pengembangan model pendidikan multikulturalisme untuk anak usia sekolah
Post on 16-Apr-2017
6.620 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Pengembangan Model Pendidikan
Multikulturalisme Untuk Anak Usia Sekolah:
Menggunakan Seri Pustaka Anak Nusantara
(Laporan Penelitian, 2006)
Penulis: Murniati Agustian, Maria G. Da Cunha, Syarief Darmoyo, dan M. Tri
Warmiyati
Abstrak:
Penelitian aksi ini bertujuan untuk mengembangkan suatu model pendidikan
multikulturalisme dengan mengintegrasikan buku seri PAN dengan kurikulum
sekolah di sekolah dasar. Dalam model ini siswa diperkenalkan kekayaan ragam
budaya anak-anak di propinsi Jambi dan Maluku sehingga siswa memiliki sikap
toleransi, solider, empati, musyawarah, egaliter, mau mengungkapkan diri, dan
adil.
Desain yang digunakan dalam pengembangan model ini adalah modifikasi model
Dick & Carey (1996) dan Atwi Suparman (1997). Ada tiga tahap kegiatan dalam
pengembangan model yaitu persiapan, implementasi, dan evaluasi. Implementasi
dan evaluasi dikelompokkan menjadi 4 putaran. Setiap putaran melibatkan 2 SD
yang terdiri atas 1 SD Negeri dan 1 SD Swasta berbasis agama. Pada setiap akhir
putaran dilakukan evaluasi model, berdasarkan evaluasi model direvisi untuk
putaran kedua. Begitu selanjutnya sampai putaran ke-empat.
Pengembangan model pendidikan multikultural dilakukan selama 10 bulan,
melibatkan 8 sekolah (4 SD negri dan 4 SD swasta berbasis agama), 16 orang
guru dan 409 siswa. Syarat minimal sekolah yang terlibat adalah: kepala sekolah
mendukung, guru inovatif, dan sekolah mempunyai peralatan VCD dan TV
monitor.
Hasil dari pre test siswa terlihat bahwa sebagian besar siswa (99%) tidak
mengetahui kehidupan anak suku dalam di Propinsi Jambi dan kehidupan anak-
anak di pengungsian kota Tual, Propinsi Maluku. Sebagian kecil siswa yang
mengetahui diduga melihat dari siaran televisi. Dari hasil post test terlihat jelas
bahwa pengetahuan anak meningkat sesuai dengan apa yang diharapkan dalam
model. Nilai-nilai multikultural yang harus dikembangkan seperti toleransi,
empati, solider, pengungkapan diri, dan keadilan jelas terungkap dari post tes
siswa.
Buku pedoman yang dikembangkan dengan menggunakan Seri PAN, mudah
dipahami dan dapat diintegrasikan dengan semua bidang studi sehingga bisa
menjadi tema dalam model pembelajaran tematik.
Strategi pembelajaran yang dibuat sangat menarik dan bermanfaat bagi guru dan
siswa. Selama ini pembelajaran dilakukan dengan cara yang konvensional
terutama untuk ilmu-ilmu sosial. Hanya pelajaran IPA yang memiliki media yang
menarik sehingga anak-anak kurang berminat pada pelajaran IPS. Dengan model
ini siswa melihat secara kongkrit, aktif bermain dan diskusi dalam kelompok
sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan.
Buku pedoman bagi fasilitator anak dapat dipahami dan digunakan untuk
memandu diskusi. Pelatihan fasilitator sebaya membuat anak lebih berani, percaya
diri, dan bisa menjadi contoh bagi teman-temannya.
Pelatihan anak dengan metode bermain, menonton VCD dan diskusi dapat
membuat anak lebih berani tampil di depan umum, percaya diri, dapat menghargai
orang lain, dan dapat melihat kekurangan diri.
Event sangat efektif untuk membentuk kerja sama siswa, mengekspresikan
perasaan siswa, dan siswa dapat memberikan apresiasi terhadap karya orang lain.
Nilai-nilai yang diajarkan dalam model pendidikan multikultural ini dapat
diterapkan oleh siswa dalam kegiatan sehari-hari.
Guru yang terlibat dan siswa yang menjadi fasilitator sebaya menyarankan agar
model ini diterapkan juga kepada siswa di sekolah lain agar siswa di SD yang lain
dapat menghargai temannya yang berasal dari suku lain, dan mengetahui bahwa di
Indonesia terdapat bermacam-macam suku bangsa, sehingga tidak terjadi lagi
konflik antar agama atau suku.
Berdasarkan hasil pengembangan model maka tim peneliti merekomendasikan
bahwa model ini dapat dijadikan acuan untuk pendidikan multikulturalisme di
sekolah dasar. Oleh karena itu model ini sebaiknya disosialisasikan dan diterapkan
di sekolah dasar yang lain dengan prioritas di daerah konflik dan berpotensi
konflik. Sosialisasi dan pelatihan untuk sekolah dasar lain dapat dilakukan melalui
Departemen Pendidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, atau Dinas
Pendidikan, atau kelompok kerja guru.
