penggunaan metildopa pada ibu hamil dengan hipertensi kronik
Post on 15-Apr-2016
232 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PENGGUNAAN METILDOPA PADA IBU HAMIL
DENGAN HIPERTENSI KRONIK
Oleh: Dessy Roseta Wijaya, S.Farm (078115047)
Masa kehamilan adalah kondisi yang memerlukan perhatian khusus akan kesehatan ibu dan janin
atau bayi. Salah satu penyakit yang perlu diwaspadai adalah hipertensi. Hipertensi merupakan
penyakit umum yang didefinisikan secara sederhana sebagai peningkatan tekanan darah.
Penyakit tersebut dapat menjadi penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian baik pada ibu
dan janin/ bayi yang dilahirkan. Wanita hamil dengan hipertensi memiliki resiko terjadinya
komplikasi lebih, seperti penyakit pembuluh darah dan organ, sedangkan janin atau bayi berisiko
terkena komplikasi penghambatan pertumbuhan. Oleh karena itu, perlu adanya penatalaksanaan
khusus pada ibu hamil.
Sebagian besar ibu hamil tidak menyadari bahwa mereka mengalami hipertensi karena ibu hamil
terlihat sehat dan tidak menunjukkan gejala yang spesifik. Oleh karena itu diperlukan monitoring
terhadap tekanan darah, yang dapat diukur menggunakan tensimeter. Pada kehamilan normal
tekanan sistolik sedikit berubah, sedangkan tekanan diastolik menurun kurang lebih 10 mmHg
pada awal kehamilan (minggu ke 13-20) dan akan naik kembali pada trimester ketiga. Hipertensi
pada kehamilan digambarkan sebagai kondisi dengan variasi tekanan darah yang besar. Dalam
melakukan penatalaksanaan ini, perlu dipahami klasifikasi hipertensi pada kehamilan. Menurut
laporan National High Blood Pressure Education Program Working Group tahun 2000 tentang
hipertensi pada kehamilan, terdapat klasifikasi hipertensi pada ibu hamil yaitu hipertensi kronik,
hipertensi gestasional, dan preeklamsia.
Diagnosis hipertensi kronik didasarkan pada riwayat hipertensi sebelum kehamilan atau
kenaikan tekanan darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg sebelum kehamilan minggu
ke-20 dengan minimal dua kali pengukuran menunjukkan hasil yang relatif sama. Hipertensi
kronik sendiri dibagi menjadi dua yaitu hipertensi kronik ringan dengan tekanan diastolik kurang
dari 110 mmHg dan hipertensi kronik parah dengan tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih.
Wanita hamil dengan hipertensi kronik ini dapat meningkatkan resiko terjadinya preeklamsia,
pengasaran plasenta, morbiditas dan mortalitas bayi, penyakit kardiovaskuler dan ginjal.
Hipertensi gestasional sendiri merupakan perkembangan peningkatan tekanan darah lebih besar
atau sama dengan 140/90 mmHg tanpa gejala preeklamsia, setelah kehamilan minggu ke-20.
Umumnya tekanan darah akan kembali normal tanpa terapi obat. Preeklamsia digambarkan
sebagai kejadian hipertensi, udem, dan proteinuria (protein dalam urin) setelah kehamilan
minggu ke-20 dengan tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg. Preeklamsia dapat dibagi menjadi
preeklamsia ringan dan parah. Preeklamsia disebabkan oleh kegagalan perpindahan
trompoblastik ke arteri uterus sehingga terjadi kerusakan pada plasenta dan kegagalan adaptasi
sistem kardiovaskuler (peningkatan volume plasma dan penurunan resistensi pembuluh
sistemik). Perubahan tersebut menyebabkan pengurangan perfusi pada plasenta, ginjal, liver, dan
otak. Resiko preeklamsia pada ibu hamil adalah kejang, hemoragi otak, pengasaran plasenta,
udem pada paru, gagal ginjal, hemoragi hati dan kematian. Pada bayi dapat beresiko
pertumbuhan yang lambat, hipoksemia, asidosis, prematur, dan kematian.
