pengaruh komisaris independen, komite...
Post on 07-Mar-2019
243 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN, KOMITE MANAJEMEN RISIKO,
REPUTASI AUDITOR DAN KONSENTRASI KEPEMILIKAN TERHADAP
PENGUNGKAPAN ENTERPRISE RISK MANAGEMENT
(DIMENSI COSO ERM FRAMEWORK)
( Studi Empiris pada Perusahaan Nonfinancial yang Terdaftar di Bursa Efek
Indonesia Periode Tahun 2009-2011 )
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ekonomi
Oleh :
Enesti Eka Putri
NIM : 109082000200
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013 M / 1434 H
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Enesti Eka Putri
2. Tempat & Tanggal Lahir : Sukoharjo, 19Agustus1991
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Alamat : Jalan Cipulir II RT/RW. 009/004 No. 32,
Cipulir, Kebayoran Lama, Jaksel
6. Telepon : 08999158330/ (021) 7267038
7. Email : miss_deyn@yahoo.com
II. PENDIDIKAN FORMAL
1997-2003 : SD Negeri 04 Kartasura Jateng
2003-2006 : SMP Negeri 2Surakarta Jateng
2006-2009 : SMK Muhammadiyah 09 Jakarta
2009-2013 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Akuntansi
III.PENGALAMAN ORGANISASI
1. Anggota ektrakurikuler Mading SMP Negeri 2 Surakarta
2. Anggota Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) SMK Muhammadiyah 09
Jakarta periode 2006-2009
3. Anggota KBA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
vii
ABSTRACT
The purpose of this research is to determine the influences of independent
commissioners, existence of risk management committee, auditor reputation and
concentrated ownership toward Enterprise Risk Management (ERM)
implementation in nonfinancial companies listed in Indonesia Stock Exchange
from 2009 to 2011. The sampling method in this research is purposive sampling
with 123 companies as population and 41 companies as samples. The ERM
practice is measured based on ERM index, which considers the eight dimension of
ERM by COSO framework.
This research uses multiple regression linear analysis method. The analysis
technique used in this research is assumption classic test, the hypothesis F-
statistic to test the effect together with the 5% confidence level and using the t-
statistics for testing the partial regression coefficient. The result of this research
that simultaneously independent commissioners, existence of risk management
committee, auditor reputation and concentrated ownership (P = 0.000 < α = 0.05)
had significant influence toward the disclosure of enterprise risk management by
COSO ERM framework. While partially risk management committee, auditor
reputation (P = 0.000 < α = 0.05) and concentrated ownership (P = 0.040 < α =
0.05) had significant influence toward the disclosure of enterprise risk
management but independent commissioners (P = 0.855 > α = 0.05) did not have
significant influence toward the disclosure of enterprise risk management.
Keywords: independent commissioners, risk management committee, auditor
reputation, concentrated ownership and disclosure of enterprise risk
management (ERM)
viii
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh komisaris
independen, keberadaan komite manajemen risiko, reputasi auditor dan
konsentrasi kepemilikan terhadap implementasi manajemen risiko perusahaan
(ERM) pada perusahaan nonfinansial yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
tahun 2009-2011. Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling dengan
jumlah populasi sebesar 123 perusahaan dan sampel sebesar 41 perusahaan.
Penerapan ERM diukur berdasarkan indeks ERM dengan mempertimbangkan
delapan dimensi COSO ERM framework. Teknik analisis yang digunakan pada
penelitian ini adalah uji asumsi klasik, uji hipotesis F-statistik untuk menguji
pengaruh secara bersama-sama dengan tingkat kepercayaan 5% serta
menggunakan t-statistik untuk menguji koefisien regresi parsial. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa secara simultan komisaris independen, komite manajemen
risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan (P = 0.000 < α = 0.05)
berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan ERM dengan COSO ERM
framework. Sementara secara parsial komite manajemen risiko, reputasi auditor (P
= 0.000 < α = 0.05) dan konsentrasi kepemilikan (P = 0.040 < α = 0.05)
berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan ERM, sedangkan komisaris
independen (P = 0.855 > α = 0.05) tidak berpengaruh signifikan terhadap
pengungkapan ERM.
Kata Kunci : komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor,
konsentrasi kepemilikan dan pengungkapan manajemen risiko
perusahaan (ERM)
ix
KATA PENGANTAR
Al ‘ilmu bilaa ‘amalin kaassyajarin bilaa tsamarin
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Segala puji dan syukur hanya bagi ALLAH
SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kita
semua karena hanya dengan ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Pengaruh Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko,
Reputasi Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan Terhadap Pengungkapan
Enterprise Risk Management (ERM) Berdasarkan Dimensi COSO ERM
Framework” (Studi Empiris Pada Perusahaan Nonfinansial Yang Terdaftar
Di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2009-2011) ini. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, selaku
uswatun hasanah bagi setiap rangkaian kehidupan kita, beserta para sahabat,
keluarga dan pengikutnya.
Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak lepas dari berbagai hambatan dan
rintangan, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu baik moril
maupun materi dalam penyusunan skripsi ini kepada:
1. Keluargaku tercinta, Ayahanda dan Ibunda, Suparman dan Mariana, serta
adik-adikku, Lina, Tantri, Riffa dan Fattah, atas do’a, dukungan, kesabaran
dan keikhlasan yang tidak henti-hentinya. Semoga kita dapat menjadi anak
yang menjalani harapan setiap kedua orang tua yang ada di dunia ini. Amiiin.
2. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Yahya Hamja, MM selaku Dosen Pembimbing I atas waktu yang
telah diluangkan untuk ilmu, arahan dan nasehatnya selama penyusunan
skripsi ini
x
4. Ibu Atiqah, SE, Ak, M.Si selaku Dosen Pembimbing II atas waktu yang telah
diluangkan untuk ilmu, bantuan dan motivasinya selama penyusunan skripsi
ini
5. Ibu Dr. Rini, SE, Ak., M.Si selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Bapak Hepy Prayudiawan, SE, Ak., MM selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta sekaligus Dosen Penguji komprehensif penulis.
7. Ibu Rahmawati, SE., MM. selaku Dosen Penguji komprehensif penulis.
8. Bapak Yoghi Citra Pratama, M.Si. selaku Dosen Penguji komprehensif
penulis.
9. Bapak Ady Cahyadi, SE. selaku Dosen Pembimbing Akademik
10. Para Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan ilmu dan
perhatiannya kepada para mahasiswanya tidak terkecuali penulis
11. Seluruh Staff Bagian Keuangan, Akademik, Jurusan dan Fakultas atas
pelayanannya selama ini
12. Kawan-kawan Akuntansi E dan Audit B ’09
Semoga ALLAH SWT membalas semua kebaikan mereka serta ilmu, amal
dan iman yang kita miliki dapat diterima di sisi-Nya. Akhirnya, dengan segala
kerendahan hati, penulis mempersembahkan skripsi ini kelak dapat bermanfaat
kepada semua pihak yang berkepentingan. Semoga ALLAH SWT senantiasa
mengiringi setiap langkah kita. Amiiin yaa rabbal ‘aalamiin.
Jakarta, 8 Juli 2013
Enesti Eka Putri
xi
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan Skripsi ..................................................................... ii
Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif ................................................... iii
Lembar Pengesahan Ujian Skripsi ........................................................... iv
Surat Pernyataan Keaslian Skripsi .......................................................... v
Daftar Riwayat Hidup ....................................................................................... vi
Abstract ................................................................................................................. vii
Abstrak ........................................................................................................ viii
Kata Pengantar .......................................................................................... ix
Daftar Isi ..................................................................................................... xi
Daftar Tabel ............................................................................................... xv
Daftar Gambar ........................................................................................... xvi
Daftar Lampiran ........................................................................................ xvii
BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................ 19
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................... 20
1. Tujuan Penelitian ................................................................ 20
2. Manfaat Penelitian .............................................................. 20
a. Bagi Ilmu Pengetahuan ................................................... 20
b. Bagi Perusahaan ............................................................. 21
c. Bagi Bagi Akuntan Publik .............................................. 21
d. Bagi Investor dan Analis Pasar Modal ........................... 21
xii
e. Bagi Regulator…….. ……………………………………. 21
BABII. TINJAUAN PUSTAKA…..……………………...……………... 22
A. TinjauanLiteratur…...………………………………...……… 22
1. Agency Theory (TeoriKeagenan).……..…………...……….. 22
2. Signalling Theory….………………..….….…...………..... 26
3.Risiko (Risk)………….…..…………….……………........ 27
4. Enterprise Risk Management (ERM)………….…...………. 28
5. ERM Framework……………………………………….. 31
6.Mekanisme Corporate Governance..……………………….. 35
7. Komisaris Independen……………………………………. 41
8. Risk Management Committee ………………………….... 43
9. Reputasi Auditor …………………………………………. 36
10. Struktur Kepemilikan……………………………………. 46
11. Konsentrasi Kepemilikan………………………………… 48
B. Keterkaitan Antar Variabel dan Perumusan Hipotesis…........... 56
1. Komisaris Independen dengan Pengungkapan ERM............ 56
2. Risk Management Committee (RMC) dengan Pengungkapan
ERM……………………………………….…................. 58
3. Reputasi Auditor dengan Pengungkapan ERM…………… 59
4.Konsentrasi Kepemilikan dengan Pengungkapan ERM....... 60
5. Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi
Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan dengan Pengungkapan
ERM……………………………………………………….. 61
xiii
C. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu...………………...………… 61
D. Kerangka Pemikiran…….……………….……..………......... 69
BABIII. METODOLOGI PENELITIAN.………………….………....... 70
A. Ruang Lingkup Penelitian………………………………....... 70
B. Metode Penentuan Sampel…...…………………………........ 70
C. Metode Pengumpulan Data…..………………………………. 71
D. Metode Analisis Data.…………………………………......... 72
1. Analisis Stasistik Deskriptif……..……………………....... 73
2. Uji Asumsi Klasik…….………………………………........ 74
a. Uji Normalitas Data…………………………….….…… 74
b. Uji Multikolonieritas……….…………………….…….. 77
c. Uji Heteroskedastisitas…………..………….…………. 78
d. Uji Autokorelasi ...…………….…...…………….…...... 79
3. Analisis Regresi Berganda…………………...…….....…… 81
4. Koefisien Determinasi……………………………………. 82
5. Pengujian Hipotesis……………………………………...... 84
a. Pengujian secara Simultan (Uji F)……………………… 84
b. Pengujian secara Parsial (Uji t)..……………………….. 84
E. Operasional Variabel Penelitian………………….……..... 85
1. Variabel Dependen…..………………………………….... 85
a. Pengungkapan ERM………….. …………………..…. 85
2. Variabel Independen……………...……………….……... 87
a. Komisaris Independen………………………………..… 87
b. Komite Manajemen Risiko (RMC)……..……...……... 87
xiv
c. Reputasi Auditor………..……………......………..…. 88
d. KonsentrasiKepemilikan……………………...…..…. 89
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN…………………...……….. 93
A. Gambaran Umum Objek Penelitian…………...…………..… 93
B. Hasil Analisis dan Pembahasan……………………………… 95
1. Statistik Deskriptif……………………………………….... 95
2. Uji Asumsi Klasik……………………………................... 100
a. Uji Normalitas...………………………...……………… 100
b. Uji Multikolonieritas………………………………….... 105
c. Uji Heteroskedastisitas..……………………..………..... 106
d. Uji Autokorelasi…………………………………..……. 108
3. Koefisien Determinasi.……………………………………. 110
4. Pengujian Hipotesis….……………………………………. 111
a. Pengujian secara Simultan (Uji F)..…………………….. 112
b. Pengujian secara Parsial (Uji t)………………………… 113
BAB V. PENUTUP………………………………………………………. 122
A. Kesimpulan……………………………………………..…….... 122
B. Implikasi……………………………………………...………... 123
C. Saran………………………………………............................... 125
DAFTAR PUSTAKA…………...…………………………………….….. 127
LAMPIRAN………………………………………………………………..134
xv
DAFTAR TABEL
Nomor Keterangan Halaman
2.1 Penelitian Terdahulu 65
3.1 Definisi Operasional Variabel dan Indikatornya 91
4.1 Rincian Sampel Penelitian 93
4.2 Daftar Nama Perusahaan 94
4.3 Hasil Statistik Deskriptif 96
4.4 Daftar Perusahaan dengan RMC terpisah dari komite audit 99
4.5 Hasil Uji Skewnessdan Kurtosis 101
4.6 Uji Normalitas : Nilai Kolmogrov Smirnov 103
4.7 Uji Multikolinieritas 106
4.8 Uji Autokorelasi 108
4.9 Uji Autokorelasi Run Test 109
4.10 Uji Goodness of Fit 110
4.11 Uji Simultan (F test) 112
4.12 Uji Parsial (t Test) 113
xvi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Keterangan Halaman
2.1 Operasionalisasi kerangka kerja dan proses manajemen risiko 30
2.2 Infrastruktur Manajemen Risiko 31
2.3 COSO ERM Framework 32
2.4 Kerangka Pemikiran 69
4.1 Uji Normalitas: Grafik Normal Plot 104
4.2 Uji Normalitas: Grafik Histogram 104
4.3 Uji Heteroskedastisitas – Grafik Scatterplot 107
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Keterangan Halaman
1. Dimensi Pengungkapan ERM 134
2. Data Sampel Penelitian 140
3. Hasil Uji Regresi Berganda 143
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Isu mengenai risk management berkembang dengan pesat seiring dengan
meningkatnya jumlah perusahaan yang mulai mengungkapkan keberadaan
Risk Management Committee sebagai salah satu bentuk nyata adanya
Enterprise Risk Management. Tetapi di lain pihak, banyak perusahaan yang
belum mengetahui pentingnya manajemen risiko perusahaan. Manajemen
risiko perusahaan atau Enterprise Risk Management (ERM) merupakan suatu
strategi yang digunakan untuk mengevaluasi dan mengelola semua risiko
dalam perusahaan. Pendekatan terhadap pengelolaan risiko organisasi sering
disebut dengan manajemen risiko.
Manajemen risiko adalah salah satu disiplin yang menjadi popular
menjelang akhir abad ke dua puluh. Disiplin ini mengajak untuk secara logis,
konsisten dan sistematis melakukan pendekatan terhadap ketidakpastian masa
depan, sehingga memungkinkan kita untuk secara lebih hati-hati (prudent) dan
produktif menghindari hal-hal yang tidak berguna karena membuang sumber
daya secara tidak perlu dan mencegah hal-hal yang merugikan atau bahkan
meraup dan mengejar hal-hal yang bermanfaat. Ini semua dilakukan lebih dari
sekedar berdasarkan keyakinan dan keberuntungan, karena dalam mengelola
masa depan, kita harus mulai dengan mempelajari kemungkinan terjadinya
suatu peristiwa (event), dan bila terjadi bagaimana dampaknya
2
(consequences). Hal ini ditunjang dengan kemampuan untuk mempelajari dan
lebih memahami apa yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa (source of
risk) tersebut. Karena bila dasarnya hanya keberuntungan, maka manajemen
risiko menjadi tidak ada artinya, dan bahkan mengaburkan suatu kebenaran
dan sekaligus memisahkan makna penyebab dari suatu peristiwa (Komite
Nasional Kebijakan Governance, 2011).
Krisis keuangan global pada tahun 2008 menimbulkan banyak
perdebatan mengenai pentingnya good corporate governance. Kegagalan
dalam penerapan good corporate governance telah dibahas dalam Sarbanes
Oxley Act yang selanjutnya menekankan pentingnya penerapan manajemen
risiko dalam perusahaan untuk mencegah terjadinya kecurangan pelaporan
keuangan. Penerapan manajemen risiko tersebut erat kaitannya dengan
pelaksanaan good corporate governance, yaitu prinsip transparansi yang
menuntut diterapkannya enterprise-wide risk management.
Beasley (2007) dalam Andarini dan Indira (2010) mengemukakan
bahwa lingkungan perusahaan yang berkembang pesat juga mengakibatkan
makin kompleksnya risiko bisnis yang harus dihadapi perusahaan. Berbagai
profil risiko yang dihadapi perusahaan saat ini berbeda dengan profil risiko
pada dekade sebelumnya. Perubahan teknologi, globalisasi dan perkembangan
transaksi bisnis seperti hedging dan derivative menyebabkan makin tingginya
tantangan yang dihadapi perusahaan dalam mengelola risiko yang harus
dihadapinya. Akibatnya, untuk menghadapi segala tantangan tersebut,
penerapan sistem manajemen risiko secara formal dan terstruktur merupakan
3
suatu keharusan bagi perusahaan. Apabila dilaksanakan dengan efektif, sistem
manajemen risiko dapat menjadi sebuah kekuatan bagi pelaksanaan good
corporate governance.
Menurut Handayani dkk. (2006) dalam Restuningdiah (2010)
mekanisme corporate governance dapat mengawasi manajemen dan
pengambil keputusan, sehingga memudahkan untuk memaksimalkan nilai
perusahaan. Corporate Governance merupakan konsep yang didasarkan pada
teori keagenan dan diharapkan dapat berfungsi sebagai alat untuk memberikan
keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas
dana yang telah mereka investasikan. GCG digunakan sebagai sistem dan
struktur yang mengatur hubungan antara manajemen dengan pemilik baik
mayoritas maupun minoritas suatu perusahaan dengan kata lain sebagai
bentuk perlindungan investor adanya perbedaan kepentingan pemegang saham
(principle) dengan pihak manajemen (agent). Penerapan corporate
governance menuntut adanya perlindungan yang kuat terhadap hak-hak
pemegang saham terutama pemegang saham minoritas.
Beberapa hal yang yang terkait dengan mekanisme corporate
governance adalah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, peran
dewan komisaris (jumlah dewan komisaris serta independensi dewan
komisaris). Dechow, et al., (1996) dan Beasley (1996) menemukan hubungan
yang signifikan antara peran dewan komisaris dengan pelaporan keuangan.
Mereka menemukan bahwa ukuran dan independensi dewan komisaris
4
mempengaruhi kemampuan mereka dalam memonitor proses pelaporan
keuangan.
Menurut Peasnell, et al.,(2005) dalam Restuningdiah (2010), dewan
komisaris dipercaya dapat memegang peranan penting dalam corporate
governance, terutama dalam memonitor manajemen puncak. Davidson, et al.,
(2005) dalam Restuningdiah (2010) menyatakan bahwa governance yang kuat
merupakan keseimbangan antara kinerja perusahaan dengan tingkat
pengawasan (level of monitoring) yang cukup. Beberapa hal yang terkait
dengan monitoring melalui mekanisme internal governance adalah dewan
komisaris independen, komite audit, fungsi audit internal dan pemilihan audit
eksternal.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kandungan informasi dalam
laporan keuangan menjadi salah satu isu penting dalam pasar modal
(Subiyantoro, 2006). Pasar modal yang efisien harus dapat memberikan
perlindungan kepada investor publik dari praktik bisnis yang tidak sehat (Suta,
2000). Perlindungan kepada investor publik dapat berupa pemberian informasi
dan fakta-fakta yang relevan mengenai perusahaan yang diatur melalui
peraturan pemerintah. Peraturan mengenai praktik pengungkapan informasi
perusahaan di Indonesia, khususnya yang bersifat wajib diatur oleh Bapepam
dan lembaga profesi. Selanjutnya, perusahaan dapat juga memberikan
pengungkapan yang bersifat sukarela (voluntary) sebagai tambahan
pengungkapan minimum yang telah ditetapkan (Meliana Benardi, dkk., 2009).
5
Pengungkapan laporan keuangan dapat mengurangi masalah keagenan
dengan cara menjembatani asimetri informasi yang terjadi antara manajemen
dengan pemegang saham. Banyaknya indikator yang diungkapkan dalam
laporan keuangan mampu meningkatkan nilai perusahaan. Perusahaan yang
telah mengungkapkan manajemen risiko dalam laporan tahunan perusahaan
memberikan sinyal positif bagi stakeholders bahwa perusahaan telah
menerapkan manajemen risiko sebagai salah satu aspek penting dalam tata
kelola perusahaan. Pandangan ini menunjukkan luas pengungkapan
perusahaan erat kaitannya dengan mekanisme untuk mengurangi asimetri
informasi guna menekan konflik kepentingan yang muncul akibat adanya
pemisahan kepemilikan dengan pengelolaan (Meliana Benardi, dkk., 2009).
Aspek pengawasan (monitoring) merupakan kunci penting demi
berjalannya sistem manajemen risiko perusahaan yang efektif. Dewan
komisaris berperan dalam mengawasi penerapan manajemen risiko untuk
memastikan perusahaan memiliki program manajemen risiko yang efektif
(Krus dan Orowitz, 2009) dalam Andarini dan Januarti (2010). Untuk
meringankan beban tanggung jawabnya yang begitu luas, dewan komisaris
dapat mendelegasikan tugas pengawasan risiko kepada komite pengawas
manajemen. Komite tersebut diharapkan dapat mendiskusikan kebijakan dan
panduan untuk mengatur proses manajemen risiko perusahaan (Krus dan
Orowitz, 2009). Menurut Subramaniam, et al., (2009) dalam Andarini dan
Januarti (2010), komite pengawas manajemen bisa merupakan komite audit
atau komite lain yang terpisah dari audit dan berdiri sendiri, meskipun
6
demikian tanggung jawab utama dari pengawasan manajemen risiko tetap di
tangan dewan komisaris secara penuh. Beberapa perusahaan masih
mendelegasikan tugas pengawasan risiko kepada komite auditnya (Beasley,
2007; Bates dan Leclerc, 2009; Krus dan Orowitz, 2009; COSO, 2009).
Namun, luasnya tanggung jawab dan tugas komite audit yang semakin berat
semakin menimbulkan keraguan mengenai kemampuannya untuk berfungsi
secara efektif (Harrison, 1987; Bates dan Leclerc, 2009). Tugas pengawasan
manajemen risiko membutuhkan pemahaman yang cukup mengenai struktur
dan operasi perusahaan secara keseluruhan beserta risiko-risiko yang terkait,
seperti risiko produk, risiko teknologi, risiko kredit, risiko peraturan, dan
sebagainya (Bates dan Leclerc, 2009). Alasan inilah yang menjadi landasan
beberapa perusahaan untuk menerapkan fungsi pengawasan tersebut pada
suatu komite pengawas manajemen yang terpisah dari audit dan berdiri
sendiri, yang secara khusus menangani peran pengawasan dan manajemen
risiko perusahaan, atau disebut dengan risk management committee (RMC).
Di Indonesia sendiri, perkembangan RMC mulai meningkat. Pemerintah
mulai memandatkan pembentukan RMC sebagai komite pengawas risiko pada
industri perbankan. Tetapi, berbeda dari industri perbankan dan finansial yang
diregulasi secara ketat, pembentukan RMC pada sektor industri lainnya di
Indonesia masih bersifat sukarela. Dalam sektor perbankan, istilah RMC
disebut sebagai Komite Pemantau Risiko melalui Peraturan Bank Indonesia
No.8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi
Bank Umum sebagai suatu kewajiban.
7
Aspek lain yang turut mendukung efektivitas penerapan manajemen
risiko perusahaan adalah auditor eksternal. Kualitas audit yang baik biasanya
berasal dari auditor skala besar. Auditor skala besar adalah auditor yang
bekerja sama dengan auditor internasional/luar negeri. Auditor skala besar
memiliki insentif lebih untuk mendeteksi dan melaporkan masalah kliennya
dan lebih memungkinkan mendeteksi praktik-praktik akuntansi yang masih
meragukan. Oleh karena itu, kualitas auditor dapat menjadi indikator yang
baik untuk meningkatkan nilai perusahaan. Auditor skala besar diyakini
mampu bekerja lebih profesional dan dapat mendeteksi adanya risiko-risiko
bisnis yang mungkin terjadi. Auditor yang berafiliasi dengan auditor
internasional juga memiliki reputasi yang lebih baik sehingga diharapkan
mampu mengurangi asimetri informasi.
Pemegang saham pengendali juga merupakan salah satu mekanisme tata
kelola internal jika terdapat satu atau lebih pemegang saham besar dalam
perusahaan. Desender (2010) berpendapat bahwa mungkin ada pengaruh
substitusi atau komplementer antara dimensi struktur kepemilikan (konsentrasi
/dispersi) dan dewan direksi dalam hal pemantauan manajerial. Pada struktur
kepemilikan yang lebih terkonsentrasi, investor besar memiliki insentif untuk
mengumpulkan informasi dan memantau manajemen secara langsung
(Shleifer dan Vishny, 1997), sehingga mereka tidak bergantung pada dewan
untuk masalah pemantauan. Selain itu, investor besar mampu memantau
kemampuan dewan, karena mereka memiliki akses informasi dan nilai yang
relevan (Heflin dan Shaw, 2000). Investor besar terlibat dengan manajemen
8
dalam menetapkan kebijakan perusahaan (Davies, 2002), memiliki beberapa
kemampuan untuk mempengaruhi voting dan mungkin mendapat perhatian
khusus dari manajemen (Useem, 1996). Oleh karena itu, pemegang saham
pengendali dapat memantau ketidaksinambungan manajerial yang terjadi
dalam perusahaan (Desender, 2010).
Isu mengenai ERM menjadi perdebatan banyak pihak terutama setelah
adanya krisis finansial global yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2008.
Krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat terjadi akibat macetnya kredit
properti (subprime mortgage), sejenis kredit kepemilikan rumah (KPR) di
Indonesia. Hal tersebut diikuti dengan bangkrutnya lembaga-lembaga
keuangan di Amerika Serikat. Sebelum krisis, Alan Greenspan, selaku Ketua
The Fed, bank sentral Amerika Serikat, menerapkan suku bunga rendah pada
kisaran 1 hingga 2 persen. Yang menjadi masalah, lembaga keuangan pemberi
kredit pemilikan rumah (KPR) di Negeri Paman Sam itu banyak menyalurkan
kredit kepada penduduk yang sebenarnya tidak layak untuk mendapatkan
pembiayaan (Depkominfo, 2008:2).
