mada).
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian dan
Pengembangan (Research and
Development/ R&D). Bandung:
Alfabeta.
Tang, N. K., Yasa, P. R., & Forrester, P. L.
2004. An Application of the Delta
Model and BPR in Transforming
Electronic Business–The Case of A
Food Ingredients Company in
UK. Information Systems
Journal, 14(2), 111-130.
Tyagita, B. P. A. 2016. Strategi Pemasaran
Sekolah Menengah Atas Swasta
Berasrama di Kabupaten Semarang
1. Kelola: Jurnal Manajemen
Pendidikan, 3(1), 67-79.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
14
Triastuti, Y. D. 2003. Strategi Diferensiasi
Produk Sebagai Strategi
Memenangkan Persaingan di Pasar
Luar Negeri (Doctoral dissertation,
Universitas Gadjah Mada).
Wijaya, D. 2012. Pemasaran Jasa Pendidikan.
Jakarta: Salemba Empat.
Wijaya, D. 2016. Pemasaran Jasa Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Zulhelmi, Z., & Ayu, A. F. 2017. Analisis
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Keputusan Pembelian Jasa di SMP
Kristen Kalam Kudus
Pekanbaru. PROCURATIO (Jurnal
Ilmiah Manajemen), 3(3), 228-240.
Kelola
Jurnal Manajemen Pendidikan
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018
Halaman: 15-23
15
Strategi Pengembangan Sistem Informasi Akademik Dalam Upaya Peningkatan
Mutu Pendidikan
Triani Amrih Lestari
SMA Negeri 1 Petanahan Kebumen
triani.ekonomi1978@gmail.com
Siti Mariah
FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
siti.mariah@ustjogja.ac.id
ABSTRACT
The purpose of this study is to formulate the strategy of academic information
system development in an effort to improve the education quality through analysis of
internal and external conditions in SMA Negeri 1 Petanahan Kebumen Central Java.
Research type using mixed methods with SWOT (strengths, weaknesses, opportunities,
threats) analysis approach. Data collection is done through interviews, documentation,
observation, and questionnaires. The sampling technique using purposive sampling is 30
respondents. Data validity uses source and method triangulation, while data analysis
techniques use IFAS and EFAS, as well as tools for formulating development strategies
using SWOT Matrices. The results showed: the strength of academic information system
SMA Negeri 1 Petanahan on infrastructure and academic data, while the weaknesses in
resources and programs. Opportunities for academic information systems in the form of
policies and strategic issues, while the threat is geographic. The research findings show
that academic information system in SMA Negeri 1 Petanahan Kebumen in improving the
education quality is in Growth cell: concentration through horizontal integration or
stability strategy so it is appropriate to use SO strategy (strength-opportunity) that
utilizes the infrastructure and academic data to meet the issue policy and strategic.
Keywords: Academic Information System, Quality Of Education
Article Info
Received date: 7 November 2017 Revised date: 25 Mei 2018 Accepted date: 21 Juni 2018
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
16
PENDAHULUAN
Informasi akademik merupakan salah
satu sumber daya yang sangat diperlukan
dalam suatu organisasi pendidikan untuk
memenuhi semua kebutuhan pelanggan
(peserta didik, pendidik, orang tua peserta
didik, dan masyarakat). Sistem informasi
sebagai pendukung organisasi pendidikan
harus mampu memberikan layanan informasi
sesuai dengan kebutuhan pengguna, mudah
didapatkan, dan berdampak pada peningkatan
mutu pendidikan.
Informasi adalah suatu data atau objek
yang diproses terlebih dahulu sedemikian rupa
sehingga dapat tersusun dan terklasifikasi
dengan baik sehingga memiliki arti bagi
penerimanya, yang selanjutnya menjadi
pengetahuan bagi penerima suatu hal tertentu
tersebut, sehingga membantu dalam
pengambilan keputusan secara tepat (Rusdiana
& Irfan, 2014).
Sistem informasi merupakan suatu
sistem dalam suatu organisasi untuk
mempertemukan kebutuhan pengolahan
transaksi harian, mendukung operasi, bersifat
manajerial dan kegiatan strategi dari suatu
organisasi dan
menyediakan pihak luar tertentu dengan lapor
an-laporan yang diperlukan (Jogiyanto, 2001).
Secara umum data-data yang diolah dalam
sistem informasi akademik sekolah meliputi
data guru, data siswa, data nilai, data
pembelajaran dan kegiatan, serta data lain
yang bersifat umum berdasarkan kebutuhan
masing-masing lembaga pendidikan.
Penerapan Sistem Informasi Akademik
yang tepat dapat meningkatkan mutu
pendidikan secara berkesinambung-an. Sistem
Informasi Akademik dapat dikembangkan
menggunakan alat bantu pengembangan
sistem yaitu Data Flow Diagram (DFD),
Context Diagram, Entity Relationship
Diagram (ERD) dan Flowchart serta
menggunakan bahasa pemrograman PHP dan
HTML dan MySQL sebagai databasenya
(Dengen & Khairina, 2009).
Sistem Informasi Akademik di SMA
Negeri 1 Petanahan saat ini masih sangat
terbatas, dan masih perlu dikembangkan
karena baru bisa diakses oleh pimpinan
sekolah dan guru, sedangkan untuk
stakeholder yang lain seperti staf tata usaha,
wali murid, komite, siswa, dinas pendidikan,
dunia usaha/industri dan masyarakat belum
bisa mengakses.
Agar Sistem Informasi Akademik bisa
diakses oleh semua stakeholder maka
diperlukan suatu cara yang tepat dan sesuai
dengan kondisi internal dan eksternal sekolah.
Strategi disusun atau dibuat agar visi, misi dan
tujuan sekolah dapat tercapai secara efektif dan
efisien.
Penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi dalam pengumpulan, pengolahan,
penyimpanan, dan pelaporan data akademik
saat ini menjadi suatu keharusan. pesatnya
teknologi jaringan dan internet yang hanya
menghubungkan perangkat mesin komputasi
standar semisal komputer, laptop, tablet
hingga server pelan tapi pasti telah
menghubungkan tidak hanya manusia dan
mesin saja tapi menghubungkan mesin dengan
mesin interaksinya keduanya bermanfaat
untuk kebutuhan sehari-hari.
Tujuan penelitian ini adalah
merumuskan strategi pengembangan Sistem
Informasi Akademik dalam upaya peningkatan
mutu pendidikan di SMA Negeri 1 Petanahan
Kabupaten Kebumen Jawa tengah melalui
analisis kondisi lingkungan internal dan
eksternal. Manfaat penelitian, secara teoritis
dapat mengembangkan ilmu manajemen
pendidikan, dan secara praktik dapat dijadikan
referensi untuk pengembangan sistem
informasi akademik pada sekolah-sekolah, dan
penelitian selanjutnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
mix methods, yaitu suatu penelitian yang
Strategi Pengembangan Sistem Informasi Akademik … | Triani A. Lestari & Siti Mariah
17
menggabungkan dua bentuk pendekatan dalam
penelitian kualitatif dan kuantitatif. Mix
methods adalah metode penelitian dengan
mengkombinasikan antara dua metode
penelitian sekaligus, kualitatif dan kuantitatif
dalam suatu kegiatan penelitian, sehingga akan
diperoleh data yang lebih komprehensif, valid,
reliabel, dan objektif (Sugiyono, 2015).
Tempat penelitian adalah di SMA Negeri 1
Petanahan Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa
Tengah. Penelitian dilakukan selama enam
bulan pada bulan Januari – Juni 2017.
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh guru dan karyawan SMA Negeri 1
Petanahan Kabupaten Kebumen sebanyak 62
orang. Peneliti mengambil sampel sebesar 30
orang dengan rincian 25 orang guru dan 5
karyawan dengan pertimbangan yang menjadi
sampel adalah orang yang dianggap mengerti
akan Sistem Informasi Akademik. Sampel
diambil dengan teknik purposif sampling,
yaitu teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2015).
Penelitian ini melibatkan peneliti
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu instrumen kualitatif yang meliputi
panduan observasi, panduan wawancara,
panduan dokumentasi, dan Instrumen
kuantitatif yang dalam penelitian ini adalah
kuisioner. Sumber informasi dalam penelitian
ini adalah kepala sekolah, kepala tata usaha,
dan wakil kepala sekolah.
Data yang sudah terkumpul dianalisis
dengan Analisis SWOT. Analisis SWOT
adalah identifikasi berbagai faktor secara
sistematis untuk merumuskan strategi
perusahaan. Analisis ini didasarkan pada
logika yang dapat memaksimalkan kekuatan
(strengths) dan peluang (Opportunities),
namun secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan (Weakness) dan ancaman atau
Threats (Rangkuti, 2014).
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
a. Penilaian Faktor Internal
Hasil analisis kondisi internal
diuraikan berikut:
1. Kekuatan
Kekuatan dari pengembangan
Sistem Informasi Akademik dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan di SMA
Negeri 1 Petanahan Kabupaten Kebumen
antara lain adalah sarana prasarana dan data
akademik. Data hasil wawancara
mengungkapkan bahwa: “...yang menjadi
kekuatan dari pelaksanaan penerapan
Sistem Informasi Akademik yaitu ruang
komputer yang nyaman dan luas, kondisi
dan jumlah sarana prasarana yang tersedia,
ketersediaan data akademik (wawancara,
selanjutnya ditulis ww dengan KS, 02
Februari 2017)”. Dikuatkan pernyataan
(ww: KTU, 10 Februari 2017) dan “…
jaringan internet dan data akademik yang
tersedia sangat mendukung (ww: WKS1, 14
Februari 2017)”.
Tabel 1. Kekuatan Sekolah dalam Pengembangan Sistem Informasi Akademik
Indikator Aspek Skor Kategori
Sarana
Prasarana
Kondisi hardware (komputer/laptop, printer, CD ROM, Hardisk,
telephone), software dan database yang digunakan dalam Sistem
Informasi Akademik
3 Baik
Jumlah komputer/laptop, CD ROM, Hardisk, telephone, dan buku
petunjuk/prosedur pengoperasian komputer yang tersedia
3 Baik
Ruang komputer yang dimiliki SMA Negeri 1 Petanahan 4 Sangat
Baik
Jaringan internet yang tersedia bagi Sistem Informasi Akademik 3 Baik
Daya listrik yang tersedia bagi pengoperasian Sistem Informasi Akademik 3 Baik
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
18
Jumlah printer yang tersedia untuk mencetak hasil Sistem Informasi
Akademik
3 Baik
Informasi yang efektif, efisien, dan mudah diakses oleh stakeholders dari
Sistem Informasi Akademik
2 Kurang
Baik
Total Program 3 Baik
Data
Akademik
Ketersediaan sumber data akademik yang digunakan pada Sistem
Informasi Akademik
3 Baik
Kelengkapan sumber data akademik 3 Baik
Kemudahan memperoleh data akademik 3 Baik
Total Data Akademik 3 Baik
Berdasarkan tabel di atas dapat
diketahui bahwa kekuatan SMA Negeri 1
Petanahan dalam pengembangan Sistem
Informasi Akademik dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan terdiri dari
sarana prasarana dan data akademik. Sarana
dan prasrana terdiri dari 7 aspek dengan
skor rata-rata 3 yang tergolong kategori
baik. Data akademik terdiri dari 3 aspek
dengan skor rata-rata 3 yang tergolong
dalam kategori baik.
2. Kelemahan
Kelemahan dari pengembangan
Sistem Informasi Akademik dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan di SMA
Negeri 1 Petanahan antara lain: sumber daya
dan program
Tabel 2. Kelemahan Sekolah Petanahan dalam Pengembangan Sistem Informasi Akademik
Indikator Aspek Skor Kategori
Sumber
daya
Kualifikasi programer, analis, operator dan manajer database Sistem
Informasi Akademik
2 Kurang Baik
Kecukupan jumlah programer, analis, operator dan manajer database 2 Kurang Baik
Kemampuan programer, analis, operator, dan manajer database 2 Kurang Baik
Tanggung jawab programer, analis, operator, dan manajer database 3 Baik
Total Sumber Daya 2 Kurang Baik
Program
Visi dan misi SMA Negeri 1 Petanahan kaitanya dengan
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi
3 Baik
Perencanan program Sistem Informasi Akademik 2 Kurang Baik
Pelaksanaan program Sistem Informasi Akademik 2 Kurang Baik
Pengawasan program Sistem Informasi Akademik 2 Kurang Baik
Evaluasi program Sistem Informasi Akademik 2 Kurang Baik
Total Program 2 Kurang Baik
Sebagaimana data hasil wawancara
terungkap bahwa: “...yang menjadi kelemahan
pada pelaksanaan Sistem Informasi Akademik
di SMA Negeri 1 Petanahan yaitu program,
kecukupan dan kualifikasi akademik yang
dimiliki oleh operator dan manajer data base
(ww: KS,
02 Februari 2017)”. Senada dengan
hasil wawancara berikut, bahwa
“... programer, analis, operator dan
manajer database tidak mempunyai kualifikasi
yang disyaratkan (ww KTU, 10 Februari 2017;
ww WKS3, 17 Februari 2017).
b. Penilaian Faktor Eksternal
1. Peluang
Peluang bagi SMA Negeri 1
Petanahan dalam pengembangan Sistem
Informasi Akademik dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan di SMA
Negeri 1 Petanahan yaitu: kebijakan dan Isu
strategis
2. Tantangan
Tantangan dalam hal kebijakan
Strategi Pengembangan Sistem Informasi Akademik … | Triani A. Lestari & Siti Mariah
19
dalam penerapan Sistem Informasi
Akademik dalam upaya peningkatan mutu
pendidikan di SMA Negeri 1 Petanahaan
antara lain sebagai berikut: dinas terkait dan
letak geografis.
Penilaian dari faktor internal pada
SMA Negeri 1 Petanahan dalam
pengembangan Sistem Informasi Akademik
Dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan
dirinci pada faktor internal dan eksternal
sebagaimana dapat dilihat pada uraian berikut
ini :
a. Model Faktor Strategi Internal
Tabel 3. Perhitungan Internal Factor Analysis
Summary (IFAS) No Uraian Faktor Bobot Rating Nilai
1 Program Kelemahan 0,35 2 0,70
2 Sumber
Daya
Kelemahan 0,30 2 0,60
3 Sarpras Kekuatan 0,20 4 0,80
4 Sumber
Data
Kekuatan 0,15 4 0,60
Total 1,00 12 2,70
Dari tabel 3, dapat diketahui bahwa
jumlah nilai tertimbang untuk faktor internal
adalah sebesar 2,70. Angka nilai tertimbang
sebesar 2,70 dapat digolongkan pada bagian
medium dari sumbu vertikal matriks. Artinya
adalah program-program SMA Negeri 1
Petanahan dalam pengembangan Sistem
Informasi Akademik Dalam Upaya
Peningkatan Mutu Pendidikan sudah berjalan
dengan baik namun masih memiliki
kekurangan. Kondisi ini menunjukan bahwa
SMA Negeri 1 Petanahan dalam
pengembangan Sistem Informasi Akademik
Dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan
sudah berjalan dengan baik namun belum
optimal dalam memanfaatkan kekuatan pada
strategi pengembangannya. Namun demikian,
program memiliki prasyarat yang cukup untuk
dilaksanakan dan dikembangkan lebih jauh.
b. Model Faktor Strategi Eksternal
Tabel 4. Perhitungan Exsternal Faktor
Analysis Summary (EFAS) No Uraian Faktor Bobot Rating Nilai
1 Kebijakan Peluang 0,30 3 0,90
2 Isu
strategis
Peluang 0,35 3 1,05
3 Dinas
Terkait
Tantangan 0,20 2 0,40
4 Letak
Geografis
Tantangan 0,15 2 0,30
Total 1,00 10 2,65
Dari tabel di atas diketahui bahwa
jumlah nilai pada faktor eksternal adalah
sebesar 2,65. Dari nilai tertimbang 2,65 pada
sumbu horisntal dapat diketahui bahwa
pengembangan sekolah dalam Sistem
Informasi Akademik dalam upaya peningkatan
mutu pendidikan termasuk dalam kategori
medium apabila ditinjau dari faktor
eksternalnya. Dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa, jika dilihat dari lingkungan
eksternalnya maka SMA Negeri 1 Petanahan
dalam Sistem Informasi Akademik dalam
upaya peningkatan mutu pendidikan memiliki
peluang pengembangan yang cukup.
Walaupun terdapat tantangan yang secara
relatif lebih rendah dibandingkan dengan
peluang untuk berkembang, namun SMA
Negeri 1 Petanahan memiliki banyak peluang
untuk melaksanakan strategi pengembangan.
Posisi SMA Negeri 1 Petanahan dapat dilihat
pada tabel berikut:
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
20
Tabel 5. Matrik Internal Eksternal
IFAS
EFAS
HIGH (3-4) MEDIUM (2-3) LOW (1-2)
HIGH (3-4) GROWTH
Konsentrasi melalui
integrasi vertikal
GROWTH
Konsentrasi melalui integrasi
horisontal
RETRENCHMENT
Strategi turn around
MEDIUM (2-3) STABILITY GROWTH
Konsentrasi melalui integrasi
horisontal atau STABILITY
strategi
RETRENCHMENT
Strategi divestasi
LOW (1-2) GROWTH
Diversiikasi konsentrik
GROWTH
Diversifikasi konglomerat
LIKUIDASI
Hasil perhitungan sebelumnya
menunjukan bahwa nilai tertimbang dari faktor
internal adalah 2,70 sedangkan nilai
tertimbang untuk variabel eksternal 2,65. Nilai
tertimbang tersebut kemudian digunakan
dalam aplikasi matrik internal dan eksternal
untuk menentukan posisi SMA Negeri 1
Petanahan. Posisi SMA negeri 1 Petanahan
berada pada sel GROWTH: konsentrasi
melalui integrasi horisontal atau STABILITY
strategi.
Pembahasan
Kondisi internal sistem informasi
akademik dalam upaya peningkatan mutu
pendidikan
Hasil penelitian menunjukan bahwa
kekuatan pengembangan Sistem Informasi
Akademik Dalam Upaya Peningkatan Mutu
Pendidikan terletak pada sarana prasarana dan
sumber data. Sebagaimana hasil penelitian
Dengen dan Khairina (2009) menunjukkan
bahwa sistem informasi akademik berbasis
web merupakan solusi bagi pihak sekolah
dalam menyajikan laporan nilai serta keaktifan
siswa secara cepat dan tepat. Sarana prasarana
pada dasarnya merupakan faktor penting
dalam pengembangan program di satuan
pendidikan. Sarana prasarana yang memadai
sangat mendukung pengembangan Sistem
Informasi Akademik dalam upaya peningkatan
mutu pendidikan di SMA Negeri 1 Petanahan.
Dalam penyediaan sarana prasarana
termasuk sudah baik dan lengkap hal ini bisa
dilihat dari: a) kondisi hardware
(komputer/leptop, printer, CD ROM, Hardisk,
telephone), software dan database yang
digunakan dalam Sistem Informasi Akademik
masih baik; b) jumlah komputer/leptop, CD
ROM, Hardisk, telephone dan buku petunjuk
pengoperasian komputer yang tersedia
memadai; c) ruang komputer yang dimiliki
sudah baik dan memadai; d) daya listrik yang
tersedia bagi pengoperasian sudah baik dan
memadai; e) jumlah printer yang tersedia
untuk mencetak hasil sudah memadai; f)
ketersediaan dan kelengkapan data akademik
yang digunakan pada Sistem Informasi
Akademik sangat mendukung; g) data
akademik meliputi data siswa, data pendidik
dan tenaga kependidikan, data mata pelajaran,
dan data nilai siswa. Terkait dengan
kelemahan dalam pengembangan Sistem
Informasi Akademik dalam upaya peningkatan
mutu pendidikan terdapat dua faktor yaitu
faktor sumber daya dan program.
Kelemahan dalam hal sumber daya
manusia yaitu: a) Kualifikasi programer,
analis, operator dan manajer database Sistem
Informasi Akademik dalam upaya peningkatan
mutu pendidikan belum sesuai dengan yang
dipersyaratkan; b) kecukupan jumlah
programer, analis, operator dan manajer
database Sistem Informasi Akademik dalam
upaya peningkatan mutu pendidikan belum
Strategi Pengembangan Sistem Informasi Akademik … | Triani A. Lestari & Siti Mariah
21
mencukupi; c) kelemahan mengenai program
Sistem Informasi Akademik dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan antara lain
sebagai berikut: perencanaan program Sistem
Informasi Akademik dalam upaya peningkatan
mutu pendidikan kurang baik; pengawasan
program Sistem Informasi Akademik dalam
upaya peningkatan mutu pendidikan kurang
baik; evaluasi program Sistem Informasi
Akademik dalam upaya peningkatan mutu
pendidikan kurang baik.
Kondisi Eksternal dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan
Hasil penelitian menunjukan bahwa
peluang pengembangan Sistem Informasi
Akademik Dalam Upaya Peningkatan Mutu
Pendidikan terletak pada kebijakan dan isu
strategis. Kebijakan pada dasarnya merupakan
faktor penting dalam pengembangan program
disatuan pendidikan. Adanya kebijakan
pemerintah tentang penggunaaan sistem
informasi di sekolah sangat mendukung
pengembangan Sistem Informasi Akademik
dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di
SMA Negeri 1 Petanahan.
Peluang dari faktor kebijakan dalam
penerapan Sistem Informasi Akademik dalam
Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan adalah
regulasi pemerintah yang digunakan sebagai
dasar penerapan Sistem Informasi Akademik
sangat mendukung pengembangan Sistem
Informasi Akademik dalam upaya peningkatan
mutu pendidikan. Peluang dari faktor isu
strategis yaitu pembiayaan yang mendukung
penerapan Sistem Informasi Akademik,
kemauan dan motivasi yang baik dari
stakeholder dalam penerapan Sistem Informasi
Akademik dalam upaya peningkatan mutu
pendidikan.
Hasil penelitian tentang tantangan
dalam pengembangan sistem informasi
akademik dalam upaya peningkatan mutu
pendidikan terletak pada dua faktor yaitu
Dinas terkait dan letak geografis.
Tantangan mengenai dinas terkait
dalam penerapan Sistem Informasi Akademik
antara lain: a) kurangnya perhatian dari Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga dalam
penerapan Sistem Informasi Akademik dalam
upaya peningkatan mutu pendidikan; dan b)
kurangnya perhatian komite mengenai
penerapan Sistem Informasi Akademik.
Tantangan mengenai letak geografis
dalam penerapan Sistem Informasi Akademik
dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di
SMA Negeri 1 Petanahan anatara lain yaitu
akses lokasi SMA Negeri 1 Petanahan
kaitannya dengan pemasangan jaringan
internet untuk penerapan Sistem Informasi
Akademik dalam upaya peningkatan mutu
pendidikan yang susah dijangkau.
Strategi Pengembangan
Perumusan strategi pengembangan
Sistem Informasi Akademik dalam upaya
peningkatan mutu sekolah di SMA Negeri 1
Petanahan berkaitan dengan konsep
manajemen strategis [6]. (Akdon 2011),
mendefinisikan bahwa manajemen strategik
adalah proses yang berkesinambungan di
mulai dari perumusan strategi, dilanjutkan
dengan pelaksanaan kenudian bergerak kearah
suatu peninjauan kembali dan penyempurnaan
strategik tersebut, karena keadaan di dalam
dan di luar perusahaan atau organisasi yang
selalu berubah. Pentingnya manajemen bagi
keberhasilan suatu organisasi mempengaruhi
organisasi pendidikan. Organisasi pendidikan
merupakan suatu wadah yang bekerja
untukmencapai suatu tujuan yaitu keberhasilan
pendidikan. Oleh karena itu dalam
menjalankan kegiatan pada organisasi
pendidikan juga membutuhkan suatu
manajemen pendidikan yang baik. Perlu suatu
strategi yang tepat untuk mengembangkan
Sistem Informasi Akademik dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan. Skinner (Akdon
2011:4), mengucapkan “bahwa strategi
merupakan filosofi yang berkaitan dengan alat
untuk mencapai tujuan”. Berdasarkan hasil
penelitian diperoleh strategi sebagai berikut. a)
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
22
Strategi SO dengan cara:
mengimplementasikan Regulasi pemerintah
yang digunakan sebagai dasar penerapan
Sistem Informasi Akademik di SMA Negeri 1
Petanahan (S1,O1); memanfaatkan jasa
penyedia Sistem Informasi sesuai dengan
regulasi pemerintah (S2,O1); berupaya
mencari dan melaksanakan kemitraan dengan
pihak-pihak yang dapat mendukung
pengembangan sekolah (S1,O2); dan membuat
proposal pengajuan dana kegiatan penerapan
Sistem Informasi Akademik (S2,O2).
Penerapan strategi SO ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sujoko (2017:
94) yang menyatakan bahwa strategi ini
bersifat agresif untuk mendukung
pertumbuhan mutu sekolah; b) Strategi WO,
dengan cara: Kepala sekolah mengangkat
programer, analis, operator dan manajer
database sesuai Regulasi pemerintah yang
digunakan sebagai dasar penerapan Sistem
Informasi Akademik di SMA Negeri 1
Petanahan (W1,O1); pihak sekolah harus
bekerja sama mengkaji ulang regulasi
pemerintah terkait pengembangan Sistem
Informasi Akademik (W2,O1); Kepala sekolah
mengangkat dan menambah jumlah
programer, analis, operator dan manajer
database sesuai (W1,O2); dan menyusun
ulang program Sistem Informasi Akademik
dengan memanfaatkan dukungan dari
stakeholder (W2,O2); c) Strategi ST melalui
cara: Kepala sekolah lebih aktif bekerja sama
dengan dinas terkait mengenai penerapan
Sistem Informasi Akademik dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan (S1,T1); Kepala
sekolah meningkatkan manajemen sumber
data akademik agar mudah diakses oleh pihak
terkait (S2,T1); Pihak sekolah perlu
menambah sarana prasarana kaitanya dengan
pemasangan jaringan internet (S2,T1); dan
pihak sekolah bekerja sama dengan pihak
penyedia pemasangan jaringan internet agar
akses internet lebih cepat (S2,T2); d) Strategi
WT dengan cara: Kepala sekolah
mengangkat programer, analis, operator dan
manajer database dan menyampaikan kepada
dinas terkait agar bisa bekerja sama (W1,T1);
menyusun manajemen program yang lebih
baik dan menyampaikan kepada dinas terkait
(W2,T1); mengangkat programer, analis,
operator dan manajer database yang mengerti
tentang jaringan internet (W1,T2); dan
menyusun program Sistem Informasi
Akademik yang lebih baik dengan
mempertimbangkan kekurangan dari akses
lokasi (W2,T2).
Keempat strategi tersebut di atas
pada dasarnya dapat dilaksanakan dalam
pengembangan Sistem Informasi Akademik
dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di
SMA Negeri 1 Petanahan. Namun demikian,
sesuai dengan posisi SMA Negeri 1 Petanahan
dalam pengembangan Sistem Informasi
Akademik berada pada sel dengan strategi
GROWTH: konsentrai melalui integrasi
horisontal atau STABILITY strategi maka
sekolah disarankan untuk melakukan
pengembangan terhadap program yang
dilaksanakan sehingga strategi yang paling
tepat dilaksanakan adalah strategi SO
(Strength-Opportunities). Penerapan strategi
peningkatan mutu sekolah berbasis data hasil
analisis SWOT sejalan dengan penelitian
Margareta, & Ismanto, (2017), yang
menyatakan bahwa analisis SWOT dapat
dijadikan salah satu alat ukur dalam
menentukan strategi yang tepat. Melalui
kekuatan dan peluang yang ada, sekolah dapat
meningkatkan mutu. Selain itu, sekolah dapat
meminimalkan kelemahan dan ancaman yang
ada dengan strategi yang tepat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Simpulan yang diperoleh dari hasil
penelitian ini yaitu bahwa kondisi SMA Negeri
1 Petanahan dalam mengembangkan Sistem
Informasi Akademik dalam upaya peningkatan
mutu pendidikan berada pada sel dengan
Strategi Pengembangan Sistem Informasi Akademik … | Triani A. Lestari & Siti Mariah
23
strategi GROWTH: konsentrasi melalui
integrasi horisontal atau STABILITY strategi.
Saran
Berdasarkan simpulan seperti telah
dipapakan, maka disarankan SMA Negeri 1
Petanahan dalam pengembangan Sistem
Informasi Akademik dalam upaya peningkatan
mutu pendidikan sebaiknya melaksanakan
pengembangan lebih lanjut terhadap program
yang dilaksanakan. Strategi yang tepat untuk
dilaksanakan adalah strategi SO (Strengths-
Oportunities), yang terdiri atas: a) Kepala
sekolah mengimplementasikan Regulasi
pemerintah yang digunakan sebagai dasar
penerapan Sistem Informasi Akademik; b)
memanfaatkan jasa penyedia Sistem Informasi
sesuai dengan regulasi pemerintah; c) Kepala
sekolah berupaya mencari dan melaksanakan
kemitraan dengan pihak-pihak yang dapat
mendukung pengembangan sekolah; dan d)
Kepala sekolah membuat proposal pengajuan
dana kegiatan Sistem Informasi Akademik.
DAFTAR PUSTAKA
Akdon. 2011. Strategic Management for
Educational Management
(Manajemen) Strategik untuk
Manajemen Pendidikan). Bandung:
Alfabeta.
BSNP. 2007. Peraturan Mentri Pendidikan
Nasional RI Nomor 19 Tahun 2007
Tentang Standar Pengelolaan
Pendidikan oleh Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah. Jakarta
Dengen, N. & Khairina, D. M. 2009. Sistem
Informasi Akademik Berbasis Web
SMP Negeri 4 Samarinda. Jurnal
Informatika Mulawarman. 4 (2), 18-
29. Diakses dari http://e-
journals.unmul.ac.id/
index.php/JIM/article/ view/38/pdf
Depdiknas. 2003. Undang-undang Nonor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta.
Jogiyanto. 2009. Sistem Teknologi Informasi.
Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Margareta, R., & Ismanto, B. 2017. Strategi
Perencanaan Pembiayaan Sekolah
dalam Peningkatan Mutu di SMP
Negeri. Kelola: Jurnal Manajemen
Pendidikan, 4(2), 195-204.
Rangkuti, F. 2014. Analisis SWOT. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Rusdiana & Irfan, M. (2014). Sistem Informasi
Manajemen. Bandung: Pustaka Setia.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian &
Pengembangan Research and
Development. Bandung: Alfabeta.
Sujoko, E. 2017. Strategi Peningkatan Mutu
Sekolah Berdasarkan Analisis SWOT
di Sekolah Menengah Pertama. Kelola:
Jurnal Manajemen Pendidikan, 4 (1),
83-96.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018
Halaman: 24-36
24
Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikasi Dengan Model Charlotte Danielson
Wara Hapsari Oktriany
Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana
oktrianywara@gmail.com
Bambang Suteng Sulasmono
Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana
bambang.sulasmono@staff.uksw.edu
Ade Iriani
Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana
ade.iriani@staff.uksw.edu
ABSTRACT
This study aims to evaluate the performance of certified teachers in SMP Negeri 3
Salatiga in the domain: (1) planning and preparation of learning, (2) class management,
(3) learning process, and (4) professional teacher responsibility. This research is an
evaluative research using Charlotte Danielson Model, with simple qualitative and
quantitative method. The subjects were five teachers of SMP Negeri 3 Salatiga who have
been certified educators. Data collection through interviews, observation, and document
study. Moderate data collection instruments include teacher performance assessment
rubric, interview guides, and questionnaires. The data validity test is done by source and
technique triangulation. The results of this study: (1) the certified teacher performance
in preparing and planning of learning is included in the good category, (2) the certified
teacher performance in managing the classes included in the good category; (3) the
certified teacher performance in the learning process included in either category, and (4)
the certified teacher performance in their professional responsibilities is categorized as
good enough, due to the lack of teachers' efforts to develop themselves.
Keywords: Certified Teacher, Charlotte Danielson Model, Performance Evaluation
Article Info
Received date: 30 Mei 2017 Revised date: 16 Oktober 2017 Accepted date: 21 Juni 2018
Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikasi Dengan Model Charlotte Danielson | Wara H. Oktriany, dkk.
25
PENDAHULUAN
Upaya meningkatkan mutu pendidikan
telah dan terus dijalankan oleh pemerintah
melalui berbagai kebijakan. Dua kebijakan
yang menyangkut kualitas tenaga pendidik di
Indonesia adalah kebijakan peningkatan
kualifikasi, kompetensi, dan profesionalisme
tenaga pendidik dan kependidikan, dan
kebijakan peningkatkan kesejahteraan tenaga
pendidik melalui sertifikasi (Kunandar, 2007:
6-7). Kedua kebijakan ini amat penting karena
tenaga pendidik atau guru mempunyai peranan
yang besar dan strategis dalam proses
pendidikan. Gurulah yang berada di barisan
terdepan dalam pelaksanaan pendidikan,
langsung berhadapan dengan peserta didik
untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan
teknologi sekaligus mendidik dengan nilai-
nilai positif melalui bimbingan dan
keteladanan. Di tangan gurulah akan
dihasilkan peserta didik yang berkualitas, baik
secara akademis, skill (keahlian), kematangan
emosional, dan moral serta spiritual. Dengan
demikian akan dihasilkan generasi masa depan
yang siap hidup dengan tantangan zamannya.
Oleh karena itu, diperlukan seorang guru yang
mempunyai kualifikasi, kompetensi, dan
dedikasi yang tinggi dalam menjalankan tugas
profesionalnya. (Kunandar, 2007:40).
Lebih lanjut, guna meningkatkan
kesejahteraan dan kualitas kinerja tenaga
pendidik, pemerintah menetapkan kebijakan
sertifikasi bagi tenaga pendidik. Sertifikasi
adalah proses pemberian sertifikat kepada
sesuatu objek tertentu (orang, barang, atau
organisasi tertentu) yang menandakan bahwa
objek tersebut layak menurut kriteria atau
standar tertentu (Payong, 2011: 68). Dengan
demikian maka sertifikasi Guru adalah proses
pemberian sertifikat pendidik kepada guru
(Suyatno, 2007: 2). Secara lebih lengkap
Muslich (2007: 2) mengemukakan bahwa
sertifikasi guru adalah proses pemberian
sertifikat pendidik kepada guru yang telah
memenuhi persyaratan tertentu, yaitu memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional yang disertai dengan
peningkatan kesejahteraan yang layak. Sedang
dalam Undang Undang No 14 tahun 2005
dinyatakan bahwa sertifikat pendidik diberikan
kepada guru yang telah memenuhi standar
profesi guru. Sertifikasi pendidik adalah proses
pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan
dosen. Sertifikasi pendidik adalah bukti formal
sebagai pengakuan yang diberikan kepada
guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
Oleh karena itu sertifikat pendidik adalah
sertifikat yang ditanda tangani oleh perguruan
tinggi penyelenggara sertifikasi sebagai bukti
formal pengakuan profesionalitas guru yang
diberikan kepada guru sebagai tenaga
professional (Suyatno, 2007:2). Program
sertifikasi guru itu sendiri mempunyai
beberapa tujuan diantaranya adalah untuk (a)
menentukan kelayakan guru dalam
melaksanakan tugas sebagai agen
pembelajaran dalam rangka mewujudkan
tujuan pendidikan nasional, (b) meningkatkan
mutu proses dan hasil pendidikan, (c)
meningkatkan martabat guru, (d)
meningkatkan profesionalisme guru, dan (e)
meningkatkan kesejahteraan guru (Payong,
2011: 76-77). Sertifikasi bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik.
Dengan meningkatnya kesejahteraan
diharapkan tenaga pendidik bisa meningkatkan
kinerja mengajar mereka, yang akan
berdampak pada meningkatnya mutu
pembelajaran dan mutu pendidikan secara
berkelanjutan (Suyatno, 2007:24).
Dari beberapa definisi di atas, dapat
disimpulkan bahwa sertifikasi guru merupakan
proses pemberian sertifikat pendidik kepada
guru yang telah memenuhi standar profesi guru
serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional yang disertai
dengan peningkatan kesejahteraan yang layak,
sehingga dapat meningkatkan kualitas
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
26
pendidikan di Indonesia dan profesionalitas
guru. Guru bersertifikasi dengan demikian
adalah tenaga pendidik yang telah memenuhi
persyaratan standar profesi guru serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional dan oleh karena itu
kemudian menerima sertifikat pendidik dari
lembaga yang berwenang. Guru bersertifikasi
diharapkan dapat meningkatkan kinerja
mengajar mereka yang pada gilirannya akan
berdampak pada meningkatnya mutu
pembelajaran dan mutu pendidikan secara
berkelanjutan.
Tentang kinerja Wirawan (2009:5)
berpendapat bahwa kinerja adalah keluaran
yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau
indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu
profesi dalam waktu tertentu. Suatu pekerjaan
atau profesi mempunyai sejumlah fungsi atau
indikator yang dapat digunakan untuk
mengukur hasil pekerjaan tersebut. Sedang
Bangun (2012, 231) mendefinisikan kinerja
sebagai hasil pekerjaan yang dicapai seseorang
berdasarkan persyaratan-persyaratan
pekerjaan (job requirement). Suatu pekerjaan
mempunyai persyaratan tertentu untuk dapat
dilakukan dalam mencapai tujuan (standar
pekerjaan). Mangkunegara (dalam Widodo,
2015:131) menyatakan bahwa istilah kinerja
berasal dari kata job performance atau actual
performance (prestasi kerja atau prestasi
sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang)
yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas
yang dicapai oleh seorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Pendapat Wirawan, Bangun, dan
Mangkunegara mempunyai persamaan, yaitu
mereka mengemukakan bahwa kinerja adalah
hasil pekerjaan seseorang yang dicapai dalam
melaksanakan pekerjaan atau tugas yang telah
diberikan kepadanya sesuai dengan
persyaratan ataupun aturan yang ada. Berbeda
dengan pendapat diatas, Wibowo (2013, 81)
mengemukakan bahwa kinerja merupakan
suatu proses tentang bagaimana pekerjaan
berlangsung untuk mencapai hasil kerja.
Marwansyah (2010:228) juga mendefinisikan
kinerja sebagai pencapaian / prestasi seseorang
berkenaan dengan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya. Kinerja dapat juga
dipandang sebagai perpaduan dari hasil kerja
(apa yang harus dicapai seseorang) dan
kompetensi (bagaimana seseorang
mencapainya). Dari beberapa rumusan
pengertian kinerja di atas, dapat disimpulkan
bahwa kinerja merupakan hasil kerja yang
dapat dicapai oleh seseorang sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab masing-
masing dalam pencapaian suatu tujuan tanpa
melanggar aturan yang ada.
Mengenai kinerja Guru patut dicatata
bahwa Guru adalah seorang pendidik
professional yang bertugas mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah (Priatna, 2013:3). Hasil
yang dicapai secara optimal dalam bentuk
lancarnya proses belajar siswa, dan berujung
pada tingginya perolehan atau hasil belajar
siswa, semuanya merupakan cerminan kinerja
seorang guru. Dalam menjalankan peran dan
fungsinya pada proses pembelajaran di kelas,
kinerja guru dapat terlihat pada kegiatannya
merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi proses pembelajaran yang
intensitasnya dilandasi oleh sikap moral dan
profesional seorang guru (Uno, 2012: 65).
Undang Undang No. 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen bab IV pasal 20 (a)
menyatakan bahwa standar prestasi kerja guru
dalam melaksanakan tugas
keprofesionalannya, guru berkewajiban
merencanakan pembelajaran, melaksanakan
proses pembelajaran yang bermutu serta
menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran.
Tugas pokok guru yang diwujudkan dalam
kegiatan belajar mengajar merupakan bentuk
Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikasi Dengan Model Charlotte Danielson | Wara H. Oktriany, dkk.
27
kinerja guru. Dari beberapa pengertian di atas
maka dapat disimpulkan bahwa kinerja guru
merupakan hasil pekerjaan atau prestasi kerja
yang dilakukan oleh seorang guru berdasarkan
kemampuan mereka untuk mengelola kegiatan
belajar mengajar, yang meliputi perencanaan
pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi pembelajaran dan membina hubungan
antar pribadi (interpersonal) dengan siswanya.
Kebijakan sertifikasi Guru sudah
dilegalkan dalam Undang-undang Nomor14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta
sudah berjalan kurang lebih selama 10 tahun
sejak tahun 2007 hingga tahun 2017. Namun
pelaksanaan di lapangan ternyata belum sesuai
harapan, karena masih banyak dijumpai guru
bersertifikasi yang kualitas kinerjanya justru
diragukan. Hal itu bisa dipahami karena
berbagai kajian tentang kebijakan publik,
termasuk kebijakan publik dalam bidang
pendidikan menunjukkan bahwa selalu
terdapat kesenjangan implementasi atau
implementation gap dalam proses kebijakan
(Rosli & Rossi, 2014; Effiong, 2013; Iqbal
Ahmad et.all, 2012; Center for International
Private Enterprise and Global Integrity, 2012;
.Makinde, 2008;). Menurut Centre for
International Private Enterpise & Global
Integrity (CIPE-GI, 2012) “implementation
gap is the difference between laws on the books
and how they are carried out in practice”.
Dengan perkataan lain selalu terdapat
kesenjangan antara maksud kebijakan itu
sendiri dengan apa yang terwujud dalam
pelaksanaan kebijakan yang bersangkutan
(bandingkan misalnya dengan Sulasmono &
Tri Sulistyowati, 2016; Sasadara, Sulasmono
dan Ade Iriani, 2017)
Khusus ihwal kebijakan sertifikasi
Guru, penelitian Khodijah (2013) tentang
kinerja Guru Madrasah dan Guru Pendidikan
Agama Islam pasca sertifikasi di Sumatera
Selatan, menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan dalam kinerja guru setelah
menerima tunjangan profesional dalam aspek
(1) rencana pembelajaran, pelaksanaan, dan
asesmen; (2) antara mereka yang tinggal di
daerah pedesaan dan di daerah perkotaan; dan
(3) antara mereka yang lulus melalui portofolio
dan yang melalui PLPG. Dengan kata lain
kinerja guru bersertifikasi masih di bawah
standar minimum kinerja. Selanjutnya
penelitian Kurniawan (2011) berjudul
“Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru
dalam Rangka Meningkatkan Profesionalitas
Guru di Kota Yogyakarta” menyimpulkan
bahwa jika dilihat dari segi dampak kebijakan
sertifikasi, belum ada peningkatan
profesionalitas guru secara signifikan. Sikap
para guru dalam menjalankan kebijakan
sertifikasi terlihat hanya mengejar
kesejahteraan semata, sementara mutu
pengajaran kurang mendapat perhatian.
Sedang penelitian Yusrizal, dkk (2011) dengan
judul “Evaluasi Kinerja Guru Fisika, Biologi,
dan Kimia SMA yang sudah lulus sertifikasi”
menunjukkan bahwa kinerja guru Fisika,
Biologi, dan Kimia SMA yang sudah lulus
sertifikasi dan sudah menerima tunjangan
belum seluruhnya berkinerja tinggi. Sementara
itu penelitian Amat Jaedun (2009) dengan
judul “Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikat
Profesional” juga menunjukkan bahwa kinerja
guru yang telah disertifikasi (guru profesional)
tidak menjadi lebih baik bila dibandingkan
dengan kinerja guru sebelum disertifikasi.
Kinerja guru menurun karena merasa tidak lagi
dinilai, dan tidak ada sanksi setelah
mendapatkan sertifikasi. Oleh karena itulah
perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja guru
yang telah disertifikasi tersebut secara
berkelanjutan.
Berbeda dengan hasil-hasil penelitian
di atas, penelitian Faiza (2015) dengan judul “
Evaluasi Implementasi Kebijakan Sertifikasi
Guru di Sekolah Dasar Negeri 13 Kota
Pontianak” menunjukkan bahwa guru sudah
dapat dikatakan layak dan dalam pelaksanaan
belajar-mengajar, guru dapat menguasai
materi pada saat proses belajar mengajar serta
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
28
jika ada nilai siswa-siswi yang kurang dari
KKM guru bersangkutan berusaha
mengadakan remedial dan menganalisis materi
mana yang dianggap sulit oleh siswa-siswi dan
menambah nilai yang ada dengan nilai harian
mereka agar bisa mencapai KKM yang telah
ditetapkan. Namun, hanya sedikit sekali guru
yang menggunakan perangkat IT dalam proses
belajar mengajar serta nilai siswa belum naik
secara signifikan dilihat dari nilai kelulusan
siswa setiap tahunnya setelah adanya
kebijakan sertifikasi. Sedang penelitian
Setiawan, Setyorini, dan Yushita (2009) yang
berjudul “Audit Kinerja Guru Akuntansi
Bersertifikat di SMK Negeri 2 Kutoarjo
Purworejo” menunjukkan bahwa sertifikasi
pendidik dapat meningkatkan kinerja guru
dalam menjalankan tugas profesinya sebagai
guru. Kinerja guru akuntansi bersertifikat di
SMK Negeri 2 Kutoarjo ditinjau dari
pelaksanaan kompetensi guru menunjukkan
dalam kategori cukup/sedang yaitu sebesar
64,7% dan yang menunjukkan kategori baik
sebesar 32,3%. Sementara penelitian Tethys
Arsynta (2015) dengan judul “Kinerja Guru
Bersertifikat Profesi dalam Pembelajaran di
SMK Negeri se-Kota Magelang”
menyimpulkan bahwa (1) kinerja guru
bersertifikat profesi dalam perencanaan
pembelajaran dikategorikan baik; (2) kinerja
guru bersertifikat profesi dalam pelaksanaan
pembelajaran dikategorikan baik, (3) kinerja
guru bersertifikat profesi dalam pelaksanaan
pembelajaran dengan sub indikator
pengelolaan kelas dikategorikan cukup baik,
sub indikator penggunaan metode
pembelajaran dikategorikan cukup baik, dan
sub indikator penggunaan media dan sumber
belajar dikategorikan cukup baik; (4) kinerja
guru bersertifikat profesi dalam evaluasi
pembelajaran dikategorikan baik, evaluasi
pembelajaran dengan sub indikator pendekatan
dan jenis evaluasi pembelajaran dikategorikan
cukup baik, sub indikator penyusunan alat
evaluasi pembelajaran dikategorikan baik, dan
sub indikator penggunaan hasil evaluasi
pembelajaran dikategorikan sangat baik.
Berdasarkan kajian teoritis dan
berbagai temuan hasil penelitian yang saling
bertentangan di atas, maka penulis tertarik
untuk mengevaluasi kinerja mengajar guru
bersertifikasi di SMP Negeri 3 Salatiga dengan
menggunakan model Charlotte Danielson.
Evaluasi kinerja guru atau penilaian
kinerja guru adalah penilaian yang dirancang
untuk mengidentifikasi kemampuan guru
dalam melaksanakan tugasnya melalui
pengukuran penguasaan kompetensi yang
ditunjukkan dalam unjuk kerjanya (Priatna,
2013: 1). Pentingnya penilaian kompetensi
guru terutama terkait pertimbangan bahwa
penguasaan kompetensi dan penerapan
pengetahuan serta keterampilan guru, sangat
menentukan tercapainya kualitas proses
pembelajaran atau pembimbingan peserta
didik. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 16 tahun 2009
tentang jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya, Penilaian Kinerja Guru untuk guru
mata pelajaran dan guru kelas meliputi
kegiatan sebagai berikut: (1) menyusun
kurikulum pembelajaran pada satuan
pendidikan, (2) menyusun silabus
pembelajaran, (3) menyusun rencana
pelaksanaan pembelajaran, (4) melaksanakan
kegiatan pembelajaran, (5) menyusun alat ukur
/ soal sesuai mata pelajaran, (6) menilai dan
mengevaluasi proses dan hasil belajar pada
mata pelajaran yang diampunya, (7)
menganalisis hasil penilaian pembelajaran, (8)
melaksanakan pembelajaran/perbaikan dan
pengayaan dengan memanfaatkan hasil
penilaian dan evaluasi, (9) menjadi pengawas
penilaian dan evaluasi terhadap proses dan
hasil belajar tingkat sekolah dan nasional, (10)
membimbing guru pemula dalam program
induksi, (11) membimbing siswa dalam
kegiatan ekstrakurikuler proses pembelajaran,
(12) melaksanakan pengembangan diri, (13)
Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikasi Dengan Model Charlotte Danielson | Wara H. Oktriany, dkk.
29
melaksanakan publikasi ilmiah, dan (14)
membuat karya inovatif. Selain meliputi
kegiatan merencanakan dan melaksanakan
pembelajaran, mengevaluasi dan menilai serta
menganalisis hasil penilaian terkait tugas
pembelajaran, penilaian kinerja guru juga
melakukan penilaian terhadap 4 domain
kompetensi yang harus dimiliki oleh guru
sesuai dengan peraturan menteri pendidikan
nasional nomor 16 tahun 2007 tentang standar
kualifikasi akademik dan kompetensi guru.
Pengelolaan pembelajaran tersebut
mensyaratkan guru memiliki kompetensi yang
dikelompokkan ke dalam empat domain
kompetensi yaitu pedagogik, kepribadian,
sosial, dan profesional. Dapat disimpulkan
bahwa evaluasi kinerja guru bersertifikasi
adalah evaluasi terhadap kinerja guru
bersertifikasi dalam merencanakan,
melaksanakan dan mengevaluasi hasil belajar
siswa sebagai dampak dari proses belajar
mengajar yang dikelolanya.
Peneliti memilih menggunakan model
Charlotte Danielson, karena model ini sudah
diterapkan di beberapa sekolah di Amerika
Serikat dan dapat membantu meningkatkan
kualitas guru dalam mengajar. Dengan model
ini guru diharapkan dapat menilai kinerja guru
dalam mengajar dan juga dapat memperbaiki
kinerja mereka menjadi lebih baik. Model
mengajar Charlotte Danielson dikembangkan
berdasarkan Praxis Series. Praxis Series
adalah standar professional yang telah
memiliki dampak besar terhadap program
pendidikan guru secara nasional (serta
pertumbuhan dan pengembangan professional
guru berkelanjutan). Praxies Series menilai
perkembangan individu sesuai dengan tiga
langkah untuk menjadi guru. Ketiga bidang
assesmen ini adalah Asesmen Keterampilan
Akademis : memasuki program pendidikan
guru (Praxis I), Asesmen Mata Pelajaran:
lisensi untuk masuk profesi (Praxis II), dan
Asessmen Kinerja sekolah (Praxis III). Di
dalam Praxis III inilah yang melibatkan
asesmen dari keterampilan mengajar
sebenarnya yang terbagi dalam 4 domain
mengajar Danielson (Parkay, 2011:28-29).
Empat domain mengajar Charlotte
Danielson terdiri dari persiapan dan
perencanaan pembelajaran, pengelolaan ruang
kelas, pembelajaran, dan tanggung jawab
profesional. Empat domain ini memiliki 22
komponen dan terbagi lagi menjadi beberapa
elemen untuk lebih memperjelas pemahaman
kita tentang apa arti mengajar (Danielson,
2007 :1). Domain 1 yaitu persiapan dan
perencanaan pembelajaran. Didalam domain
ini adalah langkah pertama dalam mengajar
yang efektif, yaitu dengan adanya perencanaan
dan persiapan yang efektif. Domain
perencanaan, melibatkan semua pekerjaan
yang dilakukan sebelum pembelajaran yang
sebenarnya terjadi. Domain 1 terlihat pada
semua komponen yang relevan dari
perencanaan dan persiapan yang membantu
guru saat memasuki kelas dengan keyakinan
dan menginspirasi kepercayaan siswa.
Perencanaan dan persiapan yang melibatkan
lebih dari hanya menulis kegiatan hari itu di
kalender perencanaan. Domain 1 berisi semua
berbagai aspek perencanaan, termasuk
pentingnya pengetahuan siswa dan sumber
daya yang tersedia. Tanpa mengetahui tentang
siswa, guru tidak bisa mendesain pembelajaran
yang bermakna dan sesuai. Tanpa mengetahui
sumber daya apa tersedia dan sesuai untuk
digunakan dalam perencanaan dan instruksi,
seorang guru dibatasi dengan visi sempit dari
pengajaran. Tentu saja, seorang guru harus
memiliki pengetahuan materi ajar dan
pengetahuan strategi pembelajaran agar
menjadi efektif. Pengetahuan ini digunakan
untuk memilih hasil pengajaran, untuk
mendesain pembelajaran koheren, dan
merencanakan untuk penilaian yang bermakna
(Danielson, 2007: 26 – 28).
Domain 2 yaitu pengelolaan ruang
kelas. Di dalam domain ini para pendidik harus
selalu mengingat bahwa guru favorit adalah
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
30
guru yang memiliki rasa humor, membuat
pembelajaran yang relevan, memberikan
pujian tanpa syarat, dan membuat siswa
merasa aman, dihargai dan dihormati. Para
pendidik juga harus mengingat bahwa ada juga
guru yang mengkritik siswa, meremehkan
usaha siswa, dan menciptakan suasana
ketakutan. Setiap sikap dan perilaku guru ini
akan dikenang lama setelah siswa tersebut
dewasa (Danielson, 2007: 28-29).
Domain 3 adalah pembelajaran. Dalam
domain 3 inilah pengajaran yang sebenarnya.
Ini mencakup segala sesuatu yang guru
lakukan agar pembelajaran siswa serta
kemampuan siswa dapat diterapkan pada
pembelajaran yang akan datang. Penyampaian
pembelajaran menempatkan keakraban guru
dengan karakteristik tingkat usia siswa,
pengetahuan tentang setiap siswa di setiap
kelas, menggunakan beberapa strategi
pengajaran, dan pembentukan gerakan tubuh
sesuai dengan kegiatan dalam pelajaran. Ini
adalah alat setiap guru yang memungkinkan
guru untuk memotivasi setiap siswa untuk
mencapai potensi diri nya. Komponen domain
ini melaksanakan perencanaan yang matang
bahwa guru telah melakukannya dalam
Domain 1, memanfaatkan lingkungan belajar
yang aman yang ditetapkan pada Domain 2,
dan mengubah semua komponen yang telah
mendahului ajaran ini ke dalam materi ajar
yang mudah dipahami siswa. Ketika materi
ajar disajikan, guru juga terus memantau dan
mengevaluasi tanggapan siswa untuk
menentukan apakah siswa memahami apa
yang diajarkan. Penilaian formal dan informal
adalah berkelanjutan dan menyediakan data
berharga yang menginformasikan kapan guru
dan bagaimana menyesuaikan pengajaran
untuk kebutuhan siswa (Danielson, 2007: 29 –
30).
Domain 4 adalah tanggung jawab
profesional guru. Tanggung jawab profesional,
berfokus pada tindakan yang terjadi setelah
proses pembelajaran. Dengan adanya
pengalaman mengajar, guru memahami nilai
refleksi untuk meningkatkan dan
merencanakan instruksi pembelajaran
berikutnya. Guru-guru yang efektif
mengevaluasi kekuatan dan kelemahan dari
pembelajaran yang telah dilakukan, mengacu
pada catatan refleksi mereka untuk
memperbaiki pengajaran mereka. Selain itu,
guru profesional berkomunikasi dan
berkolaborasi dengan orang tua murid dan
kolega. Guru yang efektif membuat orang tua
dan keluarga terlibat dalam program
pembelajaran melalui konferensi dijadwalkan,
panggilan telepon, menulis catatan, dan
mengundang orang tua datang ke sekolah.
Selain itu, guru mencoba mendukung
hubungan dengan satu sama lain dan berbagi
dalam perencanaan pembelajaran. Mereka
menerima umpan balik dan terus berupaya
membuat keputusan berdasarkan standar
profesionalisme yang tinggi (Danielson, 2007:
30-31).
Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi kinerja guru bersertifikasi di
SMP Negeri 3 Salatiga dalam (1)
merencanakan dan mempersiapkan
pembelajaran, (2) mengelola kelas, (3)
berinteraksi dengan siswa saat pembelajaran
berlangsung, dan (4) dalam menunjukkan
tanggung jawab profesionalnya sebagai
seorang guru. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberi gambaran tentang kualitas
kinerja guru bersertifikasi, dan jika diperlukan
dapat menjadi acuan dalam upaya peningkatan
kinerja guru bersertifikasi maupun para pihak
yang relevan yaitu Kepala Sekolah dan
Pengawas Sekolah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
evaluatif. Penelitian evaluatif yang dilakukan
peneliti termasuk jenis penelitian evaluatif
kinerja sumber daya manusia. Penelitian ini
bertujuan untuk melaksanakan evaluasi dan
menggambarkan data yang berupa keterangan
Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikasi Dengan Model Charlotte Danielson | Wara H. Oktriany, dkk.
31
dan pernyataan yang ada tentang kinerja guru
bersertifikasi. Penelitian dilakukan terhadap 5
(lima) orang guru kelas VII bersertifikasi yang
bekerja di SMP Negeri 3 Salatiga.
Pendekatan penelitian yang digunakan
adalah pendekatan kuantitatif sederhana dan
kualitatif. Pendekatan kuantitatif
menggunakan teknik pengumpulan data
berupa angket dan observasi dengan
instrument kuesioner dan Rubrik Penilaian
Kinerja Guru yang merupakan terjemahan dari
rubrik penilaian kinerja guru Model Charlotte
Danielson. Selanjutnya untuk mencek dan
memperbaiki kebenaran data dari kuesioner
tersebut dilakukan pengumpulan data kualitatif
dengan teknik wawancara dan studi dokumen.
Subyek penelitian meliputi kepala
sekolah, wakil kepala sekolah, guru
bersertifikasi, dan siswa di SMP Negeri 3
Salatiga. Peneliti memberikan kuesioner
kepada siswa dan rubrik penilaian kinerja guru
bersertifikasi kepada wakil kepala sekolah.
Selain itu peneliti melakukan wawancara
dengan guru bersertifikasi dan kepala sekolah
serta observasi proses mengajar para guru
bersertifikasi. Data hasil kuesioner siswa dan
data hasil pengisian rubrik penilaian kinerja
guru oleh Wakasek dibandingkan dengan hasil
wawancara guru, siswa, dan Kepala Sekolah.
Selanjutnya data-data tersebut dibandingkan
dengan data hasil observasi dan studi
dokumen, sehingga data yang diperoleh benar-
benar valid.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Persiapan dan Perencanaan
Pembelajaran (DOMAIN 1). Hasil penelitian
menyatakan bahwa kelima guru yang diteliti
telah melakukan persiapan dan perencanaan
pembelajaran dengan baik.
Tabel 1. Hasil Evaluasi Kinerja Guru pada Domain 1 Persiapan dan Perencanaan pembelajaran
KOMPONEN DOMAIN 1 ZM JH TA DW SM
Menunjukkan pengetahuan tentang standar kompetensi dan
strategi pembelajaran 3 3 4 3 3
Menunjukkan pengetahuan tentang karakteristik peserta didik 3 3 3 3 3
Pemilihan tujuan pembelajaran 4 4 3 3 3
Menunjukkan pengetahuan tentang materi pembelajaran yang
digunakan 3 4 4 3 3
Merancang pembelajaran yang logis 4 4 3 3 3
Menilai pembelajaran siswa 4 4 4 4 4
Sumber: Data penelitian
Tabel di atas menunjukkan bahwa skor
para Guru berada pada kategori baik dan
beberapa aspek ada yang sangat baik, menurut
skala evaluasi Charlotte Danielson. Dengan
kata lain para guru tersebut telah mampu
menetapkan tujuan dengan cermat dan
menyusun langkah-langkah kegiatan
pembelajaran dengan baik. Dalam pembuatan
RPP guru memahami benar tentang
komponen-komponen yang harus ada dalam
RPP (standar kompetensi, kompetensi dasar,
komponen pencapaian kompetensi, tujuan
pembelajaran, alokasi waktu, metode
pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
penilaian, dan sumber belajar). Namun ada
beberapa aspek dalam perencanaan
pembelajaran yang perlu diperbaiki yaitu
perencanaan penggunaan metode
pembelajaran, sumber belajar, dan media yang
digunakan dalam pembelajaran. Selain itu,
guru – guru tersebut belum membuat RPP
sesuai dengan karakteristik siswa, jadi hanya
ada satu macam RPP untuk semua siswa
dimana tiap siswa memliki karakteristik yang
berbeda. Materi pembelajaran ataupun tugas
yang digunakan sama untuk semua
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
32
karakteristik anak, tidak dibedakan untuk anak
yang berkemampuan rendah, sedang, ataupun
tinggi.
Pengelolaan Kelas (Domain 2). Pada
domain 2, semua guru mempunyai kinerja
yang baik dalam mengelola kelas saat
pembelajaran.
Tabel 2. Hasil Evaluasi Kinerja Guru pada Domain 2 Pengelolaan Kelas
KOMPONEN DOMAIN 2 ZM JH TA DW SM
Menciptakan suasana belajar yang diliputi dengan sikap
saling menghargai dan saling berhubungan baik 4 4 4 3 3
Mengembangkan budaya belajar 4 4 3 3 3
Mengelola kelas 3 3 3 3 3
Mengatur perilaku siswa 3 3 4 3 3
Menata ruang kelas 3 3 3 3 3
Sumber: Data penelitian
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa
skor para Guru pada aspek pengelolaan kelas
berada pada kategori baik dan beberapa sub
aspek ada yang sangat baik, menurut skala
evaluasi Charlotte Danielson. Kinerja guru
tersebut antara lain ditunjukkan oleh sikap
semua guru yang selalu berusaha untuk
menghargai siswa, mengembangkan budaya
belajar di kelas dengan berbagai kegiatan
supaya anak tidak bosan mengikuti pelajaran
dikelas ataupun pada saat pembelajaran diluar
kelas. Selain itu juga, guru berhasil mengatur
perilaku siswa yang tidak mengikuti aturan
yang ada, seperti misalnya ketika siswa tidak
mengerjakan PR, maka guru meminta siswa
untuk berlari keliling lapangan. Guru
menggunakan tutur kata yang sopan dalam
menyampaikan materi pelajaran, sehingga
siswa tertarik atau menyukai guru tersebut.
Karena kurikulum yang dipakai saat ini adalah
kurikulum 2013, maka pembelajaran tidak
selalu dilakukan didalam kelas, terkadang guru
mengajak keluar kelas pada saat pembelajaran
berlangsung. Siswa diminta untuk melakukan
pengamatan terhadap lingkungan sekitar,
diskusi dengan teman. Dengan metode
pembelajaran diluar sekolah, siswa jadi tidak
bosan untuk belajar sehingga mereka bisa
memahami pelajaran dengan baik.
Pembelajaran (Domain 3). Pada
domain 3 tentang proses pembelajaran,
berdasarkan hasil rubrik wakil kepala sekolah,
semua guru mempunyai kinerja baik.
Tabel 3. Hasil Evaluasi Kinerja Guru pada Domain 3 Pembelajaran
KOMPONEN DOMAIN 3 ZM JH TA DW SM
Berkomunikasi dengan siswa 3 3 3 3 3
Menggunakan teknik tanya jawab dan diskusi 4 4 3 3 3
Melibatkan siswa dalam pembelajaran 4 4 3 3 3
Memberikan umpan balik bagi siswa (penilaian) 3 3 3 3 3
Menunjukkan sikap fleksibel dan responsif (cepat tanggap) 3 3 3 3 3
Sumber: Data penelitian
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa skor
para Guru pada aspek pembelajaran berada
pada kategori baik dan beberapa sub-aspek ada
yang sangat baik, menurut skala evaluasi
Charlotte Danielson.
Namun pada kenyataannya,
berdasarkan pendapat beberapa siswa, masih
ada guru yang selalu memerintahkan siswa nya
untuk mengerjakan soal sedangkan hanya
sedikit memberikan penjelasan. Ada pula guru
yang memberikan hukuman ketika siswa tidak
mengerjakan PR atau ketika remidi. Kadang –
kadang guru juga berbicara terlalu cepat dalam
menjelaskan materi pelajaran sehingga siswa
masih kurang memahami materi pelajaran
tersebut. Dalam pembelajaran, guru
menggunakan sistem berdiskusi baik dalam
kelompok kecil maupun kelompok besar.
Dengan dibuat sistem berkelompok, siswa
akan berinteraksi dengan temannya. Siswa
Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikasi Dengan Model Charlotte Danielson | Wara H. Oktriany, dkk.
33
berlatih untuk bekerja sama dengan temannya.
Tanggung Jawab Profesional
(Domain 4). Pada domain 4 tentang tanggung
jawab profesional, guru berkinerja cukup
berdasarkan hasil rubrik.
Tabel 4. Hasil Evaluasi Kinerja Guru pada Domain 4 Tanggungjawab Profesional
KOMPONEN DOMAIN 4 ZM JH TA DW SM
Merefleksikan pengajaran 3 3 3 3 3
Membuat catatan yang akurat (kehadiran siswa, jurnal
pembelajaran, dll) 3 3 3 3 3
Berkomunikasi dengan orang tua siswa 2 2 2 2 2
Memberi kontribusi pada sekolah dan dinas pendidikan 2 2 2 2 2
Mengembangkan keprofesian 2 2 2 2 2
Menunjukkan profesionalisme 3 3 3 3 3
Sumber: Data penelitian
Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa
skor para Guru pada aspek tanggung jawab
professional berada pada kategori baik untuk 3
sub-aspek dan berada pada kategori cukup
untuk 3sub-aspek, menurut skala evaluasi
Charlotte Danielson.
Begitu juga berdasarkan hasil
observasi wakil kepala sekolah semua guru
mempunyai kinerja yang baik. Adapun kinerja
baik dari guru ini diperoleh dari kebiasaan
guru yang selalu merefleksikan pengajaran
mereka dan juga catatan yang dimiliki oleh
guru seperti misalnya jurnal mengajar, absensi
siswa.
Namun, meskipun kinerja guru
dinyatakan baik, berdasarkan hasil wawancara
dengan guru dan kepala sekolah, masih ada
beberapa kekurangan. dimana kurangnya
komunikasi guru dengan orang tua atau wali
murid dalam hal proses pembelajaran, masih
ada guru yang belum memberikan kontribusi
baik untuk nama sekolah sendiri ataupun untuk
dinas pendidikan setempat seperti misalnya
guru berprestasi, dan juga guru masih belum
menunjukkan perkembangan dalam
keprofesiannya seperti misalnya pembuatan
PTK, menulis karya ilmiah, menghasilkan
karya inovatif baik didalam ataupun diluar
pembelajaran.
Pembahasan
Temuan penelitian ini mendukung
penelitian yang dilakukan oleh Tethys Arsynta
(2015) dengan judul “Kinerja Guru
Bersertifikat Profesi dalam Pembelajaran di
SMK Negeri se-Kota Magelang.” Hasilnya
menyimpulkan bahwa kinerja guru
bersertifikat profesi dalam perencanaan
pembelajaran dikategorikan baik; kinerja guru
sertifikasi di Gugus Mangga pada komponen
pengembangan diri berada pada kriteria
kurang baik (Kartomo & Slameto, 2016).
Kinerja mengajar guru kelas V bersertifikasi di
Daerah Binaan 2 Kecamatan Parakan pada
bidang Perencanaan dan Pelaksanaan
Pembelajaran masuk kategori baik dan sangat
baik (Setyowati & Sulasmono, 2015).
Temuan penelitian menunjukkan
sedikit perbedaan dengan penelitian yang
dilakukan Tethys (2015), dimana penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa kinerja guru
bersertifikat profesi dalam pelaksanaan
pembelajaran dengan sub komponen
pengelolaan kelas hanya dikategorikan cukup
baik, sub komponen penggunaan metode
pembelajaran juga dikategorikan cukup baik,
dan begitu pula sub komponen penggunaan
media dan sumber belajar dikategorikan cukup
baik.
Temuan penelitian ini sama dengan
penelitian yang dilakukan oleh Tethys (2015)
yang menyimpulkan bahwa kinerja guru
bersertifikat profesi dalam pelaksanaan
pembelajaran dikategorikan baik.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
34
Hasil temuan penelitian ini sama
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Suyanti (2009) tentang evaluasi kinerja guru
pada sekolah menengah pertama sebagai
rintisan sekolah bertaraf internasional di kota
Yogyakarta. Hasil penelitian Suyanti
menyimpulkan bahwa kompetensi profesional
yang diperoleh guru hanya dikategorikan
cukup. Sedangkan kompentensi kepribadian,
kompetensi pedagogik, dan kompetensi sosial
dikategorikan baik.
Khusus tentang kebijakan sertifikasi
Guru, penelitian Khodijah (2013) tentang
kinerja Guru Madrasah dan Guru Pendidikan
Agama Islam pasca sertifikasi di Sumatera
Selatan, menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan dalam kinerja guru setelah
menerima tunjangan professional dalam aspek
(1) rencana pembelajaran, pelaksanaan, dan
asesmen; (2) antara mereka yang tinggal di
daerah pedesaan dan di daerah perkotaan; dan
(3) antara mereka yang lulus melalui portofolio
dan yang melalui PLPG. Dengan kata lain
kinerja guru bersertifikasi masih di bawah
standar minimum kinerja. Selanjutnya
penelitian Kurniawan (2011) berjudul
“Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru
dalam Rangka Meningkatkan Profesionalitas
Guru di Kota Yogyakarta” menyimpulkan
bahwa jika dilihat dari segi dampak kebijakan
sertifikasi, belum ada peningkatan
profesionalitas guru secara signifikan. Sikap
para guru dalam menjalankan kebijakan
sertifikasi terlihat hanya mengejar
kesejahteraan semata, sementara mutu
pengajaran kurang mendapat perhatian.
Sedang penelitian Yusrizal, dkk (2011) dengan
judul “Evaluasi Kinerja Guru Fisika, Biologi,
dan Kimia SMA yang sudah lulus sertifikasi”
menunjukkan bahwa kinerja guru Fisika,
Biologi, dan Kimia SMA yang sudah lulus
sertifikasi dan sudah menerima tunjangan
belum seluruhnya berkinerja tinggi. Sementara
itu penelitian Amat Jaedun (2009) dengan
judul “Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikat
Profesional” juga menunjukkan bahwa kinerja
guru yang telah disertifikasi (guru profesional)
tidak menjadi lebih baik bila dibandingkan
dengan kinerja guru sebelum disertifikasi.
Kinerja guru menurun karena merasa tidak lagi
dinilai, dan tidak ada sanksi setelah
mendapatkan sertifikasi. Oleh karena itulah
perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja guru
yang telah disertifikasi tersebut secara
berkelanjutan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan temuan dan pembahasan
hasil penelitian evaluasi seperti dipaparkan
sebelumnya, dapat disimpulkan empat hal
sesuai dengan permasalahan penelitian yang
telah dirumuskan yaitu bahwa (1) kinerja
guru bersertifikasi di SMP Negeri 3 Salatiga
dalam merencanakan dan mempersiapkan
pembelajaran masuk dalam kategori baik, (2)
kinerja guru bersertifikasi di SMP Negeri 3
Salatiga dalam mengelola kelas termasuk
kategori baik, (3) kinerja guru bersertifikasi
di SMP Negeri 3 Salatiga dalam berinteraksi
dengan siswa saat pembelajaran
berlangsung masuk dalam kategori baik, dan
(4) kinerja guru bersertifikasi di SMP Negeri 3
Salatiga dalam menunjukkan tanggung
jawab profesionalnya sebagai seorang guru
dikategorikan cukup baik.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian evaluasi
kinerja guru bersertifikasi dengan model
Charlotte Danielson seperti dikemukakan
diatas, dapat disampaikan saran agar para guru,
lebih aktif mengikuti berbagai kegiatan yang
berhubungan dengan pengembangan profesi
mereka seperti seminar, workshop, pelatihan
dan sejenisnya. Guru perlu mengikuti kegiatan
seperti ini agar dapat mengembangkan diri
dalam meningkatkan keprofesian mereka di
dunia pendidikan. Kepala sekolah disarankan
untuk mengadakan dan/atau mengikutsertakan
para guru agar mengikuti berbagai pelatihan,
seminar, workshop yang berhubungan dengan
Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikasi Dengan Model Charlotte Danielson | Wara H. Oktriany, dkk.
35
upaya peningkatan keprofesian mereka
sehingga semua guru dapat memberikan
kontribusi prestasi pada sekolah. Sedangkan
bagi pengawas sekolah, disarankan untuk
memberikan motivasi kepada kepala sekolah
dan guru agar guru – guru tidak hanya aktif
dalam mengajar saja namun guru – guru perlu
mengembangkan diri dalam meningkatkan
keprofesionalan mereka di dunia pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, M.; Taha, Zainuddin; ide Said DM, H.
M.; Saleh Muhammad. 2016. Analysis
of Professional Competence of Bahasa
Teachers of Senior High School in
Jeneponto Regency after Certification.
Journal of Language Teaching &
Research . Jan2016, Vol. 7 Issue 1,
p66-75
Azwar, Saifuddin. 2012. Reliabilitas dan
Validitas. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Danielson, Charlotte. 2007. Enhancing
professional practice: A framework for
teaching (2nd ed.). Alexandria, Va.:
Association for Supervision and
Curriculum Development. ISBN 978-
1416605171.
Danielson, Charlotte. 2009. Implementing the
Framework for teaching in Enhancing
Professional Practice. Alexandria,
Va.: Association for Supervision and
Curriculum Development. ISBN 978-1-
4166-0913-3.
Darmini. 2012. “Persepsi Guru Non Sertifikasi
terhadap Etos Kerja dan Kinerja
Mengajar Guru Sekolah Dasar
Bersertifikasi Kecamatan Kandangan”.
Tesis.
Dharma, Surya. 2005. Manajemen Kinerja :
Falsafah, Teori dan Penerapannya.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Faisa, Ulin. 2015. Evaluasi Implementasi
Kebijakan Sertifikasi Guru di Sekolah
Dasar Negeri 13 Kota Pontianak.
PublikA, Jurnal S-1 Ilmu Administrasi
Negara, Volume 4 Nomor 1 Edisi
Maret, hal 66-75
Jaedun, Amat. 2009. Evaluasi Kinerja Guru
Bersertifikat Profesional.
Kartomo, A. I., & Slameto, S. (2016). Evaluasi
Kinerja Guru Bersertifikasi. Kelola:
Jurnal Manajemen Pendidikan, 3(2),
219-229.
Khodijah, Nyayu. 2013. Kinerja guru
madrasah dan guru pendidikan agama
islam pasca sertifikasi di Sumatera
Selatan. Cakrawala Pendidikan,
Februari 2013, Th. XXXII, No. 1 (91-
102)
Kunandar. 2007. Guru Profesional:
Implementasi Kurikulum Tingkat
satuan Pendidikan (KTSP) dan
persiapan menghadapi sertifikasi guru.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Kurniawan, Bachtiar Dwi. 2011. Implementasi
Kebijakan Sertifikasi Guru dalam
Rangka Meningkatkan Profesionalitas
Guru di Kota Yogyakarta. Jurnal Studi
Pemerintahan Vol.2 No.2 Agustus
2011 (278-299)
Marwansyah. 2010. Manajemen Sumber Daya
Manusia. Bandung: Alfabeta
Muslich, Masnur. 2007. Sertifikasi guru
menjadi profesionalisme pendidik.
Jakarta : Bumi Aksara.
Parkay, Forrest W. 2011. Menjadi Seorang
Guru. Jakarta: PT Indeks.
Payong, Marselus. 2011. Sertifikasi Profesi
Guru : Konsep Dasar, Problematika,
dan Implementasinya. Jakarta : PT
Indeks
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
36
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 16 tahun 2009
tentang jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kredit
Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang
Standar Proses untuk Satuan
Pendidikan Menengah
Permendiknas Nomor 16 tahun 2007 tentang
Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru.
Rivai, Veithzal. 2008. Perfomance Appraisal.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sasadara,W.L.; Sulasmono, B.S.; & Ade
Iriani. 2017 Evaluasi Implementasi
Kebijakan Pendidikan Inklusi. Kelola:
Jurnal Manajemen Pendidikan Vol 4
No 2 hal 1-…
Setiawan Ngadirin.; Dhyah Setyorini; Amanita
Novi Yushita. 2009. Audit Kinerja
Guru Akuntansi Bersertifikat Di SMK
Negeri 2 Kutoarjo Purworejo. Jurnal
Pendidikan Akuntansi Indonesia Vol.
VII. No. 2 – Tahun 2009
Setyowati, T., & Sulasmono, B. S. 2015.
Evaluasi Kinerja Mengajar Guru Kelas
V Bersertifikasi di Daerah Binaan 2
Kecamatan Parakan. Kelola: Jurnal
Manajemen Pendidikan, 2(1), 86-98.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian
Manajemen. Bandung: Alfabeta
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian dan
Pengembangan Research and
Development. Bandung: Alfabeta.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2012. Metode
Penelitian Pendidikan. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Sulasmono, B.S. & Tri Sulistyowati. 2016.
Context, Input, Process and Product
Evaluation of the Inclusive Education
Program in Public Elementary School.
Prosiding ICERI 2016UNY
Yogyakarta
Suyanti. 2009. Evaluasi Kinerja Guru pada
Sekolah Menengah Pertama sebagai
Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional di Kota Yogyakarta;
Suyatno. 2008. Panduan Sertifikasi Guru.
Jakarta: PT Indeks
Undang – Undang RI no 14 tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen
Undang – Undang RI No 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Uno, Hamzah B. & Nina Lamatenggo. 2012.
Teori kinerja dan pengukurannya.
Jakarta: Bumi Aksara
Viani, Farida. 2015. A Performance
Evaluation Model for School Teachers:
An Indian Perspective
Wibowo. 2013. Manajemen Kinerja. PT: Raja
Grafindo Persada: Jakarta
Widodo, Suparno Eko. 2015. Manajemen
Pengembangan Sumber Daya
Manusia. Yogyakarta : Pustaka Belajar
Wirawan. 2009. Evaluasi Kinerja Sumber
Daya Manusia: Teori Aplikasi dan
Penelitian. Jakarta : Salemba Empat.
Yusrizal, Soewarno, S dan Zarlaida Fitri. 2011.
Evaluasi Kinerja Guru Fisika, Biologi,
dan Kimia SMA yang Sudah Lulus
Sertifikasi. Jurnal Penelitian dan
Evaluasi Pendidikan; Vol 15, No 2 hal
269-286
Kelola
Jurnal Manajemen Pendidikan
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018
Halaman: 37-46
37
Peningkatan Kompetensi Guru Dalam Perencanaan Pembelajaran Tematik
Melalui Supervisi Kelompok Pendekatan Kolaboratif
Rukayah
SD Negeri Ungaran 05
rukayah.spd@gmail.com
ABSTRACT
This research was conducted with the aims to improve the competence of
developing thematic learning plans in improving the quality of thematic learning in class
I, II, and III in primary school Ungaran 05. Subjek research in this action research is a
low-grade teacher at SD Negeri Ungaran 05. The school action researcher was
conducted in two cycles, with the stages of planning, acting, observing and reflecting in
each cycle. The collected data is analyzed quantitatively and qualitatively. The results of
school action research concluded that group supervision with collaborative approach
can improve the competence of lower class teachers in Elementary School Ungaran 05
in preparing thematic lesson planning.
Keywords: collaborative, competence, learning, supervision, thematic
Article Info
Received date: 3 April 2018 Revised date: 23 Mei 2018 Accepted date: 21 Juni 2018
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
38
PENDAHULUAN
Banyak persoalan yang dihadapi dalam
proses pendidikan. Kepala sekolah, guru,
peserta didik, dan stakeholder lainya hampir
dapat dipastikan mempunyai persoalan atau
masalah dalam kaitannya dengan
pembelajaran. Guru sebagai pemeran utama
dalam pembelajaran juga tidak luput dari
masalah mengajar, karenanya dibutuhkan
pengalaman, masukan, bantuan dan pendapat
dari orang lain guna memecahkan atau
memberikan alternatif solusi atas persoalan
yang dihadapi guru tersebut. Sebagai pemeran
utama dalam pembelajaran, guru dituntut
untuk berinovasi. Pembelajaran dapat
dirumuskan sebagai proses interaksi dalam
satu lingkungan belajar tertentu antara guru,
peserta didik dan sumber-sumber belajar yang
tersedia. Proses pembelajaran itu sendiri
meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan
penilaian. Pada tahap perencanaan, para guru di
semua satuan pendidikan wajib menyusun
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang
lengkap dan sistematis agar pembelajaran dapat
berlangsung secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, dan memotivasi
seluruh peserta didik berpartisipasi aktif, serta
memberikan kesempatan yang memadai
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian para
peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis mereka
masing-masing.
Peserta didik yang duduk di kelas satu,
dua dan tiga Sekolah Dasar hakikatnya masih
termasuk dalam rentangan usia dini, yang
mengalami perkembangan kecerdasan baik
kecerdasan akademik, kecerdasan emosional
maupun kecerdasan spiritual yang sangat luar
biasa (Tryanasari, Mursidik, & Riyanto, 2013:
139). Pada tahap perkembangan ini peserta
didik memandang semua hal sebagai satu
keutuhan dan mereka pun sudah paham relasi
antar konsep sederhana berdasarkan pada
obyek-obyek yang nyata. Proses pembelajaran
peserta didik kelas bawah masih bergantung
kepada objek-objek nyata dan hal-hal yang
dialami secara langsung. Oleh karena itu
pembelajaran di kelas bawah lebih tepat dan
akan efektif jika dikelola dengan pendekatan
pembelajaran tematik. Oleh karena itu pula lah
para guru di kelas bawah perlu menyusun RPP
bagi kegiatan pembelajaran tematik, yaitu RPP
Tematik. Pembelajaran tematik adalah suatu
pendekatan dalam mengintegrasikan
kurikulum dan dilaksanakan dalam
pembelajaran di sekolah dasar (Nugroho,
2016:82).
Berdasarkan supervisi akademik yang
dilakukan Kepala Sekolah pada bulan
November 2016, terhadap 3 (tiga) orang guru
kelas bawah di SD Negeri Ungaran 05,
ternyata ke-tiga orang guru itu, belum
menggunakan pendekatan pembelajaran
tematik. Baik dalam menyusun RPP maupun
melaksanakan pembelajaran di kelas mereka
masih menerapkan pola pembelajaran mata
pelajaran terpisah. Para guru masih
menggunakan pola pembelajaran terpisah
karena belum memahami bagaimana
mengelola pembelajaran tematik secara efektif
dan efisien. Berdasarkan permasalahan itu
maka peneliti selaku Kepala Sekolah merasa
perlu untuk melaksanakan supervisi terhadap
para guru kelas bawah, agar dapat menyusun
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Tematik
yang baik melalui sebuah PTS (PTS).
Harapannya kelak para Guru tersebut dapat
pula melaksanakan pembelajaran tematik
sesuai acuan Standar Proses pendidikan yang
berlaku
Supervisi merupakan usaha petugas–
petugas sekolah dalam memimpin guru-guru
dan petugas-petugas lainnya dalam
memperbaiki pengajaran, termasuk
menstimulasi, menyelesaikan pertumbuhan
jabatan dan perkembangan guru-guru serta
merevisi tujuan-tujuan pendidikan (Cartel
dalam Sahertian, 2000: 17). Menurut Prasojo
(2011: 3) salah satu tujuan supervisi adalah
membantu guru untuk meningkatkan
Peningkatan Kompetensi Guru Kelas Bawah Dalam Menyusun Perencanaan … | Rukayah
39
kompetensinya. Supervisi dilakukan oleh
atasan kepada bawahan, dalam hal ini adalah
kepala sekolah kepada guru dengan tujuan agar
terjadi peningkatan kompetensi (Bahri, 2014:
102). Sementara Yusak dan Darmawan (2017:
50) mengungkapkan bahwa bagi sebuah
sekolah, supervisi penting untuk dilakukan
agar dapat mengontrol kualitas dan kegiatan-
kegiatan pembelajaran di sekolah. Jadi dengan
dilaksanakan supervisi, kompetensi guru
diharapkan meningkat dan akhirnya kualitas
pembelajaran dapat ditingkatkan.
Terdapat banyak ragam supervisi
kepala sekolah terhadap guru, salah satunya
adalah supervisi kelompok dengan pendekatan
kolaboratif. Tentang Supervisi Kelompok
Pendekatan Kolaboratif, Giarti (2015: 40)
menjelaskan bahwa secara etimologis kata
supervisi berasal dari kata super artinya atas
dan visi yang artinya penglihatan. Dari
pengertian tersebut Giarti (2015: 40)
mendefinisikan supervisi adalah posisi yang
melihat atau kedudukan yang lebih tinggi
daripada yang dilihat. Sementara Merukh dan
Sulasmono (2016: 31) menjelaskan bahwa
supervisi pendidikan adalah upaya perbaikan
pengajaran sebagai upaya agar terjadinya
pertumbuhan jabatan profesional guru.
Supervisi kelompok merupakan satu cara
melaksanakan supervisi yang ditujukan pada
dua atau lebih guru (Pusat Pengembangan
Tenaga Kependidikan, 2014: 7).
Menurut Sahertian, (2000:44-52).
pendekatan kolaboratif adalah cara pendekatan
yang memadukan cara pendekatan direktif dan
non–direktif kedalam satu pendekatan baru.
Dalam pendekatan ini baik supervisor maupun
guru bersama-sama, bersepakat untuk
menetapkan struktur, proses dan kriteria dalam
melaksanakan proses percakapan terhadap
masalah yang dihadapi guru. Pendekatan ini
didasarkan pada psikologi kognitif. Psikologi
kognitif beranggapan bahwa belajar adalah
hasil panduan antara kegiatan individu dengan
lingkungan pada gilirannya nanti berpengaruh
dalam pembentukan aktivitas individu.
Dengan demikian pendekatan dalam supervisi
berhubungan pada dua arah yaitu dari atas ke
bawah dan dari bawah ke atas. Perilaku
supervisor dalam supervisi jenis ini adalah
sebagai berikut: menyajikan, menjelaskan,
mendengarkan, memecahkan masalah, dan
negosiasi. Efektivitas supervisi kelompok
berbasis kolaborasi ini antara lain dibuktikan
dari penelitian yang dilakukan oleh Jaya,
Samsudi, & Prihatin (2015:158) yang
menunjukkan bahwa supervisi berbasis
kolaborasi efektif untuk meningkatkan
kompetensi profesional guru.
Supervisi yang hendak dilakukan
melalui PTS ini adalah supervisi kelompok,
sedang pendekatan yang hendak digunakan
adalah pendekatan kolaboratif. Tujuan
supersisi ini adalah meningkatkan kompetensi
guru kelas bawah dalam merencanakan
pembelajaran tematik. Rumusan masalah PTS
ini adalah “Apakah supervisi kelompok
dengan pendekatan kolaboratif dapat
meningkatkan kompetensi guru dalam
menyusun perencanaan pembelajaran tematik
guru kelas bawah SD Negeri Ungaran 05
Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten
Semarang”. Sedang tujuan PTS ini adalah
meningkatkan kompetensi guru guru kelas
bawah SD Negeri Ungaran 05 Kecamatan
Ungaran Barat Kabupaten Semarang dalam
menyusun perencanaan pembelajaran tematik.
Ada pun hipotesis yang dikemukakan dalam
PTS ini adalah “Supervisi kelompok dengan
pendekatan kolaboratif dapat meningkatkan
kompetensi menyusun perencanaan
pembelajaran tematik bagi guru kelas bawah
SD Negeri Ungaran 05 Kecamatan Ungaran
Barat Kabupaten Semarang”
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk jenis penelitian
tindakan namun bukan tindakan kelas
melainkan tindakan sekolah. Jadi penelitian ini
nukan berbasis kelas melainkan berbasis
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
40
sekolah, walaupun penelitian ini juga
melibatkan para guru di sekolah yang diteliti
yaitu di SD Negeri Ungaran 05.
Penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga)
bulan. Siklus I dilakukan selama minggu ke-2
bulan Pebruari 2017 dan Siklus II dilakukan
pada minggu ke-empat bulan Pebruari 2017.
PTS ini dilakukan di SD Negeri Ungaran 05
Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten
Semarang. Subjek penelitian ini adalah para
guru kelas bawah (guru kelas I, II, dan guru
kelas III) SD Negeri Ungaran 05 Kecamatan
Ungaran Barat Kabupaten Semarang.
Teknik pengumpulan data adalah
teknik observasi untuk menilai proses
supervisi dan studi dokumen untuk menilai
kualitas RPP. Instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah lembar observasi
kegiatan supervisi dalam buku Supervisi
Implementasi Kurikulum 2013, Bahan Ajar
Implementasi Kurikulum 2013 Untuk Kepala
Sekolah. Instrumen ini digunakan oleh
pengawas SD UPTD Kecamatan Ungaran
Barat untuk memantau proses pelaksanaan
tindakan oleh Kepala Sekolah. Data tentang
skor RPP para guru sebelum tindakan, dan skor
RPP yang diperoleh para guru setelah
mendapatkan tindakan melalui siklus I dan
siklus II diperoleh dengan menggunakan
Iinstrument monitoring dan evaluasi.
Penelitian ini menggunakan teknik
teknik kuantitatif dan teknik kualitatif dalam
menganalisis data. Teknik kuantitatif
digunakan untuk menganalisis skor evaluasi
kualitas RPP tematik yang disusun para Guru
baik pada tahap pra siklus, siklus I maupun
siklus II. Skor dihitung dengan cara: (1)
memberi skor tiap aspek yang diperoleh Guru
dalam rentang 1-5; dan (2) menghitung jumlah
skor kumulatif dari seluruh aspek RPP yang
disusun Guru. Kategori tingkat keberhasilan
para Guru adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Kategori Tingkat Keberhasilan
Skor Kategori
1 - 7 Sangat tidak baik
8 – 14 Tidak baik
15 – 21 Kurang baik
22 – 27 Baik
28 – 35 Sangat baik
Data hasil observasi dianalisis dngan
teknik kualitatif dan dilakukan pada proses
refleksi di akhir setiap siklus. Data kualitatif
diperoleh dari observer yang melakukan
observasi pada kegiatan tindakan. Data yang
terkumpul kemudian dipilah dan ditemukan
permasalahan yang perlu ditingkatkan
sehingga tujuan tindakan dapat tercapai,
dengan demikian dapat melakukan perbaikan
pada siklus kedua.
Langkah-langkah pokok dalam PTS ini
meliputi: 1) Menetapkan fokus masalah; 2)
Merencanakan tindakan; 3) Melaksanakan
tindakan; 4) Mengumpulkan data
(pengamatan); 5) Refleksi, analisis, dan
interpretasi; 6) Merencanakan tindak lanjut.:
Tahap menetapkan fokus masalah dimulai
dengan tindakan merenungkan atau
memikirkan hasil supervisi awal sebelum
siklus I. Tahap merencakan tindakan dilakukan
sebagai upaya mempersiapkan langkah
pemecahan masalah-masalah yang ditemukan
dalam refleksi awal. Melalui perencanaan ini
maka diharapkan tindakan supervisi akan lebih
sistematis dan terarah. Langkah-langkah
perencanaan proses supervisi ini mencakup:
(a) menyusun rencana supervisi terhadap Guru
dalam menyusun RPP tematik, dan (b)
menyusun instrumen monitoring dan evaluasi
terhadap RPP.
Tahap Pelaksanaan Tindakan berupa
kegiatan supervisi kelompok dengan
pendekatan kolaboratif dilakukan sesuai
dengan rencana yang telah disusun yaitu
mensupervisi guru secara kelompok dalam
merencanakan pembelajaran tematik.
Walaupun supervise dilakukan secara
kelompok namun RPP harus disusun oleh guru
Peningkatan Kompetensi Guru Kelas Bawah Dalam Menyusun Perencanaan … | Rukayah
41
secara individu. Langkah pengamatan
dilakukan terhadap proses supervisi akademik
yang dilakukan peneliti. Pada tahap refleksi.
peneliti bersama guru mendiskusikan
kelebihan dan kelemahan pelaksanaan
tindakan dalam siklus I dan siklus II, baik dari
perencanaan, tindakan, dan pengamatan.
Dalam tahap Rencana tindak lanjut, segala
kekurangan yang terjadi selama pelaksanaan
siklus I difungsikan sebagai bahan evaluasi
dan dasar perencanaan tindakan pada siklus II.
Indikator keberhasilan dalam PTS ini
adalah jika semua guru kelas bawah SD Negeri
Ungaran 05 Kecamatan Ungaran Barat
Kabupaten Semarang, memperoleh skor
kumulatif minimal 22 atau sudah masuk ke
dalam kategori Baik.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN.
Hasil Penelitian
Hasil Refleksi Awal
Kondisi awal merupakan kondisi
sebelum tindakan dilakukan dalam siklus I.
Sebagai supervisor, peneliti melakukan
supervisi akademik kunjungan kelas, terutama
untuk memonitor dan meng-evaluasi dokumen
rencana pembelajaran yang disusun para guru
kelas bawah.
Supervisi awal menunjukkan bahwa
para guru kelas bawah belum melaksanakan
pembelajaran tematik. Guru –guru kelas awal
masih menerapkan pembelajaran secara
terpisah. Mereka belum mampu mengelola
pembelajaran tematik, sementara Kepala
Sekolah juga belum pernah melakukan
supervisi tentang penyusunan RPP tematik.
Secara ringkas data tentang kompetensi
guru kelas bawah dalam merencanakan
pembelajaran tematik di kelasnya adalah
sebagai berikut.
Tabel 2. Hasil Supervisi Akademik tarhadap Guru Kelas Bawah
No Guru Kelas
Jenis Administrasi
Silabus Promes RPP
1 2 3 1 2 3 1 2 3
1 I V V V
2 II V V V
3 III V V V
Keterangan:
1. Produk orang lain
2. Produk hasil KKG
3. Produk sendiri
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa
pada awal semester II tahun pelajaran
2016/2017 para guru kelas bawah di SD
Negeri Ungaran 05 Kecamatan Ungaran
Barat, menggunakan perangkat-perangkat
rencana pembelajaran baik silabus maupun
program semesteran hasil KKG, sementara
untuk RPP para Guru menggunakan RPP karya
orang lain. Para guru belum menerapkan
pembelajaran tematik di kelas masing-masing,
sehingga RPP yang ada hanya berfungsi
terbatas sebagai dokumen semata.
Data kompetensi guru kelas bawah
dalam merencanakan pembelajaran tematik
adalah sebagai berikut.
Tabel 3. Hasil Monitoring Dan Evaluasi Terhadap RPP
Sebelum Tindakan
No Guru Kelas Perolehan Skor Kategori
1 I 13 Tidak Baik
2 II 15 Kurang Baik
3 III 13 Tidak Baik
Sumber: Data Penelitian
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
42
Hasil Tindakan Siklus I
Dalam Siklus I peneliti -yang berstatus
sebagai Kepala Sekolah di SD tempat
penelitian-, melakukan tindakan dengan
membantu penyelesaian masalah-masalah
guru dalam merencanakan pembelajaran
tematik. Secara bersama-sama diidentifikasi
kesulitan para guru dalam merencakan
pembelajaran tematik. Berdasarkan temuan
itu, peneliti kemudian memberikan solusi
terhadap kesulitan yang dihadapi para guru.
Para guru diberi petunjuk-petunjuk yang
operasional dan mudah untuk dilaksanakan,
serta didampingi dalam menyusun RPP
tematik.
Hasil tindakan berupa supervisi
akademik dengan pendekatan kolaboratif
terhadap guru kelas bawah di dalam
merencanakan pembelajaran tematik pada
Siklus I adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Hasil Monitoring dan Evaluasi Terhadap RPP Pada Tindakan
Siklus I
No Guru
Kelas
Perolehan Skor
Sebelum tindakan Siklus I Peningkatan
Skor Kategori Skor Kategori
1 I 13 TB 18 KB 5 skor
2 II 16 KB 24 B 8 skor
3 III 13 TB 20 KB 7 skor
Sumber: Data penelitian
Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa
setelah mendapat tindakan supervisi dari
peneliti maka terjadi perubahan kompetensi
Guru dalam menyusun RPP Tematis. Guru
Kelas I, meningkat perolehan skornya
sebanyak 5 skor yaitu dari 13 menjadi 18, yang
berarti meningkat dari kategori Tidak Baik
menjadi Kurang Baik. Jadi terdapat
peningkatan kemampuan guru kelas I dalam
merencanakan pembelajaran tematik. Guru
Kelas II, meningkat perolehan skornya
sebanyak 8 skor yaitu dari 16 menjadi 24, yang
berarti meningkat dari kategori Kurang Baik
menjadi Baik. Jadi terdapat peningkatan
kemampuan guru kelas II dalam
merencanakan pembelajaran tematik. Guru
Kelas III meningkat perolehan sokrnya
sebanyak 7 skor yaitu dari 13 menjadi 20, yang
berarti meningkat dari kategori Tidak Baik
menjadi Kurang Baik. Jadi terdapat
peningkatan kemampuan guru kelas III dalam
merencanakan pembelajaran tematik.
Berdasarkan hasil observasi masih
terdapat kekurangan pada penjelasan tentang
ragam metode pembelajaran yang dapat
dipilih. Hal tersebut tampak pula dalam hasil
RPP yang menunjukkan bahwa guru masih
kesulitan untuk memilih ragam metode
pembelajaran, khususnya metode
pembelajaran yang inovatif. Penjelasan awal
pada siklus pertama tentang pemilihan media
pembelajaran juga masih perlu diperjelas. Dari
dua permasalahan yang ditemukan dalam
siklus pertama, maka pada tidakan supervisi
siklus kedua perlu memberikan perhatian yang
lebih banyak pada dua hal tersebut.
