sertifikat hak atas tanah sebagai tanda bukti kepemilikan tanah
Post on 01-Jul-2015
2.614 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MAKALAH HUKUM AGRARIA
“SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH
SEBAGAI BUKTI PEMILIKAN TANAH”
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
Bab I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
B. Identifikasi Masalah
Bab II TINJAUAN PUSTAKA
Bab III POKOK PEMBAHASAN
Bab IV ANALISIS
A. Kekuatan hukum sertifikat hak atas tanah
B. Upaya-upaya hukum yang dilakukan dalam rangka menjamin
kepastian hukum
Bab V KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1
SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH SEBAGAI TANDA BUKTI KEPEMILIKAN TANAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting
di dalam kehidupan manusia. Tanah merupakan bagian dari bumi, air dan
ruang angkasa yang merupakan bagian dari kekayaan alam yang berlimpah
sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu sudah
seharusnya kita melestarikan, menjaga dan mengelola secara baik tanah
tersebut baik untuk generasi sekarang maupun untuk yang akan datang.
Sebagai sumber daya yang sangat menunjang kehidupan umat manusia,
maka setiap masyarakat memiliki aturan atau norma tertentu dalam
penggunaan, penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah untuk
kehidupannya. Dengan semakin berkembangnya penduduk dan cara
pemikiran manusia maka mendorong terbentuknya suatu aturan di bidang
pertanahan yang dapat diterima bersama sebagai landasan hukum terutama
dalam kepemilikan tanah.
Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 yang
dijabarkan dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang program
Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 ditetapkan arah kebijakan yang
berkaitan langsung dengan bidang pertanahan termasuk pada kebijaksanaan
2
pembangunan di bidang ekonomi sebagaimana tercantum dalam butir 16
yang berbunyi:
“Mengembangkan kebijaksanaan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang”
Menurut Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 dikatakan bahwa :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran
rakyat”
Sebagai landasan kebijakan di bidang pertanahan, pasal 33 ayat (3)
Undang-undang Dasar 1945 ditunjukkan bahwa untuk tercapainya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam kaitannya dengan perolehan dan
pemanfaatan kekayaan alam Indonesia, termasuk tanah. Adapun perwujudan
dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 tersebut adalah
dengan lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-undang Pokok Agraria merupakan perangkat hukum
pertanahan sebagai sendi dan landasan baik hukum nasional maupun
kepastian hukum pada politik dan system pertanahan nasional. Secara tegas
dinyatakan dalam Penjelasan Undang-undang Pokok Agraria bahwa Negara
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat bertindak selaku badan
penguasa sehingga tepatlah jika bumi, air dan kekayaan yang terkandung di
dalamnya pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara.
Dengan demikian Negara sebagai organisasi kekuasaan, mengatur
sampai dengan membuat peraturan yang kemudian menyelenggarakan
penggunaan, peruntukan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, ruang
3
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, agar kepastian
hukum di bidang pertanahan dapat terwujud. Menurut Parlindungan bahwa
pembatasan terhadap pengertian Hak Menguasai Negara mengandung
makna bahwa perkataan “dikuasai” bukanlah berarti “dimiliki”, tetapi
pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi
kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk pada tingkat yang tertinggi bertindak
selaku Badan Penguasa, sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan
Undang-undang Pokok Agraria angka II ayat (2) bahwa Hak Menguasai
Negara memberi wewenang untuk : 1
1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;
2. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu;
3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Dikemukakan juga bahwa dari pengertian Hak Menguasai Negara
tersebut diantaranya dimungkinkan organisasi kekuasaan itu untuk :2
1. memberikan hak-hak keperdataan baik kepada perorangan ataupun badan-badan hukum privat seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai;
2. mengakui suatu badan hukum publik yang sudah ada sebelumnya seperti hak ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat;
3. memberikan hukum publik yang baru yaitu Hak Pengelolaan yang diberikan kepada lembaga-lembaga pemerintah ataupun perusahaan- perusahaan Negara dan Daerah. Dari Hak Pengelolaan ini dapat diberikan oleh pemegangnya Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai;
4. Dapat diberikan Hak Pakai Khusus yaitu Hak Pakai yang tidak terbatas waktunya dan diberikan untuk pelaksanaan tugasnya seperti hak pakai untuk perwakilan Negara-Negara asing, lembaga-lembaga pemerintah, untuk kepentingan sosial dan keagamaan.