Para lembaga penyalur kredit properti bersaing untuk mendapat
konsumen melalui penawaran produk kredit properti yang cukup bervariasi
tanpa mengenal secara mendalam karakteristik risiko serta melunakkan
ketentuan mendapatkan kredit properti. Di sisi lain, ketika kredit perumahan
disekuritisasi menjadi produk instrumen investasi derivatif bertingkat, maka
gelembung likuiditas makin besar. Produk sekuritas juga diperjualbelikan
antarlembaga keuangan di pasar modal sehingga letusan gelembung likuiditas
9
turut mempengaruhi banyak lembaga keuangan dari berbagai penjuru dunia
(Depkominfo, 2008:4).
Kemudahan pemberian kredit terjadi justru ketika harga properti di AS
sedang naik. Pasar properti yang bergairah membuat spekulasi di sektor ini
meningkat. Kredit properti memberi suku bunga tetap selama tiga tahun yang
membuat banyak orang membeli rumah dan berharap bisa menjual dalam tiga
tahun sebelum suku bunga disesuaikan. Sementara, untuk memberikan kredit,
lembaga-lembaga itu umumnya meminjam dana jangka pendek dari pihak
lain, termasuk lembaga keuangan. Perusahaan pembiayaan kredit rumah juga
menjual surat utang (mirip subprime mortgage securities) kepada lembaga-
lembaga investasi dan investor di berbagai negara. Beberapa perusahaan
pembiayaan kredit rumah, seperti Fannie Mae & Freddie Mac mendapatkan
dana dengan menjual surat utang ke bank komersial, bank devisa, atau
perusahaan asuransi, diantaranya Lehman Brothers atau AIG (Depkominfo,
2008:2).
Pada tanggal 14 September 2008, Lehman Brothers, bank investasi
terbesar ke-4 di Amerika Serikat mengumumkan kebangkrutannya akibat
krisis solvabilitas/permodalan. Lehman Brothers yang telah berumur 158
tahun dan mampu bertahan dari beberapa krisis sebelumnya termasuk The
Great Depression, mengalami kesulitan menambah modal guna menutup
kerugian terkait eksposurnya terhadap unsecured debt termasuk subprime
mortgage di AS. Jatuhnya Lehman Brothers secara sederhana disebabkan oleh
kemandekan di pasar keuangan. Krisis kepercayaan melonjak menyebabkan
10
perbankan menolak untuk melakukan transaksi dengan Lehman Brothers.
Penyebab jatuhnya Lehman Brothers hampir sama dengan yang menimpa
Nothern Rock di Inggris. Lehman Brothers yang merupakan salah satu bank
investasi terbesar di AS memiliki bisnis trading yang sangat kompleks,
memiliki eksposur sekuritas yang berisiko tinggi seperti sekuritas berbasis
kredit properti subprime dan segala produk turunannya.
Bangkrutnya Lehman Brothers pada awal September 2008 ditandai
oleh kondisi keuangan dengan utang yang mencapai sekitar 613 miliar dolar
AS dengan kreditur utama Mizuho Bank dan Citigroup HongKong. Untuk
meredam kepanikan investor, Lehman Brothers berusaha mengumumkan lebih
awal laporan keuangan triwulan III-2008 yang mencatat kerugian sekitar 3,9
miliar dolar AS dan akan menjual 55% aset unit pengelolaan investasi, serta
divestasi 25-30 miliar dolar AS kepemilikannya pada real estate komersial.
Namun upaya tersebut tidak berhasil, harga saham Lehman Brothers telah
jatuh hingga dinilai sebesar 29 sen dolar AS per lembar.
Lehman Brothers mengajukan petisi bangkrut kepada US Bankcruptcy
Court setelah upaya penyelamatan bank investasi yang berumur 158 tahun
tersebut gagal. Kebangkrutan Lehman menyebabkan sekitar 5000 tenaga kerja
di PHK. Kejatuhan Lehman ini juga memicu lonjakan persepsi risiko di pasar
keuangan global sehingga krisis kepercayaan antar pelaku pasar keuangan
memuncak dan likuiditas sulit diperoleh. Hal tersebut kembali memicu
penarikan dana asing dari emerging market secara besar-besaran sehingga
11
menekan stabilitas nilai tukar dan pasar keuangan global (Bank Indonesia,
2009).
Kondisi keuangan global menghadapi tekanan yang berat disusul
dengan krisis keuangan Eropa setelah krisis keuangan Amerika Serikat pada
tahun 2008. Krisis keuangan Eropa berawal dari defisit anggaran pemerintah
yang semakin besar di negara-negara kawasan Eropa terutama negara-negara
lapisan pertama yaitu Yunani, Irlandia, dan Portugal. Sementara itu
melebarnya defisit anggaran pemerintah dibarengi dengan rasio hutang per
PDB yang menyebabkan kemampuan memperoleh pembiayaan defisit
terbatas. Tidak berfungsinya kebijakan moneter dalam kawasan Eropa,
terbatasnya ruang gerak fiskal, serta tidak terlihatnya upaya pemulihan,
mendorong perlambatan bahkan penurunan perekonomian pada beberapa
negara kawasan Eropa (Bappenas, 2011).
Krisis keuangan Eropa dikhawatirkan dapat melebar tidak hanya di
kawasan Eropa bahkan global. Proses perambatan krisis keuangan Eropa
diperkirakan bersumber dari sistem perbankan yang saling terkait dan
kompleks didalam kawasan Eropa maupun dengan luar kawasan Eropa seperti
Amerika dan Jepang. Dengan demikian, pada saat satu negara pada lapisan
pertama (Yunani, Irlandia, Portugal) mengalami default, maka akan
mempengaruhi perbankan negara lain terutama Perancis. Krisis global tidak
berpengaruh besar terhadap jalur perdagangan langsung (direct trade) antara
Indonesia dengan Eropa maupun dengan Amerika Serikat. Tetapi, jalur
perdagangan tidak langsung (indirect trade) Indonesia dengan Eropa dan
12
Amerika akan terpengaruh melalui China. China yang merupakan importir
terbesar barang Indonesia diperkirakan akan mengurangi impornya
disebabkan permintaan negara-negara maju menurun terhadap barang China.
Dalam jangka waktu yang lebih panjang (menengah panjang), krisis global
diperkirakan akan memberi dampak yang besar pada sektor riil terutama
perdagangan terkait perlambatan perekonomian dunia terutama pada negara-
negara maju (Bappenas, 2011).
Beberapa risiko yang berpotensi muncul akibat melemahnya
perekonomian Amerika Serikat dan Uni Eropa adalah pelemahan permintaan
dari AS dan Uni Eropa, perebutan pasar perdagangan ke Asia, serta upaya
melakukan global rebalancing. Pelemahan permintaan dari negara Amerika
Serikat dan Uni Eropa akan berpotensi menurunkan ekspor Indonesia ke
kedua negara tersebut. Amerika Serikat dan Uni Eropa (terutama: Belanda,
Jerman, dan Inggris) merupakan mitra dagang utama Indonesia, dimana
pangsa pasar ekspor nonmigas ke kedua negara ini terlihat dalam trend yang
menurun dengan indeks intensitas perdagangan (trend intensity index) yang
tidak terlalu tinggi. Salah satu alternatif dari proses penyeimbangan global
(global rebalancing) adalah Amerika harus meningkatkan ekspornya (untuk
mengurangi defisit) dan negara-negara berkembang (seperti: China dan negara
Asia lainnya) harus mengurangi ekspornya. Proses ini tentunya akan
memberikan risiko terhadap penurunan kinerja ekspor Indonesia, terutama
karena Indonesia merupakan salah satu supplier bahan baku/bahan mentah ke
China dan India (Bappenas, 2011).
13
Kisah Lehman Brothers dan krisis finansial global yang melanda
Amerika Serikat dan Eropa memberikan pelajaran penting bagi semua institusi
keuangan untuk menjaga keseimbangan dalam pengelolaan risiko dan upaya
memaksimalkan keuntungan. Dalam hal pengelolaan aset, menjadi penting
untuk mendiversifikasikan jenis penempatan sehingga potensi risiko tidak
terkonsentrasi pada suatu jenis penempatan (Bank Indonesia, 2008).
Sementara itu, Lehman Brothers merupakan salah satu dari sekian
banyak perusahaan yang mengalami krisis finansial pada tahun 2008. Dengan
adanya krisis finansial tahun 2008, perusahaan di seluruh dunia menjadi lebih
menyadari pentingnya penerapan Enterprise Risk Management untuk
mewujudkan tata kelola perusahaan yang baik dan menjaga kesinambungan
(going concern) perusahaan, karena ERM diyakini memiliki peran penting
dalam efektivitas penerapan good corporate governance sebagai tata kelola
internal perusahaan. Selain itu, menjadi penting bagi perusahaan untuk lebih
mempertimbangkan situasi dan kondisi eksternal perusahaan selain tata kelola
internal yang baik.
Peristiwa yang dialami oleh Lehman Brothers memberikan bukti
bahwa perusahaan besar yang memiliki tata kelola internal perusahaan yang
baik dan mampu bertahan dari gejolak perekonomian dunia, belum menjadi
jaminan sepenuhnya bahwa perusahaan telah menerapkan manajemen risiko
untuk mengelola eksposur risiko yang mungkin terjadi. Pada era globalisasi
keuangan saat ini, perusahaan pada dasarnya dihadapkan dengan risiko yang
14
kompleks, tidak hanya risiko yang berasal dari internal perusahaan, tetapi juga
risiko yang berasal dari eksternal perusahaan.
Krisis keuangan global menyadarkan perusahaan dan lembaga
keuangan di seluruh dunia untuk lebih berhati-hati dalam mengelola risiko
keuangan, seperti risiko kredit, risiko mata uang asing, risiko tingkat suku
bunga, risiko likuiditas, risiko harga pasar dan risiko harga lainnya. Hal ini
juga tidak terkecuali bagi perusahaan-perusahaan non finansial, karena
perusahaan non finansial selain memiliki eksposur risiko yang tinggi terkait
keuangan tetapi juga risiko yang terkait dengan operasional perusahaan seperti
risiko reputasi; risiko persaingan usaha; risiko katastropik (bencana alam);
risiko harga komoditas; risiko produk; risiko biaya modal; risiko hukum dan
regulasi; risiko lingkungan sosial, politik dan budaya; serta risiko informasi
dan teknologi.
Mencermati hal di atas bahwa perusahaan non finansial juga memiliki
eksposur risiko yang tinggi terkait operasional perusahaan selain risiko
keuangan, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana penerapan
manajemen risiko pada perusahaan non finansial melalui pengungkapan pada
laporan tahunan perusahaan. Mengingat saat ini di Indonesia, pengungkapan
manajemen risiko hanya diwajibkan bagi perusahaan perbankan dan lembaga
keuangan, sedangkan bagi perusahaan non finansial masih bersifat voluntary
(sukarela).
Penelitian sebelumnya mengenai faktor-faktor yang berpengaruh pada
penerapan ERM telah dilakukan namun menunjukkan hasil yang tidak
15
konsisten. Kleffner et al. (2003) menemukan bahwa adanya Chief Risk
Officer, jumlah dewan direksi, dan kepatuhan atas pedoman yang dikeluarkan
bursa efek merupakan kunci sukses penerapan ERM. Hasil penelitian Beasley
et al,. (2005) dan Desender (2007) menunjukkan bahwa keberadaan Chief Risk
Officer, komisaris independen, tipe auditor dan ukuran perusahaan
berpengaruh pada tingkat pengungkapan ERM. Penelitian lain juga
menunjukkan bahwa dewan direksi merupakan pihak yang berperan penting
dalam penerapan ERM (Lam, 2001; Walker et al., 2002).
Selain itu, sebagian besar penelitian terdahulu yang membahas
hubungan karakteristik dewan dan perusahaan terhadap keberadaan komite
hanya berfokus mengenai komite audit (Carson, 2002; Firth dan Rui, 2006;
Chen, et al., 2009), komite nominasi (Carson, 2002 dan Ruigrok, et al., 2006),
dan komite remunerasi (Carson, 2002). Carson (2002) menemukan hasil yang
berbeda pada keberadaan komite audit, komite remunerasi, dan komite
nominasi. Keberadaan komite audit ditemukan berhubungan positif dengan
auditor Big Six dan jumlah hubungan intercorporate komisaris dalam
perusahaan. Komite remunerasi berhubungan positif dengan auditor Big Six,
hubungan intercorporate dan tingkatan yang tinggi dari investasi institusional.
Sementara itu, keberadaan komite nominasi tidak berhubungan dengan auditor
Big Six, komisaris, maupun investor, namun berhubungan dengan ukuran
dewan dan leverage (Carson, 2002).
Penelitian Ruigrok, et al. (2006) menemukan bahwa perusahaan
dengan komite nominasi cenderung memiliki jumlah komisaris independen
16
dengan keragaman kebangsaaan dalam perusahaan yang lebih tinggi.
Selanjutnya, Firth dan Rui (2006) menunjukkan bahwa perusahaan dengan
kepemilikan saham terdispersi, proporsi komisaris independen yang lebih
tinggi, dan auditor eksternal non Big Five cenderung untuk mengadopsi
komite audit secara sukarela. Chen, et al. (2009) juga menemukan bahwa
faktor-faktor seperti leverage, ukuran perusahaan, ukuran dewan, proporsi
komisaris independen, dan CEO independen berhubungan positif dengan
pembentukan komite audit secara sukarela. Namun demikian, hasil penelitian
Andarini dan Indira (2010) menunjukkan bahwa komisaris independen,
ukuran dewan komisaris, reputasi auditor, kompleksitas, risiko pelaporan
keuangan dan leverage tidak berpengaruh terhadap keberadaan risk
management committee. Sedangkan ukuran perusahaan berhubungan positif
terhadap keberadaan risk management committee baik yang tergabung dengan
komite audit maupun terpisah dengan komite audit dan berdiri sendiri.
Penelitian mengenai Risk Management Committee oleh Restuningdiah
(2010) yang merupakan kelanjutan dari penelitian Davidson, et al., (2005)
menunjukkan bahwa mekanisme internal governance yang diproksi dengan
dewan komisaris independen, komite audit, fungsi audit internal dan risk
management committee tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini
mengindikasikan bahwa mekanisme internal governance yang diharapkan
dapat mengatasi masalah keagenan terkait dengan manajemen laba (income
smoothing) belum merupakan jaminan sepenuhnya bagi perusahaan dalam
memaksimalkan fungsi pengawasan.
17
Penelitian selanjutnya juga mengangkat isu serupa mengenai pengaruh
Corporate Governance dan Konsentrasi Kepemilikan pada Pengungkapan
Enterprise Risk Management oleh Meisaroh dan Lucyanda (2011). Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komisaris independen, ukuran
dewan komisaris, keberadaan RMC, reputasi auditor dan konsentrasi
kepemilikan dengan pengungkapan ERM yang diukur melalui dimensi COSO
ERM Framework dengan kriteria 108 pengungkapan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa komisaris independen dan ukuran dewan komisaris tidak
berpengaruh pada pengungkapan ERM. Sementara itu, keberadaan RMC,
reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan berpengaruh terhadap
pengungkapan ERM.
Penelitian mengenai ERM belum banyak dilakukan meskipun
perkembangan ERM telah berkembang pesat. Oleh karena itu, penelitian
mengenai ERM sangat menarik untuk dilakukan mengingat ERM merupakan
isu yang masih baru. Selain itu implementasi ERM erat kaitannya dengan
penerapan good corporate governance. Hal ini karena aspek pengawasan yang
dilakukan dewan komisaris, komite pengawas manajemen risiko, eksternal
auditor dan kepemilikan yang terkonsentrasi merupakan kunci penting
terlaksananya sistem manajemen risiko yang efektif.
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya
yang mereplikasi variabel pengungkapan Enterprise Risk Management
sebagai variabel dependen pada penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011).
18
Untuk membedakannya dengan penelitian sebelumnya, maka peneliti
melakukan beberapa perubahan diantaranya adalah:
1. Penelitian ini tidak mengikutsertakan variabel ukuran dewan komisaris
dalam penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011), karena variabel
komisaris independen yang menggunakan proksi proporsi komisaris
independen terhadap jumlah keseluruhan dewan komisaris telah
mencerminkan ukuran dewan komisaris seluruhnya.
2. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan publik
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) kecuali perusahaan sektor
keuangan pada periode 2009 hingga 2011. Sedangkan populasi yang
digunakan dalam penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) adalah
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada
tahun 2009.
3. Variabel Komite Manajemen Risiko dalam penelitian ini diukur dengan
variabel dummy dimana nilai satu diberikan untuk perusahaan yang
memiliki komite manajemen risiko terpisah dari komite audit dan berdiri
sendiri, sedangkan pada penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) nilai
satu diberikan untuk perusahaan dengan komite manajemen risiko.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
karena adanya perbedaan dari beberapa hasil peneliti terdahulu. Maka penulis
akan mengajukan penelitian dengan judul : “Pengaruh Komisaris
Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor dan
Konsentrasi Kepemilikan terhadap Pengungkapan Enterprise Risk
19
Management (Dimensi COSO ERM Framework)” (Studi Empiris pada
Perusahaan Nonfinancial yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia
Periode Tahun 2009-2011)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dirumuskan di atas bahwa aspek
pengawasan merupakan salah satu kunci berjalannya sistem manajemen risiko
di perusahaan yang efektif dan penerapan enterprise risk management (ERM)
pada perusahaan tidak terlepas dari upaya untuk mewujudkan good corporate
governance, maka rumusan masalah yang hendak dikaji dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Apakah komisaris independen memiliki pengaruh yang signifikan secara
parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)?
2. Apakah komite manajemen risiko (RMC) yang terpisah dari audit
memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan
Enterprise Risk Management (ERM)?
3. Apakah reputasi auditor memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial
terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)?
4. Apakah konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan
secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management
(ERM)?
5. Apakah komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor
dan konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan secara
simultan terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)?
20
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk
menemukan bukti empiris mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. Menganalisis besarnya pengaruh komisaris independen secara parsial
terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM).
b. Menganalisis besarnya pengaruh keberadaan komite manajemen risiko
(RMC) yang terpisah dari audit secara parsial terhadap pengungkapan
Enterprise Risk Management (ERM).
c. Menganalisis besarnya pengaruh reputasi auditor secara parsial terhadap
pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM).
d. Menganalisis besarnya pengaruh konsentrasi kepemilikan secara parsial
terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM).
e. Menganalisis besarnya pengaruh komisaris independen, komite
manajemen risiko (RMC), reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan
secara simultan terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management
(ERM).
2. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat
dan kontribusi sebagai berikut:
a. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
dan memperkuat penelitian sebelumnya terutama mengenai pengaruh
21
komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan
konsentrasi kepemilikan terhadap pengungkapan ERM.
b. Bagi Manajemen Perusahaan
Dengan adanya penelitian ini diharapkan manajemen perusahaan lebih
transparan dalam mengungkapkan informasi mengenai perusahaan dan
menganalisis arti penting penerapan manajemen risiko oleh perusahaan
serta dalam rangka mewujudkan Good Corporate Governance.
c. Bagi profesi akuntan publik
Dengan adanya penelitian ini diharapkan akuntan publik lebih
memahami tentang penerapan manajemen risiko perusahaan sebagai
bahan pertimbangan dalam menilai efektivitas pengendalian internal
perusahaan dan memberikan opini audit yang sesuai.
d. Bagi Investor dan Analis Pasar Modal
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan
pertimbangan pada saat melakukan investasi dan memberikan kredit
dengan melihat bagaimana penerapan manajemen risiko yang dilakukan
oleh perusahaan.
e. Bagi Regulator (Pembuat Kebijakan)
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan
pertimbangan bagi pembuat regulasi yang berkaitan dengan arti penting
penerapan manajemen risiko bagi perusahaan nonfinancial di Indonesia
mengingat pengungkapan manajemen risiko perusahaan (ERM) masih
bersifat voluntary.
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Literatur
1. Agency Theory
Agency theory sering digunakan sebagai landasan dalam penelitian-
penelitian sebelumnya mengenai corporate governance, khususnya
tentang keberadaan komite yang diharapkan dapat memitigasi adanya
konflik antara agen dan prinsipal. Hal ini dikarenakan pentingnya aspek
pengawasan (monitoring) demi terwujudnya good corporate governance.
Teori agensi merupakan teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan
yang telah dipakai selama ini. Teori ini menyatakan adanya hubungan
kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) dengan pihak yang
menerima wewenang (agen) dalam bentuk sebuah kontrak kerjasama.
Fama dan Jensen (1983) dalam Meisaroh dan Lucyanda (2011)
menyatakan bahwa teori ini adalah serangkaian mekanisme untuk
menyatukan kepentingan pemegang saham dan manajer seperti adanya
mekanisme pengawasan internal oleh dewan komisaris dan komite audit
pengawasan dari pemegang saham mayoritas (Shleifer dan Vishny, 1986),
adanya pengendalian internal (Matsumura dan Tucker, 1992), serta
pengawasan eksternal yang dilakukan eksternal auditor atas laporan
keuangan perusahaan (Watts dan Zimmerman, 1986). Sistem kontrol
23
diatas dirancang untuk memantau kinerja perusahaan dan diharapkan dapat
menjelaskan konflik keagenan yang terjadi.
Dalam teori agensi, baik principal maupun agent diasumsikan sebagai
orang-orang ekonomi yang rasional dan semata-mata termotivasi oleh
kepentingan pribadinya masing-masing. Dari situasi ini timbullah konflik
kepentingan antara principal dan agent.
Ada beberapa kemungkinan konflik dalam hubungan antara prinsipal
dengan agen (agency conflict), konflik yang timbul sebagai akibat dari
keinginan manajemen (agen) untuk melakukan tindakan yang sesuai
dengan kepentingannya yang dapat mengorbankan kepentingan pemegang
saham (prinsipal) untuk memperoleh return dan nilai jangka panjang
perusahaan. Jensen dan Meckling dalam Larasati (2009) yang berpendapat
bahwa agency conflict timbul pada berbagai hal sebagai berikut:
a. Moral-Hazard
Manajemen memilih investasi yang paling sesuai dengan kemampuan
dirinya dan bukan yang paling menguntungkan bagi perusahaan.
b. Earning Retention
Manajemen cenderung mempertahankan tingkat pendapatan
perusahaan yang stabil, sedangkan pemegang saham lebih menyukai
distribusi kas yang lebih tinggi melalui beberapa peluang investasi
internal yang positif.
24
c. Risk Aversion
Manajemen cenderung mengambil posisi aman untuk mereka sendiri
dalam mengambil keputusan investasi. Dalam hal ini, mereka akan
mengambil keputusan investasi yang sangat aman dan masih dalam
kemampuan manajer. Mereka akan menghindari keputusan investasi
yang dianggap menambah resiko bagi perusahaannya walaupun
mungkin hal itu bukan pilihan yang terbaik bagi perusahaan.
d. Time Horizon
Alijoyo dan Zaini (2004) dalam Setyarini (2011) menyatakan bahwa
manajemen cenderung hanya memperhatikan cashflow perusahaan
sejalan dengan waktu penugasan mereka. Hal ini dapat menimbulkan
bias dalam pengambilan keputusan yaitu berpihak pada proyek jangka
pendek dengan pengembalian akuntansi yang tinggi dan kurang atau
tidak berpihak pada proyek jangka panjang dengan pengembalian net
present value yang jauh lebih besar.
Masalah lain yang mungkin timbul dari hubungan keagenan ini yaitu
agen memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan
prinsipal, sehingga menimbulkan adanya asimetri informasi yaitu kondisi
ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai
penyedia informasi dengan pihak pemegang saham dan stakeholder
sebagai pengguna informasi (Indrayati, 2010). Untuk meredam tindakan
para agent yang tidak sesuai dengan kepentingannya, principal memiliki
dua cara (Jensen dan Meckling, 1976 dan Subramaniam, et al., 2009):
25
a. Mengawasi perilaku agent dengan mengadopsi fungsi audit dan
mekanisme corporate governance lain yang dapat meluruskan
kepentingan agent dengan kepentingan principal.
b. Menyediakan insentif kepegawaian yang menarik kepada agent dan
mengadakan struktur reward yang dapat membujuk para agent untuk
bertindak sesuai dengan kepentingan terbaik principal.
Secara umum, keberadaan komite-komite seperti komite audit,
komite nominasi, komite remunerasi, serta komite manajemen risiko.
merupakan mekanisme pengawasan internal di dalam perusahaan dan
keberadaan komite pengawas yang dibentuk oleh dewan komisaris
tersebut menyediakan kualitas pengawasan yang lebih baik dan menuntun
untuk menurunkan perilaku oportunistik yang dilakukan oleh manajer.
Komite-komite yang dibentuk oleh dewan komisaris tersebut diperkirakan
ada dalam situasi dimana biaya agensi tinggi, seperti leverage tinggi serta
kompleksitas dan ukuran perusahaan yang lebih besar (Subramaniam, et
al., 2009).
Firth dan Rui (2006) menyatakan teori agensi juga mengemukakan
bahwa moral hazard yang melekat dalam hubungan prinsipal dan agen
dapat menimbulkan biaya keagenan (agency cost). Komite audit
merupakan salah satu cara untuk mengurangi masalah biaya keagenan ini.
Komite audit yang efektif dapat meningkatkan kualitas dan kredibilitas
laporan keuangan tahunan yang telah diaudit dan hal ini dapat membantu
26
pekerjaan dewan direksi yang bertugas menjaga dan memajukan
kepentingan para pemegang saham.
2. Signalling Theory
Salah satu teori yang dapat melatarbelakangi masalah asimetri
informasi dalam pasar adalah signalling theory (Kartika, 2009). Teori
sinyal membahas mengenai dorongan perusahaan untuk memberikan
informasi kepada pihak eksternal. Teori sinyal muncul karena adanya
permasalahan asimetri informasi antara pihak manajemen dan pihak
eksternal. Oleh karena itu, untuk mengurangi asimetri informasi yang akan
terjadi perusahaan harus mengungkapkan informasi yang dimiliki, baik
informasi keuangan maupun informasi non keuangan (Setyarini, 2011).