Hasil Tindakan Pada Siklus II
Tindakan melalui Siklus II tetap
dilakukan karena indikator keberhasilan PTS
ini belum sepenuhnya tercapai. Memang ada
satu Guru yang kemmpaun menyusun RPP
Tematisnya sudah mencapai kategori Baik
namun perolehan skornya belum maskimal.
Pada siklus II, supervisi dilakukan dengan
membantu guru mengidentifikasi kekurangan-
Peningkatan Kompetensi Guru Kelas Bawah Dalam Menyusun Perencanaan … | Rukayah
43
kekurangan dari RPP tematik yang telah
disusun pada siklus I. Karena kekurangan
umumnya lebih pada pemilihan meode dan
media pembelajaran yang tepat dan bervariasi
makan para guru diberi arahan-arahan yang
lebih operasional dan mudah dilaksanakan
oleh guru tentang ke dua hal tersebut.
Hasil tindakan berupa supervisi
akademik dengan pendekatan kolaboratif
terhadap guru kelas bawah di dalam
merencanakan pembelajaran tematik pada
Siklus II adalah sebagai berikut.
Tabel 5. Hasil monitoring dan evaluasi terhadap RPP pada
tindakan siklus II
No Guru
Kelas
Perolehan Skor
Siklus I Siklus II Peningkatan
Skor Kategori Skor Kategori
1 I 18 KB 22 B 4 skor
2 II 24 B 27 B 3 Skor
3 III 20 KB 24 B 4 skor Sumber: Data penelitian
Tabel di atas menunjukkan bahwa
supersisi kelompok dengan pendekatan
kolaboratif pada siklus II telah menghasilkan
perubahan-perubahan: (1) Skor Guru Kelas I
naik 4 skor dari kategori Kurang Baik (skor 18)
meningkat menjadi kategori Baik dengan skor
22. Jadi terdapat peningkatan kompetensi guru
kelas I dalam merencanakan pembelajaran
tematik; (2) Skor Guru Kelas II naik 3 skor dari
kategori Baik (skor 24), meningkat menjadi
kategori Baik (skor 27). Jadi ada peningkatan
kompetensi guru kelas II dalam merencanakan
pembelajaran tematik; (3) Skor Guru Kelas III
naik 4 skor dari kategori Kurang Baik dengan
perolehan skor 20 meningkat menjadi kategori
Baik dengan skor 24. Jadi terdapat
peningkatan kompetensi guru kelas III dalam
merencanakan pembelajaran tematik.
Secara keseluruhan peningkatan
kompetensi guru kelas bawah SD Negeri
Ungaran 05 Kecamatan Ungaran Barat
Kabupaten Semarang dalam merencanakan
pembelajaran Tematik dari sejak kondisi awal,
siklus I, dan siklus II tergambar dalam tabel
berikut ini.
Tabel 6. Hasil Monitoring dan Evaluasi RPP Sebelum
Tindakan, Siklus I, dan Siklus II
No Guru
Kelas
Perolehan Skor
Sebelum
tindakan Siklus I Siklus II
Skor Kategori Skor Kategori Skor Kategori
1 I 13 TB 18 KB 22 B
2 II 16 KB 24 B 27 B
3 III 13 TB 20 KB 24 B Sumber: Data penelitian
Tabel di atas menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan kompetensi guru Kelas
bawah SD Negeri Ungaran 05 Kecamatan
Ungaran Barat dalam merencanakan
pembelajaran tematik mulai pra siklus, siklus
I, sampai siklus II. Rincian peningkatan itu
adalah sebagai berikut.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
44
(1) Skor Guru Kelas I, meningkat 9 skor, dari
kategori Tidak Baik (skor 13) menjadi
kategori Baik. (skor 22). Dengan
perkataan lain terdapat peningkatan
kemampuan guru kelas I dalam
merencanakan pembelajaran tematik.
(2) Skor Guru Kelas II, meningkat 11 skor,
dari kategori Kurang Baik (skor 16)
menjadi kategori Baik. (skor 27). Dengan
perkataan lain terdapat peningkatan
kemampuan guru kelas II dalam
merencanakan pembelajaran tematik..
(3) Skor Guru Kelas III, meningkat 11 skor,
dari kategori Tidak Baik (skor 13)
menjadi kategori Baik. (skor 24). Dengan
perkataan lain terdapat peningkatan
kemampuan guru kelas III dalam
merencanakan pembelajaran tematik.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
telah terjadi peningkatan kompetensi guru
kelas bawah SD Negeri Ungaran 05
Kecamatan Ungaran Barat dalam
merencanakan pembelajaran tematik dari pra
siklus, siklus I sampai siklus II melalui
supervisi kelompok dengan pendekatan
kolaboratif. Hasil tersebut sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Rosilawati (2014: 59)
bahwa pelaksanaan supervisi akademik dapat
mengembangkan kemampuan guru dalam
merencanakan dan mengelola proses
pembelajaran. Prasojo (2011: 13) juga
menjelaskan bahwa tujuan supervisi adalah
untuk mengembangkan profesionalitas guru
dalam perencanaan pembelajaran melalui
kegiatan-kegiatan reflektif. Dengan
dilaksanakannya supervisi kelompok dengan
pendekatan kolaboratif sebagai kegiatan
reflektif maka dapat terjadilah peningkatan
kompetensi guru sebagaimana ditunjukkan
dalam hasil penelitian di atas. Tindakan yang
dilakukan dalam penelitian, yang telah
menyebabkan terjadinya peningkatan
kompetensi guru ini sejalan dengan pandangan
Syarif (2011: 112) bahwa dengan
dilaksanakannya supervisi kepala sekolah
terhadap guru sebagai bentuk tindakan, maka
dapat terjadi peningkatan kompetensi guru.
Hasil di atas juga sejalan dengan pendapat
Darmawan (2014: 31) yang menyatakan
bahwa Guru dapat ditingkatkan
kompetensinya melalui supervisi akademik
karena dalam supervisi terjadi peningkatan
pengertian teori dan penerapan pengetahuan
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Argiani dan
Slameto (2015) yang menunjukkan bahwa
pelaksanaan supervisi dapat meningkatkan
kompetensi pedagogik guru. Perbedaan
tindakan dalam penelitian ini dengan
penelitian Argiani dan Slameto (2015) adalah
bentuk tindakan yang dilakukan Kepala
Sekolah. Tindakan yang gunakan dalam
penelitian ini adalah supervisi kelompok,
sementara penelitian Argiani dan Slameto
(2015) adalah supervisi kunjungan kelas.
Selain itu, penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian Astuti (2017: 58) yang menemukan
bahwa dengan dilaksanakannya supervisi
akademik maka dapat terjadi peningkatan
kemampuan guru. Melalui pelaksanaan
supervisi, kepala sekolah dapat melakukan
bimbingan dan pengarahan sehingga terjadi
peningkatan kompetensi guru yang pada
akhirnya berdampak pada peningkatan kinerja
guru dan proses pembelajaran. Sujoko (2017:
95) mengungkapkan bahwa salah satu cara
untuk meningkatkan mutu sebuah sekolah
adalah pelaksanaan supervisi, melalui
supervisi guru dapat dibimbing dan diarahkan
sehingga terjadi peningkatan kompetensi yang
akhirnya dapat meningkatkan mutu sebuah
sekolah. Pendapat Sujoko (2017) relevan
dengan penelitian ini, yang mana penelitian ini
dilaksanakan agar terjadi peningkatan
kompetensi guru melalui supervisi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Paparan hasil tindakan di atas
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
Peningkatan Kompetensi Guru Kelas Bawah Dalam Menyusun Perencanaan … | Rukayah
45
kompetensi guru kelas bawah SD Negeri
Ungaran 05 Kecamatan Ungaran Barat
Kabupaten Semarang. dalam merencanakan
pembelajaran tematik sebagai dampak dari
dilaksanakannya supervisi kelompok dengan
pendekatan kolaboratif.
Saran
Sesuai dengan paran hasil dan
simpulan di atas makan kepada Kepala
Sekolah disrankan agar 1) melaksanakan
supervisi kelompok dengan pendekatan
kolaboratif terhadap guru kelas bawah guna
meningkatkan kompetensi Guru dalam
merencanakan pembelajaran tematik, dan 2)
mengarahkan guru agar selalu mempersiapkan
rencana pembelajaran dengan baik, agar
efektifitas dan efisiensi pembelajaran dapat
terjamin.
DAFTAR PUSTAKA
Argiani, A.R. dan Slameto. 2015. Supervisi
Kunjungan Kelas Untuk Meningkatkan
Kompetensi Pedagogik Guru SDN
Cukil 01, Tengaran, Kabupaten
Semarang. Kelola: Jurnal Manajemen
Pendidikan, 2 (1): 1-11.
Astuti, S. 2017. Supervisi Akademik untuk
Meningkatkan Kompetensi Guru di SD
LaboratoriumUKSW. Scholaria, 7(1):
49 – 59.
Bahri, Saiful. 2014. Supervisi Akademik
Dalam Peningkatan Profesionalisme
Guru. Jurnal Visipena, V (1): 100-112.
Darmawan, I P.A. 2014. Menjadi Guru Yang
Terampil. Bandung: Kalam Hidup.
Darmawan, I P.A. 2017. Faktor Yang
Mempengaruhi Profesionalitas Guru.
Prosiding Seminar Nasional PAK II
Dan Call For Papers, Tema:
Profesionalisme dan Revolusi Mental
Pendidik Kristen. Sekolah Tinggi
Teologi Simpson.
Degeng, I N.S. & Darmawan, I P.A. 2017.
Peningkatan Profesionalisme Pendidik
Melalui Penelitian Dan Penulisan
Karya Ilmiah. Prosiding Seminar
Nasional PAK II Dan Call For Papers,
Tema: Profesionalisme dan Revolusi
Mental Pendidik Kristen. Sekolah
Tinggi Teologi Simpson.
Giarti, S. 2015. Peningkatan Kompetensi
Pedagogik Guru SD melalui Supervisi
Akademik. Scholaria, 5 (3): 37 – 46.
Jaya, S., Samsudi, & Prihatin, T. 2015.
Supervisi Akademik Kolaborasi Untuk
Meningkatkan Kompetensi Profesional
Guru Produktif Sekolah Menengah
Kejuruan. Educational Management, 4
(2): 158-167.
Merukh, N.E.M. & Sulasmono, B.S. 2016.
Pengembangan Model Supervisi
Akademik Teknik Mentoring Bagi
Pembinaan Kompetensi Pedagogik
Guru Kelas. Kelola: Jurnal
Manajemen Pendidikan, 3 (1): 30-48.
Nugroho, I.A. 2016. Pendekatan Ilmiah
Dalam Pembelajaran Lintas
Kurikulum Di Sekolah Dasar.
Yogyakarta: Ikhlasul Workshop.
Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun
2005Tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Permendiknas nomor 14 Tahun 2007 Tentang
Standar Isi Untuk Program Paket A,
Program Paket B, dan Program Paket
C.
Prasojo, L.D. 2011. Supervisi Pendidikan.
Yogyakarta: Gava Media.
Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan.
2014. Supervisi Implementasi
Kurikulum 2013, Bahan Ajan
Implementasi Kurikulum 2013 Untuk
Kepala Sekolah. Jakarta: Pusat
Pengembangan Tenaga Kependidikan.
Rosilawati, T. 2014. Supervisi Akademik
Dalam Upaya Peningkatan Motivasi
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
46
Guru Menyusun Perangkat Persiapan
Pembelajaran. Jurnal Penelitian
Tindakan Sekolah dan Kepengawasan,
1 (2): 57-62.
Sahertian, Piet. 2000. Konsep Dasar dan
Teknik Supervisi Pendidikan dalam
rangka Pengembangan Sumberdaya
Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Saptaningrum, E. & Kusdaryani, W. 2010.
Model Pakem Melalui Pendekatan
Tematik Untuk Pembelajaran Sains
SD. Jurnal Penelitian Pembelajaran
Fisika, 1 (1):92-104.
Sujoko, E. 2017. Strategi Peningkatan Mutu
Sekolah Berdasarkan Analisis SWOT
di Sekolah Menengah Pertama. Kelola:
Jurnal Manajemen Pendidikan, 4 (1):
83-96.
Syarif, H.M. 2011. Pengaruh Komunikasi
Interpersonal dan Supervisi Kepala
Sekolah terhadap Kinerja Guru. Media
Akademika, 26 (1): 125-137.
Tryanasari, D., Mursidik, E.M., & Riyanto, E.
2013. Pengembangan Perangkat
Pembelajaran Terpadu Berbasis
Kearifan Lokal Untuk Kelas III
Sekolah Dasar Di Kabupaten Madiun.
Premiere Educandum: Jurnal
Pendidikan Dasar dan Pembelajaran. 3
(2): 132-172.
Yusak, L. & Darmawan, I P.A. 2017. Supervisi
Kepala Sekolah Di SD Negeri
Kalongan 02, Desa Kalongan,
Kecamatan Ungaran Timur. Prosiding
Seminar Nasional PAK II dan Call For
Papers, Tema: Profesionalisme dan
Revolusi Mental Pendidik Kristen.
Sekolah Tinggi Teologi Simpson.
Kelola
Jurnal Manajemen Pendidikan
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018
Halaman: 47-54
47
Peningkatan Disiplin Guru SD Melalui Pelatihan Partisipatif Model In - On
Slameto
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
slameto@staff.uksw.edu
Agustina Tyas Asri Hardini
Program Studi S1 PGSD Universitas Kristen Satya Wacana
tyas.asri@staff.uksw.edu
Tego Prasetyo
Program Studi S1 PGSD Universitas Kristen Satya Wacana
tego.prasetyo@staff.uksw.edu
Endang Indarini
Program Studi S1 PGSD Universitas Kristen Satya Wacana
endang.indarini@staff.uksw.edu
ABSTRACT
This research is taken place to describe the punctual improvement of the teacher
who’s participated in participatory training model using in-on and to determine the
influence of teacher optimism and teacher's ability to give feedback, along with the
contribution of each variable. This research was conducted based on the assessment of
elementary school teachers who are participated in training for classroom action
research preparation in KKG Gugus Joko Tingkir Salatiga, with 42 selected people
randomly. Data for this research is quantitative. Data were collected through a self-
rating scale of 21 items that proved to be valid and reliable. Data analysis using multiple
linear regression with Stepwise Model. Based on the result of this research, it can be
proved participatory training model effective in improving teacher’s punctual in
teaching. There are 2 variables/predictors of teacher optimism and or together with their
ability to provide feedback on teacher’s punctual in teaching. Teacher's optimism has an
effect (positive and significant) on teacher’s punctual in teaching equal to 35.20%.
Teacher’s optimism along with their ability to give feedback impact teacher’s punctual
in teaching as much as 42.9%. Thus participatory training model should be applying
learning principles that emphasize positive optimistic psychology, get used to working
effectively with challenges, have the confidence to use innovative thinking in achieving
success.
Keywords: Feedback, Punctual in Teaching, Teacher Optimism
Article Info
Received date: 23 Mei 2018 Revised date: 12 Juni 2018 Accepted date: 21 Juni 2018
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
48
PENDAHULUAN
Guru memegang peran penting dalam
pendidikan (Fintiastuti, A., 2015; Muryasari,
D., 2017; Anggraini, P. M., 2017). Guru
merupakan sosok yang memiliki kedudukan
penting bagi perkembangan potensi siswa. Hal
ini disebabkan guru menjadi komponen yang
paling berpengaruh pada terciptanya proses
dan hasil pendidikan yang berkualitas.
Berhasil atau tidaknya suatu pendidikan dalam
mencapai tujuan akan selalu dikaitkan dengan
kinerja guru (Anggraini, P. M. 2017).
Sebagai pendidik profesional tugas
utama guru adalah mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai
dan mengevaluasi peserta didik; kedisiplinan
menjadi salah satu aspek penting dalam
menunaikan tugas tersebut; Maka dari itu,
disiplin juga menjadi salah satu aspek
penilaian kinerja mereka. Namun perlu
disayangkan, karena disiplin guru tidak
maksimal utamanya dalam proses mengajar
(Markhamah, M., & Muhibbin, A., 2017).
Mengingat kondisi kedisiplinan guru
seperti ditemukan Markhamah, M., &
Muhibbin, A., (2017) itu, PGSD UKSW
Salatiga terpanggil untuk melayani pelatihan
model partisipatif in – on, guna meningkatkan
kedisiplinan guru sembari melakukan
penelitian tindakan kelas. Subyek pelatihan ini
adalah 64 guru SD Gugus Joko Tingkir Kota
Salatiga. Pelatihan dilaksanakan selama 3
bulan sejak tanggal 22 Februari sampai dengan
tanggal 5 April 2018. Penulisan ini berusaha
mengetahui tingkat kedisiplinan mengajar
guru pasca pelatihan beserta faktor
penentunya. Dalam perspektif pendidikan
sebagai suatu sistem (Miarso, 2008),
keberhasilan sebuah pelatihan, yang
merupakan peningkatan kedisiplinan guru
pesertanya (Y), secara langsung dipengaruhi
oleh prosesnya sendiri, yang dalam hal ini
adalah optimisme guru (X1) dan kemampuan
memberikan balikan atau feedback (X2).
Susanty, A., & Baskoro, S. W. (2013)
menyatakan bahwa kedisiplinan adalah
kesadaran dan kesediaan seseorang menaati
semua peraturan perusahaan dan norma-norma
sosial yang berlaku. Disiplin kerja merupakan
suatu sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang
sesuai dengan peraturan baik tertulis maupun
tidak tertulis, dan bila melanggar akan ada
sanksi atas pelanggarannya. Lebih lanjut,
disiplin merupakan upaya pembinaan
kesadaran dalam bekerja atau belajar secara
berkelanjutan dengan baik sedemikian hingga
setiap orang menjalankan tugas dan fungsinya
secara efektif (Hadari dan Martini 1990).
Disiplin adalah kemampuan untuk
mengendalikan diri agar tidak melakukan
sesuatu tindakan yang tidak sesuai dan/
bertentangan dengan aturan yang telah
ditetapkan, serta melakukan sesuatu yang
mendukung dan melindungi sesuatu aturan
yang telah ditetapkan (Soedijarto, 1989).
Sastrohadiwiryo (2002) menyatakan bahwa
disiplin kerja didefinisikan sabagai suatu sikap
menghormati, menghargai, patuh, dan taat
terhadap peraturan-peraturan yang berlaku
baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta
sanggup menjalankannya dan tidak mengelak
untuk menerima sanksi-sanksinya apabila ia
melanggar tugas dan wewenang yang
diberikan kepadanya. Disiplin kerja
(mengajar) adalah suatu alat yang digunakan
para manajer untuk berkomunikasi dengan
karyawan agar mereka bersedia untuk
mengubah suatu perilaku serta sebagai suatu
upaya untuk meningkatkan kesadaran dan
kesediaan seseorang menaati semua peraturan
dan norma-norma yang berlaku (Markhamah,
M. & Muhibbin, A., 2017). Sangat wajarlah
jika guru harus disiplin dalam mengajar, selalu
mematuhi aturan dan tata tertib yang berlaku,
sehingga proses belajar mengajarnya menjadi
efektif. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Lewis, Romi, Qui, & Katz
(Markhamah, M. & Muhibbin, A., 2017) yang
menyimpulkan bahwa strategi disiplin guru
Peningkatan Disiplin Guru SD Melalui Pelatihan Partisipatif Model In - On | Slameto, dkk.
49
telah disarankan untuk menjadi kekuatan yang
kuat untuk meningkatkan rasa tanggung jawab
siswa di kelas.
Menurut Goleman (2014) optimisme
merupakan sikap yang menopang individu
agar jangan sampai terjatuh kedalam
kemasabodohan, keputusasaan, ataupun
mengalami depresi ketika individu mengalami
kesulitan. Scheier dan Carver (Saputri, S. J.,
2014) mengatakan bahwa optimisme adalah
kecenderungan untuk percaya bahwa manusia
pada umumnya akan mengalami hasil yang
baik dan buruk dalam kehidupan. Seligman
(Saputri, S. J., 2014) mendefinisikan
optimisme dalam kerangka bagaimana
individu memandang keberhasilan dan
kegagalan mereka. Daraei dan Ghaderi (2012)
menyatakan bahwa optimisme adalah salah
satu komponen Psikologi Positif yang
dihubungkan dengan emosi positif dan
perilaku positif yang menimbulkan kesehatan,
hidup yang bebas stres, hubungan sosial dan
fungsi sosial yang baik. Individu yang optimis
biasa bekerja keras menghadapi stress
tantangan sehari-hari secara efektif, berdoa
dan mengakui adanya faktor keberuntungan
dan faktor lain yang turut mendukung
keberhasilannya, merasa yakin memiliki
kekuatan untuk menghilangkan pemikiran
negatif, berusaha meningkatkan kekuatan diri
dan menggunakan pemikiran yang inovatif
untuk menggapai kesuksesan (Aisyah, S;
Yuwono, S; Zuhri, S; 2015). Scheier dan
Carver (Saputri, S. J., 2014) menunjukkan
bahwa optimisme mungkin memiliki implikasi
bagi cara-cara orang menghadapi berbagai
tekanan hidup. Optimisme akan membawa
individu menjadi lebih realistis untuk melihat
suatu peristiwa dan masa depan, dapat
membantu dalam menghadapi kondisi sulit
dalam kehidupan serta mampu mengerjakan
sesuatu menjadi lebih baik dalam pekerjaan
(Nurtjahjanti, H., & Ratnaningsih, I. Z., 2011;
Nadhiroh, L. (2014). Umpan balik (feedback)
adalah informasi terkait output maupun
transformasi yang memberikan kepastian
kepada siswa bahwa kegiatan belajarnya telah
mencapai tujuan atau belum (Arikunto dkk,
2008). Suke (1991) menyatakan bahwa umpan
balik (feedback) adalah pemberian informasi
kepada siswa yang diperoleh dari asesmen
untuk meningkatkan pencapaian hasil belajar.
Dengan demikian umpan balik (feedback)
bermanfaat bagi siswa untuk mengevaluasi
diri, mengetahui kesalahan-kesalahan yang
terjadi dalam proses belajar, mengetahui
kelemahan diri, serta membantu siswa untuk
meningkatkan motivasi dan rasa percaya diri
dalam belajar. Kemampuan guru dalam
memberikan umpan balik (feedback) ini sangat
diperlukan untuk memperbaiki proses
pembelajarannya. Menurut Romli (2011),
umpan balik (feedback) dapat meningkatkan
hasil belajar siswa dalam mencapai KKM
(Kriteria Ketuntasan Minimal) (bandingkan
dengan Retnanto, A., 2016).
Tujuan penelitian ini adalah (1)
mendeskripsikan peningkatan kedisiplinan
guru peserta pelatihan model partisipatif in –
on (Y), dan (2) menentukan model
berpengaruhnya optimisme guru (X1) dan
kemampuan memberikan balikan atau
feedback (X2) beserta besar sumbangan
masing-masing model/ variabel. Hasil
penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi
pengelola, khususnya dalam pengembangan
kualitas diklat berbasis hasil penelitian.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan berdasarkan
penilaian dari para guru SD peserta pelatihan
pendampingan pembuatan Penelitian
Tindakan Kelas Kelompok Kerja Guru Gugus
Joko Tingkir Kota Salatiga yang berjumlah 64
orang. Secara acak dipilih 42 orang sebagai
sampel. Penelitian ini adalah penelitian
kuantitatif inferensial antara dua atau lebih
variabel yang bisa menjelaskan gejala, yang
meneliti pengaruh variabel X1 (optimisme
guru) dan atau X2 (kemampuan memberikan
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
50
balikan atau feedback) terhadap Y
(kedisiplinan guru peserta pelatihan model
partisipatif in – on); dan kemudian
menemukan penentu dua variabel independen
yang bersangkutan. Penelitian ini dilakukan
selama 7 minggu pada semester 2 tahun
2017/2018.
Hipotesis statistik - Dalam skala
ordinal, variabel kedisiplinan guru peserta
pelatihan model partisipatif in – on, terdapat
satu tingkat yang dominan di antara lima
kategori: sangat rendah, rendah, sedang, tinggi
dan sangat tinggi. Di antara 2 variabel
independen, ada penentu/ determinan yang
berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kedisiplinan guru peserta pelatihan model
partisipatif in – on. Hipotesis statistik yang
diajukan adalah:
H0: b1 = 0 (tidak ada pengaruh penentu/
determinan terhadap kedisiplinan guru
peserta pelatihan model partisipatif in –
on)
H1: b1 ≠ 0 (ada pengaruh penentu/ determinan
terhadap kedisiplinan guru peserta
pelatihan model partisipatif in – on).
Dampak dari prediktor baik secara
tunggal maupun ganda dapat diketahui dengan
memeriksa nilai b dalam variabel penentu yang
bersangkutan. Pentingnya nilai b akan diuji
dengan t-test. Jika b positif, dan t signifikan
pada tingkat kesalahan kurang dari 0,05,
hipotesis (H1) diterima.
Instrumen dan Teknik Analisis Data -
Data penelitian ini adalah data kuantitatif
dalam bentuk angka berskala ordinal (Skala
Likert) yang terdiri dari pernyataan dan
jawaban dengan rendah, sedang, tinggi dan
sangat tinggi. Data dikumpulkan melalui skala
self-rating yang terdiri dari 21 item yang telah
terbukti valid dan reliabel; Skor validitas 0,325
sampai 0,783, dengan indeks reliabilitas
Cronbach Alpha = 0,899. Setelah terbukti
memenuhi persyaratan normalitas dan
homogenitas setiap variabel, dilanjutkan
dengan analisis regresi linier ganda dengan
Model Stepwise untuk mengembangkan model
kausal. Pola-pola berpengaruhnya variabel
independen (determinan) terhadap
kedisiplinan guru peserta pelatihan model
partisipatif in – on akan diuji dengan uji F pada
tingkat 0,05. Perhitungan ini dilakukan dengan
berbantu program SPSS versi 24. Hasil
perhitungan koefisien determinasi dari 2
variabel independen dalam penelitian ini
terhadap variabel dependen sebesar R2. Jika
signifikansi r < 0,05, maka model dinyatakan
signifikan, karena X1-2 (terpilih)
mempengaruhi Y, sebesar koefisien adjusted
R2.
HASIL PENELITIAN
Deskripsi variabel
Setelah data dijaring menggunakan
self-rating scale yang terdiri dari 21 item untuk
guru peserta pelatihan model partisipatif in –
on, selanjutnya dianalisis secara descriptive
berbantu program SPSS for windows version
24 diperoleh dalam bentuk tabel 1.
Tabel 1. Indeks Statistik Variabel Penelitian Variabel Mean Median Std.
Deviation
Min. Max.
X1 Optimisme
guru
4,3043 4,0000 0,46522 4,00 5,00
X2 Feedback 4,4000 4,0000 0,53936 3,00 5,00
Y
Kedisiplinan guru
4,1739 4,0000 0,43738 3,00 5,00
Berdasarkan hasil analisis deskriptif
tersaji padsa tabel 1, sebagian besar responden
(guru peserta pelatihan model partisipatif in –
on) memiliki penilaian tentang optimisme
mereka (X1) pada aras tinggi, demikian juga
Kemampuan memberikan Feedback (X2) pada
aras tinggi cenderung sangat tinggi;
Kedisiplinan mereka dalam mengajar (Y) pada
aras tinggi.
Seberapa efektif pelatihan model partisipatif
in – on membentuk kedisiplinan guru
Terkait dengan permasalahan pertama,
seberapa efektif pelatihan model partisipatif in
– on membentuk kedisiplinan guru (Y)
dapatlah diperiksa pada tabel 2 berikut.
Peningkatan Disiplin Guru SD Melalui Pelatihan Partisipatif Model In - On | Slameto, dkk.
51
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Variabel
Kedisiplinan Guru Kategori Frequency Percent Cumulative
Percent
1. Sangat
Rendah
0 0 0
2. Rendah 0 0 0
3. Sedang 1 2,2 2,2
4. Tinggi 36 78,3 80,4
5. Sangat
tinggi
9 19,6 100,0
Total 46 100,0
Sekalipun tidak ada data pra pelatihan
model partisipatif in – on tentang Kedisiplinan
Guru Dalam mengajar (Y), namun bisa
diprediksi dengan memperhatikan besarnya
Mean dan Median serta penyebaran frekuensi
tiap jenjang pada variabel Y; Mengingat Mean
= 4,1739 lebih besar dibanding dengan median
yaitu 4 dengan sebaran seperti pada tabel 2 di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kedisiplinan guru dalam mengajar berada pada
tingkat tinggi cenderung sangat tinggi.
Uji Hipotesis
Analisis selanjutnya adalah untuk
mengetahui apakah ada dari dua variabel bebas
(X1-2) yang menjadi determinan terhadap
kedisiplinan guru dalam mengajar (Y). Jika
benar, terdapat berapa model, dan berapa besar
pengaruhnya? Hasil uji hipotesis
menggunakan analisis regresi ada pada 3 tabel
berikut ini.
Tabel 3. Model Summary berpengaruhnya
determinan terhadap kedisiplinan guru dalam
mengajar Model R R
Square
Adjusted
R
Square
Std.
Error of
the
Estimate
1 0,606a 0,367 0,352 0,35531
2 0,675b 0,455 0,429 0,33363
a. Predictors: (Constant), optimisme guru
b. Predictors: (Constant), optimisme guru, feedback
Berdasarkan hasil uji hipotesis melalui
analisis regresi seperti tersaji pada tabel 3,
ternyata diperoleh 2 Model; Model 1
optimisme guru (X1) berpengaruh terhadap
kedisiplinan guru dalam mengajar (Y):
diperoleh R = 0, 606 dan Adjusted R Square =
0, 352 atau 35,2%. Model 2 optimisme guru
(X1) bersama dengan kemampuannya
memberikan feedback berpengaruh terhadap
kedisiplinan guru dalam mengajar (Y):
diperoleh R = 0,675 dan Adjusted R Square =
0,429 atau 42,9%. Dengan demikian hipotesis
yang menyatakan terdapat penentu kedisiplin-
an guru dalam mengajar terdukung data. Untuk
menentukan apakah 2 model ini signifikan,
dapat diperiksa pada tabel 4.
Tabel 4. Anovaa berpengaruhnya determinan terhadap kedisiplinan guru
dalam mengajar
Model Sum of
Squares
df Mean
Square
F Sig.
1 Regression 3,149 1 3,149 24,945 0,000b
Residual 5,429 43 0,126
Total 8,578 44
2 Regression 3,903 2 1,951 17,531 0,000c
Residual 4,675 42 0,111
Total 8,578 44
a. Dependent Variable: kedisiplinan guru dalam mengajar
b. Predictors: (Constant), optimisme guru
c. Predictors: (Constant), optimisme guru, feedback
Berdasarkan tabel 4 anova seperti di
atas, ternyata diperoleh 2 Model; Model 1
optimisme guru (X1) berpengaruh terhadap
kedisiplinan guru dalam mengajar (Y):
diperoleh F = 24,945 pada tingkat signifikansi
0,000. Model 2 optimisme guru (X1) dan
kemampuan guru memberikan feedback
berpengaruh terhadap kedisiplinan guru dalam
mengajar (Y): diperoleh F = 17,531 pada
tingkat signifikansi 0,000. Dengan demikian
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
52
diperoleh 2 variabel prediktor yaitu optimisme
guru (X1) dan kemampuan guru memberikan
feedback berpengaruh terhadap kedisiplinan
guru dalam mengajar (Y). Untuk meyakinkan
temuan ini, dilakukan uji T yang hasilnya
tersaji pada tabel berikut.
Tabel 5. Coefficientsa berpengaruhnya determinan terhadap kedisiplinan guru
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 1,714 0,496 3,456 0,001
Optimisme guru 0,571 0,114 0,606 4,994 0,000
2 (Constant) 1,163 0,512 2,272 0,028
Optimisme guru 0,416 0,123 0,441 3,384 0,002
Feedback 0,278 0,107 0,339 2,602 0,013
a. Dependent Variable: Kedisiplinan guru
Berdasarkan tabel 5 Coefficients
seperti di atas, ternyata diperoleh 2 Model;
Model 1 optimisme guru (X1) berpengaruh
terhadap kedisiplinan guru dalam mengajar
(Y): diperoleh: diperoleh T = 4,994 pada
tingkat signifikansi 0,000. Model 2 optimisme
guru (X1) dan kemampuan guru memberikan
feedback (X2) berpengaruh terhadap ke-
disiplinan guru dalam mengajar (Y): diperoleh
T (X1) = 3,384 pada tingkat signifikansi 0,002
dan T (X2) = 2,602 pada tingkat signifikansi
0,013. Dengan demikian 2 variabel prediktor
yaitu optimisme guru (X1) dan kemampuan
guru memberikan feedback (X2) menjadi
determinan kedisiplinan guru dalam mengajar
(Y) terdukung data.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis seperti
tersaji di atas, ternyata pelatihan model
partisipatif in – on terbukti efektif
meningkatkan kedisiplinan guru dalam
mengajar; Setelah berakhir pelatihannya,
tingkat kedisiplinan guru dalam mengajar
berada pada aras tinggi cenderung sangat
tinggi. Sejalan dengan temuan Momongan dan
Supramono (2015), pasca pelatihan, guru
harus konsisten dalam penegakan kedisiplinan
dalam kelas.
Kedisiplinan ini terbentuk karena
adanya tujuan yang dimiliki oleh guru-guru
dalam mengikuti kegiatan pelatihan. Hal ini
sejalan dengan pendapat Hasibuan (2003:194)
yang menyebutkan salah satu indikator dari
guru yang disiplin adalah memiliki tanggung-
jawab yang tinggi terhadap tugasnya. Hal ini
juga sejalan dengan hasil penelitian
Markhamah dan Muhibbin (2017) dimana
penelitian tersebut juga menyatakan disiplin
guru akan terbentuk jika didorong oleh adanya
pengarahan, pembimbingan, dan stimulus
yang berasal dari supervisi atau motivasi.
Guru-guru SD di gugus Joko Tingkir selama
kegiatan pelatihan model partisipaitif in - on
mendapatkan pengawasan dari fasiliator, baik
ketika menulis proposal penelitian tindakan
kelasnya sampai saat implementasi dan
pelaporannya, facilitator juga memberikan
pendampingan dalam pembuatan artikelnya
sehingga kegiatan pengarahan,
pembimbingan, dan stimulus ini terus
berlangsung selama 7 minggu baik dalam
kegiatan in ataupun on.
Berdasarkan hasil uji hipotesis melalui
analisis regresi seperti tersaji di atas, diperoleh
2 Model; Model 1 optimisme guru
berpengaruh terhadap kedisiplinan guru dalam
mengajar sebesar 35,20%. Model 2 optimisme
guru bersama dengan kemampuannya
memberikan feedback berpengaruh terhadap
kedisiplinan guru dalam mengajar sebesar
42,9%. Berdasarkan hasil penelitian Eliyanto
(Ayuningtyas, A. E., Slameto, S., &
Dwikurnaningsih, Y. (2017) salah satu faktor
penyebab ketidak-efektifan pelatihan dalam
meningkatkan profesionalisme guru adalah
umpan balik yang kurang tepat.
Temuan ini sejalan dengan Daraei dan
Ghaderi (2012) yang menekankan tentang
Peningkatan Disiplin Guru SD Melalui Pelatihan Partisipatif Model In - On | Slameto, dkk.
53
optimisme akan menciptakan perilaku yang
positif, yang telah teruji dalam penelitian ini
dimana optimisme guru berpengaruh terhadap
disiplin guru dalam mengajar. Bandingkan
juga dengan penelitian Septi (2015) yang
menyimpulkan adanya pengaruh kompetensi
profesional terhadap disiplin guru, dimana
salah satu indikator dari guru yang profesional
adalah melaksanakan tugas dan kewajibannya
dengan baik yang didukung dengan pendapat
Sagala (2009) yang menjelaskan kompetensi
profesional yang dimiliki oleh guru merupakan
gabungan dari kemampuan, pengetahuan,
kecakapan dan sikap. Sikap ini ditunjukkan
salah satunya dengan pemberian feedback
dalam pembelajaran. Oleh karena itu penting
apa yang Hill (Wardani, K. W., 2017) laporkan
perlunya tiga strategi pengajaran utama yang
dinilai tinggi oleh mahasiswa di pendidikan
tinggi; salah satunya adalah strategi dan teknik
pemberian umpan balik (feedback) kepada
mahasiswa di kelas dan dalam tugas.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan sajian hasil penelitian di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa ternyata
pelatihan model partisipatif in – on terbukti
efektif meningkatkan kedisiplinan guru dalam
mengajar. Terdapat 2 variabel/ prediktor yaitu
optimisme guru dan/ bersama dengan
kemampuannya memberikan feedback ber-
pengaruh terhadap kedisiplinan guru dalam
mengajar. Optimisme guru berpengaruh
(positif dan signifikan) terhadap kedisiplinan
guru dalam mengajar sebesar 35,20%.
Optimisme guru bersama dengan kemampuan-
nya memberikan feedback berpengaruh
terhadap kedisiplinan guru dalam mengajar
sebesar 42,9%.
Saran
Dengan detemukannya 2 determinan
kedisiplinan dalam mengajar bagi guru peserta
pelatihan model partisipatif in – on, ini sangat
berguna bagi manajemen mutu dalam
kerangka efektivitas pelatihan model
partisipatif berbasis pembinaan optimisme
guru dan kemampuannya memberikan
feedback. Pelatihan model partisipatif hendak-
nya menerapkan prinsip pembelajaran yang
menekankan psikologi positif yang optimis,
membiasakan bekerja keras menghadapi
tantangan secara efektif, yakin memiliki
kekuatan untuk menggunakan pemikiran yang
inovatif dalam menggapai kesuksesan.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S; Yuwono, S; Zuhri, S. 2015.
Hubungan antara selfesteem dengan
optimisme masa depan pada siswa santri
program tahfidz di Pondok Pesantren Al-
Muayyad Surakarta dan Ibnu Abbas
Klaten. Jurnal Indigenous, 13(2)
Anggraini, P. M. 2017. Upaya Guru Dalam
Meningkatkan Kompetensi Pedagogik
Di SMK Negeri 3 Buduran Kabupaten
Sidoarjo. Kajian Moral dan
Kewarganegaraan, 5(01)
Arikunto, S., dkk. 2008. Penelitian Tindakan
Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Ayuningtyas, A. E., Slameto, S., &
Dwikurnaningsih, Y. (2017). Evaluasi
Program Pelatihan In House Training
(IHT) di Sekolah Dasar Swasta. Kelola:
Jurnal Manajemen Pendidikan, 4(2),
171-183.
Daraei, M., & Ghaderi, A. (2012). Impact of
Education on Optimism or Pessimism.
Journal of Indian Academy of Applied
Psychology, 38 (2)
Fintiastuti, A. 2015. Analisis Pemanfaatan
Media Wallchart Dalam Peningkatan
Pemahaman Kompetensi Akuntansi
Perusahaan Jasa Siswa Kelas X
Keuangan Smk Negeri 1 Bantul Tahun
Ajaran 2014/2015. Doctoral
dissertation, Fakultas Ekonomi UNY
Goleman, D. 2004. Kecerdasan emosional.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hadari, N. dan Martini, H. (1990).
Administrasi Personel untuk
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
54
Produktivitas Kerja. Jakarta: Haji
Masagung.
Markhamah, M., & Muhibbin, A.
2017. Pembinaan Disiplin Kerja Guru
SD Negeri Cengklik II Surakarta.
Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Miarso, Y. 2008. Peningkatan kualifikasi guru
dalam perspektif teknologi
Pendidikan. Jurnal Pendidikan
Penabur, 10, 66-76).
Momongan, H. S., and Supramono, S. 2015.
Analisis Akar Masalah Ketidakefektifan
Manajemen Kelas di Sekolah Dasar di
Salatiga dan Sekitarnya. Kelola: Jurnal
Manajemen Pendidikan, 2(2), 221-235.
Muryasari, D. 2017. Pembinaan Kreativitas
Melalui Metode Bercerita Dalam
Pembelajaran Melukis Kelompok B1 TK
Pembina Kecamatan Bantul.
journal.student.uny.ac.id
Nadhiroh, L. 2014. Kreativitas Guru PAI
Dalam Menumbuhkan Minat Belajar
Siswa Pada Mata Pelajaran Pendidikan
Agama Islam. repo.iain-
tulungagung.ac.id
Nurtjahjanti, H., & Ratnaningsih, I. Z. 2011.
Hubungan Kepribadian Hardiness
Dengan Optimisme Pada Calon Tenaga
Kerja Indonesia (CTKI) Wanita di
BLKLN Disnakertrans Jawa
Tengah. Jurnal Psikologi, 10(2).
Sagala, S. 2009. Kemampuan Profesional
Guru dan Tenaga Kependidikan.
Bandung: Alfabeta.
Sastrohadiwiryo, S. 2002. Manajemen Tenaga
Kerja Indonesia, PT. Bumi Aksara,
Jakarta.
Septi, R. 2015. Pengaruh Kompetensi
Profesional Guru Terhadap Disiplin
Kerja Guru Sdn Di Gugus Gatot Subroto
Kecamatan Kutasari Kabupaten
Purbalingga (Doctoral Dissertation,
PGSD).
Soedijarto. 1989. Pendidikan Sebagai Sarana
Reformasi Mental Dalam Upaya
Pembangunan Bangsa. Jakarta: Balai
Pustaka.
Suke, S. 1991. Evaluasi Belajara dan Umpan
Balik. Jakarta: PT. Grasindo.
Wardani, K. W. 2017. Sumbangan Kreativitas
dalam Tingkat Kompetensi
Kepemimpinan Alumni Magister
Manajemen Pendidikan Pada Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Kelola: Jurnal
Manajemen Pendidikan, 4(2), 220-230.
Kelola
Jurnal Manajemen Pendidikan
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018
Halaman: 55-65
55
Hubungan Antara Menonton Acara Kekerasan Televisi
Dengan Perilaku Agresif Siswa SMP di Salatiga
Yosua Ivan Pradana
Program Studi S1 Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana
132014070@student.uksw.edu
Yari Dwikurnaningsih
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
yari.dwikurnaningsih@staff.uksw.edu
Setyorini
Program Studi S1 Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana
setyorini@staff.uksw.edu
ABSTRACT
This study aims to determine the significance of the relationship between watching
the violence shown on television with aggressive behavior of junior high school students
in Salatiga. The hypothesis put forward is that there is a significant relationship between
watching television violence shows with aggressive behavior of junior high school
students in Salatiga. The study was conducted in one of the junior high schools in
Salatiga. Sampling technique in this research using stratified random sampling
technique. The questionnaire used was a questionnaire of aggressive behavior of
teenagers and questionnaires watching the violence on television. The analytical method
used is Kendall's tau correlation technique. Based on the data analysis obtained
correlation value 0.811 with a significance level of 0.000 (p <0.05). These results indicate
that there is a significant relationship between watching the violence shown on television
and the aggressive behavior of junior high school students in Salatiga. The higher the
students watch the violence on television, the higher the aggressive behavior. Thus the
hypothesis proposed in this study is accepted.
Keywords : Aggressive Behavior, Adolescents, Violence, Watching Television Shows
Article Info
Received date: 25 Mei 2018 Revised date: 29 Juni 2018 Accepted date: 29 Juni 2018
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
56
PENDAHULUAN
Di era globalisasi saat ini, mayoritas
generasi muda memunculkan perilaku yang
merusak cerminan diri generasi muda, seperti
tawuran/perkelahian antar pelajar. Banyak
remaja yang tidak dapat mengontrol emosi
mereka, sehingga berujung pada tindakan
kekerasan dan perilaku agresif. Menurut
Monks dkk, 1989 remaja sebenarnya tidak
memiliki tempat yang jelas, mereka sudah
tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi
belum juga dapat diterima secara penuh untuk
masuk ke golongan orang dewasa. Remaja
berada di antara anak dan orang dewasa, oleh
karena itu remaja seringkali dikenal dengan
fase “mencari jati diri” atau fase “topan dan
badai”. Remaja masih belum mampu
menguasai dirinya sendiri dan terus mencari
jati dirinya. Di masa pencarian jati diri ini,
perilaku yang sering dilakukan oleh remaja
adalah seperti berkelahi, berbicara kasar,
menentang orang yang lebih tua, bullying, dan
sebagainya, itu semua tergolong dalam
perilaku agresif.
Menurut Saad (2008) perilaku agresif
remaja merupakan perilaku yang dapat
merugikan atau mencederai orang lain dan
memiliki unsur kesengajaan. Contoh perilaku
agresif yang sering terjadi adalah pemukulan,
berkata kasar, menghina, dan perilaku agresif
lainnya baik secara fisik maupun verbal. Selain
itu, dalam prosesnya, remaja juga
memperlihatkan perilaku mereka yang aktif
menggunakan media massa, media massa
menjadi sarana dalam gaya hidup sehari-hari.
Menurut Sawono & Meinarno (2012) media
massa menjadi salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku agresif remaja.
Terjadi demikian karena peran media massa
yang semakin hebat dan kuat dalam
mempengaruhi remaja. Media massa menjadi
alat untuk mempermudah dalam pencarian
informasi maupun ilmu pengetahuan kepada
audience khusunya remaja. Media massa
berkembang menjadi kelompok penekan.
Dalam hal ini, hidup remaja bergantung pada
media massa, seperti kebutuhan sehari-hari,
dan proses belajar remaja, itu semua
ditentukan oleh media massa (Nurudin, 2014).
Media massa merupakan sarana
menyampaikan informasi dan komunikasi
secara massal. Media seperti televisi, koran,
film, radio, dan internet dapat diakses dengan
mudah oleh remaja. Menurut Kuswandi
(2008), media televisi memiliki keistimewaan
tersendiri. Televisi mampu menyampaikan
informasi dengan menampilkan visual maupun
audio secara nyata kepada penonton dalam
waktu yang bersamaan, sehingga televisi
menjadi media yang paling baik dan sangat
mudah diingat oleh orang yang menonton.
Sebagaimana dikatakan Sulaiman (dalam
Hutapea, 2010) 75% pengetahuan manusia
adalah melalui mata menuju ke otak dan
selebihnya melalui indera-indera yang lainnya.
Beberapa keistimewaan tersebut
membuat media televisi menjadi pilihan
pertama dalam mengakses informasi. Saat ini
televisi menjadi perdebatan publik mengenai
penayangan adegan kekerasan melalui acara
berita, sinetron, sport, film dalam negeri
maupun luar negeri, dan lain-lain. Menurut
Krahe (2005), publik menganggap adegan
tersebut dapat mempengaruhi peningkatan
perilaku agresif remaja. Tinjauan Comstock
dan Scharrer (dalam Krahe, 2005) menjelaskan
bahwa terdapat kandungan agresif dan
kekerasan di media televisi serta saluran
televisi berlangganan (pay per view channel).
Menurut Hutapea (2010) remaja
memiliki kemungkinan untuk meniru adegan
kekerasan yang mereka saksikan di televisi
(seperti bertindak kasar, membunuh,
menggugurkan kandungan, perkelahian,
mengganggu ketertiban, melanggar aturan, dan
sebagainya). Seperti yang dijelaskan oleh
Hanim (2005) bahwa manusia adalah makhluk
imitatif. Perilaku meniru sangat terlihat pada
masa remaja. Mereka menganggap
kekerasan/perkelahian yang ditampilkan di
Hubungan Antara Menonton Acara Kekerasan Televisi Dengan Perilaku … | Yosua I. Pradana, dkk.
57
televisi sesuai dengan sebenarnya serta sulit
membedakan antara tayangan fiktif dengan
kisah nyata.
Berita kejahatan dan kekerasan di
media televisi menjadi berita top three saat ini.
Berita kekerasan mempunyai nilai jual dan
daya tarik yang tinggi. Dikatakan demikian
karena sifat penonton yang senang dalam
menyaksikan berita kekerasan. Menurut Freud
(dalam Sawono dan Meinarno, 2012) manusia
memiliki naluri kematian atau yang disebut
naluri tanatos, yang merupakan
naluri/dorongan untuk menghancurkan yang
ada pada setiap manusia yang dinyatakan
dalam perkelahian, pembunuhan, perang,
sadisme, dan sebagainya. Menyaksikan dan
menonton kekerasan di televisi menjadi salah
satu cara manusia menyalurkan naluri
kematian, dan bisa jadi, tayangan kekerasan
menjadi efek naluri kematian muncul.
Remaja memiliki rentang usia 12 – 24
tahun, oleh karena itu siswa SMP termasuk
dalam golongan remaja, dan hal tersebut
menjadi salah satu alasan peneliti akan
melakukan penelitian ini di salah satu SMP di
Salatiga. Peneliti telah mencari data awal dan
melakukan observasi serta wawancara dengan
guru BK, guru agama, dan siswa di SMP
tempat peneliti melakukan penelitian. Guru
BK memaparkan bahwa SMP ini memang
memiliki “keistimewaan” dibanding SMP lain
di Salatiga. Siswa-siswinya terkenal “nakal”
dan itu sudah menjadi hal yang turun-temurun.
Guru BK juga menjelaskan bahwa jarang
mereka menemukan siswa yang membawa
handphone ke sekolah karena mayoritas siswa
di SMP ini berlatar belakang dari keluarga
yang kurang mampu baik secara ekonomi
maupun pendidikan. Siswa yang ditemui oleh
peneliti juga mengakui bahwa mereka tidak
memiliki handphone, kalaupun ada yang
memiliki, tidak selalu online karena mereka
tidak mampu untuk setiap saat membeli kuota
internet. Pada akhirnya, televisi adalah media
massa yang paling banyak mereka
pergunakan/manfaatkan. Guru agama di SMP
ini memberikan pernyataan yang hampir
serupa, dan mengatakan bahwa tawuran,
berkelahi, dan saling ejek serta membully
adalah hal yang terasa “lumrah” di SMP ini.
Berdasarkan penelitian sebelumnya,
terdapat kesenjangan dan dua opini yang
berbeda. Rujukan pertama yakni penelitian
yang dilakukan oleh Nando tahun 2011 dengan
judul “Hubungan antara perilaku menonton
acara kekerasan dengan perilaku agresi
remaja”. Penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa perilaku menonton film kekerasan tidak
memiliki hubungan signifikan dengan perilaku
agresi remaja. Ini berbanding terbalik dengan
pendapat Andriadi dalam skripsinya yang
berjudul “Hubungan Paparan Tayangan
Kekerasan Dengan Perilaku Agresif Remaja di
SMK Dr. Tjipto Ambarawa Kabupaten
Semarang” pada tahun 2016, yang menyatakan
ada hubungan antara paparan tayangan
kekerasan dengan perilaku agresif pada remaja
di SMK Dr. Tjipto Ambarawa.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui signifikansi hubungan antara
menonton acara kekerasan di televisi dengan
perilaku agresif siswa SMP di Salatiga.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan
untuk pengembangan program bimbingan dan
konseling serta untuk mengetahui efek dari
menonton acara kekerasan di televisi dan
perilaku agresif, yang tentunya itu akan
berguna untuk pihak-pihak terkait seperti guru
BK, orangtua, dan lembaga pendidikan.
Perilaku adalah suatu kegiatan atau
aktivitas organisme (makhluk hidup) yang
bersangkutan. Perilaku manusia pada
hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari
manusia itu sendiri yang mempunyai
bentangan yang sangat luas antara lain :
berjalan, berbicara, menangis, tertawa,
bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2012).
Berdasarkan penjelasan tersebut,
perilaku adalah segala tindakan atau aktivitas
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
58
yang dilakukan oleh manusia, dapat berupa
perilaku kognitif (perilaku yang menekankan
aspek intelektual), perilaku afektif (perilaku
yang menekankan aspek emosi perasaan),
maupun perilaku psikomotor (perilaku yang
menekankan aspek ketrampilan motorik).
Menurut Baron dan Richardson (dalam
Krahe, 2005) mendefinisikan agresi sebagai
suatu perilaku yang diwujudkan dalam
berbagai bentuk yang dimaksudkan untuk
menyakiti atau melukai makhluk hidup lain
yang terdorong untuk menghindari perlakuan
tersebut. Agresif merupakan setiap tindakan
yang dimaksudkan untuk menyakiti atau
melukai orang lain (Taylor, Peplau, & Sears,
2009).
Menurut Agustina, Suprihatin, dan
Rohmatun (2017), agresif memiliki makna
yang berbeda-beda, yakni : (1) Agresif
merupakan perilaku yang bertujuan untuk
melukai orang lain; (2) agresif sebagai bentuk
asertif, perilaku yang ditujukan untuk
memenuhi keinginan seseorang; (3) agresif
sebagai bentuk penegasan akan kekuasaan
seseorang.
Jadi, menurut pengertian tersebut,
peneliti sepakat bahwa agresi adalah tindakan
/ perilaku, dapat berupa fisik maupun verbal,
yang sengaja dilakukan oleh seseorang atau
kelompok dengan tujuan untuk melukai,
menyakiti, memenuhi keinginan, penegasan
kekuasaan, dan merugikan orang lain maupun
kelompok lain.
Mac Neil dan Stewart (dalam
Hanurawan, 2010) menjelaskan bahwa
perilaku agresif adalah suatu perilaku atau
suatu tindakan yang diniatkan untuk
mendominasi atau berperilaku secara
destruktif, melalui kekuatan verbal maupun
kekuatan fisik, yang diarahkan kepada objek
sasaran perilaku agresif. Objek sasaran
perilaku meliputi lingkungan fisik, orang lain
dan diri sendiri.
Anantasari (2006) menyebutkan enam
ciri - ciri perilaku agresif sebagai berikut :
a. Perilaku menyerang;
b. Perilaku menyakiti atau merusak diri
sendiri, orang lain, atau objek-objek
penggantinya;
c. Perilaku yang tidak diinginkan orang yang
menjadi sasaranya;
d. Perilaku yang melanggar norma sosial;
e. Sikap bermusuhan terhadap orang lain;
f. Perilaku agresif yang dipelajari;
Menurut Koeswara (1998) ada
beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya perilaku agresif, yaitu : (1)
Kemiskinan; (2) Suhu udara; (3) Peran belajar
model kekerasan; (4) Frustasi; (5)
Kesenjangan generasi; (6) Amarah; (7) Proses
pendisiplinan yang keliru; (8) Faktor biologis.
Menurut Restu dan Yusri (2013)
Perilaku Agresif bisa disebabkan oleh faktor
merasa kurang diperhatikan, tertekan,
pergaulan buruk, dan efek dari tayangan
kekerasan di media massa.
Berdasarkan penjelasan tersebut,
peneliti berpendapat bahwa faktor-faktor
penyebab perilaku agresif dapat digolongkan
menjadi dua yakni faktor internal (contoh : rasa
frustasi, tertekan) dan faktor eksternal (contoh
: kemiskinan, pergaulan yang buruk, dan
media massa seperti televisi).
Buss & Perry (1992) menjabarkan ada
empat aspek perilaku agresif yaitu :
a. Physical Aggresion (agresi fisik)
Physical Aggresion merupakan
agresi yang dapat diobservasi (terlihat).
Physical Aggresion (PA) adalah
kecenderungan individu untuk melakukan
serangan secara fisik untuk
mengekspresikan kemarahan atau agresi.
Bentuk serangan fisik tersebut adalah
memukul, mendorong, dan mencubit.
b. Verbal Aggresion (agresi verbal)
Verbal Aggresion merupakan agresi
yang dapat dioservasi (didengar). Verbal
Aggresion adalah kecenderungan
menyerang orang lain untuk memberikan
stimulus yang merugikan dan menyakitkan
Hubungan Antara Menonton Acara Kekerasan Televisi Dengan Perilaku … | Yosua I. Pradana, dkk.
59
kepada organisme lain secara verbal, yaitu
melalui kata-kata atau penolakan. Bentuk
serangan verbal adalah cacian, memfitnah,
mengumpat, penolakan, ejekan, dan kata
kasar.
c. Anger (kemarahan)
Anger adalah perasaan marah, kesal,
sebal dan bagaimana menontrol hal
tersebut. Di dalamnya adalah mengenai
temperamental, kecenderungan cepat
marah, atau kesulitan mengendalikan
amarah.
d. Hostility (permusuhan)
Hostility tergolong dalam agresi
covert (tidak nampak). Hostility terdiri dari
dua bagian yaitu Resentmen seperti
cemburu dan iri hati terhadap orang lain,
serta Suspicion seperti adanya
ketidakpercayaan terhadap orang lain.
Kekerasan adalah segala sesuatu yang
menyebabkan orang terhalang untuk
mengaktualisasikan potensi diri secara wajar.
Namun, penghalang itu adalah sesuatu yang
dapat dihindarkan. Artinya, kekerasan dapat
dihindarkan kalau penghalang itu disingkirkan
(As’ad, 2000).
Menurut Chawazi (2001) tindak
kekerasan sama juga pengertiannya dengan
penganiayaan, yaitu perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit
atau luka pada tubuh orang lain. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana pasal 351
(dalam Chazawi, 2001), penganiayaan atau
tindak kekerasan adalah : (1) Setiap perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja untuk
merugikan kesehatan orang lain; (2) Setiap
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja
untuk memberikan penderitaan pada orang
lain.
Dari pengertian kekerasan tersebut,
peneliti menyimpulkan bahwa kekerasan
adalah sebuah perilaku/perbuatan yang
dilakukan secara sengaja, dapat dilakukan
secara perorangan maupun banyak orang, serta
menimbulkan penderitaan dan kerugian pada
orang lain baik secara fisik maupun secara
psikis. Namun, kekerasan itu sendiri
sebenarnya dapat dihindarkan asalkan tahu
faktor penyebab dari kekerasan tersebut
terjadi.
Yayasan SEJIWA, dalam bukunya
tentang bullying (2008), membagi bentuk
kekerasan ke dalam dua jenis yaitu :
a. Kekerasan fisik; yaitu jenis kekerasan yang
kasat mata. Siapapun bisa melihat karena
terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan
korban.
b. Kekerasan non-fisik; yaitu jenis kekerasan
yang tidak kasat mata. Artinya, tidak bisa
langsung diketahui perbuatannya karena
tidak terjadi sentuhan fisik antara pelaku
dengan korban. Kekerasan non-fisik dibagi
menjadi dua yaitu kekerasan verbal serta
kekerasan psikologis/psikis.
Galtung (dalam Eriyanti, 2017)
membagi kekerasan menjadi “Segitiga
Kekerasan” yaitu kekerasan langsung,
struktural, dan kultural. Kekerasan langsung
bisa terlihat secara nyata demikian pula dengan
pelakunya. Kekerasan struktural melukai
kebutuhan dasar manusia, tetapi tak ada pelaku
langsung yang bisa diminta tanggung
jawabnya. Sementara kekerasan kultural
adalah legitimasi atas kekerasan struktural
maupun kekerasan langsung secara budaya.
Berdasarkan penjelasan tersebut,
kekerasan dapat dibagi dalam dua bentuk
yakni secara fisik atau non-fisik, dan dapat
terwujud secara langsung, secara terstruktur,
maupun karena budaya / kultur yang dianut
oleh suatu kelompok.
Dalam Yosep (2009), mengemukakan
aspek perilaku kekerasan yakni : (1) Fisik; (2)
Verbal; (3) Perilaku; (4) Emosi; (5)
Intelektual; (6) Spiritual; (7) Sosial; (8)
Perhatian.
Menurut Dwikurnaningsih (2015)
media televisi efektif untuk mempengaruhi
perilaku seseorang karena televisi mempunyai
kemampuan : (1) fiksatif yaitu dapat
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
60
menampilkan kejadian masa lampau; (2)
manipulatif, yaitu kemampuan untuk
memanipulasi kejadian yang tidak sebenarnya;
(3) distributif, dapat menyebarkan informasi
dalam waktu yang singkat dan dalam
jangkauan yang luas.
Kekerasan adalah salah satu konten
yang ada di media televisi. Berdasarkan
lembaga sensor Indonesia, 95% tayangan
televisi di Indonesia mengandung unsur
kekerasan. Kekerasan sepertinya akan sulit
dihilangkan dari layar televisi, bahkan
sekalipun usaha menguranginya dilakukan,
namun kesan dominan kekerasan akan tetap
muncul, karena kekerasan sendiri berperan
sebagai bumbu penyedap dari sebuah cerita
(Depari, 1995). Tingginya pengaruh televisi
terhadap perilaku penontonnya membuat
televisi dianggap sebagai penyebab dari
maraknya tindak kekerasan yang terjadi di
masyarakat, seperti perkelahian massa,
tawuran, pemerkosaan, pembunuhan,
perampokan, dan sebagainya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
kuantitatif dengan jenis deskriptif
korelasional. Metode Penelitian Kuantitatif,
sebagaimana dikemukakan oleh Sugiyono
(2012) yaitu metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat positivisme,
digunakan untuk meneliti pada populasi atau
sampel tertentu, pengumpulan data
menggunakan instrumen penelitian, analisis
data bersifat kuantitatif/statistik, dengan tujuan
untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.
Penelitian deskriptif korelasional
adalah penelitian yang diarahkan untuk
menjelaskan hubungan antara dua variabel
yaitu variabel bebas dengan variabel terikat
(Notoatmodjo, 2002). Menurut Faenkel dan
Wallen (2008) Penelitian deskriptif
korelasional adalah suatu penelitian untuk
mengetahui hubungan dan tingkat hubungan
antara dua variabel atau lebih tanpa ada upaya
untuk mempengaruhi variabel tersebut
sehingga tidak terdapat manipulasi variabel.
Adanya hubungan dan tingkat variabel ini
penting karena dengan mengetahui tingkat
hubungan yang ada, peneliti akan dapat
mengembangkannya sesuai dengan tujuan
penelitian.
Populasi dalam penelitian ini adalah
siswa kelas VII dan VIII salah satu SMP di
Salatiga yang berjumlah 448 siswa. Penelitian
ini tidak melibatkan kelas IX karena pihak
sekolah memfokuskan siswa kelas IX untuk
mengikuti ujian sekolah,ujian nasional, serta
kegiatan lain pasca-ujian.
Dalam menentukan besarnya sampel,
peneliti menggunakan tabel Krejcie
(Sugiyono, 2011). Ukuran sampel ini
didasarkan atas kesalahan 5%, sehingga
sampel yang diperoleh mempunyai
kepercayaan 95% terhadap populasi. Mengacu
pada tabel Krejcie, dengan jumlah populasi
antara 440 sampai 460 maka sampel yang
digunakan dalam penelitian ini sebanyak 198
siswa.
Metode pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan stratified random
sampling. Menurut Sugiyono (2012) stratified
random sampling adalah teknik penentuan
sampel pada populasi yang unsur-unsurnya
berstrata secara proporsional dan tidak
homogen. Berdasarkan penghitungan, dapat
diketahui sampel dalam penelitian ini (dari
total sampel 198 siswa) adalah 102 siswa kelas
VII dan 96 siswa kelas VIII.
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
angket. Terdapat dua angket yakni angket
perilaku agresif dan angket menonton acara
kekerasan di televisi. Angket perilaku agresif
disusun berdasarkan teori Buss & Perry (1992)
dan angket menonton acara kekerasan di
televisi disusun berdasarkan teori Yosep
(2009) oleh peneliti.
Teknik pengolahan data yang
dipergunakan adalah dengan perhitungan
komputasi program SPSS (Statistical Package
Hubungan Antara Menonton Acara Kekerasan Televisi Dengan Perilaku … | Yosua I. Pradana, dkk.
61
for Social Science) yaitu program komputer
statistik yang mampu memproses data statistik
secara tepat dan cepat. Sementara teknik
analisis dalam penelitian ini mempergunakan
teknik kuantitatif dengan uji statistik yaitu
dengan rumus korelasi Kendall’s tau yang
digunakan untuk mengkaji hubungan variabel
bebas (X) dengan variabel terikat (Y).
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Analisa Deskriptif
Setelah data terkumpul, langkah
pertama yakni dilakukan analisa deskriptif.
Dari pengolahan dan perhitungan data secara
statistik diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Menonton Acara
Kekerasan di Televisi No. Rentang
Skor
Kategori Frekuensi Persentase
1 216-256 Sangat Tinggi 49 24.7%
2 178-215 Tinggi 70 35.3%
3 140-177 Sedang 62 31.3%
4 102-139 Rendah 15 7.6%
5 64-101 Sangat Rendah 2 1.1%
TOTAL 198 100%
Dari tabel sebaran distribusi frekuensi,
dapat diketahui bahwa siswa yang menonton
acara kekerasan di televisi berkategori sangat
tinggi sebesar 24.7%, kategori tinggi sebesar
35.3%, kategori sedang sebesar 31.3%,
kategori rendah sebesar 7.6%, dan kategori
sangat rendah sebesar 1.1%. Dari data sebaran
frekuensi tersebut, dapat disimpulkan kegiatan
menonton acara kekerasan di televisi 198
siswa salah satu SMP di Salatiga didominasi
oleh kategori tinggi dengan persentase 35.3%
(70 siswa).
Tabel 2. Distribusi Frekuensi
Perilaku Agresif No. Rentang
Skor
Kategori Frekuensi Persentase
1 176-208 Sangat Tinggi 27 13.6%
2 145-175 Tinggi 111 56.1%
3 114-144 Sedang 47 23.7%
4 83-113 Rendah 13 6.6%
5 52-80 Sangat Rendah 0 0%
TOTAL 198 100%
Dari tabel sebaran distribusi frekuensi,
dapat diketahui bahwa siswa yang berperilaku
agresif berkategori sangat tinggi sebesar
13.6%, kategori tinggi sebesar 56.1%, kategori
sedang sebesar 23.7%, kategori rendah sebesar
6.6%, dan kategori sangat rendah sebesar 0%.
Dari data sebaran frekuensi tersebut, dapat
disimpulkan perilaku agresif 198 siswa salah
satu SMP di Salatiga didominasi oleh kategori
tinggi dengan persentase 56.1% (111 siswa).
Analisis Korelasi
Analisis korelasi menonton acara
kekerasan di televisi dengan perilaku agresif
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3. Hasil Korelasi antara Menonton
Acara Kekerasan di Televisi dengan Perilaku
Agresif Correlations
Menont
on
Agresif
Kendall'
s tau_b
Menonton
Correlation
Coefficient 1.000 .811**
Sig. (2-tailed) . .000
N 198 198
Agresif
Correlation
Coefficient .811** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 198 198
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dari tabel tersebut, didapatkan nilai
asymp sig. antara menonton acara kekerasan di
televisi dengan perilaku agresif sebesar 0.000
(< 0.05) dan nilai asymp sig. antara perilaku
agresif dengan menonton acara kekerasan di
televisi sebesar 0.000 (< 0.05).
Uji Hipotesis
Uji hipotesis dilakukan dengan
komputer program Statistical Package for
Social Sciences (SPSS), menggunakan rumus
korelasi Kendall’s tau yang menguji hubungan
menonton acara kekerasan di televisi dengan
perilaku agresif remaja. Dari hasil analisis,
didapatkan nilai asymp sig. antara menonton
acara kekerasan di televisi dengan perilaku
agresif sebesar 0.000 (< 0.05) dan nilai asymp
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
62
sig. antara perilaku agresif dengan menonton
acara kekerasan di televisi sebesar 0.000 (<
0.05), yang menunjukkan ada hubungan yang
signifikan antara menonton acara kekerasan di
televisi dengan perilaku agresif siswa. Selain
itu, berdasarkan tingkat hubungan menurut
Sugiyono (2012), maka penelitian ini memiliki
tingkat hubungan sangat kuat karena nilai
korelasinya berada dalam interval 0.80 – 1.00
yakni 0.811.
Hasil analisis tersebut menunjukkan
bahwa hipotesis yang berbunyi “Ada
hubungan yang signifikan antara menonton
acara kekerasan televisi dengan perilaku
agresif siswa SMP di salatiga” diterima. Hal
itu berarti semakin tinggi siswa menonton
acara kekerasan di televisi, maka semakin
tinggi perilaku agresifnya, begitupun
sebaliknya.
Pembahasan
Hasil analisis data menemukan ada
hubungan yang signifikan antara menonton
acara kekerasan di televisi dengan perilaku
agresif siswa SMP di salatiga. Dengan
demikian hipotesis yang diajukan peneliti
diterima dengan nilai asymp sig. = 0.000 (<
0.05), yang berarti semakin tinggi siswa
menonton acara kekerasan di televisi maka
semakin tinggi perilaku agresifnya.
Hasil yang diperoleh tersebut sesuai
dengan teori Krahe (2005) yang menyatakan
bahwa perilaku agresif remaja dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah
menonton televisi. Acara televisi
menampilkan adegan pemukulan,
ejekan/bullying, pertengkaran, adu mulut, dan
pengroyokan/tawuran yang terlihat sangat asli
dan nyata. Menonton televisi memunculkan
sebuah pandangan pada remaja bahwa perilaku
agresif verbal maupun fisik adalah sesuatu
yang normal dan boleh dilakukan.
Televisi memberikan pengaruh dalam
peningkatan perilaku agresif (Sarwono &
Meinarno, 2012). Faktor menonton televisi
memberikan kesempatan lebih pada audience
untuk mengamati apa yang disampaikan secara
jelas terutama adegan-adegan bertema
kekerasan. Tayangan dari televisi memiliki
potensi yang besar untuk ditiru pemirsa
terutama pemirsa berusia remaja.
Televisi memiliki big influence
terhadap perilaku karena remaja meniru apa
yang disajikan dalam acara televisi. Remaja
merasa bahwa yang disajikan dalam televisi
adalah gambaran hidup sehari-hari. Penjelasan
tersebut sejalan dengan eksperimen boneka bo-
bo milik Bandura (dalam Sarwono &
Meinarno, 2012) yang menjelaskan bahwa
perilaku agresif individu sebagai tingkah laku
sosial yang dipelajari, dapat terbentuk hanya
dengan menirukan atau mencontoh perilaku
yang dilakukan oleh individu lain atau bahkan
hanya mengamati sepintas dan tanpa
penguatan. Individu lain yang diamati dalam
penelitian ini adalah model atau tokoh dalam
acara-acara televisi yang disaksikan remaja.
Menurut Leonard Eron dan Rowell
Huesman (dalam Kuswandi, 2008), tayangan
televisi memberikan dampak yang negatif bagi
audience khususnya remaja. Acara televisi
mulai berkembang dan tidak terkontrol,
banyak adegan dan acara yang seharusnya
tidak ditampilkan seperti, perkelahian, kata-
kata kasar, memukul/menendang, dan adegan
agresif lainnya. Masa remaja merupakan masa
perkembangan dalam adaptasi diri dengan
lingkungan/kehidupan sosial. Dengan
menonton acara-acara di televisi, remaja
menyesuaikan diri dengan hal-hal yang sedang
populer di lingkungan sosial dan lingkungan
teman sebaya (Hurlock, 2003).
Remaja adalah sosok yang cepat
menyerap adegan-adegan yang mereka
saksikan di televisi (Hanim, 2005). Remaja
merupakan masa di mana muncul perilaku
imitatif atau menirukan adegan-adegan di
televisi yang interesting dan populer. Acara-
acara di televisi saat ini banyak menampilkan
scene yang mengandung agresivitas baik fisik
maupun verbal, yang ditampilkan sangat
Hubungan Antara Menonton Acara Kekerasan Televisi Dengan Perilaku … | Yosua I. Pradana, dkk.
63
natural dan nyata. Remaja menganggap adegan
tersebut merupakan suatu hal yang wajar untuk
diteladani dalam keseharian aktivitas mereka.
Menurut Dewi (2015) daya tarik
remaja tentang kekerasan terletak pada
viewpoint mereka dalam melihat adegan
kekerasan di televisi. Jika remaja menganggap
adegan kekerasan adalah hal yang
mengasyikkan/menggembirakan, maka
kekerasan di televisi merupakan hal yang
wajar dan menarik untuk disaksikan. Remaja
tertarik pada film maupun sinetron yang
memunculkan adegan kekerasan sebagai
pembelaan diri dan penyelesaian masalah
karena hal tersebut menjadi “perwujudan”
sesuatu yang benar dan mendapat
penghargaan/reward atas perilaku tersebut,
sehingga membuat tayangan kekerasan di
televisi lebih menonjol untuk ditonton para
remaja.
Menurut Koeswara (1998) acara di
televisi memiliki dampak yang significant
terhadap pembentukan dan atau peningkatan
perilaku agresif bagi para penontonnya,
khususnya penonton usia remaja yang sering
menyaksikan acara-acara di televisi. Sejalan
dengan Dewi (2015) yang menjelaskan
adegan-adegan kekerasan di televisi yang
diperankan oleh orang/sosok/tokoh yang
diidolakan dapat menimbulkan pengajaran
dalam berfantasi, bertingkah laku,
mengeluarkan ide-ide, dan lainnya. Hal
tersebut menjadi dasar remaja ingin menirukan
adegan kekerasan. Remaja mempunyai
persoalan yang serupa dengan tokoh di televisi,
maka remaja tersebut akan melakukan
kekerasan baik fisik maupun verbal seperti
sosok yang dilihatnya, yaitu membully,
memarahi, memukul, dan berkata-kata kasar.
Kekerasan menjadi cara untuk memecahkan
masalah dan persoalan di kehidupan nyata
serta untuk membenarkan perilaku kekerasan
seperti yang tokoh idola lakukan di televisi.
Hasil analisis data yang dilakukan
menunjukkan bahwa mean hipotetik (MH)
perilaku agresif remaja adalah sebesar 130
dengan SDh sebesar 26 dan mean empiric
(ME) 186.29. Hasil menunjukkan bahwa
perilaku agresif pada siswa salah satu SMP di
Salatiga tergolong cukup tinggi. Hal ini berarti
bahwa siswa-siswi salah satu SMP di Salatiga
memiliki kecenderungan berperilaku kurang
disiplin dan melanggar norma-norma yang
ada. Tetapi, meskipun demikian, perilaku
agresif siswa masih dalam batas wajar dan
tidak masuk dalam level yang sangat
berbahaya. Para siswa masih bisa diarahkan
untuk memperbaiki perilakunya, meskipun
masih terdapat perilaku agresif yang muncul
disaat siswa tidak dapat mengendalikan emosi.
Rutinnya kegiatan berdoa sebelum pelajaran,
siswa yang menyapa dan berjabat tangan
dengan guru, serta kegiatan sekolah lain yang
berbasis kedisiplinan dan keagamaan,
menunjukkan para siswa tidak memiliki
perilaku agresif yang sangat tinggi.
Analisis lebih lanjut menunjukkan
bahwa menonton acara kekerasan di televisi
memiliki mean hipotetik (MH) sebesar 160
dengan SDh sebesar 32 dan mean empiric
(ME) sebesar 153.86. Hasil menunjukkan
bahwa menonton acara kekerasan di televisi
pada siswa salah satu SMP di Salatiga
tergolong sedang. Golongan tersebut dapat
diartikan bahwa siswa tidak selalu menonton
acara-acara kekerasan di televisi. Hal ini
dikarenakan tidak hanya kekerasan yang selalu
muncul selama siswa menonton televisi,
namun juga terdapat adegan dan acara lainnya
yang muncul di berbagai channel televisi,
seperti hiburan edukasi, promosi barang
(online, jual-beli dsb), dan iklan. Hal ini sesuai
dengan pandangan Badjuri (2010) bahwa
televisi menayangkan acara seperti iklan,
kartun, infotaiment, dan reality show yang
acara-acara tersebut secara keseluruhan tidak
selalu mengandung unsur agresif fisik maupun
verbal.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
64
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara menonton
acara kekerasan di televisi dengan perilaku
agresif siswa. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Andriadi, dan tidak sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Nando.
Hal ini dibuktikan dari hasil analisis
korelasional diperoleh nilai korelasi 0.811
dengan taraf signifikansi 0.000 (p<0.05). Hasil
itu dapat diartikan semakin tinggi siswa
menonton acara kekerasan di televisi, maka
semakin tinggi pula perilaku agresif siswa, dan
sebaliknya, semakin rendah siswa menonton
acara kekerasan di televisi, maka semakin
rendah pula perilaku agresif siswa.
Saran
Berdasarkan kesimpulan dari peneliti
dapat diberikan saran sebagai berikut :
1. Bagi siswa yang melakukan agresif
verbal sebaiknya untuk lebih sopan
dalam berkomunikasi atau berbicara
terhadap orang lain, dengan cara
meminta nasihat dan saran dari teman,
orang terdekat, orang tua dan guru,
serta belajar untuk lebih berfikir positif
kepada orang lain.
2. Bagi orangtua dan keluarga hendaknya
mendampingi anak-anak dalam
menonton televisi dan memberikan
wacana tentang pengaruh buruk
menonton acara kekerasan, serta
memberikan perhatian lebih kepada
anak yang seusia remaja untuk
mencegahan munculnya perilaku
agresif pada remaja.
3. Bagi sekolah dan guru BK dapat
memberikan informasi tentang dampak
menonton acara kekerasan di televisi
bagi remaja terutama dalam kaitannya
dengan perilaku agresif remaja, baik
dalam tatap muka di kelas, maupun
melalui sosialisasi dengan melibatkan
pihak luar yang terkait. Selain itu
sekolah dapat menambah kegiatan-
kegiatan non-formal yang bertujuan
untuk menyalurkan bakat dan talenta
siswa.
4. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik
untuk meneliti perilaku agresif dapat
melanjutkan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor lain
seperti pola asuh orang tua, lingkungan
tempat tinggal, jenis kelamin, teman
sebaya dan pendidikan, sehingga yang
bersangkutan dapat mengetahui lebih
banyak hal-hal yang memengaruhi
perilaku agresif remaja.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Dwi. Bakhtiar, J. & Matulessy, Andik.
2012. Kecerdasan Emosi, Kecerdasan
Spiritual, dan Agresivitas Pada
Remaja. Jurnal Psikologi Indonesia
Agustina, Erni. Suprihatin, Titin. & Rohmatun.
2017. Gambaran aaaaaaAgresifitas
Anak dan Remaja di Area Beresiko.
Jurnal Unissula
Anantasari. 2006. Menyikapi Perilaku Agresif
Anak. Yogyakarta : Kanisius
As’ad. 2000. Perilaku Kekerasan. Jurnal
Buletin Psikologi UGM.
Badjuri, A. 2010. Jurnalistik Televisi.
Yogyakarta : Graha Ilmu
Baron, R.A & Byrne, D. 2005. Psikologi
Sosial. Jakarta : Erlangga
Buss, A.H & Perry, M. 1992. The Aggresion
Questionnaire. Journal of Personality
and Social Psychology. The American
Psychological Association, Inc.
Chawazi, Adami. 2001. Hukum Pidana Bagian
I. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Dewi, I.C. 2015. Pengantar Psikologi Media.
Jakarta : Prestasi Pustakaraya
Hubungan Antara Menonton Acara Kekerasan Televisi Dengan Perilaku … | Yosua I. Pradana, dkk.
65
Depari, Edward & Collin Mac Andrew. 1995.
Peranan Komunikasi Massa Dalam
Pembangunan. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press
Dwikurnaningsih, Yari. 2015. The Model of
Assessment-Competencies-Based
Training Management Using E-
Learning for Guidance and Counseling
Teachers. Online International
Interdisciplinary Research Journal
Eriyanti, L.D. 2017. Pemikiran Johan Galtung
Tentang Kekerasan dalam Perspektif
Feminisme. Jurnal aaaaaHubungan
Internasional Universitas Jember
Fraenkel, J.P & Wallen N.E. 2008. How to
Design and Evaluate Research in
Education. New York : McGraw-Hill
Companies, Inc.
Hanim, Diffah. 2005. Menjadikan UKS
Sebagai Upaya Promosi Tumbuh
Kembang Anak Didik. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press
Hanurawan, Fattah. 2010. Psikologi Sosial :
Suatu Pengantar. Bandung : Penerbit
Rosda
Hurlock, E. 2003. Psikologi Perkembangan :
Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta : Erlangga
Hutapea, Albert M. 2010. Lingkup dan
Mekanisme Pengaruh TV Atas Jiwa,
Psikososial, dan Fungsi Kognitif Otak
Anak (presentasi). Konferensi
Mengenai Isu-Isu Anak di Indonesia
Koeswara, S. 1998. Agresi Manusia. Bandung
: PT. Eresco
Krahe, Barbara. 2005. Perilaku Agresif.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Kuswandi, Wawan. 2008. Komunikasi Massa
(sebuah analisis isi media televisi).
Jakarta : Rineka Cipta
Monks, F.J. 1989. Psikologi Perkembangan.
Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press
Mulkan, Dede. 1997. Pengantar Ilmu
Jurnalistik. Bandung : Arsad Press
Myers, David G. 2012. Psikologi Sosial Edisi
Sepuluh, Buku 2. Jakarta : Salemba
Humanika
Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Promosi
Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.
Jakarta : Rineka Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo. 1993. Pendidikan
Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Kesehatan. Yogyakarta : Andi Offset
Nurudin. 2014. Pengantar Komunikasi Massa.
Jakarta : Rajawali Press
Restu, Yoshi & Yusri. 2013. Studi Tentang
Perilaku Agresif Siswa di Sekolah.
Jurnal Ilmiah Konseling UNP
Sarwono, Sarlito W. & Eko A. Meinarno.
2012. Psikologi Sosial. Jakarta :
Salemba Humanika
SEJIWA. 2008. Bullying : Mengatasi
Kekerasan di sekolah dan lingkungan.
Jakarta : Grasindo
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R&D. aaaaaaBandung :
Alfabeta
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R&D. aaaaaaBandung :
Alfabeta
Taylor, Shelley E., Letitia Ane Peplau, &
David O. Sears. 2009. Psikologi Sosial
Edisi Kedua Belas. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group
Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa (Edisi
Revisi). Bandung : PT. Refika
Aditama
Kelola
Jurnal Manajemen Pendidikan
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018
Halaman: 66-73
66
Peran Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kinerja Guru
Nasib Tua Lumban Gaol
Pendidikan Agama Kristen, STT Anugerah Sinagoge Medan
nasib.t.lumbangaol@gmail.com
Paningkat Siburian
Manajemen Pendidikan, Pascasarjana Universitas Negeri Medan
siburianpaningkat@gmail.com
ABSTRACT
The purpose of this study was to explore how the principal should work at school.
Six efforts can be implemented by school principal in enhancing the teacher’s
performance including (1) to focus seriously on the improvement of teacher
competencies, (2) to provide sufficient funding for improving teacher professionalism, (3)
to supervise and guide teachers professionally, (4) to create a organizational culture of
school that are comfortable for teachers, (5) to create innovation and advancement at
school, and (6) to provide various rewards for each achievement that are done by teacher.
Hence, it is recommended that school principal must more actively and creatively
collaborate with teachers and educational stakeholder to conduct the improvement of
teachers’ performance.
Keywords: Education, School Principal, Teacher Performance
Article Info
Received date: 6 Mei 2018 Revised date: 22 Juni 2018 Accepted date: 23 Juni 2018
Peran Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kinerja Guru | Nasib Tua Lumban Gaol & Paningkat Siburian
67
PENDAHULUAN
Kualitas pendidikan sangat ditentukan
oleh proses pembelajaran di lembaga
pendidikan (Lumban Gaol, 2017), misalnya,
sekolah. Selain itu, kepala sekolah dan guru
merupakan penggerak utama yang
berpengaruh signifikan terhadap setiap
pelaksanaan proses pembelajaran siswa selama
berada di lingkungan sekolah. Tanpa adanya
kinerja guru yang baik dan peran kepala
sekolah yang memadai dalam mengelola
sekolah, sangat sulit meningkatan kualitas
pendidikan atau mencapai standar nasional
pendidikan.
Dalam Undang Undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003,
Bab IX Pasal 35 ayat 1, terdapat delapan
komponen standar pendidikan Nasional, yaitu
isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian
pendidikan. Kedelapan komponen tersebut
harus ditingkatkan secara berencana dan
berkala supaya ada perubahan mendasar. Oleh
karena itu, untuk mencapai kedelapan
komponen pendidikan nasional yang
demikian, maka kualitas proses pembelajaran
di sekolah adalah sebagai penentu.
Pembelajaran di sekolah akan berhasil apabila
kepala sekolah mampu mengelola dan
memimpin sekolah dengan baik. Kemampuan
kepala sekolah dalam mengelola dan
memimpin sekolah ditunjukkan dari
kepemimpinan yang dimiliki dalam upaya
mewujudkan sekolah sebagai wadah
pembelajaran yang efektif dan efisien.
Pada hakikatnya, kepemimpinan
memainkan peran yang begitu penting dan
memiliki fungsi sebagai penentu keberhasilan
kelompok atau organisasi apapun (Okoroji,
Anyanwu & Ukpere, 2014). Hal senada
dikemukakan Igwe dan Odike (2016) yang
menegaskan bahwa sama seperti organisasi
lainya, keberhasilan dan kegagalan sekolah
sangat banyak berkaitan erat dengan kualitas
kepemimpinan yang dimiliki oleh kepala
sekolah. Oleh karena itu, sekolah sebagai
organisasi pendidikan harus dipimpin kepala
sekolah yang dapat memfungsikan peran
kepemimpinannya dengan baik. Tan (2016)
menyatakan bahwa kepala sekolah sebagai
pemimpin pendidikan memiliki empat fungsi,
yaitu (1) managing the teaching–learning
program, (2) designing the organization to
emphasize collaborative decision-making
processes among different stakeholders, (3)
developing an academic school vision and
giving directions, (4) understanding and
developing teachers.
Peran yang dimiliki oleh kepala
sekolah memang begitu kompleks. Selain
berperan mengelola sekolah supaya menjadi
efektif dan efisien, kepala sekolah secara
khusus juga harus mampu meningkatkan
kinerja guru. Susanto (2016) menyatakan
bahwa peningkatan kinerja guru dalam
pembelajaran dapat tercapai apabila kepala
sekolah sebagai pemimpin mampu memacu
guru dalam meningkatakan kinerja para guru
dengan sungguh-sungguh dan penuh dedikasi
yang tinggi terhadap tugas yang diemban. Oleh
karena itu, tanpa adanya dukungan yang
memadai dari kepala sekolah untuk
peningkatan kinerja guru, maka guru tidak
akan pernah melaksanakan tugasnya, yaitu
mendidik, melatih, membimbing, dan
mengembangkan potensi setiap siswa, dengan
maksimal. Dengan demikian, untuk
memperbaiki kualitas kinerja guru, maka peran
kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan
perlu dikembangkan lebih lagi supaya terjadi
peningkatan kinerja guru.
Saat ini, upaya perbaikan kinerja guru
di Indonesia sudah mendesak untuk dilakukan.
Rendahnya kinerja guru merupakan indikasi
dari rendahnya kemampuan kepala sekolah
dalam menjalankan perannya sebagai
pemimpin pendidikan. Akibatnya, kondisi
tersebut tidak hanya berdampak pada guru
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
68
tetapi juga pada siswa. Potensi siswa tidak
tergali dan terkembangkan secara maksimal.
Berdasarkan data yang dipublikasikan
oleh Organization for Economic Co-operation
and Development (OECD) pada tahun 2015,
dilaporkan bahwa: “Principals in Indonesia
need support to develop the skills that will
enable them to play their role in managing
teacher induction, performance assessments
and appraisals; the monitoring, promoting,
and sanctioning of teachers; the dissemination
of information about teacher performance;
and accountability for overall school
performance.” Kondisi yang diutarakan oleh
OECD tersebut mengindikasikan bahwa
kepala sekolah belum mampu melakukan
perannya sebagai kepala sekolah dengan baik
di Indonesia sehingga berdampak pada
rendahnya kinerja guru. Sumintono,
Sheyoputri, Jiang, Misbach dan Jumintono
(2015) menyarankan bahwa persiapan dan
pengembangan kepemimpinan kepala sekolah
sangat penting untuk dilakukan karena
berfungsi sebagai fundamental untuk
peningkatan sekolah dan sistem pendidikan.
Selain itu, Susanto (2016) menyatakan bahwa
peran kepala sekolah sangat berpengaruh di
lingkungan sekolah terutama terhadap staf
pengajar atau guru. Hasil studi Supovitz,
Sirinides dan May (2010) menunjukkan betapa
pentingnya kerja kepala sekolah pada
pembelajaran siswa karena berpengaruh secara
tidak langsung pada kegiatan guru melalui
peningkatan kalaborasi dan komunikasi ketika
pengajaran.
Dengan demikian, studi ini berupaya
untuk memberikan kontribusi pada
peningkatan pengetahuan tentang peran yang
harus dilakukan oleh kepala sekolah supaya
terjadi peningkatan kinerja guru melalui peran
yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah.
Oleh karena itu, perumusan masalah dalam
studi ini adalah apakah peran yang harus
dilakukan oleh kepala sekolah supaya kinerja
guru dapat meningkat ketika mengelola
lembaga pendidikan (sekolah)?
Karya tulis ini ditujukan untuk
mengeksplorasi tentang pentingnya peran
kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja
guru. Selain itu, studi ini bertujuan untuk
menguraikan upaya yang harus dilakukan oleh
kepala sekolah supaya kinerja guru dapat
meningkat. Karya tulis ini akan berkontribusi
baik secara teoritis maupun praktis. Secara
teoritis, dapat menambah pengetahuan tentang
peranan kepala sekolah dalam peningkatan
kinerja guru. Secara praktis, dapat menambah
pengetahuan kepala sekolah dalam
melaksanakan perannya sebagai pemimpin
pendidikan di sekolah. Melalui hasil studi ini,
baik pemerintah daerah maupun pemerintah
pusat dapat dibantu dalam peningakatan
profesionalisme guru dan peran kepala
sekolah.
PEMBAHASAN
Kepala sekolah sebagai pemimpin
sekolah, memang tidak bisa dipisahkan dari
berbagi tugas yang diembannya, misalnya,
sebagai administrator, pengelola berbagai
sumber daya yang ada di sekolah, dan
pemimpin pengajaran. Kepala sekolah yang
menjabat sebagai tenaga fungsional harus
memiliki kompetensi profesional sebagai
pemimpin sekolah. Merujuk pada Surat
Keputusan Menteri Penertiban Aparatur
Negara Nomor 296 tahun 1996 tentang Jabatan
Guru, dinyatakan bahwa kepala sekolah adalah
guru yang mendapat tugas tambahan. Dengan
kata lain, kepala sekolah harus memiliki
kemampuan manajerial dan kepemimpinan
supaya sekolah menjadi lembaga pendidikan
yang efektif dan efisien dalam melaksanakn
proses pembelajaran. Atau dengan kata lain,
sekolah sebagai pusat pembelajaran haruslah
berkualitas. Dalam peningkatan kualitas
sekolah, kepemimpinan kepala sekolah
merupakan komponen yang paling penting
dalam penenetuan keputusan yang berkaitan
Peran Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kinerja Guru | Nasib Tua Lumban Gaol & Paningkat Siburian
69
dengan berbagai kegiatan di sekolah (Yunus,
Andari & Islam, 2017).
Meskipun kepala sekolah memiliki
tanggung jawab yang begitu kompleks, tetapi
upaya peningkatan kinerja guru harus tetap
dilakukan. Kepala sekolah harus lebih
memfokuskan perhatian dan melakukan
berbagai upaya pada kepemimpinan
pengajaran. Kondisi ini dikarenakan kepala
sekolah sebagai pemimpin pengajaran adalah
sebagai model, pelatih, fasilitator, dan
pembimbing, bukan wali atau pengatur
pengajaran (Bredeson & Johansson, 2000).
Artinya, ketika kepala sekolah datang
melakukan supervisi pengajaran guru ke dalam
kelas, kepala sekolah tidak boleh berperan
sebagai evaluator atau hakim. Namun, ketika
kepala sekolah melakukan supervisi maka
harus menerapkan lima prinsip penting, yaitu
(1) hubungan konsultatif, kolegial dan bukan
hirarkhis, (2) dilaksanakan secara demokratis,
(3) berpusat pada guru, (4) berdasarkan
kebutuhan, dan (5) adanya bantuan
professional (Mulyasa, 2005).
Bredeson dan Johansson (2000)
menemukan empat bidang penting yang
berdampak pada pengajaran guru di sekolah
yang perlu dilakukan oleh kepala sekolah,
yaitu: (1) kepala sekolah sebagai pemimpin
pengajaran, (2) kepala sekolah sebagai
pencipta lingkungan pembelajaran, (3) kepala
sekolah terlibat secara langsung dalam
mendesain, menyampaikan dan menentukan
konten pengembangan profesionalitas guru,
dan (4) kepala sekolah menilai hasil
pengembangan profesionalitas guru. Keempat
bidang tersebut dapat diimplementasikan oleh
kepala sekolah dengan baik apabila kepala
sekolah memahami dan melakukan peran dan
tanggung jawabnya dengan sepenuh hati.
Dalam konteks pendidikan, kepala
sekolah merupakan tokoh kunci bagi
keberhasilan sekolah (Suhardiman, 2012;
Wiyono, 2017). Kemajuan atau kemunduran
kualitas pembelajaran di sekolah dipengaruhi
oleh kualitas peran yang dilakukan oleh kepala
sekolah. Semakin memadai pemahaman
kepala sekolah dalam melakukan peranannya
sebagai kepala sekolah, maka kinerja guru dan
kualitas pembelajaran juga cenderung
membaik.
Selain menjadi katalisator dan
mediator yang menerjemahkan kebijakan
pemerintah pusat, kepala sekolah juga harus
mampu menyampaikan aspirasi warga sekolah
atau steakholder kepada pemerintah. Ini
bertujuan supaya terjadi kesesuain kebijakan
dengan realitas di lapangan. Tanpa adanya
tindakan kepala sekolah yang sesuai untuk
menjembatani hal tersebut, kondisi sekolah
akan cenderung statis atau tidak mengalami
kemajuan.
Peran kepala sekolah dalam
peningkatan kinerja guru adalah begitu
penting. Kepala sekolah harus lebih fokus
memberikan perhatian pada kegiatan-kegiatan
dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan
mutu belajar melalui perbaikan kinerja guru
yang ditanganinya (Susanto, 2016). Hasil
kajian dari Emmanouil, Osia dan Paraskevi-
Ioanna (2014) dinyatakan bahwa
kepemimpinan kepala sekolah merupakan
mediator yang membangkitkan inspirasi,
motivasi, dukungan dan bimbingan sehingga
mengarahkan keluarnya potensi maksimum
guru dan tercapainya peningkatan kualitas
sekolah. Hasil studi Hasan (2017)
menunjukkan bahwa kepemimpinan kepala
sekolah berpengaruh terhadap kinerja guru.
Pada hakekatnya, konsep kinerja lebih
fokus pada kemampuan individu dalam
mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya
supaya tujuan organisasi dapat tercapai
(Siburian, 2014; Pangaribuan, Siburian,
Manullang, 2016). Pangaribuan (2016)
menyatakan kinerja mengarah pada penilaian
terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku
dalam bekerja yang berorientasi pada
kuantitas, kualitas dan akuntabel sesui dengan
standar kerja yang ditetapkan. Dari pengertian
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
70
tersebut, kinerja mencakup kognitif, afektif
dan psikomotirik yang dimiliki seseorang
dalam mengerjakan tugas-tugas yang sudah
diberikan.
Arman, Thalib dan Manda (2016)
menyatakan kinerja guru (teacher
performance) is a presentation of the work
done by teachers in carrying out his duties as
a professional educator. Defenisi yang lebih
luas disampaikan oleh Igwe dan Odike (2016)
yang menyatakan bahwa kinerja guru dapat
digambarkan sebagai tugus-tugas yang
dikerjakan oleh guru pada waktu yang
diberikan di sekolah dalam upaya mencapai
tujuan sekolah sehari-hari, tujuan kelas dan
seluruh tujuan dan sasaran pendidikan. Dengan
demikian, kinerja guru mencakup tugas-tugas
yang dikerjakan berdasarkan tugas-tugas yang
diberikan di sekolah.
Adanya berbagai tugas atau tanggung
jawab yang dimiliki oleh guru, maka dukungan
dari kepala sekolah sangat dibutuhkan oleh
guru dalam pengerjaan tugas dan tanggung
jawabnya tersebut. Apabila kepala sekolah
tidak memberikan perhatian serius terhadap
kinerja guru, maka guru akan menghadapi
kesulitan dalam menyelesaikan berbagai tugas
yang diembannya. Karena itu, peningkatan
kinerja guru dapat dilakukan oleh kepala
sekolah (Hasan, 2017) sebagai bagian dari
perananan yang harus dilakukan oleh
pemimpin pendidikan untuk meningkatkan
kualitas pemebelajaran di sekolah. Pentingnya
peningkatan kinerja guru sebagai komponen
peningkatan mutu pembelajaran di sekolah
sejalan dengan pandangan Anugraheni, I.
(2017: 211) yang menyatakan bahwa
peningkatan kinerja guru dapat dikembangkan
melaui pelatihan-pelatihan kompetensi guru.
Peningkatan kinerja guru dapat
dilakukan oleh kepala sekolah dengan
memperbaiki kompetensi guru. Kompetensi
guru merupakan kecakapan atau kemampuan
yang harus dimiliki oleh guru untuk
mengerjakan berbagai tugas yang diembannya.