1 Parlindungan, Komentar atas Undang- Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1993, Hlm.238.
2 ibid., Hlm.41.
4
Dengan diberikannya beberapa macam hak atas tanah baik kepada
perorangan atau badan hukum, juga ada kewajiban untuk mengelola tanah
sesuai dengan yang dimilikinya dan kepada pemegang hak-hak tersebut
dibebankan kewajiban untuk mendaftarkan hak atas tanahnya dalam rangka
tercapainya kepastian hukum. Undang-undang Pokok Agraria dengan
seperangkat peraturan pelaksanaannya bertujuan untuk terwujudnya jaminan
kepastian hukum terhadap pemilik hak-hak atas tanah di seluruh wilayah
Indonesia. Jika dikaitkan dengan usaha-usaha Pemerintah dalam rangka
penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. Maka
pendaftaran hak atas tanah merupakan suatu sarana penting untuk
terwujudnya kepastian hukum dan sekaligus turut serta dalam penataan
kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah.
Ketentuan mengenai pendaftaran tanah terdapat dalam Pasal 19 ayat
(1) Undang-undang Pokok Agraria yang berbunyi sebagai berikut :
“Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”
Berdasarkan ketentuan ini, maka pendaftaran tanah diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yang kemudian
disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
Pemerintah mengadakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia yang
bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah dan
sebagai tanda jaminan kepastian hukum tersebut oleh Pemerintah diberikan
5
surat tanda bukti hak yang dinamakan “Sertifikat”. Menurut pasal 1 butir 20
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah :
“Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf (c) Undang-undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan”
Dalam pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
dinyatakan bahwa sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat
di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan
data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Untuk itu
dinyatakan bahwa sebelum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data
yuridis yang dicantumkan dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang
benar, baik dalam perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di
pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum
dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
Oleh karena itu berdasarkan hal-hal di atas, maka kelompok kami
mencoba membahas mengenai “Sertifikat Hak Atas Tanah Sebagai Tanda
Bukti Kepemilikan Tanah”.
B. Identifikasi Masalah
Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam makalah ini ialah
berkaitan dengan :
1. Apa yang dimaksud dengan sertifikat serta sejauh mana kekuatan
sertifikat sebagai tanda bukti kepemilikan hak atas tanah ?
6
2. Upaya-upaya apa saja yang bisa dilakukan guna menjamin kepastian
hukum di bidang pertanahan ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
memberikan pengertian sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana
dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-undang Pokok Agraria
untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan
rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan
dalam buku tanah yang bersangkutan. Sedangkan pengertian sertifikat
menurut Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 :
“Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah”
Adapun yang dimaksud dengan buku tanah sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 1 angka 19 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 adalah
Dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu
objek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya. Sertifikat merupakan hasil
akhir dari kegiatan pendaftaran tanah.
Sertifikat hak atas tanah sebagai hasil akhir proses pendaftaran tanah
yang berisi data fisik (keterangan tentang letak, batas, bidang tanah, serta
bangunan yang ada di atasnya) dan data yuridis (keterangan tentang status
tanah dan bangunan yang didaftar, pemegang hak atas tanah dan hak-hak
pihak lain serta beban-beban lain yang berada di atasnya) merupakan tanda
bukti yang kuat.
7
Dengan memiliki sertifikat, maka kepastian hukum berkenaan dengan
jenis hak atas tanahnya, subjek hak dan objek haknya menjadi nyata selain
hal tersebut sertifikat memberikan berbagai manfaat, misalnya mengurangi
kemungkinan sengketa dengan pihak lain, serta memperkuat posisi tawar
menawar apabila hak atas tanah yang telah bersertifikat diperlukan pihak lain
untuk kepentingan pembangunan apabila dibandingkan dengan tanah yang
belum bersertifikat serta mempersingkat proses peralihan serta pembebanan
hak atas tanah.
Bagi pemegang hak atas tanah, memiliki sertifikat mempunyai nilai
lebih yaitu akan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum
sebab dibandingkan dengan alat bukti tertulis lainnya, sertifikat merupakan
tanda bukti hak yang kuat, artinya pemegang hak atas tanah yang namanya
tercantum dalam sertifikat harus dianggap sebagai benar sampai dibuktikan
sebaliknya di Pengadilan dengan alat bukti lain.