Penggunaan signaling theory dalam praktik pengungkapan
perusahaan, secara umum menguntungkan bagi perusahaan untuk
mengungkapkan praktik corporate governance yang baik, sehingga dapat
menciptakan kualitas perusahaan yang baik dalam pasar (Subramaniam, et
al., 2009). Salah satu bentuk sinyal tentang kualitas perusahaan tersebut
adalah pembentukan komite, yang memberikan informasi bahwa
perusahaan tersebut lebih baik dalam segi pengawasan dibandingkan
dengan perusahaan lain (Andarini dan Indira, 2010).
Berdasarkan signalling theory, walaupun belum ada peraturan yang
memandatkan mengenai penerapan ERM secara khusus, tetapi perusahaan
tetap dapat menerapkan dan mengungkapkan ERM dalam komitmennya
27
menuju praktik good corporate governance dan dengan harapan dapat
meningkatkan reputasi serta nilai perusahaan.
3. Risiko (Risk)
Sonnidwiharsono (1996) dalam Setyarini (2011) menunjukkan
bahwa dari perspektif kegiatan usaha, pengaruh kegiatan usaha modern
khususnya dalam sektor industri bertambah kompleks. Bertambah
kompleksnya kegiatan usaha ini telah membawa pengaruh pula pada
kebutuhan untuk lebih memperhatikan risiko-risiko yang dihadapi
perusahaan. Menurut ISO Guide 73:2009 definisi 1.1 yang dimaksud
dengan risiko adalah dampak ketidakpastian pada sasaran (Komite
Nasional Kebijakan Governance, 2011).
Dalam konteks keterkaitan risiko dan proses organisasi, maka risiko
adalah sesuatu yang dapat mempengaruhi sasaran organisasi (Komite
Nasional Kebijakan Governance, 2011). Salah satu atribut risiko adalah
ketidakpastian, baik dari sesuatu yang sudah diketahui maupun dari
sesuatu yang belum diketahui. Dengan demikian strategi yang baik
haruslah juga memperhatikan risiko-risiko yang mungkin terjadi dalam
konteks eksternal organisasi maupun konteks internal organisasi dan
melakukan antisipasi perlakuan risiko bila memang risiko tersebut menjadi
kenyataan. Untuk risiko-risiko eksternal perlu diperhatikan antara lain
harapan dari tiap-tiap pemangku kepentingan terhadap organisasi yang bila
tidak dipenuhi akan menimbulkan konflik dan mempengaruhi pencapaian
sasaran organisasi. Begitu pula risiko yang mungkin terjadi akibat
28
perubahan situasi politik, ekonomi, sosial dan lainnya. Risiko juga dapat
mengakibatkan kehancuran organisasi, karena itu risiko penting untuk
dikelola. Risiko juga diyakini tidak dapat dihindari, oleh karena itu
pemahaman terhadap risiko merupakan suatu langkah untuk menentukan
prioritas strategi dan program dalam pencapaian tujuan organisasi
(Setyarini, 2011).
4. Enterprise Risk Management (ERM)
Manajemen risiko perusahaan merupakan suatu strategi yang
digunakan untuk tetap bertahan dalam lingkungan usaha yang kompetitif.
Pesatnya pertumbuhan ekonomi menjadikan ERM sebagai bagian penting
perusahaan dalam mempertahankan kinerja dan tingkat profitabilitas
perusahaan. Kesadaran yang tinggi terhadap manajemen risiko sebagian
besar sebagai akibat dari beberapa bencana yang dihadapi perusahaan dan
kegagalan bisnis yang tidak diharapkan (Walker, et al., 2009). Oleh karena
itu, setiap perusahaan membutuhkan Entreprise Risk Management (ERM)
untuk mengurangi dan menangani setiap risiko perusahaan yang mungkin
muncul. Elemen yang mendasari ERM, antara lain:
Komitmen Chief Executive Officer (CEO)
Kebijaksanaan risiko dan misi perusahaan
Laporan unit bisnis dan jajaran eksekutif
Pengembangan kerangka kerja (framework) risiko
Pengembangan bahasa risiko yang umum
Teknik untuk mengidentifikasi risiko
29
Perangkat untuk memperkirakan risiko
Perangkat untuk melaporkan dan memonitor risiko
Keterkaitan risiko pada pihak-pihak yang sesuai dan bertanggung
jawab
Keterkaitan risiko dengan fungsi keuangan dan pendanaan
Identifikasi risiko dan perkiraan risiko ke strategi perusahaan yang
terintegrasi
Penerapan manajemen risiko juga bertujuan untuk mengidentifikasi
risiko perusahaan pada setiap kegiatan, serta mengukur dan mengatasinya
pada level toleransi tertentu (Meisaroh dan Lucyanda, 2011). Oleh karena
itu, struktur manajemen risiko yang tepat dapat membantu dalam
mengelola risiko bisnis secara lebih efektif dan mengungkapkan hasil
manajemen risiko kepada stakeholders organisasi (Subramaniam et al.,
2009 dalam Setyarini, 2011).
Menurut KNKG (2011), manajemen risiko adalah bagian terpadu
dari proses organisasi, maka proses manajemen risiko merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari manajemen umumnya dan harus masuk menjadi
bagian dari budaya organisasi, praktik terbaik organisasi, dan proses bisnis
organisasi. Dalam Pedoman Manajemen Risiko (KNKG, 2011), proses
manajemen risiko meliputi lima kegiatan, yaitu komunikasi dan konsultasi,
menentukan konteks, asesmen risiko, perlakuan risiko serta monitoring
dan review, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.1 pada halaman
berikutnya:
30
Gambar 2.1
Operasionalisasi kerangka kerja dan proses manajemen risiko
Sumber: diadopsi dari Broadleaf Capital International Pty, Ltd. (2008)
Menurut KNKG (2011), tidak terdapat model atau panduan baku
dalam penyusunan infrastruktur pengelolaan manajemen risiko. Hal yang
terpenting adalah kejelasan akuntabilitas dan tanggung jawab untuk
mendorong pelaksanaan manajemen risiko. Setiap organisasi harus
menyusun infrastruktur organisasi manajemen risiko sesuai dengan
kebutuhan dan jenis-jenis risiko yang dihadapi. Model ini adalah contoh
31
infrastruktur manajemen risiko yang lebih tepat diaplikasikan pada
organisasi yang cukup besar, dapat dilihat pada gambar 2.2 berikut:
Gambar 2.2
Infrastruktur Manajemen Risiko
Sumber: Pedoman Manajemen Risiko
(diadopsi dari berbagai sumber oleh KNKG, 2011)
5. ERM Framework
Pada tahun 2004, COSO (Committee of Sponsoring Organization of
the Treadway Commission) menerbitkan Enterprise Risk Management-
Integrated Framework yang menggambarkan komponen-komponen
penting, prinsip dan konsep dari manajemen risiko perusahaan untuk
seluruh organisasi, tanpa memandang ukurannya. Definisi Enterprise Risk
Management menurut COSO, yaitu:
“A process, effected by an entity’s board of directors, management
and other personnel, applied in strategy setting and across the
enterprise, designed to identify potential events that may affect the
entity, manage risk to be within its risk appetite, and provide
reasonable assurance regarding the achievement of entity
objectives.” (COSO, 2009)
32
Definisi COSO mengandung makna bahwa ERM sebagai suatu
proses yang dipengaruhi manajemen perusahaan, yang diimplementasikan
dalam setiap strategi perusahaan dan dirancang untuk memberikan
keyakinan memadai agar dapat mencapai tujuan perusahaan. COSO ERM-
Intergrated Framework memberi gambaran secara garis besar sebuah
pendekatan untuk memahami risiko-risiko dan mengatasinya.
COSO ERM Framework terdiri dari delapan komponen yang harus
ada dan berjalan agar dapat dikatakan sebagai ERM efektif yang dapat
dilihat pada gambar 2.3 berikut:
Gambar 2.3
COSO ERM Framework
Sumber: COSO ERM Integrated Framework (2004)
33
a. Internal Environment
Komponen ini mencerminkan selera perusahaan terhadap risiko yang
dapat memberikan gambaran risiko dan pengendalian yang harus
didasari atau diketahui oleh seluruh jajaran perusahaan. Manajemen
bertanggung jawab dalam menetapkan sikap terhadap risiko kepada
seluruh jajaran dalam perusahaan sebagai guidelines.
b. Objective Settings
Perusahaan perlu menetapkan tujuan-tujuan strategis secara luas dan
risiko yang dapat diterima. Strategic Objectives mencerminkan pilihan
manajemen mengenai bagaimana perusahaan meningkatkan nilai
perusahaan khususnya bagi pemegang saham. Selanjutnya, perusahaan
harus menetapkan juga risiko yang berkaitan dengan tujuan
perusahaan. Kategori objek tersebut, antara lain:
Strategi: tujuan akhir yang mendukung misi organisasi
Operasi: menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien
Laporan Keuangan
Kepatuhan (compliance): sesuai dengan hukum dan regulasi yang
berlaku
c. Events Identification
Mengikuti konsep dari COSO Internal Control, manajemen harus
memiliki proses-proses yang dilakukan untuk mengidentifikasi
kejadian yang mempunyai pengaruh positif maupun negatif terhadap
strategi risiko yang berhubungan. Berdasarkan risiko yang dapat
34
ditoleransi, perusahaan dapat mempertimbangkan kejadian internal
atau eksternal yang dapat menjadi risiko baru atau malah mengurangi
risiko yang ada. Contoh kejadian-kejadian tersebut antara lain
perubahan lingkungan kompetisi dan tren sosial ekonomi.
d. Risk Assessments
Pada saat terdapat suatu kejadian yang merupakan suatu risiko,
manajemen perlu mempertimbangkan bagaimana dampak yang dapat
ditimbulkan dari kejadian tersebut terhadap ERM Objectives
perusahaan yang dilihat dari frekuensi dan seberapa besar pengaruh
kejadian tersebut.
e. Risk Responses
Manajemen harus menetapkan berbagai pilihan tanggapan (response)
terhadap risiko dan mempertimbangkan konsekuensinya melalui
intensitas dan besarnya pengaruh dari kejadian tersebut yang berkaitan
dengan toleransi risiko perusahaan. Tanggapan terhadap risiko yang
dapat dilakukan adalah:
1) Menghindari risiko (avoidance)
2) Mengurangi risiko (reduction)
3) Membagi risiko (sharing)
4) Menerima risiko (acceptance)
Penelaahan terhadap tanggapan atas risiko dan jaminan keyakinan
bahwa beberapa risk responses diambil dan diimplementasikan
merupakan suatu komponen kunci dari suatu ERM Framework.
35
f. Control Activities
Kebijakan dan prosedur harus ada untuk meyakinkan bahwa tanggapan
terhadap risiko yang memadai telah dilakukan. Control Activities harus
ada pada setiap level dan fungsi dalam perusahaan, termasuk approval,
authorizations, performance review, safety and security issues, dan
segregations of duties yang memadai.
g. Information and Communication
Informasi atas risiko yang berkaitan dengan perusahaan baik yang
berasal dari pihak luar ataupun pihak internal harus diidentifikasi,
diolah, dan dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang mempunyai
kaitan dan tanggung jawab. Komunikasi yang efektif harus mengalir
ke seluruh level perusahaan dan juga ke pihak-pihak eksternal seperti
pelanggan, pemasok, pemerintah, maupun pemegang saham.
h. Monitoring
Prosedur yang terus-menerus dilakukan untuk mengawasi program
ERM dan kualitasnya dari waktu ke waktu.
6. Mekanisme Corporate Governance
a. Pengertian Corporate Governance
Menurut Cadburry dalam Sutedi (2011), Good Corporate
Governance adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan
perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta
kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya
36
kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada
umumnya.
Kelompok negara maju Organization for Economic Co-operation
and Development (OECD) dalam Surya dan Yustiavandana (2008),
mendefinisikan Good Corporate Governance adalah:
“Sekumpulan hubungan antara pihak manajemen perusahaan,
board, pemegang saham, dan pihak lain yang mempunyai kepentingan
dengan perusahaan. Corporate Governance juga mensyaratkan adanya
struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja.
Corporate governance yang baik dapat memberikan rangsangan bagi
board dan manajemen untuk mencapai tujuan yang merupakan
kepentingan perusahaan dan pemegang saham harus memfasilitasi
pengawasan yang efektif sehingga mendorong perusahaan
menggunakan sumber daya dengan lebih efisien”.
Adapun Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor
KEP-177/M-MBU/2002 dalam Surya dan Yustiavandana (2008),
corporate governance adalah:
“Suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ BUMN
untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan
guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan
tetap memerhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan
peraturan perundangan dan nilai-nilai etika”.
Sedangkan menurut Price Waterhouse Coopers dalam Surya dan
Yustiavandana (2008).
“Corporate governance terkait dengan pengambilan keputusan
yang efektif dan dibangun melalui kultur organisasi, nilai-nilai, sistem,
berbagai proses, kebijakan-kebijakan dan struktur organisasi, yang
bertujuan untuk mencapai bisnis yang menguntungkan, efisien, dan
efektif dalam mengelola risiko dan bertanggung jawab dengan
memerhatikan kepentingan stakeholders”.
37
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate
Governance merupakan:
1) Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran
dewan komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan Para Stakeholder
lainnya.
2) Suatu sistem pengecekan dan pertimbangan kewenangan atas
pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua
peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset
perusahaan.
3) Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan,
pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.
b. Prinsip-prinsip Corporate Governance
Di Indonesia, dalam Code of Corporate Governance yang
diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)
2006, terdapat 5 prinsip Corporate Governance (CG) yang harus
diterapkan oleh setiap perusahaan yaitu transparency, accountability,
responsibility, independency dan fairness.
1) Transparency (Transparansi)
Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnisnya,
perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan
dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh para pemangku
kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk
mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh
38
peraturan perundang-undangan tetapi juga hal-hal yang penting
dalam pengambilan keputusan bagi pemegang saham, kreditur dan
pemangku kepentingan lainnya.
2) Accountability (Akuntabilitas)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara
benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan
tetap memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lainnya. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang
diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
3) Responsibility (Tanggung Jawab)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta
melaksanakan tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan
lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam
jangka yang panjang dan mendapat pengakuan sebagai good
corporate citizen.
4) Independency (Kemandirian)
Untuk melancarkan pelaksanaan azas GCG, perusahaan harus
dikelola secara independen sehingga masing-masing organ
perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi
oleh pihak lain.
5) Fairness (Kewajaran)
39
Dalam melaksanakan kegiatannya perusahaan harus selalu senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lainnya berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran.
Adapun Prinsip-prinsip GCG terdapat lima aspek yang
dijabarkan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and
Development) sebagai pedoman pengembagan kerangka kerja legal,
institutional, dan regulatory untuk corporate governance di suatu
negara. Lima aspek tersebut antara adalah:
1) Hak-hak pemegang saham dan fungsi kepemilikan: Hak-hak
pemegang saham harus dilindungi dan difasilitasi.
2) Perlakuan setara terhadap seluruh pemegang saham: Seluruh
pemegang saham termasuk pemegang saham minoritas dan
pemegang saham asing harus diperlakukan setara. Seluruh pemegang
saham harus diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan
perhatian bila hak-haknya dilanggar.
3) Peran stakeholders dalam corporate governance: Hak-hak para
pemangku kepentingan (stakeholders) harus diakui sesuai peraturan
perundangan yang berlaku, dan kerjasama aktif antara perusahaan
dan para stakeholders harus dikembangkan dalam upaya bersama
menciptakan kekayaan, pekerjaan, dan keberlanjutan perusahaan.
4) Disclosure dan transparansi: Disclosure atau pengungkapan yang
tepat waktu dan akurat mengenai segala aspek material perusahaan,
40
termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan governance
perusahaan.
5) Tanggung jawab Pengurus Perusahaan (Corporate Boards):
Pengawasan Komisaris terhadap pengelolaan perusahaan oleh
Direksi harus berjalan efektif, disertai adanya tuntutan strategik
terhadap manajemen, serta akuntabilitas dan loyalitas Direksi dan
Komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham.
Good corporate governance terdiri dari dua unsur, yaitu unsur yang
berasal dari dalam perusahaan (corporate governance internal
perusahaan) dan unsur yang berasal dari luar perusahaan (corporate
governance eksternal perusahaan). Corporate governance internal
perusahaan adalah unsur yang selalu diperlukan dalam perusahaan dan
sangat berperan dalam mengelola perusahaan. Jika kinerja corporate
governace internal baik maka kinerja perusahaan pun baik dan sebaliknya.
Unsur-unsur Corporate governance internal perusahaan menurut
Kresnohadi (2000:9) terdiri dari pemegang saham, direksi, dewan
komisaris, manajer, karyawan, sistem, dan komite audit.
Internal Governance merupakan bagian dari mekanisme Corporate
Governance yang telah menjadi pokok bahasan yang penting bagi para
pelaku bisnis di seluruh dunia. Krisis ekonomi yang berkepanjangan dan
tuntutan persaingan global menjadi salah satu faktor pendorong
dilakukannya reformasi GCG (Alijoyo dan Zaini, 2004). Saat ini terdapat
tuntutan yang besar dan ada kecenderungan bahwa manajemen
41
perusahaan-perusahaan publik diwajibkan mempertanggungjawabkan
pengelolaan perusahaan kepada publik (Syakhroza, 2004).
Istilah internal governance pada penelitian ini mengacu pada
penelitian Davidson, et al., (2005) yang menyatakan bahwa pengungkapan
laporan keuangan dapat mengurangi masalah keagenan dengan melakukan
monitoring terhadap perilaku agent. Beberapa hal yang terkait dengan
monitoring melalui mekanisme internal governance adalah dewan
komisaris independen, komite audit, fungsi internal audit, dan pemilihan
auditor eksternal. Tetapi dalam penelitian ini tidak memasukkan variabel
pemilihan auditor eksternal karena pernyataan Subramaniam, et al. (2009)
bahwa pemilihan auditor eksternal bukan merupakan mekanisme internal
governance melainkan external governance.
c. Komisaris Independen
Keberhasilan penegakan GCG sangat ditentukan oleh kualitas
pimpinannya yaitu komisaris sebagai pengawas dan direksi sebagai
pelaksana. Dalam mekanisme corporate governance, dewan komisaris
memiliki peranan dan tugas yang sangat penting. Dalam melaksanakan
fungsi pengawasan, dewan komisaris dapat memberikan kontribusi
terhadap proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas dan
mengandung informasi yang relevan bagi para stakeholders.
Di Indonesia saat ini, keberadaan komisaris independen sudah diatur
dalam Code of Good Corporate Governance yang dikeluarkan oleh
KNKG. Komisaris menurut kode tersebut, bertanggung jawab dan
42
mempunyai kewenangan untuk mengawasi kebijakan dan kegiatan yang
dilakukan oleh direksi dan memberi nasihat bila diperlukan (Juwitasari,
2008). Namun terkadang dewan komisaris di suatu perusahaan belum bisa
melaksanakan fungsi kontrol terhadap direksi dengan baik (Kusuma, 2004
dalam Yuliandri, 2010).
Pengertian komisaris independen seperti yang dikemukakan oleh
Alijoyo dan Zaini (2004) dalam Setyarini (2011), yaitu:
“Komisaris Independen adalah anggota komisaris yang berasal dari
luar perusahaan (tidak memiliki hubungan afiliasi dengan
perusahaan) yang dipilih secara transparan dan independen, memiliki
integritas dan kompetensi yang memadai, bebas dari pengaruh yang
berubungan dengan kepentingan pribadi atau pihak lain, serta dapat
bertindak secara objektif dan independen dengan berpedoman
kepada prinsip-prinsip Good Corporate Governance (transparency,
accountability, responsibility, fairness).
PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) melalui Keputusan Direksi PT Bursa
Efek Jakarta No: Kep-305/BEJ/07-2004 di dalam Pencatatan Efek No.1-
A: tentang Ketetentuan Umum Pencatatan Saham dan Efek yang bersifat
Ekuitas di bursa, dalam pasal 1-a menyebutkan tentang rasio komisaris
independen yaitu komisaris independen yang jumlahnya secara
proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh yang
bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris
independen sekurang kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari seluruh
jumlah anggota komisaris.
43
d. Risk Management Committee (RMC)
RMC menjadi populer sebagai mekanisme pengawas risiko yang
penting bagi perusahaan (Subramaniam, et al., 2009). Hal ini makin
diperkuat dengan survey oleh KPMG (2005) pada perusahaan-perusahaan
Australia, yang menyatakan bahwa lebih dari setengah responden (54%)
telah memiliki RMC, di mana sebesar 70% tergabung dengan komite
audit. Menurut Subramaniam, et al. (2009), secara umum area tugas dan
wewenang RMC adalah :
a. Mempertimbangkan strategi manajemen risiko organisasi
b. Mengevaluasi operasi manajemen risiko organisasi
c. Menaksir pelaporan keuangan organisasi
d. Memastikan bahwa organisasi dalam prakteknya memenuhi hukum
dan peraturan yang berlaku.
Peranan yang tidak boleh dilakukan oleh internal audit dan
disarankan untuk dilakukan oleh RMC sebagai unit yang independen,
antara lain:
a. Menetapkan batasan dan selera risiko (risk appetite)
b. Memastikan berlangsungnya proses manajemen risiko pada
perusahaaan
c. Melakukan validasi atas risiko yang telah teridentifikasi dan terukur
Dalam pembentukannya, RMC dapat tergabung dengan audit atau
dapat pula menjadi komite yang terpisah dan berdiri sendiri. Komite
terpisah yang secara khusus berfokus pada masalah risiko (RMC), dinilai
44
dapat menjadi mekanisme yang efektif dalam mendukung dewan
komisaris untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam tugas pengawasan
risiko dan manajemen pengendalian internal (Subramaniam, et al., 2009).
RMC yang terpisah dari audit akan lebih dapat mencurahkan lebih banyak
waktu dan usaha untuk menggabungkan berbagai risiko yang dihadapi
perusahaan secara luas dan mengevaluasi pengendalian terkait secara
keseluruhan (Subramaniam, et al., 2009). Selain itu, RMC yang terpisah
dari audit juga lebih memungkinkan dewan komisaris dalam memahami
profil risiko perusahaan dengan lebih mendalam (Bates dan Leclerc,
2009).
Pada sektor perbankan, RMC disebut pula dengan Komite Pemantau
Risiko. Berdasarkan PBI No.8/4/PBI/2006 salah satu prasyarat yang harus
dilengkapi oleh Bank Umum yaitu tentang Penerapan GCG bagi Bank
Umum adalah pembentukan Komite Pemantau Risiko. Komite ini
merupakan komite yang berada di bawah dewan komisaris, yang memiliki
fungsi membantu dewan komisaris dalam tugas pengawasan, khususnya di
bidang manajemen risiko.
Dibandingkan dengan sektor non-perbankan, ternyata risiko sektor
perbankan lebih banyak dan jauh lebih kompleks. Tercatat kurang lebih
ada 9 (sembilan) risiko yang dihadapi mulai dari risiko operasional, risiko
pasar, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategik, dan
risiko kepatuhan (Fajri, 2007). Oleh karena itu, Bank Indonesia
mengakomodir hal ini dengan mewajibkan pembentukan Komite
45
Pemantau Risiko yang memiliki fungsi untuk melaksanakan evaluasi
tentang kesesuaian antara kebijakan manajemen risiko dengan pelaksanaan
kebijakan tersebut dan melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
tugas Komite Manajemen Risiko dan Satuan Kerja Manajemen Risiko di
tingkat direksi. Pembentukan Komite Pemantau Risiko menjadi efektif
dengan mempertimbangkan tingkat kegunaannya bagi perusahaan.
e. Reputasi Auditor
Auditor merupakan kunci mekanisme pengawasan eksternal dari
sebuah organisasi, dan dalam beberapa tahun ini menjadi pusat perhatian
bagi manajemen risiko (Subramaniam, et al., 2009). Auditor eksternal juga
dapat mempengaruhi sistem pengawasan internal klien dengan membuat
rekomendasi post-audit pada peningkatan desain dari sistem
(Subramaniam, et al., 2009).
Auditor dengan reputasi baik seperti Big Four juga cenderung untuk
lebih memilih berhubungan dengan klien yang memiliki nilai yang baik
dalam komunitas bisnis, oleh karena itu auditor Big Four akan
mempengaruhi klien untuk bertindak sesuai dengan praktek terbaik.
(Carson, 2002 dalam Andarini dan Indira, 2010). Auditor Big Four dapat
meningkatkan kualitas mekanisme pengawasan internal yang lebih tinggi
kepada kliennya dibandingkan dengan auditor non-Big Four (Cohen et al.,
2004 dalam Subramaniam et al., 2009).
46
f. Struktur Kepemilikan
Pengelolaan perusahaan pada umumnya bertujuan untuk
memakmurkan pemiliknya. Semakin tinggi nilai perusahaan
menggambarkan semakin sejahtera pemiliknya. Nilai perusahaan akan
tercermin dari harga pasar sahamnya (Fama, 1978 dalam Untung dan
Hartini, 2006 dalam Pujiati 2010). Untuk mencapai tujuan tersebut, para
pihak yang berkepentingan seperti pemilik modal (sebagai principal) bisa
mempercayakan kepada para profesional (managerial) untuk mengelola
perusahaan dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
Berdasarkan teori keagenan (agency theory), adanya pemisahan
kepemilikan dan pengelolaan perusahaan dapat menimbulkan masalah
keagenan (agency problems), yaitu ketidaksejajaran antara principal
(pemilik atau pemegang saham) dan agent (manajer). Adanya beberapa
penyatuan kepentingan pemegang saham, debtholders dan manajemen
dengan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan terhadap tujuan
perusahaan, seringkali menimbulkan masalah-masalah. Untuk itu,
diperlukan sebuah kontrol dari pihak luar dimana peran monitoring dan
pengawasan yang baik akan mengarahkan tujuan sebagaimana mestinya.
Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang
saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Untuk itu
manajemen diberikan sebagian kekuasaan untuk membuat keputusan bagi
kepentingan terbaik pemegang saham. Oleh karena itu, manajemen wajib
mempertanggungjawabkan semua upayanya kepada pemegang saham.