Permendiknas Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru, dinyatakan
bahwa setiap guru wajib memiliki empat
kompetensi utama, yaitu pedagogik,
kepribadian, sosial, dan profesional. Apabila
kompetensi guru semakin baik, tentu kinerja
guru juga akan semakin baik. Dengan
demikian, berdasarkan peran kepala sekolah,
ada enam upaya yang dapat dilakukan oleh
kepala sekolah supaya peningkatan kinerja
guru dapat dilakukan.
Pertama, kepala sekolah harus
memiliki komitmen yang tinggi terhadap
peningkatan sekolah, fokus pada
pengembangan kurikulum, menfasilitasi dan
mendukung guru dalam pengembangan
kompetensinya (Hermino, 2016). Upaya yang
dapat dilakukan oleh kepala untuk
meningkatkan kinerja guru adalah dengan
mengarahkan guru supaya mengikuti kegiatan
pendidikan dan pelatihan untuk memperbaiki
kompetensinya, misalnya, mengikuti seminar
atau workshop. Hosnan (2016) menyatakan
bahwa untuk peningkatan kompetensi guru
dibutuhkan adanya pelatihan yang disesuaikan
dengan kompetensi masing-masing guru.
Lebih lanjut, Mulyasa (2005) menyarankan
agar peningkatan kinerja guru dapat dilakukan
oleh kepala sekolah dengan melibatkan guru
pada kegiatan Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP), Musyawarah Guru
Pembimbing (MGP), dan Kelompok Kerja
Guru (KKG).
Kedua, peran yang dapat dilakukan
oleh kepala sekolah dalam upaya peningkatan
kinerja guru adalah dengan mengalokasikan
anggaran untuk peningkatan kompetensi guru
(Hermino, 2016). Kepala sekolah harus
mampu menyusun anggaran yang sesuai
dengan kebutuhan sekolah termasuk
kebutuhan dalam pengembangan
profesionalisme guru. Dengan adanya
opimalisasi dana untuk pengembangan
kompetensi guru, maka proses pendidikan dan
Peran Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kinerja Guru | Nasib Tua Lumban Gaol & Paningkat Siburian
71
pelatihan serta kegiatan yang berkaitan dengan
pengembangan profesionalisme guru dapat
berjalan dengan lancar. Upaya yang dapat
dilakukan oleh kepala sekolah untuk
pemantapan pendanaan dalam peningkatan
kinerja guru adalah dengan mengajukan
bantuan dana kepada pihak pemerintah
maupun swasta.
Ketiga, kepala sekolah dapat
memberikan saran dan bimbingan kepada guru
atas kinerjanya dalam pembelajaran (Hermino,
2016). Artinya, ketika guru menghadapi
berbagai kendala dalam pembelajaran, kepala
sekolah harus memberikan bantuan supaya
guru dapat menyelesaikan persoalan
pembelajaran yang dihadapi. Bantuan terhadap
guru yang dapat dilakukan oleh kepala
sekolah, misalnya, memberikan supervisi
klinis atau training lanjutan kepada guru.
Keempat, kepala sekolah harus
menciptakan budaya organisasi sekolah yang
kondusif supaya kinerja guru dan tenaga
kependidikan tidak terganggu. Kepala sekolah
juga harus mampu menciptakan budaya
organisasi di sekolah sekondusif mungkin
sehingga prestasi belajar siswa dan kinerja
guru dapat meningkat (Lumban Gaol, 2017).
Susanto (2016) menyimpulkan bahwa budaya
organisasi adalah aturan main atau acuan
(nilai-nilai, norma-norma, falsafah dan
keyakinan) suatu organisasi atau komunitas
tertentu yang dipahami oleh seluruh anggota
organisasi yang dimanifestasikan dalam pola
pikir dan perilaku yang terintegrasi secara
internal dan adanya adaptasi secara eksternal
dalam usaha mencapai tujuan orgnisasi. Lebih
lanjut, Wibowo (2016) menyatakan bahwa
kinerja sumber daya manusia sangat
ditentukan oleh kondisi lingkungan internal
maupun eksternal organisasi, termasuk budaya
organisasi. Dengan adanya perasaan nyaman
yang dialami oleh guru, maka akan dapat
meningkatkan motivasi komitmen dan
loyalitas mereka dalam mengerjakan tugus-
tugas yang diemban (Hasan, 2017). Dengan
demikian, kepala sekolah memiliki peran vital
adan harus mampu menciptakan budaya
organisasi dan iklim kerja kondusif di sekolah.
Kelima, kepala sekolah dapat
menciptakan pembaruan, keunggulan
komparatif, dan memanfaatkan berbagai
peluang supaya proses pembelajaran dapat
berlanngsung dengan baik. Keenam,
pemberian penghargaan atas prestasi yang
diperoleh guru haruslah menjadi budaya di
sekolah. Artinya, kepala sekolah harus
memberikan perhatian serius terhadap
pencapain-pencapaian yang sudah
diperjuangkan oleh guru. Adapun keenam
peranan kepala sekolah yang diuraikan
sebelumnya adalah solusi untuk peningkatan
kinerja guru di sekolah. Meskipun hal tersebut
tidak begitu mudah untuk dilakukan, tetapi
kepala sekolah dapat bekerja sama dengan
steakholder pendidikan untuk mewujudkan
tujuan sekolah.
SIMPULAN
Kepala sekolah adalah pemimpin
pendidikan yang berperan penting dalam
peningkatan kinerja guru. Upaya yang dapat
dilakukan oleh kepala sekolah dalam
peningkatan kinerja guru berkaitan dengan
perannya sebagai pemimpin pendidikan di
sekolah, yaitu: (1) memaksimalkan fokus pada
peningkatan kompetensi guru, (2)
mengalokasikan anggaran yang cukup untuk
peningkatan profesionalisme guru, (3)
memberikan saran dan bimbingan yang
profesional kepada guru, (4) menciptakan
budaya organisasi sekolah yang kondusif; (5)
menciptakan pembaruan dan keunggulan, dan
(6) memberikan reward (penghargaan) bagi
guru yang berhasil atau berkinerja dengan
baik.
Dengan demikian, kepala sekolah
harus menjadikan sekolah sebagai wadah
pembelajaran bagi setiap warga sekolah
supaya terjadi proses pembelajaran yang
kondusif. Kepala sekolah juga harus mampu
menjadi sosok yang dapat mengayomi guru
supaya guru merasa bahwa pekerjaan yang
dilakukan adalah dihargai. Adanya
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
72
keterbatasan kepala sekolah dalam melakukan
perannya dalam peningkatan kinerja guru,
pemerintah daerah (Dinas Pendiikan) dan
pemerintah pusat (Kementerian Pendidikan
dan Kebudaya) harus berupaya lebih serius
memfasilitasi kepala sekolah. Dukungan dari
pemerintah daerah maupun pusat sangat
penting dalam peningkatan peran kepela
sekolah dan kinerja guru di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
____. 2010. Himpunan Peraturan Perundang-
undangan Sisdiknas: Sistem
Pendidikan Nasional. Bandung: Fokus
Media.
Anugraheni, I. 2017. Analisa Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Proses Belajar
Guru-Guru Sekolah Dasar. Kelola:
Jurnal Manajemen Pendidikan, 4(2),
205-212.
Arman, A., Thalib, S. B., & Manda, D. 2016.
The effect of school supervisors
competence and school principals
competence on work motivation and
performance of Junior High School
teachers in Maros Regency, Indonesia.
International Journal of
Environmental and Science Education,
11 (15), 7309-7317.
Bredeson, P. V. & Johannson, O. 2000. The
school principal's role in teacher
professional development. Journal of
in-service education, 26(2), 385-401.
Emmanouil, K., Osia, A., & Paraskevi-Ioanna,
L. 2014. The Impact of Leadership on
Teachers’ Effectiveness. International
Journal of Humanities and Social
Science, 4(7), 34-39.
Hasan, M. N. 2017. Influence of Work
Motivation, Leadership and
Organizational Culture Principal of the
Teacher Performance in Vocational
School (SMK) Muhammadiyah,
Rembang City, Central Java Province,
Indonesia. European Journal of
Business and Management, 9(2), 36-
44.
Hermino, A. 2016. Manajemen Kemarahan
Siswa. Kajian Teoritis dan Praktis
dalam Manajemen Pendidikan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hosnan, M. 2016. Etika Profesi Pendidik:
Pembinaan dan Pemantapan Kinerja
Guru, Kepala Sekolah, serta Pengawas
Sekolah. Bogor: Ghalia Indonesia.
Igwe, N. N. & Odike, M. N. 2016. A Survey
of Principals’ Leadership Styles
Associated with Teachers’ Job
Performance in Public and Missionary
Schools in Enugu State Nigeria. British
Journal of Education, Society and
Behavioural Science, 17(2), 1-21.
Lumban Gaol, N. T. 2017. Teori dan
implementasi gaya kepemimpinan
kepala sekolah. Kelola: Jurnal
Manajemen Pendidikan, 4(2), 213-
219.
Mulyasa, E. 2005. Menjadi Kepala Sekolah
Profesional dalam konteks
menyukseskan MBS dan KBK.
Bandung: PT REMAJA
ROSDAKARYA.
OECD/Asian Development Bank. 2015.
Reviews of national Policies for
Education/ Education in Indonesia:
Rising to the Challenge. Paris: OECD
(Organization for Economic Co-
operation and Development)
Publishing.
Okoroji, L. I., Anyanwu, O. J., & Ukpere, W.
I. 2014. Impact of leadership styles on
teaching and learning process in Imo
State. Mediterranean Journal of Social
Sciences, 5(4), 180-193.
Pangaribuan, W. 2016. Pengaruh budaya
organisasi, komitmen organisasi,
Peran Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kinerja Guru | Nasib Tua Lumban Gaol & Paningkat Siburian
73
komunikasi interpersonal, dan
efektifitas sistem pengendalian
manajemen kinerja terhadap kinerja
dosen. Disertasi. Medan: Universitas
Negeri Medan.
Pangaribuan, W., Siburian, P. & Manullang, J.
2016. Determining Factors of Senior
High School Principals' Performance in
Medan. International Journal Basic
and Applied Research (IJSBAR), 25(2),
44-57.
Permendiknas Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi
Guru.
Siburian, P. 2014. Faktor Penentu Kinerja
Kepala Sekolah Menengah Kejuruan.
Cakrawala Pendidikan, 32(2), 257-
265.
Suhardiman, B. 2012. Studi Pengembangan
Kepala Sekolah: Konsep dan Aplikasi.
Jakarta: Rineka Cipta.
Sumintono, B., Sheyoputri, E. Y. A., Jiang, N.,
Misbach, I. H. & Jumintono. 2015.
Becoming Principal in Indonesia:
possibility, pitfalls and potential. Asia
Pasicific Journal of Education, 1-11.
Supovitz, J., Sirinides, P., & May, H. 2010.
How principals and peers influence
teaching and learning. Educational
Administration Quarterly, 46(1), 31-
56.
Surat Keputusan Menteri Penertiban Aparatur
Negara No.0296 Tahun 1996 tentang
Jabatan Fungsional Guru.
Susanto, A. 2016. Konsep, Strategi, dan
Implementasi Manajemen Peningkatan
Kinerja Guru. Jakarta: Prenademedia
Group.
Tan, C. Y. 2016. Examining school leadership
effects on student achievement: the role
of contextual challenges and
constraints. Cambridge Journal of
Education, 48(1), 21-45.
Wiyono, B. B. 2017. The Effect of Self-
evaluation on the Principals’
Transformational Leadership,
Teachers’ Work Motivation,
Teamwork Effectiveness, and School
Improvement. International Journal of
Leadership in Education, 21 (1).
Yunus, M., Andari, K. D. W., & Islam, M. A.
2017. The Principal's Competences In
Implementing Cultural And
Environmental Management Of The
School In SDN 033 Tarakan. JPI
(Jurnal Pendidikan Indonesia), 6(2),
263-274.
Kelola
Jurnal Manajemen Pendidikan
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018
Halaman: 74-85
74
Efikasi Akademik Dan Prokrastinasi Akademik Sebagai Prediktor Prestasi
Akademik
Zummy Anselmus Dami
Bimbingan dan Konseling Universitas Persatuan Guru 1945 NTT
zummydami82@gmail.com
Paula Alfa Loppies
Bimbingan dan Konseling Universitas Persatuan Guru 1945 NTT
alfaloppies@gmail.com
ABSTRACT
The purpose of this research is to investigate the relationship between significance or know
the academic efficacy and procrastination academic with achievement students academic of
project study guidance and counseling, Teaching and Education Faculty University PGRI East
Nusa Tenggara. The number of samples used in the study as much as 92 students drawn from
population 1180 includes force 2009 as much as much as 102 students 2010 force 205 students,
2011 as much as 368 students, and force as many as 505 2012 student. The sampling technique
used is the purposive sampling technique. Tool collecting data using a detailed questionnaire
with Likert scale, which consists of a detailed questionnaire for academic procrastination and
academic efficacy. While the achievement of student learning is measured based on the CPI. The
analysis used in this study is the technique of correlation of Product Moment with the help of
SPSS Version 18.0. The first hypothesis test results showed that the relationship between
academic procrastination and academic achievement, known (r) correlation coefficient between
academic procrastination and academic achievement of 0.015 with p 0.890 > 0.05 negative
correlation, direction and with the guidelines of the wear level of significance of 5%, obtained p
0.890 > 0.0.5 then correlation between academic procrastination and academic achievement is
declared not significant. The second hypothesis test results showed a relationship between
academic efficacy with academic achievement, known coefficient of correlation (r) between
academic efficacy and academic achievement -0.004 0.970 > with p 0.05, direction correlation
negative and wear guidelines significance level 5%, obtained p 0.970 > 0.05 then correlation
between academic efficacy with academic achievement is expressed is not significant. While the
third hypothesis test results showed the absence of significant correlation between academic
procrastination and academic efficacy simultaneously toward academic achievement with the
retrieved R square (coefficient of determination) of 0000, and the coefficient correlation of 0.015
with 0.990 > p 0.05. Further, it is known from the Fcount of 0.010 of Ftable of 3.10, so that H0 is
accepted and Ha was rejected.
Keywords: Correlation, Efficacy, Procrastination, Achievement, Academic
Article Info
Received date: 28 April 2018 Revised date: 20 Mei 2018 Accepted date: 19 Juni 2018
Efikasi Akademik Dan Prokrastinasi Akademik Sebagai Prediktor … | Zummy A. Dami & Paula A. Loppies
75
PENDAHULUAN
Kemajuan masyarakat dalam Ilmu
Pengetahuan,Teknologi dan Seni (IPTEKS)
dewasa ini, tidak mungkin dapat dicapai tanpa
kehadiran institusi pendidikan sebagai
organisasi yang menyelenggarakan pendidikan
secara formal. Proses pendidikan yang
berlangsung mempunyai ukuran standarisasi
dalam menilai sejauh mana pengetahuan dan
keterampilan mahasiswa tercapai (Tilaar,
2006).
Mahasiswa dalam kaitannya dengan
dunia pendidikan, merupakan salah satu
substansi yang perlu diperhatikan, karena
mahasiswa merupakan penerjemah terhadap
dinamika pengetahuan, dan melaksanakan
tugas untuk mendalami ilmu pengetahuan
tersebut. (Harahap, 2006). Mahasiswa secara
umum merupakan subyek yang memiliki
potensi untuk mengembangkan pola
kehidupannya, dan sekaligus menjadi obyek
dalam keseluruhan bentuk aktivitas dan
kreativitasnya, sehingga diharapkan mampu
menunjukkan kualitas yang dimilikinya.
Kualitas mahasiswa dapat
dilihat dari prestasi akademik yang dicapainya.
Prestasi akademik merupakan perubahan
dalam hal kecakapan tingkah laku ataupun
kemampuan yang dapat bertambah selama
beberapa waktu, dan yang tidak disebabkan
oleh proses pertumbuhan, tetapi adanya situasi
belajar. Sehingga dipandang sebagai bukti
usaha yang diperoleh mahasiswa (Sobur,
2006).
Banyak studi yang telah melaporkan
bahwa beberapa faktor yang secara positif dan
negatif mempengaruhi prestasi akademik
diantara para mahasiswa, seperti
menghabiskan waktu dengan mengerjakan
tugas-tugas, motivasi, kebiasaan belajar,
stress, menunda-nunda pekerjaan, efficacy,
burnout, self-esteem, dan sebagainya (Balkis &
Duru, 2009; Klassen, Krawchuk & Rajani,
2008; Crede & Kuncel, 2008).
Steel (Kartadinata & Sia, 2008),
berpendapat bahwa prokrastinasi adalah “to
voluntarity delay an intended course of action
despite expecting to be worse-off for the
delay”. Sedangkan menurut Senecal, Julian,
dan Guay (Balkis, 2011), prokrastinasi
akademik dapat didefinisikan as an irrational
tendency to delay at the beginning or
completion of an academic test. Dari dua
definisi yang telah dikemukakan menunjukkan
bahwa prokrastinasi akademik merupakan
suatu bentuk kesengajaan untuk menunda-
nunda pekerjaan akademik baik pada saat
memulai ataupun menyelesaikannya walaupan
mengetahui bahwa penundaan dapat
menghasilkan dampak yang buruk. Dampak
dari penundaan tersebut adalah menurunnya
prestasi akademik. Hal ini didukung oleh
penelitian Balkis & Duru (2009), Ozer, Demir
& Ferrari (2009), yang menunjukkan bahwa
procrastination is related to poor academic
performance. Laporan BBC News Megazine
(27 Agustus 2012), sebagaimana yang
dinyatakan oleh Steel dari The Haskayne
School of Business at the University of
Calgary, penulis The Procrastination
Equation, yang telah melakukan penelitian
yang luas di dalam topik ini, menemukan
bahwa 95% dari kita melakukan prokrastinasi.
Sedangkan penelitian Ferrari dariDePaul
University Chicago, penulis Still
Procrastinating? The No Regrets Guide to
Getting It Done, yang telah menemukan bahwa
20% populasi dunia adalah prokrastinasi
kronis, menyulitkan hidup mereka, dan
mungkin memperpendeknya, dengan tidak
putus-putusnya menunda dan menghindari
tugas-tugas. Lebih lanjut penelitian yang
dilakukan oleh Akinsola, Tella dan Tella
(2007) terhadap prestasi matematika
mahasiswa University Ibadan dan University
Lagos, Nigeria, menunjukkan adanya korelasi
yang signifikan antara prokrastinasi akademik
dengan prestasi akademik di dalam mata
pelajaran matematika. Namun, penelitian
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
76
Keqiao (2010) yang dilakukan terhadap
mahasiswa Chinese University memberikan
hasil bahwa ada hubungan yang negatif
signifikan dengan prestasi akademik. Hasil
yang sama terjadi juga pada penelitian
dilakukan oleh Kartadinata & Tjundjing
(Mayasari, Mustami'ah & Warni, 2010) di
salah satu Perguruan Tinggi Surabaya terdapat
95% dari angket yang disebarkan pada 60
subyek mahasiswa mengatakan bahwa pernah
melakukan prokrastinasi. Alasan terbesar yang
membuat mahasiswa tersebut membuat
prokrastinasi adalah rasa malas mengerjakan
tugas (42%) dan banyak tugas lain yang harus
dilakukan (25%).
Secara singkat, penelitian-penelitian
tersebut sedang mengindikasikan bahwa
prokrastinasi adalah perilaku bermasalah yang
dialami secara luas diantara mahasiswa
sebagai perilaku yang memiliki pengaruh
negatif terhadap prestasi akademik. Dukungan
lainnya yang menyatakan adanya hubungan
yang negatif dan signifikan antara
prokrastinasi akademik dengan prestasi
akademik berasal dari hasil penelitian Amaliah
(2011) terhadap siswa kelas XI SMA Negeri 1
Malang.
Faktor penting lain yang mem-
pengaruhi prestasi akademik adalah self-
efficacy. Park dan Kim (2006), menyebutkan
efikasi diri sangat penting bagi pelajar untuk
mengontrol motivasi mencapai harapan-
harapan akademik. Efikasi diri akademik jika
disertai dengan tujuan-tujuan yang spesifik dan
pemahaman mengenai prestasi akademik,
maka akan menjadi penentu suksesnya
perilaku akademik di masa yang akan datang
(Bandura dalam Alwisol, 2004). Pemahaman
ini menggambarkan bahwa efikasi diri
akademik dapat menjadi suatu sumber daya
yang sangat penting bagi pengembangan diri
melalui pilihan aktivitas mahasiswa (Schunk
dalam Santrock, 2008). Zimmermen (Balkis,
2011), mendefinisikan efikasi akademik as
personal judgments of one’s capabilities to
organise and execute courses of action to
attain designated types of educational
performances. Melalui kedua definisi ini dapat
disimpulkan bahwa efficacy akademik
menunjuk kepada pendirian atau keputusan
seseorang berkaitan dengan kapabilitasnya
didalam mengorgansasikan dan melaksanakan
serangkaian tugas-tugas akademik untuk
mencapai kinerja akademik yang telah
dirancang. Para peneliti telah menyediakan
bukti bahwa efikasi diri akademik sebagai
faktor penting yang mempengaruhi prestasi
akademik (Adeyamo, 2007; Klassen,
Krawchuck & Rajani, 2008). Hasil penelitian
Tenaw (2013) terhadap mahasiswa Analytical
Chemistry I (ACI) di Debre Markos of Teacher
Education (DMCTE) menunjukkan bahwa
adanya hubungan yang signifikan antara self-
efficacy dan prestasi akademik. Lebih lanjut,
hasil penelitian Reniati (2009), menemukan
bahwa ada hubungan yang positif dan sangat
signifikan antara efikasi diri dengan prestasi
akademik pada mahasiswa Universitas Negeri
Malang. Senada dengan itu, penelitian
Motlagh, Amrai, Yazdani, Abderahim, dan
Souri (2011), menunjukkan bahwa self efficacy
adalah faktor yang dapat dipertimbangkan
sebagai prediktor terhadap prestasi akademik.
Akan tetapi, ada juga hasil penelitian yang
menunjukkan kontradiksi. Hasil penelitian
yang dimaksudkan adalah penelitian dari
Nurhasnah (2005), menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara self
efficacy dengan indeks prestasi keberhasilan
belajar pada mahasiswa Perguruan Tinggi
Kedinasan Akamigas.
Selain hasil penelitian secara parsial
hubungan antara prokrastinasi akademik
dengan prestasi akademik, efikasi akademik
dan prestasi akademik, Balkis (2011) telah
melakukan penelitian dengan melihat pada
peran efikasi akademik sebagai variabel
mediator dan moderator dalam hubungan
antara prokrastinasi akademik dengan prestasi
akademik. Dalam penelitian ini Balkis (2011)
Efikasi Akademik Dan Prokrastinasi Akademik Sebagai Prediktor … | Zummy A. Dami & Paula A. Loppies
77
menunjukkan bahwa mahasiswa dengan
tingkat prokrastinasi akademik yang tinggi
mereka memiliki tingkat self-efficacy yang
rendah dan prestasi akademik yang jelek, dan
mahasiswa dengan tingkat self-efficacy tinggi
memiliki tingkat prokrastinasi akademik
rendah dan tingkat prestasi akademik yang
lebih tinggi. Lebih tepatnya hasil penelitian
Balkis (2011) adalah sebagai berikut:
academic effucacy has partial mediator role in
relaion to the academic procrastination and
reported academic achievement. Results also
showed that academic-efficacy moderate
relationship between academic
procrastination and reported academic
achievement by raising reported academic
achievement and reducing academic
procrastination.
Untuk mengetahui gambaran awal
mengenai prokrastinasi akademik dan efikasi
akademik mahasiswa Program Bimbingan
Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas PGRI NTT, maka
peneliti melakukan penelitian pendahuluan.
Khusus untuk variabel prokrastinasi,
pertanyaan wawancara tidak terstruktur
diadopsi dan dimodifikasi sesuai dengan
kepentingan penelitian ini dari Procrastination
Assessment Scale for Student (PASS), yang
terdiri dari enam area akademik (Solomon &
Rothblum, 1984). Sedangkan variabel efikasi
diri, pertanyaan diadopsi dan dimodifikasi
sesuai dengan kepentingan penelitian ini dari
General self-Efficacy Scale, yang terdiri dari
10 item pertanyaan.(Born, Schwarzer &
Jerusalem, 1995). Hasil wawancara tidak
struktur yang dilakukan terhadap 21 orang
mahasiswa tersebut menunjukkan bahwa
tingkat prokrastinasi akademik mahasiswa
tinggi (19 orang), dan hanya 2 orang yang
memiliki efikasi diri dalam kaitanya dengan
melaksanakan tugas-tugas akademik.
Berdasarkan uraian permasalahan dari
aras empirik dan teoritis dalam hal ini adanya
kontradiksi hasil penelitian terdahulu serta
peran variabel efikasi akademik sebagai
mediator dan moderator terhadap hubungan
antara prokrastinasi akademik dengan prestasi
akademik, maka penelitian ini bertujuan untuk
menginvestigasi dan mengetahui apakah ada
hubungan yang positif dan signifikan antara
efikasi akademik dan prokrastinasi akademik
dengan prestasi akademik.
TINJAUAN PUSTAKA
Prestasi Akademik
Pengertian Prestasi Akademik
Prestasi akademik merupakan salah
satu determinan dari keberhasilan hidup.
Menurut Dauluta dan Nuthanap (dalam
Calaguas, 2012), academic achievement serves
as a key criterion in order to judge student’s
true potentials and capabilities. Lebih lanjut
Dauluta dan Nuthanap (Calaguas, 2012)
academic achievement has been one of the
most important goals of the educational
process. Jadi, prestasi akademik memiliki
peran yang penting didalam meningkatkan
atau menyakinkan kualitas, karena tanpa
prestasi akademik lulusan yang dihasilkan
sedang-sedang saja.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi
Akademik
Nuthana (2007) mengemukakan
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
prestasi akademik, yaitu study habit
(lingkungan rumah dan rencana kerja,
kebiasaan membaca dan membuat catatan,
perancanaan mata kuliah, kebiasaan
konsentrasi, persiapan untuk ujian, kebiasan
umum dan sikap, serta lingkungan universitas),
self-concept (persepsi, keyakinan, perasaan,
sikap, dan nilai yang mana individu
memandang dirinya sendiri), socio economic
status (posisi seseorang dalam komunitas,
budaya, dan pasrtisipasinya dalam kelompok),
dan gender. Sedangkan Soemanto (2006)
menambahkan dua faktor lain, yaitu locus of
control dan kecemasan yang dialami.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
78
Ciri-ciri Individu yang Berprestasi
Sahputra (2009) menyatakan bahwa
ciri individu yang memiliki keinginan
berprestasi tinggi adalah individu yang
memiliki standar berprestasi, memiliki
tanggung jawab pribadi atas apa yang
dilakukannya, individu lebih suka bekerja pada
situasi dimana dirinya mendapat umpan balik
sehingga dapat diketahui seberapa baik tugas
yang telah dilakukannya, individu tidak
menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan
atau karena tindakan orang lain, individu lebih
suka bekerja pada tugas yang tingkat
kesulitannya menengah dan realistis dalam
pencapain tujuannya, individu bersifat inovatif
dimana dalam melakukan tugasnya selalu
dengan cara yang berbeda, efisien dan lebih
baik dari sebelumnya, dengan demikian
individu merasa lebih dapat menerima
kegagalan atas apa yang dilakukannya.
Efikasi Akademik
Pengertian Efikasi Akademik
Efikasi diri dapat diartikan sebagai
keyakinan manusia akan kemampuan dirinya
untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian
terhadap fungsi diri mereka dan kejadian di
lingkungannya (Bandura dalam Feist & Feist,
2006). Efikasi diri individu dalam akademik
disebut efikasi diri akademik. Sehingga,
efikasi diri akademik dapat didefinisikan
sebagai keyakinan yang dimiliki seseorang
tentang kemampuan atau kompetensinya untuk
mengarahkan motivasi, kemampuan kognisi,
dan mengambil tindakan yang diperlukan
untuk mengerjakan tugas, mencapai tujuan,
dan mengatasi tantangan akademik.
Proses-proses yang Mengiringi Efikasi
Akademik
Bandura (1997) menyebutkan empat
proses yang mengiringi efikasi diri, termasuk
efikasi diri akademik, yaitu proses kognitif,
motivasi, afeksi, dan seleksi.
Sumber-sumber Efikasi Akademik
Menurut Bandura (Feist & Feist, 2006)
efikasi diri akademik dibentuk, dikembangkan,
atau diturunkan melalui satu atau kombinasi
dari keempat sumber, yaitu pengalaman-
pengalaman tentang penguasaan, pemodelan
sosial, persuasi sosial, dan kondisi fisik serta
emosional individu.
Prokrastinasi Akademik
Pengertian Prokrastinasi Akademik
Prokrastinasi secara tipikal dapat
didefinisikan sebagai suatu pengaturan sifat
atau perilaku untuk menunda tugas-tugas
pekerjaan atau membuat keputusan (Milgram,
Haycock & Kachgal dalam Sirin, 2011). Lebih
lanjut Sirin (2011) menjelaskan bahwa apabila
prokrastinasi dikaitkan dengan akademik
(academic procrastination) maka akan
meliputi tugas-tugas akademik, dan dapat
dijelaskan sebagai penundaan tugas-tugas
akademik karena beberapa alasan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Prokrastinasi Akademik
Menurut Gufron, Nur & Rini (2010),
ada dua kategori faktor yang mempengaruhi
prokrastinasi akademik, yaitu: faktor internal
yang terdiri dari kondisi fisik individu dan
kondisi psikologis individu, sedangkan faktor
eksternal meliputi gaya pengasuhan orang tua
dan kondisi lingkungan. Ferrari (Ilfiandra,
2010) menyatakan bahwa faktor yang paling
dominan mempengaruhi prokrastinasi
akademik yaitu fear of failure yang merupakan
suatu ketakutan berlebihan untuk gagal dan
menyebabkan mahasiswa melakukan
prokrastinasi.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
eksplanasi yang bertujuan untuk memberi
jawaban atas pertanyaan mengapa dengan
menjelaskan alasan terjadinya suatu fenomena
(Supramono & Utami, 2004). Untuk menjawab
pertanyaan mengapa, maka peneliti mencoba
untuk melihat keterkaitan antara variabel,
dimana keterkaitan yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah menguji hubungan
(korelasi).
Efikasi Akademik Dan Prokrastinasi Akademik Sebagai Prediktor … | Zummy A. Dami & Paula A. Loppies
79
Penelitian ini dilaksanakan di Program
Studi Bimbingan Konseling Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
PGRI Nusa Tenggara Timur yang terletask Jl.
Perintis Kemerdekaan III/40 Kota Baru, Kota
Kupang-NTT.
Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan
Sampel.
Populasi menunjuk pada keseluruhan
unit atau individu dalam ruang lingkup yang
ingin diteliti. Dalam penelitian ini, yang
menjadi populasi adalah seluruh mahasiswa
Program Studi Bimbingan Konseling Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
PGRI dari semester 2 sampai dengan semester
8, yang berjumlah 912 orang. Sedangkan
sampel adalah sebagian dari jumlah
karakteristik yang dimiliki oleh populasi dan
apa yang dipelajari dari sampel itu (Sugiyono,
2002). Memakai rumor Yamane (1973),
jumlah sampel yang akan diteliti adalah 92
orang. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah purposive sampling yaitu
teknik penentuan sampel dengan pertimbangan
tertentu (Supramono & Haryanto, 2005).
Sehubungan dengan tujuan penelitian yaitu
tentang prestasi akademik, maka sampel yang
dipilih adalah mahasiswa yang sementara aktif
mengikuti kuliah.
Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data
menggunakan metode survei dengan teknik
kuesioner. Lebih lanjut, teknik kuesioner/
angket dimaksudkan untuk mengukur efikasi
akademik dan prokrastinasi akademik. Teknik
pengumpulan data untuk efikasi akademik
diadaptasi dari Aitken Procrastination
Inventory (API) yang terdiri dari 19 item.
Inventory ini dikembangkan untuk
membedakan antara prokrastinasi yang kronis
dengan prokrastinasi yang tidak kronis
diantara mahasiswa-mahasiswa perguruan
tinggi.
Teknik pengumpulan data untuk
efikasi akademik diadaptasi dari sub skala
efikasi akademik dari Maslach Burnout
Inventory Student Survey yang digunakan
untuk menilai efikasi akademik partisipan.
Inventori ini terdiri dari 6 item.
Tekhnik Pengukuran Data
Metode untuk mengukur data yang
digunakan adalah metode skala. Skala adalah
alat untuk mengukur nilai, sikap, minat,
perhatian motivasi, yang disusun dalam bentuk
rentang nilai angka sesuai dengan kriteria yang
dibuat peneliti (Sudjana, 2001). Untuk
kuesioner, efikasi akademik dan prokrastinasi
akademik menggunakan teknik pengukuran
Skala Likert. Skala ini digunakan untuk
mengukur sikap, pendapat dan persepsi
seseorang atau sekelompok gejala sosial
(Riduwan, 2002). Sedangkan untuk prestasi
akademik menggunakan IPK mahasiswa.
Skala Likert merupakan instrumen
yang umum digunakan untuk meminta
responden agar memberikan respon terhadap
beberapa pertanyaan atau pernyataan, dan hal
ini sering digunakan dalam penelitian
pendidikan (Sudjana, 2001). Bentuk pilihan
responden dari kepuasan kerja, etos kerja dan
kinerja guru adalah: Sangat Setuju (SS) diberi
skor 5; Setuju (S) diberi skor 4; cukup setuju
(CS) diberi 3; dan Tidak Setuju (TS) diberi
skor 2; dan Sangat Tidak Setuju (STS) diberi
skor 1.
Analisis Validitas dan Reliabilitas Item
Uji validitas instrumen penelitian atau
tingkat ketepatan instrumen penelitian adalah
tingkat kemampuan instrumen penelitian
untuk mengungkapkan data sesuai dengan
masalah yang hendak diungkapkannya.
Validitas pengukuran berhubungan dengan
kesesuaian dan kecermatan fungsi ukur dari
alat yang digunakan.
Uji reliabilitas merupakan tingkat
kebebasan dari random errors sehingga alat
ukur yang digunakan dapat memberi hasil
yang konsisten. Reliabilitas merupakan faktor
kondisional bagi validitas tetapi data yang
reliabel belum tentu valid. Jadi, reliabilitas
menyangkut akurasi konsistensi, dan stabilitas
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
80
alat ukur. Suatu kuesioner dikatakan handal
jika jawaban seseorang terhadap pernyataan
adalah konsisten atau stabil dari waktu ke
waktu (Ghozali, 2001).
Analisis Korelasi
Furchan (Atmojo, 2009) menjelaskan
bahwa analisis korelasi digunakan untuk
menemukan ada tidaknya hubungan dan
apabila ada, berapa eratnya serta berarti atau
tidak hubungan antar variabel-variabel itu.
Indeks-indeks statistik yang dapat
menunjukkan arah (positif dan negatif) dan
juga kekuatan suatu hubungan antar variabel
disebut koefisien korelasi. Derajat koefisien
korelasi dinyatakan dalam angka koefisien
korelasi yang bergerak antara -1,0 sampai
+1,0. Koefisien korelasi -1,0, menunjukkan
adanya hubungan yang negatif secara
sempurna, sedangkan nilai +1,0, menunjukkan
adanya hubungan yang positif secara
sempurna. Sedangkan jika nilainya 0,
menunjukkan bahwa dua variabel yang diteliti
tidak terdapat hubungan sama sekali.
Sudjana (2001) menetapkan
kriteria tinggi rendahnya hubungan dan
kekuatan hubungan yang dilihat dari besar
kecilnya indeks koefisien korelasi sebagai
berikut:
0,00 < 0,20 = menunjukkan hubungan sangat
rendah
0,20 – 0,40 = menunjukkan hubungan rendah
0,40 – 0,70 = menunjukkan hubungan sedang
dan cukup
0,70 - 0,90 = menunjukkan hubungan kuat
0,90 – 1,00 = menunjukkan hubungan sangat
kuat
Statistik untuk menguji korelasi antara
variabel kepuasan kerja (X1) dengan kinerja
guru (Y) dan antara variabel etos kerja (X2)
dengan kinerja guru (Y) menggunakan teknik
korelasi Product Moment dari Pearson dengan
bantuan software SPSS 18.0. Handi (Atmojo,
2009) menjelaskan bahwa teknik ini dipilih
berdasarkan tiga asumsi, yaitu: (1) Asumsi
accidental, artinya bahwa pengambilan sampel
dilakukan secara acak atau random; (2) asumsi
normal distribution, artinya variabel yang akan
dikorelasikan reratanya mengikuti sebaran
normal; (3) asumsi homegenity of variance,
artinya bahwa kelompok variansi antar
kelompok yang satu dengan kelompok yang
lain homogen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Karakteristik Responden
Berdasarkan kuesioner yang
disebarkan kepada mahasiswa Program Studi
Bimbingan dan Konseling Universitas PGRI
NTT, diperoleh karakteristik responden
mengenai jenis kelamin, usia, dan asal daerah.
Berdasarkan deskripsi sampel
penelitian dapat terlihat bahwa sampel
penelitian ini terdiri dari 92 orang mahasiswa,
terdiri dari 40 laki-laki (43%) dan 52
perempuan (57%). Hal ini berarti bahwa
subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin,
perempuan lebih mendominasi prosentasenya
daripada laki-laki. Persentase karakteristik
kedua yaitu usia menunjukkan bahwa sebagian
besar responden telah berusia 20-24 tahun
yaitu sebanyak 62 responden (67%). Data ini
menunjukkan bahwa usia responden dapat
dikategorikan masuk dalam tahap aktualisasi
diri.
Berdasarkan asal daerah, tampak
kebanyakan mahasisa Program Studi
Bimbingan Konseling Universitas PGRI NTT
berasal dari daerah, atau dengan kata lain
berasal dari luar Kota Kupang, dimana
prosentasinya terbanyak berasal dari Flores
(27%), Sumba (21%), dan Timor Tengah
Selatan (15%).
Uji Validitas Instrumen Prokrastinasi
Akademik
Dari hasil uji validitas 19 butir
instrumen prokrastinasi akademik diperoleh 3
butir item yang memiliki nilai r hitung < 0,3
yaitu butir nomor 2 (r = 0,142), 8 (r = 0,270),10
(r = -0,195), dan (r =-0,202). Dengan demikian
3 butir nomor dinyatakan tidak valid dan
Efikasi Akademik Dan Prokrastinasi Akademik Sebagai Prediktor … | Zummy A. Dami & Paula A. Loppies
81
dikeluarkan dari analisis. Butir item lainnya
sebanyak 16 butir memiliki nilai r hitung
paling rendah sebesar 0,338 (butir nomor 15)
dan nilai r hitung paling tinggi sebesar 0,684
(butir nomor 12). Dengan demikian, 16 butir
instrumen prokrastinasi akademik dinyatakan
valid.
Uji Instrumen Efikasi Akademik
Dari hasil uji validitas 6 butir
instrumen efikasi akademik diperoleh 6 butir
item yang memiliki nilai r hitung > 0,3. Dari 6
butir instrumen, yang memiliki nilai r hitung
paling rendah 0,323 (butir nomor 2) dan paling
tinggi 0,501 (butir nomor 5). Oleh karena,
seluruh butir instrumen memiliki nilai r hitung
> 0,3 maka ke-6 butir tersebut dinyatakan
valid.
Uji Reliabilitas Item
Setelah pengujian validitas, maka
tahap selanjutnya adalah pengujian reliabilitas.
Uji reliabilitas mengindikasikan bahwa suatu
instrumen tidak bias dan suatu instrumen
handal diujikan pada waktu, tempat, dan orang
yang berbeda-beda. Pengukuran reliabilitas
instrumen penelitian dilakukan dengan
menganalisis koefisien cronbach’s alpha.
Koefisien cronbach’s alpha yang mendekati
satu menandakan reliabilitas konsistensi yang
tinggi. Umumnya, koefisien reliabilitas
cronbach’s alpha kurang dari 0,60
menandakan reliabilitas yang buruk.
Reliabilitas yang dapat diterima berada
diantara nilai 0,60-0,79 dan reliabilitas yang
sangat tinggi adalah yang lebih dari 0,80
(Ghozali, 2001). Berikut Tabel 4.2 merupakan
hasil pengujiannya.
Tabel 1. Ringkasan Uji Reliabilitas
Variabel Koefisien
Alpha Batas Makna
Prokrastinasi 0,866 0,6 Reliabel
Efikasi 0,674 0,6 Reliabel
Berdasarkan hasil uji reliabilitas di
atas, tampak seluruh variabel memiliki
koefisien alpha cronbach lebih dari batas
minimal yang ditetapkan. Koefisien alpha
terendah terjadi pada variabel efikasi akademik
dan koefisien alpha tertinggi terjadi pada
variabel prokrastinasi akademik. Oleh karena
koefisien alpha > 0,6 maka seluruh instrumen
dinyatakan reliabel.
Uji Normalitas
Sebelum melakukan uji hipotesa
menggunakan dua alat analisis statistik
parametrik, maka akan dilakukan uji
penormalan data memakai tes kolmogorof-
smirnof terlebih dahulu. Tujuan dilakukannya
tes penormalan data adalah untuk melihat
apakah data yang digunakan sebagai sampel
telah terdistribusi normal.
Berdasarkan output data uji normalitas
Kolmogorov-Smirnov tersebut di atas, maka
nilai masing-masing signifikan adalah:
prokrastinasi akademik responden sebesar
0.271 efikasi akademik 0.274; dan prestasi
akademik 0.126. Ini berarti bahwa distribusi
sebaran hasil pengukuran untuk variabel
prokrastinasi (X1), efikasi (X2) dan prestasi
akademik (Y) berdasar perhitungan peluang
kesalahan p tersebut semuanya lebih besar dari
0.05. Artinya variabel prokrastinasi akademik,
efikasi akademik dan prestasi akademik
berdistribusi normal, dengan demikian
pengolahan data dapat dilanjutkan dengan
analisis korelasi Person Product Moment.
Uji Hipotesis
Pengujian Hipotesis Pertama (H1)
Hipotesis pertama pada penelitian ini
adalah: “terdapat hubungan yang tidak
signifikan antara prokrastinasi akademik
dengan prestasi akademik mahasiswa Program
Studi Bimbingan Konseling Universitas PGRI
NTT”. Hipotesis tersebut diuji dengan
menggunakan korelasi dengan hasil diketahui
koefisien korelasi (r) antara prokrastinasi
akademik prestasi akademik sebesar - 0.015
dengan p = 0.890 > 0.05, arah korelasinya
negatif dan dengan pedoman memakai taraf
signifikansi 5%, didapatkan p = 0.890 > 0.05
maka korelasi antara prokrastinasi akademik
dengan prestasi akademik dinyatakan tidak
signifikan
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
82
Pengujian Hipotesis Kedua (H2)
Hipotesis pertama pada penelitian ini
adalah: “terdapat hubungan yang tidak
signifikan antara efikasi akademik dengan
prestasi akademik mahasiswa Program Studi
Bimbingan Konseling Universitas PGRI
NTT”. Hipotesis tersebut diuji dengan
menggunakan korelasi dengan hasil diketahui
koefisien korelasi (r) antara efikasi akademik
dengan prestasi akadmeik sebesar - 0.004
dengan p = 0.970 > 0.05, arah korelasinya
negatif dan dengan pedoman memakai taraf
signifikansi 5%, didapatkan p = 0.970 > 0.05
maka korelasi antara efikasi akademik dengan
prestasi akademik dinyatakan tidak signifikan.
Pengujian Hipotesis Ketiga (H3)
Hipotesis ketiga pada penelitian ini
adalah: “terdapat hubungan yang tidak
signifikan antara prokrastinasi akademik dan
efikasi akademik secara bersama-sama dengan
prestasi akademik mahasiwa Program Studi
Bimbingan Konseling Universitas PGRI
NTT”. Hipotesis tersebut diuji dengan
menggunakan korelasi dengan hasil sebagai
berikut:
Tabel 2. Hasil Uji Anova Prokrastinasi dan
Efikasi dengan Prestasi Akademik
ANOVAb
Model Sum of
Squares Df
Mean
Square F Sig.
1 Regression .001 2 .000 .010 .990a
Residual 3.696 89 .042
Total 3.697 91
a. Predictors: (Constant), efksi, prokras
b. Dependent Variable: ipk
Didasari Tabel 1.2. di atas diketahui
bahwa hubungan secara bersama-sama antara
prokrastinasi akademik dan efikasi akademik
dengan prestasi akademik mahasiwa Program
Studi Bimbingan Konseling Universitas PGRI
NTT memiliki koefisien korelasi sebesar 0.015
dengan p = 0.990 > 0.05. Lebih lanjut, hal ini
diketahui dari Fhitung sebesar 0.010 yang lebih
kecil dari Ftabel sebesar 3.10, sehingga H0
diterima dan Ha ditolak.
Pembahasan
Hipotesis pertama pada penelitian ini
adalah: “terdapat hubungan yang tidak
signifikan antara prokrastinasi akademik
dengan prestasi akademik mahasiswa Program
Studi Bimbingan Konseling Universitas PGRI
NTT”. Hasil penelitian membuktikan bahwa
hipotesis 1 ini tidak signifikan. Hal ini
bertentengan dengan hasil penelitian
Setyawan, A. A. (2016) yang menunjukkan
bahwa prokrastinasi berpengaruh positif
terhadap prestasi belajar mahasiswa Prodi
Pendidikan Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Surabaya. Hasil penelitian
ini juga tidak sejalan dengan hasil penelitian
Anggraini, L. Y., & Muti'ah, T. (2012) yang
menemukan bahwa hubungan antara
prokrastinasi dengan prestasi belajar adalah
linier dan signifikan.
Penelitian ini juga menemukan bahwa
korelasi antara efikasi akademik dengan
prestasi akademik dinyatakan tidak signifikan.
Hasil ini bertentangan dengan hasil penelitian
Sigiro, O. N., Sigit, D. V., & Komala, R.
(2017). yang diperoleh dengan taraf
signifikansi 0,05 menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara efikasi diri dengan hasil
belajar siswa (r = 0,742). Hasil ini juga
bertentangan dengan hasil penelitian Ghufron,
M. N., & Suminta, R. R. (2013); Secara
keseluruhan studi meta-analisis dari 14
penelitian yang dilakukan oleh Ghufron, M.
N., & Suminta, R. R. (2013) hasilnya bahwa
efikasi diri mempunyai pengaruh terhadap
hasil belajar matematika. Individu yang
mempunyai efikasi diri yang tinggi akan
mempunyai hasil belajar yang tinggi pula.
Mengapa demikian? Rupanya respon
mahasiswa berbeda dalam menyikapi
prokrastinasi, bisa positif dan bisa negatif;
prokrastinasi sebagai perilaku bermasalah
yang dialami mahasiswa bisa berpengaruh
positif atau negatif terhadap prestasi akademik
bisa jadi ditentukan oleh sikap mahasiswa
Efikasi Akademik Dan Prokrastinasi Akademik Sebagai Prediktor … | Zummy A. Dami & Paula A. Loppies
83
yang bersangkutan; Jika disikapi positif, maka
justru permasalahan yang dihadapi mahasiswa
yang bersangkutan menjadi tantangan yang
memicu kerja keras, tekun dan wajar jika justru
berpengaruh positif terhadap hasil belajarnya.
Sejalan dengan individu-individu
dengan efikasi diri yang tinggi, mereka lebih
efektif dan gigih dalam menghadapi kesulitan-
kesulitan dan kegagalan terutama yang
berkaitan dengan menghadapi pemecahan
masalah, mereka lebih mungkin untuk
mencapai hasil yang bernilai dan memperoleh
hasil belajar yang lebih baik. Hal ini
dikarenakan individu dengan efikasi diri tinggi
memiliki keyakinan yang kuat akan
kemampuannya dalam mengatasi tantangan
yang ada sedangkan individu dengan efikasi
diri rendah cenderung mudah menyerah dan
tidak yakin mampu mengerjakan pekerjaan
yang menantang itu.
Walaupun begitu, hasil penelitian ini
relevan dengan budaya organisasi dan kegiatan
belajar mengajar, ada tidaknya efikasi diri dan
prokrastinasi serta pengaruhnya terhadap hasil
belajar, peran dosen tetap penting demi hasil
belajar mahasiswa yang lebih baik.
KESIMPULAN
Tingkat prokrastinasi akademik
dengan prestasi akademik mempunyai
hubungan yang tidak signifikan. Selanjutnya,
korelasi antara efikasi akademik dengan
prestasi akademik dinyatakan tidak signifikan.
Dengan demikian, besarnya sumbangan
variabel prokrastinasi akademik dan efikasi
akademik terhadap prestasi akademik tidak
ada, sumbangan diberikan oleh variabel lain di
luar prokrastinasi akademik dan efikasi
akademik.
DAFTAR PUSTAKA
Adeyamo, D.A. 2007. Moderating Influence of
Emational Intelligence on the Link
between Academic Self-Efficacy and
Achievement of University Students.
Psychology and Developing Societies.
19,2, 199-213
Akinsola, M. K., Tella, A., & Tella A. 2007.
Correlates of Academic Procrastination
and Mathematics Achievement of
University Undergraduate Students.
Eurasia Journal of Mathematics,
Science & Technology Education. 3(4),
363-370
Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian.
Malang: UMM Press
Anggraini, L. Y., & Muti'ah, T. 2012. Prestasi
Akademik Siswa Ditinjau Dari
Prokrastinasi Dan Persepsi Anak Pada
Pola Asuh Orang Tua di SMK
Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Jurnal
Spirits, 3(1)
Atmojo, Y. E. 2009. Hubungan Antara Derajat
Gaya Kepemimpinan Transformasional
Kepala Sekolah dan Motivasi
Berprestasi Guru dengan Kinerja
Mengajar Guru (Studi Pada SMA Negeri
1 dan SMA Negeri 2 di Salatiga). Tesis.
Salatiga: PPS-MMP Universitas Kristen
Satya Wacana.
Balkis, M. & Duru, E. 2009. Prevelance of
Academic Procrastination Behavior
Among Pre-Service Teachers, and Its
Relationship with Demographics and
Individual Preferences. Journal of
Theory and Practice in Education. 5 (1),
18-32
Balkis, M. 2011. Academic Efficacy As a
Mediator and Moderator Variable In the
Realationship Between Academic
Procrastination and Academic
Achievement. Eurasian Journal of
Educational Research, Issue 45, 1-16
Bandura, A. 1997. Self Efficacy: The Exercise
of Control. New York: W. H. Freeman
and Company.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
84
Born, A., Schwarzer, & Jerusalem, M. 1995.
Indonesian Adoption of the General Self-
Efficacy Scale, diakses Januari 18, 2012
dari
http://userpage.fuberlin.de/~health/indo
nese.htm
Calaguas, G. M. 2012. Academic Achievement
and School Ability: Implications ti
Guidance and Counseling Programs.
Journal of Arts, Science & Commerce.
Vol.– III, Issue 2(3), 49-55.
Crede, M., & Kuncel, N.R. 2008. Study Habits,
Skills, and Attitudes: The Third Pillar
Supporting Collegiate Academic
Performance. Perspective on
Psychological Science. 3, 425-453
Feist, J. & Feist, G.J. 2006. Theories of
Personality, ed. VI. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Ghozali, I. 2001. Aplikasi analisis multivariate
dengan program SPSS. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Ghufron, M. N. & Rini R.S. 2010. Teori–teori
Psikologi. Jogjakarta: Ar-ruzz media.
Ghufron, M. N., & Suminta, R. R. 2013.
Efikasi Diri dan Hasil Belajar
Matematika: Meta-analisis. Buletin
Psikologi, 21(1), 20.
Harahap, S. 2006. Penegakan Moral Akademik
di dalam dan luar Kampus. Jakarta: Raja
Grafindo.
Ilfiandra. 2010. Penanganan Prokrastinasi
Akademik Siswa Sekolah Menengah
Atas: Konsep dan aplikasi.Diakses 14
Januari, 2013 dari
http://www.osun.org//journalprokrastina
si.pdf
Kartadinata, I., & Sia, T. 2008. Prokrastinasi
Akademik dan Manajemen Waktu.
Anima, Indonesian Psychological
Journal. 23(2)110-112.
Keqiao, L. 2010. The Relationship Between
Academic Procrastination and Academic
Achievement in Chinese University
Students. Dissertation. New York: State
University of New York at Buffalo.
Kim, U. & Park, Y. 2006. Factor Influencing
Academic Achievement in Relational
Cultures: The Role of Self-, Relational,
and Collective Efficacy. In F. Pajares &
T. Urdan (ed.). The Self-Efficacy Beliefs
of Adolescents. pp. 267-285.
Connecticut: Information Age
Publishing
Klassen, R.M., Krawchuk, L.L., & Rajani, S.
2008. Academic Procrastination of
Undergraduate: Low Self-Efficacy to
Self-Regulate Predicts Higher Levels of
Procrastination. Contemporary
Educational Psychology. 33(4), 915-
931.
Mayasari, M. D., Mustami’ah, D., & Warni,
Weni, Endahing. 2010. Hubungan antara
Persepsi Mahasiwa terhadap Metode
Pengajaran Dosen dengan
Kecenderungan Prokrastinasi Akademik
pada Mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Hang Tuah Surabaya. Insan.
Vol. 12 No. 02, 95-103
Motlagh, Shahrzad, Elahi, Amrai, Kourosh,
Yazdani, Mohammad, Javad,
Abderahim, Haitham, altaib, & Souri,
Hosein. (2011). The Relationship
between Self-Efficacy and Academic
Achievement in High School Students.
Procedia Social and behavioral
Sciences, 15, 765-768.
Nurhasnah. 2006. Hubungan Efikasi Diri dan
Indeks Prestasi Keberhasilan Belajar.
Forum Diklat. Vol. 13 No.03, 13-20.
Nuthana, P. G. 2007. Gender Analysis of
Academic Achievement Among High
School Students. Thesis. Dhaward:
University of Agricultural Sciences.
Efikasi Akademik Dan Prokrastinasi Akademik Sebagai Prediktor … | Zummy A. Dami & Paula A. Loppies
85
Ozer, B., Demir, A., & Ferrari, J. 2009.
Exploring Academic Procrastination
Among Turkish Students: Possible
Gender Differences in Perspective and
Reasons. The Journal of Social
Psychology. 149 (2), 241-257.
Riduwan. 2002. Skala Pengukuran Variabel-
variabel Penelitian. Bandung:
Alfabeta.
Santrock, J.W. 2008. Life-Span Development:
Perkembangan Masa Hidup. Jakarta:
Erlangga.
Setyawan, A. A. 2016. Pengaruh Gaya Belajar,
Prokrastinasi dan Fasilitas Belajar
Terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa
Prodi Pendidikan Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Negeri
Surabaya. Jurnal Pendidikan Akuntansi
(JPAK), 4(3).
Sigiro, O. N., Sigit, D. V., & Komala, R. 2017.
Hubungan Efikasi Diri Dan Penalaran
Ilmiah Dengan Hasil Belajar Biologi
Siswa SMA. Biosfer: Jurnal Pendidikan
Biologi, 10(2), 30-34.
Sirin, E. F. 2011. Academic Procrastination
among Undergraduates Attending
School of Physical of education and
Sports: Role of General Procrastination,
Academic Motivation and Academic
Self-Efficacy. Educational Reseacrh
and Reviews. Vol. 6(5)447-455.
Sobur, A. 2006. Psikologi Umum. Bandung:
Pustaka Setia.
Solomon, L. J., & Rothblum, E. D. 1984.
Academic procrastination: Frequency
and cognitive-behavioral correlates.
Journal of Counseling Psychology,
31(4), 503-509.
Sudjana, N. 2001. Penelitian dan Penilaian
Pendidikan. Bandung: Sina Baru
Algensindo
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian
Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Supramono dan Haryanto, Jony, Oktavian.
2005. Desain Proposal Penelitian
Studi Pemasaran. Yogyakarta: Andi
Offset.
Supramono dan I. Utami. 2004. Desain
Proposal Penelitian Akuntansi dan
Keuangan. Yogyakarta: Andi Offset.
Tenaw, Yazachew, Alemu. 2013. Relationship
Between Self-Efficacy, Academic
Achievement and Gender in Analytical
Chemistry at Debre Markos College of
Teacher education. AJCE. 3(2)
Tillar, H. 2006. Standarisasi Pendidikan
Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Kelola
Jurnal Manajemen Pendidikan
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018
Halaman: 86-95
86
Pengelolaan Administrasi Madrasah Tsanawiyah Negeri Dalam Meningkatkan
Kualitas Pendidikan Madrasah
Muhammad Kristiawan
Universitas PGRI Palembang
muhammad.kristiawan@yahoo.co.id
Nova Asvio
UIN STS Jambi
novawawanajeng@gmail.com
ABSTRACT
This research aimed at exploring the management of administration in MTs
Negeri Padang Panjang in upgrading the Madrasah quality. This research was
qualitative. Data collection used documentation study and in-depth intervie. The results
obtained indicate that the management of administration in MTs Negeri Padang Panjang
was run well in upgrading the quality of Madrasah. The quality of management
administration was seen from the administration of students’ recruitment, curriculum,
educators and staff, and counseling. This research implicates to supervisors and
Madrasah in West Sumatera to learn the management of administration in MTs Negeri
Padang Panjang in upgrading the Madrasah quality.
Keywords: Education Quality, Educational Administration, Management of Education
Article Info
Received date: 10 Oktober 2017 Revised date: 21 Maret 2018 Accepted date: 21 Juni 2018
Pengelolaan Administrasi Madrasah Tsanawiyah Negeri … | Muhammad Kristiawan & Nova Asvio
87
PENDAHULUAN
Penelitian ini bermula dari pernyataan
Bapak Azwarhadi (Kepala Urusan Tata Usaha
MTsN Padang Panjang) pada perkuliahan
Manajemen Sumber Daya Pendidikan, di mana
Bapak Azwarhadi menyatakan bahwa “setiap
tahunnya MTsN Padang Panjang menerima
delapan rombongan belajar siswa baru, ada dua
puluh empat rombongan belajar setiap
tahunnya di MTsN Ganting Padang Panjang”.
Berarti ada lebih kurang 750 orang siswa di
MTsN Ganting Padang Panjang setiap
tahunnya.
Banyak prestasi yang diraih oleh guru-
guru maupun siswa/siswi MTsN Padang
Panjang. Mulai dari Kepala Madrasah Edi
Mardafuly, MA sebagai Juara pertama Kepala
Madrasah berprestasi Tingkat Kota Padang
Panjang Tahun 2015 diikuti oleh dua orang
guru yang juga terpilih sebagai guru berprestasi
yakni Drs. Ahmad Darmawan, M.Pd sebagai
juara I dan Leni Suryani, S.Ag sebagai juara II
di jajaran Kementerian Agama Kota Padang
Panjang (Sumbar Online.com 23 Oktober
2015). Pada Peringatan HUT PGRI ke-70
tingkat Kota Padang Panjang dimeriahkan
dengan berbagai perlombaan. Dalam cabang
olahraga, MTsN Padang Panjang berhasil
meraih juara I untuk cabang bulutangkis ganda
putri atas nama El Adra dan Aslinda dan
tunggal puteri atas nama El Adra. Sedangkan
untuk tenis meja ganda puteri juara II atas nama
Yetrianti dan Zuryati. Khusus cabang
bulutangkis tunggal puteri, tahun ini
merupakan kali ke-3 meraih juara I. Itu artinya,
srikandi PGRI ranting MTsN Padang Panjang
untuk cabang bulutangkis tunggal puteri masih
terlalu tangguh untuk dikalahkan lawan-
lawannya (studi dokumentasi pada website
resmi Kantor Wilayah Kementerian Agama
Sumatera Barat, Rabu, 13 Mei 2015 pernyataan
Adhie/ Rina, 2015).
Sementara itu siswa/siswinya juga
meraih beberapa prestasi diantaranya Fitri
Ramadhanti meraih medali perak pada
Kompetisi Sains Madrasah Tingkat Nasional
tahun 2012 (studi dokumentasi pada website
resmi Direktorat Pendidikan Madrasah,
Minggu, 01 Juli 2012, pernyataan
Marhenyantoz, 2012). Berikutnya,
Azizurrahman lolos ke final dengan nilai 70
menjadi peringkat pertama tingkat
SMP/Madrasah pada semi final peserta Seni
Bermatika UNAND ke XII tahun 2015 dan
Muhammad Azinul Haq dengan nilai 63
sebagai peringkat ketiga (studi dokumentasi
pada website resmi Universitas Andalas
Padang, Kamis, 12 Februari 2015 pernyataan
Humas dan Protokol UNAND, 2015).
Selanjutnya, MTsN Padang Panjang launching
Tahfizh Al-Qur’an sebagai program unggulan
Madrasah tahun 2014 berhasil dan sukses
menggelar wisuda tahfizul qur’an angkatan I
sebanyak 120 orang siswa pada kegiatan yang
pertama kali dilaksanakan dalam sejarah MTsN
Padang Panjang ini, Kepala Madrasah Edi
Mardafuly dalam laporannya menyampaikan
bahwa “Pada wisuda perdana ini diikuti 120
orang siswa dengan jumlah hafalan dari 1 juz
sampai 8 juz. Rangkaian seleksi ini sudah
dimulai sejak tanggal 8 Mei 2015 yang lalu.
Siswa/siswi yang ikut seleksi sebanyak 150
orang, namun yang lolos dan layak untuk
diwisuda sebanyak 120 orang. Penghafal
terbanyak memperoleh hadiah sebesar 3 juta
rupiah atas nama Nur Al Rahmah kelas IX.
(studi dokumentasi pada website resmi Kantor
Wilayah Kementerian Agama Sumatera Barat,
Rabu, 13 Mei 2015 pernyataan Adhie/ Rina,
2015). Kemudian, salah satu siswa MTsN
Annisa Inda Tartila mendapatkan nilai tertinggi
yaitu 85 pada hasil seleksi akademik
Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun
Pelajaran 2015/2016 di SMA Negeri 1
Sumatera Barat sehingga menjadikan MTsN
Padang Panjang berada diurutan pertama pada
hasil seleksi tersebut. 93 orang dari siswa/ siswi
MTsN Padang Panjang yang lulus UN Tahun
Pelajaran 2014/2015 lulus hasil seleksi
akademik Penerimaan Peserta Didik Baru
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
88
Tahun Pelajaran 2015/2016 (studi dokumentasi
facebook SMA Negeri 1 Sumatera Barat).
Pada Tahun 2012, jumlah pendaftar
hanya sekitar 800 orang dengan kuota
penerimaan sebanyak 240 orang siswa.
Sedangkan untuk tahun 2013/2014, sebanyak
1005 orang terdaftar dan mengikuti tes tertulis
dengan kuota penerimaan juga 240 orang siswa.
Berdasarkan data di sekretariat panitia, dari
1005 orang peserta tersebut berasal dari seluruh
Kabupaten/Kota yang ada di Sumatera Barat.
Sedangkan dari luar provinsi Sumatera Barat
meliputi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan
Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa
Barat dan Nusa Tenggara Timur. Mereka yang
ikut mendaftar rata-rata peringkat 10 besar di
SD/MI nya masing-masing. Artinya kompetisi
untuk dapat diterima di MTsN Padang Panjang
betul-betul ketat (studi dokumentasi pada
website resmi Kantor Wilayah Kementerian
Agama Sumatera Barat, Selasa, 28 Mei 2013
pernyataan Azwarhadi, 2013).
Pada tahun 2014 MTsN Padang Panjang
telah mengukir sejarah sebagai Madrasah
dengan nilai UN tertinggi tingkat Madrasah se-
Sumatera Barat. Prestasi ini tetap
dipertahankan karena tahun pembelajaran 2013
juga sebagai juara I Madrasah yang mempunyai
nilai rata-rata UN tertinggi di Sumatera Barat.
Selain itu, di antara 100 nilai tertinggi UN
khusus Madrasah di Sumatera Barat ada 32
orang siswa berasal dari MTsN Padang
Panjang. Ditambah lagi, tahun 2014 ada 14
orang peserta didik yang nilai UN nya penuh
100 pada semua mata ujian nasional yaitu
Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
dan IPA. Ternyata Madrasah ini bukan saja
unggul pada bidang agama, tetapi juga di mata
pelajaran umum (studi dokumentasi pada
website resmi Kantor Wilayah Kementerian
Agama Sumatera Barat, Senin, 23 Juni 2014
pernyataan Ahmad, 2014).
Dalam UAMBN tahun 2014 ada 19
orang peserta didik yang nilai UAMBNnya 100
khususnya dalam mata pelajaran Alquran
hadits. Kemudian, madrasah ini selalu lulus
100%. Kemudian lulusan madrasah ini diterima
di sekolah dan madrasah unggul di tingkat
nasional. Seperti di MAN Insan Cendekia
Serpong yang seleksinya ketat dan terbatas
serta diadakan secara online di seluruh
nusantara. Keberhasilan ini merupakan
kerjasama antar semua pihak Madrasah yang
terkait seperti Kantor Kemenag, Kepala
Madrasah, Kepala Administrasi, wakil, guru,
komite dan peserta didik semua (studi
dokumentasi pada website resmi Kantor
Wilayah Kementerian Agama Sumatera Barat,
Senin, 23 Juni 2014 pernyataan Ahmad, 2014).
MTsN Padang Panjang yang beralamat
di Jalan Ganting Bukit Surungan Kecamatan
Padang Panjang Barat telah terakreditasi B
(studi dokumentassi pada website resmi
Direktorat Pendidikan Madrasah, Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama
RI, 2013 dokumen lembaga MTs Sumatera
Barat, 2013). Banyak alumni dari MTsN
Padang Panjang dengan mudah bisa masuk ke
SMA N 1 Padang Panjang yang merupakan
SMA favourite di Padang Panjang (studi
dokumentasi wordpress pribadi Khairul Hamdi,
2008, salah satu alumni MTsN Padang
Panjang), juga di SMA Negeri 1 Sumatera
Barat yang juga terkenal dengan penyeleksian
terketat di Sumatera Barat (studi dokumentasi
facebook SMA Negeri 1 Sumatera Barat). Prof.
Dr. M. Zaim.M.Hum sebagai DEKAN FBS
UNP Padang periode 2011-2015 merupakan
alumni MTsN Padang Panjang (studi
dokumentasi facebook alumni MTsN Padang
Panjang). Salah satu siswanya ada yang
diwisuda S-2 di Institut Teknologi Bandung
(ITB) pada jurusan Teknik Elektro dengan
beasiswa (studi dokumentasi wordpress pribadi
Khairul Hamdi, 2008, salah satu alumni MTsN
Padang Panjang). Selanjutnya salah satu
siswanya Indah Fitria Ranita menjadi satu-
satunya yang lulus Akademi Kepolisian se
Sumatera Barat pada tahun 2014 (Padang
Ekspres Digital Media 19 November 2014).
Pengelolaan Administrasi Madrasah Tsanawiyah Negeri … | Muhammad Kristiawan & Nova Asvio
89
Hal ini dianggap penting bagi peneliti
untuk dikaji terkait dengan sistem pengelolaan
administrasi di MTsN Padang Panjang. Dengan
keberhasilannya untuk menarik pendaftar
setiap tahunnya dan dengan ketatnya
penyeleksian terhadap pendaftar berarti MTsN
Ganting merupakan MTsN yang bermutu.
Mutu suatu sekolah dapat dilihat juga dari
sistem pengelolaan administrasinya.
Kepala tenaga administrasi berperan
penting dalam mengelola administrasi suatu
Madrasah. Salah satu kompetensi Kepala
Tenaga Administrasi adalah memastikan
bahwa administrasi sekolah dapat dilaksanakan
dengan baik dalam rangka menunjang
pembuatan kebijakan dan pengambilan
keputusan yang tepat oleh Kepala Madrasah,
penyusunan rencana kerja sekolah, pelaksanaan
pembelajaran, dan pelaporan kinerja sekolah.
Tugas-tugas administrasi tersebut dapat
dilaksanakan dengan baik apabila sekolah
memiliki Tenaga Administrasi Sekolah (TAS)
yang memenuhi standar, seperti tertuang dalam
Permendiknas Nomor 24 Tahun 2008 tentang
Standar Tenaga Administrasi Sekolah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 24 Tahun 2008 Tanggal 11 Juni 2008
tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah/
Madrasah antara lain ditetapkannya kompetensi
Kepala Tenaga Administrasi Sekolah/
Madrasah yang intinya meliputi kompetensi
kepribadian, sosial, teknis, dan manajerial.
Kepala tenaga administrasi Madrasah
berkewajiban membina tenaga administrasi
sekolah melalui berbagai media dan situasi
sekolah secara professional.
Rukmana (2015) mengungkapkan
bahwa “Tenaga Administrasi Sekolah
merupakan salah satu bagian daripada tenaga
kependidikan yang keberadaannya tidak dapat
dipisahkan dari efektifitas program sekolah.
Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah
merupakan non teaching staff dikenal dengan
sebutan staf tata usaha (TU) yang bertugas
sebagai pendukung berjalannya proses
pendidikan di sekolah melalui layanan
administratif guna terselenggaranya proses
pendidikan yang efektif dan efisien di sekolah”.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 pasal 39 ayat 1 telah dipaparkan bahwa
“Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan
administrasi, pengelolaan, pengembangan,
pengawasan, dan pelayanan teknis untuk
menunjang proses pendidikan pada satuan
pendidikan”.
Selanjutnya Rukmana (2015)
menjelaskan “Tenaga Administrasi Sekolah/
Madrasah dalam hal ini menempati peran
penting sebagai tenaga kependidikan dengan
tugasnya yang bukan hanya sekedar membantu
sekolah dalam urusan administrasi melainkan
meliputi beberapa kegiatan penting dalam
pengembangan kualitas sekolah seperti
pengelolaan, pengembangan, pengawasan dan
pelayanan teknis. Dengan kata lain Tenaga
Administrasi Sekolah ini bertugas sebagai
pendukung berjalannya proses pendidikan di
sekolah melalui layanan administratif guna
terselenggaranya proses pendidikan yang
efektif dan efisien di sekolah”.
Berikut ini adalah beberapa kajian yang
mendukung penelitian yang dilaksanakan, yang
secara substansial berkaitan dengan
pengelolaan administrasi di madrasah atau
sekolah. Pertama, temuan Sahnan (2003) di
Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru
di Kotanopan Subdistrict, Mandailing Natal
District, North Sumatera Province),
mengungkapkan bahwa “first, to formulate
educational personnel development program
planing, the lead of a pondok pesantren
Musthawafiyah Purba Baru always based on
vision and mission of pondok pesantren and
need analysis. The planning does not
formulated completely which one long distance
planning, middle and short. Second,
accomplishment of educational power
development program is not apply yet
effectively, it is because as follow: (1) many
task given to the teacher (30-40) study hours in
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
90
a week, and two workers only, (2) its unclear of
job description between personel, (3) attention
of lead of pondok pesantren, especially in
giving incentive to monitoring and evaluation
team. Third, the control of educational
personnel development program is not
effectively applied: (1) lees of intensity of
presence controller, there is approximately
once in three months (the controller from
religion department), and only once in a year
from educational department, (2) lack of
controller understanding about educational
personnel development program, (3) the
controller is rarely has an aim, procedure of
control so that the controlling is not focus”.
Kedua, Prasojo (2006) mengungkapkan
bahwa “Pertama, peran penting TU dalam suatu
organisasi meliputi seluruh tingkatan dalam
organisasi tersebut. Peran TU diperlukan oleh
organisasi dalam rangka mencapai tujuannya.
Kedua, Pengembangan TU perlu ditingkatkan
dan disesuaikan dengan perkembangan
teknologi informasi. Ketiga, pemanfaatan
teknologi informasi untuk mendukung
pengembangan TU dalam suatu organisasi
terutama adalah melalui LAN (Local Area
Network), WAN (Wide Area Network), dan
program database. Keempat, pemanfaatan
teknologi informasi di bidang ketatausahaan
dapat menghemat waktu, tenaga, dan biaya;
keakuratan data dan informasi lebih terjamin
dibandingkan secara normal meningkatkan
pentingnya peranan TU”.
Ketiga, Argyriou dan Iordanidis (2014)
in Greek Secondary School menyatakan bahwa
“the headmasters consider activities
concerning their bureaucratic/conductive role
aswell as their leading behaviour as “very
important” at very high percentages (over
70.0%). However, tasks involving them in
administrative issues are, according to them,
“less” up to “least important” so that their role
is effectively fulfilled. Statistically significant
diversifications have been observed in certain
activities associated with the efficient
performance of their duties in relation to their
gender, years of experience in leadership
position, and the size of the school unit”.
Keempat, Kristiawan (2014) di Padang
menemukan bahwa “the teachers remain
equipped to teach pupils fundamental ICT
skills”. Kelima, temuan Zahro dan Baehaki
(2013) menyebutkan bahwa “There are so
many school administration staff have no
ability and good skill for doing their job,
performance, discipline, loyality and
responsibility. And from the fourth of
competention variables, personality
competention variable (X1) is the most effected
variable to the school administration staff
performance of MTsN and MAN in Kabupaten
Kediri”. Keenam, Scott (2001) di Carribbean
mengungkapkan bahwa “... focuses on the
collaboration, teamwork and planning aspects
of the project and demonstrates how such a
process can be used to meet crucial needs in
small states”.
Ketujuh, temuan Afriyenti (2013)
mengungkapkan bahwa “(1) Pegawai
merupakan keseluruhan orang-orang yang
berada dalam organisasi yang mempunyai tugas
dan tanggungjawab sesuai dengan tingkat
pendidikan dan keahliannya yang dimiliki, (2)
Pemberdayaan pegawai yang efektif dan efisien
dengan baik untuk meningkatkan layanan oleh
dan bekerjasama dari para pegawai dalam
mencapai tujuan yang telah dimaksud”.
Kedelapan, temuan Osakwe (2013)
yang menemukan bahwa “secondary school
principals differ in their efficient management
of school records in terms of gender, experience
and school location. Based on these findings, it
was recommended that government should
provide adequate funds and facilities for the
effective management of school records and
there should be adequate training and
retraining of principals through in-service
programmes, conferences, seminars and
workshops. Also effective supervision of school
Pengelolaan Administrasi Madrasah Tsanawiyah Negeri … | Muhammad Kristiawan & Nova Asvio
91
principals is necessary irrespective of gender,
experience and school location”.
METODE PENELITIAN
Ditinjau dari jenis datanya, pendekatan
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kualitatif dengan metode
deskriptif. Menurut Moleong (2013) penelitian
kualitatif adalah “penelitian yang dilakukan
untuk memahami dan menjelaskan fenomena-
fenomena apa yang yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi,
tindakan dan lain-lain secara holistik dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata
dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah”.
Pendekatan kualitatif merupakan
descriptive; concerned with process rather than
simply with outcomes or product; qualitative
research tend the analyze their data
inductively; and “meaning” is the essential
concern to the qualitative approach
(Kristiawan & Tobari, 2017). Alasan peneliti
mengambil penelitian kualitatif dengan metode
deskriptif ini adalah sifat dari masalah yang
diteliti dalam bentuk mengungkap fakta dan
gejala apa adanya saat penelitian dilakukan,
kemudian juga dalam bentuk menentukan dan
menafsirkan data yang berkenaan dengan
situasi yang terjadi di lokasi penelitian tentang
pengelolaan administrasi oleh Kepala
Administrasi dalam peningkatan kualitas
pendidikan di MTsN Padang Panjang.
Sugiyono (2013) mengemukakan
bahwa obyek dalam penelitian kualitatif adalah
“obyek yang alami, natural setting, obyek apa
adanya tidak dimanipulasi oleh peneliti.
Sumber data dalam penelitian ini Kepala
Administrasi Madrasah. Dalam mengumpulkan
data yang dibutuhkan, peneliti menggunakan
teknik pengumpulan data wawancara dan
dokumentasi.
Teknik wawancara yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik wawancara
tidak terstruktur (in-depth interviewing) karena
peneliti merasa ”tidak tahu apa yang belum
diketahuinya”. Dengan demikian wawancara
dilakukan dengan pertanyaan yang bersifat
”open-ended”, dan mengarah kepada
kedalaman informasi (Sutopo, 2002) dari data
primer. Adapun yang diwawancarai dalam
penelitian ini adalah sesuai dengan sumber data
yang diajukan yaitu Kepala Adminitrasi MTsN
Padang Panjang, Staf Kementerian Agama
Kota Padang Panjang, salah seorang
masyarakat Kota Padang Panjang dan salah
seorang dari orang tua siswa MTsN Padang
Panjang. Kegiatan wawancara ini dilakukan
untuk mengetahui kegiatan dan kejadian yang
sesungguhnya tentang pengelolaan administrasi
oleh Kepala Administrasi dalam peningkatan
kualitas pendidikan di MTsN Padang Panjang.
Menurut Arikunto (2002) “metode
dokumentasi adalah mencari data yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan
sebagainya”. Nawawi (2005) menyatakan
bahwa studi dokumentasi adalah “cara
pengumpulan data melalui peninggalan tertulis
terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga
buku mengenai pendapat, dalil yang
berhubungan dengan masalah penyelidikan”.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
dokumen-dokumen madrasah yang ber-
hubungan dengan penelitian sebagai bukti dari
pelaksanaan penelitian baik diperoleh langsung
dari Madrasah maupun yan diperoleh peneliti
dari web Kementrian Agama Provinsi Sumatera
Barat. Peneliti juga mendokumentasikan hasil
wawancara dengan Kepala Administrasi
Madrasah dalam bentuk transkrip wawancara.
Teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis data
kualitatif, mengikuti Nasution dalam Sugiyono
(2013), yaitu reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
92
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Pengelolaan administrasi di MTs
Negeri Padang Panjang sudah terkelola dengan
sangat baik. Mulai dari Proses Penerimaan
Peserta Didik Baru (PPDB), penyeleksian
untuk PPDB ini benar-benar sudah terkelola
dengan baik sehingga pendaftar tidak bisa
hanya sembarang mendaftar saja. Azwarhadi,
KAUR TU MTs Negeri menyatakan “mereka
yang ikut mendaftar rata-rata peringkat 10 besar
di SD/MI nya masing-masing. Artinya
kompetisi untuk dapat diterima di MTsN
Padang Panjang betul-betul ketat. Pihak MTsN
Padang Panjang, telah menetapkan persyaratan
untuk bisa mendaftar yaitu nilai rapor kelas V
dan VI untuk mata pelajaran Agama, Bahasa
Indonesia, Matematika, IPA dan IPS tidak
boleh di bawah 70” (hasil wawancara dengan
Bapak Azwarhadi Kepala Administrasi
Madrasah MTsN Padang Panjang, 2016).
Tabel 1. Kondisi Peserta Didik 5 Tahun Terakhir
KELAS 2011 2012 2013
L P JML L P JML L P JML
VII 120 178 298 112 181 293 145 206 351
VIII 92 160 252 91 162 253 109 173 282
IX 80 152 232 85 157 242 90 160 250
JML 292 490 782 288 500 788 344 539 883
NO DATA 2011 2012 2013 2014 2015
1 Jumlah Pendaftar 930 950 1005 912 1031
2 Jumlah Siswa yang Diterima 249 280 375 300 300
3 Persentase kelulusan nilai UN 100% 100% 100% 100% 100%
4 Jumlah siswa Yang lanjut ke SLTA sederajat 100% 100% 100% 100% 100%
Administrasi kurikulum madrasah juga
sudah berjalan dengan sangat baik, terbukti dari
siswanya yang lulus seratus persen setiap
tahunnya. Pendidikan Umum, yang
pelaksanaannya sesuai dengan kurikulum
pendidikan dasar dan menengah meliputi
PPKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
Matematika, IPA, IPS, Olah raga dan kesenian,
Teknologi komunikasi informasi TIK.
Pendidikan agama Islam sebagai ciri khas
Madrasah: Al-quran Hadis, Sejarah
Kebudayaan Islam, Aqidah Akhlak, Fiqih,
Bahasa Arab, Praktek Ibadah, Tahfiz. Sebagai
penunjang kegiatan pendidikan intra kurikuler
diperlukan kegiatan ekstra Kurikuler sebagai
berikut: Olah raga dan kesehatan, Keterampilan
Agama, Keterampilan kesenian, KKR/PMR,
Muatan lokal (Budaya Alam Minang Kabau),
TPA/TPSA, Muhasabah, Muhadarah, Pramuka,
PKS dan UKS, Bimbingan Taqwa Siswa,
Forum Annisa, Pembinaan Sikap, Tata Busana.
Administrasi ketenagaan pendidikan
juga terkelola dengan baik terbukti dengan
adanya guru tamatan magister sebanyak lima
orang. Setiap tenaga pendidik maupun tenaga
kependidikan bekerja sesuai dengan bidang dan
keahliannya masing-masing. Administrasi
sarana dan prasarana juga dikelola dengan baik
yang mana setiap tahunnya diadakan program
penambahan peralatan-peralatan yang
menunjang proses belajar-mengajar. Dalam
administrasi pembiayaan MTs Negeri Padang
Panjang mendapatkan bantuan dari masyarakat
berupa bantuan fisik, masyarakat memberikan
donator untuk pengembangan madrasah di local
jauh. Pembangunan local jauh sudah ada 6
ruangan yang terdiri dari dua unit yang
anggarannya dari partisipasi masyarakat
dengan biaya Rp. 900.000.000,-.
Terakhir, pengelolaan administrasi
layanan khusus pendidikan yaitu bimbingan
konseling/bimbingan penyuluhan. Untuk
Pengelolaan Administrasi Madrasah Tsanawiyah Negeri … | Muhammad Kristiawan & Nova Asvio
93
membantu peserta didik dan menyikapi
permasalahan yang mereka hadapi, maka MTs
Negeri Padang Panjang memberikan pelayanan
Bimbingan Konseling. Proses pelayanan
bimbingan konseling di Madrasah Tsanawiyah
Negeri Padang Panjang dibuka setiap hari
belajar, bagi siswa yang akan menyampaikan
permasalahannya. Sedangkan pemberian
materi dan motivasi belajar serta
pengembangan jiwa peserta didik diberikan
secara klasikal di dalam kelas dengan
komposisi waktu satu jam perminggu setiap
kelas. Madrasah Tsanawiyah Negeri Padang
Panjang dalam penerimaan siswa baru selalu
mengadakan tes phsykology dan tes intelejensi
atau tes EQ dengan bekerja sama dengan
Fakultas Bimbingan Konseling UNP Padang.
Penelitian ini didukung yang pertama
oleh temuan Pertiwi, Asmara dan Asrori (2014)
di MTsN Kota Pontianak yang mengungkapkan
bahwa “Kepala madrasah dengan
kepemimpinannya dan layanan administrasi
tata usaha yang baik dapat membantu guru-guru
dalam meningkatkan kinerjanya menjadi guru
yang profesional. Kedua, temuan Prasojo
(2008) di SMK yang menemukan bahwa
“Dalam merumuskan kompetensi Tenaga
Administrasi SMK harus mencakup empat hal
berikut: a) mengacu pada Visi dan Misi SMK,
b) berdasarkan pada tugas pokok dan fungsi
Tenaga Administrasi SMK, c) berdasarkan
pada latar belakang pendidikan yang
dibutuhkan sesuai dengan tugasnya, d) adanya
sistem pengendali proses yang berupa mutu
layanan sebagai alat ukur keberhasilan proses
rumusan tersebut”.
Ketiga, penelitian ini juga didukung
oleh temuan Surya (2012) di Yogyakarta
menemukan bahwa ”terdapat peran penting
tenaga administrasi sekolah dalam penguatan
budaya sekolah untuk implementasi pendidikan
karakter. Mereka merupakan pihak yang
mendukung terlaksananya proses pendidikan di
sekolah. Sekolah sebagai pusat pembudayaan
berperan mengimplementasikan pendidikan
karakter melalui pendekatan pengembangan
budaya sekolah (school culture). Tenaga
administrasi sekolah sebagai warga sekolah
berkewajiban membentuk budaya sekolah yang
kondusif bagi implementasi pendidikan
karakter. Mereka memberikan layanan prima
terhadap para pihak yang terlibat dalam proses
pendidikan di sekolah, seperti kepala sekolah,
guru, siswa, komite sekolah, dan pemangku
kepentingan lainnya. Pelayanan prima yang
dilakukan dengan ikhlas, ramah, cermat,
santun, serta tertib kiranya dapat menjadi
contoh teladan bagi siswa dan para pihak yang
membutuhkan pelayanan administrasi.
Karakter yang harus dimiliki tenaga
administrasi secara tersirat tercantum pula
dalam kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial, dan kompetensi teknis serta manajerial.
Ketika kompetensi tersebut dilaksanakan
dengan baik, begitu pula budaya sekolah yang
kuat terbentuk dan ideal bagi implementasi
pendidikan karakter”.
Keempat, penelitian ini juga sejalan
dengan temuan Muhlis, Suib & Wahyudi
(2014) di MTsN mengungkapkan bahwa
“pengelolaan ketatausahaan untuk meningkat-
kan layanan administrasi akademik sesuai
prosedur, sistematis, terarah, jelas dilihat dari
kepala madrasah melakukan perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan
pengawasan”. Keenam, Kristiawan (2015) di
Simpang Empat, Pasaman Barat, Sumatera
Barat mengungkapkan bahwa “the strategy
which was done to keep the output was forming
the school’s culture such behavior, tradition,
daily life, and symbols which were applied by
all members of school and society around
school”.
Namun, di sisi lain ada penelitian yang
bertentangan dengan kajian ini yaitu temuan
Rukmana (2015) di SMP Negeri se-Kecamatan
Majalengka yang menemukan bahwa
“administrasi tata usaha di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) masih belum baik menyangkut
kurangnya indikator inisiatif khususnya
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
94
memberikan ide/gagasan untuk kemajuan
lembaga. Staf administrasi sekolah SMP belum
memfungsikan TAS sebagaimana mestinya.
Pelaksanaan pekerjaan kurang sesuai dengan
prosedur kerja, pelayanan kurang baik terhadap
masyarakat sesuai dengan bidang tugasnya,
kurang bertanggung jawab terhadap setiap
kegiatan yang dilakukan, kurang membuat
rencana kegiatan/rencana kerja dalam
melaksanakan pekerjaan, kurang
memanfaatkan waktu kerja sebaik mungkin,
kurang menyelesaikan tugas sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan, dan lain-lain”.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pengelolaan administrasi di MTs
Negeri Padang Panjang sudah terkelola dengan
sangat baik. Mulai dari Proses Penerimaan
Peserta Didik Baru (PPDB), penyeleksian
benar-benar sudah terkelola dengan baik
sehingga pendaftar tidak bisa hanya sembarang
mendaftar saja. Administrasi kurikulum
madrasah juga sudah berjalan dengan sangat
baik. Selanjutnya administrasi ketenagaan
pendidikan juga terkelola dengan baik, begitu
juga dengan pengelolaan administrasi layanan
khusus pendidikan yaitu bimbingan konseling/
bimbingan penyuluhan terbuka setiap hari
belajar, bagi siswa yang akan menyampaikan
permasalahannya
Saran
Bagi Madrasah di Provinsi Sumatera
Barat, sebaiknya mempelajari manajemen
administrasi di MTs Negeri Padang Panjang
karena madrasah ini dapat dijadikan sebagai
model dalam mengelola administasi madrasah.
Bagi pengawas MTs di Provinsi Sumatera
Barat, sebaiknya melihat MTs Negeri Padang
Panjang dalam membimbing administrasi
madrasah yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Afriyenti. 2013. Pemberdayaan Pegawai Tata
Usaha dalam Rangka Meningkatkan
Layanan Administratif. Jurnal
Administrasi Pendidikan, Bahana
Manajemen Pendidikan, 1(1)
Argyriou, A., dan Iordanidis, G. 2014.
Management and Administration Issues
in Greek Secondary Schools: Self-
Evaluation of the Head Teacher Role.
Education Research International.
Kristiawan, M. 2014. A Model for Upgrading
Teachers Competence on Operating
Computer as Assistant of Instruction.
Global Journal of Human-Social
Science Research, 14(5).
Kristiawan, M. 2015. A Model of Educational
Character in High School Al-Istiqamah
Simpang Empat, West Pasaman, West
Sumatera. Research Journal of
Education, 1(2)
Kristiawan, M. 2017. The Characteristics of the
Full Day School Based Elementary
School. Transylvanian Review, 1(1)
Muhlis, S. dan Wahyudi. 2015. Pengelolaan
Ketatausahaan oleh Kepala Madrasah
untuk Meningkatkan Layanan
Administrasi Akademik pada Madrasah
Tsanawiyah Negeri. Jurnal
Administrasi Pendidikan, FKIP Untan,
Pontianak 1(1)
Osakwe, R. N. 2013. Secondary School
Principals and Their Efficient
Management of School Records in
Delta State, Nigeria. IOSR Journal of
Research & Method in Education 1(3)
Padang Ekspres Digital Media. 2014. Indah
Fitria Ranita, Lulus Akpol 2014 dari
Sumbar. 19 November 2014.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2008 Tentang Standar Tenaga
Pengelolaan Administrasi Madrasah Tsanawiyah Negeri … | Muhammad Kristiawan & Nova Asvio
95
Administrasi Sekolah/Madrasah.
Jakarta: Kementerian Pendidikan
Nasional.
Pertiwi, E., Asmara, U. H., dan Asrori, M.
2014. Kepemimpinan Kepala Madrasah
dan Layanan Tata Usaha dengan
Kinerja Guru MTs Negeri Kota
Pontianak. Jurnal Pascasarjana
Administrasi Pendidikan, FKIP
Universitas Tanjungpura, Pontianak
1(1)
Prasojo, L. D. 2006. Pengembangan Tata Usaha
Berbasis Teknologi Informasi. Jurnal
Tenaga Kependidikan, 1(3)
Prasojo, L. D. 2008. Model Kompetensi Tenaga
Administrasi Sekolah Menengah
Kejuruan. Jurnal Tenaga
Kependidikan, UPI 1(1)
Rukmana, I. J. 2015. Pengaruh Pengawasan
Melekat oleh Kepala Tata Usaha
terhadap Kinerja Staf Administrasi di
SMP Negeri se-Kecamatan
Majalengka. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.
Sahnan, M. 2003. Pengembangan Tenaga
Pendidik: Sistem Manajemen Pondok
Pesantren. Bandung: Disertasi UPI.
Scott, F. 2001. Developing human resources for
effective school management in small
Caribbean states. International Journal
of Educational Development 21
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian
Administrasi. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian
Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sumbar Online.com. 2015. Kepsek dan Guru
MTsN Padang Panjang Ukir Prestasi. 23
Oktober 2015.
Surya, P. 2012. Peran Penting Tenaga
Administrasi Sekolah dalam Penguatan
Budaya Sekolah untuk Implementasi
Pendidikan Karakter.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) Pasal 39 ayat 1. Jakarta:
Kementerian Pendidikan Nasional.
Zahro’, N., dan Baehaki, I. 2013. Pengaruh
Kompetensi Tenaga Administrasi
Sekolah terhadap Kinerja Pegawai Tata
Usaha pada MTsN dan MAN di
Kabupaten Kediri. Jurnal Ilmu
Manajemen, Revitalisasi, 2(2).
Kelola
Jurnal Manajemen Pendidikan
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018
Halaman: 96-106
96
Pengaruh Budaya Organisasi Dan Komunikasi Interpersonal
Terhadap Sikap Kerja Guru SMP Swasta
Elfridauli
Pascasarjana Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta
elfrida@tbcs.sch.id
ABSTRACT
The purpose of this study is to determine the influence of organizational culture
and interpersonal communication on the work attitude of private junior high school
teachers in Tanjung Priok district. This research was conducted using survey method
with quantitative approach and path analysis technique. The populations in this study
were 307 teachers with 75 research samples of teachers selected using simple random
sampling technique. Data were obtained through questionnaire and analyzed using path
analysis technique. Based on the results of data analysis in this study, it can be concluded:
(1) organizational culture has a direct positive influence on teacher work attitude; (2)
interpersonal communication also has a positive direct effect on teacher work attitude;
(3) organizational culture has a positive direct effect on interpersonal communication.
Therefore, work attitude can be developed through the improvement of organizational
culture and interpersonal communication.
Keywords: Interpersonal Communication, Organizational Culture, Private Junior High
School Teachers, Work Attitude
Article Info
Received date: 14 Mei 2018 Revised date: 21 Juni 2018 Accepted date: 23 Juni 2018
Pengaruh Budaya Organsasi dan Komunikasi Interpersonal Terhadap Sikap Kerja Guru … | Elfridauli
97
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah hal utama untuk
sebuah perubahan seseorang dari yang tidak
bisa menjadi bisa, kemudian pendidikan juga
merupakan pemandu bagi karakter seseorang.
Pendidikan juga merupakan salah satu yang
menjadi penentu pembangunan karakter
bangsa, seperti yang dituangkan dalam tujuan
pendidikan UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 yang
berbunyi: “Tujuan pendidikan nasional adalah
mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab".
Salah satu yang berkaitan dengan
lembaga pendidikan adalah tenaga pendidik
atau yang biasa disebut guru merupakan salah
satu ujung tombak tercapainya tujuan
pendidikan yang diharapkan dan juga
merupakan teladan hidup baik di dalam kelas
maupun di luar kelas untuk peserta didik.
Dalam meningkatkan sikap kerja guru
yang positif dalam organisasi diperlukannya
dukungan dari budaya organisasi seperti selalu
ada pelatihan-pelatihan, seminar-seminar dan
diskusi mengenai metode mengajar dalam
MGMP mata pelajaran. Menurut Darmawan
(2013: 143) organisasi dapat berlangsung dan
sampai pada visi, misi, tujuannya melalui
proses manajemen. Untuk memimpin
organisasi, seorang manajer memiliki tugas
utama yaitu interpersonal, informasional dan
pengambil keputusan.
Setiap organisasi memiliki budaya
organisasi yang dapat menjadi ciri khas
karakter dari organisasi. Budaya organisasi
yang kuat akan menciptakan bentuk perilaku
pegawai dan sikap kerja guru, kemudian akan
mempengaruhi persaingan antar organisasi.
Contohnya dalam organisasi sekolah,
bagaimana kuatnya budaya organisasi sebuah
sekolah juga akan mempengaruhi sikap guru
pada sekolah tersebut. Dengan perilaku dan
sikap yang guru tunjukkan akan menjadi ciri
khas sebuah sekolah akan semakin
meningkatnya kualitas pendidikan. Kemudian
organisasi memiliki sebuah komunikasi
interpersonal yang berjalan dengan baik
sehingga dari komunikasi tersebut akan dapat
mempengaruhi sikap kerja guru.
Menurut Sudaryono (2014: 35),
perbedaan-perbedaan kultural memiliki
dampak besar terhadap kinerja organisasi dan
kualitas pengalaman kerja yang dialami oleh
para anggota organisasi. Dengan demikian
budaya organisasi merupakan suatu kekuatan
yang tidak terlihat tetapi dapat mempengaruhi
pikiran, perasaan dan tindakan orang-orang
yang bekerja dalam suatu organisasi. Sama
seperti halnya pribadi setiap manusia memiliki
perbedaan sifat, karakter dan nilai-nilai sendiri
yang di latarbelakangi oleh latar belakang
keluarga, berasal dari suku yang berbeda dan
memiliki kebiasaan yang berbeda dalam setiap
keluarga dan lingkungan yang membentuk
setiap kepribadian seseorang.
Menurut Sugiarta dkk (2013) budaya
organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja
guru, mengikuti program pengembangan
kompetensi guru, ikut serta dalam
mengembangkan budaya organisasi dalam
mentaati peraturan dan program sekolah.
Budaya organisasi akan memberikan sebuah
nilai-nilai pada setiap guru pada saat bekerja,
budaya juga akan memberikan sikap guru pada
pekerjaan yang sedang dikerjakan dan
diselesaikan. Apakah guru merasa puas dengan
pekerjaannya dan dapat membuat bertahan
dalam pekerjaannya ini semua juga
dipengaruhi oleh budaya sebuah organisasi.
Menurut Ivancevich dkk (2006: 47)
budaya organisasi melibatkan harapan, nilai-
nilai dan sikap bersama, dan semua dapat
mempengaruhi individu, kelompok dan proses
organisasi. Membedakan budaya yang kuat
dengan budaya yang lemah sering kali sangat
berguna karena budaya yang kuat dicirikan
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
98
oleh adanya pegawai yang memiliki nilai inti
bersama. Semakin banyak pegawai yang
berbagi dan menerima nilai inti, semakin kuat
budaya, dan semakin besar pengaruhnya
terhadap sikap kemudian prilaku.
Selain budaya organisasi juga terdapat
komunikasi dalam beraktivitas. Budaya dapat
membantu seorang pegawai bekerja sesuai
dengan budaya organisasi dan peraturan-
peraturan yang sudah disepakati. Sekalipun
budaya organisasi juga sudah dapat membantu
tetapi tanpa adanya komunikasi maka nilai-
nilai organisasi tidak dapat tersampaikan
dengan maksimal. Menurut Nurrohim dan
Anatan (2009: 2) kesuksesan organisasi sangat
dipengaruhi oleh kapabilitas dan kompetensi
masing-masing individual dan kerjasama antar
anggota tim dalam organisasi. Dalam menjalin
kerjasama untuk mencapai tujuan tersebut
diperlukan adanya komunikasi.