Selain hal tersebut di atas, maka sehubungan dengan Fungsi Sosial
hak atas tanah sebagaimana diatur di dalam pasal 6 Undang-undang Pokok
Agraria, maka pemegang sertifikat akan melepaskan haknya apabila
tanahnya akan digunakan untuk kepentingan umum dengan pembayaran
ganti rugi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini
menunjukan bahwa pemegang sertifikat diberikan perlindungan dan juga
dihargai sebagai pihak yang mempunyai hak atas tanah.
Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang terdiri dari salinan
buku tanah dan surat ukur, diberi sampul, dijilid menjadi satu yang bentuknya
ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
(BPN). Ada dua jenis sertifikat. Pertama, sertifikat yaitu tanda bukti hak yang
8
diberikan bagi tanah-tanah yang sudah ada surat ukurnya ataupun tanah-
tanah yang sudah diselenggarakan pengukuran desa demi desa, dan yang
kedua, sertifikat sementara, yaitu tanda bukti hak yang diberikan bagi tanah-
tanah yang belum ada surat ukurnya, artinya tanah-tanah di desa-desa yang
belum dihitung berdasarkan pengukuran desa demi desa. Sertifikat
merupakan alat pembuktian yang kuat, baik subyek maupun obyek hak atas
tanahnya dan sertifikat sementara merupakan alat pembuktian sementara
mengenai macam-macam hak dan siapa pemiliknya, tidak membuktikan
mengenai luas dan batas-batas tanahnya.
Pemberian tanda bukti hak diatur dalam suatu ketentuan tentang
pendaftaran tanah yang dilaksanakan diseluruh Wilayah Republik Indonesia
dengan tujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dan perlindungan hukum
terhadap pemegang hak-hak atas tanah sebagaimana diperintahkan oleh
Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-undang Pokok Agraria, yaitu :
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran tanah, meliputi kegiatan :a. Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah;b. Pendaftaran hak atas tanah dan peralihan-peralihan hak
tersebut;c. Pemberian surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
Dengan demikian, akibat hukum dari pendaftaran tanah adalah
diberikannya surat tanda bukti hak, yaitu sertifikat tanah yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat terhadap pemegang hak atas tanah, dalam arti
bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yurudis
yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, sesuai
9
dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang
bersangkutan.
Kepastian hukum hak atas tanah tersebut selaras dengan tujuan dari
pendaftaran tanah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 bahwa :
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak- hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar mudah memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang tanah dan bantuan- bantuan rumah susun yang sudah terdaftar;
3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 telah memperkaya
ketentuan Pasal 19 UUPA, yaitu bahwa dengan diterbitkannya sertifikat hak
atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum, sedangkan pasal 19 UUPA hanya untuk kepastian
hukum.
Berdasarkan pasal 19 UUPA dan peraturan Pemerintah Nomor 24
tahun 1997 bahwa diadakannya pendaftaran tanah adalah untuk memberikan
kepastian hukum dan sertifikat berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat,
karena asas yang dianut adalah asas negative. Ini tercermin dalam
pernyataan pasal 19 UUPA bahwa sertifikat adalah sebagai alat pembuktian
yang kuat. Berbeda dengan system positif, yang menghasilkan sertifikat
sebagai alat pembuktian yang mutlak sebagai satu-satunya alat pembuktian.
Dengan demikian sertifikat tersebut hanya dipandang sebagai suatu bukti
permulaan saja, belum menjadi sertifikat sebagai suatu yang final sebagai
10
bukti hak tanahnya. Jika menganut asas positif, sertifikat merupakan satu-
satunya alat pembuktian.