Pendidikan Multikultural di IndonesiaPendidikan multi kultural di Indonesia lebih bersifat antar etnis yang kecil dalam
suatu bangsa. Hal ini sebenarnya dapat menjadi modal yang kuat bagi
keberhasilan pelaksanaan pendidikan multikultural. Semangat Sumpah Pemuda
dapat menjadi ruh yang kuat untuk mempersatukan warga negara Indonesia yang
berbeda budaya. Sebelum era reformasi masyarakat takut untuk berbeda pendapat
karena kemerdekaan mengeluarkan pendapat tidak mendapatkan tempat dan
kebebasana berpikir juga terbatas. Di dalam konteks perkembangan sistem politik
Indonesia saat ini pilihan perpektif pendidikan yang demikian memiliki peluang
yang besar dan diperlukan sebagai landasan politik yang kuat. Pendidikan
multikultural sangat menekankan pentingnya akomodasi kebudayaan dan
masyarakat sub-nasional untuk memelihara den mempertahankan identitas
kebudayaan dan masyarakat nasional. Nasikun menyampaikan bahwa ada tiga
perspektif multikulturalisme di dalam sistem pendidikan, antara lain :
a. Perspektif cultural assimilation, merupakan suatu model transisi di dalam
sistem pendidikan yang menunjukkan proses asimilasi peserta didik dari berbagai
kebudayaan ke dalam sutau masyarakat.
b. Perspektif cultural pluralism, merupakan suatu sistem pendidikan yang lebih
mementingkan akan pentingnya hak bagi seluruh masyarakat beserta
kebudayaannya untuk memelihara dan mempertahankan identitas kebudayaan
masing-masing.
c. Perspektif cultural synthesis, merupakan gabungan dari kedua perspektif diatas.
Pilihan perspektif pendidikan sintesis multikultural memiliki rasional yang paling
dasar di dalam hakekat tujuan suatu pendidikan multikultural, yang dapat
didefinisikan melalui tiga tujuan, yaitu:
Tujuan attitudinal : menyamai dan mengembangkan sensitivitas kultural,
toleransi kultural, penghormatan pada identitas kultural, pengembangan sikap
budaya responsif dan keahlian untuk melakukan penolakan dan resolusi konflik.
Tujuan kognitif : pencapaian kemampuan akademik, pengembangan
pengetahuan tentang kemajemukan kebudayaan, kompetensi untuk melakukan
analisis dan interpretasi perilaku kultural, dan kemampuan membangun kesadaran
kritis tentang kebudayaannya sendiri.
Tujuan instruksional : mengembangkan kemampuan untuk melakukan koeksi
atas efek-efek, stereotipe-stereotipe, peniadaan-peniadaan, dan mis-informasi
tentang kelompok etnis dan kultural yang dimuat dalam buku ataupun media
pembelajaran, menyediakan strategi-strategi untuk melakukan hidup di dalam
kehidupan multikultural, mengembangkan ketrampilan-ketrampilan komunikasi
interpersonal.
Implementasi Pendidikan Multikultural
Banks mengemukakan empat pendekatan yang mengintegrasikan materi
pendidikan multikultural ke dalam kurikulum maupun pembelajaran di sekolah
yang relevan untuk diterapkan di Indonesia, antara lain :
1. Pendekatan kontribusi
Pendekatan ini yang paling sering dilakukan dan paling luas apabila dipakai dalam
tahap pertama dari kebangkitan etnis. Pendekatan ini lebih tepat apabila
diterapkan di siswa TK SD kelas satu, dua, tiga karena tujuan dari pendekatan ini
adalah untuk menanamkan pada siswanya bahwa kehidupan manusia ini antara
suatu tempat dengan tempat lainnya sangat beragam. Misalnya: mengenalkan
kebudayaan yang dimiliki oleh tiap-tiap daerah hingga negara lain.
2. Pendekatan aditif
Pada tahap ini dilakukan penambahan materi, konsep, tema, perpektif terhadap
kurikulum tanpa mengubah struktur, tujuan, dan karakteristik dasarnya.
Pendekatan ini lebih tepat apabila diterapkan di siswa SD kelas empat, lima, dan
enam, serta SMP karena mereka sudah mulai memahami makna. Misalnya:
memutarkan CD tentang kehidupan berbudaya dari daaerah-daerah sampai negara
yang berbeda.
3. Pendekatan transformasi
Pendekatan ini mengubah asumsi dasar kurikkulum dan menumbuhkan
kompetensi dasar siswa dengan memperhatikan konsep, isu, tema, dan
permasalahan dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis. Pendekatan ini
lebih tepat apabila diterapkan di sekolah lanjutan karena siswa pada jenjang ini
sudah memiliki sudut pandang tentang sesuatu yang ada. Misalnya: siswa
dibiasakan untuk berpendapat sesuai dengan jalan pikiran mereka masing-masing.
4. Pendekatan aksi sosial
Pendekatan ini mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi, namun
menambah komponen yang mempersyaratkan siswa membuat aksi yang berkaitan
dengan konsep, isu, atau permasalahan yang dipelajari. Pendekatan ini lebih tepat
apabila diterapkan di perguruan tinggi baik untuk kajian dalam kelas atau
organisasi kemahasiswaan. Misalnya: mengkaji kebijakan yang dianggap kurang
efektif, kurang adil, dan diskriminatif.
Sumber : Seminar Regional Program Studi Pendidikan Sosiologi Universitas
Negeri Yogyakrta dengan tema Pendidikan Multikultural sebagai Sarana
Membentuk Karakter Bangsa
top related