47
Struktur kepemilikan dapat dibedakan menurut dua sudut pandang yang
berbeda, yakni:
a. Pendekatan keagenan
Struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi
konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham.
b. Pendekatan informasi asimetri
Struktur kepemilikan sebagai salah satu cara untuk mengurangi
ketidakseimbangan informasi antara insider dan outsider melalui
pengungkapan informasi.
Menurut Untung dan Hartini (2006), struktur kepemilikan
dikelompokkan atas proporsi saham yang dimiliki yaitu:
a. Kepemilikan manajerial (Managerial Ownership)
Merupakan proporsi pemegang saham dari pihak manajemen yang
secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (direktur
dan komisaris).
b. Kepemilikan institusional (Institusional Ownership)
Merupakan proporsi pemegang saham yang dimiliki oleh pemilik
institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi
dan kepemilikan lain kecuali anak perusahaan dan institusi lain yang
memiliki hubungan istimewa (perusahaan afiliasi dan perusahaan
asosiasi) atas laporan yang dibuat menurut data di Bursa Efek
Indonesia serta kepemilikan saham oleh pihak blockholders yaitu
saham yang dimiliki perseorangan diatas 5% selama tiga tahun
48
berturut-turut tetapi tidak termasuk dalam golongan kepemilikan
insider.
g. Konsentrasi Kepemilikan
Pemegang saham dalam sebuah perusahaan bisa merupakan
individu, keluarga atau kelompok keluarga, perusahaan, bank, investor,
institusi (perusahaan keuangan, perusahaan asuransi, lembaga pensiun,
atau lembaga pendanaan), atau perusahaan non keuangan (Gunarsih,
2002). Menurut Nuryaman (2008) struktur kepemilikan saham
mencerminkan distribusi kekuasaan dan pengaruh di antara pemegang
saham atas kegiatan operasional perusahaan. Salah satu karakteristik
struktur kepemilikan adalah konsentrasi kepemilikan. Kepemilikan
terkonsentrasi merupakan fenomena yang lazim ditemukan di negara
dengan ekonomi sedang bertumbuh seperti Indonesia dan di negara-negara
continenal Europe. Sebaliknya, di negara-negara Anglo Saxon seperti
Inggris dan Amerika Serikat, struktur kepemilikan relatif sangat menyebar
(La Porta dan Silanez, 1999).
Kepemilikan saham dikatakan terkonsentrasi jika sebagian besar
saham dimiliki oleh sebagian kecil individu atau kelompok, sehingga
pemegang saham tersebut memiliki jumlah saham yang relatif dominan
dibandingkan dengan lainnya. Kepemilikan saham dikatakan menyebar,
jika kepemilikan saham menyebar secara relatif merata ke publik, tidak
ada yang memiliki saham dalam jumlah sangat besar dibandingkan dengan
lainnya (Dallas, 2004). Apabila kepemilikan saham perusahaan cenderung
49
menyebar, maka pengendalian pemilik akan lemah karena lemahnya
pengawasan (monitoring). Apabila kepemilikan saham terkonsentrasi,
maka pemilik saham terbesar dapat melakukan pengawasan total terhadap
manajemen (Rini dan Aida, 2006). Teori yang dikemukakan oleh La Porta
et al. (2000) dalam Rini dan Aida (2006) menyatakan bahwa pemegang
saham mayoritas biasanya lebih banyak berperan dalam pengambilan
keputusan untuk kepentingan perusahaan pada negara-negara di Asia.
Penelitian yang dilakukan oleh Rini dan Aida (2006) tentang pengaruh
kepemilikan saham minoritas (publik) dan kepemilikan saham mayoritas
terhadap kebijakan deviden menggunakan proksi persentase pemilik
saham terbesar untuk mengukur kepemilikan saham mayoritas. Hal ini
tidak jauh berbeda dengan penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011)
menggunakan proksi pemegang saham mayoritas dengan kepemilikan
saham lebih dari 50% untuk mengukur konsentrasi kepemilikan.
Adapun pengertian kepemilikan saham mayoritas sesuai dengan
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.7 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pasal 27 (Pemilikan Saham) UU No.5 Tahun 1999 adalah
bentuk penguasaan terhadap bagian modal perusahaan yang berakibat
bahwa pemegang saham yang bersangkutan memegang kendali terhadap
manajemen, penentuan arah, strategi, dan kebijakan perusahaan termasuk
tapi tidak terbatas pada kebijakan pengambilan tindakan korporasi
(corporate actions), penentuan direksi/komisaris, pelaksanaan hak veto,
50
akses terhadap informasi sensitif (private information), pembagian
keuntungan, penggabungan, peleburan, dan atau pengambilalihan.
Untuk mengetahui apakah suatu kepemilikan saham mayoritas oleh
suatu pelaku usaha dilarang oleh UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka perlu diperhatikan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Pelaku usaha memiliki saham mayoritas pada dua atau lebih
perusahaan/perseroan;
2. Kepemilikan saham mayoritas tersebut, dengan tetap memperhatikan
apa yang diatur dalam anggaran dasar perseroan, memberikan
kewenangan yang lebih besar dengan melakukan pengendalian atas
perseroan;
3. Dua atau lebih perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang
sejenis;
4. Dua atau lebih perusahaan tersebut melakukan kegiatan usaha pada
pasar bersangkutan yang sama; dan
5. Kepemilikan pelaku usaha pada dua atau lebih perusahaan tersebut
mengakibatkan satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai pangsa pasar sebesar 50% atas suatu barang/jasa atau
menguasai pangsa pasar sebesar 75% atas suatu barang/jasa.
Kepemilikan saham mayoritas yang dilarang adalah bentuk
penguasaan terhadap modal perusahaan yang berakibat pada pemegang
saham tersebut dapat memegang kendali terhadap manajemen, penentuan
51
arah, strategi, dan kebijakan perusahaan, termasuk tapi tidak terbatas pada
penentuan direksi/komisaris, penentuan hak veto, akses terhadap informasi
sensitive (private information), pembagian keuntungan dan tindakan
korporasi (corporate actions) termasuk tetapi tidak terbatas pada
penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, divestasi,
investasi, pencatatan saham pada bursa, privatisasi.
Kendali yang dimaksud adalah baik kendali dengan memiliki
proporsi jumlah saham secara kumulatif lebih besar yang dimiliki oleh
satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha dibandingkan dengan
jumlah saham yang dimiliki oleh pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha lain atas badan usaha yang sama. Misalkan suatu perusahaan
dimiliki oleh tiga pelaku usaha dengan komposisi kepemilikan 40%, 35%,
dan 25%, maka yang disebut sebagai saham mayoritas pada contoh ini
adalah kepemilikan 40%. Pemilikan saham mayoritas yang diatur oleh
undang-undang ini adalah kepemilikan saham mayoritas pada dua atau
lebih perusahaan. Jadi dalam hal pemilikan saham mayoritas pada satu
perusahaan, maka kepemilikan saham tersebut tidak melanggar ketentuan
pasal 27 UU No. 5/1999. Selain itu dikenal juga kendali bentuk lain yaitu
walaupun memiliki saham tidak dalam jumlah terbanyak tetapi cukup
untuk pengambilan keputusan strategis dalam rapat umum pemegang
saham.
Perbedaan pola kepemilikan ini memberi implikasi yang berbeda
dalam penelitian. Demsetz dan Villalonga (2001) melakukan penelitian
52
dengan menggunakan sampel perusahaan di Amerika Serikat dan Inggris
tidak menemukan hubungan yang signifikan antara struktur kepemilikan
dengan kinerja perusahaan. Chen (2001) dengan mengambil sampel
perusahaan di negara berkembang menemukan hubungan positif antar
struktur kepemilikan dengan kinerja perusahaan. Sedangkan Morck dan
Shivdasani (1988) menghasilkan kesimpulan bahwa hubungan konsentrasi
kepemilikan dengan kinerja bersifat nonmonotonic. Konsentrasi
kepemilikan dapat menjadi mekanisme internal pendisiplinan manajemen,
sebagai salah satu mekanisme yang dapat digunakan untuk meningkatkan
efektivitas monitoring, karena dengan kepemilikan yang besar menjadikan
pemegang saham memiliki akses informasi yang cukup signifikan untuk
mengimbangi keuntungan informasional yang dimiliki manajemen. Jika
ini dapat diwujudkan maka tindakan moral hazard manajemen berupa
manajemen laba dapat dikurangi seperti yang telah dikemukakan oleh
Hubert dan Langhe (2002) dalam Nuryaman (2008).
Di negara-negara dengan derajat perlindungan terhadap investor
rendah (seperti halnya Indonesia), pemegang saham merasa khawatir akan
kemungkinan berbedanya pendapatan yang diperoleh dengan yang
diekspektasikan. Akibatnya, mereka memperbesar persentase kepemilikan
atas perusahaan sebagai salah satu cara untuk melindungi diri. Mereka
dapat mengendalikan perusahaan melalui voting power, atau representasi
mereka di manajemen sehingga hak-hak mereka terlindungi (La Porta dan
Silanez 1999). Musnadi (2006) melakukan penelitian tentang struktur
53
kepemilikan sebagai mekanisme corporate govenrnance, serta dampaknya
terhadap kinerja keuangan perusahaan, dengan menggunakan emiten non
financial yang berkapitalisasi menengah besar yang terdaftar di Bursa
Efek Jakarta (sekarang BEI). Hasilnya menunjukan bahwa kepemilikan
terkonsentrasi terbesar memiliki pengaruh positif terhadap kinerja
keuangan perusahaan. Hasil ini bermakna bahwa kepemilikan saham
terkonsentrasi dapat berperan sebagai mekanisme corporate governance
dalam mengurangi persoalan keagenan, sebab konsentrasi kepemilikan
dapat menjadikan pemegang saham pada posisi yang kuat untuk dapat
mengendalikan manajemen secara efektif, sehingga mendorong
manajemen bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham.
Pada struktur kepemilikan yang lebih terkonsentrasi, investor besar
memiliki insentif untuk mengumpulkan informasi dan memantau
manajemen secara langsung (Shleifer dan Vishny, 1997), sehingga mereka
tidak bergantung pada dewan untuk masalah pemantauan. Selain itu,
investor besar mampu memantau kemampuan dewan, karena mereka
memiliki akses informasi dan nilai yang relevan (Heflin dan Shaw, 2000).
Investor besar terlibat dengan manajemen dalam menetapkan kebijakan
perusahaan (Davies, 2002), memiliki beberapa kemampuan untuk
mempengaruhi voting dan mungkin mendapat perhatian khusus dari
manajemen (Useem, 1996). Oleh karena itu, pemegang saham pengendali
dapat memantau ketidaksinambungan manajerial yang terjadi dalam
perusahaan (Desender, 2010).
54
Penelitian sebelumnya (La Porta, et al., 1999 dan Faccio, Lang dan
Young, 2001), menentukan perusahaan dengan kepemilikan terkonsentrasi
jika individu, kelompok keluarga atau perusahaan memiliki saham
minimal 20% dari total saham perusahaan. Kepemilikan langsung dan
kepemilikan tidak langsung dianggap menentukan struktur kepemilikan
(menggunakan ambang batas tingkat 20% untuk menentukan kontrol
kepemilikan tidak langsung, misalnya, jika seorang investor memiliki 80%
saham dari perusahaan X yang memiliki 20% saham dari perusahaan Y,
maka investor ini menguasai 20% saham dari perusahaan Y melalui
kepemilikan saham tidak langsung). Perusahaan tanpa pemegang saham
pengendali diklasifikasikan sebagai perusahaan dengan kepemilikan
tersebar.
Desender (2010) mengklasifikasikan perusahaan menjadi tiga jenis
kepemilikan yaitu, keluarga, perusahaan dan bank. Pemegang saham
pengendali adalah pemegang saham terbesar dengan setidaknya 20%
saham pada setiap jenis saham dengan mempertimbangkan kepemilikan
saham langsung dan tidak langsung, serta hubungan keluarga. Selanjutnya,
kepemilikan keluarga diidentifikasi jika ada hubungan kekerabatan antara
pemegang saham individu. Misalnya, dalam kasus SOS Cuétara, dimana
pemegang saham individu terbesar (melalui kepemilikan saham langsung
dan tidak langsung) adalah dua bersaudara Jesús Ignacio (16,0%) dan Raúl
Jaime Salazar Bello (9,7%). Untuk menghitung saham kepemilikan
55
pemegang saham terbesar, beliau menyatakan bahwa keluarga Salazar
Bello menguasai lebih dari 25%.
Desender berpendapat bahwa mungkin ada pengaruh substitusi atau
komplementer antara dimensi struktur kepemilikan (konsentrasi /dispersi)
dan dewan direksi dalam hal pemantauan manajerial. Untuk mendukung
hipotesisnya, Desender (2010) menggunakan ambang batas alternatif 25%
serta dua langkah berkelanjutan (indeks konsentrasi kepemilikan
Herfindahl dan total kepemilikan saham dari pemegang saham terbesar)
untuk memperhitungkan konsentrasi kepemilikan.
Pemegang saham pengendali merupakan mekanisme tata kelola
internal jika terdapat satu atau lebih pemegang saham besar dalam
perusahaan. Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.38
(Revisi 2011): Kombinasi Bisnis Entitas Sepengendali, yang mengatur
tentang kombinasi bisnis antara entitas yang berada di bawah
pengendalian yang sama mendefinisikan pengendalian sebagai kekuasaan
untuk mengatur kebijakan keuangan dan operasional suatu entitas untuk
memperoleh manfaat dari aktivitas entitas tersebut. Adapun pengertian
pemegang saham pengendali sesuai dengan Keputusan Badan Pengawas
Pasar Modal No.05/PM/2002 Tentang Pengambilalihan Perusahaan
Terbuka adalah:
1) Pihak yang memiliki saham 25 % (dua puluh lima perseratus) atau
lebih, kecuali pihak tersebut dapat membuktikan tidak mengendalikan
Perusahaan Terbuka; atau
56
2) Pihak yang mempunyai kemampuan, baik langsung maupun tidak
langsung untuk mengendalikan Perusahaan Terbuka dengan cara :
a) Menentukan diangkat dan diberhentikannya direksi atau
komisaris; atau
b) Melakukan perubahan anggaran dasar Perusahaan Terbuka.
Sedangkan pengertian pemegang saham pengendali sesuai dengan
Peraturan Bank Indonesia No.14/24/PBI/2012 tentang Kepemilikan
Tunggal Pada Perbankan Indonesia adalah badan hukum dan/atau
perorangan dan/atau kelompok usaha yang:
1. memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau
lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak
suara;
2. memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus)
dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara
namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Bank baik
secara langsung maupun tidak langsung.
B. Keterkaitan Antar Variabel dan Perumusan Hipotesis
Adapun keterkaitan antar variabel dependen dan independen dalam
penelitian ini adalah:
1. Komisaris Independen dengan Pengungkapan ERM
Proporsi komisaris independen dalam dewan komisaris dikatakan
sebagai indikator independensi dewan. Kehadiran komisaris independen
dapat meningkatkan kualitas pengawasan karena tidak terafiliasi dengan
57
perusahaan sehingga bebas dalam pengambilan keputusan. Teori ini sering
disebut dengan the monitoring effect theory (Fama dan Jensen, 1983).
Penelitian Beasley (1996) menunjukkan adanya hubungan terbalik antara
proporsi komisaris independen dengan tingkat kecurangan pelaporan
keuangan. Perusahaan dengan proporsi komisaris independen yang tinggi
cenderung lebih memperhatikan risiko perusahaan dibandingkan proporsi
komisaris independen yang rendah (O’Sullivan, 1997).
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian Dionne dan
Thouraya (2004) menunjukkan bahwa kehadiran komisaris independen
tidak berpengaruh pada tingkat adopsi ERM. Begitu juga dengan
penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) menemukan bahwa proporsi
dewan komisaris independen tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap pengungkapan ERM. Namun, penelitian Kleffner et al. (2003)
dan Beasley et al. (2005) menunjukkan bahwa kehadiran komisaris
independen meningkatkan kualitas pengawasan atas implementasi
manajemen risiko dan kualitas audit sehingga dapat mengurangi
kecurangan dan perilaku oportunistik manajer. Dengan demikian,
keterkaitan antara komisaris independen dan pengungkapan ERM yang
telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan melalui hipotesis alternatif
pertama yang diajukan adalah:
Ha1: Komisaris independen memiliki pengaruh yang signifikan secara
parsial terhadap Pengungkapan Enterprise Risk Management.
58
2. Risk Management Committee (RMC) dengan Pengungkapan ERM
Risk Management Committee (RMC) merupakan salah satu unsur
penting dalam pengelolaan manajemen risiko perusahaan. Tugas dan
wewenang RMC adalah mempertimbangkan strategi, mengevaluasi
manajemen risiko, dan memastikan bahwa perusahaan telah memenuhi
hukum dan peraturan yang berlaku (Subramaniam, et al., 2009).
Pembentukan RMC itu sendiri belum banyak dilakukan perusahaan. Saat
ini pemerintah melalui peraturan BI No.8/4/PBI/2006 tentang Good
Corporate Governance bagi Bank Umum hanya mewajibkan perbankan
untuk membentuk RMC sebagai komite pengawas risiko.
Berbeda dari industri perbankan yang diregulasi secara ketat,
pembentukan RMC pada sektor industri lain di Indonesia masih bersifat
sukarela. Meskipun demikian, mengingat pengelolaan manajemen risiko
membutuhkan pemahaman yang cukup atas struktur dan operasi
perusahaan maka banyak perusahaan selain perbankan tetap membentuk
komite pengawas manajemen risiko.
Dalam pembentukannya, RMC dapat tergabung dengan komite
audit atau menjadi komite terpisah dan berdiri sendiri yang khusus
berfokus pada masalah risiko. Perusahaan yang memiliki RMC dapat lebih
banyak mencurahkan waktu, tenaga, dan kemampuan untuk mengevaluasi
pengendalian internal dan menyelesaikan berbagai risiko yang mungkin
dihadapi perusahaan (Andarini dan Indira, 2010). RMC juga lebih
memungkinkan dewan komisaris untuk memahami profil risiko
59
perusahaan dengan lebih mendalam (Bates dan Leclerc, 2009). Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) yang
menunjukkan bahwa keberadaan RMC berpengaruh signifikan terhadap
pengungkapan ERM. Untuk itu, hipotesis yang dikemukakan adalah:
Ha2: Komite Manajemen Risiko (RMC) yang terpisah dari audit
memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap
Pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM).
3. Reputasi Auditor dengan Pengungkapan ERM
Auditor Big Four dipandang memiliki reputasi baik. Secara umum
akan memberikan panduan kepada kliennya mengenai praktek corporate
governance terbaik, khususnya mengenai penerapan ERM (Chen, et al.,
2009). Penelitian ini menggunakan Big Four sebagai proksi dari reputasi
auditor karena Big Four dipandang memiliki reputasi dan keahlian yang
baik untuk mengidentifikasi risiko perusahaan yang mungkin terjadi. Big
Four dapat memberikan panduan mengenai praktek good corporate
governance, membantu internal auditor dalam mengevaluasi dan
meningkatkan efektivitas manajemen risiko sehingga meningkatkan
kualitas penilaian dan pengawasan risiko perusahaan (Chen et al., 2009
dalam Meisaroh dan Lucyanda, 2011). Penelitian Beasley et al. (2005) dan
Desender (2007) menemukan adanya pengaruh antara keberadaan Big
Four dengan tingkat adopsi ERM. Terdapat tekanan yang lebih besar pada
perusahaan yang diaudit Big Four untuk menerapkan dan mengungkapkan
60
ERM (Chen et al., 2009). Dengan demikian, hipotesis yang dapat
dikemukakan adalah:
Ha3: Reputasi Auditor memiliki pengaruh yang signifikan secara
parsial terhadap Pengungkapan Enterprise Risk Management
(ERM).
4. Konsentrasi Kepemilikan dengan Pengungkapan ERM
Hasil penelitian Demsetz dan Lehn (1985) menemukan adanya
pengaruh antara risiko bisnis dan konsentrasi kepemilikan. Semakin besar
tingkat konsentrasi kepemilikan maka semakin kuat tuntutan untuk
mengidentifikasi risiko yang mungkin dihadapi seperti risiko keuangan,
operasional, reputasi, peraturan, dan informasi. Shleifer dan Vishny (1986)
menyatakan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kualitas
manajemen risiko adalah memastikan adanya minimal satu pemegang
saham besar dalam perusahaan. Penelitian Desender (2007) menemukan
bahwa pada perusahaan dengan kepemilikan terkonsentrasi, pemegang
saham mayoritas memiliki preferensi yang kuat untuk mengendalikan
manajemen, mengurangi biaya agensi dan meningkatkan peran
pengawasan pada perusahaan tempat mereka berinvestasi. Oleh karena itu,
hipotesis yang dapat dikemukakan adalah:
Ha4: Konsentrasi Kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan
secara parsial terhadap Pengungkapan Enterprise Risk
Management (ERM).
61
5. Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor
dan Konsentrasi Kepemilikan dengan Pengungkapan ERM.
Hasil penelitian Nuryaman (2008) menunjukkan bahwa komposisi
dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, tetapi
konsentrasi kepemilikan, ukuran perusahaan dan kualitas audit
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Penelitian Meisaroh dan
Lucyanda (2011) menunjukkan bahwa dewan komisaris independen dan
ukuran dewan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan ERM, tetapi
keberadaan RMC, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan
berpengaruh terhadap pengungkapan ERM. Hal ini tidak jauh berbeda
dengan hasil penelitian Venny Fathimiyah, dkk. (2012) yang menemukan
bahwa kepemilikan manajemen, kepemilikan institusi domestik,
kepemilikan institusi asing dan kepemilikan publik memiliki pengaruh
secara bersama-sama (simultan) terhadap risk management disclosure.
Untuk itu, hipotesis yang akan dikemukakan adalah:
Ha5: Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi
Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan memiliki pengaruh yang
signifikan secara simultan terhadap Pengungkapan Enterprise
Risk Management (ERM).
C. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian telah dilakukan sebelumnya dan berhubungan
dengan pengaruh mekanisme internal governance seperti komisaris
independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor, dan konsentrasi
62
kepemilikan terhadap pengungkapan ERM. Kleffner et al. (2003) menemukan
bahwa adanya Chief Risk Officer, jumlah dewan direksi, dan kepatuhan atas
pedoman yang dikeluarkan Bursa Efek merupakan kunci sukses penerapan
ERM. Hasil penelitian Beasley et al. (2005) dan Desender (2007)
menunjukkan bahwa keberadaan Chief Risk Officer, komisaris independen,
tipe auditor, dan ukuran perusahaan berpengaruh pada tingkat pengungkapan
ERM. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa dewan direksi merupakan
pihak yang berperan penting dalam penerapan ERM (Lam, 2001 dan Walker
et al., 2002).
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian – penelitian
sebelumnya, yang peneliti jadikan landasan dasar pengujian hipotesis dalam
penelitian ini diantaranya penelitian yang telah dilakukan oleh:
1. Kurt A. Desender (2007)
Penelitian mengenai kualitas ERM, karakteristik dewan dengan
proksi independensi dewan, pemisahan jabatan CEO dan komisaris, Cost
Agency: free float dan leverage, ukuran perusahaan, beta (risk of
nvestors) dan tipe KAP pada 75 perusahaan farmasi yang terdaftar di
Bursa Efek Spanyol membuktikan bahwa independensi dewan tidak
berhubungan dengan kualitas ERM. Pemisahan CEO dengan dewan
komisaris dan kombinasi antara independensi dewan dengan pemisahan
CEO dan dewan komisaris berhubungan signifikan terhadap kualitas
ERM.
2. Subrabamaniam et al. (2009)
63
Penelitian yang dilakukan terhadap 200 perusahaan teratas yang
terdaftar dalam Australia Stock Exchange (ASX). Penelitian ini menguji
hubungan antara karakteristik dewan dan karakteristik perusahaan
terhadap keberadaan RMC di sebuah perusahaan. Penelitian ini juga
untuk mengetahui tipe RMC, apakah RMC tergabung dengan komite
audit atau terpisah dari komite audit dan berdiri sendiri (SRMC).
Karakteristik dewan dalam penelitian ini terdiri dari proporsi komisaris
independen, CEO Duality, dan ukuran dewan. Sedangkan karakteristik
perusahaan terdiri dari tipe auditor eksternal, tipe industri, kompleksitas,
risiko pelaporan keuangan, dan leverage. Hasil penelitiannya menyatakan
bahwa: (1) CEO independen dan ukuran dewan berpengaruh positif dan
signifikan terhadap keberadaan RMC, (2) CEO independen dan ukuran
dewan berhubungan positif dengan keberadaan SRMC (3) kompleksitas
berhubungan negatif dengan keberadaan SRMC.
3. Yatim (2009)
Penelitian mengenai hubungan antara pembentukan RMC dan
struktur dewan. Penelitian ini menggunakan sampel 690 perusahaan yang
listing pada Bursa Malaysia pada tahun 2003. Variabel independen yang
digunakan yaitu proporsi komisaris independen, CEO independen,
keahlian dewan, dan kerajinan dewan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa: (1) proporsi komisaris independen dan CEO independen
berhubungan positif dengan pembentukan RMC yang berdiri sendiri
(terpisah dari komite audit), (2) Perusahaan dengan keahlian dan
64
kerajinan dewan yang tinggi juga berpengaruh positif terhadap
pembentukan RMC.
4. Andarini dan Januarti (2010)
Penelitian ini menguji hubungan karakteristik dewan komisaris
(proporsi komisaris independen dan ukuran dewan) dan karakteristik
perusahaan (reputasi auditor, kompleksitas, risiko pelaporan keuangan,
leverage, dan ukuran perusahaan) terhadap pengungkapan RMC.
Penelitian ini menggunakan sampel 248 perusahaan nonfinansial yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2007-2008. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa hanya ukuran perusahaan secara
signifikan berhubungan positif dengan keberadaan RMC dan SRMC.