Menurut Tahjudin Nor (2013: 8)
pimpinan perusahaan harus benar-benar
memperhatikan kepuasan komunikasi
organisasi yang ada dalam organisasinya,
karena dengan perhatian yang intensif
terhadap motivasi kerja pada organisasinya
maka diharapkan karyawan akan lebih giat
bekerja untuk mewujudkan tujuan
organisasinya. Menurut Wiyani (2015: 159)
membangun hubungan melalui komunikasi
dapat dilakukan secara bertemu dengan
bertatap muka untuk bertukar informasi atau
tidak perlu bertemu langsung tetapi dengan
menggunakan alat elektronik. Komunikasi
adalah penggerak organisasi, karena tujuan
dari organisasi akan sulit dicapai tanpa
komunikasi
Komunikasi dalam proses organisasi
menjadi sangat kurang dikarenakan semakin
beragamnya setiap pribadi dalam organisasi.
Kemudian ditambah lagi semakin
meningkatnya teknologi membuat pegawai
mengurangi komunikasi secara langsung dan
banyak juga yang sibuk kepentingan pribadi.
Sedangkan proses organisasi dibutuhkan
komunikasi untuk menciptakan sikap kerja
guru.
Budaya organisasi dan komunikasi
interpersonal memberikan pengaruh positif
terhadap kinerja. Budaya organisasi juga dapat
meningkatkan kompetensi guru, dengan
demikian sikap positif terhadap profesinya
atau terhadap pekerjaannya juga dapat
meningkat. Menurut Sawaludin (2013: 82)
komunikasi interpersonal juga mempengaruhi
dimensi sosial dalam organisasi, membuat
komunikasi efektif dan guru semakin bekerja
keras untuk bertanggung jawab atas
pekerjaanya.
Menurut Norlena (2015: 43) sekolah
sebagai sebuah organisasi formal, memiliki
struktur yang memungkinkan sekolah
menjalankan fungsinya sebagai lembaga
edukatif yang baik. Didalamnya terdapat
sekumpulan manusia yang bekerja bersama-
sama untuk mencapai suatu tujuan yaitu
mencerdaskan generasi bangsa dan adanya
prasarana sarana. Menurut Wuryantina (2015:
243) sekolah juga merupakan bentuk
keorganisasian moral, berbeda dengan bentuk
keorganisasian lain yang berorientasi kepada
keuntungan. Hal itu membawa konsekuensi
logis bagi setiap komponen sekolah untuk
bersinergi, memiliki komitmen yang sama dan
menerapkan norma dan nilai yang dianut
sekolah demi tercapainya tujuan pendidikan
sekolah.
Bekerja bersama-sama juga tidak
terlepas dari budaya organisasi, komunikasi
interpersonal dan sikap kerja. Banyak guru
sudah tidak mengikuti aturan dari budaya
organisasi sekolah, banyak juga yang sudah
mementingkan diri sendiri dan tidak
membangun komunikasi yang aktif dan positif.
Kemudian mempengaruhi sikap kerja guru
yang sudah mulai menurun, banyak yang
memberikan sikap kerja yang bermalas-
malasan, sikap kerja yang tidak konsisten
dalam membimbing, sikap kerja yang tidak
menjadi teladan dan banyak guru mengajar
Pengaruh Budaya Organsasi dan Komunikasi Interpersonal Terhadap Sikap Kerja Guru … | Elfridauli
99
hanya untuk sebuah alasan ekonomi. Jika guru
mengajar tanpa adanya rasa ketulusan maka
semuanya itu menjadi hambar, karena
pekerjaan guru bukan kepada sebuah benda
tetapi kepada manusia terhadap manusia.
Menurut Librawati dkk (2013) sikap
kerja guru akan dapat mempengaruhi
keberhasilan dari sebuah sekolah. Bagaimana
sikap guru dalam melayani siswa dan
bagaimana sikap guru dalam berinteraksi
kepada teman sejawat dan kepada pimpinan.
Sikap kerja dari seorang guru sangatlah
penting karena melalui sikap akan
mempengaruhi sikap pribadi, sikap kelompok
seperti organisasi dan akan mempengaruhi
tujuan organisasi.
Menurut penelitian Karya dkk (2013)
sikap kerja guru dalam merespon
menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya
serta lingkungan kerja tersebut akan dapat
berpengaruh terhadap kinerja guru dan
berdampak terhadap hasil nilai siswa di
sekolah. Sikap kerja guru tersebut meliputi tiga
sikap yaitu kepuasan kerja, komitmen
organisasi dan keterlibatan kerja. Menurut
penelitian Khoiri (2017: 109), kualitas
kehidupan kerja berpengaruh langsung positif
terhadap sikap kerja, artinya peningkatan
kualitas kehidupan kerja mengakibatkan
peningkatan sikap kerja guru
Menurut Sugiarta (2012) sikap guru
pada pekerjaan harus selalu diupayakan secara
positif oleh guru, selain itu hendaknya guru
selalu mengupayakan peningkatan
pengetahuan dan ketrampilan, dengan cara
demikian kemampuan guru akan meningkat
dan pendidikan yang berkualitas akan
terwujud. Faktor sikap kerja guru dipengaruhi
baik dari luar dan dari dalam, artinya
bagaimana sikap guru terhadap pekerjaan yang
diemban dipengaruhi dari faktor dalam diri
guru tersebut. Sedangkan faktor dari luar juga
dapat dipengaruhi oleh budaya organisasi dan
kualitas komunikasi antar guru tersebut
kemudian di bantu oleh kemampuan guru
tersebut baik itu pengalaman dan kemampuan
Kecamatan Tanjung Priok adalah salah
satu kecamatan di Kotamadya Jakarta Utara,
DKI Jakarta. Kecamatan Tanjung Priok
memiliki luas 25,13 km2. Menurut data dari
Dinas Pendidikan Kotamadya Jakarta Utara
Kecamatan Tanjung Priuk memiliki Sekolah
Menengah Pertama (SMP) sebanyak 46
sekolah, terdiri dari 35 sekolah swasta dan 11
sekolah negeri, dengan jumlah guru sekitar
635 orang dan peserta didik sekitar 12.506
anak. Khusus untuk SMP swasta jumlah guru
ada 307 orang dan jumlah murid sebanyak
6014 anak.
Penelitian ini bertujuan mengetahui
ada tidaknya pengaruh langsung budaya
organisasi terhadap sikap kerja guru, pengaruh
langsung komunikasi interpersonal terhadap
sikap kerja guru, pengaruh langsung budaya
organsasi terhadap komunikasi interpersonal.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
menjadi acuan kepada guru di SMP Swasta di
Kecamatan Tanjung Priok untuk dapat
mengevaluasi dan meningkatkan sikap kerja
guru.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilaksanakan di
SMP Swasta Kecamatan Tanjung Priok.
Penelitian ini dilakukan mulai April sampai
Mei 2018.
Metode penelitian yang digunakan
adalah metode survey dengan cara
mengumpulkan data dengan menyebarkan
kuesioner/ angket kepada guru yang hasilnya
kemudian diolah melalui untuk mengetahui
pengaruh antar variabel yang ada. Penelitian
ini dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif melalui sebab akibat, metode
tersebut digunakan untuk menjelaskan
pengaruh variabel bebas terhadap variabel
terikat pada penelitian ini.
Pada gambar 1 dijelaskan model
pengaruh antara variabel eksogen (bebas)
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
100
dengan variabel endogen (terikat) sehingga
dapat dipahami dengan mudah dan jelas.
Penelitian ini menggunakan paradigma ganda
dengan dua variabel independen dan satu
dependen.
Gambar 1. Paradigma ganda dengan
dua variabel independen X1 dan X2,
dan satu variabel dependen X3
Keterangan:
X1: Budaya Organisasi
X2: Komunikasi Interpersonal
X3: Sikap Kerja Guru
Berdasarkan Gambar 1 diatas, sikap
kerja guru (X3) merupakan variabel terikat.
Budaya organisasi (X1) dan komunikasi
interpersonal (X2) merupakan variabel bebas.
Konstelasi pengaruh tersebut mengambarkan
bahwa budaya organisasi dan komunikasi
interpersonal merupakan variabel bebas yang
memilki pengaruh terhadap sikap kerja guru.
Populasi dalam penelitian ini berasal
dari guru SMP Swasta di Kecamatan Tanjung
Priok yang berjumlah 307 guru. Adapun
jumlah subjek penelitian yang dijadikan
sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak
75 orang. Jumlah ini didapat dari rumus
penentuan jumlah sampel rumus Slovin, sesuai
dengan yang dinyatakan oleh Juliansyah Noor
(2011, 158) dengan kesalahan (presisi) 10%
atau tingkat kepercayaan mencapai 90%.
Adapun rumus tersebut sebagai berikut:
n =𝑁
1 + (𝑁𝑒2)
keterangan:
n = Number of Samples (jumlah sampel)
N = Total Populations (jumlah seluruh anggota
populasi)
E = error tolerance (toleransi terjadinya galat;
taraf signifikansi)
Jika yang kita teliti itu sebanyak 307 orang
guru, maka besarnya sampel menurut rumus
Slovin ini akan menjadi:
n =𝑁
1 + (𝑁𝑒2)
n =307
1 + (307(0,1)2)
n = 75,429 ≈ 75
Pengambilan sampel dilakukan dengan
cara acak sederhana (simpel random sampling)
dimana setiap anggota populasi diberi
kesempatan yang sama untuk menjadi sampel
penelitian.
Dalam pengumpulan data penelitian
digunakan kuisioner yang diberikan kepada
responden yaitu para guru SMP Swasta
Kecamatan Tanjung Priok. Setiap kuisioner
dikembangkan dalam kisi-kisi dari masing-
masing variabel penelitian. Untuk kepentingan
penelitian ini telah disusun tiga jenis
instrument yaitu instrument yang digunakan
untuk mengukur variabel budaya organisasi,
komunikasi interpersonal dan sikap kerja guru,
seperti yang ditunjukkan di Tabel 1, Tabel 2,
dan Tabel 3.
Tabel 1. Kisi-kisi Sikap Kerja No Indikator Nomor Butir Jumlah
1 Penilaian/respon
pekerjaan
1, 2, 3, 4, 5,
6, 7, 8
8
2 Keterlibatan kerja 9,10,11,12,
13,14
6
3 Respon terhadap
profesi
15,16,17,181
9,20,21,22
8
4 Kepercayaan diri 23,24,25,262
7
5
5 Meningkatkan
pengetahuan/keahli
an
28,29,30,313
2
5
6 Ketepatan waktu 33,34,35,36,
37
5
7 Kualitas pelayanan 38,39,40,41,
42,43,44, 45
8
X1
X3
X2
Pengaruh Budaya Organsasi dan Komunikasi Interpersonal Terhadap Sikap Kerja Guru … | Elfridauli
101
Tabel 2. Kisi-kisi Budaya Organisasi
No Indikator Nomor Butir Jumlah
1 Peraturan sekolah 1,2,3,4,5,6 6
2 Apresiasi guru 7,8,9,10,11,
12,13,14
8
3 Program pelatihan 15,16,17,18,
19,20,21,22
8
4 Gotong Royong 23,24,25,26,
27
5
5 Prosedur kerja 28,29,30,31,
32
5
6. Kesetiakawanan 33,34,35,36,
37
5
7 Komitmen organisasi 38,39,40,41,
42,43,44,45
8
Tabel 3. Kisi-kisi Komunikasi Interpersonal No Indikator Nomor Butir Jumlah
1 Saling mengenal 1, 2, 3, 4, 5,
6, 7
7
2 Bekerjasama 8, 9, 10, 11,
12
5
3 Persepsi 13, 14, 15,
16, 17, 18
6
4 Simpati 19, 20, 21,
22, 23
5
5 Komunikatif 24, 25, 26,
27,28, 29,
30, 31
8
6 Keterbukaan 32, 33, 34,
35, 36, 37,
38, 39
8
7 Dukungan 40, 41, 42,
43, 44, 45
6
Konsep yang mendasari penyusunan
instrumen bertolak dari indikator-indikator
variabel penelitian. Selanjutnya kisi-kisi
tersebut dijabarkan menjadi beberapa
pernyataan. Alternatif jawaban untuk setiap
pernyataan adalah sebagai berikut: (a) sangat
sering, (b) sering, (c) jarang, (d) pernah, (e)
tidak pernah.
Kategori pernyataan positif diberi nilai:
sangat sering = 5, sering = 4, jarang = 3, pernah
= 2, dan tidak pernah = 1, sedangkan
pernyataan negatif diberi nilai sebaliknya
yaitu: sangat sering = 1, sering = 2, jarang = 3,
pernah = 4, dan tidak pernah = 5.
Pengujian Validitas Instrumen
Uji validitas instrument penelitian
bertujuan untuk melihat gambaran tentang
kevalidan tiap butir instrument penelitian. Uji
validitas butir diperlukan untuk menegaskan
bahwa butir-butir instrumen penelitian yang
dipakai dalam pengambilan data adalah valid.
Secara empiris, hal ini dilakukan dengan
melihat koefisien korelasi (pearson product
moment) antara butir pertanyaan dengan skor
jawaban.
Validitas instrumen diuji dengan
rumus product moment sebagai berikut:
𝑟𝑥𝑦 =𝑛(∑ 𝑋𝑌)−(∑ 𝑋)(∑ 𝑌)
√[𝑛(∑ 𝑋2)−(∑ 𝑋)2𝑛 (∑ 𝑌2)−(∑ 𝑌)2]
Keterangan:
𝑟12 : Koefisien korelasi product moment
X : Jumlah skor dalam sebaran X
Y : Jumlah skor dalam sebaran Y
XY : Jumlah skor X dan Y
X2 : Jumlah hasil yang dikuadratkan dalam
sebaran X
Y2 : Jumlah hasil yang dikuadratkan dalam
sebaran Y
n : Jumlah sampel (responden)
Kriteria validitasnya satu butir
instrument penelitian adalah jika nilai rhitung
rtabel. Besar harga rtabel ditentukan oleh taraf
signifikansi dan derajat kebebasan (dk). Taraf
signifikansi ditetapkan pada α = 0,05.
Sedangkan derajat kebebasannya adalah
jumlah sampel dikurangi 1(n – 1).
Perhitungan Reliabilitas Instrumen
Perhitungan reliabilitas adalah
perhitungan terhadap konsistensi data
kuisioner dengan menggunakan rumus Alpha
Cronbach. Penggunaan rumus ini disesuaikan
dengan teknik skoring yang dilakukan pada
saat item dalam instrument. Perhitungan
reliabilitas instrumen komunikasi
interpersonal sebanyak 45 butir pernyataan.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
102
Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis deskriptif dan
inferensial. Analisis deskriptif menyajikan
karakteristik data dari masing-masing variabel
dalam bentuk penyajian data, ukuran sentral,
dan ukuran penyebaran data. Penyajian data
ditampilkan dalam bentuk mean, median, dan
modus. Sedangkan untuk ukuran sebaran
disajikan dalam bentuk varians dan simpangan
baku.
Analisis inferensial menggunakan
analisis jalur (path analysis). Namun sebelum
menggunakan analisis jalur, terlebih dahulu
dilakukan uji persyaratan analisis, yaitu uji
normalitas, uji signifikansi, dan linearitas.
Sedangkan untuk menghitung koefisien jalur
dengan menggunakan koefisien korelasi dari
masing-masing hubungan kausal.
Variabel dalam penelitian kausal
terbagi dua, yaitu variabel endogenus dan
variabel eksogenus. Variabel endogenus
adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel
eksogenus, yang dalam penelitian ini variabel
sikap kerja guru (X3). Sedangkan variabel
eksogenus dalam penelitian ini adalah variabel
budaya organisasi (X1). Selain berperan
sebagai variabel endogenus, variabel
komunikasi interpersonal (X2) juga sebagai
variabel eksogenus
Hipotesis statistik yang digunakan
dalam penlitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hipotesis pertama terdapat pengaruh
langsung positif budaya Organisasi (X1)
terhadap Sikap Kerja (X3).
2. Hipotesis pertama terdapat pengaruh
langsung positif Komunikasi
Interpersonal (X2) terhadap Sikap Kerja
(X3).
3. Hipotesis pertama terdapat pengaruh
langsung positif Budaya Organisasi (X1)
terhadap Komunikasi Interpersonal (X2).
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Pengujian Persyaratan Analisis
Analisis statistik parametris digunakan
dengan asumsi bahwa data setiap variabel
penelitian yang dianalisis terdistribusi secara
normal. Pada bagian ini dilakukan proses
pengujian persyaratan analisis sebagai syarat
agar teknik regresi yang merupakan kelompok
statistik parametris dapat diterapkan untuk
keperluan uji hipotesis.
Analisis jalur (path analysis) dapat
dilakukan apabila estimasi antara variabel
eksogen terhadap variabel endogen bersifat
linear. Dengan demikian apabila syarat di atas
dipenuhi maka analisis regresi dan analisis
jalur dapat dilakukan. Syarat analisis jalur
adalah sampel penelitian berasal dari populasi
yang terdistribusi normal dan pengaruh antara
variabel-variabel dalam model harus
signifikan dan bersifat linear. Untuk itu
pengujian terhadap kedua syarat yang berlaku
dalam analisis jalur tersebut perlu dilakukan
sebelum proses pengujian model, yang
meliputi:
- Uji Normalitas
- Uji Signifikansi dan Linearitas Koefisien
Regresi
Uji Normalitas
Dari hasil perhitungan uji normalitas
diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Uji Normalitas Galat Taksiran Regresi
X3 atas X1
Hasil analisis data menunjukkan bahwa
perhitungan Lhitung = 0,051 lebih kecil dari
Ltabel (n = 75; α = 0,05) sebesar 0,102. Karena
nilai Lhitung lebih kecil dari Ltabel maka sebaran
data sikap kerja atas budaya organisasi
cenderung membentuk kurva normal.
b. Uji Normalitas Galat Taksiran Regresi
X3 atas X2
Hasil analisis data menunjukkan bahwa
perhitungan Lhitung = 0,063 lebih kecil dari
Ltabel (n = 75; α = 0,05) sebesar 0,102. Karena
Pengaruh Budaya Organsasi dan Komunikasi Interpersonal Terhadap Sikap Kerja Guru … | Elfridauli
103
nilai Lhitung lebih kecil dari Ltabel maka sebaran
data sikap kerja atas komunikasi interpersonal
cenderung membentuk kurva normal.
c. Uji Normalitas Galat Taksiran Regresi
X2 atas X1
Hasil analisis data menunjukkan bahwa
perhitungan Lhitung = 0,061 lebih kecil dari
Ltabel (n = 75; α = 0,05) sebesar 0,102. Karena
nilai Lhitung lebih kecil dari Ltabel maka sebaran
data komunikasi interpersonal atas budaya
organisasi cenderung membentuk kurva
normal.
Dengan memperhatikan harga-harga
Lhitung dan Ltabel pada uji normalitas tersebut
dapat disimpulkan bahwa semua data baik
sikap kerja atas budaya organisasi, sikap kerja
atas komunikasi interpersonal, dan komunikasi
interpersonal atas budaya organisasi berasal
dari sampel yang berdistribusi normal.
Uji Signifikansi dan Linearitas Regresi
Uji hipotesis penelitian dilakukan
dengan mempertimbangkan hasil analisis
regresi dan analisis korelasi. Untuk
memprediksi model hubungan variabel satu
dengan variabel lain digunakan analisis
regresi. Sementara itu, untuk mengetahui
pengaruh antar variabel penelitian digunakan
analisis korelasi.
Keseluruhan hasil uji signifikansi dan
linearitas regresi dirangkum pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil Uji Signifikansi dan Uji Linearitas Regresi
Reg Persamaan
Uji Regresi Uji Linearitas Kesimpulan Fhitung Ftabel Fhitung Ftabel
α=0,01 α=0,05
X3 atas X1
3X̂ = 33,91 +0,56X1
45,94**
7,00
0,90ns
75 Regresi sangat
signifikan/
Regresi linear
X3 atas X2
3X̂ = 31,60 + 0,58X2
33,63**
6,99
1,21ns
75
Regresi sangat
signifikan/
Regresi linear
X2 atas X1
= 108,81 + 0,356X1
14,67**
6,99
1,03ns
75
Regresi sangat
signifikan/
Regresi linear
Keterangan:
** : Sangat signifikan
ns : Non signifikan (regresi linear)
Dengan melihat hasil uji signifikansi
dari masing-masing variabel didapatkan
bahwa model persamaan regresi yang
terbentuk antara sikap kerja guru dengan
budaya organisasi (X3 atas X1), sikap kerja
guru atas komunikasi interperonal (X3 atas
X2), dan komunikasi interpersonal atas budaya
organisasi (X2 atas X1) merupakan regresi
yang sangat signifikan karena hasil Fhitung >
Ftabel.
Sementara itu dengan melihat hasil uji
linearitas, didapatkan bahwa dalam model
persamaan regresi yang terbentuk antara sikap
kerja guru dengan budaya organisasi (X3 atas
X1), sikap kerja guru atas komunikasi
interperonal (X3 atas X2), dan komunikasi
interpersonal atas budaya organisasi (X2 atas
X1), terdapat sebaran titik yang terestimasi
membentuk garis linear dapat diterima.
Pengujian Hipotesis
Berdasarkan hasil analisis sebelumnya
kemudian dilakukan pengujian hipotesis
dengan menggunakan analisa jalur (path
analysis). Hasil analisa jalur pengaruh
langsung dari masing-masing variabel
ditunjukkan pada Tabel 5.layout tidak/belum
tepat
2X̂
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
104
Tabel 5. Hasil analisa jalur pengaruh langsung masing-masing variabel
Pengaruh
Langsung Koefisien Jalur thitung
ttabel
α = 0,05 α = 0,01
X1 terhadap X3 0,470 5,150** 1,99 2,65
X2 terhadap X3 0,369 4,041** 1,99 2,65
X1 terhadap X2 0,409 3,865** 1,99 2,65
**Koefisien jalur sangat signifikan (5,150 > 2,65 pada α = 0,01)
Berdasarkan hasil analisa jalur, nilai
koefisien jalur pengaruh langsung budaya
organisasi (X1) terhadap sikap kerja guru (X3)
sama dengan 0,470 dengan nilai nilai thitung
sama dengan 5,150. Nilai ttabel untuk α = 0,01
sebesar 2,65. Karena nilai thitung lebih besar dari
pada nilai ttabel maka H0 ditolak dan H1
diterima. Hal tersebut menunjukkan bahwa
budaya organisasi berpengaruh secara
langsung terhadap sikap kerja dapat diterima.
Hasil analisis hipotesis pertama memberikan
temuan bahwa budaya organisasi berpengaruh
secara langsung terhadap sikap kerja. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa sikap kerja
dipengaruhi secara langsung oleh budaya
organisasi. Semakin baik budaya organisasi
mengakibatkan semakin baik sikap kerja.
Dari hasil perhitungan analisis jalur
menunjukkan ada pengaruh langsung
komunikasi interpersonal terhadap sikap kerja.
Nilai koefisien jalur sama dengan 0,369 dan
nilai thitung sama dengan 4,041. Nilai ttabel untuk
α = 0,01 sebesar 2,65. Karena nilai thitung lebih
besar dari pada nilai ttabel maka H0 ditolak dan
H1 diterima. Hal tersebut menunjukkan bahwa
komunikasi interpersonal berpengaruh secara
langsung terhadap sikap kerja dapat diterima.
Hasil analisis hipotesis kedua memberikan
temuan bahwa komunikasi interpersonal
berpengaruh secara langsung terhadap sikap
kerja. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa sikap kerja dipengaruhi secara langsung
oleh komunikasi interpersonal. Semakin baik
komunikasi interpersonal mengakibatkan
semakin baik sikap kerja.
Dari hasil perhitungan analisis jalur
menunjukkan ada pengaruh langsung budaya
organisasi terhadap komunikasi interpersonal.
Nilai koefisien jalur sama dengan 0,409 dan
nilai thitung sama dengan 3,865. Nilai ttabel untuk
α = 0,01 sebesar 2,65. Karena nilai thitung lebih
besar dari pada nilai ttabel maka H0 ditolak dan
H1 diterima. Hal tersebut menunjukkan bahwa
budaya organisasi berpengaruh secara
langsung terhadap komunikasi interpersonal
dapat diterima.
Hasil analisis hipotesis ketiga
memberikan temuan bahwa budaya organisasi
berpengaruh secara langsung terhadap
komunikasi interpersonal. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa komunikasi
interpersonal dipengaruhi secara langsung oleh
budaya organisasi. Semakin baik budaya
organisasi mengakibatkan semakin baik
komunikasi interpersonal.
Pembahasan
Hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa budaya organisasi berpengaruh secara
langsung terhadap sikap kerja di atas membe-
narkan pandangan Sugiarta dkk (2013) bahwa
budaya organisasi akan memberikan sebuah
nilai-nilai pada setiap guru pada saat bekerja,
budaya juga akan memberikan sikap guru pada
pekerjaan yang sedang dikerjakan dan
diselesaikan. Hasil di atas juga sejalan dengan
teori Ivancevich dkk (2006: 47) bahwa budaya
organisasi melibatkan harapan, nilai-nilai dan
sikap bersama, dan semua dapat
mempengaruhi individu, kelompok dan proses
organisasi dan bahwa semakin banyak
pegawai yang berbagi dan menerima nilai inti,
semakin kuat budaya, dan semakin besar
pengaruhnya terhadap sikap kemudian prilaku.
Jika memperhatikan temuan I Wayan
Karya dkk (2013) bahwa sikap kerja guru
dalam merespon menyelesaikan tugas dan
Pengaruh Budaya Organsasi dan Komunikasi Interpersonal Terhadap Sikap Kerja Guru … | Elfridauli
105
tanggung jawabnya serta lingkungan kerja
tersebut akan dapat berpengaruh terhadap
kinerja guru maka hasil penelitian di atas
memiliki kesejajaran dengan temuan Rahmat
(2015) yang menyatakan bahwa budaya
organisasi mempunyai hubungan yang
signifikan dengan kinerja aparatur pendidikan
non formal di wilayah penelitiannya.
Lebih lanjut temuan penelitian ini
bahwa komunikasi interpersonal berpengaruh
secara langsung terhadap sikap kerja
menggarisbawahi pendapat Tahjudin Nor (2013:
8) bahwa pimpinan harus benar-benar
memperhatikan kepuasan komunikasi
organisasi yang ada dalam organisasinya,
karena dengan perhatian yang intensif
terhadap motivasi kerja pada organisasinya
maka diharapkan karyawan akan lebih giat
bekerja untuk mewujudkan tujuan
organisasinya. Pun pendapat Wiyani (2015:
159) bahwa komunikasi adalah penggerak
organisasi, karena tujuan dari organisasi akan
sulit dicapai tanpa komunikasi serta pendapat
Sawaludin (2013: 82) bahwa komunikasi
interpersonal juga mempengaruhi dimensi
sosial dalam organisasi, membuat komunikasi
efektif dan guru semakin bekerja keras untuk
bertanggung jawab atas pekerjaannya.
(bandingkan dengan kajian Hidayat, 2017
tentang komunikasi interpersonal).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan terhadap guru SMP Swasta di
Kecamatan Tanjung Priok, diperoleh
kesimpulan penelitian bahwa budaya
organisasi berpengaruh langsung terhadap
sikap kerja, artinya peningkatan kualitas
budaya organisasi menyebabkan peningkatan
sikap kerja guru SMP Swasta di Kecamatan
Tanjung Priok.
Komunikasi interpersonal berpengaruh
langsung terhadap sikap kerja, artinya
peningkatan komunikasi interpersonal
menyebabkan peningkatan sikap kerja guru
SMP Swasta di Kecamatan Tanjung Priok.
Budaya organisasi berpengaruh
langsung terhadap komunikasi interpersonal,
artinya peningkatan budaya organisasi
menyebabkan peningkatan komunikasi
interpersonal guru SMP Swasta di Kecamatan
Tanjung Priok.
Saran
Terdapat beberapa saran yang peneliti
sampaikan sebagai masukan bagi pihak-pihak
terkait antara lain:
Bagi Yayasan SMP swasta di
kecamatan Tanjung Priok, diharapkan lebih
banyak fokus dalam meningkatkan program-
program pelatihan guru dalam mengajar,
seminar pendidikan untuk meningkatkan
kompetensi guru secara rutin dapat mendorong
terwujudnya sikap kerja guru yang maksimal
dan berdampak pada kualitas pelayanan
sekolah swasta pada dunia pendidikan. Serta
memberikan apresiasi kepada guru yang sudah
dapat maksimal meningkatkan sikap kerja
guru.
Bagi guru SMP swasta di kecamatan
Tanjung Priok, diharapkan guru swasta
terutama di kecamatan Tanjung Priok dalam
bersikap terhadap profesinya sebagai guru
dengan pandangan yang positif dan menilai
pekerjaan guru sangat istimewa. Dengan
memandang pekerjaan guru secara positif
maka guru akan memiliki kualitas sikap kerja
sesuai dengan tugas pokok guru, kemudian
budaya organisasi yang sudah ditetapkan
dijadikan sebagai otoritas bagi guru dalam
melaksanakan pekerjaannya.
Para peneliti lain agar menindaklanjuti
penelitian ini melalui penelitian-penelitian
serupa dengan mengembangkan variabel-
variabel bebas dan cakupan wilayah penelitian.
Hal ini disebabkan masih banyak faktor yang
mempengaruhi sikap kerja guru selain budaya
organisasi dan komunikasi interpersonal.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018
106
DAFTAR PUSTAKA
Darmawan, D. 2013. Prinsip-Prinsip Perilaku
Organisasi. Surabaya: Pena Semesta.
Hidayat, R. 2017. Peningkatan Aktivitas
Komunikasi Interpersonal Dalam
Organisasi Melalui Perbaikan Efikasi
Diri, Kepemimpinan Dan Kekohesifan
Tim. Kelola: Jurnal Manajemen
Pendidikan, 4(2), 161-170. -170
Ivancevich, J. M, dkk. 2006. Perilaku dan
Manajemen Organisasi. Jakarta:
Erlangga.
Karya, I.W., Suhandana, I.G.A, Yudayana, M.
2013. Kontribusi Kompetensi Guru,
Sikap Profesi Guru, dan Motivasi Kerja
terhadap Kinerja Guru SMA Negeri 1
Sukawati. e-Jurnal Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha, 4, 1-11.
Khoiri, M. 2017. Pengaruh Kualitas
Kehidupan Kerja Dan Sikap Kerja
Terhadap Kepuasan Kerja Guru Sma
Negeri Kecamatan Jekan Raya Kota
Palangka Raya Provinsi Kalimantan
Tengah. EDUKA Jurnal Pendidikan,
Hukum dan Bisnis, 1(5), 96-112.
Librawati, Y. Md., Sunu, IGK. 2013. Analisis
Pengaruh Sikap Profesional, Iklim
Kerja Sekolah dan Gaya
Kepemimpinan Kepala Sekolah
Terhadap Kinerja Guru SMP Negeri di
Kecamatan Sukawati. e-Jurnal
Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha, 4, 13-24
Noor, J. 2011. Metodologi Penelitian. Jakarta:
Prenada Media Group.
Norlena, I. 2015. Sekolah Sebagai Organisasi
Formal (Hubungan Antar Struktur).
Tarbiyah Islamiyah, 5(2), 43-55.
Nurrohim, H. dan Anatan, L. 2009. Efektivitas
Komunikasi Dalam Organisasi. Jurnal
Manajemen, 7(4), 1-9.
Rahmat, A. 2015. Hubungan Gaya
Kepemimpinan Dan Budaya
Organisasi Dengan Kinerja Aparatur
Pendidikan Nonformal Di Dinas
Pendidikan Kota Gorontalo. Kelola:
Jurnal Manajemen Pendidikan, 2(2),
173-184.
Sawaludin. 2013. Budaya Organisasi yang
Tepat dan Kemampuan Komunikasi
Interpersonal Meningkatkan Kinerja
Guru. Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial,
3(1), 73-84.
Sudaryono. 2013. Budaya & Perilaku
Organisasi. Jakarta: LCI.
Sugiarta, M.P, Dantes, N, dan Natajaya, N,
2013. Determinasi Sikap Guru Terhdap
Profesinya, Konsep Diri, dan Iklim
Kerja Sekolah Terhadap Kinerja Guru
Sekolah Dasar di Gugus IV Sukasada,
Jurnal Pendidikan Dasar, 3, 1-9.
Sugiarta. 2012. Pengaruh sikap guru terhadap
pekerjaan dan pengalaman pendidikan
dan pelatihan terhadap kompetensi
profesional guru olahraga SMPN Se-
Kabupaten Jepara. Jurnal Manajemen
Pendidikan, 1(3), 1-10
Tahjudin Nor, F. 2013. Hubungan Kepuasan
Komunikasi Organisasi dengan
Motivasi Kerja Karyawan di PT.
Srikandi Plastik Sidoarjo. Jurnal E-
Komunikasi, 1(1), 1-10.
Undang – Undang RI No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wiyani, N. A. 2015. Etika Profesi Keguruan.
Yogyakarta: Gava Media.
Wuryantina, I. 2015. Budaya Organisasi
Sekolah dan Motivasi Berprestasi
dengan Kinerja Guru pada Sekolah
Dasar Negeri Gugus Adiarsa
Karawang Barat. Jurnal Pendidikan
Dasar, 6(2), 242-253.
Kelola
Jurnal Manajemen Pendidikan
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018
Halaman: 107-123
107
Evaluasi Program Supervisi Akademik di PAUD Swasta
Daniel Kurniawan
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
michael.daniel.kurniawan@gmail.com
Yari Dwikurnaningsih
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
yari.dwikurnaningsih@staff.uksw.edu
Bambang Suteng Sulasmono
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
bambang.sulasmono@staff.uksw.edu
ABSTRACT
This study was designed to evaluate academic supervision program at PAUD Tunas Kasih,
Magelang, using Context, Input, Process, Product (CIPP) evaluation model. The results of
the study were expected to provide inputs to decision-makers for subsequent programs. The
respondents of this descriptive-qualitative research included the school principal, six
teachers, and a school managerial staff. Data collection was done through interviews,
observation and document studies. Triangulation of data sources and methods validated the
data, subsequently analysed through data condensation, data display, conclusion drawing and
verification. Findings indicated the context evaluation revealed a need for academic
supervision based on the condition and the need for teacher’s quality improvement. The input
evaluation described the well-planned program—using different techniques, involving the
teachers in their readiness, supported by available budget and infrastructure. The process
evaluation reported the implementation of the planned techniques, with some adjustments
based on the on-going condition, supported by the teachers’ readiness as well as participation
and how they handle the constraints. The product evaluation found out that the academic
supervision program had positive impacts and achieved the planned goals. It also discovered
teachers’ positive responses and some follow-up plans. Lastly, this study gave
recommendations to improve the local supervision programs, inputs to the school
management, and ideas for future researches.
Keywords: Academic Supervision, CIPP, Program Evaluation
Article Info
Received date: 10 Desember 2018 Revised date: 12 Desember 2018 Accepted date: 17 Desember 2018
PENDAHULUAN
Guru memiliki peran yang penting
dalam menentukan kualitas dan keberhasilan
pendidikan sebuah sekolah (Arikunto, 2012;
Arikunto & Yuliana, 2012; Kartono, 2009;
Mette, Range, Anderson, Hvidston, &
Nieuwenhuizen, 2015, Stronge, Richard, &
Catano, 2013; Sarfo & Cudjoe, 2016). Selain
itu, penelitian menemukan bahwa guru yang
mengajar dengan efektif berdampak pada
pencapaian siswa (Aaronson, Barrow, &
Sander, 2007; Garrett & Steinberg, 2015; Mette
et al., 2015; Rockoff, 2004). Oleh karena itu,
diperlukan upaya untuk menjamin kualitas guru
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
108
tersebut, dan supervisi pendidikan
menyediakan fungsi penjaminan mutu
pembelajaran, termasuk mutu guru.
Supervisi pendidikan berupaya
menjamin dan mengembangkan kualitas dan
kinerja guru. Brown (2002) setuju bahwa
supervisi pendidikan bertujuan
mengembangkan dan meningkatkan kualitas
pendidikan yang nantinya juga akan
berkontribusi pada pencapaian siswa yang lebih
baik. Supervisi merupakan proses sepanjang
guru masih berkarir di dunia pendidikan
(Arikunto & Yuliana, 2012) dan berperan
penting untuk meningkatkan proses
pembelajaran dengan usaha membina sekolah,
termasuk para guru (Pidarta, 2009; Suhardan,
2010). Istilah supervisi sendiri tidak perlu
dipusingkan ketika istilah ini sering digantikan
atau disamakan dengan ‘pengawasan’,
‘penilikan’, ‘pemeriksaan’, dan ‘inspeksi’
(Mulyasa, 2012; Arikunto & Yuliana, 2012).
Namun demikian, Arikunto & Yuliana
mengingatkan bahwa istilah-istilah selain
supervisi tersebut lebih menekankan pada
pemeriksaan yang berfokus pada kekurangan
dan kesalahan. Perlu digarisbawahi juga bahwa
supervisi dilaksanakan bukan semata-mata
sebagai pemenuhan tugas manajerial pimpinan
sekolah, supervisor atau administrator, namun
lebih bertujuan mengembangkan mutu para
guru serta kualitas dan produktivitas sekolah
(Mette et al., 2015; Minarti, 2011; Stronge et al.
2013).
Dilihat dari obyek supervisi, terdapat
tiga jenis supervisi pendidikan, yaitu (1)
supervisi akademik, yang berkaitan langsung
dengan kegiatan belajar-mengajar dan
berfungsi untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas pengajaran, (2)
supervisi administrasi—dilakukan terhadap
administrasi yang mendukung kegiatan KBM,
dan (3) supervisi kelembagaan atau institusi,
dengan lingkup sekolah secara lembaga yang
lebih luas, termasuk kurikulum, personel atau
ketenagakerjaan, ketatausahaan atau
administrasi sekolah, sarana prasarana, humas
sekolah, dan kerja sama lainnya untuk
pengembangan sekolah.
Sebagai bagian dari supervisi
pendidikan, supervisi akademik mengusahakan
adanya pengembangan diri dan perbaikan
kualitas guru yang akhirnya bertujuan untuk
meningkatkan mutu pendidikan (Egwu, 2015;
Mukhtar & Iskandar, 2009; Sarfo & Cudjoe,
2016; Suhardan, 2010). Supervisi tidak
bertujuan untuk sekedar mengevaluasi dan
mencari kekurangan atau kesalahan para guru,
namun lebih kepada membimbing mereka dan
mengembangkan proses mengajar yang
menjadi tugasnya (Memduhoglu, 2012,
Suhardan, 2010, Tatang, 2016). Ada beberapa
teknik supervisi akademik, baik yang bersifat
individu—seperti kunjungan kelas, observasi
kelas, percakapan atau pertemuan individual,
self-evaluation, supervisi klinis—maupun
kelompok, termasuk pertemuan orientasi, rapat
guru, studi atau diskusi kelompok antar guru,
lokakarya atau seminar, kunjungan antar
sekolah atau studi banding, bulletin supervisi
dan learning resource centre (Mulyasa, 2012;
Umiarso dan Gojali, 2010; Priansa & Setiana,
2018; Imron, 2011; Pidarta, 2009).
Supervisi pendidikan, dan supervisi
akademik, dilaksanakan di semua jenjang
pendidikan di Indonesia, termasuk di tingkat
pendidikan anak usia dini. Minat dan sorotan
terhadap pentingnya Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD) sendiri makin meningkat di
Indonesia. Makin tinggi partisipasi masyarakat
Indonesia dalam pendidikan anak usia dini,
meskipun ada perbedaan tingkat partisipasi
orang tua dari latar belakang ekonomi yang
berbeda (Alatas, 2013). PAUD di Indonesia
mencoba menghadapi tantangan terhadap
perkembangan anak dalam domain bahasa,
keterampilan kognisi, kematangan emosi,
komunikasi juga pengetahuan umum.
Suryadarma & Jones (2013) mengemukakan
dua alasan untuk fenomena tersebut. Pertama,
adanya kesadaran bahwa kesuksesan terhadap
Evaluasi Program Supervisi Akademik di PAUD Swasta | Daniel Kurniawan, dkk.
109
proses pendidikan di kemudian hari berakar
dari layanan PAUD. Selain itu, PAUD
menolong upaya penyamarataan titik mulai
bagi pendidikan dasar siswa-siswi, terkhusus
untuk anak-anak dari latar belakang yang
rendah.
Oleh karena itu, penjaminan terhadap
layanan mutu pendidikan anak usia dini juga
perlu diupayakan. Permendikbud No. 137,
Tahun 2014 tentang Standar Nasional PAUD
menuliskan di Pasal 17 bahwa pengawasan
pembelajaran juga perlu dilakukan untuk
memberikan ‘penilaian dan/atau pengarahan
dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran’. Teknik pengawasan
pembelajaran yang digunakan adalah supervisi,
dan salah satu tugas manajerial kepala lembaga
PAUD adalah pelaksanaan supervisi.
Berada di bawah naungan Yayasan
Perguruan Kristen Indonesia (YPKI)
Magelang, PAUD Tunas Kasih merupakan
salah satu lembaga swasta penyelenggara
pendidikan anak usia dini di Kota Magelang.
Secara struktur organisasi, PAUD Tunas Kasih
berada di bawah Manajemen Operasional YPKI
Magelang, yang memiliki fungsi pengelolaan
terhadap kegiatan operasional harian sekolah-
sekolah di bawah YPKI Magelang. PAUD
Tunas Kasih memiliki beberapa program, yaitu
kelompok bermain (untuk anak usia 2-3 tahun)
dan taman kanak-kanak (untuk usia 4-5 tahun).
Mulai tahun 2017, layanan penitipan anak
dibuka dengan nama Full-Day School (FDS)
Tunas Kasih, Magelang, yang menerima anak
mulai usia satu sampai dengan lima tahun.
Kegiatan pengawasan, baik secara luas
terhadap layanan pendidikan maupun spesifik
yang dilakukan terhadap para pegawai,
termasuk guru, direncanakan dan dilaksanakan
dengan rutin di PAUD Tunas Kasih. Secara
khusus, kepala sekolah memiliki tanggung
jawab untuk mengelola dan melaksanakan
program supervisi akademik. Wawancara dan
observasi prastudi menemukan bahwa beberapa
teknik supervisi akademik sebenarnya telah
dilaksanakan, termasuk observasi kelas,
konferensi, seminar dan lokakarya, studi
banding, dan kelompok kerja guru. Selain itu
terdapat laporan yang menunjukkan tingkat
kepercayaan kepada kualitas para guru di
PAUD Tunas Kasih, salah satunya dengan
adanya studi banding dari instansi ataupun
kepala sekolah lain yang datang untuk belajar
di PAUD Tunas Kasih. Ini mendorong perlu
diadakannya evaluasi terhadap program
supervisi akademik, dengan kenyataan bahwa
sejak awal dituntut diadakannya supervisi
akademik oleh Pengurus YPKI Magelang di
sekolah-sekolah yang dinaunginya, termasuk
PAUD Tunas Kasih, program supervisi
akademik belum pernah dievaluasi.
Untuk mengetahui ketercapaian dan
keberhasilan suatu program diperlukan adanya
evaluasi—yang menurut Arikunto dan Jabar
(2010), Munthe (2015) dan McMillan (2008)
merupakan proses pencarian dan pengumpulan
informasi secara sistematis, mengenai kinerja
sesuatu dengan membandingkan kriteria serta
tujuan yang telah ditetapkan. Fitzpatrick,
Sanders, dan Worthen (2012) menekankan
bahwa tujuan utama evaluasi adalah meninjau
nilai atau kepantasan/kelayakan obyek yang
dievaluasi—berupa kebijakan, program atau
produk, yang berakibat hasil evaluasi tersebut
bersifat spesifik pada obyek dan lokasinya,
seperti digarisbawahi McMillan (2008).
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi
program supervisi akademik di PAUD Tunas
Kasih, Magelang, berdasarkan aspek context,
input, process dan product. Model evaluasi
Context, Input, Process and Product (CIPP)
digunakan dalam penelitian ini. Model evaluasi
CIPP dipilih karena berorientasi pada
keputusan (decision-oriented) (Fitzpatrick,
Sanders, & Worthen, 2012), sehingga hasil
penelitian evaluatif ini diharapkan dapat
memberikan rekomendasi kepada pemimpin
atau pengelola PAUD Tunas Kasih, Magelang.
Pada sisi lain, evaluasi model CIPP memiliki
keunggulan yaitu memiliki pendekatan yang
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
110
bersifat holistik dalam proses evaluasinya dan
lebih komprehensif dibandingkan dengan
model evaluasi lainnya (Dwikurnaningsih,
2017). Terhadap kebijakan berhubungan
dengan supervisi akademik di lembaga
pendidikan tersebut, hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai pertimbangan masukan
apakah program tersebut dilanjutkan,
dilanjutkan dengan perubahan, atau tidak
dilanjutkan (Sukardi, 2008).
METODE PENELITIAN
Penelitian evaluatif ini menggunakan
pendekatan kualitatif dan bersifat deskriptif.
Program supervisi akademik yang dilaksanakan
tahun pelajaran 2017/2018 menjadi obyek
evaluasi. Data dikumpulkan dengan melibatkan
kepala sekolah sebagai supervisor, para guru
(termasuk guru senior dan yunior, terdiri dari
empat guru di jenjang Taman Kanak-Kanak dan
dua guru dari Kelompok Bermain), serta satu
staff manajemen sekolah YPKI Magelang.
Lembaga PAUD tersebut dipilih karena alasan
fisibilitas penelitian; peneliti pernah bekerja
sebagai staf manajerial di kantor Manajemen
Operasional YPKI Magelang yang mengelola
TK Tunas Kasih, Magelang.
Pengumpulan data dilakukan melalui
interview, observasi, dan studi dokumen,
mengingat bahwa penelitian ini bersifat
evaluatif dan kualitatif (Wiersma dan Jurs,
2009). Wawancara sistematik yang mendalam
melibatkan kepala sekolah, enam orang guru
dan satu orang staff manajemen sekolah dan
bersifat semi terstruktur. Fleksibilitas bertanya-
menjawab dimungkinkan, namun tetap dalam
kontrol dengan pedoman wawancara yang telah
dipersiapkan. Dialog direkam dengan aplikasi
perekam suara dalam ponsel peneliti. Observasi
langsung dilaksanakan, di mana peneliti
mengambil peran non-participant observer.
Observasi dilakukan antara lain di dalam ruang
kelas, ketika kegiatan observasi kelas
dilaksanakan, juga dalam rapat guru dan
seminar. Baik descriptive maupun reflective
fieldnotes disusun untuk mencatat temuan di
lapangan atau dalam kegiatan yang diamati.
Studi dokumen dilakukan terhadap dokumen-
dokumen penunjang, meliputi dokumen
kurikulum sekolah, program supervisi, catatan
dan bukti-bukti perencanaan dan pelaksanaan
kegiatan/ teknik supervisi, laporan hasil dan
dokumentasi kegiatan, laporan rencana tindak
lanjut dan notula/catatan rapat dan kegiatan
sekolah.
Mempertimbangkan faktor batasan
waktu dan jumlah informasi dan data yang
perlu dikumpulkan, penelitian ini dibatasi pada
beberapa aspek/komponen evaluasi yang fisibel
dan mewakili untuk mengusahakan evalusi
CIPP yang komprehensif. Berdasarkan tahap
evaluasi CIPP, beberapa aspek/komponen
supervisi akademik yang berbeda, sumber data,
teknik dan instrumen pengumpulan data,
dirincikan dalam tabel berikut.
Triangulasi sumber dan triangulasi
teknik pengumpulan data dilakukan untuk
menjamin keabsahan data serta kedalaman dan
kejelasan pemahaman evaluasi. Data kualitatif
yang telah dikumpulkan dianalisa sebelum
disajikan dan dibahas. Analisa data bersifat
deskriptif dan dilakukan berdasar kelompok
tahap evaluasi CIPP. Terdapat tiga tahap
analisa data yang saling terhubung (Miles,
Huberman, & Saldana, 2014) dalam penelitian
ini: (1) kondensasi data, (2) penyajian data, dan
(3) pengambilan dan verifikasi kesimpulan.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Evaluasi Konteks
Terdapat kerancuan atau
kesalahpahaman dari kepala sekolah maupun
para guru PAUD Tunas Kasih, Magelang
terhadap konsep dan definisi supervisi
akademik. Pemahaman supervisi akademik
mereka terbatas pada observasi kelas yang
dianggap sebagai satu-satunya teknik supervisi
akademik. Observasi yang diadakan juga
Evaluasi Program Supervisi Akademik di PAUD Swasta | Daniel Kurniawan, dkk.
111
dipahami sebagai tuntutan kelengkapan
penilaian dan evaluasi pegawai. Akibatnya,
supervisi akademik dicirikan dengan
pengamatan, evaluasi atau penilaian yang
dilakukan oleh kepala sekolah dengan fokus
pada mengamati kekurangan dan kesalahan
guru dalam melaksanakan tugasnya.
Namun demikian, kepala sekolah
maupun para guru berpendapat bahwa penilaian
atau pengamatan tersebut bertujuan untuk
perbaikan atau peningkatan kinerja dan kualitas
guru—baik secara individual maupun kolektif
(saling mengingatkan dan berbagi)—juga
perbaikan kualitas sekolah. Beberapa opini
mengenai tujuan dari supervisi akademik yang
dipikirkan mereka, antara lain berhubungan
dengan
1. wawasan dan pengetahuan pedagogis,
2. keterampilan mengajar, meliputi variasi
metode mengajar pengelolaan kelas,
strategi penanganan dan pendampingan
anak yang efektif, dan penanaman nilai-
nilai kristiani dalam pembelajaran
3. penyusunan administrasi penunjang
pembelajaran,
4. penyamaan persepsi antara kepala sekolah
dengan guru dan memberi-kan fungsi
controlling terhadap penerapan atau
pelaksanaan kesepakatan maupun
prosedur.
Mengenai dasar hukum atau aturan,
kepala sekolah menyebutkan adanya pedoman
dari dinas pendidikan dan menyadari tugas
supervisi yang dimilikinya, namun belum
mempelajari pedoman supervisi akademik
dengan lebih rinci. Secara interen, manajemen
sekolah menuntut diadakannya kegiatan-
kegiatan pengembangan kualitas guru, melalui
observasi kelas, penilaian diri, pembinaan atau
pelatihan bagi para kepala sekolah maupun
guru, dan rapat-rapat interen. Namun itu tidak
tertulis secara jelas dalam buku peraturan
kepegawaian atau pedoman interen manapun,
meski disampaikan dalam wawancara dengan
staff manajemen.
Beberapa kebutuhan dan kondisi di
PAUD Tunas Kasih mendorong perlu
diadakannya supervisi akademik, yaitu
1. peningkatan kualitas pembelajaran
2. upgrade kualitas para guru, untuk
mengupayakan inovasi pembelajaran dan
menghadapi perkembangan yang ada
3. perubahan karakteristik dan heterogenitas
siswa setiap tahunnya
4. ketidakkonsistenan dalam melak-sanakan
prosedur atau kesepakatan bersama,
terutama hal-hal yang berhubungan dengan
kegiatan belajar-mengajar, seperti
pemakaian bahasa dan aturan main dalam
kelas; dan
5. masih terdapat guru berlatar belakang non-
PAUD yang perlu diperlengkapi secara
lebih
Evaluasi Input
Perencanaan program supervisi
akademik di mulai dengan merencanakan dan
merancang program kerja sekolah. Kepala
sekolah menginisiasi dan menjelaskan rencana
yang telah disusun, kemudian mengundang
guru untuk memberikan masukan, berupa
usulan, ide kebutuhan, atau penjadwalan
pelaksanaan kegiatan. Dalam pelaksanaan
teknik observasi kelas, kepala sekolah
menawarkan rencana jadwal observasi yang
perlu dilengkapi guru.
Sebagian besar teknik dituliskan dalam
program kerja, namun ada yang tidak tertulis
perencanaannya, meskipun diungkap dalam
wawancara. Teknik-teknik yang direncanakan
dan dituliskan dalam buku program kerja,
antara lain:
1. observasi kelas, direncanakan empat kali
dalam satu tahun (dua kali setiap semester)
untuk masing-masing guru;
2. pelatihan, workshop atau seminar; terdapat
dua jenis (1) interen untuk lokal PAUD
Tunas Kasih, berhubungan dengan metode
BCCT dan penysusunan program
pembelajaran; (2) interen untuk lingkup
YPKI, yaitu partisipasi pembinaan
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
112
pegawai, dan (3) mengikuti kegiatan dari
penyelenggara luar dengan waktu yang
menyesuaikan;
3. pertemuan keompok guru, termasuk
Kelompok Kerja Guru (KKG), Kelompok
Kepala Sekolah (KKS), dan Ikatan Guru
TK Indonesia (GKTI);
4. kompetisi guru interen; direnca-nakan
dengan fleksibilitas waktu, menyesuaikan
ketersediaan waktu; dan
5. studi banding; direncanakan sekali.
Teknik yang direncanakan namun tidak
dituliskan dalam buku program kerja meliputi
(1) intervisitasi (dan team-teaching), (2)
konferensi, (3) learning resource center, dan (4)
rapat-rapat.
SDM yang terlibat dalam kegiatan-
kegiatan yang direncanakan tersebut meliputi
kepala sekolah maupun para guru. Para guru
melaporkan kesiapan mereka, dengan
dukungan kerja sama tim, support dari rekan
kerja, dan keterbukaan dalam komunikasi.
Sementara itu, sebagai supervisor kepala
sekolah pernah mengikuti pelatihan dalam hal
supervisi pembelajaran yang diadakan interen,
namun tidak berkala. Kepala sekolah juga
mengikuti kegiatan kelompok guru dan kepala
sekolah, serta pernah ikut pelatihan atau
seminar dari dinas, namun tidak secara spesifik
membahas supervisi pembelajaran. SDM lain
yang terlibat adalah pemateri untuk teknik
seminar atau pelatihan.
Budget yang direncanakan untuk
program supervisi akademik sebagian besar
berasal dari sumber dana sekolah (SPP), dan
dana bantuan operasional dari dinas. Seorang
guru berpendapat perlu inisiatif proaktif juga
untuk rencana penggunaan pendanaan pribadi,
untuk mendukung pengembangan diri lewat
seminar atau pelatihan maupun persiapan
dalam terlibat dalam observasi kelas (dengan
mempersiapkan alat peraga dan alat bantu
edukasi lainnya).
Sarana-prasarana yang direncanakan
untuk program supervisi akademik meliputi
LCD proyektor, media pembelajaran atau alat
permainan edukatif, dan perlengkapan-
perlengkapan lain dalam kelas atau di sekolah.
Sarana-prasarana yang ada sudah dinilai cukup,
meski ada catatan untuk keterbatasan akses
internet dan ketersediaan komputer.
Evaluasi Proses
Berdasarkan rencana yang telah disusun
sebelumnya, teknik atau kegiatan dalam
program supervisi akademik di PAUD Tunas
Kasih, Magelang dalam tahun pelajaran
2017/2018 yang dapat dilaksanakan yaitu,
1. Observasi kelas. Dilaksanakan sesuai
rencana, empat kali dalam setahun, namun
terjadwal (announced), dan anda masukan
dari guru agar observasi tanpa
pemberitahuan (unnanouced) juga
dilaksanakan untuk memberikan gambaran
yang riil. Panduan observasi dari
manajemen sekolah juga mendapat catatan
perlunya tinjauan ulang.
2. Pelatihan, workshop, dan seminar. Teknik
ini dilakukan secara interen, baik untuk
lokal PAUD Tunas Kasih dan dalam
lingkup YPKI Magelang, ataupun
mengikuti penyelenggara dari luar (dinas
pendidikan dan instansi lain). Pelatihan
interen lokal diadakan sekali, sementara
pembinaan dari manajemen sekolah
diadakan empat kali. Untuk kegiatan luar,
terdapat sembilan kegiatan yang diikuti,
termasuk empat lomba/kompetisi guru, dan
para guru berkewajiban menyusun laporan
tertulis dan men-sharing-kan dengan rekan
lain.
3. Pertemuan Kelompok Guru. Forum yang
diikuti antara lain KKG, KKS dan IGTKI,
dengan jadwal kegiatan menyesuaikan
undangan. Selain menjadi peserta ada
beberapa kesempatan guru membagikan
pengalaman/ best practice dalam
pertemuan tersebut.
4. Intervisitasi. Sekalgius menyertakan
teknik team-teaching, di mana terdapat dua
guru dalam satu kelas, sesuai kondisi
Evaluasi Program Supervisi Akademik di PAUD Swasta | Daniel Kurniawan, dkk.
113
metode pembelajaran yang dipakai,
sehingga para guru dapat saling
mengamati.
5. Konferensi. Konferensi umumnya
dilakukan sebelum dan setelah observasi,
namun juga dilaksanakan untuk membahas
tugas atau tanggung jawab spesifik yang
diampu guru, seperti anak usia tertentu,
tanggung jawab program dan tugas
kepanitiaan.
6. Learning Resource Centre. Teknik ini
berupa penyediaan buku referensi
penunjang untuk guru serta akses internet
untuk mencari materi/ informasi
pembelajaran.
7. Rapat. Karena kendala waktu, rapat tidak
rutin dilaksanakan. Rapat diadakan
berdasarkan urgensi atau prioritas
kebutuhan dan topik yang akan dibahas.
Sebagai ganti rapat, briefing pagi diadakan,
berisi doa, pembacaan artikel rohani, dan
pembahasan singkat topik tertentu. Ini
masih dirasa bersifat informatif dan
terburu-buru, sehingga kurang efektif
untuk diskusi yang lebih mendalam.
Diskusi siang dalam waktu istirahat, terjadi
dan para guru serta kepala skeolah berbagi
informasi dan ide serta berkoodinasi. Guru
dapat membahas permasalahan yang baru
dihadapi di dalam kelas, dibandingkan
dengan menunggu jadwal rapat yang lebih
formal.
Teknik yang direncanakan namun tidak
terlaksana adalah kompetisi guru interen dan
studi banding. Ketidakterlaksanaan ini karena
faktor kepadatan kegiatan.
Dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan
tersebut, kendala yang dihadapi berhubungan
dengan jadwal waktu kegiatan yang padat.
Prioritas perlu ditetapkan dan penyesuaian
(penjadwalan ulang) kegiatan lain juga
dilakukan. Perbedaan standar yang dimiliki
dalam memberikan penilaian atau evaluasi
terhadap observasi disebutkan oleh kepala
sekolah sebagai kendala yang dihadapi dalam
teknik observasi. Kendala lain adalah
persetujuan dari manajemen sekolah, yang
dapat mengakibatkan proposal kegiatan dan
partisipasi yang diusulkan menjadi ditunda atau
malah dibatalkan. Kendala lain datang dari
faktor pribadi guru, seperti rasa malas, Lelah,
dan tidak fokus, serta kurangnya inisiatif
pribadi.
Sarana prasarana yang tersedia
diupayakan untuk dimanfaatkan dengan
maksimal dalam kegiatan-kegiatan tersebut.
Keterbatasan seperti yang telah disebutkan
dalam evaluasi input ditangani dengan inisiatif
para guru menggunakan peralatan pribadi.
Guru terlibat dan berperan baik sebagai
utusan atau peserta (rapat, observasi, seminar)
maupun pemateri (dalam pertemuan guru).
Keaktifan dan partisipasi guru juga nampak
dalam diskusi maupun sharing wawasan
dengan rekan dalam briefing. Di sisi lain,
kepala sekolah sudah menjalankan peran
supervisor dengan cukup baik, dalam
mengawal pelaksanaan program, mendorong
upaya perubahan, kemajuan, dan perbaikan,
menegur dan memberi masukan, memberi
kebebasan untuk mengungkapkan ide dan
masukan, serta mendelegasikan tugas. Catatan
untuk kepala sekolah diberikan berhubungan
dengan masukan yang cenderung masih
informatif dan administratif, serta ekspektasi
yang kurang jelas ditangkap guru.
Kegiatan yang dilaksanakan
didokumentasikan dengan cukup baik. Para
guru memiliki catatan pribadi mereka,
demikian pula kepala sekolah. Foto-foto
menjadi koleksi pribadi, dan oleh karenanya
perlu dikumpulkan untuk menunjang koleksi
foto sekolah. Hasil partisipasi seminar dan
kegiatan sejenis disusun oleh guru yang terlibat
dan dibagikan kepada rekan-rekan. Kepala
sekolah menyusun laporan hasil observasi guru
dan menyerahkannya kepada manajemen
sekolah.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
114
Evaluasi Produk
Dalam wawancara, kepala sekolah dan
guru berpendapat bahwa program supervisi
akademik efektif dan berdampak. Hasil dan
manfaat yang disebutkan para guru antara lain
(1) adanya masukan untuk perbaikan, (2)
peningkatan kemampuan, wawasan, dan
keterampilan mengajar, (3) kontrol dan
pengawasan serta penertiban administrasi, (4)
adanya koordinasi dalam kerja, (5) teguran
yang diberikan ketika salah, (6) terjalinnya
jejaring dengan komunitas lain (lewat seminar),
(7) peningkatan terhadap kepercayaan, citra
dan promosi komunitas sekolah (akibatnya
PAUD Tunas Kasih dipercaya menjadi target
studi banding instansi maupun individu lain),
dan (8) dampak jangka panjang terhadap
peningkatan karir dan reputasi guru PAUD
Tunas Kasih.
Respon positif juga disampaikan oleh
para guru maupun kepala sekolah. Hal ini
dipahami karena pemahaman mereka terhadap
tujuan supervisi dan dampak yang dirasakan.
Respon positif yang diungkapkan juga
berhubungan dengan (1) kenyamanan untuk
terlibat atau berpartisipasi dan (2) memiliki
kesempatan dan kebebasan untuk
menyampaikan pendapat dan ide (baik melalui
konferensi maupun rapat). Respon sebaliknya
yang disampaikan berhubungan dengan (1)
keraguan untuk berinisiatif dan berpartisipasi—
karena merasa masih yunior, (2) kekhawatiran
dalam partisipasi seminar, terkhusus jika
dilaksanakan di luar kota atau memakan waktu
lama, dan (3) ketidakpuasan karena
belum/tidak dapat menerapkan hasil pelatihan
atau seminar yang diterima. Namun demikian,
respon negatif yang terungkap tidak
mengganggu pelaksanaan kegiatan yang ada.
Terhadap program secara menyeluruh
maupun masing-masing kegiatan, evaluasi
dilakukan. Menurut kepala sekolah, evaluasi
dilakukan setelah satuan kegiatan berlangsung
atau secara sumatif terhadap keseluruhan
program kerja di akhir tahun. Sebagai
supervisor, kepala sekolah memmberikan
evaluasi kegiatan maupun evaluasi terhadap
kinerja guru, yang kemudian juga menjadi
bahan tindak lanjut. Sementara para guru
memberikan masukan untuk kegiatan
berhubungan dengan hal-hal teknis seperti
pemilihan pemateri seminar dan topik seminar
selanjutnya. Beberapa harapan diungkapkan
para guru, seperti (1) kelanjutan supervisi
akademik, (2) pembimbingan terhadap guru
yang berhubungan dengan pembelajaran dalam
kelas, (3) keterlibatan dan kepercayaan yang
lebih, secara spesifik dalam memimpin atau
menjadi pemateri sosialisasi pertemuan orang
tua, (4) pelibatan pihak observer selain kepala
sekolah—seperti manajemen sekolah atau guru
senior—untuk memacu semangat, dan (5)
pemenuhan kelengkapan dan ketersediaan
sarana prasarana yang masih terbatas.
Program supervisi, yang telah
dilaksanakan dan dievaluasi, mendorong
adanya tindak lanjut, baik yang direncanakan
untuk kemudian hari maupun yang dapat
diterapkan segera. Tindak lanjut yang
direncanakan antara lain (1) studi banding
untuk memperbaharui wawasan, (2) seminar
membahas topik-topik dalam peningkatan
kapasitas guru, misal penanganan anak
bermasalah, dan (3) penyusunan pedoman yang
lebih jelas, terutama dalam melaksanakan
observasi kelas.
Pembahasan
Evaluasi Konteks
Supervisi akademik bertujuan untuk
menjamin dan mengembangkan kualitas guru
yang berhubungan langsung dengan kegiatan
belajar-mengajar (Umiarso & Gojali, 2010;
Mulyasa, 2012:249). Hal serupa telah
diungkapkan oleh kepala sekolah maupun guru
yang telah memahami bahwa tujuan akhir
daripada supervisi akademik adalah
peningkatan mutu guru.
Namun demikian, pemahaman awal
mengenai makna supervisi akademik masih
rancu di PAUD Tunas Kasih, baik dari kepala
Evaluasi Program Supervisi Akademik di PAUD Swasta | Daniel Kurniawan, dkk.
115
sekolah maupun guru. Kesalahpahaman konsep
supervisi akademik juga dilaporkan oleh
Merukh & Sulasmono (2016) dan Widodo
(2014a), yang menemukan keterbatasan
pemahaman dari kepala sekolah maupun
pengawas yang mempengaruhi perencanaan
dan pelaksanaan supervisi yang kurang efektif.
Zepeda (2006) mengingatkan agar kepala
sekolah memandang supervisi lebih luas dari
sebatas evaluasi. Saputra (2011) juga
mengeluhkan kesalahpahaman supervisi dan
praktik pengawasan yang salah, yang lebih
menekankan sisi administratif alih-alih
pengembangan kualitas guru yang lebih luas.
Wanzare (2012) mengingatkan bahwa
pemahaman yang baik dari supervisi akademik
menjamin keberhasilan supervisi tersebut dan
relasi antar supervisor dan supervisee juga akan
lebih efektif terjalin. Oleh karena itu,
diperlukan adanya sosialisasi mengenai
supervisi yang lebih lengkap di awal, untuk
menjelaskan program supervisi akademik yang
lebih komprehensif dan membangun kerja sama
yang baik antara supervisor dan para guru,
seperti diingatkan oleh Lukum (2013) dan
Ngatini & Ismanto (2015).
Dasar hukum dan aturan yang
melandasi dilaksanakannya supervisi akademik
di PAUD Tunas Kasih adalah pedoman dari
dinas pendidikan, seperti temuan Riyanto
(2016) di lokasi penelitiannya, dan juga
tuntutan dari manajemen sekolah YPKI
Magelang. Namun demikian, pedoman dari
manajemen sekolah masih belum lengkap,
serupa dengan temuan Merukh dan Sulasmono
(2016), sehingga penyusunan pedoman yang
merinci kebutuhan dan tuntutan dalam
pengembangan dan pelaksanaan supervisi
akademik dibutuhkan.
Identifikasi kebutuhan diingatkan oleh
Umiarso dan Gojali (2010) serta Sagala (2010),
menjadi dasar untuk pemilihan dan
perancangan teknik supervisi akademik yang
tepat. Kepala sekolah maupun guru PAUD
Tunas Kasih sudah menyebutkan beberapa
kebutuhan dan kondisi di lapangan dan
menjadikan kebutuhan tersebut sebagai dasar
rancangan dan pelaksanaan supervisi
akademik—berbeda dengan temuan Merukh &
Sulasmono (2016) yang mendapati kesalahan di
mana supervisi akademik yang belum
menjawab kebutuhan. Kebutuhan yang lebih
spesifik atas masing-masing guru juga
diingatkan Zepeda (2006) agar dilakukan, dan
telah dilakukan di PAUD Tunas Kasih, seperti
supervisi atas guru berlatarbelakang non-
PAUD. Perlu diingat bahwa kondisi dan
kebutuhan perlu ditinjau secara berkala untuk
menjadi bahan perencanaan program.
Evaluasi Input
Dalam perencanaan dan perancangan
program supervisi akademik, di awal tahun
pembelajaran, kepala sekolah melibatkan guru
untuk menyusun rencana program kerja sekolah
secara luas, termasuk program supervisi
akademik. Partisipasi guru tersebut merupakan
hal yang perlu dilakukan seperti disampaikan
Zepeda (2006), meskipun bentuk partisipasi
dan kolaborasi dengan guru itu perlu diperluas.
Perlu diperhatikan juga bahwa kegiatan
supervisi akademik yang dirancang masih
terpisah-pisah, karena kesalahpahaman
terhadap konsep supervisi, sehingga ada
kegiatan yang tidak tertuliskan dalam program
kerja. Berbicara mengenai perencanaan
kegiatan observasi, secara spesifik, sudah
dilakukan dengan baik: kepala sekolah
melibatkan guru dengan mengijinkan masing-
masing guru menyampaikan atau memilih
jadwal waktu mereka untuk diobservasi—
seperti ditemukan juga dalam penelitian
Ngatini & Ismanto (2015) dan Widodo (2014b).
Program supervisi di PAUD Tunas
Kasih juga didukung kesiapan para guru,
dengan dukungan kerja sama tim dalam
suasana yang suportif antar rekan sejawat,
komunikasi yang terbuka dan kolaborasi
dengan rekan sejawat. Sementara untuk
melengkapi keterampilan supervisi serta
membenahi kesalahpahaman kepala sekolah,
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
116
pembekalan atau pelatihan pembekalan atau
pelatihan perlu diadakan. Wanzare (2011) dan
Sarfo & Cudjoe (2016) menyoroti perlunya
pelatihan bagi para pimpinan sekolah untuk
menolong mereka dalam menjalankan fungsi
supervisi di sekolah.
Pendanaan rogram supervisi akademik
di PAUD Tunas Kasih berasal dari sumber
interen, yaitu yayasan atau sekolah, maupun
eksteren dari dinas, yang berbentuk dana
bantuan operasional—dana bantuan serupa
diungkapkan Riyanto (2016). Kepala sekolah—
atau malahan manajemen sekolah—perlu
memfasilitasi pendanaan kegiatan yang akan
diikuti guru, terkhusus mereka yang
menunjukkan antusiasme untuk
mengembangkan diri lewat kegiatan pelatihan
atau seminar yang memang mendukung
pengembangan pembelajaran.
Meskipun sarana-prasarana standar
sudah tersedia, masih dilaporkan adanya
keterbatasan fasilitas internet dan perangkat
komputer. Ini perlu mendapat sorotan khusus,
mengingat teknologi dan informasi di zaman ini
memang mendukung pembelajaran.
Keterbatasan alat juga dilaporkan Saputra
(2011) sebagai kendala teknis dalam
pelaksanaan pengawasan di sekolah, meskipun
tidak dirincikan sarana prasarana apa. Buku-
buku referensi yang juga telah tersedia, perlu
diperbaharui dan ditambah koleksinya serta
dimanfaatkan dengan lebih sebagai sumber ajar
para guru.
Evaluasi Proses
Sebagian besar kegiatan dalam program
supervisi akademik yang direncanakan telah
dilaksanakan di PAUD Tunas Kasih, baik yang
bersifat individual maupun kelompok, dengan
beberapa perubahan dan penyesuaian dalam
jadwal pelaksanaan. Dua kegiatan yang tidak
terlaksana adalah kompetisi guru interen dan
studi banding.
Teknik observasi kelas telah
dilaksanakan secara terjadwal di PAUD Tunas
Kasih, seperti dilaksanakan di beberapa sekolah
lain (Widodo, 2014a; Widodo, 2014b; Riyanto,
2016; Merukh & Sulasmono, 2016). Guru-guru
PAUD Tunas Kasih sudah terbiasa diobservasi
dan siap untuk berpartisipasi dalamnya,
berbeda dengan laporan penelitian Lukum
(2013) yang menyebutkan masih adanya guru
yang takut untuk diobservasi. Usulan
dilaksanakannya observasi tanpa
pemberitahuan sebelumnya (unnancouced),
perlu dipertimbangkan, dan instrumen
observasi perlu diperbaiki.
Untuk teknik pelatihan, lokakarya atau
seminar serta pertemuan kelompok guru,
kepala sekolah telah berupaya mendorong
partisipasi guru dengan memilih dan mengutus
guru. Guru yang diutus juga berusaha
bertanggung jawab menyusun laporan dan
membagikan informasi ke rekan yang lain.
Guru yang dinilai kompeten juga didorong
untuk mengikuti kompetisi atau lomba. Upaya
kepala sekolah untuk meningkatkan partisipasi,
yang kembali bertujuan untuk peningkatan
kompetensi, ini perlu diapresiasi.
Fleksibilitas dan penyesuaian, terhadap
situasi dan kebutuhan, untuk pelaksanaan
teknik di PAUD Tunas Kasih juga nampak,
seperti pelaksanaan intervisitasi yang
menyesuaikan situasi team-teaching, serta rapat
guru yang dapat dilaksanakan menyesuaikan
urgensi dan prioritas pembahasan. Selain itu,
upaya untuk menciptakan suasana yang
nyaman, alih-alih kaku dan formal, dengan
memanfaatkan jam istirahat siang, juga
mendukung efektifitas teknik rapat. Namun
demikian, perlu diperhatikan perlu adanya
pencatatan diskusi yang terjadi.
Konferensi dilaksanakan terutama
sebelum dan sesudah observasi. Sesuai
pengamatan dan hasil wawancara, para guru
melaporkan adanya ada relasi yang saling
mempercayai, umpan balik yang cukup
konstruktif dan jelas, terutama berbicara
tentang area-area yang perlu dikembangkan
guru. Hal ini sesuai apa yang diingatkan oleh
Range, Young dan Hvidston (2013). Kepala
Evaluasi Program Supervisi Akademik di PAUD Swasta | Daniel Kurniawan, dkk.
117
sekolah juga perlu mendorong dan memberikan
kesempatan berefleksi bagi para guru
(Martinez, Taut, & Schaaf; 2016), seperti yang
telah terlaksana di lokasi penelitian Ngatini &
Ismanto (2015). Hal ini membantu mereka
memaknai apa yang telah didapat dari hasil
observasi atau konferensi.
Kendala-kendala yang ditemui dalam
proses pelaksanaan program supervisi
akademik berhubungan dengan pengaturan
jadwal dan prioritas pelaksanaan kegiatan,
serupa dengan permasalahan yang menghambat
pelaksanaan supervisi akademik yang diteliti
Riyanto (2016). Meskipun kepala sekolah juga
menyampaikan keluhan terhadap kesibukan
tugas yang dimilikinya, seperti temuan
Mawarni, Chiar & Sukmawati (2017) dan
Merukh & Sulasmono (2016), namun kendala
tersebut tidak mempengaruhi pelaksanaan
supervisi akademik di PAUD Tunas Kasih
karena adanya koordinasi dan pengaturan
prioritas kegiatan. Kendala persetujuan atau
perijinan dari pihak manajemen sekolah perlu
ditangani dan dikomunikasikan dengan baik
antara kedua pihak. Sementara kendala-kendala
yang berasal dari pribadi guru—kemalasan,
kelelahan, ketidakfokusan pekerjaan, dan
kurangnya inisiatif—perlu dibahas sebagai
bahan pembinaan guru. Keterbatasan internet
dan sarpras mempengaruhi kelancaran
penyusunan administrasi dan alat peraga yang
mendukung pembelajaran.
Mengamati keterlibatan dan kesiapan
para guru, yang berangkat dari kesadaran
manfaat yang akan diperoleh (seperti juga
ditemukan temuan Riyanto [2016]), hal
tersebut perlu diapresiasi, karena itu menjadi
faktor pendukung terlaksananya supervisi
akademik yang efektif (Mawarni, Chiar &
Sukmawati, 2017). Pengaturan prioritas,
koordinasi, dan partisipasi aktif juga menjadi
pendukung terlaksananya supervisi akademik
yang efektif.
Di sisi lain, meski pemahamannya
konsep supervisi masih belum sempurna,
kepala sekolah telah berupaya melaksanakan
perannya sebagai supervisor dengan baik dan
tegas. Dukungan, teguran atas kesalahan atau
kelalaian tugas yang dilakukan, dan dorongan
untuk terus berkembang diberikan oleh
supervisor. Kepala sekolah berupaya
membangun iklim sekolah yang kondusif dan
mendorong adanya perubahan dan inovasi
selain mengembangkan budaya kepercayaan
dan keterbukaan—hal-hal yang dicatat Argiani
& Slameto (2015), Gaol & Siburian (2018) dan
Moye, Henkin, & Egle (2005) dapat efektif
meningkatkan efektivitas pendidikan dan
kinerja guru. Perasaan cepat puas, merasa sudah
berpengalaman, takut salah dan dicemoohkan,
kehilangan semangat, mencari keamanan dan
menghindari tantangan (Saputra, 2011)—yang
kesemuanya menjadi faktor penghambat—
tidak ditemukan dalam diri Kepala Sekolah.
Menyoroti delegasi yang diberikan, perlu
disusun tim supervisi, seperti dilaporkan
Mawarni, Chiar & Sukmawati (2017), karena
tim tersebut justru dapat menolong tugas
supervisi kepala sekolah dan mengefektifkan
kegiatan yang dilaksanakan. Selain itu
masukkan diberikan agar kepala sekolah
memberikan feedback yang bukan sekedar
informatif dan administratif, selain bahwa
ekspektasi dari supervisor perlu disampaikan
dengan jelas.
PAUD Tunas Kasih telah berusaha
mendokumentasikan teknik-teknik supervisi
yang terlaksana. Baik catatan tertulis serta
laporan kegiatan telah tersusun, namun perlu
dirapihkan. Sama halnya dengan foto-foto
dokumentasi yang masih dimiliki para guru
secara pribadi, namun mendukung
pendokumentasian kegiatan, sebaiknya perlu
dikoleksi dan dirapihkan secara kelompok
untuk mendukung arsipan sekolah. Dokumen
laporan observasi telah disusun secara rapih
dan rutin, dengan catatan perlu adanya
perbaikan instrumen panduan observasi—
meskipun sudah tersedia, dibandingkan dengan
ketidaktersediaan instrumen atau tersedianya
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
118
instrumen yang kurang baik atau tidak rinci,
seperti dicatat dalam temuan penelitian Merukh
& Sulasmono (2016). Format atau pedoman
lain, seperti format Penilaian Kinerja Guru
(PKG) yang digunakan di tempat penelitian
Widodo (2014a), dapat diadaptasi atau
melengkapi item observasi yang sudah ada.
Evaluasi Produk
Program supervisi akademik yang
dilaksanakan di PAUD Tunas Kasih dianggap
efektif oleh para guru dan kepala sekolah dan
menjawab kebutuhan yang telah diamati dalam
evaluasi konteks. Dampak yang disampaikan
tidak hanya berhubungan dengan pribadi dan
tugas guru, namun juga secara kolektif terhadap
situasi kerja dan citra sekolah. Hal ini berbeda
dengan laporan dari Sarfo & Cudjoe (2016)
yang mengeluhkan rendahnya pelaksanaan dan
efektifitas supervisi akademis di sekolah-
sekolah umum di Ghana.
Kepala sekolah dan guru PAUD Tunas
Kasih mendaftarkan beberapa manfaat yang
didapat dari supervisi akademik, seperti temuan
Wanzare (2012), yaitu perbaikan kualitas dan
kinerja guru dan peningkatan kolaborasi antar
guru, yang semuanya berdampak pada
peningkatan kualitas pembelajaran di kelas, dan
penyamaan persepsi dan kontrol atau
pengawasan yang lebih baik dari pimpinan.
Kontrol juga berdampak pada ketertiban
administrasi penunjang pembelajaran, serupa
temuan Widodo (2014a). Namun demikian,
seperti disoroti Widodo, hendaknya supervisor
tidak hanya menitikberatkan pemeriksaan
administrasi dalam melaksanakan supervisi.
Guru juga menyadari terciptanya kesempatan
untuk membangun jejaring dengan guru atau
komunitas PAUD lain, dan ini menjadi
dorongan untuk mereka lebih aktif terlibat
dalam kegiatan seminar dan sejenisnya.
Dampak jangka panjang berupa peningkatan
kepercayaan dari pihak luar terhadap PAUD
Tunas Kasih, yang juga berpengaruh pada
promosi sekolah, dapat menjadi motivasi bagi
kepala sekolah untuk melaksanakan supervisi
akademik. Bagi para guru sendiri, kualitas dan
reputasi yang unggul sebagai dampak supervisi
akademik juga dapat menjadi pemacu semangat
untuk terus mengembangkan diri.
Respon positif para guru nampak,
berupa antusiasme untuk berpartisipasi dan
kesiapan untuk mendapat masukan yang
bermanfaat untuk pengembangan diri, serupa
yang disampaikan para guru dalam penelitian
Riyanto (2016). Guru PAUD Tunas Kasih juga
mengapresiasi adanya kebebasan untuk
mengungkapkan pemikiran dan memberi
masukan. Kepala sekolah perlu memanfaatkan
komunikasi dan keterbukaan tersebut untuk
menanggapi respon negatif mereka, seperti
keraguan untuk terlibat lebih aktif atau
kekhawatiran untuk mengikuti seminar.
Komunikasi serupa dapat menampung beban
atau ketidakpuasan guru yang dirasakan karena
belum dapat memikirkan implementasi ide
yang didapat dari seminar.
Kembali, kepala sekolah perlu
membangun komunikasi yang terbuka dan
mencermati harapan dan masukan yang
disampaikan para guru. Masukan terhadap
kepala sekolah dalam menjalankan peran
supervisor-nya menyoroti upaya memfasilitasi
pengembangan kualitas dan melaksankan
fungsi kontrol dan pengawasan. Usulan lain
adalah agar supervisi dapat didelegasikan
kepada guru lain atau dengan melibatkan pihak
manajemen sekolah. Rekomendasi serupa
disampaikan oleh Widodo (2014b) dan Slameto
(2016) yang mengusulkan keterlibatan
pengawas sekolah dari dinas pendidikan, atau
melibatkan guru senior seperti yang ditemukan
Riyanto (2016) atau Mawarni, Chiar, &
Sukmawati (2017) dan disarankan Zepeda
(2006). Masukan untuk penambahan sarpras
yang menunjang, secara spesifik adalah buku
referensi dan fasilitas internet, juga
diungkapkan oleh beberapa guru.
Evaluasi terhadap kegiatan maupun
program perlu dilaksanakan, dan hal-hal yang
perlu ditindaklanjuti sebagai temuan evaluasi
Evaluasi Program Supervisi Akademik di PAUD Swasta | Daniel Kurniawan, dkk.
119
tersebut juga perlu dicermati. Tindak lanjut
yang dirancang berdasar hasil supervisi
akademik sudah menjadi sorotan kepala
sekolah, dan perlu dikomunikasikan dengan
pihak manajemen sekolah agar juga dapat
difasilitasi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Evaluasi Konteks. Program supervisi
akademik di PAUD Tunas Kasih perlu
diadakan, mempertimbangkan kondisi dan
kebutuhan adanya peningkatan dan
pengembangan kualitas guru—terkhusus
berhubungan dengan proses belajar-
mengajar—dan menyesuaikan dengan kondisi
kelas di tahun ajaran yang berlangsung maupun
menjawab atau menghadapi tantangan dunia
pendidikan yang ada. Usulan agar
dilanjutkannya program ini perlu
mengupayakan pemahaman konsep supervisi
terlebih dahulu agar perencanaan dan
perancangan program dan mekanisme
pelaksanaan lebih lanjut dapat lebih terarah dan
efektif.
Evaluasi Input. Perencanaan program
telah berjalan baik sesuai kebutuhan dan
dengan menyertakan beberapa ragam teknik
supervisi akademik. Para guru siap untuk
terlibat dalam program supervisi akademik di
PAUD Tunas Kasih, namun perlu
meningkatkan kesiapan atau keterampilan
kepala sekolah dalam melaksanakan fungsi
supervisi. Kesiapan para guru ini berangkat dari
pemahaman mereka akan pentingnya dan
manfaat supervisi akademik untuk
mengembangkan diri dan makin
memperlengkapi mereka untuk mengajar.
Pendanaan serta sarpras yang ada sudah cukup
mendukung dan tercukupi, dengan catatatan
perlunya peningkatan fasilitas internet dan
komputer.
Evaluasi Proses. Kegiatan-kegiatan
yang direncanakan sebagian besar telah
terlaksana dengan baik dengan penyesuaian
kegiatan sesuai kondisi dan kebutuhan.
Kendala yang ada, baik dari atau berhubungan
dengan pribadi guru, kepala sekolah,
manajemen sekolah, maupun sarana-prasarana,
dapat ditangani dengan baik. Kesiapan dan
partisipasi kepala sekolah maupun para guru
mendukung pelaksanaan program supervisi
akademik. Dokumentasi yang lengkap dan
lebih terstruktur terhadap kegiatan yang telah
diadakan perlu lebih ditingkatkan.
Evaluasi Produk. Program supervisi
akademik di PAUD Tunas Kasih sudah
memberikan dampak positif dan mencapai
tujuan yang direncanakan terhadap
pengembangan kualitas guru, juga secara
kolektif terhadap citra sekolah sendiri. Para
guru memberikan respon yang positif, dengan
beberapa catatan sebaliknya atas respon
negative yang kembali dapat ditangani atau
perlu mendapat tindak lanjut dari kepala
sekolah. Tindak lanjut telah direncanakan dan
beberapa sudah langsung dilaksanakan atau
disampaikan, dan evaluasi memberikan
masukan untuk perbaikan dan pengembangan
program supervisi akademik selanjutnya.
Oleh karena itu, mempertimbangkan
keempat tahap evaluasi program supervisi
akademik, penulis merekomendasikan
kelanjutan program supervisi akademik,
dengan beberapa catatan masukan dan
penyesuaian untuk perbaikan program tersebut.
Saran
Pertama, kepada PAUD Tunas Kasih,
berdasar evaluasi model CIPP, program
supervisi akademik yang ada di PAUD Tunas
Kasih perlu dilanjutkan, dengan beberapa
pertimbangan dan perbaikan. Pemahaman
konsep supervisi perlu kembali dimantapkan,
baik oleh kepala sekolah maupun para guru.
Pelatihan supervisi akademik kepada kepala
sekolah, dan guru senior, oleh karena itu
menjadi penting. Kebutuhan dan kondisi di
PAUD Tunas Kasih perlu ditinjau secara
berkala untuk dijadikan bahan perencanaan dan
pengembangan program supervisi akademik,
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
120
termasuk juga kebutuhan individu para guru.
Penyusunan rencana dan perancangan teknik-
teknik supervisi akademik yang menjawab
kebutuhan tersebut kemudian perlu dilakukan
dengan lebih komprehensif dan menyeluruh.
Fleksibilitas dan adaptasi dalam pelaksanaan
program perlu terus diupayakan dalam
menangani kendala yang muncul. Selain itu,
kepala sekolah tetap perlu peka mewadahi dan
mengapresiasi antusiasme para guru untuk
terlibat dalam kegiatan yang dilaksanakan
selain menjawab usulan dari mereka, seperti
pelaksanaan unannounced observation,
delegasi, dan self-reflection.
Rekomendasi untuk manajemen
sekolah YPKI Magelang adalah adanya
kebutuhan pelatihan supervisi akademik
kepada kepala sekolah dan guru-guru senior.
Pemahaman yang baik dan lebih lengkap
menjamin efektifitas program (Moswela &
Mphale, 2015). Keterlibatan serta monitoring
dari pihak manajemen sekolah juga diharapkan,
sesuai usulan dari sekolah. Keterlibatan yang
diusulkan termasuk memfasilitasi perijinan
kegiatan dalam program supervisi akademik
untuk menjawab kebutuhan pengembangan
kualitas pendidikan dan guru. Selanjutnya,
pedoman maupun instrumen yang mendukung
program supervisi akademik juga perlu
disediakan oleh pihak manajemen sekolah.
Mengamati antusiasme dan partisipasi guru,
pemberian penghargaan atau apresiasi perlu
dipertimbangkan, seperti diusulkan oleh
Lukum (2013). Seperti diingatkan Mette et al.
(2015) dan Zepeda (2016), supervisi akademik
tidak seharusnya terbatas pada evaluasi atau
penilaian serta pencapaian standar yang tinggi,
jadi manajemen sekolah perlu mendorong
kepala sekolah dan guru untuk berkolaborasi
lebih untuk tujuan peningkatkan mutu guru dan
pendidikan.
Untuk penelitian sejenis selanjutnya,
penelitian evaluatif ini masih terbatas dan
spesifik untuk PAUD Tunas Kasih, seperti
diingatkan McMillan (2008) dan dapat
dilakukan penelitian di subyek atau lokasi lain.
Temuan dan rekomendasi evaluasi dalam
penelitian ini perlu ditinjau ulang,
menyesuaikan kondisi dan kebutuhan lokal,
sebelum diterapkan atau digeneralisasikan
untuk sekolah lain. Penelitian selanjutnya dapat
mengeksplorasi efektifitas supervisi akademik
dengan melibatkan pihak pengelola sekolah,
orang tua, dan siswa, terkhusus untuk
pendidikan yang lebih tinggi, dan dengan
penggunaan metode kuantitatif.
DAFTAR PUSTAKA
Aaronson, D., Barrow, L., & Sander, W. 2007.
Teachers and student achievement in the
Chicago public high schools. Journal of
Labor Economics, 25, 95–135.
Alatas, H. 2013. Early childhood education and
development services in Indonesia.
Dalam Suryadarma, D., & Jones, G. W.
(Eds.). Education in Indonesia.
Singapore: Institute of Southeast Asian
Studies.
Argiani, A., & Slameto, S. 2015. Supervisi
Kunjungan Kelas untuk Meningkatkan
Kompetensi Pedagogik Guru SDN
Cukil 01, Tengaran, Kabupaten
Semarang. Kelola: Jurnal Manajemen
Pendidikan, 2(1), 1-11.
https://doi.org/10.24246/j.jk.2015.v2.i1
.p1-11
Arikunto, S. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi
Pendidikan, Edisi Kedua. Jakarta: Bumi
Aksara.
Arikunto, S., & Jabar, C. S. A. 2010. Evaluasi
Program Pendidikan: Pedoman
Teoritis Praktis bagi Mahasiswa dan
Praktisi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Arikunto, S., & Yuliana, L. 2012. Manajemen
Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media.
Brown, G. B. 2002. Guiding faculty to
excellence: Instructional supervision in
Evaluasi Program Supervisi Akademik di PAUD Swasta | Daniel Kurniawan, dkk.
121
the Christian school. Purposeful Design
Publications.
Dwikurnaningsih, Yari. 2017. Evaluasi
Program Kelas Olahraga di SMP Negeri
3 Salatiga. Repository Perpustakaan
Universitas. Salatiga: Magister
Manajemen Pendidikan UKSW.
Egwu, S. O. 2015. Principals' Performance in
Supervision of Classroom Instruction in
Ebonyi State Secondary Schools.
Journal of Education and Practice,
6(15), 99-105.
Fitzpatrick, J. L., Sanders, J. R., & Worthen, B.
R. 2012. Program Evaluation:
Alternative approaches and practical
guidelines, 4th ed.. New Jearsey:
Pearson Education.
Gaol, N.T.L., & Siburian, P. 2018. Peran
Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan
Kinerja Guru. Kelola: Jurnal
Manajemen Pendidikan, 5(1), 66-73.
https://doi.org/10.24246/j.jk.2018.v5.i1
.p66-73
Garrett, R., & Steinberg, M. P. 2015.
Examining teacher effectiveness using
classroom observation scores: Evidence
from the randomization of teachers to
students. Educational Evaluation and
Policy Analysis, 37(2), 224-242.
Imron, A. 2011. Supervisi Pembelajaran
Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara.
Kartono, S. 2009. Sekolah bukan pasar:
catatan otokritik seorang guru. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Lukum, A. 2013. Evaluation of science learning
supervision on secondary
schools. International Journal of
Education, 5(4), 61-81.
Martinez, F., Taut, S., & Schaaf, K. 2016.
Classroom observation for evaluating
and improving teaching: An
international perspective. Studies in
Educational Evaluation, 49, 15–29.
doi:10.1016/j.stueduc.2016.03.002
Mawarni, R., Chiar, H. M., & Sukmawati, H.
2017. Supervisi Akademik di Sekolah
Menengah Atas Negeri 1 Pemangkat
Kabupaten Sambas. Jurnal Pendidikan
dan Pembelajaran, 6(1).
McMillan, J. H. 2008. Educational Research:
Fundamentals for the customer, 5th Ed.
Pearson.
Memduhoglu, H. B. 2012. The issue of
education supervision in Turkey in the
views of teachers, administrators,
supervisors, and lecturers. Educational
Sciences; Theory and Practice, 12(1),
149-156.
Merukh, N., & Sulasmono, B.S. 2016.
Pengembangan Model Supervisi
Akademik Teknik Mentoring Bagi
Pembinaan Kompetensi Pedagogik
Guru Kelas. Kelola: Jurnal Manajemen
Pendidikan, 3(1), 30-48.
https://doi.org/https://doi.org/10.24246/
j.jk.2016.v3.i1.p30-48
Mette, I. M., Range, B. G., Anderson, J.,
Hvidston, D. J., & Nieuwenhuizen, L.
2015. Teachers' Perceptions of Teacher
Supervision and Evaluation: A
Reflection of School Improvement
Practices in the Age of Reform.
Education Leadership Review, 16(1),
16-30.
Miles, M. B., Huberman, A. M., & Saldana, J.
2014. Qualitative Data Analysis: A
methods sourcebook, 3rd Ed. Sage.
Minarti, S. 2011. Manajemen Sekolah:
Mengelola Lembaga Pendidikan Secara
Mandiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Moswela, B., & Mphale, L. M. 2015. Barriers
to clinical supervision practices in
Botswana schools. Journal of
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
122
Education and Training Studies, 3(6),
61-70.
Moye, M.J., Henkin, A.B., & Egley, R.J., 2005.
Teacher‐principal relationships:
Exploring linkages between
empowerment and interpersonal trust.
Journal of Educational Administration,
43(3), 260-277,
https://doi.org/10.1108/095782305105
94796.
Mukhtar & Iskandar. 2009. Orientasi Baru
Supervisi Pendidikan. Jakarta: GP
Press.
Mulyasa, E. 2012. Manajemen dan
kepemimpinan kepala sekolah. Jakarta:
Bumi Aksara.
Munthe, A. P. 2015. Pentingnya Evaluasi
Program di Institusi Pendidikan: Sebuah
Pengantar, Pengertian, Tujuan dan
Manfaat. Scholaria: Jurnal Pendidikan
Dan Kebudayaan, 5(2), 1-14.
Ngatini, N., & Ismanto, B. 2015. Pengelolaan
Supervisi Akademik Kepala Sekolah di
Sekolah Dasar Negeri Kota Semarang.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan,
2(2), 127-138.
https://doi.org/10.24246/j.jk.2015.v2.i2
.p127-138
Pidarta, M. 2009. Supervisi Pendidikan
Kontekstual. Jakarta: Rineka Cipta.
Priansa, D.J., & Setiana, S.S. 2018. Manajemen
dan Supervisi Pendidikan. Bandung:
Pustaka Setia.
Range, B.G., Young, S., & Hvidston, D. 2013.
Teacher perceptions about observation
conferences: what do teachers think
about their formative supervision in one
US school district? School Leadership
& Management, 33 (1), 61-77.
Riyanto. 2016. Evaluasi Program Supervisi
Akademik Kepala Sekolah dapat
Meningkatkan Kinerja Mengajar Guru
SD Negeri 1 Tegorejo, Kecamatan
Pengandon, Kabupaten Kendal. (Tesis,
tidak diterbitkan). Program
Pascasarjana, Universitas Kristen Satya
Wacana, Salatiga.
Rockoff, J. E. 2004. The impact of individual
teachers on student achievement:
Evidence from panel data. American
Economic Review, 94, 247–252.
Sagala, S. 2010. Supervisi Pembelajaran dalam
Profesi Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Saputra, Y. M. 2011. Model Pengawasan
Pembelajaran Pendidikan Jasmani di
SD. Cakrawala Pendidikan, (3), 474-
489.
Sarfo, F. K., & Cudjoe, B. 2016. Supervisors’
Knowledge and Use of Clinical
Supervision to Promote Teacher
Performance in basic schools.
International Journal of Education and
Research, 4(1).
Slameto. 2016. Supervisi Pendidikan oleh
Pengawas Sekolah. Kelola: Jurnal
Manajemen Pendidikan, 3(2), 192-206.
https://doi.org/10.24246/j.jk.2016.v3.i2
.p192-206
Stronge, J. H., Richard, H. B., & Catano, N.
2013. Kualitas Kepala Sekolah yang
Efektif. Jakarta: PT Indeks.
Suhardan, D. 2010. Supervisi Profesional:
layanan dalam meningkatkan mutu
pembelajaran di era otonomi daerah.
Bandung: Alfabeta.
Sukardi, H. M. 2008. Evaluasi Pendidikan
Prinsip dan Operasionalnya. Jakarta:
Bumi Aksara.
Suryadarma, D., & Jones, G.W. 2013. Meeting
the education challenge. Dalam
Suryadarma, D., & Jones, G. W. (Eds.).
Education in Indonesia. Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies.
Evaluasi Program Supervisi Akademik di PAUD Swasta | Daniel Kurniawan, dkk.
123
Tatang, S. 2016. Supervisi
Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Umiarso & Gojali, I. 2010. Manajemen Mutu
Sekolah di Era Otonomi
Pendidikan. Yogyakarta: IRCiSoD.
Wanzare, Z. 2012. Instructional supervision in
public secondary schools in
Kenya. Educational Management
Administration & Leadership, 40(2),
188-216.