Oleh karena hipertensi kronik ini dapat berkembang menjadi preeklamsia atau lebih parah,
maka deteksi dini dan pengobatan pada keadaan ini diperlukan. Sasaran terapi dalam
pengobatan hipertensi kronik pada kehamilan adalah tekanan darah. Tujuan terapi adalah untuk
menurunkan tekanan darah pada level tekanan darah diastolik dibawah 110 mmHg, yang akan
mengurangi morbiditas dan mortalitas, menurunkan insiden preeklamsia, pengasaran plasenta,
kematian janin/ bayi dan ibu, komplikasi strok dan kardiovaskuler. Strategi terapi dapat
dilakukan dengan terapi nonfarmakologi maupun terapi farmakologi. Terapi nonfarmakologis
merupakan terapi tanpa obat yang umum dilakukan pada wanita hamil, terutama pada hipertensi
kronik ringan (tekanan diastolik kurang dari 110 mmHg). Penatalaksanaan yang dilakukan antara
lain pembatasan aktivitas, banyak istirahat, pengawasan ketat, pembatasan konsumsi garam,
mengurangi makan makanan berlemak, tidak merokok, dan menghindari minuman beralkohol.
Terapi farmakologis dapat dilakukan dengan penggunaan obat-obatan antihipertensi golongan
α2-agonis sentral (metildopa), β-bloker (labetalol), vasodilator (hidralazin), dan diuretik (tiazid).
Obat antihipertensi golongan Angiotensin-Converting Enzym Inhibitor (ACE Inhibitor) dan
Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs) mutlak dikontraindikasikan pada ibu hamil dengan
hipertensi. Meskipun ACE Inhibitor dan ARBs memiliki factor resiko kategori C pada kehamilan
trimester satu, dan kategori D pada trimester dua dan tiga, namun obat tersebut berpotensi
menyebabkan tetatogenik.
Dari beberapa obat yang telah disebutkan diatas, metildopa merupakan obat pilihan
utama untuk hipertensi kronik parah pada kehamilan (tekanan diastolik lebih dari 110 mmHg)
yang dapat menstabilkan aliran darah uteroplasenta dan hemodinamik janin. Obat ini termasuk
golongan α2-agonis sentral yang mempunyai mekanisme kerja dengan menstimulasi reseptor α2-
adrenergik di otak. Stimulasi ini akan mengurangi aliran simpatik dari pusat vasomotor di otak.
Pengurangan aktivitas simpatik dengan perubahan parasimpatik akan menurunkan denyut
jantung, cardiac output, resistensi perifer, aktivitas renin plasma, dan refleks baroreseptor.
Metildopa aman bagi ibu dan anak, dimana telah digunakan dalam jangka waktu yang lama dan
belum ada laporan efek samping pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Metildopa
memiliki faktor resiko B pada kehamilan.
Metildopa
Nama Dagang: Dopamet (Alpharma) tablet salut selaput 250 mg, Medopa (Armoxindo) tablet
salut selaput 250 mg, Tensipas (Kalbe Farma) tablet salut selaput 125 mg, 250
mg, Hyperpax (Soho) tablet salut selaput 100 mg
Indikasi: Hipertensi, bersama dengan diuretika, krisis hipertensi jika tidak diperlukan efek
segera.
Kontraindikasi: depresi, penyakit hati aktif, feokromositoma, porfiria, dan hipersensitifitas
Efek samping: mulut kering, sedasi, depresi, mengantuk, diare, retensi cairan, kerusakan hati,
anemia hemolitika, sindrom mirip lupus eritematosus, parkinsonismus, ruam kulit,
dan hidung tersumbat
Peringatan: mempengaruhi hasil uji laboratorium, menurunkan dosis awal pada gagal ginjal,
disarqankan untuk melaksanakan hitung darah dan uji fungsi hati, riwayat depresi
Dosis dan aturan pakai: oral 250mg 2 kali sehari setelah makan, dosis maksimal 4g/hari, infus
intravena 250-500 mg diulangi setelah enam jam jika diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000, IONI (Informatorium Obat Nasional Indonesia) 2000, 47-49, 57, DepKes RI,
Jakarta
Anonim, 2007, ISO (Informasi Spesialite Obat Indonesia) Volume 42, Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia, Jakarta
Lacy, C.F., et all, 2006, Drug Information Hanbook 14th edition, 1034, 1921, Lexi
Company,USA
Saseen, J.J, dan Carter, B.L., 2005, Hypertension, in DiPiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M., (Eds.), Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 6th Edition, 202-210, McGraw-Hill Companies, USA
Sibai, B.M., 1996, “Treatment of Hypertension in Pregnant Women”, The New England Journal of Medicine, Volume 335, 257-265
Sibai, B.M., dan Chames, M., 2003, “Treatment of Hypertension in Pregnant Women”, The
Journal of Family Practice, Volume 15
Rubin, P., 1998, “Drug treatment during pregnancy”, British Medical Journal, 1-7
top related