5. Nurika Restuningdiah (2011)
Penelitian mengenai Risk Management Committee oleh
Restuningdiah (2011) yang merupakan pengembangan dari penelitian
Davidson, et al., (2005) menunjukkan bahwa mekanisme internal
governance yang diproksi dengan dewan komisaris independen, komite
audit, fungsi audit internal, dan risk management committee tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini mengindikasikan bahwa
mekanisme internal governance yang diharapkan dapat mengatasi
masalah terkait dengan manajemen laba (income smoothing) belum
merupakan jaminan sepenuhnya bagi perusahaan saat ini dalam
memaksimalkan fungsi pengawasan.
6. Meisaroh dan Lucyanda (2011)
65
Penelitian mengenai pengaruh Corporate Governance dan Konsentrasi
Kepemilikan pada Pengungkapan Enterprise Risk Management
berdasarkan dimensi COSO ERM Framework. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh komisaris independen, ukuran dewan
komisaris, keberadaan RMC, reputasi auditor, dan konsentrasi
kepemilikan dengan pengungkapan ERM. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa komisaris independen dan ukuran dewan komisaris tidak
berpengaruh pada pengungkapan ERM. Sementara itu, keberadaan RMC,
reputasi auditor, dan konsentrasi kepemilikan berpengaruh terhadap
pengungkapan ERM.
Adapun beberapa penelitian yang menjadi acuan dan referensi bagi
penulis untuk melakukan penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
NAMA
VARIABEL METODE
HASIL
Meisaroh
dan
Lucyanda
(2011)
Pengungkapan ERM
(COSO Framework)
Proporsi Komisaris
Independen
Ukuran Dewan Komisaris
Keberadaan Risk
Management Committee
Reputasi Auditor
Konsentrasi Kepemilikan
Regresi
Linier
Berganda
Komsaris
independen dan
ukuran dewan
komisaris tidak
berpengaruh
pada
pengungkapan
ERM
Keberadaan
RMC, reputasi
auditor, dan
konsentrasi
kepemilikan
berpengaruh
pada
66
pengungkapan
ERM
Nurika
Restuning
diah
(2011)
Manajemen Laba (income
smoothing)
Mekanisme Internal
Governance: Proporsi
Dewan Komisaris
Independen, Efektivitas
Komite Audit (jumlah
pertemuan), Keberadaan
fungsi Internal Audit,
Keberadaan RMC (terpisah
dari komite lainnya)
Regresi
Logistik
Semua variabel
tidak berpengaruh
signifikan
terhadap
manajemen laba
Andarini
dan
Januarti
(2010)
Keberadaan RMC dan tipe
RMC (Tergabung atau
Terpisah dari Komite Adit)
Proporsi Komisaris
Independen
Ukuran Dewan
Tipe Auditor Eksternal
Tipe Industri
Kompleksitas
Risiko Pelaporan Keuangan
Leverage
Ukuran Perusahaan
Regresi
Logistik
Hanya ukuran
perusahaan
yang
berhubungan
positif dan
signifikan
terhadap
keberadaan
RMC maupun
SRMC.
Yatim
(2009)
Pembentukan RMC
Proporsi Komisaris
Independen
CEO Independen
Keahlian Dewan
Kerajinan Dewan
Regresi
Logistik
Proporsi
komisaris
independen
dan CEO
independen
berhubungan
positif
dengan
pembentukan
RMC yang
berdiri
sendiri
(terpisah dari
komite audit).
Perusahaan
dengan
keahlian dan
kerajinan
dewan yang
tinggi
juga
67
berpengaruh
positif terhadap
pembentukan
RMC.
Subramani
am
et al.
(2009)
Keberadaan RMC dan tipe
RMC (Tergabung atau
Terpisah dari Komite Adit)
Proporsi Komisaris
Independen
CEO Duality
Ukuran Dewan
Tipe Auditor Eksternal
Tipe Industri
Kompleksitas
Risiko Pelaporan Keuangan
Leverage
Regresi
Logistik
CEO
independen dan
ukuran dewan
berpengaruh
positif
dan signifikan
terhadap
keberadaan
RMC.
CEO
independen dan
ukuran dewan
berhubungan
positif
dengan
keberadaan
SRMC dan
kompleksitas
berhubungan
negatif dengan
keberadaan
SRMC.
Kurt A.
Desender
(2007)
Kualitas ERM
Karakteristik Dewan:
Independensi, pemisahan
jabatan CEO dan Komisaris
Cost Agency: free float dan
leverage
Ukuran Perusahaan
Beta (risk of investors)
Tipe KAP
Ordinary
Least
Squares
Independensi
dewan tidak
berhubungan
dengan Kualitas
ERM
Pemisahan
CEO dengan
dewan
komisaris dan
kombinasi
antara
independensi
dewan dengan
pemisahan
CEO dan
dewan
komisaris
berhubungan
signifikan
terhadap
68
kualitas ERM
D. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan uraian sebelumnya mengenai gambaran menyeluruh yang
merupakan kerangka konseptual mengenai pengaruh komisaris independen,
komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan
terhadap pengungkapan ERM, maka penulis menuangkan kerangka
pemikirannya dalam bentuk skema kerangka pemikiran yang dapat dilihat
pada gambar 2.4 di halaman berikutnya.
69
Gambar 2.4
Kerangka Pemikiran
Adanya Krisis Ekonomi Global pada tahun 2008
Variabel Independen
Variabel Dependen
Komisaris Independen
(Meisaroh dan Lucyanda, 2011)
Komite Manajemen Risiko
(Restuningdiah, 2011)
Reputasi Auditor
(Meisaroh dan Lucyanda, 2011)
Konsentrasi Kepemilikan
(Meisaroh dan Lucyanda, 2011)
Pengungkapan
Enterprise Risk
Management
(ERM):
Dimensi COSO
ERM Framework
(Meisaroh dan
Lucyanda, 2011)
Purposive Sampling
Regresi Berganda
Kesimpulan, Implikasi dan Saran
Uji Asumsi Klasik:
1. Normalitas
2. Multikolinearitas
3. Autokorelasi
4. Heteroskedastisitas
Koefisien Determinasi (R2)
Uji Hipotesis:
1. Uji F
2. Uji t
70
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Penelitian ini termasuk ke
dalam kelompok data time series dengan melihat dari dimensi waktu yang
digunakan selama periode penelitian yaitu tiga tahun, dari tahun 2009 sampai
dengan tahun 2011. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kausal
komparatif yaitu penelitian yang menggambarkan hubungan sebab akibat
antara dua variabel atau lebih (Indriantoro dan Supomo, 2002). Peneliti
bermaksud untuk menganalisis pengaruh variabel independen yakni komisaris
independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi
kepemilikan terhadap variabel dependen yakni pengungkapan ERM
berdasarkan dimensi COSO ERM Framework baik secara parsial maupun
simultan.
B. Metode Penentuan Sampel
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Kristianto, 2010). Sampel
adalah sebagian anggota dari populasi yang dipilih menggunakan proses
tertentu sehingga dapat mewakili populasi. Metode pemilihan sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling yaitu tipe
pemilihan sampel secara tidak acak yang informasinya diperoleh dengan
71
menggunakan pertimbangan tertentu. Adapun kriteria pemilihan sampel dalam
penelitian ini adalah :
1. Perusahaan nonfinancial yang terdaftar di BEI pada tahun 2009 sampai
dengan tahun 2011
2. Perusahaan yang mempublikasikan laporan keuangan dan laporan tahunan
(annual report) secara konsisten yang berakhir pada tanggal 31 Desember
selama periode 2009-2011 dan disajikan dalam rupiah
3. Perusahaan yang memiliki kelengkapan data mengenai komisaris
independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi
kepemilikan.
4. Perusahaan yang telah mengungkapkan manajemen risiko dalam laporan
tahunannya secara konsisten selama tahun 2009 sampai dengan tahun
2011.
5. Perusahaan yang memiliki satu atau lebih pemegang saham besar dengan
kepemilikan lebih dari ambang batas 50%.
C. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data kuantitatif yang merupakan data
sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh peneliti secara tidak
langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain)
(Indriantoro dan Supomo, 2002) sedangkan informasi KAP diperoleh dari
Indonesian Capital Market Directory. Selain itu, informasi mengenai
pengungkapan manajemen risiko perusahaan diperoleh dari laporan tahunan
perusahaan (annual report) yang dipublikasikan oleh Bursa Efek Indonesia
72
(BEI) selama tiga tahun berturut-turut mulai periode tahun 2009 sampai
dengan tahun 2011 dan website perusahaan yang telah dipublikasikan. Data
kuantitatif tersebut diukur dalam suatu skala rasio dan skala nominal.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh
dan didapatkan dengan cara:
1. Metode dokumentasi, yaitu dengan cara mengumpulkan, mencatat,
mengkaji data sekunder secara tidak langsung melalui media perantara
yang berupa annual report dari seluruh perusahaan go public kecuali
perusahaan financial yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode
tahun 2009 sampai dengan 2011. Data dalam penelitian ini diunduh
melalui situs www.idx.co.id. Dengan data-data tersebut bisa digunakan
untuk perhitungan variabel dalam penelitian ini, yaitu komisaris
independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor, konsentrasi
kepemilikan dan pengungkapan ERM.
2. Metode studi pustaka, yaitu dengan melakukan telaah pustaka, eksplorasi
dan mengkaji berbagai literatur pustaka seperti jurnal, tesis, surat kabar,
dan sumber-sumber lain yang berkaitan dengan penelitian. Hal ini
disebabkan kepustakaan adalah bahan utama dalam penelitian data
sekunder (Indriantoro dan Supomo, 2002).
D. Metode Analisis Data
Terdapat beberapa teknik statistik yang dapat digunakan untuk
menganalisis data. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mendapatkan
informasi yang relevan yang terkandung dalam data tersebut dan
73
menggunakan hasilnya untuk memecahkan suatu masalah. Sebelum analisis
regresi dilakukan, maka harus diuji terlebih dahulu dengan uji asumsi klasik
untuk memastikan apakah model regresi yang digunakan tidak terdapat
masalah normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokolerasi.
Jika terpenuhi maka model analisis layak untuk digunakan.
Dalam penelitian ini, pengujian hipotesis dan pengujian asumsi klasik
dilakukan dengan menggunakan alat analisis statistik yaitu berupa output
SPSS. SPSS yang digunakan adalah SPSS versi 20.
1. Analisis Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif digunakan untuk menganalisis data dengan cara
menggambarkan sampel data yang telah dikumpulkan dalam kondisi
sebenarnya tanpa maksud membuat kesimpulan yang berlaku umum dan
generalisasi. Analisis statistik deskriptif digunakan untuk memberi
gambaran umum mengenai demografi responden dalam penelitian dan
deskripsi mengenai variabel-variabel penelitian (komisaris independen,
komite manajemen risiko, reputasi auditor, konsentrasi kepemilikan dan
pengungkapan ERM).
Statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskripsi suatu data
yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, maksimum,
minimum (Ghozali, 2011). Mean digunakan untuk mengetahui rata-rata
data yang bersangkutan. Standar deviasi digunakan untuk mengetahui
seberapa besar data yang bersangkutan bervariasi dari rata-rata. Nilai
maksimum digunakan untuk mengetahui jumlah terbesar data yang
74
bersangkutan. Nilai minimum digunakan untuk mengetahui jumlah
terkecil data yang bersangkutan bervariasi dari rata-rata.
2. Uji Asumsi Klasik
Untuk mengetahui apakah model regresi benar-benar menunjukkan
hubungan yang signifikan, maka model tersebut harus memenuhi asumsi
klasik sebagai berikut:
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal.
Seperti diketahui, bahwa uji t dan uji F mengasumsikan bahwa nilai
residual mengikuti distribusi normal. Jika asumsi ini dilanggar, maka
uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil.
Jika terdapat normalitas, maka residual akan terdistribusi secara
normal dan independen (Ghozali, 2011). Hal ini menujukkan bahwa
terdapat perbedaan antara nilai prediksi dengan skor yang
sesungguhnya atau error akan terdistribusi secara simetri disekitar
nilai mean sama dengan nol. Jadi, salah satu cara untuk mendeteksi
normalitas adalah melalui pengamatan setiap masing-masing variabel
penelitian dan nilai residual.
Dasar pengambilan keputusan melalui analisis ini, jika data
menyebar disekitar garis diagonal sebagai representasi pola distribusi
normal, berarti model regresi memenuhi asumsi normalitas. Dalam
penelitian uji normalitas dilakukan dengan dua metode, yaitu:
75
1) Analisis Statistik
a) Uji Skewness dan Kurtosis
Analisis uji skewness dan kurtosis dilakukan dengan
melihat nilai kurtosis dan skewness dari masing-masing
variabel penelitian baik variabel independen maupun
variabel dependen. Skewness adalah derajat
ketidaksimetrisan suatu distribusi. Skewed variabel (variabel
menceng) adalah variabel yang nilai mean-nya tidak
ditengah-tengah distribusi. Sedangkan kurtosis adalah
derajat keruncingan suatu distribusi (biasanya diukur relatif
terhadap distribusi normal). Uji Skewness dan Kurtosis
adalah salah satu carauntuk mendeteksi normalitas melalui
pengamatan setiap masing-masing variabel penelitian Nilai z
statistik untuk skewness dapat dihitung dengan rumus:
√ ⁄
Sedangkan nilai z kurtosis dapat dihitung dengan rumus:
√ ⁄
Nilai Z ini kita bandingkan dengan nilai kritisnya yaitu
untuk alpha 0,05 nilai kritisnya 1,96.
b) Uji Statistik Kolmogrov-Smirnov (K-S)
Untuk mendeteksi normalitas data dapat juga dilakukan
dengan uji Kolmogrov-Smirnov. Uji statistik kolmogrov-
76
smirnov adalah salah satu pengujian yang dilakukan untuk
mendeteksi normalitas melalui pengamatan nilai residual.
Kelebihan dari pengujian ini adalah sederhana dan tidak
menimbulkan persepsi di antara satu pengamat dengan
pengamat yang lain, yang sering terjadi pada uji normalitas
dengan menggunakan grafik. Konsep dasar dari uji
normalitas Kolmogorov-Smirnov membandingkan distribusi
data (yang akan diuji normalitasnya) dengan distribusi
normal baku. Distribusi normal baku adalah data yang telah
ditransformasikan dalam bentuk Z-Score dan diasumsikan
normal. Jadi sebenarnya uji Kolmogorov-Smirnov adalah uji
beda antara data yang diuji normalitasnya dengan data
normal baku.
Seperti pada uji beda biasa, jika signifikansi di bawah
0,05 berarti terdapat perbedaan yang signifikan, dan jika
signifikansi di atas 0,05 maka tidak terjadi perbedaan yang
signifikan. Caranya adalah dengan menentukan terlebih
dahulu hipotesis pengujian yaitu :
Ho : Data residual terdistribusi secara normal
Ha : Data residual tidak terdistribusi secara normal
Penerapan pada uji Kolmogorov Smirnov adalah bahwa
jika signifikansi di bawah 0,05 berarti data yang akan diuji
77
mempunyai perbedaan yang signifikan dengan data normal
baku, berarti data tersebut tidak normal dan Ho ditolak.
Sedangkan, jika signifikansi di atas 0,05 maka tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara data yang akan
diuji dengan data normal baku, artinya data yang diuji
normal karena tidak berbeda dengan normal baku dan Ho
diterima.
2) Analisis Grafik
Analisis grafik dilakukan dengan melihat hasil ouput SPSS,
berupa grafik normal probability plots dan grafik histogram. Jika
titik-titik pada grafik normal probability plots mendekati garis
diagonal dan tidak terdapat kemencengan maka model regresi
tersebut dapat dikatakan terdistribusi secara normal. Kenormalan
tidaknya suatu data yang dideteksi melalui grafik normal
probability plots dan grafik histogram, kadang-kadang dapat
menyesatkan karena kelihatan distribusinya normal tetapi secara
statistik sebenarnya tidak normal.
b. Uji Multikolinieritas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen).
Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara
variabel independen (Ghozali, 2011). Untuk mendeteksi ada atau
78
tidaknya multikolinearitas di dalam model regresi adalah sebagai
berikut:
1) Nilai R2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi
empiris sangat tinggi, tetapi secara individual variabel-variabel
independen banyak yang tidak signifikan mempengaruhi variabel
dependen.
2) Menganalisis matriks korelasi variabel independen. Jika antar
variabel ada korelasi yang cukup tinggi (> 0.90) maka hal
tersebut merupakan indikasi adanya multikolinieritas.
3) Dilihat dari nilai tolerance dan lawannya Variance Inflation
Factor (VIF). Tolerance mengukur variabilitas variabel
independen yang terpilih yang tidak dijelaskan oleh variabel
independen lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama
dengan nilai VIF yang tinggi. Nilai yang umum digunakan
adalah nilai tolerance > 0.10 atau sama dengan nilai VIF <10
(Ghozali, 2011).
c. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model
regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual suatu pengamatan
ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual suatu
pengamatan terhadap pengamatan lain tetap, maka disebut
homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model
79
regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak ada
heteroskedastisitas (Ghozali, 2011).
Salah satu cara untuk mendeteksi heteroskedastisitas adalah
dengan melihat grafik scatter plot antara lain prediksi variabel terikat
(dependen) yaitu ZPRED dengan residualnya SRESID. Deteksi ada
tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada
tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara SRESID dan
ZPRED dimana sumbu Y adalah Y yang diprediksi dan sumbu X
adalah residual (Y prediksi – Y sesungguhnya) yang telah di-
studentized.
Jika ada titik pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar
kemudian menyempit) maka mengindikasikan telah terjadi
heteroskedastisitas. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik
menyebar diatas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak
terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2011). Analisis dengan grafik
plots memiliki kelemahan yang cukup signifikan. Oleh karena, jumlah
pengamatan mempengaruhi hasil ploting. Semakin sedikit jumlah
pengamatan semakin sulit menginterpretasikan hasil grafik plot.
d. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu (problem
autokorelasi) pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada
80
periode t-1 (sebelumnya). Model regresi yang baik adalah regresi yang
bebas dari autokorelasi.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada
atau tidaknya autokorelasi, salah satunya dapat dilihat dari angka
Durbin Watson (D-W) sebagai berikut:
1) Bila nilai D-W terletak antara batas atas (du) dan (4-du) maka
koefisien autokorelasi sama dengan nol dan berarti tidak ada
autokorelasi.
2) Bila nilai D-W lebih rendah daripada batas bawah atau lower
bound (dl) maka koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol
dan berarti ada autokorelasi positif.
3) Bila nilai D-W lebih besar daripada (4-dl), maka koefisien
autokorelasi lebih kecil daripada nol dan berarti ada autokorelasi
negatif.
4) Bila nilai D-W terletak di antara batas atas (du) dan batas bawah
(dl) ataupun terletak antara (4-du) dan (4-dl) berarti hasilnya
tidak dapat disimpulkan.
Selain uji Dubin Watson, uji statistik lain yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu uji run test. Jika nilai run test memiliki tingkat
signifikan di atas > 0,05 berarti tidak terjadi autokorelasi (Ghozali,
2011).
81
3. Analisis Regresi Berganda
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan alat analisis
regresi berganda. Penggunaan regresi ini dimaksudkan untuk mengetahui
secara terpisah (parsial) berbagai variabel independen yang ada (dalam hal
ini komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan
konsentrasi kepemilikan) tanpa ada pengaruh unsur variabel lain.
Sedangkan pengujian hipotesis menggunakan alat analisis regresi
berganda. Selain dapat melihat pengaruh masing-masing variabel
independen, analisis regresi berganda dapat juga digunakan untuk melihat
sejauh mana pengaruh interaksi variabel independen terhadap variabel
dependen.
Persamaan regresi berganda yang digunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan:
Y : Pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)
0 : Konstanta
1 : Koefisien regresi pertama, yaitu besarnya perubahan Y apabila
X1 berubah 1 satuan
X1 : Komisaris Independen
2 : Koefisien regresi kedua, yaitu besarnya perubahan Y apabila X2
berubah 1 satuan
X2 : Komite Manajemen Risiko
Y = 0 + 1X1 +2X2 +3X3 +4X4+
82
3 : Koefisien regresi ketiga, yaitu besarnya perubahan Y apabila X3
berubah 1 satuan
X3 : Reputasi Auditor
4 : Koefisien regresi keempat, yaitu besarnya perubahan Y apabila
X4 berubah 1 satuan
X4 : Konsentrasi Kepemilikan
E : Error term
4. Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai
koefisien determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil
berarti menunjukkan bahwa kemampuan variabel-variabel independen
dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas dan semakin
lemah kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel
dependen. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen
memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi
variasi variabel dependen. Hal ini berarti semakin kuat kemampuan
variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen (Ghozali,
2011).
Dalam analisis koefisien determinasi, dilakukan pula analisis
koefisien korelasi yang digunakan untuk mengetahui apakah diantara dua
variabel terdapat hubungan. Jika terdapat hubungan maka bagaimana arah
hubungan tersebut untuk mengetahui ada tidaknya hubungan diantara dua
83
variabel maka digunakan tingkat signifikan sebesar 0,05. Jika nilai
probabilitas lebih besar dari 0,05 maka Ha ditolak dan sebaliknya jika nilai
probabilitas lebih kecil dari 0,05 maka Ha diterima. Analisis koefisien
korelasi digunakan untuk mengetahui derajat atau tingkat keeratan
hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen.
Dari hasil perhitungan tersebut berlaku ketentuan, jika :
Positif (+) : Menunjukkan hubungan yang searah antara kedua variabel.
Negatif (-) : Menunjukkan hubungan yang berlawanan arah antara kedua
variabel.
Kekuatan hubungan dua variabel secara kualitatif dapat dibagi dalam
empat area yaitu :
a. Jika nilai r berada antara 0,00 sampai dengan 0,25, maka tidak
ada hubungan atau hubungan lemah antara variabel dependen
dengan variabel independen.
b. Jika nilai r berada antara 0,26 sampai dengan 0,50, maka
hubungan sedang antara variabel dependen dengan variabel
independen.
c. Jika nilai r berada antara 0,51 sampai dengan 0,75, maka
hubungan kuat antara variabel dependen dengan variabel
independen.
d. Jika nilai r berada antara 0,76 sampai dengan 1, maka hubungan
sangat kuat atau sempurna antara variabel dependen dengan
variabel independen.
84
5. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji F untuk uji
simultan dan Uji t untuk uji parsial.
a. Pengujian secara Simultan (Uji F)
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua
variabel independen atau bebas yang dimasukkan dalam model
mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel
dependen atau terikat (Ghozali, 2011). Pengujian ini dilakukan
dengan menggunakan alat analisis statistik SPSS.
Kriteria pengujian yang digunakan sebagai berikut:
1) Ha ditolak apabila nilai signifikansi probabilitas pada hasil
output analisis SPSS untuk uji F berada di atas 0,05 (> 0,05).
Artinya variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel terikat.
2) Ha diterima apabila nilai signifikansi probabilitas pada hasil
output analisis SPSS untuk uji F berada di bawah 0,05 (< 0,05).
Artinya variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh secara
signifikan terhadap variabel terikat.
b. Pengujian secara Parsial (Uji t)
Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh
pengaruh satu variabel penjelas/independen secara individual dalam
menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali, 2011). Pengujian
ini dilakukan dengan menggunakan alat analisis statistik SPSS.
85
Kriteria pengujian yang digunakan sebagai berikut :
1) Ha ditolak apabila signifikan t hitung > 0,05 artinya
variabelbebas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
variabelterikat.
2) Ha diterima apabila signifikan t hitung < 0,05 artinya variabel
bebas berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat.
E. Operasionalisasi Variabel Penelitian
Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan pada suatu
variabel dengan memberi arti atau menspesifikasikan kegiatan atau
membenarkan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel
tersebut. Penelitian ini menggunakan dua jenis variabel, yaitu variabel
dependen dan variabel independen. Variabel dependen merupakan variabel
yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel
independen (bebas). Variabel independen adalah variabel yang menjelaskan
atau mempengaruhi variabel lain. Adapun variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :
1. Variabel Dependen
a. Pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)
Variabel dependen yaitu variabel yang dipengaruhi atau
tertanggung oleh variabel lain. Variabel dependen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pengungkapan ERM. Pengungkapan ERM
merupakan gambaran dari penerapan manajemen risiko perusahaan.
Semakin banyak item yang diungkapkan, diharapkan dapat
86
mencerminkan penerapan manajemen risiko yang efektif. Menurut
Amran et al., (2009) dalam Venny (2012) risk management disclosure
dapat diartikan sebagai pengungkapan atas risiko-risiko yang telah
dikelola perusahaan atau pengungkapan atas bagaimana perusahaan
dalam mengendalikan risiko yang berkaitan di masa mendatang. Risk
management disclosure berpotensi memiliki manfaat untuk para analis,
investor, dan stakeholders.
Dalam penelitian ini, pengungkapan ERM menggunakan kriteria
108 pengungkapan berdasarkan dimensi COSO ERM Framework yang
mencakup delapan dimensi yaitu lingkungan internal, penetapan
tujuan, identifikasi kejadian, penilaian risiko, respon atas risiko,
kegiatan pengawasan, informasi dan komunikasi, dan pemantauan
sesuai dengan penelitian Desender (2010) dan Meisaroh dan Lucyanda
(2011). Selain itu, perhitungan item-item menggunakan pendekatan
dikotomi yaitu setiap item ERM yang diungkapkan diberi nilai 1, dan
nilai 0 apabila tidak diungkapkan. Setiap item akan dijumlahkan untuk
memperoleh keseluruhan indeks ERM masing-masing perusahaan
dengan menghitung jumlah pengungkapan dan dibagi dengan total
item pengungkapan sebanyak 108 item. Informasi mengenai
pengungkapan ERM diperoleh dari laporan tahunan (annual report)
dan situs perusahaan (Meisaroh dan Lucyanda, 2011).