Widodo, T. 2014a. Evaluasi Program
Implementasi Supervisi Akademik di
Gugus Dwijawiyata, Kecamatan
Magelang Tengah, Kota Magelang.
(Tesis, tidak diterbitkan). Program
Pascasarjana, Universitas Kristen Satya
Wacana, Salatiga.
Widodo, T. 2014b. Supervisi Kunjungan Kelas
dalam Meningkatkan Kinerja Guru IPA
SMP Negeri 1 Bandungan. (Tesis, tidak
diterbitkan). Program Pascasarjana,
Universitas Kristen Satya Wacana,
Salatiga.
Wiersma, W., & Jurs, S. G. 2005. Research
Methods in Education: An introduction,
9th ed. Pearson Education.
Zepeda, S.J. 2006. High stakes supervision: we
must do more. International Journal of
Leadership in Education: Theory and
Practice, 9:1, 61-73, DOI:
10.1080/13603120500448154.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018
Halaman: 124-138
124
Pemetaan Jenis, Indikator dan Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan:
Kajian Literatur dari Situs Indonesian Publication Index (IPI)
Rais Hidayat
Universitas Pakuan
rais72rais@gmail.com, rais.hidayat@unpak.ac.id
Yuyun Elizabeth Patras
Universitas Pakuan
yuyunpatras64@gmail.com
ABSTRACT
The site of Indonesian Publication Index (IPI) has become a benchmark and reference
research in Indonesia. The purpose of this research is to map educational leadership articles
on IPI sites based on types, indicators, and usefulness of educational leadership. This research
method used literatur study, where researchers examined 91 scientific articles sourced from
the corpus of the IPI database, researchers do the sorting and analysis and then the data
communicated through descriptive statistics. The findings of this research are as follows: (1)
types of educational leadership research methods include qualitative and quantitative
methods, but the types of mixed methods are rarely found; (2) types of publicized educational
leadership research are in accordance with existing educational leadership theories, but
Indonesia has several characteristics of educational leaders such as boarding school
leadership; (3) researchers in Indonesia have used indicators of effective educational
leadership in accordance with what researchers use in other countries; and (4) education
leadership researchers in Indonesia have provided recommendations for improving
educational leadership. The above findings are expected to be discussed in developing
educational leadership research in Indonesia.
Keywords: Educational Leadership, Indicators of Educational Leadership, Types of
Educational Leadership
Article Info
Received date: 10 Oktober 2018 Revised date: 15 Desember 2018 Accepted date: 24 Desember 2018
PENDAHULUAN
Peran pemimpin pada lembaga
pendidikan sangat strategis (Spillane, 2003).
Pada posisi tersebut melekat kekuasaan dan
wewenang untuk digunakan secara efektif
dalam memengaruhi jalannya lembaga
pendidikan (Hallinger, 2007). Tidak ada guru
yang gagal, yang ada adalah kepala sekolah
yang tidak bisa memimpin. Kemajuan suatu
lembaga pendidikan bergantung pada upaya
pemimpinnya dalam menggerakan mesin
organisasi (Peleg, 2012). Tidak ada sekolah
yang maju tanpa peran pimpinan (Connelly,
2013).
Pemimpin sekolah memengaruhi
kinerja anggota sekolah (Bush, 2007), yaitu
para guru dan staf pegawai lainnya agar bekerja
lebih maksimal, menampilkan etos kerja tinggi,
dan secara sukarela bekerjasama dengan
anggota lainnya untuk mewujudkan standar
mutu yang diharapkan oleh konsumen
pendidikan, masyarakat dan pemerintah
Pemetaan Jenis, Indikator dan Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan ... | Rais Hidayat & Yuyun E. Patras
125
(Hallinger & Walker, 2017). Perilaku
kepemimpinan memprediksi kinerja (Linda
Bendikson, Viviane Robinson, 2012).
Kepemimpinan adalah faktor kunci dalam
perubahan yang berhasil (Holsted, 2016).
Posisi strategis kepemimpinan
pendidikan dan perannya pada lembaga
pendidikan telah menarik minat para peneliti
(Bush, 2007); Sumintono, 2010). Terdapat
sejumlah dan berbagai jenis penelitian
kepemimpinan pendidikan yang sudah
dipublikasikan dalam bentuk cetak maupun
elektronik. Bahkan sekarang muncul istilah e-
leadership dalam pendidikan untuk
menunjukan adanya perkembangan bahwa
kepemimpinan itu sangat penting dan terus
diteliti (Oh Siew Pei, 2018).
Penelitian terhadap kepemimpinan
pendidikan berkembang pesat di Indonesia. Hal
ini wajar karena Indonesia merupakan negara
yang paling luas di wilayah Asia Tenggara
(Sticher, 2014). Indonesia sebagain besar
wilayahnya adalah lautan sehingga Indonesia
dikenal sebagai negara kepulauan (Tumonggor
et al., 2013). Penduduk Indonesia terdiri dari
berbagai macam suku bangsa dan beraneka
ragam bahasa (Siregar, 2016). Wilayah yang
luas dan beraneka suku bangsa menyebabkan
Indonesia kaya dengan perbedaan namun tetap
bersatu (Samuel Bazzi, Arya Gaduh, Alexander
Rothenberg, 2017). Indonesia terus
membangun masyarakatnya sekaligus terus
mengupayakan berbagai penelitian, termasuk
penelitian pendidikan (Inaya Rakhmani, 2016)
dan penelitian tentang kepemimpinan
pendidikan.
Penelitian di Indonesia kini terhimpun
dalam situs Indonesian Publication Index (IPI)
dengan alamat situs http://id.portalgaruda.org/.
Mulai tanggal 4 Juli 2018 IPI telah diakuisisi
oleh Kementerian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi (RISTEKDIKTI) yang
kemudian sekarang disebut GARUDA atau
Garba Rujukan Digital dengan alamat situs
http://garuda.ristekdikti.go.id. GARUDA
sekarang menjadi sumber rujukan atas
publikasi ilmiah. GARUDA merupakan basis
data yang komprehensif yang mencakup
berbagai bidang keilmuan.
Sampai Juli 2018, IPI memiliki 595,647
artikel dan 5,064 jurnal. Jika menggunakan
keyword: kepemimpinan pendidikan
(educational leadership) untuk mencari artikel,
maka akan ditemukan ratusan artikel yang
membahas kepemimpinan pendidikan. Selama
ini belum ada penelitian yang memetakan
tentang hasil publikasi tentang kepemimpinan
pendidikan yang berasal dari situs IPI. Artikel
ini akan mendeskripsikan kepemimpinan
pendidikan berdasarkan jenis kepemimpinan,
indikator kepemimpinan yang efektif, dan
kegunaan penelitian kepemimpinan
pendidikan.
Jenis Kepemimpinan Pendidikan
Jenis kepemimpinan adalah hubungan
di mana satu orang mengarahkan,
mengkoordinasi dan mengawasi yang lain
untuk mencapai tujuan bersama (Muhammad
Saqib Khan & Irfanullah Khan, Qamar Afaq
Qureshi, Hafiz Muhammad Ismail, Hamid
Rauf, Muhammad Tahir, 2015).
Kepemimpinan menempati posisi puncak
dalam organisasi yang mampu menggerakan
organisasi dan mencapai tujuan organisasi
(Spillane, 2003).
Jenis kepemimpinan adalah hal-hal
yang terlihat dipraktekkan oleh seorang
pemimpin seperti mengarahkan, mengubah
dan transaksi (Yahya, 2015). Jenis
kepemimpinan sangat berragam. Pada dunia
pendidikan kepemimpinan pendidikan berubah
dari jenis ‘educational administration’ menjadi
‘educational management’ dan kini mengarah
ke ‘educational leadership’ (Adams, 2017).
Berbagai jenis kepemimpinan di dalam
organisasi pendidikan dipengaruhi oleh latar
belakang si pemimpin dan keadaan sekolah
(Urick & Bowers, 2014). Hallinger & Murphy
and Robinson menggunakan istilah
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
126
instructional leadership untuk menyebut
kepemimpinan di sekolah (Velarde, 2017).
Terdadapat beberapa tipe
kepemimpinan di sekolah yang harus
diintegrasikan antara lain transformational,
transactional, inspirational, and instructional
leadership (Smith & Squires, 2016). Tipe
kepemimpinan lainnya democratic leadership,
authoritarian style dan laissez-faire leadership
styles (Yahya, 2015). Terdapat pula istilah tipe
kepemimpinan authentic leadership (Men,
2012) dan e-leadership (Oh Siew Pei, 2018).
Jenis kepemimpinan (type of
leadership) seringkali disamakan atau
dipertukarkan dengan gaya kepemimpinan
(leadership style) (Urick & Bowers, 2014).
Jenis kepemimpinan antara lain The
Charismatic Leader, Transformational Leaders
and Transactional Leaders (Evans-Curtis,
2004). Macam-macam kepemimpinan terdiri
dari the Great Man theory, Trait theory,
Process leadership theory, Style and
Behavioral theory, Transformational,
Transactional and Laissez Faire leadership
theory (Zakeer Ahmed Khan, Allah Nawaz,
2016).
Indikator Kepemimpinan Efektif
Indikator adalah metrik yang bermakna,
sederhana, dan dapat dikuantifikasi yang
digunakan untuk menilai kemajuan menuju
pencapaian target (Suter, 2015). Bagaimanakah
mengevaluasi bahwa tujuan telah tercapai?
Indikator yang dibuat dengan benar dapat
memberikan jawaban yang benar (Network,
2015). Indikator kepemimpinan pendidikan
efektif dalam pada artikel ini diartikan sebagai
ciri-ciri atau parameter atau ukuran yang
digunakan peneliti untuk mengukur keefektifan
atau kinerja dari sebuah kepemimpinan dalam
lembaga pendidikan.
Beberapa ciri kepemimpinan
pendidikan efektif adalah pemimpin sekolah
mampu menyesuaikan program pengajaran
dengan kebutuhan sekolah, mempromosikan
kerja tim di antara guru, dan terlibat dalam
pemantauan, evaluasi dan pengembangan
profesional guru (Andreas Schleicher, 2013).
Kepemimpinan pendidikan yang efektif adalah
pemimpin yang melakukan hubungan personal
dalam mengarahkan, mengorganisir,
mengkoordinir dan mengawasi bawahan untuk
mencapai tujuan bersama (Muhammad Saqib
Khan & Irfanullah Khan, Qamar Afaq Qureshi,
Hafiz Muhammad Ismail, Hamid Rauf,
Muhammad Tahir, 2015).
Kepemimpinan pendidikan yang efektif
yaitu mampu memberikan visi ke depan
(visionary), memiliki gairah dan semangat yang
tinggi (passionate), kreatif, fleksibel,
menginspirasi, inovatif, berani, dan
mengeksperimen imajinasi untuk memulai
perubahan (Amanchukwu, Stanley, & Ololube,
2015). Kepala sekolah yang efektif memiliki
kemampuan sebagai berikut: Rational,
Consulting Persistent, Problem solving Tough-
minded, Analytical Structured Deliberate,
Authoritative Stabilising (Amanchukwu et al.,
2015).
Kegunaan Kepemipinan Pendidikan
Kepemimpinan pendidikan yang tinggi
berpengaruh pada keberhasilan memotivasi
karyawannya untuk menunjukkan kinerja yang
tinggi (Susanthi & Setiawan, 2014).
Kepemimpinan dapat mempengaruhi kinerja
dan produktivitas karyawan (Nanjundeswaras
& Swamy, 2014). Kepemimpinan berguna
untuk ketercapaian tujuan organisasi (Holsted,
2016)(Linda Bendikson, Viviane Robinson,
2012), meningkatkan kinerja guru dan
karyawan sekolah (Hallinger & Huber, 2012),
mempercepat transformasi organisasi (Joseph,
1986) (Hallinger, 2003) (Adams & Zabidi,
2017), meningkatkan mutu pendidikan di
sekolah (Donna, 2011).
Kepemimpinan pendidikan yang baik
dapat meningkatkan konsistensi atau
kedisiplinan karyawan (Amanchukwu et al.,
2015); Muhammad Saqib Khan & Irfanullah
Khan, Qamar Afaq Qureshi, Hafiz Muhammad
Ismail, Hamid Rauf, Muhammad Tahir, 2015),
Pemetaan Jenis, Indikator dan Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan ... | Rais Hidayat & Yuyun E. Patras
127
meningkatkan mutu pelayanan guru (Atkinson,
2014), menjaga dan meningkatkan komitmen
guru dan karyawan (Oh Siew Pei,
2018)(Hallinger, 2003), memperbaiki
keprofesionalan guru (Heck & Hallinger,
2005)(Eyal & Roth, 2010), bahkan
kepemimpinan pendidikan dapat meningkatkan
hasil belajar walaupun secara tidak langsungf
(Heck & Hallinger, 2005)(Hallinger & Heck,
2010).
Kepemimpinan pendidikan juga
berguna untuk meningkatkan kolaborasi,
mewujudkan visi, tujuan, dan target sekolah,
mencapai kesetaraan dan keunggulan,
memastikan lingkungan yang tertib,
mendukung, dan kondusif untuk pembelajaran
dan kesejahteraan siswa, meningkatkan
pembuatan perencanaan yang efektif,
koordinasi dan evaluasi kurikulum,
meningkatkan promosi, membangun kapasitas
kolektif untuk melakukan evaluasi dan
peningkatan berkelanjutan (Holsted, 2016).
METODE PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan tentang kondisi publikasi
penelitian tentang kepemimpinan pendidikan
yang ada di Indonesia. Penelitian ini
menggunakan kajian literatur yang
dipublikasikan pada situs Indonesian
Publication Index (IPI). Kata kunci yang
digunakan untuk mendapatkan artikel adalah
“kepemimpinan pendidikan”. Artikel yang
digunakan untuk diteliti berasal dari kurun
waktu antara 2002 samapi 2018. Adapun
pencarian artikel dibatasi sampai April 2018.
Penelitian ini menggunakan kajian
literatur dengan tiga langkah utama yaitu: (1)
eksplorasi artikel ilmiah; (2) Interpretasi data;
dan (3) komunikasi (Flick, 2013)(Cronin,
Ryan, & Coughlan, 2008). Proses lebih detail
penelitian ini mencakup tahap-tahap berikut:
(1) masuk ke laman IPI dan mengetikan kata
kunci “kepemimpinan pendidikan”; (2)
mengumpulkan dan memeriksa artikel ilmiah;
(3) menganalisis artikel tentang kepemimpinan
pendidikan sesuai persyaratan minimal, yaitu:
tema tentang kepemimpinan, nama penulis,
nama jurnal, penerbit, volume dan nomor
jurnal. Berdasarkan kriteria tersebut didapatkan
sebanyak 91 artikel ilmiah (appendix 1); (4)
peneliti melakukan pemilahan, analisis dan
interpretasi data, dan (5) melakukan laporan
penelitian atau komunikasi data.
Perumusan masalah dalam penelitian ini
sebagai berikut: (1) Jenis penelitian apakah
yang digunakan dalam penelitian
kepemimpinan pendidikan di Indonesia?; (2)
Jenis-jenis kepemimpinan pendidikan apa yang
diteliti dan dipublikasikan di Indonesia?; (3)
Indikator-indikator apa yang digunakan para
peneliti untuk mengukur kepemimpinan
pendidikan yang efektif? ; (4) Kegunaan apa
yang diharapkan dari hasil-hasil penelitian
kepemimpinan pendidikan di Indonesia?
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
1. Jenis Penelitian Kepemimpinan Pendidikan
Jenis metode dan desain penelitian
tentang kepemimpinan pendidikan di Indonesia
yang digunakan adalah kualitatif dan
kuantitatif. Jumlah penelitian kualitatif lebih
banyak daripada penelitian kuantitatif.
Sedangkan penelitian yang menggunakan
mixed-method atau menggabungkan penelitian
kualitatif dan kuantitatif belum popular dalam
penelitian kepemimpinan pendidikan.
Beberapa contoh penelitian berjenis
kualitatif antara lain: Peranan Kepemimpinan
Kepala Sekolah (Ason, 2013), Kepemimpinan
Pendidikan di sekolah (Nasution, 2015), dan
Kepemimpinan Pendidikan Untuk
Mengembangkan Sekolah Bermutu (Sermal,
2015). Contoh penelitian berjenis kuantitatif
antara lain: Pengaruh Kepemimpinan Kepala
Sekolah, Supervisi Dan Kepuasan Kerja Guru
Terhadap Kinerja (Walukow, Donald M. F.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
128
Tiogas, 2014), Pengaruh Kepemimpinan
Kepala Sekolah, Iklim Kinerja Guru Terhadap
Mutu Pendidikan (Agustina, Sulton Djasmi,
2014), dan Hubungan Perilaku Kepemimpinan
Kepala Sekolah Dan Kemampuan Mengajar
Guru Dengan Inovasi Pendidikan (Sumarsono,
2012).Penelitian kepemimpinan pendidikan
dengan metode kualitatif didominasi oleh
kajian literatur, dimana si peneliti hanya
mengumpulkan konsep atau teori tentang
kepemimpinan pendidikan kemudian ditarik
sebuah kesimpulan untuk diaplikasikan dalam
dunia pendidikan. Contoh penelitian yang
hanya menggunakan kajian literatur tentang
kepemimpinan pendidikan antara lain:
Kepemimpinan Pendidikan (Rohmat, 2006),
Kepemimpinan Kepala Sekolah Yang Efektif
Kunci Pencapaian Kualitas Pendidikan
(Ekosiswoyo, 2007) dan Agama Membentuk
Kepribadian Dan Gaya Kepemimpinan
Pendidikan (Nujuludin, 2013)
Tabel 1. Jenis Metode Penelitian Kepemimpinan Pendidikan
Secara umum kajian literatur tentang
kepemimpinan pendidikan di Indonesia
meliputi unsur sebagai berikut: hakikat atau
definisi kepemimpinan, fungsi dan tugas
pemimpin, ciri-ciri kepemimpinan yang efektif,
pengembangan kepemimpinan dan bagaimana
kepemimpinan dapat dilaksanakan di sekolah
dengan baik.
Sedangkan penelitian dengan
pendekatan kuantitatif didominasi oleh
penelitian korelasi, dimana peneliti melakukan
pengujian hipotesis untuk menghubungkan
kepemimpinan pendidikan dangan variabel
terikat seperti produktivitas, kinerja dan
keinovatifan guru. Beberapa contoh penelitian
tentang kepemimpinan pendidikan yang
menggunakan pendekatan kuantitatif melalui
desain korelasional antara lain: Pengaruh
Kepemimpinan Kepala Madrasah dan
Supervisi Pengawas Madrasah terhadap
Kinerja Guru untuk Mewujudkan Mutu
(Ruhiyat, 2017), Pengaruh Kepemimpinan
Transformasional dan Lingkungan Kerja
Terhadap Semangat Kerja Tenaga
Kependidikan (Ratnasari & Sutjahjo, 2017) dan
Pengaruh Gaya Kepemimpinan
Transformasional Terhadapmotivasi Kerja
Pegawai (Arwin Sanjaya, 2014).
Secara umum penelitian kepemimpinan
yang menggunakan pendekatan kualitatif hanya
mengkaji tidak lebih dari 2 variabel yaitu
kepemimpinan dan implikasinya pada dunia
pendidikan, contohnya seperti: Kepemimpinan
Pendidikan Untuk Mengembangkan Sekolah
Bermutu (Sermal, 2015). Tidak ada pengujian
hipotesis dalam penelitian kualitatif tersebut.
Sedangkan penelitian dengan
pendekatan kuantitatif paling sedikit dengan 2
variabel. Penelitian dengan jenis tersebut
mengkorelasikan kepemimpinan dan variabel
lain dengan salah satu variabel terikat. Contoh
penelitian korelasional yang menghubungkan
kepemimpinan bersama variabel lain terhadap
variabel terikat antara lain: Pengaruh
0
10
20
30
40
50
60
Qualitative Quantitative
0
10
20
30
40
50
60
Literatur Review Correlation
Pemetaan Jenis, Indikator dan Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan ... | Rais Hidayat & Yuyun E. Patras
129
Kepemimpinan, Motivasi, Dan Lingkungan
Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Badan
Kepegawaian Pendidikan Dan Pelatihan
(Hardiyana & Helwiyan, 2011) dan Hubungan
Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah Dan
Kemampuan Mengajar Guru Dengan Inovasi
Pendidikan (Sumarsono, 2012).
Dalam penelitian kuantitatif, secara
umum variabel kepemimpinan pendidikan
merupakakan variabel yang memengaruhi
variabel terikat antara lain motivasi kerja,
kinerja guru, dan produktivitas guru. Secara
umum temuan penelitian di Indonesia
menunjukkan adanya hubungan positif yang
signifikan antara kepemimpinan dengan
variabel yang dipengaruhinya seperti kinerja
guru dan komitmen pada organisasi.
Tabel 2. Metode Penelitian dan Variabel
One
Variabel
Two
Variabels
Three
Variabels
Four
Variabels Jumlah
Method Qualitative 13 35 3 0 51
Quantitative 2 8 17 13 40
Total 15 43 20 13 91
Adapun publikasi artikel penelitian tentang kepemimpinan pendidikan paling banyak
dipublikasikan antara tahun 2012 sampai 2015.
Tabel 3. Publikasi Artikel Tentang Kepemimpinan Pendidikan
1. Jenis Kepemimpinan Pendidikan
Jenis kepemimpinan pendidikan yang
menempati posisi paling banyak dipublikasikan
yaitu gaya kepemimpinan (leadership style),
kepemimpinan kepala sekolah (principal
leadership) dan kepemimpinan pendidikan
(educational leadership).
Gaya kepemimpinan mengacu pada
bagaimana seorang pemimpin menggunakan
gaya khasnya untuk mencapai tujuan yang dia
kehendaki. Contoh penelitian tentang gaya
kepemimpinan antara lain: Pengaruh Gaya
Kepemimpinan Transformasional Terhadap
Motivasi Kerja Pegawai Pada Kantor Lembaga
Penjamin Mutu Pendidikan (Arwin Sanjaya,
2014) dan Pengaruh Gaya Kepemimpinan
Kepala Sekolah Dan Motivasi Berprestasi Guru
Terhadap Layanan Pendidikan Di Sekolah
Menengah Atas (Deki Wibowo, 2014).
Kepemimpinan kepala sekolah
menunjuk pada penyebutan sosok yang menjadi
pemimpin di lembaga atau organisasi
pendidikan. Contoh penelitian tentang
kepemimpinan kepala sekolah antara lain:
Pengaruh Kepemimpinan Transformasional
Kepala Sekolah, Pelaksanaan MBS, dan
Pelaksanaan TU Terhadap Kualitas Pendidikan
SD/MI Depok, Sleman (Wahyudi, 2014) dan
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
130
Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah,
Supervisi Dan Kepuasan Kerja Guru Terhadap
Kinerja Guru MIPA di Yayasan Pendidikan
Advent Timika (Walukow, Donald M. F.
Tiogas, 2014)
Sedangkan kepemimpinan pendidikan
merujuk pada peran seorang pemimimpin yang
memimpin lembaga pendidikan. Contoh
penelitian tentang educational leadership
antara lain: Kepemimpinan Pendidikan Di
Sekolah (Nasution, 2015) dan Manajemen dan
Kepemimpinan Pendidikan Islam (Karimah,
2015)
Tabel 4. Jenis Kepemimpinan Pendidikan
Type of Leadership Articles %
Gaya Kepemimpinan (Leadership Style) 26 28.6
Kepemimpinan Kepala Sekolah (Principal Leadership) 20 22.0
Kepemimpinan Pendidikan (Educational Leadership) 12 13.2
Kepemimpinan Transformasional (Transformational Leadership) 9 9.9
Kepemimpinan Pesantren (Boarding School Leadership) 5 5.5
Kepemimpinan Islam (Islamic Educational Leadership) 5 5.5
Kepemimpinan Nabi (Prophetic Leadership) 3 3.3
Perilaku Kepemimpinan (Leadership Behavior) 3 3.3
Kepemimpinan Partisipatif (Participative Leadership) 1 1.1
Kepemimpinan Istruksional (Instructional Leadership) 1 1.1
Kepemimpinan Melayani (Servant Leadership) 1 1.1
Lainnya 5 5.5
Jumlah 91 100
Adapun yang masih sedikit diteliti
antara lain tentang participative leadership,
servant leadership, dan instructional
leadership. Partisipatif leadership mengacu
pada kemampuan seorang pemimpin untuk
melibatkan anggotanya dalam mencapai tujuan
organisasi. Servant leadership mengacu kepada
kehendak dari pemimpin untuk melayani
dengan sepenuh hati untuk mencapai tujuan
organisasi. Sedangkan instructional leadership
mengacu kepada bagaimana upaya seorang
kepala sekolah dalam mengarahkan para guru
untuk mencapai target sekolah, khususnya
dalam bidang akademik.
Sedangkan yang masuk katagori ciri
khas Indonesia antara lain: Kepemipinan
Pendidikan Natsir (Saiful Falah, 2015) ,
Kepemimpinan Pesantren (Sagala, 2016),
Kepemimpinan Islam (Subhan, 2013),
Kepemimpinan Nabi (Arifin, 2016) dan
Kepemimpinan Karakter (Usman, 2013).
Kepemipinan pendidikan Natsir
mengacu kepada pemikiran dan perilaku tokoh
kemerdekaan dan muslim Indonesia dalam
memimpin dan memengaruhi lembaga
pendidikan (Saiful Falah, 2015).
Kepemimpinan pesantren mengacu kepada
sosok pengasuh dan pemimpin pesantren
(Sagala, 2016). Kepemipinan Nabi mengacu
kepada pemikiran dan ajaran seorang Nabi
(Arifin, 2016). Sedangkan Kepemimpinan
karakter mengacu pada sosok ideal dengan ciri-
ciri tertentu yang diharapkan menjadi
pemimpin-pemimpin Indonesia (Usman,
2013).
2. Indikator Kepemimpinan yang Efektif
Peneliti mengambil 2 sampai 4 indikator
yang merujuk sebuah kepemimpinan
pendidikan yang efektif. Dari 91 artikel yang
dianalisis, terdapat 341 kata atau frase yang
merujuk pada indikator kepemimpinan yang
efektif. Kemudian dari 341 kata atau frase
tersebut dilakukan pengkodingan berdasarkan
kesamaan kata atau kesamaan makna
kata/frase.
Pemetaan Jenis, Indikator dan Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan ... | Rais Hidayat & Yuyun E. Patras
131
Tabel 5. Indikator Kepemimpinan Pendidikan
Indicators Total %
Mengelola (Managing) 33 10
Melakukan perubahan (Transform) 30 9
Merngorganisir (Organizing) 29 9
Komunikasi (Communicating) 28 8
Memengaruhi (Influencing) 26 8
Membimbing (Guiding) 23 7
Berpartisipasi (Participating) 22 6
Memiliki visi, misi (Vision) 20 6
Menjadi contoh (Role Model) 18 5
Memotivasi (Motivating) 17 5
Merencanakan (Planning) 14 4
Demokratis (Democratic) 13 4
Dipercaya (Trust) 12 4
Melakukan supervisi (Supervision) 12 4
Memahami situasi (Situational) 11 3
Berwibawa (Charismatic) 10 3
Mencintai (Love) 5 1
Pengambil keputusan (Decision Making) 5 1
Mendelegasikan (Delegation) 4 1
Otoriter (Autocratic) 3 1
Regenerasi (Regeneration) 2 1
Transaksi (Transactional) 2 1
Kolektif (Collective) 1 0
Bebas (Laissez faire) 1 0
Jumlah 341 100
Berdasarkan data di atas dapat
dinyatakan bahwa 5 indikator terbanyak
pertama yang digunakan oleh para peneliti
kepemimpinan pendidikan di Indonesia yaitu:
Managing, Transforming, Organizing,
Communicating dan Influencing. 5 indikator
terbanyak kedua yaitu: Guiding, Participating,
Vision, Role Model, Motivating. Sedangkan 5
indikator terbanyak ketiga yaitu: Planning,
Democratic, Trust, Supervision, dan
Situational.
Temuan atas indikator kepemimpinan
yang efektif sejalan temuan para peneliti lain,
yaitu: kemampuan mengelola (Lemay & Ellis,
2008)(Memon, Simkins, & Sisum,
2006)Nikoloski, 2015), kemampuan
melakukan perubahan (Hallinger, 2007),
kemampuan mengorganisir (Nanjundeswaras
& Swamy, 2014), kemampuan berkomunikasi
(Velarde, 2017, Nedelcu, 2013) dan
kemampuan memengaruhi (Muhammad Saqib
Khan & Irfanullah Khan, Qamar Afaq Qureshi,
Hafiz Muhammad Ismail, Hamid Rauf,
Muhammad Tahir, 2015, Veliu, Manxhari,
Demiri, & Jahaj, 2017). Ini menunjukan bahwa
indikator-indikator yang relevan sudah banyak
digunakan dalam penelitian di negara-negara
lain.
3. Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan
Peneliti mengambil 2 sampai 4 indikator
yang merujuk pada kegunaan praktis
kepemimpinan pendidikan. Dari 91 artikel yang
dianalisis, terdapat 232 kata atau frase yang
merujuk pada kegunaan penelitian
kepemipinan. Kemudian dari 232 kata atau
frase tersebut dilakukan pengkodingan
berdasarkan kesamaan kata atau kesamaan
makna kata/frase.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
132
Tabel 6. Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan
Kegunaan Kepemimpinan Jumlah %
Ketercapaian tujuan organisasi (Organizational Goal) 52 22
Meningkatkan kijerja (Performance) 33 14
Melakukan perubahan dalam organisasi (Transforming) 29 13
Meningkatkan kualitas pendidikan (Education Quality) 27 12
Memotivasi karyawan (Motivating People) 25 11
Tercipta konsistensi (Consistentcy) 12 5
Meningkatkan pelayanan (Educational Services) 8 3
Meningkatkan komitmen (Commitment) 8 3
Memperbaiki profesionalisme (Teacher Professionalism) 7 3
Meningkatkan hasil belajar (Student Learning) 6 3
Memperbaiki budaya organisasi (Organizational Culture) 6 3
Meningkatkan kreatifitas (Creativity) 3 1
Meningkatkan kepuasan kerja (Work Satisfaction) 3 1
Meningkatkan prestasi (Achievement) 3 1
Meningkatkan keinovatifan (Innovation) 2 1
MenImproving facilities 2 1
Improving Infrastructure 2 1
Lainnya 4 2
Jumlah 232 100
Berdasarkan 232 pernyataan tentang
kegunaan kepemimpinan pendidikan, terdapat
5 kata atau frase terbanyak pertama yaitu:
Organizational Goal di tingkat pertama,
meningkatkan kinerja organisasi peringkat
kedua dan membuat perubahan pada peringkat
ketiga.
Berdasarkan temuan tersebut, kegunaan
kepemimpinan pendidikan di Indonesia sudah
sejalan dengan hasil penelitian pendidikan di
Negara-negara lain. Intinya kepemimpinan
dalam institusi pendidikan berguna untuk
ketercapaian tujuan pendidikan (Holsted,
2016)(Linda Bendikson, Viviane Robinson,
2012), peningkatan kinerja guru (Hallinger &
Huber, 2012), dan melakukan perubahan
(Joseph, 1986) (Hallinger, 2003) (Adams &
Zabidi, 2017), peningkatan kualitas pendidikan
(Donna, 2011), dan meningkatkan motivasi
kerja (Hallinger & Heck, 2010)(Hallinger &
Huber, 2012).
Berdasarkan kajian literatur di atas
dapat diperoleh sebuah model kepemimpinan
pendidikaan yang ada di Indonesia sebagai
gambar berikut:
Pemetaan Jenis, Indikator dan Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan ... | Rais Hidayat & Yuyun E. Patras
133
Pembahasan
Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian kepemimpinan pendidikan di
Indonesia masih didominasi oleh pendekatan
kualitatif dan kuantitatif. Kedua pendekatan ini
memiliki kelamahannya masing-masing
(Atieno, 2009) sehingga perlu diperbaiki
dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas
penelitian dengan menggunakan pendekatan
mixed method (Ponce, 2015). Melalui
pendekatan mixed method maka penelitian
kepemimpinan pendidikan akan lebih banyak
memberikan kontribusi untuk memperbaiki dan
memberikan solusi bagi kemajuan pendidikan
di Indonesia (Klette, 2012).
Gaya kepemimpinan merupakan jenis
penelitian kepemipinan pendidikan yang paling
banyak diteliti dan dipublikasikan. Hal ini
relevan dengan penelitian selain di Indonesia
seperti penelitian Smith dan Squires (2016)
yang mengakui bahwa gaya kepemimpinan
memainkan peran integral dalam hasil
pendidikan yang positif dalam penciptaan
budaya sekolah (Smith & Squires, 2016), gaya
kepemimpinan mempengaruhi kinerja dan
produktivitas karyawan (Nanjundeswaras &
Swamy, 2014).
Jenis kepemimpinan pendidikan yang
menjadi ciri khas Indonesia yaitu
kepemimpinan yang berkembang sesuai
lokalitas Indonesia. Jenis yang berorientasi
pada lokalitas Indonesia mendasarkan diri pada
keunikan lembaga pendidikan dan pengaruh
kuatnya pengaruh pendidikan keagamaan di
Indonesia sehingga melahirkan jenis
kepemimpinan pendidikan yang berbeda,
antara lain: kepemimpinan pesantren (Sagala,
2016, Ansor, 2014, Sulaiman, 2016),
kepemimpinan Islam (Subhan, 2013, Karimah,
2015, Yusuf, 2014), kepemimpinan nabi
(Arifin, 2016), kepemimpinan Natsir (Saiful
Falah, 2015), dan kepemimpinan karakter
(Usman, 2013).
Pengembangan kepemimpinan
pendidikan yang berbasis lokalitas Indonesia
sangat besar mengingat jumlah lembaga
pendidikan berbasis lokalitas sangat besar
(Zuhdi, 2015). Namun demikian
pengembangan kepemimpinan pendidikan
lokal harus diiringi dengan teori-teori
kepemipinan pendidikan yang berkembang
secara global. Hal tersebut perlu dilakukan agar
kepemimpinan pendidikan Indonesia mampu
mengembangkan multikulturalisme dan
toleransi (Elihami, 2016)
Temuan penelitian ini menunjukkan
bahwa peneliti kepemimpinan pendidikan di
Indonesia sudah mampu memahami dan
mengerti indikator kepemimpinan yang efektif
seperti Managing, Transforming, Organizing,
Communicating and Influencing. Fakta ini
menunjukan bahwa peneliti di Indonesia sudah
memahami variabel penelitian dengan baik.
Namun demikian pembuatan indikator
kepemimpinan pendidikan yang efektif masih
harus terus ditingkatkan, misalnya dengan
mengkombinasi antara teori global dan local.
Penelitian ini menunjukkan bahwa
penelitian tentang kepemimpinan pendidikan
sangat berguna. Rekomendasi untuk melaku-
kan perbaikan kepemimpinan pendidikan sudah
banyak dilakukan oleh para peneliti.
Persoalannya adalah kualitas pendidikan
Indonesia masih menghadapi tantangan besar
(Suratno, 2016) walau pemerintah terus
melakukan perubahan-perubahan dan
memfasilitasi internasionalisasi pendidikan
(Soejatminah, 2009), namun mentalitas dan
komitmen yang rendah untuk melakukan
perbaikan (Sulisworo, 2016) masih menjadi
kendala besar dalam meningkatkan kualitas
pendidikan di Indonesia.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan kajian literatur di atas,
penelitian ini menyimpulkan sebagai berikut:
(1) Jenis penelitian kepemipinan pendidikan di
Indonseia mencakup jenis penelitian kualitatif,
kuantitatif. Sedangkan penelitian mixed method
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
134
masih jarang dijumpai; (2) penelitian tentang
jenis kepemimpinan pendidikan sudah berpijak
pada teor-teori dan konsep kepemimpinan
pendidikan pada aras global, namun ada
beberapa jenis kepemipinan pendidikan yang
merupakan khas Indonesia, seperti
kepemimpinan pesantren; (2) para peneliti
kepemimpinan pendidikan di Indonesia sudah
mampu memahami dan mengerti berbagai
indikator kepemimpinan yang efektif secara
baik, antara lain kemampuan mengelola,
mengorganisir, dan berkomunikasi; dan (4)
para peneliti sudah memberikan rekomendasi
untuk perbaikan kepemimpinan pendidikan
berdasarkan hasil penelitian dengan baik,
namun pendidikan Indonesia masih terus
berjuang agar lebih berkualitas di tengah
persaingan global yang semakin sengit.
Saran
Berdasarkan temuan di atas maka
disarankan agar penelitian kepemimpinan
pendidikan menggunakan jenis metode
penelitian yang lebih baik seperti mixed method
(penelitian bauran). Penelitian harus lebih
banyak menggali kepemimpinan yang khas
Indonesia, misalnya kepemimpinan pesantren
dan lembaga-lembaga pendidikan agama
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, D. 2017. Educational Leadership For
The 21st Century. International Online
Journal of Educational Leadership,
1(1), 1–4.
Adams, D., & Zabidi, Z. M. 2017. Educational
Leadership for the 21st Century.
International Online Journal of
Educational Leadership, 1(1), 1–5.
https://doi.org/10.22452/iojel.vol1no1.
1
Agustina, Sulton Djasmi, I. S. 2014. Pengaruh
Kepemimpinan Kepala Sekolah Iklim
Kinerja Guru Terhadap Mutu
Pendidikan Lampung Tengah. FKIP
Unila, Program Studi Magister
Manajemen Pendidikan, 1(1), 1–15.
Amanchukwu, R. N., Stanley, G. J., & Ololube,
N. P. 2015. A Review of Leadership
Theories , Principles and Styles and
Their Relevance to Educational
Management. Management, 5(1), 6–14.
https://doi.org/10.5923/j.mm.20150501
.02
Andreas Schleicher. 2013. School Leadership
for Learning. Paris: OECD Publishing,
Paris.
Ansor, A. S. 2014. Manajemen Pendidikan
Islam Tentang Kepemimpinan Kiai di
Pondok Pesantren Tahfidz Daarul
Qur’an Cipondoh Tangerang. Edukasi
Islami Jurnal Pendidikan Islam,
03(Juli), 650–662.
Arifin, M. Z. 2016. Kepemimpinan Pendidikan
Nabi Yusuf. Ta’allum, 04(02), 235–
254.
Arwin Sanjaya, A. B. 2014. Pengaruh Gaya
Kepemimpinan Transformasional
Terhadap Motivasi Kerja Pegawai pada
Kantor Lembaga Penjaminmutu
Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan.
Ad’ministrare, 1(1), 72–83.
Ason, Y. 2013. Peranan Kepemimpinan Kepala
Sekolah dan Profesionalisme Guru
Dalam Implementasi Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan Di Sekolah
Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar, 1(1),
58–108.
Atieno, O. P. 2009. An Analysis of the
Strengths And Limitation of Qualitative
and Quantitative Research Paradigms.
Problems Of Education In The 21st
Century, 13, 13–18.
Atkinson, M. 2014. Educational leadership and
management in an international school
context. Kedleston Road, Derby: Un i v
Pemetaan Jenis, Indikator dan Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan ... | Rais Hidayat & Yuyun E. Patras
135
e r s i t y o f De r b y F a c u l t y o f E
d u c a t i o n Kedleston Road, Derby.
Bush, T. 2007. Educational leadership and
management : theory , policy , and
practice. South African Journal of
Education, 27(3), 391–406.
Connelly, G. 2013. Leadership Matters: What
the Research Says About the Importance
of Principal Leadership. National
Association of Elementary School
Principals.
Cronin, P., Ryan, F., & Coughlan, M. 2008.
Undertaking a literatur review : a step-
by-step approach. British Journal of
Nursing, 17(1), 38–43.
Deki Wibowo, M. 2014. Pengaruh Gaya
Kepemimpinan Kepala Sekolah dan
Motivasi Berprestasi Guru Terhadap
Layanan Pendidikan di Sekolah
Menengah Atas. Jurnal Pendidikan
Dasar, 2(2), 120–130.
Donna, W. 2011. The Importance of
Educational Leadership and Policy : In
Support of Effective Instruction. Center
for Innovative Education and
Prevention & BrainSMART,
(September).
Ekosiswoyo, R. 2007. Kepemimpinan kepala
sekolah yang efektif kunci pencapaian
kualitas pendidikan. Jurnal Ilmu
Pendidikan, 14(2), 76–82.
Elihami. 2016. The Challenge of Religious
Education in Indonesia
Multiculturalism. Journal of Education
and Human Development, 5(4), 211–
221.
https://doi.org/10.15640/jehd.v5n4a20
Evans-Curtis, M. 2004. Types of Leadership
and Their Characteristics. Nova
Southeastern University.
Eyal, O., & Roth, G. 2010. Principals ’
leadership and teachers ’ motivation.
JEA, 49(3), 256–275.
https://doi.org/10.1108/0957823111112
9055
Flick, U. 2013. Qualitative Data Analysis. Los
Angeles/Londong/New Delhi: Sage.
Hallinger, P. 2003. Leading Educational
Change : reflections on the practice of
instructional and transformational
leadership. Cambridge Journal of
Education, 33(3), 331–350.
https://doi.org/10.1080/0305764032000
122005
Hallinger, P. 2007. Research on the practice of
instructional and transformational
leadership : Retrospect and prospect.
Research Conference, Australian
Council for Educational Research, 1–7.
Hallinger, P., & Heck, R. H. 2010. Educational
Management Administration &
Leadership Leadership for Learning :
Educational Management
Administration & Leadership, 38(6),
654–678.
https://doi.org/10.1177/1741143210379
060
Hallinger, P., & Huber, S. 2012. School
leadership that makes a difference:
international perspectives. School
Effectiveness and School Improvement,
23(4), 37–41.
https://doi.org/10.1080/09243453.2012.
681508
Hallinger, P., & Walker, A. 2017. Leading
learning in Asia – emerging empirical
insights from five societies. Journal of
Educational Administration, 55(2),
130–146. https://doi.org/10.1108/JEA-
02-2017-0015
Hardiyana, A., & Helwiyan, F. 2011. Pengaruh
Kepemimpinan, Motivasi, dan
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
136
Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja
Pegawai Badan Kepegawaian
Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten
Bandung. Jurnal Ekonomi, Bisnis &
Entrepreneurship, 5(2), 86–96.
Heck, R. H., & Hallinger, P. 2005. The Study
of Educational Leadership and
Management : Where Does the Field
Stand Today? Educational
Management Administration &
Leadership, 33(2), 229–244.
https://doi.org/10.1177/1741143205051
055
Holsted, I. 2016. School Leadership That
Works. New Zealand: Education
Review Office.
Inaya Rakhmani, F. S. 2016. Working Paper
Series Reforming Research in
Indonesia : policies and practice. GDN
Working Paper, (92).
Joseph, H. P. M. 1986. Instructional Leadership
in Effective Schools. The Educational
Resources Information Center (ERIC),
(8).
Karimah, U. 2015. Manajemen dan
Kepemimpinan Pendidikan Islam. Al-
Murabbi, 2(Juli), 88–110.
Klette, K. 2012. Mixed Methods in Educational
Research. Oslo: The Research Council
of Norway.
Lemay, N., & Ellis, A. 2008. Leadership Can
Be Learned , But How Is It Measured ?
Management Sciences for Health, 8(8),
1–29.
Linda Bendikson, Viviane Robinson, J. H.
2012. Principal instructional leadership
and secondary school performance.
Teaching and Learning, 1, 2–8.
Memon, M., Simkins, T., & Sisum, C. 2006.
Developing leadership and management
capacity for school improvement.
Partnerships in Educational
Development, (January), 151–170.
Men, L. 2012. The Effects of Organizational
Leadership on Strategic Internal
Communication and Employee
Outcomes. University of Miami.
Muhammad Saqib Khan, & Irfanullah Khan,
Qamar Afaq Qureshi, Hafiz Muhammad
Ismail, Hamid Rauf, Muhammad Tahir,
A. L. 2015. The Styles of Leadership :
A Critical Review. Public Policy and
Administration Research, 5(3), 87–93.
Nanjundeswaras, T. S., & Swamy, D. R. 2014.
Leadership styles. Advances In
Management, 7(2), 57–63.
Nasution, W. N. 2015. Kepemimpinan
pendidikan di sekolah. Jurnal Tarbiyah,
22(1), 6–22.
Nedelcu, A. 2013. Transformational approach
to school leadership : Contribution to
Continued im - provement of education.
Manager, Change and Leadership,
17(17), 238–244.
Network, M. 2015. Developing Objectives And
Indicators. OJ, 1(April), 1–24.
NIKOLOSKI, K. 2015. Leadership And
Management : Practice of The Art of
Influence. Academica Brâncuşi”
Publisher, II(1), 31–39.
Nujuludin, H. D. 2013. Agama membentuk
kepribadian dan gaya kepemimpinan
pendidikan. Jurnal Pendidikan
Universitas Garut, 07(01), 1–7.
Oh Siew Pei, C. Y. P. 2018. An Explorative
Review of E-Leadership Studies.
International Online Journal of
Educational Leadership, 2(1), 4–20.
Peleg, S. 2012. The role of leadership in the
education system. Education Journal,
1(1), 5–8.
Pemetaan Jenis, Indikator dan Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan ... | Rais Hidayat & Yuyun E. Patras
137
https://doi.org/10.11648/j.edu.2012010
1.12
Ponce, O. A. 2015. Mixed Methods Research in
Education : Capturing the Complexity
of the Profession. International Journal
of Educational Excellence, 1(1), 111–
135.
Ratnasari, S. L., & Sutjahjo, G. 2017. Pengaruh
Kepemimpinan Transformasional Dan
Lingkungan Kerja Terhadap Semangat
Kerja Tenaga Kependidikan. Jurnal
Inspirasi Bisnis Dan Manajemen, 1(2),
99–112.
Rohmat. 2006. Kepemimpinan Pendidikan.
Pemikiran, Jurnal Kependidikan,
Alternatif, 11(1), 19–33.
Ruhiyat, M. Y. 2017. Pengaruh Kepemimpinan
Kepala Madrasah dan Supervisi
Pengawas Madrasah terhadap Kinerja
Guru untuk Mewujudkan Mutu
Pendidikan di Madrasah. Jurnal
Pendidikan Universitas Garut, 11(01),
26–37.
Sagala, S. 2016. Manajemen dan
kepemimpinan pendidikan pondok
pesantren syaiful sagala. Tarbiyah,
XXII(2), 2–20.
Saiful Falah. 2015. Pendidikan Kepemimpinan
M. Natsir Dan Implementasinya di
Lembaga Pendidikan. Edukasi Islam
Jurnal Pendidikan Islam, 04(Juli),
1076–1101.
Samuel Bazzi, Arya Gaduh, Alexander
Rothenberg, M. 2017. Unity in
Diversity ? Ethnicity , Migration , and
Nation Building in Indonesia.
ResearchGate, Working Paper,
(October).
Sermal. 2015. Kepemimpinan Pendidikan
untuk Mengembangkan Sekolah
Bermutu. Tarbiyah, XXII(2), 2–19.
Siregar, C. 2016. Pluralism and Religious
Tolerance in Indonesia : An Ethical-
Theological Review Based on Christian
Faith Perspectives. Humaniora, 7(3),
349–358.
Smith, B. S., & Squires, V. 2016. The Role of
Leadership Style in Creating a Great
School. SELU Research Review
Journal, 1(1), 65–78.
Soejatminah, S. 2009. Internationalisation of
Indonesian Higher Education : A Study
from the Periphery. Asian Social
Science, 5(9), 70–78.
Spillane, J. P. 2003. Educational Leadership.
Educational Evaluation and Policy
Analysis, 25(4), 343–346.
https://doi.org/10.3102/0162373702500
4343
Sticher, V. 2014. Indonesia : Challenges for the
New Government. CSS Analyses in
Security Policy, 157(July), 1–4.
Subhan, M. 2013. Kepemimpinan islami dalam
peningkatan mutu lembaga pendidikan
islam. Tadris, 8(1), 125–140.
Sulaiman. 2016. Kepemimpinan Kiai dalam
Transformasi Pendidikan Islam ( Studi
Atas Perilaku Kepemimpinan Kiai
dalam Mengelola Pondok Pesantren di
Situbondo ). Falasifa, 7(September
2016), 169–198.
Sulisworo, D. 2016. The Contribution of the
Education System Quality to Improve
the Nation ’ s Competitiveness of
Indonesia. Journal of Education and
Learning, 10(2), 127–138.
https://doi.org/10.11591/edulearn.v10i2
.3468
Sumarsono, R. B. 2012. Hubungan perilaku
kepemimpinan kepala sekolah dan
kemampuan mengajar guru dengan
inovasi pendidikan. Jurnal Manajemen
Pendidikan, VIII(01), 23–39.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
138
Sumintono, R. and B. 2010. Teacher education
in Indonesia: development and
challenges. International Handbook of
Teacher Education World-Wide, (May
2014), 181–197.
Suratno, T. 2016. The education system in
Indonesia at a time of significant
changes. Revue Internationale
d’éducation de Sèvres, (September).
Susanthi, N. I., & Setiawan, A. 2014. The
Effect of Leadership Style on
Motivation to Improve the Employee
Performance. Jurnal Manajemen
Transportasi & Logistik (JMTransLog),
01(03), 221–226.
Suter, S. 2015. Goals , Targets and Indicators
Defining and Prioritizing Targets
Potential criteria for targets in the post-
2015 development agenda. Independent
Research Forum, 2.
Tumonggor, M. K., Karafet, T. M., Hallmark,
B., Lansing, J. S., Sudoyo, H., Hammer,
M. F., & Cox, M. P. 2013. The
Indonesian archipelago : an ancient
genetic highway linking Asia and the
Pacific. Journal of Human Genetics,
58(3), 165–173.
https://doi.org/10.1038/jhg.2012.154
Urick, A., & Bowers, A. J. 2014. What Are the
Different Types of Principals Across the
United States ? A Latent Class Analysis
of Principal Perception of Leadership.
Educational Administration Quarterly,
50(1), 96–134.
https://doi.org/10.1177/0013161X1348
9019
Usman, H. 2013. Kepemimpinan Berkarakter
Sebagai Model Pendidikan Karakter.
Jurnal Pendidikan Karakter, III(3),
265–273.
Velarde, J. 2017. Instructional Leadership
Practices In International Schools
International Online Journal of
Educational, 1(1), 90–117.
Veliu, L., Manxhari, M., Demiri, V., & Jahaj,
L. 2017. The Influence Of Leadership
Styles on Employee's Performance.
Vadyba Journal of Management, 31(2),
59–69.
Wahyudi, H. R. 2014. Pengaruh
Kepemimpinan Transformasional
Kepala Sekolah, Pelaksanaan MBS,
Dan Pelaksanaan TU Terhadap Kualitas
Pendidikan SD/MI Depok Sleman.
Jurnal Akuntabilitas Manajemen
Pendidikan, 2, 250–264.
Walukow, Donald M. F. Tiogas, A. F. 2014.
Pengaruh Kepemimpinan Kepala
Sekolah, Supervisi dan Kepuasan Kerja
Guru Terhadap Kinerja Guru Mipa Di
Yayasan Pendidikan Advent Timika.
Jurnal Ilmu Pendidikan Indonesia,
2(November 3), 41–51.
Yahya, S. A. 2015. Leadership Styles, Types
and Students’ Academic Achievement In
Nigeria. Universiti Tun Hussein Onn
Malaysia.
Yusuf, M. 2014. Multikulturalime dan
Kepemimpinan Pendidikan Islam.
Jurnal Kepemimpinan Pendidikan
Islam Multikultural, 2(1), 122–139.
Zakeer Ahmed Khan, Allah Nawaz, I. K. 2016.
Leadership Theories and Styles: A
Literatur Review. Journal of Resources
Development and Management,
16(January), 1–8.
Zuhdi, M. 2015. Religious Education in
Indonesian Schools. Singapore.
Kelola
Jurnal Manajemen Pendidikan
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018
Halaman: 139-151
139
Pengembangan Modul Pelatihan Pengelolaan Penilaian Autentik
Guru IPA SMP
Vidriana Oktoviana Bano
Pendidikan Biologi Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Kristen Wira Wacana Sumba
vidri.2004@gmail.com
ABSTRACT
This research aims to: (1) describe the real condition of authentic assessment of management
by science teachers at SMP Negeri 1 in Waingapu; (2) describes the gaps that occur in the
management of authentic assessment; and (3) develop training modules in the management of
authentic assessments. This Research is Research and Development (R & D), using the Four
D’s model by Thiagarajan, Semmel, and Semmel (1974). Data collection uses interview,
questionnaire, observation. Data validation uses source triangulation and technical
triangulation. Data analysis techniques through three stages are data reduction, presentation,
and conclusion. The results explain (1) teachers of science limited constraints in practicing
the attitude and skill assessment of the learners. (2) limited training of Curriculum 2013
especially authentic assessment that has been followed by trainees. (3) the validator team puts
the effectiveness of the training module for the management of authentic assessment of science
teachers in junior high school in the fair category with a score of 102 out of 150 or 68%. After
improving the module and tested it, the training participants' response was 79.75% in the
good category and the educational observers' response was 78,4% with the good category as
well.
Keywords: Authentic Assessment, Four D’s Model, R&D, Science Teacher, Training Module
Article Info
Received date: 6 Juni 2018 Revised date: 30 Juli 2018 Accepted date: 8 Desember 2018
PENDAHULUAN
Penilaian autentik (authentic
assessment) merupakan jenis penilaian dalam
penerapan kurikulum 2013 yang tengah
berlangsung saat ini, yang menurut Kunandar
(2013: 35) merupakan aktivitas menilai peserta
didik yang memusatkan pada apa yang
semestinya dinilai, baik proses maupun hasil
dengan beragam instrumen penilaian yang
disesuaikan berdasarkan ketentuan kompetensi
yang tertera dalam Standar Kompetensi atau
Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Selain
Kunandar, Majid (2014: 57) juga menyimpul-
kan definisi penilaian autentik dari beberapa
sumber sebagai: ‘proses pengumpulan berbagai
data yang bisa memberikan gambaran
perkembangan siswa yang perlu selalu dipantau
agar dapat memastikan apakah siswa telah
menjalani proses pembelajaran dengan benar’.
Berjalannya implementasi Kurikulum
2013 hingga saat ini masih dijumpai kendala-
kendala yang menghambat efektifitas
pelaksanaan kurikulum ini. Salah satu kendala
yang dimaksud adalah penilaian autentik,
seperti yang diungkapkan oleh Pramita, dkk
(2016: 290) yang mengatakan bahwa
Kurikulum 2013 akan sulit dilaksanakan di
berbagai daerah karena ketidaksiapan guru
yang tidak hanya terkait masalah
kreativitasnya, melainkan juga masalah
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
140
kompetensi dalam menerapkan kurikulum ini.
Berikut beberapa temuan kendala-kendala
lainnya di tingkat SD/MI, SMP/MTs dan
SMA/MA. Di tingkat SMP/MTs, yakni di
MTsN 2 Palangka Raya diungkapkan oleh
Abdullah (2016: 60) tentang sistem penilaian
autentik dalam pembelajarannya yang dirasa
begitu rumit oleh guru Pendidikan Agama
Islam. Di tingkat SD/MI, dialami guru-guru di
SD Kabupaten Pidie (oleh Ruslan, Tati
Fauziah, dan Tuti Alawiyah; 2016: 147) yang
menguraikan alasan-alasan dalam masalah
penilaian yakni: pertama, banyaknya aspek
yang harus dinilai dalam penilaian Kurikulum
2013. Kedua, proses belajar mengajar dirasa
menjadi kurang efektif karena bersamaan
dengan dilakukannya penilaian. Ketiga, guru
merasa terbebani karena setiap nilai yang
diperoleh siswa secara keseluruhan harus
dijumlahkan lalu dideskripsikan nilai yang
didapat tersebut per mata pelajaran.
Permasalahan penilaian di tingkat SMA/MA,
diungkapkan oleh Syukriya, dkk (2015: 5)
melalui teknik wawancara yang menjadikan 20
orang guru Kimia se-Kabupaten Tanggamus
sebagai objek penelitiannya menjelaskan:
pertama, teknik penilaian terlalu rumit atau
membingungkan, demikian pula mekanisme
dan prosedur penilaiannya. Kedua, guru belum
pernah diutus sekolah untuk mengikuti kegiatan
pelatihan Kurikulum 2013. Ketiga, terlalu
banyak jumlah siswa yang diampu oleh satu
orang guru atau terlalu banyak format yang
harus disiapkan.
Permasalahan penilaian autentik dalam
penerapan Kurikulum 2013 ternyata juga
dialami oleh guru-guru di SMP Negeri tempat
penelitian ini, yang menjadi salah satu sekolah
rujukan di Kabupaten Sumba Timur. Setelah
melakukan wawancara dengan 5 (lima) orang
guru IPA terkait penilaian autentik yang telah
diterapkan sekolah sejak tahun 2016-2017
diketahui bahwa pemahaman guru terhadap
penilaian autentik masih terbatas, guru-guru
belum sepenuhnya mengerti bagaimana
menerapkan teknik penilaian, demikian juga
mekanisme dan prosedur penilaiannya. Hal ini
bisa terjadi karena guru-guru tersebut belum
pernah dilatih secara khusus atau pelatihan-
pelatihan yang pernah diikutipun belum
menjawab kebutuhan guru tentang penilaian
autentik. Dari 5 orang guru IPA tersebut, baru 1
orang guru yang pernah mengikuti pelatihan
K13 sebanyak 2 kali yakni pada tahun 2014 dan
2016. Meskipun demikian pelatihan-pelatihan
yang pernah diikuti oleh guru-guru IPA
tersebut belum sepenuhnya menjawab
kebutuhan para guru mengenai penilaian
autentik dalam K13 yang diharapkan, ditambah
lagi belum adanya tanggapan/ respon/umpan
balik bagi guru-guru setelah mengikuti
pelatihan K13. Diketahui bahwa di Kabupaten
Sumba Timur jumlah sekolah tingkat
SMP/MTs yang telah menerapkan K13
sebanyak 46 sekolah dan 31 sekolah belum
menggunakan K13 (Dinas Pendidikan
Kabupaten Sumba Timur, 2017). Data tersebut
menunjukkan bahwa masih banyak sekolah
SMP/MTs yang belum siap mengimplemen-
tasikan K13 yang berdampak masih begitu
besar kebutuhan guru untuk mendapat pelatihan
tentang penilaian autentik dalam K13.
Salah satu langkah yang dapat ditempuh
guna mengatasi permasalahan yang dihadapi
guru-guru di SMP Negeri ini adalah dengan
mengembangkan modul pelatihan dalam
pengelolaan penilaian autentik. Indriyanti &
Endang Susilowati (2010: 2) mengatakan
bahwa modul merupakan suatu cara
pengorganisasian materi pelajaran yang
memperhatikan fungsi pendidikan yang
kegunaannya dapat membuat siswa lebih
tertarik dalam belajar, siswa otomatis belajar
bertolak dari prerequisites, dan dapat
meningkatkan hasil belajar. Hal sama juga
diutarakan Daryanto (2013: 9) yang
mengatakan bahwa modul merupakan salah
satu bentuk bahan ajar yang dikemas secara
utuh dan sistematis, di dalamnya memuat
seperangkat pengalaman belajar yang terencana
Pengembangan Modul Pelatihan Pengelolaan Penilaian Autentik Guru IPA SMP | Vidriana O. Bano
141
dan didesain untuk membantu peserta didik
menguasai tujuan belajar yang spesifik. Modul
minimal memuat tujuan pembelajaran,
materi/substansi belajar, dan evaluasi. Bahan
ajar modul ini dipilih karena modul mampu
mengatasi keterbatasan waktu, ruang, daya
indera, baik siswa maupun guru. Selain itu,
modul memungkinkan bagi peserta didik untuk
belajar secara mandiri (independent)
(Anggraini & Sukardi, 2016: 25). Mendukung
pendapat diatas, Daryanto (2013: 9) juga
menyebutkan modul berfungsi sebagai sarana
belajar yang bersifat mandiri, sehingga peserta
didik dapat belajar secara mandiri sesuai
dengan kecepatan masing-masing.
Model pengembangan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah model 4-D yang
dikembangkan pada tahun 1974 oleh
Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (Trianto,
2012: 93) yang terdiri dari 4 (empat) tahap
pengembangan yaitu Pendefinisian (Define),
Perancangan (Design), Pengembangan
(Develop) dan Pendiseminasian (Disseminate)/
Peneliti memilih model 4-D karena tahapan-
tahapan yang ada jelas dan memaparkan secara
ringkas proses pengembangan yang dilakukan.
Berikut kelebihan model 4D menurut beberapa
peneliti lain. Rochmad (2012: 60) menjelaskan
bahwa Desain Model Four-D digunakan untuk
alur pengembangan perangkat pembelajaran
(instructional development) yang pada
dasarnya dimaksudkan untuk pelatihan guru
(training teacher) untuk anak-anak
berkebutuhan khusus (exceptional children),
dan penekanannya pada pengembangan bahan
ajar (material development). Trianto (2012: 3)
menjelaskan bahwa model 4D merupakan salah
satu model desain pembelajaran sistematik.
Lebih lanjut Arywiantari, dkk (2015: 3)
mengatakan bahwa model ini tersusun secara
terprogram dengan urutan-urutan kegiatan yang
sistematis dalam upaya pemecahan masalah
belajar yang berkaitan dengan suatu sumber
belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan dan
karakteristik pebelajar, dimana salah satu
kelebihan 4D yaitu lebih tepat digunakan
sebagai dasar untuk mengembangkan
perangkat pembelajaran bukan untuk
mengembangkan sistem pembelajaran.
Berdasarkan permasalahan di atas,
peneliti merasa perlu melakukan penelitian dan
pengembangan dengan tujuan sebagai berikut:
(a) mendeskripsikan kondisi nyata pengelolaan
penilaian autentik; (b) mendeskripsikan
kesenjangan yang terjadi dalam pengelolaan
penilaian autentik; dan (c) mengembangkan
modul pelatihan dalam pengelolaan penilaian
autentik khususnya bagi guru mata pelajaran
IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) di tingkat
pendidikan menengah pertama Modul yang
dikembangkan diharapkan dapat meningkatkan
profesionalis-me pendidik dalam
mengaplikasikan penilaian autentik dalam
Kurikulum 2013.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian dan
pengembangan. (Research & Development)
Model pengembangan yang digunakan adalah
Model 4 D (Four D’s Model) yang
dikembangkan oleh Thiagarajan, Semmel and
Semmel (1974), yang terdiri dari 4 tahap
pengembangan yaitu Pendefinisian (Define),
Perancangan (Design), Pengembangan
(Develop) dan Pendiseminasian (Disseminate).
Penelitian ini hanya sampai pada tahap
Pengembangan (Develop).
Penelitian dilakukan di SMP Negeri 1
Waingapu yang berlokasi di Jl. I.H. Doko No.6,
Prailiu, Kecamatan Kambera, Kabupaten
Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Subyek
penelitian adalah Kepala Sekolah, Wakil
Kepala Sekolah, guru mata pelajaran IPA di
SMP Negeri ini (yang menjadi sasaran khusus
sebagai peserta pelatihan, berjumlah 5 orang)
dan Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan
Kabupaten Sumba Timur. Data penelitian juga
dilengkapi dengan hasil penilaian dari tim
validasi ahli dan praktisi pendidikan lainnya
yang dapat mendukung hasil penelitian ini.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
142
Waktu pelaksanaan penelitian dimulai sejak
bulan September 2017 – Maret 2018.
Pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan teknik interview
(wawancara), observasi (pengamatan), studi
dokumen, dan kuesioner. Teknik validasi data
menggunakan trianggulasi sumber dan
trianggulasi teknik. Sedang teknik analisis data
menggunakan teknik analisis data kualitatif
yang meliputi tiga tahap, yaitu: 1) Reduksi Data
(Data Reduction); 2) Penyajian Data (Data
Display); 3) Penarikan Kesimpulan
(Conclusion Drawing).
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Bagian ini menguraikan tentang hasil
penelitian dengan mengikuti model pendekatan
4-D.
Tahap 1: Pendefinisian (Define)
Tahap Pendefinisian adalah tahap untuk
menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat
pembelajaran. Penjelasan pada tahap ini terbagi
dalam 5 fase, yaitu: (1) Analisis awal akhir
(front-end analysis); (2) Analisis
siswa/pebelajar (learner analysis); (3) Analisis
tugas (task analysis); (4) Analisis konsep
(concept analysis); (5) Spesifikasi tujuan
(specifying instructional objectives), sebagai
berikut:
1) Analisis awal akhir (Front-end analysis)
Analisis awal akhir bertujuan untuk
memunculkan dan menetapkan masalah dasar
yang dihadapi dalam pembelajaran sehingga
diperlukan pengembangan bahan ajar. Dari
hasil wawancara terungkap masalah/persoalan
mendasar yang dihadapi yaitu peserta pelatihan
belum memahami dengan baik dan benar
pengelolaan penilaian autentik dalam K13. Hal
ini terlihat dari pelaksanaan teknik penilaian
sikap (sosial dan spiritual) penilaian autentik
yang seharusnya juga dilakukan oleh setiap
guru mata pelajaran minimal dilakukan satu
kali terhadap seluruh peserta didik dengan
menyiapkan instrumen terlebih dahulu
(berdasarkan Panduan Penilaian oleh Pendidik
dan Satuan Pendidikan dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2017),
namun kondisi nyata di lapangan, peserta
pelatihan justru mempercayakan penilaian
sikap terhadap peserta didik sepenuhnya
menjadi tugas Wali kelas atau guru PKN atau
guru Agama atau guru BK sementara guru-guru
IPA cukup melakukan pengamatan saja atau
penilaian tidak langsung. Selain penilaian
sikap, ada juga penilaian ketrampilan (praktik,
produk, projek, portofolio) yang perlu
diterapkan dalam penilaian autentik namun
penerapan di lapangan menunjukkan penilaian
portofolio dan proyek jarang dipraktekkan pada
peserta didik. Guru-guru IPA juga masih
merasa binggung dalam membuat instrumen
penilaian. Usaha-usaha yang dilakukan guru-
guru IPA untuk mengevaluasi pengelolaan
penilaian autentik yang telah diterapkan di
sekolah supaya dapat menjadi lebih baik lagi di
semester-semester selanjutnya belum
sepenuhnya optimal dilaksanakan. Akibatnya
walaupun sekolah secara resmi sudah
ditetapkan menjalankan K13 sejak tahun ajaran
2016-2017, namun dalam kenyataannya
pelaksanaan pola pengajaran dan penilaian
masih menggunakan kurikulum lama, yaitu
KTSP 2006.
2) Analisis siswa/pebelajar (Learner
analysis)
Analisis ini dilakukan untuk
mendapatkan gambaran karateristik pebelajar,
antara lain: (a) tingkat kemampuan atau
perkembangan intelektualnya, (b) ketrampilan-
ketrampilan individu atau sosial yang sudah
dimiliki dan dapat dikembangkan untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan.
Diketahui bahwa kelima peserta
pelatihan mempunyai latar belakang
pendidikan Sarjana Strata-1 dari beberapa
kampus negeri dan swata di Indonesia,
mempunyai pengalaman dalam melakukan
pendampingan terhadap peserta didik
Pengembangan Modul Pelatihan Pengelolaan Penilaian Autentik Guru IPA SMP | Vidriana O. Bano
143
mengikuti perlombaan baik di tingkat
Kecamatan maupun tingkat Kabupaten. Guru
AM (♂) menjadi salah seorang guru senior di
sekolah tersebut, dengan lama pengabdian 24
tahun, disusul oleh guru EB (♀) dengan lama
pengabdian 14 tahun, guru MA (♀) 12 tahun,
guru VD (♀) selama 7 tahun dan guru AH (♂)
selama 4 bulan terhitung sejak Okt 2017.
3) Analisis tugas (Task analysis)
Analisis tugas bertujuan untuk
mengidentifikasi ketrampilan-ketrampilan
utama yang akan dikaji oleh peneliti dan
menganalisisnya ke dalam himpunan
ketrampilan tambahan yang mungkin
diperlukan. Analisis ini memastikan ulasan
yang menyeluruh tentang tugas dalam materi
pembelajaran.
Tugas-tugas yang dilakukan peserta
pelatihan pada saat pelatihan dengan
menggunakan produk modul yang
dikembangkan, antara lain: (a) menentukan
Kriteria Belajar Minimal (KBM) mata
pelajaran, (b) membuat rubrik penilaian untuk
penilaian sikap peserta didik, (c) membuat
deskripsi penilaian sikap peserta didik dalam
rapor.
4) Analisis konsep (Concept analysis)
Analisis konsep merupakan identifikasi
komponen materi yang akan diajarkan kepada
peserta pelatihan, yang dibuat dalam peta
konsep sehingga memudahkan peserta
pelatihan dalam pembelajaran. Tahap ini
merupakan pengidentifikasian konsep utama
yang akan diajarkan dan menyusunnya secara
sistematis dengan merinci konsep materi dalam
bentuk peta konsep, seperti gambar dibawah
ini:
Gambar 1. Peta konsep penilaian autentik
5) Spesifikasi Tujuan (Specifying
instructional objectives)
Di fase ini, peneliti akan mengubah
hasil analisis tugas (ketrampilan utama) dan
hasil hasil analisis konsep (konsep-konsep
pokok) ke dalam rumusan tujuan-tujuan
pelatihan dalam bentuk perilaku-perilaku
teramati tertentu. Adapun hasil perumusan
tujuan pelatihan yang dilakukan adalah (1)
peserta pelatihan dapat memahami konsep
penilaian autentik dalam kurikulum 2013; (2)
peserta pelatihan dapat memahami dan
melakukan penilaian sikap; (3) peserta
pelatihan dapat memahami dan melakukan
penilaian pengetahuan; (4) peserta pelatihan
dapat memahami dan melakukan penilaian
ketrampilan.
Tahap 2: Perancangan (Design)
Tahap perancangan ini bertujuan untuk
merancang perangkat pembelajaran. Ada 4
langkah yang harus dilakukan pada tahap ini,
yaitu sebagai berikut:
1) Penyusunan Tes (Criterion-test
construction)
Penyusunan tes pada penelitian ini
difokuskan pada tes akhir setelah pelatihan
menggunakan Modul Pelatihan Pengelolaan
Penilaian Autentik Guru IPA SMP. Tes yang
disusun berupa tes akhir (post test) sebagai
evaluasi untuk mengetahui hasil belajar atau uji
kompetensi peserta pelatihan setelah
pembelajaran menggunakan Modul Pelatihan
Pengelolaan Penilaian Autentik Guru IPA
SMP. Adapun jenis evalusinya berupa tes
formatif berupa tes pilihan ganda dalam setiap
kegiatan pembelajaran. Adapula umpan balik
dan tindak lanjut yang perlu dilakukan peserta
pelatihan diakhir setiap materi.
Penilaian Autentik K13
Penilaian Sikap
Kegiatan Pembelajaran: membahas pengertian, teknik, perencanaan, dll
tentang penilaian sikap
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
144
2) Pemilihan Media (Media selection)
Media pembelajaran atau sarana yang
diperlukan yang digunakan pada pelatihan ini
adalah berupa perlengkapan alat kantor (ATK)
yang terdiri dari: Pena/Pulpen, Pensil dan note
book. Peserta pelatihan juga dapat
menggunakan laptop masing-masing jika ingin
membaca materi pelatihan dalam bentuk soft
file.
3) Pemilihan Format (Format selection)
Pemilihan format pada tahap
perencanaan ini merupakan pemilihan metode
pembelajaran dalam pelatihan yang
memungkinkan peserta pelatihan lebih mudah
menangkap materi ajar yang disampaikan oleh
instruktur. Metode pembelajaran yang
digunakan dalam pelatihan penelitian ini adalah
metode pembelajaran langsung (direct
instruction), dengan melakukan diskusi-diskusi
terkait materi ajar dan pengalaman-pengalaman
rill (nyata) peserta pelatihan selama mengabdi.
Adapun Modul Pelatihan Pengelolaan
Penilaian Autentik Guru IPA SMP
dikembangkan berdasarkan buku Panduan
Penilaian oleh Pendidik dan Satuan Pendidikan
untuk SMP, oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorak Jenderal Pendidikan
Dasar Dan Menengah, Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Pertama Tahun 2017.
Dalam modul tersebut, peneliti
mengembangkannya dengan menambahkan
contoh-contoh penilaian dalam mata pelajaran
IPA sehingga modul tersebut dapat
memfasilitasi guru IPA secara khusus dalam
merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan
serta memanfaatkan hasil penilaian baik aspek
sikap, aspek pengetahuan, dan aspek
keterampilan.
4) Rancangan Awal (Initial design)
Pada tahap ini, instrumen dan buku
modul pelatihan dikembangkan secara
sederhana sebagai rancangan awal. Rancangan
awal berfungsi sebagai desain sebelum
instrumen dan buku modul tersebut
diujicobakan. Berikut ini adalah desain
rancangan awal buku modul Pelatihan
Pengelolaan Penilaian Autentik Guru IPA
SMP.
Gambar 2. Rancangan awal modul
Pengembangan Modul Pelatihan Pengelolaan Penilaian Autentik Guru IPA SMP | Vidriana O. Bano
145
Tahap 3: Pengembangan (Develop)
Tahap pengembangan yang merupakan
tahap terakhir dalam penelitian ini bertujuan
untuk menghasilkan produk pengembangan
perangkat pembelajaran dalam hal ini modul
dan instrumen yang sudah direvisi berdasarkan
masukan dari para ahli.
1) Validasi ahli/praktisi (Expert appraisal)
Tahap validasi buku modul difokuskan
untuk mendapatkan sebuah modul pelatihan
yang layak dan efektif untuk digunakan dengan
memperhatikan masukan dari berbagai pihak.
Adapun hasil validasi dari para ahli adalah
sebagai berikut:
Tabel 1. Penilaian Ahli dan Praktisi terhadap Modul
Validator Pertanyaan
Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 3 3 2 3 2 2 3 3 3 3 27
2 2 3 4 4 4 4 4 3 4 4 36
3 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 39
Jumlah Skor Hasil Pengumpulan Data 102
Sumber: Data penelitian
Dari tabel diatas, dapat diinterpretasi
nilai 102 termasuk dalam kategori interval
cukup jelas/sesuai/operasional atau bernilai
68% yang terletak pada daerah cukup. Secara
kontinum dapat dibuat kategori sebagai berikut.
Gambar 3. Hasil penilaian skala sikap validasi ahli/praktisi
Berdasarkan data kuantitatif dan
kualitatif yang diperoleh dari validasi
ahli/praktisi di atas menjadi input positive bagi
peneliti dalam mengkoreksi, membenahi dan
mengembangkan modul pelatihan pengelolaan
penilaian autentik guru IPA di SMP Negeri ini
menjadi lebih baik lagi.
2) Uji coba pengembangan (Developmental
testing)
Kegiatan uji coba merupakan kegiatan
penerapan sesuangguhnya terhadap guru-guru
IPA di SMP Negeri ini. Pada tahap uji coba ini,
ada beberapa kegiatan yang diamati, seperti:
aktivitas guru IPA selama pelatihan, hasil
pelatihan guru IPA, respon guru IPA terhadap
modul pelatihan serta respon praktisi
pendidikan terhadap modul pelatihan yang
dikembangkan.
1) Aktivitas peserta pelatihan
Aktivitas bapak/ibu guru IPA yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah antara
lain:
- Membaca dan memperhatikan dengan
seksama uraian-uraian materi yang ada
pada masing-masing kegiatan belajar.
- Berdiskusi tentang topik pembelajaran
yang dirasa belum paham, berdiskusi
tentang umpan balik dan tindak lanjut yang
perlu dilakukan dari setiap setiap kegiatan.
Peserta pelatihan terlihat sangat antusias
dalam melakukan aktivitas pelatihan
menggunakan modul tersebut.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
146
2) Hasil pelatihan guru IPA
Hasil pelatihan guru merupakan
kemampuan yang diperoleh masing-masing
guru setelah proses pelatihan berlangsung, yang
dapat memberikan perubahan tingkah laku baik
pengetahuan, pemahaman, sikap dan
ketrampilan guru sehingga menjadi lebih baik.
Hasil pelatihan guru IPA pada uji coba terbatas
pada penelitian ini terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu:
- Kognitif
Hasil pelatihan kognitif peserta
pelatihan pada saat uji coba terbatas
dengan menggunakan modul pelatihan
pengelolaan penilaian autentik dapat
dilihat pada Tabel 2. Pelatihan kognitif
tersebut dilakukan menggunakan tes
pilihan ganda dengan pemberian skor
(berskala 10-100) terhadap jawaban yang
benar mengikuti aturan:
Sk = 𝐵 −𝑆
0 − 1
Tabel 2. Penilaian hasil pelatihan kognitif peserta pelatihan
No Nama Guru IPA Nilai Keterangan
1. AM 95 Di atas minimal tanpa bimbingan
2. EB 85 Memenuhi kriteria minimal tanpa bimbingan
3. MA 90 Di atas minimal tanpa bimbingan
4. VD 77.5 Memenuhi kriteria minimal tanpa bimbingan
5. AH 87.5 Memenuhi kriteria minimal tanpa bimbingan
Sumber: Data penelitian
- Afektif
Hasil penilaian afektif peserta pelatihan
dapat terlihat jelas dengan adanya sikap yang
antusias dan bertanggung jawab dalam
menyelesaikan tugas/latihan serta evaluasi dari
setiap kegiatan pembelajaran yang diberikan.
- Psikomotorik
Hasil pelatihan psikomotorik peserta
pelatihan pada saat uji coba terbatas dengan
menggunakan modul dapat dilihat pada Tabel
3.
Tabel 3. Penilaian hasil pelatihan psikomotorik peserta pelatihan
No Nama Guru IPA Nilai Keterangan
1. AM 80 Memenuhi kriteria minimal tanpa bimbingan
2. EB 85 Memenuhi kriteria minimal tanpa bimbingan
3. MA 77.5 Memenuhi kriteria minimal tanpa bimbingan
4. VD 90 Di atas minimal tanpa bimbingan
5. AH 75 Memenuhi kriteria minimal tanpa bimbingan
Sumber: Data penelitian
3) Respon peserta pelatihan terhadap modul
Peneliti juga membagikan kuesioner
untuk mengukur respon peserta pelatihan
terhadap modul pelatihan. Respon peserta dapat
di lihat pada tabel 4 berikut.
Tabel 4. Respon peserta pelatihan terhadap modul pelatihan
Pertanyaan Nama Guru IPA
AM EB MA VD AH
1 3 3 3 4 3
2 3 3 3 3 3
3 3 3 3 4 3
4 3 3 3 3 3
5 3 3 3 3 3
6 3 3 3 4 4
7 3 3 3 4 3
8 3 3 3 3 3
Pengembangan Modul Pelatihan Pengelolaan Penilaian Autentik Guru IPA SMP | Vidriana O. Bano
147
9 3 3 3 3 3
10 3 3 3 4 4
11 3 3 3 4 4
12 3 2 3 4 4
13 3 3 3 4 4
14 3 3 3 3 4
15 3 4 3 4 4
16 3 3 3 3 4
17 3 3 3 4 4
18 3 3 3 3 3
19 3 3 3 3 3
20 3 3 3 3 3
Jumlah 60 60 60 70 69
Jumlah Skor 319
Sumber: Data penelitian
Tabel diatas, menunjukkan bahwa
total nilai dari peserta adalah 319 yang
termasuk dalam kategori interval baik, atau
mempunyai nilai 79,75% yang terletak pada
daerah kuat. Secara kontinum dapat dibuat
kategori sebagai berikut.
Gambar 5. Skala sikap peserta pelatihan terhadap modul
4) Respon praktisi pendidikan terhadap modul
pelatihan
Selain respon dari peserta pelatihan
terhadap modul pelatihan pengelolaan
penilaian yang dikembangkan, peneliti juga
melibatkan beberapa orang praktisi dalam
dunia pendidikan. Nama, jabatan dan respon
beberapa orang praktisi tersebut dapat di lihat
pada tabel 5. sebagai berikut.
Tabel 5. Respon Praktisi Pendidikan terhadap Modul Pelatihan
Pertanyaan Kepala Sekolah
SMPN 1
Waingapu
Kepala Sekolah
SMP Kristen
Waingapu
Kepala Sekolah SMP
Muhammadiyah
(Ketua MGMP IPA
Waingapu)
Instruktur
Nasional K13
1 3 3 3 3
2 3 3 4 3
3 3 3 3 3
4 4 3 4 3
5 4 3 3 3
6 4 3 3 3
7 4 3 3 3
8 4 3 3 3
9 4 3 3 3
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
148
10 4 3 3 3
11 3 3 3 2
12 3 3 3 3
13 3 3 3 2
14 3 3 4 2
15 4 3 4 3
16 3 3 4 3
17 3 3 3 3
18 4 3 3 4
19 3 3 3 3
20 4 3 4 4
Jumlah 66 60 66 59
Jumlah Skor 251
Sumber: Data penelitian
Apabila diinterpretasi nilai 251
termasuk dalam kategori interval baik atau
bernilai 78,4% yang terletak pada daerah kuat.
Secara kontinum dapat dibuat kategori sebagai
berikut.
Gambar 6. Skala sikap praktisi pendidikan terhadap keefektifan modul
Pembahasan
Dari tahap pendefinisian dalam
pengembangan ini, telah ditemukan a)
permasalahan yang dihadapi para guru dalam
melaksanakan penilaian autentik, yang memicu
adanya kebutuhan akan modul pelatihan b)
karakteristik para calon pengguna modul, c)
tugas-tugas yang harus dilakukan oleh
pengguna modul, d) konsep-konsep pokok
yang semestinya ada dalam modul dan e)
rumusan tujuan pelatihan. Hasil tersebut sejalan
dengan teori pengembangan dari Thiagarajan,
Semmel, dan Semmel (1974), yang menyatakan
bahwa hakikat tahap define (tahap
pendefinisian) adalah proses untuk menentukan
dan mendefinisikan kebutuhan-kebutuhan di
dalam proses pembelajaran/ pelatihan serta
mengumpulkan berbagai informasi yang
berkaitan dengan produk yang akan
dikembangkan. Dengan demikian tahapan ini
hakikatnya sejalan dengan tahap analyze dalam
pengembangan model ADDIE (Branch, 2009)
atau tahap Potensi dan Masalah dalam langkah-
langkah pengembangan sebagai disebut oleh
Sugiyono (2011).
Temuan tentang kebutuhan modul
pelatihan pada tahap pendefinisian di atas
sejalan dengan hasil penelitian Giarti (2017)
yang di tahap studi pendahuluannya
menemukan adanya kebutuhan akan modul
pelatihan karya tulis ilmiah hasil PTK akibat
rendahnya kompetensi guru dalam menulis
karya tulis ilmiah, karena kemandirian guru
yang belum mencukupi untuk mengakses
Pengembangan Modul Pelatihan Pengelolaan Penilaian Autentik Guru IPA SMP | Vidriana O. Bano
149
sumber-sumber karya ilmiah, belum tepatnya
metode pelatihan yang diadakan selama ini dan
belum memadainya kemampuan pelatih dalam
merancang modul pelatihan yang
memungkinkan guru untuk belajar secara
mandiri.
Pada tahap perancangan, peneliti telah
menghasilkan rancangan awal Modul Pelatihan
Pengelolaan Penilaian Autentik Guru IPA SMP
setelah didahului dengan penyusunan alat
evaluasi (tes), pemilihan mediaa dan pemilihan
format pembelajaran/ pelatihan. Hasil tersebut
sejalan dengan teori pengembangan dari
Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974),
yang menyatakan bahwa hakikat tahap design
(tahap perancangan) adalah proses merancang
produk pembelajaran guna memenuhi
kebutuhan yang sudah diidentifikasi pada tahap
pendefinisian. Dengan demikian tahapan ini
hakikatnya sejalan dengan tahap design dalam
pengembangan model ADDIE (Branch, 2009)
atau tahap perancangan/disain dalam langkah-
langkah pengembangan sebagai disebut oleh
Sugiyono (2011). Keberhasilan menyusun
produk berupa draft modul pada akhir tahap
penrancangan di atas sejalan dengan penelitian
Giarti (2017) yang pada langkah perancangan
modul (blue print modul) berhasil
mengembangkan kerangka modul yang terdiri
dari 9 topik seperti tersebut di atas, berhasil
merancang portal berbasis CMS Moodle, dan
kisi-kisi evaluasi.
Pada tahap develop (tahap
pengembangan) telah dihasilkan modul
pelatihan dan instrument-instrumen yang
diperlukan guna validasi ahli maupun uji coba
produk. Penilaian validator menempatkan
keefektifan modul pelatihan pada kategori
cukup, peserta menilai modul dalam kategori
baik dan praktisi pendidikan menilai modul
pada kategori baik. Hasil tersebut sejalan
dengan teori pengembangan dari Thiagarajan,
Semmel, dan Semmel (1974), yang menyatakan
bahwa hakikat tahap develop (tahap
pengembangan) adalah tahap menghasilkan
produk pengembangan yang dilakukan melalui
dua langkah, yakni: (1) penilaian ahli (expert
appraisal) yang diikuti dengan revisi, dan (2)
uji coba pengembangan (developmental
testing). Dengan demikian tahapan ini
hakikatnya sejalan dengan tahap develop dalam
pengembangan model ADDIE (Branch, 2009)
atau tahap validasi desain, revisi desain, ujicoba
terbatas dan revisi produk dalam langkah-
langkah pengembangan sebagai disebut oleh
Sugiyono (2011).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan penelitian menggunakan
Model 4D dalam pengembangan modul
pelatihan pengelolaan penilaian guru IPA
Sekolah Menengah Pertama dapat disimpulkan
bahwa:
Kodisi nyata pengelolaan penilaian
autentik guru IPA. Guru-guru IPA belum
memahami dengan baik dan benar pengelolaan
penilaian autentik dalam K13. Guru-guru IPA
belum melaksanakan penilaian sikap (sosial
dan spiritual); Guru-guru IPA juga masih
binggung dalam membuat instrumen penilaian
ketrampilan (praktik, produk, projek,
portofolio). Usaha-usaha yang dilakukan guru-
guru IPA untuk mengevaluasi pengelolaan
penilaian autentik yang telah diterapkan di
sekolah supaya dapat menjadi lebih baik lagi di
semester-semester selanjutnya belum
sepenuhnya optimal dilaksanakan. Akibatnya
walaupun sekolah secara resmi sudah
ditetapkan menjalankan K13 sejak tahun ajaran
2016-2017, namun dalam kenyataannya
pelaksanaan pola pengajaran dan penilaian
masih menggunakan kurikulum lama, yaitu
KTSP 2006.
Kesenjangan dalam pengelolaan
penilaian autentik guru IPA. Salah satu
persoalan mendasar yang dihadapi guru-guru
IPA SMP adalah minimnya kesempatan
mengikuti pelatihan K13 tentang penilaian
autentik. Pelatihan-pelatihan yang pernah
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
150
diikuti oleh guru-guru IPA belum sepenuhnya
menjawab kebutuhan para guru mengenai
penilaian autentik dalam K13.
Modul pelatihan dalam pengelolaan
penilaian autentik guru IPA. Modul Pelatihan
Pengelolaan Penilaian Guru IPA SMP
dikembangkan berdasarkan buku Panduan
Penilaian oleh Pendidik dan Satuan Pendidikan
untuk SMP, oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar Dan Menengah, Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Pertama Tahun 2017
dengan menambahkan contoh-contoh penilaian
dalam mata pelajaran IPA sehingga dapat
memfasilitasi guru IPA dalam merencanakan,
melaksanakan, dan melaporkan serta
memanfaatkan hasil penilaian baik aspek sikap,
aspek pengetahuan, dan aspek keterampilan.
Hasil dari penilaian validator
menempatkan keefektifan terhadap modul
pelatihan pengelolaan penilaian autentik guru
IPA pada kategori cukup. Respon peserta
pelatihan terhadap modul pada kategori baik
dan respon praktisi pendidikan terhadap modul
menunjukkan respon positif dengan kategori
baik.
Saran
a. Bagi guru atau pendidik IPA, setelah
membaca buku modul ini diharapkan dapat
menerapkan dan mengaplikasikan
pengelolaan penilaian autentik dengan baik
dan benar terhadap peserta didik.
b. Bagi Kepala Sekolah, diharapkan untuk
terus mengoptimalkan profesionalisme
guru dalam pengelolaan penilaian autentik,
juga bagi pendidik awam di sekolahnya.
c. Bagi Dinas Pendidikan, diharapkan untuk
terus melakukan upaya pengembangan
profesionalitas guru atau pendidik melalui
buku-buku modul sehingga membawa
dampak terhadap kemandirian guru untuk
membaca dan meng-up grade diri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. Implementasi Penilaian Autentik
Kurikulum 2013 Pada Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam Di Madrasah
Tsanawiyah Negeri 2 Palangka Raya.
FITRAH Jurnal Kajian Ilmu-ilmu
Keislaman 2 (2), 59 – 82.
Anggraini & Sukardi. Pengembangan Modul
Pembelajaran Kewirausahaan Model
Student Company Di SMK Negeri 1
Godean. Jurnal Pendidikan Vokasi. 6
(1), 24 – 30.
Arywiantari, D., A. A. Gede Agung., I Dewa
Kade Sastra. 2015. Pengembangan
Multimedia Interaktif Model 4D Pada
Pembelajaran IPA Di SMP Negeri 3
Singaraja. e-Journal Edutech
Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan Teknologi Pendidikan 3 (1), 1 –
12.
Branch, Robert Maribe. 2009. Instructional
Design: The ADDIE Approach. New
York : Springer Science & Business
Media, LLC. 2009
Daryanto. 2013. Menyusun Modul (Bahan Ajar
untuk Persiapan Guru dalam
Mengajar). Yogyakarta: Penerbit Gava
Media.
Giarti, Sri. 2017. Pengembangan Modul
Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah
Berbasis Andragogi Berbantuan CMS
Moodle. Kelola: Jurnal Manajemen
Pendidikan, 3(2).
https://doi.org/https://doi.org/10.24246/
j.jk.2016.v3.i2.p%25p
Indriyanti, N.Y & Endang Susilowati. 2010.
Pengembangan Model. Tim Pengabdian
Kepada Masyarakat, Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat,
Universitas Sebelas Maret. Diberikan
dalam Pelatihan Pembuatan e-module
bagi Guru-guru IPA Biologi SMP se-
Kota Surakarta menuju Open Education
Pengembangan Modul Pelatihan Pengelolaan Penilaian Autentik Guru IPA SMP | Vidriana O. Bano
151
Resources, Pada tanggal 7 Agustus
2010. 1 – 10.
Kunandar. 2013. Penilaian Autentik (Penilaian
Hasil Belajar Peserta Didik
Berdasarkan Kurikulum 2013). Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Majid, Abdul. 2014. Penilaian Autentik. Proses
Dan Hasil Belajar. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Pramita, M., Sri Mulyati., Hery Susanto. 2016.
Implementasi Desain Pembelajaran
Pada Kurikulum 2013 Dengan
Pendekatan Kontekstual. Jurnal
Pendidikan: Teori, Penelitian, dan
Pengembangan, 1 (3), 289 - 296.
Rochmad. 2012. Desain Model Pengembangan
Perangkat Pembelajaran Matematika.
Jurnal Kreano. Diterbitkan oleh
Jurusan Matematika FMIPA UNNES. 3
(1), 59 - 72 .
Ruslan, Tati Fauziah, Tuti Alawiyah. 2016.
Kendala Guru Dalam Menerapkan
Penilaian Autentik di SD Kabupaten
Pidie. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Pendidikan Guru Sekolah Dasar
FKIP Unsyiah, 1 (1), 147-157.
Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D. Jakarta : Alfhabeta
Syukriya, H., Herpratiwi., Dwi Yulianti. 2015.
Evaluasi Implementasi Penilaian
Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Kimia
Kelas XI Di Kabupaten Tanggamus.
(download.portalgaruda.org/article.ph
p?article=372903&val=7224&title...)
di unduh pada tanggal 02/09/2017 pkl
22:02 wib.
Thiagarajan.S., Semmel, D. S., & Semmel, M.
I., 1974. Instructional Development for
Training Teachers of Exceptional
Children. Blomington: Indiana
University.
Trianto. 2012. Model Pembelajaran Terpatu:
Konsep, Strategi, dan Implementasinya
dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Jakarta: Bumi
Aksara.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018
Halaman: 152-164
152
Evaluasi Program Regrouping Sekolah Dasar Negeri
Maria Tri Erowati
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
dirgantaranovan@gmail.com
Slameto
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
slameto_uksw@yahoo.com
Wasitohadi
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
wasitohadiuksw@gmail.com
ABSTRACT
This research is an evaluation that aimed to know the process of implementation policy,
factors that effected regrouping school program, the effects of regrouping, and how the
effectiveness and efficiency of the regrouping program in SD Negeri Tukang 01 and 02,
Pabelan, Semarang. This evaluation research used goal-free evaluation with the subject is SD
Negeri Tukang 01 and 02 Pabelan. The collecting data used interview, observation, and
documentation, then the data analysis was data reduction, data presentation, and drawing the
conclusion. The result of this research showed that SD Negeri Tukang 01 and 02 already
grouped for 4 years before the Regent's letter published. Then, the students, teachers,
government’s rule, and school condition be the factors affected the regrouping program. This
regrouping program has several impacts, they answered the teacher need and/or there was a
teacher mutation. Then for students, there weren’t much effect because the students already
friends, and then increasing the school’s facility. Besides that, regrouping program might
increase school quality and the society would not be confused to choose the school for their
child. But then, the alumni of these school can be difficult to get legalize for their certificate.
This regrouping program is effective and efficient enough to do because the teacher problem
can be solved, then the school facility can be maximized and about the budgeting organize by
the main school.
Keywords: Goalfree Evaluation Model, Primary School Regrouping Program, Program
Evaluation
Article Info
Received date: 30 Mei 2017 Revised date: 9 Desember 2018 Accepted date: 9 Desember 2018
PENDAHULUAN
Proses regrouping sekolah di Indonesia
sudah dimulai sejak terbitnya Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 421.2/2501/
Bangda/1998 tentang Pedoman Pelaksanaan
Penggabungan (Regrouping) Sekolah Dasar
(Kemendagri, 1998). Tujuan regrouping
tersebut adalah untuk mengatasi masalah
kekurangan tenaga guru, peningkatan mutu,
efisiensi biaya bagi perawatan gedung sekolah
dan sekolah yang ditinggalkan dimungkinkan
penggunaannya untuk rencana pembukaan
SMP kecil/SMP kelas jauh atau setara sekolah
lanjutan sesuai ketentuan setempat untuk
Evaluasi Program Regrouping Sekolah Dasar Negeri | Maria T. Erowati, dkk.
153
menampung lulusan sekolah dasar. Dalam
perkembangannnya telah lahir berbagai
kebijakan yang mengatur regrouping sekolah di
negeri ini. Undang-undang Nomor 25 Tahun
2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas) Tahun 2000-2004 misalnya, antara
lain menentukan bahwa salah satu kegiatan
pokok dalam mengupayakan pemerataan
pendidikan dasar adalah melaksanakan
revitalisasi serta penggabungan (regrouping)
sekolah-sekolah terutama SD, agar tercapai
efisiensi dan efektivitas sekolah yang didukung
dengan fasilitas yang memadai. Pada tahun
2002 terbit Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 060/U/2002 tentang Pedoman
Pendirian Sekolah yang antara lain menentukan
bahwa 1) pengintegrasian sekolah merupakan
peleburan atau penggabungan dua atau lebih
sekolah yang sejenis menjadi satu sekolah, dan
2) sekolah hasil integrasi merupakan bentuk
sekolah baru (pasal 23). Sekolah yang
diintegrasikan mengalihkan tanggung jawab
edukatif dan administratif peserta didik dan
tenaga kependidikan kepada sekolah hasil
integrasi.
Sejalan dengan berlakunya kebijakan
desentralisasi bidang pendidikan di tingkat
Propinsi dan Kabupaten/ Kota – sebagaimana
terakhir diatur melalui Undang Undang Nomor
23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah-
maka setiap propinsi lazimnya menetapkan
Peraturan Daerah yang antara lain mengatur
soal regrouping sekolah. Di propinsi Jawa
Tengah hal itu diatur dalam Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Tengah Nomor 4 Tahun 2012
tentang Penyelengagaraan Pendidikan, yang
antara lain juga mengatur kewenangan para
pihak dalam melakukan penggabungan
sekolah. Kewenangan itu selanjutnya diatur
lebih rinci melalui Peraturan Gubernur Nomor
56 tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor
4 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan, yang antara lain menentukan
bahwa “Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya dapat melakukan
penambahan, perubahan, penggabungan dan
penutupan satuan pendidikan formal pada
jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),
Pendidikan Dasar (DIKDAS), Pendidikan
Pendidikan Menengah (DIKMEN) dan satuan
pendidikan nonformal sesuai ketentuan
peraturan perundang- undangan” (pasal 6
ayat1).