Parlindungan mengemukakan bahwa pasal 19 UUPA menyatakan
bahwa sertifikat adalah sebagai alat pembuktian yang kuat, sehingga setiap
orang dapat mempermasalahkan tentang kebenaran sertifikat tanahnya, dan
jika dapat dibuktikan ketidakbenaran dari hak atas tanah tersebut, maka
sertifikat dapat dibatalkan oleh Pengadilan dan Kepala BPN dapat
memerintahkan hal tersebut.3
Pasal 23, 32 dan 38 UUPA menyatakan bahwa pendaftaran tanah
untuk hak-hak tersebut ditujukan kepada para pemegang hak agar
menjadikan kepastian hukum bagi mereka, dalam arti demi kepentingan
hukum bagi mereka sendiri. Begitu pula pendaftaran atas setiap peralihan,
penghapusan dan pembebanannya, serta pendaftaran yang pertama kali,
pendaftaran karena konversi ataupun pembebasannya akan banyak
menimbulkan komplikasi hukum jika tidak didaftarkan. Padahal pendaftaran
tersebut merupakan bukti yang kuat bagi pemegang haknya.
Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa dalam Peraturan Pemerintah
yang menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 ini, tetap
dipertahankan tujuan dan system yang digunakan, yang pada hakikatnya
sudah ditetapkan dalam UUPA, yaitu pendaftaran tanah diselenggarakan
dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan
dan bahwa system publikasinya adalah system negative yang mengandung
unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang
3 Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999, Hlm. 14.
11
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam
pasal 19 ayat (2) huruf (c), pasal 23 ayat (2), pasal 32 ayat (2) dan pasal 38
ayat (2) UUPA.
Di dalam pelaksanaan administrasi pertanahan, data pendaftaran
tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus selalu sesuai dengan
keadaan atau status sebenarnya mengenai bidang tanah yang bersangkutan,
baik yang menyangkut data fisik mengenai bidang tanah tersebut ataupun
data yuridisnya. Penerbitan sertifikat hak atas tanah digunakan untuk
pegangan kepada pemiliknya akan bukti-bukti haknya yang tertulis, kecuali
masih ada catatan pada buku tanah maka sertifikat tidak dapat diterbitkan.4
Sertifikat tanah yang diberikan akan memberikan peran dan arti
penting bagi pemegang hak yang bersangkutan, yang dapat berfungsi
sebagai alat bukti hak atas tanah apabila ada persengketaan terhadap tanah
tersebut ataupun dapat pula berfungsi sebagai jaminan pelunasan suatu
hutang kepada bank.
4 Ibid., Hlm.125
12
BAB III
POKOK PEMBAHASAN
Sehubungan dengan apa yang dikemukakan dalam uraian diatas
dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas
tanah dan hak milik atas satuan rumah susun, pasal 3 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menjelaskan mengenai arti dan
persyaratan mengenai “berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”.
Dijelaskan bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang
termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai
dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
Hal ini menunjukkan selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan
data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang
benar, baik dalam melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam
berperkara di Pengadilan.
Sebagai kelanjutan dari pemberian perlindungan hukum kepada para
pemegang sertifikat hak tersebut, dinyatakan dalam pasal 32 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 bahwa :
“Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak yang
13
merasa mempunyai hak atas tanah ini tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan pada Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut”
Dengan pernyataan tersebut makna dari sertifikat yang merupakan alat
pembuktian yang kuat dan bahwa tujuan pendaftaran tanah yang
diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum dibidang
pertanahan, menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya, sungguhpun
sistem publikasinya bersifat negatif. Ketentuan tersebut tidak mengurangi
asas pemberian perlindungan yang seimbang, baik kepada pihak yang
memperoleh tanah dengan itikad baik yang dilanjutkan dengan pendaftaran
tanah yang bersangkutan maupun pihak yang mempunyai dan menguasai
serta menggunakannya sebagaimana mestinya.
Dalam penjelasan pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 menyebutkan bahwa :
“Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh Negara, melainkan menggunakan sistem publikasi negatif. Didalam sistem publikasi negatif Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Tetapi walaupun demikian tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif yang murni”
Sertifikat sebagai alat pembuktian yang kuat maksudnya bahwa
sertifikat tersebut akan memberikan jaminan kepastian hukum apabila tidak
ada pihak lain yang merasa memiliki atas sertifikat tersebut. Menurut
Soeprapto bahwa kepastian hukum tersebut harus meliputi :5
a. Kepastian hukum mengenai subjek hukum yang menjadi pemegang hak-hak atas tanah;
5 R. Soeprapto, Undang-undang Pokok Agraria dalam praktek, Jakarta, 1986, hlm 323.
14
b. Kepastian hukum mengenai lokasi, batas serta luas bidang tanah hak (objek hak);
c. Kepastian hukum mengenai hak yang melekat atas tanah tersebut.