87
2. Variabel Independen
Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel
dependen, baik yang pengaruhnya positif maupun yang pengaruhnya
negatif. Adapun variabel independen yang digunakan dalam penelitian
ini terdiri dari:
a. Komisaris Independen
Proporsi jumlah komisaris independen dapat menggambarkan
tingkat independensi dan objektivitas dewan dalam pengambilan
keputusan (Spira dan Bender, 2004). Independensi dewan
komisaris dinyatakan dalam presentase jumlah anggota komisaris
independen dibandingkan dengan jumlah seluruh anggota dewan
komisaris (Subramaniam, et al., 2009) yang diperoleh dari
perhitungan:
b. Komite Manajemen Risiko (RMC)
Dalam penelitian ini keberadaan RMC (FIRM_RMC)
diklasifikasikan menjadi:
a) RMC yang tergabung, ketika dalam laporan tahunan
perusahaan mengungkapkan keberadaan suatu komite di bawah
komite audit.
b) RMC yang terpisah, ketika dalam laporan tahunan keberadaan
perusahaan mengungkapkan sebuah komite yang terpisah dari
COM_IND
88
komite audit yang secara khusus mengawasi risiko perusahaan
yang disebut sebagai “RMC”.
Pada penelitian ini, keberadaan RMC diukur dengan
menggunakan variabel dummy, dimana perusahaan yang
mengungkapkan keberadaan RMC yang terpisah dari komite audit
dan berdiri sendiri diberi nilai satu (1), sedangkan nilai nol (0)
apabila perusahaan mengungkapkan keberadaan RMC yang
tergabung dengan audit maupun komite lainnya di bawah komite
audit dalam laporan tahunannya (Nurika Restuningdiah, 2010).
c. Reputasi Auditor
Reputasi auditor merupakan prestasi dan kepercayaan publik
yang disandang auditor atas nama besar yang dimiliki auditor
tersebut. Reputasi auditor dinyatakan dengan apakah auditor yang
digunakan oleh perusahaan termasuk dalam Big Four atau tidak.
Perusahaan yang menggunakan KAP Big Four sebagai auditor
eksternalnya diberikan nilai satu (1) dan sebaliknya diberikan nilai nol
(0) (Subramaniam, et al., 2009).
Variabel reputasi auditor dalam penelitian ini diukur dengan
menggunakan variabel dummy. Dimana KAP yang mengaudit
laporan keuangan perusahaan dinilai berdasarkan reputasi KAP
tersebut. Dalam penelitian ini reputasi auditor (AUD_REP)
diproksikan dengan afiliasi KAP TheBig Four. Jika KAP termasuk
dalam kategori The Big Four Auditors diberi nilai 1, jika tidak
89
diberi nilai 0. KAP di Indonesia yang berafiliasi dengan The Big
Four Auditors yaitu (Cahyadi, 2009):
a) KAP Purwantono, Sarwoko, Sandjaja berafiliasi dengan KAP
Ernst and Young.
b) KAP Osman Bing Satrio dan rekan berafiliasi dengan KAP
Deloitte Touche Tohmatsu.
c) KAP Sidharta, Sidharta, Widjaja berafiliasi dengan KAP
KPMG (Klynveld Peat Marwick Goerdeler).
d) KAP Haryanto Sahari dan rekan berafiliasi dengan KAP Price
Waterhouse Coopers.
d. Konsentrasi Kepemilikan
Faccio, Lang dan Young (2001) mengidentifikasi perusahaan
dengan kepemilikan terkonsentrasi jika terdapat individu,
kelompok keluarga atau perusahaan dengan kepemilikan saham
minimal 20% dari total saham perusahaan. Kepemilikan langsung
dan kepemilikan tidak langsung dianggap menentukan struktur
kepemilikan (menggunakan ambang batas tingkat 20% untuk
menentukan kontrol kepemilikan tidak langsung, misalnya, jika
seorang investor memiliki 80% saham dari perusahaan X yang
memiliki 20% saham dari perusahaan Y, maka investor ini
menguasai 20% saham dari perusahaan Y melalui kepemilikan
saham tidak langsung). Perusahaan tanpa pemegang saham
90
pengendali diklasifikasikan sebagai perusahaan dengan
kepemilikan tersebar.
Desender (2010) mengklasifikasikan perusahaan menjadi
tiga jenis kepemilikan yaitu, keluarga, perusahaan dan bank.
Pemegang saham pengendali adalah pemegang saham terbesar
dengan setidaknya 20% saham pada setiap jenis saham dengan
mempertimbangkan kepemilikan saham langsung dan tidak
langsung, serta hubungan keluarga.
Penelitian yang dilakukan oleh Rini dan Aida (2006)
tentang pengaruh kepemilikan saham minoritas (publik) dan
kepemilikan saham mayoritas terhadap kebijakan deviden
menggunakan proksi persentase pemilik saham terbesar untuk
mengukur kepemilikan saham mayoritas. Hal ini tidak jauh
berbeda dengan penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011)
menggunakan proksi pemegang saham mayoritas dengan
kepemilikan saham lebih dari 50% untuk mengukur konsentrasi
kepemilikan. Perusahaan dengan konsentrasi kepemilikan
(OWN_CON) dalam penelitian ini adalah perusahaan dengan
pemegang saham mayoritas dengan kepemilikan saham lebih dari
50%. Pisah batas ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Meisaroh dan Lucyanda (2011).
Selengkapnya untuk definisi dan pengukuran operasional variabel
penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.1 di halaman berikutnya.
91
Tabel 3.1
Definisi Operasional Variabel dan Indikatornya
Variabel Definisi
Operasional Pengukuran Skala Sumber
Dependen
(Y)
Pengungka
pan ERM
Diproksikan
berdasarkan
dimensi
COSO ERM
Framework
dengan
kriteria 108
item
pengungkap-
an
Menggunakan variabel
dummy, nilai satu jika
mengungkapkan dan nilai
nol jika tidak
mengungkapkan
Indeks ERM =
Nomi
nal
Rasio
Desender
(2010)
dan
Meisaroh
dan
Lucyanda
(2011)
Independen
(X1)
Komisaris
Independen
Diproksikan
dengan
persentase
dewan
komisaris
independen
Komisaris Independen =
Rasio Meisaroh
dan
Lucyanda
(2011)
Independen
(X2)
Komite
Manajemen
Risiko
Diproksikan
dengan
mengklasifi
kasikan
keberadaan
RMC yang
tergabung
dengan
komite audit
dan RMC
yang
terpisah
dengan audit
dan komite
lainnya
Menggunakan variabel
dummy yaitu satu untuk
perusahaan dengan RMC
terpisah dengan audit dan
komite lainnya sedangkan
nol untuk perusahaan
dengan keberadaan RMC
tergabung dengan komite
audit.
Nomi
nal
Nurika
Restuning
diah
(2010)
Independen
(X3)
Reputasi
Auditor
Diproksikan
denganMeng
kualifikasika
nKAP atau
skala auditor
yang
digunakanpe
rusahaan
Menggunakan variabel
dummy yaitu satu untuk
perusahaan yang diaudit
oleh KAP Big Four dan nol
untuk perusahaan yang
diaudit oleh KAP non Big
Four
Nomi
nal
Meisaroh
dan
Lucyanda
(2011)
92
yang dilihat
melalui
ukuran KAP
yang terdiri
dari dua
macam yaitu
KAP Big
Fourdan
KAP non
Big Four
Independen
(X4)
Konsentrasi
Kepemilik
-an
Diproksikan
dengan
adanya
pemegang
saham
mayoritas
dengan
kepemilikan
saham lebih
dari 50%
Jumlah persentase
kepemilikan saham lebih
dari ambang batas 50%
Rasio Meisaroh
dan
Lucyanda
(2011)
93
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan
nonfinancial yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sampel diambil
dengan menggunakan metode purposive sampling. Berdasarkan kriteria
sampel diperoleh sampel penelitian sebanyak 41 perusahaan per tahun untuk
periode 2009 sampai dengan 2011 sehingga total keseluruhan sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 123 perusahaan.
Selengkapnya mengenai rincian sampel penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1
berikut ini.
Tabel 4.1
Rincian Sampel Penelitian
Kriteria Jumlah
Perusahaan yang terdaftar di BEI selama tahun 2011 436
Perusahaan yang terdaftar setelah 31 Desember 2008 (61)
Perusahaan sektor keuangan selama periode 2009-2011 (65)
Perusahaan tidak konsisten menerbitkan annual report selama
periode 2009-2011 (242)
Perusahaan dengan data tidak lengkap :
a). Konsentrasi kepemilikan kurang dari ambang batas 50% (11)
b). Tidak mengungkapkan ERM secara konsisten selama periode
2009-2011 (16)
Jumlah perusahaan yang digunakan 41
Total keseluruhan sampel selama 3 tahun (41 x 3) 123
Sumber: Data sekunder diolah
94
Adapun nama perusahaan yang dijadikan sampel dalam penelitian ini
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut.
Tabel 4.2
Daftar Nama Perusahaan
NO EMITEN KODE
1 PT Astra Agro Lestari Tbk. AALI
2 PT Ace Hardware Indonesia Tbk. ACES
3 PT AKR Corporindo Tbk. AKRA
4 PT Astra International Tbk. ASII
5 PT Astra Otoparts Tbk. AUTO
6 PT Indofood Sukses Makmur Tbk. INDF
7 PT Indosat Tbk. ISAT
8 PT Indo Tambangraya Megah Tbk. ITMG
9 PT Jaya Konstruksi Manggala Prata Tbk. JKON
10 PT Jaya Real Property Tbk. JRPT
11 PT Jasa Marga (Persero) Tbk. JSMR
12 PT Jasuindo Tiga Perkasa Tbk. JTPE
13 PT Kimia Farma Tbk. KAEF
14 PT First Media Tbk. KBLV
15 PT Kalbe Farma Tbk. KLBF
16 PT Limas Centric Indonesia Tbk. LMAS
17 PT Lippo Cikarang Tbk. LPCK
18 PT Lautan Luas Tbk. LTLS
19 PT Mas Murni Indonesia Tbk. MAMI
20 PT Mitra Adiperkasa Tbk. MAPI
21 PT Modern Internasional Tbk. MDRN
22 PT Multi Indocitra Tbk. MICE
23 PT Mitra Investindo Tbk. MITI
24 PT Media Nusantara Citra Tbk. MNCN
25 PT Metrodata Electronics Tbk. MTDL
Berlanjut ke halaman berikutnya
95
Tabel 4.2 (Lanjutan)
26 PT Asia Pacific Fibers Tbk. POLY
27 PT Pool Advista Indonesia Tbk. POOL
28 PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. PTBA
29 PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk. RALS
30 PT Bentoel Internasional Investama Tbk. RMBA
31 PT Sampoerna Agro Tbk. SGRO
32 PT Sierad Produce Tbk. SIPD
33 PT Smart Tbk. SMAR
34 PT Holcim Indonesia Tbk. SMCB
35 PT Suryamas Dutamakmur Tbk. SMDM
36 PT Semen Gresik (Persero) Tbk. SMGR
37 PT Sorini Agro Asia Corporindo Tbk. SOBI
38 PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk. SULI
39 PT Mandom Indonesia Tbk. TCID
40 PT United Tractors Tbk. UNTR
41 PT Unilever Indonesia Tbk. UNVR
Sumber: Data diolah
B. Hasil Analisis dan Pembahasan
1. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskriptif suatu data
yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, maksimum, dan
minimum, dari masing-masing variabel (Ghozali, 2011). Mean digunakan
untuk mengetahui rata-rata data yang bersangkutan. Standar deviasi
digunakan untuk mengetahui seberapa besar data yang bersangkutan
bervariasi dari rata-rata. Nilai maksimum digunakan untuk mengetahui
jumlah terbesar data yang bersangkutan. Nilai minimum digunakan untuk
mengetahui jumlah terkecil data yang bersangkutan bervariasi dari rata-
rata. Variabel yang digunakan meliputi variabel independen yaitu
96
komisaris independen (IND_COM), konsentrasi kepemilikan
(OWN_CON), reputasi auditor (AUD_REP) dan komite manajemen risiko
(FIRM_RMC) serta variabel dependen yaitu pengungkapan Enterprise
Risk Management (ERM). Dari hasil pengujian statistik deskriptif atas
keempat variabel independen, satu variabel dependen, melalui data asli,
maka diperoleh hasil sesuai dengan tabel 4.3 berikut:
Tabel 4.3
Hasil Statistik Deskriptif
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std.
Deviation
IND_COM 123 .300 .800 .43432 .116111
OWN_CON 123 .500 .997 .66830 .128540
AUD_REP 123 .000 1.000 .60163 .491566
FIRM_RMC 123 .000 1.000 .21951 .415609
ERM 123 .796 .981 .88385 .046603
Valid N
(listwise) 123
Sumber: Data sekunder diolah
Dari tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa variabel independen
komisaris independen (IND_COM) diperoleh dari jumlah komisaris
independen dibagi dengan total dewan komisaris dalam suatu perusahaan.
Proporsi komisaris independen memiliki nilai minimum sebesar 0,30 yang
diperoleh dari PT Indofood Sukses Makmur Tbk. yang memiliki 3
komisaris independen dari 10 dewan komisaris yang ada dalam
perusahaan pada tahun 2009 dan 2010. Sedangkan nilai maksimum
97
sebesar 0,80 diperoleh dari PT Unilever Indonesia, Tbk. dengan 4
komisaris independen dari 5 dewan komisaris yang ada dalam perusahaan
pada tahun 2011. Nilai rata-rata IND_COM sebesar 0,43432 atau 43,43%
yang menunjukkan bahwa perusahaan yang menjadi sampel dalam
penelitian ini telah memenuhi ketentuan yang disyaratkan oleh Bapepam
untuk jumlah komisaris independen yaitu sekurang-kurangnya 30% dari
seluruh jumlah anggota komisaris dan nilai standar deviasi IND_COM
sendiri adalah sebesar 0,11611. Nilai standar deviasi dibawah nilai rata-
rata. Hal ini menggambarkan bahwa kesenjangan antara nilai maksimum
dengan nilai minimum komisaris independen rendah.
Variabel independen konsentrasi kepemilikan (OWN_CON)
menunjukkan nilai minimum sebesar 50% yang diperoleh dari PT
Indofood Sukses Makmur Tbk. dimana salah satu pemegang saham
terbesar yaitu CAB Holdings Limited memiliki 50,05% saham pada tahun
2009 dan 2010. Sedangkan pada tahun 2011 kepemilikan saham
meningkat menjadi 50,07%. Nilai maksimum sebesar 99,7% diperoleh
dari PT Bentoel International Investama, Tbk. dimana salah satu
pemegang saham terbesar yaitu British American Tobacco, Ltd. memiliki
99,74% saham perusahaan pada tahun 2009. Nilai rata-rata konsentrasi
kepemilikan (OWN_CON) sebesar 0,66830 atau 66,83% menunjukkan
bahwa mayoritas sampel dalam penelitian ini memiliki salah satu
pemegang saham terbesar dengan kepemilikan lebih dari 50% sesuai
dengan pisah batas dalam penelitian sebelumnya yaitu Desender (2007)
98
dan Meisaroh dan Lucyanda (2011). Sedangkan nilai standar deviasi
sebesar 0,1285 atau 12,85% dibawah nilai rata-rata sebesar 66,83%. Hal
ini menggambarkan bahwa kesenjangan antara nilai maksimum dengan
nilai minimum konsentrasi kepemilikan rendah.
Variabel independen reputasi auditor (AUD_REP) menggunakan
ukuran kantor akuntan publik (KAP) atau skala auditor dengan
menggunakan variabel dummy yaitu nilai satu untuk perusahaan yang
diaudit oleh KAP Big Four dan nilai nol untuk perusahaan yang diaudit
oleh KAP Non Big Four. Reputasi auditor menunjukkan nilai rata-rata
sebesar 0,60163 atau berkisar 60,16%. Hal ini menggambarkan bahwa
lebih dari 50% sampel dalam penelitian ini telah diaudit oleh KAP Big
Four. Sedangkan nilai standar deviasi sebesar 0,4915 atau 49,15%
dibawah nilai rata-rata sebesar 60,13%. Hal ini menggambarkan bahwa
kesenjangan antara nilai maksimum dengan nilai minimum konsentrasi
kepemilikan masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan nilai rata-rata.
Variabel independen komite manajemen risiko (FIRM_RMC)
diproksikan dengan variabel dummy yaitu nilai satu untuk perusahaan
yang memiliki komite manajemen risiko terpisah dari komite audit dan
nilai nol untuk perusahaan yang memiliki komite manajemen risiko
tergabung dengan komite audit maupun komite lainnya. Nilai rata-rata
komite manajemen risiko (FIRM_RMC) sebesar 0,21951 atau 21,95%
menunjukkan bahwa mayoritas sampel dalam penelitian ini memiliki
komite manajemen risiko yang masih tergabung dengan komite audit
99
maupun komite lainnya. Dari 123 sampel dalam penelitian ini, 9 sampel
diantaranya telah memiliki komite manajemen risiko yang terpisah dari
komite audit seperti yang terlihat dalam tabel 4.4 berikut:
Tabel 4.4
Daftar Perusahaan dengan Komite Manajemen Risiko
Terpisah dari Komite Audit
EMITEN KODE
PT Astra International Tbk. ASII
PT Indosat Tbk. ISAT
PT Indo Tambangraya Megah Tbk. ITMG
PT Jasa Marga (Persero) Tbk. JSMR
PT Kalbe Farma Tbk. KLBF
PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. PTBA
PT Sampoerna Agro Tbk. SGRO
PT Semen Gresik (Persero) Tbk. SMGR
PT United Tractors Tbk. UNTR
Sumber: Data diolah
Variabel dependen pengungkapan Enterprise Risk Management
(ERM) menggunakan proksi dimensi COSO ERM Framework dengan
kriteria 108 pengungkapan sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh
Desender (2007) dan Meisaroh, Lucyanda (2011). Nilai minimum
pengungkapan ERM sebesar 0,796 atau 79,6% yang diperoleh dari tingkat
pengungkapan PT Mas Murni Indonesia, Tbk. sedangkan nilai maksimum
pengungkapan ERM sebesar 0,981 atau 98,1% yang diperoleh dari tingkat
pengungkapan PT Kalbe Farma, Tbk. Nilai rata-rata pengungkapan ERM
sebesar 0,88385 atau 88,38%. Hal ini mencerminkan bahwa mayoritas
sampel dalam penelitian ini telah mengadopsi COSO ERM Framework
100
dan menerapkan manajemen risiko perusahaan serta mengungkapkan
secara konsisten dalam laporan tahunannya selama periode 2009 hingga
2011. Sedangkan nilai standar deviasi sebesar 0,046603 atau berkisar 4,6%
jauh di bawah nilai rata-rata sebesar 88,38%. Hal ini menunjukkan bahwa
kesenjangan antara nilai maksimum dengan nilai minimum pengungkapan
ERM sangat rendah bila dibandingkan dengan nilai rata-rata.
2. Uji Asumsi Klasik
Sebelum melakukan interpretasi terhadap hasil regresi, terlebih dahulu
dilakukan pengujian terhadap asumsi-asumsi klasik sehingga hasil tersebut
layak digunakan. Pengujian ini diperlukan agar model regresi menjadi
suatu model yang lebih representatif. Analisis data uji asumsi klasik dalam
penelitian ini antara lain melalui uji normalitas, multikolinearitas,
heteroskedastisitas dan autokorelasi.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas pada dasarnya bertujuan untuk menguji apakah
dalam model regresi, variabel independen dan variabel dependen atau
keduanya telah terdistribusi secara normal atau tidak. Suatu model
regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau
mendekati normal. Dalam menguji normalitas suatu nilai residual
umumnya dideteksi dengan grafik atau uji statistik.
1) Analisis Statistik
Pengujian normalitas dengan menggunakan grafik dapat
menyesatkan jika tidak hati-hati karena secara visual kelihatan
101
normal tetapi secara statistik sebaliknya. Pengujian normalitas
dengan menggunakan analisis statistik dapat menggunakan dua
metode, yaitu:
a) Uji Skewness dan Kurtosis
Uji statistik sederhana dapat dilakukan dengan melihat
nilai kurtosis dan skewness dari masing-masing variabel
penelitian baik variabel independen maupun variabel
dependen. Skewness berhubungan dengan simetri distribusi.
Sedangkan kurtosis berhubungan dengan puncak dari suatu
distribusi. Hasil uji skewness dan kurtosis dapat dilihat
dibawah ini:
Tabel 4.5
Hasil Uji Skewness dan Kurtosis
Skewness Kurtosis
Statistic Zskewness Statistic Zkurtosis
IND_COM 1.224 5.54164 0.776 1.75691
OWN_CON 0.939 4.25363 0.196 0.44475
AUD_REP -0.42 -1.90304 -1.854 -4.19660
FIRM_RMC 1.372 6.21234 -0.12 -0.27078
ERM 0.261 1.18037 -0.615 -1.39215
Valid N
(listwise)
Sumber: Data sekunder diolah
Hasil perhitungan Zskewness dan Zkurtosis dari
beberapa variabel penelitian mendekati nilai tabel yaitu
sebesar ± 1,96 dengan tingkat signifikansi 0,05. Variabel
penelitian yang paling mendekati nilai tabel adalah variabel
102
dependen pengungkapan ERM (ERM), sedangkan variabel
independen menunjukkan nilai Zskewness dan Zkurtosis
bervariasi lebih dari nilai tabel. Hal ini disebabkan nilai
skewness dari data beberapa variabel penelitian yang tidak
terdistribusi normal bernilai positif dan bentuk histogram
dari data tersebut berbentuk substansial positive skewness.
Secara keseluruhan nilai Zkurtosis dari variabel independen
dan dependen mendekati nilai tabel, maka dapat
disimpulkan bahwa data telah berdistribusi normal.
b) Uji Kolmogrov Smirnov
Hasil uji normalitas dengan menggunakan uji statistik
non parametric kolmogrov-smirnov (K-S) menunjukkan
nilai kolmogrov smirnov (K-S) sebesar 1,130 dengan nilai
signifikansi 0,155. Hal ini menunjukkan bahwa nilai
signifikansi di atas 0,05 (α> 0,05) maka tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara data yang akan diuji
dengan data normal baku, artinya data yang kita uji normal
karena tidak berbeda dengan normal baku dan Ho diterima.
Hal ini menunjukkan bahwa model regresi memenuhi
asumsi normalitas karena tingkat signifikansinya melebihi
0,05 (α > 0,05).
103
Tabel 4.6
Uji Normalitas : Nilai Kolmogrov-Smirnov
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 123
Normal Parametersa,b
Mean .0000000
Std. Deviation .03842592
Most Extreme
Differences
Absolute .102
Positive .102
Negative -.067
Kolmogorov-Smirnov Z 1.130
Asymp. Sig. (2-tailed) .155
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Sumber : Output SPSS 20
2) Analisis grafik
Dalam penelitian ini, pengujian analisis grafik dilakukan
dengan menggunakan metode Probability Plot (P-Plot) atau model
Uji Normalitas residual dan Grafik Histogram. Hasil Pengujian ini
dapat dilihat pada gambar 4.1 dan 4.2 halaman berikutnya:
104
Gambar 4.1
Uji Normalitas : Grafik Normal Plot
Sumber: Output SPSS 20
Gambar 4.2
Uji Normalitas : Grafik Histogram
Sumber: Output SPSS 20
105
Pada gambar 4.1, grafik normal plot menunjukkan titik-titik
menyebar disekitar garis diagonal dan penyebarannya mengikuti arah
garis diagonal. Sedangkan pada gambar 4.2, grafik histogram
memberikan pola distribusi yang mendekati normal. Maka dapat
disimpulkan bahwa model regresi dalam penelitian ini telah
terdistribusi secara normal. Terkait dengan data hasil uji normalitas,
maka data tersebut akan digunakan dalam pengujian asumsi klasik
yang lainnya dan uji hipotesis selanjutnya.
b. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas ini pada dasarnya bertujuan untuk menguji
apakah di dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar
variabel bebas. Multikolinearitas dapat dilihat dari perhitungan nilai
tolerance serta Varian Inflation Factor (VIF). Suatu model regresi
dikatakan tidak memiliki kecenderungan adanya gejala
multikolinearitasadalah apabila memiliki nilai VIF yang lebih kecil
dari 10 dan Tolerance lebih besar dari 0,10 (Ghozali, 2011). Hasil
pengujian model regresi diperoleh nilai-nilai VIF untuk masing-
masing variabel ini dapat dilihat dari tabel 4.7 pada halaman
berikutnya:
106
Tabel 4.7
Uji Multikolinearitas
Coefficientsa
Model Collinearity Statistics
Keputusan Tolerance VIF
1
(Constant)
AUD_REP .883 1.133 Tidak ada
multikolinearitas
FIRM_RMC .848 1.180 Tidak ada
multikolinearitas
IND_COM .951 1.051 Tidak ada
multikolinearitas
OWN_CON .956 1.046 Tidak ada
multikolinearitas
Sumber: Data sekunder diolah
Dari tabel 4.7 diatas menunjukkan bahwa semua variabel
independen memiliki nilai Tolerance> 0,10 dan VIF < 10. Hasil
perhitungan nilai Tolerance juga menunjukkan tidak ada variabel
independen yang memiliki nilai Tolerance kurang dari 0,10 yang
berarti tidak ada korelasi antar variabel independen. Maka dapat
disimpulkan bahwa model regresi dalam penelitian ini telah terbebas
dari masalah multikolinearitas. Hal ini menunjukkan bahwa semua
variabel bebas tersebut layak digunakan sebagai prediktor.
c. Uji Heteroskedastisitas
Model regresi yang baik adalah model yang homoskodestisitas
atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Dalam penelitian ini, uji
heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan analisis grafik
scatter plot antara nilai prediksi variabel terikat ZPRED dengan
107
residualnya SRESID. Dari grafik scatter plot terlihat bahwa titik-titik
menyebar secara acak diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada
model regresi (Ghozali, 2011).