Berdasarkan kewenangan di atas maka
itu setiap Kabupaten /Kota lazimnya kemudian
menetapkan Peraturan Bupati atau Peraturan
Walikota tentang regrouping/penggabungan
sekolah. Di Kabupaten Semarang telah terbit
Peraturan Bupati Nomor 28 Tahun 2014
tentang Pedoman Teknis Penggabungan
Sekolah Dasar Negeri dan ditandaklanjuti
dengan Keputusan Bupati Nomor
900/0413/2014 tentang Penetapan
Penggabungan Sekolah Dasar Negeri di
Kabupaten Semarang. Istilah regrouping
merupakan kata lain dari
merger/penggabungan. Merger pada awalnya
merupakan salah satu usaha pengembangan dan
pertumbuhan perusahaan. Merger dilakukan
dengan menggabungkan dan membagi sumber
daya yang dimiliki perusahaan untuk mencapai
tujuan bersama. Adrian Sutedi (2007: 85)
mengemukakan, ”merger sebagai suatu bentuk
penggabungan dua badan usaha, badan usaha
yang satu tetap ada, dan yang satunya lagi bubar
secara hukum, dan nama perusahaan digunakan
adalah perusahaan yang eksis/ada.” Jadi merger
merupakan penggabungan dua badan usaha
atau lebih menjadi satu badan usaha ke dalam
badan usaha yang eksis dengan nama badan
usaha yang tetap eksis. Penggabungan badan
usaha ini mengharuskan adanya peleburan aset
secara menyeluruh ke dalam badan usaha yang
tetap eksis. Hal ini secara kuantitas akan
memberikan tambahan modal bagi badan usaha
yang eksis tersebut.
Merger/penggabungan dapat juga
diterapkan di dalam dunia pendidikan. Merger/
penggabungan dalam dunia pendidikan lebih
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
154
berkaitan dengan perampingan jumlah sekolah.
Jumlah sekolah yang cukup banyak dengan
jumlah siswa yang kurang memadai
berdasarkan standar nasional mengakibatkan
pemborosan pembiayaan pendidikan. Untuk
itu, pemerintah mengupayakan alternatif
perampingan sekolah dengan nama regrouping.
Menurut Wibawa (2009: 47), “penggabungan
sekolah dasar merupakan satu cara
pengembangan sekolah dengan
memberdayakan dan mengembangkan berbagai
sumber daya pendidikan untuk mencapai
peningkatan mutu pendidikan dan efektifitas
sekolah.”
Adapun tujuan regrouping sekolah
menurut Suparlan (2006) meliputi (1)
meningkatkan mutu layanan pendidikan untuk
masyarakat. Dalam arti layanan pendidikan
harus bermutu, bukan hanya layanan
pendidikan dengan gedung sekolah yang
seadanya; (2) meningkatkan efisiensi
penyelenggaraan pendidikan, karena
keberadaan beberapa sekolah dalam satu
kompleks gedung sekolah yang sempit
menimbulkan indikasi terjadinya proses
persaingan yang tidak sehat antara sekolah yang
satu dengan yang lain, sehingga perlu dilakukan
regrouping sekolah.
Sedangkan langkah-langkah regrouping
sekolah yang ideal menurut Suparlan (2006)
antara lain mencakup: a) Mengadakan
sosialisasi kebijakan merger sekolah kepada
semua pemangku kepentingan (stakeholders).
Langkah pertama ini dilakukan agar para
pemangku kepentingan memiliki pemahaman
mendalam tentang manfaat merger bagi semua
pihak, terutama bagi peserta didik. Sosialisasi
bukanlah instruksi, bukan pula pemaksaan
terselubung. Benar-benar untuk meningkatkan
pemahaman secara kritis tentang manfaat
kebijakan merger sekolah sebagai strategi
untuk meningkatkan mutu pendidikan; b)
Membentuk tim atau kepanitiaan, dengan
melibatkan komponen yang terkait.
Pembentukan tim atau kepanitiaan ini pun harus
dilakukan secara demokratis agar semua
stakeholders dapat terakomodasi aspirasinya,
dan yang lebih penting adalah agar dapat
memberikan peran sertanya secara maksimal
dalam penyelenggaraan pendidikan; c)
Mengajukan atau memasukkan program
merger sekolah ke dalam program dan kegiatan
dinas pendidikan, untuk disetujui oleh
pemerintah dan legislatif. Langkah ini penting,
karena program merger akan memerlukan
konsekuensi anggaran yang mungkin tidak
sedikit; d) Pelaksanaan program dan
monitoring pelaksanaan program melibatkan
semua stakeholder yang sejak awal dilibatkan
dalam program ini. Program ini dilaksanakan
menurut prinsip manajemen modern, yakni
demokratis, transparan, dan akuntabel. Jika
tidak, maka justru akan terjadi distrust dari
masyarakat; e) Pelaporan dan
pertanggungjawaban jika program itu telah
dapat diselesaikan. Di samping itu, kegiatan
pasca pelaksanaan program perlu dilakukan,
misalnya monitoring dampak pelaksanaan
program tersebut terhadap peningkatan mutu
pendidikan, sebagaimana telah disebutkan
dalam tulisan ini, yakni lima dimensi mutu
pendidikan: yakni 'learners, environments,
content, processes, dan outcomes' atau peserta
didik, lingkungan, kurikulum atau bahan ajar,
proses pendidikan atau proses pembelajaran,
dan hasil pendidikan atau hasil belajar peserta
didik
Implementasi kebijakan peningkatan
mutu pendidikan melalui program regrouping
sekolah dasar telah diteliti oleh beberapa
peneliti. Syahidah (2013) misalnya, meneliti
tentang evaluasi kebijakan penggabungan
Sekolah Dasar Negeri Kota Pekalongan,
dengan temuan bahwa kebijakan regrouping
sekolah sekolah yang berada di satu kawasan
sudah berhasil dalam pencapaian efektifitas
dan efesiensi pendidikan karena baik input,
aktor maupun faktor pendukung terpenuhi
sehingga implementasi kebijakan tidak
mengalami kesulitan yang berarti. Namun
Evaluasi Program Regrouping Sekolah Dasar Negeri | Maria T. Erowati, dkk.
155
kebijakan penggabungan manajerial memiliki
banyak kendala dalam menuju efektifitas dan
efesiensinya, karena adanya beban ganda yang
diberikan kepada kepala sekolah sehingga
terkendala dalam membagi waktu untuk dua
sekolah.
Penelitian Dwiningrum & Widiowati
(2014) tentang proses regrouping sekolah yang
terdampak erupsi Gunung Merapi di
Yogyakarta menunjukkan bahwa faktor-faktor
pendukung regrouping sekolah meliputi:
a) kebijakan pemerintah daerah; b) sponsor-
sponsor penyandang dana dalam pembuatan
gedung baru untuk SD Negeri Umbulharjo 2;
c) kemauan dari guru masing-masing sekolah
untuk mendukung kebijakan regrouping demi
kelancaran proses kegiatan belajar mengajar
pasca erupsi Merapi; d) kesediaan guru
melakukan pendampingan terhadap siswa dan
senantiasa memberikan nasihat dan dukungan
kepada siswa, dan e) siswa mau beradaptasi
terhadap lingkungan sekolah yang baru.
Sedang faktor penghambatnya adalah kurang
luasnya pengetahuan guru dalam pemulihan
psikologis anak paska erupsi Merapi, beban
kerja guru sudah tinggi, problem internal dari
guru itu sendiri, serta kurangnya kreatifitas dan
inovasi guru mengajar paska erupsi Merapi.
Sementara itu penelitian Waluya (2014)
tentang pelaksanaan program regrouping
Sekolah Dasar 1 Undaan Tengah, Kecamatan
Undaan, Kudus, menunjukkan bahwa
pelaksanaan program regrouping di SD 1
Undaan Tengah berjalan dengan sangat baik
sesuai dengan yang diharapkan. Pengelolaan
sekolah menjadi lebih efisien dan efektif serta
pembelajaran mampu mencapai standar yang
ditetapkan. Sarana dan prasarana mengalami
peningkatan, meskipun masih perlu perbaikan
dan pengadaan. Sedang penelitian evaluasi
Purwaningsih (2014) terhadap implementasi
program regrouping sekolah dasar di
Kabupaten Purworejo, menunjukan bahwa:
a) implementasi kebijakan regrouping di
sekolah dasar diawali dengan pendataan
terhadap sekolah-sekolah dasar yang nantinya
dipetakan berdasarkan skala prioritas oleh Tim
Penghapusan dan Penggabungan Sekolah; b)
monitoring dilaksanakan secara non formal
insidental dalam upaya menjaga agar
pelaksanaan regrouping sesuai dengan tujuan
yang telah direncanakan, strategi yang
digunakan dengan memberikan motivasi
negatif bagi sekolah yang akan di regrouping;
c) evaluasi program regrouping menujukkan
ketercapaian tujuan, yaitu pemenuhan standar
pelayanan minimal pendidikan, efisiensi
anggaran, efektivitas penyelenggaraan
pendidikan, dan adanya peningkatan mutu
pendidikan bagi sekolah regrouping, baik dari
segi akademis maupun non akademis.
Sementara itu, penelitian Hills (2013)
dengan tentang regrouping sekolah di New
Zealand, menunjukkan bahwa penutupan dan
penggabungan sekolah dapat menyebabkan
perbedaan budaya masyarakat yang signifikan.
Dari lima penelitian tentang regrouping
diatas, hanya satu yang membahas tentang
evaluasi kebijakan regrouping sekolah, yang
memberikan suatu rekomendasi kepada
pemangku kepentingan untuk mengkaji ulang
tentang efektifitas program regrouping
manajerial sekolah. Sementara tiga penelitian
lain membahas implementasi program
regrouping yang mengalami berbagai
permasalahan, khususnya di lingkungan
sekolah yang digabungkan. Satu penelitian
membahas tentang dampak yang ditimbulkan
oleh program regrouping bagi masyarakat
sekitar sekolah. Kesamaan dari lima penelitian
di atas sama-sama menggunakan pendekatan
deskriptif, yang memberi gambaran yang jelas
tentang program regrouping sekolah. Penelitian
yang penulis lakukan saat ini, lebih
menekankan pada evaluasi program regrouping
sekolah, yang mencakup evaluasi terhadap
proses pelaksanaan regrouping sekolah, faktor-
faktor yang mempengaruhi, dampak yang
timbul, serta efektifitas dan efisiensi dari
program regrouping sekolah tersebut.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
156
Evaluasi adalah suatu kegiatan
mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan
informasi dengan cara membandingkan antara
kegiatan yang direncanakan terhadap kegiatan
yang dilaksanakan dan membandingkan antara
tujuan program terhadap hasil yang tercapai,
yang selanjutnya informasi tersebut digunakan
untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi
proyek, kebijakan dan program yang dipakai
untuk menentukan alternatif yang tepat dalam
mengambil suatu keputusan (Arikunto & Cepi
2009: 2; Wirawan, 2011: 7). Sedangkan
pengertian dari evaluasi program adalah
metode sistematik untuk mengumpulkan,
menganalisis, dan memakai informasi dengan
tujuan untuk mengetahui efektivitas dan
efisiensi proyek, kebijakan dan program
(Wirawan, 2011: 17; Weiss dalam Sugiyono,
2010: 741; dan Sugiyono, 2010: 742).
Sementara itu tujuan dari evaluasi program
adalah untuk mengetahui apakah tujuan
program telah tercapai dan serta mengetahui
penyebab-penyebabnya yang selanjutnya hasil
evaluasi dapat digunakan untuk mengambil
keputusan tentang keberlanjutan sebuah
program perlu diteruskan, diperbaiki atau
dihentikan (Wirawan, 2011: 17; Arikunto &
Cepi, 2009: 18).
Pada tahun 2014 Kabupaten Semarang
berhasil melakukan penggabungan 25 SD
negeri menjadi 12 SD, yang salah satunya
adalah SD Negeri Tukang 01 dan 02
Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang
yang kemudian menjadi Sekolah Dasar Negeri
Tukang. Dari penggabungan itu, diharapkan
pemangku kepentingan, warga sekolah, dan
masyarakat sepaham dan mendukung
penggabungan tersebut (Ungaran,
Kompas.com, 6/1/2014), karena tujuan utama
regrouping sekolah adalah tercapainya efisiensi
dan efektifitas pengelolaan pendidikan di
sekolah yang bersangkutan. Permasalahannya
adalah apakah dengan diimplementasikannya
program regrouping ini akan mengubah
kualitas pendidikan di SD Negeri Tukang. Oleh
karena itu penulis merasa perlu melakukan
evaluasi terhadap program regrouping di SD
Negeri Tukang 01 dan 02, baik mengenai
proses implementasi, faktor-faktor yang
mempengaruhi, dampak serta peningkatan
efektifitas & efisiensi dari program regrouping
sekolah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
evaluatif menggunakan pendekatan diskriptif
kualitatif. Pendekatan deskriptif kualitatif
berusaha menggambarkan dan menginterpre-
tasi objek sesuai dengan apa adanya. Penelitian
ini dimaksudkan untuk menggambarkan serta
menguraikan secara evaluativ keadaan atau
fenomena tentang pelaksanaan, faktor, dampak
dan tujuan regrouping yaitu efektifitas dan
efisiensi dari program regrouping sekolah.
Model evaluasi yang digunakan adalah Goal
Free Evaluation yaitu evaluasi bebas tujuan,
dimana peneliti berupaya mengevaluasi secara
obyektif program regrouping yang
dihubungkan dengan faktor-faktor pendukung
dan penghambat kebijakan yang dijalankan,
melihat sejauhmana tujuan regrouping tersebut
tercapai, dan memperhatikan dampak dari
penyelenggaraan program regrouping dalam
konteks secara umum tanpa harus dibatasi oleh
tujuan khusus dari program kebijakan yang
telah direncanakan.
Tempat penelitian adalah SD Negeri
Tukang 01 dan SD Negeri Tukang 02
Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang.
Sedang subyek dalam penelitian ini adalah
Kepala Sekolah, pendidik, Ka. UPTD dan
stakeholder SD Negeri Tukang 01 dan 02
Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang.
Teknik pengumpulan data meliputi wawancara,
observasi dan studi dokumen. Instrumen
pengumpulan data berupa lembar wawancara,
lembar observasi dan panduan studi dokumen.
Untuk menguji keabsahan data pada penelitian
ini digunakan teknik triangulasi sumber dan
tringulasi teknik. Sedang teknik analisis data
Evaluasi Program Regrouping Sekolah Dasar Negeri | Maria T. Erowati, dkk.
157
yang digunakan adalah analisa data kualitatif
yang meliputi penyajian data, reduksi data dan
penarikan simpulan.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Implementasi Program Regrouping Sekolah
Walaupun secara resmi Surat
Keputusan Bupati Semarang tentang
regrouping SD Negeri Tukang 01 & 02 baru
terbit pada tahun 2014, namun proses
regrouping sekolah di sebenarnya sudah
direncanakan oleh stekeholder dari kedua
sekolah sejak tahun 2009. Pada saat itu terjadi
kekosongan jabatan Kepala Sekolah SD Negeri
Tukang 01 karena pebjabat lama purna tugas.
Oleh karena itu terhitung sejak tanggal 1
September 2009 jabatan Kepala Sekolah SD
Negeri Tukang 01 diampu oleh Kepala Sekolah
SD Negeri Tukang 02. Selanjutnya melalui
rapat terpadu tanggal 20 Mei 2010 yang
dihadiri oleh Pengawas Sekolah TK-SD UPTD
Pendidikan Kecamatan Pabelan, Komite
Sekolah, dan Dewan Guru SD Negeri Tukang
01 dan 02 serta perangkat Desa setempat
diputuskan bahwa mulai tahun ajaran
2010/2011 SD Negeri Tukang 01 tidak lagi
menerima peserta didik baru dan hanya
mengelola siswa kelas II sampai kelas VI.
Sementara yang menerima peserta didik baru
hanya SD Negeri Tukang 02.
Melalui proses regrouping sekolah
jumlah tenaga pendidik yang semula belum
memenuhi standar menjadi berlebih. Semula
jumlah tenaga pendidik di SD Negeri Tukang
01 ada 7 orang, yang terdiri dari 6 guru kelas
dan 1 guru Mapel Agama Islam. Sedang SD
Negeri Tukang 02 memiliki 9 guru, terdiri dari
1 Kepala Aekolah, 6 guru kelas, 1 guru olah
raga dan 1 guru mulok Bahasa Inggris. Jadi
total jumlah tenaga pendidik setelah
diregrouping ada 16 guru, yang terdiri dari 12
guru kelas, 1 guru mapel Agama Islam, 1 guru
mapel Olah Raga dan 1 guru Mulok Bahasa
Inggris. Sedangkan tenaga kependidikan yang
dimiliki ada 2 orang yaitu 1 pustakawan dan 1
penjaga sekolah. Mengingat bahwa jumlah
rombel yang ada di SD hasil regrouping (SD
Tukang) hanya 6 (enam) maka terjadi kelebihan
guru kelas. Oleh karena itu kemudian dilakukan
mutasi sebagian guru ke SD lain di Kabupaten
Semarang.
Hal yang sama juga terjadi dalan hal
sarana prasarana pendidikan. Semua aset yang
dimiliki oleh SD Negeri 01 diserahkan kepada
SD Negeri Tukang 02. Aset yang berupa
bangunan, mebeler, buku dan alat peraga
dikelola oleh SD Negeri Tukang. Penggunaan
sarana prasarana diatur sepenuhnya oleh SD
Negeri Tukang sebagai sekolah induk yang
menjadi naungan. Aset yang dimilik sebelum
dan setelah regrouping dapat dilihat pada tabel
1 berikut ini.
Tabel 1. Data Sarana Prasarana Sekolah SD Negeri Tukang 02/SD Tukang
NO Nama Sebelum Regrouping Setelah Regrouping
Jumlah Ruang Luas Jumlah Ruang Luas
1 Gedung Sekolah 6 6 658 12 12 1488
2 Ruang Kepala Sekolah 1 1 14 1 1 77
3 Ruang Guru 1 1 35 1 1 35
4 Ruang Perpustakaan 1 1 56 1 1 35
5 Ruang UKS 1 1 35 1 1 35
6 Ruang Ibadah 1 1 1 1 54
7 Aula 1 1 35 1 1 35
8 Gudang 1 1 1 1 22
9 Kamar Kecil 3 3 18 7 1 34
10 Rumah Dinas Kepala Sekolah 1 1 54 1 1 54
11 Rumah Dinas Guru 1 1 54
12 Halaman 1 432 1 682
Total Area 905 1487
Sumber : Dokumen Data Absensi SD Negeri Tukang 02 Tahun 2010 dan 2017.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
158
Setelah selama 4 (empat) tahun SD
Negeri 01 menjadi satu atap di SD Negeri 02,
akhirnya pemerintah Kabupaten Semarang
melalui Keputusan Bupati Semarang Nomor
900/0413/2014 tanggal 30 Mei 2014
menetapkan bahwa SD Negeri Tukang 01 dan
SD Negeri Tukang 02 resmi diregrouping
dengan nama baru SD Negeri Tukang. Dari
tahun 2011 Panitia sudah mengajukan usul
diregrouping, namun Bupati Kabupaten
Semarang baru memberikan SK pada tahun
2014 dengan nama sekolah yang baru
mengakibatkan permasalahan pada bidang
administrasi sekolah. Semua administrasi
sekolah yang lama tidak lagi dipergunakan, dan
harus diarsipkan, dengan semua sejarah sekolah
lama.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Regrouping Sekolah
Faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya regrouping dapat dilihat dari
beberapa segi. Ada empat faktor yang
memungkinkan terjadinya regrouping sekolah
di SD Negeri Tukang 01 & SD Negeri Tukang
02, antara lain (1) perundangundangan yang
berlaku, (2) kondisi siswa, (3) kondisi tenaga
pendidik, dan (4) kondisi lingkungan sekolah
Berbagai perundang-undangan baik di
aras nasional maupun daerah (Provinsi dan
Kabupaten) menjadi salah satu faktor yang
memungkinkan terjadinya regrouping di SD
Negeri Tukang 01 dan SD Negeri Tukang 02.
Dalam perundang-undangan itu terdapat
kriteria bahwa salah satu syarat sekolah yang
diregrouping adalah sekolah berada dalam satu
lokasi, sehingga SD Negeri Tukang 01 dan SD
Negeri Tukang 02 masuk pada kategori
sekolah yang dapat diregrouping, karena bukan
hanya terletak di satu desa, tetapi kedua sekolah
tersebut justru berada dalam satu lokasi yang
menyebabkan persaingan tidak sehat antar
warga sekolah.
Kondisi siswa juga menjadi faktor
terjadinya regrouping. Jumlah siswa di SD
Negeri Tukang 01 dan SD Negeri Tukang 02
dari tahun ke tahun tidak mengalami
perkembangan. Rata-rata jumlah siswa setiap
tahun hanya dikisaran angka 70 - 80 siswa.
Setiap tahun jumlah siswa barupun hanya 10 –
16 orang, sehingga dikatakan bahwa kedua
sekolah tersebut adalah sekolah kurus
sebagaimana tergambar pada tabel 2 berikut
ini.
Tabel 2. Data PPDB SD Negeri Tukang 01 & 02 Tahun 2007-2010 No Tahun SDN 01 SDN 02
1 2006 7 13
2 2007 11 12
3 2008 12 12
4 2009 12 10
5 2010 15 16
Sumber : Data PSB SD N Tukang 01 & SD Tukang 02 tahun 2007 - 2010.
Data di atas menunjukan bahwa jumlah
siswa dari tahun ke tahun tidak memenuhi
standar sekolah yang bermutu. Akan menjadi
lebih baik jika kedua sekolah tersebut dilakukan
regrouping sehingga dapat tercapai efektifitas
dan efisiensi pengelolaan pendidikan.
Kondisi Guru adalah faktor ketiga bagi
terjadinya regrouping SD N Tukang 01 dengan
SD Tukang 02. SD Negeri Tukang 01 tidak
memiliki guru Olahraga dan Kepala Sekolah.
Setiap mata pelajaran olahraga, pelajaran itu
langsung diampu oleh masing-masing guru
kelas. Sementara tugas Kepala Sekolah
dijalankan oleh salah satu guru senior, hingga
pada akhirnya Ka.UPTD memberikan mandat
kepada Kepala Sekolah SD Negeri Tukang 02
untuk mengampu jabatan sebagai Kepala
Sekolah SD Tukang 01. Sementara SD Negeri
Evaluasi Program Regrouping Sekolah Dasar Negeri | Maria T. Erowati, dkk.
159
Tukang 02 tidak memiliki masalah dalam hal
tenaga pendidik. Semua sudah terpenuhi, baik
itu guru kelas, olah raga maupun guru agama,
dan seorang penjaga sekolah. Dengan demikian
regrouping dipandang sebagai solusi atas
masalah kekuarangan tenaga pendidik di SD
Tukang 01.
Dari sisi lingkungan sekolah, di desa
Tukang sebenarnya terdapat 3 (tiga) lembaga
pedidikan dasar setingkat sekolah dasar, yaitu 1
(satu) Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan 2 (dua) SD
Negeri. Letak MI itu sendiri cukup jauh
jaraknya dengan SD Negeri Tukang 01 dan SD
Negeri Tukang 02. Tapi masih banyak
masyarakat yang lebih berminat untuk
menyekolahkan anak mereka di SD negeri.
Masyarakat memberikan penilaian bahwa SD
negeri lebih bermutu dibanding dengan MI
yang ada di desa Tukang. Kondisi lingkungan
kedua sekolah tersebut juga menjadi faktor
penentu terjadinya regrouping. Terutama
karena keberadaan sekolah yang satu kampus.
Masyarakat secara umum lebih memilih
sekolah di SD negeri menjadi keuntungan bagi
sekolah. Namun masyarakat dibuat bingung
dalam memilih satu diantara keduanya.
Sehingga terbelah menjadi dua, sebagian
mendukung SD Negeri Tukang 01 dan sebagian
lagi di SD Negeri 02.
Dampak Program Regrouping Sekolah
Ada dua macamdampak regrouping
bagi ketenagaan di sekolah yang bersangkutan
yaitu dampak positif dan negatif. Dampak
positif regrouping adalah terpenuhinya
kebutuhan guru karena melalui regrouping itu
semua kebutuhan guru kelas, guru mapel, dan
guru mulok terpenuhi. Dampak negatifnya
adalah munculnya kecemburuan para guru
senior yang harus dimutasi ke sekolah yang
lebih jauh. Sementara itu para guru honorer
sekolah juga harus mencari sekolah lain yang
lebih membutuhkan. Bagi guru honorer
sekolah, walaupun masih dipertahankan di
sekolah tersebut, namun mereka tidak
mempunyai jam mengajar seperti waktu
sebelum regrouping dilakukan. Peraturan baru
pemerintah dalam peningkatan mutu
pendidikan dan tuntutan sertifikasi guru,
menyatakan bahwa sekolah parallel apabila
jumlah siswa lebih dari 34 anak. Sementara
guru yang mendapat tunjangan sertifikasi harus
mengampu minimal 20 siswa dalam satu kelas.
Apabila tidak memenuhi syarat tersebut maka
data yang dientri lewat dapodik tidak valid.
Oleh karena itu semua guru tetap cenderung
mengajar penuh sehingga para guru honorer
harus mencari sekolah lain yang bisa memenuhi
jam mengajar mereka.
Regrouping sekolah bagi siswa tidaklah
berdampak terlalu besar. Siswa yang sudah
bergaul antara satu dengan yang lain, walaupun
beda sekolah. Mereka tidak merasakan bahwa
selama ini beda sekolah. Hal ini disebabkan
karena mereka berada dalam satu kampus.
Persaingan hanya mereka rasakan saat
menghadapi lomba. Selebihnya dalam
pergaulan sehari-hari, sebelum dan sesudah
diregruping tidaklah berpengaruh. Dari segi
jumlah, dua sekolah yang digabung menjadi
satu berdampak pada peningkatan jumlah siswa
dua kali lipat. Sebelum regrouping jumlah
siswa dikisaran angka 70-80, setelah
regrouping terjadi berada pada 140-155 siswa.
Regrouping sekolah di SD Negeri
Tukang 01 dan SD Negeri Tukang 02
menghasilkan sekolah yang baru yaitu SD
Negeri Tukang. Dengan regrouping,
peningkatan mutu sekolah yang terlihat adalah:
(1) Prestasi sekolah sejak dilakukan regrouping
semakin meningkat. Hal ini terjadi karena
sekolah memiliki banyak pilihan siswa yang
berbakat. Sebelum diregrouping sekolah
kesulitan memilih anak untuk mengikuti lomba
karena keterbatan jumlah siswa. Namun setelah
diadakan regrouping, bisa meraih banyak
kejuaran yang baik tingkat kecamatan,
kabupaten bahkan juga tingkat propinsi. (2)
Tenaga pendidik. Mutu tenaga pendidik di SD
Negeri Tukang juga mengalami peningkatan.
Masing-masing kelas mendapatkan pola
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
160
pengajaran yang semakin berkualitas. Guru
kelas yang masih muda dan berbakat
memberikan metode pengajaran yang semakin
kreatif. Terbukti anak-anak lulusan SD Negeri
Tukang mendapatkan hasil ujian yang
meningkat dari tahun ke tahun. Begitu juga
ketika mengikuti berbagai macam lomba, guru
memiliki dedikasi yang tinggi dalam melatih
para siswa untuk mencapai kejuaraan. (3)
Fasilitas/sarana prasarana sekolah. Hasil
regrouping sekolah menjadikan sekolah baru
memiliki fasilitas dan sarana prasarana yang
semakin meningkat. Dengan memiliki banyak
ruang kelas, sekolah dapat memanfaatkannya
sebagai ruang pembelajaran yang baru, seperti
ruang keterampilan, ruang olahraga, ruang
kesenian, ruang pertemuan/aula dan gudang.
Jadi pembelajaran tidak hanya dilakukan di
dalam kelas masing-masing, tetapi dilakukan
juga di ruang-ruang lain yang menunjang
pelajaran mata pelajaran bidan umum maupun
mata pelajaran muatan lokal.
Dampak Terhadap Masyarakat
Regrouping SD Negeri Tukang 01 dan
SD Negeri Tukang 02 memiliki dampak positif
dan negatif bagi masyarakat. Dampak positif
yang dirasakan masyarakat adalah mereka tidak
lagi merasa bingung harus menyekolah-kan
anak mereka di SD Negeri Tukang 01 atau SD
Negeri Tukang 02. Namun dampak negatifnya
juga ada. Para alumni kedua sekolah tersebut
kesulitan ketika meminta legalisir dari kedua
sekolah tersebut. Karena hasil dari regrouping
memunculkan nama sekolah baru, yang
memiliki NPSN dan NSS yang berbeda. Para
alumni merasa dirugikan karena sekolah yang
mengeluarkan ijazah mereka sudah ditutup,
walaupun sebenarnya data induk siswa masih
ada di arsip sekolah baru. Sekolahpun tidak bisa
memberikan surat keterangan untuk
melegalisasi ijazah dari para alumni sekolah
sebelum regrouping. Para alumni harus
meluangkan waktu dan mengeluarkan dana
yang lebih karena harus melegalisir ijazah
mereka ke Dinas Kabupaten.
Pencapaian Tujuan Regrouping Sekolah
(Efektifitas Dan Efisensi dari Regrouping)
Pencapaian tujuan awal program
regrouping sekolah, yaitu pencapaian efisiensi
dan efektifitas tenaga pendidik, keuangan dan
sarana prasarana sekolah di SD Tukang adalah
sebagai berikut. Efisiensi dan efektifitas
pengelolaan tenaga pendidik telah tercapai
karena melalui regrouping sekolah kebutuhan
akan tenaga pendidik dengan sendirinya
terpenuhi. Pemerintah tidak perlu lagi
memboroskan uang untuk menggaji guru baru.
Dari sisi keuangan, terjadi peningkatan jumlah
penerimaan dana BOS. Sejak dilakukan
regrouping, semua bentuk laporan keuangan
menjadi tanggjawab sekolah hasil regrouping.
Dana BOS dari pemerintah digabung menjadi
satu atas nama SD Negeri Tukang 02, begitu
pula dengan penggunaan dan laporan SPJ
pengelolaan dana BOS. Sekolah lebih mampu
menyelenggarakan proses pembelajaran yang
lebih bermutu, melalui penambahan alat peraga
pembelajaran dan sejenisnya.
Namun efektifitas dan efesiensi dalam
pengelolaan sarana prasarana belum sesuai
dengan yang diharapkan. Pengelolaan gedung
sekolah, terutama kelebihan ruang kelas oleh
sekolah hanya dijadikan ruang keseniaan, olah
raga, keterampilan, dan gudang yang tidak
setiap hari digunakan karena hanya dipakai
pada saat-saat tertentu. Oleh karena itu bisa
dikatakan ada pemborosan ruang gedung
sekolah.
Pembahasan Hasil Penelitian
Implementasi Program Regrouping Sekolah
Hasil penelitian di atas menunjukkan
bahwa proses implementasi program
regrouping di SD Negeri Tukang 01 dan SD
negeri Tukang 02 berjalan melalui proses
persiapan yang cukup lama oleh stakeholder ke
dua sekolah. Temuan ini sesuai dengan
pendapat Suparlan (2006) bahwa proses
regrouping memerlukan tahap di mana
stakeholder sekolah memiliki pemahaman
bersama tentang arti penting dan tujuan dari
Evaluasi Program Regrouping Sekolah Dasar Negeri | Maria T. Erowati, dkk.
161
regrouping sekolah. Namun bentuk kegiatan
yang terjadi dalam penelitian ini berbeda
dengan pendapat Suparlan, jika Suparlan
menamai tahap ini sebagai tahap sosialisasi,
sehingga ada proses penyajian informasi dari
pihak ketiga pada stakeholder sekolah, maka
yang terjadi di SD Negeri Tukang 01 dan SD
Negeri Tukang 02 justru pemahaman itu lahir
dari dalam diri stakeholder sekolah itu sendiri.
Stakeholder sekolah sendirilah yang memutus-
kan bahwa kedua sekolah perlu digabungkan.
Temuan di atas juga berbeda dengan temuan
penelitian Hills (2013) di New Zealand, bahwa
penutupan dan penggabungan sekolah dapat
menyebabkan perbedaan budaya masyarakat
yang signifikan. Proses regrouping di SD
Negeri Tukang 01 dan SD Negeri Tukang 02
tidak menimbulkan konflik budaya di
masyarakat sekitar dimana kedua sekolah
tersebut berada.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Regrouping Sekolah
Regrouping sekolah SD Negeri Tukang
01 dan SD Negeri Tukang 02 dipengaruhi oleh
empat faktor, yaitu perundang-undangan
tentang regrouping sekolah, kondisi siswa,
kondisi kekurangan tenaga pengajar, dan
kondisi lingkungan sekolah. Dengan demikian
proses regrouping di SD Negeri Tukang 01 dan
SD Negeri Tukang 02 sepenuhnya sejalan
dengan ketentuan dalam Peraturan Bupati
Semarang Nomor 28 tahun 2014 yang mengatur
tentang sasaran dari penggabungan
sekolah. Menurut Perbup tersebut, sasaran
penggabungan sekolah terdiri dari sekolah satu
kampus dan sekolah kecil. Kriteria teknis satu
kampus yang dimaksud yaitu: 1) dua SD atau
lebih terletak di satu lingkungan sekolah, 2)
jarak antara sekolah 200 meter atau kurang, 3)
jumlah rombel sama dengan ruang kelas yang
ada - atau kurang, dan tidak bertentangan
dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah
(RTRW). Sedangkan syarat untuk sekolah kecil
yaitu: 1) Jumlah siswa 80 orang atau kurang, 2)
jarak antar sekolah 1.000 meter atau kurang, 3)
tidak ada hambatan akses, 4) dalam satu desa
terdapat lebih dari satu SD Negeri, 5) tidak
berada di daerah perbatasan kabupaten, dan 6)
tidak bertentangan dengan RTRW (USAID-
Prioritas, 2015: 1). Tampak bahwa regrouping
SD Negeri Tukang 01 dan SD Negeri Tukang
02 menjadi SD Tukang memenuhi persyaratan
yang ditetapkan Peraturan Bupati baik dari segi
sekolah satu kampus (terletak di satu
lingkungan sekolah, jarak antar sekolah 200
meter atau kurang, dan jumlah rombel sama
dengan ruang kelas yang ada) maupun sekolah
kecil (jumlah siswa 80 orang atau kurang, jarak
antar sekolah 1.000 meter atau kurang, tidak
ada hambatan akses, dalam satu desa terdapat
lebih dari satu SD Negeri, dan tidak berada di
daerah perbatasan kabupaten).
Temuan di atas sejalan dengan hasil
penelitian Dwiningrum & Widiowati (2014)
tentang proses regrouping sekolah yang
terdampak erupsi Gunung Merapi di
Yogyakarta yang menunjukkan bahwa
kebijakan pemerintah daerah merupakan faktor
pendukung keberhasilan regrouping sekolah.
Dampak Program Regrouping Sekolah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat dampak positif maupun negatif dalam
proses regrouping di SD Negeri Tukang 01 dan
SD Negeri Tukang 02. Dampak positif
mencakup 1) teratasinya masalah kekurangan
guru; 2) teratasinya masalah kekurangan
jumlah siswa, 3) efisiensi pembiayaan melalui
dana BOS, dan 4) meningkatnya mutu
pendidikan di sekolah. Program regrouping
dapat mengatasi masalah kekurangan tenaga
pendidik. Pemerintah tidak perlu lagi
menempatkan guru dan Kepala Sekolah di SD
Negeri Tukang 01. Karena dengan adanya
regrouping sekolah, karena otomatis guru
olahraga dan kedudukan Kepala Sekolah sudah
terisi dari SD Negeri Tukang 02. Sedikitnya
jumlah siswa pada kedua sekolah dengan
sendirinya teratasi ketika sekolah digabung
menjadi satu. Jumlah siswa yang bertambah
sangat menguntungkan sekolah karena dapat
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
162
meningkatkan jumlah bantuan dana BOS.
Dengan dana yang relatif besar, maka semua
kegiatan peningkatan mutu pendidikan
sekolahpun dapat dilaksanakan. Peningkatan
mutu pendidikan membawa pengaruh terhadap
prestasi sekolah yang semakin meningkat pula.
Banyak kejuaraan yang diraih oleh SD Negeri
Tukang. Namun, regrouping sekolah juga
menimbulkan dampak negatif berupa
kekecewaan para guru yang dimutasi dan
kesulitan bagi para guru honorer dalam
memenuhi jam mengajar. Dampak lain yang
dirasa sangat merugikan adalah bagi alumni
sekolah diregrouping adalah berhubungan
dengan legalisasi ijazah sekolah.
Temuan di atas membenarkan kebijakan
pemerintah untuk melaksanakan regrouping
sekolah baik yang berada dalam satu kampus
maupun yang termasuk dalam kategori sekolah
kecil sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bupati Semarang Nomor 28 tahun 2014
(USAID-Prioritas, 2015: 1). Namun temuan ini
berbeda dengan hasil penelitian Waluya (2014)
tentang pelaksanaan program regrouping
Sekolah Dasar 1 Undaan Tengah Kecamatan
Undaan Kudus, yang menunjukkan bahwa
pelaksanaan program regrouping di SD
tersebut berjalan sangat baik sesuai dengan
yang diharapkan. Sebab dalam penelitian ini
ditemukan bahwa walaupun proses regrouping
alami sudah dijalankan oleh stakeholder kedua
sekolah namun Surat Keputusan peresmian
regrouping baru terbit sesudah proses alami itu
berjalan selama 4 (empat) tahun.
Tujuan Regrouping Sekolah (Efektifitas Dan
Efisensi dari Regrouping)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
regrouping SD Negeri Tukang 01 dan SD
Negeri Tukang 02 menjadi SD Tukang dapat
mencapai efisiensi dan efektifitas dalam hal
tenaga pendidik dan keuangan sekolah. Namun
demikian regrouping itu belum mampu
menujukkan efisiensi dan efektifitas dalam
pengelolaan sarana prasarana sekolah.
Temuan di atas untuk sebagian sejalan
dengan hasil penelitian Purwaningsih (2014)
yang menunjukan bahwa program regrouping
menujukkan ketercapaian tujuan, yaitu
pemenuhan standar pelayanan minimal
pendidikan, efisiensi anggaran, efektivitas
penyelenggaraan pendidikan, dan adanya
peningkatan mutu pendidikan bagi sekolah
regrouping, baik dari segi akademis maupun
non akademis.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik oleh
peneliti dari seluruh proses penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Proses regrouping SDN Tukang 01 dan SD
N Tukang 02 sudah dimulai secara alami
atas inisiatif stakeholder sekolah jauh
sebelum Surat Keputusan regrouping dari
Bupati diterbitkan. Tahapan regrouping
meliputi sosialisasi, pembentukan panitia,
pelaksanaan regrouping dan turunnya SK
regrouping sekolah.
2. Faktor-faktor yang memungkinkan
terjadinya program regrouping sekolah
adalah: perundang-undangan tentang
regrouping, kurangnya jumlah siswa,
kurangnya tenaga pendidik, dan kondisi
lingkungan sekolah.
3. Regrouping sekolah di SD Negeri Tukang
01 dan SD Negeri Tukang 02 menimbulkan
dampak positif maupun negatif. Dampak
positif program regrouping adalah a)
menjawab kebutuhan tenaga pendidik, b)
memenuhi jumlah siswa sesuai standar
peningkatan mutu; c) meningkatnya sarana
prasarana sekolah khususnya alat-alat
peraga dalam proses belajar mengajar; d)
meningkatnya prestasi sekolah; dan e)
keuangan sekolah menjadi lebih efektif.
Dampak negatif regrouping dirasakan oleh
guru PNS yang dimutasi ke sekolah yang
jaraknya lebih jauh dari tempat tinggal, guru
honorer sekolah yang kehilangan jam
Evaluasi Program Regrouping Sekolah Dasar Negeri | Maria T. Erowati, dkk.
163
mengajar dan harus mencari sekolah baru,
dan alumni yang perlu meluangkan waktu
dan mengeluarkan dana lebih banyak untuk
melakukan legalisir ijazah di sekolah lama,
karena harus ke Dinas Pendidikan
Kabupaten Semarang.
4. Dari tujuan regrouping sekolah efektifitas
dan efisiensi terjadi dalam pengelolaan
tenaga pendidik, mutu pendidikan dan
pengelolaan keuangan, namun belum terjadi
dalam hal pengelolaan sarana prasarana.
Saran
Saran yang bisa diberikan berdasarkan
simpulan hasil penelitian ini adalah:
1. Bagi Kepala Sekolah. Kepala Sekolah
hendaknya memikirkan pengelolaan ruang
kelas yang kosong untuk kegiatan yang lebih
bermanfaat, misalnya untuk
penyelenggaraan pembelajaran maupun
ujian SMP Terbuka, untuk ruang
laboratorium komputer, atau sekretariat
kegiatan KKG Gugus.
2. Bagi Kepala UPTD Pendidikan dan
Pengawas SD/TK. Hendaknya senantiasa
bekerja sama melakukan monitoring
terhadap jalannya regrouping sekolah, dan
mencari jalan keluar bagi para alumni
supaya bisa melakukan legalisir secara
mudah.
DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi. 2007. Hukum Perbankan:
Suatu Tinjauan Pencucian Uang,
Merger, Likuidasi dan Kepailitan.
Jakarta: Sinar Grafika.
Arikunto Suharsimi dan Cepi Safrudin. 2009.
Evaluasi Program Pendidikan:
Pedoman Teoritis Praktis Bagi
Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan,
cetakan ketiga. Jakarta: Bumi Aksara.
Dwiningrum Siti Irene Astuti & Rani
Widiowati. 2014. School Resiliency
And Social Capital of Regrouping
Policy After Merapi Eruption in the
Special District of Yogyakarta of
Indonesia (A Case Study at SD
Umbulharjo 2, Sleman,)
https://www.google.com/search?client
=firefoxb&q=school+policy+evaluatio
n+regrouping
Hills, C. 2013. ‘Close or be closed: to what
extent can school closures and mergers
be negotiated?’ PhD thesis. Massey
University.
Kabupaten Semarang. 2014. Peraturan Bupati
Nomor 28 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Penggabungan
Sekolah Dasar Negeri; Semarang:
Pemda Kabupaten Semarang.
Kabupaten Semarang. 2014. Surat Keputusan
Bupati Semarang Nomor
900/0413/2014. tentang Penetapan
Penggabungan Sekolah Dasar Negeri di
Kabupaten Semarang; Semarang:
Pemda Kabupaten Semarang.
Kemendiknas. 2002. Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor
060/U/2002 tentang Pedoman Pendirian
Sekolah; Jakarta: Kemendiknas.
Kemendiknas. 2010. Renstra Departemen
Pendidikan Nasional 2010-2014.
Jakarta: Kemendiknas.
Kemendagri. 1998. Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 421.2/2501/
Bangda/1998 tentang Pedoman
Pelaksanaan Penggabungan Sekolah
(Regrouping) SD. Jakarta: Kemendagri.
Provinsi Jawa Tengah. 2012. Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Tengah Nomor 4 Tahun
2012 tentang Penyelengagaraan Pendi-
dikan: Semarang: Pemda Jawa Tengah.
Provinsi Jawa Tengah. 2013. Peraturan
Gubernur Nomor 56 tahun 2013 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Tengah Nomor 4 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
164
Pendidikan; Semarang: Pemda Jawa
Tengah.
Purwaningsih, Ika 2014. Implementasi
Kebijakan Regrouping Sekolah Dasar di
Kabupaten Purworejo. E-Jurnal
Universitas Negeri Yogyakarta; Vol III,
No 3: 1.
Republik Indonesia. 2000. Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (Propenas)
Tahun 2000-2004; Jakarta: Depdagri
Sugiyono. 2010. Memahami Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suparlan. 2006. Merger Sekolah Begitu
Perlukah,http://www.suparlan.com/mer
ger-sekolah-dasar-begituperlukah59.
php.htm pada tanggal 13 Juni 2016 jam
10.05 WIB.
Syahidah, Jihan Amalia 2013. Evaluasi
Kebijakan Penggabungan Sekolah
Dasar Negeri Kota Pekalongan.
Tesis.PPs-UNY.
USAID.Prioritas. 2015. Regrouping SDN di
Kabupaten Semarang, satu langkah
dalam Penataan dan Pemerataan Guru.
http://prioritaspendidikan.org/id/media/
view/detail/418 pada tanggal 15 Juni
2016, jam 19.10 WIB.
Waluya, Puji. 2014. Pelaksanaan Program
Regrouping Sekolah Dasar 1 Undaan
Tengah Kecamatan Undaan Kudus.
Masters thesis, Universitas Sebelas
Maret.
Wibawa, Sarwa. 2009. Dampak penggabungan
sekolah dasar terhadap efisiesni,
keefektivan, produktivitas, dan
pelayanan pendidikan di Kabupaten b
Bantul.Tesis. PPs-UNY.
Wirawan. 2011. Evaluasi Teori, Model,
Standar, Aplikasi dan Profesi. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Kelola
Jurnal Manajemen Pendidikan
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018
Halaman: 165-176
165
Strategi Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru
Untuk Meningkatkan Mutu Sekolah
Brigitta Putri Atika Tyagita
SMA Karangturi Semarang
brigittaputriatika@gmail.com
Ade Iriani
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
ade.iriani@staff.uksw.edu
ABSTRACT
This study aimed to obtain a strategy to increase the pedagogic competence of teacher to
improve school quality. Teacher pedagogy competencies are important to have so that the
teacher can understand and direct students to learn well and appropriately, and can help
students to actualize their potential. Pedagogy competence of teachers can improve the school
quality because one of them seen from a professional teacher and good performance. The
subject of this study: 1 principal, 1 vice principal, 6 teachers. The research data was taken
through an interview, observation, and document study with source triangulation. Data
analysis using SWOT to analyze internal and external factors. The results of the SWOT
analysis shows that schools are in the SO or strength-opportunity quadrant, which supports
aggressive strategies by utilizing the strengths and opportunities that schools have to improve
teacher pedagogic competence. By optimizing the strength factor and the school opportunity,
there are 6 strategic plans to increase the pedagogic competence of teachers by emphasizing
cooperation among teachers, students and also parents. The strategic plan is to optimize the
performance of leaders, optimize collaboration among teachers, the collaboration between
teachers and students, optimize external support, optimize teacher pedagogical development,
and improve teacher, student, and parent collaboration.
Keywords: Teachers Pedagogic Competence, School Quality, Strategic Plan, SWOT Analysis
Article Info
Received date: 4 Mei 2017 Revised date: 13 November 2018 Accepted date: 9 Desember 2018
PENDAHULUAN
Kualitas pendidikan di Indonesia saat
ini masih jauh dari Negara-negara lainnya,
dimana Indonesia menempati peringkat ke 10
dari 14 negara berkembang dalam pendidikan,
dan kualitas guru di Indonesia berada
diperingkat ke 14 dari 14 negara berkembang di
dunia (Fahruddin, 2016:1). Hasil uji
kompetensi guru di Indonesiapun masih rendah
dan masih jauh dari yang ditargetkan oleh
pemerintah dengan nilai rata-rata 41,5 dengan
nilai terendah 1 dari 275.768 guru tingkat
nasional (Inan, 2016: 1). Untuk meningkatkan
kualitas pendidikan di Indonesia, pemerintah
telah menetapkan Standar Nasional Pendidikan
yang merupakan dasar dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan
dalam rangka mewujudkan pendidikan yang
bermutu (Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
2005: 6) yang mencakup 8 aspek, yaitu standar
isi, standar proses, standar kompetensi lulusan,
standar pendidik dan tenaga kependidikan,
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
166
standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar
penilaian pendidikan.
Melihat permasalahan yang dihadapi
oleh pendidikan Indonesia, maka untuk
meningkatkan kualitas pendidikannya, kualitas
guru harus ditingkatkan terlebih dahulu salah
satunya dengan meningkatkan kompetensi
pedagogik guru. Jika ingin meningkatkan
kompetensi lulusan maka kualitas guru dalam
proses belajar mengajar harus ditingkatkan
(Guerriero, 2013: 2). Oleh sebab itu untuk
meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia,
maka kualitas guru harus ditingkatkan, salah
satunya dengan meningkatkan kompetensi
pedagogik guru untuk meningkatkan mutu
sekolah. Oleh sebab itu diperlukan strategi-
strategi dalam meningkatkan kompetensi
pedagogik guru untuk meningkatkan mutu
sekolah.
Kompetensi pedagogik guru penting
untuk ditingkatkan, karena kompetensi
pedagogik guru akan meningkatkan
kompetensi profesionalisme guru dalam
mengajar, karena dengan memiliki kompetensi
pedagogik, maka guru memiliki kemampuan
dalam mengatur materi pembelajaran yang
akan disampaikan dengan baik kepada murid-
muridnya dengan berbagai teknik (Rahman,
2014: 79). Menurut Panda (2012: 34)
kompetensi pedagogik guru merupakan
kemampuan dan keinginan untuk secara regular
menerapkan sikap, pengetahuan, dan keahlian-
keahlian untuk mempromosikan pembelajaran
dari guru dan murid. Kompetensi pedagogik
guru menurut Uppsala University (2010: 10)
adalah tujuan dan kerangka kerja guru yang
pasti melalui pengembangan pembelajaran dan
pengembang an profesionalisme, dukungan,
dan fasilitas pembelajaran yang terbaik secara
berkelanjut-an. Sedangkan menurut Hakim
(2015: 2) kompetensi pedagogik guru adalah
kemampuan mengatur pembelajaran, kerangka
instruksi dan implementasi, hasil evaluasi
pembelajaran, dan pengembangan siswa untuk
mengaktualisasikan potensi mereka. Dari
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
kompetensi pedagogik guru adalah kemampuan
dan keinginan dalam menerapkan sikap,
pengetahuan dan keahlian untuk
mempromosikan pembelajaran, mengatur
pembelajaran, dan mengevaluasi serta
membantu siswa untuk dapat
mengaktualisasikan potensi mereka.
Standar kompetensi pedagogik guru
telah diatur dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No.16 tahun 2007, yang
meliputi 10 Kompetensi Inti dan Kementrian
Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (2010, 39-51) sebagai tertera
dalam tabel 1 di bawah ini.
Standar kompetensi pedagogik memuat
beberapa subkompetensi yaitu, 1) menguasai
karakteristik peserta didik dari aspek fisik,
moral, sosial, budaya, kultural, emosional dan
intelektual. 2) menguasai teori belajar dan
prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. 3)
mengembangkan kurikulum yang berkaitan
dengan mata pelajaran/bidang pengembangan
yang diampu. 4) menyelenggarakan pembe-
lajaran yang mendidik 5) memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi untuk
kepentingan pembelajaran 6) memfasilitasi
pengembangan potensi peserta didik dan
membantu pengembangan potensi peserta didik
untuk mengaktualisasikan berbagai potensi
yang dimiliki. 7) berkomunikasi secara efektif,
empatik, dan santun dengan peserta didik. 8)
menyelenggarakan penilaian dan evaluasi
proses dan hasil belajar. 9) memanfaatkan hasil
penilaian dan evaluasi untuk kepentingan
pembelajaran. 10) melakukan tindakan reflektif
untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
Strategi Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru Untuk … | Brigitta P. A. Tyagita
167
Tabel 1. Komponen Kompetensi Pedagogik Guru Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
no. 16 tahun 2007
Kementrian Pendidikan Nasional Direktorat
Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan
Tenaga Kependidikan 2010
1. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral,
sosial, kultural, emosional, dan intelektual
1. Menguasai karakteristik peserta didik
2. Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang
mendidik
2. Menguasai teori belajar dan prinsip-
prinsip pembelajaran yang mendidik
3. Mengembangkan kurikulum yang berkaitan dengan mata
pelajaran yang diampu
3. Pengembangan kurikulum
4. Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik 4. Kegiatan pembelajaran yang mendidik
5. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk
kepentingan pembelajaran
5. Pengembangan potensi peserta didik
6. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki
6. Komunikasi dengan peserta didik
7. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta
didik
7. Penialaian dan evaluasi.
8. Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar
9. Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan
pembelajaran
10. Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas
pembelajaran.
Sumber: Data dokumen pemerintah
Rencana strategis merupakan proses
disiplin untuk membuat kunci keputusan dan
menyetuju tindakan yang akan membentuk dan
menimbang apa yang dilakukan suatu
organisasi, dan mengapa melakukannya (CIRR
ICD, 2005: 44). Rencana strategis merupakan
landasan dari setiap kepentingan yang sama
dalam komunitas atau organisasi, dan tanpa
rencana strategis maka organisasi tidak tahu
arah pergerakan atau tujuan dari organisasi
(Juddy, 2014: 4). Rangkuti (2016: 3)
menambahkan tujuan utama dari rencana
strategis adalah agar organisasi dapat melihat
secara objektif kondisi-kondisi internal dan
eksternal, sehingga organisasi dapat
mengantisipasi perubahan lingkungan
eksternal. Dari pengertian-pengertian tersebut,
maka rencana strategis adalah proses disiplin
untuk membuat kunci keberhasilan dan
landasan dari setiap kepentingan yang sama
dalam suatu organisasi dengan tujuan
organisasi dapat melihat secara objektif kondisi
internal maupun eksternal, sehingga organisasi
dapat mengantisipasi perubahan lingkungan.
Mutu mengandung makna derajat
keunggulan suatu produk atau hasil kerja, baik
berupa barang atau jasa (Danim, 2010: 53).
Pendapat tersebut dipertegas oleh pendapat
Umiarso dan Gozali (2010: 125-126) yang
mengatakan bahwa mutu pendidikan adalah
derajat keunggulan dalam pengelolaan
pendidikan secara efektif dan efisien untuk
melahirkan keunggulan akademis dan
ekstrakurikuler pada peserta didik yang
dinyatakan lulus pada suatu jenjang pendidikan
atau menyelesaikan program pendidikan
tertentu. Mutu juga merupakan hal yang
penting yang harus dimiliki oleh sekolah,
karena mutu sekolah menjadi pandangan
penting atau pertimbangan bagi orang tua untuk
menyekolahkan anak mereka, dan ukuran
sekolah bermutu dari kacamata pengguna pada
umumnya adalah sekolah dengan akreditasi A,
lulusan diterima disekolah terbaik, guru yang
profesional yang ditunjukan dengan hasil UKG
(Uji Kompetensi Guru) dan kinerja guru baik,
hasil ujian nasional baik, peserta didik memiliki
prestasi dalam berbagai kompetisi, dan peserta
didik memiliki karakter yang baik (Sani, 2015:
1-2). Mutu sekolah merupakan derajad
keunggulan yang dimiliki oleh sekolah dan
merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh
sekolah karena mutu sekolah menjadi bahan
pertimbangan bagi orang tua untuk
menyekolahkan anaknya. Mutu sekolah dapat
dilihat dari akrediatasi sekolah, lulusan yang
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
168
diterima di sekolah terbaik, guru yang
profesional dan kinerja yang baik, hasil ujian
yang baik, peserta didik yang berprestasi dan
berkarakter baik.
Meningkatkan kompetensi pedagogik
guru untuk meningkatkan mutu sekolah dapat
dilakukan dengan beberapa cara diantaranya
melalui MGMP (Musyawarah Guru Mata
Pelajaran), kursus kependidikan, workshop,
supervisi dan rapat sekolah (Saryati, 2014: 678-
680). Seperti pada penelitian yang dilakukan
oleh Suhaemi & Aedi (2015: 241-254) yang
menyatakan bahwa mengikut sertakan dosen
dalam berbagai kegiatan ilmiah, seminar,
simposium, workshop dan publikasi ilmiah
baik secara nasional maupun jurnal
internasional dapat meningkatkan kompetensi
pedagogik Dosen. Hal tersebut terlihat dari
lulusan yang bermutu dengan indeks prestasi
mahasiswa yang tinggi dan karya dosen dalam
menulis buku meningkat, dosen juga menjadi
handal dalam menggunakan multimedia dalam
pembelajaran. Selain itu pemanfaatan teknologi
dan komunikasi juga dapat meningkatkan
kompetensi pedagogik (Liu 2011; Donnelly,
dkk., 2011 dalam Khan, 2014: 21-31).
Peningkatan kompetensi pedagogik lainnya
dapat dilakukan melalui sikap saling belajar
antar guru dan mengadakan lesson study
(Tedjawati, 2011: 483), action research, study
groups, case discussion dan lesson study
(Department of Education & Training, 2005:
10). Dalam meningkatkan kompetensi
pedgogik guru juga diperlukan peran pemimpin
untuk dapat membangkitkan motivasi guru dan
dorongan untuk mencapai tujuan bersama
(Musadad, 2010: 145), selain peran pemimpin,
peran siswa perlu dilibatkan dalam
meningkatkan kompetensi pedagogik guru
karena dengan kerja sama guru dan siswa, maka
guru dapat memahami pola pikir siswa dan
mengembangkan pembelajarannya (Fullan &
Langworthy, 2014: 11). Dukungan eksternal
akan membantu meningkatkan kompetensi
pedagogik guru, seperti dukungan dari
pemerintah atau dinas pendidikan dengan
melakukan pelatihan, bantuan finansial,
mentoring dan evaluasi (Wilson. 2009: 1-9).
Kompetensi pedagogik penting
ditingkatkan untuk meningkatkan mutu
sekolah, dan hal tersebut penting untuk
dilakukan di SMA Swasta Berasrama di
Kabupaten Semarang yang memiliki murid dari
berbagai daerah dari berbagai penjuru
Indonesia. Peningkatan kompetensi pedagogik
guru ini penting karena sekolah ini sudah
memiliki rencana untuk meningkatkan dan
mengembangkan fasilitas sarana dan prasarana
dari tahun ke tahun secara berkelanjutan, dan
program promosi yang semakin berkembang.
Namun, belum ada program untuk
meningkatkan kualitas guru yang terencana
dengan jelas baik dari pihak sekolah maupun
dari pihak yayasan. Belum adanya rencana
strategis untuk meningkatkan kompetensi
pedagogik guru ini mempengaruhi kinerja guru
pada saat proses belajar mengajar, dimana
pengajaran masih student centered, kurangnya
kreatifitas dan inovasi guru pada saat mengajar.
Hal tersebut juga mempengaruhi lulusan SMA
ini, dimana untuk rumpun IPA selalu masuk
peringkat 3 besar di kabupaten, sedangkan
untuk rumpun IPS masih belum stabil untuk
berada di peringkat 5 besar kabupaten. Oleh
sebab itu, rencana strategi peningkatkan
kompetensi pedagogik bagi sekolah ini
sangatlah penting untuk meningkatkan mutu
sekolah. Dalam rangka mengembangkan
rencana strategi itulah penelitian ini dilakukan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian dan
pengembangan (Research and Development)
dengan menggunakan langkah-langkah dari
Sugiyono, namun hanya sampai pada tahap
ketujuh, yaitu: 1) potensi dan masalah; 2)
pengumpulan data; 3) desain produk; 4)
validasi desain; 5) revisi desain; 6) uji
kelayakan; dan 7) revisi produk. Penelitian
dilakukan disebuah SMA Swasta berasrama di
Strategi Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru Untuk … | Brigitta P. A. Tyagita
169
Kabupaten Semarang dengan subjek kepala
sekolah, wakil kepala sekolah, 1 guru bidang
studi pengetahuan alam, 2 guru bidang studi
sosial, 2 guru bidang studi bahasa, dan 1 guru
bidang studi umum.
Data diperoleh melalui wawancara,
observasi, dan studi dokumen. Analisa data
yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan analisis SWOT (Strength,
Weakness, Opportunity, and Threat), dan
dengan menggunakan analisis matrix IFAS
(Internal Factor Analysis Summary) dan EFAS
(External Factor Analysis Summary).
HASIL PENELITIAN
Analisis SWOT yang dilakukan dengan
menganilisis faktor internal, yaitu kekuatan dan
kelemahan, serta faktor eksternal yaitu peluang
dan ancaman melalui diskusi bersama dengan
para sumber/subjek penelitian, dan kemudian
dianalisis dengan menggunakan matriks IFAS
dan EFAS. Hasil analisis faktor internal dan
eksternal kemudian diberikan bobot dan rating,
kemudian dihitung skor akhirnya untuk
mengetahui nilai dari setiap faktor yang
nantinya akan menunjukan posisi yang dimiliki
oleh sekolah, apakah berada di kuadaran SO
(Strength Opportunity), kuadran ST (Strength
Threats), kuadran WO (Weakness
Opportunity), atau kuadran WT (Weakness
Threat). Hasil analisis faktor internal, kekuatan
dan ancaman adalah sebagai tertera dalam tabel
2 berikut ini.
Tabel 2. Matrix IFAS (Internal Factors Analysis Summary) No. Kekuatan Bobot Rating Bobot X Rating
1 Fasilitas sekolah sudah memadai 0.15 4 0.6
2 Sekurang-kurangnya 80% guru sudah bergelar sarjana 0.1 3 0.3
3 Beberapa guru masih muda dengan jenjang karir yang panjang 0.15 3 0.45
4 Kesejahteraan guru terjamin 0.1 2 0.2
5 Guru mengajar sesuai dengan bidangnya 0.1 3 0.3
6 Guru akrab dengan murid dan memberikan kesempatan belajar yang sama
terhadap peserta didik 0.1 3 0.3
7 Guru membuat administrasi pembelajaran dan penilaian serta silabus yang sesuai
dengan kurikulum 0.05 1 0.05
8 Guru-guru mata pelajaran IPA metode pembelajarannya lebih variatif dan
inovatif 0.1 2 0.2
9
Beberapa guru pengampu mata pelajaran UN IPA berhasil mengajar dan
membimbing siswanya dalam persiapan UN sehingga nilai UN masuk 3 besar
kabupaten.
0.05 2 0.1
10 Loyalitas guru tinggi 0.1 3 0.3
TOTAL 1 26 2.8
No. Kelemahan Bobot Rating Bobot X Rating
1 Manajemen dalam organisasi kurang maksimal sehingga program yang disusun
belum nampak pencapaian kompetensinya 0.2 1 0.2
2 Penerimaan guru mengutamakan untuk yang beragama Nasrani, dan untuk
kompetensi pedagogik guru dapat menyusul 0.1 3 0.3
3 Pembinaan guru dalam bidang kompetensi pedagogik dan profesionalisme
kurang 0.15 2 0.3
4 Pekerjaan guru diluar kelas (jam mengajar) cukup banyak (mengurus kegiatan-
kegiatan sekolah) 0.1 4 0.4
5 Guru pengampu mata pelajaran IPS dan umum masih ada yang mengajarnya
standar/biasa saja, kurang kreatif dan inovasi 0.1 2 0.2
6 Pengembangan kurikulum masih standar (masih sama seperti kurikulum dari
pemerintah) untuk mata pelajaran IPS dan umum 0.1 2 0.2
7 Beberapa guru masih minim dalam penguasaan kelas 0.15 2 0.3
8 Hasil UN mata pelajaran IPS masih standard dan masih belum maksimal (belum
stabil dalam menempati peringkat 5 besar kabupaten) 0.1 4 0.4
TOTAL 1 20 2.3
Sumber: Data penelitian
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
170
Berdasarkan tabel tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa nilai bobot dikalikan dengan
skor pada faktor kekuatan adalah 2.8 dan pada
faktor kelemahan adalah 2.3, sehingga nilai
akhir IFAS yaitu faktor kekuatan dikurangi
faktor kelemahan didapat 0.5. Hal ini
menunjukan bahwa faktor kekuatan lebih
dominan dari pada faktor kelemahan yang
dimiliki oleh sekolah.
Kemudian, hasil dari analisis EFAS
adalah sebagai tertera dalam table 3berikut ini.
Tabel 2. Matrix EFAS (External Factors Analysis Summary) No. Peluang Bobot Rating Bobot X Rating
1 Animo masyarakat terhadap sekolah tinggi 0.2 3 0.6
2 Jumlah murid meningkat setiap tahunnya 0.2 3 0.6
3 Sekolah berasrama 0.3 4 1.2
4 Hubungan dengan gereja dan beberapa SMP swasta baik 0.1 1 0.1
5 Adanya program sertifikasi guru dari pemerintah 0.1 2 0.2
6 Dukungan dari pemerintah 0.1 2 0.2
TOTAL 1 13 2.9
No. Ancaman Bobot Rating Bobot X Rating
1 Sekolah Negeri yang semakin baik 0.3 3 0.9
2 Munculnya sekolah-sekolah berasrama di sekitar SMA 0.4 1 0.4
3 Jumlah murid yang berasal dari sekitar menurun 0.2 2 0.4
4 Program KB (Keluarga Berencana) dari pemerintah 0.1 4 0.4
TOTAL 1 10 2.1
Sumber: Data Penelitian
Analisis dari matrik EFAS menunjukan
bahwa total pada peluang adalah 2.9 dan
ancaman adalah 2.1, sehingga skor akhir pada
matrik EFAS adalah peluang dikurangi
ancaman, 0.8. Hal ini menunjukan bahwa faktor
peluang yang dimiliki oleh sekolah lebih
dominan dan dapat dioptimalkan untuk
meningkatkan kompetensi pedagogik guru.
Berdasarkan analisis SWOT tersebut diketahui
skor akhir matrik IFAS adalah 0.5 dan skor
akhir matrik EFAS adalah 0.8, sehingga hasil
akhir menunjukan bahwa strategi berada di
kuadran SO (Strength Opportunity). Strategi
yang digunakan oleh sekolah nantinya adalah
strategi yang mengoptimalkan kekuatan dan
peluang yang dimiliki oleh sekolah. Hasil
analisis tersebut ditunjukan melalui matrik
SWOT berikut:
Table 3. Skor Akhir Matrik SWOT
IFAS EFAS
Kategori Total skor Kategori Total skor
Kekuatan (S) 2,8 Peluang (O) 2,9
Kelemahan (W) 2,3 Ancaman (T) 2,1
Total (S-W) 0,5 Total (O-T) 0,8 Sumber: Data penelitian
Dari hasil penelitian tersebut dapat
ditarik hasil bahwa faktor kekuatan internal
sekolah dan peluang eksternal sekolah lebih
kuat untuk meningkatkan mutu sekolah. Oleh
sebab itu dari hasil penelitian tersebut dapat
dianalisis strategi yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kompetensi pedagogik guru
untuk meningkatkan mutu sekolah dalam
penelitian ini ada 5, yaitu:
- Strategi pertama: mengoptimalkan
kolaborasi antar guru
- Strategi kedua: mengoptimalkan
kolaborasi antar guru dan siswa
- Strategi ketiga: mengoptimalkan
dukungan dari pihak eksternal (yayasan
dan dinas)
- Strategi keempat: mengoptimalkan
profesionalisme dan kualitas guru
- Strategi kelima: meningkatkan kerja sama
pengajar, murid, dan orang tua
Yang pertama adalah mengoptimalkan
kolaborasi antar guru yang dapat dilakukan
diantaranya dengan melakukan beberapa
kegiatan seperti case discussion, action
research, study groups dan lesson study
Strategi Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru Untuk … | Brigitta P. A. Tyagita
171
(Departement of Education & Training, 2005:
10; Tedjawati, 2011: 483). Selain itu, dapat juga
dilakukan kunjungan antar kelas, sehingga guru
dapat saling belajar mengenai metode mengajar
maupun keadaan kelas dari rekan guru lainnya
(Saryati, 2014: 678-680).
Kedua adalah mengoptimalkan
kolaborasi antar guru dan siswa. Hubungan
yang baik antara guru dan murid akan membuat
guru akan lebih memahami keadaan kelas dan
murid-muridnya, bagaimana muridnya
berpikir, karakter muridnya dan bagaimana
murid-muridnya berinteraksi satu sama lain,
sehingga guru dapat memilih metode mengajar
yang tepat dan sesuai. Hal tersebut dapat
membuat suasana belajar menjadi lebih
kondusif, suasana belajar menjadi lebih
komunal, dan memperkuat kesetiaan atau
ketaatan (OECD, 2010: 88-98). Selain itu,
menurut Fullan & Langworthy (2014: 11) saat
ini, siswa ingin terlibat aktif dalam
pembelajaran, sehingga untuk menciptakan
suasana belajar yang aktif dan kreatif maka
guru harus dapat bekerja sama dengan
muridnya.
Ketiga, mengoptimalkan dukungan dari
pihak eksternal (Yayasan dan Dinas). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Suhaemi dan
Aedi (2015: 241), dukungan dari pemerintah
terhadap rencana strategi untuk meningkatkan
kompetensi profesional dosen merupakan salah
satu faktor keberhasilan dari program
pengembangan kompetensi pedagogik dan
profesional dosen. Bantuan atau dorongan dari
pemerintah, instansi Dinas atau Universitas
dapat berupa memberikan pelatihan atau
seminar kepada guru terkait dengan
pembelajaran, mentoring dan meningkatkan
penilain guru supaya guru dapat terus
meningkatkan kualitasnya (Wilson, 2009: 1-9).
Kemudian, upaya ini didukung oleh penelitian
dari Ramdass & Masithulela (2016: 13) dimana
dalam penelitiannya ditemukan bahwa
dukungan dari pemerintah dan industri untuk
meningkatkan kompetensi pedagogik guru itu
penting.
Berikutnya adalah mengoptimalkan
profesionalisme dan kualitas guru. Program ini
merupakan sarana bagi guru untuk
meningkatkan dan mengembangkan
kompetensi pedagogiknya melalui beberapa
upaya dapat dilakukan oleh lembaga atau
sekolah untuk meningkatkan kompetensi
pedagogik guru, seperti dengan mengadakan
lokakarya (workshop), dan mengadakan
penataran guru (Saryati, 2014: 678-680). Selain
itu, guru juga dapat mengikuti seminar,
workshop, dan menerbitkan jurnal baik
nasional ataupun internasional untuk
meningkatkan kompetensi pedagogiknya
(Suhaemi & Aedi, 2015: 242). Penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi juga dapat
digunakan untuk meningkatkan kualitas
mengajar guru (Liu 2011; Donnelly, dkk., 2011
dalam Khan, 2014: 21).
Meningkatkan kerja sama pengajar,
murid, dan orang tua juga dapat menjadi
strategi untuk meningkatkan mutu sekolah.
Suasana belajar mengajar dan juga suasana
sekolah akan semakin lebih kondusif dan
performa siswa akan meningkat jika guru dan
murid memiliki hubungan yang baik dan
mendapatkan dukungan dari orang tua. Peran
orang tua merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi performa siswa (OECD, 2010:
88-89).
Pembahasan
Berdasarkan analisis SWOT, maka
didapatkan lima strategi yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan kompetensi pedagogik
guru dalam rangka meningkatkan mutu
sekolah, yaitu:
Strategi Pertama, adalah
mengoptimalkan kolaborasi antar guru.
Berdasarkan hasil analisa SWOT pada faktor
eksternal dan internal SMA Sedes Sapientiae
Jambu terlihat bahwa loyalitas guru dan
keakraban antar guru tinggi. Poin tersebut dapat
dioptimalkan untuk mendukung peningkatan
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
172
kompetensi pedagogik guru. Kolaborasi antar
guru yang dapat dilakukan diantaranya dengan
melakukan beberapa kegiatan seperti case
discussion, action research, study groups dan
lesson study (Departement of Education &
Training, 2005: 10; Tedjawati, 2011: 483).
Selain itu, dapat juga dilakukan kunjungan
antar kelas, sehingga guru dapat saling belajar
mengenai metode mengajar maupun keadaan
kelas dari rekan guru lainnya (Saryati, 2014:
678-680). Kegiatan yang dapat dilakukan
cukup banyak, yaitu sharing teman sejawat
(sharing edukatif) mengenai metode mengajar,
nilai-nilai pengetahuan, keadaan kelas dan
kondisi siswa, action research, study group,
case discussion, kunjungan antar kelas supaya
guru dapat saling belajar dan menilai mengenai
metode mengajar yang dilakukan oleh
rekannya, team teaching dan lesson study.
Dengan mengoptimalkan kolaborasi antar guru
ini dapat membantu guru untuk saling bertukar
pikiran secara edukatif dan saling belajar
dengan lebih santai karena para guru sudah
akrab dan terbiasa. Program kegiatan untuk
mengoptimalkan kolaborasi antar guru adalah
dengan sharing teman sejawat, action research
(penelitian tindakan) yang ditindak lanjuti
dengan pembuatan karya ilmiah nantinya, study
group, case discussion, kunjungan antar kelas,
team teaching, dan lesson study.
Strategi Kedua adalah kolaborasi antar
guru dan siswa. Kompetensi pedagogik
merupakan kemampuan pengenalan peserta
didik (Sagala, 2011: 32), selain itu, kompetensi
pedagogik guru perlu dimiliki oleh guru salah
satunya untuk mendiagnosis berbagai
hambatan dan masalah yang dihadapi oleh
peserta didik (Soedijarto, 2008: 199). Oleh
sebab itu, guru perlu untuk memiliki hubungan
yang baik untuk membantu meningkatkan
kompetensi pedagogik guru, terlebih guru-guru
di SMA Sedes Sapientiae Jambu sudah akrab
dan memiliki hubungan yang baik dengan
murid-murid, sehingga hal tersebut dapat lebih
dioptimalkan. Hubungan yang baik antara guru
dan murid akan membuat guru akan lebih
memahami keadaan kelas dan murid-muridnya,
bagaimana muridnya berpikir, karakter
muridnya dan bagaimana murid-muridnya
berinteraksi satu sama lain, sehingga guru dapat
memilih metode mengajar yang tepat dan
sesuai. Hal tersebut dapat membuat suasana
belajar menjadi lebih kondusif, suasana belajar
menjadi lebih komunal, dan memperkuat
kesetiaan atau ketaatan (OECD, 2010: 88-98).
Selain itu, menurut Fullan & Langworthy
(2014: 11) saat ini, siswa ingin terlibat aktif
dalam pembelajaran, sehingga untuk
menciptakan suasana belajar yang aktif dan
kreatif maka guru harus dapat bekerja sama
dengan muridnya. Kegiatan yang dapat
membantu guru untuk meningkatkan
kompetensi pedagogiknya diantaranya dengan
evaluasi harian, evaluasi mingguan dan
evaluasi diakhir semester. Keakraban dan kerja
sama antar guru dan siswa akan membantu guru
untuk memahami karakter siswanya, sehingga
guru dapat memberikan pengajaran yang
membuat para siswa tertarik dan kreatif.
Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah
evaluasi harian, evaluasi mingguan, dan
evaluasi akhir semester yang nantinya hasil
evaluasi tersebut akan menjadi penilaian guru
favorit atau guru berprestasi.
Strategi Ketiga, mengoptimalkan
dukungan dari pihak eksternal (Yayasan dan
Dinas). Pada penelitian yang dilakukan oleh
Suhaemi dan Aedi (2015: 241), dukungan dari
pemerintah terhadap rencana strategi untuk
meningkatkan kompetensi profesional dosen
merupakan salah satu faktor keberhasilan dari
program pengembangan kompetensi pedagogik
dan profesional dosen. Oleh sebab itu,
memanfaatkan peluang dari SMA Sedes
Sapientiae Jambu yang memiliki hubungan
yang baik dengan Pemerintah (Dinas), maka
hubungan tersebut dapat terus dioptimalkan.
Bantuan atau dorongan dari pemerintah,
instansi Dinas atau Universitas dapat berupa
memberikan pelatihan atau seminar kepada
Strategi Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru Untuk … | Brigitta P. A. Tyagita
173
guru terkait dengan pembelajaran, mentoring
dan meningkatkan penilain guru supaya guru
dapat terus meningkatkan kualitasnya (Wilson,
2009: 1-9). Kemudian, upaya ini didukung oleh
penelitian dari Ramdass & Masithulela (2016:
13) dimana dalam penelitiannya ditemukan
bahwa dukungan dari pemerintah dan industri
untuk meningkatkan kompetensi pedagogik
guru itu penting. Dengan adanya dukungan dan
kerja sama dari pemerintah dan industri, maka
sekolah akan mengetahui kebutuhan dari
pemerintah dan industri, sehingga nantinya
sekolah dapat membuat kurikulum untuk
mencapai kebutuhkan sosial yang dapat
memenuhi tenaga kerja (lulusan yang
berkualitas sesuai kebutuhan stakeholder).
Dukungan secara eksternal dari yayasan dan
dinas dapat berupa dukungan dalam evaluasi
guru, seperti bantuan atau dukungan untuk guru
supaya hasil tes UKG bisa lebih baik, melihat
hasil tes UKG dimana guru di SMA Sedes
Sapientiae Jambu kebanyakan masih berada
dibawah nilai minimal. Maka mengoptimalkan
penilaian guru dari pihak yayasan ataupun
Dinas dapat membantu guru untuk lebih
memahami dan mempraktekan kompetensi
pedagogik dan profesionalisme yang harus
dimiliki oleh guru. Kegiatan yang akan
dilakukan adalah dengan pengadaan pelatihan,
seminar, workshop, pertemuan MGMP, dan
simulasi tes UKG.
Strategi Keempat, adalah
mengoptimalkan profesionalisme dan kualitas
guru. Program ini merupakan sarana bagi guru
untuk meningkatkan dan mengembangkan
kompetensi pedagogiknya melalui beberapa
upaya dapat dilakukan oleh lembaga atau
sekolah untuk meningkatkan kompetensi
pedagogik guru, seperti dengan mengadakan
lokakarya (workshop), dan mengadakan
penataran guru (Saryati, 2014: 678-680). Selain
itu, guru juga dapat mengikuti seminar,
workshop, dan menerbitkan jurnal baik
nasional ataupun internasional untuk
meningkatkan kompetensi pedagogiknya
(Suhaemi & Aedi, 2015: 242). Penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi juga dapat
digunakan untuk meningkatkan kualitas
mengajar guru (Liu 2011; Donnelly, dkk., 2011
dalam Khan, 2014: 21). Beberapa kegiatan
peningkatan kompetensi pedagogik guru
tersebut dirangkum dalam kegiatan pelatihan,
baik pelatihan dan seminar metode mengajar
maupun pelatihan pemanfaatan media
teknologi dan e-learning, dan workshop.
Kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan
bekerja sama dengan pihak luar seperti
pemerintah, universitas atau instansi
pendidikan lainnya sebagai sponsor kegiatan
maupun membantu dalam penyelenggaran
kegiatan tersebut, atau menjadi pelatih atau
pembicara dalam kegiatan tersebut.
Mengoptimalkan kegiatan pengembangan
pedagogik guru ini dapat dilakukan dengan
bekerja sama dengan beberapa instansi
pendidikan lainnya, pemerintah, atau
universitas mitra. Dalam strategi keempat ini,
kegiatan yang dilakukan adalah pelatihan,
seminar, lokakarya dan karya ilmiah guru
dengan adanya pelatihan karya ilmiah, dan
ajang kompetensi.
Strategi Kelima meningkatkan kerja
sama pengajar, murid, dan orang tua. Suasana
belajar mengajar dan juga suasana sekolah akan
semakin lebih kondusif dan performa siswa
akan meningkat jika guru dan murid memiliki
hubungan yang baik dan mendapatkan
dukungan dari orang tua. Peran orang tua
merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi performa siswa (OECD, 2010:
88-89). Dengan adanya peran orang tua maka
siswa akan merasa terdorong dan termotivasi
dengan dukungan orang tua, sehingga nantinya
performa siswa akan lebih baik. Melibatkan
orang tua dalam peningkatan kompetensi
pedagogik guru dapat membantu guru untuk
mendapatkan umpan balik dari para orang tua,
dimana orang tua dapat memberikan masukan
kepada guru mengenai kondisi anaknya
sehingga guru dapat lebih memahami anaknya
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
174
dan begitu pula sebaliknya, dimana guru dapat
memberikan masukan kepada orang tua
mengenai kondisi anaknya sehingga orang tua
dapat mendukung anaknya dengan optimal.
Program ini dapat lebih dioptimalkan dengan
adanya web sekolah dan sms gateaway dimana
kegiatan sekolah selalu diberitahukan oleh
pihak sekolah kepada orang tua dan
ditampilkan dalam web sekolah, sehingga
orang tua mengetahui kegiatan yang terjadi
disekolah. Kegiatan yang dapat dilakukan
dalam program kemitraan orang tua dan komite
yaitu meliputi kegiatan evaluasi akhir semester
bersamaan dengan evaluasi akhir semester
siswa, dan pemberian penghargaan kepada guru
supaya guru lebih termotivasi dalam mengajar.
Dalam program kemitraan orang tua dan komite
ini dapat dilakukan kemitraan keluarga.
Kerjasama antar pengajar ini dapat
dioptimalkan untuk memotivasi guru supaya
pembelajaran yang dilakukan oleh guru dapat
lebih maksimal, bervariatif, dan inovatif. Siswa
juga dapat berperan aktif untuk memberikan
penilaian kepada guru, sehingga guru akan
menerima masukan dari para murid untuk
pembelajaran yang lebih baik lagi. Beberapa
kegiatan yang dilakukan pada strategi kelima
ini adalah dengan evaluasi akhir semester dan
adanya teacher award atau penghargaan
kepada guru.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dalam upaya menentukan strategi
peningkatan kompetensi pedagogik guru di
sekolah menengah atas berasrama di kabupaten
Semarang, terdapat beberapa faktor internal
(kekuatan – kelemahan) dan eksternal
(peluang-ancaman) yang dimiliki oleh sekolah.
Faktor-faktor itu telah dianalisis menggunakan
SWOT dan hasil akhir dari analisis SWOT
adalah kekuatan lebih tinggi dari pada
kelemahan, dan peluang yang dimiliki oleh
sekolah lebih tinggi dari pada ancaman. Oleh
karena itu, sekolah ini berada pada kuadran SO
(Strength-Opportunity), yang berarti dalam
merencanakan strategi peningkatan kompetensi
pedagogik guru, sekolah menggunakan strategi
agresif dengan memanfaatkan kekuatan yang
dimiliki untuk menangkap peluang yang ada.
Faktor kekuatan yang dimiliki oleh
sekolah diantaranya adalah fasilitas sekolah
yang memadai, sekurang-kurangnya 80% guru
sudah bergelar sarjana, beberapa guru masih
muda dengan jenjang karir yang panjang,
kesejahteraan guru terjamin, guru mengajar
sesuai bidangnya, guru akrab dengan murid dan
memberikan kesempatan belajar yang sama
terhadap peserta didik, guru telah membuat
administrasi pembelajaran, penilaian, serta
silabus yang sesuai dengan kurikulum, guru-
guru mata pelajaran IPA memiliki metode
mengajar yang lebih variatif dan inovatif,
beberapa guru mata pelajaran IPA berhasil
mengajar dan membimbing siswanya dalam
persiapan UN sehingga nilai UN selalu masuk
3 besar di kabupaten, dan loyalitas guru
terhadap kemajuan sekolah tinggi. Sedangkan
faktor peluang yang dimiliki sekolah adalah
animo masyarakat terhadap sekolah tinggi,
jumlah murid meningkat setiap tahunnya,
sekolah berasrama, hubungan dengan gereja
dan SMP swasta baik, adanya program
sertifikasi dari pemerintah dan dukungan dari
pemerintah (dinas).
Oleh karena itu strategi yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kompetensi
pedagogik guru untuk meningkatkan mutu
sekolah dalam penelitian ini ada 5, yaitu: a)
mengoptimalkan kolaborasi antar guru, b)
mengoptimalkan kolaborasi antar guru dan
siswa, c) mengoptimalkan dukungan dari pihak
eksternal (yayasan dan dinas), d)
mengoptimalkan profesionalisme dan kualitas
guru, dan e) meningkatkan kerja sama pengajar,
murid, dan orang tua. Kelima strategi tersebut
dapat dilakukan dalam jangka panjang dan
berkala sesuai dengan keadaan dan kondisi
sekolah. Dalam pelaksanaan program
operasional sekolah tersebut melibatkan peran
Strategi Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru Untuk … | Brigitta P. A. Tyagita
175
serta dari yayasan atau dinas sebagai
supervisor, kepala sekolah sebagai penanggung
jawab, wakil kepala sekolah sebagai ketua
pelaksana, guru sebagai pelaksana dan juga
peserta, dan komite sebagai pendukung.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran yang
dapat diberikan bagi sekolah adalah
merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi
program peningkatan kompetensi pedagogik
guru di sekolah guna tercapainya tujuan
sekolah, membentuk tim pengembangan dan
peningkatan kompetensi pedagogik guru untuk
peningkatan mutu sekolah, dan menjalin kerja
sama dan komunikasi dengan instansi-instansi
atau pihak lainnya seperti universitas atau dinas
pendidikan untuk pelatihan atau workshop
untuk guru.
Sedangkan saran bagi kepala sekolah
hendaknya memiliki gaya kepemimpinan yang
tegas, sehingga dapat membantu mengarahkan
guru untuk lebih baik dan hendaknya
memotivasi guru untuk meningkatkan
kompetensi pedagogiknya dan untuk menulis
karya ilmiah untuk diterbitkan atau
diseminarkan secara nasional ataupun
internasional.
Saran bagi guru hendaknya memiliki
kemauan tinggi untuk meningkatkan
kompetensi pedagogik dan profesionalisme,
sehingga kinerjanya akan semakin meningkat,
mempunyai kemauan yang tinggi untuk
mengikuti dan mengapikasikan hasil seminar
atau workshop atau pelatihan yang lain dalam
proses belajar mengajarnya dan memiliki
loyalitas yang tinggi dalam memajukan sekolah
dan memiliki keakraban antar guru maupun
siswa. Untuk penelitian yang lebih lanjut dapat
diperdalam mengenai peningkatan kompetensi-
kompetensi guru yang lain guna meningkatkan
mutu sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
CIRR ICD. 2005. Capacity Building for Local
NGOs: A Guidance Manual for Good
Practice. London: Catholic Institute for
International Relation. Retrieved from
http://www.progressio.org.uk/sites/progressio.o
rg.uk/files/3_Strategicplanning.pdf
Danim, S. 2010. Otonomi Manajemen Sekolah.
Bandung: Alfabeta.
Departement of Education & Training. 2005.
Professional Learning in Effective
Schools: The Seven Principles of Highly
Effective Professional Learning.
Melbourne: Leadership and Teacher
Development Branch. Retrieved from
http://www.sofweb.vic.edu.au/blueprint/fs5/def
ault.asp
Fahruddin, I. 2016, Desember 15. Kualitas
Pendidikan Indonesia. Retrieved 12 22,
2016, from Tentang Nusantara:
http://www.tentangnusantara.com/kualitas-
pendidikan-indonesia.html
Fullan, M., & Langworthy, M. 2014. A Rich
Seam: How New Pedagogies Find Deep
Learninng. California: Pearson.
Guerriero, Sonia. 2013. Teachers’ Pedagogical
Knowledge and the Teaching
Profession Background Report and
Project Objectives. OECD (Better
Policies For Better Lives)
Hakim, A. 2015. Contribution of Comptence
Teacher (pedagogical, Personality,
Professional Competence and Social)
On the Performance of Learning. The
International Journal of Engineering
and Science (IJES), 4 (2), 1-12.
Inan, Kito. 2016, January 24. Permasalahan
Guru di Indonesia Sekarang. Retrieved
December 20, 2016, from Inan Kito
Konsultan: Konsultan Pendidikan dan
Sains Dasar:
http://www.inankito.org/2016/01/perm
asalahan-guru-di-indonesia-
sekarang.html
Juddy, Farrah. 2014. Best Practice: Strategic
Planning. Arlington Blvd: Foundation
for Community Association Research.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
176
Kementrian Pendidikan Nasional. 2010.
Pedoman Pelaksanaan Penilaian
Kinerja Guru (PK Guru). Direktorat
Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik
dan Tenaga Kependidikan. Retrieved
from www.bermutuprofesi.org
Khan, S. H. 2014. A Model for Integrating ICT
into Teacher Training Programs in
Bangladesh based on TPCK.
International journal of education adn
development using information and
communication technology, 10, Issue 3,
21-31.
Musadad, A. A. 2010. Peran Kepemimpinan,
Etos Kerja, dan Persepsi Kepala
Sekolah Terhadap Mutu Pendidikan.
Paedagogia, 145.
OECD. 2005. Education at a Glance 2010:
OECD Indicators. Paris: OECD
Publishing.
Panda, S. 2012. Mapping Pedagogical
Competency of Secondary School
Science Teacher: An Attempt and
Analysis. International E-Journal
(Quarterly), 1 (4), 32-45. Retrieved
from www.oiirj.org
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16
Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi
Akamdemik dan Kompetensi Guru.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan.
Rahman, M. H. 2014. Professional
Competence, Peagogical Competence
and the Performance of Junior High
School of Science Teachers. Journal of
Education and Practice, 5 (9), 75-80.
Retrieved from www.iiste.org
Ramdass, K. & Mashitulela, F. J. 2016.
Comparative Analysis of Pedagogical
Strategies Across Disciplines in Open
Distance Learning at Unisa.
International Review of Research in
Open and Distributed Learning, 17 (2).
Retrieved from www.irrodl.org
Rangkuti, F. 2016. Analisis SWOT: Teknik
Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT.
Gramedia.
Sagala, S. 2011. Konsep dan Makna
Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Sani, R., & Abdullah, D. 2015. Penjamin Mutu
Sekolah. (N. Syamsiyah, Ed.) Jakarta:
Bumi Aksara.
Saryati. 2014. Upaya Peningkatan Kompetensi
Pedagogik Guru Sekolah Dasar. Jurnal
Administrasi Pendidikan, 2 (1).
Retrieved from www.ejournal.unp.ac.id
Soedijarto. 2008. Landasan dan Arah
Pendidikan Nasional Kita. Jakarta:
Kompas.
Suhaemi, M. E., & Aedi, N. 2015. A
Management Strategy for the
Imrpovement of Private Universities
Lectures' Professional Competencies.
International Education Studies, 8(12),
241-254. doi:10.5539/ies.v8n12p241
Tedjawati, J. M. 2011. Peningkatan
Kompetensi Guru Melalui Lesson
Studi: Kasus di Kabupaten Bantul.
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 17
(4), 480-489.
Umiarso, & Gozali, I. 2010. Manajemen Mutu
Sekolah di Era Otonomi Pendidikan.
Jogjakarta: IRCiSoD
Uppsala University. 2010. A Swedish
Perspective on Pedagogical
Competence. (A. R. Apelgren, Ed., & R.
Eriksson, Trans.) Swedish: Uppsala
University.
Wilson, S. (Ed.). 2009. Teacher Quality:
Education Policy White Paper. National
Academy and Education, 1-9.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018
Halaman: 177-189
177
Pengembangan Modul Pelatihan Pedagogical Content Knowledge (PCK)
Dalam Meningkatkan Kompetensi Profesional dan Kompetensi Pedagogik
Guru Matematika SMP
Mega Wulandari
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
megaretno2503@gmail.com
Ade Iriani
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
ade.iriani@staff.uksw.edu
ABSTRACT
The research objectives are to describe the training that has been held so far and its
weaknesses and to develop PCK training modules in order to improve the pedagogical and
professional competence of mathematics teachers. This type of research is research and
development. The research subjects were the MGMP Coordinator and junior high school
mathematics teacher. Data collection techniques are observation, interviews, documentation
studies, and tests. Data analysis techniques use mixed methods. The PCK training module was
developed using the Sugiyono model, taking 7 stages namely potential and problems, data
collection, product design, design validation, design revisions, limited trials and product
revisions. Module validation tests are carried out by module experts, PCK experts, and
prospective users. Research results: 1) Training for junior high school mathematics teachers
have been focused on the dissemination of the 2013 curriculum and PCK training has never
been held; 2) The weakness of the training that has been held so far: material from the
powerpoint print out presented by the speaker, when the training collided with teaching
activities in the school, the training material was only about the 2013 curriculum; and 3) PCK
training modules that have been developed are feasible to use.
Keywords: Junior High School Mathematics Teacher, Pedagogical Content Knowledge
(PCK), Training Module
Article Info
Received date: 5 Desember 2018 Revised date: 24 Desember 2018 Accepted date: 24 Desember 2018
PENDAHULUAN
Pedagodical Content Knowledge (PCK)
atau pengetahuan konten pedagogik, pertama
kali dikenalkan oleh Shulman pada tahun 1986.
Menurut Shulman (1986:6) terdapat tiga
dimensi pengetahuan profesional yang penting
bagi seorang guru yaitu Subject Matter Content
Knowledge, PCK (Pedagogical Content
Knowledge), dan CK (Curricular Knowledge).
Pedagogical Content Knowledge (PCK)
merupakan salah satu pengetahuan dan elemen
penting yang mutlak harus dikuasai oleh guru
dalam rangka meningkatkan kualitas guru
(Hanggara, 2015:1). PCK menurut Shulman
(1986:9) merupakan kombinasi dari dua jenis
kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis
(pedagogical knowledge) dan pengetahuan
konten (content knowledge). Seorang guru
harus menguasai dua pengetahuan dalam
melakukan pembelajaran secara seimbang,
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
178
yaitu pengetahuan materi pelajaran dan
pengetahuan pedagoginya (Resbiantoro,
2015:123). PCK sangat penting dimiliki oleh
seorang guru untuk menciptakan pembelajaran
yang bermakna bagi siswa. PCK menjadi isu
sekaligus ide baru untuk memaksimalkan
proses dan hasil pembelajaran, khususnya
dalam pembelajaran matematika.
Seorang guru harus menguasai
pengetahuan dalam melakukan pembelajaran
secara seimbang, antara pengentahuan materi
pelajaran dan pengetahuan pedagogi. Content
Knowledge (CK) merupakan salah satu
pengetahuan yang ada di dalam Pedagogical
Content Knowledge (PCK). Content knowledge
merupakan kompetensi profesional guru.
Menurut PP No. 74 tahun 2008, kompetensi
profesional adalah kemampuan guru dalam
menguasai pengetahuan bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang
diampunya. Selain kompetensi profesional
seorang guru juga harus memiliki kompetensi
pedagogik. Menurut Aminah (2014:56)
pengetahuan pedagogi merupakan jenis
pengetahuan yang unik untuk guru dan
didasarkan pada cara guru dalam mengajarkan
apa yang akan diajarkan. Selain itu,
Suminawati (2018: 3) berpendapat bahwa
Pedagogical Knowledge (PK) berkaitan
dengan cara dan proses mengajar yang meliputi
pengetahuan tentang manajemen kelas, tugas,
perencanaan pembelajaran dan pembelajaran
siswa. Oleh karena itu, Pedagogical Knowledge
(PK) sangat identik dengan kompetensi
pedagogik guru.
Saat ini teknologi dan informasi
berkembang dengan pesat. Sehingga,
muncullah tantangan terkait penerapan
teknologi dalam proses pembelajaran.
Tantangan tersebut, tidak mudah dihadapi oleh
guru, karena guru harus mampu menguasai
teknologi dan menerapkan dalam proses
pembelajaran. Untuk menjawab tantangan
tersebut, sebuah kerangka teoritis penting yang
muncul dalam penggunaan teknologi informasi
dan komunikasi oleh guru saat ini adalah
Technological Pedagogical Content
Knowledge (TPACK) (Rosyid, 2016). TPACK
merupakan sebuah kerangka untuk
mengintegrasikan teknologi dalam mengajar
(Koehler, Mishra, Ackaoglu,&Rosenberg,
2013). Menurut Roysid (2016) Technological
Pedagogical Content Knowledge (TPACK)
berfokus pada 3 komponen utama yaitu konten,
pedagogik dan teknologi.
Damawati (2015) berpendapat bahwa
PCK merupakan faktor penting karena sangat
berpengaruh terhadap proses pengajaran yang
dilakukan guru. Untuk mengembangkan PCK
guru dapat melalui program pelatihan yang
tujuannya untuk menfasilitasi guru dalam
mengembangkan PCK dan meningkatkan
kesadaran terhadap prosedur mengajar dan
pembelajaran. Untuk mengajar seorang guru
tidak hanya cukup dengan berbekal memahami
konten materi saja, tetapi juga harus
mengetahui cara mengajarkan materi tersebut
(Susilowati, 2015).
Penelitian ini hanya berfokus pada PCK
seorang guru. Hal ini dikarenakan, beberapa
guru matematika SMP di Kota Salatiga masih
memiliki kendala terkait pemahaman terhadap
materi matematika dan cara mengajar siswa
dengan karakteristik yang berbeda. Selain itu,
walaupun beberapa guru memiliki pemahaman
yang cukup baik terhadap teori belajar, metode
mengajar atau media mengajar, namun
terkadang guru-guru masih kesulitan dalam
mengimplementasi kan atau praktik mengajar.
Sehingga mereka memiliki pola mengajar yang
tetap, padahal tidak semua materi matematika
dapat diajarkan kepada siswa dengan metode
mengajar yang sama, karena setiap materi
memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Permasalahan tersebut menunjukkan bahwa
PCK yang dimiliki oleh beberapa guru
matematika di Kota Salatiga masih kurang,
khususnya dalam pengetahuan materi dan cara
mengajarnya. Oleh karena itu, perlu adanya
usaha dalam mengembangkan PCK guru
Pengembangan Modul Pelatihan Pedagogical Content Knowledge (PCK) … |Mega Wulandari & Ade Iriani
179
Matematika, sehingga dapat meningkatkan
kompetensi pedagogik dan kompetensi
profesional yang dimilikinya.
Menurut Shulman (1986:14), banyak
faktor yang mempengaruhi PCK guru,
diantaranya adalah : pengalaman mengajar
(Teaching Experience), pelatihan (Training),
sarana & prasarana pembelajaran (Technology),
efikasi diri (Self Efficacy) dan motivasi
(Motivation). Pelatihan (Training) merupakan
salah satu upaya untuk mengembangkan
kemampu an dan meningkatkan kompetensi
guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya.