Memperhatikan pendapat tersebut bahwa ketersediaan peta
merupakan salah satu alat penunjang untuk memberikan jaminan kepastian
hukum terhadap hak-hak atas tanah, disamping data yuridis lainnya sebagai
penunjang yang sangat penting.
Dalam pendaftaran tanah, sebagai upaya untuk mewujudkan kepastian
hak dibidang pertanahan, Pemerintah berdasarkan UUPA pasal 19 diwajibkan
untuk mengadakan pendaftaran tanah diseluruh Indonesia dalam pasal 23, 24
dan 48 UUPA selain pemerintah juga pemegang hak atas tanah tersebut,
dimana kepastian hukum tersebut meliputi tiga hal yaitu :
1. Kepastian mengenai subjek hak yaitu kepastian hukum mengenai
orang/badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah, jika
pendaftaran tanah sudah dapat dilaksanakan dengan baik dan tertib,
maka melalui daftar tanah/buku tanah dapat dengan mudah diketahui
siapa pemegang hak atas suatu bidang tanah tertentu. Hal ini akan
memberikan kepastian hukum, pertama-tama bagi pemegang hak itu
sendiri, bagi pihak lain yang mempunyai kepentingan atas tanah
tersebut misalnya pihak yang akan membeli tanah yang bersangkutan
atau pihak yang akan meminjamkan uang dengan hak atas tanah
sebagai jaminan, pihak tersebut memperoleh jaminan kepastian
hukum bahwa dia akan membeli tanah atau akan memperoleh hak
atas tanah sebagai jaminan pinjaman yang akan diberikan, dari orang
yang betul-betul mempunyai hak dan mempunyai kewenangan untuk
menjual atau menjaminkan tanah yang bersangkutan;
15
2. Kepastian hukum mengenai objek hak yaitu kepastian mengenai
tanahnya itu sendiri yang meliputi letak tanah secara pasti, batas-
batasnya yang jelas, dan luas bidang tanah, jaminan kepastian hukum
mengenai objek ini sama pentingnya dengan jaminan kepastian
hukum mengenai subjek;
3. Kepastian hukum mengenai hak yang melekat atas tanah tersebut
yang menjadi alas hubungan hukum antara subjek hukum dengan
objek hukum. Jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah yang
melekat ini penting karena tidak semua hak atas tanah dapat dimiliki
oleh subjek hukum tertentu atau tidak boleh dipindah tangankan atau
tidak boleh dibebani dengan hak tanggungan.
Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah yang baik dan benar serta teliti
dapat memberikan jaminan kepastian hukum terhadap kepemilikan hak atas
tanah apabila dipenuhi tiga syarat yaitu :
a. Peta-peta pemilikan tanahnya/peta kadaster dapat dipakai untuk
rekonstruksi;
b. Daftar umum yaitu; daftar tanah, daftar nama, daftar surat ukur
serta buku tanah dapat membuktikan pemegang hak yang sah
menurut hukum;
c. Setiap hak atas tanah dan perbuatan hukumnya harus didaftar.
16
BAB IV
ANALISIS
A. Kekuatan Hukum Sertifikat Hak atas Tanah
Daftar-daftar umum yang diselenggarakan dalam rangka pendaftaran
tanah dalam suatu Negara menetapkan apakah penerbitan sertifikat dapat
memberikan kekuatan bukti atau tidak. Hal ini dapat dilihat dari system
pendaftaran tanah yang dianutnya. Ada dua system pendaftaran tanah, yaitu:
1. System Pendaftaran tanah Positif
System positif jika daftar-daftar umum mempunyai kekuatan bukti,
sehingga terdaftarnya seseorang dalam daftar umum sebagai
pemegang hak membuktikan orang tersebut adalah pemegang hak
yang sah menurut hukum. System positif ini dianut antara lain di
Jerman dan Australia.
2. Sistem Pendaftaran Tanah Negatif
Sistem Negatif tidak memberikan kekuatan bukti pada daftar-daftar
umum pendaftaran tanah, artinya terdaftarnya seseorang tidak
membuktikan orang itu sebagai pemegang hak yang sah menurut
hukum. System negatif ini antara lain dianut di Indonesia.