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam
model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu
pengamatan ke pengamatan lain. Model regresi yang baik adalah
model regresi yang terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Untuk
menentukan heteroskedastisitas dapat menggunakan grafik
scatterplot. Hasil uji heteroskedastisitas dengan menggunakan grafik
scatterplot ditunjukkan pada gambar 4.3 berikut:
Gambar 4.3
Uji Heteroskedastisitas – Grafik Scatterplot
Sumber: Output SPSS 20
Gambar uji scatterplot diatas menunjukkan bahwa data sampel
tersebar secara acak dan tidak membentuk suatu pola tertentu. Data
108
tersebar baik berada di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y.
Hal ini menunjukkan tidak terdapat heteroskedastisitas dalam model
regresi yang digunakan sehingga layak dipakai untuk kemudian
dilanjutkan ke pengujian hipotesis.
d. Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu
model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada
periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1
(sebelumnya) jika terjadi korelasi, maka dinyatakan terdapat masalah
autokorelasi (Ghozali, 2011).
Uji autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Durbin
Watson (D-W). Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah
dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antara kesalahan
pengganggu pada periode tertentu dengan periode sebelumnya. Model
regresi yang baik adalah model regresi yang bebas dari masalah
autokorelasi. Selengkapnya mengenai hasil uji autokorelasi penelitian
dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut ini:
Tabel 4.8
Uji Autokorelasi
Model Summaryb
Model
Change Statistics
Durbin-
Watson
R Square
Change F Change df1 df2
Sig. F
Change
1 .320 13.891 4 118 .000 1.922
a. Predictors: (Constant), OWN_CON, IND_COM, AUD_REP,
FIRM_RMC
b. Dependent Variable: ERM
Sumber: Output SPSS 20
109
Dari tabel 4.8 di atas menunjukkan bahwa nilai D-W sebesar
1,922. Dengan jumlah predictors sebanyak 4 buah (k=4) dan sampel
sebanyak 123 sampel (n=123), berdasarkan tabel D-W dengan tingkat
signifikansi 5% dapat ditentukan nilai batas atas (du) adalah sebesar
1,76. Dengan demikian, berdasarkan nilai du < d < 4-du menunjukkan
bahwa nilai DW 1,922 lebih besar dari batas atas (du) 1,76 dan
kurang dari 2,24 (4-1,76), maka dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat autokorelasi positif atau negatif. Untuk memperkuat hasil
penelitian ini maka digunakan uji run test, di mana gangguan
autokorelasi terjadi jika signifikansi di bawah 0,05. Berikut adalah
pengujian autokorelasi dengan menggunakan run test pada tabel 4.9
berikut ini:
Tabel 4.9
Uji Autokorelasi-Run Test
Runs Test
Unstandardized Residual
Test Valuea -.00435
Cases < Test Value 61
Cases >= Test Value 62
Total Cases 123
Number of Runs 69
Z 1.178
Asymp. Sig. (2-tailed) .239
a. Median
Sumber : Output SPSS 20
Dari hasil pengujian yang diperoleh dalam tabel 4.9
menunjukkan nilai test adalah -0,00435 dengan probabilitas 0,239
yang berarti diatas tingkat signifikansi 0,05 (0,239> 0,05). Hal ini
110
menunjukkan bahwa nilai residual acak atau random, sehingga dapat
disimpulkan bahwa penelitian ini tidak terjadi autokorelasi antar nilai
residual.
3. Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai
koefisien determinasi (R2) adalah nol sampai dengan satu. Apabila angka
koefisien determinasi semakin mendekati satu maka pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen adalah semakin kuat, yang berarti
variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang
dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen (Ghozali,2011).
Pengujian goodness of fit dari model regresi yang diperoleh dari nilai
adjusted R2diperoleh sebagai berikut:
Tabel 4.10
Uji Goodness of Fit
Koefisien Determinasi
a. Predictors: (Constant), OWN_CON, IND_COM, AUD_REP, FIRM_RMC
b. Dependent Variable: ERM
Sumber: Output SPSS 20
Dari tampilan output SPSS 20 terlihat bahwa besarnya nilai koefisien
korelasi (R) sebesar 0,566 menunjukkan bahwa derajat hubungan
(korelasi) antara variabel independen dengan variabel dependen sebesar
Model Summaryb
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 .566a .320 .297 .039072
111
56,6%. Hal ini juga membuktikan bahwa pengungkapan ERM (ERM)
mempunyai hubungan yang kuat (0,51 – 0,75) dengan komisaris
independen (IND_COM), komite manajemen risiko (FIRM_RMC),
reputasi auditor (AUD_REP) dan konsentrasi kepemilikan (OWN_CON)
dengan nilai koefisien korelasi berada antara 0,51 sampai dengan 0,75
(0,51 – 0.75), sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan kuat antara
variabel dependen dengan variabel independen.
Adapun besarnya adjusted R2 diperoleh sebesar 0,297. Hal ini berarti
bahwa hanya 29,7%, dari variabel dependen yaitu pengungkapan ERM
(ERM) dapat dijelaskan oleh variasi variabel independen yaitu komisaris
independen (IND_COM), komite manajemen risiko (FIRM_RMC),
reputasi auditor (AUD_REP) dan konsentrasi kepemilikan (OWN_CON),
sedangkan sisanya sebesar 70,3% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
termasuk dalam model regresi. Hal ini mencerminkan bahwa masih rendah
atau lemahnya kemampuan variabel independen dalam menjelaskan
variabel dependen. Adapun variabel lain yang mungkin dapat
mempengaruhi pengungkapan ERM yaitu ukuran perusahaan, latar
belakang dan keahlian dewan komisaris, komite audit, scope bisnis
perusahaan.
4. Pengujian Hipotesis
Uji hipotesis dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Variabel
dependen dalam penelitian ini adalah pengungkapan ERM, sedangkan
112
variabel independen dalam penelitian ini adalah komisaris independen,
komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikian.
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji F untuk uji
simultan dan uji t untuk uji parsial.
a. Pengujian secara Simultan (Uji F)
Ha5: Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko,
Reputasi Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan memiliki
pengaruh yang signifikan secara simultan terhadap
Pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM).
Uji simultan dapat diketahui dengan melakukan uji statistik F. Uji
statistik F digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen
secara bersama-sama atau simultan dapat mempengaruhi variabel
independen (Ghozali, 2011). Uji statistik F dapat dilihat pada tabel
4.11 berikut ini:
Tabel 4.11
Uji Simultan (F test)
ANOVAb
Model
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
1 Regression .085 4 .021 13.891 .000a
Residual .180 118 .002
Total .265 122
a. Predictors: (Constant), OWN_CON, IND_COM, AUD_REP, FIRM_RMC
b. Dependent Variable: ERM
Sumber: Output SPSS 20
Dari tabel 4.11 menunjukkan bahwa nilai F hitung sebesar 13,891
dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Hal ini menandakan bahwa
113
model regresi dapat digunakan untuk memprediksi variabel
pengungkapan ERM, karena nilai signifikansi < alpha (α = 5%).
Maka dapat disimpulkan Ha5 diterima yang menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara komisaris independen,
komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi
kepemilikan serta berpengaruh secara bersama-sama atau simultan
terhadap pengungkapan ERM.
b. Pengujian secara Parsial (Uji t)
Dari hasil pengujian terhadap asumsi klasik, diperoleh model
regresi tersebut telah memenuhi asumsi normalitas, multikolinearitas,
autokorelasi dan heteroskedastisitas. Pengujian hipotesis dilakukan
dengan menguji model persamaan regresi secara parsial terhadap
masing-masing variabel bebas. Hasil pengujian model regresi secara
parsial diperoleh sebagai berikut:
Tabel 4.12
Uji Parsial (t Test)
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B
Std.
Error Beta
1 (Constant) .813 .025 33.060 .000
IND_COM .006 .031 .014 .184 .855
FIRM_RMC .035 .009 .315 3.820 .000
AUD_REP .036 .008 .375 4.648 .000
OWN_CON .059 .028 .162 2.081 .040
a. Dependent Variable: ERM
Sumber: Output SPSS 20
114
Untuk melihat besarnya pengaruh variabel independen terhadap
variabel dependen dapat dilihat dari nilai beta unstandardized,
sedangkan untuk melihat dominasi variabel independen terhadap
variabel dependen tercermin pada beta standardized.
Berdasarkan tabel uji parsial (t test) maka diperoleh persamaan
regresi sebagai berikut :
ERM = 0,813 + 0,006 IND_COM + 0,035 FIRM_RMC + 0,036
AUD_REP + 0,059 OWN_CON + ε
Dari persamaan regresi diatas dapat diketahui bahwa konstanta
sebesar 0,813 menyatakan bahwa jika variabel independen dianggap
konstan, maka rata-rata pengungkapan ERM (ERM) sebesar 0,813.
Variabel IND_COM, FIRM_RMC, AUD_REP dan OWN_CON
memiliki koefisien regresi dengan arah positif. Hal ini berarti bahwa
perusahaan dengan IND_COM, FIRM_RMC, AUD_REP dan
OWN_CON yang tinggi akan menyajikan pengungkapan ERM yang
tinggi dalam laporan tahunannya.
Hasil pengujian signifikansi variabel bebas secara parsial
sebagaimana pada pembahasan berikut:
1) Variabel Komisaris Independen
Ha1: Komisaris independen memiliki pengaruh yang
signifikan secara parsial terhadap pengungkapan ERM
Pengujian hipotesis mengenai pengaruh variabel komisaris
independen terhadap pengungkapan ERM menunjukkan koefisien
115
regresi sebesar 0,006 yang berarti setiap penambahan satu
komisaris independen akan meningkatkan pengungkapan ERM
sebesar 0,006. Nilai t hitung sebesar 0,184 dengan nilai signifikansi
sebesar 0,855 yang berada di atas 0,05. Ini berarti menunjukkan
bahwa komisaris independen tidak berpengaruh terhadap
pengungkapan ERM. Hal ini mungkin disebabkan karena kualitas
fungsi pengawasan bukan ditentukan oleh tingkat independensi
tetapi lebih ditentukan oleh kualitas dan latar belakang pendidikan
anggota dewan komisaris. Pengangkatan komisaris independen
dilakukan untuk memenuhi regulasi semata, tidak untuk
melaksanakan good corporate governance (Meisaroh dan
Lucyanda, 2011). Latar belakang pendidikan dan keahlian dewan
komisaris selain berhubungan dengan keuangan dan manajerial,
hendaknya juga memiliki keahlian untuk menganalisis adanya
peristiwa yang berasal dari eksternal perusahaan, seperti peristiwa
ekonomi makro dan mikro. Hal ini dibuktikan dengan adanya krisis
finansial global yang terjadi pada tahun 2008 bahwa gejolak
ekonomi makro dan mikro berpotensi mengganggu stabilitas
keuangan perusahaan dan menimbulkan risiko baru jika
perusahaan tidak dapat mengelola risiko dengan baik. Untuk itu,
jajaran dewan komisaris dan direksi lebih baik juga diutamakan
memiliki keahlian di bidang ekonomi makro dan mikro.
116
Selain itu, ketentuan mengenai proporsi komisaris independen
sebesar 30% mungkin belum cukup tinggi bagi komisaris untuk
mendominasi kebijakan perusahaan termasuk dalam penerapan
ERM (Andarini dan Indira, 2010). Hasil penelitian ini mendukung
penelitian Dionne dan Thouraya (2004), Andarini dan Indira
(2010) dan Meisaroh dan Lucyanda (2011) yang menunjukkan
kehadiran komisaris independen tidak berpengaruh pada tingkat
adopsi ERM. Dengan demikian hipotesis alternatif pertama yang
menyatakan komisaris independen memiliki pengaruh yang
signifikan secara parsial terhadap pengungkapan ERM ditolak.
2) Variabel Komite Manajemen Risiko
Ha2: Komite manajemen risiko yang terpisah dari audit
memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial
terhadap pengungkapan ERM
Pengujian hipotesis mengenai pengaruh variabel komite
manajemen risiko terhadap pengungkapan ERM menunjukkan
koefisien regresi sebesar 0,035 yang menunjukkan bahwa setiap
penambahan satu komite manajemen risiko akan meningkatkan
pengungkapan ERM sebesar 0,035. Nilai t hitung sebesar 3,820
dengan signifikansi sebesar 0,000. Dengan nilai signifikansi di
bawah 0,05 maka hal ini berarti bahwa komite manajemen risiko
memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pengungkapan
ERM. Dengan demikian hipotesis alternatif dua yang menyatakan
117
bahwa interaksi antara komite manajemen risiko yang terpisah dari
audit memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap
pengungkapan ERMditerima.
Dalam penelitian ini, komite manajemen risiko yang memiliki
pengaruh signifikan terhadap pengungkapan ERM adalah komite
yang terpisah dari audit dan berdiri sendiri. Hal ini disebabkan,
perusahaan yang memiliki RMC yang terpisah dari audit dan
berdiri sendiri lebih independen dan dapat lebih banyak
mencurahkan waktu, tenaga maupun kemampuan untuk
mengevaluasi seluruh pengendalian internal dan menangani risiko
yang mungkin terjadi, RMC yang terpisah dari audit memiliki
kinerja pengawasan dan penilaian risiko yang lebih terstruktur serta
dapat melakukan kajian atas risiko secara mendalam. Selain itu,
sebagian besar anggota RMC memiliki latar belakang pendidikan
di bidang akuntansi dan keuangan, serta sebagian lagi memiliki
latar belakang pendidikan sesuai aktivitas bisnis perusahaan.
Kombinasi ini merupakan sumber daya penting bagi RMC untuk
membantu komisaris dalam menjalankan pengawasan manajemen
risiko dan memahami profil risiko perusahaan (Andarini dan
Indira, 2010).
Hasil penelitian ini mendukung pernyataan Subramaniam, et
al.(2009), yang menyatakan bahwa komite terpisah yang secara
khusus berfokus pada masalah risiko (RMC), dinilai dapat menjadi
118
mekanisme yang efektif dalam mendukung dewan komisaris untuk
memenuhi tanggung jawabnya dalam tugas pengawasan dan
pengendalian internal serta manajemen risiko perusahaan
(Subramaniam, et al., 2009).
3) Variabel Reputasi Auditor
Ha3: Reputasi auditor memiliki pengaruh yang signifikan
secara parsial terhadap pengungkapan ERM
Pengujian hipotesis mengenai pengaruh variabel reputasi
auditor terhadap pengungkapan ERM menunjukkan koefisien
regresi sebesar 0,036 dan nilai t hitung sebesar 4,648 dengan nilai
signifikansi sebesar 0,000 yang berada di bawah 0,05. Hal ini
berarti bahwa reputasi auditor memiliki pengaruh positif dan
signifikan terhadap pengungkapan ERM. Dengan demikian
hipotesis alternatif tiga yang menyatakan bahwa reputasi auditor
memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap
pengungkapan ERM diterima.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian Beasley et al.
(2005), Desender (2007), Chen et al. (2009) dan Meisaroh
Lucyanda (2011) yang menemukan adanya pengaruh Big Four
sebagai eksternal auditor dengan tingkat adopsi ERM. Alasan yang
mungkin mendasari adalah Big Four biasanya membantu internal
auditor dalam mengevaluasi dan menilai keefektifan manajemen
119
risiko. Hal ini karena Big Four dianggap memiliki keahlian untuk
mengidentifikasi risiko sehingga meningkatkan kualitas penilaian
dan pengawasan risiko perusahaan. Selain itu terdapat tekanan
yang lebih besar pada perusahaan yang diaudit Big Four untuk
menerapkan dan mengungkapkan ERM (Meisaroh dan Lucyanda,
2011).
Dalam kasus ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan
yang sangat bergantung pada manajemen risiko perusahaan telah
mengungkapkan ERM secara konsisten dalam laporan tahunannya
dan menunjukkan bahwa auditor dengan reputasi baik mendorong
lingkup audit yang lebih besar dalam rangka untuk memastikan
tingkat yang tepat dari kualitas kontrol internal. Temuan ini
relevan, karena sinyal bahwa kehadiran sistem pengendalian
internal dan penerapan praktik manajemen risiko tidak hanya
menciptakan kondisi untuk pengawasan internal yang lebih baik,
tetapi juga memfasilitasi pekerjaan auditor eksternal, yang berarti
pengurangan jumlah waktu yang dibutuhkan oleh auditor eksternal
(Desender, 2010).
4) Variabel Konsentrasi Kepemilikan
Ha4 : Konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh yang
signifikan secara parsial terhadap pengungkapan
ERM
120
Pengujian hipotesis mengenai pengaruh variabel konsentrasi
kepemilikan terhadap pengungkapan ERM menunjukkan koefisien
regresi sebesar 0,059 dan nilai t hitung sebesar 2,081 dengan nilai
signifikansi sebesar 0,040 yang berada di bawah 0,05. Hal ini
berarti bahwa konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh positif
dan signifikan terhadap pengungkapan ERM. Dengan demikian
hipotesis alternatif empat yang menyatakan bahwa konsentrasi
kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial
terhadap pengungkapan ERM diterima.
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Demsetz dan
Lehn (1985), Shleifer dan Vishny (1986) dan Meisaroh dan
Lucyanda (2011) yang menyatakan bahwa salah satu cara
meningkatkan kualitas manajemen risiko adalah memastikan
adanya atau setidaknya satu pemegang saham besar dalam
perusahaan. Bukti ini menunjukkan bahwa perusahaan dengan
kepemilikan saham yang terkonsentrasi memiliki tingkat
pengungkapan manajemen risiko yang lebih tinggi. Semakin besar
tingkat konsentrasi kepemilikan dalam perusahaan maka semakin
kuat tuntutan untuk mengidentifikasi risiko yang mungkin dihadapi
seperti risiko keuangan, operasional, reputasi, peraturan, dan risiko
informasi (Meisaroh dan Lucyanda, 2011).
Perusahaan yang memiliki setidaknya satu pemegang saham
besar akan cenderung mengungkapkan ERM secara konsisten
121
dalam laporan tahunannya. Demsetz dan Lehn (1985) menyatakan
bahwa perusahaan dengan situasi dan kondisi lingkungan yang
lebih pasti, cenderung menyebabkan tingkat pengawasan internal
rendah. Dengan adanya satu atau lebih pemegang saham besar
dalam perusahaan diharapkan mampu meningkatkan pengawasan
dalam perusahaan, mengingat situasi dan kondisi lingkungan saat
ini tidak dapat diprediksi. Selain itu, investor besar memiliki
insentif untuk berinteraksi lebih dekat dengan sistem pengawasan
dan pengendalian manajemen, dalam rangka untuk mengurangi
biaya agensi dan meningkatkan peran pengawasan mereka dalam
perusahaan dimana mereka berinvestasi (Desender, 2010).
122
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh
komisaris independen, komite manajemen risiko (RMC), reputasi auditor dan
konsentrasi kepemilikan terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management
(ERM). Dari lima hipotesis yang diajukan, hanya empat hipotesis yang
diterima dan satu hipotesis lainnya ditolak. Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Komisaris Independen tidak berpengaruh signifikan secara parsial
terhadap Pengungkapan ERM. Hal ini berarti bahwa peningkatan atau
penurunan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap
pengungkapan ERM. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Dionne
dan Thouraya (2004), Andarini dan Indira (2010) dan Meisaroh dan
Lucyanda (2011) yang menunjukkan kehadiran komisaris independen
tidak berpengaruh pada tingkat adopsi ERM.
2. Komite Manajemen Risiko (RMC) yang terpisah dari audit memiliki
pengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap Pengungkapan
ERM. Hal ini berarti bahwa dengan adanya RMC yang terpisah dengan
komite lainnya berpengaruh secara langsung terhadap pengungkapan
ERM. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan
oleh Meisaroh dan Lucyanda (2011).
123
3. Reputasi Auditor dengan proksi KAP Big Four memiliki pengaruh positif
dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan atau penurunan
jasa audit oleh KAP Big Four berpengaruh secara parsial terhadap
pengungkapan ERM. Temuan ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Meisaroh dan Lucyanda (2011).
4. Konsentrasi Kepemilikan menunjukkan adanya pengaruh positif dan
signifikan. Hal ini berarti peningkatan atau penurunan dari konsentrasi
kepemilikan berpengaruh secara parsial terhadap pengungkapan ERM.
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Demsetz dan Lehn
(1985), Shleifer dan Vishny (1986) dan Meisaroh dan Lucyanda (2011)
yang menyatakan bahwa salah satu cara meningkatkan kualitas
manajemen risiko adalah memastikan adanya atau setidaknya satu
pemegang saham besar dalam perusahaan.
5. Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor dan
Konsentrasi Kepemilikan secara simultan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap Pengungkapan ERM. Hal ini menunjukkan bahwa
seluruh variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini
memiliki pengaruh yang signifikan secara bersama-sama (serentak)
terhadap Pengungkapan ERM.
B. Implikasi
Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat dijadikan implikasi bagi ilmu
pengetahuan dan beberapa pihak diantaranya yaitu perusahaan, investor,
pemerintah, akuntan publik, akademisi dan peneliti serta pembaca lainnya.
124
1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti manajemen
perusahaan, pemerintah, investor dan analis pasar modal, akuntan publik
dan akademisi, peneliti serta pembaca. Selain itu, temuan ini dapat
memperkuat serta memperluas penelitian sebelumnya terutama mengenai
pengaruh komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi
auditor dan konsentrasi kepemilikan terhadap pengungkapan ERM.
2. Bagi Manajemen Perusahaan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengungkapan ERM erat
kaitannya dengan penerapan good corporate governance. Apabila
dilaksanakan dengan efektif, manajemen risiko dapat menjadi sebuah
kekuatan bagi pelaksanaan good corporate governance yang dapat
diterapkan menjadi budaya organisasi. Oleh karena itu, setiap perusahaan
hendaknya meningkatkan kualitas dan kuantitas pengungkapan ERM
sesuai dengan kerangka ERM yang dikeluarkan COSO. Hal ini
mengingat semakin kompleksnya aktivitas dunia usaha serta tingginya
tantangan bisnis yang harus dihadapi perusahaan sehingga semakin
mempertegas pentingnya manajemen risiko yang dapat diandalkan. Selain
itu, menjadi penting bagi perusahaan untuk menempatkan jajaran dewan
komisaris dan direksi dengan latar belakang pendidikan dan keahlian
yang tidak hanya berhubungan dengan keuangan dan manajerial, tetapi
125
juga memiliki keahlian untuk menganalisis adanya peristiwa yang berasal
dari eksternal perusahaan, seperti peristiwa ekonomi makro dan mikro.
3. Bagi Profesi Akuntan Publik
Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi
bagi akuntan publik untuk lebih memahami dan mendorong perusahaan
untuk menerapkan manajemen risiko perusahaan sebagai bahan
pertimbangan dalam menilai efektivitas pengendalian internal perusahaan
dan memberikan opini audit yang sesuai. Selain itu, temuan ini dapat
dijadikan sebagai sarana evaluasi auditor eksternal atau akuntan publik
dalam melaksanakan audit atas suatu laporan keuangan sehingga dapat
menghasilkan laporan audit yang berkualitas yang dapat meningkatkan
nilai perusahaan.
4. Bagi Investor dan Analis Pasar Modal
Harapan setiap investor adalah mendapatkan profit atau keuntungan dari
setiap investasi yang dilakukannya. Dengan adanya temuan ini, setiap
investor diharapkan untuk lebih menyadari pentingnya penerapan
manajemen risiko perusahaan, mengingat situasi dan kondisi dalam dunia
bisnis yang tidak pasti sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi
para investor sebelum mengambil keputusan untuk melakukan investasi
selanjutnya.
5. Bagi Regulator (Pembuat Kebijakan)
Dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan dapat berguna bagi
pemerintah dan pihak regulator yang terkait dengan arti penting
126
penerapan manajemen risiko bagi perusahaan non financial di Indonesia
sebagai tinjauan untuk mengkaji ulang penerapan manajemen risiko pada
perusahaan non financial.
C. Saran
Peneliti menyadari adanya beberapa keterbatasan dalam penelitian ini,
maka penulis dapat mengemukakan beberapa saran yang dapat digunakan
untuk semua pihak terutama yang akan melakukan penelitian serupa:
a. Indikator penelitian dapat diganti dengan proxy yang lain ataupun
ditambah dengan variabel yang lain seperti ukuran perusahaan, latar
belakang dan keahlian dewan komisaris, komite audit, scope bisnis
perusahaan. Pengungkapan ERM dimensi COSO ERM framework dapat
dipertahankan atau diganti dengan kriteria lain sesuai dengan adopsi
ERM terbaru seperti ISO 31000 yang telah diterapkan oleh beberapa
perusahaan mulai tahun 2011. Selain data sekunder juga menggunakan
data yang lain seperti kuesioner ataupun interview untuk mengetahui
informasi lebih lengkap mengenai keberadaan dan struktur RMC.
b. Perlu mempertimbangkan sampel yang lebih luas dengan menambah
sampel penelitian. Hal ini dimaksudkan agar kesimpulan yang dihasilkan
dari peneliti tersebut memiliki cakupan yang lebih luas, sehingga
mungkin akan didapatkan hasil yang lebih kuat dan akurat.
c. Sebaiknya objek penelitian ditambah menjadi seluruh perusahaan yang
listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) sehingga hasil penelitian dapat
digeneralisasi dan lebih menjelaskan variabilitas data yang sesungguhnya.
127
DAFTAR PUSTAKA
Andarini, Putri dan Indira Januarti. “Hubungan Karakteristik Dewan Komisaris
dan Perusahaan terhadap Pengungkapan Risk Management Committee
(RMC) pada Perusahaan Go Public Indonesia”. Simposium Nasional
Akuntansi 13 Purwokerto, 2010.
Bank Indonesia.”Peraturan Bank Indonesia No.8/4/PBI/206 tentang Pelaksanaan
Good Corporate Governance bagi Bank Umum”. Jakarta, 2006.
Bank Indonesia. “Peraturan Bank Indonesia No.14/24/PBI/2012 tentang
Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia”. Jakarta, 2012.
Bapepam. “Keputusan Badan Pengawas Pasar Modal No.05/PM/2002 Tentang
Pengambilalihan Perusahaan Terbuka”. Jakarta, 2002.