Berdasarkan paparan tersebut, peneliti
berupaya meningkatkan kompetensi pedagogik
dan kompetensi profesional dengan cara
mengembangkan modul pelatihan PCK. Aditia
(2013:6) mengemukakan bahwa modul
merupakan alat atau sarana pembelajaran yang
berisi materi, metode, batasan-batasan materi
pembelajaran, petunjuk kegiatan belajar,
latihan dam cara mengevaluasi yang dirancang
secara sistematis dan menarik, untuk mencapai
kompetensi yang di harapkan dan dapat
digunakan secara mandiri. Menurut
Departemen Pendidikan Nasional (2002:21-26)
satu modul dibuat untuk mengajarkan suatu
materi yang spesifik supaya peserta belajar
mencapai kompetetensi tertentu. Struktur
penulisan suatu modul sering dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu bagian pembukaan, bagian
inti dan bagian penutup.
Modul pelatihan PCK dikembangkan
dengan model Sugiyono. Sugiyono (2010:407)
mengemukakan bahwa pengembangan atau
Research and Development (R&D) adalah
metode penelitian yang digunakan untuk
menghasilkan produk tertentu, dan menguji
keefektifan produk tersebut. Penelitian ini,
hanya mengambil 7 (tujuh) tahapan yang dalam
model Sugiyono. tujuh tahapan tersebut yaitu
potensi dan masalah, pengumpulan data, desain
produk, validasi desain, revisi desain, uji coba
terbatas, dan revisi produk.
Penelitian berjudul “Pengembang- an
Modul Pelatihan Pedagogical Content
Knowledge (PCK) Dalam Meningkatkan
Kompetensi Profesional Dan Kompetensi
Pedagogik Guru Matematika SMP” ini
bertujuan untuk a) mendeskripsikan pelatihan
yang selama ini diselenggara kan, b)
mendeskripsikan kelemahan pelatihan yang
selama ini diselenggarakan dan c)
mengembangkan modul pelatihan PCK untuk
meningkatkan kompetensi pedagogik dan
kompetensi profesional guru matematika SMP
di Kota Salatiga.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan jenis
penelitian pengembangan atau Research and
Development (R&D). Penelitian ini di lakukan
di Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah.
Penelitian pengembangan ini menggunakan
rancangan penelitian model Sugiyono dengan
mengambil tujuh tahapan saja, dimulai dengan
adanya potensi dan masalah, pengumpulan
data, desain produk, validasi desain, revisi
desain, uji coba produk terbatas, dan revisi
produk. Teknik pengumpulan data yang di
gunakan dalam penelitian ini yaitu observasi,
wawancara, studi dokumentasi dan tes.
Observasi dilakukan pada tahapan pelaksanaan
pelatihan, untuk mengamati proses pelaksanaan
pelatihan yang sedang dilakukan. Wawancara
dilakukan untuk mendapatkan data mengenai
pelatihan dan PCK yang dimiliki guru
matematika. Studi dokumen digunakan untuk
menambah dan melengkapi data yang di
perlukan dalam penelitian ini, dengan cara
membaca dan mempelajari dokumen-dokumen
yang ada. Adapun dokumen yang dibutuhkan
berupa profil sekolah dan dokumen terkait
guru-guru yang mengajar matematika di setiap
SMP, serta kajian teori mengenai PCK dan
modul pelatihan. Tes dalam penelitian ini
terdiri dari pre-test (sebelum pelatihan) dan
post-test (setelah pelatihan) yang dilakukan
pada fase implementasi atau uji coba produk
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
180
terbatas untuk mengetahui peningkatan
kompetensi pedagogik dan kompetensi
profesioanal peserta pelatihan setelah
mengikuti pelatihan. Teknik analisis data dalam
penelitian ini menggunakan metode campuran
(Mixed Methods).
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Deskripsi Pelatihan Yang Pernah
Diselenggarakan
Pelatihan bagi guru-guru merupakan
suatu kebutuhan yang penting. Selama ini, guru
matematika pada jenjang SMP di Kota Salatiga,
sering mengikuti beberapa pelatihan yang
diselenggarakan oleh dinas pendidikan maupun
MGMP. Untuk menggali informasi tentang
pelatihan yang selama ini diikuti peneliti
mewawancara1 seorang koordinator MGMP
untuk mapel matematika (YE), dan 2 (dua)
orang guru matematika (RD dan BD) yang
mengajar di SMP yang berada di wilayah
Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga. Hasil
wawancara dengan YE, RD dan BD
menunjukkan bahwa pelatihan yang selama ini
diikuti merupakan program pemerintah.
Adapun program pemerintah selama 3 tahun
terakhir ini adalah berkaitan dengan sosialisasi
Kurikulum 2013. Pelatihan bagi guru mapel
matematika pada jenjang SMP selama satu
tahun terakhir ini rutin dilaksanakan oleh
MGMP. Waktu pelatihan disesuaikan dengan
materi pelatihan yang akan disampaikan.
Peserta yang di undang sekitar 80 orang tetapi,
yang merespon dan berpartisipasi biasanya
hanya setengahnya saja. Tempat pelatihan
biasanya di sekolah-sekolah yang ada ruangan
atau gedung yang luas untuk dapat digunakan
sebagai tempat pelatihan. Peserta pelatihan
diberi materi pelatihan yang akan dipaparkan
oleh pembicara, biasanya berupa print out
Power Point materi ataupun modul jika ada.
Tindak lanjut dari pelatihan berbeda-beda,
misalnya dalam pelatihan Kurikulum 2013
nantinya guru-guru dituntut untuk membuat
RPP Kurikulum 2013 dan nantinya ada tim
yang mendampingi saat mengimplementasikan
nya di dalam kelas.
Berdasarkan hasil wawancara, masih
terdapat beberapa guru dengan pratik mengajar
yang belum baik. Guru-guru mengetahui dan
paham akan teori belajar, metode pembelajaran
maupun pendekatannya. Tetapi, di dalam
mewujudkannya ke dalam praktik mengajar
masih kesulitan. Tidak semua materi
matematika, bisa menggunakan pendekatan
atau metode pembelajaran yang sama, dan
masih ada guru yang memaksakan materi
tertentu yang sebetulnya tidak cocok dengan
metode yang dipilihnya. Hal ini, biasanya
dikarenakan guru-guru hanya berpatokan pada
buku ajar saja. Padahal penguasaan materi
sangat berpengaruh terhadap pemilihan dan
penentuan metode ataupun pendekatan yang
akan digunakan pada materi tertentu.
Hasil wawacara dengan RD dan BD
menunjukkan bahwa kedua guru ini pernah
mengikut pelatihan yang diselenggarakan oleh
MGMP. Tetapi, tidak semua kegiatan pelatihan
yang diselenggarakan oleh MGMP mereka
ikuti. Hal itu karena waktu pelatihan
bertabrakan dengan waktu kegiatan di sekolah
ataupun ada beberapa hal yang tidak dapat
ditinggalkan. YE juga berpendapat bahwa
setiap guru memiliki kebutuhan dan zona yang
berbeda-beda, sehingga menyebabkan guru-
guru tidak aktif dalam pelatihan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
YE, RD, dan BD selama ini belum pernah ada
pelatihan yang berkaitan dengan PCK. RD dan
BD mengatakan bahwa belum memahami
ataupun mengerti apa itu PCK. Berdasarkan
hasil wawancara dengan YE yang menyatakan
bahwa jika diselenggarakan pelatihan
mengenai PCK sangat bermanfaat bagi guru,
dimana PCK merupakan perpaduan di antara
pengetahuan materi dan pengetahuan cara
mengajar. Hal ini, dikarenakan masih banyak
guru yang kurang menguasai materi dan pada
Pengembangan Modul Pelatihan Pedagogical Content Knowledge (PCK) … |Mega Wulandari & Ade Iriani
181
akhirnya memaksakan mengajar materi tertentu
dengan metode mengajar yang tidak cocok.
Melalui pelatihan PCK, diharapkan para guru
dapat menambah pengetahuannya tentang PCK
dan mengembangkan kompetensi yang
dimilikinya.
Deskripsi Kelemahan Pelatihan Yang
Selama Ini Diselenggarakan
Berdasarkan hasil wawancara dengan
YE, RD dan BD, peneliti menyimpulkan
beberapa kelemahan pelatihan yang selama ini
di selenggarakan, sebagai berikut: 1). Materi
yang diberikan kepada peserta pelatihan hanya
sekedar print out power point yang akan
dipaparkan pembicara. Hal ini, menghambat
guru-guru ketika hendak mempelajari kembali
materi pelatihan setelah pelatihan selesai.
Selain itu, terkadang point penting ataupun
paparan yang sebetulnya sangat berguna bagi
guru-guru tidak tertulis dan pada akhirnya
guru-guru melupakan hal tersebut.; 2).
Kebutuhan dan tuntutan setiap guru sangat
berbeda-beda. Kebutuhan guru berbeda satu
dengan yang lain. Biasanya, guru yang sudah
mendekati masa pensiun lebih cenderung pasif
dan tidak terlalu antusias dalam mengikuti
pelatihan. Selain itu, tuntutan setiap sekolah
yang berbeda-beda juga mempengaruhi
partisipasi guru dalam mengikuti pelatihan; 3).
Seorang guru memiliki tugas mengajar yang
berbeda satu dengan yang lain. Selain, tugas
mengajar, kegiatan sekolah yang lebih
mendesak dan dadakan juga menjadi kendala
guru dalam mengikuti pelatihan. Misalnya,
kunjungan pengawas sekolah atau kegiatan
lainnya. Sehingga, guru tidak memiliki waktu
untuk mengikuti kegiatan pelatihan yang
diselenggarakan oleh MGMP maupun oleh
dinas pendidikan; dan 4). Materi pelatihan
disesuaikan dengan program pemerintah.
Selama 3 tahun terakhir, pelatihan yang di
selenggarakan berkaitan dengan kurikulum
2013. Sebagian guru-guru merasa jika
mengikuti satu kali pelatihan saja sebenarnya
sudah cukup. Karena, biasanya pelatihan yang
berkaitan dengan kurikulum 2013 tidak hanya
diselenggarakan dalam waktu satu kali
pertemuan. Kelemahan dari pelatihan yang
selama ini diselenggarakan, peneliti gunakan
sebagai bahan refleksi sehingga mendorong
dilakukaannya penelitian dan pengembangan
ini.
Pengembangan Modul Pelatihan PCK
Potensi dan Masalah
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan
adalah menganalisis potensi dan masalah yang
dihadapi guru matematika SMP di Kota
Salatiga. Guru yang mengajar mata pelajaran
matematika pada jenjang SMP di kota Salatiga,
memiliki bekal ilmu yang linier dengan mapel
yang diampunya. Guru-guru memiliki
kualifikasi akademik pendidikan minimum
sarjana dengan program studi yang sesuai mata
pelajaran yang diampunya yaitu matematika.
Sehingga, guru-guru tersebut memiliki
pengetahuan matematika yang menjadi bekal
untuk mengajar.
Hasil wawancara dengan salah seorang
koordinator MGMP (YE), menunjukkan bahwa
banyak guru matematika SMP di Kota Salatiga
yang praktik mengajarnya masih kurang. Setiap
materi matematika mempunyai karakteristik
yang berbeda, sehingga tidak bisa di paksakan
dengan model atau metode atau cara mengajar
yang sama. Penguasaan materi yang kuat akan
membantu guru dalam menentukan strategi
mengajar yang akan digunakan. Pemilihan
metode atau model atau pendekatan yang tepat
akan membantu siswa dengan memahami
materi matematika. Sesulit-sulitnya materi
matematika jika di ajarkan dengan cara serta
strategi mengajar yang tepat akan mudah di
terima oleh siswa.
Berdasarkan permasalahan tersebut,
perlu dilakukan sebuah pelatihan bagi guru-
guru matematika yang masih mengalami
kesulitan cara mengajar dengan materi tertentu.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pelatihan
mengenai Pedagogical Content Knowledge
(PCK) melalui modul pelatihan yang dapat
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
182
membantu guru matematika untuk
mengembangkan pengetahuan materi ajar dan
pengetahuan mengajar yang dimilikinya.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini
dimulai dari studi pendahuluan terkait pelatihan
yang sebelumnya diselenggarakan, kompetensi
pedagogik dan kompetensi profesional guru
matematika SMP dan penguasaan materi serta
pemahaman cara mengajar guru matematika
melalui wawancara dengan koordinator MGMP
dan guru matematika terpilih. Selain itu, dalam
tahapan pengumpulan data, dilakukan kajian
teoritik tentang PCK, modul pelatihan, dan
kompetensi profesional dan kompetensi
pedagogik guru matematika. Langkah
selanjutnya yaitu mengumpulkan berbagai
informasi dan studi literatur yang digunakan
untuk perencanaan produk.
Desain Modul Pelatihan
Perancangan modul pelatihan PCK
didasarkan data yang diperleh pada tahap
potensi dan masalah, yaitu masih terdapat guru
matematika yang mengalami kesulitan terkait
pemahaman materi ajar matematika dan
pemahaman cara mendidik peserta didik. Hal
itu dimaksudkan agar rancangan desain yang
telah disusun dapat mengatasi permasalahan
yang terjadi di lapangan.
Pada tahapan desain produk peneliti
menyusun dan menulis sebuah modul pelatihan
Pedagogical Content Knowledge (PCK).
Adapun sistematika penulisan modul ini, yaitu
(1) bagian awal yang terdiri dari halaman judul,
kata pengantar, daftar isi dan glosarium; (2)
bagian pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang, tujuan, peta kompetensi, ruang
lingkup, dan petunjuk penggunaan modul; (3)
bagian pembelajaran berisi kegiatan
pembelajaran yang terdiri dari pengantar,
kompetensi dasar, indikator pencapaian, tujuan
pembelajaran, uraian materi, aktivitas
pembelajaran, latihan atau tugas, rangkuman,
tes formatif, umpan balik dan tindak lanjut dan
kunci jawaban; (4) bagian evaluasi yang terdiri
dari tes dan kunci jawaban; (5) bagian akhir
yang terdiri dari penutup, daftar pustaka.
Pada tahapan desain modul pelatihan
PCK, juga dilakukan penulisan isi modul sesuai
dengan rancangan yang telah di buat. Penulisan
modul ini berdasarkan bahan pustaka serta
kajian referensi yang berkaitan dengan PCK.
Terdapat 3 kegiatan belajar di dalam modul ini,
yaitu kegiatan belajar 1 tentang PCK, kegiatan
belajar 2 tentang komponen PCK, dan kegiatan
belajar 3 tentang penerapan PCK dalam RPP.
Pada setiap kegiatan belajar dalam modul
pelatihan PCK ini terdapat pengantar,
kompetensi dasar, indikator pencapaian, tujuan
pembelajaran, uraian materi, aktivitas
pembelajaran, latihan atau tugas, rangkuman,
tes formatif, umpan balik dan tindak lanjut dan
kunci jawaban. Setelah menjadi draftvmodul
pelatihan PCK yang utuh, maka dilakukan
validasi desain oleh ahli.
Validasi Desain
Desain produk yang telah
dikembangkan berupa draft modul pelatihan
PCK, kemudian divalidasi oleh 3 (tiga) orang
pakar, yaitu 1). Seorang Ahli Modul; 2) seorang
Ahli PCK; dan 3) seorang calon pengguna.
Hasil penilaian dari ahli modul pelatihan dan
ahli PCK sama, Menempatkan kualitas modul
pada skor 68 atau masuk pada kategori cukup
baik. Di samping itu ahli modul pelatihan dan
ahli PCK memberikan saran dan masukan bagi
perbaikan desain modul pelatihan. Sedangkan,
calon pengguna memberi skor pada disain
modul sebesar 88 atau masuk pada kategori
sangat baik.
Revisi Desain
Tahapan revisi desain dilakukan untuk
memperbaiki draft modul yang telah disusun.
Hasil validasi oleh ahli menunjukkan bahwa
modul dapat digunakan untuk diujicobakan
tetapi, harus dilakukan revisi terlebih dahulu.
Revisi dilakukan sesuai masukan dan saran
para validator. Tahap ini menghasilkan produk
berupa Modul Pelatihan PCK bagi guru
Matematika SMP.
Pengembangan Modul Pelatihan Pedagogical Content Knowledge (PCK) … |Mega Wulandari & Ade Iriani
183
Uji Coba Terbatas
Uji coba produk terbatas dilakukan
untuk mengimplementasikan modul PCK yang
telah disusun yang telah direvisi. Uji coba
terbatas dilaksanakan melalui pelatihan dengan
skala kecil. Pelatihan melibatkan beberapa guru
matematika SMP di Kota Salatiga Kecamatan
Sidorejo. Sebanyak 6 guru matematika SMP
dari 3 sekolah yang berbeda-beda terlibat dalam
pelatihan ini. Implementasi modul PCK
dilaksanakan dalam 1 hari.
Ujicoba modul pelatihan PCK diawali
dengan pembukaan yang dilanjutkan dengan
pengerjaan pre-test oleh peserta pelatihan.
Setelah itu dilanjutkan dengan penjelasan
materi dimulai dari kegiatan pembelajaran 1
sampai pada kegiatan pembelajaran 3.
Pelatihan diakhiri dengan pengerjaan post-test
oleh peserta pelatihan.
Pre-test dan Post-test dilakukan untuk
mengetahui kemampuan peserta pelatihan
sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan.
Peningkatan kompetensi pedagogik dan
profesional guru setelah mengikuti pelatihan
PCK diketahui dengan membandingkan nilai
pre-test dan post-test. Untuk melihat adanya
peningkatan setelah pelatihan, maka batas nilai
tuntas untuk pre-test dan post-test yaitu 7.
Adapun hasil dari pre-test dan post-test dari 6
guru yang mengikuti pelatihan, yaitu sebagai
berikut.
Tabel 1. Hasil pre-test dan post-test
peserta pelatihan PCK
No Nama Guru Nilai
pre-test Ket post-test Ket
1. CS 60 TT 76 T
2. SY 48 TT 60 TT
3. RD 52 TT 76 T
4. W 72 T 72 T
5. RB 68 TT 80 T
6. AJ 76 T 72 T
Rata-rata 62,7 72,7
Persentase 33,4% 83,4%
Keterangan: T = Tuntas; TT = Tidak Tuntas
Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata
pre-test peserta pelatihan adalah 62,7 dimana 2
dari 6 orang peserta pelatihan tuntas dengan
presentase 33,4%. Rata-rata post-test peserta
pelatihan adalah 72,7 dimana 1 dari 6 orang
peserta pelatihan tidak tuntas dengan presentase
83,4%. Data tersebut menegaskan adanya
peningkatan kompetensi pedagogik dan
kompetensi profesional peserta pelatihan
setelah mengikuti pelatihan PCK. Selain
meningkatnya nilai, peserta pelatihan juga
berhasil menyusun satu RPP. Dari RPP yang di
hasilkan maka dapat dilihat penguasaan materi
ajar dan cara mengajar peserta pelatihan.
Kembali mengingat Komponen PCK sangat
membantu peserta pelatihan dalam menyusun
RPP. Sehingga, tidak ada lagi kesalahan atau
ketidak tepatan di dalam memilih metode
mengajar dengan materi tertentu. Dengan
berhasilnya peserta pelatihan di dalam
menyusun RPP, maka dapat dijadikan bukti
akan keberhasilan pelatihan dengan
menggunakan modul PCK bagi guru
matematika. RPP yang telah di susun oleh enam
guru setelah pelatihan dianalisis sesuai dengan
komponen PCK yang telah di bagi kedalam dua
kompetensi yaitu kompetensi pedagogik dan
kompetensi profesional.
Kompetensi pedagogik terbagi menjadi
5 aspek dalam komponen PCK. Adapun kelima
aspek tersebut yaitu:
1. Pengetahuan tentang kurikulum
Dari ketiga sekolah yang menjadi subjek
penelitian, sudah menggunakan kurikulum
2013. Enam guru yang menjadi subjek
penelitian, juga sudah memiliki pengetahuan
tentang kurikulum 2013. Selain pengetahuan
tentang kurikulum, enam guru tersebut juga
memiliki pemahaman yang cukup di dalam
menyusun Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP).
2. Pengetahuan mengajar
Terdapat dua hal yang penting didalam
pengetahuan mengajar guru yaitu tentang
motivasi serta proses dan peran guru dalam
pembelajaran. Berdasarkan RPP yang
disusun oleh keenam guru tersebut, pada
kegiatan pendahuluan, guru selalu
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
184
memberikan motivasi kepada siswanya
terkait dengan materi yang akan diajarkan.
Selain itu, dalam kegiatan inti peran guru
dalam proses pembelajaran hanya sebagai
fasilitator untuk membantu siswa dalam
mencapai tujuan pembelajaran yang
diinginkan.
3. Pengetahuan tentang penilaian atau evaluasi
Pengetahuan guru terhadap alat evaluasi atau
penilaian sangatlah penting dalam proses
pembelajaran. Dari RPP yang telah di susun
ke enam guru tersebut telah menyusun
evaluasi yang akan digunakan. Evaluasi
diberikan pada akhir pembelajaran,baik
dengan memberikan soal-soal secara
langsung didalam kelas ataupun
memberikan tugas-tugas lain yang akan di
kerjakan siswa.
4. Pengetahuan tentang sumber daya
Berdasarkan RPP yang telah disusun oleh
guru, Sumber-sumber materi yang di
gunakan tidak hanya berpatokan dari satu
buku paket. Guru-guru tersebut
mengembangkan materi dari berbagai
sumber. Seperti, internet, modul, dan sumber
lainnya yang relevan. Selain itu, media
pembelajaran yang di gunakan dalam
menjelaskan materi sangat beragam,
beberapa guru menggunakan power point,
video, maupun media audiovisual yang
sesuai dengan materi yang akan diajarkan.
Sehingga, dapat mempermudah siswa dalam
memahami materi yang sedang di ajarkan.
5. Pengetahuan tentang peserta didik
Pada kegiatan refleksi dalam RPP guru dapat
memahami setiap respon dari setiap siswa,
baik respon positif maupun respon negatif.
Sehingga, guru dapat memahami kesulitan
belajar yang di alami siswa.
Kompetensi profesional guru terbagi
menjadi 2 aspek dalam komponen PCK.
Adapun aspek-aspek tersebut yaitu sebagai
berikut:
1. Pengetahuan tentang tujuan
Pada kegiatan pendahuluan guru
memberikan manfaat atau gambaran yang
dikaitkan dengan contoh dalam kehidupan
sehari-hari terkait materi yang sedang di
ajarkan. Sehingga, diharapkan contoh
tersebut dapat mempermudah siswa dalam
memahami materi serta dapat menarik siswa
di dalam mempelajari materi tertentu yang
bermanfaat dalam dunia nyata.
2. Pengetahuan tentang materi
Berdasarkan RPP yang telah disusun, guru
telah menguasai materi yang akan di ajarkan.
Sehingga, guru dapat menentukan metode,
media maupun penilaian yang akan
digunakan dalam proses pembelajaran.
Observasi dilakukan untuk mengetahui
respon guru sebagai peserta pelatihan dan
proses pelaksanaan pelatihan PCK. Hasil
observasi menunjukkan bahwa rata-rata skor
pelaksanaan pelatihan PCK yang dilaksanakan
pada tahap uji coba produk terbatas yaitu
sebesar 4,5 dan 4,2 dengan persentase 90%
berkategori sangat baik dan 84% berkategori
baik. Berdasarkan hasil observasi tersebut
narasumber telah menguasai materi dan dapat
menyampaikan materi dengan baik. Sehingga,
peserta pelatihan dapat dengan mudah
memahami materi pelatihan dengan
menunjukan keaktifan, keseriusan, antusiasme
dan keterlibatan peserta pelatih dalam
mengikuti pelatihan PCK.
Revisi Produk
Hasil ujicoba produk terbatas dan
masukan-masukan dari peserta dan pelatih
dimanfaatkan untuk merevisi produk sehingga
tersusun produk Modul Pelatihan PCK bagi
Guru Matematika SMP.
Pembahasan
Pengembangan modul pelatihan PCK
melalui 7 (tujuh) tahapan yaitu potensi dan
masalah, pengumpulan data, desain produk,
validasi desain, revisi desain, uji coba produk
terbatas, dan revisi produk ini berangkat dari
Pengembangan Modul Pelatihan Pedagogical Content Knowledge (PCK) … |Mega Wulandari & Ade Iriani
185
adanya potensi atau masalah sebagaimana
dianjurkan oleh Sugiyono (2010: 409).
Dengan mengidentifikasi potensi dan
masalah yang ada maka peneliti dapat mencari
upaya untuk mengatasi masalah yang ada. Pada
tahap ini ditemukan bahwa guru-guru
matematika di Kota Salatiga memiliki potensi.
Guru-guru tersebut memiliki kualifikasi
akademik pendidikan minimum sarjana dengan
program studi yang sesuai bidang yang di
ampunya yaitu matematika. Sehingga, guru-
guru tersebut memiliki pengetahuan
matematika yang dapat dijadikan bekal untuk
mengajar.
Masalahnya belum semua guru
menguasai pengetahuan mengajar dan
mewujudkannya dalam pembelajaran di kelas.
memiliki kendala terkait pemahaman terhadap
materi matematika dan cara mengajar siswa
dengan karakteristik yang berbeda. Walaupun
beberapa guru memiliki pemahaman yang
cukup baik terhadap teori belajar, metode
mengajar atau media mengajar, namun
terkadang guru-guru masih kesulitan dalam
mengimplementasikan atau praktik mengajar.
Sehingga mereka memiliki pola mengajar yang
tetap, padahal tidak semua materi matematika
dapat diajarkan kepada siswa dengan metode
mengajar yang sama, karena setiap materi
memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dengan kata lain penguasaan PCK para guru
tersebut lemah.
Kondisi itu sejalan dengan temuan
Margiyono (2011) yang menyatakan bahwa
masih terdapat beberapa guru yang belum
optimal dalam hal penguasaan tentang
mengajar dan pemahaman tentang kebutuhan
siswa. Padahal menurut Maryono (2016:1)
Pedagogical Content Knowledge (PCK) sangat
penting dimiliki oleh seorang guru sebagai
bekal untuk menciptakan pembelajaran yang
bermakna bagi siswa. Sementara Bunawan
(2017:83) juga berpendapat bahwa PCK
merupakan suatu pengetahuan yang unik bagi
guru, yang berkaitan dengan apa yang akan
mereka ajarkan. Hal ini menyangkut bagaimana
guru mengkaitkan pengetahuan materi
pelajaran (apa yang diketahui guru tentang apa
yang akan diajarkan) terhadap pengetahuan
pedagogi (apa yang diketahui guru tentang
mengajar). Kedua pengetahuan tersebut juga
dapat dikatakan sebagai dua kompetensi yang
harus dimilki guru, dimana pengetahuan
pedagogis terkait dengan kompetensi
pedagogik sedangkan pengetahuan materi/
konten terkait dengan kompetensi profesional.
Berdasarkan, permasalahan yang ada di
lapangan peneliti kemudian mengembang kan
modul pelatihan PCK bagi guru matematika.
Menurut Sugiyono (2010: 411) tahapan
pengumpulan data dilakukan untuk mencari
serta mengumpulkan berbagai informasi yang
dapat digunakan sebagai bahan untuk
perencanaan produk tertentu yang diharapkan
dapat mengatasi masalah yang ada. Pada tahap
ini peneliti mengumpulkan berbagai informasi
dan studi literatur terkait PCK, pelatihan
maupun modul dilakukan untuk menemukan
konsep-konsep atau landasan-landasan teoretis
yang memperkuat dalam menyusun modul
PCK. Selain itu, melalui studi literatur peneliti
dapat mengetahui langkah-langkah yang paling
tepat dalam pengembangan modul pelatihan
PCK.
Setelah mengumpulkan banyak data
terkait PCK, pelatihan maupun modul maka
dilakukan tahapan yang berikutnya yaitu tahap
desain produk. Pada tahap ini peneliti
mendesain produk yang berupa modul
pelatihan PCK guna mengatasi masalah yang
ada. Hal itu sejalan dengan pendapat
Rahdianyanta (2017:1-2) yang menyatakan
bahwa tujuan penulisan modul adalah: 1).
memperjelas dan mempermudah penyajian
pesan agar tidak terlalu bersifat verbal; 2).
mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya
indera, baik siswa atau peserta diklat maupun
guru/instruktur; 3). dapat digunakan secara
tepat dan bervariasi; 4). meningkatkan motivasi
dan gairah belajar bagi siswa atau peserta
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
186
diklat; 5). mengembangkan kemampuan
peserta didik dalam berinteraksi langsung
dengan lingkungan dan sumber belajar lainnya;
6). memungkinkan siswa atau peserta diklat
belajar mandiri sesuai kemampuan dan
minatnya; dan 7). memungkinkan siswa atau
peserta diklat dapat mengukur atau
mengevaluasi sendiri hasil belajarnya.
Penyusunan modul juga didasarkan
pada pandangan Aditia (2013:6) bahwa modul
merupakan alat atau sarana pembelajaran yang
berisi materi, metode, batasan-batasan materi
pembelajaran, petunjuk kegiatan belajar,
latihan dam cara mengevaluasi yang dirancang
secara sistematis dan menarik, untuk mencapai
kompetensi yang di harapkan dan dapat
digunakan secara mandiri.
Pada tahap desain, peneliti merancang
dan kemudian mengembangkan sebuah
rancangan modul pelatihan PCK yang terdiri
dari lima bagian yaitu: (1) bagian awal yang
terdiri dari halaman judul, kata pengantar,
daftar isi dan glosarium; (2) bagian
pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
tujuan, peta kompetensi, ruang lingkup, dan
petunjuk penggunaan modul; (3) bagian
pembelajaran berisi kegiatan pembelajaran
yang terdiri dari pengantar, kompetensi dasar,
indikator pencapaian, tujuan pembelajaran,
uraian materi, aktivitas pembelajaran, latihan
atau tugas, rangkuman, tes formatif, umpan
balik dan tindak lanjut dan kunci jawaban; (4)
bagian evaluasi yang terdiri dari tes dan kunci
jawaban; (5) bagian akhir yang terdiri dari
penutup, daftar pustaka.
Modul pelatihan PCK terdiri dari 3
(tiga) penggalan kegiatan belajar, yaitu
kegiatan belajar 1 berisikan tentang PCK,
kegiatan belajar 2 tentang komponen PCK, dan
kegiatan belajar 3 tentang penerapan PCK
dalam RPP. Pada setiap penggalan kegiatan
belajar dalam modul pelatihan PCK ini terdapat
pengantar, kompetensi dasar, indikator
pencapaian, tujuan pembelajaran, uraian
materi, aktivitas pembelajaran, latihan atau
tugas, rangkuman, tes formatif, umpan balik
dan tindak lanjut dan kunci jawaban.
Pada tahap validasi desain, Desain
Modul Pelatihan PCK kemudian divalidasi oleh
pakar. Validasi dilakukan oleh 1). Ahli
Pengembangan Modul; 2). Ahli PCK; dan 3).
Calon pengguna. Hasil validasi oleh ahli
pengembangan modul dan ahli PCK memiliki
persentase yang sama, yaitu sebesar 68 % atau
termasuk kategori cukup baik dengan
keterangan layak digunakan dengan revisi.
Selain itu, terdapat beberapa saran dan masukan
yang berbeda-beda dari ahli modul dan ahli
PCK. Adapun masukan dan saran dari validator
ahli modul pelatihan yaitu 1). Rumusan
indikator dan tujuan harus operasional; 2).
Menggunakan kata kerja dengan tingkat
kognitif yang lebih tinggi; 3). Menyesuaikan
kegiatan belajar dan evaluasi dengan tingkat
kognitif yang tinggi. Sedangkan, masukan dan
saran dari validator ahli PCK yaitu 1).
Menambah uraian materi; 2). Memperhatikan
kembali hirarki CK, PK, dan PCK; 3).
Menambah contoh yang lebih sederhana; 4).
Menghubungkan PCK, K-13 dan peran PCK
dalam RPP. Persentase penilaian dari ahli calon
pengguna sebesar 88 % pada kategori sangat
baik. Adapun keterangan dari validator calon
pengguna yaitu baik dan sudah dapat di
gunakan.
Berdasarkan, penilaian dari ketiga ahli
tersebut, maka dilakukan revisi modul
pelatihan PCK, sesuai dengan masukan dan
saran yang diberikan. Setelah dilakukan revisi
maka Modul Pelatihan PCK ini siap untuk
diujicobakan.
Tahapan uji coba terbatas atas Modul
yang telah disusun dilakukan melalui pelatihan.
Pelatihan ini melibatkan 6 guru dari 3 SMP
yang berbeda. Pelatihan dilaksanakan selama 1
hari. Pada tahapan implementasi juga di
lakukan Pre-test dan Post-test untuk
mengetahui kemampuan peserta pelatihan
sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan.
Hasil rata-rata Pre-test sebesar 62,7 dan rata-
Pengembangan Modul Pelatihan Pedagogical Content Knowledge (PCK) … |Mega Wulandari & Ade Iriani
187
rata post-test peserta pelatihan adalah 72,7.
Berdasarkan, hasil tersebut maka modul
pelatihan PCK memiliki dampak bagi peserta
pelatihan. Sehingga, modul pelatihan tersebut
dapat digunakan dalam upaya meningkatkan
kompetensi guru. Hasil ini sejalan dengan hasil
penelitian Giarti (2016) yang menunjukkan
bahwa pengembangan modul pelatihan dapat
meningkatkan kompetensi guru SD. Hasil
penelitian ini juga sejalan dengan penelitian
Sumarah, dkk (2017) juga menunjukkan bahwa
modul pelatihan sangat membantu guru
didalam memahami materi tertentu. Selain itu,
hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil
penelitian Budiyono, dkk (2014) yang juga
menunjukkan bahwa modul pelatihan yang
diberikan kepada guru dapat meningkatkan
kompetensi pedagogik dan pada akhirnya juga
akan meningkatkan kompetensi profesional
para guru.
Walau berbeda subyek mata
pelajarannya pengembangan modul PCK ini
juga berfungsi sama seperti modul hasil
pengemangan Resbiantoro (2015) di mana
Modul pedagogical content knowledge (PCK)
yang dikembangkan layak diguna kan oleh guru
dan calon guru untuk menunjang dan
memberikan alternatif referensi untuk guru dan
calon guru dalam melaksanakan pembelajaran.
Pengembangan modul PCK yang disusun oleh
Resbiantoro (2015) berkaitan dengan
matapelajaran fisika serta materi tertentu,
sedangkan, pengembangan modul pelatihan
PCK yang disusun peneliti diperuntukkan bagi
guru mapel matematika pada jenjang SMP.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan hasil penelitian yang telah
dipaparkan, dapat disimpulkan sesuai dengan
rumusan masalah penelitian dan
pengembangan sebagai berikut:
(1) Pelatihan bagi guru matematika SMP
selama ini difokuskan pada sosialisasi
Kurikulum 2013. Pelatihan mengenai
PCK belum pernah diselenggarakan oleh
MGMP maupun dinas pendidikan Kota
Salatiga.;
(2) Kelemahan pelatihan yang selama ini
diselenggarakan adalah: 1). Materi
sekedar print out power point yang akan
dipaparkan pembicara; 2). Kebutuhan dan
tuntutan guru yang berbeda-beda,
sehingga menghambat guru berpartisipasi
dalam pelatihan-pelatihan; 3) waktu
pelatihan bertabrakan dengan kegiatan
guru di sekolah; dan 4) materi pelatihan
selama ini hanya berkaitan dengan K-13,
sehingga guru-guru merasa cukup satu
kali mengikuti pelatihan;
(3) Modul pelatihan PCK yang telah
dikembangkan memperoleh skor 68 dari
ahli modul dan ahli PCK sehingga masuk
kategori cukup baik. Sedangkan, skor
penilaian dari calon pengguna sebesar 88
atau sangat baik. Dalam uji coba modul
pelatihan PCK, skor rata-rata post-test
peserta pelatihan adalah 72,7 sedang
prosentase ketuntasan peserta pelatihan
sebesar 83,4%. Dengan demikian modul
ini layak untuk digunakan.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah
dipaparkan, dapat disampaikan saran agar,
Dinas Pendidikan Kota Salatiga lebih mengkaji
ulang kebutuhan dan hambatan yang dihadapi
guru di lapangan, sehingga dapat dilakukan
pelatihan-pelatihan yang disesuaikan dengan
hambatan yang ada. Kepala sekolah disarankan
dapat mendukung danmemberikan motivasi
kepada setiap guru untuk berpartisipasi pada
pelatihan yang dapat menunjang serta
menambah pengetahuan guru di bidangnya.
Bagi guru, disarankan untuk selalu
meningkatkan minat di dalam belajar secara
mandiri dengan modul pelatihan PCK yang
telah di berikan, serta menambah referensi dari
sumber-sumber lain.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
188
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang tulus diberikan
kepada Dr. Bambang Suteng Sulasmono, M.Si
yang menjadi Pembimbing II dalam penulisan
Tesis yang substansinya kemudian tersaji
dalam bentuk artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aditia, M. Taufik, dkk. 2013. Pengembangan
Modul Pembelajaran Berbasis Sains,
Lingkungan, Teknologi, Masyarakat
Dan Islam (Salingtemasis). Jurnal
Scientiae Educatia Volume 2 Edisi 2.
Aminah, Neneng. 2014. Implementasi
Pedagogical Content. Universitas
Swadaya Gunung Jati Cirebon. Jurnal
Euclid, ISSN 2355-17101, vol.1, No.1,
pp. 1-59
Budiyono Herman, dkk. 2014. Pengembangan
Bahan Pelatihan Desain Sistem
Pembelajaran Bagi Guru Bahasa
Indonesia SMA. Tekno-Pedagogi Vol. 4
No. 1 Maret 2014 : 7-14.
Bunawan, Wawan dan Yarni Laoli. 2017.
Implementasi Pedagogical Content
Knowledge (PCK) Berbasis Inkuiri
Terbimbing Terhadap Hasil Belajar
Siswa. Jurnal Inovasi Pembelajaran
Fisika. e-issn 2549-8258, p-issn 2337-
4624.
Damawati, Nyoman Ari. 2015. Pemahaman
Terhadap PCK (Pedagogical Content
Knowledge) Untuk Meningkatkan
Profesionalisme Guru. Seminar
Nasional ALFA IV.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002,
Teknik Belajar dengan Modul, Jakarta:
Dirjen Pendidikan Dasar dan
Menengah.
Giarti, Sri. 2016. Pengembangan Modul
Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah
Berbasis Andragogi Berbantuan CSM
MOODLE. Kelola: Jurnal Manajemen
Pendidikan, Vol. 3 No.1, 2016.
Hanggara, Agie. 2015. Studi Pedagogical
Content Knowledge (PCK) Guru.
Universitas Pendidikan Indonesia.
Diakses dari:
http://repository.upi.edu/23967/4/D_IP
S_1202032_Chapter1.pdf
Kamil, Mustofa. 2010. Model Pendidikan dan
Pelatihan. Bandung: Alfabeta
Koehler, M. J., Mishra, P., Ackaoglu,
M.,&Rosenberg, J. M. 2013. The
Technological Pedagogical Content
Knowledge Framework for Teachers
and Teacher Educators.
Commonwealth Educational Media
Centre for Asia.
Margiyono, Iis, dkk. 2011. Deskripsi PCK
Guru Pada Bahasan Tentang Bilangan
Rasional. Diakses dari:
http://eprints.uny.ac.id/945/1/P%20-
%2013.pdf
Maryono. 2016. Profil Pedagogical Content
Knowledge (PCK) Mahasiswa Calon
Guru Matematika Ditinjau Dari
Kemampuan Akademiknya. Jurnal
Review Pembelajaran Matematika.
JRPM, 2016, 1(1), 1 - 16
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008
Tentang Guru
Rahdiyanta Dwi. 2017. Teknik Penyusunan
Modul. Diakses dari:
http://staff.uny.ac.id/sites/defaulf
les/penelitian/drdwirahdiyantamp
d/20-teknikpenyusunan-
modul.pdf.
Resbiantoro, dkk. 2015. Pengembangan Modul
Pedagogical Content Knowledge Fisika
Pada Materi Hukum Gravitasi Newton
Untuk SMA Kelas XI. Jurnal Inkuiri
ISSN: 2252-7893, Vol 4, No. I, 2015
(hal 121-130).
Pengembangan Modul Pelatihan Pedagogical Content Knowledge (PCK) … |Mega Wulandari & Ade Iriani
189
Rosyid, Abdul. 2016. Technological
Pedagogical Content Knowledge:
Sebuah Kerangka Pengetahuan Bagi
Guru Indonesia Di Era Mea. Prosiding
Seminar Nasional Inovasi Pendidikan
Shulman. 1986. Those Who Understand:
Knowledge Growth in Teaching.
Educational Research. Vol.15(2): 4-14.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan
Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R & D. Bandung : Alfabeta.
Sumarah, IG. Esti, dkk. 2017. Pengembangan
Modul Pelatihan Model Pembelajaran
Van Hiele Dalam Konteks Pendidikan
Karakter Guru SD. Jurnal Penelitian
Vol. 21 No. 1 Mei 2017. ISSN 1410-
5071.
Suminawati, dkk. 2018. Implementasi PCK
Terhadap Kemampuan Kognitif
Siswa. Online.
https://nanopdf.com/download/imp
lementasi-pedagogical-conten_pdf.
Susilowati, dkk. 2015. Analisis PCK Guru IPA
SMP Kelas VIII Dalam Implementasi
Kurikulum 2013. Jurnal Pendidikan
Matematika dan Sains Tahun III, No. 1,
Juni 2015
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018
Halaman: 190-195
190
Optimalisasi Kepuasan Kerja Guru
Hardianto
Universitas Pasir Pengaraian
hardiantocally@gmail.com
ABSTRACT
ACDP (Analytical and Capacity Development Partnership) data suggests that 10% of
teachers did not attend school and 14% of those attending did not attend the class. This
number indicates the teacher is not satisfied with their work. Teacher job satisfaction needs
to be improved so that education can run better. Teachers who are satisfied at work will feel
happy with their work, happy with the work environment and so on. Unsatisfied teachers can
cause low performance and even increase the desire to move or stop working. Therefore,
efforts need to be made to optimize teacher work satisfaction. Two ways that can be done to
improve teacher job satisfaction are by giving appropriate rewards and increasing
motivation.
Keywords: Job Satisfaction, Optimization, Teacher Performance
Article Info
Received date: 19 Mei 2018 Revised date: 20 Agustus 2018 Accepted date: 8 Desember 2018
PENDAHULUAN
Upaya peningkatan kualitas pendidikan
harus dilakukan secara terus menerus.Saat ini
peringkat pendidikan Indonesia masih kalah
dibandingkan negara-negara lain. Untuk tingkat
ASEAN, pendidikan Indonesia hanya berada
pada peringkat lima di bawah Singapura,
Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand.
Sementara di dunia, Indonesia berada pada
peringkat 108 dengan skor 0,603. Hanya
sebanyak 44% penduduk menuntaskan
pendidikan menengah. Sementara 11% murid
gagal menuntaskan pendidikan alias keluar dari
sekolah (http//siedoo.com).
Banyak faktor yang menyebabkan
rendahnya peringkat pendidikan Indonesia.
Salah satu faktornya adalah guru atau tenaga
pendidik. Guru memiliki peran yang cukup
besar dalam menentukan keberhasilan
pendidikan. Seseorang yang menjadi guru
hendaknya memiliki empat kompetensi, yaitu
kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi
profesional. Menurut Bujang Rahman saat ini
baru 51% guru yang telah memenuhi
persyaratan minimal. Dari 3 juta guru di
Indonesia, hanya 51 persen yang sudah
mengantongi lisensi Strata Satu
(www.unila.ac.id).
Dalam Undang-Undang No 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen dinyatakan
bahwa tugas guru adalah mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai
dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar dan pendidikan
menengah. Untuk memenuhi tugas guru
tersebut, mereka dituntut memiliki kepuasan
kerja yang tinggi. Guru yang tidak memiliki
kepuasan kerja tentu saja tidak akan mampu
melaksanakan tujuh tugas guru itu secara
maksimal.
Optimalisasi Kepuasan Kerja Guru | Hardianto
191
Job satisfaction is a positive feeling
about one’s work and work setting
(Schemerhorn Hunt, Osborn dan Bein, 2010:
14). Perasaan positif tentang kerja dan
pekerjaan akan menyebabkan rasa senang
dalam diri seseorang dan akan meningkatkan
kinerja mereka. Guru yang memiliki kepuasan
kerja akan senang dengan pekerjaan dan
lingkungan kerja mereka. Perasaan senang ini
dapat dilihat dari kesenangan guru untuk berada
di sekolah atau mengajar di kelas.
Tahun 2016 menurut David Harding
dari ACDP mengemukakan bahwa ada 10 %
guru yang tidak hadir di sekolah
(http://jabarprov.go.id). Selanjutnya ada 14 %
guru yang hadir di sekolah tetapi tidak hadir di
kelas. Angka ini jelas menunjukkan bahwa
kepuasan kerja guru belum tercapai. Tidak
tercapainya kepuasan kerja guru ini tentu saja
mengakibatkan tujuan pendidikan juga tidak
akan tercapai.
Dalam melaksanakan pembelajaran
guru tentunya membutuhkan sarana dan
prasarana yang memadai. Kelengkapan sarana
prasarana di sekolah dapat menyebabkan guru
memiliki kepuasan dalam melaksanakan
pekerjaan. Saat ini banyak sekolah yang belum
memenuhi standar. Dirjen Pendidikan Dasar
dan Menengah Hamid Muhammad menyatakan
bahwa dari banyaknya sekolah di 500
kabupaten/kota yang ada hanya 70 persen yang
memenuhi standar (http//nasional.tempo.com).
Permasalahan utama untuk pemenuhan standar
itu adalah persoalan sarana prasarana dan
kompetensi guru.
Berkenaan dengan kompetensi guru
diketahui pada tahun 2016 dilaksanakan
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan
(PKB) yang menyasar sekitar 460.000 guru.
Saat dites akhir, dari target renstra 6,5, hasilnya
rata-rata nilai tes itu 6,49.
(http://kabar24.bisnis.com). Belum tercapainya
target mengindikasikan kepuasan kerja guru
juga masih rendah.
Berdasarkan temuan-temuan di atas,
penulis tertarik membuat tulisan ilmiah tentang
Optimalisasi Kepuasan Kerja Guru. Tulisan ini
diharapkan dapat memberikan gambaran
bagaimana agar kepuasan kerja guru bisa
tercapai. Guru yang memiliki kepuasan kerja
diyakini akan lebih mampu mewujudkan tujuan
pendidikan nasional.
Guru merupakan faktor penting dalam
keberhasilan pendidikan. Dalam Undang-
Undang No. 14 Tahun 2005 yang dimaksud
dengan guru adalah pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,
dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah. Melihat tugas guru tersebut, maka
guru dituntut memiliki kompetensi tertentu.
Terdapat empat kompetensi yang harus
dimiliki seorang guru. Kompetensi itu adalah
kompetensi pedagogik, kompetensi
profesional, kompetensi sosial dan kompetensi
kepribadian. Kompetensi pedagogik berkaitan
dengan penguasaan keterampilan mengajar,
kompetensi profesional berkaitan dengan
penguasaan materi ajar. Kompetensi sosial
berkaitan dengan kemampuan membina
hubungan sosial dan kompetensi kepribadian
berkaitan dengan diri pribadi seorang guru.
Dalam Undang-Undang No 14 Tahun
2005 juga dinyatakan bahwa sebagai agen
pembelajaran guru berfungsi untuk
meningkatkan mutu pendidikan nasional. Guru
yang mampu melaksanakan fungsi tersebut
tentulah guru yang memiliki kepuasan kerja.
Kepuasan kerja akan mendatangkan rasa
senang terhadap profesi yang digeluti.
Beberapa pengertian kepuasan kerja
dikemukakan para ahli. Gibson, Ivancevic,
Donnelly dan Konopaske (2012:102)
mengemukakan Job satisfaction is an attitude
that individuals have about their jobs. It results
from their perceptions of their jobs, based on
factors of the work environment, such as the
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
192
supervisor’s style, policies, and procedures,
work group affiliation, working conditions, and
fringe benefits. Wagner dan Hollenbeck
(2010:106) menyatakan bahwa Job satisfaction
is “a pleasurable feeling that results from the
perception that one’s job fulfills or allows for
the fulfillment of one’s important job values.
Dua pengertian di atas menekankan bahwa
kepuasan kerja merupakan perasaan dalam diri
seseorang yang merasa senang dengan
pekerjaannya.Perasaan senang itu timbul
setelah berhasil memenuhi nilai pekerjaannya
yang berdasarkan lingkungan kerja.
Lebih lanjut Luthans (2011:141)
mengemukakan Job satisfaction is a result of
employees’ perception of how well their job
provides those things that are viewed as
important. Pendapat senada juga dikemukakan
Locke (2009:146) yang menyebutkan
Satisfaction is the form in which one
experiences having gained or possessed a
value. Apabila dikaitkan dengan guru, maka
kepuasan kerja guru merupakan rasa senang
dalam diri seorang guru terhadap pekerjaan
yang telah mereka lakukan.
PEMBAHASAN
Kepuasan kerja guru sangat penting
untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang
optimal. Guru yang merasa puas dalam bekerja
akan semakin bersemangat dalam bekerja. Hal
ini tentu saja akan dapat meningkatkan kinerja
mereka. Agar kepuasan kerja guru semakin
meningkat perlu diperhatikan hal-hal berikut
ini:
Penghargaan dapat meningkatkan
kepuasan kerja guru
Pemberian penghargaan yang sesuai
dengan harapan guru akan dapat meningkatkan
kepuasan kerja mereka. Kepuasan kerja dan
kinerja pada dasarnya saling berkaitan dan
dipengaruhi oleh penghargaan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Schemerhorn, Hunt, Osborn
dan Bein (2010:76) yang menyebutkan “job
satisfaction and performance are intertwined,
influencing one another, and mutually affected
by other factors such as the availability of
rewards”. Penekanan terhadap penghargaan
yang mempengaruhi kepuasan kerja
disampaikan oleh Gibson, Ivancevic, Donnelly
dan Konopaske (2012:175) “Satisfaction is
influenced by how satisfied employees are with
both intrinsic and extrinsic rewards”.
Adanya pengaruh pemberian
penghargaan terhadap kepuasan kerja sesuai
dengan hasil penelitian Aktar S, Uddin dan
Sachu (2013:1-8) yang menyebutkan “The
result from this study examined and determined
the relationship between rewards and
employees’ performance and job satisfaction.
Based on a result from paired sample t-test,
Pearson correlation analysis, and regression
analysis it showed that there is a strong positive
linear relationship between rewards and
employees’ performance and job satisfaction of
the pharmaceutical industry in Bangladesh”.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa untuk
meningkatkan kepuasan kerja perlu
ditingkatkan penghargaan. Lumban Gaol dan
Siburian (2018:71) mengemukakan bahwa
salah satu cara yang dapat dilakukan kepala
sekolah dalam meningkatkan kinerja guru
adalah dengan memberikan penghargaan bagi
guru yang berhasil atau berkinerja dengan baik.
Penelitian Sarwar dan James Abugre
(2013-22-32) juga menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang positif dan signifikan
antara reward dan job satisfaction.: “There is a
significant relationship between higher
rewards and higher job satisfaction of
employees. We use Chi-Square (x2) as test
statistics at significance level of .05% (i.e. α =
.05), and the degree of freedom (df = 3),
Computed Chi-square (X2) =3.204 and Chi-
Square (X2) critical =7.815.”
Penghargaan yang diberikan kepada
guru agar mereka memperoleh kepuasan dalam
bekerja adalah penghargaan yang sesuai dengan
harapan. Guru yang melakukan tindakan atau
beban kerja yang sama harus memperoleh
penghargaan yang sama. Perbedaan dalam
Optimalisasi Kepuasan Kerja Guru | Hardianto
193
pemberian penghargaan akan menyebabkan
kecemburuan bagi guru. Schemerhorn, Hunt,
Osborn dan Bein (2010:77) mengemukakan “It
suggests that the right rewards allocated in the
right ways will positively influence both
performance and satisfaction, which also
influence one another”.
Penghargaan (finansial maupun non
finansial atau intrinsik ataupun ekstrinsik) yang
diberikan kepada guru akan dapat
mempengaruhi kepuasan kerja mereka.
Penelitian Zaraket dan Saber (2017: 369-378)
menyebutkan terdapat hubungan yang
signifikan penghargaan finansial terhadap
kepuasan kerja karyawan. “A regression
analysis was used to examine the impact of
financial reward on job satisfaction and
employee performance. The result indicates
there is significant relation of the financial
reward on job satisfaction for the Blue Collar
employees (R2 = 0.253, p < 0.05)”. Sementara
penelitian Muhammad dan Faiza Maqbool
(2015:65-74) menerangkan “Descriptive
analysis shows that the mean values of
independent variable extrinsic reward are
3.2571 and mean value of dependent variable
job satisfaction is 3.8381 which mean
respondents agree that extrinsic reward
increase their job satisfaction level”.
Di Indonesia terdapat setidaknya tiga
status guru, yaitu guru PNS, guru tetap yayasan
dan guru honorer. Penghargaan untuk guru PNS
terutama penghargaan finansial diyakini sudah
mencukupi, terlebih bagi guru yang sudah
bersertifikasi.Sedangkan bagi guru honorer
penghargaan finansial umumnya dirasakan
masih sangat kurang. Sangat banyak guru yang
menerima gaji jauh dibawah Upah Minimum
Regional (UMR) daerah. Sedangkan guru tetap
yayasan juga sangat tergantung kepada sehat
tidaknya ekonomi yayasan. Guru tetap yayasan
yang sudah besar dan sehat penghargaan
finansial bisa lebih baik dari guru PNS.
Sementara guru tetap yayasan yang kurang
sehat dari sisi ekonomi juga tidak jauh lebih
baik dari guru honorer.
Selain penghargaan finansial,
penghargaan non finansial juga mesti
diperhatikan. Guru akan tetap merasakan
kepuasan kerja apabila profesinya sebagai guru
diakui dan dihargai. Kepala sekolah bisa
memberikan pujian atas prestasi atau kinerja
guru.Selain pujian, pemberian sertifikat,
suasana kerja yang nyaman juga merupakan
bentuk penghargaan non finansial.
Berdasarkan pembahasan di atas
diketahui bahwa optimalisasi kepuasan kerja
guru dapat dilakukan dengan memberikan
penghargaan yang sesuai dengan harapan
mereka. Dengan adanya kepuasan kerja guru
akan mampu menampilkan perilaku kewargaan
organisasi (memberikan kemampuan lebih dari
tugas utama) bagi sekolah. Hal ini sesuai
dengan pendapat Gibson, Ivancevic, Donnelly
dan Konopaske (2012:106) yaitu “although job
satisfaction doesn’t influence quantity and
quality of performance, it does influence
citizenship behaviors, turnover, absenteeism,
and preferences and opinions about unions”.
Motivasi dapat meningkatkan kepuasan
kerja guru
Motivasi yang meningkat diyakini akan
mampu meningkatkan kepuasan kerja guru.
Griffin dan Moorhead (2014:97) menyatakan
“motivation factors affect one dimension,
ranging from satisfaction to no satisfaction”.
Semakin tinggi motivasi guru maka akan
semakin tinggu pula kepuasan kerja mereka.
Kepala sekolah dapat meningkatkan motivasi
guru dengan meningkatkan kualitas hubungan
diantara mereka. Hal ini sesuai dengan
pendapat Armstrong (2007:44) yang
mengemukakan “the quality of the relationship
between manager and employee is the biggest
motivational factor at work, and has more
influence on job satisfaction than anything
else”.
Pendapat selanjutnya yang menyatakan
bahwa motivasi merupakan faktor yang
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
194
mempengaruhi kepuasan kerja adalah dari
Gibson, Ivancevic, Donelly dan Konopaske
(2012:172) yaitu “the social and motivational
factors increased performance quantity,
learning the task, goal acceptance, group
commitment, and satisfaction”. Hasil penelitian
Khan, Rizwan, Arshad, Fahad (2013:226-243)
menyebutkan bahwa motivasi seseorang
berbanding lurus secara positf dengan kepuasan
kerja. Semakin meningkat motivasinya, maka
semakin puas akan pekerjaannya dalam
organisasi. Hasil penelitiannya juga
menyebutkan bahwa penghargaan intrinsik
memberikan pengaruh positif terhadap
motivasi karyawan. Griffin dan Moorhead
(2014:98) selanjutnya menyatakan bahwa
“motivation factors such as achievement and
recognition were often cited by people as
primary causes of satisfaction and motivation.”
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas
diketahui bahwa untuk meningkatkan kepuasan
kerja guru dapat dilakukan dengan
meningkatkan motivasi mereka. Kepala
sekolah atau pengawas bisa menjadi faktor
motivator ekstrinsik bagi guru. Selain itu guru
juga diharapkan mampu meningkatkan
motivasi mereka dalam melaksanakan
pekerjaan.
Motivasi bersumber dari dalam dan luar
diri. Kepala sekolah sebagai motivator
eksternal pada dasarnya juga akan
meningkatkan motivasi guru. Penerapan gaya
kepemimpinan yang melayani (servant
leadership) dapat memicu motivasi kerja guru
yang pada akhirnya meningkatkan kepuasan
kerja mereka. Sari dan Supramono (2016:274)
mengemukakan bahwa dua karakteristik
servant leadership yang menonjol di SMA S
Kota Salatiga, yaitu develop people dan provide
leadership. Selanjutnya Lumban Gaol
(2017:217) mengemukakan bahwa
kepemimpinan kepala sekolah sangat
menentukan peningkatan dan pengembangan
sekolah. Tanpa adanya kemampuan yang
memadai dalam mengimplementasikan gaya
kepemimpinan, kepala sekolah akan
menemukan berbagai kesulitan dalam
mewujudkan sekolah yang efektif
Motivasi akan dapat meningkatkan
kepuasan kerja. Sementara kepuasan kerja yang
tinggi akan dapat mengurangi keinginan pindah
atau berhenti guru. Schemerhorn, Hunt, Osborn
dan Bein (2010:143) mengemukakan “Job
satisfaction can also effect turnover, or
decisions by people to terminate their
employment, simply put, dissatisfied workers
are more likely than satisfied workers to quit
their jobs”. Apabila guru banyak yang pindah
tentu saja sekolah akan mengalami kesulitan
mewujudkan tujuannya.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas
diketahui bahwa optimalisasi kepuasan kerja
guru dapat dilakukan dengan dua cara: 1)
kepuasan kerja guru dapat ditingkatkan dengan
memberikan penghargaan yang sesuai harapan
guru, dan 2) kepuasan kerja guru dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan motivasi
guru. Kepala sekolah diharapkan mampu
sebagai motivator ekstrinsik bagi guru.
DAFTAR PUSTAKA
Aktar, Serena, Md. Zia Uddin, M.
Kamaruzzaman Sachu.2013. The
Impact of Rewards on Job Satisfaction
and Employees Performance in
Bangladesh: A Comparative Analysis
Between Pharmaceutical and Insurance
Industries. International Journal of
Business and Management Invention..
Vol 2. Issue 8. Agustus. hal: 1-8
Armstrong, Michael. 2007. A Handbook of
Employee Reward Management in
Practice. 2nd Edition. KoganPage
London Philadelphia.
Gibson,James L., John M. Ivancevich, James H.
Donnelly Jr, Robert Konopaske. 2012.
Organizations, Structure, Processes.
Optimalisasi Kepuasan Kerja Guru | Hardianto
195
14th Edition. McGraw-Hill Irwin. New
York.
Griffin, Ricky W. dan Gregory Moorhead.
2014.Organizational Behavior.
Managing, People and
Organization.South-Western Cengage
Learning. USA.
Khan, Muhammad Yousuf, Muhammad
Rizwan, Muhammad Ibrahim Arshad,
Muhammad Fahad Anwar. 2013.
Impact of Employee Motivation on Job
Satisfaction With Respect to Corporate
Social Responsibility and Rewards.
Journal of Public Administration and
Governance. Vol 3. No 3. hal: 226-243
Locke, Edwin A..2009. Handbook of Principles
of Organizational Behavior.
Indispensable Knowledge for Evidence-
Based Management. 2nd Edition.
Edited by John A. Locke. Wiley and
Sons.
Lumban Gaol, Nasib Tua. 2017. Teori dan
Implementasi Gaya Kepemimpinan
Kepala Sekolah. Jurnal Kelola. Vol. 4.
No. 2. hal: 213-219
Lumban Gaol, Nasib Tua dan Siburian,
Paningkat. 2018. Peran Kepala Sekolah
Dalam Meningkatkan Kinerja Guru.
Jurnal Kelola. Vol. 5. No. 1. hal: 66-73
Luthans, Fred. 2011. Organizational Behavior
An Evidence-Based Approach. 12th
Edition. McGraw-Hill Irwin. New
York.
Muhammad, Noreen, Faiza maqbool. 2015.
Impact of Extrinsik Rewards on
JobSatisfaction of Banking Sector
Employees of Karachi. Pakistan. IOSR
Journal Of Business nad Management.
Vol 17. Issue 1. hal: 65-74
Sari, Handita dan Spramono. 2016.
Kepemimpinan yang Melayani di
Sekolah Menengah Tingkat Atas
Swasta Kota Salatiga. Jurnal Kelola.
Vol. 3 No. 2.hal: 265-276
Sarwar, Shagufta, James Abugre. 2013. The
Influence of Rewards and Job
Satisfaction on Employees in The
service Industry. The Business &
Management Revew.Vol 3 No. 2.hal:
22-32
Schermerhorn Jr, John R., James G. Hunt,
Richard N. Osborn, Mary Uhl Bien.
2010. Organizational Behavior. 11th
Edition. John Wiley & Son Inc. USA.
Undang-Undang Republik Indonesia No 14
Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
Wagner,John A dan John R. Hollenbeck. 2010.
Organizational Behavior. Securing
Competitive Advantege. Routledge.
New York and London.
Zaraket,Wael S. dan Farouk Saber.2017. The
Impact of Financial Reward on Job
Satisfaction and Perfotmance:
Implication for Blue Collar Employees.
China-USA Business Review.Vol.16.
No 8.hal: 369-378
https://siedoo.com/berita-4965-peringkat-
pendidikan-indonesia-dan-budaya-
buruknya/ Diakses 8 Mei 2018
https://www.unila.ac.id/baru-51-persen-guru-
penuhi-kualifikasi-pendidikan/ Diakses
7 Mei 2018
http://jabarprov.go.id/index.php/news/16352/2
016/03/07/Tiga-Masalah-Guru-di-
Indonesia Diakses 7 Mei 2018
https://nasional.tempo.co/read/840126/kement
erian-pendidikan-hanya-70-persen-
sekolah-penuhi-standar Diakses 8 Mei
2018
http://kabar24.bisnis.com/read/20171123/255/
712068/ini-3-masalah-utama-guru-
tenaga-pengajar Diakses 8 Mei 2018
Kelola
Jurnal Manajemen Pendidikan
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018
Halaman: 196-204
196
Manajemen Pendidikan Khusus di Sekolah Luar Biasa Untuk Anak Autis
Gangsar Ali Daroni
Pendidikan Luar Biasa, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
gangsaralidaroni@gmail.com
Gina Solihat
Pendidikan Luar Biasa, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
solihatgina@gmail.com
Abdul Salim
Pendidikan Luar Biasa, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
salimchoiri@fkip.uns.ac.id
ABSTRACT
This study aims to determine the implementation of special education management at Special
School for Autism. This research is descriptive qualitative research. The speakers in this
research are the principal and two teachers at Special School for Autism in Karanganyar.
Data were collected by interview, observation, and documentation. Data analysis techniques
using Miles and Huberman models. There are three steps in this model, namely data reduction,
data display, and conclusion. The implementation of special education management at Special
School for Autism in coordination by a principal. In planning educational programs, tailored
to the ability of each autistic student using IEP (Individual Educational Program). The school
has an organizational structure that works in accordance with its duties. The principal is in
charge of coordinating school management, while the teacher is responsible for the
management of the class. Special School for Autism is a recently established school. The
condition of autistic students who have different characteristics, the location of the
foundation's office with the school is very far away, and the entry of students with different
disorder conditions with autistic students makes the implementation of education management
in Special School for Autism not running optimally. Therefore, schools have made efforts to
minimize these barriers.
Keywords: Autism, Educational Management, Special School for Autism
Article Info
Received date: 1 Agustus 2018 Revised date: 7 September 2018 Accepted date: 8 Desember 2018
PENDAHULUAN
Pendidikan mempunyai tugas
menyiapkan sumber daya manusia untuk
pembangunan seirama dengan tuntutan zaman.
Perkembangan zaman selalu memunculkan
persoalan-persoalan baru yang tidak pernah
terpikirkan sebelumnya (Noordyana, 2016).
Suatu pendidikan dipandang bermutu diukur
dari perannya untuk ikut mencerdaskan
kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan
nasional adalah pendidikan yang berhasil
membentuk generasi muda yang cerdas,
berkarakter, bermoral dan berkepribadian
(Haryono, 2015). Untuk itu perlu dirancang
suatu sistem pendidikan yang mampu
menciptakan suasana dan proses pembelajaran
yang menyenangkan, merangsang dan
menantang peserta didik untuk
Manajemen Pendidikan Khsusus di SLB Autis Mitra Ananda Colomadu | Gangsar A. Daroni, dkk.
197
mengembangkan diri secara optimal sesuai
dengan bakat dan kemampuannya (Mailani,
2018).
Perhatian pemerinah terhadap masalah
pendidikan, pemerintah masih terasa kurang.
Gambaran ini tercermin dari beragamnya
masalah pendidikan yang makin rumit
(Widodo, Waridin, & Maria, 2011). Kualitas
siswa masih rendah, pengajar kurang
profesional, biaya pendidikan yang mahal,
bahkan aturan Undang undang di bidang
pendidikan masih terasa kacau. Dampak dari
pendidikan yang buruk itu, negeri kita ke
depannya makin terpuruk. Keterpurukan ini
dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi
anggaran pendidikan baik di tingkat nasional,
propinsi, maupun kota dan kabupaten (Mantja,
2016).
Penyelesaian masalah pendidikan tidak
semestinya dilakukan secara terpisah-pisah,
tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan
yang sifatnya menyeluruh (Wardani, 2017).
Artinya, kita tidak hanya memperhatikan pada
kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja,
jika kualitas sumber daya manusia dan mutu
pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah
penyelenggaraan wajib belajar sembilan tahun
sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita.
Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak
di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki
sarana pendidikan yang memadai (Hidayat,
2012). Dengan terbengkalainya program wajib
belajar mengakibatkan anak-anak Indonesia
masih banyak yang putus sekolah sebelum
mereka menyelesaikan wajib belajar. Dengan
kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan
kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini
keluar dari masalah-masalah pendidikan yang
ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era
global (Maamarah, 2016). Berdasarkan uraian
permasalahan diatas, maka dibutuhkan suatu
solusi yang bisa mengatasinya. Salah satu
solusi tersebut yaitu adalah diperbaikinya
sistem manajemen pendidikan di satuan-satuan
pendidikan (Wati, 2014).
Manajemen pendidikan adalah sebuah
proses yang dilaksanakan secara sadar dan
terencana untuk menciptakan suasana belajar
dan proses pembelajaran serta mencapai tujuan
pendidikan dimulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan dengan menggunakan sumber
daya manusia dan sumber daya yang lain untuk
mencapai tujuan organisasi (Maria & Sediyono,
2017). Fungsi pokok manajemen pembelajaran
adalah perencanaan, pengorganisasian,
kepemimpinan dan pengawasan (Sa'ud dan
Sumantri dalam Maria & Sediyono, 2017).
Semua satuan pendidikan di Indonesia harus
memiliki manajemen pendidikan yang baik tak
terkecuali bagi sekolah luar biasa (SLB).
Berbeda dengan satuan pendidikan regular,
istilah manajemen pendidikan di sekolah luar
biasa disebut dengan manajemen pendidikan
khusus, yaitu manajemen sekolah untuk
pelaksanaan pembelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus.
Anak berkebutuhan khusus (ABK) yaitu
anak-anak yang menyandang kecacatan
tertentu (disable children) baik secara fisik,
mental dan emosional maupun yang
mempunyai kebutuhan khusus dalam
pendidikannya (children with special
educational needs) (Suparno, 2007). Anak
berkebutuhan khusus terbagi menjadi beberapa
jenis ketunaan antara lain: tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras,
dan autis.
Autis adalah kelainan perkembangan
saraf kompleks yang ditandai dengan adanya
masalah dalam interaksi sosial, komunikasi,
minat terbatas, dan perilaku stereotip berulang
(Siniscalco, Cirillo, Bradstreet & Antonucci,
2013: 4261). Biasanya anak autis kurang minat
untuk melakukan kontak sosial dan tidak
adanya kontak mata. Selain itu, anak-anak autis
memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dan
terlambat dalam perkembangan bicaranya. Ciri
lainya nampak pada perilaku yang stereotype
seperti mengepakkan tangan secara berulang-
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
198
ulang, mondar-mandir tidak bertujuan,
menyusun benda berderet dan terpukau
terhadap benda yang berputar dan masih
banyak lagi ciri autis yang tak dapat disebutkan
di sini karena setiap anak memiliki karakteristik
yang berbeda-beda (Yuwono, 2012:15).
Di Indonesia, sekolah khusus bagi siswa
autis disebut Sekolah Luar Biasa Autis. Salah
satu sekolah khusus bagi siswa autis yaitu
Sekolah Luar Biasa (SLB) Autis MAC yang
berlokasi di kota Karanganyar, Provinsi Jawa
Tengah. Di sekolah tersebut, disediakan
layanan pendidikan dan terapi bagi siswa-siswi
autis. Penanganan yang disesuaikan dengan
kondisi anak, bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing
siswa autis. Keadaan siswa autis yang unik dan
berbeda dengan siswa regular pada umumnya,
menyebabkan penangannya memerlukan cara
yang khusus, begitu pula dalam melakukan
manajemen pendidikannya. Hal tersebut
mendorong peneliti untuk mengetahui
bagaimana manajemen pendidikan khusus di
salah satu Sekolah Luar Biasa Autis di
Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan di
Sekolah Luar Biasa Autis di Kabupaten
Karanganyar. Narasumber dalam penelitian ini
adalah kepala sekolah dan dua guru di SLB
tersebut. Alat pengumpulan dalam penelitian
ini menggunakan observasi, wawancara dan
dokumentasi. Analisis data dalam penelitian
ini, menggunakan Analisis Model Interaktif
Miles dan Huberman. Ada tiga langkah pada
model ini, yaitu reduksi data, tampilan data dan
penarikan kesimpulan/ verifikasi. Reduksi data
berarti meringkas, memilih poin penting, fokus
pada masalah dan mencari temanya. Setelah
dikurangi, langkah selanjutnya adalah
menampilkan data. Langkah ketiga dalam
menganalisa penelitian kualitatif adalah
menarik kesimpulan atau verifikasi.
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah
temuannya (Prakosa, Salim & Sunardi, 2018:
58).
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Perencanaan Pendidikan
Sekolah Luar Biasa Autis di Kabupaten
Karanganyar, melakukan perencanaan
pendidikan pada awal awal semester, setelah
dilakukan asesman kemampuan anak oleh guru.
Perencanaan dibuat di sekolah dengan
melibatkan berbagai pihak. Setiap anak
memiliki kondisi,kemampuan serta kebutuhan
yang berbeda-beda. Hal ini yang mendasari
diterapkannya IEP (Individual Educational
Program) di Mitra Ananda. Di dalam IEP ini
materi penanganan dimulai dari apa yang dapat
dilakukan oleh anak. Program pembelajaran
yang dikombinasikan dengan program terapi
ditentukan setelah dilakukan serangkaian
assessment / analisa kebutuhan yang
melibatkan berbagai profesi yaitu dokter anak,
psikolog/psikiater, guru dan terapis
(fisioterapis, okupasi terapis, speech terapis).
Perencanaan program sekolah disusun
oleh pengurus Sekolah Luar Biasa Autis di
Kabupaten Karanganyar dan Yayasan dan
sekolah menganggap bahwa perencanaan ini
merupakan suatu hal yang penting karena
sebagai pedoman untuk mencapai suatu tujuan
pendidikan bagi siswa-siswi di Sekolah Luar
Biasa Autis di Kabupaten Karanganyar, agar
terprogram secara sistematis. Adapun rencana
sekolah bagi peserta didik pada tahun ajaran
2017/2018 secara umum adalah sebagai
berikut.
a. Tersusunnya Program Pendidikan
Individual (PPI) untuk setiap siswa
b. Melaksanakan kegiatan belajar mengajar
secara invidual dan klasikal
c. Melaksanakan kegiatan terapi sebagai
penunjang keberhasilan program
pendidikan/belajar siswa
Manajemen Pendidikan Khsusus di SLB Autis Mitra Ananda Colomadu | Gangsar A. Daroni, dkk.
199
d. Melaksanakan kegiatan ekstra kurikuler
sekolah dalam bentuk pendidikan kesenian
Tari dan melukis
e. Melaksanakan kegiatan ekstra kurikuler
sekolah dalam bentuk pendidikan kesenian
Tari dan melukis
f. Melaksanakan bimbingan ketrampilan hidup
sehari-hari
g. Melaksanakan kegiatan ‘Outing” / Familiy
Gathering untuk melatih anak mengenal
lingkungan dan sosialisasi dalam bentuk
rekreasi bersama
h. Melaksanakan kegiatan ujian Tengah
Semester (UTS) / dan Ujian semester serta
ujian Akhir semester kenaikan kelas
i. Menyelenggarakan Sarasehan/Seminar
orangtua anak berkebutuhan khusus
j. Menyelenggarakan kegiatan Pameran hasil
Karya anak
k. Menyelenggarakan Workshop peningkatan
SDM bagi tenaga Guru dan terapis
l. Mengirimkan guru untuk mengikuti
kegiatan seminar dan pelatihan yang relevan
dengan ketugasannya
m. Menyelenggarakan/Mengikuti kegiatan
peringatan hari Penyandang cacat
Internasional (HIPENCA)
n. Pembuatan Ruang terapi musik dan
pembenahan administrasi sekolah.
Perencanaan pembelajaran dievaluasi
dalam jangka 3 bulan sekali dan 6 bulan sekali
oleh guru dan terapis. Perencanaan program
sekolah disesuaikan dengan kurikulum dan
kebutuhan pendidikan siswa, dan dievaluasi
setiap satu tahun sekali.
Pengorganisasian
Guna menjalankan fungsi pengorgani-
sasian, maka terdapat struktur organisasi yang
terbentuk di Sekolah Luar Biasa Autis di
Kabupaten Karanganyar. Sekolah Luar Biasa
ini, merupakan Sekolah yang berada dibawah
naungan Yayasan Swasta. Selain itu terdapat
perkumpulan orang tua siswa yang bernama
POSMA (Perkumpulan Orang tua Siswa Mitra
Ananda). Perkumpulan ini bertujuan untuk
mempererat silaturahmi antar orang tua siswa di
Sekolah Luar Biasa Autis di Kabupaten
Karanganyar dan mempermudah komunikasi
antara orang tua siswa dengan sekolah terakit
dengan pelaksanaan pembelajaran bagi siswa-
siswi di sekolah.
Struktur Kepengurusan Sekolah Luar
Biasa Autis di Kabupaten Karanganyar terdiri
dari: (a) KetuaYayasan, (b) Kepala Sekolah, (c)
Tata Usaha, (d) Bendahara Sekolah, (e) Wakil
Kepala Sekolah, (f) Guru / Terapis. Adapun
masing-masing fungsi dari setiap stuktur
organisasi yaitu sebagai berikut.
a. Kepala sekolah melakukan kegiatan
managerial sekolah, sebagai pemimpin di
sekolah.
b. Wakil Kepala Sekolah: Membantu kepala
sekolah melaksanakan kegiatan managerial
sekolah.’
c. Bendahara: Mengelola keuangan di sekolah.
d. Tata Usaha: Menjadi Operator Sekolah dan
pelaksana teknis penyelenggaraaan sistem
administrasi dan informasi pendidikan di
sekolah
e. Guru dan terapis: Melaksanakan
pembelajaran dan terapi bagi siswa-siswa di
sekolah.
f. Agar dapat melaksanakan organisasi dengan
harmonis dan baik, cara sekolah mengatur
organisasi yaitu dengan cara bekerja secara
professional sesuai dengan tanggung
jawabnya masing-masing, melakukan rapat
rutin setiap sebulan sekali untuk melakukan
evaluasi kerja. Kepala sekolah berperan
sebagai pengatur organisasi agar dapat
berjalan dengan harmonis dan baik. Apabila
terjadi suatu konflik, sekolah menanganinya
dengan cara melakukan musyawarah
bersama.
Pelaksanaan Pendidikan
Fungsi pelaksanaan pendidikan Sekolah
Luar Biasa Autis di Kabupaten Karanganyar,
dilaksanakan oleh guru dengan bantuan terapis.
Menurut sumber, pelaksanaan pendidikan telah
berjalan cukup baik, namun masih mengalami
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
200
kendala karena kurikulum yang diberikan oleh
pemerintah merupakan Kurikulum 2013 yang
menggunakan pendekatan tematik yang
mengharuskan siswa aktif. Keharusan ini sulit
sekali diterapkan pada anak autis di sekolah
yang kebanyakan adalah siswa autis berat.
Selain itu, kemampuan anak yang berbeda-
beda, membuat guru harus lebih kreatif dalam
melakukan pembelajaran dikelas.
Pada tahun pelajaran 2017/2018
Sekolah Luar Biasa Autis di Kabupaten
Karanganyar memiliki 2 jenjang sekolah yaitu
SDLB dan SMPLB dari kelas 1 sampai kelas 7.
Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum
2013. Namun dalam pelaksanaanya, kurikulum
2013 sulit diterapkan bagi anak autis di sekolah,
karena hampir semua anak autis di sekolah ini
tergolong kedalam autis berat. Oleh karena itu
pembelajaran disesuaikan dengan kemampuan
siswa melalui Program pembelajaran individual
(PPI).
Mata pelajaran yang dilaksanakan
terbagi menjadi 3 kelompok mata pelajaran
yaitu:
a. Kelompok Akademik: Pendidikan agama
dan budi pekerti, PPKN, Bahasa Indonesia,
Matematika, IPA, IPS, Pendidikan Jasmani,
olahraga dan kesehatan.
b. Kelompok Ketrampilan: Seni budaya dan
ketrampilan dan Bina Diri.
c. Kelompok Kebutuhan Khusus: Sensori
Motorik, Bicara dan komunikasi,
Ketrampilan social
Selain itu, muatan lokal yang diajarkan
adalah bahasa jawa dan pendidikan lingkungan
hidup.
Tabel 1. Karakteristik siswa
Jenis Ketunaan Jumlah Siswa
Autis 19
Cerebral Palsy 6
Down Syndrom 3
ADHD 2
Kelainan Ganda 2
Total 32
Tabel 2. Jadwal kegiatan sekolah
Kegiatan Waktu
Pembelajaran 08.30 - 12.00 WIB
Snack Time 09.30 - 10.00 WIB
Pembelajaran 10.00 - 11.30 WIB
Makan siang 11.30 – 12.00 WIB
Pulang 12.00 WIB
Sekolah Luar Biasa Autis di Kabupaten
Karanganyar memiliki kelas kelompok. Dalam
kelas kelompok ini siswa belajar dalam satu
kelas bersama yang dibatasi jumlah siswanya.
Perbandingan guru dan siswa 2 : 3 atau 2:4. Hal
tersebut bertujuan agar anak mendapatkan
penanganan yang intensif dan optimal. Apabila
terdapat siswa yang mengalami tantrum atau
tidak bisa dikondisikan di kelas kelompok,
makan siswa akan dibawa ke kelas transisi yang
akan diberikan penanganan individual oleh
guru. Selain kegiatan pembelajaran, terdapat
kegiatan lain yaitu kegiatan terapi yang
disesuaikan dengan kebutuhan siswa: (a)
fisioterapi, (b) okupasi terapi, (c) hydroterapi,
(d) terapi wicara, (e) snoezelen. Sedangkan
kegiatan Extrakurikuler yaitu: (a) kelas musik,
(b) kelas tari, (c) senam, (d) pramuka, (e)
berenang.
Selain itu, dilaksanakan Outing class
yang dilaksanakan setiap 3 bulan sekali.
Kegiatan terapi dilakukan untuk memberikan
pelayanan terapi untuk mengatasi hambatan
anak yang bisa diatasi melalui pelayanan terapi
seperti fisioterapi, okupasi terapi, terapi wicara,
dll. Ekstrakurikuler dilaksanakan sebagai
wadah anak untuk membekali anak melalui
kegiatan-kegiatan yang dapat menyalurkan
bakat anak agar dapat terasah dengan optimal
dan sebagai sarana anak untuk bersosialisasi
dengan lingkungannya (teman dan guru).
Outing class bertujuan untuk memberi
pengalaman nyata siswa untuk belajar di tempat
kegiatan dan dapat bersosialisasi dengan
masyarakat.
Kegiatan pembelajaran dapat
mengoptimalkan kemampuan akademik siswa.
Setelah dilakukan terapi, anak mengalami
Manajemen Pendidikan Khsusus di SLB Autis Mitra Ananda Colomadu | Gangsar A. Daroni, dkk.
201
peningkatan dalam hal motorik, kemampuan
bicara dan ketrampilan lainnya. Outing class
membuat siswa menjadi lebih percaya diri
ketika bersosialisasi.
Pengendalian
Pengendali dalam kegiatan KBM adalah
kepala sekolah. Pengawas Sekolah Luar Biasa
Autis di Kabupaten Karanganyar, yang
ditunjuk oleh Dinas Pendidikan Khusus
Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, Ketua
Yayasan juga melakukan kontroling terhadap
SLB melalui rapat tahunan dan beberapa
kunjungan. Kepala sekolah mengontrol
pelaksanaan kegiatan belajar dan mengajar
disekolah. Pengawas Sekolah, mengawasi
pelaksanaan kegiatan pembelajaran di SLB
agar sesuai dengan peraturan pemerintah
provinsi jawa tengah. Ketua Yayasan
melakukan pengawasan untuk mengetahui
perkembangan dan kemajuan SLB Autis di
Kabupaten Karanganyar agar semakin baik.
Kepala sekolah melakukan monitoring setiap
hari dan rapat bulanan. Pengawas melakukan
monitoring dengan kunjungan kesekolah
beberapa kali. Ketua Yayasan melalui rapat
tahunan dan kunjungan. Kepala sekolah
melakukan monitoring setiap hari dan rapat
bulanan. Pengawas melakukan monitoring
dengan kunjungan kesekolah beberapa kali..
Evaluasi Pendidikan
Manajemen kelas menjadi tanggung
jawab guru. Setiap akhir pembelajaran, guru
memberikan laporan kegiatan pembelajaran
pada buku penghubung yang diberikan kepada
orang tua. Hal terbut menjadi catatan
perkembangan anak dan informasi kepada
orang tua agar orang tua dapat membantu
memaksimalkan program yang dilaksanakan
disekolah dapat diterapkan juga di rumah.
Setiap 3 bulan sekali dan 6 bulan sekali
guru dan terapis melaksanakan evaluasi
program bagi siswa. Hal yang dirasa masih
mengalami hambatan atau kekurangan, akan
diperbaiki. Evaluasi yang dilakukan guru
menggunakan aplikasi Therap yang digunakan
khusus untuk mencatat setiap kegiatan dan
perkembangan siswa dari akademik, terapi dan
perkembangan lainnya seperti motorik, bina
diri, perilaku dan lain-lain. Aplikasi ini sangat
mudah digunakan, guru setiap harinya
memasukkan data perkembangan siswa ditiap
kegiatan yang mereka lakukan. Setelah itu
setiap 3 bulan atau 6 bulan sekali, data itu akan
terkumpul menjadi satu dalam dokumen yang
berbentuk Microsoft Exel.
Dari data yang terkumpul, guru dapat
melihat apa yang menjadi kekurangan dalam
pelaksanaan pembelajaran bagi siswa sehari-
hari selama ini, apa yang menjadi kebiasaan
siswa yang perlu diubah dapat dilihat dan
dievaluasi. Setiap satu bulan sekali kepala
sekolah melalui rapat sekolah melakukan
evaluasi kerja untuk menyelesaikan masalah-
masalah atau kendala yang ada disekolah.
Evaluasi tersebut menggunakan teknik diskusi
yang membahas perkembangan dan masalah
yang terjadi pada proses pembelajaran bagi
siswa. Melalui POSMA setiap 3 bulan sekali,
orang tua juga turut andil memberikan masukan
kepada guru untuk kebaikan bersama. Melalui
rapat tahunan yayasan, melakukan evaluasi
managemen sekolah bersama pengurus
yayasan.
Bagi sekolah, proses evaluasi penting
karena semua evaluasi bertujuan untuk
memperbaiki semua program dan manajemen
sekolah sehingga membuat SLB Autis di
Kabupaten Karanganyar menjadi lebih baik.
Evaluasi dan masukan akan diterima dengan
baik, dimusyawarahkan bersama, setelah
diterima oleh forum, maka hal tersebut akan
diperbaiki bersama. Evaluasi pembelajaran
dilakukan oleh guru kemudian meminta
pertimbangan dari terapis, psikolog dan ahli
lain, kemudian disampaikan kepada orang tua
terkait evaluasi belajar siswa agar orang tua
juga dapat membantu menyelesaikan hambatan
dalam pelaksanaan program bagi anak mereka.
Sehingga pembelajaran akan berjalan dengan
optimal. Evaluasi kepala sekolah dilakukan
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
202
melalui musyawarah pada rapat bersama
seluruh struktur organisasi sekolah, dan
diselesaikan pada forum tersebut. Evaluasi
pengawas disampaikan kepada kepala sekolah.
Evaluasi yayasan dilakukan melalui kunjungan
dan rapat tahunan.’
Faktor Pendukung dan Penghambat
Pelaksanaan Pendidikan
Faktor pendukung di SLB Autis di
Kabupaten karanganyar yaitu sebagai berikut.
a. Sarana prasarana yang memadai
b. Banyak pihak yang mendukung evaluasi
manajemen seperti kepala sekolah,
pengawas, yayasan dan orang tua.
c. Pembiayaan sekolah yang cukup.
d. Dampak faktor-faktor tersebut pada sekolah
yaitu sebagai berikut.
e. Sarana prasarana yang memadai sehingga
memudahkan dalam pelaksanaan
pendidikan di sekolah. Dalam pelaksanaan
pembelajaran disekolah akan lebih mudah
dengan adanya sarana prasarana yang
memadai.
f. Banyak pihak yang mendukung evaluasi
manajemen seperti kepala sekolah,
pengawas, yayasan dan orang tua. Dengan
banyak masukan dari berbagai pihak, maka
pelaksanaan managemen di sekolah
menjadi lebih baik.
g. Pembiayaan sekolah yang cukup.
Pembiayaan yang cukup dapat mendukung
pelaksanaan pembelajaran di sekolah
menjadi lebih baik karena dalam pengadaan
saran dan prasaran di sekolah
membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Selain faktor pendukung, terdapat
beberapa hal yang menjadi penghambat
pelaksanaan manajemen pendidikan di SLB
Autis Mitra Ananda, yaitu:
a. Kondisi anak autis di SLB yang mayoritas
berat, menyebabkan kurikulum 2013 tidak
dapat sepenuhnya diterapkan.
b. Sekolah Luar Biasa ini merupakan sekolah
yang belum lama berdiri, sehingga masih
dalam tahap belajar dan merintis menjadi
sekolah yang baik.
c. Yayasan yang memiliki kantor di Jakarta
menyebabkan komunikasi secara langsung
antara yayasan dengan sekolah menjadi
sedikit terhambat.
d. Meskipun SLB Autis di Kabupaten
Karanganyar ini merupakan SLB khusus
Autis, namun masih menerima ketunaan lain
seperti cerebral palsy, tunagrahita dan
tunaganda. Hal tersebut dilakukan atas
permintaan orang tua dan pertimbangan lain
(dekat dengan rumah dan fasilitas terapi
yang lebih lengkap).
e. Dalam mengatasi hambatan tersebut,
sekolah telah melakukan upaya-upaya
sebagai berikut:
f. Menggunakan program pembelajaran
individual yang disesuaikan dengan kondisi
anak.
g. Belajar berbenah diri untuk menjadi lebih
baik, pembekalan ketrampilah guru melalui
pelatihan-pelatihan (pelatihan menyusun
PPi, pelatihan managerial, dll).
h. Kunjungan dengan yayasan dilakukan
berkala.
i. Tetap menyarankan kepada orang tua agar
anak ditempatkan di sekolah khusus sesuai
ketunaannya, namun apabila masih tetap di
SLB, sekolah akan memberikan program
yang disesuaikan dengan kemampuan anak.
Pembahasan
Dari paparan hasil penelitin di atas
dapat kita ketahui bahwa pelaksanaan
manajemen pendidikan di sekolah luar biasa
autis berbeda dengan pelaksanaan manajemen
pendidikan di sekolah-sekolah lain. Karena
pelaksanaan manajemen di lokasi penelitian ini
berbea dengan temuan penelitian Yuliani,
Suntoro, & Kandar (2015), serta Helsa &
Hendriati (2017) yang menyebutkan bahwa
manajemen pendidikan yang dilakukan guru di
sekolah umum, dilakukan secara klasikal
dengan jumlah siswa yang relatif banyak.
Setiap rencana pembelajaran diperuntukkan
Manajemen Pendidikan Khsusus di SLB Autis Mitra Ananda Colomadu | Gangsar A. Daroni, dkk.
203
untuk semua siswa tanpa adanya rencana
pembelajaran individual.
Istiningsih (2005) juga menjelaskan
pada sekolah inklusi memiliki kesamaan pada
pelaksanaan pendidikan di sekolah regular,
namun adanya guru pembimbing khusus yang
membantu siswa untuk dapat berbaur dengan
teman-temannya. Berbeda dengan sekolah lain,
Sekolah Luar Biasa Autis di Kabupaten
Karanganyar adalah sekolah khusus bagi anak
autis, yang pelaksanaannya menggunakan cara-
cara khusus untuk menyesuaikan diri dengan
kemampuan yang dimiliki anak. Anak autis
yang unik tentu perlu diberikan pelayanan yang
lebih seperti pemberian terapi yang dapat
memaksimalkan perkembangan anak.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan temuan dan pembahasan
hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan manajemen pendidikan khusus di
Sekolah Luar Biasa Autis di Kabupaten
Karanganyar dikoordinasi oleh seorang kepala
sekolah. Dalam merencanakan program
pendidikan, disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing siswa autis menggunakan IEP
(Individual Educational Program). Sekolah
memiliki susunan organisasi yang berkerja
sesuai dengan tugasnya. Kepala sekolah
bertugas mengkoordinasi manajemen sekolah,
sedangkan guru bertanggungjawab melakukan
manajemen dikelas.
Sekolah Luar Biasa Autis di Kabupaten
Karanganyar merupakan sekolah yang belum
lama berdiri. Kondisi siswa autis yang memiliki
karakteristik yang berbeda-beda, letak kantor
yayasan dengan sekolah sangat jauh, dan
masuknya siswa dengan kondisi ketunaan yang
berbeda dengan siswa autis membuat
pelaksanaan manajemen pendidikan di SLB
tidak berjalan optimal. Oleh karena itu, sekolah
telah melakukan upaya-upaya untuk
meminimalisir hambatan tersebut.
Saran
Karakteristik siswa autis yang berbeda-
beda, mengharuskan guru untuk lebih kreatif
dalam melakukan manajemen pendidikan
dikelas agar siswa autis dapat mengikuti
pembelajaran dengan baik. Masuknya siswa
dengan kelainan/ketunaan yang berbeda
dengan siswa autis karena kurang tersedianya
sekolah khusus bagi ketunaan yang sesuai.
Masalah jarak dan waktu menyebabkan orang
tua menyekolahkan anaknya di sekolah autis.
Oleh karena itu, pemerintah dapat menyediakan
sekolah khusus yang dapat mengakomodasi
semua ketunaan atau dapat menyediakan
sekolah inklusi yang terjangkau di daerah
sekitar colomadu, karanganyar.
DAFTAR PUSTAKA
Haryono, A. S. 2015. Evaluasi Pendidikan
Inklusi Bagi Anak ABK di Provinsi
Jawa Tengah. Jurnal Penelitian
Pendidikan, 32(2), 119-126.
Helsa & Hendriati, A. 2017. Kemampuan
Manajemen Kelas Guru: Penelitian
Tindakan Di Sekolah Dasar Dengan
SES Rendah. Jurnal Psikologi, 16(2),
89-104.
Istiningsih. 2005. Manajemen Pendidikan
Inklusi DiSekolah Dasar Negeri Klego
1 Kabupaten Boyolali (Tesis,
Universitas Muhammadiyah Surakarta).
Hidayat, A.S. 2012. Manajemen Sekolah
berbasis Karakter. Jurnal Inovasi dan
Kewirausahaan, 1(1), 8-22.
Maamarah, S. 2016. Strategi Peningkatan Mutu
dan Citra (Image) Sekolah Dasar Negeri
Di Ungaran, Semarang. Kelola Jurnal
Manajemen Pendidikan, 3(1), 115-130.
Mailani, E. 2018. Upaya Meningkatkan Hasil
Belajar Matematika Pada Materi
Pecahan Melalui Permainan Monopoli
Pecahan. Jurnal Handayani PGSD FIP
UNIMED, 4(1), 1-14.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
204
Siniscalco, D., Cirillo, A., Bradstreet, J.J &
Antonucci, N. 2013. Epigenetic
Findings in Autism: New Perspectives
for Therapy. International Journal of
Environmental Research and Public
Health. 10, 4261-4273.
Suparno. 2007. Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus. Konsorsium Program S1
PGSD: Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi.
Mantja, W. 2016. Manajemen Pendidikan
Dalam Era Reformasi. Jurnal Ilmu
Pendidikan, 7(2), 87-96.
Maria, E & Sediyono, E. 2017. Pengembangan
Model Manajemen Pembelajaran
Berbasis TIK di Sekolah Dasar. Kelola
Jurnal Manajemen Pendidikan, 4(1),
59-71.
Noordyana, M. A. 2016. Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Siswa melalui Pendekatan
Metacognitive Instruction. Jurnal
Pendidikan Matematika STKIP Garut,
5(2), 120-127.
Prakosa, D., Salim, A., & Sunardi. 2018. The
Implementation of Phonic Method in
Teaching Vocabulary in Speaking to
Visually Impaired Students in SLB A
(Visual Impairment). Journal of ICSAR.
2(1): 57-61.
Wardani, K.W. 2017. Pengaruh Kreativitas
dalam Peningkatan Kompetensi
Kepemimpinan Alumni Magister
Manajemen Pendidikan Pada
Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Kelola Jurnal Manajemen Pendidikan,
4(2), 220-230.
Wati, E. 2014. Manajemen Pendidikan Inklusi
Di Sekolah Dasar Negeri 32 Kota
Banda. Jurnal Ilmiah Didaktika, 14(2),
368-378.
Widodo, A., Waridin, & Maria, K. J. 2011.
Analisis Pengaruh Pengeluaran
Pemerintah Di Sektor Pendidikan Dan
Kesehatan Terhadap Pengentasan
Kemiskinan Melalui Peningkatan
Pembangunan Manusia Di Provinsi
Jawa Tengah. Jurnal Dinamika
Ekonomi Pembangunan, 1(1), 25-42.
Yuliani, R., Suntoro, I, & Kandar, S. 2015.
Implementasi Manajemen Pendidikan
Sekolah Dasar Negeri 1 Gisting Bawah.
Jurnal Manajemen Mutu Pendidikan,
3(2).
Yuwono, J. 2012. Memahami Anak Autis
(Kajian Teori dan Empirik). Bandung:
Alfabeta.
Kelola
Jurnal Manajemen Pendidikan
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018
Halaman: 205-216
205
Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri
Eni Mariani
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
enimariani88@gmail.com
Bambang Suteng Sulasmono
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
sulasmonobambang@yahoo.com
ABSTRACT
This study aims to evaluate the design, installation, process, and products of the inclusive
education program implementation in a Salatiga Public Middle School. This type of research
is program evaluation with a discrepancy evaluation model. Information sources in this study
are the Principal, Local Content Teacher, Counseling Guidance Teacher who also acts as
Special Facilitators Teacher (GPK). Data collection technique include interviews,
observation and document study. Data analysis technique include data collection, data
reduction, data presentation, and conclusion drawing. Data validation through technical and
source triangulation. The results: (1) the design evaluation showed the general curriculum
and assessment plans have not been modified, educators do not yet have adequate competence,
facilities and infrastructure do not yet support the needs of special needs student (ABK); (2)
the installation evaluation showed there is no entrance test, the learning design and
assessment have not considered the existence of ABK, funding is taken from BOS funds and
support from some ABK parents; (3) the process evaluation showed the ABK have difficulty
following learning, the support from the community and agencies has not been maximized;
and (4) the product evaluation showed that student learning outcomes, namely the assessment
of student ID cards are still equated with normal students. Based on the results of the
evaluation, the researchers gave the following recommendations: 1) Teachers and GPK
collaborated in developing curriculum and competencies, 2) Principals and teachers
collaborated in designing models and technical instructions to handle ABK, as well as
increasing collaboration with several agencies, and 3) The education office needs to pay
attention to the implementation of inclusive education programs and provide assistance in the
form of costs, training, seminars, and fulfillment of facilities and infrastructure.