Sistem pendaftaran tanah negatif ini terbentuk karena pengaruh asas
hukum yang dianut di dalam peralihan hak atas tanah yaitu Asas Nemo Plus
17
Juris, artinya orang tidak dapat mengalihkan hak yang melebihi hak yang ada
padanya, yang tujuannya adalah melindungi pemegang hak yang sebenarnya
terhadap tindakan orang lain yang mengalihkan hak tanpa
sepengetahuannya. Dengan berlakunya asas peralihan hak ini, maka tidak
memberikan kekuatan hukum pada daftar-daftar umum penyelenggaran
pendaftaran tanah.
Untuk mengetahui sejauh mana kekuatan hukum sertifikat hak atas
tanah, maka dapat dilihat dari sifat pendaftaran tanah yang diselenggarakan
di Indonesia yaitu bertujuan untuk menjamin kepastian hukum. Jaminan
kepastian hukum adalah untuk menghindari terjadinya penerbitan sertifikat
tanah bukan kepada orang yang berhak. Sehubungan dengan sifat
pendaftaran tanah tersebut, maka UUPA dalam pelaksanaan pendaftaran
tanah menganut system negatif, yaitu segala apa yang tercantum dalam
sertifikat tanah adalah benar sampai dapat dibuktikan keadaan sebaliknya di
muka pengadilan.
Undang-undang Pokok Agraria menegaskan system negatif ini
bertendensi positif sebagaimana tercantum dalam pasal 19 ayat (2) huruf c
bahwa surat- surat tanda bukti hak yang diberikan itu berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat dalam system negatif adalah berarti tidak mutlak,
sehingga sertifikat tanah masih mungkin dibatalkan sepanjang ada
pembuktian sebaliknya yang menyatakan ketidaksahan sertifikat tanah
tersebut. Dengan demikian sertifikat tanah bukanlah satu-satunya surat bukti
pemegang hak atas tanah, oleh karena masih dimungkinkan ada lagi bukti-
bukti lain tentang pemegang hak atas tanah tersebut.
18
Pendaftaran tanah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24
tahun 1997 sebagaimana yang telah diperintahkan Undang-undang Pokok
Agraria menggunakan system negatif bertendensi positif. Hal ini merupakan
pernyataan pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-undang Pokok Agraria yang
menyatakan bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai
alat bukti yang kuat dan dalam pasal 23, 32 dan 38 UUPA bahwa pendaftaran
tanah sebagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat.
Walaupun bersifat negatif akan tetapi penyajian dan pengumpulan data fisik
serta data yuridis serta penerbitan serifikat hak atas tanah tampak jelas usaha
untuk memperoleh dan menyajikan data yang benar karena pendaftaran
tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum.
Sehubungan dengan maksud tersebut, maka diadakanlah ketentuan
pasal 32 ayat (2) Peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 yang berbunyi
sebagai berikut :
“Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.”
Tujuan dari pencantuman pasal ini, pada satu pihak tetap berpegang
pada system pendaftaran tanah negatif dan pada pihak lain untuk secara
seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang beritikad baik
menguasai bidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku
Tanah dengan sertifikat sebagai tanda buktinya yang menurut Undang-
undang Pokok Agraria berlaku sebagai alat bukti yang kuat.
19
Berlakunya system pendaftaran tanah yang negatif, memiliki
kelemahan karena pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak
dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan
dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah tersebut.
B. Upaya - upaya yang dilakukan dalam rangka menjamin kepastian
hukum
Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga Pemerintah Non
Departemen yang bertanggung jawab dalam mengelola pertanahan salah
satunya sebagai penyelenggara pendaftaran tanah harus benar-benar
menyelenggarakan dan mempertanggung jawabkan hasilnya sehingga
dapat memberikan kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah.
Untuk mencapai hal tersebut telah berupaya untuk memberikan jaminan
kepastian hukum dengan melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
1. Pengukuran dan pemetaan seluruh bidang-bidang tanah.
Bahwa dalam rangka kegiatan penyelenggaraan pendaftaran
tanah sudah barang tentu dibutuhkan infrastruktur berupa peta dasar
pendaftaran dan peta pendaftaran yang memuat informasi batas-batas
bidang tanah yang merupakan hasil pemetaan dan pengukuran.