Bappenas. “Krisis Keuangan Eropa: Dampak Terhadap Perekonomian
Indonesia”. Tinjauan Ekonomi Triwulanan. Triwulan IV. Jakarta, 2011.
Barton.“The effect of Corporate Governance on The Use of Enterprise Risk
Management”. Risk Management and Insurance Review. Vol 6 (1), pages
53–73, 2003.
Bates, William E., dan Robert J. Leclerc. “Boards of Directors and Risk
Committees”. The Corporate Governance Advisor. Vol. 17, No.6, 2009.
Beasley, Mark. “An Empirical Analysis of the Relation between the Board of
Director Composition and Financial Statement Fraud”. The Accounting
Review 71, pages 443-465, 1996.
Beasley, Mark., Clune R. dan Hermanson, D. R. “Enterprise Risk Management:
An Empirical Analysis of Factors Associated with the Extent of
Implementation”. Journal of Accounting and Public Policy, Vol.24 (6),
pages 521-531, 2005.
Benardi, Meliana dkk. “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luas Pengungkapan
dan Implikasinya terhadap Asimetri Informasi”. SNA XII. Palembang,
2012.
Chen, J. “Ownership Structure as Corporate Governance Mechanism: Evidence
from Chinese Listed Companies”. Economic of Planning 34, pg 53-72.
2001.
128
Chen, Gongmeng, Michael Firth, Daniel N.Gao and Oliver M.Rui. “Ownership
structure, Corporate Governance, and Fraud: Evidence from China”.
Journal of Corporate finance. 2005.
Chen, Key,Y, Kuen Lin Lin, Jian Zhou. “Audit Quality and Earnings
Management for Taiwan IPO Firms”. Managerial Auditing Journal, Vol
20.1.pp.86-104. 2005.
Chen, Li, Kilgore A. dan R. Radich. “Audit Committees: Voluntary Formation by
ASX Non-Top 500”. Managerial Auditing Journal, Vol. 24, No. 5, pages
475-493, 2009.
Craswell, Allen T., Jere R. Francis dan Stephen L. Taylor. “Auditor Brand Name
and Reputations and Industry Specialization”. Journal of Accounting and
Economics (20). 297-322. 1995.
Committee of the Sponsoring Organizations of the Treadway Commission.
Enterprise Risk Management, Integrated Framework (COSO-ERM
Report). New York: AICPA, 2004.
Dallas, George. “Governance and Risk. Analytical Hand books for Investors,
Managers, Directors and Stakeholders”. p.21. Standard and Poor.
Governance Services, MC. Graw Hill. New York. 2004.
Dechow, R.G.Sloan and A.P Sweeney. “Detecting Earnings Management”. The
Accounting Review, Vol 70, No.2, hal 193-225. 1995.
Demsetz, H. dan K. Lehn. “The Structure of Corporate Ownership: Causes and
Consequences”. Journal of Political Economy, Vol.93, pages 1155–1177,
1985.
Departemen Komunikasi dan Informatika. “Memahami Krisis Keuangan Global,
Bagaimana Harus Bersikap”. Jakarta, 2008.
Desender, Kurt. “On The Determinants of Enterprise Risk Management
Implementation”. Information Resources Management Association
Annual Meeting Paper, 2007.
Desender, Kurt. “The Relationship between Enterprise Risk Management and
External Audit Fees: Are They Complements or Substitutes?”. 2010.
www.ssrn.com/id1484862.
129
Dionne, Georges dan Thouraya Triki. “On Risk Management Determinants: What
Really Matters?” Working Paper. Canada Research Chair in Risk
Management. HEC Montréal, 2004.
Fama, E. F. dan M. C. Jensen. “Agency Problems and Residual Claims”. Journal
of Law and Economics, Vol.26(2): pages 327-349, 1983.
Fathimiyah, Venny dkk. “Pengaruh Struktur Kepemilikan terhadap Risk
Management Disclosure (Studi Survei Industri Perbankan yang Listing di
Bursa Efek Indonesia Tahun 2008-2010)”, 2012.
Ghozali, Imam. “Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 19”,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2011.
Gunarsih, T. (2002). Struktur Corporate Governance dan Kinerja Perusahaan:
Pengaruh Struktur Kepemilikan dan Strategi Diversifikasi Terhadap
Kinerja Perusahaan. Unpublished Disertasi, UGM, Yogyakarta.
Hamid, Abdul. “Panduan Penulisan Skripsi”. Cetakan 1, Grafika Karya Utama,
Jakarta, 2007.
Hendriksen, Eldon S., dan Breda, Michael F. Van. “Teory Accounting”. Edisi
kelima. Terjemahan Hermawan Wibowo. Penerbit Interaksara. Batam.
Herawaty, Vinola. “Peran Praktek Corporate Governance sebagai Moderating
Variable dari Pengaruh Earnings Management terhadap Nilai
Perusahaan" , Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 10, No. 2, pp. 97-
108, 2008.
Hermalin, Benjamin dan Michael Weisbach. “The Effects of Board Composition
and Direct Incentives on Firm Performance”. Financial Management
Journal. Vol.20, Iss.4, pages 101-112, 2003.
IAI. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.38 (Revisi 2011): Kombinasi
Bisnis Entitas Sepengendali, IAI, Jakarta, 2011.
IAI. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.60 (Revisi 2010): Instrumen
Keuangan: Pengungkapan, IAI, Jakarta, 2010.
Indriantoro, Nur dan Supomo, Bambang. “Metodologi Penelitian Bisnis, Untuk
Akuntansi dan Manajemen”. Edisi 1, BPFE Yogyakarta, 2002.
Jensen, M.C. and Meckling, W.H. “Theory of the firm: managerial behavior,
agency cost, and ownership structure”, Journal of Financial Economics,
Vol. 76, pp. 305-360, 1976.
130
Kleffner, A., R. Lee dan B. Mc Gannon. “The Effect of Corporate Governance on
the Use of Enterprise Risk Management: Evidence from Canada”. Risk
Management and Insurance Review, Vol.6 (1), pages 53–73, 2003.
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). "Pedoman Penerapan
Manajemen Risiko Berbasis Governance", 2011.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. “Lampiran Peraturan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 27
(Pemilikan Saham) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”. Jakarta,
2011.
Lam, J. “The CRO is Here to Stay”. Risk Management, Vol. 48 (4) (April), pages
16-22, 2001.
La Porta, R. F., Lopez-De-Silanes, A., Shleifer, R.W., Vishny. (2000). Agency
Problems and Dividend Policies Around The World. CD-Room, STIE
Malangkucecwara, Malang.
La Porta, R. F., Lopez-De-Silanes; A., Shleifer; R.W., Vishny. (2000) Investor
Protection and Corporate Governance.
Liebenberg, A dan R. Hoyt. “The Determinants of Enterprise Risk Management:
Evidence from the Appointment of Chief Risk Officers”. Risk Management
and Insurance Review, Vol.6 (1), pages 37–52, 2003.
Matsumura, E. M. dan R. Tucker. “Fraud Detection: A Theoretical Foundation”.
Accounting Review, Vol.67, pages 753–782, 1992.
Meizaroh dan Jurica Lucyanda. “Pengaruh Corporate Governance dan
Konsentrasi Kepemilikan pada Pengungkapan Enterprise Risk
Management”. Simposium Nasional Akuntansi XIV. Banda Aceh, 2011.
Meulbroek, Lisa K. “Integrated Risk Management for The Firm: A Senior
Manager’s Guide”, 2002. www.ssrn.com.id301331
Miccolis, J. dan Shah S. “Enterprise risk management: An Analytic Approach”.
Tillinghast – Towers Perrin, 2000. www.tillinghast.com.
Namoga, Morris O. “Board Size, Board Process, and Board Performance:
Empirical Evidence from Pasific Island Countries”. The 3’rd International
Accounting and The 2’nd Doctoral Colloquium. Bali-Indonesia, 2010.
131
Nuryaman. “Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan
Mekanisme Corporate Governance terhadap Manajemen Laba”. SNA XI.
Pontianak, 2008.
O´Sullivan, N. “Insuring the Agents: The Role of Directors and Officers
Insurance in Corporate Governance”. Journal of Risk and Insurance,
Vol.64 (3), pages 545-556, 2007.
Peasnell, Ken, Peter Pope, Steve Young. “Board Monitoring and Earnings
Management: Do Outside Directors Influence Abnormal Accruals ?”.
Working Paper. The Department of Accounting and Finance Lancaster
University Management Scholl, Lancaster, UK. 2001.
PricewaterhouseCoopers. “Mandatory Rotation of Audit Firms: Will It Improve
Audit Quality?”. New York: Pricewaterhouse Coopers LLP, 2002.
Restuningdiah, Nurika. “Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, Internal
Audit, dan Risk Management Committee terhadap Manajemen Laba”.
Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol.15, No.3, hlm.351-362, 2011.
Rini dan Aida. “Pengaruh Kepemilikan Saham Minoritas (Publik) dan
Kepemilikan Saham Mayoritas (Pemilik Saham Terbesar) Terhadap
Kebijakan Dividen”. SN KNA Trisakti. Jakarta, 2006.
Shleifer. A. dan R. Vishny. “Large Shareholders and Corporate Control”.
Journal of Political Economy, pages 461-488, 1986.
Subramaniam, Nava., L. McManus. dan Jiani Zhang. “Corporate Governance,
Firm Characteristics, and Risk Management Committee Formation in
Australia Companies”. Managerial Auditing Journal, Vol. 24, No. 4,
pages 316-339, 2009.
Sutedi, Adrian. “Good Corporate Governance”. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Surya, Indra dan Ivan Yustivandana. “Penerapan Good Corporate Governance,
Mengesampingkan Hak-Hak istimewa Demi Kelangsungan Usaha”.
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008.
Walker, P. L., Shenkir, W. G. dan Barton, T. L. “Enterprise Risk Management:
Putting it all together”. Institute of Internal Auditors Research
Foundation, Altamonte Springs, FL, 2002.
Watts, R. L. dan J. L. Zimmerman. “Positive Accounting Theory”. Englewood
Cliffs, NJ:Prentice-Hall, 1986.
132
Zahra, S. A. dan Pearce, J. A. “Boards of Directors and Corporate Financial
Performance: A Review and Integrative Model”. Journal of Management,
Vol.15(2), pages 291-334, 1989.
Zainal, Arifin., dan Nina Rahmawati. “ Pengaruh Corporate Governance
terhadap Efektifitas Mekanisme Pengurang Masalah Agensi”, Jurnal Siasat
Bisnis, Vol. 11, No.3, pp. 237-247, 2006.
134
Lampiran 1: Dimensi Pengungkapan Enterprise Risk Managements
No Dimensi Manajemen Risiko Perusahaan Kode
A. Lingkungan internal
1 Apakah ada pedoman kerja (charter) dewan? A.1
2 Informasi tentang kode etik / etika? A.2
3 Informasi tentang bagaimana kebijakan kompensasi menyelaraskan kepentingan manajer dengan pemegang saham? A.3
4 Informasi tentang target kinerja individu? A.4
5 Informasi tentang prosedur pengangkatan dan pemecatan anggota dewan dan manajemen? A.5
6 Informasi tentang kebijakan remunerasi anggota dewan dan manajemen? A.6
7 Informasi tentang program pelatihan, pembinaan dan pendidikan? A.7
8 Informasi tentang pelatihan dalam nilai-nilai etis? A.8
9 Informasi tentang tanggung jawab dewan? A.9
10 Informasi tentang tanggung jawab komite audit? A.10
11 Informasi tentang tanggung jawab CEO? A.11
12 Informasi tentang eksekutif senior yang bertanggung jawab untuk manajemen risiko? A.12
13 Informasi tentang pengawasan dan manajerial? A.13
B. Tujuan Mengatur
14 Informasi tentang misi perusahaan? B.14
15 Informasi tentang strategi perusahaan? B.15
16 Informasi tentang tujuan bisnis perusahaan? B.16
17 Informasi tentang benchmark diadopsi untuk mengevaluasi hasil? B.17
18 Informasi tentang persetujuan strategi dengan dewan? B.18
135
19 Informasi tentang hubungan antara strategi, tujuan, dan nilai pemegang saham? B.19
C. Identifikasi Kejadian
Risiko Keuangan
20 Informasi tentang tingkat likuiditas? C.20
21 Informasi tentang tingkat suku bunga? C.21
22 Informasi tentang kurs mata uang asing? C.22
23 Informasi tentang belanja modal? C.23
24 Informasi tentang akses ke pasar modal? C.24
25 Informasi tentang instrumen jangka panjang utang? C.25
26 Informasi tentang risiko default? C.26
27 Informasi tentang risiko solvabilitas? C.27
28 Informasi tentang risiko harga ekuitas? C.28
29 Informasi tentang risiko komoditas? C.29
Risiko Kepatuhan
30 Informasi tentang masalah litigasi? C.30
31 Informasi tentang kepatuhan terhadap peraturan? C.31
32 Informasi tentang kepatuhan dengan kode industri? C.32
33 Informasi tentang kepatuhan dengan kode sukarela? C.33
34 Informasi tentang kepatuhan dengan rekomendasi Corporate Governance? C.34
Risiko Teknologi
35 Informasi tentang pengelolaan data? C.35
36 Informasi tentang sistem komputer? C.36
136
37 Informasi tentang privasi informasi yang berkaitan dengan pelanggan? C.37
38 Informasi tentang keamanan perangkat lunak? C.38
Risiko Ekonomis
39 Informasi tentang sifat persaingan? C.39
40 Informasi tentang makro-ekonomi peristiwa yang dapat mempengaruhi perusahaan? C.40
Risiko reputasi
41 Informasi tentang isu-isu lingkungan? C.41
42 Informasi tentang masalah etika? C.42
43 Informasi tentang kesehatan dan isu-isu keselamatan? C.43
44 Informasi tentang saham yang lebih rendah / tinggi atau peringkat kredit? C.44
D. Penilaian Risiko
45 Penilaian risiko tingkat likuiditas? D.45
46 Penilaian risiko suku bunga? D.46
47 Penilaian risiko nilai tukar asing? D.47
48 Penilaian risiko dari belanja modal? D.48
49 Penilaian risiko dari akses ke pasar modal? D.49
50 Penilaian risiko instrumen utang jangka panjang? D.50
51 Penilaian risiko default? D.51
52 Penilaian risiko solvabilitas? D.52
53 Penilaian risiko harga ekuitas? D.53
54 Penilaian risiko komoditas? D.54
55 Penilaian risiko masalah litigasi? D.55
137
56 Penilaian risiko kepatuhan terhadap regulasi? D.56
57 Penilaian risiko kepatuhan dengan kode industri? D.57
58 Penilaian risiko kepatuhan dengan kode sukarela? D.58
59 Penilaian risiko kepatuhan dengan rekomendasi Corporate Governance? D.59
60 Penilaian risiko manajemen data? D.60
61 Penilaian risiko sistem komputer? D.61
62 Penilaian risiko privasi informasi yang berkaitan dengan pelanggan D.62
63 Penilaian risiko pada keamanan software? D.63
64 Penilaian risiko sifat persaingan? D.64
65 Penilaian risiko isu-isu lingkungan? D.65
66 Penilaian risiko dari masalah etika? D.66
67 Penilaian risiko masalah kesehatan dan keselamatan? D.67
68 Penilaian risiko saham yang lebih rendah / tinggi atau peringkat kredit? D.68
69 Informasi tentang teknik yang digunakan untuk menilai dampak potensial dari kombinasi kejadian? D.69
E. Respon Risiko
70 Gambaran umum proses untuk menentukan bagaimana resiko harus dikelola? E.70
71 Informasi tentang pedoman tertulis tentang bagaimana risiko harus dikelola? E.71
72 Respon terhadap risiko likuiditas? E.72
73 Respon terhadap risiko suku bunga? E.73
74 Respon terhadap risiko kurs mata uang asing? E.74
75 Respon terhadap risiko yang terkait dengan belanja modal? E.75
76 Respon untuk akses ke pasar modal? E.76
138
77 Respon untuk instrumen utang jangka panjang? E.77
78 Respon terhadap risiko litigasi? E.78
79 Respon terhadap risiko default? E.79
80 Respon terhadap risiko solvabilitas? E.80
81 Respon terhadap risiko harga ekuitas? E.81
82 Respon terhadap risiko komoditas? E.82
83 Respon untuk mematuhi peraturan? E.83
84 Respon untuk mematuhi kode industri? E.84
85 Respon untuk mematuhi kode sukarela? E.85
86 Respon untuk mematuhi rekomendasi dari Corporate Governance? E.86
87 Respon terhadap risiko data? E.87
88 Respon terhadap risiko sistem komputer? E.88
89 Respon terhadap privasi informasi yang berkaitan dengan pada pelanggan? E.89
90 Respon untuk risiko keamanan perangkat lunak? E.90
.91 Respon terhadap risiko persaingan? E.91
92 Respon terhadap risiko lingkungan? E.92
93 Respon terhadap risiko etis? E.93
94 Respon untuk kesehatan dan resiko keselamatan? E.94
95 Respon terhadap risiko saham yang lebih rendah / tinggi atau peringkat kredit? E.95
F. Pengendalian Kegiatan
96 Informasi tentang pengendalian penjualan? F.96
97 Informasi tentang penelaahan terhadap fungsi dan efektivitas kontrol? F.97
139
98 Informasi tentang isu-isu otorisasi? F.98
99 Informasi tentang dokumen dan catatan sebagai kontrol? F.99
100 Informasi tentang prosedur verifikasi independen? F.100
101 Informasi tentang kontrol fisik? F.101
102 Informasi tentang proses pengendalian? F.102
G. Informasi dan Komunikasi
103 Informasi tentang verifikasi kelengkapan, akurasi dan validitas informasi? G.103
104
Informasi tentang saluran komunikasi untuk melaporkan dugaan pelanggaran undang-undang, peraturan atau
kejanggalan lainnya? G.104
105 Informasi tentang saluran komunikasi dengan pelanggan, vendor dan pihak eksternal lainnya? G.105
H. Pemantauan
106 Informasi tentang bagaimana proses yang dipantau? H.106
107 Informasi tentang audit internal? H.107
108 Informasi tentang anggaran Internal Audit? H.108
140
Lampiran 2: Data sampel Penelitian
2009 IND_COM OWN_CON AUD_REP FIRM_RMC ERM
AALI 0.429 0.797 1 0 0.944
SGRO 0.400 0.671 1 1 0.833
SMAR 0.375 0.952 0 0 0.889
ITMG 0.333 0.737 1 1 0.917
MITI 0.333 0.623 0 0 0.907
PTBA 0.400 0.650 1 1 0.907
SIPD 0.400 0.613 0 0 0.907
SMCB 0.429 0.773 1 0 0.954
SMGR 0.500 0.510 1 1 0.972
SOBI 0.333 0.695 1 0 0.889
SULI 0.400 0.516 1 0 0.898
ASII 0.500 0.501 1 1 0.907
AUTO 0.333 0.957 1 0 0.907
POLY 0.333 0.607 0 0 0.833
INDF 0.300 0.501 1 0 0.907
KAEF 0.600 0.900 0 0 0.880
KLBF 0.333 0.630 1 1 0.898
RMBA 0.333 0.997 1 0 0.889
TCID 0.400 0.608 1 0 0.889
UNVR 0.750 0.850 1 0 0.889
JKON 0.400 0.677 0 0 0.852
JRPT 0.400 0.653 0 0 0.852
LPCK 0.600 0.513 0 0 0.824
SMDM 0.667 0.737 1 0 0.824
ISAT 0.400 0.650 1 1 0.954
JSMR 0.333 0.700 0 1 0.880
ACES 0.500 0.600 0 0 0.843
AKRA 0.333 0.708 1 0 0.898
JTPE 0.333 0.643 0 0 0.880
KBLV 0.750 0.551 0 0 0.880
LMAS 0.500 0.543 0 0 0.843
LTLS 0.400 0.630 1 0 0.880
MAMI 0.667 0.656 0 0 0.796
MAPI 0.400 0.588 1 0 0.833
MDRN 0.333 0.583 1 0 0.843
MICE 0.333 0.604 0 0 0.815
MNCN 0.400 0.716 1 0 0.972
MTDL 0.333 0.770 1 0 0.870
POOL 0.333 0.808 0 0 0.815
RALS 0.500 0.561 1 0 0.843
UNTR 0.375 0.595 1 1 0.972
141
2010 IND_COM OWN_CON AUD_REP FIRM_RMC ERM
AALI 0.429 0.797 1 0 0.944
SGRO 0.400 0.671 1 1 0.833
SMAR 0.375 0.952 0 0 0.889
ITMG 0.333 0.650 1 1 0.917
MITI 0.500 0.676 0 0 0.944
PTBA 0.400 0.650 1 1 0.907
SIPD 0.667 0.586 0 0 0.907
SMCB 0.571 0.807 1 0 0.954
SMGR 0.500 0.510 1 1 0.972
SOBI 0.333 0.688 1 0 0.889
SULI 0.400 0.516 1 0 0.898
ASII 0.455 0.501 1 1 0.907
AUTO 0.300 0.957 1 0 0.907
POLY 0.333 0.607 0 0 0.833
INDF 0.300 0.501 1 0 0.907
KAEF 0.600 0.900 0 0 0.880
KLBF 0.333 0.670 1 1 0.898
RMBA 0.500 0.991 1 0 0.889
TCID 0.400 0.608 1 0 0.889
UNVR 0.750 0.850 1 0 0.889
JKON 0.400 0.677 0 0 0.852
JRPT 0.400 0.662 0 0 0.852
LPCK 0.600 0.575 0 0 0.824
SMDM 0.667 0.737 1 0 0.824
ISAT 0.400 0.650 1 1 0.954
JSMR 0.333 0.700 0 1 0.880
ACES 0.500 0.600 0 0 0.843
AKRA 0.333 0.592 1 0 0.898
JTPE 0.500 0.643 0 0 0.880
KBLV 0.571 0.551 0 0 0.880
LMAS 0.333 0.546 0 0 0.843
LTLS 0.400 0.630 1 0 0.880
MAMI 0.667 0.501 0 0 0.796
MAPI 0.400 0.588 1 0 0.833
MDRN 0.333 0.561 1 0 0.843
MICE 0.333 0.604 0 0 0.815
MNCN 0.400 0.717 1 0 0.972
MTDL 0.333 0.769 1 0 0.870
POOL 0.333 0.808 0 0 0.815
RALS 0.500 0.559 1 0 0.843
UNTR 0.500 0.595 1 1 0.972
142
2011 IND_COM OWN_CON AUD_REP FIRM_RMC ERM
AALI 0.429 0.797 1 0 0.944
SGRO 0.400 0.671 1 1 0.833
SMAR 0.375 0.972 0 0 0.889
ITMG 0.333 0.650 1 1 0.917
MITI 0.500 0.679 0 0 0.944
PTBA 0.333 0.650 1 1 0.907
SIPD 0.667 0.586 0 0 0.907
SMCB 0.571 0.807 1 0 0.954
SMGR 0.333 0.510 1 1 0.972
SOBI 0.333 0.980 1 0 0.889
SULI 0.400 0.516 1 0 0.898
ASII 0.455 0.501 1 1 0.907
AUTO 0.400 0.957 1 0 0.907
POLY 0.333 0.600 0 0 0.833
INDF 0.333 0.501 1 0 0.907
KAEF 0.400 0.900 0 0 0.880
KLBF 0.333 0.640 1 1 0.981
RMBA 0.500 0.856 1 0 0.889
TCID 0.400 0.608 1 0 0.889
UNVR 0.800 0.850 1 0 0.889
JKON 0.400 0.677 0 0 0.852
JRPT 0.400 0.662 0 0 0.852
LPCK 0.600 0.578 0 0 0.824
SMDM 0.667 0.737 0 0 0.824
ISAT 0.400 0.650 1 1 0.954
JSMR 0.333 0.700 0 1 0.880
ACES 0.500 0.600 0 0 0.843
AKRA 0.333 0.597 1 0 0.898
JTPE 0.500 0.636 0 0 0.880
KBLV 0.500 0.551 0 0 0.880
LMAS 0.333 0.546 0 0 0.843
LTLS 0.400 0.630 1 0 0.880
MAMI 0.667 0.501 0 0 0.796
MAPI 0.400 0.560 1 0 0.833
MDRN 0.333 0.561 1 0 0.843
MICE 0.333 0.604 0 0 0.815
MNCN 0.400 0.700 1 0 0.972
MTDL 0.333 0.595 1 0 0.870
POOL 0.333 0.808 0 0 0.815
RALS 0.500 0.559 1 0 0.843
UNTR 0.500 0.595 1 1 0.972
143
Lampiran 3: Hasil Uji Regresi Berganda
Variables Entered/Removedb
Model
Variables
Entered
Variables
Removed Method
1 OWN_CON,
IND_COM,
AUD_REP,
FIRM_RMC
. Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: ERM
Model Summaryb
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
1 ,566a ,320 ,297 ,039072
Model Summaryb
Model
Change Statistics
Durbin-
Watson
R Square
Change F Change df1 df2
Sig. F
Change
1 ,320 13,891 4 118 ,000 1,922
a. Predictors: (Constant), OWN_CON, IND_COM, AUD_REP, FIRM_RMC
b. Dependent Variable: ERM
ANOVAb
Model
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
1 Regression ,085 4 ,021 13,891 ,000a
Residual ,180 118 ,002
Total ,265 122
a. Predictors: (Constant), OWN_CON, IND_COM, AUD_REP, FIRM_RMC
b. Dependent Variable: ERM
144
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
B Std. Error
1 (Constant) ,813 ,025
AUD_REP ,036 ,008
FIRM_RMC ,035 ,009
IND_COM ,006 ,031
OWN_CON ,059 ,028
Coefficientsa
Model
Standardized
Coefficients
t Sig.
Collinearity
Statistics
Beta Tolerance VIF
1 (Constant) 33,060 ,000
AUD_REP ,375 4,648 ,000 ,883 1,133
FIRM_RMC ,315 3,820 ,000 ,848 1,180
IND_COM ,014 ,184 ,855 ,951 1,051
OWN_CON ,162 2,081 ,040 ,956 1,046
a. Dependent Variable: ERM
top related