Keywords: Discrepancy Evaluation Model, Inclusion Education, Program Evaluation
Article Info
Received date: 1 Agustus 2018 Revised date: 22 Desember 2018 Accepted date: 22 Desember 2018
PENDAHULUAN
Dalam Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pasal 5 antara lain ditentukan bahwa
setiap wagra negara memperoleh hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu, dan warga negara yang memiliki
bakat istimewa dan kelainan fisik, emosional,
intelektual dan sosial berhak mendapatkan
pendidikan khusus. Lebih lanjut Permendiknas
No 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi
menentukan bahwa siswa yang memiliki bakat
atau kecerdasan istimewa serta siswa yang
memiliki keterbatasan fisik, sosial, emosional
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
206
dan mental dapat mengikuti pendidikan secara
bersama-sama dengan siswa pada umumnya.
Pendidikan inklusi merupakan sistem
pendidikan yang terbuka bagi semua siswa baik
siswa normal, memiliki bakat khusus dan siswa
yang memiliki kekurangan. Pelaksanaan
pembelajaran dalam pendidikan inklusi
disesuaikan dengan kebutuhan siswa.
Pendidikan inklusi dapat menjadi jembatan
untuk mewujudkan pendidikan untuk semua
(education for all/EFA), tanpa ada seorangpun
yang tertinggal dari layanan pendidikan
(Kustawan, 2012: 7). Pendidikan inklusi adalah
sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan
anak berkebutuhan khusus (ABK) belajar di
sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa
bersama-sama teman seusianya. Sekolah
penyelenggara pendidikan inklusi adalah
sekolah yang menampung semua murid di
sekolah yang sama. Sekolah ini menyediakan
program pendidikan yang layak dan
menantang, tetapi disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan setiap murid
maupun bantuan dan dukungan yang dapat
diberikan oleh para guru agar anak-anak
berhasil (Wathoni, 2005: 101). Hal ini juga
diungkapkan oleh Kustawan (2012: 7) yang
menyatakan bahwa pendidikan inklusi adalah
sistem pendidikan yang terbuka bagi semua
individu serta mengakomodasi semua
kebutuhan sesuai dengan kondisi masing-
masing individu. Dapat disimpulkan bahwa
pendidikan inklusi adalah suatu sistem layanan
pendidikan yang mensyaratkan anak
berkebutuhan khusus untuk belajar di sekolah-
sekolah terdekat, yang terbuka bagi semua serta
tidak membeda-bedakan latar belakang
kehidupan anak. Sekolah penyelenggara
pendidikan inklusi adalah sekolah yang
menampung semua murid, mengakomodasi
murid baik karena keterbatasan fisik maupun
mental, serta sekolah yang juga menyediakan
program pendidikan layak dan menantang,
disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan
masing-masing individu.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan
inklusi memerlukan penyesuaian dan
fleksibilitas di berbagai bidang, baik bidang
pendidikan, pengajaran, sosial, perilaku
maupun budaya. Oleh karena itu dalam proses
pembelajaran pendidikan inklusi harus ada
kesesuaian antara kurikulum, pendekatan
pembelajaran, proses pembelajaran dan sistem
evaluasi dengan kondisi siswa. Sehingga
kurikulum nasional harus dimodifikasi
sedemikian guna menyesuaikan dengan
kebutuhan siswa. Hal ini dilakukan agar anak
berkebutuhan khusus dapat mengikuti
pembelajaran seperti siswa normal lainnya.
Dalam modifikasi kurikulum itu diperlukan
kerjasama antara guru, guru pembimbing
khusus/GPK, orangtua, para professional dan
peserta didik. Kerjasama dilakukan untuk
memodifikasi program kerja, penetapan tujuan,
isi, strategi, metode pembelajaran, organisasi
kelas, assesmen, evaluasi, komunikasi dan
pembiayaan (Muftuhatin, 2014: 208).
Tujuan penyelenggaraan pendidikan
inklusi menurut Alfian (2013: 75) adalah:
1) untuk memberikan kesempatan seluas-
luasnya bagi anak berkebutuhan khusus
untuk mendapatkan pendidikan yang
layak,
2) membantu mempercepat program wajib
belajar pendidikan dasar,
3) membantu meningkatkan mutu pendidikan
dengan menekan angka tinggal kelas dan
putus sekolah,
4) menciptakan pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, tidak diskriminatif dan
ramah terhadap pembelajaran.
Sedang karakteristik pendidikan inklusi
menurut Zakia (2015) adalah:
1) pendidikan inklusi merupakan wujud
usaha merespon keragaman individu,
2) pendidikan inklusi untuk mengatasi
hambatan-hambatan anak dalam belajar,
3) pendidikan inklusi membawa anak untuk
belajar yang bermakna dalam hidup,
Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri | Eni Mariani & Bambang S. Sulasmono
207
4) pendidikan inklusi untuk anak-anak
marginal, esklusif dan membutuhkan
pendidikan khusus.
Sekolah yang menyelenggarakan
program pendidikan inklusi harus memenuhi
standar kualifikasi yang telah ditentukan dan
para gurunya pun harus memiliki kompetensi
dalam menangani anak berkebutuhan khusus.
Guru yang berperan dalam pelaksanaan
program pendidikan meliputi guru kelas, guru
mata pelajaran, dan guru pembimbing khusus
(GPK) (Kemendikbud. 2012: 43; Kustawan,
2012:73). Dalam hal sarana dan prasarana
Kustawan (2012) mengatakan bahwa sebagai
penyelenggara pendidikan inklusi hendaknya
sekolah menyediakan sarana dan prasarana
yang memadai untuk menjamin kebutuhan
siswa dan agar anak berkebutuhan khusus dapat
mengikuti pembelajaran dengan siswa normal
lainnya. Permendiknas No 70 Tahun 2009 pasal
11 juga memberikan ketentuan bahwa sekolah
harus menyediakan sarana dan prasarana yang
aksesibel agar anak berkebutuhan khusus dapat
mengikuti pembelajaran dengan baik.
Sistem assesmen pembelajaran
seharusnya dirancang untuk mengetahui
kondisi siswa, di mana assesmen pembelajaran
meliputi tahap perencanaan, pengumpulan
informasi untuk mencapai hasil belajar,
pelaporan dan penggunaan informasi hasil
belajar siswa. Assesmen meliputi penilaian
tertulis, sikap, kinerja atau produk, portofolio
dan unjuk kerja. Dalam Permendiknas No 70
Tahun 2009 juga ditentukan bahwa anak
berkebutuhan khusus yang menyelesaikan
pendidikan berdasarkan kurikulum yang
dikembangkan oleh satuan pendidikan dibawah
standar nasional pendidikan mendapat surat
tanda tamat belajar yang blangkonya
dikeluarkan oleh Sekolah yang bersangkutan.
Dalam Permendiknas No 70 Tahun
2009 ditentukan pula bahwa biaya
penyelenggaran pendidikan inklusi menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah,
masyarakat dan orangtua. Masyarakat dan
orangtua harus berperan untuk mendukung
pendidikan, karena pendidikan merupakan
tanggung jawab bersama. Masyarakat harus
berperan dalam perencanaan, penyediaan
tenaga ahli, pengambilan keputusan,
pelaksanaan pembelajaran, pendanaan,
pengawasan dan penyaluran lulusan. Dalam
penyelenggaraan program pendidikan inklusi
Sekolah dapat bekerjasama dan membangun
jaringan dengan satuan pendidikan khusus,
perguruan tinggi, organisasi profesi, lembaga
rehabilitasi, rumah sakit, pusat kesehatan
masyarakat, terapi klinik, LSM dan masyarakat
(Permendiknas No 70 Tahun 2009).
Praktik penyelenggaraan pendidikan
inklusi telah menarik perhatian sejumlah
peneliti. Mitiku, dkk (2014: 118) misalnya
menemukan bahwa walaupun ada beberapa
peluang yang mendukung pendidikan inklusi,
hal itu tidak dapat dianggap sebagai jaminan
karena kurangnya kesadaran, komitmen, dan
kerjasama. Serta ada tantangan nyata yang
menghambat implementasi penuh dari
pendidikan inklusif. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa tantangan lebih besar
daripada kesempatan pada implementasi penuh
dari pendidikan inklusif dan harus ada
kerjasama yang kuat antar pemangku
kepentingan, LSM, dan badan-badan yang
bersangkutan untuk mewujudkan pendidikan
inklusi.
Di Indonesia Sunardi, dkk (2011: 1)
menemukan bahwa kebanyakan sekolah-
sekolah telah mengembangkan rencana
strategis (untuk program inklusif), namun
masih banyak sekolah yang belum menata
ulang struktur organisasi mereka. Peneliti lain,
Sari (2012: 190), juga menemukan bahwa
pelaksanaan inklusi di SD Negeri tempat
penelitiannya, tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Oleh karena itu peneliti menyarankan
agar para guru, GPK, kepala sekolah memang
benar-benar melakukan tanggung jawabnya
dan tahu tugasnya sebagai penyelenggara
sekolah inklusi.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
208
Di lain pihak Sartica dan Ismanto (2016:
49), menemukan bahwa program pendidikan
inklusi di lokasi penelitian mereka sudah
memenuhi kebutuhan siswa, fasilitas khusus
memang tidak mencukupi bagi anak
berkebutuhan khusus, kompetensi guru cukup
baik, belajar secara umum dengan
memperhatikan setiap individu, prestasi
akademik dan non akademik siswa dengan
kebutuhan khusus cukup baik. Muftuhatin
(2014: 201) juga menemukan bahwa evaluasi
pembelajaran sudah cukup bagus karena guru
sudah menerapkan dua metode dalam evaluasi
yaitu dengan soal yang disamakan dengan
reguler dan yang kedua dengan soal sesuai
dengan kebutuhan mereka, disertai dengan
portofolio yang mencatat perkembangan
mereka selama pembelajaran. Sementara
Lukitasari, dkk (2017:121) menemukan bahwa
dampak positif kebijakan pendidikan inklusi di
kota penelitian mereka terlihat dari
meningkatnya jumlah peserta didik ABK di
sekolah regular dari tahun ke tahun dan
berkurangnya diskriminasi yang dialami siswa
ABK oleh teman sebaya, guru dan masyarakat.
Hasil penelitian yang sedikit berbeda
ditemukan oleh Widyawati (2013: 109) di mana
sekolah sudah mendapat izin dan juga panduan
untuk melaksanakan program inklusif, namun
infrastruktur khusus tidak memadai, sementara
kurikulum sudah dimodifikasi. Kompetensi
guru cukup memadai dalam menangani anak
dengan kebutuhan khusus, sementara
pendanaan pendidikan inklusi hanya
mengandalkan dana BOS, dan tidak ada
pemantauan terus menerus dari departemen
pemerintahan terkait. Anak berkebutuhan
khusus yang berprestasi dan tidak berprestasi
sudah dilayani dengan baik.
Dari berbagai hasil penelitian diatas
maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang
pendidikan inklusi. Penelitian yang dilakukan
oleh peneliti memiliki persamaan dengan
penelitian sebelumnya yaitu sama sama
mengevaluasi program Pendidikan Inklusi.
Perbedaannya dengan penelitian-penelitian di
atas adalah pada model evaluasi yang hendak
digunakan, di mana penelitian ini
menggunakan Model Evaluasi Kesenjangan
(Discrepancy Evaluation Model).
Salah satu sekolah yang menerapkan
program pendidikan inklusi adalah SMP Negeri
7 Salatiga. Namun dalam pelaksanaannya
mengalami beberapa hambatan diantara masih
kurangnya SDM dalam proses pembelajaran
selaku GPK, guru-guru belum memiliki
keahlian khusus dan masih kurang
mendapatkan sosialisasi untuk menangani anak
berkebutuhan khusus. Sarana dan prasarana
yang tersedia masih belum menunjang kegiatan
pembelajaran yang terdapat anak berkebutuhan
khusus. Kurikulum juga belum dimodofikasi
untuk dapat memberikan pembelajaran yang
sesuai dengan semua kebutuhan siswa, selain
itu penilaian juga belum mewakili kondisi
siswa. Sekolah juga belum memiliki JUKNIS
untuk menangani anak berkebutuhan khusus.
Dengan banyaknya hambatan yang dihadapi
sekolah dan belum pernah dilakukan evaluasi
program pendidikan inklusi di SMP N 7
Salatiga, maka peneliti melakukan penelitian
evaluasi program pendidikan inklusi.
Menurut Widoyoko (2013:10) evaluasi
program merupakan rangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan sengaja dan secara cermat
untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan atau
keberhasilan suatu program dengan cara
mengetahui efektifitas masing-masing
komponennya, baik terhadap program yang
sedang berjalan maupun program yang telah
berlalu. Sejalan dengan hal ini Arikunto &
Jabar (2009: 18) menjelaskan bahwa evaluasi
program adalah upaya untuk mengetahui
tingkat keterlaksanaan suatu kebijaksanaan
secara cermat dengan cara mengetahui
efektivitas masing-masing komponennya.
Selanjutnya Tayibnapis (2008: 24)
menambahkan bahwa evaluasi program harus
mengumpulkan informasi yang valid, informasi
yang dapat dipercaya, informasi yang berguna
Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri | Eni Mariani & Bambang S. Sulasmono
209
untuk program yang dievaluasi. Dapat
dipahami bahwa evaluasi program adalah
rangkaian kegiatan dalam upaya untuk
mengumpulkan informasi yang dilakukan
dengan sengaja dalam tingkat keterlaksanaan
secara cermat, valid dan dapat dipercaya serta
berguna untuk di evaluasi, untuk mengetahui
tingkat keberhasilan kebijakan suatu program
dengan cara mengetahui efektivitas dari
masing-masing komponen terhadap program
yang sedang berjalan maupun program yang
berlalu sehingga evaluasi dapat berjalan sesuai
tujuan dan mendapat hasil yang maksimal.
Model Kesenjangan (Discrepancy
Model) yang dikembangkan oleh Malcolm
Provus (1971) dalam bukunya berjudul
Discrepancy Evaluation. Provus percaya
bahwa evaluasi merupakan suatu seni (arts)
melukiskan ketimpangan antara standar kinerja
dengan kinerja yang terjadi (Wirawan: 2011:
106). Komponen yang perlu diperhatikan pada
evaluasi model kesenjangan menurut Malcolm
Provus adalah: 1) desain merupakan kegiatan
merumuskan program yang didalamnya
melibatkan siswa, staff dan sumber daya yang
ada untuk melakukan suatu aktivitas dalam
mencapai tujuan. 2) instalasi merupakan
rancangan yang menentukan sebuah program
sebagai standar untuk mempertimbangkan
langkah-langkah proses pelaksanaan program.
3) proses merupakan kegiatan memperoleh data
tentang sejauh mana program telah berjalan
dalam mencapai tujuan yang diharapkan. 4)
produk merupakan hasil dari tujuan program
yang telah dicapai. 5) analisis biaya dan
manfaat merupakan suatu kegiatan
membandingkan penggunaan biaya yang
dikeluarkan dengan hasil yang dicapai (Rose &
Nyre, 1977: 15). Pada penelitian ini, tidak
dilakukan analisis biaya dan manfaat.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka
tujuan dari penelitian adalah untuk
mengevaluasi desain, instalasi, proses dan
produk pelaksanaan program pendidikan
inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian evaluasi
dengan pendekatan kualitatif. Model evaluasi
yang digunakan adalah model evaluasi
kesenjangan yang mencakup 4 (empat) tahap
yaitu tahap desain, instalasi, proses dan tahap
produk. Penelitian dilakukan di SMP Negeri 7
Salatiga. Sumber informasi dalam penelitian ini
dalam Kepala Sekolah, Guru MULOK selaku
GPK, dan guru BK selaku GPK. Teknik
pengumpulan data yang digunakan meliputi
wawancara, observasi dan studi dokumen.
Teknik validasi data menggunakan teknik
triangulasi sumber dan triangulasi teknik.
Teknik analisis data menggunakan teknik
analisis data kualitatif model Miles dan
Huberman yang meliputi reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan
(Sugiyono, 2015: 404-412).
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Hasil evaluasi terhadap desain, instalasi,
proses dan produk program inklusi di SMP
Negeri ini tergambar sebagai berikut ini.
Evaluasi Desain Program Inklusi
Pada tahap disain ditemukan bahwa
tidak terdapat kesenjangan pada aspek tujuan,
dan peserta didik, namun terdapat kesenjangan
pada aspek assesmen, kurikulum, tenaga
pendidik, rencana kegiatan pembelajaran,
sarana dan prasara pendidikan serta dukungan
masyarakat. Gambaran tentang ketiadaan
kesenjangan dan adanya kesenjangan pada
tahap desain tersebut tertera dalam tabel 1
berikut ini.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
210
Tabel 1. Hasil Evaluasi pada Tahap Desain
No Komponen Standar
Permendiknas
Kinerja
SMP N 7 Salatiga Kesenjangan
1 Tujuan Memberikan kesempatan, tidak
ada diskriminasi
Bersosialisasi dengan sesama, mendapat
hak pendidikan yang sama
Tidak ada
kesenjangan
2 Peserta didik Anak normal dan ABK di
sekolah yang sama
Anak normal dan anak berkebutuhan
khusus belajar di Sekolah Formal
Tidak ada
kesenjangan
3 Assesmen Penilaian Khusus bagi anak
berkebutuhan khusus
Belum ada rencana penilaian khusus bagi
anak berkebutuhan khusus
Terdapat
kesenjangan
4 Kurikulum Modifikasi kurikulum bagi
Sekolah yang memiliki ABK
Belum ada rencana modifikasi kurikulum
bagi ABK
Terdapat
Kesenjangan
5 Tenaga
Pendidik
Memiliki kompetensi untuk
menangani ABK
Guru masih mengalami kesulitan dalam
menangani ABK
Terdapat
kesenjangan
6
Rencana
Kegiatan
Pembelajaran
Pembelajaran dikembangkan
sesuai kebutuhan siswa
Belum ada pengembangan rencana
pembelajaran khusus dan masih
menggunakan metode umum
Terdapat
kesenjangan
7 Sarana dan
Prasarana
Sarana dan prasarana harus
memenuhi kebutuhan siswa,
terutama untuk ABK
Sarana dan prasarana untuk kebutuhan
anak berkebutuhan khusus masih kurang
memadai
Terdapat
kesenjangan
8 Pembiayaan Mendapat dana dari pemerin
tah, masyarakat & orangtua
Menggunakan dana BOS dan sebagian
dana dari orangtua ABK
Terdapat
kesenjangan
9 Dukungan
Masyarakat
Program pendidikan inklusi
menjadi tanggungjawab Peme-
rintah, masyarakat dan instansi.
Hanya mendapat dukungan dari sebagian
orangtua ABK dan beberapa instansi,
namun belum maksimal
Terdapat
kesenjangan
Sumber: Permendiknas No 70 Tahun 2009 & Data Penelitian
Evaluasi Instalasi Program Inklusi
Pada tahap disain ditemukan
kesenjangan pada seluruh aspek instalasi.
Gambaran tentang adanya kesenjangan pada
tahap instalasi tersebut tertera dalam tabel 2
berikut ini.
Tabel 2 . Hasil Evaluasi pada Tahap Instalasi
No Komponen Standar
Permendiknas
Kinerja
SMP N 7 Salatiga Kesenjangan
1 Peserta didik
Sekolah menerima anak normal dan
ABK. Untuk mendeteksi dilakukan
tes masuk
Sekolah menerima anak normal dan
ABK. Tidak ada tes yang dirancang
saat penerimaan peserta didik
Terdapat
kesenjangan
2 Assesmen
pembelajaran
Assesmen dilakukan untuk
mengetahui kondisi ABK meliputi
aspek kompetensi, potensi dan
karakteristik siswa
Belum adanya rencana pelaksanaan
dalam assesmen pembelajaran
terkhusus untuk ABK
Terdapat
kesenjangan
3 Kurikulum
Kurikulum dirancang berdasarkan
standar nasional dengan
dimodifikasi sesuai kebutuhan dan
kemampuan siswa
Belum adanya rencana pelaksanaan
untuk modifikasi kurikulum, hanya
adanya rencana program layanan
tentang keterampilan bagi ABK
Terdapat
kesenjangan
4 Tenaga
pendidik
Pemerintah menyediakan SDM dan
meningkatkan kompetensi nya
Dinas hanya menunjuk 2 GPK dan
untuk meningkatkan kompetensi guru
dan GPK masih minim
Terdapat
kesenjangan
5 Rancangan
pembelajaran
Rencana pembelajaran
dikembangkan dengan
mempertimbangkan perbedaan
individu
Belum adanya rencana pelaksanaan
metode pembelajaran bagi ABK dan
belum mempertimbangkan perbedaan
individu
Terdapat
kesenjangan
6 Sarana dan
prasarana
Sarpras harus bersifat aksesibel,
sehingga ABK dapat belajar
dengan baik
Belum adanya rencana pelaksanaan
untuk penyediaan sarpras bersifat
aksesibel sehingga guru mengalami
kendala saat mengajar
Terdapat
kesenjangan
7 Pembiayaan
Pembiayaan harus ditanggaung
bersama antara pemerintah,
masyarakat dan orangtua
Pembiayaan hanya diambil dari dana
BOS dan dukungan biaya dari
sebagian orangtua ABK
Terdapat
kesenjangan
Sumber: Permendiknas No 70 Tahun 2009 & Data Penelitian
Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri | Eni Mariani & Bambang S. Sulasmono
211
Evaluasi Proses Program Inklusi
Pada tahap proses ditemukan bahwa
terdapat kesenjangan pada seluruh aspek proses
pendidikan inklusi yang meliputi kegiatan
belajar siswa, kegiatan mengajar guru, kegiatan
pembelajaran, sarana dan prasara pendidikan
serta dukungan masyarakat. Gambaran tentang
adanya kesenjangan pada tahap proses
pendidikan inklusi tersebut tertera dalam tabel
3 berikut ini.
Tabel 3. Hasil Evaluasi pada Tahap Proses
No Komponen Standar
Permendiknas
Kinerja
SMP N 7 Salatiga Kesenjangan
1 Kegiatan belajar
siswa
ABK belajar bersama anak
normal dan memperoleh layanan
khusus dari guru GPK
ABK dan anak normal belajar
bersama. Terkadang ABK
mengalami kesulitan karena tidak
mendapatkan layanan khusus saat
proses pembelajaran berlangsung
Terdapat
kesenjangan
2 Kegiatan
mengajar guru
Guru kelas menerapkan
pembelajaran sesuai kebutuhan
siswa
GPK mendampingi anak
berkebutuhan khusus
Guru memberikan materi
pembelajaran secara umum dan
belum didesain dengan
mempertimbangkan adanya ABK
GPK belum bisa sepenuhnya
melakukan pendampingan terhadap
ABK
Terdapat
kesenjangan
3 Kegiatan
pembelajaran
Kegiatan pembelajaran harus
sesuai kebutuhan siswa dengan
setting kelas inklusi
Menggunakan strategi variatif
dan PAKEM sesuai karakteristik
kebutuhan siswa
Guru melakukan proses
penilaian dan hasil belajar secara
beragam dan berkesinambungan
sesuai dengan kondisi siswa
ABK mendapat dan mengikuti
materi yang sama dengan anak
normal.
Guru dapat memaklumi dengan
adanya ABK tapi kurang mendapat
perhatian khusus dari guru
Proses penilaian diserahkan pada
GPK dan hasil penilaian belum
dibedakan dengan anak normal.
Terdapat
kesenjangan
4 Sarana dan
prasarana
Penyediaan sarana dan prasarana
secara umum, namun harus
disediakan secara khusus yang
bersifat aksesibel untuk ABK
Pemenuhan sarana dan prasarana
diambil dari dana BOS saat perlu
baru diajukan
Terdapat
kesenjangan
5 Dukungan
masyarakat
Berperan dalam perencanaan,
penyediaan tenaga ahli,
mengambil keputusan,
pelaksanaan pembelajaran,
pendanaan, pengawasan,
penyaluran lulusan melalui
komite Sekolah, dewan
pendidikan dan forum-forum
pemerhati pendidikan inklusi
Mendapat dukungan dari sebagian
orangtua ABK Menjalin kerjasama
dengan instansi, namun belum
maksimal. Komite belum
mengetahui tentang adanya program
pendidikan inklusi karena kepela
Sekolah belum menyampaikan
Terdapat
kesenjangan
Sumber: Permendiknas No 70 Tahun 2009 & Data Penelitian
Evaluasi Produk Program Inklusi
Pada tahap produk ditemukan adanya
kesenjangan pada aspek rapot, namun tidak
terdapat kesenjangan pasa aspek hasil belajar
dan ijazah. Perlu dicatat bahwa untuk aspek
ujian dan lulusan belum dapat dilakukan
evaluasi karena sampai saat penelitian
dilakukan belum ada anak berkebutuhan khusus
yang mengikuti ujian sekolah, sehingga belum
ada juga lulusan. Gambaran tentang ketiadaan
kesenjangan dan adanya kesenjangan pada
tahap produk tersebut tertera dalam tabel 4
berikut ini.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
212
Tabel 4. Kesenjangan Pada Tahap Produk
No Komponen Standar
Permendiknas
Kinerja
SMP N 7 Salatiga Kesenjangan
1 Hasil belajar Kenaikan kelas berdasarkan
standar Sekolah
Anak berkebutuhan khusus tetap naik
kelas dan tidak ada kata tinggal kelas
Tidak ada
kesenjangan
2 Rapot
Penilaian untuk rapot bagi anak
berkebutuhan khusus berbeda
dengan anak normal
Penilaian untuk rapot anak berkebutuhan
khusus masih sama dengan anak normal
Terdapat
kesenjangan
3 Ujian Anak berkebutuhan khusus
mengikuti ujian Sekolah
Anak berkebutuhan khusus mengikuti
ujian Sekolah n.a
4 Ijazah
Anak berkebutuhan khusus
mendapatkan ijazah dari
Sekolah
Anak berkebutuhan khusus mendapatkan
ijazah berupa surat tanda tamat belajar
yang blangkonya dikeluarkan Sekolah
Tidak ada
kesenjangan
5 Lulusan
Anak berkebutuhan khusus
yang lulus Sekolah mendapat
surat keterangan dan ijazah
untuk melanjutkan pada jenjang
yang lebih tinggi
Belum adanya lulusan anak berkebutuhan
khusus dan masih menjadi problematis
bagi Sekolah tentang kelanjutan anak
berkebutuhan khusus pada jenjang lebih
tinggi
n.a
Sumber: Permendiknas No 70 Tahun 2009 & Data Penelitian
Pembahasan
Pada evaluasi tahap desain secara umum
tujuan penyelenggaraan program pendidikan
inklusi di lokasi penelitian sama seperti acuan
yang ada yaitu memberikan kesempatan kepada
seluruh peserta didik untuk belajar bersama
sehingga tidak adanya diskriminasi, sasaran
peserta didik inklusi adalah anak berkebutuhan
khusus untuk dapat belajar secara bersama-
sama dengan siswa normal di Sekolah regular.
Karena memang seharusnya sistem layanan
pendidikan inklusi terbuka untuk semua siswa
dan tidak membeda-bedakan latar belakang
kehidupan siswa, serta memberikan
kesempatan yang sama untuk belajar, tidak ada
diskriminasi, memberikan hak dan kesempatan
yang sama, memberikan keadilan dan perluasan
akses bagi semua. Desain penyelenggaraan
inklusi itu sejalan dengan pendapat Ahsan
(2014), Ilahi (2013), Wathoni (2005), dan
Kustawan ( 2012) yang menyatakan bahwa
pendidikan inklusi dirancang dengan
mempertimbangkan kebutuhan siswa baik yang
normal dan penyandang cacat atau anak
berkebutuhan khusus. Namun demikian
ditemukan pula kesenjangan pada tahap desain
yaitu dalam aspek sistem assesmen
pembelajaran karena belum ada rencana secara
umum penilaian khusus untuk anak
berkebutuhan khusus. Di samping itu sekolah
masih menggunakan kurikulum nasional dan
belum ada rencana modifikasi kurikulum.
Temuan ini, untuk sebagian sejalan dengan
hasil penelitian Sari (2012), yang menyatakan
bahwa pelaksanaan inklusi di SD Negeri tempat
penelitiannya, tidak berjalan sebagai mana
mestinya. Jadi temuan ini berbeda dengan
pandangan Muftuhatin (2014 yang menyatakan
bahwa seharusnya kurikulum nasional
dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan siswa,
agar anak berkebutuhan khusus dapat
mengikuti pembelajaran seperti siswa normal
lainnya. Dalam modifikasi diperlukan
kerjasama antara guru, GPK, orangtua, para
professional dan peserta didik. Kerjasama
dilakukan untuk memodifikasi program kerja
penetapan tujuan, isi, strategi, metode
pembelajaran, organisasi kelas, assesmen,
evaluasi, komunikasi dan pembiayaan.
Dari aspek tenaga pendidik, tenaga
pendidik di sekolah ini belum memiliki
kompetensi yang tepat untuk menangani anak
berkebutuhan khusus. Rencana dalam kegiatan
pembelajaran belum dikembangkan sehingga
metode pembelajaran masih secara umum dan
belum ada rencana dengan metode
pembelajaran khusus bagi ABK. Hal itu
berbeda dengan aturan Kemendikbud (2012)
maupun pendapat Kustawan (2012) yang
menyatakan bahwa Guru adalah pihak yang
paling berperan penting dalam pelaksanaan
pembelajaran di kelas, sehingga guru harus
Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri | Eni Mariani & Bambang S. Sulasmono
213
memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang
tepat untuk melakukan proses pembelajaran
dengan menyesuaikan kebutuhan seluruh siswa
dan mampu menangani anak berkebutuhan
khusus.
Rencana sekolah dalam penyediaan
sarana dan prasarana juga masih kurang
memadai untuk menjamin kebutuhan ABK di
sekolah. Hal itu tidak sejalan dengan
pandangan Kustawan (2012) yang mengatakan
bahwa pendidikan inklusi hendaknya
menyediakan sarana dan prasarana yang
memadai untuk menjamin kebutuhan siswa dan
anak berkebutuhan khusus dapat mengikuti
pembelajaran dengan siswa normal lainnya.
Juga tidak sejalan dengan Permendiknas No 70
Tahun 2009 pasal 11 yang menentukan bahwa
sekolah harus menyediakan sarana dan
prasarana yang aksesibel agar anak
berkebutuhan khusus dapat mengikuti
pembelajaran dengan baik.
Sekolah hanya mendapat dukungan
pelaksanaan dari orangtua anak berkebutuhan
khusus dan beberapa instansi. Padahal
pendidikan merupakan tanggung jawab
bersama antara sekolah, mayarakat dan
pemerintah. Masyarakat juga harus berperan
dalam perencanaan, penyediaan tenaga ahli,
pengambilan keputusan, pelaksanaan
pembelajaran, pendanaan, pengawasan dan
penyaluran lulusan. Temuan ini menunjukkan
bahwa sekolah belum sepenuhnya mampu
melaksanakan Permendiknas No 70 Tahun
2009 yang menentukan bahwa dalam
penyelenggaraan program pendidikan inklusi
Sekolah dapat bekerjasama dan membangun
jaringan dengan satuan pendidikan khusus,
perguruan tinggi, organisasi profesi, lembaga
rehabilitasi, rumah sakit, pusat kesehatan
masyarakat, terapi klinik, LSM dan
masyarakat.
Terdapat kesenjangan dalam tahap
instalasi pada komponen peserta didik, karena
sekolah tidak memiliki tes yang dirancang
secara umum saat penerimaaan peserta didik
baru. Di samping itu dalam sistem assesemen
pembelajaran juga belum ada rancangan
penilaian khusus bagi ABK. Temuan ini
menunjukkan bahwa sekolah belum mampu
sepenuhnya melaksanakan ketentuan
Permendiknas No 70 Tahun 2009 yang
menetapkan bahwa sistem assesmen
pembelajaran seharusnya dirancang untuk
mengetahui kondisi siswa, dimana assesmen
pembelajaran meliputi tahap perencanaan,
pengumpulan informasi untuk mencapai hasil
belajar, pelaporan dan penggunaan informasi
hasil belajar siswa. Assesmen meliputi
penilaian tertulis, sikap, kinerja atau produk,
portofolio dan unjuk kerja.
Terdapat kesenjangan yang terjadi pada
tahapan proses yaitu dalam hal kegiatan belajar
siswa, di mana anak berkebutuhan khusus
masih mengalami kesulitan dalam proses
pembelajaran karena siswa tidak mendapatkan
layanan khusus saat proses pembelajaran
berlangsung. Temuan ini berbeda dengan
pandangan Zakia (2015) dan Muftuhatin (2012)
yang menyatakan bahwa seharusnya
pendidikan inklusi membantu siswa untuk
mengatasi hambatan-hanbatan siswa dalam
belajar. Maka dari itu proses pelaksanaan
pendidikan inklusi memerlukan penyesuaian
dan fleksibilitas baik dalam bidang pendidikan,
pengajaran, sosial, perilaku dan budaya
Pada kegiatan mengajar guru masih
menggunakan materi atau bahan ajar secara
umum dan belum rancangan yang didesain
dengan mempertimbangkan adanya anak
berkebutuhan khusus dan GPK belum bisa
sepenuhnya melakukan pendampingan
terhadap anak berkebutuhan khusus. Saat
kegiatan pembelajaran anak berkebutuhan
khusus masih mengikuti dan mendapatkan
materi yang sama dengan siswa normal, guru
memaklumi adanya anak berkebutuhan khusus
tapi tidak untuk dikembangkan, serta untuk
proses penilaian bagi anak berkebutuhan
khusus juga masih disamakan dengan siswa
normal. Temuan ini berbeda dari arahan
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
214
Direktorat PPK-LK (2011) bahwa guru atau
pendidik seharusnya memberikan
pendampingan, bukan hanya menjadi tanggung
jawab guru GPK saja. Karena dalam
penyelenggaraan program pendidikan inklusi
semua pihak di Sekolah harus melakukan
penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana
dan prasarana dan sistem pembelajaran yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan
karakteristik anak berkebutuhan khusus.
Temuan ini sejalan dengan penelitian Mitiku,
dkk (2014) bahwa meskipun ada beberapa
peluang yang mendukung pendidikan inklusi,
namun kurangnya kesadaran dan kerjasama hal
itu tidak dapat dianggap sebagai jaminan
terselenggaranya program pendidikan inklusi.
Evaluasi pada tahap produk
menunjukkan bahwa Sekolah telah membuat
penetapan khusus bahwa ABK tidak akan
pernah tinggal kelas. Temuan ini sejalan
dengan pandangan Ilahi (2013: 25) yang
mengatakan bahwa pendidikan inklusi harus
dimaknai sebagai bentuk reformasi pendidikan
yang menekankan sikap anti diskriminasi,
perjuangan persamaan hak dan kesempatan,
keadilan dan perluasan akses bagi semua, serta
mengubah pandangan sikap masyarakat
terhadap anak berkebutuhan khusus. Temuan di
atas mendukung temuan penelitian Lukitasari,
dkk (2017) yang menunjukkan bahwa
impelementasi kebijakan pendidikan inklusi di
kota Salatiga dinilai baik terlihat dari
meningkatnya jumlah peserta didik ABK dan
kurangnya diskriminasi terhadap siswa ABK.
Temuan ini juga sejalan dengan hasil penelitian
Sartica dan Ismanto (2016), yang menemukan
bahwa prestasi akademik dan non akademik
adalah siswa dengan kebutuhan khusus di
lokasi penelitian mereka cukup baik.
Namun demikian ditemukan pula
adanya fakta bahwa penilaian untuk rapot bagi
anak berkebutuhan khusus masih sama dengan
penilaian bagi siswa normal. Fakta tersebut
berbeda dengan Permendiknas No 70 Tahun
2009 yang menentukan bahwa seharusnya
sistem hasil belajar sekolah inklusi berupa
angka-angka disertai narasi penguasaan materi.
Untuk itu Sekolah yang menyelenggarakan
program pendidikan inklusi harus
memodifikasi sistem penilaiannya dengan
mempertimbangkan kondisi anak berkebutuhan
khusus.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa pada tahap desain, tujuan
penyelenggaraan program pendidikan inklusi
dan peserta didik inklusi sama dengan acuan
yang ada yaitu memberikan kesempatan yang
sama tanpa adanya diskriminasi serta sasaran
peserta didik inklusi adalah ABK. Kesenjangan
yang ditemukan adalah belum adanya rencana
dalam sistem assesmen pembelajaran, penilaian
dan modifikasi kurikulum. Disamping itu
tenaga pendidik belum memiliki kompetensi
yang tepat menangai ABK, sementara sarana
dan prasarana yang ada juga kurang memadai
bagi ABK.
Pada tahap instalasi, terdapat
kesenjangan karena pada saat penerimaan
peserta didik baru tidak dilakukan tes masuk,
dalam rancangan pembelajaran dan rancangan
penilaian belum dilakukan modifikasi dengan
mempertimbangkan ABK, belum ada
pembelajaran tambahan berupa pembekalan
keterampilan untuk ABK, pembiayaan untuk
pelaksanaan program hanya diambil dari dana
BOS dan dukungan dari sebagian orang tua
ABK.
Pada tahap proses, terdapat kesenjangan
bahwa ABK masih mengalami kesulitan dalam
mengikuti pembelajaran, karena pelaksanaan
pembelajaran belum mempertimbangkan
keadaan ABK dan penilaian hasil belajar ABK
masih disamakan dengan siswa normal.
Dukungan dari masyarakat dan beberapa
instansi juga belum maksimal. Sedangkan di
tahap produk kesenjangan terdapat pada hasil
Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri | Eni Mariani & Bambang S. Sulasmono
215
belajar siswa dalam penilaian rapot yang masih
sama dengan siswa normal.
Saran
Dari penelitian evaluasi yang telah
dilakukan, maka peneliti memberikan
rekomendasi untuk perbaikan program, sebagai
berikut: 1) guru saling bekerjasama dalam
pengembangan kurikulum dan alat evaluasi
sehingga dapat menyelenggarakan
pembelajaran yang lebih sesuai dengan
kebutuhan ABK. Selain itu guru juga perlu
meningkatkan kompetensinya dalam
menangani ABK; 2) Kepala Sekolah perlu
memberikan ruang yang dapat digunakan untuk
memberikan pelayanan terbaik bagi ABK,
meningkatkan pengembangan diri para guru
dan GPK, merancang model dan petunjuk
teknis untuk menangani berbagai kriteria ABK,
serta memaksimalkan jalinan kerjasama dengan
beberapa instansi; 3) Dinas Pendidikan perlu
membangun komunikasi dan melakukan
pembinaan serta pengawasan pada Sekolah
yang menyelenggarakan program pendidikan
inklusi. Dinas juga perlu menambah GPK yang
khusus menangani ABK, memberikan
dukungan maksimal dalam pengembangan
kompetensi guru dan GPK, memperhatikan
pelaksanaan program pendidikan inklusi dan
memberikan bantuan baik berupa biaya,
pelatihan, seminar maupun pemenuhan sarana
dan prasarana.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang tulus diberikan
kepada Dr. Ade Iriani, MM yang menjadi
Pembimbing I dalam penulisan Tesis yang
substansinya kemudian tersaji dalam bentuk
artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahsan, M. T. 2014. “Inclusive Education: A
Strategy to Address Diversity to Ensure
Equal Right to Education. Editorial”.
Asian Journal of Inclusive Education
(AJIE). Vo.2, No.1, April 2014, 1-3.
Alfian. 2013. Pendidikan Inklusif di Indonesia.
Edu-Bio. Vol. 4.
Arikunto, S., & Jabar, C. S. A. 2009. Evaluasi
Program Pendidikan: Pedoman
Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan
Praktisi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara
Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan
Dasar. 2012. Permendiknas Nomor 70
Tahun 2009. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Ilahi, Muhammad Takdir. 2013. Pendidikan
Inklusif. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Kemendikbud. 2009. Permendiknas Nomor 70
Tahun 2009 Tentang Pendidikan
Inklusif Bagi Peserta Didik yang
Memiliki Kelainan dan Memiliki
Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat
Istimewa. Kemendikbud: Jakarta.
Kustawan, Dedy. 2012. Pendidikan Inklusif &
Upaya Implementasinya. Jakarta: PT.
Luxima Metro Media.
Lukitasari, S., Sulasmono, B., & Iriani, A.
2017. Evaluasi Implementasi Kebijakan
Pendidikan Inklusi. Kelola: Jurnal
Manajemen Pendidikan, 4(2), 121-134.
https://doi.org/https://doi.org/10.24246/
j.jk.2017.v4.i2.p121-134.
Maftuhatin, Lilik. 2014. Evaluasi pembelajaran
anak berklebutuhan khusus (ABK) di
kelas inklusif di SD Plus Darul ‘Ulum
Jombang. Jurnal Studi Islam. Volume 5.
201-227.
Mitiku, M., Yitayal, A., Semahegn, M., 2014.
Challenges and Opportunities to
Implement Inclusive Education. Asian
Journal of Humanity, Art and
Literature, Volume 1 (2) 118-135.
Rose Clare & Glenn F. Nyre. 1977. The
Practice of Evaluation. Princetion:
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
216
Education Testing Service; Princeton,
New Jersey: ERIC/TM Report 65.
Sari, W. Quida. 2012. Pelaksanaan inklusi di
Sekolah Dasar Negeri 14 Pakan Sinayan
Payakumbuh. Jurnal Ilmiah Pendidikan
Khusus. Volume (1) 190-197.
Sartica, D., & Ismanto, B. 2016. Evaluasi
Penyelenggaraan Program Pendidikan
Inklusif di Kota Palangka Raya 1.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan,
3(1), 49-66.
https://doi.org/https://doi.org/10.24246/
j.jk.2016.v3.i1.p49-66
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian
Manajemen. Bandung: Alfabeta.
Sunardi. Mucawir, Y., Gunarhadi. Proyono.
John, L., Yeager. 2011. The
implementation of inclusive education
for students with special needs in
Indonesia. Excellence in Higher
education. Volume 2. 1-10.
Tayibnapis, Yusuf. F. 2008. Evaluasi Program
dan Instrumen Evaluasi untuk Program
Pendidikan dan Penelitian. Jakarta:
Rineka Cipta.
Wathoni, Khasirul. 2005. Implementasi
Pendidikan Inklusi Dalam Pendidikan
Islam. Ta’allum. Volume 01. 99-109.
Widoyoko, Eko, Putro. 2013. Evaluasi Program
Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi
Pendidik dan Calon Pendidik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widyawati, R. 2017. Evaluasi Pelaksanaan
Program Inklusi Sekolah Dasar. Kelola:
Jurnal Manajemen Pendidikan, 4(1),
109-120.
https://doi.org/https://doi.org/10.24246/
j.jk.2017.v4.i1.p109-120.
Wirawan. 2012. Evaluasi: Teori, Model,
Standar, Aplikasi dan Profesi. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Zakia, Dieni, Laylatul. 2015. Guru
Pembimbing Khusus (GPK): Pilar
Pendidikan Inklusi: Prosiding Seminar
Nasional Pendidikan: Meretas Sukses
Publikasi Ilmiah Bidang Pendidikan
Jurnal Bereputasi. Surakarta, 21
November 2015
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018
Halaman: 217-229
217
Evaluasi Program Manajerial Kepala Sekolah
Egidius Virgo
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
egidiusvirgo93@gmail.com
Slameto
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
slameto@staff.uksw.edu
ABSTRACT
The aim of this study is to evaluate the context, input, process, and product of the Principal
Managerial Program in a Salatiga Private Elementary School. This study is evaluative
research using CIPP models. The data collection includes interviews, documentation studies,
and observations. The data validation was technique and resource triangulation. The study
results: a) the context evaluation showed the managerial program of principals in private
elementary schools is indeed very much needed by school stakeholders; b) the input evaluation
showed the principal managerial program has been prepared to meet stakeholder needs, but
has not been supported by human resources, funding, and adequate infrastructure; c) the
process evaluation showed the principal’s managerial program carried out based on
management functions namely: planning, organizing, supervision, and assessment. Even
though it is constrained in terms of human resources, funding, and infrastructure, but the
principal still can carry out a minimum managerial program, d) the product evaluation
showed the Private Elementary School achieves more in the non-academic field than in the
academic field, although from year to year there is a slight increase in the quality of student
learning outcomes.
Keywords: CIPP, Program Evaluation, Principal's Managerial Program
Article Info
Received date: 10 Desember 2018 Revised date: 21 Desember 2018 Accepted date: 21 Desember 2018
PENDAHULUAN
Peningkatan mutu pendidikan
merupakan sasaran pembangunan di bidang
pendidikan nasional. Mutu pendidikan dapat
dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya
adalah faktor manajemen sekolah. Manajemen
merupakan suatu proses perencanaan,
pengorganisasian, kepemimpinan, dan
pengendalian anggota organisasi serta
penggunaan seluruh sumber daya organisasi
lainnya demi tercapainya tujuan organisasi
(Siswanto, 2015: 2). Di sekolah fungsi
manajerial ini dijalankan oleh Kepala Sekolah.
Menurut Keputusan Menteri
Pendidikan Nomor: 162/U/2003 tanggal 24
Oktober 2003 tentang Pedoman Penugasan
Guru sebagai Kepala Sekolah, Kepala Sekolah
adalah guru yang mendapatkan tugas tambahan
untuk memimpin sebuah lembaga pendidikan.
Sedang Wahjosumidjo (2005: 83)
mendefinisikan Kepala Sekolah sebagai
seorang tenaga fungsional guru yang diberi
tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
218
diselenggarakan proses belajar mengajar, atau
tempat dimana terjadi interaksi antara guru
yang memberi pelajaran dan murid sebagai
penerima pelajaran. Dari definisi tersebut dapat
dipahami bahwa, secara sederhana pengertian
Kepala Sekolah adalah seorang tenaga
fungsional guru yang diberi tugas untuk
memimpin suatu sekolah dimana
diselenggarakan proses belajar mengajar atau
tempat dimana terjadi interaksi antara guru
yang memberi pelajaran dan murid yang
menerima pelajaran. Dengan ini Kepala
Sekolah dapat disebut sebagai pemimpin di
satuan pendidikan yang tugasnya menjalankan
menajemen satuan pendidikan yang
dipimpinnya. Di tingkat operasional, Kepala
Sekolah adalah orang yang berposisi di garis
terdepan yang mengkoordinasikan upaya dalam
meningkatkan pembelajaran bermutu. Kepala
Sekolah diangkat untuk menduduki jabatan
bertanggung jawab mengkoordinasi kan upaya
bersama mencapai tujuan pendidikan di tingkat
sekolah. Tentu saja Kepala Sekolah bukan satu-
satunya yang bertanggung jawab penuh
terhadap suatu sekolah, karena masih banyak
faktor lain yang perlu diperhitungkan. Selain
Kepala Sekolah, ada guru yang dipandang
sebagai faktor kunci yang berhadapan langsung
dengan para peserta didik dan faktor lain seperti
lingkungan yang mempengaruhi proses
pembelajaran. Namun Kepala Sekolah
memiliki peran yang berpengaruh terhadap
jalannya sistem yang ada di sekolah.
Kepala Sekolah adalah salah satu
komponen pendidikan yang berperan dalam
meningkatkan kualitas pendidikan. Kepala
Sekolah merupakan penanggung jawab atas
penyelenggaraan proses pendidikan,
administrasi sekolah, pembinaan tenaga
pendidikan lainnya, pendayagunaan serta
pemeliharaan sarana dan prasarana juga sebagai
supervisor pada sekolah yang dipimpinnya.
Jika dilihat dari syarat guru untuk menjadi
Kepala Sekolah, Kepala Sekolah bisa dikatakan
sebagai jenjang karier dari jabatan fungsional
guru. Apabila seorang guru memiliki
kompetensi sebagai Kepala Sekolah dan telah
memenuhi persyaratan atau tes tertentu maka
guru tersebut dapat memperoleh jabatan Kepala
Sekolah (Mulyasa, 2007: 24).
Kepala Sekolah bertanggungjawab atas
manajemen pendidikan secara mikro, yang
secara langsung berkaitan dengan proses
pembelajaran. Pada dasarnya pengelolaan
sekolah menjadi tanggung jawab Kepala
Sekolah dan guru. Namun demikian dalam
mencapai keberhasilan pengelolaan sekolah
peran serta dari para orang tua dan siswa, juga
turut mendukung keberhasilan itu. Di samping
itu pencapaian keberhasilan, pengelolaan
tersebut harus didukung oleh sikap pola dan
kemampuan Kepala Sekolah dalam memimpin
lembaga pendidikan yang menjadi tanggung
jawabnya. Kepemimpinan seorang Kepala
Sekolah diharapkan dapat menciptakan kondisi
yang memungkinkan bagi lahirnya iklim kerja
dan hubungan antar manusia yang harmonis
dan kondusif. Hal ini berarti bahwa seluruh
komponen pendidikan di sekolah harus
dikembangkan secara terpadu dalam rangka
meningkatkan relevansi atau kesesuaian
dengan kualitas pendidikan (Mulyasa, 2007:
25).
Dari pendapat sejumlah ahli di atas
dapat dipahami bahwa, Kepala Sekolah adalah
guru yang mendapat tugas tambahan sebagai
Kepala Sekolah atau pimpinan dari sebuah
lembaga pendidikan. Meskipun guru yang
mendapat tugas tambahan Kepala Sekolah
merupakan orang yang paling betanggung
jawab terhadap prinsip-prinsip administrasi
pendidikan yang inovatif di sekolah. Sebagai
orang yang mendapatkan tugas tambahan
berarti tugas pokok Kepala Sekolah tersebut
adalah guru yaitu sebagai tenaga pengajar dan
pendidik, maksudnya dalam suatu sekolah
seorang Kepala Sekolah harus mempunyai
tugas sebagai seorang guru yang melaksanakan
atau memberikan pelajaran atau mengajar
bidang studi tertentu atau memberikan
Evaluasi Program Manajerial Kepala Sekolah | Egidius Virgo & Slameto
219
bimbingan. Berarti dalam hal ini, Kepala
Sekolah memiliki dua fungsi yaitu sebagai
tenaga kependidikan dan tenaga pendidik.
Keberhasilan Kepala Sekolah dalam
mengelola sekolahnya tidak terlepas dari
kemampuan Kepala Sekolah sebagai pemimpin
dalam melaksanakan peran serta fungsi
manajerial di lembaga yang dipimpinnya. Maka
dari itu seorang Kepala Sekolah dituntut
memiliki kecakapan serta kesiapan dalam
mengelola sekolah. Kecakapan dan kesiapan
yang dimaksud adalah kemampuan manajerial
sebagaimana diatur dalam Permendiknas No 13
Tahun 2007 Tentang Standar Kepala
Sekolah/Madrasah, yang meliputi:
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan
dan pengawasan. Dengan kemampuan
manajerial yang baik diharapkan setiap Kepala
Sekolah mampu meningkatkan kualitas serta
menjadi pendorong dan penegak disiplin bagi
para guru agar mereka mampu menunjukkan
profesionalisme dan produktivitas kinerja
secara maksimal. Dengan perkataan lain,
keberhasilan sekolah memerlukan adanya
kepemimpinan Kepala Sekolah yang
berkualitas. Hal itu diharapkan akan terwujud
manakala Kepala Sekolah menguasai 3 (tiga)
kemampuan dasar yaitu 1) kemampuan
konseptual (conceptual skills), 2) kemampuan
kemanusiaan (human skills) dan 3) kemampuan
teknis (technical skills) (Wahjosumidjo, 2013:
349).
Jadi, Kepala Sekolah mempunyai
peranan sangat penting dalam peningkatan
mutu pendidikan di lembaga yang dipimpinnya.
Mutu pendidikan akan dapat ditingkatkan
apabila Kepala Sekolah memiliki kompetensi
yang memadai baik dibidang manajerial,
kewirausahaan, kepribadian maupun supervisi.
Dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan di
sekolah merupakan hasil dari keefektifan
manajerial Kepala Sekolah yang juga didukung
oleh guru dan semua warga sekolah. Hal ini
sejalan dengan penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Darmada (2013: 1) yang
menyatakan bahwa Kepala Sekolah selaku
manajer di sekolah memberikan kontribusi
terhadap kemajuan pendidikan di sekolah,
selain itu juga pendidik dan tenaga
kependidikan juga mempunyai peranan yang
tidak kalah penting dalam keberhasilan didunia
pendidikan. Di lain pihak Hermawan (2010: 1)
menemukan bahwa faktor penghambat suatu
program yang dijalankan di sekolah lebih
banyak disebabkan oleh peserta didik, pendidik
dan tenaga kependidikan, dana, sarana
prasarana, serta patisipasi masyarakat.
Masalah kinerja mengajar guru juga
merupakan hal penting yang seharusnya
diperhatikan oleh Kepala Sekolah selaku
pimpinan lembaga pendidikan. Isjoni (2009)
menjelaskan bahwa bila diamati di lapangan
guru sudah berusaha menunjukkan kinerja
maksimal di dalam menjalankan tugas dan
fungsinya sebagai pendidik, pengajar, dan
pelatih. Pada umumnya guru telah berusaha
untuk melakukan yang terbaik, tetapi tidak
semua guru bisa melaksanakan pembelajaran
dengan baik, hal inilah yang akan menjadikan
kinerja guru masih tampak kurang maksimal.
Padahal kinerja mengajar guru dalam
meningkatkan prestasi belajar siswa yang
optimal, merupakan salah satu kekuatan yang
penting dalam proses pendidikan. Oleh karena
itu Sagala (2010: 88) menegaskan bahwa
prestasi kerja guru dan karyawan bahkan
menjadi tolok ukur dari berhasil atau tidaknya
kinerja seorang Kepala Sekolah.
Program Manajerial Kepala Sekolah
pada dasarnya merupakan kemampuan
kognitif, kemampuan afektif dan kemampuan
psikomotorik. Melalui program manajerial
Kepala Sekolah mengelola pendidikan di
sekolah dengan memanfaatkan semua sumber
daya yang ada termasuk manusia dan juga
sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan
pendidikan yang bermutu. Berdasarkan
pendapat diatas dapat diketahui bahwa program
manajerial Kepala Sekolah adalah kemampuan
Kepala Sekolah sebagai manajer yang
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
220
menjalankan fungsi fungsi manajemen yaitu:
(a) kemampuan merencanakan dengan
indikator yaitu mampu menyusun dan
menerapkan strategi, dan mampu
mengefektifkan perencanaan, (b) kemampuan
mengorganisasikan dengan indikator mampu
melakukan departementalisasi, membagi
tanggung jawab dan mampu mengelola
personil, (c) kemampuan dalam pelaksanaan
dengan indikator yaitu mampu mengambil
keputusan, dan mampu menjalin komunikasi,
(d) kemampuan mengadakan pengawasan
dengan indikator mampu mengelola, dan
mampu mengendalikan operasional serta
mampu menjalankan peranannya sebagai
manajer agar tercapai tujuan organisasi yang
telah ditetapkan (Lazarus, 1986 : 43).
Kepala Sekolah sebagai seorang
pemimpin diharapkan mempunyai peranan
sebagai manajer dalam menjalankan
kewajibannya. Mintzberg (2006: 12),
mengemukakan ada tiga peranan utama yang
harus dimainkan oleh seorang manajer yaitu:
Pertama, peranan hubungan antar pribadi
(Interpersonal Role). Peranan ini bertalian
dengan status dan otoritas manjer dan hal-hal
yang berhubungan dengan pengembangan
hubungan antar pribadi dengan perincian
sebagai berikut: (1) Peranan sebagai
Figurehead, peranan yang sangat dasar dan
sederhana dilakukan untuk mewakili organisasi
yang dipimpinnya dalam setiap kesempatan dan
persoalan yang timbul secara formal, (2)
Peranan sebagai pimpinan (leader), yaitu
melakukan hubungan interpersonal dengan
yang dipimpin dan melakukan fungsi-fungsi
pokoknya, dan (3) Peranan sebagai pejabat
perantara (liaison manager), yaitu melakukan
interaksi dengan teman sejawat, staf, orang-
orang diluar organisasinya untuk mendapatkan
informasi.
Kedua, peranan yang berhubungan
dengan informasi (Informasional Role).
Manajer sebagai pusat informasi bagi
organisasinya, yaitu (1) sebagai monitor, yaitu
seorang manajer sebagai penerima dan
pengumpul informasi guna mengembangkan
pengertian yang baik dari organisasi yang
dipimpinnyadan pemahaman yang
komprehensif tentang lingkungan, (2) sebagai
dessiminator, yaitu menangani proses transmisi
dari informasi informasi ke dalam organisasi
yang dipimpinnya, yaitu penyampaian
informasi dari luar ke dalam organisasinya, dan
juga dari bawahan atau staf ke bawahan atau
staf yang lainnya, dan (3) sebagai jurubicara
(spokerman), yaitu manajer mewakili dan
bertindak atas nama organisasi menyampaikan
informasi keluar lingkungan organisasinya.
Ketiga, peranan pembuat keputusan
(Decissional Role). Merupakan peranan yang
tidak boleh tidak dijalankan karena seorang
manajer harus terlibat langsung dalam proses
pembuatan strategi organisasi. Peranan ini
dikelompokkan sebagai berikut: (1) Sebagai
entrepreneur, yaitu manajer bertindak sebagai
pemprakarsa dan perancang dalam organisasi
dengan memfokuskan pada pekerjaan
manajerial dengan mulai aktivitas melihat atau
memahami masalah- masalah dalam organisasi
yang mungkin dapat diselesaikan, (2) Sebagai
penghalau gangguan (disturbance handler),
yaitu manajer bertanggung jawab mengatasi
ancaman bahaya atau perbuatan yang tidak
diketahui sebelumnya yang menganggu atau
memungkinkan timbulnya krisis di dalam
organisasi, (3) Sebagai suatu pembagi sumber
(resource allocator), yaitu memutuskan
pendistribusian sumber dana ke bagian-bagian
organisasi guna mempermudah pelaksanaan
kerja, dan (4) Sebagai negosiator, yaitu aktif
berpartisipasi atau terlibat dalam negosiasi
dengan pihak-pihak lain baik diluar maupun
didalam organisasi.
Kepala Sekolah merupakan kunci bagi
terselenggaranya iklim organisasi sekolah yang
kondusif dengan dinamika perubahan yang
selalu dilakukan secara terus menerus.
Manajemen merupakan suatu komponen yang
tidak bisa dipisahkan dari dunia pendidikan.
Evaluasi Program Manajerial Kepala Sekolah | Egidius Virgo & Slameto
221
Disamping itu sebagai agen perubahan, maka
Kepala Sekolah tentu saja harus memahami dan
mengembangkan keterampilannya dalam
melaksanakan perubahan itu, apabila Kepala
Sekolah ingin sekolah yang dipimpinnya
menjadi lebih efektif Wahjosumidjo
(2001:170-171). Sesuai dengan penilaian
kinerja, Kepala Sekolah harus memiliki
kemampuan dalam melaksanakan semua
tugas–tugas kepemimpinannya yang
diwujudkan dalam kemampuannya menyusun
program sekolah, organisasi personalia,
memberdayakan tenaga kependidikan, dan
mendayagunakan sumber daya sekolah secara
optimal.
Menuurut Mulyasa (2003: 106)
kemampuan menyusun program sekolah
diwujudkan dalam : (1) pengembangan
program jangka panjang, baik program
akademis maupun nonakademis, yang
dituangkan dalam kurun waktu lebih dari lima
tahun, (2) pengembangan program jangka
menengah baik program akademis maupun
nonakademis, yang dituangkan dalam kurun
waktu tiga sampai lima tahun, dan (3)
pengembangan program jangka pendek baik
program akademis maupun nonakademis, yang
dituangkan dalam kurun waktu satu tahun
(program tahunan), termasuk pengembangan
rencana anggaran pendapatan belanja sekolah.
Kemampuan memberdayakan tenaga
kependidikan di sekolah diwujudkan dalam
pemberian arahan secara dinamis,
pengkoordinasian tenaga kependidikan dalam
pelaksanaan tugas, pemberian hadiah bagi
mereka yang berprestasi, dan pemberian
hukuman bagi mereka yang kurang disiplin
dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya dalam sebuah institusi atau lembaga
pendidikan tersebut
Sejauh ini telah terdapat sejumlah
penelitian di bidang program manajerial Kepala
Sekolah dengan hasil yang bervariasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Ekosiswoyo
(2007) dengan judul Kepemimpinan Kepala
Sekolah yang Efektif Kunci Pencapaian
Kualitas Pendidikan menunjukan bahwa
Kepala Sekolah merupakan salah satu faktor
kunci dalam menentukan terciptanya
pendidikan yang berkualitas. Mengacu pada
fungsi dan perannya, Kepala Sekolah berperan
sebagai manajer dan pemimpin institusi
pendidikan sekolah. Manajemen dan
kepemimpinan yang efektif memerlukan
Kepala Sekolah yang mewujudkan pemodelan
dan kepemimpinan yang transformasional,
ditunjukkan oleh karakteristik seperti pengaruh
ideal, motivasi inspirasi, stimulasi intelektual
dan pertimbangan individual. Mereka harus
memberdayakan staf pengajar, bekerja
berdasarkan kerangka waktu yang jelas,
membangun hubungan interpersonal,
mengembangkan prinsip-prinsip yang adil dan
dapat dipertanggung jawabkan dan dapat
bekerja dalam tim.
Penelitian Suratman (2010) dengan
judul Kompetensi Manajerial Kepala Sekolah,
Ketersediaan Sarana Prasarana, Kapabilitas
Mengajar Guru, dan Dukungan Orang Tua,
Kaitannya dengan Prestasi Belajar Siswa SMP
Negeri Kota Surabaya menunjukkan bahwa
prestasi siswa dipengaruhi oleh banyak faktor,
seperti kompetensi manajerial Kepala Sekolah,
kompetensi mengajar guru, dukungan orang
tua, dan juga fasilitas sekolah. Ditemukan pula
bahwa ada hubungan langsung yang signifikan
antara kelima variabel penelitian tersebut.
Untuk memperbaiki prestasi siswa, peneliti
menyarankan agar: (1) Kepala Sekolah
mengoptimalkan perannya sebagai manajer (2)
guru meningkatkan kompetensinya (3) orang
tua meningkatkan partisipasi suportif mereka,
baik untuk kegiatan belajar mengajar anak-anak
mereka maupun ke sekolah sebagai
administrator proses belajar mengajar.
Sementara itu penelitian Taswir (2014)
dengan judul Manajerial Kepala Sekolah
Dalam Meningkatkan Kinerja Guru pada
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2
Sinabung Kabupaten Simeulue Banda Aceh,
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
222
menunjukkan bahwa: (1) kemampuan
manajerial Kepala Sekolah dalam menyusun
program perencanaan dirumuskan oleh Kepala
Sekolah dimulai pada tahun ajaran baru dengan
kegiatan antara lain: melaksanakan supervisi,
penilaian kinerja guru, mengikutsertakan guru
untuk mengikuti pelatihan, pembagian tugas
tambahan bagi guru misalnya sebagai wakil
Kepala Sekolah, ketua jurusan, kepala
laboratorium, pembimbing, dan pengelola
perpustakaan; (2) strategi yang dilakukan
Kepala Sekolah dalam pelaksanaan kinerja
guru kemampuan profesional guru telah
dilakukan antara lain, membimbing guru dalam
menyusun perangkat pembelajaran,
menerapkan berbagai model terkait dengan
pembelajaran, memberikan motivasi,
mengikutsertakan guru-guru dalam berbagai
kegiatan pelatihan atau penataran, dan
memberikan kesempatan bagi guru untuk
melanjutkan studi, serta mengaktifkan kegiatan
forum MGMP dan KKG di sekolah; (3) dampak
yang ditimbulkan dari proses pembinaan yang
dilakukan Kepala Sekolah untuk meningkatkan
kinerja guru, akan tampak dari adanya
perubahan sikap guru-guru yang mengarah
kepada perubahan yang lebih baik, yaitu
kemampuan guru dalam merencanakan,
melaksanakan dan menilai proses
pembelajaran; (4) kendala yang dihadapi dalam
upaya peningkatan kemampuan profesional
guru antara lain, menyangkut masalah
keterbatasan biaya, keterbatasan waktu, dan
terbatasnya sumber daya manusia, serta
terbatasnya pelatihan atau penataran yang
diadakan sehubungan dengan peningkatan
kemampuan profesional guru.
Penelitian Jay (2014) dengan judul
“The Principals Leadership Style and Teachers
Performance in Secondary Schools of
Gambella Regional State, Ethiopia”
menunjukkan bahwa Kepala Sekolah memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap
pengambilan keputusan, termasuk komunikasi
dan pendelegasian untuk meningkatkan kinerja
guru. Kepemimpinan Kepala Sekolah yang
bermutu tentu saja akan menghasilkan kinerja
yang baik bagi guru–guru dan akan sangat
berdampak pada prestasi peserta didik.
Penelitian juga dilakukan oleh
Zulkarnaen (2016) dengan judul “Kompetensi
Manajerial Kepala Sekolah Dalam
Meningkatkan Kinerja Guru Pada SMP Islam
Terpadu Kabupaten Aceh” dengan hasil bahwa
program Kepala Sekolah dalam meningkatkan
kinerja guru adalah dengan program pelatihan
guru, seminar pendidikan, workshop guru,
MGMP,KKG, memberi penghargaan guru
yang berprestasi dan juga menambah intensif
guru serta memberi kesempatan kepada guru
untuk menggunakan perangkat IT dalam
pembelajaran.
Dari beberapa penelitian terdahulu
terkait evaluasi program, terutama program
manajerial Kepala Sekolah, dimana hampir
semua penelitian terdahulu membahas
mengenai keberhasilan seorang Kepala Sekolah
dalam memimpin dan mengelola suatu program
di sekolah tersebut, hal ini menandakan bahwa
program manajerial Kepala Sekolah
mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja
baik Kepala Sekolah itu sendiri dan juga guru
dalam pelaksanaan pengelolaan program–
program yang ada di sekolah, pembelajaran
yang berkitan dengan kemampuan guru dalam
merencanakan, melaksanakan dan menilai
pembelajaran, baik yang berkaitan dengan
proses pembelajaran maupun hasil kerjanya.
Dalam hal ini peneliti tertarik ingin meneliti
mengenai program manajerial Kepala Sekolah
dalam meningkatkan kinerja mengajar guru di
SD Swasta di Kota Salatiga.
Persoalan mendasar terkait dengan
kompetensi manajerial Kepala Sekolah di SD
swasta yang hendak diteliti ini adalah: (1)
Kepala Sekolah masih belum terlalu memahami
Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 sehingga
belum mampu menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya secara optimal, (2) keterlibatan guru
dalam penyusunan perencanaan program–
Evaluasi Program Manajerial Kepala Sekolah | Egidius Virgo & Slameto
223
program sekolah yang merupakan refleksi dari
kompetensi manajerial masih belum maksimal,
dan (3) Kepala Sekolah masih belum bisa
menggerakkan iklim organisasi secara sehat,
misalnya dalam mengoptimalkan sumber daya
yang ada di sekolah. Dari hasil wawancara
dengan Kepala Sekolah, diketahui bahwa sejak
awal dijalankannnya program–program sekolah
mulai tahun 2005 sampai tahun 2018, sudah 13
tahun semenjak yang bersangkutan menjabat
sebagai Kepala Sekolah, belum pernah
dilakukan evaluasi program manajerial Kepala
Sekolah. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk
melakukan evaluasi terhadap program
manajerial Kepala Sekolah.
Arikunto dan Jabar (2014: 17)
menyatakan bahwa evaluasi program adalah
upaya untuk mengetahui efektivitas komponen
program dalam mendukung pencapaian tujuan
program. Sedang tujuan evaluasi program
menurut Wirawan (2011: 54) adalah untuk
menentukan apakah layanan atau intervensinya
telah mencapai tujuan yang ditetapkan dan
supaya dapat diketahui dengan pasti apakah
pencapaian hasil, kemajuan dan hambatan yang
dijumpai dalam pelaksanaan program dapat
dinilai dan dipelajari untuk perbaikan
pelaksanaan program dimasa yang akan
mendatang.
Penelitian ini menggunakan model
evaluasi CIPP yang dikembangkan oleh
Stufflebeam tahun 1966 (Wirawan, 2011: 92).
Komponen dalam model evaluasi CIPP dapat
dijelaskan sebagai berikut: (1) Evaluasi context
berupaya mengidentifikasi mengenai
kebutuhan lingkungan yang belum terpenuhi,
populasi sampel yang dilayani dan tujuan
program. (2) Evaluasi input berupaya
mengidentifikasi tentang kemampuan awal dari
komponen yang ada dalam menunjang
pelaksanaan program tersebut. (3) Evaluasi
process mengidentifikasi mengenai
pelaksanaan program yang meliputi program
apa yang akan dilaksanakan, dan siapa
penyelenggara program, dan waktu
pelaksanaan program. (4) Evaluasi product
berupaya untuk mengidentifikasi perubahan
yang terjadi akibat pelaksanaan program, serta
ketercapaian tujuan program.
Berdasarkan masalah diatas, tujuan
penelitian ini adalah untuk mengevaluasi
context, input, process, dan product program
manajerial Kepala Sekolah dalam
meningkatkan kinerja mengajar guru di SD
Swasta Salatiga.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk penelitian
kualitatif yang bersifat evaluatif dengan model
CIPP. Penelitian dilaksanakan di salah satu SD
Swasta di Kota Salatiga. Sumber informasi
meliputi Kepala Sekolah dan Guru. Sumber
data mengenai program manajerial Kepala
Sekolah juga berupa dokumen–dokumen,
Juknis, Surat Keputusan penyelenggaraan
kegiatan, jadwal penyelenggaraan kegiatan,
rencana program dan laporan penyelenggaraan
program. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara, observasi, dan studi dokumen.
Tahapan yang dilakukan dalam analisis data
penelitian meliputi: (1) pengumpulan data, (2)
reduksi data, (3) display data, (4) verifikasi
data. Uji validitas data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik triangulasi sumber
dan triangulasi teknik.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Evaluasi Context Program Manajerial
Kepala Sekolah
Pada tahap context, peneliti
menganalisis kebutuhan program, tujuan,
manfaat, serta sasaran program manajerial
Kepala Sekolah di SD Swasta ini Berdasarkan
hasil wawancara dan telaah dokumen, latar
belakang dilaksanakannya program manajerial
Kepala Sekolah adalah sebagai bentuk dari
kerjasama antara Kepala Sekolah dan guru
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
224
dalam menciptakan suasana yang aman dan
kondusif sehingga memungkinkan terciptanya
iklim belajar yang baik bagi siswa dan juga
guru. Program manajerial Kepala Sekolah di
SD Swasta ini belum pernah dilakukan
penelitian dan kinerja guru di sekolah tersebut
juga masih rendah. Tujuan program manajerial
Kepala Sekolah di SD Swasta ini adalah untuk
mengetahui secara rinci tindakan yang
seharusnya dilakukan terkait program–program
sekolah, memberikan arahan kepada Kepala
Sekolah untuk mewujudkan visi dan misi
sekolah, memberikan arahan dan target
mengenai apa saja yang perlu dikembangkan
dalam proses pembelajaran yang efektif,
meningkatkan dan melatih kemampuan seorang
Kepala Sekolah dalam menyusun program–
program sekolah serta memberikan arahan
terhadap warga sekolah untuk menyusun
perencanaan program sekolah. Manfaat yang
diharapkan dari program Manajerial Kepala
Sekolah adalah untuk memperluas
pengetahuan, memperdalam, memperkaya
konsep mengenai program manajerial Kepala
Sekolah, mengetahui apakah Kepala Sekolah
sudah berhasil dalam melaksanakan program,
dan mengelola guru–guru. Sasaran dari
program manajerial Kepala Sekolah yaitu:
Kepala Sekolah, tenaga pendidik dan
kependidikan, dan juga peserta didik.
Evaluasi Input Program Manajerial Kepala
Sekolah
Pada tahap input, peneliti mengevaluasi
mengenai rencana pelaksanaan program,
mekanisme pelaksanaan, Sumber Daya
Manusia (SDM), pembiayaan, dan sarana
prasarana terkait program manajerial Kepala
Sekolah di SD Swasta ini. Berdasarkan hasil
wawancara, observasi dan studi dokumen
didapati bahwa rencana program manajerial
tentang program pembelajaran dan kurikulum,
kepegawaian, kesiswaan, keuangan, dan juga
sarpras pendukung sudah didesain sedemikian
rupa dengan mempertimbangkan berbagai
aspek oleh Kepala Sekolah. Dalam dokumen
perencanaan program terdapat beberapa point,
yaitu: program kerja Kepala Sekolah, program
kerja tahunan Kepala Sekolah, program kerja
Kepala Sekolah (pengajaran), agenda harian
Kepala Sekolah, jadwal kegiatan sekolah,
jadwal mata pelajaran, KKM dan SKL, struktur
kurikulum, rekapitulasi keadaan pegawai,
administrasi sekolah dasar, dan lain–lain. Di
dalam rencana itu juga dirinci beberapa macam
kegiatan yang akan dilaksanakan, jadwal
pelaksanaan kegiatan, siapa saja yang
bertanggung jawab, sarpras yang dibutuhkan,
serta anggaran pembiayaan yang digunakan.
Mekanisme pelaksanaan program
manajerial Kepala Sekolah yang dilaksanakan
di SD Swasta ini berpedoman pada juknis yang
ada dan disesuaikan dengan kebutuhan sekolah.
Selanjutnya terkait dengan SDM yang
ada, dari segi kuantitas masih belum memenuhi
standar karena sekolah ini kekurangan tenaga
pendidik, jumlah peserta didik juga sangat
fluktuatif, sedang fasilitas pendukung proses
belajar mengajar juga masih kurang. Dana
bersumber dari yayasan, BOS dan bantuan
pihak ketiga yang dirasa belum mencukupi
kebutuhan sekolah.
Evaluasi Process Program Manajerial
Kepala Sekolah
Dari segi process program manajerial
Kepala Sekolah dilaksanakan berdasarkan
fungsi–fungsi manajemen yakni: perencanaan,
pengorganisasian, pengawasan, dan penilaian.
Hal ini dilakukan guna mengatur sumber daya
yang ada secara efektif dan efisien dalam
mencapai tujuan sekolah yang telah ditetapkan.
Program–program yang dilaksanakan dalam
bentuk pembinaan pemanfaatan KKG, MGMP,
supervisi secara rutin, hal ini diharapkan untuk
mengetahui secara detail dari proses kegiatan
belajar mengajar oleh guru–guru dan juga
memberikan dukungan kepada guru–guru
untuk berkreasi sesuai dengan kompetensinya.
Sekolah juga memberi kesempatan kepada guru
untuk mengikuti seminar ataupun workshop
Evaluasi Program Manajerial Kepala Sekolah | Egidius Virgo & Slameto
225
yang diharapkan bisa menambah wawasan
mereka.
Meskipun secara umum proses
manajerial Kepala Sekolah sudah berjalan
dengan baik, namun masih terdapat juga
beberapa permasalahan yang ada terutama pada
guru–guru, dimana didapatkan bahwa kinerja
guru masih kurang dan motivasi guru juga
masih kurang. Dalam implementasi kurikulum
(kurikulum yang digunakan adalah KTSP) hasil
penelitian menunjukkan bahwa (1) pada sisi
perencanaan guru yang idealnya memiliki
kompetensi untuk membuat desain
instruksional sesuai dengan faedah–faedah
pedagogik yang dituangkan dalam rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP), dalam
kenyataan terwujud sesuai dengan ketentuan
yang ada. dan (2) pada pelaksanaannya terkait
dengan manajemen kurikulum, dimana guru
yang seharusnya memiliki kompetensi
penguasaan materi pembelajaran sesuai dengan
bidang keahlian yang dimilikinya masing–
masing, namun pada kenyataannya pada saat
melakukan PBM masih ada guru yang mengajar
belum sesuai dengan materi atau tema yang ada,
hal ini dibuktikan dengan terbatasnya alat
peraga atau media pembelajaran sehingga guru
menjelaskan terkadang masih belum sesuai
dengan tema atau topik yang diajarkan sehingga
siswa terlihat masih belum memahami materi.
Guru sudah membuat RPP sesuai dengan tema
pembelajaran, namun pada saat mengajar
materi yang diajarkan masih belum sesuai
dengan RPP yang ada dan lebih banyak
mengambil bahan ajar di Lembar Kerja Siswa
(LKS).
Dari segi pendanaan sekolah ini juga
menerima dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) dari pemerintah. Mekanisme penyaluran
dana dari pusat ke sekolah sudah jelas mulai
dari prosesnya sampai ke jumlahnya.
Penggunaan dana BOS juga sudah dilakukan
sesuai dengan prosedur dari pemerintah.
Namun dengan dana yang terbatas itu membuat
sekolah harus bijak dalam menyelenggrakan
berbagai program, dengan cara membuat skala
prioritas. Di samping itu penyelenggaraan
program-program sekolah juga didanai melalui
bantuan para donatur, alumni, orang tua siswa,
dan juga pihak yayasan. Tampak bahwa
pemerintah tidak sepenuhnya membiayai
program–program sekolah, karena memang
dana yang didapatkan dari pemerintah lebih
banyak dialokasikan pada pembangunan fisik
sesuai dengan kebutuhan sekolah tersebut serta
untuk peserta didik yang kurang mampu, di
mana beberapa anak dari keluarga yang kurang
mampu tidak dipungut biaya sama sekali oleh
pihak sekolah. Sementara itu dukungan dana
dari pemerintah daerah melalui alokasi
pendanaan dalam APBD masih belum ada.
Evaluasi Product Program Manajerial
Kepala Sekolah
Dari segi product program manjerial
Kepala Sekolah hasil evaluasi menunjukkan
bahwa semua program manajerial Kepala
Sekolah sudah dilaksanakan dengan baik,
walaupun terdapat juga faktor pendukung dan
penghambat, karena hasil akhir dari pekerjaan
tentu saja dipengaruhi oleh sumber daya dan
lingkungan yang berinteraksi secara bersama
untuk mencapai tujuan sekolah dalam mencapai
visi dan misinya. Jika hasil dari suatu kinerja
dapat tercapai atau melebihi dengan apa yang
diharapkan, baik secara kualitas maupun
kuantitas, maka hasil tersebut dapat dikatakan
memuaskan. Secara umum program–program
di sekolah SD Swasta ini sudah bisa dikatakan
sudah tercapai meskipun belum maksimal,
sehingga perlu adanya perbaikan dalam
pelaksanaannya.
Pembahasan
Dari segi context keberadaan program
manajerial Kepala Sekolah SD Swasta ini selain
merupakan pelaksanaan kebijakan dari
Pemerintah, juga memang dibutuhkan oleh
sekolah mengingat kinerja mengajar guru di
sekolah tersebut masih rendah. Tujuan program
manajerial Kepala Sekolah di SD Swasta ini
adalah untuk mengetahui secara rinci tindakan
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
226
yang seharusnya dilakukan terkait program–
program sekolah, memberikan arahan kepada
Kepala Sekolah untuk mewujudkan visi dan
misi sekolah, memberikan arahan dan target
mengenai apa saja yang perlu dikembangkan
dalam proses pembelajaran yang efektif,
meningkatkan kemampuan Kepala Sekolah
dalam menyusun program–program sekolah,
serta memberikan arahan terhadap warga
sekolah untuk menyusun perencanaan program
program sekolah. Kesemua hal di atas
diharapkan akan berpengaruh terhadap kinerja
guru dalam mengelola proses belajar mengajar
di sekolah sehingga terjadi peningkatan mutu
pendidikan di sekolahyang bersangkutan.
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan
temuan Safitri (2015) yang mengatakan bahwa
peranan Kepala Sekolah sebagai manajer dalam
mengelola sekolah merupakan faktor kunci
keberhasilan sekolah termasuk meningkatkan
kinerja guru. Temuan di atas juga sejalan
dengan hasil penelitian Ekosiswoyo (2007)
yang menunjukan bahwa Kepala Sekolah
merupakan salah satu faktor kunci dalam
menentukan terciptanya pendidikan yang
berkualitas.
Dari segi input program manajerial
Kepala Sekolah sudah terencana dan terkonsep
dengan baik, mekanisme pelaksanaan program
manajerial Kepala Sekolah juga sudah cukup
jelas sesuai dengan prosedur yang sudah
ditetapkan dalam juknis dan tentu saja
disesuaikan dengan kebutuhan sekolah. Namun
program itu sendiri masih belum memenuhi
standar pendidikan dan masih belum cukup
mendapat topangan yang memadai. Dari segi
sarpras apa yang tersedia di SD Swasta ini
masih belum memenuhi kriteria yang
ditentukan. Dari segi SDM juga masih belum
memenuhi standar, sementara kurikulum juga
masih perlu evaluasi lebih lanjut. Dari segi
anggaran juga masih belum mencukupi. Hasil
penelitian ini perlu dikonfirmasi dengan
temuan Ahmad & Ahmad (2013) yang
menyatakan bahwa keberhasilan pencapaian
suatu program dipengaruhi oleh ketersediaan
dana. Akan kita lihat dalan evaluasi produk di
bawah nanti apakah produk sekolah ini
terkendala oleh kurangnya dana, SDM dan
sarana prasaran sekolah.
Dari segi process bahwa program
manajerial Kepala Sekolah dilaksanakan
berdasarkan fungsi–fungsi manajemen yakni:
perencanaan, pengorganisasian, pengawasan,
dan penilaian. Program–program yang
dilaksanakan dalam bentuk pembinaan guru
melalui pemanfaatan KKG, MGMP, mengikut-
sertakan guru dalam seminar-seminar ataupun
workshop yang diharapkan bisa menambah
wawasan para guru. Supervisi akademik juga
dilaksanakan secara rutin guna mengetahui
secara detail dari proses KBM yang
dilaksanakan oleh guru-guru dan juga
memberikan dukungan kepada guru-guru untuk
berkreasi sesuai dengan kompetensinya.
Temuan di atas sejalan dengan hasil penelitian
Taswir (2014) yang menunjukkan bahwa
Kepala Sekolah juga mengikutsertakan guru-
guru dalam berbagai kegiatan pelatihan atau
penataran, dan memberikan kesempatan bagi
guru untuk melanjutkan studi, serta
mengaktifkan kegiatan forum MGMP dan
KKG di sekolah. Temuan diatas juga sejalan
dengan temuan Zulkarnaen (2016) bahwa
program Kepala Sekolah dalam meningkatkan
kinerja guru adalah dengan program pelatihan
guru, seminar pendidikan, workshop guru,
MGMP, KKG, memberi penghargaan guru
yang berprestasi dan juga menambah insentif
guru serta memberi kesempatan kepada guru
untuk menggunakan perangkat IT dalam
pembelajaran. Perlu dicatat bahwa di SD
Swasta ini belum ada pemberian penghargaan
guru yang berprestasi dan juga menambah
insentif guru serta memberi kesempatan kepada
guru untuk menggunakan perangkat IT dalam
pembelajaran.
Meskipun prosesnya sudah berjalan
dengan baik, namun masih terdapat juga
beberapa permasalahan terutama pada guru–
Evaluasi Program Manajerial Kepala Sekolah | Egidius Virgo & Slameto
227
guru, dimana didapatkan bahwa kinerja guru
masih kurang dan selanjutnya ditemukan juga
kendala yaitu peran aktif pendidik memang
belum bisa berjalan dengan baik, dan motivasi
guru juga masih kurang. Temuan di atas
menggarisbawahi pandangan Majid (2006)
yang menyatakan bahwa pengembangan
pembelajaran perlu dikelola dengan baik agar
dapat mencapai hasil yang optimal. Hasil
penelitian di atas juga membuktikan pentingnya
peranan Kepala Sekolah dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah
sebagaimana ditemukan dalam penelitian Jay
(2014) yang menunjukkan bahwa Kepala
Sekolah memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap pengambilan keputusan, termasuk
komunikasi dan pendelegasian untuk
meningkatkan kinerja guru. Kepemimpinan
Kepala Sekolah yang bermutu tentu saja akan
menghasilkan kinerja yang baik bagi guru–guru
dan akan sangat berdampak pada prestasi
peserta didik.
Dari sisi product program manajerial
Kepala Sekolah prestasi yang diraih oleh
siswa/i SD Swasta ini memang relatif cukup
banyak namun hampir semuanya di bidang non
akademik. Sedang di bidang non akademik
capaian sekolah ini belum optimal walau
memang terjadi perbaikan. Hasil rata–rata nilai
Ujian Nasional mulai dari tahun ajaran
2014/2015 sampai 2016/2017 semakin naik
walaupun tidak drastis, Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) dan SKL juga sudah sesuai
dengan standar yang ditentukan, angka
mengulang kelas pada 2015/2016 hanya satu
orang dan mulai 2016/2017 sudah tidak ada
angka mengulang kelas, angka kelulusan 100%
setiap tahunnya, dan angka yang melanjutkan
ke SLTP mencapai 95% setiap tahunnya.
Meskipun terkendala dari sisi
pendanaan, SDM dan juga sarpras yang kurang
memadai, namun sekolah tetap masih bisa
melaksanakan program dengan dana serta
sarpras seadanya. Oleh karena itu dapat
dipahami jika pada akhir prestasi sekolah ini
belum cukup memadai.
Hasil penelitian ini menggaris bawahi
temuan penelitian terdahulu yang dilakukan
oleh Ahmad & Ahmad (2013) yang
menyatakan bahwa keberhasilan pencapaian
suatu program dipengaruhi oleh ketersediaan
dana. Hasil di atas juga membuktikan temuan
Suratman (2010) bahwa prestasi siswa
dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti
kompetensi manajerial Kepala Sekolah,
kompetensi mengajar guru, dukungan orang
tua, dan juga fasilitas sekolah. Hasil penelitian
di atas juga membenarkan temuan Hermawan
(2010: 1) bahwa faktor penghambat suatu
program yang dijalankan di sekolah lebih
banyak disebabkan oleh peserta didik, pendidik
dan tenaga kependidikan, dana, sarana
prasarana, serta patisipasi masyarakat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil evaluasi diatas menunjukkan
bahwa, dari segi context, program manajerial
Kepala Sekolah di SD Swasta ini memang
sangat dibutuhkan oleh sekolah terutama
Kepala Sekolah dalam mengelola dirinya
sendiri, guru dan semua warga sekolah. Dari
segi input, sudah disusun program manajerial
Kepala Sekolah untuk memenuhi kebutuhan
stakeholder di SD Swasta ini namun belum
ditopang dengan sumber daya manusia (SDM),
pendanaan, dan sarana prasarana yang
memadai. Dari segi process program
manajerial Kepala Sekolah dilaksanakan
berdasarkan fungsi–fungsi manajemen yakni:
perencanaan, pengorganisasian, pengawasan,
dan penilaian. Meskipun terkendala dari sisi
pendanaan, SDM dan juga sarpras yang kurang
memadai, namun Kepala Sekolah tetap masih
bisa melaksanakan program manajerial dengan
dana serta sarpras seadanya. Dari segi product
SD Swasta ini lebih berprestasi dalam bidang
non akademik katimbang di bidang akademik
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018
228
walaupun dari tahun ketahun terjadi sedikit
peningkatan kualitas hasil belajar siswa.
Saran
Terdapat beberapa saran yang peneliti
sampaikan guna perbaikan penyelenggaraan
pendidikan di sekolah pada periode berikutnya,
sebagai berikut,
(1) Bagi guru, diharapkan agar meningkatkan
kinerja mengajarnya terutama dengan
mengikuti program seperti KKG dan
MGMP, serta memanfaatkan IT sebagai
media pembelajaran.
(2) Bagi Kepala Sekolah, hendaknya lebih
optimal dalam menjalin kerjasama yang
baik dengan pihak luar untuk mendapatkan
bantuan dana dalam mendukung
pelaksanaan program. SDM yang ada perlu
ditingkatkan, sarana dan prasarana perlu
ditinjau kembali agar bisa menunjang
kebutuhan sekolah, dan Kepala Sekolah
harus mengoptimalkan peranannya sebagai
manajer dalam melaksanakan program
manajerial Kepala Sekolah sehingga dapat
meningkatkan kompetensi dan kinerja
guru.
(3) Bagi Yayasan, diharapkan agar lebih
memberikan bantuan baik berupa materi,
dorongan, motivasi, dan juga evaluasi
kepada Kepala Sekolah dan guru serta
semua warga sekolah, agar dalam proses
pembelajaran semakin baik dan kinerja
guru pun meningkat.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang tulus diberikan
kepada Dr. Ade Iriani, MM yang menjadi
Pembimbing II dalam penulisan Tesis yang
substansinya kemudian tersaji dalam bentuk
artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A., & Ahmad, N. 2013. Role of
packaging in consumer buying
behavior. International Review of Basic
and Applied Sciences, 1(2), 35-41.
Arikunto, Suharsimi.dan Safruddin Abdul
Jabar, Cepi. 2014. Evaluasi Program
Pendidikan.Jakarta: PT Bumi Aksara.
Darmada. 2013. Kontribusi Kompetensi
Manajerial Kepala Sekolah, Iklim Kerja
Dan Motivasi kerja Terhadap Kinerja
Guru SMP Negeri Se-Kecamatan
Mendoyo Kabupaten Jembrana. e-
Journal Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan pendidikan Dasar (Volume 3
Tahun 2013).
Ekosiswoyo. 2007. Kepemimpinan Kepala
Sekolah yang Efektif Kunci Pencapaian
Kualitas Pendidikan. Jurnal Ilmu
Pendidikan ISSN 0215 – 9643 dan E-
ISSN : 2442 – 8655 Universitas Negeri
Malang.
Hermawan, Arif. 2010. Faktor – Faktor
Penghemat Dalam pembelajaran
pendidikan. Yokyakarta: FIK UNY
Isjoni. 2009. Pembelajaran Kooperatif
Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi
Antar Guru Maupun Peserta Didik.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Jay, Abwalla. 2014. The Principals Leadership
Style And Teachers Performance In
Secondary Schools Of Gambella
Regional State Ethiopia. Journal of
Education Jimma University Ethiopia,
Keputusan Menteri Pendidikan Nomor:
162/U/2003 tanggal 24 Oktober 2003
tentang Pedoman Penugasan Guru
sebagai Kepala Sekolah,
Lazarus. 1986. Perkembangan Peserta Didik.
Bandung: CV Pustaka Setia
Mintzberg, Henry. 2006. Tracking Strategies:
Toward A General Theory, Oxford
University Press Inc., New York
Majid, Abdul. 2006. Perencanaan
Pembelajaran. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Evaluasi Program Manajerial Kepala Sekolah | Egidius Virgo & Slameto
229
Mulyasa, Enco. 2003. Menjadi Kepala Sekolah
Profesional Dalam Konteks
Menyukseskan MBS dan KBK.
Bandung: Remaja Rosdakarya
----------- 2007. Standar Kompetensi Dan
Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia No. 13 Tahun 2007.
Tentang Standar Kepala
Sekolah/Madrasah. Jakarta: Depdiknas
Safitri, E., & Djailani, A. R. 2015. Kemampuan
Manajerial Kepala Sekolah dalam
Meningkatkan Kinerja Guru di MIN
Rukoh Banda Aceh. Jurnal
Administrasi Pendidikan: Program
Pascasarjana Unsyiah, Jakarta: Prestasi
Pustakaraya
Sagala, S. 2010. Supervisi Pembelajaran
Dalam Profesi Pendidikan. Bandung:
Alfabeta.
Siswanto. 2015. Pengantar Manajemen.
Jakarta: Bumi Aksara
Suratman, Anitah. 2010. Kompetensi
Manajerial Kepala Sekolah,
Ketersediaan Sarpras, Kapabilitas
Mengajar Guru, dan Dukungan Orang
Tua< kaitannya dengan Prestasi
Belajar Siswa SMP Negeri di Kota
Surabaya. Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran Vol 17, No 1 Tahun 2010
Taswir. 2014. Manajerial Kepala Sekolah
Dalam Meningkatkan Kinerja Guru
pada Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Negeri 2 Sinabang kabupaten
Simeulue. Jurnal Ilmiah Didaktika
Februari 2014.
Wahjosumidjo. 2001. Kepemimpinan Kepala
Sekolah. Jakarta: PT Radja Grafindo
Persada.
----------- 2005. Kepemimpinan Kepala
Sekolah. Jakarta: PT Radja Grafindo
Persada.
----------- 2013. Kepemimpinan Kepala
Sekolah, Tinjauan Teoritik dan
Permasalahannya. Jakarta: PT Radja
Grafindo Persada.
Wirawan. 2011. Evaluasi (Teori, Model,
Standar, Aplikasi, dan Profesi). Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Zulkarnaen. 2016. Kompetensi Manajerial
Kepala Sekolah dalam Meningkatkan
Kinerja Guru di SMP Islam Terpadu
Kabupaten Aceh. Jurnal Pendidikan
ETD Unsyiah Kuala.
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5
Juli-Desember 2018
230
INDEKS SUBYEK
A
Academic ............................................................. 74
Academic Information System ......................... 15
Academic Supervision .................................... 107
Achievement ........................................................ 74
Adolescents ........................................................ 55
Aggressive Behavior ......................................... 55
Authentic Assessment ...................................... 139
Autism ............................................................ 196
C Certified Teacher ................................................ 24
Charlotte Danielson Model ................................. 24
CIPP ........................................................ 107, 217
Collaborative ..................................................... 37
Competence ........................................................ 37
Correlation ........................................................... 74
D Delta Model ........................................................... 1
Discrepancy Evaluation Model ....................... 205
E Education ............................................................ 66
Education Quality ............................................... 86
Educational Administration ................................ 86
Educational Leadership .................................... 124
Educational Management .................................. 196
Efficacy .............................................................. 74
F Feedback ............................................................. 47
Four D’s Model ................................................ 139
G Goalfree Evaluation Model ............................... 152
I Inclusion Education ......................................... 205
Indicators of Educational Leadership ............... 124
Interpersonal Communication ............................ 96
J Job Satisfaction ................................................ 190
Junior High School Mathematics Teacher ....... 177
L Learning ............................................................. 37
M Management of Education ................................. 86
O Optimization ..................................................... 190
Organizational Culture ...................................... 96
P Pedagogical Content Knowledge (PCK) .......... 177
Performance Evaluation ................................... 24
Primary School Regrouping Program ............... 152
Principal's Managerial Program ....................... 217
Private Junior High School Teachers ................. 96
Procrastination ................................................... 74
Program Evaluation .................. 107, 152, 205, 217
Punctual in Teaching ......................................... 47
Q Quality Of Education ......................................... 15
R R&D ................................................................ 139
S School Marketing Strategy .................................... 1
School Principal ................................................. 66
School Quality ................................................. 165
Science Teacher ............................................... 139
Special School For Autism ............................... 196
Strategic Plan ................................................... 165
Student Interest .................................................... 1
Supervision ........................................................ 37
SWOT Analysis ............................................... 165
T Teacher Optimism .............................................. 47
Teacher Performance ................................. 66, 190
Teachers Pedagogic Competence ................... 165
Thematic ............................................................. 37
Training Module ....................................... 139, 177
Types of Educational Leadership ................... 124
V Violence .............................................................. 55
W Watching Television Shows ................................ 55
Work Attitude ................................................... 96
Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com
e-ISSN 2549-9661 Volume: 5
Juli-Desember 2018
231
INDEKS PENULIS
A
Abdul Salim ..................................................... 196
Ade Iriani ........................................... 24, 165, 177
Agustina Tyas Asri Hardini .............................. 47
B
Bambang Ismanto ................................................ 1
Bambang Suteng Sulasmono .......... 1, 24, 107, 205
Brigitta Putri Atika Tyagita .............................. 165
D
Daniel Kurniawan ........................................... 107
E
Egidius Virgo ................................................... 217
Elfridauli ........................................................... 96
Endang Indarini ................................................ 47
Eni Mariani ..................................................... 205
G
Gangsar Ali Daroni ......................................... 196
Gina Solihat ..................................................... 196
H
Hardianto ........................................................ 190
M
Maria Tri Erowati ........................................... 152
Mega Wulandari .............................................. 177
Muhammad Kristiawan ...................................... 86
N
Nasib Tua Lumban Gaol ................................... 66
Nova Asvio ........................................................ 86
P
Paningkat Siburian .............................................. 66
Paula Alfa Loppies .............................................. 74
R
Rais Hidayat ................................................... 124
Ririn Tius Eka Margareta ...................................... 1
Rukayah ............................................................. 37
S
Setyorini ............................................................. 55
Siti Mariah ........................................................ 15
Slameto ............................................. 47, 152, 217
T
Tego Prasetyo ..................................................... 47
Triani Amrih Lestari ........................................... 15
V
Vidriana Oktoviana Bano ................................. 139
W Wara Hapsari Oktriany ...................................... 24
Wasitohadi ..................................................... 152
Y
Yari Dwikurnaningsih ................................. 55, 107
Yosua Ivan Pradana ........................................... 55
Yuyun Elizabeth Patras ................................... 124
Z
Zummy Anselmus Dami ................................... 74
top related