Bahwa dalam rangka mempercepat pengukuran dan pemetaan
Pemerintah telah mengambil kebijaksanaan untuk menyerahkan
pekerjaan ini kepada pihak swasta dengan supervisi dari Badan
Pertanahan Nasional yaitu dengan adanya surveyor berlisensi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1998, hal ini dimaksudkan
20
untuk dapat memanfaatkan semua potensi yang ada di masyarakat
dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia.
Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah khususnya pengukuran
dan pemetaan dalam memasuki suatu revolusi teknologi. Badan
Pertanahan Nasional telah memanfaatkan teknologi di bidang
pengukuran dan pemetaan seperti teknologi Citra satelit, Ikonos,
pemotretan udara dan Global Positioning System (GPS). Dengan
menggunakan teknologi GPS ini kinerja pengukuran akan lebih efisien
dengan fleksibilitas tinggi, karena teknologi ini tidak terpengaruh oleh
waktu dan cuaca.
Penyelenggaraan sistem informasi Kantor Pertanahan Nasional
dalam rangka Peningkatan Efisiensi Pelayanan Pertanahan
sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1998. Data Kantor Pertanahan
yang telah menggunakan program-program komputerisasi sampai
dengan tahun 2001 telah dilaksanakan sistem komputerisasi di 74
Kantor Pertanahan (termasuk Badan Pertanahan Nasional) di seluruh
Indonesia, pengadaan komputerisasi dilaksanakan secara bertahap hal
ini disesuaikan dengan ketersediaan dana, dengan menggunakan
sistem komputerisasi maka pelayanan pertanahan akan memberikan
kemudahan kepada pihak-pihak yang membutuhkan data pertanahan.
Selain hal tersebut dalam rangka untuk memberikan jaminan
kepastian hukum Badan Pertanahan Nasional telah mengadakan
kerjasama dengan Direktorat Jenderal Pajak. Perjanjian kerjasama
dalam rangka peningkatan kegiatan administrasi pertanahan dan
21
perpajakan melalui tukar-menukar data dan pemanfaatan bersama
yang meliputi baik data spasial dan data tekstual yang dituangkan
dalam surat perjanjian kerjasama Kep-126/PJ/2003 dan Nomor
2/SKB/Badan Pertanahan Nasional/2003 tanggal 21 April 2003,
adapun data yang dimaksud adalah berupa :
1) Data Perpajakan berupa :
a. Peta desa/kelurahan;
b. Peta blok;
c. Peta Zona nilai tambah;
d. Daftar hasil rekaman;
e. Data spasial maupun tekstual lainnya yang dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan administrasi pertanahan.
2) Data Pertanahan yang dimaksud berupa :
a. Peta dasar pertanahan;
b. Peta pendaftaran;
c. Daftar tanah;
d. Daftar mutasi pemilikan dan pembebanan tanah;
e. Peta tata guna;
f. Titik dasar teknik;
g. Daftar harga ganti rugi tanah dan harga dasar tanah;
h. Daftar hak;
i. Data lainnya yang diperlukan.
2. Penilaian alat bukti untuk pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali,
baik untuk hak-hak lama maupun untuk hak-hak baru perlu diadakan
penelitian secara cermat dan teliti karena ketidak cermatan dalam
22
menilai alat bukti sebagai dasar dalam penerbitan sertifikat akan
mengakibatkan sertifikat yang diterbitkan cacat hukum, adanya
pengumuman yang bersifat terbuka sebelum diterbitkan sertifikat
merupakan hal yang sangat penting dan harus benar-benar
dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui
adanya pensertifikatan sehingga apabila ada yang merasa keberatan
dapat diantisipasi sedini mungkin sebelum terjadi sengketa.
3. Pemeliharaan dan pendaftaran tanah harus betul-betul diperhatikan,
agar setiap adanya perubahan dapat dilayani dengan cepat, sehingga
pemegang hak yang berkepentingan yang akan mengadakan
perubahan baik itu data fisik maupun data yuridis akan merasakan arti
pentingnya kepastian hukum.
Bahwa pendaftaran tanah yang diselenggarakan secara baik menjadi
dasar dan perwujudan dari tertib administrasi di bidang pertanahan,
administrasi pertanahan yang dikelola secara tertib adalah merupakan
harapan dari diadakannya pendaftaran tanah menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Dengan adanya administrasi
pertanahan yang tertib dan mutahir, maka baik anggota masyarakat
maupun Pemerintah dapat dengan mudah memperoleh data yang
diperlukan untuk melakukan perbuatan hukum ataupun perencanaan atas
bidang-bidang tanah secara cepat dan tepat.
Bahwa salah satu sumber bagi pemutahiran data pendaftaran tanah
adalah akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, karena demi
pemutahiran data pendaftaran tanah yang ada pada Kantor Pertanahan.
Dalam pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mewajibkan
23
setiap pemegang dari hak yang terdaftar untuk mendaftarkan setiap
pengubahan data fisik dari bidang tanahnya (misalnya karena pemecahan,
pemisahan, ataupun penggabungan) maupun pengubahan data yuridis
dari hak atas tanahnya (misalnya karena diadakan pemindahan ataupun
pembebanan hak).
Dengan demikian peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dituntut untuk
mempunyai kemampuan teknis yang tinggi untuk dapat menjalankan
profesinya dengan sebaik-baiknya karena ketetapan, kepastian dan
kebenaran informasi yang tertuang dalam akta yang dibuat sangat
menentukan, karena akta PPAT merupakan perantara bagi proses
pendaftaran pemindahan hak dan pemberian kepastian dan perlindungan
terhadap hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat.
24
BAB V
KESIMPULAN
Dari apa yang telah dibahas pada Bab-bab tersebut diatas, maka dapatlah
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan pasal 19 UUPA dan peraturan Pemerintah Nomor 24
tahun 1997 bahwa diadakannya pendaftaran tanah adalah untuk
memberikan kepastian hukum dan sertifikat berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat, karena asas yang dianut adalah asas negative.
Ini tercermin dalam pernyataan pasal 19 UUPA bahwa sertifikat adalah
sebagai alat pembuktian yang kuat. Berbeda dengan system positif,
yang menghasilkan sertifikat sebagai alat pembuktian yang mutlak
sebagai satu- satunya alat pembuktian. Dengan demikian sertifikat
tersebut hanya dipandang sebagai suatu bukti permulaan saja, belum
menjadi sertifikat sebagai suatu yang final sebagai bukti hak tanahnya.
Jika menganut asas positif, maka sertifikat merupakan satu-satunya
alat pembuktian;
2. Sertifikat sebagai tanda bukti hak kepemilikan hak-hak atas tanah
dapat memberikan jaminan kepastian hukum yang kuat apabila tidak
ada pihak-pihak yang mengajukan gugatan terhadap hak-hak tersebut,
25
kecuali bilamana dibuktikan sebaliknya siapa yang berhak terhadap
kepemilikan hak atas tanah tersebut. Apabila hak tersebut oleh pemilik
yang digugat dapat mempertahankan haknya dan setelah diuji didepan
pengadilan baik mengenai prosedur pembuatannya maupun materi
kepemilikannya bahwa benar pemegang hak yang namanya tercantum
didalam sertifikat adalah yang benar-benar pemilik, maka sertifikat
tersebut betul-betul mempunyai kepastian hukum sebagai alat bukti
yang kuat;
3. Upaya yang dilakukan agar pendaftaran tanah mempunyai kepastian
hukum agar ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 adalah dengan adanya pembatasan kepada
seseorang untuk mengajukan gugatan terhadap kepemilikan hak atas
tanah yang sudah bersertifikat dapat dilaksanakan secara konsekuen
baik oleh lembaga Badan Pertanahan Nasional sebagai pengelolaan
bidang pertanahan maupun Lembaga Peradilan sehingga dengan
adanya ketentuan tersebut maka jaminan kepastian hukum dapat
dirasakan.
26
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku :
Boedi Harsono , Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pemmbentukan Undang-Undang Pokok Agraria isi dan pelaksanaannya, Djembatan, Jakarta, 1977;
_____________, Himpunan Peraturan Perundangan Agraria, Edisi Revisi, Djembatan, Jakarta, 2002.
Parlindungan A.P,Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah, Mandar Maju, Bandung, 1991.
______________,Komentar Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1998.
_____________, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung 1999.
B. Majalah :
Badan Pertanahan Nasional, Bhumi Bakti, No. 19 Tahun 1999.
C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
Peraturan P:emerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah;
27
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Badan Pertanahan Nasional.
28
top related